Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 4

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 4



Fetty meninggalkan mereka berbincang di teras. Tapi ia tetap di dalam paviliun meskipun sosoknya tidak sampai terlihat ke luar. Ia ingin Adrian tahu bahwa dirinya masih ada di situ tapi tidak menguping atau mengintip.

"Kau baik-baik saja, Lis? Sudah sehat?" tanya Adrian dengan penuh perhatian, tapi juga khawatir kalau-kalau disambut dengan sinis.

"Oh, sudah. Lihat saja sendiri," sahut Lis sambil tersenyum manis.

Senyuman itu sungguh membuat perasaan Adrian terbuai ke awang-awang. Rasa minder dan pesimismenya sirna seketika. Harapan masih ada!

"Ya, kulihat kau sangat segar. Aku senang sekali. Ini kubawakan apel dan anggur."

Lis tertawa.

"Jeruk yang kemarin itu masih ada. Jangan repot-repot, Ian!"

"Kau harus banyak makan buah, Lis. Supaya cepat sehat."

"Aku sudah sehat kok."

"Kalau begitu supaya tetap sehat."

Mereka tertawa bersama. Bukan cuma Adrian yang kesenangan, tapi Lis juga merasakan dirinya lebih ringan. Wajah Adrian yang menyenangkan dilihat, demikian pula perilakunya, membuat ia merasa lebih peduli akan diri sendiri. Ia jadi diingatkan akan halhal menyenangkan di masa sebelum musibah. Bahwa ia sebenarnya masih punya nilai-nilai berharga yang disukai orang lain. Kalau tidak, mana mungkin Adrian berusaha keras untuk mendekatinya meskipun sudah diperlakukan kasar?

Di dalam, Petty sebenarnya bisa mendengar apa yang dipercakapkan kedua orang di teras. Ia mendengar suara tawa mereka, terutama tawa Lis yang kedengaran wajar. Belum seperti dulu, tapi hampir sama. Ia mendekap dadanya dengan perasaan bersyukur. Itu berarti Lis sudah mau bersosialisasi. Ada kemajuan. Padahal lebih dari sembilan bulan lamanya ia menyendiri dalam kesedihan. Ah, sebenarnya tidak sendiri. Tapi berdua dengan bayi dalam kandungannya!

Pikiran itu muncul begitu saja dan membuat ia terkejut sendiri. Itu pikiran yang sinis, bahkan agak mengerikan meskipun kenyataannya

memang begitu. Tentu karena bayinya adalah... ah, kenapa pula dalam saat menggembirakan seperti itu ia harus berpikir demikian?

Fetty berusaha membuang pikirannya tentang bayi itu. Untuk pertama kalinya sejak Lis melahirkan ia teringat dan memikirkannya. Tadinya tidak pernah terpikir sedikit pun. Seperti apa wujudnya atau bagaimana dia sekarang. Ia dan Anas tidak pernah membicarakan. Mereka selalu berlaku dan bersikap seakan tidak pernah memiliki seorang cucu, meskipun pada kenyataannya memang demikian. Tentu bukan berarti mereka mengingkari kenyataan, tapi akan terasa terlalu pahit bila diingat dan dipikirkan. Semata-mata untuk ketenangan dan kebaikan.

Benarkah begitu? Tentu saja ia sangat yakin memang benar. Mereka semua sudah yakin.

Ternyata tak bisa tidak ia mengenang bayi itu. Apakah sudah ada yang berminat mengadopsinya? Meskipun tidak pernah melihatnya, tapi ia sempat mendengar perawat membicarakannya, bahwa bayi itu lelaki, cakep, dan sehat. Ya, syukurlah. Dengan demikian pasti banyak peminat. Mudah-mudahan hanya orang baik dan penuh kasih sayanglah yang mengambilnya. Mudah-mudahan ia tumbuh dengan baik pula. Dan tentu saja menjadi orang yang baik, tidak seperti Mandar.

Setelah melepaskan kekangan pikirannya akan bayi itu, muncul rasa bersalah. Baru sekarang ia berharap begitu. Tidakkah sudah terlambat? Kenapa baru sekarang? Apakah karena dipengaruhi kegembiraan melihat Lis berangsur pulih? Ia ikut gembira dan bisa menilai positif. Hatinya yang lega memiliki ruang untuk halhal lain.

Ia sadar sepenuhnya sekarang, bagaimanapun ia tak bisa melupakan bayi itu. Tetap ada ruang di hatinya untuk dia. Ada ikatan batin. Ada hubungan darah meskipun tidak sedekat Lis dengan bayinya. Ia tak sampai mengalami mimpi-mimpi seperti halnya Lis. Ia juga belajar banyak dari mimpi yang dialami Lis. Mandar adalah monster, tapi bayi itu bukan. Setidaknya ia belum dibentuk menjadi monster. Ia juga tidak paham. Apakah seseorang itu dibentuk orang lain atau membentuk dirinya sendiri?

Matanya menjadi basah oleh perasaan sendu yang melilitnya. Sekarang ia tidak akan menutup pikirannya lagi dari bayi itu. Biar saja ia

muncul meskipun tidak punya wujud. Mungkin suatu waktu nanti ia dan Lis atau siapa pun bisa membicarakannya tanpa beban atau ketakutan yang tidak perlu.

Maka ia mulai khusuk berdoa bagi si bayi.

Entah berapa lama ia berada dalam suasana spiritual yang membuatnya tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Tiba-tiba ia terkejut dan tersadar. Ia membuka mata dan melihat Lis berada di depannya dan memandanginya dengan heran.

"Eh Lis, ngapain kau?" tanyanya gelagapan.

"Mama yang ngapain?" Lis balas bertanya.

"Ah... ketiduran, kali." Lis merangkul pundak ibunya.

"Idih, Mama. Daripada ngantuk-ngantuk mendingan kita pergi aja, yuk?"

"Pergi? Si Ian sudah pergi?"

"Belum. Masih ada."

"Kok ditinggalin?"

"Kita perginya sama dia, Ma. Mama harus ikut, ya? Saya nggak mau pergi berduaan sama dia."

Fetty segar kembali.

"Mau ke mana sih, Lis?"

"Ke toko buku." Fetty melompat berdiri dan senang.

****

SEKEMBALINYA dari Bandung Hilman menemukan pesan dari Rahman, petugas penjara. Ia jadi tertarik. Apalagi ia teringat pada mimpi Lis yang terakhir. Ia harus meluangkan waktu untuk menjenguknya. Bagi dirinya tentu tidak berlaku batasan kunjungan seperti halnya pengunjung biasa. Ia menelepon dulu untuk konfirmasi dengan Rahman.

PetUgas itu menyambut Hilman dengan senang.

"Saya ingin membantu Dokter, tapi saya juga khawatir melihat kelakuannya."

"Bukankah dia tidak agresif, Pak?"

"Memang tidak, Dok. Tapi yang saya khawatirkan adalah kalau dia jadi gila. Bukankah Dok sudah menyatakan dia tidak gila?"

"Tidak. Saya kira dia cuma stres saja, Pak. Dia menggambar wajah orang yang disayanginya lalu mengamatinya dan kemudian menangis. Itu masih dalam batas kewajaran. Kita semua memang akan mati. Tapi kita tidak tahu kapan, sementara masih bisa menikmati kebebasan. Dia kan nggak begitu."

Rahman mengangguk-angguk.

"Saya merasa lebih lega dan tenang bila seorang ahli menyatakan demikian. Sebenarnya saya juga takut kalau dia pura-pura gila lalu dimasukkan rumah sakit jiwa. Bagaimana kalau dia kabur dari sana? Penjagaan di sana tentunya tidak seketat di sini."

"Apakah saudaranya itu rajin menjenguk, Pak?"

"Kelihatannya begitu."

"Masih muda atau sudah tua?"

"Lebih muda dari Mandar. Tampaknya cukup memperhatikan."

"Ada lainnya yang menjenguk?"

"Setahu saya cuma dia seorang saja."

"Boleh saya menemuinya sekarang?"

****

Mandar mengangguk dan tersenyum kecut saat bertatapan dengan Hilman. Ia sudah mempunyai dugaan kenapa ahli jiwa ini sampai menemuinya.

"Boleh kulihat gambarmu, Mandar?" tanya Hilman.

"Oh, gambar itu. Sudah kubuang," sahutnya cuek.

"Jangan bohong, Man. Semalam masih kaupandangi dan kautangisi, kan?"

Sebenarnya Hilman asal menebak saja, tapi cara bicaranya sangat meyakinkan. Mandar terkejut. Rupanya orang memata-matai dia. Ia menjadi gusar.

"Aku ini kan terpidana mati! Dan apa yang kulakukan ini tidak menyakiti siapa-siapa. Apa aku mesti duduk bengong saja menunggu kematian?" serunya.

"Aku cuma ingin lihat gambarmu saja. Bukan bermaksud melarangmu menggambar, lalu memandangi dan menangisinya," sahut Hilman tenang. Lalu berkata dengan nada membujuk,

"Boleh lihat, ya?"

"Sudah kukatakan tadi. Gambar itu sudah dibuang."

"

Kau malu ya, Man? Dulu kau bersikap terbuka. Semuanya lancar kauceritakan. Padahal semua itu tetap kusimpan baik-baik seperti halnya kasus pasien. Demikian pula dengan gambarmu. Padahal, gambar itu sudah dilihat Pak Rahman."

"Apakah orang seperti aku tak boleh punya privasi?"

"Jelas tidak, Man. Kau tak bisa bersembunyi dari tatapan mata."

"Apa karena menggambar seperti itu saja Dok sampai merasa perlu melihat dan memeriksa?"

"Bukan karena itu saja. Kau tak perlu tahu sebabnya. Jadi, boleh? Ketahuilah, aku bisa saja meminta petugas menggeledah sel dan mengambil gambarmu."

Mandar melotot. Tapi Hilman membalas tatapannya dengan tenang. Dia tidak gentar lagi menghadapi Mandar. Akhirnya Mandar menundukkan kepala. Ia tahu, dirinya tak punya kekuatan.

"Baiklah. Akan kuambil."

Seorang petugas mengiringi Mandar kembali ke selnya untuk mengambil sketsanya.

Kemudian Hilman mengamati kertas yang tak lagi licin itu. Bayi! Tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak. Tadi Rahman tidak menyebut adanya gambar bayi di situ. Dari

mana Mandar punya pemikiran tentang bayi seandainya perempuan yang dia gambar itu adalah Lis? Bukankah Mandar tidak tahu bahwa Lis telah melahirkan? Seharusnya dia memang tidak tahu!

"Siapa ini, Man?" ia bertanya dengan suara yang terdengar aneh di telinganya sendiri.

Mandar menatap Hilman dengan ekspresi heran. Mungkin dia menyadari keanehan suaraku, pikir Hilman.

"Apakah itu penting?" tanya Mandar.

"Siapa?" ulang ,Hilman.

"Ini cuma gambar."

"Siapa?" bentak Hilman dengan mata melotot. Ia perlu mengendalikan diri dengan susah payah.

Mereka bertatapan sejenak. Akhirnya Mandar mengalihkan tatapannya. ia tidak mengerti kenapa Hilman segusar itu.

"Ini ibuku. Nggak bisa persis," sahut Mandar.

"Dan yang ini?" Hilman menunjuk gambar bayi.

"Ini aku sewaktu masih bayi. Cocok dong dengan penampilan Ibu. Dia cantik waktu

muda."

"Jadi kau ingat padanya, ya? Pada saat menggambar ini, kau tentunya ingat yang baikbaik, bukan?"

Mandar sedikit ragu-ragu.

"Ah... ya. Tentu saja. Karena itu aku menggambarkannya cantik sekali."

"Kenapa kau menggambarkan dirimu juga di situ sewaktu bayi'? Apa hubungannya?"

Mandar lebih, lancar sekarang.

"Karena waktu itu dia menyayangiku. Masa kecil dengan ibu adalah masa indah."

"Kenapa tak kaugambar ayahmu juga?"

"Buat apa?"

"Dia kan sayang juga padamu, Mandar. Tanpa ayahmu kau tak ada. Kau mengucilkannya dari ingatanmu. Tak sayang padanya?"

"Aku tak bisa menggambar lelaki," sahut Mandar tanpa menjawab pertanyaan.

"Oh ya? Gambarkan saja rambut pendek dan berkumis."

"Dia tidak berkumis."

"Tadi kau bilang sendiri gambar ini tidak mirip ibumu. Kau cuma mengimajinasikan saja. Jadi bisa siapa pun. Bukan cuma ibumu, kan?"

Mandar diam.

"Bisa jadi dia salah satu dari dua belas korbanmu."

"Sebelas."

"Dua belas. Sudahlah, Man. Perbedaan angka itu tidak akan mengurangi hukumanmu."

"Sebelas," Mandar ngotot.

Hilman mengerutkan kening. Mereka kembali mengulang perdebatan dulu mengenai angka korban Mandar.

"Bisa jadi lebih dari dua belas," Hilman memancing. Mandar diam. Bersikap cuek.

"Ayolah, Man. Jangan diam begitu. Dulu kau suka bicara."

"Aku pasti mati. Tak perlu banyak bicara lagi."

"Tidak ingat akan korbanmu, Man? Kau masih bisa berbuat-sesuatu. Bukan dengan perbuatan, melainkan dengan perkataan. Aku bicara sebagai seorang dokter, satu-satunya orang yang tahu mengenai masa lalumu, hubunganmu dengan orangtua, dan perbuatanmu secara detail. Setidaknya kau bisa meninggalkan dunia ini dengan melakukan sesuatu kebaikan. Aku percaya tidak ada orang yang hatinya hitam

seluruhnya. Demikian pula tak ada yang putih seluruhnya. Barangkali kau pun masih punya titik-titik putih."

Ekspresi Mandar berubah murung. Dia teringat kepada Lis.

"Apa yang bisa aku lakukan? Apa yang harus aku bicarakan? Semua sudah diungkapkan. Bahkan saudaraku sendiri tidak tahu mengenai hal-hal yang kuceritakan kepada Dokter. Dia tidak tahu mengenai orangtuaku. Dia pikir saya kerasukan iblis."

"Nah, karena itu kau bisa bicara bebas denganku. Aku yakin masih ada pengalamanmu yang tertinggal. Barangkali kau lupa? Coba pikirkan," kata Hilman dengan nada membujuk.

Mandar benar-benar berpikir. Ada rasa heran kenapa dokter ini begitu yakin bahwa dia memang menyembunyikan sesuatu. Apakah itu bisa terbaca dari wajahnya? Atau adakah suatu kata yang terpeleset dari lidahnya tanpa ia sadari?

Tetapi ia tidak mungkin membuka rahasia tentang perbuatannya kepada Lis biarpun kepada dokter yang berjanji akan merahasiakannya.

Bisakah ia menyimpan rahasia tersebut? Lagi pula buat apa ia bercerita karena dengan cara itu ia toh tidak memberi sesuatu kebaikan bagi Lis. Malah justru sebaliknya. Jadi ia harus bertahan.

Wajahnya kembali mengeras dan beku.

"Aku sudah berpikir, Dok. Nggak ada lagi yang kusembunyikan. Korbanku hanya sebelas. Bukan dua belas."

"Atau tiga belas?"

Mandar menggeleng.

"Dua belas aja nggak, apalagi tiga belas," katanya sinis.

"Mungkinkah di dalam ruang bawah tanah itu sudah ada satu mayat sebelum kau memasukkan korbanmu yang pertama?"

Mandar mengangkat bahu.

"Mana aku tahu," katanya ketus.

"Apa kau tak pernah turun ke situ untuk melihat-lihat isinya?"

"Buat apa?"

"Pernah apa nggak?" desak Hilman.

"Nggak."

Hilman sadar, ia tak bisa membujuk Mandar lagi dalam soal itu.

"Tentang saudaramu yang rajin menjenguk

itu, apakah dia kerabat dekat atau jauh?"

"Dia sepupuku."

"Mintalah dia membawakan foto ibumu. Dengan demikian kau tidak perlu menggambar sendiri. Foto kan lebih persis. Kau bisa lebih konsentrasi memandanginya. Kau mau aku yang menyampaikannya supaya lebih cepat? Berikan saja alamat sepupumu atau nomor teleponnya."

"Tidak usah. Dokter tidak perlu repot-repot. Ibuku tidak punya foto."

"Mustahil. Biar kutanyakan kepadanya."

"Kalau mau, aku bisa minta sendiri padanya, Dok. Tidak perlu repot," sahut Mandar dingin.

"Baiklah. Kalau kau tidak mau, aku tidak bisa memaksa. Kau tidak perlu marah begitu."

"Sebetulnya apa sih tujuan Dok ke sini? Masa cuma karena aku menggambar ini saja Anda jadi heboh? Bukankah pekerjaan Anda sudah selesai? Vonis sudah jatuh. Sesungguhnya aku senang juga karena tidak dinyatakan gila. Lebih baik dihukum mati daripada busuk di rumah sakit jiwa. Terima kasih untuk itu."

"Ya. Aku cuma menjalankan tugas, Man. Dan terus terang saja aku menjadikan kasus ini

sebagai bahan untuk dipelajari. Itu sebabnya aku ke sini. Aku ingin tahu perkembanganmu."

"Oh, jadi Dokter mau menjadikan kisahku ini sebagai buku?"

"Wah, tidak terpikir. Aku tidak tertarik. Kisahmu itu terlalu mengerikan untuk ditulis secara detail. Padahal itulah yang diperlukan kalau mau menuliskannya. Aku terlalu takut untuk melakukannya."

Mandar tertawa. Bulu roma Hilman kembali berdiri. Mandar seperti meleCehkan dirinya.

"Bagaimana sih Dok ini? Katanya mau mempelajari, tapi takut."

"Terserah bagaimana penilaianmu. Aku sudah melewati takut itu. Aku tak mau mengulangnya lagi."

"Ha ha ha!" Mandar tertawa geli.

"Rupanya Dok takut kalau-kalau ketularan, ya? Coba saja sekali. Nanti ketagihan!"

"Perbuatanmu itu bukan penyakit menular. Kau tumbuh dan berkembang di lahan yang berbeda denganku. Aku dan kau juga memiliki sifat berbeda." Mandar menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia merasa diskusi itu menarik. Apalagi ia tak pernah berbincang-bincang dengan siapa pun kecuali Adrian dan itu pun tidak setiap hari. Lidahnya menjadi gatal dan otaknya tergelitik.

"Memang tidak menular, Dok. Bukan semacam itu yang kumaksud. Tapi yang di sini." Mandar menunjuk kepalanya.

"Bisa terangsang untuk meniru. Seperti apa rasanya? Kenapa kelihatannya begitu nikmat?"

"Ya. Seperti yang terjadi padamu setelah mengintip perbuatan kedua orangtuamu. Tapi kau lupa, meskipun kita sebagai manusia punya naluri ingin tahu, ingin mencoba, dan berbagai keinginan lainnya, tapi tidak semua membiarkan diri diperbudak keinginan. Semuanya harus punya rem. Seperti kendaraan saja. Bagaimana kalau dia tidak punya rem?"

"Tetapi untuk keinginan itu aku bersedia membayar berapa saja. Termasuk hidupku. Apakah itu berarti aku tidak punya rem, Dok?"

"Ya. Kau tidak memilikinya. Padahal kau tidak bisa disamakan dengan seorang pecandu narkotika yang terjerat jiwa-raganya."

"Ah, apa bedanya, Dok? Kalau sedang ingin, aku bisa sakaw seperti orang ketagihan narkotika."

"Mungkin sebenarnya kau punya rem, tapi

kau tidak memfungsikannya. Kau tidak mau. Sedang pada yang kecanduan narkotika, mereka bukan tidak mau, tapi tidak bisa."

"Ah, pengandaian Dokter memang menarik. Tapi yang penting adalah kenyataan. Bukan teori."

"Kenyataan memang begitu. Bagiku, kau memang menakutkan, tapi unik untuk dipelajari."

"Wah, kalau aku cuma membunuh satu-dua orang pasti tidak lagi unik, ya?"

"Coba katakan, Man. Pernahkah keinginan itu muncul selama, kau berada di penjara?" tanya Hilman tanpa menjawab pertanyaan Mandar.

"Tidak," sahut Mandar tegas.

"Tidak? Tahu kenapa?"

"Karena sadar itu tidak mungkin dipenuhi."

"Jadi kawakui bahwa kesadaran bisa membatasi atau menghilangkan keinginan?"

"Ya," sahut Mandar setelah berpikir sejenak.

"Pernahkah kau menyesal?"

"Sebagian ya, sebagian tidak."

"Sebagian yang mana?"

"Ada. Tapi tak bisa saya katakan."

"Jadi kau punya rasa bersalah."

"Ya."

"Pada siapa?"

"Tak bisa kukatakan."

"Apakah pada sebagian dari korbanmu yang dua belas atau tiga belas itu?".

"Sebelas."

"Terserah. Apakah iya?"

"Ya dan tidak."

"Kau tidak bersikap terbuka, Man."

"Aku tidak bisa mengatakannya, Dok. Boleh dong punya privasi."

Sebenarnya Hilman ingin sekali menyemprot Mandar dengan makian. Tapi ia menahan diri.

"Apakah kau tidak merasa bersalah atau menyesal karena menganggap korbanmu adalah pelacur?"

"Ya, memang tidak," sahut Mandar tegas.

"Tapi pelacur atau bukan adalah perkiraanmu. Bagaimana kalau salah?"

Mandar terkejut. Ia sampai bengong mengawasi Hilman, lalu pelan-pelan menundukkan kepalanya. Ia teringat kepada Lis.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau terlalu percaya diri seakan korbanmu lebih hina darimu. Biarpun benar dia pelacur,

tapi dia tidak menyakiti orang, apalagi sampai membunuh," kata Hilman dengan nada sengit karena kemarahan kembali menguasainya.

Mandar mengangkat kepalanya. Ekspresinya tak lagi sedih.

"Apakah Dokter datang ke sini untuk memakiku? Apakah vonis mati tidak cukup?" tanyanya dengan nada menuntut.

Hilman segera menyadari kesalahannya. Bagi Mandar, makian tidak lagi mempan. Ia sudah kebal.

"Kau tidak menyesal karena harus meninggalkan hartamu yang berlimpah?"

"Itu risiko."

"Kepada siapa harta itu kauwariskan nantinya?"

"Sepupuku."

"Oh, yang rajin berkunjung itu?"

"Ya. Semua sudah diatur dalam surat wasiat."

"Wah, beruntung sekali dia. Siapa dia kalau aku boleh tahu?"

"Uh, mau tahu aja! Apakah Dokter juga ingin jadi ahli waris?" tanya Mandar dengan nada mengejek.

Hilman tersenyum. Ia tidak ingin emosinya terpancing.

"Aku tidak punya urusan dengan hartamu. Tapi aku punya permintaan lain. Coba pikirkan baik-baik lagi, Man. Mungkin nanti bisa teringat. Siapa di antara para korbanmu itu yang kauingat namanya. Dan adakah kemungkinan kau berbuat kekeliruan."

"Kenapa mesti memikirkannya lagi? Mereka toh sudah mati," sahut Mandar enteng.

"Kau sudah menyakiti mereka dengan amat sangat. Kelak kau sendiri akan mati dengan meninggalkan namamu pada batu nisanmu. Tapi mereka mati tanpa identitas."

"Aku betul-betul tidak tahu nama mereka."

"Di mana tas dan dompet mereka? Kau tidak menyimpannya di suatu tempat?"

Mandar menyipitkan matanya. Ia merasa kurang senang.

"Sekarang Dokter berlagak sebagai penyidik. Bukankah itu sudah pernah ditanyakan dan aku sudah menjawabnya? Aku membuangnya ke laut!"

"Tanpa melihat dulu isinya?"

"Buat apa? Aku tidak ingin!"

"Jadi tak ada satu pun dari tas para korbanmu yang kauperiksa isinya?"

"Kenapa sih Dok begitu gencar bertanya?"

"Ini untuk kepentingan korbanmu, Man. Walaupun mereka sudah mati, tapi mereka punya keluarga."

"Aku tidak mau memikirkan hal itu lagi, Dok. Buat apa? Aku toh akan mati juga."

"Jadi kau tidak punya perhatian lagi barang sedikit pun kepada mereka?" tanya Hilman, sengaja mengarahkan pandangannya pada gambar di atas meja.

Mandar mengikuti arah tatapan Hilman. Ia tampak tercenung. Lalu memutuskan untuk tidak menjawab.

Hilman berdiri.

"Baiklah. Aku yakin, kau akan berubah pikiran. Sekarang kau masih punya waktu untuk merenungkan semua perbuatanmu di masa lalu dan akibatnya sekarang. Kalau kau memutuskan untuk bicara denganku, katakanlah pada Pak Rahman. Aku akan datang."

Mandar menyalami tangan Hilman yang terulur dengan lesu. Ia sama sekali tidak menatap Hilman.

Sebelum mencapai pintu Hilman menoleh dan mendapati Mandar tengah meraih gambarnya dengan ekspresi takut kehilangan.

"Aku tahu jiwamu sedang gelisah, Man," katanya, lalu berbalik kembali. Ia melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Mandar. Tapi dari kaca jendela ia bisa melihat sekilas wajah Mandar yang tampak terpaku diam.

Hilman menemui Rahman dan menyatakan rasa terima kasihnya.

"Ia baik-baik saja, Pak."

"Jadi tidak gila, ya? Syukurlah."

"Bisa saya minta tolong lagi, Pak? Kalau saudaranya datang lagi nanti, mintalah dia untuk menghubungi saya."

Hilman mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya kepada Rahman yang berjanji akan memenuhi permintaan itu

Hilman pulang dengan perasaan tidak puas. Tak ada jawaban pasti dari Mandar mengenai gambarnya. Ia hampir yakin Mandar telah mengirim pesan telepati kepada Lis tanpa ia sadari. Kertas gambarnya menggelembung seperti kena air. Mungkin air mata. Dalam beberapa kali pancingan tampaknya Mandar terkena. Tapi ia cukup sadar uniuk tidak terjebak. Kenapa ia gigih menyembunyikan perbuatannya terhadap Lis? Demi Lis atau demi dirinya sendiri? Yang pasti ia sudah tidak mungkin menolong dirinya sendiri.

Dan siapa gerangan bayi itu?

DARI penjara, Hilman tidak segera pulang ke rumah. Ia masih punya waktu sekitar tiga jam sebelum memulai praktiknya. Ia membuka praktek pribadi di rumahnya dua hari dalam seminggu.

Ia memutuskan untuk melintas di depan rumah Mandar. Ada dorongan untuk melihatnya, seperti apa sekarang. Bila sepupu Mandar mendapat warisan kekayaannya, tentunya termasuk rumah itu. Bagaimana rasanya mewarisi rumah yang menyimpan teror dan horor? Ia jadi sangat ingin berkenalan dan berbincang dengan sang sepupu yang beruntung itu. Barangkali ia bisa mendapat tambahan informasi perihal Mandar darinya.

Ketika tiba di tempat, Hilman melihat tiga orang berdiri di depan pintu gerbang, menghadap ke dalam. Yang satu perempuan masih muda, sekitar belasan sampai dua puluh tahun. Yang dua lainnya setengah baya, sepasang lelaki dan perempuan. Ketiganya memegang jeruji pintu dengan tatapan ke arah rumah. Sebentar sebentar tangan mereka menunjuk-nunjuk ke dalam. Kepala mereka merunduk-runduk seolah berupaya mendapatkan pandangan yang lebih jelas.

Bagi Hilman pemandangan itu tidaklah aneh. Ketika berita mengenai penemuan kerangka di rumah Mandar itu tersebar, banyak orang menjadikan rumah itu sebagai tontonan. Tapi kemudian seiring waktu, minat orang menyaksikan rumah itu menyurut. Mereka sudah bosan. Tak banyak yang bisa dilihat dari luar pintu gerbang. Rumah itu tak beda dengan yang lain. Sementara bagian dalamnya tak mungkin bisa dilihat.

Ia memarkir mobilnya di trotoar depan rumah itu. Segera ketiga orang di depan pintu gerbang menyentakkan kepala mereka, menoleh kepada Hilman, lalu menatapnya dengan pandang ingin tahu. Sepertinya mereka mendapatkan objek yang lebih menarik untuk diamati.

Meskipun merasa aneh dan kurang enak,

Hilman memutuskan untuk tetap keluar dari mobilnya. Ia toh tidak akan lama di situ. Hanya sekadar memuaskan pandangnya. Biar saja orang-orang itu mengamatinya sampai puas. Ia yakin tak ada yang salah dengan penampilannya.

Ia mengangguk kepada orang-orang itu lalu mendekat ke pintu gerbang. Ia berdiri berjajar di samping mereka. Di sebelahnya lelaki setengah baya. Begitu pandangnya terarah ke dalam rumah ia segera melupakan orangorang di sebelahnya. Ia toh sama dengan mereka, hanya ingin melihat.

Terakhir ia melihat tempat itu adalah ketika pita kuning kepolisian masih melintang di sepanjang pintu. Pada saat itu halaman tampak tidak terawat karena rumput mengering dan menguning, juga tanaman pada layu dan mati. Rumah besar milik Mandar itu pun kelihatan suram. Tapi sekarang semuanya terlihat berbeda. Taman sudah menghijau dan segar. Dan rumah menjadi lebih terang karena baru dicat diulang. Meskipun tak ada renovasi, tapi jelas perbedaannya. Rumah itu sudah menjadi lebih nyaman untuk dilihat dan mungkin juga untuk

ditempati. Pasti itu hasil kerja sang ahli waris. Siapa pula yang mau mewarisi rumah hantu? Sayang ia tak bisa melihat dalamnya. Dan tentu saja terutama ruang bawah tanah itu...

Tiba-tiba Hilman menyadari bahwa ketiga orang tadi masih berada di sampingnya. Mereka masih saja mengamatinya dengan asyik. Ekspresi sama diperlihatkan ketiganya, yaitu rasa heran dan ingin tahu. Ia segera memahami apa yang tengah dipikirkan mereka tentang dirinya. Ia dianggap aneh. Entah seperti apa wajahnya saat ia membiarkan pikirannya mengembara. Ia sempat lupa sekitarnya saat itu.

Ia tersenyum malu lalu memutuskan untuk segera pergi karena tak ada lagi yang bisa dilihat dan diserapnya. Tapi kemudian lelaki setengah baya di sampingnya menyapanya dengan sikap memberanikan diri.

"Apakah Bapak yang punya rumah?" tanyanya dengan logat Jawa yang kental.

Ia heran sejenak lalu menggeleng.

"Bukan, Pak. Bukan," sahutnya.

Lelaki yang bertanya itu menoleh kepada perempuan di sebelahnya.

"Tuh, bukan, Bu. Apa kubilang tadi!"

"Tapi..." Perempuan yang rupanya istri lelaki tadi tak menyelesaikan kalimatnya. Ia lalu berbisik-bisik kepada gadis remaja di sebelahnya.

"Memangnya kenapa, Pak? Apa saya kelihatan seperti pemilik rumah?" tanya Hilman. Ia jadi ingin tahu.

Lelaki yang ditanyainya berpandangan sejenak dengan istrinya. Lalu ia menatap Hilman dengan malumalu dan khawatir.

"Maaf, Pak. Saya salah."

"Nggak apa-apa," sahut Hilman dengan ramah. Untuk menenteramkan hati lelaki itu ia mengulurkan tangan.

"Saya seorang dokter. Nama saya Hilman," katanya, sengaja mengucapkan profesinya. Bukan untuk menyombong, tapi biasanya profesi sebagai penyembuh itu bisa menenangkan orang yang dihadapi.

Dengan senang lelaki itu mengulurkan dua tangannya sekaligus dan mendekap tangan Hilman di dalamnya.

"Saya Santoso. Ini Marsiah, istri saya, dan anak saya, Indri. Kami datang dari Purworejo."

Istri dan anak Santoso ikut menyalami. tangan Hilman.

"Dari Purworejo, Pak?" tegas Hilman heran.

"Jauh sekali. Ke sini jalan-jalan atau kebetulan ada urusan?"

"Ya. Ada urusan, Pak Dokter. Itu..." Santoso menunjuk rumah Mandar.

Hilman benar-benar tak tahan membendung keingintahuannya. Nalurinya menangkap sesuatu yang menggemparkan.

"Rumah itu memang jadi tontonan orang. Tapi sekarang sudah sepi," katanya mencoba memancing. Ia tak berani bertanya langsung karena melihat kesedihan di mata Santoso.

"Tadi saya pikir,kalau Bapak pemilik rumah ini sudi memperkenankan kami melihat dalamnya. Itu lho, gudang bawah tanahnya. Kuburan anak saya huk-huk-huk." Ia tersedak oleh tangis yang ditahan.

Hilman terkejut sekali. Ia mengalihkan pandangnya kepada Marsiah dan Indri. Mereka berdua menundukkan kepala dan menghapus air mata. Kejutan mengaliri seluruh tubuhnya. Baru kali ini ada orang yang mengakui korban Mandar sebagai anggota keluarganya. Padahal sudah berbulan-bulan berlalu sejak peristiwa itu tersebar, sementara korban Mandar pun tidak

sedikit. Kesulitannya sudah jelas, yaitu kemustahilan mengidentifikasi. Di samping ketiadaan kartu pengenal atau benda kepemilikan lainya, seperti cincin kalung dan perhiasan, kondisi mayat pun sudah sulit dikenali. Sebagian besar sudah menjadi kerangka, sedang sebagian lainnya pun dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanyalah pakaian. Itu pun sebagian sudah koyak-koyak.

"Apakah Bapak sudah yakin? Bagaimana cara Bapak mengenali?" tegas Hilman.

"Ya. Kami hampir yakin, Pak. Cara ngenalnya dari pakaian. Indri, anak saya itu," Santoso menunjuk putrinya yang berdiri di sebelah ibunya,

"punya gaun yang sama persis dengan kakaknya, Indah, anak sulung saya yang tak pernah pulang selama lebih dari setahun. Warna, motif, dan modelnya persis sama. Dibikinnya bareng oleh ibunya."

"Jadi Bapak sudah ke polisi?"

"Sudah. Barusan saja. Kami bicara lama. Lalu kami ke sini. Sebentar lagi saya pulang sendiri untuk mengambil baju Indri yang persis sama itu sebagai barang bukti bahwa cerita kami benar adanya. Dengan demikian kami

bisa membawa jenazah Indah ke kampung untuk dikuburkan di sana."

Hilman mengangguk-angguk. Cerita itu menegangkan perasaannya.

"Kerja apakah putri Bapak itu?"

Wajah Santoso agak berubah.

"Yang pasti dia bukan pelacur!" katanya agak sengit. Kemudian nadanya berubah lunak.

"Oh, maaf, Pak Dokter. Habis tadi di kantor polisi saya ditanyain begitu. Saya sudah dengar korbannya Mandar itu semuanya pelacur. Tapi anak saya bukan. Dia seorang perawat. Kerjanya di Rumah Sakit Murni di Jakarta sini. Bisa dibuktikan kok."

"Pasti si Mandar itu keliru. Main comot di pinggir jalan. Anak saya kena," istri Santoso nimbrung. Nadanya penasaran sekali.

Hilman merasa tersentuh. Ia tahu, orangorang lugu ini harus ditolong karena dengan usaha sendiri mereka bisa mengalami berbagai hambatan birokrasi. Tapi untuk mengulurkan tangan ia harus menumbuhkan kepercayaan mereka.

"Saya ingin membantu, Pak. Saya punya kenalan di penjara dan juga polisi. Dulu saya

memeriksa kejiwaan Mandar."

Spontan mulut ketiga orang itu membentuk huruf 0, lalu menjadi ceria.

"Waduh, terima kasih sekali, Pak!" seru Santoso.

"Pasti bukan kebetulan kami bisa ketemu Bapak di sini," kata Marsiah dengan terharu.

"Pasti Tuhan telah mengutus Bapak."

Hilman tersipu oleh sanjungan itu. Pertama ia mendapatkannya dari Anas, sekarang dari orang-orang yang baru ditemuinya ini.

"Bener, Pak. Padahal kami di sini seperti orang di negeri asing. Kenalan dan saudara tak punya. Jalan dan arah pun tak tahu," kata Marsiah lagi.

Santoso jadi lebih berani mengutarakan niatnya. Ia mengatakan, bahwa Indah, putrinya yang hilang itu, sangat mirip dengan Indri, adiknya. Demikian pula postur tubuh mereka meskipun keduanya berbeda usia lima tahun. Jadi ia punya angan-angan mendapatkan pengakuan dari Mandar bahwa anaknya memang telah dibunuh oleh lelaki itu kalau ia mengenali kemiripan keduanya. Apalagi kalau Indri sampai mengenakan baju yang sama. Untuk itu tentunya Mandar harus melihat Indri lebih dulu.

"Tapi polisi bilang, itu tidak perlu. Baju yang sama itu saja sudah cukup. Katanya si Mandar itu begini." Santoso menorehkan telunjuk di dahinya.

"Jadi takutnya nanti dia bertingkah macam-macam di depan Indri. Tapi anak saya nggak takut tuh."

Dengan bersemangat Indri mengangguk-angguk membenarkan ucapan ayahnya. Wajahnya yang manis imutimut berkulit kuning langsat dan bersemu kemerahmerahan. Ia membuat Hilman terharu dan juga gemas. Teganya si Mandar!

Akhirnya Hilman mengajak ketiganya ikut serta di dalam mobilnya. Pertama ia mengantar mereka ke losmen di mana mereka menginap untuk mengambil barang bawaan, lalu ia mengantar ke Stasiun Gambir. Di sana Santoso turun sendiri untuk pulang ke Purworejo. Sesudah itu ia membawa Indri dan Marsiah ke rumahnya setelah memberi Santoso sehelai kartu namanya supaya ia bisa menemukan rumahnya nanti. Mereka akan menginap di rumahnya sampai semua urusan selesai.

Dari perbincangan yang berlangsung ia bisa

menduga bahwa keluarga itu memiliki dana pas-pasan. Bahkan mungkin tidak cukup. Padahal masih ada keperluan penting yang membutuhkan dana tidak sedikit, yaitu menggali kubur Indah, lalu membawa jenazahnya pulang. Jadi dengan memperoleh akomodasi gratis. mereka bisa menghemat banyak.

Hilman merasa beryukur bahwa dirinya langsung mendapat kepercayaan dari keluarga itu. Orang asing, tak dikenal, dan ketemu secara kebetulan, bukankah seharusnya diwaspadai? Mungkin saja ia berbohong mengenai status dan identitasnya. Mungkin saja ia sesungguhnya seorang penipu yang punya niat busuk, entah apa. Tapi Santoso percaya tanpa pamrih dan langsung menitipkan anak dan istrinya kepadanya sebelum sempat melihat di mana ia tinggal. Padahal kartu nama yang diberikannya itu bisa saja palsu. Apakah orang itu memang lugu atau dirinya yang punya penampilan bisa dipercaya? Tapi sebenarnya masih ada satu faktor kemungkinan lain. Keluarga itu sedang frustrasi dan kebingungan hingga tawaran bantuan langsung diterima dan disyukuri.

Ia bisa melihat kelegaan di wajah Marsiah

ketika melihat papan nama di halaman rumahnya yang luas. Papan itu menyatakan identitas dan statusnya dengan jelas.

Kepada Rudy yang menyambut dengan terheranheran ia mengenalkan keduanya sebagai kenalan lama dari Purworejo yang kebetulan ketemu di jalan. Melihat kehadiran Indri, cewek yang lumayan cakep di mata Rudy, ia segera memperlihatkan sikap kesatrianya dengan membawakan tas mereka.

"Bilangin Bi lcih untuk menyiapkan kamar tamu, Rud!" seru Hilman.

Sesudah mereka menghilang ke dalam rumah ia menelepon Rahman dan menceritakan secara singkat pertemuannya dengan keluarga Santoso. Apakah Indri diperkenankan bertemu dengan Mandar untuk melihat reaksinya? Dan yang lebih penting lagi adalah untuk mendapatkan pernyataan Mandar apakah Indah, yang berwajah mirip Indri, memang termasuk salah satu korbannya.

Rahman menyatakan kesiapannya untuk membantu. Ia akan minta izin dulu dari Kepala LP, lalu akan memberi kabar pada Hilman.

Malamnya, Hilman dan kedua putranya serta Marsiah dan Indri, berkumpul untuk berbincang-bincang. Sebelumnya Hilman sudah menjelaskan pada Rudy dan Eddy tentang kedua tamu itu. Siapa mereka dan bagaimana ia bertemu dengan mereka.

"Indah lenyap seperti ditelan bumi," tutur Marsiah.

"Pihak rumah sakit di mana Indah masih tercatat sebagai karyawan juga tidak tahu ke mana dia pergi. Barangbarangnya masih ada di asrama. Kurang-lebih dua tahun yang lalu dia pernah mengirimi kami surat, yang menyatakan niatnya untuk keluar setelah ikatan dinas selesai. Dia sedang mengurus dokumen untuk kerja di Timur Tengah. Di sana katanya tenaga perawat dibutuhkan dan gajinya gede. Dan yang pasti martabatnya pun lebih tinggi daripada pembantu rumah tangga. Ini suratnya, Pak Dokter." Marsiah menyodorkan sehelai amplop terlipat dua kepada Hilman.

Hilman menerimanya lalu mengamatinya sebentar. Surat itu kemudian diserahkannya kembali kepada Marsiah.

"Saya percaya, Bu. Simpan baik-baik surat ini. Nanti mungkin dibutuhkan."

"Sejak itu nggak ada kabarnya lagi. Bu?"

tanya Eddy.

"Nggak ada. Kami nggak mikir jelek. Saya pikir dia tentu sibuk. Kalau memang mau pergi ke luar negeri masa sih nggak memberi kabar? Dia itu malas menulis surat kalau nggak penting bener. Tapi kemudian kami dapat surat dari rumah sakit. Mereka bertanya tentang Indah. Katanya, kenapa Indah tidak masuk-masuk kerja dan tidak ada kabar sama sekali. Cuti yang diambilnya kan sudah lama berakhir. Sudah lewat sebulan. Apakah Indah sakit? Lho, kami tentu kaget sekali. Indah cuti? Kalau memang cuti kenapa tidak pulang ke rumah seperti biasanya? Bapak segera pergi ke rumah sakit. Dia melihat sendiri bahwa barang-barang Indah masih ada di kamarnya. Bahkan koper yang biasa dibawanya kalau cuti pulang ke rumah pun masih ada di atas lemari. Pakaiannya pun tak kelihatan berkurang. Tentu saja kami jadi panik. Pihak rumah sakit menyarankan untuk melaporkan hilangnya Indah ke kantor polisi. Itu sudah kami lakukan."

"Waktu itu Mandar sudah jadi berita?" tanya Hilman.

"Oh, belum. Setelah kami dengar berita itu

kami nggak mikir ada hubungannya dengan Indah karena katanya korban Mandar adalah pelacur. Dia sudah menyeleksi korbannya. Jadi pasti Indah tidak termasuk. Tapi tunggu punya tunggu dan Indah tetap tak ada kabarnya, kami memberanikan diri untuk bertanya."

"Cukup lama ya, Bu?" kata Hilman.

"Ya. Kami masih punya harapan sih. Siapa tahu Indah benar-benar sudah pergi ke luar negeri dan dia terialu sibuk untuk memberi kabar. Tapi dugaan itu sangat menyedihkan. lndah bukan anak seperti itu. Tapi mencari kebenaran seperti sekarang ini sebenarnya juga menakutkan, Pak. Kalau memang benar... aduh " Marsiah tak melanjutkan ucapannya. Matanya basah dan tatapannya menerawang.

Sementara itu Indri menunduk saja. Ia tak ikut bicara. Ekspresinya sedih.

Berkah-kali Rudy mengamatinya dengan perasaan iba. Ia sendiri tidak menyukai pembicaraan seperti itu, tapi ingin ikut serta.

"Jadi kepastian Ibu dari baju?" tanya Eddy.

"Ya. Polisi memperlihatkan kami baju-baju yang masing-masing sudah dimasukkan kantong plastik dan diberi nomor. Katanya nomom

ya sama dengan nomor makam pemilik baju. Rupanya baju yang ditemukan membungkus kerangka berarti baju yang semula dipakainya."

"Betul." Hilman mengangguk.

"Lantas bagaimana perasaan Ibu ketika melihat baju itu?"

"Wah, kaget sekali. Jantung saya serasa dihunjam pisau sampai tembus ke belakang. Sakit sekali."

"Mestinya Ibu jangan mengeluarkan baju itu dari kantongnya," Indri buka suara. Terdengar gemetar.

"Tapi kalau nggak dikeluarkan bagaimana bisa dikenali, In? Bisa aja motif dan warnanya sama, tapi modelnya lain," bantah Marsiah.

"Sesudah dikeluarkan dan dibeberkan, Ibu pingsan," kata Indri lagi.

"Saya juga gemetaran. Bapak pucat pasi. Baju itu baju itu... bau sekali!"

Indri menutup muka dengan kedua tangannya. Ia ingin mengusir kenangan mengerikan itu.

"Sudahlah, ln. Yang penting kakakmu sudah ketemu," hibur Rudy.

"Yang menggetarkan perasaan saya kok saat itu Indah justru mengenakan baju yang itu,"

kata Marsiah setelah menenangkan perasaannya kembali.

"Padahal mestinya sudah kuno. Zaman sekarang yang lagi tren kan celana panjang. Bukan gaun."

"Apakah Indri dan Indah sering dibuatkan baju kembaran?" tanya Eddy.

"Nggak sering," sahut Marsiah.

"Ada lima," kata Indri.

"Saya malah nggak memakainya lagi. Anehnya kok Mbak lndah masih memakainya. Mungkin lagi kepengin."

"Tapi kalau dia tidak memakainya, bagaimana kita bisa mengenalinya?" kata Marsiah.

Ucapan itu membuat mereka berpandangan.

****

ESOKNYA, menjelang tengah hari, Santoso muncul di rumah Hilman dan bertemu dengan istri dan anaknya. Ia tak habis-habisnya bersyukur karena telah bertemu dengan seorang "dewa penolong" hingga bisa meninggalkan istri dan anaknya dengan perasaan tenang

"Untunglah aku tidak susah menemukan bajumu, ln," katanya kepada Indri.

"Coba kalau kau menyimpannya di tempat tersembunyi, waduh..."

"Pasti Bapak mengacak-acak dan mengobrak-abrik lemariku," kata Indri khawatir.

"Sudahlah. Nanti Ibu bantu membereskan," Marsiah menengahi.

"Yang penting baju itu ketemu."

Kemudian mereka bersama mengamati baju yang baru dibawa Santoso itu setelah dibeber

kan di atas tempat tidur. Di dalam benak mereka sama-sama terbayang baju satunya lagi yang kumuh dan bau. Baju itulah yang dikenakan Indah di saat akhir hidupnya dan kemudian membungkus jasadnya.

Indri terisak-isak lalu menubruk ibunya. Mereka berpelukan dan menangis bersama. Santoso mengusap matanya dan menggigit-gigit bibirnya kemudian melangkah keluar dari kamar. Ia khawatir tak bisa menahan tangisnya kalau berlama-lama memandangi baju itu.

Baru beberapa langkah berjalan ia berpapasan dengan Hilman yang sudah mendengar kedatangannya.

"Bagaimana, Pak? Sudah dibawa bajunya?" tanya Hilman.

"Sudah, Pak Dokter. Ada di kamar." Santoso menunjuk arah kamar.

"Kapan mau dibawa ke polisi?"

"Saya kira secepatnya."

"Bagaimana kalau sekarang? Saya antarkan. Kita saja berdua. Ibu dan Indri tidak usah ikut. Tapi..." Hilman mengamati wajah lelah Santoso.

"Bapak mau istirahat dulu barang sejam dua jam? Kelihatannya capek sekali."

"Oh, tidak, Dokter. Saya sudah tidur di kereta tadi. Saya bukan capek, tapi sedih."

Hilman menepuk pundak Santoso. Cuma itu yang bisa ia lakukan sebagai penghiburan.

Berkat bantuan Hilman, upaya Santoso berjalan dengan mulus. Baju Indri yang dibawanya dari Purworejo dicocokkan dengan barang bukti yang tersimpan di dalam kantong plastik bernomor, berupa baju jenazah korban Mandar. Kecuali kondisinya, lainnya persis sama, termasuk metode jahitannya.

Di samping mendapatkan simpati, Santoso juga memperoleh segala yang diperlukannya, termasuk surat izin penggalian kubur dan segala akses lainnya. Ia cumaperlu menyediakan biaya untuk itu.

Setelah tujuan yang satu berhasil maka masih ada satu lagi yang diinginkan Santoso, yaitu bertemu dengan Mandar dan memperoleh pengakuan dari mulutnya bahwa memang Indah adalah salah satu korbannya.

Dalam hal itu polisi mengatakan tidak punya wewenang untuk memberi izin. Mereka menyerahkan kepada pihak penjara. Tapi atas permintaan Hilman, polisi bersedia memberi

kan surat rekomendasi.

Santoso sangat berterima kasih kepada Hilman. Tapi Hilman minta ia berpikir lebih panjang untuk keinginannya yang kedua itu. Perlukah hal itu dilakukan?

"Pertemuan dengan Mandar bisa memancing emosi Bapak. Juga Ibu dan Indri,. Apakah Bapak sekeluarga cukup kuat mengatasinya?"

"Saya tahu itu bisa terjadi, Pak Dokter. Kami sudah sepakat bisa mengatasinya."

"Juga tidak akan ada tindakan agresif?" tegas Hilman. Ia teringat kepada perilaku Anas di sidang pengadilan usai vonis dijatuhkan.

"Tidak, Pak. Dia sudah dihukum mati. Itu sudah cukup. Kami puas untuk hukuman itu."

Hilman juga mendapatkan pernyataan serupa dari Marsiah dan Indri. Mereka yakin bisa mengendalikan diri.Kalau cuma menangis, tentunya wajar-wajar saja.

"Apalagi kami sudah keseringan menangis belakangan ini," kata Marsiah.

"Mungkin air mata sudah kering sekarang."

"Sebenarnya saya ingin dia bisa melihat hantu Mbak Indah dalam diri saya," kata Indri terus terang.

Hilman terkejut.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu?"

"Bila kami diperkenankan ke sana, saya akan mengenakan baju itu. Biar dia ingat sama Mbak Indah. Saya ingin dia ketakutan karena mengira dihantui."

Pernyataan Indri itu menggugah keingintahuan Rudy.

"Waduh, Pa, aku jadi kepengin melihat juga."

"Memangnya tontonan, Rud?" kata Hilman.

"Maaf," kata Rudy buru-buru, mengarahkan ucapannya kepada Indri.

"Nggak apa-apa, Mas. Nanti aku ceritakan dengan detail kalau kejadian," sahut lndri'.

Rudy sangat senang mendengar janji Indri.

Selanjutnya Hilman kembali menelepon Rahman dan menceritakan apa yang telah terjadi sampai saat itu. Ia juga menegaskan telah memiliki surat rekomendasi dari polisi untuk mempertemukan keluarga korban dengan Mandar.

"Begini, Pak," sahut Rahman di telepon.

"Sebenarnya kami tidak keberatan. Tapi kami khawatir nanti keluarga korban akan mengamuk. Maklum mereka tentunya stres dan emosi berat. Berhadapan langsung dengan orang seperti

Mandar bisa mengganggu sekali. Bapak tentu tahu bagaimana dia."

"Ya. Saya sendiri juga berpendapat begitu. Tapi mereka yakin dan berjanji untuk mengendalikan diri."

"Yakin dan berjanji saja memang gampang diucapkan. Kalau sudah mengalami bisa lain lagi."

"Bagaimana kalau mereka membuat surat pernyataan untuk itu, Pak?"

"Ya, itu bagus. Kalau begitu, besok bisa datang jam sepuluh. Nanti kami persiapkan ruangan khusus."

"Terima kasih, Pak."

Santoso dan anak istrinya tidak keberatan membuat surat pernyataan yang dimaksud. Mereka bertekad tidak akan mempermalukan dan mengecewakan Hilman yang telah bersusah payah membantu.

"Ingatlah," kata Santoso,

"yang monster itu dia. Bukan kita."

Malamnya, hari itu juga, Anas datang berkunjung. Sebelumnya ia menelepon dulu, khawatir kalau-kalau Hilman sedang pergi atau mempunyai acara lain. Ia sadar tak bisa datang

seenaknya karena Hilman adalah orang yang memiliki banyak kesibukan.

Hilman menerima Anas di ruangan lain yang menjamin privasi. Sementara keluarga Santoso di ruang yang lain lagi bersama Rudy, yang betah di rumah karena ada Indri. Sedang Eddy pergi mengunjungi kekasihnya.

"Besok Lis dan ibunya akan pulang ke rumah, Dok," Anas melaporkan.

"Rencananya sih nggak secepat itu. Tapi ini atas permintaan Lis sendiri. Katanya, Dok menganjurkan demikian."

"Oh ya. Saya pikir sebaiknya ia sejauh mungkin dari klinik itu."

"Betul, Dok. Tadinya kami pikir, suasana Bandung kan beda dengan Jakarta. Hawanya sejuk dan tak gampang bertemu dengan orangorang yang dikenalnya dulu."

"Saya menganjurkan begitu, tapi keputusannya terserah .dia."

"Dia sangat menghormati dan mempercayai Dokter. Apakah sebaiknya dia menjalani terapi saja kalau sudah pulang nanti?"

"Serahkan saja kepadanya. Tapi dia bilang dia ingin sering ke sini untuk mengobrol dan

berkenalan dengan anak-anak saya. Itu pun sudah merupakan terapi. Dia sudah mau bersosialisasi."

"Betul, Dok," sahut Anas bersemangat.

"Bahkan sekarang dia sudah mau berteman dengan pemuda yang naksir dia sejak lama."

"Oh ya?" Hilman tertarik.

"Siapa dia?"

"Namanya Adrian."

Lalu Anas bercerita tentang pemuda itu. Bagaimana awalnya dia datang membawakan amplop berisi uang dari mantan bos Lis dan sesudah itu berlanjut dengan pembuntutan pemuda itu sampai ke Bandung dan juga ke Klinik Asuh.

"Dia adalah pemuda yang berpapasan dengan kita sewaktu kita akan ke klinik. Saat itu dia habis menjenguk Lis."

Hilman mendengarkan kisah itu dengan takjub.

"Luar biasa juga tekad pemuda itu. Rupanya dia jatuh hati kepada Lis."

"Kelihatannya begitu. Itu jelas gejala dari lelaki yang kasmaran."

"Dia sudah tahu mengenai Lis."

"Tentu. Tapi siapa lelaki yang menghamili Lis dia tidak tahu."

Hilman mengangguk. Dia masih ingat rupa pemuda itu, yang wajahnya sempat membuat ia berpikir,apakah pernah melihatnya di ruang sidang Mandar. Tapi hal itu tidak dikatakannya kepada Anas.

"Baguslah kalau Lis sudah mau berinteraksi dengan lawan jenisnya. Itu berarti dia sudah bisa mengatasi kecurigaan dan kegetirannya."

"Berkat kesabaran Adrian juga, Dok."

"Apakah Lis sendiri menyukai Adrian?"

"Saya belum tahu, Dok. Tapi kalau nggak suka, masa sih dia mau menerimanya. Menurut istri saya, semula dia ketus betul kalau berhadapan dengan Adrian. Bahkan mulanya diusir-usir."

"Wah, saya jadi ingin berkenalan dengan pemuda itu, Pak."

"Kalau Lis pindah ke sini, pasti dia ikut juga."

"Memangnya dia tinggal di mana, Pak?"

"Tinggalnya di Jakarta. Kerjanya saya tidak tahu. Kenalnya belum lama sih. Jadi saya belum tahu banyak tentang dia. Yang pasti dia sudah tidak lagi bekerja di perusahaan tempat Lis bekerja dulu. Tapi saya yakin sekarang Lis sudah lebih pintar menilai orang."

Pemuda yang menarik, pikir Hilman.

"Bagaimana dengan mimpi-mimpi Lis, Pak?"

"Sekarang dia tidak mimpi seperti itu lagi, Dok. Berkat bantuan Dok."

"Ah, itu semata-mata berkat dirinya sendiri, Pak. Dia kuat dan tabah."

"Kalau dia tidak bertemu dengan Dok, dia bisa ketakutan terus. Dia menjadi tabah karena nasihat Dokter," Anas tetap pada pendiriannya.

Hilman cuma tersenyum. Tentu ada juga rasa bangganya karena usahanya membuahkan hasil, meskipun dia tidak melakukannya sendiri. Lebih dari itu ia juga merasa senang untuk kebaikan Lis. Setelah menderita, Lis patut mendapat perbaikan yang membahagiakan.

Setelah itu, dengan tujuan lebih meringankan beban yang dirasakan Anas, Hilman menceritakan perihal keluarga Santoso yang sedang menginap di rumahnya. Anas mendengarkan dengan penuh rasa tertarik sampai mulutnya setengah terbuka.

"Jadi si gila itu memang bisa melakukan kesalahan dalam mengenali orang. Ternyata seorang perawat dianggapnya pelacur juga. Entah bagaimana caranya ia menciduknya."

"Tentang hal itu hanya korban yang tahu. Si Mandar sendiri mana mungkin mau bercerita."

"Kasihan sekali. Memang bukan cuma kami yang menderita. Mungkin kami bisa dibilang lebih beruntung ya, Dok. Sayangnya saya dan Pak Santoso tidak bisa berbagi rasa."

"Ya. Sebaiknya memang tidak. Saya kira mereka juga tidak suka publikasi. Penderitaan ini cukup ditanggung sendiri."

"Lantas kenapa mereka menuntut pengakuan dari Mandar?"

"Untuk suatu kepastian, Pak. Memang dari baju itu saja sudah ada kemungkinan sangat besar bahwa Indah adalah korban Mandar. Tapi lebih pasti lagi bila pengakuan datang dari mulut Mandar sendiri."

"Kenapa menurut Dok masih berupa kemungkinan?"

"Siapa tahu bukan Indah yang mengenakan baju itu, tapi orang lain yang kebetulan meminjam baju itu dari pemiliknya."

Anas garuk-garuk kepala.

"Ya, cukup memusingkan. Bila saya di tempat Santoso,

saya pasti akan melakukan hal yang sama. Kalau anggota keluarga yang kita sayangi sudah jelas kematiannya, kita bisa pasrah dan merelakan. Tapi bila tidak jelas mati-hidupnya, mana bisa kita tenang?"

"Sebaiknya Bapak tidak bercerita tentang itu kepada Lis atau Ibu."

"Oh, tentu. Saya mengerti. Mereka bisa punya persepsi berbeda dengan perasaan berbeda pula."

"Betul sekali, Pak. Terima kasih untuk pengertian Bapak."

Anas pamitan setelah menyampaikan salam hangat dari Lis dan ibunya. Hilman merasa lega karena Anas tidak ingin melihat keluarga Santoso atau mencoba berkenalan dengan mereka. Pasti itu bukan disebabkan karena Anas melupakan ceritanya atau tidak peduli. Bisa dipahami. Buat apa berkenalan kalau tidak bisa berbagi rasa karena keharusan menyimpan rahasia?

****

SETELAH mengetahui bahwa Lis bermaksud pulang ke Jakarta, Adrian tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menawarkan jasa mengantarkan. Tapi Lis menolak dengan halus tapi tegas.

"Oom dan Tante akan mengantarkan kami, Ian. Nggak usah khawatir. Kalau aku ikut denganmu kan bisa membuat mereka merasa tidak dihargai. Aku sangat berutang budi kepada mereka, Ian."

Adrian tidak memaksa. Ia sudah merasa bersyukur karena hari-hari belakangan Lis menerimanya dengan baik. Terlalu memaksa untuk membantu akan terasa menyebalkan.

"Aku senang kau mau pulang kembali, Lis. Kau sudah sehat dan ceria."

"Ah, kau senang?"

"Ya. Boleh dong?"

"Terserah. Itu kan perasaaninu sendiri."

"Kalau sudah di Jakarta, boleh aku berkunjung, Lis?"

"Boleh."

"Terima kasih."

"Sebenarnya kau tinggal di mana sih?"

Adrian menyebut nama apartemen mewah yang ditempatinya.

"Wah," kata Lis.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuma kagum saja."

"Tidak perlu kagum, Lis. Aku mendapatkannya bukan karena jerih payahku sendiri."

"Apa kau merampok?" tanya Lis dengan mata besar.

"Nggak dong."

"Diberi Sinterklas?"

"Ya."

"Ah, mana mungkin."

"Nyatanya mungkin. Aku ini kan kere, Lis. Pengangguran lagi. Orang kayak aku mana mungkin tinggal di kondominium."

"Ah, kau misterius amat sih, Ian."

"Dalam dunia nyata Sinterklas itu ada juga,

Lis. Cuma ujudnya bukan seperti yang digambarkan dalam cerita. Tapi kedermawanannya sama."

"Waduh, kalau begitu kau beruntung sekali, lan!" seru Lis.

Adrian hanya tersenyum.

"Boleh tahu siapa Sinterklas itu?" tanya Lis ingin tahu.

Senyum Adrian menjadi kecut. Ia bicara terlalu banyak dan terlalu jauh. Bagaimana kalau ia terpeleset lidah? Sekarang ia sudah menggelitik keingintahuan Lis.

"Aku mendapat warisan dari kerabatku, Lis. Dialah Sinterklas-ku."

"Oh begitu. Bilang kek dari tadi."

"Aku malu."

"Dapat warisan kok malu? Kalau nggak mau, kasih aku saja!"

Adrian tertegun. Sesungguhnya ia tahu betul, Mandar dengan senang hati akan memberikan hartanya kepada ibu dari anaknya. Tapi kemudian ia menyadari, Lis cuma bercanda ketika mendengar tawanya yang jernih. Ia merasa telah berbuat bodoh dengan menampakkan ekspresi sesungguhnya.

"Waduh, orang bercanda dianggap serius! Mukamu sampai lucu begitu," kata Lis tanpa memahami yang sebenarnya.

"Dengan senang hati aku akan memberi kau apa saja yang kauinginkan dan bisa kuberikan," kata Adrian dengan sungguh-sungguh.

"Nantilah. Pikir-pikir dulu, ya," kata Lis, diikuti oleh tawanya yang berderai.

Tentu saja Adrian tahu bahwa Lis kembali bercanda.

"Aku senang kau sudah gemar bercanda sekarang, Lis," ia mengalihkan persoalan.

"Baru sekarang aku mendengar tawamu yang berderai."

"Entahlah. Kenapa aku jadi berha-ha hi-hi begini, ya? Mudah-mudahan aku masih waras."

"Itu berarti kau sudah kembali ceria dan optimistis."

Dikatakan begitu Lis malah jadi murung. Betulkah ia sudah seperti itu sekarang? Ceria dan optimistis? Bagaimana mungkin bisa disimpulkan begitu bila ada saatsaat lain di mana ia merasa dirinya begitu depresif, hampa, dan tak berharga? Padahal tak ada yang melihatnya. Ia tertawa di depan orang-orang tapi menangis dalam kesendirian. Walaupun begitu memang ada kemajuan. Ia sudah bisa tertawa.

Adrian jadi berdebar melihat perubahan wajah Lis. Apakali ia telah salah bicara?

"Maafkan aku, Lis. Apakah aku menyinggung perasaanmu?"

Lis menggeleng.

"Aku cuma merasa capek. Maukah kau pulang, Ian?"

Tentu saja Adrian tak bisa menolak. Ia mengingatkan dirinya agar berhati-hati bicara lain kali. Jangan menghancurkan prestasi, yang sudah dicapai.

Tetapi ia merasa harus mengungkapkan sedikit dari dirinya. Tentu Lis dan keluarganya akan bertanya-tanya bagaimana ia menghidupi dirinya bila di jam-jam.kerja datang berkunjung. Bagaimanapun ia harus bercerita sedikit mengenai asal-usul hartanya.

Meskipun kecewa karena tak bisa mengantarkan Lis ke Jakarta, tapi ada juga hikmahnya. Besok siang adalah saat berkunjung ke penjara. Mandar akan kesal bila ia tidak datang. Ia tidak ingin dan tidak boleh membuat Mandar kesal kepadanya. Semakin lama ia merasa semakin sulit memperkirakan jalan pikiran dan perasaan

Mandar. Bisa jadi hal itu disebabkan karena jarak yang jauh dan jarangnya pertemuan. Ia merasa Mandar banyak berubah tanpa bisa memahami perubahannya. Kehidupan di dalam penjara dan stres akibat hukuman mati yang tidak diketahui kapan jatuhnya pasti mengubah setiap orang. Tetapi ia tidak selalu melihat Mandar murung dan stres. Ada kalanya Mandar terlihat riang dan penuh canda, apalagi kalau membicarakan anaknya. Pada mulanya ia begitu bahagia bahwa dirinya menjadi seorang ayah hingga apa pun yang akan terjadi padanya ia tak peduli lagi. Tapi lama-kelamaan tampaknya ia mulai memikirkan banyak hal. Dan hal-hal itu sepertinya disimpannya saja.

Adrian tak menyukai hal itu. Kenapa Mandar semakin tertutup saja? Seharusnya tidak begitu. Mandar hanya memiliki dirinya sebagai akses ke luar. Padahal ia sudah berusaha membuat Mandar percaya sepenuhnya kepadanya. Mandar sudah memberikan semua hartanya kepadanya, jadi ia berkewajiban membalas budinya itu. Tentu apa yang dilakukannya bukan sekadar sebagai imbalan dari apa yang telah diperolehnya. Apa pun yang telah diperbuat Mandar, ia tak bisa melupakan hubungan baik mereka. Tapi ia harus menyeleksi keinginan dan instruksi Mandar. Mana yang layak dipenuhi dan mana yang tidak. Terutama yang menyangkut Lis.

Tetapi Adrian menyadari, dirinya juga semakin tertutup kepada Mandar. Misalnya, ia tak pernah mengatakan bahwa dirinya jatuh cinta kepada Lis dan itu merupakan alasannya yang utama kenapa berusaha dengan gigih mendekatinya. Selama ini di depan Mandar ia bersikap seakan ia melakukan semua itu untuk kepentingan Mandar semata. Ia tidak tahu apakah Mandar akan senang bila ia berterus terang karena ia juga tidak tahu bagaimana perasaan Mandar terhadap Lis. Apakah Mandar sayang kepada Lis karena dia ibu dari anaknya dan berkat keputusan Lis mempertahankan kehamilannya maka dirinya bisa punya anak?

Sesungguhnya Adrian tidak yakin apakah orang seperti Mandar bisa memiliki rasa sayang kepada seorang perempuan tertentu. Mungkin baginya Lis adalah pribadi yang tidak berbeda dengan korbannya yang lain.

Masih ada kemungkinan lain yang paling

dikhawatirkan oleh Adrian bila ia berterus terang kepada Mandar. Mungkin Mandar akan menyuruhnya segera mengawini Lis lalu mengambil anak itu untuk dipelihara! Bagi Mandar mungkin hal itu suatu kebetulan yang menguntungkan karena anaknya jelas akan terjamin. Tapi tidak demikian dalam pandangan Adrian. Lis akan menolaknya bila ia sampai mengusulkan hal itu. Bukan itu saja, tapi usulan semacam itu bisa membahayakan hubungan mereka. Padahal ia sudah bersusah payah mendekati dan berhasil menarik simpati Lis.

Adrian bertekad tetap akan melayani dan memperhatikan Mandar. Itu sudah merupakan kewajibannya. Ia ingin membuat Mandar senang. Dan itu hanya bisa tercapai bila Mandar tidak tahu!

Sebenarnya Petty merasa senang bila Adrian yang mengantarkan kepulangannya bersama Lis ke Jakarta. Tetapi ia merasa tidak patut menolak tawaran adik dan adik iparnya yang jelas ingin melepas mereka pulang. Untunglah Lis menolak tawaran Adrian.

Tapi ia senang karena Lis berjanji untuk menerima kunjungan Adrian nanti. Itu prospek

yang baik. Ia menyukai Adrian, karena menganggap pemuda itu telah berjasa membuat Lis bersikap lebih positif.

Ia lebih senang lagi karena sikap positif Lis terhadap orang luar tidak menyebabkan ia kehilangan sikap positifnya kepada keluarga sendiri. Buktinya, ia tidak pernah menutupi apa pun. Segala yang dilakukan dan diceritakan Adrian perihal dirinya selalu diceritakannya kembali. Dengan demikian mereka bisa mendiskusikannya. Sebagai ibu dan sebagai pendamping, ia merasa berarti dan berharga.

"Jadi si Ian itu anak orang kaya, Ma. Mana ada kerabat yang mau mewariskan hartanya kecuali orangtua sendiri."

"Mungkin saja ada paman atau bibi yang tak punya anak dan kebetulan sayang padanya."

"Itu memang mungkin. Tapi orangtuanya sudah meninggal, Ma. Jadi pasti dapatnya dari orangtuanya."

"Oh, dia yatim-piatu?" tanya Fetty dengan simpati yang berlebih.

"Ya. Katanya kecelakaan pesawat."

"Kasihan. Apa dia masih kecil waktu ditinggalkan?"

"Katanya sih nggak. Entahlah. Saya nggak nanya secara detail. Buat apa? Saya toh nggak ada keperluan."

Fetty cuma tersenyum.

"Ma, saya cuma menganggapnya sebagai teman saja. Nggak lebih dari itu."

"Tapi kau harus ingat, Lis. Bila kau menganggapnya sebagai teman, jangan beri dia harapan."

"Habis, apa saya mesti terus judes kepadanya, Ma? Saya sudah berkali-kali bersikap begitu, tapi dia ngotot. Kasihan juga sih."

"Cuma kasihan?"

"Simpati juga sih. Tapi saya nggak menginginkan Suatu hubungan yang menjurus, Ma. Saya masih trauma. Saya cuma senang punya teman yang memperhatikan."

"Ingat, Lis. Kita harus menilai secara logis. Tak ada lelaki yang mau mendekat seperti si Adrian itu kalau tak menaruh hati. Jelas dia ingin lebih dari sekadar teman. Apalagi caranya gigih begitu."

"Tapi kalau dia tulus, pasti dia mau jadi teman saja, Ma."

"Mudah-mudahan."

Fetty tidak begitu yakin. Mungkinkah itu bisa terjadi? Adrian pasti akan terus berharap suatu waktu hubungan pertemanan itu akan berubah menjadi percintaan. Mana ada lelaki yang mau dijadikan teman saja oleh perempuan yang dicintainya?

"Bila sudah di Jakarta, saya ingin segera bertemu dengan Dokter Hilman, Ma."

"Kenapa? Mimpi lagi?" tanya Fetty cemas.

"Ah, Mama. Masa cuma karena mimpi saya ingin bicara dengan dia. Rasanya enak saja ngomong sama dia, Ma. Perasaan jadi tenang. Dia juga berjanji untuk mengenalkan anak-anaknya."

"Anaknya?" Fetty mengerutkan kening.

"Kalau nggak salah yang sulung umurnya dua puluh satu. Yang bungsu delapan belas. Masih kecil-kecil."

"Ih pikiran Mama pasti menjurus deh. Bukan soal itu. Anaknya lucu, Ma."

"Oh, itu." Fetty merasa lega.

Wajah Lis menjadi cerah ketika teringat kepada Hilman. Ia akan mengumpulkan sebanyak mungkin materi yang akan dibicarakannya nanti. Barangkali tentang Adrian juga.

***

SANTOSO dan keluarganya beserta Hilman diterima oleh Rahman dan Danu, kepala LP. Danu, lelakisetengah baya dengan wajah tegas dan rambut putih, yang tampak sangat berwibawa. Tubuhnya tinggi besar, cocok sebagai pimpinan di rumah para narapidana. Seperti halnya Rahman, dia juga sangat ingin tahu bagaimana gerangan reaksi Mandar nanti bila melihat seorang yang mirip korbannya.

Mereka diantarkan ke sebuah ruangan khusus, lalu dipersilakan duduk di deretan kursi yang tersedia.

"Kalau Mandar masuk, Mbak Indri segera berdiri." kata Danu.

"Ya, Pak. Tapi... saya belum pernah melihat dia."

"Gampang. Cuma dia satu-satunya yang di

borgol."

lndri tersipu. Lainnya hanya tersenyum meskipun merasa tegang. Tak ada yang berbicara lagi.

Mereka menunggu kedatangan Mandar, yang sedang dijemput petugas.

Sementara itu, di halaman luar penjara berkumpul banyak orang. Mereka juga tengah menunggu tibanya jam kunjungan yang tinggal beberapa menit lagi.

Adrian muncul dengan mobilnya tak lama setelah pintu gerbang dibuka. Ia pun bermaksud mengunjungi Mandar. Ia tak suka menunggu di halaman. Tak enak rasanya berbaur dengan orang-orang lain, meskipun mereka senasib dengannya. Jadi ia menunggu dulu di pinggir jalan sampai tiba waktunya, baru masuk. Ia tidak khawatir kehabisan tempat parkir.

Sampai saat itu ia masih belum memutuskan apakah akan memberitahu Mandar mengenai keputusan Lis untuk kembali ke Jakarta hari itu atau tidak. Sebenarnya walaupun diberitahu, Mandar toh tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak bisa keluar dari tempat itu. Tapi ada kecemasan yang mengganggu perasaan Adrian.

Bagaimana kalau kabar itu menggugah sesuatu dalam diri Mandar? Misalnya keinginan untuk buron? Mandar punya banyak uang. Kalau ia minta dibawakan sejumlah uang untuk menyuap petugas misalnya, apakah ia bisa menolak? Tentu ia bisa saja menolak, tapi akan ada akibatnya. Mandar akan marah. Dan kemarahannya bisa mengundang risiko yang lain lagi. Misalnya pembatalan surat wasiat! Sesudah itu Mandar yang nekat bisa saja menghibahkan semua hartanya kepada pihak lain, entah siapa itu. Tentu bukan karena ia ingin menguasai untuk dirinya sendiri, tapi alangkah sayangnya bila harta sebanyak itu diberikan kepada pihak yang tidak punya hubungan apa-apa.

Barangkali sebaiknya ia tidak cerita apa-apa. Lantas apa yang mesti ia ceritakan? Berkunjung tanpa bercerita apa-apa akan membuat suasana jadi muram. Masa diam-diaman setelah berbasa-basi?

Ia harus mengarang sesuatu. Memikirkan hal itu ia tak segera keluar dari kendaraannya meskipun orangorang yang semula berkerumun di halaman semuanya sudah masuk ke dalam.

Langkah kaki yang terseok-seok kedengaran di dalam ruangan yang pintunya tertutup. Mereka yang menunggu segera mengarahkan tatapan ke sana. Tegang memuncak.

Pintu terbuka. Mata keluarga Santoso mengarah ke tangan tiga orang yang masuk. Dua agak di belakang mengapit satu di tengah. Pasti yang di tengah. Tangannya terborgol. Wajahnya bersih. Rambutnya sedikit gondrong. Tampan.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indri hampir lupa bahwa dia harus berdiri. Setelah tangannya didorong oleh Hilman yang ada di sebelahnya baru ia tersadar. Cepat ia melompat berdiri dengan tegak, kedua tangan terentang ke sisi dan kepala ditegakkan untuk menampakkan wajahnya sejelas-jelasnya.

Mandar terkejut oleh gerakan Indri yang tiba-tiba itu. Ia berhenti mendadak. Dalam jarak tiga meter ia berhadapan dengan Indri.

Kedua petugas di samping Mandar menyisih, lalu berdiri di kiri-kanan pintu yang mereka rapatkan kembali. Mereka memasang wajah

beku.

Semua mata tertuju kepada Mandar. Indri pun melotot.

Tetapi ketegangan yang sudah memuncak itu tidak meletus ke klimaks. Reaksi Mandar sama sekali di luar dugaan. Lelaki yang tertegun-tegun keheranan itu cuma memandang sebentar kepada Indri, lalu pandangannya menyapu semua orang yang lain, kemudian kembali Iagi kepada Indri. Tatapannya mengarah dari atas ke bawah. Ekspresinya jelas-jelas menyatakan bahwa ia tidak mengenal atau mengenali Indri. Bahkan keheranan yang membayang di wajahnya seperti mengatakan,

"Kenapa perempuan ini berlagak begitu aneh?"

Karena tak ada yang bicara akhirnya Mandar mengambil inisiatif. Ia mengarahkan tatapannya kepada Rahman.

"Ada apa, Pak?"

Rahman tak menyahut. Ia mendekati Hilman, lalu berbisik,

"Silakan Bapak saja yang menanyai dia."

Hilman berdiri lalu mendekat ke sisi Mandar.

"Perhatikan baik-baik gadis ini, Man. Apa kau tidak mengenalinya?"

Sekali lagi Mandar mengarahkan tatapannya

kepada lndri. Agak lama. Lalu ia menggeleng.

"Tidak," sahutnya tanpa ragu-ragu.

"Dia adalah salah satu korbanmu. Masa tak kenal?"

Mandar tercengang. Setelah mengangakan mulutnya sejenak, ia tertawa.

"Jangan bercanda, Pak. Yang ini kan hidup."

Santoso berteriak marah. Tapi tangan Marsiah memegang lengannya.

"Sabar, Pak. Ingat, kita sudah janji," katanya menenangkan.

Hilman mengambil bungkusan di atas meja. Ia membukanya lalu mengambil isinya. Sebuah gaun yang kumuh dan berbau dibeberkannya di depan Mandar.

"Lihat ini! Gaun ini dipakai salah satu korbanmu yang ditemukan di ruang bawah rumahmu. Bandingkan dengan gaun yang dipakai gadis itu!" katanya.

Mandar mundur selangkah ketika gaun yang dibeberkan Hilman hampir menyentuhnya. Ia mengekspresikan rasa jijik.

"Lantas kenapa?" tanyanya.

"Kaukenali gaun ini?" tanya Hilman.

"Tidak."

"Dan gadis ini?"

"Juga tidak," sahut Mandar dingin dan terkendali. Tanpa emosi.

Hilman geleng-geleng kepala. Mandar sudah tak punya emosi lagi. Atau pintar berpura-pura.

"Baiklah aku jelaskan, Man. Gadis ini adalah adik korbanmu. Mereka berdua sangat mirip satu sama lain. Baju yang dikenakan kakaknya ini dimilikinya juga. Baju ini membungkus salah satu jenazah yang ditemukan di ruang bawah rumahmu. Karena baju inilah keluarganya bisa mengetahui apa yang terjadi pada anak mereka yang hilang. Dan ketahuilah, Mandar, korbanmu ini bukan pelacur. Dia seorang perawat Rumah Sakit Murni."

"Lantas maunya apa?" tanya Mandar.

"Mereka cuma membutuhkan pengakuanmu bahwa kau mengenalnya dan telah membunuhnya. Itu saja."

Mandar menggelengkan kepala.

"Kalau tidak kenal, aku pasti lupa," sahutnya enteng.

Di tempat duduknya, Santoso mengepalkan tinjunya. Wajahnya merah padam. Marsiah sibuk menenangkannya. Sementara itu Indri masih berdiri tegak dengan wajah gusar. Matanya menyorotkan kebencian.

Tiba-tiba Mandar mengarahkan tatapannya

kepada lndri dengan sorot yang berbeda. Semula dia cuek saja. Kini dia tampak lain. Dia seperti orang lapar. Matanya seperti mau menelan Indri bulat-bulat.

Hilman melihat ekspresi Mandar itu dengan bulu roma berdiri. Ia segera memahami maknanya.

"Cepat bawa dia pergi!" ia berseru pada kedua petugas yang berdiri dekat pintu.

Tanpa menunggu disuruh dua kali kedua petugas segera menyeret Mandar yang mencoba bertahan di tempatnya. Dia kalah kuat dan berhasil dibawa pergi.

Marsiah melompat lalu menubruk lndri. Mereka bertangisan. Santoso masih saja mengepalkan kedua tinjunya dengan wajah merah padam. Bibirnya bergerakgerak melontarkan makian pelan.

Mereka semua merasa kecewa. Tapi menerimanya sebagai kenyataan.

"Maklumi saja, Bu," hibur Danu kepada Marsiah dan menepuk pundak Santoso.

"Dia memang kurang beres. Tidak gila tapi kurang beres."

"Kenapa dia memandangi saya seperti itu,

Dokter?" tanya Indri.

"Dia mengenalimu," Hilman berbohong.

"Tapi dia tidak mengaku."

Ya itu euma siasat saja. Ayolah kita pulang."

"Biar saya ambilkan minum dulu. Supaya tenang," Rahman menawarkan.

Mereka menerima tawaran itu. Air putih bukan cuma menyegarkan, tapi juga menenangkan.

Sesungguhnya Hilman sendiri membutuhkan kesegaran dan ketenangan. Dia benar-benar gemetar ketika melihat ekspresi Mandar saat memelototi Indri tadi. Bagaikan binatang buas yang semula tidur, tiba-tiba terbangun mencium mangsa!

Di ruang kunjungan Adrian diberitahu bahwa Mandar tidak bisa menerima tamu karena sedang diwawancarai.

Dengan heran Adrian bertanya,

"Siapa yang mewawancarai?"

"Tidak tahu, Pak. Silakan Bapak pulang saja. Lain kali datang lagi."

Bagi Adrian hal itu tidak mengecewakan. Ia lebih senang tidak ketemu Mandar hari itu. Tentu Mandar sendiri tahu betul bahwa bukan atas kehendaknyalah ,Maka ia tidak menemuinya.

Sebelum masuk ke mobilnya ia mengambil ponselnya. Karena suasana sepi di halaman dan berada di keteduhan, ia memutuskan menelepon sambil bersandar ke mobilnya. Ia menghubungi nomor rumah Lis di Jakarta untuk mengetahui apakah Lis sudah tiba atau belum. Ternyata belum. Lalu ia beralih ke nomor rumah tante Lis di Bandung. Ia diberitahu Lis dan rombongan sudah berangkat ke Jakarta. Mungkin masih di jalan. Karena tidak puas dan kangen mendengar suara Lis, ia menghubungi ponsel Fetty yang nomornya ia minta dan diberikan Fetty dengan senang hati. Lis sendiri tidak mau membawa ponsel. Betapa senangnya ketika hubungan tersambung dan suara Fetty yang kedengaran surprise menyahutnya. ia lebih senang lagi karena Lis mau bicara dengannya. Tadinya ia khawatir kalau Lis menyuruh ibunya mengatakan ia sedang tidur.

Suara Lis kedengaran ceria dan menyenangkan.

*****

hilman dan rombongannya berjalan ke luar diiringi Danu dan Rahman.

Lalu mereka saling bersalaman. Keluarga Santoso dan Hilman mengucapkan terima kasih.

Kemudian Rahman melihat Adrian yang begitu asyik menelepon hingga tidak segera menyadari kehadiran mereka yang cuma belasan meter saja darinya. Rahman segera menggamit lengan Hilman, lalu berbisik di telinganya supaya tidak kedengaran oleh Indri yang berada di samping Hilman.

"Itu dia saudara Mandar yang sering berkunjung. Dok. Tuh yang lagi bersandar ke mobil."

Hilman melayangkan pandang ke arah yang dimaksud. Ia sangat terkejut ketika mengenali Adrian sebagai anak muda yang menurut Anas tengah mendekati Lis. Meskipun baru sekali

melihatnya, yaitu saat berada di Klinik Asuh, ia yakin tidak salah mengenali orang.

Sekarang Adrian melihat mereka. Ia juga tampak kaget sekali. Tapi reaksinya luar biasa. Ponselnya jatuh dari tangan. Wajahnya pucat pasi. Matanya terbelalak. Kedua tangannya terangkat sebatas siku seperti orang ditodong senjata api. Kemudian jatuh pingsan!

Hilman dan rombongannya, termasuk Danu dan Rahman, berlari mendekati Adrian untuk menolongnya. Mereka menggotongnya beramai-ramai masuk ke dalam ruang kantor dan merebahkannya di atas dipan.

"Kenapa dia, ya?" tanya Indri.

Hilman memeriksa Adrian. Ia tak mau menyatakan terus terang bahwa kemungkinan Adrian pingsan karena kaget melihat dan mengenalinya. Bila memang demikian, tentu mudah untuk memperkirakan bahwa Adrian bukan cuma kaget, tapi juga ketakutan jika identitasnya diberitahu kepada keluarga Lis. Bayangkan kalau Lis dan keluarganya tahu bahwa anak muda yang katanya menggandrungi Lis itu adalah saudara dekat Mandar! Ia sendiri merasa gempar.

"Mungkin dia kena serangan jantung ringan," ia berbohong untuk menghindari kehebohan.

Kemudian Hilman menyerahkan kunci mobilnya kepada Santoso.

"Ini, Pak, silakan ke mobil duluan. Saya segera menyusul."

Santoso beserta Marsiah dan Indri berjalan ke halaman parkir.

"Apa sebaiknya kita panggil ambulans saja, Dok?" tanya Danu.

"Tidak usah. Ini tidak berbahaya kok. Nanti juga sadar. Tuh, dia sudah bergerak."

Adrian membuka matanya. Sorotnya masih menyiratkan ketakutan ketika memandang berkeliling ruangan, lalu hinggap ke wajah Hilman. Serentak ia duduk lalu menutup muka dengan kedua tangannya.

"Bapak nggak apa-apa?" tanya Rahman.

Adrian menurunkan tangannya. Ia sadar sepenuhnya. Wajahnya yang semula pucat sekarang memerah oleh rasa malu.

"Sa... sa... ya nggak apa-apa," sahutnya pelan. Ia menghindari tatapan Hilman.

Rahman menyodorkan segelas air putih.

"Minumlah "

"Terima kasih."

Adrian terpaksa meminumnya meskipun tak ingin. Kemudian ia berdiri. Ketika Danu mau membantu menopangnya seraya mengucapkan terima kasih.

"Maafkan saya, Pak. Saya sudah merepotkan. Terima kasih. Saya sudah baik kok. Permisi."

Setelah berpamitan dari Danu dan Rahman, Hilman mengiringi Adrian kembali ke mobilnya. Dekat mobil ponselnya masih tergeletak di tanah. Adrian memungutnya.

"Maafkan saya, Pak," kata Adrian kepada Hilman yang tak segera berlalu.

"Anda tahu, saya membutuhkan penjelasan."

"Untuk apa, Pak? Apa karena pingsan tadi?" Adrian mencoba menghindar.

"Oh, ada yang lain. Yang lebih besar dari itu. Anda saudaranya Mandar?"

Adrian ragu-ragu sejenak. Semula dalam benaknya muncul ide untuk berbohong. Tapi kemudian ia sadar itu tak mungkin dilakukan.

"Betul, Pak," sahutnya lesu.

"Apakah Lis tahu?"

"Tidak. Maaf, Pak. Apakah kita bisa bicara

nanti saja?"

"Tidak bisa. Saya perlu penjelasan sekarang. Kalau tidak, saya akan beritahu Lis dan keluarganya."

Adrian terkejut.

"Aduh, Pak. Tolong. Jangan lakukan itu. Mohon saya diberi kesempatan. Saya sungguh berniat baik. Tidak ada sedikit pun maksud jahat," katanya mengiba. Kepanikan tampak jelas di wajahnya.

"Baik. Itu perlu dibuktikan nanti. Tapi ada satu hal penting yang perlu saya ketahui sekarang. Tahukah Anda tentang musibah yang menimpa Lis?"

"Ya."

"Dari Mandar?"

"Ya."

"Dan Anda menyampaikan segala sesuatu mengenai Lis kepada Mandar?"

Adrian tertunduk. Ia benar-benar merasa bersalah mengenai hal itu.

"Bagaimana?" desak Hilman.

"Ya, Pak. Maafkan saya."

Hilman sudah menduga hal itu, tapi ia toh terperangah. Ternyata rahasia keluarga Lis bukan lagi milik mereka.

Hilman menoleh ke arah mobilnya yang diparkir agak jauh. Keluarga Santoso menunggu di dalam mobil. Ia tahu tak banyak waktu yang dimilikinya.

"Kita memang harus bicara," katanya.

"Saya memberi Anda kesempatan. Tapi harus secepatnya. Ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Saya minta Anda jangan menghindar."

Adrian sudah menemukan ketenangannya. Ia tampak pasrah.

"Tentu, Pak. Saya juga tidak mungkin menutupinya terus-terusan. Ceritanya panjang. Memang tidak bisa dilakukan di sini. Bagaimana kalau saya mengundang Bapak ke rumah saya?"

"Baiklah. Saya percaya pada ketulusan Anda."

Adrian memberikan kartu namanya kepada Hilman. Ia juga menuliskan nomor ponselnya di kartu itu.

"Nanti malam, Pak?" tanya Adrian.

"Begini saja. Nanti saya telepon. Saya atur waktunya dulu."

Mereka berpisah. Adrian masuk ke dalam mobilnya, mengangguk kepada Hilman, lalu menjalankannya. Hilman mengamatinya sejenak, baru kemudian berjalan menuju mobilnya sendiri.

"Dia sudah baik, Pak?" tanya Indri.

"Sudah."

Tapi keluarga Santoso tidak tertarik kepada Adrian maupun peristiwa yang menimpanya. Mereka lebih dipengaruhi oleh pengalaman dengan Mandar tadi.

"Dia adalah iblis berwajah malaikat," kata Santoso dengan gemas.

"Serigala berkulit domba," sambung Marsiah.

"Kulit putih, hatinya hitam," kata Indri. Hilman tidak bisa tersenyum mendengarnya. Hari itu banyak kejutan untuknya.

Adrian menunggu di kelindungan, lalu mengikuti mobil Hilman dari jarak aman. Situasi lalu lintas yang padat membuat keberadaan mobilnya tidak kentara. Barusan ia lupa meminta alamat dan nomor telepon Hilman.

Setengah jam kemudian mereka tiba di kawasan perumahan elite. Hilman melambatkan kendaraannya lalu memberi tanda akan berbelok. Adrian pun melambatkan kendaraannya. Ketika ada kesempatan untuk parkir, ia berhenti lalu keluar dari mobil. Berjalan kaki mendekati rumah Hilman.

Papan nama yang terpancang di halaman memberi ketegasan bahwa itu memang rumah Hilman. Dari seberang rumah ia bisa melihat lebih jelas. Pohon-pohon besar di sepanjang trotoar bisa menutupi keberadaannya.

Hilman dan rombongannya keluar dari mobil.

Gadis muda yang mengenakan gaun itu menarik perhatiannya. Apakah rombongan itu keluarga Hilman? Tapi sepertinya bukan. Tadi mereka dari penjara. Apakah mereka ini yang mewawancarai Mandar seperti dikatakan petugas tadi kepadanya? Sepertinya memang begitu. Apa yang mereka kehendaki dari Mandar? Ia merasa tergelitik ingin tahu.

Zaman sekarang ini gadis-gadis lebih suka mengenakan celana panjang dan blus ketat. Bukan gaun. Tapi gadis itu justru mengenakan

gaun meskipun terlihat pantas. Adrian ingin melihatnya lebih lama, tapi gadis itu sudah lari masuk ke dalam dan segera menghilang dari pandangan matanya. Tadi ia sudah melihatnya. Tapi tidak lama karena ia keburu pingsan. Gadis itu cantik. Tapi Lis lebih cantik. Toh bukan cuma kecantikan yang perlu dinilai. Ada banyak hal lainnya. Ia tak ingin berpaling dari Lis. Kemudian ia tersadar dengan sedih dan takut. Nasibnya bagaikan telur di ujung tanduk.

Di dalam ruang tahanannya, Mandar duduk di pojok di atas tikar. Kedua tangannya memeluk lutut. Tubuhnya gemetar. Matanya merah dan basah. Bibirnyajuga gemetar. Ia sedang dirasuk keinginan!

Sekilas penampilannya seperti orang sakaw, ketagihan narkotika. Dia memang sedang ketagihan, tapi oleh sesuatu yang lain. Sudah cukup lama ia tidak mengalami hal itu, yaitu sejak ia mengambil korban terakhir sampai selama masa penahanannya. Itu sudah kurang-lebih dua tahun. Sampai-sampai terpikir, ia bisa menjadi seorang rahib!

Karena itu pikirannya sempat menjadi tenang. Sesungguhnya keinginan itu juga didorong oleh kesempatan. Bila tak ada kesempatan maka tak ada keinginan. Jadi ada kesadaran. Seperti juga hasil pembicaraannya dengan Hilman dulu. Itu berbeda dengan ketagihan narkotika.

Tiba-tiba gadis itu berdiri di depannya dengan sikap menantang. Tampak cantik dan liar. Darahnya pun mendidih. Mau apa sih dia? Menuntut pengakuannya bahwa dia telah membunuh perempuan yang dimaksud? Kalau hanya mengaku saja bisa membuat mereka senang, ia tak keberatan. Tapi ia tak suka caranya itu. Ia tahu apa yang mereka kehendaki. Mereka ingin ia semaput karena mengira telah melihat hantu! Ia tidak takut pada hantu. Kalau takut, ia takkan mau tinggal di rumahnya bersama dengan mayat-mayat di bawahnya!

Mereka memang tidak bisa membuat ia semaput, tapi mereka telah menyiksanya dengan keinginan yang tak bisa tercapai! Ia capek sekali. Dan sakit luar-dalam membuatnya

perih. Ia berjuang melawan dorongan yang menderu-deru seperti angin tornado yang akan mencabik-cabiknya! Kalau deraan ini berakhir, ya kalau bisa berakhir, pasti ia sudah berubah menjadi bubur daging!

Ternyata badai itu berakhir juga. Ia masih tetap utuh. Kulit, daging, tulang, otot, masih terbungkus seperti sedia kala.

SETIBANYA di rumah, Lis segera menyambar telepon. Ia menghubungi ponsel Adrian, tapi tak tersambung. Sepertinya dimatikan. Sesungguhnya ia penasaran dan juga khawatir. Tadi sewaktu masih dalam perjalanan ia sedang asyik mengobrol dengan Adrian menggunakan ponsel ibunya. Tiba-tiba ia mendengar seruan tertahan Adrian lalu bunyi gabruk. Apakah Adrian menelepon sambil mengemudi lalu mengalami tabrakan?

"Ah, nggak mungkin," Fetty menenangkan.

"Masa sih dia sebodoh itu? Coba dicek, apa dia nelepon pakai HP atau telepon rumah?"

"Pakai HP, Ma."

"Kalau begitu cek telepon rumahnya."

"Wah, saya nggak tahu nomornya tuh. Dia nggak memberitahu sih."

"

"Ya sudah. Tunggu saja kabarnya. Pasti dia memberi kabar."

"Cuma kepengin tahu aja, Ma. Nggak apaapa kok." Fetty cuma tersenyum. Kekhawatiran Lis pada orang lain mestinya merupakan suatu perkembangan yang bagus.

Tetapi Lis memikirkan sesuatu yang lain. Kenapa Adrian mengeluarkan seruan tertahan seperti itu? Memang bunyinya tidak terlalu keras, misalnya berupa teriakan. Itu lebih merupakan sebuah bisikan keras. Tapi bukan soal keras tidaknya bunyi itu yang ia pikirkan, melainkan ucapan Adrian. Hanya sebuah kata. Ia mengingat-ingatnya lagi. Tak begitu jelas karena diucapkan dengan nada sengau seperti orang yang tengah pilek berat. Yang menjadi pemikirannya adalah apakah ucapan itu ditujukan kepadanya. Bukankah Adrian sedang bicara dengannya? Mustahil ada orang lain. Tapi kenapa nadanya berbeda?

Ia tidak mengungkapkan pemikirannya itu kepada ibunya. Sesuatu yang tidak jelas akan percuma saja bila dibicarakan.

Kemudian ia tidak lagi punya waktu untuk memikirkan hal itu. Kedua kakaknya, Satya

dan Aria, menyambutnya dengan hangat. Dan tentu saja juga ayahnya. Mereka telah menyiapkan pesta kecil. Ada bunga-bunga yang indah dan harum dengan ucapan selamat datang. Ada minuman dan makanan kecil pilihan yang merupakan kesukaannya. Meriah sekali. Apalagi ditambah dengan kehadiran paman dan bibi yang mengantarnya dari Bandung. Mereka diminta menginap supaya tidak terlalu lelah mengemudi.

Tidak terlalu banyak orang karena hanya mereka yang menyatu oleh sebuah rahasia keluarga. Tapi bagi Lis, semuanya adalah kehangatan dan keakraban yang tak ternilai harganya. Itu menimbulkan keinginan untuk membalas budi mereka dengan memperlihatkan bahwa dirinya sudah pulih, siap, dan bersemangat untuk mengarungi kehidupan kembali. Hanya dengan cara itu ia bisa membuat mereka senang, karena telah berhasil menyatukan serpihan dirinya menjadi utuh kembali. Ucapan terima kasih saja tak ada gunanya tanpa sesuatu yang nyata.

Ia terharu melihat kamarnya sudah dirapikan dan diberi aksesori tambahan. Ada lukisan bunga di dinding berikut hiasan pernak-pernik

lainnya. Gordennya baru dengan corak menawan. Semuanya sangat cocok dengan seleranya. Ia heran bagaimana tiga lelaki,di rumahnya, ayah dan dua kakak, bisa memahami seleranya dengan baik. Ia mengungkapkan hal itu dengan terus terang. Ungkapannya itu membuat girang ketiga orang bersangkutan. Tenyata jerih payah mereka berhasil dengan sukses. Padahal mereka sempat waswas bagaimana kalau si pemilik kamar tidak menyukainya.

Ia sadar, mulai saat itu ia harus kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Bedanya, ia seperti orang yang baru sembuh dari sakit parah. Masih takut-takut kalau penyakitnya kambuh, tapi tetap ada dorongan untuk terus berjalan.

Sesungguhnya bukan cuma Lis saja yang masih menyimpan ketakutan seperti itu, tapi juga anggota keluarganya. Trauma selalu meninggalkan bekas. Pulih tapi ada bekasnya. Dan orang tidak pernah bisa tahu apakah suatu saat nanti bekas itu tidak akan menguak lagi menjadi luka baru.

Sebagai ibu yang telah merawat anak-anaknya dengan kasih sayang, Fetty dan Hani tahu

betul bagaimana beratnya trauma Lis. Kaum lelaki hanya bisa memahami tapi tidak bisa merasakan. Bagi Lis, trauma tidak hanya menyisakan bekas, tapi juga merupakan kisah derita yang tak akan pernah selesai. Soalnya, anaknya masih ada di luar sana. Dia -hidup dan berkembang. Ibu dan anak sama-sama hidup dan berkembang. Meskipun masing-masing terpisah di lingkungannya sendiri, tapi ikatan batin tetap ada. Suatu ikatan batin yang muncul karena darah daging yang sama. Itu adalah kekuatan biologis dan alamiah. Bagaimana kalau suatu ketika kekuatan itu saling memanggil?

Baru malamnya, di hari yang sama, Lis menerima telepon dari Adrian.

"Oh, tadi kenapa?" tanya Lis.

"Maaf ya, Lis. Tadi ada musibah."

"Kau nggak apa-apa?"

"Nggak sih. Begini, Lis, saat nelepon, ponselku dirampas orang terus dibawa lari."

"Oh, begitu. Tadinya aku sempat khawatir. Kukira kau nelepon sambil nyetir lalu tabrakan."

"Kau khawatir, ya? Ah, terima kasih."

"Kau sempat ngomong apa, ya, sebelum putus hubungan?"

"Ngomong apa? Wah, nggak ingat tuh."

"Kau mengucapkan satu patah kata. Aneh banget kedengarannya. Seperti orang kaget."

"Tentu saja aku kaget. Ah, sudahlah nggak usah dipikirkan Aku benar-benar nggak ingat."

"Kalau aku mengingatnya, nanti kusampaikan, ya."

"Ah, sudahlah, Lis. Aku mau tanya, gimana keadaanmu di rumah?"

"Baik, lan. Menyenangkan sekali."

"Kau mau catat nomor ponselku yang baru? Juga nomor telepon rumah? Siapa tahu kau mau mengabari aku sesuatu."

"Oh ya, tunggu. Aku catat."

Usai menelepon, Lis menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ia lega karena Adrian tidak kenapa-kenapa.

"Kenapa dia, Lis?" tanya Fetty.

"Ponselnya dirampas orang. Ma."

"Biarlah. Yang penting dirinya selamat."

"Dia sudah beli yang baru."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baguslah," sahut Fetty, menyadari kelegaan dalam sikap Lis. Menilik hal itu, ia yakin biarpun sedikit, Lis punya rasa suka terhadap Adrian.

"Kau tidak menelepon Dokter Hilman, Lis?" Anas mengingatkan.

"Saya takut dia masih praktik, Pa. Entar mengganggu."

"Sampaikan saja pesan pada orang di rumahnya. Itu kan sebagai penghargaan. Jangan cuma si Ian yang dikabari."

"Ih, Papa."

Lis mencubit ayahnya. Anas berteriak. Bukan karena kesakitan, tapi kegirangan. Sudah lama sekali Lis tak pernah mencubitnya.

Ketika menelepon Hilman malam itu juga, Lis diberitahu bahwa Hilman sedang pergi.

"Papa baru saja pergi," begitu sahutan yang ditanya.

"Oh, ini anaknya, ya?"

"Ya, betul sekali."

"Yang gede atau yang kecil?"

Di sana diam sejenak. Mungkin merasa her-an oleh pertanyaan itu. Lalu menyahut ringan,

"Yang kecil, Bu. Tapi orangnya nggak kecil."

Di latar belakang terdengar suara orang tertawa.

Lis tertawa juga.

"Pasti namanya Rudy," katanya.

"Wah, betul sekali, Bu! Kalau ini Ibu siapa?"

"Saya Amarilis."

"Amatilis? Bagus sekali nama itu. Ada pesan apa, Bu Amarilis?"

"Lis saja."

"Ya, Bu Lis?"

"Kasih tahu aja sama Papa, saya sudah kembali ke Jakarta."

"Itu aja, Bu Lis?"

"Ya, itu saja. Terima kasih ya, Rud?"

"Kembali, Bu."

Usai menerima telepon itu Rudy buru-buru mencari Eddy di kamarnya. Ekspresinya terlihat heboh. Melihat kedatangannya, Eddy segera bersikap siaga kalau-kalau akan dijaili.

"Mas, kayaknya Papa punya pacar!" seru Rudy.

"Jangan main-main, Rud. Mana mungkin?"

"Mana mungkin gimana? Papa kan lelaki normal. Wajar dong kalau dia punya pacar."

"Papa itu setia sama Mama, tahu?"

"Setia itu sama orang yang masih hidup, Mas. Mama kan sudah nggak ada."

"Emangnya kamu setuju kalau Papa kawin lagi?"

"itu sih terserah sama Papa. Emangnya kita bisa melarang?"

"Kita bisa memboikotnya, Rud."

"Apa? Mas kok kejam sih."

"Papa yang kejam kalau sampai kawin lagi. Masa kita dikasih ibu tiri. Makhluk satu itu kan terkenal jahat. Entar kamu direbus, baru tahu rasa!"

Rudy cemberut sebentar. Lalu bergumam,

"Namanya Amarilis."

"Apa?"

"Namanya Amarilis."

"Kok kamu tahu sih? Dikasih tahu Papa, ya? Kok Papa nggak ngasih tahu aku juga," Eddy mengomel dengan iri.

"Papa mana mungkin ngasih tahu aku."

"Habis kamu tahu dari mana?"

"Tadi ada cewek yang nelepon nanyain Papa. Kok kedengarannya familiar banget. Pasti sudah akrab. Kalau bukan pacar, apa lagi?"

"Apa?" Eddy melotot.

"Jadi kamu cuma nebak aja?"

"Biar cuma nebak, aku yakin instingku benar!"

Eddy terduduk sambil mendesah. Ia merasa lega.

"Ala, kau dengan instinginu. Kirain bener. Udah, ah. Mendingan kamu nemenin si Indri sana. Dia takkan lama di sini."

Tapi Rudy belum ingin pergi.

"Sekarang jadi ketahuan ya isi hati Mas Eddy," katanya.

"Kau ingin Papa jadi duda terus rupanya."

"Apa kau sendiri ingin punya ibu tiri?"

"Kalau baik kan senang, Mas. Kita bisa dimanja."

"Ya kalau baik. Kalau jahat?"

"Mas, ibu tiri itu jahatnya sama anak kecil. Kalau anak tiri udah gede-gede kayak kita, mana dia berani? Apalagi kita cowok. Justru dia yang takut sama kita."

"Kau terlalu naif."

"Kau egois."

"Idih, kok sewot sih. Sana pergi! Aku mau belajar."

Rudy melangkah sambil bergumam.

"Namanya Amarilis..."

"Bosan, ah!" teriak Eddy.

Tapi setelah Rudy menjauh, Eddy memanggil,

"Ruuud! Ruuud!" Rudy berbalik.

"Ada apa, Mas?"

"Papa pergi ke mana?"

Rudy mengangkat bahu.

"Perginya sih bilang, tapi ke mana tujuannya nggak ngomong. Biasanya selalu bilang, ya? Mungkin menemui Bu Lis."

"Siapa itu?"

"Ya, kemungkinan pacarnya itu."

"Katanya namanya Amarilis."

"Panggilannya Lis."

"Ya sudah."

Rudy pergi sambil bersiul-siul. Ia ingin menghibur dan mengobrol dengan Indri. Eddy yang ditinggalkan merasa sulit konsentrasi. Mungkinkah ayahnya berminat lagi terhadap perempuan? Ia mengira ayahnya sudah menjadi lelaki yang dingin. Mustahil rasanya. Sulit membayangkan ayahnya bersanding dengan seorang perempuan selain ibunya!

Uh. gara-gara insting Rudy!

***

HILMAN tidak pergi mengunjungi Lis seperti perkiraan Rudy. Ia membuat janji dengan Adrian malam itu juga, sesuai keinginan pemuda itu tadi siang. Lebih cepat lebih baik. Sebaiknya tidak memberi kesempatan kepada Adrian untuk'membuat rencana lain. Dan sesuai dengan permintaan Adrian, dirinyalah yang pergi ke tempat tinggalnya. Di samping pertimbangan privasi, ia juga perlu mengetahui dengan pasti alamat Adrian , dan mengamati suasana rumahnya. Lelaki itu mencoba mendekati Lis, padahal dia tahu betul Lis adalah korban Mandar. Motivasi yang murni karena cinta atau ada unsur lain. Dengan mengamati dan mempelajari tempat tinggal Adrian, mungkin ia bisa memahami pribadi dan karakternya. Di samping itu tentunya ia juga tertarik mempelajari dan mengenal diri Adrian sendiri. Seperti apa gerangan orang yang paling dekat dengan manusia menyimpang seperti Mandar? Bagi Hilman, kedekatan itu sudah jelas mengingat Mandar telah mewariskan hartanya kepada Adrian. Ia yakin itu bukan disebabkan karena tak ada orang lain.

Dari pengamatan sepintas saat berbincang sebentar dengan Adrian, ia mendapat kesan baik. Adrian seorang lelaki muda yang berpenampilan ganteng, sopan, dan tampak terpelajar. Tapi tentu itu tidak cukup. Dalam keadaan normal Mandar pun berpenampilan seperti itu. Penampilan yang mengecoh.

Hilman sangat menyadari bahwa dirinya telah terseret dan terlibat jauh dalam kasus Mandar, korban dan keluarganya. Dia tidak lagi seorang mantan pengamat kejiwaan Mandar, yang tugasnya sudah lama selesai. Sekarang dia punya tanggung jawab yang tidak ringan. Beban itu tidak diserahkan orang lain kepadanya, melainkan dia sendirilah yang suka rela mengambilnya. Tetapi ia tidak menyesal. Ia malah bersemangat dan penuh keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi orang-orang yang sudah memberinya kepercayaan. Apalagi setelah ia berhasil menemukan hal-hal baru seperti hubungan Adrian dengan Mandar. Mustahil ia lepas tangan begitu saja, membiarkan Lis menderita untuk kedua kalinya?

Bagaimanapun ia menghargai niat baik Adrian untuk berbicara. Tapi ia juga tidak bisa memastikan apakah Adrian bersedia membuka kedoknya kalau bukan karena terpaksa. Tentunya Adrian tahu betul bahwa hubungan kekerabatannya dengan Mandar bisa menjadi penghalang utama bagi kelangsungan hubungannya dengan Lis. Ia takut ketahuan. Sebegitu takutnya sampai jatuh pingsan ketika kedapatan. Tentu ia tidak menyangka bahwa dirinya punya hubungan dekat dengan Anas. Jelas Adrian sudah tahu siapa dirinya karena pernah meliharnya di ruang sidang saat memberi kesaksian mengenai kondisi kejiwaan Mandar. Pantas pula kalau ia serasa pernah melihatnya di situ.

Ia teringat betapa gugupnya Adrian ketika berpapasan dengan Anas dan dirinya di depan Klinik Asuh di Bandung. Mestinya Adrian juga sudah memikirkan betapa besar hambatannya kalau ingin mendekati Lis. Tetapi ia tetap jalan

terus. Menurut Anas, Adrian sangat sabar dan gigih dalam upayanya mengambil hati Lis, meskipun sudah dijudesi dan diusir-usir. Barangkali ia memang punya niat yang tulus.

Pikiran dan pertimbangan semacam itu penting bagi Hilman untuk membentuk opini yang positif. Jadi jangan melulu negatif, menuduh dan menyangka macam-macam.

Adrian sibuk merapikan apartemennya. Biasanya keadaannya berantakan, dengan letak perabot asal-asalan. Yang penting tidak membuatnya tersandung Ia juga tidak punya selera keindahan mengatur ruang. Kalau ada hiasan dinding seperti lukisan, gambar, atau pernak pernik lainnya, itu karena ia tidak menyukai dinding yang kosong melompong. Ia merasa kurang nyaman diapit dinding-dinding berwarna putih yang kosong. Rasanya ia bisa hilang ditelan dinding-dinding itu.

Sekarang ia harus bekerja keras untuk mengatur ruang tamunya supaya kelihatan rapi dan serasi. Sayang ia tidak punya waktu lagi untuk berbelanja barangbarang pajangan seperti vas keramik atau tanaman imitasi supaya suasana tambah semarak. Tapi yang penting tidak berantakan. Bisa jadi keadaan rumahnya akan dikaitkan dengan kepribadiannya. Bila rumahnya berantakan, demikian pula kepribadiannya. Scorang ahli jiwa cenderung suka menilai orang dari apa saja yang dimilikinya.

Setelah ruang tamunya rapi ia merasa puas. Tapi kemudian ia tersentak dengan kaget ketika teringat bahwa ada kemungkinan Hilman tidak akan cukup puas hanya mengamati ruang tamunya. Siapa tahu ia akan pura-pura ke kamar kecil sekadar untuk melihat ruang lainnya. Apalagi dapur dan kamar kecil juga merupakan cerminan dari pemiliknya. Apakah dia jorok atau bersih, malas atau rajin.

Dengan menggerutu ia buru-buru bekerja lagi, membersihkan dan merapikan ruang makan, dapur, dan kamar kecil. Benar-benar berat kerjanya. Ia cuma membiarkan kamar tidurnya. Tentu Hilman tidak akan nyelonong masuk ke situ.

Setelah selesai ia masih punya waktu sedikit untuk mandi dan mengagumi hasil kerjanya. Ternyata ia telah membuat dapur dan kamar kecilnya mengilap. Cukup menyenangkan. Sebenarnya ia juga telah bekerja cukup keras untuk membersihkan rumah Mandar hingga sekarang tidak lagi terlihat kumuh. Yang itu jauh lebih melelahkan dibanding apartemennya yang lebih kecil.

Sebenarnya ia sudah berupaya mencari tenaga pembersih untuk rumah Mandar, tapi riwayat rumah itu masih diingat orang. Mereka bukannya tidak mau, tapi minta bayaran tinggi. Terlalu tinggi dan keterlaluan hingga terkesan memeras. Hal itu membuatnya jengkel dan penasaran. Kenapa tidak ia kerjakan sendiri saja? Butuh waktu seminggu untuk membuat rumah Mandar enak dilihat. Sementara kerja kilat di apartemennya cukup beberapa jam saja.

Rumahnya sudah rapi. Tubuhnya juga bersih dan penampilannya tampan. Tetapi hatinya gelisah. Ia takut kepada Hilman. Rasanya seperti menunggu vonis.

Mereka duduk berhadapan. Yang satu gugup dan gelisah, sementara yang lain mengamati dengan tatap selidik. Jelas sekali perbedaannya.

"Karena saya cuma tahu sedikit, maukah Anda menceritakan dengan lebih detil bagaimana jalannya sampai Anda mengenal Lis?" tanya Hilman.

Adrian mulai tenang.

"Perlukah itu, Pak?"

"Itu terserah Anda, mau berterus terang atau tidak. Saya tidak bisa memaksa. Ketahuilah, Mas Ian. Saya merasa bertanggung jawab untuk Lis."

"Apakah Bapak kerabatnya?"

"Kerabat atau bukan, tak bisa menjadi alasan kesediaan Anda untuk berterus terang. Bukankah Anda sendiri yang mengundang saya ke sini karena Anda ingin bicara? Nah, apa yang ingin Anda katakan?"

"Maaf, Pak. Bukannya saya tak ingin berterus terang, tapi saya cuma ingin mendapat perlindungan juga. Bisakah Anda menjamin, bahwa apa yang saya ceritakan ini tidak digunakan


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong

Cari Blog Ini