Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari Bagian 1
- 1 -- 2
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3
Maya Lestari
Dendam
Sepotong
Tangan
PONDOK MELATI- 4
Apabila ada nama dan tempat kejadian,
atau pun cerita yang bersamaan,
itu hanyalah suatu kebetulan belaka.
Cerita ini adalah fiktif.
DENDAM SEPOTONG TANGAN
karya : Maya Lestari
Diterbitkan oleh: Pondok Melati, Jakarta
Cetakan pertama : 1992
Setting : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Pondok Melati
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.- 5
1
"Brengsek lu, ah!!" Lea bersungut
"Alaaaa... jangan sok suci!" Murdi tersenyum.
"Bukan sok suci, tapi caramu kasar!"
"Kasar bagaimana?"
"Diam, ah!"
"Jangan begitu, Lea."
"Saya nggak suka sama kamu!!" Lea kesal.
"Gimana kalau kubayar dobel?"
"Saya nggak butuh duitmu!" Lea menatap dengan
kesal, kemudian berdiri hendak meninggalkan kursinya, tapi
dengan cepat tangan Murdi menangkap lengannya.
"Kamu mulai sombong, he...??!" Murdi mendesis
geram: "Mulai kapan hostess kayak kamu mulai berani
meremehkan saya??!"
"Lu bajingan!!" Lea meludah.
Telapak tangan Murdi melayang menampar pipi
perempuan itu, hingga perempuan itu memekik dan terjatuh
ke lantai.
Para pengunjung bar yang menyaksikan hal itu tidak
ada yang mau ambil pusing. Kejadian semacam itu sudah- 6
terlalu sering terjadi di situ. Apalagi kalau pelakunya adalah
Murdi, maka jarang ada yang berani ikut campur. Mereka
semua tahu bahwa Murdi boleh dibilang 'biang setan' di
kawasan itu, dan hampir tidak ada yang berani mencegah
segala sepak terjangnya.
Lea berusaha berdiri sambil mengusap darah yang
meleleh disudut bibirnya. Sepasang matanya yang berkaca
kaca tampak menatap Murdi dengan penuh dendam.
"Kamu... bajingan!!!" Lea mengumpat.
Sekali lagi telapak tangan Murdi melayang, dan tubuh
Lea tersentak dengan bekas jari di pipinya. Tapi Murdi tidak
puas. Dia segera-merenggut rambut perempuan itu dengan
wajah geram.
"Sekali lagi kamu ucapkan itu, kuhabisi kamu!!"
ucapnya mengancam.
"Lepaskan perempuan itu. Bung!" suara lain
terdengar.
Semua pengunjung bar menengok ke arah suara itu
dengan keheranan, karena jarang terjadi seseorang berani
mencegah perbuatan Murdi.
Di ambang pintu tampak seorang pemuda dengan
mengenakan jaket kulit yang sudah lusuh, tampak berdiri
tegak menatap Murdi. Murdi tersenyum dingin.
"Kamu siapa. Bung?"- 7
"Bukan siapa-siapa." jawab pemuda itu. "Saya cuma
mau mampir untuk minum. Kamu keberatan?"
"Ooo... enggak!" Murdi tertawa lirih: "Bar ini terbuka
buat siapa saja. Tapi saya keberatan karena kamu berani ikut
campur urusanku dengan perempuan ini."
"Saya cuma tidak tega melihat perempuan yang
diperlakukan dengan kasar." jawab pemuda itu sambil
menolong Lea bangkit berdiri.
"Terimakasih..." Lea berbisik: "Tapi kamu terlalu
sembrono dengan mencampuri urusan Murdi. Dia...
berbahaya!"
"Tapi dia nggak makan orang, kan?" bisik pemuda itu
tersenyum. Kemudian sambil melewati Murdi pemuda itu
melangkah menuju meja bar, namun langkahnya tertahan
karena Murdi mencekal pundaknya.
"Tunggu Bung!" Murdi mendesis.
Pemuda itu memutar tubuhnya.
"Ada apa?"
"Urusan kita belum selesai." Murdi menatap tajam.
"Saya kira sudah selesai." Pemuda itu tersenyum.
"Belum."
"Lalu...?"- 8
Murdi tak menjawab. Tapi kepalan tangan kanannya
dengan cepat menyambar, tapi pemuda itu sempat
menunduk sambil mengirimkan sebuah pukulan tangan kiri
yang tepat menyambar perut Murdi dengan telak. Tubuh
Murdi terhuyung ke belakang. Lelaki itu menyeringai
kesakitan. Tapi secepat itu pula tangan kanannya meraih
sebilah pisau dari balik bajunya, lalu dengan penuh geram
dia menerjang ke depan seraya mengayunkan pisau itu
menikam lawannya.
Dengan sebuah tendangan pemuda itu berhasil
menghantam pergelangan tangan Murdi, hingga pisau itu
terlepas. Lalu tiba-tiba saja pukulannya menyambar tulang
rahang Murdi dengan keras, hingga tubuh lelaki itu
terpelanting menabrak dinding. Dan sebelum Murdi sadar
akan keadaan dirinya, pemuda itu kembali menyerang
dengan tendangan memutar, dan kali ini tepat menyambar
sisi leher lawannya.
Sekali lagi Murdi terpelanting dan tersungkur
mencium lantai. Semuanya terjadi begitu cepat, sehingga
para pengunjung bar itu sempat terpukau karenanya.
"Bir-nya satu!" pemuda itu memberi isyarat pada
pelayan bar sambil duduk tenang menghadapi meja.
Si pelayan dengan tergopoh-gopoh menyediakan bir
yang dipesan, para pengunjung bar itu menatap si pemuda
sambil sesekali saling berbisik lirih. Sementara itu Lea- 9
melangkah mendekati pemuda itu dan duduk di kursi di
dekatnya.
"Saya tidak kenal kamu." kata Lea: "Tapi sebaiknya
kamu cepat pergi dari sini, kalau kamu mau selamat"
"Saya ke sini cuma kepingin nge-bir!" Pemuda itu
tersenyum: "Kamu juga mau kupesankan satu?"
"Jangan main-main." Lea tampak cemas: "Kamu
memang sudah menolong saya. Tapi kalau nanti terjadi apa
apa, saya tidak bisa menolong kamu."
"Saya bisa menolong diri saya sendiri." Pemuda itu
menjawab tenang sambil meneguk gelas bir-nya.
"Iya! Tapi..." Lea tak sempat, meneruskan kata
katanya, karena dua orang lelaki pengunjung bar yang sejak
tadi duduk di sudut ruangan, mendadak berdiri dan
keduanya melangkah mendekati meja pemuda itu.
Wajah Lea tampak pucat
"Ini yang saya cemaskan!" Lea berbisik: "Kedua
orang itu adalah Sukir dan Maman. Mereka teman-teman
Murdi yang pasti akan mencelakakan kamu."
"Oh, ya...? Kenapa mereka tidak mengeroyok saya
sejak tadi?" kata pemuda itu sambil melirik ke arah kedua
orang yang mendekatinya.
"Karena Murdi biasanya selalu memenangkan setiap
perkelahian!"- 10
"Kalau begitu kamu tak perlu cemas!"
"Hati-hatilah!"
"Jangan kuatir. Saya selalu hati-hati." pemuda itu
tersenyum.
Lea perlahan berdiri dari tempat duduknya sambil
menatap kedua lelaki itu yang telah tiba tepat di sisi meja si
pemuda itu.
"Kamu lumayan juga. Bung!" Sukir tersenyum
menyeringai: "Kamu bisa mengalahkan temanku dalam
waktu singkat!"
"Nggak juga..." Pemuda itu tersenyum sambil
meneguk isi gelasnya: "Cuma kebetulan saja temanmu itu
lagi apes!"
"Kamu sudah merasa jagoan, hmmm...??!" Maman
mendesis.
"Kamu yang bilang begitu." Si pemuda tersenyum.
"Sudah, Man! Anak seperti ini nggak boleh diajak
ngobrol terlalu lama." Sukir tertawa sinis: "Kita habisi saja
dia di sini, biar..."
Sukir tak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba
tiba saja pemuda itu mendorong meja di depannya dengan
keras, hingga tubuh Sukir terjengkang. Dan sebelum Maman
bertindak, pemuda itu sudah mendahului dengan sebuah- 11
pukulan keras yang menyambar ke arah dagu. Tubuh
Maman terputar dan jatuh menabrak meja di belakangnya.
"Pejajaran, lu!!" Sukir menyumpah sambil melompat
menyerang. Tapi pemuda itu menyambut dengan pukulan
botol bir yang tepat menghantam pelipis lawannya, hingga
Sukir merintih dan jatuh terkapar di lantai.
"Sekarang tinggal kamu." Pemuda itu mendesis:
"Sebaiknya kamu angkat kaki saja dari sini!"
"Anak sundel!" Maman menggeram. Cepat dia
memungut pisau Murdi yang tergeletak di lantai dan
menggenggamnya erat-erat.
"Kukeluarkan ususmu!" Maman mengancam.
"Coba saja..." Pemuda itu waspada.
Seperti kilat pisau tajam itu berkelebat menyambar ke
arah perut. Tapi pemuda itu sempat melompat mundur
sambil menendang sebuah kursi yang ada di dekatnya. Kursi
itu meluncur dan menghantam lutut Maman, hingga lelaki
itu sempoyongan. Kesempatan yang hanya sesaat itu cepat
dipergunakan pemuda itu dengan melompat seraya
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melancarkan tendangan keras ke arah dada lawannya,
hingga Maman terjungkal. Dan sebelum lelaki itu sempat
tegak kembali, pemuda itu cepat meraih kursi dan
dipukulkan tepat ke arah tengkuk lawannya. Tubuh Maman
menggeliat sesaat, lalu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Pemuda itu mengebas-ngebaskan jaket kulitnya yang kumal- 12
dengan telapak tangannya, sekedar membersihkan debu
debu yang melekat pada pakaiannya.
Kembali para pengunjung bar yang lain tampak
terpukau oleh pertarungan singkat yang mengesankan itu.
"Bar-mu ini kurang ramah, Bung!" Pemuda itu
tersenyum sambil membayar harga bir di meja pelayan.
"Kamu juga harus mengganti meja dan kursi yang kau
rusakkan!" Si pelayan menatap tajam.
"Persetan!" si pemuda meludah: "Tamu-tamumu
yang cari gara-gara. Kamu boleh minta ganti rugi dengan
ketiga orang yang pingsan itu!"
Dan tanpa berkata sepatah pun, pemuda itu perlahan
melangkah menuju pintu keluar.
Angin malam di tepi jalan serasa dingin
menghempas-hempas membawa bau udara pelabuhan
pengap. Bulan purnama yang mengambang di atas sana
seolah tampak pucat tak berdaya dikalahkan oleh
gemerlapnya cahaya kemilau lampu-lampu kapal yang
bersandar di dermaga dan bertebaran berlabuh di laut di luar
dam.
Tanjung Priok memang seraut wajah tua yang tak
pernah tidur.
Pemuda itu melangkah perlahan menyelusuri trotoar
sambil membetulkan krah leher jaketnya untuk mengatasi
udara dingin malam itu. Beberapa buah truk peti kemas- 13
tampak masih sibuk keluar masuk dari arah pintu pelabuhan
sambil meninggalkan kepulan debu yang bergulung-gulung
menyumbat tenggorok-an siapa saja yang lewat di sana.
Sementara di sana-sini tampak beberapa warung kecil yang
berjajar disepanjang pagar tembok pelabuhan, dengan
cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip, mengundang
para lelaki petualang malam yang suka minuman
beralkohol, dilengkapi beberapa sosok tubuh wanita muda
bergincu tebal, bagai boneka-boneka malam yang selalu
mengumbar senyum penuh birahi.
"Bung!" terdengar suara lirih menyapanya.
Pemuda itu berpaling ke belakang, dan melihat Lea
berjalan menyusulnya dengan wajah masih diliputi
ketegangan.
"Kamu...?"
"Saya... saya perlu bantuanmu." Lea mengusap air
matanya.
"Bantuan apa?"
"Tolong antarkan saya ke... ke alamat ini." kata Lea
sambil menunjukkan secarik kertas berisikan nama dan
alamat seseorang.
"Tapi..."
"Kalau kamu keberatan, saya tidak akan memaksa."
Lea tampak kecewa.- 14
"Baiklah!" pemuda itu mengangguk.
"Taxi!" Lea berseru seraya melambaikan tangannya
ke arah mobil taxi yang kebetulan melintas dekat mereka.
Taxi itu pun berhenti.
"Ayolah! Kita harus cepat!" kata Lea sambil menarik
tangan pemuda itu memasuki taxi. Sesaat kemudian, taxi itu
meluncur di atas jalan raya yang dipenuhi kendaraan yang
bersimpang siur.
"Ke mana, Mbak?" Si sopir bertanya.
"Grogol!" jawab Lea.
"Lewat Ancol?"
"Nggak! Lewat jalan tol aja!"
Taxi itu melaju melintasi perempatan pasar Mambo,
menanjak jembatan permai dan melaju menembus
keramaian lalu lintas Jl.Yos Sudarso menuju ke arah pintu
jalan tol di dekat jembatan Plumpang.
Sepanjang perjalanan, pemuda itu tampak berdiam
diri dan sesekali menatap wanita muda yang duduk di
sampingnya.
"Maaf! Kalau saya terpaksa mengganggu kamu." kata
Lea.
"Tidak apa. Cuma saya masih bingung kenapa kamu
kok seperti ketakutan begitu." kata pemuda itu.- 15
"Kamu akan mengerti kalau tahu siapa Murdi dan
teman-temannya!" Lea menyambung: "Dia mengancam
kita."
"Kita?"
"Ya. Saya dan kamu." kata Lea: "Tadi sesudah kamu
berkelahi dengan Sukir dan Maman, Murdi sadar dari
pingsannya."
"Lalu?"
"Murdi mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya
akan bertekad mencari kamu untuk membalas dendam. Dan
untuk saya sendiri, dia mengancam akan menghabisi Erni!"
"Erni siapa?"
"Kakakku."
"Kenapa kok kakakmu yang akan dijadikan sasaran?"
"Karena dia tahu saya sangat menyayangi kakakku
itu." jawab Lea: "Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri
kakak saya itu, hidup saya akan hancur!"
"Hmmm... agaknya kamu punya kasih sayang yang
luar biasa terhadap kakakmu itu." Pemuda itu tersenyum:
"Saya mengagumi. Tapi apakah selama ini, Murdi mengenal
kakakmu dengan baik?"
"Dia sangat tergila-gila pada Erni. Tapi Erni selalu
menolaknya."- 16
"Maaf! Apakah Erni kakakmu itu juga seorang
hostess seperti kamu?"
"Oo... tidak. Erni bukan wanita bejat seperti saya.
Dia..."
"Kamu tidak bejat" Pemuda itu tersenyum: "Cuma
barangkali kamu..."
"Sudahlah." Lea cepat menyela: "Itu nggak penting.
Tapi saya perlu sekali lagi mengucapkan terimakasih karena
kamu mau menolong dan memperhatikan saya waktu Murdi
menyiksa saya. Oh, ya... saya belum tahu namamu."
"Theo." jawab pemuda itu.
"Namamu bagus, Theo." Lea mencoba tersenyum:
"Namaku Lea."
"Namamu juga bagus, Lea."
"Nasibku yang jelek."
"Tidak lebih jelek dari nasibku." Theo tersenyum.
"Apa kerjamu, Theo?"
"Kuli kapal!"
"Kelasi?"
"Yaa... begitulah!"
"Saya suka kamu, Theo!"
"Begitu cepat?"- 17
"Nggak tahu1ah!" Lea agak tersipu: "Kamu nggak
beringas kayak umumnya pelaut-pelaut lainnya."
"Oh, ya?" Theo tersenyum: "Soalnya kamu belum
tahu siapa saya."
"Yang saya tahu, saya suka kamu."
Perlahan tangan wanita itu meraih jari-jemari Theo
dan meremasnya perlahan, penuh kehangatan. Theo
berpaling ke arahnya.
"Kamu mau jadi sahabatku?" Bisik Lea.
"Kita sudah jadi sahabat, kan?" Theo tersenyum.
"Kamu nggak keberatan saya minta sesuatu?"
"Apa?"
"Ciumlah saya."
"Jangan sekarang!" Theo menahan senyum.
"Kenapa?"
"Nanti bisa diintip supir lewat kaca spion!" Theo
berbisik.
"Biarin ajal" Lea mulai tampak binal. Dia mulai
mendekatkan wajahnya ke arah wajah Theo dengan
sepasang bibirnya yang menantang. Theo harus mengakui
bahwa wanita itu memang cukup cantik, meski hidungnya
masih kurang sedikit mancung. Pemuda itu mulai tergoda.- 18
Dia mulai menarik tubuh Lea ke arahnya sambil melirik ke
arah sopir. Tiba-tiba dia tersentak.
"Lea..." bisiknya.
"Kenapa?"
"Kita menuju ke mana?"
"Ke Grogol! Ke tempat tinggal Erni, kakakku.
Kenapa?"
"Ini bukan arah menuju Grogol!" kata Theo: "Sopir
taxi ini membelokkan kendaraannya ke kiri. Lihat, jembatan
Cawang ada di belakang kita!" Lea menengok ke belakang
dan menyapukan pandangannya lewat jendela dan seketika
dia mengerutkan alisnya.
"Brengsek! Benar! Ini bukan menuju Grogol!"
ucapnya.
"Yang benar, kita sedang menuju arah jalan raya
Bogor!" kata Theo.
"Hei... Pir! Kok kita lewat sini, sih?" Lea menegur
sopir.
Sopir itu tak menjawab, dan bahkan tancap gas hingga
taxi itu melesat bagaikan terbang melewati jalan layang
menuju ke arah luar kota.
"Pir! Kamu gimana, sih??!" Lea makin tak mengerti.- 19
"Ini permainan kotor!" Theo mendesis: "Kamu tetap
di sini dan pegangan erat-erat!"
"Barangkali sopir ini gila!" Lea mulai tampak
ketakutan.
"Saya juga bisa gila." Theo bergumam. Kemudian
dengan cepat pemuda itu melompati jok depan dan
mencekal belakang leher si sopir.
"Kamu jangan main-main, Bung!" Theo menggeram:
"Apa maumu??!"
Theo cepat melepaskan tangannya dari leher sopir itu,
ketika sebilah pisau berkilat melesat menyambarnya.
"Sialan kamu!!" Theo menyumpah.
"Berani mendekat, kurobek perutmu!" Sopir itu
mengancam sambil mengacungkan pisau dengan tangan
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kiri, sementara tangan kanannya memegang kemudi
mobilnya.
"Ke mana kamu mau membawa kami?" Theo
bertanya dengan geram.
"Ke neraka!"
"Kalau begitu jatuhkan saja taxi-mu ini melompat ke
bawah jalan tayang ini, dan kamu akan ikut mampus!"
"Saya lebih tahu caranya!" Sopir itu mendengus.- 20
"Saya juga tahu cara menghentikan kamu!" Theo
berseru dan secepat itu pula kaki kanannya menyambar
dengan gerakan menyilang, dan tepat menyambar wajah si
sopir, hingga orang itu terbanting pada sandaran tempat
duduknya.
Mobil taxi itu oleng ke kiri dan hampir menabrak
pagar jalan layang.
"Theoooo!!! Awaaaasss...!!!" Lea menjerit.
Theo cepat meraih stir dan berusaha mengendalikan
laju kecepatan kendaraan itu. Ketika pemuda itu berusaha
untuk mengurangi kecepatan, lewat kaca spion di depannya
dia sempat melihat si sopir mengayunkan pisau ke arah
punggungnya.
"Awas, Theooo...!!" Lea menjerit memperingatkan.
Cepat Theo membanting stir ke kanan hingga mobil
itu tersentak oleng, dan sopir itu kehilangan keseimbangan
sesaat. Kesempatan itu dipergunakan Theo untuk
mengayunkan sisi telapak tangannya yang tepat
menghantam tengkuk si sopir, hingga lelaki itu jatuh
tersungkur mencium lantai mobil. Dengan tergesa-gesa
Theo segera mengurangi kecepatan kendaraan itu dan
mengerem, hingga taxi itu berhenti tepat di tepi jalan yang
sunyi yang jarang dilewati kendaraan. Sebelum si sopir itu
bangkit kembali, Theo sudah mencengkeram krah lehernya
dengan kasar.- 21
"Bangun, Bung! Saya mau bicara!" Theo mendesis.
"Bangsat, kamu!" Si sopir memaki: "Kamu tidak
akan..."
Kata-kata sopir itu terhenti ketika Theo menampar
wajahnya dengan keras, hingga mulut lelaki itu berdarah.
"Jawab dengan jujur!" Theo mengancam: "Kamu
disuruh Murdi, kan??!"
"Persetan kau!!"
Kembali tangan Theo melayang. Lelaki itu merintih
kesakitan.
"Jawab! Atau kurontokkan gigimu!!" Theo kembali
mengancam.
"Benar..." Si sopir terengah-engah: "Ss-saya...
disuruh Murdi."
"Untuk membunuh kami berdua?"
Sopir itu mengangguk.
"Terimakasih. Kamu boleh tidur sekarang!" Sambil
berkata begitu, Theo sekali lagi menghajar sopir itu, kali ini
dengan pukulan keras yang menyambar pelipisnya. Sopir
naas itu seketika terkulai pingsan.
"Sadis juga kamu, Theo!" Lea berkata lirih.
"Saya rasa kadang-kadang itu perlu."- 22
"Ss... saya tidak sangka si Murdi begitu dendam,
sampai-sampai menyuruh sopir ini untuk membunuh
kamu."
"Dan kamu juga." jawab Theo: "Hmm... kita sudah
terlalu banyak membuang waktu. Kita akan menuju ke
tempat tinggal kakakmu itu. Barangkali kalau Murdi
bertindak cepat, kakakmu sekarang sudah dalam bahaya!"
"Kamu benar!" Lea tampak cemas: "Jadi... gimana,
ya??!"
"Kita mesti cepat ke sana!" jawab Theo: "Tapi sopir
ini harus diikat dulu."
"Kita ke Grogol pakai mobil apa?"
"Ya pakai mobil ini-lah! Pakai mobil mana lagi?"
jawab Theo sambil melepaskan sabuk pengaman dari
tempatnya dan menggunakannya untuk mengikat tangan si
sopir yang masih pingsan itu.
Setelah itu, tanpa membuang waktu, pemuda itu
segera duduk di belakang stir dan menjalankan kendaraan
itu dengan membelokkan kembali ke arah semula.
Dan taxi itu pun meluncur dengan kencang
menembus hitamnya malam yang kian pekat. Jauh di sana
tampak lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit
bertaburan di sepanjang kaki langit dengan warna-warni
yang kemilau bagai hamparan semarak pesta yang tak
pernah usai.- 23
"Perasaanku rasanya nggak enak, Theo." kata Lea.
"Kenapa?"
"Kayaknya aku dapat firasat jelek."
"Jangan percaya pada firasat."
"Saya kuatir kalau-kalau Erni mengalami..."
"Kita akan sampai di sana dalam duapuluh menit!"
kata Theo sambil menambah kecepatan taxi yang
dikemudikannya, sehingga kendaraan itu melesat bagaikan
terbang di atas jalanan aspal.
"Theo... hati-hati!!" Lea tampak cemas.
"Kita harus mengejar waktu!" jawab Theo sambil
membanting stir ke kanan ketika hampir menabrak truk yang
ada di depannya.
***- 24
2
Erni tertegun.
Di hadapannya duduk seorang lelaki yang selama ini
selalu menjadi duri dalam hidupnya. Murdi memang sudah
sejak lama dikenalnya, yaitu sejak pertama kali menginjak
Jakarta, dan sejak saat itu lelaki itu selalu membayangi
langkahnya. Kini lelaki itu berada di hadapannya dengan
wajah liarnya.
"Ini kesempatanmu yang terakhir, Erni!" Murdi
tersenyum sambil mengisap rokoknya: "Kalau kamu masih
juga menolak saya, maka kamu lebih baik tidak jadi milik
siapa-siapa. Kamu akan saya... habisi di sini!"
"Tapi... tapi salah saya apa. Mur?" Erni tampak
cemas.
"Kamu mempermainkan saya. Itu kesalahanmu yang
terutama!"
"Kapan?" Erni keheranan: "Kapan saya mempermain
kan kamu?"
"Kapan, kamu bilang?" Murdi tertawa dingin:
"Buktinya kamu selalu menolak kalau saya dekati. Apa itu
namanya bukan mempermainkan saya?"- 25
"Murdi! Kamu mestinya ngerti dong!" Erni menukas:
"Saya kan sudah bilang dari dulu, bahwa saya ini nggak
cinta sama kamu!"
"Tapi aku mencintai kamu. Ngerti nggak?"
"Ya nggak bisa gitu. Itu namanya kamu mau menang
sendiri!"
"Pokoknya saya nggak mau pulang." Murdi
mengancam: "Kamu tinggal pilih, mau kawin sama saya,
atau mati. Habis perkara!"
"Saya tetap nggak mau!!" Erni berkeras. Tangan
Murdi yang kokoh itu menggenggam lengan gadis itu
dengan erat, hingga gadis itu tampak kesakitan.
"Murdi... kamu gila!" Erni tampak marah.
"Kamu lebih cantik kalau sedang marah begini!"
Murdi tersenyum: "Kamu memang secantik adikmu, si Lea
itu. Cuma sayangnya adikmu itu cuma perempuan hostess
yang sudah sering dipegang-pegang lelaki!" Murdi
tersenyum: "Makanya saya lebih senang sama kamu."
"Hmmm... jadi itu tujuan kalian membawa saya ke
tempat ini??!"
"Betul!" Murdi mengangguk: "Saya, Sukir dan
Maman memang sengaja membawamu ke tempat ini."- 26
"Hmmm... jadi kamu bohong, ya??!" Erni tampak
marah: "Tadi kamu bilang Lea ada di tempat ini. Mana
adikku itu?"
"Barangkali sekarang adikmu itu sudah melancong ke
neraka bersama teman lelakinya!" Murdi tertawa.
"Maksudmu?" Erni terperanjat.
"Si Lea, adikmu itu, tadi sudah bersikap kurang ajar
pada saya dan dibantu teman lelakinya." Murdi mencibir:
"Makanya, yaaaah... terpaksa saya menyuruh si Amsar,
teman saya yang kerjanya jadi sopir taxi, buat menghabisi
mereka berdua!"
"Terkutuk!!!" Erni mengumpat: "Jadi... jadi kalian
sudah membunuh adik saya itu??!"
"Bukan membunuh." Murdi tertawa: "Cuma
memindahkannya ke... akherat!"
"Kamu... pembunuh!!" Erni meronta dan menampar
wajah Murdi. Tapi lelaki itu segera meringkus tangannya ke
belakang punggung, lalu mendorongnya dengan kasar,
hingga gadis itu tersungkur di sudut ruangan.
"Kamu boleh menjerit sesuka hatimu. Di sini tidak
ada yang bisa mendengar suaramu. Rumah kosong ini
letaknya sangat terpencil, dan tidak ada orang yang tahu
kalau saya membunuh kamu di tempat ini!"
Erni menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangannya dan menangis tersedu-sedu.- 27
"Kamu jahat, Murdi!" ucapnya terisak: "Kamu
jahat... jahat!!"
"Nah sekarang bagaimana?" Murdi tersenyum:
"Kamu mau jadi istri saya atau..."
"Nggak mau!!!" Erni berteriak histeris: "Saya benci!
Saya jijik lihat kamu! Saya akan laporkan perbuatanmu ke
polisi!!"
"Begitu?" Murdi tertawa: "Kamu kira, kamu bisa
keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup??"
"Kalau kamu mau bunuh saya, bunuhlah sekarang!!"
Erni meradang: "Saya lebih baik mati daripada lihat
tampangmu yang busuk itu!!"
"Hmmmm... baik kalau begitu." Murdi tersenyum,
lalu berpaling ke arah pintu: "Hoooi... kalian boleh masuk
sekarang!"
Sukir dan Maman melangkah masuk.
"Mobilnya di mana?" Murdi bertanya.
"Saya parkir di dekat pohon-pohon bambu yang di
sana itu!" jawab Maman.
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus. Kita akan pakai mobil itu untuk pulang ke
Priok!" kata Murdi.
"Lantas perempuan ini bagaimana?" Sukir bertanya.- 28
"Dia rupanya pilih mati." Murdi menjawab tenang:
"Tapi sebelum dia kita bunuh, sebaiknya dia kita ajak
berpesta dulu!"
Maman dan Sukir menyeringai buas.
***
"Kemana perginya?" Lea bertanya.
"Nggak tahu!" jawab Tati: "Pokoknya tadi saya lihat
perginya pakai mobil kijang warna biru, sama tiga laki
laki!"
"Ciri laki-lakinya gimana?" Lea ingin tahu.
"Yang satu jangkung, pakai topi pet pakai kaos
oblong!"
"Itu... si Murdi!" Lea mendesis sambil berpaling ke
arah Theo.
"Benar." Theo mengangguk.
"Yang dua lagi?" Lea bertanya.
"Yang dua lagi orangnya agak pendek!" Tari
menjelaskan: "Yang satu pakai baju kotak-kotak, yang
satunya lagi bajunya biru polos pakai gigi emas!"
"Itu Sukir dan Maman!" Lea mulai tampak cemas.- 29
"Sebenarnya ada apa sih, Lea?" Tati ingin tahu:
"Memangnya kenapa dengan si Erni?"
"Nggak apa-apa, kok!" kata Lea: "Eh... tadi waktu
Erni pergi sama ketiga lelaki itu, dia pesan apa sama kamu?"
"Nggak, kok! Nggak pesan apa-apa." kata Tati: "Eh...
tapi kalau nggak salah, sebelum pergi dia sempat ngomong
sedikit sama si Midah!"
"Ngomong apa?"
"Ya nggak tahu." kata Tati: "Waktu dia ngomong
sama Midah, saya lagi ngejemur baju, kok!" Kemudian Tati
menatap ke arah lain: "Tuh... si Midah!"
Lea segera mendekati wanita yang bernama Midah
itu, diikuti oleh Theo dan Tati.
"Midah...!" Lea menyapa: "Kamu tadi bicara sama si
Erni, kakakku?"
"Iya. Kenapa?" sahut Midah sambil menghentikan
langkahnya.
"Dia ngomong apa?"
"Oo... waktu dia pergi sama tiga lelaki itu?"
"Iya."
"Dia cuma bilang, katanya mau menemui kamu di
Tangerang!" kata Midah: "Makanya saya tadi heran ngeliat- 30
kamu di sini. Sedangkan si Erni menyusul kamu ke
Tangerang!"
"Ya sudahlah..." Lea tersenyum: "Terima-kasih
Midah!"
Sesudah itu Lea menarik lengan Theo menuju tempat
yang agak sepi.
"Kita terlambat Theo!" bisik Lea dengan wajah
cemas: "Murdi dan teman-temannya sudah menculik Erni!"
Lea menelan ludah sejenak: "Rupanya si Murdi membohong
pada kakak saya itu, seakan-akan mau menemui saya di
Priok, padahal dia membawa kakak saya ke Tangerang!"
"Memangnya si Murdi punya rumah di Tangerang?"
Theo bertanya.
"Nggak tahu." jawab Lea: "Lagian yang namanya
Tangerang itu kan luas? Gimana kita bisa cari dia!"
"Kalau begitu kita susul mereka ke Tangerang!" kata
Theo sambil melangkah.
"Tapi kita kan nggak tahu tempatnya??"
"Si sopir taxi sialan itu, mesti tahu!"
Dengan mengendarai taxi hasil 'bajakan' itu, Theo dan
Lea meluncur menuju arah luar kota. Kembali Lea harus
berpegangan erat-erat dengan ketakutan ketika Theo
mengendarai taxi itu dengan kecepatan tinggi, menyelinap
di antara keramaian lalu lintas Jakarta Barat.- 31
"Hati-hati, Theo!" Lea berseru.
"Kita harus cepat!"
"Kenapa tidak kita tanyakan sekarang pada sopir ini,
dimana tempat tinggal Murdi di Tangerang?" Lea bertanya
sambil menatap si sopir naas yang masih tergeletak di lantai
mobil dalam keadaan terikat.
"Saya tahu tempat yang bagus, yang bisa membuat
dia mengaku!" kata Theo tanpa menoleh: "Sudahlah...
jangan tanya apa-apa lagi!"
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya
Theo mulai memperlambat kendaraannya, lalu membelok
ke sebuah jalanan kecil yang sepi tepat di tepi tanah yang
curam yang membentuk sebuah jurang yang cukup dalam di
mana terdapat sungai berair kotor mengalir di bawahnya.
"Kok kita berhenti di sini, Theo?" Lea tak mengerti.
"Saya mau ngobrol sebentar dengan sopir ini." Theo
tersenyum sambil membuka pintu depan mobil taxi itu, tepat
yang menghadap ke arah jurang dan menarik krah baju si
sopir dengan kasar.
"Duduk sebentar, Pir! Saya mau ngomong dikit!!"
kata Theo.
"Sialan kamu!!" Si sopir itu tampak geram.- 32
"Diam kamu!!" Theo membentak: "Nah sekarang
bilang dengan jujur, di mana alamat tempat tinggal Murdi di
Tangerang?"
"Nggak tahu!" Sopir itu mendengus.
"Di mana...??!" Theo mengulang.
"Nggak tahu!!"
"Ok... kalau begitu sekarang kamu boleh pilih,
melompat terjun ke arah sungai di bawah itu, atau terpaksa
kudorong keluar!" Theo mengancam.
"Kamu gila!" Sopir itu terperanjat.
"Saya memang kadang-kadang bisa gila!" Theo
tersenyum dingin.
"Tapi saya betul-betul tidak tahu di mana tempat
tinggal Murdi yang di Tangerang itu!!"
"Terserah!" Theo mengangkat pundak: "Pokoknya
kalau kamu tidak bisa memberitahu, berarti kamu harus mati
di bawah sana."
"Saya betul-betul nggak tahu!'
"Saya kasih hitungan sampai lima." Theo tersenyum:
"Kalau kamu belum juga menjawab, saya lemparkan kamu
ke bawah sana, dan tiga hari kemudian mayatmu baru bisa
nimbul dalam keadaan kembung!"- 33
"Tapi... saya sungguh-sungguh nggak tahu! Saya
cuma..."
"Satu..." Theo mulai menghitung.
"Biar kamu paksa, saya tetap akan..."
"Dua..."
"Kamu tidak bisa semaunya membunuh saya, cuma
karena..."
"Tiga..."
"Pokoknya kamu tidak bisa mengancam..."
"Empat...!" Theo mulai menggulingkan tubuh sopir
itu tepat di tepi pintu mobil yang menghadap ke arah jurang
di bawahnya.
"Baik... Baik... Saya mengaku!!" Sopir itu
berkeringat dingin: "Murdi sering memakai rumah kosong
di Tangerang sebagai tempat pertemuan!"
"Letaknya??!" Theo mulai tak sabar.
"Di belakang pabrik bekas penggilingan padi yang
sudah tak terpakai, yang letaknya agak..."
"Cukup!" kata Theo: "Kamu akan duduk di samping
saya dan menjadi penunjuk jalan. Tapi kalau kamu berani
macam-macam, kubuat mampus kamu!"- 34
Theo segera menutup pintu depan mobil itu kembali
dan merenggut tubuh sopir itu dan mendudukkan tepat di
samping tempat duduknya.
Tak lama kemudian, mobil taxi itu mundur lalu
berbelok ke arah semula, dan akhirnya melaju menuju ke
arah jalan raya, kemudian melesat di atas jalanan beraspal
itu dengan memperdengarkan suara mesinnya yang
meraung menuju arah luar kota.
***
Tubuh wanita itu terayun-ayun pada seutas tali yang
ujungnya terikat di sebuah balok melintang yang tepat
berada di atas ambang pintu. Dari sudut bibir sosok yang
sudah menjadi mayat itu, tampak tetesan darah yang sudah
mengering.
Angin sore yang menyebarkan bau tanah yang basah
bekas hujan, serasa dingin menyusup ke dalam ruangan
rumah kosong itu, seakan bau sebuah kematian.
"Erni..." Lea berbisik hampir tak percaya, seraya
sepasang matanya tak berkedip menatap mayat kakaknya
yang tergantung tak bernyawa itu. Lalu sepasang mata itu
mulai menitikkan air mata penuh kesedihan.- 35
"Biadab!!" Theo mendesis geram. Dengan penuh iba
pemuda itu meraih pundak Lea dengan lembut seakan ingin
menghiburnya.
"Mereka... mereka telah membunuh satu-satunya
saudaraku..." Lea berbisik lirih sambil menangis, lalu wanita
itu terkulai pingsan.
Theo cepat membaringkan tubuh wanita itu di lantai,
lalu dia bergegas memanjat ambang pintu dan menurunkan
mayat yang tergantung itu perlahan-lahan.
Pakaian wanita yang sudah menjadi mayat itu tampak
kusut dan koyak-koyak menandakan terjadi pergulatan seru
sebelum dia dibunuh. Tapi di balik itu ada sesuatu yang
membuat hati Theo serasa tersayat, karena ternyata terdapat
tanda-tanda bahwa wanita yang malang itu bekas dinodai.
Untuk beberapa saat lamanya Theo terdiam seolah tak tahu
apa yang harus diperbuatnya.
"Biadab!!" Kembali dia mendesis dengan geram.
Pemuda itu tampak merenung sejenak, kemudian dia
melangkah keluar rumah kosong itu, dan berjalan menuju
taxi yang disembunyikannya di balik semak-semak.
"Keluar, kau!!" Theo menarik tubuh sopir yang masih
dalam keadaan terikat itu dengan kasar, dan mendorongnya
keluar dari mobil: "Kamu harus ikut masuk ke dalam rumah
kosong itu!!"
"Lepaskan ikatanku!" Sopir itu memprotes.- 36
"Jangan banyak ngomong." Theo mendengus:
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jalan!!"
"Sialan!" Sopir itu mengumpat: "Saya lebih suka
ditahan polisi dari pada..."
Tubuh sopir itu terpelanting oleh pukulan tangan
kanan Theo yang tepat menyambar rahangnya.
"Saya sudah bilang, jangan banyak ngomong!" Theo
merenggut tubuh sopir itu dan dipaksanya untuk berdiri :
"Jalan!!"
Dengan bersungut dan langkah sempoyongan sopir
itu terpaksa menuruti kemauan Theo. Dia berjalan di depan
Theo menuju rumah kosong yang letaknya terpencil itu.
Ketika mereka berdua tiba di dalam rumah itu,
tampak Lea sudah sadar dari pingsannya dan sedang
memeluk mayat kakaknya sambil meratap dengan sedih.
"Erni!... Erni!... Saya tidak mau kehilangan kamu,
Er...!!" Lea menangis tersedu-sedu dengan histeris:
"Bangun, Er! Banguuuun...!!" Lea mengguncang
guncangkan tubuh kakaknya itu seakan membuatnya hidup
kembali.
Theo mendekati Lea dan mengusap-usap rambut
wanita itu.
"Dia tidak akan hidup lagi, biar pun kamu menangis
terus!" Theo berbisik dengan rasa iba: "Dia sudah pergi."- 37
"Tapi saya tidak rela dia mati dengan cara seperti
ini..." Lea mengusap air matanya: "Kamu lihat sendiri... dia
telah... di... dinodai!"
"Saya tahu..." kata Theo: "Saya harus buat
perhitungan dengan si Murdi dan kawan-kawannya untuk
kejahatan ini!"
"Jangan, Theo..." Lea terisak: "Saya bersumpah,
bahwa saya sendiri yang akan membalas kematian kakak
saya ini!"
Theo terdiam untuk beberapa saat, kemudian dia
tampak berpaling ke arah sopir taxi yang berdiri di dekat
mereka berdua dalam keadaan masih terikat. Lelaki itu
tampak tak berkedip menatap mayat Erni yang tergeletak di
lantai, seakan turut hanyut dalam kesedihan mereka.
"Saya... saya tidak menyangka, Murdi tega berbuat
sekejam itu!" Sopir itu berbisik lirih seakan berbicara
dengan dirinya sendiri.
"Dan kamu puas, he...??!!" Theo menatapnya dengan
tajam: "Lihat, inilah hasil pekerjaan teman-temanmu! Satu
nyawa sudah melayang karena kebiadaban mereka."
"Tapi... tapi saya tidak menyangka, Murdi dan teman
temannya akan melakukan perbuatan seperti ini!" kata sopir
itu.
"Persetan!" Theo menggeram dan tanpa diduga, dia
melompat menerkam lelaki itu, hingga mereka berdua- 38
bergulingan di lantai. Theo mencengkeram leher lelaki itu
dengan penuh kemarahan.
"Kamu jangan berpura-pura di depanku, monyet!!"
Theo berkata dengan geram: "Saya bisa membunuh kamu
sekarang juga!!!"
"Percayalah... percayalah, saya bisa merasakan
kesedihan kalian!" kata sopir itu sambil megap-megap
karena lehernya tercekik: "Setelah melihat kejadian ini, saya
jadi benci dan muak pada Murdi dan teman-temannya!!"
"Diam!!" Theo membentak: "Kamu sendiri juga
tadinya mau membunuh kami berdua, kan??!"
"Itu karena Murdi mengatakan pada saya, bahwa
kalian berdua pernah bersekongkol dalam pembunuhan
terhadap adik saya!"
"Apa kamu bilang??!" Theo terperanjat.
"Apa perlu saya ulang ucapan saya itu??" Sopir itu
menatap Theo dengan ragu-ragu: "Betulkah kalian berdua
pernah bersekongkol dan..."
"Bangsat kau!!" Theo mengumpat: "Saya tidak
pernah kenal adikmu dan juga tidak pernah terlibat dalam
kejahatan apa pun!! Kamu kira saya ini semacam Murdi??!
Kuhajar kelancangan mulutmu nanti!!"
"Tapi..." Sopir itu tampak tergagap.
"Lepaskan dia, Theo..." Tiba-tiba Lea berkata.- 39
"Apa??!" Theo mengerutkan alisnya: "Masa, saya
harus melepaskan orang yang sudah mencoba berusaha
membunuh kita?"
"Lepaskan dia..." kata Lea dengan mata masih basah
oleh tangis: "Barangkali dia benar. Mungkin dia termakan
fitnah yang dikatakan Murdi!"
Dengan bersungut-sungut, akhirnya Theo melepas
kan ikatan sabuk pengaman taxi yang dipakai untuk
mengikat sopir itu, hingga akhirnya sopir itu bebas kembali.
Lelaki itu tampak mengurut-urut lengannya yang terasa
kaku dan sakit akibat terikat selama beberapa jam lamanya.
"Terimakasih! Akhirnya kalian mau melepaskan
ikatan ini." kata sopir itu sambil menatap Theo dan Lea.
"Dan apa yang mau kamu katakan lagi??!!" Theo
tampak masih geram.
"Kalau kalian percaya, saya akan membantu kalian..."
"Jaga mulutmu!!" Theo membentak: "Kalau kamu
coba-coba mempermainkan kami, ku-pelintir lehermu!!"
"Aku bicara sungguh-sungguh!" kata sopir itu:
"Kalau kalian memang pernah bersekongkol dalam
pembunuhan adikku, sekarang juga kalian bisa kubunuh
dan..."
"Sialan! Apa kamu bilang??!!" Theo tampak marah
dan hendak memukul sopir itu, tapi cepat dipegang
lengannya oleh Lea.- 40
"Biarkan dia bicara..." Lea menyambung: "Kita perlu
mendengarkan."
"Teruskan bicaramu!" Theo tampak sengit,
"Tapi kalau Murdi yang memfitnah kalian, maka
berarti juga dia menipu saya, dan untuk itu saya bersedia
membantu kalian!"
"Kami berdua tidak butuh bantuanmu!" Theo berkata
dengan sinis.
"Terserah! Tapi saya tetap merasa punya hak untuk
membantu kalian!" kata sopir itu: "Seandainya saya berhasil
membunuh kalian berdua di luar kota waktu itu, dan
kemudian kalian berdua tidak bersalah, maka saya akan
selalu dihantui rasa berdosa."
"Jadi kamu masih ingat dosa, hee...??!" Theo
mengejek.
"Sudahlah Theo..." kata Lea melerai: "Yang jelas
kakakku ini sudah meninggal, dan saya sendiri akan
membalaskannya pada Murdi dan teman-temannya. Kalian
berdua tidak perlu ikut campur!"
"Nggak bisa begitu, Lea!" kata Theo: "Saya juga
harus..."
"Tidak!" kata Lea: "Lebih baik sekarang kita
laporkan pada polisi supaya urusan ini cepat beres!"- 41
"Dan polisi yang nanti akan menangkap pelakunya.
Mudah-mudahan mereka dapat ganjaran hukuman yang
setimpal, karena mereka juga telah memperalat saya untuk
membunuh kalian!" Sopir itu menyambung.
"Murdi nggak tolol!" kata Theo: "Sekarang dia pasti
sudah kabur untuk menghilangkan jejak!"
"Saya akan melacaknya!" kata si sopir: "Saya tahu
beberapa tempat yang sering dipakai dia untuk berkumpul
bersama teman-temannya!"
"Kamu pikir saya mulai percaya omonganmu??!"
Theo menatap sopir itu dengan tatapan mata yang dingin:
"Bisa saja kamu pura-pura memusuhi Murdi sekarang, lalu
berbalik menyerang kami!"
"Keparat!!" Sopir itu tampak marah: "Kamu kira saya
ini penjahat seperti Murdi??!!"
"Diam kau!!!" Theo naik pitam.
"Sudah... sudaaah!" Lea melerai: "Keadaan tidak
akan lebih baik karena kalian bertengkar. Lebih baik kita
cepat lapor pada polisi!"
"Saya yang akan melapor!" kata sopir itu.
"Jangan! Saya saja!" kata Theo: "Nanti kamu malah
kabur! Kalau memang kamu menyesali kejadian ini, lebih
baik kamu melapor pada pamong desa di dekat tempat ini
dan membawa warga kampung untuk membantu Lea
mengurus jenazah ini!"- 42
"Sialan!" Sopir itu menyumpah: "Kamu tidak berhak
membawa taxi saya semaumu. Ingat, kalau terjadi apa-apa
dengan mobil itu, kamu yang harus bertanggung jawab!"
"Tutup mulutmu!" Theo membentak: "Saya lebih
tahu tentang itu!"
Untuk sesaat Theo menatap jenazah yang terbaring di
lantai rumah kosong itu, kemudian dia bergegas keluar
rumah menuju taxi, untuk melaporkan peristiwa itu pada
polisi.
***- 43
3
Upacara penguburan sudah selesai.
Satu persatu orang-orang yang ada di tanah
pemakaman itu mulai pergi meninggalkan tempat itu,
hingga akhirnya tempat itu sunyi kembali. Yang tampak
hanyalah hamparan tanah gersang dengan berpuluh-puluh
nisan yang bertebaran di atasnya. Diantaranya tampak
sebuah nisan yang masih baru, tertancap pada sebuah
gundukan tanah merah dan masih berbau wangi oleh bunga
bunga yang bertaburan menutupinya.
Lea masih berdiri di sisi kuburan yang masih baru itu
dengan wajah tertunduk penuh kesedihan. Sepasang
matanya yang basah tampak menatap sayu ke arah kuburan
itu, dimana kakaknya terbaring di dalamnya.
"Pergilah dengan tenang, Erni..." Lea berbisik: "Saya
bersumpah akan membalaskan kematianmu, Er. Pokoknya
harus saya balas. Harus!!!" Lea membungkuk untuk meraih
sejumput tanah, kemudian sekali lagi dia menaburi tanah itu
di atas makam kakaknya, lalu dia memutar tubuhnya dan
melangkah meninggalkan tempat itu.
Tapi ketika dia melewati pagar tanah pemakaman itu,
dia menghentikan langkahnya karena melihat seseorang
yang dikenalnya sedang berdiri sambil bersandar pada
sebatang pohon kamboja.- 44
"Theo..." Lea menyapa lirih.
Theo hanya tersenyum.
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu tidak ikut di upacara pemakaman tadi?" Lea
bertanya.
"Tidak perlu." kata Theo: "Saya cukup di sini saja."
"Mau apa?"
"Menunggu kamu." jawab Theo sambil duduk di atas
rerumputan di bawah pohon kamboja itu. Lea menghampiri
pemuda itu dan duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat
lamanya keduanya saling membisu.
"Bagaimana perasaanmu?" Theo bertanya dengan
suara lirih.
"Saya seperti bosan hidup..." Lea bergumam:
"Dengan meninggalnya Erni rasanya hidupku kosong."
"Saya mengerti." kata Theo: "Dia kakak kandung
mu?"
"Sebenarnya bukan..." Lea tertunduk: "Saya sendiri
nggak punya bapak dan ibu sejak masih kecil. Lalu kedua
orang tuanya Erni memungut saya sebagai anak, karena Erni
tidak punya saudara."
"Hmmm... begitu?"
"Di keluarga itulah saya dibimbing dan dibesarkan."
Lea menyambung: "Mereka keluarga yang baik dan berbudi.- 45
Setelah saya memasuki usia remaja, saya baru tahu bahwa
kedua orang tua saya adalah orang-orang yang tidak bisa
dibanggakan. Bapakku kabarnya adalah seorang perampok
dan pembunuh yang seumur hidupnya menjadi buronan
polisi. Ibu saya hidup sebagai pelacur yang mati bunuh diri
karena putus asa. Sejak itu saya merasa rendah diri berada
di dalam keluarga Erni, dan akhirnya diam-diam saya pergi
meninggalkan keluarga itu karena saya merasa diri saya
nista."
"Di mana tempat tinggal keluarga Erni waktu itu?"
"Di Malang."
"Dan kamu lantas minggat ke Jakarta?"
"Begitulah..." jawab Lea lirih: "Kehidupan yang sulit
di Jakarta, membuat saya hanyut dalam kesesatan sampai
akhirnya saya terpaksa harus jadi gadis bar sampai sekarang
ini."
"Lantas bagaimana kamu bisa ketemu si Erni lagi?"
"Cuma kebetulan saja. Saya ketemu Erni beberapa
tahun yang lalu di dekat prapatan Harmoni, ketika dia habis
belanja dari Duta Merlin. Dan waktu itulah saya baru
mendengar musibah yang menimpa keluarganya."
"Musibah?"
"Ya..." Lea mengangguk sedih: "Menurut pengakuan
Erni, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan.
Dan... dan saya tidak pernah tahu mengenai hal itu."- 46
"Lalu ngapain Erni ke Jakarta?"
"Kerja di perusahaan Farmasi. Setelah dia melihat
keadaan saya, dia menyewa rumah di daerah Pulo Gadung
dan menawarkan saya untuk tinggal bersama dia. Tapi saya
merasa terlalu kotor untuk hidup serumah dengan dia. Saya
tidak sanggup. Biar pun begitu, Erni selalu menemui saya
dan membujuk supaya menghentikan pekerjaan saya
sebagai hostess. Tapi saya sudah terlanjur terlibat dalam
usaha-usaha kotor dengan para pencoleng Ibukota, dan
diantara mereka terdapat Murdi."
"Lalu?"
"Saya akhirnya jatuh cinta pada Murdi dan kami
menikah." Lea melanjutkan kisahnya: "Tapi ternyata hidup
bersama Murdi merupakan suatu siksaan yang berlangsung
setiap hari. Hal itu diketahui oleh Erni dan dia selalu
berusaha menghibur saya dan meminta supaya tetap tabah
dan kalau mungkin, menyadarkan Murdi ke arah jalan yang
benar. Tapi setelah melihat Erni, Murdi mulai jatuh hati
pada kakakku itu dan menceraikan saya begitu saja."
"Dan Erni menolak dia?"
"Ya." Lea mengangguk: "Murdi sangat tergila-gila
pada Erni, sehingga Erni sering didatangi. Untuk
menghindari itu, Erni pindah kerja di perusahaan lain dan
pindah rumah di daerah Grogol. Tapi di situ pun Murdi
selalu mengejarnya."- 47
"Lantas?"
"Kamu tahu sendiri apa yang terjadi kemudian." kata
Lea: "Dan inilah akhir dari semuanya."
"Dan kamu masih mencintai Murdi?"
"Tidak lagi." Lea menghapus air matanya: "Satu
satunya yang saya inginkan sekarang, ialah... kematiannya!"
"Polisi akan mencarinya dan akan menemukannya."
kata Theo: "Dan setelah itu dia akan menerima hukuman di
penjara."
"Tidak!" Lea mendesis: "Dia harus mati. Dia dan
teman-temannya. Dan kematian itu harus berasal dari
tanganku sendiri."
"Kamu tidak mungkin melakukan itu, Lea."
"Kenapa tidak?" Lea menatap: "Lihat saja nanti."
"Bukan begitu, Lea..." kata Theo: "Maksudku..."
"Saya mengerti maksudmu, Theo..." Lea menukas:
"Tapi kamu sudah banyak sekali berbuat untuk saya.
Terimakasih! Untuk urusan kematian Murdi dan kawan
kawannya, itu urusan saya."
"Kamu sungguh-sungguh?"
"Kalau saya gagal membunuh mereka, maka saya
akan bunuh diri!" Lea meyakinkan: "Itu sumpahku!"
Theo terdiam.- 48
Dia sama sekali tidak menyangka bahwa si gadis bar
itu begitu bernafsu mencabut nyawa orang-orang yang
dibencinya. Dimata Theo, Lea tampak lain dari biasanya,
sepasang mata wanita itu tampak memercikkan sinar api
dendam yang tak terpadamkan.
Kemudian Lea berdiri dan melangkah perlahan
meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Kemana kamu, Lea?" Theo bertanya.
"Jangan perdulikan saya." Lea terus melangkah:
"Selamat tinggal, Theo!"
***
Hari mulai malam.
Suasana di tempat itu mulai disepuh warna
kehitaman. Pohon-pohon besar dan rimbun yang hampir
memenuhi tempat itu, tampak seperti bayang-bayang
raksasa yang menakutkan. Diantara kehitaman yang mulai
pekat itu hanya tampak cahaya kecil yang redup, yang keluar
dari celah-celah dinding sebuah gubuk kecil yang terletak
jauh disana diantara semak belukar.
Lea berada di depan pintu rumah gubuk itu dengan
perasaan ragu-ragu. Ada sesuatu yang bergejolak dalam
dadanya yang membuatnya merasa takut. Rumah gubuk itu- 49
cuma rumah gubuk biasa yang tak ada keistimewaan apa
apa. Hanya mungkin karena letaknya yang terpencil dan
diselubungi kegelapan malam, maka serasa mengundang
kesan yang mencekam dan seram.
"Masuk saja. Nak..." Terdengar suara parau dari
dalam gubuk itu.
Lea tersentak. Agaknya kehadirannya telah diketahui
oleh si empunya gubuk itu. Wanita itu mencoba
menenangkan hatinya dan berusaha bersikap wajar.
Kemudian perlahan dia mendorong daun pintu gubuk itu dan
menemukan sebuah ruangan sempit yang suram dan hanya
diterangi cahaya lampu minyak. Di atas sebuah tikar pandan
yang lusuh duduk bersila seorang perempuan tua yang
mulutnya terus menerus bergerak mengunyah sirih
sementara kedua tangannya tampak sibuk meremas-remas
daun jati yang masih muda, sehingga getahnya yang
berwarna merah yang mengotori kedua telapak tangannya.
Lea mendekati perempuan tua itu dan duduk bersila
di hadapannya sambil tak henti-hentinya menatap wajah
perempuan tua itu seakan hendak mencoba mempelajari
wataknya. Tapi wanita tua itu seakan tidak menghiraukan
tamunya, dan terus tertunduk mengawasi lembaran
lembaran daun jati muda yang diremas-remas-nya.
"Bicaralah, sebelum aku mengusirmu!" Wanita tua
itu mendesis tanpa menatap Lea. Suaranya yang berat dan
parau itu lebih mirip suara lelaki tua yang letih.- 50
"Saya datang membawa dendam..." Lea berbisik.
"Itu bukan urusanku." Perempuan tua itu mendengus:
"Enyalah!!"
Lea tersenyum.
"Saya tidak akan pergi sebelum kamu menolong saya,
Nek!"
"Aku bukan nenekmu, bocah sial!!" Wanita tua itu
bersungut.
"Terserah!" Lea berkata acuh: "Tapi jangan suruh
saya pergi tanpa pertolonganmu."
Perempuan tua itu meletakkan remasan daun jati pada
sebuah mangkok tanah liat, lalu membersihkan tangannya
dengan selembar kain kumal, kemudian menatap Lea
dengan sepasang matanya yang hampir-hampir terpejam
karena penuh keriput.
"Siapa namamu, Nak?" ucapnya.
"Lea."
"Umurmu?"
"Entahlah!" Lea mengangkat pundak: "Mungkin
duapuluh delapan tahun, atau mungkin tigapuluh, atau
mungkin lebih!"
"Pulanglah..." Wanita tua itu membuang muka:
"Kamu masih terlalu muda untuk mendatangi aku."- 51
"Tapi tidak terlalu muda buat membunuh, kan?" Lea
menatap dingin.
"Siapa yang ingin kau bunuh. Nak?"
"Sekelompok lelaki yang telah membunuh kakakku!"
"Begitu besarkah dendammu?"
"Lebih besar dari yang bisa kau bayangkan." Lea
menyahut.
Perempuan tua itu tertawa terkekeh, sambil
meludahkan air sirihnya ke lantai.
"Kau datang ke tempat yang salah, Nak!" ujar
perempuan tua itu: "Barangkali cuma orang gila yang
menyuruh kau datang kemari. Sebaiknya kau pulang saja,
Nak. Jangan ganggu ketenanganku. Aku ingin hidup tenang
di hari tuaku yang masih tersisa ini."
"Jangan mencoba menyembunyikan dirimu, Nini
Lasih!" kata Lea.
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar sebutan itu, mendadak si perempuan tua
itu mengangkat mukanya dan menatap Lea sambil
mengerutkan alisnya yang tipis.
"Cuma sedikit saja orang yang tahu namaku itu:
"Kata perempuan tua itu dengan mata penuh curiga: "Siapa
kau ini sebenarnya?"
"Saya datang dari Jakarta." jawab Lea: "Dan saya
kenal baik dengan Mami Usi."- 52
Mendadak wajah si perempuan tua itu berubah.
"Usi si germo mata duitan itu?"
Lea mengangguk.
Perlahan perempuan tua itu bangkit berdiri dengan
susah payah, lalu meraih tongkatnya yang tersandar pada
dinding. Dengan menggunakan tongkat itu, si perempuan
tua itu berjalan mondar-mandir di seputar ruangan sambil
sesekali menatap tamunya yang masih duduk bersila.
"Siapa yang ingin kau bunuh. Nak?" Ia bertanya.
"Seorang lelaki bernama Murdi dan teman
temannya." jawab Lea.
"Siapa dia?"
"Bekas suami saya."
"Kau tahu kalau itu dosa?"
"Ya."
"Kau sadari itu sepenuhnya?"
"Ya."
Si perempuan tua itu tersenyum.
"Berat syaratnya, Nak..." Dia bergumam: "Sangat
berat."
"Saya tahu."- 53
"Kau sanggup menanggung segala dosa dan
akibatnya?"
"Saya sanggup."
"Ikuti aku." kata perempuan tua itu sambil melangkah
memasuki pintu sebuah ruangan yang tertutup tirai tebal
warna kuning yang sudah lusuh.
Lea menarik napas sesaat seolah merasa letih.
Kemudian dia berdiri dan melangkah mengikuti perempuan
tua itu. Ketika Lea membuka tirai tebal warna kuning lusuh
itu, pertama-tama yang dilihatnya adalah sebuah ruangan
sempit berdinding papan yang telah lapuk dimakan usia, dan
di sana-sini tampak benda-benda aneh berserakan. Di sudut
ruangan itu tampak sebuah meja kecil terbuat dari papan
tebal warna hitam, yang di atasnya terletak sebuah kotak
yang terbuat dari besi yang sudah berkarat.
"Buka kotak itu." Perempuan tua yang bernama Nini
Kasih itu berkata sambil meludah di lantai.
Dengan ragu-ragu Lea mendekati meja itu dan
membuka kotak besi tersebut, dan seketika sepasang
matanya terbelalak tebar.
Di dalam kotak itu sepotong tangan manusia yang
terpenggal sebatas siku dan berwarna kebiruan karena telah
membusuk.
"Tangan...??!!" Lea mendesis dengan bulu kuduk
meremang: "Tangan... tangan siapa ini?"- 54
"Tangan calon suamimu." Nini Lasih berkata dengan
sikap acuh.
"Suamiku??!!" Lea terperanjat.
"Belum. Baru calon." sahut Nini Lasih: "Dan kau
akan resmi menjadi suaminya kalau kau sudah
membalaskan dendammu seluruhnya sampai tuntas."
"Tapi... siapa dia?"
"Kau segera akan tahu." jawab Nini Lasih. Kemudian
perempuan tua itu mengambil sebuah tungku kecil di bawah
meja itu, yang ternyata masih terdapat sedikit bara menyala
di dalamnya.
"Mundurlah sedikit. Nak!" kata Nini Lasih. sambil
menaburkan sejumput bubuk putih ke alam bara api itu, dan
mengepullah asap tipis yang menyebarkan bau wangi yang
memenuhi ruangan itu.
Nini Lasih duduk bersimpuh menghadapi perapian
itu.
Di belakang perempuan tua itu, Lea juga turut duduk
bersimpuh meskipun dia tidak mengerti apa yang sedang
mereka nantikan. Tak lama kemudian tampak si wanita tua
itu mulai menggerakkan bibirnya mengucapkan mantera
dengan menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. Tapi
akhirnya ia mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang jelas.- 55
"Datanglah Pangeran..." ucap Nini Lasih dengan
suara lantang: "Datanglah! Hari ini, mempelaimu yang baru
sudah datang!"
"Mempelai?" Lea terperanjat.
"Diam, Nak!" Nini Lasih berpaling ke arah Lea:
"Ludah tidak dapat dijilat kembali. Apa yang sudah kau
ucapkan akan menjadi nyata. Keinginanmu sudah
kusampaikan dan pangeran akan segera..."
Tiba-tiba terdengar deru angin yang keras
menghempas-hempas dinding diiringi suara riuh burung
burung malam yang mencicit-cicit di luar sana. Kemudian
terdengar suara tawa seorang lelaki sayup-sayup dikejauhan,
dan suara itu terdengar semakin dekat. Akhirnya suara itu
terdengar lantang menggema dalam ruangan itu. Suara itu
terdengar kering dan parau, dan sama sekali tak sedap untuk
didengar.
Lea tersentak.
Tiba-tiba saja di sudut ruangan itu muncul sesosok
tubuh lelaki kurus berkulit hitam legam dan penuh keriput
yang hanya mengenakan sehelai kain kumal dan compang
camping untuk penutup bagian bawah tubuhnya. Lea hampir
tak sanggup untuk menatap wajah lelaki itu. Wajah itu
tampak begitu rusak dan nyaris tak berbentuk, kecuali
sepasang matanya yang berwarna putih keruh tanpa biji
mata, seakan lukisan mata dari sebuah topeng yang belum
selesai.- 56
"Dia inikah mempelaiku, Nini?" Lelaki yang
misterius dan berwajah menyeramkan itu berkata dengan
suara serak: "Suruhlah dia mendekat."
"Mendekatlah, Nak!" Nini Lasih menatap Lea.
Lea tampak ragu. Di mata wanita itu tampak
membayang perasaan takut dengan apa yang dilihatnya.
"Mendekatlah!" Kembali si perempuan tua itu
berkata.
Lea mulai melangkah perlahan mendekati lelaki yang
bukan manusia itu lalu berhenti pada jarak yang cukup
dekat. Dan tiba-tiba saja bulu roma Lea serasa meremang
penuh kengerian ketika sepasang mata lelaki itu tampak
melebar berwarna putih keruh, seakan dipenuhi nafsu birahi.
"Apa yang kau inginkan, Istriku?"
Lelaki itu bertanya.
"Sss-sa-saya... saya..." Lea tergagap.
"Katakanlah, Istriku." Kembali lelaki misterius
berwajah mengerikan itu berkata hampir-hampir tanpa
menggerakkan mulutnya yang hancur tak berbentuk itu.
Melihat wajah yang menjijikkan itu, hampir saja Lea
mengurungkan semua niatnya. Hatinya dipenuhi oleh
ketakutan dan kecemasan yang amat sangat manakala dia
mengingat harus menjadi mempelai lelaki hantu yang ada di
hadapannya itu. Namun semua ketakutannya itu sirna saat- 57
dia mengingat mayat Erni yang tergantung terayung-ayun
dengan tubuh yang tidak suci lagi. Meski apa pun
taruhannya dia harus menuntut balas atas kekejian yang
menjijikkan itu. Di dalam dadanya membara api dendam
yang terasa memanaskan setiap butir darahnya hingga
mendidih.
"Katakan, Istriku..." Sekali lagi ucapan itu terdengar.
"Saya mau pembunuh kakakku mati." jawab Lea
dengan suara lirih namun tegas: "Mati bersama mereka yang
menjadi anggota kelompoknya."
"Keinginanmu akan terkabul." sahut lelaki misterius
itu: "Mereka semua bisa kau bantai satu persatu dengan
menggunakan tangan kananku."
Sepasang mata Lea terbelalak lebar.
Untuk pertama kalinya dia baru menyaksikan dan
menyadari bahwa si lelaki itu ternyata tidak memiliki lengan
sebelah kanan. Kemudian teringatlah Lea akan kotak besi
yang ada di atas meja itu. Perlahan Lea berpaling dan
melirik ke arah kotak itu yang di dalamnya tampak sepotong
lengan kanan yang telah membusuk.
"Ya. Itulah tanganku." kata lelaki itu.
"Adakah cara lain?" Lea bertanya.
"Tutup mulutmu, Nak!" Nini Lasih tiba-tiba
mendekati Lea dan memegang lengan wanita itu: "Tidak- 58
layak kau berkata begitu terhadap sang Pangeran calon
mempelaimu."
"Sekarang belum!" jawab Lea: "Apa saya tidak boleh
menawar?"
"Kau harus taat dan tunduk pada setiap titahnya!"
"Tidak, sebelum saya melihat musuh-musuhku mati
di depan mataku." jawab Lea dengan berani: "Harga
nyawaku tidak murah hanya untuk taat pada sesuatu yang
belum jelas hasilnya!"
"Anak terkutuk!" Nini Lasih menyumpah dengan
geram: "Kalau saja sejak tadi aku tahu bahwa kau akan
mengucapkan kata-kata selancang itu, tidak sudi aku
mempertemukan kau dengan..."
"Aku menyukai dia, Nini!" Lelaki itu memotong
ucapan Nini Lasih: "Selama ini aku belum pernah
menemukan seorang perempuan yang berani membantah
kata-kataku. Dia akan menjadi mempelaiku yang tercinta
diantara mempelai-mempelai yang lain."
"Yang kutanyakan tidak adakah cara lain?" Lea
kembali bertanya kepada lelaki itu tanpa mengacuhkan Nini
Lasih.
"Tidak ada." jawab lelaki itu: "Biasanya aku
menyuruh setiap orang yang ingin membalas dendam,
dengan membawa kotak berisi tanganku itu kemana pun dia
pergi. Tapi kali ini aku tertarik dengan kekerasan hatimu.- 59
Maka kali ini aku mengijinkan kau pergi kemana-mana
tanpa membawa-bawa kotak itu. Kau akan kuberi kuasa
untuk memanggil namaku setiap saat, dan pada saat itu
tanganku yang di dalam kotak itu akan bekerja menurut
perintahmu!"
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana aku harus menyebut namamu?" Lea
bertanya.
"Laware. Itu sebutanku!" sahut lelaki itu dan
bersamaan dengan itu tubuhnya tiba-tiba sirna seolah larut
dalam udara, diiringi suara riuh burung-burung malam di
luar rumah.
Setelah itu suasana menjadi sepi kembali.
Lea termenung sesaat.
***- 60
4
Murdi menggeliat dengan malas.
Matahari sudah mengintai tinggi di luar kaca jendela
di sisi ranjangnya, tapi Murdi cuma mengusap-usap
matanya sebentar, kemudian meneruskan tidurnya sambil
memeluk tubuh wanita langganannya.
"Sudah siang, Mas!" Indri, si wanita itu tersenyum
lalu menguap dengan malas.
"Biarin-lah!" sahut Murdi.
"Katanya kamu mau ngajak aku belanja di Hero?"
"Iya... nanti aja."
"Nantinya kapan?"
"Nanti-lah, siangan dikit!"
Indri tersenyum sambil mempermainkan bulu-bulu
dada Murdi yang tumbuh lebat. Cukup lama dia mengenal
lelaki itu meskipun tidak cukup mengetahui latar belakang
kehidupannya. Tapi yang jelas lelaki itu selalu bisa
menyenangkan dirinya. Bagi Indri, lelaki seperti Murdi
memang type lelaki yang menyenangkan untuk sekedar
diajak berkencan tapi tidak cukup baik untuk dijadikan
suami.- 61
Sebagai wanita penghibur, Indri cukup menyukai
dunianya yang sekarang, dimana dia bisa bebas menikmati
kemanisan masa mudanya meski kadang terpaksa harus
terlibat dalam berbagai kemelut dengan para pelanggar
hukum yang hidup di sekelilingnya.
Kembali Murdi menggeliat dengan malas sambil
merentangkan kedua lengannya yang penuh berhias tatoo
dengan gambar berbagai bentuk.
"Jam berapa sih, sekarang?" Murdi berkata dengan
lesu.
"Jam sepuluh lebih."
"Saya masih ngantuk."
"Jangan kebanyakan molor, nanti kamu kena beri-beri
lho, Mas!"
"Biarin!" jawab Murdi dengan acuh, dan membiarkan
ketika Indri melepaskan diri dari pelukannya. Perempuan
muda itu repot membetulkan gaun tidurnya yang kedodoran,
lalu turun dari ranjang.
"Kemana In?"
"Mandi." sahut Indri.
"Pesankan kopi dulu!"
"Manis?"
"Terserah. Pokoknya yang kental!"- 62
Indri membetulkan rambutnya yang kusut di depan
cermin sejenak, kemudian menyelinap keluar lewat pintu
samping untuk pesan kopi pada warung langganannya yang
terletak tidak jauh dari tempat itu.
Sekali lagi Murdi menggeliat sambil menguap, lalu
dia duduk di sisi ranjang sambil meraih segelas air putih
dimeja dan meneguknya. Setelah itu ia mengambil sebatang
rokok, menyelipkan di sela bibirnya dan menyulutnya.
Asap rokok itu mengepul memenuhi udara ruangan
kecil dan pengap itu. Murdi termenung.
Setelah dia menghabisi nyawa Erni, dia merasa perlu
untuk menyembunyikan diri beberapa waktu lamanya,
untuk mengelakkan pengejaran polisi. Hal-hal semacam itu
tidak lagi merisaukan hatinya karena dia sudah terbiasa
dengan petualangan hitam semacam itu. Tetapi kadang
dalam hati kecilnya sering terdengar bisikan hati haram yang
tak pernah terjawab. Kemana tujuan akhir dari hidupnya?
Haruskah petualangan liar semacam itu masih perlu
dipertahankan? Dan dibalik semua itu apa sebenarnya yang
sedang dicarinya?
Seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tetap
mengambang dan tak kunjung terjawab. Murdi hanya bisa
melihat sesuatu yang kelabu menggelantung di ujung-ujung
usianya.
Daun pintu terbuka lebar dan Sukir masuk Wajahnya
yang lonjong memanjang itu dengan mulutnya yang selalu- 63
terkatup rapat membuat kesan buas bagi siapa saja yang
memandangnya.
"Ada apa?" Murdi bertanya dengan sikap acuh.
"Polisi!" Sukir tampak tegang.
"Ke sini??!" Murdi mengerutkan alisnya.
"Masih di warung mang Somad. Sebentar lagi pasti
dia ke sini!"
"Tenang saja." Murdi tersenyum: "Mang Somad
nggak bakalan buka mulut!"
"Kecuali disuap."
"Maksudmu?"
"Kalau polisi itu ngasih sedikit uang sama dia, bisa
aja dia bilang kamu di sini." kata Sukir.
"Berani dia ngadu begitu, gua gampar dia sampai
mampus!" Murdi menggerutu.
"Sebaiknya kamu kabur sebentar dari sini, Mur!"
"Memang." kata Murdi kesal: "Sialan, mana gua
belum ngopi lagi!"
Indri masuk sambil membawa segelas kopi panas
ketika Murdi mengenakan pakaian dan menyisir rambutnya.- 64
"Lho, mau kemana Mas? Kan belum mandi, belum
ngopi?" Indri bertanya keheranan: "Masa kita mau ke Hero
nggak mandi dulu? Apa berangkali..."
"Diam!" Murdi membentak: "Kalau ada orang yang
masuk ke sini menanyakan saya, bilang kamu tidak tahu dan
tidak pernah kenal saya!"
"Tapi..."
"Itu yang harus kamu katakan. Mengerti??!!" Murdi
menghardik, kemudian memberi isyarat pada Sukir, lalu
mereka berdua keluar.
"Sialan!" Indri membanting daun pintu dengan kesal:
"Semalam ngomongnya mau ngajak belanja ke Hero,
sekarang malah minggat sendirian!!"
Murdi dan Sukir menyelinap menyusuri gang becek
yang bersimpang siur di tengah pemukiman kumuh itu. Di
sana-sini terdengar suara bisikan penuh rayu lelaki iseng di
balik dinding, serta suara tawa manja para wanita penjaja
cinta, diselingi lagu suara musik dangdut dari radio
transistor, mewarnai suasana pagi menjelang siang itu.
"Lewat sini!" kata Murdi sambil membelok lewat
jembatan papan yang melintang di atas got. Sukir
mengikutinya dengan setia.
"Berhenti!!!" Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki
berteriak sambil mengacungkan pistol.
"Sialan! Itu polisi!" Sukir menyumpah.- 65
"Lari!!" Murdi melompat.
Sebuah letusan terdengar, dan sebutir peluru panas
mendesing hanya beberapa inchi di atas kepala Sukir, dan
menghantam kaca jendela.
"Anjing! Saya hampir kena!" Sukir memaki.
"Lewat sini, tolol!" Murdi berseru sambil mendobrak
sebuah pintu pagar bambu, kemudian keduanya berlari di
sepanjang tepian parit dan membelok ke kanan, menuju
sebuah lorong yang dipenuhi tali dan kain-kain jemuran
bagai bendera-bendera karnaval yang berwarna-warni, dan
akhirnya mereka tiba di sebuah tepian jalan raya di mana
sebuah mobil pick-up sudah menunggu.
"Cepat... masuk!!" Maman berteriak di belakang
kemudi.
Tanpa disuruh dua kali, Murdi dan Sukir cepat
melompat masuk ke dalam mobil dan ternyata di dalam
mobil itu sudah ada beberapa orang lelaki komplotan
mereka.
Sedetik kemudian mobil pick-up itu sudah melesat
dan meluncur membaur dengan kendaraan-kendaraan lain
yang berlalu lalang di sana.
***- 66
Indri baru saja selesai mandi. Tubuhnya yang hanya
tertutup sehelai handuk itu dibiarkan tetap seperti itu.
Wanita itu berdiri di depan lemari kaca sambil
mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk kecil.
Hatinya masih kesal oleh sikap Murdi yang pergi dengan
tiba-tiba, padahal sebelumnya berjanji akan mengajaknya
belanja ke Hero dan nonton di Glodok Theater.
Pintu terbuka dan seorang wanita bergaun merah
menyala masuk.
"Kok gini hari baru mandi, In?" Wanita itu menyapa.
"Kesal sama si Murdi!" Indri berkata tanpa berpaling:
"Gua dikibulin dia melulu. Janjinya dia mau ngajak jalan
jalan, ee... nggak tahunya malah ngabur!"
"Huss!! Jangan ngomong keras-keras, In!" Wanita itu
meletakkan ujung jari telunjuknya di depan bibirnya: "Polisi
lagi nyari dia!"
"Bodo amat!" Indri mendengus: "Dari dulu
urusannya dia sama polisi melulu!"
Wanita yang baru muncul itu tersenyum dan tanpa
banyak basa-basi dia segera duduk di sisi ranjang dengan
santai.
"Nasib kita sama, In!" ucapnya tenang: "Namanya
kita ini kan cuma cari makan pakai cara begini. Jadi ya
lumrah aja kalau kita ini cuma bisa punya langganan orang
orang bobrok!"- 67
"Iya. Saya rasanya juga mulai sebel hidup begini."
kata Indri sambil menyisir rambutnya: "Rasanya kok dari
dulu gini-gini aja, nggak ada perobahan kayak orang-orang
lain. Yaaa... kalau dipikir-pikir sih, masih mendingan
nasibnya si Milah, biar kawin cuma dapat tukang ojek tapi
hidupnya kayaknya mapan, nggak mblangsak1 kayak kita
gini!"
"Yaaa... beginilah!" Wanita bergaun merah itu
mengeluh: "Habis mau gimana lagi. Macam saya ini juga
bingung, In. Mana sewa kamar sudah dua bulan nunggak,
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini lagi sudah dekat lebaran, duit nggak pegang se-peser
peser acan!"
"Begini, Wien..." kata Indri sambil menukar handuk
yang melilit tubuhnya dengan yurk warna putih:
"Bagaimana kalau kita nekad cari kerjaan aja?"
"Kerjaan apa?" Wanita yang bernama Wi-wien itu
bertanya.
"Yaaa kerja apa aja kek, daripada gini-gini terus!"
"Eeee... ngomong m ah gampang, In. Lantas maumu
itu kerja apa." Wiwien menatap Indri sambil mencibir:
"Kamu kan tahu sendiri, di Jakarta ini kalau kita nggak
punya modal kepinteran, nggak bakalan laku kerja!"
1
sengsara- 68
"Yaa... nggak usah cari kerja yang nge-top!" kata
Indri: "Peribahasa jadi babu juga nggak apa-apa!"
"Iiih... gua mah mendingan nganggur kalau disuruh
jadi babu!" Wiwien mencibir lagi: "Eh, lu pikir enak jadi
babu? Makan ati, tahu?"
"Kerjaan mana ada yang enak, sih?" Indri
membantah.
"Iya memang! Tapi lu kan tahu sendiri kalau babu itu
kan kerjanya serabutan!" kata Wiwien: "Apalagi kalau dapat
majikan yang cerewet! Mana mesti ngurusin semua
pekerjaan, ee... masih harus ngurusin anaknya. Mendingan
kalau anaknya nurut. Kalau majikan itu anaknya badung
badung kayak setan, siapa yang tahan, coba?"
"Iya sih, tapi kalau cari kerja aja kita pakai pilih-pilih
segala, biar sampai botak ya nggak bakalan dapat, Wien!"
"Bukannya gitu, tapi yaaaa... coba kek cari kerja yang
pantesan dikit!"
"Kerja aja cari yang pantes!" Indri melengos:
"Mending kita-kita ini punya ijazah Sarjana! Lu sama gua
kan sama-sama nggak tamat SD Inpres!"
"Iya-laaah... tapi kalau cuma kerja di pabrik-pabrik,
masa pakai dimintain ijazah sih? Kan enggak?"
"Eee... dasar si bego! Lu pikir pabrik mau nerima
orang yang nggak punya ijazah? Sekarang ini jamannya- 69
semua orang minta bukti pendidikan, tahu? Paling dikit
harus tamatan SD!" Indri menerangkan.
"Uuuu... payah kalau gitu!" Wiwien cemberut:
"Sudahlah, gua nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Kalau
sudah mulai bicara soal ijazah, mendingan gua diam, deh...
soalnya seumur idup gua belum pernah ngeliat yang
namanya ijazah itu bentuknya kayak apa!"
"Makanya kalau merasa nggak punya ijazah jangan
pengin kerjaan yang macam-macam!" Indri tersenyum
sambil mengenakan gaunnya: "Sekarang yang penting
bagaimana kita tetap bisa cari makan, tanpa kerja seperti
sekarang ini yang..."
Pintu diketuk dari luar.
Cepat Indri melangkah mendekati pintu dan
membukanya, dan tampak seorang wanita muda berdiri di
depan pintu itu, dengan dandanan yang cukup rapi dan
tampak cantik. Wanita itu tak lain adalah... Lea.
"Nyari siapa?" kata Indri tanpa basa-basi.
"Enggak..." Lea tersenyum manis: "Cuma kebetulan
saya tadi nguping dan mendengar kalian berdua bicara soal
pekerjaan."
"Lantas ngapain?" Indri tampak kurang senang.
"Boleh masuk?" kata Lea.- 70
Indri tak menjawab, sementara Wiwien juga menatap
penuh curiga.
Tanpa membutuhkan jawaban apa-apa, Lea segera
melangkah masuk ke dalam ruangan yang sempit itu dan
tanpa ragu-ragu duduk di atas kursi rotan yang terletak dekat
lemari kaca. Tentu saja melihat sikap Lea yang berani dan
kurang sopan itu, Indri dan Wiwien jadi tersinggung.
"Situ siapa, sih?" Indri bertanya sambil menatap Lea
dengan tajam: "Masuk ke kamar orang kok main slonang
slonong aja!"
"Eeh... yang tahu sopan dikit, dong!" Wiwien berdiri
dari tempat duduknya dan ikut menegur: "Biar jelek-jelek,
ini kan kamar orang? Tahu diri dikit dong! Memangnya
kamar ini WC umum?"
"Bukan begitu..." Lea tersenyum: "Saya berani masuk
ke sini soalnya saya tadi nanya orang, bahwa di sini
tempatnya Murdi. Betul, kan?"
Indri langsung naik pitam.
"Memangnya situ mau apa sih, kok pakai nanya
nanya Murdi segala??!" Indri berkata dengan sengit: "Mau
ngganggu rumah tangga orang, ya??!!"
"Eh, ayam sayur! Di sini kamu jangan coba main
main, ya??!" Wiwien ikut marah: "Kamu tahu, nggak? Mas
Murdi itu kan suaminya teman saya ini??"
"Jangan bohong" Lea berkata tenang:- 71
"Semua orang di sini tahu kalau Murdi cuma punya
simpanan di sini yang namanya Indri."
"Saya Indri!" Indri makin geram: "Memangnya situ
mau apa? Perduli amat sama urusan orang? Biar saya ini
cuma simpanannya mas Murdi, kenapa situ mesti ikut
campur??!"
"Oo... jadi kamu yang namanya Indri?"
"Iya. Lantas situ mau apa??!!" Indri menantang.
"Jangan marah dulu..." Lea tersenyum: "Saya nggak
punya maksud jelek. Cuma barangkali perlu saya jelaskan,
bahwa saya ini bekas istrinya Murdi."
"Jangan ngibul!" Wiwien menghardik: "Semua orang
tahu kalau istrinya Murdi dulu seorang hostess!"
"Ya saya ini!" Lea tertawa: "Saya ini kan hostess??
Lha kamu kira saya ini siapa? Masa saya ini punya potongan
nyonya gedongan, sih?"
"Kamu...??" Indri dan Wiwien mendesis hampir
serentak.
Memang kedua wanita itu sulit percaya apa yang
dikatakan Lea, sebab penampilan Lea memang tidak seperti
umumnya hostess dengan dandanan yang serba menyolok.
Penampilan Lea justru tampak wajar namun menimbulkan
kesan terhormat. Hanya dari logat bahasanya, mungkin
kedua wanita itu bisa menilai bahwa Lea berkata benar.- 72
"Heran, ya?" Lea tersenyum: "Nggak percaya saya ini
hostess?"
Indri dan Wiwien hanya bisa saling pandang. Tapi
akhirnya Indri berkata dengan hati-hati.
"Jadi betul, situ bekas istrinya mas Murdi?"
"Kalau kurang percaya, tanya saja sama Sukir,
Maman dan teman-temannya yang lain." kata Lea: "Mereka
semua tahu pekerjaan saya."
Indri dan Wiwien mulai percaya, karena Maman,
Sukir dan yang lainnya memang cukup mereka kenal.
"Tapi situ kok nggak mirip hostess?" kata Wiwien
dengan kalimat yang lebih lembut.
"Soalnya saya sudah nggak mau lagi jadi hostess."
kata Lea sambil menarik napas panjang: "Saya sudah muak
dengan kerjaan itu. Justru itu saya tadi mampir ke sini,
karena di luar tadi saya dengar kalian berdua lagi ribut cari
kerjaan lain."
"Jadi... kamu tadi, nguping?" Wiwien bertanya:
"Kenapa kok..."
"Sudahlah!" Indri memotong ucapan Wiwien: "Jadi
situ datang kemari sebenarnya urusan pekerjaan, atau urusan
sama mas Murdi?"- 73
"Kedua-duanya." kata Lea: "Disamping saya mau
menawarkan pekerjaan pada kalian berdua, saya juga mau
tanya tentang Murdi. Di mana dia?"
"Kalau pekerjaan, terus-terang aja kami berdua
memang lagi butuh banget!" kata Indri dengan polos: "Tapi
kalau soal mas Murdi kami nggak tahu, sebab beberapa jam
yang lalu dia baru saja minggat gara-gara dicari polisi!"
"Kemana perginya?" Lea ingin tahu.
"Mana tahu??" kata Indri: "Saya sendiri juga nggak
dikasih tahu dia mau minggat kemana. Janjinya aja mau
ngajak saya jalan-jalan, ee... begitu dengar ada polisi datang
langsung dia ngibrit!"
"Maman dan Sukir juga ikut?"
"Sukir ikut sama dia, tapi kalau Maman saya nggak
tahu!" kata Indri: "Memang ada apa sih, mau... mau rujuk
lagi?"
"Ah, enggak! Cuma tanya aja kok!" Lea tersenyum:
"Ada urusan dikit!"
"Terserah!" kata Indri: "Biar saya ini memang
langganannya mas Murdi, tapi terus-terang aja saya nggak
cemburu kalau ada perempuan lain yang nanyain dia, Iha
soalnya mau cemburu bagaimana, wong saya sama dia cuma
kumpul kebo doang. Kalau lagi sama-sama butuh, ya
ngumpul, kalau lagi nggak butuh, ya masing-masing cari
pasangan sendiri! Makanya itu, tadi saya dan Wiwien ini- 74
ngobrol kepingin berhenti hidup cara begini, dan kalau ada
pekerjaan lain yang kira-kira bisa... eh, situ namanya siapa
sih, kok dari tadi saya belum kenal?"
"Lea."
"Leak?" Indri kaget: "Kok kayak nama hantu di
Bali?"
"Lea, bukan Leak!" Lea tersenyum: "Aslinya Dahlia,
tapi sudah kebiasaan dipanggil Lea saja!"
"Saya Wiwien!" kata Wiwien memperkenalkan
dirikan sikapnya tampak lebih ramah: "Hmmm... ngomong
ngomong, jadi kita ini hampir senasib, ya? Saya dan Indri
ini sama-sama tinggal di daerah ini sebagai perempuan
begituan, dan kamu hostess. Sama, kan?"
"Iya, memang sama." Lea tersenyum: "Justru itu,
masa kita akan begini terus-menerus, sih? Jadi permainan
lelaki melulu?"
"Ya, enggak, dong!" kata Indri: "Masa kita mau
begini terus? Justru itu saya pengin nanya, katanya kamu
jadi nawarin kerjaan. Betul begitu?"
"Iya." jawab Lea: "Terserah kalian mau apa enggak."
"Kerja apa dulu, dong!" Wiwien cepat menyahut:
"Kalau jadi babu, saya mah ogah! Tapi kalau kerja di pabrik,
mau-mau aja, asal jangan pakai nanya ijazah segala!"- 75
"Yang jelas, kerja kalian nanti nggak jual diri buat
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaum lelaki, nggak jadi babu, nggak di pabrik, tapi cukup
santai!"
"Kerja apaan sih?" Indri ingin tahu.
"Jangan-jangan kamu cuma ngibul!" Wiwien
bersikap terus-terang: "Bukannya curiga, jaman sekarang ini
kan biasanya kawan makan kawan!"
"Jadi kamu nggak percaya?" Lea tersenyum.
"Bukannya nggak percaya." kata Wiwien: "Kecuali
kamu bisa sebut berapa gajinya, barangkali kami baru bisa
percaya. Tul nggak, In?" Sambil berkata begitu Wiwien
mengerling pada Indri.
"Yaaa... kira-kira begitulah!" Indri mengangkat
pundak.
"Iya, deh... saya ngerti." Lea tersenyum, lalu dia
merogoh tas tangannya dan mengeluarkan seikat uang
puluhan ribu yang masih baru, sehingga membuat sepasang
mata kedua wanita itu terbelalak lebar.
"Nih, buat kamu berdua." kata Lea sambil meletakkan
uang itu di telapak tangan Indri:
"Anggap aja ini uang persekot, dan nanti kalau kamu
sudah mulai kerja, kamu berdua akan dapat jumlah yang
lebih banyak lagi."- 76
"Tapi..." kata Indri sambil menatap uang itu: "Apa...
apa ini nggak terlalu banyak?"
"Oo... jadi penginnya dikit aja?" Lea mencibir.
"Bukannya gitu." kata Wiwien: "Tapi... tapi dengan
jumlah segini banyaknya saya jadi curiga sama kamu."
"Curiga?" Lea merasa agak tersinggung.
"Iya!" Wiwien menyambung: "Soalnya kami ini
nggak tahu darimana kamu bisa dapat punya uang sebanyak
itu. Kalau bapakmu bukan pemilik Bank, pasti dia kepala
perampok!"
"Yang jelas bapakku... kaya raya!" Lea tersenyum.
"Kalau bapakmu kaya, kok kamu sampai pernah jadi
hostess?" Indri melirik penuh sindiran.
"Untuk jadi hostess nggak mesti orang melarat, kan?"
kata Lea sambil berdiri dari tempat duduknya dan
menyerahkan selembar kartu nama kepada Indri: "Ini alamat
rumah saya!"
"Tapi..." Indri ragu-ragu.
"Saya tunggu dua hari lagi." kata Lea sambil
melangkah menuju pintu. Sesaat dia menatap kedua wanita
itu sambil tersenyum: "Sampai nanti!"
Indri dan Wiwien cuma bisa saling berpandangan
ketika Lea sudah pergi meninggalkan tempat itu.- 77
"Orang yang namanya Lea itu tadi, manusia apa
bukan, sih?" kata Indri sambil menatap seikat uang yang
masih tergenggam di tangannya.
"Maksudmu, dia itu aneh?" Wiwien bertanya.
"Iya." kata Indri: "Masa dia bisa begitu baik hati
sampai mau menyerahkan uang segini banyaknya buat kita
berdua?"
"Alaaa... nggak usah pusing-lah! Yang penting duit
itu kan dikasih buat kita. Soal dia dapatnya darimana, itu
terserah. Iya, kan?" kata Wiwien sambil mengulum senyum
seraya matanya tak henti-hentinya melihat uang yang ada
dalam genggaman Indri: "Saya tadi malam mimpi apa, kok
hari ini begitu mampir kemari lantas saya dapat rejeki
nomplok!"
"Untung mas Murdi nggak ada di sini." kata Indri:
"Kalau dia ada, wah... bukannya ngajak jalan-jalan, malah
dia pasti akan ngutang duit ini!"
"Jadi bagaimana sekarang...?"
"Ya seperti kata perempuan yang namanya Lea tadi!"
kata Indri: "Duit ini kita bagi dua!"
"Asyik, dong!" Wiwien tampak tak sabar.
"Ssst! Tutup dulu pintunya!" kata Indri: "Nanti ada
yang ngintip ke sini, dikira kita baru dapat porkas!"- 78
Wiwien cepat-cepat melangkah dan mengunci pintu
itu dari dalam, lalu keduanya mulai membuka ikatan uang
itu dan menghitungnya.
"Busyet, banyak banget!" Mata Indri bersinar-sinar.
"Aduuuuh... ntar malam kita bisa jalan-jalan, dong!"
Wiwien kegirangan: "Uang segini m ah, cari dimana baru
bisa dapat?"
"Nggak nyangka, ya?"
Indri tertawa: "Yang penting kita harus ingat, bahwa
si Lea tadi nyuruh kita datang ke rumahnya dua hari lagi!"
"Tenang aja!" jawab Wiwien: "Siapa sih yang bisa
lupa sama perempuan yang baik kayak dia?"
Kedua wanita itu tertawa-tawa dengan girang.
***
Kapal "Lemadang" membunyikan suara peluit tiga
kali, lalu kapal itu mundur dengan kecepatan penuh untuk
mulai membuat gerakan manuver yang tepat dengan
menjauhi dermaga.
"Cikar kanan sedikit!" Theo memberi perintah.
Juru mudi memutar jantra kemudi ke kanan, dan
buritan kapal itu bergeser beberapa derajat, dan para kelasi- 79
di geladak buritan sudah menarik tali tros yang sudah
dilepaskan dari bolder2 dermaga.
Theo membunyikan isyarat stop lalu diteruskan
dengan isyarat maju. Di dalam kamar mesin. Juru mesin,
menekan tangkai handel ke depan dan propeller yang berada
di dalam air tepat di belakang daun kemudi, berputar ke
kanan mendorong kapal itu maju ke depan, dan
menimbulkan pusaran air yang membuih bergulung-gulung.
Kapal "Lemadang" mulai melaju membelah air laut
menuju pintu dam dengan memperdengarkan suara mesin
induknya yang meng-geram-geram. Di sana, lautan biru
menanti dengan segala kemungkinan yang sulit diterka.
Theo menatap keluar lewat jendela ruang kemudi. Ia
menatap daratan pelabuhan Tanjung Priok yang
ditinggalkannya, dengan setumpuk kenangan yang sulit
dilupakan.
"Melamun lagi, Chief?" suara itu terdengar di
belakangnya.
Theo menengok dan tampak Kapten Yordan berdiri
tegak dengan seragam nakhoda yang dikenakannya.
"Ah... enggak, Kep!" Theo mencoba tersenyum.
2 Inggris : boulder, bonggol tonggak untuk menautkan kapal- 80
"Jangan bohong." Kapten Yordan tertawa: "Saya lihat
sudah beberapa hari ini kamu mulai suka melamun. Ada
masalah?"
"Sedikit."
"Boleh saya tahu?" Kapten Yordan memancing.
Theo diam sejanak menatap Nakhodanya itu.
Hubungan antara dia dan Kapten Yordan memang sudah
cukup lama dan cukup akrab. Ketika mereka berdua masih
kerja di kapal "Lucipara", Kapten Yordan masih menjabat
sebagai Mualim II dan Theo sendiri baru bekerja sebagai
juru mudi I. Saat itulah diantara mereka berdua terjalin
keakraban antara satu dengan lainnya seperti sepasang
sahabat karib yang saling menerima dan saling
membutuhkan. Dan saat mereka berdua sama-sama bekerja
di kapal "Lemadang", di mana Yordan menjadi Nakhoda
dan Theo menjadi Mualim I, persahabatan diantara mereka
berdua semakin terjalin lebih akrab dan saling membagi
suka duka. Pada saat-saat tertentu sepertinya tak terdapat
batas perbedaan antara jabatan mereka sebagai atasan dan
bawahan.
"Kalau itu masalah yang sifatnya pribadi, nggak perlu
kamu ceritakan." kata Kapten Yordan tersenyum.
"Nggak juga." Theo bergumam: "Saya cuma
melamunkan perempuan hostess yang pernah saya jumpai di
bar 'Mervidiaz'!"- 81
"Kamu lantas kecantol sama dia?" Kapten Yordan
tertawa lirih.
"Nggak." jawab Theo: "Tapi dia punya masalah
serius yang..."
"Masalah apa?"
"Kakak perempuannya dibunuh dan dinodai oleh
lelaki preman yang pernah jadi suami hostess itu."
"Itu kan soal biasa di Jakarta." kata Kapten Yordan:
"Kenapa kamu menanggapi itu terlalu serius?"
"Sulit untuk saya jelaskan, Kep!" Theo menatap laut
lepas.
"Pasti bisa kamu jelaskan."
"Perempuan itu sekarang terus berusaha mengejar
pembunuh kakaknya itu untuk membalas dendam!"
"Apa sudah dilaporkan ke polisi?"
"Sudah. Dan polisi juga sedang melacak jejak si
pembunuh itu." kata Theo: "Tapi si hostess itu lebih
berambisi untuk menemukan pembunuh itu dan membalas
dendam dengan tangannya sendiri."
"Begitulah perempuan." Kapten Yordan tersenyum:
"Biasanya kalau mereka sedang emosional, mereka bisa
lebih buas dari singa betina. Masalahnya, apakah dia mampu
melakukan itu. Jangan-jangan nanti malah dia yang celaka!"- 82
"Justru itu yang saya pikirkan, Kep!" kata Theo:
"Tapi dia sendiri berkeras untuk tidak dibantu. Dia tetap
ingin membalas dendam sendirian."
"Ya, sudah... kenapa kamu mau ikut campur?"
"Nggak tahu-lah!" Theo mengangkat pundak: "Yang
jelas ada semacam dorongan dalam hati saya untuk
membantunya."
"Dia cantik?"
"Yaaaa... lumayanlah!" Theo tersenyum.
"Nah, itu yang justru harus kamu renungkan sebelum
melangkah lebih jauh." Kata Kapten Yordan: "Kamu harus
tahu dulu motivasi apa yang mendorongmu untuk menolong
perempuan bar itu. Kalau motivasimu memang tulus ingin
membantu tanpa pamrih, itu memang baik dan terpuji. Tapi
kalau motivasimu cuma karena perempuan itu cantik, lebih
baik jangan teruskan, karena motivasimu itu dangkal! Dan
ingat, kamu kan sudah pacaran dengan anaknya K KM kita!"
"Nggak tahu, Kep!" Theo tampak bimbang:
"Pokoknya saya tersentuh dengan kehidupannya yang sepi
dan sebatangkara. Rasanya saya ingin berbuat sesuatu untuk
menolong dia supaya menghapuskan dendamnya, supaya
hidupnya bisa tentram dan kalau bisa menuntun dia supaya
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai meninggalkan kehidupannya yang selama ini
berkubang di dunia hitam."- 83
"Wah... omonganmu kayak omongan orang alim saja,
Chief!" Kapten Yordan tertawa: "Mulai kapan kamu
menjadi suci dan bijaksana?"
"Bukan gitu, Kep..." Theo agak tersipu: "Saya
memang termasuk bajingan. Tapi kadang-kadang saya
kepingin juga sekali-sekali berbuat baik selagi bisa."
"Ok... saya mengerti." kata Kapten Yordan: "Kamu
punya banyak waktu untuk membantu perempuan itu.
Untungnya kita belum berangkat berlayar dan cuma
mencoba mesin. Barangkali kita perlu berputar-putar di
sekitar perairan Kepulauan Seribu dan sesudah itu
menjelang sore kita balik lagi masuk pelabuhan. Setuju?"
"Baik, Kep!" Theo mengangguk.
Juru mudi tetap mengarahkan kapal ke arah utara
dengan meninggalkan pintu dam dan kapal-kapal lain yang
berlabuh di belakangnya. Jauh di sebelah timur sana, sayup
sayup tampak daratan Tanjung Krawang yang menjorok ke
laut seolah terputus dari daratan.
"Lima derajat ke kanan, utara timur laut!" kata Theo
kepada juru mudi, kemudian ia meneropong ke depan, ke
arah perahu-perahu mayang yang melintas di haluan.
Sejenak Theo teringat pada Lea yang entah telah
menghilang kemana sejak mereka berpisah di pemakaman.
Theo merasa yakin bahwa dia tidak memiliki suatu perasaan- 84
apa pun terhadap gadis bar itu, kecuali rasa iba atas musibah
yang tengah merundung dirinya.
Bila nanti kapal itu kembali merapat ke dermaga
setelah mengadakan pelayaran percobaan, dia bertekad
untuk mencari Lea sekedar untuk mengetahui keadaan
wanita itu apakah ia akan benar-benar membalas dendam
terhadap Murdi seperti yang diucapkannya.
Angin daratan dari arah tenggara bertiup dingin
menimbulkan riak-riak kecil pada permukaan laut.
Sementara itu di depan sana tampak menara mercu suar
pulau Edam, menjulang ke langit seorang pemandu tua yang
setia, penuntun para pelaut menuju arah yang benar.
"Halo, Theo!" Suara itu terdengar di dekatnya.
Seorang gadis bergaun biru pucat tampak naik tangga
dari geladak bawah menuju ruang kemudi. Hati Theo serasa
berbunga dengan kemunculan gadis itu. Gadis itu adalah
puteri Kepala Kamar Mesin Kapal "Lemadang" yang
seringkah datang ke kapal dan bahkan sering mengikuti
pelayaran bersama ayahnya. Dan selama saat-saat itulah
Theo sempat menjalin hubungan intim dengan gadis itu,
sehingga akhirnya diantara mereka tumbuh sesuatu yang
indah dan semakin bersemi di hati masing-masing.
"Kenapa kamu naik ke sini?" Theo tersenyum.
"Menemani kamu bertugas. Boleh?" Ita, gadis itu
mengedipkan matanya dengan pandangan manja.- 85
"Aku nggak butuh teman!" Theo pura-pura keberatan.
"Jangan sok!" Ita memukul pundak Theo sambil
mencibir: "Kamu pasti malah tambah semangat kalau
kutemani."
"Mudah-mudahan begitu." jawab Theo: "Sebab siang
ini kamu kelihatan lebih cantik dari biasanya!"
"Masa?" Ita tersenyum.
Theo menarik lengan gadis itu dan membawanya ke
balik pintu supaya tak terlihat oleh Kapten dan juru mudi,
lalu dia memeluk tubuh gadis itu erat-erat dan mencium
bibirnya.
Ita mendorong tubuh Theo.
"Gila kamu, Theo!" Ita terperanjat: "Bagaimana kalau
dilihat orang??"
"Paling-paling mereka iri!" Theo tersenyum.
"Tapi ini bukan tempat yang tepat."
"Siapa bilang?" kata Theo: "Dimana pun bagiku sama
saja."
"Aku nggak suka."
"Aku suka."
"Lepaskan aku, Theo."
"Kalau aku nggak mau?"- 86
"Aku akan menjerit."
"Menjeritlah." Theo tersenyum. Sekali lagi dia
menarik wajah gadis itu ke arah wajahnya, lalu kembali dia
melumat bibir gadis itu dengan sebuah ciuman yang
panjang.
Ita meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi Theo
semakin erat memeluk tubuh gadis itu dan tak melepaskan
mulutnya dari bibir gadis itu. Akhirnya Ita menyerah.
Bahkan kemudian gadis itu melingkarkan kedua
lengannya merangkul leher Theo dan membalas ciuman
pemuda itu dengan pagutan-pagutan yang lebih berani, lebih
'panas' dan lebih merangsang!
Sementara kapal "Lemadang" terus melaju membelah
laut biru. Jauh di sana tampak jelas gugusan Kepulauan
Seribu menyembul dari permukaan air laut yang tertutup
kabut tipis mengambang.
Theo dan Ita semakin asyik saling berciuman di balik
daun pintu ruang kemudi, hingga napas keduanya terengah
engah.
***
Lea berkaca di depan cermin.- 87
Dia seakan asing menatap bayangan wajahnya
sendiri. Dia seolah merasa bahwa dirinya bukan Lea yang
dulu lagi. Kalau dulu, dia hanya merupakan figur seorang
wanita yang tertekan dan harus mencari nafkah dari bar yang
satu ke bar yang lainnya, kini dia telah menjadi wanita yang
tak perlu lagi membanting tulang dan menjual cinta untuk
mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Sejak dia mendatangi Nini Lasih dengan segala beban
hidupnya yang penuh dendam kesumat, dia telah
berhubungan dengan lelaki jelmaan roh iblis yang bernama
Laware, yang akan membantunya dalam melampiaskan
dendam yang ditanggungnya selama ini atas terbunuhnya
Erni, kakaknya tercinta. Dan ternyata si manusia Iblis yang
bernama Laware itu tidak saja berjanji akan membantu
melampiaskan dendamnya, tapi juga melimpahkan segala
keperluan keduniawiannya secara berlebihan.
Dompet yang selalu dibawanya kemana-mana,
seakan tidak pernah habis uangnya meskipun dibelanjakan
apapun juga dan berapapun juga. Dompetnya itu selalu
berisi penuh dengan uang entah darimana datangnya.
Kadang di hati Lea ada semacam rasa ngeri bila
mengingat perjanjiannya dengan Iblis itu, dimana nanti dia
akan dituntut untuk mempersembahkan tubuh dan jiwanya
sebagai hamba Iblis dengan membiarkan dirinya
dipersunting sebagai mempelai kegelapan.
Betapa menakutkan semua itu bila dibayangkan.- 88
Rasanya Lea ingin hidup wajar seperti dulu lagi, yang
walaupun harus menyambung hidupnya dengan susah
payah, namun tak pernah merasakan ketakutan semacam itu.
Tapi bila kembali ia mengingat perlakukan Murdi dan
teman-temannya atas diri Erni, maka kembali api dendam di
hatinya menyala dan menuntut pembalasan yang lebih
kejam dan...
Terdengar suara bel tamu berdering.
Lea melangkah melintasi ruangan tamu dan membuka
pintu, maka tampaklah wajah dua wanita yang belum lama
dikenalnya. Indri dan Wiwien.
"Hmmm... Indri?... Wiwien? Mari, masuk!" Lea
tersenyum.
"Ini... rumahmu, Lea?" Indri berdesis kagum.
"Rumah... rumahmu sendiri?" Wiwien menyambung.
"Iya. Kenapa?" Lea menahan senyum.
"Busyet... gede banget!" kata Indri tercengang
.sambil melangkah masuk diiringi Wiwien. Keduanya
terheran-heran menyaksikan rumah seorang bekas hostess
yang hidup sendirian tapi tampak bergelimang kekayaan.
"Eh... maaf, lupa!" Tiba-tiba Wiwien kembali
melangkah ke pintu.
"Lho, kenapa?" Lea heran.- 89
"Saya lupa melepas sendal!" kata Wiwien sambil
melepaskan sendalnya di ambang pintu, yang kemudian juga
diikuti oleh Indri yang juga turut melepaskan sepatunya.
"Eeee... nggak apa-apa! Kok pakai dilepas!" Lea
tertawa.
"Nggak enak, ah! Ini kan lantainya bersih? Nanti
takut kotor!" kata Wiwien agak tersipu.
"Iya! Kalau di rumah sewaan saya sih, biar pakai
sepatu bot penuh lumpur juga nggak apa-apa, soalnya
lantainya memang dari tanah!" Indri menyambung sambil
tersenyum.
"Jangan! Pakai aja, deh!" kata Lea: "Nih, saya juga
pakai sendai!"
"Biarin, ah!" kata Indri dan Wiwien hampir
bersamaan.
"Pakai ajaaaaa!" Lea memaksa: "Nanti saya jadi
nggak enak, lho! Eh... kamu berdua harus ingat, saya ini juga
derajatnya sama-sama sebagai perempuan malam seperti
kalian, jadi antara kita jangan ada perasaan sungkan
sungkan segala!"
"Tapi segan rasanya..." Wiwien tersipu: "Soalnya
lantainya mengkilat!"
Alaaaa... ini semua kan cuma barang dunia yang bisa
dibeli kalau ada uang. Iya, nggak? Apa sih, istimewanya??"
Lea tertawa.- 90
Akhirnya walau dengan perasaan enggan, Indri dan
Wiwien mau juga mengenakan alas kakinya kembali.
"Kamu beruntung, Lea!" kata Indri memulai
percakapan sambil duduk di atas sofa besar berdampingan
dengan Wiwien, berhadapan dengan Lea dibatasi dengan
sebuah meja bulat dengan keempat kakinya penuh ukiran.
"Beruntung bagaimana?" Lea tersenyum sambil
meletakkan tiga gelas air sari buah dimeja itu: "Saya merasa
tidak lebih beruntung dari kalian."
"Maksudku... dalam umurmu yang masih muda ini,
kamu sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah
begini." kata Indri: "Kalau memang hidupmu serba
berkecukupan begini, untuk apa lagi kamu dulu jadi hostess
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala?"
"Iya, lho!" Wiwien menyambung: "Saya sendiri
sebetulnya sudah nggak betah hidup jadi perempuan malam
begini. Rasanya capek! Lha bagaimana coba? Tiap hari
mesti begadang sampai malam, malah kadang-kadang
sampai pagi. Apa lama-lama badan nggak bonyok?"
"Iya! Lagian kadang-kadang hasilnya nggak
seberapa!" Indri menambahkan: "Kalau kebetulan dapat
boss, memang lumayan duitnya. , Tapi kalau kena lelaki
pengangguran mana bokek, waaah... mintanya macam
macam, bayarnya kagak! Siapa yang nggak sebel??"- 91
"Tapi kalian kan sudah janji nggak mau kerja gituan
lagi, kan?" Lea tersenyum: "Nah, justru itu saya nyuruh
kalian kemari. Sebenar-nya saya sudah nungguin dari pagi,
lho!"
"Nyasar!" kata Indri dengan polos: "Lha dikartu
namamu itu kan tertulis komplek perumahan mewah, lha
tadi saya turun dari bis di terminal lantas ganti naik
metromini yang jurusan... jurusan apa tadi, ya?"
"Kenapa nggak naik taxi aja? Sopir taxi pasti tahu
tempat ini!" Lea menahan senyum.
"Nggak kepikir sampai ke situ!" Wiwien
menyambung: "Wong memang biasanya kami berdua
kemana-mana pakai bis!"
"Lantas sesudah turun dari metro mini, naik apa
lagi?" Lea bertanya.
"Naik bajaj!" jawab Indri: "Uuuu... payah! Bajajnya
bobrok. Dikit-dikit mogok, mana sopirnya genit lagi.
Mendingan kalau cakep! Ini sudah kurus kering kayak cicak,
mana item, giginya tonggos, ee... maunya sepanjang jalan
bercanda melulu!"
"Nyasar lagi!" Wiwien menambahkan: "Ee... sesudah
gitu, ongkosnya minta nambah, lagi! Konyol nggak?
Mmmmhhh... amit-amit, deh! Jangan ketemu lagi sopir
model begituan. Uuuuh... gemes rasanya. Kalau nggak inget- 92
ini daerah orang, barangkali sopir sialan itu sudah saya
kaplok jidatnya pakai sendai!"
Lea tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita
kedua temannya yang belum lama dikenalnya itu. Walaupun
Indri dan Wiwien baru dikenalnya, tapi karena sikap Lea
yang ramah dan terbuka, maka diantara mereka bertiga
semacam ikatan persahabatan yang seolah sudah cukup
lama terjalin.
Setelah mereka bertiga mengobrol ke sana kemari
tanpa arah pembicaraan, akhirnya Indri dan Wiwien mulai
ingat akan tujuan mereka datang ke tempat itu.
"Eh, Lea! Ngomong-ngomong gimana nih, kita
berdua ini?" kata Indri sambil melirik pada Wiwien: "Kan
katanya kamu mau ngasih kerjaan."
"Betul." jawab Lea mengangguk: "Begini... saya ini
kepingin kita bekerja sama untuk menolong para pelacur
yang tertekan."
"Saya nggak ngerti. Maksudnya gimana, sih?" Indri
bertanya.
"Begini, lho..." kata Lea: "Misalnya ada teman
temanmu yang menderita karena diperas oleh germo-nya,
atau barangkali diperas oleh langganannya yang bajingan,
nah... mereka itulah yang harus kita tolong. Ngerti, nggak?"
"Caranya?" Wiwien ingin tahu.- 93
"Kita kasih uang untuk meringankan beban hidup
mereka, tapi syukur kalau mereka cari kerja lain." kata Lea:
"Nah untuk germo-germo pemeras dan langganan
langganan yang kurang ajar itu, kita kasih sedikit pelajaran
biar kapok!"
"Mana bisa kita melawan mereka?" Indri
mengerutkan alisnya.
"Saya bisa!" jawab Lea dengan pasti: "Pokoknya
yang satu itu tugas saya. Kamu berdua cuma bertugas
menyadarkan perempuan-perempuan yang diperas itu!"
"Tapi Lea..." kata Wiwien: "Itu kan berarti kita
buang-buang duit percuma. Coba bayangkan kalau orang
yang kita tolong itu sepuluh orang saja dan masing-masing
kita kasih duit... katakanlah duapuluh ribu seorang. Nah,
berapa duit yang harus dikeluarkan?"
"Jangan kuati soal duit." Lea tersenyum: "Saya punya
cukup banyak warisan yang nggak bakalan habis hanya
untuk urusan amal yang begituan!"
"Tapi apa itu nggak berarti pemborosan?" Indri
menyambung.
"Alaaaaa... duit itu kan cuma kertas, digambar dikasih
tulisan lantas dicetak! Buat apa kita diperbudak duit?" Lea
meyakinkan: "Lagian kalau nanti kita mati kan nggak bawa
apa-apa, kan?"- 94
"Iya memang, sih..." kata Wiwien: "Tapi sebelum kita
mati kan kita perlu biaya hidup. Bukannya rencanamu itu
nggak bagus, tapi jaman sekarang ini kita kan mesti
mengingat masa depan. Iya, kan?"
"Pandanganmu memang betul, Wien." kata Lea:
"Tapi sesudah saya sering kecewa dan sakit hati selama saya
jadi hostess, inilah yang jadi rencana saya yang pertama.
Sebab saya ngerasa sendiri sih, bagaimana sakitnya
diperlakukan orang dengan sewenang-wenang. Kamu
berdua pasti sudah merasakannya juga, kan?"
"Sering!" Indri tersenyum.
"Naah... maka dari itu, saya punya niat seperti ini."
"Tapi bagaimana nanti kalau gara-gara rencana
menolong orang pakai cara royal seperti ini, lantas kamu
bangkrut? Kan saya sama Wiwien jadi ikut merasa nggak
enak!"
"Idihhh kok mikirnya sampai ke situ!" Lea
tersenyum: "Pokoknya kalau nanti kita temukan cara lain
yang lebih jitu, boleh kita adakan perobahan. Tapi untuk
sementara ini, rencana kita ini dijalankan dulu. Setuju?"
"Saya sih, setuju-setuju aja. Iya nggak, In?" jawab
Wiwien sambil mengerling ke arah Indri.
"Iya! Dan lagian saya dan Wiwien juga terimakasih
banget sama kamu, Lea... soalnya kami yang pertama-tama
merasakan pertolonganmu!"- 95
"Aah... itu nggak soal!" kata Lea: "Yang penting kita
sudah sepakat dan..."
Tiba-tiba Lea menghentikan ucapannya ketika
melihat Wiwien tampak gelisah duduknya.
"Kenapa kamu, Wien?" Lea bertanya.
"Iya. Kenapa sih kamu ini?" Indri ikut bertanya: "Kok
dari tadi dudukmu megal-megol nggak bisa diam?"
"Saya pengin... kencing!" Wiwien tersipu: "Dimana
sih, WC-nya??"
"Dasar!" Indri tertawa jengkel: "Ya begini ini nggak
enaknya ngajak kamu. Suka beser!"
"Alaaa... kamu juga!" Wiwien merengut.
"Kenapa nggak bilang dari tadi." Lea tertawa: "Yuk
saya antar ke belakang!"
"Dasar perempuan beser!" Indri tertawa menyindir.
***
"Goblok kalian semua!!" Murdi menggebrak meja.
"Kami berdua sudah berusaha, Boss!" kata Iping
sambil tertunduk: "Waktu kami menurunkan barang-barang- 96
itu dari kapal, memang aman. Ee... begitu sampai di dekat
pos 7, ada yang mengejar. Ya kami kabur!"
"Yaitu letak gobloknya!!" Murdi tampak geram:
"Kan sudah sering saya kasih tahu, kalau habis menurunkan
barang dari kapal, jangan lantas nyelonong keluar kayak di
rumah nenekmu sendiri. Tapi dibiarin dulu, misalnya
dititipin di warung sampai barang dua atau tiga hari. Kalau
kira-kira sudah aman, baru dibawa keluar pakai mobil
sewaan! Ngerti nggak??!"
"Mengerti, Boss!" Iping dan Odin mengangguk
bersamaan.
"Mengerti jidat lu!" Murdi membentak: "Lain kali
kalau masih gagal lagi saya gaplok kamu berdua!"
"Iya, Boss!"
"Sudah, sana keluar!!" Murdi menghardik: "Bikin sial
aja, lu!!"
Tanpa banyak membantah, Iping dan Odin segera
keluar dari ruangan itu, dan tak berani menengok lagi.
Mereka berdua masih merasa beruntung karena biasanya
Murdi bisa main gebuk kalau sedang naik pitam.
Sementara itu Sukir dan Maman duduk di sudut
ruangan dekat pintu dengan sikap acuh sambil menikmati
rokok.
"Gua kesal, nih!" Murdi menggerutu sambil meneguk
gelasnya yang berisi Vodka, minuman Rusia yang berhasil- 97
diselundupkan dari kapal seminggu yang lalu: "Makin hari
anak-anak kerjanya makin konyol!"
"Gimana si Sarkun?" Sukir bertanya.
"Sarkun juga payah!" Murdi menggerutu:
"Ngomongnya aja gede. Dia bilang bisa curi obat-obatan itu
dari truk, aaah... nggak tahunya cuma dapat dua dos. Paling
lakunya berapa?"
"Kok bisa cuma dapat dua dos?" Maman bertanya.
"katanya sih, ketahuan!" Murdi bergumam: "Dia
bilang naik truk itu dilampu merah prapatan Senen, lantas
turunnya di dekat jembatan Jatinegara!"
"Uuh... tolol dia!" kata Sukir: "Terang aja ketahuan di
tempat ramai begitu. Kalau gua dulu, naik dari lampu merah
Rawasari, terus ngumpet di dalam trepal sampai ke luar
kota. Di daerah Bekasi baru lompat turun langsung lari ke
tengah sawah dan nginap di sana. Besoknya baru balik lagi
ke Jakarta pakai taxi. Begitu lebih aman!"
"Tapi terus-terang aja, gua curiga sama si Sarkun."
Maman mencibir.
"Kenapa?" Murdi ingin tahu.
"Yaah... bukannya apa." Maman mengisap rokoknya
dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya ke udara: "Tapi
gua sering lihat dia suka mampir di toko si Japar!"- 98
"Tapi si Japar itu kan termasuk salah satu tukang
tadah kita?" Murdi berkata sambil kembali meneguk gelas
minumannya.
"Japar yang mana, sih?" tanya Sukir.
"Aaah... ituuu! Japar krempeng yang kepalanya
botak!" Maman menjelaskan.
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Teruskan, Man!" kata Murdi.
"Iya, gua sih memang tahu kalau si Japar itu termasuk
salah satu tukang tadah kita, tapi itu kan dulu. Sekarang
nggak ada lagi yang mau memilih si Japar semenjak sering
ada informan polisi yang suka keluar masuk tokonya." Kata
Maman: "Dan lagi masa kamu nggak pernah dengar si Japar
itu mulai suka main curang?"
"Lu, tahu?" Murdi menatap tajam.
"Jelas tahu!" jawab Maman: "Tempo hari dua kali dia
ngumpetin barangnya si Tamin, dengan alasan disita polisi!
Lantas urusan dia sama si Ujang juga nggak beres gara-gara
barang digudangnya hilang!"
"Ah iya... gua baru ingat!" Sukir menyambung:
"Pernah juga si Maskur tegang sama si Japar gara-gara
barang-barangnya si Maskur ditukar!"
"Kalau gitu mulai sekarang harus kita awasi dia!"
Murdi bergumam: "Kalau memang dia mulai macam
macam, habisi aja!"- 99
"Gua memang lebih setuju begitu!" kata Maman:
"Lha ngapain kita terus menerus sport jantung gara-gara
ulah dia?"
"Tapi itu nanti sesudah urusan kita selesai!" kata
Murdi: "Sekarang bagaimana rencana kita mengenai
menyimpan mobil-mobil curian itu??"
"Kalau gua sih lebih setuju mobil-mobil itu disimpan
sementara di rumahnya si Jupri!" kata Sukir: "Dia kan punya
gudang luas di Cakung, yang bisa dipakai ngumpetin
mobil!"
"Gimana, Man?" Murdi menatap Maman.
"Gua setuju!" jawab Maman: "Sambil menunggu
situasi aman, kita bisa suruh si Patmo untuk mengganti cat
mobil sambil mengganti nomor plat-nya!"
"Ok... itu dulu yang perlu kita kerjakan!" kata Murdi:
"Sekarang kamu sama Maman urusin itu mobil-mobil,
supaya besok kita nggak perlu repot-repot lagi!"
"Yuk, Kir! Kita cabut sekarang!" kata Maman sambil
berdiri.
"Jangan lupa!" Murdi berpesan: "Jangan terlalu jual
tampang di jalanan, soalnya polisi masih mengejar kita,
karena kasus kematian Erni!"
"Beres!" jawab Sukir dan Maman hampir bersamaan,
kemudian kedua orang itu meninggalkan ruangan.- 100
Kembali Murdi meneguk gelas minumannya.
Murdi menarik napas panjang.
Dia merasakan tubuh dan pikirannya sangat letih.
Sebagai manusia, sesekali dia ingin lepas dari segala beban
yang menghimpit jiwanya selama ini. Dia ingin sesekali
menikmati kehidupan yang santai dan tenang. Tapi hal itu
hampir-hampir tak pernah dirasakannya, bahkan sebaliknya
setiap hari dia selalu merasa tegang, karena sewaktu-waktu
seseorang akan muncul untuk menyingkapkan segala
kejahatannya atau pun membalaskan sakit hatinya.
Murdi tersenyum seorang diri.
Dia tersenyum mengejek, seolah menertawakan
dirinya sendiri yang tak pernah mampu tepas dari kemelut
ciptaannya sendiri. Bagi dia, terlalu sulit rasanya untuk bisa
bebas dari ikatan lingkaran setan itu, dan dengan hati yang
gelisah, ia terus menerus membiarkan dirinya dililit oleh tali
nasib, yang seakan erat melilit seluruh perjalanan hidupnya
dengan kekejaman yang tak kenal ampun.
Rasanya segalanya sudah terlambat untuk bisa
berobah. Meskipun sekali waktu hati nuraninya
memberontak untuk menggapai perubahan itu. Kembali
Murdi meneguk minumannya. Lalu meneguk sekali lagi,
sekali lagi dan sekali lagi, meski ia tahu bahwa minuman
keras itu hanya mampu melupakan kekalutan hidupnya
secara sementara saja. Murdi hanya tahu bahwa begitulah
cara hidup yang harus ditempuhnya, tanpa mampu berbuat- 101
apa-apa. Baginya, hidup adalah sebuah padang perburuan
dimana setiap orang dituntut untuk meraih kesempatan
terbaiknya meskipun harus mengorbankan sesamanya.
Murdi tersentak dari lamunannya ketika tiba-tiba
pintu ruangan itu terbuka lebar dan seorang wanita muda
berparas cantik berdiri di sana, dengan gaun mahal berwarna
cream.
Wanita itu menatapnya sambil tersenyum seraya
menyandang sebuah tas kulit mahal, dengan permata indah
mengalungi lehernya yang jenjang. Murdi hampir tak
percaya, bahwa wanita itu pernah menjadi miliknya, dan
yang luar biasa, wanita itu punya keberanian untuk datang
kepadanya.
"Lea...!" Murdi mendesis: "Kau...??!"
"Kamu kaget, Murdi?" Lea tersenyum manis sambil
melangkah santai mendekat dan duduk tepat di kursi di
hadapan Murdi dengan pandangan penuh keberanian:
"Kamu merasa aman tinggal di sini?"
"Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini?" Murdi
bertanya kembali: "Siapa yang menunjukkan kamu ke
tempatku ini??!"
"Itu nggak penting..." Lea tersenyum tenang: "Yang
lebih penting adalah bagaimana hutang-hutangmu pada
saya, Mas!"- 102
"Hutang?" Murdi tersenyum sinis: "Kapan saya
punya hutang sama kamu?"
"Banyak, Mas!" Lea tersenyum: "Kamu sudah sering
menyakiti hatiku dan menyakiti tubuhku. Ingat?"
"Persetan!" Murdi mendengus: "Dan kamu tahu
berapa uangku yang sudah kukasih kamu? Kamu lupa itu?"
"Oo... tentu saja saya ingat itu." Lea tersenyum: "Dan
saya bisa melunasinya sekarang i juga."
Sambil berkata begitu Lea merogoh tas tangannya dan
mengeluarkan beberapa ikat uang yang masih baru dengan
segel Bank yang masih utuh, dan meletakkannya di atas
meja. Murdi terbelalak hampir tak percaya.
"Dan sekalian bunganya." kata Lea sambil melepas
kalung permatanya berikut gelang dan cincinnya yang jelas
bernilai sangat mahal, dan meja.
"Ini lebih dari cukup, kan?" Lea tersenyum.
Cepat tangan Murdi meraih lengan wanita itu dan
mencekalnya erat-erat.
"Sialan! Darimana kamu dapat duit dan perhiasan
sebanyak ini??!!"
"Apa pedulimu?" Lea tersenyum mengejek.
"Katakan dari mana kamu dapat uang dan perhiasan
ini!!" Murdi menggeram dengan marah: "Darimana!!!"- 103
"Kalau saya nggak mau jawab?" Lea mencibir.
Telapak tangan Murdi melayang keras, menampar
pipi wanita itu. Dari sudut bibir Lea menetes darah. Tapi
sepasang mata Lea tetap menatap Murdi tanpa berkedip dan
tetap tersenyum, seolah tidak merasakan sakit oleh tamparan
tangan Murdi itu.
"Cuma itu yang kamu bisa, kan?" Lea mengejek:
"Kamu dari dulu sampai sekarang tetap sama. Bisamu cuma
menyiksa perempuan yang tak berdaya. Dan entah sudah
berapa perempuan yang sudah kamu rusak dan kamu sakiti!"
"Diaamm...!!" Murdi membentak.
"Juga mulutmu tetap seperti dulu." Lea menyambung:
"Cuma bisa ngoceh tentang rencana jahat, tertawa-tawa lupa
diri dan membentak-bentak. Mulutmu itu lebih najis
daripada mulut anjing!"
"Keparat!!" Murdi menggeram dan kali ini dia berdiri
dari tempat duduknya, dan dengan setengah melompat dia
mengayunkan pukulan keras lewat di atas meja dan tepat
menyambar wajah Lea. Tubuh wanita itu terpelanting dari
tempat duduknya dan jatuh terbanting di atas lantai.
Tapi ternyata Lea berdiri kembali seakan tidak merasa
sakit. Hanya di bawah mata kanannya yang tampak
membiru, membuktikan bahwa pukulan Murdi memang
sangat keras dan telak.
Murdi sangat terperanjat menyaksikan itu.- 104
"Kamu lelaki lemah! Pengecut!" Lea tersenyum
menatap Murdi sambil mengebas-ngebaskan gaunnya yang
terkena debu lantai.
"Apa maumu sebenarnya??!" Murdi mendesis
dengan sepasang matanya yang mulai menampakkan
kebimbangan.
"Kok masih nanya?" Lea tersenyum: "Saya kan
kemari untuk bayar semua hutangku, dan semuanya
sekarang sudah lunas."
"Bangsat!" Murdi mendengus geram.
"Barangkali kamu kesal, karena rencanamu
menyuruh sopir taxi itu membunuh saya dan pemuda awak
kapal itu gagal." Lea tertawa tergelak: "Dan sopir itu bilang,
katanya kamu memfitnah saya dan pemuda itu dengan
tuduhan mencoba membunuh adik sopir itu. Pintar sekali
mulutmu. Mas!"
"Cukup!!" Murdi membentak: "Sekarang katakan apa
maumu sebelum saya punya niat membunuhmu!"
"Cuma perlu sedikit, kok!" Lea menjawab dengan
santai sambil kembali duduk di tempatnya semula
menghadapi Murdi: "Tolong kembalikan nyawa kakakku!"
"Apa...??!!" Murdi terkejut.
"Kamu dan teman-temanmu telah menodai dan
membunuh Erni..." kata Lea dan kali ini suaranya mendesis- 105
penuh dendam: "Kamu harus melunasinya seperti saya
melunasi semua hutangku padamu. Paham?"
Murdi tersenyum mengejek sambil memasukkan
tumpukan uang dan permata di atas meja itu ke dalam laci.
"Terserah kamu mau bilang apa." Murdi tersenyum:
"Tapi saya tidak bodoh untuk menolak uang dan perhiasan
ini. Dan saya tak perduli lagi darimana kamu dapatkan uang
dan perhiasan sebanyak ini. Dan sebagai terimakasihku
kamu boleh pulang sekarang, asal jangan coba-coba
mengganggu saya lagi."
"Terimakasih, Mas!" Lea tersenyum sambil berdiri
dari tempat duduknya dan bersiap untuk meninggalkan
ruangan itu: "Tapi kapan kamu membayar hutang nyawa
kakak saya?"
"Diam kamu!!" Murdi membentak: "Jangan bicara
macam-macam kalau kamu mau selamat. Mengerti?" Murdi
menatap tajam: "Sekarang... pergii!!"
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik..." Lea tersenyum manis: "Cuma jangan lupa,
selama kamu belum membayar nyawa Erni, saya akan terus
mengejar kamu!"
"Keluaaar...!!!!" Murdi berteriak dengan berang.
Lea menatap Murdi sesaat sambil memainkan
senyuman manis di bibirnya yang tipis. Kemudian dengan
liuk pinggang yang menawan dia melangkah menuju pintu,
seolah mengejek Murdi.- 106
Murdi hanya bisa menatap dengan geram.
Baru beberapa langkah berjalan, Lea segera
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya ke arah
Wiro Sableng 053 Kutukan Dari Liang Joko Sableng 12 Warisan Laknat Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama