Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto Bagian 2
Handrian agar jangan menggangguku lagi. Entah bagaimana
caranya agar Handrian bisa melupakan aku. Itu saja bantuan
yang kuharapkan dari kalian. Dan bagaimana caranya
supaya Handrian dapat hidup rukun bersama istrinya."
Rini memandang dalam-dalam wajah Rosalina,
kemudian beralih bersitatap dengan Hilda. Lantas kedua
perempuan itu saling mengangguk setuju.
"Permintaanmu akan kami laksanakan," ujar Rini.
"Jika itu benar-benar kau laksanakan, kalian akan
kuanggap sahabat yang baik."
"Kalau kau sampai pindah dari sini, tolong beri
alamat kepada kami. Setiap ada kesempatan kami akan- 114
menjengukmu. Dan percayalah kepada kami, tempat
tinggalmu tak akan kami beritahu kepada Handrian."
"Baik. Asalkan kalian mau berjanji"
"Tentu. Kami tidak ingin mengecewakanmu."
Setelah itu Hilda dan Rini mohon diri. Rosalina saat
ini mulai dapat menemukan kawan yang sehati. Mudah
mudahan hati mereka seperti apa yang diucapkan. Jujur dan
tulus hatinya.
***- 115
Uang simpanannya terpaksa digunakan untuk
membayar kontrak rumah. Padahal uang itu untuk
persediaan bila tiba saatnya bayi dalam kandungan lahir.
Uang itu didapat dengan jerih payahnya sewaktu bekerja
jadi gadis mode dan membintangi film-film iklan.
Pagi itu Rosalina sedang membenahi seluruh
pakaiannya dan dipindahkan ke koper. Hari itu juga dia akan
pindah ke rumah kontrakan yang baru. Tujuannya untuk
menghilangkan jejak dari pencarian Handrian. Dengan
tempat tinggal yang baru, tak mungkin Handrian bisa
menemuinya lagi.
Sebelum pergi Rosalina masih ingin mengajak
suaminya. Maka ditemui suaminya yang sedang duduk di
kursi roda. Di ruang tengah yang hening.
"Mas Gun, mari kita tinggalkan tempat ini," ajak
Rosalina penuh harap.
"Pergilah sendiri," sahutnya dingin.
Rosalina jadi sangat kecewa.
"Siapa nanti yang akan merawat dan memperhatikan
mas Gun kalau masih tinggal di sini seorang diri." Kedua
mata Rosalina mulai berair.
"Aku masih bisa mengurus diriku sendiri."
"Jadi mas Gun sudah tidak membutuhkan perawatan
dan kasih sayang Lina lagi?"- 116
"Ya. Sebab kau seorang istri yang tidak setia. Istri
yang nista," kecam Gunawan.
Rosalina tak kuasa menahan tangisnya. Sebenarnya
dia tidak tega meninggalkan suaminya yang cacat itu.
Namun kalau dia tetap tinggal di rumah itu, persoalan
dengan Handrian tak akan selesai. Laki-laki itu akan datang
setiap saat dan mengganggu ketentramannya. Terus
mengejarnya sampai dapat. Justru diambilnya jalan itu agar
tidak bisa bertemu lagi dengan Handrian. Bisa memutuskan
hubungan dengan laki-laki itu. Dan semuanya itu untuk
tetap mempertahankan kesetiaannya terhadap suami.
Namun penilaian suaminya lain. Malah menganggapnya
ingin lari dari suaminya yang cacat dan mencari jalan bisa
bebas hidup dengan Handrian.
Biarkan saja. Biarkan suaminya mempunyai
anggapan begitu. Yang penting dia bisa menghindari laki
laki yang selalu memburunya itu. Suatu saat suaminya akan
tahu betapa besar pengorbanannya. Lalu dia berlutut di
bawah pangkuan suaminya. Sambil menangis diciumnya
kedua tangan laki-laki yang duduk di kursi roda itu.
"Maafkanlah semua kesalahan Lina, Mas. Lina pergi
untuk mencari ketentraman hati. Suatu saat bila Tuhan
masih memberiku umur panjang, pasti kita akan bersama
lagi," pamit Rosalina di sela-sela isak tangisnya yang
menyayat.
Gunawan cuma menatap langit-langit rumah.- 117
Kedua matanya dirasa hangat Dan setitik air mata
perlahan sekali jatuh di pipinya. Perpisahan itu sebenarnya
merobek-robek laki-laki yang menderita cacat ini. Dia akan
ditinggalkan istri yang amat dicintainya.
"Jangan membenci Lina ya, Mas? Bukankah Lina
sudah mengakui semua kesalahannya? Lina memang nista.
Tapi Lina tetap akan setia pada mas Gun. Lina pergi justru
ingin menunjukkan betapa besarnya kesetiaan Lina padamu.
Bekalilah kepergian Lina dengan doamu. Terimalah setiap
saat Lina datang menjengukmu. Merawatmu."
"Pergilah. Pergilaaaah!" pekik Gunawan dengan
perasaan hancur lebur.
Rosalina mencium lutut laki-laki itu. Air matanya
membasahi celana yang dipakai Gunawan.
"Lina mohon diri Mas..." suaranya serak parau. Lalu
dia bangkit dan mengambil kopernya. Dengan langkah
langkah berat ditinggalkan suaminya yang tertunduk
menitikkan air mata. Sesampainya di ambang pintu
langkahnya terhenti, lalu menoleh memandang suaminya
yang masih tertunduk. Dan dengan segenap kekuatan
perasaan lantas ditinggalkan suaminya itu.
Langkah-langkah Rosalina yang limbung menyusuri
trotoar. Betapa beratnya hati meninggalkan suaminya
terpaksa dilakukan. Dia pergi bukan untuk lari dari
suaminya, tapi menghindari Handrian yang senantiasa
mendesak untuk menikahinya. Hanya inilah jalan satu-- 118
satunya untuk menunjukkan kesetiaannya terhadap suami.
Semua kesalahannya akan ditebus dengan cara tetap setia.
Maka di hatinya tidak ada kata selamat tinggal untuk
suaminya, namun akan ditunjukkan sampai sejauh mana
kesetiaannya.
Dengan naik bajaj1, Rosalina menuju ke rumah
kontrakannya yang baru. Rumah itu lebih kecil
dibandingkan dengan rumah yang dikontrak bersama
suaminya. Meskipun begitu dia akan dapat merasa tenang di
situ. Yah, dia berharap memang begitu. Tidak akan
diganggu lagi oleh Handrian.
Dan hari selanjutnya dia mulai bekerja di perusahaan
asuransi. Pekerjaan yang cukup melelahkan karena harus
mendatangi setiap kantor. Menawarkan agar perusahaan itu
mau menjadi anggotanya. Pengalaman baru mulai dirasakan
olehnya. Demi kelangsungan hidupnya, Rosalina tak pernah
mengeluh. Pekerjaan itu dijalaninya dengan lapang dada.
***
1 Merk kendaraan buatan India, sempat dikenal sebagai kendaraan umum.- 119
Rini melarikan mobilnya dengan cepat menuju rumah
Handrian. Sesaat dia melihat jam yang ada di dalam mobil.
Masih jam sembilan pagi. Mudah-mudahan Handrian belum
berangkat ke kantor. Ada hal yang penting untuk
disampaikan pada kakaknya itu. Hal mengenai Rosalina
yang pergi meninggalkan suaminya. Memang sengaja pagi
itu Rini ingin menemui Rosalina untuk membantu
memasukkan pekerjaan di perusahaan adiknya Ronny.
Tetapi sampai di sana, ternyata Rosalina sudah tidak tinggal
di situ lagi. Suaminya ketika ditanya oleh Rini tidak tahu ke
mana perginya.
Benar-benar kukuh pendiriannya, pikir Rini yang tak
habis mengerti tindakan yang dilakukan perempuan itu.
Senekad itu menempuh jalan hidup tanpa memikirkan resiko
penderitaan.
Mobil Rini telah memasuki halaman rumah Handrian.
Perasaannya jadi lega lantaran melihat mobil Handrian
masih ada di depan garasi. Tapi dia merasa kurang senang
melihat taman di halaman rumah tidak terurus. Keadaan
rumah penuh debu dan nampak suram. Dia dapat menebak
kalau penghuninya tidak pernah merawatnya. Tidak seperti
rumah-rumah di sekitarnya. Rapi, bersih dan tanaman yang
tumbuh kelihatan segar menghijau.
Rini melompat turun dari mobil. Dia dapat bergerak
bebas karena memakai celana jeans dan berkaos merah. Lalu
dia melangkah masuk ke ruang tamu. Alangkah
terperangahnya dia. Di kursi panjang Handrian masih tidur- 120
pulas. Di lantai banyak muntahan yang baunya minuman
keras. Tak salah lagi, pasti semalam Handrian mabok. Maka
buru-buru didekati laki-laki itu dan membangunkannya.
"Bangun! Hee bangun! Hari sudah siang," seru Rini
sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya sambil
mengedarkan pandangan ke seputar dalam rumah. Sepi
sekali, pikir Rini. Ke mana Lusi?
Dan Lusi tak lama keluar dari kamar sudah
berpakaian rapi. Membawa map yang berisi buku-buku
catatan kuliah. Rini jadi bengong menatap perempuan itu.
"Hay Rini," sapa Lusi yang keramahannya nampak
dipaksakan.
"Hay juga," balas Rini tak bersemangat. Lalu dia
terus membangunkan kakaknya. "Bangun! Ayo bangun!"
Handrian menggeliat lagi. Kemudian membuka
matanya sambil memijit-mijit pelipisnya. Rasa pusing masih
dirasa menyerang kepalanya.
"Berangkat dulu, Rin," pamit Lusi sambil melangkah
pergi.
Rini mendengus kecil. Dengusnya agak kesal.
Dan diperhatikan Lusi yang berjalan gemulai menuju
ke jalan. Lalu menyetop taxi. Taxi itu segera membawa Lusi
pergi.- 121
Handrian duduk lesu di kursi itu. Sedangkan Rini
menggeleng-gelengkan kepala kesal menatap kakaknya.
"Tidak disangka kakakku yang dulu suka memper
mainkan gadis-gadis akhirnya jadi begini nasibnya," ejek
Rini.
"Heee kamu ini ngomong apa?"
"Ngomong perbuatanmu yang semakin tidak karuan."
"Kau tahu apa sih?" ketus Handrian tak mau Rini ikut
campur persoalannya.
"Tahu persis segala-galanya. Ya tentang Lusi ataupun
Rosalina."
Handrian terperangah. Lalu ditatapnya Rini dalam
dalam.
"Apa saja yang kau ketahui," tanya Handrian yang tak
acuh sambil menyulut rokoknya.
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lusi yang tak acuh padamu, Rosalina yang hamil
dan kabur meninggalkan suaminya."
Handrian terperanjat. Pantatnya bagai ditusuk oleh
jarum.
"Darimana kau tahu Rosalina kabur meninggalkan
suaminya?"
"Barusan aku ke rumahnya."
"Kaburnya ke mana?"- 122
"Tidak tahu. Soalnya kau terlalu kejam dan tidak
punya prikemanusiaan," kecam Rini tanpa tedeng aling
aling.
"Heee ngomongmu jangan seenaknya."
"Kau kira aku tidak tahu kalau kau menyuruh Anton
memecat Rosalina dari pekerjaannya? Kau mengatakan
bahwa Rosalina adalah istrimu. Bahwa Rosalina sedang
hamil. Dan kau mengancam akan menuntut ke pengadilan
kalau Anton tidak segera memecatnya. Ya kan?!"
Handrian tertunduk diam. Apa yang dikatakan Rini
tak dapat disangkal lagi. Semuanya benar. Maka untuk
mengurangi ketegangannya dihisap rokok itu berkali-kali.
Asapnya keluar sampai kayak sepur langsir.
"Seharusnya kau tidak bertindak sekejam itu. Karena
Rosalina membutuhkan biaya hidup. Membutuhkan uang
untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Namun
kalau dia sudah tidak bekerja lagi, darimana dia bisa
mendapat uang? Sama juga kau membuat hidupnya tambah
menderita."
"Cukup Rini, jangan kau teruskan kata-katamu itu,"
suara Handrian terdengar serak.
"Perempuan semacam Rosalina harus dilindungi dan
dikasiani. Hidupnya adalah kering dan tandus. Bukan malah
memenggal jalan hidupnya. Seharusnya kau menolong- 123
hidupnya jangan sampai tak menentu. Maka tidak bisa
disalahkan jika dia jadi sangat membencimu."
"Cukuuuuup!" teriak Handrian jengkel.
Rini mendesah dan berpisah tempat duduk.
"Kau tahu, aku berbuat begitu karena sangat
mencintainya. Aku tak ingin dia jadi gadis mode."
"Lantas kalau sudah begini apa yang akan kau
lakukan? Rosalina telah pergi tanpa ada seorang pun yang
tahu tempat tinggalnya. Suaminya yang ditinggalkan tak ada
yang merawatnya lagi Apakah ini tindakanmu tidak
membikin orang lain menderita? Dia pergi hanya semata
mata ingin menghindari darimu. Dia sangat benci padamu
karena kau kejam! Kau egois!"
"Memang aku yang salah. Aku yang salaaaah!" teriak
Handrian kesal.
"Mulai sekarang kau jangan mengganggu dia lagi.
Biarkan dia menempuh jalan hidupnya sendiri. Dan kalau
kau benar-benar mencintainya, bertindaklah yang baik.
Berbuatlah yang baik agar hidupnya tidak sengsara."
"Lantas dengan cara apa? Semua saran dan bantuanku
ditolaknya," keluh Handrian gusar.
"Banyak cara yang bisa kau lakukan. Aku tahu bahwa
sifatnya tidak mau dibelas kasihani orang lain. Tidak mau
menerima bantuan orang lain tanpa melakukan jerih payah.- 124
Tapi sifat yang begitu sangat terpuji. Aku kagum. Maka
satu-satunya jalan kita harus punya cara di balik layar."
"Maksudmu?"
"Bila suatu ketika kita tahu tempat Rosalina bekerja,
melalui perusahaan itu kita bantu secara tersembunyi.
Mungkin gajinya kita tambah lebih besar dan memberikan
bonus melalui perusahaan itu."
"Tapi di mana kerjanya kita tidak tahu. Bagaimana
bisa melakukan seperti itu."
"Aku bisa membantumu bersama Hilda. Buatlah
selebaran secara tersembunyi, yang mana isinya minta
bantuan kepada setiap perusahaan untuk memberi tahu jika
ada nama karyawatinya bernama Rosalina. Pada selebaran
itu dicetak foto diri Rosalina. Dan bila memang ada diminta
perusahaan itu memberi tahu kepada pihak kita secara
tersembunyi pula. Aku dan Hilda akan mengedarkan
selebaran itu ke setiap perusahaan."
"Itu rencana yang bagus. Mulai besok aku akan
menyuruh percetakan membuat selebaran itu."
"Tapi sebelumnya kau harus berjanji."
"Janji apa?"
"Aku akan berusaha membantumu mati-matian
asalkan ..." ucapan Rini terhenti.
"Asalkan apa?"- 125
"Setelah kau tahu tempat kerja Rosalina, jangan kau
ganggu dia lagi. Sebab dia ingin hidup tentram tanpa
diganggu kamu terus menerus. Dia sudah berusaha
melupakanmu."
Handrian menarik napas berat. Seberat hatinya jika
harus menepati janji itu. Bagaimanapun juga dia sangat
mencintai perempuan itu.
"Bahkan Rosalina mengharapkan sekali kau dapat
hidup rukun dan bahagia bersama istrimu. Dan
permintaannya supaya kau mau melupakannya. Dia sudah
teramat bahagia dengan bayi yang ada di dalam
kandungannya. Apalagi sampai bayi itu lahir dengan
selamat."
"Mana mungkin aku bisa hidup bahagia dengan Lusi?
Kau lihat sendiri sikap Lusi terhadapku. Agaknya dia masih
tetap memburu kekasihnya. Lebih mementingkan kuliah
sambil berpacaran," kata Handrian tak ada gairah.
"Bersabarlah. Suatu ketika Lusi akan menyadari
semua perbuatannya. Dia masih terbawa emosi
keremajaannya. Belum begitu dalam menimbang baik dan
buruknya hidup yang dijalani Dan bagaimana sifat
Bramsista aku sudah tahu betul. Pemuda itu sangat hati-hati
sekali menjalani hidupnya."
Handrian tersenyum pahit.- 126
"Buktinya Bramsista masih tidak perduli kalau Lusi
sekarang sudah jadi istriku. Dia masih saja meladeni Lusi
setiap mengajak berkencan untuk berpacaran."
"Di hari belakangan ini kuperhatikan Bramsista mulai
menjauhi Lusi sedikit demi sedikit Aku yakin, tak lama lagi
Bramsista akan meninggalkan Lusi."
"Kau yakin?"
Rini mengangguk mantap. Lantas dia berdiri sambil
membawa map.
"Aku pergi kuliah dulu. Mengenai rencana kita itu
akan segera kita laksanakan kalau selebarannya sudah siap
untuk dibagikan."
"Secepatnya akan dikerjakan."
Rini berjalan pergi. Handrian termenung sambil
memandang puntung rokok yang menumpuk di dalam
asbak. Lalu dia berdiri untuk kemudian pergi ke kamar
mandi.
***- 127
Perubahan Bramsista makin dirasakan oleh Lusi.
Setiap pulang kuliah acapkali Lusi mencarinya, ternyata
laki-laki itu sudah terlebih dahulu pulang. Setiap
ditunggunya di kantin, laki-laki itu tak pernah muncul. Jadi
apa yang dilakukannya setiap hari? Sejak mereka pulang
dari pantai waktu itu, Lusi tak pernah menemui batang
hidungnya. Apakah dia sakit? Atau dia sedang sibuk
membantu kakaknya mencari nafkah? Lusi cuma mengeluh
karena tidak dapat jawaban yang pasti.
Dan siang itu Lusi sengaja menunggu Bramsista di
kantin. Para mahasiswa pada saat itu banyak berkumpul di
situ. Agaknya sedang berdiskusi masalah kuliah kerja nyata
yang akan diselenggarakan oleh panitia. Lusi mendengar
semua percakapan mereka, namun tak ada satu pengertian
pun yang masuk ke otaknya. Masa bodoh saja.
Dari gedung induk nampak Rini berjalan bersama
Ronny. Sepasang remaja itu nampaknya kian harmonis.
Sebab Ronny telah menganggap kejadian masa lalu yang
dialami Rini tidak menjadi penyebab. Bahkan dianggapnya
tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berjalan santai menuju
ke kantin.
"Kau lihat Lusi di kantin?" tanya Rini.
"Ya. Sekarang dia kelihatannya selalu murung."
"Nampaknya Bramsista mulai menjauhinya. Malah
kemarin aku melihatnya pergi bersama Rita."- 128
"Rita yang mana?"
"Anak fakultas kedokteran. Aku menemuinya dulu
ya? Ada hal yang perlu kubicarakan dengannya. Dan kau
pulang saja duluan."
Ronny mengangguk setuju. Lalu mereka berpisah di
kelokan jalan. Rini menuju ke kantin dan Ronny menuju ke
tempat parkir mobil.
"Hay," tegur Rini.
"Hay," balas Lusi agak gugup. Dikiranya Bramsista
yang datang.
"Sedang memikirkan siapa? Bramsista ya?" kata Rini
sambil duduk di kursi berhadapan dengan Lusi. Mereka
duduk hanya dibatasi meja.
"Ah, tidak," desah Lusi setengah gusar. Lantas dia
membuang pandangan ke lorong induk gedung fakultas.
Berdegup kencang jantungnya ketika dilihatnya Bramsista
berjalan bersama Rita. Mereka nampak akrab dan harmonis
sekali. Saling berbincang dan bercanda. Sebilah sembilu
bagai menggores hati Lusi.
Rini jadi ikut mengalihkan perhatian ke arah
Bramsista. O, pantas saja kalau Lusi begitu termangu
memandang ke lorong sana. Sebab melihat Bramsista
berjalan dengan gadis lain. Rasain, sekarang baru kena
batunya.- 129
"Bram sekarang nampaknya lain ya?" ujar Rini
setengah mengejek Lusi. Lusi membuang muka. Dia tak
sudi lagi memandang laki-laki yang berjalan bersama gadis
lain itu.
"Sejak dia bergaul intim dengan Rita, kuperhatikan
mulai menjauhi kamu. Apakah kalian bertengkar?"
Lusi menggeleng.
"Tapi nasibmu belum separah Rosalina," gumam
Rini.
"Rosalina? Aku pernah ingat nama itu," Lusi segera
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap Rini.
"Apakah Handrian pernah memberi tahu tentang
nasib perempuan itu?"
"Tidak," Lusi mencoba mengingat-ingat. "Kalau
tidak salah aku pernah menemukan selembar foto
perempuan cantik yang dibelakangnya tertulis nama
Rosalina. Kutemukan foto itu di laci meja Handrian."
"Perempuan itu sangat dicintai Handrian."
"Kenapa dulu dia tidak menikah dengannya saja?"
"Itulah penyebab kemelut dalam hidupnya. Dalam
hidup ini memang kadang-kadang terjadi di luar kehendak
manusia. Maksudku apa yang sudah direncanakan matang
matang ternyata meleset. Yang terjadi malah berlainan
dengan kehendak itu sendiri. Misalnya saja pernikahanmu- 130
dengan kakakku. Apakah hal itu kehendak kalian berdua?
Tentunya bukan."
"Lantas apa kaitannya dengan Rosalina?"
"Banyak hal yang tidak kau ketahui," desah Rini
Para mahasiswa yang selesai berdiskusi segera
meninggalkan kantin. Suasana kantin jadi sepi. Yang tinggal
hanya Lusi dan Rini.
"Semestinya tak kau biarkan Handrian jadi semakin
frustrasi Sekalipun kau tidak mencintainya, berlakulah
sebagai teman yang baik. Jiwanya pada saat sekarang ini
menderita siksaan yang teramat berat. Tidak ada tempat
untuk mengadu. Semua kemelut dipendamnya sendiri.
Apakah kau sedemikian teganya terus membiarkannya
begitu?"
"Karena aku tidak menghendaki menjadi istrinya."
"Sejak dulu pun aku mengerti hal itu. Tapi belum
tentu Bramsista yang senantiasa kau harapkan memenuhi
keinginanmu. Barusan kau lihat sendiri bukan? Bramsista
nampaknya mulai tergaet dengan gadis lain. Dia
kuperhatikan sudah mulai menjauhimu."
Lusi termenung. Ingat semua ucapan terakhir laki-laki
itu ketika berdua di pantai. Laki-laki itu mengharap
hubungan dengannya berubah menjadi persahabatan. Dia
tak ingin merusak kebahagiaan rumah tangganya. Oh,
teramat menyakitkan ucapan itu. Semua harapan dan cita-- 131
cita hidupnya bagai hancur karena perubahan yang
dikehendaki Bramsista. Padahal semua khayalannya
terlampau indah, tapi kehendak Bramsista yang begitu
dirasakan penghancur impiannya. Panghancur semua
khayalannya. Dan dia harus menjalani hidup yang dirasa
hampa. Apalagi sekarang Bramsista sudah tergaet gadis lain.
Jadi sukar untuk diuraikan kegetirannya.
"Kalau semisal Bram benar-benar meninggalkanmu
memang teramat menyakitkan. Tapi belum seberapa
dibandingkan dengan Rosalina. Perempuan itu jauh
menderita dibandingkan dengan hidupmu. Suatu saat kau
akan tahu bagaimana nasib perempuan yang malang itu."
Lusi rasanya ingin menumpahkan tangisnya. Dinding
hatinya mulai tersentuh perasaan iba. Iba kepada nasib
Handrian dan Rosalina. Dia sudah dapat membayangkan
betapa menderitanya mereka.
"Aku tidak tahu antara kau dan Handrian pernah
membuat janji apa. Namun sebagai seorang adik, aku
merasa kasian melihat hidup kakakku yang tersia-siakan."
Rini mengusap air matanya yang jatuh di pipinya. Lantas dia
bangkit.
"Rini..." panggil Lusi parau. Rini menghentikan
langkahnya hendak pergi. "Maafkan aku," lanjut Lusi yang
nampaknya menyesal.
Kemudian Rini meneruskan langkahnya. Lusi
termenung seorang diri di kantin. Diambilnya sehelai sapu- 132
tangan dan diusap air matanya. Tak ada lagi yang ditunggu
di sini. Bramsista tak mungkin akan datang menemuinya.
Kepedihan hati segera dibawanya pergi meninggalkan
tempat itu. Berjalan lesu seraya tertunduk memandangi jalan
yang dipijaknya. Perasaannya terombang-ambing tidak
menentu.
***- 133
EMPAT
Rosalina baru saja keluar dari pintu sebuah kantor.
Wajahnya sangat ceria. Sebab sejak tadi pagi tiga
perusahaan yang didatangi bersedia menjadi anggota
asuransi. Dan selama dia menemui pimpinan perusahaan
selalu disambut dengan keramahan. Tidak mengherankan
bila setiap pimpinan perusahaan selalu bersikap begitu
kepadanya. Karena dia cantik dan anggun. Bahkan kadang
kadang dipengaruhi untuk meninggalkan pekerjaannya dan
pindah di perusahaan yang dikunjungi.
Banyak sekali suka dan dukanya. Namun Rosalina
tetap menyenangi pekerjaan itu demi kelangsungan
hidupnya. Di balik pekerjaan rutinnya yang setiap hari- 134
mendatangi kantor-kantor, sementara itu pula selebaran
Rosalina beredar di setiap perusahaan di ibukota. Hal itu
sama sekali tidak diketahuinya. Sepuluh orang dikerahkan
oleh Handrian untuk membagi-bagikan kepada setiap
kantor. Pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. Tapi berapa
besar biaya yang dikeluarkan, Handrian tidak ambil pusing.
Yang penting bisa menemukan Rosalina.
Di lain pihak Handrian semakin frustrasi. Sudah
sekian lama belum juga ada kabar balasan dari perusahaan
yang telah dibagi-bagikan selebaran. Lantas ke mana
perginya Rosalina? Atau mungkin dia pergi keluar kota? Itu
bisa jadi karena sampai kini belum ada tanda-tanda bahwa
Rosalina bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Kalau
memang begitu, harus dicari ke mana perginya perempuan
itu?
Sore itu tidak seperti biasanya Handrian pulang ke
rumah. Entah apa pula yang menggerakkan hatinya untuk
pulang. Mungkin saja karena dia dalam beberapa hari ini
terlalu lelah bekerja. Di samping lelah pikiran bagaimana
bisa menemukan Rosalina. Begitu di sore yang cerah itu dia
sampai di rumah, dilihatnya Lusi sedang menyirami
tanaman. Handrian yang melangkah turun dari mobil agak
merasa heran. Sejak kapan Lusi timbul keinginannya untuk
begitu. Lalu Handrian memperhatikan rumahnya. Semuanya
bersih, tidak seperti hari-hari sebelumnya penuh debu.
Lusi seperti tidak menghiraukan kedatangan
suaminya. Dia tetap saja menyirami tanaman. Memunguti- 135
dedaunan yang kering lalu dibuangnya ke tempat sampah.
Handrian jadi enggan menegur perempuan itu. Masing
masing tidak mau memulai bertegur sapa. Sama-sama tahan
gengsi Lalu Handrian melangkah masuk ke ruang dalam.
Di dalam rumah semua perabotan ditata rapi.
Suasananya jadi berubah nyaman dan bersih. Dan ketika dia
masuk ke kamar bau harum menusuk hidungnya. Handrian
jadi senyum-senyum sendiri. Lantas dia menaruh tas
echolag-nya di atas meja. Menaruh pantatnya di kursi
sambil melepaskan sepatunya.
Malam ini dia sudah membuat janji. Janji dengan
Monika yang dalam beberapa hari ini ada urusan di Jakarta.
Maka Handrian membuang jauh-jauh pikiran tentang
perubahan sikap istrinya. Dan dia selalu ingat janji yang
pernah diucapkan kepada perempuan itu. Dia tidak akan
mengganggu kesukaan perempuan itu. Memberikan
kebebasan sekehendak hatinya. Apalagi sampai mau
menyentuhnya. Tegur sapa pun selama tinggal serumah
cuma beberapa kali dan bisa dihitung.
Selesai mandi Handrian berpakaian necis. Dia
mencoba untuk membuang kekalutan pikiran dengan
berkencan. Ingin mengulang kenangan lama yang indah
bersama Monika. Barangkali dengan begitu agak bisa
mengurangi beban kesepiannya.
Ketika Handrian keluar dari kamar, dilihatnya Lusi
duduk seorang diri sambil membaca majalah. Hal itu- 136
merupakan keanehan lagi buat Handrian. Perempuan itu
selama hidup serumah dengannya tidak pernah melakukan
begitu. Sehabis pulang kuliah terus pergi lagi. Pulangnya
tengah malam. Ada apa sebenarnya?
Tapi perempuan itu nampak tak mau memandang
Handrian. Bagi Handrian merasa diacuhkan. Sama seperti
waktu-waktu sebelumnya. Ah, perduli apa? kata hati
Handrian yang kemudian pergi tanpa pamit. Terus saja
berjalan tanpa mau menoleh lagi. Sedangkan Lusi begitu
suaminya melangkah pergi, sempat dipandangi punggung
laki-laki itu. Lantas dia mendengus kesal.
Di sebuah restauran yang terkenal di ibukota seorang
gadis telah menunggu di situ. Restauran itu tempatnya
sangat romantis dan tenang sekali. Sesaat kemudian
Handrian datang ke tempat itu. Dan gadis itu menyambutnya
dengan gembira.
"Sudah lama menungguku, Monika?" tegur Handrian
sambil duduk di kursi. Berhadapan dengan Monika.
Monika memperhatikan Handrian dalam-dalam.
"Pak Han nampak sedikit kurus dan kurang ceria.
Terlalu berat untuk melupakan Rosalina?"
"Darimana kau tahu hal itu?"
"Tak perlu dikatakan, tapi aku banyak mengetahui
masalahnya. Maka Monika datang ke Jakarta untuk- 137
menghibur pak Handrian," ujar perempuan itu sembari
senyum-senyum.
"Kita mau bikin acara apa malam ini?"
"Terserah."
"Temani aku ke night club."
"Kenapa tidak mengajak Monika ke Puncak?"
Handrian tersenyum pahit.
"Berdua di dalam kamar villa bersamamu akan
menambah pedih hatiku," desah Handrian.
"Ingat Rosalina?" Handrian mengangguk.
"Mari sejenak kita lupakan perempuan itu."
"Sukar rasanya."
Monika tersenyum menggoda.
"Kalau berangkat sekarang night clubnya belum
buka."
"Kita nonton film dulu."
"Okey."
Mereka pergi meninggalkan restauran itu. Selama di
perjalanan menuju bioskop New Garden Hall sikap
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Handrian dirasakan Monika sudah banyak berubah. Tidak
seromantis dulu. Barangkali laki-laki yang duduk di
sampingnya ini begitu berat tekanan batinnya.- 138
"Istri pak Han juga cantik. Tak kalah dibandingkan
dengan Rosalina," kata Monika memecah kebisuan.
"Tapi masih banyak kekurangannya dibandingkan
Rosalina."
"Sudah tahu benar pribadinya?"
"Yang kutahu hanya kesombongannya. Tidak
menghargai kepada suami. Dan aku maklum karena di
antara kita dasarnya tidak saling mencintai."
Handrian menginjak rem, rambu lalu lintas menyala
merah. Suara klakson mobil saling bersahut-sahutan karena
mobil yang paling depan mogok. Polisi menghampiri mobil
yang mogok itu. Lalu memeriksa surat-suratnya setelah
didorong ke pinggir jalanan. Handrian mengamatinya
sembari tersenyum.
"Kalau begitu bagaimana jalinan hubungan antara
pak Han dengan istrinya?"
"Saling tak acuh dan jarang bertegur sapa."
Lampu hijau menyala, Handrian meluncurkan
mobilnya.
"Tentunya tidak harmonis dong."
"Begitulah."
"Kenapa dulu tidak menikah dengan Rosalina saja?"- 139
"Inginnya sih begitu. Tapi sekarang dia kabur entah
ke mana," keluh Handrian. Monika tertawa kecil. "Ada yang
lucu?"
"Orang seperti pak Han kok sampai ditinggal kabur
pacar. Kan lucu," kata Monika sembari tertawa.
"Yaaaah... nasib."
Mobil Handrian memasuki halaman parkir gedung
bioskop. Lalu keduanya turun dan menuju ke loket. Monika
berdiri menunggu ketika Handrian membeli karcis. Di
dalam hatinya merasa kasihan juga pada laki-laki itu.
Selesai membeli karcis Monika langsung
menggandeng tangan Handrian berjalan masuk ke gedung
bioskop.
***- 140
Lusi tidur di kamar dengan gelisah. Sebentar-sebentar
dia membolak-balikkan badannya. Sebentar-sebentar
dilihatnya jarum jam beker yang ada di atas meja. Di
sebelahnya tergeletak tas echolag suaminya. Ah, sudah
tengah malam begini Handrian belum pulang.
Entah mengapa perasaan Lusi malam ini lain bila
dibandingkan dengan perasaan yang sudah-sudah. Dulu dia
selalu masa bodoh pada suaminya. Mau pulang tengah
malam atau dini hari tak dihiraukan. Tapi kenapa perasaan
itu kini menggeluti?
Lusi menarik napas panjang. Sekali lagi dipandang
nya jarum jam beker. Jam tiga pagi. Dugaannya pasti laki
laki itu pulang dalam keadaan mabok. Tak lama kemudian
dikeheningan malam terdengar suara mobil berhenti. Lusi
bergegas turun dari tempat tidur dan lari keluar kamar.
Di balik gordyn Lusi mengintip keluar. Dilihatnya
seorang perempuan sedang membuka gembok pintu pagar
halaman. Lusi memperhatikan apa yang dilakukan
perempuan itu. Yang membuatnya tidak ragu karena mobil
yang berhenti di luar pagar halaman itu milik Handrian.
Pasti Handrian ada di dalamnya. Dan siapakah gerangan
perempuan itu? Kenapa ada taxi yang ikut berhenti? Saking
ingin tahunya Lusi membuka pintu rumah.
"Selamat pagi, nyonya," sapa Monika ramah.
"Malam. Ada keperluan apa?"- 141
"Mengantarkan Handrian yang mabok."
Lusi mengeluh kesal sembari berjalan ke pintu pagar
halaman. Lalu dia membuka pintu itu lebar-lebar, sedangkan
Monika meluncurkan mobil masuk ke halaman rumah.
Tubuh Handrian yang lemas seperti tidak mempunyai
kekuatan lagi segera digotong masuk oleh Lusi dan Monika.
Dari mulutnya mengeluarkan bau minuman keras.
Di atas tempat tidur Handrian dibaringkan. Setelah itu
Lusi dan Monika meninggalkan Handrian yang terbaring di
kamarnya.
"Di mana Handrian mabok?" tanya Lusi setengah
mencurigai Monika.
"Di night club."
"Kamu salah satu hostes di night club itu?"
Monika sembari berjalan tersenyum.
"Bukan. Saya wakil direktur pak Handrian yang
membuka cabang perusahaan di Semarang."
Lusi manggut-manggut setengah tidak percaya.
"Saya mengharap pada nyonya untuk berbuat yang
baik terhadap suami. Saya telah mengetahui banyak tentang
kehidupan rumah tangga pak Handrian. Alangkah
sayangnya bila prestasi kerja pak Handrian yang gemilang
bisa merosot karena hidup rumah tangganya tidak bahagia.- 142
Hidupnya yang tersia-sia," kata Monika yang langkahnya
sudah sampai di ambang pintu.
"Nona tidak perlu ikut campur urusan rumah tangga
kami," sahut Lusi.
"Maaf nyonya, saya tidak bermaksud begitu. Tapi apa
salahnya jika saya memberikan sekelumit saran."
"Saran nona saya terima. Dan sering-seringlah
menemani Handrian setiap malam di night club ya?" kata
Lusi mencibir.
"Selama pak Handrian membutuhkan saya, tentu saja
saya bersedia. Sebab di mana lagi dia bisa menumpahkan
semua kegetiran hidupnya, kalau bukan karena saya atau
kepada wanita lainnya," tegas juga ucapan Monika.
"Permisi," lanjut Monika sambil melangkah pergi.
Lusi menatap kepergian perempuan itu dengan kesal
dan jengkel. Sampai perempuan itu naik ke dalam taxi terus
ditatapnya. Dan setelah taxi itu membawa pergi perempuan
itu, barulah dia masuk mengunci pintunya rapat-rapat. Lalu
berjalan selangkah demi selangkah menuju ke kamar
Handrian. Sebelum ditutupnya pintu kamar itu, sesaat
dipandangnya tubuh Handrian yang terbaring di atas tempat
tidur. Terenyuh juga hatinya melihat laki-laki yang setiap
malam pulang dalam keadaan mabok itu.
Pintu kamar itu ditutupnya perlahan-lahan sampai
rapat. Kemudian dia duduk merenung seorang diri di kursi.- 143
Lantas dalam hatinya tercetus pertanyaan: Apa sebenarnya
yang kau cari dalam hidup ini, Lusi? Kebahagiaan atau
memburu cinta? Sadarkah kau, bahwa keadaan dirimu
sekarang bukan remaja lagi? Bagaimanapun kau tidak
mencintai Handrian, hidupmu sudah sah. Kenapa tak kau
ciptakan kehidupan yang harmonis dan bahagia? Apakah
kekuarangannya pada diri Handrian? Cobalah kau hayati
dengan jiwa dan perasaanmu. Dengan naluri kewanitaanmu.
Bramsista belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan
Handrian. Dan seharusnya kau mendalami dan mau
mengerti ucapan terakhir Bramsista, yang menghendaki
antara kamu dan dia menjadi sahabat. Satu bukti telah kau
lihat sendiri bukan? Bramsista sekarang telah tergaet gadis
lain. Dan laki-laki itu mempunyai prinsip baik. Tidak mau
mengganggu kebahagiaan rumah tanggamu. Jadi apalagi
yang bisa kau harapkan dari Bramsista? Jadi apalagi
kekurangannya Handrian? Apalagi. Apalagi!
Cetusan hatinya itu membuat Lusi gusar dan resah.
Saking tak bisa menemukan kepastian, akhirnya dia cuma
bisa menangis terisak-isak. Lalu dia berlari ke kamarnya.
Membanting dirinya di atas tempat tidur dan menguras habis
tangisnya. Dia masih belum tahu apa yang musti
dilakukannya.
***- 144
Seorang pesuruh kantor mengantarkan sepucuk surat
kepada Fonny. Handrian yang bermalas-malasan menelpon
relasinya nampak tidak ambil perduli Fonny menunggu
sampai Handrian selesai menelpon. Lantas surat itu
diberikan kepada Handrian.
"Ada surat dari Asuransi, Pak."
Handrian tak berselera menerima surat itu.
"Kau baca saja isinya."
Fonny menyobek amplopnya. Kalimat demi kalimat
dibaca dengan teliti. Setelah selesai gadis itu wajahnya
berseri-seri. Handrian yang kebetulan memandang Fonny
jadi heran.
"Hee, ada apa kok senyum-senyum Fonny?" tegur
Handrian.
"Ada kabar gembira, Pak."
"Kabar apa?"
"Perusahaan asuransi ini memberi tahu bahwa
Rosalina bekerja di sana."
Pantat Handrian bagai disundut rokok. Dia berdiri
bersejingkat kaget.
"Kamu tidak main-main?"
"Cobalah pak Han baca sendiri," kata Fonny sambil
menyerahkan surat itu.- 145
Bagai tak sabar lagi Handrian segera membaca isi
surat itu. Langsung saja dia berteriak girang seperti anak
kecil. Fonny ikut girang melihat atasannya tidak murung
lagi Tapi benarkah Handrian tidak murung lagi? Belum lama
laki-laki itu dilanda girang, sesaat kemudian jadi berubah
murung lagi Dia kembali termenung sambil memegangi
kepalanya.
Rosalina adalah Rosalina. Perempuan itu memiliki
hati yang kukuh. Dia nekad pergi dari rumahnya hanya
untuk menghindariku. Melupakan aku. Mungkinkah bila
aku menemuinya tidak akan menambah hidupnya jadi
goncang? Dan sudah kuperkirakan jika sampai kutemukan
dia, untuk selanjutnya dia pasti akan pergi lebih jauh.
Mungkin dia tak akan mau kembali. Berarti penderitaan
hidupnya akan tambah parah. Jadi aku harus bagaimana?
Handrian ingat Hilda. Maka dia buru-buru menelpon
gadis itu.
"Hilda, aku sudah mendapatkan jawaban dari
perusahaan asuransi. Rosalina ternyata bekerja di situ," kata
Handrian.
"Syukurlah. Berarti kita telah tahu jejak kepergian
nya. Aku rasa dia pindah rumah tetap di sekitar Jakarta."
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku bingung langkah apa yang harus kulakukan?"
Handrian nampak gusar.- 146
"Tunggu aku akan ke kantormu. Nanti kita bersama
sama menemui pimpinan asuransi itu. Kita laksanakan
sesuai dengan rencana kita, Okey?"
"Okey," sahut Handrian dengan berat hati "Aku
tunggu kau secepatnya untuk datang."
Handrian menaruh lagi gagang telpon ke induknya.
Dia termenung lagi. Termenung memikirkan hidup Rosalina
yang selama ini bekerja di perusahaan asuransi. Tentunya
sangat melelahkan. Alangkah menderitanya hidupmu
sayang. Kenapa kau tetap bersikeras menolak lamaranku?
Kalau saja kau mau tidak mungkin hidupmu akan segetir itu.
Tak lama kemudian Hilda datang. Handrian sudah tak
sabar lagi ingin segera pergi ke perusahaan asuransi itu. Tapi
Hilda mencegahnya.
"Jangan terburu-buru. Telpon pimpinan perusahaan
itu dan tanyakan apakah Rosalina sedang ada di kantor," ujar
Hilda.
''Kenapa musti begitu?"
"Kuminta kau jangan sampai menemui Rosalina.
Akibatnya akan lebih buruk."
"Aaaah," Handrian mendesah kesal. Padahal rasa
rindu ingin bertemu dengan Rosalina sudah meletup-letup.
"Jangan turuti emosimu. Kamu mau menurut apa
tidak?"- 147
Handrian jadi lesu.
"Sekarang aku mau tanya, apakah kau masih tega
membuat hidup Rosalina kian menderita? Sebab dia pasti
akan keluar dari pekerjaan lagi setelah kau ketahui
Percayalah, dugaanku ini tidak akan meleset. Padahal dia
membutuhkan biaya hidup dan biaya untuk memeriksakan
bayinya ke dokter," tutur Hilda.
"Kalau begitu kau saja yang menelpon."
Hilda langsung menelpon pimpinan asuransi. Cukup
lama juga antara Hilda dan pimpinan asuransi itu
berbincang-bincang melalui telpon. Dan akhirnya memberi
tahukan datang ke sana setelah pimpinan asuransi itu
mengatakan Rosalina sedang tugas keluar.
"Ayo kita ke sana sekarang," ajak Hilda.
Handrian mengikuti saja kehendak perempuan itu.
Mereka naik mobil menuju ke kantor asuransi Selama di
perjalanan perasaan Handrian dilanda tak menentu. Nyaris
mobilnya menyerempet sepeda motor. Pengendara sepeda
motor memaki, sedangkan Handrian cuma tersenyum pahit.
Kantor asuransi itu bertingkap empat. Megah dan
terkenal di ibukota. Karyawannya cukup banyak. Kesibukan
di kantor itu selalu rutin lantaran banyak anggota yang ikut.
Handrian dan Hilda melintas di ruang yang berderet meja
karyawan. Mereka kelihatan sibuk sekali. Handrian bersama
Hilda langsung menghadap pimpinan- 148
"Selamat siang," sapa Handrian ramah memasuki
ruang kerja pimpinan. Hilda mengikutinya.
"Selamat siang," balas pimpinan itu. Lantas mereka
saling berjabatan tangan dan menyebutkan nama masing
masing.
"Ridwan."
"Handrian."
"Hilda."
"Mari silakan duduk."
Mereka bertiga duduk mengitari meja tamu. Ruangan
yang ber-AC itu terasa sejuk dan nyaman.
"Sebenarnya apa yang terjadi tentang Rosalina?"
tanya Ridwan ramah.
"Dia adik saya yang belum lama ini terjadi
perselisihan pendapat. Lantas dia kabur dari rumah ingin
hidup berdikari. Tekad dan prinsip hidupnya sukar
ditaklukkan. Saya faham sifatnya yang demikian. Dan di
antara keluarga kami yang tidak ingin menerima bantuan
hanya Rosalina. Padahal apa kekurangannya hidup kami
Kalau dia mau bekerja di perusahaan milik ayah kami
tentunya tidak terlampau sukar. Namun dia punya prinsip
hidup lain."
Ridwan mengangguk-angguk percaya.- 149
"Belum ada sebulan dia bekerja di sini sudah
mendapatkan dua puluh perusahaan yang mau jadi anggota
asuransi. Dia memang tekun dan cekatan dalam banyak hal."
"Sebelumnya kami minta maaf, karena hal yang ingin
saya tanyakan mengenai hal rahasia perusahaan."
"Silakan. Dengan apa adanya akan kami jawab."
"Mengenai gaji perbulan yang dia terima."
"Oooo itu," Ridwan tertawa. "Peraturan di
perusahaan kami setiap pegawai baru gajinya delapan puluh
ribu rupiah termasuk uang tansport."
Handrian yang sejak tadi bicara tiba-tiba tenggorokan
nya jadi kering. Lantas dia menelan air ludah yang tiba-tiba
dirasakan pahit. Dan bersamaan itu pelayan kantor datang
membawa minuman.
Handrian saling bertukar pandangan dengan Hilda.
Hilda mengetahui bahwa Handrian minta bantuan
menimpali pembicaraan.
"Maksud kedatangan kami kemari tak lain begini, pak
Ridwan," Hilda mulai membuka suara.
"Bagaimana? Utarakan saja."
"Maaf sekali lagi, barangkali kami menganggap gaji
untuk Rosalina yang diberikan perusahaan ini terlampau
sederhana. Padahal maksud kami bukan itu. Sebagai saudara
kami ingin meringankan beban hidupnya. Jangan sampai- 150
hidupnya menderita. Seperti apa yang dikatakan kak
Handrian, bahwa Rosalina tidak pernah mau menerima
bantuan dari saudara-saudaranya. Maka lewat pak Ridwan,
kami akan membantunya," tutur Hilda.
Ridwan manggut-manggut.
"Lantas maksud anda bagaimana?"
"Kami yang akan menambah gaji Rosalina menjadi
dua ratus ribu setiap bulannya. Di samping itu setiap
bulannya kami akan memberikan bonus atas nama
perusahaan bapak. Apakah keinginan kami bisa bapak
setujui?"
Ridwan berpikir sejenak.
"Sekali lagi, bahwa kami tidak ingin hidup Rosalina
serba kekurangan, pak. Mohon bapak sudi kiranya
menyetujui keinginan kami ini. Dan saya harap bapak tetap
merahasiakan kesemuannya ini. Kami benar-benar
menyayanginya, Pak," kata Handrian mengharap
persetujuan pimpinan asuransi itu.
"Baiklah. Akan saya bantu dan salurkan kebaikan
anda sekalian."
Handrian dan Hilda merasa lega. Kemudian Handrian
membuka tas echolagnya dan mengeluarkan cheque. Lantas
dia menulis sejumlah uang tambahan gaji dan bonus untuk
Rosalina selama setahun.- 151
"Saya berikan cheque ini kepada pak Ridwan untuk
tambahan gaji dan bonus Rosalina selama setahun."
Handrian menyerahkan cheque itu kepada Ridwan.
"Akan saya laksanakan dengan senang hati."
"Dan apabila ada sesuatu yang terjadi pada Rosalina,
tolong hubungi saya secepatnya ke kantor."
"Baik."
Handrian dan Hilda segera mohon diri Dengan hati
hati sekali mereka meninggalkan kantor itu. Tak lain untuk
menghindari jangan sampai kepergok dengan Rosalina yang
tiba-tiba saja pulang dari tugas luar.
"Nah, semuanya beres kan?" kata Hilda lega setelah
mereka ada di dalam mobil yang meluncur. Handrian masih
sedih seraya mengemudikan mobil. Sedih lantaran tidak bisa
bertemu dengan Rosalina.
"Sebenarnya aku ingin bertemu sesaat saja dengan
Rosalina," ujar Handrian.
"Jangan. Demi ketentraman hidupnya, jangan sekali
kali kau menemuinya. Kalau kau sampai melanggar
nasehatku, keadaan Rosalina akan bertambah buruk dan
menderita. Dan kalau kau sampai nekad melakukannya,
berarti kau tidak mencintainya dengan tulus hati. Cintamu
hanya napsu. Mencintai seseorang, bukan berarti harus
memiliki. Dan ikut merasa bahagia jika orang yang dicintai- 152
hidupnya bahagia. Bukan malah membuatnya hidup
menderita. Cobalah kau resapi. Kau fahami"
Handrian tidak menyahut. Dia melarikan mobilnya
tambah kencang. Semakin jauh... jauh dan hilang dari
pandangan.
***- 153
"Kamu ini sudah kurang waras ya?" kecam Hilda
kepada Handrian yang tak henti-hentinya meneguk
minuman keras.
"Habis cuma ini yang bisa sedikit mengurangi rasa
rinduku kepada Rosalina. Cuma ini pelarianku satu
satunya," balas Handrian yang sudah mulai mabok. Dia
menuangkan lagi wisky ke dalam gelasnya yang telah
kosong. Terus diminumnya sampai habis.
Band yang mengiringi penyanyi wanita membawakan
sebuah lagu yang iramanya slow. Beberapa pasangan tengah
melantai di arena dansa. Lampu-lampu yang beraneka warna
sebentar-sebentar menerangi ruangan yang redup itu.
"Hari sudah tengah malam, Han. Ayo kita pulang,"
ajak Hilda mulai dilanda resah.
"Jangan sok alim. Kamu biasanya suka pergi ke
tempat seperti ini dan pulangnya pagi. Kenapa sekarang
kamu minta buru-buru pulang?" kata Handrian dengan
badan yang bergoyang-goyang lesu. Sepertinya sudah tidak
mampu lagi membawa dirinya. Ingin jatuh di tempat
duduknya.
"Tapi kalau aku datang ke night club bukan untuk
menemani orang mabok gara-gara cinta. Sengaja datang
untuk menghibur diri. Dan sejak dari siang kita kan belum
pulang. Pakaian kita sampai bau keringat. Ayolah kita
pulang, Han."- 154
"Kau tidak tahu perasaanku." keluh Handrian.
"Siapa bilang aku tidak tahu perasaanmu? Wuaaah
bicaramu sudah semakin ngacau. Dan seharusnya kau bisa
merasakan, dengan caramu yang begini belum tentu bisa
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melupakan Rosalina. Tapi kalau kau mau menyadari bahwa
Rosalina membutuhkan ketentraman, pasti kau akan rela
menuruti permintaannya. Dan bila kau sungguh-sungguh
mencintainya rela memenuhi apa yang dikehendaki. Tapi
kau nampaknya egois."
"Diam. Kau mau diam tidak hah?!" bentak Handrian
dengan mata melotot. Hilda jadi ketakutan.
Hilda cuma bisa menarik napas berat Tidak disangka
kalau Handrian yang genius dan penuh potensi ini, ternyata
jadi laki-laki tempe. Laki-laki kampungan.
"Baik, akan kutemani kamu sampai teler. Ayo minum
lagi. Kalau masih kurang aku mintakan lagi wiskynya."
Hilda jadi timbul keberaniannya untuk menentang
Handrian.
Handrian malah tertawa.
"Kau memang sahabatku yang setia. Tolong tuangkan
wiskynya lagi ke dalam gelas."
Hilda melakukan itu. Handrian meneguknya lagi
sampai habis. Dan Hilda geleng-geleng kepala.
"Sekarang temani aku melantai yuk?" ajak Handrian.- 155
Hilda menurut karena ingin tahu sampai di mana
kekuatan laki-laki ini melampiaskan emosi dan napsunya.
Sambil bergandengan mereka menuju ke arena dansa.
Langkah-langkah Handrian sudah mulai sempoyongan.
Irama musik yang mengiringi penyanyi wanita
berirama slow. Handrian mendekap Hilda erat-erat sambil
bergoyang-goyang mengikuti irama musik. Muka laki-laki
itu digesek-gesekan ke pipi Hilda. Merinding juga bulu-bulu
halus di sekujur badannya. Sedangkan jemari tangan
Handrian meremas-remas pinggul perempuan itu. Penuh
gairah napsu. Dan ketika Handrian mendekatkan bibirnya ke
bibir perempuan itu, dengan cepat Hilda menepiskan muka.
"Handrian, sadarlah aku sahabatmu. Aku bukan
Rosalina," desah Hilda.
"Izinkan aku menciummu," bujuk Handrian semakin
mendekap erat tubuh Hilda yang padat. Bibirnya
menggesek-gesek di pipi yang kian dekat dengan bibir
perempuan itu.
"Jangan, Han. Jangan lakukan itu. Ingat aku adalah
sahabatmu."
"Beri aku ciumanmu," rengek Handrian.
"Tidak!" Hilda mendorong tubuh Handrian hingga
pelukan laki-laki itu terlepas. Lantas Hilda menarik tangan
Handrian meninggalkan arena dansa.- 156
Handrian kembali duduk di kursi bersebelahan
dengan Hilda. Tubuh laki-laki itu roboh bagai tak
mempunyai kekuatan lagi di pangkuan Hilda. Lalu Hilda
mengangkat kepala laki-laki itu dan dipeluknya. Tanpa
disengaja jari tangan Hilda menyentuh sebutir air hangat.
Dan ketika diperhatikan ternyata laki-laki yang dalam
pelukannya itu menangis. Menangis tanpa isak. Perasaan
Hilda yang terenyuh sedih. Dia tahu bagaimana siksaan
kepedihan di hati laki-laki itu. Lantas dibelainya rambut
Handrian.
"Di manakah letak kebahagiaan itu, Hilda?" kata
Handrian lemah.
"Sebenarnya kebahagiaan itu ada di hatimu sendiri,
Han."
"Benarkah itu, Hilda. Buktinya orang yang kucintai,
kudambakan selalu menjauhiku. Membenciku. Sedangkan
istriku tak pernah mau menghiraukan diriku. Dia pun
membenci aku," ratap Handrian lirih tapi memedihkan hati
Hilda.
"Punyailah keyakinan pada diri sendiri, bahwa suatu
ketika hidupmu akan tentram dan bahagia. Kalau saja kau
tidak terlalu memburu Rosalina, hidupmu akan tentram dan
damai. Sebab yang kau buru sudah bersikeras melupakan
mu. Menghindarimu jauh-jauh. Tak ingin merusakkan
kebahagiaanmu," tutur Hilda sembari membelai rambut
Handrian.- 157
"Bisakah aku melupakan Rosalina?" suaranya kian
lemah dan lirih. Seolah-olah mulutnya sudah tidak bisa
banyak bicara lagi
"Kau harus punya tekad bisa melupakannya. Relakan
dia hidup tentram dan bahagia dengan cara hidupnya
sendiri."
Handrian cuma mendesah panjang.
"Sekarang kita pulang ya?" bujuk Hilda.
Handrian mengangguk seperti anak kecil. Lalu
dibimbingnya Handrian meninggalkan Night Club itu.
Angin malam meniup sepoi-sepoi ketika mereka baru keluar
dari pintu night club. Agak bersusah payah juga Hilda
membimbing Handrian sampai ke mobil. Hilda mengemudi
kan mobil itu membawa Handrian pulang ke rumahnya.
Setelah sampai di depan rumah Handrian, apa yang
harus diperbuat Hilda agak kebingungan. Sedangkan pintu
pagar halaman terkunci rapat. Lantas dia menekan tombol
bel. Dilihatnya seorang wanita mengintip di balik gordyn.
"Selamat malam," sapa Hilda.
Lusi cepat membuka pintunya. Sambil berlari-lari
kecil Lusi mendekati pintu pagar halaman. Diperhatikannya
perempuan yang mengantar suaminya itu. Perempuan lain
lagi yang belum pernah dikenalnya. Dengan tangan gemetar
dibukanya pintu pagar halaman lebar-lebar. Hilda
meluncurkan mobil masuk ke halaman.- 158
Tubuh Handrian yang lemas itu digotong berdua oleh
Lusi dan Hilda masuk ke kamarnya. Kemudian dibaringkan
di atas tempat tidur. Lusi memperhatikan suaminya sesaat
dengan hati sedih. Baru kemudian keluar dari kamar sambil
menutup pintunya. Hilda membarenginya. Ada perasaan
cemburu di dalam hati Lusi melihat perempuan yang
mengantar suaminya.
"Nona sekretarisnya mas Handrian?" tanya Lusi.
"Teman dekatnya."
"Jadi bukan sekretarisnya? Kemarin ada perempuan
lain yang mengantar mas Han mengaku sekretarisnya.
Sering menemani mas Han ke night club?"
"Tidak."
"Jangan berbohong!" cibir Lusi tidak percaya.
"Kau kira aku perempuan macam apa?!" balas Hilda
sengit. "Seharusnya sebagai seorang istri, nyonya harus bisa
menyenangkan suami. Bisa membuat suami kerasan tinggal
di rumah dan tidak keluyuran setiap malam. Pulang dalam
keadan mabok," lanjut Hilda.
"Apa urusannya anda berkata begitu?! Kalau anda
merasa bisa menyenangkan hati suamiku, kenapa tidak kau
gaet saja?!" ketus Lusi.
"Sifatmu seperti anak kecil! Tidak mengintropeksi
sejauh mana perlakuan nyonya terhadap suami."- 159
"Jangan banyak bicara. Tinggalkan tempat ini
secepatnya!"
"Duh sombongnya. Aku akan pergi secepatnya dari
sini. Selamat malam. Permisi. Semoga sifatmu yang angkuh
dan sombong itu bisa secepatnya berubah," Hilda bergegas
melangkah pergi.
Setelah Hilda pergi, buru-buru Lusi menutup pintu
rumahnya. Masih sempat dia mengintip di balik gordyn.
Mengawasi perempuan muda itu berjalan kaki di tengah
kegelapan malam seorang diri. Sampai akhirnya hilang dari
pandangannya.
Lusi berlari masuk ke dalam kamarnya. Dia menangis
tersedu-sedu di atas tempat tidur. Sampai kapan
kehidupannya yang rasa tidak menentu itu akan berakhir?
Bramsista yang dicintainya telah benar-benar menjauhinya.
Malah tadi siang laki-laki itu sepertinya menunjukkan
secara terang-terangan duduk berdua di kantin bersama Rita.
Bercanda begitu mesra di depan matanya. Sedangkan
Handrian setiap pulang larut malam dalam keadaan mabok
diantar perempuan yang berganti-ganti. Kehidupan macam
apakah ini? Lusi meratapi nasibnya yang tak menentu.
Hidupnya bagaikan terombang-ambing.
***- 160
Teriknya sinar matahari siang menyengat kulit Lusi.
Dia baru saja keluar dari gedung fakultas. Langkahnya yang
lesu menepak di jalanan beton menuju ke kantin.
Sebenarnya hari itu dia malas untuk mengikuti kuliah. Tapi
untuk apa tinggal di rumah tanpa ada kesibukan lain. Cuma
melamun memikirkan nasibnya yang tidak menentu.
Dan di siang itu perasaan Lusi disergap kegelisahan.
Rasa demikian belum pernah dialami selama hidupnya.
Sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi. Firasat itu ternyata
makin meyakinkan manakala dilihatnya Rini dan Hilda
sudah membarengi langkahnya. Kedua gadis itu sejak tadi
sudah menunggu Lusi keluar dari gedung fakultas.
"Lusi aku perlu bicara denganmu," kata Rini agak
kaku.
"Soal apa?"
"Kita bicara di sana saja," ajak Rini sambil menunjuk
di tempat yang sepi. Di sana ada pohon beringin yang
berdaun rindang. Sejuk dan nyaman sekali tempatnya.
Lusi menuruti kemauan Rini. Hilda tidak ketinggalan
mengikutinya. Di bawah pohon itu mereka berdiri untuk
mulai berbincang-bincang.
"Kita dulu pernah bersahabat baik. Aku kenal betul
sifatmu yang dulu begitu baik dan sederhana. Tapi sekarang
aku tidak menyangka kalau sudah berubah begitu angkuh
dan sombong. Sampai-sampai kau menganggap kakakku- 161
sebagai laki-laki yang tak punya harga diri. Laki-laki yang
tak punya masa depan. Kau sia-siakan hidupnya tanpa
perduli!" kata Rini yang nadanya marah. Mengencam semua
perlakuan Lusi yang tidak disenanginya.
"Setega itu kau berkata begitu padaku," balas Lusi.
"Semuanya itu karena perlakuanmu yang egois.
Kalau kau tidak mencintai Handrian itu hakmu. Tapi apa
salahnya bila kau mau berbuat secuil kebaikan kepada laki
laki itu. Menghargai dan memperhatikan Handrian sebagai
seorang teman misalnya. Kalau kau tidak sudi menganggap
nya sebagai suamimu. Aku jadi heran kenapa kau sama
sekali tidak punya naluri wanita yang halus dan peka. Dan
aku juga heran, apa yang kau cari dalam hidup ini?"
"Barangkali membanggakan kecantikannya. Mentang
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mentang kawin dipaksa mau memperdaya suaminya,"
celetuk Hilda dengan wajah sinis.
Ucapan Rini dan Hilda dirasa menyembelih
perasaannya. Di kedua mata Lusi bergenang butiran air
bening. Dan untuk mengendalikan kepedihan hatinya
menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Lusi, belum seberapa penderitaan batinmu bila
dibandingkan dengan Rosalina. Asal kau tahu saja, bahwa
sebab frustrasi yang dialami Handrian lantaran perempuan
itu meninggalkannya. Perempuan itu meninggalkan
Handrian dengan beban penderitaan yang tidak kecil artinya.
Aku pergi sekali menceritakan kepadamu, agar naluri- 162
kewanitaanmu yang kini cuma ada keangkuhan dapat
kembali peka dan halus."
Lusi mendekap erat map di dadanya. Pandangannya
lurus ke depan. Dan pandangannya tanpa disengaja melihat
Bramsista sedang berjalan bersama Rita. Cuma dia saja yang
tahu. Rini dan Hilda kala itu baru saja menghenyakkan
pantatnya di bangku panjang. Lusi segera membuang
pandang ke rumput-rumput di depannya. Hatinya bagai
disembelih. Perih.
"Kau mau mendengar ceritaku tentang Rosalina?"
tanya Rini.
Lusi menyandar di batang pohon beringin. Angin
berhembus semilir.
"Ceritakanlah," sahut Lusi yang masih menahan
kepedihan hati.
"Aku yang tahu persis semua yang terjadi hubungan
Rosalina dengan Handrian," Hilda mulai membuka suara.
"Awal pertemuan Handrian dengan Rosalina di sebuah halte
bis kota. Lalu terus dilanjutkan pertemuan-pertemuan
berikutnya sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta. Tapi
Rosalina selalu merahasiakan tempat tinggalnya. Semula
aku mengira Rosalina hanya perempuan jalanan, sebab
setiap mengadakan kencan dengan Handrian di halte.
Karena Handrian sering mengeluh padaku, bahwa Rosalina
selalu bersikap jual mahal hingga timbul siasat licikku untuk
memperdayanya. Pada saat pesta ulang tahunku sengaja- 163
Handrian dan Rosalina kuundang untuk menghadiri. Lantas
di dalam minumannya kucampuri obat perangsang.
Handrian membawa perempuan itu ke kamar dan
diperkosanya. Ternyata Rosalina benar-benar masih
perawan." Hilda menarik napas panjang karena dadanya jadi
sesak. Rasa berdosa menggeluti jiwanya.
Sedangkan Lusi termangu.
"Sejak kejadian itu Handrian sangat menyesal. Dia
berniat menikahi perempuan itu sebagai rasa tanggung
jawabnya. Tapi anehnya Rosalina selalu menolak. Dia
senantiasa tak bisa menolak setiap ajakan Handrian, namun
tetap menolak kalau dijadikan istrinya. Sampai akhirnya
Rosalina hamil. Dengan kejadian itu Handrian makin
dituntut harus menikahi perempuan itu sebelum bayinya
lahir. Ternyata di balik kehidupan Rosalina yang menderita
itu, dia mempunyai suami."
Lusi terperangah.
"Suaminya tahu Rosalina menjalin hubungan gelap
dan hamil?"
"Ya. Rupanya apa yang dilakukan Rosalina punya
alasan yang bisa kita fahami. Suaminya lumpuh dan
menderita impoten. Tiga tahun lebih hidupnya tersiksa
dalam kesepian. Sebagai seorang wanita normal dia
membutuhkan hiburan dan pelampiasan. Sungguhpun
begitu nistanya perbuatan itu, Rosalina adalah Rosalina. Dia
seorang perempuan yang tabah menghadapi segala cobaan- 164
dan penderitaan. Walaupun keadaannya sudah demikian, dia
tetap setia kepada suaminya. Tak ingin meninggalkan si
suaminya yang membutuhkan perawatan dan kasih sayang
itu."
Lusi makin terenyuh mendengar cerita Hilda
mengenai kehidupan perempuan itu.
"Dia bekerja siang sampai malam untuk membiayai
kehidupan rumah tangganya. Handrian ataupun kami yang
hendak memberi bantuan selalu ditolaknya. Dia pindah dari
perusahaan satu ke perusahaan lainnya hanya untuk
menghindari Handrian. Untuk melupakan Handrian, karena
dia tidak ingin merusak kebahagiaan orang lain. Dia ingin
hidup tentram dan dama samil menunggu bayinya lahir."
Lusi mengusap air matanya. Di hatinya mulai timbul
penyesalan yang dalam. Dan selama ini dia baru menyadari
apa yang dilakukan hanya menuruti emosinya saja.
"Maafkanlah aku, Rini. Maafkanlah aku Hilda," kata
Lusi penuh penyesalan.
"Kata maaf itu gampang sekali diucapkan. Yang
penting sebagai wanita tetap memiliki perasaan halus dan
peka. Sekeras pendirian Rosalina, tapi memiliki jiwa besar.
Jadi soal kau mau mencintai kakakku bukan suatu paksaan,
melainkan kesadaranmu untuk saling menghargai sesama
nya. Saling mempunyai tenggang rasa dan perbuatan yang
baik. Itu saja yang ingin kukatakan," ujar Rini sembari- 165
bangkit. Lantas pergi bersama Hilda meninggalkan Lusi
yang masih berdiri menyandar di batang pohon.
Hidup ini memang penuh problem. Tidak disangka
kalau Handrian sampai begitu parahnya terombang-ambing
oleh kenyataan. Kenyataan ingin menunjukkan rasa
tanggung jawabnya terhadap Rosalina. Namun perempuan
itu sungguh patut untuk dipuji. Mudah-mudahan aku pun
bisa seperti dia.
Sambil melangkah Lusi punya keinginan bisa
bertemu dengan perempuan itu. Tapi bagaimana caranya?
Satu-satunya cara harus minta alamat rumah Rosalina
kepada Hilda. Maka diburunya Hilda dan Rini yang belum
jauh meninggalkannya.
"Rini tungguuu!" teriak Lusi sembari berlari
menghampiri Rini dan Hilda yang hampir naik ke mobil.
Rim dan Hilda menunggu sesaat naik ke mobil.
Dilihatnya Lusi berlari-lari mendekatinya.
"Ada apa lagi?" tanya Rini
"Beri aku alamat rumah Rosalina."
"Untuk apa?"
"Ingin menemuinya."
"Lantas apa urusanmu menemui perempuan itu? Mau
menambah beban penderitaannya?"- 166
"Tidak. Demi Tuhan tidak. Aku ingin bertemu secara
baik-baik padanya. Rasanya di hati ini ingin meminta maaf,"
ujar Lusi begitu tulus.
"Dia tidak ingin ditemui oleh siapa pun yang masih
ada hubungannya dengan Handrian. Karena dirasakan hal
itu akan membuat hidupnya tidak tentram."
"Tapi aku mohon berilah alamat rumahnya."
"Tidak," kata Rini tegas sambil menghempaskan
pintu mobil.
Mobil itu meluncur meninggalkan asap dan debu.
Lusi memandangi dengan perasaan kecewa. Tapi
bagaimanapun caranya dia harus bisa mengetahui alamat
rumah Rosalina. Harus.
***- 167
Instingnya mengatakan bahwa dia harus ke kantor
suaminya. Pasti dia bisa menemukan keterangan dari
sekretaris di kantor. Atau paling tidak bisa mencari di buku
alamat para karyawan di kantor suaminya. Dan pagi hari
sebelum suaminya bangun dia sudah pergi ke kantor.
Di ruang kerja Handrian nampak Fonny sudah sibuk
bekerja. Kedatangan Lusi cukup mengherankan buat Fonny.
Sebab selama ini nyonya atasannya itu belum pernah datang
sekalipun ke kantor.
"Selamat pagi," sapa Fonny penuh hormat dan ramah.
"Pagi Saya ingin melihat susunan daftar nama-nama
karyawan."
"Baik." Fonny tambah heran kenapa istri pak
Handrian ingin melihat buku daftar nama-nama karyawan?
Apa maksudnya. Tapi lantaran Fonny takut yang meminta
adalah istri direkturnya, terpaksa juga diberikan.
Buku daftar nama-nama karyawan itu mulai diperiksa
oleh Lusi. Dia membaca satu persatu nama-nama yang
tertulis di situ lengkap dengan alamat rumahnya. Dan
akhirnya ditemukan juga nama dan alamat rumah Rosalina.
Perasaannya jadi lega.
"Bagaimana pekerjaan di kantor apakah masih tetap
stabil?" Lusi pura-pura bertanya begitu.- 168
Menghilangkan kecurigaan Fonny kalau dia
mengetahui tujuannya cuma ingin tahu alamat rumah
Rosalina.
"Masih seperti biasa, Bu."
"Pak Handrian lagi sedang tidak enak badan.
Mungkin dia datang ke kantor agak siangan."
Fonny mengangguk sembari tersenyum.
Lusi mulai memeriksa laci meja Handrian. Beberapa
surat di laci itu diperiksanya. Dan dia menemukan selebaran
yang ada gambarnya wajah Rosalina. Maka segera diambil
dan dibaca kalimat yang isinya minta kepada setiap
pimpinan perusahaan untuk memberi tahu bila mana
Rosalina bekerja di perusahaan itu. Lantas dia juga
menemukan surat balasan dari asuransi yang mengatakan
bahwa Rosalina bekerja di situ. Berdebar jantung Lusi,
antara girang dan bimbang.
Sementara itu Fonny yang tahu hal itu jadi ketakutan.
Dia segera punya dugaan akan terjadi pertengkaran antara
Handrian dengan istrinya.
"Okey, saya pulang Fonny. Jangan bilang apa-apa
kalau saya datang kepada pak Handrian."
Fonny mengangguk berat.
Lusi bergegas pergi dari tempat itu. Dengan naik taxi
dia menuju ke rumah Rosalina yang lama. Sesuai dengan
alamat yang tercantum dalam daftar nama-nama karyawan.- 169
Lusi akhirnya menemukan alamat yang dicari.
Dengan segenap perasaan kasian dia mengetuk pintu rumah
itu. Rumah yang sederhana sekali dan kehidupannya
nampak miskin.
"Permisi."
Suara mesin ketik terdengar bertalu-talu.
Lusi mengetuk lagi sampai berulangkah.
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Permisi," makin keras suaranya.
Bunyi suara mesin ketik berhenti. Sesaat kemudian
pintu rumah itu dibuka dari dalam. Seorang laki-laki yang
memakai tongkat menyambutnya.
"Mau mencari siapa?" tanya Gunawan yang merasa
belum pernah kenal dengan tamunya ini.
"Di sini rumah Rosalina?"
"Ya. Tapi sekarang Rosalina sudah tidak tinggal di
sini lagi."
Lusi jadi kecewa.
"Boleh saya sedikit ingin berbincang-bincang dengan
anda?"
"Silakan masuk."
Seperti biasanya Gunawan duduk di kursi roda dan
tamunya di kursi. Sesaat Lusi mengedarkan pandang
keseputar ruangan tamu itu.- 170
"Hidup yang miskin," pikir Lusi penuh rasa iba.
"Ada hal apa mengenai Rosalina," tanya Gunawan.
"Tidak ada hal apa-apa. Saya hanya ingin bertemu
dengannya saja." Lusi memperhatikan Gunawan dan
dugaannya tak akan salah. Laki-laki yang duduk di kursi
roda itu adalah suami Rosalina.
"Saya boleh tahu anda ini siapa?"
"Istrinya Handrian."
Agaknya terbelalak kaget juga laki-laki itu.
"Mencari Rosalina ingin mendamprat atau memaki
makinya?''
"Tidak. Sama sekali saya tidak bermaksud begitu
datang kemari."
"Lantas mau apa?"
"Ingin tahu kehidupan yang sebenarnya."
Gunawan mendengus seperti kerbau dan bibirnya
tersungging senyum pahit. Lantas dia menggelindingkan
kursi rodanya sampai membelakangi Lusi.
"Inilah kehidupan nyata rumah tangga kami. Rosalina
yang masih muda dan cantik serta penuh gairah cuma
mempunyai suami macam aku. Suami yang tak bisa
membahagiakan lahir dan batin. Sudah sepantasnya kalau- 171
dia pergi meninggalkan aku. Kemudian cari penggantinya
yang bisa membahagiakan hidupnya lahir dan batin."
"Apakah kira-kira penyakit yang diderita anda tidak
bisa disembuhkan?"
"Saya ini orang miskin, Nyonya. Kalau toh bisa
biayanya pasti tidak terjangkau oleh kami. Barangkali hal
yang saya alami ini adalah kutukan Tuhan?"
"Kutukan Tuhan?"
"Ya. saya telah melanggar nasehat orang tua. Saya
hanya menuruti emosi cinta untuk menikah dengan
Rosalina. Padahal waktu itu orang tua kami sudah
mempunyai pilihan sendiri."
Lusi jadi termenung memikirkan dirinya sendiri.
Emosi cinta? apakah sama dengan diriku yang hanya dikuasi
oleh emosi cinta terhadap Bramsista? Lusi menarik napas
berat.
"Sekarang akibatnya saya jadi orang terbuang. Dalam
keadaan seperti ini orang tuaku tak pernah mau tahu.
Apalagi menengoknya."
"Sebab apa anda sampai menderita cacat?"
"Saat menuju ke Puncak untuk malam pertama seusai
pesta pernikahan, mobil yang kami tumpangi menabrak
pohon. Kedua kakiku patah dan men... menderita impoten,"
suara Gunawan serak parau.- 172
Lusi mengkaitkan cerita Hilda dengan kenyataan
memang benar. Tiga tahun lebih Rosalina dalam pernikahan
masih tetap perawan.
"Sekarang di mana Rosalina tinggal?"
"Saya tidak tahu. Barangkali dia bisa bebas berbuat
apa saja kalau tidak sendiri. Padahal selama di sini, aku pun
tak pernah melarangnya berbuat sesuka hatinya. Aku
senantiasa memberikan kebebasan."
"Selama dia pergi belum pernah menjenguk anda?"
"Sudah tepat sebulan terhitung hari ini dia belum
pernah menjengukku."
"Begitu teganya," gumam Lusi.
"Yang kutahu pasti dia bukan perempuan kejam dan
tega. Dia seorang istri yang setia dan penuh cinta kasih.
Mungkin saja sedang sibuk menghadapi pekerjaan. Atau
sedang memerangi hidupnya yang menderita."
Terdengar detak-detak sepatu menginjak lantai teras.
Lusi segera mengalihkan perhatian ke pintu. Ternyata
Rosalina yang datang. Sesaat antara Lusi dan Rosalina
saling bersitatap.
"Selamat siang, Lina," sapa Lusi ramah.
Rosalina tersenyum hambar. Lalu dia memeluk
suaminya dan dicium jari tangan laki-laki itu. Kemudian
berpindah di kedua pipinya.- 173
"Kau sehat-sehat, Mas?" tanya Rosalina sembari
memandang suaminya dalam-dalam. Penuh kerinduan.
"Seperti apa yang kau lihat," sahut Gunawan tak
acuh. "Temuilah istri Handrian dengan baik-baik."
Gunawan menggelindingkan kursi rodanya. Rosalina
tidak membiarkan suaminya melakukannya sendiri. Dia
membantu mendorongnya sampai masuk ke kamar. Di
dalam kamar Gunawan dihujani ciuman yang hangat dan
penuh kerinduan.
"Mas Gun, hari ini aku terima gaji. Gajiku sangat
besar di perusahaan asuransi itu. Satu bulan aku digaji dua
ratus ribu rupiah dan ditambah bonusnya seratus ribu
rupiah," kata Rosalina girang. Mengharapkan suaminya ikut
girang mengetahui hal itu. Lalu dikeluarkan uangnya dari
dalam tas. "Ini mas, terimalah."
Tapi Gunawan tidak tertarik ataupun gembira. Dia
bahkan tak acuh. Melihat uang itu pun tidak. Rosalina jadi
sangat kecewa. Lantas karena rasa kecewanya itu,
dibuangnya uang itu ke atas tempat tidur. Dia mulai terisak.
"Mas Gun tidak percaya kalau uang itu kudapat dari
jerih payahku?"
Gunawan diam. Dia malah mengatakan: "Temuilah
istri Handrian di ruang tamu."
"Tidak!"- 174
"Harus! Dia datang ke mari dengan baik-baik. Kau
harus menemuinya dengan baik pula," kata Gunawan tegas.
Rosalina menggeleng sambil terisak.
"Kau harus menuruti kataku, temui dia!"
Dengan kesal dan berat hati Rosalina meninggalkan
suaminya di kamar. Dia menemui Lusi sambil mengusap air
matanya.
"Kau datang ke mari untuk mendampratku?" tanya
Rosalina.
Lusi tersenyum mengajak bersahabat. Baru pertama
kalinya Lusi dapat bertemu muka dengan perempuan itu.
Perempuan yang berparas cantik, anggun dan sederhana
sekali. Penuh daya pesona. Pantas saja kalau Handrian selalu
mengejarnya. Tak mau ditinggalkannya.
"Saya ke mari bukan bermaksud begitu."
"Dibujuk Handrian?" sepasang mata Rosalina yang
indah mengerjap-ngerjap.
"Juga tidak."
"Lantas?"
"Kemauan hatiku sendiri. Karena sejak pernikahanku
dengan Handrian tidak menemukan kebahagiaan. Rupanya
dia tidak bisa melupakanmu. Dia sangat mencintaimu.
Kalau kau tahu keadaannya sekarang, sangat menyedihkan
sekali. Tubuhnya kurus, pulangnya tengah malam dalam- 175
keadaan mabok. Apakah kamu tidak kasihan membiarkan
nya terus menerus begitu? Tegakah?"
"Lalu apa yang musti aku lakukan?"
"Saya mengharap jangan putuskan hubungan kalian.
Aku relakan mas Handrian hidup berdampingan dengan
mu," kata Lusi tulus.
