Sepotong Hati Tua Karya Marga T Bagian 3
Entahlah. Aku sendiri bingung. Barangkali orang tuanya ultra modern. Asal tidak porno, pikir mereka
Ya, daripada anaknya membeli kacang goreng yang digarami ganja tambah Budi masih terkekeh, walaupun dalam hati dia tengah berpikir.
Budi mengenal Tomi dengan segera. Yang gambarnya tergantung di kamar tidur Lisa. kata lcah. Yang membuat Non Lisa jadi sedih ketika dia tidak muncul-muncul lagi. Budi segera
memperhatikan kedua orang itu. Dia melihat sikap Lisa biasa saja. Itu mungkin berarti, Lisa sudah tertarik betul-betul pada sang ayah dan menyingkirkan Tomi dari hatinya. Baik. Itu baik. Tapi sikap Tomi menimbulkan tanda tanya. Budi tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap gadis itu. Untuk disebut acuh tak acuh, pasti tidak. Dia mengambilkan kursi untuknya. Mengupas kulit pisangnya. Tapi untuk dibilang bahwa dia mencintai Lisa atau masih menaruh harapan, juga sulit. Tomi duduk jauh daripadanya. Lebih sering terdiam daripada berbicara dengan Lisa. Bagaimanapun, pikir tidak akan mundur. Walaupun yang dihadapinya itu dia mengundurkan diri, sebab tidak ingin melukai hatinya. Waktu itu dia belum sadar, bahwa dia juga mencintai gadis itu. Namun sekarang.....sekarang.....dia baru tahu, bahwa dia sebenarnya yang mencintai Lisa. Cuma dia. Bukan sebaliknya.
KetiKa makan Siang baru saja berakhir, muncul Budi. Lisa segera minta maaf, sebab tidak pulang menemaninya makan.
Oho, tidak mengapa sahut Budi tertawa,
makan sendirian kan lebih kenyang?!
Tomi diam-diam mengerutkan kening. Perasaannya yang halus tidak menyukai Budi yang agaknya sedikit kasar. Tengah dia bertanya-tanya dalam hati siapa tamu itu, Lisa memperkenalkan mereka. Tuan Yunus pura-pura mau ke belakang dan masuk. Dia tidak pernah menyukai laki-laki muda itu, walaupun rasa cemburunya sudah lenyap ketika Lisa mengatakan bahwa Budi cuma teman biasa.
Ketiga orang itu duduk-duduk di teras depan. Budi seenaknya mengepulkan asap rokoknya dengan kaki terangkat naik ke tepi meja. Lisa menegurnya.
Oh, maaf katanya tapi dengan nada sinis, lalu dia menoleh ke arah Tomi dan berkata, -Wah, engkau pasti repot mondar-mandir ke kantor polisi, nih!
Ya, memang sahut Tomi tertawa jengkel, teringat pembunuhan Susi.
Dalam beberapa hari saja sudah empat kali aku menghadap Komandan karena mereka lupa mencatat tanggal lahir serta riwayat sekolahku. Yang keempat kalinya itu, atas permintaan anak Tomi Yunus, dia tetap masih memegang kartu paling tinggi.
Tomi tertawa mendengar Budi menyebut-nyebut soal ganja. Diceritakannya pengalamannya, sendiri mengenai hal itu.
***
Dalam pesawat terbang ke Medan, aku duduk di sebelah seorang laki-laki muda, kirakira dua puluh tahun umurnya. Dia tidak menanyakan siapa namaku, juga tidak memperkenalkan dirinya. tapi langsung mempelihatkan bukuku yang terakhir dan mulai menyerangnya. Buku itu mengisahkan hidup seorang remaja dalam usahanya menyembuhkan diri dari narkotika.
"Buku ini omong kosong belaka! Saya berani taruhan, Tomi Yunus itu belum pernah merasakan kenikmatan ganja dan morfin!" katanya dengan bersemangat. Dalam hati, aku tersenyum. Kalau betul-betul taruhan, dia pasti menang.
"Ya, seperti apakah rasanya ganja itu," tanyaku.
"Saya ingin sekali mencobanya."
"Oh," kata laki-laki itu membelalak,
"dalam dunia yang seruwet sekarang, orang kadang-kadang membutuhkan ganja. Sering kali saya tidak tahu lagi bagaimana meneruskan hidup saya. Uang tidak ada. Kerja tidak ada. Dan keluarga serta teman, pada keadaan seperti itu, pasti tidak ada juga. Cuma ganja yang masih bersedia menemani saya. Pada saat-saat gelap serupa itu, saya memerlukannya. Lalu saya menjadi kuat lagi. Siap lagi bertempur menyambung hidup saya. Kalau perlu, bertempur melawan senjata dan rakyat. Sebab saya tidak boleh takut. Kalau saya mau terus hidup, kata saya, saya harus berani. Berani berbuat apa saja. Kadang-kadang saya mencopet. Atau merampas. Risiko tertangkap atau tertembak. itu merupakan tantangan dan ganja membuat saya kuat serta siap menghadapinya." Aku pikir, laki-laki itu pasti
sudah tidak tersembuhkan lagi. Jalan hidupnya sama sekali bertentangan dengan jalan hidup kebanyakan orang. Tapi aku toh ingin juga merasakan bagaimana ganja itu. Aku ulangi keinginanku tadi itu mengeluarkan bungkusan tembakau luar negeri. Cuma isinya bukan tembakau, tapi beberapa batang rokok serta bungkusan-bungkusan kertas. Diambilnya sebatang rokok yang tidak begitu bagus bentuknya. Disobeknya kertas di ujungnya lalu dibubuhinya sedikit serbuk putih.
"Ini sudah ada isinya. Saya tambahi lagi sedikit," katanya
Dan bagaimana rasanya? tanya Lisa memotong. tidak sabar, hendak mendengar akhir cerita itu, sebab perutnya mendadak sakit ingin ke belakang.
Sabar, dong kata Tomi tertawa, dan Lisa cuma dapat meringis menekan perutnya, kenapa kau?!
Tidak apa-apa, Ingin buang air, tapi aku mau mendengar ceritamu dulu.
Perempuan!-gumam Budi terkekeh.
Ya, pokoknya aku isap rokok itu dan.... aku tidak merasakan kenikmatan apa-apa. Kepalaku terasa berat serta sedikit pening. Orang-orang dan benda benda di sekitarku terasa jauh. Aku seakan melayang, tidak duduk, tidak terbang. Pikiranku terbawa entah ke mana, seperti bila kita tengah melamun. Badan terasa ringan dan kosong Tomi menoleh pada Lisa dan menyambung, -sudah. Cuma itu saja!
Lisa tidak tahan lagi. Dia segera bangkit dan lari ke villanya diiringi gelak tertawa kedua Iaki-laki itu.
Kini mereka tinggal berdua. Budi menawarkan rokok. Tomi menolak.
-Tom, sejak tadi aku ingin tahu apa yang terjadi antara engkau dan perempuan itu sebenarnya?!
Tomi menoleh sambil mengerutkan keningnya kurang mengerti.
Susi. Perkaramu. Tadi ada Lisa, tidak enak -Tomi tertawa.
Apa yang ingin kauketahui? Semuanya ada di koran dan radio
Aaah, jangan begitu. Antara sesama laki-laki. Aku ingin tahu apa yang tidak ada dalam koran. Bagaimana caramu memikat hati seorang wanita yang sudah bersuami seperti dia?
Yah! Sebenarnya aku tidak pernah melakukan apa-apa untuk memikat hati Susi kata Tomi setengah merenung, kami berjumpa pada sebuah pesta. Aku malah sudah lupa pesta siapa dan di mana. Begitu banyak pesta yang harus aku hadiri. Dan sering kali, aku tidak mengenal tuan rumahnya. Mereka menelepon. Aku harus datang. Dua hari setelah pesta itu, Susi menelepon aku. Dia baru membuka toko buku kecil di rumahnya dan ingin aku hadir menandatangani bukti-bukuku yang akan terjual. Aku datang, sebab aku tidak pernah menolak permintaan seorang wanita. Bagiku, itu kurang hormat. Permintaan
seorang wanita harus selalu dikabulkan
Tanpa reserve?! potong Budi menyeringai.
Seharusnya begitu -sahut Tomi, karena itu laki-laki seperti aku harus selalu sendirian, supaya tidak ada seorang wanita pun yang menjadi celaka hidupnya karena aku!
Tapi Susi??! tanya Budi setengah mengejek.
Yah! -Tomi mengangguk sambil menghela napas, aku tidak tahu mengapa dia terbunuh. Apakah karena aku?! Sejak pembukaan tokonya, kami memang bergaul lebih erat. Dia pandai berbasi-basi dan banyak menjual bukuku. Aku tidak ingat lagi bagaimana tepatnya kisah kami dimulai. Cuma aku ingat, Susi berkali-kali mengatakan, betapa hebatnya bila aku mau tidur di rumahnya. Itu akan merupakan iklan luar biasa bagi tokonya. Karena merasa berhutang budi, pada suatu malam ketika suaminya sedang dinas ke daerah, aku turuti permintaannya. Baru saat itu Susi menceritakan kemalangan nasibnya, sebab suaminya menderita penyakit gula. yang menyebabkannya setengah impoten. Mereka baru mempunyai anak dua. Susi merasa begitu berterima kasih padaku, sehingga dalam mataku, dia sama sekali tidak merupakan perempuan liar atau isteri yang tidak setia. Dia cuma menuntut dipenuhinya kebutuhannya. Dia bukan maniak yang tidak pernah merasa cukup. Dia perempuan normal yang malang. Itu saja
Jadi malam itu, kalian...
Ya, seperti biasa-angguk Tomi,-suaminya sudah jarang ke daerah. Malam itu Susi menelepon. Suaminya pergi. Jadi walaupun aku sebenarnya sudah sangat lelah, aku perlukan juga ke rumahnya. Kasihan dia. Sebagai perempuan, tentunya dia tidak bebas bergerak. Juga, dia ingin mempertahankan kehormatannya sebagai nyonya rumah di mata pelayan-pelayan. Karena itu aku selalu datang setengah sembunyi-sembunyi, bila tokonya sudah ditutup dan tidak pernah nginap
Sedap juga hidupmu! -tukas Budi terkekeh.
Katakanlah begitu. Kalau, satu, dua, masih sedap. Kalau lebih dari jumlah jari, payah mengatur waktu. Apalagi jika disertai bunuh-bunuhan. Pusing! -Tomi menggeleng.
Menurut engkau, siapa kira-kira yang membunuhnya?
Aku tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Sebenarnya, aku tidak mengetahui banyak tentang Susi. Boleh dibilang juga, aku tidak tahu apa-apa tentang hidup pribadinya. Pantang bagiku menanyai seorang wanita mengenai hidupnya. Mungkin dia mempunyai kekasih yang sebenarnya. Aku sendiri, cuma merasa sebagai teman. Kami tidak pernah bicara soal cinta
Ya, ya, boleh jadi dia mempunyai seorang kekasih dan orang itu menjadi cemburu ketika mengetahui tentang engkau. Lalu Susi dibunuhnya
Budi tampak bersemangat, memamerkan kepandaian otaknya menganalisa, tapi Tomi menggeleng dengan murung.
Aku tidak mengatakan bahwa dia pasti mempunyai kekasih! Perempuan yang malang. Ah! Dia lembut dan lemah. Sederhana sebenarnya, dia hampir tidak pernah bersolek kecuali memercikkan parfum kesayangannya yang keras baunya itu. Dan dia tidak menuntut banyak
Apakah engkau sudah mencari seorang pembela?
Belum -Tomi menggeleng,-aku belum resmi dinyatakan sebagai terdakwa. Belum tahu kapan perkara ini akan dimajukan ke sidang
Tapi engkau sudah cukup kaya dari pembela! kata Budi dengan sedikit nada iri. Dia memang tidak pernah merasa senang melihat kelebihan dan keuntungan orang lain. Sifat ini sudah dimilikinya sejak di bangku SMA. Dia selalu merasa tidak enak setiap kali ada temennya yang mendapat angka ulangan lebih daripadanya.
Tidak. Sebenarnya tidak begitu. Kelihatannya aku cukup populer ya, tapi untuk hidup semata-mata dari buku, masih jauh waktunya
Kedua orang itu, terdiam beberapa saat. Kemudian, tiba-tiba saja timbul keinginan Tomi hendak mengetahui hubungan Budi dengan Lisa.
Sudah berapa lama engkau mengenal Lisa?
Oh, kami berteman sejak di SMA
Hm
Dulu kami pernah berpacaran. Kemudian putus
Hm
Sekarang disambung lagi
Kami akan menikah nanti
Oh? terangkat kening Tomi mendengar kalimat itu. Sejak tadi dia tidak bereaksi.
Bagaimana kalau ayahku melamarnya dan dia menerima??!
-Yaa, itu memang rencanaku kata Budi spontan, tertawa.
Tomi memandangnya tanpa bertanya walaupun dahinya berkerut menyatakan dia tidak mengerti.
Yaa, mula-mula, dia akan menikah dengan ayahmu, supaya dapat diwarisinya semua kekayaannya. Setelah itu, setelah ayahmu meninggal tentu saja, aku akan mengawininya! Hebat bukan reneanaku?
Tomi ingin sekali meninju wajah yang menyeringai itu. Bukan main tidak senangnya melihat tampang Budi serupa itu.
Rencanamu? Apakah Lisa tidak mengetahuinya?
Tentu saja tidak. Dia cuma tahu, aku setuju dia menaruh perhatian pada ayahmu. Dan bila ayahmu ingin menikah dengannya, pasti aku yang pertama-tama akan setuju
-Hm-dengus Toni kurang senang dan Budi diam-diam tertawa dalam hati. Dia senang melihat orang lain kebingungan atau merasa celaka.
Bagaimana engkau seyakin itu Lisa akan mau menikah denganmu kelak?
-Oh, aku yakin! Aku tahu hatinya! kata Budi dengan pongah semata-mata untuk membuat Tomi merasa lebih celaka, sebab ini menyenangkan hatinya, walaupun dia sebenarnya tidak begitu yakin.
Hm. Bajingan kau rupanya, ya!
Sebut aku sesukamu. Pokoknya rencanaku jalan terus. Tidak ada orang yang dapat menghalanginya! hidung Budi sudah kembang kempis karena merasa otaknya betul-betul cemerlang dan hari depannya gemilang.
Bagaimana bila aku cegah ayahku menikah dengan Lisa?! tantang Tomi dan pertanyaan ini memang sudah ditunggu oleh Budi.
Oho, oho gelaknya terbahak-bahak, engkau toh tidak akan membunuh ayahmu? Tomi Yunus, engkau toh seorang manusia yang penuh cinta, bukan? Engkau akan membunuh ayahmu? Apakah engkau juga membunuh Susi? Ayahmu yang tidak dapat hidup tanpa Lisa itu akan kaubunuh???!
Tomi mengatupkan bibirnya erat-erat. Ya, dia takkan membunuh ayahnya yang tidak dapat hidup tanpa Lisa. Dia akan membunuh dirinya sendiri saja. Pelan dan pasti.
Dari jauh terdengar langkah kaki setengah berlari. Kedua orang itu menoleh. Lisa kembali lagi dengan mangkuk dan gelas di tangannya. Mangkuk itu diletakkannya di atas meja di teras.
Manisan mangga. Enak sekali. Cobalah -katanya mengundang kedua laki-laki itu, lalu melangkah ke dalam sambil berkata, -ini sari tomat untuk Bapak
Budi melirik Tomi dengan senyum kemenangan. Tomi tidak tahu lagi bagaimana perasaan hatinya. Semua bercampur aduk. Dongkol. Sedih Marah. Dan di atas semua itu: ketidakberdayaannya. Dia tidak berdaya menghalangi rencana Budi menjadi kenyataan. Rasa benci mengaduk dalam hatinya terhadap Budi.
***
SIANG itu Hasan mengambil waktu untuk menemui Icah, kekasihnya. Kedua asyik masyuk itu sudah saling jatuh cinta. Dan tidak seperti orang-orang modern yang terlalu banyak meruwetkan hidup mereka sendiri, keduanya dengan tenang tanpa banyak perhitungan menyatakan akan menikah bila waktunya sudah tiba. Ini memang belum menemukan persesuaian, pendapat. Menurut Hasan, dia tidak dapat meninggalkan majikannya selama orang tua itu masih hidup. Dia merasa banyak berhutang budi. Jadi, mereka menikah kalau Tuan Yunus sudah meninggal. Tapi menurut Icah, tiada halangan bila mereka menikah sekarang. Toh mereka bertetangga. Menurut Hasan, itu tidak akan selamanya demikian. Bagaimana bila Tuan Yunus terpaksa kembali ke kota untuk berobat?! lcah mengusulkan supaya dia pindah saja bekerja pada Lisa, tapi Hasan menjadi marah sehingga Icah tidak berani menyinggung-nyinggung soal itu lagi. Pendeknya, Hasan tidak mau meninggalkan
majikannya selama hidup. Kadang-kadang Icah ingin menangis. Kadang-kadang ingin dia menyumpahi laki-laki pikun itu supaya lekas mati. Tapi kadangkadang juga merasa terharu bila mendengar cerita Lisa tentang kebaikan serta perhatian Tuan Yunus pada gadis itu.
Siang itu Hasan datang membawa berita gembira.
Cah -katanya sedikit terengah-cngah karena penuh semangat, majikanku akan kawin dengan majikanmu!
Apa? tanya Icah seakan-akan tuli.
Tuan Yunus mau kawin dengan Non Lisa!
ulang Hasan dengan gembira.
Yang betul! Jangan main-main
Betul! Sejak kapan aku suka main-main?!
Hasan menyeringai, teringat ketika dia meceritakan kisahnya dengan pembantu di kota, pada Icah. Dia hampir main-main dengan babu itu, tapi tidak jadi.
Non mau kawin dengan laki-laki yang sudah pikun begitu?! Icah menegaskan kurang percaya.
-Pikun-pikun juga kaya, Cah! _
_Ah, masakan Non mau! Saya tidak percaya!
Laa, kalau tidak mau, mengapa tiap hari datang ke sana?! Pendeknya untuk mereka-mereka, uang itu mahapenting, Cah. Tidak seperti kita. Cukup dua tiga ribu sebulan
Tapi Non 'kan juga cukup kaya?! Untuk apa lagi kawin dengan orang kaya? -bantah Icah, masih mencoba membela majikannya.
Huh, kau ini bego amat sih. Kaya itu mana ada batasnya. Orang miskin ingin menjadi kaya. Yang sudah kaya tentu ingin makin kaya. Yang jutawan, ingin menjadi mahajutawan. Tidak ada orang yang puas di dunia ini
-Ah! Saya kurang percaya, ah. Coba nanti saya tanya Non!
Eh, mengapa jadi kurang senang? Justru untuk kita jadi lebih enak. Kalau mereka kawin, berarti.....ayo, berarti apa...?! -tantang Hasan sedang Icah cuma melongo saja.
Kita "kan jadi tinggal serumah! seru Hasan sambil mencubit pipi kekasihnya, -dan kita dapat ikut kawin juga!
Aduh, 'kang sakit ini! -keluh Icah yang dapat menjadi manja bila cuma berdua dengan Hasan.
Sorenya icah menyampaikan berita itu ketika Lisa tengah berdua dengannya di dapur. Budi
sedang mandi.
Siapa yang bilang aku mau kawin dengan Tuan Yunus? tanya Lisa dengan kening berkerut.
-Tadi Hasan yang bilang. Katanya, anak Tuan Yunus juga sudah setuju
Anaknya?! Apa-apaan ini?! Kau jangan main-main, Cah! -gertak Lisa.
-Sungguh, mati, Non!
Lisa tidak berkata apa-apa. Kabar semacam itu tidak pernah terpikir akan didengarnya, karena itu dia tidak tahu apakah dia harus marah atau biasa saja. Menikah dengan orang yang lebih tua lima puluh tahun, memang bukan hal luar biasa jaman ini. Dia sendiri, bila sedang iseng, suka membayang-bayangkan bagaimana kiranya hidup bersama laki-laki tua yang mencintainya. Lisa tahu, Tuan Yunus memang mencintainya. Walaupun sebagai gambaran pengganti ibunya, tapi orang tua itu mencintainya. Mungkin seperti dia dulu mencintai ibunya. Hatinya yang kesong, dan hampa dengan gelisah mendambakan cinta abadi semacam itu dari mana pun datangnya. Pernah juga dia mengalami saat-saat bersama laki-laki tua itu, yang demikian menggetarkan hatinya, sehingga bila waktu itu dia diminta Tuan Yunus untuk menjadi isterinya, pasti tidak ditolaknya. Cinta memang sulit untuk ditolak. Namun begitu. dalam pemikiran yang biasa dan tenang, tentu saja dia tetap masih mengharapkan seorang laki-laki muda. Laki-laki yang mencintainya seabadi cinta Tuan Yunus pada ibunya, tapi yang seusia dengannya. Laki-laki yang barangkali namanya Tomi. Yah! Cinta yang didambakannya itu masih juga bernama Tomi. Dan dia dulu tidak tahu bahwa Tuan Yunus adalah ayahnya.
Lisa menjadi serba salah. Semalaman dia memikirkan hal itu dan mencoba mencari jalan keluar. Dia tidak mau melukai hati tua yang penuh cinta itu. Bila dia berterus terang pada Tomi mengenai perasaannya, pasti Tuan Yunus akan tahu dan terluka hatinya. Sebaliknya bila dia diam saja, sampai datang lamaran dan dia menolak, berarti melukai hati tua itu juga. Dia tidak dapat menolak lamaran Tuan Yunus. Lisa tidak menemukan jalan keluar. Satu-satunya harapan adalah: semoga Tuan Yunus membatalkan niatnya.
Itu juga harapan Tomi ketika dia kembali ke kota keesokan paginya. Villa sebelah masih sunyi. Beberapa menit lamanya Tomi memandang ke sana. Lisa. Lisa. Lisa. Ditemukan untuk dilepas kembali. Ayahnya memesannya untuk membelikan sebuah kalung bagi Lisa. Siapa sangka ayahnya telah mendahuluinya. Kalau tidak, tentu saat itu kebahagiaannya muncul kembali. Yah! Tomi mengangkat bahu. Semoga hati tua ayahnya mendingin lagi. Atau dia akan kehilangan Lisa.
Tomi melambaikan tangan pada ayahnya yang berdiri di balik jendela. Tomi melarangnya ikut keluar sebab banyak kabut dan semalam didengarnya orang tua itu batuk-batuk. Dia khawatir ayahnya kena bronehitis.
Tuan Yunus menutup kembali jendelanya setelah mobil anaknya hilang dari pandangan. Diambilnya sapu tangan putih yang terletak diatas meja dan disekanya hidungnya. Brengsek, gumamnya, aku selesma lagi rupanya. Dia berteriak minta air panas. Hasan muncul dengan baskom besar berisi air panas dan handuk putih. Diletakkannya baskom itu di atas meja. Mulailah Tuan Yunus membasuh mukanya sambil memandang ke dalam cermin.
Aku toh tidak terlalu tua untuk kawin lagi, San?! -tanyanya sambil menggosok pipi kanannya dengan sabun wangi.
Aduh, Tuan! Tentu saja tidak. Apalagi Tuan banyak uang begitu! Di kampung saya dulu, ada tuan tanah umur delapan puluh masih mau kawin dengan gadis! Padahal isterinya sudah dua
Ya, aku 'kan tidak mempunyai isteri?! kata Tuan Yunus seakan-akan membela pendiriannya.
Betul, Tuan. Kalau mau kawin, lekas-lekas saja, Tuan. Apa lagi yang dituggu. Siapa tahu calon nyonya juga sudah tidak sabar lagi!
Hasan memang pandai sekali membesar-besarkan hati orang. Sebenarnya dia cuma sibuk, memikirkan nasibnya dengan Icah. Makin cepat majikannya kawin dengan majikan leah, tentu makin baik bagi mereka. Tuan Yunus amat gembira mendapat sekutu dan dalam hati bertekad mau melaksanakan niatnya.
Betulkah apa yang kaukatakan itu, San?
Atau omong kosong saja?! Dari mana kautahu, Lisa menantikan aku?!
Sebenarnya Hasan sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai perasaan gadis itu. Entah setan mana yang telah menyuruhnya bilang, bahwa Lisa sudah tidak sabar lagi. Tapi mengatakan hal yang sebenarnya tentu akan mengecilkan semangat tuannya.
-Ah, saya 'kan sering omong-omong dengan Icah, Tuan. Pembantunya. Kata Icah, Tuan mesti cepat. Sebab temannya yang tinggal di sana, juga menghendaki Non Lisa
Ya, tapi aku harus menunggu perkara anakku beres dulu. Tidak bisa main sembarangan. Aku mempunyai anak. Mempunyai tanggung jawab. Masakan anakku sedang kesulitan, aku bersenang-senang?!
Tuan Yunus mengambil pisau silet dan mencukur kumis-kumis pendek di atas bibirnya.
Tapi memang tampaknya cita-citaku ini akan menjadi kenyataan. Tomi sudah setuju. Lisa juga kelihatan menyukainya. Mereka berdua boleh dibilang saling menyukai. Jadi peristiwa anak dibenci ibu tiri, takkan terjadi dalam keluargaku! kata si Tua sambil membelalak mencari sisa-sisa kumis yang ketinggalan. Dia tidak ingat, kisah ibu tiri kejam itu, cuma terjadi kalau anak tiri masih dalam keadaan tidak berdaya. Kalau yang disebut anak tiri itu lebih tua umurnya dari sang ibu tiri??!
-Memang Neng Tomi kenapa, Tuan? tan
ya Hasan, menyediakan kaos dan kemeja bersih.
Ah, biasa, urusan anak muda-kata si Tua yang tidak mau mempercayai persoalan semacam itu ke telinga pembantu, soal pacar direbut orang!
_ Oh _
Untuk mencegah pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, Tuan Yunus mengasyikkan diri dengan membasuh bagian-bagian badan lainnya, lalu menyuruh Hasan mengangkat kembali air kotor itu. Sebenarnya pagi itu tidak lebih dingin dari biasa, tapi kadang-kadang, Tuan Yunus mendadak malas ke kamar mandi dan seperti raja-raja, kamar mandilah yang mesti datang padanya.
Setelah bersih, Tuan Yunus menyemprotkan deodorant, yang diperolehnya kemarin dari Tomi, lalu dengan berseri-seri dikenakannya kaos dan kemeja bersih. Dibubuhinya minyak, juga dari Tomi, ke atas rambut kepalanya, yang agak menipis itu, lalu menyisir rambutnya berulang kali, seakan tak mau rapi-rapi rambut itu. Dan sementara itu, hidungnya, terus-menerus membaui minyak rambut anaknya yang harum.
Selesai dengan tindakan mempertampan diri, ternyata hari baru pukul sembilan. Si Tua mengeluh kesal. Mengapa lambat betul jam itu berputar mengelilingi lingkaran sekecil itu, pikirnya. Ingin rasanya mempercepatnya barang dua jam, asal lonceng di kamar Lisa juga ikut dipercepat.
Tahu, dia tidak berdaya melawan alam. kakek tua itu duduk di atas tempat tidurnya. bersandar
pada tiga buah bantal. Dipanggilnya Hasan yang suruhnya mengambil radio transistornya dari luar kamar.
Saya sedang sibuk menyiapkan sarapan kata Hasan menyerahkan radio itu, jadi maksudnya: jangan ganggu saya lagi.
Ya, aku memang tidak memerlukan engkau
kata Tuan Yunus, -jangan lupa: telurku tidak boleh digoreng!
Hasan mengangguk. Seingatnya, majikannya itu amat suka telur ayam mata sapi dengan garam dan lada. Tapi sejak calon nyonya -Hasan sudah menamakan Lisa calon nyonya saja, sebab yakin perkawinan itu takkan gagal, bilang, goreng-goreng tidak baik baginya, mendadak Tuan jadi suka telur rebus.
Rebus yang keras! tambah Tua Yunus sebelum Hasan keluar dari kamar. Hasan tidak menyahut. Dia tidak merasa perlu menyahuti kerewelan semacam itu. Seakan-akan dia sudah lupa apa yang dibilang Non Lisa: jangan beri tuanmu telur mentah lagi, San ketika itu sudah lima hari tuannya makan telur mentah, sebab teringat omongan orang, telur mentah menambah tenaga. Mana pula aku berani-berani sok tahu memberi ini itu, pikir Hasan), sebab putih telur yang mentah itu mengurangi persediaan vitamin di dalam badan. Hasan ingat itu, walaupun kurang mengerti. Dia juga ingat, bagaimana tuannya jadi kelabakan. Dia disuruh ke depot obat di pemberhentian bis-bis dan membeli vitamin merek Supradyn. Bagaikan orang gila, tuannya melahap vitamin-vitamin itu seperti bonbon.
Dengan perasaan damai, Tuan Yunus memeluk radionya dan mulai mencari lagu-lagu yang paling sesuai dengan perasaannya saat itu. Terdengar keroncong. Untuk sementara kegemarannya itu disingkirkannya. Dia tidak mau keroncong. Mengalun the Beattles. Bah! Hardiknya pada diri sendiri. Lagu apa itu! Walang kekek. Lagu nenek! Mars! Aku bukan tentara! Aku laki-laki dan aku ingin lagu-lagu cinta. Sebuah penyiar amatir mengabulkan permintaan itu dan dengan asyiknya kakek tua itu menyandarkan diri ke bantal, memeluk radionya lalu memejamkan mata.
Dia tentu akan terus memejamkan mata sampai siaranitu berakhir, bila Hasan tidak muncul seperempat jam kemudian dengan sarapan pagi. Tuan Yunus sekarang tidak begitu ogah lagi minum susu dan lain-lain, sebab dengan mudahnya Hasan akan menakuti-nakuti dia: nanti Non Lisa marah! Atau: mana ada perempuan yang suka dengan laki-laki tua yang kerempeng! Lebih kena lagi: masa bodoh! Ini "kan untuk kesehatan Tuan juga. Kalau badan tidak sehat, berarti juga tidak kuat!
Tuan Yunus makan dengan lahap. Dia malah ingin tambah, kalau boleh. Susu skim tidak disukainya. Kurang gurih katanya. Dia ingin yang berlemak penuh, supaya menjadi gemuk. Tapi Lisa dengan tenang melarang. Usia tua pantang
makan lemak banyak-banyak. Juga tidak boleh menjadi gemuk. Lebih baik kurus. tapi sehat.
Kurus itu 'kan jelek, Lisa?! -rengeknya.nanti tulang-tulangku menonjol semua
Tulang-tulang Bapak tidak akan menonjol! -bantah Lisa, saya sengaja mengganti susu Bapak yang biasa itu. Saya sendiri minum Skim
Karena Lisa juga minum itu, apa boleh buat Tuan Yunus terpaksa minum dan agaknya enak juga. Dia tidak pernah mengeluh lagi.
LlSa muncul pukul sebelas. ditangannya terdapat tiga tangkai anyelir merah. Diambilnya jambangan kecil miliknya yang beberapa hari yang lalu dibawanya ketika memetik mawar untuk kamar Tuan Yunus. Lisa mengambil air dari dapur untuk mengisi jambangannya lalu memotong tangkai bunga-bunga itu supaya tidak terlalu panjang. Diletakkannya bunga itu di atas meja kamar.
_Ah, bagus sekali keluh Tuan Yunus, walaupun sebenarnya dia tidak begitu suka bebungaan.
Lisa tertawa. Dia mundur sedikit, memiringkan kepalanya lalu memandangi hasil karyanya.
Sayang yang ungu belum kembang. Saya ingin sekali menanam bunga-bunga di halaman depan dan belakang, lalu membuka toko di kota. Pasti laku
Untuk itu engkau sebaiknya belajar dulu cara-cara merangkainya. Di kota pasti banyak saingan _
Saya sudah belajar itu di Jepang
-Oh, engkau pernah ke sana?! tanya Tuan Yunus membelalak.
_ Ya, saya sekolah mode pakaian dan merangkai bunga. Tapi sayang tidak saya tamatkan, sebab Ayah meninggal
-Kalau begitu, aku sokong rencanamu. Kapan engkau mau mulai menanam? Barangkali kita dapat mencari orang yang ahli soal tanam-tanaman. Halamanku juga dapat kaupergunakan, kalau perlu
Ooh, Bapak baik sekali. Tapi itu tidak dapat segera dilaksanakan. Pertama. tentunya saya perlu biaya. Kedua....
Soal biaya, jangan khawatir. Aku jamin beres! -kata Tuan Yunus, jadi bersemangat.
Lisa tersenyum kemudian menyadari bahwa si Tua masih duduk di tempat tidur memeluk radio yang sudah dipelankan bunyinya.
Terima kasih untuk kebaikan Bapak. Saya masih mempunyai uang tabungan dan uang Ayah
juga ada. cuma tidak dapat saya peroleh dengan segera. Nantilah, Pak, kalau rencana itu sudah matang, kita bicara lagi
Aku serius, lho. Justru berkebun merupakan kegemaranku. Apalagi kini aku sudah tidak dapat lagi pergi ke kantor, mengaduk-aduk tanah akan melemaskan sendi tulangku. Kapan engkau dan aku akan mulai?!
Lisa tertawa. Mungkin betul ocehan si lcah. Kakek tua ini agaknya berniat mengikatnya. Bicaranya sudah seperti kekasih saja.
Marilah kita ke luar kamar, Pak. Tidak baik diam-diam saja. Nanti peredaran darah kurang beres. Kita main catur?!
Oke! -sambut si Tua dengan antusias, lalu bergerak turun, tapi kapan kita akan mulai berkebun?! Aku tiba-tiba jadi tidak sabar lagi
Nanti, Pak. Itu gampang. Kalau Tomi sudah beres perkaranya
Si Tua mengangguk-angguk macam boneka. Dalam bayangannya, Lisa bilang begini: Kawin? Itu gampang, Pak. Kalau Tomi sudah beres perkaranya! Jadi bukan main gembiranya dia, sebab dalam pikirannya, Lisa sudah setuju untuk kawin dengannya, padahal sejak tadi mereka cuma bicara soal bunga. Menurut pendapatnya, kalau Lisa sudah setuju untuk menerima uangnya, menanami halamannya (di samping halamannya sendiri) dan bekerja bersama dia, maka itu pasti sudah bersedia untuk hidup bersamanya. La, Ia. Ia, la, dendang si Tua dalam hati. Digandengnya
lengan gadis itu lalu mereka berjalan pelan-pelan ke ruang tengah. Lisa merasa lucu juga melihat tingkah laku tetangganya. Tidak sampai hatinya mengurangi kegembiraan si Tua, jadi diturutinya semua perbuatannya, walaupun dia terus ingat apa yang dikatakan Icah.
Mereka main catur. Tuan Yunus lebih ahli tapi dia berpura-pura bodoh untuk membiarkan Lisa menang.
Apakah tidak lebih baik bila aku suruh Tomi mencari bibit-bibit bunga di kota? tanyanya tiba-tiba sambil menggeser pionnya supaya Lisa bisa maju.
Hm gumam Lisa berpikir keras memperhatikan kedudukannya.
Bibit bibit dari New Zealand rasanya cocok juga dengan daerah kita. Kawanku pernah mencoba menanamnya di kota. Dahlia atau gladiol, aku lupa. Gagal. Mungkin karena terlalu panas atau terlalu banyak pupuk. Hei, engkau makan aku! serunya pura-pura kaget, tapi dalam hati gembira melihat gadis itu berseri-seri, -engkau rupanya ingin menang, ya!
-Tentu!sahut Lisa, saya selalu main untuk menang!
-Tidak begitu gampang! ancam si Tua, walaupun dalam hati dia berniat membiarkan Lisa menang. Dan membuat diri kalah tanpa mencurigakan, cukup sulit. Sekali Lisa menunjuk jalan yang sebaiknya diambil lawannya.
Jangan ke situ, Pak. Itu "kan bunuh diri namanya. Kalau Bapak jalankan kuda itu ke mari, 'kan Bapak bisa makan pion saya!
Supaya tidak mencurigakan, diturutnya nasihat itu.
Lisa, bagaimana dengan usulku tadi?
Yang mana? tanya Lisa yang menjadi khawatir bahwa dia sudah tidak mendengarkan ocehan si Tua sebab asyiknya mengatur siasat.
Anu, supaya Tomi mempersiapkan untuk
kita. Lain kali bila dia datang, kita dapat mulai!
Astaga! Macam anak kecil jadinya bila orang sudah tua, pikir Lisa dengan geli. Seakan-akan bulan depan dunia akan habis. Mau segera juga.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aaah,janganlah kita mengganggunya, Pak. Dia sudah cukup pusing dengan perkaranya
Si Tua terdiam dengan sedikit kecewa, seperti anak lima tahun diperingatkan ibunya. Lisa jatuh kasihan.
-Begini saja. Sebulan lagi kita mulai, kalau sudah tidak terlalu banyak hujan. Saya belum tahu setelah berapa lama bunga-bunga itu dapat dipetik. Tapi selama itu, tentunya saya harus mempersiapkan toko. Saya rasa, ruang depan rumah saya dapat diubah sedikit. Kita beri tirai-tirai kerang....
Si Tua mendengarkan dengan serius. Tertangkap oleh telinganya, perkataan "kita" dan membubunglah hatinya tinggi ke angkasa.
"Kita, katanya," pikirnya. Berarti dia dan aku! Kita!
Ah, aku ingin sekali melihat rumahmu, Lisa
Oh, tentu saja boleh. Kalau Bapak kembali ke kota, mampirlah ke sana
-Ya, aku sudah bosan di sini. Aku ingin tinggal di antara orang-orang banyak. Di sini aku cuma ditemani Hasan. Untung sekali ada engkau, Lisa. Kalau tidak, aku pasti mati kesepian!
Lisa tersenyum dan menepuk-nepuk tangan keriput yang penuh bintik-bintik coklat itu. Rasa membengkak hati Tuan Yunus. Lembut dan halus jarinya, pikirnya. Sepertijari-jari, ibunya dulu.
Aku ingin engkau menemani aku seterusnya, Lisa, Aku tidak mempunyai anak perempuan. Betapa bahagianya aku bila engkau ada di sampingku terus
Jangan khawatir, Pak. Saya tidak akan ke mana-mana kata Lisa sambil menambahkan dalam hati: bila aku menikah dengan anakmu, aku tentu akan berada di dekatmu selalu, di dalam rumahmu! Tapi Lisa maklum (setelah mendengar dari lcah), bahwa laki-laki tua itu menghendaki dia untuk dirinya sendiri. Dan Tomi setUJu. Mungkin dikiranya aku mencintai ayahnya. Lisa hampir menghela napas, tapi membatalkannya dengan kaget. Tuan Yunus tiba-tiba memegang tangannya erat-erat. Dengan tangannya yang sebelah lagi, tangan Lisa dielus-elusnya. Lisa menahan napas. Dia tidak berani menarik tangannya, khawatir menusuk perasaan si Tua.
Lisa-bisik si kakek dengan suara hampir tak terdengar, aku cinta padamu. Seperti dulu aku
cinta ibumu. Sepenuh hatiku. Jangan tinggalkan aku, Lisa. Jangan biarkan aku kesepian. Aku harus hidup bersama engkau. Aku ingin membagi sisa hidupku dengamu! Lisa, jangan tolak aku!
Lisa hampir mengikik karena geli. Tapi wajah serius si kakek membuatnya juga serius. Dia tidak tahu apakah laki-laki itu memang sudah pikun dan sekarang sedang kumat pikunnya yang datang cuma sekali-sekali, ataukah memang dia betul-betul jatuh cinta lagi. Lisa pernah juga membaca serta mendengar laki-laki tua yang sebelah kakinya sudah masuk kubur, menggandeng perempuan muda menuju perkawinan. Bagaimanapun keadaan Tuan Yunus, sikapnya itu sedikit menggelikan. Icah memang tidak bohong. Dan pasti betul: Tomi setuju. Tentu dia tidak dapat berbuat lain daripada mengatakan saja kehendak ayahnya. Lisa memandang mata kelabu yang sudah berkabut itu dan tidak tahu harus bilang apa. Tuan Yunus menatapnya dengan khawatir.
Oh, Lisa! -bisiknya sambil mengguncang-guncang tangan yang masih digenggamnya. Lisa. apakah engkau merasa, aku terlalu tuuuu....aa.. untukmu'?!
Lisa menunduk, tidak sanggup menatap terus mata yang tampak berharap banyak.
Oh, tidak, Pak sahutnya, memaksa tersenyum, walaupun masih menunduk.
Tuan Yunus menganggap biasa bila gadis-gadis seperti Lisa menjadi malu membicarakan perkawinan. Jadi dia sama sekali tidak mempunyai
pikiran bahwa mungkin gadis itu segan mengatakan hal yang sebenarnya.
Tuan Yunus melepaskan tangan Lisa lalu bersandar ke kursinya. Permainan terhenti sementara.
Yah! -katanya menghela napas, _kalau boleh, lautan api pun aku sebrangi untuk menjadi muda kembali. Untuk engkau, Lisa. Aku tentunya ingin sekali engkau bahagia. Dan bahagia itu bagimu mungkin berarti usia muda. Barangkali aku agak egois menghendaki engkau? Tidak, bukan?! Engkau tidak berpendapat begitu, bukan?!
Lisa tersenyum malu-malu kucing, padahal dalam hati geli sekali. Tuan Yunus merasa senang melihat sikap Lisa. Itu menandakan bahwa dia memang sudah setuju! Semua gadis selalu menjadi malu waktu dilamar untuk pertama kali. Rona merah pada pipi Lisa disentuh pelan-pelan oleh si Tua. Lisa harus menguatkan diri untuk tidak lari dari situ. Dia cuma mengelak, berpura-pura malu. Hasan kebetulan masuk. Adegan itu tidak luput dari matanya jeli. Dia menggeleng-geleng tapi merasa senang juga. Berarti dia dan Icah dapat kawin sambil bekerja.
_ Tuan mau makan sekarang? -tanyanya dan Tuan Yunus segera melepaskan sentuhannya seakan-akan kena hentakan lalu menoleh.
Makan saja, makan! Kerjamu mengurus makan melulu! tegurnya sedikit berang.
Ya, habis itu 'kan tugas saya?!
Hasan betul, Pak kata Lisa menengahi,sudah waktunya makan siang, hampir setengah satu, ini!
Huh! -keluh si Tua, menyesal sekali kesempatannya berkasih-kasihan harus diputus oleh acara makan, -Ayo, Lisa, mari-dan diulurnya lengannya hendak menggandeng gadis itu.
Ah, saya permisi pulang saja tampik Lisa dengan manis.
Aku tidak mau makan tanpa engkau. Tidakkah engkau tahu, betapa tidak enaknya makan sendirian?!
Lain kali, Pak. Icah sudah memasak untuk saya. Nanti terbuang. Juga saya sudah terlalu sering makan di sini, tidak menemani Budi makan
How! -seru si Tua yang selalu sengit dengan pemuda itu,biarkan dia makan sendiri. Aku heran, ada orang sebelah itu menjadi tamu di rumah orang!
Kalau Pak Tua sudah marah, karena Budi, gadis itu terpaksa menuruti kehendaknya untuk membuat dia melupakan duri itu dan menghentikan keluh kesahnya. Di samping itu, Lisa tahu temannya tidak pernah marah malah anehnya, Budi selalu merasa gembira bila mendengar si Tua makin dekat padanya. Pura-purakah dia?! bila dia makan bersama Tuan Yunus. Kadang-kadang Lisa merasa sedikit bersalah, membicarakan kedua laki itu berdiri di kiri kanannya. Budi mencintainya. Pak Tua mencintainya. Dan dia
tidak dapat berlaku tegas. Dia mencintai orang ketiga.
Mari Lisa -betapa sabarnya uluran tangan itu. Hasan sudah khawatir Lisa akan menolak. Berarti gadis itu masih ragu-ragu. Syukurlah, dia memegang tangan si Tua dan bangkit. Oh, kata Hasan dalam hati. Dia pasti menjadi nyonyaku dan lcah. isteriku!
****
Pada suatu hari tuan Yunus ingin mengunjungi tetangganya. Lisa kemarinnya tidak datang. Cuma mengutus Icah mengantarkan puding roti. Dan bukan main enaknya puding itu, kata Tuan Yunus pada Hasan.
Heran, tidak seperti yang biasa aku makan --katanya.
Hasan melirik ke atas piring dan mencibir geli dalam hati. Rupanya Non Lisa belum pandai membuat puding roti. itu lebih mirip bubur.
-Tentu saja, Tuan. Sebab itu mirip bubur bayi! tukasnya tanpa segan.
-Ya, jauh lebih enak dari biasa! sambut si tuan, salah mengerti.
Hasan menggaruk-garuk lehernya. Maksudnya,
"tentu saja tidak enak sebab itu bubur bukan puding". eh malah dianggap itu sebabnya jadi luar biasa enak.
Hari itu Sabtu. Udara cerah. Kira-kira pukul sepuluh, Tuan Yunus sudah selesai mempersolek diri dengan minyak rambut dan minyak kolonye
anaknya.
San, aku mau ke sebelah. Puding kemarin itu enak sekali. Mungkin Lisa mau membuatkan aku lagi!
-Apakah Tuan mau makan siang di sebelah?! tanya Hasan yang cuma ingat tugasnya.
Belum tahu. Mimgkin juga, bila diundang
-Nanti saya beritahu Icah supaya dia mengusulkan pada nonnya agar Tuan diundang
-Pandai kau, ya. Jadi kau akan libur siang ini?! tertawa tuannya.
Libur?! Kerja bertumpuk begitu! Saya mau mencuci celana panjang, kemeja dan semua piyama Tuan. Juga seprei dan sarung bantal
-Ya, itu betul. Sepreiku sudah lusuh. Malu dilihat Lisa
Hasan tertawa dalam hati. Keluhan yang belum pernah muncul selama dia bekerja. Nyonya baru agaknya akan membawa banyak kerewelan baru dari tuannya.
-San, kalau pukul dua belas aku masih belum pulang, berarti aku makan di sana
Laki-laki tua itu berjalan dengan gagah dipacu oleh rasa cinta. Rematiknya tentu saja tidak muncul dalam keadaan-keadaan serupa itu. Dilewatinya halamannya sambil mengira-ira berapa petak bunga yang mungkin ditanam dan macam apa saja. Kemudian, dipandangnya halaman sebelah lalu tiba-tiba timbul idenya untuk menyatukan keduanya. Ya, bila sudah kawin, mengapa pula kedua halaman itu tidak dikawinkan juga! Tergetar dengan pikiran luar biasa itu. Jalan kecil yang menyelip di antara semak kemuning, yang merupakan penghubung di antara kedua tetangga akan dihapusnya. Semak kemuning yang lebarnya hampir dua meter sepanjang halaman, harus hilang. Tanah diratakan. Di samping pagar terdapat selokan kecil. itu akan ditimbun. Rumput-rumput diperhijau. Untuk menghubungkan kedua villa, teras-teras mereka akan disambung. Aaah, hidup mulai lagi pada usia tujuh puluh, pikir si kakek sambil menggelengkan kepala dengan takjub. Jantungnya menggelepar dan bergetar dengan ingatan pada Lisa. Kelembutannya. Kehangatannya. Diperlambatnya langkahnya untuk menenangkan geleparan dan getaran di dalam dadanya. Diusapnya sekilas rambutnya di sebelah kiri yang dirasanya turun ke bawah. Pelan dan hati-hati dia melangkah di antara semak kemuning. Ketika itu tahu-tahu timbul niatnya hendak mengintai dan melihat apa yang sedang dilakukan Lisa saat itu. Mungkin dia tengah membaca. Nah, dia ingin tahu apa yang dibacanya. Atau dia sedang menjahit. Menjahit apa?! Sepandai apakah dia menjahit?! Atau dia berbaring-baring saja di sofa mendengarkan musik?! Bagus. Menggairahkan sekali melihatnya dalam keadaan begitu. Lebih-lebih kalau dia memakai celana jeannya yang dekil itu. Sebelah tungkainya akan dilipatnya dan tungkai yang lain ditumpangkan ke lutut. Walaupun kakek itu belum pernah melihat Lisa berbaring-baring, tapi bayangannya mengenai itu jelas sekali, seakan-akan gadis itu terhidang di depannya. Dan, katanya dalam hati, musik apakah yang terutama disukainya?! Itu penting. Sebab aku ingin menyediakan sekoleksi penuh lagu-lagu untuknya, pikirnya.
Mulailah si Tua berindap-indap ke luar dari rimbunan semak kemuning. Dia membungkuk-bungkuk menghampiri jendela ruang tamu. Di bawah jendela dia berhenti lalu berjongkok. Dia tidak berani segera menjulurkan kepala ke dalam, sebab jendela itu terbuka lebar dan didengarnya suara laki-laki bicara. Mula-mula dia heran. Suara itu tidak dikenalnya. Namun sesaat kemudian, dia menyumpah dalam hati dengan jengkel. Anak muda yang tidak disukainya itu rupanya hari itu tidak pergi kerja. Kegembiraannya sudah hilang sebagian. Pasti si Budi atau persetan siapa namanya dia, tidak akan membiarkannya sendirian dengan Lisa.
Suara Lisa kemudian terdengar. Serius. Tapi, tidak dapat ditangkapnya dengan jelas sebab pikirannya masih melayang-layang. Dia jadi ingin tahu apa yang dibicarakan dengan begitu serius. Masih didengarnya suara Lisa. Dipusatkannya seluruh perhatian ke telinga.
--Apa kabar dengan Dian? Kalian cukup lama berpacaran, bukan? Aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentang dia
Kabar tentang Dian? Budi terdengar mengbela napas, dia sudah mempunyai anak laki-laki, kira-kira empat tahun
Oh, dia sudah menikah? Dengan siapa
Tidak terdengar jawaban. Si kakek, memasang telapak tangannya pada daun telinga, tapi masih tidak terdengar suara apa-apa. Ketika dia mulai mengerutkan kening, Budi baru menjawab. Pelan. Lesu.
_Dia tidak bilang, dia sudah menikah kemudian sesaat lagi disambung,
Dia bekerja dan tinggal berdua dengan anaknya di kost
_ Oh?!terdengar suara Lisa kemudian sepi.
Dian setengah memaksa hendak memperlihatkan anaknya padaku kata Budi sejenak kemudian, aku jadi berpikir-pikir: mengapa?!
Bukankah dulu engkau sudah hampir menikah dengan dia?!-tanya Lisa-Sedikitnya, itu yang aku dengar dari kawan-kawan
Budi tidak segera menjawab. Si kakek merasa kaki kirinya kesemutan. Tanpa menimbulkan suara, digantinya posisinya. Kini dia setengah berjongkok. setengah membungkuk.
Bud, mengapa engkau tidak menjawab? Apakah aku membangkitkan kenangan yang tidak enak bagimu?! Maaf
-Tidak, Lisa. Engkau tidak perlu minta maaf. Memang betul, dulu aku sudah hampir menikah dengan Dian. Hubungan kami sudah sedemikian eratnya....-Budi stop di situ dan kakek tidak mendengar apa-apa untuk sesaat.
Lisa....suara Budi terdengar pelan dan sayu membuat si Tua menggeram dalam hati, membayangkan yang tidak-tidak misalnya pemuda itu mau merayu calon isterinya sambil membelai tangannya yang lembut atau mendekatkan bibirnya ke pipinya yang halus. Huh! Geram betul dia. Tapi kalimat selanjutnya segera menurunkan tekanan darahnya.
.....kadang-kadang aku berpikir, mengapa Dian ingin sekali memperlihatkan anaknya padaku, mengapa dia tidak menceritakan kapan dia menikah dan mana suaminya, mengapa dia tidak mengatakan tentang perceraian kalau itu memang terjadi. Mengapa?! Mengapa?! Kadang-kadang dalam mimpi, aku menganggap anaknya itu anakku. Aku yakin. Mungkinkah orang seyakin itu dalam mimpi, padahal dalam keadaan sadar, dia selalu ragu-ragu?!
Hm... dengus si kakek. Rupanya engkau menubruk dan lari, ya. Adakah laki-laki setolol itu, tidak mengetahui siapa anaknya?! Tanyalah aku, hai pandir. Mendengar kisahmu semenit itu, aku sudah tahu bahwa perempuan itu ingin membangkitkan tanggung jawabmu dan kembali padanya, Perempuan itu masih mencintai engkau. Dia tidak membunuh dan menyia-nyiakan anakmu. Dia memelihara tanda matamu dengan setia. Tapi engkau membuang-buang waktu di sini, mencoba mencuri dari depan hidungku! Engkau belum tahu siapa Hadi Yunus! Engkau takkan menang. anak muda. Engkau
takkan menang menghadapi juara cinta seperti aku! Malah anakku sendiri belum tentu menang, walaupun dia jauh lebih juara dari engkau dalam hal sutera-sutera dan segala macam kelembutan. Kalaupun aku kalah, itu cuma mungkin terhadap anakku, bukan terhadap engkau yang kasar dan serabutan. Pandanglah dulu mata seorang wanita sebelum engkau berusaha menaklukkannya. Ada mata yang mengundang kekasaran serta kekerasan, tapi kebanyakan menghendaki tipu muslihat yang serba halus. Begitu halus dan rumitnya, sehingga dia takkan merasa bahwa dia perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam perangkap. Perangkap cinta. Ah, engkau perlu belajar banyak dari Hadi Yunus! Si Tua terkekeh dalam hati menertawakan Budi. Orang tidak cukup mengenal seribu wanita untuk menjadi penakluk abadi.
-Ya, hidup ini memang aneh terdengar suara lembut Lisa setengah mengeluh,kadang-kadang kita setengah mati mengejar apa yang kita anggap merupakan satu-satunya cinta sejati bagi kita. Seakan-akan terbius, kita kejar dia terus. Kita lakukan apa saja, walau seaneh apa pun di mata dunia. Tapi setelah sadar, tahu-tahu kita mendapati bahwa cinta untuk kita sebenarnya sejak dulu berada di dekat kita. Bukan yang lari jauh-jauh. Kita akan menertawakan diri sendiri, menertawakan masa lalu yang penuh kebodohan. Mungkin sudah tiba waktunya bagimu untuk menyadari, cintamu sesunguhnya tetap pada
Dian. Dan Dian juga selalu berada di dekatmu, dalam hatimu, tanpa engkau mau mengakuinya. Sekarang sadarlah, Bud. Jangan membius dirimu terus-menerus. Kasihan Dian yang harus menunggu begitu lama. Juga kasihan anakmu yang merindukan engkau. Tempatmu di antara mereka. Bukan di sini. Bukan di mana-mana
Si Tua menunjukkan jempolnya mendengar katakata Lisa. Tidak disangkanya, gadis itu begitu tajam perasaannya. Dia mengerti, bahwa anak itu anak pemuda itu. Dia mengerti, pikir kakek tersenyum.
-Jadi hubungan kita selesai sampai di sini?! suara Budi penuh rawan.
-Kita memang tidak pernah mempunyai hubungan apa-apa, Bud. Bukan begitu?! Kita tidak pernah saling jatuh cinta, bukan?!
Tidak terdengar suara Budi. Si kakek berganti posisi lagi. Kalau sudah tua, cepat betul kesemutan! Masih belum terdengar apa-apa. Dia tidak tahu, Budi tengah memikirkan kekayaan dua kali lipat yang akan lolos dari tangannya. Kekayaan Lisa dan harta si Tua.... Dian memang bukan miskin, tapi siapakah yang lebih kaya?! Dalam keadaan ragu-ragu begitu, Lisa menolongnya mengambil putusan.
Bagaimanapun Bud, aku tidak akan mungkin menikah dengan engkau
Suara yang pelan itu hampir tidak terdengar, namun yang berjongkok di luar mendengarnya dengan amat jelas. Dan tinggi melambung hatinya. Lisa menolak pemuda itu! Lisa menolaknya! Hore, here.... here... Lisa menyepaknya.... la... Ia Ia... Ia la.:.
-Sungguh, Lisa?!tanya Budi memohon.
-Ya -tegas tapi halus.
_ Engkau tidak bersedia memikirkannya kembali?-Budi masih memohon.
-Tidak, Bud. Tidak mungkin suara Lisa seakan-akan setengah mengaduh. Oh, Lisaku, Lisa, jangan sampai menangis. Orang itu tidak cukup berharga. untuk kautangisi. Engkau. milikku. Jangan menangis.
Lisa, aku cinta padamu
Siapuh! Ke sana ke mari mengobral cinta, tapi tidak punya tanggung jawab. Katakan cinta itu ke telinga anakmu, jangan masukkan dia ke dalam hati isteriku! Dia, isteriku! Setidak-tidaknya, sebentar lagi dia akan menjadi isteriku. Bila Tomi sudah beres perkaranya, dia akan menjadi isteriku! Nyah kau, bedebah!
Tidak, Bud. Cinta yang cuma sepihak tidak akan kekal. Cinta timbul karena kita merasa memilikinya. Karena ada orang yang mencintai kita. Cinta itu timbal balik, baru dia dapat tumbuh subur...
Bagus, bagus, Lisa, Kekasihku! Angka seratus untukmu. Itu betul. Aku mencintai engkau. Karena itu engkaujuga mencintai aku!
-Engkau sebenarnya tidak mencintai aku terdengar suara Lisa menyambung,
kelak engkau pasti menyadarinya. Karena itu aku juga tidak mungkin mencintaimu. Seandainya engkau sungguh-sungguh mencintai aku, pasti sudah lama aku merasakannya dan mengembalikan cinta itu. Aku selalu ragu-ragu terhadap perasaanmu. Itu bukan cinta. Cinta memperlihatkan diri, dengan jelas. Tidak pernah ragu-ragu. Kembalilah pada Dian, ya. Dia mencintai engkau dan lambat laun engkau pasti akan sadar, engkau juga mencintainya
Ya, pergilah pada perempuanmu, setan! Jangan ganggu-ganggu milikku! Ayo, pergi! Kesemutan itu sangat mengganggunya, sehingga dia mulai berharap supaya percakapan itu cepat selesai dan dia boleh masuk.
Laki-laki pikun itu hendak menikah dengan engkau, bukan?!
Apa?! Dia bilang, aku pikun?! Meradang si kakek dalam hati. Hampir saja dia menjulurkan kepala lewat jendela, bila tidak segera terdengar suara Lisa yang menghibur hatinya.
Ya, Tuan Yunus memang mengatakan itu. Tapi dia tidak pikun, Bud. Jangan sembarangan memperolok orang tua. Belum tentu bagaimana engkau kelak!
Budi terkekeh dengan keyakinan hati muda yang tidak pernah membayangkan masa tua. Hadi Yunus tidak mempedulikan ocehan itu. Hatinya yang melambung tadi, sudah membengkak karena bahagia. Lisa menolak Budi, itu pertama.
Kedua, dia mengakui bahwa aku telah melamarnya. Bahwa aku hendak memiliki dia. Ketiga, dia membela aku, dia tidak menganggap aku sebagai orang tua yang pikun. Dalam bayangannya, pastilah aku ini baru berumur empat atau lima puluh. Memang lumrah bagi gadis-gadis kaya yang biasa dimanjakan ayahnya untuk mencari laki-laki berumur. Kata buku, mereka mencari pengganti ayahnya. Ah, ah. ah, dasar jodoh. Hampir saja dia tidak dapat menahan diri untuk bertepuk-tepuk tangan.
Kapan kalian akan menikah?
-Jangan pikirkan aku, Bud. Pikirkan Dian. Betapa merananya dia setiap kali anaknya menanyakan engkau. Kembalilah segera padanya
Ah, itu perkara gampang. Aku lebih menaruh perhatian pada urusanmu. Kapan kalian akan menikah?!
Bulan depan, Lisa. Bulan depan, kata si Tua dalam hati. Kaki kanannya dijulurkannya ke depan. Tersentuh olehnya pot bunga, nyaris terguling benda itu. Tapi Tuan Yunus tidak mempunyai minat untuk mengurus pot pot bunga yang miring. Dia sibuk mencoba telepati kepada jantung hatinya. Bulan depan, bisiknya Bila hujan sudah tidak begitu banyak. Bukan begitu katamu dulu?! Engkau mau menanam bunga bila hujan sudah agak berkurang. Nah, kita akan menanam dalam masa bulan madu kita, bukan?! Bulan depan. Semoga Tomi lekas beres perkaranya. Kalaupun tidak, kita toh akan kawin juga. Sebab menunggu
pengadilan bekerja, bisa makin tua engkau dan aku. Walaupun engkau masih muda, akan makin tua juga engkau dimakan waktu.
Aku tidak dapat menikah
Mengapa?! Kata itu dikeluarkan berbareng oleh Budi dan dalam hati, oleh Tuan Yunus yang menjadi sedikit kaget. Lisa tidak segera menjawab. Apakah dia tengah mendustai pemuda yang terlalu ingin tahu, itu?! Apakah dia membuat lelucon?!
Mengapa? ulang Budi.
Ya, mengapa, Lisa?! Kali ini si Tua membeo pada anak muda yang tidak disukainya itu. Dan jawaban Lisa datang bagaikan seember air es.
-Karena aku tidak mencintainya!
Si kakek menjadi lemas. Dia tidak mengira bahwa gadis itu tidak mencintainya.
Tapi itu toh tidak berarti, engkau tidak dapat menikah dengannya?! Dalam jaman begini, cuma orang orang kuno yang mencari cinta dulu, baru kawin. Kalau engkau jatuh cinta, tentu engkau kawin. Tapi kalau engkau, tidak jatuh cinta, seharusnya engkau kawin juga. Itu pedoman hidup modem. Ribuan gadis menikah setiap hari. Kaupikir mereka semua jatuh cinta?! Bah ! Cinta itu uang, Lisa. Cinta itu aman. Uang adalah aman
Kata-kata Budi membangkitkan harapan baru dalam hati si Tua. Untuk pertama kalinya dia memuji Budi. Filsafat hidupnya sungguh berguna untuk dipraktekkan. Oh, semoga Lisa menden
garkan petuah yang berharga itu. Dia tidak lagi benci pada pemuda itu. Dia berharap Budi akan menyelamatkan Lisa untuknya.
Kaupikir mengapa begitu banyak orang menikah?! Karena menyenangkan?! Oh, itu cuma untuk sebagian kecil orang-orang yang saling jatuh cinta. Selebihnya?! Mereka mencari keamanan. Perkawinan sama sekali jauh dari permainan yang menyenangkan. Penuh tanggung jawab yang dapat membuat orang menjadi sinting. Penuh keluh kesah. Penuh ketegangan. Penuh persaingan, pertengkaran, iri hati. Tapi juga penuh keamanan. Dalam uang seorang laki-laki, wanita mencari ketenangan. Dia tidak perlu memikirkan hari esoknya. Dan dalam diri anakanak, seorang laki-Iaki menjadi aman serta terjamin. Dia akan hidup terus. Biarpun dia mati, dia akan hidup terus. Dunia mempunyai bukti bahwa dia pernah hadir
Luar biasa. Luar biasa. Anak muda itu hebat juga rupanya. Ya, ya, Lisaku yang tercinta, bukan alasan bagimu untuk menolak aku hanya karena engkau, tidak merasa mencintai aku. Ah, perempuan muda yang belum berpengalaman, kawinlah dulu, dan aku akan membuat engkau mencintai aku sungguh-sungguh. Cinta timbul dari pendekatan dan kebiasaan. Cinta perlu pupuk, Lisa.
Lisa, cinta akan timbul setelah kawin. Belum pernahkah engkau mendengar tentang hal itu?!
-Mula-mula aku sangka engkau betul-betul mencintai aku, Bud ,terdengar suara Lisa setengah tertawa, sekarang engkau setengah mati membujuk aku supaya kawin dengan orang lain
-Aaah,Budi juga tertawa kecil,-makin dipikir, makin tidak dapat aku melupakan anak itu. Seperti aku bilang tadi, laki-laki mencari keamanan dalam diri anak-anaknya. Bila anak itu memang anakku dan Dian mencintai aku, mungkin aku adalah binatang bila tidak menghiraukan mereka
-Ya, aku senang sekali mendengar putusan
Tapi aku belum mendengar putusanmu yang menyenangkan hatiku! Engkau tidak mungkin sendirian seumur hidup. Engkau menolak aku. Oke. Tapi engkau toh harus serius mempertimbangkan si Tua itu?!
Hm, dia masih menyebut aku si Tua. Sedikit kurang ajar. Namaku toh Tuan Yunus?! Atau Bapak Yunus?! Tapi tidak apa. Dia tengah berusaha memenangkan Lisa untukku. Aku bersedia melupakan semua kurang ajarnya dan bahkan memberinya hadiah.
-Aku memang tidak mempunyai apa-apa. Hidupmu takkan terjamin bersamaku. Tapi laki-laki tua itu! Dia kaya raya, Lisa. Walaupun usianya sudah tujuh puluh, dia kaya seperti setan. Engkau akan terjamin seumur hidup. Bila engkau tidak bahagia, engkau tinggal menunggu saja lonceng kematiannya. Engkau dapat menikah
lagi! Dengan uang berkarung-karung di bank!
Si Tua menyeka air matanya. Lonceng kematian. Ya, dia tidak pernah berpikir sampai ke situ. Cinta yang bersemi dalam hatinya membuat dia lupa bahwa setiap orang harus mati, apalagi yang sudah tua. Tapi Lisa, andaikan begitu yang akan terjadi, andaikan engkau harus kawin lagi setelah aku mati, tidak apa, Lisa. Tidak apa. Aku rela. Asal engkau mau menemani aku selama aku masih hidup. Jangan tinggalkan aku. Jangan tolak aku. Semua uangku untukmu. Anakku dapat mencari uang sendiri. Setelah aku mati, aku rela, aku restui engkau menikah lagi. Mungkin engkau ingin mempunyai anak dan mungkin aku tidak dapat memberinya padamu, aku rela engkau menikah lagi.
-Ah, Bud -keluh Lisa,-aku mencintai yang lain
Air mata Tuan Yunus seketika menjadi kering mendengar perkataan Lisa. Jantungnya berdegup cepat dan menyakitkan. Oh, oh, Lisaaaa, keluhnya dalam hati. Tapi masih dikuatkannya dirinya untuk mendengarkan lebih lanjut.
-Anaknya?!-terdengar suara Budi dan mungkin Lisa cuma mengangguk, sebab Budi segera bertanya lagi.
_Apakah Tomi juga mencintai engkau?Tomi?! Tomi! Anakku?! Anakku!
Aku tidak tahu. Dulu dia sering sekali mengunjungi aku di asrama. Kemudian, begitu saja dia menghilang. Tanpa penjelasan apa-apa. Tanpa surat. Tanpa kabar berita
--Dan kalian baru berjumpa lagi belum lama ini ketika dia datang?
-Ya -suara Lisa lemah serta tidak berdaya. Jadi Tomi mengenal Lisa. Tapi dia menyetujui kehendakku. Dia tidak mencintai Lisa. Dia bersikap biasa saja padanya. Ah, Kekasihku, anakku tidak mencintai engkau. Ah, kasihan.
Engkau masih menggantung gambarnya di kamarmu, bukan?
Tidak terdengar jawaban. Oh, oh, oh. Jadi selama ini gambar anakku yang tergantung di kamarnya. Selama ini.... selama dia begitu menaruh perhatian padaku.... mengurus keperluanku, menjahitkan kancing kemejaku, membuatkan aku puding, main catur bersama, membawakan aku bunga.... selama ini gambar Tomi yang dipandangnya. Anakku yang dimimpikannya! Anakku yang tampan dan terkenal itu! Anakku yang juga.... anakku yang juga suka bercinta.... sukar sekali bagi si Tua mengakui hal itu. Anaknya juga ahli bercinta. Dia tidak dapat melupakan itu. Dia tahu telepon selalu berdering-dering. Anak-anak ingusan maupun nyonya-nyonya terhormat, semua menyukainya. Dan kini, dia berkenalan dengan polisi juga karena cinta seorang wanita. Aaah... si Tua mengerang.
Dan apa kehendakmu sekarang?! Menikah dengan Tomi?
Uh keluh Lisa, walaupun dia mencintai aku. andaikata. kami toh tidak dapat menikah
selama ayahnya masih hidup. Itu akan menghancurkan hati tuanya
Aw! Tuan Yunus menjerit dalam hati. Orang menghendaki aku mati. Dunia sudah bosan dengan aku. Mereka mengharapkan aku lekas pergi supaya semuanya dapat berpesta. Oh!!! Tuan Yunus tiba-tiba merasa sesak napas. Hatinya menjadi ciut. Harapanya yang melambung tadi, jatuh, terhunjam ke dalam bumi. Jantungnya makin berdegup kencang. Keringat dingin mulai mengalir ke luar. Tapi seperti anjing yang terluka masih ingin kembali ke rumah tuannya, laki-laki tua itu dengan susah payah membungkuk-bungkuk menekan dadanya yang sesak, berbalik menuju jalan pulang. Setiba di halamannya sendiri, baru dia berani berjalan biasa. Dan dia terjatuh tepat di atas tempat tidurnya, mengerang-erang seperti dibantai orang. Hasan kebetulan sedang membersihkan lantai di dekat kamar. Dia kaget mendengar rintihan majikannya dan segera berlari mendapatkannya. Dilihatnya si Tua tengah tidur meringkuk seperti kanak-kanak, sebentar-sebentar mengaduh.
-Tuan kenapa?tanyanya kaget melihat majikannya begitu lusuh. Kemejanya terangkat sebagian, Rambutnya kacau seakan-akan habis diaduk-aduk.
_Kenapa, Tuan? ulangnya mendekat.
_Napasku sesak keluh si Tua.
Hasan lekas-lekas mengambil bantal lagi dan menyusunnya lalu menyandarkan majikannya di situ, setengah duduk.
Lebih enak, Tuan!? Saya ambilkan obat?!
-Tidak usah. Oooh erang Tuan Yunus,Aku sudah tua, ya, San. Aku sudah tua. Hidupku sudah tidak berarti lagi. Riwayatku sudah habis
Apa-apaan ini, pikir Hasan. Tadi pagi dia begitu gembira. Sekarang jadi putus asa. Apa yang terjadi di sebelah?!
_Apakah Tuan bertemu dengan Non Lisa?! Apa yang dikatakannya pada Tuan, sampai Tuan jadi begini ?!tanya Hasan, menyangka ini ada hubungannya dengan Lisa.
-Aku belum bertemu dia. Ini bukan gara-garanya. Lisa tidak salah apa-apa. Aku sendiri yang tiba-tiba sadar, aku sudah tua. Penyakitan. Aduh
Sesak napas itu timbul kembali sejenak, untung menghilang lagi bila Tuan Yunus menutup mulutnya. Dipejamkannya matanya. Hasan mengambil obat dari lemari kecil, tapi majikannya menolak dengan tegas.
-Nanti Tuan kenapa-kenapa bila tidak mau minum obat-bujuk Hasan.
_Biarkan aku mati erangnya,-Aku mau mati. Biarkan aku mati
Hasan membelalak. Ini pasti ada hubungannya dengan Non Lisa. Dulu, ketika Non Lisa tidak muncul-muncul membalas kunjungannya, tuannya juga ingin mati. Mesti ada apa-apa nih, pikirnya lalu bergegas ke luar kamar, mau memanggil Lisa.
Engkau mau ke mana?
-Saya mau menjemput Non ke sebelah
-Ya, panggillah dia. Aku ingin melihatnya. Tapi jangan katakan, aku tadi ke sana. Jangan. Aku sebenarnya tidak mencarinya
Setelah Hasan berjanji dengan sungguh-sungguh, baru dia diperkenankan pergi.
Lisa kaget melihat keadaan Tuan Yunus. Rambutnya terbaur-baur, bajunya lusuh, bibirnya berkerut-kerut dan baru kini dia melihat bahwa kedua matanya tampak tua. Mata yang biasa bersinar-sinar itu tidak kelihatan bercahaya. Lisa menyentuh lengannya dengan penuh perhatian.
Pak, kenapa Bapak jadi begini? -tanyanya dengan lembut.
-Tidak tahu, Lisa-sahut si Tua setengah mengeluh.
-Tadi Bapak ke mana ?
Aku... aku cuma jalan-jalan sebentar, lalu tiba-tiba napasku sesak
Biasanya Tuan tidak begitu kata Hasan yang masuk dengan kursi. Silakan duduk, Non
-Terima kasih. Apakah Tuan sudah diberi obat, San?!
-Belum. Tidak mau, Non. Karena itu saya memanggil Non supaya Tuan dibujuk
Tapi untuk pertama kalinya, bujukan Lisa tidak berhasil. Si Tua berkeras menolak obat, mengatakan dia sudah baik kembali. Lisa kemu
dian mencoba membujuknya supaya mau makan. Hasan tidak masak siang itu, mengira tuannya akan makan di sebelah. Lisa menyuruhnya minta makanan pada Icah untuk mereka berdua.
-Mari Pak, kita makan bersama -kata Lisa.
-Ah, tidak kata Tuan Yunus menggeleng, Engkau makan saja sendiri
Hasan mengerutkan kening. Agaknya majikannya sudah bertekad untuk mati! Lisa akhirnya juga tidak makan. Si Tua ditemaninya sampai tertidur lalu dia pulang.
Sorenya, Lisa datang kembali. Tetangganya sudah tampak biasa lagi, duduk di tempat tidur bersandarkan bantal-bantal, memeluk radio. Lisa mencoba menarik minatnya terhadap sepiring nasi goreng yang masih panas, yang dibuatnya sendiri. Tuan Yunus memandang gadis di mukanya dan menangis dalam hati. Oh, kalau aku dua puluh tahun lebih muda, pasti engkau akan jatuh cinta padaku. Bukan hanya nasi goreng yang akan kautawarkan, tapi juga hatimu, cintamu, hidupmu. Oh, kalau saja aku masih muda. Kalau saja aku dua puluh tahun lebih muda.
-Mari dicoba, Pak. Ini saya buat sendiri -Tuan Yunus memandangnya dengan ragu-ragu.
-Kalau Bapak tidak mau mencobanya, berarti Bapak tidak menghargai jerih payah saya kata Lisa pura pura mau marah.
Hadi Yunus memandang piring itu dengan sayu. Oh. Gadis manis yang aku cintai. tentu saja aku selalu menghargai engkau. Walaupun engkau
cuma berpura-pura mencintai aku.
_Ah, tentu saja aku menghargai usahamu, Lisa kata Tuan Yunus tersenyum,mari aku coba, tapi jangan berkecil hati kalau tidak habis. Sebab aku tidak ada nafsu makan
Ini akan mengembalikan nafsu makan Bapak-kata Lisa dengan yakin.
Si Tua tidak ingin mengecewakan gadis itu. Dia mencoba melahap makan malam itu. Kira-kira lima suap berhasil masuk. Sekonyong-konyong kejadian tadi pagi membayang lagi di depan matanya dengan jelas. Sesak napasnya tahu-tahu muncul kembali, nyaris menyebabkan nasi di mulutnya masuk ke hidung. Matanya setengah membelalak dan napasnya tersendat-sendat. Lisa terkejut. Lekas-lekas diambilnya piring yang tengah dipegang si Tua lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian ditepuk-tepuknya punggungnya, mengira dia terselak makanan. Ketika ini tidak membawa perbaikan, Lisa baru melihat bahwa si Tua itu dengan susah payah melepaskan napas.
_Bapak sesak napas lagi?-tanyanya seakan-akan pada diri sendiri.
Tuan Yunus tidak menyahut. Dia tidak sanggup menyahut. Lisa mencoba mencari-cari di antara deretan botol-botol obat, yang mana obat sesak napas. Dia ragu-ragu dan akhirnya berteriak memanggil Hasan. Tergopoh-gopoh laki-laki itu muncul. Dia tidak perlu bertanya ada apa, keadaan majikannya sudah jelas. Dengan cepat
diambilnya botol coklat. Dikeluarkannya dari situ sebungkus obat bubuk dan disambarnya cangkir teh dari meja. Tuan Yunus sudah terlalu lelah untuk menolak, dan ditelannya obat itu.
Hasan, melihat betapa pucatnya Lisa.
--Jangan khawatir, Non. Tuan sudah minum obat. Tidak ada bahaya apa-apa. Serangan begini memang biasa, biarpun sebenarnya sudah agak lama juga tidak terjadi
Lisa mengangguk. Dia ingin menemani terus, tapi Hasan mengatakan tidak perlu. Tuannya sudah tidak dalam bahaya. Laki-laki tua itu sendiri dengan suara lemah, juga menganjurkan supaya Lisa pulang saja. Mendung bertambah gelap, mungkin sebentar lagi hujan deras akan turun.
_Baiklah-kata Lisa,-kalau ada apa-apa, panggil saya, ya
Semalam itu dia tidur dengan gelisah. Keadaan Tuan Yunus menghantui pikirannya. Pertama, karena mereka sudah teman baik, bahkan lebih dari itu menurut pikiran si Tua. Kedua, laki-laki itu adalah ayah Tomi. Kalau terjadi apa-apa sementara dia ada di dekatnya dan tidak berbuat sesuatu, tentu dia takkan punya muka untuk berhadapan dengan Tomi lagi.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untung malam itu tidak terjadi apa pun. Keesokan harinya, pagi-pagi Lisa sudah datang, membuat hati tua itu makin terluka. Bila dia belum mencuri dengar pembicaraan Lisa dengan Budi, tentu bukan main senang hatinya, mengira gadis itu datang karena sungguh-sungguh
mencintainya. Tapi kini hatinya justru menjadi pedih, sebab dia sudah tahu, bukan dia yang dicintai si lembut. Bukan dia yang mengisi hatinya. Walaupun Lisa tulus hati dalam menunjukkan perhatiannya, si Tua mengira dia berpura-pura. Pikirannya yang kacau itu membuat keadaannya tidak bertambah baik. Malah sebaliknya. Sore harinya timbul kembali serangan. Hasan sudah ingin mengirim surat via suburban, tapi dilarang oleh majikannya.
Tomi sudah cukup pusing dengan urusannya sendiri, jangan tambah dengan yang bukan-bukan. Makan obat, aku sembuh -katanya lambat-lambat untuk mengimbangi sesaknya.
Pada hari ketiga, serangan datang lagi. Kali ini lebih lama dari biasa. Hasan makin sibuk. Lisa mengusulkan supaya Tuan Yunus dibawa ke kota saja. Tiba-tiba turun hujan lebat dan Tuan Yunus mendadak takut turun gunung dalam hujan. Dia betul-betul tampak ketakutan, sehingga Lisa dan Hasan tidak berani membantah. Si Tua tampak lemah, lelah dan pucat. Lisa menitikkan air mata, teringat ayahnya sendiri sewaktu mendekati ajal. Ayahnya sakit kanker paru-paru. Badannya habis dimakan penyakit.
Tuan Yunus menghapus air mata Lisa dengan jarinya.
-Jangan menangis. Lisa. Aku tidak apaapa-bisiknya.
--Tapi Bapak harus dibawa ke kota !
*Ya. Besok. Kalau hujan sudah berhenti
TUAN Yunus sudah empat hari kembali ke rumahnya di kota. Sesak napasnya sudah tidak muncul-muncul lagi, tapi dia terkena radang paru. Lisa ikut pindah ke rumah ayahnya di kota, supaya dapat menengok si sakit tiap hari. Icah masih di villa, sebab Budi masih ingin tinggal di situ seminggu lagi, sampai pekerjaannya selesai.
Setiap hari, Lisa datang sekali. Kadang-kadang pagi, kadang-kadang sore. Mula-mula dia datang pagi, dua kali berturut-turut. Ketika dia tidak menjumpai Tomi, digantinya waktu kedatangannya menjadi sore hari. Pada hari keempat baru dilihatnya Tomi. Pemuda itu tengah mengeluarkan mobilnya dari garasi. Melihat kedatangan calon ibu tiri, Tomi menghentikan mobilnya dan keluar untuk menyambutnya. Diantarnya Lisa ke dalam.
_Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih padamu, Lisa katanya sambil membimbing gadis itu,kalau engkau tidak membawanya kembali ke mari. entah apa
jadinya. Radang paru tidak boleh dianggap enteng, bukan?! Baru sore ini aku dapat bertemu denganmu, aku harap engkau tidak kecewa. Aku sibuk sekali dengan urusanku itu, sehingga pagi-pagi tidak sempat menantimu
Oh, itu tidak apa-apa. Sudah tertangkap terdakwanya?!
_Bclum-geleng Tomi,-aku sudah delapan kali mondar-mandir ke hopbiro, sehingga apal olehku nama nama petugas di sana
Tomi tertawa diikuti oleh Lisa.
-Masakan mereka masih terus mencurigai engkau?
-Mana tahu. Dalam kasus seperti ini, orang tidak mau ceroboh. Untuk para tertuduh, tentunya untung-untungan. Bila pelaku sebenarnya tidak tertangkap, mungkin suami Susi atau aku yang akan jadi gantinya
Siapa tahu suaminya itu yang melakukannya! tukas Lisa.
Kadang-kadang aku pun berpikir serupa itu. Tapi tidak ada bukti
Mereka tiba di dekat pintu dapur. Tomi melepaskan pegangannya. Lisa merasakan kehangatan pada tangannya di mana jari-jari Tomi tadi berada.
--Sudah ya, Lisa. Aku harus pergi sekarang
--Semoga terbukti. suaminya itu yang bersalah! kata Lisa dan Tomi cuma tertawa.
Lisa gembira sekali dengan penermuan singkat itu. Walaupun Tomi menganggapnya sebagai
calon ibu tirinya, tapi tampaknya dia masih menaruh perhatian padanya. Cuma dia tidak tahu bagaimana hatinya. Masihkah dia teringat hubungan mereka yang dulu?! Atau, mungkinkah Tomi menerima cintanya seandainya ayahnya .
......!
Bibi Tomi menyukai gadis itu walaupun dia tidak begitu antusias mendengar kabar yang disampaikan Hasan berkenaan dengan niat majikannya. Wanita itu menganggap Lisa terlalu muda untuk bersanding dengan saudaranya. Memang ada gadis-gadis muda yang seakan-akan ditakdirkan untuk menikah dengan tua yang kaya raya, tapi Lisa pasti tidak. Lisa mendambakan hidup yang lebih muda, bahkan harta benda yang berlimpah mungkin tidak terialu dihiraukannya. Karena dia terlahir dalam keluarga kaya. dia tidak lagi bermimpi tentang calon suami yang jutawan. Orang tidak bermimpi tentang sesuatu yang Sudah dimilikinya. Itu tidak lagi diingininya.
Tuan Yunus sendiri tidak pernah membuka hatinya pada seorang pun. Bahkan terhadap Hasan, dia tidak lagi bersikap seerat di villa. Kalau teringat Lisa atau melihatnya datang, kadang-kadang dia merasa sedih, kadang-kadang gembira. Sedih bila teringat cintanya yang gagal, impiannya yang musnah. Gembira karena Lisa mencintai anaknya. Karena Lisa kan tetap tinggal dalam keluarganya. Dan apa yang dulu seharusnya dilakukan oleh Neli, kini akan dilakukan olehnya. Oleh Lisa. Gadis itu akan menyambung terus nama Yunus. membawa berkat ke dalam
keluarga mereka.
Namun sesekali, Tuan Yunus toh merasa iri terhadap Tomi. Hampir tidak mungkin dipercaya bahwa dia dulu serupa itu juga. Muda. Kuat. Gagah. Menarik. Kaya. Hampir tidak teringat lagi olehnya masa itu. Kadang-kadang pikirannya pudar, terutama bila dia ingin mengingat-ingat sesuatu hal.
Begitulah hari-hari berlangsung terus. Dokter dengan teliti merawat penyakit Tuan Yunus, tapi pembuluh-pembuluh pernapasannya sudah tidak bagus lagi kerjanya. Lendir selalu bertumpuk di dalam, sehingga pernapasan juga tidak lancar, walaupun sesak sudah hilang. Si sakit menjadi invalid. Seharian terbaring saja di tempat tidur. Kadang-kadang Lisa menawarkan diri untuk membacakan sesuatu dan si Tua akan tersenyum senang. Bila kebetulan Tomi juga hadir, diam-diam dipandangnya kedua anak muda itu bergantian. Dia bangga akan anaknya. Dia senang melihat anak Neli. Kadang-kadang dia tersenyum bila dalam pikirannya dibayangkannya Neli ada di situ juga. Dia akan bilang pada Neli. begini; Nel. rupanya cinta kita berdua akan diteruskan oleh anak-anak kita! Neli pasti tertawa gembira, Ah, wajahnya betul-betul mirip dengan Lisa.
Bila Tomi atau Lisa melihat dia tersenyum sendiri, mereka tidak pernah menegur atau menanyakan sebabnya. Mereka menganggap itu senyum tidak berdosa dari orang tua yang mulai linglung, seperti juga senyum bayi-bayi dalam
tidurnya.
Lisa kata si Tua pada suatu hari,bagaimana dengan rencanamu membuka toko bunga? Apakah ruangannya sudah kausediakan?
Ah, saya nantikan Bapak sembuh supaya dapat Bapak lihat apakah ruangan yang saya sediakan itu cocok atau tidak-sahut Lisa tersenyum.
Itu pertama kalinya mereka bicara berdua soal rencana mereka.
-Oh, aku tidak mempunyai keahlian dalam hal itu protesnya tersenyum, Begini saja. Engkau ajak Tomi melihatnya. Kemudian, minta dia membeli bibit-bibit supaya bisa lekas ditanam. Aku rasa tidak lama lagi musim hujan akan segera berakhir .
-Ya, ya. Bapak mesti cepat bangun kembali. Bukankah Bapak mau membantu saya bertanam ?!
Tuan Yunus tidak menjawab. Dia cuma tertawa sendu. Dalam wajah Lisa kembali membayang Neli dan senyumnya seakan-akan memanggilnya supaya lekas menghampir. Si Tua terlena ke masa silam. Lisa tidak lagi disadarinya kehadirannya.
Waktu itu Lisa sudah tidur. Malam terang bulan. Mereka Hadi dan Neli-duduk-duduk di teras. Neli merebahkan kepalanya di pangkuan Hadi. Mereka bicara setengah berbisik, seakan takut mengganggu keheningan malam yang permai. Hadi sebentar-sebentar menunduk, mengecup kekasihnya. Neli, membelai jari-jarinya satu per satu dan mereka bicara soal masa yang akan datang. Neli masih khawatir untuk memisahkan Lisa dari ayahnya. Anak itu menyayangi kedua orang tuanya. Tuan Yunus tidak ingat lagi apa yang dikatakannya waktu itu. Percakapan percakapan itu sudah membaur ditelan waktu. Kadang-kadang dia ingat sepotong kalimat, tapi tidak tahu kapan itu diucapkan. Dia lebih ingat adegan-adegan pertemuan mereka, tapi itu pun tidak lagi berurutan. Semua membaur menjadi satu. Suatu saat dia membayangkan malam terang bulan bersama Neli di pangkuannya, namun sedetik kemudian dia terkenang saat pertemuan mereka yang pertama kali. Begitu indah dan mengesankan baginya, walaupun di sana-sini serpihan-serpihan ingatan sudah menghilang. Lisa membiarkan orang tua itu melamun. Dia tahu, sebentar kemudian kelopak tua itu pasti akan menutup, sebab dia sudah sering menyaksikan keadaan demikian. Maka dengan perlahan-lahan dia berdiri dan pergi ke luar kamar.!
Bila kebetulan Tomi pulang untuk makan, Lisa pasti diminta makan bersama. Dia tidak pernah menolak, sebab itu memberinya kesempatan untuk berada bersama Tomi selama beberapa puluh menit. Lisa tidak pernah lupa menanyakan bagaimana perkembangan perkaranya. Tomi tidak mempunyai kabar gembira. Betul, sepotong besi telah ditemukan pula di halaman rumah Susi dan dalam analisa terdapat bekas darah serta sidik jari tuan rumah, namun itu tidak berarti bahwa Tomi sudah bebas. Malahan sebaliknya. Koran serta polisi seakan-akan berkomplot untuk mengetahui sampai ke hal yang sekecil-kecilnya mengenai hubungannya dengan Susi dan wanita-wanita Iain. Sudah tentu Tomi menolak bicara, sebab banyak wanita-wanita terhormat akan ternoda namanya bila dia membuka mulut. Kepala polisi yang menyukai buku-bukunya dipindahkan ke seksi lain dan penggantinya tidak pernah mau membaca apa yang dianggapnya sebagai "membuang waktu belaka". Termasuk di sini tulisan-tulisan Tomi. Karena tidak menjadi pengagumnya dan anak isterinya agaknya tidak ada pula yang mengagumi Tomi, maka dia tidak segan-segan menangani perkara itu dengan tangan besi. Tomi tidak bisa lagi mengharapkan pembebasan. Kepala polisi itu rupanya tidak begitu menaruh hormat dan kepercayaan pada laki-laki tampan yang kerjanya cuma memenuhi permintaan wanita-wanita serta menyenangkan mereka.
Tomi memandang Lisa dan mengangkat bahu.
Seandainya pelakunya tidak berhasil ditangkap atau dia tidak bisa membersihkan diri dengan bukti-bukti, yaaaaa. Lisa terpaku, tidak bisa berkata apa-apa. Hal itu memang menakutkan tapi bukan tidak mungkin terjadi.
_Dan bagaimana dengan ayahmu?!-tanya Lisa dengan pengertian yang tak terucapkan: seandainya itu terjadi. Seandainya engkau masuk penj.........!
Aku tidak tahu keluh Tomi.
Tapi tampaknya si Tua jauh lebih tabah daripada yang diduga.
Pada suatu hari, tomi mendapat perintah untuk masuk sel menjelang persidangan perkaranya. Suami Susi juga ditahan. Tomi berpikir-pikir bagaimana menyampaikan berita itu. Dia bertukar pikiran dengan bibinya dan Lisa. Kedua wanita itu tidak setuju bila dia berterus terang.
--Kita tidak tahu bagaimana reaksi ayahmu nanti, Tom....kata bibinya, Penyakitnya baru saja mendingan
Jadi Tomi berpura-pura mau ke rumah temannya. Dia masuk ke kamar ayahnya diikuti Lisa. Gadis itu duduk di kursi dekat tempat tidur.
_Pa, saya mau ke rumah teman sebentar. Mungkin kami akan ke luar kota dan bermalam. Belum tahu kapan saya pulang. Papa tidak apaapa, kan ?!
Tuan Yunus memandang anaknya dengan serius. Tomi tidak mengenakan bajunya yang bagus. Malah dia cuma memakai sandal.
-Tom, ke mari sebentar, panggilnya.
Tomi menghampiri tempat tidur dan menggenggam tangan ayahnya.
--Mereka menahanmu? tanyanya langsung. Tomi terkejut, berpandangan sejenak dengan Lisa, kemudian mengangguk.
-Cuma untuk Sidang, Papa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan
-Apakah engkau masih dalam sangkaan?!-tanya si Tua lagi tanpa mengacuhkan kata-kata anaknya.
-Ya, tentu saja. Selama belum sidang sahut Tomi mencoba tertawa.
Tuan Yunus kembali memandang anaknya dengan serius.
--Tom, jangan menganggap perkara ini ringan -katanya menggeleng-geleng, Engkau belum tahu, apa yang mungkin terjadi di dunia ini. Tempo-tempo hitam dapat diubah menjadi putih dan sebaliknya. Bukan sekali dua kali orangorang tidak bersalah dihukum, bahkan sampai dihukum mati atau seumur hidup. Kita tidak boleh
lengah dalam hal-hal seperti ini. Bila bintangmu sedang gelap, mungkin saja engkau dibuktikan bersalah, walaupun engkau tidak melakukannya
Si Tua berhenti sebentar dan Tomi menanti dengan tenang. Tuan Yunus meletakkan tangannya di atas tangan anaknya yang masih menggenggam sebelah tangannya yang lain.
Papa akan memanggil pengacara Papa
--Saya akan membela diri sendiri sahut Tomi cepat-cepat.
Tuan Yunus menggeleng.
_Pengacara itu bukan untuk membelamu. Dia akan mendekati suami wanita itu. Dengan beberapa juta seluruh harta Papa, kalau perlu masakan dia tidak mau mengakui perbuatan itu, walaupun seandainya dia tidak bersalah? Beberapa tahun dalam penjara. Sementara itu jutaan rupiah berkembang biak dalam bank. Aman. Tinggal diambil olehnya bila sudah bebas
Laki-laki tua itu memandang anaknya dan senyumnya terkembang, bangga akan kemampuannya memecahkan persoalan. yang masih dimilikinya. Tapi dia menjadi sedih ketika melihat anaknya menggelengkan kepala.
-Tidak, Papa. Itu bukan jalan keluar kata Tomi pelan tapi tegas.
Mengapa, tidak?!
Sebab itu tidak memecahkan masalahnya. Tidak memutuskan, apakah saya betul bersalah atau tidak. Untuk diri sendiri memang tidak ada
soal. Saya tahu, saya tidak bersalah. Tapi orangorang, masyarakat: mereka belum tahu apakah Tomi Yunus bersalah atau tidak. Itu penting bagi mereka dan saya. Saya tidak dapat menipu mereka. Dengan cara Papa, barangkali saya akan dinyatakan bebas untuk sementara waktu. Tapi begitu suami Susi keluar penjara, saya akan berada dalam genggamannya untuk selamanya. Sepatah kata saja dari dia, maka habislah saya. Dosa saya akan menjadi berlipat dua. Orang-orang akan makin curiga, saya yang sebenarnya bersalah dan di samping itu, menyuap masih dianggap sesuatu yang kotor oleh kebanyakan orang. Dapatkah Papa bayangkan bagaimana hidup saya dalam keadaan demikian?!
Tomi memandang ayahnya yang menatapnya tanpa berkata-kata.
-Mungkin pula perkara itu akan dibuka kembali. Kali ini tentu saya akan dengan paksa dibuktikan bersalah dan seandainya pun saya toh tidak terbukti bersalah, hidup saya sudah habis!
Lisa yang berdiam diri sejak tadi, merasakan juga kebenaran pikiran Tomi, walaupun semula dia setuju mendengar pendapat Tuan Yunus.
--Tapi belum tentu orang itu akan membuka mulut, Tom
-O ya, tentu. Orang yang bersedia menjual kebebasannya untuk uang, pasti orang yang tamak dan tidak mempunyai harga diri. Dia akan berusaha mendapat lebih dan lebih lagi. Dia pasti akan terus memeras saya dengan ancaman buka
mulut. Oh, Papa, hidup seperti itu lebih buruk lagi daripada masuk sel beberapa tahun. Papa toh tahu saya tidak bersalah. Itu bagi saya sudah cukup. Apa yang akan diputuskan oleh sidang, saya terima, walaupun saya akan berusaha keras membuktikan, saya tidak bersalah. Yang penting, kita tidak main kotor
Tuan Yunus terdiam beberapa saat tanpa membuka mulut. Tomi dan Lisa mengira, dia tersinggung. Namun sejenak kemudian, dia bicara lagi, -Ya, papa memang sudah tua. Cara-cara papa sudah tua. Papa tidak berpikir panjang. Otak ini sudah tidak semampu dulu
Dipandangnya kedua anak muda di hadapannya, kemudian seakan pada diri sendiri, dia bergumam,-Aku harus menyerahkan dunia ini ke tangan yang lebih muda. Aku harus menepi lalu ditolehnya Lisa dan dengan tersenyum dia bilang,-Lisa, maafkan orang tua yang linglung ini. Kalau dipikir-pikir, tidak sepatutnya aku ingin mengikatmu. Ibumu mungkin akan tertawa geli atau marah bila Engkau milik hidup yang lebih muda. Bila orang sudah tua, kadang-kadang dia tidak tahu lagi batas antara yang pantas dan tidak pantas. Tapi pada akhirnya, kebanyakan selalu sadar kembali. Untunglah aku sadar sebelum terlambat. Ingat toko bungamu, Lisa. Jangan lupakan itu. Juga apa yang aku katakan tentang pembelian bibit-bibit......
-Pak. .-bisik Lisa dengan parau sementara air mata mengalir sepanjang pipinya.
_Ayo, ayo, jangan menangis. Aku tidak akan mati. Belum. Belum. Seka air matamu
Lisa menuruti perintah itu dengan kepala menunduk. Didengarnya kemudian orang tua itu berkata pada anaknya.
_Dan engkau, Tomi, engkau harus mengubah hidupmu. Biarlah kejadian ini, merupakan peringatan untuk menghindari wanita-wanita yang bukan milikmu. Aku masih merasa bangga, engkau belum kehilangan harga dirimu dan masih tahu apa yang buruk, apa yang baik. Engkau belum rusak. Papa minta, supaya selanjutnya engkau mengubah sama sekali hidupmu yang sekarang ini. Kalau perlu, hentikan menulis dan cari uang dalam bidang lain. Toh buku-buku itu tidak membuat engkau kaya. Lalu papa minta, engkau mau menerima Lisa sebagai isterimu dan mencintainya. Dia pantas mendampingi engkau, bukan aku
Tapi Papa. protes Tomi dengan mata berlinang.
-Ya, ya, dulu Papa mengira, Papa harus kawin dengan Lisa. Tapi Papa sudah memiliki ibunya. Orang tidak baleh terlalu serakah. Lisa harus menjadi milikmu. Itu keinginan Papa yang terakhir. Juga jangan lupa kalung untuk Lisa yang Papa pesan
Tomi dan Lisa saling berpandangan dengan penuh air mata.
_Ayo, ayo. jangan menangis. Aku masih kuat hidun berbulan-bulan lagi. Bila kalian selalu
rukun, aku pasti bahagia, di mana pun aku berada
Kemudian si Tua menyuruh Tomi segera berangkat dan meminta Lisa ke dapur mengambilkannya makanan. Dengan begitu, banjir air mata dapat dicegah.
Di ambang pintu Tomi tertegun lalu menoleh. Ayahnya melambaikan tangan dengan senyum gembira.
-Selamat berjuang membela kemerdekaanmu ! ujarnya berseloroh.
Tomi tersenyum dan melambai kembali. Dekat dapur dia bertemu dengan Lisa. Untuk pertama kali sejak pertemuan mereka kembali, Tomi membelai pipinya.
_Ayahku rupanya membagi-bagi warisan katanya,dan engkau warisan yang paling berharga!
Keduanya tertawa. Mata Lisa masih sedikit merah dan Tomi menghapus sisa air mata dengan ujung jarinya.
Sebulan kemudian, hati tua itu berangkat menemui kekasih abadinya, meninggalkan Tomi dan Lisa, dengan penuh keyakinan bahwa keadilan masih ada dalam hidup mereka, untuk membebaskan Tomi.
TAMAT.
Atas Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai Kehormatan In Name Of Honor Fear Street Cheerleaders Musibah Kedua Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama