Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto Bagian 1
- 1 -- 2
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3
FREDY
SISWANTO
Batas
Perjalanan
Cinta
PENERBIT
" SANJAYA "
JAKARTA- 4
Novel Trilogi:
1. SELAPUT PAGAR AYU.
2. HATI KECIL PENUH JANJI.
3. BATAS PERJALANAN CINTA.
Karya : FREDY SISWANTO
Cetakan pertama : 1984
Diterbitkan oleh: SANJAYA - JAKARTA1984
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
ALL RIGHTS RESERVED
Gambar sampul oleh : Floren
Cerita ini adalah fiktif- 5
SATU
Gunawan tidak tahu apa yang sedang berkecamuk
dalam hati istrinya. Dan tidak tahu bahwa di dalam
kandungan perempuan itu telah tumbuh janin lelaki lain.
Cuma yang dia perbuat sekarang, sikapnya kian dingin
terhadap istrinya. Itulah sebabnya hingga sepasang suami
istri ini jarang sekali bertegur sapa. Keduanya nampak
saling bertahan pada pendiriannya masing-masing.
Rupanya keadaan diri Rosalina kini, tak bisa terus
menerus bertahan begitu. Sebab dia harus memberi tahu
kepada suaminya, tentang keadaan dirinya yang telah
mengandung. Sungguhpun hal itu rasanya teramat berat.
Ditambah lagi dengan permintaan Handrian, bahwa dia
harus bisa menentukan pilihan. Tetap pada kesetiaannya- 6
terhadap suaminya, atau menerima lamaran Handrian yang
mengajaknya hidup bersama.
Tidak. Rosalina mengambil keputusan tidak akan
meninggalkan suaminya. Meskipun apa yang akan terjadi,
keputusannya itu tak akan bisa tergoyahkan. Sekalipun janin
yang dikandungnya adalah benih Handrian. Dan maukah
Gunawan menerima bayi itu setelah lahir sebagai anak
kandungnya sendiri? Maukah?
Rosalina kembali merasa terombang-ambing oleh
ketidak pastiannya itu. Cintanya terhadap Handrian begitu
besar. Sedangkan rasa belas kasihan dan kesetiaannya
terhadap Gunawan juga teramat besar. Dan rasanya dia tak
akan sampai hati mengatakan kepada suaminya tentang
benih yang sedang tumbuh dalam kandungannya. Tentu
lelaki itu akan merasa sangat disakiti oleh keterusterangan
nya. Seolah-olah dia telah menikam secara langsung
kehidupan suaminya. Suami yang tak berdaya atas segala
kekurangannya. Dan hal itu bisa merupakan api kemarahan
suaminya. Lelaki itu pasti akan sangat marah begitu
mengetahui istrinya sampai begitu nistanya bermain serong
di luar rumah. Dan lebih dirasakan memalukan lagi, istrinya
itu sampai mengandung akibat perbuatan terkutuk itu. Dan
akhirnya Rosalina cuma bisa menarik napas berat. Semula
niatnya yang menggebu-gebu ingin memberi tahu keadaan
dirinya kepada suaminya, kembali tertunda-tunda. Apalagi
mengutarakan niatnya untuk meminta dicerai dari suaminya.
Itulah kelemahan Rosalina setiap melihat keadaan diri- 7
suaminya yang invalid. Dia tak sampai hati, meskipun
sebenarnya sudah tak tahan didera penderitaan. Dilindas
kegetiran.
Malam itu suasana di rumah Rosalina agak
menyenangkan. Sebab Gunawan mau meneguk minuman
kopi yang disediakan Rosalina di atas meja ruang makan.
Dan hal itu merupakan awal suatu keberanian Rosalina
untuk menegur suaminya.
"Mas Gun ingin makan malam? Lina sediakan ya?"
kata Rosalina lembut dan penuh perhatian.
"Aku masih kenyang," sahutnya nampak tak
bergairah.
Rosalina menarik napas kecewa, lantas menarik kursi.
Duduklah dia menghadapi meja. Menghadapi suaminya
yang dengan santainya meneguk minuman kopinya. Seolah
olah lelaki itu sama sekali tak menghiraukan kehadiran
istrinya. Acuh saja. Membuat Rosalina merasa canggung
menghadapi suaminya.
Sekarang. Rosalina mau mengutarakan sekarang.
Memberitahukan keadaannya sekarang. Ditunda-tunda pun
akhirnya akan ketahuan juga.
Tapi kemudian dia ragu lagi. Dia merasa saat seperti
ini kurang tepat. Lalu kapan lagi dia akan memulai?
Keadaan sudah semakin mendesak. Daripada suaminya
akhirnya tahu, lebih baik dia tahu sekarang. Itulah letupan- 8
perasaan Rosalina, hingga timbul keberaniannya. Tidak
ragu-ragu lagi.
''Mas, ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu," kata Rosalina tanpa mengangkat mukanya. Dia
enggan bersitatap dengan suaminya.
"Ya, katakan saja," suara Gunawan datar. Yang
dipandang bukan wajah istrinya, melainkan gelas yang
berisi minuman kopi. Dan minuman kopi itu tinggal
separuh.
"Sebelumnya Lina minta maaf"
Terdengar suara Rosalina bergetar, nadanya berat
terlepas dari mulutnya. Membuat Gunawan merasa ada
sesuatu kejanggalan yang lain dari biasanya. Ditambah lagi
dengan ucapan "Maaf" istrinya. "Aneh? Ada apa ini?" pikir
Gunawan yang kemudian memandang wajah Rosalina.
"Ada apa, Lina?"
"Lina pasti akan sangat mengecewakan mas Gun."
Gunawan tersenyum pahit.
"Selama ini kau tak pernah mengecewakan aku.
Justru aku yang tak pernah menyenangkan hidupmu."
"Menyakiti perasaan mas Gun," suara Rosalina mulai
parau.
"Itu memang seringkali kurasakan. Tapi aku
menyadari tentang semua kekurangan pada diriku."- 9
"Bukan itu..." Keluh Rosalina yang mulai terisak.
"Lalu apa?" Gunawan memandangnya tidak faham.
"Keadaanku sekarang... keadaanku sekarang..."
ucapan Rosalina terhenti. Tangisnya meledak.
"Bicaralah terus terang, dan jangan dibarengi dengan
isak tangis begitu. Semuanya itu akan membuatku jadi
kesal."
Rosalina buru-buru mengusap air matanya. Dan
berusaha menghentikan tangisnya, walau isaknya masih
tersisa. Dadanya bergelombang naik turun. Oh Tuhan,
berikanlah aku kekuatan untuk mengutarakan keadaanku
yang sekarang ini. Dan semoga mas Gunawan akan
memaafkanku dengan tanpa penyesalan. Tanpa kemarahan.
"Mas Gun, aku telah ham... hamil," suaranya berat
sekali.
Gunawan sesaat terperangah. Kemudian dia menarik
napas panjang, seolah-olah hampir kehabisan napas. Dan
dirasakan seolah-olah ruangan itu jadi teramat pengap.
"Aku sudah menduga..." gumam Gunawan sambil
menundukkan muka. Dan ucapan itu nyaris tidak
kedengaran. Sementara di dalam dadanya segumpal
kenyerian menggigit-gigit hatinya. Betapapun kemarahan,
kebencian meletup-letup dalam dadanya, namun karena dia
menyadari tentang segala kekurangannya, maka tak
berdayalah dia. Ibarat padi yang tertunduk menguning.- 10
Tertunduknya Gunawan memang dapat diibaratkan padi
yang tua dan menguning. Sebab telah sarat dengan segala
macam cerita dan siksaan batin. Sementara itu Rosalina
merasa dicekam rasa berdosa. Bersalah. Maka dia
melangkah hati-hati mendekati suaminya. Dan sepasrah diri
menerima hukuman yang akan diterimanya. Mungkin
setimpal dengan perbuatannya. Maka Rosalina memegang
pundak lelaki itu. Gunawan masih tetap tertunduk.
"Aku mohon pengampunanmu, mas..." suara
Rosalina gemetar dalam isak.
Tidak terdengar sahutan.
Rosalina perlahan-lahan berlutut di depan suaminya.
Dengan pandangan yang kabur ditatapnya muka Gunawan
yang tetap tertunduk. Dan Rosalina tetap berusaha agar bisa
bersitatap dengan mata lelaki itu. Tapi, tapi... Gunawan
semakin menajamkan matanya. Dan di sudut matanya ada
cairan bening yang menitik perlahan.
Menjadikan Rosalina makin pedih.
"Mas, kau tidak mau mengampuni aku?" memelas
sekali ucapan perempuan itu. Tapi tetap tidak ada reaksi dari
Gunawan, sehingga kepedihan kian merejah. Tangisnya pun
menjadi semakin terisak.
Tubuh yang lesu bagai tak mempunyai daya itu
digoyang-goyangkannya. Dan meskipun digoyangkan- 11
hanya bagaikan patung. Menurut saja kemauan perempuan
itu. Membuat Rosalina jadi menjerit.
"Maaaaas! Maaaaas! Kenapa tak kau jawab?!"
Tidak ada sahutan.
Tangis Rosalina tambah melengking.
Tidak lagi menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu.
Sekarang dipeluknya erat tubuh yang bagai tak
mempunyai kekuatan dan daya menghadapi kenyataan.
"Lina memang perempuan terkutuk, mas "
"Syukurlah kalau kau tahu itu," suara Gunawan serak
parau.
"Sudikah kiranya mas Gun mengampuni, Lina?"
Perlahan-lahan Gunawan mengangkat kepalanya,
sampai dia tengadah memandang langit-langit rumahnya. Di
matanya nampak berkilau-kilau digenangi air bening. Dan
bibirnya mengucap bagai bergumam pelan:
"Betapa mudahnya pengampunan bagi perbuatan
seorang istri yang nista."
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lina memang nista. Lina memang terkutuk, tapi
Lina juga perempuan biasa yang tidak luput dari kesalahan
dan dosa. Oleh sebab itu Lina mohon agar mas Gun
mengampuni Lina. Lakukanlah apa saja, asalkan jangan
putuskan rasa kesetiaanku untuk selamanya padamu. Aku- 12
pasrah menerima hukuman apa saja darimu," suara Rosalina
disela isak tangisnya.
"Kau telah merusak citra kaum wanita."
"Lina tahu itu."
"Dan anak dalam rahimmu senista perbuatanmu."
"Biarkan dia tumbuh besar dalam rahimku, karena
aku sangat membutuhkannya. Bayi yang akan lahir dalam
kandunganku ini, merupakan kebahagiaanku satu-satunya.
Dia bagaikan pelita yang akan menerangi dalam hidupku,"
kata Rosalina yang begitu sangat mendambakan kehadiran
bayinya itu.
Gunawan menarik napas berat. Dalam-dalam sekali
tarikan napasnya itu, sampai-sampai dadanya bagai mau
pecah. Pecah menampung terlalu banyak udara. Lalu sedikit,
perlahan dia hembuskan napasnya kembali. Sementara
letupan kemarahan dan gejolak emosi ditahannya.
"Sudah sejak dulu aku mengatakan, bahwa hidupku
tak mempunyai kekuatan untuk membahagiakan hidupmu,
tapi kenapa kau tetap mempertahankan diriku?"
Rosalina tertunduk. Tergiang kembali ucapan
Handrian yang minta ketegasan darinya. Bercerai dengan
suaminya demi anaknya, kemudian menikah dengan
Handrian. Harus sekejam itukah aku mengambil keputusan?
Oh Tuhan, tunjukanlah jalan yang terbaik pada diriku.- 13
Rasanya aku tak bisa berbuat banyak menghadapi persoalan
yang pelik ini, keluh Rosalina dalam hati
"Jadi sekarang apa kemauanmu?" tanya Gunawan
sambil menatap wajah Rosalina.
Rosalina mengangkat kepalanya, membalas tatapan
suaminya.
"Lina tidak tahu," jawab Rosalina sembari
menggelengkan kepala. Mendesah dalam keluhan.
"Kau harus bisa tegas memilih antara dia atau aku.
Jangan dibiarkan persoalan ini kian berlarut-larut Karena ini
menyangkut masa depan bayi yang akan lahir dari dalam
kandunganmu."
"Lina tidak akan meninggalkan mas Gun," kata
Rosalina dengan terisak.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Kau pasti
membohongi dirimu sendiri. Sudahlah Lina, aku rela
melepaskanmu dan menikah dengan Handrian. Lelaki itu
sangat baik dan penuh tanggung jawab. Kau pasti akan dapat
hidup bahagia di sisinya. Percayalah."
"Tidak. Tidaaaak!" Rosalina berlari masuk ke
kamarnya.
Di atas tempat tidur dia menangis. Apa pun yang akan
terjadi dia tak akan meninggalkan suaminya. Biarlah.
Biarlah Handrian menikah dengan gadis pilihan orang- 14
tuanya. Aku tak akan meninggalkan suamiku yang butuh
kasih sayang dan perawatan.
***- 15
Perasaan yang dibawa Rosalina dari rumah adalah
kemurungan. Dan gairahnya untuk menginjak lantai kantor
jadi berkurang. Apalagi untuk menyelesaikan pekerjaannya
di kantor. Sebab pikirannya saat ini sedang kacau balau.
Yang selalu memenuhi benaknya tak lain bayi yang ada
dalam kandungannya. Bagaimana kelanjutannya, jika bayi
itu lahir tanpa pernikahan yang syah?
Belum jauh pikiran Rosalina membayangkan
kejadian yang akan datang, Handrian nampak memasuki
ruangan itu. Detak-detak suara sepatunya bagai bergema di
telinga Rosalina. Maka perempuan itu mengangkat
wajahnya dan memandang laki-laki yang baru memasuki
ruangan itu. Dan Rosalina menerima lemparan senyum
Handrian yang khas. Menggetarkan jantung hatinya.
Handrian mendekati meja Rosalina.
"Wajahmu nampak pucat. Kau sakit?" tegur Handrian
penuh perhatian.
Rosalina menggeleng.
"Aku ingin bicara denganmu, Lina," Handrian
melangkah masuk ke ruang kerja. Rosalina bangkit lalu
mengikuti lelaki itu.
"Bagaimana keputusanmu?" tanya Handrian sambil
duduk di kursi.
"Aku ..." suara Rosalina terhenti di tenggorokan.
"Kau bersedia menikah denganku?"- 16
Rosalina menggeleng.
"Jadi kau merelakan aku menikah dengan Lusi?"
Rosalina terdiam. Tertunduk berusaha menahan
tangisnya. Kemudian perempuan itu mengangguk. Handrian
spontan berdiri lalu mendekati Rosalina. Dipegangnya erat
kedua pundak perempuan itu kuat-kuat.
"Kamu sudah gila ya?! Kamu merelakan aku menikah
dengan Lusi, sedangkan di dalam perutmu tumbuh janinku.
Semakin lama semakin besar dan dia lahir dengan darah
dagingku!" kata Handrian yang nada suaranya keras.
"Biarkan aku merawatnya dengan penuh kasih
sayang, karena aku tidak tega meninggalkan suamiku. Dia
sangat membutuhkan aku," Rosalina mulai terisak.
Handrian mengeluh sambil mengibaskan kedua
tangannya. Seperti tengah menghadapi kenyataan yang
sukar diatasi. Kekerasan hati perempuan itu sungguh sukar
diluluhkan.
"Baik, aku tidak bisa memaksamu. Agaknya
pergaulan kita selama ini hanya seperti sebuah sandiwara.
Tapi sandiwara yang belum selesai. Okey, aku akan
menempuh perjalanan hidup yang tak pernah kubayangkan.
Yaitu menempuh hidup baru dengan seseorang yang tidak
kucintai," kata Handrian yang sudah patah semangat untuk
memiliki Rosalina.- 17
"Lina rasa kau akan hidup bahagia dengan gadis
pilihan orang tuamu, dibandingkan hidup bersamaku.
Karena persoalanku tak mungkin bisa terselesaikan."
"Betapapun peliknya persoalan itu, kalau kita berdua
sudah searah dan setujuan pasti akan terselesaikan. Tapi
nampaknya kau sendiri yang merasa keberatan untuk
menyelesaikannya."
"Jangan paksa aku," ratap Rosalina.
Kedua bahu Handrian jadi berubah lesu mendengar
ratap perempuan itu. Yah, aku memang berdosa kalau harus
memaksa perempuan ini untuk meninggalkan suaminya.
Menceraikan suaminya yang keadaannya sangat
menyedihkan itu. Handrian menarik napas panjang.
Berusaha memerangi emosinya yang egois itu dengan
ketenangannya. Lalu dia memeluk perempuan itu dengan
lembut dan penuh kasih sayang.
Dan tangis Rosalina semakin berkepanjangan. Dia
merasakan pertanda bahwa cinta dan kasih sayang laki-laki
ini akan berhenti sampai di sini. Sebab esok malam laki-laki
ini akan bersanding di pelaminan dengan gadis lain.
Alangkah menyedihkan. Kendati Rosalina menerima
kenyataan yang akan terjadi itu dengan hati pasrah.
"Lina, aku sadar. Betapapun besarnya cintaku
padamu, tak punya kuasa untuk memaksamu. Meskipun
mulai hari esok aku telah menjadi milik orang lain, namun- 18
hati dan cintaku tetap milikmu. Percayalah," ujar Handrian
sambil membelai rambut Rosalina.
"Lupakan saja Lina."
"Tidak mungkin bisa."
"Jadilah seorang suami yang baik."
"Aku akan berusaha. Tapi bagaimana bisa
melakukannya jika aku selalu ingat padamu. Tetap
mencintaimu."
"Mencintai bukan berarti harus memiliki."
"Itu pendapatmu. Lain dengan pendapatku, bukan?"
"Agar hidupmu tentram dan bahagia, mulai besok kita
tidak usah bertemu lagi," suara Rosalina bergetar parau.
"Sekejam itukah kau padaku, Lina?"
"Aku rasa itu jalan yang lebih baik. Aku tidak ingin
merusak kebahagiaan orang lain. Sebab selama ini aku telah
menjadi sumber penderitaanmu, juga suamiku. Terhadap
kaumku, aku tidak ingin menyakiti perasaannya."
"Kalau begitu kau tidak ingin bekerja di sini lagi?"
Rosalina mengangguk.
Handrian mendekapnya kian erat. Ada setitik air mata
yang bergayut di sudut matanya.
"Kenapa impianku harus berakhir begini, Lina?"- 19
"Karena kita tak mungkin bisa saling memiliki. Lina
mohon... Lina mohon lupakan saja Lina," ucapnya dengan
berat hati. Di sela-sela isak tangisnya.
"Izinkanlah aku menciummu, sebelum kau tinggalkan
aku," pinta Handrian yang tanpa menunggu jawaban
Rosalina sudah mengulum bibir perempuan itu. Hangat dan
mesra sekali.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Rini yang masuk
ruangan itu jadi termangu memandang Handrian dan
Rosalina saling berciuman. Handrian dan Rosalina buru
buru melepaskan ciumannya. Kedua pipi Rosalina merah
jambu dan buru-buru meninggalkan ruangan itu.
"Lina," panggil Handrian. tapi Rosalina tak
menghiraukan lagi.
Rini tersenyum curiga pada kakaknya.
"Besok malam mau menikah, masih memanfaatkan
hari terakhir ini dengan bermesraan sama gadis lain," sindir
Rini.
"Kau tidak tahu banyak tentang kami," keluh
Handrian sembari menjatuhkan diri di kursi.
"Aku tahu, hal semacam ini biasa terjadi di sebuah
kantor. Percintaan antara direktur dengan sekretarisnya."
"Jangan mengecap setiap sekretaris di kantor
semuanya begitu."- 20
"Lantas bagaimana dong?" tanya Rini setengah
mencibir.
"Sebelum aku mengenal calon istriku, terlebih dahulu
aku mengenal Rosalina. Saling mencintai."
Rini termangu.
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau tidak mengutarakannya sejak dulu?"
"Sekali lagi, banyak hal yang tidak kau ketahui.
Namun bisa kau bayangkan, betapa hancur perasaannya
karena esok aku akan menikah dengan gadis lain."
Rini termenung dan seperti kehabisan bahan
pembicaraan.
"Kau ada perlu apa datang ke mari?" tanya Handrian.
"Lusi dirawat di rumah sakit," jawab Rini sedih.
"Dia sakit mendadak?"
"Tidak."
"Lalu kenapa?"
"Minum pil tidur melebihi dosis. Dia nekad mau
bunuh diri, tapi tertolong oleh dokter."
"Inilah akibatnya kalau anak muda pada abad
sekarang dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai.
Aku tahu, sebenarnya Lusi tidak mencintaiku. Dan aku
yakin dia sudah punya pilihan hati sendiri."- 21
Rini mulai menangis.
"Aku mohon tengoklah dia di rumah sakit."
"Apakah hal itu tidak menimbulkan kebenciannya
padaku? Belum tentu pula kunjunganku menyenangkan
hatinya."
"Cobalah berikan pengertian."
"Pengertian yang bagaimana? Dia kan sudah dewasa
dan bisa membedakan yang mana baik dan yang mana
buruk. Mungkin dengan cara senekad itu sudah dianggap
baik untuknya."
Telpon di meja Handrian berdering. Perhatian
Handrian jadi berpindah ke telpon. Lalu diangkatnya
gagangnya.
"Hallo...?"
"Handrian. Ini Mama, nak."
"Ada apa, Ma?"
"Rini sudah ada di situ?"
"Ya."
"Sudah diberi tahu kalau Lusi ada di rumah sakit?"
"Ya."
"Cepatlah ikut Rini ke rumah sakit. Lusi dalam
keadaan kritis."- 22
"Tapi masih bisa tertolong kan?"
"Pokoknya mama minta kamu sekarang juga pergi ke
rumah sakit bersama Rini. Jangan memalukan orang tua,
Han. Kalau sampai kejadian ini terdengar di luar dan
pernikahanmu gagal, alangkah memalukannya."
"Ini kan kemauan mama."
"Sudahlah, cepat berangkat!" suara ditelpon itu
hilang.
Handrian segera meletakkan gagang telpon ke
induknya. Pikirannya jadi kalut Dengan terpaksa dia bangkit
dan menenteng tasnya keluar dari ruangan itu diikuti Rini.
Namun ketika melewati ruangan kerja Rosalina, perempuan
itu sudah tiada.
"Harso, ke mana Rosalina?" tanya Handrian kepada
stafnya.
"Dia berpamitan pulang, Pak."
Handrian jadi semakin lesu. Rosalina pulang. Berarti
perempuan itu untuk terakhir kalinya masuk bekerja di
kantor ini. Hati Handrian kian sedih. Kesedihannya dapat
dirasakan juga oleh Rini. Dan langkahnya yang tak
bersemangat meninggalkan kantornya. Bersamaan dengan
itu Fonny baru saja masuk ruang kantor.
"Mau ke mana, Pak?" tanya Fonny.- 23
Handrian tidak menyahut terus saja melangkah
dengan perasaan tidak menentu.
***- 24
Alangkah sejuk udara yang berhembus di lorong
rumah sakit Kesibukan orang yang berlalu lalang nampak
bisa dihitung, karena saat ini bukan waktunya jam besuk.
Yang nampak hilir mudik cuma para suster dan dokter jaga.
Sementara itu di luar sebuah kamar VIP nampak
Hendra dan Lila dilanda gelisah. Lila seperti sudah tak sabar
lagi menunggu Handrian. Duduk tidak sejenak, berjalan
mondar-mandir pun tak enak. Sebentar-sebentar
pandangannya tertuju ke koridor, lalu beralih ke dalam
kamar. Yang mana di dalam kamar itu berbaring Lusi.
Wajahnya pucat, tubuhnya bagai tak mempunyai daya lagi.
Ditunggui kedua orang tuanya.
Sesaat kemudian di koridor rumah sakit itu muncul
Handrian dan Rini. Langkah mereka sama cepatnya menuju
ke arah kamar Lusi. Lila segera menyongsongnya.
"Cepat temui Lusi, Han," kata Lila tak sabar lagi.
"Tentu saja, Ma."
Handrian dengan tenang melangkah masuk kamar itu.
Kedua orang tua Lusi membalas salam Handrian, lalu
mereka meninggalkan Handrian dan Lusi di kamar itu.
Handrian melangkah satu-satu mendekati tempat tidur Lusi.
Sedangkan Lusi memalingkan muka ke samping. Enggan
rasanya bersitatap dengan Handrian.
"Kenapa kau senekad itu Lusi?" tegur Handrian
lunak.- 25
Gadis itu masih memalingkan muka tanpa ada reaksi.
"Aku tahu, bahwa kau tidak menghendaki pernikahan
kita. Tapi dengan caramu yang begitu sangat memalukan."
Lusi menggerakkan kepala dan menatap tajam mata
Handrian. Tatapan yang maknanya menyuruh laki-laki pergi
dari hadapannya. Handrian tahu itu. Dia tersenyum tenang.
Dibalasnya tatapan gadis itu. Di matanya yang kuyu
mengalir butiran air bening.
"Jangan membenciku, karena semua ini bukan atas
kehendakku. Tentunya kau tahu, kita pun pernah bertemu
baru sekali. Dan di luar sepengetahuanku, ternyata orang tua
kita telah bersepakat untuk menjodohkan antara kau dan
aku," kata Handrian pelan. Seolah-olah hanya ditujukan
kepada gadis yang'berbaring di atas tempat tidur itu.
"Tapi aku tidak sudi menikah denganmu," balas Lusi
tegas.
"Aku sudah tahu, kau mempunyai pilihan hati sendiri.
Begitu pun aku. Sebenarnya persoalan ini bisa kita atasi
dengan jalan saling pengertian."
"Maksudmu apa?" sepasang mata Lusi menatap
nanar.
"Untuk tetap menjaga nama baik keluarga, sebaiknya
jangan kita gagalkan perayaan pernikahan kita."
"Huh! Kau sama liciknya dengan mereka." Lusi
membuang muka lagi.- 26
"Kau jangan salah mengerti, Lusi. Sekalipun kita
telah resmi menjadi suami istri, aku tidak akan
memperlakukan kau sebagai istriku. Kau tetap kuberi
kebebasan untuk menuruti kehendak hatimu. Aku tidak akan
melarangmu meneruskan hubunganmu dengan pilihan
hatimu. Percayalah."
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Karena aku sudah syah menjadi istrimu."
"Anggap saja itu cuma formalitas belaka. Tapi
sebenarnya di antara kita hanya sebagai seorang sahabat atau
saudara. Tidak lebih dari itu."
Lusi memandang lagi wajah Handrian. Dia menilai
kejujuran ucapan itu dari sorot matanya. Dan ternyata dia
menemukan kejujuran dari sorot mata laki-laki itu.
"Kau berjanji?"
"Ya."
"Kalau sampai ingkar?"
"Kau boleh bertindak sesuka hatimu."
"Baik. Janji adalah hutang."
"Akan kupegang teguh janjiku. Percayalah."
Janji Handrian rupanya memberikan kekuatan pada
diri Lusi. Menjadikan gadis itu mempunyai keinginan dan- 27
gairah hidup kembali Perlahan-lahan dia bangkit dan duduk
di tempat tidur. Wajahnya pun mulai nampak cerah.
Handrian jadi ikut senang.
"Kau ingin minum?" tanya Handrian.
"Tidak."
"Ingin makan?"
"Tidak."
"Lalu apa yang kau sukai?"
"Ingin cepat-cepat meninggalkan rumah sakit ini."
"Kau masih membutuhkan istirahat."
"Kondisi tubuhku sudah pulih," ujar Lusi sambil
melangkah turun dari tempat tidur. Handrian membantu
menuntun langkah gadis itu, tapi dikibaskan tangannya.
"Aku bisa jalan sendiri."
Handrian menarik napas panjang. Keras kepala juga
gadis ini, pikirnya. Lantas dia cuma mengawasi Lusi yang
menuju ke pintu. Semua orang yang sejak tadi menunggu di
luar kamar berdiri mengitarinya.
"Kau sudah baik lagi, Lusi?" tegur ibunya.
"Ya. Lusi mau pulang sekarang."
"Belum ada izin dari dokter."- 28
"Biar. Pokoknya Lusi mau pulang sekarang. Papa
sama mama mau mengantarkan tidak?" ketus Lusi tegas dan
hendak melangkah pergi. Tapi lengannya segera dipegang
oleh ibunya.
"Tunggu dulu, Lusi. Kau jangan tambah membuat
orang tua jadi malu," kata ibunya dengan perasaan resah.
"Justru kalau mama dan papa tidak ingin tambah
malu, sekarang juga izinkan Lusi pulang."
Handrian mendekati Lusi, kemudian mengambil
keputusan.
"Saya akan segera menemui dokter dan minta izin
agar Lusi diperbolehkan pulang," ujar Handrian.
"Cepatlah beritahu dokter," sahut Lila.
Dengan langkah-langkah mantap Handrian menuju
ke kamar dokter. Baik orang tua Lusi ataupun keluarga
Handrian menjaga Lusi jangan sampai kabur dari rumah
sakit. Wajah-wajah mereka kelihatan resah, kecuali Rini
yang diam termenung. Gadis itu tahu apa sebenarnya yang
dialami oleh Handrian dan Lusi. Maka helaan napasnya jadi
terdengar berat.
Kemudian Rini mengalihkan pandangan ke arah pintu
ruang dokter. Di sana Handrian muncul bersama dokter
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berdinas memeriksa pasien. Sejenak mereka berdua
berbincang-bincang Nampaknya serius, lalu Handrian
mengangguk-angguk dan pergi meninggalkan dokter itu.- 29
"Lusi diizinkan pulang sekarang juga," kata Handrian
setelah berkumpul dengan keluarganya.
Mendengar ucapan Handrian, semuanya jadi senang.
Rini merangkul pundak Lusi, kemudian berjalan bersama.
Yang lainnya mengikuti di belakang meninggalkan rumah
sakit itu.
***- 30
Hujan turun rintik-rintik. Senja yang luruh digantikan
malam sepertinya murung. Semurung wajah Lusi yang pada
saat itu didandani sebagai pengantin putri. Gaun pengantin
yang indah dan mahal sangat serasi dikenakan. Menambah
kecantikan dan pesona gadis itu. Namun pesona yang ada
terasa sekali diusik oleh kemurungannya. Bibirnya yang
terkatup rapat tanpa seulas senyuman. Matanya yang indah
senantiasa berkaca-kaca. Ditambah lagi hatinya yang
tersayat kepedihan. Semuanya itu lantaran dia tidak
menginginkan duduk di pelaminan dengan orang yang tidak
dicintai, dalam saat-saat seperti itu, dia jadi teringat
Bramsista.
Sedang apakah kau saat ini, Bram? Tentunya
perasaanmu detik ini sama dengan perasaanku. Sama-sama
merasakan kehancuran. Beberapa saat lagi aku akan
bersanding dengan laki-laki yang tidak kucintai Bukan
dengan dirimu, Bram. Terlampau pahit kenyataan ini, keluh
Lusi dalam hati Setetes air mata jatuh di pipi. Membuat dua
orang perias pengantin yang mendandaninya tersenyum.
Senyumnya menaksir bahwa detik itu Lusi merasa amat
bahagia.
"Tangisnya disimpan dulu, Non. Buat nanti di kamar
pengantin," canda ibu Romlah yang mendandani Lusi.
Lusi tidak menyahut. Dihapus air mata yang
membasahi pipinya, sementara hatinya dilindai kegetiran.
Ibu Lusi memasuki kamar itu.- 31
"Sudah selesai, bu Romlah?" tanya ibu Lusi
"Sudah. Mau diberangkatkan sekarang?"
"Ya. Semua tamu-tamu pengiring sudah menunggu.
Waktunya pertemuan pengantin di gedung tinggal beberapa
menit lagi."
"Naik."
Kemudian Lusi didampingi kedua orang tuanya
berjalan di ruang tamu menuju ke mobil yang diparkir di
depan pintu. Para tamu lainnya ikut menyertainya. Kedua
orang tuanya membimbing Lusi sampai naik ke mobil
Mercy yang dihiasi bunga dan kertas berwarna-warni. Lalu
mobil itu membawa Lusi yang dikemudikan kakaknya
menuju ke gedung pertemuan. Sedang-kan kedua orang
tuanya dan pengikut lainnya mengikuti dengan mobil di
belakang.
Sampai di gedung pertemuan, hujan masih turun
rintik-rintik. Namun di halaman gedung itu penuh mobil
mobil yang diparkir. Para tamu yang datang menghadiri
pesta perkawinan itu kelihatan padat. Beberapa orang
mendekati mobil pengantin wanita sambil membawa
payung. Lusi yang nampak kurang bergairah melangkah
turun. Kedua orang tuanya membimbing Lusi memasuki
gedung pertemuan. Perhatian seluruh tamu tertuju kepada
Lusi. Mereka saling berbisik mengenai kecantikannya.
Memuji laksana bidadari yang sangat mempesona.- 32
Group band yang menghibur tamu menyambut
kehadiran Lusi dengan sebuah irama instrumental yang
lembut. Pembawa acara malam itu membuat suasana para
tamu jadi semarak.
"Kita sambut tepuk tangan atas kehadiran mempelai
wanita," kata pembawa acara itu.
Para tamu bertepuk tangan riuh. Gegap gempita.
Sedangkan Lusi yang berjalan satu-satu menuju ke
pelaminan, hatinya bagai diiris-iris sembilu. Sepasang
matanya dirasa hangat. Tak lain disebabkan seolah-olah
tepuk tangan para tamu merupakan ejekan. Huh! Pada abad
modern ini masih ada anutan pada zamannya Siti Nurbaya.
Dijodohkan oleh orang tua. Kawin paksa. Dan buru-buru
Lusi menutup kedua telinganya. Dan perlahan-lahan dia
duduk di pelaminan dengan senantiasa tertunduk.
Kedua orang tuanya yang saat itu sibuk menyambut
para tamu, sebentar-sebentar melihat putrinya. Terutama
ayahnya yang dapat merasakan bagaimana gejolak batin
Lusi.
Tak lama kemudian mobil Pengantin pria memasuki
halaman gedung. Mobil yang juga dihiasi bunga dan kertas
berwarna-warni. Lantas turun seorang laki-laki yang tampan
dan gagah. Berpakaian stelan jas hitam dan berdasi. Laki
laki itu adalah Handrian yang senyum dan kegembiraannya
cuma diluarnya saja. Padahal hatinya juga murung. Juga
pedih.- 33
Seuntai bunga dibawa Handrian menuju ke pelaminan
dengan didampingi kedua orang tuanya. Seorang gadis
cantik sudah duduk di situ menantinya. Dan ketika Handrian
sudah berada di hadapan calon istrinya, bunga itu
diserahkannya. Dia melihat ada kilau-kilau di mata calon
istrinya itu. Kilau-kilau dari genangan butiran air mata.
Namun juga ada sepintas kekagumam melihat kehadiran
laki-laki itu.
"Ayo Lusi, bangkit dan terima pemberian bunga itu,"
kata ibunya yang nadanya menyuruh.
Lusi bangkit perlahan-lahan dan menerima
pemberian seuntai bunga yang diserahkan Handrian. Tepuk
tangan tamu gegap gempita. Lalu Handrian dan Lusi duduk
berdampingan di pelaminan. Lusi yang senantiasa tertunduk
tanpa menunjukkan keceriaan membuat Handrian jadi kikuk
duduk di sampingnya.
Sementara itu Hilda, Fonny dan Monika yang hadir di
antara para tamu, hati mereka ikut sedih. Karena mereka
tahu perkawinan itu sama-sama tidak dikehendaki oleh
sepasang mempelai itu. Menyedihkan, memang.
Namun lebih menyedihkan lagi barangkali Handrian
melihat Rosalina yang malam itu berdiri di antara mobil
mobil yang diparkir. Perempuan itu melindungi diri dengan
payung dari hujan yang turun rintik-rintik. Dia sengaja
datang untuk melihat dari jauh kekasih hatinya bersanding
dengan gadis lain. Dengan deraian air mata, dia mendoakan- 34
agar sepasang mempelai itu dapat hidup rukun dan bahagia.
Dan untuk sesaat dia memandang perutnya. Di situ janin
Handrian tumbuh dengan subur. Lantas perempuan itu
melangkah pergi meninggalkan halaman gedung. Sendiri
dia melangkah di antara curahan hujan rintik-rintik.
***- 35
Pesta perkawinan sudah usai. Sepasang pengantin
segera menuju ke rumah kediaman yang baru. Rumah yang
megah belum lama dibeli oleh ayah Handrian dan
diperuntukkan sebagai hadiah perkawinannya. Mereka yang
mengantar sampai di rumah itu hanya sanak keluarga.
Namun sepasang mempelai ini tetap dingin dan biasa-biasa
saja. Tiada keceriaan ataupun kemesraan. Hingga sejak
permulaan tiada pula sepatah kata yang keluar. Saling diam
membisu.
Setelah mereka tiba di rumah itu, ibu Lusi mencoba
membujuk anaknya. Sebab dia melihat sikap putrinya masih
kukuh. Masih murung seperti pertama kali mau dinikahkan
dengan Handrian. Di sebuah kamar, ibu Lusi membuka
pakaian pengantin anaknya sambil berkata;
"Mama percaya, lambat laun kau pasti akan mencintai
suamimu. Lupakan saja Bramsista. Dia tidak berarti apa-apa
dibandingkan dengan Handrian."
Lusi tidak menyahut. Masa bodoh dengan ucapan
ibunya.
"Mama ingin sekali melihatmu hidup berbahagia.
Jangan sia-siakan hidupmu yang cuma sekali ini, nak,"
Lantas dikecup kedua pipi anaknya penuh kasih sayang.
"Mama pulang dulu ya? Hindarkan pertengkaran dengan
suamimu."
Lusi menjawab pun tidak, mengangguk pun juga
tidak. Dan membiarkan ibunya berlalu dari kamar itu.- 36
Sementara Handrian masih berbincang-bincang di ruang
tamu dengan sanak keluarga. Ibu Lusi keluar dari kamar,
lalu mengajak mereka pulang. Handrian menerima ciuman
sayang dari kedua orang tuanya sebelum pulang. Dan yang
paling menyayat dirasakan Handrian, manakala Rini
memeluknya.
"Rini tidak bermaksud menjerumuskan kak
Handrian," suaranya parau.
"Tenanglah. Semuanya akan bisa kuatasi."
Suasana rumah itu sekarang sudah sepi. Yang
menghuni rumah hanya tinggal dua orang. Sepasang
pengantin baru yang hatinya bertolak belakang. Tidak saling
mencintai.
Sejenak Handrian memandang hujan di luar rumah
yang turun rintik-rintik. Kemudian menutup pintu rumah,
lalu duduk seorang diri di kursi tamu. Dinyalakan sebatang
rokok dan dihisapnya dalam-dalam sambil merenung.
Sayup-sayup dikeheningan malam itu isak tangis Lusi
sampai ke telinganya. Dengan rasa iba dipandangnya kamar
pengantin yang penuh hiasan bunga. Di dalam situ Lusi
menangis seorang diri.
Tangis perempuan itu bagai menggapai-gapai
hatinya. Menimbulkan rasa belas kasihan laki-laki yang
merenung seorang diri. Tak akan ku biarkan dia menangis,
pikir Handrian yang kemudian bangkit. Dihampirinya- 37
perempuan itu sedang menangis di atas tempat tidur
pengantin. Lalu Handrian duduk di sebelahnya.
"Sudahlah jangan menangis," kata Handrian sambil
mendesah.
"Jangan dekati aku!" seru perempuan itu.
"Aku tidak akan mengganggumu, percayalah."
"Kau akan membujuk aku?"
"Tidak. Tapi kita tidak usah bermusuhan. Tidak
saling membenci Karena persoalan kita masih dapat
diselesaikan dengan jalan saling pengertian. Sekali lagi
percayalah, aku akan memegang teguh janjiku."
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Silakan keluar dari kamar ini!"
"Baik."
Handrian bangkit. Sebelum pergi dia sempat berkata;
"Tiada gunanya kau menangisi pernikahan kita.
Sebab aku masih memberikan kebebasan untukmu, untuk
berbuat apa saja di luar rumah. Selamat beristirahat, Lusi."
Handrian melangkah dan menutup pintu kamar rapat-rapat
dari luar.
Di kamar belakang Handrian berbaring seorang diri.
Sambil berbaring dipandangnya langit-langit kamar.
Alangkah getirnya kenyataan yang harus dialami. Demi
nama baik keluarga, kegetiran itu musti dijalani dengan
sejuta kesengsaraan. Lantas bagaimana dengan Rosalina?- 38
Handrian makin dilindas kegetiran. Di langit-langit kamar
bermunculan wajah-wajah Rosalina dengan beraneka
expresi. Sedih, duka, murung dan penuh pesona.
Sedang apakah kau sekarang, sayang? Mungkinkah
kau sudah tertidur di tengah malam ini? Aku yakin kau tak
dapat tidur malam ini. Kau pasti sedang merenungi nasibmu.
Merenungi masa depan anak kita yang bakal lahir. Tapi
kenapa tetap menolak lamaran ku? Lantas apa yang akan
kau lakukan setelah aku menjalani hidup bersama dengan
Lusi? Bagaimana pula nasib anak kita? Oh Tuhan,
berikanlah petunjuk jalanmu agar kami bisa hidup
bersamanya. Luluhkanlah kekerasan hatinya, sebelum
hidupnya tambah menderita dan sengsara.
***- 39
DUA
Rosalina duduk di depan cermin sambil menyisir
rambutnya yang kusut Dia melihat dari pantulan kaca,
sepasang matanya yang sedikit membengkak karena
semalaman tak henti-hentinya menangis. Tubuhnya nampak
lesu dan kurus. Terlalu banyak beban penderitaan yang
dirasakannya.
Pagi itu dia kelihatan bingung dan resah. Sebab
biasanya dia harus berangkat ke kantor. Tapi sekarang, dia
memutuskan untuk keluar dari kantor itu. Kantor Handrian.
Dan dia akan berusaha menjauhi dari laki-laki itu. Dia tidak
ingin merusak kebahagiaan orang lain. Lantas bagaimana
caranya untuk membiayakan hidup dengan suaminya?- 40
Itulah sebab keresahan dan kebingungan Rosalina.
Dia musti mencari pekerjaan lain. Sungguhpun betapa susah
hidupnya, tak ingin suaminya tahu. Bahkan sampai saat ini
Gunawan menyangka Rosalina masih bekerja di salon
kecantikan. Sama sekali tidak tahu kemelut hidupnya di luar
rumah.
"Ke mana harus pergi sekarang?" pikir Rosalina
menimbang-nimbang. Mustikah aku kembali keluar masuk
kantor untuk mencari pekerjaan? Tiba-tiba dia ingat seorang
temannya. Anton. Ya, Anton. Bekas temannya di SMA itu
pernah menawarkan pekerjaan kepadanya. Jadi foto model?
Ah, merinding juga bulu-bulu di sekujur tubuhnya. Kembali
dia menimbang-nimbang pekerjaan itu. Dan akhirnya dia
berniat juga mencobanya. Dia sangat memerlukan biaya
hidup.
Selesai berdandan Rosalina berpamitan kepada
suaminya. Gunawan cuma mengangguk lesu. Tak acuh. Hati
Rosalina bagai diiris sembilu. Lantas dia melangkah pergi
dengan harapan bisa berhasil.
Di bawah sengatan sinar matahari pagi, Rosalina
meneruskan langkahnya menuju halte. Di bawah atap halte
menunggu bis kota. Dia jadi teringat awal pertemuan dengan
Handrian. Teringat semua kenangan yang indah dan amat
berkesan.
Namun di balik semua kenangan itu, kemelut pun
senantiasa tak mau menghindar. Dan di dalam perutnya kini- 41
tumbuh janin laki-laki itu. Laki-laki yang sekarang sudah
menjadi suami orang. Menyedihkan, memang. Kendati tetap
ada sepercik kebahagiaan di hati Rosalina. Sebab bayi yang
tumbuh dalam perutnya kelak akan menjadi tumpuhan
harapannya di hari tua.
Lamunan Rosalina buyar ketika sebuah bis kota
berhenti di depannya. Bergegas dia naik ke dalam bis kota
yang tidak terlalu penuh penumpang itu. Namun tempat
duduk tidak ada satu pun yang kosong. Seseorang mencolek
bahunya, Rosalina menoleh. Ternyata seorang laki-laki
memberikan tempat duduk padanya.
"Terima kasih," kata Rosalina sembari duduk
bersebelahan dengan pemuda yang berpakaian lusuh. Di
pangkuannya membawa map. Rosalina melirik sekilas.
"Mau kerja, non?" tegur pemuda itu.
Rosalina mengangguk.
"Kerja di mana, non?"
"Kontraktor."
"Laki-laki memang sulit mencari pekerjaan
dibandingkan perempuan," gumamnya.
Rosalina memandang sekilas wajah pemuda itu.
"Saya sudah setengah tahun mencari pekerjaan,
keluar masuk kantor tidak pernah ada lowongan. Sampai
hampir putus asa," desahnya.- 42
Rosalina jadi sedih. Teringat keadaan dirinya saat ini
Senasib, sama-sama ingin mencari pekerjaan. Tapi
kesedihan itu pura-pura dialihkan pada gedung-gedung
pencakar langit.
"Apakah di perusahaan non masih membutuhkan
pegawai lagi? Jadi pesuruh pun saya mau."
Rosalina menggeleng sambil menelan ludahnya yang
dirasa pahit.
Pemuda itu mendesak kecewa. Bis kota yang
meluncur telah mendekati kantor tempat tujuan Rosalina.
Dia segera bangkit.
"Mari," kata Rosalina kepada pemuda itu. Dibalas
dengan senyuman. Lantas Rosalina turun di halte.
Mobil-mobil sedang berjejer di depan kantor itu.
Yang keluar masuk kantor itu kebanyakan lelakinya
tampan-tampan dan wanitanya cantik-cantik. Ada juga
aktris dan aktor yang sudah beken namanya. Sedangkan
Rosalina yang hendak masuk ke kantor itu nampak ragu
ragu. Sesaat dia berdiri sambil menimbang-nimbang, masuk
atau tidak.
Sebuah mobil sedan berhenti di sebelahnya. Seorang
laki-laki gagah turun sembari menjinjing tas echolag.
Pakaiannya rapi dan memakai dasi
"Hay Lina, sedang apa kau di sini?!" tegurnya.
"Anton ..." gumam Rosalina tergagap.- 43
"Mau ketemu saya?" Rosalina mengangguk.
"Kenapa tidak menunggu di dalam saja?"
Rosalina cuma tersenyum.
"Ayo masuk," ajak Anton. Rosalina mengikutinya
berjalan bersama memasuki kantor advertising itu. Ternyata
di dalam kantor sudah banyak menunggu para tamu. Mereka
langsung menghadang Anton supaya ingin bertemu lebih
dulu.
"Maaf, saya masih ada urusan penting. Harap tunggu
di luar sebentar," kata Anton tenang. Lantas dia mengajak
Rosalina masuk ke ruang direktur.
"Duduklah, Lina. Banyak kemajuan di perusahaan
Handrian?"
Rosalina mengangguk setelah duduk di kursi
menghadapi Anton.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Rosalina menarik napas berat. Anton mulai dapat
merasakan jika Rosalina menyimpan sesuatu dalam
pikirannya. Maka Anton memperhatikannya dalam-dalam.
"Nampaknya ada sesuatu yang kau sembunyikan.
Cobalah berterus terang padaku, barangkali aku bisa
membantumu."
Ucapan Anton membuat kedua mata Rosalina basah.
Berkaca-kaca.- 44
"Aku... aku berhenti kerja di kantornya Handrian,"
kata Rosalina lemah sambil tertunduk. Anton terperangah.
"Kenapa kau berhenti?" Rosalina tidak menyahut.
"Kau dipecat?"
"Tidak."
"Kau punya kesalahan di kantor?"
"Tidak."
"Jadi kau berhenti atas kemauanmu?"
"Ya."
"Apa alasanmu berhenti dari pekerjaan?"
"Tidak ada apa-apa."
"Itu tidak mungkin. Aku tahu bahwa bekerja di
perusahaan Handrian akan mempunyai hari depan yang
baik. Dia seorang direktur yang bijaksana. Semua bekas
karyawannya yang lama diberi kedudukan yang baik. Tapi
kenapa kau malah keluar dari perusahaan itu?"
"Aku ingin bekerja di sini," sahut Rosalina bergetar.
"Heee, apakah kau tidak bergurau?" balas Anton
termangu. Tidak percaya ucapan perempuan itu.
"Aku bersungguh-sungguh."
"Kalau Handrian tahu bagaimana?"- 45
"Itu bukan urusannya. Dia tidak berhak melarang
kemauanku."
"Okey. Aku akan mengorbitkan kamu sampai jadi
foto model yang terkenal Jadi aktris yang populer," ujar
Anton sambil menyodorkan telapak tangannya, mengajak
Rosalina bersalaman. Rosalina membalas, dan mereka
saling, berjabatan tangan. Saling bertukar senyuman.
"Mari kuajak kamu melihat-lihat studioku. Dan kau
akan tahu bagaimana caranya gadis-gadis model bekerja."
Tanpa banyak bicara lagi Rosalina mengikuti Anton.
Pra tamu lainnya masih menunggu. Anton nampaknya lebih
mengutamakan kepentingan Rosalina Dari studio foto
sampai pembuatan film iklan Anton membeberkan cara
kerjanya. Lampu-lampu yang berkekuatan puluhan ribu
kilowatt menerangi ruang studio yang sedang membuat film
iklan. Dua orang bintang ternama sedang beraction menurut
perintah sutradara.
"Kebetulan sutradara kita mencari pemain baru untuk
film iklan yang menyusul akan dibuat. Tunggu sebentar,
nanti kau akan kuperkenalkan dengan dia."
Rosalina tersenyum sambil memperhatikan sutradara
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memberikan pengarahan. Lantas cameraman bekerja
setelah mendapat perintah dari sutradara itu. Cut! teriakan
sutradara Setelah itu cameraman segera memindahkan letak
cam era, sedangkan lightingman memindahkan pula lampu
lampunya. Anton menghampiri Pindar Kelana.- 46
"Tidak menemui kesulitan mas Pindar?" tegur Anton.
"Ooo pak Anton. Tidak pak. Biasa-biasa saja."
"Ada teman lama saya yang perlu saya kenalkan pada
mas Pindar. Barangkali bisa untuk membintangi film iklan
kita yang baru," kata Anton sambil menunjuk ke arah
Rosalina.
"Boleh juga orangnya," gumam Pindar.
"Mari kita temui dia."
Pindar mengangguk. Mereka berjalan menghampiri
Rosalina.
"Perkenalkan Lina. Ini sutradara film iklan di sini,"
kata Anton.
Rosalina dan Pindar saling bersalaman.
"Pindar Kelana."
"Rosalina."
"Pernah ikut main drama?"
Rosalina menggelengkan kepala.
"Main film?"
Menggeleng lagi. Pindar mengamati dari ujung kaki
sampai rambut Rosalina yang hitam legam. Lalu Pindar
mengangguk-angguk. Agaknya memang bisa digarap- 47
perempuan ini Wajahnya yang anggun dan cantik sangat
mempesona.
"Okey, semuanya itu bisa diatur. Yang penting anda
tidak terlalu rewel sewaktu diambil gambarnya," ujar Pindar
sambil tertawa.
"Tapi saya tidak pernah main drama."
"Nanti akan diadakan latihan sebelum pengambilan
gambar."
"Kau tak perlu minder, Lina. Cobalah dulu kalau
tidak bisa baru menyerah. Bukan begitu mas Pindar?"
"Betul."
"Selamat bekerja lagi."
Anton menepuk pundak Pindar, lalu mengajak
Rosalina meninggalkan ruang kerja itu.
"Yang penting kau mempunyai kemauan keras, pasti
akan berhasil."
"Kalau tidak berhasil?"
"Ya jadi foto model saja."
"Kerja apa pun boleh saja. Yang penting hatiku
senang."
"Mulai besok kau bisa aktif di sini."
"Terima kasih, Ton. Sampai ketemu besok."- 48
"Tidak perlu kuantar?"
"Tidak. Tamu-tamu yang menunggumu sudah antri."
"Baik. Sampai ketemu lagi besok."
Rosalina berjalan melewati para tamu yang sejak tadi
menunggu. Semua pandangan mata mereka tertuju padanya.
Baik semua tamu yang ingin melamar pekerjaan sebagai
foto model ataupun yang punya urusan bisnis dengan Anton.
Pancaran mata mereka mengagumi pesona Rosalina. Yang
anggun dan cantik.
Terik matahari menyengat kulitnya yang halus dan
lembut. Dia menuju ke sebuah halte. Kemudian naik bis kota
pulang ke rumahnya.
***- 49
Meja itu kosong. Orang yang biasa duduk di belakang
meja kantor itu sudah tiga hari tidak pernah datang. Ruangan
kerja itu pun jadi nampak kurang semarak. Karyawan yang
bekerja di ruangan itu cuma dapat mengenang senyum
Rosalina. Keramahannya. Keanggunannya dan segala
galanya yang ada pada diri perempuan itu. Mereka bagai
ikut merasakan kesedihan dan kehancuran perempuan itu.
Karena selama ini mereka tahu, bahwa antara Rosalina dan
Handrian saling mencinta. Tapi percintaan mereka
terputuskan lantaran Handrian menikah dengan gadis
pilihan orang tuanya.
Dan sejak beberapa hari ini Fonny diam-diam selalu
memperhatikan sikap Handrian. Sikap atasannya ini selalu
diam murung dan jarang sekali bicara. Menghadapi
pekerjaan kurang semangat Paling-paling diserahkan
kepada Fonny untuk menyelesaikannya. Terkecuali bila
urusannya terlalu penting baru diselesaikan sendiri.
Betapa hancurnya perasaan Rosalina. Kehancuran
mana lagi yang bisa menandingi hidupnya. Orang yang
begitu dicintai akhirnya menikah dengan gadis lain. Teramat
menyedihkan, keluh Fonny dalam hati. Sekarang apa yang
mau dikata, semuanya itu telah terjadi.
"Rosalina tidak pernah telpon ke mari?" tanya
Handrian.
Fonny tergagap karena sedang melamun.
"Ti... tidak, pak."- 50
"Coba kau telpon Hilda suruh kemari."
Fonny segera memutar nomor rumah Hilda. Handrian
bermalas-malasan menghadapi pekerjaan.
''Bisa bicara dengan Hilda?"
"Sebentar akan mbok panggilkan."
"Adakah orangnya di rumah?" tanya Handrian tak
sabar.
"Sedang dipanggilkan oleh pembantu rumahnya."
Fonny masih menunggu sahutan dari suara Hilda.
Agak lama juga. Baru kemudian Hilda menerima telpon itu.
"Siapa nih?"
"Fonny. Kak Hilda disuruh pak Handrian datang ke
kantor sekarang juga."
"Tunggu," sela Handrian. "Aku mau bicara sendiri
dengannya." Lalu Handrian mengangkat gagang telpon di
atas mejanya. Fonny menaruh gagang telpon ke induknya.
"Selamat siang, Hilda," suara Handrian lemah.
"Selamat siang pengantin baru. Apa kabarnya nih?"
"Kabar buruk. Ngomong-ngomong siang ini kita
ngobrol di Sate Bangil mau nggak? Banyak sekali yang
ingin kubicarakan denganmu."
"Okey boss. Kapan?"- 51
"Sekarang juga kita ketemu di sana."
"Ajak Rosalina ya. Aku rindu padanya."
"Dia sudah beberapa hari tidak masuk bekerja. Justru
karena itulah aku ingin bicara denganmu. Aku tunggu di
sana ya?"
"Baik."
Handrian meletakkan gagang telpon ke induknya.
Kemudian mengemasi pekerjaannya di atas meja.
"Fonny, aku keluar sebentar. Kalau ada urusan yang
penting tolong kau selesaikan."
"Baik, Pak."
Handrian melangkah pergi. Fonny menarik napas
panjang sambil mengamati kepergian atasannya itu. Dia
tahu betul apa yang dipikirkan Handrian yang kini jadi
pemurung. Kasian, memang.
***- 52
Handrian duduk berdampingan dengan Hilda di
bawah tenda. Sudah sesaat mereka duduk di situ sambil
menikmati es kelapa muda. Angin yang sepoi-sepoi meniup,
mengingatkan Handrian pada Rosalina. Dulu dia sering
mengajak perempuan itu ke mari. Tapi sekarang dia datang
dengan perempuan lain. Sahabatnya, yang tahu semua
jalinan cinta antara dirinya dengan Rosalina.
"Setelah kau menikah sudah pernah bertemu
Rosalina?" tanya Hilda.
"Belum. Dia tidak pernah masuk kerja lagi."
"Karena kau telah menghancurkan harapannya.
Seandainya aku jadi dia, aku pun akan berbuat begitu. Untuk
apa terus bekerja di kantormu kalau kau sudah menikah
dengan gadis lain. Sekalipun dia hidup menderita akan
ditempuhnya dari pada tersiksa perasaan."
"Aku tahu perasaannya."
"Kenapa kau tidak berontak sewaktu dijodohkan
dengan Lusi?"
"Karena Rosalina tetap menolak lamaranku."
Hilda mengkerutkan dahi, terheran dia.
"Apa alasannya dia tetap menolak?"
"Aku tidak bisa menjelaskan."
"Kenapa?"- 53
"Jangan paksa aku untuk mengatakannya sekarang."
"Kau masih menyembunyikan sesuatu padaku?"
"Ya. Suatu saat kau akan tahu sendiri."
"Tapi soal noda yang tertinggal dalam dirinya
bagaimana? Kau harus ingat, bahwa kesuciannya kau
renggut secara paksa. Apakah kau tega hidupnya jadi tidak
menentu?"
"Justru karena itu aku ingin minta bantuanmu."
"Apa?"
"Temui dia di rumahnya."
"Lantas?"
"Apakah dia masih sudi bertemu denganku,
tanyakanlah hal itu padanya. Dan kalau dia belum mendapat
pekerjaan, bantulah dia agar bisa bekerja pada kenalanmu.
Asal kau tahu saja, Rosalina sudah mengandung janinku,"
kata Handrian yang serak parau.
"Ya Tuhan," keluh Hilda sedih. "Kamu telah
membuatnya tambah sengsara dan menderita, Han. Betapa
malu jika anaknya lahir tanpa pernikahan. Ibu dan anak akan
mendapat ejekan dan hinaan. Tak kusangka kau seorang
laki-laki pengecut," ketus Hilda sengit.
"Terserah apa yang kau katakan padaku. Bila kau
sudah tahu latar belakang hidupnya akan bisa maklum."- 54
"Kenapa tidak kau saja yang menemuinya?"
"Aku takut ditolaknya."
"Itu resiko sebagai laki-laki pengecut"
Handrian menarik napas berat.
"Aku mengaku bersalah, Hil. Tuduhanmu bagai
sembilu yang mengiris-iris hatiku. Sebab aku sudah
seringkah mengajaknya hidup bersama, tapi ia selalu
menolak. Dia memang punya alasan yang dapat kumaklumi.
Makanya dengan minta bantuanmu, barangkali bisa
menemukan jalan lain. Kami bisa hidup bersama. Aku
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar minta bantuanmu, Hilda. Besar sekali
harapanku kau mau menolongku."
"Kalau misalnya aku berhasil membujuk Rosalina,
lantas bagaimana dengan Lusi? Apakah Lusi mau menerima
kehadiran Rosalina di dalam hidupnya?"
"Pernikahan kami hanya formalitas saja. Sebenarnya
di antara kami hanya saling menjaga nama baik keluarga.
Kau boleh percaya atau tidak, bahwa antara kami setiap
malam tidurnya terpisah. Sejak malam pertama kami belum
pernah saling bersentuhan tubuh."
"Ini satu masalah yang pelik, Han. Yah, aku akan
berusaha membantumu. Tapi di mana aku bisa
menemuinya?"
Handrian menulis alamat rumah Rosalina di selembar
kertas.- 55
"Temuilah di alamat ini. Semuanya akan jelas
masalahnya."
***- 56
Senja baru saja digeser datangnya malam. Hilda yang
mengendarai mobil melihat ke arah kiri dan kanan jalan. Dia
mencari alamat yang ditulis oleh Handrian. Alamat rumah
Rosalina. Dan nomor rumah itu telah diketemukan Hilda,
maka dihentikan mobilnya.
Rumah yang sederhana sekali. Dalam pandangan
Hilda dapat merasakan bahwa penghuninya kurang
harmonis. Lalu dia turun dari mobil dan menuju ke pintu
rumah yang tertutup. Daun pintu itu diketuknya, namun
lama sekali ada jawaban dari penghuninya. Hilda mengetuk
lagi.
"Sebentar," terdengar suara laki-laki yang nadanya
serak.
Suara laki-laki? Siapa gerangan yang tinggal bersama
Rosalina? Belum jauh Hilda menerka-nerka, pintu rumah itu
sudah terbuka. Seorang laki-laki berdiri mengenakan
tongkat. Hilda jadi setengah terperangah.
"Se... selamat malam," sapa Hilda gugup.
"Malam," Gunawan menjawabnya dengan dingin.
"Saya ingin bertemu dengan Rosalina. Adakah dia di
rumah?"
"Belum pulang."
Hilda termangu. Belum pulang? Lalu apa
kesibukannya di luar rumah sekarang? Hilda tersenyum- 57
untuk menghindarkan rasa curiga laki-laki itu. Sebab mata
laki-laki itu menatapnya penuh curiga.
"Boleh saya menunggu sampai dia pulang?"
"Silakan masuk."
Hilda melangkah masuk lalu duduk di kursi tamu.
Sedangkan Gunawan duduk di kursi rodanya.
"Kamu teman akrab Rosalina?" tanya Gunawan.
"Ya."
"Teman kerja di salon?"
"Tidak."
"Lantas kenalnya di mana?"
"Bekas teman sekolah," kata Hilda berbohong.
Hening sesaat. Hilda mengedarkan pandangan ke
ruangan tamu itu. Tidak disangka kalau kehidupan Rosalina
semiskin ini. Pantas saja dia bekerja keras untuk hidupnya.
"Sudah beberapa hari ini Rosalina pulang malam.
Apakah tenaganya di salon sangat dibutuhkan sekali?" tanya
Gunawan.
"Mungkin," Hilda mulai menduga, bahwa selama ini
Rosalina tidak memberi tahu kalau sudah keluar dari
pekerjaannya di salon. Dia jadi timbul tanda tanya, siapa
gerangan laki-laki ini. Pasti ada sesuatu di balik kenyataan.- 58
"Oh ya, kita belum saling berkenalan," Hilda bangkit
lalu bersalaman dengan laki-laki itu. Gunawan dengan
dingin menyambutnya.
"Hilda."
"Gunawan."
"Apakah anda saudara kandung Rosalina?"
"Tidak."
"Masih familinya?"
"Tidak."
"Lantas?"
"Suaminya."
Hilda terperangah.
"Sudah sepantasnya kalau nada heran, sebab Rosalina
yang cantik cuma mempunyai seorang suami yang invalid
seperti saya"
Hilda terpekur di tempat duduknya sambil mengamati
laki-laki yang duduk di kursi roda itu. Sungguh tak disangka
di balik kenyataan hidup Rosalina mempunyai kegetiran.
Dia harus bekerja keras untuk menghidupi suami dan dirinya
"Sudah berapa lama Rosalina membina hidup
berumah tangga?"
"Lebih dari tiga tahun."- 59
Berarti selama itu Rosalina masih tetap perawan. Dan
kesuciannya yang merenggut cuma Handrian seorang.
Betapa peliknya kehidupan Rosalina. Mungkin suaminya
tak mampu melakukan sebagaimana laki-laki yang normal.
Jadi siapa sebenarnya yang bersalah dalam hal ini? Hilda tak
bisa menemukan jawabannya.
Sesaat mereka saling termenung. Saling berkecamuk
di benak mereka pikiran yang bermacam-macam. Namun
kecamuk mereka tidaklah sama. Dan seorang perempuan
cantik sudah berdiri di ambang pintu. Hilda menatap
kehadiran perempuan itu. Terbelalak mata perempuan itu
ketika mengetahui yang duduk di kursi tamu itu adalah
Hilda.
"Selamat malam, Lina. Baru pulang kerja?" sapa
Hilda.
Rosalina mengangguk sembari melangkah masuk.
Lalu dia duduk menemani Hilda di kursi tamu. Resah dan
gelisah nampaknya. Sedangkan Gunawan menggelinding
kan kursi rodanya masuk ke ruang dalam.
Hilda menatap dalam-dalam wajah Rosalina yang
murung. Gelisah.
"Sekarang kau kerja di mana?" tanya Hilda lirih. Dia
takut pertanyaannya sampai didengar Gunawan.
Rosalina cuma menggeleng. Kedua matanya berkaca
kaca.- 60
"Kau belum mendapat pekerjaan?"
Menggeleng lagi.
"Aku carikan pekerjaan mau?"
Masih menggeleng.
Hilda menarik napas berat. Dinding hatinya tersentuh
iba pada perempuan yang hidupnya penuh kemelut ini. Dia
menghela napas panjang.
"Kau kemari disuruh Handrian?"
"Ya."
"Bilang sama dia, lupakan saja aku."
"Tapi dia tetap mengharapkan kau."
"Sekarang tentunya kau sudah tahu keadaanku yang
sebenarnya bukan? Dan tidak mungkin aku meninggalkan
suamiku yang membutuhkan perawatan kasih sayang."
"Aku tahu."
"Aku tidak mau merusak kebahagiaan orang lain."
"Tapi kamu tidak tahu keadaan Handrian sesungguh
nya."
"Aku tidak ingin tahu keadaannya."
"Jadi kau benar-benar ingin melupakannya?"
Rosalina mengangguk.- 61
"Terus mengenai bayi yang ada di dalam kandungan
mu?"
"Dia harapanku satu-satu di hari tua. Meskipun apa
yang terjadi aku tidak perduli. Karena aku menginginkan
anak ini."
"Okey, kalau kau bersikeras melupakan Handrian,
aku tidak bisa memaksamu. Tapi soal biaya hidupmu
bagaimana? Kalau kau tidak bekerja."
"Aku punya cara sendiri, Hilda. Untuk itu kau jangan
terlalu memikirkan aku. Tentunya masih banyak hal-hal lain
yang perlu kau pikirkan untuk hidupmu."
Hilda memperhatikan Rosalina yang memandang
keluar. Di luar rumah sepi Pandangan Rosalina begitu
hampa. Dan Hilda dapat merasakan kehampaan hidup
perempuan itu. Kegetirannya. Namun kekerasan perempuan
itu sukar untuk diluluhkan.
"Jadi kau tidak mau menerima bantuanku?"
"Terima kasih, Hil. Kau memang seorang teman yang
baik. Berat rasanya aku menerima bantuanmu."
Hilda nampak kecewa.
"Prinsipmu tidak bisa dirubah lagi?"
"Tidak."
"Baiklah. Aku permisi, Lina."- 62
"Maaf, ya, Hilda. Barangkali ada kata-kataku yang
tidak berkenan di hatimu. Semuanya itu karena aku tidak
ingin menyakiti perasaan kaumku juga suamiku. Biarlah apa
yang terjadi akan kutanggung sendiri."
Hilda bangkit dari tempat duduk, kemudian diantar
oleh Rosalina sampai di halaman rumah.
"Tidak ingin titip salam apa-apa pada Handrian?"
"Sampaikan agar dia melupakan aku."
Hilda naik ke dalam mobil.
"Okey. Lain kali aku akan datang lagi."
"Asal bukan disuruh Handrian."
Hilda tertawa, lalu melarikan mobilnya. Rosalina
mengiringi kepergian Hilda dengan lambaian tangan. Angin
yang meniup dingin menerpa Rosalina yang melangkah ke
pintu rumah. Lantas ditutupnya pintu rumah dari dalam.
Rumah itu jadi kembali sepi dan suram.
***- 63
"Kenapa sejak dulu kau tidak mau menceritakan soal
kehidupan Rosalina?" ketus Hilda ketika sedang duduk
bersama Handrian di sebuah restauran.
"Awal sampai pertengahan jalinan hubunganku
dengannya, dia sengaja menyembunyikan kehidupannya.
Tentu kau masih ingat, setiap kali aku ingin tahu rumahnya,
dia selalu merahasiakannya. Bahkan setelah aku merenggut
kesuciannya, rasa tanggung jawabku tetap ditolaknya."
"Karena dia masih bersuami."
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi dia mencintaiku, buktinya sudah seringkali
kuajak pergi, dia tak pernah menolak."
"Apakah itu bukan lantaran hanya sekedar pelarian?"
"Pelarian?" gumam Handrian sembari tersenyum
pahit. "Tidak. Dia sangat mencintaiku. Cuma karena dia
tidak ingin meninggalkan suaminya, maka hatinya seperti
baja. Kukuh. Tapi sebenarnya di balik itu, hatinya menjerit.
Perempuan mana yang bisa bertahan dalam hidup seperti
itu."
"Buktinya dia minta agar kau mau melupakannya."
"Itu cuma ucapannya. Padahal hatinya lain."
"Dia hanya membutuhkan anak."
"Aku tahu. Karena suaminya tidak bisa memberikan
keturunan."
"Suaminya impoten?"- 64
Handrian mengangguk. Diambil sebatang rokok
lantas disulutnya.
"Sekarang dia bekerja di mana?"
"Tidak mau memberi tahu."
"Barangkali dia nganggur?"
"Aku tidak tahu. Menurut suaminya, setiap hari dia
pulang malam."
Handrian memegangi rambutnya, lalu diremasnya.
"Tidak kau tawari pekerjaan?"
"Dia tidak mau menerima bantuanku dalam bentuk
apa pun."
"Terlalu keras kepala," gumam Handrian mendesak.
"Bukan keras kepala, tapi dia punya prinsip."
"Mulai saat ini, akan kuselusuri di mana dia bekerja.
Aku harus bisa meluluhkan kekerasan hatinya."
"Cobalah kalau kau bisa."
"Kenapa tidak? Bayi yang dikandungnya adalah
darah dagingku. Bagaimanapun juga dia harus tunduk
padaku. Kalau tidak akan kuambil anak itu setelah lahir."
"Kau kejam. Sembilan bulan lebih dia mengandung
bayi itu. Tapi setelah lahir akan kau minta secara paksa."- 65
"Yah, cuma itu jalan yang bisa kulakukan kalau dia
tetap bersikeras menolakku."
"Sadarlah, Han. Statusmu sekarang bukan seperti
dulu. Kau sudah menjadi seorang suami dari Lusi. Dan
apakah kau juga tega memisahkan hidup Rosalina dari
suaminya yang tak berdaya itu? Jika kau tega melakukan hal
itu, dua orang akan menjadi korban perbuatanmu.
Pikirkanlah masak-masak."
Ucapan Hilda membuat laki-laki itu termenung. Dia
meresapi apa yang baru saja dikatakan Hilda. Benarkah aku
sekejam itu? terpetik dari hati kecilnya. Lantas apakah untuk
selamanya aku begini terus? Terus membiarkan Rosalina
hidup tersiksa. Ditambah lagi dengan darah dagingku
setelah lahir harus ikut menderita? Sedangkan hidup rumah
tangga yang kubina dengan Lusi senantiasa dingin dan tak
acuh. Sampai berapa lama aku harus bertahan begini?
"Kau tidak tahu kehidupan di dalam rumah tanggaku,
Hilda. Setiap hari rumah yang kami tempati seperti neraka.
Aku tidak betah barang satu jam pun tinggal di rumah.
Sebab antara aku dan Lusi tidak pernah bertegur sapa. Dia
selalu sibuk dengan kuliahnya, urusan pribadinya dan lain
lainnya," tutur Handrian yang nampak sedih.
Hilda turut sedih juga.
"Apakah masalah ini orang tua kalian tahu?"
Handrian menggelengkan kepala.- 66
"Kami selalu tertutup agar tidak diketahui siapa pun
terkecuali kau. Dapat kau bayangkan betapa pedihnya hati
ini."
'Tapi tindakanmu jangan terlalu emosi. Nanti bakal
buruk akibatnya."
"Sampai kapan aku harus bertahan? Coba katakan
sampai kapan?"
"Aku tidak bisa mengatakannya. Semuanya itu ada
pada dirimu, hingga dapat merubah keadaan yang begitu
menjadi harmonis. Lusi cantik. Lusi juga mempunyai
banyak kelebihannya. Cuma barangkali saja dia belum
menunjukkan kelebihannya itu padamu. Aku yakin pada
suatu ketika kau akan tahu."
"Sejak kapan kau tahu kelebihan perempuan itu?
Angkuhnya saja minta ampun," cibir Handrian.
"Yaaah, mungkin karena kalian belum saling
mengetahui. Saling mendalami. Bagaimanapun angkuh dan
sombong seorang perempuan, pasti mempunyai kelebihan.
Punya kelembutan dan kasih sayang."
"Jadi kau lebih cendrung kalau aku bisa hidup
harmonis dengan Lusi?"
"Jelas dong. Untuk apa kau tetap mencintai dan
mengejar Rosalina, sedangkan dia bersikeras melupakan
mu."- 67
"Tidak akan ada seorang yang bisa merubah
keinginanku."
"Yaaa terserah ..."
"Lain waktu aku minta bantuanmu lagi."
"Untuk menemui Rosalina dan membujuknya?"
"Ya. Di samping itu aku ingin memberi uang untuk
kebutuhannya."
"Aku tidak mau. Dan jangan harap dia mau menerima
pemberianmu. Dia pernah mengingatkan padaku, bahwa
tidak akan sudi menerima kedatanganku bila disuruh
olehmu."
Handrian jadi kesal. Dia memukul meja, nyaris
minumannya tumpah. Beberapa orang memperhatikannya.
Lalu Handrian buru-buru mengajak Hilda pergi dari tempat
itu.
***- 68
Waktu yang bergeser telah tiga pekan. Tiga pekan
pula Rosalina berhenti bekerja di kantor Handrian. Sekarang
dia sibuk jadi foto model dan bintang film-film iklan.
Penghasilan yang diterima cukup besar. Kesempatan itu
dimanfaatkan dengan baik. Sebab dia menyadari, dua bulan
lagi perutnya sudah kelihatan membuncit. Dia bekerja siang
malam untuk persiapan menyambut anaknya lahir.
Sekalipun kadang-kadang merasa khawatir karena kerja
terlalu diforsir, bisa-bisa bayi dalam kandungannya
mengalami keguguran. Padahal dia bekerja hanya untuk
bayinya.
Sampai suatu ketika di cover sebuah majalah populer
di ibukota memuat wajah Rosalina. Dan sengaja Fonny
membawa majalah itu ke kantor.
"Pak Han tentunya masih ingat wajah siapakah ini?"
kata Fonny sambil menyodorkan majalah itu kepada
Handrian.
Handrian yang melamun jadi terperangah. Lalu
majalah itu segera diambilnya. Dengan termangu ditatapnya
gambar Rosalina di cover majalah itu.
"Sejak kapan dia memberanikan diri jadi gadis
mode?" gumam Handrian bernada jengkel. Lantas dibanting
majalah itu di atas mejanya.
Fonny kaget dan ketakutan.
Handrian bersejingkat berdiri sambil berkata:- 69
"Aku pergi ke penerbit majalah ini. Urusi pekerjaan
kantor."
"Baik, Pak."
Handrian bergegas pergi. Rasanya tak sabar lagi ingin
tahu siapa gerangan yang berani mengorbitkan Rosalina jadi
gadis mode. Dengan tergesa-gesa sekali dia meluncurkan
mobilnya ke penerbit majalah. Kemudian langsung
menemui pimpinan redaksinya.
"Maaf mengganggu sebentar, Pak."
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pimpinan redaksi
yang bertampang angker tapi ramah itu.
"Bapak dapatkan slide foto cover majalah terbitan
yang baru darimana?"
"Dari studio Melati."
"Studio Melati?" Handrian termangu.
"Apakah studio itu milik pak Anton?"
"Benar."
"Terima kasih. Permisi, Pak."
Handrian buru-buru pergi.
Pimpinan redaksi itu cuma termangu memandang
kepergian Handrian. Karena dia tak tahu apa maksud tujuan
Handrian menanyakan soal gadis mode yang baru dimuat di
majalahnya.- 70
Beberapa saat kemudian Handrian baru saja turun dari
mobil. Sekarang dia sudah berada di halaman kantor
advertising Melati. Dengan berbagai kecamuk perasaan dia
melangkah masuk ke kantor itu. Dan tanpa mau duduk
menunggu di ruang tamu, langsung saja masuk ke ruang
direktur. Sampai membuat penerima tamu jadi repot.
"Tunggu, Pak. Masih ada tamu."
"Saya mau ketemu pak Anton," sahut Handrian terus
menyelonong masuk. Penerima tamu itu cuma termangu.
Anton yang sedang berbincang-bincang dengan
tamunya jadi terperangah melihat kedatangan Handrian.
Lantas dia buru-buru menyambutnya.
"Pak Handrian, mari silakan duduk."
Handrian duduk. Tamu yang sejak tadi ngobrol
dengan Anton segera mohon diri.
"Tumben pak Handrian datang sendiri kemari
Agaknya ada bisnis yang serius nih?" kata Anton sambil
senyum-senyum.
"Ya. Bisnis Rosalina."
Anton termangu.
"Sejak kapan Rosalina kau didik sebagai gadis
mode?" tegur Handrian dengan tatapan mata tajam. Dan
mata itu berkilat-kilat menyimpan kemarahan.- 71
"Sabar dulu, Pak. Sebenarnya apa yang telah terjadi
dengan Rosalina?" kata Anton berusaha mengurangi
ketegangan tamunya ini.
"Seharusnya kau tidak semudah ini menerimanya
bekerja di sini. Seharusnya kau hubungi aku, kenapa dia
sampai keluar dari kantorku. Kita kan sudah bertahun-tahun
menjalin hubungan bisnis!" umpat Handrian nyerocos.
"Maaf, Pak. Barangkali saya kurang tahu etiket. Tapi
karena dia bekas teman di sekolah, saya pun ingin
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolongnya."
"Sekarang aku ingin ketemu dia."
"Sebentar akan saya panggilkan."
"Antarkan saja aku ke ruang studio."
"Baik."
Anton menurut apa kata Handrian. Sebab Handrian
mempunyai kewibawaan melebihi Anton. Di samping itu
order perusahaannya dibidang iklan hampir seluruhnya
dipesan dari studio Melati. Dengan penuh hormat Anton
mengantar Handrian ke studio Foto. Begitu Handrian masuk
dilihatnya Rosalina sedang beraction di depan camera.
Kehadirannya tidak diperhatikan oleh perempuan itu. Dia
nampak berkonsentrasi menghadapi lensa camera.
Setelah berkali-kali gayanya difoto, lalu diganti
dengan gadis mode lainnya, Rosalina baru melihat
kehadiran Handrian. Anton segera memanggilnya.- 72
"Lina, pak Handrian ingin bicara," kata Anton.
"Lagi malas."
"Tapi ini penting. Temuilah dia, Lina."
Dengan bermalas-malasan Rosalina mendekati
Handrian. Anton segera pergi untuk menemui tamu
tamunya. Handrian langsung mencekal pergelangan tangan
Rosalina dan diajaknya duduk di sudut ruangan. Di situ ada
sebaris bangku yang kosong.
"Siapa yang membujukmu jadi gadis mode?!" kecam
Handrian.
"Bukan siapa-siapa, tapi aku sendiri. Ini memang
kemauanku. Lantas kau mau apa?!" balas Rosalina sengit.
"Kau harus meninggalkan pekerjaan ini."
"Siapa yang mengharuskan?"
"Aku."
"Punya hak apa kau melarangku?"
"Karena aku mencintaimu. Karena di dalam perutmu
tumbuh darah dagingku. Dan kau harus menikah denganku,"
kata Handrian tegas.
Rosalina tertawa kecil yang nadanya mencibir.
"Cinta di antara kita sudah terlewatkan. Bayi dalam
kandunganku tak perlu dipermasalahkan. Dan kau tidak bisa- 73
memaksaku untuk menikah denganmu, tahu?!" ketus
Rosalina.
"Setega itukah kau padaku?"
"Memang harus begitu."
"Kau tidak mencintaiku lagi? Kau benar-benar sudah
tidak mencintai aku sekarang?" suara Handrian bergetar
berat.
Dinding hati Rosalina tersentuh keharuan. Sesaat dia
ingat semua kenangan yang pernah diukir bersama laki-laki
itu. Laki-laki yang penuh tanggung jawab. Besar cinta dan
kasih sayang terhadapnya. Tapi segalanya itu harus
diputuskan. Dia tak ingin membuat hancur kebahagiaan
orang lain. Meskipun sesungguhnya dia tak tahu kehidupan
yang dialami laki-laki itu.
Handrian masih saja memandang Rosalina dengan
sejuta pesona. Apalagi sekarang perempuan itu kian cantik.
Dengan dandanan dan pakaian yang dikenakan jadi mirip
ratu kecantikan. Dan kalau terus dibiarkan namanya akan
menjulang tinggi. Jadi terkenal. Handrian jadi tambah takut
kehilangan perempuan itu.
"Lina, katakan apa yang kau kehendaki? Segalanya
akan kuberikan asal kau mau meninggalkan pekerjaan ini,"
kata Handrian membujuk.
"Aku tidak butuh apa-apa darimu. Aku ingin bebas
tanpa ada ikatan dari siapa pun."- 74
"Kamu keras kepala."
"Biar. Jangan urusi aku lagi."
"Tapi aku bisa ambil tindakan," ancam Handrian.
"Lakukanlah. Aku ingin tahu apa tindakanmu."
"Kau tidak akan menyesal dan malu?"
"Tidak."
"Baik."
Handrian bergegas meninggalkan studio foto itu. Dia
melangkah cepat menuju ke ruangan kerja Anton.
Anton terperangah untuk kedua kalinya melihat
Handrian memasuki ruangan kerjanya. Apalagi laki-laki itu
masuk dengan raut wajah menyimpan emosi kemarahan.
Maka Anton buru-buru menyudahi berbincang-bincang
dengan tamunya.
"Maaf, Pak. Pembicaraan kita nanti dilanjutkan lagi."
Tamu itu terbungkuk-bungkuk meninggalkan
ruangan kerja Anton. Handrian segera ambil alih
pembicaraan.
"Perlu kau ketahui bahwa Rosalina adalah istriku.
Dan dia keadaannya sedang mengandung. Aku minta mulai
besok, hentikan dia dari pekerjaannya di sini!" kata
Handrian tegas.
Anton termangu.- 75
"Kau faham?!"
"Baik... baik, Pak. Saya tidak tahu kalau Rosalina istri
Bapak. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mulai besok
akan saya laksanakan permintaan bapak," sahut Anton
gemetar.
"Awas kalau tidak, akan kutuntut kau ke pengadilan!"
ancam Handrian.
Setelah itu Handrian melangkah pergi. Anton
menjatuhkan diri di kursi. Lantas dia termenung seorang
diri. Sungguh diluar dugaan. Maka dia menelpon ke studio
foto.
"Panggilkan Rosalina suruh menghadap pak Anton."
Anton meletakkan intercom ke induknya. Sambil
duduk termenung dia menggaruk-garuk dagunya yang tidak
gatal. Padahal hatinya tidak tega untuk memperhentikan
Rosalina dari pekerjaannya. Tapi ingat ancaman Handrian
merasa ngeri juga.
Tak lama kemudian Rosalina yang ditunggu masuk.
Anton melempar senyuman hambar.
"Duduklah, Lina."
Rosalina sudah dapat merasakan ada perubahan pada
sikap Anton. Kendati begitu dia tetap tenang. Pasti
masalahnya ada kaitannya dengan Handrian. Dia jadi ingin
tahu apa yang telah dilakukan laki-laki itu.- 76
"Begini, Lina. Aku sebetulnya berat untuk
mengatakannya," kata Anton.
"Tidak usah sungkan-sungkan. Katakan saja," balas
Rosalina.
"Aku harap hubungan kita sebagai teman tidak akan
putus," ucapan Anton terhenti. Berat rasanya untuk
melanjutkannya.
"Jangan bertele-tele, Anton. Aku sudah tahu apa yang
hendak kau katakan. Kau mau menghentikan aku bekerja di
sini bukan?"
Anton mengangguk, tapi enggan bersitatap dengan
perempuan itu.
"Aku tahu, ini bukan kemauanmu."
"Begitulah. Kenapa dulu kau tidak mau berterus
terang?"
"Soal apa?" dahi Rosalina berkerut.
"Bahwa kau istri pak Handrian."
Rosalina tertunduk. Dalam hatinya mengutuk laki
laki yang bernama Handrian! Rupanya dengan alasan itu,
Handrian minta supaya aku diberhentikan dari sini Sungguh
tidak punya malu dan kurang ajar! Dan pasti laki-laki itu
mengatakan bahwa aku sedang mengandung bayinya.
Sialan! Kenapa laki-laki semacam dia tidak disambar
geledek saja!- 77
"Maafkan bila keputusanku ini menyinggung
perasaanmu."
"Tidak apa-apa, Anton."
Anton membuka laci mejanya, lalu memberi sisa
honor Rosalina.
"Terimalah sisa honormu, Lina."
"Terima kasih. Permisi Anton."
Rosalina membalikkan badan dan melangkah pergi.
Anton yang diam termenung sedih masih sempat
memandang perempuan itu berlalu. Dia sama sekali tidak
menduga akan terjadi begini. Betapapun kehadiran Rosalina
di perusahaannya membawa bintang terang, namun terpaksa
dilepaskan juga.
Dan Rosalina berjalan terseok-seok menyusuri trotoar
jalanan. Sengatan matahari tak diperdulikan lagi. Sementara
kecamuk dalam hatinya jadi timbul dendam dan benci
terhadap Handrian. Sebab laki-laki akan menyeretnya ke
lembah kesengsaraan. Penderitaan. Begitu kejamnya laki
laki itu!
***- 78
Mendung yang berarak tidak memberikan
kesempatan sang matahari pagi untuk mengintai bumi.
Pertanda pagi ini tak lama lagi akan turun hujan. Angin
kencang sesekali meniup. Sebuah mobil sedan berhenti di
pinggir jalan. Pengemudinya tidak lekas turun, melainkan
duduk tenang. Sebentar-sebentar dia melihat ke belakang
melalui kaca spion. Ada seseorang yang dinantikannya.
Waktu terus bergeser. Laki-laki itu sudah berkali-kali
melihat jam tangannya. Belum muncul juga seseorang yang
dinanti. Desah dan keluhnya sering terdengar. Dan sesaat
kemudian matanya berbinar-binar. Ceria wajahnya.
Ternyata di kaca spion dilihatnya seorang perempuan baru
saja keluar dari sebuah rumah. Rumah yang sederhana
sekali. Langkahnya yang terayun kian mendekat ke mobil
yang berhenti di pinggir jalan itu.
Laki-laki yang sejak tadi ada di dalam mobil segera
turun dan menghadang perempuan itu.
"Lina," panggilnya.
Rosalina terperangah dan menghentikan langkahnya.
Ditatapnya tajam muka laki-laki itu.
"Mau apa lagi?!" tegur Rosalina sinis.
"Mau bicara baik-baik denganmu," sahut laki-laki.
"Huh! Alangkah piciknya tindakan seorang direktur
muda yang terhormat seperti kamu! Aku tidak punya waktu
untuk meladenimu!" ketus Rosalina sembari melangkah.- 79
Tapi Handrian mencegahnya. Dihalangi langkah perempuan
itu.
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau mau ke mana?!"
"Itu bukan urusanmu!"
Rosalina meneruskan langkahnya. Handrian
menyambar lengan perempuan itu, lalu ditariknya mendekat
ke pintu mobil.
"Lepaskan!" bentak Rosalina sambil melototkan
mata.
"Tidak! Kau harus ikut bersamaku," balas Handrian
sambil mendorong Rosalina masuk ke dalam mobil.
Kemudian pintunya buru-buru ditutup dan dikunci dari luar.
Rosalina meronta-ronta di dalam mobil hendak keluar, tapi
sia-sia. Handrian buru-buru naik ke mobil, menghidupkan
mesin, lantas melarikannya cepat Hujan turun semakin
deras.
"Kau laki-laki kurang ajar!" maki Rosalina jengkel.
"Biarin."
"Kau laki-laki bajingan!"
"Biarin."
"Kau laki-laki tak tahu diri!"
"Biarin. Pokoknya biarin!"- 80
Saking kesalnya Rosalina mendekap muka dengan
kedua telapak tangannya. Tangis perempuan itu tak dapat
dibendung lagi.
"Tidak kusangka laki-laki semacam kau tega
menghancurkan hidupku. Merusak karierku," kata Rosalina
di sela-sela tangisnya.
"Aku tidak menghendaki kau jadi gadis mode," balas
Handrian sambil meluncurkan mobilnya di jalan Jagorawi.
Menerobos curahan hujan yang kian lebat.
"Tapi aku membutuhkan biaya hidup."
"Aku mampu membiayai hidupmu. Aku mampu
membahagiakan hidupmu. Kalau kau hanya membutuhkan
uang, sekarang pun akan kuberikan berapa yang kau minta."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, tahu?! Aku hanya
minta supaya kau melupakan aku! Jangan ganggu aku lagi!"
pekik Rosalina jengkel
"Tidak bisa. Selama kau belum mau menyerah
padaku, tak kubiarkan kau terus hidup menderita. Sebab aku
ingin membahagiakan hidupmu."
"Kau terlalu bermimpi! Jurang pemisah di antara kita
sudah semakin dalam. Aku tidak mungkin meninggalkan
suamiku. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan rumah
tanggamu."
"Kau tidak tahu. Kau belum mengerti kehidupan
rumah tanggaku yang sesungguhnya," keluh Handrian.- 81
"Aku tidak mau tahu."
"Kau harus tahu, bahwa selama ini aku hidup
tersiksa."
"Kau kira dengan caramu yang picik itu tidak
membuat hidupku menderita? Begitu teganya kau menyuruh
Anton untuk memecatku!"
"Karena aku mencintaimu, Lina. Jangan salah
mengerti. Semua yang kulakukan supaya kau mau menjadi
istriku. Demi anak kita yang bakal lahir. Aku tidak ingin
anak kita yang belum mengenal dosa itu ikut menderita."
Rosalina jadi terbawa arus kesedihan. Sedih karena
memikirkan bayi yang dikandungnya. Tangisnya makin
berkepanjangan.
Handrian membiarkan tangis Rosalina
berkepanjangan. Biar tangisnya perempuan itu terkuras
habis. Dan Handrian membelokkan mobilnya di sebuah
villa. Rosalina menatap laki-laki di sampingnya dengan
mata berbinar-binar. Sisa-sisa genangan air mata bergayut
di kelopaknya.
"Mau apa kau ajak aku kemari?" suara Rosalina
serak.
"Membicarakan kelanjutan hubungan kita. Kita
bicara di sini bisa lebih enak dan santai."
"Aku tidak mau."- 82
"Lina, banyak yang ingin kukatakan padamu. Jangan
kau bikin aku kecewa. Nurut ya?" bujuk Handrian.
Seorang laki-laki menghampiri pintu mobil Handrian
sambil membawa dua buah payung.
"Mau pakai Villa Oom?" tanya laki-laki itu.
Handrian mengangguk, lalu membuka pintu mobil.
Payung itu dipegangnya, dan membuka pintu mobil untuk
Rosalina.
"Ayo turun, Ma."
Handrian dengan lembut memegang tangan
perempuan itu. Tapi perempuan itu menolaknya. Handrian
terus membujuknya, hingga akhirnya Rosalina menurut
juga.
Dibimbingnya Rosalina menuju ke teras villa.
Handrian memayungi perempuan itu agar tidak ada setetes
pun air hujan yang membasahinya. Penuh kasih sayang
Handrian membawanya masuk ke ruang tamu. Lantas
mereka duduk berdua di kursi empuk.
"Apakah kekerasan hatimu tak dapat kululuhkan,
Lina?"
"Tak seorang pun yang akan bisa, selain kehendak
Tuhan."
"Terus bagaimana dengan nasib anak kita yang akan
lahir?"- 83
"Biarkan dia kuurus dengan kasih sayangku."
"Aku juga punya hak atas anak itu."
"Tapi kau tak punya hak atas diriku. Kau tak bisa
mengikat diriku lantaran aku mengandung darah dagingmu.
Kemudian kau menuntut agar aku mau menikah denganmu,"
ketus Rosalina.
"Lina, aku mengajakmu ke mari bukan untuk
bertengkar. Atau berselisih pendapat. Melainkan untuk
berunding jalan keluarnya yang baik."
"Jalan terbaik kalau kau mau melupakan aku. Itu
saja."
"Itu tidak mungkin."
"Kalau itu tidak mungkin, lantas kau menceraikan
istrimu dan menikah denganku?"
"Itu tidak mungkin."
"Jadi yang mungkin apa dong?!" kesal juga Rosalina.
"Jadi laki-laki itu harus konsekwen. Jangan plin-plan dan
maunya enak sendiri!"
"Terserah apa penilaianmu. Asal kau tahu saja, bahwa
aku menikah dengan Lusi cuma lantaran untuk menjaga
nama baik orang tua. Walaupun sekarang kami tinggal
serumah, tidak pernah sekalipun kami tidur bersama. Dia
sibuk dengan kuliahnya, dengan pacarnya. Sedangkan aku- 84
sibuk dengan pekerjaan dan urusan kita berdua. Kami jarang
bertegur sapa."
"Istrimu sangat cantik."
"Aku lebih mencintaimu."
"Lama kelamaan kau pasti akan mencintainya."
"Aku tak dapat melupakanmu."
"Cobalah sedikit demi sedikit melupakan aku. Pasti
kau akan mencintainya. Percayalah."
"Lina, jangan singgung-singgung lagi soal dia. Kau
bersedia menikah denganku, ya?"
"Aku jadi istri yang kedua? Lantas suamiku
bagaimana? Kau terlalu egois," kecam Rosalina.
Handrian meraih jari tangan Rosalina lembut. Tapi
dikibaskan oleh perempuan itu. Dia tak ingin disentuh oleh
kelembutan laki-laki itu.
"Antarkan aku pulang!"
"Kenapa buru-buru?"
"Kau mulai lupa, bahwa hubungan kita sudah tidak
seperti dulu lagi. Cukup kenangan yang kau berikan dulu
dan kini aku tak ingin mengulanginya."
"Lina..." suara Handrian lembut mesra.
Rosalina bangkit dengan cepat.- 85
"Aku mau pulang!" Rosalina melangkah pergi.
Handrian memburunya dan menghentikan di ambang pintu.
"Tunggu dulu, Lina."
"Tidak." Rosalina meronta hingga terlepas dari
pegangan Handrian. Kesempatan itu digunakan untuk lari.
Menerobos curahan hujan lebat
"Linaaa tungguuu!" teriak Handrian hendak mengejar
Rosalina. Tapi dia segera ingat kunci mobilnya masih
tergeletak di atas meja. Lantas diambilnya kunci itu dan
meninggalkan selembar uang sepuluh ribuan di atas meja
sebagai pembayaran sewa Villa.
Penjaga Villa segera datang.
"Kami tidak jadi pakai villa. Itu uangnya di atas
meja," kata Handrian dengan terburu-buru. Terus dia lari
menghampiri mobilnya. Cepat-cepat dihidupkan mesinnya
dan diluncurkan ke jalanan.
Rosalina sudah hilang dari pandangan Handrian. Ke
mana perginya perempuan itu? pikir Handrian bingung.
Hujan yang turun lebat bagai menghalangi pandangan laki
laki itu. Setiap mobil colt oprengan disalipnya, di situ tak
dilihatnya Rosalina. Begitu pula setiap bis yang disalipnya
perempuan itu tak ada. Handrian jadi sangat kecewa.
Dengan perasaan tak menentu dia kembali ke Jakarta
seorang diri. Sesekali dia melirik ke tempat duduk di
sampingnya, kosong. Rosalina tidak lagi bersamanya dalam- 86
perjalanan pulang ke Jakarta. Pedih nian hati laki-laki ini.
Ternyata kekerasan hati perempuan itu sukar untuk
diluluhkan.
***- 87
TIGA
Berjalan hanya berdua di bawah sinar rembulan
adalah menyenangkan. Itu dialami oleh Lusi dan Bramsista
yang berjalan menyusuri pantai Mereka berjalan sambil
berpelukan mesra sekali. Gemuruhnya ombak adalah
gemuruhnya hati Lusi ingin senantiasa berdampingan
dengan Bramsista, sekalipun sudah terikat oleh hukum
perkawinan. Lusi yang sekarang adalah istri Handrian.
Dia tidak perduli. Sampai kini dia berperinsip masih
seperti dulu. Masih belum dimiliki oleh siapa pun.
Terkecuali hati dan cintanya telah dimiliki oleh Bramsista.
Dia serahkan hidupnya kepada laki-laki itu seorang.- 88
Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Lampu kapal yang
berkelip-kelip di kejauhan laksana bintang. Tapak-tapak
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki mereka terhenti di dekat gerumbulan semak.
"Kita duduk di sini, Bram," ajak Lusi.
Bramsista menurut. Lelaki itu senantiasa menurut apa
yang dikehendaki perempuan itu. Lantas mereka duduk di
dekat gerumbulan semak. Beralasankan buku-buku yang
biasa digunakan untuk mencatat mata kuliah.
"Apakah kita akan selamanya begini, Bram?"
"Sebaiknya antara kita berteman biasa lagi."
Lusi termangu menatap Bramsista. Dia meneliti
kesungguhan ucapan lelaki itu dari sorot matanya. Dan Lusi
memang menemukan di bawah sinar rembulan sorot mata
Bramsista bersungguh-sungguh.
"Apa yang kau ucapkan keluar dari hati kecilmu?"
"Ya. Karena aku berpikir sudah terlampau jauh
melangkah. Setiap kita berdua ke mana saja, hati kecilku
senantiasa dikejar rasa berdosa. Kau adalah istri orang lain.
Aku telah merusak pagar ayu."
"Sampai detik ini, aku tidak pernah merasa menjadi
istri Handrian. Dan aku tetap mengingat janji Handrian,
bahwa pernikahan kami hanya formalitas saja. Hanya untuk
nama baik keluarga kami masing-masing. Dan aku bebas
melakukan apa saja di luar rumah."- 89
Bramsista melempar pandangan ke lampu kapal yang
berkelip-kelip. Dan permukaan laut yang keperakan
warnanya ditimpa cahaya rembulan. Lelaki itu menghela
napas panjang.
"Bagaimanapun hal itu menurutmu benar, tapi
penilaian orang lain tetap buruk. Dan tidak selamanya kau
akan berbuat seperti ini. Lagi pula apa kekurangannya
Handrian? Dia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
aku. Belum tentu kau lari dari Handrian, kemudian kita
hidup bersama dapat bahagia. Sebab aku belum mempunyai
kekuatan apa-apa untuk memilikimu. Tentunya kau tahu,
aku hidup di Jakarta cuma numpang di rumah kakak.
Pekerjaan belum punya," tutur Bramsista.
"Kok pikiranmu jadi berubah begitu, Bram?"
"Karena demi kebahagiaan kita bersama. Kita tidak
boleh menuruti emosi, Lusi. Banyak sekali contohnya di
kalangan remaja yang hanya mengikuti emosi lantaran
sudah saling mencinta. Mereka buru-buru menikah, tapi
setelah hidup berdua banyak mengalami ketimpangan.
Sebab mereka belum siap menghadapi hidup berumah
tangga. Hidup berumah tangga tidak hanya cukup dengan
cinta. Banyak hal-hal lain yang menunjang."
"Lalu pendapatmu mengenai pernikahanku
bagaimana? Apakah dengan kelebihan Handrian aku bisa
bahagia?"- 90
"Seharusnya kau bahagia. Kau mempunyai seorang
suami yang penuh pengertian. Jarang seorang suami
memiliki pengertian seperti itu. Memberikan kebebasan
sesuka hatimu."
"Sebab aku tidak mencintainya. Dan dia juga
mempunyai pilihan perempuan lain."
Bramsista tersenyum. Dipeluknya bahu perempuan
itu. Pelukannya tidak sehangat dulu, melainkan sebagai
seorang sahabat.
"Laki-laki dan perempuan yang mempunyai banyak
kelebihan sudah barang tentu diinginkan oleh lain jenisnya.
Handrian yang tampan sudah wajar punya pacar sebelum
menikah denganmu. Bagitupun kamu. Jadi hal ini tidak
perlu dijadikan sumber rasa ketidak puasan. Jika kau dapat
mengendalikan emosimu sedikit demi sedikit, niscaya akan
tumbuh rasa mengasihi terhadap suamimu."
"Kalau dasarnya aku tidak mencintainya?"
"Hati seorang wanita itu lemah. Perasa sekali. Sekali
saja kau mencoba mengerti diri suamimu, selamanya akan
pasrah dalam pelukannya."
"Cintaku hanya padamu, Bram," suara Lusi terdengar
parau. Dia merasa takut kehilangan lelaki ini.
"Mulai sekarang kita mencoba untuk menjadi sahabat
yang baik," kata Bramsista.- 91
"Mana mungkin bisa, Bram. Kita yang saling
mencintai berubah jadi persahabatan?" sahut Lusi dengan
suara isak tangisnya.
"Kita harus berusaha," nada ucapan Bramsista lembut
tapi tegas.
"Kau begitu tega, Bram..." Lusi menangis dan
memeluk laki-laki itu. Sejuta kesedihan dilampiaskan dalam
isak tangisnya.
Bramsista membelai rambut perempuan itu.
"Kurasa ini cara yang terbaik. Dan aku mengharap
kau mau menjadi seorang istri yang baik pula."
"Bram..." panggil Lusi lembut dengan tatapan mata
redup. Seolah-olah pancaran itu meminta sesuatu yang
berarti dari laki-laki yang sangat dicintai.
"Ya?"
"Ciumlah aku," pinta Lusi.
Bram mencium pipi perempuan itu.
"Aaah... kok cuma di situ?" Lusi mengeluh manja
sambil menggeserkan bibirnya ke bibir Bram. Tapi Bram
menepiskan muka.
"Kenapa Bram? Kau tidak sudi lagi menciumku?"
"Mulai saat ini aku menganggapmu sebagai seorang
sahabat. Dan menghormatimu sebagai istri Handrian. Aku- 92
merasa makin dikejar dosa bila terus melakukan hal-hal
seperti itu. Mulai sejak kemarin aku sudah memutuskan
untuk bersikap begini kepadamu."
"Braaaaam..." keluh Lusi sembari meremas kuat-kuat
kemeja laki-laki itu. Perasaan hancur luluh bagai melindas
hidupnya. Sebab laki-laki yang sangat dicintainya sudah
berubah dingin. Tidak lagi mencintainya, melainkan
menganggap sahabat. Alangkah pedihnya.
"Lina, kita harus berusaha tabah menjalani kenyataan
itu. Mari kita saling berjanji untuk menjadi sahabat yang
baik," ujar Bram sambil membujuk perempuan itu.
"Kau seorang laki-laki yang mudah menyerah!"
kecam Lusi yang terisak-isak. "Kau tidak berani bertindak
jantan!"
"Aku tidak mau bertindak ceroboh. Karena dalam
hidupku yang sekali ini harus berarti. Juga tidak ingin masa
depanku hancur karena hanya menuruti emosi cinta."
Lusi melepaskan pelukan Bram, lalu buru-buru
berdiri.
"Laki-laki pengecut!" maki Lusi.
Bram segera bangkit. Lusi berjalan pergi
meninggalkan laki-laki itu. Berjalan dengan langkah
langkah cepat menepak di pesisir pantai. Bramsista
menyusulnya.- 93
"Lusi jangan marah. Semuanya ini demi kebaikan kita
bersama," bujuk Bramsista sembari berjalan di sisi Lusi
yang kesal.
Perempuan itu tidak menyahut.
"Kau membenciku?" tanya Bram.
Perempuan itu terus melangkah cepat.
Bramsista nampak kewalahan juga mengikuti
langkah perempuan itu.
"Kau jangan membenciku, sebab aku masih Ingin
bersahabat denganmu. Seharusnya kau menyadari tentang
segala kekuranganku. Aku tak mampu menandingi
suamimu. Dalam banyak hal aku mengakui kalah," tutur
Bram dengan gusar.
Lusi menghentikan langkahnya dan menyetop taxi.
Taxi yang meluncur berhenti di depan perempuan itu.
"Kau mau ke mana?" tanya Bramsista tambah gusar.
Lusi tetap tidak menyahut dan langsung naik ke
dalam taxi. Pintunya dihempaskan keras sambil memerintah
sopirnya: "Jalan Pir!"
Sopir itu tancap gas kabur. Bramsista termangu
memandang berlalunya mobil taxi itu. Sambil garuk-garuk
kepala dia melangkah pulang ke rumah.- 94
***- 95
Suasana rumah itu sunyi dan sepi. Keadaannya
nampak tidak terurus. Tidak seperti rumah-rumah di
sekitarnya, lampu-lampunya menyala terang, suasananya
tentram dan bahagia. Sedangkan rumah megah itu,
lampunya belum menyala dan tiada penghuninya. Sebuah
mobil taxi berhenti di depan pagar halaman, lalu turunlah
seorang perempuan. Ternyata perempuan itu adalah Lusi.
Dibukanya gembok pintu pagar halaman dengan
tanpa semangat. Bermalas-malasan. Setelah itu ganti
membuka pintu rumah yang masing-masing membawa
sebuah kunci. Lusi satu dan Handrian satu. Sebab mereka
merasa tidak mau jadi budak yang lainnya, jika sewaktu
waktu datang tinggal membukanya sendiri tanpa
membunyikan beli.
Lusi melemparkan tasnya ke atas meja, lalu menutup
pintu kamarnya rapat-rapat. Sebenarnya dia takut tinggal
seorang diri di rumah yang megah itu. Namun karena
terpaksa, paling-paling dia mengurung diri di kamarnya.
Dan malam itu Lusi membanting dirinya di atas tempat
tidur. Menangis seorang diri. Menangisi nasibnya yang kian
terperuk dalam nestapa. Orang yang diharapkan bisa
melepaskan diri dari ketersiksaan batin, malah ingkar janji.
Waktu terus bergeser. Malam kian memuncak dan
kesepian tambah mencekam. Lusi masih belum bisa
memejamkan mata. Dia sebentar-sebentar membolak
balikkan badannya di atas tempat tidur. Terbayang semua
kenangan bersama Bramsista. Tapi kemudian dia berusaha- 96
membuang semua bayangannya itu. Untuk apa
mengenangnya kalau Bramsista menghendaki semuanya
harus berakhir. Rasa saling mencintai jadi berubah
persahabatan. Bukankah itu pertanda bahwa laki-laki itu
menghendaki putus cinta?
Lusi meremas gulingnya. Ternyata Bramsista yang
diharapkan adalah laki-laki pengecut. Jadi sia-sia saja
selama ini dia membujuk laki-laki itu supaya mempunyai
keberanian. Keberanian sebagai laki-laki membawa kabur
kekasihnya ke mana saja.
Suara mobil membuyarkan lamunan Lusi. Dia tahu
yang baru pulang adalah Handrian. Maka dia pura-pura
tertidur pulas. Sebab kebiasaannya setiap pulang laki-laki itu
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjenguk ke dalam kamarnya. Kalau sudah dilihatnya Lusi
tertidur, dia kembali menutup pintu kamar dan pergi. Tapi
malam ini laki-laki itu tidak berbuat begitu. Padahal Lusi
menunggunya.
Sesaat kemudian lapat-lapat Lusi mendengar suara
orang muntah-muntah. Siapa gerangan yang muntah
muntah di larut malam begini? Handrian-kah?
Saking ingin tahunya Lusi melangkah turun pelan
pelan menuju ke pintu kamarnya. Dengan sedikit membuka
pintu kamar dia mengintip ke ruang tengah. Ternyata
dilihatnya Handrian terkapar di lantai. Bau minuman keras
sampai tercium ke hidungnya.
"Pasti laki-laki itu mabok," pikir Lusi.- 97
Lalu dia kembali ke tempat tidur dengan masa bodoh
terhadap suaminya. Dibiarkan laki-laki itu terus terkapar di
lantai ruang tengah sampai akhirnya tertidur pulas dengan
dikitari cairan muntahannya sendiri.
***- 98
Rini mendorong pintu ruang direktur. Ketika dia
masuk di ruang itu meja Handrian masih kosong. Dia hanya
menjumpai Fonny yang sedang menerima telpon dari relasi
perusahaan. Gadis itu melempar senyum dan anggukan
kepadanya.
"Akan saya sampaikan kepada pak Handrian," kata
Fonny lalu menutup pembicaraannya.
"Pak Handrian belum datang?" tanya Rini sambil
duduk di kursi.
"Belum." Fonny menaruh gagang telpon ke induknya.
Rini memandang jam dinding. Sudah tengah hari
begini masih belum datang. Ada apa gerangan yang terjadi?
Rini menarik napas berat. Dia membayangkan di mana
selama ini Lusi masih menjalin hubungan dengan
Bramsista. Setiap pulang kuliah mereka senantiasa
berkencan berdua untuk pergi. Sedih sekali perasaannya bila
memikirkan nasib kehidupan kakaknya.
"Sebelum menikah, apakah pak Handrian sering
datang ke kantor siang hari?"
"Tidak. Biasanya jam sembilan sudah ada di kantor.
Kalau ada urusan di luar kantor, barulah pak Handrian
pergi."
Rini termenung lagi. Tapi dia dikejutkan lantaran
pintu ruangan itu terbuka. Dia menoleh karena menyangka- 99
yang datang adalah Handrian. Ternyata yang berdiri di
ambang pintu adalah Hilda.
"Selamat siang, Rini."
"Selamat siang."
"Boss kita belum datang?"
"Belum. Ada sesuatu yang penting?"
"Cuma ingin tahu apakah boss kita sudah semakin
baik kehidupan rumah tangganya?"
"Tambah buruk. Kau punya waktu?"
"Untuk siapa?"
"Untuk menemaniku ngobrol beberapa saat saja."
"Tentu."
"Yuk kita ngobrol di ruangan pertemuan saja."
Hilda mengangguk. Lantas mereka berdua
meninggalkan ruang direktur dan masuk ke ruang
pertemuan. Ruangan yang biasa digunakan untuk rapat para
karyawan. Di situ suasananya sepi dan tenang. Mereka
duduk di kursi berhadapan, hanya dibatasi meja panjang.
Hilda sebelum memulai ngobrol menyulut rokoknya.
"Apakah kau mengetahui lebih banyak mengenai
hubungan Handrian dengan Rosalina?"- 100
Hilda mengangguk sambil menghembuskan asap
rokok dari mulutnya.
"Bagaimana perkembangan antara mereka setelah
Handrian menikah?"
"Banyak hal-hal yang teramat menyedihkan."
"Bisakah kau menceritakannya?"
"Tentu. Pertama yang telah kau ketahui bahwa
Rosalina sudah berhenti bekerja di sini. Padahal tanpa
bekerja hidupnya sangat menderita. Suaminya tak bisa
berbuat apa-apa karena menderita lumpuh."
Rini terperangah.
"Dia sudah bersuami?"
"Ya. Tiga tahun lebih dia hidup tersiksa dan
menderita. Dia seorang wanita yang selalu tertutup dan tidak
pernah mengeluh. Kekukuhan hatinya adalah cermin
seorang wanita yang tidak gampang menyerah dengan nasib.
Namun dia lengah lantaran siasatku yang licik," tutur Hilda
nampak menyesal.
"Kau membujuknya supaya dia mencintai Handrian?"
"Tidak."
"Lantas apa?"
"Awal kisahnya, Handrian bertemu dengan Rosalina
di sebuah halte. Dia menganggap Rosalina seperti kelinci- 101
buruannya. Tanpa mau menyerah sebelum perempuan itu
jatuh dalam pelukannya. Lama kelamaan pergaulan mereka
kian akrab. Namun acapkali Handrian menanyakan alamat
rumahnya, selalu saja dirahasiakan oleh Rosalina. Waktu itu
Rosalina masih bekerja di sebuah salon kecantikan. Dan
mereka setiap mengadakan pertemuan di halte itu. Aku jadi
punya dugaan bahwa perempuan itu tak lebih dari
perempuan jalanan. Sebab setiap berkencan selalu di halte.
Selalu menolak jika Handrian ingin tahu rumahnya," ucapan
Hilda terhenti sesaat. Dia mengisap rokoknya, lalu
menghembuskan asapnya.
Rini mendengarkan penuh perhatian. Ingin
mengetahui sejauh mana kehidupan Rosalina.
"Hingga pada suatu ketika tiba hari ulang tahunku.
Aku mengundang Handrian untuk datang bersama Rosalina.
Pesta ulang tahun itu diselenggarakan di villa ayahku.
Mengingat sebelumnya Handrian sering mengeluh tentang
sikap Rosalina yang sok alim dan dianggapnya misteri, aku
jadi punya siasat yang licik. Aku beranggapan perempuan
macam Rosalina punya sikap hanya berpura-pura sok alim.
Menurut Handrian perempuan itu sifatnya gampang
gampang susah. Akhirnya pada minumannya kucampur obat
perangsang. Rupanya pengaruh obat itu membuat Rosalina
lupa diri. Sampai akhirnya menurut pada Handrian ketika
dibawa masuk ke sebuah kamar villa."
Rini termangu dan menelan air ludahnya.- 102
"Te... terus bagaimana?" Rini jadi tegang.
"Setelah kejadian itu beberapa hari kemudian
Handrian menemuiku. Dia memberi tahu bahwa Rosalina
ternyata masih perawan. Dia telah memperkosanya."
"Ya Tuhan," keluh Rini yang hatinya bagai diiris
sembilu. Dia menjadi ingat peristiwa yang pernah dialami.
Diperkosa tujuh orang laki-laki Sungguh mengerikan dan
tak mungkin bisa dilupakannya. Barangkali itulah karma
yang harus dialami akibat perbuatan kakaknya. Dan kedua
matanya mulai berkaca-kaca.
"Sejak kejadian itu Handrian merasa dikejar dosa. Dia
berniat mempersunting perempuan itu, namun selalu
ditolaknya."
"Apakah waktu itu Handrian belum tahu kalau
Rosalina sudah punya suami?"
"Belum. Tapi anehnya setiap Handrian mengajaknya
pergi, Rosalina tak kuasa menolak. Bahkan dia pernah
mengatakan pada Handrian, jalinan hubungan mereka hanya
saling membutuhkan. Sekedar teman setia belaka.
Sungguhpun begitu aku tahu bahwa Rosalina juga mencintai
Handrian. Karena Rosalina tak kuasa menolak ajakan
Handrian sampai dia dipecat dari pekerjaan di salon.
Handrian merasa bersalah. Lalu dia diangkat menjadi
karyawan di sini. Jalinan hubungan gelap terus berlangsung.
Hingga akhirnya Rosalina hamil."- 103
"Ya Allah," desah Rini makin sedih.
"Kemelut hubungan mereka tak dapat dihindari lagi.
Handrian bersikeras ingin menikahi Rosalina, namun
perempuan itu juga bersikeras menolak. Akhirnya baru
kuketahui bahwa suami Rosalina impoten. Tiga tahun
perempuan itu tersiksa hidupnya. Tiga tahun pula hidupnya
menderita mencari nafkah untuk membiayai hidup
suaminya. Merawat suaminya setiap hari. Perempuan mana
yang bisa bertahan dalam hidup yang dilanda kesepian dan
penderitaan seperti itu selama-lamanya? Maka aku juga
tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Tapi pahitnya dalam
keadaan yang demikian, Handrian menikah dengan
perempuan lain."
Rini tak kuasa lagi menahan tangisnya. Bagaimana
pun juga dia merasa bersalah pada perempuan itu. Tapi
kenapa Handrian tidak pernah menceritakan apa-apa
padanya? Itulah yang membuat Rini kecewa. Sebab dia
sama sekali tidak tahu jika antara Handrian dengan Rosalina
ada jalinan cinta. Ada darah daging Handrian yang tumbuh
di dalam perut perempuan malang itu.
"Maukah kau mengantarkan aku bertemu dengan
Rosalina?" ujar Rini dengan suara parau.
"Kenapa tidak? Barangkali kau sebagai adiknya bisa
meluluhkan kekerasan hati perempuan itu."
"Mudah-mudahan." Rini mengusap air matanya.- 104
"Sebaiknya sekarang saja kita menemuinya."
"Tapi di mana kita bisa menemuinya?"
"Di rumahnya."
"Aku rasa siang hari seperti ini dia tidak ada di
rumah."
"Barangkali kau tahu di mana dia sering pergi?"
"Waaah susah. Paling-paling dia pergi mencari
pekerjaan. Sebaiknya nanti sore saja kita ke rumahnya. Tapi
biasanya dia pulang malam."
"Kalau begitu nanti malam kujemput kau di rumah."
"Kurasa itu lebih baik. Aku tunggu kamu nanti
malam."
***- 105
Rosalina baru saja pulang mencari pekerjaan.
Perempuan itu nampak letih sekali memasuki rumahnya.
Sejak pagi hari sampai sore sudah lima perusahaan didatangi
dan melamar pekerjaan. Dari kelima perusahaan itu, satu di
antaranya mau menerimanya sebagai karyawan. Perusahaan
itu bergerak di bidang asuransi. Bagi Rosalina bekerja apa
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun tidak jadi soal, yang penting menerima gaji untuk
membiayai hidup rumah tangganya.
Suara bunyi mesin tik menghiasi suasana rumah yang
sepi itu. Rosalina melongok dan ternyata suaminya masih
sibuk mengetik. Dengan langkah perlahan-lahan
didekatinya laki-laki itu.
"Mas Gun tadi sore sudah mandi?" tanya Rosalina
lembut.
Laki-laki itu tidak menyahut. Masih meneruskan
ketikannya.
Rosalina menarik napas panjang. Alangkah pedih
perasaannya karena tidak sepatah kata pun dijawab
suaminya. Tapi dia tetap berusaha baik menghadapi
suaminya. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur sambil
menaruh tasnya. Membuka sepatunya.
"Mulai besok Lina pindah tempat kerja, Mas. Di
sebuah kantor asuransi yang bonafid," lanjut Rosalina.- 106
Gunawan tetap tidak memperdulikan. Terus saja
mengetik. Rosalina memegang bahu laki-laki, tapi
ditempelaknya kasar. Rosalina kaget
"Mas Gun benci sekali sama Lina ya?" suaranya tetap
lembut
Gunawan menghentikan pekerjaannya. Sesaat dia
melirik istrinya dengan tatapan dingin. Dan Rosalina
merasakan tatapan itu adalah sembilu yang menggores
hatinya. Seolah-olah jijik terhadap dirinya.
"Lina memang merasa sebagai seorang istri yang
nista. Tapi bukankah Lina sudah mohon maaf dan
pengampunanmu?"
"Jangan ganggu aku sedang mengetik," ketus
Gunawan dirasa menyakitkan.
"Tapi aku ingin bicara, Mas. Maaf kalau aku
mengganggu."
"Bicaralah seperlunya."
Rosalina berdiam sejenak untuk mengumpulkan
segenap perasaan. Dia ingin mengatakan rencana yang
dianggapnya baik.
"Mas Gun, sebaiknya kita pindah dari tempat ini dan
mencari kontrakan rumah lain yang jauh dari sini," kata
Rosalina.- 107
"Aku kerasan tinggal di sini. Jangan mencari alasan
seperti itu, kalau kau mau pindah ke tempat lain, silakan!"
"Mas Gun salah mengerti. Justru Lina ingin
meghindari hal-hal yang tidak kita inginkan. Di tempat yang
baru, mungkin hidup kita akan tenang dan tentram."
"Tidak. Kalau kau merasa kurang bebas tinggal di
sini, boleh pindah ke mana saja. Aku tidak akan melarang
mu. Dan aku tidak akan mengganggumu."
"Jangan berkata begitu, Mas. Lina sungguh-sungguh
ingin menghindari dari laki-laki itu. Lina ingin hidup
tentram," kata Rosalina yang mulai terisak.
"Kau tak perlu munafik. Sebab aku tahu bahwa kau
tidak bisa meninggalkan laki-laki itu. Kau mencintainya dan
dia pun mencintaimu."
"Akan kubuktikan pada mas Gun. Akan kubuktikan
bahwa Lina akan pindah dari rumah ini hanya untuk
menghindari laki-laki itu."
"Pergilah sesuka hatimu. Cukup, jangan ganggu aku
lagi!"
Ingin rasanya Rosalina menjerit sekuat-kuatnya.
Tidak disangka kalau suaminya tetap menilainya serendah
itu. Tidak mempercayainya lagi. Lantas Rosalina bangkit
dan pergi dari kamar itu. Di kursi tamu dia menangis terisak
isak. Menangisi garis hidupnya yang terlampau getir!
Rasanya dia ingin cepat meninggalkan siksaan batinnya- 108
untuk pergi jauh. Tanpa diketahui tempat tinggalnya, berarti
dia merasa terbebas dari kejaran Handrian. Dia ingin hidup
sendiri sambil menunggu bayinya lahir.
"Selamat malam, Lina" Hilda menegurnya.
Rosalina terperangah ketika mengangkat kepalanya
dan melihat dua orang perempuan sudah berdiri di ambang
pintu. Mereka adalah Hilda dan Rini. Rosalina tergagap dan
buru-buru bangkit menyambutnya.
"Maaf mengganggu," kata Rini.
"Ah, tidak apa-apa. Mari masuk," balas Rosalina
yang malu-malu sambil mengusap air matanya.
Hilda dan Rini merasa kasihan melihat kesedihan
perempuan itu. Sekalipun dihiasi dengan senyum
keramahannya, tetap saja kesedihan perempuan itu
dirasakan oleh mereka.
"Lina, maukah kau beberapa saat ikut kami pergi?
Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu," kata
Rini ramah. Nadanya penuh persahabatan.
Rosalina menatap Rini dalam-dalam. Dia mengenal
betul Rini sebagai adik kandung Handrian. Maka
jawabannya begitu tegas;
"Aku tidak punya waktu."
"Kami ingin bicara baik-baik padamu," balas Rini
lunak.- 109
"Kalian datang kemari pasti karena Handrian,
bukan?"
"Tidak."
"Lantas apa kalau tidak?"
"Karena naluri kewanitaan yang membuat kami
datang menemuimu."
"Kalian kasihan terhadapku?"
"Ya."
"Aku tidak memerlukan belas kasihan orang lain."
Rini dan Hilda saling berpandangan. Lalu Rini
menarik napas dalam-dalam. Seulas senyum persahabatan
tercuat di bibirnya. Seolah-olah menghendaki keramahan di
dalam pertemuan itu.
"Kalau kau tidak mau kami ajak keluar, bagaimana
jika kita bicara di teras saja? Aku harap kau tidak menolak,"
pinta Rini.
"Baik."
Mereka bertiga segera mengambil kursi dan duduk di
teras rumah. Angin malam yang berhembus membawa
aroma bunga sedap malam. Suasana di sekitar tempat itu
sepi dan tenang. Di bawah penerangan lampu pijar dua
puluh lima watt mereka duduk santai.- 110
"Aku sebagai adik Handrian menyesalkan apa yang
telah terjadi."
"Semua sudah terlanjur dan jangan singgung
singgung lagi soal hubunganku dengan laki-laki itu. Aku
sudah melupakannya," ujar Rosalina
"Tapi nasib bayi yang akan lahir, bagaimana?"
"Aku yang akan mengurusnya."
"Itu memang kewajibanmu. Namun selama bayi itu
kian besar dalam kandunganmu, apakah kau masih terus
bekerja mencari uang? Tentunya setelah bayi itu berusia
tujuh bulan, kau harus istirahat bekerja. Lalu perusahaan
mana yang mau menerimamu bekerja, begitu tahu kau
dalam keadaan hamil seperti sekarang ini?"
"Itu urusanku, Rini. Apa pun yang terjadi akan
kutanggung sendiri."
"Kalau sampai bayimu mengalami keguguran?"
Rosalina terdiam. Sedih. Ucapan itu membuatnya
ngeri dan takut kehilangan harapan satu-satunya itu. Bayi
yang sangat diharapkan bisa lahir dengan selamat. Bayi
yang merupakan pelita dalam hidupnya. Seandainya hal itu
sampai terjadi, lebih baik dia ikut mati bersama anaknya
saja. Dan kengerian serta rasa takut itu membuat Rosalina
menangis.
"Ak... aku tidak mengharapkan bayiku mengalami hal
itu. Demi Tuhan, jangaan..." rintih Rosalina sedih.- 111
Hilda ikut terharu. Dipeluknya pundak Rosalina.
"Semua ibu yang baik dan menyayangi anaknya tak
ingin mengalami hal itu. Asal kau tahu saja, kedatangan
kami menemuimu bukan lantaran Handrian. Melainkan
mencari titik temu agar kau bisa dan mau menerima saran
kami. Semua itu untuk kebaikan dirimu juga anakmu yang
bakal lahir," tutur Hilda.
"Tapi bukan jalan aku harus menikah dengan
Handrian," sela Rosalina yang terisak.
"Kami tidak bermaksud memaksa, segala keputusan
ada di tanganmu. Cuma yang ingin kami utarakan, mengapa
kau tidak mau menerima bantuan apa pun dari Hilda atau
mungkin dari aku yang berniat menolongmu? Padahal kami
tahu kau sangat membutuhkannya," kata Rini sambil
memegangi jari tangan Rosalina yang dirasa dingin.
Gemetar.
"Karena Hilda adalah sahabat Handrian dan kamu
adik kandungnya. Aku tidak mau bantuan apa pun yang
masih ada sangkut pautnya dengan laki-laki itu. Bagiku
lebih baik menerima bantuan orang yang baru kenal atau
kawan lamaku yang sama sekali tidak mengetahui
masalahku."
"Kau benar-benar membenci Handrian?"
"Ya. Dia telah mengambil tindakan yang memalukan.
Dia kejam!"- 112
"Tindakan apa yang telah dilakukan terhadapmu?"
Rini jadi ingin tahu.
"Dia mengancam direktur perusahaan di mana aku
bekerja dengan alasan menerimaku. Dia akan menuntut ke
pengadilan karena menyatakan bahwa aku istrinya.
Diceritakan juga aku sedang mengandung anak darah
dagingnya. Apakah ini bukan berarti memalukan aku?
Sekarang aku jadi pengganguran lagi, mencari pekerjaan ke
sana kemari. Sedangkan tanpa bekerja aku tak akan bisa
membiayai hidupku. Tak akan bisa memeriksakan
kesehatan kandunganku ke dokter," tutur Rosalina yang
kesal dicampur isak tangisnya.
"Tak kusangka Handrian begitu kejam!" geram Rini
yang juga ikut menangis.
"Lina, mulai sekarang sudilah kiranya kau mau
menerima saran dan bantuan kami. Semua terlepas dari
Handrian," ujar Hilda. "Kami yang telah menganggapmu
sebagai sahabat turut sedih memikirkanmu."
"Ya, Lina. Kau tidak usah bekerja dan kami akan
membantu segala kebutuhanmu."
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih. Biarkan aku menempuh dengan cara
hidupku sendiri. Dan kemungkinan aku akan pergi dari
rumah ini."
"Pergi dengan suamimu?"- 113
"Tidak. Dia bahkan merelakan aku pergi sesuka
hatiku. Dia tak mau mengampuni kesalahanku. Dia sangat
membenciku. Aku jadi tak tahan hidup terus-terusan begini.
Lebih baik aku hidup sendiri membawa keberuntungan
nasib."
"Sebaiknya kau tinggal di villa orang tuaku," ujar
Hilda. "Sambil menunggu bayimu lahir. Biarkan kami yang
membantu biaya hidupmu."
"Aku tidak mau menggantung hidup kepada orang
lain."
"Jadi bagaimana kami bisa membantumu?"
"Jika kalian ingin benar-benar membantu, cegahlah
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Pendekar Bloon 5 Memburu Manusia Setan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama