Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 2
"Tahu tentang apa?" Aku menjinjitkan alis
mataku dengan sikap serius.
"Jangan main teka-teki lho, Mbak. Aku memang tidak tahu apaapa."
"Tetapi tentunya kau tahu bahwa Pak Tomi
sudah lama menaruh hati kepadamu, kan?"
"Ya, aku tahu."
"Bahkan sejak sebelum kau menjalin hubungan dengan Dik Arya?"
"Ya, itu pun aku tahu. Soalnya kentara sekali
sih, Mbak. Bukan dari sikapnya saja tetapi juga
dari perkataan-perkataannya yang sering menyiratkan perasaannya," jawabku.
"Tetapi apa kai
82
tannya dengan Tatik?"
"Begini, Aster. Ketika kau mulai berhubungan
dengan Dik Arya, Pak Tomi mengalihkan perhatiannya darimu kepada Tatik."
"itu artinya, mereka berdua pernah menjalin hubungan khusus," gumamku.
"Begitu, kan,
Mbak?"
"Ya."
"Sampai sekarang?"
"Tidak. Hubungan mereka putus hampir dua
bulan yang lalu. Entah karena apa, persisnya aku
tidak tahu. Tetapi mungkin saja ada ketidakcocokan di antara keduanya. Tatik itu kan agak keras
dan kekanakan."
"Terus terang aku baru mendengar hal itu,"
komentarku.
"Rupanya, waktu itu aku terlalu
sibuk dengan urusan pribadiku sendiri. Tetapi,
sekarang aku mengerti kenapa sikap Tatik kepadaku seperti itu. Mas Tomi juga keterlaluan
sih, belum dua bulan putus hubungan sudah mulai mengejar-ngejarku lagi."
"Menurutku, Tatik juga keterlaluan."
"Keterlaluannya kenapa, Mbak?"
"Pak Tomi kan sudah bukan kekasihnya lagi.
Dia sudah bebas. Nah, dia mau berpacaran denganmu atau dengan yang lain, itu kan terserah
yang bersangkutan. Apalagi sudah sejak lama
Pak Tomi menaruh hati kepadamu. Maka ya
tak heran, begitu mengetahui kau lepas dari Dik
Arya, langsung saja dia melihat peluang itu..."
"Mungkin Tatik masih mengharapkan hubun
83
gannya dengan Mas Tomi pulih kembali, Mbak."
Aku bergumam lagi.
"Makanya dia merasa cemburu."
"itu jelas terbaca, Aster. Dengan kecemburuan yang tampakjelas itu pula dia telah melakukan
suatu kesalahan dalam taktiknya merebut kembali hati Pak Tomi. Peristiwanya terjadi sebelum
hubungan mereka benar-benar putus."
"Kesalahan seperti apa, Mbak?"
"Dia bermaksud menyalakan api cemburu
Pak Tomi dengan cara yang tidak dewasa. Hari
ini dia pergi dengan Anton, misalnya. Besoknya
pergi dengan si Anu atau si Polan, misalnya pula.
Tetapi melihatnya seperti itu, Pak Tomi malah
semakin menjauhinya. itu kan salah langkah, namanya."
"Jadi tak ada peluang lagi bagi mereka?"
"Ya, apalagi sekarang. Peluang untuk memulihkan hubungan itu semakin mustahil dengan
masuknya dirimu. Makanya sikapnya kepadamu
jadi begitu!"
"Kasihan Tatik..."
"Yah, memang sih. Tetapi kalau itu terjadi
padaku, aku justru akan mengambil hikmahnya. Dia harus berpikir, ketika Pak Tomi dulu
mendekatinya, itu bukanlah disebabkan cinta
yang sesungguhnya. Itu hanyalah cinta pelarian.
Bahwa cintanya yang sebenarnya, ada padamu..."
"Ah, belum tentu, Mbak!" Aku memotong
perkataan Mbak Asih. Perasaanku jadi tak enak.
Mas Tomi tidak boleh mencintaiku. Aku tak
84
mungkin membalas cintanya.
"Itu kenyataan, Aster."
Aku menarik napas panjang.
"Seandainya memang demikian, aku tidak
mungkin bisa membalas perasaannya," kataku
kemudian.
"Hatiku sudah beku, Mbak. Kalau
sampai aku menyambut pendekatan Mas Tomi,
sungguh tidak adil baginya. Sebab, pastilah itu
cuma sebagai pelarian dari luka hatiku."
"Kau memiliki kesetiaan yang kuat, Aster
Mbak Asih meraih tanganku.
"Dik Arya itu buta,
tidak bisa melihat emas dalam genggaman tangannya. Belum tentu yang didapatnya sekarang
itu juga emas. Mungkin malah tembaga!"
Aku tersenyum sedih. Mbak Asih hanya tahu
bahwa Mas Arya memilih gadis lain yang disodorkan kedua orangtuanya. Tak kuceritakan
kepadanya mengenai alasan yang sebenarnya.
Aku harus menjaga nama dan perasaan kedua
orangtua angkatku. Keduanya tidak mempunyai
perasaan dan pikiran bahwa aku ini bukan anak
kandung mereka.
"Masalah itu tak ada kaitannya dengan kesetiaan cintaku kepadanya, Mbak," sahutku kemudian.
"Hatiku yang tertutup inijuga bukan karena
masih ditempati olehnya. Jadi kenapa hatiku sekarang tertutup, itu disebabkan karena aku sudah
kapok. Benar-benar kapok, Mbak."
"Tetapi Pak Tomi itu orangnya baik lho, Aster.
Jangan hanya karena pernah disakiti seorang lelaki, kau lalu menganggap laki-laki lainnya sama
',,
85
brengseknya seperti dia. Kurasa tak ada salahnya kalau sekarang kau mulai membuka hatimu
sedikit demi sedikit."
"Saranmu akan kupikirkan, Mbak. Tetapi
tidak dalam waktu dekat ini. Untuk apa sih tergesa-gesa mencari pengganti Mas Arya? Lagi pula,
hidup tanpa kekasih begini ternyata malah lebih
bebas dan lebih tenang kok, Mbak!"
Tentu saja tidak kukatakan kepada Mbak Asih
bahwa alasan utama mengapa aku tidak ingin
menjalin hubungan baru dengan lelaki mana pun
itu karena dua hal yang tak mungkin bisa mengubah kenyataan. Pertama, aku ini seorang anak angkat yang tak punya masa lalu. Entah siapa kedua
orangtuaku, siapa pula keluargaku yang lain, aku
tidak tahu. Bahkan kelahiranku saja pun tidak
dikehendaki oleh mereka.
Alasanku kedua, aku ini sudah cacat. Bukan
diriku sebagai subjek dan bukan diriku sebagai
makhluk yang memiliki martabat, tetapi tubuhku
yang sudah kehilangan keperawanan. Meskipun
aku tahu bahwa fisik tidak identik dengan inti
kemanusiaan, tetapi karena sadar aku tinggal di
negara belahan Timur, kehilangan itu pasti akan
mempengaruhi kebahagiaanku. Dan itulah mengapa gaun biruku yang ternoda itu kusurukkan
jauh-jauh di rak paling bawah lemari pakaian,
tertindih tumpukan pakaian lamaku yang lain.
Semula gaun itu akan kubuang ke sungai, tetapi kemudian niat itu kuurungkan. Pikirku, daripada gaun itu kubuang ada baiknya kalau benda itu
86
kusimpan sebagai peringatan padaku agar tidak
lagi membiarkan diriku terlena perasaan cinta.
Kisah cintaku yang berakhir dengan noda pada
gaun sutraku yang berwarna biru itu harus menjadi tanda tertutupnya hatiku dari kemungkinan
jatuh cinta lagi.
Tetapi bagaimana mungkin Tatik mengetahui kenyataan itu, bukan? Aku toh tak mungkin
menceritakan perihal keadaanku itu kepadanya.
Dengan demikian kedekatanku dengan Mas Tomi
selalu dipandanginya dengan penuh rasa curiga
dan tak rela, lupa bahwa dia adalah atasanku.
Mau ataupun tidak, aku akan sering berhubungan
dengan Iaki-laki itu. Oleh sebab itu sikap cemburunya yang sudah lewat takaran, sering membuatku merasa jengkel. Dan akhirnya puncak dari
kejengkelanku itu pun terjadi di suatu hari, pada
jam istirahat makan siang.
Ketika itu aku baru saja pulang dari makan siang di luar. Kali itu aku tidak pergi dengan Mbak Asih. Dia tidak masuk. Jadi aku pergi
bersama Andy, rekan kerjaku yang belum lama
bekerja di kantor kami. Andy masih muda sekali, baru saja menginjak umur dua puluh tiga tahun. Begitu menyelesaikan kuliah, dia langsung
mendapat pekerjaan. Orang akan mengatakan,
nasib anak itu baik. Tetapi aku lebih melihatnya
dari sisi yang lain, bahwa ia mendapat pekerjaan
karena dirinya sendiri. Andy seorang anak muda
penuh semangat yang memancarkan Vitalitas
tinggi. Otaknya cemerlang dan kepribadiannya
87
memperlihatkan kematangan yang tidak banyak
dipunyai teman-teman sebayanya. Sudah begitu, sikapnya selalu hangat terhadap siapa saja.
Semua orang menyukainya. Terutama aku. Dia
mengingatkanku pada impian masa kecilku dulu,
ketika aku menginginkan seorang adik laki-Iaki
namun tak pernah terwujud.
Ketika aku kembali ke meja kerjaku setelah
berpisah dari Andy yang masuk ke ruangan lain,
tiba-tiba saja Tatik muncul di hadapanku. Wajahnya yang cantik itu sama sekali tidak menarik.
Matanya manyala dan bibirnya yang diberi lipstik warna merah tua itu merapat.
"Kalau mau membangkitkan rasa cemburu
Mas Tomi, jangan dengan anak kecil. Keterlaluan sekali kau, Aster!" Begitu dia mengejutkanku dengan semburan kata-katanya yang pedas.
"Anak itu masih hijau!"
Aku merasa bersyukur, ruang besar tempat
mejaku terletak itu masih sepi. Jam istirahat makan siang masih tersisa seperempat jam lebih.
Teman-temanku belum ada yang kembali. Kalau
tidak, alangkah malunya aku. Perkataan Tatik itu
bisa menimbulkan pikiran yang bukan-bukan.
Sungguh menyebalkan sekali dia. Sifat aslinya
keluar semua. Percuma saja dia pernah mengikuti
kursus keluwesan berbulanbulan lamanya.
"Jangan menyamakan perbuatanku dengan
taktik murahan yang pernah kaulakukan untuk
membangkitkan cemburu orang," aku membalas
semburan Tatik, tak kalah pedasnya dengan sem
88
burannya tadi.
Memang, dalam pergaulanku bersama orang
lain aku selalu ingin menjalin persahabatan yang
hangat dengan siapa saja. Tetapi kalau untuk itu
aku harus membiarkan kepalaku diinjak orang
seperti yang dilakukan Tatik tadi, aku harus memikirkannya seribu kali lebih dulu untuk melihat
kelayakannya. Untuk sesuatu yang bernilaikah
pengorbananku itu?
Mendengar jawabanku yang pedas, Tatik
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyandarkan tubuhnya ke meja di hadapanku
dengan kedua belah tangan berada di pinggangnya. Wajahnya tampak galak sekali.
"Apa maksud bicaramu itu?" Dia membentakku.
"Kau tahu apa yang kumaksudkan, Tik. Tak
usah pura-pura!"
Tatik menjawab perkataanku dengan menampar pipiku keras-keras sambil memuntahkan kemarahannya.
"Kau memang gadis gatal yang tak bisa hidup
tanpa laki-laki, Aster!" Begitu dia memakiku.
"Putus dengan yang satu, lalu menggoda yang
lain, tanpa peduli apakah laki-laki itu sudah punya kekasih atau belum!"
Ditampar dan dilontari perkataan kasar seperti
itu, aku tidak terima. Dalam hidupku sehari-hari,
aku tak pernah diperlakukan sekasar itu oleh siapa pun. Orangtua Mas Arya yang memandangku
rendah pun tidak berkata dan bersikap sekasar itu
kepadaku. Maka dengan penuh rasa harga diri,
89
kubalas tamparannya tadi dengan sama kerasnya.
"Jangan menampar anak orang kalau kau
tidak ingin ditampar," begitu aku membentaknya sambil melayangkan telapak tanganku ke arah
pipinya.
Tampaknya, Tatik tidak suka menerima balasan dariku. Wajahnya tampak memerah. Kedua
alis mata palsunya, bertaut menjadi satu. Dan
di bawah alis itu, matanya yang manyala-nyala
dipenuhi rasa benci. Lalu secara tiba-tiba tangannya yang berkuku panjang dan dicat merah itu
terjulur ke mukaku, siap mencakar pipiku.
Tentu saja aku tidak ingin kulit wajahku yang
halus dan mulus itu terluka dan meninggalkan
noda yang menetap di situ. Dengan sigap, tangannya kutangkap. Tetapi ternyata dengan sama
sigapnya, dia menjulurkan tangan yang lain ke
mukaku untuk menggantikan cakarannya yang
gagal tadi. Cepatcepat, untuk menghindari perbuatannya itu, kupalingkan wajahku sambil
menangkisnya dengan kedua belah tangan yang
kusilangkan. Bagaimanapun caranya, aku harus melindungi wajahku dari cakaran tangannya.
Tetapi tepat pada saat itu, aku mendengar langkah kaki berjalan tergesa ke arah kami berdua.
"Apa-apaan sih kalian berdua!"
Perutku menegang. Suara yang berkumandang di ruangan itu adalah suara Mas Tomi. Dengan perasaan tak menentu karena dipergoki sedang dalam keadaan yang paling memalukan itu,
lekas-lekas aku melangkah mundur. Kulihat, wa
90
jah Tatik semakin memerah. Persis seperti udang
rebus. Seperti diriku, pasti dia merasa malu sekali dipergoki Mas Tomi sedang berkelahi. Bahkan
aku yakin, rasa malu yang dideritanya lebih besar
daripada yang kurasakan. Sebab dengan melihatnya berada di ruangan ini, siapa pun akan tahu
bahwa bukan aku yang memulainya.
"Ada apa?" Mas Tomi mengulangi lagi pertanyaannya tadi.
"Tidak ada apa-apa," aku yang menjawab.
"Cuma suatu kesalahpahaman. Tatik menegurku, tentu dengan caranya sendiri, mengira aku
sedang berusaha membuatmu cemburu dengan
memanfaatkan anak yang masih sehijau Andy.
Tentu saja aku tidak terima. Sebab buat apa sih
membangkitkan rasa cemburu pada seseorang
yang bukan apa-apaku. Memangnya aku gila?"
Selesai menyemburkan perasaan, aku
langsung pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah kaki lebar dan dagu terangkat tinggi. Aku berharap, mereka berdua secara cermat
mendengar setiap patah kata yang kuucapkan tadi
sehingga mampu menangkap apa yang tersirat di
dalamnya. Yaitu, bahwa Tatik telah bersikap melebihi takaran semestinya terhadapku. Dan bahwa
Mas Tomi dan aku tidak mempunyai hubungan
khusus. Alias, dia bukan kekasihku.
91
Empat
TIGA menit lagi jam kantor bubar. Meja-meja di
ruang kerjaku sudah tampak rapi. Dengan terburuburu, rekan-rekan sekerjaku sudah meninggalkan
tempatnya masing-masing. Juga Mbak Asih.
Mereka takut kehujanan di jalan. Awan-awan
hitam tampak menggantung di langit kota J akarta
yang pada sore hari itu tampak gelap.
Kulayangkan pandang mataku keluar jendela kaca ke arah langit yang tampak kelam.
Tanda-tanda akan datangnya hujan lebat sudah
kelihatan. Sesekali langit hitam di kejauhan
sana tampak seperti terbelah lidah api yang panjang-panjang. Seram sekali kelihatannya.
Sudah seminggu ini musim hujan berada di
puncak kejayaannya. Setiap hari hujan lebat
mengguyur bumi nusantara ini. Ada daerah-daerah tertentu, juga di Jakarta ini, mengalami banjir
musiman.
Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, hari
ini pun hujan. Bahkan sudah dimulai sejak menjelang subuh tadi. Memang bukan hujan yang
lebat, tetapi sungguh tidak menyenangkan rasanya. Di mana-mana basah. Di mana-mana becek
dan di mana-mana pula banyak terdapat kuban
92
gan berisi air kotor. Dan bila hujannya tidak deras
tetapi mendung di langit merata seperti itu, biasanya matahari akan bersembunyi di sepanjang
hari nanti.
Aku teringat bagaimana tadi pagi, Mas Bondan dan Ibu merasa khawatir ketika melihatku
bersiap-siap berangkat ke kantor. Sejak menjelang subuh tadi, hujan sudah turun dan membubuhkan warna kelabu di hari baru itu. Saat itu
aku sedang berdiri di teras depan. Sejujurnya,
agak segan juga aku meninggalkan rumah.
"Hari ini aku tidak memberi kuliah, Aster!"
Begitu Mas Bondan berkata kepadaku sambil
mendekati tempatku berdiri.
"Pakailah mobilku."
Tawaran Mas Bondan itu sungguh menggiurkan. Tetapi aku tahu betul, meskipun hari ini dia
tidak mempunyai jadwal mengajar, tetapi menjelang sore nanti ia harus pergi ke tempat kerjanya yang lain. Yaitu sekolah kursus musik yang
sangat laris di daerah Kebayoran. Dari [bu, aku
mengetahui bahwa Mas Bondan mendapat kepercayaan memegang pengelolaannya sekaligus
memberi pelajaran piano untuk kelas-kelas tingkat lanjutan. Dan sekarang dia bermaksud meminjamkan mobilnya yang nyaman itu kepadaku.
Padahal siang nanti ia harus mengarungi perjalanan yang cukup jauh dari rumah kami ke tempat kerjanya. Dan untuk sampai ke sana, ia harus
berganti-ganti kendaraan umum. Pada jam-jam
bubar kantor pula. Sudah begitu aku tidak bisa
meramalkan apakah sore nanti hujan sudah ber
93
henti atau belum. Membayangkan dia harus naik
dan turun kendaraan umum di bawah guyuran
hujan seperti itu membuatku tak ingin menerima
tawarannya.
"Terima kasih, Mas," begitu aku mulai menolak tawarannya itu.
"Tetapi tak usahlah. Bus
patas masih setia menungguku di terminal kok."
Apa yang kukatakan itu tidak salah. Aku
memang termasuk orang yang beruntung. Rumah
kedua orangtuaku di daerah Rawamangun ini, tak
jauh dari terminal. Dari rumah, hanya lima atau
enam menit perjalanan jauhnya.
"Ayolah jangan sungkan, Aster. Pakai saja
mobilku itu." Mas Bondan mendesakku. Tangannya menyerahkan kunci mobilnya ke tanganku.
"Aku tidak merasa sungkan kepada orang
yang kuanggap sebagai kakakku sendiri," aku
tersenyum manis kepadanya. Tetapi kunci mobil yang ada di tanganku kukembalikan lagi ke
telapak tangannya.
"Tawaranmu itu kutolak karena aku tidak senang membayangkan sore nanti
kau harus pergi dengan bus yang penuh sesak dan
turun-naik berganti-ganti kendaraan, sementara
aku enak-enakan memakai mobilmu yang bagus
itu!"
Biasanya kalau hari hujan atau badanku
kurang fit, Bapak akan meminjamiku mobil. Lalu
beliau ikut mobil Oom Dahlan, teman sekantornya yang tinggal takjauh dari rumah kami. Tetapi
siang nanti Bapak akan pergi ke Bandung untuk
urusan kantor. Mas Bondan tahu itu. Kunci mobil
94
yang sudah berada kembali di telapak tangannya
itu dijejalkan ke kantongjaketku.
"Jangan membayangkan yang macam-macam,
Aster. Pakai sajalah mobilku. Aku mempunyai
banyak kendaraan di terminal!" Mas Bondan
masih tetap mendesakku. Matanya dibelalakkannya.
"Memangnya, siapa takut?"
Melihat wajahnya yang lucu dan kata-kata
"siapa takut" yang ditirunya dari iklan yang pernah populer itu, aku tertawa.
"Sudahlah, Mas," kataku kemudian. Kunci
yang dijejalkannya ke dalam saku jaketku tadi
kukeluarkan dan kuulurkan kepadanya.
"Hujannya tidak terlalu deras kok."
"Ditawari mobil kok tidak mau," ibu yang
tibatiba muncul dari ambang pintu, ikut berbicara.
"Pakai sajalah mobil kakakmu itu, Aster. Lihat, mendungnya merata begitu."
"Aster kalau sudah bilang tidak mau ya tidak
mau, Tante." Mas Bondan menyeringai.
"Sekarang aku akan mengambil jalan tengahnya saja.
Aster akan kuantar sampai ke kantornya. Jam
sembilan nanti aku harus bertemu dengan seseorang untuk urusan bisnis. Tak apa aku berangkat
lebih pagi."
"Janji pertemuannya di mana?"
"Pokoknya bukan di daerah yang berlawanan
dengan letak kantormu. Nah, bagaimana? Oke?"
"Kalau memang begitu, oke." Tidak sepantasnya aku terus-menerus menolak kebaikan hati
Mas Bondan yang begitu tulus itu. Lagi pula,
95
dengan ikut Mas Bondan, hati Ibu akan lebih
tenang melepaskanku pergi.
Betapa beruntungnya aku mempunyai keluarga seperti keluarga besar ibu angkatku. Mereka semua menyayangiku. Air hujan menimpaku
saja, Ibu tidak rela. Dan demi hal itu pula Mas
Bondan mau berangkat pada jam setengah tujuh
kurang, kendati pertemuan dengan temannya
masih jam sembilan nanti.
Sekarang, hari sudah sore. Hujan sepanjang
pagi hingga siang tadi, pergi dan datang seperti anak kecil main petak umpet. Tetapi sejak
jam setengah tiga tadi, hujan mulai berhenti dan
matahari sempat mengintip sebentar di balik
awan. Namun menjelang sore, awan gelap justru
mulai berarak-arak memenuhi langit.
Melihat kemungkinan lebatnya hujan yang
sebentar lagi akan turun itu, aku tersenyum sendiri. Pagi tadi, Ibu dan Mas Bondan ribut mempersoalkan keberangkatanku ke kantor, seolah aku
belum pernah bersentuhan dengan air hujan.
Tetapi sekarang sudah dapat dipastikan aku akan
berhujan-hujan juga dalam perjalananku pulang
ke rumah nanti. Bahkan kelihatannya, curah hujan akan lebih deras daripada tadi pagi. Kulihat,
kilat sambar-menyambar masih terus saja berlangsung nun di ujung langit sana yang tampak
semakin hitam.
Merasa tidak mungkin menghindari kehujanan di jalan, aku mulai bersiap-siap pulang
tanpa terburuburu seperti yang dilakukan re
96
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan-rekanku tadi. Di luar ruangan, aku masih
mendengar langkah-langkah tergesa dari kaki
rekan-rekanku yang bekerja di ruangan-ruangan
lain. Sambil berjalan cepat dan bercanda, mereka mempercakapkan datangnya hujan yang tak
mungkin terelakkan itu.
"Kok belum pulang?" Suara seseorang dari
arah pintu, menyela kesibukanku memasukkan
dompet, pulpen, dan buku agenda ke dalam tas
tanganku. Tanpa menoleh pun, aku tahu itu suara
Mas Tomi.
"Ini, aku mau pulang." sahutku, tanpa menoleh.
"Kelihatannya, hujannya akan lebat sekali."
"Ya..." Aku masih enggan menolehkan kepala.
Sejak Mas Tomi memergokiku dan Tatik sedang bertengkar beberapa waktu yang lalu, aku
selalu menghindarinya. Kalaupun kami terpaksa
berbicara, aku tak mau menatap matanya. Untungnya dia memahami perasaanku. Dia tidak
berani bercakap-cakap denganku kecuali mengenai hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Bahkan
muncul harapan dalam dadaku, mudah-mudahan
dia sudah menyadari pendirianku bahwa bagiku
hubungan yang ada di antara kami berdua hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih dari
itu. Tetapi sore ini, entah kenapa dia mulai lagi
mendekatiku dan membicarakan hal-hal yang tak
ada kaitannya dengan pekerjaan. Dan itu memupuskan harapanku. Aku sudah lama mengenaln
97
ya, jadi aku tahu beberapa kebiasaan-kebiasaannya. Justru karena itulah aku mulai khawatir.
"Kau membawa mobil?" Mas Tomi bersuara
lagi.
"Tidak." sahutku terus terang.
Padahal aku ingin sekali berbohong dengan
mengatakan "ya". Sebab aku yakin, dia akan
menawarkan jasanya, mengantarku sampai ke
rumah. Tetapi karena tekadku sudah bulat untuk
menghindarinya, apa pun tawaran baik yang disodorkannya kepadaku akan kutolak mentah-mentah. Bagiku, lebih baik basah kuyup kehujanan
daripada duduk di sampingnya, di dalam mobilnya yang bagus itu. Akujuga lebih memilih sakit
Hu karena kehujanan daripada berada di dekatnya.
"Kuantar pulang, ya?" Nah, benar apa yang
sudah kuduga itu.
"Terima kasih, Mas. Tetapi maaf, tawaranmu
terpaksa kutolak. Aku masih ada urusan lain..."
"Aku akan mengantarkanmu ke mana pun kau
mau pergi," Mas Tomi memotong perkataanku
sebelum aku selesai bicara.
"Rasanya sungguh
tidak enak bagiku, duduk di dalam mobil sendirian sementara terbayang kau sedang berebut
kendaraan umum di bawah siraman hujan lebat."
"Terima kasih atas tawaran dan perhatianmu,
Mas," sahutku cepat-eepat.
"Tetapi percayalah
aku sudah biasa begitu, kau tak usah mencemaskanku. Aku bukan terbuat dari bahan-bahan
rapuh. Lagi pula, saudara sepupuku akan men
98
jemput. Dia sudah berjanji akan mengantarkanku."
Kalimat yang terakhir itu hanya akal-akalanku. Berbohong demi menghindarinya kurasa bukan dosa besar.
"Mudah-mudahan dia datang sebelum hujan
turun," kata Mas Tomi.
"Ya, mudah-mudahan..."
Belum selesai aku bicara, tiba-tiba hujan mulai turun. Dan dalam waktu sebentar saja, kaea-kaea jendela ruangan mulai tampak buram
diempas air dan angin. Sementara pueuk-pucuk
pohon di sepanjang jalan di bawah sana, meliuk-liuk dipermainkan angin.
"Hm, diharapkan jangan hujan dulu malah
lebih cepat datangnya." Mas Tomi tersenyum
kecut sambil menatap keluar jendela.
"Tetapi
mudah-mudahan saja tidak ada jalan-jalan yang
kebanjiran. Aku tidak suka terjebak dalam kemacetan di bawah guyuran hujan lebat."
"Kalau begitu, cepat-cepatlah pulang. Aku
masih mau membereskan meja dulu," sahutku
eepat-cepat.
Mejaku sudah kubereskan tadi. Apa yang
kukatakan itu hanya alasan supaya Mas Tomi
lebih dulu turun. Aku tidak ingin dia tahu aku
membohonginya. Sebab tak ada sepupuku yang
akan menjemputku pulang. Para sepupuku tentu
saja mempunyai kesibukan lain yang jauh lebih
penting daripada menjemputku hanya karena alasan hujan.
99
"Ayolah kita turun bersama-sama saja, Dik
Aster. Sudah hampirjam setengah lima lho."
"Turunlah dulu. Sepupuku pasti belum datang," dustaku.
"Dia mau mengambil sesuatu
lebih dulu di rumah temannya."
"Tetapi daripada menunggu di sini, kan lebih
baik menunggu di bawah sana. Temannya banyak."
Perkataan Mas Tomi menyadarkan diriku
bahwa saat ini kantor kami sudah sepi. Bahkan
kulihat, di ruangan-ruangan lain lampunya sudah
dipadamkan. Terus terang saja, aku ini tergolong
penakut. Sendirian di lantai lima yang sudah sepi
begini, tentu saja sangat tidak menyenangkan.
"Baiklah..." akhirnya kuputuskan untuk cepat-cepat meninggalkan kantor.
"Kita turun sekarang."
Di dalam lift, Mas Tomi berdiri dekat sekali
denganku. Lengannya hampir menempel pada
lenganku sehingga aku merasa risih. Maka pelanpelan tanpa kentara, aku mencoba menggeser
tubuhku agar sedikit lebih jauh dari tempatnya
berdiri. Tetapi tiba-tiba dia berkata.
"Dik Aster, kau harus tahu bahwa di antara
diriku dan Tatik tidak ada hubungan apa-apa,"
katanya, mengagetkanku.
"Kalaupun pernah ada,
itu sudah berlalu dan telah berakhir. Jadi janganlah kau menjauhiku..."
"Aku menjauhimu bukan karena soal itu,
Mas." Aku memotong perkataannya dengan
sikap tegas.
"Tetapi karena aku memang tidak
100
suka kaudekati. Putusnya hubunganku dengan
Mas Arya baru tiga bulan berlalu. Hatiku sudah
tertutup untuk urusan cinta atau semacamnya.
Jadi Mas, akan lebih baik bagimu kalau kau
mulai memperhatikan Tatik kembali. Dia masih
mencintaimu. Sikapnya yang tidak manis terhadapku, dasarnya ya karena cintanya kepadamu
itu. Jadi harap maklum..."
"Aku tak pernah mencintainya, Aster. Hubungan yang pernah terjalin di antara kami berdua waktu itu adalah suatu kesalahan besar. Dia
masuk saat aku sedang kecewa karena gadis yang
sesungguhnya kucintai sudah menjadi kekasih laki-laki lain."
Perasaanku langsung saja tidak enak demi
mendengar perkataannya. Aku tahu dari Mbak
Asih, Mas Tomi menjalin hubungan dengan Tatik
ketika mengetahui aku menjalin hubungan serius dengan Mas Arya. Tetapi, aku pura-pura tidak
tahu masalah itu. Air mukaku kubuat agar tampak polos.
Karena aku tidak memberi komentar atas perkataannya itu, Mas Tomi meraih tanganku.
"Dan sekarang, aku berharap agar apa yang
dulu tak bisa kudapatkan itu, akan teraih jua di
masa mendatang," katanya sambil menggenggam tanganku.
Tetapi sebagaimana tekadku semula, aku harus bersikap tegas. Dia tidak boleh menyimpan
suatu harapan yang tak mungkin tergapai. Dia
juga harus melihat kenyataan sebenarnya. Maka
101
tanganku segera kutarik dari genggaman tangannya.
"Mas, jangan mengharapkan sesuatu yang
tidak mungkin. Dalam hal ini, aku sungguh-sungguh serius. Aku bukan gadis yang suka bersikap
jinak-jinak merpati, mendekat kalau dijauhi dan
terbang kalau didekati. Aku juga bukan gadis
yang sok jual mahal hanya biar tidak disangka gadis gampangan. Jadi maafkanlah aku atas
keterusteranganku ini, Mas. Bagiku lebih baik
kita bicara pahit di depan daripada menyodorkan
harapan manis yang cuma sia-sia..."
Suaraku terhenti karena lift sudah tiba di lantai
dasar, kemudian pintunya terbuka. Mas Tomi tak
mempunyai kesempatan untuk menjawab perkataanku tadi. Tetapi aku sudah tidak memedulikannya. Sebab saat pintu lift terbuka, pandang
mataku langsung saja menubruk sosok tubuh
Mas Bondan yang sedang duduk di lobby kantorku itu. Tiba-tiba melihatnya di situ dan tanpa
sedikit pun terlintas pikiran bahwa dia akan datang menjemputku, rasanya aku seperti mendapat
lotre besar sekali.
Dengan gembira, kuhampiri tempat Mas
Bondan sedang menungguku. Kuberi dia isyarat
agar segera berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Tanpa berkata apa pun, Mas Bondan langsung
menuruti keinginanku. Dengan berdampingan,
kami berdua berjalan ke arah parkiran di luar
gedung. Tubuhnya yang tinggi dan tangannya
yang membawa payung membuatku terlindung
102
dari hujan, kendati angin sempat mengirimkan
percikan air hujan ke wajahku. Aku yakin, di belakangku Mas Tomi pasti sedang memperhatikan
kami berdua.
Sesudah aku dan Mas Bondan berada di dalam mobilnya, tiba-tiba saja laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga.
"Apa yang terjadi tadi, Aster?" Begitu dia bertanya sambil menyalakan mesin mobil. Ah, seperti biasanya, laki-laki yang pengertian itu tidak
langsung bertanya padaku ketika kami masih di
lobby tadi.
Aku menoleh kepadanya sambil mengibaskan
air hujan dari payung yang tadi dipegang Mas
Bondan. Kemudian payung itu kututup dan kutarik masuk ke dalam mobil. Barulah sesudah itu
pertanyaannya kutanggapi.
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Mas?"
Mas Bondan tersenyum, kemudian melirikku
beberapa saat lamanya. Setelah mobilnya mulai
bergerak, barulah dia menjawab pertanyaanku
tadi. Masih dengan senyum manisnya itu.
"Tidak tahukah kau bahwa wajahmu itu seperti buku terbuka bagiku?" sahutnya kemudian.
"Keluar dari lift wajahmu tampak begitu aneh.
Wajah antara marah dan bingung, atau semacam
itulah. Tetapi begitu melihatku duduk di lobby,
wajahmu tiba-tiba saja berubah cerah."
Mendengar perkataannya itu, aku jadi tertawa. Aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu
dari Mas Bondan. Apalagi katanya aku ini bagai
103
kan buku terbuka baginya.
"Lelaki yang keluar dari lift bersamaku tadi
mengira bisa meraih hatiku dengan mudah," kataku.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Meskipun sudah kukatakan secara terus
terang kepadanya bahwa hatiku sudah tertutup,
eh dia tetap saja meraih tanganku dan menggenggamnya. Dikiranya aku pura-purajual mahal, barangkali..."
"Hm, pantaslah wajahmu waktu keluar dari
lift tadi, gelapnya menyaingi gelapnya cuaca sore
ini." Mas Bondan tersenyum penuh pengertian.
"Dan pantaslah pula air mukamu tiba-tiba seperti
orang yang baru saja dapat lotre besar."
Aku tertawa. Sebab memang itulah yang
kurasakan tadi.
"Tentu saja. Kau seperti malaikat penolongku, Mas. Lebih-lebih karena aku tak menyangka
sedikit pun, kau akan menjemputku. Dan itu bukan saja karena kau telah menyelamatkanku dari
kebohongan tetapi juga menyelamatkanku dari
desakannya untuk mengantarkanku pulang."
"Kebohongan apa?"
"Waktu orang itu berulangkali mendesakku
agar ikut mobilnya, aku membohonginya dengan
mengatakan bahwa kakak sepupuku akan datang
menjemputku," sahutku sambil tertawa.
"Rupanya kau tukang bohongjuga, ya!"
"Kalau perlu, apa salahnya, kan?" Aku tertawa lagi.
"Tetapi omong-omong nih, kenapa kau
menjemputku, Mas? ibu yang menyuruhmu, ya?"
"Sebetulnya aku tidak punya rencana untuk
104
menjemputmu, Aster." Mas Bondan menyahuti
perkataanku tadi.
"Tetapi di jalan tadi, waktu
aku melihat mendung begitu tebal dan kilat sambar-menyambar, kuputuskan untuk berbelok arah
ke kantormu ini. Sebab tak enak rasanya membayangkanmu mengejarngejar kendaraan yang
penuh sesak di bawah curahan hujan dengan
guntur yang menggelegar, sementara aku duduk
nyaman sambil menikmati musik."
Perkataan senada baru saja kudengar dari
mulut Mas Tomi kira-kira sepuluh menit yang
lalu. Hatiku tidak suka mendengarnya. Tetapi
sekarang, perkataan yang sama tetapi diucapkan
Mas Bondan dengan sikap wajar, justru membuat
perasaanku tersentuh.
"Sungguh senang rasanya punya kakak sebaik
dirimu, Mas!" Aku tersenyum kepada laki-laki
yang duduk di sampingku itu.
"Terima kasih atas
perhatianmu."
"Terima kasih kembali," sahut Mas Bondan
sambil membalas senyumku. Kemudian dia rnenoleh ke arahku sesaat lamanya sebelum melanjutkan bicaranya.
"Tetapi kapan-kapan aku akan
menagih kebaikan serupa darimu."
"Oh,jadi kebaikanmu ini ada pamrihnya, ya?"
aku menggerutu.
"Begitulah, Non." Mas Bondan terbahak.
"Tahujuga kau!"
"Konkretnya, apa yang harus kulakukan untukmu?" aku menggerutu lagi.
"Konkretnya apa, aku sendiri masih belum
105
tahu." Mas Bondan masih saja tertawa-tawa.
Tampaknya senang sekali bisa menggodaku.
"Tetapi dalam hatiku aku telah mencatat bahwa
kau sudah beberapa kali berutang padaku."
"Hm, begitu...." aku ingin menggerutu lagi.
Tetapi melihat mimik mukanya yang lucu, aku
malahan tawa.
"Jadi kau selalu mencatat semua
jasa baikmu. Alangkah bangganya aku punya
kakak yang setulus itu hatinya!"
"itu belum dihitung dengan bunganya lho.
Jadi ingat-ingat sajalah kalau aku nanti menemanimu ke tempat perkawinan Dik Arya!"
Diingatkan tentang hari pernikahan Mas
Arya yang akan dilangsungkan tak lama lagi,
aku langsung terdiam. Mengetahui itu kepala
Mas Bondan langsung menoleh ke arahku, sadar
bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang
tidak dipikir lebih dulu. Yah, betapa pun matang
kepribadian Mas Bondan, usianya yang masih
muda itu ikut mewarnai pemikirannya. Sepandai-pandainya bajing meloncat, dia akan tergelincirjuga di suatu ketika.
"Maafkanlah aku, Aster," katanya kemudian
dengan nada penyesalan yang amat kental.
"Aku
tak sengaja bicara seperti itu..."
"Aku tahu," sahutku.
"Lupakanlah. Aku juga
tidak ingin mengingatnya."
Bicara memang mudah. Tetapi kenyataannya,
bagaimana mungkin aku bisa melupakan bahwa
sebentar lagi Mas Arya akan memasuki kehidupan perkawinan dengan gadis lain? Apalagi tanpa
106
kuduga, sepuluh hari sesudah sore itu Mas Arya
meneleponku ke kantor.
Sesudah berbasa-basi sejenak, dia menanyakan lagi kesediaanku untuk datang ke pesta pernikahannya.
"Undangan untukmu sudah kukirim ke rumah, Aster. Aku betul-betul sangat berharap kau
bisa hadir di pestaku nanti," begitu dia berkata.
"Mau, kan?"
"Akan kuusahakan...." dengan susah-payah
aku menjawab pertanyaannya. Sakit sekali menahan perasaan yang menyengat ini. Tidakkah Mas
Arya mempunyai sedikit saja tenggang rasa?
"Danjangan lupa, gaun birumu yang..."
"Ya," sahutku memotong perkataannya. Tidak
sadar pulakah Mas Arya bahwa pemintaannya itu
menusuk lagi luka di dadaku yang masih belum
sembuh ini?
"Terima kasih, Aster. Kau sungguh sangat
baik..."
"Terima kasih kembali," aku memotong perkataannya lagi. Ingin sekali aku menghentikan
pembicaraan secepatnya.
"Sampaikan salamku
buat adikmu, ya, Mas?"
"Akan kusampaikan. Ani pasti akan senang sekali menerima salammu. ia sangat menyukaimu.
Sampai hari ini masih saja dia sering membicarakan dirimu, Aster. Dia sangat menyesal kenapa
kita tidak bisa bersatu dan "
"Katakan padanya, dia harus melihat kenyataan yang ada di hadapannya!" Lagi-lagi aku
107
memotong perkataannya yang belum selesai.
"Kehidupan ini berjalan ke depan, Mas. Jadi tidak
semestinya kita menoleh ke belakang terus."
"Tetapi tetapi... aku masih mencintaimu,
Aster..."
"Kaujuga harus melihat kenyataan dan bukannya menoleh ke belakang. Jadi lupakanlah semua
hal yang berkaitan dengan masa lalu kita." Untuk
ke sekian kalinya aku memotong lagi perkataan
Mas Arya yang belum selesai. Bahkan lekas-lekas pembicaraan yang membuat perasaanku sakit
lagi itu kuputuskan.
"Nah, sampai ketemu, ya,
Mas."
Lupakanlah semua hal yang berkaitan dengan
masa lalu kita? Hah, mudahnya aku bicara. Tetapi yah, lidah memang tak bertulang, bukan? Pada
kenyataannya, semakin dekat harinya, dan terutama setelah kartu undangan itu berada di tanganku, semakin perasaanku tak menentu. Kecewa, sedih, tersiksa, marah, dan pelbagai macam
perasaan lainnya bercampur menjadi satu.
Kalau menuruti kata hati, aku pasti akan
memilih tidak datang ke pestanya. Sebab pada
perasaanku, pesta itu seperti mengingatkan kegagalan diriku dan terutama keadaanku yang yatim-piatu tanpa orangtua kandung, tanpa keluarga,
tanpa masa lalu, dan tanpa latar belakang sejarah
hidup pribadi. Siapa saudara sedarah denganku,
aku tak pernah tahu. Benar-benar sebatang kara.
Dan justru karena keadaanku itulah maka Mas
Arya bersanding dengan gadis lain yang jelas
108
asal-usulnya, yang tahu secara pasti sejarah keluarganya.
Tetapi apa boleh buat. Aku sudah terlanjur
berjanji untuk hadir di pestanya. Oleh sebab itu
meskipun dengan sangat berat hati, pada Minggu
malam yang sudah ditentukan itu, aku terpaksa
mempersiapkan diri untuk datang ke pestanya.
Dan meskipun dengan perasaan tercabik-cabik,
aku terpaksa mengeluarkan kembali gaun biruku yang kusurukkan di bagian paling bawah lemari pakaianku. Kusetrika sendiri gaun itu. Dan
dengan mata basah, dengan hati tersayat, kulihat
kembali noda di bagian dalam lapisan gaun biruku.
Begitulah, petang itu aku mulai mempersiapkan diriku untuk pergi ke pesta pernikahan
Mas Arya bersama Mas Bondan. Kukenakan
gaun biru yang diminta Mas Arya. Meskipun
perasaanku amat sangat tertekan, aku berusaha mendandani diriku sepatutpatutnya. Kupakai
sepatu dan tas pesta yang senada dengan warna
gaunku. Kulengkapi pakaianku itu dengan seperangkat perhiasan emas bermata berlian yang
terdiri dari kalung, giwang, dan gelang. Barang
itu hadiah kedua orangtuaku sebulan yang lalu
ketika usiaku menginjak angka dua puluh enam
tahun.
"Kau sungguh memesona, Aster!" komentar
lbu begitu melihatku keluar dari kamarku.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Bapak yang sedang membaca harian sore
109
di sudut ruang, menurunkan koran yang semula
ada di hadapannya. Dan dengan kacamata yang
sengaja dipelorotkan dari pucuk hidungnya, beliau menatapku.
"ibumu benar, Nduk. Kau tampak luar biasa
cantik," pujinya.
"Aster, apakah perhiasan yang
kau kenakan itu hadiah dari kami pada hari ulang
tahunmu bulan lalu?"
"Ya, Pak."
"Pantas sekali kaukenakan, Ndak. Sepertinya
perhiasan itu memang dibuat khusus untukmu."
"Yang bagus itu perhiasannya, Pak. Barang
mahal dan dibeli dengan kasih sayang adalah perhiasan yang sangat indah. Terima kasih, Bu, terima kasih, Pak ." Aku mencoba tersenyum lagi.
Sepanjang usiaku yang sudah dua puluh enam
tahun ini, memang baru sekali ini Bapak dan ibu
menghadiahi sesuatu yang amat mahal. Mereka
mengatakan, seharusnya mereka ingin memberi
hadiah itu satu tahun yang lalu ketika usiaku
menginjak dua puluh lima. Kata mereka, umur
dua puluh lima adalah umur kedewasaan yang
menyeluruh. Lahir dan batin. Jadi patut diberi
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadiah istimewa sebagai tanda kasih mereka.
Tetapi baru sekarang mereka mempunyai uang
yang cukup untuk membeli hadiah itu. Dan baru
petang ini pula aku mempunyai kesempatan untuk mengenakannya.
"Sayang, barang mahal tidak menjamin kebagusan dan kepantasan pemakainya. Tetapi perhiasan yang kaupakai itu justru menjadi bagus ka
110
ki rasa humor yang tinggi. Ada-ada saja bahan
canda mereka. Suasana rumah kami jadi terasa
hangat sehingga tekanan batinku mulai sedikit
berkurang. Diam-diam aku merasa terharu. Sungguh, aku harus berterima kasih kepada mereka
bertiga. Aku kenal ketiganya dengan baik sekali.
Karenanya aku tahu, saling melempar goda dan
canda itu adalah sesuatu yang memang disengaja. Mereka semua memahami bagaimana berat
hatiku untuk datang ke tempat perkawinan Mas
Arya. Mereka juga memahami betapa terkoyakkoyaknya hatiku harus menyaksikan perkawinan
MasArya dengan gadis lain.
Setelah merasa cukup bercanda, tiba-tiba Mas
Bondan melihat arlojinya.
"Nah bidadariku, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?" usulnya.
"Apanya yang seperti bidadari," aku bergumam pelan.
"Bidadari sedang sakit gigi, barangkali."
"Aduh Non, jangan berpikir seperti itu. Dalam setiap kepahitan pasti ada manisnya kalau
kita mau mencarinya. Sebaliknya, dalam setiap
kegembiraan pun selalu ada celah kelemahannya. Maka kita tidak boleh terlena." Mas Bondan
melingkarkan lengannya ke bahuku.
"Nah, sebaiknya kita pergi sekarang saja, Aster."
Di sepanjang perjalanan menjemput Mbak
Astri, tak henti-hentinya Mas Bondan mengajakku bicara. Adaada saja yang dioeehkannya. Adaada saja pula yang dikomentarinya. Tetapi aku
112
tahu apa maksudnya. Dia tidak ingin aku tenggelam dalam kegalawan perasaanku.
Namun karena perasaanku mulai tertekan
kembali mengingat sebentar lagi aku akan menyaksikan pemandangan yang amat menyakitkan,
aku enggan mengikuti obrolan Mas Bondan. Lama-lama Mas Bondan merasajuga. Dia menoleh
ke arahku.
"Aster, ayolah bangkitkan kekuatan hatimu,"
katanya.
"Jangan jadi orang yang lemah hati.
Dan hadapilah realitas yang ada ini dengan sikap
kompromis."
"Omong sih gampang, Mas!" Aku mendengus.
"Betul sekali, aku setuju. Omong itu memang
gampang sekali," Mas Bondan menanggapi perkataanku dengan sikap sabar.
"Tetapi kalau segala sesuatu itu tidak diomongkan, hanya dirasakan,
hanya dipendam dalam hati, bagaimana itu bisa
diatasi atau diselesaikan secara konkret, Aster?"
Aku terdiam. Mas Bondan memakai kesempatan itu untuk melanjutkan bicaranya.
"Aster, kuharap di sana nanti kau mampu
menunjukkan sikap yang tegar dan penuh harga diri. Apa pun yang kaurasakan di dalam hati,
hadapilah apa yang ada di depan mata dengan
sikap anggun dan manis," katanya.
Aku masih diam saja. Tetapi semua perkataannya menembus telinga dan hatiku.
"Aster, secara lahiriah penarnpilanmu
memang memesona. Kau tampak amat cantik
113
dan menawan. Semua yang kaukenakan, tampak
pas melekat pada tubuhmu. Baik gaunmu, perhiasanmu, maupun tata rias wajah dan rambutmu,"
Mas Bondan berkata lagi.
"Tetapi kalau semua
itu hanya ada pada permukaannya, kau akan tampak seperti boneka belaka. Jadi Aster, sayangilah
dirimu. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam
kesedihan yang sia-sia. Oke?"
Kupejamkan mataku sesaat lamanya. Kemudian lambat-lambat kepalaku kuanggukkan.
"Akan kucoba, Mas."
"Bagus. Kau harus sadar bahwa kita tidak
akan dihargai orang kalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri. Dan percayalah, aku akan selalu memberimu support kapan saja kau membutuhkannya. Jadi, nanti pun kalau kita berhadapan
dengan pasangan pengantin, kau tahu aku berada
di sampingmu. Oke?"
"Oke." Aku menoleh sebentar ke arah Mas
Bondan yang kebetulan juga sedang menoleh ke
arahku. Mata kami bertemu.
"Terima kasih banyak atas segala-galanya, ya, Mas?"
Harus kuakui, tanpa dukungan Mas Bondan,
tanpa saran-saran dan nasihatnya, belum tentu
aku akan sekuat itu ketika memberi selamat kepada pasangan pengantin dan kedua belah pihak
orangtua mereka. Tetapi ketika kami menghadapi makanan, seluruh selera rnakanku mati. Aku
tidak ingin makan apa pun. Mas Bondan dan
M bak Astri mengapitku.
"Makanlah, Aster. Aku tahu kau kehilangan
114
selera makan. Tetapi jangan perlihatkan itu di
hadapan orang. Ada banyak kenalan dan keluarga Dik Arya yang mengetahui siapa dirimu. Kau
tidak ingin dipandangi orang dengan rasa kasihan, kan?"
"Tidak "
"Makanya biar sedikit makanlah, Dik Aster!"
Mbak Astri ikut mendorongku.
"Ayo kutemani."
Begitulah akhirnya, hari yang paling berat
dalam hidupku berlalu. Berkat kedua orang itu,
terutama Mas Bondan, aku mampu melewati hari itu dengan sikap anggun. Bahkan ketika
dari pelaminan pandang mataku bertubrukan
dengan pandang mata Mas Arya yang dipenuhi
kerinduan, aku masih sanggup menyembunyikan
kegalawan hatiku dengan sikap yang terkendali.
Ketika Mas Bondan menurunkan Mbak Astri di
depan rumah orangtuanya, rasa terima kasih itu
kusampaikan kepadanya dengan hati yang tulus.
"Terima kasih atas dukungan, pengertian, dan
pengorbananmu, ya, Mbak," kataku sambil mencium pipinya.
"Pengorbanan apa sih?" Mbak Astri
tersenyum.
"Kau telah membiarkan aku menyita perhatian Mas Bondan yang seharusnya diberikan untukmu," sahutku.
"Maafkan aku, ya, Mbak."
"Tak apa, Dik Aster. Aku mengerti kok."
Begitu aku dan Mas Bondan tiba di rumah
kembali, gaun biru yang ikut menyaksikan akhir
kisah cintaku dengan Mas Arya itu langsung ku
115
tanggalkan. Setelah membersihkan wajah, kuempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Seluruh
diriku, lahir maupun batin, terasa begitu letih.
Seperti sudah tidak tersisa tenaga apa pun lagi.
Barangkali seperti itulah perasaan seorang prajurit yang baru pulang dari medan perang dengan
membawa kekalahan mutlak. Saat itu baru kusadari betul, Mas Arya benar-benar sudah lenyap
dari kehidupanku. Kepedihan-kepedihan hati dan
rasa kehilangan yang selama ini datang dan pergi
di selasela kesibukanku sehari-hari, kini mengumpul jadi satu di dalam dada. Sesak sekali rasanya.
Mulai hari ini Mas Arya sudah memiliki kehidupannya sendiri, kehidupan rumah tangga
bersama istri yang diterima dan direstui keluarganya. 'Dan sejak malam ini pula, Mas Arya akan
memulai perjalanan malam pengantinnya, untuk
selanjutnya ia akan tidur bersama sang istri. ia
tidak akan tidur seorang diri lagi.
Mengingat itu semua, sekejap pun aku tidak
bisa tidur. Detik dan menit yang berlalu tidak
membuatku mengantuk. Bahkan semakin lama
semakin bayangan pahit itu terbayang di mataku,
bagaikan film cerita yang sedang di putar di mukaku. Ah, ternyata penderitaan yang kurasakan selama bulan-bulan terakhir ini bukan apa-apajika
dibandingkan dengan apa yang kualami malam
ini. Membayangkan Mas Arya sedang berkasih
mesra dengan istrinya di malam pengantin ini,
menyebabkan tubuhku menggigil kedinginan dan
116
perutku terasa kaku. Sulit dipercaya bahwa beberapa bulan sebelumnya hanya diriku yang ada
di dalam kehidupan pribadi laki-laki itu.
Ketika jam dinding di ruang makan berbunyi
dua kali, aku merasa tak tahan lagi berada dalam
keadaan tersiksa seperti itu. Pelan-pelan aku keluar dari kamarku. Di dapur, aku membuat segelas cokelat susu untuk menghangatkan seluruh
tubuhku yang terasa dingin. Tetapi sebelum aku
sempat meminumnya, tiba-tiba telepon berbunyi.
Aku kaget. Tetapi mengingat telepon itu
berdering bukan pada waktu yang semestinya,
lekas-lekas sebelum dering berikutnya membangunkan orang, aku mengangkatnya. Diam-diam
aku berdoa agar jangan ada berita buruk dari
mana pun. Baik dari pihak keluarga Bapak maupun dari pihak keluarga Ibu.
Dengan perasaan tegang, kupegang erat-erat
gagang telepon yang sudah berada di tanganku
itu.
"Halo...?" aku berbisik pelan, takut terdengar
lbu atau Bapak. Kalau ada berita buruk memang
sebaiknya akulah yang pertama kali mendengarnya. Keduanya sudah tidak muda lagi, jadi jangan sampai mereka mengalami kejutan yang dapat mengganggu kesehatan mereka.
"Syukurlah kau yang menerimanya, Aster!"
ltu suara Mas Arya. Bukan suara salah seorang
keluarga besar kami. Tetapi ketegangan perasaanku justru meningkat meskipun bukan berita
buruk yang kuterima.
"Seandainya suara yang
117
kudengar ini bukan suaramu, aku akan langsung
menutupnya tanpa bicara sepatah kata pun."
"Tetapi teleponmu ini mengagetkanku. Kusangka ada berita buruk dari salah seorang sanak
keluarga kami. Aku baru saja terbangun dan mau
ke kamar kecil ketika dering teleponmu kudengar." Kalimat terakhir itu hanya dustaku.
"Kenapa
menelepon pada jam seperti ini sih?"
"Aku cuma mau mencurahkan isi hatiku..."
Suara Mas Arya terdengar sedih.
"Baru saja...
aku aku menunaikan tugasku sebagai suami.
Aduh, Aster, berat sekali rasanya. Kalau saja aku
tidak membayangkan dirimu yang sedang kupeluk... entah apakah malam pengantin ini bisa
kulewati dengan selamat.... Selama bersamanya, berulang kali namamu kusebut di dalam hati
dan "
"Aduh, Mas Ary... kau sungguh keterlaluan.
" kupenggal perkataan Mas Arya yang
masih mengambang di udara itu. Mendengar kata-katanya, napasku seperti tersangkut-sangkut
rasanya. Menurutku, tidak sepantasnya dia menceritakan mengenai malam pengantinnya kepada
seseorang. Apalagi kepadaku.
"Jangan kaulanjutkan ceritamu itu."
"Tetapi aku ingin kau tahu itu, Aster. Sebab
ketahuilah, hanya karena membayangkan betapa cantik dan menawannya dirimu dengan gaun
birumu tadi, aku mampu menunaikan tugasku sebagai suami yang hangat "
"Cukup, Mas Ary!" Lagi-lagi aku memotong
118
perkataan yang tak pantas diucapkan oleh laki-laki yang baru saja menikah itu.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak semestinya
kau bicara begitu kepadaku. Sejarah hubungan
di antara kita berdua telah tamat. Dan mulai hari
ini, tamatnya kisah itu benar-benar sudah mutlak.
Maka apa pun yang kawalami dan apa pun perasaan yang mengganggumu, itu adalah urusanmu
sendiri. Artinya, kau sendirilah yang seharusnya
berusaha mengatasi dan menyelesaikannya. Jangan pernah lagi membicarakan hal-hal yang paling pribadi, terutama yang terjadi di balik pintu
kamar tidurmu, denganku. Kau sudah memiliki
kehidupanmu sendiri, kehidupan yang telah kaupilih sendiri pula. Dan itu sama sekali tidak ada
kaitannya dengan diriku. Sekarang ini aku ini
cuma orang luar bagimu. Jadi Mas, selamat rnenempuh hidup baru dan selamat pagi!"
Setelah aku bicara panjang lebar dengan cepat
dan nyaris tanpa bernapas agar tidak ada kesempatan buat Mas Arya untuk memotong, lekas-lekas gagang telepon kuletakkan kembali ke ternpatnya. Belum pernah aku bersikap setegas itu
kepadanya. Pengalaman telah mengajariku untuk
tidak memberi peluang buat Mas Arya ataupun
bagi Iaki-Iaki lain untuk memanfaatkan kelemahan hatiku.
Tetapi sebagai akibat dari sikap tegas itu,
seluruh tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung jemari kakiku, gemetar tak terkendali.
Kedua belah kakiku terasa lemas seperti dicabuti tulang-tulangnya. Maka sambil memeluk tu
119
buhku sendiri dan dengan langkah kaki terhuyung-huyung, aku menghambur ke atas sofa.
Tangis yang sejak tadi hanya mengganjal dan
menyesakkan dadaku itu kuturnpahkan di sana.
Sungguh, tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa Mas Arya bisa sesempit itu wawasannya. Bahkan terkesan, dia hanya melihat
permasalahan yang dihadapinya itu dari sudut
pandangnya sendiri. Bisa-bisanya dia mengira
aku akan senang mendengar pengakuannya tadi.
120
Lima
"ASTER..." Seseorang yang tiba-tiba berada
di dekatku, menyebut namaku. Itu suara Mas
Bondan.
Suaranya terdengar amat lembut, menembus
telinga dan hatiku. Mendengar suara itu, aku
mencoba menahan isak tangisku. Tetapi sulit
sekali. Meskipun agak berkurang, isak tangisku
masih saja tetap keluar dari sela-sela bantalan
kursi yang kutelungkupi.
"Aster... kenapa menangis...?" Suara Mas
Bondan yang tadi terdengar dari ujung sofa, kini
lebih mendekat. Nyaris berada di atas kepalaku
yang masih tertelungkup di atas bantalan kursi.
Seperti tadi, karena mendengar suara Mas Bondan yang mengandung kekhawatiran, aku mencoba lagi menghentikan tangisku. Tetapi juga
seperti tadi, usahaku itu sia-sia saja.
"Baiklah, Aster, kalau memang menangis itu
perlu bagimu, keluarkanlah sepuas hatimu. Tetapi jangan di sini, ya? Nanti kedua orangtuamu
terbangun," Mas Bondan berkata lagi, setengah
berbisik.
"Jadi ayolah kuantar kau masuk ke
kamarmu."
Mendengar kedua orangtuaku disebut-sebut,
121
tangisku berhasil kuhentikan meskipun dengan
susah-payah. Aku tidak ingin mereka mengetahui kesusahanku. Sudah cukup banyak persoalan
yang harus mereka selesaikan. Aku tidak ingin
menambahi pikiran mereka dengan urusanku.
"Ayolah, Aster, masuk ke kamarmu. Berdoalah atau dengarkan musik, atau apa sajalah yang
sekiranya dapat menenangkan dirimu!" Untuk
ke sekian kalinya Mas Bondan berkata lagi. Kini
lebih sebagai bujukan.
"Lalu cobalah untuk tidur.
Masih ada waktu beberapa jam untuk beristirahat. Atau, kau mau membolos? Kalau ya, nanti
kubantu kau mengabari ke kantormu bahwa hari
ini kau agak kurang sehat. Bagaimana?"
"Tak usah " sahutku pelan. Satu-dua isakanku masih terdengar.
"Bolehkah aku membantumu, Aster?"
Aku tidak segera menjawab. Kepalaku yang
tertelungkup di ujung sofa itu kuangkat, lalu kusandarkan ke belakang setelah rambut yang rnenutupi wajahku kusibak ke samping.
"Membantu apa...?" tanyaku dengan suara
serak. Kuhapus pipiku yang basah dengan sehelai
tisu yang dieabutkan Mas Bondan dari meja di
dekat kami.
"Menjadi tempat tumpahan dukamu," sahut
Mas Bondan dengan suara tulus.
Aku menarik napas panjang. Dengan mataku yang masih berair, kupandang wajah tulus di
dekatku itu.
"Setelah kutumpahkan tangisku tadi, duka itu
122
tak lagi terlalu mengimpitku kok, Mas...." sahutku kemudian.
"Terima kasih... atas segala perhatianmu."
"Siapa yang baru meneleponmu tadi...?" Pertanyaan Mas Bondan kali itu menunjukkan bukti
padaku bahwa entah sedikit entah banyak, ia tahu
tangisku tadi ada kaitannya dengan si penelepon.
Berarti, ia mendengar deringnya meskipun cuma
sekali berbunyi. Aku tadi langsung melompat
ke meja telepon sebelum dering berikutnya berbunyi. Dan sedikit atau banyak, ia pasti mendengar suaraku. Percakapan melalui telepon tadi
cukup lama.
"Mas Ary!" Karena tahu aku tak bisa membohonginya, terpaksa kukatakan hal yang sebenarnya.
"Untuk apa dia meneleponmu?" Suara Mas
Bondan kali itu bernada marah.
"Masih belum
cukupkah kesusahan yang ditimpakannya kepadamu? Tidak punya perasaankah dia bahwa malam
ini adalah malam yang amat berat bagimu?"
"Dia dia menceritakan tentang malam pengantinnya, Mas " Suaraku mulai bergelombang
lagi.
"Katanya, kalau saja dia tidak membayangkan sedang memelukku, akan sulit baginya untuk... untuk... memenuhi kewajibannya sebagai
seorang suami di di malam pertamanya ini."
"Dan kau jadi sedih karena omongan tak bermutu itu?" Nada suara Mas Bondan semakin
meninggi. Ia tampak marah sekali.
"Ya. Tetapi kesedihan itu lebih disebabkan ka
123
rena kesadaranku tentang siapa sebenarnya lelaki
itu. Aku menyesal sekali karena pernah j atuh cinta setengah mati kepadanya. Sebab, terus terang
saja, dia mulai membuatku merasa muak. Muak
pada dirinya dan bahkan juga muak pada diriku
sendiri ." kujawab pertanyaan Mas Bondan itu
dengan separuh kebenaran. Yang separuhnya
lagi, cuma dalih. Sebab yang membuatku muak
pada diriku sendiri adalah kebodohanku, keteledoranku, yang mengakibatkan gaun biruku ternoda darah keperawananku yang kini telah hilang.
"Kenapa...?" suara Mas Bondan mulai melunak.
"Tega-teganya dia berkata seperti itu kepadaku. Padahal Mas, aku belum tidur barang sekejap
pun karena menyadari kehilangan yang sudah
mutlak menjadi kenyataan ini. Bahwa kini di
antara diriku dengan dia benar-benar sudah tak
ada kaitannya sama sekali, kecuali hanya sebagai
teman..." Ini pun separuh benar dan separuhnya
lagi cuma dalih. Sebab yang lebih kupikirkan tadi
adalah malam pengantinnya bersama perempuan
lain. Malam pengantin yang dulu pernah menjadi
cita-cita kami berdua. Dan bahwa dalam kehidupan ini ternyata di antara cita-cita dan kenyataan
sering kali seperti bumi dan langit. Jauh sekali
bedanya.
"Aku tahu malam ini kau tidak bisa tidur...."
Mas Bondan menyela bicaraku.
"Kau tahu?" Mataku yang masih juga belum
kering itu melebar menatap matanya yang sedang
124
memandangku.
"Tentu saja aku tahu. Sejak pulang dari pesta pernikahannya tadi, aku tahu hatimu sangat
kacau. Lalu sebelum telepon berdering tadi, aku
mendengar pintu kamarmu kau buka, lalu terdengar olehku suara-suara dari arah dapur. Pikirku,
kalau tidak sedang membuat teh panas tentu kau
sedang membuat susu hangat, berharap supaya
minuman itu bisa mengantarmu tidur. Dari dalam
kamarku, diam-diam aku berharap agar usahamu
itu berhasil. Tetapi sayangnya, telepon sialan itu
tiba-tiba berdering..."
Aku mencoba menguakkan senyum terima
kasih kepada Mas Bondan yang nyata-nyata begitu berpihak kepadaku. Bahkan tampaknya tanpa kompromi apa pun pula. Tak bisa kupungkiri,
hatiku menjadi hangat karenanya.
"Bukankah kau pernah mengajariku untuk
mencari hikmah atau segi positif di antara yang
pahit-pahit dan menyusahkan?" kataku kemudian. Perkataanku yang ini juga masih dalam ukuran separuh. Separuh benar dan separuhnya lagi
bukan.
"Makanya Mas, setelah tangisku kukuras tadi, hatiku menjadi lebih ringan. Seolah,
air mata telah membasuh luka-luka hatiku agar
segera bertaut kembali."
"Tetapi melihatmu menangis seperti tadi, hatiku benar-benar sangat prihatin, Aster. Kusangka
patah hatimu kambuh lebih parah lagi!"
"Tidak kok, Mas. Aku tadi menangis untuk
melepaskan seluruh sisa-sisa tangis yang masih
125
ada di dadaku. Biar habis sama sekali!"
"Syukurlah kalau memang begitu. Mudah-mudahan kau berhasil."
Kuanggukkan kepalaku. Kemudian kucoba
lagi untuk tersenyum kepadanya.
"Hari sudah menjelang dini hari lho, Mas.
Tidurlah kembali!" kataku dengan penuh rasa
syukur atas ketulusan hatinya.
"Sekali lagi terima
kasih atas perhatianmu."
Mas Bondan membalas senyumku, rnenepuk-nepuk lembut kedua belah telapak tanganku yang saling bertaut di pangkuanku, kemudian
berdiri.
"Kau juga tidurlah, Aster," katanya kemudian.
"Masuklah kau ke kamarmu dulu, Mas!" sahutku.
"Sebentar lagi akujuga akan tidur kok."
"Tetapi jangan lama-lama duduk dalam gelap,
Aster. Selain banyak nyamuknya, juga akan
membuat hatimu ikut menjadi gelap."
"Aku tidak apa-apa, Mas. Jangan khawatir.
Lagi pula aku tidak akan bunuh diri kok."
Mas Bondan tersenyum penuh pengertian
mendengar canda yang kulontarkan dengan rasa
pahit itu. Kemudian dia menghilang di balik pintu kamarnya.
Kukatakan kepada Mas Bondan tadi bahwa
aku tidak apa-apa dan jangan khawatir. Tetapi ah,
bicara memang mudah. Lidah yang tak bertulang
ini bisa bersilat, bisa berputar-balik, bisa menari,
bisa berkata semanis gula. Tetapi kenyataannya,
apa yang terjadi? Dan aku bisa saja mengatakan
126
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa tangisku sudah tumpah ruah, terkuras
semua sehingga kepenuhan dadaku hilang. Tetapi
apakah memang demikian yang terjadi?
Kalau ditanya orang apa persisnya yang
menyebabkan aku sampai menangis terisak-isak
tadi, terus terang saja aku sendiri pun tak bisa
menjawabnya. Di dadaku, seluruh perasaan tak
enak berdesakan dan menggumpal menjadi satu.
Sakit hati, rasa terbuang rasa terhina, rasa muak,
rasa kehilangan, rasa cemas menghadapi masa
depan, dan perasaan-perasaan lainnya, datang silih berganti menerpa diriku. Terutama rasa terhina yang berulang kali meneubiti hatiku.
Ya, rasa terhina. Sebab baru sekarang setelah
mataku terbuka lebar begini aku mampu rnernandang segala sesuatunya dengan lebih jelas
dan lebih menyeluruh. Mas Arya tadi mengatakan bahwa ia begitu mencintaiku sehingga memesrai istri yang baru dinikahinya saja pun harus membayangkan diriku lebih dulu. Sungguh,
bukannya aku menjadi senang karenanya. Tetapi
justru merasa muak mendengarnya. Sebab di balik kenyataan seperti itu, sesungguhnya ia telah
menghinaku habis-habisan tanpa ia menyadarinya. Kasarnya, aku ini objek perangsang nafsunya.
Sekarang sepeninggal Mas Bondan yang telah
masuk ke dalam kamarnya, aku termenung sendirian. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Dengan rasa terhina tadi, benarkah gumpalan
berbagai perasaan yang menyatu itu sudah lepas
terurai semua tanpa tersisa sedikit pun? Tentu
127
saja tidak semudah dan sesederhana itu. Terutama
karena rasa terhina itu masih saja timbul-tenggelam di dalam batinku. Bahkan semakin terpikir
olehku dan semakin mata hatiku terbuka lebar,
semakin pula kulihat dimensi kenyataan yang
terpampang di hadapanku. Kenyataan bahwa
Mas Arya mengambil keputusan untuk menikah
dengan gadis lain padahal ia hanya mencintaiku, itu artinya ia mengalami dualisme perasaan.
Baginya, cinta tidak sejalan dengan rasa hormat
atau rasa penghargaan. Ia tidak meletakkan gadis
yang dicintainya pada tempat yang semestinya.
Dengan kata lain, aku hanyalah perempuan yang
dicintainya, tetapi bukan perempuan yang dianggapnya pantas untuk di jadikan istri maupun rnenjadi ibu dari anak-anaknya.
Barangkali saja secara sadar, Mas Arya sendiri akan menolak mati-matian kalau penemuan
hatiku itu kukatakan kepadanya. Sebab secara sadar dia pasti tidak menyukai pandangan sekerdil
itu. Tetapi secara tak sadar, entah karena represi
mekanisme jiwanya atau entah karena apa pun,
sesungguhnya memang seperti itulah kenyataannya. Sebab kalau tidak, tak mungkin dia meninggalkan diriku. Apalagi dia tahu, tak mungkin orangtuanya akan mengambil suatu tindakan yang
kejam andaikata ia tetap melanjutkan hubungan
denganku. Sebab, selain kawin paksa sudah bukan zamannya lagi, Mas Arya juga bukan anak
kecil yang belum tahu memilih mana yang benar
dan mana yang salah. Ia seorang lelaki dewasa,
128
lelaki yang berhak dan mampu menentukan dirinya sendiri tanpa campur tangan dari siapa pun.
Aku menarik napas panjang, memejamkan
mataku beberapa saat lamanya, kemudian melalui mulutku kuembuskan udara dengan cepat
dan kuat. Seolah dengan perbuatan itu aku ingin
memuntahkan perasaan yang tadi menekan dadaku. Sekarang, aku harus bisa memulai kehidupanku yang baru, yang mengarah ke masa depan
tanpa harus mengingatingat semua hal yang berkaitan dengan Mas Arya.
Sambil mencoba tersenyum pada diriku
sendiri demi meraih semangat, aku bangkit dari
sofa. Kubawa tubuhku yang masih terasa letih itu
masuk ke dalam kamarku kembali. Lalu bisikku
di dalam hati, selamat tinggal masa laluku. Selamat tinggal Mas Arya. Dan selamat datang masa
depan.
Dengan pemikiran baru yang mulai berhasil
kuraih meskipun itu baru merupakan kerlip kecil, kubaringkan tubuhku ke atas tempat tidur.
Namun ketika pandang mataku menatap ke arah
lantai tempat gaun biruku teronggok setelah kulepas tadi, titik nyala semangat yang baru muncul
itu padam kembali dengan tiba-tiba.
Sesungguhnya, betapa besar pun keinginanku
untuk meninggalkan masa lalu, namun gaun sutra
berwarna biru yang teronggok di lantai itu tak
mungkin pernah bisa kulupakan. Gaun itu telah
menjadi saksi bisu dari suatu perbuatan yang
akan selalu kusesali di sepanjang sejarah kehidu
129
panku. Hanya satu kali aku terpeleset tetapi luka
yang diakibatkannya tak akan pernah tersembuhkan. Terlebih setelah kusadari bahwa laki-laki
yang kubiarkan mengambil keperawananku itu
adalah laki-laki yang tidak seistimewa sangkaanku semula. Baru sekarang kumengerti betul apa
makna peribahasa yang berbunyi "sesal kemudian tak berguna" dan "nasi telah menjadi bubur".
Biarpun aku menangis sampai air mata darah
keluar dari mataku, apa yang telah hilang itu tak
mungkin kembali.
Meskipun aku sudah minum segelas susu
hangat, tetapi karena kepalaku terus menghadirkan rekaman masa lalu, maka tetap saja aku
dalam keadaan seperti semula, tak bisa tidur.
Lama sesudah berguling ke kiri dan ke kanan,
terlentang dan tertelungkup, baru kemudian aku
bisa tertidur. Itu pun karena Hsik dan mentalku
terlalu letih. Tetapi sayangnya, belum lama aku
memasuki alam impian, kudengar pintu kamarku
diketuk orang.
"Non," itu suara Bik Popon, pembantu rumah
tangga orangtuaku. Dia tidak tahu pintunya lupa
kukunci.
"Bangun, Non. Sudah siang lho. Nanti
terlambat masuk kantor."
Dengan perasaan enggan kubuka mataku. Bik
Popon pasti tak akan pernah melupakan kejadian
beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku kesiangan
bangun. Dan tak seorang pun membangunkanku. Akibatnya, aku hanya sempat mandi asalasalan. Bahkan untuk minum secangkir teh saja
130
pun waktunya tak ada. Setelah kejadian itu, Bik
Popon selalu mengetuk pintu kamarku kalau aku
belum juga keluar pada waktunya.
"Non Aster tidak masuk hari ini, Bik!" Aku
mendengar suara Mas Bondan menyela kata-kata
Bik Popon.
"Dia merasa kurang sehat..."
"Oh, ya sudah kalau begitu, Pak Bondan.
Ah, kasihan anak itu..." Suara Bik Popon yang
semakin jauh menunjukkan padaku bahwa perempuan itu sedang berjalan ke belakang kembali.
Jam-jam begini, dia sibuk menyiapkan sarapan.
Kasihan, anak itu. Begitu ucapan Bik Popon
yang usianya sepantar dengan umur Ibu. Sering
kali dia memperlakukan diriku seperti anak kecil.
Aku yakin, ia tahu bahwa tadi malam aku pergi
ke resepsi pernikahan Mas Arya. Ketika aku baru
saja putus hubungan dengan lelaki itu, dialah
yang pertama-tama mengetahuinya. Sebab ketika
aku pulang dengan berurai air mata setelah pertemuan terakhirku dengan Mas Arya, dialah yang
membukakan pintu untukku.
Tetapi meskipun demikian, aku tidak ingin dikasihani olehnya ataupun oleh yang lain.
Mas Bondan juga tidak boleh seenaknya sendiri
memutuskan bahwa aku tak perlu masuk kantor
hanya karena kurang tidur. Jadi meskipun kepalaku terasa berat, kupaksa tubuhku untuk bangkit
dari tempat tidur. Aku bukan perempuan lemah.
Rasanya aku masih cukup kuat untuk pergi ke
kantor dan bekerja seharian meskipun tadi hanya
tidur selama dua atau tiga jam. Tetapi keinginan
131
ku masuk kantor itu luruh seketika. Waktu meraih sisir untuk mengikat rambut, tanpa sengaja
aku menatap wajahku yang terpantul dari cermin.
Wajahku pagi itu tampak menakutkan. Pucat, mata sembap habis menangis dan bayangan
hitam yang samar melingkari bagian bawah mataku. Kepalaku juga terasa semakin berat, berdenyut-denyut. Sungguh, menyebalkan sekali.
Mana mungkin aku bisa bekerja dalam keadaan
seperti itu.
Kulempar sisirku ke meja rias kembali. Aku
tidak peduli walaupun ulahku itu telah menyebabkan jatuhnya botol body lotion-ku dan menimbulkan suara.
"Aster kau kenapa?" Suara Mas Bondan
terdengar di depan pintu kamarku, menggantikan
suara Bik Popon.
"Botol body lolion-ku jatuh...." jawabku enggan.
"Kau tidak pergi ke kantor, kan?"
"Tidak. Kepalaku sakit...."
"Kalau begitu, tidurlah. Obat sakit kepalamu
itu cuma tidur kok." Mas Bondan berkata lagi.
"Nanti aku yang akan menelepon kantormu."
"Terima kasih...."
"Kalau setelah bangun nanti kepalamu masih
sakit, aku punya obat sakit kepala yang aman.
Kuletakkan di sebelah gelas minummu, ya?"
"Ya...." sahutku.
"Terima kasih."
Beberapa saat kemudian setelah kudengar
mobilnya pergi, aku masih juga belum bisa tidur.
132
Tetapi ketika dua kali dengan diam-diam ibuku
mengintipku melalui celah pintu yang ia buka
pelan-pelan, aku pura-pura tidur sehingga ia menutup kembali pintunya dengan hati-hati. Aku
tahu, sebentar lagi beliau akan pergi.
lni hari Kamis. Biasanya, Ibu akan
menumpang mobil Bapak untuk pergi ke tempat
senam. Biasanya pula, setelah itu bersama teman
senamnya yang membawa mobil, ia akan pergi
ke salon untuk cream bath. Lalu bersama teman
itu juga, 1er akan pergi berbelanja mingguan.
ltu acara rutinnya setiap hari Kamis yang sudah
menjadi kebiasaannya sejak bertahun-tahun yang
lalu.
Dengan demikian, rumah ini akan kosong.
Hanya ada aku dan Bik Popon. Dugaanku itu
tidak salah. Tak berapa lama kemudian aku tidak
mendengar suara apa pun lagi. Rumah terasa sepi.
Dan karena aku belum juga bisa tidur, kupaksakan diriku keluar dari kamar meskipun kepalaku terasa berat. Dari atas meja makan, kucomot
sebuah kentang rebus sisa sarapan Bapak yang
disarankan mengurangi makan nasi oleh dokter.
Kentang itu cuma untuk alas perutku sebelum
minum obat. Sebab seperti yang dikatakannya,
Mas Bondan telah meletakkan obat di sebelah
gelas minumku. Dalam kondisiku saat ini, aku
memang membutuhkan obat sakit kepala.
Setelah minum obat, aku kembali ke kamar
tidurku. Kubuka jendelanya lebar-lebar dan kubiarkan angin pagi menyerbu masuk dari arah
133
taman mini di samping rumah. Di tanah kesayangannya itu, Ibu menanam berbagai macam tanaman hias yang berbunga maupun yang berdaun
indah. Yang beraroma harum maupun yang hanya tampak cantik. Dari taman itu, tercium olehku
bau bunga melati.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah karena pengaruh obat, atau entah karena udara segar yang mengganti udara di dalam
kamarku, beberapa saat setelah itu aku bisa tertidur kembali. Dengan nyenyak pula. Jam sepuluh
lewat baru aku terbangun. Dan syukurlah, kepalaku tidak begitu terasa sakit lagi.
Merasa lega atas kemajuan itu, lekas-Iekas
aku masuk ke kamar mandi. Lalu sesudah itu
kucoba pula untuk mengisi perut. Setidaknya,
setangkup roti isi keju berhasil pindah ke dalam
perutku. Baru kemudian aku masuk kembali ke
dalam kamar. Aku ingin membereskan kamarku
yang berantakan. Pikirku, dengan menyibukkan
diri aku tidak akan terlalu tenggelam lagi di dalam persoalan yang tak menyenangkan itu.
Ketika lagi-lagi aku melihat gaun berwarna biru itu, kukedikkan kepala kuat-kuat untuk
mengusir pelbagai kenangan yang diakibatkannya. Aku tidak mau lagi memikirkan gaun biruku.
Tanpa kumasukkan ke dalam cucian lebih dulu,
gaun sutra itu kulipat dan kumasukkan ke dalam
lemari kembali setelah membungkusnya dengan
kertas sampul. Mudah-mudahan saja setelah ini
aku tidak akan lagi mengingat-ingat apa pun tentang gaun itu atau apa pun yang berkaitan dengan
134
si pemberinya.
Tetap saja ternyata, apa pun yang dinamakan
noda, sering kali sulit dihapus begitu saja. Begitu pun noda yang kubuat bersama Mas Arya.
Meskipun aku ingin mengelupasnya dari kenanganku, noda itu selalu saja muncul dan muncul
lagi dalam ingatanku. Dan itulah yang kualami
ketika aku duduk di muka piano sesudah selesai
membereskan kaluar. Tetapi bagaimana tidak?
Begitu aku duduk di muka piano, begitu pula
pandang mataku tertumbuk pada kertas-kertas
milik Mas Bondan yang tertumpuk di atas piano.
Di bagian atas lembaran kertas-kertas itu, aku
melihat teks lagu Gaun Biru yang diciptakannya
beberapa minggu lalu. Lagu yang diilhami puisiku.
Terus terang saja, aku belum pernah memainkannya meskipun sudah berulang kali mendengar lagu itu dimainkan oleh Mas Bondan. Harus
kuakui, lagu itu indah dan aku ingin mempelajarinya. Tetapi keinginan saja tanpa kekuatan
mental untuk menghadapi kembali trauma psikis
yang pernah kurasakan, mana mungkin, bukan?
Jadi sampai hari ini belum sekali pun aku berani
mencoba untuk mempelajari dan memainkannya
dengan piano. Bahkan menyentuh teksnya pun,
aku tidak berani.
Tetapi sekarang dalam kesendirianku dan
didorong keinginan untuk bermain piano, teks
lagu Gaun Biru itu kutimang-timang beberapa
saat lamanya. Kucoba untuk melepaskan peras
135
aan dari kepahitan masa laluku. Dan kucoba pula
untuk tidak menyesapi kata demi kata apa yang
pernah kucurahkan pada saat proses kelahirannya. Lalu kubuat diriku berada di luar itu semua.
Sebagai gantinya, aku mencoba untuk hanya
meresapi lagunya, iramanya, dan permainan nada-nadanya. Dan syukurlah, dalam kesendirianku ini aku berhasil mengakrabi lagu ciptaan Mas
Bondan itu.
Maka mulailah aku mempelajari lagu itu dengan permainan tanganku. Semakin kuulangi, semakin tanganku menjadi lancar. Dan akhirnya tak
sampai sejam lamanya, aku sudah bisa memainkan lagu itu dengan sempurna tanpa melakukan
kesalahan.
Merasa senang karena mampu mempelajari
lagu indah itu, tanpa sadar aku mulai menyanyikan lagu Gaun Biru dengan sepenuh hatiku.
"Ketika sebait lagu indah mengumandang di
selumh penjuru rumah dan mengangkat kalbuku ke langit berawan kenangan...." begitu kudendangkan lagu itu dengan iringan piano sebisa-bisaku, hingga lagunya selesai.
Suara tepuk tangan di belakangku menghentikan suasana yang menurutku amat menakjubkan.
Sebab tak pernah kubayangkan, aku akan sanggup memainkan dan bahkan menyanyikan lagu
itu sekaligus.
"Luar biasa," terdengar suara Mas Bondan
sesudah tepuk tangannya berhenti.
"Luar biasa,
Aster. Aku benar-benar tidak menyangka, suara
136
mu sebagus itu. Kita bergaul sekian lamanya tetapi baru hari ini aku mengetahui bahwa suaramu
ternyata bagus. Suara soprano yang bening dan
indah..."
"Aduh, Mas!" Aku memotong pujiannya dengan kemalu-maluan.
"Jangan berlebihan memujiku. Kalau Ibu mendengar pujianmu, pasti beliau
akan tertawa. Sebab dibandingkan suaranya, suaraku seperti suara burung gagak sedang marah!"
"Hm, begitukah menurutmu?" Mas Bondan
menatapku dengan tatapan serius.
"Apakah Tante
Pur pernah mendengarmu menyanyi?"
"Sering."
"Di mana dan kapan?"
"Yah, waktu aku masih kecil, waktu aku menyanyi di kamar mandi dan semacamnya!"
"Pernahkah dia mendengarmu ketika kau
menyanyi secara serius?"
"Belum. Untuk apa aku harus menyanyi secara serius!" Aku tertawa mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi itu.
"Aku toh bukan penyanyi. Lagi pula, aku malu."
"Malu? Kenapa?"
"Malu karena suara Ibu bagus sekali!"
"Aster, tahukah kau bahwa suaramu juga bagus sekali?"
Aku tertawa lagi mendengar pujian Mas Bondan.
"Jangan mengada-ada, Mas!" kataku kemudian.
"Kalau perkataanmu didengar orang, kita
berdua bisa menjadi bahan tertawaan lho!"
137
Mas Bondan menatapku lagi dengan pandangan serius.
"Aku tidak mengada-ada, Aster. Suaramu
benar bagus!" katanya dengan suara yang sama
seriusnya dengan pandangan matanya.
"Aku
akan membuktikannya. Tetapi sebelum itu, izinkan aku mengatakan bahwa siang ini aku merasa
amat lega melihatmu sudah pulih kembali. Kau
sudah bisa membantah perkataan orang, sudah
bisa tertawa pula."
"Kan kemarin sudah kukatakan, air mata telah
membasuh Iuka-Iukaku, Mas!" sahutku.
"Tidak semudah itu, Aster. Aku tahu lho!"
Mas Bondan menggelengkan kepalanya.
"Tadi
pagi waktu kau bilang sakit kepala, aku merasa cemas. Janganjangan penyakit patah hatimu
kambuh lagi dengan lebih berat. Dan itulah alasanku mengapa hari ini aku cepat pulang ke rumah begitu selesai memberi kuliah."
"Kau terlalu memanjakanku, Mas."
"Habis siapa lagi yang akan kumanjakan, Aster? Kau tahu sendiri kan, aku tidak mempunyai
adik. Tak enak lho menjadi anak bungsu."
"Apa bukan sebaliknya? Anak bungsu kan
biasanya menjadi tumpahan kasih sayang keluarga!" kataku.
"Tidak selalu demikian walaupun aku meman g
mengalami hal itu. Tetapi setelah aku sadar bahwa keadaan seperti itu bisa menghalangi kemandirianku karena sering dibantu dan dilayani,
aku memisahkan diri dari keluarga untuk men
138
coba hidup mandiri." Mas Bondan tersenyum.
"Tetapi sudahlah, aku tadi kan ingin membuktikan padamu bahwa suaramu benar bagus!"
"Dengan cara apa, Mas?"
"Tunggu sebentar!" sambil berkata seperti
itu, Mas Bondan melepas sepatunya. Kemudian
masuk ke kamarnya. Ketika beberapa saat kemudian dia keluar, kemejanya sudah berganti dengan kaus oblong dengan gambar-gambar buatan
anak-anak muda kreatif dari Yogya yang terkenal. Sementara itu, tangannya menjinjing tape
recorder miliknya.
Aku tersenyum sendiri. Rupanya lelaki itu
mau merekam suaraku!
"Ada-ada saja kau, Mas!" gumamku.
"Sudahlah, jangan banyak komentar. Menurut
sajalah!" sahutnya sambil menempatkan tape recorder di ujung piano dan menyerahkan mikrofon kepadaku. Kemudian dia menyuruhku berdiri
dari bangku piano yang sejak tadi kududuki.
Seperti yang ia minta, aku menuruti saja apa
kehendaknya itu.
"Aku yang akan memainkan piano, kau yang
akan menyanyi!" kata Mas Bondan lagi.
"Ayo,
langsung saja, ya!"
Sesudah menyalakan tombol rekaman, mulailah ia memainkan intro lagunya kemudian
memberiku isyarat untuk mulai menyanyi. Demi
memenuhi keinginannya dan sebagai ungkapan
rasa terima kasihku atas segala perhatiannya kepadaku selama ini, aku pun mulai menyanyi. Mu
139
la-mula memang dengan agak malu-malu tetapi
karena lagu itu begitu menawan ketika dimainkan olehnya, aku tak tahan lagi untuk tidak menyanyi dengan sepenuh hatiku sampai selesai.
"Ayo kita dengar rekamannya, Aster," ajak
Mas Bondan setelah mematikan tape recorder,
kemudian menyalakan hasil rekamannya.
Kujawab ajakannya dengan duduk di kursi panjang yang terletak di belakangnya. Terus
terang saja aku kaget ketika mendengar hasil
rekaman itu. Rasanya seperti mendengar suara
penyanyi sungguhan. Tetapi akhirnya aku merasa
malu karena mengagumi suaraku sendiri.
"Bagaimana?" tanya Mas Bondan setelah
lagu itu selesai.
"Permainan pianomu bagus sekali, Mas!" sahutku mengelak.
"Kau itu!" Mas Bondan tertawa.
"Yang kutanya, suaramu!"
"Oh, itu. Yah, lumayanlah berkat alat perekamnya yang bagus!"
Mas Bondan tertawa lagi. Tetapi sesudah itu
ia pindah duduk di sampingku dengan air muka
serius.
"Aster, maukah kau menyanyi bersamaku?"
tanyanya kemudian.
"Untuk apa?"
"Untuk memenuhi permintaan orang yang
membutuhkan pemusik dan penyanyi untuk hotelnya. Hotel berbintang empat, Aster."
"Dibayar?"
140
"Tentu saja."
"Kalau begitu, aku tak mau!" sahutku tegas.
"Pertama, karena aku bukan seorang penyanyi.
Aku masih belum bosan bekerja di belakang
meja kantor. Kedua, aku tak mau menjadi tontonan orang. Apalagi di hotel!"
Mas Bondan menatapku agak lama.
"Jadi, kau memandang profesi pemusik dan
penyanyi di hotel sebagai pekerjaan yang kurang
terhormat?" tanyanya.
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Wah, kau keliru mengerti!" sahutku cepat-cepat.
"Aku cuma mau mengatakan bahwa
cukup banyak orang yang menganggap hotel itu
bukan hanya melulu tempat persinggahan atau
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat orang dari luar kota yang ingin menginap,
tetapi juga tempat pertemuan orang-orang iseng
dan tempat memadu cinta semusim. Nah, aku tak
mau ditonton oleh orang-orang semacam itu. Sebab rasanya..."
"Aduh, Aster, jangan mengambil kesimpulan umum dan peristiwa partial," Mas Bondan
memotong perkataanku.
"Kalau kau keberatan
menyanyi bersamaku di hotel, ya sudah. Tetapi
jangan menduga yang bukanbukan. Lebih banyak hotel yang mempunyai reputasi baik dan
bersih lho."
Mendengar perkataan Mas Bondan, aku tertegun.
"Aku tidak bermaksud begitu," sahutku cepatcepat.
"Tetapi apakah kau sungguh-sungguh akan
141
menyanyi di sana, Mas? Kau serius?"
"Ya. Aku serius. Apalagi aku sudah terlanjur
mengiyakan. Dan sudah dikontrak selama enam
bulan, pula. Terus terang aku mengiyakan permintaan itu karena aku kenal baik manager hotel itu. Selain itu, honornya juga menarik sekali.
Lagi pula, aku cuma bermain organ sambil menyanyi selama beberapa jam. Dan tidak setiap hari.
Setiap dua malam sekali. Selain menghibur tamu,
akujuga bisa menghibur diriku sendiri. Kau tahu
kan, aku suka bermain musik. Dan organ di hotel itu jenis yang paling lengkap dan keluaran
terakhir pula. Jelas sekali, aku tak mungkin bisa
membelinya. Asli dari Jepang lho. Kudengar,
harganya di atas lima puluh juta rupiah."
"Dari mana mereka mengetahui tentang dirimu, Mas?"
"Ketika mereka mencari ke sekolah-sekolah
musik, kebetulan manager hotel yang kukenal
itu berjumpa denganku. Dia tahu betul aku suka
menyanyi di zaman mahasiswa dulu. Maka begitulah, setelah ia memintaku untuk memamerkan
kebolehanku bermain musik dan menyanyi di
hadapan para pimpinan hotel, tawaran itu disodorkannya kepadaku."
Aku terdiam. Mas Bondan juga tidak berkata
apaapa lagi. Tetapi tak lama kemudian sesudah
menentukan suatu keputusan, aku berkata,
"Mas,
kalau kau memang betul-betul membutuhkan aku
untuk membantumu menyanyi, aku bersedia."
Mas Bondan menatapku dengan cermat, men
142
cari kesungguhan dari kedua belah mataku.
"Aku tidak mau memaksamu, Aster. Dan kau
juga tak boleh memaksa dirimu sendiri untuk
menyenangkan hatiku!" katanya kemudian.
"Tidak ada yang memaksaku. Diriku sendiri
pun tidak. Sebab aku berpikir, kau yang mempunyai wawasan luas saja mau menyanyi di hotel, masak aku merasa malu. Biar saja ditonton
orang. Bersamamu, siapa takut?"
M endengar perkataanku, Mas Bondan tertawa
gembira. Secara spontan, ia memeluk bahuku dan
mencium ubun-ubunku. Posisi seperti itu menyebabkan dadaku menempel ke dadanya dan pipiku
menempel ke lehernya. Tercium olehku aroma
segar dari lehernya itu.
Tiba-tiba saja, tanpa kuduga sama sekali,
hatiku berdesir ketika menyadari kedekatan itu.
Bagiku, ini adalah sesuatu yang teramat aneh dan
mengagetkan diriku sendiri. Bukan saja karena
aku tak mengiranya sama sekali. Tetapi juga karena aku menganggap hal itu tak semestinya terjadi. Bahkan memalukan. Sebab bukankah Mas
Bondan itu kakakku sendiri?
143
Enam
ADA apa dengan diriku? Sungguh, aku tak
mengerti perubahan apa yang sedang terjadi di
relung batinku. Tetapi apa pun itu, aku benarbenar membencinya. Sebab perubahan yang
terjadi ini, menyangkut pandanganku terhadap
Mas Bondan yang tiba-tiba berubah akhir-akhir
ini.
Mula-mula, aku menyangka desir hatiku ketika berada dalam pelukannya itu bukan diakibatkan sesuatu yang serius. Bahkan mungkin saja
itu cuma bersifat fisiologis, sesuatu yang bersifat
manusiawi. Dan meskipun aku marah pada diriku sendiri dan malu karenanya, aku menganggap
itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan. Dan
tak akan terulang lagi.
Tetapi ketika kami berdua sudah mulai menyanyi bersama di sebuah hotel berbintang empat
dan mendapat pujian di sana-sini, aku memiliki
semacam keterikatan batin pada Mas Bondan
yang rasa-rasanya tidak lagi bersifat kekeluargaan atau persaudaraan sebagaimana yang terjadi
selama ini. Kehangatan hati yang kurasakan jika
bersamanya, sudah lain sifatnya. Sekarang, ada
semacam gairah yang manyala dalam hatiku set
144
E-Booh by syauqy_arr
iap kali melihat kehadirannya. Bagiku, ini suatu
malapetaka.
Aku bukan anak kecil lagi. Dalam sejarah
kehidupanku sebagai gadis remaja, kemudian
menjadi gadis dewasa, jatuh cinta bukanlah sesuatu yang asing. Sebelum aku berpacaran dengan
Mas Arya, aku pernah dua kali berpacaran. Yang
pertama memang masih berbau cinta remaj a atau
malah boleh dibilang cinta monyet karena ketika
itu terjadi, aku masih duduk di awal SMA. Yang
kedua, sudah bisa dikatakan memang itulah cinta
walaupun yang kami lakukan cuma sebatas nonton dan jalan-jalan bersama. Paling banter, mencuri-curi ciuman di ruang-ruang kuliah yang kosong. Itu pun kami lakukan dengan canggung dan
terburu-buru, karena takut kalau-kalau ada orang
yang melihat kebersamaan kami. Lalu hubungan
cinta itu putus begitu saja ketika akhirnya aku
menyadari bahwa perasaanku kepada pacarku
itu semakin lama semakin tawar. Oleh karena itu
ketika ada gadis lain yang mencoba-coba meraih
perhatiannya, aku ikut mendorong terjadinya
hubungan baru di antara mereka.
Yang ketiga adalah hubungan cintaku dengan
Mas Arya. Baru dengan lelaki itulah kualami percintaan yang sebenarnya. Tiga tahun kami menjalin hubungan yang manis sampai akhirnya ia
menikah dengan gadis lain.
Singkat kata, mengalami getar cinta dalam
hati terhadap seorang pemuda bukanlah hal baru.
Karenanya aku merasa takut setengah mati keti
145
ka kusadari pandangan dan perasaanku terhadap
Mas Bondan yang selama ini hanya bersifat persaudaraan mulai mengalami pergeseran. Sebab
rasa-rasanya, aku mulai menaruh hati kepada
kakak sepupu angkatku. Itulah sebabnya mengapa hal ini kuanggap sebagai suatu malapetaka.
Namun terlepas dari semua itu, perubahan
yang sedang terjadi di dalam hatiku itu benar-benar kuanggap aneh. Bahkan mustahil rasanya.
Sebab menurut pengalamanku yang sudah-sudah, cinta itu datang bersamaan dengan kehadiran orangnya. Artinya, perasaan dekat itu sudah
muncul di awal-awal perkenalan kami. Sepasang
muda-mudi tiba-tiba merasa cocok dan akhirnya
berlanjut ke arah percintaan, apa pun kadar atau
mutu hubungan yang disebut percintaan itu.
Tetapi tidak demikian halnya dengan perasaanku terhadap Mas Bondan. Aku mengenal lelaki itu sudah sejak masih kecil sekali. Bahkan
bagiku, dia adalah kakak lelakiku. Tak masuk di
akal kalau sekarang ini ada yang berubah di hatiku. Dan itulah sebenarnya yang membuat perasaanku tersiksa.
Satu-satunya yang masih bisa mengurangi
perasaan malu dan rasa tertekan itu adalah munculnya pemikiran yang lebih mendalam mengenai perubahan hatiku yang sedang terjadi saat
ini. Pemikiran tersebut mengatakan bahwa perubahan perasaanku terhadap Mas Bondan ini dilandasi kondisiku yang sedang labil. Tatkala aku
ditinggalkan oleh Mas Arya, Mas Bondan-lah
146
yang membantuku untuk tetap tegar dan mengarahkan perhatianku kepada hal-hal lain terutama
pada musik. Ketika aku merasa tercampak, dialah
yang mengembalikan harga diriku yang sempat
terpuruk. Dengan begitu, timbullah kedekatan
khusus dalam hatiku terhadapnya. Bagiku ia bukan sekadar pahlawan hati tetapi lebih dari itu.
Ia telah mendorongku untuk menghargai diriku
sendiri dan menyadarkan diriku sebagai manusia
bermartabat.
ltu pemikiran lainku yang pertama. Analisaku yang kedua adalah terjadinya semacam perpindahan perasaan cintaku dari Mas Arya yang
kini kuanggap tak berharga, kepada Mas Bondan
yang menempati nilai tinggi di dalam batinku.
Ketika menyaksikan perkawinan Mas Arya, aku
sadar bahwa ikatan yang masih tersisa di antara
diriku dengannya telah terenggut putus sama sekali. Dan dalam keadaan limbung tanpa pegangan seperti itu kuraihlah tangan orang yang saat
itu berada paling dekat di hatiku. Dan orang itu
adalah Mas Bondan.
Entah benar entah salah analisisku itu, yang
pasti aku tak lagi merasa ragu ketika diajak Mas
Bondan untuk bernyanyi di bawah tatapan orang
banyak. Sebab yang kurasakan saat aku menyanyi itu, hanyalah kebersamaanku dengan Mas
Bondan dan keserasian yang ada di antara kami
berdua.
Selama ini aku cuma tahu bahwa suaraku
tergolong dalam kategori hanya lumayan. Teta
147
pi bahwa ternyata suaraku bisa terdengar" bagus ketika menyanyi dengan iringan musik dan
keluar melalui mikrofon, aku benar-benar baru
menyadarinya sekarang. Apalagi ketika berulang
kali aku menangkap kata-kata pujian dan tepuk
tangan meriah dari para pengunjung tatkala aku
sedang melantunkan lagu. Lebih-lebih lagi waktu
aku berduet dengan Mas Bondan sementara dia
memainkan organ dengan jemarinya yang lincah
itu. Kami berulang kali menerima aplaus.
Senang rasanya mendapat penghargaan seperti itu. Tetapi bukan karena penghargaan itu sendiri yang membuat hatiku menjadi senang. Melainkan karena kebersamaanku dengan Mas Bondan
telah menyadarkan diriku bahwa kami berdua
merupakan satu persekutuan yang harmonis.
"Tampaknya kau sudah mulai bisa merasakan
senangnya menjadi seorang penyanyi, ya," komentar Mas Bondan di suatu malam setelah kami
berdua baru saja menyanyikan lagi lagu Gaun
Biru ciptaannya. Saat itu kami sedang beristirahat sejenak sambil minum secangkir cokelat susu
hangat. Mata lelaki itu mengandung tawa ketika
menatapku dan menunggujawaban dari mulutku.
"Ya. Aku baru tahu bahwa menjadi penyanyi
di hotel tidaklah sejelek yang kusangka. Bahkan
ternyata bisa menyenangkan," aku tersenyum,
menjawab pertanyaannya.
"Apalagi menyanyi
bersamamu, Mas!"
"Memangnya kenapa kalau menyanyi bersamaku?"
148
"Suaraer yang bagus itu menutupi suaraku yang pas-pasan. Dan permainan organmu
memang sudah sepantasnya diberi acungan jempol. Aku bangga bisa menyanyi bersamamu!"
Mas Bondan tertawa.
"Kau selalu saja memandang orang lain terlalu tinggi. Kapan sih kau bisa menghargai dirimu sendiri?" tegurnya setelah tawanya lenyap.
"Ketahuilah, Aster, rendah hati itu sangat terpuji.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi merendahkan diri sendiri di luar kenyataan
sebenarnya,jangan sekali-kali itu kaulakukan!"
"Bagaimana kalau yang ada padaku itu bukan
keduanya, Mas?"
"Maksudmu?"
"Aku tidak rendah hati juga tidak rendah diri !"
"Lalu...?"
"Yang kumiliki ini adalah pengertian dan kesadaran akan ukuranku sendiri!" Aku tertawa lembut.
"Jadi ya memang cuma segini inilah kemampuanku. Dan aku menerima itu sebagai bagian
dari diriku. Tanpa rasa kecewa. Tanpa iri kepada
mereka yang memiliki lebih. Tanpa rasa rendah
diri."
"Aku mengerti itu, Aster. Tetapi kau telah
melupakan satu hal!"
"Apa itu?"
"Bahwa sering kali, seseorang tidak bisa mengukur dirinya sendiri sehingga keliru mengukurnya. Dengan kata yang lebih jelas, orang lainlah yang dapat mengukurmu secara lebih baik.
Setidaknya dalam hal-hal tertentu. Maka, kalau
149
para pengunjung di tempat ini memuji suaramu,
itu artinya memang suaramu patut dipuji. Oke?"
Mas Bondan tersenyum manis kepadaku.
"Aku
tak mau mendengar bantahanmu lagi, Aster. Nah
sekarang ayolah, sudah saatnya kita memulai
pertunjukan kembali."
Kuanggukkan kepalaku. Kami pun mulai
menyanyi lagi. Hatiku senang, merasa lebih yakin atas kemampuanku menyanyi setelah mendengar kata-kata Mas Bondan tadi. Kuakui, sudah
sejak masa kecilku dulu lelaki itu mempunyai
pengaruh besar terhadap diriku.
Ketika lagu yang baru kunyanyikan berakhir
dan giliran Mas Bondan menyanyi solo dengan
iringan permainan organnya sendiri, aku melihat
Mbak Astri datang bersama kedua orangtuanya.
Ini bukanlah kebiasaan mereka.
Melihat kehadirannya yang tak terduga itu,
perasaanku menjadi kacau dengan tiba-tiba. Sejak Mbak Astri ikut mendampingiku ketika aku
menghadiri resepsi perkawinan Mas Arya, baru
sekarang aku melihatnya kembali. Dan sekaligus
mengingatkan pada diriku bahwa gadis itu adalah kekasih Mas Bondan. Atau dengan perkataan
yang lebih jelas, Mas Bondan sudah ada yang punya. Dia mempunyai seorang kekasih yang tak
lama lagi akan menjadi istrinya. Dan sang kekasih itulah yang sekarang hadir di ruangan ini.
Karena tidak sedang menyanyi, aku menghampiri ketiga orang yang baru datang itu. Kutunggu sampai ketiganya menempati kursi yang
150
ditarikkan oleh seorang r-vcriler.
"Selamat malam, Oom dan Tante," sapaku
kepada mereka.
"Selamat malam, Mbak Astri.
Tumben datang ke sini?"
"Kami baru saja mengunjungi keluarga dekat
yang sudah lama tidak berjumpa, Aster!" ibu
Mbak Astri yang menjawab.
"Kebetulan rumahnya tak jauh dari hotel ini. Jadi kami mampir untuk melihat pertunjukan kalian. Sekalian ingin
mencicipi makan malam di sini."
"Sekali-sekali merasakan kemewahan, tak
apa, kan, Dik Aster!" Mbak Astri menyela sambil
tertawa renyah.
"Apalagi sambil memandang Arjuna-nyal"
sambung ayah Mbak Astri.
Kami berempat tertawa. Tetapi karena tawaku tidak tulus dan bahkan terpaksa kulakukan,
aku merasa malu kepada diriku sendiri. Sebab
alangkah jahatnya aku, berani-beraninya menaruh perasaan khusus kepada lelaki yang sudah
mempunyai seorang kekasih. Apalagi, kekasih
lelaki itu sangat manis dan baik hati. Merasa tak
enak, aku tak ingin berlamalama di dekat Mbak
Astri. Karenanya lekas-lekas kucari alasan yang
paling bisa diterima.
"Maaf, saya tak bisa menemani Oom dan
Tante duduk di sini. Tugas belum selesai dan
saya harus kembali ke depan," dalihku agar dapat
meninggalkan mereka. Lega hatiku ketika meli
hat r-r'uiter tadi sedang menyerahkan kartu menu.
"Maafkan aku, ya, Mbak Astri."
151
"Silakan, Dik Aster."
"Silakan, silakan, Aster." Kedua orangtuanya
menyambung.
Hatiku semakin lega ketika menyaksikan ketiga orang itu mulai mengalihkan perhatian ke
kartu menu yang sedang mereka hadapi. Namun
ketika giliranku menyanyi tiba lagi, perasaan
tertekan tadi muncul kembali. Untuk menyingkirkan perasaan tertekan yang kurasakan itu, kuhayati kata demi kata syairnya dengan sepenuh
hatiku. Dan kusenandungkan lagunya dengan
sepenuh penjiwaanku.
Tak kusangka, selesai menyanyi aku mendapat tepuk tangan yang meriah. Aku sampai tersipu-sipu karenanya. Untuk tidak terlalu kelihatan bagaimana salah tingkahnya aku ketika itu,
aku berbisik ke telinga Mas Bondan.
"Mas, setelah ini temuilah Mbak Astri di mejanya!" kataku mengingatkan lelaki itu.
"Jauhjauh dia datang untuk melihatmu lho."
"Lalu tugasku di sini kutinggalkan?" Mas
Bondan menaikkan kedua alis matanya.
"Ya," kujawab pertanyaannya itu dengan tegas.
"Dan aku yang akan mengambil alih tugasmu!"
"Mengambil alih tugasku bermain organ?"
Mas Bondan menatapku, agak heran.
"Berani?"
"Ya. Siapa takut, Mas?" Memang benarlah
itu. Siapa yang takut? Daripada perasaanku tertekan, lebih baik aku mencari kesibukan untuk
melupakannya, bukan?
152
"Aku senang mendengar kepercayaan dirimu.
Tetapi pilihlah lagu-lagu yang romantis ya, Non.
Lagu-lagu semacam itu akan lebih enak didengar
di tempat ini." Mas Bondan tertawa mendengar
jawabanku tadi.
"Oke?"
"Setuju. Apalagi itu sesuai dengan suasana
hatimu. Siapa sih yang tidak bahagia dikunjungi
kekasih tanpa rencana sebelumnya?"
Mas Bondan tersenyum mendengar godaanku. Tetapi ia tidak menanggapinya. Setelah memberikan bangku organ yang tadi ia duduki kepadaku, dengan langkah lebar-lebar Mas Bondan
mendekati Mbak Astri. Agar tidak memperhatikan pertemuan lelaki itu dengan sang kekasih,
eepat-cepat aku mencurahkan perhatianku kepada benda yang ada di hadapanku.
Bermain organ dan piano bukan hal baru bagiku. Di rumah orangtuaku, kedua alat musik itu
ada. Meskipun bukan jenis yang paling top, tetapi keduanya termasuk yang berkualitas. Ibuku
mempunyai pendapat yang agak unik. Baginya,
lebih baik perabot rumah tangganya termasuk
barang yang biasa-biasa saja asalkan ada piano
dan organ yang bagus di rumahnya. Begitu pun
halnya dengan Bapak. Lebih baik mempunyai
perangkat sound system yang lengkap dan bagus untuk tapedeck dan C D player-nya daripada
membeli barang-barang lain.
Jadi boleh dikata aku sudah terbiasa memainkan kedua jenis alat musik itu. Aku juga mampu memainkan lagu jenis apa pun. Sejak. bayi,
153
telingaku sudah terbiasa mendengar berbagai
macam jenis musik dan lagu. Dari gending-gending gamelan Jawa, Iagu-lagu Melayu, jaz, sampai lagu-lagu klasik. Dan sudah sejak kecil pula,
aku belajar bermain musik meskipun barangkali bakatku tidak sebesar yang dimiliki keluarga
kedua orangtua angkatku. Kekurangan bakat itu
telah ditunjang dengan ketekunan dan kecintaanku terhadap musik, sehingga bolehlah aku berbangga hati mengenai kemampuanku di bidang
musik.
Demikianlah ketika organ berpindah ke tanganku, aku pun mulai memainkan lagu-lagu
manis dengan berbagai macam irama yang kukenal. Seperti bosanova, irama latin, waltz, dan sebagainya. Pada akhir permainan, aku mencoba
memainkan lagu keroncong. Pikirku, biar komplit sekalian.
Mungkin memang aku sedang mujur atau
entah karena para pengunjung hotel itu sedang
senang hatinya, aku mendapat aplaus lagi setelah
kuakhiri permainanku. Lebih meriah daripada
yang diberikan orang-orang itu kepada Mas Bondan. Padahal aku yakin sekali, permainan Mas
Bondan jauh melebihi kemampuanku. Tangan lelaki itu seperti sudah menyatu dengan alat musik
yang dipegangnya. Entah itu organ, piano, ataupun gitar.
"Telinga mereka maaf... seleranya agak rendah, ya ?" bisikku kepada Mas Bondan ketika
lelaki itu sudah duduk kembali ke tempatnya.
154
"Kenapa?"
"Dibanding permainanmu, apa yang kumainkan tadi kan biasa-biasa saja. Tetapi kok tepuk
tangan mereka meriah sekali!"
Mas Bondan tertawa mendengar perkataanku.
"itu karena mereka tidak menyangka bahwa
kau pun pandai bermain organ," katanya kemudian.
"Jadi, mereka mengagumi keserbabisaanmu."
"Gombal!" Aku nyengir.
"Yang serbabisa itu
kau, Mas!"
"Sst, jangan ngomel. Akuilah, kita berdua
yang serbabisa. Bukan hanya aku atau kau saja.
Nah, puas mendengar pengakuan ini?"
Aku tertawa. Kucubit lengannya dengan
perasaan gemas.
"Sombong!" desisku kemudian.
Mas Bondan menjawab perkataanku dengan memainkan lagi lagu Gaun Biru, kemudian
memberi isyarat padaku agar aku melantunkan
syairnya. Aku menganggukkan kepala sambil melirik arloji. Memang sudah saatnya kami
menghentikan permainan kami. Sekarang sudah
jam sepuluh lewat. Tugas kami kalau bukan hari
libur, hanya sampai jam sepuluh. Dan sudah beberapa saat lamanya, Mas Bondan mempunyai
kebiasaan untuk mengawali tugas kami dengan
lagu Gaun Biru dan mengakhirinya dengan lagu
yang sama. Katanya, agar para pengunjung terbiasa mendengar lagu baru itu. Sebab katanya pula,
hanya di tempat inilah lagu itu bisa dinikmati
orang.
155
Dalam perjalanan pulang kali itu, aku lebih
banyak berdiam diri. Perasaan tertekan dan tak
enak tadi masih saja menggangguku. Apalagi
ketika dengan mata kepalaku aku melihat Mas
Bondan mencium pipi MbakAstri waktu mereka
berpisah tadi. Rasanya, sekarang ini aku seperti
kembali sedang memegang tali rapuh. Tali yang
sewaktu-waktu akan putus terenggut, seperti
rapuhnya tali pengikat yang pernah menghubungkan diriku dengan Mas Arya sebelum lelaki itu
menikah.
"Kok sejak. tadi diam saja sih?" tanya Mas
Bondan setelah sekian lama aku tidak juga bersuara.
"Tumben."
"Mengantuk, Mas...." sahutku berdalih.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hari ini sambutan pengunjung memang
lebih meriah daripada yang sudah-sudah!" kata
Mas Bondan.
"Rupanya kau belum juga terbiasa
menghadapi itu semua. Letih, ya?"
"Ya.
" aku asal menjawab.
"Kalau begitu, tidurlah. Lumayan, perjalanan
kita masih panjang. Setengah jam tidur, bisa mengurangi rasa letihmu itu," Mas Bondan berkata
lagi dengan manisnya.
"Aku akan mengemudi
dengan hati-hati."
"Terima kasih."
Ya Tuhan, mudah-mudahan Mas Bondan
tidak mendengar getar dalam suaraku. Getar yang
mewarnai kepedihan hatiku itujangan sampai ia
dengar. Dia juga tidak boleh tahu bahwa begitu
aku mendengar perhatiannya yang sedemikian
156
manisnya itu hatiku seperti disayat-sayat. Sebab
kehadiran Mbak Astri tadi telah menyadarkan
diriku bahwa kehangatan, kedekatan, perhatian,
dan kemanisan yang kuterima dari Mas Bondan
seperti yang baru saja kurasakan, akan segera berakhir. Setidaknya, tak akan lagi bisa kunikmati
dengan bebas seperti sekarang.
Seolah masih belum cukup kesedihan yang
kurasakan malam ini, telepon berdering ketika
aku baru saja tiba di rumah dan sedang melangkah menuju ke kamar. Karena jarak meja telepon
dengan tempatku berjalan itu cuma sejangkawan
tangan, terpaksalah aku yang mengangkatnya
meskipun aku ingin segera menyendiri di kamar.
"Halo...?" dengan enggan, kusahuti panggilan
itu.
"Aduh, senangnya hatiku!" Itu suara Mas
Arya.
"Ternyata kau sendiri yang mengangkat
teleponku ini."
Ingin sekali aku membanting gagang telepon
begitu mendengar suara yang paling tak kuinginkan itu. Tetapi demi sopan-santun, terpaksalah
keinginan itu kukekang.
"Mas Ary, ya?" tanyaku pura-pura.
"Memangnya suara siapa lagi yang seperti
ini, Aster?" Kudengar tawa lembut yang pernah
memabukkan hatiku itu.
"Apa kabar?"
"Baik," aku menjawab pendek.
"Dari mana kau, Aster? Dua kali aku tadi meneleponmu, tetapi Bik Popon yang menerimanya!" Kudengar suara Mas Arya lagi.
"Katanya,
157
kau pergi dengan Mas Bondan, ya?"
"Ya."
"Ke mana?" Aduh, tak ingatkah Mas Arya
bahwa ia sudah tak sepantasnya lagi bertanya
seperti itu kepadaku.
"Jalan-jalan...." dustaku.
"Tetapi kata Bik Popon kalian berdua bekerja
di hotel. Betul, ya?"
Ah, Bik Poponl
"Oh, itu!" kujawab pertanyaan itu dengan
nada seakan yang sedang kami bicarakan itu bukan sesuatu yang penting.
"Yah, begitulah..."
"Apa yang kalian kerjakan?"
"Yah, membantu-bantu bagian administrasinya," dustaku lagi.
"Malam-malam begini?"
"Habis, sempatnya malam hari kok!"
"Tetapi kata Bik Popon, kalian berdua bermain musik dan menyanyi!" Kudengar nada
tuduhan dalam suara Mas Arya.
"Kurasa, apa
yang dikatakannya itu lebih masuk akal daripada
jawabanmu tadi."
Ah, Bik Popon. Aku mengeluh lagi, menyesali kejujuran Bik Popon.
"Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?" aku
mulai memperdengarkan rasajengkel.
"Aku cuma ingin mendengar ceritamu saja
kok, Aster. Jangan tersinggung. Aku kangen sekali kepadamu..."
"Kau tidak boleh bicara seperti itu kepadaku,
Mas Ary!" kataku memotong.
158
"Oke, kalau memang tidak boleh bicara tentang rasa kangenku padamu. Tetapi bagaimana
ya, Aster, sampai detik ini aku masih saja tak
mampu menghilangkan dirimu dari hatiku. Bahkan semakin besar usahaku, semakin kuat pula
kau tertanam di lubuk..."
"Cukup, Mas Ary. Aku tak mau mendengar
katakata yang sudah tak ada relevansinya dengan masa sekarang ini!" aku memotong lagi perkataan Mas Arya. Ah, lama-kelamaan laki-laki
itu menjemukan. Ataukah pendapatku itu karena
adanya perubahan dalam hatiku?
"Baik, baik...." kudengar Mas Arya berkata
cepateepat, takut kalau-kalau aku akan memutuskan pembicaraan.
"Kembali ke soal pekerjaanmu, di hotel mana kau dan Mas Bondan bermain
musik?"
"Wah, hotel apa ya namanya... aku kok lupa!"
untuk ke sekian kalinya aku berdusta lagi.
"Maklum, aku cuma mengekor Mas Bondan kok."
"Bik Popon mengatakan nama hotel itu Hotel Kapistol.
" Mas Arya tertawa. Tawa lembut
yang juga pernah membuatku mabuk kepayang.
"Pasti yang dia maksud, Hotel Capitol yang belum lama diresmikan itu. Benar, kan?"
Ah, Bik Popon. Lagi-lagi dia yang membocorkan rahasia. Tetapi yah, perempuan itu terlalu
polos untuk menyembunyikan apa yang sebaiknya tak usah dibicarakan dengan orang luar.
Bukankah Mas Arya sekarang sudah termasuk
orang luar?
159
"Kalau sudah tahu kenapa bertanya?" sekarang aku mulai memperdengarkan nada marah
dalam suaraku.
Perasaanku sedang tertekan. Mendengar suara
Mas Arya saja sudah semakin menambah beratnya tekanan batinku. Apalagi dengan pembicaraan
yang tak menyenangkan begini. Ingin sekali aku
berteriak keraskeras di telinganya, mengatakan
padanya bahwa aku ingin segera menyendiri di
kamar dan tak ingin diganggu. Apalagi diganggu
olehnya.
"Aster, kedengarannya kau tak suka kutelepon, ya...?"
"Aku sedang letih, Mas. Sejak berangkat ke
kantor pagi tadi, aku belum sempat beristirahat!"
"Oh, maaf kalau begitu," aku mendengar lagi
suara lembut dan manis itu. Suatu kelembutan
dan kemanisan yang juga pernah membuatku tergila-gila kepadanya.
"Lain kali aku akan meneleponmu lagi. Sekarang beristirahatlah, Sayang..."
Kuletakkan gagang telepon kembali dengan perasaan muak. Rasa muak yang juga pernah kurasakan terhadap orang yang sama itu.
"Sayang",
"sayang"... memangnya aku ini apanya? Memangnya dia itu apaku?
"Siapa yang meneleponmu malam-malam
begini, Aster?" terdengar suara Mas Bondan di
belakangku.
Aku menoleh. Kulihat, lelaki itu berdiri di
ambang pintu kamarnya.
"Oh, telepon dari teman lamaku..." Aku tak
160
mau mengakui kenyataan sebenarnya.
"Teman lama atau kekasih lama...?"
"Sudah tahu kok bertanya!" Perkataan dan
kemarahan yang sama, kulontarkan kepada lelaki
lain. Kepada Mas Bondan. Selesai berkata seperti
itu, dengan langkah lebar-lebar aku segera masuk
ke dalam kamarku.
Tetapi baru saja aku mau menutup pintu
kamar, Mas Bondan mendorong pintu itu sehingga terbuka kembali. Kemudian lelaki itu
menyelinap masuk ke kamarku.
"Aster, kalau ada sesuatu yang mengganggu
perasaanmu, selesaikanlah lebih dulu sebelum
kau masuk ke kamar tidur!" katanya dengan suara
tegas.
"Jangan kau bawa itu ke dalam mimpimu!"
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Naga Merah Karya Khu Lung Love Latte Karya Phoebe
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama