Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto Bagian 1
- 1 -- 2
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3
FREDY
SISWANTO
Hati Kecil
Penuh Janji
PENERBIT
" SETIAWAN "
JAKARTA- 4
Episode2
dari
SELAPUT PAGAR AYU- 5
HATI KECIL PENUH JANJI
Sebuah novel karya Fredy Siswanto
Diterbitkan pertama kali oleh:
Penerbit Gultom - Jakarta
Cetakan kedua 1987
Lukisan cover oleh Fan Sardy
Dilarang mengutip tanpa seizin penulis
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
ALL RIGHTS RESERVED
Apabila ada nama dan tempat kejadian, atau pun cerita
yang sama, cerita ini hanyalah khanyalan.- 6
Angin sore meniup semilir. Menggoyang-goyangkan
bunga mawar putih yang tumbuh di taman. Bunga yang
mekar dan menyebarkan harumnya. Winda merasa tertarik,
manakala melintasi halaman itu. Halaman rumah mewah
yang mempunyai taman dan kolam ikan. Dia menghampiri
bunga itu, berniat ingin memetiknya. Tapi selagi ia hendak
memetiknya, ada suara:
"Jangan dipetik mawar itu!"
Gadis itu membatalkan niatnya untuk memetik bunga
itu. Lalu ia menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata
Handrian yang baru mengayunkan langkahnya. Langkah
yang letih. Letih sehabis pulang kantor. Winda melempar
senyum dan menghampiri pria itu. Ia bagai dipacu untuk- 7
memburu pria itu. Takut kalau pria itu berpindah cinta pada
gadis lain. Dimiliki gadis lain.
"Kenapa aku tak boleh memetik bunga itu?" tanya
Winda. Sikapnya yang manja selalu menonjol. Dan minta
agnr pria itu juga memanjakannya. Tapi Handrian
menanggapinya dengan dingin. Winda terus membarengi
langkah Handrian memasuki ruang tamu. Pantatnya
bergoyang-goyang seperti bandul jam. Dulu pantat itu
sering dielus-elus oleh Handrian. Diremas-remas. Tapi
bukan lantaran cinta pada gadis itu, melainkan bagai
pemburu yang meramahi anak rusa. Sebab selama ini pria
itu cuma jadi pemburu gadis-gadis. Belum pernah serius
bercinta. Dan belum pernah jatuh cinta setulus hati. Namun
sejak ia menjalin hubungan dengan Rosalina, barangkali
itulah cinta, ia telah bertekuk lutut terhadap perempuan itu.
"Jangan merusak keindahan," sahut Handrian.
"Sekalipun akan kupersuntingkan untukmu?"
"Ya. Karena setelah dipetik akan layu."
Winda mendesah, la melirik pria yang berjalan di
sisinya. Pria yang dicintai itu, kini sikapnya nampak
berubah. Berubah dingin. Tidak seperti dulu. Selalu
tersenyum romantis. Merengkuh pundaknya untuk berjalan
bersama. Atau setiap ketemu pasti mencium keningnya.
Mesra sekali. Dan Winda mendesah lagi ketika memasuki
ruang tengah yang mewah.- 8
Di ruang tengah itu, Hendra dan Lila sedang duduk
santai. Mereka cuma melirik anaknya yang diikuti Winda.
Lalu Hendra tersenyum pada istrinya.
"Ada apa kok senyum-senyum, Pa?" tegur istrinya.
"Anakmu yang selalu dikejar-kejar gadis, nampaknya
masih jual mahal juga, Ma." Hendra terkekeh. Bangga dia.
"Lagaknya persis Papanya."
"Itu kan dulu. Buktinya Papa sangat cinta sama Mama
toooh?"
"Lagu lama ah! Sudah tua belajar merayu lagi ya?"
Hendra tertawa. Suara tawa itu mengundang Rini
yang baru keluar dari kamarnya. Gadis itu menghampiri
ayahnya.
"Ada apa nih, Ma. Kok gembira sekali nampaknya?"
tanya Rini.
"Papamu jadi anak muda lagi," sahut Lila ngeledek
suaminya.
"Papa pacaran lagi?"
"Macam-macam saja kamu," tukas Hendra. Rini
tertawa.
"Winda sudah pulang, Ma?"
"Ada di kamar sama Kakakmu."- 9
Rini mengulum bibir sembari senyum-senyum.
Mereka pasti sedang asyik pacaran. Wah, seandainya Winda
datangnya sama Ronny, pasti ada dua pasang remaja yang
berbahagia di rumah ini. Kemana dia? Sudah seminggu
tidak muncul, pikir Rini.
Tapi apa yang dibayangkan Rini, ternyata lain
kenyataannya. Winda nampak berlari ke luar dari kamar
Handrian. Wajahnya cemberut. Kesal, la terus melintasi
ruang tengah. Mohon diri pada orang tua Handrian, lalu
meninggalkan rumah itu. Rini nampak bingung memburu
langkah Winda.
"Winda, tunggu!" teriak Rini. Hendra dan Lila
termangu heran melihat tingkah laku Winda.
'"Ada apa dengan Winda?" gumam Lila.
"Mana aku tahu? Tanyakan saja pada anakmu."
Lila bergegas menuju ke kamar Handrian. Sedang
Hendra menarik napas berat sambil menggeleng-gelengkan
kepala heran.
Di dalam kamar, Handrian duduk santai di kursi.
Membaca koran edisi sore. Seolah-olah tidak pernah terjadi
apa-apa antara ia dengan Winda. Dan dia menoleh,
memperhatikan kehadiran ibunya.
"Apa yang telah kau lakukan terhadap Winda?" tegur
Lila.- 10
"Ia tersinggung karena aku tak bisa menuruti
permintaannya," kata Handrian santai-santai saja.
"Apa permintaannya?"
"Mengajak pergi ke disco. Padahal sudah kujelaskan,
bahwa malam ini aku ada janji dengan seorang pengusaha.
Rupanya ia tidak mau mengerti. Marah dan tersinggung."
"Barangkali cara penyampaianmu terlampau kasar,
Han?"
"Aku rasa tidak, Ma. Penyampaianku cukup wajar.
Seperti kakak terhadap adiknya. Dan aku rasa dia bukan
calon istriku yang baik. Ia perempuan yang kurang
pengertian," kata Handrian sembari mendesah.
"Kau yang tidak bisa menimbang rasa. Kau telah
menyakiti perasaannya," ketus Rini yang sudah berdiri di
kusen pintu kamar.
Handrian terbelalak menatap kemunculan adiknya
yang ikut campur.
"Jangan ikut campur! Lebih baik kau urusi dirimu
sendiri," balas Handrian.
"Dan memangnya dirimu sudah benar? Mentang
mentang koleksimu cewek segudang, lalu seenaknya saja
menyakiti Winda. Ingat dong, waktu mulanya mau pacaran
sama Winda. Setiap hari tak ketemu Winda kayak orang
kesurupan. Tapi setelah puas pacaran disakiti!"- 11
"Sudah, sudah. Kalian mesti bertengkar kalau
kumpul," sergah Lila bingung. Dihampirinya Rini.
"Soalnya ia selalu berpihak pada Winda."
"Habis kamu suka mempermainkan cewek-cewek."
Lila merangkul pundak Rini dan mengajak pergi dari
situ. Sedang Handrian duduk termenung di kamarnya. Kata
kata Rini masih terus terngiang di telinganya.
Kau suka mempermainkan cewek-cewek!
Dan kau telah memperkosa seorang gadis!
Gadis yang telah kau perkosa itu namanya Rosalina!
Handrian tersentak.
Dilempar koran yang masih dipegangnya ke meja.
Lalu memijit-mijit kening dengan jari tangannya. Kepalanya
mendadak dirasa jadi pening.
Rosalina. Ya, Rosalina. Betapa buruk kelakuanku
telah memerkosanya. Sudah sepantasnya kalau ia menilaiku
seburuk sampah. Sekotor sampah. Tak mau dipersunting.
Tentu ia beranggapan, untuk apa jadi istri seorang
pemerkosa. Perbuatan terkutuk itu pasti telah sering
dilakukan. Dan beberapa banyak gadis yang jadi korbannya?
Handrian mendesah. Cuma denganmu, Rosalina. Cuma
denganmu, aku melakukannya. Dengan gadis lainnya
berdasarkan suka-sama-suka. Bukan perbuatan
memperkosa.- 12
Handrian membanting diri ke atas tempat tidur, ia
merenungi sifat Rosalina. Merenung sambil menatap langit
langit kamar. Kenapa kau menolak rasa tanggung jawabku,
Lina. Apa lantaran perbuatanku yang terkutuk itu? Tapi aku
bersungguh-sungguh ingin mempersuntingmu. Cintaku
tulus dan suci padamu. Cinta yang belum pernah kurasakan
pada gadis-gadis lain. Namun kau terlalu aneh. Aneh,
lantaran menolak rasa tanggung jawabku. Tak ingin
menyangkut-pautkan soal pernikahan. Lebih suka menjadi
teman yang setia. Aku sama sekali heran. Apa sebenarnya
yang terjadi di balik kenyataan hidupmu. Aku tidak akan
menyerah, Lin. Tidak akan menyerah, sebelum tahu siapa
kau sebenarnya.
***- 13
Rosalina mengambil air panas untuk mandi suaminya.
Sore itu ia nampak letih sekali. Tubuhnya dirasa kurang
sehat, dan rasa nyeri di pangkal pahanya masih terasa.
Sementara ia ingin melepaskan diri dari libatan perasaan
yang tak karuan. Suatu perasaan yang belum pernah dialami.
Bahagia. Berkesan. Tapi menyiksa.
Dan dia sebenarnya gembira meskipun letih.
Kegembiraan itu pun belum pernah dialami semenjak
menikah dengan Gunawan. Semua itu karena Handrian. Pria
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itulah yang membuat keadaan dirinya jadi berubah. Tapi di
balik rasa gembira itu ada pula rasa berdosa. Dosa, bahwa ia
telah mengkhianati suaminya. Dan perasaan dosa makin
mencekam, manakala ia memandikan suaminya.
"Wajahmu nampak pucat. Kausakit, Lina?" tanya
Gunawan.
Tergagap Rosalina. la membuang pandangan dari
tatapan mata suaminya.
"Tidak, Mas. Mungkin terlalu letih," sahutnya.
"Nah, apa kataku? Kau jangan sering pulang malam.
Kalau kau jatuh sakit malah jadi repot. Ada baiknya kau
minta cuti barang beberapa hari untuk istirahat di rumah.
Atau mencari selingan hiburan agar bisa mengurangi
kejenuhanmu."
Terenyuh perasaan Rosalina. Ucapan suaminya bagai
mengupas perbuatannya selama ini di luar rumah, ia ingat- 14
akan noda yang melekat pada dirinya, ia telah meneguk
kenikmatan yang terlarang. Kenikmatan yang belum pernah
dirasakan semenjak jadi istri Gunawan.
"Ah, itu soal gampang. Yang penting Mas Gun sehat
sehat saja," kata Rosalina dengan perasaan pedih.
Telapak tangan Gunawan membelai rambut Rosalina.
Rosalina meresapi belaian suaminya sambil membasahi
handuk ke dalam ember. Lalu mengusapkan ke dada
Gunawan.
"Kau memang istri yang setia dan tabah."
Rosalina tak berucap. Cuma helaan napas sesak di
dada. Dan dengan telaten sekali membasuhi tubuh Gunawan
dari kepala sampai kakinya. Lantas kaki yang lumpuh itu
dikompres sembari dipijit-pijit.
"Mungkinkah kesetiaanmu tak akan berubah sampai
akhir hayatku?" suara Gunawan serak parau. Wajahnya
kelihatan sedih.
Rosalina tersentak. Aneh pertanyaan suaminya itu.
Atau barangkali ia telah mendapat firasat buruk? Firasat
Rosalina telah mengkhianatnya?
"Kenapa kau bertanya begitu, Mas?" suara Rosalina
bergetar. Ada perasaan resah. Gelisah. Dan cemas.
"Aku seorang suami yang tak ada artinya lagi buat
kau. Kadang-kadang aku berpikir, hidupku cuma sebagai
parasit. Menambah beban penderitaanmu saja."- 15
Rosalina memandang wajah suaminya. Di mata telaki
itu tergenang butiran air. Sedih dan murung. Membuat
Rosalina jadi terharu.
"Mas Gun tidak seharusnya berkata begitu.
Percayalah, aku akan tetap setiap padamu." Rosalina
tertunduk sedih. Sebab hatinya pedih.
Gunawan berusaha tersenyum. Berusaha jangan
sampai menambah beban pikiran istrinya. Lalu ia memakai
kemejanya. Dan Rosalina membantunya memakaikan
celana. Baru setelah itu ia menyisiri rambut suaminya.
"Sebaiknya kau istirahat dulu di kamar, Lina. Aku
masih ingin duduk sendiri di sini," kata Gunawan sembari
menggelindingkan kursi rodanya ke dekat meja. Diambilnya
koran edisi sore yang tadi dibawa Rosalina.
Rosalina memandang suaminya sejenak, lalu
meninggalkannya dan masuk ke dalam kamar, la tidak
berbaring di atas tempat tidur, melainkan berdiri melamun
di jendela kamarnya. Dengan dagu bertumpu di tangan, ia
memandangi warna langit yang kelam kemerahan. Dan
merenungi keadaan dirinya yang telah meneguk kenikmatan
yang terlarang.
Dosa! Perbuatan yang dialami adalah dosa. Tetapi ia
adalah perempuan biasa yang dikarunia Tuhan dengan tiada
celanya. Seorang perempuan yang membutuhkan nafkah
batin, la mempunyai cita rasa dan bukan boneka cantik
sekadar buat hiasan rumah, la juga membutuhkan dimanja- 16
dan disanjung. Yang mana kesemuanya itu adalah
kebutuhan jiwanya. Namun hal itu tidak dapat dipinta dari
suaminya. Bahkan sebaliknya. Gunawan membutuhkan
perawatan. Pelayanan. Maka jiwanya jadi semakin kering
dilanda keletihan dan kejenuhan. Dan Gunawan tidak dapat
memberikan kenikmatan nafkah batinnya.
Rosalina tidak tahu jawabannya, ia mengeluh.
Keluhan seorang perempuan yang kesepian, ia ingin tetap
setia pada suaminya, namun jiwanya yang menjerit dan
kering, membutuhkan tetesan air sorga dunia. Itulah
kenikmatan batin. Kendati ia tahu noda yang melekat dalam
dirinya adalah dosa.
"Tuhan, ampunilah salah dan dosaku. Aku telah
mendustai cinta dan kasih sayang suamiku."
Dan bertepatan waktu yang sama, di dalam sebuah
kamar seorang pemuda juga merenung. Itulah Handrian. la
berbaring di atas tempat tidur sambil memandangi langit
langit kamarnya. Dan di langit-langit kamar itu bagai
bermunculan wajah Rosalina. Wajah yang cantik, tapi
berganti-ganti ekspresi. Yang tersenyum, yang sedih, yang
murung, yang sendu dan yang mempesona. Semuanya itu
bagai terpateri di hatinya. Sukar untuk dibuang dari ingatan
dalam keadaan apa pun juga.
"Rosalina, mendustai cinta dan kasih sayang adalah
siksaan batin. Aku tahu dari sorot matamu. Sayang! Kau dan
aku telah saling jatuh cinta.- 17
Maka aku tak akan mau menyerah, sebelum
membongkar misteri hidupmu," gumam Handrian antusias.
***- 18
"Lagi-lagi dia! Lagi-lagi dia!" gerutu Rosalina dalam
hati. "Pagi-pagi sudah menunggu di halte. Apa barangkali
aku telah berkenalan dengan orang sinting," pikir Rosalina
yang baru saja turun dari bis kota. Ia terus mengayunkan
langkah mendekati Handrian yang dengan senyum-senyum
menyambutnya.
"Tidak ada kesibukan? Pagi-pagi sudah ada di sini,"
tegur Rosalina.
"Jelas ada. Aku sibuk ingin bertemu kamu," sahut
Handrian sambil memegang lengan Rosalina. Menahan agar
Rosalina berhenti melangkah.
"Mau apa lagi?" tanya Rosalina. Kedua alisnya
mengkerut dan matanya menatap Handrian sayu.
Langkahnya terhenti. Rosalina dan Handrian saling
bertatapan mesra.
"Kau tidak usah masuk kerja."
"Ah!" keluh Rosalina dengan kepala menggeleng.
"Ada yang ingin kubicarakan dengan kau. Dan kau
tak usah takut dipecat dari pekerjaanmu. Kau bisa pindah
kerja di perusahaanku. Aku bertanggung jawab. Percaya
lah," desak Handrian berusaha meyakinkan Rosalina.
"Tapi... " ucapan Rosalina ragu-ragu.
"Lina, telah kupertimbangkan dengan masak, bahwa
kau harus keluar dari pekerjaanmu. Hatiku tak mengijinkan- 19
kau bekerja di salon. Aku bisa bantu kau mencari pekerjaan
yang lebih baik."
Rosalina memandang bola mata Handrian. Mencoba
meneliti kejujuran ucapan pria itu. Dan Rosalina melihat
pancaran yang tulus. Jujur.
Handrian menarik lengan Rosalina. Rosalina
akhirnya menuruti kemauan pria itu. Selalu saja ia tak
berdaya menolak ajakan Handrian. Dan ke mana ia dibawa
pergi oleh Handrian cuma pasrah. Pria itu telah mampu
menggoyahkan ketabahan hatinya. Mampu memberikan apa
yang tidak mampu diberikan oleh suaminya. Jiwanya yang
menjerit dan kering, bagai dibelai oleh kesejukan.
Perbukitan itu banyak ditumbuhi pohon cemara.
Panorama di alam sekitarnya sangat indah. Pohon-pohon
nyiur yang melambai-lambai di pinggiran pantai seolah-olah
menyanyi ditiup angin. Handrian membawa Rosalina ke
tempat itu. Tempat rekreasi yang indah dan di sana-sini
berdiri villa kecil. Mereka menyusuri bukit kecil yang
ditumbuhi rerumputan hijau. Tumbuh subur bagai
permadani alam.
"Kenapa diam saja, Sayang?" tanya Handrian yang
merangkul pundak Rosalina. Memandang leher Rosalina
yang mengintai di sela-sela rambutnya. Rambut yang terurai
ditiup angin laut.
"Aaaah, tidak apa-apa," desahnya bingung.- 20
"Kau kelihatan gelisah dan bingung."
Rosalina mengalihkan pandangan dari tatapan wajah
Handrian ke bukit yang hijau. Lantas ia menghentikan
langkahnya dan bersandar di bawah pohon cemara.
Wajahnya tertunduk dalam kesayuan. Sementara Handrian
menatap wajah pujaan hatinya dalam-dalam.
"Apa yang tengah kau pikirkan. Sayang?" suara
Handrian mesra.
"Aku tak mengerti, kenapa setiap kau mengajakku
pergi, aku tak kuasa untuk menolaknya?"
"Karena dari sorot matamu aku tahu. Kau takkan
mampu mendustai hati kecilmu. Kau telah mencintaiku.
Cuma kau tak mau menampakkan kepolosanmu. Ya kan?"
Elahan napas Rosalina dalam kegelisahan. Handrian
membelai rambut Rosalina penuh kasih sayang. Didekapnya
tubuh itu erat. Tubuh yang pernah direnggut kesuciannya.
"Lina, aku ingin memperkenalkan kaupada orang
tuaku."
Rosalina tersentak. Perasaannya jadi dilibat
keresahan. Juga rasa takut. Dan tiba-tiba ia meremas kemeja
Handrian. Membenamkan wajahnya ke dada pria itu.
"Tidak! Jangan, Han! Percuma saja karena tak ada
gunanya. Dan aku tidak mengharapkan perkenalan itu,"
desah Rosalina dalam ketakutannya.- 21
Perasaan kesal. Jengkel. Itulah yang menguasai di
dalam dada Handrian. Maka emosinya melonjak.
Dipegangnya kedua bahu Rosalina dan digoncang
goncangkannya dengan kasar.
"Sekarang katakan apa yang harus aku lakukan?!
Apaaaa?!" bentak Handrian. Kedua matanya menatap tajam
bagai elang.
Rosalina menangis terisak-isak. Ia tak tahu apa yang
mesti dikatakan. Kenyataan telah melibatkan dirinya pada
kancah cinta, ia mencintai Handrian dengan segenap
jiwanya. Sekalipun perasaan itu disimpannya dengan rapi di
dalam hati. Tak ingin diperlihatkan pada pria itu. Dan apa
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diperoleh dari pria itu, kebahagiaan, belaian kasih
sayang, cinta dan kenikmatan, tak ingin kehilangan
semuanya itu. Sudah pasti Handrian akan meninggalkannya.
Itu sudah pasti, seandainya ia katakan keadaan dirinya.
Bahkan Handrian akan menilainya sebagai seorang
perempuan nista. Biar bagaimanapun kenyataan hidupku
memang begini. Biarkan pula Handrian tetap di sisiku. Aku
tak ingin merusak segalanya ini.
Handrian mencampakkan Rosalina ke samping.
Tubuh Rosalina membentur batang pohon cemara. Lalu ia
menyandarkan kepalanya di batang pohon itu sambil
menangis terisak-isak.
"Kautelati memperdaya cinta dan kasih sayangku!
Kau telah menyia-nyiakan rasa tanggung jawabku. Padahal- 22
demi Tuhan, aku berniat tulus ingin memperistri kau," kata
Handrian sangat kecewa.
"Aku tak bisa menuruti keinginan hatimu Bukan
karena dirimu, tapi karena diriku. Diriku. Barangkali suatu
waktu kita harus memutuskan segalanya ini. Sebab yang kau
kehendaki adalah pernikahan. Bukan sekadar teman setia,"
suara Rosalina tersendat-sendat di sela tangisnya.
Handrian termangu dengan jidat berkerut. Ditatapnya
Rosalina dengan mata yang blingsatan namun terpancar
keresahan.
"Teman setia bukan wujud akhir dari hubungan kita.
Karena di hatiku dan di hatimu tertanam benih cinta. Kau
tidak perlu berlari dari kenyataan, sebab itu akan menyiksa
dirimu sendiri."
"Biarkan begitu."
"Kau memang gadis satu-satunya yang kukenal
memiliki sifat aneh. Pendirianmu begitu keras! Kau tidak
bisa merasakan apa yang kurasakan. Atau barangkali kau
dendam karena aku telah memerkosamu? Lantas kau tidak
mau menikah denganku?"
Isak tangis Rosalina makin berkepanjangan. Perasaan
bersalah mulai hinggap dalam dirinya. Bersalah karena
memberikan harapan cinta pada pria itu. Dan dirinya telah
mencintai pria itu. Sehingga tuntunan kenyataan bagai- 23
mengimpitnya. Meninggalkan Handrian, dia tak mampu.
Menuruti kemauan pria itu suatu hal yang tak mungkin.
"Lina, coba katakan apa yang harus aku perbuat.
Menyembahmu seribu kali? Kalau itu permintaanmu, tetap
akan kulakukan. Barangkali itu bisa meluluhkan hatimu.
Kau mau mengampuni perbuatanku yang terkutuk itu," ujar
Handrian seperti menghadapi seorang Ratu.
"Ak... aku mempunyai... problem pribadi," kata
Rosalina dengan suara berat.
Handrian memandang Rosalina, lalu memegangi
kedua bahunya yang bergerak-gerak karena menahan tangis.
Lembut sekali jari tangan Handrian memegangnya.
Sekalipun wajah Handrian nampak menyimpan emosi.
"Katakanlah apa problemmu itu. Kita bisa pecahkan
bersama secara baik. Segala apa yang kau rasakan aku pun
bersedia turut merasakannya. Kalau kau menderita ajaklah
aku turut bersamamu. Karena hidupku sepenuhnya telah
kucurahkan padamu. Katakanlah, Lina," suara Handrian
lembut sekali.
Bola mata Rosalina yang digenangi air itu
memandang wajah Handrian yang begitu jujur. Seperti
wajah seorang bayi yang suci. Lalu ia menyandarkan
kepalanya ke dada Handrian. Handrian memeluknya.
"Problem itu ada dalam diriku. Aku tak ingin orang
lain tahu," suara Rosalina berat sekali. Napasnya pun sesak- 24
tersendat-sendat. Seolah-olah dadanya terhimpit besi yang
berat.
"Termasuk aku?"
Rosalina mengangguk.
Tangannya meremas kemeja Handrian kuat-kuat. Ada
gejolak perasaan yang menyergap dalam dadanya. Sergapan
yang tak ingin kehilangan pria ini.
"Lina, ketahuilah! Besar harapanku kau bisa menjadi
orang yang berarti dalam hidupku. Sebaliknya, aku pun bisa
berarti dalam hidupmu. Ingin membahagiakan hidupmu.
Tapi jika kau menganggap diriku tak berarti buat kau, aku
akan mundur secara baik-baik," balas Handrian patah
semangat.
Rosalina seperti ketakutan, la mendekap tubuh
Handrian erat-erat. Ia meratap seperti anak kecil yang
hendak ditinggal pergi ibunya.
"Aku tak pernah bilang, bahwa kau tak berarti buatku.
Tak pernah bilang begitu. Kau adalah teman setiaku yang
sangat kudambakan. Aku takut kehilangan kau," tangisnya
pilu.
Handrian menghembuskan napas keras-keras.
Semakin gusar perasaannya menghadapi Rosalina.
"Kau telah membuatku hampir gila! Tapi biarlah,
biarlah kau tetap gadis yang memiliki sifat aneh buatku.
Gadis yang selalu menyimpan problem. Gadis yang tidak- 25
mau jujur," kata Handrian kian kehilangan semangat, tapi
terus melanjutkan ucapannya; "Dan aku sangat berterima
kasih atas kerelaanmu menyerahkan kesucian diri. Sebab
kau tak menghendaki rasa tanggung jawabku. Sungguh
mati, aku tak akan bisa melupakan kau selamanya."
"Oooh, kenapa jadi begini? Kenapa jadi begini? Aku
tidak bermaksud memutuskan hubungan kita," suara
Rosalina memekik.
"Kau egois, tapi kau menang. Barangkali kepuasan
napsu berahi lebih utama bagimu, daripada cinta. Akan
kubuktikan!" ujar Handrian jengkel. Lalu ditariknya
Rosalina menuju ke sebuah villa.
Rosalina meronta dalam pelukan Handrian yang
membawanya ke villa.
"Jangan, Han. Jangan," keluh Rosalina sambil terisak.
"Diam Lina, diam! Kalau kau benar-benar tidak
berniat memutuskan hubungan kita, kau-harus pasrah.
Nurut."
Rosalina meronta ketika Handrian membawa masuk
ke villa. Tapi perasaan takut kehilangan pria itu, membuat
dirinya tak berdaya, ia sudah terlanjur mencintai Handrian.
Pria itu kini berarti segala-galanya buat menghentikan
jeritan jiwanya. Juga kegaringan hidupnya. Tapi perlakuan
kasar Handrian kali ini terasa menyakitkan perasaannya.- 26
"Kau telah memperlakukan aku secara kasar, Han.
Kau menyakiti aku!" keluh Rosalina meronta.
"Yang kau butuhkan bukan cinta, tapi napsu!"
Handrian mendorong tubuh Rosalina hingga jatuh ke
atas tempat tidur. Rosalina membenamkan wajahnya di atas
permukaan bantal sambil menangis terisak-isak.
Perasaannya campur-aduk tak karuan. Handrian yang begitu
jengkel, langsung menubruk tubuh Rosalina. Satu persatu
pakaian Rosalina dilucuti dengan kasar. Perempuan itu
cuma menangis terisak-isak karena tak menghendaki
perlakuan kasar Handrian.
"Kau kasar! Kau menyakiti aku!" rintih Rosalina
dengan kedua telapak tangan menutupi mukanya sendiri.
Handrian buru-buru membuka pakaiannya setelah
tubuh Rosalina yang polos tergolek di atas tempat tidur.
Tanpa membuang waktu disergapnya tubuh perempuan itu.
Pergumulan yang pada awalnya begitu kasar, lama-lama
berubah lembut. Lembut sekali. Mesra. Mesra sekali. Dan
Rosalina merasakan jiwanya terbang ke awang-awang.
Musim kemarau yang panjang telah dibasahi hujan sehari.
Rasa sakit pun mulai berangsur-angsur pudar tersentuh oleh
kenikmatan yang sukar dibayangkan. Seperti apa yang
pernah diceritakan Mirna. Ibarat pernah mengisap ganja
akan ketagihan.
Terasa cepat matahari yang menggelinding ke ufuk
barat. Itu yang dirasakan oleh Rosalina. Sebab ia masih- 27
ingin lebih lama di sisi Handrian. Ingin lebih lama
kenikmatan itu direnggutnya. Cuma waktu yang bergeser
tak bisa ditahannya.
Rosalina melangkah ke luar dari pintu villa dengan
tubuh letih. Menyusul Handrian berjalan membarengi
langkah Rosalina. Pundak perempuan itu dipeluknya
sembari mengayunkan langkah bersama. Menuju ke kantor
pemilik villa. Setelah Handrian membayar sewa villa,
mereka berjalan menghampiri mobil. Selama berjalan
bersama, tak ada sepatah kata yang diucapkan. Masing
masing merasakan gejolak rasa bahagia di hati.
Mereka lalu naik ke dalam mobil dan duduk
berdampingan di jok depan. Sesaat mereka duduk terdiam di
dalam mobil. Handrian memandang Rosalina yang
tertunduk diam. Diamnya perempuan itu memancarkan
pesona. Dan diamnya perempuan itu sangat dikagumi
Handrian.
"Kalau pendirianmu masih belum berubah, aku tak
akan memaksamu. Dan aku tetap berprinsip, bahwa cinta
lebih mulia daripada napsu," kata Handrian.
Setitik air mata jatuh perlahan di pipi Rosalina. la
teramat sedih menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang
tak bisa dipisahkan dalam hidupnya, ia sangat mencintai
Handrian, tapi ia ingin tetap setia pada suaminya, ia merasa
bahagia yang seutuh-utuhnya di samping Handrian, tapi ia- 28
merasa kasihan pada suaminya. Sekalipun yang direguk
cuma kegetiran hidup.
Handrian mengambil dompet dari saku celananya,
kemudian diambilnya selembar kartu nama.
"Barangkali suatu saat kau membutuhkan aku, cari
saja alamat kantor ini," Handrian menyodorkan kartu nama
itu. Rosalina menerimanya. Lalu dipandangnya wajah
Handrian dengan air mata berlinang. Wajahnya sedih seperti
hendak melepaskan kekasihnya pergi tak kembali.
"Cuma sampai di sinikah hubungan kita, Han?" suara
itu sendu sekali.
"Terserah kemauanmu. Aku menginginkan hubungan
kita sampai di jenjang perkawinan."
Kepala perempuan itu jatuh di bahu Handrian.
Seolah-olah ia sudah tak mampu menghadapi kenyataan.
Sebuah kecupan lembut menyentuh kening Rosalina.
Kecupan Handrian yang penuh kasih. Dan mobil yang
dikemudikan Handrian meluncur pergi.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***- 29
BAB IX
Fonny melirik sambil menjilat bibirnya agar
senantiasa basah. Bibir yang merah delima itu, supaya lebih
menarik kalau dilihat direkturnya. Dan lirikannya
menangkap kemurungan Handrian. Sejak beberapa hari ini,
pria itu selalu nampak murung. Fonny tidak melihat
keramahannya, mengajak ia bercanda atau merayu. Padahal
Fonny merasa senang kalau atasannya itu bagai pemburu
yang siap mengincar anak rusa. Dan Fonny senang kalau
jadi anak rusa itu. Tapi sikap atasannya itu telah berubah.
Sekarang ia sering melamun. Kalau tersenyum, senyum itu
dalam kemurungan.- 30
Pesawat telpon di meja Fonny berdering.
Menyebabkan gadis itu tersentak dari lamunannya. Buru
buru ia mengangkat gagang telpon itu dari induknya.
"Selamat siang, mau bicara dengan siapa?" suara
Fonny ramah.
"Pak Handrian."
"Ini dari siapa?"
"Hilda."
Fonny melirik Handrian. Masih juga pria itu duduk
melamun.
