Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius Bagian 2
pavilyun kami. Tapi kau lain halnya. Apakah aku
akan katakan supaya dia dan suaminya
mengumpulkan barang-barangmu dan pindah lagi "
Aku berhenti membaca "Aku di sini saja.
Eveline"
Dia memandangku dengan kecewa dan agak
kesal. "Apakah kau tidak bisa mengatasi
keangkuhanmu !"
"Janganlah kita perpanjang lagi. Aku pasti tidak
marah lagi, kalau aku memang pernah marah. Aku
hanya inginkan kemerdekaanku"
"Kau kan merdeka ? Tapi tidak pantas tinggal di
gubuk seperti ini"
"Bikin kopi untuk Nyonya Residen" kataku
kepada Miriam. "Ya tuan." Dan diapun segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk
memperlihatkan kepada Eveline. bahwa dia tidakTeriakan Kakatua Putih
73
memerlukan dapur di pavilyun untuk membuat kopi
yang enak
"Mari kita duduk, Eveline. Kursi malas itu
untukmu. Coba ceritakan bagaimana keadaanmu"
Dengan menarik nafas panjang dia
mendudukkan badannya yang berat di kursi malas;
sejenak mukanya meringis kesakitan.
"Sakit ?"
Dia menggelengkan kepala. "Biar saja. Aku
pernah bicara dengan Pieter apakah aku tidak lebih
baik pergi ke Jawa untuk bersalin. Sebelum dokter
dari Ambon datang ke mari, jika terjadi komplikasi"
"Siapa yang akan menolongmu bersalin?
"Seorang bidan yang boleh dipercaya?"
"Orang bilang begitu. Pieter mendatangkannya
dari Ambon. Perempuan tua berwarna kuning
merah, hitam dibakar matahari, dengan tangan
tangan mengerikan, bagian dalamnya pucat, pucat
mayat. Aku tak mau membayangkan tangan-tangan
itu menyentuh aku. Tapi aku tidak ada pilihan lain
dan dia sudah dua puluh tahun jadi bidan, atau lebih
lama lagi. Jadi, cukup punya pengalaman. Apa yang
ditulis anakmu?" dia bertanya dengan kepolosannya
yang tidak asing bagiku.
"Bahwa aku harus segera pulang. Banyak hal
hal yang dia tidak berani putuskan tanpa
kehadiranku ... reparasi yang memerlukan ongkos
banyak pada atap, sebaiknya sebelum musim dingin
... urusan Bank ..."
Ketika kusebut kata "musim dingin", dia
memandang dengan mata merenung "Ya. sebentar
lagi ... di sini kita bisa lupa. Bagaimana keadaanmu?JOHAN FABRICIUS
74
Kau lambat laun berpikir untuk pulang, katamu
dulu?"
"Ya, memang. Tapi aku selalu menundanya."
"Apa yang menahanmu di sini ?"
"Apa yang menahanku ... aku sendiri tidak tahu
betul." Aku tambah lama tambah diganggu oleh
pertanyaan : "Di mana tempatku"
"Di negeri Belanda, mungkin."
"Ya. mungkin. Tapi masa silamku yang jauh dan
asing itu membuat aku di negeri Belanda selalu
merasa seperti orang asing juga. Aku tidak punya
siapa-siapa di sana yang berbagi masa silam
denganku. Mereka juga mengatakan kepadaku: Kau
satu kasus tersendiri. Kau tinggal di tengah kami,
namun demikian kau tidak seluruhnya seperti kami?
? Kautahu apa yang aku inginkan ?"
"Apa?"
"Aku ingin menemukan kembali di sini sesuatu
dari orang tuaku. Suatu kuburan bersama, di mana
juga adikku laki-laki dan adikku perempuan
terkubur. Jika ada kubur semacam itu. di mana aku
bisa berdiri menghadapinya dan aku dapat berkata :
"Inilah aku. Inilah puteramu, yang kembali ke mari
untuk menyampaikan salamnya..." mungkinlah aku
mempunyai perasaan bahwa aku di sini melakukan
apa yang harus dilakukan. Tapi kuburan seperti itu
tidak ada. Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi
dengan tubuh mereka."
"Aneh pikiranmu itu. Kau mencari sesuatu yang
justru aku jauhi sampai ke ujung dunia. Jika aku
memikirkan apa yang terjadi dengan tubuh orang
tuamu dan kedua saudaramu ..."Teriakan Kakatua Putih
75
Waktu itu dari benteng kedengaran letusan
meriam tengah hari; dari salah satu baluarti
perlahan-lahan naik asap putih ke udara. Kami
berdua memandanginya.
"Apakah kau sudah pernah pergi ke benteng?
Eveline bertanya. Dan ketika aku tidak menjawab, ia
meneruskan: "Kau tidak akan menemukan lagi
tubuh mereka di sana, tapi paling tidak kau telah
mendekatinya sedekat mungkin,"
Aku berpikir sejenak. "Apakah kau pernah
masuk ke dalam ?"
"Aku ? Tidak. Aku tidak berani. Apa yang kau
ceritakan dan cerita-cerita sersan yang dibawa oleh
anak-anak ke rumah, cerita-cerita itu sudah cukup
memburu-buruku. Tapi buat kau mungkin ada
baiknya. Semacam penutup." Dan sesudah hening
sebentar: "Barangkali kalau kau pergi ? ya, aku juga
berani pergi. Kau suka kita pergi bersama-sama?"
Rasanya seperti kami sedang sekongkol.
Miriam masuk membawa kopi. "Kopinya enak,
lho," kata Eveline dan dia mengangguk sekali lagi
kepada Miriam, yang berhenti di pintu
mengharapkan kata pujian.
"Sudah jam dua belas ... apakah kau tidak pulang
untuk makan siang?" tanyaku.
"Kami baru makan jam satu, kau tahu bukan?
Lagipula ... Pieter hari ini harus turne."
"O. Karena itu kau berani datang kemari ?"
"Jangan mengatakan yang setolol itu. Pieter
sendiri yang menginginkan supaya aku
membawamu dari sini; ia akan menggerutu kalau iaJOHAN FABRICIUS
76
mendengar bahwa aku tidak berhasil. ? Nah,
apakah kita pergi atau tidak ?"
"Sekarang, maksudmu ?"
"Ya, sekarang."
"Tapi dalam keadaanmu seperti ini? Sedang
matahari terik sepanjang pantai ..."
"Kita kan tidak perlu jalan kaki kesana? Kita
naik dokar sampai di bawah tangga. Lalu kau
menolong aku naik ke atas."
Dia berdiri dari kursinya dan sudah berjalan
mendahuluiku ke kereta, yang menunggu kami di
bawah pohon yang teduh. Yonathan yang muncul
entah dari mana, memegang kuda sementara aku
menolong Eveline naik kereta. Eveline merasa
bangga, bahwa dia sendiri memegang tali kendali,
meskipun agak sukar baginya karena perutnya yang
membesar. Orang hanya sedikit di jalan, tapi aku
merasa pasti bahwa dalam sejam saja seluruh
Saparua akan tahu: "Nyonya Residen pergi ke
benteng bersama tuan dari negeri Belanda, yang
dahulu pernah tinggal di sini sewaktu kecil"
Tidak ada anak-anak bermain di tanah lapang
seperti biasanya. Prajurit jaga yang duduk di
gerbang tertidur telentang dalam kursi goyangnya
dengan senapan di antara lututnya la baru
mengangkat kepala ketika kami turun dari kereta
dan mengikatkan kuda kepada cincin besi di tembok,
la terheran-beran melihat kami ? dengan susah
payah karena adanya Eveline ? naik tangga.
Sesudah ragu-ragu sebentar ia berdiri dan mencoba
tegak memberi hormat di depan Nyonya Residen.
"Apakah tuan datang untuk bertemu denganTeriakan Kakatua Putih
77
sersan?" tanyanya kepadaku. "Mereka semua sedang
di belakang, makan di dapur."
"Kami tidak perlu bertemu dengan sersan."
kataku.
Di belakang gerbang kami menyeberangi lagi
sebuah lapangan. Dengan untung-untungan kami
berjalan melalui gang. Kami masuk sebuah ruangan,
di mana ada beberapa bangku istirahat. Jas-jas
seragam dan baju-baju wanita tergantung pada paku
di tembok. Barang-barang berantakan. Di pojok
beberapa senapan, dengan bayonet-bayonet dan tas
tas selongsong peluru bergelantungan. Di salah satu
bangku duduk seorang anak kecil tidak berbaju yang
memandangi kami dengan mata terbuka lebar. Ia
baru meraung ketika kami masuk kamar yang
bersebelahan dengan ruangan. Di situ tidak ada
orang. Ruangan kosong. Papan-papan berderak
derak kosong di bawah kaki kami. Aku tegak berdiri.
"Disinilah terjadi peristiwa itu," kataku.
Eveline hampir-hampir tidak berani bernafas
"Di sini ?" bisiknya. "Bagaimana kautahu?"
"Aku tahu pasti Nun, di sudut sana, separoh
badannya dibelakang peti, di situlah ibuku berdiri,
mendekap adikku; dengan tangannya yang sebelah
lagi dia melindungi adikku laki-laki. Aku melarikan
diri kepada ayahku, yang terbaring di bangku dalam
keadaan luka."
Eveline menunggu apakah aku akan
mengatakan sesuatu lagi. Ketika aku berdiam diri,
dipegangnya tanganku. Tangannya sendiri dingin;
kukunya masuk ke dalam dagingku.JOHAN FABRICIUS
78
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Marilah kita pergi lagi. Kau sudah melihatnya."
Aku tidak dapat bergerak dari tempatku berdiri. Aku
memandang berkeliling. Di sudut sana. Matahari
yang menyinar ke dalam melalui jendela-jendela
yang tinggi membuat sudut itu benderang; sedang
aku memejamkan mataku karena silau seekor
kakatua putih menggelepar terbang menyongsong
hitamnya malam, mengeluarkan teriakan yang tajam
menusuk udara. Di tengah keheningan malam nnak
kecil menangis menghiba-hiba.
"Marilah," desak Eveline; ditariknya tanganku.
Aku pusing sejenak. Ketika mata kubuku kembali,
kulihat wajah Eveline yang pucat pasi.
Apakah prajurit jaga memberitahukan
kedatangan kami? Sersan Riemers masuk.
"Sekiranya anda memberitahu lebih dahulu, tentu
saya dapat membuat persiapan ... Tapi anda sudah
menemukan jalan anda, saya lihat." la membuat
gerak tangan seolah-olah memperlihatkan sesuatu
yang menarik hati. "Inilah kamarnya. Selebihnya tak
nampak apa-apa lagi. Tak ada bekas-bekas, kecuali
barangkali ..."
"Nyonya merasa tak enak badan," kataku.
Eveline pulih kembali kekuatannya dalam
perjalanan sebelum dia tiba di rumah. Aku tak perlu
merisaukannya katanya. Tapi tiga hari kemudian
kedua orang anaknya berlari-lari masuk kamarku
pagi-pagi sekali. Ibu mereka telah melahirkan, anak
nya perempuan, tapi mereka tidak akan bisa
bermain-main dengannya, karena Tuhan Maha
Pemurah segera mengambilnya kembali ke sorga.
"Bagaimana keadaan ibumu ?" tanyaku.Teriakan Kakatua Putih
79
"O. dia berbaring di tempat tidur: dia sakit." Rob
menjelaskan acuh tak acuh. Ia sedang mengenakan
celana renangnya : air memanggil.
Aku masih bercelana tidur dan baju gunting
cina dan cepat-cepat berganti pakaian. Dalam
perjalanan ke rumah Residen aku bertemu Miriam.
yang mendengar kabar itu di pasar. Residen sempat
menyuruh panggil pendeta Latupauw untuk
membaptis anaknya, sebab anak itu masih bernafas
sebentar, tapi sudah terlambat.
Residen duduk bertopang dagu di meja di
serambi belakang. Ketika ia menengadah, kulihat
matanya basah; tidak kusangka. Disapunya
airmatanya dan ia berdiri. Ia mencoba mengambil
sikap yang wajar. Aku tidak boleh menyaksikan
kelemahannya.
"Bagaimana keadaan Eveline?" tanyaku "Ya, apa
yang akan terjadi dengan dirinya. Anda tidak
bijaksana dengan memintanya mengantarkan anda
ke benteng." Ketika aku berdiam diri, ia melanjutkan
"Apa yang dahulu terjadi di situ, memang sudah
memburu-burunya. Malam hari ia kadang-kadang
tidak bisa tidur. Dia membanding-bandingkan
keluarga kami dengan keluarga anda dahulu. Apakah
itu tidak pernah diceritakannya kepada anda. Dia
sendiri merasa pasti bahwa anak kami yang
keempat tidak akan hidup, seperti ..."
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Dia sedang tidur."
Kedengarannya ia kesal. Aku tidak dapat
berbuat lain dari mengucapkan semoga lekas baik
bagi isterinya dan pulang. Aku merasa sayang kalauJOHAN FABRICIUS
80
Eveline juga menyalahkan aku sebagai orang yang
bertanggung jawab akan kematian bayinya.
Penyesalan suaminya kurasa kurang adil;
sebelumnya Eveline juga sudah sangat labil,
sebenarnya sudah semenjak aku mengenalnya. Tapi
tentu jaja aku kemudian menyesal juga telah pergi
bersama dia melihat kamar itu, yang menimbulkan
obsesi pada-nya dan padaku juga.
Aku berniat tidak akan memperlihatkan diri lagi
di rumah Residen, sampai Eveline sendiri
menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku.
Sesudah kira-kira seminggu kudengar dari anak
anaknya bahwa dia sudah bisa berjalan lagi dan ?
berita besar! ? bahwa dia dengan anak-anaknya
Suzi akan pergi ke negeri Belanda selama setengah
tahun untuk memulihkan kesehatannya sama sekali.
Anak-anak akan tinggal selanjutnya di negeri
Belanda dan masuk sekolah sungguh-sungguh
seperti semua anak-anak di sana !
Pada suatu hari Eveline sudah berdiri lagi di
depan pintuku. Dia masih sakit nampaknya dan
bersikap gembira dibuat-buat. "Aku kira kau akan
datang menjengukku," katanya.
"Aku rasa suamimu tidak begitu senang lagi
dengan kunjunganku."
"Apakah Pieter melarangmu datang?
Maafkanlah ia, sebab ia sungguh menderita.
Bagaimana nanti jadinya kalau aku sudah pergi,
sedang ia masih tinggal di sini setengah tahun atau
barangkali lebih lama seorang diri ?"
"Barangkali lebih lama ?"
"Aku mau sembuh betul-betul."Teriakan Kakatua Putih
81
"Maksudmu, sekarang pun kau enggan untuk
kembali ke mari ?"
Eveline hanya menarik nafas panjang. "O, aku
lupa mengatakan kepadamu: sebenarnya aku datang
untuk pamitan."
"Kapan kaupergi?"
"Besok."
"Besok ?"
"Kau akan kehilangan aku?"
Tentu saja."
Dia cepat-cepat mengalihkan percakapan. "Di
Ambon ada kapal baru datang dan akan kembali ke
pulau Jawa. Apa gunanya kami lebih lama tinggal di
sini setelah mengambil keputusan untuk berangkat.
Sudah waktunya bagi Rob dan Heince untuk mencari
sekolah yang baik."
Kami hening seketika.
"Kau payah melahirkan?" tanyaku?
Dia mengangkat bahu dengan murung.
"Pengalaman itu tidak enak. Tapi aku sudah tahu
selama itu bahwa anakku tidak akan hidup, sama
seperti .... Sekarang persamaannya cocok betul."
Aku hendak mengatakan bahwa pikirannya itu
dicari-cari, tapi dia tidak memberiku kesempatan
untuk itu.
"Baiklah, aku pulang. Di rumah orang sedang
berbenah Anak-anak juga ikut membantu. Dan tentu
saja opas dan jongos dan yang lain-lain. Mari, aku
cium kau, ciuman perpisahan."
Dia memelukku dan menciumku. Sesudah itu
dia tertawa tidak luput dari perhatiannya bahwa aku
menoleh sejenak ke arah dapur.JOHAN FABRICIUS
82
"Biar saja mereka melihat. Aku kan pergi dari
sini? Dan menjelang aku tiba di negeri Belanda, kau
pun sudah tidak ada di sini, bukan ?"
"Suamimu Residen di sini, Eveline."
"Ah, apa peduli kita kalau orang-orang Inlander
itu ngoceh."
"Pasti ada akibatnya. Dan kau tidak boleh bicara
begitu tentang orang-orang di sini."
"Kau suka sekali kepada mereka, aku tahu. Tapi
aku tidak suka orang-orang ini. ? Kau datang
besok?" tanyanya, nada suaranya ringan. "Kami pagi
pagi sekali dijemput dengan orembai."
"Tentu saja. Pasti aku datang mengantar kalian.
Dan selama aku di sini, aku sekali-sekali akan
mengunjungi Pieter, suku atau tidak suka ia
kepadaku."
"O, pasti ia akan senang."
"Dan kirimilah aku berita tentang dirimu dan
anak-anak:
"Tentang anak-anakku. maksudmu?"
Ia tertawa lagi kepadaku. Kuantar ia ke dokar
yang sedang menunggu. Secara main-main dia
melecutkan cemeti ke arahku; aku melompat ke
samping.
Keesokan harinya nirmalanya membanjir. Aku
berharap sedikitnya dia akan mau bersalaman
dengan Yob, opas polisi yang setia itu: laki-laki yang
baik itu dengan sigap berdiri tegak dan pasti
mengharap-harap uluran tangan, tapi Eveline
melihatnya pun tidak, aku kira. Jongos, bersama
sama dengan Opas telah kembali membawa barang
barang ke kapal dengan orembai dan kini berdiriTeriakan Kakatua Putih
83
tanpa bergerak memandang dari kejauhan. Agak
lebih jauh lagi berdiri babu, tukang kebon dan koki
bergerombol tanpa sepatah kata. Pieter yang akan
menemaninya ke Ambon, sudah bersikap Residen
lagi. "Mengapa kau menangis?" tanyanya kurang
senang. "Kau kan ingin pulang ke negeri Belanda ?"
Eveline tidak menjawab. Dia memandang
kepadaku seolah mengharapkan pengertian padaku
untuk perasaannya pada saat itu.
Anak-anaknya bersorak-sorak karena gembira.
"Apakah ada es dan salju bila kami tiba di negeri
Belanda?" tanya Rob kepadaku. "Kalau begitu kami
bisa meluncur di atas es !" Dan kepada Opas: "Di
negeri Belanda dingin sekali sehingga orang bisa
jalan di atas air. Percaya tidak?"
"Percaya, Nyo," jawab Opas dengan senyum
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah.
Aku berikan alamat anakku perempuan kepada
Eveline. "Apakah akan aku katakan bahwa kau juga
akan lekas pulang?" tanyanya sementara orembai
sudah merenggang dari daratan. Dan ketika aku
mengangguk, katinya: "Kamu dengar anak-anak? Om
Jan juga akan lekas pulang. Om Jan akan membantu
kalian membuat boneka salju."
"Betul, om ?"
Pikiran itu berkesan juga padaku. Pikiran
kepada iklim Belanda yang dingin dan segar ? aku
menarik nafas panjang-panjang. Terbayang di depan
mataku anak-anak itu, yang sekarang pucat seperti
semua anak-anak di khatulistiwa, dengan pipi merah
padam berlari-larian di dalam salju. Eveline yangJOHAN FABRICIUS
84
segar dan gembira, penuh daya hidup seperti hanya
sekali pernah kulihat di sini.
Ketika orembai ? sebuah layar yang besar,
terkembang ditiup angin, putih bersinar kena
matahari pagi ? menghilang di tikungan Paperu,
aku memandang keliling dengan nanar Opas, jongos
dan pelayan-pelayan lain, berjalan lesu menuju
rumah Residen yang kosong. Terkilas dalam
benakku, bahwa akulah, di samping sersan Riemers,
satu-satunya orang kulit putih di pulau. Aku tahu
bahwa aku boleh merasa aman, pun sekiranya
benteng itu tidak dijaga.
"Mengapa sebenarnya kita terus saja bertuan
antara kita berdua? Eveline sudah dari semula kau
sebut pada namanya," kata Pieter, ketika aku
mengunjunginya sesaat setelah ia kembali dari
Ambon. Nampaknya ia senang dengan kunjunganku.
Kami malam itu bercakap-cakap tentang Eveline dan
anak-anak. "Kesehatannya akan pulih di negeri
Belanda," katanya. "Sebenarnya dia tidak cocok
tinggal di khatulistiwa." Dan setelah hening sejenak:
"Kalau bayi itu meninggal, tentu saja bukan karena
kau pergi bersama dia ke benteng. Memang hari itu
aku katakan demikian kepadamu, tapi ya, peristiwa
itu baru saja terjadi dan ... Sebaiknya kalian tidak
pergi ke sana. Selama dia hamil dia memang sudah
kehilangan keseimbangan batin. Kau merupakan
pembantu baginya ... sering dia menyalahkan aku
karena tidak memberikan perhatian kepadanya,
sedikitnya, kurang perhatianku kepadanya. Ketika
pada suatu waktu antara kalian ada keretakan ... dia
sungguh kebingungan ... bahkan aku kadang-kadangTeriakan Kakatua Putih
85
bertanya apakah dia telah jatuh cinta kepadamu?" la
memandang kepadaku dan nampaknya puas setelah
aku mengangkat bahu dengan ironis. "Ya, memang,
wanita itu makhluk yang aneh. Kau tentu saja
semacam ayah baginya, apa yang sesungguhnya dia
perlukan dan yang tidak ditemukannya padaku"
"Aku kasihan kepadanya," kataku, untuk
menghilangkan segala kecurigaannya yang tidak
beralasan.
Ia mengangguk. "Aku kira juga memang begitu.
"Akan berat juga bagimu yang setengah tahun
itu." kataku. "Dari satu pihak memang, dari pihak
lain tidak. Sebelumnya juga tidak mudah bagiku.
Sekarang aku dapat mempergunakan waktu malam
hari untuk melakukan pekerjaanku tanpa gangguan.
? Apakah kautahu bagaimana pandangan orang
disini terhadap diriku? Maksudku, apakah aku
dihargai sebagai Residen ?"
"Dihargai memang." kataku, "orang tahu bahwa
kau melakukan tugasmu dengan rajin dan cermat.
Tapi kau terlalu menjauhi mereka."
Aku melihat ia hendak membantah
perkataanku, tapi ia memasang kupingnya, dengan
kepala tertunduk, sehingga aku meneruskan:
"Cobalah kau sekali-sekali berkunjung kepada
seorang raja atau seorang kaya tua, begitu saja,
bukan untuk urusan dinas. Undanglah mereka ke
rumahmu dan biarkan mereka bicara. Barangkali
kau akan banyak mendengar tentang daerah
keresidenanmu, hal-hal yang tidak kautahu
sekarang."JOHAN FABRICIUS
86
"ltu bukan sifatku. Aku bukan orang yang
ramah," katanya. "Tapi kalau kau merasa ada
baiknya aku sekali-sekali turun ke bawah, bergaul
dengan orang-orang itu"
Aku tidak dapat menahan tawaku. "Turun ke
bawah? Kalau kau anggap kau turun ke bawah, lebih
baik jangan. Yang penting ialah kecintaan mereka,
kepercayaan mereka. Menurut hematku itu lebih
berharga dari kekuasaan yang kau anggap perlu
dengan mempertaruhkan keselamatanmu."
Ia berdiam diri. Aku merasakan kegoyahan
batinnya. Apakah ia yang suka bersikap otoriter itu,
memerlukan bantuan seorang perempuan, dalam
keadaan dururat? Aku menyadari bahwa aku
bertambah senang dengannya. "Sering-seringlah
mampir." katanya. ketika aku pergi. Nadanya
hampir-hampir memohon. "Bagimanapun Juga, di
pulau ini hanya tinggal kita berdua saja orang kulit
putih. O..ya. dan sersan itu."
Aku tahu bahwa ia tidak menghargai Riemers.
Boleh jadi memang beralasan. Meskipun demikian,
ada baiknya jika ia sekali-sekali berkunjung ke
benteng, dan tidak selalu mengambil jarak sebagai
orang besar : Tuan Residen.
Aku berjanji akan mampir lagi dalam waktu
dekat. la merasa takut dalam rumahnya yang besar
dan sekarang sepi, dengan tiang bendera dan
bendera Belanda merah-putih-biru di puncak.
Hari sudah malam. Bulan tidak nampak dan di
bawah pohon-pohon gelap gulita, sehingga waktu
pulang ke rumah aku tidak mengambil jalan biasa di
darat, tapi menyusur pantai yang disinari bintangTeriakan Kakatua Putih
87
samar-samar. Tiba di Way Asil, aku tegak berdiri,
memasang kuping. Apakah ada suara-suara di
tengah malam seperti yang selalu dikatakan orang?
Aku tidak mendengar apa-apa. Hempasan ombaklah
yang sekali-sekali berdesir sebentar, tapi itu hampir
hampir tidak bisa disebut hempasan ombak.
Sedang aku duduk seorang diri di pantai itu, aku
merasakan lebih kuat lagi hubunganku dengan pulau
itu dan penduduknya. Oleh Eveline, oleh anak
anaknya, aku beberapa waktu ditampung dalam
dunia orang kulit putih yang terasing ? sekarang
aku bergantung pada diriku sendiri. Negeri Belanda
rasanya jauh sekali ... tidak terjangkau ... Dingin dan
gelap ... Apakah aku demam ? Lebih baik aku pulang,
tidur ... Tapi aku masih berdiri. Dari belakang kaki
langit muncul awan gelap bergumpal-gumpal,
menyusur rendah di permukaan laut dan menelan
beberapa bintang yang tersebar di angkasa, satu
satunya cahaya dalam kegelapan ini ialah cahaya
lentera di atas pintu gerbang benteng nun di sana.
Beberapa tetes air jatuh ke bumi. Kuangkat
tanganku untuk mendinginkannya, tapi tetesan
tetesan itu suam-suam kuku rasanya, hampir
hampir panas. Hembusan angin keras mendadak
menubruk puncak-puncak pohon kelapa: sebuah
dahan mati patah dan jatuh mengjemek ke bawah
Hempasan gelombang tiba-tiba bersuara, disana-sini
kedengaran pecahan ombak, putih samar-samar di
gelap malam, membentur batu, sepotong kayu kapal
karam yang terdampar. Setelah itu hening kembali;
alam seakan-akan beberapa saat menahan nafas.
Kemudian hujan turun hiruk pikuk.JOHAN FABRICIUS
88
Basah kuyup aku tiba di rumah. Dengan
gemetar kubuka pakaian, kukeringkan badan,
dengan kekuatan tersisa kukenakan celana,
kemudian kuhempaskan badan ke balai-balai. Aku
demam; gerahamku gemeletuk, sementara kudengar
hujan lebat di luar, hujan lebat khatulistiwa. Orkes
gegap gempita, hitam pekat, dijalin lagu senada,
turun naik, turun naik.
"Bagaimana perasaan tuan sekarang?" Yonathan
berdiri di samping balai-balaiku : di belakangnya,
dekat pintu, muncul bayangan Miriam. Mereka
memandangku dengan kuatir.
Pertanyaan itu belum masuk benar ke dalam
benakku.
"Tuan sakit, tuan," kata Miriam.
Sakit? Aku sakit? Kuhapus keringat dari mataku
dengan tanganku. Aku bermimpi. Mimpi
menakutkan. Kemudian semuanya mengabur.
Pada saat yang lain seorang perempuan tua
membungkuk di atasku. Mulutnya yang ompong
menggumamkan sesuatu yang aku tidak mengerti;
tangan yang kurus dan licin membelai pelipisku;
kuhirup bau harum yang aneh. Bau itu kemudian
menghilang; hanya tinggal harumnya.
"Kau di situ, Yonathan?"
"Ya. tuan, Saya di sini."
"Tolong beri aku minum. Aku haus."
"Ini tuan. Ini minuman."
Disangganya bahuku, didekatkannya segelas teh
dingin ke bibirku. Kuminum teh itu dengan bernafsuTeriakan Kakatua Putih
89
sampai habis, kemudian aku berbaring kembali
kehabisan tenaga
Ketika aku bangun lagi, aku merasa diriku lesu,
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi tenang, tak payah lagi. Apa yang terjadi dengan
diriku ? Ke mana aku pergi ? Aku mencoba bangun.
Semuanya menjadi gelap dalam mauku; di tepi balai
balai aku duduk, menunggu sampai merasa kuat
untuk berdiri dan sambil berpegang di sana sini, aku
berjalan dari serambi muka mencari kursi malasku.
Laut. Aku menjadi tenang; laut masih ada. Kulihat
laut; luas, terang terbentang di depanku. Kudengar
hempasan ombak, bunyinya lebih keras dari
biasanya ? apakah angin keras berhembus di
malam panjang kemarin ? Aku masih hidup. Ketika
aku mendudukkan diri di kursi malas, ada orang
memberiku salam dari pantai: "Tabe tuan" Beberapa
orang nelayan. Kuangkat tanganku tinggi-tinggi.
"Banyak tangkap ikan !"
"Yonathan!"
Teriakan gembira: "Ya, tuan! Sudah baik, tuan?"
"Sudah. Apa yang terjadi dengan diriku ?"
"Tuan sakit demnm, tuan. Panas sekali. Tuan
memanggil-manggil dan berteriak. Kami datangkan
dukun. Dukun mengobati tuan. ? Tuan mau
makan?" tanya Miriam, yang juga keluar
mendekatiku.
"Nanti, Miriam. Sekarang aku hanya ingin
berbaring tenang dan memandang ke laut."
Pieter yang rupanya diberitahu, datang
menjengukku. "Serangan malaria. Aku punya kinine"
Obat itu pahit.JOHAN FABRICIUS
90
Sehari kemudian aku sudah dapat lagi berjalan
jalan di pekarangan. Apakah anak-anak Eveline ada
di sana? Tidak, mana mungkin ? itu hanya teman
teman mereka anak Maluku. "Selamat siang tuan.
Tuan habis sakit?"
"Ya, tapi aku sudah baik, sekarang. Tentu kalian
kehilangan, kehilangan Rob dan Heince ?"
"Apakah mereka sudah sampai di negeri
Belanda, tuan ?"
"Belum, masih lama. Negeri Belanda jauh, jauh
sekali. Sekarang mereka kira-kira baru sampai di
Jawa, kalau angin baik. Di Betawi atau Surabaya
mereka menunggu kapal ke negeri Belanda. Kapal
itu kapal uap. bukan kapal layar. Kalian sudah
pernah mendengarnya?"
"Kapal tanpa layar, tuan?" Mereka
memandangku tidak percaya.
"Nanti kujelaskan."
"Tanpa layar, bagaimana mungkin, tuan ?"
"Aku sungguh merasa sayang kalau kau
berangkat dari sini, namun aku menganjurkan
kepadamu, untuk kembali ke negeri Belanda. Di sini
penyakit malariamu itu tidak akan hilang," kata
Pieter, yang memberiku kinine lagi dan
membacakan beberapa kalimat dari surat yang baru
diterimanya dari Eveline; surat itu adalah yang
pertama sejak ia mengantarkan Eveline ke kapal
?Zuster Aleida?. Nadanya gembira; perjalanan ke
Surabaya menyenangkan sekali, semua berlaku baik
kepadanya, juga kapten kapal, seorang pelaut tua
berpengalaman. Dia sudah hampir sembuh samaTeriakan Kakatua Putih
91
sekali dan sebenarnya tidak begitu perlu lagi ke
negeri Belanda !
"Dia tidak perlu lagi ke negeri Belanda ... tapi dia
tidak bicara tentang kembali ke mari." kata Pieter
dengan nada getir dalam suaranya.
"Anak-anak harus sekolah di sana, jangan kau
lupa"
"Ya, memang. Kapan kau berangkat? Kapal yang
membawa surat itu masih beberapa hari berlabuh di
Ambon sebelum berlayar kembali ke Jawa."
"Kau pikir aku harus cepat-cepat pergi ? Apakah
keadaanku begitu buruk?"
"Kalau aku mau jujur, ya. Aku kuatir tentang
keadaanmu"
"Bagaimanapun juga, aku tidak bisa ikut kapal
itu: masih ada hal yang harus kuselesaikan di sini.
Sebenarnya dua hal. kalau kutambah pula janjiku
kepada perempuan di Tuhaha itu untuk
mengunjunginya lagi. Kau ingat? Perempuan yang
datang mengunjungiku dulu?"
Ya. Pieter masih ingat. Waktu itu aku meminjam
Liza sehari.
"Betul. Tapi ada dua orang perempuan yang
menemukan aku di benteng dulu dan merawatku di
rumahnya. Yang seorang lagi bernama Magdalena,
dia tidak di pulau ini lagi, tapi di Kailolo, di Oma."
"Bagaimana caranya kau ke sana ?"
"Barangkali ada nelayan di sini yang akan ke
sana."
Picter berpikir. "Ada beberapa surat dinas
untuk Residen Oma dan dalam beberapa hari ini akuJOHAN FABRICIUS
92
akan mengirim perahu ke sana. Kalau kau mau, akan
kuuruskan supaya kau bisa ikut."
"Baik sekali. Terima kasih."
"Eveline kirim salam," katanya lagi sebelum
berangkat. Jelas bahwa ia harus memaksa diri untuk
menyampaikan berita itu. "Dan di bawah surat itu
Suzi kirim cium untukmu. Kau boleh lihat."
Ditutupnya dengan tangan beberapa kalimat
akhir dari Eveline yang tidak ditujukan kepadaku.
Kubaca: kirim cium dari Suzi untuk om Jan.
Aku kira Eveline juga mengirimkan jabatan
tangan untukku.
Petrus adalah pemilik perahu. Menurut
perkiraanku seumur denganku, atau mungkin lebih
tua sedikit. Kepalanya hitam dibakar matahari
disertai janggut putih. Ahli bercerita. Sementara
kami dengan tenang berlayar di muka angin, aku
mendengar cerita-certa tentang Maluku jaman dulu
dan tentang Matulesia, tentang pelaksanaan
hukuman di lapangan Benteng Viktoria di Ambon.
"Seluruh penduduk Ambon keluar untuk melihatnya.
Bahkan orang datang dari Seram, Oma dan tentu
saja dari Honimoa; ribuan orang berdesak-desakan
sekitar lapangan tiang gantungan, dibelakang
barisan soldadu Kompeni. Bersama-sama dengan
Matulesia akan digantung Anthonius Rhebok,
Philippus Latumahina dan Sayad Printa. Sekitar
orang hukuman berdiri guru-guru agama ? guru
guru sekolah ? dan menyanyikan mazmur.
Kemudian hening Petrus membuat gerak tangan
seolah-olah hendak menghentikan gelombang laut ...Teriakan Kakatua Putih
93
"Setiap orang hendak mendengarkan putusan yang
dibacakan oleh opsir Belanda itu. Hening pun
sejurus ... genderang mulai dipukul dengan
kecepatan yang sama, terus-menerus tiada hentinya.
Latumahina menaiki tangga sebagai orang pertama;
ia perlu dibantu, badannya begitu gemuk dan berat.
Terlalu berat untuk tali jerat yang putus ketika
tangga ditarik dari bawah kakinya; ia jatuh di atas
tanah; karena kerasnya bunyi genderang bunyi
jatuhnya tidak kedengaran. Ia segera didorong lagi
ke atas, dibuatkan jerat baru; yang kedua kalinya
berhasil. Sesudah itu Sayad Printa ? genderang
menggeletar. Anthonius Rhebok, anggota salah satu
keluarga yang paling tua di Honimoa. Genderang
menggeletar. Sebagai yang terakhir menyusul
Thomas Matulesia. Tadinya ia terpana ketika
putusan dibacakan dan ia mendengar bahwa
tubuhnya akan dimasukkan ke dalam kerangkeng,
kemudian ditarik ke puncak tiang untuk menjadi
peringatan bagi setiap orang yang berani melawan
Kompeni. Bunyi genderang tiba-tiba berhenti dan
dalam keheningan yang turun di atas lapangan dan
manusia yang berkumpul, Matulesia
memperlihatkan bagaimana ia mengangkat dirinya
di atas penghinaan yang dilakukan orang terhadap
dirinya. Dengan suara nyaring, seolah-olah supaya
didengar sampai ke luar pulau-pulau, ia
mengucapkan selamat kepada algojo-algojonya.
"Matulesia yang menghadapi kematian !"
"Bukan begitu," kata David, pembantu Petrus
yang berusia tiga belas tahun.
"Bukan begitu? Menurut kau bagaimana?*JOHAN FABRICIUS
94
"Ucapan selamatnya bukan ditujukan kepada
orang-orang Belanda, kepada "tuan-tuan", tapi
kepada rakyat yang berkumpul," kata anak itu. Ia
berteriak: "Selamat tinggal, saudara-saudara !"
Petrus tua memandangku sambil tersenyum.
"Biarlah demikian peristiwa itu hidup dalam
ingatan manusia selanjutnya."
Orang Belanda telah menghukumnya untuk
selama-lamanya. Tapi burung camar dan burung
gagak lain pula pandangannya. Mereka masuk ke
dalam terali dan memakan pahlawan yang kalah itu.
Hujan, matahari dan angin menyelesaikan pekerjaan
mereka; akhirnya tulang belulang jatuh ke bawah
dan tinggallah kerangkeng yang kosong tergantung
di sana. Sampai tiba waktunya kerangkeng itu pun
rusak dimakan karat dan tinggallah lagi ingatan
orang kepada pemberontak agung itu. Tapi juga
ingatan untuk selama-lamanya. Nama Matulesia
akan hidup terus, juga apabila orang Belanda tidak
ada lagi di Maluku.
Aku senang bahwa orang tua itu begitu bebas
bicara di depanku. Sesudah selesai ceritanya, ia ingin
pula aku menceritakan sedikit tentang negeri dingin
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang jauh itu. negeri tempat asalku. Di mana es jatuh
begitu saja dari langit dan di mana air membeku
sampai orang bisa berjalan di atasnya. Berapa lapis
baju harus dipakai orang supaya tetap merasa
panas? Benarkah bahwa matahari tidak pernah
bersinar di sana? Dan kalau semua orang Belanda
jadi tuan dan nyonya, siapa yang memasak untuk
mereka dan mengerjakan pekerjaan kotor? Apakah
ada Belanda yang jadi pelayan?Teriakan Kakatua Putih
95
Pembantu Petrus mengeluarkan tabung kaleng
dari bawah geladak kapal dan mcngulurkannya
kepadaku.
"Coba tuan lihat melalui tabung ini ke dalam
laut, tuan."
Dimasukkannya bagian bawah tabung itu ke
dalam air dan ia mengisyaratkan kepadaku untuk
membungkuk di atasnya. Aku menurut dan di depan
mataku nampak taman ajaib di dalam laut. Hutan
batu karang yang disinari matahari dengan
tetumbuhan yang bergoyang perlahan-lahan, di
dalamnya berkeliaran ikan-ikan yang bentuknya
penuh liku lekuk, masuk menyelusup ke dalam
lubang dan kemudian keluar lagi.
"Indah sekali" bisikku.
"Apakah di negeri tuan juga ada taman-taman
seperti itu tuan?"
Tidak. Petrus, taman-taman di bawah laut
seperti itu, tidak ada di sana."
"Orang bilang adanya hanya di Maluku dan
tidak ada di mana-mana di seluruh dunia.
Sebenarnya taman-taman itu juga bukan untuk kita
manusia. Kita tidak bisa melihatnya dengan mata
telanjang; kita akan lewat saja di atasnya tanpa
pikiran. Tuhan telah menciptakannya sebagai
tempat bermain untuk ikan-ikan. Tapi kita manusia
cerdik: kita melihat bahwa kita juga bisa
menikmatinya. Mudah saja, tuan lihat sendiri.
Sepotong kaleng yang bisa mendekatkan
pemandangan di dalam laut!"
Petrus dan anak itu tertawa, karena aku belum
juga puas-puasnya melihat pemandangan yangJOHAN FABRICIUS
96
mempesona di bawah sana. Taman itu menghilang
lagi, tenggelam perlahan-lahan ke lubuk yang biru.
Aku masih melihat ikan, besar dan kecil. Seekor
belut melingcar-lingkar, warnanya sawomatang.
Ikan kopor berduri ? pikiran aneh Sang Pencipta.
Terenjit-enjit ia menjauh; cepat sekali.
Di selat antara Honimoa den Oma kami berlayar
mengikuti arus; lagipula layar ditiup angin Tenggara,
sehingga perahu kami meluncur cepat di dalam air.
Meskipun demikian panas udara hampir-hampir
tidak tertahan : segala yang disentuh demikian
membara, sehingga tangan cepat-cepat ditarik
kembali. Selama matahari berada di ubun-ubun juga
tidak mudah untuk mencari tempat yang teduh. Aku
mengamat-amati dengan tajam tirai menggigil yang
tergantung di atas laut. Sekali-sekali sekawanan ikan
terbang muncul di atasnya, kemudian tirai itu
mengabur seakan-akan tidak pernah ada.
"Coba ceritakan juga tentang gadis yang cantik
jelita itu. Petrus," kataku. "Kristina Martha ? begitu
namanya, bukan ?"
Orang tua dan anak laki-laki itu saling
berpandangan.
"Apakah tuan juga telah mendengar tentang dia,
tuan?" tanya Petrus.
"Aku mendengar bahwa dialah jiwa
pemberontakan itu,"
"Ya. demikianlah kata orang."
Kemudian orang tua itu berdiam diri; si anak
laki-laki berkata :
"Dia mati karena kesedihan dan orang-orang
Kompeni melemparkan mayatnya ke dalam laut."Teriakan Kakatua Putih
97
Aku tahu. Aku ingin mendengar lebih banyak
tentang dirinya. tapi sesudah penolakan diam-diam
itu aku tidak bertanya lagi tentang tokoh gadis
penuh rahasia itu, yang rupanya kenangan
kepadanya harus dengan hati-hati disembunyikan
terhadap orang luar.
Setelah agak petang udara berkurang panasnya;
matahari turun di balik gunung dan Petrus mencari
tempat terlindung di pantai Oma, di mana tidak ada
bahaya kami akan dihanyutkan arus di malam hari.
Kami berada kira-kira seratus meter dari
perkampungan di pantai: hanya beberapa pondok
nelayan ada di situ dan di sana-sini cahaya kelap
kelip. Disinari lampu minyak yang digantungkan di
tiang perahu, David mulai menyiapkan pelbagai
macam makanan; rupanya itulah tugasnya. Di atas
tungku kecil dibakar ikan-ikan yang ditangkapnya
dengan mudah dalam perjalanan dengan
mempergunakan tali yang diseret di luar perahu.
Dari sebuah kantong dikeluarkan kuwe-kuwe yang
terbuat dari sagu, dan Petrus menyunglap sebuah
bejana berisi tuak yang didapatnya entah dari mana.
"Minumlah, tuan. Tuan akan merasa nyaman."
Barangkali aku terlalu lama kena sinar
matahari. Kepalaku membara dan kurasa jantungku
berdebar cemas, sehingga aku tidak minum tuak itu.
"Apakah tuan tidak enak badan, tuan?" tanya
Petrus, sambil melepaskan bejana dari bibirnya
sebentar.
Aku ceritakan kepadanya serangan malaria
yang pernah kudapat dan bahwa aku makan obatJOHAN FABRICIUS
98
kinine. Kinine sering menyebabkan orang sakit
kepala dan jantung berdebar
"Sebaiknya tuan jangan bepergian, tuan"
"Aku masih ingin menemui seseorang di Kailolo
sebelum aku pulang ke negeriku, Petrus. Seorang
perempuan yang pernah merawatku setelah orang
tuaku, adik-adikku laki-laki dan perempuan, mati
terbunuh di benteng."
Pembunuhan atas diri tuan Residen dahulu dan
keluarganya. adalah kisah yang tidak enak untuk
diceritakan dan ia lebih suka tidak berbicara tentang
itu.
"Siapa perempuan itu, tuan?"
"Kau tidak akan kenal dia. Dulu dia tinggal di
Saparua, tapi ..."
"O, itu Magdalena maksud tuan! Dia yang ingin
tuan kunjungi?" la tertawa. Juga pembantunya
nampak heran. "Dia gila ! Tuan tidak tahu ?"
"Gila ?"
"Ya, gila sama sekali. Dia mendapat anak dari
seorang sersan Belanda, tidak lama sesudah
pemberontakan; karena itu dia meninggalkan
Saparua. Seorang anak laki-laki. Anak itu kemudian
berangkat ke pulau Jawa, masuk tentara Kompeni
Sesudah itu tidak seorang pun yang pernah
mendengar kabar tentang dirinya. Pasti ia sudah
mati, tewas membela Kompeni. Pembantunya juga
tertawa sekarang ? ia hampir selalu tertawa:
seolah-olah segalanya lucu di dunia ini, menurut
penglihatannya.
"Bagaimana kalian tahu tenung dia ?" aku
bertanya.Teriakan Kakatua Putih
99
"Semua orang kenal dia, tuan. Dulu dia seorang
dukun terkenal; dia tahu obat-obat yang tidak
diketahui orang dan mantera-mantera. Dari seluruh
kepulauan, sampai-sampai ke Seram, orang datang
ke Kailolo, untuk meminta obat padanya. Tapi
sekarang dia buta dan tidak dapat mencari ramuan
obat lagi. Omongannya kacau; tidak banyak lagi
orang yang percaya akan ilmunya."
Petrus menguap; ia meregang badannya dan
kemudian bersiap-siap untuk doa malam; hampir
segera sesudah ia melunjurkan badan di landas
perahu dan menarik sarungnya menutup kepalanya,
ia pun tertidur. Kulihat mukanya tua yang tenang,
disinari cahaya bintang dan bulan muda yang baru
timbul. Si pembantu mencuci piring di luar perahu,
sambil bersenandung. Perahu naik turun perlahan
lahan. Di pantai satu demi satu lampu pelita mulai
padam.
Apakah anak itu tahu bahwa aku
mendengarkannya? Kudengar beberapa kata
Melayu: "ikan belalang terbang jauh-jauh di atas
laut"... kemudian nama yang begitu sering muncul
dalam pikiranku ...
"D
ialah ikan, yang terbang jauh memecah laut.
Kristina Martha,
Dialah camar, yang turun di atas gelombang
setelah lesu berkelana.
Kristina Martha,
Dialah duyung, yang menghimbau
menghiba -hibadi malam hari.
Kristina Martha,JOHAN FABRICIUS
100
Dialah hempasan gelombang, yang mendesir
membasuh pantai.
Dialah taman lautan, ikan macan bergerombol
gerombol di dalamnya,
Kristina Martha,
Dialah yang tiada kelihatan, yang
mengumpulkan bunga karang di dalam taman,
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kendaraannya penyu laut. Rambutnya ganggang
menari.
Kristina Martha,
Dialah nafas panas gemetar di permukaan laut.
Di situ dia kadang kelihatan, kemudian
menghilang.
Kristina Martha.
Dialah gempa laut, yang meruntuhkan rumah
rumah. menumbangkan pohon-pohon.
Memeluk manusia dan binatang dengan
lengannya basah dalam pelukan maut.
Itulah dia: Kristina Martha ... Kristina Martha ..."
Aku merasa demamku bangkit lagi. Jantungku
keras berdebar-debar.
Matahari membakar; demikian hebat
bahangnya, mataku nyeri, hampir-hampir tiada
kuasa membedakan barang sesuatu. Kami berlayar
perlahan; sekali-sekali angin tiba-tiba menabrak
layar. Si kacung pembantu duduk di sisi kiri perahu;
menyeret dayung di air; Petrus memperbaiki arah
haluan. "Kita berlayar kembali mengitari selatan
pulau Oma" katanya. "Kalau tidak kita melawan
arus"Teriakan Kakatua Putih
101
Matahari membakar. Aku tidak berani pindah
tempat duduk, takut kepanasan duduk di tempat
lain, di atas kayu yang membara.
Kepalaku sakit. Aku mau muntah.
Rupanya aku jatuh sakit, sakit keras. Petrus
menceritakan bahwa ia dulu hari harus menunggu di
Haruko ? Residensi Oma ? sebelum berani
berlayar pulang membawaku. Kami berlayar
mengitari Selatan pulau, seperti yang sudah
diniatkannya. Perahu kami berlayar kencang berkat
angin Barat daya yang bertiup keras. Aku merasa
badanku masih lemah sekali; Petrus memandangku
dengan kuatir.
"Sebaiknya tuan jangan pergi, tuan"
"Kapan kita kembali, menurut perkiraanmu?"
"Sebelum gelap, bila angin tidak berkurang
kerasnya petang hari"
"Petrus ... kalau aku tidak salah: aku berkunjung
kepada perempuan itu. bukan ?"
"Memang, tuan. David membawa tuan
kepadanya. Sebelumnya tuan juga berkunjung
kepada Residen di Haruko"
"Aku masih ingat. Aku menyerahkan surat
surat dinas kepadanya. Ia minta supaya aku tinggal
di rumahnya sampai demamku hilang."
"Ya. tapi tuan tidak mau."
"Masak aku pulang ke Saparua begitu saja? Aku
kan mau menemui perempuan itu?"
Tuan Residen menyuruh orang membawa tuan
dengan kereta ke Kailolo. Sampai jalan terlalu
sempit dan kereta tidak bisa maju lagi. Lalu David
membawa tuan ke sana."JOHAN FABRICIUS
102
"Ya. begitulah yang terjadi. Sekarang aku ingat
lagi. Perempuan tua sekali tapi masih gagah
sikapnya. Dia bertumpu dengan kedua tangannya di
atas tongkat dan matanya yang buta memandang ke
arahku. Dia mengenali aku! Dia tidak melihatku, tapi
dia mengenaliku, bahkan sebelum dia mendengar
suaraku. Aku dengan sengaja tidak berkata apa-apa.
Mula-mula dia meraba-rabaku dengan tangannya
gemetar mencari-cari. "Seorang Belanda," katanya.
"Aku bisa merasakannya pada kulitnya. Kulitnya
kasar seperti kulit Belanda." Lalu katanya: "Inilah
ia."
"Kau ada di sana, David. Dia segera
mengenaliku."
"Ya. tuan. Katanya: "lni Nyo Jan dari benteng."
"Tapi apa yang dikatakannya kemudian, aneh.
Kau masih ingat, David ?"
Kacung itu tertawa. "Dia sendiri tidak tahu lagi
entah apa saja yang dikatakannya."
"Bukankah dia mengatakan sesuatu tentang
gadis kecil itu ? Tentang Kristina Martha ?"
"Ya, dia mengira dialah Kristina Martha. Dan
Matulesia masih hidup ! Dan datang
mengunjunginya!"
Petrus sekarang juga tertawa. "Pasti dalam
pikirannya".
"Dalam pikirannya? Bagaimana bisa mendapat
anak dari pikiran.."
"Dia mengacaukan Matulesia dan sersan
Belanda itu," Petrus menjelaskan.
"Diam. Petrus. Biarkan anak itu terus bercerita.
"Tuan sendiri ada di sana, bukan?"Teriakan Kakatua Putih
103
"Ya, tapi aku tidak mengerti semua apa yang
dikatakannya. Aku sakit kepala. Kupingku
mendesing ..."
"Saya berkata kepadanya : "Mana bisa, kau kan
tahu bahwa Matulesia dimasukkan dalam
kerangkeng oleh Kompeni sesudah digantung?
Bagaimana ia bisa keluar dari dalamnya? Apa ia
punya kunci ?" ? "Ia tidak perlu punya kunci."
katanya. "Matulesia orangnya sakti, ia punya ilmu.
Dengan ilmunya itu ia dapat pergi ke mana saja ia
mau." ? "Coba ceritakan kepada tuan bagaimana
rupanya. Magdalena. Tuan ingin mendengarnya." ?
Bagaimana rupanya ? Belia dan gagah dan tubuhnya
indah, matanya gemerlap. Ia berbakat untuk
memerintah, untuk merasakan kekuasaannya
kepada orang lain. Ia datang dan berkata: "Kristina
Martha, aku di sini untuk menjadikanmu ibu
puteraku." Lalu ia meniduri aku."
"Dia terus terang berkata: ia meniduri aku "
Petrus bertanya tersenyum.
"Banyak lagi yang dia katakan. Katanya : "Ia
seperti kuda jantan yang muda dan liar." Tapi
kemudian dia rupanya merasa bahwa aku terlalu
mau banyak tahu! Dia kemudian hanya berkata,
bahwa Matulesia memenuhi janjinya. "Aku menjadi
ibu puteranya." Sekarang ia jadi sersan Kompeni! la
paling berani dari semua, sama dengan ayahnya dan
tiap bulan ia mengirimi aku separoh dari
penghasilannya." Itu hanya khayalannya saja," kata
kacung itu sambil tertawa.
"Apa itu bukan khayalanmu sendiri?" tanya
Petrus.JOHAN FABRICIUS
104
"Tidak, tidak, berani sumpah. Memang dia
berkata begitu. Tuan tidak ingat lagi ? Tidak pernah
ada uang dari Jawa untuknya, kata orang di Kailolo!
Saya bertanya kepadanya : "Dan sesudah
menidurimu, apakah Matulesia masuk lagi kedalam
kerangkengnya ?"
Tidak. Sesudah itu ia melayang di udara seperti
burung," katanya. "Ia mempunyai sayap kencana
seperti malaikat!"
Malaikat ? sayap kencana, berkilau-kilau kena
sinar matahari. Kepalaku pecah rasanya.
"Bagaimana perasaan tuan?" tanya Petrus,
"Tuan demam lagi, saya kira."
"Di mana kita sekarang, Petrus? Sudah dekat ke
Honimoa?"
"Honimoa mulai nampak, tuan. Lihat saja, itu, di
kaki langit."
Aku melihat ke arah telunjuknya, tapi
pandanganku menjadi kabur. Memang aku mencium
bau harum, yang tidak pernah kutemukan di mana
mana di seluruh dunia ... cengkih, pohon kayuputih
dan ...
Kedengaran suatu suara: "Kalau kita sudah
sampai nanti, tuan cepat-cepat masuk tempat tidur."
Aku pulang ke negeri Belanda, Petrus. Itu anak
gadisku, dia menungguku ... Aku datang. Bertha,
dengan kapal pertama yang ... Tapi negeri Belanda
begitu jauh, begitu jauh ... dan begitu dingin di sana,
begitu gelap ... aku tidak tahu apa aku masih cukup
kuat untuk ... Apa yang terjadi dengan diriku? Aku
pusing, aneh. Tengok ! Tengok ? bayangan putih, di
belakangnya malam yang gelap. Suatu teriakan !Teriakan Kakatua Putih
105
Seekor burung menggelepar liar terbang ke udara,
menyongsong matahari ...
SELESAI
Note :
Source Pustaka : Pak Kukuh 'Edwin' Djatmiko
PDF Text selesai di Pringsewu 8 Maret 2019JOHAN FABRICIUS
106
The Name Of Rose Karya Umberto Eco Legenda Ular Putih Karya Marcus As Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama