Ceritasilat Novel Online

Batas Perjalanan Cinta 3

Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto Bagian 3



sendiri. Dia tak dapat memastikan siapa perempuan itu.

"Jadi bagaimana, Lina?" tanya Ridwan. "Kau tahu

perempuan itu? Kalau misalnya kau tahu, kita cari dia

sampai ketemu."

Rosalina menggeleng.

"Kita pulang saja."

"Baik."

"Terima kasih, Pak," kata Rosalina kepada Bahrun.

Lantas mereka pergi dari tempat itu.

***- 213
Udara yang dihirup bagi membakar para-parunya.

Sinar matahari yang bersinar terik seperti membakar dirinya.

Namun sebaliknya dia merasakan senang tinggal di antara

para karyawan yang tengah bekerja di proyek.

Handrian menganggap hidupnya yang sekarang lebih

tentram. Setiap hari sibuk di proyek perumahan yang

dipimpinnya. Di kota Semarang dia tinggal di perumahan

karyawan. Bagi karyawan lainnya merasa dituntut kerja

lebih rajin dan giat. Disamping Monika menjadi kian sibuk

mendampingi pimpinannya itu.

Sebenarnya itu cuma pelarian. Ya, cuma pelarian dari

kedua orang perempuan. Dia ingin mencari ketentraman

baru bagi hidupnya. Kendati setiap mau tidur bayangan

Rosalina dan Lusi merejah pikirannya. Paling-paling

sebagai pelariannya, dia minta ditemani Monika pergi ke

Night club. Atau ke tempat-tempat hiburan lainnya.

Kontaknya hanya dengan pak Ridwan. Setiap hari dia

menelpon pak Ridwan untuk menanyakan kesehatan

Rosalina. Yang selalu ditanyakan hanya mengenai kapan

bayi dalam kandungan perempuan itu akan lahir.

Dan pada suatu siang, Handrian bersama Monika

nampak duduk berdua di bawah atap seng bangunan semi

permanen. Mengawasi pegawai proyek yang bekerja di

bawah teriknya matahari

"Sampai berapa lama lagi pak Han tinggal di rumah

karyawan itu?" tanya Monika.- 214
"Sampai proyek ini selesai."

Monika termangu. Sebab paling lama proyek

perumahan ini diperkirakan selesai enam bulan lagi. Selama

itukah Handrian tinggal di sini?

"Pak Han akan betah tinggal di sini?"

"Kenapa tidak?"

"Lantas bagaimana dengan Lusi?"

"Ah!" Handrian mendesah.

"Masih belum akur?"

"Nggak tau."

"Waaaah urusannya kok jadi begitu?"

"Nggak tau."

"Kalau dia sampai nyusul ke mari?"

"Dia tidak mungkin tahu aku di sini. Kalau sampai

tahu paling-paling kau yang memberi tahu, tapi ingat, jangan

sekali-kali memberi tahu aku di sini melalui telpon."

"Termasuk Rosalina?"

"Ya."

Monika tersenyum sembari melirik Handrian.

"Padahal hampir seluruh karyawan yang rumahnya di

luar kota, setiap minggu mereka musti pulang untuk- 215
menjenguk istri atau pacarnya. Mereka tak tahan akan

kesepian di sini. Apakah pak Han bisa tahan terus menerus

tinggal di sini?"

Handrian memandang truk yang baru menurunkan

pasir. Deruman buldoser yang sejak tadi menggaruk tanah

terasa mengurangi pendengarannya.

"Jadi yang kau maksudkan masalah pokoknya soal

perempuan? Sebenarnya tidak sulit bagiku. Dengan uang

aku bisa melampiaskan segala kesepianku. Sekali waktu

bisa mencari tempat peristirahatan yang nyaman. Dan di sini

aku punya seorang perempuan yang setia."

"Siapa?"

"Kamu!"

Monika tersenyum.

"Kebanyakan laki-laki itu pilih enaknya sendiri," ujar

Monika sembari tertawa kecil.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Bisa berbuat seenaknya di luar rumah."

Sekarang ganti Handrian yang tertawa.

"Asal kau tahu saja, perempuan-perempuan yang ada

di hatiku cuma mementingkan diri sendiri. Mereka tak mau

mengerti apa yang kumaui. Barangkali cuma kau yang

selama ini mau mengerti diriku. Bukan begitu, Nika?"- 216
"Tapi pak Han belum tahu Monika yang sekarang, kan?"

"Monika yang sekarang kenapa?"

"Bulan depan Monika akan bertunangan."

Handrian terperanjat.

"Bertunangan? Dengan siapa kamu bertunangan?"

tanya Handrian terbata-bata. Nampak gusar.

"Hartono. Dia baru kemarin diwisuda menjadi

insinyur."

Handrian jadi termenung. Ada rasa kecewa di hatinya.

Untuk membuang rasa kecewanya diambil sebutir batu

kerikil, lalu dilemparkan ke tengah proyek. Salah satu

pekerja proyek kaget lantaran nyaris kena lemparan batu itu.

Handrian jadi kepingin tertawa, sebab pekerja itu termangu

heran.

"Sudah lama kenal pemuda itu?"

"Sebulan yang lalu."

"Kenapa langsung buru-buru bertunangan?"

"Sebab pak Han sudah menikah."

Handrian termangu memandang Monika.

"Apa hubungannya dengan pernikahanku?"

"Dulu Monika masih setia menanti pak Han?"

Terbengong Handrian mendengar ucapan gadis itu.- 217
"Sudah terlambat. Aku tidak menyangka jadi begini."

"Ya, memang sudah terlambat. Tapi kalau sekedar

hiburan Monika punya banyak kenalan gadis-gadis cantik."

Handrian menghembuskan napas panjang. Entah

penyesalan, entah keluhan. Udara yang dihirup menjadi

berubah pengap.

***- 218
Perubahan yang dratis makin terjadi pada Handrian.

Dia tak ingin lagi jadi laki-laki yang merenungi nasibnya

terus menerus. Dia melakukan apa saja yang dapat

menyenangkan dirinya. Setiap malam pergi ke night club

atau ke tempat pelacuran. Di tempat pelacuran dia sudah

punya langganan tetap.

Berbicara mengenai langganan tetap Handrian

memang boleh juga. Usianya masih sembilan belas tahun.

Belum lama menjadi penghuni komplek pelacuran itu. Kira
kira baru dua minggu. Parasnya cantik, tubuhnya masih

padat dan berisi. Namanya Diah Ningrum. Hampir setiap

malam Handrian mengunjungi Diah.

Dan sore itu Handrian sudah menunggu di kamar

perempuan itu.

"Sorry ya. Agak lama menunggunya?" tanya gadis itu

sembari membetulkan roknya. Bau sabun yang harum

menusuk hidung Handrian. Perempuan itu baru saja selesai

mandi.

"Ah, tidak apa-apa."

"Supaya bersih dan harum, ya kan Mas Han?"

"He'eh."

Diah merangkul bahu Handrian dan mengecup

pipinya.

"Agaknya di luar banyak tamu yang menunggumu."- 219
"Biarin. Setiap sore begini aku tidak mau terima

tamu, sebab takut mengecewakan mas Han. Soalnya mas

Han kalau datang ke mari sore begini. Kecuali jam tujuh

malam ke atas mas Han tidak datang, barulah Diah mau

menerima tamu."

Handrian memandang perempuan muda itu. Matanya

redup, hidungnya mancung. Bibirnya yang tanpa dipoles

lipstick merah delima. Tipis, kalau tersenyum manis sekali.

Diah merebahkan tubuh Handrian ke atas tempat

tidur. Lantas mereka berciuman. Tangan Handrian

membuka retsleting rok gadis itu. Tangan Diah juga

membuka kancing-kancing baju Handrian. Mereka bergelut

saling menindih.

"Kamu mau tinggal sama aku di perumahan proyek?"

tanya Handrian sembari mengelus-elus punggung Diah.

Punggung yang putih dan mulus. Kulitnya halus.

"Mau saja. Tapi Diah takut dimarahi pacar mas Han."

"Aku tidak punya pacar."

"Ah, masak?"

"Nggak percaya?"

"Nggak."

"Ya sudah."

Handrian mencium bibir perempuan itu lagi.

Ciumannya tambah hangat. Cicak yang ada di atap kamar- 220
itu saling mengejar. Nampaknya kedua cicak itu berlainan

jenis. Lantas saling menggigit, bercumbu dan sesaat saja

mereka saling bertindih.

Kalau cicak itu cuma sesaat saja, tapi Handrian

dengan Diah terus saja berlangsung. Malah semakin hot.

Agaknya Handrian menemui banyak kelainan dalam

pelayanan Diah. Nyaris menyerupai kehangatan dan

kepuasan yang diperoleh dari Rosalina. Dan dari sore

sampai beli peringatan jam tutup tempat pelacuran, barulah

Handrian pulang.

***- 221
Sementara itu Rosalina tengah menggeliat-geliat

lantaran perutnya kejang dan sakit. Di tengah malam seperti

ini dia ingin minta tolong kepada siapa? Cairan putih terus

merembes membasahi dasternya. Apakah ini pertanda bayi

dalam kandungannya akan lahir?

Dengan bersusah payah Rosalina turun dari tempat

tidur. Melangkah satu-satu sambil memegangi perutnya

yang kian dirasa sakit. Aku harus ke rumah sakit, tekad

Rosalina. Tekadnya itu membuat berani mengetuk pintu

rumah tetangganya.

"Pak! Pak Roso! Tolonglah saya," teriak Rosalina

namun terdengar lemah.

Tak lama kemudian pintu terbuka dan nampak
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perempuan tua. Perempuan itu tak sampai hati

melihat Rosalina yang menahan sakit. Dan pak Roso pun

muncul.

"Ada apa, nyonya?" tanya pak Roso.

"Barangkali dia mau melahirkan bayinya, Pak."

istrinya menimpali.

"Tol... tolong antarkan saya ke rumah sakit, Pak.

Tolonglah saya Bu," rintih Rosalina yang tubuhnya dibasahi

keringat dingin. Bibirnya gemetar.

Pak Roso bersama istrinya segera menolong Rosalina.

Dengan naik beca mereka menuju ke rumah sakit.- 222
Rosalina dipapah oleh pak Roso dan istrinya ketika

turun dari beca. Seorang suster yang malam itu bertugas

merawat pasien ikut membantu. Rosalina yang akhirnya tak

kuat berjalan lagi. Dua orang suster lainnya segera

mengambil tempat tidur dorong, lalu Rosalina dibaringkan

di situ. Sebelum Rosalina dibawa masuk ke kamar bersalin,

terlebih dahulu bicara minta tolong kepada pak Roso untuk

menghubungi Lusi.

Seluruh tembok kamar itu putih bersih. Tapi yang

membatasi tempat tidur satu dengan tempat tidur lainnya

juga putih. Suster itu memindahkan Rosalina dari tempat

tidur dorong ke tempat tidur bersalin. Malam itu kamar

bersalin kosong. Tidak ada seorang pun yang akan

melahirkan bayinya. Rosalina merasa ngeri juga.

Tak lama kemudian seorang dokter memasuki kamar

itu. Langsung memeriksa kandungan Rosalina.

"Siapkan alat-alatnya. Sebentar lagi bayinya akan

lahir," ujar dokter itu.

Rosalina memejamkan matanya. Betapa sedih hatinya

pada saat-saat seperti ini. Saat-saat yang kritis ini tak

seorang pun yang dicintainya ada di sisinya. Suaminya pergi

entah ke mana. Handrian pergi entah ke mana. Padahal bayi

yang akan dilahirkan itu darah dagingnya. Maka Rosalina

tak dapat menahan tangisnya. Dia pasrahkan apa pun yang

terjadi kepada Tuhan.- 223
Ternyata usaha dokter untuk menolong bayi dalam

kandungan Rosalina belum berhasil.

"Agaknya belum saatnya bayinya lahir. Perutnya

mengendur lagi," kata dokter itu. Lalu diambilnya jarum

suntikan.

"Nyonya istirahat dulu ya?" Dokter itu berkata sambil

menyuntik paha Rosalina.

Perempuan yang berbaring itu hanya menangis

sambil merintih.

"Jaga dia terus," perintah dokter.

Dua orang suster itu mengangguk.

Kelopak mata Rosalina dirasakan makin berat. Dan

pikiran yang berkecamuk dalam benaknya berangsur-angsur

hilang. Kemudian dia tak ingat apa-apa lagi. Perempuan itu

tertidur pulas.

Di koridor rumah sakit yang sepi dan sunyi itu ada

suara langkah-langkah bersepatu. Suaranya berdetak cepat.

Ternyata yang baru muncul di balik dinding koridor itu

adalah Lusi dan Hilda. Mereka buru-buru menuju ke kamar

bersalin. Di persimpangan koridor mereka berpapasan

dengan dokter yang baru selesai memeriksa Rosalina.

"Selamat malam, dokter," sapa Lusi.

"Malam. Ada yang bisa saya bantu?"

"Apakah ada pasien yang bernama Rosalina?"- 224
"Ya. Anda berdua siapa?"

"Kami familinya. Bagaimana keadaannya dokter?"

"Perlu banyak istirahat."

"Apakah bayinya sudah lahir?"

"Belum."

"Boleh saya menunggunya?"

"Silakan. Di mana suaminya?"

"Ng... suaminya sedang bertugas ke luar kota."

Dokter itu manggut-manggut. Lusi dan Hilda

menunggu di ruang tunggu. Suasananya sepi sekali.

"Apa yang kita lakukan untuk Rosalina?" tanya Lusi.

Hilda termenung berpikir.

"Gunawan pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Sedangkan Handrian juga begitu," keluh Lusi.

"Kasian," Hilda rasanya ingin menangis. Tak sampai

hati melihat nasib Rosalina yang tidak ber-ketentuan.

"Sampai saat ini kau belum tahu di mana Handrian

berada?" Lusi menggeleng.

"Bagaimana kalau kita tanyakan kepada pak Ridwan.

Barangkali dia tahu."

"Aku rasa pak Ridwan tidak tahu apa-apa."- 225
"Fonny?"

"Selama ini Fonny tidak pernah menerima telpon dari

Handrian."

"Ah, aku jadi bingung. Bagaimanapun juga kita harus

memperjuangkan nasib Rosalina. Besok kita temui kedua

orang tua Gunawan meskipun apa yang akan terjadi. Lalu

menemui paman dan bibinya. Okey?"

Lusi mengangguk.

***- 226
ENAM

Sebuah mobil sedan putih berhenti di depan kantor

proyek. Mobil itu penuh debu, lantaran sehabis menempuh

perjalanan jauh. Monika yang tengah berada di ruang kantor

buru-buru menyambutnya. Menyambut Lusi yang baru saja

turun dari mobil. Dari Jakarta Lusi ditemani oleh seorang

sopir pribadi ayahnya.

Monika dengan agak gugup menyapanya.

Kegugupannya lantaran kedatangan Lusi tanpa terlebih

dahulu memberi kabar. Apakah Lusi mengetahui Handrian

tinggal di perumahan proyek? Tahu pelariannya laki-laki

itu?

"Di mana mas Han tinggal?" langsung saja Lusi

bertanya begitu.- 227
"Nanti akan saya jelaskan, Nyonya. Lebih santai kita

bicara di ruang kerja saya," ajak Monika ramah.

Kedua perempuan muda itu melangkah masuk ke

kantor. Monika langsung saja mengajak Lusi ke ruang

kerjanya. Pertemuan mereka nampak tegang. Dan Monika

mencoba mencairkan suasana dengan seulas senyuman.

"Rasanya berat bagi saya untuk mengatakan secara

terus terang mengenai pak Handrian," kata Monika.

"Aku hanya mau tahu di mana mas Han sekarang

tinggal. Sebab dari keterangan pak Ridwan, mas Han tinggal

di proyek. Sudah dihubungi oleh pak Ridwan selalu saja

tidak ada di tempat," kata Lusi yang nadanya menuduh

Monika menyembunyikan suaminya.

"Memang, dalam empat hari ini pak Handrian tidak

datang ke proyek. Kalau perumahan yang ditempati ada di

blok D nomor 8."

"Lantas selama ini dia pergi ke mana?"

"Maaf nyonya, saya kurang tahu."

"Jangan kau sembunyikan suami saya ya?" ketus

Lusi.

"Nyonya jangan sembarangan menuduh saya begitu.

Sebenarnya nyonya yang harus mengintropeksi diri. Kenapa

suami nyonya meninggalkan nyonya dan menuruti

kehendak hatinya sendiri," balas Monika tak kalah ketusnya.- 228
"Itu urusan kami."

"Apakah nyonya kira saya mau turut campur urusan

anda? Cuma yang selama ini saya ketahui suami nyonya

semakin tidak karuan. Frustrasi dan mencari pelarian yang

bisa menyenangkan dirinya."

Lusi tak bisa menjawab apa-apa.

"Kalau nyonya ingin tahu lebih jelas, lebih baik

bertanyalah langsung kepada suami nyonya."

"Di mana bisa kutemui?"

"Di rumah seorang pelacur yang bernama Diah."

Lusi terperanjat. Perasaan pedih dan malu bergejolak

di dalam dadanya. Membuat kedua pipinya merah jambu.

Seolah-olah mendapat tamparan yang keras.

"Dia pernah bilang kepada saya, lebih baik hidup

bersama pelacur yang hina, dibandingkan punya seorang

istri yang tidak menghargai suami. Dia sudah cukup

menderita, nyonya. Semuanya itu karena janji dan

sumpahnya yang telah dilanggar."

Tangis perempuan itu tak dapat ditahan lagi.

Sekarang dia baru bisa merasakan bahwa janji dan sumpah

yang diminta mengakibatkan kesengsaraan. Penyesalan itu

datang menyergap-nyergap batinnya.- 229
"Aku memang bersalah," desah Lusi disela isaknya.

"Maukah anda menolong saya mengantar ke rumah

perempuan itu?"

"Maaf. Saya tidak mau ikut campur dan terlibat

urusan rumah tangga anda. Silakan datang sendiri dan saya

beri alamatnya."

Monika menulis di selembar kertas alamat kediaman

Diah. Lalu diberikan kepada Lusi.

***- 230
Diah bernyanyi-nyanyi kecil sembari menyapu ruang

depan. Dan membersihkan kaca. Sudah lima hari dia

menempati rumah itu bersama Handrian. Berarti lima hari

pula dia sudah terangkat dari lembah nista. Handrian tidak

mengizinkan meneruskan profesinya jadi seorang pelacur.

Sekalipun Handrian tidak pernah mengutarakan cinta

ataupun mengajak hidup berumah tangga, namun hatinya

sudah senang.

Belum habis lagu yang dinyanyikan, sebuah mobil

sedan putih berplat nomor B memasuki halaman rumah.

Diah mengamati penumpang mobil itu. Seorang sopir

setengah baya dan perempuan muda cantik. Siapakah dia?

Barangkali teman bisnis atau saudara Handrian.

Perempuan muda itu bergegas turun dari mobil. Diah

sudah siap menyambutnya.

"Di sini rumah Diah?"

"Betul. Sayalah orangnya."

"Mas Handrian juga tinggal di sini?"

Diah mengangguk sembari tersenyum ramah. Cantik

dan manis perempuan ini, pikir Lusi.

"Mau bertemu dengan mas Handrian?"

"Ya."- 231 Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kebetulan sedang pergi. Mari silakan masuk dulu,"

kata Diah yang polos. Masih terlalu lugu dan tidak

mempunyai rasa curiga.

Lusi melangkah masuk dengan tubuh yang letih.

Lantas duduk di kursi sembari mengedarkan pandang

berkeliling. Nyaman dan harmonis nampaknya.

"Mbak dari Jakarta ya?"

Lusi mengangguk. Diamatinya gadis yang duduk di

depannya.

"Sudah berapa lama tinggal di sini bersama mas

Han?"

"Lima hari."

"Dulu kenal mas Han di mana?"

Diah gelagapan. Sesaat dia menatap Lusi dengan

malu-malu. Lantas tertunduk lagi.

"Tidak usah malu-malu. Katakan saja. Ayo," desak

Lusi.

"Di..." ucapan Diah terhenti. Dia tidak bisa

berbohong, tapi malu untuk mengatakannya.

"Di tempat pelacuran ya?"

Diah mengangguk berat. Kedua pipinya merah jambu

karena malu.- 232
"Apakah selama ini mas Handrian tidak pernah

bercerita apa-apa?"

"Tidak. Mas selalu pendiam."

"Tidak bercerita tentang perempuan lain?"

"Juga tidak."

Lusi manggut-manggut.

Diah memberanikan memandang tamunya.

"Mbak siapa?"

"Aku istrinya."

Diah terperangah.

"Dia tidak pernah mengatakan punya istri?"

Diah menggeleng. Dia merasa sangat kecewa sekali.

Belum lama hidupnya tentram dan bahagia sudah datang

lagi prahara.

"Ternyata saya telah dibohongi," desah Diah ingin

menangis.

"Aku tidak mengehendaki di antara kita saling ribut
ribut. Tapi aku minta kepadamu jangan kau ganggu

suamiku," kata Lusi tegas.

"Maafkan saya, Mbak. Saya benar-benar tidak tahu.

Sekarang pun saya akan pergi," Diah bergegas bangkit.- 233
"Sebaiknya tunggu mas Handrian pulang. Kita bisa

berbicara baik-baik."

"Tidak perlu, Mbak. Nanti malah akan menambah

percekcokan."

Diah masuk ke kamar. Lusi duduk termenung seorang

diri di kursi tamu. Apa yang akan terjadi dia pasrah diri.

Karena sudah dapat dibayangkan, Handrian bakal marah.

Diah muncul lagi sambil menjinjing koper. Lusi

memandang perempuan itu dengan perasaan haru.

"Bila nanti mas Handrian pulang, jangan katakan

mbak sudah bertemu saya. Saya tidak menghendaki rumah

tangga mbak berantakan," kata Diah sambil mengusap air

matanya.

Lusi bangkit dan memegang kedua bahu perempuan

itu. Dia jadi ikut menangis. Tidak tega melihat kepergian

perempuan itu.

"Kau mau pergi ke mana?"

"Pulang ke kampung,"

"Tunggu sebentar," Lusi membuka tasnya dan

memberi setumpuk uang puluhan ribu rupiah.

"Maaf, Mbak. Saya tidak bisa menerima uang itu."

Diah lalu melangkah pergi sambil membawa

kopernya. Lusi cuma dapat memandangi kepergian

perempuan itu dengan hati sedih. Setelah perempuan itu- 234
lenyap dari pandangannya, dia meletakkan tubuhnya yang

kian letih di kursi. Dia menangis sepuas-puasnya di situ.

Tak lama kemudian Handrian yang mengendarai

mobilnya memasuki halaman. Dia termangu melihat mobil

Lusi ada di situ. Buru-buru Handrian melompat turun dan

berlari ke rumah. Perasaannya jadi tidak menentu. Pasti

telah terjadi sesuatu di rumahnya.

Handrian masuk. Di ruang tamu berhenti karena

melihat seorang perempuan tertunduk menyembunyikan

muka sambil menangis.

"Hay, kenapa menangis?" sapa Handrian yang

disangkanya Diah.

Tapi Lusi menoleh dan memandang Handrian.

Handrian terperangah menatap perempuan itu tajam.

"Mau apa kau ke mari?!" tegur Handrian sinis.

"Mencarimu, Mas," suara Lusi memelas.

Handrian tidak memperdulikan ucapan perempuan

itu. Dia langsung masuk ke kamar dan mencari Diah. Tapi

yang dilihatnya lemari pakaian sudah terbuka. Isinya

kosong. Diah pasti sudah pergi. Lantas Handrian kembali

menemui Lusi. Perempuan itu masih menangis.

"Telah kau sakiti hati Diah dan kau usir dari rumah

ini?!" tanya Handrian sengit.

Lusi menggelengkan kepala.- 235
"Lantas kalau tidak kenapa dia pergi?"

"Dia pergi atas kemauannya sendiri."

"Bohong!"

"Mas..." suara Lusi memelas sambil menatap

suaminya dengan bersimbah air mata. "Maafkanlah Lusi,

Mas."

Handrian menjatuhkan diri di kursi. Kesal bercampur

jengkel.

"Lusi telah menyadari semua kesalahan. Lusi

menyesal sekali," kata Lusi sambil mendekati suaminya.

Lalu dia menangis di pangkuan laki-laki itu.

Handrian tak perduli istrinya menangis dalam

pangkuannya.

"Lupakanlah semuanya yang telah terjadi. Lusi

berjanji ingin menjadi seorang istri yang baik. Yang setia

kepadamu. Sudah letih rasanya Lusi mencari mas Han.

Sekarang Lusi mohon memberi maaf dan pengampunan

kepada Lusi. Mari kita kembali membangun hidup rumah

tangga yang tentram dan bahagia, Mas. Jangan tinggalkan

Lusi lagi," tangis Lusi makin menyayat hati laki-laki itu.

"Aku malu pada diriku sendiri," gumam Handrian.

"Lupakan hal itu Mas. Lusi sangat mencintaimu. Lusi

tidak akan menyia-nyiakan hidup mas Han lagi."- 236
Wajah Handrian perlahan-lahan tertunduk

memandang istrinya. Rasa iba menyentuh dinding hatinya.

Dan jari tangannya membelai rambut perempuan itu.

"Lusi, aku pun sudah letih mencari di mana letak

kebahagiaan, namun tak jua kutemukan. Semua tempat

sudah kujelajahi sampai ke tempat pelacuran sekalipun."

"Makanya kita kembali ke Jakarta, Mas. Lusi rela

hidup dimadu dengan Rosalina. Semuanya itu asalkan mas

Han dapat hidup bahagia."

"Rosalina? Bagaimana nasibnya sekarang?"

"Dia dalam keadaan kritis mau melahirkan anaknya."

"Kalau begitu dia ada di rumah sakit?"

"Ya. Kasian dia, Mas. Mari kita kembali ke Jakarta."

"Sekarang juga kita berangkat."

***- 237
Di kamar bersalin Rosalina masih menggeliat-geliat

menahan rasa sakit di perutnya. Seorang dokter dan dua

orang suster cukup kewalahan juga menolong Rosalina yang

hendak melahirkan. Bila sudah mendekati saatnya bayi itu

akan lahir, tiba-tiba tekanan perutnya mengendur lagi Bayi

itu jadi tertunda lahirnya. Terpaksa dokter menyuntik

Rosalina supaya mengurangi rasa sakit dan bisa istirahat.

Dokter itu keluar dari kamar bersalin. Ternyata

seluruh keluarga Handrian dan keluarga Lusi sudah sejak

tadi menunggu kabar gembira. Tapi dokter yang menolong

Rosalina cuma mengeluh sambil menggelengkan kepala.

Paman dan bibi Rosalina semakin cemas.

"Agaknya ada sesuatu yang ditunggu oleh bayi itu,"

ujar dokter sambil senyum-senyum.

"Kira-kira apa yang ditunggu, dokter?" tanya

Darusman.

"Barangkali ayahnya."

Semua yang menanti kelahiran bayi itu diam

termenung. Sebab masing-masing tahu masalah yang

sebenarnya. Kecemasan mereka semakin bertambah. Satu di

antara yang diharapkan oleh mereka belum juga datang.

Siapa lagi kalau bukan Handrian atau Gunawan.

Beberapa saat kemudian nampak Handrian bersama

Lusi berlari-lari di koridor rumah sakit itu. Dua orang

perawat sudah ditabraknya. Belum lagi pasien yang berjalan- 238
di koridor itu. Membuat keadaan rumah sakit jadi agak

kacau. Tak jarang mereka mengumpat kedua orang itu.

"Di mana kamar bersalinnya, Lusi," tanya Handrian

sembari lari.

"Di ujung lorong ini," sahut Lusi yang terengah
engah kecapaian.

"Itu mereka sedang menunggu!"

Orang-orang yang sedang menunggu Rosalina

menoleh ke arah Handrian dan Lusi. Kegembiraan terpancar

dari wajah-wajah mereka.

"Bagaimana, apakah bayinya sudah lahir? Laki-laki

atau perempuan?" tanya Handrian tak sabar lagi.

"Belum. Cepat kau masuk barangkali bayi itu bisa

cepat lahir," perintah ayahnya.

Handrian dan Lusi buru-buru masuk ke kamar

bersalin. Tapi seorang suster mencegahnya.

"Eiit tunggu, siapakah anda berdua?"

"Saya suaminya. Dan dia adik Rosalina. Izinkan kami

masuk suster," kata Handrian setengah memaksa. Akhirnya

mereka diizinkan masuk.

Handrian dan Lusi mendekati Rosalina yang terbaring

di atas tempat tidur. Keduanya sangat terharu sekali. Dan

Handrian memegang jari tangan Rosalina lembut.- 239
"Lina," suara Handrian lembut

Mata Rosalina yang terpejam terbuka pelan-pelan.

Kemudian ditatapnya Handrian dengan bersimbah air mata.

Lalu beralih kepada Lusi
Batas Perjalanan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mas Han... Lusi..." panggilnya lemah.

"Tabahkan hatimu. Perjuangkan sampai anak kita

lahir, sayang."

Rosalina mengangguk.

Dokter masuk kamar itu. Rosalina merintih sambil

memegangi perutnya yang mulai kejang lagi. Dokter segera

memeriksanya lagi

"Suster, nampaknya sudah tiba saatnya," ujar dokter

itu.

Dua orang suster itu mengenakan sarung tangan.

Rosalina merintih panjang.

"Lina, kuatkan hatimu. Berusahalah... berusahalah!"

Handrian memberikan semangat.

Keringat membasahi wajah Rosalina. Perempuan itu

menarik napas panjang sambil menggelinjang-gelinjang.

Handrian dan Lusi yang menyaksikan tak sampai hati

Hingga mereka saling berpelukan. Dan suara tangisan bayi

melengking. Handrian dan Lusi menitikkan air matanya.

Haru dan bahagia.- 240
"Bayinya laki-laki," kata seorang suster yang terus

memandikan bayi itu.

Rosalina yang lapat-lapat mendengar ucapan suster

itu tersenyum. Lantas perempuan itu tertidur pulas karena

kecapaian. Handrian dan Lusi dengan perasaan lega keluar

dari kamar bersalin itu.

***

Pagi itu sangat cerah. Secerah wajah Handrian yang

baru turun dari mobil bersama Lusi. Kendati hampir

semalaman mereka tak dapat tidur menunggu di rumah sakit

sampai dini hari Mereka cuma pulang ke rumah sebentar

kemudian kembali ke rumah sakit.

Sebelum menjenguk Rosalina di kamar pasien,

terlebih dulu mereka menjenguk bayinya. Di ruang kaca

mereka hanya bisa melihat bayi itu di atas box. Mungil dan

lucu sekali. Handrian dan Lusi saling bertukar senyum.

"Kita jenguk Rosalina," ajak Handrian.

Lusi menuruti. Dia menggandeng tangan Handrian

erat sekali. Di kamar pasien, Rosalina masih berbaring

lemah. Handrian mencium kening perempuan itu, lalu

menyusul Lusi melakukan hal yang sama.

"Kau baik-baik saja, bukan?" tanya Handrian.- 241
Rosalina mengangguk lemah. Silih berganti

memandang Handrian dan Lusi.

"Selama ini kau pergi ke mana saja?"

"Kerja di proyek."

"Tidak berbohong?"

Handrian menggeleng sembari tersenyum.

"Kasian Lusi mencari-carimu ke mana saja."

"Ah, sudahlah. Kau sudah melihat anak kita?"

"Sudah."

Detak-detak sepatu memasuki kamar itu.

Perhatian mereka segera beralih ke pintu. Ternyata

yang datang adalah Gunawan bersama kedua orang tuanya.

Sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Dan hampir-hampir

Rosalina tidak percaya dengan penglihatannya. Gunawan

yang melangkah mendekat itu seperti Gunawan yang dulu.

Gunawan yang keadaannya masih normal. Tanpa memakai

tongkat ataupun kursi roda.

"Mas Gun...?" suara Rosalina tertahan.

Gunawan mengangguk memberi salam kepada

Handrian dan Lusi. Lalu dia mencium kening istrinya.

Rosalina langsung memeluk erat laki-laki yang selama ini

dirindukannya.- 242
"Mas Gun... apakah Lina tidak bermimpi?" suara

Rosalina yang haru dan bahagia.

"Tidak, sayang. Kini kesehatanku telah pulih

kembali."

"Kenapa kau pergi tanpa meninggalkan pesan?"

"Itu memang kusengaja. Aku sekarang sudah diterima

kembali oleh kedua orang tuaku. Merekalah yang mengobat
kan aku ke luar negeri sampai pulih."

Rosalina melepaskan pelukannya dan menga lihkan

perhatian ke arah orang tua Gunawan. Lantas ayah dan ibu

Gunawan mencium keningnya. Sungguh pertemuan yang

mengharukan. Handrian perlahan-lahan menarik tangan

Lusi dan diajaknya meninggalkan kamar itu.

"Papa dan mama mulai detik ini telah menganggapmu

menantu yang baik. Setelah kesehatanmu pulih, kembalilah

berkumpul bersama kami."

"Terima kasih, Mama."

"Kau dengar sendiri bukan, sayang?" kata Gunawan

dengan gembira.

Rosalina mengangguk. Pandangannya mencari

Handrian dan Lusi. Ternyata mereka sudah pergi Dan kedua

orang tua Gunawan keluar dari kamar untuk memberikan

kesempatan anaknya berbincang-bincang dengan istrinya.

"Kau sudah sembuh betul, Mas?"- 243
"Berkat kemajuan medis aku bisa kembali normal.

Tapi..."

'Tapi kenapa?"

Gunawan berat untuk mengatakannya.

"Katakan, Mas kenapa?"

"Aku bisa normal sebagaimana laki-laki lainnya. Tapi

aku tak bisa memberikan keturunan untukmu," kata

Gunawan agak kecewa.

"Itu tak jadi soal. Kita kan sudah punya keturunan."

"Tapi itu darah dagingnya Handrian," kata Gunawan

lirih. Takut didengar orang tuanya.

"Kau mau menganggap dia anak kandungmu sendiri

bukan?"

Gunawan terdiam.

"Kelak dia akan menjadi harapan kita satu-satunya di

hari tua, Mas. Kau ikhlas bukan? Kau mau mengakuinya

sebagai anak kandung kita?"

Gunawan mencium kening Rosalina.

"Aku menyadari kekuranganku. Anak itu akan

kuanggap anak kandungku sendiri"

Rosalina menghela napas lega.- 244
Sementara itu Handrian yang baru saja tiba di rumah

menghenyakkan pantat di kursi. Lusi duduk di sampingnya.

Keduanya masih saling membisu.

"Semuanya harus berakhir begini," keluh Handrian.

"Apa maksud mas Han?"

"Rosalina memang tidak bisa dipisahkan dari

suaminya."

"Lusi pun demikian."

Handrian menatap istrinya. Binar-binar di mata

perempuan itu menunjukkan cinta pada kesetiaan.

"Lusi tak bisa dipisahkan lagi dengan mas Han. Lusi

ingin jadi seorang istri seperti Rosalina," ujar Lusi sambil

meremas jari tangan Handrian.

"Lalu soal janji dan sumpahku masih perlu di uji

lagi?"

"Janji dan sumpah itu sudah tidak berlaku mulai

sekarang."

"Sungguh?"

"Justru sekarang Lusi yang berjanji dan bersumpah

akan dapat mengetahui kemauan suami sebelum dikatakan

dan dapat memberi sebelum dimintanya."

Handrian memeluk istrinya erat-erat. Di dalam

hatinya pun berjanji ingin jadi seorang suami yang baik.- 245
"Tak tahukah kau, Mas. Sejak kau pergi hatiku

kesepian sekali. Selama itu kerinduanku semakin

menyiksa."

"Dan ternyata kita saling mencintai, sayang."

Tubuh perempuan itu langsung dibopongnya masuk

ke dalam kamar. Lalu dibaringkan oleh Handrian di atas

tempat tidur. Lusi tidak menolak apa pun yang dilakukan

suaminya. Sebab sejak suaminya pergi dia pun rindu akan

belaian kasih sayang dan kehangatan. Ternyata kebahagiaan

yang selama ini dicari ada dalam hati sendiri. Lusi pasrah.

Impian yang indah itu kini dirasakan berulangkah. Dan janji

serta sumpah yang dulu, memang sudah tidak berlaku lagi.

Sebab mereka sudah sehati.

SELESAI

Fredy Siswanto 1101984.- 246
PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-buku

novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari

kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file

digital.

File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang

kemudian di kompilasi menjadi file PDF.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari

karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini telah mengalami perombakan yang dirasa perlu

karena terdapat kejanggalan dalam ceritanya.

CREDIT untuk :

? Awie Dermawan, sang pemilik buku aslinya.

? Grup Kolektor E-Books, tempat share ebook ini.

D.A.S




Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Perempuan Suci Holy Woman Karya Qaisra

Cari Blog Ini