"Kamu gila ya?" ketus Rosalina. "Aku masih punya
suami dan tak ada seorang pun yang bisa memisahkan kami
selain Tuhan."
Lusi terdiam, tapi matanya memandang perut
Rosalina yang mulai kelihatan membuncit.
Rosalina tahu bahwa Lusi sedang memperhatikan
perutnya. Maka dia berkata:
"Bayi yang tumbuh dalam kandunganku memang
darah daging suamimu. Betapapun nista dan dosanya
perbuatanku, akan kupertanggung jawabkan kepada Tuhan.
Sebab aku memang menginginkan seorang anak dalam
hidupku. Dia adalah satu-satunya harapanku di hari tua."
"Saya mengerti."
"Jadi aku mengharapkan supaya Handrian melupakan
ku. Aku ingin hidup tentram bersama suamiku. Dan untuk
selamanya aku ingin tetap setia terhadap suamiku walaupun
keadaannya begitu."- 176
"Lalu bagaimana dengan keadaan suamiku?" kata
Lusi resah.
"Semuanya itu tinggal bagaimana perlakuan istri
terhadap suami. Sebab ketentraman dan kebahagiaan
seorang suami ada di tangan sang istri. Aku telah banyak
mendengar perlakuan anda terhadap suami. Justru letak
kesalahannya ada pada dirimu."
Lusi tertunduk diam. Dia mulai mengintropeksi.
"Sejak kalian menjalani hidup berumah tangga, aku
sudah berbuat tidak akan mengganggu ketentramanmu.
Justru aku berkali-kali menasehati Handrian agar bisa
menciptakan suasana harmonis di dalam keluarga. Dan dia
kupaksa untuk melupakanku. Sebenarnya aku sudah lelah
menjalaniku hanya untuk menghindarinya. Untuk
menjauhinya."
Perlahan-lahan Lusi mengangkat mukanya dan
memandang Rosalina. Dia merasa kagum dengan sifat
perempuan itu. Lalu dia berpindah ke tempat duduk di
sebelah Rosalina. Dipeluknya perempuan itu sambil
menangis.
"Mungkinkah mas Han mau mencintaiku, Lina,
Karena selama ini aku selalu menyia-nyiakan hidupnya. Tak
pernah mengurusnya." Lusi seperti meratap sedih.
"Aku tahu betul sifat suamimu. Asalkan kau bisa
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menyayanginya, memperhatikannya dan sedikit- 177
bermanja padanya, pasti dia akan membalas cintamu.
Mulailah dari sekarang sedikit demi sedikit membuang
keangkuhanmu."
"Akan kujalani apa yang kau sarankan."
"Dan ciptakanlah suasana harmonis dan penuh
kegembiraan agar dia bisa melupakan aku."
Sejak Lusi menerima saran Rosalina mulai merubah
sikapnya. Setiap pulang kuliah tidak lagi keluyuran ke
mana-mana. Terus pulang ke rumah dan menyiapkan makan
siang. Barangkali saja suaminya pulang tanpa diduga. Di
setiap ruangan sengaja dibelikan bunga untuk ditaruh dalam
vas. Suasana indah dan rapi semakin dirasakan olehnya.
Semua kenangan yang pernah dialami bersama
Bramsista berusaha dilupakan. Apalagi Bramsista dikabar
kan tak lama lagi akan bertunangan dengan Rita. Jadi
alangkah bodohnya kalau terus memikirkan laki-laki itu.
Siang itu Lusi mengharapkan suaminya pulang
ternyata yang ditunggu tidak muncul. Sampai waktunya jam
makan malam masih belum pulang juga. Kendati begitu
Lusi tetap berusaha sabar. Hampir semua majalah yang tadi
dibelinya sudah selesai dibaca. Sampai penat dan lelah dia
menunggu.
Sesaat dia berbaring di atas tempat tidur, lalu bangun
lagi menonton film seri di layar tv. Hingga acara tv selesai,
laki-laki yang ditunggu masih belum datang.- 178
Pasti pulangnya malam dan mabok lagi, pikir Lusi
yang mulai kesal. Di sofa pantatnya diletakkan dengan
kasar. Sebab rasa jengkel dan kesal sudah menyergap
nyergap dalam dada. Dan ketika pada puncak ke
kejengkelannya, ada suara mobil berhenti di depan
rumahnya. Bergegas Lusi bangkit dan membuka pintu.
Terus berlari keluar membuka pintu pagar halaman. Setelah
itu ditutupnya rapat-rapat lagi.
Handrian malam itu pulang sendirian tanpa diantar
perempuan. Laki-laki itu melangkah turun dari mobil.
Langkahnya sempoyongan menuju ke teras. Lusi buru-buru
memeluk laki-laki itu dan dibimbingnya masuk ke rumah.
Pintu rumah segera ditutup. Meneruskan langkahnya lagi
menuju ke kamar depan. Kamar yang biasa ditempati oleh
Lusi.
"Setiap pulang malam pasti mabok," gerutu Lusi.
Handrian tak memperdulikan ucapan istrinya itu.
Sejak mereka hidup serumah belum pernah Lusi
menegurnya seperti itu kepada Handrian.
"Kalau setiap malam terus-terusan begini badanmu
bisa rusak, Mas." Lusi membaringkan tubuh Handrian ke
atas tempat tidur. Tempat tidur pengantin yang belum
pernah digunakan untuk tidur bersama. Lalu dibukanya
sepatu Handrian oleh Lusi satu persatu.- 179
"Untung dalam keadaan mabok menyetir mobil tidak
sampai terjadi kecelakaan," lanjut Lusi sambil membersih
kan peluh dingin di wajah Handrian.
Sepasang mata Handrian yang kuyu bagai melihat
bayang-bayang wajah Rosalina. "Rosalina..." gumamnya
lemah. Lusi cuma tersenyum. Tidak cemburu.
"Tidurlah."
"Aku ingin tidur bersamamu."
"Tentu. Aku buka dulu kaos kaki dan pakaianmu,
karena semuanya bau minuman keras. Aku gantikan pakaian
tidur ya?" bujuk Lusi lemah lembut.
Handrian cuma mengangguk lemah. Dipelupuk
matanya bayangan wajah Rosalina tak mau hilang.
Sedangkan Lusi mulai menggantikan pakaian suaminya
yang teler itu. Bulu di sekujur badan Lusi yang merinding
manakala jari tangan Handrian mengusap-usap kulit
wajahnya. Lembut dan mesra sekali.
"Tak tahukah kau, aku sangat mencintaimu? Jangan
tinggalkan aku ya sayang?" kata Handrian mesra sekali.
Lalu direngkuhnya tubuh Lusi untuk kemudian direbahkan
di sisinya. Dipeluknya.
Lusi membalas pelukan suaminya dengan jantung
berdebar-debar. Betapa hangat dan menggairahkan pelukan
suaminya itu. Kedua matanya lalu terpejam meresapi
kehangatan itu. Dan hembusan napas suaminya mulai- 180
dirasakan menyentuh kulit mukanya. Sentuhan lain
dirasakan pula mendekati bibirnya. Berdebar-debar jantung
Lusi. Makin tambah berdebar lagi manakala bibir suaminya
melumat bibirnya. Ah, bau minuman keras. Tapi Lusi tidak
perduli. Bahkan dibalasnya ciuman itu dengan penuh gairah.
Tubuh Lusi menggelinjang seperti cacing kepanasan.
Sebab tangan Handrian begitu agresif meremas dan memilin
tubuhnya. Sampai seberapa jauh Lusi terbawa arus
kenikmatan tak dapat diukur lagi. Pertama dalam hidupnya,
tapi tak mudah dilupakan sepanjang sisa hidupnya. Dia
pasrahkan kesucian diri untuk suaminya walau malam
pengantin sudah lewat.
Dan malam itu rasanya Lusi bermimpi. Mimpinya
indah sekali. Sampai rasanya dia ingin menggapai mimpi
yang digeluti kenikmatan, namun tak jua bisa. Berkali-kali
mimpi itu terjadi. Seakan-akan seluruh sisa tenaganya
terkuras habis di situ. Dia kadang-kadang tersadar sesaat
manakala dirasakan ada sesuatu yang perih, pedih dan tak
tahu apa lagi. Dan goncangan-goncangan laki-laki itu hanya
dibalas dengan dekapan erat.
***- 181
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah
ventilasi jendela kamar. Burung-burung yang berkicau
saling bersahut-sahutan. Suasana pagi yang indah dan cerah.
Sisa-sisa embun masih berkilau menempel di permukaan
dedaunan.
Sementara itu di dalam kamar, Handrian mulai
membuka matanya perlahan-lahan. Langit-langit kamar
sesaat diperhatikan, lalu beralih ke sampingnya. Di
sampingnya tergolek tubuh seorang perempuan tanpa
busana tapi ditutupi selimut. Kulit tubuh perempuan itu
putih mulus tanpa ada satu cacat pun. Keadaannya masih
tertidur pulas. Handrian memperhatikan dengan cermat.
Lantas dia terheran melihat keadaan dirinya yang juga tanpa
busana. Oh Tuhan, apa yang telah kuperbuat semalam
dengan perempuan ini? Perempuan yang bukan Rosalina.
Handrian segera menyambar pakaiannya. Perlahan
lahan dia melangkah turun dari tempat tidur. Aku telah
mengingkari janjiku. Mengingkari sumpahku. Betapa
memalukan, pikir Handrian yang gusar. Sebelum segalanya
jadi berantakan dan memalukan, lebih baik pergi. Itu
keputusan yang akan diambil olehnya.
Hati-hati sekali Handrian mengambil beberapa stel
pakaian lalu dimasukkan ke dalam koper. Jangan sampai
Lusi terbangun. Jangan sampai Lusi tahu kalau dia akan
pergi. Handrian memang berhasil tidak sampai
membangunkan perempuan itu sampai dia bisa keluar kamar
membawa koper. Dalam keadaan yang mendebarkan itu- 182
masih sempat menulis sepucuk surat untuk Lusi. Surat itu
diletakkan di atas meja ruang tengah. Pada amplopnya
ditulis dengan huruf-huruf besar agar mudah dilihat Lusi.
Setelah itu buru-buru dia kabur dengan mengendarai mobil.
Lusi jadi terbangun ketika suara mobil Handrian
meninggalkan halaman rumah. Perempuan itu menggeliat
sambil menggerak-gerakkan tangannya ke samping.
Maksudnya apakah suaminya masih tidur di sampingnya?
Tapi Lusi tidak menyentuh apa-apa selain selimut. Maka dia
membalikkan badannya. Dilihat suaminya telah tiada lagi di
sampingnya. Lusi terkejut dan buru-buru bangun.
Benarkah Handrian sudah pergi? Kenapa dia pergi
tidak membangunkan aku? Padahal biasanya dia pergi
setelah jam sembilan. Karena saking penasarannya, Lusi
cepat-cepat mengenakan pakaian tidurnya dan melompat
turun.
"Mas Han!" panggilnya sembari berjalan ke ruang
tengah. Barangkali saja suaminya masih duduk di ruang
tengah sambil minum kopi. Ternyata Lusi tidak
mendapatkan suaminya di situ.
Dengan perasaan tak menentu, bingung dan cemas,
dia berlari ke garasi. Mobil suaminya telah tiada. Sekarang
dia baru yakin kalau yang barusan pergi adalah suaminya.
Lusi segera kembali ke ruang tengah. Sambil menyibakkan
rambutnya yang menutupi kening berjalan lesu. Di meja
ruang tengah dilihatnya ada sepucuk surat. Maka buru-buru- 183
diambilnya. Selembar kertas yang bertuliskan tinta itu
dibacanya. Jantung berdebar-debar kencang.
Teruntuk: Lusi yang baik.
Menjadi seorang laki-laki yang melanggar
janji dan sumpah, adalah perbuatan yang tercela dan
memalukan. Padahal aku telah berjanji dan
bersumpah tidak akan menyentuh tubuhmu. Apalagi
sampai merenggut kesucianmu. Aku mohon beribu
ribu maaf kepadamu, karena keadaanku semalam
telah lupa diri. Tak ingat siapa sebenarnya kamu.
Sebab dalam pikiranku terlalu cenderung kepada
Rosalina. Malam itu dirimu seolah-olah Rosalina
yang selama ini tak pernah hadir dalam kesepianku.
Lusi, aku mohon kepadamu untuk merawat apa
saja yang kutinggalkan kepadamu. Baik itu rumah
ataupun barang-barang yang ada. Aku pergi karena
tak kuasa menanggung rasa malu atas perbuatanku.
Aku merasa jadi seorang laki-laki yang tidak dapat
memegang janji dan sumpah. Tapi jangan mengecap
diriku sebagai laki-laki yang mau memperkosa hak
atas kebebasanmu.
Aku mohon jangan. Karena semuanya itu
diluar kesadaranku sampai tega merenggut
kesucianmu. Semoga Tuhan mengampuni semua
kesalahanku.- 184
Lusi, aku pergi untuk mencari diriku sendiri.
Mencari kebahagiaan. Bila Tuhan masih memberikan
umur panjang, suatu ketika kita akan bisa berjumpa
lagi.
Dari: Handrian.
Dengan tangan gemetar Lusi melipat surat yang
selesai dibacanya itu. Setitik air mata perlahan jatuh di
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pipinya. Perlahan pula dia duduk di kursi. Masih belum
lenyap kejadian semalam yang begitu indah dan berkesan,
namun sudah berubah jadi kesedihan. Masih baru tumbuh
cinta dan kasih sayang terhadap suaminya, tapi sudah
ditinggal pergi. Nasib apakah yang sebenarnya ini.
Kegetiran yang akan menjelma atau hidup cuma menanti
seorang suami yang perginya entah ke mana. Lantas sampai
kapan suaminya akan kembali?
Lusi kembali masuk ke kamarnya. Pakaian yang
dipakai Handrian semalam masih berserakan di atas tempat
tidur. Pakaian yang berbau minuman keras. Dengan segenap
hati sedih, pakaian itu didekapnya. Diciuminya.
Terlambatlah aku mencintai suamiku? Kenapa tidak sejak
pertama aku mencintai dan menyayanginya? Kenapa pula
dulu dia musti kupaksa untuk berjanji dan bersumpah? Oh
Tuhan, ampunilah segala dosaku, Selama ini aku telah
menyia-nyiakan suamiku.
***- 185
Selama Lusi hidup berumah tangga dengan Handrian
tak pernah menjenguk kedua orang tuanya. Selama itu pula
dia hanya mengumbar emosi memburu Bramsista. Dan tidak
menghiraukan keadaan suaminya. Tidak memperdulikan
apa pun yang diperbuat suaminya. Mereka hanya berbuat
menuruti kehendak hatinya masing-masing. Mengejar
kesenangan tanpa memikirkan akibatnya. Tapi setelah
Handrian pergi, barulah Lusi menyadari semua
perbuatannya yang tercela. Sebagai seorang istri tidak
pernah memperhatikan suaminya.
Di sore yang cerah itu Lusi sengaja datang ke rumah
orang tuanya. Kedatangan perempuan itu menimbulkan
pertanyaan bagi mereka. Sebab perempuan itu datang
dengan wajah sedih dan murung.
"Kau bertengkar dengan suamimu?" tegur ibunya.
Lusi menggeleng. Tangisnya tak dapat dibendung lagi
Ayah dan ibunya jadi bingung melihat Lusi menangis
terisak-isak.
"Lantas kenapa?" Ibunya tidak sabar lagi ingin cepat
tahu.
"Mas Handrian pergi meninggalkan Lusi," sahutnya
serak.
"Mungkin ada urusan ke luar kota?"
Lusi menggeleng.
"Jadi meninggalkanmu karena persoalan apa?"- 186
"Karena melanggar janji dan sumpahnya."
Ayah dan Ibu Lusi saling berpandangan. Mereka jadi
heran.
"Janji dan sumpah apa?"
Lusi diam. Ada perasaan malu untuk mengutarakannya.
"Katakan terus terang, Lusi," desak ayahnya. Lusi
masih diam. "Ayo, katakan."
"Setelah Lusi melangsungkan pernikahan, minta
kepada mas Han agar berjanji. Berjanji tidak akan
menyentuh tubuhku atau melakukan hubungan badaniah
sebagaimana suami istri lainnya. Dan mas Han mau berjanji.
Bersumpah tidak akan melakukan hal itu," tutur Lusi tak
berani memandang kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Lusi termangu heran.
"Aneh," gumam ayahnya. "Di dalam hukuman
perkawinan cara seperti itu adalah dosa. Perkawinan adalah
sunnah Ilahi dan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani
dan jasmani. Sunnatullah, falan tadjida lisunnatillahi
tabdila. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa segala sesuatu
dijadikan Tuhan berpasang-pasangan, begitupun manusia
dijadikan Tuhan dari dua jenis; laki-laki dan perempuan,"
kata ayahnya.
"Tapi pada mulanya Lusi tidak mencintai mas Han."
"Dan sekarang masih begitu?"- 187
Lusi diam menggigit-gigit jari tangannya. Dia
bimbang dan tak bisa mengatakan apa-apa. Namun sikapnya
tidak menentang seperti dulu. Sebab di hatinya telah bersemi
cinta. Merasa sedih dan kehilangan ditinggalkan suaminya.
"Ketahuilah, bahwa untuk membina rumah tangga
bahagia, kedua belah pihak harus menjunjung tinggi hak dan
kewajiban masing-masing. Saling hormat-menghormati.
Sopan santun. Saling membantu. Saling nasihat menasihati,
dapat memberi dan menerima dan tidak maunya menang
sendiri Akan tetapi penuh pengertian dan cinta kasih atas
ridla Tuhan yang Pengasih dan Penyayang," lanjut ayahnya.
"Kalau begitu Handrian pergi meninggalkanmu
karena melakukan hubungan badaniah denganmu?" Ibunya
menimpali bertanya.
Lusi mengangguk.
"Lusi, kewajiban seorang istri tidak mempersulit dan
memberatkan suami, akan tetapi bersikap ridla dan sabar.
Istri yang baik ialah yang dapat mengetahui kemauan suami
sebelum dikatakannya dan dapat memberi sebelum
dimintanya. Berusahalah meringankan dan menenangkan
keadaan, jika terlihat tanda-tanda suami dalam kesusahan,"
tutur Ibunya.
"Lusi merasa bersalah dan dosa, Ma."
"Jadi sekarang kau sudah menyadari bukan? n
Handrian itu pantas sekali kau cintai. Pantas untuk menjadi- 188
suami yang ideal. Atau barangkali kau masih mau
mengharapkan Bramsista?"
Lusi menggeleng.
"Kau sudah pasrah dan berniat ingin menjadi istri
Handrian yang baik?"
Lusi mengangguk lagi.
"Tapi bukan lantaran karena Handrian telah
menggaulimu secara paksa kan?"
"Lusi tidak merasa dipaksa."
Ayah dan ibu Lusi saling bertukar senyum. Geli juga.
"Baik. Kalau begitu kita sekarang pergi ke orang tua
Handrian. Kita musyawarahkan masalah ini," ajak ayahnya.
***- 189
Untuk pertama kalinya Lusi bersama kedua orang
tuanya datang ke rumah orang tua Handrian. Pada suatu sore
yang kebetulan seluruh keluarga Hendra sedang berkumpul
di ruang tengah. Mereka sedang berunding mengenai pesta
pernikahan Rini dan Ronny. Sepasang remaja itu nampak
senyum-senyum bahagia. Suasananya santai penuh gelak
tawa.
Kegembiraan keluarga Hendra mendadak jadi
terhenti lantaran menerima kedatangan tamu. Tamu itu tak
lain adalah Lusi bersama kedua orang tuanya. Dan
kedatangan mereka menimbulkan suatu pertanyaan, apalagi
Lusi datang tanpa disertai Handrian.
Mereka saling berjabatan tangan, lalu duduk
berkumpul di ruang tamu.
"Sudah sebulan lebih kita tidak bertemu. Nampaknya
ada sesuatu yang serius ya, Dik," tanya Hendra kepada ayah
Lusi.
"Soal Handrian dan Lusi."
"Apakah mereka bertengkar?"
"Menurut Lusi bertengkar sih tidak," ibu Lusi
menimpali sembari senyum-senyum. Sedangkan Lusi
tertunduk malu. Enggan bersitatap dengar Rini atau Ronny.
Sebab mereka pasti sudah tahu apa masalahnya.
Ibu Lusi mulai menceritakan masalahnya secara
gamblang kepada keluarga Handrian. Dengan nada-nada- 190
agak menertawakan mereka saling bertukar pikiran. Sebab
hal yang menjadi masalahnya dianggapnya sangat unik dan
lucu. Handrian h sampai pergi karena melanggar janji dan
sumpahnya
Tinggal sekarang giliran Rini yang mulai
menceritakan masalah hubungan Handrian dengan
Rosalina. Semua orang yang ada di ruangan itu jadi
termenung memikirkan Rosalina. Mereka sama sekali tidak
menyangka kalau Handrian sampai sejauh itu melakukan
tindakan di luar sepengetahuan mereka.
"Bagaimana untuk mengatasi hal ini?" Hendra
meminta pertimbangan kepada yang hadir di ruangan itu.
"Apa ada kemungkinannya Handrian harus beristri
dua?" sahut Ibu Lusi yang nampaknya tidak rela anaknya
dimadu.
"Kalau menurut sepengetahuan saya, Rosalina sejak
dulu tetap menolak dijadikan istri oleh Handrian," Rini
menimpali.
"Jadi bagaimana mengenai nasib bayi yang akan lahir
itu?"
Perempuan setengah baya itu menatap Lusi anaknya.
Sedang yang ditatap cuma tertunduk. Lalu pandangannya
beralih ke suaminya yang seolah-olah meminta
pertimbangan.- 191
"Apakah kita tega memisahkan Rosalina dengan
suaminya yang cacat itu? Kalau kita sampai bertindak
begitu, di mana rasa prikemanusiaan kita?" ayah Lusi
membuka suara.
"Sekarang masalahnya hanya tergantung pada
Rosalina. Mau menikah dengan Handrian atau tidak. Di
dalam hal ini kita harus bertindak bijaksana."
"Aku rasa Rosalina tetap menolak. Aku kenal betul
sifatnya yang tak mudah dipengaruhi dan mempunyai
prinsip. Aku sudah sering menemuinya, dan dia mengatakan
akan tetap setia kepada suaminya. Masalah bayi yang
dikandungnya, merupakan harapan di hari tuanya. Sebab
suaminya tak mampu memberikan keturunan," Rini
mengutarakan dengan jujur.
"Kalau begitu kita temui dia. Biar semua
persoalannya bisa selesai dengan baik," ujar Ibu Handrian.
"Tapi jangan sekarang."
"Tunggu apa lagi? Nanti bisa-bisa persoalannya
tambah berlarut-larut."
"Sebaiknya kita tunggu sampai bayi dalam
kandungannya lahir."
Suasana jadi hening sesaat karena masing-masing
mempertimbangkan cara apa yang terbaik. Jangan sampai
merusak kehidupan rumah tangga Handrian dengan Lusi.
Begitupun jangan sampai merusak kehidupan rumah tangga- 192
Rosalina dengan Gunawan. Namun persoalan yang pelik ini
harus bisa diambil jalan tengah. Salah satu harus ada yang
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalah. Maka ibu Lusi segera bertanya kepada anaknya;
"Kau mau hidup dimadu?"
Lusi diam sesaat, lalu mengangguk. Kedua orang tua
Lusi jadi terperangah.
"Apa sebabnya kau mau di madu?"
"Karena Rosalina mempunyai kepribadian yang
luhur. Dia menghargai sesama wanita. Dan banyak
kelebihannya dibandingkan diriku."
Semua orang yang hadir di situ tak bisa membuka
suara lagi. Mereka terharu mendengar ketulusan hati Lusi.
Ternyata di balik keangkuhan perempuan itu ada pula
kepasrahan dan kepekaan.
"Semuanya ini yang menjadi penyebabnya adalah
Lusi sendiri. Maka biarlah Lusi yang menanggungnya. Lusi
ikhlas."
***- 193
LIMA
Sebelum Rosalina minta izin cuti, pak Ridwan sudah
terlebih dahulu memanggilnya ke kantor. Sebab kemarin dia
menerima telpon dari Handrian supaya Rosalina diberikan
cuti. Permintaan Handrian lantaran dengan pertimbangan
bahwa kandungan Rosalina sudah berusia tujuh bulan. Dia
tak sampai hati dalam keadaan begitu Rosalina masih terus
bekerja mendatangi setiap kantor.
Rosalina duduk menghadap Ridwan. Laki-laki gemuk
setengah baya itu tersenyum ramah sekali.
"Lina, mengingat kandunganmu sudah mencapai
tujuh bulan, maka perusahaan kami akan memberikan cuti
kepadamu sampai anakmu, lahir. Setelah itu kau boleh
masuk bekerja lagi," kata Ridwan.- 194
Wajah Rosalina jadi berseri-seri. Baik benar pikir
Rosalina. Dan pak Ridwan merupakan seorang pimpinan
yang sangat bijaksana sekali. Tanpa terlebih dahulu minta
izin sudah diberikan cuti.
"Apakah selama saya menjalani cuti, gaji saya tetap
bisa saya terima, Pak? Maaf kalau saya kurang pantas
menanyakan hal ini."
"Jangan kawatir. Gaji dan bonus anda tetap saya
berikan seperti biasanya."
"Terima kasih, Pak."
"Sekarang kau boleh pulang dan mulai besok saya
ucapkan selamat menjalani cuti itu. Semoga anda selalu
gembira dan bahagia."
Masih belum habis pikir mengenai kebaikan pak
Ridwan sambil berjalan melintasi ruang kantor. Dan
semenjak bekerja di situ selalu saja diperhatikan oleh pak
Ridwan. Jauh sekali bila dibandingkan dengan karyawati
lainnya. Apakah barangkali pak Ridwan naksir padaku?
Atau sekedar kasihan karena dia tahu suamiku lumpuh dan
aku yang mencari nafkah? Ah, terserah apa yang dipikirkan
laki-laki itu.
Ketika Rosalina baru saja keluar dari pintu kantor,
seorang laki-laki sudah berdiri menantinya. Rosalina
terbelalak karena kenal betul siapa laki-laki itu.
"Lina," panggilnya laki-laki itu.- 195
Rosalina cuma menatap laki-laki sepintas terus
meneruskan langkahnya. Tapi laki-laki itu mengikutinya. Di
jalanan yang agak sepi laki-laki itu menyambar lengannya.
"Berhenti, Lina. Aku ingin bicara."
Rosalina meronta berusaha melepaskan cekalan
tangan laki-laki itu. Tapi laki-laki itu malah kian erat
mencekalnya. Tak mau melepaskan dan menariknya supaya
berhenti.
"Kau sekarang kerja di mana?" tanya Handrian pura
pura tidak tahu.
"Kerja di mana pun kau tak perlu tahu."
"Aku rindu sekali kepadamu, Lina."
"Tapi aku sudah melupakanmu."
Handrian memandang perut Rosalina yang mem
buncit besar. Lantas di bibirnya tersenyum bahagia.
Rosalina buru-buru memutar tubuhnya agar perutnya yang
membuncit tidak dipandang Handrian.
"Aku menjumpai kali ini untuk yang terakhir kalinya.
Aku hendak mohon pamit untuk pergi jauh. Dan aku berjanji
tidak akan mengganggumu lagi. Betapa berat dan hancurnya
hatiku, aku akan berusaha melupakanmu. Karena kau sudah
tidak sudi lagi kepadaku. Bersikeras melupakanku," kata
Handrian yang nadanya parau.- 196
Mendengar ucapan Handrian tubuh Rosalina berbalik
lagi. Sekarang dipandangnya wajah Handrian dalam-dalam.
"Kau akan pergi bersama istrimu?"
Handrian menggeleng. Kedua matanya nampak
berkaca-kaca.
"Kau ingin pergi sendiri?"
"Ya."
"Kau tega meninggalkan istrimu?"
"Tidak ada jalan lain karena aku telah melanggar janji
dan sumpahku. Aku mohon kepadamu, temanilah aku pergi
ke suatu tempat, sebelum aku pergi ingin rasanya
ditemanimu walau sesaat. Seperti pertama kita bertemu
dengan baik, berpisah pun dengan baik. Kau mau ya?" bujuk
Handrian lemah lembut.
Rosalina tertunduk menimbang-nimbang. Bersedia
atau tidak? Dan ketika dipandangnya mata laki-laki itu
sangat memelas sekali. Dia jadi ingat awal pertemuan di
halte bis di masa yang lalu. Laki-laki itu membujuknya
dengan cara seperti ini. Rosalina jadi merasa kasian.
Bukankah selama ini Handrian selalu bersikap baik
kepadanya? Laki-laki yang jujur dan penuh tanggung jawab.
Tidak pernah sekalipun mengecewakannya. Malah dia yang
sering membuat laki-laki itu kecewa. Frustrasi.- 197
"Mau ya? Untuk sekali ini saja. Setelah itu aku akan
pergi jauh dan tidak akan mengganggumu lagi. Mau ya?"
bujuk Handrian makin memelas.
Rosalina mengangguk.
Handrian tersenyum lega. Lalu mereka menuju ke
mobil. Handrian membukakan pintu untuk Rosalina. Setelah
perempuan itu duduk di jok depan, pintunya ditutup pelan.
Seolah-olah jangan sampai perempuan itu kaget. Setelah itu
menyusul dia duduk di belakang stir dan meluncurkan
mobilnya.
Selama di dalam perjalanan menuju pantai, sebentar
sebentar Handrian melirik ke arah perut Rosalina. Alangkah
bahagianya jika bayi itu lahir dengan ikatan yang sah
melalui akad nikah.
Mobil itu telah sampai di pinggiran pantai. Handrian
mengajak Rosalina turun. Di bawah tenda yang nyaman
mereka duduk berdua. Sesaat Rosalina memejamkan mata
karena ingat awal pertama pergi bersama Handrian. Laki
laki itu mengajaknya ke tempat ini juga. Apakah ini memang
dikehendaki Handrian? Awal cinta tumbuh di sini dan
akhirnya juga di sini.
"Di saat ini kukenang kembali jalinan cinta kita
sebelum berpisah. Masa-masa yang kita lewati terasa begitu
indah dan menyakitkan. Dirimu yang selalu membayangiku
di setiap gerak langkahku dalam hidup ini. Namun kau tak
pernah dapat memberikan kepastian untuk mau hidup- 198
bersamaku," kata Handrian yang sendu sembari memandang
lautan lepas. Jauh. Ombak yang saling berkejaran. Nelayan
nelayan yang sedang mencari ikan.
"Impian tidak selamanya menjadi kenyataan.
Mencintai seseorang pun bukan harus dimiliki. Seperti apa
yang terjadi pada diri kita. Hari ini kita bertemu bukan untuk
merintis kisah kita yang dulu. Tapi bertemu untuk berjanji
saling melupakan."
Handrian memandang wajah Rosalina yang sendu.
Ucapan perempuan itu bagai sembilu yang menggores
hatinya. Bagai pagar baja yang membatasi jalinan cinta
mereka di saat ini. Lalu Handrian merapatkan dirinya ke
tubuh perempuan di sampingnya.
"Izinkan sebentar saja kubelai jari tanganmu kasih.
Sudah sekian lama aku menanggung rindu sampai tak kuasa
aku menahannya. Meskipun ini untuk yang terakhir kalinya.
Aku sudah merasa paling bahagia dalam saat-saat terakhir
ini," pinta Handrian mengharapkan sekali.
Rosalina memejamkan matanya. Membiarkan
Handrian membelai jari tangannya dengan lembut dan
mesra. Sementara hati perempuan itu bagai ditikam sembilu.
Sejuta rasa haru membalut jiwanya, hingga dari sudut
matanya menetes butiran air bening. Apalagi manakala jari
tangannya dicium oleh Handrian. Jiwanya seperti ingin
menjerit.- 199
"Kalau pada suatu saat anak kita lahir, dan kebetulan
aku tidak ada di sisimu, sebut saja namaku. Pasti Tuhan akan
selalu melindungimu. Karena setiap saat aku berdoa agar
kau dapat melahirkan anak kita dengan selamat. Dan berilah
dia nama Permadi Irawan, bila dia laki-laki Jika perempuan
berilah nama Dewi Sri."
Isak tangis Rosalina semakin berkepanjangan..
"Sudahlah, hentikan tangismu." Handrian membasuh
air mata perempuan itu. "Bila kita masih ada umur panjang
kelak kita akan bertemu lagi. Walaupun tanpa kisah yang
dulu."
Handrian memeluk bahu Rosalina. Dibimbingnya
perempuan itu ke mobil. Saat-saat perpisahan itu terasa
sangat mencekam perasaan mereka masing-masing. Di
terminal Grogol mereka berpisah. Rosalina mengiringi
kepergian laki-laki itu dengan deraian air mata.
***
Sudah seminggu Handrian tidak ada kabar beritanya.
Kepergiannya tidak diketahui ke mana.
Membuat seluruh keluarganya jadi bingung dan
cemas. Untuk sementara urusan kantor ditangani oleh Lusi
dan Rini. Hilda sering kali datang membantunya.- 200
Di lain pihak kedua orang tua Handrian dengan orang
tua Lusi mempunyai rencana lain. Mereka berniat untuk
menolong keadaan suami Rosalina yang menderita cacat itu.
Dan ternyata rencana itu disepakati pula oleh Rini dan Lusi.
Mungkin dengan cara bisa menyembuhkan cacat
Gunawan keadaannya akan bisa berubah lain.
Hingga pada suatu sore mereka datang ke rumah
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunawan. Kedatangan mereka sangat mengejutkan laki-laki
itu. Dengan setengah terheran ditemuinya keluarga
Handrian dan keluarga Lusi. Semua merasa terharu melihat
keadaan laki-laki cacat itu.
"Barangkali kedatangan kami sekeluarga
mengejutkan, bukan?" kata ayah Handrian.
"Saya merasakannya juga begitu," balas Gunawan
yang duduk di kursi roda.
"Sebenarnya kami datang untuk menolong keadaan
diri saudara," lanjut ayah Handrian;
"Apa hubungannya tuan-tuan bermaksud demikian?"
"Saya orang tua Handrian."
Gunawan manggut-manggut.
"Lantas maksud tuan menolong keadaan saya itu
bagaimana?"
"Mengobatkan cacat saudara sampai bisa pulih. Ya
walaupun tidak sesempurna yang dulu iagi. Tapi paling- 201
tidak bisa kembali baik. Bisa berjalan dan mempunyai
gairah hidup lagi."
"Biayanya tidak kecil tuan-tuan."
"Itu tidak jadi soal. Yang penting saudara bersedia
untuk berobat."
Gunawan menimbang-nimbang. Ada perasaan ragu
dan bimbang.
"Saudara mencintai Rosalina bukan?"
Gunawan terperangah dan gusar.
"Kalau saudara benar-benar mencintai Rosalina harus
mau berobat sampai sembuh. Bisa mempunyai atensi
sebagaimana suami yang normal."
"Saya terlalu mencintai Rosalina."
"Nah, kalau begitu saudara harus menuruti saran kami."
Gunawan diam termenung. Di dalam hatinya tak
ingin menerima bantuan apa-apa pun dari keluarga
Handrian. Tapi untuk menolak secara terang-terangan dia
takut menyakiti perasaan mereka.
"Maaf, sebelumnya saya banyak terima kasih atas
perhatian tuan-tuan. Biarkan sisa hidup saya tetap begini,"
kata Gunawan tenang.
Hendra merasa kecewa. Begitu juga yang lainnya.- 202
"Boleh kami tahu di mana tempat tinggal orang
tuamu?" tanya Hendra. "Kami ingin bertemu."
"Saya sudah jadi anak terbuang. Untuk apa musti
mengikut sertakan orang tua saya? Mereka sudah membenci
saya," keluh Gunawan.
"Sejahatnya orang tua, tak mungkin tega melihat
anaknya hidup menderita dan sengsara."
Gunawan menepiskan muka. Dia jadi ingat
pengorbanan yang dilakukannya menentang kehendak
orang tuanya. Kehendak akan dinikahkan dengan gadis
pilihannya. Tapi karena dia sangat mencintai Rosalina nekad
kabur dari rumah dan menikah di luar sepengetahuan orang
tuanya. Sampai detik ini pun orang tuanya tidak mengetahui
tempat tinggalnya. Keadaan dirinya yang cacat.
"Kenapa saudara sampai jadi anak terbuang?"
"Pernikahan saya dengan Rosalina tidak direstuinya,"
suara Gunawan lemah. Ada perasaan rindu yang mencekam
di hatinya. Rindu dengan kedua orang tuanya. Tiga tahun
lebih dia berpisah, dan kini rasa rindu meletup-letup.
"Di mana tempat tinggal orang tuamu?"
Gunawan menyebutkan di bilangan elite.
"Seingat saya di daerah itu ada yang banyak saya
kenal. Coba sebutkan siapa nama orang tuamu. Barangkali
saja saya kenal."- 203
Gunawan dengan berat hati menyebutkan kedua nama
orang tuanya.
"Mereka itu kan teman lama kita, Pa." Ibu Handrian
nampak senang.
"Ya. Ayahnya malah teman usahaku dulu."
Ada secerah harapan yang menyala di hati Gunawan.
Barangkali dengan pertemuan ini akan banyak membawa
hikmah.
***- 204
Selama Rosalina menjalani cuti, hari-hari yang
dilaluinya selalu diisi dengan kesibukan. Setiap hari
membuat pakaian bayi untuk persiapan bilamana anaknya
lahir.
Sudah tiga hari berdiam diri di rumah timbul rasa
jenuh. Di samping kangen ingin menemui suaminya. Tapi
dalam tiga hari itu perutnya selalu saja diserang rasa sakit.
Apakah bayiku akan segera lahir? Pikir Rosalina. Kemudian
dia menghitung dari bulan pertama berhenti mens sampai
saat ini. Tujuh bulan lebih empat hari. Mungkin bayiku akan
lahir pada usia kandungan tujuh bulan? Perasaan Rosalina
jadi resah bercampur gelisah.
Sore itu tanpa diduga pak Ridwan datang. Dengan
setengah malu dan kikuk Rosalina menemuinya. Betapa
mengherankan, seorang direktur seperti pak Ridwan mau
datang ke pondoknya yang miskin.
"Bagaimana kesehatanmu, Lina?" tanya Ridwan.
"Perut saya sering kali sakit, Pak."
"Mari kuantar kau ke dokter. Mungkin sudah ada
pertanda bahwa bayimu akan lahir."
"Tapi usia kandunganku baru tujuh bulan lebih empat
hari."
"Hal itu mungkin saja bisa terjadi."
Rosalina tak ingin mengecewakan tawaran kebaikan
Ridwan. Dan memang sudah pada waktunya memeriksakan- 205
kandungannya ke dokter. Selama di perjalanan baru pertama
kali Ridwan menanyakan soal suami Rosalina.
"Tadi tak kulihat suamimu, ke mana dia?"
"Saya tinggal sendiri."
"Sudah berpisah dengan suamimu?"
Rosalina menggeleng.
Ridwan agak heran.
"Kok bisa ya, suami istri tinggal berlainan tempat."
"Bisa-bisa saja," gumam Rosalina.
"Apakah suamimu jarang datang?" Rosalina
mengangguk.
"Lantas kalau ingin saling bertemu bagaimana?"
"Saya datang ke rumahnya. Tapi sudah seminggu ini
saya belum menjenguknya."
Ridwan senyum-senyum. Mobil yang dikemudikan
berhenti di depan rumah dokter kenalan Ridwan. Laki-laki
itu sudah langganan kalau sakit periksanya ke situ. Pasien
yang menunggu cukup banyak. Tapi Rosalina mendapat
prioritas lebih dulu.
Di kamar periksa:
"Tidak lama lagi bayi nyonya akan lahir," ujar dokter
yang baru saja memeriksanya.- 206
Rosalina termenung. Sesaat dia ingat Handrian. Ingat
laki-laki itu yang menitiskan darah daging bayi yang
dikandungnya. Lalu bayangan Gunawan juga terlintas di
benaknya. Perasaan Rosalina sedih sekali. Dia merasa amat
berdosa terhadap suaminya. Berdosa! Semuanya itu lantaran
laki-laki yang bernama Handrian. Benarkah begitu?
Lantaran laki-laki itu semuanya jadi hancur? Lantas
Rosalina mencoba instropeksi. Bukan-bukan Handrian yang
menjadi penyebabnya. Nasiblah yang menghendaki begini.
***- 207
Semakin aneh dirasakan oleh Rosalina mengenai
kunjungan pak Ridwan. Laki-laki setengah baya itu acapkali
datang setiap sore mengunjunginya. Mengantarnya ke
dokter. Membuat Rosalina kadang-kadang timbul praduga,
jangan-jangan direkturnya ini menaruh hati padanya? Sebab
tanpa maksud tertentu laki-laki itu tak mungkin seringkah
datang.
Selain itu Lusi dan Hilda sering pula datang
menjenguknya. Hubungan mereka sudah seperti saudara
sendiri. Kedua perempuan itu merasa senasib ditinggal pergi
oleh suaminya masing-masing. Dan semenjak itu antara
Lusi dan Rosalina saling berbicara dari hati ke hati. Secara
pribadi membicarakan soal Handrian.
"Kita memang senasib, Lina," keluh Lusi.
"Yah. Tapi nasibmu masih lebih baik dibandingkan
aku. Di saat menjelang bayiku akan lahir, orang-orang yang
kucintai telah pergi."
"Apakah kau tidak mempunyai famili di Jakarta?"
"Punya. Mereka adalah paman dan bibiku. Cuma
rasanya aku malu sekali bertemu dengan mereka. Apalagi
sampai mereka tahu aku hamil atas perbuatan serong."
"Mereka tahu keadaan suamimu yang sesungguh
nya?"
Rosalina mengangguk.
"Pasti mereka memakluminya."- 208
"Tapi aku merasa hina di hadapannya. Apalagi
sampai mereka tahu mas Gunawan pergi meninggalkan
aku."
"Semua ini karena kesalahanku," gumam Lusi sedih.
"Kau tidak bersalah apa-apa, Lusi."
"Kalau sejak dulu aku berbuat sebagaimana istri yang
baik terhadap mas Han, barangkali tidak sampai terjadi
begini. Dia frustrasi lantaran kau menolaknya, sedangkan
aku tak pernah mengurusnya. Memperhatikannya. Aku
lebih cenderung menuruti emosi, mengejar Bramsista yang
kucintai. Sekarang aku baru sadar, jika Handrian memang
mempunyai banyak kelebihan dibandingkan Bramsista."
"Kenapa dia sampai pergi?"
"Tidak pantas jika kukatakan."
"Terus terang sajalah, barangkali di antara kita bisa
menemukan jalan yang baik."
"Soal melanggar janji dan sumpah."
"Janji dan sumpah apa?"
"Aku mau menikah hanya di catatan kertas, tapi tidak
mau disentuh tubuhku ataupun dipergauli seperti layaknya
suami istri. Hidup kami walaupun serumah jarang sekali
bertegur sapa. Namun pada suatu malam dia pulang dalam
keadaan mabok, lalu membayangkan seolah-olah aku adalah
kamu. Sehingga malam itu juga dia merenggut kesucianku.- 209
Aku tahu, bahwa dia sangat mencintaimu. Akibatnya dia
pergi karena melanggar janji dan sumpahnya itu. Aku
merasa menyesal. Sebab saat itu aku sudah sadar akan
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua kekuranganku dan mencintainya. Kini rasanya
terlambat sudah," keluh Lusi dengan kedua mata berkaca
kaca.
"Kau masih belum terlambat, Lusi. Asalkan kau mau
menunjukkan kepadaku."
"Dan bagaimana mengenai suamimu?"
"Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana."
"Barangkali dia kembali ke rumah orang tuanya?"
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Sebab kedua orang tuanya sangat membencinya.
Semuanya itu gara-gara kami kawin lari. Selama tiga tahun
lebih dia tak pernah mau menemui orang tuanya. Susah
ataupun senang kita pikul bersama."
Lusi termenung. Dia jadi membayangkan seandainya
dia menikah dengan Bramsista, tentu nasibnya akan sama
dengan Rosalina. Hidupnya terbuang. Bila dalam keadaan
susah dan menderita orang tua tidak mau tahu.
Menyedihkan, memang.
***- 210
Agaknya saran Lusi menjadi buah pikiran Rosalina.
Bagaimanapun malunya. Bagaimanapun hinanya dia harus
menemui paman dan bibinya. Kedua orang itu sudah banyak
menanam kebaikan padanya. Semua kenangan masa lalu
jadi terbayang di pelupuk matanya. Semenjak kedua orang
tuanya meninggal, paman dan bibinya yang mengurus dan
membiayai. Dan bagaimanakah keadaannya sekarang?
Apakah pamannya sudah mendapat pekerjaan baru
yang lebih baik? Hati Rosalina tambah sedih. Gara-gara
pernikahan dengan Gunawan hidup keluarga pamannya jadi
sengsara. Dikeluarkan dari pekerjaan oleh ayah Gunawan.
Dan selama ini mereka juga pasti memikirkan nasib yang
kualami. Aku tak pernah mengirim berita apa pun kepada
mereka.
Lalu Handrian, dimanakah kau sekarang? Rosalina
memikirkan kekasihnya itu. Tapi tak lama, karena Gunawan
juga terlintas di benaknya.
"Untuk itu mulai dari sekarang nyonya harus banyak
gerak jalan. Karena hal itu akan mempermudah kelahiran
bayi nyonya," tutur dokter.
"Ya ... ya," sahut rosalina tergagap. Kedua bayangan
laki-laki di benaknya segera lenyap.
"Lusa datang kemari lagi. Saya buatkan resep dan beli
obatnya di apotik."
"Baik, dokter."- 211
Sekeluarnya dari kamar periksa Ridwan menyambut
nya dengan senyuman. Resep yang diberi dokter langsung
dibiayai Ridwan membeli obat di apotik. Setelah itu
Rosalina minta diantar oleh Ridwan menjumpai suaminya.
Rumah itu nampak sepi. Pintunya tertutup rapat.
Ketika Rosalina bersama Ridwan turun dari mobil nampak
heran. Sebab rumah itu sepertinya tidak berpenghuni.
Semua jendelanya tertutup. Hal itu membuat perasaan
Rosalina resah. Apa yang telah terjadi selama ini? Selama
Rosalina tidak menjenguk suaminya.
Pintu rumah itu diketuk berulangkah oleh Rosalina
namun tidak terdengar jawaban. Tidak dibuka oleh siapa
pun dari dalam.
"Barangkali suamimu pergi," kata Ridwan.
"Tidak mungkin. Dia tak bisa pergi seorang diri. Dan
selama bertahun-tahun hanya mengurung diri di rumah."
"Kenapa begitu?"
"Sebab suamiku tak dapat berjalan. Dia lumpuh," kata
Rosalina dengan raut wajah sedih. Ridwan jadi terharu.
Seorang laki-laki setengah baya datang menghampiri.
"Selamat sore nyonya," sapa laki-laki itu.
Rosalina agak tersentak, lalu menoleh ke laki-laki itu.
Bahrun. Laki-laki itu tetangga di sebelah rumah ini.- 212
"Sudah dua hari yang lalu nak Gunawan pergi. Dia
meninggalkan surat untuk nyonya," kata Bahrun
menyerahkan amplop yang isinya sepucuk surat. Rosalina
menerima dengan tangan gemetar.
"Mas Gunawan pergi seorang diri?"
"Saya tidak tahu."
"Lantas siapa yang menitipkan surat kepada bapak?"
"Seorang perempuan muda."
"Perempuan muda?" gumam Rosalina berusaha
menebak siapa gerangan perempuan muda itu? Tapi cuma
desah napas yang menjadi jawabannya. Desah napasnya
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama