Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 3

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 3



Pujian itu membuat perasaan Adrian menjadi gamang. Ia tidak begitu senang.

"Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu lagi, lan. Tapi yang satu ini kayaknya rumit. Mungkin saja kau keberatan," kata Mandar tanpa menyadari perasaan Adrian.

"Bilang saja, Bang. Siapa tahu bisa."

"Bagaimana kalau kau kawin secepatnya, lan?"

Adrian ternganga. Ia sempat berpikir jangan-jangan ia telah keceplosan bercerita tentang dirinya yang jatuh cinta kepada Lis. Tapi ia yakin tidak melakukan itu.

"Sama siapa, Bang?" tanyanya kemudian.

"Ya sama cewek dong. Memangnya sama siapa?"

"Tapi orangnya yang mana?"

"Itu sih gampang dicari, kan? Kau ganteng dan kaya. Masa tak ada cewek yang mau? Dalam sekejap pasti kau bisa menggaet seorang cewek cantik. Pacaranlah barang seminggu dua minggu saja. Lalu cepat menikah."

"Kenapa begitu, Bang?"

"Dengan demikian kau bisa mengadopsi anakku. Dia akan berada di tangan yang aman.

Keluargaku sendiri yang mengurusnya."

Adrian termangu. Ringan sekali cara Mandar berkata begitu.

Melihat keraguan Adrian, Mandar cepat melanjutkan,

"Ah, aku cuma berangan-angan saja, lan. Kalau kau keberatan tentu saja tidak usah dipaksakan. Masalah kawin memang penting, ya. Aku cuma membayangkan andaikata bisa terjadi begitu, alangkah baiknya. Siapa tahu dalam waktu singkat ini kau jatuh cinta pada seseorang. Namanya jodoh, kan?"

"Aku akan memikirkannya, Bang," sahut Adrian.

"Ya, siapa tahu memang."

Adrian tak ingin mengecewakan Mandar dengan buru-buru menolak usulan itu. Apalagi cara Mandar mengajukannya tidak memaksa.

"Alangkah beruntungnya kalau itu bisa kesampaian, lan," kata Mandar dengan wajah penuh angan-angan.

"Masalahnya tidak segampang itu, Bang. Bagaimana kalau anak itu keburu diambil orang lain?"

"Kau kasih uang saja dan pesan supaya jangan diambil orang lain dulu. Masa mereka nggak mau sih?"

"Memang ada yang suka memesan, tapi sebelumnya mereka sudah lulus persyaratan dan prosedur untuk menjadi orangtua angkat. Tak bisa pesan begitu saja tanpa punya kualifikasi yang diperlukan."

"Ya sudahlah kalau memang sulit. Tapi aku cuma bilang, siapa tahu bisa begitu."

"Aku akan berusaha, Bang. Tapi jangan terlalu berharap."

Mandar tampak begitu kecewa hingga Adrian tidak sampai hati.

"Coba pikirkan, Bang. Ini kukatakan demi kebaikan anak itu. Orang yang mencari anak untuk diadopsi pasti sudah punya persiapan dan keinginan. Mereka pasti akan menyayangi dan mengurus anak itu sebaik anak kandung. Tapi bila aku kawin buru-buru dan memaksa istriku mengadopsi anak pada awal pernikahan tentunya akan membuat dia curiga. Dia pasti lebih suka punya anak sendiri. Kalau kupaksakan mungkin saja dia mau juga. Tapi apakah dia akan menyayangi anak itu? Belum tentu, Bang! Celakanya adalah kalau dia membenci dan kemudian menyiksanya. Padahal seorang ibu lebih berperan daripada ayah."

Mandar merenung lalu merasakan kebenaran kata-kata itu. Ia mengeluh dalam-dalam.

"Ya, ya. Sudahlah. Itu cuma suatu kemungkinan. Nggak ada salahnya, kan?"

"Nggak salah, Bang," hibur Adrian.

"Percayalah. Biarpun anak itu diambil orang lain, aku akan terus memantaunya."

"Betul? Janji, ya? Sumpah?"

"Ya, Bang," sahut Adrian dengan tegas.

"Satu lagi, lan. Bisakah kau memberiku foto Lis?"

Adrian ternganga lagi.

"Buat apa, Bang?" tanyanya.

"Buat dipandangi saja."

"Waduh, Bang, bukankah sebaiknya identitas dia tidak terungkap? Bagaimana kalau foto itu ditemukan orang lalu dia dikenali? Tentunya orang kepingin tahu apa hubungan dia denganmu."

"Aku akan hati-hati menjaganya."

Adrian menggeleng-gelengkan kepalanya. Mana mungkin seorang terpidana, apalagi pidana mati, bisa punya privasi? Permintaan itu berbahaya bagi Lis yang sudah susah payah menyembunyikan diri dari hubungannya dengan Mandar.

"Lagi pula bagaimana caranya aku bisa mendapat foto Lis, Bang? Mana mungkin dia mau memberikan fotonya pada sembarang orang."

"Kaugunakan kameramu dan potret dia diam-diam."

"Susah, Bang. Susah."

"Usahakan sajalah, Ian," bujuk Mandar.

"Sebuah foto yang kecil saja. Ukuran buat KTP. Kan gampang dikepal."

Adrian benar-benar tak mengerti. Ekspresi Mandar kelihatan sendu dan amat sangat ingin.

"Baiklah, Bang. Akan kuusahakan. Tapi nggak bisa buru-buru, ya. Aku kan harus berusaha menyembunyikan identitasku juga dari dia dan keluarganya. Kalau ketahuan susah bagiku untuk mendekatinya lagi."

"Ya, ya. Tentu saja. Kawaturlah sendiri. Kau kan pintar."

Mandar sudah senang mendengar kesediaan Adrian, meskipun dia tidak memastikan.

Belakangan sempat muncul pikiran mengerikan di benak Adrian. Jangan-jangan Mandar ingin sekali menjadikan Lis sebagai korbannya

seperti yang lain, tapi karena tidak bisa, ia akan melakukannya lewat foto. Entah bagaimana caranya. Adrian berkhayal hal-hal yang mengerikan. Jangan-jangan Mandar bisa telepati? Bisa sihir?

Tetapi ia tahu, Mandar harus dipuaskan. Bisakah Mandar dikibuli dengan foto perempuan lain yang kira-kira mirip dengan Lis? Sering kali perempuan bisa tampak berbeda bila tatanan rambutnya dan rias wajahnya diubah. Mungkin saja Mandar sudah lupa bagaimana wajah Lis atau hanya mengingatnya samar-samar. Karena itu ia membutuhkan foto Lis untuk mengembalikan ingatannya. Kalau memang demikan tentunya lebih gampang dibohongi.

Sesungguhnya Adrian punya kekhawatiran kalau-kalau Mandar membatalkannya sebagai ahli waris. Itu bisa saja terjadi selama eksekusi belum berlangsung. Padahal bisa jadi eksekusi baru terlaksana bertahun-tahun kemudian. Selama waktu yang panjang itu segala sesuatu bisa terjadi kalau Mandar sampai kecewa atau marah terhadapnya. Orang seperti Mandar sulit diduga, bahkan olehnya sendiri. Bukankah sudah terbukti betapa dia telah terkecoh oleh perilaku Mandar? Siapa sangka bahwa dia seorang psikopat?

Pada masa krisis ekonomi seperti saat ini mendapatkan pekerjaan yang layak sungguh amat sulit. Bahkan yang tidak layak pun mungkin sulit. Pengangguran merajalela, banyak orang berebut pekerjaan. Dia sudah jera untuk ikut bersaing bersama orang-orang itu. Padahal selama ini dia sudah telanjur menikmati kehidupan yang nyaman. Berkat uang Mandar.

Ia sudah memikirkan untuk mencoba berusaha, supaya dirinya punya kegiatan dan tidak menghabiskan uang tanpa kerja. Ia tidak pernah menyetujui gaya hidup Mandar yang lebih suka menganggur daripada berusaha. Tetapi sampai saat itu ia masih belum punya ide, usaha apa yang mau dijalankannya. Untuk itu ia merasa tidak perlu buru-buru dan memanfaatkan waktunya untuk mempelajari situasi dan kondisi. Di samping itu ia masih harus konsentrasi kepada Lis dan bayinya. Lagi pula ia belum sepenuhnya mewarisi kekayaan Mandar. Selama ini yang bisa ia gunakan adalah bunga deposito milik Mandar. Itu pun untuk dirinya sendiri sudah lebih dari cukup.

Ia tidak mengungkapkan rencana itu kepada Mandar. Ia tahu, Mandar pasti tidak akan setuju. Mandar lebih suka kalau ia meniru gaya hidupnya. Tentu itu disebabkan karena Mandar khawatir kalau hartanya malah habis bila usaha yang dijalaninya gulung tikar. Mandar selalu takut pada risiko bisnis.

Jadi selama Mandar masih hidup ia harus berusaha membuatnya senang dan puas. Ia tidak pernah absen mengunjunginya di hari-hari besuk, dan mengurus segala keperluannya. Tapi bagaimana dengan permintaannya yang terakhir itu?

****

PADA hari kedua persalinannya, Amarilis disuruh berjalan-jalan. Tanpa disuruh pun ia sudah sangat ingin melakukannya. Kedua kakinya sudah pegal, demikian pula bokongnya, karena terus-menerus berada di tempat tidur.

Ibu dan tantenya tidak lagi menemaninya karena ia tak ingin menyusahkan mereka. Bagaimanapun, tidur di atas sofa dan di lantai beralaskan kasur lipat tidaklah. nyaman. Apalagi di ruang sebuah klinik. Lebih baik mereka istirahat di rumah saja. Toh dirinya sudah sehat. Bahkan besok diperkenankan pulang.

Menurut rencana sesudah lewat empat puluh hari barulah ia dan ibunya kembali ke Jakarta. Selama itu ia punya waktu cukup untuk memikirkan rencana ke depan. Yang pasti ia tak ingin menganggur berlama-lama. Ia akan mencari pekerjaan meskipun diketahuinya bahwa itu tidak mudah didapat.

Ia melangkahkan kakinya pelan-pelan di lorong klinik menuju ke taman depan. Klinik itu tidak seberapa besar, jadi tidak banyak lorong dan kelokannya. Agak surprise saat ia mendapati bahwa tubuhnya tidak mengalami kesulitan apa-apa saat melangkah. Tidak ada perih dan sakit pada luka bekas melahirkan. Biasa saja, seolah tak pernah ada apa-apa. Perutnya pun sudah tak mulas-mulas lagi. Karena itu, langkahnya tak lagi pelan-pelan seperti semula.

"Wah, Bu Lis ini mah jalannya sudah gagah, ya!" seru seseorang di belakangnya.

Lis menoleh dan melihat Rima tersenyum menatapnya. Rima melambaikan tangan. Lis tak begitu senang kepada Rima, tapi merasa tak sopan kalau memperlihatkan hal itu. Ia membalas lambaian.

Tapi Rima malah mendekati.

"Mau ke mana, Bu?"

"Jalan-jalan saja. Melancarkan darah."

"Ya. Bagus begitu. Mau ke taman depan, Bu? Saya antar?"

"Ah, nggak usah."

Rima tidak memaksa.

"Hati-hati ya, Bu. Jangan terlalu cepat jalannya. Takut jahitannya lepas."

Peringatan itu membuat Lis cemas. Ia melambatkan langkahnya.

Di belakangnya Rima mengamati. Ia tahu, besok Lis akan pulang. Adrian tidak perlu datang lagi ke situ untuk menjenguknya. Tapi masih ada bayi itu, objek yang bisa menguntungkan.

Lis merasa bersyukur bahwa Rima tidak membuntutinya. Ia jadi lebih bebas. Dan ia juga punya prasangka bahwa Rima akan menyampaikan apa saja yang dilakukannya kepada Adrian. Sebenarnya ia bukan tidak tersentuh atas perhatian yang diberikan Adrian kepadanya. Sebelumnya ia sudah cukup sering menerima atensi dari lelaki yang ia pahami betul maksudnya. Tentunya sama juga dengan Adrian. Kalau saja perhatian itu diperolehnya bukan pada situasi dan kondisi seperti yang dialaminya sekarang ini mungkin sambutannya akan positif. Tapi tiba-tiba saja ia jadi kehilangan rasa tertarik kepada kaum lelaki. Mereka seolah menjadi makhluk tanpa wajah. Yang tampan dan yang jelek tak ada bedanya. Pokoknya lelaki. Perasaan sinis masih menguasainya bila ia teringat kepada Adrian. Biar saja lelaki itu mendekati dan berupaya memikatnya, ia akan bersikap sedingin mungkin. Berapa lama dia akan bertahan?

Tiba-tiba telinganya menangkap tangis bayi yang ramai. Rupanya ia mendekati kamar bayi. Tampak tulisan "Kamar Bayi" di atas pintu. Dan di balik dinding-dinding kacanya terlihat deretan boks. Langkahnya segera terhenti. Nalurinya mengatakan agar ia berbelok dan jangan lewat di situ.

Tapi ia masih saja tertegun. Entah kenapa ada perasaan berat mengganduli kakinya. Tatapannya terus tertuju ke dinding kaca. Ia merasa ada bagian dari dirinya yang berada di dalam. Tangisan dan rengekan bayi terdengar seperti memanggilnya. Panggilan yang membujuk dan sekaligus memaksa.

Akhirnya Lis melangkah ke hadapan dinding kaca. Ia sedikit segan saat melihat Rima ada di dalamnya. Ketika terpikir untuk berlalu dari situ, Rima keluar dan menghampiri.

"Ada apa, Bu?" tanya Rima. Wajahnya

memperlihatkan keheranan.

"Oh... ng nggak, Sus. Cuma lihat-lihat saja."

"Ya, silakan, Bu," kata Rima dengan ramah. Tiba-tiba ia merasa iba kepada Lis.

Keramahan Rima membuat Lis ragu-ragu untuk pergi. Ia melayangkan pandangnya ke seluruh isi kamar. Hanya separo boks yang ada terisi bayi. Makhluk kecil mungil itu tampaknya tidak dalam suasana tenang. Mereka ribut semua. Tak jelas suara yang mana keluar dari mulut siapa. Benar-benar paduan suara yang kacau.

Rima mengamati wajah Lis dari samping. Tapi yang diamati seperti tidak peduli atau tidak merasa. Mata Lis terus saja bergulir ke seputar ruangan. Terpikir oleh Rima, apakah sesungguhnya Lis ingin melihat bayinya? Mungkin itu yang disebut panggilan hati ibu. Rima benar-benar jatuh iba. Mestinya Lis tidak perlu melihat dan sebaiknya menjauh saja daripada dihantui penyesalan. Tapi meskipun kontrak sudah dibuat dan ditandatangani, tapi selama bayi itu belum diambil orang yang mengadopsinya secara sah, maka Lis bisa saja membatalkan.

Hal seperti itu pernah terjadi.

Bagi Rima penyelesajan mana pun sama saja. Tak ada ruginya. Tapi kalau dipikir-pikir mungkin Adrian akan lebih senang bila bayi itu dipertahankan oleh Lis. Dan bila benar demikian, tentu bonus baginya bisa lebih besar.

Dengan suara yang lembut ia bertanya,

"Apakah Bu Lis ingin melihatnya?"

Tanpa berpikir Lis mengangguk.

"Tunggu di sini saja ya, Bu."

Rima masuk, mengenakan jubah dan masker, lalu mengambil si bayi untuk diperlihatkan kepada Lis.

Mata Lis membesar. Tatapannya tajam terarah. Anehnya, si bayi yang semula ribut menangis mendadak diam dengan tenangnya. Sayangnya matanya masih terpejam, hingga dia terkesan tidur nyenyak.

Rima merasakan keanehan itu juga. Apakah itu yang disebut ikatan batin ibu dan anak? Atau daya tarik biologis? Dia terpesona. Tatapannya lebih banyak tertuju kepada Lis. Kali ini ia bebas mengamati karena Lis tidak peduli padanya.

Selama beberapa saat Lis mengagumi makhluk kecil itu. Engkaulah yang hidup di dalam rahimku selama sembilan bulan. Kubawa ke mana pun pergi. Sekarang kau dan aku sudah terpisah. Aku bebas dan kau pun begitu. Aku sudah memberikan segalanya kepadamu selama berada di dalam diriku. Aku menjaga kesehatanku, makan makanan bergizi, periksa dengan teratur. Boleh dikata aku sudah merawatmu juga. Jadi kau lahir sehat. Mungkin seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku tidak membunuhmu. Tapi aku juga berterima kasih padamu karena kau tidak menyusahkan. Kau lahir dengan gampang. Boleh dikata tidak terlalu menyakitkan. Jadi tak ada ganjalan di antara kita. Bukan atas kehendakku kau tercipta, meskipun dengan kehendakku kau juga bisa musnah. Jangan sesalkan aku karena aku tidak bisa mengasuhmu. Aku minta jadilah orang yang baik kelak. Jangan jadi monster seperti ayahmu!

Ingatan akan Mandar membuat Lis tersentak. Tibatiba ia serasa menemukan kesamaan wajah bayi itu dengan wajah Mandar! Pada wajah bayi itu ia melihat wajah Mandar!

Lis memekik pelan. Wajahnya menjadi pucat seketika. Lalu ia berlari pergi. Ia lupa bahwa ia seharusnya tidak berlari.

Di dalam kamar bayi Rima terkejut. Apalagi bayi di tangannya menangis sejadi-jadinya. Cepat-cepat ia meletakkan bayi itu di dalam boksnya. Seorang rekannya yang masuk dimintanya mengurus para bayi, lalu ia berlari mengejar Lis. Ia merasa bersalah karena membiarkan Lis melihat bayinya. Seandainya terjadi apa-apa atas diri Lis, pastilah dirinya yang dipersalahkan.

Ia menemukan Lis sedang duduk di taman. Wajahnya memerah oleh tangis yang tersendat-sendat. Cepat Rima duduk di sisinya lalu merangkulnya.

"Kenapa, Bu?" tanyanya lembut.

Lis menggelengkan kepala. Tampaknya ia sudah berhasil mengatasi kegalawannya.

"Nggak apa-apa, Sus."

"Mau kembali ke kamar? Yuk, saya antar. Ibu bisa berbaring. Tadi lari-lari."

"Saya nggak merasa sakit kok. Biar saja

saya di sini."

"saya menyesal telah memperlihatkannya.

Maafkan saya. Bu."

"Sus nggak salah kok. Saya yang mau."

"Seharusnya nggak."

"Sudahlah, Sus. Nggak apa-apa. Sudah lewat kok. Bener."

"Saya ambilkan minum, ya. Tunggu."

Rima pergi dan kembali lagi membawa segelas air putih yang diminum Lis dengan lahap.

"Terima kasih, Sus. Biarkanlah saya sendiri.

Terpaksa Rima pergi, tapi ia yakin bahwa Lis memang baik-baiksaja. Ia mengira reaksi yang diperlihatkan Lis itu adalah wujud penyesalan. Itu tentunya wajar-wajar saja. Yang mendebarkan perasaan Rima adalah apa yang kiranya akan diputuskan Lis sesudah itu. Apakah Lis akan berubah pikiran?

Malamnya, LIS tak bisa cepat tidur. setelah melihat bayrnya, ia jadi berpikir berkepanjangan. Padahal begitu melahirkannya, ia malah tidak peduli. Saat itu ia bisa bersikap cuek tanpa

beban. Ia juga memasabodohkan sikap beberapa perawat yang sepertinya tak suka atas ketakpeduliannya itu. Bukankah mereka sudah biasa dengan pasien-pasien yang memang tak menginginkan bayi mereka? Seharusnya mereka lebih menghargai prinsipnya, yang lebih memilih membiarkan bayinya hidup daripada membunuhnya.

lebih cepat mengetahui siapa Mandar sesungguhnya, tanpa ragu ia pasti membunuhnya! Ia baru tahu pada saat usia kandungannya empat bulan, sudah terlambat untuk menggugurkan. Kalau dipaksakan risikonya akan besar. Jadi sesungguhnya tidaklah pantas ia membanggakan prinsipnya itu. Munafiklah dia kalau sampai berbangga hati. Bahkan terhadap si bayi. Seperti yang dikatakannya di dalam hati saat memandanginya tadi. Menerima dan memberi? Mana ada yang seperti itu dalam hubungan mereka berdua? Sesungguhnya si bayi pun merupakan korban dari Mandar, sama seperti dirinya! Jadi mereka berdua, ibu dan anak, boleh dikata senasib dalam derita. Perbedaannya hanya dalam kemandirian.

Bila bapaknya iblis, apakah anaknya akan

jadi iblis pula?

Itulah yang spontan muncul dalam pikirannya ketika dia mendengar tentang Mandar lewat siaran berita dan kemudian mengenalinya sebagai pemerkosanya dan ayah dari anak yang dikandungnya. Ia sempat ketakutan terhadap bayi di dalam rahimnya itu. Bahkan ia dihantui oleh film Alien di mana tokoh wanitanya dihamili oleh makhluk asing yang mengerikan lalu melahirkan makhluk yang sama mengerikannya. Tetapi ketakutannya itu tidak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, termasuk ayahibunya. Ia tahu, mereka pasti akan mengatakan itu tidak mungkin. Ia cuma mengada-ada. Jadi ia bergulat sendirian.

Kalau tidak kuat rasanya ia bisa menjadi gila karenanya. ia bisa mengatasi ketakutannya dengan berupaya menanamkan pikiran rasional bahwa biarpun kelak anak itu bisa menjadi jahat seperti bapaknya, tapi sekarang dia tidaklah berdaya. Dia bergantung sepenuhnya kepadanya. Dia tidak menguasainya. ia berhasil menyadarkan dirinya sendiri. Dengan kesadaran itulah ia bisa bertahan.

Lalu ada dorongan ingin melihatnya. Dan

sekarang ia memikirkannya. Berbeda dengan dulu pikirannya jadi lebih positif. Mungkin itu disebabkan karena ia melihat sendiri bagaimana sesungguhnya wujud bayinya dan tidak menciptakannya dalam angan-angan. Kemudian muncul kesimpulan bahwa bayi itu pun cuma korban. Mana mungkin si Mandar itu tahu atau sengaja menghamilinya untuk melanjutkan keturunannya.

Tetapi bagaimanapun positif pikirannya sekarang, ia tetap tidak mengubah keputusannya untuk menyerahkan bayi itu kepada orang lain. Demi kepentingan si bayi juga. Bagaimana rasanya bila kelak ia tahu bahwa ayahnya seorang penjahat keji yang membunuh orang sambil tertawa? Ia bisa tersiksa oleh perasaan malu dan minder. Yang menakutkan adalah kalau ia mengikuti jejak ayahnya karena ingin meniru, atau adanya sesuatu yang disebut panggilan darah yang menjadi hidup karena dia tahu! Jadi ia tidak boleh tahu!

Lis tertidur saat masih memikirkan soal itu. Kuranglebih dua jam kemudian ia tersentak bangun dengan terkejut. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Ia bermimpi melihat dua bayi.

Yang pertama memiliki wajahnya, yang kedua memiliki wajah Mandar. Keduanya samasama menatapnya. Tapi ekspresi mereka berbeda. Yang pertama menatapnya dengan lembut dan sayang, tapi yang kedua terkesan bengis dan garang. Lalu yang pertama berseru,

"Mama! Mamaaa! Jangan tinggalkan saya! Mamaaa...!" Kedua tangannya terulur ke depan minta digendong. Suaranya memelas. Tapi yang kedua berseru,

"Pergi! Pergi! Jangan pernah kembali!" Kedua tangannya digerak-gerakkan seperti mengusir.

Perilaku yang berlawanan itu dilakukan berbarengan hingga terdengar kacau dan menyeramkan. Ia ketakutan melihat mereka. Lebih takut lagi ketika belakangan ia menyadari bahwa kedua bayi itu sebenarnya satu! Mereka dempet pada sisinya. Mereka adalah kembar Siam!

Pada saat itulah ia tersentak bangun.

Setelah itu ia tak bisa tidur lagi. Apakah mimpi mempunyai makna?



SUAMI-ISTRI Tito dan Atik Wardoyo, pasangan dokter anak dan mantan perawat, sangat gembira dan antusias ketika mendengar kabar dari Hilman perihal bayi yang bisa diadopsi di Klinik Asuh di Bandung. Mereka sudah berencana mencari bayi untuk diadopsi tapi belum sungguh-sungguh berupaya. Bila yang merekomendasikan itu rekan sendiri yang bisa dipercaya dan sudah dikenal, maka tentunya bayi itu benar-benar punya kualitas.

"Bagaimana kau bisa menemukan dia, Man?" tanya Tito.

"Aku menjenguk seorang kenalan yang melahirkan di sana.'Ternyata klinik itu juga menerima bayi yang tidak diinginkan orangtuanya. Bayi itu cakep dan sehat. Kalian lihat saja dulu. Jangan buru-buru memutuskan. Di samping dia masih ada beberapa bayi lain. Pendeknya kalian bisa memilih."

"Wah, kalau begitu bisa keburu diambil orang dong, Mas," komentar Atik yang tidak sabar.

Hilman tersenyum.

"Jangan khawatir, Mbak. Aku sudah memesannya pada Dokter Anwar, kepala klinik, supaya jangan diberikan dulu pada orang lain sebelum kalian melihat dan memutuskan."

"Baik. Kita akan secepatnya ke sana, Ma," kata Tito, menghibur kekhawatiran istrinya.

Meskipun tidak memiliki anak, kedua suami istri itu saling memanggil "Papa" dan "Mama". Hal itu sudah dilakukan sejak awal mereka menikah.

"Jadi bayi itu tidak diinginkan orangtuanya," kata Atik lagi.

"Ya. Sudah jelas dong, Ma," sahut suaminya sebelum Hilman sempat menjawab.

Atik tertawa.

"Ya memang. Tapi aku pernah dengar kasus tentang perempuan yang meninggal karena melahirkan, lalu suaminya memutuskan untuk menyerahkan anak itu karena menganggapnya sebagai penyebab kematian

istrinya."

"Klinik itu merahasiakan identitas orangtua bayi dan kenapa bayi itu diserahkan. Demikian pula si calon orangtua tidak boleh tahu siapa orang yang mengadopsi anak mereka," Hilman menjelaskan.

"Itu memang lebih baik," komentar Tito.

"Supaya tidak ada masalah di kemudian hari. Karena tidak tahu maka orangtua angkat tidak bisa dikejar anak angkatnya bila dia menuntut diberitahu siapa orangtua kandungnya, Banyak contoh begitu, kan?"

"Aku setuju," sahut Atik.

"Tapi kita tidak bisa menyalahkan si anak juga, Pa. Biarpun dia menyayangi orangtua angkatnya, rasa ingin tahu itu pasti ada. Kita sebagai manusia punya rasa ingin tahu. Kalau tidak begitu kita tidak bisa maju. Tapi efek sampingnya jadi seperti itu. Yang sepantasnya tidak perlu tahu tetap saja kepengin tahu."

"Ya. Jadi itulah sebabnya kenapa sebaiknya kita juga tidak tahu apa-apa. Lho, kalau memang nggak tahu mau memberitahu apa?"

Hilman mendengarkan saja pembicaraan itu. Muncul juga rasa bersalah karena ia menyembunyikan fakta. Seandainya mereka tahu siapa bapak anak itu, maukah mereka menerimanya? Sesungguhnya dia tahu, tapi tidak mau memberitahu. Itulah bedanya antara tahu dan tidak tahu.

"Hei, kok diam saja, Man?" tegur Tito.

Hilman khawatir kalau-kalau pemikirannya bisa ditebak. Cepat-cepat ia berkata,

"Oh, aku teringat pada saat aku melihat bayi itu..." Ia tak melanjutkan. Pandangnya merenung. Ia tak ingin berbohong.

"Kau teringat apa?" desak Atik.

"Kalau saja istriku masih ada dan dia melihatnya, pasti dia akan jatuh hati,"

Tito dan istrinya saling memandang. Sesaat mereka bingung mencari kata-kata. Tapi kemudian Hilman tertawa.

"Ah, semua perempuan pasti akan begitu. Tapi jatuh hati bukan berarti menginginkannya juga, bukan?"

Tito tertawa lega.

"Ya. Tentu tidak adil, Man. Kau sudah punya dua anak lelaki, masa tambah satu cowok lagi."

Hilman lega karena tak ditanyai apakah dirinya tahu mengenai asal-usul anak itu. Kalau didesak ia akan kesulitan. Memberitahu tidak

mungkin tapi berbohong juga tidak mengenakkan. Jadi dengan memiliki prinsip tak mau tahu itu mereka adalah calon orangtua angkat yang ideal.

"Jadi kapan kalian mau ke sana?"

"Lebih cepat lebih baik tentunya," sahut

Tito.

Setelah berunding dengan istrinya, ia memutuskan akan pergi hari Sabtu, dua hari lagi.

"Ikut yuk, Man?" ajak Tito.

"Sayang aku ada janji dengan anak-anak."

"Kalau begitu nanti kuberi kabar bagaimana hasilnya, Man."

"Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar," Hilman berharap dengan sungguh-sungguh.

Kemudian ia memberikan kartu namanya berikut kartu nama Anwar yang sudah diberi paraf dan tanda khusus olehnya.

"Aku kira dia tahu mengenai bayi yang direkomendasikannya itu," kata Tito setelah melepas Hilman pergi.

"Sepertinya begitu. Jangan-jangan..." Atik tidak meneruskan.

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan itu hasil selingkuhnya," kata Atik setengah bergurau.

Tito tertawa.

"Tidak mungkin! Biarpun duda, tapi aku tahu dia lelaki alim. Kalau memang dia menghamili orang, kenapa tidak dikawininya saja?"

"Kalaupun bukan, pasti orangtua atau ibu anak itu dikenalnya. Dialah yang dikunjunginya di klinik itu. Ya, kan?"

"Ya. Mungkin masih keluarganya. Ah, peduli amat sih. Kalau memang dia kenal, pasti orang baik-baik."

Atik setuju. Tapi biarpun dia merasa senang dan bersemangat, tetap saja ada rasa penasaran. Kenapa orang yang tidak menginginkan anak malah diberi sampai tega membuangnya, tapi orang yang berupaya punya anak malah tidak diberi? Itu pertanyaan klise yang tidak bisa diiawab.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bayi ini bernama Harman!" tanya

Adrian dengan gembira.

Hari itu ia datang ke klinik, tapi diberitahu bahwa Lis sudah pulang. Untuknya hal itu tidak jadi masalah karena ia bisa mengunjungi Lis di rumah tantenya.

"Betul, Mas. Dokter Anwar setuju banget. Katanya nama itu bagus," kata Rima.

"Apakah orangtua angkatnya nanti akan tetap menggunakan nama itu?"

"Wah, nggak tahu ya, Mas. Mungkin saja mereka menggantinya kalau tidak suka atau sudah punya nama lain."

Adrian agak kecewa. Tapi ia sadar dirinya cuma orang luar yang tidak punya hak apa-apa. Sebenarnya ia berharap bila nama itu tetap dipakai maka anak itu bisa lebih mudah dilacak. Tentu nama seperti itu tidaklah unik. Banyak yang memakai. Tapi bila ia sudah tahu siapa orangtua angkatnya, maka sudah jelas siapa yang punya nama itu di dalam keluarganya.

Rima merasakan kekecewaan Adrian.

"Nggak apa-apa, Mas. Nanti saya bisa mencari tahu apa nama penggantinya."

"Oh, terima kasih, Sus." Adrian kembali-gembira.

"Sekarang bolehkah saya melihatnya lagi?"

"Silakan,"

Rima mengiringi Adrian ke kamar bayi. Ia merasa terharu karena yakin, lelaki ini sudah jatuh hati pada bayi Lis. Mungkin awalnya ia cuma jatuh hati pada Lis, tapi setelah melihat si bayi, ia jatuh hati juga terhadapnya. Sepertinya jarang ada lelaki seperti itu. Pastilah cintanya tulus. Ah, kalau saja Lis mau menerima Adrian sebagai suami, lalu mengambil kembali anaknya, wah, itu adalah suatu happy ending bagi semua pihak. Sayang memang.

Sekarang Adrian lebih terpesona lagi melihat si bayi karena matanya sudah terbuka. Matanya yang besar dan jernih itu menatapnya. Begitu manis, polos, dan tak berdosa. Aneh rasanya bahwa Mandar bisa punya anak semanis itu. Mungkin menurun dari Lis. Perpaduan antara dua orang itu luar biasa. Mungkin secara ekstrem bisa diibaratkan sebagai iblis dan malaikat?

Rima di balik dinding kaca mengamati ekspresi Adrian. Ia menyimpulkan adanya keinginan di mata lelaki itu.

Tak tahan lagi ia mengatakannya setelah keluar dari kamar bayi.

"Mas menginginkannya, bukan?"

Adrian terkejut.

"Menginginkan apa, Sus?" ia balik bertanya.

"Bayi itu."

Adrian terperangah sejenak. Kemudian ia tertawa.

"Mana mungkin, Sus!" serunya.

"Mungkin saja bila Anda punya istri."

"Tapi saya tidak punya. Memangnya istri bisa didapat dalam sehari semalam?"

"Maaf, Mas. Tapi saya kira..."

"Nggak apa-apa. Sebenarnya saya bukan menginginkannya, tapi mengaguminya."

"Mengagumi?" Rima jadi malu sendiri.

"Ya. Wajah bayi itu benar-benar tak berdosa, bukan?"

"Tentu. Semua bayi begitu. Mereka putih seperti kapas. Bersih tak bernoda."

"Betul, Sus."

Tapi tunggulah nanti. Beberapa tahun lagi ia akan melakukan dosa awal. Berbohong, mencuri, memperdaya. Dosa kanak-kanak. Setelah itu dosanya meningkat. Seperti kertas putih bersih. Kalau tak ditulisi ia tetap hanya kertas tanpa makna. Tapi kalau ditulisi ia jadi berisi.

mengandung sesuatu yang mungkin bermakna mungkin tidak. Hanya kemungkinan besar ia bisa jadi kotor. Bahkan sangat kotor. Tapi kalau tak ditulisi...

Setelah menyisipkan amplop "uang tape" pada Rima, Adrian berlalu seraya mengingatkan lagi janji perawat itu untuk terus mengumpulkan informasi perihal si bayi.

Rima senang tapi merasa semakin tak mengerti. Sebenarnya orang macam apakah Adrian itu? Di zaman cari uang sulit seperti ini ia tak segan memberi uang terusmenerus untuk sekadar informasi perihal bayi yang sebenarnya tidak diinginkannya. Apa benar hanya mengagumi?

Dengan menjinjing sekantong plastik berisi jeruk Mandarin, Adrian mengetuk pintu paviliun tempat Lis dan ibunya tinggal.

Tirai jendela terkuak, seraut wajah mengintip sejenak. Lalu pintu terbuka. Fetty, ibu Lis, muncul di ambang pintu. Adrian membungkuk hormat.

"Selamat siang, Bu. Maaf saya mengganggu," katanya dengan tersipu-sipu.

Fetty tersenyum. Ia bersimpati kepada anak muda yang dinilainya cukup gigih melakukan pendekatan kepada Lis. Ia juga senang karena ada yang mau berteman dengan Lis dan menerima kondisinya. Bukankah setiap orang membutuhkan teman Orangtua dan sanak saudara, berbeda dengan teman.

"Nggak apa-apa," sahut Fetty sambil menoleh ke dalam.

Adrian ikut melayangkan pandangnya ke dalam rumah. Di ruang depan ada televisi menyala, tapi tidak ada siapa-siapa. Lis tidak kelihatan.

Apakah saya bisa ketemu Lis? Eh... maksud saya apa Lis mau ketemu saya?" Adrian agak gugup.

Fetty menyukai anak muda yang gugup dan pemalu ketimbang yang arogan dan terlalu percaya diri. Padahal secara fisik Adrian punya kelebihan berupa sosok gagah dan wajah tampan.

"Duduk dulu deh, ya. Eh, siapa ya namanya?"

"Adrian, Bu. Panggilannya Ian."

"Ya. Duduklah dulu, Ian." Fetty menunjuk kursi di teras.

"Saya tanya Lis dulu. ya."

"Terima kasih, Bu. Oh ya, ini, Bu." Adrian menyodorkan kantong berisi jeruk.

Fetty menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Ia ke dalam meninggalkan Adrian duduk di teras. Sengaja Adrian memilih tempat di mana ia bisa melihat ke dalam. Lalu ia mulai menebak-nebak kesediaan Lis menemuinya. Mau, tidak. Mau, tidak...

Hitung-hitungannya berakhir setelah Fetty keluar sendirian.

"Dia masih capek, lan. Maafkan, ya."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya mengerti. Titip salam saja untuknya."

Ya, terima kasih untuk perhatiannya."

"Apa... apa saya boleh datang lagi lain kali, Bu?" tanya Adrian ragu-ragu.

"Tentu saja. Tak ada salahnya berupaya, kan?" Fetty tersenyum penuh makna.

Sambutan positif dari ibu Lis itu menambah semangat Adrian. Biarpun Lis tidak" mau menemuinya, tapi ia sudah berhasil membuat dirinya diterima oleh ibunya. Seorang ibu bisa berperan besar dalam mempengaruhi anaknya.

Kalau Mama ngomong begitu, besok-besok dia akan datang lagi," Lis menggerutu.

"Kau nguping rupanya, ya?"

"Saya ingin tahu Mama ngomong apa saja."

"Dia bermaksud baik. Jadi harus diterima dengan baik pula."

"Saya tidak ingin dia mendekati saya. Bukankah lelaki itu tidak boleh dikasih hati?"

"Kalau cuma menerima saja bukan berarti memberi hati, Lis. Itu cuma sopan santun. Masa diusir."

"Tapi ucapan Mama memberinya harapan."

"Ah, yang mau didekatinya itu adalah dirimu. Bukan Mama. Biarpun Mama baik-baik sama dia, kan nggak otomatis kau pun akan baik sama dia?"

Lis cemberut.

"Lis, jangan marah dong," bujuk Fetty.

"Kita makan aja jeruknya, yuk? Kelihatannya enak."

"Mama makan aja sendiri."

"Dia toh nggak bisa lihat siapa yang makan. Ayolah. Jangan tinggi hati begitu."

Fetty mulai mengupas jeruk kemudian menyodorkan isinya kepada Lis. Wajahnya manis membujuk hingga Lis tak bisa menolak. Mula-mula ia memakannya dengan segan. Tapi ternyata jeruk itu terasa segar dan manis. Airnya menyejukkan kerongkongan, masuk dalam aliran darah terus ke otak, memberi ketenangan dan melenyapkan kejengkelannya.

Setelah jeruk yang satu habis kemudian Fetty menyodorkan jeruk berikutnya, Lis menerimanya dengan senang hati. Kali ini ia mengatakan terima kasih. Fetty hanya tersenyum. Ia tahu, itu pertanda positif.

"Malam nggak bisa tidur, Lis?" tanya Fetty sambil makan jeruk.

"Nggak, Ma."

"Kenapa? Masih ada beban?"

Lis tak segera menjawab. Sebenarnya semalam ia kembali bermimpi seperti di malam terakhir di klinik. Mimpi tentang bayinya yang kembar Siam!

"Iya, Ma,"sahutnya pelan. Ia tak menghabiskan jeruknya. Sisanya disodorkannya kepada ibunya yang segera memakannya.

"Beban yang itu?" tanya Fenty, pelan juga.

Lis diam. Sebenarnya ia tak ingin bercerita. Sama seperti ketakutannya dulu, yang sama sekali tidak rasional. Apakah mimpi seperti itu juga sama tidak rasionalnya untuk dicemaskan? Tetapi yang satu ini nyata. Mimpi adalah pengalaman yang nyata. Tapi yang dikhawatirkannya adalah reaksi ibunya. Kebanyakan orang berpendapat bahwa mimpi adalah bunga tidur. Sudah lumrah kalau orang bermimpi di kala tidur dan sering kali wujud mimpi itu ditimbulkan oleh pikiran. Ia memang memikirkan bayi itu saat malam terakhir di klinik, tapi malam tadi tidak. Ia juga belum pernah memimpikan sesuatu yang sama dua kali berturut-turut.

Sikap diam Lis mencemaskan Fetty. Masih ada sesuatu yang serius rupanya. Tiba-tiba ia takut akan sesuatu yang pernah dibicarakannya bersama suaminya. Bagaimana kalau Lis berubah pikiran mengenai bayinya? Tentu ia tahu betul mengenai apa yang disebut sebagai panggilan keibuan. Hal itu biasa dialami seorang perempuan yang baru melahirkan tapi kehilangan bayinya karena keniatian atau diambil orang lain. Padanya muncul rasa kehilangan yang amat sangat, yang bisa membuat dia seperti orang linglung selama beberapa waktu, bisa sebentar bisa juga lama, tergantung mentalnya. Hal itu bisa dimaklumi mengingat ia mengandung selama sembilan bulan dengan segala sakit derita, harapan dan penantian.

Bagaimana kalau si Lis mendadak ingin mengambil kembali bayinya?" begitu ungkapan kecemasan Anas.

Tapi Fetty tenang-tenang saja.

"Tidak mungkin," katanya yakin.

"Lis bukan orang yang plin-plan. Dia lebih membenci si Mandar dibanding keinginannya memiliki bayi itu. Dalam darah bayi itu kan mengalir juga darah Mandar. Dan gennya juga. Dia selalu ingat."

"Tapi namanya manusia, bisa saja berubah," Anas tetap menyimpan kecemasannya.

"Mudah-mudahan saja anak itu cepat diad0psi orang, ya," harap Fetty.

Memang cuma itu harapan mereka. Mudah-mudahan itu cepat terjadi sebelum Lis keburu berubah pikiran. Sekarang kecemasan Anas itu mendominasi dirinya.

"Kok diam saja, Lis? Bilang dong. Kalau nggak cerita gimana Mama bisa menolong?" bujuk Fetti melihat anaknya masih saja diam.

Akhirnya Lis bercerita mengenai mimpinya.

****

FETTY berusaha menyembunyikan kekagetan dan kecemasannya mendengar cerita Lis. Tapi Lis sempat menangkap apa yang dirasakan ibunya.

"Jangan bilang itu cuma mimpi, Ma," katanya memohon.

"Itu memang mimpi. Lis! Memang mimpi!" Fetty setengah berteriak.

"Jadi saya harus cuek saja, Ma? Bagaimana kalau mimpi itu datang lagi?" Lis juga berteriak.

Mereka bertatapan sejenak lalu berpelukan. Kemudian mereka sama-sama tersedu-sedu.

Kasihan anakku. Ternyata dia belumlah bebas dari beban itu. Lepas yang satu, datang lagi yang lain. Kenapa nasibnya semalang itu?

Wah. aku membagi bebanku dengan Mama.

Sekarang dia jadi terbebani. Aku malah merasa jadi lebih ringan!

"Kita harus mencari jalan keluar, Lis. Yang pasti ini sulit kita atasi sendiri. Kita harus minta bantuan profesional," kata Fetty akhirnya.

Segera pikiran Lis tertuiu kepada Hilman.

Hilman selalu punya waktu bagi kas-us yang menyangkut Mandar. Sekarang Mandar sudah terkurung hingga secara pribadi dia tidak memungkinkan lagi punya kasus, tapi apa yang telah dilakukannya di masa lalu meninggalkan banyak bekas. Yang utama adalah Lis dan bayinya. Jadi, apa pun yang menyangkut Lis menjadi prioritas perhatiannya.

Ia selalu teringat pada kata-kata Lis yang tajam sewaktu perjumpaan pertama mereka. Trauma yang pernah dialaminya menjadikan dia sangat kritis dalam menilai orang yang baru dikenalnya. Dan juga sinis. Ada positif, ada pula negatifnya.

Dulu Lis gampang percaya kepada orang lain hanya dari penilaian sekilas. Itulah yang menjerumuskannya hingga menjadi korban Mandar. Sekarang ia bersikap sebaliknya. Jadi kalau sekarang Lis berpaling kepadanya, pastilah itu disebabkan karena ia amat membutuhkan bantuan. Lewat Anas yang berada di Jakarta ia tahu permasalahan yang dihadapi Lis. Setelah meminta nomor telepon rumah yang ditempati Lis, ia menelepon ke sana. Anas menunggunya.

Lis terdengar surprise dan bersyukur sewaktu menyapanya. Tapi ia tetap menangkap adanya kesan curiga dalam suara Lis. Tentunya Lis tetap berpikir, apa sebab ia begitu cepat memberi perhatian. Lis masih mencari udang di balik batu.

Lis bercerita dengan singkat mengenai mimpinya. Meskipun Hilman sudah tahu dari Anas, tapi mendengarnya langsung dari mulut Lis tentunya lebih lengkap.

"Begini, Lis. Inginnya saya besok ke sana. Tapi karena jadwal saya padat, hari Sabtu saja saya menemui Anda, ya?"

"Wah, terima kasih, Dok. Mestinya saya yang datang ke tempat Anda. Bukan sebaliknya

"Nggak apa-apa. Menilik sikon Bu Lis sebaiknya begitu saja. Toh saya hari Sabtu tak ada kegiatan."

Hilman tidak berbohong. Tapi kepada suami-istri Tito dan Atik-lah ia berbohong mengenai rencananya dengan anak-anaknya. Sebenarnya ia tidak punya rencana seperti itu.

Pada hari yang sama itu mereka akan berkunjung ke Klinik Asuh. Ia tidak mau menyertai mereka dengan memberi alasan itu. Meskipun sama-sama pergi ke Bandung, tapi tidak berarti dia ingin berpapasan dengan mereka. Setidaknya dia berharap begitu.

Janji dan suara Hilman membuat Lis lebih tenang. Ia sadar tidak sepatutnya bersikap sinis pada saat dia sendiri membutuhkan bantuan. Apa pun maksud Hilman di balik kebaikannya, ia juga mendapat manfaat. Di samping itu Hilman sebagai seorang ahli lebih memahami Mandar daripada ahli-ahli lainnya.

Bagaimana kalau nanti malam saya bermimpi itu lagi, Dok?"

"Kemungkinan seperti itu ada, Bu. Bagaimana kalau Ibu menghadapinya dengan pola pikir

yang lain? Apa Ibu bisa?"

"Maksud Dokter?"

"Begini. Biasanya Ibu ketakutan, kan? Itu disebabkan karena Ibu lebih terpengaruh eoleh si bayi yang memusuhi Ibu. Bayi yang berwajah garang itu. Cobalah menetralisir ketakutan itu dengan fokus lebih kepada bayi satunya, yang manis dan berwajah seperti Ibu. Siapkan tidur Ibu dengan berpikir tentang dia, bayi yang mewarisi gen Ibu. Konsentrasi kepadanya. Cobalah Ibu bermeditasi sebelum tidur. Tenangkan pikiran. Yakinkan diri Ibu bahwa Ibu siap mengalaminya lagi dengan sikap yang berbeda. Apa Ibu bisa mencobanya?"

Lis berpikir sejenak.

"Bisa, Dok. Saya akan berusaha."

"Saya tahu, Ibu pasti bisa. Hari Sabtu kita bisa bicara lebih panjang."

"Terima kasih banyak, Dok."

Usai pembicaraan telepon Lis memeluk ibunya yang menungguinya.

"Maukah Mama menemani saya bermeditasi sebelum tidur?"

"Tentu saja mau!"

Anas menyimak percakapan Hilman di telepon dengan kagum. Kembali ia merasa beruntung telah menemukan orang yang tepat. Tadi sewaktu ditelepon Fetty ia sempat panik. Ia mencemaskan Lis. Lalu ia teringat kepada Hilman. Setelah ditelepon ternyata Hilman mengundangnya datang agar bisa bicara lebih leluasa.

"Terima kasih, Dok. Saya sudah merepotkan malammalam begini."

"Sama sekali nggak, Pak. Kan saya sudah janji mau menolong. Jadi Bapak sudah tenang sekarang?"

"Oh ya, Dok. Tadi saya ikut mendengarkan nasihat Dokter. Wah, sungguh menenangkan. Bagaimana reaksi Lis, Dok?"

"Kelihatannya dia bisa ditenangkan. Mudah-mudahan bermanfaat."

"Terima kasih, Dok. Apa... apa saya boleh ikut hari Sabtu nanti?"

"Oh, tentu saja boleh. Saya senang ditemani." Mereka membuat janji. Lalu Anas pulang dengan senang.

Seperginya Anas, Hilman duduk dengan perasaan lelah. Ia menyandarkan kepala ke belakang dengan mata setengah terpejam. Ruang

duduknya nyaman yang tatanannya tak pernah diubah sejak istrinya meninggal. Ia ingin tetap merasakan sentuhan dan citarasa istrinya. Lagi pula ia tak punya banyak waktu untuk mengubah ini-itu. Kedua anaknya pun tak berselera melakukan perubahan meskipun ia tidak akan melarang.

Ia tak memikirkan lagi kasus Amarilis tadi. Semua kasus orang lain sudah ia sisihkan untuk memberi ruang bagi diri sendiri. Cukup lama dan sulit ia melatih diri untuk melakukannya. Bila saatnya tiba ia harus memisahkan kasus-kasus orang lain dari kasus pribadi. Bukan berarti ia punya kasus. Ada atau tidak ada kasus, ia harus punya ruang pribadi yang tak boleh dicampuri masalah orang lain. Di situ pikirannya bisa punya privasi dan kebebasan untuk merenung dalam situasi dan kondisi apa pun, sedih atau senang, bahagia atau nestapa. Tak ada rembesan kasus orang lain. apalagi sampai dikuasai. hingga ia kehilangan dirinya sendiri. Bila saatnya tiba ia bisa fokus dan konsentrasi pada kasus tertentu yang dipilihnya.

Ketika menangani kasus Mandar, hampir saja ia keluar dari jalur yang sudah ditentukannya. Hampir saja ruang pribadinya dirampas oleh kasus psikopat itu. Siang-malam, saat santai maupun istirahat, selalu saja kasus tersebut muncul dan mengganggu pikirannya. Cukup sulit baginya untuk kembali pulih, tapi toh ia berhasil.

Sekarang muncul kasus Amarilis yang ada hubungannya dengan Mandar. Meskipun cukup menggetarkan perasaan, tapi ia tak sampai mengalami keadaan seperti saat berhadapan dengan kasus Mandar. Justru ada sesuatu yang menarik dari kasus Lis, yang membuat ia tertantang.

Ia tersentak. Lewat celah mata yang setengah terpejam itu ia serasa melihat ada sesuatu yang berkelebat. Ia membuka matanya lebar-lebar, tapi tak tampak apa-apa. Ah, beginilah kalau sedang capek, keluhnya dalam-dalam. Tak ada apa-apa tapi sepertinya ada apa-apa.

Tiba-tiba sesuatu menyergapnya dari belakang. Kedua matanya dibekap telapak tangan dingin. Ia terkejut lalu berteriak. Tapi teriakannya hilang setelah mendengar suara tawa yang sudah dikenalnya. Itu adalah Rudy, anak bungsunya!

Tak lama kemudian Rudy muncul di depannya. Sosoknya yang tinggi dan wajahnya yang tampan, sangat mirip ibunya, terlihat kocak dan riang. Hilman tak sampai hati untuk memarahi meskipun dia sangat kaget.

"Aduh, Rud! Kalau papamu ini kena serangan jantung gimana?"

Rudy menjatuhkan diri di lantai, dekat kaki ayahnya.

"Tapi Papa kan nggak sakit jantung," sahutnya ringan.

Hilman menepuk pelan kepala Rudy yang dihiasi rambut kaku seperti sikat.

"Untung saja nggak. Tapi kau membuat jantung Papa deg-degan."

"Maaf deh, Pa, Nggak marah, kan?" Rudy pura-pura takut.

Hilman tertawa. Meskipun usianya sudah delapan belas, tapi Rudy masih suka menjaili orang. Ia berbeda dengan Eddy yang lebih serius. Tapi kalau dijaili, Eddy bisa membalas dengan kadar yang berlebih. Karena itu Rudy tak begitu suka menjaili kakaknya karena takut akan balasannya. Jadi ia lebih suka menjadikan ayahnya sebagai korban.

Umurmu sudah delapan belas. Rud."

"Iya, Pa. Tahu."

"Nah."

"Nah apa?" ,

"Mau dikuliahi?"

"Nggak, Pa. Nggak." Rudy menggoyang-goyangkan tangannya.

Mereka tertawa bersama. Lalu Hilman menatap jam dinding.

"Kakakmu belum pulang? Sudah lewat jam sembilan."

"Dia sedang berkunjung ke rumah pacar."

"Rupanya dia menunggu diusirbaru pulang."

"Minggu lalu katanya dia diusir bokap pacarnya."

"Oh ya? Wah, gawat. Malu-maluin aja."

"Tapi dia bilang, jam di ruang tamu rumah pacarnya itu dimajuin setengah jam."

Hilman tertawa geli. Lalu dia menepuk bahu Rudy.

"Kau sendiri sudah punya pacar?"

"Belum, Pa. Baru pasang mata nih."

"Kalau kamu jail terus, mana ada yang mau."

"Karena itu aku mencari yang jail juga, Pa."

"Itu sih celaka namanya. Ingat, Rud. Calon mertua jangan dijaili. Tak ada maaf buatmu."

Rudy tertawa.

"Papa bisa aja. Eh, ngomong-ngomong, Papa tadi ngelamunin apa sih sampai nggak sadar ada orang lewat?"

Nggak ngelamun. Lagi istirahat."

"Orang tadi kok datang malam-malam diterima aja, Pa. Pantas Papa jadi capek."

"Kasihan. Dia perlu ditolong."

"Papa hebat," puji Rudy.

"Tapi aku sih nggak mau jadi ahli jiwa, Pa."

"Habis maunya jadi apa?"

"Aku ingin jadi periset aja, Pa. Jadi nggak perlu berhadapan dengan manusia."

Hilman cuma tersenyum. Ia tak membantah ucapan Rudy. Saat ini Rudy sudah kuliah di fakultas kedokteran. Jadi keinginannya itu belum keluar dari jalur. Yang dikhawatirkannya adalah kalau Rudy memutuskan untuk pindah jalur pada saat itu. Dari dulu Rudy suka berubah-ubah keinginan, tergantung apa yang dilihat dan dialaminya.

"Manusia itu menarik, Rud. Karena kita adalah manusia juga."

"Apakah si Mandar itu menarik, Pa?"

Pertanyaan itu mengejutkan Hilman. Untuk pertama kalinya nama itu diucapkan anaknya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kasus yang pernah ditanganinya. Tentu pada saat kasus itu muncul dan membuat heboh mereka membicarakannya juga, sama seperti orangorang lain. Tapi tidak demikian ketika Hilman ditunjuk untuk memeriksa Mandar. Kedua anaknya sudah paham bahwa mereka tidak bisa mendiskusikan apa hasil pemeriksaannya itu. Biarpun bertanya, mereka tidak akan memperoleh jawaban. Itu adalah rahasia profesi, bukan gosip atau diskusi bebas.

Sesaat ia menjadi cemas dan mengingat-ingat apakah sewaktu menelepon Lis tadi ia menyebut nama Mandar. Tapi ia yakin tidak melakukannya.

"Kok tiba-tiba kau jadi menyebut dia?"

"Sebab dia adalah contoh nyata bahwa manusia itu tidak semuanya menarik, Pa. Malah banyak yang nyebelin."

Hilman tertawa. Ia menjadi tenang. Rudy memang sudah sangat berpengalaman ikut dalam berbagai unjuk rasa mahasiswa menentang ini-itu.

Kemudian terdengar suara-suara langkah, disusul seruan.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai! Malam, Pa! Rud!"

"Malam, Ed! Sini!" seru Hilman.

Eddy muncul. Tubuhnya lebih tinggi dari Rudy. Tapi wajahnya kalah tampan dibanding adiknya itu. Mungkin karena ia mirip ayahnya.

"Ada apa sih? Ikutan dong!" katanya sambil duduk di sisi adiknya.

"Kita lagi ngobrol. Ngomongin kamu!" kata Rudy.

"Aku?" Eddy mengalihkan tatapannya kepada ayahnya.

Hilman cuma tersenyum sambil menunjuk Rudy. Melihat itu Eddy segera bergaya mengancam adiknya, pura-pura mencekik dengan wajah beringas.

"Ayo! Ngomongin apa?" serunya. Kemudian mereka bergumul di lantai.

Rudy pura-pura ketakutan dan kesakitan seolah dicekik beneran. Matanya melotot dan lidahnya dijulurkan. Sementara itu Hilman terkekeh geli melihat tingkah kedua anaknya. Mereka adalah hartanya yang tak ternilai. Rasa sepi dan sendirinya bila teringat akan istrinya segera lenyap. Dia masih punya yang lain. Itulah yang harus disayangi dan dijaganya.

***

KEPADA petugas penjara bernama Rahman. Mandar minta sehelai kertas putih dan pensil. Ia mengatakan ingin membuat sketsa wajah ibunya. Selama seharian Mandar menggores-gores sampai akhirnya ia merasa puas.

Tentu saja Rahman ingin tahu hasilnya. Ia mengamati kertas tersebut. Tampak olehnya raut wajah seorang perempuan muda yang cantik.

"Ini ibumu?"

"Betul, Pak."

"Ah, masa iya sih? Ibumu tentunya sudah tua."

"Saya menggambarkannya sewaktu masih muda. Dia memang cantik kok."

"Jangan-jangan dia salah seorang korbanmu."

"Bagi saya, semua korban saya tak punya muka, Pak," sahut Mandar tajam.

Jawaban itu membuat Rahman merinding. Ia memilih untuk tidak banyak bertanya lagi. Di mata para petugas dan juga napi lain, Mandar sudah dianggap bukan manusia. Mereka takut dekat-dekat. Hal itu membuat Mandar jadi lebih leluasa

Ia terus memperbaiki gambar yang dibuatnya dengan menggores sana-sini. Lalu ia menyimpannya di bawah tikarnya. Dalam setiap kesempatan kertas itu dikeluarkannya lalu dipandanginya lama-lama. Kemudian diciuminya.

Ia tak peduli tingkahnya itu diamati diamdiam oleh petugas dan napi lain. Ia menikmati dirinya sendiri. Ia tak mau peduli dengan orang lain. Kecuali satu orang, eh... dua orang!

Mandar memperlihatkan sketsanya Adrian dengan bangga.

"Lihat, Ian! Mirip hggak?" bisiknya.

Adrian segera memahami siapa yang dimaksud Mandar. Dalam keadaan berbeda ia tentu sudah tertawa geli. Gambar itu tidak mirip Lis atau siapa pun yang dikenalnya. Itu cuma wujud seorang perempuan cantik. Tapi ia tidak ingin mengecewakan Mandar. Lagi pula ia takut kalau dibilang tidak mirip maka Mandar akan terus menuntutnya untuk mencari foto Lis.

Maka Adrian segera memasang wajah surprise.

"Waduh, Bang! Kok mirip Lis, ya? Bagaimana mungkin kau bisa membuatnya? Bakat dari mana sih, Bang?" cerocosnya.

Mandar tertawa senang. Ia membelai gambar di atas meja dengan jari-jarinya. Matanya menatap sketsa itu dengan tajam. Melihat sikap Mandar itu, bulu roma Adrian berdiri. Bagaimana sebenarnya perasaan hati Mandar saat itu?

"Jadi mirip? Cantik sekali, kan?" kata Mandar tanpa mengalihkan perhatiannya dari sketsanya.

"Hati-hati, Bang. Apakah ada yang melihat gambar itu?"

"Tentu saja. Petugas yang kumintai kertas dan pensil tentunya kepengin tahu."

"Lalu kau bilang apa?"

**Aku mau menggambar ibuku!" Mandar terkekeh.

"Ibumu? Apa dia percaya?"

"Terserah dia mau percaya atau tidak."

"Tapi sebaiknya kau jangan perlihatkan gambar ini kepada semua orang, Bang. Bagaimana kalau ada yang mengenali?"

"Tidak ada yang berani lihat-lihat. Kau nggak usah khawatir. Di sini nggak ada yang berani mendekati aku."

"Tak ada salahnya berhati-hati, Bang!"

Mandar tak memedulikan peringatan itu. Ia tetap mengamati gambarnya sambil membelai dengan jarinya. Adrian berusaha keras untuk tidak bergidik. Apa sebenarnya maksud dan isi hati Mandar? Rasa ingin tahunya menggelegak tak tertahankan.

"Apa yang kaupikirkan terhadapnya, Bang?" tanyanya sambil menunjuk gambar itu.

Mandar mengangkat kepalanya lalu menatap Adrian. Tatapannya yang tajam membuat Adrian berpaling. Baru kali ini ia melihat tatapan Mandar seperti itu. Sangat berbeda daripada biasanya. Apa yang mengubahnya? Penjara atau gambar itu?

"Orang dalam situasi dan kondisi seperti diriku hanya bisa mengkhayal, Ian! Biarkan aku menikmati khayalanku!"

"Apa khayalanmu, Bang?" tanya Adrian pelan.

"Andaikata aku bisa buron..."

Mandar tidak menyelesaikan kalimatnya. Tapi jarinya tidak berhenti bergerak, membelai wajah perempuan di atas kertasnya.

Adrian merasa jantungnya berhenti berdetak. Kaget sekali.

"Jangan buron, Bang," ia memohon. Yang ia takutkan adalah apa yang akan dilakukan Mandar terhadap Lis bila ia benar-benar berhasil buron. Tampaknya orang seperti Mandar sulit diprediksi.

Mandar tertawa.

"Ah, aku cuma guyon. Kok percaya sih."

Tapi bantahan Mandar itu tidak bisa menenangkan perasaan Adrian. Apa yang dikhayalkan Mandar mengenai Lis? Apa yang mau dilakukannya bila ia berhasil buron?

Ketika tatapan Adrian kembali tertuju kepada tangan Mandar, ia kembali terkejut. Rupanya selama ia merenung tadi Mandar sudah menambahkan sesuatu pada gambarnya. Ternyata itu merupakan wujud bayi di dada si perempuan!

"Apa itu, Bang?" bisik Adrian, memaksa lidahnya untuk bersuara.

"Ini adalah anakku!"

"Oh..."

"Aku tak bisa menyentuhnya. Tapi aku bisa menggambarnya. Bayi kan seperti ini, Ian."

Sesudah selesai Mandar mencium bayi dalam gambarnya. Adrian menyaksikannya dengan perasaan dingin di Sekujur tubuhnya. Tidak salahkah ia menangkap sorotan sayang di mata. Mandar? Tentunya logis kalau ia sayang kepada anaknya, sesuai ungkapan kegembiraannya ketika mendengar berita kelahirannya. Tetapi yang lebih penting bagi Adrian adalah bagaimana perasaan dan pikiran Mandar mengenai Lis.

"Seharusnya dia mengasuh anakku, dan anaknya sendiri," gerutu Mandar. Nadanya mengandung kekecewaan dan penyesalan.

"Tapi kau mestinya bersyukur bahwa dia tidak menggugurkannya," Adrian membela Lis.

"Coba kalau dia berani. Kucincang dia," Mandar mendesis seperti ular marah.

"Jangan begitu, Bang. Kau kan tidak tahu

andaikata dia memang melakukannya. Aku juga begitu. Aku bisa lalui hanya karena melihat perutnya yang besar."

"Ibu macam apa," Mandar masih menggerutu. Jelas dia tidak bisa menerima alasan yang dikemukakan Adrian.

Kata-kata itu kembali menumbuhkan kecemasan di hati Adrian. Kalau begitu aku tidak boleh bercerita terus terang mengenai ketidaksukaan Lis kepada anaknya. Aku tidak boleh membangkitkan kebenciannya kepada Lis. Bagaimana kalau dia benar-benar berhasil buron?

Betapa leganya perasaan Adrian ketika waktu kunjungan sudah berakhir. Ia tidak berani pulang sebelum saatnya karena khawatir menimbulkan kekecewaan Mandar.

"Ingat, Bang. Hati-hati menyimpan gambarmu," ia berpesan.

"Tentu saja. Ini adalah milikku yang paling berharga."

Ucapan itu sebenarnya membangkitkan iba di hati Adrian. Mandar adalah orang kaya yang jatuh miskin meskipun hartanya masih berlimpah. Jangan sampai aku pun mengalami nasib serupa!

Ketika Adrian menuju mobilnya di tempat parkir ia mendengar seseorang memanggilnya di belakangnya.

"Pak! Pak!"

Yakin dirinya yang dipanggil ia menoleh. Tampak seorang berpakaian. seragam petugas mengangguk kepadanya. Papan nama di dadanya memperlihatkan tulisan Rahman.

"Pak, ada yang mau saya tanyakan," kata Rahman.

"Ada apa, Pak?" tanya Adrian dengan khawatir.

"Bapak saudaranya Mandar?"

"Betul."

"Saya ingin tahu, apakah gambar yang dibuat Mandar itu memang ibunya?"

"Ah, dia tidak bisa membuat persis. Tapi meuurut dia itu memang ibunya. Anggap saja benar," sahut Adrian ringan.

"Rupanya dia sayang sama ibunya."

"Oh iya. Dia kan anak tunggal."

"Begitu ya. Barusan saya lihat ada tambahan gambar bayi. Siapa itu?" Rahman masih belum puas.

"Oh. itu adalah gambaran dirinya sendiri

sewaktu bayi. Bukankah ibunya digambarkan masih muda?"

Rahman mengangguk-angguk. Penjelasan itu cukup logis.

"Saya cuma khawatir dia kehilangan akal," katanya menjelaskan.

"Terima kasih, Pak."

Akulah yang khawatir. Bagaimana kalau dia benarbenar bisa buron? Entah bagaimana caranya aku tidak tahu. Mestinya aku mengingatkan petugas itu, supaya lebih hati-hati menjaganya. Tapi aku tidak bisa. Mana mungkin. Nanti kalau dia benar-benar berhasil kabur, entah bagaimana caranya, bisa-bisa aku dianggap terlibat. Habislah aku.

Rahman buru-buru kembali ke kantornya. Ia mencari kartu nama yang pernah diberikan Hilman kepadanya. Dulu Hilman memberikannya sambil berpesan,

"Pak, selama Mandar ditahan di sana, tolong amati perilakunya. Kalau ada sesuatu kelainan atau perubahan, segera beritahu saya."

Apakah gambar yang dibuat Mandar itu merupakan suatu keanehan? Menurut Bapak entah. siapa namanya, kerabat Mandar. itu wajar-wajar saja. Tampaknya juga cukup logis. Ia ragu-ragu sejenak. Sepertinya ia merepotkan orang saja bila perbuatan Mandar itu bisa dianggap logis.

Tapi kemudian ia berpikir lain. Cuma seorang ahli yang layak menentukan apakah perilaku orang seperti Mandar itu logis atau tidak. Kiranya tak ada orang lain yang lebih pantas selain Dokter Hilman.

Ia mengangkat telepon untuk menghubungi Hilman. Tapi orang yang dicarinya itu tak ada di rumah. Jadi ia hanya menitipkan pesan.

Sepeninggal Adrian, kembali Mandar mengamati sketsa yang dibuatnya. Tatapannya tampak sayu. Jari-jarinya kembali menelusuri gambar itu, wajah si perempuan dan kemudian si bayi di dadanya. Mulutnya komat-kamit tanpa keluar suara.

Aku tahu kau berbohong, lan! Gambar ini sama sekali tidak mirip Lis. Kaupikir aku sudah pikun dan tak lagi ingat wajahnya? Ah, kau salah! Wajahnya sudah terpatri dalam benakku. Cuma aku tak bisa menuangkannya dengan persis di atas kertas. Jadinya ya kayak gini. Aku kan bukan pelukis. Tapi tidak apa. Biarpun

gambarnya tidak sama, tapi saat aku melihatnya, yang terlihat olehku adalah dia! bagi orang lain ini adalah wajah tak dikenal, sedangkan bagiku ini adalah wajahnya.

Kalian boleh menertawakan aku. Sebaliknya, aku menertawakan kalian!

Ah, lan. Naluriku mencium sesuatu yang berbau darimu. Apakah ada yang kausembunyikan?

***

BEGITU melihat si bayi, suami-istri Tito dan Atik samasama jatuh hati. Apalagi setelah Tito sebagai seorang dokter anak memeriksanya sendiri.

"Dia sehat sekali," katanya kepada Atik.

Sesungguhnya mereka menyimpan sedikit kekhawatiran kalau-kalau anak itu punya masalah kesehatan. Yang mengerikan adalah seandainya dia cacat. Tentu wajar kalau mereka berharap mendapat anak angkat yang sehat. Lain halnya kalau diberi anak kandung. Seperti apa pun akan diterima dengan senang hati. Tapi anak angkat? Mereka harus selektif!

"Memang dia sehat, Dok," Anwar membenarkan.

"Terus terang saja, kalau Dokter Hilman tidak berpesan agar jangan dulu memberikan dia pada yang berminat sebelum Anda

berdua melihatnya, pasti Anda sudah keduluan. Kami selalu berprinsip, mereka yang pertama adalah mereka yang berhak. Tentunya yang memenuhi syarat."

"Jadi banyak yang berminat, Dok?" tanya Atik.

"Oh ya. Dalam sehari orang yang mencari anak angkat bisa lebih dari satu. Dan mereka semua selalu menjatuhkan pilihan pada Darman! Tentunya kecuali mereka yang khusus mencari anak perempuan."

"Wah, kami beruntung dong!" seru Atik.

"Berterimakasihlah pada Dokter Hilman, Bu."

Suami-istri itu mengangguk-angguk. Mereka merasa sangat berterima kasih kepada Hilman. Dan juga ada sedikit rasa malu karena sempat khawatir kalau-kalau bayi yang direkomendasikannya itu punya cacat atau sesuatu yang buruk. Seharusnya mereka percaya seratus persen.

Akhirnya tanpa banyak bertanya lagi mereka menyetujui pengambilan Darman sebagai anak angkat beserta semua syarat yang diajukan. Mereka menyerahkan prosedur hukum mengenai pengangkatan kepada pihak klinik dan usai penandatanganan dokumen mereka akan segera membawa si bayi pulang.

Selama menunggu proses tersebut mereka masih punya waktu untuk mempersiapkan kedatangan si bayi di rumah, seperti kamar bayi beserta segala perlengkapannya. Karena itu mereka segera pulang kembali ke Jakarta. Tak ada keinginan untuk jalan-jalan dulu di Bandung.

"Wah, kita akan belanja besar nih, Pa!" seru Atik.

Tito melirik istrinya yang berwajah ceria. Ia menepuk paha Atik.

"Wah, kita akan belanja besar nih, Pa!" seru Atik. Tito melirik istrinya yang berwajah ceria. Ia menepuk paha Atik.

"Biru muda saja. Kan dia cowok. Nanti aku akan membeli perlengkapan serba biru."

"Kenapa cowok selalu biru, Ma?"

"Mana aku tahu. Tanya sononya dong."

"Sono mana?"

"Nggak tahu. Sudahlah. Itu kan sudah tren. Sudah tradisi. Masa cowok dikasih warna merah jambu. Entar dia jadi feminin lho."

"Baiklah. Maunya biru apa? Biru laut atau bi langit?" gurau Tito.

"Pokoknya biru muda. Jangan biru tua," sahut Atik sambil tertawa.

"Oke. Sekarang namanya itu. Mau tetap pakai Darman?"

"Aku pikir nama itu cukup bagus. Darman Waluyo. Tapi tambahkan satu nama lagi di tengah, Pa. Pemberian kita sendiri."

"Apa ya? Punya usul?"

"Ada, Pa. Baru tadi terpikir. Bagaimana kalau Rahmat?"

"Bagus. Jadi maksudmu kita menerimanya sebagai rahmat dari Yang Kuasa?"

"Tepat."

"Aku setuju. Karau begitu nanti Dokter Anwar kufaks agar menambahkan nama itu di dalam dokumen."

"Oh, aku senang sekali, Pa. Rasanya kita akan menjalani hidup baru."

"Tentu saja. Anak adalah tanggung jawab. Jadi kita berkewajiban menjadikannya orang baik-baik dan berguna bagi sesama."

"Kita pasti mampu, ya Pa?"

"Kita harus mampu!"



Hilman dan Anas naik kereta api Parahyangan menuju Bandung. Anas berkeras membelikan tiketnya. Menurut Anas, itu adalah tanggung jawabnya karena dialah yang berkepentingan. Apalagi dia telah mengambil hari libur Hilman yang mestinya bisa dilaluinya bersama keluarganya.

"Anak-anak sudah terbiasa ditinggal. Mereka sudah gede-gede kok."

"Tapi kebersamaan kan perlu juga, Dok."

"Tentu saja. Malam hari adalah saat di mana kami biasanya berkumpul dan mengobrol. Bagaimana dengan dua abang Lis?"

"Mereka cukup baik dan kompak. Tanpa dukungan mereka sulit rasanya melewati musibah yang menimpa Lis. Satya, anak yang sulung, sudah punya pacar serius. Tapi dia menjaga baik-baik rahasia itu dari pacarnya. Demi nama baik Lis dan keluarga. Mereka semua menyayangi Lis dan melindunginya juga. Sebenarnya bukan cuma saya yang dilanda rasa bersalah. Mereka juga."

Tanpa sadar Hilman geleng-geleng kepala.

"Rahasia, rahasia," ia bergumam.

Anas menatapnya dengan pandang bertanya.

"Ada apa, Dok?" tanyanya.

"Sebenarnya menyimpan rahasia adalah beban yang tidak ringan. Tapi karena kita sadar bahwa tujuannya mulia, maka beban tersebut tak terasa."

"Seperti Anda yang menyimpan banyak rahasia pasien."

Hilman tertawa."Kalau itu lain, Pak. Itu adalah profesi yang dikuatkan dengan sumpah."

"Apakah rahasia Lis itu berat buat Anda, Dok?"

"Saya menganggap Lis sebagai pasien. Dan saya punya komitmen. Saya selalu ingat ucapan Lis. ,Seberatberatnya mata memandang, lebih berat bahu yang memikul. Jadi anggaplah menyimpan rahasianya dengan baik merupakan bantuan baginya yang memikul beban."

"Dia ngomong begitu, ya? Maafkan keketusannya, Dok."

"Tidak masalah, Pak. Apa yang dikatakannya benar. Dia tahu saya membantu bukan tanpa pamrih. Saya hanya tertarik pada kasus Mandar dan ingin menelitinya lebih jauh."

"Tapi biarpun demikian, Anda toh banyak membantu, Dok. Anda juga memberi, bukan mengambil saja. Buktinya sekarang ini."

"Terima kasih kalau Anda berpendapat begitu. Sebenarnya saya senang bahwa Lis ingat saya ketika dia mengalami kesulitan. Itu merupakan penghargaan yang besar."

"Kamilah yang seharusnya merasa beruntung, Dok."

"Jangan ngomong begitu terus, Pak. Saya jadi malu nih."

"Maaf, Dok. Keluar dari hati sih."

Mereka saling tersenyum. Kemudian mereka terkantuk-kantuk. Hari menjelang siang. Saatnya orang mengantuk walaupun tidur semalam terbilang cukup. Ada untungnya tak berkendaraan sendiri karena bisa lebih santai. Tapi kedua anak Hilman yang tahu bahwa ayah mereka akan ke Bandung naik kereta api sempat protes. Menurut keduanya, belakangan banyak sekali kecelakaaan kereta api. Jadi kurang arnan memilih transportasi yang satu itu.

Bahkan Rudy menawarkan diri untuk jadi sopir supaya ayahnya tidak capek mengemudi. Agak repot Hilman melenyapkan kekhawatiran mereka. Ia merasa dikepung kedua anaknya.

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa, Pa? Kami ini kan cuma punya Papa seorang," Rudy mengingatkan.

"Papa bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan Papa," Eddy lebih keras lagi. Biarpun kerepotan, Hilman merasa terharu atas kecerewetan mereka. Ia tahu, dulu istrinya pernah berpesan pada Eddy dan Rudy agar menjaga ayah mereka baik-baik. Sama seperti pesan kepadanya agar menjaga kedua anak mereka dengan baik. Tapi tentu bukan karena pesan itu semata. Mereka menyayanginya.

"Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa," ia berusaha meyakinkan mereka.

"Kecelakaan dan musibah itu bisa terjadi di mana saja. Biarpun sudah hati-hati, tapi kalau sudah nasib kita tak bisa apa-apa. Naik mobil juga bisa celaka. Naik motor seperti kamu, Rud, juga bisa celaka. Tapi Papa kan nggak bisa melarang kamu."

"Baiklah," kata Eddy yang sadar tak bisa melarang. Nanti giliran dirinya yang mendapat

larangan.

"Tapi Papa mesti memberitahu Papa pergi dengan siapa dan ke mana."

Permintaan seperti itu memang bukan sesuatu yang baru dalam keluarga mereka. Sudah jadi semacam peraturan sejak lama. Setiap anggota keluarga yang ke luar rumah, apalagi ke luar kota, harus memberitahu yang lain ke mana dia pergi agar yang tahu bukan cuma dirinya sendiri. Dengan demikian lebih mudah dilacak jika ada sesuatu.

Kali ini Hilman memberitahu bukan cuma nama dan alamat yang dituju, tapi juga nomor telepon Anas. Itu dicatatnya dengan jelas dalam note book yang sudah tersedia di samping pesawat telepon.

"Kunjungan kerja atau sosial, Pa?" tanya Rudy.

"Dua-duanya," sahut Hilman tanpa tersinggung oleh kecerewetan anaknya. Selama pertanyaan tidak menyangkut rahasia yang perlu disimpannya, ia tak keberatan menjawab. Anak-anaknya sudah cukup memahami hal tersebut. Pada saat keduanya beranjak dewasa ia sudah memberi penjelasan yang kerap kali harus diulang-ulang. Mana pertanyaan yang

bisa dijawab dan mana yang tidak. Tentu saat itu istrinya selalu membantu. Dengan demikian ia tidak sampai dipandang sebagai ayah otoriter yang tak ingin urusannya dicampuri anaknya ataupun sekadar diketahui. Ia memang bukan tipe orangtua otoriter. Karena itulah ia bisa membangun hubungan yang akrab dan cukup harmonis dengan kedua putranya.

Di sebelahnya Anas sudah mendengkur. Dia sendiri tak ingin tidur, tapi kepalanya sudah terantuk-antuk. Bunyi gesekan roda kereta dengan rel yang monoton dan kontinu memberi efek membius. Pada saat itulah ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Tito Wardoyo.

Kami jadi mengambilnya. Dokumen segera diurus.

Begitu beres kami mengambilnya. Namanya

Dorman Rahmat Wardoyo. Thanks!

Kantuk Hilman segera lenyap. Bukan karena begitu cepatnya Tito dan istrinya mengambil keputusan dan jadi mengambil anak itu, tapi soal namanya. Hilman mendadak merasa tersengat. Begitu saja, tanpa perlu dipikir lama,

ia segera menyadari bahwa Darman adalah kebalikan dari Mandar! Mungkin saja cuma kebetulan belaka. Tapi mungkinkah kebetulan yang seperti itu?

Ia segera membalas pesan itu.

Selamat pada kalian. Dari mana nama itu?

Balasan dari Tito datang tak lama kemudian.

Darman itu nama dari klinik. Lainnya dariku.

Cukup bagus. kan? Kami menganggapnya

sebagai rahmat dari Ilahi

Jadi kebetulan itu datang dari klinik. Padahal mereka tentu tidak tahu hubungan bayi itu dengan Mandar. Ia tahu, sebaiknya tidak meributkan atau mempertanyakan soal nama itu. Nanti orang-orang malah balik bertanya. Meskipun merasa aneh ia harus menyimpannya. Barangkali kebetulan seperti itu memang ada.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LIS dan Fetty menyambut kedatangan Hilman dan Anas dengan hangat. Sekarang sikap Lis tidak lagi angkuh dan sinis. Ia menjadi ramah dan malu-malu karena teringat akan sikapnya yang berbeda dulu. Tapi Hilman berbuat seakan tidak peduli, meskipun ia senang kar-ena telah diterima dengan tangan terbuka. Ia tak ingin membuat Lis tambah malu.

Mereka berdua segera diajak makan siang, yang sudah dipersiapkan secara istimewa oleh Lis dan ibunya. Pada saat makan itu tak sedikit pun pembicaraan menyinggung masalah mimpi yang dialami Lis. Hilman bercerita mengenai kekhawatiran kedua anaknya karena ia memilih naik kereta api.

"Padahal saya yang mengajak," kata Anas.

"Mereka bisa marah sama saya."

"Tapi saya nggak memberitahu soal itu. Sebenarnya saya juga menikmati perjalanan tadi," sahut Hilman. Ia tahu, Anas cuma bergurau.

"Mereka anak-anak yang baikya, Dok." komentar Fetty.

"Oh iya. Mereka adalah milik saya yang paling berharga," sahut Hilman dengan bangga. Lis tidak ikut berkomentar. Ia mengamati Hilman dengan berbagai perasaan.

Kemudian Hilman menyadari sikap diam Lis. Ia merasa pembicaraan mengenai anak bisa menyinggung perasaannya. Cepat ia mengalihkan pembicaraan. Tetapi dengan agak heran ia mendengar Lis minta ia bercerita mengenai anak-anaknya. Siapa namanya, berapa umurnya, dan sekolahnya di mana. Keheranannya bertambah tampaknya Lis tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Maka dalam bercerita ia menggali kembali pengalamannya yang lucu-lucu dengan anak-anaknya. Terutama Rudy si jail. Juga pengalamannya semalam ketika dikagetkan oleh Rudy, disusul kedatangan si sulung, Eddy. Ternyata ceritanya mampu menyegarkan suasana yang semula terasa agak muram dan dipaksakan. Mereka semua tertawa.

termasuk LIS.

Usai makan siang, kedua orangtua Lis "mengungsi" ke rumah induk, yang ditempati oleh keluarga Hani, adik Petty. Dengan demikian Hilman dan Lis bisa berbincang dengan leluasa di paviliun tempatnya tinggal.

"Bagaimana semalam, Bu Lis? Mimpi lagi nggak?" Hilman langsung bertanya begitu mendapat kesempatan.

"Panggil saya Lis saja, Dok. Jangan pakai Bu. Rasanya jadi malu."

"Baik, Lis. Bagaimana mimpinya?"

"Saya sempat mimpi, Dok. Tapi nggak selesai."

"Jadi keburu bangun? Masih takut?"

"Bukan begitu, Dok. Mulanya mimpi saya sama. Tapi kemudian kedua bayi yang semula berekspresi berlawanan satu sama lain itu terdiam. Mereka cuma memandangi saya tanpa ekspresi. Kemudian wajah mereka memudar lalu diganti oleh wajah yang lain..."

Lis tak melanjutkan kalimatnya. Ia memalingkan tatapanya ke bawah.

Hilman jadi cemas. Apakah Lis melihat wajah Mandar seperti aslinya, bukan dalam wujud

bayi? "Wajah siapa, Lis?" tanya Hilman tak sabar.

"Wajah Dokter!"

"Apa?" Hilman terperangah. Dia begitu heran dan tak menyangka hingga wajahnya tampak lucu.

Melihatnya tak tahan lagi Lis tertawa tera bahak-bahak. Ia benar-benar tak bisa menahan ledakan itu. Baru setelah menyadari bahwa Hilman tidak ikut tertawa, ia terdiam dengan perasaan bersalah.

"Maafkan saya, Dok. Tapi saya nggak bohong. Benar saya melihat Dok dalam mimpi saya itu. Barusan saya tertawa karena wajah Dok sangat lucu. Apakah saya membuat Dok kaget?" kata Lis dengan cemas. Bagaimana kalau Hilman mengira dirinya dilecehkan?

Hilman tertawa.

"Ya. Pastilah muka saya sangat lucu. Itulah sebabnya kenapa si Rudy senang sekali membuat saya kaget."

"Jadi Dok percaya cerita saya, kan?" tanya Lis dengan lega.

"Tentu saja. Saya percaya. Apakah sebelum tidur kau bermeditasi dulu?"

"Oh ya. Saya melakukannya ditemani Mama.

Ternyata saya bisa cepat tidur tanpa dihantui ketakutan akan bermimpi lagi. Seperti yang disarankan Dok sebelumnya, saya siap bermimpi dan akan konsentrasi pada si bayi yang manis. Ternyata mimpinya berbeda. Mereka memang muncul, tapi kemudian lenyap digantikan oleh wajah Dok. Saya pikir, itu pasti disebabkan karena sebelum tidur saya sempat mikirin Dok. Saya merasa bersalah karena telah bersikap ketus kepada Dok. Maafkan saya, Dok."

"Tak usah minta maaf, Lis. Itu wajar-wajar saja. Sudah bagus saya nggak diusir waktu itu. Ya, teorimu mungkin benar juga tentang mimpi itu. Apakah wajah saya tampil baik atau buruk? Maksudku, ekspresinya."

"Tanpa ekspresi, Dok. Tapi yang jelas tidak membuat saya ketakutan seperti sebelumnya."

"Syukurlah. Saya lega kan bisa melepaskan diri dari ketakutan itu. Selanjutnya lakukan saja hal yang sama. Bagaimanapun mimpi itu bisa datang dalam tidur tanpa kita inginkan atau harapkan. Padahal kita membutuhkan tidur. Jadi harus dihadapi. Yang penting kita harus bisa menghadapinya tanpa rasa takut."

"Apakah mimpi itu sekadar bunga tidur, akibat dari pemikiran sebelumnya, atau memang mengandung makna?"

"Saya tidak bisa menjawab secara pasti. Ada banyak penelitian tentang mimpi. Mumi ilmiah atau punya kandungan mistis. Tapi menurut saya, bisa saja salah satu dari tiga kemungkinan yang kausebutkan itu."

"Sepertinya mengandung makna karena berturut-turut dan sama."

"Mungkin. Kita tidak bisa pasti, Lis. Itu bisa juga muncul dari bawah sadarmu. Kau baru saja melahirkan anak di mana prosesnya tidak seperti seharusnya karena kau harus berpisah dari anakmu tanpa sempat melihatnya. Itu melawan naluri keibuan yang dimiliki perempuan. Suatu pengorbanan yang sangat besar. Biarpun kau mencoba tidak memikirkannya, tapi di bawah sadarmu dia tetap ada."

"Saya melihatnya, Dok."

"Apa?" Hilman menegaskan. Ia mengira Lis menyatakan sesuatu yang berbeda maknanya.

"Saya melihat bayi itu pada hari sebelum kepulangan. Saya melihatnya di kamar bayi."

Hilman tercengang. Anas mengatakan Lis tak mau melihat bayi itu. Begitu dilahirkan bayi

itu segera dibawa pergi tanpa dilihat keluarganya.

"Orangtuamu tidak tahu?"

"Tidak, Dok. Saya tidak pernah bercerita. Waktu itu saya jalan-jalan lalu mendengar tangisan bayi. Dorongan itu muncul begitu saja ketika lewat kamar bayi."

"Bagaimana perasaanmu ketika melihatnya?"

"Saya terpesona. Dia sangat cakep. Ingin juga menggendongnya. Tapi sebelum keinginan itu telanjur menguasai, tiba-tiba saya melihat wajah Mandar di wajah bayi itu. Saya ketakutan lalu lari."

Hilman mengangguk.

"Itu bisa menjelaskan mimpimu. Kau sadar betul bahwa bayi itu bukan cuma berasal darimu, tapi juga dari Mandar."

"Apakah semestinya saya tidak melihatnya supaya saya tidak punya gambaran tentang rupanya?"

"Ah, tidak. Kau mengikuti panggilan hati. Jangan menyesali hal itu. Lagi pula itu sudah terjadi. Nyatanya sekarang kau cukup tabah menghadapi akibatnya. Memang tidak mungkin

kau melupakannya begitu saja. Kau bersamanya selama sembilan bulan. Tapi perlu kau ingat satu hal, Lis. Waktu cepat berlalu. Dia akan bertambah besar dan berubah sama sekali dari yang kaulihat. Sementara dia sendiri tidak tahu apa-apa. Dari waktu ke waktu jurang pemisah semakin lebar."

"Apakah saya benar-benar bisa melupakannya, Dok?"

"Saya tidak bisa mengatakan ya atau tidak. Itu tergantung padamu sendiri."

"Saya mengerti, Dok. Bila dia mendapat orangtua angkat nanti, dia akan punya kehidupan sendiri."

"Kau juga, Lis."

Lis termangu. Sikapnya membuat Hilman berpikir, apakah sesungguhnya ada rasa sayang Lis pada bayinya itu? Tapi ia tidak mau mengusik hal itu.

"Dok pernah memeriksa Mandar," Lis mengubah topiknya.

"Dia menganggap semua korbannya adalah sampah masyarakat. Apa betul tujuannya sebetulnya adalah untuk membersihkan sampah itu?"

"Ah. bukan. Dia melakukannya untuk kenikmatan semata. Tapi dia memilih pelacur karena menurut perhitungannya mereka mengandung risiko paling kecil untuk dilacak keberadaannya. Dia juga memilih mereka yang berkeliaran di jalan, sendiri-sendiri, terpisah satu dengan yang lain. Umumnya mereka tidak punya suami atau keluarga yang bisa segera menyadari kehilangannya."

"Jadi saya adalah korban kekeliruan."

"Oh ya. Tentu. Dalam pemeriksaan dia tidak pernah menyebut dirimu. Dia mengakui selalu membunuh semua yang telah dipilihnya sebagai korban."

"Ketika saya berada di mobilnya dan segera menyadari niatnya yang kurang baik, saya minta diturunkan, bahkan saya berusaha melawannya. Kenapa waktu itu dia tidak segera menurunkan saya?"

"Mungkin dia sudah telanjur kepalang basah. Atau mungkin juga dia menganggapmu pura-pura saja."

"Aduh, pura-pura apa?" seru Lis kesal.

"Bohong! Pasti dia sudah membutuhkan korban saat itu. Seperti drakula yang kehausan."

"Nyatanya dia tidak menganiaya atau membunuhmu. Dia mengembalikan kau. Kalau memang dia sangat membutuhkan korban saat itu, tentunya dia akan memperlakukan kau sama dengan yang lain."

"Dia membiarkan saya hidup karena saya tidak tahu di mana saya berada. Saya pingsan waktu dibawa ke rumahnya, sesudah itu saya dibius. Kalau saya tahu mana mungkin dia membiarkan saya pergi begitu saja. Pasti saya akan melaporkannya."

"Ya. Kemungkinan itu tentu ada"

"Karena saya tak punya bukti itulah maka saya tak mau melapor."

Hilman mengangguk.

"Dan saya juga tidak melapor setelah tahu bahwa Mandar si pembunuh masal itu adalah pemerkosa saya juga. Alangkah konyolnya kalau saya tampil sebagai saksi dengan perut buncit dan kemudian harus mengakui pula bahwa kandungan saya adalah hasil perkosaannya. Bukankah semua orang, termasuk si Mandar, akan tahu? Kelak anak itu diakui oleh si Mandar dan diketahui pula oleh semua orang sebagai anak iblis."

Hilman mengangguk-angguk.

"Saya bukan cuma melindungi diri, tapi juga melindungi anak itu," Lis melanjutkan.

"Tentu, tentu. Kau juga tidak salah telah menyerahkan anak itu. Bila anak itu kaupelihara, tentu kelak dia akan bertanya siapa dan ke mana ayahnya. Kebenaran akan sangat menyakitkan baginya."

"Betul sekali!" seru Lis.

Hilman senang melihat antusiasme Lis.

"Tapi kenapa dalam mimpi itu, justru anak yang manis memanggil-manggil saya, sementara yang jahat menyuruh saya pergi?" tanya Lis dalam nada berbeda. Sepertinya semangatnya anjlok seketika.

Hilman tertegun. Sesungguhnya mimpi itu masih jadi duri dalam daging. Sesuatu yang bisa ditafsirkan macammacam. Lis belum puas dengan hal itu.

"Saya tidak tahu pasti jawabannya, Lis," sahut Hilman dengan jujur.

"Apakah bisa ditafsirkan bahwa sesungguhnya memberikan anak itu pada orang lain juga bukan jalan keluar yang paling baik?"

Hilman terkejut. Ia harus memberi keyakinan lebih dalam kepada Lis.

"Barusan kita sudah membicarakan untung-ruginya, bukan? Dibesarkan di lingkungan yang sama sekali tidak tahu siapa orangtuanya bisa membuat ia tumbuh sehat tanpa gangguan. Sebaliknya kalau kau memeliharanya, lingkungannya adalah orang-orang yang tahu. Bukan tak mungkin salah satu dari mereka membocorkan rahasia tanpa sengaja. Ia akan terbebani."

"Kita harus hidup dalam rahasia."

"Kalau tuntutannya seperti itu, tidak sulit dijalani, Lis. Keterbukaan tidak selamanya mendatangkan kebaikan. Kehidupan ini tidak seperti matematika."

"Benar sekali, Dok. Tapi sulit juga untuk tidak memikirkannya. Takut sudah bisa dihilangkan. Tapi pikiran sulit."

"Itu wajar. Iadi. ungkapkan saja apa lagi yang kaupikirkan."

"Saya suka bacabuku, Dok. Dan juga dengar omongan ahli-ahli. Katanya orangtua dan, lingkungan rumah sangat menentukan perkembangan anak. Kalau orangtua dan lingkungan brengsek, jahat, apalagi gila, maka si anak pun terbawa seperti itu. Mungkin si Mandar juga begitu. Mungkin dia punya orangtua maniak atau gimanalah, maka dia pun jadi maniak. Nggak mungkin tanpa sebab dia jadi begitu. Iya, kan?"

Hilman mengangguk. Ia senang karena Lis tidak mendesakkan pertanyaan mengenai Mandar seperti yang diamatinya dan terutama kisah tentang Mandar sendiri.

"Jadi bagaimana kalau anak itu sampai jatuh ke tangan orangtua seperti itu, Dok?".

Hilman tersentak. Rupanya ujung-ujungnya Lis mengkhawatirkan hal itu. Bagaimanapun Lis bukan tidak peduli pada nasib anaknya kelak. Tapi tentu saja ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya untuk menenteramkan perasaan Lis. Bukankah ia sendiri merekomendasikan si bayi kepada Tito dan Atik supaya anak itu mendapat yang terbaik?

"Kita cuma bisa mengharapkan yang terbaik, Lis. Tapi ingatlah. Orangtua yang sangat ingin punya anak lalu bersusah payah mencarinya untuk diadopsi, pasti punya niat yang tulus dan baik. Tidak mungkin dia bertujuan menyia-nyiakan, apalagi membuat dia menjadi monster. Itulah bedanya dengan anak kandung. Tidak semua orangtua berharap punya anak atau tambahan anak. Kita dengar ada anak yang tidak dikehendaki, bukan? Anak-anak seperti ini sering mengalami perlakuan tidak baik. Tapi tidak demikian dengan orangtua tanpa anak yang ingin punya anak. Sering kali mereka bercita-cita punya anak yang kelak,bisa menjadi tumpuan mereka di hari tua. Logislah kalau mereka merawat dan mendidiknya dengan baik agar kelak cita-cita "itu bisa tercapai."

Kata-kata Hilman yang panjang itu bisa menenteramkan perasaan Lis.

"Menafsirkan sesuatu dari mimpi bolehboleh saja, Lis. Tapi tafsiran bukanlah kepastian," Hilman menambahkan.

"Menurut Dok, apakah baik kalau saya cari informasi siapa yang mengadopsi dia?"

Hilman terkejut lagi. Ide seperti itu di luar persangkaannya.

"Sebaiknya jangan. Kau sudah melepaskannya. Berarti putus sudah hubunganmu dengan dia. Berikanlah ketenangan kepadanya dan keluarga barunya. Saya tahu maksudmu baik. Hanya sekadar tahu saja. Tapi biasanya dari keingintahuan yang satu lahir keingintahuan yang lain. Begitu tak habis-habisnya. Akhirnya

hidupmu sendiri tidak bisa tenang. lkhlaskan, Lis. Sebaiknya kau dan dia sama-sama menjalani hidup masing-masing."

Lis termangu. Tentu ia cukup sadar bahwa apa yang dikatakan Hilman itu memang mengandung kebenaran. Dulu pun ia pernah berpikir begitu. Tapi kenapa sekarang jadi berbeda? Karena mimpi?

"Kau sudah belajar menghadapi mimpi itu dengan sikap positif. Jangan mundur lagi, Lis."

"Ya, Dok."

"Kapan kembali ke Jakarta?"

"Rencananya sih sebulan lagi."

"Oh, begitu."

"Ada usul, Dok?"

"Sebaiknya dipercepat saja."

"Saya pikir juga begitu. Mungkin sebaiknya saya mencari udara yang lain. Saya akan membicarakannya dengan Papa dan Mama."

"Mereka pasti menyerahkannya kepadamu. Di Jakarta, kapan saja kau perlu bicara, silakan datang ke rumahku. Bukan sebagai pasien, tapi teman. Kau bisa berkenalan dengan anak-anakku yangjail."

"Oh ya." Lis tampak bersemangat.

Sebenarnya anjuran Hilman itu lebih disebabkan kekhawatiran. Tampaknya Lis suka bersikap impulsif. Awalnya tak mau melihat bayinya. Kemudian malah sengaja mencarinya ke kamar bayi. Selama masih berada di Bandung, bukan tak mungkin suatu saat ia terdorong melangkah ke klinik untuk menjenguk bayinya! Padahal si bayi siap diambil oleh orangtua angkatnya.

Tanpa terasa pembicaraan mereka berlangsung sampai menjelang petang. Anas dan Fetty kembali dari rumah induk dan mendapati keduanya tengah mengobrol dengan asyik.

Hilman dipaksa menginap oleh Anas. Besok pagi mereka akan bersama-sama kembali ke Jakarta. Akhirnya ia setuju. Tidak menyenangkan pulang sendiri. Lalu Anas menyodorkan telepon.

"Silakan Dok nelepon ke Jakarta untuk memberitahu anak-anak. Nanti mereka khawatir."

Suara Rudy yang lantang mengejutkannya. Itu adalah khas Rudy.

"Wah, Papa! Aku sendirian dong! Malam Minggu, lagi!"

"Memangnya kau nggak ada acara?"

"Nggak apa-apa. Bercanda aja kok. Aku mau nonton VCD serial silat sampai mabok. Udah ya. Nikmati hari Papa. Daaag!"

Hilman tersenyum setelah meletakkan telepon.

"Itu pasti si jail ya, Dok," kata Lis.

"Ya. Memang dia."

Anas mengajak Hilman ke rumah induk untuk mandi. Mereka akan tidur di sana nanti. Paviliun hanya memiliki satu kamar.

Ternyata Anas sudah menyediakan kemeja dan pakaian dalam yang masih baru untuk ganti.

"Nanti kita makan malam di luar ya, Dok. Ramairamai sekeluarga."

Hilman merasa diperlakukan sebagai tamu istimewa.



Baru saja Adrian melambatkan mobilnya untuk menyeberang ke depan rumah yang ditempati Lis ketika ia melihat pintu pagar terpentang lebar. Sebuah minibus tampak siap di halaman dengan muka menghadap pintu. Ia tak jadi menyeberang melainkan menghentikan mobilnya untuk melihat siapa yang keluar dari

rumah.

Sejumlah orang keluar. Hani dan suaminya, Fetty dan Anas, lalu Lis dan Hilman. Mereka semua masuk ke dalam mobil. Suami Hani di belakang kemudi. Kemudian mobil keluar dan pintu pagar ditutup kembali oleh seseorang yang tidak terlihat jelas.

Sebenarnya Adrian hendak bertandang ke tempat Lis. Di atas jok disampingnya terdapat sekantong buah-buahan. Ia merasa kecewa karena gagal berkunjung. Dari penampilan orang-orang yang dilihatnya tadi, tampaknya mereka tidak akan cepat-cepat kembali.

Yang menarik perhatiannya adalah kehadiran Hilman. Barangkali Hilman memang anggota keluarga? Mungkin sebagai ahli jiwa dia sekalian memberi terapi bagi Lis. Meskipun dari jarak cukup jauh, ia menangkap sesuatu yang berbeda pada Lis. Ada keceriaan di wajahnya yang banyak tawa dan gerak-gerik tubuhnya yang bersemangat.

Didorong keingintahuan ia membuntuti minibus itu. Ternyata kemudian mobil itu memasuki halaman sebuah restoran besar yang terkenal di kota Bandung. Ia paham tujuan mereka. Sekarang Lis berada di tengah keluarga yang berusaha menggembirakan hatinya. Ada perasaan kecewa di hati Adrian. Tidak ingatkah mereka akan si bayi yang entah akan dipungut siapa? Malang benar nasibnya! Pikiran itu mendorongnya menuju Klinik Asuh.

sebelum jalan menuju klinik Asun, Adrian menghubungi Rima lewat ponselnya. Ia tidak tahu apakah Rima masih ada di klinik atau sudah pulang.

"Mas, bayi itu sudah ada yang ambil!" seru Rima bersemangat.

"Oh! Sus sudah mendapat nama dan alamat yang mengambil?"

"Sudah. Mereka orang Jakarta. Datang saja ke klinik. Saya dinas sore kok. Di sini sampai jam delapan. Kalau mau ke sini sekarang saya tunggu."

Kepada rekan-rekannya Rima mengakui Adrian yang sering menemuinya sebagai sepupunya dari Jakarta. Itu untuk menghindari kecurigaan. Ia tak ingin membiarkan orang bertanya-tanya karena sadar mereka tak mungkin

percaya kalau Adrian adalah pacarnya. Padahal seorang lelaki yang berulang kali mengunjungi seorang perempuan lajang mesti punya maksud tertentu. Ia juga mengatakan bahwa Adrian sudah beristri tapi belum dikaruniai anak setelah menikah beberapa tahun. Jadi tujuannya adalah untuk melihat-lihat kalau-kalau ada bayi yang berkenan di hatinya.

Ketika Adrian datang tak lama setelah percakapan telepon sebelumnya, Rima sudah menyiapkan kertas yang bertuliskan nama dan alamat Tito Wardoyo di Jakarta. Ia juga menyertakan nama si bayi yang telah dipilih orangtua angkatnya.

"Wah, jadi nama pilihan saya tetap dipakai." komentar Adrian senang.

"Ya. Senang, Mas?"

"Tentu. Apakah dia sudah dibawa pergi?" tanya Adrian sambil menatap ke arah kamar bayi.

"Belum. Nanti kalau dokumennya sudah siap. Apa Mas mau melihatnya lagi untuk terakhir kali?"

Adrian menimbang-nimbang sejenak sementara Rima mengamati wajahnya.

"Baiklah," kata Adrian akhirnya.

Mereka berjalan ke kamar bayi.

"Bagaimana kabarnya Bu Lis? Baik-baik saja?" tanya Rima

"Oh... dia baik."

"Syukurlah. Saya harap Mas jangan kasih tahu dia siapa yang mengambil bayinya. Biar Mas seorang saja yang tahu."

"Kenapa?"

"Supaya jangan terjadi konflik di kemudian hari. Mas tahu, saya juga melanggar peraturan dengan memberikan nama dan alamat itu."

"Ya, ya. Tentu saja. Saya ngerti," sahut Adrian enteng.

Ketika mengamati si bayi dari balik dinding kaca, perasaan Adrian tiba-tiba jadi resah. Berbeda dari saat pertama melihatnya, ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di wajah mungil polos itu biarpun ia tengah tidur dengan manisnya. Sesungguhnya hatinyalah yang gemuruh bagai dilanda badai dan guntur.

Tiba-tiba si bayi membuka matanya. Tampak sepasang mata yang bulat dan jernih. Sepertinya mata itu menatap langsung kepada Adrian. Mendadak saja Adrian seperti tersengat. Ia

terkejut. Tak tahan kepalanya tersentak ke belakang, seolah rambutnya dijambak dan ditarik.

Rima juga terkejut melihat reaksi Adrian. Seolah merasakan kejutan dari dua orang, bayi itu meronta dan menangis keras. Buru-buru Rima membawanya kembali ke boksnya. Begitu ditidurkan dan kepalanya dibelai ia terdiam. Dengan heran Rima mengawasinya sejenak, lalu keluar untuk menyusul Adrian yang sudah berjalan ke halaman parkir.

Adrian menunggu di depan mobilnya.

"Kenapa, Mas?" tanya Rima waswas.

"Entahlah. Saya juga tidak tahu."

"Mungkin karena Mas merasa akan kehilangan dia?" tebak Rima.

"Ya. Mungkin. Saya pikir, sebaiknya saya tidak lagi melihatnya di sini. Saya cuma bisa berharap dia akan bahagia bersama orangtua barunya."

Rima mengangguk dengan terharu.

Lalu Adrian menyodorkan amplop yang sudah dilipatlipat kecil hingga tidak mencolok. Rima menerimanya dengan mengucapkan terima kasih.

"Sayalah yang seharusnya berterima kasih,

Sus. Anda banyak sekali membantu. Tanpa bantuan Sus, pastilah saya tidak mendapat apaapa."

Adrian menyalami tangan Rima, lalu masuk ke mobilnya.

Rima melambaikan tangan. Ia bertanya-tanya, apa maksud Adrian dengan tidak mendapat apa-apa? Dan ia juga tidak percaya bahwa ekspresi Adrian yang aneh tadi adalah wujud dari kesedihan karena akan berpisah. Ia yakin bahwa apa yang terlihat itu adalah ekspresi ketakutan! Mustahil bayi bisa menakuti orang dewasa? Mau tak mau Rima jadi teringat pada ekspresi Lis ketika memandang bayinya. Saat terakhir sebelum berlari pergi ia juga berekspresi sama, malah disertai dengan jeritan!

Seperti biasa, betapa aneh pun situasi yang dilihatnya, ia tahu takkan mendapat jawaban. Jadi lebih baik bila ia tidak usah memikirkan. Itu tidak ada gunanya.

Adrian menjalankan mobilnya seperti orang linglung. Setelah hampir saja menyerempet pejalan kaki dan mendapat semprotan pedas, ia tersadar. Ia menghentikan mobilnya untuk istirahat sejenak. Sebenarnya bukan fisiknya yang

lelah, tapi pikirannya.

Di luar dugaannya bahwa ia mendapat kejutan seperti tadi. Ia masih ingat pengaruh yang terasa waktu mengamati bayi itu. Ketika itu ada rasa kagum dan sayang. Perasaan-perasaan yang membangkitkan kesenduan. Maka ia ingin mengulanginya. Tetapi saat si bayi membuka mata dan menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba ia melihat si bayi berwajah Mandar dengan dua tanduk di kepalanya!

Tentu saja ia cepat menyadari bahwa apa yang dilihatnya itu cuma halusinasi belaka. Tapi cukup membuatnya kaget setengah mati. Padahal ia sudah begitu terbiasa dengan Mandar, bahkan akrab dengannya. Tapi ia belum pernah melihat ekspresi Mandar sekeji itu. Mungkin karena tambahan tanduk di kepalanya? Rasanya memang berlebihan. Sepertinya mau menambah kekejian Mandar atau membuatnya seperti iblis, sesuai dengan perumpamaan ban-= yak orang. Padahal ia sendiri tidak pernah beranggapan seperti itu.

Sulit baginya untuk bisa menyimpulkan secara rasional kenapa ia berhalusinasi seperti itu. Mungkin terdorong oleh rasa ibanya kepada si

bayi tak berdosa, lalu bawah sadarnya menyalahkan Mandar yang menjadi penyebab hingga si bayi jadi terbuang dan menunggu belas kasihan. Ya, mungkin itulah penyebabnya!

Ia menjadi lebih tenang. Lalu dijalankannya kembali mobilnya untuk mencari hotel. Besok ia akan kembali mengunjungi Lis. Buah-buahan yang dibawanya masih cukup segar.

****

Mandar mengamati sketsanya. Tetapi gambaran yang muncul di benaknya bukanlah gambar di kertasnya. Yang terbayang adalah wajah Lis seperti yang diingatnya lebih dari sembilan bulan yang lalu. Cantik, muda, dan segar. Sama sekali berbeda dibanding korban-korbannya yang lain. Ia teringat ketika Lis meronta-ronta dan menolak keras ajakannya. Ketika itu ia berpikir Lis cuma jinak-jinak merpati. Jual mahal saja. Itu sebabnya ia melakukan kekerasan. Tapi sekarang setelah merenungkannya lagi ia mendapat kesimpulan lain. Sesungguhnya

ia berkeras ingin menguasai Lis karena memang suka padanya! Ia meyakinkan diri bahwa Lis cuma berpura-pura hanya supaya ia bisa melakukan kekerasan kepadanya. Ternyata rasa sukanya itu bukan tanpa alasan. Perempuan itu masih perawan. Masih suci! Dia telah mendapatkan sesuatu yang tak ternilai. Tapi dia telah mengasarinya, memukulnya, lalu melemparkannya di depan rumahnya. Kasihan sekali.

Mandar mengamati gambarnya. Air mata menetes di wajah perempuan dalam lukisan tersebut, terus mengalir mencapai gambar bayi di dada perempuan itu. Satu tetes, dua, tiga tetes Kertasnya menggelembung. Ia terkejut, buru-buru menyingkirkan kertas itu dari hadapannya. Aduh, ia telah merusak gambarnya sendiri. Ia mencoba mengeringkan dengan kausnya, tapi malah menjadi dekil. Akhirnya ia meletakkan kertas tersebut di sisinya. Kemudian menangis tersedu-sedu.

**(*

Pagi-pagi Lis sudah menemui Hilman di ruman induk. Melihat wajahnya Hilman tahu ada sesuatu yang perlu dibicarakan.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dok, boleh saya bicara berdua saja sebentar?"

Mereka bicara di paviliun sementara Fetty pergi ke rumah induk untuk membantu mempersiapkan sarapan pagi.

"Saya mimpi lagi, Dok!" seru Lis.

"Bagaimana mimpinya sekarang?" tanya Hilman dengan suara tenang. Ia tahu ketenangannya diperlukan agar Lis juga menjadi tenang.

"Sekarang saya nggak mimpi tentang si bayi lagi. Tapi si Mandar!"

Hilman terkejut.

"Gimana mimpinya?"

"Saya lihat dia menangis, Dok! Tetes air matanya gede-gede. Dia merengek dan mengiba-iba... minta maaf sama saya. Huh! Air mata buaya!" seru Lis seugit.

Hilman tertegun. Mimpi seperti itu di luar dugaannya. Tak mengherankan kalau Lis tidak kelihatan ketakutan atau resah. Mimpinya memang tidak menakutkan.

"Perbuatannya memang sulit dimaafkan," kata Hilman.

"Apakah itu ada maknanya. Dok?"

"Saya tidak tahu. Mungkin juga dia benar-benar menyesali dosanya. Biasa begitu kalau orang menghadapi ajal. Saking mendalamnya penyesalan itu, dia bisa mengirimkan pesan lewat mimpi. Itu disebut telepati lewat mimpi. Tapi itu baru perkiraan, Lis. Saya tidak tahu bagaimana dia di penjara sekarang."

"Apakah seorang monster seperti dia bisa minta maaf kepada korbannya? Bagaimana kepada mereka yang dia bunuh dengan kejam? Apakah dia menyesal juga?"

"Entahlah. Kita tidak mungkin bisa mengetahuinya. Yang tahu cuma dia sendiri."

"Lantas saya mesti bagaimana menanggapi mimpi tersebut, Dok?"

"Seandainya dia memang punya kemampuan bertelepati, apalagi lewat mimpi, kau hanya bisa menerima saja pesannya tanpa bisa membalasnya. Karena dia menyampaikan maksud baik, yaitu minta maaf, maka kau tidak perlu cemas. Tapi saya harap kau terus bermeditasi sebelum tidur. Jangan pusatkan pikiranmu kepadanya atau apa pun, melainkan kosongkan pikiran."

"Ya, Dok. Kadang-kadang saya pikir, mungkin karena saat ini saya tidak punya kegiatan apa-apa jadi pikiran saya tidak punya fokus."

"Kau memang harus punya sesuatu untuk dikerjakan. Kau pernah jadi sekretaris, tentunya bisa menggunakan komputer. Nah, jelajahi internet dan belajar sesuatu dari situ. Atau baca buku."

"Ya, itu ide yang baik, Dok. Selama ini saya cuma baca majalah. Mungkin saya harus mencari yang bobotnya lebih berat."

"Sepertinya begitu. Supaya ada kesan yang bisa direnungkan."

"Saya akan ajak Mama ke toko buku."

"Bagus. Jadi, masalah mimpi itu bisa kawatasi?"

"Bisa, Dok."

"Kalau perlu sesuatu jangan ragu nelepon."

"Terima kasih, Dok. Kalau saya sudah pindah ke Jakarta, mungkin saya bisa lebih merepotkan."

"Sama sekali tidak. Pertimbangkanlah untuk kembali ke Jakarta lebih cepat."

"Ya, Dok."

Usai sarapan, Anas dan Hilman berangkat kembali ke Jakarta. Sekitar dua iam kemudian

Adrian datang. Perasaan Lis yang sedang lega dan riang membuat ia menerima Adrian dengan sikap yang lebih ramah.


Sakura Wish Karya Harumi Kawaii Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua Goosebumps Petualang Malam

Cari Blog Ini