Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
ketika melihat ayahnya berbaring di kursi malas dan kelihatan lelah. Ia baru saja pulang dari
kantor Penerangan dimana ia bekerja.
"Jam tiga tadi, Rat. Aku ................... aku lelah sekali, Rat."
Ratna segera menyediakan kopi sore ayahnya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ratna, duduklah di sini, nak. Aku mau bicara."
Ratna duduk. "Ada apa, ayah?"
"Rat, rumah ini akan.............. dilelang. Dan kita harus pindah, nak .............." ia tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena merasa kerongkongannya tersumbat.
"Dilelang? Pindah? Mengapa begitu, ayah?"
"Aku ............. seorang ayah tak berharga, Rat. Gila judi, semua barang habis
kuperjudikan dan rumah ini rumah ini telah kugadai untuk duapuluh limaribu
rupiah. Uangnya telah kuhabiskan pula. Dan sekarang ....... sekarang sudah jatuh tempo, nak
............................"
"Oo................ayah ......" Ratna menubruk ayahnya danmenangis sedih. Harjo mencegah
mengalirnya air matanya dengan ujung kemeja.
"Maafkan ayahmu, Rat. Ayahmu seorang berdosa besar ......."
"Ayah............ tak kusangka sampai demikian ............ dalam engkau terjerumus ......."
"Ayahmu tersesat, nak ....." Untuk beberapa lama mereka tidak berkata-kata. Ratna
menangis dan Harjo membelai-belai rambut anaknya.
"Ayah, apakah kita tak dapat minta tempo penebusan diperpanjang?"
"Pagi tadi aku telah menjumpai direktur NV yang memegang hypotheek rumah kita dan
direkturnya ............ ia tidakmau menolong, nak."
"Alangkah kejamnya" berkata Ratna penasaran.
"Tidak, nak. Ia hanya........................ memenuhi kewajibannya. Akulah yang bersalah."
"Tapi, ayah. Bagaimana juga, kita harus berdaya membayar hutang itu. Aku masih
mempunyai perhiasan peninggalan ibu dulu. Kurasa takkan kurang dari enam ribu rupiah
kalau dijual dan uang simpananku ada kira-kira seribu rupiah."
"Ooo ................. Ratna, Ratna ..........." Harjo memeluk anaknyayang menangis lagi.
"Engkau sungguh mulia, nak. Tapi percuma saja uang sebegitu. Tidak cukup."
"Tapi itu kan sebuah pencicilan bukan sedikit. Kita masih mau membayar, dan
kekuranganpya akan kita cicil. Direktur itu tentu dapat mempertimbangkan. Aku yang akan
ketemukan padanya dan membelamu, ayah."
"Engkau?" tiba-tiba mata Hardio mengeluarkan sinar harapan. Ya, mengapa tidak? Bolehhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
jadi Yitna akan ..................................................................................
"Baiklah, nak. Cobalah olehmu. Aku tak sanggup lagi menemuinya. Bawalah sepucuk
surat dariku. Kurasa besok masih belum terlambat."
"Baik, ayah. Buatlah surat itu. Besok pagi-pagi aku berangkat dengan membawa semua
perhiasan dan uangku." Kemudian Ratna meninggalkan ayahnya dan menuju ke kamarnya.
Disitu ia menangis sedih. Mengapa ayahnya menjadi demikian? Bekas koruptor, kini penjudi
rudin! Ah, bagaimana juga, ia adalah ayahnya. Harus dibelanya mati-matian.
Dikeluarkannya kotak perhiasannya dan tiba-tiba ia teringat kepada Yitna. Matanyayang
sudah agak mengering menjadi basah pula. Diciumnya kotak itu, kotak yang katanya dulu
dicuri. "Mas Yitna, dimanakah engkau sekarang berada" bisik ratap kalbunya.
Besok harinya, pagi-pagi benar, dengan otobis jam enam seperempat ia berangkat ke
Semarang. Harjo mengantarkan dan ketika otobis berangkat ia berdiri termenung
memandang. Bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa.
Ratna tiba di Semarang pada jam delapan lebih. Dengan sebuah becak ia menuju ke NV.
Persatuan.
"Saya hendak berjumpa dengan direktur NV. Persatuan," katanya kepada seorang
pegawai disitu.
Pegawai muda itu memandangnya dengan tak menyembunyikan kekagumannya.
"Silahkan duduk dulu, nona. Saya akan memberitahukannya." Ratna pergi duduk
menanti di ruang tamu. Tak lama kemudian, pegawai tadi kembali pula dan
mempersilahkannya ke kantor direksi.
Setelah mengetuk pintu, ia masuk. Dilihatnyadi dalam kamar itu seorang pemuda
bekerja. Sedang membungkuk di atas meja tulis dan memeriksa surat-surat. Pemuda itu
berkemeja dan berdasi. Jasnya tergantung di kursi belakangnya. Pemuda yang asyik bekerja
itu mengangkat muka dan ...... Ratna harus berpegang kepada sebuah kursi agar tidak jatuh.
Kepalanya tiba-tiba pening.
"Selamat pagi .................. tuan ........... " katanya ragu-ragu.
Pulpen Yitna terlepas dari tangannya dan terjatuh ke bawah, tapi tak diambilnya.
Matanya menentang gadis yang berada hanya beberapa meter darinya. Lalu ia bertindak
maju menghampiri.
"Engkau ................. engkau ............ Ratna ........... ?"
"Yitna...................!!" panggilan ini keluar dari lubuk hatinyamelalui
bibirnyayanggemetar, seakan-akan letusan sebuah gunung berapi yang sudah lama tertahan-https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tahan hendak meletus.
Yitna mengulurkan lengan dan mereka berjabatan tangan. Tangan mereka gemetar dan
dingin.
"Ratna ................. nona .........." Dengan tak terasa air mata Ratna mengalir turun
membasahi pipi, tapi segera dihapusnya.
"Yit....................... engkau? Akumau berjumpa dengan direkturnya."
"Akulah orangnya, Rat."
Ratna memandang heran, melebihi keheranan ayahnya kemarin dan tiba-tiba ia
melepaskan tangannya. "Engkau .....direktur itu?" Yitna tak mengerti apa artinya kata-kata
terakhir ini.
"Duduklah, Rat." Dan mereka berduduk berhadapan.
Yitna merasa tubuhnya bergemetar, darahnya berdenyar-denyar, dadanya berdebar
debar. Ingin ia memeluk gadis itu, melepaskan rindu dendamnya. Tapi ia menahan gelora
hatinya.
"Engkau disuruh oleh ayahmu?"
Seakan-akan baru teringat Ratna kepada urusannya. Hm, jadi Yitna malah direktur yang
keras hati itu? Mengapa hypotheek rumahnya terjatuh ke tangan Yitna? Kebetulan saja? Ah,
tak mungkin. Tentu disengaja ini. Sikapnya berubah mengeras. Rasa terharu dan beruntung
karena perjumpaan itu menghilang. Ia mengangguk kaku.
"Ya. Aku datang membawa suratnya." Lalu diberikannya surat itu. Yitna segera
membacanya. Ketika ia asyik membaca, Ratna memandangnya dengan mesra. Inilah Yitna.
Yitnanya. Tukang kebunnya dahulu. Tak banyak berubah wajahnya yang cakap itu, hanya
sekarang membayangkan kecerdasan. Lenyap sudah sikap merendah dan bodoh dulu. Ini
Yitna yang lain lagi. Yitna pemuda direktur besar.
Anakda Yitna.
Sebelum engkau membaca surat ini selanjutnya, terlebih dahulu banyak maaf
kumohonkan darimu. Aku memang banyak membuat kesalahan dahulu. Tapi demi
kebahagiaan Ratna, ampunkanlah aku, nak.
Hm, masih belum mau mengakui kecurangannya, pikir Yitna.
Ratna atas kehendak sendiri pergi menjumpai direktur. Ia belum kuberitahu bahwa ia
akan berjumpa dengankau di sini. Seperti telah kujelaskan kemarin, tak mungkin aku
melunasi utangku.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tapi, karena engkau yang menjadi direktur dan padamu terletak segala kekuasaan, dan
karena kuyakin bahwa engkau takkan bertega hati melihat kesengsaraan Ratna, maka sekali
lagi, tolonglah kami, nak.
Aku mengerti bahwa engkau mencinta Ratna dan sebaliknya Ratna sehingga kini masih
belum sembuh luka dihatinya karena berpisah dengan engkau.
Dan aku sekarang takkan menghalang-halangi lagi, nak. Bukan karena engkau sudah
menjadi kaya. Tapi karena aku insyaf bahwa cinta mumi tak memandang harta. Aku sudah
tua, nak dan aku akan mati dengan hati tenteram jika melihat Ratna dapat hidup berbahagia,
disampingmu.
Nah, aku sudah membuka isi hatiku nak. Kalauengkau suka mengampuni aku, maka
.......... tolonglahRatna.
Hormatku,
Harjo.
Yitna mengangkat kepala memandang Ratna. Masih cantik seperti dulu, pikirnya.
Bahkan lebih cantik lagi, lebih menarik hatinya. Hilang sudah sifat kekanak-kanakan pada
raut mukanya. Hanya agak kurus. Ratna yang tadinya memandangnya kini bertunduk.
"Bolehkah aku mengetahui maksudmu dengan soal rumah ini, Rat?"
"Tentu engkau telah maklum bahwa kami tak dapat melunasi dengan sekaligus. Tapi
kami hendak menyicil. Dan untuk pembayaran pertama, aku hendak menyerahkan ini."
Diambilnya kotak perhiasan dari tasnya. Yitna melihat kotak itu lalu berdiri memalingkan
mukanya.
"Mengapa ......... tuan?" Kalau hatinya sudah mengkal melihat kotak itu, kini makin tak
senang mendengar sebutan tuan.
"Kotak itu ......... terisi perhiasanmu yang kucuri dulu?"
"Ya, benar! Tapi sekarang engkau tak perlu mencurinya lagi, bahkan aku yang
menyerahkannya padamu," kata-katanya mengandung sindiran. Yitna berpaling
memandang.
"Ratna! Engkau masih menganggap aku betul-betul dulu telah mencurinya?"
Ratna bimbang dan menunduk, kemudian katanya perlahan, "Dulu tak pernah aku
mempercayai hal itu. Tapi ......." ia memandang tajam, "mengapa engkau mengatur ini
semua? Ingin membalas dendam? Ingin menghinakan kami? Yitna! Karena engkau kini
sudah kaya, maka engkau mencari ketika untuk menghancurkan kami. Dan soal rumah inihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kau jadikan jembatan untuk memukul ayah. Mengapa engkau lakukan ini? Apakah dosa ayah
kepadamu? Dan apakah dosaku? Engkau menjadi direktur, hidup mulia sedangkan ayah dan
aku makin ......
terjepit tak berdaya karena kelalaian ayah. Tapi ............. engkau ......... tak mempedulikan
itu semua, seakan-akan aku ............................................ tidak ......ada. Dan engkau bahkan
melakukan ini! Yitna, Yitna! Engkau melupakan segalanya sedangkan aku ..... aku menanti
nanti........"
Yitna maju memegang lengannya. "Ratna, engkau tak mengerti? Aku selalu merindukan
engkau."
Ratna memberontak. "Bohong! Ah................ aku harus malu."Ia hendak lari keluar tapi
Yitna menahan.
"Dengar. Rat. Ayahmu dulu .............. ." tapi ia tidak meneruskan maksudnya, "aku
........ aku hendak menolong ayahmu."
"Kami tak membutuhkan pertolonganmu," kepala Ratna menegak angkuh.
"Tapi di dalam suratnya ayahmu meminta pertolonganku."
"Tapi aku tidak meminta pertolonganmu!" ia hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba Yitna
mengeluarkan surat hypotheek itu.
"Lihat!" teriaknya bernapsu. Dirobek-robeknya surat berharga itu menjadi empat potong.
"Nah, lunaslah hutang ayahmu duapuluh limaribu. Ini, berikan ini kepada ayahmu dan
sampaikan hormatku kepadanya." Kepingan surat itu dimasukkannya ke dalam tas Ratna,
demikianpun kotak perhiasan itu. Ratna memandangnya dengan terkejut heran, tapi
pandangan matanya masih keras.
"Engkau ......... engkau ......... menghina aku, Yit!" dan tanpa pamit Ratna lari keluar,
membawa tasnya.
------- m d n ------
Anakda Yitna yth.
Ratna datang dengan membawa surat hypotheek yang telah engkau robek-robek. Tak
kusangka engkau bertindak semulia itu, nak. Sungguh, tak dapat aku mengucapkan
terimakasih padamu. Ucapan itu takkan berarti. Engkau orang yang telah kuhina dahulu.
Aku menyesal, nak. Engkau telah menolong kami dari kehancuran dan dari perasaan malu.
Budimu sungguh besar.
Tapi ketahuilah, nak. Sejak datang dari Semarang, Ratna menjadi berbeda. Ia nampak
bersedih dan tak mau banyak bicara. Walaupun ia tak menceritakan sesuatu, namun aku
maklum bahwa ia telah bercekcok dengan engkau. Mengapakah, nak? Ratna setiap harihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
hanya tidur saja. Kulihat ia banyak menangis, walaupun hal itu disembunyikan dariku.
Bolehkah aku mengharap pertolonganmu lagi? Datanglah kesini, nak. Persambungkanlah
kembali rantai pengikat yang dulu telah kupatahkan itu. Aku yakin ia masih mencintaimu.
Perhatikanlah permohonan seorang tua yang banyak monderita ini, demi kebahagiaanmu
sendiri dan kebahagiaan anakku yang hanya satu-satunya.
Hormatku,
Harjo.
Yitna membaca surat itu berulang-ulang. Harus diakuinya bahwa cintanya kepada Ratna
belum pernah berkurang. Bahkan semenjak pertemuan yang baru lalu itu, tak pernah
bayangan gadis itu meninggalkannya. Ia ragu-ragu. Tidak akan membencikah Ratna
kepadanya
Ia telah menegur Ho Jin yang menjawabnya dengan senyum, "Yitna engkau bagaikan
saudara kandungku sendiri. Bahkan lebih dari itu. Aku ingin melihat kebahagiaanmu. Tapi
engkau tak mau mengunjungi Ratna. Lalu dengan kebetulan aku mengetahui soal rumah itu.
Maka, itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menemukan kamu berdua."
Sekarang surat ini menggelisahkannya. Akan pergikah ia? Tapi ia takut bila
membayangkan penerimaan Ratna nanti. Akhirnya hatinya yang rindu menuntut
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjumpaan dengan gadis pujaannya itulah yang menang.
Hari telah sore ketika mobilnya berhenti di depan rumah Harjo. Ia turun dari mobil dan
menuju ke rumah itu dengan hati berdebar. Ia mengetuk pintu. Daun pintu terbuka.
"Selamat sore, nona Ratna. Bolehkah aku berjumpa dengan ayahmu?"
"Engkau? Mau apakah engkau datang kesini! Ingin menuntut jasamu dari ayah?"
tanyanya dengan suara kaku.
"Nona Ratna .................... mengapa engkau bersikap begini kepadaku?"
Pada saat itu Harjo mendatangi dari dalam.
"O, nak Yitna. Duduklah. Engkau datang naik apa, nak?"
"Dengan mobil, pak." Harjo menjenguk keluar melihat mobil Yitna.
"Chevrolet baru, nak Yitna?"
"Ya, pak. Mobil NV."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ah, engkau telah maju benar. Syukur, nak." Ratna dengan tak berkata apa-apa pergi
masuk ke dalam. Harjo lalu menanyakan riwayatYitna sejak meninggalkan mereka, dan
Yitna lalu menceritakan pengalamannya dengan ringkas. Akhirnya pembicaraan Harjo
menuju ke soal pokok.
"Seperti telah kukatakan, nak, aku akan merasa seperti menebus dosa kalau engkau suka
mengikat kembali rantai yang kupatahkan dahulu."
"Maksudmu ..................... melamar Ratna, pak? Tapi, apakah Ratna setuju"
"Hal itu sudah terang bagiku. Pokoknya, bagaimana pikiranmu, nak"
"Sebenarnya, pak. Cintaku kepada dik Ratna tak pernahhilang. Hanya aku masih ragu
ragu, apakah ia masih ........ mau menerimanya. Sikapnya kepadaku meragu-ragukan."
"Baiklah kita berterang-terangan saja, nak. Aku ingin mendapat kepastian secepatnya.
Setujukah engkau kalau ia kupanggil?" Yitna mengangguk. Tapi Harjo tak perlu memanggil,
karena pada saat itu Ratna keluar dari dalam membawa nampan terisi cangkir minuman dan
piring makanan yang lalu diaturnya di atas meja. Tapi sedikitpun ia tidak memandang kepada
tamunya. Bibirnya dirapatkan, sikapnya ditenangkan.
"Ratna, duduklah."
"Perlu benarkah itu, ayah?"
"Duduklah, nak. Aku hendak berbicara penting padamu."
Ratna duduk di sebelah kanan Yitna dan memandang kepada ayahnya dengan mata
menanya. Yitna tunduk saja.
"Ratna, tak perlu aku berpanjang cerita. Kita sama-sama mengetahui apa yang telah
terjadi. Engkaupun tahu betapamulia nak Yitna telah berbuat akan guna kita. Sekarang ........
nak Yitna ingin menyambung kembali tali pengikat kamu berdua yang terputus dahulu."
Ratna hendak membuka bibir membantah, mukanyamerah, tapi ayahnya segera
mengangkat tangan. "Nanti dulu, Rat. Jangan memotong. Dengarkanlah dulu sampai habis.
Aku tahu bahwa kamu berdua dahulu saling mencinta dan nak Yitna sekarang pun masih
mencinta padamu. Maka, sekarang terserah kepadamu, Rat. Biarlah kamu membicarakan
soal ini berdua." Ia bangun berdiri hendak meninggalkan mereka, tapi Ratna segera ikut
berdiri dan berkata kaku,
"Aku ........ dengan bekas ...... pencuri?" Tiba-tiba ia menangis dan akan berlari masuk.
"Ratna, jangan pergi!" berkata Yitna tiba-tiba. Suaranya tetap dan keras. Ratna menengok
heran mendengar suara yang memerintah itu.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pak Harjo. Sekarang aku menuntut kepadamu untuk menceritakan hal pencurian dahulu
itu sebenar-benarnya." PakHarjo duduk kembali, dan Ratna makin heran dan iapun duduk
mendengarkan.
"Tentang ..................... pencurian? Apa maksudmu, Yit?"
"Tiada gunanya bapak menyembunyikan hal ini lebih lama pula. Ternyata Ratna masih
mencurigai padaku. Menyangka bahwa sungguh-sungguh aku yang melakukan pencurian
itu. Seharusnya bapak telah menceritakan hal itu kepadanya. Dengarlah, pak. Aku telah
berjumpa dengan Tarmi dan tentang pencurian buatan itu ......."
Pak Harjo memotong, "Ya, ya ....................... Yit. Aku akan menceritakan." Ia
memandang kepada anaknya dengan muka kemerah-merahan.
"Ratna, ayahmu telah berbuat dosa besar kepada Yitna. Dan ........ kepadamu juga, nak.
Dulu ketika aku mengetahui bahwa engkau dan Yitna saling mencinta, aku merasa tidak
senang sekali. Siapakah orangnya yang suka melihat anaknya bercinta dengan tukang kebun?
Lalu timbul niatku untuk menceraikanmu berdua dan untuk membikin engkau membenci
Yitna. Maka, pencurian itu adalah .......... perbuatanku, Rat. Aku yang melakukan
pencurian itu." Ia menghela napas. "Yitna tak bersalah, dan ia telah terhukum dua tahun.
Aku menyesal. Aku menyesal, Rat, tapi semua itu telah terjadi. Dan, dengan melupakan
fitnahanku dahulu, Yitna bahkan telah menolongku. Aku maklum, ini semua adalah karena
cintanya kepadamu. Maka, pengharapanku sekarang hanya ingin melihat kamu berdua dapat
hidup beruntung bersama-sama." Ia berdiri perlahan dan meninggalkan mereka.
Ratna sejak mendengarkan ayahnya telah duduk diam bagaikan patung mati. Yang
nampak bergerak hanya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya.
"Engkau sekarang mengerti, Rat?" bisik Yitna.
Tiba-tiba Ratna menjatuhkan diri berlutut di depanYitna dan menangis.
"Yitna...................... maafkan aku dan ayah............."
"Tiada yang harus dimaafkan, Rat. Peristiwa itu bahkan mendatangkan untung padaku.
Telah sejak mula-mula aku tidak menyesal."
Harjo berjalan masuk dan duduk di kursinya kembali.
"Nah, Rat. Engkau sudah mengerti dan yakin benar sekarang akan kemuliaan nak
Yitna?"
Ratna yang telah duduk kembali dan masih menghapus-hapus matanya dengan sapu
tangan hanya mengangguk.
"Dan ....... dan kauterimakah lamaran Yitna?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ratna memandang kepada Yitna yang tersenyum. Kembali ia mengangguk, tapi kerutan
kulit diantara alisnya yang kecil tebal itu tak lepas dari pandangan Yitna.
Harjo nampak girang. "Demikianlah baru puas rasa hatiku. Nak Yitna, jangan lama-lama
ditunda. Lebih cepat perkawinan dilangsungkan, lebih baik. Bukankah begitu, Rat?"
Gadisnya hanya tunduk memerah muka. Yitna pun tidak menjawab, hanya tersenyum
bahagia.
"Kalau kalian setuju, kita langsungkan dalam ini bulan juga," berkata Harjo dengan
gembira.
"Mengapa begitu terburu-buru, ayah"
"Menanti apa lagi? Engkau sudah berusia duapuluh dua dan nak Yitna berapakah
usiamu, nak"
"Duapuluh lima."
"Nah, nak Yitna sudah duapuluh lima. Sudah agak terlambat kedua-duanya. Bagaimana
keputusan Ratna."
"Saya menurut saja bagaimana keputusan Ratna."
"Dan engkau, bagaimana, Rat?"
Ratna menjawab perlahan, "Saya menurut bagaimana keputusan ayah dan mas Yitna
saja."
Harjo ketawa keras. "Bagus ...................... bagus .............! Dalam ini bulan juga.
Sekarang tanggal dua, nanti tanggal limabelas adalah hari Minggu. Nah, nanti tanggal
limabelas saja, nak Yitna."
"Baik, pak. Dan terimakasih."
------ m d n -----
Perkawinan mereka berlangsung dengan penuh kegembiraan. Hanya ketidak hadiran
ayah bundanya agak mengecewakan hati Yitna. Ibunyamenyurat bahwa ayahnya sedang
menderita sakit dan ia tak dapat meninggalkan suaminya. Hanya pesan ibunya, setelah
perkawinan dilangsungkan, ia diminta segera datang ke desa membawa isterinya.
Sejak upacara di jalankan, Yitna heran melihat sikap Ratna. Dingin dan seakan-akan
tidak gembira. Bahkan agak pucat. Tapi keheranan agak terhibur oleh banyaknya tamu dan
suara musik yang merdu.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Setelah semua tamu pergi dan ia mendapat ketika untuk beristirahat, ia memasuki kamar
pengantin. Hatinya berdebar girang dan bau harum menyambutnya ketika ia melangkahkan
kaki memasuki kamar itu. Dilihatnya Ratna sudah berbaring ditempat tidur, menghadapi
tembok.
"Dik Ratna .................." bisiknya perlahan. Tiada jawaban. "Dik ............ dik Ratna ..."
diulangnya agak keras. Tapi isterinya tetap membisu. Yitnamenukar pakaian dengan baju
tidur.
"Dik .................." kembali ia memanggil dan memegang bahu isterinya. Ternyata Ratna
sudah tidur. Maka dengan perlahan iapun mebaringkan diri di belakang isterinya dan
mengatupkan mata.
Ratna sudah menjadi isterinya. Gadis pujaannya itu kini berbaring di dekatnya.
Beruntungkah ia? Senangkah Ratna menjadi isterinya? Yitna tidak ragu-ragu lagi akan cinta
isterinya kepadanya. Ia membalikkan tubuh menghadapi punggung Ratna. Dijamahnya
rambut yang hitam halus dan harum itu dengan jari-jari menyayang. Tapi, mengapa sejak
siang tadi Ratna nampak tidak gembira. Tak sehatkah? Yitna ingin menanya, ingin memeluk,
tapi ia tidak mau mengganggu Ratna dari tidurnya. Akhirnya iapun pulaslah di belakang
isterinya..................................................................................................
Telah tiga hari mereka kawin. Tapi Ratna selalu bersikap dingin dan seakan-akan acuh
tak acuh kepadanya. Tak pernah mengajak gurau, bahkan jelas sekali nampak usahanya
hendak menghindarinya. Yitna makin heran. Perlayanan Ratna sebagai isteri hanya dalam
mengatur meja makan dan menyediakan pakaian mandi. Lebih dari itu tiada! Mula-mula ia
menganggap bahwa Ratna tentu malu-malu. Tapi ternyata bahwa seakan-akan Ratna ingin
menjauhinya selalu. Kesabaran Yitna diuji keras. Setiap malam Ratna tentu mendahuluinya
tidur dan seperti dimalam pertama, ia tertidur di belakang isterinya, tak mau mengganggu.
Pada malam keempat Yitna sengaja berbaring di tempat tidur sebelum Ratna memasuki
kamar. Telah penat ia menanti tapi tak juga Ratna datang. Setelah jam berbunyi sebelas kali,
ia kehabisan kesabaran dan lalu pergi keluar mencari. Ternyata Ratna sedang duduk seorang
diri di dalam kamar baca. Kepalanya menunduk di atas meja. Menangis.
"Dik Ratna ............"
Ratna diam saja.
"Dik, mengapa tidak pergi tidur?"
Ratna mengangkat muka dan memandangnya dengan mata merah.
"Engkau memerintah aku untuk pergi tidur?" suaranya kaku.
"Memerintah? Mengapa dik? Aku hanya menanya, dan ........ mengapa engkauhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menangis?"
"Bukan urusanmu!"
Yitna terkejut. Apakah artinya ini.
"Eh, mengapa engkau marah, dik? Apa salahku?"
"Aku tidak marah," bantahnya pendek dan lalu pergi menuju ke kamar. Yitna mengikuti
dari belakang. Isterinya terus saja naik dan berbaring membelakanginya. Yitna duduk di kursi
dekat tempat tidur. Beberapa menit ia tak dapat berbicara. Pikirannya kacau.
"Dik ........ ada apakah? Mengapa sikapmu begitu? Tidak sukakah engkau menjadi
isteriku?"
Ratna diam saja.
"Ratna, bilanglah terus terang. Menyesalkah engkau menjadi isteriku? Tidakkah engkau
cinta kepadaku?"
Ratna berduduk cepat mengejutkan.
"Tidak ada soal suka atau tidak bagiku. Aku adalah hambamu. Aku siap untuk menjalani
segala perintahmu. Seorang budak belian seperti aku ini akan taat dan tunduk kepada segala
perintahmu dan takkan membantah diperlakukan bagaimanapun." Yitna tersentak berdiri.
"Ratna Apa artinya ini? Budak belian? Apa maksudmu?"
"Bukankah engkau sudah membeli diriku dari ayah? Sudahlah, pcndeknya engkau
hendak memerintah apa? Aku siap untuk menjalani perintah tuanku."
"Ratna! Mengapa engkau begini? Bukankah engkau ini isteriku?" Ia menghampiri dan
memeluk. Ratna tak menolak dan tinggal diam dingin di dalam pelukan lengan suaminya.
"Memang aku isterimu. Isteri belian." Yitna memandang wajah Ratna yang nampak
sedih dengan mata tertutup. Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya, turun dari tempat tidur.
Hatinya merasa sedih dan pikirannya makin kacau. Lalu timbul kekerasan hatinya.
"Baiklah, Rat. Kalau engkau tidak suka aku berada di sini, aku akan pergi saja. Sekarang
juga." Tanpa berkata-kata lagi ia mengganti pakaian, mengisi kopor pakaiannya dengan
pakaian lalu membawa itu keluar. Ia tak menengok pula dan tidak mendengar bisikan Ratna
perlahan,
"Oo .................. mas Yitna ....... ..."
Di ruang tengah Harjo memandangnya heran. "Engkau hendak kamana, Yit? Malam-https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
malam begini hendak pergi?"
"Saya perlu sekali pergi ke Semarang, ayah. Ada panggilan dari NV. Penting sekali, tak
dapat ditunda."
Beberapa menit kemudian ia mengendarai mobilnya memasuki pekarangan hotel
?Rahayu". Satu malam yang tak menyenangkan dan penuh impian buruk dideritanya di
dalam kamar hotel.
Setiap orang yang pernah meninggalkan kampung halaman tentu pernah merasa betapa
rindunya kepada kampung halamannya dikala hati menderita kesedihan. Demikianpun
Yitna, perasaan sedih dan bingung membuat ia terkenang dan rindu kepada orang tua dan
desanya.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Esok harinya, pagi-pagi benar, Yitna mengendarai mobilnya menuju Sragen. Hatinya
yang sedih agak terhibur karena pemandangan disepanjang jalan yang membangkitkan
kenang-kenangan lampau. Seperti ketika berangkatnya dahulu, ia berhenti mampir di depan
pasar dan membeli es sirop.
Tiada bedanya Sragen dulu dan sekarang. Pasarnya masih itu-itu juga. Penjual es masih
sama. Kalau akan membicarakan tentang perbedaan, barangkali hanya sikap dan perlayanan
penjual es kepadanya yang berbeda. Kini nampak sangat hormat dan peramah. Gara-gara
mobil dan pakaiannya, pikir Yitna. Orang-orang perempuan yang keluar masuk meramaikan
pasar masih seperti dulu juga. Perempuan desa masih berpakaian serba hitam sawo dan kotor.
Bapak-bapak desa masih banyak yang tak berbaju memperlihatkan lengan tangan kurus kuat
dan perut besar.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Rejowinangun. Ia tersenyum senang
ketika melihat warung nasi Tini masih berdiri di pinggir jalan, seperti dulu juga.
Dihentikannya mobilnya dan iapun menghampiri warung yangmeninggalkan kenangan tak
mudah dilupakan. Tini menyambutnya dengan malu-malu, matanya terbelalak heran
mengapa seorang demikian gagah sudi memasuki warungnya yang kecil bersahaja itu.
"Tolong minta kopi secangkir dan tahu kupat sepiring, dik." Tini memandangnya dengan
hormat, dan permintaan Yitna dilayaninya dengan cekatan. Yitna tersenyum senang. Masih
manis gadis ini. Bahkan lebih cantik daripada dahulu. Sudah kawinkah ia? Ah, tentu ia tak
dapat membedakan Yitna berdasi mengendarai mobil dengan Yitna berbaju usang berjalan
kaki dulu.
"Dik, bagaimana kabarnya dengan pak Singo?"
"Pak Singo" Tini memandang heran dan ragu-ragu untuk menjawab.
"Ya, pak Singo perampok itu. Masih hidupkah ia?"
Tini mengangguk. "Masih. Kenalkah tuan kepadanya?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Yitna tersenyum. "Kalau luka di kepalanya karena tertimpa botol limunmu dulu itu masih
berbekas, tentu akan kukenal ia."
Mata yang lebar jernih itu makin melebar. "Tuan ....................... tuankah orang muda
penolongku dahulu itu? Ya benar, aku mengenalmu sekarang. Engkaulah anak muda gagah
itu. Aku tak pernah melupakan, tapi dalam pakaian seperti itu dan .. mobil itu ........."
"Memang akulah orang muda petani dulu itu. Dan aku sekarangpun masih sama dengan
pemuda dulu itu, dik." Tini tak dapat berkata-kata, hanya memandangnya dengan makin
terheran.
Seorang anak laki-laki berjalan terhuyung-huyung dari dalam, tertawa gembira dan
mulutnya yang kecil berkata, "Mbok ....... mbok ........." Tini mengangkatnya dan menciumi
pipinya yang montok.
"Anakmukah itu, dik?"
"Ya, mas. Ayahnya sedang berbelanja ke Sragen."
"Beruntungkah hidupmu"
"Mendapat pangestumu, mas."
Yitna meneguk habis kopinya dan lalu mendekati anak yang digendong ibunya itu.
Dipegangnya dagunya, dikeluarkan uang kertas seratus rupiah dari saku dan diberikannya
kepada anak itu. Sikecil tertawa gembira dan segera menangkap gambar itu.
"Ah, jangan mas ...................... tak-usah ............"
"Biarlah, dik. Aku sayang kepada anakmu. Serupa ibunya benar."
"................. terimakasih, mas. Engkau sungguh mulia. Tak berubah sejak dulu."
"Dan engkau makin cantik, dik. Seorang isteri dan ibu yang cantik dan baik.
Berbahagialah suamimu."
Dengan hati agak terhibur karena perjumpaan itu, Yitna melanjutkan perjalanannya.
Karena rumah ayahnya berada di dalam sebuah jalan kecil, maka ia menghentikan
mobilnya di muka jalan itu. Hatinya berdebar-debar girang. Telah bertahun-tahun ia
meninggalkan desanya. Tapi seakan-akan baru kemarin ia pergi. Tidak banyak terlihat
perubahan. Rumah pak Wiro di dekat pohon Waringin besar masih tetap kecil dan condong.
Heran ia mengapa rumah itu sedemikian tahan menghadapi serangan angin dan hujan.
Masih tetap condong namun belum nampak tanda-tanda akan roboh.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ia berhenti tidak jauh dari rumah ayahnya. Dilihatnya ibunya tengah duduk di depan
rumah di atas sebuah bale bambu. Sedang mengupas bawang merah rupanya. Rumah gubug
dahulu kini telah bertukar bentuk. Dinding papan jati, genting baru, pintu dicat hijau. Dan
besar pula. Ia menghampiri ibunya dengan perlahan.
"Mbok .................." tegurnya. Mbok Kromo menengok kaget dan matanya terbelalak
menatap pakaian Yitna, tapi ketika pandangannya beralih ke atas dan bertemu dengan
pandangan anaknya, mulutnya bergerak-gerak diantara tawa dan tangis. Matanya yang telah
dikelilingi keriput mulai membasah. Jari-jari yang memegang pisau gemetar dan pisaunya
dengan tak terasa terlepas jatuh diikuti oleh sebutir bawang merah yang menggelinding
seperti gundu. Ia berdiri perlahan dan matanya tak lepas memandang anak muda yang berdiri
di depannya. Kaki ibu dan anak bagaikan tertarik maju dengan tak terasa.
"Yitna..................... anakku .............. !"
"Mbok ....................!" Mereka berpelukan, kedua-duanya mengalirkan air mata terharu
dan girang.
"Yitna.....................engkau anak nakal. Lama sekali aku menanti-nanti kedatanganmu."
Yitna menciumi tangan ibunyayang berbau bawang. "Maaf, mbok. Engkau sehat-sehat
saja bukan" Ia memandang ibunya dengan penuh perhatian. Hatinya terharu ketika melihat
rambut putih telah menghias kepala ibunya di kanan-kiri.
"Mana bapak, mbok"
"Ia disawah. Dan mana mantuku, Yit?"
Hati Yitna terpukul. "Ia ................... ia belum dapat ikut, mbok."
"Sayang. Mengasolah, Yit. Kamarmu berada ditempat dulu. Itu ....di belakang kamar
bapakmu. Aku akan memasak untuk kamu berdua." Suaranya gembira dan senyumnya
menyegarkan wajahnya yang masih nampak nyata rautan yang cantik.
Yitna segera memasuki kamarnya dan membawa kopornya. Di dalam kamarnya telah
tersedia lengkap untuknya. Tempat tidur sederhana, sebuah lemari, sebuah meja dan tiga
buah kursi. Ia melepaskan pakaiannya dan dengan hanya bercelana pendek dan berbaju
dalam ia keluar pula. Sebuah caping (topi tani) yang tergantung di ruang tengah dipakainya
dan ia lalu menuju ke dapur.
"Cangkulku dimana, mbok?"
Ibunya kaget melihatnya dan tersenyum. "Engkau masih serupa dulu benar. Hanya
kulitmu agak kekuning-kuningan. Itu cangkulmu di dekat lemari," ia tertawa dan air matanya
berlinang pula ketika melihat anaknya keluar dengan memanggul cangkul.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pak Kromo asyik mencangkul. Walaupun sawahnya berbahu-bahu, kerbaunya empat
ekor dan banyak tenaga buruh tani membantunya, tapi ia enggan melepas cangkulnya. Tak
puas hatinya kalau kedua lengannya tak ikut mencangkul sendiri. Ia berhenti dan
menggunakan tangannya menekan-nekan pinggang. Ah, tubuh tua ini tak tahu diri, pikirnya.
Pinggangnya tak sekuat dulu.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang mencangkul di belakangnya. Ia menengok dan
melihat seorang sedang mencangkul dengan kuatnya dan berdiri membelakanginya. Melihat
kedua kaki yang kotor itu tentu telah sejak tadi orang itu membantunya, tapi baru sekarang
ia mendengar suara cangkul membelah tanah.
"He .................... ! Kemana Siman? Dan engkau ini ................"
Yitna menengok tersenyum dan berkata, seperti dulu,
"Kalau lelah, mengasolah, pak. Biarkan aku yang menyelesaikan."
"Yitna................. !!" Kromo melempar cangkulnya dan berlari menghampiri.
"Bila engkau datang" dipegangnya kedua bahu anaknya dan ditatapnya wajahnya.
"Engkau makin tegap, sayang kulitmu terlampau putih. Mana mantuku?"
Yitna terpukul untuk kedua kalinya. "Ia ..................... ia belum dapat ikut kesini, ayah,"
katanya menunduk.
"Ah, aku ingin benar melihat mantuku. Cantikkah ia?"
Yitna hanya mengangguk dan menyembunyikan kekecewaannya dibalik senyum
paksaan. "Bagaimana dengan perkutut keramat itu, pak? Makin nyaringkah anggungnya?"
Pak Kromo menghela napas. "Ah, burung itu telah kulepas pula."
"Dilepas? Mengapa?"
"Ibumu selalu menangis kalau mendengar suaranya. Mengingatkan akan anaknya pergi
tanpa pamit. Terpaksa kulepaskan ..........."
Yitna hanya menghela napas dan kasihan kepada ibunya yang sangat mencintanya.
"Hayo kita pulang, Yit. Kita mengobrol di rumah sambil menikmati masakan ibumu."
Dengan memanggul cangkul keduanya berjalan dengan langkah kuat bagaikan dua orang
kesatria menang perang.
"Yit, sejak engkau datang, aku merasa bahwa seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu
pikiranmu. Ada apakah, nak?" bertanya mbok Kromo pada suatu malam, tiga hari kemudian.
"Ah, tidak apa-apa, mbok."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ya, akupun melihat bahwa wajahmu sering menunjukkan kedukaan. Apakah engkau
tidak puas dengan usahaku? Uang kirimanmu dahulu kubelikan sawah, kerbau dan untuk
membuat rumah ini. Selebihnya kupakai untuk membantu pendirian koperasi desa yang
dipimpin oleh pak lurah sendiri."
"O, sekali-kali tidak, pak. Engkau pandai benar menggunakan uang itu. Semua usahamu
baik bagiku dan aku bergembira benar."
"Habis, apakah yang kau susahkan?" mendesak ibunya.
"Katakan terus terang, Yit. Apakah yang kau kecewakan? Hidupmu kini makmur,
menjadi direktur, uang cukup, kedudukan terhormat, isteri cantik terpelajar, mau apa lagi?"
menyambung bapaknya.
Yitna menundukkan kepala dan tidak menjawab.
"Yitna," berkata pula mbok Kromo, "ketahuilah, nak. Bukan keadaanmu yang kaya dan
kedudukanmu itu yang dapat memberuntungkan aku. Walaupun bagaimana juga kalau
engkau tidak beruntung, akupun ikut menderita. Tahukah engkau, betapa sedih hatiku
mengenangmu ketika engkau belum datang ke desa. Berita dari kekayaanmu takkan dapat
membahagiakan hatiku seperti berita dari keberuntunganmu, Yit. Maka, ceritakanlah, apa
yang menyusahkan hatimu itu?"
Karena di desak-desak, akhirnya dengan suara pilu Yitna menceritakan sikap Ratna yang
sangat menyusahkan hatinya.
"Aku cinta kepadanya, mbok. Dan iapun cinta kepadaku. Aku bermaksud suci dan baik,
tapi mengapa ia berbalik seakan-akan membenci. Ia menyindir-nyindir mengatakan bahwa
aku telah membeli dirinya, bahwa ia adalah seorang isteri belian. Sungguh aku bingung, pak."
Pak Kromo dan isterinya hanya saling memandang.
"Mengapa ia begitu bodoh, Yit?" mencela ibunya penasaran. "Aku tidak mengerti
mengapa ia bersikap demikian. Ganjil benar adatnya."
"Sebenarnya ia seorang berhati mulia, mbok," membela Yitna cepat-cepat, "tapi ....... ah,
aku tak mengerti ......" dengan hati sedih Yitna bangun berdiri dan pergi ke kamarnya.
Esok harinya, dengan duduk di tanggul sawah berdua sambil melihat orang membajak
sawah, Kromo berkata kepada Yitna,
"Yit, benar-benar puaskah engkau melihat caraku berusaha?"
"Sungguh, pak. Aku puas dan gembira. Lebih-lebih tentang koperasi desa itu, sungguh itu
sebuah usaha yang sangat mulia. Kemarin aku berjumpa dengan pak lurah dan mendengarhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa usaha koperasi itu sungguh merupakan pertolongan besar bagi petani-petani miskin
yang hidupnya hanya mengandalkan tenaga dan cangkul."
"Memang, dengan adanya itu, maka agak lumayanlah keadaan hidup petani di desa ini.
Bahkan kita sudah merencanakan hendak mendirikan sebuah sekolah baru di sini, khusus
bagi mereka yang tak mampu."
"Itu bijaksana sekali, pak."
Setelah berdiam selama beberapa menit, Kromo berkata pula, tiba-tiba,
"Yitna. Engkau mempunyai uang, bukan"
Anaknya memandang heran, dan mengangguk.
"Berapa banyak?"
"Berapa yang dibutuhkan, pak?"
"Engkau sekarang memang pandai membaca pikiran orang. Begini, Yit. Kalau aku
meminta pertolonganmu untuk menyediakan sejumlah uang tapi dengan syarat engkau tak
boleh menanya panjang lebar tentang usaha apa yang hendak kulakukan dengan uang itu,
sanggupkah engkau memberi?"
"Berapa, pak?"
"Duapuluh ribu rupiah." Kromo menatap wajah anaknya dengan tajam.
"Asalkan untuk usaha kebaikan, bagiku mudah saja untuk menyediakan, pak.
Sekarangpun aku ada membawa uang cek."
"Bagus! Percayalah kepada bapakmu. Uang itu takkan terbuang percuma."
"Baik, dan bila engkau memerlukannya?"
"Sekarang juga, Yit."
Setelah menerima uang dari Yitna, pak Kromo meninggalkan desanya. Ia berkata bahwa
ia harus menukar cek itu ke kantor bank di Solo dan kemudian akan pergi ke Sragen. Ia
berpesan bahwa urusan yang diurusnya di Sragen itu belum tentu selesai pada hari itu juga
dan mungkin ia akan bermalam.
Yitna tinggal di rumah dengan ibunya.
"Yitna," berkata mbok Kromo dengan suara menyesal, "kalau saja engkau kawin dengan
gadis desa, tentu engkau akan lebih berbahagia."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tapi ...... aku hanyamencinta seorang gadis, yaitu Ratna, mbok."
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cantik benarkah ia?"
"Aku ada membawa gambarnya, mbok." Yitna baru teringat dan ia segera mengeluarkan
sebuah foto Ratna dari dompet uang dan memberikan itu kepada ibunya.
"Memang cantik. Sungguh tak mudah mendapatkan isteri secantik ini," katanya sambil
memperhatikan gambar itu. "Alangkah baiknya kalau ia tidak seangkuh itu."
"Ia tidak angkuh, mbok. Aku yakin, kalau engkau telah berjumpa dengan ia, pasti engkau
akan menyayangi pula." Ibunya hanya tersenyum.
"Dan ia cinta padaku ketika aku masih miskin, mbok." Ibunya mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan engkau dapat berbaik kembali dengan isterimu, nak."
Esok sorenya pak Kromo kembali. Pada wajahnya yang menghitam panas matahari itu
terbayang kepuasan.
"Beres, Yit. Akan berhasil sempurna usahaku kali ini."
Yitna hanya tertawa, ikut senang melihat kegembiraan ayahnya. Ia betah tinggal di
kampung kelahirannya. Terasa benar ketenangan kampung, kesegaran hawanya, kebersihan
daripada debu-debu kota. Namun hatinya risau bila teringat kepada Ratna. Ia telah menyurat
kepada Ho Jin untuk meminta perlop selama dua bulan.
Sering ia pergi ke pinggir anak sungai dimana untuk pertama kalinya ia mendapat ilham
untuk pergi merantau. Dipandangnya daun-daun kering terbawa air. Didengarnya dendang
anak sungai melagukan irama sunyi. Hatinya makin sedih. Rindunya makin mendalam.
Berkali-kali pada saat seperti itu jiwanya meratap, "Ratna ........ Ratna .......... Ratna
.........." dengan penuh rasa rindu.
Memang tiada daun yang terbawa air terlepas daripada rintangan perjalanannya. Terlepas
dari batu ini, mungkin akan tersangkut di batu depan. Batu-batu penghalang bertaburan di
sepanjang anak sungai. Tak terbilang banyaknya. Dan rintangan dalam hidup, bagaikan batu
batu itu, berdiri dimana-mana
------ m d n -----
"DATANGLAH MINGGU DEPAN, KAMI MENANTI, PENTING SEKALI."
Demikianlah bunji telegram dari Ratna. Yitna hampir tak mempercayai bunyi telegram itu.
Benarkah ini dari Ratna? Ia diminta datang dan dinanti-nanti. Hatinya tiba-tiba terasa segar
gembira, bagaikan setangkai mawar layu tersiram embun pagi. Jiwanya bersorak, penuh
kepuasan dan pengharapan.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tak sedikit juga ia memperhatikan apa yang nampak di sepanjang jalan dimana ia
melarikan mobilnya dengan cepat menuju Solo. Yang nampak hanya wajah Ratna
membayang di kaca depan.
Ketika mobilnya berhenti di depan rumah Ratna, alangkah herannya melihat rumah itu
telah terhias dengan bunga dan kertas berwarna seperti ketika mereka kawin dulu. Ratna
sendiri menyambutnya dengan senyum manis. Alangkah cantiknya. Bajunya biru laut
berkembang kuning menambah kehalusan kulitnya. Kainnya berkembang batik Solo
menurun lurus sampai ke tumitnya yang menginjak kelom Tasikmalaya. Rambutnya yang
hitam panjang tergelung rendah menutup leher. Setangkai mawar merah segar menghias
dada menambah kegemilangan.
Di situlah ia berdiri, bibir gendewanya mementang, mata bintangnya sayu memandang,
penuh kasih.
"Engkau baru tiba, mas?" Alangkah merdu suaranya. Alangkah jelitanya. Yitna merasa
tergetar seluruh urat-urat tubuhnya.
"Dik Ratna .................... alangkah cantiknya engkau .............." isterinya hanya
tersenyum, lebih manis dengan dibarengi kerling bergaya aleman. Mereka memasuki rumah
dengan berbimbingan tangan.
"Mengapa rumah dihias, dik?"
"Engkau pelupa. Tak ingatkah hari ini tanggal limabelas Juni?"
"Oooo ................... alangkah bodohku. Hari lahirmu! Ah, biarkan aku pergi dulu
mencari sesuatu untuk hadiah." Tapi Ratna menahan dan memegangi lengannya.
"Tak perlu, mas. Kawan-kawan sudah menanti di dalam."
Mereka memasuki ruangan dalam dan disambut oleh beberapa orang pemuda pemudi
yang menyanyikan lagu ?Selamat Hari Lahir". Ratna masih berbimbingan tangan dengan
Yitna ketika mereka berdua bersama-sama meniup padam api lilin sebanyak duapuluh tiga
buah, dan lalu memotong kue di bawah seruan dan tempik sorak kawan-kawannya.
Setelah semua tamu pergi, Yitna menarik lengan isterinya dan memeluk.
"Dik Ratna, alangkah beruntungku. Ternyata engkau ............... masih mencinta
padaku."
"Aku selamanya mencintaimu, mas."
"Istriku sayang................."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Hush ............... nanti dulu, mas. Aku ada satu soal yang hendak kuselesaikan dengan
engkau."
Yitna melepaskan pelukannya. "Soal? Tiada soal diantara kita, Rat."
Ratna hanya tersenyum dan lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam lemari.
Bungkusan dibuka dan setumpuk uang kertas terletak di atas meja.
"Hitunglah uang itu, mas. Duapuluh limaribu rupiah. Uang penebus rumah ini."
Yitna terlonjak bangun berdiri. "Uang penebus rumah?" Ratna tersenyum. "Ya! Ini uang
pinjaman kami kepadamu. Terimalah dan utang kami lunas sudah."
Kulit muka Yitna yang tadinya bersinar gembira menyuram dan mengeras. Ia
menghampiri uang itu, ditimang-timang di tangannya.
"Dari siapa engkau mendapatkan uang ini?" tanyanya kaku.
Ratna tersenyum kembali, tapi dalam pandangan Yitna, walaupun senyum itu masih
semanis tadi, kini seakan-akan menyembunjikan ejekan di dalamnya.
"Itu ................ engkau tak perlu tahu, mas .............."
"Jadi ................. sudah impas kita sekarang, Rat!"
Isterinya mengangguk puas. "Ya, sudah impas. Sudah lunas," lalu ia membalikkan tubuh
menghadapi kaca untuk mengatur rambut di keningnya yang terlepas.
"Dan ................. dengan begini engkau sudah .............. bebas dariku? Tak terikat?"
Ratna memutar tubuhnya dengan cepat, wajahnya pucat, "Tidak... bukan begitu........."
"Dan engkau kini bukan seorang budak belian lagi? Dan ...... aku tak berhak lagi menjadi
suamimu? Engkau boleh berbuat sesuka hatimu sendiri?"
"Tidak ..... tidak!"
"Dan engkau ..... orang kota tinggi hati, sombong dan angkuh ......engkau ..............
boleh memandang rendah kepadaku petani desa bodoh tak terpelajar tak pantas disebut
suami seorang gadis kota, modern, cantik, terpelajar dan bangsawan seperti engkau ini ......."
"Tidak! Tidak .... engkau ....... ah ......." Ratna menutup mukanya menangis. Yitna
yang seakan-akan mabok karena marah, penasaran dan sakit hati, setelah melihat Ratna
menangis menjadi tersadar seakan-akan disiram air dingin. Ia menjatuhkan diri berlutut di
depan Ratna yang menangis di atas kursi. Dipegangnya tangan isterinya, dibelai-belainya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ratna ..... biniku sayang ......... ampunkan aku ....... bukan maksudku untuk ..... ah....
aku tadi telah gila ......"
Ratna tersentak berdiri. "Cukup! Lelaki pandir! Ooo ..... suami bodoh tak mengerti
perasaan orang! Cukup, aku mual perutku melihatmu!" Ia memutar tubuhnya membelakangi
Yitna dan menangis terisak-isak.
Yitna berdiri perlahan. Kekerasan hatinya timbul pula. "Ya, Rat ..... Aku bodoh. Aku
pandir. Tak pantas menjadi suamimu." Diambilnya tumpukan uang dan dilemparkannya ke
atas. Uang kertas ratusan itu berhambiran bagai daun kering melayang-layang jatuh dari
pohon tertiup angin lalu.
"Nah, demikianlah. Cerai berai ......... berantakanlah sudah angan-angan si pandir.
Biarlah si pandir tinggal di dalam kerendahannya. Si pandai terbenam di dalam
kesombongannya. Biarlah, lenyaplah impian indah kosong!" dan tanpa menengok ia
melangkah keluar dari pintu. Ia tidak melihat bagaimana Ratna memandangnya dengan mata
penuh air. Tak terdengar olehnya ketika ia melemparkan uang tadi Ratna memekik, "Mas,
dengarlah dulu keteranganku!" Dan akhirnya ia tak mendengar atau melihat bagaimana
seperginya Ratna berteriak-teriak, "Mas Yitna! Jangan tinggalkan aku pula ......... !" dan
lalu terjatuh ...... pingsan di atas lantai!
------ m d n -----
Bahagian Ke VIII
Telah tiga bulan lebih Yitna berkeliaran di kota-kota besar. Jogya, Surabaya, Malang,
bahkan sampai ke Medan. Akhirnya ia berada di Jakarta. Hatinya luka parah dan pada
pikirnya ia akan mencari hiburan di kota-kota itu. Tapi usahanya gagal. Bibit cintanya kepada
Ratna telah berakar terlampau dalam di kalbunya.
Sebelum pergi merantau mengejar hiburan hati nan menderita, ia telah menyerahkan
semua pekerjaan kepada Ho Jin. Ia menyatakan berhenti dan semua bagian uangnya
diambilnya. Ho Jin sangat bersedih mendengar kisah kawannya yang bernasib malang itu.
Tapi permintaan Yitna tak dapat ditolaknya. Yitna menerima delapanpuluhribu rupiah lebih.
Setengah dari pada jumlah itu ia kirimkan kepada orang tuanya, dan setengah pula ia bawa
pergi merantau. Ho Jin memberikan sedan NV itu kepadanya. Kawan yang baik itu
menyatakan kekecewaannya dan mengharap sewaktu-waktu Yitna akan kembali lagi untuk
bekerja sama.
Uang bekalnya tinggal seperempat bagian ketika Yitna berada di hotel ?Nirmala" di
Jakarta. Telah limabelas bari ia berada di hotel itu. Kerjanya hanya duduk melamun. Segala
ikhtiar untuk melupakan Ratna telah di jalani. Hiburan-hiburan sehat dan tidak sehat telah
dicobanya. Hasilnya kosong. Luka dihatinya makin membisul.
Ia teringat akan kata-kata ahli filsafat Kahlil Gibran yang disukainya. Di dalam bukunya
?The Prophet" pujangga itu berkata,https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Joy and Sorrow come together, and when one sits alone with you at your board,
remember that the other is asleep upon your bed.
When you are sorrowful, look again in your heart, and you shall see that in truth
you are weeping for that which has been your delight."
(Kesenangan dan kesedihan datang bersama-sama dan bila yang satu duduk berdua
dengan engkau, ingatlah bahwa yang lain sedang tertidur di atas ranjangmu.
Bila engkau bersedih, lihatlah kembali ke dalam hatimu, dan engkau akan melihat
bahwa sebenarnya engkau sedang menyedihi soal yang pernah membahagiakanmu.)
Memang tak dapat dibantah pula, bahwa nasib telah mempermainkan kepadanya. Ia telah
mendapat kekayaan, kemuliaan dan kedudukan tinggi. Kemudian kebahagiaannya
bertambah karena Ratna gadis pujaannya itu menjadi isterinya. Tapi, apakah yang dijumpai
di akhir semua itu? Kekecewaan dan kesedihan! Tapi pujangga itu menyatakan bahwa
kesedihan dan kesenangan muncul berganti-ganti. Ia telah mendapat kesenangan, lalu
menderita kesedihan, maka tidkkah mungkin ia akan mendapat kesenangan kembali setelah
penderitaan ini? Tapi di mana? Dan bagaimana?
Usahanya untuk menghibur kedukaannya gagal. Tiada guna. Bahkan merusak
kesehatannya. Bermabok-mabokan, beroyal-royalan. Ah, hanya menambah besar
penderitaannya saja. Hiburan macam itu hanya terbatas dampai di kulit. Kesenangan lahir.
Sedangkan ia merasa bahwa penyakitnya ini tidak hanya terbatas di kulit. Badik tajam itu tak
melukai kulit, tapi terus masuk menikam hati sanubarinya.
Malam tadi telah dicobanya bersembahyang. Walaupun ia disebut umat Islam seperti
kebanyakan orang di desanya, namun didalam hati ia mengaku bahwa sebutan itu tak pantas
baginya. Membaca kitab Al Qur?an ia tak pandai. Hukum Islam tak mengerti.
Bersembahyang pun tak dapat. Tanda ke-Islamannya hanya karena ia menjalani cara
bersunat. Dulu ayahnya yang juga seorang umat Islam sederajat dengan ia, mengatakan
bahwa tak perlu orang harus bersembahyang. Ia masih dapat mengingat perdebatan ayahnya
yang sering mengucapkan untuk membantah desakan ibunya untuk bersembahyang.
"Ah, apa gunanya bersembahyang! Biar kuhafalkan do?anya, tapi kalau aku tak mengerti
maksudnya, apa gunanya? Pula, bersembahyang saja percuma. Gusti Allah sudah cukup
memberi berkahNya. Lihatlah perlengkapan anggota tubunku. Sehat kuat dan lengkap.
Bukankah berkahNya ini sudah lebih daripada cukup? Lihatlah tanah subur, hawa sejuk,
hujan, buah-buahan, air, api, burung, kembang dan segala apa yang dapat terlihat. Bukankah
semua itu diadakan semata-mata untuk memberi kenikmatan di dalam hidup kita Perlu apa
aku harus meminta-minta lagi?"
"Karena itulah maka engkau perlu bersembahyang mengucap syukur kepada Gusti Allah
dengan rasa terimakasih," menyerang ibunya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Mengucap syukur? Berterimakasih? Apa artinya ucapan yang hanya di bibir saja? Lebih
lebih kalau kata-kata yang dikeluarkan itu hanya hafalan semata-mata! Lihatlah. Tanah
kukerjakan baik-baik. Keindahan alam kunikmati. Ini lebih baik daripada ucapan syukur
yang kosong. Aku tak kecewa, aku sudah cukup menerima segala berkahNya dengan penuh
rasa puas dan syukur tanpa berdoa."
"Tapi alangkah baiknya kalau engkau bersembahyang meminta keselamatan, meminta
agar padi di sawah tumbuh subur, meminta agar terhindar daripada kecelakaan, dan
penyakit, dan ..........."
"Pekerjaan bodoh! Perlu apa meminta-minta keselamatan kalau perbuatan kita sendiri
menjauhi keselamatan! Keselamatan terjamin oleh laku hidup kita sendiri. Padi tak mungkin
subur kalau tak dipelihara dan dijaga dengan baik. Kecelakaan takkan datang kalau kita
berhati-hati dan waspada. Penyakit takkan mudah menyerang kalau kita dapat menjaga diri
pula ....."
"Sombong!" ibunya marah.
"Bukan sombong, mbok. Coba pikirkan. Gusti Allah bukanlah seperti pembagi distribusi
yang membagi-bagikan segala yang baik-baik kepada sembarang orang yang meminta-minta.
Berkahnya sudah cukup. Tanpa diminta berkahNya telah berlimpah-limpah diturunkan
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk kita. Kita hanya tinggal memungut. Berusaha. menjaga, dan hidup yang benar menurut
kehendakNya dan ......"
"Aaah ..... sudahlah. Aku sudah ngantuk!" mencela ibunya.
Yitna masih ingat benar perdebatan di dalam kamar ayahnya itu. Sering terjadi dihari
Jumat dan ia dapat menangkap pembicaraan itu melalui dinding bambu yang
memisahkannya dengan mereka.
Tapi malam tadi dicobanya juga bersembahyang. Ia berduduk diam dan mencurahkan
seluruh panca indranya kepada tuhanNya dengan memohon agar diberi tenaga batin.
Tiba-tiba pelayan hotel mengantarkan sebuah sampul. "Dari pos, tuan."
Surat itu datang dari ayahnya. Dua minggu yang lalu ia menyurat ke Rejowinangun
mengabarkan keadaan dan tempatnya. Segera ia membuka sampulnya. Ayahnya meminta
dengan sangat agar ia suka segera pulang karena mereka sudah amat rindu untuk berjumpa.
Yitna terbayang akan keindahan kampung halamannya. Mengapa tidak? Ia akan merasa
lebih terhibur jika berdiam di
Bertani dengan rajin mungkin akan menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi
kssedihannya. Menganggur bermaas-malasan di hotel hanya memperberat penderitaannya.
Tapi ia ingin benar melihat Bandung. Maka ditulisnya sepucuk surat untuk ayahnya bahwa
ia akan kembali dan sampai di desanya pada tanggal lima bulan depan. Ia masih mempunyaihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tempo dua minggu untuk melanjutkan perantauannya.
Tanggal empat sore ia tiba di Solo. Di hotel "Preanger" Bandung telah diambilnya
ketetapan bahwa ia akan menjumpai Ratna atau pak Harjo untuk memberi surat cerai. Ia tak
ingin mengikat Ratna dengan perkawinan. Biarlah kalau padis itu mau kawin lagi dengan
orang lain.
Tapi alangkah menyesalnya ketika pak Harjo memberitahukannya bahwa Ratna telah
pergi dari rumah sejak seminggu yang lalu. Ia tidak tahu kemana anaknya itu telah pergi.
"Yitna, aku menyesal. Benar-benar aku menyesal. Semua ini terjadi karena gara-gara
dosaku. Soalmu dengan Ratna hanya karena salah mengerti, nak."
"Salah mengerti bagaimana, pak?"
"Engkau masih muda. Pengalamanmu belum cukup banyak Yit. Lebih-lebih mengenai
sifat-sifat seorang wanita. Ratna sebenarnya mencinta kepadamu."
"Ia mencinta padaku?" Yitna tersenyum pahit. "Ah, tapi sikapnya tidak menunjukkan
begitu, pak. Mengapa ia tadinya merasa menjadi seorang isteri belian? Seakan-akan aku tidak
mencinta padanya dan seakan-akan ia kawin padaku dengan paksaan."
"Itulah karena engkau masih hijau, Yit. Ratna mencintamu dengan tulus dan suci. Maka
ia menghendaki agar diantara perkawinanmu berdua tiada terdapat sedikit soalpun yang
merendahkan perkawinan itu. Karena engkau menolong dengan membebaskan hypotheek
rumahku, seakan-akan aku berutang kepadamu. Dan lalu lamaranmu kuterima. Itu melukai
kesucian cintamu berdua, demikian anggapan Ratna. Ia merasa bahwa ia rendah dalam
pandanganmu karena kamu berdua kawin seakan-akan karena pertolongan uang itu. Nah,
itulah yang menjadi sebab dari sikapnyayang tak menyenangkan."
"Tapi mengapa ia tak berterus terang?"
"Ia sudah usahakan itu seperti katanya kepadaku, tapi engkau tidak mengerti."
"Lalu, mengapa ia mengembalikan uang itu dan tidak mau memberitahukan darimana
uang itu diperolehnya? Seakan-akan ia menebus dirinya dan hendak melepaskan diri dariku."
"Kembali engkau salah faham. Tak terlihatkah olehmu betapa gembiranya ketika
berjumpa dengan engkau dihari lahirnya? Tak tampakkah olehmu bahwa kegembiraan itu
disebabkan karena ia dapat menghilangkan ganjalan hatinya dengan mengembalikan
uangmu? Dengan pengembalian itu ia akan dapat mencintaimu dengan bebas dari rasa
rendah karena berutang."
Yitna bagaikan terpukul hatinya. Ia mengangguk-angguk. "Kini aku mengerti, pak. Tapi
dimanakah ia sekarang?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pak Harjo mengangkat pundak. "Aku tidak tahu, nak."
Yitna menutup mukanya dengan sepuluh jari tangannya. Mau ia menangis menyesali
kepicikannya. Tapi semua telah terjadi. Tak mungkin diperbaiki. Ratna sekarang telah pergi,
entah kemana.
"...... aku bodoh dan berdosa, pak. Benar-benarkah ..... Ratna ......... mencintai aku seperti
aku mencintainya?"
"Aku yakin akan hal itu, nak. Bukankah aku sebagai ayah-nya lebih mengetahui gerak
gerik anakku sendiri?"
"Dan uang itu ................... uang siapa, pak?"
"Uang pinjaman dari seorang kawan."
Setelah berdiam semalam di rumah Ratna dan tidur di ranjang Ratna dengan hati penuh
penyesalan, esok paginya Yitna memohon diri kepada pak Harjo.
"Aku hendak pulang ke desa, pak. Tolonglah beritahukan padaku bila dik Ratna telah
datang kembali."
"Jika engkau tak keberatan, aku hendak ikut, nak? Ingin benar aku menjumpai orang
tuamu." Yitna heran tapi tak membantah.
Hari masih pagi ketika Yitna menghentikan sedannya di depan jalan kecil menuju ke
rumah bapaknya. Pak Kromo dan isterinya telah menanti disitu. Mbok Kromo segera
memeluk anaknya dan menangis.
"Yitna, engkau begini kurus ..................! Ah, jangan tinggalkan aku, nak."
"Tidak, mbok. Aku akan tetap tinggal di sini."
"Yit," berkata ayahnya, suaranya bersungguh-sungguh seperti dulu ketika mencegah ia
pergi merantau. "Engkau dahulu seorang anak yang menurut kata-kata orang tua. Sekarang,
karena aku dan mbokmu sudah tua, hanya sebuah permintaan yang kami minta supaya
engkau mentaati."
"Permintaan apakah, pak?"
"Bicaralah, mbok," berkata pak Kromo. Selalu kalau menghadapi soal penting ia
menyerahkan kepada isterinya untuk membuka jalan.
"Yitna, anakku. Bapakmu dan aku telah memilihkan seorang gadis untuk menjadi
isterimu."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tapi, mbok!" membantah Yitna sambil memandang kepada pak Harjo yang menunduk
saja.
"Tidak ada tapi, Yit!" membentak bapaknya. "Kali ini engkau harus menurut. Ini
permintaanku yang terakhir sebelum aku mati. Dengar, rumah sekarang sudah penuh tamu.
Sekarang juga engkau harus menjalani upacara kawin. Pengantin perempuan sudah
menanti."
"Tapi bagaimana dengan Ratna, pak."
"Engkau akan menceraikannya, bukan?" memperingatkan Harjo.
"Ketika itu aku belum mengetahui bahwa ia masih mencintai aku," bantah Yitna.
"Sudahlah, Yit. Jangan membantah," berkata ibunya. "Kalau engkau sayang kepada
orang tuamu, turutlah dan jangan membikin malu nama orang tua. Aku berani tanggung
bahwa engkau tentu akan menyetujui pilihan kami ini."
"Dan aku berjanji, jika engkau tidak suka, boleh kau ceraikan ia besok. Pendeknya,
sekarang engkau harus menurut, jangan membikin malu. Tamu-tamu sudah menanti."
"Tapi pakaianku .................?"
"Pakaian ini cukup gagah untuk dipakai seorang pengantin."
"Bagaimana ini, pak?" Yitna bingung dan menanya kepada mertuanya.
Harjo mengangkat pundak, acuh tak acuh. "Seorang anak harus menurut kehendak orang
tua. Dan, seperti kata ayahmu tadi, kalau engkau tidak suka, besok boleh kau ceraikan ia."
Yitna melihat ibunya memandang dengan mata penuh permohonan. Ayahnya
memandang dengan mata tetap tak mau dibantah. Ia menghela napas. Ada-ada saja
rintangan menghalang daun kering hampir membusuk seperti aku ini, pikirnya.
"Baiklah ................." akhirnya ia berkata lemah. Ibunya karena girang lalu memeluk
dan menciumi pipinya. Yitna merasa air mata ibunya menitik membasahi lengannya. Ia
heran. Tak pernah ibunya berbuat demikian sejak ia masuk sekolah.
Kemudian ia dibimbing oleh ayah ibunya menuju ke rumah. Pak Harjo berjalan di
belakangnya. Suara gamelan menyambut kedatangannya seakan-akan menyesuaikan irama
dengan tindakan kakinya. Yitna merasa mukanya panas karena malu. .nak- anak
mengerumuninya dan berteriak-teriak, "Pengantin dating! Pengantin akan bertemu!"
Rumah ayahnya dihias daun-daun janur dan kertas merah putih. Di luar pintu depan
berdiri dua batang pohon pisang. Dari dalam keluar pengantin perempuan. Yitna mengerling,
tapi, berbeda dari kebiasaan, pengantin perempuan ini memakai kerudung hitam di depanhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mukanya. Potongan badannya tak mengecewakan, pikirnya. Ketika dilakukan upacara
menginjak telor seperti lazimnya pengantin di desanya, ia menunduk melihat bagaimana
kakinya yang terkena telor itu dicuci oleh sepasang tangan yang halus. Cincin telah
disediakan dan ketika Yitna memasangkan cincin di jari manis tangan kanan pengantin
perempuan, ia melihat air mata jatuh menitik dari balik tirai hitam itu, membasahi lengannya
dan jari manis yang dipegangnya itu gemetar.
Yitna teringat kepada Ratna. Hampir saja ia meloncat pergi dan lari jauh meninggalkan
tempat itu. Tapi perasaan terharunya ditahan-tahan. Ia tak hendak mernbuat malu kepada
orang tuanya. Besok pun mudah diceraikan pikirnya.
Tamu-tamu berangsur pergi. Yitna duduk dengan pengantin perempuan di kamar
pengantin. Ia bangun berdiri dan melepas jasnyayang menyebabkan keringat membasahi
tubuhnya yang telah terasa panas sejak tadi. Ia merasa marah karena perbuatan orang tuanya
yang ganjil dan terburu-buru ini. Ia menengok kepada pengantin perempuan yang masih
duduk tak bergerak dan menundukkan muka. Ingin ia menyingkapkan tabir yang menutupi
muka. Tapi ia tak mau melakukannya. Apa perlunya? Apa artinya baginya jika perempuan
ini cantik atau tidak? Bagaimana juga, ia tak ingin memperisterikannya. Hatinya sudah
tertambat kuat-kuat kepada Ratna.
"Dik .................... aku kasihan kepadamu. Ini semua adalah salah tindak dari orang
tuaku. Tanpa bertanya aku dipaksa mengawinimu. Maafkan aku, dik. Aku tak dapat
membantah kehendak mereka. Jangan engkau bersakit-hati. Aku ....... Aku tak mungkin
dapat menjadi suamimu atau suami siapapun juga."
Pengantin perempuan itu tak menyahut, hanya makin menunduk dalam.
"Tentu engkau merasa terhina, tapi apa boleh buat. Aku terpaksa mengaku terus terang.
Aku tidak mau membuka penutup mukamu, karena kala itu kulakukan, tentu engkau akan
menyangka bahwa aku menampik karena wajahmu. Maka aku tidak mau membuka
walaupun hatiku ingin sekali melihat siapakah gadis yangmenjadi korban kebodohan orang
tuaku. Aku akan menolak gadis yang mana saja untuk menjadi isteriku, karena aku .........
aku tak mungkin kawin dengan lain wanita."
Tiba-tiba suara isak tangis terdengar dari balik tabir. Yitna heran dan makin kasihan.
"Kasihan engkau, dik. Ampunkanlah aku. Aku yakin kata-kataku ini menusuk
perasaanmu. Tapi ........ ah, baiklah aku berterus-terang agar engkau dapat
mempertimbangkan keadaanku. Aku ........ aku telah beristeri, dik. Dan aku mencinta
padanya dengan sepenuh jiwaku. Walaupun kami sekarang terpisah, dan seandainya tak
mungkin kami berjumpa kembali, namun selama hidupku aku takkan kawin lagi dengan lain
wanita. Bagiku wanita yang menjadi biniku hanya seorang itu ........ saja. Untuk selama
lamanya, dan ......." suaranya makin lemah karena terharu, "jika seandainya ia tak kembali
........... aku akan menanti sampai datang ajalku ........."
Tangis pengantin perempuan makin menjadi dan kini disertai bisikan-bisikan lemah.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Yitna yang mendengar bisikan itu bangun berdiri dari kursinya, tak bergerak seakan-akan
patung. Pengantin perempuan itu masih terus saja menangis dan mengeluh dalam bisikan,
"Oh mas ......... suamiku ...... aku ........ aku berdosa besar kepadamu ........mas Yit ......."
"Ratna ...................!!" Yitna maju menubruk, berlutut dan merenggut tabir penutup
muka itu. Ratna memandangnya dengan mata setengah terkatup.
"Mas .................. mas Yit............... ...."
"Ratna ................... isteriku saying! Tidak mimpikah aku?"
"Tidak, mas ................... ini benar-benar Ratnamu ............"
Yitna memeluk dengan penuh kasih sayang dan berbisik, "Terirna kasih, Gusti ......."
"Mas, uang itu ..................... kudapat dari bapak ............"
"Dari ayahku?"
Ratna mengangguk dan membuka matanya. Yitna memandang mata itu dengan kagum.
Alangkah indahnya! Bagaikan bintang pagi. Dan bibir itu tersenyum manis. Ia dapat melihat
kasih yang suci berpancaran dari seluruh wajah itu.
"Mengapa orang-orang tua itu berlaku seganjil ini, dik?"
Ratna memerah muka, menambah kejelitaannya. Suaranya perlahan sekali ketika
membuat pengakuan, "Aku ............. yang meminta mereka ........."
"Engkau ................ suamiku ..............!"
"Ratna ................... isteriku saying .............."
Tasikmalaja, akhir Oktober 1958.
T A M A T
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Pembunuhan Atas Roger Ackroyd Murder Of Ilusi Scorpio Karya Robert Ludlum
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama