Ceritasilat Novel Online

Dendam Sepotong Tangan 2

Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari Bagian 2



Murdi.

"Oh, ya... saya hampir lupa, Mas!" kata Lea

tersenyum sambil merogoh tasnya mengambil sesuatu. Lalu

dia memperlihatkan sebuah bungkusan kain putih sebesar

telapak tangan: "Boleh saya ngasih sedikit benda kenang
kenangan, Mas?"

"Terserah, tapi cepatlah pergi!!" Murdi mengancam.

"Ini...!" kata Lea sambil melemparkan bungkusan

kain putih itu, yang tepat jatuh di atas meja di depan Murdi.

Kemudian sambil mengedipkan mata penuh rayu, Lea

kembali melangkah ke arah pintu dengan langkah yang

gemulai.

"Sampai jumpa lagi, Mas!" Lea berkata tanpa

berpaling lalu tubuhnya lenyap di balik pintu.

Sial! Bagaimana dia bisa sampai di sini??!!" Murdi

mendesis seorang diri. Dia merasakan ada hal-hal aneh

dalam diri Lea, tapi entah apa. Nalurinya mengatakan bahwa

kehadiran Lea cukup membahayakan dirinya mengingat

wanita itu bisa saja melaporkan tempat persembunyiannya

pada polisi. Tapi bila ia mengingat Lea telah memberinya

sejumlah uang dan perhiasan yang begitu banyak, maka- 107
rasanya tidak tega dia untuk membunuh gadis bar bekas

istrinya itu.

Murdi masih bingung dan sulit percaya darimana Lea

mampu memiliki uang dan perhiasan sebanyak itu. Tapi

yang jelas dengan uang dan perhiasan sebanyak itu, dia akan

mampu pindah dari tempat persembunyiannya yang

sekarang, dan mencari tempat persembunyian baru dalam

waktu singkat dan sekaligus membuka usaha baru dengan

modal yang cukup.

Dan untuk urusan berikutnya sangat mudah bagi dia

untuk mencari Lea dan memeras wanita itu sampai dia mau

mengaku dimana dia mendapatkan sumber uang dan

perhiasan sebanyak itu.

Tapi...

Kembali Murdi dihadapkan pada pertanyaan yang tak

terjawab, bagaimana mungkin Lea yang selama ini

dikenalnya sebagai wanita yang lemah dan perasa,

mendadak berubah menjadi wanita yang begitu tenang dan

berani? Bahkan tamparan serta pukulan Murdi yang bisa

membuatnya pingsan, ternyata seperti tak dirasanya. Lea

seakan sudah berubah menjadi pribadi yang lain. Pribadi

yang lebih matang dan meyakinkan.

"Aah... persetan!" Murdi mendesis seorang diri. Dia

yakin bahwa wanita itu sudah mulai hilang ingatannya

karena goncang ditinggal mati kakaknya. Mustahil seorang

wanita waras memberikan sejumlah uang dan permata- 108
dalam jumlah besar, dengan cara begitu mudah dan suka

rela.

Murdi tersenyum sendirian sambil meneguk gelas

vodka-nya dengan nikmat. Yang jelas dia harus memberi

hukuman pada anak buahnya yang telah membiarkan wanita

itu masuk menemui dirinya, dan nanti akan...

Tiba-tiba pandangan mata Murdi tertuju ke atas meja.

Dia baru ingat, Lea memberikan bungkusan kain

putih itu kepadanya yang katanya adalah benda kenang
kenangan.

Ingin rasanya Murdi membuang bungkusan tak

berarti itu ke dalam tempat sampah. Tapi hati kecilnya

tergelitik untuk mengetahui hadiah apa yang diberikan Lea

kepadanya.

Dengan menyunggingkan senyuman dingin, Murdi

meraih bungkusan kain putih itu dan membukanya perlahan
lahan.

"Gila!" Murdi berseru sambil melompat mundur.

Di dalam bungkusan itu tampak, beberapa buah jari

tangan manusia yang masih basah oleh darah kental dan

hampir mermbeku. Dan diantara sejumlah jari-jari itu,

tampak sebuah jari manis tangan kiri yang masih

mengenakan cincin tembaga berhias batu akik putih.

Murdi kenal... itu adalah jari Maman. Salah seorang

anak buahnya yang terbaik dan setia, di samping Sukir.- 109
"Maman...!" Murdi mendesist dengan tulang rahang

mengeras penuh rasa geram, kedua telapak tangannya

mengepal erat-erat.

"Keparat!!" Murdi menggeram dan segera melompat

berlari menuju ke arah pintu. Rumah yang disewanya untuk

menyembunyikan diri dari kejaran polisi itu memang cukup

terpencil. Dan dari segi keamanan, rumah itu cukup bagus

dengan pagar yang tinggi serta pekarangan luas, yang

memungkinkan para anak buahnya bisa menyebar untuk

menjaga dan mencegah datangnya orang lain yang bukan

dari kelompok mereka. Maka mustahil Lea bisa masuk

begitu saja tanpa diantar dan dikawal oleh anak buahnya

seorang pun. Suasana tampak sepi.

Murdi mulai curiga. Dia berjalan berkeliling ke setiap

sudut bagian luar rumah itu untuk memeriksa apa yang

terjadi.

"Ipiiing...!!... Odiiin...!!" Murdi berteriak memanggil

anak buahnya. Tapi tak satu pun yang menyahut.

"Mamaaan...!!" Murdi berteriak lagi. Tetap sepi.

Murdi mulai merasa ada sesuatu yang tak beres.

Mungkin saja Maman dan Sukir sedang pergi seperti yang

diperintahkannya. Tapi di dalam bungkusan kain putih tadi,

jelas dia melihat jari manis Maman dengan cincin yang

sangat dikenalnya, itu berarti ada kemungkinan...

Murdi kembali terkejut.- 110
Di halaman rumah, masih tampak mobil pick-up.

Berarti Maman dan Sukir belum meninggalkan rumah itu.

Tapi kemana mereka? Dan. juga Iping dan Odin??

Suara berderak terdengar di belakangnya.

Murdi cepat memutar tubuhnya sambil mencabut

pistol yang terselip di pinggangnya dengan gerakan reflex.

"Sukir...!" suara Murdi seperti tersekat ketika ia

melihat tubuh Sukir merosot dari jendela gudang dan jatuh

ke tanah seperti karung beras.

"Sukir... kamu kenapa??!" Murdi bertanya sjimbil

berjongkok dan membalikkan tubuh Sukir yang

tertelungkup. Seketika Murdi terbelalak ketika menatap

wajah Sukir yang pucat pasi dan mirip wajah sesosok mayat.

"Sukir!! Kamu kenapa??!!" Murdi mengguncang
guncangkan tubuh anak buahnya itu. Sukir hanya

menggeliat sesaat, lalu sepasang matanya terbuka perlahan

dan merintih kesakitan.

"Bicara, tolol!!" Murdi membentak.

"Le... Le... Lea..." berkata dengan suara lemah.

"Saya tahu!" Murdi tak sabar: "Lantas kenapa??!!"

"Dia... dia..." Sukir tak dapat melanjutkan kata
katanya, karena dia kemudian terkulai pingsan.

"Haram jadah!!" Murdi makin kesal. Dia segera

meninggalkan Sukir yang tergeletak pingsan itu dan- 111
bergegas memasuki gudang, dan seketika wajahnya tampak

pucat dengan mata terbelalak.

Di dalam gudang itu dia melihat tiga sosok mayat

tergantung terayun-ayun pada ujung tiga utas tali. Ketiga

mayat itu adalah Iping, Odin dan... Maman. Ketiga mayat

itu tampak terkoyak lehernya sehingga menimbulkan luka

yang menganga, dan beberapa buah jari tangan mereka

tampak putus seperti direnggut dan dipatahkan dengan

paksa.

Untuk beberapa saat lamanya Murdi seperti terkesiap

tanpa mengerti apa yang harus diperbuatnya. Darahnya

seperti membeku seakan tak percaya apa yang terjadi di

depan matanya.

"Lea... keparat!!!" desisnya dengan geram.

Kini jelas sudah, apa maksud kedatangan wanita itu.

Dan juga harus diakuinya bahwa Lea yang beberapa menit

yang lalu mendatangi dirinya, bukan Lea yang dulu lagi. Lea

sudah berobah. Dan itu patut untuk diperhitungkan olehnya.

Murdi menggertakkan giginya penuh dendam.

***- 112
5

"Si Theo itu bajingan, kamu tahu??!"

Pak Yos menghardik anaknya yang mulai menampak
kan gejala mabok cinta itu: "Pokoknya mulai sekarang,

kamu tidak boleh turut Papa berlayar lagi!"

"Tapi, Ita dan Theo kan cuma berkawan biasa, Pa??"

Ita mencoba mengelak.

"Berkawan omong kosong!" Kembali ayahnya

menghardik: "Kau kira mata Papa buta, hmmm? Setiap Papa

mengajak kamu ke kapal, kamu musti berusaha baku dekat

sama itu anak! Masih tak mau mengaku??!!.

"Iya, Pa! Tapi Ita kan cuma..."

"Diaaam!!" Pak Yos membentak, dan membuat Ita

diam seketika.

"Sudahlah... Ita, cepat mandi dulu!" Tiba-tiba ibunya

muncul dan ikut bicara. Ita agak merasa lega, sebab kalau

sang ibu sudah ikut campur berarti dia memiliki pembela

yang bisa diandalkan.

"Sana... mandi!" kembali ibunya menyuruh.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Ita segera meninggal

kan tempat duduknya dan melangkah meninggalkan- 113
ruangan itu. Sesampainya di luar ruangan itu, Ita menutup

mulutnya sambil ter-senyum-senyum sendirian. Dia tahu

bahwa sejak lama ayahnya memang tidak menyukai Theo,

meskipun mereka berdua bekerja pada kapal yang sama.

"Kok senyum-senyum sendiri, Non?" Atun,

pembantunya menyapa.

Ita menatap pembantunya itu sambil mengedipkan

matanya.

"Ssst! Waktu aku tadi belum pulang, si Theo nelepon,

nggak?"

"Iya, Non! Dua kali!"

"Bilang apa dia?"

"Dia bilang nanti..."

"Sssst! Ngomongnya pelan-pelan!"

"Dia bilang..." Atun berbisik: "Nanti malam mau

njemput ke sini!"

"Jam berapa?"

"Dia nggak bilang jam-nya!"

"Uuu... bego dia, tuh!" Ita bersungut: "Kalau nanti dia
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sini ketahuan papa, bisa kena damprat gua!"

"Ya nggak tahu, wong dia ngomongnya memang

cuma gitu, sih!"- 114
"Ssst... Tun, gini aja!" Ita berbisik: "Pokoknya kamu

lihat-lihat aja. Kalau nanti kamu lihat si Theo datang, cepat
cepat kamu temui dia dan bilang, jangan masuk ke rumah."

"Jadinya gimana?"

"Pokoknya suruh saja dia nunggu di mana saja kek,

nanti saya yang akan menemui dia. Ngerti nggak?"

"Iya, Non."

"Jangan lupa, lho!"

"Iyaaa!" Atun mulai sedikit kesal: "Sudah? Kalau

sudah saya mau beresin kerjaan lain!"

"Tunggu dulu, kenapa sih??!"

"Apa lagi, Nooon...???" Atun mulai jengkel: "Saya

banyak kerjaan tuh! Belum nyuci piring, belum nyapu teras,

belum..."

"Udaaah... nanti gua bantuin!" Ita ngotot: "Eh... saya

mau tanya, waktu kemarin hari Minggu kamu terima titipan

surat dari Theo, suratnya kamu taruh dimana?"

"Ya ditaruh di tempat biasanya!"

"Iya... di mana??"

"Di bawah kasurnya Non Ita!"

"Bagus!" kata Ita sambil merogoh saku celana jeans
nya mengambil selembar uang lima ribuan: "Nih, buat

kamu! Tapi tutup mulut, ya? Jangan bilang siapa-siapa kalau- 115
ada pesan dari Theo!" Menerima lembaran uang itu,

seketika wajah pembantu itu berseri-seri.

"Terimakasih, Non!" Ucapnya: "Besok lagi, ya?"

"Enak aja!" Ita mencibir: "Uang ini juga saya nyolong

dari dompet mama!"

"Uuuu... payah!" Atun tertawa. Ita segera menyambar

handuk dan langsung menuju kamar mandi, sedangkan Atun

dengan tersenyum-senyum menyimpan uang hadiah itu di

dalam selipan BH-nya dibalik baju.

"Atuuuuun...!!" Terdengar suara Ita berteriak dari

dalam kamar mandi.

"Apa lagiii..." Atun mulai kesal lagi.

"Tolong ambilin celana dalam saya yang di kamar!!"

"Tadi bukannya dibawa ke dalam kamar mandi

sekalian!" Atun bersungut.

"Lupaaa...!!" Ita menyahut.

"Sering-sering aja begitu!" Atun menggerutu dengan

suara berbisik: "Uh... kalau lu jadi , adik gua, bisa gua pencet

lu! Anak kok cerewet banget!"

"Si Ita itu kan sudah besar, Pa! Sudah waktunya kenal

pergaulan!" kata ibunya Ita pada suaminya: "Apa sih salah

nya kalau dia bergaul?"- 116
"Aku nggak keberatan dia bergaul, tapi kalau

bergaulnya dengan si Theo, itu sudah lain perkara!" Pak Yos

menjawab.

"Tapi kalau saya lihat gerak-gerik dan kelakuannya si

Theo itu, kayaknya dia anak yang baik kok, Pa!"

"Di depan kita memang baik, soalnya ada maunya!"

Pak Yos bersungut: "Saya kan tahu siapa dia. Kamu tahu

nggak, Ma? Di atas kapal si Theo itu terkenal sebagai

'Trouble Maker' atau si pembuat onar! Sedikit-sedikit

berkelahi! Sering ribut dengan anak-anak bar! Sering

matanya jelalatan kalau lihat perempuan cantik! Sering

keluyuran di Nihgt Club! Pokoknya anak itu nggak beres!"

"Tapi kalau menurut Kapten Yordan, si Theo itu

pribadinya baik, meskipun tingkahnya sering ugal-ugalan!"

ucap istrinya: "Malah Kapten Yordan juga pernah bilang

sama saya kalau si Theo itu rajin bekerja dan berdisiplin

tinggi, loyalitas pada perusahaan, suka menolong orang

dan..."

"Iya... iya! Saya tahu itu! Saya tahu!" Pak Yos kesal:

"Sudah! Pokoknya saya nggak mau lagi dia berhubungan

dengan Ita! Titik!!"

Sehabis berkata begitu, pak Yos segera masuk ke

dalam kamarya sambil membanting pintu dengan kesal.

Istrinya tersenyum.- 117
"Dasar kepala batu!" bisiknya dalam hati sambil

tertawa lirih. Wanita itu mengerti bahwa suaminya tidak

menyukai Theo. Tapi apa alasannya, dia sendiri tidak tahu.

Padahal menurut pengamatannya selama ini, dia yakin

bahwa sangat jarang seorang lelaki yang berpribadi seperti

Theo. Pemuda itu memang bukan type lelaki yang penuh

sopan santun dan lembut hati seperti idaman kebanyakan

wanita. Tidak. Theo justru berwatak kasar, keras, tidak

banyak belajar tentang etiket pergaulan dan bersifat tidak

perduli. Tapi justru disitulah letak daya tariknya, karena

dengan begitu menampakkan pribadinya yang tegas dan

terbuka serta tidak senang berbasa-basi dan selalu jujur

dalam setiap ucapan dan tindakannya. Lagi pula Theo

adalah pemuda yang...

"Gimana papa tadi, Ma?" Tiba-tiba Ita muncul

dengan hanya mengenakan rok dalam yang tipis sambil

mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ibunya geleng
geleng kepala.

"Ita! Kamu itu mbok yang tahu malu dikit!" tegurnya:

"Kamu kan sudah besar? Masa keluar dari kamar mandi

cuma pakai pakaian seperti itu?"

"Alaaa... malu sama siapa, sih?" Ita tampak acuh:

"Paling-paling yang lihat, cuma Mama, papa dan si Atun!"

"Tapi kan nggak pantes!"

"Alaaa... ya dipantes-pantesin!" Ita tersenyum: "Eh...

tadi papa bilang apa, Ma?"- 118
"Kamu nggak boleh lagi dekat-dekat si Theo." jawab

ibunya tenang sambil minum teh: "Itu saja."

"Itu nggak adil dong, namanya!"

"Bukan kamu yang menilai."

"Jadi jelasnya papa nggak setuju?"

"Itu sudah jelas."

"Lantas Mama, gimana?" Ita mengedipkan matanya:

"Juga nggak setuju?"

"Kalau Mama... hmmm, yaaah begitulah!"

"Setuju, kan?" Ita tersenyum.

"Mama nggak bilang begitu!"

"Alaaa... Mama suka Ita dekat sama Theo, kan?"

"Siapa bilang?"

"Mama suka dia, kan? Dia calon menantu yang baik

lho, Ma!"

"Belum tentu."

"Jangan pura-pura ah, Ma!" Ita menahan senyum:

"Tapi waktu Mama ngomong sama papa, Ita kan dengar?"

"Mama nggak ngomong apa-apa, kok!"

"Aaah... tadi Mama bilang apa, kalau Kapten Yordan

suka sama Theo karena Theo baik dan tahu disiplin! Terus- 119
Mama juga bilang kalau melihat gerak-geriknya Theo, dia

anak yang baik! Hayo!! Ngaku nggak??"

"Kurang asam! Jadi kamu tadi nguping, ya?" ibunya

kesal.

"Dan tadi Mama juga bilang, kalau si Theo itu..."

"Sudaaaah, sana! Masuk kamarmu, ganti baju!!"

ibunya mengusir sambil berusaha mencubit. Ita berlari-lari

meninggalkan ruangan itu sambil tertawa-tawa.

Ibunya cuma bisa menarik nafas panjang sambil

menahan senyum

Malam semakin larut.

Suasana di dalam komplek pelacuran itu semakin

semarak. Di sana-sini terdengar suara musik menghentak
hentak menggetarkan udara I malam. Mulai dari lagu Sunda

yang melengking tinggi meliuk-liuk dibarengi dengan suara

gending Jawa yang nadanya turun-naik, sampai ke j musik

rock bercampur irama dang-dut, semuanya membaur

menjadi satu.

Di pos penjagaan tampak seorang anggota hansip

sedang terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menikmati

rokoknya yang sudah pendek, yang dua menit lagi nyaris

membakar ujung jari-jarinya. Sementara di dekat pagar

tembok seorang lelaki tua bergigi emas dengan rambut yang

mulai tipis beruban, tampak sedang asyik bercumbu dengan

seorang wanita pelacur bertubuh gempal dengan gaun merah- 120
ketat yang mencetak bentuk tubuhnya, hingga mirip ikan

duyung jaman purbakala.

Diantara kelipan lampu yang bertebaran dimana
mana, tampak bersimpang siur pasangan-pasangan yang

sibuk dengan urusannya masing-masing, dan sesekali

terdengar suara tawa manja yang menggelitik.

"Gua bingung, nih..." Sumi mengeluh sambil

meratakan bedak di pipinya di depan cermin kecil: "Sewa

kamar naik lagi!"

"Iya! Heran, ya? Padahal baru dua bulan kemarin

naik, ee... sekarang sudah naik lagi!" Salmah menanggapi:

"Mang Leman maunya gimana, sih?"

"Gua lama-lama sebel sama dia!" Sumi meludah ke

bawah kolong meja: "Kayaknya dia itu nggak punya

perasaan kasihan sama kita-kita ini!"

"Iya! Padahal kalau dipikir-pikir dia itu kan sudah

kaya, ya?" Salmah memberi komentar: "Bininya pakai

kalungnya gede banget nggak tanggung-tanggung! Nggak

tahu berapa ratus gram itu! Belum lagi gelang kroncong

sama cincinnya! Punya bemo tiga biji, gerobak air tujuh,

warung minuman ada dua, mana jadi agen minyak lagi!"

"Belum lagi di udik-nya!" Sumi menambahkan:

"Kabarnya dia sudah beli sawah lagi di sana, sekalian

bangun rumah baru buat mertuanya!"

"Tapi kok kayaknya nggak ada puasnya, ya?"- 121
"Yaaa... namanya orang kayak dia itu kalau belum

mampus, mana ada puasnya?" Sumi mencibir: "Dia mah

makin hari makin kaya, makin makmur, kita ini yang makin

lama makin tua, makin peot dan makin nggak laku. Nah

kalau kita sudah seperti itu, paling-paling kita ditendang. Iya

kan?"

"Iya... betul juga kamu, Sum!" Salmah termenung

sambil tetap duduk di sisi dipan, yang entah berapa orang

lelaki yang pernah naik di atasnya: "Sekarang aja jarang ada

tamu yang mau mampir kemari. Malah kadang-ka
dang saya sampai empat jam mangkal di prapatan

dekat jembatan itu, ee... tamu-tamu malah milih yang lain!"
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya terang aja!" Sumi melengos: "Namanya lelaki

kan milihnya yang muda-muda. Makanya kalau kita begini
begini terus, waaah... bakalan gawat!"

"Iya, Sum..." kata Salmah: "Tapi gua bingung, Sum!

Habis kita-kita ini mau kerja apa? Mau jadi babu, nggak

gesit lagi. Mau jualan, nggak ada modal!"

"Iya! Jualan gado-gado lontong sama kre-dok aja

nggak cukup enam ribu modalnya!" kata Sumi: "Nggak tahu

nih, kita bakalan jadi apa. Kalau..."

"Sumi!!" Terdengar suara di pintu.

Kedua wanita itu menengok dan tampak seorang

wanita dengan gaun yang berpotongan sopan berdiri- 122
diambang pintu sambil tersenyum ke arah mereka. Kedua

wanita mengenalinya.

"Indriii...!!!" Salmah dan Sumi hampir berseru

bersamaan. Kedua wanita itu menghambur ke arah pintu,

dan ketiganya saling berpelukan penuh rindu.

"Indri," kata Salmah: "Kemana aja kamu?"

"Wah, kamu sudah banyak berubah ya, In?" Sumi

memuji: "Tambah gemukan, tambah menor, tambah

cakep!"

"Alaaa... sama aja!" Indri tersenyum: "Kamu berdua

bagaimana kabarnya? Masih ikut mang Leman?"

Salmah pasang muka sedih: "Dari dulu kami berdua

ya gini-gini aja!"

"Kamu kayaknya sudah lain, In!" kata Sumi:

"Dandananmu sopan banget dan... kayaknya lebih makmur.

Sudah kawin kamu, ya?"

"Enak aja! Kawin ama siapa??!"

"Barangkali sama si Murdi!"

"Uuu... si Murdi minggat kemana, nggak tahu!" Indri

tertawa: "Eh... masa gua nggak disuruh duduk?"

"Ya duduk aja di ranjang itu," kata Salmah: "Di

kamar ini memang nggak ada kursinya dari dulu. Pernah ada

bangku satu biji tapi sudah jebol!"- 123
"Sini, duduk, In!" Sumi mempersilahkan. Indri

termenung.

Trenyuh hatinya sesudah mendengar cerita dari kedua

sahabatnya itu, yang hidupnya selalu ditekan oleh 'sang

majikan' yang lebih berkuasa. Apa yang dialami oleh

Salmah dan Sumi pasti juga dirasakan oleh banyak pelacur

yang mulai tersisih karena usianya yang kian meningkat dan

hanya bisa meratapi nasib serta membayangkan masa depan

yang suram.

"Hmmm... gua nggak nyangka kalau mang Lemari

sekarang jadi brengsek begitu..." Indri tertunduk: "Padahal

waktu dia masih melarat dulu kan kerjanya mungutin ikan

di pelelangan Kalibaru?"

"Jamannya sudah lain, barangkali!"

Salmah mengeluh: "Sekarang kan dia sudah kaya.

Jadi mulai bertingkah!"

"Bayangin aja, sekarang sewa kamar sudah 1 naik

lagi, In!" kata Sumi.

"Kenapa kamu berdua nggak minggat aja dari sini?"

Indri bertanya.

"Minggat sih gampang. Tapi minggatnya itu

kemana?" kata Salmah: "Kan seenggak-enggaknya mikir

nginap dimana, makan dimana. Iya, kan?"

"Sudah! Pergi aja dari sini, lantas ikut gua," kata

Indri: "Gua punya teman baik hati yang dulunya kerja jadi- 124
hostess. Dia pasti akan ngasih modal kalian buat mulai usaha

apa aja!"

"Ah, masa ada sih, orang segitu baiknya?" Sumi

tercengang.

"Iya. Jaman sekarang kayaknya nggak ada lagi orang

yang sosial begitu!" Salmah juga tercengang.

"Sudahlah. Pokoknya kamu berdua nggak usah tanya

ini-itu," kata Indri: "Soal mang Leman, gua bisa atasin."

"Ee... tapi lu belum tahu, In... saya dan si Salmah ini

masih punya tunggakan utang sama mang Leman," kata

Sumi: "Nanti kan bisa jadi perkara??"

"Itu gampang!" Indri tersenyum

***

"Nah sekarang kamu bisa cerita, kan?" kata Murdi

sambil menatap tajam ke arah Sukir yang masih terbaring di

atas ranjangnya setelah mengalami shock beberapa hari,

akibat kematian Maman, Iping dan Odin di tempat

persembunyian mereka yang lama.

"Seram sekali... dan... dan nggak masuk akal!" Sukir

bergumam.- 125
"Saya nggak nanya seram, dan juga nggak nanya

masuk akal apa tidak!" Murdi membentak: "Saya cuma

suruh kamu cerita. Cepaaat!!!"

"Waktu itu si Maman masuk gudang mau ambil kunci

mobil dari si Odin..." Sukir memulai kisahnya sambil

menelan ludah: "Saya nunggu di mobil. Lantas kedengaran

suara seperti orang berantem di dalam gudang..."

"Teruskan!" Murdi menggeram.

"Saya lihat pintu gudang terkunci dari dalam. Saya

mulai curiga..." Sukir melanjutkan ceritanya: "Saya naik

lewat jendela gudang dan sampai di loteng, lalu mengintip.

Saya lihat... saya lihat..."

"Cepat ngomongnya!!!" Murdi tak sabar.

"Saya lihat... saya lihat Lea ada di sana berdiam diri."

Kembali Sukir menelan ludahnya yang serasa menyekat

tenggorokannya: "Lantas saya lihat ada sepotong tangan

yang..."

"Tangan siapa?" Murdi bertanya.

"Ya nggak tahu tangan siapa!" Sukir menjelaskan.

"Tunggu dulu, bego!" kata Murdi: "Tadi kamu kan

bilang lihat tangan. Iya?"

"Iya!"

"Nah, yang saya tanya, tangan itu tangannya

siapaa...??!!"- 126
"Saya kan sudah bilang nggak tahu!!" Sukir kesal.

"Lho, jadi kamu ini cerita apa sih??!" Murdi

mengerutkan alisnya.

"Cerita soal tangan!"

"Iyaaaa! Tapi tangannya siapa??!!"

"Nggak tahu, goblok!!" Sukir jengkel.

"Sialan! Kamu berani ngatai gua goblok??!" Murdi

naik pitam.

"Memang kamu goblok!!" Sukir tak mau kalah:

"Saya kan bilang, di dalam gudang itu lihat sepotong tangan

yang..."

"Sepotong??!!"

"Iya! Cuma sepotong!!" Sukir ngotot: "Memangnya

saya tadi bilang lima potong??!"

"Maksudmu... potongan tangan, begitu??!"

"Iya! Sebatas siku dan sudah busuk!" kata Sukir:

"Kayaknya tangan orang mati!!"

Wajah Murdi berangsur pucat.

"Lantas gimana?"

"Saya lihat tangan itu hidup dan terbang menyambar
nyambar kayak roket, menyerang Maman, Iping dan Odin!"

Sukir melanjutkan: "Pokoknya susah diikuti mata.- 127
Gerakannya cepat sekali! Tahu-tahu Maman, Iping dan Odin

mati dan luka-luka... dan jari-jarinya banyak yang

dicopotin!"

"Si Lea bagaimana?"

"Justru itu yang saya heran," kata Sukir: MSi Lea

kayaknya yang mengendalikan tangan busuk itu. Malah dia

lantas menyuruh tangan itu mengambil tali dan

menggantung mayat Maman, Iping dan Odin, lantas... yaaa,

kamu kan tahu sendiri lanjutannya."

Murdi terdiam.

Kini dia mulai mengerti, bahwa Lea diam-diam telah

memiliki kekuatan yang di luar kodrat manusia. Dan kalau

waktu itu Lea sengaja tidak membunuhnya, itu karena Lea

hanya ingin Murdi tegang syaraf lebih dulu, baru kemudian

akan menghabisinya dengan cara yang mungkin lebih sadis

lagi. Membayangkan itu, Murdi merasa bulu kuduknya

merinding. Jelas, bahwa yang dikuatirkan sekarang bukan

hanya kejaran polisi yang sewaktu-waktu bisa

menciduknya, tetapi terutama Lea telah menjadi ancaman

yang serius dan sama sekali tak bisa-dianggap remeh.

Melihat Murdi berdiam diri termenung, Sukir

menyunggingkan senyum mengejek. Mungkin itu untuk

pertama kalinya dia melihat Murdi dalam keadaan yang

begitu kalut.

"Saya yakin kamu juga takut," kata Sukir.- 128
"Mungkin."

"Cepat atau lambat, akhirnya kamu dan saya akan

dapat giliran dibantai oleh tangan setan itu!"

"Tutup mulutmu!" kata Murdi: "Kalaupun saya takut,

saya nggak akan kayak kamu yang ngumpet di loteng

gudang!"

"Sialan!!" Sukir tersinggung: "Saya kepingin tahu

bagaimana tingkahmu kalau waktu itu kamu ada di dalam

gudang!"

"Kamu sudah dua kali menyinggung perasaan saya!"

Murdi berdiri dari tempat duduknya sambil tersenyum tipis:

"Pertama, kamu tadi mengatakan saya goblok. Kedua, kamu

menganggap saya sama pengecutnya kayak kamu. Dan

kamu tahu, kan? Saya ini pantang diremehkan. Maka untuk

kelancangan mulutmu itu kamu harus dikasih sedikit

pelajaran..." Sambil berkata begitu, Murdi memutar

tubuhnya seraya melayangkan sebuah pukulan keras, yang

tepat menyambar wajah Sukir.

Sukir terpelanting dari atas tempat tidur dan

terjungkal ke lantai. Murdi tersenyum.

"Ingat! Sampai hari ini saya tetap bossmu!" ucapnya

penuh percaya diri.

"Keparat!!" Sukir menggeram sambil mengusap

darah yang menetes dari sudut bibirnya.- 129
"Ucapkan itu sekali lagi, Kir!" Murdi mendesis penuh

ancaman: "Kalau nggak kurobek mulutmu, jangan sebut

namaku... Si Murdi Gaok!"

Hujan turun deras sekali.

Theo dan Ita berlari-lari menghindari guyuran hujan

itu untuk mencari tempat untuk ber-teduh. Tapi di sepanjang
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan di tepian rel kereta api itu tak terdapat satu tempat pun

yang bisa mereka pergunakan untuk menghindari hujan

lebat itu, kecuali beberapa potong kereta yang tak terpakai

yang terdapat beberapa puluh meter di sebelah kanan

mereka.

"Theo! Kemana kita??!" Ita berseru dengan panik

sambil terus berlari-lari mengikuti Theo.

"Di sana saja... di gerbong itu!" jawab Theo.

"Masa di situ??!"

"Nggak ada tempat lain!" kata Theo sambil menarik

lengan Ita, supaya gadis itu berlari lebih cepat.

"Pelan-pelan, Theo!" Ita berseru.

"Nanti keburu basah!" jawab Theo.

"Tapi aku nanti bisa kesandung batu!"

"Nggak apa-apa!"

Setelah memakan waktu beberapa menit, akhirnya

mereka berdua sampai pada gerbong yang terdekat. Dengan- 130
bergegas mereka berdua segera memasuki gerbong kereta

yang sudah tak terpakai itu.

"Uuuh... rambutku basah jadinya! Siakek!!" Ita

bersungut seraya menundukkan kepalanya sambil

mengebas-ngebaskan rambutnya yang basah kuyub.

"Untung rokokku nggak basah!" Theo tersenyum

sambil merogoh saku jaketnya, me
i ngeluarkan bungkusan rokok kreteknya yang j masih

berisi tiga batang.

"Boleh saya pinjam jaketmu?" kata Ita. "Memang

seharusnya kamu yang pakai ja-ket ini," kata Theo sambil

membuka jaketnya dan memberikannya kepada Ita untuk

meng-atasi udara dingin. Meskipun sudah memakai jaket

milik Theo, Ita masih menggigil kedinginan.

"Busyet, dingin banget!" Ucap Ita. "Kayak * di

Eskimo, ya?" Theo tersenyum sambil mengisap rokoknya.

"Kamu pernah ke sana?" I "Belum!"

Ita mencibir. Dan untuk beberapa saat lamanya

mereka berdua saling diam membisu sambil mendengarkan

suara air hujan yang ; berderai menimpa atap gerbong, yang

menimbulkan suara datar menjemukan yang bernada

monoton.

"Dingin-dingin gini enaknya makan jagung , bakar!"

Theo bergumam.

"Enggak! Enakan makan bakso urat!" kata Ita- 131
"Enakan mie pangsit!"

"Aaaah... enakan juga tidur!"

Kedua anak muda itu saling tertawa. Sesekali Theo

menatap keluar pintu gerbong yang I terbuka, menatap jauh

ke sana di balik tirai air hujan, ke arah gedung-gedung

menjulang yang terdapat di seberang proyek Senen. Jalanan

tampak sepi, hanya sesekali tampak bis kota dan metro mini

melintas cepat menembus hujan lebat, sambit sesekali

terdengar suara keneknya berteriak-teriak mencari

penumpang. Sementara di halte di pinggir jalan tampak

berjubel orang-orang yang berteduh. Dalam keadaan seperti

itu tampak kerukunan masyarakat warga ibukota yang

merasa senasib dalam menghindari guyuran air hujan.

Mereka terdiri dari lelaki dan wanita dari berbagai tingkat

status sosial, mulai dari pegawai kantor, mahasiswa, pelajar

SMA, tukang semir, pengangguran sampai gembel borokan,

menjadi satu di halte itu dan masing-masing saling berdiam

diri seperti burung pinguin yang diawetkan.

"Lihat apa, Theo?" Ita bertanya.

"Enggak..." Theo tersenyum: "Cuma lihat orang
orang yang pada ngumpul di halte di seberang jalan itu!"

"Kenapa?"

"Lucu! Mereka pada diam, bengong kayak kambing

congek!"

"Kamu juga lucu," kata Ita.- 132
"Kenapa?"

"Kalau basah begitu rambutmu jadi jabrik, kayak

rambutnya Don King!"

"Rambutmu sendiri malah kayak kuntilanak!"

"Sialan! Menghina lu!" Ita cemberut sambil mencubit

lengan Theo, tapi Theo cepat menangkap lengan gadis itu

dan menariknya, hingga tubuh Ita jatuh dalam pelukannya.

Sedetik kemudian kedua lengan Theo sudah melingkari

pinggang gadis itu, dan wajah mereka saling berhadapan.

Lalu tangan kanan Theo mulai mengusap rambut Ita yang

basah.

"Kamu cantik, Ita!" Theo berbisik.

"Ngrayu nih, ye...??" Ita mencibir.

"Sungguh!"

"Masa?"

Theo tak menjawab. Hanya jari jemari tangannya

yang perlahan-lahan merambat mengusap wajah gadis itu

dengan sentuhan yang lembut. Ita membiarkan saja ketika

jari-jari itu mempermainkan bibirnya yang sesekali gemetar

karena kedinginan. Theo menatap bibir itu tanpa berkedip.

Untuk kesekian kalinya pemuda itu harus mengakui bahwa

bibir gadis itu mempunyai bentuk yang klasik dan indah,

yang selalu mampu menimbulkan gairah untuk

menciumnya.- 133
"Boleh saya mencium kamu?" Bisik Theo.

"Enggak!" Ita tersenyum sinis.

"Kenapa?"

"Mulutmu bau rokok!"

"Rokoknya sudah saya buang dari tadi."

"Tapi baunya nggak bisa hilang."

"Bisa hilang kalau menyentuh mulutmu," Theo

mengedipkan matanya.

"Huh... maunya!" Ita mencibir.

"Jadi kamu tetap nggak mau kucium?"

"Enggak!"

"Kalau kupaksa?"

"Coba aja, kalau berani!"

Theo tertawa lirih. Lalu tiba-tiba saja Theo merangkul

leher gadis itu dengan ketat, lalu merapatkan mulutnya ke

bibir gadis itu, hingga Ita megap-megap dibuatnya. Seperti

juga ketika di atas kapal, Ita juga meronta-ronta berusaha

untuk melepaskan diri. Tapi itu semua biasanya hanya

sebuah 'bahasa' dari seorang anak perawan untuk

menunjukkan tingkat harga dirinya. Sebagai seorang pelaut

Theo sudah cukup berpengalaman mengenai hal semacam

itu. Baginya, mencium seorang gadis sama halnya dengan

menikmati minuman Martini yang harus dinikmatinya- 134
seteguk demi seteguk dengan penuh selera dan diiringi

perasaan yang mendalam. Setelah kira-kira lewat dua menit,

perlawanan Ita mulai melemah dan perlahan-lahan gadis itu

mulai menyerah dan membiarkan Theo melumat bibirnya,

bahkan kemudian ia mulai membalas ciuman itu dengan

ciuman yang lebih ganas. Untuk beberapa waktu lamanya

kedua insan yang berlainan jenis itu, saling melampiaskan

gairah dan kerinduan mereka, tanpa memperdulikan tubuh
tubuh mereka yang basah oleh hujan. Lambat laun keduanya

mulai 'terbakar' nafsu birahi yang mulai menyala, yang

mampu membutakan pertimbangan dan akal sehat siapa

pun. Tangan Theo mulai menjalar ke arah...

Tiba-tiba keduanya tersentak. Kedua muda-mudi itu

memalingkan wajahnya ke arah sudut gerbong yang gelap

di mana terdengar suara yang mirip suara erangan

seseorang.

"Suara itu..." Ita mendesis: "Kamu dengar?"

"Ya..." Theo mengangguk: "Kayak.suara orang."

"Di mana?"

"Di sudut itu!"

Thoe menyalahkan korek apinya. Dan di dalam sinar

yang teram-temaram mereka melihat seonggok kertas-kertas

bekas bertumpuk di sudut gerbong itu, dan di atas onggokan

kertas itu tampak terbaring seorang perempuan gelandangan- 135
yang umurnya sudah cukup tua, merintih-rintih seolah

sedang kesakitan.

"Perempuan gelandangan..." Ita berbisik.

"Kumpulkan sedikit kertas sama potongan kayu-kayu

kecil itu!" kata Theo.

"Buat apaan?"

"Buat api unggun kecil!" kata Theo: "Supaya dalam

gerbong ini, terang." Mereka berdua segera mengumpulkan

sedikit kertas dan potongan-potongan kayu bekas sampah di

dalam gerbong itu dan menyalakannya. Maka ruangan

gerbong itu tampak mulai terang. Kini mereka berdua dapat

menyaksikan dengan lebih jelas perempuan malang itu yang

meringkuk di sudut gerbong sambil sesekali mengerang
erang. Theo mendekati perempuan itu.

"Ibu... Ibu sakit?" Theo bertanya. Perlahan

perempuan itu membuka kedua matanya yang cekung.

"Ibu sakit?" kembali Theo bertanya.

Perlahan perempuan itu mengangguk. Theo

memegang pipi perempuan itu dengan punggung telapak

tangannya, dan ia merasakan panas tubuh perempuan itu

cukup tinggi.

"Dia demam..." Theo berkata pada Ita.

Mereka berdua terdiam seakan sedang berpikir.

Sementara itu diluar, hujan perlahan-lahan mulai reda,- 136
dengan diiringi terdengarnya suara guruh yang menggelegar

berkepanjangan.

"Hujan sudah berhenti, Theo..." Kata Ita: "Yuk, kita

pulang!"

"Pulang?" Theo mengerutkan alisnya.

"Ya, pulang. Memangnya kita mau kemana lagi?"

"Kamu tega pulang meninggalkan ibu ini?" Theo

bertanya.

"Kenapa?" Ita menatap Theo: "Dia cuma perempuan

gelandangan, kan?"

"Dan kamu pikir dia nggak berharga?"

"Bukannya gitu. Tapi kita harus berbuat apa untuk

dia?"

"Dia sakit!" Theo mendesis: "Dia perlu ditolong!"

"Tapi itu bukan urusan kita, Theo!"

"Urusan semua orang!" kata Theo: "Termasuk

urusanku dan... urusanmu!"

"Tapi..."

"Dia juga manusia." kata Theo: "Dan dia sekarang
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

butuh pertolongan!"

"Saya ngerti!" jawab Ita: "Tapi pikir, dong! Kalau

kita mau ngurusin orang gelandangan yang sakit, berapa- 137
banyak waktu yang harus kita korbankan. Kamu kan tahu,

berapa banyaknya jumlah gelandangan yang harus ditolong

di Jakarta ini."

"Iya! Tapi ibu yang ini sedang sakit!"

"Dan kalau kamu mau menghitung, berapa ratus dan

berapa ribu orang gelandangan lagi yang sekarang ini sakit?

Lantas kamu juga terpanggil untuk menolong mereka?

Ingat, dong! Sedangkan Dinas Sosial sendiri kewalahan

menampung dan ngurusin mereka. Apalagi kita!"

"Ita! Kamu nggak usah ngomong soal gelandangan

yang lain. Itu mah lain urusan!" kata Theo dengan serius:

"Tapi yang penting, ialah yang sekarang ada di depan mata

kita. Berarti itu kewajiban kita!"

"Hmmm... kamu mau sok sosial, ya?" Ita tersenyum.

"Bukan saya sok sosial, tapi kamu yang belum bisa

memahami!"

"Maksudmu, Theo?"

"Saya nggak menyalahkan kamu, soalnya kamu anak

orang yang cukup kaya." kata Theo: "Bapakmu kerja di

kapal sebagai KKM, dan gajinya gede. Kamu anak tunggal

dan dimanja, segala kebutuhanmu terjamin. Iya, kan?"

"Kok kamu ngomongnya, ke situ-situ sih? Apa

hubungannya?" Ita bertanya.- 138
"Hubungannya ialah, kamu jadi nggak peka mengenai

hidup orang lain yang serba kekurangan, soalnya kamu

nggak pernah merasakan menderita, lapar, sakit nggak ada

obat, dijauhi orang dan nggak punya sahabat setia."

"Lantas?"

"Sekarang seumpama kamu jadi seperti ibu yang sakit

ini, bagaimana perasaanmu?"

"Nggak tahu!"

"Memang sulit kamu bisa memahami." Theo

mengeluh.

"Tapi aku sudah coba untuk memahami."

"Nggak cukup cuma memahami, tapi juga harus

berbuat sesuatu."

"Nah, sekarang saya mesti berbuat apa?"

"Kamu tunggu di sini..." kata Theo: "Saya mau pergi

sebentar beli obat dan makanan!"

"Tapi... saya takut di sini sendirian, Theo!"

"Yang mestinya takut bukan kamu. Tapi ibu yang

sakit ini!" kata Theo: "Kamu muda dan sehat. Tapi ibu ini

sewaktu-waktu bisa mati kalau nggak cepat ditolong!"

"Tapi..."

"Saya pergi sebentar!"- 139
Tanpa menghiraukan ucapan Ita, Theo segera

melompat keluar gerbong dan berlari-lari sepanjang tepian

rel kereta menembus derai gerimis, menuju pusat pertokoan.

Ita menarik napas panjang.

Sesekali matanya melirik ke arah perempuan tua yang

sedang terbaring itu. Ada semacam rasa takut dan sedikit

rasa jijik saat dia menatap wajah tua yang kotor dan

berpakaian kumai itu. Untuk pertama kalinya baru kali

itulah dalam hidupnya, dia langsung berhadapan dengan

seorang gelandangan yang selama ini hanya dilihatnya

dengan sebelah mata lewat jendela mobil ayahnya bila dia

tengah bepergian.

Ita menatap wajah tua itu dalam-dalam.

Mungkin umur perempuan tua itu sama dengan umur

ibunya. Bahkan seandainya perempuan tua gelandangan itu

dalam keadaan bersih dan memakai dandanan seperti

ibunya, Ita berani yakin bahwa perempuan gelandangan itu

akan tampak lebih cantik daripada ibunya sendiri.

Perempuan gelandangan itu memiliki hidung yang

bagus dengan sepasang bibir yang masih menyimpan garis
garis kecantikan di masa mudanya. Tiba-tiba Ita merasakan

sesuatu yang meremas-remas hatinya yang membuatnya

merasa perih. Dia membayangkan bagaimana seandainya

ibunya kelak mengalami nasib yang sama seperti perempuan

gelandangan itu. Tanpa disadari setitik cairan bening

menetes dari sudut mata gadis itu.- 140
"Ibu..." Ita berbisik sambil memberanikan dirinya

memegang pergelangan tangan perempuan malang itu.

"Ibu..." kembali Ita menyapa lirih.

Perempuan itu membuka kedua kelopak matanya dan

menatap Ita dengan pandangan sayu. Lalu untuk pertama

kalinya bibir perempuan tua itu membentuk sebuah

senyuman. Senyum yang letih.

"Nak..." bisik perempuan itu sambil menggenggam

jemari Ita.

"Teman saya sedang beli obat dan makanan buat

Ibu!" Ita mencoba tersenyum, meski sangat dipaksakan.

"Kau... kau seperti malaekat penolong!" kata

perempuan itu: "Ss... saya... saya yakin dan percaya, bahwa

Tuhan sengaja mengirimkan kau kemari untuk menemui

saya..."

Ita terkesiap.

Kata-kata yang keluar dari mulut perempuan tua itu,

bukan kata-kata seorang gelandangan. Tapi kata-kata yang

diucapkan dengan teratur dari seorang yang berpendidikan.

"Ibu... siapa?" Ita bertanya.

Perempuan tua itu tak menjawab, tapi melirik ke

samping. Di situ terletak sebuah bungkusan bekas kantong

tempat terigu terigu yang sudah kumal. Ita mengambil

bungkusan itu dan membukanya. Di dalamnya ada sebuah- 141
tas tangan wanita yang lusuh tapi terbuat dari bahan kulit

yang pasti mahal. Di dalam tas itu Ita melihat sebuah potret

dengan bingkai berukir. Di dalam potret itu terlukis wajah

seorang wanita cantik berumur tigapuluhan dengan

mengenakan topi toga lambang kesarjanaan.

"Irene, namanya..." bisik ibu itu.

"Anak ibu?" Ita bertanya.

"Satu-satunya putri permata hatiku..." jawab ibu itu

dengan senyuman bangga terlukis pada bibirnya yang

kebiruan karena dingin.

"Dia... sudah sarjana?"

"Ya... dan saya bahagia ketika... ketika sempat hadir,

saat dia diwisuda."

"Tinggalnya di Jakarta ini?"

Ibu itu mengangguk pelan.

"Dan kenapa Ibu berada di sini?" Ita menatapnya:

"Kenapa Ibu bisa seperti ini? Atau barangkali Ibu sedang

mencari alamatnya?"

"Ti... tidak lagi..." Ibu itu memalingkan mukanya

dengan sedih.

"Maksud Ibu?"

"Dia... dia meninggal dua hari setelah diwisuda..." Ibu

itu terisak.- 142
Ita terkejut.

"Karena kecelakaan?"

Ibu itu mengangguk sambil menangis.

Ita tertunduk. Dia tak mampu membayangkan

bagaimana perasaan seorang ibu yang bangga pada putri

tunggalnya yang kemudian secara tiba-tiba direnggut dari

sisinya oleh tangan maut.

Tanpa sadar Ita mengusap rambut kusut perempuan

itu dengan hati yang pedih, "Dan... dan kemana sekarang

tujuan Ibu?" Ita bertanya lirih.

"Menyusul dia..." Ibu itu kembali tersenyum.

"Tapi..." Ita tersentak.

"Irene sudah menunggu saya, Nak..."

"Jangan berpikir seperti itu..."

"Saya akan sepi tanpa dia."

"Iya... tapi Ibu jangan..."

"Siapa namamu, sayang?"

"Ita. Lengkapnya Emerita."

"Kau cantik seperti Irene."

"Terimakasih..." Ita berusaha tersenyum.- 143
"Maukah kau berdoa sedikit untuk saya?" Perempuan

tua itu berkata dengan nada lembut: "Saya tahu, bahwa

menyesali kematian adalah dosa. Tapi... apa yang saya alami

saat ini, seperti tangan Tuhan sendiri yang membawa saya

ke arah tempat Irene berada."

"Itu... itu hanya perasaan Ibu saja." Ita berusaha

menghibur.

"Entahlah..." Ibu itu mengeluh: "Tapi... terus-terang,

ada semacam rasa takut yang saya rasakan sekarang."

"Takut?"

"Ya..." Ibu itu mengangguk: "Bukan takut pada

kematian. Tapi takut karena hampir seluruh hidup saya, saya

hampir tak pernah berbuat apa-apa."

"Maksud Ibu?"

"Saya... saya selama ini cuma memikirkan kepenting
an keluarga."

"Itu bagus, kan?"

"Seharusnya saya juga memikirkan kepentingan

orang lain yang membutuhkan pertolongan..." Ibu itu

tampak sedih: "Sekarang, sesudah saya miskin, tua dan

lemah, saya tidak mungkin lagi berbuat sesuatu, meskipun

hati saya ingin." Ibu itu menelan ludahnya: "Terlambat.

Saya sudah tidak mampu lagi melakukan sesuatu. Juga

melakukan kebaikan yang sekecil apa pun untuk orang lain.

Selama ini saya telah menyia-nyiakan anugerah Tuhan- 144
berupa kemakmuran dan kesehatan, yang seharusnya saya

bagikan pada orang lain, tapi ternyata hanya saya

pergunakan untuk kesejahteraan diriku sendiri dan

keluargaku."

"Kenapa Ibu berpandangan seperti itu?"

"Karena Tuhan itu Maha kasih. Maka Dia pun ingin

agar setiap orang juga mau mengasihi sesamanya. Karena

pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara di dalam

Tuhan, Termasuk saya dan... dan kau, Ita."

Ita begitu terharu.

Untuk pertama kalinya perempuan itu menyebut

namanya. Tapi yang lebih menyentuh hatinya adalah ucapan

perempuan itu tentang peranan setiap manusia terhadap

sesamanya, yang sebetulnya masing-masing mengemban

'misi' untuk membahagiakan orang lain, siapa pun adanya
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia.

"Maukah kau berdoa untukku, Ita?" Kembali suara

ibu itu terdengar lirih.

"Saya... saya tidak bisa berdoa!" Ita ragu-ragu.

"Ucapkan apa saja pada Tuhan..." kata perempuan

itu: "Apa saja yang terlintas di benakmu. Itulah doa."

Untuk sesaat lamanya Ita terdiam dan tidak tahu harus

berkata apa. Lalu seperti ada sebuah dorongan aneh dalam

hatinya, ia segera meraih telapak tangan perempuan tua itu,- 145
dan meremasnya dengan kedua tangannya dengan

genggaman yang lembut.

Lalu Ita memejamkan matanya.

"Tuhan..." bisiknya lirih: "Saya... saya tidak tahu

harus bilang apa. Terus-terang, selama ini saya tidak tahu

dan tidak pernah berdoa..." Ita memejamkan matanya

semakin rapat seakan berusaha untuk berkonsentrasi:

"Tapi... tapi kalau saya boleh minta, tolonglah ibu ini, yang

kehilangan anaknya... dan katanya dia nggak pernah... eh,

tidak pernah berbuat apa-apa bagi orang lain. Pokoknya dia

bilangnya begitu. Maka Tuhan... tolonglah dia. Tolonglah

sekarang juga. Terserah bagaimana cara-Mu saya tidak

tahu..."

Ita menghentikan kata-katanya sesaat ketika tiba-tiba

ia menangis sendiri oleh sentuhan sejuk dalam hatinya yang

tak pernah dialaminya selama ini. Yang dia tahu bahwa

perasaan itu begitu indah... indah dan teramat indah...

***

"Obat merk apa, sih?" si pelayan toko obat itu

bertanya.

"Kan saya sudah bilang, obat turun panas!" jawab

Theo.- 146
"Iya! Tapi obat turun panas kan macam-macam!

Merknya apa?"

"Nggak tahu. Pokoknya obat turun panas!"

"Ini?" kata gadis pelayan itu sambil memberikan

sebotol obat: "Ini bagus. Rasanya kayak sirop. Anak

tetangga saya minum obat ini. Langsung panasnya turun!"

"Ini... obat turun panas untuk anak-anak?" Theo

mengerutkan alisnya.

"Iya. Di situ, di botolnya ada aturan minumnya. Kalau

umur satu sampai tiga tahun, cukup satu sendok teh sekali

minum." kata si pelayan: "Kalau tiga sampai enam tahun ya

kira-kira..."

"Saya nggak nanya obat turun panas buat anak-anak!"

Theo kesal.

"Tadi nggak bilang!"

"Situ nggak nanya!"

"Jadi yang sakit panas orang dewasa?"

"Sudah hampir nenek-nenek!" Theo tak sabar.

"Barangkali ini." kata pelayan itu sambil memberikan

contoh beberapa obat dalam bentuk tablet, cair dan yang

lainnya: "Yang mana?"

"Yaaa... kira-kira inilah!" Theo mengambil beberapa

macam obat, dan segera membayarnya. Sesudah itu dengan- 147
bergegas Theo meninggalkan toko obat itu sambil

menjinjing bungkusan lain berisi makanan dan minuman

yang tadi dibelinya dari restoran terdekat.

Hujan gerimis masih belum reda.

Tapi jalanan sudah mulai ramai dengan orang-orang

yang berlalu lalang berbaur dengan kendaraan berbagai

macam yang mulai memadati sepanjang jalan yang dilalui

Theo.

Untuk menyingkat waktu, Theo harus naik ojek

sepeda, supaya cepat sampai ke tempat tujuannya. Meski

pun terlambat oleh padatnya lalu lintas, akhirnya Theo tiba

di jalanan setapak di dekat rel. Dan setelah membayar uang

ongkos ojek, Theo bergegas menuju gerbong tempat dia tadi

berteduh bersama Ita.

Theo tersenyum-senyum karena dia berhasil

membawa sesuatu untuk orang yang saat itu tengah

membutuhkan pertolongannya.

"Ita! Saya bawa obat, minum dan makanan!"

Theo tersenyum sambil melompat masuk ke dalam

gerbong. Api unggun kecil yang menerangi isi gerbong itu

masih menyala dan di sudut sana tampak Ita masih duduk

bersimpuh menghadapi si perempuan gelandangan itu yang

terbaring di dekatnya. Theo menarik napas lega karena

perempuan gelandangan itu tampak tenang dan tak merintih
rintih seperti saat ditinggalkannya tadi.- 148
"Ita..." Theo berbisik mendekat: "Tolong bangunkan

dia. Ibu itu harus disuruh minum dan makan sedikit dulu,

sebelum minum obat."

Ita berpaling menatap Theo.

Ita mengangguk.

"Tadi waktu saya tinggal, kamu nggak takut, kan?"

Theo tersenyum: "Nah, kalau kamu sudah terbiasa

menolong orang lain yang kesusahan seperti ini, kamu akan

mengalami kebahagiaan tersendiri."

"Sudah kurasakan sejak kamu pergi tadi." jawab Ita.

"Bagus!" Theo tertawa lirih: "Saya bangga. Jarang

ada seorang gadis kaya seperti kamu bisa merasakan

kebahagiaan karena membagi perhatiannya pada orang lain

yang menderita."

Theo meraih pundak gadis itu dan mengecup pipinya

perlahan, dan dirasakannya pipi gadis itu basah.

"Kamu... menangis?" bisik Theo.

Ita hanya tersenyum sambil tertunduk.

"Kenapa?" kata Theo: "Kamu ikut merasa kan

kesedihannya?"

"Mungkin."- 149
"Tapi kamu tidak bisa menyembuhkan dia dengan

hanya menangis." Theo tersenyum: "Tapi kamu juga harus

berbuat sesuatu. Cepat, bangunkan dia!"

"Nggak bisa,. Theo..."

"Nggak bisa? Kenapa??" Theo heran.

Ita menatap Theo dalam-dalam dan dari sudut

matanya kembali menitik cairan bening yang mengalir di

pipinya. Tapi bibir gadis itu masih menyunggingkan

senyum. Senyum yang ia ini tak pernah dilihat Theo.

Senyum gadis itu tampak begitu tulus, dewasa dan sabar.

"Theo... ibu ini sudah pergi." Ita berbisik.

Wajah Theo berubah tegang seketika.

"Apa...??!!" ucapnya tak percaya.

Cepat Theo menatap perempuan tua yang sedang

terbaring dengan tenang itu, dengan senyuman di bibirnya.

"Betulkah dia..." Theo tampak ragu-ragu. Kemudian

dia memegang pergelangan tangan wanita itu yang ternyata

sudah dingin. Sosok tubuh tua itu ternyata tak bernyawa

lagi.

Theo tertunduk lesu sambil menarik napas panjang.

Tak ada kata-kata yang mereka ucapkan di dalam

gerbong sepi itu, selain desah napas yang berat, seakan

keduanya tengah merasakan sesuatu yang dikodrati di balik

kematian itu. Sementara api unggun kecil yang menerangi- 150
gerbong itu tampak semakin mengecil apinya dan nyalanya

tampak meliuk-liuk diterpa angin dari luar.

Dengan sinar mata yang kuyu Theo menyulut rokok

di sudut bibirnya dan menghembuskan asapnya perlahan.

"Saya nggak nyangka..." Theo bergumam.

"Saya juga nggak nyangka!" Ita menyambung.

"Kapan dia meninggal?"

"Beberapa menit sesudah kamu pergi tadi.'

"Dia nggak bilang punya famili?"

"Cuma ini..." kata Ita sambil menunjukkan potret

milik perempuan itu pada Theo.

Theo mengambil foto itu dan mengamat-amati

dengan seksama.

"Hmmm... sarjana." Dia bergumam: "Ini familinya?"

"Anak satu-satunya." jawab Ita dengan suara lirih:

"Meninggal karena kecelakaan sesudah dua hari diwisuda."

Theo kembali tertunduk lesu sambil meletakkan

potret itu di lantai gerbong. Dia tidak tahu bagaimana harus

mengomentari ucapan Ita yang singkat namun sangat

menyayat itu.

"Kenapa orang harus mati?" Theo bergumam.

"Entah..." Ita tertunduk.- 151
"Kamu dan saya nanti juga mati."

"Ya."

"Kamu takut dengan kematian?"

"Ya." Ita mengangguk.

"Saya juga." kata Theo: "Barangkali saat itu

waktunya orang baru bisa membuktikan bahwa Tuhan itu

ada."

"Dan saatnya orang baru menyadari bahwa orang itu

sebenarnya sangat berharga." Ita menyambung.

"Bagaimana kamu bisa ngomong begitu?"

"Mengambil pelajaran dari pengalaman ibu itu."

"Apa dia bilang?"

"Katanya, dia baru sadar sekarang bahwa selama ini

dia ternyata nggak pernah berbuat apa-apa."

"Dia benar." kata Theo: "Barangkali saya juga

termasuk orang seperti itu."

"Saya juga." sahut Ita sambil mengusap air matanya.

Sambil duduk bersandar pada dinding gerbong, Theo meraih

pundak gadis itu, dan gadis itu merebahkan kepalanya pada

dada Theo. Mereka berdua merasa begitu dekat dan akrab

tanpa dijalari nafsu birahi seperti tadi, seolah keduanya

menyadari ketidak-berdayaan mereka di hadapan Dia Yang- 152
Maha Tinggi yang selalu menatap mereka dengan

pandangan yang teduh namun tak kunjung berkedip.

"Apa yang kamu pikirkan?" kata Theo sambil

mengusap-usap rambut Ita yang masih basah oleh air hujan.

"Entahlah..." bisik Ita: "Mungkin saya harus memulai

lagi dari awal, supaya hidup saya akan lebih berarti di mata

Tuhan."

"Barangkali memang harus begitu." kata Theo: "Tapi

yang pertama kita kerjakan, ialah kita harus cepat

melaporkan kematian perempuan ini."

"Ya... secepatnya." jawab Ita.

***- 153
6
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murdi mengisap rokoknya sekali lagi.

Kemudian ia membuang puntung rokoknya itu dan

mulai melangkah perlahan di sepanjang lorong gelap yang

terdapat di samping pagar tembok dekat bangunan bekas

pabrik yang sudah tak terpakai itu.

Meskipun hari belum terlalu malam, tapi suasana di

sekitar tempat itu sudah sepi. Hanya sesekali saja terlihat

beberapa kendaraan melintas lewat jalan raya yang terdapat

di seberang sungai kecil berbau lumpur yang mengalir

memanjang menuju empang di ujung sana.

Di dekat pintu gerbang yang menuju ke arah

bangunan pabrik, Murdi menghentikan langkahnya sejenak

dan memandang ke sekelilingnya untuk mempelajari situasi

saat itu.

Ia memeriksa jam tangannya yang sudah

menunjukkan waktu jam sembilan lewat dua-puluh delapan

menit. Berarti beberapa menit lagi, transaksi itu harus

dimulai.

Dengan langkah yang tidak tergesa-gesa,

Murdi melangkah memasuki komplek bangunan

pabrik itu dan langsung menuju ke arah sudut yang agak

gelap, berupa lapangan yang hanya diterangi pantulan

cahaya lampu listrik yang redup.- 154
Murdi memandang ke sekelilingnya untuk memasti
kan bahwa Sukir dan beberapa anak buahnya yang lain, telah

siap menempati posisinya masing-masing yang telah

ditentukan.

Untuk sekedar menghilangkan kebosanan, Murdi

kembali memeriksa pistolnya yang penuh berisi peluru.

Senjatanya itu mungkin sudah cukup tua, tapi masih efektif

untuk digunakan dalam setiap kesempatan.

Sebuah mobil sedan warna biru gelap meluncur di

jalan raya, dan langsung membelok memasuki halaman

pabrik, dan mulai mengurangi kecepatannya. Cepat-cepat

Murdi menyimpang pistolnya ke dalam saku jaketnya, dan

mengeluarkan sebatang rokok, serta diselipkan di sudut

bibirnya, ketika mobil sedan itu tetap berhenti di dekatnya.

Empat orang lelaki turun dari mobil itu, dan salah

seorang diantaranya menjinjing sebuah kopor kecil di

tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap di dalam

saku jaketnya.

Murdi tersenyum tipis. Dia tahu lelaki itu adalah

penembak kidal yang selalu menjadi saingan bisnisnya.

Murdi harus berhati-hati, karena Darko adalah penembak

tercepat, yang lewat tangan kirinya bisa mengirimkan empat

peluru berturut-turut ke arah sasaran yang berbeda dengan

menggunakan moncong Colt kaliber 32 miliknya.

Orang yang satu ini akan menjadi bagiannya.

Sedangkan tiga orang yang lain akan menjadi bagian Sukir- 155
dan tiga anak buahnya yang lain yang sudah siap di

sekeliling tempat itu tanpa terlihat oleh lawan mereka.

Betapapun juga, Murdi masih unggul dalam hal

jumlah orang.

"Barangnya sudah siap, Murdi?" Darko tersenyum.

"Aku mau kontan!" jawab Murdi sambil menyulut

rokoknya dengan tenang. "Sudah kusiapkan."

"Boleh kulihat?" Murdi menghembuskan asap

rokoknya.

Untuk sesaat Darko menatap Murdi dengan tajam.

Kemudian ia menjatuhkan kopor kecil yang dipegangnya ke

atas tanah.

"Buka, Tom!" Darko berkata.

Seorang anak buahnya mendekati kopor itu, dan

sambil berjongkok ia membuka kopor itu, memperlihatkan

sejumlah uang yang padat memenuhi kopor itu.

"Cukup, aku percaya!" kata Murdi.

Orang itu kembali menutup kopor, dan saat itu

muncul Sukir dari kegelapan dengan membawa kopor lain,

membukanya dan meletakkan dekat kopor uang itu. Di

dalam kopor itu tampak beberapa bungkusan obat terlarang

yang sudah dipersiapkan dengan susunan yang rapi.

"Aku belum percaya!" Darko berkata dengan nada

sinis.- 156
"Berikan untuk dia, Kir!" kata Murdi tersenyum

sambil membuang rokoknya. Sukir mengerti isyarat itu.

Dia segera mengambil sebuah bungkusan dan

dilemparkan kepada Darko.

"Kau boleh periksa!" kata Sukir.

Pada saat Darko menangkap bungkusan itu dengan

kedua tangannya, dengan cepat Murdi mengeluarkan pistol

dari saku jaketnya dan sedetik kemudian pistol itu menyalak

memuntahkan dua peluru, sebelum Darko sempat meraih

pistolnya dengan tangan kirinya.

Tubuh Darko terlempar ke belakang dan roboh

dengan dua lobang peluru menembus lehernya. Ketiga orang

pengawal Darko serentak mengeluarkan senjatanya masing
masing, tapi Sukir telah lebih dulu mencabut Vikers yang

terselip di bagian belakang pinggangnya dan menembak

dengan cepat, dibantu oleh tiga orang anak buahnya yang

lain yang bersembunyi di sekitar tempat itu dengan

tembakan-tembakan gencar dari segala arah.

Hanya beberapa detik 'pesta peluru' itu berlangsung,

dan setelah itu suasana menjadi sepi kembali, seolah tak

pernah terjadi apa-apa.

Empat sosok mayat tampak bergelimpangan di sana,

menandai berakhirnya transaksi maut itu.- 157
"Beres...!" Murdi tersenyum sambil meniup asap

mesiu yang masih mengepul tipis pada moncong Luger-nya:

"Niko... Damin... Harry! Ke sini!!"

Tiga orang lelaki muncul dari kegelapan dengan

pistol masih tergenggam di tangan masing-masing.

"Singkirkan mayat-mayat anjing itu!" Murdi

memerintah: "Dan kamu. Kir! Bawa uang dan barang itu ke

dalam!"

Keempat orang anak buahnya itu segera bekerja cepat

sesuai yang diperintahkan Murdi pada mereka. Hanya Murdi

tidak sempat melihat, ketika Sukir meliriknya dengan

pandangan licik.

Ruangan itu cukup besar. Mungkin dulunya adalah

bekas kantor pegawai staf yang bekerja di sana. Tetapi saat

itu, tempat tersebut lebih mirip gudang yang terbengkalai

tak terurus. Meja-meja dan kursi penuh debu tampak

berserakan bercampur dengan kertas-kertas arsip yang

sudah tak terpakai tampak memenuhi lantainya. Murdi

masih berjalan mondar-mandir di dekat meja, dimana di

atasnya tampak dua kopor yang tadi saling diperebutkan. Di

sisi lain dekat meja itu, tampak duduk Sukir dan ketiga anak

buahnya. Mereka diam menunggu.

"Kita harus mempersiapkan operasi berikutnya..."

Murdi bergumam.

"Aku kurang setuju, Mur!" kata Sukir.- 158
"Maksudmu?" Murdi menatap tajam.

"Perjanjian kita adalah membagi hasil lebih dulu, dan

baru kemudian membuat rencana selanjutnya!" kata Sukir.

"Begitu?" Murdi tersenyum: "Mulai kapan kamu

yang mendikte saya?"

"Tai kucing!!" Sukir berdiri sambil menggebrak meja

dengan marah: "Saya sudah bosan dengan caramu!

Sekarang saya mau cara itu dirobah!!"

"O, ya?" Murdi tertawa: "Bisa kamu jelaskan?"

"Kamu yang harus jelaskan, Murdi..." Sukir

mendesis: "Empat kali kita berhasil menggondol hasil

rampokan, tapi sampai sekarang uang itu belum kamu

bagikan. Selama ini kamu hanya memberi uang persen saja

dan kami tidak pernah tahu berapa jumlah rupiah dari hasil

kita selama ini. Lantas apa gunanya jerih payah kami??!

Mengerti kamu??!"

"Jelas saya mengerti." Murdi tertawa lirih sambil

mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya: "Tapi

siapa yang jadi ketua dalam kelompok ini?"

"Saya nggak mau pusing soal itu!" Sukir menggeram:

"Saya mau, bagikan semua hasil itu sekarang juga!"

"Kalau saya menolak?"

"Saya, Niko, Damin dan Harry akan memaksa

kamu!" Sukir menatap tajam, dan saat itu juga ketiga orang- 159
yang duduk di dekatnya serentak berdiri sambil menodong
kan pistol mereka ke arah Murdi. Murdi terkesiap.

Tapi hanya sesaat. Setelah itu kembali ia tersenyum

seakan tak menghiraukan ancaman, yang dilakukan oleh

keempat orang anak buahnya itu.

"Bukan main semangat kalian..." Murdi tertawa lirih:

"Cuma perlu saya peringatkan, saya sudah malang

melintang di dunia kejahatan sebelum kalian belajar

menggunakan pistol. Maka jangan kaget kalau saya benci

melihat cara kalian sekarang!"

"Jangan banyak membuang waktu, Murdi..." Sukir

menggeram dan mulai rnengeluarkan Vikers-nya. Kini ada

empat moncong pistol tertuju ke arah Murdi, yang sewaktu
waktu bisa merenggut nyawanya.

"Kalian harus tahu, bahwa harga nyawaku sangat

mahal!" kata Murdi sambil tertawa lirih, dan tanpa diduga

tiba-tiba saja dia menjatuhkan dirinya ke lantai. Dan tepat

pada saat itu Sukir dan ketiga orang temannya menembak.

Peluru-peluru panas menyambar berdesingan menghambur

dari keempat laras pistol, diiringi suara letusan-letusan yang

mengoyak kesunyian malam. Timah-timah panas itu

menyambar ganas hanya beberapa senti di atas kepala

Murdi, dan salah satu diantaranya sempat menyerempet

pundak kirinya.

Tapi Murdi adalah lelaki yang sudah cukup

berpengalaman dalam menghadapi saat-saat genting seperti- 160
itu. Dengan berbekal ketrampilannya sebagai penjahat dan

didukung rasa percaya diri yang tebal, Murdi mengguling
kan tubuhnya beberapa kali di lantai mendekati Sukir dan

ketiga anak buahnya, seraya mencabut Luger dari saku

jaketnya. Lalu dengan berani dia meluncur ke lantai dan

berhenti tepat di kolong meja di hadapan keempat orang

anak buahnya, dan detik itu juga pistolnya menyalak

memuntahkan peluru-peluru maut yang menyambar dengan

buas.

Sukir, Niko, Damin dan Harry memekik dan
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpelanting bergelimpangan disambar peluru yang

ditembakkan Murdi dari kolong meja tepat di bawah

mereka.

Keempat lelaki itu terkapar di lantai tanpa nyawa

dengan tubuh bersimbah darah seperti bekas sebuah

pertempuran yang sudah usai.

Murdi keluar dari kolong meja sambil menyeringai

menahan sakit luka di pundak kirinya yang mengucurkan

darah. Untuk sesaat dia menatap keempat anak buahnya

yang telah jadi mayat dengan senyuman mengejek.

"Selamat jalan teman-temanku!" Murdi berbisik.

Kemudian ia memungut rokoknya di lantai yang masih

menyala, dan mengisapnya dengan nikmat. Beberapa saat

lamanya Murdi duduk bersandar di sebuah kursi sambil

menatap dua kopor yang terletak di atas meja, yang kini

sudah menjadi miliknya pribadi. Murdi tersentak!- 161
Tiba-tiba saja diantara kedua kopor yang terletak di

atas meja itu, jatuh sebuah benda yang entah darimana

datangnya. Murdi berdiri dari tempat duduknya dan mundur

beberapa langkah dengan hati berdebar. Benda yang

tergeletak di atas meja diantara dua kopor itu, berupa

sepotong tangan manusia sebatas siku yang sudah berwarna

kebiruan dan berbintik-bintik putih karena sudah

membusuk, serta menyebarkan bau yang sangat menyengat.

"Keparat!!" Murdi menyumpah dalam hati dan

seketika dia teringat cerita yang pernah diucapkan Sukir

tentang Lea yang pernah merenggut nyawa Maman, Iping

dan Odin dengan mempergunakan sepotong tangan setan

yang tak berbelas kasihan.

Potongan tangan itu masih tergeletak di atas meja,

mirip seonggok daging bangkai yang menjijikkan.

"Jangan takut, Mas... itu cuma sepotong tangan!"

Terdengar suara di belakangnya. Suara yang sangat

dikenalnya. Cepat Murdi memutar tubuhnya, dan dia

tersentak menyaksikan Lea sudah berada di j dalam ruangan

itu. Wanita bekas istrinya itu tampak berdiri santai sambil

bersandar pada dinding, dengan mengenakan gaun warna

gelap yang sopan, serta menyandang tas tangan.

"Lea...!" Murdi mendesis: "Kamu... kamu di sini?"

"Kamu keberatan?" Lea tersenyum manis.- 162
"Tidak." jawab Murdi: "Tapi bagaimana kamu tahu

saya ada di sini?"

"Nyawa Erni yang membawa saya kemari?"

"Persetan!" Murdi mendengus: "Apa maumu,

Lea??!"

"Seperti yang sudah kujanjikan. Saya akan selalu

membayangi kamu kemana pun kamu pergi."

"Kamu tidak bisa menggertak saya. Tahu??!" Murdi

menatap tajam.

"Juga kamu tidak bisa menggertak saya, Mas!" Lea

tersenyum: "Saya tadi melihat delapan nyawa melayang,

termasuk nyawa keempat anak buahmu itu, hanya untuk

saling berebut hasil usahamu yang kotor."

"Itu bukan urusanmu, tahu??!"

"Memang bukan urusan. saya." kata Lea: "Urusan

saya cuma satu, yaitu kapan kamu mengembalikan nyawa

kakakku?"

Murdi tampak sedikit gugup. Dia tidak tahu harus

berkata apa. Sebentar dia menatap ke arah Lea, dan sebentar

dia menatap ke arah sepotong tangan yang masih tergeletak

di meja.

"Kamu mau menakut-nakuti saya dengan tangan

setan-mu itu?" Murdi berkata tanpa berkedip: "Dan kamu

kira akan berhasil?"- 163
"Kamu masih bisa bersikap angkuh, Mas!" Lea

tertawa. Suara tawanya terdengar begitu bebas berderai,

membuat Murdi merasa diremehkan. Tanpa ayal Murdi

mengarahkan laras pistolnya ke arah wanita itu.

"Keluar kamu, Lea!" Murdi mengancam: "Keluar!

Dan bawa tangan setanmu itu!"

"Malam ini kamu kelihatannya cepat tersinggung,

Mas!" Lea tersenyum sambil mengerlingkan matanya:

"Akan saya perlihatkan bahwa saya bisa menyiksamu

sedikit demi sedikit!"

Kemudian Lea melirik ke arah tangan yang ada di atas

meja itu, dan berkata lirih: "Sakiti dia, Laware!"

Mendadak seperti kilat, potongan tangan di atas meja

itu melesat bagai bayangan dan menyambar tangan kanan

Murdi yang menggenggam pistol, sebelum Murdi

menyadarinya.

Pistol itu terpental dari tangan Murdi dan bersamaan

dengan itu terdengar suara Murdi menjerit karena dua buah

jari tangan kanannya hilang! Potongan tangan itu kembali

berada di atas meja dengan dua buah jari milik Murdi yang

masih berdarah tergeletak di dekatnya.

"Bangsaaaat...!!" Murdi berteriak dengan geram

sambil menahan rasa sakit oleh kedua jarinya yang putus.- 164
"Itu akan segera sembuh, Mas!" Lea tersenyum:

"Mungkin mulai sekarang kamu harus mulai belajar

membiasakan diri menggunakan tangan kirimu!"

"Terkutuk kau, Lea!" Murdi menggeram dengan

napas terengah-engah.

"Tidak lebih terkutuk dari kau yang sudah membunuh

dan menodai kakakku." Lea tersenyum: "Sampai jumpa

lagi, Mas!"

Setelah berkata begitu Lea melangkah santai menuju

pintu dan lenyap dalam kegelapan malam.

Murdi masih mendekap luka di tangan kanannya

dengan menggunakan tangan kirinya. Dia merasa panik dan

tidak tahu harus berbuat apa menghadapi pembalasan Lea

yang kejam dan tak terelakkan itu.

Ketika Murdi berpaling, dia terkejut karena potongan

itu tidak tampak lagi di atas meja, dan bukan hanya itu saja,

tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah karena kedua

kopor yang di atas meja itu, yang berisi uang dan obat-obat

terlarang telah kosong melompong, seolah isinya menguap

begitu saja. Yang tertinggal di atas meja itu hanya dua buah

kopor kosong dan dua buah jari tangan kanan miliknya

sendiri.

Wajah Murdi berobah merah padam.

"Haram jadah! Pejajaran! Sial dangkalan!!

Siaaaaaalll...!!" Murdi menyumpah-nyumpah dengan kesal- 165
sambil menendang kursi yang ada di dekatnya dengan napas

terengah-engah karena amarah yang meluap-luap. Tapi

akhirnya Murdi jatuh terduduk lemas sambil bersandar pada

dinding seakan putus asa.

Kini dia baru sadar, bahwa Lea jauh lebih berbahaya

dari siapa pun yang pernah jadi musuhnya. Hari-hari

berikutnya akan tetap merupakan ancaman bagi dirinya.

"Keparaaat...!!" Kembali Murdi menyumpah dengan

geram.

***- 166
7

"Barangkali aku perlu memindahkan kamu ke kota

lain, supaya kamu tidak lagi bergaul dengan Theo!" Pak Yos

menatap puteri tunggalnya itu dengan mata menyala-nyala:

"Aku tidak mau kau nanti rusak karena dia!"

"Papa nggak tahu apa yang Papa katakan!" kata Ita.

"Aku tahu!!" Papanya membentak: "Aku Papamu.

Aku lebih tahu apa yang harus kau katakan, mengerti??!"

"Iya! Tapi Theo nggak pernah punya niat merusak

Ita!"

"Kamu masih mau membela dia, hee??!"

"Bukan begitu. Tapi Papa nggak tahu hal yang

sesungguhnya!"

"Apalagi yang mau kamu buat alasan??!" pak Yos

makin kalap: "Setelah hari hujan minggu lalu kamu pergi

bersama Theo sampai pulang larut malam, kau masih juga

terus keluar bersama dia, dan sekarang mau buat alasan apa

lagi??!!"

"Papa..." kata Ita dengan sedih: "Saya keluar bersama

Theo sampai larut malam bukan dengan tujuan jelek!"- 167
"Persetan!!" pak Yos menghardik: "Lalu apa tujuan

kalian, hee??!"

"Dengar dulu dong, Pa!" Ita berkata kesal: "Waktu

minggu lalu hujan-hujan itu, Papa tahu apa yang Ita temukan

bersama Theo? Kami menemukan seorang ibu yang sekarat

di dalam gerbong kereta api, dan dia cuma meminta sedikit

perhatian dari kami. Apa itu salah??"

"Jelas salah!" pak Yos jengkel: "Apa peduli kalian

dengan orang yang mau mati? Apalagi itu dalam gerbong,

so pasti itu cuma gelandangan, kan? Apa kalian mau

dianggap pahlawan? Begitu??"

"Dengar dulu, Pa!" kata Ita: "Setelah kejadian di

gerbong itu, kami berdua mulai membuka hati untuk

memberi perhatian pada lain orang sebatas kemampuan

kami. Kami mulai sering mengunjungi rumah yatim-piatu,

para pengemis, dan..."

"Stop! Aku mulai tahu kemana arah bicaramu!" pak

Yos cepat berkata: "Ingat, saya paling benci dengan semua

kegiatan-kegiatan semacam itu yang cuma buang-buang

waktu dan buang-buang duit! Itu semua cuma kegiatan

omong kosong! Nonsense!!"

"Ya, sebab Papa nggak pernah merasakan jadi orang

melarat dan sepi seperti mereka!" kata Ita: "Selama ini Papa

tahunya cuma berlayar kemana mana dengan gaji besar,

makan, tidur enak, dan kalau pulang berlayar semua

kebutuhan Papa juga tersedia di rumah! Tapi apa pernah- 168
Papa mikir tentang orang lain yang sakit dan nggak punya

uang buat berobat lalu akhirnya mati, mereka yang

kedinginan, kelaparan, kesepian dan..."

"Sudah-sudah! Stoop!!" pak Yos membentak:

"Keluar cepat dari kamar ini sebelum kutampar kau!!"

Dengan menghela napas panjang terpaksa Ita keluar

dari ruangan itu, untuk menghindari suasana yang kian

memanas.

Setelah Ita pergi, pak Yos menatap istrinya yang sejak

tadi cuma diam membisu tanpa berkata sepatah pun.

"Kamu dengar anakmu ngomong tadi, Ma??" pak

Yos menatap istrinya dengan tajam: "Mulai kapan itu anak

berani ngomong begitu sama orang tua? Mulai kapan dia
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belajar ngasih khotbah Papanya? Mulai kapan??!!"

"Yang jelas dia mulai berpikiran dewasa, Pa!" sang

istri tersenyum.

"Dewasa, katamu??!!" pak Yos terbelalak: "Jadi itu

tadi tandanya dia dewasa? Begitu pendapatmu?"

"Pa... apa salah, kalau Ita bilang Papa selama ini

nggak pernah merasakan hidup susah?"

"Siapa bilang??!" Pak Yos ngotot: "Siapa bilang aku

tak pernah hidup susah? Kamu kan tahu, Ma... sebelum aku

kawin sama kamu, aku kan harus bersusah payah dulu untuk

cari ijazah mesin? Pertama-tama aku cuma punya ijazah 60

mil laut, lalu aku harus bersusah payah untuk cari ijazah- 169
MD, lantas MMD, lalu VD dan sampai sekarang ini. Apa itu

namanya nggak pernah hidup susah??!"

"Selama itu, pernahkah Papa merasakan tidak makan

dua hari? Pernahkah merasakan sakit nggak mampu beli

obat? Pernah merasakan tidur di emper toko berselimut

koran dan makan malam di tong sampah??"

"Gila! Apa hubungannya itu??!" pak Yos heran:

"Ooo... jangan sampai aku mengalami hidup nista seperti

itu! Memalukan!!"

"Lho, tadi bilangnya Papa pernah hidup susah, kan?"

"Iyaaaa! Tapi maksudku, susah memeras otak belajar

mencapai ijazah demi ijazah! Itu maksudku! Soal makan dan

tidur, mana aku pernah kekurangan? Kamu toh tahu,

keluarga orang tuaku tidak miskin?"

"Naaah... itu berarti kamu belum pernah merasakan

hidup susah, Pa!" istrinya tersenyum: "Kamu akan

merasakannya kalau misalnya... ini misalnya, lho...

misalnya, kita mendadak jatuh miskin, aku dan anakmu

meninggal, lantas kamu hidup bergelandangan nggak punya

famili, nggak punya teman, nggak punya duit, nggak punya

rumah, perutmu lapar tapi nggak punya nasi. Yaitu yang

namanya hidup susah. Dan Ita mau supaya kamu sesekali

merenungkan orang-orang malang seperti itu. Ngerti

nggak?"- 170
"Aaaah... tapi..." Pak Yos tampak sedikit gugup:

"Sudahlah jangan ngomong! Saya mau tidur dulu!!"

***

Nini Lasih termenung.

Selama dia jadi dukun, belum pernah dia merasa

hatinya kacau seperti itu. Sebagai seorang dukun yang

punya kemampuan mendatangkan dan berhubungan dengan

roh-roh halus, serta cukup berpengalaman dalam berbagai

ilmu kebatinan, dia baru kali ini merasa dirinya benar-benar

gagal. Betapa tidak?

Laware, salah satu roh Iblis yang selama ini dipujanya

sebagai pemilik kekuatan gelap yang hampir tak

terkalahkan, tiba-tiba saja menampakkan kelemahannya

hanya gara-gara ulah seorang wanita yang menjadi

langganannya.

Dalam kekalutan pikirannya maka untuk pertama

kalinya Nini Lasih pergi meninggalkan 'sarang'nya, untuk

mencari langganannya yang bernama Lea, yang ternyata

telah berani mempermainkan Iblis junjungannya. Nini Lasih

yang biasa tinggal di hutan dekat perkampungan sepi selama

puluhan tahun, hampir 'tak berkutik' ketika untuk pertama

kalinya menginjakkan kakinya di Jakarta.- 171
Begitu tiba di stasiun Gambir, Nini Lasih

kebingungan karena dia tidak pernah menduga bahwa yang

namanya Jakarta ternyata begitu ramai, hiruk-pikuk, dan

serba semrawut. Belum sampai keluar pintu peron, Nini

Lasih sudah kehilangan tas plastik yang dijinjingnya

bersama tas tua miliknya yang sudah tidak menarik lagi

untuk dipandang. Untunglah tas plastik itu : cuma berisi

tembakau susur dan beberapa ikat daun sirih lengkap dengan

kapurnya, untuk persediaan 'iseng' selama di Ibukota. Dan

ter nyata dengan hanya berbekal kebolehannya sebagai

dukun, Nini Lasih sama sekali tak mampu berbuat banyak

di alam Ibukota yang sangat berbeda dengan alam hutan

tempat tinggalnya.

"Mau kemana, Nek?" seorang kenek mobil

omprengan yang sedang jelalatan dari penumpang sempat

menyapa Nini Lasih yang tampak sedang kebingungan di

tepi jalan.

"Anu... mau ke rumah kenalan saya yang namanya

Lea!" Nini Lasih menjawab dengan rasa syukur karena ada

seorang anak muda yang mau memperhatikan dirinya.

"Alamatnya di mana?"

"Ndak tahu, pokoknya dia pernah bilang tinggalnya

di Jakarta, gitu!" jawab Nini Lasih dengan polos.

"Lha di Jakarta-nya dimana?"- 172
"Anu... kalau ndak salah, di... di... Tanjung...

Tanjung..."

"Tanjung Priok?"

"lyaaa! Tanjung Priok! Kok baru ingat, saya!"

"Di Tanjung Priok, alamatnya dimana?"

Kenek itu menahan senyum. Tapi setelah dia melihat

isyarat kedipan mata dari sopir, akhirnya kenek itu

mempersilahkan Nini Lasih untuk naik ke dalam mobilnya.

"Naik aja, Nek! Nanti diantar sampai ke rumah!" kata

kenek itu.

"Oo... jadi kamu ini kenal si Lea, Nak?" Nini Lasih

berbunga hatinya.

"Kenaaaal! Si Lea, kan?**

"Iya! Yang orangnya tinggi dan cantik, rambutnya

keriting?"

"Iyaaa... kenal! Dia tetangga saya kok!"

"Oooo... syukur... syukur!" Nini Lasih tersenyum

penuh haru.

Setelah jumlah penumpang sudah cukup, sopir segera

menghidupkan mesin kendaraannya, dan si kenek langsung

berteriak memberi komando:

"Cabuuuut...!!"- 173
Dan mobil omprengan itu segera meluncur

meninggalkan stasiun Gambir menuju jalan raya yang padat

oleh kendaraan.

"Lea!!"

Lea terkejut ketika melihat siapa yang memanggilnya.

Lama dia tak jumpa pemuda yang pernah menolongnya itu.

Ada semacam perasaan rindu di hatinya yang

mendorongnya untuk menghampiri dan memeluk pemuda

itu, tapi dia melihat pemuda itu tidak sendirian. Ada seorang

gadis cantik bersamanya, yang membuatnya harus bisa

menahan diri.

"Theo..." Hanya itu yang mampu diucapkannya.

Theo mendekati Lea dan menjabat tangan j wanita itu

dengan hangat serta pandang mata penuh persahabatan.

"Kamu tambah cantik, Lea..." Theo tersenyum:

"Kenalkan ini... Ita!"

"Temanmu?" Lea bertanya sambil menjabat tangan

Ita: "Cantik sekali!"

"Tunanganku."

Wajah Lea tampak sedikit tegang, namun ia berusaha

untuk tetap bersikap wajar. Entah kenapa hari itu Theo

membuatnya jadi gugup.

"Saya sudah bercerita pada Ita tentang kamu." kata

Theo.- 174
"Saya... saya ikut sedih atas meninggalnya mbak

Erni!" Ita berkata dengan sikap penuh simpati.

"Terimakasih atas perhatianmu, Ita." Lea tersenyum:

"Tapi hutang nyawa itu sudah hampir lunas terbayar."

"Hampir lunas terbayar?" Theo ingin tahu: "Apa

maksudmu?"

"Ya." Lea mengangguk: "Hampir semua anak buah

Murdi sudah habis kubantai. Dan Murdi sendiri akan saya

bunuh secara perlahan-lahan!"

"Tapi, Lea..." Theo tampak prihatin: "Apakah itu

perlu?"

"Perlu untuk kepuasan balas dendamku."

"Dengan apa kamu melakukan itu?"

"Dengan ilmu hitam yang kuanut selama ini!"

Mendengar jawaban Lea itu, Theo dan Ita hanya bisa

saling berpandangan dengan tatapan mata penuh

kecemasan.

"Lea, kita harus bicara!" kata Theo.

"Tentang apa, Theo?"

"Tentang banyak hal." jawab Theo: "Kita harus cari

tempat yang tenang untuk bicara."- 175
***

Di sebuah restoran sepi yang terletak di pantai

Sampur, mereka bertiga duduk mengitari meja sambil

menikmati minuman dingin dalam udara malam, seraya

menikmati kelipan lampu-lampu kapal yang berlabuh jauh

di luar dam sana.

"Lea..." Theo membuka pembicaran: "Apa yang

sudah kamu lakukan?"

"Maksudmu?" Lea bertanya.

"Tentang ilmu hitam yang kamu ceritakan"

Lea termenung sesaat seakan sedang berpikir keras.

Ada rasa keragu-raguan terlukis di matanya.

"Ceritakan dengan jujur kalau kamu masih

menganggap saya sebagai sahabatmu!" kata Theo.

"Benar, Mbak Lea..." Ita menyambung:

"Ceritakanlah, saya juga kepingin dengar. Mbak nggak

keberatan, kan?"

"Baiklah..." kata Lea sambil tertunduk.

Maka Lea menceritakan pertemuannya dengan Nini

Lasih dan akhirnya langsung berhadapan muka dengan

lelaki Iblis yang bernama Laware, dimana dia mendapatkan

kekayaan dengan cara mudah dan lebih dari itu bisa

membalas dendam dengan menggunakan sepotong tangan- 176
mayat yang mampu melumpuhkan komplotan Murdi

dengan cara yang tak terkalahkan.

Sementara itu udara malam mulai terasa dingin oleh

hembusan angin laut yang membawa bau karang. Di jalan

dekat restoran itu sesekali tampak melintas kendaraan

Mikrolet dan KWK yang melaju menuju belokan Jalan

Digul, dengan keneknya yang berteriak-teriak mencari

penumpang.

Di sana, dekat perahu-perahu pesiar yang tertambat,
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak melintas sebuah kapal tanker berbendera Monrovia

sedang mendekati dermaga, ditarik oleh sebuah kapal tonda.

Tapi semuanya itu tidak mengurangi minat Theo dan Ita

dalam mendengarkan cerita Lea yang sangat dramatis itu.

Setelah Lea selesai menceritakan kisahnya

seluruhnya, tampak dia mengusap air matanya.

"Saya nggak menyesal karena sudah membunuh

banyak orang anak buahnya Murdi..." ucap Lea dengan

terisak: "Tapi yang membuat saya sedih kenapa saya bisa

melakukan ini semua."

"Saya ngerti, Lea." kata Theo: "Tadinya saya juga

kayak kamu yang kepingin melihat Murdi dan anak buahnya

dapat balasan yang setimpal. Tapi lama-lama saya jadi

mikir, apakah itu semua memang perlu."

"Lantas bagaimana dengan lelaki yang namanya

Laware itu, Mbak?" Ita bertanya penuh minat.- 177
"Ada lucunya..." Lea tersenyum masam: "Selama ini

saya memang nggak pernah berurusan dengan hantu-hantu

atau setan apa pun. Tapi anehnya lelaki Iblis yang namanya

Laware itu suatu hari pernah menampakkan diri pada saya

dan bilang bahwa dia sungguh tergila-gila mencintai saya."

"Oh, ya? Lantas bagaimana?" Ita bertanya.

"Dia bilang, supaya cepat-cepat saya menghabisi

Murdi, supaya setelah itu, saya bisa mendampingi dia

sebagai roh halus, dimana dia akan menjadikan saya sebagai

istri atau mempelainya tercinta yang akan hidup kekal

selama-lamanya."

"Dan kamu percaya itu bisa terjadi?" Theo bertanya

penuh minat.

"Tadinya saya percaya." jawab Lea: "Eh... tapi lama
lama saya kok mikir, mana ada setan atau Iblis hidup

selamanya tanpa hukuman? Kalau hidup selamanya sih,

barangkali benar juga, ya? Kan namanya juga roh. Tapi yang

jelas pasti ada hukuman dari Tuhan. Lantas saya mikir, apa

enaknya hidup selama-lamanya kalau selama itu terus
menerus menderita hukuman?"

"Tapi kamu kan sudah terlanjur mengadakan

perjanjian dengan setan..." Kata Theo dengan berhati-hati:

"Berarti kamu sudah nggak mungkin bisa mundur lagi."

"Memang..." Kata Lea: "Tapi Laware pernah bilang

sama saya, bahwa dia tidak bisa mengambil nyawa saya,- 178
sebelum saya membunuh Murdi. Dan memang begitu

perjanjiannya. Jadi rupanya dia nggak bisa mengingkari apa

yang sudah diucapkannya!"

"Lantas?"

"Makanya itu, ketika saya bermaksud membunuh

Murdi, saya mulai ragu-ragu..." Lea melanjutkan: "Kalau si

Murdi cepat mampus, berarti saya juga cepat mati dan

menjadi mempelainya si Laware. Padahal biar pun Murdi

mati, saya masih kepingin terus hidup!"

"Berarti kamu curang!" Theo tersenyum: "Kamu

nggak mau menepati janji. Iya, kan?"

"Memang sih..." kata Lea: "Dan di sini letak lucunya.

Karena Laware tergila-gila sama saya, jadi kayaknya dia

kehilangan kekuatan Iblisnya sehingga biar bagaimana pun

dia nggak bisa ngambil nyawa saya selama si Murdi masih

hidup!"

"Aneh juga!" Ita menahan senyum.

"Justru itu!" Lea tertawa lirih meskipun matanya

masih basah oleh tangis: "Saya sendiri juga heran, kok!

Akhirnya saya sadar bahwa saya justru yang sekarang

mengendalikan Laware. Nah, makanya Nini Lasih kayaknya

kesal sama saya, soalnya gara-gara saya, Laware,

junjungannya sudah nggak perduli lagi sama dia. Tentu saja

Nini Lasih jadi tersinggung, karena sebagai dukun dia- 179
merasa nggak dihargai lagi. Justru malah junjungannya yang

dipuja-puja, sedang jatuh cinta sama saya!"

"Itu sih namanya, setan ganjen!" Ita tertawa.

"Kalau begitu kamu jangan membunuh Murdi, Lea!"

kata Theo.

"Tapi dendamku harus terbalas!" Lea berkata tegas.

"Apa itu bisa menghidupkan kakakmu kembali?"

Theo menatap tajam: "Tapi kamu harus lebih memikirkan

keselamatan jiwamu sendiri, supaya kamu jangan sampai

kena penghukuman kekal dari Tuhan."

"Aneh..." Lea tersenyum: "Mulai kapan kamu bisa

ngomong begitu? Biasanya kamu bersifat berangasan!"

"Sejak saya dan Ita mulai sering terjun dalam

kegiatan membantu orang-orang terlantar." kata Theo:

"Akhirnya saya dan Ita mulai belajar menghargai hidup

orang lain."

"Iya, Mbak..." Ita menyambung: "Mbak kan tahu,

bahwa anugerah Tuhan yang paling besar bagi manusia

adalah kehidupan. Nah, kalau kita sudah tahu bahwa hidup

adalah pemberian Tuhan yang paling berharga, lantas

kenapa kita mau seenaknya mengakhiri hidup orang lain?

Apa itu nggak berarti menghina Tuhan sendiri?"

Lea tertunduk membisu. Wajahnya tampak begitu

murung seakan batinnya terhimpit oleh sebuah beban berat

yang tak tertanggungkan.- 180
"Yaah... barangkali kamu benar, Ita." Lea berbisik:

"Tapi jelas bahwa saya sudah terlanjur, dan sudah terlanjur

merenggut nyawa banyak orang. Maka rasanya dosa-dosa

saya sudah terlanjur numpuk dan nggak mungkin bisa

diampuni lagi."

"Siapa bilang?" Ita berkata cepat: "Kalau gitu Mbak

nggak percaya dong, kalau Tuhan itu Maha Pengampun?"

"Bukannya nggak percaya, sih..." Lea mengeluh:

"Cuma rasanya kok saya sudah ketimbun dosa yang gedenya

kayak gunung!"

"Itu kan pandangan Mbak sebagai manusia." Ita

tersenyum: "Tapi pandangan Tuhan kan jauh lebih luas, dan

lagi harus diingat bahwa bagi Tuhan nggak ada sesuatu yang

nggak mungkin. Yang penting Mbak mau percaya!"

"Entahlah..." Lea tertunduk: "Saya bingung..."

Kembali Lea meneteskan air mata.

***- 181
8

Nini Lasih bingung.

Lebih satu jam dia masih berdiri di pinggir jalan dekat

prapatan lampu merah sambil melihat ke sekelilingnya dan

tidak tahu kemana, dia harus pergi, sampai akhirnya ada

seorang tukang ojek sepeda yang mendekati dan

menyapanya.

"Mau kemana, Nek?" tanya si tukang ojek. "Eh, anu...

mau ke rumahnya Lea." jawab Nini Lasih.

"Lea itu siapa?"

"Perempuan muda, kenalan saya waktu di kampung."

"Alamatnya?"

"Nggak tahu. Pokoknya dia pernah bilang di Tanjung

Priok." Nini Lasih menjelaskan: "Ini Tanjung Priok, kan?"

"Iya! Tapi Tanjung Priok mah luas, Nek!" kata si

tukang ojek: "Biar sampai ke sana-sana, ke pinggir laut

Cilincing, Marunda, Pedong-kelan, Cakung sampai muter

ke Sunter sana, ya namanya Tanjung Priok. Alamatnya yang

jelas, dong!"

"Wah... saya nggak tahu."- 182
"Repot!" Si tukang ojek juga bingung: "Tadi ke sini
nya naik apa?"

"Naik mobil dari stasiun..." Nini Lasih mikir

sebentar: "Stasiun kereta api apa namanya? Itu lho,

stasiunnya yang banyak orangnya!"

"Nek!... kalau yang namanya stasiun ya mesti banyak

orangnya!"

"Bukan..." Kata Nini Lasih: "Yang dari jauh kelihatan

ada tugu yang tinggi sekali itu! Yang pucuknya ada kuning
kuningnya mengkilat!"

"Oo... itu stasiun Gambir!"

"Iya, Gambir! Padahal tadi saya mau ngomong itu,

lho!"

"Iya, lantas sama mobil tadi diturunkan dimana?"

"Di situ!" Nini Lasih menunjuk: "Di seberang jalan

situ! Sopirnya bilang, rumahnya Lea di sekitar tempat ini!"

"Eh... Nek! Di sekitar sini mah nggak ada rumah!"

kata si tukang ojek: "Yang ini kantor PTT namanya, yang

depan itu Mesjid! Yang di sono dekat jembatan itu, tempat

jual barang loakan. Nah kalau perumahan adanya belok ke

kiri masuk Jl. Ende, atau terus lempeng ke sono, ke Jl. Enim!

Jadi harus jelas nama jalannya, nomor RT-nya, RW-nya dan

nomor rumahnya!"

"Itu saya nggak tahu..." Nini Lasih lemas.- 183
"Berarti Nenek dibohongi sopir itu!"

Nini Lasih hanya bisa menarik napas panjang. Dia

baru sadar bahwa dia telah ditipu mentah-mentah. Padahal

di kampungnya, sebagai dukun, dia sangat disegani dan

dihormati orang, dan tidak ada seorang pun yang berani

membohongi dirinya karena takut kutukan ilmu hitamnya.

Tetapi di Jakarta malah dia seperti dipermainkan.

Nini Lasih merasa sakit hati. Ingin rasanya dia

mengutuk sopir yang membohongi dirinya dengan

mempergunakan ilmu hitamnya, tapi itu juga tidak mungkin.

Sebab untuk mengutuk dan mencelakakan seseorang, dia

harus tahu umur dan tanggal kelahiran orang tersebut. Paling

tidak dia harus mendapatkan tujuh lembar rambut calon

korbannya. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan tujuh

lembar rambut sopir itu, sedangkan sopir itu sudah kabur

entah kemana, malah uang Nini Lasih yang lima ribu tadi,

yang diberikan sopir, tidak diberikan uang kembalinya,

alasannya si sopir tak punya uang kecil. Padahal

perjanjianya dari Gambir sampai ke Priok ongkosnya cuma

duaribu limaratus rupiah! Kalau tidak ingat gengsinya

sebagai dukun tenar, mau rasanya Nini Lasih menangis

tersedu-sedu, meratapi nasibnya yang malang.

"Jadi bagaimana, Nek?" Tukang ojek tadi bertanya:

"Repot dong, kalau nggak ketahuan alamatnya."

Nini Lasih hanya bisa diam membisu, sehingga si

tukang ojek itu menjadi iba karenanya.- 184
"Kasihan..." kata si tukang ojek itu selanjutnya:

"Maunya saya sih, Nenek sementara tinggal di rumah saya

dulu. Tapi ya nggak bisa, soalnya saya sendiri numpang

sama mertua. Mana rumahnya ngontrak lagi. Rumahnya
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mah kecil banget, Nek! Suka kebanjiran, got-nya mampet,

gentengnya bocor. Istri saya aja kalau nyuci juga numpang

di rumah tetangga saking sempitnya. Makanya kalau..."

"Nini Lasih!" Terdengar suara menyapa.

Nini Lasih menengok, dan seketika wajahnya cerah

seperti rembulan.

"Lea!" Nini Lasih berseru sampai terbatuk-batuk.

Tampak Lea turun dari taxi dan berlari mendekati

Nini Lasih yang masih berdiri berduaan bersama tukang

ojek.

"Kok Nini kemari-mari, sih?" Lea tersenyum sambil

mencium tangan Nini Lasih penuh hormat dan rindu.

"Aduh, Leaaaaa...! Untung kamu datang. Nak!" kata

Nini Lasih hampir menangis karena terharu: "Ee... dasar

saya ini biar jelek-jelek masih tetap punya simpanan ilmu.

Jadi ilmu saya itu yang memanggil kamu kemari, Nak!"

"Bukan karena ilmu!" Lea menahan senyum: 'Tapi

memang hampir tiap hari saya lewat Jl. Enim ini!"

"Ooo... begitu?" Nini Lasih kecewa. Padahal hampir

saja dia bangga. Lea menatap si tukang ojek sambil

melemparkan senyuman ramah.- 185
"Terimakasih ya, Mang! Sudah nolongin nenek

saya!" ucapnya.

Si tukang ojek tak sempat menjawab karena terpukau

oleh penampilan Lea yang mengenakan rok span warna

hitam dengan blouse biru muda, yang menampakkan bentuk

tubuhnya yang indah.

"Busyet! Cakep banget tuh cewek!" kata si j tukang

ojek dalam hati, dan matanya tak berkedip menyaksikan Lea

melangkah menuju taxi | bersama Nini Lasih, sampai taxi itu

meluncur dan lenyap di belokan yang menuju Jl. Enggano.

***

"Kamu keterlaluan!" Nini Lasih tampak geram:

"Belum pernah selama ini saya dapat langganan seperti

kamu yang berani memper mainkan gusti junjunganku sang

pangeran Laware!"

"Minum dulu, Nek!" kata Lea sambil memberikan

segelas orange juice pada perempuan tua itu. Lalu orang itu

segera meminumnya, sementara Lea duduk di sofa, di

seberang meja.

Sepasang mata Nini Lasih tampak berkedip- kedip.

"Kenapa, Nek?" Lea tampak heran.- 186
"Minuman apa ini?" Nini Lasih bertanya setelah

minum seteguk.

"Namanya orange juice." jawab Lea: "Kenapa?

Nenek nggak suka?"

"Enak sekali!" kata Nini Lasih: "Masih ada lagi?"

"Masih banyak!" Lea tersenyum.

"Nanti kalau saya pulang ke kampung, tolong

dibawakan, ya?" kata Nini Lasih sambil meneguk minuman

itu, dan setelah puas dia meletakkan kembali gelas itu di atas

meja: "Eh... saya tadi ngomong sampai dimana?"

"Nggak tahu!" Lea tersenyum: "Nenek sendiri yang

ngomong, kok lupa."

"Eh... iya... minuman ini enaknya diminum kalau

badan sedang..."

"Lho, Nenek tadi kan bicara soal Laware!" Lea

mengingatkan.

"Ya ampun... iya!"

Mengingat itu, kembali Nini Lasih pasang muka

serem: "Kamu memang keterlaluan, Lea! Berani

mempermainkan gusti junjunganku. Itu namanya anak

kurang ajar! Anak durhaka! Kuwalat lahir bathin!"

"Begini Nek..." Lea tersenyum: "Saya sangat

berterimakasih atas kebaikan Nenek selama ini. Tapi Nek...- 187
sekarang ini saya bukan Lea yang dulu. Sekarang saya sudah

jadi Lea yang baru!"

"Jangan ngomong macam-macam!" Nini Lasih

mendamprat: "Memangnya kamu sudah punya ilmu apa

sampai berani bilang begitu? Saya ini yang sejak muda

mendalami ilmu macam-macam, tetap seperti ini! Tidak

pernah merasa menjadi Nini Lasih yang baru! Kamu jangan

main-main sama saya, lho! Mau saya kutuk? Hayo...! Mau

saya kutuk??!!"

"Bukan begitu, Nek..." Lea menahan senyum:

"Maksud saya, sekarang ini saya nggak mau lagi

berhubungan dengan roh-roh jahat. Saya sekarang sudah

bertobat dan hanya mau ikut Tuhan saja."

"Heiii! Kenapa kamu bisa begitu??" Nini Lasih

terperanjat.

"Bisa. Nenek juga bisa, kalau mau!"

"Eee... hati-hati bicara sama orang tua, ya??!" Nini

Lasih tersinggung: "Jadi cuma ini yang saya dapatkan

setelah saya jauh-jauh datang dari kampung ke Jakarta?

Begitu ucapanmu?! Dimana letak balas budimu? Cuma

seperti itu, Lea??!!"

"Maafkan saya, Nek..." Lea tertunduk sedih.

"Lalu bagaimana perjanjianmu dengan pangeran

Laware??!"- 188
"Entahlah, Nek..." jawab Lea: "Saya anggap

perjanjian itu tidak pernah ada. Kalau memang Laware mau

sakit hati sama saya dan mau mencelakakan saya, ya

terserah. Saya sudah pasrahkan hidup mati saya pada Tuhan.

Maafkan saya, Nek. Maafkan saya..." Lea mulai menangis.

Perempuan tua itu terdiam.

Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang dukun

pemanggil roh-roh jahat serta segudang ilmu yang

dimilikinya selama ini, baru sekali itu dia menyaksikan ada

seorang pemuja Iblis yang telah terikat perjanjian berani

begitu saja mengingkari perjanjiannya, tanpa takut

menanggung semua akibat perbuatannya.

"Benar..." Nini Lasih berbisik: "Kamu memang

bukan Lea yang dulu..."

"Maafkan saya, Nek..." Lea menghampiri Nini Lasih

dan bersimpuh di lantai sambil merebahkan kepalanya di

atas pangkuan perempuan tua itu, seraya menangis tersedu
sedu: "Saya... saya lebih takut pada Tuhan, daripada

pembalasan Laware. Maafkan saya..."

Nini Lasih merenung.

***- 189
Murdi menatap keluar jendela rumah tempat

persembunyiannya yang baru. Entah berapa kali lagi dia

harus berpindah tempat sampai polisi menemukan dirinya.

Untuk pertama kalinya dalam petualangannya sebagai

penjahat, dia merasa dirinya tak berdaya. Apalagi bila

diamengingat pada pembalasan Lea yang pasti akan datang

merenggut nyawanya. Mengingat itu, Murdi merasa begitu

takut.

Hampir dua bulan lamanya dia harus mengobati luka

bekas kedua jari tangan kanannya yang buntung. Setiap kali

dia harus mendatangi rumah sakit dengan sembunyi
sembunyi agar tak ketahuan polisi.

Kini dia hampir tak mampu menggunakan tangan

kanannya yang masih dibalut itu, dan dia berharap agar

selama luka di tangan kanan-nya itu belum pulih, jangan

sampai bertemu dengan seorang musuh pun.

Dia merasa gagal. Bisnis gelapnya sudah lama hancur

dan dia hanya memiliki sedikit simpanan uang yang hanya

bisa dipergunakan mempertahankan hidupnya selama

beberapa bulan saja. Selebihnya dia tak tahu lagi harus

berbuat apa.

Cepat Murdi memutar tubuhnya sambil meraih pistol

yang terletak di bawah bantal, ketika dia mendengar suara

langkah mendekati pintu rumahnya. Dengan tangan kiri

tetap teracung ke arah pintu, Murdi melangkah maju- 190
perlahan-lahan untuk memastikan siapa yang datang.

Terdengar daun pintu itu diketuk perlahan.

"Masuk!" kata Murdi dengan sikap waspada.

Daun pintu terbuka dan tampaklah Lea berdiri di sana

dengan mengenakan gaun putih sebatas lutut dan tampak

cantik serta anggun.

"Keparat!! Kau lagi!!" Murdi menggeram sambil

menarik pelatuk Lugernya dan siap menekan picu, dan

mengarahkan laras pistol itu tepat ke kepala Lea.

"Boleh saya masuk, Mas?" Lea tersenyum seakan tak

perduli ancaman pistol yang tergenggam di tangan kiri

Murdi itu.

"Tidak!" Murdi mendengus: "Keluar kau! Sebelum

kau sempat menggunakan tangan setan-mu, peluru

pertamaku akan melobangi batok kepalamu!!"

Tapi Lea tak menghiraukan ancaman itu. Dengan

tenang dia melangkah masuk ke dalam rumah itu dan duduk

di sisi ranjang.

"Kamu baru pindah lagi, Mas?" kata Lea sambil

memandang sekeliling isi ruangan itu yang hampir tak

terdapat perabotan apa-apa: "Hmm... kelihatannya kamu

sudah mulai bangkrut, ya?"

"Diam!!" Murdi membentak: "Apa maumu datang

kemari??! Hendak menyiksa saya lagi??! Atau akan- 191
langsung merenggut nyawaku dengan ilmu setanmu berupa

sepotong tangan mayat itu??!!"

"Lupakan itu..." Lea menarik napas panjang.

"Lupakan katamu??!" Murdi menggeram sambil

menodongkan laras pistolnya ke pelipis Lea: "Tidak! Hari

ini kamu harus mati, Lea! Meskipun untuk itu saya juga

harus mati!"

Lea hanya menatap Murdi sambil tetap tersenyum.

Dan entah mengapa tiba-tiba Murdi menjadi gugup.

Pandangan mata wanita itu tidak seperti dulu lagi.

Pandangan mata itu sama sekali tidak menampakkan sikap

dendam ataupun permusuhan. Bahkan di mata itu dia

melihat sorot pandang yang membocah, begitu tulus dan

bening. Mata kanak-kanak! Perlahan-lahan Murdi

menurunkan laras pistolnya.

"Persetan!" Murdi mendengus: "Kamu jangan

memandangku seperti itu!!"

"Saya hanya letih..." Lea mengeluh: "Hari-hari

kemarin rasanya seperti mimpi yang menakutkan."

"Jangan ngomong macam-macam, kamu!" Murdi

membentak: "Saya tahu kamu sengaja mengulur-ulur waktu,

supaya kamu punya kesempatan buat menggunakan tangan
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setanmu untuk..."- 192
"Tangan setan itu sudah nggak ada lagi, Mas!" Lea

tersenyum: "Nggak ada lagi sejak saya melupakan

dendamku itu."

Murdi menatap wanita bekas istrinya itu dalam
dalam, seakan ingin meyakinkan ucapannya.

"Apa kamu bilang?" Murdi bertanya.

"Dendam itu sudah lewat.." jawab Lea.

"Jelaskan."

"Nggak ada lagi yang mesti dijelaskan..." Jawab Lea:

"Saya datang ke sini cuma mau bilang, damaikan hatimu,

Mas... nggak ada lagi yang akan saya tuntut mengenai

kematian Erni. Dan... dan kalau kamu masih merasa sakit

hati karena dua jari tangan kananmu yang hilang itu, kamu

boleh menuntut balas sekarang juga."

Mendengar ucapan Lea, Murdi seakan tersentak tak

percaya. Sulit baginya untuk memahami apa yang dikatakan

wanita itu.

"Aku nggak ngerti yang kamu katakan." kata Murdi.

"Sudahlah..." Lea bangkit dari tempat duduknya:

"Kamu nanti akan mengerti. Kalau saya boleh ngasih saran,

lebih baik serahkan dirimu ke polisi. Itu lebih baik daripada

kamu dikejar-kejar rasa gelisah tiap hari."- 193
Murdi semakin heran menyaksikan perubahan total

dalam diri Lea. Perubahan yang terjadi begitu drastis dan

ajaib!

"Praaang!!!"

Mendadak kaca jendela di ruangan itu pecah

berantakan dan daun jendela itu lepas dari engselnya karena

didobrak dari luar. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh

masuk ke dalam secara paksa lewat jendela itu.

Sebelum Murdi dan Lea sadar akan apa yang terjadi,

seorang lelaki telah menyerang Murdi dengan ganas. Luger

di tangan kiri Murdi terpental sebelum sempat diperguna
kan, disusul tubuh Murdi yang terpelanting oleh pukulan

lawannya yang menyambar tak terduga.

"Bangsat!!"

Murdi berusaha bangun berdiri kembali sambil

berpegangan pada dinding. Di hadapannya tegak seorang

lelaki dengan wajah yang beringas penuh dendam.

"Amsar! Kau...???!" Murdi menyebut nama orang itu.

Lea segera mengenali lelaki itu sebagai sopir taxi

yang dulu bermaksud mencelakakan dirinya bersama Theo

di jalan layang.

"Sekarang aku yang jadi lawanmu, Murdi!" Sopir taxi

yang bernama Amsar itu menatap Murdi dengan geram:

"Lama aku berkeliling Jakarta untuk mencari kau! Dan

rupanya kau bersembunyi di sini, hmm??!"- 194
"Sialan! Lantas apa maumu??!" Murdi menatap

tajam.

"Jangan pura-pura, kau!" Sopir itu menghardik: "Kau

pernah memperalat aku, hingga aku hampir saja membunuh

wanita ini dan temannya yang kau fitnah sebagai pembunuh

adikku. Tapi ternyata kau dan teman-temanmu malah

menodai dan menggantung kakak wanita ini sampai mati!"

"Jadi untuk Itu kamu datang ke sini dengan maksud

menuntut balas?" Murdi tersenyum sinis.

"Tidak hanya itu. Ternyata setelah kuselidiki, yang

membunuh adikku adalah... kau sendiri!" Amsar

menggeram.

"Karena adikmu curang dalam melakukan bisnis

barang-barang gelap, dan saya sering dirugikan dia!" jawab

Murdi dengan tenang.

"Anjing!!" Amsar mengutuk dan secepat itu pula

tangan kanannya menyambar ke arah wajah Murdi, tapi

Murdi sudah memperhitungkan hal itu. Cepat Murdi

mengelak ke samping dan ujung sepatunya diayunkan kuat
kuat menghantam tulang kering lawannya.

Amsar merintih kesakitan dan saat yang singkat iu

dipergunakan Murdi untuk melayangkan pukulan swing kiri

yang telak, dan tepat menyambar rahang lawannya. Tubuh

Amsar terputar sesaat, lalu jatuh tersandar pada dinding.- 195
Murdi menerkam dengan buas. Tetapi Amsar yang

melihat tangan kanan Murdi yang sakit, cepat melancarkan

tendangan ke arah bagian tangan Murdi yang dibalut itu,

hingga Murdi menjerit kesakitan. Amsar tak menyia
nyiakan kesempatan itu. Cepat menyarangkan pukulannya

ke perut Murdi dengan sepenuh tenaga, hingga Murdi serasa

mau muntah dibuatnya.

Meskipun Murdi sudah terbiasa bertarung dalam

berbagai situasi, namun dalam keadaan tangan kanan yang

sedang sakit, dia tak dapat berbuat banyak.

"Hentikan...!!" Lea berseru dan berusaha meleraikan

pertarungan yang tak seimbang itu, dimana ia menyaksikan

Murdi dalam keadaan susah payah dan jatuh bangun.

"Diam kamu, Non!" Amsar tak menghiraukan Lea,

bahkan semakin buas menyerang Murdi dengan pukulan

bertubi-tubi. Hingga Murdi tergeletak tak berdaya.

"Anak sundel!!" Murdi menyumpah geram dengan

mulut penuh darah: "Kalau saja saya bisa menggunakan

tangan kananku, kuhabisi kamu!!"

"Kamu yang kuhabisi, Murdi!" si sopir menghunus

pisau dari balik bajunya. Lea cepat menubruk untuk

mencegah.

"Jangan... kumohon, jangan!" kata Lea dengan

cemas: "Jangan bunuh dia. Dia sudah cukup menderita!"- 196
Amsar menatap Lea dengan heran. "Aneh!

Bagaimana kamu bisa bilang begitu sesudah kakakmu

dinodai dan mati digantung oleh orang ini, dan kamu sendiri

nyaris dibunuhnya??!"

"Itu sudah selesai..." kata Lea: "Tidak perlu kamu

ingat-ingat lagi. Saya yakin, kakak saya lebih suka kalau

saya merelakan dia!"

"Gila!" Amsar membentak: "Bagaimana kamu bisa

berobah begitu...??! Tapi baiklah, itu terserah kau. Tapi

untuk nyawa adikku, harus ada pembalasan untuk si bangsat

ini!"

Sambil berkata begitu, si sopir taxi itu mendorong

tubuh Lea dan mengayunkan pisaunya ke arah dada Murdi.

"Jangaaaan...!!" Lea berteriak memohon.

Detik itu juga meluncurlah sesosok tubuh dari

ambang pintu menerkam Amsar, tepat sebelum ia mengguna

kan pisaunya.

Amsar jatuh terhuyung dan dengan marah menatap

penyerangnya yang tidak lain adalah Theo.

"Kau...??!" Amsar menatap marah bercampur heran:

"Kau juga datang ke sini untuk mencegah aku membunuh

Murdi??!!"

"Diam!" Theo mendesis: "Letakkan pisaumu!"- 197
"Sialan! Kalau begitu buat kau saja!!" Amsar

mendengus geram, dan tanpa pikir panjang langsung

menyerang Theo dengan pisaunya.

Theo membiarkan pisau itu meluncur lewat sisi

pinggangnya, kemudian dengan menggunakan sisi telapak

tangan kanannya, dia menghantam tengkuk si sopir itu

dengan keras, hingga orang itu terjungkal. Dan sebelum

orang itu sadar akan dirinya, ia menghajar ulu hati si sopir

itu dengan sebuah pukulan keras hingga orang itu

menggeliat kesakitan, lalu roboh tak bergerak lagi.

Murdi yang masih tergeletak di lantai, menatap Theo

tanpa berkedip dan napas yang masih terengah-engah.

"Hmm... saya nggak nyangka bisa melihat

tampangmu lagi!" Murdi tersenyum masam sambil berusaha

duduk di lantai dengan susah payah: "Kenapa kamu

menolong saya?"

"Entahlah..." Theo mengambil rokok dan

menyelipkan di sudut bibirnya: "Barangkali saya nggak

suka lihat orang dibunuh." Theo menyalakan rokoknya dan

menghembuskan asapnya dengan nikmat: "Yang jelas

antara kamu, saya dan Lea sudah nggak ada permusuhan

lagi."

"Aneh!" Murdi garuk-garuk kepalanya: "Kalian

berdua bisa berobah dengan begitu tiba-tiba."- 198
"Kalau kami bisa berobah, kamu pun bisa berobah..."

Lea menyambung: "Kecuali kalau kamu memang sengaja

mengeraskan hatimu."

"Kalian berdua membuat saya bingung!" Murdi

menarik napas panjang: "Saya nggak tahu mesti berkata

apa."

"Nggak perlu berkata apa-apa..." jawab Theo: "Saya

sudah menghubungi polisi, dan sebentar lagi mereka akan

tiba di sini!"

"Bangsat!! Kamu memanggil polisi ke sini??!!"

Murdi terperanjat dan cepat-cepat meraih pistolnya yang

tergeletak di lantai, dan langsung menodongkan ke arah

kepala Theo dengan tangan kirinya: "Kamu pikir saya mau

menyerah begitu saja? Tidak! Saya... si Murdi Gaok,

pantang menyerah!"

"Terserah!" Theo mengangkat pundak sambil

memasukkan kedua tanganya ke saku celananya: "Kamu

masih punya banyak pilihan. Yaitu menembak saya lalu

kabur sebelum polisi datang, atau melawan mereka dengan

pistolmu itu!" Kembali Theo menghembuskan asap

rokoknya: "Tapi kalau saya jadi kamu, lebih baik

menyerahkan diri pada polisi dan mulai merubah cara

hidupmu setelah keluar dari penjara!"

Lalu Theo menarik lengan Lea.- 199
"Ayo Lea, kita pergi dari sini." kata Theo: "Biarkan

Murdi memikirkan dan memutuskan sendiri, apa yang harus

diperbuatnya."

"Selamat tinggal, Masl" Lea tersenyum penuh

ketulusan: "Saya yakin kamu sekarang sudah berubah

menjadi Murdi yang baru."

Setelah berkata begitu, Lea segera melangkah

bersama Theo meninggalkan ruangan itu, dan lenyap di

balik pintu.

"Gila!" Murdi menggerutu: "Mereka berdua

membuat saya jadi tolol!"

Beberapa menit kemudian terdengar bunyi sirine

mobil-mobil polisi mendekat dan tepat berhenti di dekat

tempat itu.
Dendam Sepotong Tangan Karya Maya Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat!! Mereka datang!" Murdi mendesis dengan

geram seraya menggenggam pistolnya erat-erat. Tapi

kemudian dia merenung sejenak, dan akhirnya melempar

kan pistolnya itu ke lantai.

Perlahan dia tersenyum. Senyum yang letih.

Rembulan bersinar penuh di atas sana.

Theo dan Lea berdiri membisu di sebuah

persimpangan jalan yang sepi yang dinaungi sebatang pohon

cemara pinus yang tumbuh rindang.

"Kita harus berpisah, Theo..." Kata Lea.- 200
"Saya mengerti."

"Mana tunanganmu yang namanya Ita itu?"

"Tidak kuajak."

"Sungguh beruntung gadis yang mendapatkan kamu."

Lea tersenyum.

"Bapaknya yang merasa rugi."

"Kenapa?"

"Dia termasuk atasanku di kapal dia Perwira Mesin."

jawab Theo: "Sejak dulu dia benci saya."

"Kenapa?"

"Saya pernah memukul dia gara-gara dia berselisih

dengan Kapten Yordan, nakhoda kapalku!"

"Kamu memang sinting!" Lea tertawa.

"Ya... kadang-kadang." Theo tersenyum.

"Theo..." Lea berbisik.

"Hmmm...??"

"Sebelum berpisah, saya ingin mengucapkan terima

kasih atas perhatianmu selama ini." Lea menatap lembut:

"Dan terlebih terima kasihku karena kamu dan Ita

menyadarkan saya untuk meninggalkan ilmu hitam dan

dendamku selama ini!"

"Itu bisa terjadi pada setiap orang, kan?"- 201
"Mungkin." Lea tersenyum: "Tapi untuk itu, saya

akan memberi kamu satu kenangan. Boleh?"

"Berupa apa?"

"Sebuah ciuman!"

"Saya paling suka itu!"

"Kamu nggak merasa berdosa dengan tunanganmu?"

"Sedikit."

"Kamu memang bajingan!" Lea tersenyum sambil

melingkarkan kedua lengannya ke leher pemuda itu dan

mendekatkan mulutnya.

Theo merangkul wanita itu dan melumat bibirnya

dengan penuh gairah. Untuk sesaat keduanya serasa

'terbakar' dalam mimpi yang menghanyutkan. Begitu lama...

lama dan memabokkan.

Akhirnya keduanya saling melepaskan ciuman

dengan napas terengah-engah. Dan sambil saling

melemparkan senyum, keduanya menjauh dan berjalan

mengambil arah yang berbeda.

Rembulan di atas sana masih mengambang dalam

kebisuan.

Theo melangkah sambil memikirkan bagaimana

langkah selanjutnya dalam menghadapi ayahnya Ita, yang

meskipun merestui pertunangan mereka, tapi masih- 202
menganggap Theo sebagai 'musuh' di atas kapal

"Lemadang."

Sementara itu, Lea yang melangkah ke arah yang

berbeda juga sedang memikirkan, apa rencana selanjutnya

setelah dia mendirikan Yayasan Sosial yang bergerak dalam

kegiatan menolong para pelacur yang ingin merubah hidup

mereka, dengan dibantu oleh Indri dan Wiwien.

Lea tersenyum seorang diri, mengingat semua harta

miliknya sekarang adalah berasal dari kuasa setan. Dia yakin

bahwa suatu saat semua kekayaan dan hartanya akan lenyap,

karena semua itu najis di mata Tuhan. Tapi Lea siap untuk

hidup melarat bahkan mati sekalipun, asalkan dia tetap

menikmati hidup baru dalam persekutuannya dengan yang

Maha tinggi.

Lea tak pernah membayangkan bahwa saat itu, di

sebuah komplek pelacuran, seorang germo terkenal yang

bernama mang Leman sedang kalap dan marah-marah

karena banyak anak buahnya yang kabur gara-gara

dipengaruhi Lea, Indri dan Wiwien.

Juga Lea tak pernah membayangkan bahwa saat itu,

jauh di tepi hutan sana, di dekat dusun kecil yang terpencil,

Nini Lasih sedang duduk seorang diri dan merenungkan

nasibnya, dimana segala ilmu hitam yang pernah menjadi

andalannya, kini punah hanya karena sekarang dia mulai

menyadari bahwa semua ilmu-ilmu itu hanya akan- 203
menimbulkan kebencian bagi Tuhan sang pencinta

kehidupan.

Perempuan tua itu tidak pernah lagi membakar dupa

setanggi untuk memanggil Laware, pangeran junjungannya.

Juga dia tak perduli melihat sepotong tangan yang ada di

dalam kotak besinya, sudah berobah menjadi seonggok

daging busuk yang makin lama makin menyusut, sejalan

dengan imannya yang semakin bertumbuh dalam

penyembahan yang benar kepada Tuhan, sang Raja segala

raja.

Sementara bumi tetap berputar mengukir kisah demi

kisah yang tak pernah berakhir dari drama komedi

kehidupan anak manusia sepanjang jaman.

SELESAI

PONDOK MELATI- 204
DENDAM SEPOTONG TANGAN

Karya : Maya Lestari

Lea, seorang hostess, merasa sakit hati karena kakak

perempuannya telah dinodai dan dibunuh oleh seorang lelaki

preman bernama Murdi, yang tak lain adalah bekas suami Lea

sendiri.

Lewat seorang dukun wanita. Lea berhasil berhubungan

dengan lelaki jelmaan ibls yang menyebut dirinya dengan nama

Laware. Melalui Laware itulah, Lea mulai membalas dendam

dengan membantai para anak buah Murdi sebelum dia

menghabisi Murdi sendiri.

Lea melakukan itu semua dengan perantaraan sepotong

tangan milik Laware yang bisa dikendalikan sesuai keinginan

hatinya.

Lea berhasil menyakiti Murdi, sekedar untuk

membuatnya goncang. Dan sebelum Lea sempat membunuh

lelaki itu, ia bertemu dengan Theo, teman lamanya yang

memberinya kesadaran.

Perlahan-lahan pribadi Lea mulai berobah. Dia tidak lagi

mendendam pada Murdi. Dan lebih dari itu Lea tidak lagi mau

tunduk pada Laware sehingga melumpuhkan kekuatan si lelaki

iblis itu.

Lea yang sudah berobah menjadi pribadi yang penuh

kasih itu, akhirnya juga menyadarkan Murdi sehingga lelaki itu

menyadari perjalanan hidupnya selama ini yang penuh

bergelimang noda.- 205
PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-buku

novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari

kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file

digital.

File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang

kemudian di kompilasi menjadi file PDF.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari

karya-karya yang coba dilestarikan ini.

CREDIT untuk :

? Awie Dermawan, sang pemilik buku aslinya.

? Grup Kolektor E-Books, tempat share ebook ini.

D.A.S




Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Trio Detektif 31 Pengemis Buta Bermuka Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal

Cari Blog Ini