Ceritasilat Novel Online

Deviasi 1

Deviasi Karya Mira W Bagian 1

Mira W.

DEVIASI

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2005

E-Book by syauqy_arr

http://hana-oki.blogspot.com

LEMBAR PEMBUKA

API berkobar ganas. Melalap gudang di belakang

rumah. Lidah apinya menjilat ke udara. Warna merahnya meronai hitamnya langit.

Asap bergumpal?gumpal menyesakkan udara

malam. Teriakan kesakitan dari dalam gudang berbaur dengan jeritan panik penduduk yang datang berbondong?bondong, berusaha menolong korban dan

memadamkan api.

Beberapa meter dari sana, seorang anak laki?laki

berumur tujuh tahun tak berkedip menatap ke arah

gudang yang terbakar. Tatapannya kosong. Mukanya

beku.

Dalam kobaran api yang merah membara itu, dia

seperti dapat menyaksikan kembali adegan sore tadi.

Ayah memukulinya dengan ganas. Hanya karena

dia kepergok sedang bermain berdua bersama kakaknya di kamar.

Ibu berusaha melindungi dirinya dengan tubuhnya sendiri. Karena tidak dapat leluasa memukulnya,

Ayah menumpahkan kemarahannya kepada Ibu.

Tetapi Ibu tetap bertahan. Melindungi anaknya

dengan tubuhnya sendiri sebagai perisai.

"Yang bersalah harus dihukum."

Ada suara bernada dingin di belakang tubuhnya.

Tanpa menoleh dia sudah tahu siapa yang berdiri di

sana.

Tampaknya kakak perempuannya tahu sekali siapa yang mengendap-endap ke gudang barusan. Membawa jeriken minyak tanah dan lampu teplok.

Dia juga tahu sekali siapa yang ada di sana. Hampir tiap malam Ayah pergi ke gudang. Memasang

perangkap tikus di atas tumpukan jerami yang belum

sempat dikirim ke pabrik karton.

Dia juga tahu siapa yang memasang kunci gembok di pintu gudang sampai Ayah tidak bisa keluar.

Yang dia tidak tahu cuma

"Di mana Ibu?"

Di mana Ibu? DI MANA IBU ??

"Ibu! !" Mendadak anak laki?laki itu memekik histeris.

Jeritannya berbaur dengan teriakan panik penduduk ketika mereka tidak mampu menyelamatkan

kedua orang yang terkurung api di dalam gudang.

BAB I

SUN CITY. Las Vegas Afrika Selatan. Meskipun secara jujur terlalu naif untuk membandingkan kedua

kota judi itu.

Rasanya di abad ini tak ada kota judi yang dapat

menyaingi Las Vegas. Tidak Atlantic City. Tidak juga

Reno. Apalagi Sun City.

Aroma judi yang membias sampai ke seluruh pelosok Vegas, belum tercium marak di Sun City. Tetapi bagi penjudi yang sedang asyik dibuai mimpi kemenangan, siapa yang peduli?

Mesin jackpot berderet-deret menantang. Gemerincing uang logam yang tumpah seperti nyanyian

merdu yang mengundang.

Lebih ke dalam, deretan meja black jack terhampar hijau memesona. Sementara dadu di meja rolet

tidak berhenti berputar.

Taufan meraup chips yang bertumpuk-tumpuk

di depannya dengan tenang. Penonton yang berkerubung di belakang kursinya langsung menyingkir

memberi jalan.

Sesaat sebelum meninggalkan meja judi, Taufan

melirik sekali lagi. Lelaki itu masih terpuruk di depan meja. Menatap bengong meja di hadapannya. Tatapan

matanya sama kosongnya dengan tempat Chips-nya.

***

Rivai kembali ke kamarnya dengan geram. Sepuluh

ribu dolar! Sepuluh ribu dolar amblas di meja judi.

Hanya dalam semalam!

Dia tidak menyangka nasibnya begini sial. Tadinya dia tidak memandang sebelah mata kepada penjudi di sebelahnya. Tadinya dia mengira lelaki muda

sebangsa dan setanah air yang baru ditemuinya di kasino Sun City itu tidak ada apa-apanya.

Matanya terlalu redup untuk mata seorang penjudi ulung. Bibirnya terlalu tipis untuk menjadi seorang lelaki tangguh. Mukanya memang tampan. Tapi

loyo! Tampang lelaki tempe! Tetapi malam ini, lelaki

tempe itu mampu mengantungi ribuan dolar!

Hati Rivai panas sekali. Lebih-lebih ketika dia tidak menemukan istrinya di kamar hotel.

Dengan berang dia menghubungi resepsionis

melalui telepon. Percuma. Tidak ada pesan. Tidak

ada yang tahu ke mana Arneta pergi sampai tengah

malam begini.

Perempuan sialan! Seharusnya dia sudah meringkuk di tempat tidur. Atau berkalang selimut di

sofa menunggu suaminya pulang! Bukan malah ngeluyur mencari lelaki nganggur!

"Kau terlalu lembek, Rivai!" suara itu tiba-tiba

bergema di telinganya.

"Kau tidak bisa mendidik istri! Yang bersalah harus dihukum!"

Rivai membanting gelasnya ke dinding. Gelas

hancur berderai. Suara berisik yang ditimbulkannya

malah memacu lonjakan adrenalin di pembuluh darahnya. Dia menyapu bersih gelas dan botol di atas

minibar.

Diaduk-aduknya isi koper istrinya. Ditumpahkannya ke lantai. Dikoyak?koyaknya pakaian Arneta

dengan berang. Dilemparkannya botol parfum dan

botol-botol lainnya ke WC.

***

Arneta hampir tidak mengenali lagi mantan kekasihnya. Toni Tambing?lah yang lebih dulu menegurnya.

"Arneta?" panggilnya ragu-ragu.

"Maaf, kamu

Arneta Basuki, kan?"

Arneta menoleh. Dan tatapannya bertemu dengan

tatapan yang sangat dikenalnya. Tatapan yang suatu

waktu dulu pernah menjadi miliknya.

"Arneta!" desis Toni gembira, begitu dia yakin dia

tidak keliru menegur wanita yang mengenakan topi

lebar itu.

"Sedang apa di sini? Sama siapa?"

"Jalan-jalan," sahut Arneta tersendat.

"Sama suami"

Ya, rencananya memang begitu. Jalan-jalan. Rivai mengajaknya berwisata ke Afrika Selatan untuk

memperbaiki keretakan mahligai perkawinan mereka. Bulan madu kedua, katanya.

10

Tetapi baru sampai di Sun City, Rivai sudah

berkubur di meja judi. Terpaksa Arneta bersafari sendirian. Hanya ditemani seorang ranger yang

menjadi pemandu wisata dan dua pasang wisatawan

Australia. Dia baru sampai di hotel ketika Toni menyapanya.

"Di mana Rivai?" desak Toni ketika tidak melihat

suami Arneta.

"Masih asyik di kasino."

"Oh, biasa!" Toni tersenyum tipis.

"Memang lebih enak main kartu daripada cari singa. Sudah panas,

binatangnya langka, lagi! Ketemu singa tadi?"

"Cuma badak, kerbau Afrika, jerapah, dan zebra."

"Ya, Pilanesburg memang terlalu luas. Di Game

Reserve yang lebih kecil besok, kesempatan untuk

bertemu singa lebih besar."

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Arneta walaupun sebenarnya tidak ingin menanyakannya. Buat

apa? Apa pedulinya lagi?

"Bisnis." Senyum Toni melebar. Alangkah cantiknya dia! Masih tetap secantik dan seramping ketika

di SMA....

"Di sini?" Arneta mengangkat alisnya. Bisnis apa

di sini?

"Di Johannesburg. Hubungan dagang Indonesia?Afrika Selatan kan baru saja dibuka. Malam

Minggu iseng-iseng bersantai ke Sun City. Kepengin

tahu ada apa di Lost City ini sampai wisatawannya

mencapai tiga juta orang per tahun."

"Berjudi juga?"

11

Toni tertawa renyah. Tatapan matanya masih begitu menggoda.

"Di mana istrimu?"

Senyum memudar dari bibir Toni.

"Ivon?"

"Memang ada berapa istrimu?"

"Masih di Jakarta," suara Toni berubah datar.

"Tidak mau ikut."

Jangan tanya, Arneta! Jangan tanya! Kelihatannya mereka punya masalah. Tapi itu bukan urusanmu

lagi! Tak pantas menanyakannya!

"Boleh mengundangmu minum?" Toni mengalihkan pembicaraan ketika melihat Arneta terdiam.

"Oh, terima kasih. Lain kali saja."

"Bagaimana kalau bersama Rivai? Nanti malam?"

Ketika melihat kebimbangan Arneta, Toni

langsung memutuskan.

"Katakan kepada Rivai, aku mengundang kalian

minum. Bagaimana kalau jam sembilan? Di bar?"

Tetapi jangankan pukul sembilan, pukul sebelas

pun Rivai belum kembali ke kamar! Arneta tidak

mau menyusul ke kasino. Dia merasa muak berada

di sana. Sudah asap rokoknya menyesakkan napas,

jengkel pula melihat Rivai membuang-buang uang.

Mana ada sih orang yang menjadi kaya dari main

judi?

Tetapi sampai pukul dua belas pun Rivai belum

muncul juga. Arneta benar?benar kesal. Bukankah

Rivai yang mengajaknya kemari? Ketika perkawinan

mereka sudah di ambang pintu perceraian?

12

BAB II

ARNETA melirik jam tangannya. Pukul tujuh lewat

lima menit. Rivai pasti sudah sampai di rumah. Dan

kalau dia tidak menemukan istrinya, dia pasti marah-marah.

Ah, semuanya gara?gara Dila. Dila yang masih

asyik melihat-lihat toko. Hampir semua toko di mal

itu memasang tulisan besar-besar, obral, sale, cuci

gudang, entah apa lagi. Makanya Dila segan pulang.

Padahal sudah hampir satu jam Arneta mengajaknya

kembali ke mobil.

"Ngapain sih buru?buru? Kan di rumah nggak ada

bayi yang harus disusui?"

Kalau kesenangannya diganggu, Dila memang

jadi judes. Dila tahu Arneta tidak punya anak. Buat

apa buru?buru pulang? Dila tidak tahu, Rivai lebih

cerewet dari pada bayi! Kalau dia sampai di rumah

dan Arneta belum pulang, Rivai pasti mengamuk!

Arneta memang tidak suka dikekang. Tapi dia sudah bosan bertengkar. Sejak mereka menikah setahun

yang lalu, memang hanya pertengkaran yang mewarnai kehidupan rumah tangga mereka.

Semuanya gara-gara Rivai. Dia bisa bersikap

manis hari ini. Tapi esok, dia dapat berubah menjadi posesif. Pagi ini Rivai dapat melayani istrinya

13

dengan ramah dan penuh kasih sayang. Sorenya, dia

bisa meledak. Cemburu karena ada salesman ganteng

yang ngobrol terlalu lama dengan Arneta.

Entah sudah berapa kali Arneta berniat meninggalkan Rivai. Dia tidak tahan lagi hidup bersama

suaminya. Tetapi setiap kali Arneta minta cerai, Rivai meratap?ratap minta maaf. Dia memang sangat

mencintai istrinya. Tetapi dengan caranya sendiri.

Seperti malam ini.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Arneta melangkah memasuki pintu rumahnya, dia sudah merasa, malamnya yang tenang

akan berubah menjadi ajang pertempuran.

Rivai sedang duduk di depan meja makan. Rana,

kakak perempuan Rivai yang sejak pernikahan mereka ikut tinggal bersama, duduk di depannya. Rapi

seperti biasa. Dingin seperti biasa. Dan seperti biasa

pula, sudah bersiap-siap menonton adegan pertengkaran mereka. Itu pasti acara yang paling digemarinya di samping film kekerasan yang banyak mengucurkan darah.

Dulu Arneta mengira gara?gara Rana-lah Rivai

sering mengamuk. Barangkali perempuan aneh itu

yang menghasut adiknya. Karena Rivai yang dikenalnya sebelum menikah, sungguh amat berbeda. Rivai begitu sopan. Ramah. Lembut.

Sesudah menjadi istrinya, baru Arneta tahu, sifat

Rivai seperti dua sisi mata uang. Kalau dia sedang

marah, semua kelembutannya hilang. Dia menjelma

menjadi monster.

Ketika Arneta pulang malam itu, Rivai sedang

duduk menghadapi secangkir teh panas. Dia sengaja minum dari cangkir kesayangan Arneta. Cangkir

teh yang sudah berumur empat puluh tahun. Warisan

ibunya.

Begitu Arneta melewati mereka, Rivai sengaja

membanting cangkirnya. Cangkir itu hancur berderai di lantai. Rana melirik sekilas. Sekujur parasnya

menampilkan kepuasan, seperti melihat copet dihajar

massa.

Arneta memekik marah. Cangkir kesayangannya!

Ya Tuhan! Sungguh sadis cara Rivai menumpahkan

kemarahannya!

"Dari mana?" tanya Rivai tawar. Matanya menyapu istrinya dengan dingin.

"Jalan-jalan ! " sahut Arneta sengit.

"Sama siapa?" Suara yang penuh kecemburuan

itu... astaga!

"Kan tadi malam aku sudah bilang, sama Dila!"

"Sama siapa lagi?"

"Sopirnya! Sama siapa lagi kau kira?"

"Sampai malam begini?"

"Jalanan macet!"

"Capek?capek pulang kerja istri tidak ada di rumah! Bukannya melayani suami, malah ngeluyur!"

"Aku istrimu, bukan pelayan!" Dengan marah

Arneta membanting tasnya dan lari ke kamar.

"Tidak bisa tiap hari dikurung di rumah menunggumu

pulang kerja!"

"Ckekck..." Rana menggeleng-gelengkan

kepalanya dengan dahi berkerut.

"Kelewatan amat

istrimu, Rivai!"

15

Rivai merasa dadanya panas. Darahnya menggelegak sampai rasanya mampu merebus sebutir telur.

"Istrimu berani membantah di depan kakakmu!"

suara penuh ejekan itu menggema di telinganya.

"Sudah berani pergi sampai malam, berani melawan lagi!

Yang bersalah harus dihukum, Rivai!"

Rivai mendorong kursinya dengan kasar. Dia bangkit memburu istrinya ke kamar.

"Kau istriku!" Rivai menerjang pintu kamar yang

tertutup.

"Milikku! Kau harus ada setiap kali kubutuhkan!"

"Aku bukan budakmu! Kalau aku ingin pergi, aku

pergi! Kau tidak berhak melarangku!"

Rivai mengempaskan daun pintu sampai tertutup.

"Siapa bilang aku tidak berhak? Kau istriku! Milikku!"

"Persetan!" Arneta melemparkan sepatunya dengan gemas ke sudut ruangan.

"Carilah istri yang bersedia jadi budakmu! Yang mau kau kurung tiap hari

di rumah!"

"Kau istriku!" dengan kasar Rivai merengkuh

lengan istrinya dan menghelanya ke pelukannya.

"Dan kau tetap milikku! Sampai kapan pun!"

Arneta meronta dengan marah, tetapi Rivai

malah mengetatkan cengkeramannya. Ketika Arneta

menamparnya, Rivai balas memukulnya.

Arneta terempas ke atas tempat tidur. Bibirnya

berdarah. Dia belum sempat menyusutnya. Rivai telah melompat ke atas tubuhnya. Merobek gaunnya.

Dan memagut bibirnya.

16

Sia-sia Arneta meronta. Semakin kuat dia meronta, tampaknya Rivai malah semakin bergairah menggelutinya. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Membiarkan Rivai mengambil apa yang diinginkannya.

Walaupun Arneta sama sekali tidak dapat menikmatinya. Dia merasa sakit. Marah. Terhina.

Tetapi Rivai sudah langsung tertidur pulas seperti bayi begitu semuanya selesai. Sama sekali tidak

mengacuhkan Arneta yang terkapar di sampingnya.

Menggigit bibir menahan tangis.

***

"Ceraikan aku, Rivai," desis Arneta dengan air mata

berlinang ketika Rivai terjaga keesokan harinya.

"Aku tidak tahan lagi...."

Rivai membuka matanya. Dan menatap istrinya

dengan tatapan kosong.

Arneta tegak di depan cermin. Mengolesi bibirnya

yang luka dengan obat.

Lama Rivai mengawasi istrinya dengan bengong.

Seolaholah tidak mengerti apa maksud Arneta.

Selalu seperti ini, pikir Arneta putus asa. Rivai

seperti tidak tahu apa yang telah dilakukannya tadi

malam. Apakah dia hanya berpura-pura? Atau... dia

memang gila?

"Aku... mengasarimu lagi?" Rivai menggagap bingung. Dia bangkit menghampiri istrinya. Diraihnya

Arneta ke dalam pelukannya.

17

"Sakit, Sayang?" Dengan lembut diangkatnya

dagu istrinya. Ingin dikecupnya bibir yang ranum itu.

Tetapi Arneta memalingkan wajahnya menghindar. Didorongnya tubuh Rivai dengan kasar. Rivai

jatuh terduduk di tempat tidur.

"Jangan tinggalkan aku, Arneta," pinta Rivai memelas sekali. Persis anak kecil yang ketakutan ditinggal ibunya pergi...

"Aku tidak dapat menceraikanmu. Tidak mungkin! Aku mencintaimu...."

"Kalau kau sayang kepadaku, biarkan aku pergi!"

"Aku bisa mati kalau kehilangan kau sehari saja!"

"Kau sakit!"

"Aku akan ke dokter!" Rivai bangkit dengan limbung.

"Percuma! Itu sudah kau katakan pada hari pertama kau memukulku!"

"Tapi aku mencintaimu, Arneta!"

"Begini caramu mencintai istrimu?" Arneta memperlihatkan bibirnya yang pecah dan lengannya yang

biru lebam.

"Kau sadis, Rivai!"

"Bukan aku yang melakukannya, Arneta! Percayalah, bukan aku!"

Itu pula yang selalu dikatakan Rivai kalau dia

melakukan sesuatu yang tidak disukai Arneta.

Kadang-kadang Arneta sendiri bingung. Berdustakah

dia? Pura?pura lupa? Bersandiwara?

Ingin Arneta menanyakannya kepada Rana. Tetapi perempuan itu lebih baik tidak ditanya, kalau tidak

ingin jadi kesal sendiri.

"Kenapa bertanya kepadaku?" jawab Rana dingin ketika Arneta menanyakan kelainan suaminya.

18

"Tanya dirimu sendiri! Apa yang telah kau lakukan

padanya?"

***

Setelah pertengkaran itu, Rivai membawa Arneta

pergi. Berlibur ke Afrika Selatan.

"Kita harus memperbaiki perkawinan kita," katanya sebelum berangkat.

Tampaknya Rivai serius. Sebab untuk pertama kalinya dia menolak keikutsertaan kakaknya. Biasanya

Rana selalu ikut. Menempel terus seperti lintah. Juga

ketika mereka berbulan madu ke Hongkong setahun

yang lalu. Kali ini Arneta sudah mengancam. Tidak

akan pergi jika Rana ikut.

"Perkawinanku sudah di ambang perceraian,"

kata Rivai kepada kakaknya.

"Kalau Kak Rana memaksa ikut, Arneta tidak mau pergi. Tolonglah, Kak.

Sekali ini saja!"

"Apa hak istrimu melarangku ikut? Uang, uangmu. Kau adikku. Aku yang menyekolahkanmu sampai jadi begini. Kalau kaubiarkan istrimu berkuasa,

lama?lama dia menginjak kepalamu!"

"Aku tidak ingin bercerai, Kak. Aku sangat

mencintai Arneta. Biarkan kami pergi berdua. Sekali

ini saja."

Kesudahannya, Rana ngambek. Tiga hari tiga

malam menghilang dari rumah. Arneta mengharapkan dia tidak pernah kembali. Tapi pada hari keempat, dia sudah muncul lagi. Padahal Rivai sudah panik. Kalang kabut mencari kakaknya ke sana kemari.

Tetapi tekad Arneta sudah bulat. Kali ini dia tidak

mau mengalah.

Setahun perempuan itu menjajahnya. Ikut mengatur rumah tangganya. Kalau dia tidak dapat menyingkirkan kakak iparnya sekali ini saja, lebih baik dia

bercerai.

Rupanya Rivai menyadari keseriusan istrinya.

Dia meninggalkan kakaknya di rumah. Dan membawa istrinya ke Afrika Selatan, tempat yang dipikirnya

pasti tidak ingin dikunjungi Rana. Mau lihat apa di

sana? Dia tidak ingin melihat singa. Cuma itu yang

diketahuinya ada di Afrika.

Kota pertama yang mereka kunjungi setelah pesawat mendarat di Johannesburg adalah Sun City.

Kota yang dibangun di tengah gurun pasir, dua jam

perjalanan dengan mobil dari Johannesburg.

Sikap Rivai selama perjalanan sangat manis. Dia

malah cenderung melayani dan memanjakan Arneta.

Hampir saja Arneta menimpakan semua kesalahan di

bahu Rana. Barangkali kalau tidak ada dia...

Mereka merencanakan menginap tiga malam di

Sun City. Baru pergi ke Capetown. Sialnya, baru

malam pertama saja, Rivai sudah tergoda mencoba

nasibnya di kasino. Padahal setahu Arneta, di Jakarta

Rivai tidak pernah berjudi.

20

Dia sibuk terus bekerja. Dari pagi sampai malam.

Membuka lahan baru. Membebaskan tanah. Membangun perumahan. Pertokoan. Perkantoran. Bisnisnya

maju. Hasil karyanya hebat. Semua orang mengaguminya. Rekan-rekannya mengakui kegigihannya.

Konsumen memuji produknya.

Pendeknya Rivai benar?benar tak bercela. Di

depan teman-temannya. Karyawan. Maupun kenalan-kenalannya. Umur tiga tujuh, tapi sudah mapan.

Tanpa fasilitas orangtua. Tanpa modal warisan.

Di depan orangtua Arneta, dia benar-benar menantu tak bercela. Datang tidak pernah tangan kosong.

Pergi selalu pamit. Selain itu, dia tampak begitu

mencintai dan memuja istrinya. Pertemuan seperti

apa pun pentingnya, jika istrinya muncul, Rivai akan

menghentikan kegiatannya. Dia memperkenalkan istrinya kepada semua yang hadir dengan cara sedemikian rupa, sampai semua peserta menaruh hormat

kepada Arneta.

Arneta memang cantik. Dengan penampilan yang

rapi dan prima, dia tampak lebih anggun lagi. Tetapi

bukan itu yang terutama mengundang respek rekanrekan bisnis dan karyawan Rivai. Justru sikap Rivai?lah yang membuat orang?orang itu lebih menghormati istrinya.

Hanya Arneta yang tahu. Di rumah, Rivai dapat

berubah seratus delapan puluh derajat. Di kamar tidur, Rivai harus mengasari istrinya untuk mendapat

kepuasan. Di rumah, lagaknya seperti penguasa. Di

depan kakaknya, dia bisa lebih jahat lagi. Dia bisa menghukum istrinya dengan sadis untuk kesalahan

kecil yang diperbuatnya.

Tetapi sesudah menyakiti, dia dapat mencumbu
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya dengan mesra. Memanjakannya seperti putri raja. Melimpahi dengan hadiah. Melumuri dengan

kasih sayang.

Kadang-kadang Arneta sendiri heran. Benarkah

Rivai mempunyai dua kepribadian yang berbeda?

Atau semua ini karena pengaruh kakaknya, orang

yang membesarkan dan mendidiknya dengan keras

setelah kedua orangtua mereka meninggal?

22

BAB III

SEEKOR Killer Whale melompat di samping geladak kapal. Tubuhnya yang putih kelabu meliuk ke

udara, kemudian terjun kembali ke dalam air. Permukaan laut membelah. Air muncrat membasahi geladak.

Para penumpang kapal yang kebetulan melihat berdecak kagum. Sisanya yang tidak keburu

menyaksikan atraksi itu mendesah kecewa. Sambil

menunggu kalau-kalau sang Orca muncul kembali.

Tetapi laut tetap sunyi. Airnya yang biru kehitaman seperti tabir gelap yang menyelimuti permukaan

laut. Hanya gemericik riak air yang dibelah oleh rusuk kapal yang terdengar.

Makin malam, udara makin gelap. Makin ke utara,

cuaca makin dingin membeku. Bukit?bukit es raksasa

menjulang di kanan-kiri. Tinggi. Megah. Tapi membisu seperti menyimpan sejuta misteri.

Hanya kadang?kadang beberapa potong bongkah

es yang berderak jatuh ke laut menimbulkan suara

yang dramatis di kegelapan malam. Serpihan es yang

putih mengambang di permukaan air. Semakin ke

utara jumlahnya semakin banyak. Menyaput permukaan laut dengan warna putih seperti taping sahne di

atas es krim.

23

Angin dingin berkesiur menusuk tulang. Semakin

gelap, semakin sedikit penumpang yang masih bertahan di geladak.

Seekor Bald Eagle terbang melintas di udara. Kepala dan lehernya yang putih terlihat kontras

dengan bulu tubuhnya yang hitam pekat. Bentangan

sayapnya dan cara terbangnya yang anggun mencuri

perhatian penumpang yang melihatnya.

Tetapi gadis yang tegak sendirian di geladak kapal

sejak sore itu tidak bergerak menengadah. Matanya

terpaku ke bawah. Menukik ke permukaan air.

Sejak tadi Rivai memperhatikannya. Manusia lalu-lalang di sekitarnya. Ada yang cuma sekadar lewat. Ada yang sedang meneropong. Ada pula yang

sedang menjepretkan kamera.

Tetapi gadis itu seperti tercerabut dari dunianya.

Menyendiri dalam alam pikirannya sendiri. Melamun. Merenungi laut di hadapannya.

"Kopi, Bang?" sapa Tato yang kebetulan lewat

sambil menating senampan minuman hangat.

"Kau kenal gadis itu, To?" tanya Rivai tanpa

melepaskan tatapannya dari wanita muda berjaket hitam di geladak kapal.

"Masa nggak kenal sih?" Seuntai senyum pongah

bermain di bibir Tato.

"Makan malamnya kan aku

yang layani!"

"Orang kita?"

"Seratus persen!"

"Ngapain dia di kapal sendirian?"

"Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepadamu!"

"Dia kan perempuan!"

24

"Jadi karena dia perempuan, nggak boleh berlayar

sendirian, begitu?"

"Nggak biasa, kan?"

"Siapa bilang? Gadis semampai di anjungan itu,

lihat? Dia juga sendirian!"

"Dia kan bule, To! Tapi gadis ini bangsa kita. Berlayar sendirian kan janggal! Sudah menikah?"

"Wah, langsung tembak kau, Bang!" Tato tertawa

gelakgelak.

"Pasti karena Kak Rana nggak ikut, ya?

Kuda lepas dari kandang!"

"Awas kalau dia sampai kecebur mendengar

tawamu!"

"Dulu kau alim, Bang! Kenapa sekarang tidak

boleh lihat cewek sendirian? Mumpung Kak Rana

nggak ada?"

Tato adik kelas Rivai di SMA. Dia tahu sekali sifat temannya. Dia juga kenal Rana. Siapa tidak kenal

anjing penjaga Rivai itu? Galaknya melebihi herder.

Cemburunya lebih dari istri. Habislah gadis-gadis

yang berani berkunjung ke rumah mereka. Belum kapok mereka berkunjung, belum berhenti Rana menyalak.

Akibatnya, tidak heran kalau Rivai jadi bujang

lapuk. Lha, tidak pernah ada cewek yang lurus di

mata Rana. Semuanya miring seperti Menara Pisa!

"Bilang saja kalau kau tidak tahu dia sudah kawin

atau belum!" pancing Rivai penasaran.

"Siapa bilang? Malam pertama saja melayaninya

di meja makan, biodatanya sudah lengkap di kepalaku! Jarang kan ketemu tamu sebangsa dan setanah

air di kapal? Apalagi yang secakep itu!"

25

"Biodata apaan? Sudah menikah atau belum saja

kau tidak tahu!"

Tato tersenyum penuh kemenangan.

"Mau memancingku? Harus ada umpannya

dong!"

"Rokok kretek?"

"Dua bos!"

"Oke! Ke mana harus kukirim?"

Tato menyeringai puas.

"Dia baru patah hati. Mungkin pacarnya direbut

temannya!"

"Ngibul! Dari mana kau tahu?"

"Rahasia dong!"

"Rahasia dengkulmu! Tidak yakin, tidak ada

kretek!"

"Gatot yang membereskan kabinnya. Dia kebetulan mencuri lihat catatan hariannya."

Patah hati? Rivai termenung menatap gadis itu.

Wanita secantik dan sesempurna dia? Pria macam

apa yang dapat meninggalkan gadis seperti ini untuk

pergi dengan wanita lain?

***

"Selamat malam." Tato meletakkan menu di hadapan

Arneta.

"Mau ditemani? Tidak kesepian duduk sendirian terus? Ada seorang teman dari Indonesia kebetulan ikut berlayar dengan kapal ini. Dia menanyakan

bolehkah dia duduk menemani Anda? Kebetulan dia

juga sendirian."

26

Malam ini semua penumpang yang bersantap

malam di ruang makan utama harus mengenakan

pakaian resmi. Semuanya tampak rapi. Yang wanita

gemerlapan dengan perhiasan dan gaun malam yang

anggun. Yang pria tampak gagah dengan jas lengkap.

Tetapi Arneta tampil sederhana. Mengenakan blus

tanpa lengan yang dipadu dengan rok sepan yang tidak terlalu ketat. Di luarnya, dia mengenakan jaket

berwarna pastel yang feminin. Makeup?nya tidak

mencolok. Perhiasannya pun seadanya. Tapi bagi

Rivai yang sedang menunggu dengan dada berdebar-debar di mejanya, gadis itu pasti merupakan gadis yang paling cantik di ruangan ini.

"Maaf." Arneta tersenyum tipis ke arah Tato.

Senyum yang sopan. Tidak melecehkan. Tapi

menyimpan sejuta kepedihan.

"Saya belum ingin

ditemani."

"Oke." Tato mengangguk simpatik.

"Dia pasti

mengerti. Dan menghargai keinginan Anda. Ingin

pesan apa malam ini?"

Dari mejanya Rivai melihat gadis yang dikaguminya itu menatap menu sekilas. Mengucapkan pesanannya. Dan menutup menu itu kembali.

Wajahnya begitu muram. Tatapannya redup. Begitu besarkah kesedihan yang ditimbulkan oleh perpisahan itu?

"Dia belum ingin kautemani, Bang," kata Tato

ketika melewati mejanya.

"Nah, nikmati sendiri minumanmu!"

Makannya begitu tak berselera, pikir Rivai sambil meneguk minumannya. Dia hanya menyantap salad.

Menyuapkan dua potong daging ke mulutnya. Lalu

meninggalkan ruang makan tanpa menunggu sampai

hidangan penutup disajikan.

Diam-diam Rivai mengikutinya. Tidak terlalu

dekat supaya wanita itu tidak mencurigainya. Karena

meskipun kapal pesiar ini berpenumpang 1200 orang

dengan 500 awak kapal, pada jam-jam makan malam

seperti ini, separo penumpang sedang bersantap di

ruang makan utama. Separonya lagi sudah bersantap

dua jam sebelumnya. Dan kini mungkin sedang asyik

bersantai di bar atau di ruang pertunjukan.

Tetapi gadis itu tidak kembali ke kamarnya. Tidak juga pergi ke ruang pertunjukan. Dia pergi ke

geladak tertutup. Berbaring di kursi malas sambil

memandang ke laut. Sekujur tubuhnya ditutupinya

dengan selimut yang tersedia di sana.

Malam ini gelombang agak besar. Kapal mereka berlayar agak limbung. Naik?turun dipermainkan

ombak. Rivai merasa agak mual. Tetapi dia tidak mau

jauh dari gadis itu.

Apa yang tengah dilamunkannya malam?malam

begini, pikir Rivai ketika dia sedang menatap gadis

itu dari kejauhan. Bekas pacarnya?

Ah, seandainya dia mau membagi dukanya kepada orang lain....

Entah mengapa, begitu melihatnya termenung

seorang diri di geladak sore tadi, Rivai sudah demikian tertarik kepadanya. Begitu banyak wanita cantik

lewat dalam hidupnya. Tetapi tidak ada seorang pun

yang menarik hatinya.... Ah, sebenarnya ada beberapa. Tapi Kak Rana selalu mencela mereka. Ada?ada

saja kritikannya. Seolah-olah tak ada wanita yang

cukup baik di matanya.

Kak Rana sendiri tidak menikah. Seluruh

hidupnya seakan-akan hanya untuk Rivai. Dia mengurus Rivai seperti Ibu. Melayaninya makan. Memilihkan pakaian. Mendidik. Menasihati. Menghibur...

Ya, kalau ada Kak Rana, sebenarnya Rivai tidak

butuh siapa?siapa lagi. Tidak pria. Apalagi wanita. Itu

yang selalu dikatakan Kak Rana, bukan?

Sejak kecil sampai sekarang, dunianya memang

hanya diisi berdua dengan Kak Rana. Karena dibandingkan dengan Kak Rana, semua wanita jadi seperti

tidak berarti apa-apa. Dia cantik. Pintar. Agung. Tahu

harga diri. Serba bisa. Dan selalu ada di samping Rivai.

Kebetulan saja kalau kali ini dia tidak ikut. Ada

transaksi bisnis di Vancouver. Seorang pengusaha

Kanada ingin bekerja sama membangun perkantoran

di Jakarta. Dan Kak Rana jatuh sakit tiga hari sebelum keberangkatan. Terpaksa Rivai pergi sendiri.

Di Vancouver, dia bertemu Tato. Kapalnya sedang

berlabuh di sana. Tato yang mengajaknya ikut berlayar ke Alaska. Kebetulan urusan bisnisnya selesai

lebih cepat dari perkiraannya. Dan rekan bisnisnya

mengundang Rivai ke pertemuan berikutnya dua

minggu kemudian.

Jadi Rivai memutuskan untuk mengisi waktu luangnya dengan ikut Tato bertualang ke Alaska. Dan

tanpa disangka-sangka pada akhir pelayarannya, dia
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu dengan gadis ini.... Inikah jodoh?

29

***

Pagi itu, cuaca di Valdez muram. Kapal sudah berlabuh pada pukul setengah tujuh pagi. Tapi bus kecil

yang membawa penumpang ke kota baru beroperasi

satu setengah jam kemudian.

Gerimis yang turun rintik?rintik membuat Rivai

malas keluar dari kapal. Lebih enak duduk?duduk di

bar sambil minum menghangatkan badan. Tapi Tato

punya info lain.

"Dia ikut shuttle bus ke kota. Kumpul di dermaga

jam delapan."

Rivai sudah bangkit dari kursinya. Tetapi Tato

lebih cepat lagi menggamitnya. Terpaksa Rivai ikut

ke dek yang paling bawah, tempat kabin para awak

kapal berada.

Tato masuk ke kabinnya yang sempit. Rivai

menunggu di depan pintu. Tidak ikut masuk. Dia

merasa agak pengap. Ketika keluar dari kabinnya,

Tato menyodorkan sebatang payung.

***

Begitu keluar dari kapal melalui pintu di dek utama,

Rivai sudah melihat gadis itu. Tegak dalam antrean

menunggu bus di dermaga. Dia mengenakan celana

jins dengan jas hujan tanpa topi.

Gerimis yang semakin membesar membasahi

sehelai berita harian kapal yang dipakainya untuk

melindungi kepalanya. Tanpa ragu, Rivai menghampirinya.

30

"Selamat pagi," sapanya sopan.

"Boleh menawarkan payung? Jas hujan saya kebetulan ada topinya."

Arneta menoleh dengan terkejut. Tidak menyangka ada yang menegurnya dalam bahasa ibu di ujung

dunia.

"Terima kasih," katanya setelah rasa terkejutnya

hilang.

"Saya "

"Ambillah." Rivai menyodorkan payungnya.

"Kehujanan dalam hawa dingin begini bisa sakit."

"Terima kasih ."

"Tidak ikut tur tambahan? Kata Tato, Worthington

Glacier sangat cantik."

"Malas."

"Malas?"

"Bosan lihat gletser terus."

"Lebih suka hujan-hujanan begini?" Rivai

tersenyum lunak.

Senyum yang simpatik dan kebocahan. Senyum

yang memamerkan sederet giginya yang putih rata.

Senyum yang menanamkan perasaan aman di hati

Arneta. Lelaki ini tidak kelihatan berbahaya. Dia

sopan dan ramah.

"Tadinya malas turun. Tapi di kapal terus-terusan

bosan juga."

"Silakan naik." Rivai menyilakan Arneta naik

lebih dulu ke dalam bus.

Arneta hendak menutup payungnya. Tetapi Rivai

sudah lebih dulu mengambilnya dengan sopan.

"Biar saja," katanya ramah.

Mereka memilih tempat duduk di belakang. Karena banyak orangtua yang ikut dalam rombongan bus

mereka.

31

"Kita harus kembali ke dermaga paling lambat

jam sebelas," kata Rivai ketika bus sudah bergerak

meninggalkan dermaga.

"Kapal kita berangkat setengah jam kemudian."

"Boleh tahu nama Anda?"

"Rivai Maringka. Dari Jakarta. Panggil saja Rivai."

"Saya Arneta."

"Arneta Basuki." Rivai tersenyum lebar.

"Dari

Jakarta juga."

Arneta menatap heran. Bahkan ketika sedang

mengerutkan dahinya seperti itu dia tampak menawan.

"Kok tahu nama saya?"

"Tato teman saya."

"Tato?"

"Pelayan di ruang makan. Ingat pemuda Indonesia yang hitam kurus itu?"

"Oh." Arneta seperti teringat sesuatu.

"Tadi malam

dia pernah tanya apakah saya ingin ditemani..."

"Itulah saya," potong Rivai sopan.

"Maafkan saya," gumam Arneta dengan perasaan

tidak enak.

"Bukannya saya asosial..."

"Tentu. Anda lebih suka sendiri. Itu hak Anda.

Lagi pula saya jadi lebih bisa menghargai Anda."

"Karena saya menolak undangan Anda?"

"Karena Anda menolak undangan seorang pria

yang tidak dikenal. Kakak saya bilang, jangan

mendekati seorang wanita murahan."

"Kakak Anda pasti lelaki terhormat."

"Kakak saya seorang wanita yang anggun."

32

Nada Rivai ketika mengucapkan kata-kata itu

membuat Arneta agak terperangah. Jarang seorang

adik memuja kakak perempuannya sampai sedemikian rupa. Kakaknya pasti seorang wanita yang sangat

mengagumkan!

***

"Ada kemajuan?" tegur Tato ketika melewati tempat

Rivai di anjungan. Dia menyodorkan secangkir teh

panas sambil tersenyum.

Siang itu para penumpang kapal hampir semua

tumpah ke geladak. Mereka bersiap-siap untuk menyaksikan panorama Alaska yang paling spektakuler.

Pukul dua siang itu, kapal akan melewati Columbia Glacier di Prince William Sound.

Gletser setinggi tiga ratus kaki yang sudah terbentuk ribuan tahun itu menjulang megah di samping

kapal, seolah-olah begitu mudah untuk dijangkau.

Bentangan es berwarna putih kebiruan seperti terhampar menyelimuti selat. Di sekitarnya, potongan

es terapung-apung di permukaan laut.

Ratusan orang yang menyemut di geladak kapal

mendadak hening ketika keajaiban alam terpampang

di depan mereka.

Sebongkah besar es runtuh ke dalam laut dengan suara bergemuruh. Sebagian besar amblas di

telan laut. Sisanya mengapung di permukaan. Serpihan-serpihan es berserakan seperti es serut di atas

mangkok.

33

Ratusan kamera sibuk mengabadikan panorama

spektakuler itu. Tetapi Rivai memilih mendekati Arneta. Walau pun dengan susah payah. Rivai harus

berjuang untuk menerobos manusia yang menyesaki

geladak.

"Minum?" Mati-matian Rivai menjaga agar tehnya tidak tumpah tersenggol orang lain.

"Teh panas.

Lumayan. Buat mengusir dingin."

Saat itu matahari bersinar. Tetapi hawa dingin

tetap merasuk tubuh, menikam tulang. Teh yang

masih mengepulkan asap, sungguh menjadi tawaran

yang sangat menggoda. Tetapi Arneta menolak dengan halus.

"Ambillah," pinta Rivai sungguh?sungguh.

"Terima kasih. Belum haus."

"Bukan untuk menghilangkan haus. Tapi mengusir dingin."

Ada sesuatu dalam suara laki-laki itu yang membuat Arneta merasa aneh. Rivai tidak memaksa. Nada

suaranya pun sopan. Tapi ada sesuatu yang membuatnya sulit dibantah. Terpaksa Arneta mengambil cangkir itu.

Dan seorang pemuda yang sedang mundur-mundur membidikkan kameranya, membentur lengannya. Cangkir terguncang. Sebagian isinya tumpah

membasahi jaket Arneta.

Pemuda itu belum sempat minta maaf ketika Rivai sudah maju mencengkeram leher jaketnya dengan kasar.

"Rivai! Jangan!" cegah Arneta spontan. Dia merasa ngeri melihat sikap Rivai.

34

"Minta maaf kepadanya!" Rivai melepaskan

cengkeramannya dengan berang. Matanya menatap

buas.

Tetapi Arneta tidak menunggu sampai pemuda itu

meminta maaf. Dia sudah buru-buru meraih tangan

Rivai dan menariknya pergi. Menyelinap di antara

ratusan orang.

"Mengapa cepat sekali marah? Dia kan tidak sengaja. Di sana ada banyak sekali orang."

Arneta membawa Rivai ke salah satu ruangan di

dalam kapal. Di sana mereka dapat duduk sambil menatap ke luar melalui jendela kaca yang lebar. Hawa

di dalam lebih hangat. Dan mereka bisa duduk sambil

minum.

"Saya memang cepat emosi," dengus Rivai sambil mengeluarkan kotak rokok.

"Anak bungsu?"

"Ya."

"Pasti dimanja orangtua."

"Ibu." Rivai menyodorkan kotak rokoknya kepada Arneta.

"Dan kakak."

"Terima kasih. Tidak merokok."

"Tidak keberatan saya merokok?"

"Boleh merokok di ruangan ini?"

"Tidak ada larangan."

Tetapi baru saja Rivai menyulut rokoknya, seorang pelayan menghampiri. Dengan sopan pelayan

berseragam biru itu menunjukkan ruangan untuk

merokok.

Rivai mendengarkan dengan tenang. Mengisap

rokoknya dengan santai. Dan memadamkannya di

atas alas cangkir setelah enam kali mengembuskan

asap rokoknya.

***

Semalam-malaman Arneta tidak dapat mengusir kesan itu dari kepalanya. Lelaki ini baik budi. Penuh

perhatian. Sopan. Ramah. Tetapi gampang meledak.

Dan tidak suka diperintah.

Itukah ciri lelaki jantan? Atau justru pria egois?

Namun bagaimanapun, Rivai berbeda dengan

Toni. Toni terlalu lembek. Mudah digertak. Ah, benarkah Ivon menggertak Toni?

"Dia hamil," terngiang lagi di telinganya pengakuan Toni.

Benarkah Ivon hamil? Dan benarkah... Toni yang

menghamilinya?

Tetapi... apa bedanya lagi? Jika Toni tidak membantah... bukankah itu berarti dia memang pernah...

melakukannya?

Persetan! Buat apa memikirkan Toni lagi? Buat

apa memikirkan lelaki pengkhianat seperti dia? Di

sini ada seorang pria yang sangat menarik... ganteng,

jantan, penuh perhatian....
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok kita mendarat di Seward," kata Rivai

waktu mereka bersantap malam tadi.

"Cruise kita berakhir di sana. Kau mau ke mana?"

"Anchorage."

"Lama di sana?"

"Seminggu."

"Di hotel?"

36

"Di rumah Bude."

"Budemu tinggal di Anchorage?"

"Dia menikah dengan pria keturunan Indian Athabasca."

"Kau kemari untuk menengok mereka?"

Arneta tidak menjawab. Dia cuma tersenyum. Pahit.

Siapa yang peduli kalau dikatakannya dia sedang

menghindar? Menjauhkan diri dari hari pernikahan

Toni dan Ivon?

"Aku akan menemanimu," tukas Rivai mantap.

Dan Rivai menepati janjinya. Dia menemani

Arneta selama di Anchorage. Sebaliknya, Arneta

menunggu di rumah budenya ketika Rivai terbang ke

Vancouver untuk menyelesaikan urusan bisnisnya.

Bersama-sama mereka kemudian pulang ke lndoneSia.

Sesampainya di Jakarta, bukan hanya Arneta yang

bertekad untuk memamerkan pacar barunya kepada

Toni. Rivai pun tidak sabar untuk membawa Arneta

ke hadapan Rana. Walaupun sebelumnya dia harus

bertengkar hebat dengan kakaknya.

"Pantas saja kau tidak pulang-pulang!" damprat Rana sengit, seolah-olah Rivai sudah setahun

meninggalkan anak istrinya tanpa kabar berita.

"Segala macam perempuan murahan kau bawa pulang!"

"Bukan perempuan murahan, Kak!" protes Rivai.

Untuk pertama kalinya setelah tiga puluh tahun

lebih dia berani membantah kakaknya "Arneta perempuan baikbaik. Sarjana ekonomi. Ayahnya punya

bisnis komputer. Ibunya masih keturunan..."

"Omong kosong! Sedang apa perempuan baikbaik di kapal pesiar? Sendirian, lagi!"

"Dia mengunjungi budenya, Kak! Dan meski

sendirian, dia tidak pernah macam-macam!"

"Tentu saja! Di depanmu!"

"Jangan mencela dulu, Kak! Lihat dulu baru menilai!"

"Pokoknya aku tidak mau melihatnya! Jangan

bawa sampah itu kemari!"

"Tapi Arneta mirip Kak Rana! Dia manis, anggun..."

"Diam kau!" teriak Rana seolah-olah adiknya

baru saja menyamakan dirinya dengan dinosaurus.

"Aku tidak mau dengar lagi!"

Lama batin Rivai berperang sebelum akhirnya dia

nekat. Berani membawa Arneta menghadap Rana.

"Aku tidak mau main sembunyi-sembunyian,

Kak," katanya terus terang.

"Aku ingin mengawininya."

Tentu saja mula-mula Rana menolak mati-matian.

Dia memakai segala macam cara agar tempatnya di

sisi adiknya tidak tergeser.

Tetapi agaknya Arneta bukan perempuan yang

gampang disingkirkan. Sesudah digusur oleh Ivon,

dia sedang berada pada masa yang paling sulit untuk

disingkirkan lagi oleh perempuan lain.

Arneta berkeras menikah dengan Rivai Maringka.

Risiko apa pun rela ditanggungnya.

38

BAB IV

SEBENARNYA Arneta tidak ingin bertemu lagi dengan Toni Tambing. Tapi laki-laki itu masih sangat

menarik. Dan dia cinta pertama Arneta.

Tetapi rupanya, pria itu memang sengaja menunggunya di lobi. Baru saja Arneta keluar dari lift, Toni

sudah menyongsongnya.

"Pagi, Arneta," sapanya ramah.

"Maaf, tadi malam tidak dapat memenuhi undanganmu," kata Arneta dengan perasaan tidak enak.

"Oh, tidak apa-apa!" Suara Toni secerah wajahnya. Sama sekali tidak kelihatan tersinggung.

"Tadi

malam aku lihat Rivai di kasino. Dia main sampai

lewat tengah malam."

Arneta memalingkan wajahnya. Supaya Toni tidak dapat membaca kejengkelannya. Tetapi rupanya

tak ada lagi yang dapat disembunyikannya.

"Kesepian?" Tidak jelas Toni bergurau atau

menggoda.

"Cuma kesal," sahut Arneta terus terang.

"Rivai mengajakku jalan-jalan. Bukan menemani main

judi."

"Sekarang dia belum bangun?"

"Pulas seperti bayi."

39

"Sayang. Padahal Afrika Selatan sangat indah.

Sudah ke Capetown?"

"Belum ke mana-mana. Rencananya sih besok,

kalau dia tidak kesiangan bangun lagi."

"Salah satu kota terindah di dunia. Kalau Rivai

mengizinkan, aku bersedia menemanimu ke sana."

Aku tidak perlu izinnya, gerutu Arneta dalam

hati. Aku ke sini untuk jalan?jalan, kan? Bukan men

emaninya berjudi !

* * *

Mula?mula Toni membawa Arneta ke Johannesburg.

Dengan mobil, perjalanan ke sana dapat ditempuh

dalam dua jam. Johannesburg kota paling sibuk di

Afrika Selatan. Merupakan kota terbesar ketiga di

kawasan Afrika. Lalu lintasnya padat. Ritme kesibukannya tinggi.

Gedung-gedung pencakar langit bersembulan

mengapit jalan-jalan yang panjang dan sempit. Mobil dan bus menyesaki jalan raya. Sementara tokotoko di pinggir jalan menyajikan barang?barang yang

menggoda mata.

Wanita-wanita kulit hitam dengan ukuran-pinggul

king size lalu-lalang di kaki lima. Bergegas mengejar

urusan masing-masing. Mereka tampak rapi, modern

dan dinamis. Tidak kalah dengan saudara-saudaranya

yang berkulit putih.

Di kaki lima yang sama, beberapa perempuan

sederhana menggelar tikar berjualan pisang. Di

sudut-sudut jalan, pemuda kulit hitam bersandar santai mengisap rokok. Sebelah tangan dimasukkan ke

dalam saku celana, siap menunggu mangsa yang lewat

"Angka kriminalitas di sini cukup tinggi," kata

Toni.

"Jangan berani keluar dari hotel sendirian. Banyak pengemis yang memaksa minta sedekah. Copet

dan pemerkosa pun tidak kurang."

"Sebagian besar warga kulit hitam di sini memang

masih hidup di bawah garis kemiskinan."

"Padahal GNP mereka cukup tinggi. Kamu bawa

paspor, Arneta?"

Arneta cuma mengangguk.

"Bagus. Kita akan terbang ke Capetown."

"Berapa lama?"

"Kira-kira dua jam. Supaya bisa sampai di hotelmu tengah malam nanti."

Sesaat Arneta tampak ragu. Tengah malam. Pasti

Rivai marah lagi. Atau... dia malah belum kembali

ke kamar? Dan kejengkelannya atas perlakuan Rivai

membuatnya nekat. Mengapa tidak?

Dia masih ingat betapa menjengkelkan sikap Rivai tadi malam. Datang-datang dia langsung naik ke

tempat tidur. Jangankan mandi. Ganti pakaian saja tidak. Entah berapa ton kutu yang dibawa bajunya dari

kasino.

"Inikah bulan madu kedua yang kau maksudkan,

Rivai?" gerutu Arneta sinis sambil menggeser tubuhnya menjauh. Muak mencium bau alkohol yang

bercampur tembakau.

"Jangan malam ini. Aku ngantuk!"

41

"Kau mengajakku kemari untuk jalan?jalan, bukan berjudi!"

Rivai melempar bantalnya dengan marah.

"Apa lagi yang kauinginkan?" geramnya sengit.

"Kau ingin kita pergi berdua, oke! Aku ikuti. Kutinggal Kak Rana di rumah! Padahal selama ini dia tidak

pernah meninggalkan aku!"

Rana? Jadi diakah sebabnya? Rivai merasa bersalah meninggalkannya, karena itu dia menenggelamkan diri di meja judi?

Ya Tuhan! Bahkan di ujung selatan Benua Afrika, dia belum dapat lepas dari bayang-bayang hantu

itu! Sepuluh ribu kilometer dari rumah, Rivai belum

dapat melupakan kakaknya sekejap pun!

"Aku tidak bisa meninggalkan kakakku, Arneta."

Dia ingat bagaimana Rivai membujuknya sebelum

menikah dulu.

"Dia yang merawatku sejak kecil.

Mengurusku. Menyekolahkanku. Aku menjadi sukses begini karena dia. Masa kutinggal dia begitu saja

setelah menemukanmu?"

"Tetapi lelaki dewasa suatu hari harus meninggalkan keluarganya untuk hidup bersama wanita yang

menjadi istrinya, Rivai!"

"Apa salahnya membawa Kak Rana ke dalam rumahku, Arneta? Dia toh tidak masuk ke kamar kita!"

Dan itulah kesalahannya yang pertama. Rana memang tidak masuk ke kamar Arneta. Tetapi dia masuk

bagai duri ke dalam dagingnya.

Arneta merasa mempunyai rival dalam memperebutkan cinta dan perhatian suaminya. Dan biasanya,

yang kalah selalu dia.

42

Rana lebih tahu apa yang dibutuhkan Rivai. Tidak

heran. Dia sudah hidup tiga puluh tujuh tahun bersama adiknya.

Rana lebih pandai memasak makanan untuk Rivai. Percuma Arneta memboyong semua buku masakan ibunya. Rivai lebih doyan makanan yang dibuat oleh Rana.

Jika Arneta membelikan Rivai baju, Rana selalu

mencela. Tentu saja di depan adiknya.

"Sejak kapan Rivai suka memakai baju seperti tukang sulap begitu?" sindirnya pedas.

"Sudahlah, Kak," mula-mula Rivai masih coba

menengahi.

"Kenapa sih kalau Arneta membeli baju

untuk saya?"

"Tidak pantas! Buang-buang uang saja! Lagi pula,

memalukan. Masa direktur pakai baju kayak tukang

sulap begitu?"

Yang membuat Arneta mangkel, Rivai akhirnya

menyingkirkan baju itu. Dan memilih baju yang disodorkan kakaknya. Rupanya pengaruh Rana dalam

diri Rivai sudah terlalu dalam.

"Neta ingin bercerai," tangis Arneta setiap kali

pulang ke rumah orangtuanya.

Tapi ibunya selalu mencegah keinginannya.

"Mau cari suami yang seperti apa lagi? Rivai begitu baik. Begitu sempurna. Begitu menyayangimu.

Begitu menghormati kami. Wajar saja kalau perempuan itu masih ingin mengangkangi adiknya. Kau harus mengalahkan dia, bukan menceraikan suamimu!"

***

43

Jika Johannesburg sebuah kota metropolitan yang

sibuk, Capetown sungguh berbeda. Kota di Tanjung
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harapan ini amat cantik.

Ditudungi Table Mountain yang menjulang

gagah, dilatarbelakangi panorama laut yang permai,

Capetown pasti merupakan salah satu kota yang terindah di Afrika.

Bersandar santai dalam mobil sewaan setelah penerbangan dua jam dari Johannesburg, Arneta menikmati pemandangan daerah-daerah yang dilewatinya.

Table Mountain, bukit batu yang mendominasi

pemandangan kota itu, ibarat lengan raksasa yang

merangkul bumi. Lebih-lebih ketika "taplak meja"nya yang putih bersih, gumpalan awan bak kapas yang

menyelubungi puncaknya, seperti sengaja dibentangkan untuk menambah eloknya pemandangan.

Gedung-gedung bergaya Victoria, Company Gardens yang teduh menghijau di tengah kota, menawarkan sisi lain dari kota yang unik ini.

Seperti belum puas memamerkan keunikannya,

Capetown masih menawarkan Hout Bay, teluk cantik yang diapit dua pegunungan, Sentinel Peak dan

Chapman"s Peak. Perjalanan melalui tikungan berliku di antara bukit yang menjulang dan hamparan

laut, memaparkan pemandangan alam yang sulit dilupakan.

Dan akhirnya, Tanjung Harapan. Tanjung tercantik di dunia. Di sana, hijaunya air Samudera Hindia

bertemu dengan birunya nuansa Lautan Atlantik.

"Kok diam saja?" tanya Toni ketika mereka sedang duduk berdua di atas batu di puncak Cape of

44

Good Hope. Memandangi beberapa orang-orang

yang mencoba mendaki ke atas, melewati jalan setapak yang cukup terjal.

"Menikmati pemandangan alam."

Tentu saja Arneta tidak berdusta. Dia memang

sedang menikmati pemandangan alam. Sekaligus

membayangkan masa lalu mereka.

Panorama laut yang cantik di bawah sana. Bentangan langit yang membiru di atas kepala mereka. Angin dingin yang berkesiur cukup kencang. Semuanya

seperti membius kenyataan. Membuka tabir mimpi

masa remaja yang telah lama tertutup.

Berapa banyak saat-saat seperti ini ketika mereka

pacaran dulu? Duduk berdua mengagumi pemandangan alam sambil memadu janji merenda kasih?

Toni meraih tangannya. Dan menggenggamnya

dengan mesra ketika dirasanya Arneta tidak menolak.

"Tidak ingat masa lalu kita?" bisik Toni lirih.

"Buat apa? Semua sudah lewat."

"Aku masih sering mengingatnya."

"Ivon pasti tidak suka."

Toni menghela napas.

"Dia tidak seperti kamu."

"Tentu saja." Arneta menarik tangannya dengan

kesal.

"Karena itu kamu memilihnya!"

"Maafkan aku, Arneta," desah Toni dengan

perasaan bersalah.

"Tidak perlu! Sudah terlambat!"

"Kalau Ivon tidak telanjur hamil..."

"Dia tidak akan telanjur hamil kalau kamu tidak

telanjur menghamilinya!"

"Tapi itu cuma kecelakaan, Arneta! Cuma sekali...."

45

"Apa bedanya sekali dengan dua kali? Kamu toh

sudah melakukannya!"

"Kamu masih marah?"

"Masih perlu tanya? Siang?malam aku belajar

matimatian. Supaya kuliahku cepat selesai. Karena cuma dengan menunjukkan ijazahku, Ayah mau

merestui pernikahan kita. Dua hari sesudah diwisuda,

kamu datang memutuskan hubungan kita! Masih perlu tanya aku marah atau tidak? Aku harus bagaimana? Mengucapkan selamat dan memaafkanmu?"

"Aku menyesal sekali, Arneta..."

"Tidak perlu. Kita sudah memilih jalan hidup

masing masing."

"Kamu bahagia?"

"Pertanyaan apa itu! Kamu tidak pantas lagi

menanyakannya!"

"Mengapa memilih Rivai Maringka?"

"Mengapa tanya begitu?" desis Arneta tersinggung.

"Karena dia tidak serupa denganmu?"

"Rivai lelaki yang baik. Ganteng. Tapi ada sesuatu

dalam dirinya yang membuatku tidak bisa menyukainya."

"Kamu bisa menyukai lelaki yang mengawini

bekas pacarmu?"

"Terus terang... tidak."

"Aku juga tidak menyukai Ivon. Dari dulu sampai

sekarang."

"Cuma tanya, Arneta," gumam Toni ragu-ragu.

"Kamu tidak merasa keliru memilihnya?"

"Kamu tidak keliru memilih Ivon?"

"Perkawinan kami berantakan," cetus Toni terus

terang.

46

"Aku menyesal memilihnya."

Perkawinanku pun hampir berakhir, pikir Arneta

getir. Kalau saja Rivai tidak datang pada saat aku sedang marah dibakar dendam.... pada saat aku sedang

merasa terbuang... tersisih.... tersingkirkan.

"Kamu bahagia, Arneta?"

"Ya," sahut Arneta sambil mengatupkan rahangnya menahan marah.

"Rivai suami yang baik?"

"Dia sangat mencintaiku."

"Syukurlah. Cuma aku yang tidak beruntung."

"Kenapa?" Arneta hampir menggigit bibirnya

sampai berdarah karena kelepasan menanyakannya.

Mengapa harus bertanya seperti itu?

"Ivon sangat

cantik, kan? Kamu pasti bangga menjadi suaminya."

"Dia memang cantik. Tapi tidak pernah cocok

denganku."

"Ah, itu cuma alasan!"

"Dia hanya mencintai dirinya sendiri."

"Kamu tidak?"

"Cuma Rimba yang menyebabkan aku belum

menceraikannya."

"Justru karena Rimba kamu terpaksa mengawininya, kan?"

"Aku tidak mau dia kehilangan ibu."

"Mungkin Ivon pun tidak mau melepaskannya."

"Kenapa tidak? Lelaki yang dipacarinya sudah

punya anak dua."

Arneta tertegun. Jadi itulah sebabnya! Ivon sudah

punya kekasih lagi! Dan Arneta merasa malu. Mengapa hatinya bersorak mendengar penderitaan orang

lain? Sungguh memalukan!

47

"Tidak ada jalan untuk merebutnya kembali?"

Peduli apa? Tetapi Arneta harus mengucapkannya

untuk menutupi perasaan hatinya yang sebenarnya....

"Kami sudah tidak saling mencintai."

"Itu hanya kata lain dari bosan."

"Apa bedanya? Kalau berada berdua selalu berarti pertengkaran, untuk apa mempertahankan kebersamaan?"

Untuk apa, pikir Arneta gundah. Apakah aku pun

sudah harus memikirkan perpisahan? Bukankah hidup perkawinanku pun hampir selalu diwarnai oleh

pertengkaran?

***

Cable car yang membawa mereka ke puncak Table

Mountain sudah kosong. Barangkali itu merupakan

cable car terakhir hari ini yang memanjat ke atas.

Cuaca mulai gelap. Angin bertiup agak kencang

sampai cable car mereka ikut bergoyang?goyang.

Dinding batu karang yang terjal menghadang curam di depan sana. Mereka mendaki makin tinggi,

hampir tegak lurus, mendekati puncak.

Di celah-celah batu karang yang terjal di perut

gunung, masih terlihat beberapa orang penduduk asli

sedang mengadakan upacara keagamaan walaupun

malam mulai turun merangkul bumi.

Awan putih yang menyelubungi Table Mountain

seperti taplak meja berangsur pudar ditiup angin

yang agak kencang. Kabut dingin merangkul Arneta

48

begitu dia melangkah turun dari cable car. Tidak sadar dia menggigil.

Toni melepas jaket kulitnya. Dan menyelubungkannya ke bahu Arneta. Toni tidak menarik kembali

lengannya. Dia merangkul Arneta. Dan membawanya ke tempat yang lebih tinggi.

Panorama di bawah sana memang cukup menggetarkan sukma, walaupun mereka tidak dapat melihat

jelas lagi karena tirai kabut.

Arneta merasa dirinya kerdil tak berarti tatkala

memandang jauh ke bawah dari ketinggian hampir

dua ribu meter. Di sini, di ujung selatan Benua Afrika, sepuluh ribu kilometer dari tanah airnya, dia menyaksikan kebesaran alam ciptaan Tuhan.

Jurang luas menganga lebar di bawah sana. Dinding bukit yang terjal berbatu tegak menantang bagai

benteng alam yang kokoh. Sementara puncak Lion"s

head yang menurut imajinasi orang Afrika mirip

kepala singa, merunduk abadi di antara belaian kabut.

Bertambah malam, cuaca bertambah pekat. Dingin semakin menusuk tulang. Angin berkesiur dengan suara yang tidak ramah lagi. Panorama di puncak

Table Mountain semakin dramatis. Membuat Toni

dan Arneta yang terasing dalam kesunyian sama-sama dibius pesona.

Toni meraih dagu Arneta. Dan merunduk untuk

mengecup bibirnya. Tetapi Arneta memalingkan wajahnya. Dan mendorong dadanya dengan lembut.

"Jangan, Toni," pinta Arneta pahit.

"Jangan nodai

perkawinanku."

49

"Maafkan aku," desah Toni lirih.

"Aku hanya ingin kamu tahu, aku masih..."

"Jangan katakan lagi," potong Arneta halus.

"Aku menyesal meninggalkanmu."

"Tak pantas lagi kamu mengucapkannya."

"Kalau masih ada jalan untuk kembali ..."

"Jalan itu bukan untuk kita."

"Ketika melihatmu lagi di lobi hotel kemarin, aku

sadar, aku masih tetap mencintaimu."

"Ingat anakmu, Toni. Rimba masih membutuhkan

ibunya." Toni menghela napas berat.

"Terima kasih, Arneta. Kamu masih tetap sebaik

Arneta yang kukenal. Rivai sangat beruntung mempunyai istri seperti kamu."

50

BAB V

PINTU terempas terbuka. Padahal Toni baru menekan bel sekali. Rupanya Rivai sudah seabad

menunggu istrinya.

Matanya menyala ketika melihat siapa yang mengantar istrinya pulang. Dandanan istrinya memang

tidak mencolok. Celana panjang yang dipadu dengan

kemeja. Tetapi Arneta pulang tengah malam. Dan

yang mengantarnya... Toni Tambing!

Tentu saja Rivai masih mengenalinya. Toni

Tambing hadir pada pesta pernikahan mereka. Arneta memperkenalkannya. Dan Rivai langsung tahu

hubungan mereka sebelumnya.

"Selamat malam, Rivai," sapa Toni sopan.

"Maaf,

kemalaman. Aku mengantar Arneta melihat Capetown."

"Terima kasih, Toni." Arneta mendahului masuk
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam kamar. Meninggalkan Toni di depan pintu.

"Selamat malam."

Toni belum sempat membalas. Rivai sudah keburu membanting pintu di depan hidungnya.

Tentu saja Arneta tahu, Rivai marah. Pasti. Yang

dia tidak tahu, Rivai bukan hanya marah. Dia mengamuk. Dan amukannya persis orang sakit!

51

Pakaiannya berserakan di lantai. Tidak ada yang

utuh. Botol parfum, krim pelembap kulit, pelindung matahari, alat-alat makeup, dan entah apa lagi,

bergelimpangan di kamar mandi. Gelas dan botol

hancur berderai, sehingga Arneta harus melangkah di

atas hamparan beling.

"Tidak adil!" gerutu Arneta menahan marah.

"Ketika kau pergi sampai lewat tengah malam kemarin,

aku tidak menghancurkan pakaianmu!"

"Aku tidak pergi dengan perempuan lain!" Rivai

menyentakkan lengan istrinya dengan kasar.

"Kau

berani pergi dengan dia?!"

"Aku harus pergi dengan siapa lagi?" Arneta

melepaskan lengannya dengan sengit.

"Cuma dia

yang mau mengantarku! Kerjamu di sini cuma tidur

dan judi!"

"Aku akan menghukummu." Rivai mengayunkan tangannya menampar wajah istrinya.

"Kak Rana

benar, kamu perempuan hina!"

"Kakakmu selalu benar!" Arneta menebah pipinya menahan sakit.

"Ceraikan saja aku. Kawini kakakmu!"

"Biadab!" Rivai menerjang ke depan. Siap

memukul lagi. Tetapi kali ini Arneta lebih cepat. Dia

meraih telepon.

"Cobalah," tantangnya nekat.

"Kau akan tidur di

penjara malam ini!"

Rivai membatalkan niatnya untuk menghajar istrinya. Tetapi tidak berusaha memadamkan kemarahannya.

52

"Kau tidak bisa mendidik istrimu," suara itu terdengar lagi di telinganya.

"Istrimu pergi dengan

bekas pacarnya sampai tengah malam buta! Kau harus menghukumnya supaya jera! Yang bersalah harus

dihukum!"

Rivai turun ke bar. Minum dua gelas wiski. Dan

menelepon Rana. Tidak peduli saat itu kakaknya

mungkin masih tidur.

Beda waktu dengan Jakarta sekitar lima jam.

Pukul enam pagi, Rana mungkin masih asyik di tempat tidur. Tidak ada Rivai yang harus dilayani. Tidak

ada Arneta yang harus dimata-matai. Nah, buat apa

bangun pagi?

Rana memang sudah tidak bekerja lagi. Ada Rivai

yang menopang hidupnya. Dia tidak perlu lagi mencari uang. Mengurus rumah pun bukan urusannya

lagi. Ada tiga orang pembantu yang siap melayani.

Jadi tidak heran kalau pukul enam lewat pun dia masih asyik di tempat tidur.

Tetapi ketika telepon berdering, dia langsung

tahu, Rivai-lah yang menelepon.

***

"Pakai ini!" Rivai melemparkan sehelai gaun mini

berwarna merah darah ke atas tubuh istrinya.

Arneta yang sudah hampir satu jam terlelap,

langsung terjaga. Dibukanya matanya. Diraihnya

baju itu. Dan dia merasa muak.

53

"Aku bukan pelacur!" sergahnya sengit.

"Pakai!" Suara Rivai bernada mengancam.

"Mengapa aku harus memakai gaun seperti ini?

Untuk memuaskan seleramu yang sakit?"

"Aku suamimu! Aku berhak menyuruhmu memakai baju yang kuinginkan!"

"Tapi aku juga berhak menolak memakai baju

pelacur seperti ini!"

"Kau memang pelacur!"

"Aku perempuan terhormat. Tak ada lelaki yang

bisa menghina diriku!"

"Pakai kataku!"

"Tidak mau!"

"Harus kupaksa?"

"Mengapa harus selalu menghina diriku?"

"Kau memang pantas dihina!"

"Karena pergi dengan Toni?"

"Sampai tengah malam buta!"

"Toni sekarang cuma teman biasa."

"Kaukira aku percaya?"

"Terserah."

"Kau menghina suamimu!"

"Antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi. Dan

aku menjaga kehormatanku seperti aku menjaga nyawaku!"

"Omong kosong! Kalau seorang perempuan pergi dengan teman prianya sampai jauh malam, semua

bisa terjadi!"

"Itu dalil dari kakakmu?"

"Kak Rana perempuan terhormat! Bukan perempuan murahan seperti kau!"

54

"Dan saking mahalnya tidak ada yang berani

menawar!"

"Jangan menghina Kak Rana!"

"Kau sendiri menghina istrimu!"

"Apa susahnya menuruti keinginan suamimu? Pakai baju itu!"

"Apa bedanya baju apa pun yang kupakai? Kau

belum puas kalau belum menyakiti aku!"

"Aku harus menyeretmu turun dengan baju tidurmu yang compang?camping ini?"

"Mau ke mana?"

"Perlu tanya ke mana suamimu membawamu?"

"Katakan dulu mau ke mana!"

"Menemaniku minum!"

"Belum cukup banyak alkohol di perutmu? Bau

napasmu sudah seperti pemabuk!"

"Kutunggu di bar." Rivai memutar tubuhnya

meninggalkan istrinya.

"Kalau dalam seperempat

jam kau tidak muncul, aku akan menyeretmu! Dan

kalau kau pakai baju lain, kurobek bajumu di sana!"

***

Lelaki berkulit hitam yang menjaga bar itu hampir tidak dapat menahan siulannya ketika melihat Arneta.

Gaun mini tanpa lengan itu sangat ketat membungkus tubuhnya. Memetakan lekak-lekuk tubuhnya dengan sangat menggoda. Warnanya yang merah

manyala amat kontras dengan kulitnya yang putih

bersih.

55

Rambut hitamnya yang digelung ke atas seperti

memamerkan lehernya yang jenjang. Yang dirangkul

mesra oleh seuntai kalung mutiara. Sementara tungkainya yang panjang dan mulus, tak mampu bersembunyi di balik gaunnya yang pendek.

Meskipun wajahnya yang cantik bagai lukisan itu

tampil muram, dia seperti Venus yang tiba-tiba turun

ke bumi. Bar yang sudah separo kosong itu mendadak hening ketika dia melangkah masuk.

Rivai sudah menyediakan sebuah bangku untuk

istrinya.

"Duduk," katanya separo mabuk.

"Aku sudah mengikuti keinginanmu," kata Arneta

dingin, tanpa mengacuhkan sekelilingnya.

"Sekarang

katakan apa yang ingin kaubicarakan."

"Aku tidak ingin bicara. Aku ingin memperkenalkanmu kepada seseorang."

Rivai mengosongkan gelasnya. Dan menyorongkan segelas minuman kepada Arneta.

"Minum!"

"Rekan judimu?" ejek Arneta sinis. Diteguknya

minumannya. Dia merasa tenggorokannya terbakar.

"Aku tidak berminat!"

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Rivai kepada

seseorang yang duduk di tempat gelap.

Arneta menoleh. Dan melihat bayangan seorang

lakilaki di sana. Wajahnya tidak jelas. Tetapi Arneta

masih dapat melihat dia menganggukkan kepalanya.

Arneta merasa sangat terhina. Terhina sampai ke

tulang sumsumnya.

"Apa haknya menilaiku?" geramnya sengit.

56

Dia sudah memutar tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, tempat yang amat memuakkan! ketika kepalanya terasa pusing... Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap.

57

BAB VI

KETIKA Arneta membuka matanya, dia merasa

kepalanya berat. Amat berat.

Mula-mula dia tidak mengenali tempat dia berada. Kamar itu masih separo gelap. Tirai tebal yang

menutupi jendela belum tersibak. Lampu belum ada

yang dinyalakan. Satu?satunya cahaya lemah berasal

dari kamar mandi, yang pintunya masih belum tertutup rapat.

Lama-kelamaan baru pikiran jernih merasuki

otaknya yang seperti berkabut. Dia mulai mengenali

kamar hotelnya di Sun City.

Arneta tergolek di atas tempat tidur. Tubuhnya

diselimuti rapi sampai ke leher.

Tangan-kakinya terasa lemas sampai tak mampu

digerakkan. Tetapi tanpa menggerakkan tangannya

pun dia sudah merasa, dia tidak mengenakan sehelai

benang pun di bawah selimutnya.

Ada suara air di kamar mandi. Dan ingatan Arneta

langsung melayang kepada Rivai. Kepada kejadian

tadi malam.

Rivai?kah yang membubuhkan obat ke dalam minumannya? Buat apa? Buat apa dia membius istrinya

sendiri? Sengaja melumpuhkannya sebelum menggaulinya? Supaya egonya terpuaskan melihat ketidakberdayaan istrinya?

Ah, Rivai memang aneh! Perilaku seksnya pun

tidak normal! Sesudah mengamuk begitu hebat karena cemburu, dia menginginkan istrinya dengan cara

seperti ini? Sakit!

Tetapi selain pusing dan lemas, itu pasti karena

pengaruh obat, Arneta tidak merasakan apa-apa lagi.

Tidak merasa sakit. Padahal biasanya, Rivai belum

puas jika belum menyakiti istrinya, secara fisik maupun mental. Apakah dia sudah mempunyai kebiasaan

baru?

Dan Arneta tidak sempat berpikir lebih jauh lagi.

Pintu kamar mandi terbuka. Bayangan seorang laki-laki tampak sekilas.

Mendadak Arneta merasa hatinya bercekat. Tubuh

itu... rasanya bukan tubuh suaminya.... Ketika bayangan itu mendekat, Arneta lebih takut lagi. Aroma

yang menerpa hidungnya bukan aroma tubuh Rivai!

Arneta ingin memekik. ingin menjerit sekuat?kuatnya. Seorang laki?laki asing berada di dalam kamarnya di dekat tempat tidurnya!

Tetapi Arneta belum sempat memekik. Lelaki

itu sudah keburu membekap mulutnya. Dan Arneta

menggeliat kesakitan ketika bekas tamparan Rivai di
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pipinya terasa menyengat kembali.

"Maafkan aku." Laki-laki itu langsung mengendurkan bekapannya di mulut Arneta. Tangannya yang

lain menyalakan lampu di samping tempat tidur.

"Aku tidak ingin menyakitimu."

59

Arneta menatap laki-laki itu dengan mata terbelalak ketakutan. Dia masih muda. Tiga puluhan. Rupawan. Dengan sepasang mata yang redup. Bulu mata

yang panjang. Dan bibir yang tipis.

Rahangnya tidak terlalu kokoh untuk seorang

lelaki jantan. Kulitnya terlalu halus untuk menjadi

seorang penjahat. Sosoknya kelewat lembut buat seorang pemerkosa. Apa yang diinginkannya di kamarnya? Di mana Rivai? Di mana suaminya pada saat

dia sangat menginginkan kehadirannya?

"Namaku Taufan," suaranya lunak. Sikapnya

sopan. Dia duduk di samping tempat tidur. Sama

sekali tidak berniat menerkam. Tetapi Arneta merasa

risih. Dia ingin mengusir lelaki ini.... Di mana Rivai?

Di mana dia?

"Suamimu mempertaruhkanmu di meja judi," katanya datar.

"Aku memenangkan taruhan itu."

Arneta ingin menjerit. Ingin memekik. Ingin

menangis tersedu-sedu. Penghinaan apa lagi yang belum dialaminya? Suami yang katanya mencintainya,

menjualnya di meja judi!

Inikah bulan madu kedua yang dijanjikan Rivai?

Atau... inikah hukuman bagi istrinya, yang berani

pergi bersama bekas kekasihnya? Dijualnya istrinya

kepada lelaki lain! Diserahkannya tubuh istrinya sebagai barang taruhan!

Sungguh terkutuk! Padahal Rivai tahu bagaimana

ketatnya Arneta menjaga kehormatannya.... Dia tidak

sudi menyerahkan kehormatannya sebelum menikah.

Tidak kepada Toni. Tidak juga untuk Rivai! Dan sekarang... inilah yang dilakukannya untuk menghina

Arneta... untuk menghukumnya! Sadis!

Tetapi Arneta tidak mampu berbuat apa-apa. Dia

merasa sangat lemah. Sampai menggerakkan tangan

pun rasanya dia tidak kuasa. Hanya air mata yang

meleleh deras membasahi pipinya.

"Dia yang menamparmu?" Dengan lembut lelaki

itu membelai pipi Arneta.

"Kamu tidak pantas menerimanya."

Arneta berusaha memalingkan wajahnya. Menghindari tangan lelaki itu. Dia merasa jijik. Perutnya

mual. Ulu hatinya nyeri.

"Aku hanya mengambil apa yang ditawarkan suamimu," gumam laki-laki itu lirih.

"Ketika pertama

kali melihatmu, aku tahu, aku menginginkanmu."

Arneta tidak menjawab. Dia hanya mampu menahan isaknya. Sampai hati Rivai memperlakukannya

seperti ini! Atau... Rana-kah yang menyuruhnya?

"Yang bersalah harus dihukum!" itu yang selalu dikatakan Rana kalau Arneta kedapatan berbuat

salah. Inikah hukumannya karena pergi dengan Toni?

"Sekarang semuanya sudah selesai," sambung Taufan lunak.

"Jika kamu ingin aku meninggalkan kamar ini, aku akan keluar."

Arneta tetap membisu. Hanya air mata yang

menjawab pertanyaan Taufan. Dia terkapar dalam

kehancuran. Terpuruk dengan kehormatan yang tercabik-cabik. Sakit hati tapi tak berdaya menanggung

hukuman yang ditimpakan suaminya.

Dan air mata Arneta menyentuh hati Taufan. Perempuan ini sangat cantik. Apa yang telah dilakukannya sampai lelaki sinting itu tega menjualnya?

"Aku menantangmu berjudi." Rivai mengirim

kartu namanya ke kamar Taufan.

"Sediakan sepuluh

ribu dolar."

Mula-mula Taufan tidak meladeninya. Dia baru

tergugah ketika mendengar taruhannya. Dan setelah

melihat istri Rivai, Taufan tidak dapat melupakannya

lagi.

Ketika menemukannya terbujur tak sadarkan diri

di atas tempat tidur, Taufan tak dapat lagi mengekang

keinginannya. Dilepasnya sanggul Arneta. Digeraikannya rambutnya. Dia begitu jelita. Begitu memesona.

Taufan mencium wajahnya dengan mesra. Hidungnya. Bibirnya. Sampai dia tak tahan lagi.

Dia telah memenangkan wanita ini, bukan? Suaminya sendiri yang telah menyerahkan kunci kamar

mereka. Taufan tidak ragu-ragu mengambil apa yang

telah menjadi haknya.

Tetapi ketika melihat air matanya, ketika mendengar tangisnya, ada setitik penyesalan menggugah

nuraninya.

"Kalau kamu tidak mau bertemu suamimu lagi,

aku bersedia mengantarmu," kata Taufan dengan suara tertekan.

"Ke mana pun kamu mau pergi."

Arneta tidak menjawab. Tangisnya mulai mereda.

Tetapi air matanya masih meleleh.

Dia tidak tahu harus berbuat apa. Hidupnya sudah hancur. Dia merasa terhina. Kotor. Tak berharga.

62

Rasanya dia tidak ingin melihat hari esok. Tidak mau

bertemu Rivai lagi. Rana. Atau orangtuanya sekalipun.... Dia merasa malu!

Satu?satunya keinginannya sekarang hanyalah

mandi. Menggosok tubuhnya kuat-kuat sampai

semua kulitnya lepas! Biar rontok semua kotoran

menjijikkan yang melumuri tubuhnya.... Tapi dapatkah air menyucikan kembali dirinya?

"Aku akan meninggalkanmu," kata Taufan lemah

lembut.

"Istirahatlah. Aku tidak akan mengembalikan kunci kamar kepada suamimu. Supaya dia tidak

kemari. Aku yakin kamu belum ingin melihatnya."

Aku tidak ingin melihatnya lagi, teriak Arneta dalam hati. Aku tidak ingin melihatnya lagi untuk selama-lamanya!

***

Pagi-pagi Arneta sudah meninggalkan kamarnya.

Memakai celana panjang dan kemeja yang kemarin

dipakainya. Cuma itu bajunya yang masih utuh.

Pakaian yang lain ditinggalkannya begitu saja

bersama kopernya. Buat apa lagi dibawa?

Bergegas Arneta keluar dari lobi. Dia tidak ingin

bertemu Toni. Tidak mau lagi berjumpa dengan Rivai. Dia hanya ingin pulang secepatnya ke Jakarta.

Dan mengajukan permohonan cerai.

Paspor dan tiket sudah dibawanya. Dia hanya perlu pergi ke Johannesburg untuk mengubah tanggal

kepulangannya ke Jakarta. Mudah-mudahan masih

ada tempat kosong di pesawat.

63

Mobil yang dipesannya sudah menunggu di depan

hotel. Arneta langsung naik tanpa menoleh lagi. Dia

minta diantarkan ke bandara.

Sepanjang perjalanan ingatannya melayang ke Rivai. Dia pasti mengamuk kalau tahu istrinya sudah

pergi.

Tapi apa peduliku, pikir Arneta muak. Yang

dilakukan Rivai kali ini sudah keterlaluan!

Arneta menggigil ketika membayangkan apa yang

terjadi di kamarnya tadi malam. Lelaki itu memang

tidak menjijikkan. Tidak menyakitinya. Tapi apa bedanya? Dia mengambil apa yang bukan miliknya!

Dia membuat Arneta merasa kotor. Merasa terhina!

Barangkali bukan salahnya seratus persen. Rivailah yang salah. Dia yang menjual istrinya! Mempertaruhkannya seperti barang! Dan Arneta merasa

ingin muntah setiap kali membayangkannya.

Itukah lelaki yang dipilihnya menjadi suaminya?

Dari kubangan mana dia berasal?

64

BAB VII

ANAK laki-laki itu menggenggam tangan ibunya

erat-erat. Wajahnya yang mengerut ketakutan tampak lebih pucat dari wajah ibunya. Padahal ibunyalah

yang sedang didorong di atas brankar.

"Pasien apa, Nur?" tanya Bidan Yetty yang sudah

menyongsong di depan pintu bangsal kebidanan rumah sakit umum itu.

"Perdarahan, Mbak. Pasien hamil muda. Dikirim

dari gawat darurat."

Sekilas Bidan Yetty mengawasi pasiennya. Dan

dia jadi terperanjat sendiri. Wajah perempuan muda

itu pucat pasi. Matanya merah dan sembap. Tetapi

bukan itu yang membuat Bidan Yetty terkejut.

Ada memar kebiru-biruan yang melingkari mata

kirinya. Pelipis kirinya robek sepanjang kira-kira dua

sentimeter. Darah masih mengalir dari luka terbuka

itu.

Bukan itu saja. Pipinya hitam lebam. Bibirnya

pecah. Dan di sudut mulutnya, masih tampak bercak

darah yang mengering.

"Apa yang terjadi, Dik?" tanyanya iba.

"Siapa

yang memukulimu?"

65

Sesaat mata yang merah berair itu menggelepar

panik. Tatapannya yang getir menghunjam mata

Bidan Yetty dengan sorot ketakutan.

"Saya saya jatuh, Mbak...," suaranya bergetar.

Lemah. Hampir tak terdengar.

Tentu saja Bidan Yetty tidak percaya. Sekali lihat

saja, dia tahu perempuan ini berdusta.

Lebih-lebih ketika dia melihat bocah lelaki yang

melekat rapat di sisi brankar itu. Sorot matanya maupun air mukanya menampakkan ketakutan bercampur

kebencian yang sukar diuraikan dengan kata-kata.

"Panggil Dokter Tejo, Nur," perintah Bidan Yetty

yang sudah amat berpengalaman menghadapi berbagai pasien yang datang ke rumah sakitnya.

"Barangkali mau divisum dulu."

"Penganiayaan, Mbak?" bisik rekannya yang masih muda itu dengan penuh keingintahuan.

"Dipukul

suaminya, ya?"

"Hus! Jangan gegabah kau, Nur!" Sekali lagi

Bidan Yetty memperlihatkan kelasnya.

Bagi seorang tenaga medis yang berpengalaman,

jawaban pasien memang tidak selalu benar. Tetapi

sembarangan membuat kesimpulan, lebih salah lagi.

"Kan tidak mungkin dia jatuh, Mbak!" sanggah

Nurbaiti penasaran.

"Lihat saja, lukanya parah begitu!"

Kalau benar suaminya yang memukulinya, mengapa perempuan bodoh ini justru seperti ingin melindunginya? Jauhjauh dia datang dari pinggiran kota

kemari. Nah, di mana suaminya?

66

"Sudahlah," tukas Bidan Yetty sabar.

"Panggil

Dokter Tejo kemari."

Ternyata Dokter Tejo yang ditugasi membuat visum dan menolong pasien itu juga mempunyai kesimpulan yang sama. Tetapi karena wanita itu berkeras

mengatakan dia jatuh dari tangga, Dokter Tejo tidak

dapat mendesak terus.

"Kalau Ibu mau mengubah keterangan, minta

Bidan Yetty menghubungi saya," kata Dokter Tejo

penuh pengertian.

"Keadaan Ibu tidak terlalu parah.

Tapi bayi Ibu tidak dapat dipertahankan lagi...."

"Saya keguguran?" rintih pasien itu sedih. Air

matanya berlinang. Wajahnya mengerut seperti menahan sakit.

"Karena liang rahim telah terbuka, sebagian besar
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

janin telah keluar. Ibu harus dikuret untuk mengeluarkan sisa jaringan yang masih tertinggal di dalam

rahim. Selama masih ada sisa-sisa jaringan di sana,

perdarahan ini tidak akan berhenti."

Wanita itu menangis. Tetapi dia tetap menutup

mulutnya rapat-rapat. Putranya yang duduk menunggu di luar pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Padahal Bidan Nurbaiti sudah membawakan segelas

teh hangat dan sepotong pisang goreng.

"Tidak ada orang di rumah?" desak Bidan Nur penasaran.

"Ke mana ayahmu?"

Anak laki-laki berumur tujuh tahun itu hanya

menggelengkan kepalanya. Mukanya mengerut ketakutan. Tetapi matanya menyimpan segebung kebencian terpendam. Rasa benci yang terasa ganjil dalam

pandangan Bidan Nur.

67

"Ayahmu yang memukul ibumu?" desak Bidan

Nurbaiti lagi setelah menengok lebih dulu ke dalam,

dan tidak melihat Bidan Yetty di sana.

Kali ini bocah itu tidak menggeleng. Tidak juga

mengangguk. Mulutnya tertutup rapat. Tapi matanya

nyalang menatap ke tembok.

Adegan itu terlukis jelas di sana. Seperti gambargambar hidup yang bermain di dinding yang kelabu.

Tergesa-gesa Ibu mendorongnya ke kamar begitu

Ayah pulang.

"Jangan keluar!" pesan Ibu dengan suara ketakutan.

"Jangan keluar apa pun yang kaudengar!"

Tetapi dia bukan hanya mendengar. Dia melihat.

Dia menyaksikan ibunya dipukuli Ayah.

Ibu jatuh tersungkur. Kotak yang dipeganginya

erat-erat itu terlepas dari tangannya. Ayah langsung

merampasnya. Tetapi Ibu masih berusaha mempertahankannya.

"Jangan, Bang!" rintihnya separo menangis.

"Rantai itu tinggal satu-satunya milik kita! Enam bulan lagi anak kita lahir!"

Ayah mendampratkan sumpah serapah yang begitu kotornya sampai Ibu menutup telinganya karena

tidak ingin mendengar. Lalu Ayah meninggalkan Ibu

yang masih terkapar di tanah. Kalung itu dibawanya

pergi.

Ketika Ibu berusaha merangkul kaki Ayah, lelaki itu menendangnya sampai Ibu terkapar di tanah.

Bocah itu memekik sambil lari memeluk ibunya.

"Ayah jahat!" geram bocah cilik itu antara takut

dan benci.

68

"Tidak, Nak." Ibu membelai kepalanya sambil

menangis.

"Ayah tidak jahat. Ayah sayang kita. Kau

tidak boleh ngomong begitu."

Sayang? Begitukah cara Ayah menyayangi Ibu?

Itukah cara menyatakan kasih sayang?

Tetapi dia tidak sempat bertanya. Ibu mengaduh

kesakitan ketika sedang mencoba beringsut bangun.

"Panggil Rana...."

Tatkala dia sudah membuka mulutnya untuk

memanggil kakaknya, kakak perempuannya sudah

tegak di sana. Air mukanya sama dinginnya dengan

sorot matanya.

***

Tetapi memang bukan baru sekali itu dia melihat

ibunya dipukuli Ayah. Malam-malam pun dia sering

mendengar Ibu merintih kesakitan di kamar sebelah,

yang hanya dibatasi oleh dinding papan dengan kamarnya.

Rintihan ibunya seperti simfoni masa kecilnya,

yang mungkin malah sudah dikenalnya sejak dia masih berada dalam kandungan ibunya. Rintihan itu menerbitkan ketakutan tetapi sekaligus kerinduan yang

ganjil apabila tidak didengarnya.

Entah apa yang dilakukan Ayah sampai Ibu

mengerang begitu. Tetapi apa pun yang dilakukan

ayahnya, ibu tidak pernah mengeluh. Tidak pernah

mengumpat. Tidak pernah membencinya.

Ibu selalu melayani Ayah dengan sabar. Dengan

telaten. Dengan penuh kasih sayang. Sebaliknya,

69

Ayah juga sangat baik kepada Ibu, kalau dia tidak sedang digoda setan judi.

Ayah selalu memanjakan Ibu. Membelikan baju

yang bagus?bagus. Sandal. Sepatu. Kadang?kadang

perhiasan juga.

Tetapi kali ini, rasanya Ayah sudah keterlaluan.

Memukuli Ibu sampai sedemikian rupa. Sampai Ibu

keguguran. Dan dia kehilangan adik.

Padahal Ibu sudah menyiapkan segalanya untuk

adik kecil. Hampir tiap hari Ibu membicarakannya.

Mengajaknya menyiapkan kamar. Pakaian. Dan perlengkapan lain untuk adiknya.

Ibu bilang, adiknya kali ini pasti perempuan. Dan

bayi perempuan pasti cantik. Kata Ibu, bayi selalu

mungil dan lucu. Bayi itu seperti boneka. Cuma bisa

menangis. Bisa tertawa. Bisa ngomong. Dan bisa

ngompol.

Dia boleh menggendongnya nanti, kata Ibu. Boleh

membantu Ibu memandikannya. Menyuapinya juga

kalau dia sudah doyan nasi.... Dan Ayah melenyapkan impiannya!

Mengapa Ayah sekejam itu? Mengapa Ayah membunuh adik kecil?

Dia melihat ibunya menangis. Pasti karena kehilangan bayinya.

Diam?diam dia berjanji dalam hati, kalau Ibu

punya seorang bayi lagi... tidak akan diberikannya

Ayah kesempatan untuk melenyapkan adiknya! Tidak akan!

70

***

"Mengapa kau melamun terus?" gerutu kakaknya kesal.

"Kapan aku bisa menggendong adik, Kak?"

"Bodoh kau! Kalau ada adik, Ibu tidak sayang

lagi kepadamu!"

"Bohong! Ibu sudah bilang, biar ada adik, sayangnya kepadaku tidak akan berubah!"

"Kenapa kau kepengin punya adik?"

"Aku ingin menggendongnya."

"Bodoh! Gendong saja boneka!"

"Kata Ayah, anak lelaki tidak main boneka."

"Aku anak perempuan. Aku tidak main boneka!"

"Kenapa Kakak tidak main boneka?"

"Buat apa?"

"Tidak kepengin menggendongnya?"

"Aku bisa menggendongmu."

"Karena itu Kakak tidak suka boneka?"

"Kita tidak perlu boneka. Tidak perlu adik. Tidak

perlu siapa-siapa. Kau punya aku. Aku punya kau.

Buat apa lagi adik?"

"Aku tidak bisa menggendong Kakak."

"Siapa bilang? Kalau kau sudah besar nanti, kau

boleh menggendongku."

"Betul?"

"Pernahkah aku bohong kepadamu?"

"Suami Kakak tidak marah?"

"Suami? Siapa yang mau punya suami? Aku tidak

mau dipukuli seperti Ibu!"

71

BAB VIII

TERGESA-GESA Arneta turun dari mobil sewaannya. Membayar ongkos kepada si pengemudi. Dan

bergegas masuk ke dalam bandara.

Suasana di luar maupun di bandara amat mengkhawatirkan. Begitu banyak orang di sana. Dan beberapa orang di antaranya tampaknya tidak berniat untuk

naik pesawat terbang.

Seorang turis Jepang sedang ribut kehilangan

kopernya. Padahal mereka pergi berkelompok. Dan

koper rombongan mereka ditumpuk di tempat yang

cukup ramai sebelum check in.

Sambil memegangi tasnya erat?erat, Arneta menuju ke tempat tiket. Antrean cukup panjang meskipun

hari masih pagi.

Diam?diam Arneta merasa resah. Mungkinkah dia

masih kebagian tempat di pesawat hari ini?

Bukan itu saja. Di dekatnya bergerombol pemuda-pemuda berkulit hitam bertubuh tinggi besar seperti pemain basket. Mereka sedang mengobrol sambil

tertawa?tawa.

Arneta tidak mengerti apa yang mereka tertawakan. Tetapi sebentar?sebentar mereka menoleh

kepadanya sambil tersenyum.

Lalu seorang di antara mereka mencolek bahunya dan menunjuk ke belakang. Refleks Arneta menoleh... terlambat. Semuanya berlangsung begitu

cepat. Hanya dalam sekejap mata saja, tasnya telah

berpindah tangan.

Arneta hanya sempat melihat seorang pemuda

kurus berkemeja putih menyelinap gesit di antara

orang?orang yang sedang antre.

Belum sempat Arneta menjerit minta tolong, seseorang muncul menghadang si pencuri. Merasa larinya dihambat, maling kecil itu mencoba memukul

orang yang mencegatnya. Tetapi orang itu ternyata

lebih gesit. Dalam beberapa detik saja, si kurus sudah

berhasil diringkus. Dan tas yang dirampasnya berpindah tangan.

Rombongan pria bertubuh tinggi besar itu

langsung bertepuk tangan. Mereka mengucapkan

beberapa patah kata bernada simpati kepada Arneta.

Tetapi Arneta tidak mengacuhkan mereka lagi. Dia

memburu orang yang berhasil mengambil kembali

tasnya itu. Dan matanya langsung menyipit.

***

"Mengapa kamu ikuti aku?" tanya Arneta tersendat.

"Jangan tanya," sahut Taufan tawar.

"Aku juga

tidak tahu."

"Kamu tidak tahu mengapa mengikutiku dari hotel kemari?"

73

"Barangkali aku merasa bersalah kepadamu."

Arneta memalingkan mukanya dengan getir.

Peristiwa di kamar hotelnya terbayang kembali. Dan

sekujur parasnya terasa panas menahan malu.

"Biasanya wanita tidak berarti apa?apa bagiku,"

sambung Taufan datar.

"Jangan salah mengerti. Aku

bukan orang baik?baik."

"Kamu tidak kelihatan seperti orang jahat." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Arneta menyesal.

Dia telah kelepasan bicara. Tapi apa yang dikatakannya memang benar. Lelaki ini tidak tampak seperti

orang jahat. Matanya terlalu redup. Sorotnya jujur.

Kadang-kadang malah tampak getir.

"Aku merasa bersalah kepadamu," tukas Taufan

lirih.

"Aku menyesal."

"Bukan salahmu." Arneta menggigit bibirnya

menahan kepedihan.

"Kamu hanya mengambil apa

yang telah menjadi hakmu."

Taufan menatap wanita itu dengan iba. Wajahnya yang manis berkerut seperti menahan sakit. Tatapan matanya demikian memilukan. Tetapi dia masih

dapat menghibur orang lain.... Dia bahkan tidak menyalahkan orang yang telah berbuat jahat kepadanya!
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tidak membenciku?" desah Taufan raguragu.

"Haruskah aku membencimu?"

"Seharusnya aku tidak melakukannya. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tapi aku tidak

mampu mengekang keinginanku. Kamu sangat cantik."

74

Arneta tidak menyahut. Hanya menundukkan

kepalanya. Taufan merasa sangat trenyuh melihat

keadaannya.

"Aku menyakitimu?" tanyanya perlahan. Arneta

menggeleng muram.

"Aku hanya merasa terhina. Merasa diriku seperti

pelacur...."

"Apakah ada gunanya kalau kukatakan aku sama

hinanya dengan kamu? Aku seorang gigolo."

Arneta mengangkat mukanya dengan terkejut. Ditatapnya laki?laki itu dengan tatapan tidak percaya.

"Wanita yang memeliharaku berumur empat puluh tujuh tahun. Istri seorang diplomat yang kesepian. Perempuan yang baik. Penuh perhatian. Selalu

memenuhi apa pun keinginanku. Hidupku tidak pernah kekurangan. Aku tidak perlu bekerja. Hanya melayaninya kapan dia menginginkanku."

Taufan menatap Arneta dengan tatapan pahit.

"Jadi aku mengerti perasaanmu sekarang. Dan

itu yang membuatku tambah menyesal. Seharusnya

kamu tidak pernah merasakannya. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kamu perempuan baik baik."

"Terima kasih telah menghiburku."

"Aku menceritakan yang sebenarnya."

Untuk pertama kalinya Arneta berani menatap

langsung ke dalam mata laki?laki itu. Mata yang redup. Jujur. Sorotnya sama sekali tidak melecehkan.

Tidak menghina. Tidak merendahkan. Arneta malah

seperti membaca penyesalan yang ada di dalam di

mata itu.

75

"Selamat tinggal." Arneta tidak ingin menjabat

tangannya. Tetapi juga tidak ingin pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan.

"Selamat jalan." Taufan melambaikan tangannya.

"Jangan kembali kepada suamimu. Dia sakit."

Arneta tidak menjawab. Dia memutar tubuhnya.

Dan meninggalkan tempat itu.

Lama Taufan mengawasinya. Peristiwa malam

tadi kembali menggodanya.

Perempuan itu tergolek tak berdaya. Kecantikannya begitu sempurna. Tubuhnya demikian memesona.

Taufan masih dapat merasakan halusnya kulit tubuhnya. Masih dapat merasakan sensasi yang

menyentuh jarijemarinya ketika dia membelai wajah

dan tubuh Arneta.

Walaupun dia dalam keadaan tak sadar, Taufan tidak ingin mengasarinya. Dia memperlakukan Arneta

dengan lembut. Dan entah mengapa, begitu memiliki tubuh wanita itu, dia merasa sesuatu yang ganjil

merasuki hatinya....

Dia bukan hanya ingin memiliki tubuh Arneta.

Dia ingin memiliki jiwanya. Hidupnya. Cintanya

Keluar dari kamar Arneta, dia berjaga di balik pintu tangga darurat. Kalau suami keparat itu kembali...

Tetapi Rivai tidak kembali. Arneta?lah yang

bergegas ke luar sejam kemudian. Begitu saja Taufan

mengikutinya. Tidak tahu mengapa harus menguntitnya. Dan kini, tatkala melihat Arneta hampir berlalu,

dia merasa takut. Takut kehilangan wanita itu....

"Arneta!" panggilnya spontan. Suaranya tersendat. Itu nama yang disebutkan suaminya yang gila

itu, bukan?

Saat itu suasana di sana cukup ramai. Tetapi begitu mendengar suaranya, Arneta langsung menoleh.

Dan dia tidak jadi melangkah. Bergegas Taufan

menghampirinya.

"Aku akan mengantarmu," katanya tanpa berpikir

lagi.

"Ke mana?" tanya Arneta bingung.

"Ke mana kamu mau pergi? Ke Jakarta?"

Arneta tertegun. Lelaki ini mau mengantarkannya

ke Jakarta?

"Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian.

Pesawat ini tidak langsung ke Jakarta. Tapi transit

dulu di Kuala Lumpur. Kamu butuh teman."

"Mengapa begini baik kepadaku?"

"Anggaplah untuk mengurangi rasa bersalahku."

"Kamu tidak perlu melakukannya ...."

"Aku harus melakukannya. Kalau tidak, aku akan

menyesal seumur hidup."

"Rivai bisa menyusahkanmu kalau dia tahu kamu

pulang bersamaku," gumam Arneta resah.

"Dia sakit. Aku khawatir dia menyusulmu."

Sekali lagi Arneta terenyak. Jadi laki?laki ini ingin

melindunginya dari Rivai? Lelaki yang telah mem...

"Tinggallah di sini. Aku akan membeli karcis."

"Dan paspormu?" potong Arneta bingung.

"Bisa minta diantarkan kemari. Masih ada waktu."

"Aku tidak mengerti ...."

Aku juga tidak, pikir Taufan ketika dia sedang

77

menelepon. Enam tahun aku tidak berani pulang ke

Jakarta.... Mengapa sekarang tiba-tiba aku berani

mengantarkan seorang wanita yang baru semalam

kukenal?

"Mengapa mendadak meninggalkanku, Taufan?"

Suara Helga berbaur antara sedih dan tidak percaya.

"Ada seorang wanita," sahut Taufan terus terang.

"Aku tidak pernah dapat berhenti memikirkannya sejak bertemu."

"Wanita bangsamu?"

"Ya."

"Cantik?"

"Sangat. Tapi bukan itu yang membuatku tidak

dapat melupakannya."

"Dia seperti aku?"

"Apa maksudmu? Dia memang baik hati seperti

kamu."

"Maksudku, dia ingin memeliharamu juga?"


Never Too Far Too Far 2 Karya Abbi Fear Street Pesta Kejutan Surprise Party Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu

Cari Blog Ini