Ceritasilat Novel Online

Jiwa Remaja 1

Jiwa Remaja Karya Yos Guwano Bagian 1



- 1 -- 2
Kolektor E-Book

Awie Dermawan

Foto Sumber oleh Awie Dermawan

Editing oleh D.A.S- 3
YOS GUWANO

JIWA

REMAJA

Telah diteliti. No Pendaftaran : 034 / P / N / 68

KOMDAK VII JAYA- 4
SATU

"Tidak mau! ... Tidak mau aku kawin dengan Kojiro,

Mammie!"

Tampak kedua mata Sheiko bersinar merah.

Tubuhnya yang ramping tampak gemetar menahan emosi

dengan sikap menantang ia mengawasi ibunya. Namun

ibunya tetap tenang. Fuchi Karito mengenal baik watak anak

gadisnya yang keras kepala, maka untuk beberapa saat ia

berdiam tak berkata apa-apa. Lalu seperti acuh tak acuh ia

melihat ke arah tangannya. Ke arah sebuah cincin bermata

merah delima yang pakai pada jari manisnya. Dengan

perlahan Fuchi menggoyang-goyangkan tangannya

sehingga sinar bintang enam dari batu cincin itu tampak

bermain-main. Pindah-pindah mengikuti gerak tangannya.

"Warna merah dari batu ini persis seperti Sheiko jika

sedang marah." pikirnya di dalam hati. "Seperti membara

yang berkobar-kobar menakutkan..."

Nyonya Karito melirik ke arah gadisnya. Sheiko

tengah berdiri di depan jendela sambil melihat keluar.

"Sheiko sungguh cantik!" pikir ibunya. "Tubuhnya

sangat ramping, tetapi padat, menggairahkan setiap lelaki- 5
yang melihatnya. Dengan mudah ia dapat merebut hati

setiap pemuda yang dikehendakinya tinggal pilih saja.

Tetapi gadis sekarang hanya menuruti suara hatinya

saja, yang dipilih hanya yang ganteng dan cakap.

Tidak memakai pikiran sehat. Jika Sheiko mau, maka

dengan mudah ia sudah menjadi isterinya Kojiro. Seorang

pemuda dari keluarga hartawan.

"Kojiro orangnya simpatik, ia pasangan yang cocok

untukmu" kata Fuchi kepada anaknya.

"Aku tak perduli apakah dia simpatik atau tidak. Aku

tidak tertarik kepadanya. Aku hanya mau menikah dengan

pemuda pilihanku sendiri. Bukan pilihan Mammie, bukan

pilihan Pappie atau siapapun juga!" jawab Sheiko sengit.

Untuk beberapa saat ibu dan anak saling pandang.

Nyonya Kojiro tak dapat lagi menyembunyikan amarahnya

yang bergolak di dalam hatinya. Betapa tidak, Sheiko telah

menolak pasangan yang cocok baginya. Kojiro Tokugewa

yang setingkat Don mungkin juga lebih kaya dari keluarga

Karito. Dan belum tentu kelak ia bisa dapat pasangan

sebagus ini.

Fuchi menyalahkan suaminya karena ia yang terlalu

memanjakan anaknya. Imoto Karito terlalu sayang kepada

Sheiko. Di dalam hati ia merasa mengiri terhadap anaknya

yang dapat perhatian penuh dari suaminya. Merasa

dinomorduakan, ditaroh di belakang anaknya. Ia ingin lebih- 6
banyak perhatian dari suaminya, lebih banyak kasih. Namun

Imoto tak dapat menyelami jiwa isterinya.

Jika mengingat, Fuchi merasa sangat mendongkol di

dalam hati. Dahulu semasa tahun-tahun pertama sesudah

menikah, segala rasanya madu. Tak ada laki-laki yang lebih

menarik daripada Imoto. Ia merasa dapat perhatian penuh

dari suaminya. Tetapi sesudah Sheiko dilahirkan, tampak

suaminya berubah. Perhatian terhadap dirinya mulai

berkurang. Kasih mesra terasa menipis. Memang benar ia

dapat peroleh segala kemewahan yang dikehendakinya.

Dalam hal ini Imoto berikan ia kebebasan penuh. Uang

cukup sedia, segala serba lux. Namun perasaan mesra di

antara suami isteri ini tampak menghilang. Menghilang tak

berbekas seperti ditiup angin lalu.

Imoto mencurahkan waktunya lebih banyak kepada

Sheiko daripada isterinya. Fuchi tak mengatakan apa-apa,

hanya rasa mendongkolnya disimpan di dalam hati. Maka

jauh di bawah sanubarinya timbullah kebencian terhadap

anaknya yang dianggap sebagai perghalangnya.

Tanpa merasa nyonya Karito menggoyang-goyang

kan kepalanya. Seperti hendak membebaskan dirinya dari

pikiran yang sedang mengaduk di benaknya.

Memang wajar jika Imoto sangat mencintai Sheiko,

karena ia adalah anak satu-satunya. Setiap hari anak itu

dimanjakannya. Apa yang diminta Sheiko, selalu diberikan
nya.- 7
"Apakah mungkin karena aku tidak bisa mendapat

anak lagi?" pikir Fuchi di dalam hatinya. Entah beberapa

ribu kali pertanyaan ini diajukan pada dirinya. Tapi selalu

tak terjawab. Sebenarnya pertanyaan ini harus diajukan

kepada Imoto, suaminya. Namun amat berat rasanya untuk

membuka mulut. Diantara suami isteri ini kurang ada

"understanding" sehingga soal-soal semacam ini tak pernah

mereka membicarakan dari hati ke hati.

Nyonya Karito menarik napas panjang. Ia merasa

serba susah. Tiba-tiba dengan gemas ia bangun berdiri dan

dengan tindakan cepat menuju ke arah lemari di sudut.

Dikeluarkannya sebuah botol terisi minuman keras yang

dituangnya di gelas. Jika hatinya sedang pepat, Fuchi kini

mencari hiburan dalam minuman-minuman keras. Ini sudah

merupakan suatu kebiasaan baginya.

Dengan cemas Sheiko mengawasi ibunya.

"... Mammie!" seru Sheiko khawatir. "Apakah tidak

terlalu pagi untuk meminum itu?'

Nyonya Karito tidak menjawab. Ia bahkan bersenyum

dan dengan mengejek diangkat gelasnya ke atas untuk

kemudian diteguknya. Sesudahnya ia berjalan ke arah lemari

kaca yang terletak ditengah ruangan, lemari yang seluruhnya

terbuat dari kaca ini dipakai untuk mempertunjukkan

barang-barang perhiasan.

Fuchi melihat dengan kagum kepada perhiasan
perhiasan di dalam lemari itu. Kemudian diambilnya sebuah- 8
kalung yang ditaburi dengan batu jamrud. Warna hijau dari

jamrud yang digosok intan itu tampak seperti menari-nari di

tangannya.

"Warna hijau berarti harapan... Apakah aku masih

bisa mengharap?" pikir nyonya Karito.

"Apakah kalung ini tidak indah?" tanyanya dengan

perlahan.

"Tidak seberapa," jawab Sheiko.

Namun dengan rasa kasihan ia melihat ke arah

ibunya. "Aku tidak begitu tertarik kepada barang perhiasan,

Mam."

Sheiko bergidik. Sejak masih kecil batu jamrud

membawa perasaan aneh baginya. Sebagai suatu misteri.

Kadang-kadang ia merasa tertarik, kadang-kadang merasa

takut. Entah mengapa, ia sendiripun tidak memgetahuinya.

"Kojiro pasti dapat membelikan kau kalung seindah

ini," kata ibunya berpolitik. "Ia seorang pemuda yang sangat

hartawan..."

"Lebih baik kau lupakan Kojiro, Mammie. Lebih

lekas lebih baik."

Tiba-tiba Sheiko bersenyum. "Lagipula... ia pun

mempunyai pendapat sendiri. Mungkin juga ia tidak merasa

tertarik kepadaku."- 9
Sheiko bicara sejujurnya, walaupun mengenai dirinya

sendiri. Fuchi mengagumi sifat ini yang diwarisi dari

ayahnya. Imoto Kirito adalah seorang yang sangat jujur.

"Ia mencintaimu," jawab ibunya.

Sheiko mengerutkan dahinya.

"Dari mana kau tahu?"

"Aku tanya kepadanya," jawab ibunya dengan

senyum menang.

"Apa... !?!" seru Sheiko terperanjat. "Kau telah

menanya demikian kepada Kojiro? Mengapa kau se
demikian lancang... mencampuri urusan pribadiku dengan

seorang teman? Apa ibu tidak pikir akibatnya? Apa yang

Kojiro akan katakan mengenai diriku? Dia kira nanti akulah

yang suruh menanyakan... oh, Mammie..."

Kedua mata Sheiko penuh dengan air mata. Rasa

marah, sedih, jengkel dan malu mengaduk di dalam

sanubarinya.

"Mengapa kau tanya kepadanya? Apa kau hendak

cepat-cepat bebas dari aku... menyuruh aku kawin lekas
lekas agar pergi dari rumah ini? Memangnya aku kenapa?

Mammie mengangap aku ini sebagai anak atau...

penghalang?"

Sheiko meresa tersinggung perasaan hatinya. Ia

merasa sangat pedih. Ibunya seperti tidak menyukai dia

tinggal lebih lama disini. Tak mengerti ia mengapa.- 10
Bukankah ia anak satu-satunya?

Untuk beberapa jenak nyonya Karito mengawasi

anaknya. Sheiko melihat ibunya seperti pedih hatinya.

Namun apa sebabnya? Apakah ibunya merasa kecewa...

kecewa karena ia tidak menyukai pilihannya?

Ataukah merasa kesepian karena ayah sering pergi

keluar kota?

Namun apapun alasannya, kini Sheiko merasa

kasihan juga kepada ibunya. Tadi ia marah sekali

terhadapnya. Marah karena ibunya telah berbuat lancang.

Sebenarnya mereka harus lebih dekat satu sama lain.

Seperti layaknya seorang ibu terhadap anak perempuannya.

Penuh kenyataan, lebih saling mengerti. Seorang anak

perempuan harus lebih dekat kepada ibunya, bukan kepada

ayahnya. Segala persoalan semestinya dibicarakan dengan

ibunya, menanyakan nasihatnya. Bukankah sang ibu yang

mengandung anak itu sembilan bulan di dalam perutnya?

Sebenarnya ikatan antara ibu dan anak ini harus lebih erat.

Tapi...

Ketika Sheiko mulai besar, ia indekos dan sekolah di

luar kota. Kemudian di fakultas. Semua ini telah

memperlebar jurang yang memang telah ada. Sekarang

sudah terlambat. Seperti dua buah garis yang menyimpang,

maka perbedaan ini makin lama akan menjadi makin besar.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun ...- 11 Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba nyonya Karito menguatkan hatinya. Rasa

pedih hilang dari pancaran mata. Timbul rasa getun terhadap

anaknya yang dianggap sebagai saingannya.

Sikap Fuchi menjadi dingin. Dengan angkuh ia

mengangkat kepalanya dan berkaca dengan tegas:

"Memang, kau benar... kadang-kadang kau menjadi

penghalang bagiku!"

Sesudah berkata demikian nyonya Karito bertindak

keluar den membanting pintunya. Meninggalkan Sheiko

yang berdiri dengan bengong. Kata-kata ibunya sama sekali

tak disangka, dan sangat mengejutkannya. Ia merasa seperti

diguyur dengan air dingin. Kedua kakinya terasa seperti

lemas tak bertenaga sehingga ia harus berpegangan.

"Kadang-kadang kau menjadi penghalang bagiku!

menjadi penghalang! ... Penghalang! ... Penghalang ..."

Kata-kata ini terus mendengung ditelinganya. Mendengung

menyakitkan, seperti ditusuk-tusuk dengan sebuah jarum.

Sheiko menutupi kedua telinganya. Namun kata-kata

ibunya masih terus terdengar... Penghalang! Penghalang!- 12
DUA

Entah berapa lama Sheiko berdiri, ia tidak tahu.

Mestinya sangat lama karena ia merasa kedua kakinya

kesemutan.

Setelah sadar kembali dari shocknya tadi, Sheiko

ingin pergi. Hendak lekas? keluar dari rumah. Kakinya

seperti menginjak bara di kamar ini. Ingin ia pergi jauh...

jauh sekali. Di sini ia hanya merasa bahagia jika ayahnya

ada dirumah. Gelak tertawa ayahnya sering mendengung di

ruangan ini. Alangkah bahagianya ia jika ayah ada di rumah.

Dengan berlari-lari ia menuju ke arah garage untuk

mengambil mobilnya. Sebuah race car hadiah ulang tahun

dari atahnya. Sebuah Carmen Ghia berwarna marah.

Entah mengapa, namun jika Sheiko duduk di dalam

mobil ia merasa seperti terlindung. Terlindung oleh ayahnya

yang sangat dicintainya...

Batu-batu seperti melompat ketika Sheiko dengan

gemas mengendarai mobil keluar dari pekarangan. Ban

mobilnya seperti ikut marah dan menendang kerikil-kerikil

itu kesamping.- 13
Sheiko menuju ke jalan raya, ke jalan arah luar kota.

Ia pandai sekali menyetir. Setiap tikungan diambilnya

dengan mudah, persis seorang sopir yang sudah ulung.

Walaupun di benaknya mengaduk 1001 macam pikiran.

o O o

Sheiko pun mengetahui bahwa dulu kehidupan ayah

ibunya sangat susah. Pada tahun-tahun pertama sesudah

menikah, Imoto Karito harus bergulat dengan keras.

Sebelum ia mencapai pada tingkat sekarang ini. Kini Imoto

sudah terkenal dimana-mana sebagai pedagang intan yang

besar.

Ayahnya dahulu sering harus pergi keluar kota,

keliling di mana-mana, Kadang-kadang sampai berbulan

bulan lamanya. Meninggalkan isterinya di rumah. Dan

Fuchi merasa sangat kesepian. Sunyi sepi sangat men
cengkam dirinya, sehingga kadang-kadang rasanya tak

tertahan lagi.

Kebetulan Sheiko dilahirkan pada saat demikian,

pada waktu Imoto sedang pergi keliling. Mungkin karena

terlalu banyak pikir sewaktu mengandung maka kelahiran

Sheiko sangat sukar. Nyonya Karito hampir meninggal

dunia ketika melahirkan anaknya. Sejak itu maka ia oleh- 14
dokter tidak diperbolehkan mempunyai anak lagi. Karena

sangat bahaya bagi jiwanya.

Sheiko tahu pergulatan ayahnya untuk dapat

mendirikan perusahaan di mana kini ia menjadi direktur

utama. Ibunya yang selalu mendorong dari belakang.

Kadang Sheiko telah memikirkannya. Sering ia bertanya

pada dirinya sendiri. Apakah pergulatan dalam mencari

sukses telah menimbulkan suatu jurang antara ayah dan

ibunya? Sukses yang dicapai ayahnya harus dibayar dengan

mahal. Menipisnya kasih mesra di antara suami dan isteri

telah menjadi imbalannya. Bergulat mengejar materi untuk

dapat membeli segala apa yang dikehendaki hati, namun

hidup manis di dalam rumah tangga menghilang.

Dimana sebenarnya letak kebahagiaan?

Tiba-tiba Sheiko melihat penunjuk jalan yang menuju

ke Osaka. Baru ia sadar bahwa tanpa merasa ia telah

menyetir mobil ke arah ayahnya. Untuk mencari hiburan,

mencari perlindungan. Untuk menyembuhkan luka di hati

yang tertusuk oleh kata-kata ibunya tadi. Namun dengan

demikian jurang yang memang telah ada antara ibunya dan

Sheiko akan makin melebar.

Dengan keras ia menginjak rem. Ban mobilnya

mencicit dan meninggalkan bekas di jalan.

"Sejak dahulu aku sering mencari perlindungan pada

ayah. Mungkin karena ayah terlalu memanjakan diriku.

Selalu ayah kupergunakan sebagai tameng untuk mengelak-- 15
kan tanggung jawab. Ayah mudah kupengaruhi. Apa yang

kuminta selalu diberikan. Namun segala ini, suatu waktu

akan berakhir. Suatu waktu toh akan tiba waktunya di mana

aku harus berdiri sendiri. Mengambil keputusan sendiri,

bertanggung jawab sendiri. Lebih baik dari sekarang aku

memulainya." pikir Sheiko.

Wajah ayah tampak berbayang di bulu matanya.

Telinganya seperti mendengar suara berat dari ayahnya.

Bertanya : "Semua O.K. Baby?"

Sheiko bersenyum. Sejak kecil ia dipanggil Baby.

Panggilan "Baby" diberikan oleh ayahnya pada suatu

malam, ketika ia tiba-tiba menangis karena kaget.

Pada malam itu kamarnya gelap. Kain gordijn ber
goyang-goyang dan berbunyi ditiup oleh angin taufan yang

sedang mengamuk. Sheiko tersadar bangun dari tidurnya.

Dilihat di sekelilingnya gelap dan suara angin menderu-deru

menakutkan. Maka ia menjerit sekuat-kuatnya.

Sekali teriak sudah cukup untuk memanggil Imoto

yang dengan cepat datang berlari-lari. Ia masih dapat

bayangkan dengan jelas tubuh ayahnya yang berdiri di muka

pintu.

"Ada apa Sheiko? Mengapa kau menjerit?" tanyanya.

Mendengar suara ayah saja sudah cukup untuk memenang
kan hatinya.

"Gelap... Pappie, aku takut gelap..."- 16
"Tak usah takut anakku." menghibur Imoto sambil

memeluk buah hatinya. "Kau tak usah takut gelap. Gelap itu

adalah sesuatu tempat yang tenang. Untuk beristirahat

sesudah bekerja satu hari. Tak usah kau takut lagi. Lagipula

di sini aku mempunyai seorang Baby" kata ayahnya sambil

menunjuk kearah dadanya.

"Baby ini selalu menjaga kau. Lihat saja betapa

cepetnya aku datang ketika kau tadi menangis. Jika kau

dalam kesusahan, Babyku ini selalu memberitahukan dan

segera aku akan datang."

Kata-kata ini telah menenangkan hati Sheiko. Rasa

takut gelap dan khawatir segera lenyap. Iapun percaya

adanya "Baby" di dalam dada ayahnya. Sejak saat itu ia oleh

Imoto dipanggil "Baby" dan nama panggilan ini terus

dipakai.

Sheiko membalikkan mobilnya dan menuju kearah

lain. Ia menyetir dengan melamun, sehingga tak tahu arah

tujuan.

Mungkin karena diberikan nama panggilan "Baby"

gadis ini menjadi manja. Merasa dirinya selalu masih kecil,

senantiasa terlindung oleh ayahnya. Mungkin jurang antara

ibunya dan Sheiko dimulai dengan nama panggilan ini.

Karena beberapa saat sesudah Imoto pergi keluar dari

kamar, ia telah mendengar pertengkaran mulut antara ayah

ibunya.- 17
"Aku tak setuju Sheiko ditinggal sendirian, Fuchi."

suara Imoto terdengar seperti sedang marah.

"Tetapi... dia tidak sendirian, Imoto," jawab Fuchi

dengan tak kalah sengit. "Kan ada Nano yang menjagai
nya!"

Nano adalah pembantu mereka dan Sheiko sangat

menyukainya.

"Biar ada si Nano. Kita berdualah yang bertanggung

jawab mengenai anak kita. Adalah kewajiban kita sebagai

orang tua untuk menjagai dan mengurusinya."

"Kita toh tidak bisa terus menerus menjagai!" tukas

nyonya Karito dengan tak mau kalah. "Sheiko juga harus

belajar bergaul dengan orang lain. Ia tak boleh terus menerus

dilindungi. Nantinya ia jadi tidak bisa berdiri sendiri, akan

selalu tergantung ke pada orang lain. Dan ini harus dimulai

dari sekarang. Lagi pula... sejak lahirnya Sheiko kita jarang

sekali pergi berdua. Imoto, kau begitu sering pergi

berkeliling. Aku merasa sangat kesepian di rumah. Maka

jika kau ada di rumah, ingin aku pergi bersama kau."

"Tetapi Sheiko masih terlalu kecil..." berkeras

ayahnya. "Aku pikir..."

Sampai disini pembicarannya tak terdengar lagi,

karena pintunya ditutup. Tapi sejak malam itu hubungan

antara Imoto dan Fuchi tampak mulai tawar. Sheiko melihat

bahwa ibunya sering pergi seorang diri. Sedangkan ayahnya- 18
diam di rumah memeriksa surat-suratnya. Mungkin tak

perlu, tetapi ada alasan untuk berdiam di rumah. Untuk

berada bersama anaknya yang sangat dikasihi itu.

Sewaktu ibunya hendak mengirim ia ke sekolah

indekos, Imoto pun telah membantahnya. Tak mau ia

berpisah dengan Sheiko. Sesudah bicara dan bertengkar

berkali-kali, akhirnya Imoto menyerah juga. Namun sering

sekali ia mengunjungi anaknya dan jika libur Imoto pasti

membikin waktu untuk anaknya.

"Memang benar..." mengakui di dalam hatinya. "Aku

terlalu menggantungkan diri kepada ayah. Selalu mencari

perlindungan kepadanya sedangkan seharusnya aku mencari

ibuku. Sekarang sudah agak terlambat, tetapi masih bisa

diperbaiki. Mengapa tidak sejak dahulu aku sadar...?"

Ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah.

Untuk mencari ibunya dan mendekatinya. Tetapi suatu

perasaan telah menahannya. Sekarang bukan waktunya yang

tepat untuk mendekati ibunya.

Mungkin ayah juga bersalah dalam hal ini, karena
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak waktu senggangnya dilewati di Osaka. Memang

sebagai seorang pedagang besar ia sibuk, tapi ia pun harus

membagi waktu untuk isterinya. Seorang isteri meminta

perhatian dari suaminya. Ini memang wajar, namun rupanya

tidak diinsyafi oleh Imoto.- 19
TIGA

Tak lama lagi Sheiko masuk ke dalam kota, namun ia

tidak segera menuju kerumah.

"Tidak." pikirnya, "hari ini aku akan pergi ke suatu

tempat lain."

Sesudah berpikir demikian, ia arahkan mobilnya ke

daerah pelabuhan. Carmenn Ghianya diparkirnya dimuka

kantor Bea Cukai. Lalu ia turun dari mobil dan berjalan

tanpa tujuan.

Ia berjalan terus melewati jembatan Amirita menuju

ke arah pantai laut. Melihat ombak mendebur-debur ke

pantai, berbuih putih-putih untuk kemudian tak tampak lagi.

Sungguh suatu pemandangan yang mempersonakan. Sheiko

senang sekali melihat keindahan alam. Hatinya menjadi

tenang kerenanya. Ditiup angin laut badannya terasa segar.

Pikirannya yang pepat seperti dihembus tinggi jauh terbang

ke awang-awang. Lama Sheiko berdiri di pantai laut itu.

Melihat kapal-kapal ditengah lautan. Makin kecil dan makin

kecil untuk kemudian menghilang di khatulistiwa.- 20
Sheiko berjalan terus. Melihat gudang-gudang dan

sampai di dekat muara. Di sini ia duduk di atas sebuah batu

besar sambil melamun. Tenang benar rasanya di sini. Hanya

suara mendeburnya ombak yang terdengar. Sang angin

dengan iseng meniup-niup dan memain-main dengan

rambutnya yang ikal mayang. Dengan tangannya ia mem
bereskan rambutnya ke belakang. Ia merasa bahagia sekali,

bebas dari segala pikiran.

Kehidupan Sheiko penuh gelombang. Ia telah

mengalami hidup indekos di sekolah yang sepi. Kemudian

di Fakultas yang sangat berlainan sifatnya. Mengalami suka

dukanya sebagai mahasiswi. Pergaulan bebas dengan lelaki,

menerima godaannya.

Sheiko sadar bahwa dirinya sangat menarik kaum

lelaki, ia tahu dirinya selalu menjadi buah pembicaraan di

antara mahasiswa, ia tahu badannya penuh, padat

menggiurkan. Buah dadanya yang kencang menyolok ke

depan membikin setiap pria memikirkan yang tidak-tidak,

Pinggangnya yang kecil menantang pelukan. Jika Sheiko

berjalan masuk ke ruang kuliah, semua mata tertuju

kepadanya. Laksana magnit. Wanitanya memandang

mengiri, prianya melihat bernapsu.

Sampai begitu jauh Sheiko dapat menjaga dirinya. Ia

tahu dimana letak bahaya-bahayanya. Hal ini Nano, si babu

tua yang manceritakannya. Untung ada Nano sehingga ia

menjadi mengerti mengenai lelaki, ia masih ingat benar

nasihat Nano yang diberikan kepadanya.- 21
"Jika ada seorang lelaki mulai mendekatimu perhati
kanlah ia baik-baik. Jangan cepat-cepat jatuh cinta, tetapi

tamengilah hatimu dengan selubung baja. Perhatikan

sikapnya, langkahnya, segala tindak-tanduknya. Jika ia

mengindahkan kau, indahkanlah juga dia. Tetapi jangan

cepat-cepat mengikat diri. Jadilah kawan yang baik seperti

biasa..."

"Pria yang bertindak sembarangan dan tidak

mengindahkan kau, hindarilah jauh-jauh. Bersikap tenang

Dengan demikian setiap lelaki akan lebih menghargai kau.

Mereka akan bersaing untuk merebut hatimu."

Nasihat babu tua ini ternyata benar. Nasihat dari

seorang yang sudah mengalami masa muda. Hal inipun

diakui oleh Sheiko yang merasa sangat bersyukur terhadap

Nano.

Memang kadang-kadang ia harus menghadapi masa

sukar. Tetapi jika ia tetap tenang, maka segala sesuatu akan

berjalan baik.

Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya. Ia mendapat

firasat tak enak. Tak tahu ia kenapa. Namun ketika Sheiko

menoleh ke belakang, ia merasa di atas punggungnya seperti

ada binatang semut yang merayap. Perasaan ini selalu

timbul jika ia merasa takut.

Persis di belakangnya berdiri dua orang pemuda.

Salah seorang tak enak tampangnya, beberapa gores bekas

luka terlihat di pipinya.- 22
Yang satu lagi agak lebih tua. Dengan tatapan kurang

ajar ia menjelajahi tubuh si gadis. Tak ada bagian yang

dilewati.

"Lihat apa yang kita dapati hari ini, Kushi! Wanita

kelas satu! Kau hendak mencari hiburan, nona?" tanyanya

dengan parau. Dengan menyengir ia menyentuh kawannya

dengan lengannya.

Sheiko bangkit berdiri.

"Jangan ladeni." kata Sheiko pada dirinya sendiri.

"Tinggalkan mereka dan jangan takut-takut!"

Tetapi kedua lututnya seperti tak bertenaga, rasanya

sangat lemas. Baru ia berjalan beberapa tindak atau sebuah

tangan kasar menjamah pundaknya dan memaksa ia

berbalik.

"Hai, mengapa begitu tergesa-gesa?" tanya si suara

serak tadi. "Oh, Mungkin karena kita belum memper
kenalkan diri ..." Pemuda itu tertawa kepada kawannya yang

sedang datang mendekati mereka.

Seperti mau muntah rasanya melihat lagak kedua laki
laki yang kurang ajar itu. Suaranya yang parau dengan

tatapan matanya membikin ia mual. Sheiko gemetar saking

takutnya.

"Lepaskan tanganku!" katanya sambil seberapa bisa

menenangkan suaranya. "Celaka! Mengapa aku begitu tolol

untuk kemari seorang diri?"- 23
"Lepaskan, katanya, lepaskan! Ha ha ha... Jangan

galak-galak dong, manis. Hayo, ikut kita. Aku mempunyai

tempat yang baik sekali, bukankah begitu, Kushi?" kata

Wakao, si serak.

"Jika kau tidak mau lepaskan, aku akan menjerit,"

mengancam Sheiko.

Dari takut ia menjadi nekad. Tiba-tiba Sheiko

berontak dan mencakar mukanya Wakao dengan kukunya.

"Kurang ajar, kau... "

Lalu Wakao menampar pipinya Sheiko dengan keras.

Pukulan yang keras membikin si gadis terkesima untuk

beberapa jenak.

"Disini tak ada orang sama sekali. Kau menjerit pun

tak ada yang dengar. Melawan pun tak ada gunanya. Lebih

baik kau turuti kita dengan baik-baik. Aku jamin kau akan

merasa puas..."

Sheiko diam, tak menjawab. Tak ada gunanya untuk

bicara dengan orang begini. Namun Wakao benar. Tak ada

orang disini, lagipula teriakannya takkan terdengar karena

jauhnya jarak ke pelabuhan.

Wakao menarik lengannya Sheiko untuk didekatinya.

Dengan bernapsu ia memeluk pinggang si gadis erat-erat.

Kedua matanya tampak merah, liar seakan hendak menelan

korbannya. Dekapannya makin dipererat. Sheiko meronta-- 24
ronta, tapi sia-sia. Mana ia bisa kuat melawan, apalagi

terhadap Wakao yang sudah buas itu?

Dengan lengan kiri ia memeluk leher Sheiko yang

jenjang. Wakao hendak menciumnya. Namun si gadis terus

meronta-ronta dan membuang mukanya ke samping. Ia

dapat merasakan hembusan napas Wakao yang berbau tak

enak. Rasanya mau muntah, namun kini ia tak berdaya. Jauh

dari lindungan ayahnya.

Gadis itu merasakan napasnya sesak karena dekapan

yang ketat itu. Tenaganya sudah mulai habis. Seperti sudah

mau pingsan. Sudah tak kuasa lagi.

Tiba-tiba seperti dari jauh Sheiko mendengar suatu

suara. Persis seperti di dalam mimpi, ia sudah tak meng
harapkan lagi datangnya pertolongan.

"Lepaskan gadis itu...!"

Nada suara itu penuh wibawa, memerintah. Suaranya

berat seperti suara ayahnya. Untuk sejenak Sheiko pun

mengira memang ayahnya yang datang, ia menoleh dan

melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, tinggi besar.

Kedua tangannya menggantung lepas di kedua sisinya,

seperti sudah siap untuk menghadapi segala apa.

Kedua matanya bersorot dingin. Hidungnya tampak

seperti sudah pernah patah tulangnya. Pundaknya lebar,

pemuda ini berpotongan seorang atlit. Tampak ia penuh- 25
kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Dengan tenang ia

mengawasi Wakao dan Kushi.

"Aku bilang, lepaskan gadis itu!" Nadanya tetap

kalem tenang.

Namun kedua pemuda berandal itu tak ada yang

menjawab. Sheiko merasa bahwa Wakao yang sedang

memeluknya kelihatan takut. Dengan perlahan ia melepas
kan rangkulannya.

Kemudian laksana kilat dengan tiba-tiba penolong itu

mengayun tinjunya ke arah Wakao yang tanpa ampun segera

terjerembab ke tanah.

"Jangan, Kushi, jangan ..."

Suara parao Wakao sudah tak terdengar lagi oleh

temannya yang sedang mengarahkan tinjunya kepada

penolongnya Sheiko. Tinju itu melayang dengan sangat

cepat, namun dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya.

Bahkan ia membalas dengan pukulan yang bertubi-tubi,

dalam beberapa detik saja Kushi sudah terlentang pula di

tanah.

Wakao sementara itu sudah merangkak bangun untuk

kemudian berlari-lari meninggalkan kawannya.

"... Apakah nona tidak apa-apa?" tanya si pemuda

kemudian.- 26
Tampaknya ia tetap tenang. Namun jantung Sheiko

berguncang dengan keras. Napasnya memburu, la hanya

bisa mengangguk, karena tak bisa bicara.

Pemuda itu lalu membungkuk untuk menolong Kushi

bangun. Sikapnya ini bertentangan sekali dengan waktu ia

berkelahi. Sheiko pun menjadi agak heran.

Karena turut merasa kasihan, ia melihat sekeliling
nya. Sheiko cepat-cepat menghampiri sebuah pompa air
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terpancang di dekat situ. Lalu ia membasahi sapu

tangannya dan kembali ke arah kedua laki-laki itu.

Sementara itu Kushi sudah sadar lagi, tetapi tampak

ia merasa sangat takut. Belum pernah ia dijatuhkan dengan

begitu mudah.

Pipi kirinya tampak berdarah dan mengalir turun ke

lehernya. Dengan hati-hati Sheiko menepas lukanya dengan

saputangan yang dibasahi itu. Sementara itu pemuda

penolongnya mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya.

"Kau akan merasa sedikit perih," katanya kepada

Kushi.

Kushi menganggguk, nanun ia seperti heran. Heran

akan sikap baik dari orang yang tadi adalah lawannya.

Rupanya ia tidak biasa diperlakukan baik. Ia merintih

perlahan ketika yodium mulai meresap di lukanya. Untuk

beberapa saat ia duduk diam di tanah. Kemudian dengan

perlahan-lahan ia bangkit berdiri.- 27
"Ma'afkan aku, nona," gumamnya tak jelas kepada

Sheiko.

Gadis ini tersenyum dan mengulurkan tangannya.

"Aku tahu ini bukan salahmu."

"Sebaiknya kau jangan terlalu mempercayai

kawanmu tadi itu." pemuda itu menasehatinya. "Kau telah

ditinggalkan mentah-mentah."

Sheiko melihat bahwa ia kemudian menyelipkan

beberapa uang kertas di sakunya Kushi. Rupanya ia pun

menyesal telah memukul begitu keras.

"Aku tak akan campur lagi dengan dia," jawab Kushi

jang kemudian ngeloyor pergi.- 28
EMPAT

"Kasihan dia." kata si penolong dengan perlahan.

Tampak ia berpikir sejenak.

Tiba-tiba ia mengawasi Sheiko. "Apa benar nona?

tidak apa-apa?"

"Tidak, aku hanya sangat kaget. O ya, hampir aku

lupa mengucapkan terima-kasih kepada saudara..."

"Mitoya... namaku Mitoya Kanaka..."

Pemuda ini bersenyum. Tampak dua baris gigi yang

putih. Dari dekat Sheiko baru melihat dua goresan bekas

luka pada dahinya. Namun tampaknya lebih menarik

karenanya untuk Sheiko. Karena kelihatannya ia merasa

tertarik kepada si pemuda penolong.

"Untuk mengatakan sejujurnya, aku merasa sangat

heran bahwa Nona bisa berada di sini. Dan seorang diri lagi"

kata Mitoya.

"Aku hendak berjalan-jalan," jawabnya. "Udaranya

sangat bagus. Aku baru tahu bahwa di sini sangat tenang dan

nyaman."- 29
"Namun bukan tempatnya untuk seorang perempuan

berjalan sendirian di sini. Apalagi untuk seorang gadis

secantik engkau."

Mitoya bicara sejujurnya, bukan maksud untuk

merayu. Sheiko menjadi merah mukanya. Timbul rasa

canggung, suatu perasaan yang baru pernah dialaminya.

"Apakah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah

itu sama seperti kedua pemuda tadi?" tanyanya kemudian.

"Tidak," jawab Mitoya. "Mereka semua bekerja keras

untuk mencari penghidupan. Penghuni di sini mencari uang

secara jujur. Tentu diantara mereka ada juga yang jahat.

Mereka inilah yang membikin rusak nama pekerja

pelabuhan. Tapi orang jahat di manapun ada, bukan disini

saja."

"Kau rupanya banyak mengetahui seluk-beluk

disini"

Tanpa merasa Sheiko ikut berjalan disamping Mitoya.

Biasanya ia tidak begitu mudah terhadap orang-orang yang

baru pertama kali dikenal. Disamping Mitoya ia merasa

aman, seperti didekat ayahnya.

"Tentu aku kenal baik orang-orang di sini, aku

dilahirkan dan dibesarkan disini. Ini menjadi tempat

penghiburku. Jika pikiranku sedang pusing, maka aku

datang kemari untuk mencari ketenangan. Aku ingat masa

dulu sewaktu aku masih kecil. Kesusahan dan kemelaratan- 30
menyelubungi ibu dan aku. Tak ada senangnya, semua serba

hitam. Lama-kelamaan warna hitam itu menjadi kelabu

untuk perlahan-lahan berubah menjadi putih..."

"Sorry, aku telah melantur. Omonganku tentu

menyebalkan kau," kata Mitoya kemudian. Sebuah senyum

manis terlukis di bibirnya. "Biasanja soal-soal begini tak

pernah aku bicarakan dengan orang-orang yang baru pernah

ketemu."

"Ah, tidak, bahkah aku merasa tertarik."

Lagi-lagi wajahnya Sheiko menjadi merah.

"Bahkan kadang-kadang aku suka ingin mengetahui,

bagaimana sebenarnya orang-orang lain hidupnya."

Untuk beberapa saat mereka diam.

"Mungkin hidupku sejak masih kecil terlalu dijaga.

Memang di dalam bukupun kita bisa membaca tentang

penghidupan orang lain, tetapi toh tidak sama jika kita

melihatnya sendiri. Apalagi jika mengalami sendiri. Apa

kau masih tinggal disini?"

"Tidak," jawab si pemuda, " syukur tidak lagi. Dari

kecil aku sudah ingin tinggal di tempat lain. Dengan

menabung sedikit demi sedikit akhirnya ibu dan aku bisa

membeli sebuah hotel kecil. Letaknya di pinggir jalan

Nezawache. Kita namakan hotel dan Cafe "Kanaka."- 31
"Oh, hotel Kanaka!" seru Sheiko. "Aku tahu, sering

kulewati jika pergi ke kota. Malahan aku mampir.

Tempatnya enak dan taman bunganya menarik."

Sementara itu tahu-tahu mereka sudah melewati

jembatan Amirita. Angin laut mulai agak dingin. Sheiko

gemetar karena bajunya tipis.

"Nona kedinginan?" tanyanya. Kemudian agak ragu
ragu, "Kau mau minum kopi panas? Aku tahu ada suatu cafe

tidak jauh dari sini."

"Bolehlah," jawab Sheiko. Ia melihat mata Mitoya

bersinar girang ketika tawarannya tidak ditolak.

Beberepa menit kemudian sepasang muda-mudi itu

duduk dihadapan sebuah cafe.

"... Selamat datang, tuan Mitoya. Sudah lama sekali

saya tidak melihat tuan..." pemilik caf? itu berjabat tangan

dengan Mitoya.

Mereka bicara sebentar dan kemudian pemilik cafe itu

buru-buru masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan

Mitoya.

"Bagaimana kau sampai bisa membeli hotel itu?

Sesudah menanya demikian Sheiko buru-buru tekap mulut
nya seperti kesalahan bicara. "Maaf, aku sebenarnya tak

boleh aku menanyakannya."

Sheiko telah bicara tanpa pikir lagi. Ia khawatir si

pemuda menjadi marah.- 32
Namun Mitoya bersenyum, ketika ia perlihatkan

kedua tinjunya.

"Dengan kedua tinju ini." jawabnya. "Nona, apakah

kau pernah bertemu dengan seorang untuk pertama kali,

tetapi rasanya sudah pernah melihatnya?"

" Sering juga."

Sheiko menjadi tertawa.

"Akupun merasakan, demikian terhadapmu. Sejak

pertama tadi bertemu aku merasa sudah pernah melihatmu.

Rasanya terkenal seperti seorang penting."

Sekarang giliran Mitoya tertawa.

"Mungkin aku seorang penjahat yang terkenal."

godanya.

"Tak percaya aku."

"Aku seorang petinju."

"O ya, tentu saja." pikir Sheiko. "Sejak tadi sebenar
nya aku sudah harus menduga. Melihat cara dia menjatuh
kan kedua lawannya." Tiba-tiba ia merasa kecewa, karena

ia tak menyukai sport tinju.

"Tentu kau tidak suka sama tinju. Akupun mengerti.

Banyak orang tidak menyukainya." Tampak wajahnya

sedikit guram.

"Apakah ibumu menyukainya?"- 33
"Ibuku pun tidak suka. Kau tahu kenapa? Ayahku

telah meninggal di gelanggang tinju." kata Mitoya sambil

menunduk, ia goyang-goyangkan sendoknya.

"Kasihan." kata Sheiko penuh perasaan. "Suatu

pukulan berat untuk kamu berdua ..."

"Dahulu kita sangat susah. Ibu harus bekerja keras

untuk mencari makan. Kita ingin pindah, tetapi tak punya

uang. Maka aku cari jalan agar cepat-cepat bisa dapat uang

banyak, maka aku pilih dengan cara tinju. Ibu tidak setuju,

tetapi ia tidak mau menghalangi. Jika aku kalah, ia tak

pernah memperlihatkan rasa kasihan. Dan jika aku menang

ibuku paling bersenyum."

"Ibumu seorang yang luar biasa." kata Sheiko

"Senang benar mempunyai seorang yang dapat mengertimu.

Seseorang yang membiarkan kehendakmu dan tidak

mengeritik jika meleset."

Dengan agak sedih Sheiko membandingkan dengan

ayah ibunya. Tak ada yang seperti ibunya Mitoya. Ayahnya

terlalu melindungi dan ibunya kurang memperhatikannya.

Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah : agar ia menikah

dengan seorang yang kaya raya.

"Memang ibuku seorang yang luar biasa. Ingin sekali

aku ketemukan kau kepadanya."- 34
Sheiko menjadi ragu-ragu dan bingung. Ia kenal

Mitoya baru satu jam. Sebelumnya mereka asing satu sama

lain. Namun kemudian ia cepat mengambil keputusan.

"Akan kutemui ibumu." jawab Sheiko. "Apakah aku

bisa antarkan kau ke hotel? O ya, mungkin kau sendiri

datang dengan mobil."

Mereka saling pandang. Dua pasang mata beradu.

Sheiko merasa jantungnya berguncang dengan keras melihat

tatapan si pemuda. Lagi-lagi ia mendapat suatu rasa yang

aneh di dalam dirinya. Dapatkah seorang jatuh cinta begitu

cepat? Apakah ini yang dinamakan "love at the first sight"?

Sheiko berusaha untuk menghilangkan perasaan itu.

Ia ingat kembali akan kata-kata Nano ... "Jangan kau

cepat-cepat jatuh cinta..."
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mempunyai mobil." jawab Mitoya dengan

bersenyum. "Di dalam kontrak aku dilarang mengendarai

mobil. Kecuali aku mengundurkan diri dari gelanggang."

"Aku harap itu bisa cepat-cepat terjadi," kata Sheiko.

Kemudian ia menyambung : "Hayo mari, Mitoya. Mobilku

aku parkir di depan kantor Bea Cukai."

Hari sudah mulai agak gelap. Dengan gembira

mereka berjalan berdua, seperti dua anak muda yang sedang

berpacaran.

Tiba-tiba Mitoya tertawa bergelak-gelak. Orang
orang yang lewat melihatnya. Sheiko pun menjadi heran.- 35
"Ada apa?" tanyanya.

"Aku baru ingat aku belum tahu namamu..."

"Oh..." Sheiko pun kini turut tertawa.

"Sorry." jawabnya, "aku Sheiko Karito."

Sekonjong-konyong Mitoya merandek. Seperti kaget.

Kemudian ia mengawasi gadis ini dengan tajam.

"Apakah kau anaknya Imoto Karito?" Nada suaranya

tetap tenang namun agak gemetar.

"Ya, betul. Kau kenal ayahku?"

Mitoya menggelengkan kepalanya dan naik ke dalam

mobil. Sheiko duduk dibelakang setir.- 36
LIMA

"Selama hidupku, aku mencari seorang gadis seperti

dia," pikir Mitoya dengan cemas. "Tetapi kini ternyata ia

anaknya seorang jutawan. Sukar didapati. Seperti seekor

katak yang merindukan bulan."

Mitoya berusaha keras untuk menenangkan

perasaannya, namun ia tetap merasa gelisah. Tak bisa ia

menguasai pikirannya. Lagipula siapa yang biasa jika ia

sedang duduk di sebelah gadis yang demikian cantiknya?!

Ia melirik ke arah Sheiko dari samping yang tengah

melihat kedepan. Raut mukanya cantik, dengan profil klasik

yang sempurna.

Tampak Sheiko penuh kepercayaan pada dirinya.

Mungkin karena hidupnya selalu senang. Apakah ia mengiri

kepada gedis ini? Karena sepanjang hidupnya Mitoya telah

berjuang untuk mendapatkan kepercayaan pada dirinya. Dan

ia berhasil. Dengan gemas ia melihat kedua tangannya yang

kasar. Jalan menuju sukses untuk Mitoya sangat sukar.

Tetapi dengan kemauan yang membaja ia berhasil naik

sampai ke tingkat teratas.- 37
Mitoya berpikir untuk meninggalkan gelanggang

tinju. Sewaktu ia masih sehat. Sampai kini ia masih tetap

dapat mempertahankan kejuaraannya. la tak ingin terus

menerus menjadi seorang petinju. Ia melihat banyak contoh

bagaimana petinju-petinju kesohor akhirnya menjadi rusak

badannya. Akhirnya menjadi pengemis.

"Karena apakah nanti aku akan meninggalkan

gelanggang?" tanya Mitoya dalam dirinya.

Mitoya melirik lagi kearah si cantik. Ia bersenyum

atas lamunannya sendiri. Sheiko pun menoleh kearah si

pemuda sebentar. Kemudian matanya memperhatikan lagi

ke jalan.

"Apa kau tidak suka jika wanita yang menyetir?"

tanyanya.

Mitoya mengawasi dengan tajam.

"Tidak." jawabnya. " Aku tidak suka."

"Mengapa?"

"Sukar untuk memberi jawaban. Mungkin karena

sedikit mengiri." Si pemuda kemudian tertawa.

"Wanita sangat pandai menyaingi kaum lelaki. Lama
lama kita akan terdesak ke samping. Tetapi ... kau menyetir

sangat baik, ini harus kuakui."

"Aku senang sekali menyetir. Ini adalah aku punya

hobby. Jalanan bagiku kebebasan. Jika duduk di belakang- 38
setir, maka rasanya seperti bebas dan berkuasa. Bebas

karena kita bebas memilih arah kita. Berkuasa karena kita

berkuasa atas mobil yang berjalan menurut kehendak kita.

Namun menyetirpun harus kita melakukan sebaik-baiknya.

Demikian pula dengan lain-lainnya. Aku paling tak senang

sama orang yang bekerja sembarangan, yang tinggalkan

setengah jalan, yang belum apa-apa sudah putus asa."

Mitoya dengan kagum dengarkan ucapan si gadis.

Padanya kita tidak boleh separoh-separoh. Dibalik kecantik
an yang mempesonakan terdapat watak yang kuat.

Berpendirian teguh, mungkin ini diwarisi dari ayahnya.

"Apa kau suka berkelahi?" tanya Sheiko kemudian.

"Ku maksudkan, apakah barangkali berkelahi mem
berikan suatu perasaan berkuasa kepadamu. Berkuasa atas

lawanmu karena kau lebih kuat. Atau mungkin untuk meng
hilangkan suatu pikiran yang menekan?"

"... Semuanya tidak," jawab si pemuda. "Aku bertinju

hanya untuk mencari uang."

Mitoya mengerti maksud pertanyaan Shieko. Petinju

memang biasanya dianggap kejam, namun tidak semuanya

bersifat demikian.

"Sorry," kata Sheiko, "tak boleh sebenarnya ku tanya

demikian."

"Ah, tidak apa-apa, Sheiko. Bagiku bertinju hanyalah

suatu alat untuk mencapai tujuan."- 39
Sebenarnya Sheiko tak boleh mencampuri urusan

pribadinya. Namun suatu perasaan timbul dalam dirinya.

untuk mengetahui lebih banyak tentang Mitoya. Mengenai

diri pribadinya, wataknya, tujuan hidupnya.

"Apa yang akan kau lakukan sesudah meninggalkan

gelanggang tinju?" tanyanya tiba-tiba.

"Belum kupikirkan sampai begitu jauh. Sebenarnya

sudah harus kuketahui... Karena beberapa hari lagi aku harus

pertahankan kejuaraanku."

Mitoya melihat Sheiko seperti heran.

"Kau merasa heran mengapa aku sekarang masih

keluyuran jalan-jalan bukan?'

Sheiko mengangguk.

"Soalnya mudah saja. Aku harus mengurus sesuatu di

kantor pajak. Tokejo pelatihku, tidak mengerti soal-soal

begini. Jadi aku harus mengurus sendiri. Ia hanya mengurus

agar kondisi badanku tetap baik dan dalam hal ini ia

memang ahli."

"Kapan kau hendak mengundurkan diri?"

"Perebutan kejuaraan ini mungkin akan yang terakhir.

Untuk Hayakawa atau aku, kita berdua belum terkalahkan."

Tak lama lagi mereka sampai di muka hotel Kanaka.

Sheiko merasa sangat tertarik kepada penandangan

yang meliputi hotel ini. Didepan hotel terdapat suatu taman- 40
bunga yang sangat indah. Tampaknya terawat baik. Rumput

hijau dengan diselingi bunga-bunga yang beraneka warna

memberikan suatu perasaan lega dan tenang.

Beberapa puluh meter dari hotel tampak sebuah

rumah yang mungil. Sheiko menarik napas. Senang benar

rasanya untuk tinggal di situ. Ia menoleh dan melihat Mitoya

tengah mengawasinya dengan tertawa.

"Indah benar semuanya ini," katanya dengan kagum.

"Namun dibandingkan dengan kau tak ada separoh

cantiknya," bisik Mitoya. Suaranya terdengar serius. Lalu ia

memegang lengannya Sheiko untuk mengajaknya masuk ke

dalam hotel.

Dari luar sudah terdengar suara banyak orang. Dari

segala arah orang menyapa Mitoya.

"Ibumu tadi pulang sebentar," seru pembantunya.

"Mari ikut Sheiko, aku hendak perkenalkan kau

kepada ibuku."

Ibunya, nyonya Kanaka ternyata orangnya sangat

centik. Walaupun sudah agak tua, namun bekas-bekas

kecantikannya masih dengan jelas tampak.

Sheiko dan nyonya Kanaka saling pandang yang

kemudian bersenyum manis, ia menghampiri Sheiko dan

mengangsurkan tangannya. Sikapnya sangat welas asih.- 41
"Pergilah kau bantu di hotel," katanya kepada Mitoya.

"Tinggalkan saja ia di sini."

Mitoya bersenyum dan lalu pergi.

"Duduklah, Nak. Anggaplah seperti di rumahmu"

kata nyonya Kanaka repot. "Udaranya agak dingin. Aku

sudah nyalakan perapian. Nanti kuseduhkan teh sebentar."

Sheiko duduk dikursi sambil melihat-lihat disekitar
nya. Di dalam hati ia memuji. Semua tampak bersih dan

berkilat. Menandakan seorang nyonya rumah yang resik dan

rajin.

"Aku merasa senang sekali kau datang kemari, Nak,"

kata nyonya Kanaka ketika kembali masuk.

"Di sini sangat sunyi. Harus ada anak-anak muda

untuk meriahkan suasana. Apa kau sudah lama kenal sama

Mitoya?" tanyanya.

"Kita baru tadi saja berkenalan ..."

"Apa?!" seru nyonya Kanaka kaget. "Tadinya kukira

kamu sudah lama kenal satu sama lain. Jangan marah, Nak.

Cara aku menerima kau..."

"Oh, tidak apa-apa. Bahkan aku merasa senang sekali

sama Nyonya. Sungguh!" jawab Sheiko.

"Kau sangat baik, Nak."- 42
"Ah, mari aku tuangkan tehnya. Nyonya duduk saja

disitu." Sudah lama Sheiko tidak melakukan demikian dan

ia merasa senang sekali.

Kemudian dengan asik mereka mengobrol berdua,

Tampaknya cocok satu sama lain.

"Belum pernah aku merasa senang seperti malam

ini," kata Sheiko sejam kemudian.

Nyonya Kanaka bersenyum girang. Dengan rasa puas

ia duduk menyender di kursi di dekat perapian.

"Aku pun merasa bahagia Nak. Sudah lama sekali aku

tidak bicara begini dengan seorang gadis seperti kau,

Sheiko. Dan aku ingin sekali mendengar pendapatmu

tentang Mitoya. Memang kau baru saja bertemu dengannya,

tetapi biasanya kesan-kesan pertama itulah yang penting."

"Aku tidak tahu pasti, tetapi kesanku tampaknya ia

wataknya keras dan agak bandel. Rasanya ia mudah sekali

dapat teman baik, tetapi juga mudah mendapat musuh.

Kepada teman ia sangat membela, kepada musuh ia

berbahaya."

Dengan sangat senang Sheiko duduk menyender

Diceritakannya mengenai keadaan dirumah. Mengenai
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan dengan ayah ibunya. Bagaimana ayah sangat

memanjakannya. Bagaimana ia jauh dari ibunya.

Nyonya Kanaka dengan penuh perhatian

mendengarkan. Ia berdiam sejenak. Kemudian ia berkata :- 43
"Sheiko apa yang kau katakan tentarng Mitoya tadi

memang benar. Tapi kau lupakan satu hal. Yaitu tenaga

yang termakan untuk mengejar cita-citanya. Kau paham,

Nak?"

"Ya, inipun demikian dengan ayahku."

Dikamar itu lalu sunyi. Nyonya Kanaka memandang

dengan kosong kearah perapian. Apakah ia sedang

lamunkan suaminya yang telah meninggal di gelanggang

tinju? Sheiko sekilas telah melihat sebuah foto tergantung di

tembok. Rupanya itu foto ayahnya Mitoya karena banyak

miripnya.

"Nyonya mestinya merasa sangat kehilangan..." kata

Sheiko sambil menunjuk kearah potret itu. Ucapan si gadis

membikin ia sadar dari lamunannya. Untuk sejenak ia

memeramkan matanya.

Bagaimana ia dapat ceritakan perasaan hatinya ketika

ditinggalkan suaminya? Hari-hari menjadi sepi, kosong

tanpa isi. Malam menjadi suatu derita yang hanya dapat

dilewati dengan tangis. Hati merasa pedih perih seperti di

sayati dengan pisau. Lebih-lebih ketika melihat anak laki
lakinya berangkat besar, yang makin lama makin mirip

dengan ayahnya...

Apalagi ketika anaknya mengatakan hendak maju ke

gelanggang tinju. Bagaimana ia dapat mengurai kebencian

nya jika melihat Mitoya menyerang lawannya. Memukul

jatuh lawannya seperti ... tak mungkin untuk menceritakan.- 44
Dengan sedih nyonya Kanaka bersenyum. Tampak
nya kedua anak muda ini sudah saling jatuh cinta.

"Aku sangat kehilangan, Nak." jawabnya kemudian.

"Kami sangat cinta satu sama lain. Ia termasuk golongan

lelaki yang hanya mengenal satu wanita di dalam hidupnya.

Persis seperti Mitoya. Belum pernah mengajak teman

perempuan kemari."

"Hello..." tiba-tiba suara Mitoya memecah kesunyian.

"Banyak benar orang yang datang!"

"Seharusnya kau sudah ada diranjang." kata ibunya

tenang. "Tokajo telah minta aku mengawasi. Duduklah di

sini, nanti kusediakan makanan."

"Kau tampaknya letih." kata Mitoya kepada Sheiko.

"Sesudah makan, akan kuantarkan pulang."

"Tidak usah" potong Sheiko cepat. "Kau harus

menjaga kondisi badanmu. Lagipula aku datang dengan

mobil. Sebentar juga sampai."

"Ya, apa boleh buat. Eh... bagaimana pendapatmu

tentang ibuku?"

"Ia seorang wanita yang luar biasa." jawabnya

sejujurnya. "Aku merasa senang sekali kepadanya."

Mitoya bersenyum gembira karena si cantik ternyata

cocok dengan ibunya.- 45
Mereka berdua lalu kelelap di dalam pikiran masing
masing. Sewaktu-waktu kedua pasang mata beradu. Mata

sudah berbicara. Hanya sang mulut belum berkata.

Tak lama lagi nyonya Kanaka kembali. Sheiko segara

berpamitan.

"Kapan kita bertemu lagi?" tanya Mitoya ketika

mereka berdiri didepan mobil.

Sheike berpikir sejenak. Ia tak mau sampai Mitoya

tersinggung perasaannya karena ia sudah menduga bahwa

ibunya tidak akan menyukainya.

"Hari Jum?at ayah akan mempertunjukkan barang
barang permata di rumah. Ia mengundang relasi dagang dan

kenalan. Aku rasa tidak akan mengganggu latihanmu,

karena tidak sampai malam-malam. Datang ya, Mitoya!"

mintanya dengan nada memohon.

Sheiko melihat mata si pemuda berubah tegang ketika

ia menyebut soal barang-barang permata ayahnya. Ia jadi

khawatir Mitoya tidak mau datang.

"Jam berapa aku harus datang?"

"Jam enam."

Sheiko bersenyum girang ketika naik ke mobilnya,

Mitoya datang lebih mendekati. Sheiko berguncang keras

hatinya. Tiba-tiba Mitoya membungkuk ke arahnya dan

menekan bibirnya ke atas bibir si cantik yang seperti

menengadah menanti.- 46
"Sheiko, kau sangat cantik dan mempesonakan.

Belum pernah aku berjumpa dengan seorang gadis seperti

kau," kata Mitoya. Lalu cepat-cepat ia bertindak pergi.

Seperti seorang yang sukar mengendalikan dirinya.

Si gadis menstarter mobilnya. Hatinya bersorak.

Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah karena ia

bertemu dengan seorang yang wataknya menyerupai ayah

nya? Tak dapat ia menjawab. Namun bagaimanapun

pertemuannya dengan Mitoya memberi kesan yang dalam.- 47
ENAM

Ketika tiba di rumah, Sheiko melihat semua lampu

sudah dinyalakan. Terang benderang sampai ke halaman

muka. Tampak ayahnya sedang berdiri membelakangi

perapian dengan sebuah gelas di tangannya.

Imoto Karito berpotongan kekar. Namun kini tampak

mulai agak gendut perutnya. Mukanya agak merah,

mungkin karena sudah banyak meminum whiski. Dengan

wajah berseri-seri ia berbicara dengan istrinya.

"Sheiko! Baby!" seru Imoto ketika melihat gadisnya

bertindak masuk. Dengan tindakan lebar ia menghampiri

dan memberikan ciuman kepada anaknya.

Untuk sekilas Sheiko masih sempat melihat ke arah

ibunya. Sorot mata Fuchi penuh kebencian. Ia menjadi

kaget. Namun sinar kebencian segera menghilang dan

diganti dengan suatu senyum manis.

"Aku sudah memikirkan kau, Sheiko! Malam benar

baru pulang!"- 48
"Kita sedang membikin rencana untuk hari Jum?at"

kata Imoto. "Aku harap saja akan sukses dan menghasilkan

banyak transaksi."

"Aku kira tadinya hanya untuk tujuan sosial." Sheiko

heran.

"Memang begitu, tetapi disamping itu aku undang

juga beberapa orang penting. Ini suatu ketika yang baik.

Peragawati yang cantik dengan perhiasan yang bagus. Eh,

daftar tamu apa sudah siap?" tanyanya kepada isterinya.

"Sudah. Dan hampir setiap undangan akan datang."

"Oya. Mam" sela Sheiko. "Boleh aku tambah

dengan seorang temanku?"

"Tentu!" jawab ayahnya, "tambahkan saja."

"Kau tidak berkeberatan. Mammie?"

Nyonya Karito merasa agak heran. Sudah lama

Sheiko tak pernah menanya pendapatnya.

"Tentu tidak, Sheiko. Siapa namanya?"

"Mitoya. Mitoya Kanaka," suara si gadis agak

gemetar.

"Mitoya Kanaka?" ulangi Imoto. Ia mengerutkan

dahinya. "Rasanya pernah dengar, tetapi dimana. ya?"

"Aku tak kenal," tukas ibunya. "Apakah ia salah

seorang dari kalangan kita?"- 49
"Bukan," jawab Sheiko.

"Pekerjaannya apa? Apakah ia berdagang?" tanya

ayahnya lagi.

Sheiko tak mau banyak bicara. Ia lalu berdiri dan

menuju kepintu.

"Ia seorang petinju," jawabnya singkat. Lalu cepat
cepat ia keluar. Sebelum pintu ditutup ia masih dengar

ibunya berbicara.

"Seorang petinju!?! Apa artinya ini?"

Ayahnya tampak memandang kosong ke arah pintu.

"Imoto!" seru isterinya. "Kau dengar apa yang Sheiko

katakan? Seorang petinju!"

"Ya," jawab Imoto bersemangat. "Tetapi bukan

sembarang petinju, tetapi juara nasional"

Lalu Imoto mengambil sikap dan dengan main-main

meninju ke arah bayangannya di kain gordin.

"Imoto! Jangan seperti orang gendeng!" tampak sinar

matanya Fuchi penuh benci.

"Mungkin kau sangat kagumi petinju itu, tetapi aku

tak menyukai jika Sheiko bergaul dengannya."

Imoto menatap isterinya dengan tajam.

"Memang, Fuchi. Aku sangat kagumi Mitoya

Kanaka. Pernah aku melihatnya. Satu hal hendak kukatakan- 50
kepadamu, aku merasa sangat kecil jika dibandingkan

dengannya." Suaranya agak gemetar dan penuh emosi yang

sedang bergolak.

"Mitoya badannya tinggi besar, kuat, kekar dan

berkemauan teguh. Aku kagumi keberaniannya, ketetapan

hati yang seperti baja. Seorang diri ia masuk ke gelanggang.

Tanpa ada orang yang bisa menolong, tanpa bisa mundur

kembali. Hanya ada publik yang berteriak dan seorang

lawan yang hendak menjatuhkannya. Mitoya tak pernah

minta sesuatu, ia berdiri seoreng diri..."

Tercengang Fuchi mengawasi suaminya. Belum

pernah Imoto berbicera dengan penuh emosi seperti

sekarang ini. Melihat isterinya tercengang, ia sadar.

"Sorry," katanya "Tetapi aku selalu mengagumi

orang-orang yang tanpa pertolongan bisa naik ke atas.

Jangan lupa, aku pun seorang self made man."

Nyonya Karito bersenyum. Agak pahit tapinya.

"Tentu saja," pikirnya. "Tetapi rupanya dia lupa

bahwa aku yang harus mendorong dari belakang. Hanya...

apakah tindakan aku ini benar?"

Imoto merasa bahwa pada hari-hari belakangan

isterinya tampak berubah. Gampang tersinggung dan cepat

marah. Apakah maunya? Uang, pakaian, cukup sedia. Mobil

selalu siap untuknya. Mungkin juga karena Fuchi terlalu

banyak waktu menganggur sehingga cari-cari pikiran.- 51
Imoto mengangkat pundaknya. la tidak memikirkan

Isterinya lagi. Benaknya penuh dengan pertemuan yang

akan diadakan nanti.- 52
TUJUH

Dengan merasa segar Sheiko esok paginya bangun.
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar terdengar suara burung bercicit. Sang surya

memancarkan sinarnya laksana taburan emas.

Semua bagi Sheiko tampak gembira, segala kelihatan

indah. Apakah ini kerena cinta?

Dengan lincah ia melompat turun dari pembaringan

sambil bernyanyi kecil. Cepat-cepat ia mandi. Selagi

berpakaian pikirannya ingat lagi kepada Mitoya. Sheiko

merasa kangen.

Pemuda ini telah berkesan datan dihatinya. Rasa ingin

benar ia melihat lagi Mitoya. Apakah ia banyak pemujanya?

Apakah ia banyak pacarnya? Tapi bukankah ibunya telah

mengatakan bahwa anaknya tak pernah membawa teman

gadis ke rumahnya?

Kalau dipikir lucu juga. Tiba-tiba jatuh cinta kepada

seorang yang baru di temuinya. Mungkin si pemuda sudah

tidak ingat lagi kepadanya. Karena benaknya penuh dengan

segala pikiran, maka ia ambil keputusan untuk berjalan-jalan

naik kuda.- 53
Di dalam rumah masih sunyi. Sheiko malihat

arlojinya. Ia bersenyum sendiri. Tak heran belum ada yang

bangun karena masih terlalu pagi.

Sheiko memilih sebuah jalan di pinggir hutam. Tiba
tiba di kejauhan ia melihat, dua orang yang sedang menuju

kearahnya. Ternyata itu adalah Mitoya dan Tokajo,

pelatihnya. Mitoya sedang dilatih pernapasannya dengan

berlari perlahan-lahan. Dengan ringan ia berlari disamping

Tokajo yang naik sepeda

"Hallo!" seru Mitoya ketika ia melihat si gadis.

"Aku pikir siapa yang rajin pagi-pagi berlari-lari,"

tertawa Sheiko.

"Tokajo dan aku sudah mulai sejak jam 5.30," kata

Mitoya. Lalu sambil melirik kearah pelatihnya ia menyam
bung, "Tampaknya dia juga girang yang aku berhenti

sejenak."

Tokajo menggerutu.

"Jika kau hendak dapat longonsteking dengan

berhenti disini, mengapa aku harus berkeberatan?"

Sheiko melihat kearah Tokajo.

"Jangan ladeni ia," tukas Mitoya. "Kalau sedang

berlatih, ia memang sangat kejam."- 54
"Kau rupanya sangat memusingkan pelatih," Sheiko

melihat bahwa hubungan antara Mitoya dan pelatihnya

sangat erat.

"Menang, dia merongrong aku," sambung Tokajo

ramah. "Persis seperti ayahnya."

Baru Sheiko hendak mengatakan sesuatu, atau tiba
tiba terdengar suara kaki kuda berlari. Mereka semua

menoleh dan melihat seekor kuda sedang berlari kencang. Si

penunggang seperti sedang dalam pacuan yang menyuruh

kudanya berlari lebih kencang lagi.

"Tokajo, awas!" teriak Mitoya. "Orang gila itu bisa

menabrakmu!"

Pelatih tua itu dengan cepat meloncat kesamping dari

sepeda. Tetapi karena kaget kakinya tersangkut sehingga ia

jatuh tersungkur di tanah.

Sementara itu sang kuda berlari dengan cepat persis

disampingnya. Untung tidak kena injak. Terdengar tertawa

bergelak-gelak dari si penunggang yang lalu dengan cekatan

membalikkan kudanya.

"Pagi-pagi begini sudah mabuk?" ejeknya.

Lalu ia berpaling kepada Sheiko. "Apa kau baik-baik

saja, Sheiko?" sapanya.

Si gadis tak keburu menjawab lagi. Tahu-tahu, ia

melihat Mitoya mengangkat si penunggang dari pelananya.

Tampak lelaki itu menjadi pucat wajahnya. Walau pun ia- 55
bertubuh kekar, namun ternyata ia dengan mudah dapat

diangkat.

Wajah Mitoya tampak dingin.

"Bangunkan Tokajo," perintahnya dengan kalem.

"Dan bersihkan abu yang menempel dibajunya!"

Tiba-tiba Mitoya melepaskan pegangannya dan

mendorong ke arah Tokajo. Tadinya lelaki itu tidak mau

meladeni, namun pandangan bengis dari Mitoya sudah

cukup untuk menundukkannya. Dengan menggumam minta

maaf ia lalu membangunkan Tokajo.

"Sekarang cepat naik kudamu lagi dan enyahlah!"

perintah si petinju.

Kecongkakan mulai timbul lagi ketika ia sudah naik

di atas kudanya.

"Bikin apa kau di sini, Sheiko?" tanyanya. "Mau apa

kau campur mereka?"

Laksana kilat Mitoya menggeprak belakang kudanya

dengan tangan terbuka. Karena kaget kuda itu berdiri atas

dua kaki. Hampir penunggangnya terlempar jatuh. Lalu

dengan cepat kabur ke depan.

Baru sekarang Sheiko berbicara. "Sebenarnya jangan

kau kagetkan kuda itu. Ia bisa mati terlempar jatuh ..." Ia

berhenti bicara ketika melihat sang kuda berjalan perlahan.- 56
"Ia hampir menabrak Tokajo," jawab Mitoya. Heran

ia mengawasi si gadis.

"Tapi toh tidak kena. Kau tak boleh menghina dia"

"Mengapa ia tidak lebih hati-hati?" tukas Mitoya

penasaran.

"Kau juga berdiri tidak di pinggir. Lagipula kau

berada ditanahnya."

"Memangnya siapa dia?"

"Kojiro Tokugawa. Salah seorang kenalan dari ibuku

dan aku."

"Huh, teman begitu harus diberi pelajaran."

"Kau pun demikian," balas Sheiko agak sengit.

"Sorry, Tokajo. aku harap saja kau tidak sampai terluka."

Lalu ia mengedut tali kekangnya untuk menyusul

Kojiro.

"Huh, dasar perempuan," gumam Mitoya.

"Mari kita teruskan latihanmu," kata Tokajo

menyimpang.

"Bagaimana pendapatmu, Tokajo?"

"Ia benar!"

"Benar? Kau pun orang aneh! Tadi hampir kau mati

diinjak kuda..."- 57
Namun Tokajo tak menjawab, ia hanya menjamplak

sepedanya.

Bengong Mitoya mengawasi, "Ia benar," katanya.

"Aneh orang-orang ini..." Kemudian ia mulai berlari

menyusul Tokajo.

Dengan marah Sheiko menyusul Kojiro.

"Hampir kau menabrak lelaki itu," sentaknya sambil

turun dari kudanya,

"Ah, dia tidak apa-apa. Lagipula dia berada ditanah
ku."

Kojiro adalah seorang pemuda yang cakap. Ia

menghindari pandangan si gadis yang masih marah.

"Walaupun demikian, kau bisa perlahankan kudamu

itu."

Kojiro tidak mau bertengkar. Dengan pandangan

seperti macan lapar ia menjelajahi tubuh si gadis yang

menggiurkan. Sheiko memakai celana jean yang ketat

sehingga garis-garis lengkung dari badannya tampak jelas.

"Biarpun begitu Mitoya seorang laki-laki," kata

Sheiko penasaran.

"Oh, rupanya aku kau tidak anggap demikian. Akan

kutunjukkan kau..."- 58
Dengan tiba-tiba ia merangkul tubuh Sheiko dengan

bernapsu. Si cantik didekapnya erat-erat pada dadanya.

Sheiko hampir tak bisa bernapas ketika mulutnya Kojiro

menutupi bibirnya.

Darah muda Kojiro mengalir dengan deras di dalam

tubuhnya. Rasa berahinya kian memuncak. la menjadi lupa

daratan. Diciuminya Sheiko bertubi-tubi pada bibir nya yang

dirasakan seperti madu, lalu turun ke leher...

Si gadis menjadi sangat murka. Dengan nekad ia

berontak-rontak namun Kojiro bertambah napsu karenanya

Sheiko mendapat akal. Dengan gemas ia menggigit lengan

si pemuda yang mulai menggerayangi tubuhnya. Sesudah

lengannya bebas, ia mencakar wajahnya Kojiro sehingga

berdarah.

"Aduh ...!" teriak pemuda berandal ini yang segera

melepaskan rangkulannya.

Dengan cepat Sheiko menceplak kudanya dan lantas

dikaburkan. Saking murka Sheiko sampai mengeluarkan air

mata. Sesudah dekat sampai dirumah, barulah ia menepas

matanya.

Perlahan-lahan ia dapat menguasai lagi perasaannya.

Pagi ini pagi yang sial baginya. Sebenarnya ia tak usah

bertengkar dengan Mitoya. Perlakuan Kojiro terhadap

dirinya pun tak heran. Dasar memang wataknya rendah. Dan

dengan lelaki semacam beginilah ibunya hendak

mengawinkan ia.- 59
Apakah Mitoya masih mau datang besok? Ah,

mengapa aku tidak berlaku lebih manis terhadapnya...?

Pusing Sheiko memikirkan, ia menggeprak kudanya

untuk cepat-cepat masuk ke dalam kandang.- 60
DELAPAN

Esok harinya ...

Sejak pagi orang-orang sibuk mengatur untuk

pertunjukan peragawati sebentar malam. Sheiko tidak ikut

campur. Ibunya sangat repot. Wajahnya tampak berseri.

Soal Mitoya tidak disinggung lagi.

Akhirnya semua sudah siap sedia. Tamu-tamu sudah

mulai datang.

Sheiko merasa sangat tegang. Rasa camas men
cengkram dirinya. Apakah Mitoya masih mau datang

sesudah pertengkaran itu? Datang atau tidaknya si pemuda

sangat penting baginya. Syukur ia masih dapat mengendali
kan perasaannya sehingga tak tampak ke luar.

Senyum manis selalu terlukis di bibirnya ketika ia

menyambut teman-temannya. Sebenernya Sheiko tidak suka

akan pesta-pesta begini. Berlainan dengan temannya, Tone

Seaaki yang tampaknya gangat gembira.

Ia tidak begitu menyukai Tone Sasaki. Tone adalah

seorang gadis yang genit, yang selalu mencari perhatian- 61 Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki. Seorang flirt type. Karena ia cantik maka para

pemuda pun senang bergaul dengannya.

Tone sibuk berbicara dari satu kelain tempat. Persis

separti kupu-kupu yang beterbangan menclok sana sini.

Kelihatan Kojiro juga datang. Sikap congkak dan tengik dari

seorang pemuda yang kaya sangat menonjol pada dirinya.

"Sedang menantikan "very important person", Sheiko

dear?" tanya Tone tiba-tiba.

Kaget ia menoleh ke belakang. Rupanya Tone yang

cerdik sejak tadi telah memperhatikannya.

"Apa...?" tanya Sheiko gugup.

"Kutanya apakah kau sedang nantikan "very

important person" karena sejak tadi kulihat kau seperti

gelisah. Sebentar-sebentar kau menengok kedepan."

Dengan tertawa kecil Tone segera menghilang lagi

untuk bergabung dengan anak-anak muda lain.

Tak lama kemudian Sheiko melihat Mitoya. Dangan

sikap acuh tak acuh ia berjalan masuk. Untuk sejenak ia

berdiam mengawasi para tamu. Hatinya Sheiko berguncang

keras. Mitoya penuh kepercayaan pada dirinya, namun

sedikit sombong.

Sekarang ia baru melihat dangan jelas potongan

badannya yang tinggi besar. Sebuah senyuman sinis terlukis

pada wajahnya. Dapat diduga apa yang dipikirkan tentang

orang-orang itu, yaitu memandang rendah. Tiba-tiba- 62
wajahnya berubah. Bersinar terang ketika melihat Sheiko di

muka jendela sedang menantikannya. Tergesa-gesa Sheiko

keluar menyambut. Hatinya merasa bungah.

"Hallo, Sheiko!" sapanya manis.

Sikap congkak sudah hilang sama sekali. Sekarang

mirip seorang anak sekolah yang malu.

"Aku senang sekali kau datang, Mitoya!"

Segera Sheiko memegang tangannya Mitoya untuk

diajak masuk ke dalam.

"Aku hendak perkenalkan kau kepada ayahku. la

berada di kamar baca. Ibu berada diantara tamu, sebentar

juga ia datang."

Imoto Karito tengah berdiri di muka sebuah lemari

kaca. Di dalamnya terdapat barang-barang permata yang

harganya mahal.

"Pappie." terdengar suara Sheiko malu-malu. "Aku

hendak memperkenalkan kau kepada temanku."

Imoto berpaling ke arah anaknya. Ia lalu berjabatan

tangan dengan Mitoya.

"Apa kau sudah melihat barang-barang permatanya,

Mitoya?" tanya Imoto.

Mitoya mengangguk, tetapi tidak mengatakan apa.

"Bagaimana pendapatmu?"- 63
"Memang bagus-bagus semuanya." jawab Mitoya.

"Tetapi dingin dan menakutkan."

"Akupun berpendapat demikian, Mitoya." tambah

Sheiko. "Keindahannya dari barang-barang itu tampaknya

seperti ... seperti tidak wajar."

"Ha-ha-ha." tertawa ayahnya. "Wajar atau tidak,

tetapi kalung itu harganya seratus ribu dollar."

"Apa Tuan tidak merasa khawatir dengan begitu

banyak barang-barang berharga?"

"Oh, Pappie tidak mau menanggung risiko. Ada

beberapa orang detektif di antara tamu." jawab Sheiko

sambil tertawa.

"Buat apa memikul risiko." kata Imoto. "Barang
barang permata itu harganya amat besar dan..."

"Dan aku gemar sekali barang permata." terdengar

nyonya Karito menyambung. Fuchi telah berjalan masuk

tanpa terdengar, ia segera menggabungkan diri.

Tampak ia sangat perhatikan Mitoya. Ia mengangsur
kan tangannya kepada si pemuda.

Wajahnya Mitoya rupanya memuaskan juga.

Pandangan matannya kemudian beralih kegadisnya.

"Mengapa kau tidak mengajak temanmu kepada

kalangan kita untuk diperkenalkan?" tanyanya. Dengan

sengaja kata 'teman' dan 'kalangan kita' ditekan nadanya.- 64
Maksudnya tak lain untuk menjelaskan bahwa si pemuda itu

dianggap sebagai orang luar. Namun Mitoya hanya ganda

tertawa dan berjalan pergi dengan Sheiko. Selembar

wajahnya Sheiko menjadi merah. Kata-kata ibunya sangat

jelas, tak mungkin diartikan lain.

Ia merasa sangat malu karenanya. Ingin ia mengata
kan sesuatu untuk memperbaikinya, namun ia khawatir

salah bicara. Bahkan suasananya bisa bertambah buruk.

Sheiko melihat Mitoya seperti tegang ketika matanya

memandang ke arah para tamu. Musik halus terdengar ter
campur suara bicara dan tertawa. Mitoya menoleh kepada

Sheiko yang segera bersenyum manis kepadanya. Melihat

senyumnya si cantik, maka separoh lenyaplah segala

ketegangan. Dengan manja Sheiko menggelendot di pundak

si pemuda.

"Di ruangan tengah ada band," katanya. "Mari kita

kesana..."

Ruang untuk dansa dihiasi sangat indah. Lampu

beraneka warna menyinari dengan remang-remang

membikin suasana tambah romantis. Hanya beberapa

pasang yang tengah berdansa.

Mereka segera turun di lantai licin. Dalam

pelukannya Mitoya, Sheiko merasa sangat bahagia. Belum

pernah ia bahagia seperti sekarang ini. Ia menengadah ke

arah pertnernya sehingga dua pasang mata beradu ...- 65
"Kau sangat cantik. Sheiko dear," bisik Mitoya

dikupingnya. "Belum pernah kubertemu dengan bidadari

secantik engkau..."

Sheiko tak menjawab. la hanya memandang dengan

penuh arti. Kata-kata tak perlu. Terpengaruh suasana

romantis dan alunan musik yang merdu, ia lebih ingin

merapatkan tubuhnya kepada si jejaka.

Mitoya pandai sekali berdansa. Mengikuti irama

waltz Sheiko seperti melayang-layang di udara. Bukan main

bahagianya. Sheiko melupakan segala telinganya hanya

mendengar musik. Ia hanya ingat bahwa ia di dalam

rangkulan pemuda yang telah merebut hatinya.

Mereka berdua tidak tahu bahwa pasangan lainnya

sudah meninggalkan lantai. Tinggal mereka saja. Saking

bahagia Sheiko meramkan matanya. Seperti hendak

meresapkan malam nan indah ini.

Mitoya ingin mengutarakan rasa hatinya. Namun

mulutnya seperti terkancing. Susah untuk memulainya.

Tahu-tahu musik sudah berhenti. Barulah mereka sadar dari

alulnan impian.

"Kau sangat pandai berdansa," kata Sheiko lincah

ketika mereka berpegangan tangan meninggalkan lantai

licin.

Mitoya bersenyum, "Akupun belum pernah bertemu

dengan partner sepandai kau"- 66
"Teruskan! Jangan buang-buang ketika baik," suara

berbisik di dalam pikiran Mitoya. "Katakan bahwa kau

sangat mencintai dia. Tanya apakah dia juga membalas

cintamu. Jangan ragu-ragu... utarakanlah rasa hatimu"

Si pemuda memberanikan hatinya. Ia berdehem

karena kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.

"Sheiko..." demikian ia mulai. "Aku hendak

mengatakan sesuatu kepadamu. Selama hidupku aku merasa

kesepian... dunia ini rasanya sunyi, sampai aku"

Namun ucapannya terpaksa terhenti ditengah jalan.

Karena tiba-tiba dibelakang mereka terdengar suara merdu

yang mengganggu pembicaraan mereka.

"Sheiko dear, aku cari kau dimana-mana. Pantas kau

menyembunyikan diri. Hayo, perkenalkan aku dong

kepadanya." Itu ternyata adalah Tone yang datang menyela.

Di dalam hati Mitoya memaki. Dengan rasa

mendongkol ia menoleh ke arah si pengganggu ini. Namun

rasa marahnya menjadi hilang lenyap seperti salju terkena

sinar matahari ketika matanya beradu dengan matanya Tone

yang genit.

Memang harus diakui Tone adalah sangat

menggiurkan. Lelaki manapun akan meleleh hatinya jika

melihatnya. Wajahnya yang cantik dihias dengan sepasang

mata bola yang genit menantang.- 67
Tubuhnya yang kencang dan berpotongan gitar

membikin orang tak bosan memandangnya. Jika berjalan

maka tambah asyik orang melihat dari belakang. Ditambah

lagaknya yang genit, mulutnya yang lincah. Tak heran jika

Mitoya pun sampai terpesona.

"Dansa yang akan datang untukku," kata Tone sambil

mengerlingkan matanya ke arah si pemuda.

Tak lama lagi band mulai main. "Mari kita berdansa,

Mitoya." Ajaknya sambil menyeret tangan partnernya. Tone

lalu merapatkan badannya dalam pelukannya Mitoya untuk

mengikuti alunan musik.

Tone memakai parfum "Tabu" yang mendesirkan

darah muda partnernya yang belum pengalaman. Si genit ini

memakai rok dari sutra tipis, sehingga tangan Mitoya

seolah-olah menembus memegang kulitnya. Napas si gadis

yang sangat harum meniup wajahnya membikin juara tinju

ini tak keruan rasanya.

Tone ternyata juga pandai berdansa. Namun tiba-tiba

ia berhenti.

"Aku merasa lelah," katanya. "Mari kita duduk
duduk beromong-omong sebentar."

Tak dapat Mitoya menolaknya. Tapi ia mengerti

bahwa selekas mungkin ia harus mencari alasan untuk pergi.

"Dimana kau bertemu dengan Sheiko?" bertanya

Tone.- 68
"Ya, secara kebetulan saja," tertawa Mitoya. Ia pun

merasa tertarik kepada si lincah ini.

"Memang itu satu-satunya jalan untuk barkenal

dengan seorang juara petinju..."

Heran Mitoya menengok. "Kau tahu aku siapa?"

"Tahu dong! Aku selalu melihat pertandinganmu!"

Tak mungkin rasanya jika seorang gadis cantik suka

menonton tinju.

"Apa kau senang melihatnya, Tone?"

"Sebenarnya tidak. Ngeri aku melihat knock off.
Jiwa Remaja Karya Yos Guwano di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin hanya untuk menghilangkan pikiran yang

menekan. Ini dikatakan seorang psichiater, kenalanku."

Mitoya mengangguk.

"Apakah benar gelanggang tempat yang paling sunyi

di dunia ini?" tanya Tone lagi.

"Ya, kadang-kadang aku pun merasakan demikian."

"Coba kau ceritakan kepadaku." Lalu dengan penuh

perhatian ia melihat kepada si juara.

"Rasa sunyi itu paling terasa jika sedang letih atau

kalau kalah. Jika kakimu rasanya tak kuat lagi untuk

bertahan. Rasanya... yah, rasanya sunyi mencengkam.

Memang agak aneh terdengarnya. Publik berada disekitar- 69
nya dan berteriak-teriak, tetapi toh aku merasa sunyi. Seperti

tidak ada apa-apa sama sekali."

"Aku mengerti apa yang kau maksudkan," kata Tone

perlahan. "Rasa sunyi yang kosong, seolah-olah orang di

dunia ini semuanya tak ada waktu untukmu."

Mitoya mengawasi Tone dengan tajam. Bagaimana

mungkin seorang gadis seperti dia bisa mengerti bahkan

dapat menyatakan begitu jelas? "Mungkin ia sendiri pun

kesepian," pikirnya.

"Aku seorang yatim piatu, hidup sebatang kara." jelas

Tone. "Jangankan aku, sedangkan orang kayapun bisa

mempunyai perasaan demikian. Hayo Mitoya, kita berdansa

lagi sebentar!"

"Orang secantik dan selincah Tone pun masih merasa

sunyi," pikir Mitoya.

Gadis yang kini didalam pelukannya ternyata

bernasib sama dengannya. Sama-sama merasa sunyi di

dunia yang ramai ini. Sama-sama mengetahui apa yang

dirasakan masing-masing. Maka seperti tertarik oleh

magnit, kedua mahluk ini lebih merapatkan tubuh mereka

sehingga bayangannya tampak menjadi satu. Mitoya

merasakan napas si gadis memburu. Dadanya turun naik

dengan cepat dan wajahnya tampak agak merah.

Mitoya pun sukar mengendalikan dirinya lagi. Darah

muda mengalir dengan deras mengalir ditubuhnya. Lagi- 70
pula belum pernah ia berdansa dengan gadis segenit Tone.

Napasnya turut memburu seirama dengan si cantik berada di

dalam pelukannya.

Tiba-tiba bandnya berhenti bermain dan mereka sadar

kembali dari impian yang melayang-layang.

Mitoya merasa salah terhadap Sheiko karena kurang

bisa mengendalikan dirinya.

"Nah..." tertawa Tone dengan genit sambil

mengerlingkan matanya. "Selesailah sudah. Pergi lekas
lekas kau cari Sheiko, buah hatimu."

Wajah Mitoya menjadi merah padam.

"Aku..." katanya gugup.

"Orang butapun bisa melihat bahwa kau cinta satu

sama lain ..." goda Tone.

Mereka tengah berdiri agak disudut, dihalingi oleh

sebuah trap. Kebetulan Sheiko pada saat itu sedang berdiri

diatas. Baru ia hendak memanggil tetapi cepat-cepat

menutup mulutnya dengan tanganya karena tepat pada saat

itu tampak Tone sedang merangkul pemuda pujaannya. Lalu

menarik kepala Mitoya ke bawah dan berikan suatu ciuman

yang mesra. Sambil tertawa genit, ia tinggalkan Mitoya yang

tengah berdiri bengong. Seperti merasa salah, Mitoya

menoleh disekitarnya. Mungkin untuk mengetahui apakah

ada yang telah melihat ketika Tone menciumnya.- 71
"Dasar si Tone gadis flirt type," pikir Sheiko

mendongkol. Namun Mitoya pun turut bersalah, ia pun

kelihatan merasa senang juga! Kalau begitu ia juga tak beda

dengan lelaki lain. Menerima saja apa yang diberikan.

"Dasar lelaki!"

Gemas Sheiko membalikkan tubuhnya dan dengan

separuh berlari menuju kamar tidur. Sesampainya disana, ia

banting dirinya diatas pembaringan dan air mata mulai

mengalir dengan deras.- 72
SEMBILAN

Mitoya berjalan ke arah ruangan tengah. Di depan

pintu ia berdiri dan melihat ke dalam. Tampak para tamu

sedang melihat mode show peragawati yang ditaburi dengan

barang-barang permata yang berkilau-kilauan.

"Nona Sheiko tidak ada disini," bisik Oku, seorang

pelayan dengan hormat. "Mungkin di salah satu kamar di

dalam."

"Terima kasih." Mitoya pergi lagi. Ia melihat

berbagai kamar dan lalu pergi ke gang. Tiba-tiba dilihatnya

ujungnya sebuah rok berkibar dan menghilang di tikungan.

Lalu terdengar suara sebuah pintu dikunci.

Mitoya mengerutkan dahinya. Pasti bukan Sheiko.

gadis ini tadi memakai sebuah gaun merah. Tetapi rok yang

berkibar di tikungan tadi, rasanya pernah ia melihat. Ah,

untuk apa dipikiri?

Dengan cepat ia bertindak ke arah kamar baca.

tampak pintunya terbuka sedikit. Mitoya mendorongnya. Ini

satu-satunya kamar yang belum dimasuki, maka ia sudah- 73
mengharap akan jumpai pacarnya disini. Namun kamar itu

juga kosong, tak ada orang sama sekali.

Ia berdiri berpikir sejenak. Tiba-tiba matanya

terbelalak lebar. Salah satu lemari kaca ternyata terbuka!

Dan kalung bermata jamrud yang sangat mahal itu sudah

tidak ada lagi di tempatnya.

"Oh, kau disini?"

Dengan kaget ia menoleh ke belakang. Tampak

ibunya Sheiko tengah berdiri di muka pintu. Mitoya

menoleh lagi ke arah lemari kaca yang terbuka itu.

Sementara itu Fuchi datang mendekat.

"Celaka!" teriaknya, "kalung itu hilang ..."

Dengan tajam Mitoya mengawasi ke arahnya.

Tampak nyonya ini balas memandang dengan dingin.

"Lebih baik parggil suamimu, nyonya," kata Mitoya

dengan perlahan. "Mungkin ia hendak panggil polisi atau

beritahukan detektifnya."

"Baik, akan kupanggil dia. Namun rasanya polisi tak

usah mencari jauh-jauh" jawabnya kemudian dan tinggalkan

si pemuda sendirian. Maksud ucapannya cukup jelas.

Sejenak Mitoya berdiri bengong memikirkan kata
kata Fuchi tadi. Kemudian dengan wajah sangat murka ia

mengepal tinjunya.- 74
Tak lama lagi tampak Imoto berlari-lari masuk diikuti

oleh isterinya.

"Mitoya, kau kemanakan kalung itu? Lekas kembali

kan, jangan main-main." Tampak waajh Imoto pucat.

Si pemuda tak menjahut. Imoto lalu memegang

lengannya.

"Kau kemanakan kalung itu?" teriaknya.

Mitoya tak dapat menahan kesabarannya lagi.

Laksana kilat ia mengangkat lengan kirinya untuk

menghantamnya ke arah Imoto. Pukulan ini kena telak

pundak tuan rumah yang tak ampun lagi jatuh terguling.

Wajahnya menjadi biru dan ...

"Kalm, Mitoya... kalm." Seorang laki-laki tampak

berlari-lari datang masuk, ia segera mengambil alih

keadaannya.

Joe Tanaka adalah seorang detektif yang berpotongan


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang Dewi Ular 32 Hantu Kesepian Isau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar

Cari Blog Ini