Deviasi Karya Mira W Bagian 2
"Sebenarnya, dia malah tidak ingin bertemu lagi."
"Kalau begitu buat apa kau kejar-kejar dia sampai
ke Jakarta?"
"Suaminya sakit jiwa. Aku begitu ingin melindunginya."
"Kau bodoh. Kalau dia tidak ingin kautemui lagi,
artinya dia masih menghendaki suaminya!"
"Kalaupun dia ingin bercerai, belum tentu suaminya mau menceraikan dia. Aku kenal tipe lelaki
seperti itu."
"Lalu apa yang ingin kaulakukan? Memaksa suaminya menceraikan dia?"
"Aku tidak tahu." Taufan menghela napas panjang.
"Aku hanya ingin berada di dekatnya. Membantunya. Melindunginya. Sesuatu yang mungkin
bisa mengurangi rasa bersalahku kepadanya. Sudah
gilakah aku, Helga?"
"Kemarilah, Sayang." Helga mengecup teleponnya dengan mesra.
"Aku tahu apa yang harus kaulakukan."
Tetapi kali ini, bujukan Helga pun seperti tidak
berarti apa?apa.
"Tolong aku sekali lagi, Helga."
"Menjemputmu di airport?"
"Kirimkan pasporku sekarang juga."
"Kau minta aku mengantarkan paspormu?"
"Suruhlah sopirmu. Dari rumah kita ke airport
cuma sepuluh menit."
"Tidak sebelum kau janji akan kembali."
"Suatu hari aku pasti kembali."
"Aku percaya," sahut Helga lembut.
"Karena memang cuma di sini tempatmu. Di sampingku."
***
Akhirnya Taufan kembali ke tanah air. Setelah enam
tahun melarikan diri ke luar negeri, hari ini dia terpaksa menginjak Jakarta lagi. Keinginannya melindungi Arneta mengalahkan ketakutannya.
"Terus pulang ke rumah orangtuamu," katanya
sesampainya di Bandara Soekarno Hatta.
"Jangan
tunggu aku."
"Mau ke mana?" tanya Arneta bingung.
"Barangkali aku agak lama di imigrasi."
79
"Aku bisa menunggu."
"Tidak usah. Pulang saja duluan. Nanti kamu bisa
terbawa-bawa."
"Terbawa?bawa bagaimana? Pasporku beres."
"Pokoknya aku tidak ingin melibatkanmu."
"Apa sebenarnya kesalahanmu?"
"Pokoknya bukan seperti yang kamu sangka. Aku
tidak pernah kena cekal. Cuma terlalu lama di luar
negeri."
"Kamu melarikan diri dari seseorang?"
Taufan tidak menjawab. Tetapi wajahnya berubah
muram. Amat muram.
80
BAB IX
KEHENINGAN ruang operasi dipecahkan oleh
sumpah serapah Dokter Tiarno. Ahli anestesi, asisten, koasisten, dan para perawat kamar operasi yang
sudah biasa bekerja sama dengan dokter ahli bedah
yang satu ini, sudah tidak terperanjat lagi.
Sudah biasa Dokter Tiarno marah-marah. Bahkan
menyumpah-nyumpah. Kadang-kadang dengan makian dan sumpah serapah yang rasanya hampir tidak
mungkin keluar dari mulut seorang dokter. Untuk
menghilangkan stres operasi, komentar dokter ahli
anestesi. Tentu saja sesudah operasi selesai. Sebelumnya, mana dia berani?
Untung saja pasiennya sudah dalam keadaan tidak
sadar. Seandainya saja pasien itu masih dapat mendengar, barangkali dia akan memilih dokter lain. Barangkali. Barangkali juga tidak.
Karena Dokter Tiarno sudah terkenal sebagai ahli
bedah paling senior di rumah sakit itu. Tangannya
dingin. Meskipun mulutnya panas.
Kerjanya jarang gagal. Biarpun pada kasus yang
paling imposibel. Tidak heran tarifnya selangit. Tidak
heran pula dia tidak mau dikritik. Apalagi oleh seorang asisten, dokter baru lulus yang sedang mengambil spesialisasi bedah seperti Dokter Herikusumanto.
Sebenarnya Heri juga tidak bermaksud mengkritik. Dia hanya memperingatkan sejawatnya, sekaligus pembimbingnya
Pasien mereka saat itu seorang laki-laki tua berumur tujuh puluh tahun dengan kelainan ginjal kronik.
Pada pasien seperti ini, keseimbangan cairan intraoperatif harus benar-benar diperhatikan.
Dokter Tiarno hendak menyelesaikan operasinya
secepatnya. Padahal saat itu sudah terlihat perubahan
elektrokardiograiik yang mengkhawatirkan di layar
monitor.
Pasien ini telah kehilangan banyak darah karena trauma yang dialaminya pada suatu kecelakaan
lalu lintas yang hebat. Keadaan hipovolemia ini lebih diperberat lagi dengan kehilangan banyak cairan
waktu pembedahan. Apalagi pasien ini diketahui memang mempunyai kelainan ginjal sebelumnya.
"Kita hampir kehilangan pasien ini, Dok," cetus
Heri khawatir.
"Hipokalemia berat bisa menyebabkan timbulnya cardiac arrest!"
Dokter Tiarno membanting scalpel?nya sambil
menyumpah-nyumpah. Matanya membelalak marah
ke arah asistennya.
"Sekali lagi kau berani interupsi di tengah-tengah
operasiku, kuusir kau!"
"Maaf, Dok. Saya hanya ingin mengingatkan.
Monitor EKG memperlihatkan tanda-tanda hiperkalemia berat...."
"Keluar kau!"
82
"Dok...."
"Keluar!"
Terpaksa Dokter Herikusumanto meletakkan pinset yang masih dipegangnya. Dan meninggalkan kamar operasi diiringi sumpah serapah Dokter Tiarno.
Tak seorang pun berani membantunya. Tidak juga
ahli anestesi yang seharusnya sudah melihat tanda
bahaya itu. Dia baru berani membuka mulut sesudah
Dokter Tiarno bertanya,
"Berapa lama lagi?"
Pertolongan darurat yang kemudian diberikan
ternyata sudah terlambat. Pasien itu meninggal di
atas meja operasi.
***
Dokter Herikusumanto tidak melaporkan kasus
itu kepada siapa pun. Tetapi desas-desus rupanya
menyebar juga. Entah siapa yang melaporkan peristiwa di dalam ruang bedah itu. Tetapi beberapa hari
kemudian, Dokter Burhan Effendi, direktur medis rumah sakit, langsung memanggil Heri.
Begitu Heri memasuki kamar kerja Dokter Burhan, dia sudah merasa, ada hal penting yang ingin ditanyakan olehnya. Di sana sudah duduk Profesor Hans
Siregar, ahli bedah yang pernah menjabat Kepala Bagian Bedah di rumah sakit itu sebelum Dokter Tiarno.
Dokter Hans kini sudah pensiun. Kalau hari ini
dia duduk di kamar kerja Dokter Burhan, pasti ada
kasus berat yang ingin dikonsultasikan kepadanya.
"Kami ingin mendengar secara lengkap apa yang
83
sebenarnya terjadi di OK dua hari yang lalu," kata
Dokter Burhan begitu Heri duduk.
Tentu saja Heri tahu kasus mana yang dimaksud.
Tetapi dia pura-pura bodoh saja.
"Kasus pasien Peter Paat, yang masuk dengan
trauma berat akibat kecelakaan."
"Oh, tidak apa-apa, Dok," Heri masih berusaha
menutup-nutupi.
"Dokter kan tahu adat Dokter Tiarno. Beliau tidak suka dibantah. Saya yang lancang.
Interupsi di tengah-tengah operasi. Dokter Tiarno
kan paling tidak suka kalau ada yang mengganggu
konsentrasinya."
"Apa sebenarnya yang Anda katakan, Dokter
Heri?"
Seriusnya suara Dokter Burhan membuat Heri
menjadi gugup. Dia kenal baik Dokter Burhan Effendi. Dia memang seorang dokter tua yang berwibawa.
Pembawaannya tegas. Tapi di luar itu, dia seorang
dokter yang baik dan ramah. Kalau suaranya saja sudah begini serius...
"Apakah Dokter Tiarno mengadukan saya, Dok?"
"Sama sekali tidak. Kami mendengar peristiwa itu
dari orang lain. Tetapi karena pasiennya meninggal di
atas meja operasi, kami merasa perlu untuk mengusut
tuntas kasus ini."
"Tapi kasus itu memang lost case, Dok! Pasien
diketahui sudah lama mengidap chronic renal failure
"Kami tahu. Prognosisnya memang buruk. Traumanya juga tidak ringan. Operasi terpaksa dilakukan
untuk menolong jiwanya. Keluarga pasien pun telah
84
diberitahu risikonya sebelum operasi. Tidak dibedah,
pasien pasti mati. Tetapi pembedahan pun belum tentu dapat menyelamatkan nyawanya."
"Sekarang keluarga pasien merasa tidak puas?"
"Sama sekali tidak. Tidak ada tuntutan apa-apa.
Tetapi karena ada peristiwa dengan Anda di OK,
kami ingin mendengar semuanya lebih lengkap."
Sesaat Heri tertegun menatap Dokter Burhan. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Matanya bersorot
resah.
"Tidak apa-apa, Dokter Heri," sekarang Profesor
Hans ikut bicara.
"Ceritakan saja apa yang terjadi."
"Saya tidak ingin dituduh mendiskreditkan Dokter Tiarno...."
"Tentu saja tidak. Belum tentu Anda yang benar,
kan?"
"Saya hanya mengingatkan beliau, pasien itu
mengidap gagal ginjal kronik...."
"Benar sekali. Pada pasien seperti itu keseimbangan cairan dan elektrolit harus amat diperhatikan.
Juga pada saat pembedahan. Apalagi pasien telah kehilangan banyak darah."
"Cuma itu yang saya katakan."
"Lalu apa yang saat itu Anda lihat di layar monitor EKG?"
Jadi mereka sudah tahu, pikir Heri gelisah. Sebenarnya mereka sudah tahu semuanya! Mereka hanya
ingin pernyataanku!
"Apa yang Anda lihat, Dokter Heri?"
"Tanda-tanda hiperkalemia?--," sahut Heri putus
asa.
"Interval PR memanjang, gelombang P menghilang, kompleks QRS melebar dan gelombang T berpuncak
Habislah semuanya! Habis. Dokter Tiarno pasti
marah besar. Dokter Tiarno pasti akan mengusirnya
dari bagian bedah! Tamatlah riwayatnya!
"Anda sudah memperingatkannya bahwa hiperkalemia pada pasien, lebih-lebih pasien dengan kelainan ginjal berat seperti itu, pasti segera akan disusul dengan henti jantung, bukan?"
"Dokter Tiarno sebenarnya juga sudah tahu,
Dok," Heri masih berusaha membela kepala bagiannya.
"Tapi kalau operasi tidak segera dilanjutkan, pasien mungkin keburu meninggal karena perdarahan!"
"Anda mengatakan apa yang harus Anda katakan
sebagai dokter," potong Profesor Hans Siregar tegas.
"Dan Dokter Tiarno mengusir Anda keluar." Sekarang wajah Dokter Burhan Effendi berubah keras.
"Itu tidak etis!"
Dia menoleh kepada teman sejawatnya. Profesor
Hans menulis sesuatu di bukunya. Lalu dia mengangkat kepalanya. Dan menatap Heri dengan tajam.
"Pasien itu meninggal di OK. Resusitasi yang
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan tidak berhasil memaksa jantungnya untuk
berdenyut kembali. Pasien itu meninggal karena henti jantung, tepat seperti yang Anda ramalkan."
"Tapi keadaan umumnya memang sudah sangat
buruk," potong Heri segera.
"Seandainya saat itu
Dokter Tiarno menunda operasinya untuk melakukan resusitasi pun belum tentu nyawanya dapat diselamatkan"
86
"Benar sekali. Tapi tindakannya mengusir Anda
keluar dari OK sangat tidak etis. Dia harus diberi teguran peringatan."
"Jangan, Dok...."
"Semua dokter tahu risiko suatu tindakan. Tetapi
kapan harus melakukan tindakan yang lebih penting,
itu yang telah Anda coba lakukan. Dokter Tiarno
menyepelekan pendapat sejawatnya, malah mengusir
Anda keluar, saya kira itu sudah keterlaluan."
Dan ekor peristiwa itu sungguh sangat tidak
menyenangkan bagi Heri. Sejak hari itu, bagian bedah seperti berubah menjadi neraka.
Dokter Tiarno selalu menerornya dalam setiap
kesempatan. Dan karena dia seorang kepala bagian
yang berkuasa, bukan hanya dia yang menyudutkan Heri. Semua yang takut kepada Dokter Tiarno,
ikut-ikutan memusuhinya.
Kecuali Suster Andini, perawat muda di bagian
bedah yang manis dan ramah. Sejak pertama kali masuk bagian bedah, Heri memang sudah tertarik pada
perawat yang satu ini. Bukan hanya karena dia cantik. Tapi terutama karena dia amat ramah.
Suster Andini bukan hanya ramah kepada dokter?dokternya. Dia juga terkenal ramah kepada pasien. Bahkan keluarga pasien pun menyukainya. Tidak heran kalau dia digelari perawat favorit di bagian
bedah.
"Dikerjai lagi?" Suster Andini tersenyum lembut
melihat Heri sedang membersihkan luka yang sudah
87
membusuk di kaki seorang pasien berpenyakit gula.
"Perlu bantuan, Dok?"
"Terima kasih. Nganggur?"
"Tidak terlalu repot. Sini saya bantu."
"Tidak mual? Bau busuknya sudah menyengat
sekali."
"Ah, nggak apa?apa, Dok. Sudah biasa. Pasien
gangren diabetikum kan baunya memang khas begini."
"Hidungnya sudah kebal, ya?"
"Ke mana Suster Is, Dok? ini kan tugas dia."
"Dipanggil Dokter Tiarno. Sudah sejam menghilang."
Mereka sama-sama tersenyum pahit. Sama-sama
menyadari mengapa Dokter Tiarno perlu memanggil
Suster Is begitu lama.
"Bagaimana, Dok?" tanya pasien itu tiba-tiba. Barangkali dia merasa resah karena dokter dan perawatnya sedang mengobrol dengan suara perlahan.
"Kaki
saya nggak usah dipotong, kan?"
"Ini masih terasa, tidak?" Heri menusukkan ujung
pinsetnya ke kaki pasiennya.
"Masih, Dok. Sedikit. Artinya kaki saya belum
mati, kan?"
Heri menghela napas panjang. Terus terang dia
sudah pesimis. Gula darah pasien ini masih tinggi.
Meskipun dia sudah dirawat hampir seminggu dan
setiap hari disuntik insulin. Sementara itu, luka di
kaki kanannya mulai membusuk.
Jika mereka gagal menyelamatkan jaringan yang
telah membusuk itu dari kematian, kakinya terpaksa
88
diamputasi. Padahal dia masih muda. Belum tiga puluh tahun.
"Berikan injeksi antibiotiknya, Sus," pinta Heri
setelah selesai membersihkan luka pasiennya.
"Dan
tolong balut lukanya."
"Tinggalkan saja, Dok. Biar saya yang bereskan.
Dokter masih banyak tugas, kan?"
"Pasien hepatoma yang di kamar enam itu juga
rasanya perlu di-punksi asites-nya hari ini."
"Nanti saya bantu, Dok."
"Tidak usah. Suster Andini juga repot, kan?"
"Ah, biasa saja. Nanti saya ke sana."
"Terima kasih." Dokter Heri tersenyum letih.
Suster Andini membalas senyumnya dengan
seuntai senyum manis. Senyum yang rasanya dapat
mengusir semua keletihan dan kejengkelan Heri.
Akhir-akhir ini semua tugas yang paling berat dan
paling menjengkelkan memang seperti sengaja dibebankan di bahu Heri. Sementara semua perawat yang
biasa membantunya, seolah-olah menghilang bila dia
sedang sibuk dan memerlukan pertolongan mereka.
"Din, dipanggil Dokter Tiarno!" Suster Istiah sudah muncul sebelum Suster Andini menyelesaikan
tugasnya.
"Cepat! Sekarang! Nanti kena marah lagi
lho!"
"Sering dimarahi?" tanya Heri begitu Suster Is
menghilang seperti kijang mencium bau harimau.
Andini cuma tersenyum tipis.
"Ah, cuma kadang-kadang."
"Gara-gara selalu menolong saya?"
Andini tidak menjawab. Karena dia tidak tahu
89
harus menjawab apa. Dan Heri toh sudah tahu jawabannya.
Dokter Tiarno pasti sudah tahu perawatnya yang
mana yang suka membangkang perintahnya untuk
menjauhi Dokter Herikusumanto.
"Kenapa kamu nggak pernah ngadu kalau ada
yang bertindak keterlaluan kepadamu?"
"Buat apa? Saya masih dapat mengatasinya."
Andini memang selalu begitu. Dia tidak pernah mengadu kepada siapa pun. Meskipun kadangkadang dia diperlakukan tidak adil. Seperti hari ini.
Tidak jelas apa kesalahannya. Dokter Tiarno
langsung memarahinya.
"Tahu apa tugasmu pagi ini?"
"Tahu, Dok. Menyiapkan pasien herniotomi."
"Sudah siap?"
"Sudah, Dok. OK akan siap setengah jam lagi.
Pasien sudah di-klisma. Premedikasi yang Dokter instruksikan telah diberikan...."
"Itu tidak berarti kamu lantas boleh nganggur! Pasien harus diobservasi terus!"
"Saya hanya ke bangsal untuk menolong Dokter
Herikusumanto melakukan nekrotomi, Dok."
"Itu tugasmu?"
"Bukan, Dok. Tapi Suster Is sedang tidak ada di
tempat...."
"Jadi tugasmu adalah menggantikan tugas semua
perawat yang tidak ada di tempat?"
Suster Andini tidak menjawab. Sekarang jelaslah
sudah, kepala bagiannya ini hanya mencari-cari kesalahan. Dokter Tiarno sudah mendengar dia sering
90
membantu Dokter Herikusumanto. Karena itu dia
merasa tidak senang.
Suster Andini sudah mendengar bagaimana Dokter Wagino tidak dipakai lagi sebagai ahli anestesi
dalam setiap operasi Dokter Tiarno, karena dia mau
menjadi ahli anestesi pada pembedahan yang dilakukan Dokter Heri.
"Ini teguran pertama untukmu." Suara Dokter
Tiarno berubah dingin.
"Kalau saya dengar lagi kamu
melalaikan tugasmu untuk merepotkan diri di tempat lain, saya akan memberikan sanksi kepadamu!
Jelas?"
Suster Andini hanya mengangguk. Ya, dia mau
menjawab apa lagi?
"Jawab! Jelas atau tidak?" bentak Dokter Tiarno
bengis.
"Jelas, Dokter." Suara Suster Andini yang basah
tersekat di tenggorokan.
"Sudah, keluar sana! Awas kalau kamu berani
lapor kepada Dokter Burhan! Saya keluarkan kamu
dari bagian bedah!"
Suster Andini meninggalkan kamar kerja Dokter Tiarno dengan mata merah menahan tangis.
Rekan-rekannya tahu apa yang terjadi. Tetapi tidak
ada yang berani mendekat. Kecuali Dokter Heri.
"Kena marah lagi?" sapanya antara iba dan marah.
"Garagara menolong saya, kan?"
"Ah, tidak." Suster Andini pura-pura menyibukkan diri dengan tumpukan status di atas meja. Padahal dia hanya ingin menyembunyikan air matanya.
"Saya ditegur karena melalaikan tugas."
91
"Tugas apa?"
"Dokter Tiarno menyuruh saya mengobservasi
pasien yang akan diherniotomi."
"Apa lagi yang harus diobservasi? Kamu kan
tidak usah terus-terusan menungguinya? Apakah
karena dia pasien VIP? Atau supaya kamu tidak bisa
membantu saya?"
Andini tidak menjawab. Memang tidak perlu.
Semuanya sudah jelas.
Dengan lembut Dokter Heri menyentuh tangan
Suster Andini. Andini mengangkat mukanya dengan
terkejut. Tetapi Heri malah meremas tangannya.
"Saya ingin menjauhimu supaya kamu tidak
dimarahi Dokter Tiarno lagi," kata Heri sambil
tersenyum pahit.
"Tapi saya tidak bisa. Karena saya
sangat menyukaimu."
"Ah." Andini merunduk tersipu. Parasnya memerah. Matanya yang tadi bersorot muram bercahaya
sekejap.
"Kamu tidak takut dimarahi Dokter Tiarno?"
Andini cuma mampu menggeleng.
"Kalau begitu, tolong, jangan jauhi saya!"
***
Sejak saat itu, Heri dan Andini memang selalu terlihat bersama. Tampaknya, makin berat rintangan yang
mereka hadapi, makin dekat juga hati mereka.
Andini tahu dia ditekan pimpinan karena menjadi
pacar Dokter Herikusumanto. Tetapi dia tidak peduli.
92
Keluar dari bagian bedah pun tampaknya tidak menakutkan lagi baginya.
Andini tahu, Heri tidak bersalah. Dia seorang
dokter muda yang baik. Idealis. Peka. Dan dedikasinya tinggi. Dia hanya menjadi korban keangkuhan
seorang dokter tua yang arogan.
"Saya sudah bersiap?siap untuk keluar dari bagian
bedah," kata Heri ketika dia sedang mencuci piring
bersama Andini.
Malam itu mereka makan malam berdua di rumah
Heri. Andini yang masak. Heri yang menata meja.
Setelah makan, bersama-sama mereka membereskan
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
piring.
Orangtua Heri sudah lama meninggal. Heri membiayai kuliahnya dari warisan peninggalan orangtuanya. Sementara itu, dia juga bekerja sebagai detailman perusahaan farmasi.
Rumahnya tidak terlalu besar. Letaknya pun di
pinggiran kota. Tapi begitu masuk, Andini merasa
betah. Rumah itu, terasa sejuk dan asri. Perabotannya tidak banyak. Barangbarangnya pun tidak mewah.
Tetapi Heri menatanya dengan rapi dan apik.
"Dokter Tiarno menekanmu lagi?" tanya Andini
murung.
"Dia sudah bersumpah, selama dia masih menjadi
kepala bagian di sana, tak ada harapan bagiku untuk
menjadi dokter bedah! Sadis, ya?" Heri tersenyum
pahit.
"Begitu mendendamnya dia kepadaku."
"Biarlah Tuhan yang membalasnya," desah Andini pasrah.
93
"Kamu sendiri bagaimana? Masih sering dimarahi?"
"Hampir tiap hari. Tapi saya sudah kebal kok.
Lamalama masa sih dia nggak bosan memanggil dan
mengomeli saya?"
"Dini," panggil Heri tiba-tiba.
Bukan panggilan itu yang mengejutkan Andini.
Tapi cara Heri memanggilnya. Dia menoleh. Dan
matanya bertatapan dengan sorot yang hangat dan
lembut itu.
"Bagaimana kalau kamu keluar saja?"
"Dari mana? Dari bagian bedah?"
"Dari rumah sakit."
"Berhenti maksudmu?"
"Kamu keberatan?"
"Mengapa saya harus berhenti?"
"Karena kamu akan menjadi istriku."
Sesaat Andini tertegun. Lalu perlahan-lahan
matanya yang terperanjat berubah lunak. Parasnya
memerah.
"Ini sebuah lamaran?"
"Tidak kecewa menjadi istri seorang dokter
umum?"
"Ada pilihan yang lebih baik?"
"Dokter Karmanto tidak jelek, kan?"
"Kenapa harus dia?"
"Dia pasti lulus jadi dokter bedah."
Andini tersenyum manis. Wajahnya bercahaya.
Matanya menggeliat malu.
"Tapi dia bukan Dokter Herikusumanto."
94
Heri memegang kedua belah bahu Andini. Tidak
peduli tangannya masih basah.
"Artinya kalau Dokter Herikusumanto yang
melamarmu, kamu bersedia keluar dari bagian bedah
sekalipun?"
Andini mengangkat wajahnya. Dan menatap Heri
dengan lembut.
"Mengapa harus keluar?"
"Karena aku tidak ingin istriku setiap hari dimarahi kepala bagiannya."
"Kamu kira hasilmu sebagai dokter yang baru
buka praktek cukup untuk membiayai anak-istrimu
kalau saya berhenti kerja?"
Heri meraih Andini ke dalam pelukannya.
"Siapa yang peduli?" bisiknya lembut.
95
BAB X
"BEDEBAH kau, Rivai!" Ayah menempeleng mukanya dengan marah.
Rivai terjajar ke belakang. Kehilangan keseimbangan. Dan jatuh tertelentang. Tetapi dia tidak
menangis. Mengaduh pun tidak.
Ibu yang tergopoh-gopoh datang sambil memekik
tertahan. Khawatir Ayah memukulnya lagi.
"Anak jahanam!" geram Ayah sengit. Kali ini kepada Ibu.
"Lihat apa yang dilakukannya pada ayam
jagoku!"
Ibu berpaling pada bangkai ayam yang terhampar
di tanah itu. Dan tiba-tiba saja perutnya merasa mual.
Seandainya ayam jago itu dipotong untuk disayur
pun nasibnya tidak akan sejelek ini....
"Apa yang kaulakukan, Rivai?" Ibu membantunya bangun dengan kesal.
"Kenapa selalu membuat
ayahmu marah?"
"Kau terlalu memanjakannya!" geram Ayah
bengis.
"Anak ini harus diajar adat!"
"Sudahlah, Pak," pinta Ibu ketakutan.
"Biar saya
yang menghukumnya "
96
"Bagaimana caramu menghukumnya? Menguncinya di kamar dengan sepiring pisang goreng?"
"Masuk ke kamarmu, Rivai!" perintah Ibu tegas.
Didorongnya punggung anaknya secepat-cepatnya. Takut Ayah keburu menyeretnya. Sempoyongan
Rivai meninggalkan mereka. Sebelum pergi, Rivai
masih sempat melirik ayahnya. Tatapan matanya berbaur antara benci dan takut.
"Kau terlalu lembek mendidiknya," gerutu Ayah
kesal sambil memungut bangkai ayamnya.
"Mau jadi
apa dia kalau besar nanti? Ayam ayah kandungnya
saja dicincang begini, bagaimana dengan milik orang
lain?"
"Barangkali Rivai lagi kesal kehilangan adiknya, Pak," Ibu masih coba melindungi Rivai.
"Dia
kepengin sekali menggendong adiknya...."
"Nah itu yang aku bilang tidak beres!" dengus
Ayah muak.
"Anak lelaki umur tujuh tahun main
boneka! Kemarin gendong boneka, hari ini ayamku
dicincang, besok kucing tetangga direbus!"
Ibu tidak menjawab. Dalam hati dia memang
sama bingungnya dengan suaminya. Rivai memang
anak yang baik. Penurut. Suka membantunya di rumah. Teman mengobrol yang sabar.
Tetapi kalau marah, dia dapat melakukan tindakan
di luar dugaan. Seperti hari ini....
"Ibu tahu Rivai kesal kehilangan adik...." Ibu masih mencoba mendekati anak kesayangannya.
"Tapi
bukan begitu caranya.... Tidak baik marah kepada
Ayah."
97
Rivai tidak menjawab. Tetapi matanya bersorot
muram. Mata itu seolah-olah berkata,
"Aku benci
Ayah"!
"Ayah sayang pada kita ."
Tempelengan Ayah yang begitu keras menghajar
mukanya sekali lagi.
Rivai masih merasakan sakitnya. Itukah sayang?
"Rivai juga harus sayang kepada Ayah...."
Tendangan Ayah di perut Ibu terlukis lagi di depan
matanya. Ibu terkapar. Darah mengalir dari sela-sela
pahanya... dan adik.... adik kecil yang sebentar lagi
bisa digendongnya Ke mana adik kecil?
***
Rivai membuka matanya dengan kepala pusing.
Mimpi yang paling dibencinya itu kembali mengganggu tidurnya. Padahal tidurnya lelap sekali.
Dikejap-kejapkannya matanya dengan heran. Di
mana dia sekarang? Dia tidak mengenali kamar ini.
Dipandanginya jendela yang lupa ditutup tirainya. Di luar sudah terang?benderang. Jam berapa sekarang?
Dan matanya terbelalak melihat jam yang masih
melingkari pergelangan tangannya. Pukul satu siang?
Astaga! Tidurnya nyenyak sekali! Di mana Arneta?
Dia tidak tidur di sini?
Rivai meraba-raba kasur di sebelahnya. Dingin.
Hm, ke mana dia? Turun makan seorang diri? Atau...
Mendadak Rivai terkesiap. Kamar siapa ini? Bukan kamarnya. Tidak ada barang-barang miliknya di
sini. Tidak ada kopernya. Tidak ada pakaian-pakaiannya. Tidak ada barang Arneta.
Apakah aku salah masuk kamar, pikirnya bingung. Pantas saja Arneta tidak ada!
Bergegas Rivai bangkit. Kepalanya terasa berat.
Perutnya sakit. Terhuyung-huyung dia turun ke lobi.
Dan menghampiri meja resepsionis.
"Namaku Rivai Maringka." katanya dengan suara
parau.
"Aku lupa nomor kamarku."
Wanita cantik di balik meja itu memandangnya
sambil memaksakan sepotong senyum profesional.
Biasa. Pemabuk. Penjudi yang kalah main. Kadangkadang mereka memang kehilangan orientasi.
Dia mengecek di komputernya. Dan menyerahkan kunci kamar.
"Hari ini Anda check out?" tanyanya seramah
mungkin. Tamu adalah raja, bukan? Biarpun tampangnya kusut seperti gembel begini.
"Belum," sahut Rivai asal saja.
"Istriku hilang."
Pantas saja. Istri mana yang mau menunggui pemabuk seperti kamu? Apa lagi di kota yang menawarkan begini banyak hiburan!
Terhuyung-huyung Rivai berjalan ke Coffee Shop.
Arneta tidak berada di kamar. Mungkinkah dia sedang makan siang? Atau... dia sedang berjalan-jalan?
Kalau cuma pergi makan siang, dia tidak akan
mengembalikan kunci!
Dengan siapa dia pergi? Hatinya tiba-tiba mendidih ketika teringat kembali pada Toni Tambing. Dengan diakah Arneta pergi? Dan seseorang memanggilnya.
Rivai menoleh. Dan melihat orang yang paling
dibencinya itu sedang bergegas mendatangi.
"Di mana Arneta?"
Sialan. Apa haknya menanyakan istri orang lain?
Arneta kan bukan pacarnya lagi!
"Dia membawa istrimu pergi sampai tengah
malam!" Ada tawa yang menyakitkan di telinganya.
Tawa yang melecehkan.
"Di kamar," sahut Rivai tegas. Tanpa ragu?ragu.
"Dia tidak apa?apa?"
Apa pedulimu? "Memangnya kenapa?"
"Aku tidak melihatnya sejak pagi."
"Kenapa harus melihatnya?"
"Aku ingin mengundang kalian makan malam."
Ha, dia mengejekmu, Rivai! Dia mau mengundang istrimu makan malam! Serahkan saja kepadaku,
Rivai. Biar aku yang bereskan!
Rivai memandang Toni Tambing dengan dingin.
"Oke, nanti malam. Di Johannesburg. Tahu bekas
pertambangan emas di Gold Reef City?"
"Tentu." Toni mengerutkan dahi dengan heran.
"Kenapa mesti ke sana?"
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kujemput kau di sana. Arneta ingin melihat
daerah itu."
"Arneta ikut?"
"Kenapa tidak? Kau ingin mengundangnya makan
malam, kan? Nah kujemput jam sembilan. Oke?"
100
Toni mengangguk. Sesaat sebelum pergi, dia masih bertanya sekali lagi.
"Betul Arneta tidak apa?apa?"
"Mengapa kau begitu khawatir?" balas Rivai dingin.
Dia masih begitu memperhatikan istrimu, Rivai,
suara itu terdengar lagi di telinganya. Tunggu apa
lagi?
"Aku boleh menjumpainya?"
"Buat apa?"
Aku tidak tahu, pikir Toni bingung. Tapi
perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang berbahaya
di dalam diri lelaki ini. Sesuatu yang menakutkan.
Sesuatu yang disembunyikan baik-baik dalam sikapnya yang tenang dan dingin.
Benarkah Arneta tidak apa?apa? Mengapa seharian ini dia tidak keluar dari kamar? Dan mengapa dia
bahkan tidak mau menerima telepon?
Sejak pagi Toni berusaha menelepon ke kamarnya. Tetapi tidak ada orang di kamar itu. Tidak ada
yang mengangkat telepon. Benarkah Arneta masih di
kamar? Kalau tidak... di mana dia?
Toni hampir tidak sabar menunggu datangnya
malam. Dia mengenakan pakaiannya yang terbaik.
Menyewa mobil. Dan menuju ke bekas pertambangan emas di Gold Reef City.
Kalau siang, tempat ini mungkin ramai. Banyak
turis yang berwisata ke sini. Mencoba menaiki lift
yang meluncur sampai dua ratus meter di bawah
tanah. Menelusuri lorong-lorong gelap tempat
penambangan emas yang sudah tidak terpakai lagi.
101
Tetapi pada pukul sembilan malam, tempat itu
sudah sepi. Kira-kira lima ratus meter dari sana, di
tempat gelap, agak jauh di bawah, sebuah mobil telah
menunggu.
Rivai Maringka memang sinting, pikir Toni ketika
turun dari mobilnya. Mengapa memilih tempat seperti ini untuk bertemu?
Toni memberikan uang kepada pengemudi mobilnya. Menyuruhnya pergi. Dan menghampiri mobil
Rivai.
Beberapa langkah lagi sebelum Toni mencapai
mobil itu, pintu mobil terbuka. Rivai keluar dari mobil. Seorang diri. Ada bayangan orang di dalam mobil. Tetapi terlalu gelap untuk bisa mengenalinya.
"Toni?" sapa Rivai dingin.
"Mari ikut mobil
kami. Arneta menunggu di dalam."
Tanpa ragu-ragu, Toni mengikuti Rivai masuk ke
dalam mobil
102
BAB XI
"DOK, pasien Abdul Salam plus tadi pagi!" lapor
Suster Istiah begitu Dokter Herikusumanto melangkah masuk ke bagian bedah.
Sesaat Heri tertegun. Abdul Salam adalah pasien
diabetes melitus yang dipersiapkan untuk operasi
amputasi kaki hari ini. Hari Sabtu kemarin keadaan
umumnya cukup baik. Mengapa hari Senin pagi tiba-tiba meninggal?
"Berikan statusnya kepada saya"
"Dipegang Dokter Tiarno, Dok."
Dokter Tiarno. Sepagi ini dia sudah datang?
Langsung memeriksa status pasien? Hm, luar biasa!
Apakah karena ada pasien yang meninggal? Atau...
karena pasien itu pasien Dokter Herikusumanto?
"Dokter Tiarno sudah datang sepagi ini?" tanya
Heri hati?hati. Tidak ingin memperdengarkan nada
curiga dalam suaranya.
"Sudah, Dok. Begitu dilaporkan pasien Abdul
Salam meninggal, Dokter Tiarno langsung minta
statusnya. Sekarang status itu masih di meja Dokter
Tiarno."
Apakah dia ingin... membalas dendam? Sekilas
pikiran itu melintas di kepala Heri. Ingin mencari?cari
kesalahan? Siapa tahu ini merupakan malpraktek?
103
Abdul Salam memang pasien Heri. Masuk dengan
gangren diabetikum, luka yang sudah membusuk,
pada kaki kanannya. Karena gula darahnya masih
tinggi, pasien itu dirawat selama hampir tiga minggu.
Operasinya direncanakan hari ini, karena kakinya yang sudah membusuk itu tak dapat ditolong lagi.
Untuk menyelamatkan jiwanya, kakinya terpaksa diamputasi.
Amputasi memang operasi yang tidak menyenangkan. Tapi bukan pekerjaan yang sulit. Heri sudah
merencanakan untuk menanganinya sendiri.
Yang agak sulit memang mencari ahli anestesi yang mau bekerja sama dengannya, tanpa takut
di?blacklist oleh Dokter Tiarno. Dan kebetulan, hari
Sabtu kemarin, Dokter Wagino sudah menyanggupi.
Sungguh di luar dugaan, hari ini pasiennya keburu
meninggal! Bahkan sebelum sempat dioperasi....
"Siapa dokter jaga tadi malam?" tanya Heri sambil melangkah masuk ke kantor perawat.
"Dokter Bono, Dok. Ketika tiba di sini, pasien
sudah koma. Resusitasi tidak berhasil menyelamatkannya"
"Telepon ke rumahnya. Bilang saya ingin bicara."
"Dokter Bono masih ada di ruang kerja Dokter
Tiarno, Dok."
Sekali lagi Heri tertegun. Ada apa? Apa Dokter
Tiarno sudah menyiapkan pesawat?pesawat tempurnya?
"Orangtua Abdul Salam juga ada di sana. Mereka belum pulang sejak diberitahu anaknya meninggal. Tampaknya mereka tidak puas, Dok. Ayahnya
menuntut penjelasan Dokter Tiarno."
Itukah sebabnya Dokter Tiarno ada di sini sepagi ini? Dia harus bertanggung jawab sebagai kepala
bagian bedah? Atau... karena Abdul Salam adalah pasien Heri?
Pesawat telepon di atas meja berdering nyaring.
Suster Istiah langsung mengangkatnya.
"Bagian bedah. Selamat pagi."
Heri melihat wajah Suster Istiah langsung berubah serius.
"Baik, Dok," suaranya juga berubah. Jauh lebih
sopan.
"Sudah, Dok. Dokter Heri sudah datang. Baik,
Dok." Sambil meletakkan pesawat telepon, Suster Istiah menatap Heri. Parasnya tegang.
"Dokter dipanggil ke kamar kerja Dokter Tiarno."
Inilah saatnya, keluh Heri dalam hati. Inilah saat
yang sudah lama ditunggunya. Dia akan membantaiku. Dan aku tidak punya persiapan apa-apa untuk
menangkal serangannya!
***
"Duduk." Dokter Tiarno yang sedang sibuk, atau
purapura menyibukkan diri dengan status di hadapannya, tidak merasa perlu untuk mengangkat wajahnya
ketika Heri masuk sambil menyapa selamat pagi.
"Anda sudah dengar apa yang terjadi dengan pasien Anda?"
"Kata Suster Istiah, pasien Abdul Salam plus tadi
105
pagi," sahut Heri datar.
"Saya belum sempat mempelajari sebab kematiannya."
"Koma hipoglikemik." Suara Dokter Tiarno tegas
dan dingin.
"Hipoglikemik?" Heri tidak jadi duduk. Kekurangan gula darah?
"Hari Sabtu kemarin glukosa darahnya masih seratus delapan puluh!"
"Karena itu saya memanggilmu."
"Boleh saya lihat status pasien itu, Dokter Tiarno?"
Tanpa berkata apa?apa Dokter Tiarno menyodorkan status yang masih terbuka di atas meja tulisnya.
"Saya ingin mempelajarinya lebih dulu, Dok."
"Jangan terlalu lama. Ayah pasien itu ingin bertemu untuk minta penanggungjawaban dokter yang
merawat anaknya."
"Saya ingin bertemu dengan Dokter Bono."
"Dokter Bono sudah pulang. Semua yang diketahuinya sudah tertulis dalam status itu."
Dia benar-benar ingin menekanku, geram Heri
dalam hati. Dia sama sekali tidak berniat untuk menjernihkan persoalan, apalagi membantu!
Dengan marah dibukanya status di hadapannya.
Semuanya memang sudah terpampang di sana.
Ketika meninggal, gula darah pasien itu jelas berada di bawah empat puluh miligram persen. Jadi
kematian karena koma hipoglikemik memang tidak
dapat disangkal lagi. Tetapi mengapa kadar gula darahnya tiba?tiba begitu rendah?
"Siapa perawat jaga yang bertugas di bangsal tadi
malam, Dok?"
106
"Perawat favoritmu." Heri mendengar nada puas
dalam suara Dokter Tiarno.
"Suster Andini."
Sekali lagi Heri tertegun. Andini. Dia perawat
yang terkenal cermat. Tak mungkin salah menyuntikkan dosis insulin.
Tentu saja Heri tahu Andini tugas malam. Dia
hanya tidak mengira tadi malam Andini bertugas di
bangsal. Ketika Heri meneleponnya waktu pergantian jaga, dia baru saja masuk.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Mengapa Andini tidak melapor kalau ada yang mencurigakan?
Mungkinkah Abdul Salam tidak menghabiskan
makanan yang dihidangkan? Malam itu dia memang
belum diinfus. Infus glukosa baru akan diberikan
pada pagi hari, enam jam sebelum operasi, sesuai instruk si Heri.
Menurut instruksi yang telah diberikannya kepada perawat, pasien akan dipuasakan setelah makan
malam. Pagi harinya, gula darahnya akan diperiksa
kembali.
Jika diperoleh kadar gula darah yang lebih rendah
atau sama dengan seratus lima puluh miligram persen, operasi akan dilaksanakan siang itu juga.
Instruksi itu jelas tercantum di sana. Perawat
mana pun yang membacanya pasti tidak akan keliru.
Catatan dalam status pasien pun tidak ada yang
mencurigakan. Makan malam dihabiskan. Hasil reduksi urine tadi malam masih positif satu. Pasien tenang. Tensi dan nadi baik. Suhu normal.
Tanda-tanda hipoglikemik mungkin baru timbul
dini hari tadi, ketika pasien sedang tidur, sehingga luput dari pengamatan perawat. Tapi apa yang menyebabkan gula darahnya turun demikian cepat?
"Saya tidak melihat ada yang salah dengan pasien
ini," kata Heri sambil menutup status itu.
"Ketika injeksi insulin terakhir diberikan, reduksi urine masih
positif satu."
"Tidak mungkinkah terjadi Fenomena Somogyi?" Suara Dokter Tiarno seperti penguji yang sedang mengetes kemampuan mahasiswanya. Dan
tampaknya dia menikmati sekali saat-saat seperti ini.
Wajah Heri memucat. Pada Fenomena Somogyi, walaupun kadar gula darah rendah, masih tetap
terdapat gula pada air seni pasien, karena kerja hormon-hormon kontrainsulin.
Memang tak pernah terpikirkan olehnya. Dia hanya mengupayakan agar gula darah pasiennya turun
secepatcepatnya. Supaya dia dapat segera mengamputasi kaki Abdul Salam. Sebelum daerah yang
membusuk lebih meluas lagi. Dan dia harus memotong lebih tinggi.
"Jika tadi malam sudah terjadi gejala?gejala hipoglikemia, tidak mungkin Suster Andini tidak mengetahuinya. Dia perawat yang cermat. Tak mungkin dia
langsung menyuntikkan insulin begitu saja.
"Dia hanya menjalankan instruksimu."
"Tapi dia pasti lapor kepada dokter jaga jika pasien memperlihatkan tanda?tanda hipoglikemia!"
"Pasien memang tidak memperlihatkan gejala-gejala hipoglikemia karena dia sedang tidur nyenyak!"
"Jadi ini bukan kesalahan medis! Mengapa tidak
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
108
Anda jelaskan kepada orangtua pasien, Dokter Tiarno?"
"Mereka tidak mau mengerti. Mengapa sebelum dioperasi anaknya sudah meninggal. Padahal
menurut Anda, hanya operasi yang dapat menyelamatkan nyawanya."
"Mereka menyetujui autopsi?"
"Untuk apa?"
"Mencari sebab kematiannya."
"Sebab kematiannya sudah jelas. Hipoglikemia."
"Tapi apa yang menyebabkannya?"
Dokter Tiarno melempar bolpennya ke atas meja.
Menyandarkan punggungnya dengan santai ke sandaran kursi. Seolah?olah sudah seabad dia tidak pernah bersandar senikmat ini. Lalu ditatapnya Heri
dengan tatapan melecehkan.
"Anda belum dapat menerkanya juga, Dokter
Herikusumanto?" suaranya terdengar sinis menyakitkan.
"Padahal saya dengar Anda termasuk dokter
yang pintar. Malah kadang-kadang lebih pintar dari
pembimbingnya. Berani mengkritik kepala bagiannya."
Heri mengatupkan rahangnya rapat?rapat menahan perasaan geramnya. Tinjunya sudah terkepal erat.
Kalau bukan di rumah sakit, barangkali dia sudah
tidak dapat menahan dirinya lagi. Ingin dipukulnya
dokter tua yang kerempeng ini!
Supaya dia tidak dapat tersenyum sinis lagi.
Supaya dia tidak dapat mengejek lagi. Supaya dia
berhenti menertawakan penderitaan orang lain!
109
"Apakah perawat Anda yang cermat itu lupa menelepon Anda tadi malam? Pasien Abdul Salam menderita vomitus dan diare!"
***
"Tidak mungkin!" Dokter Burhan Effendi
memukul meja di hadapannya dengan marah. Biasanya dia jarang emosi. Tetapi hari ini rupanya dia
tidak mampu lagi mengekang kejengkelannya.
"Tidak mungkin Dokter Herikusumanto sebodoh itu!"
"Dokter Heri sudah mengakui kelalaiannya," sahut Dokter Tiarno santai.
"Tidak mengurangi dosis
insulin yang disuntikkan tadi malam. Padahal pasien
vomitus dan diare pasti kehilangan banyak cairan."
"Saya tidak percaya! Panggil perawat yang tugas
jaga tadi malam!"
"Suster Andini sedang saya istirahatkan. Tidak
boleh ke sini. Supaya keadaan tidak tambah kacau."
"Nonsens! Keadaan memang sudah kacau!" Dan
sebagian karena ulahmu!
Dokter Burhan menelan kembali kata-katanya
yang terakhir. Tentu saja dia tahu, Dokter Tiarno memang seperti sengaja menyudutkan Dokter Herikusumanto! Buat apa dia mengatakan Dokter Heri belum
menjadi dokter bedah? Biarpun dia sedang mengambil spesialisasi, keahliannya sebagai dokter tak perlu
diragukan lagi! Dan pasien itu bukan meninggal di
atas meja operasi!
110
"Saya menjaga agar hanya satu orang yang memberi pernyataan keluar," sambung Dokter Tiarno
mantap.
"Untuk menjaga citra rumah sakit. Ini kan
hanya kelalaian seorang dokter muda. Bukan kesalahan rumah sakit."
"Panggil Suster Andini," perintah Dokter Burhan
sama tegasnya.
"Suruh menghadap saya. Sekarang!"
***
"Mengapa tidak kaulaporkan kepada dokter jaga
kalau pasien Abdul Salam tadi malam menderita
muntaber."
"Kejadiannya tepat pada jam pergantian jaga,
Dok," sahut Suster Andini gugup. Matanya merah
berair.
"Dokter Bono belum datang. Ketika beliau
datang, ada kasus appendicitis acut. Dokter Bono
sangat sibuk...."
"Itu bukan alasan untuk tidak melaporkan keadaan
pasien seperti itu! Kau kan tahu muntah?muntah dan
diare bisa melenyapkan banyak cairan tubuh!"
"Tapi pasien tidak bilang diare, Dok! Katanya dia
hanya mual. Dia tanya apa boleh minum obat magnya. Kebetulan Dokter Heri telepon...."
Dan Andini mendadak terdiam. Saat itu, Heri memang meneleponnya. Dia hanya sempat menanyakan apakah pasien boleh diberi antasid. Sesudah itu,
mereka terlibat dalam pembicaraan lain... yang lebih
pribadi sifatnya....
111
"Pasien di sebelah ranjang Abdul Salam mengatakan dia bolak-balik ke WC," keluh Dokter Burhan
gemas.
"Mengapa dia tidak bilang kepada perawat?
Dan mengapa kau tidak menanyakannya lebih teliti
sebelum menyuntikkan insulin yang terakhir.
"
"Reduksi urine pasien saat itu masih positif satu,
Dok!"
"Tidak menutup kemungkinan saat itu gula darahnya telah menurun," gumam Dokter Burhan pahit.
"Kau tidak mengontrolnya sama sekali setelah itu?"
"Banyak pasien yang mesti diobservasi malam
itu, Dok."
"Dan Abdul Salam lolos dari pengamatanmu."
Dokter Burhan menghela napas berat. Air mukanya
semuram wajahnya.
"Dokter Heri sudah mengakui
kelalaiannya. Untuk melindungimu. Padahal bukan kariernya saja yang terancam. Nyawanya juga.
Ayah pasien itu mengancam akan membunuh. Dokter
Herikusumanto!"
112
BAB XII
SEPERTI biasa, ibunya malah menyalahkan Arneta.
Di matanya, Rivai adalah menantu yang paling ideal. Pasti Arneta yang tidak dapat menyesuaikan diri.
Dasar anak manja! Anak tunggal yang terlalu dimanjakan ayahnya!
Baru setahun menikah, entah sudah berapa kali
dia pulang ke rumah orangtua. Bertengkar sedikit
saja, ribut ingin bercerai. Hhh, anak sekarang memang tidak seperti orangtuanya. Coba lihat pasutri
zaman dulu. Berapa banyak yang bercerai? Bisa dihitung dengan jari, kan?
"Mana boleh kamu meninggalkan suamimu begitu saja!" Ibu Arneta mengurut dada melihat anak
perempuannya pulang ke Jakarta seorang diri. Aduh,
nekatnya anak ini!
"Kamu pulang dengan lelaki
lain?"
Tentu saja Arneta tidak menceritakan semua kisah kemalangannya di luar negeri. Dia merasa sangat
malu. Sampai baru membuka mulut saja tangisnya
sudah hampir meledak. Jangankan menceritakan
tentang malam jahanam itu. Mengingatnya saja dia
sudah stres!
Arneta hanya mengatakan dia pulang lebih dulu
karena tidak tahan melihat ulah Rivai di meja judi....
113
"Umurmu sekarang sudah dua puluh enam tahun,
Neta. Sudah bukan anak kecil lagi. Bukan remaja
lagi. Jangan sedikit?sedikit lantas merajuk!"
"Kalau Ayah main judi, Ibu mau mengeram di kamar hotel terus?terusan?" geram Arneta gemas.
"Main judi memang tidak baik. Tapi bukan begini cara memperlakukan suami! Masa kamu tinggal
pulang begitu saja? Kamu kan sudah dewasa, Neta.
Bertindaklah dewasa. Bersikaplah seperti istri terhormat! Perempuan baik-baik tidak akan lari begitu saja
meninggalkan suaminya, apa pun alasannya! Kabur
ke rumah orangtua seperti anak kecil!"
"Lebih baik telepon suamimu," Ayah juga ikut
campur melimpahkan nasihatnya. Walaupun tidak
terlalu emosional seperti istrinya.
"Minta maaf kepadanya"
"Saya yang harus minta maaf?" belalak Arneta
gemas. Tidak akan! Tidak mungkin!
"Minta maaf karena telah meninggalkannya tanpa
pamit."
"Dan kembali ke rumahmu!" sambung Ibu keras.
"Kamu sudah dewasa. Selesaikan sendiri urusanmu!"
***
Arneta memang menelepon Rivai. Tetapi dia tidak mau minta maaf. Dan tidak mau pulang ke rumahnya. Tidak ada maaf lagi bagi Rivai! Dia sudah
bertindak sangat keterlaluan! Menghina istrinya sampai sedemikian rupa. Mendengar suaranya saja Arneta sudah merasa mual.
114
Suara Rivai di telepon begitu dingin. Dia masih
menunggu di hotelnya di Sun City. Tidak mengira
Arneta sudah tiba di Jakarta. Dia begitu marahnya
sampai beberapa saat lamanya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Tetapi Arneta tidak peduli lagi. Berapa berat
dosanya meninggalkan suami dibandingkan dosa Rivai menyerahkan istrinya kepada lelaki lain?
"Aku menunggumu di rumah Ayah," sambung
Arneta datar.
"Aku minta cerai."
Diletakkannya telepon sebelum Rivai sempat memaki. Dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan
marah ibunya.
"Apa-apaan kamu ini, Neta? Mengapa kamu selalu bertindak gegabah? Pikir dulu baik-baik, baru
bertindak!"
"Tekad Neta sudah mantap, Bu. Neta ingin bercerai."
"Dari lelaki sebaik Rivai?"
"Ibu tidak tahu apa?apa!"
"Tentu saja. Kamu tidak pernah cerita!"
"Dia penjudi "
"Sekali berjudi saja kamu sudah langsung minta
cerai?"
"Dia kalah sepuluh ribu dolar...."
"Itu uangnya sendiri!"
Dan dia menjual saya! Arneta hampir memekik
histeris. Tetapi dia tidak mampu mengucapkannya.
Dia merasa sangat terhina
"Berjudi memang tidak baik," Ibu masih mengoceh terus. Arneta hampir tidak dapat lagi mendengar
115
katakatanya. Dia hanya bisa melihat bibir Ibu bergerak-gerak tidak henti-hentinya.
"Ibu akan menasihatinya nanti. Kalau Rivai menyesal dan berjanji tidak
akan mengulanginya lagi, kalian tidak boleh bercerai!"
"Tenangkanlah dulu dirimu, Arneta," potong Ayah
sabar.
"Kamu kan baru pulang. Masih jetlag. Belum
dapat berpikir jernih. Jangan mengambil keputusan
dulu. Nanti menyesal."
Aku memang belum dapat berpikir jernih, pikir
Arneta sedih. Tapi aku masih dapat merasakan betapa
hinanya dijadikan barang taruhan! Diperkosa lelaki
yang tidak kukenal sama sekali....
***
Tetapi kalau Arneta menunggu kedatangan Rivai
yang berang, dia keliru besar. Rivai yang muncul di
rumahnya sungguh berbeda.
Tidak ada suami yang beringas karena ditinggal
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang istrinya. Tidak ada lelaki yang marah-marah
karena istrinya minta cerai.
Yang datang justru Rivai Maringka yang dikenal
orangtua Arneta. Menantu yang baik. Sopan. Sangat memperhatikan mertua. Menanyakan kesehatan
mereka. Dan tak lupa membawa buah tangan. Bukan
main!
Kadang-kadang Arneta bertanya?tanya sendiri,
mungkinkah suaminya mempunyai kepribadian ganda? Rivai yang sedang berlaku sebagai menantu yang
116
baik ini, benarkah dia suami yang mempertaruhkannya di meja judi?
"Jangan selalu mencela suamimu!" tegur Ibu
kesal.
"Lihatlah bagaimana sikapnya terhadap ibu!
Kamu saja tidak ingat membawakan oleh-oleh. Rivai
begitu penuh perhatian!"
"Di mana dia beli oleh?oleh?" gerutu Arneta sama
jengkelnya.
"Di Afrika, dia tidak pernah meninggalkan meja judi!"
"Pokoknya kamu mesti rujuk, Neta!"
"Tidak mau!"
"Kembali kepada suamimu!"
"Saya ingin bercerai."
"Ibu tidak mau dengar kata cerai lagi!"
"Saya tidak sudi punya suami seperti dia!"
"Mau cari suami yang kayak apa lagi?"
"Rivai sudah mengakui kesalahannya." Ayahnya
tampak lebih tenang. Tapi juga tidak berdiri di pihak
Arneta.
"Berjudi memang tidak baik ..."
"Tapi Rivai sudah mengakui kesalahannya!" potong Ibu bersemangat sekali, seperti menerima pengakuan murid yang sudah berjanji tidak akan nyontek
lagi.
"Kamu harus memaafkannya!"
"Rivai sudah berjanji tidak akan berjudi lagi. Dia
sudah menyesal."
"Jadi dia cuma berjudi!" Arneta mengatupkan rahangnya menahan marah. Bayangan malam jahanam
itu terpapar lagi di depan matanya. Alangkah nistanya. Menyerahkan dirinya sebagai taruhan judi! Dan
dosa itu yang katanya harus dimaafkan?
117
"Saya datang sekalian untuk mengajak Arneta
pulang, Bu," kata Rivai sesaat sebelum minta diri.
Suaranya tetap sedatar tadi. Sikapnya pun tidak berubah. Tenang dan sopan. Dan wajahnya, ya Tuhan!
Wajah itu begitu bersih. Wajah polos seorang anak
yang tidak berdosa!
Ibu Arneta sampai menghela napas berat berulangulang. Aduh, kasihan betul menantunya yang baik
ini! Mengapa Arneta jadi begini memalukan? Dasar
anak manja! Keras kepala betul sih dia. Suaminya
sudah datang minta maaf. Eh, dia masih jual mahal!
"Biarlah besok saya datang lagi, Bu. Sekarang
saya permisi pulang dulu."
"Maafkan Arneta, Nak Rivai," kata Ibu malu.
"Dia masih muda...."
"Memang salah saya, Bu," Rivai menghela napas panjang.
"Mungkin Arneta masih marah kepada
saya."
"Untuk kebaikan Nak Rivai sendiri, berjudi memang tidak baik."
"Karena itu Arneta kesal, Bu. Biarlah besok saya
coba lagi. Barangkali besok dia sudah memaafkan
saya."
Dengan, sangat menyesal orangtua Arneta mengantarkan menantunya sampai ke samping mobilnya.
Mobil merek terkenal dari kelas yang paling mahal
dan tahun terbaru. Hm, rasanya orangtua Arneta ikut
bangga punya menantu seperti ini. Sudah kaya, baik
lagi! Cari yang bagaimana lagi?
Tetapi sampai mobil Rivai menghilang di kelok
118
jalan, Arneta tetap tidak mau keluar dari kamarnya!
Ibu benar benar berang.
"Kalau dia datang lagi besok, Ibu mau kamu keluar menemuinya, Arneta," kata ibu tegas.
"Sudahlah, Bu," Ayah coba menengahi, kasihan
melihat wajah putrinya yang sudah kusut masai.
"Sudah bagaimana Bapak ini?!" geram Nyonya
Basuki sengit.
"Bapak sih yang terlalu memanjakan
dia!"
"Maksudku, berikan Arneta waktu untuk berpikir."
"Pikir apa lagi? Mereka tidak boleh bercerai!"
"Jangan terlalu mencampuri urusan rumah tangga
mereka, Bu."
"Tidak," dengus Ibu kesal.
"Dengar, Arneta.
Bereskan persoalan kalian! Dan pulang ke rumahmu.
Kamu sudah menikah. Rumah ini bukan tempat untukmu lagi!"
"Ibu mengusir saya?"
"Demi kebaikanmu sendiri!"
"Saya akan tetap di sini sambil mengurus perceraian kami!"
"Tidak bisa!"
"Kalau begitu saya akan pindah ke hotel! "
"Kenapa kamu begini keras kepala, Neta?"
"Katakan kepada Ayah, Neta," potong ayahnya
sabar.
"Apakah sudah ada lelaki lain?"
Arneta sudah membuka mulutnya dengan marah.
Siap menyemburkan penyangkalan. Ketika tiba-tiba
wajah Taufan menyeruak ke benaknya. Lelaki yang
119
telah menidurinya... yang telah memiliki tubuhnya...
dapatkah dia disebut lelaki lain?
Orangtua Arneta melihat perubahan paras putrinya. Dan mereka salah menilai arti perubahan itu.
"Jadi itulah sebabnya," geram Nyonya Basuki
sengit.
"Sudah ada lelaki lain!"
"Bukan yang seperti Ibu sangka!" Arneta menahan air matanya. Air mata sakit hati yang bercampur
dendam.
"Ibu tidak peduli siapa lelaki itu. Pokoknya besok
kamu harus ikut Rivai pulang ke rumah kalian. Atau
kamu bukan anak Ibu lagi!"
120
BAB XIII
DOKTER BURHAN EFFENDI menyambut kedatangan Taufan ke rumahnya dengan terharu. Dijabatnya tangan sejawat mudanya itu erat-erat.
"Saya kira tidak akan pernah melihatmu lagi,
Dokter Heri," katanya lirih.
"Kau menghilang begitu
saja setelah kasus Abdul Salam merebak enam tahun
yang lalu."
"Saya pengecut, Dok," Taufan mengaku terus
terang.
"Takut ayah pasien itu membunuh saya, saya
kabur ke luar negeri. Tidak berani lagi pulang ke Indonesia."
"Ke mana saja kamu selama ini?"
"Saya berpindah-pindah sebelum akhirnya menetap di Afrika Selatan."
"Akhirnya ayah pasien itu tidak menuntut lagi.
Dia mendapat ganti rugi yang memadai dari rumah
sakit."
"Dokter Tiarno masih bertugas di sana? Dia pasti
orang yang paling bahagia. Dia sudah bersumpah, selama masih menjadi kepala bagian bedah, saya tidak
akan pernah menjadi dokter bedah."
"Dokter Tiarno sudah pensiun. Dia menderita
kanker prostat."
121
"Dan Suster Andini? Dia masih bertugas sebagai
perawat di bagian bedah?"
Dokter Burhan tidak menjawab. Parasnya berubah muram.
"Apa yang terjadi?" desak Taufan gelisah.
"Dia
masih merasa bersalah?"
"Suster Andini tidak kuat menahan perasaan bersalah."
"Merasa bertanggung jawab atas kematian pasien itu? Ah, sebenarnya bukan seluruhnya kesalahan
Suster Andini "
"Dia juga merasa bersalah kepadamu."
"Dia mengundurkan diri? Di mana dia sekarang,
Dok?"
"Sebenarnya saya ingin mengabarimu, Dokter
Heri. Tapi saya tidak tahu di mana saya harus mencarimu."
"Apa yang terjadi?" desak Taufan gugup.
"Dia...
sakit?"
"Suster Andini membunuh diri."
Taufan terenyak di kursinya. Kepalanya bagai dipalu godam seberat seratus ton. Rasanya semua isi
kepalanya lumat dalam sekejap. Dia tidak mampu
berpikir apa-apa lagi.
"Saya juga sangat menyesal, Dokter Heri." Dokter Burhan menundukkan kepalanya. Tidak sampai
hati memandang wajah Taufan. Dia tahu bagaimana
hubungan mereka sebelum peristiwa naas itu terjadi.
Dan dia juga tahu apa arti berita itu bagi Dokter Herikusumanto.
"Kalau saya tidak melarikan diri..." Taufan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
"Kalau
saya tetap berada di sampingnya ...."
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu, Dokter
Heri," Dokter Burhan menghela napas berat.
"Mungkin Suster Andini malah lega keluarga pasien yang
meninggal itu tidak dapat menemukanmu. Dia khawatir sekali...."
"Saya pengecut!" Taufan meremas-remas rambutnya dengan penuh penyesalan.
"Saya tinggalkan dia
sendirian menanggung penderitaan!"
"Saya kira Suster Andini membunuh diri bukan
hanya karena perasaan bersalahnya saja, Dokter
Heri."
Lambat-lambat Taufan menurunkan tangannya.
Dan menatap Dokter Burhan dengan nanar.
"Saya tidak tahu lebih baik menceritakannya atau
tidak," gumam Dokter Burhan lirih.
"Tetapi saya den
gar, ketika meninggal, Suster Andini sedang hamil."
***
Rivai langsung bangkit dari kursinya begitu Arneta masuk ke ruang tamu. Tanpa berkata apa-apa, dia
mengambil koper yang dijinjing istrinya.
"Kami permisi pulang dulu, Bu," kata Rivai
sopan.
Dia mendahului melangkah ke depan. Membukakan pintu untuk Arneta. Dan menoleh lagi kepada
Nyonya Basuki.
"Salam untuk Ayah, Bu."
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
123
"Nanti Ibu sampaikan. Hati-hati di jalan, Rivai.
Jangan bertengkar lagi, ya"
"Terima kasih, Bu. Permisi." Rivai memasukkan
koper istrinya ke bagasi. Lalu setelah melambai kepada Nyonya Basuki yang masih tegak di depan rumah, dia masuk ke balik kemudi.
Tanpa berkata apa-apa, dia menghidupkan mesin
mobilnya. Dan mobil itu meluncur mulus ke jalan
raya.
"Sandiwaramu bagus sekali," cetus Arneta tanpa
menoleh.
"Tapi tidak mengubah niatku. Aku ingin
bercerai."
Rivai menginjak pedal gas dengan kasar. Mobilnya melompat. Mendahului dua?tiga mobil di depannya. Bunyi klakson yang marah nyaring bersahut-sahutan di belakang mereka.
Tetapi Arneta tidak bisa digertak. Rasanya mati
pun dia tidak peduli lagi.
"Aku tidak menginginkan rumahmu. Tidak menginginkan hartamu. Kau boleh ambil semuanya. Aku
tidak menuntut apa?apa. Aku hanya menginginkan
perceraian. Secepatnya."
"Tidak!" Rivai mengatupkan rahangnya menahan
marah. Perceraian! Kata yang paling dibencinya....
"Aku tidak tahan lagi hidup bersamamu."
"Kau tetap istriku."
"Aku akan mengajukan tuntutan cerai."
"Aku tidak akan melepaskanmu. Kau milikku!"
"Setelah apa yang kaulakukan di Sun City?" geram
Arneta menahan tangis.
"Tidak, Rivai! Semuanya
telah berakhir!"
124
"Apa yang telah kulakukan padamu?" bentak Rivai sengit.
Dia melarikan mobilnya seperti gila. Mobil itu
hampir menubruk pagar ketika berhenti dengan kasar
di depan rumah.
Arneta melompat turun tanpa menunggu dibukakan pintu. Dia langsung masuk ke rumah. Rivai
mengikuti dari belakang seperti harimau luka.
Ketika melihat sikap majikannya, pembantu-pembantunya sudah buru-buru menyelinap ke belakang.
"Aku hanya akan mengambil barang-barangku,"
kata Arneta sambil masuk ke kamarnya.
"Sesudah itu
aku akan menyingkir ke hotel."
Rivai menyentakkan lengan istrinya dengan marah.
"Kata siapa kau bisa menyingkir dariku?"
"Aku sudah tidak tahan lagi!" Arneta mengempaskan lengannya lepas dari cekalan Rivai. Tetapi
Rivai malah mengetatkan cengkeramannya.
"Kau tidak bisa pergi! Kau milikku!"
"Buat apa lagi menahanku? Belum puas menyiksaku?"
"Aku tidak akan melepaskanmu. Kalau aku tidak
bisa memilikimu, orang lain juga tidak!"
Arneta menampar wajah Rivai sekuat tenaga dengan tangannya yang bebas. Rivai sudah mengangkat tangannya untuk balas memukul ketika tiba-tiba dibatalkannya. Arneta menyorongkan wajahnya
menantang.
"Pukullah," tantangnya dingin.
"Bunuhlah aku,
supaya aku bebas dari kegilaanmu!"
125
"Yang bersalah harus dihukum," entah dari mana
datangnya, tiba-tiba saja Rana muncul di tengah-tengah pertikaian mereka. Parasnya membeku. Tatapannya kosong.
"Tapi membunuh dia bukan hukuman
yang tepat."
"Oh, Dewi Keadilan sudah datang!" cibir Arneta
sinis.
"Jangan menghina kakakku!" Rivai meremas lengan istrinya sampai Arneta menyeringai kesakitan.
"Lepaskan dia, Rivai," perintah Rana datar.
Dan seperti mendengar perintah Yang Dipertuan
Agung, Rivai langsung melepaskan cengkeramannya.
Dengan sengit Arneta meninggalkan mereka. Masuk ke kamar. Membanting pintu. Dan mengeluarkan
pakaian pakaiannya dari lemari.
Ketika dia menjinjing koper keluar dari kamar,
Rivai sedang minum teh bersama kakaknya. Arneta
melewati mereka tanpa menoleh.
"Mau ke mana?" tanya Rivai dingin.
"Ke hotel. Pengacaraku akan mengurus perceraian kita."
"Dengan apa kau bayar dia?"
"Memangnya cuma kau yang punya duit?"
"Orangtuamu pasti tidak mau membayar pengacara yang mengurus perceraian kita."
"Aku masih punya uang!"
"Dari mana? Di bank? Rekeningmu sudah kosong.
Kartu kreditmu sudah diblokir. Kau sudah tidak punya apa-apa lagi."
126
Arneta menjatuhkan kopernya dengan sengit. Ditatapnya suaminya dengan penuh kebencian.
"Kaukira bisa menahanku dengan menguras habis
uangku? Kau keliru, Rivai! Kali ini aku tidak bisa
ditahan lagi!"
127
BAB XIV
ARNETA memilih hotel yang tidak terlalu besar,
supaya sisa uang di dompetnya cukup untuk tinggal
beberapa hari di sana.
Dia sudah berpikir untuk mulai mencari pekerjaan. Supaya tidak usah mengemis ke ayahnya. Ibu
pasti menekannya sedemikian rupa agar dia kembali
kepada Rivai. Tetapi Arneta sudah bersumpah, lebih
baik mati daripada terus menjadi istri laki-laki itu.
Sekarang Arneta baru menyadari, betapa tidak
berdayanya wanita yang tidak mempunyai pekerjaan.
Betapa tidak berartinya wanita yang tidak mampu
menghidupi dirinya sendiri.
Esok aku akan kembali ke rumah untuk mengambil ijazahku, pikir Arneta nekat. Aku harus mencari
pekerjaan.
Sekarang Arneta baru menyadari kebenaran dalil
ibunya, ijazah dulu baru surat nikah. Supaya kalau
suatu hari suaminya tidak lagi membiayai hidupnya,
dia masih dapat mencari nafkah sendiri.
***
128
Rivai tidak ada di rumah ketika Arneta datang untuk mengambil ijazahnya. Rana juga tidak kelihatan
batang hidungnya. Barangkali dia sedang berpesta pora merayakan kembalinya si adik yang hilang.
Bukankah sesudah bercerai, Rivai kembali menjadi
miliknya seutuhnya?
Pembantu-pembantunya tentu saja tidak bertanya apaapa. Lebih-lebih melarang Arneta memasuki
rumahnya. Di mata mereka, Arneta tetap nyonya rumah. Mereka cuma berani mengintip dari jauh ketika
Arneta mengaduk-aduk lemari mencari ijazahnya.
Begitu menemukan apa yang dicarinya, Arneta
segera meninggalkan rumah Rivai sambil menenteng
sebuah tas koper. Dia tidak mau bertemu dengan Rivai atau Rana. Lebih baik dia buru-buru pulang ke
hotel.
Setelah meletakkan tas itu di kamarnya, Arneta
keluar lagi untuk mencari makanan. Bosan rasanya
makan mi bakso terus di rumah makan kecil di samping hotel.
Arneta baru kembali ke hotel pukul dua siang.
Dan resepsionis hotel itu sudah langsung menegurnya.
"Ibu Arneta Basuki?"
"Ya?" Arneta menatap heran.
"Ada apa?"
"Bapak polisi ini ingin menanyai Anda."
Arneta menoleh. Dan melihat dua orang polisi
menghampirinya.
"Selamat siang, Bu Arneta Basuki," sapa mereka
sopan.
129
"Siang." Arneta mengerutkan dahi.
"Bapak-bapak
mencari saya?"
"Ibu tinggal di hotel ini?"
"Benar. Di kamar tujuh belas. Ada apa, Pak?"
"Boleh bicara di dalam, Bu?"
"Urusan apa?"
"Kami tidak berani membicarakannya di sini. Takut merusak nama baik Ibu. Silakan Ibu jalan duluan
ke kamar Ibu."
Dengan perasaan bingung Arneta mendahului
berjalan ke kamarnya.
Urusan apa, pikirnya gundah. Apakah ada kaitannya dengan... Taufan?
Ah, mengapa tiba?tiba teringat dia? Tetapi siapa
lagi yang tersangkut urusan sampai mesti melarikan
diri ke luar negeri?
"Aku tidak ingin melibatkanmu," katanya di bandara waktu mereka baru tiba dari Afrika Selatan. Apakah dia ditangkap dan... ah, rasanya tidak mungkin!
Arneta membuka pintu kamarnya. Dan mendahului masuk ke dalam. Sekali lihat saja, dia tahu, ada
yang sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. Tetapi...
buat apa? Dia tidak punya barang berharga.
"Bapak?bapak mencari apa di kamar saya?" tanya
Arneta tersinggung.
"Apakah ini tas Anda?" salah seorang dari mereka
menunjuk tas koper yang terletak di atas meja.
"Ya," sahut Arneta mantap.
"Apa isinya?"
"Ijazah."
Apa sih pikir mereka? Senjata? Heroin? Obat?
130
Kalan benar isinya barang terlarang, masa kuletakkan begitu saja di atas meja? Nggak lucu, kan?
"Apa lagi?"
Apa lagi? Dengan jengkel Arneta membuka tasnya.
"Silakan lihat sendiri," katanya tawar.
Polisi yang kedua maju ke depan. Dia mengeluarkan map yang berisi ijazah Arneta. Dan mengambil
sesuatu yang terletak di dasar tas.
"Apakah ini milik Ibu?" tanya polisi itu sambil
menyodorkan barang yang dipegangnya.
Mata Arneta terbelalak lebar ketika melihat benda
itu.
***
"Ayah, tolong aku!" tangis Arneta di telepon.
"Mereka menuduhku mencuri gelang Rana!"
"Astaga, Arneta! Di mana kamu sekarang?"
"Di Polsek. Rivai sengaja menjebakku!"
"Mereka menuduhmu mencuri gelang kakak iparmu yang tinggal serumah denganmu?"
"Arneta sudah tidak tinggal bersama mereka
lagi...."
"Jadi kamu tinggal di mana?"
"Di hotel!"
Ayah Arneta menghela napas panjang. Tiba?tiba
saja dadanya terasa sesak.
"Ayah akan segera ke sana. Di mana Rivai?"
131
"Nggak tahu! Dia sengaja tidak muncul sama sekali. Dia menyuruh kakaknya menuduhku mencuri!"
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keterlaluan!"
"Tolong, Ayah! Cepat bebaskan aku dari sini!"
Ayah Arneta langsung menelepon menantunya di
kantor. Dia marah sekali.
"Apa?apaan ini, Rivai?" geramnya kesal.
"Bikin
malu saja!"
"Saya juga tidak mengerti," suara Rivai tetap
setenang dan sesopan biasa.
"Arneta tidak mau tinggal di rumah kami lagi. Dia berkeras ingin tinggal
di hotel. Ketika saya melarangnya, dia marah-marah.
Mungkin dia kehabisan uang dan nekat mengambil
gelang Kak Rana."
"Mengapa harus lapor polisi? Tidak malu istrimu
dituduh pencuri? Kau bisa selesaikan sendiri masalah
ini di rumah!"
"Kak Rana yang lapor, bukan saya. Saya malah
belum pulang ke rumah."
"Ada masalah apa sebenarnya? Mengapa Arneta
berkeras minta cerai? Ayah rasa masalahnya lebih besar daripada hanya berjudi."
"Mungkin sudah ada lelaki lain, Ayah."
Ayah Arneta terdiam. Benarkah sudah ada orang
ketiga?
"Akhir-akhir ini Arneta tidak bisa lagi diajak bicara baik?baik. Dia marah?marah terus. Keinginannya
hanya satu, bercerai. Tetapi mengapa dia harus mencuri gelang Kak Rana? Ah, ada-ada saja."
"Katakan kepada kakakmu untuk mencabut tuntutannya. Kalau dia ingin gelang yang lebih besar,
bilang saja kepadaku!"
"Saya akan membereskannya, Ayah. Jangan khawatir."
"Arneta minta Ayah datang ke Polsek sekarang
juga."
"Biar saya yang ke sana. Percayalah, semuanya
akan beres."
Tetapi Rivai tidak langsung datang. Dia sengaja
menunggu sampai malam. Seolah-olah ada urusan
yang lebih penting yang tak dapat ditinggalkannya.
Ayah Arneta juga tidak datang karena Arneta sudah tidak diizinkan menelepon lagi. Dikiranya semua
sudah beres. Dia percaya sekali menantunya dapat
membereskan semuanya
"Rivai pasti dapat menanganinya," kata istrinya
mantap.
"Biar saja Rivai yang menjemput Arneta.
Supaya mereka akur lagi. Kalau Rivai yang membebaskannya, Arneta akan merasa dia masih membutuhkan suaminya."
"Tapi keterlaluan menuduhnya mencuri!" gerutu
ayah Arneta gemas.
"Memangnya tidak ada cara lain
untuk berdamai?"
"Mungkin Rivai sudah putus asa. Apa?apaan sih
Arneta, sampai lari dari rumah? Tinggal di hotel
sendirian seperti perempuan tidak baik saja!"
"Tapi bagaimanapun tak pantas perempuan itu
menuduh anakku mencuri!" geram ayah Arneta penasaran.
"Kan bikin malu saja!"
"Sudahlah. Kita jangan terlalu banyak ikut campur. Kalau kita terus-terusan melindungi Arneta, kapan dia mau dewasa?"
"Aku mau menelepon dulu ke rumahnya. Tanya
dia sudah pulang atau belum."
"Tidak usah, Pak. Jangan terlalu memanjakan Arneta. Kalau kau menelepon, dia merasa ada bapaknya
yang selalu melindungi."
"Apa salahnya melindungi anak sendiri?"
"Tidak ada salahnya. Tapi Arneta sekarang sudah
punya suami. Biar mereka membereskan sendiri urusan rumah tangganya."
"Kalau aku tidak menelepon, bagaimana aku tahu
semuanya sudah beres? Jangan?jangan Arneta masih
ditahan di Polsek!"
"Tidak mungkin. Rivai sayang sekali pada Arneta. Begitu mendengar teleponmu, dia pasti sudah
terbang ke Polsek untuk membebaskan istrinya. Taruhan, mereka kini sudah dalam perjalanan pulang ke
rumah."
***
Rivai datang pada pukul sembilan malam. Membawa surat pernyataan kakaknya untuk menarik
tuntutan. Dan minta agar dapat membawa istrinya
pulang.
Ketika Arneta melihat siapa yang menjemputnya,
ingin rasanya dia membunuh diri.
134
"Turunkan aku di hotel," katanya menahan tangis
kejengkelan yang hampir meledak.
"Belum kapok juga?"
"Akan ku tuntut kakakmu karena memfitnah!"
"Seharusnya kau bersyukur dia tidak meneruskan
gugatannya."
"Gugatan apa? Mencuri gelangnya? Itu cuma
akalmu untuk membawaku pulang ke rumahmu!"
"Mestinya kau berterima kasih kepadaku," gerutu Rivai kesal.
"Kalau tidak, malam ini kau tidur di
dalam sel!"
"Lebih baik daripada tidur di kamarmu!"
"Mengapa kau keras kepala sekali, Arneta?"
"Aku tahu permainanmu." Arneta menggigit bibirnya menahan tangis.
"Yang aku tidak tahu,
bagaimana caramu menahan ayahku sampai dia tega
tidak menjemputku!"
"Orangtuamu tidak mau kita bercerai."
"Dan lebih suka aku dipenjara? Pasti semua ini
ulahmu!"
"Aku ingin kau minta maaf kepada Kak Rana."
"Kaubunuh pun aku tidak sudi minta maaf kepadanya!"
"Kalau dia berkeras menuntutmu, kau masuk penjara!"
"Tidak ada yang dapat membuktikan aku mencuri!"
"Pembantu-pembantu melihatmu mengaduk?aduk
lemari."
"Aku mencari ijazah, bukan gelang!"
"Tapi yang ada di dalam tasmu bukan hanya
ijazah!"
135
"Seseorang menaruh gelang itu di sana. Aku akan
membuktikannya. Aku tidak bersalah!"
"Aku bisa memaksamu bermalam di tahanan, Arneta," ancam Rivai bengis.
"Jangan coba?coba melawanku."
"Dan aku bisa mencari bukti untuk menuntut balik
kakakmu. Memfitnah dan merusak nama baikku!"
Rivai menghentikan mobilnya dengan marah di
depan rumah. Arneta langsung melompat turun. Dia
melangkah ke pinggir jalan untuk mencari taksi.
Tetapi Rivai menghelanya masuk dengan paksa.
"Jangan mencari keributan lagi, Arneta!" ancam
Rivai sambil mengempaskan tubuh istrinya ke sofa di
ruang tamu.
"Aku bisa mengirimmu kembali ke sel!"
"Kaukirim ke neraka pun aku tidak peduli!" Dengan gemas Arneta beringsut bangun. Merapikan pakaiannya. Dan melangkah mantap ke pintu.
"Aku
tidak sudi tinggal di rumahmu lagi!"
"Kau istriku! Kau harus selalu di sampingku!"
Dengan buas Rivai menangkap tubuh istrinya. Dan
mendorongnya kembali dengan kasar ke sofa.
"Kau tidak bisa menahanku di sini!"
"Siapa bilang? Kau milikku! Kau tidak boleh
meninggalkan rumahku!"
Arneta menyambar lampu duduk di dekatnya.
Dan melemparkannya ke arah Rivai. Ketika Rivai
tengah mengelak, dia lari melewati suaminya. Tetapi sebelum dia berhasil mencapai pintu depan, Rivai
telah menyergapnya.
136
Kali ini Arneta tidak mau menyerah. Dia berjuang
mati-matian untuk meloloskan diri. Ketika akhirnya
Rivai berhasil menaklukkannya, Arneta sudah babak
belur.
***
"Belum ada undang?undang yang dapat menghukum seorang suami yang memperkosa istrinya," kata
Hadi Sukamto SH, pengacara ayah Arneta yang dihubunginya malam itu juga.
"Tapi suami Anda dapat
dituntut karena penganiayaan ini."
"Saya tidak peduli dia dihukum atau tidak," kata
Arneta dengan susah payah. Mulutnya terasa kaku
dan sakit kalau digerakkan.
"Saya ingin bercerai. Secepatnya."
"Anda tidak ingin menuntutnya untuk apa yang
telah dilakukannya pada Anda ini?"
"Tidak." Arneta tahu penderitaan apa lagi yang
harus ditanggungnya kalau dia menjadi penggugat
suaminya.
"Saya hanya ingin bercerai."
Ketika Arneta sedang mendatangi kantor pengacaranya keesokan harinya, dia berpapasan dengan
orangtuanya yang tergesa-gesa turun dari mobil.
Arneta langsung mengenakan kacamata hitamnya. Dan buru-buru menutupi mulutnya dengan saputangan.
"Arneta!" panggil ibunya gugup.
"Tunggu!"
Arneta hanya menoleh sekilas. Dan bergegas
137
memutar tubuhnya kembali. Dia mencegat sebuah
taksi yang kebetulan lewat.
"Neta, tunggu!" Ibunya menghambur menghampiri.
"Maaf, Bu." Dia berusaha agar ibunya tidak tahu
betapa sulitnya dia menggerakkan bibirnya.
"Saya
sedang buruburu. Nanti saya telepon."
Tergopoh?gopoh Arneta masuk ke dalam taksi.
Tetapi ibunya memaksa ikut. Dia langsung menyerobot masuk. Dan duduk di samping Arneta.
"Apa yang terjadi, Arneta?"
"Tidak apa-apa," sahut Arneta acuh tak acuh.
"Hadi Sukamto menghubungi ayahmu. Katanya
Rivai memukulmu."
"Biasa saja," suara Arneta tetap sedatar tadi.
"Kami bertengkar. Saya minta Hadi Sukamto mengurus perceraian kami. Secepatnya."
"Coba Ibu lihat." Ibu Arneta mencoba melepaskan kacamata anaknya. Tetapi Arneta menyingkirkan
tangan ibunya.
"Tidak usah. Ibu pasti tetap menyalahkan saya."
"Biar kamu yang salah, Rivai tetap tidak boleh
memukulmu!" geram Ibu jengkel. Sekali lagi dia
menyentakkan kacamata Arneta. Dan kali ini, dia
berhasil melihat wajah anaknya.
"Ya, Tuhan!" dia terpekik kaget.
"Apa yang
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukannya padamu, Arneta?!"
***
138
"Saya khilaf, Bu," desah Rivai dengan penuh
penyesalan.
"Arneta terus-menerus mendesak saya
untuk menceraikannya...."
"Tapi kan bukan begitu caranya!" geram Nyonya
Basuki gusar.
"Saya kelepasan, Bu. Tidak sengaja memukulnya."
"Tidak sengaja bagaimana? Kamu bukan cuma
memukul "
"Itu karena saya tidak mau kehilangan dia, Bu.
Arneta berkeras hendak meninggalkan saya. Pergi
dari rumah...."
"Tapi memukuli istri sampai begitu rupa benar?benar perbuatan sadis!"
"Saya menyesal, Bu. Saya minta maaf...."
Tetapi tidak ada lagi yang mau mendengarkan
katakata Rivai. Ibu melelehkan air mata melihat
keadaan Arneta. Ayah mengepalkan tinjunya menahan marah.
"Selama ini aku tidak pernah mendengarkan keluhan Arneta," geram ayahnya dengan penuh penyesalan.
"Padahal dia selalu mengadu padaku. Aku
bahkan tidak datang ketika dia menelepon minta tolong!"
"Semua salahku, Pak." Ibu Arneta menyusut air
matanya dengan getir.
"Aku yang terlalu percaya
pada suaminya. Siapa yang sangka..."
"Aku ingin Arneta menuntutnya."
"Sudahlah, Pak. Arneta hanya ingin bercerai."
"Dan membiarkan monster itu bebas berkeliaran?
139
Berapa banyak lagi wanita yang mungkin menjadi
korbannya?"
"Apa peduli kita? Anak kita sudah menjadi kor
ban! Buat apa mengurusi anak orang lain?"
Dan sore itu juga, telepon di rumah Arneta berd
ering.
140
BAB XV
"IBU Arneta sedang tidak ingin bicara dengan siapa
pun," tukas Nyonya Basuki tegas.
"Dari mana, Bu?" sela Arneta.
"Sekretaris suamimu," sahut ibunya tanpa berusaha mempermanis suaranya.
Dengan sengit Arneta menyambar telepon di tangan ibunya.
"Bilang kepada Rivai, Paula, kalau masih ada
yang ingin dia sampaikan atau tanyakan, hubungi
saja Hadi Sukamto SH!"
"Tapi saya sudah mengundurkan diri, Bu Arneta."
Suara Paula terdengar getir.
"Saya sudah tidak bekerja lagi di kantor Bapak."
Arneta terdiam sesaat.
"Lalu ada apa lagi?" tanyanya tawar.
"Saya sedang malas bicara."
"Boleh saya menemui Ibu?"
"Urusan apa?"
"Penting, Bu."
"Tidak dapat dibicarakan di telepon saja?"
"Saya tidak sanggup mengatakannya di sini, Bu.
Tolonglah saya."
141
"Saya sedang tidak ingin menemui siapa pun."
"Saya mengerti. Barusan teman-teman di kantor
menelepon saya."
"Saya tidak memerlukan simpati," desis Arneta
marah.
Perempuan! Heran. Dari mana saja mereka menerima kabar secepat itu? Padahal dia tidak mau
ribut?ribut. Malu. Dia cuma ingin bercerai. Secepatnya.
"Lebih dari itu, Bu. Saya ingin minta tolong."
"Pada saya?" Arneta mengerutkan dahinya dengan heran.
"Cuma Ibu yang dapat menolong ...."
"Apa yang dapat saya bantu?"
***
Begitu melihat Paula Usman, Arneta langsung
tahu apa yang telah terjadi. Wajah Paula Usman
babak belur. Tidak jauh berbeda dengan wajahnya
sendiri....
Sekujur tubuh Arneta spontan mengejang. Mulutnya terkatup rapat. Dia duduk tanpa bergerak di
kursinya. Tangannya mencengkeram pegangan kursi
erat-erat. Begitu kuatnya sampai buku-buku jarinya
memutih.
Biadab kau, Rivai! Berapa banyak lagi perempuan yang menjadi korbanmu?
142
"Kapan dia melakukannya?" Arneta mengatupkan gigi geliginya menahan marah.
"Sepulangnya dari luar negeri," isak Paula tertahan. Air mata meleleh ke pipinya.
"Hari pertama Bapak masuk kantor...."
"Di mana?" tanya Arneta dingin, walaupun sebenarnya dia tidak ingin menanyakannya.
"Di kantor. Ketika semua pegawai sudah
pulang...."
"Sedang apa kamu di sana?"
"Bapak menyuruh saya lembur. Menyelesaikan
surat...."
Arneta mengawasi Paula Usman dengan tajam.
Sekretaris pribadi Rivai yang satu ini memang cantik. Tubuhnya tinggi ramping. Penampilannya intelek. Dan dia... mirip Arneta! Pantas saja kalau
Rivai tergoda. Tapi memperlakukannya seperti ini...
sungguh biadab!
"Dulu Prima pernah menceritakan pengalamannya kepada saya...." Paula menggigit bibirnya menahan tangis.
"Tapi saya tidak percaya... Siapa yang percaya? Pak Rivai begitu baik. Sopan. Ramah. Semua
karyawan menganggapnya bos yang baik di kantor
dan suami teladan di rumah. Terus terang semua
karyawati di kantor iri pada Ibu...."
Arneta menghela napas. Rupanya bukan hanya
orangtua Arneta saja yang dapat ditipu Rivai.
"Sekarang apa yang hendak kamu lakukan?" tanya Arneta setelah diam sejenak.
"Kamu sudah berhenti kerja?"
143
"Saya sudah mengajukan pengunduran diri, Bu.
Saya bemiat menuntut Pak Rivai."
Arneta tertegun menatap gadis itu. Menuntut?
Menuntut apa?
"Mula-mula saya ragu," sambung Paula terus terang.
"Ibu-lah salah satu bahan pertimbangan
saya."
"Saya?"
"Ibu sangat baik. Saya tidak sampai hati membuat
Ibu malu jika kasus pelecehan seksual ini sampai terungkap."
Arneta tidak dapat membuka mulutnya. Dia
benar benar bingung.
"Tapi barusan saya mendengar peristiwa yang
menimpa diri Ibu. Dan saya merasa, saya harus bertindak. Supaya tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban." Air mata Paula langsung meleleh lagi.
"Ayah saya sedang sakit," gumamnya lirih.
"Saya tidak sampai hati menyampaikannya Tapi hati saya
sangat sakit, Bu... saya merasa amat terhina "
Aku tahu, bisik Arneta dalam hati. Aku tahu sekali
bagaimana rasanya...
"Pak Rivai menghancurkan masa depan saya...
saya sampai tidak berani menemui pacar saya....
Malu bertemu orang lain...."
"Mungkin sudah terlambat untuk menuntutnya,
Paula," kata Arneta terbata-bata.
"Seharusnya begitu peristiwa itu terjadi, kamu harus melapor. Dokter
akan memeriksamu dan membuat visum."
"Saya mengerti, Bu. Tuntutan saya lemah. Saya tidak punya bukti. Lagi pula siapa yang percaya kepada saya? Pak Rivai orang yang dihormati. Semua
orang respek kepadanya. Siapa yang percaya pada
cerita saya?"
Jika aku menceritakan kepada Ibu dua hari yang
lalu pun pasti Ibu tidak percaya! Rivai memang pemain sandiwara yang ulung!
"Karena itu saya mencoba menghubungi Prima.
Tetapi dia lebih suka menutup diri, Bu. Dia tidak mau
kasusnya diketahui umum. Apa gunanya, katanya.
Hanya membuat malu saja. Semua orang jadi tahu,
dia korban pelecehan seksual. Lagi pula, dia tidak
sanggup mengatakannya kepada suaminya...."
"Kasihan," desah Arneta lirih.
"Itukah sebabnya
Prima tiba-tiba mengundurkan diri enam bulan yang
lalu?"
"Kepada setiap orang Prima mengatakan dia ingin
menikah, karena itu dia berhenti kerja. Tetapi kepada
saya dia berterus terang. Katanya supaya saya berhati-hati. Saya menyesal mengabaikan peringatannya.
Tadinya saya pikir, dia yang menggoda Pak Rivai..."
Arneta menghela napas berat. Kesimpulan itu
tidak terlalu salah. Prima memang agak agresif.
Penampilannya berani. Sikapnya bebas. Siapa pun
bisa menduga, dialah yang lebih dulu menggoda Rivai.
Rivai Maringka direktur yang disegani. Kaya.
Ganteng. Masih muda. Tidak heran kan kalau sekretaris muda belia seperti Prima mencoba mendekatinya?
145
"Apa yang dapat saya bantu?" gumam Arneta lirih.
"Ibu dapat bersaksi."
"Ber saksi?" Arneta menggagap bingung.
"Sebagai istri Pak Rivai, siapa lagi yang paling
mengenali penyakit suaminya?"
"Saya tidak bisa!" cetus Arneta spontan.
Dia benar?benar syok. Bersaksi? Membuka kasusnya di depan umum? Ya Tuhan! Haruskah dia menceritakan semua penghinaan itu? Aduh, malunya!
Memercik air di dulang, tepercik juga muka sendiri!
"Cuma Ibu yang bisa membantu saya. Korban
yang lain memilih menutup mulut!"
"Saya tidak sanggup," gumam Arneta lemah.
Dia tidak sampai hati membalas tatapan Paula Usman. Mata yang sedih itu bersorot putus asa.
"Saya akan tetap menuntutnya." Mata gadis itu
bersorot penuh dendam.
"Sudah kepalang basah.
Saya yakin masih ada korban yang lain. Masa tidak
ada seorang pun yang berani bersaksi?"
Tiba-tiba saja Arneta merasa benci kepada dirinya
sendiri.
***
Ayah Arneta tidak memberi komentar apa-apa.
Walaupun dia ingin menuntut, dia membiarkan putrinya menentukan sendiri pilihannya. Arneta sudah
banyak menderita. Ayah tak ingin menambah lagi
penderitaannya.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
146
Lain dengan Ibu. Dia sudah langsung mencegah.
"Jangan berhubungan lagi dengan orang sakit seperti
dia!" katanya cemas.
"Orang sakit bisa berbuat apa
saja! Lebih baik kamu menyingkir, Arneta. Biarkan
orang lain yang menuntut dia!"
"Saya merasa pengecut," geram Arneta, kesal kepada dirinya sendiri.
"Membiarkan wanita malang
seperti Paula Usman berjuang sendirian."
"Kasusnya lemah," sambung ayah Arneta murung.
"Dia belum tentu berhasil."
"Padahal saya bisa menolongnya. Saya punya
segebung cerita tentang kelainan jiwa Rivai."
"Dan orang seperti dia sangat berbahaya kalau
dibiarkan bebas," keluh Ayah gemas.
"Lebih berbahaya daripada penjahat yang kelihatan menakutkan."
"Justru karena sangat berbahaya, lebih baik kamu
jauhi dia, Arneta! Jangan cari gara-gara lagi dengan
Rivai!"
"Saya kasihan pada Paula, Bu. Saya dapat merasakan penderitaannya. Tapi menceritakan kehidupan
perkawinan saya yang memalukan sebagai saksi...
saya tidak sanggup!"
"Media massa akan melalapmu sampai habis,
Neta! Buat apa mencoreng arang di kening sendiri?
Sudahlah. Ibu setuju tindakanmu. Minta cerai. Jauhi
dia. Jangan berurusan lagi dengan Rivai Maringka."
"Kalau Paula Usman kalah, Rivai bisa balas
menuntutnya mencemarkan nama baik," keluh Arneta sedih.
"Kasihan Paula. Sudah jatuh tertimpa tangga.!
147
"Tetapi kalau tak ada perempuan seperti dia, lelaki seperti Rivai Maringka bisa seenaknya melecehkan wanita," geram ayah Arneta sengit.
"Seharusnya
dia dikurung di rumah sakit jiwa!"
148
BAB XVI
TAUFAN baru turun dari becak di depan Mesjid
Jama, Old Delhi, ketika melihat adegan itu.
Seorang wanita muda sedang kewalahan mengusir segerombolan pengemis yang mengerumuninya.
Dengan susah payah dia berusaha melindungi tasnya.
Belasan tangan yang hitam dan kotor berdebu teracung ke depan. Beberapa malah berani menyentuh
lengannya yang putih bersih.
Dia pasti bukan orang sini, pikir Taufan iba. Barangkali turis yang sedang berwisata ke India.
Penduduk India tidak akan memberi sedekah kepada seorang pengemis di pinggir jalan. Karena akibatnya akan seperti ini. Teman?teman pengemis itu
akan langsung menyerbu untuk ikut minta sedekah.
Dan orang india tahu, pengemis-pengemis itu
tidak akan merampas tasnya. Mereka memang
mengemis. Tetapi tidak merampas. Jadi wanita muda
itu tidak perlu meringkuk ketakutan sambil memegangi tasnya erat-erat.
Hindu mengajarkan penitisan. Pencuri akan dihukum berat pada kehidupan yang berikutnya nanti.
Tetapi pengemis tidak. Karena itu jumlah pengemis
149
semakin banyak, tetapi angka kriminalitas tidak terlalu tinggi.
Dan karena itu pula, rata-rata penghasilan
pengemis kadang-kadang malah lebih besar daripada
gaji guru.
Merasa iba, Taufan langsung menyeruak ke depan. Mencoba mengusir mereka. Dan melindungi
wanita yang sudah terdesak sampai ke sudut itu dengan tubuhnya sendiri. Dan ketika mata mereka berpapasan, Taufan hampir tidak mempercayai penglihatannya sendiri.
"Hai, Cantik!" sapanya spontan, antara gembira
dan takjub.
"Sedang apa di sini?"
Ketika mengenali Taufan, Arneta menebah dadanya dengan terkejut. Dia tidak mampu mengucapkan
sepatah kata pun. Masih syok berat.
"Lebih baik ikut aku ke atas," kata Taufan ketika menyadari gerombolan pengemis itu belum mau
menyingkir juga. Sekarang keberadaan mereka ditambah lagi dengan beberapa anak tanggung yang
menawarkan dagangan mereka dengan setengah memaksa.
Tanpa ragu-ragu Taufan menarik tangan Arneta.
Dan membimbingnya mendaki belasan anak tangga
yang menuju ke puncak gerbang.
"Bisa lebih cepat? Sebentar lagi gerbang ditutup.
Dan kita tidak bisa masuk ke dalam."
Arneta berusaha mempercepat langkahnya. Dan
dia merasa napasnya sesak.
"Capek?" tanya Taufan agak heran.
"Naik tangga
segini saja?"
150
Apakah karena dia sekarang lebih gemuk? Atau...
dia sedang sakit? Wajahnya begitu pucat... matanya
layu....
Arneta tidak menjawab. Dia duduk terengah-engah di depan pintu gerbang. Di balik gerbang itu, berdiri dengan megahnya, Mesjid Jama, masjid terbesar
di Delhi yang dibangun oleh Shah Jehan pada tahun
1656.
Seorang lelaki tua menawarkan kasut kepada mereka. Taufan melepaskan sepatunya. Dan memakai
kasut yang disodorkan. Kemudian dia berjongkok
untuk membantu Arneta mengenakan kasutnya. Tak
ada sepatu yang boleh mengotori halaman mesjid
agung itu.
"Mengapa mereka mengeroyokmu?" tanya Taufan sambil tersenyum.
Pengemis-pengemis itu masih bergerombol di
bawah. Tetapi mereka tidak ikut naik ke atas. Agaknya mereka ikut menghormati kesucian mesjid itu.
Arneta cuma menggeleng. Dia juga tidak tahu
dari mana datangnya pengemis sebanyak itu.
"Kamu beri mereka uang?"
"Cuma seorang pengemis tua...."
"Lalu mereka menyerbumu?" Taufan tertawa
geli.
"Aku tidak tahu...."
"Tidak apa-apa. Pengalaman unik di India.
Ngomong ngomong sedang apa kamu di sini? Jalan jalan?"
Sekali lagi Arneta membisu. Bagaimana dia harus
menceritakannya?
151
Di Jakarta, kasus Paula Usman sudah mulai merebak. Dia menepati tekadnya. Menuntut Rivai Maringka memperkosa dan menganiaya dirinya.
Dan keadaan itu menambah keinginan Arneta untuk secepatnya menyingkir. Paling tidak sampai kasus itu mereda.
Dia takut pers akan mengejarnya. Dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Apa yang harus
dijawabnya? Membenarkan tuduhan Paula Usman
bahwa mantan suaminya mengidap penyimpangan
seksual? Atau membantahnya?
Ah, Arneta tidak sampai hati mengkhianati Paula. Tetapi membantunya berarti memberi malu diri
sendiri dan membuat ibunya tambah ketakutan.... Ibu
takut Rivai datang untuk membalas dendam....
Akhirnya Arneta memutuskan untuk berangkat ke
India bersama seorang temannya. Dan sebulan sebelum berangkat, baru Arneta sadar, dia hamil.
***
Arneta benar?benar takut. Hamil. Anak Rivai-kah
yang sedang dikandungnya? Dia akan melahirkan
anak tanpa kehadiran seorang suami? Dan anak itu...
mungkinkah akan mewarisi kelainan jiwa Rivai?
Seorang monster lagi akan lahir.... Akan bertambah seorang pengidap deviasi seksual lagi di dunia?
Tetapi... apa yang harus dilakukannya? Menggugurkannya?
152
Ya Tuhan! Aku tidak sanggup! Aku tidak sampai
hati membunuh anakku sendiri, seperti apa pun dia!
Arneta merasa panik. Tidak tahu ke mana harus
mengadu. Tidak tahu tindakan apa yang harus diambil. Dia benar?benar merasa terkucil sendirian.
Mengadu kepada orangtuanya hanya akan
menambah kegalawan mereka. Menambah ketakutan
Ibu. Tetapi tidak mengatakan kepada siapa pun membuatnya resah. Takut. Stres.
Hamil. Aduh. Pantas saja sudah tiga bulan dia tidak menstruasi. Mula?mula dikiranya karena stres.
Ah, sebenarnya dia sudah harus curiga ketika
timbul mual-mual. Tapi begitu banyak problem yang
membuatnya kurang memperhatikan diri sendiri.
Rivai berkeras menolak perceraian. Ketika akhirnya hakim memutuskan untuk mengabulkan permintaan Arneta, Rivai menggunakan segala macam
cara untuk membatalkan keputusan itu. Dari mulai
memohon sampai mengancam.
"Kau milikku, Arneta," geramnya dingin.
"Jika
aku tidak bisa memilikimu, orang lain juga tidak!"
Ibu Arneta sampai menggigil mendengar ancaman
itu.
"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" desisnya
ketakutan.
"Tidak ada," sahut ayah Arneta murung.
"Kita hanya harus menjaga Arneta baik-baik."
"Tidak bisa lapor polisi?"
"Buat apa? Polisi tidak akan menangkap mantan
suami yang bicara begitu kepada istrinya. Hukum
tidak dapat berbuat apa-apa sebelum terjadi sesuatu
153
yang melanggar hukum." Terus terang Arneta juga
takut. Dia kenal Rivai. Dan dia tahu, kalau ada kesempatan, Rivai akan menepati ancamannya
Karena itu Arneta melarikan diri. Dan tidak
disangkasangka, di tempat ini dia bertemu lagi dengan Taufan.
Pertemuan yang tidak diduga ini tiba-tiba
menyentakkan kesadaran Arneta Ingatannya kembali pada malam jahanam itu... malam yang selalu
coba dilupakannya... malam terkutuk di Sun City....
Malam itu Taufan menggaulinya... tidak mungkinkah... anak ini anak Taufan?
***
"Kamu pucat sekali." Taufan membimbing Arneta
keluar dari halaman mesjid yang luasnya hampir seratus meter persegi itu.
Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama