Gazebo Karya V Lestari Bagian 1
Gazebo
karya V Lestari
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 2004
****
Djvu : Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
Edit teks : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
*****
MAXI TUWANA, lelaki Setengah baya, melangkah di trotoar dengan pijakan kaki yang kokoh dan mantap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi tegap dan gempal. Dari cara jalannya saja sudah bisa diterka bahwa ia memiliki fisik yang sehat dan kuat. Kulitnya berwarna gelap dan rambutnya sudah memutih semua hingga menimbulkan paduan yang kontras. Meskipun sudah putih, tapi rambutnya yang ikal masih lebat, tampak seperti mahkota yang bertengger di atas kepalanya. Hidungnya agak besar tapi cocok untuk ukuran wajahnya yang lebar. Bibirnya tebal dan mengesankan keramahan karena selalu siap menyunggingkan senyum. Sepasang matanya yang lebar menyorotkan keteduhan. Ia mengenakan celana panjang hitam yang warnanya sudah memudar dan di sana-sini sudah menipis. Celana itu tampak kependekan.
tidak sampai mencapai mata kaki. Tapi ia menganggap itu nyaman karena tidak mengganggu langkahnya atau membuatnya sebentar-sebentar menginjak ujung celana. Juga tidak gampang kotor karena tidak perlu menyapu jalan apalagi kalau jalannya becek. Lebih dari itu semua, ia jadi gampang melompat naik dan turun bus kota.
Bajunya kaos berwarna biru lengan pendek dengan tulisan "Popeye, the Sailorman". Kaosnya masih baru. Ia membelinya di Pasar Tanah Abang. Karena merasa harganya sangat murah ia membeli setengah lusin. Warnanya tiga macam, tapi gambar dan tulisannya berbeda-beda. Ada yang cocoknya buat anak-anak, seperti Scooby Doo dan Winnie the Pooh. Tapi ia tidak peduli. Mana mungkin anak-anak mengenakan kaos ukuran besar. Jadi pastilah memang untuk orang berukuran besar seperti dirinya. Perutnya yang agak membuncit tampak jelas menyembul di balik kaos. Tapi bagi dirinya, penampilan tidaklah penting. Yang penting hanya kenyamanan dan kepraktisan.
Di punggungnya tergantung sebuah benda di dalam kantong kain seperti sarung guling, diserut dengan tali plastik yang ujungnya ia pegangi sambil disangkutkan di pergelangan tangan. Jadi kalau lepas dari pegangan, benda itu takkan jatuh. Ujung benda itu mencuat ke atas sarung. Dan bagian bawahnya jelas menampakkan bentuk gitar.
Maxi baru sekitar empat bulan berada di Jakarta dan baru tiga bulan menjalani profesinya sebagai pengamen. Sebulan sebelumnya ia melakukan sejenis penelitian dulu. Ia mempelajari jalan dan pelosok ibu kota dan menghafal nomor-nomor bus kota sesuai tujuannya. Ia menggunakan sepasang kakinya yang kuat untuk menjelajah. Sebuah buku peta Jabotabek jadi pedoman yang berguna. Tapi buku itu tidak dibawa ke mana-mana karena bukan miliknya. Putranya Rico, pemilik buku itu, sudah berpesan agar buku itu jangan sampai hilang karena harganya sangat mahal. Jadi ia mempelajarinya di rumah, lalu menggambarkan suatu wilayah yang mau dijelajahinya di atas kertas.
Karena ini tempat tinggalnya yang baru, ia merasa harus mengenal lingkungan dengan baik. Bukan cuma sekitar rumah, tapi lebih luas dari itu. Seluas-luasnya. Jangan seperti katak
dalam tempurung. Dengan cara itulah ia bisa mengisi hari-harinya dengan tetap bersemangat. Ia jadi tak punya waktu untuk menangisi masa lalu.
Kemudian ia melihat para pengamen beraksi di dalam bus kota. Muncul keinginan untuk melakukan hal serupa. Ia suka menyanyi dan memetik gitar. Spesialisasinya adalah keroncong, sesuai dengan sosoknya yang teduh dan tenang. Ternyata hasilnya lumayan. Bukan itu saja. Ia merasa bahagia melihat orang-orang tampak menyukai suaranya. Bahkan ada yang terang-terangan memujinya.
"Wah, Bapak mestinya masuk dapur rekaman," kata beberapa di antara penumpang bus.
Ia hanya tersenyum. Pujian itu sudah sering diterimanya. Tapi sekarang berbeda karena yang mengucapkan adalah orang Jakarta. Tadinya cuma disuarakan orang sekampung, sebuah lingkungan terbatas yang jauh.
Biarpun demikian ia berusaha tahu diri. Bila di dalam bus sudah ada pengamen lain, ia turun. Kebanyakan pengamen adalah anak muda. Dan kebanyakan tidak bisa menyanyi. Mereka hanya asal bunyi. Bukan saingan baginya. Tapi
justru karena itu ia tidak mau menyaingi. Ia pendatang. Pengungsi yang melarikan diri dari desanya yang dilanda kerusuhan. Jangan sampai di tempat baru ia harus lari lagi.
Pada hari-hari pertama usaha mengamennya, ia bisa mendapatkan uang sekitar sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Jumlahnya tidak menentu. Kadang-kadang lebih, kadangkadang kurang dari itu. Tapi tidak pernah sampai nihil. Lalu ia mencoba nasibnya dengan mengamen dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran. Pendapatannya meningkat. Pernah ia bisa memperoleh hingga tiga puluh ribu rupiah. Sampai di rumah ia memberikan hasilnya kepada Grace, istrinya, setelah dipotong untuk makan dan ongkos transpor. Lumayan untuk dimasukkan ke dalam celengan. Toh biaya sehari-hari mereka berdua ditanggung Rico.
Untuk profesi seperti itu ia harus berterima kasih kepada sepasang kakinya yang kukuh dan kuat. Juga berpasang-pasang sandal jepit yang terpaksa disingkirkan karena menjadi bolong, putus, atau terbelah.
Sebulan terakhir, ia menjadi tambah giat dan bersemangat. Ia mendapat langganan tetap!
Bayangkan. Langganan tetap buat pengamen. Nyonya yang cantik lagi. Tinggal di kawasan elit Menteng. Itu benar-benar suatu penghormatan untuknya. Tanda bahwa suaranya disukai sang nyonya. Kalau tidak, masa ia disuruh datang bernyanyi setiap hari Kamis jam dua siang! Dan honor yang diberikan nyonya itu benar-benar fantastis untuknya. Dua puluh ribu rupiah untuk tiga lagu yang dinyanyikannya! Padahal orang-orang lain paling banyak memberikan seribu saja .Tentu tak bisa dibandingkan begitu saja karena nyonya itu jelas orang kaya. Rumahnya saja sudah luar biasa di matanya. Dan tamannya bagai firdaus. Tetapi tetap ada perasaan aneh dan tidak wajar. Banyak orang kaya justru lebih pelit dibanding orang yang tidak kaya. Dan perlakuan mereka terhadap pengamen seperti dirinya sering kali mengandung curiga. Ini kok malah sebaliknya. Padahal orang kaya seperti sang nyonya mestinya lebih merasa nyaman mendengarkan lagu dari kaset atau CD di ruangan yang sejuk dan megah. Atau pergi menghadiri pertunjukan musik yang harga tiketnya mahal. Ah, mungkin saja nyonya itu orang yang aneh atau nyentrik. Setiap orang
punya kecenderungan sendiri-sendiri. Biar sajalah. Buat orang sekaya sang nyonya, uang sebegitu tidak ada artinya.
Tetapi bagi Maxi, artinya bukan cuma sekadar uang. Ada kepuasan batin tersendiri yang tak terkira. Ketika ia melihat ekspresi sang nyonya saat mendengarkan suaranya, ia segera tahu maknanya. Wajah cantik itu menampakkan kenikmatan. Matanya meredup, tidak memandang kepadanya, tapi menatap jauh menembus segala benda. Mulutnya yang mungil setengah terbuka, kadang-kadang bergerak-gerak seolah mengikuti lagu. Dia seperti merenung dan melamun, tapi tidak sampai kehilangan realitas hingga tidak bisa menikmati pendengarannya. Jari-jarinya yang panjang dihiasi cincin berlian diketuk-ketukkan ke atas meja mengikuti irama. Semua yang tampak itu merupakan sesuatu yang sangat berharga dan bermakna untuknya. Jauh melebihi pujian-pujian yang mungkin saja gombal semata. Sungguh ia belum pernah bertemu dengan orang yang menikmati suaranya seperti itu. Dan memperlihatkannya dengan terang-terangan juga. Tanpa risi atau malu. Apalagi memandang rendah.
Sebenarnya ia tidak punya rencana untuk mengamen ke kawasan Menteng. Dari pengamatan sebelumnya, ia sudah tahu di tempat itu banyak orang kaya bertempat tinggal. Tapi rumah-rumah di situ, di samping ukurannya besar-besar juga memiliki halaman yang luas hingga letaknya jauh ke dalam. Pagarnya tinggi dan rapat. Mana mungkin suara orang yang bernyanyi di luar pagar bisa terdengar ke dalam rumah. Kalaupun terdengar, mungkin sayupsayup saja, mana sudi penghuninya capek-capek ke luar untuk mendengarkan lebih jelas. Apalagi kalau mereka tengah sibuk. Yah, cuek saja.
Lain halnya dengan pemukiman kelas menengah yang ukuran rumahnya sedang-sedang, tidak megah tapi juga tidak jelek. Banyak di antaranya yang dengan senang hati keluar untuk menyodorkan uang meskipun tidak merasa perlu mendengarkan lagunya. Bahkan baru saja gitarnya dipetik, suaranya pun belum sempat keluar, ia sudah disodori uang. Maknanya jelas, pergilah cepat-cepat dan jangan mengganggu.
Kebetulan saja ia melintasi kawasan Menteng. Maksudnya akan terus ke bundaran Hotel
Indonesia menuju perumahan yang terletak di belakangnya. Ketika itu hari Kamis menjelang jam dua siang. Ia baru saja selesai makan di warung tegal. Jalannya pelan-pelan karena perutnya penuh, tapi kondisi tubuhnya kembali segar dan kuat. Dengan santai ia menengok ke arah rumah-rumah yang dilewatinya dan memperhatikannya sejenak. Tentu saja yang diamati adalah yang bisa terlihat . Seperti biasanya situasi sepi dan tenang. Kendaraan yang lewat pun jarang.
Tak semua rumah di kawasan itu megah dan bagus. Ada juga yang kumuh dan tak terurus, cuma memperlihatkan sisa-sisa kemegahan. Ia merasa iba kepada bangunan dan tanah yang terlantar. Kemudian ia jadi sedih teringat kepada rumah dan tanahnya sendiri yang ditinggalkannya di kampungnya di Maluku Utara. Miliknya itu sekarang sudah rata dengan tanah, tak menyisakan apa-apa lagi. Tetapi kesedihan itu cuma hinggap sebentar. Ia terus berjalan.
Di depan sebuah rumah megah ia berhenti karena ada pemandangan menarik yang terlihat olehnya. Pintu pagarnya tinggi tapi memiliki kisi-kisi yang renggang hingga halaman dan
bagian depan rumah bisa terlihat dengan jelas. Tak jauh dari pintu pagar berdiri sebuah rumah-rumahan kecil yang biasa disebut sebagai gazebo. Ia terpesona melihat keindahannya. Empat tiang gazebo itu terbuat dari besi yang masing-masing dililiti pohon bugenvil sampai ke atapnya. Di atas atap itulah bunga-bunga bermekaran penuh sesak hingga atapnya tak tampak karena ketutupan. Ada empat macam warna bunga yang membaur. Putih, merah, oranye, dan ungu. Rupanya pohon-pohon yang meliliti keempat tiang memiliki bunga yang berbeda warnanya. Di dalam gazebo terdapat meja dan sejumlah kursi taman di seputarnya. Kursi-kursi itu memiliki alas duduk dan sandaran jok busa yang sarungnya berwarna cokelat. Latar belakang gazebo berupa taman yang didominasi rerumputan hijau dengan aneka pohon yang subur terawat.
Kemudian Maxi tersentak. Ia begitu terpukau oleh keindahan gazebo dengan latar belakangnya hingga tidak segera menyadari bahwa gazebo itu berpenghuni. Dia seorang perempuan yang sedang duduk dengan sikap santai, bersandar ke belakang kursi yang didudukinya
dan kedua kakinya diselonjorkan ke atas kursi di depannya. Perempuan itu berusia sekitar empat puluhan, berkulit putih dan berwajah cantik. Bibirnya dipulas lipstik berwarna merah jambu. Rambutnya hitam dipotong pendek sebatas telinga, ikal dan tebal. Ia mengenakan gaun longgar panjang berwarna putih dengan kembang-kembang kecil merah jambu. Ujung gaun menutupi kakinya. Posisinya menghadap ke jalan hingga wajahnya tampak jelas.
Maxi bimbang sejenak. Tatapannya menyapu sekitar rumah dengan cepat. Tidak tampak ada anjing, tukang kebun, pembantu, atau satpam. Rumah jaga di balik pintu pagar kosong.
Ia segera mengangguk sambil membungkuk. Tak ada salahnya mencoba.
"Selamat siang, Bu!" katanya sambil memetik gitarnya. Suatu isyarat yang menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya.
Perempuan di sana bergeming. Memandang kepadanya pun tidak. Tampaknya ia tengah asyik merenung.
Maxi tidak ragu-ragu lagi. Yang jelas ia tidak diusir. Maka ia segera melantunkan lagu andalannya Bengawan Solo. Suaranya yang empuk
mengalun merdu. Tarikan napasnya kuat dalam nada-nada tinggi.
Baru satu bait yang dinyanyikan, perempuan di sana menyentakkan kepala. Wajahnya tampak surprise. Duduknya segera tegak dan tatapannya fokus kepada Maxi. Tapi sikap itu cuma sebentar. Kemudian ia santai kembali. Segera ia mengambil sikap yang senyaman-nyamannya, bersandar dan menatap ke atas. Kadang-kadang ia memejamkan mata. Maxi segera menyadari bahwa suaranya tengah dinikmati. Kegembiraan dan kepercayaan dirinya menumpuk tinggi. Ia menyanyi sebaik-baiknya. Usai lagu itu ia berhenti sebentar dan memandang perempuan itu.
"Teruskan!"
Maxi tertegun mendengar suara perempuan itu. Suara itu dalam dan sedikit serak. Mirip suara waria. Tapi perempuan di sana pasti perempuan beneran.
"Ibu suka lagu apa?"
"Apa saja. Pokoknya keroncong, ya?"
Sepertinya aku pernah mendengar suara itu, pikir Maxi. Tapi ia tidak sempat berpikir lama lama
"Baik, Bu."
Lalu Maxi menyanyikan Jembatan Merah dan Selendang Sutra berturutan.
Perempuan itu tersenyum puas.
"Bagus. Aku suka sekali suaramu. Cukuplah tiga saja. Sebentar."
Ia merogoh tepi gaunnya. Ada saku di situ. Sebuah dompet kecil berwarna hitam dengan jepit penutup warna keemasan dikeluarkannya. Ia membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Ia melambaikannya kepada Maxi.
"Segini cukup?"
Maxi terkejut.
"Cukup, Bu. Terima kasih," katanya dengan perasaan takjub.
Ia lebih terkejut lagi melihat perempuan itu melipat-lipat uang kertas tadi.
"Maaf ya. Saya terpaksa melemparnya. Kaki saya sakit."
"Tidak apa-apa, Bu."
Maxi bersiap-siap menerima lemparan. Ternyata lipatan uang yang dilempar mendarat dengan tepat di telapak tangannya. Lemparan yang jitu.
Maxi membungkuk.
"Terima kasih, Bu."
"Nanti datang lagi, ya. Kamis depan jam dua?"
Perasaan Maxi melambung. Perempuan itu makhluk langka pertama yang dijumpainya di Jakarta. Sambil berjalan pulang ia kembali memikirkan suara perempuan itu. Di mana ia pernah mendengar suara seperti itu? Apakah suara seorang penyanyi?
Sekarang Kamis kelima sejak saat itu. Hari yang selalu ia tunggu-tunggu dengan tak sabar. Setiap Kamis yang dilewatinya itu selalu berlangsung sama. Perempuan itu selalu di tempat yang sama, mengenakan baju yang sama dan dalam posisi yang sama.
Maxi menyanyikan tiga lagu berturut-turut di tempat yang sama, di luar pagar. Matahari yang terik tidak membuatnya kepanasan karena ia dinaungi pohon besar. Tentu masih lebih baik daripada hujan. Cuaca bermurah hati kepadanya. Selanjutnya, perempuan itu akan melemparkan lembaran dua puluh ribuan yang dilipat-lipat yang sasarannya tak pernah meleset. Kakinya masih sakit rupanya. Kadang-kadang terpikir, jangan-jangan perempuan itu lumpuh.
Tapi di dekatnya tak ada kursi roda. Dan seandainya ia memang tak berdaya, mustahil tak ada pembantu atau perawat yang siap membantu di dekatnya.
Kadang-kadang hal itu menggelitik rasa herannya. Rumah itu selalu tampak sunyi sepi setiap ia datang. Tak pernah kelihatan ada orang lain di halaman atau di teras rumah. Tak ada mobil yang diparkir di halaman. Tetapi rasa heran itu tak pernah membangkitkan keingintahuan. Jam dua siang adalah saat ketika orang sedang mengantuk sesudah makan. Mungkin para penghuni sedang beristirahat di dalam rumah. Mana bisa ia mengetahui apa yang tengah berlangsung di sana? Lagi pula itu bukanlah urusannya.
Ia cuma perlu menyanyi sebaik-baiknya. Ada kecemasan kalau suatu ketika perempuan itu merasa bosan maka ia tidak lagi diminta datang. Sebagus-bagusnya suaranya pasti ada saatnya kebosanan itu muncul. Maka setiap selesai menyanyi dan menerima honor. ia menunggu dengan berdebar ucapan "Kamis depan datang lagi, ya?"
Betapa lega dan senangnya kalau kata-kata
itu terdengar. Memang cuma itu kata-kata yang diucapkan sang nyonya dalam setiap kali kunjungan. Tak ada pertanyaan atau perbincangan lainnya. Tentunya perempuan itu tidak ingin tahu siapa namanya, dari mana datangnya, dan sebagainya. Itu memang bukan urusannya.
Sebenarnya Maxi ingin ditanya, ingin diajak berbincang hal yang lainnya.
Tetapi pada hari kelima itu ia tercengang dan merasa surprise ketika melihat pemandangan yang berbeda. Bukan saja bunga-bunga yang bertaburan di seputar dan di atas gazebo tampak lebih banyak daripada biasanya, tapi penampilan perempuan itu pun berbeda. Sekarang ia mengenakan gaun berwarna biru muda dengan bunga-bunga kecil putih bertebaran. Seperti sebelumnya, gaun itu longgar dan panjang hingga menutupi kakinya. Posisi duduknya masih tetap sama, bersandar santai dengan kaki diselonjorkan ke kursi di depannya.
Maxi membungkuk.
"Selamat siang, Bu."
"Siang, Pak. Baik-baik saja?"
Kembali Maxi tercengang. Sebelumnya tak pernah ada pertanyaan "Baik-baik saja?"
"Baik, Bu. Baik. Terima kasih," jawabnya buru-buru sambil tersipu setelah tertegun sejenak. Mulanya ia ingin balas bertanya,
"Apakah Ibu juga baik-baik saja?", tapi kemudian merasa kurang tepat. Sudah jelas perempuan itu tampak baik-baik saja.
Ketika Maxi meraih gitarnya, perempuan itu bertanya lagi,
"Tinggal di mana, Pak?"
"Bilangan Kelapa Gading, Bu."
"Asli Jakarta?"
Terasa oleh Maxi, pertanyaan itu cuma basa-basi. Bukan sungguh-sungguh ingin tahu.
"Bukan, Bu. Saya dari Maluku."
Maxi sudah terbiasa menjawab seperti itu untuk pertanyaan yang sama. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya sekarang, tempat ia tergolong warga baru. Ia tidak mau menyebut secara detail karena khawatir. Bagaimana kalau ia dimusuhi atau diusir lagi? Lebih baik masa lalu yang kelam, biarpun itu baru kemarin, tak usah diungkit-ungkit lagi.
"Oh," sahut perempuan itu.
"Jauh, ya? Tinggalnya sama siapa?"
"Istri dan anak saya, Bu."
"Bagus. Wah, saya kebanyakan tanya, ya?
Buang waktu Bapak saja."
Perempuan itu tersenyum. Manis Sekali. Jantung Maxi berdenyut sangat kencang. Pada hari-hari Kamis yang lalu tak pernah sang nyonya tersenyum seperti itu. Atau bertanya ini-itu. Waktu itu perhatiannya cuma tertuju kepada suara Maxi semata. Bukan orangnya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak apa-apa, Bu. Nggak apa-apa."
"Boleh tahu namanya, nggak?"
Ucapan itu bernada iseng. Maxi sempat heran sejenak karena keisengan ini menampakkan sisi yang berbeda dari citra perempuan itu sebelumnya, yaitu alim dan lembut, agung dan anggun.
"Oh tentu boleh, Bu. Nama saya Maxi Tuwana."
"Saya Nyonya Melia Rahman."
"Oh ya. Ibu Melia," sahut Maxi tersipu oleh sikap ramah dan familier yang diterimanya. Rasanya seperti mendapat hadiah besar.
"Pak. Saya ingin lagu Bengawan Solo saja tiga-tiganya."
Maxi mengangguk. Lalu suaranya mulai mengalun. Tiga kali lagu itu diulangnya.
Perempuan itu menikmatinya seperti kena
pesona. Dia masih saja diam setelah Maxi usai bernyanyi. Matanya setengah terpejam terarah ke langit. Maxi merasa senang melihatnya tapi juga tak habis pikir. Tengkuknya sampai meremang oleh rasa takjub dan heran yang tak terpecahkan. Sebegitu hebatnyakah suara Maxi sampai pendengarnya bertingkah seperti itu? Ini pengalaman yang baru baginya. Pengalaman paling luar biasa yang pernah diterimanya hanyalah pujian.
Karena canggung oleh kediaman suasana, Maxi kembali memetik gitarnya. Kali ini ia menyanyikan Sepasang Mata Bola. Suara tenornya yang merdu mengalun meliuk-liuk. Sambil menyanyi ia melihat perempuan itu, Nyonya Melia, tersentak dari pesonanya. Mata Nyonya Melia membesar seperti lagu yang tengah dinyanyikan Maxi dan mengarah kepadanya seakan mau menelannya bulat-bulat.
Reaksi itu membuat Maxi tersentak, Mungkin lagu itu tidak disukai Nyonya Melia. Ketika suaranya menurun, ragu-ragu untuk meneruskan, perempuan itu memberi tanda dengan tangan agar melanjutkan nyanyinya.
"Suaramu bagus, ya," kata Nyonya Melia
usai Maxi bernyanyi.
"Ah, biasa saja, Bu," Maxi merendah meski' pun bangga sekali.
"Sayang nyanyinya di jalanan."
"Ah, nggak apa-apa, Bu. Saya kan sudah tua. Mau apa lagi?"
Nyonya Melia tertawa ngakak, mengejutkan Maxi. Suaranya yang dalam menghasilkan bunyi tawa yang agak aneh. Kesannya kontras dengan penampilannya yang lembut. Cara dan bunyi tawa itu mengesankan orang yang liar dan urakan.
"Maukah kau membantuku, Pak? Jangan segan untuk bilang tidak."
""Mau, Bu," sahut Maxi bersemangat. Tapi dengan tersipu buru-buru menambahkan,
"Kalau saya bisa tentunya."
"Nanti Kamis depan kita bicarakan, ya?"
"Ya, Bu."
Nyonya Melia merogoh sakunya. Rupanya gaun-gaun perempuan itu memiliki saku di bagian sisi. Ia mengeluarkan dompet hitamnya. Setelah membukanya, ia menatap isi dompet kemudian tertawa ngakak lagi. Meskipun sudah pernah mendengar sebelumnya, tetap saja Maxi
merasa aneh mendengar tawa itu. Ia juga tidak mengerti kenapa nyonya itu tertawa. Bunyi, cara, dan gaya orang tertawa sebenarnya bisa juga dipakai untuk menilai kepribadian. Dengan tawanya yang khas itu, sepertinya Nyonya Melia merupakan orang yang suka bercanda dan penuh humor.
"Lihat!" seru Nyonya Melia sambil memperlihatkan isi dompetnya yang terbuka lebar ke arah Maxi, tangannya yang satu lagi memegang selembar uang kertas dua puluh ribuan. Dompet itu kosong.
"Tinggal selembar untuk Bapak!"
Maxi tertegun lagi. Ia tak tahu mesti bilang apa. Ia yakin perempuan itu tidak bermaksud mengatakan bahwa uangnya tinggal sebegitu. Tapi kalau ia mengatakan tak usah dibayar mungkin perempuan itu tersinggung. Maka ia diam saja dengan bingung.
Nyonya Melia memasukkan kembali lembaran uang yang dipegangnya ke dalam dompet. Kemudian ia mengambil ancang-ancang untuk melemparkan dompet itu kepada Maxi!
"Tangkap, Pak!" serunya.
Maxi menangkap lemparan Nyonya Melia
yang kembali tepat jatuh di telapak tangannya. Segera jari-jarinya merasakan kelembutan dompet yang terbuat dari kain beludru. Ia terperangah.
"Tapi... tapi..., kok kok..," ia menggagap.
Nyonya Melia kembali mengikik.
"Waduh, Bapak jadi ayam!" katanya geli.
Maxi tersipu.
"Maksud saya, kok dompetnya dikasih juga, Bu. Kan sayang."
"Sudahlah. Buat Bapak saja. Kan isinya sudah habis."
Maxi tak mengerti. Kalau dompet sudah kosong, bukankah bisa diisi lagi? Tapi ia tak mau bertanya. Takut dianggap cerewet. Perempuan itu memang aneh. Biar sajalah.
"Terima kasih banyak, Bu," katanya tak bisa
lain.
"Ya. Sampai Kamis depan, Pak"
Maxi sudah memperoleh seratus ribu rupiah yang dikumpulkannya dari Nyonya Melia plus dompetnya sekalian. Uang kertas yang masih berlipat-lipat tetap dibiarkannya terlipat seperti semula, lalu semua dimasukkannya ke dalam dompet itu. Cuma lembaran terakhir yang dilipat dua seperti yang dilakukan Nyonya Melia.
Berbeda dari pada penghasilan Maxi yang lain, uang itu tidak ia serahkan kepada istrinya, Grace. Ia menyimpannya bersama dompetnya di bawah lipatan pakaian. Ia juga tidak menceritakan pengalamannya dengan Nyonya Melia. Sebabnya. ia khawatir Grace akan mencurigainya secara berlebihan. Ia tidak ingin bertengkar dengan Grace.
Ia harus mengakui. bukan salah Grace semata hingga jadi pencemburu atau suka menaruh curiga. Masa lalu dirinya yang suka "berpetualang cinta" adalah penyebabnya. Begitulah kalau orang pernah melakukan kesalahan. Sekalinya tidak salah, tetap saja dianggap salah.
Ia tidak sabar menunggu sampai hari Kamis berikut tiba. Bantuan apa gerangan yang dibutuhkan Nyonya Melia darinya? Barangkali menyanyi di suatu tempat?
Ia mulai berangan-angan. Angan-angan itu muluk. Tapi terganggu pemikiran tentang suara Nyonya Melia. Sudah cukup banyak pembicaraan yang dilakukan Nyonya Melia, tapi tetap saja belum berhasil ia kenali siapa gerangan orang yang bersuara mirip dengan suara perempuan itu. Entah kenapa sampai ia pikirkan.
EMPAT bulan yang lalu, Maxi dan Grace masih menempati rumah mereka yang sederhana namun nyaman di kampung mereka di Maluku Utara. Mereka cuma berdua saja. Dengan usaha warung, di bagian depan rumah, yang menjual kebutuhan sehari-hari, mereka merasa sudah cukup sejahtera. Ditambah lagi dengan hasil kebun di belakang rumah yang sebagiannya ditanami sayur-sayuran. Sebagian dijual dan sebagian dimakan sendiri.
Mereka tak membutuhkan pembantu. Menjaga warung bisa dilakukan bergantian. Kalau Grace melakukan pekerjaan rutin rumah tangga, Maxi yang menjaga. Tapi kalau Maxi mengurus kebun, maka itu menjadi tugas Grace. Dan kalau keduanya tak ada pekerjaan lain, mereka menjaga sama-sama. Suatu kerja sama yang cukup harmonis di usia senja. Pada usia seperti itu orang menjadi sadar, bahwa hidup sudah semakin pendek saja. Tak ada siapa-siapa yang jadi tempat bergantung selain orang terdekat. Jadi berbaik-baiklah satu kepada yang lainnya.
Rico, putra dan anak satu-satunya, tinggal di Jakarta. Rico sudah mantap di sana karena punya pekerjaan yang menyenangkan. Saat kerusuhan hebat melanda Ambon dan sekitarnya, Rico sudah berulang kali meminta mereka pindah ke Jakarta dan tinggal bersamanya sampai situasi sudah terkendali. Tetapi keduanya bertahan dan menyatakan bahwa kampung mereka aman-aman saja. Sayang rasanya meninggalkan semua yang sudah dirintis dan diusahakan dengan susah-payah.
Hampir tiap malam Rico menelepon, menanyakan kabar mereka. Nada suaranya begitu cemas. Dia tak bosan-besannya membujuk. Bahkan memaksa. Tapi keduanya bergeming.
"Jangan tunggu sampai terlambat, Pa!" seru Rico.
"Percayalah, Ric. Tidak akan terjadi," sahut Maxi dengan yakin.
Grace menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Maxi. Ia akan pergi kalau Maxi mengajaknya pergi. Begitu saja. Sikapnya memudahkan Maxi dalam berpendirian. Grace percaya kepada Maxi. Sebenarnya ia pun bukan hanya sekadar membebek, atau tak punya pendirian. Tetapi ia punya anggapan sendiri mengenai kematian. Di mana pun orang bisa mati, ada kerusuhan atau tidak. Tapi ada perbedaannya. Bila mati wajar, maka yang pasti salah satu dari mereka akan mati duluan meninggalkan yang lain dalam kesendirian. Tapi dalam kerusuhan mereka akan mati berbarengan!
Hubungan mereka memang kian dekat dalam usia senja itu. Dimulai sejak Rico pergi meninggalkan rumah, mula-mula untuk bersekolah di Jakarta, lalu berlanjut setelah ia mendapatkan pekerjaan di sana. Padahal semasa muda mereka kerap bertengkar. Biasanya penyebabnya tiada lain adalah kelakuan Maxi yang mata keranjang. Semasa muda dia memang gagah dan pandai pula bernyanyi. Modal yang lebih dari cukup untuk memikat cewek.
Usai pertengkaran hebat, mereka selalu berbaikan kembali. Maxi minta maaf dan berjanji tidak akan selingkuh lagi. Grace memaafkan. Tapi beberapa waktu kemudian hal itu terulang
kembali. Setelah berkali-kali terjadi Grace menjadi lelah. Ia memutuskan untuk tidak peduli lagi.
"Aku mau mati rasa saja," kata Grace.
"Silakan ambil jalanmu sendiri. Mau naik-turun ranjang sebodo. Ranjang siang atau ranjang malam kek. Sebodo!"
Anehnya, setelah Grace bersikap seperti itu, Maxi menghentikan kelakuan buruknya. Lalu pelan tapi pasti mereka menjadi rukun dan akrab.
Pada malam yang mengerikan itu, Maxi tengah tidur pulas bersisian dengan Grace. Tiba-tiba ia terbangun karena pukulan keras pada kepalanya disertai seruan,
"Bangun! Cepat pergi! Pergi!"
Ia terlompat bangun. Lalu menoleh kiri-kanan. Tak ada siapa-siapa di kamar selain Grace yang masih tidur nyenyak, seakan tak mendengar hentakan keras tadi. Ia termangu. Keringat dinginnya bercucuran. Mimpikah ia barusan?
Lalu kepalanya kena pukul lagi. Arahnya dari belakang. Cukup keras sampai tubuhnya oleng.
"Pergi! Kalau mau selamat, pergi!" terdengar lagi seruan tadi
Kali ini ia tidak mau buang waktu lagi. Menoleh ke belakang pun tidak. Ia segera membangunkan Grace.
"Cepat, Ma! Kita harus pergi! Bawa baju seperlunya. Dan makanan kering. Aku bawa surat-surat dan uang!"
Bagusnya, Grace tidak bertanya-tanya. Tapi tubuhnya gemetaran dan sikapnya panik. Mereka berdua panik meskipun berusaha tenang. Keduanya berlarian ke sana kemari. Cepat! Cepat!
Sesudah itu Maxi dan Grace berlari ke kebun belakang. Di sana mereka bersembunyi di balik kerimbunan pepohonan yang lebat. Kemudian Maxi teringat sesuatu.
"Tunggu di sini, Ma! Jangan ke mana-mana!"
Maxi berlari lagi ke rumah. Grace menunggu dengan gemetaran. Sejak dibangunkan, ia tidak bersuara. Mulutnya serasa kelu. Ia percaya sepenuhnya kepada Maxi, jadi pastilah bukan tanpa alasan Maxi bertingkah seperti itu secara mendadak. Padahal dari situasi sepintas, ia tidak melihat adanya sesuatu bahaya.
Beberapa menit setelah Maxi melompat ke semak-semak di sisi Grace, mereka mendengar keributan yang luar biasa. Tembakan berdentam-dentam. Teriakan dan jeritan melengking-lengking. Sungguh mengerikan dan menyayat hati. Mereka berpelukan dengan tubuh sama-sama gemetar. Dengan pelukan, keduanya bisa saling meredakan.
"Ki... ki... ta di di... se se rang, Pa!" Grace tersedu.
"Sssst... ssst..., diam," bisik Maxi sambil menepuk-nepuk punggung Grace. Ia berlagak tenang padahal dadanya sendiri bergemuruh.
Dalam kediaman yang mengerikan, mereka cuma bisa menunggu. Lalu terdengar hiruk-pikuk di rumah mereka sendiri. Suara orang berteriak-teriak dengan nada yang kejam.
"Kosong! Kosong!"
"Sudah kabur rupanya!"
Mereka berdua gemetaran lagi. Gigi Grace berbunyi gemeletukan seperti orang kedinginan luar biasa. Mereka berpelukan semakin erat.
"Barangkali di kebun!"
Grace sesegukan. Maxi merasa celananya
basah. Apakah mereka akan mati mengerikan?
"Wah, dikunci!" seru seseorang diiringi bunyi pintu yang digabruk-gabruk.
"Sudahlah! itu artinya mereka kabur lewat depan! Pintu depan kan nggak dikunci!"
"Ya, kita kerjain saja rumah ini!"
Tak lama kemudian terlihat api menyala di dalam rumah. Pemandangan yang sama terlihat di rumah tetangga. Maxi dan Grace terjatuh ke sisi, masih berpelukan. Mereka tidak pingsan, hanya lemas tak bertenaga karena rasa sedih yang tak tertanggungkan.
Sampai hari siang mereka tidak berani keluar dari tempat persembunyian. Selama itu mereka terpaksa menjadi saksi dari terbakarnya rumah mereka. Sebuah rumah yang menyimpan banyak kenangan.
"Kita membesarkan Rico di situ," Grace tersedu.
"Kita berbulan madu di situ," tambah Maxi.
"Kita berantem dan berbaikan di situ," Grace teringat dengan pedih.
"Ah, sudahlah. Yang penting kita masih punya nyawa. Dan kita harus mencari selamat, keluar dari sini."
"Oh ya," Grace tersadar dengan terkejut.
"Bagaimana tetangga-tetangga kita, ya, Pa? Jangan-jangan mereka mati semua."
"Sepertinya begitu."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu Grace teringat akan sesuatu yang tadinya tak terpikir. Tak sempat dipikir.
"Bagaimana kau bisa tahu akan ada serangan, Pa? Apa ada yang memberitahu?"
Maxi menceritakan pengalamannya yang aneh.
"Kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Ma. Ayo kita berdoa!"
Mereka berdoa sambil tersedu-sedu. Kenapa cuma mereka berdua yang diberitahu dan bukan sekalian saja seisi desa? Tentu mereka berterima kasih dan bersyukur tak terhingga. Tapi sepertinya kurang adil. Toh mereka sadar hal seperti itu tidak patut dipertanyakan. Yang demikian sudah ditentukan. Mereka tidak punya kuasa apa-apa.
"Ada satu hal lagi, Ma. Ingat pada saat terakhir aku kembali lagi ke rumah?" tanya Maxi.
"Ya. Apa yang kau ambil?"
"Aku membuka kunci pintu depan dan mengunci pintu belakang. Ternyata itu juga yang
menyelamatkan kita. Coba kalau tak dikunci seperti semula."
Maxi mengeluarkan kunci dari sakunya lalu melemparkan ke semak-semak.
"Sekarang kita tidak memerlukannya lagi. Pintunya sudah tidak ada. Bahkan rumahnya juga," katanya datar.
"Mereka nggak mikir kalau kuncinya nggak ada bisa aja dikunci dari belakang. ya?" sahut Grace pelan.
"Itu sudah diatur, Ma."
Seminggu kemudian, di Jakarta Rico menyambut mereka dengan isak tangis, penuh rasa haru bercampur takjub.
"Untung belum terlambat. Untung selamat. Untung ...," katanya berulang-ulang.
Semua merasa berbahagia dan semakin menyadari arti yang satu bagi yang lain. Bila maut sudah begitu dekat tapi mereka diselamatkan dengan cara yang tak bisa dimengerti, maka kesimpulan yang logis adalah mereka harus memanfaatkan sisa kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Tetapi kehidupan yang dianugerahkan itu pun tidak selamanya mengandung kebahagiaan. Sama seperti yang sudah dijalani sebelumnya
tetap saja ada kepedihan dan kekecewaan yang harus dialami.
Rico adalah pemuda yang gagah dan tampan. Dia perpaduan yang bagus dari kedua orangtuanya. Karena Grace keturunan indo Belanda dari neneknya yang orang Belanda asli, maka kulit Rico tidak segelap ayahnya. Wajahnya pun lebih mirip ibunya. Berbentuk oval. berhidung mancung, mata besar berwarna cokelat, dan bibir yang bagus, tidak tebal seperti milik ayahnya. Rambutnya hitam dan ikal tapi tidak keriting kecil-kecil seperti rambut ayahnya hingga sulit disisir. Fisiknya seperti ayahnya, kekar dan kuat, tetapi lebih tinggi.
Usianya sudah dua puluh lima. Wajar kalau orang tuanya berharap ia segera menikah. Tetapi setiap soal itu disinggung, ia cuma tertawa dan mengatakan belum punya pacar.
"Tak ada gadis yang mau sama aku," kelakarnya.
Alasan itu tentu saja tak bisa diterima. Lelaki setampan Rico, bergelar insinyur Teknik Elektro, dan punya pekerjaan bagus di sebuah perusahaan asing. pastilah gampang mendapatkan pacar.
"Tidak mungkin," sanggah Grace.
"Pasti kamu yang cerewet, Ric. Jangan cari yang sempurna, karena kamu sendiri nggak sempurna. Jangan mentang-mentang cakep, punya kerjaan bagus, lalu mencari dewi. Mana ada?"
Wajah Rico terlihat mendung. Ia memalingkan mukanya hingga tak terlihat Grace.
"Tentu saja, Ma. Aku tahu itu. Aku nggak cerewet kok. Aku sadar diriku jauh dari sempurna."
"Lantas apa yang kaucari?"
Rico tak menyahut.
"Terus teranglah sama Mama, Ric. Mungkin aku nggak bisa membantu. Tapi paling tidak, aku bisa memberimu kekuatan dan semangat. Ya, kan?" bujuk Grace.
"Aku...," Rico ragu-ragu.
"Sebenarnya, aku cuma belum ketemu orang yang cocok, Ma."
Grace tidak percaya, tapi ekspresi Rico memberitahu dia agar tidak terlalu mendesak.
Tetapi Maxi tidak begitu merisaukan hal itu.
"Sudahlah. Jangan didesak-desak terus, Ma. Kau sendiri tentunya tidak ingin kalau dia jadi tidak selektif, kan? Kawin itu bukan masalah sembarangan. Bagaimana kalau kita mendapat
menantu brengsek nanti?"
"Aku takut dia punya kelainan, Pa."
"Apa maksudmu?" Maxi kaget.
"Yaaa..., siapa tahu. Dari luar sih badannya bagus. Tapi... tapi dalamnya mana tahu," Grace melontarkan unek-uneknya.
Maxi tercengang, lalu tertawa.
"Kau mengada-ada saja, Ma."
"Nggak ada salahnya menduga-duga. Aku kan ngomongnya sama kau. Eh, jangan beritahu dia tentang ucapanku itu, ya?"
"Tentu saja tidak. Dia bisa marah besar. Sudah, jangan curiga berlebihan. Umur segitu buat lelaki masih tergolong muda. Mungkin dia baru mau kawin kalau sudah tiga puluh."
"Tapi setidaknya dia sudah punya pacar. Punya teman perempuan."
"Mana kau tahu pergaulannya di luar?"
"Aku sudah menanyai si Ivan. Katanya Rico nggak pernah punya pacar. Masa sih dia bohong. Dia kan sudah dua tahun tinggal di sini."
Maxi menatap istrinya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kau seperti anjing pelacak saja, Ma," guraunya.
"Aku heran, kok bapak sama anak bedanya seperti bumi dan langit, ya?" Grace setengah merenung.
Maxi membelalakkan matanya. Ia paham maksud istrinya. Tapi ia tidak marah.
"Lantas kau lebih suka yang mana. Kayak aku atau kayak dia?"
"Dua-duanya nggak suka."
"Sudah. Jangan risau, Ma. Kalau memang ada apa-apa, masa sih dia nggak bilang sama kita."
Grace menarik napas dan mengembuskannya cepat-cepat. Ia tidak yakin.
"Kita terlalu lama berpisah darinya, Pa."
"Hei, jangan murung begitu. Mungkin kita diselamatkan dari musibah itu dengan maksud supaya kita diberi waktu untuk menjadi dekat dengan dia. Kalau nggak ada musibah, kita masih di sana, jauh dari dia."
Diingatkan akan hal itu wajah Grace menjadi cerah.
"Oh ya. Benar juga, ya, Pa."
"Dan ingat, sebelum kejadian dia sudah sering mengajak kita ke sini. Dia mencemaskan kita, bukan? Itu artinya dia sayang sama kita.
Rasa sayang itu tidak memandang jarak, kan? Mau di ujung bumi kek."
Grace mengangguk-angguk. Dia tidak boleh berpikir buruk setelah kejadian terburuk dalam hidupnya sudah berlalu. Apalagi sesuatu yang belum pasti.
"Cuma aku sedikit kesal sama si Ivan, Pa," Grace mengeluarkan unek-uneknya yang lain.
"Memangnya kenapa dia?"
"Waktu aku tanya-tanya perihal Rico, nyahutnya nggak sedap deh."
"Gimana?"
"Katanya, si Rico itu udah gede, Tante. Bukan anak kecil lagi. Biarin aja. Apa salahnya aku tanya-tanya. Rico itu kan anakku. Kalau dia sih aku nggak peduli. Ngapain pula dia di sini terus. Dulu Rico memang sendirian. Jadi perlu teman. Sekarang sudah ada kita. Kenapa dia tidak pergi saja? Indekos kek."
"Jangan begitu, Ma. Di mataku sih dia baikbaik saja. Cukup sopan. Dia teman Rico. Dulu sewaktu Rico sendirian, dia menemani. Sekarang sesudah ada kita, masa disuruh pergi. Tentu Rico nggak enak hati."
"Harusnya dia yang tahu diri."
"Biar saja dulu. Mungkin dia perlu waktu untuk mencari tempat lain. Tapi di sinijuga nggak apa-apa toh?"
"Tentunya, ya nggak apa-apa. Ini kan rumah Rico. Aku juga nggak mau omong apa-apa sama Rico. Nggak enak."
"Ya, baiknya begitu."
"Cuma aku punya perasaan si Ivan itu nggak suka sama kita. Sepertinya kita ini mengganggu ketenteraman. Tadinya enak-enak berdua. Tiba-tiba kita datang."
"Itu pasti perasaan yang muncul karena kau tak suka sama dia."
"Entah. Tapi kadang-kadang aku bisa menangkap sorot mata dan ekspresinya yang sinis kalau dia menyangka tak ada yang melihat. Sorot itu mengandung kejengkelan. Mungkin juga kebencian."
"Ah, Mama ," keluh Maxi.
"Jangan mengada-ada...."
Grace tak memedulikan keluhan Maxi. Ia melanjutkan kekesalannya.
"Aku masak yang enak-enak buat Rico. Tapi yang makan paling banyak malah si Ivan. Gembul betul orang itu. Padahal kerempeng," gerutu Grace.
"Mungkin dia cacingan," sahut Maxi sambil tersenyum.
Ucapan itu membuat wajah Grace yang bulat menjadi semakin bulat karena ia ikut tersenyum. Kejengkelannya buyar.
"Iya. Pasti dia cacingan. Yang makan banyak itu cacingnya. Bukan orangnya," kata Grace dengan riang.
"Jadi lebih baik kuberi makan cacing daripada dia."
"Aduh, sungguh menjijikkan."
Grace tertawa.
Sebenarnya Grace tidak setuju kalau Maxi mengamen. Tetapi Maxi mengatakan, baginya itu bukan pekerjaan melainkan hobi.
"Menyanyi di rumah tidak menyenangkan. Siapa yang menikmati?"
"Tapi kalau Rico tahu, dia bisa marah."
"Makanya jangan beritahu."
"Suatu waktu dia akan tahu."
"Aku kepengin nyanyi, Ma."
"Nyanyi buat aku saja. Kan aku bisa menikmati."
"Tapi lama-lama kau bosan juga. Lagi pula aku takut mengganggu tetangga."
"Aku khawatir terjadi sesuatu padamu."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan hati-hati, Ma. Percayalah."
Sebenarnya Grace mempercayai suaminya. Pengalamannya yang mengerikan tempo hari sudah cukup mengajarinya bahwa Maxi punya indra keenam. Yang ia cemaskan adalah reaksi Rico kalau tahu ayahnya mengamen dari bus kota ke bus kota, dan dari rumah ke rumah. Bisakah Rico menerima alasan bahwa hal itu dilakukan Maxi demi kesenangan belaka? Rico akan berpikir, bahwa Maxi membutuhkan uang saku atau punya utang yang harus dibayar. Rico juga akan merasa malu kepada teman dan tetangga karena membiarkan ayahnya cari uang sendiri dengan cara mengamen. Mentang-mentang pengungsi.
Tetapi berterus terang kepada Rico juga tak mungkin. Rico pasti akan melarang tanpa kompromi. Dan Maxi akan patah hati. Itu yang paling tak diinginkannya. Perubahan mencolok sejak Maxi mulai mengamen sudah terlihat. Dia jadi gembira dan bersemangat. Dan kelihatannya tambah sehat saja. Padahal kalau dipikir dia tentunya sudah menghirup banyak sekali udara Jakarta yang begitu kotor.
Grace tidak sampai hati untuk melarang.
Maxi memang punya jiwa petualangan. Dia senang melihat hal-hal baru dan situasi baru. Dan dia ingin suaranya didengar sebanyak mungkin orang. Suaranya memang bagus.
Rico dan Ivan rekan kerja sekantor. Tiap pagi mereka berangkat bersama dan pulang bersama juga. Setiap mereka pulang, sekitar jam enam-tujuh petang, Maxi dan Grace sudah menunggu kedatangan mereka sambil membaca koran sore. Keduanya sudah rapi usai mandi. Dan tentu saja rumah pun sudah rapi. Sebelum pergi menjelajahi Jakarta bersama gitarnya, Maxi selalu membantu Grace mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Teh manis bersama penganan kecil sudah terhidang di atas meja. Lalu mereka berempat akan menikmatinya sambil membicarakan berita terakhir dan kejadian apa saja yang sedang menjadi topik. Sesudah itu Rico dan Ivan pergi mandi. Dan malamnya mereka makan bersama yang dilanjutkan dengan menonton televisi. Itu merupakan acara rutin yang berlangsung setelah kedatangan Maxi dan Grace.
Grace berusaha sedapatnya supaya kehadirannya bisa memberikan sesuatu yang berbeda dalam arti bisa dinikmati Rico. Rumah yang berantakan menjadi rapi. Makanan pun selalu tersedia, enak dan bergizi. Ia memilih jenis masakan kesukaan Rico sejak kecil. Masakan seperti itu tentu saja tidak akan ada di warteg-warteg tempat Rico biasa makan sebelumnya.
Pendeknya Rico tidak akan menyesal karena didampingi seorang ibu.
Tetapi yang menjadi duri dalam daging bagi Grace adalah Ivan. Kadang-kadang ia juga tidak mengerti kenapa ia begitu tidak menyukai anak muda itu. Mungkin antipati yang muncul begitu saja. Sejak awal melihatnya ia sudah tidak suka. Sikap ramah yang diperlihatkan Ivan selalu dirasanya sebagai kamuflase belaka. Ia punya perasaan di balik keramahan itu ada antipati juga. Sepertinya mereka sama-sama punya perasaan yang sama. Ada cinta pada pandang pertama, tapi ada juga benci pada pandang pertama.
Grace selalu dihinggapi perasaan muak bila menyetrika pakaian Ivan. Seharusnya Ivan melakukannya sendiri. Ia toh bukan pembantunya. Sudah menumpang masih pula diurusi. Begitu ia mengomel dalam hati.... Tetapi ia merasa tak enak juga bila hanya mengurus kepunyaan Rico dan menelantarkan kepunyaan lvan. Ia sadar tak boleh menimbulkan suasana kurang enak di rumah itu. Nanti Rico juga akan merasakannya.
Kadang-kadang ia sengaja menyetrika pakaian Ivan asal-asalan. Lipatannya rapi tapi kalau diteliti tidak licin. Berbeda dengan kepunyaan Rico. Ia akan tertawa diam-diam bila Ivan menyetrikanya kembali. Tentu saja Ivan tidak berhak komplain. Kalau tak suka dengan hasil pekerjaan Grace, sepatutnya ia melakukannya sendiri. Ia senang karena Rico sendiri tidak mengatakan apa-apa soal itu. Padahal ia sudah siap menanggapi seandainya Rico melakukan hal itu. Mustahil Rico lebih membela teman dibanding ibunya sendiri.
Maxi tidak punya masalah dengan Ivan. Keduanya bisa berbincang dengan asyik. Grace sendiri tidak berminat ikut serta. Bukan itu saja sebabnya. Ia pernah melakukannya, tapi baru nimbrung beberapa patah kata, Ivan mengundurkan diri lalu ngeloyor pergi. Maxi tidak merasa apa-apa, tapi ia sendiri jengkel bukan
main.
Rasa antipati itulah yang mendorongnya mengamati kelakuan lvan dengan lebih saksama.
"Jangan begitu," cegah Maxi. Bukan cuma kau, dia juga punya perasaan, Ma."
"Biarin. Mudah-mudahan saja dia pergi."
"Idih, kok gitu sih Ma?"
"Dia kan lelaki, Pa. Gampang cari tempat lain. Indekos kan banyak. Dekat-dekat sini juga banyak."
"Ingat ini rumah Rico. Bukan rumah kita."
"Ya. Tentu aku ingat. Aku juga tidak mengusirnya, kan?"
"Tapi sikapmu itu."
"Dia duluan kok. Tak mungkin orang jengkel tanpa sebab."
Tetapi Grace meragukan perkataannya sendiri. Betulkah ia jengkel kepada Ivan bukan tanpa sebab?
"Sejak ada Papa dan Mama, beratku bertambah, Van," kata Rico dalam perjalanan menuju kantor. Ia mengemudikan mobil. Ivan di sampingnya.
"Ya. Kuperhatikan makanmu banyak. Itu tidak baik, Ric. Nanti kau jadi gembrot."
Rico tertawa.
"Eh, aku serius lho!" seru Ivan.
"Kau ada keturunan gendut. Orangtuamu bundar-bundar."
Rico malah tertawa makin keras.
"Tapi kau sendiri tak bisa gemuk, Van! Padahal makanmu lebih banyak dari, aku !"
Ivan terperangah.
"Kau kira aku tidak memperhatikan?" Rico melanjutkan.
"Masakan Mama memang enak, ya?"
Ivan cemberut.
"Kau tahu apa yang dikatakan Mama?" Rico tak memperhatikan wajah Ivan.
"Apa?" Ivan melotot.
"Katanya, kau makan banyak tapi tetap kurus. Mungkin kau cacingan."
Tawa Rico meledak lagi. Ia merasa geli membayangkan tubuh Ivan yang kerempeng.
"Mungkin sebaiknya kau makan obat cacing saja, Van! Tapi ngeri juga, ah. Entar cacingnya keluar sendiri. Hiii!" Rico tertawa geli.
Tiba-tiba tangan Ivan terulur lalu mencubit paha Rico sekuat-kuatnya!
Rico menjerit kaget dan kesakitan. Hampir ia hilang kendali atas kemudinya. Mobil sempat melenceng ke pinggir. Untung tak ada kendaraan lain hingga tak terjadi kecelakaan
"Hei! Apa-apaan sih kau?" seru Rico marah.
Ivan sendiri terkejut karena reaksi yang ditimbulkan perbuatannya.
"Sori, Ric. Habis kau kalau ngeledek nggak kira-kira sih."
Rico tak menyahut. Ia masih kesal dan terkejut.
"Sudah, jangan marah dong," bujuk Ivan.
Rico masih diam.
Ivan mengulurkan tangannya lagi. Tapi kali ini ia mengusap-usap bagian paha Rico yang tadi dicubitnya.
"Sakit, ya? Aku benar-benar menyesal," katanya pelan.
Rico menepis tangan Ivan.
"Tiada maaf bagiku?" rengek Ivan.
"Sudahlah. Jangan lakukan itu lagi."
"Jadi kaumaafkan aku, ya?"
"Ya, ya, ya."
"Kok nadanya gitu."
"Mau diam nggak sih?" bentak Rico tak sabar.
Ivan memonyongkan mulutnya. Ia menggerutu tak jelas.
Sampai di perusahaan tempat mereka sama-sama bekerja, keduanya masih diam.
Meskipun bekerja di perusahaan yang sama, mereka tidak menekuni bidang yang sama. Ivan di bagian mesin, sedang Rico bagian perlistrikan. Hal itu membuat mereka tidak perlu bertemu untuk melanjutkan sikap diam. Demikian pula saat makan siang, Rico meminta pesuruh membelikan nasi bungkus yang dimakannya di ruang kerjanya, supaya ia tidak perlu makan bersama Ivan seperti biasa. Ia benar-benar merasa kesal kepada Ivan dan ingin memperlihatkan perasaannya itu secara tegas. Biasanya mereka selalu cepat berbaikan kembali setelah pertengkaran sepele.
Tetapi sebenarnya bukan cuma karena masalah sepele yang membuat Rico merasa sulit
melenyapkan kejengkelannya kepada Ivan.
"Sebaiknya kau pindah, Van," kata Rico dalam perjalanan pulang.
Ivan yang sudah senyum-senyum berusaha mengajak baikan langsung cemberut.
"Karena soal sepele itu kau mengusirku."
"Kau tahu betul bukan karena itu. Masalah itu kan sudah kita bicarakan."
"Aku yakin pasti karena ibumu."
"Kau menimpakan pada orang lain."
"Betul. Dia tidak suka padaku. Padahal apa salahku padanya?"
"Jangan bawa-bawa Mama dalam persoalan antara kita."
"Bagaimana tidak? Karena kehadiran merekalah aku jadi didepak. Atau kau keberatan dengan beban yang harus kautanggung? Aku akan bayar kos padamu!"
"Lebih baik kau kos di tempat lain saja."
"Kau benar-benar mau mendepakku."
"Tolonglah mengerti aku. Van. Aku tidak ingin persoalan ini diketahui orangtuaku."
"Cepat atau lambat mereka akan tahu juga."
"Tapi tidak dengan cara yang membuat mereka shock. Mereka adalah orangtuaku yang ku
sayang, Van. Mereka sudah cukup mengalami shock sebelumnya."
"Kukira itu hanya alasan yang dicari-cari. Pasti kau sudah punya incaran lain."
Rico melirik. Ia belum pernah melihat bibir Ivan semonyong itu. Cemberutnya bukan mainmain kali ini. Entah kenapa ia justru merasa geli, seperti tidak ikut berempati dengan Ivan. Padahal tadinya tidak pernah begitu. Bila Ivan ngambek ia selalu berusaha membuatnya senang kembali.
Ia berusaha tidak meledakkan tawanya. Jangan sampai Ivan mencubitnya lagi seperti tadi. Sudah dilihatnya pahanya waktu ke toilet tadi. Wah, cubitan itu seperti gigitan anjing!
"Kau tidak perlu mencari kos jauh-jauh. Dekat rumah juga ada jadi kita bisa tetap pergi pulang kantor sama-sama," kata Rico, setengah membujuk.
"Nggak mau."
"Jadi kau nggak mau mengikuti saranku?"
"Nggak!"
"Baiklah. Kalau kau nggak mau pindah, aku yang pindah."
Wan terkejut.
"Tapi itu kan rumahmu."
"Habis bagaimana lagi. Kau sangat susah diatur."
"Kau mau mendepakku."
"Aku cuma memintamu pindah."
"Sama saja."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rico diam. Sekarang ia baru tahu,betapa bandelnya lelaki yang akrab dengannya selama dua tahun terakhir ini. Kenapa pada waktu itu ia tidak menyadarinya?
"MEREKA lagi marahan," bisik Grace kepada Maxi.
"Ah, masa?" Maxi kurang percaya.
"Iya. Coba perhatikan. Biasanya wajah. Mereka nggak masam begitu. Mereka juga nggak bicara satu sama lain."
"Kenapa, ya?"
"Mana aku tahu. Di kantor berantem kali. Perginya kan nggak apa-apa."
"Pengamatanmu tajam ya, Ma."
Grace tertawa lalu berkata dengan optimis,
"Mudah-mudahan saja si Ivan minggat, ya?"
"Sebaiknya kita jangan ikut campur sama urusan mereka, Ma."
"Tentu saja nggak. Aku cuma jadi pengamat."
Ivan masuk ke kamar Rico dan mendapatinya tengah memasukkan pakaian ke dalam tas.
"Eh, kau serius, Ric?" tanya Ivan terkejut.
"Seharusnya kau mengetuk dulu kalau mau masuk."
"Kau serius mau pergi?"
"Ya."
"Ini kan rumahmu."
"Tidak apa-apa. Kau saja di sini bersama orang-tuaku. Aku mau kos."
Ivan terduduk di tepi ranjang dengan wajah memelas.
"Kau benar-benar serius," keluhnya.
Rico menghentikan kegiatannya lalu memandang Ivan. Muncul rasa ibanya.
"Kau bersikap seolah mau kiamat," katanya dengan nada menghibur.
"Ya, memang begitu. Sedih berpisah darimu."
"Apa-apaan sih kau ini? Kita kan nggak berpisah? Kita masih sekantor. Tinggal berdekatan. Kau bisa tetap main ke sini. Makan di sini."
Ivan menggelengkan kepala. Tampak tidak terhibur.
"Aku punya perasaan buruk. Pisah rumah berarti pisah semuanya. Ini pasti ulah ibumu. Dia mau mendepakku. Dia sering bertanya padaku, kenapa kau tak juga punya pacar."
Rico kembali kesal.
"Aku nggak sangka, kau begini susah dikasih pengertian. Ya sudah, kalau begitu," katanya, lalu mulai lagi membereskan pakaiannya.
"Kalau kau pergi, bagaimana kau menjelaskan pada orangtuamu?"
"Terserah padamu. Kau yang jelaskan."
"Wah, mana bisa begitu."
"Bisa saja kalau aku mau"
Tiba-tiba Ivan melompat bangun hingga Rico terkejut. Sekarang wajah Ivan menampakkan ekspresi yang berbeda. Kesedihannya berganti dengan kemarahan yang ditahan.
"Baiklah. Kau jangan pergi. Ini kan rumahmu. Di mana mukaku mau ditaruh di depan orangtuamu nanti? Aku akan pergi. Tapi beri aku waktu untuk mendapatkan tempat kos."
Setelah berkata begitu Ivan pergi keluar kamar lalu membanting pintunya.
Rico berdiri beberapa saat lamanya, menatap ke arah pintu. Kemudian ia duduk di tepi ranjang, tempat Ivan barusan duduk. Setelah termenung sejenak, ia tersenyum.
"Siapa yang mau pergi? Ini kan rumahku!"
katanya pada diri sendiri.
Belum lagi Rico selesai mengeluarkan baju-bajunya yang barusan dimasukkan ke dalam koper, pintu kamarnya terbuka secara mendadak. Lalu Ivan menghambur masuk. Wajah dan sikapnya mengandung emosi. Dibiarkannya pintu terbuka.
Rico terkejut. Belum sempat ia bertanya, Ivan sudah menubruknya lalu memeluknya erat-erat!
"Aku akan pergi, Ric! Aku mau pergi! Tapi berjanjilah. Kau tidak akan memutuskan hubungan kita. Tetap seperti dulu, ya? Ya? Ya?" cecarnya.
Rico mencoba melepaskan dekapan Ivan, tapi kesulitan karena Ivan seperti mencengkeramnya. Biarpun badannya kurus, Ivan menempel kuat bagaikan punya daya magnet.
"Ya, ya," sahut Rico tak bisa lain. Ia jadi sesak napas.
"Oh, terima kasih, Ric. Terima kasih, sayangku!"
Ivan menciumi pipi Rico dengan penuh nafSu.
Rico gelagapan sejenak. Lalu tubuhnya
membeku. Jantungnya serasa berhenti berdenyut. Tatapannya tertuju ke ambang pintu. Di sana berdiri Grace dengan mulut ternganga!
Akhirnya Rico berhasil melepaskan diri dari dekapan Ivan lalu mendorongnya hingga terjatuh ke tempat tidur. Ia berlari ke pintu tapi Grace sudah tak ada di sana. Ia keluar untuk mengejar ibunya.
Ivan yang tertinggal sendirian duduk di tempat tidur. Wajahnya memperlihatkan senyum puas.
"Kau mau mendepakku, ya? Ada imbalannya!" katanya geram.
Maxi sedang duduk di teras belakang membaca koran ketika melihat Grace berlari masuk ke kamar. Wajahnya terlihat merah menahan tangis. Sebelum Maxi sempat bereaksi, ia melihat Rico menyusul Grace. Kali ini Maxi melompat bangun lalu berlari juga ke arah yang sama.
Grace tidak sempat mengunci pintu. Rico berhasil menjaga pintu dengan tubuhnya.
"Ma! Tunggu, Ma!" seru Rico.
Grace melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menangis sesegukan.
Rico berlutut di pinggir tempat tidur. Ia melingkarkan lengannya keliling pundak ibunya. Sementara itu Maxi berdiri saja mengamati dengan bingung.
"Maaa..., tenanglah, Ma," bujuk Rico.
"Apa ka... ka mu ho ho... mo?" tanya Grace di sela isakannya.
Meskipun sambil terisak-isak, kata-kata itu terdengar dengan jelas oleh Maxi. Kepalanya tersentak serasa mendapat pukulan keras. Sama seperti dulu ketika ia dibangunkan dari tidur untuk secepatnya menyelamatkan diri. Ia terpaku di tempatnya. Matanya tak berkedip mengamati istri dan anaknya.
Hening sejenak sebelum Rico menjawab pertanyaan ibunya
Grace mengangkat mukanya yang semula ditelungkupkan, lalu menatap wajah Rico. Anak muda itu cuma sejenak membalas tatapan ibunya lalu menunduk.
"Jadi bener, Ric? Ric?" Grace setengah berteriak. Tampak ketegangan dan kecemasan tak terhingga di wajahnya.
"Ya, Ma," sahut Rico pelan.
"Maafkan Rico. Maafkan "
Maxi menjatuhkan dirinya di lantai. Mendadak tubuhnya jadi lemas seolah tak bertenaga. Tetapi istri dan anaknya tidak menoleh kepadanya. Dia terlupakan sejenak karena ketegangan yang melibatkan kedua orang itu.
Grace tersedu lagi.
"Kok bi... bi... sa be... gi... tu, Ric? Ke... ke na... pa?" ucapnya dengan susah karena kerongkongannya tersumbat.
"Maafkan Rico, Ma. Aku memang tidak sempurna."
Rico menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia seperti anak yang tengah mengakui kesalahannya dan siap dihukum.
Maxi merayap mendekati. Lalu duduk bersimpuh di sisi Rico. Ia memegang paha Grace untuk mengingatkannya akan kehadiran dirinya.
Rico menoleh kepada ayahnya.
"Paaa," panggilnya lirih. Ia sadar ayahnya pun sudah tahu.
"Maafkan Rico karena sudah membuat sedih dan kecewa Papa dan Mama," lanjutnya.
"Ya, kami benar-benar terkejut, Ric," kata Maxi dengan suara lemah.
"Ini adalah musibah yang kedua."
Rico kembali menundukkan kepala.
Grace duduk dengan menyentakkan tubuh. Mukanya merah dengan linangan air mata di pipi. Ia memandang Rico dan Maxi bergantian. Matanya dikejapkan berkali-kali. Ia berusaha mencegah kembalinya badai air mata. Ketika Maxi mengulurkan tangan, ia meraih tangan itu lalu memeganginya erat-erat.
Rico menatap sejenak kedua tangan yang menyatu itu lalu mengangkat muka memandang ayah dan ibunya bergantian. Ia tahu kedua orang itu saling memberi kekuatan untuk mengatasi trauma batin yang disebabkan olehnya. Perasaan bersalah tapi juga tak berdaya bergelombang menyergapnya. Ia siap menerima cercaan dan hujatan dari keduanya, tapi tak kunjung datang.
Kemudian Maxi memegang pundak Rico dengan tangannya yang bebas.
"Ric, bagaimanapun kamu adalah anak kami. Memang kau tidak sempurna. Tak ada yang sempurna. Tapi sempurna dengan normal itu kan beda," kata Maxi. Nadanya bukan omelan, tapi keluhan.
"Kami tetap sayang sama kau, Ric," Grace
menambahkan.
"Ya. Perasaan kami tidak berubah," sambung Maxi. Rico merasakan keharuan menyesak dadanya. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya. Grace mengelus kepala Rico. Sejak kedatangannya di Jakarta, ia ingin sekali melakukan hal itu karena mengagumi kepala Rico yang bagus. Tapi ia takut Rico tak suka karena tak ingin diperlakukan seperti anakanak. Ternyata sekarang ia bisa melakukannya tapi dalam situasi yang sungguh tak diinginkannya.
"Tadi Mama bukannya sengaja mengintip-intip. Ivan bilang, kau memanggilku tapi tak menjelaskan apa yang kauinginkan. Jadi Mama datang. Tahu-tahu ..."
Rico mengangkat kepala dengan sentakan kaget. Jadi itu pembalasan Ivan. Padahal ia sudah bicara baik-baik kepadanya. Meminta pindah dengan mengusir itu kan jauh sekali bedanya.
*** 0
Di kamarnya, Ivan sedang membenahi barang-barangnya ketika Rico melangkah masuk.
"Aku akan pergi sesuai dengan keinginanmu," katanya tanpa menoleh.
"Tapi kenapa kau harus menjebak ibuku? Kau sungguh keji, Van!"
"Mereka harus tahu."
"Bukan seperti itu caranya."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau tidak begitu, kau tidak akan pernah memberitahu."
"Memberitahu atau tidak adalah urusanku."
"Itu, menjadi urusanku setelah kau mendepakku. Bagaimana insidennya tadi? Ramai?"
Ivan tertawa sinis.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya kau cepat pergi saja," kata Rico berusaha mengendalikan amarahnya.
"Teganya kau."
"Apalagi kau."
"Kau duluan."
Rico membelalakkan matanya. Ia sadar, melayani Ivan bicara tidak akan selesai.
"Pergilah," katanya sambil membalikkan tubuh.
"Tunggu!"
Rico berbalik lagi dan menatap Ivan dengan kesal.
"Apa?"
"Hubungan kita masih tetap, kan?"
Rico mengerutkan keningnya. Ia tak habis pikir bagaimana Ivan bisa berkata begitu setelah menyakitinya.
"Tentu saja tidak!"
"Apa maksudmu? Bukankah tadi kau sudah berjanji?"
"Tadi adalah tadi. Sekarang lain. Kita putus, Van!"
Rico cepat keluar lalu menutup pintu di belakangnya.
Wajah Ivan tampak shock. Ia benar-benar tak menyangka ini akan terjadi. Dengan marah dipungutnya sandal lalu dilemparkannya ke pintu. Ia berteriak melontarkan sumpah-serapah kotor.
Rico belum pergi jauh. Ia mendengar bunyi hiruk-pikuk itu. Kedua tinjunya mengepal. Sesaat terpikir untuk berbalik dan kembali ke kamar tadi untuk menghajarnya. Tapi setelah menarik napas panjang dan pelan-pelan mengembuskannya kembali, ia berhasil menenangkan diri. Tak ada gunanya melampiaskan amarah sesaat.
Ada hal-hal yang membuat ia lebih mampu mengendalikan diri. Yang paling utama, ia memang sudah ingin melepaskan diri dari Ivan sejak orangtuanya masih berada di desa. Itu pula sebabnya kenapa ia kerap meminta mereka datang. Tentu saja memang ada kerisauan akan kerusuhan yang sedang berlangsung di Maluku. Tapi ia harus mengakui ada penggerak yang lain, yaitu keinginannya yang utama tadi. Kerusuhan yang sedang terjadi itu bisa dimanfaatkan sebagai alasan yang paling logis. Bila orangtuanya tinggal bersama, ini bisa ia jadikan alasan untuk meminta Ivan pergi. Bila tidak tinggal serumah, akan lebih mudah untuknya melepaskan diri dari Ivan. Sudah berkali-kali terbukti usaha itu sulit. Mungkin ia sendiri jadi penyebab karena lemah hati dan tidak punya ketegasan. Tapi Ivan memang lengket sekali seolah punya lem yang tak bisa lepas. Perlu pendorong yang kuat untuk melepaskannya. Ternyata pendorong itu dicetuskan oleh Ivan sendiri. Rupanya Ivan begitu percaya diri, hingga mengira dirinya lebih berarti dibanding kedua orangtuanya. Berpikir begitu membuat Rico merasa muak dan marah. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada diri ibu
atau ayahnya saking kagetnya? Serangan jantung misalnya. Bila hal itu sampai terjadi ia tak mungkin bisa memaafkan Ivan seumur hidup.
Penggerak yang lain adalah reaksi orangtuanya. Kedua-duanya tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, atau rasa jijik kepadanya, meskipun mereka sedih dan menyesal. Mereka masih tetap sayang kepadanya. Ini penting sekali. Seandainya mereka benci, marah, dan menjauh darinya, ia bisa saja kembali kepada Ivan. Rupanya jadi manusia itu banyak sekali kelemahannya. Jauh dari sempurnya.
Maxi dan Grace membicarakan hal itu di kamar mereka. Setelah peristiwa mengerikan di desa mereka, ini adalah kengerian yang kedua kalinya. Kehidupan yang masih diberikan kepada mereka memang tidak sepenuhnya mengandung bunga-bunga kebahagiaan semata. Lepas dari yang satu, masih ada yang lain.
"Kita harus hati-hati sama si Rico sekarang, Ma. Jangan sampai kita salah bersikap," kata Maxi.
"Maksudmu?" tanya Grace cemas.
"Aku pernah dengar pengalaman orang lain. Ada temanku yang juga punya anak homo. Begitu tahu, dia marah besar, memaki dan mengancam. Kalau si anak tidak meninggalkan kehomoannya, menikah dan punya anak, dia akan dicabut hak warisnya, tidak akan diakui sebagai anak lagi. Nyatanya apa? Bukannya si anak takut lalu tunduk, dia malah pergi. Temanku tidak pernah bertemu lagi dengan anak itu. Entah masih hidup atau sudah mati. Temanku menyesal sekali tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia pernah memasang iklan di koran. mengatakan ingin bertemu karena dirinya sakit keras. Ternyata iklan itu tidak mendapat tanggapan. Belakangan dia benar-benar sakit keras. Tapi anaknya tak pernah muncul sampai dia meninggal. Kisah yang sangat menyedihkan, bukan? Aku tak ingin seperti itu."
"Ya. Tentu saja. Apalagi anak kita cuma satu," sahut Grace.
"Lebih dari satu, banyak sekalipun, aku tak mau kehilangan anak kecuali maut yang memisahkan," kata Maxi tegas.
"Betul sekali. Jadi, cerita tentang temanmu itulah yang membuat kau bersikap toleran?"
"Bukan cuma itu. Aku sayang dia."
"Akujuga. Tapi aku tidak ingin dia tetap jadi
homo. Bisakah dia berubah, Pa?"
"Bisa saja kalau dia mau."
"Apa dia mau, Pa?"
"Kita boleh berharap. Nyatanya dia mengusir si Ivan. Dia marah karena perbuatannya kepadamu. Itu artinya dia masih lebih sayang kepada kita daripada si kerempeng itu."
"Kadang-kadang aku takut, mentang-mentang kita toleran dia tak mau berubah."
"Ya. Aku juga takut," Maxi mengakui.
Mereka saling memandang.
"Kita harus mengajaknya bicara, Pa. Mustahil kita biarkan dan menganggap hal itu tak ada?"
"Ya. Tapi bagaimana ngomongnya? Bilang perbuatan itu tidak baik? Memohon supaya dia berubah? Bahwa kita menginginkan keturunan karena memang itu yang kita inginkan? Wah, kayaknya sulit, Ma."
Maxi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimanapun pusingnya, ia senang punya teman diskusi yang sependapat.
"Bagaimana kalau kita minta dia ke dokter, eh, psikiater atau psikolog?"
"Jangan dulu. Pendeknya kita jangan sok
mengatur. Ingat, dari dulu dia paling nggak suka diatur-atur."
"Bukannya mengatur, tapi menganjurkan. Itu kan beda."
"Sudut pandangnya bisa saja beda."
"Habis gimana, Pa? Kita kan harus berbuat sesuatu. Kalau kita diam saja, dia justru akan menganggap kita tidak peduli."
"Kalau begitu, pertama-tama kita harus bertanya padanya apa dia sendiri ingin berubah atau mau begitu terus?"
Grace setuju dengan suaminya.
"Aku mau berubah!"
Jawaban itu diberikan Rico dengan tegas, hingga kedua orangtuanya tertegun sejenak.
"Kau mau?" seru Maxi dan Grace serentak. Penuh kegembiraan.
Rico menatap wajah kedua orangtuanya bergantian.
"Tapi itu tidak semudah membalik telapak tangan," katanya.
"Susahnya di sini," ia. menunjuk kepalanya.
"Apa itu soal selera, Ric? Bila melihat perempuan, secantik apa pun, kau tidak tertarik?" tanya Grace.
"Aku memang tidak tertarik kepada perempuan, Ma. Tapi itu bukan semata-mata soal selera. Kata itu cuma cocok untuk makanan."
"Habis kata apa tepatnya, ya? Masa cuma sekadar seks. Atau memang iya?"
Rico menggeleng. Tampak risi.
"Sudahlah, Ma. Jangan merepotkan istilah. Yang penting adalah kemauan Rico untuk berubah. Kami ingin membantu, Ric. Boleh?" tanya Maxi hati-hati.
"Boleh, Pa. Terima kasih. Apa Papa punya saran?"
"Bagaimana kalau kau minta bantuan profesional?" Rico tertegun sejenak. Semula ia cuma ingin basa-basi, sekadar menjaga perasaan orangtuanya, ketika mengatakan mau dibantu. Tapi ia tidak menyangka bahwa mereka yang datang dari desa yang jauh ternyata bisa memberi saran bernilai.
"Maksud Papa?" ia bertanya ingin tahu.
"Tentunya dari orang yang ahli. Seperti psikolog begitu."
Grace mengangguk-angguk.
"Saran Papa itu bagus. Tapi begini, Pa. Saat ini biarlah sava berusaha dengan kemampuan
sendiri dulu. Kalau tidak berhasil baru saya minta bantuan.
Rico bicara dengan serius. Tampak kesungguhan hatinya.
"Mama percaya kau mampu, Ric. Tapi hati-hatilah sama si Ivan. Aku takut dia akan terus mencoba mempengaruhimu. Apalagi dia sekantor."
"Aku akan hati-hati, Ma."
"Dia itu seperti ular beludak," kata Maxi dengan geram.
Rico tersenyum menanggapi perumpamaan itu. Barangkali ada benarnya.
"Mama sarankan, banyak-banyaklah bergaul dengan cewek-cewek. Biarpun tidak tertarik pada mulanya, tapi tak ada salahnya mengenal mereka lebih baik. Jangan belum apa-apa sudah menjauh. Tapi jangan memilih yang cantik saja. belum tentu yang cantik itu baik. Bisa jadi ular beludak juga. Kalau kau kecewa dan patah hati bisa repot."
"Sudah, Ma. Jangan panjang-panjang," cegah Maxi.
"Nanti Rico bisa bosan."
"Tapi itu bener..."
"Ya. Mama memang benar. Nanti saya akan
mencoba mengikuti saran itu, ya?" Rico membesarkan hati ibunya.
Grace tertawa gembira. Ia sangat optimis.
Tetapi Maxi merasa, Rico terlalu gampang membenarkan semuanya. Tak ada tentangan atau protes. Padahal ia mengenal Rico sebagai anak yang tidak begitu saja mau mematuhi orangtua. Ia berharap Rico lebih membuka diri dengan menyampaikan isi hatinya, kesulitannya, halangannya, atau apa saja mengenai pengalaman hidup. Apakah Rico sengaja mengiyakan saja semua supaya lebih mudah menutup diri?
Rico cukup menyadari, semua yang dikatakan orangtuanya itu mengandung kebenaran. Ia pernah mengalaminya. Pada awalnya dia adalah lelaki normal. Dirinya tidak mengalami masa kecil pahit seperti yang dialami sebagian gay lain sebagai penyebab kehomoan mereka, misalnya pelecehan seksual dari lelaki dewasa. Dia punya keinginan dan selera seks yang wajar terhadap lawan jenis. Dia berpacaran dengan seorang perempuan. Tapi pengalaman pahit dalam hubungan cinta itu sebegitu rupa dahsyatnya, hingga ia bukan saja membenci perempuan
yang satu itu, tapi juga membenci semuanya! Ia muak melihat penampilan mereka, yang mana saja tanpa kecuali. Apalagi yang cantik dan berpenampilan seksi seperti artis-artis sinetron. Mereka membuatnya kepengin muntah. Pendeknya segala sesuatu yang ditampilkan kaum perempuan menimbulkan perasaan negatif dalam dirinya.
Tetapi masih ada satu perempuan yang berbeda. Satu-satunya yang tetap ia sayangi. Itu adalah ibunva!
Sehari sesudah peristiwa itu, Maxi tidak Keluar rumah. Ia bermaksud menemani Grace dalam saat-saat yang menyesakkan perasaan. Mereka juga bisa berdiskusi sepanjang hari tanpa batasan waktu. Kalau ada sesuatu yang tiba-tiba teringat, bisa segera disampaikan lalu dirundingkan.
Hari itu Selasa. Tentu ia masih ingat akan janjinya dengan Nyonya Melia. Pada hari Kamis, ia akan ke sana. Masih ada waktu untuk mendapat ketenangan pikiran, baginya dan bagi Grace.
Tetapi musibah memang tak memandang waktu. Hari Rabu ia terkena Flu dan radang tenggorokan. Suaranya menjadi parau, bahkan pada klimaks sakitnya. ia benar-benar tak bisa bicara. Sampai hari Kamis keadaannya belum pulih. Jelas tak mungkin ia menemui Nyonya Melia. Padahal yang jadi modalnya semata-mata adalah suara.
Maka dengan sangat menyesal, Maxi hanya bisa berbaring dan membayangkan bagaimana perempuan itu menunggu kedatangannya dengan sia-sia. Padahal ia sendiri sangat ingin menemuinya. Bukan semata-mata untuk menyanyi lalu memperoleh uang dua puluh ribu, tapi ia sangat ingin tahu apa yang dikehendaki nyonya itu darinya. Bantuan apa gerangan?
Malamnya ia bemiimpi. Ia berlari menuju rumah Nyonya Melia. Dari luar pagar ia melihat Nyonya Melia duduk di dalam gazebo dengan posisi biasa. Gaunnya berwarna putih, sama seperti yang dikenakannya dalam perlemuan pertama mereka. Perpaduan yang amat indah
dengan bunga-bunga bugenvil di sekitarnya. Jauh lebih indah daripada yang terlihat olehnya secara riil. Tampak seperti lukisan. Tetapi kali ini kepala Nyonya Melia tertunduk. Bcberapa saat lamanya ia begitu, tidak menyadari kehadiran Maxi di luar pagar. Maxi memanggil-manggil. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lalu ia memukul-mukul besi pagar untuk menarik perhatian Nyonya Melia.
Akhirnya Nyonya Melia mengangkat kepala lalu menatapnya. Maxi terkejut. Wajah Nyonya Melia tampak sedih sekali. Ada linangan air keluar dari sepasang matanya, terus mengaliri pipinya. Tapi yang mengejutkan, air itu berwarna merah seperti darah! Pipinya yang putih memperlihatkan dengan jelas warna merah itu. Apalagi ketika air itu menetes ke gaun putihnya. Noda-noda merah pun bermunculan. Semakin lama semakin banyak dan melebar! Dengan cepat gaun putihnya menjadi merah merata di bagian dada!
Maxi berteriak penuh kengerian, tapi tetap saja tak ada suara yang keluar. Ia terus berusaha sekuat tenaga agar bisa berteriak. Akhirnya suaranya pun melengking. Nyaring dan penuh
horor!
Grace membangunkannya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Maxi membuka mata, kerongkongannya sakit sekali. Ia melihat wajah Grace yang pucat dan ketakutan.
"Kau kenapa, Pa? Kok menjerit kayak begitu?" ia bertanya.
"Apa... apa aku menjerit beneran?" tanya Maxi dengan suara serak dan pelan.
"Waduh, suaramu itu luar biasa. Untung aku nggak jantungan."
Pintu kedengaran digedor. Disusul suara Rico.
"Ma? Pa? Ada apa?"
"Masuk aja, Ric!" seru Grace.
Rico menghambur masuk. Wajahnya memperlihatkan kecemasan.
"Kenapa, Pa?"
Maxi menjadi malu.
"Aku... aku... mimpi seram,", katanya tersipu.
Grace dan Rico berpandangan. Keanehan yang diperlihatkan Maxi mengingatkan Grace akan pengalaman sebelumnya. Ada apa dengan Maxi?
Tetapi Maxi segera tersenyum menenangKan.
"Itu cuma mimpi. Sudah, jangan risau. Ayo kita tidur lagi," katanya sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur.
Rico pergi dan Grace ikut merebahkan dirinya disamping Maxi.
"Apa sih mimpimu itu, Pa?" tanya Grace.
Maxi sudah siap dengan pertanyaan itu.
"Aku mimpi dikejar penjahat. Dia mengacung-acungkan golok," katanya tanpa raguragu. Sebenarnya ia tidak tega berbohong. Tetapi ia tak mungkin menceritakan mimpi itu tanpa menyertakan pengalamannya yang sebenarnya dengan Nyonya Melia. Masalahnya, ia sudah menyembunyikan hal itu sejak awal. Grace yang menyimpan trauma dengan pengkhianatannya di masa lalu, hampir pasti akan berprasangka buruk. Padahal di saat ini ia benar-benar harus menjaga situasi. Problem Rico jangan ditambah lagi problem lainnya.
Grace percaya akan keterangan Maxi itu.
"Kalau kau mimpi seperti itu lagi, jangan ragu-ragu berteriak, ya? Kau akan kubangunkan," gurau Grace.
Tak lama kemudian Grace tidur nyenyak
kembali. Sementara kedua mata Maxi tetap terbuka lebar. Adakah mimpinya itu mempunyai makna?
BARU pada hari Senin. Maxi merasa kondisinya pulih seratus persen. Suaranya sudah kembali normal. Ia mencobanya dengan bernyanyi di depan Grace dan memintanya menilai. Grace mengacungkan jempol.
"Tetapi kau tidak berniat pergi lagi mengamen, kan?" tanya Grace.
"Memangnya kenapa? Apa kau masih ingin ditemani?"
"Bukan aku yang memerlukan, tapi dirimu sendiri. Kau perlu seminggu lagi untuk beristirahat. Berjalan di terik matahari itu kan melelahkan, Pa."
"Aku merasa sehat dan kuat, Ma."
"Itu karena kau di rumah saja. Belum tentu kau merasakan yang sama bila sudah berada di luar."
"Justru aku nggak betah kelamaan di rumah.
Kecuali kau membutuhkanku."
Grace sadar, ia tak mungkin mencegah terus. Maxi keras kepala. Kalau dilarang mungkin saja ia mematuhi, tapi bagaimana kalau ia jadi stres karenanya?
"Tapi kau harus bisa memahami keadaan tubuhmu. Jangan memaksakan diri. Kalau sudah capek, pulanglah. Jangan terlalu jauh berjalan. Kalau ada apa-apa denganmu ..."
"Hei, jangan berpikir macam-macam, Ma," Maxi memutus ucapan Grace.
"Tapi aku senang dikhawatirkan olehmu."
Maxi memeluk dan mencium istrinya sebelum pergi.
"Terima kasih, Ma."
"Hati-hatilah, Pa."
Grace melepas kepergian suaminya dengan terharu dan cemas. Tiba-tiba saja ia teringat akan mimpi buruk Maxi beberapa hari yang lalu. Dikejar-kejar penjahat?
Maxi sudah berada di jalan. Tapi ia masih belum memutuskan ke mana tujuannya. Apakah sebaiknya ia pergi saja ke rumah Nyonya Melia untuk memberitahu kenapa ia tidak bisa datang hari Kamis yang lalu? Atau menunggu
saja sampai tiba hari Kamis berikutnya, hingga ia bisa sekalian mengamen seperti biasa di situ? Nyonya itu sudah berpesan supaya ia datang setiap Kamis. Mungkin pada hari lainnya ia tidak berada di rumah atau punya kesibukan lain.
Tetapi perasaannya tidak enak karena sudah melanggar janji. Padahal perempuan itu kelihatan sungguh-sungguh dengan pemiintaannya. Ia sendiri tidak mengerti bantuan apa yang bisa diberikan oleh orang seperti dirinya. Tetapi sebelum mengetahui apa yang diinginkan Nyonya Melia itu, ia tidak boleh berburuk sangka. Ia cenderung menyangka bahwa hal itu pastilah punya hubungan dengan soal menyanyi. Tentunya Nyonya Melia sangat terkesan dengan suaranya hingga berkata begitu. Pikiran itu membuat ia terharu karena perasaan dihargai. Jadi sudah selayaknya ia pun menghargai dan berterima kasih kepadanya.
Tetapi belum tentu ia bisa bertemu dengan Nyonya Melia pada hari yang tidak ditentukan oleh perempuan itu. Kedatangannya akan siasia. Seandainya ia berpesan pada orang lain di rumah itu, tidakkah akan tampak konyol dan tidak masuk akal? Dia cuma seorang pengamen.
Setelah ragu-ragu beberapa saat lamanya, Maxi teringat akan mimpi buruknya. Perempuan itu tengah menunggu-nunggu kedatangannya dan karena dirinya tidak muncul ia menjadi begitu sedih hingga mengeluarkan air mata darah! Tak ada orang yang bisa mengeluarkan air mata darah. Itu tentu cuma pertanda belaka tentang kekecewaan dan kesedihan yang luar biasa. Kasihan sekali.
Mimpi itu memastikan langkahnya menuju rumah Nyonya Melia.
Hari itu masih pagi. Baru sekitar jam sepuluh ketika Maxi memasuki kawasan Menteng. Ia berjalan dengan santai, menikmati ketenangan suasana jalan yang dinaungi pohon besar di kiri-kanannya. Setelah mendapatkan keputusan yang pasti ia merasa tenang. Apa pun dan siapa pun yang dihadapinya di sana, bila Nyonya Melia tak ada, ia akan menceritakan apa adanya. Dan kalau tak ada siapa pun yang dijumpainya, ia yakin tak perlu kecewa karena ia sudah berusaha. Masih ada hari esok dan esoknya sampai hari Kamis berikutnya tiba. Nyonya Melia pun tak perlu kecewa atau marah.
Sambil berjalan ia bersenandung pelan. Suaranya sudah normal. Tapi adajuga rasa cemas. Bagaimana kalau setibanya di sana, tiba-tiba suaranya hilang kembali? Ia tahu, itu adalah kecemasan yang berlebihan. Toh pikiran itu muncul sendiri. Semakin dekat ia menjadi gugup. Akhirnya Maxi tiba di depan rumah Nyonya Melia. Ternyata saat itu pun suasana di sekitar sana sama sepinya seperti kalau ia datang jam dua siang. Sesaat ia berpikir, kalau ada penghuni yang berteriak minta tolong di dalam rumah mungkin tak akan ada yang mendengar. Lalu ia tertegun. Pintu pagar digembok di sebelah luar dengan rantai yang besar dan gembok yang juga besar. Perasaan aneh menyergapnya hingga ia merasa terdorong untuk bergegas ke depan pagar. Begitu tiba di situ dan melayangkan pandangnya ke arah dalam, segera mulutnya terbuka dan matanya terbelalak. Taman yang sebelumnya ia lihat begitu indah dan terpelihara kini tampak terbengkalai tak keruan. Pohon-pohon kering-kerontang karena lama tak disiram dan terkena pengaruh musim kemarau yang panjang. Tak ada hamparan rumput hijau yang terpangkas rapi. Yang ada hanya rumput kering dan mati. Yang paling
mengejutkan adalah tempat yang biasa diduduki Nyonya Melia. Pohon bugenvil yang semula dilihatnya begitu indah dan rimbun, penuh warna karena bunga-bunganya yang semarak, kini cuma tinggal batangnya saja yang meranggas. Tak ada bunga, tak ada daun! Kursi taman dari besi yang biasa diduduki Nyonya Melia terlihat kotor dan berkarat. Jok busanya sudah bolong bolong dan warnanya tak jelas lagi!
Angin berembus menyapu kulit Maxi. Terasa dingin menembus sampai ke dalam sumsum. Ia tersadar karenanya. Mulutnya menutup kembali. Tetapi ia tak tahan untuk tidak bergidik. Bulu romanya berdiri semua. Ia terpaku saja di situ. Perasaan takut menyergapnya tapi ia tak bisa lari. Ia tetap di situ dan memandang ke dalam. Matanya bergulir ke sana kemari.
Rumah besar yang tadinya terlihat begitu indah dan megah sekarang kusam. Catnya sudah luntur. Beberapa bagian dindingnya kelihatan berlumut. Pintu dan jendelanya mengelupas kayunya. Ada plafon yang setengah lepas dan berayun-ayun ditiup angin.
Kedua tangan Maxi mencengkeram jeruji besi pintu untuk menahan tubuhnya yang
lemas. Bibirnya bergetar. Kulitnya yang gelap tampak menjadi lebih terang karena darahnya mendadak kekurangan oksigen. Ia benar-benar shock.
Terdengar klakson mobil di belakangnya.
Suara dari alam nyata itu memberi kekuatan kepada tubuhnya. Ia melepaskan cengkeramannya lalu menoleh.
Sebuah mobil sedan berwarna biru tua parkir persis di belakangnya. Tadi ia sama sekali tidak mendengar kedatangan mobil itu. Penumpangnya dua orang. Lelaki berusia empat puluhan yang duduk di belakang kemudi dan gadis muda yang duduk di sampingnya. Jendela mobil di kedua sisi terbuka.
Sebelum Maxi sempat bergerak lebih banyak, lelaki pengemudi mobil keluar dari mobilnya lalu menghampiri. Dia bertubuh tinggi dan kekar. Wajahnya tampan dengan kumis tipis.
"Mau apa, Pak?" tanya lelaki itu dengan tatapan curiga. Pandangnya menjelajahi Maxi dari atas ke bawah. Tampaknya ia sudah siap menyergap dan menangkap Maxi.
Maxi bingung sejenak. Padahal sepanjang jalan tadi, ia sudah menyiapkan kata-kata yang
akan diucapkannya kepada siapa pun yang menerimanya di rumah itu bila Nyonya Melia tidak ada.
Perhatiannya teralih karena pintu mobil terbuka lagi dan gadis yang duduk di samping pengemudi menghambur keluar. Wajahnya memperlihatkan keingintahuan. Tapi berbeda dengan si pengemudi, wajahnya tampak lebih ramah. Dan tatapannya tidak menyiratkan kecurigaan. Cuma ingin tahu.
"Ada apa, Pak?" tanya si gadis. Nadanya juga ramah. Ia merasa iba melihat ketakutan di wajah Maxi.
Sikap si gadis membangkitkan kepercayaan diri Maxi. Ia tidak bermaksud buruk. Jadi kenapa harus takut? Ia cuma shock karena gambaran mengerikan yang barusan diperolehnya. Sudah jelas rumah itu kosong dan terbengkalai. Tak mungkin ada barang berharga di dalam rumah itu. Jadi apa yang mau diambilnya di situ? Pagarnya saja setinggi dua meter. Tapi kesadarannya mengingatkan bahwa apa yang dikatakannya akan menjadi kurang masuk akal. Toh ia harus mengatakannya.
"Saya saya diminta datang oleh Nyonya Melia Rahman. Janjinya sih hari Kamis lalu, tapi waktu itu saya sakit. Jadi saya datang sekarang," katanya semakin lancar. Ia sudah pasrah apa yang mau dikatakan oleh kedua orang itu.
Si gadis memekik kaget. Demikian pula lelaki di sampingnya. Kejutan luar biasa tampak di wajahnya. Matanya melotot seakan mau meloncat keluar.
"Apa? Nyonya siapa?" tanya lelaki itu.
"Nyonya Melia Rahman."
Si gadis kembali memekik. Lalu ia mencengkeram lengan lelaki di sampingnya.
"Pa!" serunya dengan nada horor.
"Mana mungkin, Pa? Mana mungkin!"
Maxi memahami bahwa kedua orang itu ayah dan anak. Ia bertekad akan menceritakan semuanya.
"Betul, saya memang diminta datang. Nyonya Melia duduk di situ, di bawah pohon bugenvil. Dia duduk bersandar, kakinya diselonjorkan ke kursi depannya. Saya sudah lima kali ke sini, bernyanyi untuknya "
"Apa?" teriak lelaki didepannya.
"Saya mengamen," Maxi menepuk gitar yang berada di dalam sarung yang disandangnya.
"Nyonya Melia sangat menyukai lagu Bengawan Solo."
Si gadis menjerit histeris.
"Oh! Itu lagu kesayangan Mama!" teriaknya.
Ayah si gadis terlihat pucat pasi. Kegarangannya semula lenyap seketika.
"Memangnya Bapak tidak tahu?" tanyanya pelan.
Maxi menggeleng.
"Tahu tentang apa? Saya tidak tahu apa-apa. Mulanya saya lewat di sini dan melihatnya duduk. Lalu saya menyanyi. Dia suka. Lalu menyuruh saya datang setiap hari Kamis jam dua. Sudah lima kali saya datang menyanyi untuknya. Kemudian saya sakit Kamis lalu. Jadi saya datang sekarang. Ternyata pemandangannya berbeda. Tidak ada taman indah. Pohon bugenvil yang semula saya lihat berbunga indah sekarang meranggas. Dan kursinya pun karatan. Tentu saja saya kaget setengah mati. Masa dalam waktu seminggu perubahannya begitu besar."
Si gadis menubruk ayahnya lalu memeluknya
"Oh. Pa! Oh. Pa! Dia... dia... me... melihat
han... hantu Mama!"
Maxi sudah punya perkiraan. Tak urung dia kaget juga. Tetapi sekarang bulu romanya tak lagi berdiri. Perasaan seram itu sudah lewat.
"Hus! Diam, Ris!" bentak si ayah.
"Mungkin saja ceritanya bohong!"
Maxi tidak gentar karena persangkaan itu.
"Buat apa saya bohong? Saya tidak mengambil keuntungan apa-apa."
"Siapa tahu?"
Lelaki itu melotot lagi.
"Barangkali Bapak anggota komplotan penjahat yang bermaksud menipu."
Maxi tertawa karena tuduhan itu.
"Saya tidak kenal Bapak. Juga Nyonya Melia. Saya cuma pengamen. Apa yang mau saya tipu? Justru saya hampir pingsan saking kaget melihat rumah bagus dan taman indah tiba-tiba jadi kumuh seperti ini."
"Betul, Pa," si gadis sudah lebih tenang.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan sembarang menuduh. Saya ingin dengar cerita Bapak."
"Jadi Nyonya Melia sebenarnya sudah meninggal?" tanya Maxi.
"Ya." sahut si gadis.
"Dia mama saya.
Meninggalnya sudah kurang-lebih setahun setengah."
"Oh, saya menyesal sekali. Saya sungguh tidak tahu-"
"Memangnya Bapak tidak baca koran sampai tidak tahu peristiwanya?" tanya ayah si gadis dengan nada yang masih kurang ramah.
"Waktu itu saya masih tinggal di desa saya di Maluku, Pak. Di Jakarta saya baru sekitar empat bulan."
"Oh, Bapak korban kerusuhan?" tanya si gadis dengan simpati.
"Ya, Non."
"Nama saya Mariska, Pak. Panggilannya Riris," sahut si gadis sambil mengulurkan tangan.
Maxi menyambut uluran tangan itu dengan jabatan hangat.
Ayah si gadis menatap putrinya dengan pandang tak senang. Jelas ia tak suka akan sikap putrinya yang dianggapnya terlalu familier kepada orang asing, lebih-lebih orang yang derajat sosialnya lebih rendah. Orang-orang seperti ini kalau diperlakukan terlalu baik biasanya suka macam-macam, apalagi pengungsi.
"Istri saya, Nyonya Melia, adalah korban pembunuhan," katanya dengan dingin.
Maxi tersentak kaget. Pembunuhan?
Kembali ia merasakan tiupan angin dingin dekat telinganya. Bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke arah halaman, tempat kursi taman berada. Pemandangan tidak berubah. Di sana sepi dan mati.
"Saya... saya kira dia... dia sakit. Kakinya ...," katanya terbata-bata.
"Ya. Waktu itu kaki Mama memang lagi sakit. Dia habis jatuh. Lututnya luka," Mariska menjelaskan.
"Bagaimana Bapak tahu kakinya sakit?" tanya si ayah dengan nada menginterogasi.
"Dia yang mengatakannya. Kalau mau membayar saya usai nyanyi uangnya dilipat-lipat lalu dilemparkan keluar pagar. Dia minta maaf karena kakinya sakit. Anehnya, lemparannya tidak pernah meleset. Selalu jatuh tepat di telapak tangan saya."
Maxi membuka telapak tangannya yang satu dan telunjuknya diarahkan ke tengah telapak itu.
Mariska dan ayahnya berpandangan. Wajah
keduanya tampak gempar karena emosi. Kali ini wajah si ayah tidak lagi dingin dan sinis.
"Apa baju yang dipakainya, Pak?" tanya Mariska.
"Selama empat kali kedatangan saya, dia selalu memakai gaun putih yang sama dengan motif bunga-bunga kecil warna merah jambu. Lengannya pendek. Baru pada kedatangan saya yang paling akhir dia mengenakan gaun berbeda. Warnanya biru muda dengan bunga kecil bertebaran warna putih. Lengannya juga pendek. Ada saku di pinggirnya. Dari saku itu dia mengeluarkan dompet kain beludru hitam setiap akan membayar saya usai bernyanyi ..."
Mariska memekik karena emosi yang tak tertahankan.
"Bagaimana Bapak tahu dompet itu dari kain beludru? Jaraknya cukup jauh, kan? " tanyanya
"Dia memberikannya pada saya, eh, dia melemparkannya."
"Apa?" teriak Mariska.
Sementara si ayah bengong seperti kehilangan kemampuan berbicara.
"Ya. Dompet itu masih saya simpan berikut semua uang pemberiannya. Kalau Non Riris
mau lihat, nanti saya ambil di rumah," kata Maxi dengan antusias. Untuk gadis sebaik itu dia akan bersedia membantu.
Mariska berbalik berhadapan dengan ayahnya. Ia memegang kedua lengan ayahnya lalu mengguncangnya. Wajahnya yang manis terlihat pucat.
"Pa! Dompet itu saya masukkan ke dalam saku gaun yang dipakai Mama saat dikubur!" seru Mariska.
Si ayah tersentak. Bibirnya bergetar. Tatapannya dipalingkan ke halaman rumah yang belum sempat. dimasukinya lalu pelan-pelan beralih kepada Maxi. Yang dipandang pun sedang terkaget-kaget. Jadi dompet yang diperolehnya itu berasal dari liang kubur? Padahal dompet itu pernah diciumnya karena berbau wangi!
Tetapi bukan cuma kejutan itu yang melanda Maxi. Talapan yang diberikan ayah Mariska membuatnya ngilu. Sulit menafsirkan makna tatapan itu. Yang pasti bukanlah mengajak berbagi kejutan atau simpati, tetapi sesuatu yang mengerikan. Apakah itu ekspresi dari kemarahan yang luar biasa atau kebencian yang tiada taranya? Atau justru ketakutan yang tak
terperikan?
Pertautan itu tidak berlangsung lama. Ayah Mariska lebih dulu menarik pandangnya lalu beralih kembali kepada putrinya.
"Apakah kita mesti percaya saja pada semua ceritanya itu?" tanyanya pelan.
Maxi jadi tersinggung.
"Kalau Bapak tidak mau percaya juga tidak apa-apa," kata Maxi sedikit ketus.
"Saya datang ke sini bukanlah bertujuan menyampaikan cerita itu, melainkan untuk bertemu dengan Nyonya Melia Rahman sesuai janji saya dengannya. Mana saya tahu apa yang sesungguhnya terjadi? Sekarang karena kenyataannya seperti ini, maka terpaksalah saya bercerita betapapun aneh kedengarannya. Apa Bapak kira cuma Bapak saja yang kaget? Apalagi saya yang mengalami sendiri! Coba saja pikir. Saya lewat di sini, lalu melihat seorang ibu sedang merenung di tamannya. Ia mengizinkan saya bernyanyi. Lalu ia memuji suara saya. kemudian meminta saya datang setiap Kamis jam dua siang. Tentu saja saya senang. Terakhir dia malah minta bantuan saya untuk sesuatu yang tidak ia jelaskan. Ia cuma minta saya datang seperti biasa.
Tapi ternyata hari Kamis saya sakit. Untuk memenuhi janji, saya datang sekarang. Apa yang saya lihat? Rumah dan halamannya seperti disulap menjadi kumuh. Nyonya itu sendiri sudah almarhum. Kenapa saya harus mengalami seperti itu? Kenapa justru saya?"
Maxi melampiaskan unek-uneknya tanpa disela. Kedua orang di depannya mendengarkan dengan diam. Tampaknya mereka masih lemas dan terpukul akibat kejutan barusan.
Tetapi berondongan kata-kata Maxi mampu menyadarkan.
"Maaf, Pak," kata Mariska.
"Maafkan kami. Sikap kami kurang sopan."
Lalu Mariska menggoyang lengan ayahnya dan menatapnya dengan pandang memohon.
"Ini ayah saya, Pandu Rahman," kata Mariska sambil menggoyang lagi lengan ayahnya.
Terpaksa Pandu mengulurkan tangannya. Maxi menjabatnya tanpa keberatan meskipun ia menyadari keterpaksaan orang yang dihadapinya.
"Maafkan, Pak," kata Pandu.
"ini shock yang amat berat buat kami. Bapak memang kaget, tapi Bapak kan nggak ada hubungannya
dengan dia. Lain halnya dengan kami."
"Tapi benar yang dikatakan Pak Maxi. Pa. Kenapa justru dia yang dipilih Mama? Apa yang dikehendaki Mama?" kata Mariska sambil mengeringkan matanya yang basah.
Pandu berpikir sebentar lalu menatap Maxi.
"Jadi ia minta bantuan Bapak? Bantuan macam apa?"
"ia tidak sempat mengatakan. Ia bilang, nanti saja kita bicarakan. Ternyata saya tidak bisa bertemu dengannya. Hari itu saya sakit dan kehilangan suara saya. Tapi malamnya saya bermimpi tentang dia."
Pandu mengerutkan kening dengan ekspresi kesal. Jelas ketidaksukaannya. Meskipun tidak dikatakannya, tapi ekspresinya mengatakan ada omong kosong apa lagi ini?
Tetapi Mariska segera bereaksi,
"Mimpi apa, Pak?"
Maxi memahami pandangan Pandu.
"Sudahlah, Non Riris. Nanti saya cuma menambah kekagetan saja."
"Tidak! Tidak! Saya ingin dengar cerita Bapak. Semua dan seutuhnya!" kata Mariska dengan tegas.
Maxi ragu-ragu. Wajah Pandu benar-benar kelabu. Ia takut melihatnya.
Mariska menyadari hal itu. Ia menatap ayahnya.
"Pa, bukankah kita bertujuan ke sini untuk memeriksa rumah? Sekalian saja kita masuk dan mengajak Pak Maxi ke dalam. Di sana kita bisa bicara leluasa."
Tiba-tiba wajah Pandu mengekspresikan horor. Ia menggelengkan kepala.
"Di... di sana ada han... hantunya, Ris," katanya dengan susah.
"Biar saja. Itu kan hantunya Mama. Ris ingin ketemu. Masa Papa takut sama hantunya Mama. Ayolah, Pa," bujuk Mariska sambil menarik tangan ayahnya.
Pandu cepat menenangkan diri. Ia melepaskan tangan Mariska.
"Bapak ini kan mesti mencari nafkah, Ris. Kita tidak boleh mengambil waktunya yang berharga. Bukan begitu, Pak?"
Pandu mengarahkan tatapannya kepada Maxi. Sekarang tatapannya ramah dan bersahabat.
Tak bisa lain Maxi mengangguk saja. Sepertinya ucapan Pandu itu bukan sekadar untuk kepentingannya, melainkan karena ia sendiri berkehendak begitu.
Mariska tidak bisa menerima begitu saja.
"Apakah Bapak memang harus mengamen?" tanyanya.
Maxi tak segera menjawab. Ia merasa dirinya ditarik ke sana kemari. Tetapi daya tarik rumah itu juga besar! Ia sendiri ingin masuk dan melihatnya meskipun ada kengerian.
"Begini saja, Pak," Mariska melanjutkan.
"Sebelumnya maaf kalau saya menyinggung. Tapi saya akan mengganti penghasilan Bapak untuk satu hari ini. Jangan marah, ya Pak. Soalnya saya menganggap pertemuan kita ini penting sekali. Cerita Bapak luar biasa bagi saya," kata Mariska sambil menekan dadanya.
"Kalau Bapak saya biarkan pergi tanpa bercerita, bagaimana kalau Bapak tak bisa saya temukan lagi? Padahal saya tidak tahu di mana Bapak tinggal. Saya juga takut Bapak tidak mau ditemui setelah Bapak menerima perlakuan yang tidak pantas ini. Wah, saya akan menyesal seumur hidup. Mau ya, Pak?"
Lalu kepada ayahnya Mariska menoleh.
"Boleh kan, ya Pa?"
Berganti-ganti Mariska menatap kedua lelaki itu. Ekspresinya memohon dengan sangat. Maxi tidak tega untuk menolak, tapi ia khawatir akan reaksi Pandu.
"Saya terserah sama Bapak saja," akhirnya Maxi berkata.
"Tapi saya tidak perlu bayaran apa-apa."
Pandu termenung sejenak. Ia tidak memandang kepada putrinya maupun kepada Maxi.
"Kalau kau begitu memaksa, ya terserah," keluhnya.
"Tapi kalian berdua saja yang masuk. Aku tunggu di sini."
"Lho, Papa memang mau ke sini, kan? Kok nggak mau masuk? Buat apa jauh-jauh ke sini dong! Saya kan pengen ditemani Papa juga. Kita bisa kaget sama-sama nanti."
Mariska tertawa pelan. Kemudian buru-buru menutup mulutnya yang mungil setelah dipelototi ayahnya. Tapi ia belum mau menyerah. Ditarik-tariknya lengan ayahnya sambil merayu.
"Ya, ya. Baiklah," keluh Pandu, lalu mengeluarkan serenceng kunci dari sakunya.
Mariska tertawa senang lalu menggamit lengan Maxi.
"Mari, Pak. Kita masuk?" Maxi merasa seolah akan memasuki sebuah dunia baru penuh misteri.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada hari yang sama, Grace baru saja selesai memasak dan bersiap untuk istirahat di depan televisi, menonton acara kesayangannya. Kemudian terdengar ketukan pintu depan.
Grace terkejut melihat Ivan berdiri di depan pintu. Segera ia bersikap waspada dan tidak menyilakan ivan masuk.
"Ada apa?" tanya Grace dengan nada dingin.
"Maaf mengganggu, Tante. Saya mau mengambil barang yang ketinggalan," kata Ivan dengan ramah. Senyumnya terlihat manis. Wajahnya tampak imut-imut menggemaskan.
"Kok sekarang? Memangnya kau nggak kerja?"
"Hari ini saya minta izin nggak masuk. Rasanya kurang enak badan. Sekalian mau beres-beres kamar kos."
Grace mengerutkan kening. Ada yang tidak
wajar, pikirnya.
"Kalau kurang enak badan kok beresin kamar? Mestinya kamu istirahat. Tidur-tiduran kek."
"Sekarang sih rasanya sudah enakan, Tante. Nggak enak tiduran terus."
"Nanti sore saja ambilnya, Van. Jangan sekarang."
Ketegasan Grace tidak membuat Ivan segera undur. Senyumnya tetap mengembang. Ekspresinya sangat berbeda dibanding saat ia tengah emosi.
"Tante masih marah sama saya rupanya."
"Ya," sabut Grace terus terang.
"Ah, nggak baik marah terus-terusan, Tante. Kalau saya sih nggak mau menyimpan marah lama-lama. Nanti bisa cepat tua lho."
"Orang satu dengan orang lain itu nggak sama, Van. Sudahlah. Nanti sore saja, ya?"
Ketika Grace mau merapatkan pintu, Ivan melonjorkan satu kakinya ke depan. Kaki itu mengganjal daun pintu hingga tak bisa dirapatkan. Grace melotot dengan marah.
"Kenapa sih kau? Mau memaksa, ya?" hardiknya.
"Tolonglah, Tante. Saya cuma mau mengambil barang."
"Nanti sore kan bisa. Kosnya di mana sih?"
"Di ujung jalan, Tante."
"Nah, kan dekat. Sudah. Sore saja, ya?"
Suara Grace lebih lembut. Membujuk. Orang ngotot seperti Ivan ini tidak boleh dikerasi, pikirnya.
"Sore ada Rico."
"Memangnya kenapa?"
"Saya nggak mau ketemu dia."
"Oh, begitu."
Grace berpikir lagi. Memang ada baiknya juga Ivan tidak ketemu dengan Rico. Nanti mereka bisa ribut lagi atau macam-macam. Bertemu di kantor dengan di rumah tentu berbeda. Lagi pula tampang Ivan yang imut-imut itu tidak mencerminkan orang yang berniat jahat.
"Sebenarnya saya ingin bicara dengan Tante. Berdua saja."
Grace mengerutkan keningnya lagi. Kecurigaannya muncul lagi.
"Berdua saja? Bagaimana kau tahu?"
"Tadi saya lihat Oom Maxi lewat depan rumah kos."
"Begitu, ya?"
"Ya. Kok bawa gitar di punggungnya. ya?"
"Dia mau latihan band," sahut Grace. Jawaban yang cepat karena sudah terbiasa berkata begitu kalau ditanyai tetangga.
"Wah, hebat juga. Jadi, boleh nggak, Tante? Kalau barang saya belum boleh diambil, bicara saja boleh dong, ya?"
"Mau bicara apa, sih?"
"Dari hati ke hati. Tentang masalah saya dengan Rico. Sebagai ibu tentu Tante kepengin tahu."
"Tapi aku kan sudah tahu."
"Belum semua, kan?"
Grace tertegun. Tentu dia sangat ingin tahu. Tapi ada juga suara di hatinya yang memperingatkan. Bagaimana kalau cerita Ivan menyakitkan hatinya? Masa lalu biarlah berlalu. Perlukah dia tahu?
"Apa Rico sudah cerita?"
Grace tidak menyahut. Justru itu, pikirnya. Rico tidak pernah bercerita. Rico selalu menenangkan dan menenteramkan. Tapi tidak mau cerita.
"Ini bukan cerita porno, Tante," Ivan tertawa nakal.
"Saya cuma ingin bicara tentang permasalahan kami. Dari situ mungkin Tante bisa belajar memahami kami. Biarpun homo tapi kami bukan monster yang harus ditakuti."
"Aku tidak takut sama kau. Aku cuma tidak ingin menambah masalah. Mestinya kau ngomong sama psikolog."
"Wah, keluar duit dong, Tante! "
Grace semakin bimbang. Acara televisi kesenangannya sudah lewat.
"Kelihatannya Tante memang tidak mau menerima saya. Tentu saya tidak mungkin memaksa. Maaf, saya sudah mengganggu."
Ivan menarik kakinya.
"Permisi, Tante."
"Tunggu!"
Grace membuka pintu lebar-lebar. Ivan tersenyum.
Perasaan Maxi seperti mengambang ketika melangkah memasuki halaman rumah milik keluarga Rahman. Ia berhenti di depan perangkat kursi taman tempat ia pernah melihat Nyonya Melia duduk. Dari dekat ia bisa melihat lebih jelas lagi kehancuran perabotan itu. Besi penyangga, tempat pohon bugenvil membelit di
empat sudut membentuk gazebo, sudah berkarat. Begitu parahnya hingga berlubang-lubang di banyak tempat. Alangkah berlawanan dengan pemandangan indah yang pernah dilihatnya.
Mariska mengamati tatapannya.
"Dulu memang bagus sekali," katanya.
"Ya. Sayang sekali."
Maxi ingin bertanya kenapa itu disia-siakan. Padahal untuk orang yang tampaknya cukup kaya seperti Pandu Rahman, tak ada susahnya menyewa tukang kebun untuk memelihara taman. Kalau membangun ulang membutuhkan waktu dan biaya yang lebih banyak. Tetapi ia sadar, dirinya tidak patut bertanya seperti itu.
"Jadi Mama selalu duduk di situ kalau Bapak ke sini?" tanya Mariska sambil menunjuk.
"Betul. Saya peragakan?"
Mariska mengangguk.
Maxi duduk di kursi yang menghadap ke pintu pagar, lalu kedua kakinya diselonjorkan ke kursi di depannya. Pada saat berbuat begitu tak sengaja tatapannya tertuju kepada Pandu. Ia terkejut karena mendapati lelaki itu tengah mengamatinya dengan pandang gusar. Hatinya menciut. Cepat-cepat ia berdiri.
"Sudahlah. jangan terlalu banyak buang waktu," kata Pandu dengan nada jengkel.
Mariska mendekati ayahnya. Ia berbisik di dekat telinga si ayah. Tampak kejengkelan di wajah Pandu menyurut. Ia mengangguk-angguk.
Maxi merasa kurang enak. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia segera menurunkan gitarnya. Sarungnya disandangkan di bahu. Tanpa basa-basi, ia memetik gitarnya.
Kedua orang di depannya tersentak. Pandu sudah membuka mulutnya, tapi Mariska menepuknya sebagai isyarat agar diam. Mereka pun memandang Maxi tanpa kata-kata.
Suara merdu Maxi mengalun membawakan lagu Bengawan Solo. Agak bergetar pada awalnya, tapi kemudian ia menemukan kemantapan. Ia membayangkan Nyonya Melia sedang mendengarkannya juga.
Ini untuk Ibu, kata hatinya.
Selama bernyanyi ia tidak memandang kepada Pandu dan Mariska. Ia konsentrasi kepada Nyonya Melia dalam pikirannya dan tak ingin teralih karena reaksi yang diperlihatkan mereka. Ia membayangkan ekspresi Nyonya Melia
saat mendengarkan nyanyiannya. Bagaimana ia menengadah setengah terpejam dan mulut tersenyum.
Ketika selesai bernyanyi, Maxi menatap kedua orang di depannya, ia terperangah melihat mereka. Keduanya seperti patung, diam dengan mata yang seolah tak berkedip-kedip. Mulut setengah terbuka. Bahkan beberapa menit setelah ia berhenti bersuara, kedua orang itu masih saja tak bergerak.
Maxi berdeham. Kedua orang itu tersentak.
Tiba-tiba Mariska menangis tersedu-sedu lalu menghambur ke dalam pelukan ayahnya.
Pada saat itu Maxi menyesal karena telah membangkitkan kesedihan kepada orang-orang yang mungkin sudah mulai melupakan. Tetapi tadi itu ia merasa terdorong. Bukan cuma untuk membuktikan bahwa ia memang bisa bernyanyi tapi juga untuk mempersembahkannya kepada Nyonya Melia!
Ketika mengangkat kepala ia terkejut melihat tatapan Pandu kepadanya. Bukan cuma kegusaran yang tampak di mata Pandu, tapi ada sesuatu yang lain. Ia merasa takut. Apakah ia seperti membangunkan macan tidur? Perumpamaan itu sesungguhnya tidak tepat, tapi ia merasa seperti dirinya akan dimangsa macan yang dibangunkan dari tidur yang nyaman karena mendapat pukulan yang menyakitkan. Dia seorang pengganggu berat.
Maxi segera memasukkan kembali gitarnya ke dalam sarung, menyandangnya kembali di belakang punggung. Lalu ia melangkah ke pintu tanpa kata-kata dan kepala menunduk. Lebih baik ia pergi saja daripada menebarkan kesedihan terus-menerus.
Mariska melepaskan diri dari pelukan ayahnya lalu mengejar Maxi. Ia berhasil mencekal lengan Maxi sebelum mencapai pintu.
"Pak! Tunggu! Kenapa mau pergi? Jangan pergi, Pak! Jangaaan ..."
Wajah Mariska penuh air mata. Maxi tidak tega melihatnya.
"Tapi buat apa lagi, Non Ris? Saya sudah membawa kesedihan."
"Betul! Biarkan saja dia pergi!" seru Pandu.
"Tidak! Saya tidak ingin Bapak pergi. Tadi Bapak sudah janji mau cerita."
"Tapi papanya Non tidak mau. Saya harus tahu diri."
"Ris !" bentak Pandu.
Mariska tidak memedulikan ayahnya. Ia tetap memegangi lengan Maxi.
"Pak, tadi nyanyinya bagus sekali. Saya sampai merinding. Saya sedih karena ingat Mama sangat suka lagu itu. Tidak heran kalau dia sampai meminta Bapak datang setiap minggu. Saya sudah sering mendengar Mama memutar lagu itu yang dinyanyikan oleh berbagai penyanyi. Tapi saya belum pernah mendengar yang seperti suara Bapak itu. Kok enak sekali. Merdu dan empuk. Aduuuh..," Mariska mengekspresikan keterpesonaannya.
"Ris!" bentak Pandu lagi.
"Pak, ayo kita masuk. Bapak berutang cerita sama saya," Mariska melanjutkan tanpa memandang ayahnya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu menarik tangan Maxi yang terpaksa mengikuti. Mereka melewati Pandu yang berkacak pinggang mengawasi dengan wajah berang. Setelah berjalan sekitar sepuluh meter, Mariska berhenti. Mereka menoleh ke belakang. Pandu masih di tempat semula. Tapi ia tidak lagi berkacak pinggang. Ia juga tidak lagi mengawasi mereka. Kepalanya menunduk.
Tidak kelihatan ekspresinya. Tapi posisinya tampak tidak mantap. Mungkin sebentar lagi tubuhnya bisa ambruk.
"Tunggu ya, Pak," kata Mariska.
Lalu ia berlari ke arah ayahnya. Mereka terlihat berbincang sejenak. kemudian Mariska menggandeng lengan ayahnya dan bersama mereka melangkah ke luar. Maxi buru-buru mendekat ingin melihat lebih jelas. Ia khawatir ditinggalkan sendirian.
Pandu masuk ke dalam mobil. Mariska meninggalkannya di sana lalu cepat kembali ke dalam.
"Mari kita masuk, Pak," ajak Mariska sambil meraih lengan Maxi.
"Tapi... papanya Non," Maxi menunjuk ke
luar.
"Dia lebih suka menunggu di mobil."
Kemudian Maxi menggelengkan kepala.
"Barangkali ini bukan cara yang baik, Non Ris."
"Kenapa?"
"Saya ini seperti memberi kesedihan saja. Seharusnya saya tidak datang dan membawa cerita menggemparkan ini. Keluarga Non sudah melewati trauma. Sekarang saya mengingatkan
kembali. Kesedihan yang ditimbulkan mungkin jauh lebih besar daripada dulu."
"Tidak, Pak. Saya justru gembira menerima Bapak. Saya senang mendengar cerita Bapak. Memang saya sedih karena keriangan peristiwa dulu. Tapi sedihnya beda. Saya ingin sekali mendengar ceritanya, Pak. Saya sayang sekali sama Mama. Sekarang saya tahu, Mama masih ada di rumah ini."
Mariska memandang berkeliling. Maxi mengikuti arah pandangnya.
Rumah itu besar. dan masih memperlihatkan sisa kemegahannya. Cukup mengherankan bagaimana dalam waktu setahun lebih saja, rumah itu menjadi kumuh dan berlumut. Sepertinya terlalu cepat. Ia yakin sebelum Nyonya Melia terbunuh, tentunya mereka sekeluarga masih menempati rumah itu.
"Ayo, Pak. Jangan bimbang lagi dong. Kita sudah sampai di sini. Kan Bapak sudah janji," kata Mariska khawatir.
Maxi masih bimbang. Di satu sisi ia merasa takut kalau dirinya menimbulkan kesedihan dan kehancuran hati keluarga Rahman, tapi di sisi lain ia juga didorong rasa ingin tahu yang
sangat besar. Apa yang sebenarnya terjadi atas diri Nyonya Melia? Dan apa pula yang diinginkan Nyonya Melia dari dirinya? Apalagi kalau ia teringat akan mimpinya.
"Non memang tidak apa-apa. Tapi papanya Non gimana? Ingatlah akan dia, Non. Jangan sampai jiwanya terganggu," ia masih bisa mengingatkan. Sekalian mengingatkan dirinya sendiri. Jangan berlebihan dengan keinginanmu sendiri.
"Papa akan segera pulih," kata Mariska dengan yakin.
Maxi memandang ke arah rumah. Mereka sudah berada di depan teras. Pintunya besar tinggi. Plafonnya juga tinggi disangga pilar bundar. Tetapi plafonnya banyak yang lepas. Ada yang sudah jatuh ke lantai, ada pula yang masih melambai-lambai. Cat dinding yang putih sudah menjadi abu-abu dan mengelupas di sana-sini. Sarang labah-labah terdapat di setiap sudut. Benar-benar mengerikan.
Tiba-tiba ia tersentak. Kepalanya sampai mengentak ke belakang.
Di depan pintu. berdiri Nyonya Melia dengan gaun panjang berwarna putih! Ia tersenyum
sambil melambaikan tangan kepadanya!
"Kenapa, Pak?"
Pertanyaan itu menyadarkan Maxi. Ia memejamkan matanya sejenak. Ketika membukanya lagi lalu mengarahkan pandangnya kembali ke arah pintu, ia tidak melihat apa-apa di sana.
"Ada apa, Pak?" desak Mariska.
"Oh..., ti... tidak ada apa-apa," sahut Maxi buru-buru.
"Bohong, ah. Bapak melihat sesuatu tadi."
"Nggak, Non. Saya cuma kaget melihat rumah ini. Begini bagus kok ditelantarkan."
"Ya. Sayang memang. Papa trauma dengan rumah ini. Baru sekarang ia berani ke sini untuk menjenguk. Tadinya ia biarkan saja. Bahkan melarang saya dan adik saya ke sini."
"Jadi selama setahun setengah, rumah ini ditinggalkan?"
"Betul, Pak. Pendeknya setelah kejadian itu."
"Kejadian?"
"Mama terbunuh di rumah ini. Jadi ini merupakan TKP."
Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama