Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 6

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 6



"Ya. Dia membuat saya terkejut sekali. Itulah yang membuat saya takut padanya. Kalau suatu waktu saya perlu membohongi dia, wah, bisa ketahuan."

"Mungkin dia bisa menangkap sesuatu dari ekspresi Anda saat Anda bercerita tentang Lis. Anda tidak sadar bahwa dia mengamati."

"Ya. Mungkin saja. Kadang-kadang saya takut dia bisa membaca pikiran saya."

"Punya alasan untuk itu, Mas?" tanya Hilman setelah tertegun sejenak. Ucapan Adrian

Itu memang mengejutkannya.

"Ya itulah. Kok dia bisa menebak dengan tepat."

"Menebak dengan membaca itu lain, Mas. Kalau cuma menebak-nebak sih semua orang juga bisa. Tapi membaca pikiran itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan telepati."

Adrian termenung. Wajahnya tampak cemas.

"Apakah menurut Anda, dia punya kemampuan seperti itu?"

"Bagaimana penilaian Anda dari pengalaman bergaul dengan dia?"

Adrian berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala.

"Kayaknya nggak ada yang seperti itu. Dia, biasa-biasa saja. Saat itu hubungan kami memang akrab, tapi kalau dipikir saya lebih banyak jadi teman dia bersenangsenang. Ada juga saling curhat, tapi tidak sampai buka-bukaan. Sebenarnya saya juga tidak mengenal dia secara mendalam. Saya cuma heran kenapa dia tidak juga berkeluarga, padahal dia sudah punya segalanya. Banyak cewek yang memaksirnya. Tapi dia selalu bilang, para cewek itu cuma mengincar hartanya dan bukan dirinya."

"Anda tentunya kaget sekali ketika mengetahui apa yang telah dilakukannya."

"Wah, bukan kaget lagi. Padahal saya suka menginap di rumahnya."

"Kadang-kadang saya tak habis pikir,kok Anda tidak merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar di rumah itu."

"Ketika kasus itu terkuak, saya sering merenungkan saat-saat itu. Apa saya benar-benar tidak merasakan apa-apa? Tapi memang nggak ada kok. Keraguan pun nggak ada. Tapi memang saya nggak suka pergi ke ruang belakang itu. Buat apa saya ke situ? Tempat itu seperti gudang."

"Apakah Anda bisa sembarang waktu berkunjung ke situ, semau Anda, misalnya?"

"Oh, nggak. Biasanya dia yang mengajak. Bukan mau saya. Terus terang saya merasa kurang nyaman di rumahnya itu. Luas dan bagus dekorasinya, tapi toh kesannya kosong-melompong. Baru belakangan saya menyadari bahwa itu pasti disebabkan karena di situ menyimpan horor. Tapi saya segan menolak ajakannya, karena dia banyak memberi bantuan keuangan bagi saya."

"Anda nggak heran bagaimana dia bisa nyaman tinggal sendiri di situ?"

"Mulanya sih nggak. Soalnya dia sudah tinggal di situ sejak dilahirkan, jadi sudah terbiasa dengan suasananya."

"Tapi dulu dengan sekarang kan lain, Mas. Dulu dia belum membunuh orang."

"Entahlah. Saya tidak mengerti dia. Tapi sebenarnya kalau dipikir lagi, sekarang dia memang Sulit dipahami. Cuma dulu saya tidak merasa ada gunanya mencoba memahami dia. Dia sendiri pun begitu, kepada saya. Kami hanya berbagi kesenangan."

"Dia tidak pernah cerita tentang orangtuanya?"

"Tidak. Saya tidak suka bertanya tentang soal itu, karena kami sama-sama anak yatim-piatu yang kehilangan orangtua dengan cara yang sama. Jadi rasanya itu cuma membuat hati sakit saja."

"Ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui. Ingat saat perjumpaan kita di halaman penjara yang membuat Anda pingsan itu?"

"Ya." Adrian tersipu.

"Apakah kemudian Anda dan Mandar mem

bicarakan soal kunjungan kami kepadanya?"

"Oh ya. Saya duluan yang menanyakannya. Dia sendiri tidak memberitahu. Katanya, dia ditanyai apakah telah membunuh kakak dari perempuan muda dalam rombongan Anda itu. Tapi dia tidak berkata ya atau tidak. Dia marah-marah. Saya tidak berani mendesaknya untuk bercerita. Padahal biasanya dia suka bercerita tentang apa saja pengalamannya di penjara. Hari itu dia lagi murung. Apa saya boleh tahu, apakah orang-orang yang ikut dengan Anda itu merupakan keluarga dari korban Mandar?"

"Ya."

"Mereka cuma ingin tahu atau punya petunjuk?"

Hilman menceritakan soal baju yang dimiliki kedua kakak-beradik itu. Juga kesamaan wajah mereka.

Adrian menggosok-gosok kedua lengannya saat mendengarkan cerita Hilman.

"Saya jadi ngeri, Pak," katanya dengan suara bergetar.

Ya. Memang mengerikan. Barangkali suatu saat nanti Anda bisa menanyakannya lagi kepada Mandar. Barangkali dia mau menjawab dengan pasti. Bujuklah dia."

Adrian tampak ragu-ragu.

"Saya mesti melihat kondisinya dulu, Pak. Kalau dia lagi murung, saya tak berani. Sejak awal saya tidak pernah bertanya-tanya kepadanya soal perbuatannya itu. Saya takut mendengar ceritanya yang mengerikan."

"Ya, Anda bisa melihat situasinya dulu. Saya mengerti. Ah, kita menyimpang cukup jauh meskipun ada relevansinya. Kembali ke masalah tadi saja, Mas."

"Baik. Sekali lagi saya mohon Anda jangan membuka diri saya kepada Lis karena hubungan kami cuma teman belaka."

"Tidakkah Anda khawatir kalau suatu saat akan ketahuan juga meskipun saya tutup mulut?"

"Saya akan berhati-hati. Itu risiko saya, Pak. Saya yakin pada saat itu dia sudah jauh lebih kuat."

Hilman bepikir, ucapan Adrian itu ada benarnya.

"Baiklah. Tapi saya harap Anda terus mengabari saya setiap ada perkembangan baru, apalagi kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Lis. Anda juga perlu menyampaikan

perilaku Mandar seperti yang Anda lihat dalam setiap kunjungan. Apa yang dikatakannya dan apa yang diinginkannya."

Wajah Adrian menjadi cerah.

"Tentu, Pak. Tentu. Terima kasih banyak."

Adrian menyalami tangan Hilman dengan hangat lalu pamitan.

Hilman mengantarkan Adrian ke luar. Kemudian ia tercengang karena melihat Rudy tengah duduk santai di ruang tunggu sambil membaca koran. Pemuda itu segera melompat berdiri begitu melihat keduanya. Wajahnya menampakkan keheranan, tapi juga kekecewaan, ketika tatapannya tertuju kepada Adrian. Tapi cuma sebentar. Kemudian ia tersenyum, lalu dengan santun mengangguk. Lalu ia duduk kembali dan mengambil korannya.

"Itu putra Bapak?" tanya Adrian saat berjalan menuju mobilnya.

"Betul. Anak saya dua. Itu yang bungsu."

"Sudah kuliah?"

"Sudah."

Adrian berlalu dengan membawa kelegaan. Ia sangat senang karena harapannya tercapai.

Hilman melambaikan tangan, membalas

lambaian Adrian. Lalu mendapatkan Rudy berdiri di sisinya.

"Ayo kita masuk." Hilman merangkul pundak Rudy. Mereka berjalan bersisian.

"Malam-malam masih menerima pasien, Pa. Dia punya masalah gawat rupanya."

"Ah, dia bukan pasien, tapi teman."

"Oh, tidak biasanya teman diajak berbincang di situ."

"Semauku dong. Lalu kau sendiri ngapain di situ?"

"Baca koran."

"Ah, tidak biasanya baca koran di situ. Kan banyak nyamuk."

"Semauku dong,"

Hilman tertawa.

"Iya deh. Tapi Papa punya dugaan."

"Apa, Pa?"

"Kaukira aku sedang berbincang dengan Lis, bukan? Makanya kau nungguin."

Rudy tersipu, tak bisa menutupi.

Hilman menepuk punggung Rudy keraskeras.

"Nggak apa-apa toh kalau memang benar? Lis memang orang yang menyenangkan."

"Soalnya Papa nanti nyangka yang bukan-bukan."

"Ini bukan masalah persangkaan, Rud. Tapi biasanya kalau cowok mendekati cewek, nggak pandang perbedaan usianya, maka alasannya adalah soal asmara. Iya, kan? Jadi serta-merta pikiran menjurus ke situ."

"Apa Papa segampang itu terjebak kepada yang biasanya?"

"Nggak dong. Papa nggak terjebak. Cuma nanya. Dan Papa percaya kepadamu."

"Terima kasih, Pa. Supaya Papa nggak bingung, baiklah kukatakan bahwa aku dekat dengan Mbak Lis karena membutuhkan nasihat dan pendapatnya sebagai perempuan dewasa. Di rumah ini perempuan yang dewasa kan cuma si bibi. Masa dia yang kudekati?"

Lalu Rudy pergi sambil tertawa.

Hilman tertegun sendirian. Kata-kata Rudy itu membuatnya heran, tapi rasanya juga seperti mendapat tamparan halus. Apakah dirinya sebagai seorang ayah yang berprofesi ahli jiwa tidak bisa mengisi kebutuhan Rudy? Seorang perempuan dewasa yang dilihat Rudy dalam diri Lis tentu bukan cuma semata-mata karena dia perempuan.

Kalau saja istrinya masih hidup, tentu ceritanya akan lain.

***

Dengan ponselnya Rudy menelepon Lis.

"Maaf, Mbak, mengganggu malam-malam nih."

"Nggak apa-apa. Sudah ada kabar dari Indri?"

"Supaya cepat aku nelepon dia. Katanya, dia senang mendengar kesediaan Mbak. Tapi dia malu kalau disuruh nulis surat duluan. Bingung mau nulis apa. Jadi kalau Mbak nggak keberatan, harap Mbak duluan yang nulis. Semacam surat perkenalan gitu."

"Oke. Boleh-boleh saja. Kebetulan aku memang senang nulis-nulis."

"Wah, terima kasih, Mbak!" seru Rudy girang. Dia tidak menyangka sambutan Lis begitu spontan.

"Nanti aku buat dulu draft-nya, ya. Kuperlihatkan padamu. Jadi kau tahu apa yang kutulis.

Kalau kau setuju segera kirim."

"Baik, Mbak. Terima kasih."

Rudy bersiul-siuJ setelah menutup teleponnya. Lis benar-benar serius ingin membantunya. Ia tidak hanya asal berjanji. Juga tidak menganggapnya sebagai anak kecil yang tingkahnya masih kekanak-kanakan.

"Nelepon siapa sih?"

Teguran itu dari Eddy.

"Mau tahu aja."

"Tahu. Mbak Lis, kan?"

Rudy tertegun dengan wajah berang.

"Kau nggak tahu aturan! Nguping itu jelek!" ia berseru.

"Eh, jangan marah dulu! Bukankah kau sendiri suka nguping kalau aku lagi nelepon?"

Rudy terdiam. Ia merasa terkena. Maka satu-satunya jalan adalah pergi menghindar.

Tapi Eddy mengiringi jalannya.

"Rupanya kau akrab sama Mbak Lis ya, Rud'?" tanya Eddy dengan suara ramah.

"Itu bukan urusanmu."

"Dia kan lebih tua darimu."

"Dasar pikiran ngeres!" seru Rudy, lalu ia berlari pergi.

Eddy tidak mengejar. Sebenarnya bukan baru kali itu mereka berdua bertengkar. Ada saatnya bercanda dan bermain, tapi ada juga saat bertengkar. Tetapi kali ini terasa lain. Sejak awal ia punya insting bahwa ayahnya memberi perhatian besar kepada Lis. Mungkin disebabkan karena rumor yang disampaikan Rudy sebelumnya, bahwa Lis itu pacar ayahnya, hingga ia termakan. Tapi kemudian si pemberi rumor itu malah jadi akrab dengan Lis. Ia juga merasakan hal itu. Bagaimana Rudy mengamati Lis seolah perempuan itu dewi dari kahyangan.

Pada mulanya ia tidak peduli karena ia bisa mengalihkan perhatiannya kepada masalahnya sendiri dengan pacarnya. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Ia sedang kesal. Ia patah hati. Hubungannya dengan pacarnya sudah putus karena provokasi orangtua si pacar. Ia tidak mengerti kenapa mereka tidak menyukainya, padahal ia punya ayah yang terpandang dengan status ekonomi yang mapan. Ia juga merasa dirinya berlaku cukup sopan. Ternyata jawabannya ia temukan kemudian. Mereka sudah menemukan calon menantu yang dianggap lebih hebat daripada dirinya, yaitu seorang pengusaha. Semen

tara dia sendiri masih mahasiswa yang belum bisa cari uang sendiri. Entah baru kapan bisa. Biarpun punya orangtua kaya, masa disuapi terus?

Sekarang ia merasa sendirian dan tambah sendiri karena orang-orang di rumahnya punya kesibukan sendiri yang tak mau dibagi dengannya. Semuanya gara-gara perempuan!

***

HILMAN memandangi si bayi dalam tempat tidur kecilnya. Ia terpesona dan larut dalam renungan. Saat ini usia si bayi menjelang tiga bulan. Dia tumbuh sehat, berisi, dan tampaknya penuh semangat hidup. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Wajahnya tampan dengan hidung mancung, bibir dan dagu bagus, serta mata yang besar. Sungguh sosok mungil yang menawan. Ia mengingatkan aku pada kedua anakku saat bayi. Ah, aku jadi merindukan saat-saat itu. Menyenangkan sekali punya bayi. Dan bayi ini istimewa. Kalau saja Lis bisa melihat bayinya, apakah ia akan jatuh hati juga seperti aku? Apakah perasaan seperti itu bisa mengalahkan semua tekad yang sudah dipastikan dan diniatkan dari semula? Tetapi bayi ini tidak selamanya tetap sebagai bayi. Dia akan

tumbuh semakin besar dan semakin memperlihatkan karakternya. Apakah pada saat itu ia bisa tetap memesona seperti sekarang?

"Kau pasti menyukainya juga, bukan?"

Teguran Tito mengejutkan Hilman. Ia sempat khawatir kalau-kalau Tito bisa membaca apa yang tengah dipikirkannya tadi.

"Oh ya, tentu saja. Dia sangat memesona."

Atik datang bergabung. Bertiga mereka memandangi si bayi.

"Dia akan jadi rebutan cewek kelak. Mudah-mudahan tidak mata keranjang, ya," kata Atik sambil mengagumi bayinya.

"Kalau kita mendidiknya dengan baik, pasti dia jadi orang baik, Ma," sahut Tito.

"Oh ya. Tentu saja. Aku akan mendidiknya untuk respek pada perempuan. Kalau itu sudah tertanam padanya, pasti ia tidak mungkin mempermainkan perempuan."

"Tapi jangan sama perempuan saja dong. Sama semua orang," sambung Tito.

"Ya, ya. Awal dari kelakuan baik adalah menghargai sesama," kata Atik.

Hilman mendengarkan saja. Ia senang mendengar itikad mereka untuk menjadi orangtua

yang baik. Orangtua seperti inilah yang paling dibutuhkan oleh si bayi, Rahmat. Dia memang lahir polos, tapi punya kelemahan tertentu yang bisa dihilangkan atau malah ditonjolkan, tergantung pada perlakuan yang diterimanya.

"Aku yakin dia akan menjadi orang yang baik," kata Atik.

"Kenapa bisa begitu yakin? Karena aku, ibunya, adalah orang yang baik. Demikian pula bapaknya. Biarpun orangtua kandungnya sendiri jahat, tapi kalau orang yang membesarkannya baik, pasti dia jadi baik." Hilman terpana. Hampir saja ia menyangka Atik sudah tahu siapa orangtua kandung Rahmat. Kemudian ia merasa lega. Bila Atik dan suaminya sudah punya keyakinan seperti itu, maka itu berarti mereka sudah siap dengan berbagai risiko. Perasaan bersalahnya karena menyembunyikan asal-usul Rahmat jadi berkurang. Ia ikut bergembira seperti mereka.

"Lihat!" seru Tito.

"Dia memandangi kita dengan penuh perhatian. Sepertinya memahami bahwa kita sedang membicarakan dia."

"Ya. Kukira begitu," Hilman membenarkan. Tatapan Rahmat dan raut mukanya menampakkan kecerdasan. Tak tahan Hilman men

gulurkan tangannya untuk membelai kepala Rahmat. Rasanya kau seperti anakku juga! Aku akan membantu menjagamu!

Ekspresi Hilman itu ditanggapi dengan baru oleh suami-istri Tito.

"Kayaknya dia juga menyayangi Rahmat, ya Pa," komentar Atik setelah Hilman pergi.

"Ya. Dia pernah bilang, kalau saja istn'nya masih hidup, pasti jatuh hati juga padanya. Mungkin dengan kata lain, ia juga menginginkannya."

"Ah, jangan ngomong seolah Rahmat itu barang. Aku pikir dia ingin yang terbaik bagi Rahmat. Daripada diambil orang lain yang belum ketentuan, lebih baik diberikan pada kita saja, karena dia sudah mengenal kita dengan baik."

"Ya, ya. Kukira juga begitu."

"Tiba-tiba aku jadi mikir lagi, jangan-jangan dia sebenarnya tahu asal-usul Rahmat."

"Sssst..." Tito meletakkan telunjuknya ke bibirnya. Atik tertawa. Mereka mengalihkan perhatian kepada Rahmat. Si bayi ikut tertawa.

Di tengah jalan tiba-tiba saja muncul keinginan Hilman untuk mampir ke rumah Lis. Mungkin karena barusan menjenguk si bayi maka

Hilman jadi teringat kepada ibunya. Ia akan memberi alasan bahwa dirinya kebetulan lewat.

Begitu tiba di depan pintu pagar rumah Lis, ia melihat sebuah motor parkir di halaman. Motor Rudy! Ia heran sejenak, lalu memutuskan untuk membatalkan niatnya berkunjung. Ia terus meluncur pulang menuju rumah.

Ia tidak merasa kecewa karena niatnya batal. Tapi rasa heran semata yang memenuhi perasaannya. Jadi Rudy benar-benar mengakrabkan diri dengan Lis. Kalau tidak, buat apa ia datang berkunjung? Andaikata ia tidak mendengar penjelasan dari mulut Rudy sendiri, tentu ia sudah beiprasangka macam-macam. Tapi ia tahu, tidak pantas bertanya kepada Lis untuk mengklarifikasi kecurigaannya. Rudy adalah seorang teman yang menyenangkan. Bagi Lis ia bisa sangat menghibur.

Tetapi Hilman tidak tahu, ada yang sempat melihat mobilnya maupun dirinya di balik kemudi. Dia adalah Anas. Ketika Anas mencoba mengejar dan memanggil, Hilman sudah terlalu jauh. Ia segera masuk kembali untuk memberitahu Rudy.

Rudy sedang duduk di depan komputer ber

sama Lis. Saat itu Lis memperlihatkan padanya draf? surat yang dibuatnya untuk Indri. Bersama-sama mereka mengedit.

"Rudy, tadi Papa ke sini."

"Papa?"

Rudy sudah berdiri, tapi Anas segera memberitahu bahwa ayahnya sudah pergi lagi.

"Oom panggil-panggil, tapi dia nggak dengar."

"Oh, rupanya Papa lihat motor saya di luar."

"Kenapa Dok nggak mampir saja, ya?" Lis menyesali.

"Mungkin dia nggak mau mengganggu."

"Kalau nanti dia tanya, kau akan hilang apa, Rud?" Lis ingin tahu.

"Dia sudah nggak heran kok, Mbak. Tadinya sih nyangka macam-macam. Dikiranya aku naksir Mbak."

Lis tertawa.

"Tapi kalau dia nanya aku, akan kubilang saja terus terang bahwa aku minta bantuan Mbak nulis surat cinta buat pacarku. Itu paling logis dan juga yang sebenarnya, kan?"

"Ya. Kukira itu paling baik."

Mereka melanjutkan pekerjaan dengan tenang.

Tetapi ketenangan itu tidak berlangsung lama. Kali ini gangguan berupa kedatangan Adrian.

Bukan cuma Adrian yang merasa surprise melihat kehadiran Rudy, tapi lebih-lebih Rudy yang tidak menyangka bahwa Adrian punya hubungan dengan Lis.

Lis memperkenalkan keduanya. Mereka bersalaman tanpa mengatakan apa-apa. Adrian merasa kurang nyaman, demikian pula Rudy. Adrian menganggap Rudy bisa menjadi seorang informan bagi ayahnya, sedang Rudy teringat pada pertemuan serius antara ayahnya dengan Adrian. Ia yakin ayahnya tahu bahwa Adrian dan Lis saling mengenal. Tetapi ia juga bertanya-tanya hubungan macam apakah yang terjalin antara keduanya.

Lis bersikap bijaksana. Ia minta Adrian menunggu sementara ia dan Rudy menyelesaikan pekerjaan mereka. Adrian ditemani oleh Anas. Biarpun demikian Adrian bisa melihat kedua orang itu dari tempatnya. Ia merasa iri melihat mereka bercanda dan tertawa-tawa. Tampaknya akrab. Dalam hati ia bertanya-tanya sejak kapankah kedua orang itu saling mengenal?

Akhirnya surat sudah selesai di-print. Rudy memasukkannya ke sela lembaran buku yang dibawanya supaya tidak menjadi lecek.

"Terima kasih ya, Mbak. Aku akan mengirimkannya secara kilat."

"Kalau aku dapat balasannya, kau segera kukabari, Rud."

"Sudah ya, Mbak. Ada yang nungguin tuh."

Lis tersenyum saja.

Rudy pamitan kepada semua orang di rumah itu dengan sikap yang santun. Lis mengantarkannya ke luar dan menunggu sampai ia naik ke motornya lalu melaju pergi. Ia melambaikan tangan. Baru setelah itu ia masuk kembali untuk menemani Adrian. Lalu ayahnya masuk ke dalam.

"Dia anak bungsu Dokter Hilman," Lis memberitahu.

Adrian sudah mempertimbangkan, bahwa bukan tak mungkin Rudy akan menceritakan kunjungannya ke tempat Hilman kepada Lis. Selanjutnya Lis juga bisa memberitahu Hilman. Kalau ia berpura-pura tidak tahu, maka akibatnya bisa tidak menyenangkan.

"Ya. Aku sudah tahu. Kami pernah ketemu di rumah Dokter Hilman."

"Oh ya? Ngapain kau ke sana?" tanya Lis dengan sorot ingin tahu.

"Aku cuma ingin bertanya mengenai keadaanmu."

Lis mengerutkan kening. Ia merasa kesal.

"Tidak mungkin seorang dokter mau menceritakan keadaan pasiennya kepada sembarang orang. Lagi pula kan bisa melihat sendiri keadaanku kayak apa, bukan?"

Adrian terkejut melihat sikap Lis yang tidak senang. Tapi ia sadar tidak mungkin berjalan mundur.

"Maaf, Lis. Yang kutanyakan kepadanya bukanlah hal-hal yang menyangkut kasus pasien. Itu jelas rahasia. Mana mungkin aku bertanya begitu. Aku bisa diusir Dokter Hilman. Aku cuma ingin bertanya apa yang bisa kulakukan sebagai seorang teman untukmu."

"Lalu apa yang dikatakannya?"

"Dia cuma bilang, jadilah teman yang baik. Sebuah jawaban yang umum saja. Setiap orang membutuhkan teman. Tadinya terus terang aku

takut kau tidak membutuhkan teman karena kau sudah merasa cukup dengan keluargamu yang kompak. Maafkan aku, Lis. Aku merasa perlu bertanya kepada ahlinya ekarena aku harus bisa menempatkan diriku. Bila aku cuma memaksakan diri jadi temanmu padahal kau sendiri menganggapku cuma sebagai penghalang, bukankah itu cuma bikin susah dirimu?"

Wajah Lis kembali cerah. Kekesalannya berubah jadi simpati.

"Oh, begitu. Sori aku keburu menyangka jelek."

"Nggak apa-apa. Aku memang pantas diprasangkai."

"Beginilah diriku, Ian. Kau harus maklum."

"Tentu saja. Tapi tadi kulihat kau akrab sekali dengan Rudy. Belajar apa?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, dia minta tolong dibuatkan surat cinta buat pacarnya," sahut Lis sambil tertawa.

Adrian terperangah.

"Surat cinta? Memangnya dia nggak bisa bikin sendiri?"

"Entahlah." Lis mengangkat bahu. Ia tentu tidak bisa bercerita terlalu banyak.

"zaman sekarang surat-suratan kan sudah kuno. Mending pakai telepon."

"Pacarnya jauh. Di Purworejo."

Adrian terkejut. Dia ingat cerita Hilman tentang keluarga dari Purworejo yang salah satu anggotanya menjadi korban Mandar. Di antara mereka terdepat seorang gadis. Mungkin yang itu adalah pacar Rudy. Tapi tak mungkin mengungkapkannya kepada Lis. Jadi ia cuma mengangguk-angguk saja.

"Beruntung sekali dia. Bikin surat cinta saja dibantu olehmu."

"Aku juga mau membuatkan untukmu kalau kau membutuhkan."

Sesudah berkata begitu Lis terkejut sendiri. Ia merasa telah menyentuh titik peka.

Tapi Adrian cuma tertawa.

"Ya, akan kuingat itu. Nanti kalau orangnya sudah ketemu."

Lis merasa lega karena Adrian tidak kelihatan sedih. Tapi sebenarnya, Adrian menyembunyikan kepedihannya. Sepertinya Lis memang tidak mencintainya karena bisa bicara seperti itu dengan spontan.

"Aku harap cepat ketemu, lan. Kalau sudah dapat, biarlah aku jadi orang pertama yang kauberitahu," kata Lis dengan tulus, tanpa menyadari perasaan Adrian.

Kata-kata itu cuma menambah kepedihan Adrian.

Tapi dalam perjalanan pulang, pelan-pelan optimismenya bangkit kembali. Kalau dia ingin memelihara hubungan pertemanannya dengan Lis, maka kepedihan itu harus dilawan. Hanya lewat hubungan itulah ia bisa tetap dekat dengan Lis dan selanjutnya perkembangan apa pun bisa terjadi.

Hilman sudah menunggu kepulangan Rudy.

"Tadi Papa dipanggil-panggil Oom Anas kok tetap ngacir?" Rudy mendahului.

"Nggak denger. Papa lihat motormu diparkir, jadi buat apa aku ke situ. Nanti kau malah jadi salah tingkah, mengira sedang dimata-matai," Hilman memberi alasan.

"Jadi Papa nggak nyangka jelek, kan?"

"Tentu saja nggak. Tapi coba kasih tahu, ngapain sih kau di situ?"

"Tuh kan kepengin tahu juga. Aku cuma bertandang."

"Bertandang? Waduh, bahasanya kok gitu."

"Itu kan bahasa yang bagus, Pa. Aku mengobrol bukan cuma sama Lis tapi sama semua yang ada di situ. Orangtuanya. Kakaknya."

"Oh, begitu."

Melihat wajah ayahnya tidak puas, Rudy mengeluarkan simpanannya,

"Terus terang aku minta tolong Mbak Lis untuk membuatkan surat cinta buat Indri. Tadi kami sama-sama duduk di depan komputer, Pa."

Hilman mengamati Rudy sejenak dengan heran, lalu tawanya meledak.

"Surat cinta, he? Kenapa nggak minta tolong sama aku aja, Rud? Aku kan sudah berpengalaman."

"Emangnya Papa mau bantuin?"

"Tentu aja."

"Kan sibuk."

"Sesibuk-sibuknya, aku pasti meluangkan waktu. Cuma sekadar surat cinta sih nggak sulit."

"Tapi model surat cinta Papa pasti sudah kuno."

Hilman melotot sejenak, lalu tertawa.

"Apa dia tahu pacarmu tinggal di mana?"

"Tahu. Di Purworejo."

Hilman mengerutkan kening.

"Apa kau cerita tentang lndri dan keluarganya?"

"Nggak, Pa," sahut Rudy tanpa membalas

tatapan ayahnya. Ia merasa tidak enak karena telah berbohong.

Pada saat itu Eddy muncul, tapi dia tidak menghampiri untuk bergabung seperti biasanya. Dia terus naik tangga dan menuju ke kamarnya.

"Ed! Ed!" seru Hilman.

"Sini!"

Eddy merunduk di tangga untuk memperlihatkan wajahnya. Ia tidak turun.

"Ada apa, Pa?" tanyanya.

"Kita ngobrol yuk. Kan udah lama nggak kumpul."

"Sori, Pa. Mau tidur aja. Ngantuk berat nih."

Tanpa menunggu sahutan, Eddy cepat menghilang.

Hilman berpandangan sejenak dengan Rudy.

"Dia lagi stres, Pa," kata Rudy pelan. Ia senang bisa mengalihkan topik pembicaraan.

"Kenapa?" Hilman terkejut.

"Didepak pacarnya. Tepatnya oleh orangtua pacarnya."

"Oh, begitu. Pantas kulihat mukanya cemberut terus. Kenapa sampai begitu, ya? Apa dia melakukan kesalahan?"

"Nggak tahu, Pa. Dia belum mau curhat. Mungkin nanti kalau stresnya berkurang. Tapi

dengar-dengar sih orangtua pacarnya, en mantan pacarnya, itu matre banget. Pantasnya Mas Eddy kurang banyak memberi upeti ."

"Masa baru pacaran saja sudah harus memberi upeti," kata Hilman geram.

"Yah, lain orang lain tabiat, Pa."

"Sebenarnya dia harus merasa beruntung."

"Lho, kok beruntung sih, Pa."

"Untung ketahuannya dari sekarang. Coba kalau sudah kawin, dia bisa kering-kerontang."

Rudy tertawa. Tapi Hilman meletakkan telunjuknya ke mulut. Rudy menutup mulutnya.

"Jangan keras-keras," bisik Hilman.

"Kasihan."

Tiba-tiba Eddy muncul tanpa suara. Keduanya terkejut.

"Aku sudah dengar," kata Eddy. Hilman mengulurkan tangannya. Eddy menyambut sambil menjatuhkan dirinya di kursi.

"Pa, aku mau curhat!"

***

Lis sudah kembali mengikuti Kursus komputer yang dulu terhenti karena musibah yang dialaminya. Sekarang ia memilih waktu pagi sampai siang karena ia toh tidak bekerja. Hari-hari lain yang tersisa digunakannya untuk kursus bahasa Mandarin. Ada beberapa alasan kenapa ia memilih bahasa itu. Pertama, menurut banyak orang, negara Cina punya potensi ekonomi yang sangat tinggi. Kedua, ia memang menyukai bahasa itu karena iramanya terasa enak didengar. Ketiga, ia sering mendengar betapa sulitnya mempelajari bahasa itu terutama tulisannya, karena itu ia jadi merasa tertantang. Sekarang ia punya banyak waktu dan tidak punya beban pekerjaan yang menyita perhatiannya. Kegiatan itu sangat membantunya menyembuhkan traumanya. Semua itu selalu disampaikannya kepada Hilman. Biasanya lewat telepon. Bukan karena Hilman memintanya, tapi karena ia sendiri yang ingin melakukannya. Ia tahu Hilman senang mendengar berita yang disampaikannya. Itu terungkap lewat nada suara Hilman. Begitu mengenali suaranya, segera nada Hilman menjadi hangat dan gembira. Dan selalu terkesan ada nada surprise yang membuat ia sendiri merasa senang. Mungkin benar kata orang, bahwa-kita selalu bisa merasa senang hanya karena membuat orang lain senang.

"Jangan lupa, Lis," begitu pesan Hilman.

"Kau selalu welcome untuk datang ke rumah. Bilang saja. Rudy bisa datang menjemputmu. Ia pasti senang."

"Saya nggak lupa, Dok. Saya mengumpulkan cerita dulu supaya banyak. Nanti bisa seka_ lian ditumpahkan. Eh, maaf, Dok. Memangnya tempat sampah, ya.

" Hilman tertawa.

"Kayaknya kau ketutaran gaya bicara Rudy."

"Mungkin juga. Dia lucu ya, Dok."

"Bagaimana Adrian?"

"Baik-baik saja, Dok. Dia masih sering datang. Biasanya di sore hari. Tapi saya nggak

cerita banyak tentang kegiatan saya. Terutama soal kursus."

Hanya kepada Rudy ia memberitahu jadwal kursusnya setiap minggu. Rudy menanyakan dan ia dengan senang hati memberitahu. Baginya, Rudy dan Adrian jelas berbeda. Dengan Rudy ia merasa aman dari "gangguan". Rudy mendekati dan ingin akrab dengannya bukan karena ketertarikan antarjenis. Ia dan orangtuanya sepakat bahwa Rudy membutuhkan seseorang sebagai pengganti ibu dan kakak perempuan. Bukan cuma dengannya, kepada ibunya pun Rudy merasa dekat. Dalam waktu tak seberapa lama itu, Rudy sudah dianggap anggota keluarga. Kedua kakak lelakinya pun menyukai Rudy. Pasti bukan karena Rudy itu anak Hilman yang telah berjasa baginya, tapi karena pribadi Rudy sendiri.

Sebaliknya, kepada Adrian ia merasa segan. Ia telah menolak cintanya, dan karenanya harus konsisten memperlakukannya sebagai seorang teman biasa saja. Kalau ia bersikap seolah memberi hati, ia khawatir menumbuhkan harapan Adrian. Karena itulah ia tak mau memberitahu jadwal kegiatannya. Bila Adrian

tahu, pasti ia akan menawarkan diri untuk mengantar dan menjemputnya dari kursus. Bila hal itu terjadi, ia tentu tidak bisa menolak, tapi ia akan merasa bersalah. Sepertinya ia cuma memanfaatkan perhatian orang, padahal ia tak bisa membalasnya.

Sudah dua kali Rudy menjemputnya dari tempat kursus. Tanpa berjanji sebelumnya. Ketika keluar gedung, ia melihat Rudy sedang duduk menunggu di atas motornya.

"Ojek! Ojek!" seru Rudy tanpa malu-malu kepada orang lain di sekitarnya.

Lis tertawa melihatnya.

"Gratis ya, Bang!"

"Iya deh. Penglaris!" Rudy menepuk sadel boncengan.

Begitulah Rudy.

Perhatian Rudy itu tidak ia ceritakan kepada Hilman. Sebenarnya ia bukan tak ingin, tapi khawatir Hilman salah paham. Kasihan Rudy bila diprasangkai. Ia sadar, mestinya ia juga tidak perlu mengkhawatirkan soal itu. Hilman adalah orang yang sangat memahami. Apalagi ia sudah sangat mengenal putranya sendiri. Tapi, bukankah Hilman pernah punya prasangka sebelumnya? Jadi sebaiknya ia menghindari

masalah. Lagi pula itu bukan soal penting yang perlu diketahui Hilman. Tak diceritakan pun tidak apa-apa. Tapi ia sendiri sesungguhnya ingin sekali bercerita kepada Hilman, untuk berbagi rasa mengenai si cowok kocak itu. Betapa senangnya bisa tertawa bersama.

Sayangnya dengan Eddy ia tak dekat, bahkan boleh dikata tidak kenal. Yang diketahuinya hanya informasi dari cerita Rudy. Ia tahu bahwa Eddy baru putus dengan pacarnya, tapi sekarang sudah mulai pulih dari stresnya. Menurut Rudy, pendorong pulihnya Eddy itu adalah tekadnya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa dirinya bukan cowok yang lembek dan cengeng.

Rudy juga suka bercerita tentang almarhum ibunya. Lis bisa menangkap kesenduannya pada saat itu, karena perubahan drastis dari gembira menjadi murung. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap atau bagaimana menghiburnya. Jadi ia cuma berlaku sebagai pendengar yang baik, tanpa banyak komentar atau pertanyaan. Tampaknya Rudy sendiri tidak perlu dihibur. Ia hanya ingin bercerita.

Tetapi cerita Rudy bukan cuma mengenai

ibu dan kakaknya. Ia juga bercerita tentang ayahnya sendiri. Padahal Lis tidak pernah bertanya-tanya. Sepertinya Rudy ingin sekali Lis mengenal keluarganya dengan lebih baik dan mendalam. Tahu-tahu Lis merasa seolah keluarga Rudy adalah keluarganya juga.

Kadang-kadang ia tersenyum sendiri ketika berpikir bagaimana reaksi Hilman kalau tahu hal itu.

Surat balasan dari lndri diterima Lis. Isinya membuat ia merenung lama.

"Mbak Lis yang baik, saya sungguh berterima kasih dan bersyukur atas kiriman surat Mbak. Saya tidak pernah punya teman perempuan yang lebih tua dari saya. Kakak saya sudah tiada.

Tentu Mbak sudah tahu cerita mengenai Indah, kakak saya itu. Dia bernasib malang. Mengerikan malah. Dia dibunuh monster bertampang manusia dan punya nama Mandar: Mbak sudah dengar beritanya, kan?

Surat Mbak sungguh memberi saya kekuatan. Memang saya sudah mendapatkannya dari

Bapak, Ibu, dan juga Rudy. Tapi tambahan dari Mbak sangat bernilai. Saya sadar dan diingatkan bahwa bagi saya kehidupan terus berlanjut. Apa pun yang terjadi dan pada siapa pun, termasuk orang yang terdekat, saya yang hidup harus terus melanjutkan hidup ini. Mau tidak mau. Kenangan yang membekas. sepahit apa pun, harus tetap saya bawa ke mana saya pergi. Tak mungkin membuang atau menghapusnya, kan?

Apakah ngga lebih beruntung daripada Indah? Tentu saja iya.

Hidup ini memang indah, Mbak. Pahit tapi indah. Tentu tergantung juga pada bagaimana kita menjalaninya. Mbak benar

Rudy cowok yang baik. Satu-satunya cowok baik yang pernah kukenal. Tentu saya mencintainya. Tapi saya malu kepadanya. Mula-mula sih nggak terasa. Tapi semakin lama semakin dipikir: Dia dari keluarga kelas atas, sedang saya? Bukan cuma itu, ada lagi masalah kakak saya. Benarkah dia pelacur yang dipilih oleh Mandar untuk disiksa dan dibantai? Kalau dia bukan peiacur; pasti nggak jadi ganjalan buat saya. Mati adalah takdir setiap orang. Cuma

caranya aja yang beda. Tapi kenapa jadi pelacur? Tentu belum pasti bener ya, Mbak? Bisa aja si Mandar itu salah. Tapi kan bisa juga bener. Mbak.

Saya nggak mau percaya, Mbak. Tapi saya takut kenyataan berkata lain. Mbak Indah selalu bilang ingin kehidupan yang lebih baik. Dia ingin kerja di luar negeri karena gajinya lebih tinggi. Bagaimana kalau dia mengambil jalan pintas?

Saya ingin mendapat kepastian dari Mandar. Tapi dia nggak mau bilang apa-apa. Bahkan mengakui bahwa dia telah membunuh Indah pun tidak mau. Dia bungkam saja. Sengaja saya berlagak seperti Indah dengan baju kami yang sama dan juga baju yang dia pakai saat terbunuh. Tapi dia tidak bereaksi sedikit pun. Aneh banget tuh orang. Udah jelas mayat kakak saya ada di ruang bawah rumahnya.

Terima kasih untuk nasihat Mbak. Saya nggak akan begitu aja memutuskan hubungan sama Rudy. Sayang banget dong. Tapi biarlah kami jadi teman dulu. Saya biiang begitu kepadanya, tapi dia takut selama kami cuma berteman ini nanti ada cowok lain. Padahal saya

juga takut dia direbut cewek lain. Habis gimana ya, Mbak?

Kapan kita bisa ketemu, Mbak? Kalau ngomong kayaknya lebih leluasa. Nanti ada liburan besar. Jalan-jalan ke sini dong. Mbak. Sama Rudy tentunya. Dia udah tahu rumah saya.

Sekian, Mbak. Terima kasih sekali lagi. Salam untuk Rudy. Oh ya. kasih dia baca surat ini juga. Boleh kok..

Rudy membaca surat itu, lalu dia menyerahkannya kembali kepada Lis.

"Jadi dia nggak menyatakan putus, ya Mbak?"

"Nggak dong. Kan dia sudah bilang, sayang banget kalau sampai putus. Bahkan dia minta kita jalan-jalan ke sana. Jadi jangan putus asa dulu, Rud. Ceria seperti biasa, ya?"

"Mbak mau kan jalan-jalan ke sana?" kata Rudy bersemangat.

"Jauh."

"Masih di Pulau Jawa kok, Mbak. Emangnya Mbak pernah ke Purworejo?"

"Ke situ sih belum, tapi lewat saja pernah."

"Nah, jalan-jalan sajalah, Mbak. Tapi kita

berdua aja. Jangan ajak orang lain. Nanti suasananya nggak enak."

"Orang lain siapa?" Lis heran

"Mas Adrian."

"Ah, nggak dong. Kenapa aku mesti ngajak dia? Itu pun kalau aku mau. Nantilah aku pikirpikir dulu, ya?"

"Tapi mikirnya yang positif ya, Mbak?"

Lis hanya tertawa.

Tetapi malamnya, saat menjelang tidur dan sendirian di kamarnya, Lis tidak merasakan kegembiraan itu. Ia memikirkan surat Indri dan merasa sedih. Ada kesamaan nasib antara dirinya dengan Indah, yaitu mereka berdua sama-sama korban Mandar dan sama-sama dianggap sebagai pelacur. Bedanya jelas, dia masih hidup sedang Indah sudah meninggal.

Lis teringat kepada pengalamannya sendiri. Mandar mengambilnya sewaktu berada di pinggir jalan. Tapi ia ikut dengan sukarela karena terkecoh oleh penampilan Mandar. Sementara Mandar sendiri mungkin mengira dirinya pelacur karena mau diajak serta. Kemungkinan Indah pun mengalami hal yang sama.

Muncul keinginan yang sangat untuk ber

temu dengan Indri. Tentu bukan karena ingin memenuhi permintaan Rudy, tapi karena dorongan hatinya sendiri. Meskipun Indri bukanlah korban, melainkan adik dari korban, tapi tampaknya kedua orang itu punya hubungan yang dekat. Lewat kedekatan itu ia yakin bisa menjalin kebersamaan. Ia bisa sharing. Bisa berbagi rasa meskipun sesungguhnya hanya dirinya sendiri yang tahu.

Apakah untuk itu ia sebaiknya konsultasi dulu dengan Hilman? Tapi ia khawatir Hilman akan menasihatinya agar ia tak melakukannya. Pada saat ia sudah pulih dengan baik, bertemu dengan Indri bisa membuat ia mundur ke belakang. Tentunya ia akan merasakan emosi yang tinggi.

Bukan itu saja yang ia khawatirkan. Hilman tentu akan bertanya-tanya apakah sesungguhnya ia sudah tahu mengenai apa yang telah terjadi dengan keluarga Indri. Dan orang secerdas Hilman tidak bisa dibohongi dengan alasan kunjungannya ke sana hanyalah untuk memenuhi permintaan Rudy. Padahal kalau ia bercerita terus terang, berarti ia mengkhianati kepercayaan Rudy.

Jadi ia tidak mungkin mengatakannya kepada Hilman. Tapi ada cara lain.

Setelah menemukan jalan keluar, ia merasa lebih tenang. Ia bersiap untuk tidur. Seperti telah jadi kebiasaan dan masih tetap dilakukannya, ia bermeditasi dulu. Setelah tidur sendiri di kamar lamanya, ia melakukannya sendiri. Ketika masih di Bandung, ia ditemani ibunya.

Ia bersila di atas karpet di depan tempat tidurnya, meletakkan kedua tangan di atas paha, lalu menarik napas perlahan-lahan sambil meresapi kenyamanannya. Kemudian ia mengembuskan napas perlahan-lahan sambil merasakan kelegaan. Sambil berbuat demikian ia mengosongkan pikirannya, tak memikirkan apa-apa dan tak membiarkan apa pun masuk ke dalam pikirannya. Setelah sering kali melakukannya ia tidak lagi mengalami kesulitan. Padahal sebelumnya ia baru saja berpikir keras.

Sesudah merasa cukup ia naik ke tempat tidur. Tak berapa lama kemudian ia sudah terlelap.

****

"Jadi Mbak mau?" tanya Rudy gembira.

"Ya. Tapi ada syaratnya, Rud."

"Waduh, kok pakai syarat segala sih, Mbak,"

keluh Rudy.

"Syaratnya nggak susah kok. Pertama, kau harus memberitahu ayahmu bahwa aku ikut denganmu ke Purworejo."

Rudy menggaruk-garuk kepalanya. Itu tidak gampang. Tiba-tiba ia jadi diingatkan bahwa Lis adalah pasien ayahnya.

"Tanya dulu, Mbak, apakah sampai sekarang Mbak masih terapi sama Papa?"

"Nggak."

"Baik. Sekarang, apa syarat kedua?"

"Kau tahu rumahnya Mandar, tempat ditemukannya korban-korban pembunuhan itu?"

"Tentu saja tahu. Aku dan Eddy pernah melihatnya. Banyak orang menonton rumah itu."

"Aku ingin juga melihatnya. Aku belum pernah melihatnya. Ajak aku ke sana."

Rudy terkejut. Yang satu ini jauh lebih gampang dibanding yang pertama. Tetapi terasa aneh.

"Ada lagi syarat lainnya, Mbak?"

"Nggak. Cuma dua."

Rudy mengeluh dalam-dalam.

"Baiklah, Mbak. Aku akan menyampaikannya kepada Papa nanti malam. Tapi yang kedua itu, buat

apa sih? Rumah itu ada hantunya, Mbak."

Lis tertawa.

"Jangan nakut-nakutin, Rud."

"Lagi pula apa sih yang mau dilihat, Mbak? Rumah itu sama saja seperti rumah lainnya. Kita kan cuma bisa melihat luarnya saja. Dalamnya nggak bisa."

"Biarin."

"Oke deh. Waktunya terserah Mbak aja, ya? Asal jangan malam-malam. Ngeri."

"Iya. Tapi yang itu jangan kasih tahu Papa, ya?"

Kembali Rudy menggaruk-garuk kepalanya.

"Waduh, Mbak ini membingungkan deh. Yang satu harus diberitahu, yang lainnya tidak boleh. Gimana kalau tertukar?"

Lis tertawa. Ia tahu, Rudy hanya bercanda.

Hilman terkejut mendengar pemberitahuan Rudy.

"Apa? Kau mengajak Lis ke Purworejo?"

"Sebenarnya sih bukan aku yang ngajak, Pa.

Tapi Indri yang mengundang lewat suratnya."

"Memangnya mau apa dia di sana?"

"Cuma ingin kenalan saja kok."

"Ah, masa?"

Hilman mengerutkan kening. Ia tidak percaya motivasi Lis cuma itu. Kalau sekadar membantu Rudy membuatkan surat cinta untuk lndri masih bisa diterima, tapi jauh-jauh ke Purworejo untuk berkenalan dengan Indri benar-benar tak masuk akal.

Saat ini sudah jelas Lis tidak bisa ditanyai. Andaikata ia bertanya pun, ia tak bisa memaksakan jawabannya. Lis adalah orang yang mandiri, tak terikat padanya untuk dilarang iniitu. Tapi di depannya ada Rudy. Kepadanyalah ia memusatkan perhatiannya.

"Rud, jangan bohong sama Papa, ya. Katakanlah terus terang. Apakah kau bercerita pada Lis tentang kasus Indah?"

Hilman menatap langsung mata Rudy yang tak bisa mengelak.

"Ya, Pa," ia terpaksa mengaku.

"Aduh, kamu ini," keluh Hilman.

"Tapi dia baik-baik saja setelah mendengar ceritaku. Pa."

"Apa maksudmu?"

"Dia memang kaget. Tapi kemudian baikbaik saja. Memangnya kenapa, Pa? Bukankah tak ada larangan bagiku untuk menceritakannya kepada Mbak Lis? Ketika itu aku cuma ingin bercerita tentang Indri. Jadi kelepasan semuanya. Melihat reaksinya aku baru menyadari bahwa sesungguhnya dia seorang pasien."

Hilman terkejut.

"Apa? Ayo, ceritakan yang lengkap."

Rudy menceritakan reaksi Lis yang mengejutkannya.

"Aku takut sekali waktu itu, Pa. Kukira dia memiliki mental yang tidak stabil. Aku menyesal sekali. Tapi kemudian dia tidak apa-apa."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hilman terenyak lemas di kursinya. Ia sadar Lis tak mungkin dilindungi atau dijauhkan dari cerita-cerita yang bisa mengejutkannya. Untunglah Lis berhasil mengatasi dengan kekuatannya sendiri. Ia juga sadar, Rudy tak bisa dimarahi karena dia tidak tahu.

"Ya sudah. Habis sudah kejadian, mau bilang apa."

"Nyatanya dia nggak apa-apa, Pa."

"Ya, untunglah."

"Mentalnya sudah pulih, bukan?"

"Ya. Dia sudah berhasil mengatasi ketakutannya."

Rudy mengamati wajah ayahnya, mencoba menebak apa yang ada di benaknya. Ia tahu, tidak boleh bertanya perihal pasien. Bukan saja tidak akan dijawab, tapi ia juga akan dimarahi.

Hilman tersenyum. Ia melihat keingintahuan Rudy.

"Dia sudah tahu, ya sudah. Apa lagi?"

"Papa nggak keberatan kalau dia ikut ke Purworejo bersamaku, kan?"

"Tentu saja tidak. Biar keberatan pun, aku tidak berhak melarang. Tapi ingat, Rud. Karena kau yang mengajak, berarti kau bertangggung jawab untuk melindunginya. Bisa?"

"Bisa, Pa," sahut Rudy dengan tegas.

Eddy muncul.

"Ada apa sih?" tanyanya, ikut bergabung.

Rudy menceritakan niatnya. Eddy terheran-heran mendengarnya.

"Kau mengajak dia? Apa-apaan sih? Aneh kau ini. Sulit dimengerti. Mau ketemu pacar kok ngajak orang lain. Apa si Indri nanti nggak cemburu? Dia tentu mengira Mbak Lis itu sudah tua dan jelek."

"Aku yakin nggak. Kan mereka sudah surat-suratan." Eddy geleng-geleng kepala.

"Nggak sangka. Kamu ini cerdik dan licin. Betul nggak, Pa?"

"Betul," Hilman setuju.

Rudy memonyongkan mulutnya.

"Wah, kalian mengeroyokku. Biarin. Yang penting keCerdikan itu nggak dipakai buat kejahatan. Ya nggak, Pa?"

"Ya."

"Nah." Rudy mengangkat mukanya lalu menatap Eddy.

"Tapi kau memanfaatkan orang," Eddy tidak mau kalah.

"Siapa?"

"Mbak Lis."

"Ah, nggak dong. Dia kumintai tolong, Bukan memanfaatkan namanya."

Kedua kakak-adik itu segera terlibat dalam perdebatan. Hilman tersenyum saja. Ia tahu jawaban yang paling pas. Sebenarnya kedua orang itu, Rudy dan Lis, sama-sama saling memanfaatkan. Tidak ada yang dirugikan, tapi sama-sama diuntungkan.

Diam-diam ia pergi, membiarkan kedua

anaknya dalam keributan yang menyenangkan.

Ia pergi ke ruang prakteknya untuk menelepon Lis.

"Jadi Dok sudah diberitahu oleh Rudy?" tanya Lis di telepon setelah mendengar cerita Hilman.

"Betul. Barusan saja. Makanya sekarang saya ingin mendengar darimu langsung."

"Saya merasa lega dia sudah memberitahu. Soalnya saya nggak bisa ngomong sama Dok karena terikat pada janji saya dengan Rudy. Dia minta saya untuk tidak bilang-bilang pada Dok karena takut dimarahi. Kalau dia sendiri yang ngomong kan tak ada masalah lagi."

Hilman tersenyum. Lis juga Cerdik, pikirnya.

"Coba katakan, Lis. Apa sesungguhnya yang ingin kauperoleh dari Indri?"

"Suratnya membuat saya sedih, Dok. Saya ingin menghiburnya. Jadi saya bisa sekalian sharing."

"Tapi dia tidak tahu apa yang kaualami."

"Memang tidak, Dok. Tapi buat saya sendiri rasanya penting untuk melakukan sesuatu. Saya ber-terima kasih bahwa Rudy telah menceritakan hal itu."

"Katanya kau syok."

Lis tertawa pelan. ,"Ya, benar. Tapi itu reaksi wajar, kan? Toh saya tidak pingsan. Saya masih bisa mikir. Kasihan si Rudy sampai ketakutan. Apakah Dok marah kepadanya tadi?"

"Sedikit. Dia suka ngomong banyak tanpa dipikir dulu."

"Dia anak,yang baik."

"Tolong beritahu saya bila akan ke sana. Kita bisa bicara dulu sebelumnya."

"Oke, Dok. Saya juga ingin sekali bertemu dan berbincang."

"Ah, untuk itu kan kau bisa datang sembarang waktu."

"Tapi saya tidak ingin mengganggu jadwal kerja Dok."

"Kau tidak pernah menggangguku, Lis."

Usai mengucapkan kata-kata itu wajah Hilman jadi memanas. Aduh, omongan apa itu? Nanti Lis bisa salah sangka.

Tapi Lis tertawa.

"Kalau nanti saya benar-benar mengganggu, pasti Dok menggerutu juga."

"Ah, sama sekali nggak."

"Tempo hari saya kecewa sekali karena Dok nggak jadi mampir. Tuh, waktu Rudy ada di rumah."

"Oh, itu. Saya tak mau mengganggu."

"Nah, Dok juga sama kok. Kalau dua-duanya tak mau saling mengganggu, pasti nggak bisa ketemu."

Mereka tertawa. Hilman merasa lega dan senang. Lalu mengeluarkan pertanyaan rutinnya

"Bagaimana dengan Adrian?"

"Katanya dia sekarang sedang mencoba berusaha. Tapi tak dikatakannya usaha apa. Tak enak menganggur katanya. Dan kalau usahanya jalan, ia berharap saya mau bekerja sama. Entahlah. Lihat dulu saja."

Mereka terus berbincang-bincang. Tak terasa sampai satu jam. Setelah menutup telepon, Hilman tahu dia tidak lagi berurusan dengan seseorang yang bermental goyah dan traumatis, atau menderita karena stres, tapi orang yang setara. Apakah itu berarti Lis sudah pulih seratus persen?

USAI kursus Lis dijemput Rudy.

"Jadi mau ke rumah hantu?" tanya Rudy.

"Oh, sekarang?"

"Ya, ini saat yang bagus. Siang-siang begini hantunya tidur."

Lis tertawa. Ia naik ke boncengan.

Dengan naik motor ia bisa lebih leluasa melihat suasana jalan dan lalu lintas. Mungkin dulu ia dibawa Mandar melalui rute yang sama. Waktu itu ia tidak tahu karena tidak sadar. Apa yang dilakukan Mandar terhadap dirinya? Oh ya, ia dipukul keras sekali. Hanya satu pukulan, tapi mampu membuatnya pingsan. Mungkin juga bukan cuma pingsan, tapi gegar otak. Tahu-tahu setelah sadar ia sudah...

Kenangan kembali lagi. Ia merasa limbung sesaat. Cepat ia berpegangan ke pinggang Rudy.

Adrian sedang menghabiskan waktu di rumah Mandar yang sekarang sudah menjadi rumahnya. Berbeda dengan apartemen yang dihuninya, tempat itu terasa nyaman karena luas dan punya taman. Tanpa harus mengandalkan AC, ia bisa menikmati sejuknya angin dan udara segar. Apalagi setelah taman ia perbaiki dan tambahkan tanaman baru. Meskipun bukan ahli pertamanan, tapi baginya yang penting bukan semata-mata keindahan atau segi artistiknya, tapi pohonnya yang lebat dan subur.

Sebagai pengangguran, ia merasakan nikmatnya bekerja di rumah sendiri. Hasilnya ternyata lebih menyenangkan dibanding hasil kerja orang lain, walaupun orang itu profesional di bidangnya. Dulu Mandar juga mengerjakan tamannya sendirian. Seleranya memang terkesan kaku, tapi pohon-pohon yang ditanamnya semuanya tumbuh subur.

Ia mengamati tamannya dari teras sambil berbaring di kursi malas peninggalan Mandar. Ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri pada tempat itu. Bahkan semakin lama ia semakin menyenanginya. Ada rasa sayang kalau harus melepaskan atau menelantarkan. Ia sudah

memutuskan akan tetap mempertahankan rumah itu, biarpun nanti Mandar sudah tiada.

Dulu waktu masih kecil ia suka bermain di situ bersama Mandar. Tak terlalu sering, tapi hanya kalau diminta. Karena Mandar anak tunggal dan tak punya teman bermain, maka dialah yang disuruh menemani. Bagi orangtua Mandar, dirinya jauh lebih baik dibanding anak orang lain yang tidak jelas asal-usul dan perilakunya. Dia senang-senang saja karena di situ banyak mainan, tempatnya luas, dan juga banyak makanan enak.

Sekarang ia masih ingat bagaimana ketika itu ia suka berangan-angan, pada suatu waktu kelak ia juga akan mempunyai rumah sebesar dan sebagus itu. Siapa sangka ternyata angan-angan itu kesampaian, tapi dengan cara yang hampir tak masuk akal.

Bagi sebagian orang, rumah itu dianggap ternoda atau menyeramkan. Jadi tidak layak huni karena bisa menimbulkan hal-hal yang tidak baik. Ia tidak percaya hal semacam itu. Bila sebuah rumah, apa pun riwayatnya, dipelihara dengan baik, pasti tidak akan menimbulkan masalah. Misalnya bila penghuninya sakit-sakitan, pasti karena rumahnya tidak sehat, bukan karena diganggu hantu. Ia sendiri sudah membuktikan hal itu. Sudah beberapa kali ia menginap di situ, rasanya biasa-biasa saja. Tak berbeda seperti sebelum kejadian menghebohkan itu.

Tapi tentu saja ia tidak ke ruang belakang tempat ruang bawah tanah itu berada. Ia tidak punya urusan di sana. Maka pintu yang membatasi ruang itu dengan ruang lain di depannya ia kunci dengan gembok. Pada suatu waktu kelak ia akan membenahi ruang belakang itu dan membuatnya senyaman mang-mang lain. Untuk itu ia perlu bantuan arsitek dan pemborong. Tapi ia akan memilih waktu yang tepat. Mungkin nanti bila orang sudah melupakan peristiwa itu. Dan tentunya paling baik bila Mandar telah dieksekusi. Ia khawatir orang-orang yang mengerjakan rumah itu menimbulkan gunjingan baru.

Sekarang ia menikmati semilir angin yang menerobos lewat kisi-kisi teras yang berbatasan dengan taman. Dari tempat itu ia bisa melihat taman dan pintu gerbang, tapi orang-orang yang lewat di jalan tidak bisa melihatnya. Kadangkadang ada yang berhenti lalu memandang ke

dalam, tapi tidak lama-lama. Lebih banyak orang lewat, tapi tidak peduli lagi. Pasti karena rumah itu sudah bagus dan terurus, maka tidak lagi menarik untuk diamati. Lain halnya kalau rumah itu kumuh menyeramkan, mereka tentu mengharapkan bisa melihat hantu.

Suatu saat ketika ia asyik bekerja di kebun, dengan mengenakan kaus oblong dan celana pendek, juga topi untuk melindungi kepalanya dari panas matahari, ia dipanggil-panggil orang-orang yang "mampir". Dari balik pintu gerbang mereka mengamati dan menggapai. Jelas ia disangka tukang kebun.

"Pak! Pak! Nggak takut, Pak?"

"Nggak," sahutnya sambil tersenyum.

"Nggak pernah melihat hantu?"

"Nggak."

"Kok mau sih Bapak kerja di situ?"

"Kan saya dibayar," ia menyahut tanpa beban.

"Siapa yang bayar? Kan pemiliknya ada di penjara."

"Ada keluarganya."

Akhirnya mereka bosan dan pergi. Rumah yang rapi dan bersih tidak bisa dijadikan gunjingan. Apalagi ada orang yang tenang-tenang bekerja di situ.

Jadi besar sekali manfaatnya bersusah payah membersihkan dan merapikan rumah itu. Ia bisa menjalin kedekatan dengan rumah itu dan sekalian mengusir citra buruk.

Ia mengantuk. Pikirannya melayang kepada Lis. Dulu ketika wajah Lis penuh kemurungan, tak ada senyum sedikit pun, ia merasa dirinya sesak oleh simpati dan empati. Kemudian ia berjuang untuk mendapatkan sedikit senyum dan keramahan. Ketika perjuangannya berhasil, ia jatuh hati sampai rasanya tak punya hati lagi untuk dimiliki sendiri karena sudah diberikannya pada Lis. Apalagi ketika senyum Lis berkembang menjadi tawa yang ceria. Semakin jelas olehnya pribadi Lis yang sesungguhnya. Bukan cuma fisik yang menawan, tapi juga pribadinya. Perempuan seperti itu tidak ada duanya, Bagaimana mungkin ia melepaskannya tanpa berjuang lebih dulu? Ia menyadari peringatan Hilman ada benarnya. Tapi ia tidak mau memikirkan soal itu. Biarlah kehidupan ini dijalaninya dulu. Selama itu pasti ada celah-celah yang bisa dimanfaatkannya.

Ia membayangkan hidup bersama Lis di rumah itu. Tentunya nanti setelah ruang belakang dirombak dan diperindah hingga tak ada lagi bekas-bekasnya yang sekarang ini. Maukah Lis tinggal di situ? Kalau sampai itu bisa terjadi, betapa bahagianya. Anak-anaknya akan berlarian di halaman dan rumah yang luas.

Ia tersentak, malu sendiri. Itu masih berupa mimpi.

Tapi kekecewaan tak lama terasa. Ia mendengar suarasuara di luar. Ia menoleh ke pintu gerbang. Ada lagi pengganggu rupanya. Lewat celah-celah yang cukup besar ia melihat dua wajah dengan mata bergulir ke kanan dan ke kiri. Dengan terkejut ia mengenali Lis dan Rudy!

Refieks ia merunduk supaya tidak kelihatan dari luar, meskipun ia yakin dirinya tidak akan kelihatan. Dalam hati ia bertanya-tanya apa gerangan yang dilakukan Lis dan Rudy di situ? Apakah sama dengan orang-orang lain? Tapi Lis kan beda dengan orang-orang lain!

Tadi ia bermimpi. Tapi sekarang tidak. Bagaimana mungkin Lis berani datang ke sini, biarpun cuma sekadar tengok-tengok dari luar

pintu? Padahal Lis tidak mungkin tidak tahu bahwa itu adalah rumah Mandar, orang yang telah menjerumuskannya ke dalam nestapa.

Adrian menjulurkan sedikit kepalanya. Wajah kedua orang itu masih di sana. Sayang tidak jelas bagaimana ekspresi wajah Lis karena terhalang jeruji. Lagi pula jaraknya cukup jauh. Ia melihat keduanya bercakap-cakap.

"Kayaknya ada orang, Rudi" kata Lis.

"Mana? Aku nggak lihat."

"Tuh. Di teras. Seperti ada yang bergerak-gerak." Rudy mulai berpikir negatif.

"Jangan-jangan...," katanya, lalu tak diteruskan. Ia tak ingin membuat Lis takut.

"Ah, lihat di sana, Rud. Di ujung sebelah pinggir, terhalang pohon. Di situ ada mobil parkir. Kelihatan belakangnya aja, kan? Artinya memang ada orang. Masa hantu naik mobil?"

"Oh, iya."

"Rumah ini rapi dan bersih. Berarti ada yang menempati."

"Ya. Memang beda dibanding terakhir aku melihatnya."

Lalu mereka diam dan memandang ke dalan dengan pikiran sendiri-sendiri.

Rudy merasa tak nyaman berlama-lama, tapi inisiatif untuk pulang harus datang dari Lis karena dia yang mengajak.

Lis sedang mengenang peristiwa itu. Dia terkulai di dalam mobil, lalu dibawa masuk. Rumah yang bagus. Orang kaya tapi sakit. Bukan gila, kata Hilman. Mungkin setengah gila. Mana mungkin orang waras melakukan hal sekeji itu? Tapi Hilman juga benar. Kalau orang seperti Mandar dinyatakan gila, maka dia tak bisa dihukum.

Lidahnya terasa pahit. Kerongkongannya penuh. Apa pula yang dikehendakinya dengan datang ke sini? Untuk membuktikan dan melihat sendiri karena ketika itu ia tidak tahu berada di mana? Ia tak bisa menjawabnya. Betapa inginnya ia bicara dengan Hilman pada saat itu. Rudy melirik Lis. Ia tak mengerti apa daya tarik rumah itu hingga Lis betah memandanginya berlamalama. Tiba-tiba ia khawatir kalau-kalau Lis mengalami syok seperti tempo hari.

"Mbak, udah ya? Kita pulang aja?"

Lis tak segera bereaksi.

Rudy menyentuh lengannya. Ia terkejut. Tangan Lis terasa dingin "Mbak!" panggilnya.

"Rud, kita ketuk pintunya," kata Lis tiba-tiba.

"Apa?"

"Kita minta diizinkan masuk."

Rudy ternganga. Tapi belum sempat bicara Lis sudah menggedor pintu.

"Mbak, jangan," Rudy berusaha mencegah.

"Ayo, bantu aku!"

Tak bisa lain Rudy ikut mengetuk.

Beberapa menit lamanya berlalu tanpa terlihat ada orang yang keluar.

"Sudahlah, Mbak. Nggak mungkin orangnya mau keluar. Dikiranya kita ini wartawan."

Dengan kesal Lis menyepak pintu sebelum naik ke boncengan motor Rudy. Tak kepalang herannya Rudy melihat tingkah Lis itu. Tampaknya Lis marah sekali. Tapi ia menganggap reaksi seperti itu masih lebih baik daripada jatuh pingsan!

Adrian mendengar ketukan dan gedoran pintu gerbang. Tentu saja ia tak mungkin keluar dan membukakan pintu bagi Lis dan Rudy. Hubungan dirinya dengan Mandar akan terbongkar. Maka ia semakin merunduk, tak berani mengintip untuk melihat. Untung saja pintu

gerbang terkunci rapat. Kalau tidak, pastilah keduanya akan menerobos masuk.

Ia sangat lega ketika keduanya pergi. Barulah ia bisa menegakkan kepalanya. Ternyata keringat dinginnya banyak sekali dan membasahi kaus serta celananya. Pertanda kecemasan.

Baru sekarang ia menyadari betapa banyak kejadian, sengaja atau tidak, bisa membawanya ke situasi terjebak. Tanpa membuka diri dengan ikhlas pun ia bisa ditelanjangi oleh situasi. Apa yang akan terjadi dalam situasi demikian ia tak bisa membayangkan. Kalau dipikir secara logis, sebenarnya lebih baik bila ia berterus terang saja daripada kelak berulang kembali peristiwa semacam.

Ia tak menyangka bahwa berada di dalam rumah itu pun bisa membuatnya terancam. Pertama-tama ia harus melakukan sesuatu terhadap pintu gerbang supaya orang dari luar tak bisa melihat ke dalam. Dan tembok yang membatasi halaman perlu diberi pecahan gelas supaya tidak ada yang bisa melompati atau menginjaknya.

Setelah memastikan hal itu sebagai langkah pertama, ia kembali memikirkan motivasi Lis

di balik perbuatannya. Apakah itu bagian dari terapi yang dianjurkan Hilman? Konon orang yang pernah mengalami trauma akan terkena fobia tertentu, yaitu rasa takut terhadap sesuatu yang jadi penyebab traumanya. Fobia itu harus dilawan dengan menghadapi atau mengkonfrontasi bagian dari sesuatu itu. Mungkin dalam.kasus Lis, rumah ini jadi bagian traumanya. Dulu ia tidak tahu ke mana ia dibawa dan kemudian diperlakukan secara keji. Sekarang ia ingin tahu. Cukup wajar.

Tapi Lis sangat berani. Kebanyakan orang lebih suka tidak melihat dan menghindari. Apakah ia melakukannya atas inisiatif sendiri? Kalau memang Hilman berada di belakangnya, tentu Hilman yang mengantarkan. Apalagi Hilman bisa saja minta bantuannya, entah bagaimana caranya. Dengan sukarela ia akan membiarkan Lis menginspeksi rumah itu. Asal Hilman tidak memberitahu perihal hubungannya dengan Mandar dan rumah itu.

Ia jadi semakin mengagumi Lis. Dan tentu saja semakin mencintainya.

Pada saat seperti itu ia menyesali hubungannya dengan Mandar. Kalau saja ia bukan sepupunya Mandar, pastilah ia tidak punya beban apa-apa. Tetapi, tanpa Mandar, ia juga tak punya apa pun!

Rudy mengajak Lis minum dulu.

"Mbak perlu minum," katanya mengamati wajah Lis yang pucat.

"Ya. Dan perlu makan juga. Sekarang aku yang traktir, ya?" Lis tersenyum. Ia tampak ceria kembali meskipun wajahnya masih kelihatan pucat.

Mereka mampir di sebuah restoran siap saji.

"Apa yang Mbak rasakan tadi?" tanya Rudy.

"Macam-macam. Marah, gemas, sedih, dan berbagai perasaan negatif lainnya."

"Itu sama seperti yang dirasakan Indri dan orangtuanya, Mbak," kata Rudy dengan heran. Kenapa Lis yang tidak punya pengalaman seperti lndri dan orangtuanya bisa merasakan hal yang sama?

"Mungkin aku empati sama mereka, Rud."

Rudy mengangguk. Ia sempat berpikir, mungkin itu yang jadi penyebab kenapa Lis mau diajak ke Purworejo menemui Indri.

"Jadi Papa nggak boleh dikasih-tahu?" Rudy menegaskan.

"Nggak dong. Kan tadi sudah janji."

"Oke."

Tetapi ada orang lain yang memberitahu Hilman. Dia adalah Adrian.

Hilman menerima kabar itu lewat ponselnya. Ia sangat terkejut. Lis itu seperti anak nakal, pikirnya. Kenapa Lis tidak konsultasi dulu dengannya? Ia tidak keberatan mengantarkannya ke sana.

"Sekarang Anda ada di mana?"

"Masih di sini. Di rumah Mandar."

"Boleh saya datang ke sana sekarang? Saya akan pulang ke rumah. Jadi bisa mampir."

Adrian berpikir sejenak. Rumah itu belum pernah kedatangan tamu, bahkan sejak Mandar masih hidup. Ia tahu maksud Hilman. Di samping untuk membicarakan soal itu, ia juga ingin melihat rumahnya. Ya, apa salahnya? Semakin sering rumah itu dimasuki orang luar, semakin "bersihlah" ia. Apalagi ia ingin memberikan citra yang baik pada Hilman. Ia harus berbaik-baik kepada Hilman kalau ingin mendapat bantuannya.

"Tentu saja. Sekarang, Pak? Saya tunggu."

Ketika beberapa saat kemudian Hilman

membunyikan klakson mobilnya di depan pintu gerbang, Adrian sudah menunggu. Ia membuka pintu dengan remote. Mobil Hilman meluncur masuk. Adrian mengunci pintu lagi. Lalu ia memberi tanda agar Himan memarkir mobilnya di tempat yang terlindung dari pandangan orang di luar. Bagaimana kalau Lis dan Rudy kembali lagi?

Begitu keluar dari mobilnya Hilman memandang berkeliling.

"Anda sudah merenovasinya?" ia bertanya.

"Oh ya. Saya mengerjakannya sendirian. Capek sekali tapi senang."

"Kenapa tidak suruh tukang saja?"

"Wah, saya sudah mencoba, Pak, tapi menyebalkan. Sudah minta bayaran lebih tinggi dari biasanya, mereka juga usil. Tanya ini-itu. Lebih baik kerja sendiri. Biar lambat dan capek, tapi santai. Tidak ada yang menyuruh buru-buru atau memandori."

"Ya, betul sekali. Hasilnya lumayan kok. Bagus!"

"Mari silakan duduk, Pak." Adrian menyodOrkan tangan ke dalam.

"Di teras sajalah."

"Silakan, Pak."

Adrian menunjuk kursi malas.

"Tadi saya duduk di, situ, istirahat habis membereskan rumah. Tiba-tiba mereka datang. Ketuk-ketuk pintu lagi. Rupanya mereka melihat ada orang duduk di sini. Padahal saya sudah berusaha merunduk."

"Anda tentunya cemas sekali." Hilman merasa agak geli membayangkannya.

"Oh ya. Tadinya saya pikir Anda tahu."

Hilman menggeleng.

"Pasti itu inisiatif Lis sendiri."

"Dia tidak memberitahu Anda?"

"Tidak. Kalau sudah tahu, saya tentunya tidak kaget."

"Menurut Anda, apa yang mendorong Lis berbuat begitu?"

Sebenarnya Hilman tidak suka membicarakan permasalahan Lis atau mendiskusikannya dengan Adrian, tapi ia sadar tidak bisa menolak terlalu tegas. Ia punya tujuan tertentu kenapa datang ke situ dan keniungkinan Adrian sudah menduganya.

"Saya yakin dia cuma ingin tahu saja. Anda harus tahu, dia bukan tipe orang yang membukakan hati sepenuhnya kepada orang lain, termasuk pada saya. Dia suka menyimpan yang privasi untuk dirinya sendiri," Hilman sengaja berkata begitu untuk mengakhiri pertanyaan lebih jauh.

Adrian mengangguk. Ia percaya ucapan Hilman karena merasa mengenal Lis memang seperti itu.

"Anda bermaksud tinggal di sini?" tanya Hilman.

"Ya, maunya sih begitu."

Hilman tertegun sejenak. Jawaban itu diucapkan Adrian dengan datar saja. Untuk sesaat ia mengagumi kekuatan mental Adrian. Mana mungkin orang yang tidak punya kekuatan bisa menjawab seperti itu?

"Tidakkah rumah ini terlalu besar buat Anda yang sendirian? Tentu ini bukan masalah keberanian. Tapi dari segi kenyamanan dan efisiensi sepertinya kurang cocok."

"Ya, dari sudut pandang banyak orang termasuk Anda, wajar kalau beranggapan begitu, tapi saya merasa cocok dengan rumah ini. Saya menyenanginya dan mungkin juga rumah ini menyenangi saya. Jadi saya nyaman saja di sini. Kebesaran atau kekecilan bukan masalah."

Hilman mengangguk. Masalah seperti itu memang tidak sama bagi setiap orang, betapapun terasa tidak logis.

"Mumpung saya berada di sini, bolehkah saya menjenguk ruang bawah tanah itu?"

"Oh, tentu saja boleh."

Adrian segera melompat berdiri. Ia sudah menunggununggu permintaan itu.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka jalan beriringan masuk ke dalam.

"Pintunya masih bisa dibuka?" tanya Hilman.

"Oh, masih. Ruang itu cuma dirapikan, persis seperti sebelumnya."

Sambil berjalan, Adrian meraih kunci yang terletak di atas meja.

"Ini kunci gembok pintu yang menuju ke belakang."

Hilman yang berjalan di belakang Adrian mengamati sosok lelaki di depannya. Tampaknya Adrian benar-benar merasa nyaman di rumah itu, seperti yang diakui nya sendiri. Padahal sewaktu Mandar masih tinggal di rumah itu, dia hanya sesekali saja menginap. Bagi Hilman sendiri untuk bisa beradaptasi dengan sebuah rumah memerlukan waktu yang mungkin tidak

sedikit, apalagi bila rumah tersebut memiliki riwayat yang menyeramkan.

Untuk kesekian kalinya ia menyatakan bahwa Adrian seorang pemberani. Tapi, bukankah harus dibedakan antara seorang pemberani dengan seorang yang sebegitu gampangnya beradaptasi, bahkan nyaman-nyaman saja, di tempat yang menyeramkan?

Tiba-tiba sambil berjalan menatap punggung Adrian, Hilman merasa tercekat oleh suatu kesimpulan yang muncul. Adrian dan Mandar memiliki suatu kesamaan atau kualitas dalam hubungan mereka dengan rumah itu!

Adrian membuka lebar-lebar pintu yang menuju ruang bawah tanah. Sesudah itu ia menatap Hilman, ingin tahu apa selanjutnya yang dikehendaki Hilman.

"Anda punya senter?" tanya Hilman.

"Sebentar."

Adrian pergi tak terlalu lama. Ia kembali ti

dak membawa senter, tapi lampu sorot dengan kabel yang panjang, cukup untuk menyinari seisi ruang bawah tanah dari atas.

"Nah, ini lebih praktis. Anda bisa melihat dengan lebih jelas."

"Saya mau turun. Maukah Anda menemani.

Adrian terkejut. Tapi ia tak berpikir lama lama.

"Ayo. Biar saya jalan duluan. Hati-hati. Tangganya sudah mulai bobrok. Kalau patah kita bisa repot."

"Kalau begitu, biar saya turun sendiri saja. Kalau patah masih ada yang menolong."

Tangga yang dimaksud Adrian ternyata berada di ruangan itu juga. Berdua mereka menurunkan tangga aluminium yang lumayan berat. Sesudah itu mereka turun menggunakan tangga kayu yang ada. Adrian di depan.

Hilman hanya melihat ruangan yang kosong. Sebuah ruang yang belum selesai dikerjakan. Dindingnya belum diplester. Lantainya masih lapisan semen kasar. Sama sekali tidak ada ciri atau sisa-sisa horor. Baunya pun tak ada.

"Saya menyemprotnya, Pak," Adrian mengakui. Suaranya bergaung.

Hilman mengangguk, segan berbicara karena suaranya akan bergaung menimbulkan kesan yang tidak menyenangkan.

Mereka cepat-cepat naik lagi. Hilman membantu Adrian menarik tangga aluminium ke atas kembali.

"Ceritakan. Bagaimana keadaannya sebelum Anda membersihkannya?" Hilman ingin tahu.

Mereka berbicara sambil berjalan kembali ke depan rumah.

"Wah, kotor sekali. Sangat menjijikkan. Dan baunya bukan main. Tapi sebelum turun saya buka pintunya dulu lebar-lebar, lalu saya semprot. Saya biarkan beberapa saat lamanya supaya baunya hilang. Bahkan saya gunakan kipas angin untuk membantu pergantian udara lebih cepat."

"Anda melakukannya sendiri?"

"Ya. Siapa pula yang mau membantu saya?"

"Luar biasa."

Adrian tersenyum.

"Ah, sama sekali tidak luar biasa, Pak," katanya merendah meskipun ada juga rasa bangga. Semula ia memang tidak bermaksud membersihkan ruang bawal! tanah itu. Seperti yang ia rencanakan sebelumnya, ia akan menyegel saja pintunya lalu melapisinya

dengan semen. Ruang itu tak perlu lagi dibersihkan karena toh akan terkubur selamanya. Tapi kemudian ia berpikir lain. Rumah itu adalah rumahnya. Biarpun ruang itu akan terkubur, tapi tetap saja eksis dengan segala sisa masa lalunya. Jadi dengan mengumpulkan segala keberanian ia membersihkannya.

"Itu pekerjaan yang luar biasa, Mas Adrian. Saya kagum pada keberanian Anda."

Adrian hanya tersenyum. Ia tentu tak mau menceritakan bagian yang tak membuatnya bangga. Yaitu ketakutannya kalau-kalau pintu itu menutup sendiri hingga ia tak bisa naik! Untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan itu ia menindih pintu dengan meja dan kursi. Suatu tindakan yang sebenarnya terasa memalukan.

Mereka duduk di teras kembali. Adrian masuk sebentar dan keluar lagi dengan membawa dua kaleng minuman dingin. Satu disodorkannya kepada Hilman.

"Silakan, Pak."

"Terima kasih."

Mereka menyeruput minuman.

"Katakan, Mas Adrian. Apa yang jadi pendorong Anda sampai berani membersihkan ruang itu sendirian?"

"Karena rumah ini sudah jadi milik saya, Pak," sahut Adrian terus terang.

"Seandainya bukan milik saya, pasti saya tidak peduli. Tapi karena sudah milik saya, maka tak boleh ada yang tinggal di situ, lalu mengganggu kehidupan saya."

"Tinggal di situ?" tanya Hilman heran.

"Siapa tahu ada arwah yang ketinggalan atau sisasisa dari entah apa."

Hilman tertegun. Ia merasa kembali menemukan sesuatu yang lain dari diri Adrian. Mungkin ada baiknya ia mengenal lelaki ini lebih mendalam. Demi kebaikan Lis.

"Oh, Anda percaya hal semacam itu?"

"Sebenarnya bukan masalah percaya atau tidak percaya. Cuma, siapa tahu saja. Tapi yang pasti ruang yang bersih meskipun itu bisa saja dikubur, tetap lebih menyenangkan dibanding ruang kotor sebelumnya. Kalau saya tinggal di sini, saya hidup bersamanya, bukan?"

"Betul sekali. Boleh saya tahu bagaimana pengalaman dan perasaan Anda ketika melakukannya?"

"Oh, saya cukup takut, Pak," sahut Adrian singkat.

"Dan sesudah selesai, Anda tentunya lega sekali."

"Wah, bukan main, Pak."

Hilman mengangguk. Padahal sebenarnya ia ingin melihat ruang itu seperti keadaannya dulu, ketika baru ditemukan. Setelah dibersihkan, tak ada gunanya lagi melihat. Kesan apa pun dari masa lalu tak muncul.

Adrian mengamati wajah Hilman. Ia merasa telah memberi kesan baik. Itu penting dalam hubungannya dengan Lis.

"Bagaimana perasaan Anda tadi sewaktu melihat Lis di depan pintu?" Hilman mengalihkan persoalan.

"Kaget dan cemas."

"Apakah pengalaman itu cukup untuk membuat Anda berpikir lagi mengenai perlunya Anda berterus terang? Tadi Anda selamat, tapi nanti belum tentu."

Adrian termangu.

"Saya... saya masih takut, Pak. Bagaimana kalau dia tak mau lagi berteman dengan saya?"

Hilman tidak menyahut. Tentunya ia tidak bisa menjawab, karena ia sendiri tidak tahu bagaimana reaksi Lis kalau tahu.

"Pak Hilman, saya mohon bantulah saya."

"Membantu? Bagaimana caranya?"

"Kalau saya nanti terpaksa berterus terang, bujuklah dia supaya mau tetap berteman dengan saya."

Hilman terperangah. Membujuk Lis dalam hal seperti itu tak mungkin ia lakukan.

"Kan cuma berteman, Pak," lanjut Adrian, melihat keberatan di wajah Hilman.

Hilman merasa tidak tega. Anak muda ini tampaknya sangat mencintai Lis, sampai berlaku seolah tak ada perempuan lain di dunia ini. Padahal dia cukup berkualitas. Sebenarnya ia sendiri juga tidak mengerti, kenapa Lis tidak ada rasa terhadap Adrian padahal Adrian adalah lelaki pertama yang berusaha mendekatinya dalam musibah yang dialaminya.

"Baiklah. Saya akan coba bicara. Tapi saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Lis adalah pribadi yang mandiri. Tapi, kapan Anda akan bicara dengannya?"

"Terima kasih banyak, Pak. Nanti saya akan beritahu Anda bila saatnya sudah tiba," kata Adrian dengan girang.

"Sebaiknya jangan lama-lama. Nanti ia akan

merasa dibohongi terlalu lama."

"Ya, Pak."

Adrian melepas kepergian Hilman dengan senang. Tapi tidak begitu halnya dengan Hilman.

****

SEPULANGNYA dari rumah Mandar, Lis merasakan kegelisahan yang sangat. Ia mengunci dirinya di dalam kamar dengan memberi alasan capek.

Ia merebahkan diri di tempat tidur, tapi kegelisahannya tak bisa diredam. Ia bolak-balik ke kanan-kiri. Akhirnya ia duduk di lantai, tempatnya yang biasa kalau ingin bermeditasi. Ia lebih tenang meskipun jantungnya masih berdegup kencang.

Kali ini, berbeda dari biasanya, ia tidak bisa sepenuhnya mengosongkan pikirannya. Apa yang muncul di dalam benaknya tak bisa ia usir. Rumah itu! Rumah itu! Apakah dulu seperti itu juga, baik tamannya maupun bangunannya yang tampak depannya saja? Kelihatannya seperti habis direnovasi. Aneh, kenapa pula

sekarang ia jadi gelisah mengenang rumah itu, padahal tadi ia bisa membicarakannya dengan Rudi tanpa masalah sedikit pun. Bahkan mereka bisa bergurau tentang rumah hantu.

Sebenarnya bukan bagian rumah itu yang mengganggu pikirannya saat ini. Bagian yang itu sama sekali tidak diketahuinya karena memang tidak pernah dilihatnya. Yang muncul dalam pikirannya adalah sebuah kamar tidur. Kamar Mandar! Sebuah kamar tidur yang luas dan dekorasinya bagus. Itulah yang masih diingatnya dengan cukup baik. Ketika itu ia sempat memandang berkeliling dalam ketakutannya. Di dalam kamar itu dia diperlakukan semena-mena oleh Mandar. Dan kalau ,dia lebih sial, maka hidupnya akan berakhir di ruang bawah tanah, bersama Indah dan yang lain!

Ia ingin berteriak ketika berpikir ke situ. Kenapa harus berpikir seperti itu lagi? Padahal selama ini ia merasa sudah terbebas. Apakah karena melihat rumah itu? Tetapi ia melakukannya juga bukan karena iseng belaka. Ada dorongan kuat yang membujuknya dan kemudian memaksanya! Ia sungguh tak mengerti. Dari mana dorongan itu berasal, dari dalam

atau luar dirinya?

Dengan sekuat tenaga ia berupaya mengusir kenangan itu dan mengosongkan pikirannya dari apa pun yang muncul. Tapi berbeda dari biasanya, ternyata ia tidak bisa melakukannya. Ia malah teringat kepada Mandar dan membayangkan wajahnya! Ternyata wajah tampan itu masih bisa dibayangkannya dengan jelas. Matanya yang tajam, hidungnya, mulutnya .

Ia merasa muak. Wajah tampan yang memuakkan. Oh, betapa bencinya ia kepada semua wajah tampan! Lelaki tampan adalah iblis. Atau iblis menampilkan dirinya dalam bentuk lelaki tampan. Dalam pikirannya ia melihat Mandar tersenyum, penuh daya pikat dan rayuan yang memukau. Ia merasa ingin muntah. Kemudian ia mencoba membayangkan wajah itu secara lain. Bukan wajah tampan, melainkan wajah iblis mengerikan. Ternyata justru gambaran seperti itu menghilangkan rasa muaknya. Ia merasa puas. Ia juga tidak takut. Memang seharusnya seperti itulah wajah Mandar!

Tetapi kemudian muncul suatu pemikiran yang lain. Ia jadi gelisah kembali.

saat itu dalam selnya Mandar sedang duduk bersila. Wajahnya tampak segar karena barusan dicukur dan rambutnya dipangkas model cepak, Yang mengerjakan rambutnya adalah seorang petugas yang sering diberinya rokok. Sebenarnya bukan cuma hanya satu-dua orang petugas yang sering diberinya rokok, tapi boleh dikata semuanya, termasuk mereka yang tidak suka merokok. Ia memberi lewat Adrian.

Mereka sudah tahu bahwa sesungguhnya dia adalah orang kaya. Dan dalam batas-batas tertentu dia adalah seorang napi yang murah hati. Tentu saja apa yang diberikannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal seperti itu merupakan sesuatu yang logis. Kekayaan adalah daya tarik, apa pun status pemiliknya. Sebagai pembunuh keji, psikopat, dan mungkin juga orang gila, uangnya tetap punya daya tarik.

Dengan penampilannya yang bersih dan segar, ia kelihatan semakin tampan. Para petugas senang melihat ia seperti itu karena untuk mereka tidak lagi kelihatan menyeramkan. Di antara

mereka dan para napi beredar bermacam isu perihal "keiblisan" Mandar. Ada yang bilang Mandar bisa membunuh orang hanya dengan pandangannya yang tajam. Ada lagi yang bilang bahwa wajah tampan Mandar itu sesungguhnya hanya topeng. Di balik itu ia berwajah iblis, meskipun mereka tidak tahu seperti apa sebenarnya wajah iblis itu.

Karena isu-isu itulah Mandar bisa menikmati sedikit privasi. Tak ada yang suka dekatdekat dengannya meskipun orang tahu ia kaya. Berbaik-baik boleh saja dan mungkin juga harus, tapi dekat-dekat lebih baik tidak. Meskipun kaya, toh ia tidak membawa uangnya ke situ.

Pada saat ia duduk bersila dengan mata terpejam, banyak yang mengamatinya dari jauh. Lalu bisik-bisik terjadi. Toh mereka juga tidak berani melakukannya terang-terangan. Siapa tahu biarpun terpejam, mata itu tetap bisa melihat!

Mandar asyik sendiri dengan pikirannya. Hanya satu orang yang ada dalam pikirannya.

Ia tersenyum-senyum. Kadang-kadang senyumnya melebar hingga tampak giginya.

Orang-orang yang menyaksikannya semakin heran.

****

Hilman terkejut ketika menangkap kegelisahan suara Lis di telepon. Saat itu ia sedang menangani pasien.

"Lis, datanglah. Saya hanya punya janji dengan dua orang pasien saja. Sekarang yang pertama. Apa kau bisa datang sendiri? Jangan memaksa diri. Mintalah ibumu atau siapa saja mengantarkan."

"Oh, saya nggak apa-apa, Dok. Saya akan datang sendiri. Kalau minta diantar Mama, nanti malah dia yang panik."

"Baik. Hati-hati, ya."

Ketika berhadapan kembali dengan pasiennya, Hilman berusaha keras untuk menyisihkan permasalahan Lis. Ternyata usaha itu cukup sulit. Padahal ia orang yang tenang, dengan tanggung jawab besar terhadap pasien.

Pada saat itu juga ia sudah memperkirakan pastilah Lis menghadapi masalah yang berhubungan dengan "kunjungannya ke rumah Mandar.

LIS menunggu dengan sabar di ruang tunggu. ia berharap tidak ketemu Rudy. Lucu rasanya kalau ia meminta Rudy merahasiakan perbuatan mereka barusan, tapi kemudian ia sendiri yang membukanya. Sama halnya seperti keinginannya berkunjung ke Purworejo lalu meminta Rudy memberitahu ayahnya. Itu pun tujuannya supaya Hilman mengetahui bahwa ia sudah tahu mengenai Indah. Ah, rasanya ia sudah menjadi orang licik yang memanfaatkan orang lain. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. Apa pun yang mau dilakukannya, ia tidak akan mengajak Rudy lagi.

Akhirnya pasien Hilman keluar. Hilman melambai kepadanya. Tanpa menunggu lebih lama ia melompat dan dalam beberapa langkah ia sudah masuk ke dalam ruang praktik.

"Duduklah, Lis."

Lis mengambil tempat duduk di sofa, tapi tidak merebahkan dirinya. Tanpa menunggu ditanya, ia segera menceritakan apa yang dilakukannya bersama Rudy tadi siang.

Hilman mendengarkan dengan sabar tanpa menyela. Baru setelah Lis terdiam, ia berkata,

"Kau mempunyai dorongan keingintahuan yang besar, Lis. Apakah cerita Rudy tentang Indah telah membangkitkan keingintahuan itu?"

"Mungkin juga, Dok. Tapi saya tidak yakin apakah itu disebabkan rasa ingin tahu saja."

"Lantas apa?" tanya Hilman heran.

"Pada mulanya saya pikir itu cuma ingin tahu. Tapi belakangan setelah tiba di rumah saya merasakan kegelisahan luar biasa. Saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan itu sebenarnya disebabkan oleh dorongan yang amat sangat."

"Ingin tahu juga menimbulkan dorongan."

"Bukan semata-mata ingin tahu, Dok. Coba. Buat apa saya melihat-lihat rumah itu? Padahal secara logika. jelas saya cuma bisa melihat luarnya saja. Tak mungkin saya masuk ke dalamnya."

"Masuk ke dalamnya?" seru Hilman terke

jut. Ia ingat pengalamannya sendiri. Ia pun ingin melihat ruang bawah tanah itu.

"Ya. Ke kamar tidur Mandar," sahut Lis dengan tenang

"Apa?"

"Di situlah saya diperlakukan semena-mena oleh Mandar. Saya ingat tempat itu."

"Kau ingat?"

"Ya. Sebelum saya dibius olehnya saya sempat mengamati ruangan."

"Jadi sebenarnya kau ingin masuk ke kamar tidur Mandar?"

"Ya."

"Untuk apa?"

"Saya ingin menghadapi masa lalu itu dengan melihat kembali kenyataannya," sahut Lis dengan lancar. Ia sudah tahu akan ditanya begitu dan ia sudah memikirkannya.

"Kau perlu...?" Hilman benar-benar terkejut. Ia tak menyangka Lis tidak berupaya melupakan traumanya, melainkan sebaliknya. Apakah selama ini ia salah sangka?

Tanpa menunggu dulu sampai kekagetan Hilman mereda, Lis melanjutkan dengan kejutan berikut,

"Tolonglah saya, Dok. Saya ingin

melihat dan ketemu Mandar sebelum dia mati!"

Hilman melompat dari duduknya saking kagetnya. Tahu-tahu ia sudah pindah duduk ke samping Lis. Beberapa saat lamanya ia tak bisa segera berbicara. Ia mengamati wajah Lis dari pinggir. Ia melihat kekerasan hati di wajah itu. Sepertinya niat itu tak bisa dihalangi.

"Beri kan saya alasannya," kata Hilman akhirnya.

"Saya tidak tahu, Dok."

"Tidak tahu?" Hilman penasaran.

"Jadi keinginan yang muncul begitu saja?"

"Satu keinginan sesudah yang lain, Dok."

"Masa cuma itu, Lis. Coba pikirkan lagi. Bila kau bertemu dan melihatnya, maka kenangan akan dirinya semakin dipertajam. Padahal sekarang bayangan dirinya semakin memudar dalam ingatanmu. Kau juga harus bersiap menerima perlakuan dan kata-katanya yang kemungkinan akan menyakitkan. Bahkan mengerikan."

Hilman teringat akan sikap Mandar sewaktu memandang Indri. Lelaki itu seperti binatang buas yang terbangkitkan selera makannya. Ia tidak ingin Lis diperlakukan seperti itu. Tapi ia

juga tidak mau menceritakan kejadian itu karena tak ingin membuat Lis takut.

"Saya tahu, Dok. Saya sudah siap. Mumpung dia masih hidup, saya harus melihatnya dan bicara dengannya."

Hilman merasa heran bahwa Lis bisa mengucapkannya dengan tenang, seperti melupakan kejadian mengerikan yang barusan dialaminya. Itu belum terlalu lama untuk bisa dilupakan. Bahkan tak akan terlupakan. Tapi sekarang Lis bicara seolah itu merupakan pengalaman orang lain.

"Kau lupa, dia itu monster, Lis?"

"Saya tidak lupa, Dok. Justru karena itu saya ingin melihatnya dalam keadaan saya yang sekarang. bebas dari ketakutan dan cengkeramannya. Kalau saya tidak melihatnya dalam keadaannya yang riil, maka yang muncul dalam pikiran saya hanyalah iblis bertanduk."

Hilman menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak bisa menerima permintaan Lis itu, tapi dari sisi yang lain ia bisa memahami. Lis adalah pribadi yang unik.

Tiba-tiba Lis berbalik dan memegang kedua pundak Hilman.

"Tolonglah, Dok."

Mereka bertatapan dalam jarak yang dekat.

"Saya mengkhawatirkan dirimu, Lis. Mandar berwajah tampan, tapi dia benar-benar iblis di balik ketampanannya."

Lis tidak melepaskan pegangannya.

"Saya sudah tahu itu, Dok. Saya siap menanggung risikonya."

"Kau sudah pulih sekarang. Sayang sekali mempertaruhkan itu. Bagaimana kalau kau syok lagi? Waktu mendengar Rudy cerita tentang lndah, kau sudah hampir syok."

"Tapi saya berhasil mengatasinya, Dok. Mungkin nanti saya juga akan mengalami getaran, tapi saya akan melawan. Saya harus menang atas dirinya."

"Ini bukan pertarungan, Lis. Dia juga tidak mengajakmu bertarung, bukan?"

"Tapi saya merasa dia mengajak saya."

Hilman tersentak.

"Apa?" tanyanya kaget.

Lis cuma tersenyum menanggapi kekagetan Hilman.

"Itu tentu cuma feeling saja, Dok," katanya dengan nada gurau.

Hilman menggelengkan kepala. Ia balas memegang kedua lengan Lis.

"Lis, kau harus hati-hati. Jangan biarkan dirimu dipermainkan olehnya. Dialah yang ingin bertemu denganmu sebelum mati."

Lis memandang aneh.

"Bagaimana Dok bisa tahu? Saya merasa sendiri dorongan untuk melihatnya dan menyelesaikan ganjalan yang masih tersisa."

"Ganjalan?"

"Ya. Sebenarnya saya masih selalu merasa tak enak. Ada yang mengganjal meskipun saya masih bisa mengatasi."

"Kau tak pernah mengatakannya."

"Saya mencoba mengatasi sendiri, Dok. Lalu saya sadar, itulah yang harus saya lakukan."

"Saya tahu, kau orang yang berani, Lis. Tapi... saya mengkhawatirkan dirimu," kata Hilman dengan sedih.

Tiba-tiba Lis memeluk Hilman yang terperangah sejenak, tapi kemudian membalas pelukan itu.

"Katakan, kenapa Dok mengkhawatirkan saya?"

"Kau sudah seperti keluarga sendiri. Kau bukan orang lain lagi."

" Apakah Dok menganggap saya seperti

anak?"

Hilman tak segera menjawab. Ia gugup sejenak.

"Saya tidak mau dianggap seperti anak, Dok," Lis melanjutkan sebelum Hilman menemukan kata-kata.

"Saya... saya...," Hilman tidak tahu mesti berkata apa. Dia merasa situasi jadi terbalik. Dirinyalah yang jadi pasien atau orang lugu yang tidak bisa menyampaikan isi hatinya. Bodoh sekali.

"Maafkan saya kalau terkesan saya memanfaatkan Dok atau Rudy untuk kepentingan sendiri," kata Lis, tanpa melepaskan pelukannya. Ia malah meletakkan kepalanya di pundak Hilman.

"Oh, tidak. Tidak! Sama sekali tidak ada kesan seperti itu. Kepulihanmu adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Benar, Lis."

Tanpa sadar Hilman membelai kepala Lis. Penuh perasaan yang spontan tercurah.

Lis memejamkan matanya.

"Apakah Dok menyayangi saya?"

Hilman tertegun, tapi kemudian menjawab,

"Oh ya. tentu saja."

"Bukan sebagai pasien atau sebagai anak?"

"Ha... habis sebagai a... apa?" Hilman jadi tergagap.

Ia merasakan suatu kebingungan di mana sesungguhnya ia berpijak. Mimpikah ia?

"Apakah Dok tidak bisa menyimpulkannya sendiri?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara Lis kedengaran sedih.

Hilman segera menyadari, ia harus bertindak hati-hati. Kembali ia membelai kepala Lis.

"Saya sudah tua, Lis. Saya harus tahu diri,"

"Umur bukan masalah."

"Saya tahu. Tapi rasanya tidak fair, Lis. Saya memang sangat, sangat sayang padamu. Bukan sebagai pasien. Bukan sebagai anak. Tapi mana mungkin saya mengungkapkannya? Dunia akan menertawakanku."

"Tidak ada yang akan menertawakan, Dok. Kalaupun ada, mereka orang munafik. Saya senang Dok mengakuinya. Saya punya perasaan yang peka. Saya sudah tahu itu sejak awal. Saya juga tahu, Dok tak mungkin mengungkapkannya lebih dulu. Jadi saya mengambil inisiatif."

Hilman melepaskan pelukannya, tapi tetap memegang kedua lengan Lis. Ia memandangnya dekat-dekat.

"Lihatlah, Lis. Amati wajahku. Sudah tidak licin lagi. Sudah berkeriput," katanya, lalu menarik sebuah tangan Lis untuk meraba wajahnya.

Lis malah menggunakan kedua tangannya untuk mengusap wajah Hilman.

"Wajah inilah yang saya sukai. Di balik wajah ini ada keluhuran budi. Ada kebaikan yang mengangkat saya dari kesedihan. Ada kedamaian."

"Kau tentu menyukai saya karena menganggap saya telah menolongmu. Padahal..."

Lis meletakkan jarinya di mulut Hilman.

"Saya tahu Dok akan bicara begitu. Tapi perasaan itu timbul karena perbuatan. Bukan begitu, Dok? Kalau saya kenal Dok begitu-begitu saja, mana mungkin saya punya perasaan seperti ini? Justru saya mengenal Dok secara mendalam karena semua yang telah Dok lakukan untuk saya."

"Jika kau menyesal nanti..."

"Tidak mungkin. Justru Dok yang kemungkinan menyesal."

"Ah. tidak. Saya merasa mendapatkan sesuatu yang tak ternilai. Sesuatu yang tidak pantas saya dapatkan."

Mereka saling memandang beberapa menit lamanya dengan wajah serius. Lalu keduanya sama-sama tertawa.

"Saya merasa mimpi, Lis," kata Hilman.

Lis mencubitnya. Hilman mengaduh pelan, karena cubitan itu benar-benar menyakitkan.

"Oh, maaf, Dok."

"Tidak apa. Saya memang perlu diCubit. Dari tadi saya merasa bingung."

"Sekarang masih bingung, Dok?"

"Nggak lagi."

Hilman mencium pipi Lis lalu memperbaiki duduknya. Satu tangannya merangkul pundak Lis yang bersandar ke dadanya.

"Sekarang kita bicarakan niatmu tadi itu, Lis."

"Jangan sekarang, Dok. Saya masih ingin seperti ini dulu."

Lis mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, lalu meringkuk seperti kucing di atas pangkuan Hilman. Ia memejamkan matanya dengan wajah yang menampakkan kenyamanan.

Hilman menikmati hal itu juga. Ia membelai

kepala Lis dan merasa dirinya jadi orang yang beruntung. Ia tahu di depan akan ada banyak batu sandungan. Tapi untuk sekarang ini siapa peduli? Nikmatilah yang sekarang, karena besok bisa tak sama lagi.

****

"BAGAIMANA hubunganmu dengan Lis?" tanya Mandar kepada Adrian.

Tatapnya menyelidik. Tatapan Mandar tidak menyenangkan Adrian. Semakin lama kunjungannya kepada Mandar menjadi semakin tidak menyenangkan.

"Biasa-biasa saja, Bang."

"Biasa-biasa gimana?"

"Ya, sebagai teman gitu."

"Tidak kaulamar dia? Kau kan tidak kurang apa-apa."

Adrian merasa sulit membohongi Mandar. Di samping ia sendiri kurang yakin akan kemampuannya, ia takut kalau kebohongannya ketahuan dengan segala akibat buruknya. Tatapan tajam Mandar yang menyelidik itu rasanya seperti bisa mengorek.

"Sebenarnya dia sudah kulamar, Bang. Tapi dia menolakku."

"Apa?" Mandar membelalakkan matanya.

"Kenapa?"

"Dia hanya ingin berteman denganku, Bang. Rupanya trauma yang dialaminya membuat dia jera berhubungan dengan lelaki."

"Apa dia sudah kauberitahu bahwa kau adalah sepupuku?"

"Mana berani, Bang! Dia bisa marah besar padaku. Untuk sekarang ini, dia mau berteman denganku saja sudah bagus. Selama ini aku akan berusaha untuk terus mendekatinya."

"Mestinya kau terus terang saja, Ian!"

"Bagaimana kalau dia marah dan tak mau lagi berhubungan denganku?"

"Yaah, itu risiko yang harus kautanggung sebagai sepupu Mandar." Mandar tertawa.

"Ah, jangan gitu, Bang," Adrian berusaha meredam kekesalannya.

"Seharusnya dia nggak marah."

"Kenapa begitu, Bang?"

"Yang memperkosanya kan aku. Bukan kau."

"Tapi aku membohonginya sejak awal. Itu

pasti menyakitkan hatinya."

"Ya, itu risikonya. Ada untung, ada ruginya. Kau mesti mikir ke situ juga. Kalau dia tidak pernah jadi korbanku, kau tidak akan berkenalan dengannya sampai jatuh cinta segala. Dan kalau kau bukan sepupuku, kau tidak akan mewarisi harta sebegitu banyak. Iya, kan?"

Wajah Adrian memerah. Ekspresi Mandar terasa begitu sinis.

"Lantas apa yang kausarankan, Bang?"

"Terus terang saja dan lihat apa reaksinya. Kenapa kau mesti ketakutan duluan padahal belum tahu?"

"Justru orang takut itu karena belum tahu, Bang. Ya, aku memang akan melakukannya tapi menunggu saat yang baik."

"Kau tidak pernah tahu kapan saat yang baik itu." Adrian mengamati wajah Mandar. Kali ini dia tampak berbeda lagi.

"Kelihatannya sekarang Abang tidak antusias lagi menyuruhku memperistri Lis," katanya ingin tahu.

"Buat apa kalau kalian toh tidak bisa memelihara anakku," sahut Mandar dingin.

Adrian tertegun. Apakah buat Mandar anaknya itu lebih penting daripada Lis?

"Jangan khawatir, Bang. Dia berada di tangan orang-orang yang menyayanginya. Aku pun akan terus memantaunya," katanya menghibur.

"Kau memang harus melakukannya. Itu sudah kewajibanmu!" sahut Mandar tegas.

Kembali wajah Adrian memerah.

"Dan ingatlah, lan. Kalau suatu ketika nanti orangtua angkat anak itu jatuh miskin kau harus turun tangan. Jangan sampai anak itu telantar."

"Tentu saja. Kau jangan memikirkan hal itu. Aku tahu mana kewajibanku."

"Baguslah kalau begitu. Toh harta itu tidak akan habis kaumakan sendiri."

"Ah, dari tadi Abang menyindirku terus."

"Aku cuma mengingatkan. Manusia itu kan pelupa."

"Kalau begitu terima kasih."

"Terima kasih saja tidak cukup, lan. Belakangan ini setiap datang berkunjung kau tidak pernah bercerita. Padahal kau berhubungan terus dengan Lis, biarpun sebagai teman. Tidak adakah yang bisa kauceritakan? Aku haus cerita. Aku butuh cerita." kata Mandar dengan nada

menuntut.

Adrian berpikir sejenak. Ia sadar, Mandar harus dipuaskan. Cerita apa pun tidak bisa membuat Mandar melakukan sesuatu sebagai reaksi. Maka dengan seadanya ia bercerita mengenai hubungannya dengan Lis dan juga Hilman. sebagai orang yang ia butuhkan untuk mendukungnya.

Mandar mendengarkan dengan ekspresi asyik dan penuh perhatian. Adrian jadi tersentuh melihatnya. Maka ia bercerita tanpa menyembunyikan apa pun, bahkan, mengingat-ingat apa lagi yang belum disampaikannya.

"Ah, jadi ia datang ke rumahku? Menggedor dan menendang?" Mandar tertawa geli.

"Ya. Aku buru-buru sembunyi."

"Kenapa tidak kaubukakan pintu dan menyilakannya masuk?"

"Wah, Bang, dia kan belum tahu hubunganku denganmu dan rumah itu."

"Oh ya, benar juga. Tapi kau pasti menggelikan sekali saat itu. Ketakutan sekali, ya?"

"Begitulah, Bang."

Setelah Mandar puas tertawa, ia mengalihkan topik.

"Jadi dokter itu bersedia membantumu?"

"Ya, katanya begitu. Dia sangat dipercaya Lis. Jadi ucapannya pastilah bisa mempengaruhi."

"Nggak sangka orangnya baik juga, ya."

"Apa sama kau dia tidak baik, Bang?"

"Itu tidak penting. Bagiku dia cuma seorang ahli jiwa yang tugasnya mengorek orang."

"Kau pernah dikorek olehnya, Bang?"

"Tentu. Itu kan tugasnya."

"Apa saja yang kauceritakan, Bang?" Adrian kelepasan bertanya.

Mandar memandangnya dengan tidak senang.

"Apa urusanmu?"

"Maaf."

"Dia seorang dokter, bersumpah untuk menyimpan rahasia pasiennya. Aku juga pasiennya." Mandar tertawa sinis.

"Ya. Aku mengerti."

"Ah, kau cuma ngomong."

Adrian menatap arlojinya.

"Waktu sudah hampir habis, Bang. Ada yang mau kaupesan?"

"Segeralah beritahu identitasmu kepada Lis. Lalu sampaikan apa yang terjadi kepadaku."

"Tampaknya kau sangat ingin tahu, Bang."

"Tentu saja."

"Apakah kau ikut khawatir kalau-kalau dia marah padaku?"

Mandar mengangkat bahu.

"Ah, yang itu kan urusanmu sendiri."

Adrian menahan jengkelnya.

"Tapi kau ingin tahu juga."

"Wajar dong. Jangan sampai kau tidak memberitahu, ya?"

Ucapan itu kedengarannya seperti ancaman, pikir Adrian ketika berlalu.

Di belakangnya, Mandar tersenyum sinis.

"Kau salah besar karena jatuh cinta pada Lis, Ian!" katanya pelan.

***

Lis sedang berbahagia. Kebahagiaan yang dirasakannya seperti obat mujarab dari semua gangguan batin yang selama ini dirasakannya. Ternyata Hilman diam-diam mencintainya juga, ia cuma tidak berani mengekspresikannya karena merasa harus tahu diri. Bagi Lis, justru

orang seperti itulah yang amat sangat berharga. Hilman tidak berlaku mentang-mentang berjasa dan punya kedekatan. Pikirannya sangat jauh ke depan.

Karena itu gangguan batin berupa kegelisahan-kegelisahan yang masih suka dirasakannya bisa diatasinya dengan mudah. Sekarang ia sudah punya seseorang yang mendukungnya dengan segenap jiwa-raganya. Ia kuat sekarang. Tidak sendirian lagi. Dan ia yakin, cintanya tertuju pada orang yang tepat. Pengalamannya yang menyakitkan telah menyadarkannya untuk melihat dan menilai orang lebih dalam dari penampilan luarnya. Ia memang tidak punya banyak pilihan. Hanya ada Adrian dan Hilman. Adrian terang-terangan memperlihatkan isi hati dan motivasinya. Tetapi Hilman benar-benar tanpa pamrih.

Awalnya adalah perkenalan ayahnya dengan Hilman. Begitu tahu masalah ayahnya, Hilman langsung menyisihkan urusannya sendiri untuk membantu sepenuh hati. Padahal ketika itu Hilman belum melihatnya. Kemudian dengan sabar Hilman berupaya mendapatkan kepercayaannya meskipun ia memperlakukannya dengan kasar. Itulah yang tiba-tiba membuatnya tersadar. Ia mencintai Hilman bukan seperti cinta anak muda yang menggebu dan emosional. Atau cinta buta yang tak punya pertimbangan rasional. Ia merasakan kedamaian dan ketenangan yang luar biasa bila berdekatan dengan Hilman.

Tapi pada saat itu ia tahu Hilman tidak punya rasa apa-apa terhadapnya kecuali menganggapnya seperti pasien dan orang yang perlu ditolong. Baru kemudian perasaannya yang peka dan tajam menangkap sesuatu yang berbeda. Hal itu disimpulkannya dari tatapan, nada bicara, dan kata-kata Hilman yang sering kali membuatnya tersipu seolah kelepasan. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa ia telah menolak cinta Adrian, terasa ada kelegaan dalam sikap Hilman. Setelah yakin akan hal-hal tersebut barulah ia melakukan pendekatan dan inisiatif. Lis sadar bila ia tidak melakukannya, maka Hilman tidak akan pernah mengungkapkan apa-apa.

Tetapi setelah ada keterbukaan di antara mereka, Hilman memintanya untuk tidak mempublikasikan hal itu lebih dulu kepada keluarganya, dan dia sendiri kepada anak-anaknya.

Alasan Hilman, masih ada masalah yang perlu diselesaikan, yaitu niatnya untuk bertatap muka dengan Mandar.

Lis bisa menerima alasan itu. Ia juga menganggapnya sangat baik.

Hilman sudah setuju untuk mewujudkan niat itu, tapi ingin mempersiapkan mentalnya lebih dulu, meskipun Lis sendiri merasa tidak ada masalah. Bahkan baginya lebih cepat lebih baik. Tapi Hilman juga perlu waktu untuk meminta bantuan kepada Rahman, petugas yang dikenalnya di penjara, supaya mereka bisa mendapat privasi dalam pertemuan itu.

Selama waktu menunggu itu Lis melaksanakan kegiatannya sehari-hari seperti biasa. Ia menulis surat kepada Indri dengan perasaan yang mendalam. Ternyata itu juga merupakan cara untuk memberi kelegaan bagi dirinya sendiri. Mereka membuat rencana bila nanti dia dan Rudy datang ke Purworejo.

Tapi Hilman memberi usul lain. Yaitu, dalam libur besar itu lebih baik Indri saja yang datang ke Jakarta dan menginap di rumahnya. Dengan cara itu toh mereka sama-sama bisa bertemu juga. Apalagi Jakarta memiliki tempat-tempat rekreasi yang lebih banyak dan menarik dibanding kota kecil seperti Purworejo.

Rudy masih perlu berpikir mengenai usul ayahnya itu meskipun ia cukup tertarik. Sementara Lis menyerahkan keputusannya kepada Rudy.

Dengan Adrian ia bergaul seperti biasa. Tentu saja ia tidak menceritakan soal hubungannya yang menjadi serius dengan Hilman. Soal itu masih menjadi rahasia bagi semua orang Hal itu membuat ia sering membayangkan bagaimana surprise-nya orang-orang kalau tahu. Itu adalah ketegangan yang menyenangkan.


Shugyosa Samurai Pengembara 4 Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam

Cari Blog Ini