Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 6

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 6



Barata menggangguk setuju.

"Apa maunya dia berbuat begitu?" Evita tak habis pikir.

"Dia mau mempermainkanmu. Bukankah dia pernah kedapatan pergi sendiri ke sana? Mungkin dia mendengar kau ngomong sama Wijaya meskipun kalian tidak menyinggung soal itu."

"Oh ya. Aku bilang, lain kali kalau dia keluyuran sendiri aku ingin sekali mengikutinya. Tapi mustahil dia bisa dengar. Ngomongnya pelan banget."

"Mungkin dia memang nggak mendengar. Tapi bisa memperkirakan. Nah, setelah melihatmu tertidur dia mencoba. Mula-mula kunci disembunyikan, lalu membuka pintu, kemudian menggabrukkannya seolah ada yang keluar lalu menutup pintu kembali. Kemudian dia buru-buru kembali ke kamarnya. Seandainya waktu itu kau langsung terbangun dengan mata terbuka lalu keburu melihatnya sebelum menghilang ke kamarnya, maka tidak masalah baginya. Ia bisa beralasan lain. Demikian pula kalau kau segera setelah terbangun mengecek dulu ke kamarnya. Tapi bila kaulakukan itu, pastilah waktunya tidak lama. Ternyata kau melihat kunci dulu. Kau memastikan kepergiannya dari tak adanya kunci di tempatnya. Setelah kau pergi, dia buru-buru mengembalikan kunci."

"Aku memang salah nggak ngecek dia di kamarnya. Baiklah, dia memang mau mempermainkan. Tapi buat apa? Hanya supaya aku kecele karena tidak mendapatkannya di sana? Atau membuat aku terkunci di luar? Aku toh bisa minta bantuan Pak Hendra."

"Mungkin dia mau mempermainkan mentalmu. Dia tahu kau takut."

"Lantas kenapa dia kelihatan begitu marah, hingga seperti mau memakanku hidup-hidup?"

Nadia tak bisa menyimpulkan. Demikian pula Barata.

"Hanya satu kemungkinannya," kata Evita.

"Aku dan dia seperti kucing dengan tikus. Dia kucingnya, aku tikusnya. Bukan aku saja yang membencinya, tapi dia pun begitu kepadaku. Sama-sama. Selama ini sikap manisnya memang palsu. Tapi dia pintar betul berpura-pura terutama di depan Wijaya. Dia membuat Wijaya senang karena mengira sudah baikan denganku. Jadi mana mungkin aku bicara jelek tentang dia?"

"Sebaiknya kau berhati-hati saja. Ev. Jangan perlihatkan sikap tidak sukamu itu kepadanya. Pura-pura saja bahwa kau pun tidak punya masalah dengannya. Pura-pura dibalas dengan pura-pura. Kupikir kau sikapmu sudah betul, yaitu kau tidak mengadu kepada Wijaya. Pelihara sayangnya kepadamu."

Barata menyimak ucapan dan sikap Nadia dengan kagum. Dia ini seperti konsultan keluarga yang hebat padahal dia masih lajang.

"Baik. Terima kasih, Na. Sama Barata saya mau minta tolong."

Barata berpaling pada Evita. Sedikit malu karena kedapatan mengamati Nadia.

"Ya, Bu? Katakan saja."

"Bagaimana kalau besok pagi kita periksa lagi apartemen itu? Saya ngomong dulu sama Pak Hendra. Bilangnya perlu ambil beberapa barang di situ. Saya nggak mau kasih tahu Wijaya dan Mama. Kalau pagi kan dia ditemani oleh Bi Inah. Nanti saya cari alasan."

"Oh, dengan senang hati, Bu Evi," sahut Barata bersemangat. Dia juga ingin tahu ada apa sebenarnya di dalam apartemen itu? Dan apakah kunci akan bermasalah lagi?

Besok paginya, Evita dan Barata sudah berada di depan pintu apartemen. Masih jelas teringat oleh Evita pengalamannya kemarin. Tapi sekarang perasaan ngeri itu sudah tak ada. Mungkin karena ditemani Barata. Entah apa akan sama halnya bila ia sendirian.

Evita menyodorkan kunci kepada Barata. Diamdiam Barata merasa tegang. Lebih tegang daripada Evita. Padahal seharusnya aku tenang-tenang saja, pikirnya. Bukankah sudah terbukti bahwa di dalamnya tidak ada apa-apa atau siapa-siapa?

"Nanti Ibu tunggu di luar. Biar saya masuk duluan. Kalau sudah aman, saya panggil. Bisa kita selidiki bersama," kata Barata.

Evita tidak mengerti apa yang dimaksud Barata dengan menyelidiki bersama itu, tapi ia tidak bertanya.

Barata memasukkan kunci. lalu memutarnya. Sekali sudah cukup untuk membuat pintu terbuka. Tak ada kesulitan apa pun.

"Ibu di pinggir sini aja," kata Barata. Lalu ia melangkah ke dalam ruang yang gelap. Sakelar ada di pinggir. Sebelum tangannya mencapai sakelar tibatiba ia meluncur di lantai.

"Aaauuu...! Aaauuu...!" teriaknya.

Tubuhnya limbung kemudian terpeleset dengan pantat membentur lantai dengan keras, lalu meluncur dalam posisi duduk seolah remnya blong dan baru berakhir setelah tubuhnya membentur tembok! Ia sempat melindungi kepalanya dari benturan.

Evita terkejut sekali. Refleks ia mau berlari masuk untuk menolong Barata. Tapi teriakan Barata sempat mencegahnya,

"Jangan masuk Bu! Tetap di luar!"

Evita menahan langkahnya. Matanya sudah lebih mampu menangkap situasi di dalam ruang berkat cahaya lampu dari lorong. Ia melihat Barata terduduk di lantai. Pelan-pelan Barata memutar tubuhnya masih dalam posisi duduk. Ia bersandar ke tembok.

"Bu, lantainya licin sekali. Jangan masuk. Saya saya duduk dulu sebentar, ya. Nggak bisa segera bangun."

Suara Barata seperti menahan sakit. Pantatnya memang sakit sekali. Untung kepalanya tidak terbentur juga. Ia perlu waktu sebelum bisa bangun. berdiri, dan berjalan. Pandangannya sempat berputar.

"Memangnya kenapa, Bar? Sakit? Saya cari bantuan?" Evita panik.

"Jangan. Bu. Nggak usah. Saya cuma perlu waktu."

"Ya, ya. Kau duduklah dan pulihkan dirimu dulu."

Evita berjongkok. Ia mengamati lantai. Dari cahaya lampu di lorong ia bisa melihat genangan cairan di lantai dekat kakinya. Ia mengulurkan tangan untuk mencoleknya lalu menciumnya.

"Minyak. Bar! Ada minyak di sini!"

Keberanian tumbuh di dalam diri Evita. Ia berdiri lalu berpegang erat pada pinggiran kusen pintu kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah dalam, merapat ke dinding. Ia mencari sakelar tanpa memijakkan kaki ke dalam ruang. Ia berhasil. Sekejap kemudian lampu menyala terang. Tampak cairan kekuningan di lantai depan pintu yang memanjang mengikuti arah peluncuran Barata. Warnanya cukup kontras dengan lantai yang berwama putih. Tapi di tempat lain tidak ada.

Barata mencoba berdiri. Mukanya mengernyit. Pantatnya terasa bonyok. Perutnya jadi ikut sakit.

"Sudah, Bar. Tunggu dulu. Saya cari lap."

"Jangan masuk, Bu."

"Di sebelah sini aman kok."

Evita melangkah hati-hati. Setelah ruang menjadi terang ia bisa melihat ke mana harus melangkah. Tampaknya minyak hanya ada di depan pintu saja. ia tahu di dapur masih ada tumpukan lap.

Ia mengeringkan lantai dengan banyak lap. Lalu menggosok dengan jarinya untuk memastikan tidak licin lagi. Kemudian ia membantu Barata berdiri dan membimbingnya duduk di sofa.

"Gimana rasanya, Bar?" ia bertanya dengan iba.

"Lumayan sakitnya. Sampai menjalar ke perut." Barata nyengir agak malu.

"Tapi sudah mendingan. Biar bonyok masih bisa duduk."

"Mestinya saya nawarin minum. Tapi nggak ada air minum di sini."

"Nggak perlu, Bu. Nanti saja di bawah."

Tiba-tiba Barata terkejut. Ia berdiri dengan kedua tangan bertumpu ke sandaran.

"Kenapa?" Evita pun terkejut.

"Waduh, Bu, sofanya jadi kotor tuh. Minyaknya nempel."

"Biar saja. Nggak apa-apa. Duduk lagi. Itu kan cuma barang. Menurut saya, kau lebih baik tiduran supaya bisa mengistirahatkan tubuhmu. Jangan pikir soal sofa atau celanamu yang kotor."

"Ah. nggak perlu. Bu." Barata tersipu.

"Duduk aja."

"Ayolah. Biar cepat pulih," kata Evita dengan nada tegas. Ia berdiri untuk menutup pintu. Dan menyalakan AC.

Wajah Evita yang mengekspresikan ketegasan

memaksa Barata patuh. Ia merebahkan dirinya. Ternyata memang lebih nyaman. Berat tubuhnya tidak terlalu membebani pantat.

"Nah, gitu dong." Evita duduk di kursi depannya.

"Sambil memulihkan dirimu, kita bisa berbincang. Tapi kalau kau merasa lelah nggak usah. Mungkin lebih enak bila memejamkan mata."

Barata tertawa.

"Nanti saya bisa ketiduran. Bu. Kita memang perlu berbincang, bukan? Kejadian ini..."

"Jelas merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul kemarin," sambung Evita. Kemudian ia memandang seputar ruangan. Tidak ada rasa seram yang bisa membuatnya merinding. Tentu ada pengaruh dari kehadiran Barata. Tapi bukan hanya itu.

"Bukankah kemarin saya memang nggak boleh masuk, ya, Bar?"

"Betul sekali. Saya kan ngomong begitu juga. Ibu dilindungi."

"Tapi kenapa kau dibiarkan jadi korban? Kasihan."

"Karena saya lelaki dan saya nggak hamil. Pantat terpukul, tapi perut pun terkena akibatnya. Coba kalau lbu, bagaimana tuh?"

Evita tak berani membayangkan.

"Apa kaupikir dia yang melakukan?"

"Kalau teori Nadia kemarin itu benar, mestinya begitu. Makanya dia marah karena akalnya nggak berhasil."

"Tapi bagaimana dia bisa tahu nggak berhasil?

Bukankah dia menunggu di kamar, pura-pura tak pernah keluar?"

"Tentu saja dia tahu. Karena Ibu cepat kembali. Kalau Ibu pingsan. misalnya. pasti nggak pulang-pulang. Dan kalaupun pulang. pasti dalam kondisi yang payah. Dia bisa mengintip dari celah pintu."

"Kok kejam sekali ya, Bar. Tega banget. Tapi saya juga heran, apa dia nggak takut Wijaya akan marah nanti?"

"Mana mungkin dia mengaku. Bu. Nggak ada bukti. Nggak ada saksi. Yang disalahkan pasti Ibu sendiri. Kenapa mau memata-matainya."

"Lantas siapa yang menuang minyak ke lantai?"

"Dia akan menyalahkan pihak lain."

"Pihak mana?"

Barata tak menjawab. Evita memahami maksudnya. Ia tak bertanya lagi. Ia merenung lama. Barata membiarkan.

"Saya mau menelepon Nadia, Bar."

"Ibu bawa ponselnya?"

"Bawa dong."

Evita berbicara dengan Nadia. Seru sekali. Ia bercerita dengan heboh. Tanggapan Nadia pun sama hebohnya. Lalu Nadia ingin bicara dengan Barata Ketika Evita menoleh pada Barata, ia mendapati Barata tertidur. Mula-mula ia cemas. Bagaimana kalau Barata mendadak koma? Tapi ia mendengar dengkur pelan. Apakah orang koma mendengkurnya seperti itu?

Nadia tertawa di telepon.

"Kasihan. Sudah. Jangan dibangunin dulu. Kasih waktu barang setengah jam, Ev. Nanti bisa bicara lagi. Tapi aku mau pesan, Na. Bisakah kau menahan emosi?"

"Bisa."

"Jangan langsung menuduh dan memarahi Bu Oni. Dan jangan mengadu pada Wijaya. Posisinya bakal sulit. Tapi kau sejak sekarang harus ekstra hati-hati. Jangan minum apa pun yang diberikannya. Makanan juga."

"Apakah dia akan meracuniku, Na?"

"Nggak nuduh sih. Tapi itu bagian dari kehatihatian. Yang harus kauingat baik-baik adalah bayimu. Biarlah dia mengira kau nggak tahu apa-apa."

"Susah juga sebenarnya, Na. Tapi aku akan berusaha."

"Nanti kita ketemu dan bicara lagi. Sama Barata juga."

"Kasihan pantatnya."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Sudah dua kali dia jadi korban. Pertama waktu menolong Agung. Kedua sekarang."

"Mudah-mudahan nggak ada efek lanjutnya. Tadi katanya perut ikut sakit."

"Sebentar aku telepon dia deh."

"Terima kasih untuk nasihatnya, Na."

"Terima kasih juga untuk infonya."

"Kau akan cerita pada Robin?"

"Kayaknya begitu. Dia yang detektif kok. Kita adalah pemberi info gratis."

"Baiklah. Sampai nanti, Na."

"Jaga dirimu. Ev."

Setelah mematikan ponselnya, Evita memandangi Barata. Mulutnya setengah terbuka sekarang. Kalau dia bangun nanti. mungkin sakitnya sudah berkurang. Tidur mengistirahatkan dan memulihkan.

Ia merasa tidak enak mengamati orang tidur. Ia berdiri dan mengamati sekitarnya. Tidak ada suasana seram seperti yang ditimbulkan oleh cerita Leoni. Lantas kenapa timbul efek seperti yang dirasakannya tempo hari? Karena ketakutankah ia jadi mual dan muntah? Sepertinya ia amat sangat penakut. Tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa memang ada sesuatu yang tidak dipahaminya. Itu yang telah menolongnya. Ia yakin, pasti sesuatu itu bukan setan seperti yang mau oleh Leoni.

"Terima kasih," katanya pelan kepada udara di depannya.

Setelah menoleh pada Barata sejenak, ia melangkah ke sebelah dalam. Ragu-ragu pada mulanya, lalu mantap menuju kamar yang dulu ditempati Leoni. Ia membuka pintunya lebar-lebar dan membiarkannya begitu. Bau khas kembali menyergap hidungnya. Minyak angin kegemaran Leoni. Bagaimana mungkin bau masih ada di situ padahal kantatnya sudah tidak dihuni? Sepertinya itu adalah petunjuk bahwa Leoni memang pernah ke situ dalam hari-hari belakangan ini, biarpun sulit dipahami kenapa baunya hanya tercium di situ. Minyak angin itu memiliki bau yang tahan lama dan mungkin juga efeknya. Menurut Leoni, ia selalu merasa segar bila mengoleskannya di kening, leher, dan belakang

telinga. Bukan semata-mata karena perasaan kurang nyaman atau masuk angin. Karena itu ia memakainya tiap hari, tak terhitung berapa kali. Mungkin ada efek ketagihan.

Apa lagi yang dicarinya di situ padahal semua sudah diangkut? Ia memeriksa isi kamar. Semua sudah kosong. Mungkin ia sudah mengangkutnya pada hari-hari belakangan itu. Waktu Wijaya bersama Robin memeriksa, katanya masih ada botol-botol kosong bekas minyak angin di laci dan beberapa tetek-bengek lainnya. Sekarang sudah bersih. Apa Leoni bermaksud membersihkan sampai tak ada lagi yang tertinggal? Dia tidak perlu serajin itu. Mungkin juga dia tak ingin membuang barang yang bagi orang lain sudah merupakan sampah. Kalau barang barang itu ditinggalkan pasti akan dibuang. Ada orang tua yang seperti itu. Segala macam disimpan, seperti botol kosong dan bungkus sabun. Aneh juga bahwa untuk barang-barang sampah seperti itu dia masih bersemangat hingga mau membereskannya sendiri. Apakah terakhir dia ke sini khusus untuk menuang minyak di lantai?

Baunya memuakkan. Ia cepat keluar dan menutup pintunya.

Barata sudah ada di belakangnya. Ia sudah bisa melangkah dengan mantap sekarang. Ia tersenyum malu.

"Kok saya dibiarkan tidur, Bu? Malu-maluin," katanya.

"Sekarang rasanya gimana?"

"Enakan, Bu. Sakit begini nggak boleh dirasarasa. Harus dilawan."

"Tapi pasti berkat tidur sekejap itu. Kadang-kadang nanti bisa terasa lagi. Eh, coba lihat celanamu."

Bagian pantat Barata terlihat jelas bernoda minyak.

"Waduh, gimana nanti bilangnya sama Pak Hendra, Bar?"

"Kentara banget, Bu?"

"Iya. Nanti saya kasih tahu aja. kau nggak sengaja duduk di kursi yang kotor."

'Baik, Bu. Terima kasih. Jadi sebaiknya jangan dikasih tahu. Bisa heboh nanti."

"Tentu saja. Sama Pak Wijaya pun saya nggak mau kasih tahu."

"Tapi Ibu mesti hati-hati."

"Ya. Nadia juga menyarankan begitu. Tadi katanya dia akan menelepon kamu."

Mereka turun bersama-sama. Hendra yang dilapori mengamati celana Barata. Memalukan kalau satpam bercelana kotor seakan baru berkubang. Ia masih menyimpan beberapa seragam satpam yang bisa dipinjam Barata. Masalah itu bisa diselesaikan.

Evita tidak segera kembali ke apartemennya. Ia pergi dulu ke pertokoan di seberang gedung untuk berbelanja sedikit. Yang penting Leoni tidak menuduhnya berbohong.

Semakin lama waktu berlalu semakin mereda kegeramannya karena peristiwa itu. Ia bisa menghadapi Leoni tanpa emosi.





KETIGA sahabat-Nadia, Barata, dan Robin-begitu mereka menyebut hubungan antar mereka, memilih hari Minggu siang sebagai waktu pertemuan dan diskusi. Pada hari itu ketiganya libur dan sudah tidur cukup malam sebelumnya. Jadi tak ada yang mengantuk. Pertemuan berlangsung dalam suasana akrab. Lebih akrab daripada kemarin-kemarin. Hari Sabtu kemarinnya keluarga Wijaya pindah rumah. Barata dan rekan-rekannya ikut membantu dan kemudian menyampaikan selamat tinggal. Kepada penghuni lain yang ikut melepas kepergian dan bertanya kenapa mereka pindah mendapat jawaban bahwa hal itu merupakan keinginan Leoni. Tidak ada sebab lain. Memang jawaban seperti itu yang diminta Hendra supaya tidak timbul keresahan yang dapat menyebabkan isu macam-macam. Jangan sampai timbul kesan bahwa lantai tujuh merupakan

tempat yang mengerikan. Di sana masih ada dua penghuni yang belum berniat pindah.

Topik itu yang dibicarakan mula-mula.

"Sebenarnya memang mengerikan," kata Nadia.

"Beberapa kematian terjadi di situ. Ada pembunuhan, ada bunuh diri."

"Belum termasuk kejadian yang kemarin-kemarin itu," tambah Barata.

"Yang menuang minyak itu orang. Bukan jin," kata Robin.

"Bagaimana dengan kunci di tangan Evita? Pasti bukan karena gugup."

"Ya. Itu kecualian." Robin tersenyum.

"Tapi aku yakin, setan item yang disebut Agung itu manusia. Kecuali benda hitam yang dilihat Barata pada saat kejadian. Entah barang, entah burung. Bukankah kau tak pernah yakin, Bar?"

"Ya. Kesimpulan bahwa itu burung hanya kuperoleh dari pengalaman sebelumnya. Sama-sama hitam." Barata merenung.

"Ngomong soal itu, aku jadi ingat masalah formasi ketiganya sewaktu melayang dari teras."

"Formasi?" tanya Robin.

"Ya. Mungkin nggak penting. Kebetulan saja. Benda hitam itu adanya di dekat teras apartemen Wijaya. Apakah asalnya dari situ karena di situ terjadi keanehan yang menimpa Bu Evi? Tapi pintu ke balkon di situ tertutup. Ah, memang nggak jelas. Aku melihatnya sudah melayang bersama yang lain."

"Lalu lenyap," sambung Nadia.

"Aku bisa memperkirakan kenapa kelihatannya berasal dari situ, karena memang di situlah tempat si nenek," Robin berkata tanpa nada gurau.

Nadia dan Barata terkejut.

"Apa maksudmu?" tanya Nadia.

"Maksudmu Ningsih?" Barata ikut bertanya.

"Oh, bukan Ningsih. Skenario mengenai Ningsih itu sudah kusingkirkan. Setelah Agung berkata bahwa dia yang dijatuhkan dan Ani mau menolong, maka Ningsih tak lagi jadi tersangka. Jangan mentang-mentang orangnya sudah meninggal maka seenaknya menuduh dia. Lagi pula apa motivasinya?"

"Kau benar-benar percaya pada Agung," kata Nadia.

"Tentu. Ucapan bocah polos seperti itu sesuai seperti apa adanya."

"Tapi mestinya masih ada petunjuk lain," kata Barata.

"Oh ya. Tentu saja. Yang penting, ucapan Agung itu jadi petunjuk untuk kembali meneliti hal-hal lain. Juga yang sebelumnya. Misalnya penemuan sarung tangan dan topeng di bawah kasur Ningsih. Sebegitu gampangnya. Seperti sudah disediakan di situ."

"Tapi Ningsih bunuh diri. Ada surat penyesalan," Nadia mengingatkan.

"Itu benar. Tapi suratnya nggak detail. Maaf untuk apa? Tanda tangan nggak ada. Sayangnya lagi

nggak ditemukan surat lain yang ditulis oleh Ningsih sebagai pembanding suratnya itu. Tulisannya cocok atau nggak. Pensil yang dipakai menulis juga nggak ditemukan. Ada lagi masalah sidik jari. Kursi yang dipakai pijakan kaki Ningsih tidak ada sidik jari siapa pun. Padahal mestinya ada sidik jari Ningsih karena dia yang pegang. Memangnya dia hapus dulu sebelum menjerat lehernya? Kan nggak masuk akal."

"Yang itu tak pernah kaubicarakan sebelumnya," Nadia setengah memprotes.

"Memang ada beberapa detail yang tak kukemukakan. Bukan apa-apa. Tapi nanti jadi membingungkan. Dan terus terang skenario yang sudah bagus jadi cacat. Tapi kemudian ada penemuan yang penting."

"Apa itu?" tanya Nadia dan Barata hampir berbarengan. Duduk mereka menjadi lebih tegak.

"Tapi kuminta kalian berjanji untuk nggak bilang ke orang lain. Pada Evita, Ava. Rama, atau siapa saja. Kita harus menjaga supaya yang bersangkutan nggak sampai mengendus atau berprasangka. Aku merasa harus memberitahu kalian karena kita sudah punya komitmen untuk berbagi."

"Aku berjanji," kata Nadia serius.

"Aku juga," sambung Barata.

"Baiklah. Maaf ya. Bukan aku nggak percaya pada kalian, tapi aku cuma mau mengingatkan saja akan pentingnya masalah ini. Jangan sampai kelepasan omong kalau sedang seru-serunya berbincang.

Apalagi dengan Evita. Jadi begini." Robin menyadari ketidaksabaran kedua orang di depannya.

"Pada pemeriksaan topeng karet memang ditemukan sidik jari Ningsih, tapi uniknya di sebelah dalam topeng itu tercium bau yang khas, yaitu bau minyak angin yang biasa dipakai Bu Oni, yang selanjutnya akan kusebut si nenek saja!"

Nadia berseru pelan. Barata ternganga.

"Padahal Ningsih tidak suka sama bau itu. Dia ngomong sendiri waktu berbincang-bincang sama aku. Enek, katanya. Jadi nggak mungkin dia ikutan memakai."

"Maksudmu orang yang memakai topeng itu pengguna minyak angin tersebut?" tegas Nadia.

"Ya. Minyak angin itu memiliki daya tahan yang cukup lama. Baunya bisa menempel kuat, apalagi pada bahan karet. Setahuku, si nenek memakainya tiap hari sampai berkali-kali. Di laci kamarnya yang lama kulihat banyak sekali botol kosong bekas minyak itu. Aku ambil satu diam-diam waktu memeriksa kamarnya karena Wijaya bersamaku waktu itu."

"Tunggu sebentar. Tadi kau menyebut Evita juga tidak boleh tahu. Kenapa?" tanya Nadia.

"Sebab dia selalu berdekatan dengan si nenek yang pengamatannya sudah terbukti tajam banget. Bisakah Evita menyimpan rahasia ini? Salah-salah pengetahuan itu bisa semakin membahayakan dirinya. Dia juga akan ketakutan. Sudah terbukti ada percobaan mencelakakan dirinya, bukan? Yang satu

itu kayaknya sudah jelas siapa pelakunya. Bukan setan item."

"Minyak angin itu bisa saja dipakai orang lain di luar si nenek," kata Barata, yang ikut-ikutan menyebut "si nenek". Ia merasa kesal dan gemas kepada perempuan tua itu. Tak perlulah menyebutnya secara hormat.

"Siapa lagi?" tanya Robin.

"Coba, Na, siapa lagi yang mungkin memakainya?"

"Rama dan Ava jelas nggak."

"Wijaya juga nggak. Ningsih nggak. Apalagi Evita. Padahal hanya mereka orang-orang yang berada dalam lingkup itu." jelas Robin.

"Baiklah. Kalau benar topeng itu milik si nenek, apa dia nggak menyadari bau khasnya menempel di situ? Dia kan cerdik, masa sebodoh itu?" Nadia mencoba berargumentasi.

"Na, orang yang sehari-hari sudah menjadi sumber bau itu, baik pagi. siang maupun malam, pasti nggak merasakan lagi bau yang sama dari benda di luar dirinya. Penciumannya sudah terpengaruh. Apalagi bau dari topeng sudah memudar meskipun masih tercium," kata Robin.

"Benar juga."

"Tadi kau menyebutnya cerdik, Na. Tapi secerdik-cerdiknya orang. dia tetap nggak sempurna."

Barata merasa mual. Hilang sudah selera makannya.

"Jadi maksudmu si nenek itulah pelaku keji dari semuanya?"

"Dia paling cocok. Agung menyebut pelakunya

berbadan besar. Setan item yang besar. Kalau dia pakai mantel dan topeng lalu berdiri, bisa kaubayangkan besarnya? Dulu semasa muda dia tinggi langsing. Sekarang gembrot."

"Katamu, dia berdiri? Bukankah dia jompo?"

"Bisa saja dia berpura-pura seperti kepura-puraannya yang lain. Tadinya tuli kok jadi bisa mendengar tanpa pengobatan. Ingat. Dia selalu mandiri kalau mandi dan ke belakang. Katanya pakai alat bantu. Siapa yang melihatnya? Dia melakukannya dalam kamar tertutup, bukan?"

"Tapi dia memang pernah terkena stroke yang menyebabkan kelumpuhan," kata Nadia.

"Betul. Stroke ringan. Kata Evita, dia mendapat latihan fisioterapi supaya bisa berjalan. Tapi kemudian malas melanjutkan latihannya. Aku mencari tahu siapa perawat yang memberinya latihan. Ternyata dia masih mengingat dengan baik karena penampilan si nenek sangat berkesan. Dalam tanda kutip tentunya. Dari dia aku mendapat keterangan yang cukup berharga. Katanya, Bu Leoni sudah bisa jalan kok. Kalau latihan diterusin dengan lebih intensif dia malah bisa lari. Tapi keluhannya segudang. Lemaslah. nggak sangguplah. Maka dia tetap di kursi roda. Menurut perawat. kelihatannya si nenek takut nggak dapat perhatian lebih kalau ternyata dia bisa berjalan. Tapi dia nggak pernah mengatakannya kepada Wijaya dan Evita. Itu memang bukan urusannya."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah tua," Nadia sulit percaya.

"Jangan terkecoh umur. Yang penting punya kemampuan. Tenaganya pun lumayan. Ya, aku tahu kalian pengin nanya soal motif. Maaf. yang paling tahu adalah dia sendiri. Aku cuma bisa menganalisa dari kepribadian dan kelakuannya selama ini."

"Masa mau membunuh anak kecil?" Barata merasa darahnya bergolak. Pantatnya tiba-tiba nyeri lagi.

"ingat, dia pernah menyebabkan cucunya sendiri terbunuh." Robin mengingatkan.

"Katanya itu kecelakaan."

"Siapa yang menyaksikan? Masa anak kecil, bisa dibilang bayi, dibiarkan ke sana kemari tanpa penjagaan? Ditinggalkan hanya untuk melayani telepon? Apa susahnya menaruhnya di dalam boks dulu, seperti yang diutarakan Evita? Ternyata Evita menyimpan dendam yang susah pupus. Mungkin karena dia diganggu pemikiran yang sama. Sedang Wijaya sulit bersikap."

"Jadi dia sengaja membiarkan bayi itu atau " Nadia tak bisa meneruskan karena ngeri.

"Entahlah. Mana aku tahu? Tapi melihat orangnya tegaan, boleh dikata kejam, dia bisa melakukan apa saja."

"Itu kan cucunya sendiri," Barata jadi sedih.

"Bukan masalah cucu, anak, atau orangtua. Bar. Tapi tergantung pada si pelakunya. Tega atau nggak. Dan seberapa besar kepentingannya. Dia sangat berlebihan menyayangi Wijaya. Maka bisa jadi anak itu dianggap sebagai saingannya. Menyingkirkan

seorang anak kecil lebih gampang daripada orang dewasa seperti Evita."

"Dia sakit, Rob. Sakit bener-bener." Barata menunjuk dahinya.

"Ah, bukan sakit lagi. Edan!"

Nadia termenung. Lalu berkata pelan.

"Apa salah Agung padanya kalau memang dia pelakunya?"

"Aku tahu kerisauanmu, Na," kata Robin lembut.

"Sementara ini kita singkirkan dulu soal motif karena susah memperkirakan. Satu-satunya yang bisa kita simpulkan adalah keadaan jiwa dan mentalnya."

"Aku pernah menemaninya sejenak di pinggir kolam renang." kata Barata.

"Dia tampak terpukau sekali memandangi anak-anak yang sedang berenang. Seperti terpesona, begitu. Tampaknya dia sangat menyukai anak-anak. Tapi tatapannya membuatku agak merinding. Aku pernah menonton film tentang lelaki pedofil. Tatapan mata lelaki itu kepada anak-anak seperti itu. Bahkan air liur menetes dari mulutnya. Hiii! Benar-benar mengerikan."

"Aduh, kau membuatku merinding." kata Nadia.

"Sori. Aku cuma ingin menggambarkan dia seperti yang kulihat saat itu. Tapi coba kita lihat saja perbuatannya pada Bu Evi. Kalau sampai Bu Evi yang terpeleset seperti aku, bukankah dia bisa keguguran?" Barata teringat lagi. dan merasa kesal.

"Kata Evi, dia nggak tahu tentang kehamilannya." kata Nadia.

"Nggak diberitahu bukan berarti nggak tahu. Apakah Bu Evi yakin suaminya nggak memberitahu secara diam-diam? Kalau memang nggak, bisa saja mata awasnya melihat gejala-gejala atau tanda bukti lain, misalnya surat dokter atau kuitansi dari klinik," kata Robin.

"Ya. Dia cerdik sekali. Sudah tua tapi begitu pintarnya, gimana waktu muda, ya?" Barata membayangkan seorang perempuan muda yang cantik. pintar, dan juga licik.

"Kayaknya suaminya nggak beruntung deh," komentar Robin.

Mereka tertawa. Sejenak mencairkan ketegangan dan kemurungan. Tapi kemudian mereka serius kembali.

"Agung memang pernah menjengkelkan si nenek, karena dia menolak dipangku," tutur Nadia.

"Tapi masa sih hanya karena itu?"

"Kalau dia psikopat, bisa saja tanpa sebab sama sekali. Hanya karena dia anak-anak," kata Robin.

"Ih, serem sekali. Tapi kalau dia psikopat kok anaknya sendiri selamat. Bahkan disayang setengah mati," komentar Nadia.

"Mungkin dia punya perhitungan lain. Atau dulunya nggak begitu. Ada sebab-sebab tertentu yang mendorongnya jadi begitu. Wah, aku bukan ahlinya kok!" Robin berseru. Malu sendiri karena bertutur layaknya ahli jiwa.

"Mending jangan ngomong soal motivasi atau kejiwaan, tapi apa yang sudah nyata sajalah."

"Betul!" Nadia setuju diikuti anggukan Barata.

"Kita urut dari awal kejadian sambil menyertakan peran si nenek."

"Baik. Kita bicara tentang kedekatan. Kalau Pak Rama dan Bu Ava pergi, Agung sering dibawa main oleh Ani ke apartemen seberang. Di situ hanya ada si nenek dan Ningsih. Jadi mereka sudah biasa saling berkunjung. Berarti kalau si nenek mendatangi tetangga seberangnya itu, pasti dibukain pintu, bukan?"

"Dengan kursi rodanya, tentu," kata Nadia.

"Sendiri atau sama Ningsih?" Barata bertanya.

"Bisa sendiri, bisa sama Ningsih. Alasannya bisa apa aja. Mungkin iseng atau ada keperluan kecil-kecil. Pinjam majalah, pinjam ini-itu. Yang di dalam langsung membukakan pintu kalau melihat mereka. Pada saat kejadian, si nenek punya keleluasaan karena Wijaya dan Evita menginap di luar kota."

"Pagi-pagi itu kan Rama dan Ava ada di rumah. Berisiko. kan?" kata Nadia.

"Mungkin dia sudah merencanakan. Justru dia memilih saat yang penuh risiko karena bisa melemparkan kesalahan pada pemilik rumah. Bukankah kita pernah menyangka Rama pelakunya? Jadi dia datang sendiri setelah membuat Ningsih tidur lama. Dia pasti memberinya obat tidur lumayan banyak pada malam sebelumnya. Setelah dikasih masuk oleh Ani, dia mengajak Ani minum-minum."

"Dari mana dia punya obat tidur? Dia kan nggak suka ke mana-mana?" tanya Nadia.

"Dia kan suka ke dokter. Untuk periksa rutin dan

macam-macam. Bisa saja dia minta obat penenang atau obat tidur. lalu disimpan," Robin berteori.

"Baiklah. itu masuk akal. Bisa juga dia mengambil persediaan obat Evi. Tapi kenapa si Ani mau aja diajak minum?"

"Dia sudah merasa keenakan. Mungkin ketagihan juga. Wijaya pun memiliki persediaan minuman keras, tapi ditaruh di lemari yang terkunci. Bagi si nenek, gampang saja dia mengambil. Dia pasti tahu kuncinya disimpan di mana. Jadi mungkin saat bermain di rumahnya, Ani dikasih mencicipi."

"Ningsih?"

"Aku kira dia juga pasti ikutan. Tapi mungkin dia nggak begitu suka. Jangan lupa, tabiat Ani dan Ningsih memang beda. Karena dia juga bersalah, maka dia nggak pernah cerita kepada majikannya dan padaku. Mungkin juga diancam oleh si nenek. Toh buat dia juga nggak ada untungnya. Tapi yang dia bawa ke apartemen Rama itu adalah botol milik Wijaya. Dia membujuk Ani minum bersama, mungkin dengan mengatakan bahwa dia nggak bakal sampai mabuk. Dia sendiri cuma pura-pura aja ikut minum, padahal nggak. Setelah yakin Ani sudah teler barulah dia beraksi."

"Agung pasti belum bangun," kata Nadia.

"Lalu di mana mantel dan topengnya?" tanya Barata.

"Bisa disembunyikan di bawah pantatnya. Dia kan nggak pernah bangun. Baru setelah Ani teler dia memakai sarung tangan, mantel, dan topengnya

lalu mendatangi Agung di kamarnya, membopong anak itu terus ke teras yang pintunya sudah dibuka. Ani masih punya kesadaran untuk mengejarnya meskipun sempoyongan. Selanjutnya terjadilah peristiwa itu. Hari Minggu pagi masih sepi. Sayang Barata nggak melihat saat si nenek melempar. Kalau bisa, tentu dia pun akan melihat setan item."

"Sebetulnya aku melihat yang item juga, kan?" kata Barata, merenungkan kembali peristiwanya.

"Yang kaulihat itu beda."

"Ya. Memang beda. Yang kulihat adalah peringatan."

"Jadi setelah itu dia cepat mencopot topeng dan mantelnya," Robin melanjutkan teorinya.

"Lalu menggantung mantelnya di kamar Ani. Sengaja meninggalkannya di situ seakan pelakunya adalah penghuni rumah. Dia bisa cepat kabur karena tinggal menyeberang saja."

"Tapi kupikir itu adalah kebodohan," kata Nadia.

"Coba kalau dia bawa kembali lalu memasukkannya lagi di gudang, maka tak ada misteri mantel hitam tanpa sidik jari yang perlu dipecahkan. Mau nggak mau benda itu membuat tuduhan terhadap Ani jadi meragukan."

"Dia sok pintar dan ingin membuat bingung. Tapi jejak mantel itu membawa kita ke apartemennya sendiri. Itu menyelamatkan Rama juga lho. Mustahil Rama tahu soal mantel yang disimpan di dalam tas butut yang sudah ketindihan barang lain di dalam gudang rumah orang lain?"

"Luar biasa nenek itu." Barata menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Pantas dia sinis banget waktu bertanya padaku, sudah berapa orang yang berhasil kutangkap. Kukira yang dia maksud menangkap mailing, nggak tahunya menangkap orang yang jatuh dari atas. Bisanya bercanda seperti itu."

"Padahal dia bukan hanya seorang ibu. juga nenek. Kok teganya membunuh anak kecil," kata Nadia.

"Ah, aku sungguh berharap bukan dia pelakunya, Rob. Kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Sangat manis dan keibuan."

"Ah, menurutku dia pantas jadi setan item," kata Barata geram.

"Lantas bagaimana membuktikannya, Rob? Hanya dari bau minyak angin pada topeng yang ditemukan? Cuma itu satu-satunya petunjuk. Orang mengenalnya sebagai nenek jompo. Siapa yang mau percaya tuduhan itu?" tanya Nadia.

"Rekan-rekanku juga sibuk meributkan. Jadinya kita harus mencari bukti yang lebih baik. Pertama tama harus dibuktikan bahwa dia bisa berjalan. Orang jompo tak mungkin bisa dituduh seperti Itu."

"Betul. Apalagi dia pintar berpura-pura. Lihat saja betapa gampangnya ekspresi wajahnya berubah ubah, dari kasar ke lembut, dari sinis ke manis," kata Barata.

Nadia tertawa.

"Wah, Bara sudah sakit hati betul. Gimana bekas terpeleset tempo hari? Sudah sembuh betul?"

"Masih ada ngilunya sedikit. Pokoknya kalau terasa ngilu langsung ingat sama dia."

"Ada yang lupa kusampaikan," kata Robin.

"Sarung tangan yang ditemukan di kamar Ningsih itu ukurannya kegedean dibanding tangannya. Cocoknya buat si nenek. Tapi itu tentunya nggak bisa jadi bukti."

"Sidik jari?"

"Di dalam sarung tangan ada sidik jari Ningsih, sepertinya pernah dipakainya. Tapi itu gampang saja direkayasa. Si nenek tinggal memasukkan sarung tangan itu ke dalam tangan Ningsih sesudah dia tidak bernyawa. Sidik jarinya melekat di situ."

"Dia sendiri tentu memakai sarung tangan," kata Nadia.

"Dan pastinya ukurannya sama. Apa kaupikir masih disimpannya atau sudah dibuang?"

"Kemungkinan besar masih disimpan. Karena itulah dia selalu membenahi barang-barangnya sendiri."

"Oh ya, bagaimana dengan pembunuhan terhadap Ningsih?" tanya Nadia.

"Dia digantung. Apa bisa semudah itu tanpa melawan? Walaupun si nenek besar dan kuat, tapi toh sudah tua. Sedang Ningsih masih muda. Dia tentu melawan sekuat tenaga."

"Benar sekali. Selama ini yang kita bicarakan melulu kasus Agung. Ningsih seperti terlupakan. Ingat cerita si nenek, bahwa pada hari kejadian Ningsih murung dan curhat kepadanya? Itu mungkin saja benar karena Ningsih nggak berprasangka buruk terhadapnya. Jadi dengan gampang si nenek

memukulnya sampai pingsan. Pada pemeriksaan luar terdapat memar di kepalanya, tertutup rambut. Setelah dia pingsan si nenek bisa dengan mudah menggantungnya. Tentunya itu baru teori."

"Aduh, kejam sekali." Nadia menggosok-gosok kedua lengannya.

"Aku ingat ketika melihatnya di balkon. dia menjulurkan lidah dan menggoyang-goyangkan kedua tangannya di samping kepala kepadaku. Ngeledek. Kalau memang mau bunuh diri. kenapa dia nggak terjun aja sekalian?" kata Barata.

"Dia memang nggak bunuh diri karena nggak punya alasan seperti yang ditulisnya. Menyesal untuk apa? Bukan dia yang menjatuhkan Ani dan Agung. Kalau misalnya dia bunuh diri karena hamil dan ditinggalkan si Gito, itu lebih masuk akal. Tapi aku sudah janji untuk menemukan si Gito untuknya. Dia tidak perlu putus asa."

"Ningsih sedang hamil. Berani dua nyawa dihilangkannya sekaligus," Barata geram.

"Benar. Sungguh nggak masuk akal, bukan? Mana mungkin seorang nenek jompo berbuat seperti itu? Apa ada yang mau percaya biarpun bukti sudah menjurus kepadanya?" keluh Nadia gemas.

"Bukan jompo," bantah Barata.

"Aku pikir, kalau kau melawannya, kemungkinan besar kau bisa kalah tenaga."

Nadia tertawa.

"Rupanya nggak selalu orang yang menua itu juga melemah, ya. Ada pengecualian.

"Otaknya juga. Mungkin orang muda seperti kita juga kalah cerdik." kata Robin.

"Ah, masa iya. Jangan merendahkan diri gitu dong," canda Nadia.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau detektif beneran. Dia belajar dari cerita detektif."

"Biar sudah nenek-nenek pantas juga direkrut jadi detektif," timpal Barata.

Mereka tertawa. Selingan yang menyegarkan. Rasa mual Barata jadi hilang.

"Kalau dipikir-pikir mungkin lebih gampang mencari celah kesalahannya," kata Robin.

"Karena dia masih hidup, beda dengan Ani dan Ningsih."

"Ya. Masa sih kita nggak bisa? Tiga lawan satu," kata Nadia penuh semangat.

Mereka kemudian terdiam. Memanfaatkan waktu makan kue dan menyesap kopi, sekalian berpikir.

"Oh ya, nanti kita diundang ke rumah Ava lho," Nadia mengingatkan.

"Kita harus menyepakati waktunya. Kapan masing-masing bisanya. Saya pikir sebaiknya hari Minggu saja, karena semua orang libur. Entah dengan Bara dan Robin."

"Gampang. Bisa diusahakan," kata Barata.

Robin juga mengatakan hal yang sama.

"Yang penting tuan rumahnya, kapan maunya. Kita tinggal menyesuaikan. Oh ya. keluarga Wijaya diundang juga, kan?"

"Ya. Tentu saja. Termasuk si nenek."

"Dia mau datang?" tanya Robin.

"Oh iya. Dia kepingin sekali menjenguk Agung.

Pikir-pikir aneh juga, ya. Dia kok nggak takut ditemukan dengan Agung."

"Aku kira. itu bukan soal takut atau nggak, tapi dia pengin meyakini gimana reaksi Agung kalau melihatnya," sahut Robin.

"Memang keinginannya bertemu Agung itu sepertinya berlebihan," kenang Nadia.

"Sepertinya sayang banget. Perhatian betul. Padahal sewaktu Agung masih suka main ke tempatnya, dia nggak begitu perhatian. Beda sama Evita yang menganggap Agung seperti anaknya."

"Benar. Dia cuma pengin tahu," Barata setuju.

"Tapi Agung nggak mungkin mengenalinya. Dia kan menyamar sebagai setan item."

"Kayaknya pertemuan nanti bakal menarik juga ya. Apa kira-kira bisa kita manfaatkan?" tanya Robin dengan mata berbinar.

Nadia dan Barata menatap Robin dengan ingin tahu.

"Tapi ingat, Rob. Jangan tanya-tanya Agung soal itu. Ava bisa ngambek. Biarkan saja Agung ngomong sendiri semaunya dia. Kita tinggal mendengarkan," Nadia mengingatkan.

"Jangan khawatir. Aku nggak akan berbuat seperti itu. Tahu diri dong. Udah diundang juga bagus. Bisa ketemu Agung, lagi. Kuharap tampangku ini

bisa mengingatkan Agung akan hal-hal yang tadinya terlupakan."

"Aku kira dia akan bertanya apakah kau sudah

berupaya menangkap setan item," kata Nadia.

"Nanti kaujawab apa?"

"Tentu kujawab iya. Masih diusahakan. Penginnya sih bisa ngomong tanpa didengar orangtuanya atau si nenek."

"Kita bisa mencari jalan," Nadia menjanjikan.

"Tadi aku tanya, apa pertemuan itu bisa dimanfaatkan?" kata Robin.

"Maksudku, bukan semata mata nyari info dari Agung, tapi si nenek. Apa yang bisa kita dapatkan dari dia?"

"Mengamati tingkah dan ucapannya?" kata Nadia.

"Itu sih sudah pasti. Tapi bisa saja dia jadi pendiam." sahut Robin.

"Aku ada ide," kata Barata.

Dua wajah menatapnya dengan tertarik. Barata mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Tapi aku mau tanya dulu, nanti pertemuannya di mana?" tanya Barata kepada Nadia.

"Kayaknya belum ditentukan tuh. Rumah Ava sih kecil. Namanya juga paviliun. Tapi rumah utama milik Oom Sindu besar. Mungkin bisa pinjam ruangan. Kita kan nggak banyak. Bisa juga bikin pesta kebun."

"Nah, kenapa nggak di kebun aja?" sambar Barata.

Nadia menyipitkan matanya.

"Kalau di kebun kenapa? Pasti bukan karena suasana yang alamiah dan segar. Kebun Tante Rita memang indah."

"Syaratnya tempat yang banyak semut. Tempatkan

kursi roda si nenek di situ. Kita taruh sesuatu yang manis di pijakan kursinya. Lalu berharap semut-semut akan tertarik dan berbondong-bondong naik ke kursi dan terus ke kaki. Lalu..." Barata tidak melanjutkan ucapannya. Ia menatap kedua rekannya, ingin tahu apakah keduanya mengerti maksudnya.

Nadia dan Robin tertawa. Mereka mengerti.

"Bagus sekali," kata Nadia.

"Dari sini aku akan ke rumah Ava untuk membujuknya. Lalu kuselidiki kebun, mencari sarang semut. Mumpung masih siang. Tapi... gimana kalau nggak ada semut?"

"Mustahil kebun nggak ada semutnya."

"Ih, siapa tahu bersih. Atau kalau ada pun di pojokan. Masa si nenek ditaruh di situ? Curiga dong."

"Kalau nggak ada kita cari cara lain. Dia takut tikus nggak, ya?"

Nadia dan Robin kembali tertawa. Barata begitu bersemangat.

"Kau mau bawa sendiri tikusnya?" tanya Robin.

"Jangan suruh aku lho."

"Ah, repot." tukas Nadia.

"Sudah, nanti aku survei dulu semutnya."

Ketika berpisah mereka saling memberi harapan.

Nadia menelepon dulu ke HP Ava. Ternyata Ava sekeluarga sedang berekreasi ke Dufan. Lewat telepon ia menyampaikan usul untuk mengadakan pesta di kebun. Unik dan menarik, begitu ia beralasan. Kalau Ava setuju, nanti ia yang mintakan izin kepada Rita

dan Sindu. Kedua orang tua itu tentunya harus diikutsertakan. Ava setuju sekali. Ia sangat antusias dan mengatakan bahwa itu adalah ide yang bagus.

Setelah pembicaraan itu ia segera menuju rumah Sindu. Ia menyampaikan usul itu kepada Sindu dan Rita. Keduanya setuju dan mendukung. Rita juga ingin membanggakan kebunnya.

"Enaknya sih di teras belakang, ya," kata Rita.

"Betul, Tante. Duduknya di kebun. Meja tempat makanan ditaruh di teras."

Mereka ke situ bersama-sama.

"Wah, kebun Tante terawat sekali. Bagus bener!" Nadia memuji. Baru kali itu dia berkesempatan melihat kebun Rita. Biasanya ia hanya ke paviliun. Kalaupun menjenguk paman dan bibinya itu, ia bisa lewat pintu penghubung.

Rita tersenyum senang. Baru mengobrol sejenak di teras, Sindu memanggilnya.

"Ada telepon untukmu, Ma."

"Tinggal sebentar ya, Na," kata Rita.

"Ya. Tante."

"Sendirian aja dulu ya, Na. Aku juga mau ikutan ngomong," Sindu menambahkan.

"Silakan, Oom. Saya mau lihat-lihat kebun."

Kebetulan, pikir Nadia. Ia segera bergerak menelusuri tempat-tempat yang diperkirakan ideal untuk duduk-duduk nanti. Dan yang penting, apakah di bawahnya ada sarang semut. Ia sudah menyiapkan sebotol kecil air gula yang kental. Ia menuang sedikit lalu menunggu. Tak sampai sepuluh detik, harapannya terkabul. Semut datang berbondong-bondong. Semut merah yang besar! Ia tertawa girang. Ia optimis di tempat lain pun ada sarang semut. Hal itu untuk mengantisipasi kalau-kalau Leoni tidak mau menetap di situ.

"Lagi ngapain. Na?" tanya Rita.

Nadia melompat.

"Lagi lihat pohon kecil, Tan. Tuh yang itu." Ia menunjuk.

"Oh, itu anakan cabe Bangkok. Baru tumbuh dari bibit."

Nadia buru-buru menggamit Rita dan mengajaknya menjauh. Kalau Rita melihat banyaknya semut di situ, nanti malah disemprotnya.

Setelah berlalu dari rumah Rita dan Sindu, Nadia segera menelepon Barata untuk memberitahu hasil penelitiannya.

"Bagus!" seru Barata agak keras, hingga Nadia terkejut.

"Mudah-mudahan semut-semut itu menggigiti kakinya sampai dia menari-nari!"

Nadia tertawa. Barata benar-benar membenci si nenek.

"Sori, Na. Aku gemas sekali padanya."

"Ya. Cuma orang yang tahu seperti kita yang merasa gemas. Orang lain akan bersimpati, Bar. Dia kan udah tua."

"Itulah susahnya. Heran betul ya? Bagaimana mungkin ada orang seperti itu? Orang sudah tua itu kan seharusnya menjalani hidup dengan baik supaya nanti bisa masuk surga. Ini kok malah menyakiti orang."

"Kalau aku sih menganggap dia nggak beres, Bar. Orang yang nggak beres itu kan nggak pandang umur. Jadinya lebih gampang buat kita untuk memaklumi. Nggak perlu heran."

"Iya deh. Aku akan begitu juga. Dia nggak beres untuk satu tujuan."

"Apa tujuan itu menurutmu?"

"Memuaskan kegilaannya."

"Kayaknya itu istilah yang tepat, Bar. Aku setuju banget Tapi jadinya menakutkan, ya. Seram."

"Aku juga sama, Na. Seram. Si Robin juga ngomong begitu."

"Wah, tapi kita kan di pihak yang benar, Bar. Masa sih nggak dilindungi?"

"Aku nggak tahu apa selalu begitu. Na."

"Percaya sajalah. Kekuatan kita adalah kepercayaan."

"Ya, Na."

Usai menelepon Nadia teringat kepada Agung. Dia merasa kangen sekali. Apakah Agung sudah melupakannya?
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa setahu Nadia, dan Ava juga tidak memberitahu, justru Agung yang sering mendesak kapan pesta itu mau diadakan. Desakan Agung itulah yang membuat Ava tidak mungkin berpura-pura lupa atau mengulur-ulur, karena semangatnya sendiri sudah mulai kendur. Ketika ia mengusulkan hal itu kepada Nadia tempo hari ia sedang dipengaruhi emosi. Jadi ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri di hadapan Agung. Ia tidak mau kehilangan wibawa.



SESUAI kesepakatan dengan Wijaya. Evita akan tinggal di rumah selama sebulan untuk menemani Leoni dan memantau cara kerja Bi Inah yang sekarang tinggal di dalam. Sesudah yakin segalanya beres, baru dia akan kembali aktif di kantor suaminya. Sebenarnya ia merasa sebulan itu lama sekali. Perasaannya tersiksa karena harus bersama Leoni sepanjang hari, meskipun sudah ada Bi lnah. Keadaan seperti itu tidak akan terjadi kalau saja tidak ada peristiwa tergelincirnya Barata di lantai apartemen yang licin digenangi minyak. Jelas baginya bahwa itu adalah perbuatan Leoni yang ditujukan kepadanya. Sengaja untuk mencelakakan janin yang dikandungnya. Selama ini belum pernah ada percobaan seperti itu. Jadi kalau sekarang ia melakukannya, pasti disebabkan kondisinya yang berbeda. Sekarang ia hamil. sebelumnya tidak. Ia bukan hanya marah

dan benci, tapi juga takut! Ia selalu teringat peringatan Nadia. Waspada! Bisakah ia waspada terus-menerus?

"Kau kelihatan gelisah saja. Say," tegur Wijaya.

"Apa kau kurang enak badan? Sudah kukatakan, jangan capek-capek. Santai saja."

"Aku nggak betah di rumah, Pa. Aku pengin ikut ke kantor."

"Kan lebih enak di rumah? Bisa istirahat."

"Aku nggak butuh istirahat. Di kantor pun aku bisa istirahat kalau capek. Di rumah aku malah capek hati."

"Ah, memangnya kenapa?"

"Kau tahu aku suka suasana di luar. Kesibukan membuatku hidup."

"Tapi sekarang kondisimu kan beda. Demi anak kita, berkorbanlah."

Wijaya membelai perut Evita, tapi Evita menepis tangannya.

"Jadi kau mau menyuruhku tinggal di rumah terus sampai dia lahir?" tanya Evita sebal.

Wijaya agak terkejut.

"Baik. Baik. Bukankah kau sendiri setuju untuk menyesuaikan diri di rumah sebulan? Sesudah itu oke saja kalau kau mau ke kantor."

"Tapi caramu bicara sepertinya aku disuruh di rumah terus. Disuruh berkorban segala."

"Kayaknya aku salah ngomong ya. Maaf ya, Say?" bujuk Wijaya dengan kesabarannya yang khas.

"Apa benar salah ngomong? Atau disalah-salahin?" Evita menjadi judes.

"Nggak sengaja. Ma. Sungguh. Begini deh. Kita langgar saja kesepakatan kita kalau keadaan memungkinkan."

"Maksudmu?"

"Ini kan belum sebulan. Baru seminggu. Kalau situasi di rumah sudah oke, Mama dan Bi lnah sudah bisa berhubungan dengan baik. nggak ada salahnya kalau waktunya dipercepat. Besok lusa pun kau bisa aja ikut ke kantor."

Evita terlonjak gembira.

"Betul, Pa? Bukan gombal?'

"Masa gitu aja gombal sih? Betul dong. Tapi itu kalau kau memang sudah yakin bahwa Mama bisa ditinggal bersama Bi Inah."

"Mama itu jagoan." Evita merendahkan suaranya. Hampir berbisik. Ia takut Leoni bisa memanjangkan telinga.

"Apa?"

"Dia sangat mandiri kok. Bi Inah itu bisa dibantingnya kalau berani macam-macam," Evita masih berbisik.

"Yang bener, Ma." Wijaya tertawa, mengira istrinya bercanda.

"Bener." Evita serius.

Wijaya tak tertawa lagi. Ia merasa khawatir dengan tiba-tiba. Dulu, sebelum terkena stroke, Leoni memang pantas disebut jagoan atau perempuan perkasa. Dengan tubuhnya yang tinggi besar dia memiliki tenaga yang mungkin lebih besar dibanding dirinya yang lelaki dan lebih muda.

"Ma, apa kau ada masalah dengannya? Ada sesuatu yang nggak kauceritakan?"

Evita tak segera menjawab. Muncul kebimbangan apakah sebaiknya peristiwa itu ia ceritakan saja. Wijaya berhak tahu. Tapi ketakutan yang sama kembali terasa. Bagaimana kalau Wijaya memihak ibunya atau melindunginya? Kalaupun tidak demikian, ia akan menempatkan Wijaya pada posisi sulit. Apa yang mau dilakukannya kalau sudah jelas dia tidak akan menyingkirkan ibunya? Paling-paling dia akan menasihati. Padahal Leoni yang licik itu memiliki banyak tipu daya. Tapi bila tidak bercerita, ia merasa menyimpan beban. Bila Leoni mengincar kandungannya. maka Wijaya berkewajiban melindunginya karena itu adalah anak mereka berdua. Kedua pertentangan itu hampir sama kuatnya. Tapi ia sadar ada kelemahan dalam ceritanya. Tak ada saksi yang melihat Leoni melakukannya, meskipun tak ada orang lain yang bisa dituduh. Sudah pasti Leoni pun akan membela diri dengan berkata demikian. Tak ada saksi, tak pula ada bukti. Apa keuntungannya melakukan hal itu? Bukankah janin yang dikandung adalah cucunya? Cuma orang sakit jiwa yang berbuat begitu.

Untuk sekian kali Evita menahan diri.

"Nggak, Pa. Nggak ada masalah."

Wijaya merasa jawaban itu tidak spontan. Tapi ia tak bertanya lebih jauh karena memang tak ingin ada masalah.



"Pa, apakah kau memberitahu Mama tentang kehamilanku?' tanya Evita tiba-tiba.

Wijaya gelagapan oleh topik yang berubah mendadak.

"Oh... eh... sebenarnya...aku..." Ia bingung.

"Jadi kau kasih tahu dia?" desak Evita.

"Maatkan aku, Ma. Tapi aku pikir cepat atau lambat dia akan tahu juga. Kalau dikasih tahu saat perutmu sudah membesar, dia akan merasa jengkel karena menganggap nggak dihargai. Kita kan harus mengambil hatinya juga supaya kita bisa rukun. Aku nasihati dia, Ma. Ternyata dia bisa berubah, bukan? Dia baik dan memerhatikanmu."

"Kapan kauberitahu dia?"

Wijaya merasa kurang enak.

"Ketika kau muntah muntah itu."

"Pantas."

"Pantas gimana? Maafkan aku ya. Harusnya aku memberitahumu. Tapi aku juga merasa bersalah karena melanggar janji."

"Kalau mau memberitahu itu kan sebelumnya, bukan sesudahnya."

"Ya. Maafkan aku. Tapi... kau nggak marah. kan?"

"Gimana mau marah? Aku tahu kau kejepit."

"Kejepit?"

Air mata Evita tak bisa dibendung lagi. Kau tak tahu saja apa yang terjadi. Bagaimana kalau aku yang terpeleset seperti yang dialami Barata?

Wijaya memeluk Evita dengan erat. Ia tak tahu

mesti bilang apa. Tapi ia tahu apa yang dimaksud Evita dengan "kejepit'". Dan itu membuatnya tak berdaya. Istilah yang digunakan Evita tepat sekali.

Esoknya, mereka tak membicarakan lagi hal itu. Evita mendapat kompensasi dengan ajakan ke luar, ke kantor. Ia sudah mendapat ruang gerak yang lebih bebas dan leluasa, tidak lagi terus-menerus di bawah pengamatan Leoni. Dan yang penting tidak terus-menerus dihantui ketakutan kalau-kalau akan "dikerjai" lagi.

Wijaya merasa senang bisa menebus kesalahannya. Kegembiraan Evita adalah kegembiraannya juga. Ia bisa menyisihkan kekhawatiran meninggalkan ibunya bersama seorang pembantu yang masih baru. Meskipun Leoni merengek dan menggerutu karena merasa dilalaikan, ia bisa mengeraskan perasaannya.

Sekarang mereka menempuh perjalanan ke kantor dengan bermobil. Sewaktu masih di Srigading, cukup berjalan kaki. Mereka senang bisa berjalan sambil berpegangan tangan. Hitung-hitung berolahraga. Sekarang jarak tempuh dengan mobil tak seberapa jauh, tapi kalau berjalan kaki akan terasa melelahkan.

Dalam perjalanan Evita sudah banyak tertawa dan bergurau. Kentara senangnya. Wijaya merasa telah memberi hadiah yang tak ternilai. Karena itu kemarahan Leoni yang diterimanya lewat ponselnya tak lama setelah tiba di kantor tak membuatnya resah. Bahkan tak peduli.

"Ma, Bi Inah orangnya baik. Yang penting Mama jangan jahatin dia, ya? Semua orang sebaik apa pun kalau dijahatin tidak akan senang."

Kemudian sederet kata-kata penuh amarah merepet di ponselnya. Ia menjauhinya saja sambil mendekap ponselnya supaya tak begitu kedengaran. Saat menelepon itu ia sengaja mencari tempat yang aman dari jangkawan pendengaran Evita.

"Sudah, Ma. Bagaimanapun Mama mesti bisa menyesuaikan diri. Evi kan berhak juga memilih yang disukainya. Mama nggak usah khawatir. Dia baik-baik saja. Di sini dia nggak kerja berat kok. Jangan marah lagi ya. Bukan aku yang membujuknya. Dia yang pengin sendiri. Tentu dia tahu mana yang terbaik untuknya."

Usai menutup telepon Wijaya merenung sejenak. Ibunya lebih banyak memarahi dirinya karena dianggap tidak peduli akan kondisi fisik Evita meskipun dia juga khawatir akan keselamatan dirinya sendiri karena hanya berdua dengan Bi Inah. Ia bertanyatanya. sebenarnya ibunya lebih memerhatikan Evita ataukah diri sendiri?

Wijaya tidak bisa menyalahkan Evita karena tetap membenci ibunya. Peristiwa Dino itu tak bisa dilupakan. Ia sendiri merasakannya sebagai beban batin yang mengganggu perasaannya terhadap ibunya walaupun tak pernah ia perlihatkan. Tapi ia pun menganggap Evita terlalu berlebihan. Mungkin juga paranoid. Menurut psikiater yang dulu pernah memberi terapi bagi Evita, sebaiknya mereka hidup terpisah dari Leoni kalau ingin memberi ketenangan bagi Evita. Dokter mengibaratkan keduanya seperti kucing dan anjing yang sulit hidup seatap. Kalau dipaksakan memang bisa saja, tapi Evita akan menanggung stres karena dia di pihak yang lemah. Bukan itu saja. Evita berupaya menahan semuanya demi sang suami juga. Pendapat yang benar seperti yang dikemukakan Evita sendiri. Ia dalam posisi terjepit. ia tidak mungkin menyingkirkan ibunya, karena sudah berjanji. Padahal ia sudah menemukan sebuah panti werda yang sebenarnya tidak patut disebut rumah jompo, karena memiliki fasilitas mahal dan karenanya memberikan pelayanan istimewa. Yang menempatinya bukan semata-mata orang jompo yang tidak berdaya sama sekali, tapi sebagian besar orang-orang yang mandiri. Mereka di situ ingin mencari ketenangan di antara sesamanya, tak ingin dipusingkan lagi oleh masalah keluarga.

Tetapi Leoni tetap tidak mau. Biar tinggal di istana dan diperlakukan sebagai ratu, dia tetap tidak mau berpisah. Dia ingin hidup bersama Wijaya sampai akhir hidupnya. Maka Wijaya tidak bisa membujuk lagi. Tak ada jalan keluar kecuali meminta Evita mau menerima. Saat ini sebenarnya dia sudah bersyukur karena ibunya memperlihatkan perubahan yang positif. Tetapi Evita menganggapnya sebagai kemunafikan tanpa menjelaskan sebabnya. Ia menghibur diri dengan menganggap waktu juga yang akan memperbaiki semuanya. Ya, bila anaknya lahir nanti, pasti segalanya menjadi lebih baik.

Sore itu, sepulang kerja Nadia menuju alamat rumah Evita. Tak seperti rumah Sindu yang letaknya cukup dekat dengan Srigading, rumah Evita lebih jauh.

Tidak sulit mencari alamatnya karena letaknya di tepi jalan raya. Rumahnya cukup bagus dan nyaman dengan halaman yang banyak pepohonannya hingga tampak sejuk biarpun cuaca sedang panas panasnya. Nadia menyukai rumah itu. Evita pun mengatakan demikian lewat teleponnnya. Tapi tinggal di situ tentunya bersifat sementara karena Wijaya mengontraknya sambil mencari rumah lain yang lebih dekat. Wijaya adalah orang yang sangat memerhatikan efisiensi.

Nadia tahu, Evita sudah kembali ke kantor pada hari itu. Tadi mereka berteleponan. Suara Evita lepas bebas. Tidak ditekan atau bicara dengan kode.

"Kalau kami belum pulang, siapa tahu macet di jalan, kau tunggu saja, ya," begitu pesan Evita.

Sepertinya mereka memang belum pulang, karena garasi yang berpintu falling door terbuka dan terlihat kosong. Sebenarnya ia tak perlu datang. Menyampaikan undangan cukup lewat telepon saja. Tetapi ia ingin menjenguk keluarga itu. Dan tentu saja, juga, Leoni. Sosok yang satu itu tetap saja menarik untuk diamati meskipun ia tidak menyukainya. Ia yakin Barata dan Robin pun sama halnya. Leoni adalah orang yang sensasional, menimbulkan perasaan mengejutkan bila sudah berulah dan kalau tidak

berulah justru jadi misterius, karena muncul pertanyaan apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan atau rencanakan.

Ketika ia akan turun dari mobil untuk mengetuk pintu pagar yang terkunci, ponselnya berbunyi. Dari Evita.

"Waduh, Na. Kami pulang bakalan terlambat nih. Wijaya mengajak makan dulu. Katanya, merayakan kebebasanku. Lucu ya. Tapi kasihan kamu deh kalau harus menunggu di rumah sama Mama. Bagaimana kalau besok saja kau datang supaya waktu kita bisa lebih banyak? Sori banget ya. Nggak enak jadinya nih. Aku harap kamu belum berangkat." Evita nyerocos tanpa henti.

Nadia sengaja membiarkan tanpa menyela karena ia bisa sekalian berpikir. Lalu ia tersenyum.

"Ya, aku belum berangkat kok. Besok oke. Bersenang-senanglah. Kau memang pantas merayakannya."

Nadia termenung sejenak. Ia tahu kalau berterus terang mengenai situasi dirinya, maka Evita bisa merasa bersalah, dan akibatnya kenyamanan yang seharusnya ia rasakan bersama Wijaya jadi menguap. Tapi bagaimana dengan dirinya sekarang? Posisinya sudah telanjur. Tapi ia tidak mau mundur. Justru ini adalah kesempatan di mana ia bisa berbincang dengan Leoni secara lebih leluasa.

Bi Inah yang sudah mengenalnya membukakan pintu pagar. Nadia meluncurkan mobilnya memasuki halaman lalu parkir.

"Bapak dan Ibu belum pulang, Non," kata Bi Inah.

"Nggak apa-apa, Bi. Saya nunggu aja sebentar. Bu Leoni ada?"

"Ada. Lagi nonton teve."

"Oh, senang nonton rupanya."

"Iya, Non. Kalau nggak nonton. baca koran."

"Pakai kacamata?"

"Iya."

Leoni sudah melihat kedatangannya. Ia menyambut kedatangan Nadia dengan senyuman yang manis sekali sehingga Nadia merasa terpesona biarpun untuk sesaat. Kalau diibaratkan minuman, maka rasanya terlalu manis.

"Wah, Na, anak-anak belum pada pulang."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya nggak perlu nunggu mereka."

"Oh ya?" Leoni mengerutkan kening.

"Habis mau ngapain?"

Suaranya mengandung kecurigaan dan wajahnya kehilangan rona manisnya.

"Saya mau menyampaikan undangan dari kakak saya. Ibu sekeluarga diundang hari Minggu depan untuk pesta kecil di rumah mereka. Yang hadir sih nggak banyak. Selain Ibu sekeluarga, juga Pak Robin dan Barata. Kita kumpul-kumpul aja, Bu. Ngobrol dan makan-makan. Ibu mau datang, kan?"

Leoni tak segera menjawab.

"Apa Evi dan Wijaya udah dikasih tahu?" ia bertanya dulu.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, Bu. Tapi lewat telepon tadi."

"Terus bilangnya apa? Mereka mau datang?"

"Mau. Ibu juga mau, kan?"

"Buat apa sih kumpul-kumpul?"

"Ya, pengin aja. Dulu kan udah janji mau merayakan kesembuhan Agung, tapi Agung nggak mau dipestain di Srigading. Ibu pengin ketemu Agung juga, kan?"

"Kenapa polisi dan Barata itu diundang juga? Apa urusannya?"

"Bukankah mereka terlibat dalam kasus Agung, Bu?"

"Oh, ada hubungannya dengan kasus itu toh?"

"Ya, Bu. Jadi Ibu mau, kan?"

"Kok kamu ngotot amat sih mengundangku?"

"Ah..." Nadia tertegun sejenak. Kesal. Tapi kemudian ia bisa mengatasi. Ia sudah tahu tabiat Leoni, tapi masih juga terpancing. Ia cepat tersenyum.

"Kalau ada Ibu kan ramai."

"Apa iya? Memangnya aku dagelan?"

Nadia tertawa. Ia mulai bisa menikmati percakapan itu.

"Saya pikir Agung akan senang ketemu Ibu. Dia pengin Ibu juga datang."

"Bener atau bohong? Masa sih si Agung masih ingat sama aku?"

"Bener, Bu. Tentu saja dia ingat sama Ibu."

"Ya, lihat aja nanti deh. Kalau aku nggak males."

"Kalau Evi dan Mas Wi pergi, nanti Ibu sendirian. Ayo dong, Bu." Nadia tahu, Leoni sengaja jual mahal. Tapi ia khawatir juga kalau-kalau Leoni benar tak mau datang.

"Pokoknya lihat nanti deh. Nggak mau janji. Takutnya batal kan nggak enak."

"Saya harap nggak batal ya, Bu?"

"Kayaknya sih si Evi lebih suka aku nggak ikut."

"Ah, masa begitu, Bu?"

"Huh, kamu nggak tahu aja si Evi itu. Di depanku dia pura-pura manis, tapi di belakang? Pasti sama kamu juga begitu. Kalau nelepon, dia pergi jauh-jauh supaya aku nggak bisa denger. Dia benci banget sama aku. Munafik. Memangnya aku bodoh dan nggak punya perasaan? Padahal aku udah abis abisan baik sama dia. Eh, dia masih aja benci."

Leoni nyerocos menumpahkan unek-uneknya. Nadia diam mendengarkan. Kalau saja citra Leoni berbeda, mungkin ia akan bersimpati.

"Aku tahu, aku punya salah," lanjut Leoni.

"Tapi itu kan masa lalu. Itu kecelakaan. Masa sih sampai sekarang mendendam terus? Coba pikir, Na. Mana mungkin aku mencelakakan cucuku sendiri. Nggak mungkin, kan? Memangnya gila apa? Aku tahu. Dia sengaja nyalahin aku supaya suaminya membenciku. Untung si Wiwi nggak begitu. Sekarang katanya dia lagi hamil. Eh, kamu udah tahu dia hamil?"

Nadia mengangguk saja.

"Nah, temannya aja dikasih tahu. Tapi aku, mertuanya, malah nggak. Yang ngasih tahu si Wiwi.

Emang sih, biar nggak dikasih tahu lama-lama kan ketahuan juga kalau perutnya udah membuncit. Tapi kan kelewatan. Mantu macam apa, coba?"

"Dia sayang sekali sama anaknya. Kehilangan itu sangat memukulnya, Bu."

"Aku tahu. Aku kan juga nyesel. Aku lebih terpukul lagi karena sangkaan dan tuduhan yang kejam."

"Sudahlah, Bu. itu masa lalu. Saya kira, Evi perlu waktu untuk menyembuhkan traumanya. Mungkin kalau nanti anaknya lahir, dia akan pulih. Ada pengganti Dino."

"Jadi anak lelaki?"

"Wah, nggak tahu, Bu. Kayaknya belum tahu deh. Ibu lebih suka lelaki atau perempuan?"

Leoni tidak menyahut. Matanya menerawang seperti melamun. Nadia mengamatinya dengan berbagai tanda tanya di hati. Apakah ekspresi yang diperlihatkan Leoni itu makna hatinya yang sesungguhnya? Ketika Leoni dengan mendadak mengarahkan tatapan kepadanya, ia terkejut karena merasa ketahuan. Ia melengos tapi Leoni menertawakan.

"Lagi mempelajari aku, ya? Adakah misteri yang terkandung dalam diriku, begitu ya?"

"Ah, nggak. Bu. Saya pikir Ibu kelihatan sedih."

"Oh, begitu ya? Aku bukan orang yang gampang sedih."

"Ibu orang yang tegar. Masuk apartemen kosong berani sendirian. Pakai kursi roda, lagi. Saya aja

nggak berani."

"Kamu nggak berani? Orang muda kok melempem."

"Keberanian itu kan nggak terhadap segala hal. Bu. Ada orang yang gagah berani, nggak takut mati. tapi dia sangat takut sama kecoak."

Leoni tertawa mengakak. Tampak terhibur sekali.

"Bener sih. Memangnya kamu takut sama apa sih di situ?"

"Takut setan item itu."

"Ha-ha! Setan item, ya? Dari mana kamu dapat istilah itu?"

"Dari Agung, Bu. Dia bilang yang menjatuhkan dia dan Ani adalah setan item."

"Begitu, ya? Wah, serem dong. Apa polisi percaya tuh?"

"Nggak tahu, Bu."

"Ah, masa si Robin itu nggak cerita sama kamu? Kelihatannya kamu dekat sama dia."

"Nggak, Bu. Dari mana Ibu menilai begitu?"

"Tahu aja. Dari sini." Leoni menunjuk dahinya.

"Insting, Bu?"

"Ya, begitulah."

"Tidak selalu insting itu benar, Bu."

Nadia berbicara dengan tegas padahal dia berkata lain di dalam hati. Instingnya memang benar! Apakah si nenek bisa mengendus juga hal lainnya."

Leoni tersenyum. Pada saat itu dia sama sekali tidak kelihatan seperti seorang nenek yang banyak lagak dan suka marah-marah tanpa alasan. Dia terlihat cerdas dan bisa diajak diskusi dengan cukup mendalam.

"Aku percaya sama instingku," Leoni berkata sambil menatap tajam wajah Nadia.

"Setiap orang bisa saja percaya ini atau itu, Bu. Tapi saya percaya sama kebenaran."

"Kebenaran apa maksudmu?"

"Ah, Ibu pasti tahu."

"Dari mana aku bisa tahu kalau sehari-hari aku cuma di dalam rumah?"

"Maksud saya tentang makna kebenaran. Bukan kebenaran mengenai kasus tertentu, misalnya kasus Agung."

"Jadi kau nggak percaya sama setan item yang disebut Agung?"

"Saya percaya kalau lihat sendiri."

Leoni tertawa.

"Kau nggak percaya kalau kukatakan bahwa aku melihat sendiri?"

"Lihatnya di mana, Bu?"

"Di tempatnya si Agung. Waktu aku dan Evi mau pergi jalan-jalan. Aku lihat orang masuk ke situ, tapi ternyata nggak ada siapa-siapa setelah diperiksa."

"Bentuknya kayak apa?"

"Kayak orang."

"Bukan setan item?"

"Bukan."

"Nggak cocok dong, Bu."

Leoni ingin bicara, tapi terlihat menahan lidahnya. Dia tampak penasaran.

"Ya sudah, kalau nggak percaya kan itu hakmu," katanya judes.

"Tapi Ibu memang hebat. Percaya dan lihat sendiri, tapi berani. Ada orang. seperti saya misalnya, nggak pernah melihat dan juga nggak percaya, tapi toh takut," Nadia bermaksud meredakan kekesalan Leoni.

"Ya, ya. Kalau begitu kamu memang penakut."

"Betul, Bu. Sama kecoak pun saya takut."

Leoni tertawa. Kelihatannya tidak kesal lagi.

"Kalau bukan setan item, abis siapa dong yang berbuat?" tanya Leoni kemudian.

"Nggak tahu, Bu."

"Bukan si Ningsih? Katanya dia."

"Ibu baca koran atau nonton teve?"

"Dua-duanya."

Nadia geleng-geleng kepala dengan ekspresi kagum.

"Ibu percaya kalau pelakunya adalah Ningsih?"

"Percaya aja. Abis siapa lagi? Masa setan item?"

"Tapi Agung bilang..."

"Ah, masa mulut anak kecil dipercaya sih. Umurnya kan baru tujuh tahun. Tahu apa dia tentang setan?"

"Katanya anak kecil itu bicara apa adanya. Nggak bisa bohong atau ngarang."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Teori dari mana?" tanya Leoni, lalu menjawab sendiri,

"Itu kan katanya doang."

Nadia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Dia tidak bertanya bagaimana bentuk setan item

seperti yang dikatakan Agung. Apakah dia tidak ingin tahu?

Bi Inah mendekat dengan membawa nampan berisi secangkir teh.

"Maaf, Non. Lama ya. Tadi saya keasyikan lihat teve."

"Gimana sih kamu?" hardik Leoni.

"Mestinya kamu bawain minum dulu, baru nonton teve."

"Udah. nggak apa-apa." Nadia meredakan.

"Terima kasih ya. Bi."

"Kuenya sekalian, Nah. Tuh yang aku suruh beli tadi."

"Nggak usah. Bu. Nggak usah. Saya kenyang. Tadi udah makan," tampik Nadia

"Kuenya enak. Belinya dari yang lewat. Udah langganan. Ayo ambil, Nah."

Bi Inah muncul lagi dengan membawa sepotong kue pepe panggang di piring kecil.

"Ayo dimakan. Na. Sambil ngobrol kan enak," bujuk Leoni.

"Tapi Ibu kok nggak ikut makan?"

"Abis kuenya tinggal satu. Aku udah makan tadi."

"Tinggal satu? Ah, buat Mas Wi aja."

Sengaja Nadia tidak menyebut Evita. Ia bangkit untuk membawa piring beserta kue itu ke dapur. Tapi Leoni menarik lengannya dengan agak kasar. Ia tersentak ke belakang.

"Duduk! Masa disuguhin mau dikembaliin? Nggak sopan dong!" bentaknya dengan mata melotot.

Nadia segera menyadari kesalahannya. Ia merasa ngeri menghadapi kemarahan Leoni. Sudah tampak sekarang tabiat aslinya. Ia segera duduk. Leoni menyodorkan piring berisi kue kepadanya. Nadia merasakan paksaan. Itu membuatnya kesal.

"Saya kenyang. Bu. Bener. Rasanya kembung. Tadi makan banyak di kantin," Nadia mengelus ulu hatinya.

"Masa kue sekecil ini bikin kenyang. Abis mau diapain kue ini kalau udah disuguhin tapi nggak dimakan? Masa disimpan lagi. Nggak baik tuh."

"Kan belum digigit, Bu. Masih bersih."

"Aku nggak ngerti. Anak muda kayak kamu, terpelajar dan kelihatan sopan, tapi kok nggak tahu tata krama. Menurut etika harusnya apa yang disuguhkan itu dimakan, biarpun cuma sedikit. Kecuali yang disuguhkan itu nggak layak dimakan, seperti kecoak misalnya," Leoni berkata dengan nada murung.

Tiba-tiba Nadia merasa khawatir kalau-kalau peristiwa ini membuat Leoni ngambek lalu memutuskan tidak mau datang ke acara nanti. Apa salahnya memakan kue itu? Dia bukanlah Evita. Seharusnya ia tidak ikut menjadi paranoid.

"Bagaimana kalau saya bawa pulang aja, Bu? Nanti dimakannya di tempat kos. Pasti enak."

"Ah, mana ada yang seperti itu? Kalau pengin dibekalin sih lain lagi dong. Yang pasti nggak cuma satu. Ya sudah, kalau nggak mau nggak apa-apa. Masa dijejelin ke mulutmu."

"Maaf, Bu. Saya makan deh."

"Jangan. Nggak usah. Makannya terpaksa gitu. Entar bisa sakit perut, tahu?" Leoni cemberut.

Nadia mengambil piring dari meja. Leoni menoleh dan memelototinya. Tapi Nadia berbuat seakan tidak melihat. Ia memotong kue dengan garpu kecil yang disediakan. lalu memakannya pelan-pelan. Kue yang terbuat dari putih telur, tepung, santan dan gula dengan bentuk berlapis-lapis tiga warna itu rasanya cukup enak.

"Enak, Bu," katanya.

Baru sekarang Leoni tersenyum.

"Kalau enak, diabisin aja."

Nadia merasa terjebak. Ia tidak bermaksud menghabiskan, cukup beberapa gigitan saja. Pujiannya hanya untuk mengambil hati. Tapi, apa salahnya menghabiskan? Kue itu kecil.

"Sudah cukup, Bu."

Nadia meletakkan kembali piring di atas meja. Kuenya sudah tinggal separo.

Leoni geleng geleng kepala.

"Sayang betul dibuang tuh. Mestinya jangan dimakan aja. Kan bisa buat orang lain. Mungkin buat si Inah. Apa waktu kecil kau nggak diajari untuk menghabiskan makananmu?"

Dengan agak malu Nadia kembali mengambil piringnya lalu menghabiskan kuenya.

"Sudah tuh, Bu. Sudah dibuang ke dalam perut saya."

"Baguslah. Aku harap kau nggak jadi sakit perut karena terpaksa, ya?"

"Jangan diharapkan begitu dong. Bu."

Leoni tertawa. Wajahnya sudah kembali cerah.

Nadia memutuskan untuk segera pamitan. Ada perasaan dikalahkan. Tadi ia bermaksud mengamati kelakuan Leoni dengan asyik. tahu-tahunya dialah yang diamati dan tentunya Leoni-lah yang merasa asyik.

"Aku pikir. kamu ini pinter. Na. Jauh lebih pinter daripada si Evi," kata Leoni dengan tatapannya yang tajam.

Nadia merasa tak nyaman.

"Ah, nggak kok, Bu. Justru Ibu yang pinter."

Leoni tersentak.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Ibu punya raut wajah dan tatapan mata yang cerdas."

"Begitu ya?" Rupanya Leoni merasa senang dengan pujian itu, tapijuga ada kelegaan di wajahnya.

Sepertinya dia menyangka sesuatu yang lain, pikir Nadia.

"Ya. Bu. Sudah cantik, pintar, lagi."

Leoni tertawa. Wajahnya berseri-seri. Pipi gembulnya semakin memerah. Walaupun kulitnya sudah kendur, tapi dia tampak manis. Lembut dan keibuan. Nadia merasa kagum meskipun sudah lebih dari sekali ia melihatnya demikian. Bisa membuat orang jatuh hati. Nenekku sendiri seperti apa. ya?

"Sayangnya anakku nggak mewarisi kelebihanku itu. Dia mirip bapaknya. Tahu kau seperti apa bapaknya itu?"

"Nggak, Bu." Nadia tidak ingin tahu.

"Seperti Kubilai Khan!"

"Ha?" Nadia hampir tersedak. Ia tidak tahu mesti bereaksi bagaimana karena meskipun kedengarannya seperti gurauan, tapi sikap Leoni serius.

"Saya nggak tahu seperti apa Kubilai Khan itu, Bu. Saya belum lahir waktu dia ada." sahutnya dengan serius juga.

"Pokoknya jelek!"

"Ah, Mas Wi nggak jelek kok. Yang penting kan bukan penampilan, Bu. Mas Wi pinter dan sukses."

"Ya. Dia sukses. Tapi... ah, sudahlah."

Nadia segera pamitan. Ada rasa khawatir kalaukalau nanti muncul kejutan lain. Mungkin ia terlalu menganggap ringan dan tidak memperhitungkan faktor emosinya sendiri.

"Nanti datang ya, Bu? Ditunggu lho."

"Beres deh," sahut Leoni dengan nada ceria.

Bi Inah mengantarnya ke luar. Di belakang punggung Nadia, Leoni tertawa tanpa suara. Pipinya memerah. Bukan karena tekanan darah yang meninggi, tapi karena senang.

Sebelum menjalankan mobilnya, Nadia menelepon Evita.

"Ev, tadi aku jadi ke rumahmu. Soalnya waktu kau nelepon, aku sudah ada di depan rumah, tinggal mengetuk pintu. Jadi tanggung. Supaya kau nggak resah aku bilang aja belum jalan. Aku ngobrol sejenak sama Bu Leoni."

"Kami dalam perjalanan pulang, Na. Sayang nggak ketemu ya. Sori. Coba kalau bilang dari tadi."

"Nggak apa-apa. Aku sekalian nyampein undangan untuk hari Minggu nanti."

"Apa katanya? Dia mau datang?"

"Kelihatannya sih mau. Nanti kau bantu bujukin ya. Ev. Penting buat Agung. Dia pengin ketemu Oma Oni."

"Baik."

Beberapa jam kemudian Nadia mengalami sakit perut melilit yang luar biasa hingga ia serasa mau pingsan. ia sampai berlari sempoyongan ke kamar kecil. Ia diare beberapa kali. Masih untung tidak muntah. Ia lemas sekali. Terpaksa ia membangunkan ibu kosnya untuk menanyakan apakah ibu kos punya obat anti diare. Ia diberi empat butir dengan perjanjian harus mengganti.

Setelah makan obat baru ia merasa enakan. Diarenya berhenti. Ingatannya pun melayang kepada kue pepe panggang. Mungkinkah? Kue itu kecil. Yang pasti makanan itu yang terakhir masuk ke perutnya. Ia pun ingat ucapan Leoni. Kalau makannya terpaksa. Ituu akan sakit perut. Sebenarnya dia terpaksa karena dipaksa. Tapi itu tidak mungkin ada hubungannya. Kue itu yang bermasalah. Ia yakin, meskipun sadar tak bisa membuktikan.



HARI Sabtu Nadia datang ke rumah Ava untuk membicarakan pesta yang akan diadakan besok siang. Ia juga berniat membantu persiapannya.

"Na, pesta kita kecil banget ya," kata Ava.

"Cuma mengundang lima orang. Robin, Barata, dan keluarga Wijaya. Kau tentunya termasuk kita. Jadi kalau dihitung dengan kita bersama Oom dan Tante, semuanya berjumlah sebelas orang. Memang sih cuma makan siang. Tapi kurang ramai. Lagipula seharusnya kita mengundang juga orang-orang yang pernah dekat."

"Undang saja, Mbak. Siapa sih?"

"Pak Hendra dan istrinya. Juga Henri dan Santi."

"Oh. mereka. Ya, tentu saja. Aku pikir kau nggak mau terlalu ramai. Tapi apa nggak terlambat mengundangnya? Siapa tahu mereka sudah punya acara sendiri."

"Sudah kuundang dari kemarin-kemarin. Sori, nggak memberitahu lebih dulu. Aku sibuk banget sih."

"Nggak apa-apa. Jadi mereka mau datang?"

"Katanya sih mau."

"Baguslah kalau begitu. Mudah-mudahan Bu Oni jadi datang. ya."

"Betul. Si Agung berkali-kali ngomong soal Oma Oni datang apa nggak."

"Ya. Ketika ketemu tadi, pertanyaan pertama yang dia ajukan adalah itu. Aku bilang, kayaknya sih datang."

"Justru nenek itu yang dia harapkan. Bukan Barata atau Robin." Ava geleng-geleng kepala.

"Kau tanyakan kenapa?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia bilang, Oom Bara dan Oom Robin pasti datang karena mereka masih muda dan gagah. Tapi Oma Oni kan pakai kursi roda."

"Oh, begitu alasannya?"

"Ya. Sepertinya dia care banget. ya? Padahal si nenek itu kan nggak sayang sama dia."

"Mbak tahu dari mana bahwa si nenek nggak sayang sama Agung?" tanya Nadia ingin tahu. Seingatnya ia tak bercerita tentang kelakuan Leoni belakangan ini kepada Ava, apalagi tentang teori Robin yang mengejutkan itu.

"Agung sendiri yang ngomong kok."

"Oh ya?" Nadia jadi tertarik.

"Rasanya aku nggak pernah dengar dia ngomong begitu."

"Kan aku tanya kenapa dia berharap Oma Oni

mau datang, emangnya dia sayang sama kamu. .Jawabnya nggak. Cuma pengin ketemu aja."

"Pengin ketemu? Dia bilang alasannya?"

"Nggak sih. Aku nggak berani banyak tanya."

Sebenarnya Nadia penasaran terhadap sikap Ava yang seperti itu. Kalau dirinya berada di tempat Ava, ia pasti sudah mengajak Agung mengobrol perihal topik yang sedang dia bicarakan. Tentu ada cara untuk memancing ceritanya. Bukan dengan bertanya terus-menerus seperti interogasi.

"Tante Nana! Entar nginep di sini, ya?" seru Agung tiba-tiba.

Nadia dan Ava saling pandang. Dulu ketika Ava masih tinggal di apartemen, Nadia tak pernah suka menginap meskipun sering diajak. Ia lebih suka ketenangan dan kesendirian di kamar kosnya. Kalau bangun tak terganggu oleh hiruk-pikuk suara tuan rumahnya. Saat itu suasana rumah tangga Ava dan Rama sering terasa tegang. Tapi sekarang situasi berbeda. Ia sangat kangen pada Agung tapi paviliun yang ditempati Ava tak memiliki kamar tamu. Hanya dua kamar yang ditempati, Ava dan Rama dan satunya lagi Agung. Kamar pembantu pun tak ada. Mereka ikut menggunakan tenaga pembantu Rita. yang diberi bayaran tambahan.

Sebelum keduanya menjawab, Agung sudah berkata lagi,

"Tidurnya di kamar Agung aja, Tan. Boleh ya, Ma?"

"Kasurnya? Kalau ranjangmu ditiduri berdua pasti nggak muat. Bisa patah lagi." Ava tertawa.



"Pinjem aja kasur Oma Rita." kata Agung ringan.

Tetapi Rita mengusulkan supaya Nadia menginap saja di rumah utama. Ada dua kamar kosong di sana.

"Daripada repot-repot menggotong kasur," kata Rita. Sebenarnya ia senang kalau Nadia menginap di tempatnya. Ia menyukai gadis itu dan ingin mengobrol lebih banyak. Ada juga maksud lain yang sudah cukup lama tersimpan. Ia ingin mengenalkan Nadia dengan seseorang. Siapa tahu bisa berjodoh.

"Nanti aku bantuin gotong kasur, Oma." Agung berkeras.

Rita tertawa, demikian pula yang lain. Mereka menyadari bahwa itu adalah keinginan Agung, bukan masalah kepraktisan.

"Ih, biar kecil, aku kan punya tenaga juga." Agung menunjukkan otot lengannya yang kecil.

Kembali orang-orang tertawa.

"Iya deh," kata Rita.

"Gini aja. Agung nggak usah bantuin menggotong, tapi Agung yang digotong di atas kasur."

"Tambah berat dong. Nggak mau, ah. Aku mau bantuin aja."

Akhirnya Rama menggotong kasur pegas berdua Nadia. Cukup berat karena kasur itu berukuran medium. Bagian depan dipegang Rama, belakang dipegang Nadia bersama Agung. Anak itu senang sekali. Ia berceloteh sepanjang jalan. Ava takjub melihat kegembiraan Agung. Apa karena Nadia akan tidur

sekamar dengannya? Sejak kejadian itu Agung tak pernah punya kesempatan berduaan dengan Nadia. Ava memang berupaya menggantikan posisi Nadia. Tampaknya Nadia memahami keinginannya karena tak berusaha mendekat seperti dulu. Ava menepis rasa iri yang sempat muncul. Ia harus membagi. Tak bisa menguasai sendiri. Bukankah Nadia telah berjasa dengan mencurahkan kasih sayang kepada Agung ketika ia sendiri tak ingat untuk memberikannya?

Kasur diletakkan di atas lantai yang sudah dialasi dengan tikar, bersebelahan dengan tempat tidur Agung. Rita membawakan bantal dan seprai. Nadia merapikannya. Agung ikut membantu di sana-sini meskipun tidak diperlukan. Untuk menyenangkan hatinya Nadia sengaja meminta tolong ini dan itu.

Setelah itu mereka berkumpul di ruang duduk rumah utama yang lebih luas untuk membicarakan acara besok. Agung ikut serta. Ia duduk di antara Rama dan Ava, karena Nadia duduk di kursi untuk seorang.

"Oma Oni pasti datang ya, Tan?"

"Mudah-mudahan datang, Gung. Dia bilang nggak mau janji karena takut tiba-tiba ada halangan. Kita harap saja nggak ada halangan. Kamu udah kangen rupanya, ya?"

"Pengin lihat aja, Tan. Masih kayak dulu nggak, ya?"

Nadia tertawa.

"Masih sama. Eh, nggak juga. Sekarang ngomongnya nggak keras lagi, Gung. Sudah bisa mendengar dengan baik."

"Dulu orang pada teriak-teriak. Aku sih ngomong dekat kupingnya." kata Agung.

"Besok kalau mau ngomong sama dia. biasa aja. Nggak usah keras-keras atau dekat kupingnya."

"Baguslah," kata Agung dengan rupa serius.

"Aku mau ngomong sama dia."

"Ya. Dia pasti senang ada yang nemenin," kata Nadia, menahan keinginan untuk bertanya, apa yang mau diomongkan Agung.

Sesudah pembicaraan beralih kepada acara, Agung merasa bosan. Ia mengambil jigsaw puzzle yang baru dibelikan Ava, lalu mengasyikkan dirinya di lantai beralaskan karpet. Rama mengambilkan tripleks untuk alasnya.

Rupanya Agung benar-benar terserap perhatiannya oleh pemiainannya. Ia tak memedulikan pembicaraan orang-orang dewasa sampai kemudian pembicaraan beralih kepada topik lain. Rencana pesta besok sudah dimatangkan.

"Na, aku pengin ngenalin kamu sama seseorang." Rita mulai. Sebelumnya ia sudah membicarakannya dengan Ava, hingga Ava tidak merasa heran lagi.

"Siapa, Tante?"

"Namanya Sandro. cowok seumuran dengan kamu. Dia anak kenalanku. Orangnya sih lumayan menarik. Cuma pemalu."

"Memangnya dia kenapa, Tante?" Nadia purapura tidak mengerti maksud Rita. Sudah beberapa kali ia dikenalkan pada seseorang. tapi tak pernah ada kelanjutannya.

"Dia itu sulit mendekati cewek karena orangnya pemalu. Karena itu perlu dikenalin. Kalau inisiatif sendiri takut. katanya."

"Wah, kalau dia lihat aku, dia malah lari, Tante."

"Idih, kenapa? Kau gadis yang menarik kok. Kenalan saja dulu. Pendekatan, gitu. Kalau cocok apa salahnya diterusin."

"Percuma, Tante. Entar dia kecewa."

"Jangan gitu. Kenapa harus kecewa? Kalau nggak sreg, ya sudah. Hitung-hitung nambah teman saja, apa salahnya? Maksudnya dikenalin itu kan nggak selalu menjurus ke sana, kan? Buat nambah temanlah. Baik kamu maupun dia nggak perlu kecewa kalau hubungan nggak berlanjut."

"Oom Sandro orangnya baik kok. Dia sayang sama anjing," Agung nyeletuk tiba-tiba. Rupanya biarpun asyik sendiri. diam-diam dia juga mendengarkan.

"Oh ya? Emangnya kamu udah kenal?" tanya Nadia tertawa.

"Iya. Dia dokternya Susi dan Poni, Popi, Poli. Tempo hari pada disuntik," jelas Agung.

"Oh, dia dokter hewan?"

"Betul sekali." sahut Rita.

"Dia penyayang binatang tuh. Kerjanya sehari-hari di RS Hewan di daerah Ragunan. Si Susi itu dia yang kasih. Tadinya kepunyaan orang bule, tapi dia mau pulang ke negerinya. Jadi dititipin ke Sandro kalau-kalau ada penyayang anjing yang mau. Waktu dikasih ke sini

si Susi lagi hamil. Aku jatuh hati melihat si Susi. Anjing itu manis dan cerdas sekali. Sandro yang memberiku pengarahan bagaimana merawatnya. Secara rutin dia ke sini untuk memeriksa. Tanpa dia aku benar-benar nggak tahu gimana merawat anjing yang sebaik-baiknya. Kan nggak hanya dikasih makan saja. Perlu lainnya juga. Apalagi itu anjing ras. Tiap pagi diajak jalan-jalan sama Oom."

"Iya. Aku jadi rajin bangun pagi." Sindu membenarkan.

"Dia selalu mengorek pintu setiap jam enam dan membawa tali di mulutnya."

"Lucu sekali," komentar Nadia. Dia belum pernah punya kenalan dokter hewan.

"Mau ya kenalan?" tanya Rita.

"Sebenarnya aku mengundangnya juga besok. Tapi dia tugas di rumah sakit. Kalau hari Minggu biasanya banyak pasien, katanya. Mungkin agak sorean baru bisa ke sini. Perlu mandi dulu, katanya, supaya nggak bau anjing dan kucing. Kalau kau mau kenalan sama dia, jangan buru-buru pulang ya. Na?"

Nadia termangu. Berkenalan saja tentu tak ada salahnya. Menambah teman, kata Rita. Tapi tak enak rasanya kalau ingat tujuan perkenalan itu. Sepertinya terlalu jauh tujuannya.

"Lihat besok saja ya, Tan? Terima kasih udah diperhatikan."

"Ah, jangan begitu. Yang pasti dong. Oke, gitu."

"Oke deh."

"Nah. Teman baru itu memberi suasana baru lho. Itu berdasarkan pengalamanku sendiri." .

Sindu tertawa.

"Ya, banyak teman memang menyenangkan. Asal bisa memilih mana yang domba mana yang musang."

"Kalau dikenalin kan udah ketahuan orangnya baik apa nggak, Pa. Koneksinya jelas. Reputasinya udah ketahuan. Asal-usulnya juga. Jangan yang tiba tiba muncul entah dari mana. Tahu-tahu anaknya sudah setengah lusin, atau tukang tipu."

"Betul. Bicara tentang pengalaman, tantemu ini pernah juga kena tipu lho."

"Sudah, sudah! Nggak mau denger!" seru Rita.

"Ini bukan saatnya ngomongin soal itu, Pa."

Mereka tertawa, termasuk Rita sendiri. Juga Agung.

Akhirnya mereka berempat kembali ke paviliun. Agung menuntun tangan Nadia. Mereka berdua jalan di depan. Di belakang mereka Rama dan Ava memerhatikan keduanya. Mereka tak berbicara. Ava menunjuk dan Rama mengangguk.

Akhirnya Ava berbisik.

"Agung sayang padanya. Nggak bisa dipisahkan."

"Biarlah. Nana lebih dulu merebut hatinya daripada kita."

"Bagusnya Nana punya anak sendiri. Baru dia bisa mengalihkan perhatiannya dari Agung."

"Mungkin perkenalan dengan dokter hewan itu bisa sukses."

"Mudah-mudahan."

Di kamar Agung, pada mulanya Agung tetap di

ranjangnya sendiri sedang Nadia di bawah. Tapi kemudian ia meluncur turun.

"Masih lega ya. Tan? Boleh aku tidur di sini aja? Kalau di atas entar bisa jatuh nimpa Tante. Hi-hi-hi, gepeng deh."

"Emang kamu suka jatuh? Bohong ya? Bohong..."

Nadia mencubit pelan dan menggelitiki. Agung terkikik-kikik lalu balas menggelitik. Keduanya bergulungan sampai akhirnya kelelahan. Mereka samasama telentang dengan wajah penuh tawa.

"Tante, sering-sering nginep dong. Kan asyik."

"Mestinya kamu bercanda begini nggak sama aku aja. Sama Papa dan Mama juga."

"Suka juga sih. Tapi sama Tante kan udah lama nggak."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kamu kangen sama aku, ya?"

"Iya, Tan. Kata Mama, Tante lagi sibuk."

"Oh, begitu?" Nadia tahu Ava berbohong. Tapi ia tak bisa menyalahkan Ava.

"Nah, sekarang kita sama-sama lagi. Ayo dong, kamu cerita, Gung. Katanya kamu punya segudang cerita."

"Cerita yang mana, Tan?" Agung memperlihatkan lima jarinya lalu menunjuk satu demi satu setiap kali menyebut temanya,

"Teman sekolah, anjing-anjing, mimpi si Dino dan si Iwan, Oom Sandro, eh... apa lagi. ya?" Ia berpikir.

"Cuma ada empat kok. Yang mana, Tan?"

"Jadi aku cuma boleh milih satu aja? Sedikit

dong. Semuanya aja, tapi pake nomor urut. Yang paling akhir boleh dihapus kalau kamu udah capek cerita. Gimana?"

"Ya, ya. Bagus begitu."

"Nomor satu mimpi si Dino dan Iwan, dua anjing-anjing, tiga teman sekolah, dan terakhir Oom Sandro."

"Kok Oom Sandro paling akhir sih, Tan?"

"Sebab dia nggak penting."

"Ah, masa nggak penting, Tan? Dia kan calonnya Tante. Hi-hi-hi...."

"He, calon apa? Siapa yang bilang?" Nadia mengancam dengan jari siap menggelitik.

Agung sudah terkikik sebelum disentuh.

"Calon pacar Tante. Kata Oma Rita."

"Wah, Oma bisa aja deh. Dia main-main. Iseng aja. Ya sudah. Mulai saja ceritanya. Nanti kamu keburu ngantuk. Tahu-tahu mulutnya nutup. matanya merem, terus ngorok. Emangnya mau dibangunin?"

Agung tertawa geli.

"Ayo dong mulai. Aku udah nggak sabar nih," Nadia berkata dengan sesungguhnya.

Agung menutup mulutnya dengan jari-jarinya supaya berhenti tertawa. Tingkahnya itu membuat Nadia tertawa. Masih dengan membekap mulutnya sendiri Agung menggoyang-goyangkan tangannya yang satu lagi. Wajahnya serius. Nadia semakin sulit menghentikan tawanya. Agung sudah pintar melucu sekarang. Tapi ia perlu mendengar cerita Agung.

"Baik, baik. Aku diam sekarang. Ayolah, Gung."

"Mimpinya ada berapa, ya? Yang mana aja ya, Tan?"

Nadia tidak tahu apakah Agung sedang melucu atau serius. Tapi ia berusaha untuk tidak tertawa.

"Iya, yang mana aja yang ingat duluan."

"Oh, ada yang paling aku ingat. Tapi aku lupa kapan mimpinya. Apa kemarin dulu atau udah lebih lama. Aku ama si Dino. Iwan nggak ada. Tau ke mana dia. Dino gapai-gapai. Sini, sini, katanya. Aku bilang kamu yang ke sini. Aku kan nggak bisa ke sana. Terus dia datang. Duduk di ranjang. Kita ngobrol. Dia bilang, nanti dia mau punya adik. Jagain adikku ya. Gung? Kamu jadi temannya. ya? Bilangin Oma Oni. adikku jangan diapa-apain. Jangan dijahatin."

Nadia terkejut.

"Diapain dan dijahatin gimana maksudnya?"

"Nggak tahu, Tan. Dia nggak bilang. Aku juga nggak tanya. Aku cuma bilang iya aja. Emangnya dia bakal punya adik. Tan?"

Nadia mengerti kenapa mimpi itu yang didahulukan oleh Agung, karena dia ingin penjelasan.

"Betul. Sekarang mamanya, Tante Evi, lagi hamil." Nadia menunjuk perutnya.

Agung mengangguk.

"Jadi bener ya. Rupanya dari sana dia juga ngawasin, ya?" katanya dengan gaya bijak.

Nadia merasa takjub melihatnya. Ada yang berubah dari Agung sejak musibah itu. Dia masih bocah tujuh tahun dengan kelakuan masih seperti dulu. tapi sesekali dia seperti orang dewasa. tergantung topik yang dia bicarakan. Pada saat seperti itu tatapan matanya mengandung kecerdasan yang tidak terlihat dalam keadaan berbeda.

"Lalu cerita apa lagi si Dino tentang Oma Oni?"

"Nggak ada. Tan. Cuma itu aja yang dia bilang. Terus dia cerita tentang teman-teman lain di sana. Aku juga cerita tentang teman-temanku di sini. Tapi Tante pasti nggak suka dengarnya. Abis nggak kenal sih ya? Di sekolah aku sudah punya teman. Namanya Dimas. Anaknya baik, kayak si Dino. Nanti aku mau ajak dia main ke sini. Mau kasih lihat anjingku."

"Dino nggak nanyain papa dan mamanya?"

"Nggak. Oh ya, pernah sebelum mimpi yang ini, dia ngomong tentang mamanya."

"Ngomong apa?" Nadia bersemangat.

"Ih, bukan buat Tante Nana, tapi buat Tante Evi."

"Lho, kok gitu?"

"Kata Dino, aku nyampein ke mamanya aja. Bukan cerita kok, Tan."

"Oh, begitu." Nadia tidak mendesak. Ia tahu, Agung bicara apa adanya dan memiliki komitmen.

"Terus ngobrol apa lagi?"

"Ngobrolin temen-temen di sana."

"Ya sudah. Kita ngomongin yang lain aja."

"Aku pengin tanya tentang setan item itu, Tan.

Apa Oom Robin belum juga berhasil menangkap? Apa setan susah ditangkapnya?" Agung bertanya dengan serius.

Nadia terkejut mendengar topik yang dipilih Agung.

"Kamu udah nggak takut ngomongin itu, Gung?" tanyanya hati-hati.

"Ah, nggak. Kan kita udah nggak tinggal di sana lagi."

"Aku senang mendengarnya. Jadi kita bisa bicara tentang itu dengan leluasa, ya? Sebenarnya setan item itu nggak ada. Dia manusia seperti kita, tapi pakai mantel hitam dan topeng setan. Mantel dan topengnya itu udah ketemu."

"Bau?"

"Oh iya. Bau banget."

"Orangnya udah ketemu, Tan?"

"Belum, Gung. Oom Robin masih menyelidiki. Kalau dapat pasti ditangkap."

"Kok baru sekarang sih aku dikasih tahu," Agung setengah menyesali.

"Tempo hari kan kamu masih stres. Mana ada yang berani menyinggung soal itu? Tanya juga nggak berani. Takut kamu ngeri. Sekarang suasananya sudah beda."

"Iya sih." Agung mengangguk.

"Aku sedih banget, Tan. kalau ingat sama Mbak Ani. Jahat betul orang itu."

"Kamu memang harus maklum, Gung. Di dunia ini bukan cuma ada orang baik, tapi juga orang jahat. Kita nggak tahu lagi apa seseorang itu baik atau jahat. Depannya baik-baik. ramah, senyum manis, eh, tahu-tahunya jahat."

"Apa Mama dan Papa tahu?"

"Tentu saja tahu. Kami bermaksud memberitahu kamu juga, tapi cari saat yang baik. Dulu kamu sedih banget, kan?"

"Iya. Sekarang aku senang nggak ada setan item, Tan. Tapi, apa orang jahat kayak gitu nggak sama aja dengan setan? Makanya dia nyata kayak setan," Agung menyimpulkan.

"Bisa juga begitu. Tapi dia nyaru supaya nggak dikenalin. Makanya pakai topeng."

Agung termenung. Dia sudah melupakan bahan ceritanya yang lain. Tapi Nadia juga tidak berkeinginan menyuruhnya bercerita mengenai topik yang berbeda. Pilihan yang lain itu tidak menarik baginya.

"Mikirin apa, Gung? Sudah, jangan terlalu dalam mikirnya. Biarlah soal itu kita serahkan pada Oom Robin saja. Dia pinter. Pasti bisa."

"Aku nggak mikir, tapi heran. Siapa ya orang itu, kok bisa masuk? Aku masih tidur. Masih pagi. Papa dan Mama pulangnya malam, biasa bangun siang. Pasti Mbak Ani yang bukain. Kok dia sembarangan masukin orang bertopeng ya, Tan? Kan di bawah ada satpam."

Nadia merasa asyik mengamati Agung saat berbicara itu. Dia benar-benar kelihatan lebih dewasa. Wajahnya mungil dan imut-imut, tapi dari mulutnya

meluncur pemikiran yang kritis dan runtut. Apakah anak sekecil itu bisa dan mau berpikir seperti itu?

"Kami juga mikir seperti itu, Gung. Jadi jawabannya cuma ada satu, yaitu orang itu sudah dikenal baik oleh Ani maupun olehmu. Karena itu dia pakai topeng."

"Kalau pakai topeng kok dikasih masuk?"

"Waktu mengetuk pintu dia nggak pakai topeng. Terus Mbak Ani dikasih minum sampai mabuk. Setelah dia teler baru deh dia pakai topengnya. Kira-kira begitu, Gung."

Agung mengangguk-angguk. Lucu melihat dia serius begitu, pikir Nadia.

"Mbak Ani memang suka minum dari botol punya Papa. Tapi sedikit aja, katanya. Jangan bilang bilang ya."

"Kalau di tempat Oma Oni, dia suka minum nggak?"

"Suka. Dikasih Oma. Mbak Ningsih pernah nyoba, tapi dia muntah."

"Kok kamu nggak bilang-bilang."

"Abis disuruh janji jangan bilang. Aku pikir nggak apa-apa. Biarin aja. Kalau dibilangin entar dia marah."

Jadi memang benar teori Robin, pikir Nadia.

"Mbak Ani kok bodoh amat ya," kata Agung dengan pandang menerawang.

"Bodoh kenapa?"

"Kenapa mau aja disuruh minum sampai teler sama orang itu?"

"Karena orang itu sudah dikenal."

"Siapa ya?"

Dahi Agung berkerut dalam sekali sampai Nadia merasa iba.

"Sudah Gung. Jangan mikir lagi. Kita ngobrol yang lain aja ya," katanya cemas. Otak sekecil itu dipaksa bekerja keras. Ia jadi menyesal telah mendiskusikan hal itu dengan Agung. Ia menyepelekan kemampuan Agung dalam mencerna informasi.

"Badannya gede, Tan."

"Iya. Kau bisa menyadari itu biarpun masih ngantuk? Pantasnya kau diangkat dari ranjang, ya?"

"Udah di balkon baru bangun, Tan. Ketiup angin kencang sih. Buka mata udah digendong dia. Aku ketakutan dan berteriak, tapi suaraku pelan."

"Terus Mbak Ani ngejar? Jalannya sempoyongan?"

"Nggak tahu. Nggak lihat. Tahu-tahu dia udah di sebelah aku, mau menarikku dan mendorong setan... eh. orang itu. Tapi dia dijatuhin juga bareng bareng aku. Jeritannya keras banget."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah bicara begitu Agung terlihat lelah. Ia memejamkan mata.

"Sudah. Kita tidur aja ya. Sudah malam. Jangan dipikirin lagi ya."

"Ya, Tan."

Agung memejamkan matanya. Nadia memandanginya dengan iba. Kalau Ava tahu pembicaraan ini. ia bisa memarahiku habis-habisan. Aku tidak akan dikasih menginap atau dekat-dekat Agung lagi.

Agung membuka matanya. Ia tersenyum. Nadia balas tersenyum.

"Besok pagi aku mau ikut Opa bawa Susi jalan jalan. Tan."

"Oh ya. Nanti aku bangunin. Anak-anaknya Susi ikut nggak?"

"Nggak dong, Tan. Masih kecil."

"Oh ya, entar pada ngos-ngosan, ya?"

Agung tertawa. Sekarang dia tidak kelihatan mengantuk seperti tadi.

"Besok aku pengin ngomong sama Oom Robin. Berdua aja."

"Tentu."

"Kayaknya besok aku bakal sibuk. Tan."

"Perlu bantuan?"

"Nggak. Eh, tadi aku belum ceritain Oom Sandro, ya? Nggak keburu..."

"Ah, nanti sajalah. Besok-besok kan masih bisa."

Beberapa saat kemudian Nadia teringat sesuatu.

"Gung, apakah Dino cerita kenapa dia bisa sampai ke sana? Kenapa sampai jatuh dari tangga?"

Nadia tidak mendengar jawaban. Semula ia mengira Agung ragu-ragu menjawab. Tapi setelah menoleh ke sisi dan menatap wajah Agung. ia segera tahu. Anak itu sudah tertidur pulas. Begitu manis dan damai. Nadia tersenyum menghapus kekecewaannya. Ia mengangkat kepala lalu membungkuk di atas Agung, mencium dahinya.





Hari Minggu Robin dan Barata datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Mereka datang berbarengan dan bermaksud membantu persiapan. Mereka tak ingin dianggap sebagai tamu, tapi pihak yang ikut sibuk. Kehadiran mereka cukup membantu karena di pihak tuan rumah hanya ada Rama sebagai lelaki muda satu-satunya. Mereka bisa merapikan kursi dan mengangkat meja.

Setelah katering datang membawa makanan, giliran Ava, Nadia, dan Rita beserta pembantunya yang sibuk. Agung sendiri wara-wiri ke sana kemari. Dia sangat ingin semuanya cepat selesai supaya bisa punya waktu untuk berbincang dengan Robin seperti yang direncanakannya. Tapi keinginannya itu tak dikatakannya kepada Robin.

Berbeda dengan Barata. Ketika bertemu. Barata berjongkok di depannya lalu memeluk dan mencium

pipinya kiri-kanan. Pada saat itulah ia berbisik di telinga Barata dengan kedua tangan memeluk lehernya. Wajah Barata segera berubah dari tawa menjadi sendu, lalu berubah lagi dengan senyum. Tak ada yang memerhatikan karena semua sedang sibuk. Nadia melihat sekilas tapi tak mau terlihat mengamati. Ia bisa memperkirakan. bahwa yang dibisikkan Agung tentulah pesan Iwan yang dijumpainya dalam mimpi.

Mereka berbincang sejenak. Setelah itu Barata terlihat agak berbeda dibanding saat pertama datang. Sesekali dia merenung atau ngelantur kalau ditanya. Baru setelah ditertawakan ia menjadi sadar dan memulihkan dirinya. Ia pun kembali seperti semula. Ceria dan suka bercanda, terutama dengan Agung.

"Rencana kita jadi, kan?" tanya Robin pada Nadia, saat tak ada orang di dekat mereka.

"Tentu saja. Tapi lihat dulu, dia datang atau nggak."

"Aku yakin dia datang."

Nadia melihat pandangan Agung.

"Oh Rob, Agung sangat ingin berbincang denganmu. Dari tadi dia menunggu kesempatan. Nanti mungkin sulit kalau kita sibuk dengan si nenek. Ayolah kautemui dia."

"Apa Bu Ava nggak curiga kalau melihatku berbincang berdua dengan Agung?"

"Kalau begitu, sebentar aku bicara dulu dengan Agung."

Nadia memanggil Agung.

"Gung. kamu jadi mau bicara dengan Oom Robin?"

"Jadi!" sahut Agung antusias.

"Kalau begitu, bilang dulu sama Mama. Bilang kamu yang pengin ngomong sama Oom Robin. Soalnya Oom Robin takut kalau Mama nanti marah padanya."

Agung tidak menunggu diberitahu dua kali. Ia segera berlari mencari ibunya. Tak lama kemudian ia kembali.

"Boleh, Tan. Aku udah ngomong. Tapi katanya, kalau tamu-tamu udah pada datang. ngomongnya udahan."

Agung segera menarik tangan Robin menuju ke sudut kebun. Robin membawa dua kursi ke sana. Nadia tersenyum memandangi mereka. Agung ingin privasi. Ketika Ava mendekat, ia menceritakan perbincangannya dengan Agung semalam.

"Agung sudah kujelaskan bahwa setan item yang ditakutinya itu nggak ada, Mbak. Dia menjadi lega dan senang. Jadi sekarang dia pengin nanya lebih banyak pada Robin. Bagus buat pemikirannya."

"Kau yang mulai dulu atau dia yang tanya?"

"Dia yang tanya. Katanya dalam mimpi dia ngomongin soal setan item sama Dino. Tapi menurut Dino. itu urusan orang dewasa. Jadi dia tanya sama aku."

Ava terlihat lega.

"Baguslah kalau begitu."

Barata yang surprise melihat Robin dan Agung bicara berdua begitu asyik segera diberi penjelasan oleh Nadia. Mumpung para tamu belum datang. Barata mengangguk. Ia pun terlihat lega.

"Tadi kulihat dia membisiki kamu," kata Nadia.

"Kelihatannya intens banget. Boleh tahu nggak?"

Barata tersenyum.

"Ada pesan dari Iwan. Tapi kayaknya hanya buat aku. Makanya dia berbisik."

"Lucu ya anak itu. Semalam dia bilang, hari ini dia akan sibuk. Aku nggak heran kalau nanti Evita datang ia pun akan berbisik di telinganya. Ada pesan juga dari Dino."

"Kayaknya begitu."

Tamu pertama yang datang adalah Santi dan Henri. Agung menepati janjinya. Dia bergegas meninggalkan Robin, berlari untuk bergabung dengan ayah-ibunya yang bertindak sebagai penyambut tamu. Robin menunggu saja di kursinya. Barata menghampiri lalu mereka berbincang. Sebenarnya Nadia ingin bergabung juga, tapi ia harus melayani tamu. Sesudah itu datang Hendra dan istrinya.

Yang paling akhir datang adalah keluarga Wijaya. Mereka terlambat dan sempat membuat Nadia khawatir kalau-kalau tak jadi datang. Ia gembira melihat Leoni ada bersama mereka. Kali ini Wijaya menggunakan mobil yang khusus didesain untuk bisa meluncurkan kursi roda.

Leoni keluar seperti ratu dengan wajah dirias, pakai bedak dan lipstik, juga menggurat alisnya yang sudah kelimis dengan pensil hitam. Pakaiannya celana panjang hitam dengan baju kurung kembang kembang berdasar warna biru. Dia tampak cantik tapi berlebihan, hingga jadi agak mengerikan.

"Apakah dia berdandan sendiri?" bisik Nadia pada Evita.

"Iya. Lama banget dandannya. Aku aja kalah. Makanya jadi telat. Padahal aku penginnya datang lebih pagi. Mau bantu-bantu."

"Sudah, nggak apa-apa. Kalian bisa datang saja sudah bagus sekali," Nadia berkata dengan sesungguhnya.

Tamu sudah datang semua. Jadi Agung tak punya kewajiban lagi menunggu. Ia berlari menghampiri Evita.

"Tanteee...," panggilnya dengan ceria. Tadi dia sudah menyambut di pintu dan memberi salam pada semuanya. Tapi kali ini lain.

Evita menoleh dan tersenyum senang. Tapi agak heran ketika tangannya ditarik menjauh dari orang orang lain. Ia ikut saja. Agung menepuk kursi.

"Duduk sini, Tan," katanya.

Evita duduk bersebelahan dengan Agung. Lalu Agung bicara pelan. Evita perlu menundukkan kepala untuk mendekatkan telinganya ke mulut Agung. Mereka bicara beberapa saat. Evita merangkul Agung dan menciumi pipinya. Ia menangis.

Dari kejauhan Leoni mengawasi dengan kening berkerut. Ekspresinya terlihat tidak senang. Kemudian ia melengos, lalu menyambut sapaan orang orang yang menghormatinya sebagai orang yang paling tua. Terutama Rita dan Sindu yang tidak pernah kedatangan tamu orang tua seperti Leoni. Sudah tua, pakai kursi roda, tapi terlihat gagah dan

berwibawa. Tapi di sela-sela pembicaraan, Leoni sesekali mengarahkan pandangannya kepada Evita dan Agung.

Nadia diam-diam mengamati sikap Leoni. Tapi ia tak bisa berlama-lama karena sudah dipanggil Ava.

"Kebunnya bagus," puji Leoni kepada Rita.

"Lumayan. Saya suka berkebun, Bu."

"Aku juga suka. Tapi cuma memandangi dan mengagumi."

"Sekarang sih sudah punya kebun ya, Bu."

"Oh iya. Nggak kayak dulu. Yang dilihat cuma tembok dan jalanan."

Hendra yang sudah mengenal tabiat Leoni berusaha tidak dekat-dekat. Ia memilih bergabung dengan para lelaki.

Wijaya mencari kesempatan mendekati Nadia. Ia sudah melihat Evita bersama Agung. Kedua orang itu sepertinya tak ingin didekati orang lain, tapi ia heran melihat Evita seperti menangis.

"Kenapa mereka itu, Na?"

"Agung lagi menyampaikan pesan dari Dino. Mas Wi."

Wijaya terkejut.

"Dino?" tegasnya seakan salah dengar.

"Ya. Agung suka bermimpi ketemu Dino dan Iwan, almarhum putra Barata. Mereka pernah berteman ketika Agung koma dulu."

"Ya. Saya dengar ceritanya."

"Nanti Mas bisa tanyakan pada Evi. Tapi nanti saja kalau sudah di rumah."

Mereka melihat Evita sudah berdiri bersama Agung. Keduanya berjalan ke dalam rumah.

"Mungkin ke kamar mandi, Mas," jelas Nadia.

"Tenang saja. Nggak usah disusul."

Wijaya mengangguk, lalu kembali menemui tamu lainnya. Acara makan akan dimulai. Nadia sudah menyibukkan diri bersama Ava dan Rita. Para tamu wanita seperti Santi dan Nyonya Hendra yang tidak merasa sebagai tamu ikut membantu. Belakangan Evita datang pula bergabung. Sikapnya sudah biasa kembali. Malah terlihat ceria sekali. Jauh lebih ceria dibanding pertama datang. Tak ada sisa kesedihan yang tadi ia perlihatkan.

"Tadi ngomongin apa sama Agung?" tanya Leoni dengan tatap selidik ketika Evita mendekatinya.

"Ngobrol aja. Dia nanya aku. Aku nanya dia."

"Kok sampai nangis segala?"

"Terharu, Ma."

Leoni tampak tidak percaya. tapi tidak bisa mendesak lebih jauh. Dia diajak mengambil makanan lebih dulu.

Nadia makan di dekat Barata dan Robin.

"Bagaimana diskusimu dengan Agung tadi, Rob?" tanya Nadia.

"Wah, seru. Anak itu luar biasa. Dia banyak bertanya. Aku pikir susah menjelaskan padanya, tapi daya tangkapnya bagus."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau cerita tentang kematian Ningsih?"

"Ah, nggak. Aku hanya menjawab pertanyaannya. Dia kan nggak tahu. Apa yang tidak dia ketahui

kan tidak dia tanyakan. Tapi dia memberiku banyak masukan. Sekarang dia nggak ragu-ragu bercerita tentang semua yang diingatnya pada saat kejadian."

"Tentang si Ani yang suka minum dan juga dikasih minum oleh Bu Oni?"

"Ya. Cocok dengan teoriku tapi tentu saja nggak kukatakan."

"Dia tidak mengatakan siapa yang diduganya sebagai pelaku?"

"Itu kutanyakan kepadanya. Dia malah bertanya tanya, kayaknya siapa ya? Dia butuh waktu agak lama untuk berpikir. Lalu dia mengangkat bahu kemudian berkata, Nggak berani bilang, takut salah. Nanti Oom menangkap orang yang salah. Luar biasa, kan? Anak kecil bisa bilang begitu. Ya. pengalamanku dengan anak kecil memang nggak banyak. Aku juga nggak ingat waktu aku seumur dengan dia kayak apa. Ada juga sih yang kuingat. Aku sering dicubitin ibuku."

Mereka tertawa.

"Tentunya kamu bengal banget," komentar Nadia.

"Eh, rencana kita jadi nggak, Na?" tanya Barata.

"Tentu saja jadi. Tapi nunggu sesudah selesai makan. Nanti dia kuajak melihat-lihat kebun. Di tempat yang sudah kusediakan dia akan kutinggalkan untuk mengambil es krim atau makanan kecil. Lalu kau bergabung dengan kami, Bar. Ajak dia ngobrol. Pada

saat dia lengah aku tuang es krim di pijakan kursinya. Mungkin pura-pura memungut barang jatuh."

"Peranku apa?" tanya Robin.

"Sebaiknya kau jangan dekat-dekat. Nanti dia takut padamu. Bukankah orang bersalah takut pada polisi?"

"Eh, belum tentu. Kalau dia bermental baja, dan kelihatannya memang begitu, dia justru ingin tahu apa saja yang kuketahui."

"Tapi aku takut kau justru disangka mau mengorek dia."

"Iya deh, aku jauh-jauh. Mau nyari Agung aja. Tadi janji kalau ada kesempatan mau ngobrol lagi."

"Tapi jangan terlalu jauh, Rob. Entar nggak bisa melihat kalau ada kehebohan."

"Tentu saja. Aku nggak mau melewatkan kesempatan."

Mereka bertiga mengamati Leoni yang sedang makan berdekatan dengan Rita, Nyonya Hendra, dan Santi. Rupanya ketiga orang itu menikmati pembicaraan bersama Leoni.

"Pasti dia lagi baik-baik," kata Barata.

"Dia memang pintar berubah-ubah," Nadia menambahkan.

"Kalau nggak pintar, nggak akan menyulitkan orang," kata Robin kesal.

"Nah, itu Agung."

Robin menggapai. Agung mendekat.

"Udah makan, Gung?" tanya mereka ramai ramai.

"Udah." Agung duduk di samping Robin.

"Kok cepat makannya?"

Agung tertawa aja.

"Entar ngobrol lagi, Oom Robin? Masih ada yang mau aku tanyain."

"Oke. Sekarang?"

"Makan dulu dong, Oom. Masa nggak dihabisin."

Ucapan itu mengingatkan Nadia pada "paksaan" Leoni agar ia menghabiskan kue dengan akibat sakit perut tak kepalang.

"Mesti dihabisin. ya?"

"Kalau Oom udah kenyang sih nggak usah. Aku juga suka gitu. Terus diomelin Mama. Katanya jangan ambil banyak-banyak kalau kira-kira nggak bisa abis. Kan sayang'?"

"Iya bener. Gung. Tapi kau mau nunggu, kan?"

"Mau, Oom. Eh, Tante Nana." Agung mengalihkan pandang pada Nadia.

"Nanti jangan cepet-cepet pulang, ya? Udah janji lho."

"Ada apa?" tanya Barata.

"Ada deh."

Nadia tertawa. Barata yang tidak mengerti ikut tertawa. Agung mengatakannya dengan lucu.

"Ada deh apa sih?" Robin mau tahu juga.

"Ada aja," sahut Agung.

"Wah, muter-muter. Ayo deh. kita pergi aja. Gung. Tuh lihat, piringnya udah licin."

"Oom hebat! Orang lain piringnya nggak ada yang licin."

Barata dan Nadia tertawa geli. Robin tersipu.

"Kan kamu yang suruh, Gung. Sekarang dikatain."

"Bukan ngatain. Oom. Kan Oom hebat."

"Iya deh. Yuk. kita mojok. Mumpung orang orang masih sibuk makan. Sekarang kan nggak perlu minta izin Mama lagi, ya?"

"Nggak dong, Oom. Cukup sekali aja."
The Phantom Of Opera Karya Gaston Leroux Rajawali Emas 06 Kitab Pemanggil Mayat Pendekar Slebor 36 Susuk Ratu Setan

Cari Blog Ini