Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 5

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 5



untuk menghancurkan saya kelak?"

Hilman mengerutkan kening.

"Apa maksud Anda dengan kata menghancurkan?"

"Maaf, Pak. Kata itu mungkin kedengarannya keras. Tapi saya memang takut kalau diri saya hancur hanya karena saya kebetulan kerabat Mandar."

"Hancur atau tidak kan perbuatan Anda sendiri. Apa hubungannya dengan saya?"

"Karena Anda tahu. Dan apa yang Anda ketahui itu bisa saja Anda ceritakan kepada Lis dan orangtuanya. Akibatnya jelas saya akan hancur."

"Saya masih belum mengerti kenapa kalau saya sampaikan kepada mereka, Anda bisa hancur."

"Saya mencintai Lis, Pak. Mereka akan mendepak saya, membenci saya, kalau tahu hubungan saya dengan Mandar."

"Bukankah mereka berhak tahu? Anda kan tahu, hidup Lis dihancurkan oleh Mandar."

"Saya tahu, Pak. Tapi saya kan bukan Mandar."

"Bagaimanapun rahasia Anda ada di tangan saya. Kecuali Anda tak lagi menjadikannya sebagai rahasia."

"Maksud Bapak?"

"Ceritakanlah sendiri perihal identitas Anda dan segalanya langsung kepada Lis dan orangtuanya. Dengan demikian saya tidak mungkin lagi memeras Anda. Kalau itu yang Anda takutkan."

Wajah Adrian memerah.

"Sekali lagi maaf. Pak. Saya tidak bermaksud menuduh. Tapi saya cuma menyodorkan kemungkinan."

"Ya. Memang mungkin. Siapa tahu saya akan meminta harta warisan Anda."

Adrian terkejut. Ia tak pernah bicara soal harta Mandar. Apakah Mandar yang mengatakannya?

"Betul. Mandar yang bilang. Bahkan ia menyindirku, apakah saya juga ingin mendapat warisan. Tapi sayang, saya merasa sudah cukup kaya."

Adrian tersipu, tapi berusaha untuk bersikap biasa.

"Apakah Bapak memberi terapi kepada Lis?"

"Tidak."

Adrian tertegun.

"Jadi dia bukan pasien?"

"Bukan."

"Kok Anda dekat dengan ayahnya?"

"Kami sahabat."

Adrian tidak puas tapi merasa harus berhenti bertanya.

"Jadi pilihan mana yang Anda ambil? Masalahnya, saya sudah telanjur tahu. Jadi saya tidak mungkin mendiamkan masalah ini. Kalau Anda betul mencintai Lis, tegakah Anda membohongi dia? Saya kira dia akan lebih senang bila tahu langsung dari mulut Anda sendiri daripada dari mulut saya."

"Saya betul-betul mencintai dia, Pak."

"Nah, kalau begitu tunggu apa lagi? Segala sesuatu harus ada awalnya, kan? Bagaimana Anda bisa mengenal Lis dan kemudian tahu segala hal-ikhwalnya?"

"Saya akan menceritakannya sendiri kepada Lis, tapi tidak sekarang, Pak. Berilah saya kesempatan."

"Saya tidak setuju."

"Tolonglah, Pak. Saya mohon. Sementara ini cukup Anda dulu yang tahu siapa saya. Percayalah. Saya terlalu mencintai Lis"

"Lantas Anda mau mengulur waktu sampai kapan? Sampai Anda berhasil memikat hatinya dan ia berat melepas Anda meskipun tahu siapa Anda sebenarnya?"

Adrian tertegun. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya karena Hilman sudah menduga dengan tepat.

Hilman menggeleng.

"Dengan cara itu Anda bisa saja membuatnya semakin parah."

"Kenapa harus begitu, Pak? Saya memang saudara Mandar tapi saya kan tidak ikut serta dalam perbuatannya? Sebagai seorang ahli Anda tentu paham bahwa kelakuannya itu bukanlah penyakit yang bisa menular atau ada faktor keturunan."

"Betul. Tapi yang saya masalalikan di sini adalah Anda tidak jujur dalam menjelaskan diri Anda. Justru pada saat hubungan Anda dengan Lis belUm terlalu mendalam maka tidaklah berat baginya bila ia memutuskan hubungan."

Adrian berusaha keras mengendalikan kemarahannya.

"Bapak sepertinya sangat yakin, Lis akan memutuskan hubungan bila tahu siapa saya."

"Oh, saya tidak tahu hal itu. Saya berkata

begitu untuk kebaikan Lis semata. Kalau Anda begitu yakin bahwa Anda memang tidak punya kaitan dengan perbuatan Mandar dan itu pun bukan penyakit menular atau keturunan, apa lagi yang Anda takutkan untuk berterus terang kepadanya? Tanamkanlah keyakinan Anda itu kepadanya. Kalau Anda berhasil saya salut dan akan mendukung Anda."

"Berilah saya waktu untuk menghimpun keberanian, Pak."

"Berapa lama waktu yang Anda butuhkan? Tentu harus ada batasnya."

"Sebulan saja, Pak. Itu tidak lama."

"Sudah saya katakan tadi, saya bertanggung jawab terhadap keselamatan Lis. Terus terang saya tidak tahu bagaimana hati Anda. Saya menduga, selama ini Anda menjadi kaki-tangan Mandar. Apakah karena hartanya? Maaf, kalau Anda tersinggung. Sebaiknya kita bersikap terbuka saja. Ini demi kebaikan orang yang sama-sama ingin kita jaga."

"Jadi apa keinginan Anda?"

"Saya akan beri Anda waktu sebulan untuk menceritakannya sendiri kepada Lis. Tapi sekarang saya minta cerita Anda yang detail tentang

awal perkenalan Anda dengan Lis. Apakah itu atas suruhan Mandar? Saya sudah memikirkan. tidak mungkin Anda tahu tentang Lis kalau bukan dari Mandar. Lis dan keluarga tidak pernah melaporkan kejahatan yang dialaminya. Mereka merahasiakannya. Jadi yang tahu cuma Mandar. Dia tahu di mana Lis tinggal dan juga nama lengkapnya. Dia juga tahu di mana Lis bekerja karena pasti sudah menggeratak tasnya. Kalau dia tidak melihat isi tasnya, mana mungkin dia tahu alamat Lis. Waktu dijatuhkan di depan rumahnya, Lis dalam keadaan dibius. Nah, selanjutnya Anda disuruh memata-matai Lis. Anda berpura-pura jadi orang suruhan mantan bosnya untuk menyerahkan sejumlah uang. Padahal itu uang Mandar. Sesudah itu Anda terus membuntuti dan menyelidiki perihal Lis. Lalu Anda mengabari Mandar bahwa Lis sudah melahirkan. Betul, kan?"

"Ya. Jadi Anda sudah tahu. Buat apa lagi saya bercerita?"

"Oh, itu kan hasil dugaan dan mereka-reka. Tapi saya belum tahu semuanya. Saya ingin mendengar dari mulut Anda sendiri. Dan terutama apa sebenarnya yang jadi motivasi Man

dar untuk terus memonitor perkembangan Lis."

"Bagaimana kalau saya -tidak bersedia?"

"Berarti ada sesuatu yang Anda sembunyikan dan ada niatan Anda yang kurang baik."

"Tidak!" seru Adrian.

"Kalau begitu, apa lagi keberatan Anda untuk bercerita? Kalau Anda tidak bersedia, maka dengan terpaksa saya akan menyampaikan ini kepada Lis dan orangtuanya. Saya harus melindungi mereka karena saya tidak tahu isi hati Anda. Apalagi Anda adalah kaki-tangan Mandar."

"Benar kan Anda memeras saya?" keluh Adrian.

"Memeras itu berarti mencari keuntungan pribadi. Tapi di sini tidak."

Adrian merasa kesal. Ia menilai pendekatan yang dilakukan Hilman terlalu arogan. Padahal awalnya ia sudah berniat untuk mengungkapkan semuanya. Ia menganggap Hilman sok melindungi Lis dan tidak percaya kepadanya. Hilman melihat arlojinya. Suatu pertanda bagi Adrian.

"Baiklah. Saya akan bercerita."

Hilman mendengarkan dengan cermat cerita Adrian yang runtut dan teratur. Tentang hubungannya yang akrab dengan Mandar. Masing-masing tidak punya saudara atau teman hingga terdorong menjadi dekat. Mandar punya banyak harta yang tak bisa dihabiskannya sendiri hingga mengajaknya berbagi. Ia terus terang mengatakan, bahwa dirinya tidak punya apa-apa. Orangtuanya tidak meninggalkan warisan berarti karena memang tidak berpunya. Kemudian Mandar menjadikannya ahli waris hartanya itu.

"Sebelum kasusnya terbongkar?" tanya Hilman.

"Betul. Saya bisa memperlihatkan surat wasiat yang dibuatnya, Tanggalnya ada." Hilman menyimpan rasa herannya. Mungkin saat itu Mandar punya insting atau perkiraan bahwa pada suatu saat kejahatannya akan terbongkar juga di mana ia terancam hukuman mati. Itulah sebabnya ia perlu menyiapkan hartanya agar berada di tempat yang aman. Harta itu memang tak bisa dibawa mati. Tak ada orang lain yang cocok selain Adrian.

"Bagaimana perasaan Anda waktu itu?"

"Takjub dan tidak percaya. Mungkin ia bergurau. Tapi saya juga takut kalau-kalau ia mengidap penyakit mematikan. Ternyata ia serius."

"Baiklah. Teruskan cerita Anda."

Adrian menceritakan betapa kagetnya dia ketika Mandar ditangkap. Dirinya pun diperiksa polisi. Tapi Mandar dengan tegas menyatakan bahwa ia melakukannya sendirian. Ia sangat bersyukur untuk ketegasan Mandar, yang menyelamatkannya dari kecurigaan polisi.

"Anda tidak merasa ngeri dan heran bagaimana orang yang dekat dan akrab dengan Anda bisa begitu keji?"

"Oh ya, tentu saja. Saya tak habis pikir. Tak menyangka. Seperti mimpi buruk. Tapi semua itu memang benar."

"Apakah ia bercerita kepada Anda tentang latar belakang perbuatannya itu?"

"Tidak pernah."

"Anda tidak ingin tahu?"

"Saya... saya tidak berani bertanya-tanya. Saya takut mendengarnya. Saya tidak mau mendengar ia bercerita tentang perbuatannya yang mengerikan secara detail."

"Apakah perbuatannya itu membuat pandangan Anda terhadap dia berubah?

"Ya. Saya jadi ngeri dan merasa dia jadi orang yang asing. Kenapa dia seperti itu?"

"Anda dekat dengannya. Tidakkah Anda pernah menaruh kecurigaan mengenai perbuatannya. Misalnya, tidakkah Anda pernah mendengar suara-suara dari ruang bawah tanah atau bekas-bekas perbuatannya?"

"Tidak. Saya memang suka menginap di rumahnya, tapi tidak sering. Mungkin ia bisa mengatur waktu."

"Pembersih yang menemukan ruang bawah tanah melihat pintunya mencuat hingga ia mencium bau dan selanjutnya menemukan semuanya. Menurut Anda, kenapa Mandar bisa seceroboh itu?"

"Menurut saya, pembersih itulah yang usil. Dia memberi alasan itu untuk menutupi keusilannya."

"Oh, begitu? Nah, sekarang ceritakan halhal yang menyangkut Lis."

"Pada saat ditahan Mandar bercerita mengenai Lis. Ia menyesal telah melakukan kekeliruan..."

"Tunggu," Hilman menyela.

"Jadi ia ingat semuanya tentang Lis. Namanya, alamatnya,

dan juga perusahaan di mana ia bekerja."

"Betul. Saya mencatatnya. ia punya ingatan yang kuat. Kalau bukan dari dia, mana mungkin saya bisa tahu?"

"Oh, ingatannya kuat, ya? Baik. Lanjutkan."

Adrian menceritakan penyelidikannya mengenai Lis dan bagaimana ia membuntutinya sampai ke Bandung.

"Saya melakukan hal itu atas permintaan Mandar. Ia ingin tahu apakah Lis baik-baik saja dan bagaimana keadaannya. Untuk itu saya harus mendekati Lis dan berupaya mengenalnya. Mula-mula sih tidak ada rasa apa-apa, tapi kemudian saya saya jatuh cinta kepadanya. Saya mengagumi dia, Pak. Saya tulus ingin melindunginya, ingin menolongnya. Mana mungkin saya berbuat jahat kepadanya?"

"Anda tahu dia sangat membenci Mandar?

"Ya. Tapi saya bukan Mandar."

"Anda telah memata-matainya untuk kepentingan Mandar. Apa Anda pikir dia bisa menerima itu?"

"Tapi Mandar juga tidak bermaksud jahat, Pak. Dia melakukannya justru karena dia mengkhawatirkan keadaan Lis. Kalau tidak

peduli, buat apa dia menyuruh saya melakukan itu semua?"

"Dia ingin tahu tentang anaknya."

"Semula kan dia nggak tahu bahwa Lis hamil.

"Andalah yang memberitahu. Mestinya Anda tidak usah memberitahu. Dia, kan tak bisa keluar lagi. Kenapa Anda lakukan itu?"

"Itu disebabkan karena saya ingin membuatnya senang. Saya kasihan. Dia toh akan mati."

"Kasihan?" suara Hilman meninggi.

"Bagaimana dengan korban-korbannya? Juga Lis?"

"Tentu saya kasihan juga pada mereka. Tapi cobalah pahami kondisi saya, Pak. Saya kerabat satu-satunya."

"Dan ahli waris hartanya," sindir Hilman.

Wajah Adrian memerah. Tapi ia menelan sindiran itu. Walaupun merasa kurang senang, ia mengingatkan dirinya untuk bersikap low profile. Biar merasa benar tapi jangan perlihatkan itu.

"Ya. Memang benar. Tapi Mandar ingin sekali bisa memberikan hartanya kepada Lis dan anaknya. Cuma tentu saja dia tidak tahu ca

ranya. Saya juga tidak tahu."

Hilman menggelengkan kepala.

"Harta tidak menyelesaikan masalah, Bung! Coba saja pikir bagaimana reaksi Lis kalau dia tahu uang yang Anda berikan itu berasal dari Mandar."

Adrian mengangguk dengan cemas.

"Saya tahu, Pak. Tapi bagaimana lagi? Itu sudah terjadi. Dan sungguh itikadnya adalah baik. Apakah Bapak percaya?"

"Dalam hal itu saya percaya. Mandar tidak punya apa-apa lagi selain harta yang ada di bawah kendali Anda. Jadi cuma itu yang bisa ia gunakan untuk berbuat buruk ataupun baik."

"Benar, Pak. Tapi saya kira itu masih lebih baik dibanding dia tidak punya apa-apa."

"Sebaiknya kita tidak bicara soal hartanya lagi, Mas. Apa lagi yang dia suruh Anda lakukan setelah tahu Lis melahirkan bayi lelaki?"

"Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Lis dengan bayinya."

Hilman menjadi cemas.

"Lalu?"

"Dia tahu bahwa Lis memberikan bayinya untuk diadopsi orang lain."

"Dari mana Anda tahu itu? Dari Lis sendiri?

Adrian tidak mau mengungkapkan perih:

Rima yang menjadi sumber infomasinya di Klinik Asuh.

"Tentunya saya bisa melihat sendiri situasinya, Pak. Mereka tidak membawa pulang bayinya."

Hilman bisa menerima penjelasan itu.

"Apa dia menyuruh Anda mencari tahu siapa yang kelak mengadopsi bayi itu?"

"Ya."

"Lalu? Apa Anda sudah tahu?" tanya Hilman dengan tegang .

"Belum," sahut Adrian berbohong. Ia bisa menangkap ketegangan di wajah Hilman.

"Untuk apa sih dia mengetahui hal itu? Dia kan ada di penjara dan menunggu hukuman mati."

"Maksudnya baik, Pak. Dia ingin saya memantau terus perkembangan bayi itu supaya tidak kurang suatu apa."

Hilman mengerutkan keningnya lebih dalam.

"Ah, buat apa? Biarkanlah anak itu tumbuh tanpa gangguan. Percayakan saja pada orangtua angkatnya. Coba pikirkan, Mas. Orangtua yang berusaha keras mencari anak untuk diadopsi

tentu punya itikad yang baik. Mereka merindukan anak untuk dilimpahi kasih sayang dan segala sesuatunya. Jangan masuk dan menginterupsi, Mas. Itulah yang akan terjadi bila Anda tahu terlalu banyak."

"Saya tidak akan menginterupsi. Cuma memantau saja."

"Tapi tadi Anda katakan supaya tidak kurang suatu apa. Itu berarti bila dia kekurangan, menurut persepsi Anda, maka Anda akan masuk untuk membantu. Bukankah itu bisa menimbulkan masalah?"

"Bagaimana kalau kelak dia ingin tahu siapa orangtua kandungnya, Pak?"

"Ingin tahu itu wajar saja. Tapi dia tidak akan tahu bila tidak ada yang memberitahu. Biarkan dia hidup -tenang. Mandar sudah melakukan kejahatan yang berat sekali. Janganlah efeknya mengimbas pada orang yang tidak bersalah."

Adrian merenung.

"Sebenarnya saya juga sudah memikirkan hal itu, Pak. Jangan mengira saya berniat merusak seorang anak yang lahir suci. Saya sangat simpati dan memikirkannya juga. Karena itulah muncul dorongan ingin membantu. Bukan se

mata-mata karena disuruh Mandar saja. Andaikata dia menyuruh saya melakukan hal buruk, tentu saja tidak akan saya lakukan. Bukankah saya juga menempuh risiko dalam melaksanakan apa yang telah saya lakukan? Toh dia juga tidak tahu kalau dibohongi."

Hilman memperhatkan Adrian saat berbicara. Semakin lama kejengkelannya kepada pemuda itu semakin lenyap, diganti oleh simpati yang makin tumbuh. Benarlah apa yang dikatakan tentang cinta, bahwa dia buta dan tak punya pertimbangan!

"Sebenarnya saya sudah berusaha melupakan Lis, Pak. Saya tahu risikonya berat. Tapi kenapa ya, saya tidak bisa melupakannya. Saya terus memikirkannya, ingin dekat dengannya, ingin membantunya meringankan beban, dan berbagai keinginan baik lainnya. Padahal semakin sering saya dekat dengannya, semakin sulit buat saya melepaskan diri dari pesonanya."

"Apakah Anda berterus terang kepada Mandar mengenai perasaan Anda kepada Lis?"

"Oh, tentu saja tidak."

"Kenapa tidak? Tentu Anda punya alasannya.

"Saya takut dia tidak suka."

"Lho, kenapa? Dia kan tidak punya urusan lagi, Mestinya dia justru mendukung."

"Entahlah. Saya pikir lebih baik tidak usah bilang terlalu banyak."

"Anda tahu dia menggambar perempuan?"

"Ya"

"Ada gambar bayi juga di situ. Menurut Anda, siapa yang dia gambarkan itu?"

"Lis dan bayinya," sahut Adrian terus terang. Ia tahu, bahwa Hilman pasti sudah memperkirakan hal itu juga.

"Apa artinya itu?"

"Saya tidak tahu, Pak. Dia tidak mau mengatakan. Sebelumnya, dia pernah minta saya mengusahakan foto Lis. Tapi saya bilang, itu sulit. Kalau saya sampai dicurigai kemudian ketahuan, maka saya tak akan bisa mendekati Lis lagi. Lagi pula bagaimana kalau ada yang mengenali Lis dari fotonya itu? Di dalam penjara orang kan tidak punya privasi. Dia menggambar saja sudah ditengok-tengok. Kalau foto tentu ditanyai, siapa yang difoto itu."

"Apakali dia merasa kecewa?"

"Ya. Tapi setelah saya jelaskan, dia cukup

memahami risikonya. Sebenarnya dia tidak punya niat jelek terhadap Lis."

"Menurut Anda, apa yang dipikirkan dan dirasakannya terhadap Lis sampai menggambar segala?"

"Saya juga bingung, Pak. Mulanya saya pikir dia menyayanginya atau menyesali kekeliruannya. Tapi kemudian saya takut dia membencinya."

Hilman terkejut.

"Membencinya? Kenapa Anda sampai berpikir begitu?"

"Sebab dia pernah mengeluh, seharusnya Lis merawat sendiri bayinya."

"Oh, begitu. Baiklah. Saya kira perbincangan kita cukup untuk saat ini."

"Jadi Anda akan memenuhi janji?"

"Ya. Sebulan, kan?"

"Terima kasih, Pak."

"Tapi kalau boleh saya memberi saran, Mas Ian. Sebaiknya waktu sebulan ini jangan cuma digunakan untuk mendekati Lis saja. Tapi cobalah Anda juga berpikir lebih jernih. Pikirkanmasa depan Anda sendiri. Bagaimana sekiranya Lis menolak cinta Anda setelah tahu hubungan Anda dengan Mandar? Ia tak mungkin melupakan kejadian itu. Traumanya berat. Ditolak itu berat rasanya, Mas. Nanti sakitnya bukan cuma terasa oleh satu orang, tapi dua. Yaitu Anda dan Lis. Tadi Anda sendiri bilang takut hancur. Anda tidak mau hancur, kan?"

"Jadi bagaimana?" tanya Adrian dengan murung.

"Sebaiknya Anda menjauh dari Lis. Dengan demikian Anda tidak perlu bercerita dengan risiko menyakitkan bagi diri Anda dan Lis sendiri. Lalu Anda menjalani hidup sendiri yang bebas dari risiko tidak enak seperti itu. Tentu saja Anda pun tidak perlu mencampuri lagi masalah bayinya." Adrian berpikir sejenak. Semula dia ingin mendebat, tapi kemudian memutuskan lain. Ia sudah capek.

"Baiklah, saya akan memanfaatkan waktu itu untuk berpikir, Pak. Sekarang tanggal 20 September. Jadi tanggal 20 Oktober keputusan saya."

"Lebih baik lagi bila sebelum itu Anda sudah memutuskan."

"Mudah-mudahan."

Hilman pamitan. Ia pulang dengan beban tanggung jawab. Baik naluri maupun pertimbangan rasionalnya mempercayai Adrian. Tapi

rasa tanggung jawabnya lebih kepada Lis. Ia berharap Adrian mau mengikuti nasihatnya. Bila tidak, ia tinggal berharap pada kebijakan dan ketabahan keduanya.

Adrian terenyak dalam perasaan tak berdaya. Sebenarnya ia tidak terlalu optimis mengenai Lis. Apakah Lis akan menerima cintanya atau tidak saja ia belum tahu, aplagi kalau ditambah dengan pemberitahuan mengenai hubungannya dengan Mandar. Sepintas lalu tampaknya saran Hilman adalah yang terbaik untuk diikuti. Bahkan ia sendiri pun pernah memikirkan kemungkinan itu. Tetapi kalau ia teringat pada Lis dan membayangkan kembali semua yang ada pada dirinya serta perkembangan hubungan mereka, terasa betapa berat untuk melupakannya. Apalagi pada pembicaraan terakhirnya lewat telepon dengan Lis tadi, terdengar jelas kekhawatiran Lis mengenai dirinya. Itu adalah pertanda baik. Suatu prestasi atau kemajuan. Mustahil diabaikan begitu saja.

****

Dengan heran Hilman mendapati kedua anaknya sedang menunggu kepulangannya. Padahal saat itu sudah hampir jam sebelas malam. Biasanya pada saat seperti itu mereka sudah tidur nyenyak.

"Papa kan nggak perlu ditungguin," katanya dengan perasaan tersentuh, tapi juga menduga-duga adanya sesuatu.

"Kami kan khawatir, Pa," kata Eddy.

"Apalagi ponselnya dimatiin."

"Ya, sudahlah. Ayo pergi tidur sana. Sudah malam. Papa juga mau tidur."

"Nggak ngomong-ngomong dulu, Pa?" tanya Rudy.

"Ngomong apa?" tanya Hilman heran.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok sajalah kita ngobrol. Sekarang kan sudah larut. Besok pagi Papa ada jadwal kuliah."

"Memangnya Papa dari mana sih?" tanya Rudy.

"Dari rumah teman. Ngobrolnya kelamaan."

"Bukan dari rumah Bu Amarilis atau Bu Lis?"

Hilman ternganga. Cara Rudy bertanya itu seperti mengandung misteri.

"Tadi dia nelepon lalu nitip pesan," Rudy menyambung sebelum ayahnya sempat bicara.

"Oh, begitu. Pesan apa?"

"Katanya dia sudah tiba di Jakarta."

"Itu saja?"

"Ya. Tapi aku heran, Pa. Kok dia tahu namaku?"

"Memangnya dia ngomong apa sih?" Hilman balas bertanya.

"Dia tanya ini anaknya yang gede atau yang kecil. Aku bilang, yang kecil tapi orangnya nggak kecil. Oh, yang namanya Rudy, begitu katanya sambil tertawa. Ya cuma itu aja, Pa."

Hilman tertawa ngakak. Dia segera menyadari prasangka anak-anaknya. Kompak sekali mereka berdua, pikirnya.

"Dia adalah anak teman Papa. Boleh dikata dia pasien. Umurnya paling lebih tua dua-tiga tahun dari Eddy. Udah ya, Papa capek sekali."

Hilman melangkah pergi cepat-cepat.

Eddy dan Rudy saling berpandangan sejenak. Kemudian Eddy berseru,

"Jadi dia bukan pacar Papa?"

Hilman sudah meletakkan kakinya di anak tangga pertama. Ia berhenti dan menoleh. Kepalanya digelenggelengkan.

"Tentu saja bukan. Apa-apaan sih kamu ini." Lalu dia setengah berlari menaiki tangga, khawatir ditanyai lagi. Ia sudah benar-benar ingin menjatuhkan dirinya di tempat tidur.

Eddy melotot kepada Rudy. Buru-buru Rudy berlari. Di belakangnya Eddy mengejar.

****

TANPA publikasi, berkat bantuan Hilman, Santoso berhasil menggali kubur Indah dan memindahkan jenazahnya ke dalam peti. Mereka sekeluarga pun bersiap pulang kembali ke Purworejo dengan membawa jenazah Indah. Dengan derai air mata dan ucapan terima kasih mereka berpisah dari Hilman.

Rudy meminta izin ayahnya untuk mengantarkan keluarga itu. Di sana ia akan menghadiri pemakaman kembali jenazah Indah, lalu pulang kembali ke Jakarta naik kereta api. Untuk keperluan itu ia harus bolos kuliah. Tapi ia berjanji akan mengejar ketinggalannya sebaik mungkin. Hilman tak bisa tidak mengizinkan. Rudy bukan sekadar menemani keluarga Santoso, tapi juga bisa membantu.

"Sayang keinginan kami untuk melihat ruang bawah tanah rumah itu tidak bisa terlaksana," kata Santoso sebelum berpisah.

Hilman segera teringat kepada Adrian. Sebenarnya ia bisa saja berusaha memenuhi keinginan Santoso itu dengan meminta bantuan Adrian. Tetapi ia segan. Sebaiknya tidak berhubungan dengan Adrian sebelum batas waktu sebulan tiba.

"Siapa tahu suatu waktu nanti keinginan itu bisa tercapai, Pak. Biar satu-satu dulu."

"Betul sekali, Pak Dokter. Yang ini bisa terlaksana saja sudah syukur banget."

Hilman melepas kepergian mereka dengan penuh haru. Tapi ia juga bangga karena bantuannya membawa hasil.

"Kasihan ya, Pa," kata Eddy yang mendampinginya.

"Ya."

"Monster itu benar-benar iblis. Apa susahnya mengaku?" gerutu Eddy.

"Memang tidak susah. Tapi sengaja bikin susah," sahut Hilman sama gemasnya.

"Mestinya orang yang sudah divonis mati itu bertobat."

"Bagaimana mau bertobat kalau dia tidak

menyesal?"

"Apakah orang seperti itu pasti masuk neraka, Pa?"

"Wah, pastinya sih nggak tahu, Ed. Tapi perkiraan Papa iya."

"Kita harus yakin, Pa. Kalau nggak, akan banyak sekali monster di bumi ini," kata Eddy dengan serius.

Hilman melirik Eddy. Ternyata putra sulungnya itu lebih tinggi darinya. Ia tersenyum dan menepuk punggung Eddy.

Seminggu setelah kepulangannya, Lis datang mengunjungi Hilman bersama ayah dan ibunya. Sebuah kunjungan sosial. Sebelumnya Lis sudah menelepon Hilman dan menyatakan keinginannya, lalu Hilman menentukan waktunya. Sebagai orang yang banyak kesibukan ia harus bisa mengatur waktu dan tentunya ia ingin bisa bersantai tanpa dikejar jadwal. Di samping itu ia menunggu Rudy pulang dulu.

Maksudnya supaya Rudy pun bisa berkenalan dengan Lis, karena sebelumnya anak itu punya persangkaan macam-macam.

Ia memberitahu kedua putranya itu perihal kunjungan tersebut. Kalau Eddy memang ingin tahu lebih banyak, tentu ia akan meluangkan waktu untuk berada di rumah pada waktu itu. Ternyata kedua anaknya antusias.

Ternyata mereka justru heran kenapa kunjungan itu terkesan resmi. Bukankah para tamu itu bukan orang jauh hingga kunjungannya perlu diatur seperti itu? Dan kalau disebut sahabat, kenapa baru dikenalkan sekarang? Mereka cukup tahu dan kenal beberapa orang yang menjadi sahabat ayah mereka. Tapi mereka tidak pernah diundang datang ke rumah beserta keluarga. Apalagi sampai diajak makan malam. Kalaupun mau mengajak makan, biasanya Hilman lebih suka makan di luar daripada di rumahnya.

"Jadi artinya cuma ada satu," Rudy menyimpulkan."Papa mau memperkenalkan mereka pada kita. Yang penting bukan ayah atau ibunya, tapi anaknya!"

"Tapi kata Papa, umur cewek itu cuma lebih tua sedikit dari aku."

"Siapa tahu Papa itu tua-tua keladi. Atau kambing bandot yang suka daun muda."

"Eh, jangan sembarangan ngomong!" Rudy tertawa.

"Kan orangnya nggak dengar, Mas!"

"Tapi aku punya mulut!"

"Eh, Mas mau mengadu, ya?"

"Semauku."

Mereka kembali berkejaran.

Lis langsung tersenyum akrab begitu bersalaman dengan Rudy. Tapi dengan Eddy ia agak canggung.

"Sepertinya aku sudah kenal lama denganmu, padahal baru aja," kata Lis.

Hilman terheran-heran. Perilaku Lis yang ceria di luar dugaannya.

Rudy tertawa gembira. Ia menilai Lis sangat cantik. Tapi Eddy menganggap kecantikan itu berbahaya. Ia lebih banyak bersikap sebagai pengamat.

Mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan bersifat umum. Anas dan Fetty sangat ramah kepada Eddy dan Rudy. Bila Rudy menerima perlakuan itu dengan senang-senang saja, Eddy menganggapnya sebagai "udang di

balik batu".

Mungkin karena ekspresi Eddy yang tampak dingin, Lis lebih suka mengajak Rudy berbincang. Tetapi Lis tidak punya prasangka negatif. Ia mengira Eddy tidak suka pertemuan itu karena pikirannya lebih banyak tertuju kepada pacarnya. Tentu Eddy lebih suka berada bersama pacarnya daripada berkumpul dengan orangorang yang tidak dikenal.

Rudy sendiri tidak berani melontarkan guyonan atau bersikap jail karena belum memahami motif kunjungan mereka. Ia takut salah omong. Karena itu suasana jadi kaku dan formal.

Hilman sendiri sudah menduga bahwa suasana akan seperti itu. Ia tidak mengharapkan pertemuan dan perkenalan pertama bisa berlangsung meriah dan akrab. Ia juga tahu betul apa makna tatapan tajam Eddy, yang kerap berpindah-pindah dari dirinya ke Lis. Perasaannya sungguh geli. Tapi ada juga keprihatinan. Anak itu tidak bisa menggunakan akal sehat.

"Baiknya saya manggil apa, ya? Ibu atau Mbak?" tanya Rudy kepada Lis.

"Mbak dong."

"Tapi waktu di telepon bilangnya Ibu."

"Ngomong di telepon kan orangnya nggak kelihatan. Rudy duluan yang manggil Ibu. Tapi terserah kaulah, manggil apa juga oke. Asal jangan Nenek, ya."

Mereka semua tertawa, kecuali Eddy. Ia cuma tersenyum kaku. Apa yang lucu, pikirnya.

"Sudah lama kenal Papa, Oom?" tanya Eddy kepada Anas.

"Belum lama," sahut Anas.

"Kurang-lebih sebulan," Lis menambahkan.

"Belum lama tapi sudah akrab, ya?" kata Eddy sambil melirik ayahnya.

Hilman tersenyum. Ia merasakan sindiran dalam ucapan Eddy itu.

"Keakraban itu tidak tergantung pada waktu, Ed," kata Lis.

Eddy tertegun oleh jawaban yang tegas dan tajam. Ia merasa kesal karena Rudy meliriknya sambil tersenyum. Rasakan kau, begitu terbaca olehnya.

Tapi ia belum mau menyerah.

"Oh ya? Tapi mesti ada sebabnya, Mbak. Mana mungkin kenalan di jalan lalu dalam waktu singkat menjadi akrab."

"Memang ada sebabnya. Dok adalah penyelamat saya," sahut Lis tenang.

Eddy dan Rudy terkejut. Bukan cuma mereka yang terkejut, tapi juga Hilman dan kedua orangtua Lis. Suasana menjadi hening. Apakah Lis akan membuka rahasia yang sudah dijaga baik-baik itu?

Kedua anak menatap ayah mereka dengan ekspresi minta jawaban. Tapi Hilman pura-pura tidak melihat.

"Di mana sih kenalnya, Mbak?" tanya Rudy kembali mengalihkan tatapannya kepada Lis.

Lis tersenyum.

"Di ruang konsultasi," katanya.

"Saya pasiennya. Saya mengalami trauma berat. Mimpi buruk segala. Dok memulihkan saya. Kami sekeluarga berutang budi."

Ketegangan Eddy dan Rudi sirna dalam sekejap.

"Oh, begitu," ucap mereka berbarengan.

Hilman tertawa, diikuti oleh Lis dan orangtuanya.

"Jadi betul, kan?" kata Lis lagi.

"Keakraban orang tidak ditentukan oleh waktu."

"Betul sekali. Tapi apa yang dilakukan Papa itu kan sudah profesinya. Kewajibannyalah menyembuhkan orang. Tak usah berutang

budi," kata Rudy.

Hilman menjulurkan lidahnya kepada Rudy. Tapi anak itu tidak melihat kepadanya.

"Kau ngomong begitu karena kau tidak mengalami sendiri sih," balas Lis.

"Ngalamin apa, Mbak? Eh, maaf, itu rahasia, kan?" kata Rudy sambil tersenyum.

Sekarang semuanya tersenyum lega. Termasuk Eddy. Kalau begitu perempuan yang satu ini tidak berbahaya. Ketegangan mencair. Semua prasangka dan kekhawatiran lenyap. Mereka bisa berbincang dengan lebih santai dan menjauh dari topik yang peka.

Makan malam berlangsung dengan sukses. Makanan yang dipesan dari restoran terasa lezat. Eddy sempat melupakan pacarnya.

Sebenarnya Hilman ingin bicara empat mata dengan Lis. Tapi ia tahu tak bisa menghindar dari tatap selidik kedua putranya. Ia harus mencari kesempatan lain.

"Lis, besok bisa datang ke tempat praktik? Kalau bisa, saya jadwalkan waktu untukmu."

"Oh, tentu saja bisa, Dok."

Eddy dan Rudy tidak menaruh prasangka untuk itu.

"Nggak sangka ya, ternyata Papa bisa juga punya pasien yang muda dan cantik," kata Eddy, setelah para tamu pergi.

"Memangnya pasien itu harus tua dan jelek? Kau nggak tahu saja," sahut Hilman tersenyum.

"Untung Papa nggak mata keranjang," kata Rudy.

"Biar mata keranjang pun nggak ada yang mau, Rud."

"Itu sih minder namanya, Pa!" seru Rudy.

"Papa masih gagah kok. Dan belum terlalu tua."

"Ah, sudah tua kok," sanggah Eddy.

"Umur bisa tua, tapi semangat kan nggak ya, Pa?" Rudy membela ayahnya.

"Iya, gimana kalian sajalah."

"Lis itu sudah kawin atau belum, Pa?" tanya Eddy.

"Belum."

"Wah, Mas Eddy naksir, ya?" goda Rudy.

"Yang mata keranjang siapa?"

"Cuma nanya begitu kan bukan berarti naksir. Aku sih nggak berminat sama cewek yang punya problem."

"Apa maksudmu, Ed?" tanya Hilman tajam.

Eddy tertegun oleh nada tajam ayahnya.

"Maksudku... eh, begini. Dia kan punya trauma. Kalau nggak berat masa datang ke Papa? Berarti kalau menjalin hubungan sama dia bisa menimbulkan problem. Bukan begitu, Pa?"

"Orang yang tidak pernah punya problem itu belum tentu tidak menimbulkan problem, Ed. Sama kayak orang yang tidak pernah divaksinasi dan tidak pernah sakit, bila sekalinya terserang virus bisa payah, karena tak punya kekebalan. Orang menjadi matang dan dewasa karena problem."

Eddy termangu. Kali ini ia tidak peduli ditertawai oleh Rudy.

"Tapi dia belum sembuh, kan?" tanya Eddy lagi.

"Buktinya dia masih disuruh datang."

"Oh, dia sudah sembuh. Papa masih perlu berbincang sedikit. Dan satu hal lagi yang perlu kalian ketahui. Lis itu bisa sembuh dengan kekuatan sendiri. Papa cuma memberi sedikit pengarahan saja. Tak ada obat yang dia minum, tak ada terapi khusus yang dia jalani."

"Tapi kok mereka sampai berutang budi segala," Rudy merasa bingung.

"Ada orang yang diberi utang seribu rupiah tapi merasa teramat bersyukur. Tapi ada orang

yang diberi sejuta tanpa rasa syukur kecuali terima kasih di bibir saja. Perbedaannya terletak pada orang dan situasinya."

Rudy melompat lalu memeluk ayahnya.

"Terima kasih, Pa. Aku senang dan bangga punya Papa sebagai ayah."

Eddy tak mau ketinggalan. Ia melakukan hal yang sama.

"Sori, ya Pa. Aku sempat mikir jelek," katanya penuh sesal.

"Iya, Pa. Dia cemburu," goda Rudy. Eddy memelototi adiknya.

"Nggak apa-apa. Prasangka itu kan wajar," kata Hilman.

"Kalau dia ngomongnya vulgar. Dia bilang Papa itu kan "

Eddy tak meneruskan ucapannya karena menangkap gerakan Rudy. Sebelum disergap ia keburu lari.

Rudy mengejarnya. Dalam sekejap keduanya menghilang dari pandangan Hilman.

Hilman tertawa sambil geleng-geleng kepala. Anak-anak itu adalah hartanya yang tak ternilai. Dia sudah merasa cukup dengan hartanya itu. Buat apa menginginkan lebih?

Tapi kemudian dalam kesendiriannya muncul pikiran yang tadinya tak pernah mampir. Sekarang mereka memang sangat menghibur, tertawa dan bercanda bersamanya. Tetapi sampai kapan? Kelak mereka akan berkeluarga. Tentunya pada saat itu mereka lebih suka bercanda dengan keluarga sendiri. Apakah dirinya, si kakek tua renta, masih termasuk?

Tiba-tiba ia merindukan istrinya lebih daripada sebelumnya.

****

ESOK sorenya, Lis menemui Hilman di ruang praktiknya sesuai janjinya kemarin. Ia sudah menunggu sebelum Hilman memulai praktiknya dan mendapat prioritas pertama.

"Mestinya saya nggak ke sini, Dok. Jadinya saya merugikan pasien lain," kata Lis sebelum mulai berbincang.

"Saya sengaja mengatakannya di depan anak-anak untuk meyakinkan mereka bahwa kau memang pasien saya," sahut Hilman, lalu bercerita tentang persangkaan anak-anaknya perihal hubungannya dengan Lis.

Lis tertawa.

"Waduh, rupanya mereka sangat memperhatikan gerak-gerik Dok. Itu tanda sayang."

Hilman tertawa juga. Ia tak mau membuang waktu.

"Maukah kau bercerita tentang Adrian?"

Lis terkejut. Ia tak menyangka.

"Adrian? Kok dia yang dibicarakan sih, Dok?"

"Saya cuma ingin tahu keseriusannya. Bukankah ia sedang berusaha mendekatimu? Oh, maa-f, Lis. Ini tentunya masalahmu pribadi Saya tidak berhak mencampuri."

"Nggak apa-apa, Dok. Saya malah senang ditanyai. Itu artinya Dok memperhatikan saya."

"Begini, Lis. Ayahmu bercerita tentang Adrian. Saya senang kau sudah mau bersosialisasi. Bagaimana pendapatmu sendiri tentang dia?"

Lis bercerita tentang awal perkenalannya dengan Adrian dan bagaimana lelaki itu begitu gigih mendekati dan membuntutinya. Itu cocok dengan cerita Adrian sendiri.

"Dia sudah tahu bahwa saya melahirkan tanpa suami, tapi tidak tahu siapa lelaki itu."

"Apa dia pernah bertanya-tanya siapa dan bagaimana?"

"Sama sekali tidak. Ia menghindari soal yang satu itu."

"Jadi dia tidak kelihatan ingin tahu?"

"Tidak. Mungkin ia takut menyinggung perasaan saya. Saya sering bersikap judes ke

padanya dengan harapan ia akan pergi. Tapi ia tidak mau pergi."

"Bagaimana penilaianmu untuk kegigihannya itu?"

"Saya heran, Dok."

"Heran? Kenapa?"

"Apa iya ada orang yang seperti itu? Memang dia belum menyatakan isi hatinya kepada saya. Tapi semua sikapnya itu kan sudah jelas tanpa harus dikatakan. Saya tahu, dia mau menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya. Entah kapan."

"Kau belum menjelaskan kenapa kau merasa heran."

"Dia sudah tahu saya orang yang punya trauma. Punya ahak tapi tega memberikannya kepada orang lain. Kenapa dia mesti mencintai saya? Apa karena saya kebetulan punya wajah cantik?. Tapi orang yang cantik itu kan banyak sekali. Dia bisa mencari orang lain, yang bersih dan suci."

"Apa menurutmu dia tidak logis?"

"Ya."

"Orang bilang, cinta itu buta. Mungkin selama ini dia tekun mempelajari dirimu, lalu jatuh

cinta. Bisa saja, kan? Kadang-kadang ada orang yang baru kenal saja sudah jatuh cinta, padahal tidak tahu apa-apa. Lantas apa yang menurutmu tidak logis?"

Lis merenung sejenak, lalu berkata pelan,

"Entahlah, Dok. Mungkin trauma itu membuat saya lebih kritis menilai orang. Saya tidak begitu yakin terhadap orang yang kelihatan perfek."

"Apa dia kelihatan perfek?"

"Tentu saja. Orangnya cakep, kaya oleh warisan, dan punya perilaku santun. Juga sangat baik, gigih, dan sabar menghadapi saya meskipun sudah tahu siapa saya."

"Memangnya kenapa bila orang kelihatan perfek? Bukankah itu justru ideal?"

"Saya malah takut, Dok."

"Tak ada orang yang perfek, Lis."

"Betul. Jadi, mestinya ada yang disembunyikan."

Hilman terkejut.

"Apa kau curiga ada sesuatu yang buruk yang disembunyikan olehnya?"

"saya tidak mau jadi orang paranoid, Dok. Saya ingin normal."

"Kau cuma berusaha bersikap kritis. itu bukan paranoid. Kalau iya, kau tak pernah memberinya kesempatan untuk mendekat."

Mata' Lis berkaca-kaca. Hilman selalu mempunyai cara untuk membuatnya percaya diri.

"Lis, saya harap, sebelum kau menentukan-sikapmu kepadanya, cobalah untuk menemukan dirinya yang seutuhnya. Maksudku, bukan hanya apa yang terlihat olehmu selama ini. Kenalilah dia secara lebih mendalam."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya kira itu tidak perlu, Dok."

Hilman terkejut.

"Tidak perlu? Kenapa begitu? Bukankah kau harus...?"

"Saya takut menemukan kenyataan yang buruk, Dok. Lebih baik nggak tahu saja."

"Lho, bukankah kau harus melihat sisi buruknya dulu sebelum memberi kepastian?"

"Kepastian apa, Dok?" tanya Lis dengan senyum manis.

"Kalau dia menyatakan cinta, dan bertanya apakah kau juga mencintainya apa yang akan kaukatakan? Tentunya dia menginginkan kepastian seperti itu. Tujuan pendekatan seorang pria pastinya ke sana."

"Saya tahu, Dok. Mama juga sudah menanyakan hal itu. Tapi saya tidak perlu mengenal dia lebih lama atau melihat sisi-sisi lain dari dirinya. Itu tidak perlu. Saya sudah punya jawabnya."

"Apa itu?" Hilman sulit menyembunyikan kecemasannya.

Lis tenang-tenang saja.

"Saya cuma ingin berteman dengan dia, Dok. Saya akan katakan itu kepadanya. Saya berharap dia bertanya secepatnya supaya dia tidak menyimpan harapan. Mama juga bilang begitu. Jangan beri harapan, kata Mama. Tapi saya kan tidak memberi yang seperti itu? Saya harus menunggu dulu sampai dia bertanya. Bagaimana kalau dia sendiri sesungguhnya memang cuma ingin berteman dengan saya? Malu dong kalau saya mendahului ."

Hilman merasa teramat lega. Sepertinya beban berat yang semula menindih dadanya lenyap seketika.

"Kau sudah mantap, Lis?"

"Oh iya, Dok. Sebenarnya saya kasihan padanya, Dok. Dia sangat baik sama saya. Dan harus saya akui dia juga punya andil dalam memberi semangat hidup pada saya. Bagaimana ya, Dok, apakah dia akan patah hati?"

"Sepertinya begitu. Tapi itu hakmu menolaknya. Itu adalah risiko yang harus dihadapi lelaki yang jatuh cinta."

"Saya tidak mengerti kenapa dia harus jatuh cinta pada saya, padahal ada banyak perempuan lain."

"Itulah cinta," sahut Hilman tak bisa lain.

"Saya akan berusaha mengatakannya sebijak mungkin."

"Ya. Sebaiknya begitu."

Hilman merasa kagum kepada Lis. Meskipun gadis itu dirundung malang dan sedang berupaya memulihkan diri dari traumanya, ia masih memikirkan perasaan orang lain. Tampaknya kondisi mental Lis tidak perlu dicemaskan lagi.

"Apakah ada lagi yang mau ditanyakan, Dok?"

"Sudah punya rencana ke depan?"

"Kalau fisik saya sudah pulih saya mau meneruskan kursus komputer yang dulu tertinggal. Mungkin tambah dengan kursus bahasa Mandarin. Sesudah itu cari kerja lagi."

"Wah, bagus. Sekarang tak ada masalah lagi? Mimpi-mimpi buruk?"

"Tidak lagi, Dok. Tapi saya masih tetap ber

meditasi sebelum tidur. Saya menjadikannya sebagai kebiasaan setelah merasakan manfaatnya. Oh ya, kadang-kadang sebelum tertidur saya suka teringat kepada si bayi. Saat itu saya berdoa supaya dia diasuh orang-orang yang penuh kasih sayang. Tapi dia tak datang lagi dalam mimpi saya."

"Syukurlah. Tapi jangan pernah ragu untuk menghubungiku bila ada masalah, Lis. Terutama mengenai hubunganmu dengan Adrian. Tapi saya harap kau tidak menganggap saya mencampuri masalah pribadi."

"Oh, tidak, Dok. Bagi Dok saya ini ibarat buku yang terbuka. Saya ingin seperti itu. Saya justru senang dan berterima kasih bahwa Dok masih memikirkan saya. Saya takut kalau saya dianggap pulih, maka Dok tidak mau tahu lagi ."

"Sama sekali tidak, Lis. Jangan berpikir seperti itu. Datanglah ke rumah kapan saja. Tak ada saya kan ada anak-anak."

Lis tertawa.

"Saya suka mereka, Dok. Tapi mereka belum tentu suka sama saya."

"Saya yakin mereka akan menyukaimu."

Kata-kata itu mengakhiri pertemuan mereka. Keduanya berpisah dengan lega.

Hilman bersiul-siul dengan riang. Sekarang ia punya harapan bahwa dengan keputusan Lis itu maka tidak perlu terjadi suatu kejutan menyakitkan. Adrian memang akan kecewa berat, tapi ia tidak perlu memberitahu identitasnya karena itu tidak lagi penting. Ia akan terhindar dari kemungkinan terkena kemarahan Lis dan keluarganya. Dan Lis sendiri tidak perlu mengalami luka hati karena telanjur mencintai Adrian. Terlalu berat bagi Lis bila itu terjadi. Sebesar apa pun cintanya, kenyataan bahwa Adrian adalah sepupu Mandar pasti sangat memukul perasaannya.

Lis keluar dari kamar praktik. Seorang pasien perempuan yang sudah menunggu segera masuk menggantikannya. Ada sekitar tiga orang lagi yang tengah duduk menunggu giliran. Seorang di antaranya segera berdiri lalu menghampirinya.

Lis terkejut. Ternyata orang itu adalah Rudy.

"Sudah selesai, Mbak?" tanya Rudy.

"Ngapain di sini, Rud? Kau pasien juga, ya?"

Lis bertanya dengan serius hingga Rudy tertawa.

"Saya nungguin Mbak."

"Nungguin saya?" Lis terheran-heran.

"Iya. Kemarin kan saya udah tahu Mbak mau ke sini. Nggak ngapa-ngapain sih, Mbak. Cuma kepengin ngobrol saja. Dari sini mau ke mana, Mbak?"

"Pulang dong."

"Naik apa, Mbak?"

"Taksi aja."

"Saya anterin ya, Mbak?"

"Boleh. Terima kasih. Tapi nanti pacarmu ngambek lho. Dia bisa salah paham."

"Oh, pacar saya jauh, Mbak. Ada di Purworejo."

Lis tertawa. Ia senang karena Rudy sudah punya pacar dan mengakuinya juga.

"Mau naik mobil atau bonceng motor, Mbak? Saya sih biasa pakai motor. Cuma Mbak mungkin nggak biasa naik motor. Saya bisa pakai mobil Papa. Cuma kalau tergores suka ngambek tuh."

"Sudah. Naik motor juga oke."

Di tepi jalan depan rumah Hilman mobil Adrian tengah parkir. Tempatnya cukup strategis. Dari tempat duduknya di belakang kemudi ia bisa mengarahkan pandangnya ke teras, yang merupakan ruang terbuka di depan kamar praktik Hilman dan digunakan sebagai ruang tunggu. Sewaktu baru datang ia tidak melihat Lis di situ. Jadi ia memperkirakan Lis ada di dalam.

Sebelumnya ia berkunjung ke rumah Lis dan diberitahu oleh Fetty bahwa Lis sedang pergi ke Dokter Hilman. Reaksinya seketika adalah rasa panik yang menyergap. Apakah Hilman akan membuka rahasianya?

"Kenapa?" tanya Petty khawatir melihat wajah Adrian yang memucat.

"Oh..." Adrian cepat memperbaiki diri.

"Saya cuma kaget. Apa... apa Lis sakit?"

"Nggak. Dia cuma konsultasi. Dokter Hilman itu psikiater."

"Oh begitu. Terima kasih, Bu. Nanti saya jemput ke sana."

"Kau sudah tahu alamatnya?"

"Sudah, Bu."

Adrian bergegas pergi. Fetty mengamatinya dengan heran. Sebegitu cemasnyakah Adrian pada Lis?

Sepanjang jalan dan selama menunggu Adrian benarbenar dilanda ketegangan dan kecemasan. Benarkah Hilman mematuhi janjinya? Ia

merasa tercabik-cabik oleh ketakutannya sendiri. Susah payah ia berupaya menenangkan debar jantungnya. Tidak, ia tidak boleh takut dan marah dulu sebelum mengetahui kepastiannya. Tapi, bagaimana ia bisa tahu pasti kalau kejadiannya berlangsung di dalam kamar tertutup? Bagaimana kalau secara diam-diam Hilman memberitahu tentang dirinya kepada Lis dan memintanya untuk berpura-pura tidak tahu sampai tiba saatnya ia sendiri yang membuka diri? Betapa sulitnya menenangkan diri sendiri.

Akhirnya terpikir untuk pergi saja meninggalkan tempat itu karena kegelisahannya tak kunjung reda. Bertemu dengan Lis dalam kondisi seperti itu bisa merugikan. Lis akan bertanya-tanya. Dia tipe orang yang penuh perhatian. Padahal Adrian ingin tampil tenang dan percaya diri. Harus begitu supaya Lis merasa terlindung kalau berada di sampingnya.

Ketika akan menstarter mobilnya, ia menoleh lagi ke arah rumah Hilman. Ia melihat Lis keluar. Tapi gadis itu tidak sendirian. Ia didampingi seorang pemuda jangkung. Adrian tersengat oleh rasa cemburu. Ia tidak mengenal pemuda itu. Pasti bukan salah satu dari kedua

kakak Lis. Kelihatannya masih remaja, jelas berbeda penampilannya dibanding Lis yang tampak dewasa. Biarpun tubuhnya tinggi tapi wajahnya terlihat belia. Apakah dia salah satu sepupu Lis? Sayang ia tadi tidak menanyakan kepada Fetty dengan siapa Lis pergi. Masuk akal kalau Lis ada yang menemani.

Keduanya tampak akrab dan wajah mereka ceria. Lalu mereka berboncengan sepeda motor, melaju ke luar halaman, menuju jalanan.

Adrian memutuskan untuk mengikuti. Meskipun punya kesimpulan menenangkan, toh ia tetap merasa cemburu dan iri. Ia ingin memastikan bahwa pemuda itu mengantarkan Lis sampai ke rumahnya. Ia merasa senang melihat Lis duduk di boncengan tanpa merapat ke punggung si pemuda dan kedua tangannya berpegangan ke sadel di bawah tempatnya duduk. Itu bisa dijadikan pertanda bahwa di antara keduanya tidak ada hubungan yang mesra.

Tetapi dengan kesal ia melihat bahwa sepeda motor itu tidak terus melaju, melainkan berbelok ke halaman sebuah kafe. Ia merasa sudah telanjur mengikuti. Jadi ia mencari tempat parkir yang strategis di sekitarnya untuk menunggu.

kali ini Kegelisanannya bersamaan dengan masalah lain.

"AKU yang traktir, Mbak," kata Rudy sambil menepuk sakunya.

"Oke. Trims," sahut Lis, tertawa.

Mereka mencari tempat duduk yang nyaman di pojok, lalu memesan makanan ringan dan minuman dingin.

"Ayo, Rud, mau curhat apa?" tanya Lis dengan ceria. Ia senang karena biarpun baru kenal, Rudy sudah mempercayainya untuk mencurahkan isi hatinya. Pasti itu sesuatu yang segan dibicarakannya dengan kakak atau ayahnya, walaupun si ayah seorang ahli.

"Begini, Mbak. Umurku delapan belas. Pacarku tujuh belas. Sebenarnya masa kenalan kami cuma hitungan hari. Tapi aku suka sekali sama dia. Begitu juga dia. Kami memang sudah saling menyatakan isi hati. Namanya Indri, Mbak."

"Kilat juga, ya?" komentar Lis dengan

tersenyum.

"Habis dia tinggalnya jauh, Mbak.' Kami nggak bisa sering-sering ketemu. Terus terang, kami sama-sama khawatir kalau tidak buru-buru mengikat janji nanti bisa digoda orang lain. Kami harus punya kepastian tentang perasaan masing-masing."

"Aku kira, Purworejo nggak jauh jauhamat, Rud. Justru berjauhan begitu bisa membuat masing-masing lebih bisa introspeksi, dan juga bersemangat belajar. Dua-duanya merasa harus berprestasi agar dapat dibanggakan. Kerinduan bisa jadi pemicu lho."

"Mbak sudah pernah mengalami rupanya."

"Nggak sih. Itu cuma teori, tapi kayaknya bener begitu. Logikanya seperti itu. Coba kalau berdekatan terus, maunya kan pacaran melulu. Bisa-bisa hilang kendali tuh. Belajar pun jadi terbengkalai."

"Iya juga sih. Kayak Mas Eddy. Hampir tiap malam dia mengunjungi pacarnya. Sampai-sampai orangtua pacarnya itu sebel padanya."

"Lantas masalahmu apa, Rud? Apa orangtuanya?"

"Oh, bukan. Orangtuanyajelas sayang sama aku," kata Rudy bangga.

"Wah, hebat sekali kau ini!" seru Lis.

"Ah, sebetulnya yang berjasa adalah Papa. Mereka berutang budi sama Papa. Tapi masalahku begini, Mbak. Indri berkali-kali mengatakan dia ragu dan minder menghadapi aku. Tapi bukan karena dia dari keluarga sederhana."

Rudy merenungi minumannya.

"Apa ayahmu tidak setuju?" tanya Lis, tidak sabar menunggu sampai Rudy melanjutkan perkataannya.

"Bukan. Papa tahu aku suka Indri sejak dia menginap di rumah, tapi tidak pernah memberi komentar. Masalahnya peka."

Lagi-lagi Rudy terdiam, tampak masih merasa berat mengungkapkan masalahnya meskipun ingin.

Lis tidak mendesak. Ia menduga duga sendiri. Jadi Indri pernah menginap di rumah Rudy? Kalau hubungan mereka tidak dekat, misalnya faktor kekerabatan, mustahil itu terjadi. Tapi kenapa Rudy tidak mengungkapkan masalahnya kepada ayahnya yang jelas profesional? Anehnya Rudy justru memilih dia,

orang yang baru dikenal. Jangan-jangan Indri punya cacat hsik atau masalah kewanitaan yang perlu dibahas dengan wanita juga mengingat Rudy tidak punya ibu?

Karena Rudy tidak kunjung bicara, malah seperti semakin tenggelam dalam renungannya, Lis bertanya,

"Apakah dia punya masalah kewanitaan, Rud? Ayo katakan saja. Tidak usah malu-malu."

Rudy tersentak.

"Oh, maaf, Mbak. Kok aku jadi ngelamun. Sebenarnya dia tidak pupya masalah dengan fisiknya. Dia baikbaik saja. Persoalannya menyangkut kakaknya yang bernama Indah."

"Oh, dia punya kakak." Lis membayangkan adanya tentangan dari si kakak.

"Sudah almarhum, Mbak. Kakaknya itu menjadi korban pembunuhan keji. Mungkin Mbak pernah dengar juga peristiwanya yang menggemparkan."

"Oh, ya?" Lis menahan napasnya.

"Ya. Tapi sebelum aku bercerita maukah Mbak berjanji untuk tidak menceritakannya kepada orang lain? Sebenarnya Indri tidak minta aku merahasiakannya, karena banyak orang

sudah tahu mengenai peristiwa itu, tapi kurang enak rasanya kalau cerita itu sampai tersebar karena aku. Mereka tidak mau publikasi."

"Aku berjanji, Rud," kata Lis serius sambil menekankan tangan kanannya ke dadanya.

"Aku percaya, Mbak bukan tipe orang yang suka gosip. Begitu berkenalan aku sudah tahu itu," kata Rudy sok tahu.

Lis tersenyum. Ia merasa tersanjung. Pintar sekali Rudy mengambil hati, sebagai pendahuluan sebelum memulai ceritanya.

"Oh ya, Rud. Tunggu sebentar. Biar aku telepon rumah dulu, ya? Supaya mereka nggak nunggu-nunggu."

"Tentu saja, Mbak," kata Rudy, lalu memanfaatkan kesempatan untuk menghabiskan kuenya dulu. Ia juga ingin tahu siapa yang ditelepon Lis. Ibunya atau pacarnya?

Lis menelepon ibunya.

"Coba tebak saya sama siapa, Ma. Sama Rudy. Iya benar, anaknya Dokter. Kami sedang ngobrol. Pulangnya entar lagi ya, Ma. Nanti diantar sama Rudy kok. Dadaag...."

"Rupanya Mbak anak Mama, ya," komentar Rudy.

Lis tersenyum. Ia mengikuti langkah Rudy dengan melahap makanannya. Sebelum mencekna masalah yang nanti diungkapkan Rudy, lebih baik mencerna makanan dulu.

"Senang punya mama ya, Mbak."

"Oh ya," sahut Lis dengan simpati. Ia menangkap kerinduan dalam suara Rudy.

"Sebenarnya aku juga ingin punya mama lagi. Tapi Papa kelihatannya dingin-dingin saja. Dan kata Mas Eddy, ibu tiri itu jahat. Nanti dia akan meracuni atau merebus kami."

Lis tak tahan untuk tidak tertawa.

"Apa kau percaya?"

"Entahlah. Ada kepengin, ada juga takut. Wah, jadi nyimpang nih, Mbak. Entar sampai malam kalau ceritanya belok sana-sini."

Mereka tertawa.

Kemudian Rudy mulai bercerita. Ia bicara tanpa menatap wajah Lis. Karena itu ia tidak melihat ekspresi Lis yang menampakkan keterkejutan amat sangat. Kedua tangannya mengepal erat-erat. Wajahnya pucat dan tatapannya seperti melihat hantu.

Rudy asyik mengatur ceritanya supaya berurutan. Dan berusaha supaya tidak ada yang

terlupa. Akhirnya selesai juga.

"Nah, itulah ceritanya, Mbak. Jadi sampai saat ini baru seorang korban Mandar yang ketahuan identitasnya. Itu pun ada faktor kebetulan. Kalau tak ada baju yang jadi bukti, sulit dipastikan."

Lalu Rudy menatap Lis. Giliran dia yang terkejut.

"Kenapa, Mbak?" ia bertanya cemas sambil meraih tangan Lis. Begitu dingin sampai ia hampir memekik.

Lis menggelengkan kepalanya. Ia berusaha keras mengusir efek kejutan itu. Dengan tangan masih gemetar ia meraih gelas minumannya. Terpaksa ia memeganginya dengan dua tangan. Minuman dingin yang mengaliri kerongkongannya berhasil menyejukkan perasaannya.

Sementara itu Rudy mengamati Lis dengan cemas. Ia menyesal telah bercerita.

"Maafkan aku, Mbak. Apa apa Mbak baikbaik saja? Apa sebaiknya saya telepon Papa?" ia bertanya dengan bingung. Ia akan menerima nasib dimarahi ayahnya. Bagaimana mungkin ia melupakan bahwa Lis adalah seorang pasien ayahnya? Jadi Lis adalah seorang yang bermasalah. Bagaimana mungkin ia menyodorkan

masalah kepada orang bermasalah? Itu adalah suatu kebodohan!

Rudy jadi gemetar juga. Tetapi ekspresi dan sikap Rudy malah menenangkan Lis. Ia buru-buru tersenyum lalu menepuk-nepuk lengan Rudy.

"Jangan telepon siapa-siapa, Rud. Aku baikbaik saja."

"Tapi tadi..."

"Aku merasa ngeri dan kasihan, Rud. Itu saja."

"Aku menyesal, Mbak. Rupanya Mbak nggak tahan sama kengerian. Bodoh sekali aku ini."

Rudy menampar kepalanya sendiri. Tapi Lis menarik tangannya.

"Sudah. Kau tidak perlu menyesal. Biarpun merasa ngeri, aku senang kau mau curhat padaku."

"Maaf ya, Mbak."

"Ya, nggak apa-apa. Ayolah teruskan. Kan masalahnya belum keluar."

"Sudah, ah. Nggak mau. Nggak jadi."

"Jangan begitu, Rud. Masa aku ditinggalin setengah jalan?"

Rudy mengamati wajah Lis dengan raguragu. Ia melihat keseriusan di wajah Lis, tapi ia juga takut.

"Kalau Mbak nanti kelenger gimana? Aku tidak pernah belajar menolong orang kelenger."

Lis tertawa.

"Itu tidak akan terjadi, Rud. Kan kejutannya sudah lewat. Aku biasa begitu kalau merasa ngeri."

Rudy merasa lebih tenang.

"Tapi Mbak tadi sungguh membuatku cemas. Mukanya pucat dan matanya aduh, aku benar-benar takut."

"Karena itu, kau harus bertanggung jawab ekarang." Rudy ternganga.

"Kau sudah membuatku kaget, maka sekarang harus dituntaskan."

Rudy menutup mulutnya. Ia sadar, Lis cuma bercanda.

"Tapi Mbakjanji nggak akan kelenger."

"Janji!"

"Begini, Mbak. Sebenarnya Indri tidak mau percaya kalau Indah adalah pelacur seperti sangkaan Mandar. Itu juga keyakinan orangtuanya. Profesi Indah kan sudah jelas. Dia seorang perawat. Tapi kemudian muncul sedikit keraguan dalam dirinya. Bagaimana kalau se

benarnya Mandar tidak melakukan kekeliruan? Bagaimana kalau Indah punya profesi ganda? Sayangnya Mandar tidak mau mengaku dan Indah pun tidak bisa ditanyai."

Lis termenung. Kalau saja Rudy tahu bahwa dirinya pun merupakan korban Mandar, pasti dialah yang pingsan. Rasanya ironis. Tiba-tiba saja, tanpa peringatan dan dugaan, ia dihadapkan pada kasus kejahatan Mandar yang lain, sementara kasusnya sendiri adalah salah satunya. Seorang "teman senasib" berhasil ditemukan. Tapi dia tidak bisa diajak berbagi.

"Jadi keraguan Indri itulah yang membuatnya minder?"

"Ya. Itu sumbernya, Mbak. Dia bilang, kelak aku akan memandang rendah padanya atau selalu curiga kalau-kalau dia akan jadi perempuan nakal."

"Kau sendiri bilang apa?"

"Aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku tidak mungkin begitu. Tapi katanya manusia bisa saja berubah."

"Oh ya, memang. Tapi kalian masih sangat muda. Kenapa tidak bergaul saja, saling mengenal pribadi masing-masing dan belajar lebih

banyak lagi? Waktu untuk kalian kan masih banyak sekali. Semua kemungkinan masih sangat banyak."

"Aku juga mengajaknya tetap berhubungan seperti biasa. Tanpa gangguan masalah itu, karena itu toh merupakan masalah Indah yang sudah dibawanya pergi. Tapi katanya itu tidak mungkin, karena sebagai anggota keluarga dia kena imbasnya."

"Lalu maunya apa?"

"Dia ingin memutuskan hubungan karena malu sama aku padahal dia mengaku tetap mencintaiku."

"Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Rud."

"Bener, Mbak?"

"Ya."

Rudy tertawa girang. Tapi kemudian menjadi murung.

"Ah, dia kan jauh, Mbak."

"Tulisi surat, Rud. Bilang saja aku ini tantemu dan minta dia menulisi aku juga. Pasti kubalas."

"Ya, ya. Terima kasih, Mbak."

Jalan keluar yang diajukan Lis itu ternyata cukup melegakan bagi Rudy. Setidaknya ada

sesuatu upaya dan dia tidak sendirian. Dia juga senang karena Lis tidak menganjurkannya untuk mengungkapkan masalahnya itu kepada ayahnya. Kalau cuma begitu buat apa dia susah payah memberanikan diri untuk mencurahkan isi hatinya kepada Lis? Justru ia menghindari curhat dengan ayahnya karena sudah tahu apa yang kira-kira akan dikatakan ayahnya. Kalian masih terlalu muda! Tak usah mikirin cinta dulu. Yang penting belajar!

Jadi ia harus mencurahkan hati kepada seorang yang masih muda dan juga perempuan. Secara spontan pilihannya jatuh kepada Lis. Ia menganggap Lis adalah orang yang tepat. Dan ia harus buru-buru. Mumpung ada kesempatan. Karena itu ia sempat melupakan bahwa Lis adalah pasien ayahnya. Mestinya jelas apa definisi pasien itu. Dia adalah orang yang dianggap kurang stabil mentalnya. Tapi penampilan dan sikap Lis sama sekali tidak menampakkan seseorang yang kurang stabil. Ia sempat merasa terkecoh tadi. Dan juga takut luar biasa. Untunglah Lis tidak apa-apa.

"Aku minta tolong lagi, Mbak. Jangan sampaikan pembicaraan kita ini kepada Papa."

"Oh, tentu saja. ini rahasia kita berdua," kata Lis serius. Ya, tambah lagi rahasia yang kumiliki. Dan jelas Hilman pun merahasiakannya. Kalau tidak, tentu dia sudah bercerita.

"Sekali lagi maafkan aku, Mbak. Aku telah mengejutkan Mbak."

"Sama-sama, bukan? Kau juga ketakutan sekali tadi. Terbukti aku nggak kelenger, kan?"

Mereka bisa tertawa sekarang.

"Ayolah kita pulang. Lama sekali kita di sini."

Adrian masih menunggu. Ia merasa kesal sekali, tapi waktu telah membuatnya lebih tenang dibanding tadi.

Akhirnya ia melihat kedua orang itu keluar dan langsung menaiki motor yang kemudian melaju pergi. Ia pun mengikuti, ingin memastikan ke mana lagi tujuan mereka. Perasaannya semakin lega ketika rute jalan yang diambil jelas menuju rumah kediaman Lis. Tapi ia tetap mengikuti.

Setelah tiba di rumah Lis. ia masih mengamati dari jalan. Ia melihat ayah dan ibu Lis sedang menunggu di balik pagar. Tampak anak muda yang memboncengkan Lis disambut hangat dan penuh tawa. Tapi si anak muda tidak

turun dari motornya. Ia cuma mengangguk-angguk, entah apa yang dikatakannya. Sesudah itu ia melambaikan tangan lalu kembali menjalankan motornya. Lis dan kedua orangtuanya melambaikan tangan kemudian masuk rumah.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Adrian membuntuti si pengendara motor. Dengan heran ia mendapati bahwa si pengendara itu kembali ke rumah Dokter Hilman. Ia terus masuk ke samping rumah dan tidak muncul lagi.

Adrian keluar dari mobilnya. Ia melihat seorang perempuan setengah baya, mungkin pembantu rumah tangga, keluar membawa kantong plastik hitam lalu membuangnya ke tempat sampah di depan rumah. Cepat-cepat Adrian mendekatinya.

"Bu, mau nanya. Itu yang tadi naik motor siapa, ya?"

"Oh, itu Den Rudy. Putra bungsu Pak Dokter."

"Begitu, ya. Terima kasih, Bu."

"Bapak siapa?"

"Saya temannya Dokter."

"Bapak mau bertamu, ya? Tapi Pak Dokter barusan pergi sehabis praktik."

"Nggak apa-apa, Bu. Lain kali saja. permisi.

Adrian berlalu dengan perasaan lega. Ia duduk sejenak di mobilnya dan merenung. Sekarang ia menjadi seorang penguntit dan selalu resah. Hari-hari belakangan ia sulit tidur dan makan tak pernah enak. Ia merasa tersiksa dalam kelebihan. Punya uang banyak tapi sulit mendapatkan cinta. Entah mana yang lebih baik. Tak punya uang tapi punya cinta atau seperti sekarang. Toh dulu ia pernah mengalami sulitnya mendapatkan cinta karena tak punya uang. Zaman sekarang uang selalu dijadikan ukuran. Cakep dan keren saja. tak ada gunanya kalau kantongnya kempes. Apalagi kalau pengangguran. Itu bukanlah pendapatnya sendiri, melainkan didengarnya dari beberapa cewek yang pernah ditaksirnya. Setidaknya mereka cukup terus terang meskipun menyakitkan.

Ternyata hidupnya cukup ironis. Setelah punya banyak uang, hingga kendala mendapatkan cinta mestinya tak ada lagi, ia justru jatuh cinta pada Lis yang cintanya tak bisa dibeli dengan uang. Patutkah ia menyalahkan Mandar?

****

MANDAR tampak lesu. Ia lebih banyak termenung dan bicara hanya kalau ditanya.

"Kau sakit, Bang?" tanya Adrian.

"Nggak."

"Kau kelihatan lesu."

"Memangnya mau ketawa-ketawa?"

"Tempo hari aku tidak diizinkan menjenguk, Bang. Padahal aku sudah datang Katanya ada yang mewawancara."

"Betul."

"Siapa, Bang?"

"Apa tak kautanyakan pada petugas?"

"Mana berani, Bang. Nanti disahuti nggak enak."

"Ya, beginilah nasib orang yang sudah jadi sampah," keluh Mandar.

"Jangan begitu, Bang."

Mandar termenung sebentar, lalu berkata seolah pada diri sendiri,

"Rodanya berputar. Dulu aku menganggap mereka sebagai sampah, sekarang giliranku. Aku membunuh mereka, nanti aku yang dibunuh. Adil juga sih."

Adrian terdiam. Ia tak tahu mesti menyahut apa. Sepertinya kata-kata itu memang tidak perlu ditanggapi.

"Jadi siapa mereka itu, Bang?" ia tak tahan untuk kembali bertanya.

Mandar menatap Adrian dengan matanya yang dingin. Adrian cepat berpaling karena merasa dingin juga. Dulu ia tak pernah menatapku seperti itu. Apa dia sudah jadi apatis atau membenciku?

"Kau bilang mereka?" Mandar balas bertanya.

"Ya."

"Jadi kau tahu orangnya lebih dari satu?"

"Oh ya. Aku masih menunggu di luar ketika rombongan orang itu keluar. Di antara mereka kukenali Dokter Hilman, saksi ahli itu. Aku cuma menebak saja, pasti merekalah yang mengunjungimu."

"Kau ingin tahu?"

"Tentu, Bang. Apa yang terjadi?"

"Tanyakan saja pada dokter itu. Dia lebih pinter."

"Ah, mana aku berani, Bang."

"Kau takut dituduh terlibat, bukan? Kau takut dianggap ikut membunuh, bukan?" Adrian terkejut oleh pertanyaan yang tajam

Itu.

"Jangan begitu, Bang. Biasanya kau selalu cerita. Dan aku juga suka bertanya, kan? Masa itu salah?"

"Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu?"

Adrian merasa tak nyaman. Kali ini Mandar bersikap lain dari biasanya. Tetapi ia sudah telanjur.

"Iya, Bang. Tentunya kalau kau tidak keberatan."

"Aku tidak keberatan asal kau juga mau menjawab pertanyaanku."

"Baik," sahut Adrian tanpa berpikir.

"Mereka menuduhku membunuh kakak dari perempuan yang ikut serta. Kau melihatnya, kan?"

"Ya. Lalu, betulkah dia salah satu...?"

Tiba-tiba Mandar memelototi Adrian yang begitu terkejut hingga tak bisa menyelesaikan pertanyaannya. Sesaat tatapan keduanya bertautan. Adrian merasa kesulitan melepaskan tatapannya. Ia juga bingung kenapa Mandar berlaku seperti itu.

Akhirnya Mandar berpaling duluan. Ia tidak menjawab pertanyaan Adrian.

"Sekarang giliranku bertanya," katanya.

"Baik"

"Apa kau jatuh hati kepada Lis?"

Adrian terkejut seperti disambar geledek. Ia tak perlu menjawab karena Mandar sudah bisa menebak makna ekspresinya.

"Bener, kan?" tegas Mandar.

"Ya," sahut Adrian tak bisa lain. Ia benar-benar lemas. Rasanya seperti baru saja dipukul KO oleh Mandar.

"Kau sudah melamarnya?"

"Belum."

"Tunggu apa lagi?"

"Aku takut, Bang."

"Kenapa harus takut?"

"Dia belum tahu hubunganku denganmu, Bang."

"Lantas kalau tahu kenapa? Apa dia akan

marah lalu memutuskan hubungan, begitu?"

"Itu yang kutakutkan, Bang."

"Kenapa mesti takut? Bukankah cuma kebetulan saja kau jadi sepupuku?"

"Mestinya begitu, Bang. Tapi dia masih trauma."

"Ah, takutmu berlebihan. Gunakanlah kemampuanmu untuk merayu. Taklukkan dia."

"Rupanya kau sangat mendukung, Bang."

"Tentu saja. Kalau kau kawin dengan dia, anak itu bisa ikut dengan kalian."

Adrian terkejut. Jadi itu alasannya kenapa Mandar mendukung.

"Bang, itu tidak mungkin. Anak itu kan sudah diadopsi orang lain. Lis sudah memberikannya. Ia tak bisa mengambilnya kembali."

Sebenarnya Adrian ingin menambahkan, bahwa Lis sudah jelas tidak akan mau mengambil anak itu. Tekadnya sudah kuat. Tetapi ia khawatir ucapan itu bisa membuat Mandar membenci Lis. Meskipun Mandar tak bisa berbuat apa-apa, tapi lebih baik tidak menceritakan semuanya. Bagaimana kalau Mandar berhasil buron? Rasa takut itu masih ada, biarpun rasanya kurang rasional.

"Bisa saja kalau diusahakan," Mandar berkeras.

"Musyawarah sama yang mengadopsi. Atau kalau mau gampang, bilang saja terus terang siapa bapak anak itu. Pasti dia nggak mau lagi. Ha ha ha! Ha ha ha!"

Mandar terbahak dengan geli. Sementara Adrian mengamatinya dengan perasaan ngeri.

"Nah, cepatlah melamarnya, Ian!" Mandar tampak bersemangat sekarang. Ia tidak lagi loyo seperti tadi.

"Ia belum tentu menerimaku, Bang."

"Jangan putus asa dulu. Pergilah sekarang juga. Temui dia. Kau kan sudah kaya sekarang. Apa lagi yang tak kaumiliki?"

"Baiklah. Aku memang harus memberanikan diri. Tapi boleh aku tahu dulu, Bang. Bagaimana kau bisa tahu aku mencintainya?"

Mandar tertawa. Ia benar-benar sudah ceria sekarang.

"Sejak beberapa waktu yang lalu aku sudah bisa menebak. Kau memperlihatkannya dengan jelas."

"Jadi kau cuma menebak saja?"

"Tentu. Mana mungkin aku bisa membuntutimu. Kalau nanti aku sudah dipancung kayaknya bisa. Arwahku bisa mengikuti dan mengawasimu. Aduh, kau jadi pucat ketakutan. Ha ha ha! Ha ha ha!" Mandar terpingkal-pingkal.

Adrian sungguh merasa ngeri melihat tingkah Mandar. Ia takut Mandar sudah mulai terganggu jiwanya.

"Ayolah, kau pergi sekarang. Dan kunjungi dia. Beri dia hadiah-hadiah. Kau sungguh lelaki sejati bila berhasil menaklukkannya. Ayo pergi!"

Adrian tak menunggu lagi. Ia memang ingin pergi secepatnya. Di belakangnya terdengar tawa Mandar. Langkahnya semakin cepat.

Tetapi setelah Adrian tak tampak lagi, serta-merta ekspresi Mandar berubah drastis. Keceriaannya hilang lenyap berganti menjadi kemurungan. Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Bunyi benturan yang terdengar semestinya menimbulkan rasa sakit yang lumayan. Tapi ia tidak mengaduh atau mengekspresikannya. Ia meletakkan kepalanya di atas meja, memiringkan mukanya, dan memejamkan matanya. Ia diam saja tak bergerak. Tapi dari sudut matanya terlihat air menetes jatuh ke atas meja!

Adrian berlari ke halaman parkir. Su

lit baginya untuk melangkah dengan tenang. Perasaannya ia tengah dibuntuti oleh Mandar. Baru setelah memasuki mobilnya dan menutup pintunya ia menjadi tenang. Napasnya terengah-engah.

Ia benar-benar panik tadi. Hampir tak masuk akal bagaimana seorang Mandar yang sudah dikenal dan diakrabinya sekarang bisa menjadi momok baginya. Masih saja terbayang tatapan tajam Mandar tadi. Tatapan itu seolah mau menembus kepalanya, lalu mengorek apa yang ada di dalamnya. Mengerikan.

Tetapi ia tidak mungkin dan tidak bisa melepaskan diri dari Mandar. Bukan semata-mata karena kasihan, tapi ia terikat padanya oleh harta! Kalau saja ia bisa tak peduli.

Sore itu juga Adrian berkunjung ke rumah Lis. Sebelumnya ia sudah menelepon lebih dulu untuk menanyakan apakah Lis berencana untuk ke luar rumah, supaya ia tidak sampai gagal bertemu seperti hari kemarin.

Lis menerima kedatangan Adrian dengan ramah. Justru karena ia sudah siap dengan penolakan seandainya Adrian menyatakan cinta, maka ia terdorong untuk bersikap lebih hangat

dan ramah. Perasaan iba menjadi penyebabnya. Sempat juga terpikirbahwa sikap seperti itu bisa jadi dianggap sebagai "memberi hati".

Tentu saja Adrian merasa senang dengan sambutan yang diterimanya. Itu memberinya tambahan harapan. Ia mengajak Lis berjalan-jalan lalu makan malam di luar. Lis tidak keberatan. Demikian pula kedua orangtuanya. Mereka berpesan agar tidak pulang terlalu malam.

"Kemarin aku ke Dokter Hilman," kata Lis.

"Ya, aku sudah diberitahu oleh Ibu. Apa ada masalah atau bagian dari terapi?"

Lis berpikir sejenak.

"Ya, boleh dikata begitu."

"Berapa sesi yang harus kaujalani?"

"Sebenarnya tidak dipastikan berapa. Dokter Hilman menyediakan waktu untukku, kapan saja aku ingin bertemu. Kalau aku merasa enak dan nyaman, tentu aku tidak perlu ke sana. Lain halnya kalau aku merasa stres."

"Apa kemarin kau sedang stres?"

"Ah, nggak juga. Sesungguhnya enak sekali berbincang-bincang dengan dia. Pada saat masuk dan keluar ruang praktik itu rasanya berbeda."

"Dia baik sekali padamu, ya?"

"Oh ya."

"Apa dia masih kerabatmu?"

"Nggak tuh. Dia kenalan Papa. Kalau kau punya masalah, pergilah kepadanya," Lis mempromosikan.

"Aku menghargai jasa psikiater, tapi sekali kita menggunakan jasanya, maka besar kemungkinan kita akan tergantung kepadanya. Sepertinya tanpa dia kita tidak bisa hidup nyaman. Padahal mungkin saja kita bisa mengatasinya sendiri. Bahayanya di situ."

"Itu ada benarnya. Tapi kita juga tidak boleh terlalu percaya diri. Ada kalanya kita membutuhkan orang lain. Apalagi Dokter Hilman bukan tipe orang yang seperti kaukatakan itu. Ia justru menekankan kemampuan diriku sendiri. Sebenarnya dia lebih tepat disebut sebagai orang tempat aku curhat."

"Kau punya orangtua yang cocok untuk itu."

"Mereka juga cocok. Tapi tambahan orang yang profesional lebih ideal, bukan?"

"Ya. Kulihat kau mengalami kemajuan besar sekali. Sekarang kau ceria dan optimistis."

"Ada kalanya aku juga murung, Ian. Tapi aku bisa mengatasinya. Kukira semua orang juga begitu. Ada saat gembira, ada saat sedih."

"Aku senang untukmu, Lis."

"Terima kasih."

"Tapi aku juga iri."

"Iri? Kenapa? Sudah punya begitu banyak, masih juga iri pada orang lain?" tanya Lis dengan tertawa.

"Begitulah manusia. Selalu saja ada yang kurang."

"Apa misalnya yang tak kaumiliki?"

"Aku tak memiliki banyak hal yang kaumiliki, Lis. Misalnya yang terutama adalah orangtua dan saudara, orang-orang dekat yang memberi cinta dan perhatian. Aku cuma manusia sendirian," kata Adrian dengan murung.

Lis merasa simpati. Apalagi kalau terpikir bahwa nanti ia akan menolak cinta Adrian. Ah, sesungguhnya Adrian bukan manusia sempurna seperti apa yang tampak. Barangkali perlu waktu untuk mengungkap ketidak sempumaan seseorang. Ia sadar, perkenalannya dengan Adrian masih terlalu singkat untuk bisa menyimpulkan kepribadiannya.

"Kelak kau tidak akan sendirian kalau sudah punya istri dan anak-anak," ia menghibur.

"Masalahnya cuma waktu. Tak perlu pesimis."

Usai berkata begitu, Lis merasa aneh tapi juga lucu. Dirinya yang terasa retak-retak oleh trauma ternyata bisa juga menasihati orang lain. Kemarin Rudy, sekarang Adrian. Memang retak bukan berani hancur. Satu rusak, lainnya -masih berfungsi. Itu tergantung pada pemanfaatan. Dan tentu saja juga kesempatan.

"Terima kasih, Lis."

"Ah, itu cuma ucapan klise."

"Nilainya tergantung yang mengucapkan."

"Oh ya?"

Adrian tersenyum penuh arti. Kemurungan yang menghiasi wajahnya tadi sudah tak tampak lagi.

"Kau benar, Lis. Curhat itu penting. Tapi kita tidak bisa melakukannya ke sembarang orang. Bisa-bisa dia malah menjauh. Selama ini aku bukan tak ingin curhat, tapi tak punya orang dekat."

"Mungkin selama ini kau sendiri yang tidak berusaha mendekati seseorang."

"Dulu pernah, tapi ditolak karena kantongku

kempes."

"Sekarang kan nggak kempes lagi."

"Ya. Tapi harta tidak bisa mengatasi semuanya, Lis."

"Itu memang benar. Tapi kesempurnaan kan nggak ada, Ian. Kau mau cari apa lagi sih?"

"Cinta, Lis. Tanpa cinta manusia jadi kering kerontang, biarpun banyak hartanya."

"Tapi tanpa harta manusia juga kering kerontang, Ian." Lis tertawa.

"Dia kan kelaparan. Dan kalau begitu, boro-boro bisa memikat orang, diri sendiri saja susah selamat. Jadi hartamu itu bisa kaupakai mencari cinta. Kalau dimanfaatkan dengan baik, harta itu sungguh berguna."

"Mendapatkan cewek matre sih gampang saja, Lis."

"Ah, jangan yang matre dong. Pilih yang baik."

"Sebenarnya aku sudah mendapatkan yang baik, tapi aku takut dia tidak mau sama aku."

"Kenapa kau harus takut?" Lis merasa jadi orang munafik dengan kepura-puraannya. Tapi ia sudah tidak sabar ingin menjelaskan dan menyelesaikan masalahnya.

"Karena ketidaksempurnaanku itulah."

"Belum dicoba sudah takut."

"Bukankah itu wajar, Lis?"

"Ya. Tentu. Mungkin kau takut karena tidak siap atau tidak ingin ditolak."

"Memang."

"Risiko itu kan wajar juga, lan."

Adrian termenung. Apakah kata-kata Lis itu sebenarnya merupakan suatu pertanda? Mustahil Lis tidak tahu atau tidak merasa bahwa dirinya menaruh hati padanya. Tampaknya ini merupakan saat yang baik untuk membuka dirinya. Betapa sulitnya jadi orang tabah. Oh, jantungku!

"Aku cinta padamu, Lis!" Adrian memaksakan kata-kata itu keluar.

Biarpun sudah memperkirakan dan menunggu, toh Lis terperangah juga. Ternyata berhadapan dengan kenyataan tidak gampang. Tanpa memandang wajah Adrian, ia menggeleng.

"Menyesal sekali, Ian. Aku tidak bisa membalas cintamu," ia juga memaksakan jawaban. Tak boleh bertele-tele. pikirnya.

Adrian tertegun sejenak. Jawaban yang akan diterimanya memang hanya satu di antara dua. Tapi sulit menerimanya. Ia merasa sedih. ,

"Mungkin aku terlalu cepat mengutarakannya, Lis. Kau perlu waktu untuk memulihkan dirimu sendiri. Aku bersedia menunggu. Jangan menolak dulu."

"Aku sudah pulih, Ian. Tapi aku tidak bisa menerima cintamu."

"Apakah ada orang lain?"

"Oh. sama sekali tidak."

"Boleh aku tahu, bagaimana sebenarnya anggapanmu mengenai aku?"

"Aku menganggapmu sebagai teman, lan. Seorang teman yang sangat baik."

Adrian termenung. Rasanya bukan cuma sedih, tapi juga malu. Cuma seorang teman. Bagi seorang lelaki yang menggandrungi dan mencintai, kata-kata itu cuma pelipur lara yang tak punya makna. Klise belaka.

"Maafkan aku, lan. Aku tak bisa memenuhi harapanmu. Sekarang kau memang merasa sakit, tapi waktu akan menyembuhkan. Sama seperti dia menyembuhkan aku," Lis mencoba menghibur.

Adrian tidak menjawab. Ia sedang bermain dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang membuatnya tersentak. Seperti api lilin yang meredup hampir padam tiba-tiba menyala kembali. Semangatnya muncul lagi. Ada harapan dan juga jalan keluar.

Ia mengangkat kepala lalu menatap Lis dengan ekspresi yang menampakkan ketabahan.

"Terima kasih, Lis. Nasihatmu sangat berisi. Kau pantas dikagumi. Itu salah satu sebab kenapa aku jatuh cinta padamu. Kau punya banyak segi yang luar biasa. Biarpun kau tidak bisa mencintaiku tapi aku tetap beruntung karena dianggap sebagai teman yang sangat baik."

"Jadi kau tidak keberatan kita tetap berteman saja, lan?" tanya Lis dengan lembut. Ia senang karena reaksi Adrian sangat terkendali.

"Tentu saja, Lis. Aku senang menjadi temanmu."

"Terima kasih juga, lan. Betapa berharganya seorang teman bagiku saat ini."

"Kau tidak akan mencampakkan aku bila mendapat teman baru?"

"Tentu tidak. Bila seorang pacar atau suami bisa putus hubungan, tidak demikian dengan teman."

"Bagaimana bila kau mendapat pacar, apa

kah aku tetap dianggap sebagai teman?"

"Jelas dong."

Adrian mengangkat tangannya. Lis juga. Keduanya saling bertepuk. Janji diikrarkan.

Lis merasa lega tapi juga heran. Sepertinya terlalu gampang.

Adrian memang tidak tampak patah hati meskipun terlihat murung. Ternyata Lis memberikan jalan keluar yang baik. Aku percaya, Lis sesungguhnya memerlukan waktu untuk menerima cinta. Sama seperti orang sakit memerlukan waktu untuk sembuh. Aku juga memerlukan waktu untuk menaklukkan hati Lis. Padahal Hilman cuma memberi waktu sebulan!

MALAM itu juga Hilman menerima telepon dari Tito Wardoyo. Suara Tito terdengar riang.

"Dia sudah berada bersama kami, Man," kata. Tito.

"Dia? Oh, ya. Si bayi. Selamat, To!"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih. Kami sangat bahagia, Man. Dia sungguh anak yang manis dan .lucu. Istriku jadi betah di rumah. Dia menghentikan berbagai kegiatannya dan memutuskan untuk mengurusnya secara penuh-. Ia sangat menikmati perannya sebagai ibu."

"Aku juga bahagia untuk kalian. Begitu ada waktu aku akan menjenguk."

"Ya, datanglah. Kami sangat mengharapkan kedatanganmu."

"Siapa nama panggilannya, To?"

"Kami memutuskan untuk memanggilnya

Rahmat. Soalnya itu pemberian kami sendiri."

"Bagus!" kata Hilman dengan sungguh-sungguh. Ia sendiri lebih menyukai nama itu. Bukankah Darman adalah kebalikan dari Mandar? Tentu itu cuma suatu kebetulan. Tapi sebaiknya anak itu dijauhkan dari segala sesuatu yang berbau Mandar. termasuk namanya.

Sesudah itu ia menerima telepon dari Lis.

"Masalah dengan Adrian sudah beres, Dok," kata Lis dengan riang.

"Oh ya? Beres bagaimana? Mau cerita sekarang?"

"Tentu, Dok. Dia sudah menyampaikan perasaannya dan saya menjawab seperti yang sudah saya rencanakan."

"Lalu?"

"Mula-mula dia kelihatan terpukul, lalu menerima dengan tabah. Dia bersedia menjadi teman saja. Ya Sudah, Dok. Itu saja."

Hilman terperangah sejenak. Rupanya Adrian orang yang pandai mengendalikan emosi.

"Jadi semua berlangsung baik-baik saja?"

"Ya, Dok. Jauh lebih baik daripada perkiraan saya. Dia malah berterima kasih karena saya menganggapnya sebagai teman yang baik."

"Jadi dia mengharapkan hubungan kalian tetap berlangsung?"

"Ya. Tapi sebagai teman, Dok. Tidak lebih dari itu. Terus terang, dia cukup menyenangkan sebagai teman. Tapi kadang-kadang saya takut juga, kalau-kalau saya cuma memanfaatkan dirinya karena sekarang tidak punya teman."

Hilman mengerutkan keningnya. Bukankah seharusnya Adrian mengundurkan diri begitu cintanya ditolak?

"Kenapa, Dok? Apakah itu kurang baik?" tanya Lis, yang rupanya merasakan sesuatu.

"Oh, tidak. Itu cukup baik. Saya ikut senang bahwa kau berhasil mengatasi masalah itu. Sekarang kau bisa konsentrasi kepada masa depanmu, Lis."

"Apakah setelah selesainya ini saya tidak boleh berhubungan lagi dengan Dok?"

Hilman kembali terperangah. Ia merasa pertanvaan itu agak aneh.

"Lho, siapa bilang begitu, Lis? Ketahuilah, kau sudah seperti keluarga sendiri. Kau bukan pasienku, kan? Kalau mau main ke rumah, datanglah kapan saja. Tak ada aku, ada anakanak."

"Terima kasih, Dok. Oh ya, tahukah Dok bahwa kemarin selesai berbincang dengan Dok saya diantar pulang oleh Rudy?"

Hilman tercengang. Itu di luar persangkaannya.

"Nggak, Lis. Dia nggak ngomong apa-apa."

"Sudahlah, jangan ditanyakan, Dok. Mungkin dia malu."

"Nggak. Nanti dia cerita sendiri kok."

"Ya, kan baru kemarin. Tapi biarlah dia cerita sendiri, Dok. Jangan ditanyain, ya?"

"Ya. Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang cerita?"

"Dia anak yang baik, Dok. Rupanya dia khawatir melihat saya pulang sendirian lalu menawarkan jasa baik."

Hilman merasa bangga mendengar kata-kata

itu.

"Pakai motor, Lis?"

"Ya. ,!

"Mestinya dia bisa pakai mobil."

"Katanya kalau mobil Dok tergores nanti Dok marah." Hilman tertawa.

"Kan bisa dilihat dulu siapa yang dia bawa. Dasarnya dia memang ingin pakai motor."

Lis tertawa juga.

"Cuma itu ceritanya, Dok. Sampaikan salam saya buat Rudy ya, Dok?"

"Ya. Dan salam saya buat orangtuamu."

"Terima kasih, Dok. Oh ya, kapan Dok ke rumah? Giliran Dok dan anak-anak makan malam di rumah kami dong! Kapan, Dok?"

"Wah, nanti saya tanya anak-anak dulu. Waktunya kan harus disamakan, Lis. Tapi saya senang dapat undangan."

"Bener ya, Dok."

Suara Lis kedengaran riang dan bersemangat, pikir Hilman setelah menutup telepon. Tetapi ia sendiri tidak terbawa dalam kegembiraan itu. Perasaan gundah menguasainya. Apakah ia sebaiknya mengambil inisiatif dengan menelepon Adrian lebih dulu atau menunggu saja?

"Siapa tuh yang nelepon, Pa? Mbak Lis, ya?"

Hilman terkejut oleh teguran Rudy. Rupanya anak itu diam-diam berada di dekatnya dan ikut mendengarkan. Tentu ia mendengarnya menye

but nama Lis. Ia terlalu dalam merenung tadi. Cepat-cepat ia tersenyum.

"Kamu nguping rupanya, ya?" ia bergurau.

Wajah Rudy memerah. Ia tersipu.

"Ah, nggak. Kebetulan aja mendengar, Pa. Habis kuping di pinggir sih."

Hilman tertawa.

"Ya, memang itu Mbak Lis."

Sengaja ia cuma berkata singkat. Jelas ia melihat rasa penasaran di wajah Rudy. Pasti anak itu ingin tahu apa saja yang disampaikan Lis lewat telepon tadi.

"Ngomong apa saja, Pa?"

"Ih, mau tahu aja."

Hilman melangkah pergi sambil tertawa. Tapi Rudy mengejarnya lalu menggamit lengannya. ,

"Ayo dong, Pa. Aku mau tahu," Rudy merengek.

"Sejak kapan kau mau tahu urusan pasien?"

"Urusan pasien nggak mungkin dibicarakan di telepon."

"Idih, kok ngotot sih."

"Ayo dong, Pa."

"Kata Lis, kamu jangan dikasih tahu."

Rudy memperlihatkan ekspresi yang begitu aneh hingga Hilman tertawa. Tapi kemudian ia tidak tega.

"Lis bilang, biar saja kau sendiri yang ngomong. Dia pikir kau tentu malu mengatakannya."

"Mengatakan apa sih, Pa?"

"Ayolah, jangan berpura-pura. Sebenarnya kau sendiri sudah tahu kok."

Rudy tertegun sejenak. Ia tak percaya kalau Lis melanggar janjinya untuk tidak memberitahu percakapan mereka kepada ayahnya.

"Tahu apa sih, Pa?"

Hilman tertawa saja.

"Ayo, tebaklah."

Rudy menenangkan dirinya. Kalau benar Lis membuka rahasia, berarti ayahnya akan marah. Buka tertawa-tawa seperti itu.

"Baiklah, Pa. Aku mengantarkan Mbak Lis pulang naik motor."

"Nah begitu. Apa susahnya sih cerita? Dia bilang kau anak yang baik karena kasihan padanya harus pulang sendiri."

"Apa lagi ceritanya?"

"Apa lagi? Memangnya masih ada lagi?"

Rudy cepat menggelengkan kepala. Ia merasa lega.

"Papa senang kau cepat akrab dengan Lis.

Tapi boleh tanya, Rud. Kau tidak tertarik padanya, kan? Maksudku... yaaa... kau tentu paham maksudku," kata Hilman dengan ragu-ragu. Takut salah tapi perlu kepastian.

"Maksud Papa, naksir gitu?"

"Ya, kira-kira begitu."

Rudy tertawa ngakak.

"Waduh, Papa pikir aku ini mata keranjang?"

"Jadi nggak?" Hilman berwajah lega.

"Nggak dong, Pa. Kok Papa menilai jelek anak sendiri."

"Bukan begitu, Rud. Tapi nggak ada salahnya kan bertanya terus terang? Daripada curiga diam-diam."

"Tapi Papa nyangkanya nggak logis. Mbak Lis kan jauh lebih tua."

"Zaman sekarang umur bukan masalah. Tapi sudahlah. Kalau memang nggak, ya, nggak apaapa. Tapi kan pasti menyukai dia, bukan?"

"Betul, Pa," Rudy mengaku.

"Tapi itu tidak berarti naksir. Lain sekali perbedaannya."

"Ya, memang lain. Yang kautaksir itu si Indri, kan?"

"Itu baru betul, Pa!"

"Baguslah kalau begitu." Hilman menepuk punggung Rudy.

"Jadi masalah itu sudah clear ya, Pa? Sekarang boleh nanya sesuatu tentang Mbak Lis?"

"Tanya saja. Tapi ingat, kecuali rahasia pasien lho."

"Mudah-mudahan ini bukan rahasia. Begini. Apakah menurut Papa, Mbak Lis itu cukup stabil mentalnya?"

Hilman tertegun. Pertanyaan itu mencengangkan tapi juga menggelitik keingintahuan.

"Tentu saja iya. Kenapa kau bertanya begitu? Tentu ada alasannya dong."

"Aku cuma ingin tahu saja, Pa. Bagaimana pandangan seorang ahli yang juga terapisnya."

"Bagaimana menurut pandanganmu sendiri?" tanya Hilman dengan ekspresi tertarik. Ia yakin, Rudy mesti punya alasan di baik pertanyaan itu.

"Ah, aku pikir dia baik-baik saja, Pa. Enak ngobrol sama dia. Tapi..."

Rudy tak melanjutkan kata-katanya.

"Tapi apa?"

"Kayaknya dia memang punya masalah." Hilman terperangah. Apakah anaknya ini punya bakat alam untuk memahami seseorang? Tidak

mungkin Lis menceritakan kasusnya sendiri. Tapi kemudian dia menyadari, Rudy sedang memancingnya untuk bercerita lebih banyak mengenai Lis. Ia tersenyum.

"Kalau dia tak punya masalah, dia tak akan datang kepadaku, Rud. Jelas dong."

"Masalahnya itu rahasia pasien."

"Nah, sudah tahu, bukan?"

Rudy memonyongkan mulutnya. Ia tahu, kalau ayahnya mendengar ceritanya bagaimana mengejutkan reaksi yang diperlihatkan Lis setelah mendengar cerita tentang lndah, pastilah ayahnya sangat tertarik. Dan mungkin bisa jadi bahan analisa yang berguna. Tetapi ceritanya itu tak akan membuat ayahnya bercerita juga mengenai masalah Lis yang ia rahasiakan itu. Sebaliknya, sudah jelas dirinyalah yang akan dimarahi karena telah memberi kejutan itu. Bagaimana kalau Lis kenapa-kenapa? Sudah tahu orang bermasalah kok malah dikagetkan. Tapi barusan ayahnya sendiri menegaskan bahwa mental Lis cukup stabil. Ia pun membuktikannya sendiri. Betapapun kagetnya, Lis berhasil mengatasi emosinya.

Memang disayangkan, bahwa ia tak bisa

berbagi dengan ayahnya." Ada hal-hal yang jelas tak bisa dibagi seberapa pun akrabnya. Seperti persoalan dirinya dengan Indri. Begitu mengenal Lis, ia merasa dialah orang yang cocok. Sebegitu kuat instingnya mengenai hal itu sampai ia lupa status Lis sebagai pasien.

"Masih mikirin Lis?" tanya Hilman melihat Rudy termangu.

"Dia pasti tak punya pacar ya, Pa."

"Bagaimana kau bisa memastikan?"

"Kalau memang punya, masa datang dan pulang sendirian."

"Seorang pacar tak selalu bisa menemani, Rud."

"Aku yakin, dia tak punya," Rudy berkata yakin.

"Punya atau tidak punya, apa urusannya denganmu?"

"Aku ingin berteman dengannya, Pa. Kalau dia punya pacar, tentunya sulit. Si Pacar bisa mencemburuiku." Hilman terbelalak. Ini surprise lain lagi.

"Eh, Papa jangan salah paham lagi, ya. Maksudku berteman adalah untuk berdiskusi. Kelihatannya dia punya wawasan luas."

"Oh, begitu. Ya, baguslah. Kalau Eddy bagaimana?"

"Dia sih jangan diusik, Pa. Mana mungkin. Nanti pacarnya marah."

"Apa pacarmu sendiri nggak marah?"

"Nggak dong, Pa. Dia kan jauh."

Hilman tertawa. Meskipun lega, tapi ia toh heran kenapa Rudy ingin berteman dengan Lis. Ia memutuskan untuk tidak terlalu merisaukan hal itu.

Ia memang tidak bisa lagi memikirkan hal itu karena setelah itu Adrian menelepon.

"Pak, bisakah saya mampir untuk bicara? Ngomong di telepon kurang leluasa. Sekarang saya ada di mobil di depan rumah Bapak."

HILMAN menerima Adrian di ruang praktiknya. Di situ tempatnya terjamin dari kemungkinan ada yang mendengarkan.

Adrian memandang berkeliling sebelum duduk. Ia melihat ruangan yang tak seberapa luas tapi terasa nyaman oleh pengaturan perabot yang efisien dan enak dipandang. Ada sofa dan perangkat meja-kursi dengan bantal-bantal yang serasi. Di dinding tergantung lukisan besar air terjun di tengah hutan dengan nuansa hijau. Efeknya teduh dan menenteramkan.

Hilman melihat pandang Adrian.

"Ini diatur almarhum istri saya. Tak pernah saya ubah-ubah," ia menjelaskan.

Adrian mengangguk.

"Bagus," katanya.

"Silakan duduk, Mas lan."

Adrian tak membuang waktu. Ia segera men

ceriuakan perbincangannya dengan LIS.

"Ia menolak cinta saya, Pak. Tapi menerima saya sebagai teman."

"Jadi?"

"Tentu saya tak bisa apa-apa. Saya menerima jadi temannya," sahut Adrian.

Hilman mengamati wajah Adrian. Di wajah itu ia tak melihat adanya kedukaan atau kekecewaan layaknya orang yang ditolak cintanya.

"Jadi Anda akan tetap berhubungan dengan Lis sebagai teman?" tegas Hilman.

"Ya. Itulah yang dikehendaki Lis. Ia berjanji tidak akan mendepak saya bila nanti punya teman baru."

"Bagaimana kalau suatu waktu dia menerima cinta seseorang?"

"Saya akan tetap menjadi temannya," sahut Adrian tanpa beban.

"Bagaimana dengan rahasia identitas Anda?"

"Karena saya cuma seorang teman, maka sudah tentu saya tidak berkewajiban untuk memberitahu dia. Bukankah tak ada perjanjian untuk itu, Pak?" tanya Adrian dengan nada memohon.

Hilman terperangah. Sebenarnya ia sudah menduga ke mana arah yang dikehendaki Adrian, tapi mendengarnya sendiri tetap saja membuatnya gemas. Dia cerdik. Aku yang bodoh karena tidak terpikir akan kemungkinan itu.

Adrian memahami ekspresi Hilman. Ia sadar peran yang harus dimainkannya. Hilman adalah orang yang menentukan nasibnya.

"Tolonglah saya, Pak. Jangan buka rahasia saya," katanya mengiba.

"Anda tidak jujur."

"Percayalah, Pak. Pada suatu saat saya akan cerita juga kepadanya. Tapi tidak sekarang. Sebagai teman saya kan menjaga jarak."

"Saya tahu maksud Anda. Selama menjadi teman, Anda memanfaatkan kesempatan untuk membuat dia lebih dekat dan lekat dengan Anda."

"Kalau dia dekat dengan saya, pasti bukan pemaksaan, Pak. Itu terjadi dengan sendirinya. Saya memang belum lama berteman dengannya. Biarkanlah saya menjadi temannya, Pak."

"Bila dia sudah telanjur dekat dengan Anda, apakah Anda pikir ia tetap bersedia menerima Anda seperti apa adanya?"

"Ya," sahut Adrian dengan penuh keyakinan.

"Dia akan menerima saya seperti saya menerima dia."

"Anda terlalu yakin. Bagaimana kalau kenyataan itu malah menghancurkan dirinya padahal dia sudah susah payah berusaha memulihkan dirinya? Akibatnya juga bisa fatal bagi Anda, karena dia akan menganggap Anda tidak jujur."

"Dia punya karakter yang hebat. Jadi pasti dia akan mengerti bahwa saya bukannya tak mau jujur, tapi karena saya takut kehilangan dia."

Hilman geleng-geleng kepala. Bahkan dengan keahlian dan pengalamanku, aku masih sulit memahami dia. Padahal aku juga pernah mengenal cinta!

Adrian melihat keraguan di wajah Hilman. Ia sadar harus menggunakan segala kemampuannya untuk menarik simpati Hilman. Ini benar-benar suatu perjuangan. Bagi Lis apa pun akan diperjuangkannya.

"Saya sangat mencintainya, Pak. Saya juga terdorong untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Mandar."

Nama itu membuat Hilman tersentak.

"Anda tidak mungkin bisa memperbaiki kerusakan itu."

"Mungkin tidak seluruhnya, tapi sebagian. Awalnya memang cuma kasihan. Tapi kemudian berubah. Apalagi setelah saya melihat bagaimana tabahnya dia. Boleh dikata saya telah menyaksikan perjuangannya dari awal, Pak. Kasihan dan kagum menjadi cinta. Bisakah Anda memahami kenapa saya begitu berat berpisah dari dia? Cuma dianggap teman pun saya tidak keberatan."

"Jadi Anda mengharapkan saya tidak membuka rahasia Anda selama menjadi temannya."

"Betul, Pak. Saya mohon. Biar soal itu menjadi tanggung jawab saya."

"Saya tidak mungkin menyerahkan tanggung jawab itu kepada Anda."

"Dia tabah, Pak. Dia bisa menerima kenyataan. Dia tidak akan hancur. Paling-paling saya yang hancur." Adrian tertawa sedih.

"Nah, Anda mulai seperti dulu lagi. Kalau Anda merasa akan hancur, kenapa menempuh risiko ini? Lebih baik Anda menjauh saja hingga tak perlu buka-buka lagi. Anda tidak hancur, Lis pun tidak. Anda bisa hidup tenang dan damai, demikian pula dia. Jauh dari bayangan

Mandar."

"Dia tidak mungkin bisa melupakan Mandar, Pak. Saya bisa membantunya menerima kenyataan."

"Dia sudah bisa menerima kenyataan. Kehadiran Anda yang dikenalnya sebagai sepupu Mandar bisa memberi efek lain. Sesuatu yang tak bisa diduga sebelumnya."

"Selama ini setiap kali berkunjung ke penjara saya selalu berusaha mengingatkan dan menasihati Mandar, Pak."

"Oh, apa gunanya?" tanya Hilman dengan sinis.

"Saya ingin dia bertobat sebelum mati."

"Dia tidak pernah menyesali perbuatannya, bukan?"

"Ya. Tapi ada yang disesalinya, yaitu perbuatannya kepada Lis. Ia telah melakukan kekeliruan. Karena itu ia memberi perhatian besar kepada Lis, lalu menyuruh saya mencari informasi mengenai Lis dan bayinya,"

Hilman tersentak dengan tiba-tiba.

"Tempo hari Anda bilang, Anda belum tahu siapa yang mengadopsi bayi itu. Apakah sebenarnya Anda sudah tahu?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," sahut Adrian terpaksa. Untuk mengambil hati Hilman ia harus terbuka.

"Rupanya pihak klinik tidak merasa keberatan memberitahu Anda." Adrian terdiam.

"Tidak sepatutnya mereka memberitahu hal itu kepada orang luar yang tidak dikenal," gerutu Hilman.

"Maafkan saya, Pak. Bukan cuma Mandar yang ingin tahu, tapi saya sendiri juga, karena itu adalah anak Lis. Bukan anak Mandar saja. Saya ditugaskan Mandar untuk mengawasi pertumbuhan anak itu. Apakah dia baik-baik saja dan tidak kurang suatu apa. Mandar memiliki harta yang diwariskannya kepada saya. Sebenarnya dia ingin memberikannya kepada anak itu, tapi tidak tahu bagaimana caranya."

"Bukankah hartanya sudah dimiliki Anda?"

"Oh. belum sepenuhnya, Pak. Dia kan masih hidup."

"Mas lan, saya ingatkan Anda, menjauhlah dari anak itu. Jangan berpikir bahwa harta bisa membuat orang bahagia. Biarkan dia dalam ketenangan dan kebahagiaan bersama orangtua angkatnya. Jangan usik dia biarpun Anda bermaksud baik. Kadang-kadang maksud baik

itu bisa berakhir dengan tidak baik. Tidak terpikirkah Anda apa akibatnya bagi anak itu kelak kalau dia tahu siapa bapak kandungnya? Uruslah kehidupan Anda sendiri saja!" kata Hilman dengan kesal.

Adrian terkejut oleh emosi Hilman.

"Pak, saya tidak bermaksud untuk mengusik kehidupan anak itu. Saya senang bahwa dia berada di tangan orangorang yang baik. Itu saja sudah cukup. Tak ada niat lain. Apalagi sampai melakukan hal-hal yang membuat anak itu bisa mengetahui siapa orangtua kandungnya. Percayalah, Pak. Rahasia itu aman pada saya."

"Tapi Anda sudah membagi rahasia itu dengan Mandar."

"Ya. Dia ingin tahu apakah anaknya terjamin dan terurus dengan baik. Wajar kan, Pak?"

"Wajar sih wajar, tapi dia hanya ingat diri sendiri. Sadarkah dia bahwa proses kelahiran anak itu menyakitkan dan menghancurkan orang lain?"

"Saya kira dia cukup menyadarinya, Pak. Dia menyesal tapi tak mau mengutarakannya pada orang lain. Satu hal lain yang ingin saya ingatkan. Selama ini dia merahasiakan perbuatannya kepada Lis bukan sematamata karena tak mau memberatkan dirinya sendiri, tapi untuk menjaga nama baik Lis. Ia tahu Lis tidak pernah melaporkan peristiwa itu karena malu. Padahal ia bisa saja mengungkapkan karena ia toh sudah dihukum mati. Karena itu ketika-ia minta dicarikan foto Lis, saya tolak. Saya memikirkan kepentingan Lis semata. Rupanya dia tidak kekurangan akal. Lalu menggambar sendiri. Untuk dipandangi saja, katanya."

"Buat apa dia memandangi gambar itu?"

"Dia tidak pernah mengatakannya. Saya tidak berani mendesak. Belakangan ia bersikap aneh. Itu membuat saya takut."

"Oh ya? Aneh bagaimana?"

Adrian memutuskan untuk bercerita. Ia tahu, cerita tentang Mandar menarik minat Hilman. Bagaimanapun ia harus menjalin hubungan baik dengan Hilman, karena Lis mempercayai Hilman.

"Tempo hari saya mengatakan bahwa Mandar tidak tahu mengenai perasaan saya kepada Lis karena takut dia tidak suka. Tapi ketika terakhir saya mengunjunginya, tiba-tiba ia bertanya apakah saya jatuh hati kepada Lis. Saya terkejut

sekali, bagaimana ia bisa tahu? Katanya ia menebak saja. Terpaksa saya mengakui. Ia kelihatan senang, lalu menyuruh saya melamar Lis dan cepat-cepat menikah dengannya supaya bisa membawa anak itu. Tapi saya bilang itu tidak bisa karena Lis telah memberikannya kepada orang lain."

Hilman terperangah. Ia segera menyadari bahwa sebenarnya ia bisa tahu lebih banyak tentang Mandar dari Adrian. Hanya Adrian orang yang dekat dengan Mandar dan secara rutin bertemu dengannya.

"Apakah dia bisa menerima penjelasan Anda itu?"

"Tampaknya dia tidak puas. Dia mengeluarkan komentar yang mengejutkan. Katanya, kalau ia memberitahu orangtua angkat anak itu siapa sesungguhnya bapak kandung si anak, pastilah mereka tak mau lagi mengangkatnya."

Hilman terkejut. Infomasi itu terasa mengerikan.

"Itu tidak boleh terjadi!" ia berseru.

"Tentu. Saya sependapat. Kalau ia menyuruh saya melakukannya, saya pasti menolak. Tapi menghadapi dia, rasanya tidak bisa begitu, Pak.

Sebaiknya dia dibohongi saja. Dia pemarah dan tidak suka ditolak. Apalagi dia menganggap saya sudah jadi orang suruhan yang harus mematuhinya karena telah diberi harta yang banyak."

Hilman mengangguk.

"Itulah risikonya. Harta itu bukan durian runtuh, bukan?"

Adrian tersenyum murung.

"Tapi untuk orang miskin seperti saya, harta itu sungguh bernilai, Pak."

Hilman mengamati wajah Adrian yang tampak tulus. Ia mulai menilainya secara positif.

"Tadi Anda bilang, Mandar bisa menebak isi hati Anda dengan tepat."


Antara Budi Dan Cinta Hu Die Jian Karya Juri Pilihan Runaway Jury Karya John Shugyosa Samurai Pengembara 4

Cari Blog Ini