Lupus Kecil Bolos Karya Hilman Bagian 1
Lupus Kecil - Bolos
Karya Hilman
Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 1998
Ebook by Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
***
Lupus Membolos
ENTAH kena angin apa, tiba-tiba Lupus mau saja diajak membolos.
"Sekali-sekali, Pus, nggak apa-apa," tukas Andi yang udah rada pengalaman membolos itu.
"Iya, kalo sekali kan nggak dosa," ujar Pepno menimpali.
"Lagian kamu kan nggak bikin pe-er. Nah, daripada disetrap berdiri di depan kelas, mending kita cabut aja," bujuk Andi lagi.
Lupus diem. Mikir. Mau apa nggak ya? Tapi belakangan ini memang Lupus lagi kumat bandelnya. Jadinya ia mau saja diajak membolos. Tanda-tanda kalo Lupus lagi bandel kentara dari tadi pagi. Begitu ketemu Pepno, ia langsung ngasih tebakan.
"Pep, kenapa cabe keriting lebih mahal daripada cabe biasa?"
Pepno yang daya pikirnya nggak lebih cerdik dari Homer, bapaknya Bart Simpson itu, langsung asal ngasih jawaban,
"Ya karena cabe keriting itu lebih pedes!"
"Salah," tukas Lupus.
"Yang betul, karena ongkos ke salon untuk mengeritingkan cabe itu lebih mahal."
Sementara Pepno bengong, Lupus tertawa-tawa sambil memegang perutnya. Karena kekurangcerdikannya itu Pepno memang sering jadi bulan-bulanan Lupus. Tapi itu bukan salah Lupus. Pepno sih emang udah bakat bloon. Kalo main bola, pasti kacau. Karena setiap nendang bola ke gawang, selalu yang kena kaca jendela kelas. Di lain hari, dia diajari Lupus supaya nendang bolanya ke jendela kelas, ternyata bola itu mengarah ke gawang! Hahaha, ada-ada aja ya?
Ketika Lupus puas ngerjain Pepno, tibatiba Uwi lewat dengan muka cemberut karena sakit perut. Lupus langsung menowel pundaknya.
"Wi, kenapa wasit sepak bola selalu pake peluit?"
Uwi bengong memandang Lupus. Ia nggak siap mental, ditodong pertanyaan begitu di hari sepagi itu.
Belum sempat Uwi berpikir, Lupus
udah langsung menjawab lagi,
"...Soalnya kalo bersiul pegel. Hehehe..."
Nah, itu tanda-tanda bahwa Lupus kumat bandelnya.
Makanya begitu diajak membolos, Lupus mau. Apalagi dia memang belum bikin pe-er. Aduh, bandel ya? Tapi tak urung, meski Andi dan Pepno sudah meyakinkan dia, hatinya tetap kebat-kebit. Soalnya ini pertama kali Lupus membolos.
Lupus bersama teman-temannya kemudian pergi ke pusat pertokoan. Jalan-jalan. Muter-muter. Masuk ke toko'kaset, nyobain kaset-kaset terbaru. Juga liat-liat kauskaus bagus yang suka muncul di majalah majalah remaja. Nontonin gambar-gambar di bioskop... dan puncaknya, main dingelong! Puluhan logam dihabiskan untuk nyobain semua permainan. Makin sering kalah, makin penasaran.
Menjelang pukul dua siang, setelah puas jalan-jalan dan muter-muter di pusat pertokoan, mereka duduk-duduk di teras pusat pertokoan yang sejuk. Selain mereka ada juga beberapa anak sekolah yang membolos. Pusat pertokoan memang menjadi tempat membolos 'yang mengasyikkan. &
"Eh, bolos itu ternyata enak juga ya?" komentar Lupus.
"Maka itu, Pus, sekali-sekali kamu harus membolos. Kalo nggak kamu nggak akan pernah merasakan nikmatnya membolos. Iya nggak, Ndi?" ujar Pepno yang belakangan ini agak sering membolos.
"Jelas, apalagi kalo kita inget bagaimana teman-teman kita sekarang tengah duduk di kelas mendengarkan ocehan-ocehan guru,'wah, betapa nikmatnya kita ini! Nyantei sambil cuci mata! Iya, kan?" Andi yang pakar membolos makin membakar semangat. '
Lupus mengangguk-angguk.
"Eh, kamu tau nggak gimana cara nyari gajah di padang pasir?" tanya Lupus tibatiba pada kedua temannya.
"Wah, gimana? Susah banget sih kamu ngasih tebakannya."
"Iya, saya juga nggak tau cara mencari gajah di padang pasir!"
"Gampang. Untuk mendapatkan gajah di padang pasir gampang sekali, kita ayak saja pasirnya, nanti gajahnya akan kelihatan!"
"Yee, ayakannya segede apaan?" protes kedua teman Lupus.
Tapi baru saja Andi mau bercerita juga, tiba-tiba ia seperti melihat seseorang yang dikenalnya. Pepno juga.
"Hei itu papi kamu, Pus!" teriak Andi dan Pepno sambil menunjuk seorang yang lagi celingak-celinguk di depan sebuah toko.
Lupus terkesiap, terkejut setengah mati, sampai terloncat dari duduknya.
"Hah! Wah, gimana nih? S-saya bisa diomelin nanti!"
"Cepat sembunyi di balik badanku!" teriak Pepno.
"Dia ngeliat ke sini nggak?" tanya Lupus kuatir. '
"Ng-gak t-tau deh," jawab Pepno bingung. Soalnya, sepertinya dari kejauhan Papi sempat tersenyum pada mereka bertiga.
"Gimana, Pep, masih ada?" tanya Lupus lagi dari balik badan Pepno.
"Sudah, Papi kamu sudah pergi," kata Andi.
"Tadi dia ngeliat .ke sini nggak?" tanya Lupus masih kuatir.
"K-kayaknya sih ngeliat," jawab Pepno pelan.
"Ngeliat? Ya, ampun! Bakalan kena semprot deh. Tapi kalo ngeliat, kenapa Papi nggak ke sini menghampiri saya?"
"Mungkin papi kamu merasa nggak pantes mendamprat anaknya di depan umum seperti ini," jelas Andi.
"jadi Papi saya ngeliat ya?" tanya Lupus lagi.
"Kalo gitu saya langsung balik aja deh!"
Lupus lalu cepat-cepat pulang. '
Begitu sampai di rumah Lupus melihat Papi sudah ada di ruang tengah sedang membaca koran. Lupus takut sekali dimarahi. Dia bingung. Tapi untungnya Lupus segera mendapat akal. Supaya nggak dimarahi Lupus harus segera berbuat baik di depan Papi. Kalo perlu menyerpis Papi abis-abisan.
Sepatu Papi yang masih ada di situ sama Lupus langsung diambil dan disemir. Papi agak heran melihat tingkah Lupus. Tapi dia diam saja.
Lupus kemudian juga menyediakan teh manis hangat. Dan kue-kue .kecil. Papi jadi semakin heran ngeliat anaknya tibatiba jadi rajin.
Lho, kok anak saya jadi rajin mendadak? Ada apa ya? pikir Papi. Hmm, kalo gitu boleh dicoba nih.
Papi melipat koran dan berkata,
"Lupus, coba tolong bereskan kertas-kertas kerja Papi yang satu bulan berantakan di meja itu!"
"Oke! Siap dikerjakan!" teriak Lupus. Dan tak sampai lima belas menit kertaskertas kerja yang berantakan itu sudah beres.
"Wah, wah, hebat," desah Papi.
"Sekarang tolong cuciin kaus kaki Papi yang pernah bikin tikus takut itu!" perintah Papi lagi.
"Beres!" teriak Lupus. Dengan cekatan Lupus mengambil kaus kaki Papi, dan langsung mencucinya di belakang. Tak berapa lama, kaus kaki itu sudah nangkring di jemuran dalam keadaan bersih.
Papi makin kagum.
"Sekarang, ambilkan saputangan!" perintah Papi ketika Lupus siap berdiri di sampingnya di ruang keluarga.
"Yang warna apa?" .
"Apa saja!" '
"Ya, segera!" Dan saputangan pun ada di tangan Papi.
"
"Tolong liat lemari makan, ada apa aja di sana?"
"Ada tempe goreng, ikan disambelin,
sayur bayem, emping, sambel goreng, lalap ketimun yang dipotong kecil-kecil!"
"Mami ke mana?" tanya Papi lagi.
"Pergi ke tukang jahit sama Lulu. Kan tadi pagi Mami bilang...? .
Papi jadi inget.
"Oh, iya. Kalo gitu tolong siapin makan siang Papi ya!"
"Bereees!" Lupus Segera melesat menyiapkan makan siang. _ .
"Pus!" Papi tiba-tiba memanggil. Lupus langsung berhenti, dan menunggu perintah selanjutnya dari Papi.
"...sebelumnya tolong ambilin pulpen di laci meja! Papi mau ngisi TIS!"
"Siaaap!" .
"Setelah menyiapkan makan siang, kamu jangan jauh-jauh dari Papi. Papi mau nanya soal TTS yang nggak bisa Papi kerjain!"
"Siiip!"
Karena Lupus sudah melayani segala kebutuhan dan keinginan Papi, dia pun kini yakin kalo Papi nggak bakalan marah. Lupus lalu memberanikan dirinya untuk menanyakan perihal pertemuannya tadi di pusat pertokoan. ."
Lupus nyari saat yang tepat.
Sore hari, saat Mami dan Lulu istirahat
di kamar, Lupus nyamperin Papi yang lagi baca tabloid televisi di beranda belakang.
"Pi, tadi siang Papi ke pusat pertokoan ya?" tanya Lupus hati-hati sekali.
"Iya," jawab Papi.
"Kok tau sih?"
"Eh, enggak, a-anu Lupus liat di sana ada tas plastik belanjaan."
"0, iya ya."
"P-papi tadi ngeliat Lupus nggak waktu di pusat pertokoan?"
"Ngeliat Lupus? Maksud kamu apa?"
"Ah, eh, enggak, enggak apa-apa...."
"Kamu kira di pusat pertokoan ada kamu, gitu? Emangnya di sana ada orang yang jualan kamu apa? Ada-ada saja kamu. Sudah, sekarang tolong pijitin pundak Papi!"
Lho? Berarti Papi tadi sama sekali nggak ngeliat Lupus nongkrong di pusat pertokoan dong? Papi sama sekali nggak tau kalo dia membolos.
"Hei, kenapa berhenti memijit? Baru sebentar..."
Lupus nggak menjawab. Dia nyelonong saja masuk kamarnya.
Ah, rugi. Udah capek-capek menyerpis ternyata Papi emang nggak mergokin
Lupus. Lupus jadi kapok membolos. Ia ngerasa nggak siap mental untuk membolos. Nggak seperti Andi yang enteng aja kabur dari sekolah....
Cerita di Balik Sontekan
LUPUS berjalan memasuki area sekolahnya yang lumayan gede.
Sekolah Lupus sendiri sebetulnya nggak gitu gede, kelasnya cuma beberapa aja. Hanya karena di tengahnya ada lapangan bola bekel dan kolam renang ukuran satu kali satu meter, jadinya kalo diliat dari luar agak lumayan gede juga.
Lupus yang tumben-tumbenan pagi-pagi sudah sampai sekolah, langsung main tegar-tegor aja. Senyum sini senyum sono. Lupus hampir kenal semua murid, tapi kan semua murid belon tentu kenal Lupus.
Tapi jangan heran kalo Lupus tegor sana tegor sini! Soalnya Lupus ini termasuk anak yang suka ber-SKSD dan ber-SDSB! (yang ber-Sok Kenal Sok Deket dan berSok Deket Sok Baik!)
bambu menenteng ranselnya Lupus enteng aja menyapa anak-anak yang melintas di hadapannya.
"Hei, Ayu Gendut, wah, makin oke aja deh lo! Eh, Linda, apa kabar? Gimana semalem nonton sinetronnya? Katanya sampai keluar air mata segala ya? Eh, Donny Albar, rambut lo makin keriting aja! Jangan sering-sering makan mie goreng ya. ih, Sulis Cino, gigi lo nongoool! Hahaha! Ari, Ari, idung lo masih bengkok ya? Dipake buat jemuran anduk sama mama kamu ya? Hahaha. Oke, oke, kalo gue baek-baek aja! Nggak kurang suatu apa. Penampilan gue sama aja sama yang kemaren-kemaren. Eh, yuk, gue masup dulu!"
Ih, soknya si Lupus ini. Terus terang aja, yang ditegor itu cuma bengong-bengong doang. Soalnya mereka emang nggak gitu kenal sama Lupus. Tapi Lupus negornya kayak yang udah akrab banget!
Dan tinggal beberapa langkah sampai di kelas, Della, cewek cakep kakak kelas Lupus, menyusul langkah-langkah kaki Lupus dari belakang. Della kayaknya lagi buru-buru.
"Eh, Della, ada yang ketinggalan tuh?" tegor Lupus masih sok akrab.
"Oh, a-apa yang ketinggalan?" Della berhenti melangkah dan menoleh ke arah Lupus.
"Anu, bayangannya..."
"Semprul!"
Lupus cekikikan. Pagi itu di kelas Lupus udah banyak orang. Maklum, jam terakhir ada ulangan matematik. Gurunya Pak Mardan ATT. Anak-anak ngebela-belain datang pagi-pagi bukannya mau belajar, tapi sibuk bikin sontekan di atas kertas kecil-kecil. Lupus juga ikutan bikin sontekan. Tradisi bikin sontekan seperti ini memang udah berlaku turun-temurun. Entah siapa yang memulai, yang jelas bikin sontekan mulai menjamur dan kian digemari. Lebih-lebih kalo mau ulangan matematik! Wah, anak-anak jadi rajin mendadak!
Dan sontekan-sontekan yang udah dirancang sedemikian rupa, ditaruh di tempat-tempat strategis dan tersembunyi. Seperti di dalam kaus kaki, di bawah penggaris segitiga, di tempat pensil, di balik tali jam tangan atau di saku baju! Bahkan si Curly yang rambutnya keriting kayak
mie itu menyelipkan gulungan'kertas sontekannya di dalam rambutnya yang keritin .
Pokoknya, MacGyver aja kalah cerdik sama Lupus dan teman-temannya itu dalam hal sontek-menyontek!
Hampir semua anak pagi itu bikin sontekan. Meski ulangannya sendiri bakal digelar pada jam terakhir nanti.
Tapi betapa kagetnya semua anak begitu pada jam terakhir, saat Pak Mardan ATT masuk, beliau mengetahui semua akal bulus anak-anak. Pak Mardan ATT
dengan santeinya menggeledah tempattempat strategis "di mana kertas sontekan itu berada. Kemudian mengumpulkan dan membuang kertas-kertas sontekan ke kotak sampah di sudut kelas.
Yang bikin anak-anak heran, Pak Mardan ATT juga tau kalo kertas sontekan itu diumpetin di dalam kaus kaki, di saku baju, di tempat pensil, di balik tali jam tangan, atau di balik rambut keritingnya si Curly!
Pak Mardan ATT senyum-senyum saja melihat anak-anak terheran-heran. Sebetulnya anak-anak masih untung, karena Pak Mardan nggak marah atau menghukum anak-anak. Hanya yang masih jadi buah pikiran, dari mana Pak Mardan bisa tau itu semua? Apa dia sekarang punya ilmu sihir?
Sampai-sampai Lupus yang ngumpetin kertas sontekan di ketiaknya juga ketauan.
"Ih, ngumpetin kertas sontekan kok di situ? Kasihan kertasnya kan, jadi bau acem," bisik Pak Mardan waktu menggeledah Lupus pelan.
Lupus jelas mesem-mesem.
"Nah, sekarang mari kita mulai ulangan!" tegas Pak Mardan.
Anak-anak jelas nggak bisa berkutik. Mereka mengisi soal ulangan apa adanya aja. Ngeraba-raba aja. Soalnya anak-anak itu pada nggak belajar. Sedang harta satusatunya yang bisa menolong, sudah dikuras abis sebelum dipergunakan!
Sepanjang jalan ketika pulang sekolah, semua anak pada ngedumel. Yang jelas mereka heran sama Pak Mardan yang bisa mengetahui letak kertas-kertas sontekan itu. Biasanya, kalo mereka bikin kertas sontekan, Pak Mardan nggak pernah tau.
Lupus yang sengaja pulang belakangan, karena mau ber-SKSD-SDSB dulu, tibatiba melihat sesuatu yang dirasanya mencurigakan. Lupus melihat Pak Mardan di depan ruang guru, membelai-belai kepala Uwi sambil tersenyum bangga. Lho, jangan jangan... .
Betul! Ternyata Uwi-lah yang membeberkan semua rahasia kertas sontekan anak-anak itu pada Pak Mardan ATT. Lupus jelas mencak-mencak.
Tak pelak lagi, Lupus segera berniat menunggu Uwi di bawah pohon jambu di halaman depan sekolah. Uwi yang sedang berjalan pulang sendirian langsung dihadang oleh Lupus.
"Uwi, kamu bener-bener bianglalanya, eh, biang keladinya ya? Kamu kok tega sih!" sergah Lupus sambil melompat dari balik pohon jambu.
Uwi kaget sejenak.
Lalu buru-buru menjawab,
"Biarin. Terus kamu mau apa?"
"Ya, nggak mau apa-apa, tapi kamu jangan jahat begitu dong! Terus terang-saya nggak sangka kalo kamu pelakunya."
"Memang saya pelakunya. Tapi kamu pikir, siapa sebetulnya yang jahat itu? jangan main tuduh sembarangan. Pikir pakai dengkul kamu!" sergah Uwi sambil masuk ke dalam bajaj.
Lupus _diem sejenak, tapi selanjutnya dia langsung teriak,
"Besok, anak-anak pasti marah berat sama kamuuu!"
Dan betul aja... besoknya anak-anak mencak-mencak sama Uwi. Uwi diduga menjilat dan dituduh sebagai anak yang suka cari muka sama guru.
Uwi mulanya tabah. Tapi karena hampir seisi' kelas mengata-ngatainya, Uwi nggak tahan. Maka menangislah dia!
"Huh, air mata buaya! Air mata" penjilat!" teriak anak-anak.
"Sana, ngadu lagi sama Pak Mardan ATT. Sanaaa!"
Usai istirahat Pak Mardan kembali masuk ke kelas Lupus, mau membagikan kertas ulangan yang kemaren. Semua anak deg-degan, mereka yakin bakalan dapat nilai kursi terbalik, atau delapan ngakak!
Setelah selesai membagikan kertas, Pak Mardan ATI" berkata pelan,
"Hmm, tadi Uwi sudah menemui saya dan menceritakan semuanya." Anak-anak kaget, nggak nyangka kalo Uwi ngadu lagi.
Mereka semua makin sebel aja sama Uwi.
"Anak-anak, sebetulnya kalian nggak boleh menuduh Uwi sebagai tukang cari muka. Uwi sama sekali tidak berniat mencari muka! Uwi memang telah menceritakan semua hal tentang kertas sontekan yang kalian sembunyikan itu, tapi dia sama sekali tidak. berniat mencari muka atau merayu Bapak agar Bapak memberi nilai lebih padanya. Tidak. Justru Uwi datang memprotes kebiasaan Bapak. Protes pada keteledoran Bapak. Bapak selama ini memang suka teledor dalam memberi nilai ulangan. Kalo memberi nilai, terkadang Bapak asal menilai saja. Ti
dak mau tau dari mana nilai itu diperoleh. Dari belajarkah, atau dari menyontek? Itulah sebetulnya yang diprotes Uwi. Bapak malu sebetulnya. Malu punya kebiasaan jelek seperti itu. Uwi bilang, anak yang belajar sama anak yang nggak belajar bisa mendapat nilai yang sama. Nah, itu kan jelas nggak adil. Kata Uwi, yang tadinya rajin belajar jadi malas, karena toh menyontek lebih gampang. Dan Bapak rasa Uwi benar. Itu memang tidak adil. Lagi pula kalian bisa dirugikan. Coba saja, kalian dapat nilai sembilan, tapi sesungguhnya kalian tidak menguasai pelajaran itu. Iya, kan? Ya, karena sembilannya itu didapat dari menyontek. Dan apa kalian juga tidak merasa sebel kalo kalian belajar mati-matian tiba tiba hasil ulangannya sama saja dengan anak yang sama sekali tidak belajar? Pasti sebel! Itulah makanya Bapak geledah kertas sontekan itu. Dan kini Bapak berjanji akan berhati-hati ketika menilai setiap ulangan. Bapak mohon maaf atas keteledoran selama ini. Bapak ucapkan terimakasih pada Uwi yang telah mengingatkan Bapak. Uwi itu bukan penjilat." '
Anak-anak yang mendengar wejangan
panjang-lebar Pak Mardan, kontan terpaku dan terpukau. Setelah pelajaran Pak Mardan nanti ada pelajaran sejarah. Akan ulangan pula! Sebagian anak-anak tadi pagi banyak yang udah pada bikin, sontekan. Tapi kini, dengan kesadaran sendiri, pelan-pelan mereka langsung membuang kertas-kertas sontekan itu.
Lupus yang juga terpaku dan merasa bersalah hendak pula membuang sontekannya. Tapi agak sulit. Soalnya kertas sontekannya tersimpan nyaman di lubang idungnya yang mancung itu!
Hehehe.
Telatlah Yaow!
LUPUS kesiangan bangun. mami sengaja nggak ngebangunin, maksudnya biar Lupus biasa bangun pagi. Tapi hari itu Lupus gagal untuk bangun pagi. Pukul enam lewat sepuluh mata Lupus baru melek, pukul enam lewat lima belas ngulet-ngulet, pukul enam dua puluh nguap-nguap kecil, dan pukul enam tiga puluh baru Lupus bener-bener bangun!
"Aje gile! Setengah tujuh!" Lupus buruburu ke kamar mandi.
Dan saking buru-burunya, Lupus malah masuk gudang.
"Lho, kok udah direnovasi sih!" Lupus kaget.
"Mamiii... kamar mandi kenapa dibikin begini?!"
"Hanya tikus dan kecoa yang sudi mandi di situ, anak manis!" jawab Mami dari ruang tengah.
"Hah!" Lupus nyadar kalo itu gudang.
Setelah masuk kamar mandi, Lupus kembali salah ambil waktu mau sikat gigi. Yang diambilnya sikat semir sepatu. Alhasil giginya item-item. Untung ada kaca. Lupus langsung kumur-kumur dan menyikat giginya pakai pasta kesayangan. Eh, pas sabunan salah lagi, yang dicomot malah sabun cuci. Tapi Lupus cuek, soalnya sabun cuci yang dipakai antilemak. Lumayan, bisa mencegah Lupus dari kegemukan. ' '
"Huh, begini deh kalo bangun kesiangan! Apa-apa jadi kacau!"
Lupus nggak sarapan lagi. Langsung tancap gas ke sekolah. Begitu sampai di depan pintu gerbang pintunya sudah ditutup.
"Telat ni ye?" ledek Pak Penjaga Pintu dari balik pintu gerbang.
"He-eh, bukain pintunya dong, Pak."
"Nggak segampang itu, Nak Lupus!"
Memang belum ada peraturan tertulis. Tapi yang jelas" kalo ada anak telat dan mau masuk, dia harus mau menghibur si penjaga pintu gerbang. Alasannya, Pak Penjaga ini waktu kecil kurang hiburan. Maka sekarang dia diperbolehkan men
cari hiburan lewat anak-anak yang telat masuk. '
"Duh, mesti ngapain ya?" Lupus berpikir keras.
"Nyanyi fales, joget kagak lemes, hmm, pantun aja deh!"
"Boleh, boleh," ujar Pak Penjaga.
"Tapi harus lucu!"
"Jalan-jalan ke Pasar Minggu, beli pepaya murah sekali! Saya sudah lama menunggu, untung ada Bapak yang baik sekali!"
"Hmm, bolehlah," kata Pak Penjaga sambil membukakan pintu gerbang. Lupus masuk.
Tapi baru beberapa langkah, ada Novrin, ceWek kakak kelas yang manis, merengek minta dibukain pintu sama Pak Penjaga.
"Hibur Bapak dulu dong!" tegas Pak Penjaga.
Lupus menengok ke belakang dan ia merasa kasihan melihat Novrin menunggu di luar pintu.
"Pak, biar saya yang menghibur, asal Novrin dibolehkan masuk."
Lupus Kecil Bolos Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak! Bapak nggak suka pantun kamu. Nggak lucu!"
"Kalo gitu nari deh! Saya bisa nari. Tapi Bapak yang musikin! Gimana?" !
Lupus kemudian nari Bali dicampur modern-dance, sambil memegal-megolkan pinggulnya. Pak Penjaga menirukan suara gendang.
"Pak dimpang dimpuk! Pak dimpang dimpuk! Plak, plak, yiihaauuu...!"
Novrin kemudian mengucapkan terima kasih sama Lupus karena sudah ditolong. Lupus memandangi wajah Novrin yang manis. Ah, sayang kita sedang buru-buru, coba kalo ada waktu, pasti Lupus akan ngobrol banyak. Kelas Novrin ada di ruang atas, dia cepat-cepat naik tangga. Sedang kelas Lupus di ujung.
"Hei, kamu, kenapa telat?" tegor Ibu Situmorang dari ruang TU, dia guru piket yang gualak banget! .
"Jalannya macet, Bu," jawab Lupus sekenanya. Ia ingin buru-buru masuk kelas supaya nggak diomelin sama gurunya yang sedang mengajar.
"Rumah kamu kan deket. Lagian kamu jalan kaki ke sekolah. Apa hubungannya dengan jalan macet!?" '
"N-nggak ada, Bu."
"Kalo nggak ada kenapa alasannya jalan macet?"
"Saya ingin cepat-cepat masuk kelas, takut diomelin Pak Sulis karena telat."
"Tapi kamu nggak boleh beralasan seperti itu! Berarti kamu bohong. Kamu tega membohongi Ibu?"
"Abis abis saya takut dihukum lagi. Tadi saya sudah dihukum Pak Penjaga."
"Tapi kamu patut dihukum lagi karena terlambat dan berbohong."
"Ampun, Bu."
Lupus kembali menjalani hukuman. Kali ini dari guru piket. Selain Lupus dilarang terlambat selama sebulan, Lupus juga harus lari-lari kecil ngiter-ngiterin meja guru! Sampai pusing tujuh keliling!
Setelah itu Lupus buru-buru masuk ke kelasnya. Dia takut diomeli Pak Sulis.
Tapi, alamak, sampai kelas tau-tau dilihatnya teman-temannya lagi pada asyik main timpuk-timpukan kertas sambil ketawa-tawa. '
"Eh, Pak Sulis mana?" tanya Lupus pada Happy yang lagi dengerin cerita lucunya Pepno.
"Biasa, telat."
"Telat?"
"Ih, Lupus, kayak nggak tau aja deh. Emangnya cuma kita aja yang boleh telat, guru juga boleh dong!"
"Iya, sih. Tapi..."
Tapi apa? Yang jelas telat memang bisa mengakibatkan segala-galanya jadi berantakan. Ketelatan Pak Sulis mengakibatkan anak-anak jadi berisik nggak keruan. Sedang telatnya Lupus mengakibatkan ia dikerjain Pak Penjaga, dihukum guru piket, dan... nggak diajakin main timpuk-timpukan kertas sama teman-temannya!
Ah, sial.
Pelajaran selanjutnya juga ditiadakan karena guru-guru ada rapat penting soal kenaikan gaji yang tertunda terus. jadi anak-anak diperbolehkan pulang, asal besok mengerjakan tugas yang disediakan oleh masing-masing guru.
Lupus membawa PR itu pulang.
Sesampai di rumah, Mami baru pulang dari pasar membawa belanjaan. Mami agak heran juga ngeliat Lupus pulang lebih awal.
"Kok pulang cepat, Pus?" tanya Mami.
"Sebel, guru-guru rapat. Mana tadi Lupus udah keburu-buru..."
Lupus ngikutin maminya masuk ke dalam rumah.
"Mi, Lupus ada PR. Seandainya Thomas Alfa Edison tidak berhasil menemukan listrik apa yang terjadi, Mi?"
Mami yang hendak menyimpan sayursayurannya di kulkas dengan santai menjawab,
"Ya, supaya sayur-sayuran ini tetap dingin, terpaksa Mami menyimpannya di dalam sumur...."
****
Cerdas cermat
PULANG sekolah anak-anak sekolahan Lupus nggak langsung pulang ke rumah. Mereka kebanyakan pada mau ke studio TVRI di Senayan dulu. Soalnya sekolah Lupus ikutan-acara Cerdas Cermat. Dan hari itu jadwal rekamannya. So pasti anak-anak pengen banget ikutan jadi suporter.
Lupus ngedeketin Happy yang bawa bekal makanan.
"Hap, ntar duduknya jangan jauh-jauh dari saya ya?"
'Emang kenapa?"
"Soalnya, soalnya kalo kamu duduk dekat saya, nanti kamu kena sorot kamera pas tepok tangan!"
"Kok bisa gitu?"
"Iya. Yang tukang nyorot kamera kan kenal sama saya. Dia sudah kenal "sama mami saya waktu ikutan acara masak
memasak di TV. jadi saya pasti disorot kamera terus."
"O, mami kamu pernah demonstrasi masak di TV?"
"Iya, tapi bagian tukang icip makanan...."
"Hmmm, kalo gitu, boleh deh," Happy setuju.
Happy nggak tau akal bulus Lupus. Padahal Lupus pengen deket-deket Happy supaya bisa minta roti bekalnya yang berlapis selai nanas itu.
Jarak sekolah Lupus sama studio TVRI nggak gitu jauh. Tapi juga nggak gitu deket. Mereka menumpang minibus milik sekolah. Cuma seperempat jam saja sudah sampai.
Sampai di studio TVRJ sudah banyak orang. Terutama para. suporter dari masing-masing sekolah. Yang namanya suporter di mana-mana sama aja. Mereka nyentrik-nyentrik. Tapi nggak senyentrik penonton pertunjukan musik rock! Yang ini meskipun nyentrik tapi asyik. Ada yang memakai gelang samaan, ada yang make sepatu sama, dan ada juga (cewekceweknya) yang make pita kembaran. Lupus sendiri sama temen-temennya bawa
pensil yang bentuknya sama. Pensil kate! Seperti pensil para tukang kayu yang suka diselipin di kupingnya.
Tak lama kemudian acara rekaman Cerdas Cermat dimulai. Sekolah Lupus kebagian jadi regu A. Sebelumnya si pembawa acara memberitahu penonton agar tidak berbicara pada saat acara dimulai nanti. Pembawa acara membuka acara sekaligus mempersilakan tiap regu memperkenalkan diri.
"Selamat sore, pemirsa di rumah dan penonton di studio, selamat berjumpa kembali dalam acara Cerdas Cermat! Baiklah, sebelum acara dimulai kita dengarkan pesan-pesan berikut. Eh, lupa... maaf, saya pikir ini RCTI yang ada iklannya. Maaf, maaf, TVRI kan nggak boleh ada iklannya? jadi nggak usah nunggu pesanpesan berikut. Ya, langsung aja tiap regu memperkenalkan diri masing-masing, jangan diri orang lain yang diperkenalkan, nanti bisa dikurangin seratus!"
Regu sekolah Lupus tersenyum manis. Maklum mereka tengah disorot kamera tivi.
Regu A Dari Sekolah Dasar Merah Putih alamat di Jakarta Barat, dengan juru
bicara Ilham bin Armin Tanjung. Didampingi sebelah kanan saya, yaitu... teman saya 'uga!"
Plok, plok, plok!
_Tepokan tangan dari suporter sekolah Lupus
"Pus, mana? Katanya kalo pas tepok tangan kita disorot kamera TVRI? Kok nggak sih?!" sergah Happy yang duduk di sebelah Lupus.
"Belon, Hap. Mungkin kita harus makan roti kamu dulu, baru nanti disorot. TVRI kan nggak boleh ada iklan, kalo ketawan kamu bawa roti, nanti disangka ada iklan terselubung lagi! Sini rotinya, dimakan dulu.
" Happy memberi Lupus beberapa gepok roti.
"Regu B! Dari sekolah yang waktu hujan kemaren kebanjiran! Juru bicaranya saya sendiri. Sedang yang di samping saya ini pendamping saya. Alhamdulillah, dia satu sekolah juga sama saya! Sekian!"
Plok, plok, plok.
"Ini dia regu C! Regu yang disukai anak dan ibu. Karena C mengandung sari buah segar dan bisa menyembuhkan penyakit sariawan dan lainnya. Hehe, kayak vitamin C ya? Juru bicaranya saya dan!
kadang-kadang teman saya kalo saya kelewat gugup! Terima kasih!"
Plok, plok, plok.
"Ya, itulah, regu-regu yang bakal bertanding dalam Cerdas Cermat kali ini. Oya, kalah-menang tidak usah dirisaukan. Karena yang penting adalah semangat kalian dalam mempersiapkan diri untuk ikutan acara ini. Baiklah, pemirsa dan penonton di studio, inilah dia Cerdas Cermat, yeaaah!"
Acara Cerdas Cermat pun dimulai sudah. Soal-soal pertama masih bisa dijawab tuntas oleh tiap peserta. Karena soalnya masih gampang-gampang. Masih seperti yang ada di buku pelajaran sekolah.
Tapi di menit-menit berikutnya, regu sekolah Lupus sering nggak bisa ngejawab. Pendukungnya jadi sebel dan penasaran. Apalagi Lupus yang merasa bisa menjawab soal-soal itu. Dia penasaran banget untuk menjawabnya. Dan tiba-tiba saja dia berteriak, tak tahan untuk tidak menjawab soal itu.
"KTT NON BLOK kta-10!" teriak Lupus.
"Hei, cut, cut! Siapa itu yang ngomong?" teriak si pembawa acara. Acara Cerdas Cermat jadi terganggu. Pembawa acara memperingatkan Lupus.
"Hei, anak ingusan! Jangan ngomong dong pada saat acara dimulai!? Suara kamu terdengar dan terekam, tau!? Ingat, jangan ngomong lagi ya?"
Lupus jadi malu. Karena hampir semua orang di studio memperhatikannya. Tapi nggak semua orang sebel sama Lupus, ada sebagian yang berbisik,
"Berani juga tu anak. Sebetulnya gue juga pengen jawab. Tapi gue takut."
Happy yang duduk di samping Lupus dan berharap disorot kamera pindah tempat duduk.
"Huh, disorot kamera nggak, malah diliatin orang-orang. Dasar bikin malu lu!"
Lupus menjawab,
"Lho, kan justru jadi pusat perhatian. Kita tadi masuk kamera...."
Tapi Happy tak menggubris. Malah teman Lupus yang lain juga ikutan malu. Diam-diam mereka membuang pensil pendek yang jadi ciri khas suporter tim Lupus. Guru-guru Lupus juga malu. Kalo mereka ditanya sama orang di sebelahnya, mereka nggak mau ngaku kalo mereka gurunya Lupus.
Acara sudah dimulai kembali. Pembawa acara juga sudah minta maaf pada pemirsa yang nonton di rumah.
"Kerusakan bukan pada televisi Anda, tapi pada penonton di sini...."
Begitu acara diteruskan lagi, Lupus lagi-lagi nggak tahan melihat kebegoan regu sekolahnya yang pada nggak bisa ngejawab soal-soal. Lupus makin penasaran lagi ketika melihat papan tulis, angka untuk regu sekolahnya sudah tertinggal jauh.
Dan Lupus bener-bener nggak tahan. Dia nyeletuk lagi!
"Miss Universe 92 dari Namibia!" teriak Lupus lantang! Dia cepat-cepat menunduk.
Tapi pembawa acara melihatnya. LUpus kemudian terpaksa harus meninggalkan ruangan.
"Maaf, pemirsa, lagi-lagi kerusakan bukan pada televisi Anda, tapi pada penonton di sini.... Sayang ya, udah acara kagak ada iklannya, banyak gangguannya lagi!"
Seorang penonton jadi ikutan berkomentar,
"Ah, andaikan acara ini ada iklannya, pasti hadiahnya menarik. Hadiah yang menarik biasanya merangsang anak untuk lebih serius belajar. Mereka pasti lebih bisa menjawab isi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tapi ya karena
hadiahnya masih vandel-vandel doang, makanya banyak peserta nggak bisa ngejawab meski soalnya gampang!"
Pembawa acara, seperti membaca pikiran para penontonnya, buru-buru meneruskan acaranya.
"Tapi sudahlah, para pemirsa. Si pengganggunya sudah diamankan petugas. Baiknya, pemirsa, sekarang kita lanjutkan lagi acara Cerdas Cermat ni...."
Di luar studio Lupus bengong sendirian. Tapi dia masih penasaran sama regu sekolahnya yang berubah jadi bioon-bloon itu. Regu sekolah Lupus pasti kalah total! Lupus jelas aja penasaran, soalnya dia merasa bisa menjawab. Dan Lupus ngerasa ikut bertanggung jawab atas kekalahan sekolahnya. Makanya sekarang dia nekat balik ke studio lagi. Lupus menyelinap diam-diam. Dan begitu ada kesempatan, Lupus nyeletuk kembali!
"Bill Clinton dari Partai Demokrat!!!" teriak Lupus.
So pasti acara Cerdas Cermat berhenti lagi. Pembawa acara celingak-celinguk mencaricari siapa yang nekat nyeletuk itu.
"Ni die orangnye!" teriak satpam yang kebetulan berdiri nggak jauh dari Lupus.
Lupus ditendang pantatnya, dan diusir ke luar lagi.
Lupus kemudian nunggu sendirian di teras studio. Tak lama teman-temannya pun keluar.
"Lu bikin malu aja!" tuding teman-temannya.
"Nggak bisa nahan keinginan!" cetus Happy.
"Jadi orang tu kudu bisa nahan diri. Jangan mentang-mentang sanggup terus nonjolin diri.... Coba kalo kamu diam, kali aja sekolah kita menang!"
"Enak aja nggak bisa nahan diri, mereka-aja yang pada bego-bego!" sanggah Lupus.
Meskipun kekalahan regu sekolah Lupus sebetulnya dikarenakan pesertanya yang kurang tanggap pada soal-soal pengetahuan yang bersifat umum, pasti Lupus-lah yang akan disalahkan oleh guruguru. Guru-guru menganggap Lupus telah mengganggu konsentrasi para peserta.
Sebaliknya Lupus kesel, soalnya kebanyakan temannya itu tidak bisa menjawab pertanyaan yang bersifat pengetahuan umum. Itu salah mereka sendiri, keluh Lupus, pada males baca koran. Padahal mereka itu udah lebih gede dari Lupus.
kan kalo bapaknya nggak langganan, bisa pinjam ke perpustakaan!
Jadi, Lupus cuma bengong ketika guruguru melintas di depannya dan berkata,
"Huh, mengganggu konsentrasi peserta aja, kamu! Jadi kalah deh sekolah kita...."
***(
bertaman
GARA-GARA papi Lupus baca koran yang isinya tentang imbauan perlunya menjaga lingkungan agar tetap "hidup" itu, langsung aja dia punya niat untuk bikin taman. Kebetulan halaman depan rumah Lupus cukup luas, maksudnya cukuplah kalo untuk dibikin taman mungil aja.
Kesadaran membuat taman ini muncul karena Papi merasakan pentingnya kehijawan, kesegaran lingkungan, dan kesejukan _di sekitar permukiman. Karena kalo lingkungan menjadi hijau orang memang menjadi lebih nyaman tinggal di situ. Burung-burung juga pasti mau bertengger dan bernyanyi-nyanyi menghibur orangorang yang tinggal di situ.
Memang mengasyikkan tinggal di lingkungan yang berseri-seri.
Atas kesadaran itulah maka hati Lupus
bertekad membuat taman di halaman depan rumah.
Sejak itulah bila pulang dari kantor Papi selalu membawa aneka tanaman. Papi yang biasa irit kini rela keluar duit untuk beli macem-macem tanaman.
Hal ini jelas membuat Mami, Lupus, maupun Lulu terheran-heran. Apalagi Mami yang pernah memelihara pohon anggrek di belakang rumah, beliau tau betul kalo suaminya itu nggak gitu suka tanaman. Tapi, kok sekarang-?
"Ah, mungkin Papi lagi dapat wangsit," terka Mami dalam hati.
Lupus dan Lulu juga tau betul kalo papinya irit luar biasa. Pernah ada seorang pengemis tua mendatangi rumah Lupus, dan kebetulan Papi sedang duduk di teras.
"Kasihanilah saya, Tuan, sudah seharian saya tidak makan. Berilah saya sedekah," rengek pengemis itu.
Papi lalu mengangsurkan uang lima ratus perak.
"Terima kasih, Tuan," ujar pengemis itu dengan senang.
"Semoga semua kebaikan Tuan akan melancarkan rezeki Tuan "
"Sama-sama. Sekarang cepat kembalikan empat ratus lima puluh rupiah!"
Pengemis itu bengong.
Ya, ya._Itu kan dulu. Tapi sekarang Papi jadi royal banget ngebeliin berbagai tanaman.
"Tumben ya," kata Lulu.
"Iya. Tapi biarin deh," jawab Lupus akhirnya.
"Kali aja setelah Papi rela keluar duit buat tanam-tanaman, nantinya juga rela keluar duit untuk ngebeliin kita macem-macem."
Jadinya sejak itu, 'sejak Papi pulang kantor bawa tanam-tanaman, Mami, Lupus, juga Lulu punya tugas baru. Mereka kudu ngebantuin Papi bikin taman mungil di halaman depan rumah.
"Meskipun ini cuma taman mungil, manfaatnya luar biasa. Rumah kita jadi keliatan segar. Lingkungan juga jadi lebih indah. Makanya, kalian harus rela ngebantuin membuat taman ini...."
Mami, Lupus, dan Lulu manggut-manggut aja. '
"Nah, Lupus, tolong ratakan tanah di sebelah sana, sedang Lulu, tolong punguti kerikil dan koral, terus kumpulkan dalam karung. Mami bantu Papi menanam bungabunga ini. Siap semua?"
"Siap!"
Papi semangat sekali. Dan Papi berusaha menata taman tersebut secantik mungkin. Papi yang awam, sama tanam-tanaman juga nekat berkreasi. Hasilnya jelas aneh. Coba aja, masa Papi mengawinkan bunga melati sama bunga kentut-kentutan. Jadinya, (eh, barangkali lho!) mungkin nantinya pohon bunga melati yang berbau kentut atau daun kentut-kentutan yang berbau melati. Padahal perkawinan tanaman satu dengan tanaman yang lain tujuannya supaya bisa menghasilkan satu jenis tanaman baru yang berbeda. Ya dasar awam, Papi asal aja.
Papi juga nekat membonsai beberapa tanaman yang sebetulnya nggak pantes dibonsai.
"Papi ini," tegur Marni,
"masa rumput dibonsai sih? Rumput kan udah pendek, nggak usah dibonsai lagi atuh!"
"Ya, namanya aja orang coba membuat kreasi baru, Mi."
Terus juga Papi mencangkok beberapa tanaman dari tetangga, buat ngeramaiin isi tamannya. Papi emang bekerja keras banget demi keindahan taman mungilnya itu.
Soal kreasi tanaman ini, Lupus jadi ingat sama temannya yang pernah mengawinkan jagung panjang dengan jagung bulat, hasilnya menjadi jagung panjang dan bulat. Terus apel merah besar dengan apel manis hasilnya menjadi apel merah besar nan manis. Yang terakhir, tomat merah dengan cabe.
"Lho, hasilnya jadi apa?" tanya Papi heran.
"Jadi sambal!" jawab Lupus.
Hampir seminggu penuh mereka menggarap taman itu. Ya, maklum aja, mereka kan sebelumnya belon pernah bikin taman, jadinya agak lama. Hanya yang jelas
semuanya puas pada hasil akhirnya. Lebih-lebih si Papi.
"Kayaknya, kalo ada pemilihan taman terbaik, pasti taman Papi ini akan terpilih deh!"
Dan Papi masih terus membangga-banggakan tamannya ketika tiba-tiba sore itu Pak RT mengetuk pintu rumahnya.
"Eh, siapa tuh? Jangan-jangan tetangga yang mau ngucapin rasa salutnya sama Papi," terka Papi sambil membukakan pintu.
"Selamat sore," sapa Pak RT.
"Oh, Pak RT, mari masuk. Ada perlu apa nih? Tumben sore-sore," ujar Papi ramah;
"Begini, Pak. Saya datang untuk memberitahu setiap warga yang rumahnya di depan jalan agar..."
"Agar membuat taman seperti saya?" potong Papi ge-er.
"0, bukan. Saya datang untuk memberitahu agar setiap warga merelakan sedikit tanahnya, semeter atau dua meter gitu, buat sumbangan pelebaran jalan!"
"Hah! Pelebaran jalan?"
"Iya, Pak, untuk mengurangi kemacetan...."
"T-tapi kan jalan kompleks rumah kita ini nggak gitu banyak dilewati mobil?"
"Ah, itu dulu, Pak," jelas Pak RT lagi,
"sebelum mikrolet, kendaraan pengganti becak itu, masuk-masuk ke jalan kompleks sini. Sekarang, wah, sejak mikroletmikrolet itu menyusup ke sini, banyak kendaraan pribadi lewat sini untuk motong jalan. Bapak jangan punya prasangka jelek sama saya, soalnya saya sendiri juga ngorbanin tanah depan rumah saya. Lagi ini kan bukan instruksi saya langsung, saya cuma disuruh memberitahu ke warga-warga aja...."
"J-jadinya kapan saya harus membongkar taman itu?" tanya Papi seperti orang dapat mimpi buruk aja.
"Menurut surat ini sih lebih cepat lebih baik. Tapi ya paling lama sebulanan gitu deh."
"D-dapat ganti rugi nggak, Pak?"
"Ya dapet dong! Cuma nggak gitu gede. Namanya aja kena proyek pelebaran jalan lain dong ganti ruginya sama kalo kena proyek gedong kantoran. Iya, kan, Pak?"
"I-iya. Tapi saya itu baru bikin taman lho di depan rumah," jelas Papi lagi seperti ingin minta keringanan.
"Iya, saya tau kok. Tadi saya liat ada taman baru di depan rumah. Tapi kan, ini menurut surat ini, katanya kepentingan bersama itu harus didahulukan daripada kepentingan pribadi...."
"Taman itu juga untuk kepentingan rame-rame, Pak."
"Saya juga tau, tapi mau gimana lagi...."
Alhasil, Papi bakal cuma punya waktu sebulan untuk menikmati taman mungil jerih payahnya itu.
Kini, tiap sore, tiap Papi pulang kantor, Papi selalu ngajak keluarganya ngobrolngobrol di taman depan rumah itu!
"Meskipun umur taman ini tinggal sebulan lagi, yang penting 'sadar lingkungan' di hati Papi ini terus terpatri sampai kapan pun," ujar Papi di depan Mami, Lupus, dan Lulu. Papi juga nggak bosenbosennya mengamati bonsai-bonsainya yang aneh-aneh itu!
ah sayang ya!
***
Belajar Jualan
DI kelas Lupus ada murid yang bernama Medy. Anaknya keren. Anak orang kaya. Dan duit di saku Medy selalu banyak.
Tapi, asal tahu aja, duit itu tidak selamanya dia minta dari ortunya, melainkan ada yang didapatnya sendiri.
Barangkali kalian heran ada anak sekaya dan sekeren Medy mau mencari duit tambahan sendiri. Tak usah heran, karena Medy merasa bahwa minta duit terusmenerus seperti itu tidak baik dan tidak enak.
Kebetulan lagi papa dan mama Medy pengusaha sukses, jadinya keinginan belajar nyari duit. itu tertular ke jiwa Medy. Dan Medy emang punya cita-cita, bila gede nanti, mau jadi pengusaha muda yang sukses!
Makanya nggak usah heran kalo saban
pulang sekolah Medy nggak malu-malu nawar-nawarin ikan hias sama temantemannya. Medy tau betul bahwa untuk jadi pengusaha sukses itu harus dimulai dari sekarang.
Barangkali karena Medy ini juga pintar ngomong, ikan hiasnya banyak dibeli anakanak. Apalagi anak-anak cewek, wah, mereka sampe sering berebutan untuk bisa memiliki ikan hias yang ditawarkan Medy.
Lupus juga suka beli. '
Lupus Kecil Bolos Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lupus beli, karena diam-diam ia salut sama Medy. Belakangan ini ia sering mengamati apa yang dilakukan Medy. Buat Lupus, Medy itu anak luar biasa. Karena ia melakukan apa yang belum terpikir oleh Lupus. Atau anak-anak lainnya. Saking salutnya, hari itu Lupus sengaja nggak pulang buru-buru. Dia mau beli ikan hias dan mau ngobrol-ngobrol dulu sama Medy. Lupus tertarik pada usaha Medy.
"Terus terang, Med, saya salut sama usaha kamu. Kamu anak orang kaya tapi nggak malu nyari duit tambahan dengan berjualan ikan hias seperti ini. Saya mau ngikutin kamu boleh nggak?"
"O, boleh. Kamu boleh saja ikutan berjualan," sambut Medy hangat.
"Hmm, tapi gimana caranya supaya saya sukses seperti kamu?"
"Gampang kok. Yang penting kita nggak malu, dan juga jangan sampai mengganggu pelajaran. Selain itu kita juga harus memanjakan pembeli-pembeli kita. Tapi sebelumnya, kita harus tau dulu siapa pembeli kita itu. Mereka kan teman-teman kita sendiri. Kita tau dong berapa uang jajan mereka? Nah, berarti kita harus menyediakan barang yang mampu mereka beli. Anakanak itu biasanya suka sama benda'benda yang aneh-aneh atau yang unik-unik dengan harga yang murah. Ya, seperti ikan hias ini. Murah tapi meriah."
"Lalu cara kita supaya selalu untung?"
"Untuk ini memang ada caranya," Medy berbisik, mendekatkan wajahnya ke arah Lupus. Lupus bersiap-siap memasang telinganya.
"Caranya gimana, Med?" Lupus balas berbisik.
"Seperti saya, saya kan jualan ikan hias. Biar selalu untung saya selalu beli ikan hias yang lagi hamil. Pas lahir, anak-anaknya saya pelihara dan bila sudah besar Saya jual. Dengan begitu keuntungan bisa berlipat-lipat."
"Wah, betul juga ya?"
"Eh, katanya kamu mau beli ikan hias saya?" tanya Medy mengingatkan.
"Masa udah ngobrol panjang-panjang kamu nggak beli ikan saya sih."
"Oh, jangan kuatir, Med. Saya beli ikan hias kamu."
Lupus kemudian membeli beberapa ikan hias Medy. Dan Medy tersenyum puas.
Dan besoknya, Lupus sudah berjejer di samping Medy untuk menawarkan jualannya. Apa yang dijual Lupus? Kalo Medy jualan ikan hias, Lupus jualan ikan cupang. Tau kan ikan cupang? Itu lho, ikan kecil indah berwarna merah-biru yang suka diadu-adu.
Anak-anak emang suka ikan cupang karena ikan itu bisa diadu-adu. Karena Lupus mengikuti aturan yang diceritakan Medy, maka jualannya pun lumayan laris.
"Pus, kamu kok juga jualan?" tanya Pepno ketika melihat Lupus lagi jualan ikan cupang. '
"Iya, kecil-kecilan aja:"
"Kamu gitu ya? Kok nggak ngajak-ngajak sih, Pus?" sergah lko Iko.
"Eh, sekarang gimana kalau kalian saya
traktir es cendol?" Lupus mengalihkan .Pembicaraan.
"Wah, dapat untung rupanya teman kita ini," ujar Pepno menyelidik.
"Kalo begitu saya jadi pengen ikut jualan juga, ah!" kata lko Iko.
"Udah deh, sekarang mau nggak saya traktir?"
Untung Lupus hari itu memang lumayan. Ini mengakibatkan Pepno dan Iko Iko napsu untuk ikutan jualan.
"Ya, boleh aja kalo kalian mau jualan buat cari duit tambahan," ujar Lupus,
"tapi sebaiknya barang yang dijual jangan samaan." Besoknya lagi, sepulang sekolah, Medy dan Lupus sudah dijejeri Pepno dan Iko lko yang 'ikutan jualan.. Pepno membawa beberapa ekor anak ayam yang lucu-lucu. Sedang lko lko membawa burung merpati yang juga lucu. Akibatnya siang itu suasana di halaman sekolah nyaris mirip pasar. Dan karena Pepno dan Iko Iko ngocol, jualan mereka pun ikutan laris manis. .
"Asyyyik, untung saya lumayan!" teriak Pepno, girang.
"Saya juga!" Iko Iko girang pula.
Lupus dan Medy yang juga untung tersenyum melihat ulah Pepno dan Iko Ikon
Mereka kemudian mampir ke kantin untuk main traktir-traktiran. Maklum, uang saku mereka kini lagi penuh-penuhnya.
"Sekarang kita pulang, besok ketemu lagi!" teriak Lupus.
Medy, Pepno, dan Iko Iko kemudian pulang dengan harapan besok dapat untung lebih banyak.
Besoknya ternyata tak cuma Pepno, lko Iko, Medy, dan Lupus saja yang berniat menggelar jualannya. Tak cuma mereka saja yang berniat'nyari tambahan uang saku. Ada beberapa anak cewek yang ikutan nyari duit tambahan. Seperti Uwi yang
sudah siap menggelar boneka-boneka mungilnya. Dan Happy yang membawa permen yang dikemas dalam kertas mengilat, siap ditawarkan pada siapa saja yang mau beli. Yang jelas hampir separo teman Lupus sudah membawa barang-barang unik untuk dijual pada saat pulang sekolah nanti.
Apa semua sukses? Olala, ternyata nggak. Soalnya, kalo semua jualan, terus siapa yang jadi pembeli? Dan duit jajan anak-anak juga kan terbatas. Masa semua mau dibeli? _
Di tengah gemuruh teriakan anak-'anak yang menjajakan dagangannya, Lupus melihat Medy menatap ke arahnya. Tatapan protes, karena ikan hiasnya tak begitu laku lagi.
LUPUS hanya menunduk, diem-diem merasa bersalah.
***
Keluhan Mbok Waru
Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama