Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 7

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 7



Mereka pergi. Nadia dan Barata melambaikan tangan dengan tersenyum.

"Oh, aku tiba-tiba jadi ingat. Bar. Tadi Agung sibuk berbisik padamu dan juga pada Evi. begitu kalian datang. Dia tak menunggu lama-lama sebelum berbicara dengan kalian. Pesan dari Iwan dan Dino, bukan? Tapi sejauh ini dia kok belum bicara atau berbisik pada si nenek. ya?"

"Memangnya ada yang mau dia bicarakan?"

"Ada. Semalam dia cerita, dalam mimpinya Dino berpesan supaya dia nanti menjadi teman adiknya dan minta pada si nenek supaya adiknya itu jangan diapaapain. Pesan itu kan penting. Apa dia lupa. ya?"

Barata terkejut.

"Aku pikir. nggak mungkin dia lupa. Anak secerdas itu. Mungkin dia lagi cari kesempatan, Na."

"Ya, mungkin juga. Dia luar biasa, bukan?"

"Wah, dia menakjubkan, Na. Apa yang disampaikannya padaku tadi membuatku merinding. Bukan karena ngeri. tapi karena keharuan yang sangat. Aku sangat terkesan."

"Barusan Evi juga sampai menangis. Dia sangat berubah ya, Bar? Beda banget dibanding dulu. Dulu dia polos dan lugu. Ya. seperti wajarnya anak umur segitu. Tapi sekarang seperti ada isinya."



"Betul. Berkat pengalaman komanya itu. Barangkali ada hikmahnya juga, ya."

"Kukira begitu."

Mereka selesai makan lalu mengamati Leoni. Nenek itu makan lambat sekali. Dia dilayani beberapa orang. Evita sendiri duduk berjauhan. Dia di sebelah Wijaya. Mereka berdua sepertinya tidak menaruh perhatian pada si nenek. Mungkin karena sudah banyak orang yang memberinya perhatian.

Setelah orang-orang selesai makan. Leoni masih saja mengemut makanannya. Entah merasa nikmat atau memang makannya lambat. Nadia sampai kesal mengamatinya. Akhirnya Leoni ditinggal sendiri oleh orang-orang yang tadinya berdekatan. Satu-satu pergi membawa piring mereka. Ada yang mengambil buah tapi kemudian duduk di tempat lain. Ada yang jalan-jalan di kebun. Mungkin mereka merasa bosan menemani Leoni atau ada pembicaraannya yang tak enak didengar.

Nadia bangkit. merasa itulah kesempatannya. Ia menghampiri Leoni.

"Makannya enak, Bu?"

"Oh, kamu. Lumayan. Tapi orang udah tua makannya memang lelet."

"Tenang aja, Bu. Nggak usah buru-buru. Tapi kalau Ibu udah kenyang jangan dipaksain. Kan masih ada makanan kecil lainnya. Ada buah. Ada es krim. Ada puding. Jangan dipenuhin perutnya, Bu."

Leoni merasakan kebenaran kata-kata Nadia. Ia menyodorkan piringnya yang isinya masih tersisa.

Nadia mengambilnya lalu membawanya ke belakang. Kemudian ia kembali lagi.

"Mau makan apa, Bu? Saya ambilkan atau Ibu mau milih sendiri? Nanti saya dorong karena lantainya kasar. Kalau sudah milih, nanti makannya di kebun, Bu."

Sejenak Leoni mengamati wajah Nadia. Sekilas ada rasa heran di situ. Nadia merasakannya. Mungkin dia pikir kamu kok baik amat. Curiga?

Leoni memilih es krim. Nadia ikut mengambil es krim. Ia menggapai Barata yang menghampiri.

"Wah, si Bara diundang juga," kata Leoni, seolah baru melihat kehadiran Barata.

"Iya. Bu. Mari kudorong."

Barata mengambil alih kursi roda lalu mendorongnya menuju tempat yang sudah diberitahu Nadia.

"Kan mau es krim, Bar? Aku ambilin, ya?"

"Boleh."

"Tadi si Agung bisik-bisik sama kamu. Ngomong apa sih sampai perlu dibisikin? Emangnya orang lain nggak boleh dengar?" tanya Leoni pada Barata.

Nadia menjatuhkan beberapa keping uang logam ketika ia menarik tisu dari sakunya. Keping-keping itu berjatuhan di bawah pijakan kursi roda Leoni.

"Aduh, duitmu banyak banget, Na." perhatian Leoni teralih sebentar.

Nadia tertawa saja lalu berjongkok.

Leoni kembali mengarahkan perhatiannya pada

Barata.

"Ngomong apa sih anak itu?" desak Leoni.

"Dia suka mimpi ketemu anak saya. Bu."

"Anakmu yang mana?"

"Yang sudah meninggal. Namanya lwan. Dia seumuran dengan Agung kalau sekarang masih hidup. Dia meninggal karena kecelakaan kereta api bersama ibunya...."

Nadia menuang es krimnya yang sudah meleleh di dekat kaki Leoni, terus sampai ke tanah. Sesudah itu baru ia memunguti kepingan logam kemudian dengan sigap tegak kembali.

Tapi Leoni sudah tidak sabar dengan cerita Barata yang melenceng dari jawaban yang dimintanya.

"Aku nggak tanya itu. Aku cuma mau tahu apa yang dibisikin Agung padamu?"

"Pesan dari Iwan untuk saya, Bu."

"Pesan apa?" tanya Leoni bernafsu.

"Wah. kalau itu cuma saya yang boleh tahu, Bu. Rahasia." Barata tersenyum misterius.

"Aku bisa aja nanya sama si Agung," kata Leoni kesal. Mulutnya merengut.

"Dia nggak akan bilang-bilang. Nadia aja nggak dikasih tahu. Ya, Na?"

"Ya. Bu. Itu privasi."

Leoni mencibir.

"Huh!" dengusnya.

"Esnya mau nambah, Bu? Saya ambilkan." Nadia berdiri.

"Nggak, ah. Air putih aja."

"Baik. Kau mau juga, Bar?"

"Boleh. Trims, Na."

Setelah Nadia pergi, Leoni menatap selidik pada Barata.

"Kamu naksir dia, ya?"

Barata terkejut. Rona merah mewarnai pipinya.

"Ah, Ibu bisa aja. Nggak dong."

"Ala, jangan pura-pura. Aku kan pernah muda. Tahu betul gimana tatapan lelaki sepertimu itu."

Barata mulai merasa gerah. Ia ingin sekali menengok ke bawah. Apakah semut-semut itu belum beraksi, atau mereka sangat hati-hati menghindari kaki Leoni? Tapi ia khawatir tatapannya diketahui Leoni. Ia berusaha keras untuk tidak memandang ke bawah. Ia melayangkan pandang ke tempat di mana Robin sedang bersama Agung. Tapi mereka tidak terlihat.

Tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Semua menoleh. Barata merasa gendang telinganya akan pecah. Leoni-lah yang menjerit. Ia mengentak-entakkan kaki.

"Hiii...! Semut merah! Hiii...! Aduh! Aduh! Hu-hu-huuu..."

Barata menatap ke bawah kursi roda. Iring-iringan semut merah naik-turun ke pijakan kursi dan di antaranya ada yang salah naik, ke kaki Leoni, masuk ke sela-sela celana panjangnya!

Tetapi Leoni tidak melompat bangun dari kursinya. Ia tetap duduk dengan mengentak-entakkan kedua kakinya dan kedua tangannya pun sibuk menepis-nepis. Ada yang naik ke tangannya lalu menggigit. Jeritan dan raungannya tambah keras.

"Hei, kamu jangan diam saja dong!" bentak Leoni kepada Barata yang bengong terpesona.

Orang-orang berdatangan. Nadia juga. Demikian pula Robin dan Agung. Mereka mengerumuni Leoni.

Kursi roda Leoni segera didorong ke teras. Rita menaikkan kaki celana Leoni dan memeriksa kakinya. Banyak sekali bentol-bentolnya. Semut-semut sudah tak ada. Leoni mengerang dan mengaduh. Wijaya menghiburnya. Leoni tak malu-malu memeluk Wijaya sambil terisak-isak. Lalu ia menunjuk Nadia.

"Gara-gara dia makan es krim dekat-dekat. Terus duit logamnya berjatuhan. Pasti esnya jatuh ke kursiku. Dasar ceroboh! Mau membalasku, ya?"

Leoni membelalakkan matanya kepada Nadia yang diam saja. Ia merasa kecewa karena harapannya tak tercapai. Si nenek tidak sampai terlonjak bangun dan melompat-lompat.

"Nanti saya ambil obat." kata Rita lalu bergegas ke dalam. Tak lama kemudian ia kembali membawa salep yang dioleskannya ke bagian bentol di tangan dan kaki Leoni.

"Ini manjur, Bu. Sebentar lagi juga hilang sakitnya."

"Kebunmu ini memang bagus, tapi banyak semutnya. Dipelihara, ya. Dikasih makan daging mentah," Leoni mengomel.

"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong begitu," Wijaya membujuk dengan malu.

"Maaf ya, Bu," Rita salah tingkah. Ia menyuruh pembantunya untuk membersihkan pijakan kaki kursi roda dengan lap basah.

Nadia mendekati untuk menyodorkan segelas air putih.

"Tadi belum minum. Bu."

Dengan sentakan kasar Leoni meraih gelas lalu meminumnya. Ia tak peduli orang-orang menatapnya. Sementara muka Wijaya tampak merah padam. Evita berdiri di sampingnya. Ia menutup mulut dengan tangan karena tak bisa menahan rasa gelinya. Bukanlah ini balasan atas upayu yang telah kauperbuat? Padahal segini sih kecil.

Nadia mengambil kembali gelas yang isinya sudah hilang separo dari tangan Leoni.

"Saya susut pipinya ya, Bu. Ada es cokelat nempel di situ." Nadia mengulurkan tangannya yang memegang tisu ke muka Leoni.

Di luar persangkaannya, tiba-tiba Leoni menepis tangannya dan mendorongnya dengan keras.

"Pergi sana! Nggak usah!"

Nadia terhuyung mundur, tapi di belakangnya Barata menahan tubuhnya. Untung saja gelas tidak terlepas, tapi air yang masih tersisa tumpah ke lantai dan sempat mengguyur kakinya.

"Aku tahu, pasti tadi kamu sengaja!" seru Leoni.

"Dari semula kamu yang bawa aku ke situ. Kenapa mesti ke situ? Pura-pura duitnya berjatuhan. Mana mungkin kamu ngantongin duit logam segitu banyak? Mana mungkin es krim bisa berjatuhan di kursiku'? Dikira aku goblok nggak bisa mikir ke situ? Kamu pasti mau balas dendam untuk kue pepe itu!"

Kalimat terakhir bukan cuma mengejutkan Nadia dan orang-orang lain, tapi juga yang berbicara. Leoni merasa kelepasan.

Wijaya melepaskan pegangan ibunya.

"Mama nggak boleh sembarangan bicara!" katanya dengan nada tegas. Ia benar-benar tak kuasa menahan malu. Lalu kepada Nadia ia berkata dengan nada memohon,

"Maaf ya. Na. Maklum saja orang udah tua."

"Nggak apa-apa. Mas. Saya maklum kok."

Nadia cepat berlalu diikuti Barata. Robin tak segera menyusul. Ia membiarkan Agung berlari menyusul Nadia. Agung tidak berkata apa-apa. Ia hanya memegang tangan Nadia. Mereka berpandangan. Nadia tersenyum, demikian pula Agung.

Pelan-pelan orang-orang menjauh dari Leoni, takut menjadi sasaran kemarahan si nenek. Yang tinggal adalah Wijaya, Evita dan Rita.

"Masih sakit, Bu? Coba saya lihat. Wah, bentolnya sudah menipis. Sebentar lagi juga hilang. Mau disalepin lagi, Bu?" tanya Rita.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, nggak usah. Baunya nggak enak."

"Terima kasih, Bu Rita," kata Wijaya, menggantikan ibunya. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa ibunya yang tadi begitu santun sekarang berubah kasar, seperti orang yang tidak bisa lagi berpura pura karena dikuasai kemarahan.

Mereka yang pergi menjauh sibuk membicarakan perilaku Leoni.

"Tuh, aku bilang apa, Ma. Mulutnya memang begitu." bisik Hendra pada istrinya. Tadi istrinya tidak percaya bahwa Leoni itu kasar dan bermulut ketus karena dia tidak pernah bertukar sapa dengan Leoni selama si nenek itu menghuni apartemen.

"Benar rupanya ceritamu. Kalau nggak lihat sendiri, aku tetap nggak percaya. Dia tadi begitu simpatik. Kok bisa tiba-tiba berubah begitu?" komentar Nyonya Hendra.

Ava menggamit Nadia. Ia juga berbisik.

"Eh. kamu nggak berbuat seperti yang dia tuduhkan itu. kan?"

"Nantilah ceritanya, Mbak. Banyak orang."

Ava harus puas dengan jawaban itu. Tapi ia tahu mestinya ada yang benar dalam tuduhan Leoni. Kalau tidak, tentunya Nadia bisa segera membantah.

Henri berkata,

"Tadi saya lihat gerakan kakinya mengentak-entak. Kuat sekali. Orang lumpuh masa bisa begitu?"

"Ya, betul sekali. Saya juga lihat," Rama membenarkan.

"Mungkin karena digigit semut jadi punya kekuatan." kata Hendra.

"Apalagi semutnya banyak banget. Lihat bentolnya? Kayak kalibata."

Orang-orang tertawa.

"Hus! Jangan tertawa," Nyonya Hendra mengingatkan.

"Dia melihat ke sini tuh. Orang peka pasti tahu kalau lagi diomongin dan diketawain."

Mereka segera diam dan bubaran. Sebagian mengambil makanan kecil yang masih tersisa banyak. Tadi para tamu belum sempat makan karena disela insiden si nenek.

Wajah Leoni saat mengamati orang-orang yang membicarakannya benar-benar memerah seperti tomat. Kalau dibuat karikaturnya. mungkin tepat kalau digambarkan keluar asap dari hidung dan telinganya. Dia marah sekali. Yang tadi belum reda sudah bertambah lagi.

"Kita pulang saja, Wi."

"Lho, kan belum lama, Ma? Tadi Mama kelihatannya betah sekali."

"Ya. Kalau nggak dirusak si Nadia. Sekarang aku jadi bahan ejekan."

"Habis Mama sembarangan menuduh sih. Nggak boleh begitu dong. Eh, ada apa dengan kue pepe buat Nana itu?" tanya Wijaya. Ia leluasa bertanya karena Rita sudah masuk ke dalam.

"Minggu lalu Nana berkunjung dan disuguhi kue pepe, kata Bi Inah," Evita menambahkan.

Leoni menggeleng. Wajahnya tak lagi memerah.

"Ah, nggak apa-apa," katanya ringan.

"Nggak apa-apa masa diomong?" tanya Wijaya.

"Ya, salah ngomong kan bisa aja."

Leoni tak bisa didesak. Ia menutup mulutnya. Ia melotot ketika Evita menatapnya.

"Ada apa?" tanyanya ketus.

Evita melengos tapi tidak menyahut. Aku akan bertamu sendiri kepada Nadia ada apa dengan kue pepe itu? Kue itu kan mau diberikannya padaku, tapi sesuai saranmu, aku bilang nggak doyan. Eh. kok kamu yang marah?.

"Ayolah, mau pulang nggak?" desak Leoni.

"Baiklah," kata Wijaya kesal. Ia sedang asyik asyiknya mengobrol tadi. Tapi setelah insiden itu tentunya ia tak punya muka lagi untuk berlama lama di situ.

"Tapi kita perlu pamit dulu dong. Masa pergi begitu saja."

Leoni cemberut tapi pasrah saja ketika kursinya didorong Wijaya mendekati tamu lain, ke tempat Rita dan Sindu berada.

Rita segera menyambut dengan senyum.

"Gimana, Bu? Sudah hilang sakitnya?" ia menyapa dengan ramah. Ia tidak merasa tersinggung oleh sikap dan ucapan Leoni karena sudah diberitahu oleh Ava mengenai tabiat si nenek. Kepada semua orang si nenek selalu seperti itu, kecuali kepada anaknya sendiri.

Leoni hanya mengangguk. Ia sebenarnya harus mengakui kemanjuran salep Rita, tapi tak mau mengatakannya.

"Kami mau pamit, Bu Rita," kata Wijaya.

"Waduh, kok buru-buru amat sih?" kata Rita, ditimpali oleh Sindu dan yang lain-lain.

"Sebentar lagi. Bu," kata Ava.

"Nanti kita kumpul dan berbincang bersama. Temanya nostalgia di Srigading. Macam-macam yang kita bicarakan. Termasuk kasus Agung. Nanti yang ngomong Pak Robin. Ayo ikutan, Bu. Sayang, kan? Kita bisa tahu perkembangan penyelidikan polisi langsung dari sumbernya."

Ava bisa mengatakannya dengan tegar sekarang, karena masalah Agung sudah teratasi. Tak ada keberatan lagi sekarang. Agung sudah tahu dan bisa menerima. Apalagi tak ada setan yang berperan di situ.

"Ah, menarik sekali," sahut Wijaya. Ia berpandangan dengan Evita. Mereka merasa tertarik.

"Tunggu sebentar lagi ya, Ma," bujuk Wijaya.

"Kan lebih enak dengar sendiri daripada diceritain orang."

"Nggak, ah. Pulang ya pulang."

"Sepuluh menit aja bagaimana, Bu?" tanya Ava.

"Topik itu kita bicarakan duluan."

"Nggak mau!" Leoni mulai berlagak seperti anak kecil yang kukuh pada keinginannya.

Wijaya tak berdaya. Ia tahu, kalau sudah begitu ibunya tidak akan berubah pendirian. Ibunya sudah telanjur merasa malu dan kesal karena tak lagi bisa menarik simpati orang. Belangnya sudah kelihatan.

"Terima kasih, Bu Ava. Kayaknya kami harus pulang." Wijaya mengerdipkan sebelah matanya.

"Nanti kami diceritai saja," kata Evita. Ia memandang berkeliling, mencari Nadia. Ia melihat Nadia duduk agak jauh bersama Barata. Ia menghampiri mereka.

"Terpaksa pulang, Na," kata Evita.

"Nanti cerita, ya?"

"Pasti," sahut Nadia dan Barata berbarengan.

Mereka saling memeluk dan mencium pipi.

"Aku perlu tanya dulu, Na. Ada apa dengan kue pepe itu? Apa yang terjadi?" tanya Evita.

"Aku sakit perut sampai melilit. Tapi kue itu rasanya biasa saja. Nggak ada yang aneh."

"Wah. kasihan. Kok nggak cerita?"

"Belum sempat. Nanti deh cerita yang lengkap. Tuh, udah ditunggu."

"Ke mana Agung? Kok nggak kelihatan." Evita melayangkan pandang ke sekitarnya.

"Tadi ke kebun samping. Katanya mau menengok anjing," kata Barata.

"Biar aku susul ke sana sendiri."

Belum lagi Evita bergerak, Agung muncul. Di belakangnya mengikuti Susi yang mengibas-ngibaskan ekornya yang tebal ke kiri dan ke kanan. Susi menghampiri Nadia dan Barata, yang bergantian memberinya tepukan dan belaian.

"Kok dilepas, Gung?" tanya Nadia.

"Dia maksa pengin keluar dari kandangnya, Tan. Pintunya dikorek-korek."

"Anak-anaknya nggak apa-apa?"

"Nggak. Semuanya lagi tidur."

"Ya sudah. Biar Susi di sini aja sama aku."

Susi mencium-cium Evita, yang kemudian memberinya juga belaian di kepala.

"Tapi aku pengin ke sana, Tan. Kalau dia ngikutin aku, gimana?"

"Nggak apa-apalah. Susi kan anjing yang baik." kata Barata.

"Gimana kalau dipasangkan tali? Biar aku yang pegang."

"Tante Evi, jangan pulang dulu, ya," seru Agung lalu berlari ke dalam. Susi mengejarnya.

Ketika keluar lagi leher Susi sudah dipasangi tali. Agung menyerahkan ujungnya pada Barata. Kemudian mereka bersama-sama menuju teras belakang tempat para tamu berkumpul. Wijaya sudah bersiap dengan memegangi kursi roda Leoni. Sementara si nenek memandangi mereka dengan wajah tak sabar dan kesal. Lalu ia terkejut ketika melihat anjing.

"Baru ingat, dia takut anjing," kata Evita pelan.

"Biar aku jauh-jauh aja." kata Barata. Ia menarik

Susi ke tepi. Semula Susi tak mau. Ia ingin mengikuti Agung. Tapi karena dibujuk Barata yang menepuk-nepuk kepalanya, akhirnya ia tenang juga. Bila tali dipegang Agung, pasti anak itu tak bisa mengendalikan karena Susi berukuran besar.

"Kok Susi dikeluarin, Gung?" tanya Rita heran.

"Dia ngamuk pengin keluar, Oma."

"Oh, begitu. Ya sudah. Kan ada yang megangin," Sindu menenangkan.

"Kamu sengaja mau nakut-nakutin aku, ya?" tiba-tiba Leoni menegur ketus kepada Agung.

Agung terkejut.

"Nggak, Oma. Dia dipegangin Oom Bara."

Bukan hanya Agung yang terkejut oleh komentar ketus Leoni, tapi juga tamu-tamu yang lain. Mereka menggelengkan kepala, tak habis pikir kenapa Leoni tak bisa mengendalikan mulutnya. Bukankah isi hati boleh berkata begitu, tapi tata krama mengajarkan bahwa mulut harus berkata lain?

Ketika itu Robin mendekati Barata. Mereka berbincang sejenak.

Perhatian Leoni beralih pada Robin. Ia mengamati kedua orang, lalu berganti kepada anjing di

sebelah Barata. Wajahnya terlihat cemas. Perubahan yang drastis.

"Ayo cepat, Wi! Kita pulang aja! Udah nggak nyaman nih," katanya sambil memberi tanda agar Wijaya cepat-cepat mendorong kursinya.

Wijaya sengaja berlama-Iama dengan menyalami dulu semua orang. Demikian pula Evita.

"Maafkan kekasaran ibu saya," katanya kepada Rita dengan suara perlahan.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, nggak apa-apa. Terima kasih untuk kedatangannya."

Leoni sudah tidak sabar. Ia memutar sendiri kursinya, tapi halaman yang berlapis paving block menyulitkannya. Ia harus mengerahkan tenaga. Mukanya sampai memerah. Ia kesal dan marah karena selain Wijaya tidak ada orang yang mau membantu mendorong kursinya. Semua membiarkannya sendiri.

Tiba-tiba Agung berteriak.

"Oma! Tunggu!"

Leoni berhenti. Agung mengejarnya. Sesaat Leoni merasa senang. Mungkin anak itu mau membantu mendorongnya. Biarpun masih kecil, lumayan ada yang memerhatikannya.

Rombongan mengikuti di belakang. Wijaya dan Evita di depan mereka. Robin dan Barata bersama Susi di belakang. Nadia menyusul dengan tergesagesa. Semula ia merasa hilang semangat karena kekecewaannya. Tapi melihat Agung yang mengejar Leoni ia tersentak. Pasti Agung bukan ingin mendorong kursi roda Leoni.

Leoni menoleh lalu menatap Agung. Ia tersenyum. Lenyap ekspresi marahnya.

"Ada apa, Gung?" tanya Leoni dengan suara yang lembut. Perubahannya mengherankan orang orang yang melihat dan mendengarnya.

Agung berhadapan dengan Leoni. Sepasang mata Agung menyorot tajam. Senyum Leoni lenyap.

"Mau apa kau?" tanya Leoni. Suaranya berubah lagi. Waswas, curiga, dan siaga.

"Aku lupa, ada pesan dari Dino!" kata Agung dengan suara yang lantang.

Ada yang memekik kaget. Evita. Wijaya merangkulnya. Orang-orang sudah mengelilingi mereka bagai menyaksikan tontonan di tengah-tengah.

"Siapa? Dino? Hah! Yang bener aja!" bentak Leoni. Tapi ada getaran dalam suaranya.

"Kata Dino, adiknya jangan diapa-apain! Jangan dijahatin!"

"Apa?" Wajah Leoni memucat. Rona merah yang biasa mewarnai pipinya lenyap. Tapi ia masih bisa membentak,

"Jangan ngomong sembarangan! Dia nggak punya adik!"

"Punya, Oma. Masih ada di perut Tante Evi." Agung menunjuk Evita.

Semua orang tak ada yang bersuara. Cuma terdengar isakan pelan yang keluar dari mulut Evita. Wijaya memeluknya lebih erat. Tatapan Leoni bergulir ke arah mereka. Kemarahannya mencuat lagi.

"Kamu jangan main-main! Anak kecil kurang

ajar! Kamu tahu apa sih?" bentak Leoni. Rona merah kembali ke pipinya. Tanda kegusaran.

"Aku nggak main-main, Oma," kata Agung dengan suara biasa, tapi bisa didengar semua orang.

"Aku cuma menyampaikan pesan Dino."

Tubuh Leoni gemetar. Bukan karena takut, tapi karena marah yang tak kepalang. Kedua tangannya mengepal. Sepasang matanya bagai menyorotkan api. Orang-orang menatap bagai terpesona. Diam saja di tempat. Memandang dan tak berbuat apa apa. Juga bingung. Yang memahami persoalan hanya sebagian di antara mereka.

Tiba-tiba Leoni melompat dari kursi rodanya. Caranya melompat itu seperti dilempar oleh pegas di pantatnya. Ia berdiri di depan Agung bagai raksasa di hadapan orang kerdil. Besar. tegap. dan tinggi.

Agung mengangakan mulutnya sejenak. Orang orang menyuarakan seruan tertahan. Terpesona. Terkejut tapi tertarik. Ketegangan tampak di wajah mereka.

Sekilas ketakutan muncul di wajah Agung.

"Se... se... setan item!!!" teriaknya. Lalu ketakutan di wajahnya sirna. Ia menubruk Leoni, dan memukulinya dengan kedua tangan kecilnya.

Leoni tak lagi melihat orang di sekitarnya. Yang tampak olehnya hanyalah Agung. Ia tertawa seperti orang tak waras karena bunyinya melengking-lengking. Kemudian ia menerkam Agung. mencengkeram lehernya.

"Mati lu! Setan kecil! Kenapa lu nggak mati sejak dulu. he?"

Sebelum orang-orang sempat bergerak, anjing, yang ujung talinya masih dipegangi Barata, berontak dengan sekuat tenaga. Barata lengah karena ikut menyaksikan dengan tegang. Ia tidak bisa bereaksi dengan cepat ketika pegangannya lepas. Susi berlari seperti kilat lalu melompat tinggi dan menyambar tangan Leoni! Si nenek menjerit kesakitan kemudian melepaskan Agung. Susi juga melepaskan tangan Leoni, tapi ia menggonggong dengan suara menyeramkan, lalu menyeringai memperlihatkan taringnya!

Setelah mundur dari hadapan Leoni, Agung berseru kepada Susi,

"Jangan, Sus! Jangan! Sini!"

Meskipun Susi kembali ke sisi Agung, tapi ia tidak berhenti menggonggongi Leoni. Nenek itu berlari ke mobil sambil menangis meraung-raung! Setelah lepas dari pesona, Wijaya berlari menyusulnya. Kemudian Robin ikut pula menyusul. Evita di belakangnya.

"Anak baik! Anak baik!" Sindu menepuk-nepuk Susi.

Agung dipeluk oleh Ava dan Rama bergantian. Kemudian Nadia mendapat giliran memeluk dan menciumi Agung.

"Kamu nggak apa-apa, Gung? Sakit nggak lehernya?"

"Nggak, Pa. Nggak, Ma. Aku baik-baik aja."

Suara-suara berdengung bagai lebah. Orang-orang sibuk memberikan komentar. Peristiwa hari itu disaksikan banyak orang. Semuanya adalah saksi mata.

Nadia menangis karena terharu dan bahagia. Upayanya yang semula gagal telah dibuat berhasil oleh Agung. Dan tentu saja juga oleh Susi. si anjing. Tanpa gerakan Susi. si nenek tidak akan berlari kencang.

Yang bersedih hanyalah Wijaya.

Di dalam mobil Leoni tidak sempat duduk. Ia keburu ambruk, jatuh terkulai. Bukan karena kedua kakinya lemah kembali. Tapi ia mengalami serangan s

stroke untuk kedua kalinya!





SANDRO baru datang setelah suasana di rumah Rita menjadi sepi. Meja kursi sudah dirapikan. Makanan yang masih bersisa dipindahkan ke ruang makan. Yang masih tinggal hanya Nadia. Di samping untuk memenuhi janjinya kepada Agung supaya mau menunggu kedatangan Sandro, ia pun menggunakan waktunya untuk bercerita kepada seisi rumah, termasuk Rita dan Sindu. Agung ikut mendengarkan. Sebagian besar sudah ia dengar dari Robin.

Sebenarnya mereka bersyukur juga bahwa Sandro tidak datang di saat penuh hiruk-pikuk tadi. Dengan demikian ia tidak menjadi bingung.

"Maafkan saya, datang sudah menjelang sore begini," kata Sandro.

"Nggak apa-apa," sahut Rita.

"Ini saya kenalkan. Keponakan sava. adik Ava."

Nadia bersalaman dengan Sandro. Nadia melihat seorang pemuda berkacamata, jangkung kurus, berwajah biasa-biasa saja dengan senyum malu-malu, tapi sepasang matanya memandang lurus pada orang di depannya. Rambutnya hitam lurus berpotongan pendek.

Setelah berbasa-basi sejenak, Sandro mengalihkan perhatiannya pada Agung.

"Bagaimana dengan Susi dan anak-anaknya, Gung?"

"Wah, hari ini Susi hebat, Oom. Anak-anaknya juga manis."

"Oh ya?"

"Eit, jangan ngurusin anjing dulu, San. Ayo makan dulu. Bukan makanan sisa lho, tapi khusus disisihkan untukmu," kata Rita.

"Wah, datang-datang disuruh makan," kata Sandro tersipu.

"Saya tahu, kamu pasti belum makan, kan?"

Sandro tidak membantah.

"Tapi... apa saya makan sendiri?"

Yang lain berpandangan. Siapa yang mau menemani makan padahal perut mereka masih kenyang?

"Aku yang nemenin!" seru Agung.

"Tadi makan cuma sedikit. Masih lapar." Ia menepuk perutnya. Orang-orang tertawa dan merasa lega.

"Nana juga dong." bujuk Rita.

Wajah Nadia jadi memerah. Ia tahu maksud Rita. Sebelum ia berbicara, Agung sudah menarik tangannya.

"Ayo, Tante. Nemenin Agung dong."

"Yang satu nemenin yang lain. Siapa yang nemenin aku?" tanya Nadia.

Yang lain menggelengkan kepala sambil tertawa. Terpaksa Nadia menuruti permintaan Agung. Ia tak menyangka Agung bisa sejail itu kepadanya. Apakah mereka sudah berkomplot? Tapi mereka akan kecewa. Tunggu saja. Ah, belum tentu juga Sandro tertarik kepadanya. Tak boleh ge-er. Ia kan jauh dari cantik. Sebaliknya, ia sendiri pun belum tertarik kepada Sandro. Mereka berdua adalah orang yang biasa-biasa saja. Tak punya keistimewaan. Tak punya daya tarik.

Di ruang makan ternyata mereka hanya bertiga. Yang lain diam-diam menyingkir ke ruangan lain. Maka terpaksalah Nadia bertindak sebagai nyonya rumah karena Sandro adalah tamu. Tetapi lama-kelamaan ia terlibat juga dalam pembicaraan dengan Sandro. Kadang-kadang Agung ikut menyela, tapi lebih sering jadi pendengar saja dan tampak lebih suka makan daripada bicara.

Yang disukai Nadia adalah Sandro tidak hanya bercerita tentang dunianya saja, tapi dia juga bertanya perihal dunia Nadia dan mendengarkan dengan perhatian. Mengerti, tapi tak mendalam. Dan tidak sok tahu. Yang menarik lainnya bagi Nadia adalah lingkungan Sandro merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Tentu ia sudah tahu dan cukup mengenal anjing dan kucing, juga monyet dan ular. Tapi lebih jauh dari itu, tidak. Tentu bukan hal-hal yang

bersifat ilmiah, tapi segi-segi yang unik dan lucu. Segi psikologisnya, menurut Sandro.

Agung berdiri.

"Mau cuci tangan dulu," katanya.

Tapi setelah cuci tangan ia menyelinap pergi. Nadia dan Sandro tidak menyadari. Mereka sudah selesai makan, tapi ternyata masih saja duduk dan terus mengobrol. Sejenak melupakan yang lain. Tahu-tahu Nadia menyadari Agung tidak datang-datang. Sudah berapa lama ia tidak tahu. Dengan tersipu ia berdiri.

"Silakan ke ruang sebelah, Mas."

"Panggil Sandro aja, ah. San juga boleh. Agung memanggilku Oom San."

"Ya, kita kok keasyikan ngobrol. Pergilah ke sana. Mereka tentu menunggumu. Biar aku beres beres."

Pembantu Rita muncul.

"Jangan, Non. Biar saya aja."

Terpaksa Nadia ikut dengan Sandro ke ruang duduk di mana Rita, Sindu, Rama, Ava dan Agung sudah berkumpul. Mereka menyambut dengan wajah ceria. Hari itu merupakan hari yang menggembirakan buat mereka karena pelaku kejahatan, si setan item, sudah terungkap. Supaya bisa membicarakan hal itu dengan leluasa, maka Sandro perlu diberitahu. Sebelumnya Sandro sudah tahu mengenai musibah yang menimpa Agung. hingga cerita tidak lagi terlalu panjang. Karena tadi Nadia sudah bercerita banyak, maka sekarang giliran Ava yang bercerita.

Sandro sangat takjub. Ia memuji Agung. Tapi Agung memuji Susi.

"Tapi aku belum mendengar ceritamu tentang semut yang menggigiti kaki si nenek," Ava teringat.

"Sebetulnya benar nggak sih tuduhan si nenek bahwa kau sengaja menjatuhkan es krim ke kursi rodanya?"

"Betul," sahut Nadia.

"Sebenarnya itu merupakan ide Barata supaya teori Robin bisa ditunjang oleh fakta, bahwa si nenek punya kemampuan untuk berbuat kejahatan. Kalau dia lumpuh kan nggak mungkin. Sebenarnya kami berharap setelah digigit dia akan melompat lalu berjingkrak-jingkrak. Nyatanya nggak. Kami benar-benar kecewa. Ternyata Agung dan Susilah yang berhasil membuat ia berlari kencang."

Sandro tambah takjub. Ia memandangi Nadia dengan kagum. Baru pernah ia mendengar kejadian yang seperti itu. Sayang sekali ia tidak sempat menyaksikannya.

"Tapi kasihan juga lho, dia kena stroke lagi," kata Rita.

"Kasihan apa, Tante?" bantah Nadia.

"Itu balasan untuk kekejamannya. Berapa orang sudah dia bunuh? Si Ani dan Ningsih. lalu Agung hampir jadi korbannya. Juga aku dan Evita."

"Hah, kau? Oh, soal kue pepe itu?" tanya Ava.

Nadia kembali bercerita bagaimana ia terpaksa menghabiskan kue pepe suguhan Leoni. Maksudnya ingin berbaik-baik supaya Leoni mau datang memenuhi undangan mereka.

"Tapi aku nggak bisa memastikan apakah kue itu yang bikin perutku sakit sekali. Siapa tahu makanan sebelumnya."

"Lalu Evita?" tanya Rama.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nadia bercerita lagi tentang lantai apartemen yang digenangi minyak hingga Barata tergelincir. Padahal semula Evita yang bermaksud memasukinya.

"Oh, jadi itu yang dipesan si Dino kepadamu, Gung!" seru Ava.

"Supaya Oma Oni jangan jahat pada adiknya."

"Iya."

"Pantas dia kaget sekali. Dia tentu heran bagaimana kau tahu bahwa Tante Evi sedang hamil. Tapi kamu kok bisa langsung menyebut setan item begitu Oma Oni berdiri di depanmu?"

"Badannya yang gede itu lho. Kan cuma dia yang gede di lantai tujuh, Ma."

"Begitu, ya?"

Agung bisa menilai begitu pasti karena insting, pikir Nadia. Bukankah saat itu dia langsung dibopong dari ranjangnya dan dibawa ke teras? Dia tidak sempat berdiri berhadapan dengan Leoni. Tapi dia bisa merasakan kebesaran badan Leoni dalam waktu yang singkat. Insting yang kuat menimbulkan perasaan yang peka.

Sindu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Orang udah tua begitu... Kok bisa. ya?"

"Pasti begini, Pa." Rita menunjuk dahinya.

"Cerita yang luar biasa," komentar Sandro.

"Kalau begitu kita nggak boleh menganggap sepele orang yang kelihatan tua dan jompo. Bisa jadi dia psikopat, ya?"

Mereka tertawa.

Ketika Nadia pulang. Sandro pun pamitan.

"Ada harapan," kata Ava.

"Dari pihak Sandro kulihat begitu," komentar Rama.

"Tatapan matanya itu lho. Dia tertarik."

"Tapi kita nggak tahu Nana gimana," kata Rita.

"Ah, serahkan saja pada Dewa Cupid," tukas Sindu.

"Siapa itu Dewa Cupid, Opa?" tanya Agung.

Sindu bingung menjawab, menatap ke sana-sini minta bantuan jawaban. Tapi tak ada yang mau membantu. Semua tersenyum menggelengkan kepaIa.

"Itu lho, Gung, dewa yang mengatur perjodohan orang. Opa jadi sama Oma, Papa jadi sama Mama."

"Emangnya dewa itu ada, Opa?"

"Oh, nggak. Itu cuma dongeng kok."

Untung bagi Sindu. Agung tidak bertanya lagi atau minta diceritakan mengenai dongengnya.

Malam itu juga mereka menerima kabar lewat telepon dari Wijaya tentang Leoni. Ava yang menerima teleponnya. Nenek itu terkena stroke yang lebih berat dibanding yang pertama. Tapi untuk saat itu dia masih bisa survive.

"Entah bagaimana prospeknya," kata Wijaya. Suaranya terdengar lesu.

"Tapi bila memang benar dia

yang telah melakukan segala kejahatan itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sampaikan hal itu juga pada Mas Rama. Sungguh seperti petir di siang bolong. sulit dipercaya. Seharusnya saya kena stroke juga."

"Wah, jangan dong, Mas Wi. Gimana dengan Evi nanti dan anak kalian. Sudahlah, Mas. Itu kan musibah. Mas kan nggak tahu bisa kejadian seperti itu."

"Terima kasih untuk pengertian Mbak. Aduh, saya " Suara Wijaya terdengar mau menangis. Lalu suaranya berganti dengan suara Evita.

"Saya Evita, Mbak. Saya juga mohon maaf. Atas nama Mama juga."

"Ya, Ev. Kami memaafkan. Sudahlah. Sekarang fokus saja pada kesehatan Bu Oni."

"Terima kasih."

Ketika Agung diberitahu tentang keadaan Leoni, dia termenung.

"Kasihan," katanya kemudian. Wajahnya terlihat sendu.

"Tapi aku kan cuma menyampaikan pesan Dino. Si Susi berbuat begitu bukan aku yang suruh."

Ava memeluknya.

"Tentu saja, Gung. Banyak yang lihat kok. Si Susi ingin menolongmu. Anjing yang setia memang begitu."

Ava dan Rama khawatir kalau-kalau Agung merasa bersalah dan menyesali dirinya sebagai penyebab semua itu. Tapi beberapa saat kemudian Agung sudah ceria kembali. Dia tidak menyinggung lagi soal itu.

Dengan ditemani Wijaya, Robin dan beberapa petugasnya melakukan penggeledahan di kamar Leoni. Apa yang mereka temukan cukup mencengangkan, temasuk bagi Wijaya sendiri. Di samping koleksi botol kosong minyak angin yang jumlahnya tak terhitung, ada dua topeng karet persis seperti yang ditemukan di kamar Ningsih dulu. Bedanya yang dua itu tidak berbau minyak angin. Tampaknya belum dipakai.

"Saya nggak tahu kapan Mama menyimpan barang itu. Mungkin sudah lama. Saya belum pernah melihatnya," Wijaya menjelaskan.

"Mungkin sebelum dia terkena stroke pertama kali?"

"Pasti begitu. Mungkin juga semasa muda. Dia kan aktif ke mana-mana."

"Dia mau nakut-nakuti siapa ya waktu itu?"

"Entah. Saya belum pernah ditakut-takuti pakai topeng segala. Kalau memang iya, pasti saya mengenali benda itu, waktu ditemukan di kamar Ningsih, Pak."

"Betul juga."

Ada pula sarung tangan karet yang ukurannya sama dengan sarung tangan yang ditemukan di kamar Ningsih. Jenis dan bahannya juga sama. Jelas orang memang bisa memakai sarung tangan yang kebesaran, tapi tidak mungkin memakai yang kekecilan.

"Dulu saya pernah melihat Mama memakainya ketika ia berkebun. Dia memang punya beberapa buah." kata Wijaya.

"Ya. Sarung tangan seperti itu bisa dimiliki siapa saja. Ukurannya saja yang beda."

Ditemukan lagi beberapa botol kecil berisi kapsul dan sebuah botol kecil yang setengahnya berisi bubuk berwarna putih.

"Itu sisa obat Mama. Mungkin juga dia nggak suka minum. Kalau nggak salah obat tidur. Dia sering mengeluh nggak bisa tidur kepada dokter. Tapi yang bubuk putih itu nggak tahu apa," kata Wijaya.

"Nanti diperiksa di lab." Robin hampir yakin obat tidur itu sama dengan yang berada di dalam tubuh Ani.

Masih ada koleksi novel detektif yang sudah lusuh dan kertasnya berwarna kekuningan. Ketika Robin membalik-balik lembarannya, ia melihat banyak yang kalimatnya digarisi dengan warna merah.

"Itu koleksi Mama semasa muda," kata Wijaya.

"Kalau yang masih kelihatan baru itu saya yang belikan supaya dia bisa mengisi waktu luangnya. Dia suka membaca. Tapi saya nggak tahu kalau dia suka menggarisi kalimat-kalimatnya. Mungkin dia melakukannya saat berada di kamar."

"Mungkin dia mendapat ide kejahatan dari situ?" Robin bertanya tanpa mengharapkan jawaban.

Wijaya diam saia.

Yang paling menarik bagi Robin adalah penemuan sehelai kertas folio dilipat empat, yang diselipkan di bawah tumpukan baju. Ketika lipatannya dibuka kertas itu dipenuhi coretan pensil berupa kalimat-kalimat sama sekitar sepuluh buah. Gaya tulisannya berbeda-beda. Ada yang tegak. miring ke kanan dan agak miring ke kiri, ada yang hurufnya besar dan ada yang kecil. Makna tulisannya sama dengan yang ditemukan di meja kamar Ningsih.

Maafkan saya. Saya nggak tahan lagi. Ningsih.

Wijaya menjadi pucat melihat kertas itu.

Bagi Robin, sudah jelas kertas itu digunakan untuk berlatih menulis. Gaya tulisan seperti apa yang paling baik?

Kemudian pensilnya pun ditemukan, terselip lebih ke dalam. Masih harus dibuktikan lewat pemeriksaan apakah pensil itu sama dengan yang digunakan.

"Ternyata dia ceroboh juga dengan tetap menyimpan kertas ini," kata Robin.

Lalu ia terkejut ketika menoleh ke sampingnya. Wijaya duduk terkulai dengan kepala ke samping, seolah tak bisa disangga. Dia pingsan. Robin jadi iba dan menyesal. Ia sempat melupakan bahwa orang yang mendampinginya itu adalah anak kesayangan Leoni dan yang tentunya sangat mencintai ibunya.

Penemuan penting itu memperjelas dugaan sebelumnya bahwa Leoni adalah pelaku. Tetapi motivasinya sama sekali tidak bisa diduga. Bahkan ditanyakan kepada orangnya pun sulit.

Ketika Robin berkunjung ke rumah sakit tempat Leoni dirawat, ia merasa pesimis bisa mendapat jawaban dari pertanyaan itu. Mulut Leoni mencong, tatapannya kosong. Bicaranya tak jelas. Awalnya ia masih bisa mengenali Wijaya dan Evita, beberapa jam kemudian tidak bisa lagi. Bahkan berapa jari yang diacungkan ke depan matanya tak bisa dia hitung. Menurut pemeriksaan CT Scan kerusakan otaknya parah. Ada pembuluh darah yang pecah. Menurut dokter, harapan hidupnya tipis.

Keadaan itu menimbulkan rasa penasaran yang mendalam bukan saja bagi Robin dan korpsnya, tapi lebih-lebih bagi keluarganya dan keluarga korbannya. Bukan karena Leoni tak bisa dihukum atau mempertanggungjawabkan perbuatannya, tapi yang paling utama adalah untuk mengetahui apa motivasinya berbuat seperti itu. Selalu mudah untuk menyimpulkan adanya gangguan jiwa atau psikopat. Tetapi kesimpulan itu sepertinya hanya menggampangkan saja. Hidup Leoni mapan dan nyaman, di dekat orang yang mencintainya. Usianya sudah tua, pantas untuk melewatkan sisa hidup dalam ketenangan dan kedamaian, menikmati cinta dan memberi cinta. Tapi dia malah berulah seperti itu. Sulit untuk diterima akal.

Wijaya dan Evita mendampinginya. Kalau tidak bersama-sama, mereka bergantian.

Setelah mengetahui kondisi ibunya, Wijaya berulang-ulang membisiki ibunya,

"Ma... minta ampun sama Tuhan. Minta ampun. Ayo, Ma."

Berkali-kali Leoni memberi reaksi tak mengerti. Matanya susah fokus. Wijaya tetap membisikkan kalimat yang sama.

"Mama mesti minta ampun sama Tuhan. Ampun. Ngerti, Ma?"

Evita hanya memandangi dengan tegang. Ia tahu kekhawatiran suaminya, bahwa Leoni keburu pergi tanpa penyesalan. Tiba-tiba ia teringat pada ucapan Agung kepadanya di hari pesta yang menghebohkan itu. Ucapan itu adalah pesan Dino untuknya. Ma. jangan dendam sama Oma. Sudah. Ma. Jangan nyalahin dia terus-terusan. Baru teringat sekarang. Ia tak boleh menyimpan dendam itu terus-terusan atau membawanya ikut terkubur bersama Leoni. Kehidupan masih harus dijalaninya. Ia membungkuk lalu berbisik di telinga Leoni,

"Ma, Evi memaafkan Mama. Evi memaafkan Mama. Evi memaafkan Mama...."

Entah berapa kali kalimat itu ia ucapkan terus menerus. Wijaya memandanginya dengan terharu dan penuh rasa syukur.

Leoni menggulirkan matanya, mengarah pada Evita sebentar, kemudian pada Wijaya, lalu menerawang.

Evita mengulang lagi kalimat itu. Tiba-tiba Leoni meremas lengan Evita. Begitu keras sampai terasa sakit. Tapi Evita menahan sakitnya dan mencegah Wijaya melepas pegangan itu. Lalu pegangan itu melemah, kemudian lepas.

Mulut Leoni komat-kamit. Tampaknya ingin bicara tapi susah sekali. Evita dan Wijava menunduk

memasang telinga mereka dekat mulut Leoni. Akhirnya mereka bisa mendengar ucapan Leoni yang pelo,

"Am... piuuun... Tiuuu... haaan."

Mereka mengerti. Sesudah mencium pipi Leoni, keduanya berpelukan dan menangis.

Itu adalah ucapan Leoni yang terakhir. Sesudah itu dia koma selama tiga hari. Lalu meninggal.

Masih ada kejutan bagi keluarga Wijaya. Robin datang melaporkan bahwa bubuk putih yang ditemukan itu adalah arsenikum, racun yang sangat berbahaya! Racun itu bisa membunuh orang dalam waktu singkat bila diberikan dalam dosis fatal, tapi bisa menyengsarakan bila diberi sedikit. Apalagi racun itu tidak berasa dan berbau.

"Saya sungguh nggak tahu dari mana dia memperolehnya, Pak," kata Wijaya.

"Mungkin juga dia sudah lama menyimpannya. Kemungkinan sebelum terkena stroke. Pada saat dia sakit kami nggak sempat membenahi atau memeriksa barang-barangnya. Jadi nggak tahu apa saja yang dia simpan."

"Saya mengerti. Pak." Robin bisa memaklumi.

"Bu Oni meninggalkan banyak misteri."

DAN Wijaya, yang merasa sedih atas Kematian Leoni, hal itu lebih baik daripada ibunya harus menjalani hukuman dan dipermalukan selama sisa hidupnya. Padahal sisa hidupnya itu mestinya tinggal sedikit. Yang membuat penasaran, sama seperti yang dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam kasus itu. adalah motivasi. Awalnya Leoni tentu ingin membunuh Agung, tapi Ani terbawa. Kemudian Ningsih dijadikan kambing hitam. Jadi yang diincarnya adalah Agung, sedang kedua orang itu hanya faktor ikutan saja. Pertanyaan. kenapa Leoni begitu membenci Agung sampai tega ingin menjatuhkannya dari lantai tujuh? Hanya karena tak mau dipangku? Apakah itu bisa berarti dia membenci orang, siapa pun itu, yang menolak kasih sayang yang ditawarkannya?

Sesudah itu dia ingin mencelakakan Evita.

Maksudnya tentu supaya Evita mengalami keguguran. Berarti dia ingin membunuh si janin yang masih dalam kandungan. Kenapa janin yang belum dikenal rupa dan tabiatnya ikut pula dimusuhi? Apakah sebenarnya yang dibencinya adalah Evita? Ia tahu, Evita tidak berhenti menaruh dendam padanya atas musibah yang terjadi pada Dino.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Evita sudah bisa menerima kemungkinan bahwa kasus Dino benar-benar kecelakaan. Bukan kesengajaan seperti yang selama ini diyakininya. Kepastian tentang hal itu memang tak pernah ia dapatkan. Ia bertanya kepada Agung,

"Apakah Dino pernah bercerita kenapa ia sampai jatuh dari atas tangga?" Tapi Agung bilang Dino tak pernah cerita soal itu. Pesan Dino untuk ibunya hanyalah supaya ia tidak mendendam kepada Leoni. Jadi dari situ ia menarik kesimpulan. tentulah peristiwa itu benar hanya kecelakaan.

Wijaya merasa lega melihat perubahan sikap Evita. Ia suka bertanya-tanya sendiri, andaikata dari dulu Evita tidak mendendam kepada Leoni apakah Leoni akan tetap jadi monster? Tapi ia menyadari bahwa pertanyaan itu berbahaya bagi Evita dan bagi hubungan mereka berdua. Kenapa harus mempertanyakan sesuatu yang serbagelap seperti itu? Bahkan ia sendiri pada suatu saat pernah menaruh curiga kepada Leoni.

Ia malu kepada orang-orang di sekitarnya karena punya ibu pembunuh. Tetapi tidak mungkin ia bersembunyi. Ia harus tetap berinteraksi dengan orang

lain. Untunglah sampai saat itu tidak ada yang bertanya. Mungkin punya tenggang rasa. Sementara itu Evita memilih tinggal di rumah. Banyak yang harus dipersiapkannya. Bi Inah masih tetap bekerja. Ia tidak bertanya-tanya mengenai Leoni. Evita sudah memutuskan andaikata Bi Inah ingin tahu, ia tidak akan menjawab. Silakan tanya dan menggosipkannya dengan orang lain.

Robin sangat frustrasi karena meninggalnya Leoni membuatnya tidak bisa lagi berupaya mencari kebenaran dari mulut nenek itu sendiri. Kalau Leoni bisa bertahan, dan sepelo apa pun ngomongnya, masih bisa dicari tahu maknanya. Soal motivasi hanya bisa dikatakan si pelaku sendiri.

Ia menghubungi dan menanyai orang-orang yang pernah mengenal Leoni, semasa muda dan sesudah tua. Orang-orang itu direkomendasikan oleh Wijaya. Ada kerabat, ada kenalan. Mereka rata-rata mengatakan, tidak menyangka bahwa Leoni bisa berbuat seperti itu, apalagi di usia yang sudah begitu tua. Ada yang bilang mustahil. Semasa muda Leoni memang bukan orang yang terlalu menyenangkan. Bahkan ada yang masih menyimpan kesebalan dan kejengkelan kepadanya. Tetapi dia bukan orang jahat yang tega membunuh, apalagi korbannya anak kecil. Sangat tidak mungkin.

Setelah tua dan punya cucu, Leoni tidak begitu

banyak lagi ke luar rumah. Sekali-sekali dia masih suka mengikuti kegiatan arisan. Ketika itu perilakunya memang genit dan suka menggosipkan orang, tapi dia cukup tahu tatakrama dan bertenggang rasa. Sesekali ia suka juga bersikap sosial dengan menjadi penyumbang atau donatur panti asuhan, meskipun tidak lama. Pendeknya, orang-orang yang ditanyai hampir sepakat berkata bahwa Leoni tidak mungkin membunuh orang. Semarah-marahnya. dia tidak sampai melakukan kekerasan, misalnya dengan memukul. Pernah ada yang melihatnya bertengkar dengan seseorang sebegitu sengitnya sampai mukanya menjadi merah padam, tapi tidak sampai terjadi perkelahian atau penyerangan Fisik. Bahkan ketika itu pun dia sudah menderita tekanan darah tinggi, penyakit yang kelak menyebabkan ia terkena stroke.

Tetapi orang-orang yang memberi pendapat itu semuanya memberi keterangan tentang Leoni sebelum dia terkena stroke. Setelah ia terkena stroke dan kemudian sembuh dia tidak lagi suka keluar rumah untuk bergaul seperti dulu. Apalagi dia mengalami kelumpuhan. Yang menarik, beberapa di antara mereka pernah datang mengunjunginya. Waktu itu dia belum tinggal di apartemen.

Mereka sependapat bahwa Leoni sangat berubah. Tutur katanya sinis dan kasar. Sindirannya tajam dan menusuk, hingga yang disindir selalu memutuskan untuk tidak akan pernah datang lagi. Orang bermaksud baik tapi diperlakukan tidak baik. Karena itu kemudian tak ada lagi kenalannya yang datang mengunjunginya. Mereka merasa kapok. Apalagi setelah Leoni tinggal di apartemen, semakin malas orang mengunjunginya. Pernah ada satu-dua yang datang karena ingin tahu kondisinya, tapi Leoni menolak menerima.

Dengan berbekal informasi yang diperolehnya, Robin mengajak Wijaya berkonsultasi mengenai hal itu dengan Dr. Drajat, psikiater dari Kepolisian. Wijaya diperlukan keterangannya mengenai hubungannya dengan ibunya dan masa lalu.

"Waktu kecil saya lebih dekat dengan Papa daripada Mama," tutur Wijaya.

"Papa lebih demokratis dan bisa diajak bicara karena dia orangnya rasional dan juga toleran. Beda dengan Mama yang otoriter dan sangat mendominasi. kukuh dan ngotot. Di mata saya, Papa adalah suami yang bagai kerbau dicocok hidung. Kelemahannya di situ. Tapi sebagai ayah dia baik. Dia seorang pengusaha yang sukses dan kaya. Tapi dari segi penampilan dia boleh dikata jelek. tubuhnya pendek dan wajahnya seperti Kubilai Khan. Oh, itu bukan penilaian saya, tapi Mama yang kerap ngomong begitu kalau sedang marah-marah. Papa diam saja kalau dihina dan dimaki. Mama terus terang bilang bahwa dia mau dengan Papa karena kekayaannya. Ketika itu, saya sering mendengar kata-kata Mama yang sangat tidak pantas. Saya yang masih kecil saja merasakan itu dan merasa kasihan sekali pada Papa. Saya bersimpati padanya. Karena itu kami dekat. Tapi Mama tidak suka dengan kedekatan itu. Dia berusaha mendominiasi saya. Karena takut, saya diam saja. Papa meninggal ketika saya berusia remaja. Dia menderita berbagai penyakit. Setelah itu Mama mengambil alih perusahaan dan saya diikutsertakan. Sikapnya kepada saya agak berubah. Dia memperlihatkan rasa sayangnya dengan agak berlebihan. Jelas kelihatan takut kalau saya meninggalkannya. Dia selalu bilang bahwa kekayaannya hanya diri saya. Dia hanya punya saya. Bagaimanapun penilaian saya terhadap dia semasa Papa masih hidup, masih ada segi positifnya. Biarpun dia sering menghina dan menginjak Papa, di saat sakit dia memberikan perhatian yang baik. Mulutnya tidak lagi bicara sinis dan jahat. Dia merawat Papa dengan baik sampai saat kematiannya. Itulah yang mengesankan dan mengubah juga pandangan saya terhadapnya. Saya pikir, sejahat-jahatnya orang, masih ada sisi baiknya. Orang bilang, saya adalah anak Mama. Benar memang. Saya selalu diarahkan dan dibimbing, disayang dan dilindungi. Tapi ada saatnya saya juga bisa mempunyai kehendak sendiri. Misalnya ketika saya memilih Evita untuk menjadi istri. Mama sudah punya calon. Tapi saya berkeras. Akhirnya dia mengalah juga. Ternyata Evita bisa mengatasi segalanya dengan baik. Terbukti sampai akhir hayat Mama."

"Bagaimana dengan musibah yang menimpa Dino, anak Anda?" tanya Dr. Drajat.

"Waktu itu saya dan istri mau pergi kondangan, tapi pembantu juga minta libur. Tidak ada babysitter, karena istri saya mengurus Dino sendiri. Lalu Mama

bilang, biar dia aja yang jaga. Waktu itu Dino berumur sekitar satu tahun, baru bisa jalan dengan sempoyongan. Sebenarnya Evi agak keberatan dan minta saya pergi sendiri saja, tapi nggak enak rasanya kalau kondangan sendirian. Toh nggak lama "

"Apa alasan Bu Evi merasa keberatan?" tanya Dr. Drajat.

"Katanya Mama kasar. Lagi pula, Mama memang jarang mengasuh Dino. Menggendong pun jarang. Tapi bukan dilarang. Dia sendiri yang kelihatannya nggak suka. Jadi Evi lebih suka Dino dipegang pembantu daripada Mama."

"Apakah Bu Leoni itu memang nggak suka anak anak? Biarpun nggak suka, Dino kan cucunya sendiri. Pertama dan satu-satunya, lagi. Apa dia nggak sayang?"

"Kelihatannya sih sayang, Dok. Dia suka juga mengelus dan membelai. Tapi jarang-jarang. Katanya, dia orangnya kasar dan tenaganya besar. Takut megangnya terlalu keras. Saya nggak tahu apa dia memang tahu diri atau menyindir."

"Dulu semasa Anda masih kecil apa dia yang mengurus dan mengasuh?"

"Ada babysitter. Dok. Mama hanya kadang kadang saja mengajak main. Sampai saya sekolah dasar pun masih diurus pengasuh."

"Dia suka menelantarkan Anda?"

"Nggak juga sih. Dia mengawasi juga kerja babysitter dan mengatur ini-itu, tapi nggak mau ngerjain sendiri."

"Suka berkomunikasi dengan Anda?"

"Suka juga. Setelah Papa meninggal lebih sering. Saya jadi tempat curhat."

"Baik. Kita kembali lagi ke masalah yang tadi. Apa yang terjadi ketika Anda berdua pergi kondangan?"

"Belum lagi kami selesai makan, HP saya berbunyi. Mama bicara dengan histeris. Teriak-teriak menyuruh pulang. Katanya Dino jatuh dari tangga. Kemudian ada suara tetangga sebelah yang ikut bicara. Rupanya Mama minta bantuan ke tetangga. Waktu kami pulang Dino sudah dibaringkan dalam kondisi parah..." Wijaya diam sejenak, melegakan kerongkongannya yang tersumbat. Ia jadi sedih kembali mengenang kejadian itu.

"Lalu kami bawa ke rumah sakit. Di sana dia meninggal."

"Kenapa dia menunggu Anda pulang dulu dan bukan cepat membawa ke rumah sakit?"

"Oh ya. tetangga sudah menyarankan demikian. Bahkan berbaik hati mau mengantarkan. Maksudnya supaya bisa cepat ditolong. Tapi Mama kukuh menunggu kami pulang dulu."

"Apa yang terjadi menurut ceritanya?"

"Dia sedang main dengan Dino di loteng di lantai yang dilapisi karpet. Dino baru bisa jalan beberapa langkah. Lalu ada telepon berbunyi. Teleponnya berada di tengah ruangan. Dia pergi mengangkatnya dan kemudian terlibat pembicaraan. Saking asyiknya dia tidak lagi memerhatikan Dino. Tahu-tahu dia mendengar bunyi gedebuk dan tangisan. Itu menurut ceritanya. Istri saya marah sekali dan mereka berdua sempat bertengkar. Sampai menjelang kematiannya Evi masih mendendam kepadanya."

"Tapi mereka berdua toh bisa tinggal seatap tanpa konflik?"

"Oh, konflik sesekali ada. Dok. Sesudah kejadian itu Evi sempat mendapat terapi psikiater. Dia stres cukup berat. Saya memohon pada ibu saya untuk menjaga hubungan dengan Evi kalau masih mau tinggal serumah. Mama paling takut kalau disuruh tinggal di panti werda. Kemudian sayajuga memohon pada Evi untuk memaafkan Mama dan mau menerimanya tinggal bersama. Padahal psikiater sudah menganjurkan supaya kedua orang itu lebih baik dipisahkan saja. Jangan tinggal serumah. Tapi saya harus gimana? Untunglah Evi baik sekali. Dia bersedia tetap serumah dengan Mama. Bahkan sikap judes Mama pun bisa dia atasi. Untunglah Evi ikut dengan saya ke kantor setiap hari. Mama di rumah bersama perawat. Jadi Evi tidak bersamanya seharian."

"Bu Evi memang luar biasa," puji Robin.

Wijaya mengangguk.

"Saya nggak tahu harus bagaimana kalau Evi nggak mau serumah sama Mama. Saya berterima kasih padanya."

"Ya. Saya mendengar banyak cerita dari Pak Robin tentang hubungan Bu Evi dengan Bu Leoni. Mau dicelakakan segala, ya. Tapi baiknya kita kembali ke musibah Dino. Itu kan terjadi sebelum Bu Leoni terkena stroke?"

"Oh iya. Dia masih sehat meskipun menderita

tekanan darah tinggi. Sekitar dua bulan setelah itu dia terkena serangan."

"Apakah Anda merasakan benar perbedaan perilakunya setelah dia sembuh dari serangan dibanding ketika masih sehat?"

"Oh, jelas, Dok. Ketika masih sehat dia sudah sinis. Apalagi setelah kena serangan. Dia jadi galak dan serba berlebihan. Terutama kepada pembantu dan perawatnya. Kepada Evi masih juga suka galak, tapi bisa direm kalau saya ingatkan bahwa saya akan terpaksa memasukkannya ke panti werda kalau terus seperti itu. Saya terpaksa ngomong begitu karena sudah putus asa."

"Perubahannya hanya di perilaku seperti itu atau ada yang lain dalam pandangan Anda?"

"Ya, ada. Dia jadi cerdik dan licik. Tadinya ngaku tuli, tahu-tahu bisa mendengar. Pasti sebelumnya pura-pura. Entah dengan maksud apa. Belakangan ternyata pura-pura lumpuh. Tapi yang itu memang luput dari pengamatan saya. Tadinya saya pikir Mama nggak mau nyusahin perawatnya kalau ke kamar mandi sendiri sampai saya bikinin alat untuk berpegangan. Tahunya bohong. Dia bisa jalan kok."

"Dulunya suka bohong juga?"

"Sampai seperti itu sih nggak. Ngibul sedikit-sedikit sih suka. Tapi perbuatannya belakangan itu kan ekstrem sekali. Pak Robin nanya apa ya kira-kira motivasinya. Saya sungguh nggak tahu. Apa mendadak kena gangguan jiwa, Dok?"

"Wah, saya nggak bisa mengiyakan karena saya

belum pernah bertemu dengannya. Saya hanya dengar dari penuturan Pak Robin, yang sangat penasaran pada sosok Bu Leoni."

"Kami keluarganya pun penasaran, Dok. Ya, lebih-lebih kami. Bukankah dia tidak pernah kekurangan? Evi pun bersikap baik kepadanya, meskipun masih menyimpan dendam. Bahkan Evi nggak suka mengadukan perbuatannya kepada saya. termasuk lantai yang dituangi minyak itu."

"Katanya setelah dia tahu bahwa Evi hamil, dia jadi baik dan perhatian sama Evi."

"Ya. Saya sampai terkesan. Saya bilang Mama pasti sudah menyesal dan ingin berbaikan kembali dengan Evi. Nggak tahunya dia malah berniat jahat. Heran betul, kenapa dia jadi begitu."

"Begini, Pak Wi," kata Robin.

"Saya sebenarnya ingin mengkonsultasikan kemungkinan apakah akibat serangan stroke yang menyebabkan ia mengalami perubahan perilaku secara ekstrem. Saya bilang ekstrem karena tak lagi punya hati nurani."

Mata Wijaya membesar. Perhatiannya menjadi lebih intens. Bila kemungkinan seperti itu ada, bukankah ibunya tidak bisa sepenuhnya disalahkan?

"Saya ingin sekali kemungkinan seperti itu memang ada," katanya terus terang.

"Apakah karena kerusakan otak misalnya? Itu berarti dia tidak sadar

dalam melakukannya."

"Saya kira dia sadar sepenuhnya, bahkan dia merencanakan dengan hati-hati dan penuh perhitungan. BiSa dibilang jenius," sahut Dr. Drajat.

"Jadi?" Wijaya, merasa harapannya kandas.

"Begini, Pak. Ada perbedaan antara gangguan jiwa dan gangguan otak. Sesungguhnya otaklah yang menyuruh orang melakukan sesuatu. Kondisi jiwa memengaruhi otak. Misalnya ada peristiwa orang yang mengalami halusinasi pendengaran. Dia dengar bisikan yang menyuruhnya membantai seluruh keluarganya karena mereka berkomplot untuk membunuhnya. Otaknya tidak berfungsi di situ. Dia melakukannya tanpa berpikir lagi. Bahkan dia tidak berupaya menghapus jejak karena memang tidak direncanakan. Rencana itu tentunya membutuhkan kerja otak. Tapi pada orang yang mengalami gangguan otak, bukan koma lho, misalnya mendapat rangsangan yang tidak wajar atau unik hingga kerjanya jadi menyimpang, bukan tidak mungkin dia melakukan hal-hal yang aneh dan ekstrem namun dengan pemikiran dan perhitungan yang cermat. Saya tidak tahu apakah ada riset mengenai hal itu, khususnya akibat serangan stroke pada perilaku. Tentunya stroke yang tidak fatal sampai menyebabkan kematian atau kelumpuhan, karena kalau sudah begitu, ya, tak ada lagi yang perlu diteliti. Memang logis kalau seseorang yang menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan atau tak bisa lagi kembali sehat seratus persen akan mengalami perubahan perilaku. Dia bisa stres. murung. pemarah, tak bersemangat, dan serba negatif lainnya. Kalau tadinya sewaktu sehat orangnya lemah lembut dan baik, setelah sakit seperti itu, berubah menjadi galak dan

suka meneror anggota keluarganya. Dia tidak bisa menerima keadaan, dia membenci sekitarnya. juga orang-orang yang sehat. Tentu tidak semua menjadi seperti itu. Tetapi seikhlas-ikhlasnya, tetap ada trauma. Hanya saja dia bisa menekannya hingga tidak sampai muncul ke permukaan. Biasanya yang paling mengetahui perubahan itu adalah anggota keluarga terdekat. Mereka tidak selalu membicarakannya dengan orang lain atau bertanya pada dokter, karena menganggap itu sebagai kewajaran. Namanya orang cacat, pasti jadi begitu. Paling-paling akan disuruh memberi kasih sayang dan perhatian lebih besar."

"Tapi ibu saya kondisinya sehat. Bahkan dia cuma pura-pura lumpuh, pura-pura tuli, dan purapura lainnya. Tenaganya pun besar. Lihat saja apa yang telah dia lakukan. Jadi sebenarnya nggak ada alasan untuk menjadi tertekan, stres, atau frustrasi, Dok."

"Ya, memang nggak ada alasan. Itulah yang membingungkan, bukan? Tapi mana Anda tahu kondisi otaknya setelah serangan stroke itu? Sehat kembali memang iya. Tapi perubahan yang ditimbulkan pada sel dan kelenjar, siapa yang bisa meneliti? Dan selanjutnya perubahan itu mengarah pada perilaku, siapa pula yang menyangka? Sesungguhnya saya memang belum pernah mendengar, ada orang yang setelah pulih dari serangan stroke lalu melakukan hal ekstrem seperti membunuh dengan perencanaan cermat. Dalam hal seperti ini ada faktor keinginan, lalu perencanaan. dan kemudian tindakan. berakhir

dengan kepuasan. Yang dia tuju adalah kepuasan. Itulah motivasinya. Semua adalah kerja otak. Pada ibu Anda kondisi otaknya kan sudah berbeda daripada sebelumnya."

"Saya pernah mendengar kisah seseorang yang tersambar petir," lanjut Dr. Drajat.

"Kondisinya cukup parah, tapi berhasil sembuh. Tampaknya normal saja. Tapi baru ketahuan bahwa ada perubahan besar pada dirinya. Dia menjadi jenius di bidang fisika. Ada lagi orang yang karena sambaran petir menjadi paranormal, orang yang dianggap punya hubungan dengan dunia lain. Orang-orang seperti itu biasanya dianggap sebagai orang aneh, orang yang bergeser atau menyimpang dari sebelumnya .Semuanya kan kerja otak. Organ satu itu memang paling top dari sekujur tubuh kita."

"Jadi, bisakah ibu saya digolongkan pada orangorang seperti itu, Dok? Bahwa dia melakukan kejahatan disebabkan oleh serangan penyakit, bukan dalam kondisi otaknya yang normal?" tanya Wijaya dengan penuh harap.

"Saya tidak bisa menjawab secara pasti, Pak. Itu masih suatu kemungkinan. Perlu ada penelitian. Sayang ibu Anda mengalami stroke lagi sampai meninggal."

"Sebenarnya saya merasa lebih baik begitu, Dok. Jadi dia nggak perlu menjalani tuntutan dan dipermalukan. Masyarakat tentunya cuma menilai hitamputih. Membunuh adalah kejahatan. Mana ada yang berpikir akan hal lain di baliknya, apalagi masalah

medis. Paling mereka bilang, ah, cari alasan saja. Tapi bagi saya, adanya kemungkinan seperti itu sudah melegakan, Dok. Paling tidak ibu saya pada dasarnya bukanlah seorang penjahat dan pembunuh berdarah dingin."

"Ya, saya mengerti perasaan Anda. Bagaimana kondisi istri Anda, Bu Evi?"

"Dia baik, Dok. Bukan bersyukur karena kematian ibu saya, tapi karena dia berhasil menghilangkan dendam yang tersimpan," Wijaya menceritakan bagaimana ia meminta ibunya memohon ampun kepada Yang Mahakuasa, lalu istrinya ikut berbisik bahwa ia sudah memaafkan mertuanya.

"Tampaknya ibu saya mendengar lebih dulu bisikan Evi, baru setelah itu dengan suara pelonya dia memohon ampun sama Tuhan."

"Wah, bagus itu," kata Dr. Drajat dan Robin.

Sesudah pertemuan itu Wijaya menyampaikan terima kasihnya kepada Robin. Tanpa inisiatif Robin, ia tak akan pernah tahu tentang adanya kemungkinan seperti yang diutarakan Dr. Drajat itu. Berarti seumur hidupnya ia akan menanggung beban. Sekarang beban itu sudah terangkat sebagian besar. Memang tak mungkin bisa seluruhnya karena ibunya sudah menimbulkan bencana pada orang orang tak bersalah.

"Saya melakukannya juga karena rasa penasaran yang mendalam, Pak. Perlu bagi pembelajaran diri saya sendiri bagaimana kita memandang suatu peristiwa. Ternyata tidak cukup bagi kita untuk menilainya

hanya dari satu sudut saja. Terus terang kasus itu menjadi obsesi bagi saya," Robin menjelaskan.

Setelah itu juru bicara pihak kepolisian mengadakan pertemuan dengan pers untuk menjelaskan kasus yang menggemparkan itu. Mereka didampingi oleh Dr. Drajat dan Dr. Hanafi, ahli stroke yang pernah menangani Leoni. Selain detail kasusnya di situ dibicarakan tentang kemungkinan seperti yang didiskusikan Dr. Drajat bersama Wijaya dan Robin. Tidak ada kepastian, hanya kemungkinan. Tetapi bagi Wijaya. publikasi itu sangat melegakan. Orang tidak lagi menghakimi hitam-putih.

Kemudian Wijaya dengan ditemani Robin melakukan kunjungan kepada keluarga Ani dan Ningsih. Wijaya memberikan sejumlah uang sebagai tanda duka dan prihatin. Bukan ganti rugi, karena memang tidak mungkin mengganti rugi sebuah nyawa. Untunglah kedua keluarga itu sudah mendengar beritanya dari televisi. Mereka memaklumi. Pembunuh adalah nenek yang otaknya rusak, begitu kata mereka.

Sedang kepada Rama, Wijaya memberikan ganti seluruh biaya rumah sakit yang pernah dikeluarkannya untuk pengobatan Agung. Rama tidak menolak karena merasa hal itu sudah sepantasnya. Ia berterima kasih karena sebetulnya ia juga tidak menuntut.

"Cuma ini yang bisa saya berikan, Mas Rama." kata Wijaya.

"Padahal ada banyak kerugian yang tidak bisa dibayar dengan uang."



"Sudahlah. Semuanya menjadi takdir kita bersama."

Mereka berpelukan. Wijaya telah berdamai dengan orang-orang yang telah disakiti ibunya.



BEBERAPA bulan kemudian. Nadia sudah jalan bersama Sandro. Awalnya ia berpikir apa salahnya mengenal orang lebih baik. Baru pendekatan bukan berarti langsung jadian. Sandro pun terus terang berkata begitu. Kita jalan saja, saling mengenal dan berteman. Kalau cocok ya jadi serius. Kalau tidak, tetaplah berteman.

Lama-kelamaan ternyata mereka menemukan kecocokan. Dalam usia yang sudah matang, bukan lagi segi fisik yang terlihat, tetapi kedalaman. Penilaian yang lebih kritis dan keinginan untuk serius membuat mereka lebih mudah mengenali diri masing-masing.

Nadia sudah memberitahu Sandro mengenai konsep dan prinsip hidupnya. Dia ingin melajang karena mencari kebebasan dan ketenteraman. Sandro bisa menerima tanpa argumen apa-apa. Tapi ia sendiri mengakui bahwa dirinya melajang bukanlah karena sebab yang sama. melainkan memang belum menemukan orang yang cocok. Pernah beberapa kali ia menemukan seseorang yang dirasa menarik, tapi ternyata orang itu tidak suka padanya. Makanya ia jalani saja hidup ini tanpa berusaha melirik ke sana-sini. Kalau memang sudah jodoh, tentulah dapat.

Dalam hitungan bulan itu mereka sudah "jadian".

Nadia mendapat pelajaran berharga dari hal itu. ia menyadari bahwa dirinya terlalu arogan dalam menentukan prinsip hidupnya. Ternyata kebebasan dalam kesendirian tidak selamanya menyenangkan. Bisa memberi perhatian dan sayang kepada seseorang yang istimewa ternyata lebih membahagiakan. Apalagi kalau timbal-balik. Ia belum pernah diperhatikan dan disayangi orang lain seperti sekarang ini. Jadi kekukuhan dalam berprinsip tidak selalu merupakan pilihan yang bijaksana.

Selama waktu itu ia tak pernah bertemu dengan Barata maupun Robin. Juga tak ada hubungan lewat telepon. Memang tak ada lagi hal-hal yang perlu dibicarakan. Semua sudah selesai.

Evita melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat yang diberi nama Reno. Dia dan Wijaya berbahagia sekali. Bagi Evita sepertinya Dino sudah kembali dalam kehidupan mereka. Kebahagiaan itu mampu mengobati luka yang ditimbulkan oleh Leoni. Sekarang mereka hanya bisa mendoakan agar arwah

Leoni mendapatkan ketenangan. Hubungan baik dengan keluarga Rama dan Nadia tetap dipelihara. Mereka saling mengunjungi, dan rutin menelepon atau mengadakan acara bersama.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung sangat menyayangi Reno. Ia senang sekali kalau diberi kesempatan berjalan-jalan sambil mendorong Reno dalam kereta bayinya. Ia benar-benar memperlakukan Reno seperti adiknya sendiri. Dan ia selalu berangan-angan bagaimana kalau Reno sudah lebih besar dan bisa diajak bermain.

"Ada baiknya kita juga memberi dia adik beneran," kata Rama kepada Ava.

"Serius?"

"Tentu saja. Kau mau?"

"Ya. Aku mau," jawab Ava sederhana.

Agung ditanyai bagaimana kalau nanti dia memiliki seorang adik beneran. Dia ternyata senang sekali.

"Kita jadi bertiga sama Reno. Aku yang sulung," katanya bangga.

"Eh, belum tentu bertiga lho. Kalau nanti Tante Nana punya anak, jadi berempat, kan?" kata Rama.

"Horee!" Agung bersorak. Ia membayangkan dirinya tidak lagi sepi sendiri.

Nadia baru teringat kepada Barata ketika suatu hari ia menerima undangan pernikahan. Ia terkejut. Barata akan menikah? Bukankah Barata pun bertekad melajang seperti dirinya? Perubahan memang sudah terjadi.

Pesta pernikahan diselenggarakan di ruang pertemuan Srigading. disponsori oleh Hendra. Di samping ingin menghargai jasa-jasa Barata, pesta itu sekalian untuk merayakan promosi Barata sebagai kepala bagian keamanan merangkap wakil pengelola gedung. Selama ini Hendra tak punya wakil. Biasanya ia digantikan oleh istrinya bila berhalangan. Sekarang istrinya sering sakit-sakitan dan karenanya tak bisa lagi diandalkan.

Nadia mengajak Sandro sebagai pendampingnya ke pesta itu. Ia menyalami Barata dengan hangat dan juga istrinya yang manis. Barata pun melirik Sandro. Di matanya ada pesan pengertian. Mereka saling tersenyum. Jelas tidak bisa lagi hal-hal seperti itu dikomunikasikan seperti dulu. Mereka hanya bisa saling memahami. Waktu bisa mengubah orang dan tentunya segala sesuatu yang bermain di dalam kurun waktu itu.

Agung telah membisikkan pada Barata pesan dari Iwan,

"Papa jangan sendirian terus dong!" Tetapi sekadar pesan saja tentu tidak cukup bagi Barata untuk mendapatkan pendamping hidup, meskipun itu pesan dari Iwan. Ia tak boleh sekadar mencomot seseorang untuk dijadikan istri. Mustahil ia memilih saja salah satu dari sekian perempuan yang menaksirnya terang-terangan. Ia harus mencintainya dan juga dicintai. Sehingga ia mengira hal tersebut bakal sulit dan lama. Nyatanya, ia tidak perlu menunggu lama.

Robin juga datang ke pesta itu. Dia datang sendirian. Dia tidak sempat berbicara banyak, juga dengan Nadia. karena harus buru-buru pergi lagi. Ada yang mesti dikejar, katanya.

Nadia dan Barata mengerti bahwa mereka memang akan putus hubungan dengan Robin. Kasus selesai maka selesai juga hubungan, karena tak ada lagi yang diperlukan Robin dari mereka. Sekarang tak ada lagi tiga sekawan. Ketiganya sudah berpencar dengan kesibukan dan kehidupan masing-masing.

Pekerjaan Robin adalah memburu dan mengejar. Selama kasus kejahatan masih banyak dan penjahat muncul silih berganti, maka perburuan dan pengejarannya pun tak pernah berhenti. Satu kasus diganti oleh kasus lain. Maka lain pulalah orang-orang yang didekatinya. Tetapi Agung punya tempat khusus di hati Robin. Pada waktu-waktu tertentu, seminggu atau dua minggu sekali ia menelepon Agung. Ada banyak hal yang bisa ditanyakan dan diceritakan, meskipun kepada anak kecil.



Tamat




Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Kolusi Bursa Free To Trade Karya Trio Detektif 34 Misteri Manusia Gua

Cari Blog Ini