Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 7

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 7



Selesai kursus siang itu Lis tidak menemukan Rudy di tempatnya yang biasa. Baginya itu tidak mengherankan. Tidak selalu Rudy bisa menjemputnya. Tetapi kali ini ia menemukan Adrian sedang berdiri di samping mobilnya.

Adrian segera mendekati Lis.

"Tadi aku ke rumahmu, Lis. Lalu diberitahu ibumu, kau kursus di sini."

"Ada urusan penting, Ian?"

"Penting sih nggak, Lis. Cuma mau main saja."

"Oh, begitu."

****

tempat rekreasi yang lebih banyak dan menarik dibanding kota kecil seperti Purworejo.

Rudy masih perlu berpikir mengenai usul ayahnya itu meskipun ia cukup tertarik. Sementara Lis menyerahkan keputusannya kepada Rudy.

Dengan Adrian ia bergaul seperti biasa. Tentu saja ia tidak menceritakan soal hubungannya yang menjadi serius dengan Hilman. Soal itu masih menjadi rahasia bagi semua orang Hal itu membuat ia sering membayangkan bagaimana surprise-nya orang-orang kalau tahu. Itu adalah ketegangan yang menyenangkan.

Selesai kursus siang itu Lis tidak menemukan Rudy di tempatnya yang biasa. Baginya itu tidak mengherankan. Tidak selalu Rudy bisa menjemputnya. Tetapi kali ini ia menemukan Adrian sedang berdiri di samping mobilnya.

Adrian segera mendekati Lis.

"Tadi aku ke rumahmu, Lis. Lalu diberitahu ibumu, kau kursus di sini."

"Ada urusan penting, lan?"

"Penting sih nggak, Lis. Cuma mau main saja."

"Oh, begitu."

"Sekarang mau pulang, Lis? Yuk, kuantarkan?"

Tanpa berpikir Lis segera mengangguk. Adrian akan tersinggung jika dia tak mau. Apa bedanya Rudy dengan Adrian?

Lis masuk ke dalam mobil.

"Ini saatnya makan siang. Kau lapar, Lis? Kita makan dulu, yuk?"

Lis ragu-ragu. Dalam hal ini ada bedanya antara Adrian dengan Rudy.

"Ayolah, masa seorang teman tidak pantas mengajak makan?"

Akhirnya Lis tersenyum.

"Baiklah," katanya.

"Sebenarnya aku juga ingin bicara, Lis. Tapi kita harus makan dulu."

"Apa hubungannya bicara dengan makan? Sekarang saja bicaranya, Ian."

"Makan dulu. Perlu tenaga untuk bicara," sahut Adrian setengah bergurau.

"Baiklah."

Dalam. hati Lis mulai berpikir mengenai materi yang mau dibicarakan Adrian. Apakah soal cinta lagi?

Tapi Adrian berusaha tidak membuat Lis resah. Ia bercerita tentang macam-macam hal dengan gaya yang ringan. Sepertinya tidak ada sesuatu yang berat. Tapi justru hal itu membuat Lis merasa tegang meskipun ia berusaha tidak memperlihatkannya.

Ketegangannya mengendur ketika dari kaca spion ia melihat sebuah motor yang dikendarai anak muda dengan helm menutupi sebagian mukanya. Motor itu mengikuti mobil Adrian dalam jarak tertentu. Lis mengenali Rudy.

"Oh, itu Rudy, lan!" ia berseru.

Lis melambaikan tangan. Ia membuka kaca mobil. Rudy mendekat.

"Aku pulang sama Ian, Rudi" seru Lis.

Rudy mengangkat tangannya juga, lalu melambatkan laju motornya hingga tertinggal. Beberapa saat kemudian ia tak kelihatan lagi.

Adrian mengamati.

"Kau akrab sekali sama dia, Lis," katanya, menyembunyikan rasa irinya.

"Ya, dia anak yang lucu."

Sengaja Lis menyebut kata "anak" untuk menggambarkan bahwa Rudy masih kecil dibanding dirinya. Tapi kemudian ia, berpikir sebenarnya ia tidak perlu memberi kesan demikian kepada Adrian.

"Jadi kau sering pulang kursus bersamanya, Lis?"

"Sering sih nggak. Kadang-kadang saja kalau kebetulan dia pulang kuliah pada saat bersamaan."

"Dia sudah punya pacar, kan?"

"Oh, ya. Pacarnya di Purworejo. Tahukah kau siapa dia, Ian? Kakaknya adalah korban dari pembantai gila bernama Mandar itu. Dengar beritanya, kan?"

"Ya. tentu saja."

Adrian cepat berbelok ke restoran pertama yang dijumpainya.

****

RUDY sadar dirinya tidak berhak kesal karena Lis sudah dijemput lebih dulu oleh Adrian. Toh dia juga tidak bisa tiap waktu datang menjemput. Cuma ada satu hal yang mengganjal perasaannya. Apakah Lis pacar Adrian? Lelaki itu cukup sering mengunjungi Lis. Tapi sejauh matanya bisa melihat, tampaknya tidak ada kemesraan dalam hubungan mereka. Lis juga biasa-biasa saja dalam memperlakukan Adrian. Toh itu tidak menjamin. Ada pasangan yang serba terbuka memperlihatkan sifat hubungan mereka, tapi ada juga yang tertutup.

Rudy menilai Adrian sebagai lelaki yang cukup sempurna. Lis tidak punya alasan untuk menolak Adrian. Tetapi dalam soal cinta tentunya orang tidak cuma melihat kesempurnaan fisik atau kekayaan saja. Ia yakin, Lis bukan

orang yang mengagungkan masalah itu. Keyakinan itu diperolehnya dari sekian banyak perbincangan yang terjalin di antara mereka. Karena itu ia senang berada dekat Lis dan berbincang dengannya. Baginya, Lis adalah seorang kakak perempuan yang tak pernah dimilikinya. Sedang Lis juga mengatakan, dia seperti adik yang tak pernah dimilikinya.

Biarpun ia menganggap Adrian adalah lelaki yang cukup sempurna, tapi jauh di lubuk hatinya Rudy tidak begitu senang bila Adrian menjadi pacar apalagi suami Lis. Sebenarnya ada egoisme dalam perasaannya itu, karena Adrian tentunya tidak akan senang bila Lis terus akrab dengannya. Jadi sebenarnya lelaki mana pun yang menjadi pacar atau suami Lis, sama-sama tidak disenanginya. Kecuali satu orang.

Ia pernah melihat tatapan ayahnya pada Lis. Sepertinya tatapan itu mengandung sesuatu yang mendalam. Tapi ketika itu ia tidak begitu memikirkannya. Belakangan ia memperhatikan lagi. Kali ini bukan cuma dalam tatapan ayahnya ia melihat sesuatu, melainkan juga dalam ekspresi wajahnya. Ayahnya menyukai Lis! Itu sebabnya ia jadi gempar dan memberitahu

Eddy. Tapi kemudian setelah ayahnya membantah, ia jadi ragu-ragu. Belakangan ia mulai lagi mengamati bila ada kesempatan. Ternyata ia menemukan lagi hal yang sama. Tetapi dari Lis tidak terbaca. Kalau Lis suka mendatangi dan bersikap akrab, tentu itu disebabkan karena ia membutuhkan jasa ayahnya.

Ia merasa kasihan pada ayahnya. Apakah itu berarti ayahnya seperti pungguk merindukan rembulan?

Ia pernah mencoba mendiskusikan hal itu dengan Eddy. Tapi Eddy malah menertawakan.

"Kalau begitu, memang tak salah bahwa Papa seperti pungguk merindukan rembulan," komentarnya dengan nada cemooh.

"Memangnya Papa kurang apa, Mas? Dia dokter, gagah, dan cukup tampan. Biarpun umurnya sudah empat puluh lebih, tapi masih tegap dan gagah."

"Empat puluh lebih itu berarti sudah tua, Rud! Sedang Lis itu pantaran kita. Pantas jadi anak Papa."

"Ah, Mbak Lis lebih tua dari kita."

"Paling juga beberapa tahun saja. Sudahlah. Jangan macam-macam, Rud. Jangan menjodoh-jodohkan Papa dengan Mbak Lis. Dia lebih pantas jadi pacarku."

"Mana mungkin, Mas. Dia lebih matang darimu."

"Pokoknya aku nggak mau punya ibu tiri. Apalagi kalau ibu tiriku itu sepantar denganku. ldih, malu-maluin. Apa kau nggak malu kalau mesti mengenalkannya pada teman-temanmu?"

"Aku malah bangga, Mas!"

"Huh!"

"Jangan begitu, Mas. Apa kau nggak sayang sama Papa?"

"Justru karena aku sayang sama Papa, aku mesti melindunginya dari rayuan perempuan genit yang mengincar hartanya."

"Tidak semua perempuan itu genit dan matre."

"Dia kan bisa mencari suami yang sebaya dengannya. Kenapa harus Papa?"

"Bukankah kau sudah mengenal apa yang namanya cinta, Mas? Nah, cinta tidak mengenal usia!"

"Cinta buta maksudmu?"

"Bukan. Cinta yang murni. Coba pikir,Papa itu kan manusia dan dia lelaki. Tentu dia

membutuhkan seorang pendamping. Dia masih mengenal cinta. Apa kau mau melarang dia mencintai seseorang?"

"Ala! Sok tahu lu, ah!"

Hubungannya dengan Eddy menjadi agak renggang setelah perdebatan itu. Ia tidak suka dengan situasi itu karena merasa kehilangan seorang teman. Tapi ia merasa dirinya berada di pihak yang benar.

Tanpa memberitahu Lis, Hilman menemui Mandar lebih dulu di luar jam kunjungan resmi. Dengan bantuan Rahman ia bisa bertemu dengan Mandar dalam ruang tertutup berdua saja. Petugas menjaga di luar dan untuk menghindari kemungkinan buruk, Mandar diborgol. Hilman sengaja meminta begitu karena masalah yang mau dibicarakannya dengan Mandar mungkin peka untuknya.

"Oh, jadi Anda yang mau bicara denganku. Aku kira pejabat dari mana," kata Mandar sinis

sambil mengangkat tangannya yang diborgol.

"Maaf, Man. Memang prosedurnya seperti itu."

"Baiklah. Tangan diborgol atau kaki dirantai juga tak ada bedanya. Mau bicara apa lagi, Dok? Soal perempuan yang tempo hari itu?"

Hilman menatap tajam.

"Perempuan yang mana?" tanyanya pura-pura tak paham.

"Itu yang berdiri memelototi aku. Katanya, aku telah membunuh kakaknya."

"Oh, itu. Dia yang kaupandangi dengan mata lapar?"

Mandar terbahak.

"Wah, Anda bermata jeli."

"Memangnya kenapa dengan dia? Kok justru dia yang kautanyakan?"

"Soal itu kan belum tuntas."

"Baiklah. Kalau begitu, biar kita tuntaskan sekarang. Jadi, apa benar dia telah kaubunuh? Kau ingat dia? Perempuan itu sangat mirip dengan kakaknya, yang mayatnya ditemukan di rumahmu. Baju yang dipakainya pun persis sama. Nah, waktu telah lewat cukup lama. Apa selama itu kau telah mengingat-ingat? Coba siapa namanya?"

"Aku tidak perlu mengingat-ingat, Dok. Aku

memang tidak ingat. Apalagi sampai baju segala. Dan namanya? Mana tahu."

"Menurut pemeriksaan, mayatnya paling segar dibanding mayat-mayat lain. Berarti dia dibunuh paling akhir. Masa kau tidak ingat?"

"Sesungguhnya dia memang cantik. Jarang aku bisa mendapat korban yang cantik. Aku hanya mencomot orang yang berada dalam situasi aman bagiku. Mau cantik atau jelek, muda atau tua. Itu bukan masalah."

"Jadi kau tetap tidak mengakui? Bagaimana mungkin? Dia kan berada di ruang bawah rumahmu?"

"Kalau begitu, tentunya iya. Tapi jangan tanya mendetail."

"Kau telah melakukan kekeliruan pada perempuan itu. Sama seperti terhadap Lis."

Mandar tersentak mendengar nama Lis disebut.

"Keliru?" katanya pelan.

"Ya. Dia bukan pelacur seperti sangkaanmu. Seperti Lis, dia orang baik-baik. Dia perawat. Apa kau tidak menyesal?"

Mandar termenung sejenak. Lalu bertanya,

"Siapa namanva?"

"Indah."

Mandar mengerutkan keningnya.

"Indah?" ulangnya, lalu menggelengkan kepala.

"Aku benar-benar nggak ingat nama itu," katanya. Hilman merasa jengkel. Ia menganggap Mandar berpura-pura. Tadi ia merasa melihat sesuatu yang menyentak di wajah Mandar, tapi tak bisa mendesak untuk mengungkapkannya.

"Kau menyembunyikan sesuatu."

Mandar mengangkat bahu dan memalingkan muka.

"Aku tidak mengerti kenapa kau berbuat begitu, Man," lanjut Hilman dengan nada membujuk.

"Berterusteranglah untuk memberi kelegaan kepada keluarga korban. Apa lagi yang perlu kausembunyikan kalau kau memang tak bisa lagi mengelak? Ingat, kau sudah dihukum untuk kejahatanmu. Jadi mengaku kepadaku tidak akan mengubah apa-apa. Kau justru membuat kebaikan untuk keluarga korban.

"Kebaikan apa? Mau apa mereka sebenarnya?"

"Mereka hanya ingin memastikan kenapa kau mengambil lndah padahal dia bukan pelacur. Itu sangat memalukan bagi keluarganya.

Jadi mereka ingin tahu apakah benar Indah menjual dirinya kepadamu atau semata-mata kekeliruan, seperti halnya perbuatanmu kepada Lis."

Mandar mengerutkan keningnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bagiku, satu-satu kekeliruan yang pernah kulakukan hanyalah kepada Lis. Selebihnya aku yakin tidak keliru."

"Juga Indah? Coba ingat bagaimana prosesnya sampai kau mencomot dia. Apakah di jalan atau di mana?"

"Aku sungguh tidak ingat, Dok. Maaf."

"Kau sendiri bilang, perempuan itu cantik. Dan kau jarang mendapatkan yang cantik karena tak bisa memilih. Nah, yang cantik tentu berkesan."

"Satu-satunya kekeliruanku adalah Lis, karena hanya dia yang perawan di antara semuanya," Mandar berkeras.

Hilman tertegun. Ketegasan Mandar mengenai kekeliruannya hanyalah dari indikasi keperawanan. Seandainya Indah bukan perawan, tentu bukan berarti dia seorang pelacur. Tetapi betapa sulitnya mendapatkan cerita Mandar

mengenai Indah. Hilman memutuskan untuk meninggalkan masalah itu. Ia datang bukan untuk itu.

"Baiklah. Kau memang keras kepala. Sekarang akan kusampaikan maksud kedatanganku."

Mandar menatap Hilman dengan ekspresi ingin tahu.

"Jadi memang bukan soal itu."

"Bukan. Begini. Lis ingin bertemu denganmu."

Mandar terperangah. Tapi hanya sebentar. Lalu dia tertawa sambil mengacung-acungkan tangannya yang terborgol. Wajahnya mengekspresikan kegembiraan yang luar biasa. Kemudian napasnya menjadi pendek-pendek, mulutnya komat-kamit, dan matanya sempat terbalik hingga terlihat putihnya saja.

Hilman merasa mual melihat ekspresi Mandar hingga ia tidak melakukan apa pun untuk menolongnya. Ia biarkan saja karena sibuk menahan perasaannya sendiri. Tetapi hal itu cuma berlangsung sekitar satu menit saja. Segera Mandar pulih kembali. Tetapi wajah gembiranya menetap.

"Oh oh... dia... mau... ke... sini?" katanya gUgup.

Susah payah Hilman mengatasi rasa muaknya.

"Ya. Dia ingin melihatmu secara riil sebelum kau mati."

"Buat apa? Cuma sekadar melihat? Apa dia tidak ingat lagi wajahku?"

"

"Entah. Aku tidak tahu. Yang tahu hanya dia seorang."

"Apa dia mau membalas dendam?"

"Dia tidak perlu melakukannya. Kau sudah dihukum dengan hukuman paling berat."

"Apa dia mau memakiku dan meludahiku? Anda akan membiarkan saja hal itu?"

"Dia tidak akan berbuat sehina itu. Kaulah yang telah berbuat hina kepadanya, Mandar! Kau telah memberinya nestapa."

Mandar menundukkan kepalanya hingga dagunya menyentuh dada.

"Itu adalah kekeliruan. Setiap orang bisa melakukan kekeliruan," katanya lirih.

"Dia cuma ingin melihatmu. Orang seperti apa sih kau ini hingga tega berbuat begitu kepadanya."

"Apakah dia akan menangis sesenggukan? Aku tidak tahan melihat perempuan menangis."

"Dia bukan tipe orang seperti itu. Orang lain akan takut melihatmu lalu lari menghindar. Tapi dia malah ingin berhadapan denganmu."

"Dengan melihatku dia akan mengingatku terus biarpun aku sudah mati."

"Tanpa bertemu denganmu pun dia ingat wajahmu seperti apa."

"Jadi Anda ke sini untuk memberitahu itu?" tanya Mandar, mengangkat kepalanya. Tampak wajahnya kemerah-merahan.

"Ya. Pertama, supaya kau tidak kaget lalu bereaksi aneh-aneh. Kedua, kau bisa mempersiapkan diri bertemu dengan orang pada siapa kau telah melakukan kekeliruan. Ketiga, aku ingin mengingatkan kau, bersikaplah sopan kepadanya. Jangan kurang ajar. Jangan ngomong macam-macam. Jangan menambah nestapanya. Kalau perlu mintalah maaf kepadanya. Itu penting juga buat dirimu sendiri. Kapan lagi kau bisa mendapat kesempatan seperti ini?"

"Aku berjanji akan sopan," kata Mandar tanpa beban.

"Bagus! Kupegang janjimu. Jangan bertingkah mengerikan seperti tempo hari."

"Tidak."

"Nah. Itu saja."

"Terima kasih untuk pemberitahuan itu, Dok."

Mandar banyak tertawa sepanjang hari itu. Ekspresi yang tidak dibaginya dengan siapa-siapa.

Sedang Hilman merasa lega. Ia yakin, Mandar akan menepati janjinya.

***

ADRIAN dan Lis makan tanpa banyak bicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Lis masih tegang dengan pertanyaan, apa sebenarnya yang mau dibicarakan Adrian sampai memerlukan tempat dan suasana khusus. Sedang Adrian merasa waktu yang jalan merayap akan membunuhnya. Bila makannya sudah habis maka tibalah saatnya bicara. Ia juga kurang yakin akan tempat dan suasana. Restoran itu tidak banyak pengunjungnya. Tapi bagaimanapun itu adalah tempat umum. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri Lis? Pingsan misalnya? Atau histeris?

Sengaja Adrian makan berlambat-lambat. Ia memanfaatkan waktu untuk mencari solusi soal tempat. Ia tentu tidak bisa bersikap masa bodoh dalam soal itu. Reaksi Lis adalah tanggung jawabnya. Betapa sulitnya tugas itu. Seharusnya ia minta tolong pada Dokter Hilman saja untuk memberitahu. Tetapi itu tidak kesatria. Dengan cara itu ia juga tidak bisa melihat sendiri bagaimana reaksi Lis. Di samping itu orang ketiga juga bisa melontarkan pendapat sendiri, yang kemungkinan akan mempengaruhi Lis. Hilman pun menganjurkan agar ia mengatakannya sendiri.

"Makannya kok dikemut sih, Ian? Kau seperti anak kecil susah makan," tegur Lis, tertawa. Ia merasa lebih lega dengan tertawa.

Adrian ikut tertawa meskipun terpaksa.

"Beginilah kalau makan sambil mikir," ia mengakui.

"Mikir apa?"

"Sesudah makan aku akan kena vonis."

"Vonis? Oleh siapa?"

"Olehmu," sahut Adrian dengan wajah senang.

"Ah, bisa aja. Memangnya aku hakim?"

"Ibaratnya begitu, Lis. Aku punya kasus dan kau hakimnya."

"Ah, apa sih? Ayolah cepetan makannya. Kita segera bicara." kata Lis tak sabar.

"Apa kaupikir tempat ini baik untuk bicara? Nanti kita dipelototi pelayan."

"Ya, nggak enak juga sih," Lis setuju.

"Habis di mana?"

"Aku punya usul. Tapi itu terserah kau. Bagaimana kalau di apartemenku?"

Lis tertegun.

"Ah, jangan. Di mobil saja, ya?" Adrian cepat-cepat melanjutkan.

Lis mengangguk dengan lega.

"Ya. Kukira itu lebih baik."

"Maaf, Lis. Aku cuma ingin menawarkan privasi. Bukan macam-macam."

"Tentu saja. Aku mengerti."

Di dalam mobil, Lis mengamati wajah Adrian yang terlihat pucat. Lelaki itu tampak ketakutan, pikirnya. Takut kepada siapa?

"Kalau kau tidak mau cerita, tidak usah saja, Ian," katanya dengan iba.

"Oh, aku harus mengatakannya, Lis. Tidak bisa tidak. Aku punya dosa kepadamu. Dan dosaku akan tambah besar bila aku tidak mengakuinya."

"Oh ya?" Giliran Lis yang menjadi takut.

"Begini, Lis," Adrian memberanikan diri,
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sebenarnya selama ini kau belum tahu siapa diriku, tapi aku sudah tahu tentang Aku tahu tentang Mandar." Lis terkejut. Nama itu selalu memberinya kejutan. Tetapi perkembangan situasi belakangan ini membuat ia jauh lebih tabah. Sekarang ia sudah punya Hilman.

"Siapa yang memberitahu?"

"Mandar."

"Jangan bergurau, Ian."

"Benar, Lis. Aku adalah sepupunya."

Lis merasa seperti disambar geledek. Ia melotot menatap wajah Adrian hingga lelaki itu menjadi takut. Tapi sebetulnya Lis ingin mencari persamaan wajah Adrian dengan Mandar yang tak berhasil ditemukannya.

"Lis, kau tidak apa-apa? Lilis...," panggil Adrian.

Lis tersadar. Ia mesti tahu cerita lainnya.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Teruskan ceritamu,"

"Baiklah. Maaf, aku akan mengejutkanmu."

Dengan sikap pasrah Adrian menceritakan semuanya. Bagaimana ia diperintah oleh Mandar untuk mencari tahu perihal perempuan bernama Amarilis yang keliru ia jadikan korban, dengan alamat seperti yang diingarnya, karena ia pernah membuang tubuh Lis di denan rumahnya. Ia disuruh membantu karena Mandar berkeinginan meminimalkan kekeliruannya, Sengaja Adrian menonjolkan penyesalan Mandar. Dan dirinya adalah kebetulan seorang sepupu yang tidak tahu-menahu kejahatan Mandar tapi ingin membantu.

"Tapi dalam perjalanan waktu aku jatuh cinta kepadamu. Aku mengagumi ketabahanmu."

Bagi Lis cerita itu adalah horor yang lain. Bedanya dia berada di situ dalam keadaan sadar.

"Kau adalah mata-matanya. Bagaimana kau bisa berpura-pura baik kepadaku?"

"Aku tidak pura-pura."

"Kau adalah suruhan Mandar. Tentu kau harus pura-pura baik."

"Awalnya memang iya. Tapi kemudian tidak. Aku sangat menyesal dan bersedih untuk perbuatan Mandar."

"Apa dia juga menitipkan penyesalannya padamu untukku?"

"Bagaimana mungkin itu dilakukan, Lis? Aku takut sekali mengakui hal ini. Ketika kau menolak cintaku, aku pikir aku terbebas dari kewajiban memberitahu soal itu. Tapi kemudian kau mau tetap berteman denganku. Aku jadi merasa tidak enak. Aku membicarakannya dengan Dokter Hilman. Ia menganjurkan agar aku bicara terus terang kepadamu."

Adrian berbohong tentang Hilman yang sebenarnya tahu lebih dulu tentang dirinya. Tapi ia terpaksa karena ingin meredakan kemarahan Lis. Ia merasa perlu menyebut nama Hilman.

"Jadi Dokter tahu tentang kau?"

"Tentu saja. Aku konsultasi dengannya. Aku takut sekali padamu, Lis. Tapi sekarang semua sudah terungkap. Aku pasrah. Kau mau mendepakku pun tak apaapa. Aku toh cuma seorang teman yang tak punya arti bagimu," kata Adrian menahan kesedihannya.

Lis memutar otaknya. Ia sudah mampu mengendalikan kemarahan dan juga kengeriannya. Bukankah Hilman tahu? Jadi sebenarnya Hilman sudah bisa memperkirakan bahwa Adrian tidak berbahaya. Pantaslah kalau Hilman banyak bertanya perihal Adrian. Ia merasa aman.

"Apa kau sering mengunjungi dia?"

"Tentu saja. Dia cuma punya aku sebagai saudara."

"Kenapa sih dia begitu kejam?"

"Mana aku tahu? Aku sendiri sangat kaget waktu tahu." Lalu Lis teringat akan satu hal yang membuatnya terkejut.

"Apa dia tahu aku melahirkan anaknya?"

"Ya."

"Bagaimana dia bisa tahu? Oh, dari kau tentunya, ya? Kau jadi kaki-tangannya. Kau melaporkan segala sesuatu tentang diriku. Baiklah. Itu memang sudah terjadi. Sekarang yang ingin kuketahui adalah keinginannya mengenai si bayi. Apa ada yang dikehendakinya?"

"Oh ya. Dia menyuruhku menjaga anak itu, supaya terjamin segalanya."

"Jangan ganggu anak itu!" seru Lis emosional.

Adrian terkejut melihat reaksi Lis.

"Aku tidak mengganggunya. Mandar pun tidak bisa mengganggunya."

"Tapi mau apa kau ikut-ikutan menjaga anak itu? Dia akan punya orangtua angkat. Biarkan dia hidup tenang dan damai."

Adrian mengangkat dan menurunkan kedua tangannya berulang-ulang. Sebuah isyarat menenangkan.

"Maksudnya bukan mengintervensi keluarga anak itu, Lis. Tapi mengawasi dari jauh. Tentunya tanpa mengenalkan diri."

"Jangan sampai anak itu tahu siapa bapaknya!" seru Lis.

Adrian menggoyangkan tangannya.

"Aku tidak akan memberitahu dia. Atau orangtua angkatnya. Apa untungnya buatku?"

"Mungkin saja tidak ada. Tapi bagaimana kalau kau disuruh Mandar? Apa kau akan melakukan apa saja yang disuruhnya?"

"Tentu saja tidak. Aku kan punya pendirian sendiri. Lagi pula dia akan dieksekusi."

"Pendeknya anak itu tidak boleh diusik! Eh, apa kau sudah tahu siapa orangtua angkatnya dan di mana tinggalnya?"

"Sudah." Jawaban itu keluar spontan. Adrian menyesal kemudian.

Apa? Kauselidiki juga, ya? Aduh, Ian. Buat apa?"

"Untuk memantaunya. Aku sudah berjanji kepada Mandar. Maksudku baik, Lis."

"Lantas kau mau apa dengan memantaunya? Menolongnya bangun kalau jatuh?"

"Bukan begitu. Lis. Tolong pahami aku. Mandar meninggalkan harta. Ia ingin memberikannya untuk anaknya, tapi sadar hal itu tidak mungkin. Lalu satu-satunya cara adalah itu. Mungkin aku bisa jadi seorang penolong gelap."

"Aha! Apa kau sendiri kurang kerjaan dengan memantau terus seorang bayi sampai dewasa, ya, entah sampai kapan?"

"Kukira itu bisa dilakukan sesekali. Tidak setiap menit."

"Tinggalkan anak itu, lan!" seru Lis.

Adrian menatap Lis. Wajah Lis tampak penuh ketegasan. Tapi juga ada permohonan di situ. Ia pun menyadari, sejak tadi Lis selalu menyebut anaknya dengan "anak itu" dan bukan dengan "anakku".

"Baik, Lis. Demi kau."

"Bukan demi aku. Tapi demi anak itu sendiri. Kau tahu kenapa aku tidak menyebutnya sebagai anakku? Karena aku dan dia sudah putus hubungan. Aku bukan ibunya lagi. Aku tidak mau tahu di mana dia tinggal dan siapa orangtua angkatnya, karena sekali aku tahu maka godaan akan muncul. Mungkin aku jadi kepengin tahu seperti apa dia dan sebagainya. Dari situ segala kemungkinan bisa terjadi. Dia tidak boleh tahu

siapa ibunya, karena kalau dia sampai tahu, maka dia juga akan tahu siapa bapaknya. Itulah yang tidak boleh terjadi!"

Adrian sampai ternganga. Dia jadi tambah mengagumi Lis. Dan juga tambah mencintainya!

"Ya, Lis. Aku mengerti. Aku akan membantu. Percayalah. Aku tidak akan mengusiknya. Aku berjanji," katanya dengan suara yang mantap. Penting untuk menimbulkan kepercayaan Lis.

Ternyata memang membantu. Lis menjadi lebih tenang. Ia mengeringkan air matanya yang barusan berlompatan keluar.

"Maafkan aku, Lis. Posisiku sangat sulit. Aku juga tidak ingin menjadi sepupu seorang psikopat. Tapi kita kan tidak bisa memilih untuk menjadi atau tidak menjadi saudara dari seseorang."

Lis termenung. Tentu saja ia bisa mengerti

itu.

"Tapi kau menipuku, lan. itu sulit sekali dimaafkan. Sudah tahu aku korban sepupumu, tapi masih juga dibohongi."

"Maafkan aku." Adrian tak bisa berkata lain.

"Sekarang kita pulang saja."

"Tapi... kau belum memaafkan aku."

"Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Kejutan ini terlalu besar."

Adrian menjalankan mobilnya.

"Apa kaupikir sebaiknya aku tidak mengejutkanmu dengan cerita itu?" ia bertanya sambil mengemudi.

"Oh, tidak. Aku hargai keberanianmu. Itu memang kejutan, tapi juga kebenaran."

"Aku tidak ingin jadi sepupu seorang psikopat. Tapi kalau aku tidak jadi sepupunya, aku tidak akan pernah mengenalmu. Padahal bagiku kau sangat berharga."

"Sudahlah, Ian. Aku capek. Aku tidak bisa menentukan sikapku kepadamu. Marah, benci, atau bagaimana. Aku belajar untuk berpikir lebih dulu."

"Terima kasih, Lis. Bisakah aku menunggu kabar darimu?"

"Ya."

Adrian menghibur diri dengan menganggap penyelesajan itu jauh lebih baik daripada sebuah keputusan yang spontan dan emosional.

Bcgitu pulang, Lis menelepon Hilman dan

menyatakan ada urusan sangat penting yang perlu dibicarakan.

"Kau baik-baik saja, Lis?" pertanyaan Hilman bernada khawatir.

"Baik, Dok. Ini mengenai Adrian. Dia sudah bicara."

"Oh, begitu. Sekarang juga saya jemput kau, ya. Kita bicara di ruang praktik."

"Tapi apa Dok senggang?"

"Saya senggang. Kebetulan tak ada praktik hari ini. Jam berapa mau dijemput? Sekarang juga bisa?"

"Bisa, Dok."

Mengingat waktunya yang singkat, Lis tidak bercerita dulu kepada ibunya mengenai apa yang telah didengarnya dari Adrian. Ia mengatakan perlu konsultasi dengan Hilman, yang akan menjemputnya sebentar lagi.

Sebelum berangkat ke rumah Lis, Hilman mendapat telepon dari Adrian.

"Saya sudah mengatakannya, Dok."

"Oh ya? Lantas bagaimana reaksinya?"

"Dia sangat terkejut. Tapi tidak sampai syok. Lalu dia marah pada saya. Dia belum mau memaafkan saya. Katanya akan berpikir dulu. Tapi

satu hal yang membuat saya salut, walaupun marah dia menyatakan menghargai keberanian saya berterus terang. Saya tidak tahu bagaimana keputusannya nanti. Apakah akan mengusir saya dari kehidupannya atau bagaimana."

"Anda sendiri berharap apa?"

"Saya ingin tetap berteman dengan dia."

"Kenapa?"

"Dia sangat berharga sebagai teman. Dan saya kira, saya juga bisa bermanfaat baginya. Misalnya, info mengenai Mandar."

"Oh, begitu?"

"Ya. Karena itu saya mohon bantuan Anda untuk memberikan masukan positif mengenai saya supaya dia mau memaafkan saya dan bersedia berteman seperti biasa."

"Saya tidak bisa menjanjikan itu, Mas. Dia pasien saya. Tentu yang saya utamakan adalah yang terbaik untuknya. Anda tak boleh melupakan bahwa dia telah mengalami trauma yang berat."

"Tentu saya tak lupa. Tapi saya mohon, Dok. Bantulah saya karena saya sungguh berniat baik."

"Saya akan berusaha sesuai kemampuan dan

tentu saja kondisi Lis sendiri."

"Terima kasih, Dok."

Suara Adrian kedengaran penuh harapan, pikir Hilman dengan perasaan iba. Dia adalah anak muda yang gigih dan tidak gampang putus asa. Bagaimana kalau dia tahu bahwa pintu hati Lis memang sudah tertutup untuknya?

SEPANJANG jalan Lis hampir tidak bicara, hingga Hilman menjadi khawatir. Berkali-kali dia menoleh untuk mengamati. Wajah Lis yang sedikit pucat tampak begitu serius dengan pemikiran.

"Kau baik-baik saja, Lis?" tanya Hilman sambil mengulurkan tangannya.

Lis meraih tangan itu. Tangannya sendiri terasa dingin.

"Saya baik, Dok. Cuma saya nggak mau bicara dalam mobil." Pernyataannya membuat Hilman tak lagi banyak bertanya.

Setelah mereka berduaan di dalam ruang praktik, Lis menjatuhkan dirinya dalam pelukan Hilman. Tapi ia tidak menangis atau berkeluh-kesah. Ia hanya ingin memeluk dan merasakan telah memiliki seorang pelindung

dan sekaligus kekasih. Hilman balas memeluk sambil membelai-belai kepala Lis. Perasaannya selangit. Tapi sesungguhnya ia merasa kikuk. Sudah begitu lama ia sendirian. Apalagi ia tetap saja merasakan jurang perbedaan itu.

Akhirnya mereka duduk berdampingan di sofa.

"Mau minum, Lis?" tanya Hilman, menunjuk kulkas kecil di sudut.

"Mau."

"Saya cuma punya air mineral."

"Ya, itu saja, Dok."

Hilman mengambil dua gelas air mineral. Setelah mencocokkan sedotan ia menyerahkan sebuah pada Lis.

"Minum dulu sebelum bicara itu paling baik," katanya.

Mereka minum sama-sama, lalu meletakkan gelas masing-masing di atas meja.

"Jadi Adrian sudah mengatakan bahwa saya tahu tentang dirinya," Hilman mulai.

"Ya. Katanya ia berkonsultasi dengan Dok. Jadi saya sekarang tidak perlu lagi mengulang ceritanya. Tapi saya ingin tahu, kenapa Dok tidak memberitahu saya begitu tahu tentang dia?"

"Ia minta saya merahasiakan dulu karena ia bermaksud mengatakannya sendiri. Tapi .Katanya, ia perlu mengumpulkan keberanian. Saya pikir itu lebih baik. Dengan mendengar langsung dari mulutnya, kau akan tahu lebih lengkap."

"Betul juga, Dok. Tapi sebenarnya saya sangat kecewa sih."

Hilman merangkul Lis lalu mencium Kepalanya.

"Maafkan saya, Lis."

Lis memejamkan matanya, menikmati hangatnya napas Hilman di kepalanya.

"Sebenarnya saya merasa kuat mendengar ceritanya karena dia menyebut nama Dok. Saya jadi merasa aman karena Dok sudah tahu."

"Sebenarnya sebelum berangkat menjemputmu, dia sudah memberitahu saya. Kami sempat berbincang sebentar. Saya sangat khawatir, tapi kemudian lega. Kau sangat tabah, Sayang."

"Ulangi lagi,Dok."

"Kau sangat tabah."

"Bukan. Kata akhirnya."

"Oh, Sayang. Sayang. Sayang."

Kembali Hilman mencium kepala Lis. Ternyata ia tidak lagi merasa canggung mengucapkan kata yang dulu. hanya ia tujukan kepada

almarhum istrinya.

"Saya senang mendengarnya, Dok. Akhirnya saya punya seseorang yang saya sayangi dan juga menyayangi saya."

Lis mengangkat kepalanya, menatap Hilman. Mereka berciuman untuk pertama kali.

"Saya tidak pintar melakukannya, Lis," bisik Hilman

"Yang pintar itu bagaimana sih? Yang penting perasaan tercurah di situ," sahut Lis.

Beberapa saat lamanya mereka larut dalam kemesraan. Kemudian segera tersadar, ada masalah yang perlu dibicarakan.

"Jadi menurut Dok, harus bagaimana sikap saya kepada Adrian? Dia ngotot tetap ingin mempertahankan hubungan. Dia minta maaf."

"Kau sendiri sudah memikirkannya?"

"Sepanjang waktu tadi saya berpikir terus sampai kepala terasa mau pecah. Di satu sisi saya merasa kasihan kepadanya. Toh dia bukan Mandar. Dia tidak ikut melakukan kejahatan pada saya. Tapi di sisi lain saya benci karena dibohongi. Pintar sekali dia berpurapura. Dan

saya juga marah karena dia memata-matai perjalanan si bayi. Dia tahu siapa orangtua angkat

nya dan di mana alamatnya, Dok."

"Oh ya? Jadi dia mengakui."

"Ya. Kayaknya sih dia kelepasan bicara." Lis segera menceritakan lebih detail percakapannya dengan Adrian soal si bayi.

"Kau bicara bagus padanya."

"Ya. Tampaknya dia terkesan. Dia berjanji segala macam. Tapi saya tetap khawatir. Saya sendiri tidak ingin tahu di mana si bayi berada. Eh, ternyata ada juga yang tahu. Justru dia, kaki-tangannya Mandar."

"Saya kira pada saat ini dia lebih mengharapkan simpatimu daripada melaksanakan suruhan Mandar. Seandainya Mandar memang berniat buruk."

Lis tersentak.

"Kalau begitu saya tidak boleh berlaku kasar kepada Adrian. Saya harus memaafkan dia, walaupun hati tidak ingin."

"Kenapa?"

"Dia bisa saja membalas dendam lewat si bayi. Misalnya dengan memberitahu orangtua angkat si bayi siapa sebenarnya ayah bayi itu."

Hilman tertegun dengan tatapan penuh horor. Tegakah Adrian berbuat begitu?

Mereka berpandangan sejenak dengan

perasaan yang sama. Lalu Lis meletakkan kepalanya di dada Hilman dan menangis. Hilman memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya.

"Tenanglah. Jangan cemas. Kita cari jalan keluarnya bersama-sama."

Lis melampiaskan kesedihannya dengan menguras air matanya. Dalam sekejap baju Hilman menjadi basah. Hilman terus menepuk-nepuk punggung Lis untuk menenangkan.

Akhirnya tangis Lis berhenti. Ia duduk tegak.

"Oh, bajumu basah, Dok!" serunya kaget.

"Tidak apa-apa. Biar saja. Itu basah yang menyenangkan."

Lis tersipu Hilman membelai kepalanya dan" merapikan rambutnya yang kusut.

"Dok, selama ini saya belum pernah menangisi si bayi. Baru sekarang saya mengkhawatirkan dia. Saya pikir dia sudah aman. Ternyata ada saja ancaman."

"Jangan cemas dulu, Lis. Kalau dibiarkan, kecemasan itu bisa berkembang oleh pikiran yang mengada-ada."

"Jadi bagaimana sebaiknya sikap saya terhadap Adrian, Dok?"

"Seperti yang kaukatakan barusan. Maafkan dia dan tetap bersikap seperti biasa. Jangan singgung-singgung lagi mengenai si bayi supaya pikirannya tidak mengarah ke sana. Terima saja sarannya bahwa kau bisa memanfaatkan info yang diperolehnya dari dan tentang Mandar."

"Oh, saya tidak mau dengar perihal orang itu, Dok!"

"Maksudku, itu dijadikan alasan kenapa kau bisa mengatasi kemarahanmu kepadanya."

"Betul, Dok. Bagaimana dengan keluarga saya? Apakah sebaiknya mereka diberitahu?"

"Tentu saja. Mereka selalu bersamamu sejak awal. Bicarakanlah hal itu dengan mereka seperti cara kita membicarakannya dan apa jalan keluar yang kita peroleh demi kepentingan si bayi. Saya yakin, mereka akan sepaham dengan kita."

"Apa Dok akan ikut membicarakannya bersama kami?"

"Sebaiknya tidak. Jadikan ini masalah keluarga. Katakan saja saya sudah tahu dan sepakat dalam hal itu."

"Ya. Sebaiknya begitu. Terima kasih, Dok."

"Jangan berterima kasih. Ini urusan dan kepentingan kita bersama. Sekarang masih ada yang lainnya, Lis. Bagaimana dengan niatmu bertemu Mandar? Masih berlaku atau batal?"

"Tentu saja masih, Dok. Justru dengan adanya masalah ini saya jadi semakin ingin bertemu dengan Mandar. Adakah persamaannya dengan Adrian?"

"Mereka sepupu, bukan saudara kandung, Lis."

"Ya, kadang-kadang ada yang punya persamaan. Orangtua mereka bersaudara, kan?"

"Benar. Tapi saya tidak tahu, pihak ayah atau pihak ibu."

"Jadi, kapan saya bisa ketemu dia, Dok?"

"Wah, semangat juga kau. Padahal barusan mendapat pukulan dari Adrian."

"Itu memang mengejutkan, tapi tidak sampai memukul. Saya takut, besok lusa dia dieksekusi. Yang begitu kan selalu dilaksanakan diam-diam."

"Baik. Secepatnya akan saya beri kabar. Jadi sudah siap mental, Lis?"

"Oh, sudah. Apa pun yang dia katakan akan saya hadapi."

"Berusahalah menghadapinya sedingin mungkin. Jangan dengan emosi."

"Ya. Saya akan ingat itu."

Sebenarnya Lis masih ingin berdekatan dan bermanjamanja dengan Hilman, tapi ia sadar Hilman punya jadwal kegiatan meskipun ia tidak praktik hari itu. Hilman tidak mau mengatakannya, tapi ia pun tidak ingin menghambat.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka keluar dari ruang praktek menuju halaman di mana mobil Hilman diparkir. Pada saat itu Eddy masuk dengan mengendarai motornya. Ia berhenti dan membuka helmnya.

"Hai, Ed!" sapa Lis ramah.

Eddy mengangguk saja dengan senyum kaku.

"Ed, Papa mau mengantarkan Mbak Lis pulang dulu," kata Hilman.

"Iya, Pa."

Sesudah itu Eddy menjalankan motornya kembali. Tapi sebelum menikung ke sisi rumah, ia menoleh. Ia sempat melihat bagaimana ayahnya membukakan pintu mobil bagi Lis, memegang pundaknya, dan menyibakkan rambutnya yang tertiup angin. Mereka berdua bicara dengan akrab dan tampak mesra. Wajah

Eddy segera menjadi murung.

"Tampaknya anak-anak sudah menduga sesuatu mengenai kita," kata Hilman sambil mengemudikan mobilnya.

"Menduga bagaimana?" tanya Lis kaget.

"Bahwa ada yang khusus di antara kita. Terutama Rudy."

"Rudy?"

"Ya. Sejak awal, saat belum ada apa-apa dia sudah mencium sesuatu. Dia langsung bertanya pada saya. Tapi tentu saja saya membantah, karena memang tak ada apa-apa. Ternyata sekarang berbeda. Rasanya saya membohongi mereka, Lis."

"Kalau begitu katakan saja terus terang, Dok. Jangan biarkan mereka menduga-duga atau curiga."

"Apa tak perlu menunggu dulu sampai...?"

"Sebaiknya jangan, Dok. Menunggu sampai kapan? Masalah itu tak pernah habis," Lis memotong ucapan Hilman.

"Ya. Kukira kau benar. Sebenarnya begini, Lis. Terus terang saja, saya merasa minder. Bagaimana anggapan mereka nanti? Juga orangtuamu? Dan lebih kutakutkan lagi.

bagaimana kalau mereka menolak? Bagaimana kalau mereka berpikir, saya telah memanfaatkan keluguan dan ketidakstabilanmu?"

"Dok, cintakah Dok pada saya?"

"Tentu saja."

"Nah, berpikirlah tentang cinta. Jangan yang lain!"

Hilman merasa seolah situasi jadi terbalik. Dia adalah pasien dan Lis dokternya.

****

MALAM itu, Lis mengumpulkan keluarganya. Kedua orangtua dan kedua kakaknya hadir. Mereka mengamatinya dengan tegang. Wajah Lis sulit ditebak.

Lalu dengan tenang Lis bercerita tentang pengakuan Adrian.

Segera para pendengarnya bereaksi gusar. Termasuk Fetty yang selama ini bersimpati kepada Adrian karena cintanya ditolak Lis.

"Dia tidak boleh lagi menginjak rumah ini!" seru Anas. Tangannya dikepalkan dan wajahnya merah padam.

Kedua kakak lelaki Lis, Satya dan Aria, tak kalah gusar. Mereka malah menyatakan akan menyatroni tempat tinggal Adrian dan melabraknya. Tapi kedua orangtuanya tak setuju. Perbuatan itu bisa merugikan diri sendiri.

"Nggak sangka, ya. Nggak sangka," Fetty cuma bisa mengeluh.

"Apakah Dokter Hilman sudah tahu, Lis?" tanya Anas kemudian.

Pertanyaan itu memberi kesempatan pada Lis untuk menyampaikan diskusinya dengan Hilman. Ia juga menambahkan perihal si bayi yang tadi belum diceritakannya.

Fetty memekik, sedang ketiga yang lain ternganga.

"Gila!" seru Anas.

"Dia seorang penyelidik yang hebat."

"Mau apa si Mandar menyuruh begitu?" tanya Fetty.

"Katanya untuk memantau perkembangan si bayi supaya tidak kurang suatu apa. Karena Mandar punya harta, dia ingin sekali bisa memberikan kepadanya. Saya marah sekali dan bilang supaya dia tidak mengusik anak itu." Lis memberitahu secara detail percakapannya tentang hal itu dengan Adrian.

"Wah, kata-katamu itu bagus sekali!" puji Satya.

"Ya, memang bagus," Fetty setuju, kemudian melanjutkan dengan hati-hati,

"Apa dia

memberitahu kau di mana si bayi tinggal dan siapa orangtua angkatnya?"

"Oh, saya tidak memberinya kesempatan untuk itu. Saya sudah bilang tidak mau tahu. Si bayi sudah mendapat lingkungan yang baru. Saya tidak boleh mengganggunya dengan keinginan menjenguk atau keingintahuan seperti apa dia, karena itu bisa saja berakibat buruk. Bagaimana kalau ketahuan saya ibunya? Bila itu terjadi, mungkin akan ketahuan siapa bapaknya. Bukankah itu yang harus dihindari?"

Semuanya mengangguk-angguk. Kemarahan segera berubah menjadi keprihatinan mendalam.

"Jadi apa nasihat Dokter Hilman?" tanya Anas.

"Dia sepakat dengan saya. Si bayi harus jadi prioritas utama. Kita semua harus berusaha meredam emosi. Betapapun marahnya kita, tapi kita jangan melampiaskannya kepada Adrian. Kita harus bersikap biasa dan memaafkan dia. Kenapa begitu? Kita harus mencegah dia jadi mata gelap lalu membalas dendam. Dia sudah tahu sikap saya mengenai si bayi dan itu adalah kelemahan saya. Bagaimana kalau dia memberi

informasi kepada orangtua angkat si bayi perihal bapak kandungnya?"

Semua tertegun. Dalam kemarahan tadi kemungkinan itu tidak sempat terpikir.

"Aduh, aku merinding," kata Fetty sambil memeluk kedua tangannya.

"Adrian masih tetap ingin berteman," lanjut Lis.

"Saya pikir akan menerimanya demi ketenangan si bayi. Tapi tentunya ia tidak boleh tahu tentang hal itu. Saya harus bersikap biasa saja. Dia mengatakan tidak pernah berniat jahat kepada saya. Malah sebaliknya. Dia justru jatuh cinta kepada saya setelah disuruh-suruh Mandar."

"Jadi si Mandar itu menyesal?" tanya Fetty.

"Katanya sih begitu. Ia menyuruh Adrian menyelidiki saya, mencari tahu apakah saya baik-baik saja dan sebisanya membantu. Itulah tujuannya memata-matai saya."

Mereka termangu. Setelah kemarahan lewat muncul pemikiran yang lebih rasional.

"Yang jahat itu si Mandar. Bukan Adrian," kata Anas.

"Tapi dia licik, Pa," sanggah Aria.

"Untuk mencapai tujuannya, biarpun katanya niat baik,

dia telah berbohong dan berpura-pura. Pintar sekali akalnya sampai dia berhasil melacak segala sesuatu mengenai Lis dan kemudian si bayi. Bukankah seharusnya pihak klinik tidak membocorkan informasi?"

"Dia memang cerdik," Anas mengakui.

"Nggak enak juga jadi sepupu seorang psikopat, ya," komentar Fetty.

"Ya, dia juga bilang begitu, Ma."

"Jadi Dokter Hilman menganjurkan kita menahan emosi dan bersikap biasa kepadanya?" tegas Anas.

"Ya."

"Sulit juga, ya," kata Fetty.

"Apalagi buat saya, Ma. Tapi saya akan berpikir mengenai tujuannya."

"Demi si bayi?" tanya Fetty pelan sambil mengamati wajah Lis.

"Betul, Ma. Saya dan dia sudah putus hubungan, tapi saya masih bisa berbuat sesuatu untuknya."

Empat pasang mata menatap Lis dengan terharu.

Sebenarnya Lis ingin sekalian memberikan kabar yang lain kepada keluarganya, yaitu mengenai hubungannya dengan Hilman. Tapi sepertinya terlalu banyak untuk saat itu. Masih ada waktu lain.

setelah bertemu dengan Rudy, Eddy menceritakan apa yang dilihatnya pada hubungan ayah mereka dengan Lis.

"Nah, apa kubilang?" Rudy malah senang.

"Jadi kita mesti bagaimana?" tanya Eddy seperti kehilangan akal.

"Mesti bagaimana. apa? Ya kita nggak bisa apa-apa, Mas! Masa Papa bisa dihalangi sih? Apalagi oleh cecunguk macam kita. Papa kan orang paling berkuasa di rumah ini."

Eddy merasa kesal tapi menyadari kebenaran kata-kata adiknya. Kadang-kadang ia lebih kesal lagi kalau harus mengakui dirinya kalah cerdas dibanding adiknya.

"Aku heran, Papa itu kok nggak tahu diri sih,, Udah tua masih doyan daun muda."

"Jangan ngomong begitu, Mas! Papa berhak

mendapatkan cinta sebelum keburu jompo. Dia lelaki setia. Coba, mana dia suka main-main eewek setelah ditinggal Mama? Nggak, kan? Dan Mbak Lis adalah orang terbaik buat Papa. Aku suka sama dia."

Eddy cemberut. Seandainya Rudy bisa diajak bersepakat, tentu mereka berdua akan, lebih kuat. Tapi dia cuma sendirian. Dan seperti kata Rudy, mereka berdua hanya cecunguk yang tak punya kekuatan. Ancaman apa yang bisa ia keluarkan untuk menggagalkan niat ayahnya?

"Mbak Lis itu orang yang menyenangkan. Tidak heran kalau Papa tertarik kepadanya. Tapi satu hal yang pasti, Papa tidak bertepuk sebelah tangan," kata Rudy dengan yakin.

"Kenapa waktu tempo hari kautanyakan hal itu kepadanya ia tidak mengaku? Katanya, Mbak Lis itu pasiennya."

"Mungkin waktu itu belum jadian," Rudy mengajukan teorinya.

"Ah, kau ini sok pintar sih."

"Ya. Aku memang pintar dalam hal itu."

"Bagaimanapun aku akan protes."

"Sebaiknya jangan, Mas. Itu cuma memperlihatkan keegoisanmu. Kau cuma memikirkan diri sendiri. Coba katakan. Apa sebabnya kau tidak setuju? Biarkanlah Papa mendapat kebahagiaannya. Kita cari kebahagiaan kita sendiri. Kasihan kalau Papa sendirian di hari tuanya nanti. Apa kau mau mengurusnya?"

Eddy tertegun. Ia tak pernah berpikir akan hal itu.

"Masalahnya kau belum kenal Mbak Lis sih. Cobalah gaul dengan dia, Mas. Kayaknya enak juga puya ibu tiri semuda dia. Bisa dijadikan teman, lebih mengerti orang muda karena dia juga masih muda. Coba kalau seumur Papa, pasti cerewet. Dia anggap kita anak-anaknya, lalu mulai mengatur dan melarang."

Sebelum Eddy berkomentar lebih jauh, Rudy menceritakan pengalamannya bergaul dengan Lis.

"Apa? Dia menggedor rumah Mandar?" tanya Eddy, yang tertarik mendengar cerita Rudy.

"Oh iya. Bahkan kemudian menendangnya. Aku sampai terbengong-bengong."

"Kalau begitu dia bengal dong."

"Bukan bengal. Tapi dia jenis petualang. Orang yang berani. Bayangin. Dia mau membantuku bikin surat buat Indri, memberiku nasihat segala macam. Pendeknya nasihatnya cocok. Nggak ketinggalan zaman," Rudy sibuk mempromosikan Lis.

"Kau sendiri nggak tertarik kepadanya, kan? ibu tiri yang masih muda itu bisa menimbulkan problem bila punya anak tiri lelaki yang sudah gede-gede. Apalagi ada dua."

"Ucapanmu itu disebabkan karena pikiran ngeres, Mas. Dia itu bukan tipe perempuan genit. Sebagai lelaki kita kan bisa langsung melihat perempuan yang seperti itu. Rias mukanya, pakaiannya."

"Waduh, kamu ini pinter amat sih ngomongnya. Pantas kalau Mbak Lis akrab denganmu."

"Lho. kalau menjadi akrab itu kan harus dari dua belah pihak. Mas juga bisa kok kalau mau."

"Nggak ah. Biarpun aku bisa saja bersimpati kepadanya, tapi aku mau menjaga jarak."

"Kenapa?"

"Aku takut jatuh cinta!" Rudy tertawa.

"Kalau begitu, kamu kurang gaul. Di kampus kan banyak cewek cantik."

"Cewek matre semua!" sembur Eddy kesal.

"Nggak semua. Kau belum ketemu saja dengan yang cocok. Seperti aku dengan Indri."

"Dia masih kecil. Ada kemungkinan berubah."

"Aku juga masih muda. Siapa tahu berubah juga. Yang penting sekarang kita saling mencintai. Buat apa pusing mikirin masa depan?" kata Rudy dengan enteng. Sebenarnya kata-kata itu ia ambil dari nasihat yang diberikan Lis kepadanya.

Eddy menatap adiknya. Ada respek dalam tatapannya.

"Kayaknya aku mesti sering-sering bicara kayak gini denganmu."

"Kita sudah sering bicara, Mas. Tiap hari. Belakangan ini saja kau ngambek."

"Maksudku bicara seperti ini. Ada masukannya buatku," Eddy mengakui.

"Oh ya? Aku tersanjung."

"Ceritakan lagi tentang Mbak Lis dong."

Rudy merasa sikap Eddy itu merupakan indikasi perkembangan yang positif. Kalau Eddy bisa menerima Lis, maka jalan bagi ayahnya akan mulus. Ia sayang pada ayahnya. Dan yakin Lis adalah orang yang cocok buat semua pihak.

Malamnya, usai makan mereka berkumpul seperti biasa untuk bercengkerama, nonton

televisi, membaca, dan apa saja. Pendeknya dalam satu ruangan. Walaupun tidak berbicara, kehangatan dari kehadiran masing-masing terasa kuat.

Setelah bertanya-tanya tentang kuliah kedua anaknya, yang rutin dilakukan, Hilman berkata,

"Ngomong-ngomong apa kalian cukup puas mengendarai motor saja?"

Eddy dan Rudy tersentak. Mereka saling memandang sejenak. Lalu Rudy bicara duluan,

"Maksud Papa apa sih?"

Sedang Eddy berkata,

"Tentu saja untuk saat ini puas. Habis cuma punya itu!"

"Inginkah kalian punya mobil?"

Kembali Rudy dan Eddy saling memandang. Kemudian mereka berteriak,

"Horeee!"

Lalu keduanya hampir berbarengan berkata,

"Tentu saja ingin, Pa!"

"Apa barangnya sudah ada, Pa? Diumpetin di garasi?" tanya Rudy kemudian.

"Nggak, dong," sahut Hilman sambil tertawa.

"Beli aja belum kok. Papa nanya dulu, khawatir kalian lebih suka naik motor."

"Ah, Papa cuma nanya doang," keluh Rudy pura-pura.

"Papa serius. Kalau memang ingin, ya kita beli. Mau seorang satu, atau satu untuk berdua?"

Eddy dan Rudy berpandangan lagi lalu berseru,

"Seorang satu, Pa!"

Mereka sangat gembira, tapi juga setengah percaya. Selama ini Hilman tak suka memanjakan mereka dengan barang-barang mewah atau uang jajan berlebihan. Apalagi ayah dan almarhum ibu mereka juga tidak suka bermewah-mewah. Keduanya juga tidak tahu seberapa banyakkah sebenarnya harta orangtua mereka. Seorang ahli jiwa tidak selalu kaya. Tetapi tiba-tiba sekarang ia menawarkan mobil, dua sekaligus!

"Tapi mobil bekas, ya? Kira-kira yang balita, gitu," lanjut Hilman sambil tertawa.

"Balita?"

"Iya. Di bawah lima tahun."

"Tapi yang bagus ya, Pa?" tegas Eddy.

"Jelas dong. Cuma kalian harus janji untuk selalu berhati-hati menggunakannya."

"Wah, Pa. Naik motor juga banyak risikonya," kata Rudy.

"Baiklah. Jadi beres, ya?"

Tiba-tiba Rudy berbisik-bisik di telinga Eddy.

"Apa?" tanya Hilman ingin tahu.

"Sebenarnya Papa nggak usah nyogok," kata Rudy diiringi tawa Eddy.

"Ha? Nyogok apaan?"

"Ayooo... ngaku sajalah," goda kedua anak muda itu sambil menatap selidik ayah mereka. Meskipun menampakkan ekspresi heran, tak urung wajah Hilman bersemu merah.

"Ah, apa-apaan sih kalian ini? Nyogok buat apa, coba?"

"Tahu sama tahulah, Pa," kata Rudy, tak mau mengatakan apa yang diketahuinya itu.

"Ya. Biarpun Papa nggak memberi apa-apa, kami juga nggak keberatan kok," kata Eddy. Ucapan itu membuat Rudy tertegun sejenak. Ia tahu sekarang bahwa Eddy tidak lagi keberatan. Entah apa itu disebabkan karena percakapan mereka tadi, atau terpengaruh "sogokan" ayahnya.

"Kalau kalian nggak ngomong terus terang, beli mobilnya batal," kata Hilman. Kedua putranya memandangnya dengan kesal, tapi kemudian sadar itu cuma gurawan.

Keduanya menubruk Hilman lalu menggelitikinya sampai si ayah terpingkal-pingkal.

"Sudah! Sudah! Papa bisa semaput nih!" teriak Hilman.

Mereka sama terengah-engah. Rudy dan Eddy menjatuhkan diri di lantai dekat kaki Hilman.

"Aduh, kalian ini tega-teganya mengeroyok Papa," keluh Hilman, pura-pura.

"Yang mestinya ngomong terus terang itu kan Papa," kata Rudy kemudian.

"Baiklah. Tadinya sih Papa nggak mau ngomong sekarang. Tapi sudah telanjur dicurigai. Memang hubungan Papa dengan Mbak Lis menjadi serius. Baru menjadi serius beberapa hari ini. Awalnya nggak lho. Tapi hubungan ini belum menjurus ke hal-hal yang lebih serius lagi. Papa tidak tahu bagaimana tanggapan kalian dan Papa juga belum tahu bagaimana tanggapan orangtua Mbak Lis. Harus jelas dulu supaya semua merasa senang dan bisa menerima. Papa sadar betapa besarnya perbedaan Papa dengan Lis. Mungkin banyak orang akan mencemooh Papa sebagai orang tua tak tahu diri."

"Nggak ada yang akan mencemooh Papa,"

kata Eddy.

"Papa pantas kok bersanding dengan Mbak Lis. Dan kami berdua akan jadi bekingnya," kata Rudy.

Hilman tertawa. Ia terharu. Matanya sampai basah.

"Terima kasih untuk dukungan kalian. Nggak sangka juga mata kalian begitu tajam.

" Mereka tertawa.

"Papa orang yang beruntung," kata Rudy.

Himan tersenyum.

Lalu telepon ruang itu berdering. Rudy mengangkatnya.

"Oh, Mbak Lis!" serunya sambil menatap Hilman.

"Selamat malam! Papa ada di sini."

Hilman cepat mengambil alih telepon. Kedua anaknya tak beranjak pergi. Mereka

pura-pura asyik menonton televisi, tapi memasang telinga.

"Ada apa, Lis?"

"Saya nggak mengganggu, kan?"

"Tentu saja nggak."

"Begini, Dok. Saya sudah memikirkan. Sebelum Dok memberitahu anak-anak, sebaiknya terus terang perihal diri saya. Ceritakan saja.

ya"!"

"Ah, tak usahlah. Mereka sudah mendukung kok."

"Jangan begitu, Dok. Saya ingin terbuka saja. Mereka berhak tahu."

"Tapi rahasiamu?"

Kedua anak Hilman menatap ayah mereka. Hilman terkejut sendiri.

"Saya rela kalau itu bukan rahasia lagi. Mereka bukan orang luar bagi saya."

"Baiklah."

Hilman menutup telepon lalu menatap kedua anaknya. Mereka tengah menunggu.

****

Setelah ia tinggal sendirian, Hilman segera me nelepon Lis.

"Lis, mereka sudah saya ceritai."

"Lalu bagaimana reaksi mereka?"

"Mereka sangat marah."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Marah?" Lis kedengaran waswas.

"Ya. Marah kepada Mandar."

"Dan kepada saya?"

"Mereka kagum padamu, Lis. Bener. Bahkan si Eddy yang tadinya tak mau mendukung kalau tidak dibujuk Rudy, jadi jatuh hati padamu."

"Dok nggak mendramatisir, bukan?"

"Tentu saja nggak. Buat apa? Itu sudah cukup menyedihkan kok."

"Syukurlah. Terima kasih, Dok."

"Oh, jangan berterima kasih, Lis. Harusnya sayalah yang berterima kasih padamu. Kau begitu berani."

"Sebenarnya bukan berani, Dok. Tapi saya pikir, sudah seharusnya seperti itu. Mereka harus tahu siapa saya."

Lalu Hilman menceritakan perbincangannya dengan kedua anaknya sebelum Lis menelepon.

"Mereka punya mata yang tajam atau saya yang tak bisa menyembunyikan perasaan hati."

Lis tertawa.

"Mungkin dua-duanya, Dok. Ah, saya senang sekali mendengarnya, Dok. Tapi Dok nggak bermaksud menyogok mereka, kan?"

"Saya jadi malu, Lis. Maksud sih ada juga."

Lis tertawa lebih keras.

"Mereka sangat pintar ya. Dok."

"Ya. Lebih pintar daripada saya."

"Oh ya, Dok. Saya juga punya berita. Keluarga saya sudah tahu mengenai Adrian. Mereka sangat emosi, tapi setelah mendengar argumentasi saya dan kesepakatan saya dengan Dok, mereka bisa menerima. Sebenarnya saya juga ingin sekali segera bercerita mengenai kita, tapi mereka kelihatannya sudah dipenuhi emosi dan pemikiran mengenai Adrian. Jadi saya pikir, besok lusa saja."

"Terserah kau, kapan waktu yang baik."

Usai menelepon, Hilman termenung. Untuk saat ini keberuntungan memang menjadi miliknya. Segalanya berjalan dengan mulus. Tapi ada baiknya bila ia tidak lupa diri karenanya. Ia teringat kepada Adrian. Ada yang gembira, ada yang bersedih.

****

RAHMAN menyilakan Hilman dan Lis memasuki ruang yang sebelumnya pernah digunakan Hilman berbincang dengan Mandar secara tertutup. Mereka diminta menunggu. Nanti ia akan membawa Mandar ke situ.

Kepada Rahman dan kepala LP pada siapa ia perlu minta izin, Hilman mengatakan Lis adalah mahasiswi yang ingin mewawancarai Mandar untuk keperluan skripsinya.

Pada saat menunggu Lis meremas jari-jari Hilman. Tangan Lis dingin.

"Aduh, Dok, saya merasa tegang sekali."

"Tenang, Sayang."

"Rasanya saya akan berhadapan dengan monster yang dulu pernah memakan saya, tapi tidak sampai habis."

"Bedanya. monster ini sudah dijinakkan, Lis."

"Ya, Dok."

Tetapi dalam hati Lis berkata,

"Biarpun sudah dijinakkan, tapi ia masih bisa menyiksaku dengan tatapan matanya. Dan mungkin juga dengan ucapannya. Lantas, buat apa aku ke sini? Tapi aku merasa harus ketemu dia. Kalau dia mati, aku tak bisa lagi melihatnya. Aku ingin melihat dengan lebih jelas sosok dan rupa orang yang telah menginjakku seolah aku tak punya harga diri. Ada kemungkinan aku menyesal telah melihatnya. Tapi ada juga kemungkinan aku menyesal karena tidak melihatnya sementara kesempatan hilang untuk selama-lamanya. Jadi aku harus mengambil yang ini. Tapi kok aku sekarang jadi bingung, buat apa ya aku bertemu dia?"

Tentu saja keraguan itu tidak ia ungkapkan kepada Hilman yang sudah bersusah payah memenuhi permintaannya.

Tak lama kemudian terdengar suara-suara langkah kaki. Disusul terbukanya pintu. Mandar muncul dengan tangan terborgol didampingi Rahman dan seorang petugas.

Rahman menyuruh Mandar duduk. Jaraknya

sekitar tiga meter dari posisi Hilman dan Lis.

"Bisa saya tinggalkan, Dok?" tanya Rahman.

"Bisa, Pak. Terima kasih."

Rahman mengajak petugas keluar. Petugas itu akan berjaga di depan pintu.

Sebelum Rahman dan petugas satunya keluar, Mandar terus saja menundukkan kepala. Ia tidak memandang kepada Hilman dan Lis. Tetapi Lis menatapnya dengan tajam, dari atas ke bawah terus ke atas lagi. Jadi ini dia orangnya. Ya, memang dia. Aku masih ingat. Dulu, rambutnya lebih panjang. Sekarang sudah model cepak. Tapi wajahnya masih tampan. Hanya matanya yang belum kelihatan, karena menunduk terus.

Dengan menundukkan kepala Mandar sepertinya memberi kesempatan kepada Lis untuk mengamati dan mempelajari dirinya tanpa merasa risi.

"Mandar," panggil Hilman.

Mandar mengangkat kepalanya dan langsung mengarahkan tatapannya kepada Hilman. Lis masih diacuhkannya.

"Ini Lis, orang yang telah kausakiti. Masih

ingat?"

Mandar masih saja tidak mau menatap Lis. Ia tetap memandang kepada Hilman. Lis tampak samar saja dari sudut matanya.

"Ya," sahutnya lirih.

"Mau apa ke sini?"

"Kau masih ingat?" tegas Hilman sekali lagi, penasaran oleh kelakuan Mandar.

"Ya."

"Bagaimana kau bisa ingat kalau kau sama sekali tidak melihatnya?"

"Aku selalu ingat."

Tiba-tiba Lis menjadi penasaran. Ia berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengejutkan Hilman, dan juga dirinya sendiri.

"Pandanglah aku!"

Mandar tersentak. Tampak takut-takut ia mengalihkan tatapannya kepada Lis. Begitu memandang, tatapannya pun lekat. Aduh, cantiknya dia. Penampilannya begitu sederhana, tapi justru karena itu dia tampak semakin cantik. Dan menandakan juga kebersihan dan kesuciannya. Kenapa ya dulu aku bisa keliru menilainya? Mungkin waktu itu aku mata gelap dan merasa ketagihan. Padahal aku toh sempat juga ragu-ragu. Ah, kenapa mesti disesalkan?

Mungkin juga aku berjodoh dengan dia. Jodoh sesaat! Aku tidak menyesal! Tidak! Sebaliknya aku senang! Dalam hidupku yang gersang ternyata , aku bisa mendapatkan sesuatu yang indah....

Meskipun dia sendiri yang meminta untuk dipandangi, tapi setelah ditatap dengan cara seperti itu Lis menjadi ngeri. Tapi ia tidak mau mengalihkan tatapannya lebih dulu. Sepertinya ini merupakan adu tatap yang bisa menghasilkan kalah-menang. Ia tidak mau jadi pihak yang kalah.

"Kenapa kau memilihku sebagai korban?" tanya Lis. Suaranya bergetar tapi keras.

"Kau ingin aku menjawab yang sebenarnya?" Mandar mengalihkan tatapannya. Kalau aku berbohong toh tak ada yang tahu. Tapi khusus kepadamu aku mau jujur. Kapan lagi aku bisa bicara denganmu? Oh, tak akan lagi!

"Tentu saja," sahut Lis ketus.

"Karena kau berada di tempat dan waktu yang salah."

"Maksudmu? Kok nyalahin aku?"

"Aku sedang mencari mangsa saat itu," sahut Mandar tanpa segan.

"Lalu kulihat kau. Tahukah kau? Tak jauh dari tempatmu berdiri itu ada beberapa perempuan lain yang sudah jelas profesinya, yaitu pelacur."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Oh, aku tahu. Karena aku sudah berpengalaman. Dan mereka terang-terangan melambal-lambai."

"Tapi aku tidak melambai kepadamu."

"Oh, itu bukan masalah. Kadang-kadang mereka pura-pura saja. Munafik."

"Jadi kau menganggapku munafik?"

"Mulanya begitu. Apalagi setelah menolak akhirnya kau ikut juga."

"Jadi itu sebabnya? Bukankah belakangan aku berkeras menolak ikut setelah melihat gelagat buruk? Tapi kau memukulku. Masih tak percaya?" tanya Lis sengit.

"Sudah telanjur."

"Ah, belum. Kau bisa membiarkan aku pergi, lalu mencari mangsa lain."

"Aku sudah tak tahan lagi. Tak ada waktu untuk melakukan itu."

Lis benar-benar harus berupaya untuk menekan rasa ngerinya mendengar jawaban Mandar yang terus terang. Ia meremas tangan Hilman di bawah meja kuat-kuat. Tetapi dorongan untuk terus bertanya masih terasa.

"Jangan memaksa diri, Lis," bisik Hilman.

Mandar menatap kedua orang di depannya bergantian tanpa menampilkan ekspresi apaapa. Tapi kalau diamati akan terlihat bahwa caranya memandang Hilman dan Lis berbeda.

"Aku baik-baik saja, Dok," sahut Lis pelan.

Kemudian Lis melanjutkan pertanyaannya kepada Mandar,

"Kenapa kau melepasku dan tidak memperlakukan aku seperti korban yang lain?"

"Karena kau berbeda dengan mereka. Kau masih suci. Aku sadar akan kekeliruanku."

"Apa kau menyesal karenanya?"

"Ya. Maafkan aku."

Aku menyahut begitu bukan karena ingin menyenangkan dirimu. Aku memang menyesal tapi untuk sebab yang lain. Aku menyesal karena tak bisa melampiaskan keinginanku membunuh. Aku menyesal karena tak bisa mendengarkan rintihan dan jeritan merdu dari bawah rumahku. Aku menyesal karena untuk pertama kalinya aku melepaskan korbanku. Tapi aku minta maaf karena telah menyusahkan kau.

Aku harus minta maaf karena itu sesuai dengan keinginanmu, bukan? Aku ingin menyenangkan dirimu. Kau baik karena mau melahirkan anakku. Kau ibu anakku....

Tatapan Lis yang keras sedikit melembut. Dia sama sekali tidak seperti seorang psikopat, pikirnya. Dia juga tidak memandangku seolah aku makanan yang lezat.

"Ya. Kau minta maaf karena kau sadar telah keliru mengira aku seorang pelacur. Tapi bagaimana kepada orang-orang yang telah kaubunuh?"

Mandar tertawa. Tapi cuma sebentar. Ia cepat menutup mulutnya karena sadar tawanya membuat Lis takut. Ia cuma tidak tahan oleh rasa geli.

"Bagaimana mungkin aku minta maaf kepada orang yang sudah mati?" katanya, susah payah menahan tawa.

Lis terdiam. ia segera menyadari, percuma menyudutkan seorang seperti Mandar. Hilman sudah mengatakan, Mandar tidak pernah merasa bersalah untuk perbuatannya.

"Baiklah. Sekarang aku mau tanya, seandainya aku dibawa ke rumahmu dalam keadaan

sadar, jadi aku tahu alamatmu, apakah kau tetap akan melepaskan aku?"

Mandar tidak perlu berpikir dulu untuk menjawabnya.

"Tidak."

"Jadi kau akan membunuhku seperti yang lain?"

"Ya."

Mandar memalingkan muka. Semua itu toh sudah terjadi. Kenapa pula harus ditanyakan dan dipertanyakan? Seharusnya kau dan aku bersyukur karena seperti itulah yang terjadi. Karena kalau tidak begitu, mana mungkin aku bisa punya keturunan?

Sementara itu Hilman yang cuma memperhatikan saat Lis dan Mandar berdialog, segera menyela,

"Sudah cukup, Lis?"

Tiba-tiba Mandar berkata,

"'Bagaimana dengan anak kita, Lis? Kenapa kau tidak mau merawatnya sendiri?"

Lis tersentak kaget. Ia berteriak marah sambil melompat berdiri.

Petugas yang berjaga di luar menyerbu masuk. Hilman memberi tanda agar membawa Mandar pergi. Lis tersedu sejenak. Hilman merangkulnya dan menghiburnya. Tapi dengan

cepat Lis pulih kembali.

Dalam perjalanan pulang Lis berwajah murung. Hilman mengamatinya setiap ada kesempatan.

"Mau mendiskusikan dulu di rumahku?"

"Nggak ah, Dok. Mau terus pulang saja. Saya ingin bermeditasi di rumah."

"Kenapa?"

"Mau menenangkan pikiran."

"Apa pertemuan dengan Mandar tadi membuatmu stres?"

"Oh, bukan stres. Tapi saya marah sekali oleh pertanyaannya yang terakhir."

"Ya, saya mengerti."

"Dia menyebut "anak kita" seolah dia itu pacarku atau suamiku."

"Dia memang gila," sahut Hilman dengan empati.

Lis memejamkan matanya. Beberapa saat lamanya begitu, seperti tertidur atau capek. Hilman meliriknya, tak ingin mengganggu.

Tiba-tiba Lis berkata,

"Ternyata saya tidak tahan uji ya, Dok. Sudah tahu dia itu gila."

"Tidak apa-apa, Lis. Itu manusiawi. Kau sudah membuktikan keberanianmu."

"Biarpun marah, tapi saya puas, Dok. Ini akan menjadi salah satu pengalaman hidup saya. Yaitu bagian yang getir dan pahit."

"Benar, Lis."

"Sebenarnya saya ingin bicara lebih banyak, tapi keburu emosi. Dan justru yang penting. Karena dia awalnya bersikap baik, saya punya harapan untuk minta tolong padanya agar menasihati Adrian untuk tidak mengganggu keberadaan si bayi."

"Wah, itu terlalu riskan, Lis. Dia akan tahu bahwa kau sudah tahu mengenai Adrian. Saya khawatir bisa muncul ide-ide jahat. Dia akan menyuruh-nyuruh Adrian yang patuh karena takut tidak diberi warisan."

"Oh, jadi warisan itu diperolehnya dari Mandar? Pantas. Kalau begitu rumah Mandar pun jadi miliknya sekarang."

"Betul."

Lis segera teringat.

"Jadi orang yang saya lihat di rumah Mandar itu pasti dia. Waktu itu saya sepertinya melihat ada orang di teras. Apalagi ada mobil di halaman samping. Tapi Rudy bilang, mungkin itu hantu."

Hilman tertawa.

"Dia mau menakut-nakuti.

tapi sebenarnya dia takut melihat tingkahmu." Lis tertawa. Ah, leganya bisa tertawa.

"Barangkali saya tidak perlu lagi meditasi, Dok. Rasa sesak saya sudah hilang."

"Syukurlah. Saya senang sekali."

"Tiba-tiba saya mendapat ide baru, Dok."

"Apa itu?"

"Karena rumah itu dimiliki Adrian, pasti ia akan mengizinkan saya untuk melihatnya." Hilman tersentak kaget. Hampir kemudi ikut tersentak.

"Apa?" ia berseru.

"Melihat rumah Mandar, Dok. Orangnya sudah lihat, rumahnya belum," sahut Lis tenang. Hilman geleng-geleng kepala. Lis selalu punya kejutan untuknya. Ia harus membiasakan diri.

"Saya sudah melihat ruang bawah tanahnya, Lis. itu sudah dibersihkan oleh Adrian. Tidak ada apa-apa lagi yang aneh."

"Saya tidak bermaksud melihat yang anehaneh, Dok. Cuma sekadar melihat saja."

"Baiklah. Mau kutemani?"

"Tidak perlu, Dok. Kan sudah ada Adrian."

"Sama Rudy?"

"Nanti Rudy mesti dijelaskan.

Jadi panjang, Dok."

"Oh, iya. Tapi kau harus tetap menjaga sikap terhadap Adrian. Jangan memarahinya terus. Kadang-kadang saya kasihan juga kepadanya. Kalau dia tahu mengenai hubungan kita, habislah sudah harapannya."

"Bukankah dia memang sudah kutolak, Dok? Dia sendiri bilang, cukup senang berteman saja."

"Itu cuma alasan untuk tetap dekat denganmu. Selama waktu itu ia akan terus berusaha mendekatimu."

"Sebenarnya orangnya sih cukup baik, ya Dok? Tapi entah kenapa, sejak awal ada suatu perasaan menolak dia. Mungkin itu insting, ya? Ternyata benar juga. Aduh, bayangin kalau misalnya saya terima cintanya padahal dia adalah sepupu Mandar."

Hilman tersenyum. Ia juga pernah punya kekhawatiran mengenai hal itu.

"Kalau pikir-pikir, sikap Mandar tadi cukup sopanjuga ya, Dok?" Lis melanjutkan.

"Ya. Cukup sopan. Tampaknya ia pasrah saja."

Tentu saja Hilman tidak mengatakan bahwa

sebelumnya ia sudah mengingatkan Mandar akan hal itu. Rupanya Mandar memang mematuhi permintaannya.

"Bagaimana kesanmu terhadapnya, Lis?"

"Entahlah. Campur-baur semuanya. Benci, marah, penasaran, dan entah apa lagi. Tapi saya juga ngeri. Matanya itu. Dari keseluruhannya saya paling ingat matanya. Kenapa ya dia tidak mau melihat saya pada mulanya?"

"Mungkin dia juga takut padamu, Lis."

"Tapi ketika dia menatap saya, tak saya temukan rasa takut itu. Sayalah yang takut."

Hilman mengangguk saja. Aku sendiri menemukan sesuatu yang lain dalam tatapan Mandar. Dia terpesona kepadamu, Lis! Sebegitu terpesonanya sampai dia sulit mengalihkan tatapannya.

Sebelum menurunkan Lis di depan rumahnya, Hilman sempat berpesan,

"Jangan terlalu antusias dan buru-buru ingin melihat rumah Mandar, Lis! Biarkan hubunganmu dengan Adrian berjalan biasa dulu. Nanti dikiranya kau cuma mau memanfaatkan dirinya."

"Baik, Dok. Saya akan menghubungi Dok lagi."

Dengan cepat Lis mengecup pipi Hilman sebelum keluar dari mobil hingga ia jadi tersipu. Bagaimana kalau dilihat orang di dalam rumah?

****

Mandar duduk bersila di dalam selnya. Wajahnya ceria. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Akhirnya kau datang. Terima kasih, Lis! Sekarang aku punya sesuatu yang segar dan jelas untuk dikenang. Wajahmu! Cemberut atau tersenyum tak ada bedanya. Kau tetap cantik. Orang yang katanya jahat seperti aku ternyata masih bisa mendapat hadiah sebelum mati. Mungkin aku sebenarnya nggak jahat. Baik atau jahat itu kan kata orang.

Mandar mengangkat kepalanya lalu tertawa. Ia benarbenar tak peduli pada sekitarnya.

Rahman dan seorang petugas lain datang menjenguknya.

"Wah, kau gembira benar hari ini, Mandar!" tegur Rahman.

"Ya. Boleh kan saya merasa gembira, Pak?"

"Tentu saja. Asal tidak mengganggu orang

lain. Tawanya jangan keras-keras, ya?"

"Ya, Pak. Ngomong-ngomong, kapan sih saya dibunuh?"

"Dibunuh? Maksudmu dihukum mati?"

"Ya."

Jangan bilang dibunuh dong, tapi dihukum mati. Atau dieksekusi begitu."

"Ya, bagaimanalah terserah. Bagi saya sama

saja. Jadi kapan, Pak?"

"Saya nggak tahu tuh. Wewenangnya kan di atas."

"Saya udah pasrah, Pak."

"Ya, sabar sajalah. Nanti juga datang saatnya. Eh, Man. Mahasiswi itu kawapain tadi sampai berteriak?"

"Mahasiswi?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu yang barusan datang sama Dokter Hilman."

"Mau tahu aja." Sesudah berkata begitu Mandar kembali ke posisi bersilanya dan memejamkan matanya. Segera ia melupakan orang-orang di depannya.

Yang terbayang hanyalah Lis. Dia seperti orang

yang terus-menerus memelototi lukisan wajah

orang, wajah Lis. di depannya. Tanpa bosan,

tanpa capek

***

HARI-HARI dilalui Adrian seperti menginjak bara api. Tak ada apa pun yang bisa menyenangkan hatinya. Makan tak enak, tidur tak lelap. Teman-teman tak dimilikinya. Ia bukan orang yang gampang berteman. Seperti Mandar. Mereka cuma bisa saling berteman berdua. Karena itu setelah kehilangan Mandar, ia pun tak punya teman lagi. Tentu dengan kekuatan uang ia bisa mendapat teman banyak, tapi yang begitu adalah teman palsu.

Ia menunggu berita dari Lis. Untuk menelepon lebih dulu ia tidak berani. Akhirnya ia menghubungi Hilman.

"Bersabarlah, Mas," jawaban Hilman terdengar menghibur.

"Ia perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Posisi Anda sebagai sepupu Mandar mengejutkan dia. Wajar, kan? Ia

sangat membenci Mandar, tahu-tahu Anda yang dekat dengan dia mengaku sebagai sepupunya, bahkan jadi orang suruhan yang memata-matai dia."

"Ya, Pak. Memang wajar," kata Adrian dengan lesu.

"Tapi saya berterus terang karena ingin jujur. Ternyata jujur itu juga membawa akibat buruk."

"Sebenarnya dia menghargai niat baik Anda itu. Cuma Anda harus memaklumi suasana hatinya."

"Terus terang, saya sangat tidak sabar, Dok. Apa pun kabar itu, baik atau buruk, sebaiknya cepat saya terima. Daripada menunggu seperti ini."

"Ah, kan belum lama, Mas. Baru hitungan hari, kan?"

"Bagaimana menurut pandangan Anda sendiri, apakah kelihatannya Lis masih bisa menerima saya?"

"Saya kira dia bukan orang yang picik. Bersabarlah, Mas."

Adrian terpaksa harus puas dengan penjelasan Hilman itu. Barangkali ucapan Hilman itu memang merupakan pertanda baik.

Beberapa hari setelah perbincangannya dengan Hilman, ia menerima telepon dari Lis. Suara Lis membuat ia senang sekali. Sepertinya itu adalah suara bidadari. Jantungnya sampai bergetar. Begitu besar arti Lis untuknya.

"Ian, aku bersedia memaafkan kau."

Adrian tersenyum. Itu adalah rangkaian kata-kata paling indah yang pernah didengarnya.

"Terima kasih, Lis. Kau memang baik."

"Jangan memuji gombal, ya."

"Jadi kita masih berteman, Lis?"

"Ya. Tapi kau harus berjanji, jangan lagi mematamatai aku atau pun si bayi untuk disampaikan kepada Mandar. Dan jangan sekali-kali mengusik si bayi."

"Baik. Aku berjanji. Terus terang aku memang tahu alamat orangtua angkat si bayi, tapi aku belum pernah ke sana untuk melihat."

"Jangan."

Tentu. Aku tidak punya kepentingan. Mandar pun tidak pernah menyinggung soal itu."

"Apakah dalam memberi instruksi ia melakukannya secara mendetail, kau harus begini dan begitu?"

"Tidak. Hanya garis besar saja. Misalnya ia

minta aku memantau si bayi, supaya dia dalam keadaan baik selalu. Tapi bagaimana caranya tidak ia katakan. Tentu karena ia memang tidak tahu."

"Ya. Kukira hal itu sebenarnya terletak padamu sendiri. Toh apa yang kaulakukan dia tidak tahu."

"Aku harus memberi laporan setiap berkunjung."

"Kau bisa saja memberi laporan palsu. Memangnya dia bisa tahu?"

"Ya. Kupikir juga begitu. Aku merasa diriku bodoh sekali."

"Aku dengar kau mendapat warisan darinya, ya?"

Adrian terkejut. Pasti Hilman yang memberitahu, pikirnya.

"Ya, betul sekali. Maaf tempo hari aku berbohong. Saat itu aku tak bisa lain."

"Tentu. Apa dia memberi syarat harus patuh supaya diberi warisan?"

"Nggak juga. Tapi sebenarnya, memang dia tak punya keluarga dekat lain selain aku, yang bisa diwarisinya."

"Wah. apa kau senang sekali?"

"Tentu saja aku senang. Tapi harap kau tahu, Lis. Dia sudah membuat surat wasiat sebelum kejahatannya terbongkar. Tentu karena memang tak ada orang lain. Tapi aneh juga. Sepertinya dia punya firasat akan tertangkap."

"Tentu saja. Penjahat selalu tertangkap. Apalagi psikopat seperti dia."

"Tapi dalam sejarah ada saja yang tak pernah tertangkap, Lis. Seperti The Ripper dari London itu. Dan di sini mayat yang terpotong-potong di dalam karung, jangankan pembunuhnya, identitas si korban saja tidak diketahui."

"Ah, jangan bandingkan dengan itu."

Adrian tak mau mendebat. Sekarang ia harus merendah.

"Baiklah. Terima kasih Lis untuk kesediaanmu."

"Tapi kuharap kau jangan berkunjung ke rumah dulu, ya. Orang rumah masih emosional meskipun mereka juga bersedia memaafkanmu."

Adrian terkejut. Ia ngeri membayangkan bila dirinya dicaci maki dan dilabrak ramai-ramai.

"Terima kasih sudah memberitahuku, Lis. Padahal aku ingin minta maaf juga sama mereka."

"Permintaanmu itu nanti kusampaikan."

"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku, Lis?" tanya Adrian dengan suara mengiba.

"Kukira nggak ada, Ian. Sudahlah. Kau tidak bisa menghapus statusmu sebagai sepupu Mandar."

"Ya. Memang begitu. Jadi aku tidak bisa apa-apa, Lis?"

Di sana sepi sejenak.

"Kau kan tetap temanku, lan. Sudahlah. Sampai nanti, ya?"

Hubungan berakhir. Adrian meletakkan telepon. Kau tetap temanku, lan!

Ia tertawa gembira. Rasanya ia baru saja lulus ujian yang amat sulit.

*****

"Apa, uang!" Adrian sangat kaget bagai tersambar Petir.

"Ya. betul. Dia ke sini menemuiku." sahut

Mandar sambil terus tertawa ha-ha hi-hi, seperti sulit direm.

Adrian menatap sepupunya dengan aneh. Semakin lama Mandar semakin berubah saja, pikirnya. Dan satu hal penting lainnya adalah kunjungan Lis itu. Waktu menelepon Lis sama sekali tidak menyinggung soal tersebut.

"Berhentilah tertawa, Bang!"

Mandar masih saja cengengesan. Sampai kemudian ia tersedak-sedak.

"Bagaimana kita bisa bicara kalau kau terus begitu?" kata Adrian kesal.

"Kita harus bicara!"

Mandar menekan mulutnya dengan tangannya, tapi ekspresinya menampakkan bahwa ia sulit sekali menghentikan tawanya. Pipinya masih menggembung.

Adrian tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu sampai badai tawa yang menerpa Mandar itu berhenti. Sambil menunggu ia mengamati tingkah Mandar dengan waswas. Apakah Mandar mulai hilang ingatan atau gila? Apakah tingkahnya itu bukan pura-pura? Seandainya Mandar benar-benar menjadi gila, apakah ia jadi dieksekusi? Bagaimana kalau ia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, lalu dari

sana ia berhasil buron?

Berbagai pertanyaan itu mengganggu pikiran Adrian sampai ia tidak menyadari bahwa Mandar sudah tak lagi tertawa.

"Mau ngomong apa, Ian?" tanya Mandar dengan suara ramah.

Keramahan yang terkandung dalam suaranya membuat Adrian merinding.

"Kenapa sih kau tertawa terus-menerus?"

"Memangnya nggak boleh? Lebih baik mana, tertawa atau menangis? Aku tertawa karena senang."

"Kenapa kau senang?"

"Karena aku berhasil memanggilnya."

"Kau memanggilnya? Yang bener, Bang. Jangan bercanda."

"Ya, terserah mau percaya atau nggak. Yang jelas dia datang menemuiku. Ha-ha-ha. Oh, Ian. Aku akan mati dengan puas, karena saat aku mati aku bisa membayangkan wajahnya dengan jelas. Ternyata dia yang sekarang jauh lebih cantik dibanding dulu." Mandar menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih takjub dan terpesona.

"Sama siapa dia ke sini?"

"Dokter Hilman. Siapa lagi."

"Apa sebelumnya kau berpesan pada Dokter Hilman ingin ketemu Lis?"

"Tentu saja nggak. Kalaupun kulakukan itu, mana mungkin dia mengabulkan."

"Jadi kau cuma bercanda. Itu pasti inisiatif dia."

"Aku sudah bilang, terserah kau sajalah. Kalau memang inisiatif dia, pasti karena dia kangen sama aku."

Mandar tertawa. Hampir ia terserang badai lagi.

"Sudah, Bang. Jangan ketawa melulu."

"Baiklah. Nih, aku diam."

"Ngomong apa saja dia?"

"Dia nanya macam-macam. Kenapa aku milih dia sebagai korban, apa aku akan membunuhnya kalau saat aku membawanya masuk rumahku dia dalam keadaan sadar, dan seperti itulah."

"Apa yang kaujawab?"

"Yang sebenarnya."

"Apa dia memakimu?"

"Tidak. Dia cuma nanya dan aku jawab. Memang matanya melotot dan wajahnya cemberut,

tapi itu wajar, kan? Dan oh dia jadi kelihatan semakin cantik."

"Lamakah dia di sini?"

"Nggak. Aku juga yang mengakhiri karena pertanyaanku kepadanya."

"Kau nanya apa?"

"Aku bertanya tentang anakku, anak kami, kenapa tidak merawatnya sendiri? Wah, dia marah dan berteriak. Tapi dari situ aku tahu, aku yakin, bahwa dia sebenarnya sayang pada anak kami. Puaslah aku."

Mandar memejamkan matanya.

Adrian menatapnya dengan perasaan tidak senang. Ia benci dengan sebutan "anak kami" yang diucapkan Mandar itu, seolah si anak merupakan buah perkawinan atau hasil cinta dari Mandar dan Lis. Mandar mengucapkannya dengan bangga dan tentu saja tanpa penyesalan. Adrian juga merasa seperti diejek. Ia yang berusaha dengan cara lurus tidak bisa mendapatkan cinta Lis. Tapi Mandar berhasil mendapatkan anak dari Lis!

Mandar membuka matanya lalu menatap Adrian.

"Wah. kau kesal. ya? Kau iri padaku?"

tanyanya dengan nada menggoaa.

Adrian terkejut. Ia merasa isi hatinya terbaca. Tak bisa mengelak ia diam saja.

"Sekarang giliranmu bercerita. Apa kau sudah memberitahu dia tentang hubunganmu denganku?" tanya Mandar.

"Sudah. Dia marah tapi kemudian memaafkan. Kami baikan lagi."

"Bagus. Tapi kalau aku jadi dia, aku takkan memaafkanmu."

Tawa Mandar berderai lagi.

"Dia memang bukan kau," sahut Adrian kesal.

"Tentu saja. Kayaknya kebanyakan psikopat itu lelaki."

Dia bicara sepertinya jadi psikopat itu bukan sesuatu yang keji, pikir Adrian. Seingatnya, dulu semasa masih sering bersama-sama, Mandar tak pernah mengajaknya berdiskusi tentang kejahatan atau tentang psikopat dan sejenisnya. Ia tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya pendapat Mandar tentang kejahatan.

Seperti biasa Adrian merasa senang ketika waktu kunjungan berakhir. Tapi ia tidak berani pergi sebelum waktunya habis.

Ia langsung menelepon Lis usai mengunjungi Mandar.

"Benar, aku menemuinya bersama Dokter Hilman."

"Kenapa, Lis?"

"Aku ingin mengakhiri phobiaku tentang orang bernama Mandar."

"Apa hasilnya sudah ada?"

"Kayaknya sudah. Aku tidak takut lagi kepada gambaran di dalam pikiranku sendiri tentang dia. Tak ada iblis bertanduk. Dia memang monster, tapi manusia. Boleh saja dia muncul dalam mimpiku, tapi aku tidak akan menjerit ketakutan dengan berkeringat dingin."

"Wah, kau hebat sekali, Lis."

"Jadi dia cerita padamu?"

"Ya, tentu saja. Aku baru mengunjunginya."

"Apa katanya?"

"Dia cuma bilang senang."

"Apa dia menyinggung si bayi?"

"Nggak tuh." Adrian terpaksa berbohong karena khawatir reaksi Lis.

"Ah, masa."

"Iya. Dia sekarang beda dibanding kemarin-kemarin. Aku khawatir dia bisa menjadi

sinting beneran. Petugas di situ sering mengadu kepadaku. Katanya dia sering sekali ketawa dan bicara sendiri."

"Sampaikan saja hal itu kepada Dokter Hilman."

"Ya. Kupikir sebaiknya begitu."

"Secepatnya, Ian."

"Ya. Oh ya, Lis. Kau merasa lebih baik sekarang?"

"Ya. Trims untuk infonya."

Lis mematikan teleponnya duluan, tapi Adrian merasa senang. Ia berharap informasinya tentang Mandar bisa kembali mendekatkan dirinya dengan Lis.

Kepada Hilman, Adrian bercerita apa adanya tentang percakapannya dengan Mandar. Tidak seperti dengan Lis, kali ini tak ada yang disembunyikannya kepada Hilman.

"Apa katanya? Dia bilang, dia yang memanggil Lis?" Suara Hilman jelas terkejut.

"Ya. Tapi dia pasti cuma bercanda. Tingkahnya seperti orang sinting."

"Saya kira, itu bukan gejala kesintingan, Mas. Tapi kegembiraan yang meluap-inap yang tak tertampung."

"Sebegitu gembiranyakah dia? Tapi, kenapa dia begitu gembira?"

"Kenapa tidak Anda tanyakan langsung kepadanya?"

"Dia bilang, sekarang dia bisa membayangkan Lis seperti apa adanya. Dulu tidak jelas. Sekarang jelas. Berkali-kali dia memuji kecantikan Lis. Tapi masa hanya karena itu sampai begitu gembira ya, Dok?"

"Mungkin seperti halnya Lis yang ingin mengkonfrontir dirinya dengan Mandar untuk melenyapkan segala yang tidak jelas, maka Mandar pun begitu. Mereka sama-sama menyadari bahwa hukuman mati ada di depan mata."

"Tapi dulu tingkahnya tidak seperti itu," Adrian masih belum bisa menerima kesimpulan itu.

"Sebenarnya gejala sudah ada, Mas. Ingat gambar yang dia buat? Sekarang dia tidak perlu gambar lagi. Penampilan Lis yang baru dan segar sudah terekam di dalam otaknya."

"Tapi, buat apa dia membayang-bayangkan Lis?"

"Tidakkah Anda tanyakan hal itu kepadanya? Saya tentu tidak bisa menjawab."

"Dia tidak mau terus terang, Dok. Dia hanya terkekeh-kekeh saja. Saya khawatir, Dok."

"Kenapa?"

"Bagaimana kalau dia jadi gila beneran?"

"Ah, dia tidak gila."

"Sekarang tidak, tapi nanti? Saya takut kalau dia dinyatakan gila, maka dia akan dikeluarkan dari penjara. Bila ada di rumah sakit jiwa, bukankah kesempatan buron menjadi lebih terbuka? Dulu dia pernah menyinggung soal itu. Bagaimana kalau dia ingin melihat anaknya, Dok? Melihat Lis sudah, tapi melihat anaknya belum!" Adrian melampiaskan unek-uneknya.

Di sana sepi sejenak. Pasti Hilman terkejut, pikirnya.

"Ide Anda bagus juga," akhirnya Hilman menyahut.

"Saya akan pikirkan itu. Terima kasih untuk infonya."

Setelah menutup telepon, Adrian termenung. Rasakan, pikirnya. Sekarang baru dia kaget. Biarpun Hilman seorang ahli, tapi mungkinkah bisa mengenal seorang Mandar hanya dalam beberapa kali berbincang? Seberapa terbukanya Mandar kepada Hilman?

Ada satu pemikiran yang tidak dikemukakannya kepada Hilman barusan. Dulu kelihatannya Mandar sangat tidak suka kepada Lis karena Lis menyerahkan bayinya kepada orang lain. Dia terkesan marah dan benci. Pada saat itulah dia mengucapkan kemungkinan buron itu. Tapi kemudian dia berubah. Awalnya dia minta foto Lis, lalu dia membuat gambar. Biarpun gambarnya sama sekali tidak mirip, dia pandangi terus bagaikan orang tengah kasmaran. Sekarang setelah bertemu dengan Lis gembiranya selangit. Katanya untuk dibayang-bayangkan. Apakah itu masuk akal? Bagaimanapun Mandar belumlah gila hingga penilaian tentang dirinya perlu landasan rasional. Jadi, mungkinkah Mandar iatuh cinta kepada Lis?

****

HILMAN mengadakan pertemuan dengan Lis di ruang praktiknya begitu ia mendapat kesempatan luang. Ia menceritakan percakapannya dengan Adrian lewat telepon.

"Kok sama saya Adrian nggak cerita lengkap, ya?" kata Lis sedikit kesal.

"Dia khawatir kau tersinggung."

"Jelas tidak mungkin Mandar memanggilku. Niat saya itu kan sudah saya sampaikan kepada Dok sebelumnya, bukan?"

"Ya. Tentu tidak mungkin. Menurut Adrian, Mandar mengatakannya dengan tertawa tak henti-henti."

"Dia mengada-ada. Dia sinting."

"Tapi saya tidak sependapat dengan Adrian. Dia tidak gila. Mentalnya kuat. Dia melakukan hal itu karena dia tidak bebas lagi hingga tak

bisa melakukan kegiatannya yang dulu. Maka dia mencari pelampiasan. Dengan membayangkan dirimu adalah suatu pelampiasan."

"Idih... saya harap dia segera dieksekusi saja."

"Baiknya sih begitu. Untuk orang yang dihukum mati, tanpa kemungkinan minta pengampuan, maka menunggu adalah siksaan."

"Apakah menurut Dok, Adrian bisa memegang janjinya? Dia sudah berjanji untuk tidak mengusik si bayi sebagai syarat saya mau baikan lagi dengan dia."

"Susah memperkirakan hati orang, Lis. Kita cuma bisa berharap. Pikir-pikir, tidak ada untungnya buat dia mengusik si bayi. Jangan mencemaskan hal itu."

"Oh ya, apakah Mandar cerita tentang pertanyaannya mengenai si bayi?"

Hilman memutuskan untuk menceritakan soal itu. Biasanya ia selalu menghindari percakapan mengenai si bayi. Sekarang sikap Lis sudah lebih terbuka. Ia juga ingin Lis mau membicarakannya.

"Oh dia bilang begitu, ya? Dia pintar menebak dong."

"Kau sayang padanya, bukan?" kata Hilman hati-hati.

Lis menatap Hilman dekat-dekat.

"Tentu saja, Dok. Karena sayang itu kita tidak boleh egois, bukan?"

Mata Lis berkaca-kaca. Hilman memeluknya. Untuk sesaat mereka tak berbicara.

"Setelah sembilan bulan dia bermukim di dalam rahim saya, akhirnya dia lahir. Saya lega tak kepalang. Selama waktu itu saya terus mengingatkan diri bahwa dia adalah anak monster, pembawa bencana. Saya harus membencinya. Tapi saya harus menuntaskan tanggung jawab. Karena sejak semula sudah ada rencana untuk menyerahkannya pada orang lain, maka saya memelihara fisik sebaik mungkin. Periksa rutin, makan vitamin. Maksudnya supaya dia lahir sehat tanpa cacat. Dengan demikian dia gampang mendapatkan orangtua angkat. Sebenarnya saya punya rasa bersalah, Dok. Jadi saya berupaya meminimalkan rasa bersalah itu."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lis menyurukkan kepalanya ke dada Hilman, yang membelainya. Hilman membiarkan tanpa bertanya. Ia tahu, masih banyak lagi kata-kata yang akan dikeluarkan. Selama ini Lis

sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh berkonsultasi mengenai masalahnya. Ia mengatasinya sendiri. Karena itu Hilman tidak tahu apa saja yang dipendam Lis sejak musibah yang dialaminya itu. Ia mengumpulkannya sepotong demi sepotong.

"Setelah melahirkan dia, saya menganggap tanggung jawab saya sudah selesai. Saya tidak membunuhnya, dan saya telah memeliharanya dengan baik dalam rahim saya. Dia tidak perlu menyalahkan saya karena saya memberikannya pada orang lain. Tapi kemudian, Dok " Lis terisak.

"Tenanglah dulu. Baru bicara lagi, ya," hibur Hilman. Perasaannya benar-benar tercurah kepada Lis. Ia ikut bersedih.

Lis menyusut matanya dengan baju Hilman.

"Saya oke, Dok. Terusin, ya? Kemudian saya melihat dia di kamar bayi."

"Apa?" Hilman terkejut. Tak ada yang memberitahu dia tentang hal itu.

"Saya memang tidak cerita kepada siapa-siapa, Dok. Oh. ternyata dia cakep sekali. Tapi dia masih begitu kecil. Tidak jelas dia mirip siapa. Saya atau Mandar. Mungkin karena itu saya

jadi termimpi-mimpi. Tapi saya sempat jatuh hati kepadanya. Kalau saja saya tidak kuat..."

"Kau memang kuat."

"Si Mandar itu betul. Saya memang sayang pada si bayi. Tapi justru karena itu, saya tidak boleh egois. Saya harus berpegang pada komitmen semula."

Hilman memeluk Lis lebih erat.

"Saya bangga sekali padamu, Sayang. Bangga sekali."

Lis tersenyum di balik air matanya.

"Ah, kau menangis juga, Dok. Kenapa?"

"Memangnya nggak boleh?" Hilman balik bertanya. Ia tersenyum juga.

"Tapi curahan hatiku ini hanya boleh diketahui Dok seorang. Jangan bilang-bilang orang lain, ya?"

"Tentu saja. Kau adalah pasienku, kan?"

"Oh, betapa senangnya jadi pasienmu, Dok!"

"Hanya sebagai pasien?"

"Karena jadi pasienmu maka saya kenal dengan Dok. Terima kasih, ya?"

"Kok terima kasih."

"Papa bercerita bagaimana Dok menolongnya padahal tidak kenal. Dan Dok begitu empati sama saya. Itu terasa sekali di sini."

Lis meletakkan tangan Hilman di dadanya.

Hilman tidak tahu apa yang mesti dikatakannya karena terharu. Siapa sangka bahwa perasaannya yang mendalam terhadap Lis bisa mendapat balasan yang sama. Padahal ia mengira dirinya cuma layak bermimpi.

"Oh ya, sebenarnya saya ingin mempublikasikan hubungan kita pada keluarga sejak kemarin-kemarin, tapi Mama nggak enak badan. Saya nunggu dia sehat dulu, supaya suasananya jadi lebih menggembirakan."

"Mama sakit apa? Nanti saya ke sana memeriksanya ya? Sekalian mengantarmu pulang?"

"Mama sedikit demam dan pilek. Mungkin flu. Tapi dia tidak sampai terpuruk di tempat tidur."

"Saya harus memeriksanya, Lis."

Hilman disambut dengan hangat oleh keluarga Lis. Fetty yang mengenakan baju hangat terheran-heran ketika Hilman menyatakan akan memeriksanya. Tapi Lis mengedipkan sebelah matanya.

Dengan ditemani Lis, Fetty masuk ke kamar diiringi Hilman yang membawa tas dokternya.

Anas bersama Aria cuma memandangi

punggung ketiganya. Begitu mereka menghilang, Aria segera bersuara,

"Jadi Lis memanggil Dokter untuk Mama."

"Manja sekali anak itu." Anas geleng-geleng kepala.

"Mama kena batunya, Pa. Disuruh makan obat saja malas, sekarang diperiksa dokter." Aria tertawa.

"Seharusnya Lis jangan begitu. Dokter Hilman itu kan psikiater, bukan ahli penyakit dalam. Lis tidak boleh memanfaatkan kebaikan orang."

"Pa, mungkinkah ada udang di balik batu?" bisik Aria.

"Apa maksudmu?" Anas terkejut.

"Lis itu bukan tipe anak manja. Dan Dokter Hilman pasti nggak mau sembarang dimanfaatkan."

"Jadi apa?"

"Ah, Papa. Kayak yang nggak ngerti aja."

Anas menggaruk kepalanya. Ia bisa menebak maksud Aria.

"Tapi masa iya sih," gumamnya.

Mereka berpandangan.

Hilman mengeluarkan kantong plastik berisi

obat.

"Ini bukan antibiotika, Bu. Tapi bermanfaat untuk menurunkan demam Ibu. Kalau tidak membaik harus ke dokter, Bu."

Fetty mengiyakan dengan tersipu.

Lis tertawa.

"Dok kan dokter."

"Tapi saya bukan ahlinya."

"Ah, nggak apa-apa, Bu. Waktu bincang-bincang dia bilang Ibu nggak enak badan, jadi saya berinisiatif untuk menengok. Lalu saya periksa sekalian."

"Maafkan untuk kelancangan Lis, Dok," kata Fetty sambil mencubit Lis.

"Ah, nggak apa-apa, Bu. Waktu bincang-bincang dia bilang Ibu nggak enak badan, jadi saya berinisiatif untuk menengok. Lalu saya periksa sekalian."

"Terima kasih, Dok," kata Fetty yang masih merasa malu." Kalau saja ia tahu Hilman akan memeriksanya tentu ia membersihkan badan dulu lalu ganti pakaian yang bersih. Dalam hati ia menyesali Lis yang tidak memberitahu lebih dulu.

Hilman menganjurkan Fetty untuk tetap di tempat tidur, tapi ia menolak. Jadi mereka kembali ke ruang tamu untuk bergabung dengan

Anas dan Aria.

"Lis merepotkan Dok saja," kata Anas.

Hilman menjadi salah tingkah.

"Nggak apaapa, Pak." Tapi suasana serba salah itu segera hilang setelah terjadi perbincangan mengenai Adrian. Itu masih menjadi topik yang hangat. Dalam masalah itu Hilman tidak merasa canggung. Apalagi ketika ia bercerita bagaimana ia melihat ruang bawah tanah rumah Mandar dengan ditemani Adrian.

"Si lan itu berani sekali, ya," kata Anas dengan takjub.

"Menurut saya sih keberaniannya itu nggak wajar," komentar Aria.

"Nggak wajar gimana?" Fetty melupakan rasa badannya.

"Maksud saya, keberaniannya berlebihan. Bayangin. Tinggal di rumah besar yang seperti itu sendirian. Hiii...!"

"Dia bermental baja," kata Hilman.

"Menurut Dok, itu wajar?" tanya Aria.

"Ada saja orang yang lain dari yang lain. Yang unik. Lain sendiri,"

"Kau sendiri apa berani, Lis?" goda Aria.

Lis menggelengkan kepala.

"Tapi kalau berdua sih berani."

Mereka tertawa.

"Jadi menurut Dok, sebaiknya kita terima saja si Ian seperti biasa?" tanya Anas.

"Sebaiknya begitu. Demi suatu kebaikan, kita, harus bisa menahan emosi. Apalagi kalau dipikir lebih jauh, Adrian punya sisi kebaikan juga. Dan ia bisa memberi kita informasi yang berguna," sahut Hilman.

Akhirnya bahan yang diperbincangkan habis juga. Hilman sudah berpikir untuk pamitan. Secara diam-diam ia sudah memberi tanda kepada Lis.

Tiba-tiba Lis menggandeng lengan Hilman dengan sikap yang mesra.

"Papa, Mama, Mas Aria, saya ada pengumuman. Kami berdua saling mencintai!"

Bukan cuma Anas, Fetty, dan Aria yang tertegun, tapi juga Hilman. Wajahnya menjadi merah seperti tomat. Ia benar-benar canggung dan malu. Ketika Lis menyikutnya, barulah ia sadar. Tentunya ia harus mengatakan sesuatu.

"Ya, kami mohon restu dari Bapak, Ibu, dan Mas Aria," katanya, memberanikan diri.

Anas, Fetty, dan Aria bergantian menyalami

dan memberi selamat. Tiba-tiba Fetty merasa badannya tak lagi sakit. Itu sebuah surprise yang sangat mendadak. Mereka sama sekali tidak siap mendengar berita itu. Tidak ada kesempatan berdiskusi dulu atau berpikir-pikir dulu apa yang sebaiknya dikatakan.

Karena itu mereka jadi merasa agak canggung dan bingung. Dalam hati semua menyesalkan Lis yang begitu mendadak memberitahukan hal yang begitu penting. Tapi bukan cuma mereka, Hilman pun sama saja. Bukankah Lis sudah berjanji untuk menunggu sampai ibunya sehat?

"Benar-benar satu kejutan yang luar biasa," kata Anas akhirnya.

"Soalnya, nggak ada pertanda apa-apa sebelumnya."

"Memang belum lama, Pa," kata Lis yang justru menikmati kecanggungan semua orang.

"Itu tidak terjadi sejak awal ketemu."

Pemberitahuan itu membuat Hilman jadi pusat perhatian. Semua mengamatinya seakan dia orang yang baru pernah dilihat. Seorang dokter keluarga tentu berbeda dibanding seorang calon menantu dan kakak ipar meskipun orangnya sama. Ah, bila diperhatikan orangnya lumayan

gagah kok. Memang sudah berumur, tapi belum terlalu tua. Lelaki usia sebegitu justru bisa jadi seorang pelindung yang baik, apalagi dia sangat memahami Lis. Duda juga tidak apa-apa, karena dia toh bukan duda cerai.

"Tapi bagaimana dengan anak-anak, Dok?" tanya Fetty.

"Mereka mendukung, Bu," sahut Hilman malu-malu. Dia teringat ketika dulu pertama kali dikenalkan kepada mertuanya. Rasanya seperti duduk di atas bara api, dan leher seperti tersumbat, Sungguh tak disangka bahwa dalam usianya sekarang ini ia harus mengalaminya lagi.

Lalu Anas kembali mendekati Hilman. Kali ini ia tidak hanya menyalami seperti tadi, melainkan memeluknya dan menepuk-nepuk punggung Hilman.

"Aduh, siapa sangka kita bisa jadi anggota keluarga ya, Dok. Dulu saya pernah bilang Dok dikirim oleh Tuhan untuk menolong, tapi ternyata lebih dari itu."

Sedang Lis berpelukan dengan ibunya. Fetty berbisik di telinga Lis,

"Kamu nakal! Nggak bilang-bilang dulu!"

Aria juga memeluk adiknya dan kemudian memeluk Hilman. Yang terakhir dilakukannya dengan canggung. Tiba-tiba ia mendapat seorang calon kakak ipar yang sama sekali di luar persangkaan. Tunggulah reaksi Satya nanti kalau dia pulang dan diberitahu.

Paling akhir Hilman mencium Fetty di pipi kiri dan kanan.

Betapa leganya Hilman ketika ia mendapat kesempatan untuk pamitan. Ia keluar diantarkan semuanya sampai pintu pagar, tapi Lis mengikutinya sampai ke mobil yang diparkir di tepi jalan.

"Aduh, Lis, kau melanggar janji!" kata Hilman.

Lis tertawa senang.

"Jangan marah ya, Dok. Tapi sebenarnya itu di luar rencana. Saya pikir, kapan lagi? Saya ingin melihat spontanitas mereka di mana Dok juga melihatnya. Kalau dikasih tahu dulu, orang suka pura-pura, Dok."

"Jadi menurutmu reaksi mereka bagaimana?"

"Mereka senang, tapi tidak menyangka. Yang jelas mereka cukup jujur dengan reaksi yang diperlihatkan. Bukan begitu, Dok?" kata

Lis dengan bangga.

Hilman juga merasa bangga akan perbuatan Lis meskipun tadi sempat menyesalkannya.

"Katakan, Lis. Kayak apa saya tadi?"

"Waduh, muka Dok merah kayak apel Fuji!" Lis tertawa.

Hilman ingin sekali memeluk Lis dan menyumbat mulutnya dengan ciuman, tapi itu tentu tidak mungkin.

Dalam perjalanan pulang, ia tersenyumsenyum sendirian. Ia merasa hidupnya di masa depan dengan didampingi Lis akan menjadi ramai dan ceria.

"Itu perkembangan yang bagus sekali," kata Anas pada saat Lis masih bercengkerama dengan Hilman di luar.

"Ya. Tak ada orang yang lebih memahami Lis selain Dokter Hilman," sahut Fetty.

"Kita harus bersyukur. Apalagi anak-anaknya mendukung. Itu kan penting."

"Jelas dia sendiri terkejut ketika Lis menyampaikan hal itu. Mukanya sampai merah dan tingkahnya serba salah. Dia sama sekali tidak siap," kata Aria dengan geli.

"Ya. Dia sendiri bilang. waktu bincang-bincang sama Lis, dia diberitahu bahwa aku nggak enak badan lalu dia ingin menjengukku. Jadi tujuannya ke sini cuma itu. Aku sampai sembuh mendadak. Lihat, sudah keluar keringat tanpa makan obat," kata Fetty dengan takjub.

"Dan Lis memanfaatkan situasi. Ah, Lis memang bengal." Anas geleng-geleng kepala.

Kemudian Lis masuk rumah. Ia langsung dikerubuti.

****

MENGIKUTI saran Hilman, Indri .akan menghabiskan libur besarnya di Jakarta dan menginap di rumah Hilman. Dengan demikian Lis tidak usah ikut dengan Rudy ke Purworejo. Kedua orang yang sedang menjalin cinta itu pun tidak perlu merasa kehilangan satu sama lain.

Rudy juga senang karena tentunya ia bisa lebih leluasa di rumah sendiri. Ia tidak perlu merepotkan keluarga Indri. Memang ia dan Lis bisa saja tinggal di hotel, tapi bagaimana menolak permintaan orangtua Indri yang ingin membalas budi ayahnya dengan memaksanya menginap di rumah mereka lalu memanjakannya dengan makanan? Hal itu pernah dialaminya dulu. Dan kemudian ia merasa sangat tidak enak. Ia tahu keadaan ekonomi mereka


Sapta Siaga 07 Gua Rahasia Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian Dewi Olympia Terakhir Last Olympian

Cari Blog Ini