"Pak Han, ada telpon untuk Bapak."
Ternyata pemberitahuan Fonny tidak didengar oleh
Handrian. Atasannya itu duduk merenung sambil menatap
langit-langit ruangan. Fonny jadi tersenyum. Sekali lagi ia
berkata lebih keras:
"Pak Han, ada telpon!"
Handrian tersentak. Gugup dia menoleh ke arah
Fonny.
"Ad... ada telpon untuk saya?"
"Ya," Fonny mengembangkan senyum. Senyuman
yang sengaja dibuat supaya tambah manis. Bisa menarik
perhatian atasannya itu. Tapi Handrian tak menghiraukan
senyuman Fonny. Maka gadis itu nampak kecewa.- 31
Handrian segera mengangkat gagang telpon dari
induknya. Bau parfum yang wangi di gagang telpon tercium
Handrian. Fonny meletakkan gagang telpon ke induknya.
Padahal ia berharap, atasannya itu akan melakukan seperti
dulu. Ia menelpon sambil duduk di sandaran lengan kursi
Fonny. Lalu memeluk pundaknya. Membelai rambutnya.
Tapi Handrian menerima telpon dengan pesawat yang ada
di atas mejanya. Maka Fonny mengeluh kecewa lagi.
"Hallo, siapa nih?"
"Selamat siang, Boss. Aku cuma mau lapor, kalau
segala fasilitas proyek sudah beres. Babe kemarin interlokal
ke rumah, dan beliau minta secepatnya gambar rancangan
bangunan dikirimkan," kata Hilda.
"O, Hilda. Gambar rancangan bangunan sedikit lagi
selesai. Paling lambat lusa akan kukirim ke sana. Sekaligus
manajer proyeknya akan melihat lokasinya. Bisa dicopy
begitu?"
"Roger. Kita sekarang putar haluan. Jurusannya pada
kekasihmu yang baru itu. Apakah ia sudah jinak? Ganti."
Senyum dan kegembiraan Handrian mendadak jadi
hilang, ia kembali murung, bila memikirkan hubungannya
dengan Rosalina.
"Aku selalu menemui jalan buntu, Hil. Ia tetap tidak
mau berterus terang. Dan pendiriannya begitu kukuh. Aku
bisa-bisa jadi gila," keluh Handrian. Melirik pada Fonny- 32
sepintas. Fonny kebetulan sedang memandangnya. Maka
bentroklah pandangan mereka. Handrian tersenyum dan
Fonny membalasnya.
"Tenang! Playboy intelek nggak boleh jadi gila
lantaran memburu cewek. Itu sangat memalukan. Lebih baik
mati daripada gila ngerti?" kata Hilda sembari tertawa.
"Jangan bercanda! Aku serius nih."
"Nampaknya kaubenar-benar mabok cinta sama dia
ya?"
"Maboknya sampai nggak ketulungan. Maukah kau
membantuku?"
"Tentu, asal aku bisa membantu."
"Okey. Kalau nanti malam kau tidak ada acara, aku
ingin mengajakmu pergi."
"Aku tunggu kau nanti malam."
"Terima kasih! Sampai jumpa nanti malam. Daaaag"
Handrian meletakkan gagang telpon.
***- 33
Air mancur di taman Monas menari-nari. Lampu
sorot yang beraneka warna, sinarnya juga ikut menari-nari.
Berputar-putar mengikuti irama musik mengalun di alam
bebas itu. Angin malam yang berembus semilir menerpa
Handrian. Juga menerpa Hilda yang berjalan di sisi pria itu.
Sepasang remaja itu berjalan santai di trotoar sepanjang
pinggir kolam. Pria itu mengayunkan langkah dengan kedua
tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, sedang Hilda
dengan kedua tangan melambai-lambai.
"Semenjak aku menjalin hubungan dengan dia, bukan
lagi sekedar memburu kelinci. Tapi memburu cinta. Dan
terasa jauh berbeda, bila dibandingkan hubungan dengan
gadis-gadisku yang dulu," kata Handrian.
Hilda tertawa.
"Sekarang kau baru kena batunya."
"Kira-kira memang begitu."
"Kalau kau sungguh-sungguh mencintainya, kawini
saja dia."
Di pinggir kolam itu ada bangku panjang yang
kosong. Handrian duduk di situ. Hilda menghenyakkan
pantat di sebelah Handrian. Beberapa pasang anak muda
nampak asyik bermesraan. Handrian menyinggahkan
pandangan ke arah mereka, lalu beralih ke air mancur yang
menari-nari.- 34
"Aku memang berniat begitu, tapi anehnya ia
menolak. Dan kehadirannya bagai misteri bagiku. Tidak
mau memberi tahu tempat tinggalnya. Tidak mau
menceritakan tentang kehidupannya."
"Gadis cantik yang aneh," gumam Hilda.
"Memang aneh. Aku sendiri bingung, sebab sukar
untuk diketahui kehendak hatinya, ia lebih menyukai
hubungan sebagai teman setia. Padahal aku tahu dari sorot
matanya, ia sangat mencintaiku," keluh Handrian kecewa.
"Barangkali ia sedang menguji ketulusan cintamu?"
"Bukan, ia mempunyai problem."
"Problem apa?"
"Ia tidak mau menceritakannya," desah Handrian.
"Lalu apa maunya?"
"Aku sendiri tak tahu."
Hilda tambah semakin tak mengerti.
"Bagaimana waktu ia kau ajak tidur di villa?"
"Mungkin ia kecewa karena perbuatanku yang
terkutuk."
"Terkutuk? Apa maksudmu?"- 35
"Aku telah memperkosanya. Ternyata ia masih
perawan," suara Handrian terdengar berat. Penuh
penyesalan.
"Ya, Tuhan." Hilda mengeluh panjang. Apa yang
dibayangkan sebelumnya, bahwa Rosalina gadis jalanan,
ternyata gadis itu masih suci. Sehingga perasaan berdosa
menyergap dalam dirinya. Sebab ia merasa menjadi
penyulut sumbu ledakan. Ledakan napsu berahi mereka
akibat dari ulahnya, mencampuri minuman dengan tablet
perangsang.
"Tapi anehnya, aku bersedia menikah dengannya, ia
malah menolak. Ini yang membuat aku tak habis mengerti.
Membuat aku bingung, Hilda. Ia tetap bersikeras lebih
senang menjadi teman setia."
"Aku jadi turut dibebani rasa tanggung jawab, nih
Han. Dan kuminta padamu untuk kali ini, gadis itu jangan
kau permainkan. Aku akan membantumu agar Rosalina
menerimamu sebagai suaminya."
"Tolonglah, kapan saja kau punya waktu luang temui
dia. Katakan bahwa aku bersungguh-sungguh ingin
mengawininya. Aku sangat mencintainya."
***- 36
Setiap sore tiba, jantung Rosalina menggelepar. Dan
geleparan itu terhenti manakala pria yang diharapkan itu
tidak muncul. Tidak berdiri menunggu di bawah atap halte.
Ya, sudah lima sore yang dilewatinya, pria itu tidak muncul.
Sepi pun dirasa mencekik jiwanya.
Barangkali ia patah semangat? Ia kecewa karena aku
tidak bersedia hidup bersamanya? Tak salah lagi. Ia amat
kecewa lantaran aku menolaknya. Sebab keinginannya itu
tak mungkin bisa terlaksana. Dan jika ia mengetahui
keadaan diriku yang sebenarnya, akan menambah rasa
kecewa yang besar. Biarlah. Biarlah ia kecewa sekarang.
Biarlah. Biarlah ia tidak muncul lagi. Itu akan lebih baik
daripada kemanisan dan kenikmatan terlalu banyak direguk.
Tapi, oooh. Kalau ia berlalu dari kehidupanku, pasti
kesepian itu akan kurasakan lagi. Kehampaan akan
mewarnai hidupku. Jangan. Jangan, Ia tak boleh berlalu dari
hidupku. Aku sangat membutuhkannya. Apa yang
kuimpikan telah dibuktikan olehnya. Telah diberikan
olehnya. Sedang suamiku, hanya mampu memberikan
belaian. Dan aku merasa kasihan. Ingin tetap setia, tapi
butuh nafkah batin. Aku perempuan biasa yang tidak
terlepas dari kebutuhan itu. Kegetiran dan jerit jiwaku setiap
malam telah merapuhkan hidupku. Aku membutuhkan
kebahagiaan dan kesegaran.
Harapan Rosalina kini cuma sepi.
Dan Rosalina dicengkeram kegetiran.- 37
Sebab yang dinanti tak pernah muncul.
Dan sore yang berikutnya wajah Rosalina jadi berseri
seri. Manakala ia berjalan ke arah halte, melihat sesosok
tubuh pria yang dikenalnya. Handrian. Handrian telah
menungguku di halte. Tahukah kau, rinduku sudah tak
tertahankan lagi. Kau adalah tumpuan harapanku, Han. Kata
hati Rosalina yang begitu menggebu-gebu. Ia mempercepat
ayunan langkahnya mendekati pria itu.
"Handriaaan!" panggilnya dengan suara girang
Pria itu menoleh. Rosalina termangu. Ternyata pria
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bukan Handrian. Potongan tubuh dan bentuk rambutnya
memang menyerupai. Dan Rosalina jadi malu bercampur
kecewa. Sedang pria itu tersenyum ragu-ragu, sebab tidak
merasa namanya Handrian.
"Maaf..." keluh Rosalina. Ia buru-buru membalikkan
badan dan melangkah pergi. Perasaannya tersayat pedih.
Sampai kedua matanya bergenang air yang berkilau-kilau
ditimpa sinar mentari sore. Tapi belum jauh ia melangkah,
sebuah mobil sedan berhenti di sampingnya. Ternyata yang
duduk di belakang stir adalah Hilda.
"Rosalina!" panggil Hilda sambil mengeluarkan
kepala di jendela mobil.
Rosalina menoleh ke arah perempuan muda yang
menegurnya itu. Ia tercenung sesaat. Mencoba untuk- 38
mengingat raut wajah perempuan muda itu. Di mana ia
pernah bertemu.
"Aku Hilda. Masih ingat?"
"Hilda," gumam Rosalina lirih.
"Masak kau sudah lupa. Aku temannya Handrian."
Wajah Rosalina nampak ceria. Senyum mengambang
di bibirnya. Lalu ia mengangguk memberi salam.
"Lina, aku perlu bicara denganmu. Kau tidak
keberatan ikut aku sebentar bukan?"
Rosalina menimbang-nimbang. Nampak ragu-ragu
dia. Sedang Hilda telah membukakan pintu mobil lebar
lebar.
"Ayolah, Lina. Jangan ragu-ragu."
Akhirnya Rosalina naik ke dalam mobil. Duduk di
sebelah Hilda yang memegang kemudi. Setelah pintu di
samping Rosalina diempaskan, Hilda melarikan mobilnya.
"Apa kabar, Lina?" tanya Hilda ramah sambil
memandang Rosalina. Betapa cantik dan anggunnya gadis
ini. Cuma dengan pakaian yang begitu sederhana telah
memantulkan pesona yang memikat. Pantas kalau Handrian
mabok kepayang dibuatnya.
"Baik-baik," sahut Rosalina dengan bibir tersenyum.
Dan senyumnya itu saja terlalu manis sekali, pikir Hilda.- 39
"Bagaimana hubungan dengan Handrian?"
"Biasa-biasa saja."
"Sering pergi sama dia?"
"Kadang-kadang. Hilda disuruh Handrian menemui
aku ya?"
Hilda senyum-senyum, ia membelokkan mobilnya ke
Pondok Sate Bangil Senayan.
"Kita turun yuk," ajak Hilda sambil membuka pintu
mobil. Rosalina menuruti ajakan Hilda. mereka turun
bersama dan mengempas pintu mobil. Hilda memandang
Rosalina yang mengayunkan langkah satu-satu. Sebagai
seorang perempuan, ia sangat mengagumi bentuk tubuh
Rosalina yang ramping dan indah. Dan setelah ia mengunci
pintu mobil ia membarengi langkah Rosalina.
"Kita duduk di bawah tenda saja," ajak Hilda.
Rosalina mengikuti Hilda mendekati tenda. Lalu mereka
duduk menghadapi meja di bawah lindungan tenda.
"Mau pesan sate?" tanya Hilda.
Rosalina menggeleng.
"Pesanlah makanan yang kau sukai."
"Aku minum es kelapa muda saja."
Hilda segera memanggil seorang pelayan. Lalu
memesan dua gelas es kelapa muda.- 40
"Senang kerja di salon?"
"Asal ada kerja, bagiku sudah senang."
"Sudah lama kerja di situ?"
"Lebih dua tahun."
"Ou, lama juga ya?"
Pelayan datang mengantarkan dua gelas es kelapa muda.
"Aku juga sudah lama kenal Handrian. Sejak di
bangku SMA. Jadi sudah kukenal betul sifatnya. Suka
mempermainkan cewek-cewek. Tapi kau tak usah takut, ia
sudah banyak berubah sejak mengenalmu," tutur Hilda.
Rosalina mengaduk es kelapa muda di atas meja. Apa
maunya perempuan ini, pikir Rosalina.
"Dan kini ia dikejar rasa tanggung jawab sejak
kejadian di villa."
Rosalina terperangah. Wajahnya merah. Sebab
ucapan Hilda bagai menampar mukanya. Bagai mengupas
perbuatan nista yang selama ini dilakukan dengan Handrian.
Betapa memalukan!
"Handrian telah menceritakan kepadamu?" kata
Rosalina dengan suara serak. Tenggorokannya bagai
tersekat. Napasnya sesak.
"Ya. Dan aku merasa ikut terlibat dalam hal itu."
"Apa maksudmu?" Rosalina jadi bingung.- 41
"Sebelumnya maafkanlah aku, Lina. Semula aku
menyangkamu seperti gadis lainnya yang sering dipacari
Handrian. Dan sangkaanku lebih diperkuat menurut cerita
Handrian mengenai dirimu. Kau selalu merahasiakan tempat
tinggalmu. Kau tidak mau menceritakan tentang hidupmu
Dan kalian kalau berkencan di jalanan."
"Kau tidak perlu ikut campur persoalan pribadiku,
Hilda."
"Aku tidak punya niat ikut campur persoalan
pribadimu. Tapi aku merasa berdosa kalau membiarkanmu
hidup ternoda."
"Apa hubungannya dengan dirimu!"
"Karena aku telah mencampur minumanmu dengan
obat perangsang. Kukira gadis-gadis yang bekerja di salon
gampang diajak tidur. Termasuk kau juga. Tapi ternyata
dugaanku meleset. Kau masih perawan," kata Hilda penuh
penyesalan. Di kedua matanya bergenang air tipis.
Perasaan Rosalina jadi tersayat pedih, ia tak kuasa
lagi menahan air matanya. Juga isak tangisnya.
"Tidak semua perempuan yang bekerja di salon nista.
Tidak semua perempuan yang jadi capster itu pelacur. Kau
kejam, Hilda. Kau kejam," kata Rosalina sedih sekali.
Hilda semakin terharu, ia merasa amat berdosa pada
Rosalina, maka dipeluknya pundak perempuan itu.- 42
"Maafkanlah aku, Lina. Tapi kau tak perlu cemas
kalau Handrian sampai meninggalkanmu. Dia telah
mengutarakan isi hatinya padaku. Sekalipun aku
mengenalnya sebagai playboy, namun dia telah bertekuk
lutut padamu, ia sangat mencintaimu. Dia akan bertanggung
jawab atas perbuatannya."
"Lupakan saja kejadian itu. Sebagai kaum yang
lemah, aku menyadari tentang kelemahanku. Dan biarlah
noda kenistaan tertinggal dalam diri."
"Jangan begitu, Lina! Handrian ingin mempersunting
mu. Cinta dan kasih sayangnya yang tulus jangan kausia
siakan. Ia minta bantuanku untuk mengatakan padamu.
Terima saja lamarannya, Lina!"
Pelukan Hilda dilepaskan oleh Rosalina. Dan dia
merasa tak ingin dibelas kasihani orang.
"Hidupku penuh problem, Hilda. Saat ini aku tak
mungkin menerima lamaran Handrian. Sampaikan padanya,
jangan terlalu menghayal terjadinya pernikahan itu.
Sungguhpun aku sangat membutuhkannya. Dan kerinduan
ku padanya selama ini terasa menyiksa." Rosalina mengusap
air matanya.
"Ceritakanlah problemmu! Dan jelaskan, kenapa kau
tak mungkin menikah dengan dia?"
Rosalina bangkit dari tempat duduknya.- 43
"Tak akan kuceritakan problemku, juga tak akan
kujelaskan alasanku menolak lamaran Handrian."
Kemudian ia berlari meninggalkan Hilda. Hilda jadi
kebingungan. Buru-buru ia mengambil uang dari dompet.
Uang itu diletakkan di atas meja untuk membayar dua gelas
es kelapa muda. Lalu dia lari mengejar Rosalina.
"Linaaa, tungguuuu!" teriaknya sambil menyusul
Rosalina. Tapi Rosalina tidak mau berhenti. Bahkan
perempuan muda itu menyetop taksi. Terlambat bagi Hilda
karena Rosalina telah diangkut mobil taksi itu. Akhirnya ia
berdiri termangu memandang mobil taksi yang kian jauh.
"Gadis cantik yang memiliki sifat aneh," kata Hilda
sembari mengeluh.
***- 44
Malam itu Rosalina tak dapat tidur. Sebentar-sebentar
ia mendesah, ia berbaring di sisi suaminya yang telah
tertidur pulas. Itulah sebabnya setiap malam ia tersiksa.
Jiwanya selalu menjerit dalam kehampaan. Belaian dan
kehangatan suaminya tak pernah dirasakan lagi. Semakin
dingin bagai es yang beku.
Rosalina memandang langit-langit kamar. Ingat kalau
besok adalah hari libur tidak masuk kerja. Ingat pula pada
Handrian yang semakin dirindukan. Ya, Handrian. Pria itu
yang selama ini telah mengisi hidupnya yang sepi dan
hampa. Telah menyirami kekeringan hidupnya dengan
kenikmatan-kenikmatan yang tiada batasnya. Pria itu yang
telah menyuburkan kembali bunga hatinya. Bunga yang
hampir layu karena tanahnya gersang. Dan pria itu telah
menghadirkan kebahagiaan yang hampir hilang. Itulah
sebabnya Rosalina membutuhkan pria itu. Membutuhkan
kenikmatan yang tak pernah diberikan suaminya.
Dan esoknya Rosalina tak kuasa lagi menahan
kerinduannya pada pria itu. Sengaja ia mendatangi kantor
Handrian. Sengaja pula ia berdandan secantik mungkin. Tak
lain karena ia menginginkan perjumpaan yang penuh pujian.
Penuh kemesraan. Dan kehangatan.
Ayunan langkah Rosalina yang lunak menghampiri
seorang laki-laki setengah baya.
"Selamat siang. Pak."
"Selamat siang, Non."- 45
"Adakah saudara Handrian bekerja di sini?"
"Maksudnya Pak Handrian?"
Rosalina mengangguk.
"Ada. Nona mau bertemu dengan beliau?"
"Ya."
Rosalina jadi berpikir, pantaskah aku dipanggil nona?
"Silakan saja naik ke lantai dua."
"Terima kasih, Pak."
Rosalina meneruskan langkah ke ruang tengah, ia
nampak malu-malu karena semua karyawan di ruangan itu
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikannya. Tapi satu pun tak ada yang berani
bercuit mulutnya. Malah mereka mengangguk dengan
hormat. Rosalina mengayunkan langkah menaiki anak-anak
tangga, ia jadi berpikir; siapa sebenarnya Handrian ini?
Pegawai penerima tamu tadi memanggilnya bapak. Dan
semuanya begitu hormat padaku lantaran tahu aku mencari
Handrian.
Di lantai dua Rosalina disambut oleh senyuman
seorang pegawai.
"Ingin ketemu dengan siapa, Non?" sapanya.
"Pak Handrian ada?"- 46
"Ada silakan saja masuk ke ruangan itu," kata
pegawai itu penuh keramahan dan hormat. Bahkan semua
pegawai di situ menghormatinya.
Ruang direktur?
Rosalina sejenak termangu memperhatikan tulisan
yang terpampang di daun pintu, la jadi ragu-ragu untuk
mengetuk pintu itu. Ia takut salah alamat.
"Ketuk saja pintunya, Non," salah seorang pegawai
memberi tahu Rosalina.
Aku dipanggil nona lagi. Barangkali aku memang
pantas jadi nona dari pada nyonya. Dan aku sudah tahu
etiket, kalau mau masuk ke kamar direktur harus mengetuk
pintunya dulu. Dan dengan masih diliputi keraguan,
Rosalina mengetuk daun pintu itu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam yang penuh
wibawa.
Itu mirip suara Handrian. Tapi suara Handrian begitu
kalem dan lembut. Ah, ini pasti salah alamat. Apa boleh
buat, kalau malu sekalianlah malu... Sudah terlanjur, pikir
Rosalina nekat. Begitu ia membuka pintu kamar itu, ia
menjadi termangu, ia melihat pria yang selama ini
dirindukan penuh kewibawaan duduk di kursi pimpinan.
Membuatnya berdiri seperti patung.
Handrian pun ikut termangu. Termangu lantaran
perempuan yang dicintainya hadir di depannya. Sejenak- 47
mereka saling bertatapan untuk membuang rasa rindu. Lalu
Handrian bangkit menyambutnya dengan girang.
"Ayo duduk, Lina! Kita memang sudah sepekan tidak
saling bertemu," sapa Handrian menarik tangan Rosalina
lembut. Dibimbingnya Rosalina sampai duduk di kursi.
Fonny terkesima melihat kecantikan dan keanggunan
Rosalina. Pantas saja kalau ia jadi tersisihkan dari Handrian.
"Aku tidak menyangka kalau kau sudi datang ke
kantorku."
Rosalina tertunduk malu. Tak ada sahutan dari
Rosalina, cuma bibirnya yang merah itu tersenyum.
"Kurasa di sini kurang cocok untuk membicarakan
persoalan kita. Kita cari tempat yang cocok ya?" ajak
Handrian lembut.
Sejuk sekali ucapan itu merambat masuk ke kalbu
Rosalina. Dan nada ucapan begitu sangat didambakannya.
Lembut, mesra dan penuh kasih sayang. Belum pernah nada
seperti itu diucapkan oleh suaminya.
"Aku mengganggu pekerjaanmu?"
"Sama sekali tidak."
Handrian merangkul pundak Rosalina mesra sekali.
Lalu tangannya mengangkat pelan tubuh Rosalina. Lembut
sekali. Seolah-olah jangan sampai menyakiti tubuh yang
indah itu. Tubuh yang menyimpan sejuta kenikmatan.- 48
"Aku pulang dulu, Fonny! Semua urusan transaksi
kontrak dengan dua perusahaan asing ditunda besok saja.
Cepat hubungi manajernya, beri tahu besok saja datangnya
ke mari," kata Handrian penuh wibawa.
Rosalina kagum dengan sikap Handrian terhadap
stafnya. Pantas saja kalau ia dihormati dan disegani di
kantor. Tapi sikap yang begitu tak pernah diperlihatkan pada
Rosalina. Handrian kalau menghadapinya dengan sikap
anak muda. Santai. Dan sikapnya begitu lembut.
''Tidak ada pesan apa-apa lagi. Pak?" tanya Fonny.
"Cukup itu saja."
Handrian membimbing Rosalina meninggalkan
ruangan itu. Ketika melintasi ruang karyawan, Rosalina
melihat semua karyawan menekuni pekerjaannya, tak ada
yang berani memandang atasannya. Begitu hebatnya
Handrian, pikir Rosalina.
Dan kekaguman Rosalina masih bercokol di dalam
dada, sekalipun sudah berada di dalam mobil vang
dikemudikan Handrian. Melaju di keramaian kota
metropolitan. Sedangkan Handrian sebentar-sebentar
melirik perempuan yang duduk di sebelahnya, ia nampak
begitu terpesona melihat kecantikan Rosalina hari ini.
"Kau tidak masuk kerja hari ini?" tanya Handrian.
"Hari ini aku libur."
"Liburnya dalam sebulan berapa kali?"- 49
"Cuma sekali."
"Tinggalkanlah pekerjaanmu itu. Lebih baik kau jadi
Nyonya Handrian," kata Handrian senyum-senyum mesra.
"Ah!" desah Rosalina manja.
"Kalau belum mau secepatnya tak apa-apa. Lama pun
aku bersedia menanti. Kau pernah dengar lagunya Jamal
Mirdad?"
"Lagu apa?"
"Hati Kecil Penuh Janji. Kebetulan aku punya
kasetnya," kata Handrian seraya mengambil kaset di laci
mobil. Lalu diputarnya lagu itu. Rosalina meresapi syair
lagu itu dengan penuh perasaan.
"Itulah ungkapan perasaanku, Lina."
Rosalina melirik Handrian sembari tersenyum.
Padahal kau tak tahu, Han, Syair lagu itu sangat pahit
kurasakan. Sebab dalam lagu itu ada syair yang berbunyi:
"Kutak perduli kau milik siapa. Mencinta itu bukan dosa."
Mencinta memang tidak berdosa, Han. Tapi memiliki
adalah dosa. Aku masih terikat dalam hukum perkawinan.
Aku masih berstatus istri orang. Alangkah pahit kenyataan
ini.
"Kauingin ke mana, Sayang?" tanya Handrian.
"Terserah," sahut Rosalina pasrah.- 50
"Kita ke cottage ya?"
Rosalina diam. Handrian menganggap diamnya
Rosalina adalah mau. Maka ia melarikan mobil ke jurusan
Ancol. Di cottage Putri Duyung mereka singgah. Dan
Rosalina tidak lagi meronta seperti dulu, ketika Handrian
membimbingnya masuk ke cottage itu.
"Mau pesan makanan apa, Sayang?"
"Minum saja."
"Sekalian untuk makan siang di sini."
"Terserah kau saja."
Handrian segera menghubungi pelayan restauran. Ia
memesan bistik1 lengkap beserta nasinya dan minuman.
Setelah itu Handrian dan Rosalina duduk berdampingan di
kursi panjang. Dari jendela kaca yang terpentang dapat
dilihatnya ombak laut yang silih berkejaran.
"Lina, tak tahukah kau, aku rindu sekali padamu,"
kata Handrian mesra sekali. Jari tangannya membelai wajah
Rosalina yang cantik. Dan Rosalina memejamkan matanya.
Meresapi belaian mesra Handrian yang dirindukannya.
"Apakah pendirianmu belum berubah. Sayang?"
1 Beef Steak- 51
Rosalina menatap sayu bola mata Handrian. Bibirnya
yang merah terkuak sedikit. Menanti lumatan bibir pria itu.
Kedua matanya terpejam.
"Kenapa tak kaujawab?"
Rosalina menggelengkan kepala pelan.
"Jadi pendirianmu tetap menganggapku teman setia?"
Tak ada jawaban. Tapi bibir Rosalina mendahului
menempel di bibir Handrian. Lalu mereka saling memeluk
erat dan berciuman penuh gairah. Rasa kerinduan mereka
ditumpahkan detik itu juga. Tapi suara ketukan pintu
menghentikan ciuman mereka. Handrian segera membuka
kan pintu. Pelayan restauran mengantarkan pesanannya.
Dan setelah pelayan itu pergi, Handrian menutup gorden
jendela. Keadaan ruangan jadi redup. Ciuman pun
dilanjutkan lagi.
"Aku akan jadi teman setiamu," kata Handrian sambil
melumat bibir Rosalina. "Setia untuk melayani seperti ini,"
ciuman itu terhenti. "Sebab yang kau butuhkan cuma
kepuasan napsu berahi," lanjutnya dibarengi dengan
mengisap bibir Rosalina yang halus dan kenyal. Sedang
kedua tangannya tidak tinggal diam. Meremas, melilin dan
mengelus-elus bagian tubuh Rosalina yang peka. Sehingga
Rosalina jadi menggelinjang.
Dan selanjutnya Handrian membopong Rosalina
masuk ke dalam kamar. Cuma terdengar desah napas yang- 52
memburu. Rintihan-rintihan manja seorang perempuan yang
haus kenikmatan. Kendati kenistaan dan dosa kian
bertumpuk.
Ombak di pantai menerjang-nerjang permukaan batu
yang berlumut halus. Suara terjangan ombak senantiasa
teratur bagai musik yang iramanya monoton. Tapi suara
rintihan Rosalina tidak teratur dan tidak monoton. Saat-saat
tertentu dia mendesah, saat yang lainnya dia memekik dan
saat mencapai klimaks ia mendekap kuat-kuat tubuh
Handrian. Seakan-akan melepaskan sesuatu yang sukar
dibayangkan. Dan itu berulang kali dicapainya, sehingga
untuk berikutnya ia terkulai keletihan.
Hidangan bistik lengkap itu sampai dingin.
Es batu yang ada di dalam gelas sampai mencair jadi
air. Langit pun sudah keemasan karena hari telah sore.
Sedang dua insan yang tidur berselimut di dalam kamar
cottage nampak pulas. Tapi tak lama kemudian Handrian
terbangun lantaran perutnya diserang rasa lapar.
Dipandangnya wajah Rosalina dalam-dalam.
Alangkah cantiknya kau Sayang, puji Handrian yang tak
pernah lupa bila sedang memandang kekasihnya itu.
Matamu, hidungmu, bibirmu dan seluruh tubuhmu adalah
dambaanku. Kau seorang wanita yang tiada celanya. Wanita
pemuas nafkah batin seorang pria. Betapa bahagianya
hidupku bila kau bersedia menjadi istriku. Lalu dikecupnya
kening Rosalina lembut.- 53
Rosalina membuka kelopak matanya perlahan-lahan,
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
la menemukan Handrian yang sedang menatapnya. Tatapan
mereka terpaut, dan Rosalina tersenyum bahagia.
"Perutku terasa lapar sekali. Kita makan yuk?"
Rosalina mengangguk. Lalu ia bangun dan
mengenakan pakaiannya. Handrian melakukan hal yang
sama. Setelah selesai berpakaian mereka menuju ke ruang
tamu. Dengan lahapnya mereka menyantap hidangan itu.
"Hidangannya sudah dingin. Kurang nikmat ya, Ma?"
kata Handrian.
Rosalina jadi termangu karena dipanggil mama oleh
Handrian.
"Mama kenapa?"
"Jangan panggil aku mama ah," sahut Rosalina malu
malu. Padahal hatinya bahagia sekali.
"Kenapa?"
"Kita kan belum resmi."
"Tapi kita telah menjalani hidup seperti suami istri.
Walaupun belum disahkan dleh hukum agama."
Rosalina diam. Ia telah selesai makan lebih duluan
dari Handrian. Lalu ia masuk ke kamar untuk merapikan
dandanannya yang acak-acakan di depan cermin, ia
tersenyum memandang wajahnya yang berseri-seri.
Nampak jauh berbeda bila dibanding waktu belum bertemu- 54
dengan Handrian. Wajahnya kelihatan murung dan sendu.
Jiwanya yang menjerit di sepanjang malam, kini sudah
tentram dan bahagia. Benarkah aku bahagia? Tidak.
Kebahagiaanku tidak seutuhnya. Cuma kalau berada di
samping Handrian aku bahagia. Tapi kalau kembali ke
rumah adalah siksaan batin. Perasaan bersalah dan berdosa
selalu merejah hidupku. Sebagai seorang istri aku telah
melakukan perbuatan nista. Mengkhianati suami.
Handrian masuk ke kamar, ia memeluk tubuh
Rosalina dari belakang. Mendaratkan ciuman ke leher
perempuan itu. Tapi Rosalina menggeliat, sehingga ciuman
itu cuma sekilas.
"Kita pulang, Han," ajak Rosalina mulai dihinggapi
perasaan resah.
"Jangan buru-buru, Ma. Hari masih sore."
"Biar aku pulang sendiri."
Handrian memegang kedua bahu Rosalina, lalu tubuh
perempuan itu diputar sampai menghadapnya.
"Kau selalu menuruti kehendak hatimu sendiri! Tidak
mau menimbang rasa perasaan orang lain. Yang
kukehendaki bukan cuma begini, Lina. Tapi hidup berumah
tangga."
"Kau lupa, bahwa kita hanya teman setia?"- 55
Handrian membalikkan badan, membelakangi
Rosalina. Telapak tangan kirinya dipukul oleh bogemnya
sendiri. Plaak! Ia jadi jengkel.
"Okey. Okey. Aku tidak akan memaksamu. Mulai
sekarang kita berteman biasa saja. Tidak usah jadi teman
setia. Bila perlu kita tidak saling kenal lagi!" tukas Handrian
sengit.
Ucapan itu bagai sejuta sembilu menyergap jantung
Rosalina. Berdesir darah di jantungnya laksana disentakkan.
Dan gelombang panas merambat di dadanya, lalu mengalir
ke mata. la merasa kedua matanya hangat. Hangat karena air
matanya menitik di sudut kelopak mata. Perlahan-lahan
jatuh di pipi.
"Habis manis, sepah dibuang," desah Rosalina parau.
"Aku tidak punya niat begitu. Setelah mengisap
madunya, mencampakkan dirimu terkulai layu. Tapi aku
harus bagaimana? Selama ini aku sudah tersiksa, Lina.
Tersiksa karena sifatmu yang sangat kuanggap aneh. Tidak
mau berterus terang. Tidak mau memberi tahu tempat
tinggalmu. Padahal aku bersungguh-sungguh ingin datang
ke rumahmu. Menemui kedua orang tuamu untuk
melamarmu," tutur Handrian gusar.
"Setelah kau tahu rumahku, kau pasti akan berlalu
dari sisiku," sahut Rosalina cemas bercampur sedih, ia
merasa benar-benar takut kehilangan Handrian.- 56
"Tidak. Sekalipun kau bertempat tinggal di komplek
pelacuran atau di daerah hitam lainnya, sebenarnya bisa saja
aku secara diam-diam tanpa setahu kau, aku bertanya di
mana rumahmu dengan teman sekerjamu. Atau
mengikutimu di mana rumahmu. Setelah aku tahu, bisa saja
aku datang tiba-tiba. Kapan-kapan aku ingin menemuimu di
rumah. Tapi aku tak menginginkan cara begitu. Sejak aku
mengenalmu, lebih menyukai cara yang kau setujui. Bukan
menuruti kehendak hatiku sendiri."
"Kau tak boleh tahu rumahku. Kau tak boleh tahu
rumahku, Kau tak boleh datang ke rumahku," desah
Rosalina di dalam hati. Hati yang tersayat-sayat. Sebab ia
sangat terharu dengan sikap pria itu. Sikap kesatria, jujur
dan selalu menimbang rasa. Menghormatinya seperti
menghormati seorang ibu yang melahirkan. Justru karena
Handrian memiliki sifat demikian, Rosalina semakin takut
kehilangan pria itu.
Sedang pria itu cuma bisa memandang bibir Rosalina
yang tetap terkunci. Tidak ada jawaban. Sehingga Handrian
nampak lesu.
"Aku semakin terbelenggu ketidakpastian, kalau
pendirianmu tidak mau berubah. Tolonglah, Lina.
Kasihanilah aku, dan bebaskan aku dari belenggu yang
menyiksa ini," pinta Handrian seperti seorang pengemis
yang meminta belas kasihan pada seorang dermawan.- 57
Permintaan itu membelit keibaan hati Rosalina. Dan
Rosalina karena harunya, ia memeluk Handrian. la merasa
amat bersalah kalau terus-terusan menyiksa perasaan pria
itu. Maka ia pasrah menerima apa pun yang akan terjadi.
"Kau boleh tahu rumahku. Kau boleh datang ke
rumahku," kata Rosalina dengan suara tertahan. Suaranya
serak.
Wajah Handrian jadi berseri-seri. Matanya pun
bersorot cemerlang.
"Sungguh?"
"Ya. Sekarang antarkan aku pulang."
***- 58
Ruang tamu itu diisi dengan kursi kayu model lama.
Pijar yang menerangi ruangan itu berkekuatan dua puluh
lima watt. Tidak terlalu terang sekali, tapi cukup menambah
suasana romantis. Cuma hidup penghuni rumah itu yang
tidak harmonis. Tiang penyangga kebahagiaan telah
semakin rapuh.
Dikeheningan ruangan itu, seorang laki-laki duduk di
kursi roda, muncul, ia menggelindingkan kursi itu ke dekat
jendela. Mengintip di balik tabir memandang suasana
malam di luar rumah. Mencari kesegaran baru yang
barangkali ditemukan. Menghilangkan kejenuhannya
menghadapi mesin ketik dan buku-buku. Ingin dia bisa
seperti manusia lainnya. Bisa pergi mencari hiburan di luar
rumah.
Sejak ia menderita lumpuh, belum pernah melihat
hiruk-pikuknya kota metropolitan. Indahnya panorama alam
yang berbukit hijau, ia cuma mengurung diri di dalam
rumah. Alangkah getir kenyataan hidup yang dialaminya.
Memang getir, karena ia merasa malu pergi bersama
Rosalina dengan keadaan fisik yang menyedihkan ini. Dan
ia tak ingin jadi tontonan banyak orang. Dalam keadaan
begini, rasanya ia ingin mati saja. Tapi bila ingat kesetiaan,
dan kasih sayang Rosalina, semangat hidupnya berkembang
lagi. la masih ingin terus hidup lantaran sangat mencintai
istrinya.
Kenapa ia masih belum pulang juga? Terlalu
banyakkah pekerjaannya? Timbul keresahan di hati- 59
Gunawan. Dan ia mengintip lagi dari balik tabir jendela
karena mendengar suara mobil berhenti. Itu dia, baru
pulang. Tapi siapa gerangan laki-laki yang mengantarnya
itu?
Dan Rosalina saling berpegangan tangan dengan
Handrian. Tidak menyadari kalau sedang diintip suaminya.
Memang ada keresahan di hati perempuan itu. Apalagi
Handrian begitu hangat dan mesra terhadapnya.
"Aku merasa sangat bahagia setelah mengetahui
rumahmu. Sekarang tidak ada lagi penghalang bagiku untuk
melamarmu, bukan?" kata Handrian penuh antusias.
"Kau belum tahu, kau belum tahu. Penghalang itu
masih ada," keluh Rosalina dalam hati. Ia menatap mata pria
itu. Matanya, oh mata pria itu, alangkah bahagianya. Tidak
resah dan bimbang seperti dulu lagi. Dan Rosalina ingin
mengucapkan kata-kata, tapi bibirnya bergetar. Ucapannya
yang mau keluar ditelannya kembali. Kemudian dia
membalikkan badan, lalu mengayunkan langkah menuju ke
teras rumah. Handrian mengikutinya di belakang.
"Boleh aku singgah dulu?" tanya Handrian lunak.
"Aku mau istirahat. Lain waktu kita jumpa lagi,"
sahut Rosalina sembari menghentikan langkahnya di depan
pintu rumah.
"Baiklah. Aku tidak memaksa, sebab belum kau
setujui. Sampai jumpa lagi besok," kata Handrian- 60
membalikkan badan, lalu melangkah menuju ke mobil, ia
membuka pintunya dan duduk di belakang stir. Sejenak ia
memandang Rosalina yang masih juga memandangnya.
Pintu rumah kemudian terbuka. Terbuka tanpa
diketuk oleh Rosalina. Dan Gunawan yang duduk di kursi
roda menatap tajam pada wajah istrinya. Handrian masih
sempat melihat laki-laki yang duduk di kursi roda, ketika ia
meluncurkan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Dengan perasaan resah campur takut, Rosalina
melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu ia mengunci pintu
rumah itu rapat-rapat. Berikutnya semua jendelanya juga
ditutup. Sementara itu ia berusaha untuk tetap tenang.
Sedang Gunawan menatap Rosalina dengan pancaran mata
cemburu. Juga menaruh rasa curiga.
"Siapa laki-laki itu?" tanya Gunawan dingin.
"Temanku," jawab Rosalina tenang. Lalu ia
mendorong kursi roda yang diduduki Gunawan masuk ke
ruang tengah.
"Sudah lama bertemannya?"
"Belum."
Setelah berada di ruang tengah, Rosalina berhenti, la
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghenyakkan pantat di kursi. Melepaskan sepatunya.
"Nampaknya hubunganmu dengan laki-laki itu intim
sekali."- 61
"Bersalahkah aku mempunyai teman laki-laki di luar
rumah?"
"Siapa yang bilang itu salah? Setiap manusia punya
hak untuk mempunyai teman. Bergaul dengan siapa saja.
Termasuk kau. Tapi bergaul macam apa kau sama dia? Aku
melihat ada sesuatu kemauan dari sorot mata laki-laki itu."
Rosalina bangkit dari tempat duduknya, ia
memandang wajah suaminya yang dingin. Tak acuh. Oh,
alangkah tak menyenangkan bersitatap dengan mata itu.
Alangkah getir menghadapi suaminya dalam keadaan
begitu, pikir Rosalina Tapi rasa iba di dalam dadanya masih
utuh. Rasa belas kasihan dan kesetiaan pada suaminya masih
belum berkurang. Maka dipegangnya bahu Gunawan yang
lesu.
"Jangan mempunyai pikiran yang tidak-tidak. Mas.
Percayalah pada kesetiaanku," kata Rosalina berusaha
meyakinkan suaminya.
"Kesetiaanmu lahir karena rasa belas kasihan, Lina.
Tapi aku dapat merasakan, bahwa jiwamu selalu berontak
menjalani hidup yang getir ini. Kau masih muda. Masih
penuh vitalitas. Masih penuh pesona. Dan tak aneh lagi
kalau banyak laki-laki yang terpikat olehmu."
"Sudahlah, Mas. Aku mau istirahat," suara Rosalina
berat. Kemudian ia melangkah masuk ke kamarnya. Dan
membanting dirinya di atas tempat tidur, ia membenamkan
tangisnya di permukaan bantal. Menangisi kemelut yang- 62
merejah hidupnya. Menangisi tubuhnya yang terbalut nista.
Tapi ia tak dapat melepaskan diri dari libatan sejuta serat
sutra, yang mengikat jiwanya dengan pria idamannya. Pria
yang telah memberikan arti hidup dan kebahagiaan. Siapa
lagi kalau bukan Handrian.
Dan sekarang perasaannya terimpit oleh kenyataan.
Tetap setia pada suaminya, tapi tak ingin kehilangan
Handrian. Ia sangat mencintai pria itu. Sehingga ia tak
mampu mengambil keputusan untuk memilih satu di antara
dua. Biarlah aku tetap setia pada suamiku, dan tetap
mencintai Handrian.
***- 63
Mencintai seseorang membutuhkan pengorbanan.
Dan pada kenyataannya Rosalina telah melakukan hal itu. Ia
mengorbankan pekerjaannya untuk menuruti kehendak
Handrian. Sudah acapkali ia kena teguran Lili, karena sering
tidak masuk bekerja. Barangkali saja kalau Rosalina bukan
istri temannya, sudah pasti Lili akan memecatnya.
Dan nampaknya Rosalina sudah bertekad untuk
menerima kemelut hidupnya. Sebab ia menyadari tentang
kelemahan menghadapi Handrian. Tak mampu menolak
setiap ajakan pria itu. Dengan alasan takut kehilangan pria
idamannya. Pria yang selama ini mampu memberikan
kebahagiaan. Mampu mengisi hidupnya yang hampa dan
sepi.
Pagi ini, Handrian dan Rosalina sudah duduk di
bangku panjang. Bunga-bunga yang tumbuh bermekaran di
sekelilingnya, masih nampak sisa-sisa embun yang
menempel. Angin yang berembus menggoyang-goyangkan
bunga-bunga di taman itu. Rosalina cuma bisa
memandangnya sambil merenung.
"Siapa laki-laki yang tinggal bersamamu itu?" tanya
Handrian.
Tak terdengar sahutan dari Rosalina. Perempuan itu
masih merenungi bunga-bunga yang bergoyang. Sementara
pertanyaan Handrian dirasa mengimpit dadanya. Dijawab
secara jujur atau tidak? pikir Rosalina menimbang-nimbang,
la menarik napas berat. Kalau tidak dijawab secara jujur,- 64
kelak ia akan tahu juga. Sebab aku telah membuka selimut
kehidupanku, walau masih belum jelas kenyataannya buat
Handrian. Kalau memang harus kembali getir, getirlah. Aku
telah pasrah menerima kegetiran itu kembali.
"Ia adalah suamiku," kata Rosalina tanpa ragu-ragu
lagi.
Handrian termangu. Tapi sorot matanya masih
tampak nampak tidak percaya.
"Suamimu?" gumamnya agak aneh. "Sudah berapa
lama pernikahanmu?"
"Lebih dari dua tahun."
"Mustahil. Kau berdusta! Aku sudah membuktikan,
bahwa dirimu masih suci. Jangan membikin hal-hal yang di
luar pemikiranku, Lina. Jawablah dengan jujur," suara
Handrian nadanya gusar.
Rosalina menatap Handrian. Berusaha menunjukkan
dari ekspresi wajahnya yang tulus. Handrian membalas
tatapan perempuan itu.
"Tapi ia benar-benar suamiku," kata Rosalina
berusaha meyakinkan. Disertai rasa hanyut dalam
kepedihan. Di mata perempuan muda itu mulai nampak
butiran air yang bening. Nyaris jatuh di sudut kelopak
matanya.
"Mana mungkin, mana mungkin, aku mempercayai
kata-katamu. Betapa bodohnya aku kalau mempercayainya.- 65
Sejak aku mengenalmu, sifat yang kau miliki serba aneh dan
misterius. Dan kali ini kautambah lagi dengan hal-hal yang
di luar pemikiranku. Jadi aku tetap menganggap kau gadis
yang menyimpan misteri dalam hidupmu."
Meledaklah tangis perempuan itu. Rasanya ia ingin
menjerit. Menjerit memuntahkan kegetiran hidup yang
tertimbun menyesaki rongga dadanya. Tapi yang mampu
keluar cuma pekikannya yang tertahan.
"Ia adalah suamiku!"
"Aku tetap tidak percaya!" bantah Handrian dengan
menggelengkan kepala.
Rosalina mendekap tubuh Handrian. Lalu kedua jari
tangannya meremas kuat-kuat kemeja pria itu. Tangannya
gemetar serasa mengalami goncangan yang dahsyat. Sedang
bibirnya yang gemetar mengucapkan;
"Percayalah, Han! Percayalah padaku. Yang kukata
kan adalah benar."
"Tetap tidak! Aku benci kedustaan dan kepalsuan.
Akan kutemui laki-laki itu. Akan kubuktikan kebenaran
nya," ucapan itu sangat tegas.
"Jangan... jangan lakukan itu! Kau tak boleh
menemuinya!" ratap Rosalina di sela-sela tangisnya.
"Biar! Aku ingin semuanya jadi beres. Aku tidak
terus-menerus jadi bulan-bulanan ketidak pastian ini."- 66
"Kalau niatmu tidak bisa berubah, sebaiknya kita
putus hubungan."
Meledak emosi kemarahan pria itu. Dia bangkit
sambil menarik lengan Rosalina secara kasar. Dan Rosalina
meronta karena kesakitan.
"Gila! Kau mau mempermainkan aku ya?!" hardik
Handrian dengan geram.
"Lepaskan! Kau menyakitiku," rintih Rosalina sambil
meronta-ronta. Tapi cekalan tangan Handrian semakin
tambah kuat. Membuat lengannya kian sakit.
"Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu, sebelum kau
ijinkan aku untuk menemui laki-laki itu!"
"Baik. Baik, kalau itu memang kemauanmu. Terserah
kapan kau ingin menemuinya. Pintu rumah terbuka lebar
menerima kedatanganmu," kata Rosalina dengan terisak
isak. Kemudian Handrian melepaskan cekalan di tangannya.
Handrian menarik napas lega. Ditatapnya wajah
Rosalina yang tertunduk sambil terisak-isak. Perasaan haru
merambat ke dalam dadanya. Memadamkan letupan emosi
dan kemarahannya. Lalu dipeluknya tubuh Rosalina penuh
kasih sayang. Dibelai rambutnya yang hitam legam mesra
sekali. Lalu mendekap kepala perempuan itu untuk
bersandar di dadanya.
"Maafkanlah kekasaranku, Lina! Apa yang kulaku
kan karena aku terlalu mencintaimu. Aku mohon jangan- 67
putuskan hubungan kita! Hidupku tak akan berarti tanpa kau
di sampingku," pinta Handrian penuh perasaan.
Rosalina membenamkan tangisnya di dada pria itu.
Maka ia bisa sepuas-puasnya menghujani kemeja pria itu
dengan air matanya. Sebab ia mulai merasa tangisnya kali
ini adalah yang terakhir. Terakhir menangis dalam dekapan
pria yang sangat didambakan. Pria yang sangat dicintai.
Lantaran pada suatu waktu, Handrian akan menemui
suaminya. Dan hal ini tak bisa dicegahnya lagi. Itu pertanda
bahwa hubungannya dengan Handrian akan terputus.
"Hentikanlah tangismu, sayang! Mari kita istirahat di
cottage," ajak Handrian. Lalu dia membimbing Rosalina
menuju ke cottage, dan perempuan itu cuma pasrah.
***- 68
BAB X
Kenapa ia sekejam itu? Tentunya ia telah mendapat
kan ganti yang baru. Tentunya yang baru itu lebih cantik dan
lebih mempesona. Tentunya mampu menyisihkan aku.
Buktinya selama ini ia tak pernah mau menemuiku.
Melupakan aku dengan begitu saja. Mencampakkan diriku
yang telah melekat noda. Habis manis, sepah dibuang!
Itulah dia. Siapa lagi kalau bukan Handrian. Dan
Winda mencoba mengusir bayangan laki-laki itu. Tapi
wajah dan sikap Handrian sudah terlalu lekat dalam
pikirannya. Wajah yang tampan dengan sepasang mata
lembut dan sayu. Sikap yang senantiasa romantis dan penuh
kasih sayang. Semuanya itu adalah dambaan setiap gadis.- 69
Termasuk Winda yang tak berdaya dalam pelukan cinta laki
laki itu.
Winda mendongakkan kepala sembari mendesah.
Menyibak rambutnya yang jatuh menutupi keningnya. Ah,
kenapa dulu aku serela itu menyerahkan kesucianku? Kalau
aku tahu akhirnya cuma penyesalan yann tertinggal.
Barangkali waktu itu aku terlena dengan rayuannya.
Kemesraannya. Dan kenakalan jari-jari tangannya yang
gampang membakar berahiku. Sehingga sepasrah itu
kuserahkan mahkotaku. Terlalu. Memang terlalu. Laki-laki
itu memang terlalu kejam!
Kalau begitu, cinta dan kasih sayangnya cuma untuk
merenggut kesucianku. Lantas setelah ia puas seenaknya
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja berlalu. Ini tidak adil. Aku harus melakukan sesuatu
untuk membalas sakit hatiku. Lalu dengan cara apa? Apa
yang kulakukan supaya impas? Menuntut tanggung
jawabnya? Itu bisa saja. Tapi kalau ia bilang sama-sama mau
melakukan perbuatan terlarang itu, bagaimana? Dan ada
alasan lain karena ia tak ingin cepat-cepat menikah,
bagaimana? Akhirnya Winda cuma mengeluh. Kecewa
sekali dia.
Ketika ia menoleh ke meja belajarnya, tertumbuk
pandangannya pada foto Rini. Pada foto itu Rini yang
berparas cantik tersenyum manis. Dan Winda terus
mengamati foto itu. Cantik sekali si Rini. Wajah dan
tubuhnya yang ramping adalah idaman setiap pria. Maka
timbul pikiran jahat Winda. Cuma dia yang bisa membalas- 70
sakit hatiku. Ya, cuma ia aku bisa membalas sakit hatiku.
Lantas ia melompat turun dari atas tempat tidur. Dari laci
meja diambilnya sepucuk surat undangan. Otaknya
menyimpan ide cemerlang. Ya, dengan cara itu ia bisa
membalas sakit hati.
Dengan penuh antusias ia berlari ke luar kamar. Di
ruang tengah ia menelpon Rini.
"Hallo, Rini. Lagi ngapain nih?" tanya Winda
berbicara melalui telepon.
"Lagi baca-baca buku. Untuk ujian kita. Kamu lagi
ngapain?"
"Sama, baca buku-buku juga. Eee, Rin. Nanti malam
aku ada undangan pesta ulang tahun temanku nih. Kamu ikut
ya?" suara Winda bernada mengajak.
"Aku harus belajar, Win."
"Alaaaa, itu kan masih banyak waktu. Soalnya aku
butuh teman. Sungguh, Rin. Mau ya?" desak Winda.
"Cari teman yang lainnya saja deh."
"Aaah, aku tidak sreeg, kalau tidak sama kamu."
"Sama Kak Handrian saja. Nanti aku yang omong
padanya."
"Mana ia mau. Sudahlah, jangan singgung-singgung
soal ia lagi. Ia sudah melupakan aku."- 71
"Aku lagi malas, Win."
"Kalau begitu kamu juga sekongkol sama Handrian
ya?"
"Bisa saja kamu."
"Buktinya kamu tidak mau. Jika kau tidak sekongkol
harus mau."
"Waah, ini namanya memperkosa hak azasi
manusia."
"Bukan begitu. Sebab jangan sampai teman-teman
kita mengira, pergaulan kita putus gara-gara kakakmu."
"Ya deh. Aku nurut saja."
"Nanti malam kujemput kau di rumah jam tujuh."
"Okey."
Winda meletakkan gagang telpon ke induknya. Lega
hatinya karena Rini mau menemani. Maka dia senyum
senyum gembira. Dan apa yang direncanakannya, pasti
berjalan mulus.
Dan pada malam harinya rencana Winda benar-benar
mulus, ia menemui teman-teman prianya. Sedang Rini
ditinggal duduk sendiri di ruang pesta yang meriah itu.
Musik keras yang hingar-bingar mengiringi pasang muda
mudi asyik ber-disco. Ruangan pesta yang redup nampak
sebentar-sebentar terang disorot lampu kedip-kedip.
Kemana gerangan Winda? pikir Rini mengedarkan pandang.- 72
Tak nampak gadis yang dicarinya itu. Yang nampak malah
seorang laki-laki menghampirinya.
"Sendiri ya?" sapa laki-laki itu.
"Sama Winda."
''Kenalan," kata laki-laki itu sambil menyodorkan
telapak tangannya. Dan Rini membalas uluran tangan.
Mereka berjabatan.
"Alec."
"Rini."
"Kita turun yuk?"
Rini memandang Alec yang duduk di sampingnya.
Dalam keredupan sorot lampu, wajah laki-laki itu kelihatan
tampan. Rini cuma tersenyum.
"Lagi malas."
"Kalau sudah turun, malasnya akan hilang."
"Nanti saja."
Wajah Rini berubah cerah. Dia melihat Winda keluar
dari ruang dalam bersama teman-teman prianya. Terlibat
dalam pembicaraan yang gembira. Penuh antusias. Cuma
karena suara musik terlampau keras, sehingga pembicaraan
Winda tidak sampai ke telinga Rini. Dan pembicaraan itu
tak lama, Winda menghampiri Rini yang duduk
berdampingan dengan Alec.- 73
"Sudah saling kenalan?" tanya Winda.
Rini mengangguk. Alec senyum-senyum sambil
mengerdipkan mata sebelah. Kerdipan itu pertanda ia
menyukai Rini.
"Ayo dong turun!"
"Kamu sendiri tidak mau turun," balas Rini.
"Yuk kita turun sama-sama!" Winda menarik lengan
teman prianya yang mendekati. Lalu ia menggoyang
goyangkan badan menuruti irama disco.
Menyusul Rini yang agak malu-malu ditarik oleh
Alec ke lantai dansa. Tapi rasa malu itu cuma sekejap.
Setelah ia turun jadi ikut gembira. Goyang pinggul Rini
begitu lincah. Membangkitkan gairah Alec yang
mengincarnya. Dan setelah dua lagu selesai, Rini dan Alec
kembali ke tempat duduk. Winda meninggalkan lantai dansa
dan masuk ke ruang dalam. Cuma sebentar ia kembali lagi
ke lantai dansa.
"Kalau lagunya slow kita melantai ya?" ajak Alec.
Rini mengangguk.
Seorang gadis menghampiri Rini dan menyodorkan
minuman. Rasa haus telah membuat kerongkongan Rini
kering. Maka ia minum. Alec juga minum. Ternyata
minuman itu sengaja dikhususkan untuk sepasang remaja
ini. Dan sesaat kemudian, rasa mengantuk menyerang
kelopak mata Rini. Sendi-sendi tulang dan ototnya jadi- 74
lemas. Tapi letupan-letupan napsu berahi menguasai diri.
Sementara laki-laki di sampingnya tersenyum-senyum tak
henti-henti.
Dan ketika Alec membimbingnya masuk ke ruang
dalam, gadis itu tak berdaya berbuat apa-apa. Pikirannya
terbang melayang ke awang-awang. Bahkan sewaktu Alec
menidurkan di atas kasur empuk, tetap saja pasrah. Malah
pelukan dan ciuman Alec dibalasnya dengan hangat.
Rupanya khasiat obat tidur yang dicampur obat perangsang
telah menguasai pancaindranya. Membuat dirinya jadi
seperti kuda teji.
Anak-anak muda di ruang pesta itu menggoyang
goyangkan pantat menuruti irama musik. Penuh gairah. Dan
Alec juga menggoyang-goyangkan pantatnya. Penuh gairah.
Seorang gadis mengarakkan kakinya sedang berjoget penuh
keriangan, Rini juga menggerakkan kedua kakinya penuh
kesakitan. Dan irama musik yang bagai menerjang-nerjang,
bagai terjangan Alec yang sedang membobolkan benteng
pertahanan. Begitu Alec telah berhasil membobolkannya,
lebih lancar dia melakukan penyerangan. Tapi kemudian ia
terkulai setelah meledakkan amunisinya, ia segera mundur
dari peperangan, dan digantikan teman pria lainnya. Begitu
temannya terkulai, menyusul diganti teman pria lainnya lagi.
Terus silih bergantian, sampai enam laki-laki yang maju ke
pertempuran terkutuk itu. Sedang Rini ingin melepaskan diri
dari serangan-serangan itu, namun tubuhnya tak mempunyai- 75
daya. Layu segenap jaringan tubuhnya. Rini yang malang
telah diperkosa tujuh laki-laki terkutuk. Kasihan dia.
Dan Winda merasa lega perasaannya. Sakit hatinya
sudah terbalas. Bahkan pembalasan itu lebih kejam!
***- 76
Suasana sepi. Hawa sejuk menyusup ke dalam kamar.
Kamar yang di huni Rini berbaring di atas tempat tidur.
Perlahan-lahan gadis itu mulai membuka kelopak mata.
Menyalangkan matanya. Dan sejenak gadis itu terpana. Di
mana aku berada? Yang menjawab hanya keheningan. Dan
dia mulai merasakan tubuhnya nyeri dan sakit. Seluruh
persendian serasa lunglai.
Lalu ia mengedarkan pandang ke seputar ruang
kamar. Kamar siapa ini? Dan ketika pandangan sampai di
jendela, sinar matahari menerobos masuk. Apakah aku
sedang bermimpi? Tapi pada saat ia menggerakkan kakinya,
rasa nyeri dan ngilu menyerang pangkal pahanya. Dan suatu
rasa yang belum pernah dialami menyergap di bagian yang
paling peka. Ya, Tuhan. Betapa perih dan sakitnya. Apa
yang telah terjadi pada diriku? Apa? Apa?
la mencoba mengingat. Dan terus mengingat-ingat.
Pesta itu. Ya, pesta yang berlangsung semalam itu telah
berakhir. Di mana Alec? Di mana Winda? Lalu ia ingin
menjerit. Tapi kerongkongannya bagai tersekat, la ingat
kejadian semalam. Alec mengangkatnya ke tempat tidur,
lalu menggumulinya. Menyergapnya dengan serangan yang
di luar dugaan, la tak tahu kelanjutannya lagi. Yang ia
rasakan hanya rasa perih. Perih yang berbaur dengan
kenikmatan. Lalu berikutnya Alec digantikan laki-laki lain.
Siapa laki-laki itu.
Dan digantikan lainnya lagi. Lainnya lagi. Terus,
terus... ia tak ingat lagi. Oooh... Tuhan, aku telah diperkosa.- 77
Maka Rini terkulai dalam tangis. Menangisi malam yang
terkutuk dalam hidupnya.
Pintu kamar itu terbuka. Winda masuk dan pura-pura
bersedih langsung memeluk Rini. Rini membalas pelukan
itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Kenapa sampai terjadi begini, Rin?"
"Aku tak tahu, tak tahu," ratap Rini memilukan.
"Semalam aku mencarimu ke mana-mana. Tapi
setelah kutemukan, kau pingsan di kamar pesta itu.
Tubuhmu tidak terlapisi busana. Apa yang telah terjadi pada
dirimu?" Winda pura-pura bertanya. Padahal suara hatinya
mengumpat: "Terimalah pembalasanku, supaya Handrian
tahu. Supaya Handrian juga turut merasakan kejadian yang
dialami adiknya. Sebagai pembalasan dan hukum karma atas
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perbuatannya!"
Rini hanya menangis tersedu-sedu.
"Katakan. Kenapa, Rin?"
"Aku telah diperkosa tujuh orang laki-laki," memekik
pilu suara Rini.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Aku tak tahu, aku tak tahu," keluh Rini.
"Aku laporkan pada polisi."
"Jangan..." desah Rini cemas.- 78
"Kenapa?"
"Kejadian ini akan mencemarkan nama keluargaku."
"Itu yang kuharap, supaya nama keluargamu cemar.
Supaya Handrian tahu bagaimana akibat suka menodai
perempuan. Suka mempermainkan perempuan," kata Winda
dalam hati.
"Jadi kau menerima kejadian ini dengan rela?"
Rini menganggukkan kepala berat sambil terisak
isak.
"Aku turut menyesali kejadian ini, Rin. Aku tak
menduga akan begini jadinya." "
"Kau telah menjerumuskan aku ke dalam pesta gila
itu," keluh Rini.
"Sampai hati kau menuduhku begitu, Rin?"
"Kalau kau tidak memaksa untuk ikut, tak mungkin
terjadi begini."
"Kau jangan salah mengerti. Aku minta kau
menemani untuk datang ke pesta itu. Bukan untuk
menjerumuskan. Rini, kita berteman sudah cukup lama.
Mana mungkin aku sekejam itu padamu. Kau sendiri masuk
ke kamar tidak memberi tahu aku. Dan kau masuk dengan
siapa ke kamar itu, aku pun tak tahu. Jadi jangan menuduhku
begitu. Malah aku sudah bersusah payah membawamu ke
mari."- 79
Rini mengusap air matanya, lalu dia bangkit dari
tempat tidur.
"Aku sekarang di mana?"
"Di rumahku."
"Antarkan aku pulang."
Rini dengan seluruh sisa tenaga yang ada, turun dari
atas tempat tidur.
"Sebaiknya kau istirahat saja dulu di sini. Tubuhmu
masih lemas."
"Biar. Antarkan aku pulang sekarang."
"Sebaiknya kau mandi dulu. Berdandan yang rapi,
baru pulang. Keadaanmu yang seperti itu, akan menimbul
kan kecurigaan orang tuamu."
Sesaat Rini tercenung dalam diam. Isak tangisnya
mulai reda, tapi air matanya masih terus mengalir. Saran
Winda memang benar. Kalau aku pulang dalam keadaan
kusut dan tidak segar, pasti akan menimbulkan pertanyaan
Papa dan Mama. Apalagi semalam aku tidak pulang,
pikirnya. Lalu ia dengan terkapai-kapai melangkah. Dan
menyeret kakinya yang gemetar. Serasa tubuh itu bukan
miliknya lagi.
Winda membantu Rini menuju ke pintu kamar mandi.
Tidak terlalu jauh, sebab kamar mandinya berjejeran dengan
kamar itu. Dan tidak perlu keluar kamar, lantaran pintu- 80
kamar mandinya ada di dalam kamar. Jadi dengan tanpa
banyak mengeluarkan tenaga, Rini dapat masuk ke kamar
mandi. Siraman air yang membasahi tubuhnya, telah
memulihkan sebagian kekuatan pada diri Rini. Dan dia
pulang dengan keadaan fisik yang nampak biasa, meski
dalamnya remuk redam. Layu. Dan rapuh.
***- 81
Tangis Rini jadi berkepanjangan setelah berada di
kamarnya yang tertutup, la menghujani bantalnya dengan air
mata. Ia menangisi tubuhnya yang lunglai, layu, dan
segalanya yang tertinggal adalah noda kenistaan. Dulu apa
yang sempurna, suci, dan mulia, telah pudar bagai lumpur
hina.
Di kamar lain, lagu Jamal Mirdad mengalun lembut.
Suara Handrian menirukan nyanyian itu dengan penuh
perasaan. Sambil membayangkan semua kenangan yang
terukir indah di hatinya. Dan Rini di kamarnya meratapi diri
sendiri.
Apakah karma yang kualami ini akibat perbuatan
Handrian? Kenapa aku yang mengalami begini? Kehilangan
kesucian yang berharga bagi seorang gadis. Kesucian yang
ingin kupersembahkan pada suamiku kelak. Oh, alangkah
getir hari esok yang kujalani. Oh, alangkah kecewanya laki
laki yang kelak akan menjadi suamiku. Karena aku telah
kehilangan apa yang paling kubanggakan dalam diriku.
Dan Rini merasa dadanya mau meledak. Tak mampu
lagi menahan tangisnya yang memilukan. Ingin ia menjerit
sekuat-kuatnya. Tapi jerit dan tangisnya takut didengar
orang tuanya. Takut kalau ditanya apa sebabnya ia
menangis.
Pintu kamar terbuka. Muncul Lila melangkah masuk
dan menghampiri anak gadisnya. Maka Rini cepat
menghentikan tangisnya, ia mengusap air mata yang- 82
membasahi pipinya. Letupan-letupan tangis masih tersekap
di dalam dada. Tapi berusaha disembunyikan sambil
menggigit bibirnya hingga sakit.
Lila duduk di pinggir tempat tidur. Jari-jari tangannya
menyentuh halus bahu Rini yang tidur tengkurap.
"Rini."
Gadis itu membalikkan badannya dengan lesu. la
pura-pura sakit. Matanya yang kuyu memandang ibunya.
Ingin rasanya ia memeluk perempuan yang dicintainya itu.
Ingin rasanya ia mengadukan keadaan dirinya yang telah
ternoda. Tapi, tapi, oh tidak! Aku tidak boleh mengatakan
semuanya ini. Sebab akan lebih rumit masalahnya.
"Kau menangis? Kenapa?" tanya Lila sambil menatap
wajah anaknya.
"Rini tak enak badan, Ma."
"Itulah akibatnya kalau tidak pulang. Membuat orang
tua cemas saja. Semalam tidak pulang pergi ke mana?"
"Belajar bersama di rumah Winda."
"Belajar kok tidak sampai pulang. Pasti kamu
membohongi Mama," kata perempuan itu setengah
menyelidik.
"Sungguh, Ma. Rini tidak berbohong."
"Sakit apa yang kau rasakan?"- 83
Rasa pedih menjalar di dalam dada gadis itu.
Seandainya kautahu, Ma. Seandainya kautahu keadaan diri
sekarang, pasti kau akan turuti meratapi noda yang melekat
pada diriku. Anakmu tidak suci lagi. Anakmu telah
diperkosa tujuh orang laki-laki. Dan air mata Rini meleleh
jatuh di pipinya.
"Kepalaku pening sekali. Tubuhku panas dingin,
Ma." Rini mengatakan dengan suara parau.
"Kalau begitu pergilah ke dokter."
"Oh, tidak! Ak... aku tidak apa-apa," kata Rini nyaris
menjerit.
"Sakitmu akan bertambah parah nanti. Biar kusuruh
Handrian mengantarmu ke dokter."
Rini jadi kian resah. Tapi mata ibunya seolah-olah
memancarkan keharusan untuk pergi ke dokter. Dan Rini tak
ada keberanian untuk membantah keharusan itu. Maka ia
segera bangkit dari tempat tidurnya dengan lesu. Memang
lebih baik menuruti perintah ibunya, untuk menghilangkan
rasa curiga perempuan itu. Jangan sampai tahu keadaan
dirinya yang sebenarnya.
"Kau ganti pakaian dulu. Mama mau menemui
kakakmu," kata Lila sembari pergi dari kamar itu.
Di kamar lain, lagu yang dinyanyikan Jamal Mirdad
terus mengalun. Sampai bosan orang mendengarkan lagu
itu. Sebab Handrian telah memutar lagu itu berkali-kali. la- 84
mendengarkan sambil tiduran di atas kasur. Mengenang
semua kenangan yang dijalin bersama Rosalina. Terlampau
indah untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Namun segala lamunannya yang indah jadi buyar, la
tersentak melihat ibunya masuk ke kamarnya. Tumben, pikir
Handrian. Sebab ibunya jarang sekali masuk ke kamarnya
kalau tidak penting. Dan ada kepentingan apa gerangan?
"Mama sampai bosan mendengarkan lagu itu," gerutu
Lila.
Dengan terpaksa Handrian mengecilkan volume radio
tape-nya.
"Tapi aku tidak bosan, Ma. Biar seribu kali diputar,
malah semakin enak didengarnya," balas Handrian sembari,
bangun. Bibirnya tersenyum gembira.
"Antarkan adikmu ke dokter."
"Rini sakit?"
"Ya."
"Alaaaa, macam-macam saja. Dasar kolokan2 tuh
anak," gerutu Handrian.
"Eee, orang sakit dibilang kolokan. Cepat kauantar
dia ke dokter."
2 Manja- 85
Tanpa semangat, Handrian turun dari tempat tidur, la
menyisir rambutnya sebentar di depan kaca. Lalu melangkah
keluar bersama ibunya. Mereka menuju ke kamar Rini. Dan
Rini telah siap menunggu.
"Ayo!" ajak Handrian.
Rini mengayunkan langkah tersaruk-saruk lesu.
Handrian tak sampai hati juga melihat keadaan adiknya.
Maka dibimbingnya ke luar dari kamar. Terus berjalan
melintasi ruang tengah. Hendra yang sedang duduk di kursi
jadi termangu.
"Rini kenapa?" tanya Hendra.
"Sakit. Mau ke dokter, Pa," sahut Handrian sambil
membimbing adiknya terus berjalan. Tidak lagi menghirau
kan percakapan kedua orang tuanya.
Di luar rumah, sore yang kelabu. Langit tertutup awan
hitam, dan matahari enggan menampakkan diri. Angin yang
bertiup cuma sesekali, pertanda hujan akan segera turun
dengan lebat. Tapi bagi Handrian dan Rini tidak
kebingungan. Sebab mereka naik mobil yang sedang
menuju ke rumah dokter Ridwan. Dokter langganan
Handrian bilamana ia jatuh sakit.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita tidak usah ke dokter," kata Rini.
"Lho, katanya sakit?"
"Tidak. Tak perlu ke dokter," tukas Rini yang mulai
menangis.- 86
"Kamu ini bagaimana sih? Tadi minta suruh
mengantar ke dokter, sekarang malah berubah. Jadi maumu
sekarang apa?" gerutu Handrian kesal.
Hujan mulai turun membasahi bumi. Membasahi
jalan aspal mulus yang dilewati mobil Handrian. Pipi Rini
yang mulus pun basah. Dibasahi butiran air mata kesedihan.
Isak tangisnya mulai dirasakan memilukan.
"Aku tidak sakit, Tidak sakit. Ooooh ...!" pekik Rini
yang hampir menjerit.
Handrian jadi gusar. Ini pasti ada yang tidak beres,
pikir Handrian. Lalu ia membelokkan mobilnya ke tempat
yang sepi. Dan menghentikan di pinggir jalan. Hujan turun
semakin deras. Sederas linangan air mata Rini yang jatuh
membasahi pipinya.
"Kau sebenarnya kenapa?" tanya Handrian lunak, la
iba melihat mata Rini membengkak. Tubuhnya pun lemas
yang tersandar di jok, bagai tidak mempunyai daya lagi.
Layu.
Rini tambah terisak-isak.
"Kau ditinggal pacarmu?"
Gadis itu menggeleng.
"Lalu apa yang kau tangisi?"
Tambah parah tangisnya.- 87
"Katakanlah Rini, apa yang menyusahkanmu?
Katakanlah, biar aku bisa membantu persoalanmu. Kau
adalah adikku. Apa pun yang terjadi atas dirimu, aku turut
memikirkannya," desak Handrian lunak sekali. Seperti
seorang kakak yang membujuk adiknya yang rewel minta
kembang gula.
Ucapan Handrian tidak meredakan tangis Rini.
Malahan kini ia ingat semua perbuatan Handrian. Perbuatan
yang sering mempermainkan gadis-gadis. Dan inilah karma
yang menimpa seorang gadis yang tidak bersalah.
"Semuanya ini karena kau!" suara Rini lantang.
Handrian terkejut. Heran dia.
"Aku?"
"Ya! Rupanya ini adalah karma dari perbuatanmu."
"Apa yang telah terjadi pada dirimu?"
Handrian bingung. Gusar.
"Aku... aku... kehilangan..." ucapan Rini terputus
karena diserbu tangisnya.
"Kehilangan apa?" tak sabar Handrian menimpali.
"Kesucianku, keperawananku. Aku telah diperkosa
tujuh orang laki-laki!" jerit Rini disertai ledakan tangisnya
yang tersedu-sedu.- 88
Handrian terperangah. Petir yang menyambar detik
itu, bagai menyambar tubuhnya.
"Ya Tuhan," desah Handrian sedih sekali. Rasa pedih
dan nyeri merambat ke dalam dada. Rasa hangat merambat
di kelopak matanya. Dan setetes air mata jatuh di pipi. Ia
memeluk adiknya erat. Perasaannya hancur berkeping
keping.
"Kenapa sampai terjadi? Kenapa hal itu sampai
terjadi?" suara Handrian parau.
"Aku... aku telah terjerumus mengikuti pergaulan
Winda."
Handrian mengelus-elus rambut adiknya.
"Kau telah menjadi korban dari perbuatanku. Kau
yang menerima karma dari perbuatanku. Alangkah
menyedihkan kenyataan ini," keluh Handrian dalam hati.
''Siapa yang telah melakukannya?"
"Tak ada gunanya, tak ada gunanya memperpanjang
perkara ini. Karena akan mencemarkan nama baik keluarga
kita. Biarlah. Biarlah, aku yang menanggung kesemuanya
ini," jerit Rini yang pilu dalam tangis.
"Tidak. Aku tidak mau tinggal diam!" geram
Handrian.
"Jangan ..."
"Kenapa jangan?"- 89
"Mereka tujuh orang. Satu pun tak ada yang kukenal
pribadinya. Tak ada yang kusukai. Kalau persoalan ini
sampai ke tangan polisi, nama keluarga kita akan cemar.
Koran-koran akan memuat kejadian yang kualami."
Handrian jadi tercenung.
"Dan bagaimana dengan kau? Sudah berapa banyak
gadis-gadis yang mengalami nasib seperti aku. Menjalani
hidup dengan noda yang kau tinggalkan dalam dirinya.
Seandainya mereka sampai tahu kejadian ini, pasti mereka
akan menertawakan. Mencemooh. Bahkan mengejek
keluarga kita. Aku akan jadi bahan omongan di fakultas.
Semuanya itu akan menambah kepedihan hatiku, Kak.
Biarlah, biarlah, segalanya itu kuterima dengan hati rela,"
tutur Rini yang mulai reda tangisnya.
Handrian bagai terpukul oleh perbuatannya selama
ini. Namun kenyataan yang menyedihkan itu harus rela
diterimanya. Seperti kerelaan Rini yang menjalaninya. Dan
itu semuanya sudah terjadi.
"Maafkanlah aku, Rini! Selama ini aku sering
menyakiti perasaanmu. Tidak mau menghiraukan nasehat
Mama dan saranmu. Aku memang selalu membanggakan
diri. Membanggakan karena gampang membuat gadis-gadis
jatuh cinta padaku. Beralih dari gadis satu ke gadis lainnya
untuk mencari kepuasan," keluh Handrian penuh
penyesalan.
"Aku minta jangan ceritakan hal ini pada siapa pun."- 90
"Ya."
Rini mengusap air matanya.
"Sebaiknya kau harus memeriksakan diri ke dokter
Ridwan. Siapa tahu ada penyakit yang menular dari ke tujuh
laki-laki itu."
Gadis itu mengangguk cemas.
Handrian segera melarikan mobilnya menerobos
hujan yang lebat. Sementara dalam perjalanan pikiran
Handrian melayang ke masa lalu. Dari gadis ke gadis yang
pernah dipacarinya terlintas di benak. Enam. Enam orang
gadis yang direnggut kesuciannya. Dan setelah puas, mereka
ditinggalkan begitu saja. Itu masih belum termasuk ia
menjalin hubungan samen leven3 dengan perempuan
lainnya.
Terkutuk!
Dan terakhir adalah Rosalina. Maka hati Handrian
jadi berdebar. Untuk yang terakhir ini, ia tak akan
meninggalkannya. Walau apa pun yang akan terjadi.
***
3 Istilah untuk Kumpul Kebo, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan- 91
Baru saja Handrian menutup pintu mobil, ia baru
pulang dari mengantar Rini ke dokter. Setelah
mengembalikan Rini ke rumah, ia terus langsung menuju ke
rumah Rosalina. Tujuannya untuk datang ke rumah
Rosalina, karena didorong oleh kejadian yang dialami Rini.
Kejadian yang baru dialami Rini, adalah cambuk berduri
yang melecut dirinya. Melecut untuk memiliki rasa
tanggung jawab yang besar terhadap Rosalina. la harus
menikah dengan perempuan itu. Tak perduli perempuan itu
milik siapa.
Handrian melangkah ke teras rumah itu. Sisa-sisa air
hujan masih bergenang di halaman rumah Rosalina yang
nampak sepi. Pintu rumah itu tertutup rapat. Dan di malam
yang dingin ini, seolah-olah memencilkan rumah yang akan
dikunjungi Handrian.
Ia menghentikan langkah di depan pintu. Menarik
napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintunya. Berusaha
mengendalikan debaran jantungnya yang tak menentu. Lalu
daun pintu itu diketuknya berulangkah. Masih belum ada
reaksi dari penghuninya. Sepi. Maka diketuknya lagi pintu
itu.
Pintu terbuka. Ternyata yang menyambut kedatangan
Handrian adalah seorang laki-laki yang duduk di kursi roda.
Dan laki-laki itu terperangah memandang tamunya.
Terperangah karena mengenali tamunya yang dulu pernah
dilihatnya mengantar Rosalina.- 92
"Selamat malam," sapa Handrian ramah.
"Malam. Silakan masuk," balas Gunawan dingin.
Handrian masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi.
Gunawan menggelindingkan kursi rodanya sampai
berhadapan dengan tamunya.
"Mau ketemu Rosalina?" tanya Gunawan.
"Ya."
"Ada keperluan apa menemui Rosalina?"
Handrian tersenyum ramah. Senyum mengajak
bersahabat, "Cuma sekedar main."
Tabir membatas ruang tamu dengan ruang tengah
terbuka. Seraut wajah cantik berambut panjang melongok.
Dan sepasang matanya yang bening indah terperangah.
Wajah yang cantik itu berubah pucat seketika. Perasaan
cemas dan gelisah menyergap di dalam dada. Itulah
Rosalina.
Handrian mengembang senyum di bibirnya ketika
bersitatap dengan perempuan itu. Tapi senyum balasan
Rosalina kelihatan gelisah. Lalu perempuan itu menarik
mundur kepalanya. Bersembunyi di balik tabir.
"Sudah lama kenal Rosalina?"
Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Handrian dari
tabir ke laki-laki yang duduk di kursi roda.- 93
"Seingat saya, lebih dari satu bulan," jawab Handrian
tenang.
Gunawan menggelindingkan kursi rodanya menjauhi
tamunya. Lalu memutar kursi rodanya sampai
membelakangi Handrian. Tatapannya terlempar ke luar
melalui jendela yang terpentang. Memandang kegelapan
malam di luar rumah. Pandangannya hampa dan dingin.
Sementara Handrian seperti menghadapi pemilik rumah
yang memiliki sifat aneh. Mirip dengan sifat Rosalina. Maka
kehadirannya di rumah ini juga dirasa aneh.
"Kenal Rosalina di mana?"
"Ngg..." Handrian jadi bingung. Bagaimana
menjawabnya? Tapi kalau dijawab kenalnya di jalanan, bisa
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinilai kurang sopan. Dikira orang tidak punya aturan. Maka
dijawab oleh Handrian: "Kebetulan saya berkenalan di
tempat pekerjaannya."
"Sering berkunjung ke salon itu?"
"Kadang-kadang."
"Kerja di mana?"
"Di perusahaan kontraktor."
"Jabatan?"
"Direktur perusahaan."
"Hebat. Tinggalnya di mana?"- 94
"Di Menteng."
Handrian mengamati punggung laki-laki itu. Waaah,
pertanyaannya kayak hansip yang menangkap maling ayam.
Pikir Handrian sambil garuk-garuk kepala. Padahal kepala
nya tidak gatal.
"Sudah punya istri?"
"Masih bujangan."
"Pas!"
Handrian menempelak jidatnya. Apanya yang pas?
Benar-benar aneh sifat laki-laki itu. Sudah duduknya
membelakangi, pertanyaannya yang nggak-nggak saja.
"Apanya yang pas?" tanya Handrian.
"Kau dan Rosalina memang pasangan yang pas.
Rosalina masih muda, cantik dan penuh gairah. Dan kau
seorang pemuda tampan, memiliki kondisi fisik yang penuh
semangat, seorang direktur muda lagi. Maka kalian memang
pasangan yang ideal," kata Gunawan yang maksudnya
menyindir Handrian. Juga terhadap Rosalina.
Handrian mengusap-usap dagunya. Waah, aku
diplonco nih? Pikir Handrian senyum-senyum. Sedang
Rosalina yang sejak tadi berdiri di balik tabir, perasaannya
bagai disembelih. Menyebabkan air matanya menetes
membasahi pipi. Ia harus menghadapi kenyataan.
Kenyataan yang membelah perasaan bercabang dua. Tetap
setia pada suaminya, tapi takut kehilangan Handrian. la- 95
sangat mencintai pria itu. Pria yang penuh gairah. Pria yang
menghadirkan kebahagiaan dalam kegetiran hidupnya.
"Pertanyaan Saudara sudah saya jawab dengan jujur.
Sedang saya belum tahu siapakah Saudara?" Handrian balik
bertanya. Tenang sekali penampilannya.
Gunawan memutar kursi rodanya, dan kembali
menghadapi tamunya. Matanya menatap tajam ke arah
Handrian. Bagai mata seekor elang.
"Sebelum mengetahui siapa aku, jawab dulu
pertanyaanku dengan jujur," kata Gunawan tegas.
Pasti pertanyaannya kayak hansip lagi nih, pikir
Handrian. Tapi baiklah, barangkali bisa menghibur hatinya.
Mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan itu ia merasa puas.
"Silakan."
"Kau mencintai Rosalina?"
Pertanyaan yang mengejutkan! Selama aku pacaran
dengan puluhan cewek ayahnya tidak pernah bertanya
begini padaku. Tapi kali ini, benar-benar hansip. Bukan
urusan maling ayam, tapi menangkap orang lagi berbuat
mesum. Dijawab atau tidak, pikir Handrian. Kalau dijawab
memalukan, tapi kalau tidak dijawab kurang sportif. Jadi
kayak dagelan saja. Handrian kepingin tertawa, tapi
ditahannya. Biarlah kayak dagelan, pertanyaan itu harus
dijawab.
"Ya," jawab Handrian mantap.- 96
Gunawan menatap bola mata Handrian dengan tajam.
Handrian membalasnya. Saling bertatapan. Handrian
berkata dalam hati: "Anggap saja dagelan!"
"Kau memang laki-laki satria dan pemberani. Bukan
pengecut seperti aku dulu. Nah... ku persilakan secepatnya
kau angkat kaki dari tempat ini!" hardik Gunawan.
Handrian bangkit, ia mulai menyadari, kalau
kemarahan di mata laki-laki itu bukan mengajak dagelan.
Serius. Maka ia juga serius.
"Tunggu dulu. Anda tidak sportif kalau belum
memberi tahu siapakah diri Anda," kilah Handrian tegas.
Gunawan tersenyum sinis. Pancaran matanya
membias rasa cemburu. "Aku suami Rosalina!"
Handrian juga tersenyum. Bukan sinis, melainkan
tidak percaya. Pancaran matanya pun sama dengan makna
senyumannya.
"Saya kurang percaya. Anda pasti tidak jujur," kata
Handrian.
"Percaya atau tidak, terserah kau. Kenyataannya
memang begitu. Tapi aku tidak bisa menyalahkan kau atau
Rosalina. Mungkin Rosalina tidak mau berterus terang
mengatakan hal yang sebenarnya. Aku memaklumi hal itu.
Ia masih ingin mengecap pergaulan tanpa dibatasi pagar
ayu. Sebab kalau pria mana pun tahu statusnya, maka pria- 97
yang semacam kau akan mundur secara teratur. Tidak ingin
merusak pagar ayu."
Tabir pembatas ruangan itu terkuak. Rosalina berlari
menubruk pangkuan suaminya, ia berlutut di depan kaki
Gunawan sambil menangis terisak-isak pilu.
"Mas Gun, aku telah berdosa padamu! Selama ini aku
selalu mendustaimu. Tapi semua itu karena terbelenggu
kesepian. Aku membutuhkan teman, aku membutuhkan
hiburan. Sudikah kau mengampuni aku, Mas?" suara
Rosalina di sela-sela tangisnya.
Gunawan membuang pandangan ke luar rumah.
Melalui pintu yang terbuka ia memandang malam yang
suram. Sesuram perasaannya saat itu. Malam semakin
nampak baur, sebab matanya dilapisi butiran air bening.
"Aku sadar tentang kelemahanku. Aku sadar tentang
takdirku yang begini. Sedangkan kau masih muda dan penuh
gairah. Oh, Lina. Kalau aku mampu sudah sejak dulu aku
ingin membahagiakan hidupmu."
Wajah Rosalina menengadah, matanya yang
berlinang memandang wajah suaminya. Pancaran di mata
perempuan itu memohon pengampunan.
"Mas, aku tetap setia padamu. Aku tetap istrimu yang
akan mendampingi hidupmu sampai Tuhan memisahkan
kita."- 98
Handrian jadi terharu menyaksikan Rosalina yang
berlutut di depan kaki suaminya. Tangis perempuan itu
bagai sembilu yang menyayat hatinya. Suara perempuan
yang memohon pengampunan itu, bagai jerit yang minta
dikasihani. Rosalina, Rosalina. Hidupmu adalah kegetiran.
Hidupmu adalah kemelut yang berkepanjangan.
Hidupmu seperti di penjara kehampaan dan siksaan batin
yang menyedihkan. Sekarang jelas bagiku, problem yang
tak pernah mau kau katakan adalah kenyataan ini. Terlalu
getir hidupmu, Rosalina. Kau terjepit di antara kesetiaan dan
cinta. Kau perempuan malang yang patut dikasihani.
Tangis Rosalina terus berkepanjangan. Perempuan itu
menciumi tangan suaminya. Mengharapkan laki-laki itu
mau mengerti jeritan hati seorang istri yang terbelenggu
kesepian.
"Jangan membenciku, Mas! Aku ingin tetap
membuktikan kesetiaanku padamu. Sebab kebencianmu
akan menyiksa hidupku," pinta Rosalina memelas.
"Apalah arti kesetiaanmu kalau batinmu senantiasa
tersiksa. Lebih baik kau terus memupuk cinta kasih dengan
pria itu. Aku rela. Ia lebih ideal untuk menggantikan diriku
yang cacat ini. Yang tak bisa memberikan kebahagiaan
seutuhnya padamu."
Kepala Rosalina menggeleng-geleng dengan tekanan
batin yang perih. Jeritnya adalah penderitaan yang tak
terperikan.- 99
"Itu tidak mungkin terjadi! Tidak mungkiiin!"
"Kenapa tidak mungkin, Lina? Semua itu bisa
terjadi," kata Gunawan.
"Aku tidak mau meninggalkan kau, Mas."
Lalu Rosalina memandang Handrian yang berdiri
seperti patung. Sorot matanya tajam, meski dibasahi air yang
berkilau-kilau.
"Pergilah kau!" seru Rosalina dengan suara bergetar.
Handrian menarik napas berat. Sesaat ditatapnya
perempuan yang sangat dicintainya itu. Ingin rasanya ia
merengkuh perempuan itu, dan dibawanya pergi. Pergi
meninggalkan segala penderitaan dan belenggu siksaan
yang dialaminya. Ingin rasanya ia membahagiakan
perempuan malang itu, sebab sudah lebih dua tahun direjah
penderitaan. Kendati ia masih ingin tetap setia. Maka
alangkah bahagianya jika ia bisa memiliki perempuan itu.
Tapi, perempuan itu masih terikat hukum perkawinan.
Perempuan itu masih berstatus istri orang.
Maka Handrian melangkah pergi. Langkahnya
gontai. Sekeping hati yang ada di dalam dadanya bagai
tertusuk beliung. Rosalina, Rosalina. Sampai kapan pun aku
akan setia menantimu. Aku berjanji tak akan jatuh cinta lagi.
Cintaku kepadamu putih dan abadi. Aku tak perduli kau
milik siapa, mencintai itu bukan dosa. Aku berjanji pada hati- 100
kecilku ini, akan tetap setia menantimu, walau sampai
memutih rambutku.
Handrian menghenyakkan pantat di jok mobil. Sesaat
ia termenung duduk di belakang stir. Dan ketika ia menoleh
ke arah pintu rumah Rosalina, pintu itu telah ditutup rapat
rapat. Elahan napas panjang mengembus dari mulut
Handrian. Dengan begitu ia bisa mengurangi kepedihan
hatinya. Lalu ia melarikan mobilnya pergi dari tempat itu.
Segumpal rasa sedih masih dibawanya pulang.
***- 101
Rosalina menjilat bibirnya yang kering. Lalu menelan
air ludahnya yang dirasa pahit. Di depannya duduk Lili yang
bermata dingin. Tidak menampakkan keramahannya lagi.
Sebab perempuan itu baru saja mengucapkan kata-kata yang
melunglaikan sendi-sendi tubuhnya.
Pemecatan!
Ya, Rosalina telah diberhentikan dari pekerjaan. Hari
ini ia terlambat masuk kerja. Bukan karena keterlambatan
hari ini, tapi ia memang sudah sering tidak masuk bekerja
tanpa izin. Maka ia rela menerima pemberhentian itu.
"Terimalah uang pesangonmu selama kau bekerja di
sini," kata Lili sambil menyodorkan uang kepada Rosalina.
Rosalina menerimanya dengan hati berat.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, Kak. Dan bila saya banyak melakukan
kesalahan, mohon dimaafkan."
"Sama-sama."
Rosalina bangkit dari tempat duduknya. Kemudian
dia berlalu meninggalkan ruangan kerja Lili. Lalu menemui
rekan-rekannya sebelum ia pergi, satu persatu teman
sekerjanya itu disalaminya.
"Hee, apa-apa nih? Tumben pakai salaman segala,"
kata Era terheran.
"Lina, kaumau ke mana?" tegur Mirna.- 102
Sedih sekali perasaan Rosalina. Sedih karena berpisah
dengan teman-teman senasib yang kerja di salon itu. Lebih
dua tahun mereka bergaul penuh suka dan duka menghadapi
pekerjaan. Tapi sekarang ia dipecat.
"Aku telah diberhentikan oleh Kak Lili," suara
Rosalina parau.
Semua teman-temannya terperangah. Ikut merasa
haru karena Rosalina diberhentikan dari pekerjaan.
"Kau mau kerja di mana?" tanya Era. Rosalina
menggeleng. Ditahannya air matanya yang hendak jatuh dari
sudut kelopak mata. Era memegang bahu Rosalina.
"Jangan putus asa, Lina! Terus berusaha mencari
pekerjaan lain! Kami mendoakan agar secepatnya kau bisa
memperolehnya."
"Terima kasih, Era. Selamat tinggal teman-teman.
Sampai jumpa lagi," pamit Rosalina sambil melangkahkan
kakinya. Langkahnya yang gontai dan lesu meninggalkan
salon itu. Dan terus diayunkan menuju ke halte bis kota.
Sebuah mobil sedan yang berjalan pelan mengiringi
nya, ia menoleh ke samping, ternyata Handrian yang
mengemudikan mobil itu. Rosalina menghentikan
langkahnya. Mobil itu pun ikut berhenti.
"Kau mau ke mana, Lina?" tegur Handrian.
"Mau pulang."- 103
"Tidak masuk kerja?"
Rosalina menggelengkan kepala berat. Handrian
buru-buru membukakan pintu mobil.
"Naiklah, Lina."
Tanpa bicara sepatah kata pun, Rosalina naik ke
dalam mobil, la duduk di sebelah Handrian sambil
menghempaskan pintunya. Baru kemudian Handrian
meluncurkan mobilnya. Mengikuti jalur jalanan yang padat
kendaraan.
"Kau sakit?" tanya Handrian.
Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Lalu kenapa kau pulang?"
Rosalina menarik napas panjang. Berat rasanya untuk
mengatakan hal yang menimpanya.
"Ada persoalan di tempat pekerjaan?"
"Kira-kira begitulah."
"Untung kita ketemu, kalau tidak percuma saja aku
masuk ke salon."
"Mau apa ke salon?"
"Mau ketemu kau."
"Mulai besok aku sudah tidak bekerja lagi di salon
itu."- 104
"Kenapa?"
"Aku telah dipecat oleh pemilik salon."
Handrian terperangah. Nyaris mobilnya menyeruduk
orang yang sedang menyeberang jalan. Untung ia buru-buru
menginjak rem. Dan Tubuh Rosalina terayun ke depan.
Sambil menggerutu Handrian tancap gas lagi.
"Kau tak perlu bersedih. Aku masih bisa menerima
mu bekerja di perusahaanku. Itu kalau kau masih ingin
bekerja. Tapi menurut pendapatku, sebaiknya kau tidak usah
bekerja. Aku akan membantu biaya kehidupan rumah
tanggamu," ujar Handrian penuh perhatian.
"Ah!" desah Rosalina. "Aku tak mau bergantung pada
kemurahan hati seorang dermawan mana pun. Aku masih
ingin bekerja."
"Yah, jika itu memang kemauanmu, aku tak bisa
memaksa."
Handrian menghentikan mobilnya di Sky Garden
restauran. Lalu mengajak Rosalina masuk. Di tempat yang
tenang dan romantis mereka duduk berdua menghadapi
meja makan. Di sekeliling mereka banyak bunga-bunga
yang bermekaran. Handrian dan Rosalina segera memesan
hidangan pada seorang pelayan. Setelah pelayan itu pergi
menyiapkan hidangan, Handrian memegang jari tangan
Rosalina. Meremas-remasnya dengan mesra.- 105
"Kini sudah jelas bagiku, siapa kau sebenarnya.
Lantas bagaimana tanggapan suamimu?" tanya Handrian
lembut.
Rosalina tertunduk. Dan matanya bergenang air tipis.
"Kau tetap ingin menjalani hidup yang getir itu?"
Rosalina mengangguk berat.
"Semalaman aku tak dapat tidur, Lina. Aku selalu
memikirkan hidupmu yang penuh penderitaan. Yang penuh
kegetiran. Padahal kau masih terlalu muda untuk menjalani
hidup yang menyedihkan itu. Kau masih penuh gairah dan
vitalitas untuk merengkuh kebahagiaan. Ibarat bunga belum
saatnya untuk layu. Dan bunga yang mekar indah, tidak
sepatutnya tumbuh di padang tandus. Kau tahu apa yang
kumaksudkan. Sayang?"
Perempuan itu cuma menggigit bibirnya hingga sakit.
Sesakit jiwanya yang didera oleh hidup yang getir dan penuh
penderitaan.
"Hatiku sedih, Han. Sebab tidak mungkin aku
meninggalkan suamiku," suara Rosalina terdengar berat.
"Cintaku kepadamu tulus dan murni, Lina. Sejak
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama