Ceritasilat Novel Online

Gaun Sutra Warna Biru 3

Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 3



"Aduh, Mas, kok sekarang kau bisa menjadi

peramal sih!" sahutku dengan suara pedas.

"Siapa bilang pikiranku sedang terganggu?"

Mas Bondan tidak segera menjawab perkataanku. Matanya menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Lepaskan kemarahanmu, Aster. Aku tak

peduli!" katanya lama kemudian.

"Tetapi jangan

mengelak dari kenyataan. Aku tahu betul, kau sedang tertekan. Di dalam mobil tadi pun aku tahu

kau hanya pura-pura tidur. Sebab tujuanmu sebenarnya adalah menghindari obrolan bersamaku."

"Kalau memang sudah tahu, ya sudah!" aku

membentak.

"Buat apa dibicarakan?"

"Ssh... jangan keras-keras, nanti Tante Pur

terbangun!" Mas Bondan menutup kembali pintu

161

kamarku sehingga kami berdua berada di dalam.

"Aster, biasanya kau tidak begini. Ada apa sebenarnya? Apa yang dikatakan Dik Ary tadi?"

Duh, ingin sekali kukatakan kepada Mas Bondan bahwa seandainya ada seribu orang seperti

Mas Ary yang rnenggangguku sekalipun, itu tak

akan membuat perasaanku tertekan seperti ini.

Tetapi yah, mana mungkin aku mengatakan kepadanya bahwa perasaan tertekan itu disebabkan karena dirinya. Bahwa aku merasa cemas

membayangkan dirinya menjadi milik Mbak

Astri, dan meninggalkanku sendirian lagi seperti

layang-layang putus di tengah badai. Lalu siapakah pahlawan hatiku nanti? Siapa pulakah yang

akan menghiburku kalau aku sedang susah nanti?

Tetapi, tidak. Aku tak akan mengatakan halhal yang pasti akan membuat Mas Bondan merasa prihatin. Karenanya, aku terpaksa berdusta.

"Dia membuatku merasa muak!"

"Memangnya, apa yang dia katakan kepadamu?"

"Pokoknya memuakkan ya memuakkan saja!"

aku membentak Mas Bondan lagi.

"Kenapa sih

kau ingin tahu urusan orang?"

Mas Bondan tidak menjawab. Matanya menatapku lagi. Kini dengan tatapan yang lebih tajam

dan lebih lama waktunya.

"Maafkanlah aku, Aster," katanya lama kemudian.

"Aku merasa malam ini pastilah aku yang

telah membuatmujengkel. Tetapi percayalah, aku

tak bermaksud demikian. Nah, apa pun dan siapa

162

pun yang telah membuat perasaanmu terganggu,

cobalah singkirkan itu dari hatimu. Aku ingin

kau tidur nyenyak malam ini sehingga besok saat

bangun pagi, kau akan merasa segar kembali dan

dapat mulai melakukan tugasmu di kantor dalam

kondisi fisik yang prima. Oke?"

Aku tertegun. Kalau saja Mas Bondan

mengimbangi kemarahanku dengan sikap yang

sama, barangkali tidak akan begini yang kurasakan. Melihat sikapnya yang terkendali dan perkataannya yang tertata, kemarahankujustru luruh

seketika. Bahkan kepedihanku ketika berada

di mobil tadi datang lagi. Lebih kuat dan lebih

menekan perasaan. Akibatnya, aku tak mampu

menahan diri lebih lama lagi. Air mataku begitu

saja mengalir ke atas pipiku.

Mas Bondan terkejut. Diraihnya tubuhku dengan lembut.

"Jangan menangis, Aster " bisiknya dengan

suara lembut.

"Jangan menangis. Sayang kalau

air matamu kau buang-buang untuk lelaki yang

tak pantas ditangisi. Sayang pula..."

Mendengar perkataannya, kurenggut tubuhku

dari pelukannya.

"Jangan menyebut-nyebut lagi namanya,

Mas!" bentakku, memotong perkataannya itu.

"Seujung kukuku pun Mas Ary sudah tak lagi

bisa membuatku menangis!"

Kulihat lewat tirai air mataku, Mas Bondan

terkejut lagi ketika mendengar perkataanku.

Lama dia menatapku nyaris tanpa berkedip se

163

hingga bola mataku yang basah itu menangkap

bola matanya yang tiba-tiba berkilau. Suasana itu

benar-benar memukauku. Dan entah siapa yang

memulainya lebih dulu dan bagaimana awal mulanya, tahu-tahu saja aku sudah berada di dalam

pelukannya.

"Maafkan sikapku yang kekanakan tadi,

Mas...." kataku dengan suara parau. Air mata semakin deras membasahi pipiku.

Mas Bondan tidak menjawab perkataanku.

Tetapi sebagai gantinya, ia membenamkan wajahnya ke dalam rambutku dan membiarkan

keadaan seperti itu terus berlangsung sampai

bermenit-menit lamanya. Ketika jam dinding di

ruang makan berbunyi dua belas kali, barulah ia

melepaskan pelukannya.

"Sudah larut malam. Sekarang beristirahatlah,

Aster," katanya. Suaranya terdengar agak parau.

"Mudah-mudahan tangismu tadi bisa mengurangi kepenuhan isi dadamu."

"Terima kasih atas... pengertianmu, Mas!"

Mas Bondan menganggukkan kepalanya,

kemudian dengan gerakan cepat dan tak terduga,

ia mencium dahiku.

"Selamat malam!" bisiknya sambil membuka

pintu kamarku dan menutupnya kembali setelah

ia menyelinap keluar dengan gesit.

Berada sendirian, aku berdiri termangu-mangu di tengah kamarku. Mengapa mata Mas Bondan tadi berkilawan? Mengapa suaranya terdengar parau? Mengapa ia membenamkan wajahnya

164

di dalam kerimbunan rambutku? Mengapa ia

mengecup dahiku? Mengapa dan mengapa ?

Ah, apakah aku yang terlalu banyak mengartikan segala sesuatu yang dilakukan Mas Bondan terhadapku ataukah memang perlakuannya

kepadaku malam ini bukan lagi perlakuan yang

diwarnai rasa persaudaraan?

Sedih sekali aku, pertanyaan seperti itu tak

ada jawabannya. Apalagi setelah berpikir lebih

lanjut, perasaanku mengatakan bahwa tidak sepantasnya pertanyaan seperti itu singgah di batinku.

165

Tujuh

"MENU barunya enak lho, Dik Aster!" Suara

Mas Tomi, atasanku, menyusup ke telinga.

Saat itu, aku sedang berdiri di depan jajaran

wadah makanan di sebuah kafeteria yang terletak

di dekat kantorku. Ada beberapa rumah makan

kecil di sekitar kantor, tetapi kafeteria yang menyajikan makanan dengan cara prasmanan seperti ini, merupakan salah satu favoritku. Siang itu

pada jam istirahat makan, aku pergi ke tempat itu

lagi bersama Linda dan Ninik, teman sekantorku.

Tetapi ternyata Mas Tomi juga datang ke tempat

yang sama.

"Menu baru apa?" tanyaku kepada lelaki itu.

"Daun pepaya muda campur daging cincang

dan telor puyuh. Entah diapakan, tetapi rasanya

sedap!" Mas Tomi menjawab pertanyaanku sambil tersenyum.

"Cobalah!"

"Yang mana, Mas?"

"Itu lho yang dekat sayur tahu!"

Agar Mas Tomi tidak mengajakku duduk semeja dengannya, eepat-cepat aku rnenyendok

oseng daun pepaya yang dikatakannya tadi.

Kemudian dengan sama cepatnya, aku mengambil sepotong rendang ayam dan tempe bacem.

166

Cocok atau tidak kombinasi makanan yang

kuambil itu, aku tidak perduli. Yang penting,

aku bisa segera tiba di meja kasir, membayarnya,

lalu menyusul Linda yang sudah duduk bersama

Ninik di meja yang terletak di ujung sana.

"Biar aku yang membayar, Dik Aster!" Tahu-tahu orang yang ingin kuhindari itu sudah ada

di belakangku.

"Terima kasih, Mas, tetapi aku sudah terlanjur mengeluarkan uang kok!" sahutku sambil

menyodorkan uang ke tangan si kasir.

"Kata ibuku, pantang memasukkan kembali uang yang sudah kita keluarkan."

"Aturan dari mana itu?" Mas Tomi tertawa.

"Aku belum pernah mendengar pamali seperti

itu!"

"Kalau begitu, sudah saatnya Mas Tomi

mendengarnya!" Tanpa menoleh, kuterima uang

kembalian dari kasir. Lalu lekas-lekas aku menyusul Linda dan Ninik.

"Kau seperti binatang buruan melarikan diri

dari calon pemangsanya!" Linda berbisik sambil

mengikik ketika aku sudah duduk di dekatnya.

"Aku tak mau dilabrak Tatik lagi!" sahutku

sambil nyengir.

"Seperti istri muda dilabrak istri tua saja. Malu aku kalau mengingat peristiwa

itu."

Linda tertawa. Nasi yang sudah ada di dalam

mulutnya hampir tersembur keluar. Terhadap

Linda yang boleh dikata termasuk salah seorang

sahabatku, aku pernah menceritakan bagaimana

167

Tatik rnelabrakku waktu itu. Dia juga tahu bahwa

aku tidak suka didekati oleh Mas Tomi.

"Apa sih yang kalian tertawakan?" Ninik

menyela. Karena gadis itu tidak tahu masalah

sebenarnya, ia tak mengerti kenapa Linda tertawa.

"Aster, bolehkah Ninik mengetahuinya?" Linda menatapku.

"Ceritakan sajalah. Toh sudah jadi rahasia

umum." Mulut Linda yang sudah terbuka tadi

tertutup kembali. Aku dan N inik tahu sebabnya.

Mas Tomi ada di dekat meja kami, berdiri menjulang sambil membawa bakinya dan menatap

kami bergantian.

"Bolehkah saya duduk bergabung?" tanyanya.

Siapa di antara kami bertiga yang berani menolak seorang kepala bagian? Jadi meskipun dengan enggan, terpaksalah tiga kepala kami mengangguk.

"Terima kasih," kata lelaki itu, dia langsung

meletakkan bakinya dan duduk di dekat kami.

Meja yang memang diperuntukkan empat orang

itu pun menjadi penuh.

Aku menahan diri untuk tidak bersuara dan

purapura sibuk dengan makananku. Demikian

juga halnya dengan Linda. Tetapi aku melihat,

kedua bola mata gadis itu berlumur tawa sehingga aku tak berani menatap dia. Sebab kalau pandang mataku sampai bertubrukan dengannya itu,

aku pasti akan tertawa.

"Bagaimana, Dik Aster, enak tidak daun pe

168

paya yang kuiklankan tadi?" Mas Tomi bertanya

kepadaku sesudah beberapa saat berlalu.

"Enak," sahutku. Apa yang kukatakan itu

memang benar. Sayur daun pepaya dengan daging cincang dan telor puyuh itu enak.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa sih yang enak?" Linda dan Ninik bertanya hampir bersamaan.

"Sayur daun pepaya ini lho!" Mas Tomi menjawab sambil menunjuk lauk yang ada di piringnya.

"Mau coba? Kuambilkan, ya?"

"Ambilkan saja, Mas!" aku yang menjawab.

Tujuanku, supaya dia meninggalkan meja kami,

biarpun itu cuma sebentar. Sebab, aku sudah

tidak mampu lagi menahan rasa geli.

"Oke." Mas Tomi berdiri lagi.

Ketika Mas Tomi sudah pergi dan mengambil

pirin g kecil untuk menyendok lauk yang merupakan menu baru kafeteria itu, Linda tak lagi dapat

menahan tawa sehingga aku mengikutinya.

"Aster ingin menghindar darinya, eeh dia malah mengekor ke sini!" kata gadis itu masih sarnbil tertawa.

Ninik ikut tertawa meskipun aku yakin dia

tidak tahu persis apa yang aku dan Linda sedang

tertawakan itu. Dan itu terbukti dari pertanyaannya.

"Dari pembicaraan yang kutangkap di antara

kalian berdua, aku mendapat kesan bahwa Mas

Tomi bukanlah kekasih Aster sebagaimana yang

selama ini kusangka." katanya.

"Benarkah?"

"Benar sekali, Nik."

169

"Sekarang aku mulai mengerti sedikit mengenai apa yang kalian bicarakan dan tertawakan

tadi!"

"Baguslah kalau begitu. Nanti kalau Mas

Tomi memisahkan diri sesudah makan ini, Linda akan menceritakan kebenarannya secara lebih

jelas!" kataku.

"Sebaiknya kau sendiri sajalah yang menceritakannya, Aster. Lebih akurat!"

"Oke." Suaraku terhenti. Sebab pandang mataku tiba-tiba saja menangkap sosok tubuh Tatik,

sedang makan di salah satu meja yang letaknya

tak jauh dari mejaku. Matanya menatap tajam ke

arahku. Kualihkan pandang mataku ke tempat

lain, menghindari benturan tatap mata kami.

Dengan seketika, timbul perasaan muak dalam diriku. Bukan muak terhadap Tatik, melainkan terhadap semua hal yang menyangkut Mas

Tomi dan gadis itu. Semestinya, aku tak terlibat

di dalam persoalan mereka. Sebab, aku bukan

kekasih Mas Tomi. Bahkan menaruh perasaan

tertentu kepadanya saja pun tidak.

Ketika Mas Tomi kembali ke mejaku dengan

membawa sepiring kecil lauk daun pepaya, pandang mataku melayang lagi kepada Tatik. Kali ini

pandang mata kami kubiarkan berbenturan. Dan

kulihat, pandang matanya yang tajam kepadaku

tadi sudah berubah seperti nyala api. Rasa-rasanya kalau mata itu merupakan api yang berkobar,

aku pasti sedang dipanggangnya hidup-hidup.

Membayangkan dipanggang seperti itu aku

170

tak mau mengalah. Pandang matanya kubalas

dengan sama tajamnya, sampai ketika ia terpaksa mengalihkan pandang mata ke tempat lain.

Teman semejanya mengajak dia bicara.

Setelah itu dengan selera yang patah, aku

mencoba menelan seluruh isi piringku. Pada saat

seperti itu, tiba-tiba saja aku ingin mengakhiri

rasa muak yang semakin menyebar dalam batinku. Pertama-tama tentu saja, aku harus mencabut

penyebab utamanya. Yaitu menjauhkan diriku

dari Mas Tomi dan Tatik. Dan satu-satunya cara

untuk melakukan itu, aku harus pindah kerja

meskipun aku tahu hal itu tidak mudah. Di zaman seperti sekarang ini, mencari pekerjaan sangat

sulit. Apalagi yang cocok dengan latar belakang

pengetahuan yang dimiliki.

Selesai makan, aku memberi isyarat kepada Linda, mengajaknya pergi. Syukur, gadis itu

memahami perasaanku.

"Maaf, Mas Tomi, kami masih ada urusan

lain," katanya.

"Jadi, kami pergi duluan."

"Ya, Mas. Waktunya mepet nih!" sambungku sambil mencoba mengukir senyum di bibir.

"Kami tak mau korupsi waktu, jadi harus cepat-cepat pergi."

"Perlu kuantar dengan mobilku biar cepat

sampai ke kantor kembali?"

"Tak perlu, Mas. Terima kasih," aku menjawab cepat-cepat, nyaris tak sempat bernapas.

Di dalam lift menuju ke tempat pekerjaan

kami, Linda tertawa.

171

"Memangnya kita mau mengurus apa sih?"

katanya kemudian.

"Seperti orang penting saja."

"Lho, kan aku harus mengurus diri sendiri supaya tidak terlibat urusan yang tak menyenangkan!" sahutku sambil menyeringai.

"Karena ada Mbak Tatik tadi, ya?" tanya

Ninik.

"Oh, ada dia Io?" Linda menyela.

"Ya. Kau tidak melihatnya?" Aku ganti tertawa.

"Padahal, matanya seperti api yang berkobar-kobar siap membakarku."

Kami bertiga pun tertawa. Kemudian, kepada Ninik kuceritakan sedikit apa yang sebetulnya

terjadi di antara diriku dengan Mas Tomi dan apa

kaitannya dengan Tatik.

"Kalau memikirkan keruwetan yang terjadi,

apalagi kalau itu dijadikan bahan omongan orang

banyak, ingin sekali aku keluar dari pekerjaanku

di sini," kataku mengakhiri ceritaku.

"Capek lho

terus-menerus menghindari kedua orang itu. Terlebih dengan sikap yang harus tetap santun."

"Hanya karena masalah sepele begitu masak

kau harus mengorbankan pekerjaan, Aster!" komentar Ninik.

Aku terdiam sesaat lamanya. Memang benar,

itu hanya masalah sepele. Tetapi karena hatiku

sedang resah, terutama setiap kali memikirkan

Mas Bondan dan Mbak Astri, masalah yang kelihatannya sepele itu terasa berat bagiku. Apalagi

aku mulai menyadari sesuatu. Tampaknya aku

selalujadi outsider yang sial dalam suatu hubun

172

gan yang ada unsur cintanya. Tidak hanya dalam

hubunganku dengan Mas Arya, tetapi juga dalam

hubungan Mas Bondan dengan Mbak Astri. Dan

sekarang, dalam hubungan antara Mas Tomi dengan Tatik. Aku sudah lelah menghadapi persoalan semacam itu. Rasanya memang lebih baik

kalau aku keluar dari pekerjaanku yang sekarang.

Tetapi tampaknya Linda dan Ninik tidak setuju.

"Mudah-mudahan bicaramu itu hanya omongan orang yang lagi sebal," kata Linda, menyambung perkataan Ninik yang senada tadi.

"Yah, mungkin kalian benar...." akhirnya aku

harus mengaku.

Tetapi ketika kemudian kami berpisah, mereka berdua ke ruang kerja masing-masing dan aku

masuk ke kamar kecil, keinginan untuk pindah

kerja itu mulai lagi muncul di kepala. Penyebabnya adalah salah satu sumber keresahanku

selama ini. Tatik. Rupanya, dia sengaja mencari

kesempatan untuk mendekatiku tanpa kehadiran

orang lain. Ketika melihatku meninggalkan kafeteria, diajuga segera pergi. Jam istirahat masih

dua puluh menit lagi. Dia tahu aku hanya akan

sendirian di ruang kerjaku. Linda dan Ninik tidak

bekerja di ruang yang sama denganku.

Ketika aku keluar dari salah satu WC di toilet, kulihat Tatik ada di tempat itu sedang sibuk

membetulkan rias wajah. Melalui cermin, aku

tahu betul apa yang ia lakukan itu hanya pura-pura. Nyatanya begitu aku muncul dari WC, ia

membalikkan tubuh.

173

"Kau itu perempuan murahan. Perempuan gatal!" semburnya.

"Apa maksudmu?" Mataku menyorot tajam

ke arah perempuan itu.

"Aku yang harus bertanya kepadamu. Apa

maksudmu pamer di depan orang banyak, seolah

Mas Tomi itu milikmu? Mau memanas-manasi

hatiku, ya? Dasar perempuan murahan. Perempuan gatal."

Satu kali disebut sebagai perempuan murahan dan perempuan gatal saja pun aku merasa

itu sudah lebih dari cukup. Sekarang hanya dalam waktu tak kurang dari dua menit, perkataan

sekasar itu dilontarkan orang kepadaku. Aku tak

tahan lagi. Ini sudah suatu penghinaan. Apalagi

penghinaan yang tak berdasar. Karenanya kujawab penghinaan itu dengan tamparan tanganku

ke pipinya. Lebih baik mendahului menampar

daripada ditampar, bukan? Sikap Tatikjelas terlihat seperti singa yang siap menerkam musuhnya.

"Mengacalah, bercerminlah!" bentakku sambil melangkah menuju ke pintu keluar.

"Siapa sih

yang sesungguhnya perempuan murahan dan perempuan gatal itu. Aku atau kau? Jadi, jaga baikbaik mulutmu. Jangan sembarangan mengoceh."

Tatik membalas tamparanku dengan mengejarku dan berdiri di muka pintu. Keinginanku untuk meninggalkan tempat itu terhalang karenanya. Apalagi tangan perempuan itu menjulur ke

mukaku. Tetapi siapa yang sudi dicakar jari-jari

berkuku panjang meski betapapun indah bentuk

174

kukunya itu?

Tangan Tatik kutangkap sambil mengelakkan

muka, kemudian kupuntir. Begitu pun tangan satunya yang menyusul menuju wajahku, kupelintir.

"Jangan suka mencakar orang kalau kau tak

ingin dicakar!" bentakku kemudian.

"Dan jangan

suka berpikiran negatif terhadap apa saja yang

kausaksikan."

"Kau perempuan "

"Diam!" untuk ketiga kalinya aku membentak

lagi, memotong perkataannya yang belum selesai itu. Tak kupedulikan wajahnya yang meringis

menahan sakit akibat pelintiranku.

"Dan dengarkan perkataanku baik-baik. Ambil Mas Tomi-mu

itu kapan saja kau mau. Aku tak sudi. Jelas?"

Selesai berkata seperti itu, kedua belah tangannya kulepas. Lalu dengan seluruh tenagaku,

kudorong tubuhnya menyingkir dari depan pintu

sehingga aku dapat keluar dari toilet. Untunglah

hari itu aku memakai sepatu bertumit rendah sementara Tatik sebagaimana biasanya memakai

sepatu bertumit tinggi. Dan karenanya berdiriku lebih kokoh sehingga tak sulit bagiku untuk

menangkap tangannya dan mendorong tubuhnya.

Dengan perasaan baur, antara rasa puas dapat mengalahkan Tatik dan rasa muak yang mulai

datang kembali memenuhi seluruh rongga dada,

aku kembali ke meja kerjaku. Untunglah, sudah

ada Mbak Asih di tempat itu. Kalau ada orang

lain, Tatik tak berani membuat ulah. ia tahu, aku

berada di atas angin. Sebab, di hati kecilnya ia

175

juga tahu bahwa aku tidak berbohong mengenai

hubunganku dengan Mas Tomi. Dia saja yang karena rasa putus asa, lalu mau mencari gara-gara

demi melampiaskan rasa kecewa.

Tetapi lepas dari apa pun, sejak kejadian siang

itu aku betul-betul merasa sudah tidak tahan lagi

menghadapi ini semua. Di satu pihak aku merasa marah, baik terhadap Mas Tomi maupun Tatik

yang menyebabkan diriku terlibat dalam persoalan yang kuanggap memalukan ini. Di lain pihak,

aku merasa sedih. Sama seperti Tatik, aku juga

memendam perasaan yang cuma sepihak. Sama

seperti Tatik pula, aku juga mencintai lelaki yang

sudah melabuhkan cintanya kepada perempuan
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Bedanya, aku tidak menjadi agresif seperti

Tatik.

Malam harinya ketika aku sudah di rumah dan

hari itu bukan hari menyanyiku di hotel, kubuat

surat pengunduran diri. Aku minta berhenti dari

pekerjaan setelah menyelesaikan segala sesuatu

yang menjadi tugasku.

Memang kuakui, apa yang kulakukan itu terlalu banyak dikuasai emosi-emosiku yang labil

hari-hari belakangan ini. Oleh sebab itu mungkin saja setelah aku keluar dari pekerjaanku nanti

akan timbul penyesalan dalam hati. Kondisi perusahaan tempatku bekerja itu sedang bagus-bagusnya, padahal sekarang banyak perusahaan

yang dalam keadaan sebaliknya.

Tetapi yah, aku sadar bahwa setiap pilihan

tentu ada konsekuensi dan risikonya sendiri.

176

Biarlah, aku akan siap menghadapinya. Selama

tiga tahun bekerja, aku sudah mempunyai tabungan yang lumayan besar. Jadi setidaknya, aku tak

akan menyusahkan kedua orangtuaku kalau nanti

terpaksa menganggur lama.

Begitulah, meskipun keputusanku untuk

berhenti kerja itu mengejutkan banyak orang

termasuk kedua orangtuaku, aku tak mau memedulikannya. Begitu juga ketika Mas Tomi

menawariku untuk memikirkannya sekali lagi

dengan satu iming-iming, sedikit pun aku tak tertarik.

"Aku akan mencoba mengusahakan kenaikan

gajimu, Dik Aster!" begitu antara lain yang ditawarkannya kepadaku.

"Terima kasih, Mas. Tetapi alasanku berhenti

kerja bukan karena masalah itu."

"Lalu masalah apa? Alasan yang kawajukan

itu terdengar mengada-ada, Dik Aster."

"Kuakui, alasan itu memang terdengar

mengadaada. Tetapi masa iya aku harus mengatakan bahwa aku merasa tidak cocok bekerja di

sini!"

"Sebenarnya apa sih yang menyebabkanmu

merasa tak cocok?"

Kali ini aku harus bisa mencari alasan yang

lebih masuk akal. Bagaimanapun juga, aku tak

boleh menyinggung perasaan orang. Apalagi, aku

sadar bahwa perasaan cinta tidaklah dibuat-buat

atau disengaja datangnya. Bahwa Mas Tomi menaruh rasa cinta kepadaku, itu toh bukan salah

177

nya. Begitu pun Tatik yang menaruh rasa cinta

kepada Mas Tomi, itu juga bukan kesalahannya.

"Aku ini seorang seniman, Mas!" dalihku.

Padahal, kalau hanya bisa bermain piano dan organ, lalu bisa sedikit menyanyi, belum dapatlah

aku disebut sebagai seniman. Sebab seandainya

aku tidak hidup di tengahtengah keluarga berjiwa musik sebagaimana halnya kedua orangtua

angkatku ini, belum tentu aku bisa mencintai dan

menghayati seni. Apalagi disebut sebagai seorang seniman.

"Seniman?" Mas Tomi mengangkat alis.

"Apa

kaitannya dengan cocok atau tidak cocoknya

bekerja di sini?"

"Aku tidak bisa kerja di balik meja. Jiwaku

tak ada di sini!" begitu aku berdalih lagi. Padahal, aku tak pernah mempermasalahkan tempat

aku akan bekerja.

"Jadi, setelah dari sini nanti kau mau bekerja

di mana?"

"Sekarang ini, aku sedang dikontrak rnenyanyi dan bermain musik di sebuah hotel!" begitu saja aku menjawab pertanyaan Mas Tomi

tanpa berpikir panjang lebih dulu. Tujuanku hanyalah untuk menunjukkan bukti konkret kepada

atasanku itu.

"Sungguh, Dik Aster? Kau tidak sedang mengarang cerita, kan?"

"Masa aku berbohong sih, Mas. Aku bekerja

di Hotel Capitol," sekali lagi aku menjawab tanpa berpikirjauh lebih dulu.

178

Maka begitulah akhirnya aku betul-betul menjadi seorang penganggur setelah keluar dari tempat kerjaku. Namun meskipun demikian, setiap

hari aku menulis surat lamaran kerja. Begitu surat kabar datang, dengan teliti aku mencari iklan

bagian lowongan kerja dan langsung membuat

surat lamaran kalau merasa lowongan itu akan

cocok untukku.

Selama itu, satu kali pun Mas Bondan tak pernah menyinggung masalah yang sedang kuhadapi. Padahal ia tahu bahwa aku sudah keluar dari

tempat kerjaku. Padahal pula, ia tahu aku sering

berlama-lama membungkuk di atas surat kabar

untuk mencari iklan lowongan kerja.

Tetapi malam itu, ketika kami berdua berada

di mobil dalam perjalanan pulang dari hotel, tiba-tiba saja Mas Bondan menyinggung masalah

ini.

"Mudah-mudahan, yang ada di sakuku ini ada

gunanya bagi seseorang yang sedang tidak mempunyai pekerjaan," katanya.

Tentu saja aku agak kaget ketika mendengar perkataannya itu. Bukan saja karena aku tak

mengira ia akan berkata seperti itu setelah sekian lama seperti tak peduli, tetapi juga karena

aku tak bisa menangkap apa maksud bicaranya.

Karenanya aku segera menanyakannya dengan

terus-terang.

"Apa maksud bicaramu itu, Mas?" tanyaku.

"Ini lho, honormu!" Mas Bondan menjawab

pertanyaanku sambil mengulurkan amplop yang

179

diambilnya dari dalam saku bajunya.

"Terimalah!"

"Uang ini untukku?" tanyaku sesudah amplop

itu berpindah tempat ke telapak tanganku.

"Ya. Hitunglah!"

Aku menurut. Meskipun bedanya tak banyak, tetapijumlah uang dalam amplop itu hampir

sama besarnya dengan jumlah uang gajiku selama satu bulan ketika masih bekerja di kantor.

Padahal, aku hanya bekerja tiga kali dalam satu

minggu. Itu pun cuma sekitar dua sampai tiga

jam saja lamanya.

"Kok banyak sekali, Mas?" komentarku

setelah menghitung isi amplop yang kuterima itu.

"Jangan-jangan honormu termasuk di dalamnya."

"Tidak, Aster. Aku juga mendapat jumlah

yang sama seperti itu!"

"Pihak hotel tidak adil," kataku bersungut-sungut.

"Seharusnya, kau mendapat honorarium yang jauh lebih banyak. Pertama, karena

kaulah yang diminta mengisi acara di tempat itu.

Bukan aku. Yang kedua, kaulah yang banyak

menghibur tamu-tamu. Aku hanya pelengkap."

"Pihak hotel tidak tahu-menahu mengenai hal itu, Aster. Akulah yang membagi honor

yang diberikan kepadaku itu dengan pembagian

separuh-separuh..."

"Aku tak mau dikasihani!" kataku memotong.

"Aku berhenti kerja bukan karena kena PHK. Tak

ada pemutusan hubungan kerja di kantorku. Aku

180

lah yang ingin keluar dari tempat kerjaku. Jadi,

ayolah, bagi honor itu secara adil sesuai dengan

berat-ringannya pekerjaan!"

"Aku tidak mengasihanimu, Aster. Dan pembagian itu cukup adil. Kau menambah semarak

pertunjukan kita. Suaramu bagus dan penampilanmu sedap dipandang mata. Kau juga beberapa

kali mengambil alih permainan organku dengan

manis sekali. Orang-orang menyukaimu. Itu terbukti dengan seringnya aku melihat wajah-wajah

yang sudah kukenal duduk menatapmu dengan

mata tak berkedip..."

"Gombal!" aku memenggal perkataan Mas

Bondan.

"Terserah kau mau terus mengobral kata-kata

mutiaramu itu atau tidak, aku tak perduli." Mas

Bondan tertawa.

"Pokoknya, aku merasa apa

yang sudah kuputuskan itu cukup adil. Dan karenanya, aku akan merasa tersinggung kalau kau

menolaknya."

"Kalau kau memang berpikir begitu, ya sudah!" Aku mengalah, sebab aku tahu betul

bagaimana kerasnya Mas Bondan kalau memegang pendapat yang dianggapnya benar.

"Terima kasih!"

"Berterimakasihlah kepada dirimu sendiri!"

Aku tertawa. Kulirik lelaki yang belakangan

ini mulai mengisi seluruh hatiku itu. Malam itu

ia tampak santai. Tak ada kesan terburu-buru

padanya ketika mengemudi mobil di jalan raya

yang sudah tak seramai petang tadi.

181

"Kau tahu tidak, Mas, jumlah uang yang ada

di amplop ini hampir sama besarnya dengan gajiku selama satu bulan!" kataku kemudian.

"Begitu? Kau senang atau tidak?"

"Yah, tentu saja senang. Pekerjaannya tidak

susah, bahkan menyenangkan karena hobiku tersalur. Sedangkan imbalannya besar."

"Tetapi...?" Mas Bondan tertawa lagi.

"Begitu

kan lanjutan dari bicaramu yang tak kauucapkan

dan yang hanya ada di hatimu...?"

"Kok tahu?"

"Aku kenal dirimu bukan baru kemarin, Aster. Aku sudah tahu begitu aku menangkap nada

suara di akhir bicaramu tadi mengambang!" Mas

Bondan melirikku sesaat.

"Jadi, Aster, perkataan

apa yang masih kausimpan itu?"

"Yah, biarpun dari suaraku yang pas-pasan

ini aku mendapat sejumlah uang yang lumayan

besar, tetapi tetap saja rasanya aku tidak mempunyai pekerjaan. Alias menganggur."

"Karena menyanyi dan bermain musik itu

tidak kawanggap sebagai suatu pekerjaan?" Mas

Bondan melirikku lagi.

"Begitu, kan?"

"Bukan begitu maksudku, Mas Bondan. Apa

yang kumaksudkan dalam perkataanku tadi adalah bahwa bekerja di kantor, meskipun gajinya

kecil mempunyai suatu nilai tersendiri..."

"Dengan kata lain, sadar atau pun tidak, kau

mempunyai anggapan bahwa menjadi penghibur

dengan bermain musik dan menyanyi, itu nilainya lebih rendah!"

182

"Oh, bukan begitu maksudku!" aku membantah lagi.

"Aku cuma mau bilang, Mas, bahwa

setiap manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan merealisasikan

potensinya melalui pekerjaan. Atau dengan kata

lain, pekerjaan adalah sesuatu yang membedakan

manusia dengan makhluk lain. Dan itu berkaitan

dengan martabatnya sebagai makhluk yang Iuhur."

"Bermain musik dan menyanyi, apakah itu

bukan sesuatu yang juga membedakan manusia

dengan makhluk lain? lngat Aster, semua orang

bisa bekerja di kantor kalau kesempatan untuk
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu ada. Tetapi tidak setiap manusia bisa bermain

musik dan menyanyi. Jadi kalau aku boleh memberi pendapat, apa pun karya manusia sejauh itu

berguna bagi pengembangan dirinya dan berguna

pula bagi orang lain, nilainya tinggi karena menyangkut keluhurannya sebagai makhluk bermartabat!"

"Yah, mungkin kau benar!" aku mulai mengakui kebenaran perkataan Mas Bondan.

"Aku harus mulai menggeser pendapatku selama ini, bahwa yang namanya pekerjaan dan karier itu hanya

ada di sebuah kantor atau perusahaan."

Barangkali saja pendapatku mengenai hobi

yang bisa mendatangkan uang, perlu diubah.

Sebelumnya, aku memang masih menganggap

bahwa hobiku menyanyi dan main musik yang

menghasilkan uang ini sebagai suatu kebetulan

saja. Bahkan hanya iseng-iseng. Bukan suatu

183

pekerjaan. Padahal, betapa beragamnya pekerjaan dan karier yang bisa ditempuh manusia di

dunia ini.

"Kalau begitu, kaujangan membiarkan dirimu

terobsesi sampai sedemikian rupa oleh keinginan

untuk mencari pekerjaan hanya karena kau tidak

suka menganggur. Coba iseng-iseng kau hitung,

sudah berapa puluh pucuk surat lamaran yang

kaukirimkan selama ini?"

"Aku tak ingin menghitungnya," sahutku.

"Pokoknya, banyak sekali."

"Dan berapa surat lamaranmu yang mendapat

tanggapan?"

"Tanggapan positifsih belum satu pun. Tetapi

kalau balasan yang mengatakan bahwa lowongan

itu sudah diisi orang lain dengan mengucapkan

terima kasih atas perhatianku ada tiga."

"Yah, sudahlah. Hal seperti itu tak usah terlalu kaupikirkan," kata Mas Bondan lagi.

"Asalkan

kau mengerti bahwa setiap manusia bisa mengaktualisasi diri melalui pelbagai macam kegiatan.

Jadi kalau kau sulit mencari pekerjaan di balik

meja kantor, lihatlah peluang lain. Pasti ada yang

kausukai. Dan pasti pula ada yang lebih sesuai

dengan panggilanjiwamu!"

"Betul juga...." gumamku sambil menguap.

Pembicaraan memang sudah mulai membosankan diriku.

"Terima kasih atas nasihatmu. Mulai

besok, aku akan mencoba mencari peluang lain

yang tidak ada kaitannya dengan meja kantor

atau yang semacam itu. Menunggu surat lamaran

184

kerjaku dibalas, entah sampai kapan."

Agak lama tidak kudengar sahutan dari Mas

Bondan. Mataku yang mulai berat itu nyaris terkatup ketika akhirnya aku mendengar lagi suara

lelaki itu menyebut namaku.

"Aster "

"Hmm...?" Mataku kupicingkan sebelah dengan malas. Aku benar-benar mengantuk sekali.

"Sejak masih kecil, hampir semua hal yang

kusarankan atau kunasihatkan kepadamu, kauturuti. Kan belum tentu itu cocok dengan suara

hatimu. Dan belum tentu itu juga benar. Aku juga

masih muda kan, masih sering keliru langkah..."

"Tetapi di dunia ini selain Bapak dan Ibu, kau

adalah orang yang paling dekat denganku.

" sahutku, tak sadar sepenuhnya karena mengantuk.

Sebuah kuap yang lebar menyela perkataanku

yang belum selesai itu. Lalu sambungku, juga

dengan setengah tidur,

"...dan karena kau segala-galanya bagiku."

Setelah itu aku tertidur dengan pulas dan baru

terbangun sesudah mendengar suara Mas Bondan lagi di dekat telingaku. Maklum, sebelum

berangkat ke hotel bersama Mas Bondan tadi, seharian akujalan-jalan ke mal mencari gaun yang

sekiranya cocok dipakai untuk menyanyi malam

ini. Gaun malamku tak banyak. Ada dua atau tiga

gaun yang sudah kupakai beberapa kali.

"Heiiii bangun, pengantuk!" kata lelaki itu di

dekat telingaku.

"Hmmm...?" Aku menggeliat tak sadar.

185

"Bangun, Sayang!"

Disebut dengan panggilan "sayang" seperti ketika aku masih kecil dulu, hatiku menjadi hangat. Sekali lagi aku menggeliat dengan

senang, lalu meringkukkan tubuhku kejok mobil

kembali setelah memeluk bantal kecil yang selalu

ada di mobil Mas Bondan. Kuteruskan tidurku.

Sayup-sayup kudengar Mas Bondan tertawa.

"Kalau sedang tidak ada yang dipikir, kau ini

seperti anak kecil saja. Tidur di mana pun bisa!"

Mas Bondan berkata lagi sambil menepuk-nepuk

lembut pipiku.

"Bangun dong, Sayang..."

Tanpa sadar karena masih dikuasai kantuk,

tangan Mas Bondan yang menepuk pipiku itu

kuraih dan kucium. Kemudian kutindih dan kupeluk di bawah leherku.

"Hmmm..." Aku menggeliat lagi. Aku masih

berada dalam keadaan antara tidur dan terjaga.

"Aster "

"Hmm?" Posisi tubuhku kuubah. Wajahku

menengadah dengan mata yang masih terpejam. Dan entah apa yang mendorongku, dalam

keadaan setengah tidur itu tangan Mas Bondan

yang tadi kupeluk, kulepas. Sebagai gantinya,

tanganku terulur dan memeluk lehernya sehingga

kepala Mas Bondan berada dekat sekali dengan

kepalaku.

"Aster...?"

Aku menjawab panggilannya itu dengan

mengeratkan pelukanku. Sebagai akibatnya, wajah kami semakin dekat jaraknya. Dan sebelum

186

kesadaranku sempat pulih untuk mampu berpikir

waras kembali, tiba-tiba aku merasa bibirku dicium Mas Bondan. Entahlah, apakah saat itu aku

sudah dalam keadaaan sadar atau entah masih

terseret kantuk, aku tidak tahu. Yang jelas, ciuman itu kusambut dengan sepenuh hasrat hatiku.

Tanganku yang memeluk lehernya mulai mengelus-elus rambut di bagian kuduknya yang selama

ini begitu kurindukan. Sering kali aku berangan-angan ingin menyentuh dan membelai rambut yang agak ikal di bagian tengkuknya itu. Dan

sekarang, keinginan itu terwujud sehingga mengaburkan sisa-sisa akal sehat yang masih bertengger di kepalaku.

Masih sambil mencium bibirku, tangan Mas

Bondan yang memeluk punggungku mempermainkan kulit peka di daerah itu sehingga aku

menggeliat lagi. Kali ini geliatku bukanlah geliat

orang yang sedang lelap dalam tidur seperti yang

kulakukan tadi, melainkan geliat orang yang

sedang mabuk kepayang. Dan ketika bibir Mas

Bondan sedang mengecupi rambutku, kutengadahkan lagi wajahku lalu kuciumi lehernya yang

beraroma segar itu dengan sepenuh gairah hatiku

sementara tanganku terus membelai kuduk dan

bahunya.

Maka suasana di dalam mobil itu pun tiba-tiba penuh dengan udara yang mengandung listrik.

Dan di sana-sini, rasanya seperti ada percikan

api yang siap meledak sehingga tanpa mauku,

tubuhku bergetar. Kurasakan, Mas Bondan yang

187

lehernya baru saja kuciumi dengan kecupan-kecupan ringan itu juga bergetar. Ia membalas ciumanku itu dengan mengecupi bagian belakang

telingaku. Tetapi kemudian di saat aku semakin

terbenam di dalam peristiwa yang tak pernah

berani kuimpikan itu, tiba-tiba saja Mas Bondan

melepaskan tubuhku dari pelukan tangannya.

"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan ini?"

gumamnya. Suaranya terdengar parau sekali.

Sekarang, mataku kubuka Iebar-lebar. Aku

yang semula berada di antara sadar dan tak sadar,

mulai terjaga. Pusaran yang menenggelamkan

diriku ke dalam perasaan yang luar biasa indahnya dan yang kukira cuma ada dalam impian itu,

surut tak tersisa. Apa yang baru saja kualami itu

adalah kenyataan.

Menyadari hal itu aku terduduk dengan kepala

tegak. Mataku mulai berkaca-kaca. Aduh, kenapa

jadi begini akhirnya? Bagaimana nanti aku bisa

menatap mata Mas Bondan tanpa rasa bersalah?

"Jadi ini tadi... bukan mimpi...?" tanyaku

tersendat-sendat. Seluruh permukaan wajahku

terasa panas sekali.

"Bukan, Aster." Suara Mas Bondan masih saja

parau. Tetapi kini terkandung nada cemas di dalamnya.

"Bukan mimpi. Entahlah, kenapa ini tadi

bisa terjadi? Ke manakah akal sehatku? Maafkan

aku, Aster. Maafkan aku. Sungguh mati, belum

pernah aku kehilangan akal seperti ini..."

"Aku... aku juga minta maaf..." Aku mulai

menangis.

"Kusangka, aku... aku sedang ber

188

mimpi tentang... masa lalu "

Usai berkata seperti itu, aku kaget sendiri. Rupanya mekanisme pertahanan jiwaku menyuruhku mengatakan sesuatu yang tak benar demi

menghindari rasa bersalah yang sedang bermegah-megah di dalam batinku. Rasanya aku telah

menodai nilai-nilai persaudaraan yang selama ini

begitu indah mewarnai hubungan kami berdua.

Maka untuk sedikit mengurangi rasa bersalah,

kulontarkan begitu saja perkataan yang menyiratkan adanya pengaruh masa lalu di dalam peristiwa tadi. Padahal dalam kejadian yang sama

sekali tak terduga tadi, tak secuil pun masa laluku

bersama Mas Arya ikut ambil bagian di dalamn

ya.

189

Delapan

BEBERAPA hari sejak peristiwa di dalam mobil

Mas Bondan malam itu, aku selalu berusaha

untuk menghindarinya. Tampaknya, begitu juga

sebaliknya. Begitu selesai sarapan, cepat-cepat

dia pergi dan pulang ke rumah j ika hari telah larut

malam. Dan langsung saja dia masuk ke dalam

kamar.

Keadaan seperti itu ada untungnya juga bagiku. Setidaknya masih ada waktu untukku buat

menata diri, sebelum hari-hari tugas kami menyanyi di hotel tiba lagi. Karena kalau aku belum

juga bisa menata hatiku, suasana di antara kami

berdua pasti akan terasa kaku dan menekan.

Sikapku yang selama ini begitu bebas terhadap

Mas Bondan, akan berubah menjadi canggung.

Sudah bisa kubayangkan, suasana seperti itu pasti sangat tidak menyenangkan. Bisabisa hal itu

berpengaruh pada penampilan kami di hadapan

pengunjung.

Namun lepas dari masalah ini, setiap kali

peristiwa malam itu terbayang dalam ingatanku
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali, setiap kali itu pula hatiku terasa amat

nyeri. Sebab sudah semakin jelas dan pasti bahwa aku memang benar-benar mencintai Mas

190

Bondan. Dengan cinta asmara. Sehingga yang

ada di dalam hatiku bukan lagi kasih persaudaraan sebagaimana yang selama seperempat

abad ini kurasakan terhadapnya. Kini kekagumanku kepadanya dan kedekatanku terhadapnya

telah berubah. Dari kekaguman dan kedekatan

yang mengandung ketergantungan seorang adik

terhadap kakak yang ia percayai, telah menjadi

cinta seorang perempuan kepada seorang lelaki.

Memang, aku pernah mengira bahwa perasaan yang kulabuhkan kepada Mas Bondan itu

bersifat temporer. Tak langgeng dan akan lenyap

dengan sendirinya, bersamaan dengan perjalanan

waktu setelah masa "berkabung" ditinggal Mas

Arya berakhir. Begitu pun persangkaanku bahwa

yang kurasakan terhadap Mas Bondan itu hanya

cinta pelarian, akan lenyap setelah aku mampu

berdiri tegak kembali. Lalu ketergantungan dan

pandanganku bahwa Mas Bondan adalah pahlawan hatiku, juga akan menipis bersamaan dengan waktu yang terus bergulir dengan membawa

cerita baru .

Namun sekarang sejak peristiwa di dalam

mobil Mas Bondan, aku sadar bahwa segala persangkaanku semula itu keliru. Sebab ternyata,

aku memang mencintai Mas Bondan dengan cinta yang sesungguhnya. Tanpa cinta, tak mungkin

peristiwa malam itu terjadi.

Aku pernah berpacaran. Pengalaman yang

kumiliki untuk memahami suatu percintaan,

cukup memadai. Berciuman sambil saling mem

191

belai sudah pernah kami lakukan. Bahkan di

akhir hubunganku dengan Mas Arya, kami berdua telah melakukan perbuatan terlarang bagi

sepasang insan yang belum menjadi suami dan

istri. Dulu, sampai beberapa waktu lamanya aku

mengira hubunganku dengan Mas Arya adalah

percintaan yang dilandasi cinta sejati. Tetapi ketika malam itu aku berada di dalam pelukan Mas

Bondan, dan merasakan betapa lembut dan mesra ciumannya, serta betapa indah perasaan yang

ditimbulkannya, semua hal yang pernah kurasai

dan kualami bersama Mas Arya, menjadi sesuatu

yang tak ada artinya. Karena hal itulah maka aku

langsung tahu bahwa perasaanku terhadap Mas

Bondan adalah cinta yang sebenarnya. Bukan

cinta pelarian. Bukan cinta semusim. Dan bukan

cinta platonis yang cuma ada di dunia idea. Tetapi konkret, nyata kurasakan.

Dan justru karena menyadari keadaan itu, hatiku betul-betul terasa pedih. Sebab di hadapanku

sudah terpampang jelas bagaimana nasibku di

masa depan. Mas Bondan bukan orang lain bagiku. Dia keponakan yang paling disayang oleh Ibu.

Aku dan lelaki itu akan sering bertemu meskipun

kelak ia meninggalkan rumah ini. Pernikahannya

dengan Mbak Astri nanti, sudah pasti akan menjadi peristiwa yang bukan main beratnya untuk

kutanggung sendirian. Rasanya jauh lebih berat

daripada ketika aku menghadiri pernikahan Mas

Arya waktu Mas Bondan dan Mbak Astri mendampingiku. Dalam kehidupan Mas Bondan dan

192

Mbak Astri, meskipun diriku hanyalah orang luar,

namun mau ataupun tidak, aku akan terus terlibat.

Kalau kelak mereka mengadakan upacara menujuhbulan kandungan Mbak Astri misalnya, aku

pasti akan hadir di situ dan menyaksikan dengan

mataku sendiri kebahagiaan mereka. Begitu pula

ketika anak itu lahir dan menjadi peneguh perkawinan mereka. Lalu setelah itu dengan mata

kepalaku sendiri pula akan kusaksikan lahirnya

anak-anak mereka yang lain. Akan kuatkah hatiku melihat itu semua?

Untuk sedikit melupakan apa yang membuatku sedih itu, di suatu hari aku pergi ke mal. Dari

honorarium yang kuterima, aku membeli dua potong gaun yang bisa dipakai untuk beberapa kesempatan. Kalau blazernya kubuka, rok bagian dalamnya yang terusan itu bisa kupakai untuk gaun

malam. Dan yang satu lagi berwarna merah bata

polos, rok bagian dalamnya malah hanya bertali

saja pada bagian bahunya. Merah batanya bagus

untuk gaun malam. Apalagi kalau kulengkapi

dengan stola yang senada. Tetapi kalau blus luarnya yang seperti j aket pendek itu kupakai, gaun

itu bisa kupakai untuk kesempatan lain.

Esok malamnya ketika hari menyanyi itu tiba,

salah satu gaun itu kupakai. Dan tepat ketika aku

sudah selesai berdandan dan keluar dari kamarku, Bik Popon mendekatiku.

"Non, sudah ditunggu Pak Bondan di mobil,"

katanya.

"Oh, ya. Aku akan segera ke sana, Bik

'7,

sa

193

hutku dengan perasaan mulai gelisah karena

akan bertemu dengan Mas Bondan lagi.

"Terima

kasih."

Aku tahu, Mas Bondan masih belum siap untuk bertemu muka denganku. Begitu pun sebenarnya yang kurasakan. Menjelang petang tadi

aku berlama-lama di kamar, merias wajahku

dengan cara meneoba-coba gaya lain hanya untuk menghabiskan waktu. Tetapi aku yakin, Mas

Bondan mengetahui aku sedang bersiap-siap

untuk pergi bersamanya. Nyatanya lelaki itu

menyuruh Bik Popon mengatakan kepadaku bahwa ia sudah siap berangkat.

Sekarang, dengan hati berdebar aku pergi ke

depan. Kulihat, mobil Mas Bondan sudah dinyalakan. Karenanya tanpa masuk ke rumah kernbali, aku pamit kepada Bapak dan Ibu dari ambang pintu depan.

"Aster pergi dulu ya, Pak, Bu...." kataku kepada mereka.

"Sudah hampir terlambat nih."

"Ya. Tetapi katakan pesan Ibu kepada kakakmu, biarpun terlambat tetapi jangan mengebut!"

sahut Ibu tanpa beranjak dari tempat duduknya.

Ia sedang menonton hlm drama lepas kesayangannya.

"Akan kukatakan padanya, Bu!"

"Dan hati-hati!" Bapak menyambung.

"Ya, Pak." Sambil menjawab, aku bergegas

menuju ke mobil Mas Bondan.

Begitu aku masuk ke dalam mobil, Mas Bondan langsung menjalankan mobilnya. Sampai

194

sejauh seperempat perjalanan menuju hotel, tak

seorang pun di antara kami yang bersuara. Mas

Bondan sengaja menyalakan musik agak lebih

keras daripada biasanya. Seolah, musik itu merupakan satu-satunya suara yang ingin didengarnya.

Karenanya aku juga purapura memperhatikan segala hal yang ada di luar mobil lewat jendela di

sebelah kiriku. Seolah, itu semua begitu menarik

bagiku.

"Aster " akhirnya kudengar suara Mas Bondan setelah perjalanan tinggal separuhnya. Rupanya, tak tahan juga dia untuk tetap terus berdiam

diri.

"Ya ?" aku menjawab tanpa menoleh.

"Maukah kau melupakan peristiwa malam

itu?" begitu dia berkata dengan suara pelan yang

nyaris tak terdengar karena kalah oleh suara

musik.

"Aku ingin supaya kita berdua dapat bergaul tanpa canggung, sehingga suasana di sekitar

kita bisa kembali seperti biasa."

"Aku sudah melupakannya. Kuanggap saja

itu semacam kecelakaan, gara-gara aku terbawa

mimpi buruk tentang masa lalu," dustaku. Duh,

alangkah fasihnya aku berkata-kata tentang sesuatu yang bukan kenyataan.

"Jadi sebenarnya

yang membuat segala sesuatunya menjadi sulit

itu kan kau sendiri, Mas. Aku tahu, beberapa hari

terakhir ini kau sengaja menghindariku. Bahkan

tadi pun kau meminjam mulut Bik Popon untuk

berbicara kepadaku!"

Bukan main lega hatiku dapat berkata seperti

195

itu. Ada hasilnya juga usahaku untuk mengatasi

gempa yang terjadi di hatiku. Selama beberapa

hari tanpa bertemu Mas Bondan memberiku kesempatan bagiku untuk melakukan refleksi. Dan

negatifnya, selama beberapa hari ini pula aku belajar menyusun kebohongan.

"Yah, memang harus kuakui, aku yang bersalah...." kudengar Mas Bondan menyahuti perkataanku tadi.

"Tetapi pahamilah perasaanku, Aster. Aku ini kan bukan pemuda remaja lagi. Aku

ini kakak sepupumu, yang diserahi oleh Tante

Pur untuk melindungimu. Tetapi ketika malam

itu kau sedang terlarut, entah karena mimpi entah

pula karena emosi-emosi labil yang mengganggumu, bukannya aku membangunkan dirimu

tetapi malah ikut terbawa suasana. Lupa diri, lupa

bahwa kaulah itu yang ada di dekatku..."

"Sudahlah!" aku memotong perkataannya.

Meskipun sudah kubendung, rasa pedih itu datang lagi meneubiti hatiku.

"Lupakanlah."

Ah, bagaimana bisa aku menyuruh Mas Bondan melupakan peristiwa itu kalau diriku sendiri tak mungkin mengikis bayangan itu dari hati

dan kepalaku? Belum pernah aku mengalami dua

perasaan yang bertentangan seperti yang sekarang ini kualami. Susahnya, kedua perasaan itu

sama-sama memiliki kekuatan untuk mencengkeram batinku. Bagaimana mungkin aku bisa

menyingkirkannya seperti aku menyingkirkan

noda tinta di tanganku?

Kedua perasaan yang bertentangan itu

196

memang terasa sangat menyiksaku. Yang pertama, meskipun dengan perasaan malu pada diriku

sendiri, harus kuakui bahwa dengan diam-diam

aku sering membayangkan kemesraan yang terjadi di antara diriku dan Mas Bondan. Meskipun

dengan perasaan amat pedih, harus kuakui pula

bahwa kerinduanku untuk memeluk dan merasakan belaian tangan Mas Bondan telah terwujud

walau cuma sesaat lamanya. Pedihnya karena

aku tahu kemesraan itu dilakukannya tanpa sadar.

Bahkan baru saja kudengar bagaimana pendapatnya mengenai kejadian itu. Katanya, ia memeluk

dan meneiumiku karena tak sadar bahwa dirikulah yang berada di dalam pelukannya. Dengan

perkataan lain, diakuinya bahwa dirinya bisa lupa

diri apabila lehernya dipeluk mesra oleh seorang

perempuan. Meskipun aku mempunyai keyakinan bahwa apa yang diucapkannya itu hanya alasan untuk mengurangi rasa bersalah, tetapi sulit

bagiku untuk mengibaskan rasa "murahan" yang

diakibatkan ucapannya itu.

Merasa tekanan perasaan yang menyungkup

suasana di sekitar kami masih belum lenyap

seluruhnya, lekas-lekas Mas Bondan mulai rnengalihkan pembicaraan.

"Bajumu baru ya ?"

"Ya."

"Bagus," komentarnya.

"Kau pantas memakai

baju itu."

"Apakah tidak terlalu... seksi?" aku mulai

mengikuti arah angin pembicaraan. Kucoba un

197

tuk menempatkan kembali diriku sebagai adik

sepupu, sebagaimana biasanya.

"Tidak. Soal seksi atau tidak, itu kan tergantung bagaimana si pemakainya. Bukan tergantung pakaiannya. Meski tak bisa dipungkiri, kesan pertama ketika melihat pakaian yang dipakai

oleh seseorang itu cukup memberi pengaruh.

Padahal, kesan pertama itu sering mengecoh. Paham?"
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," aku menjawab dengan perasaan lega.

Bukan karena isi bicaranya, melainkan karena

Mas Bondan sudah memperlihatkan tanda-tanda

bertingkah laku seperti biasa.

"Malam ini kita akan menyanyikan lagu apa

lagi?" Mas Bondan mengalihkan lagi topik pembicaraan kami.

"Aku juga sedang memikirkan itu," sahutku.

"Ada banyak lagu-lagu barat nostalgia yang

masih tetap enak didengar sampai sekarang."

"Ya. Tetapi ada baiknya juga kalau kita lihat

usia rata-rata pengunjung. Umur pertengahan, biasanya suka-suka lagu nostalgia."

"Oke.

"

Sebagaimana biasanya, kami berdua menyajikan lagu Gaun Biru di awal pertunjukan. Baru

setelah itu kami menyanyikan lagu-lagu lain.

Dan seperti biasanya juga, aplaus untuk kami,

serin g terdengar.

Tetapi ketika aku selesai menyanyikan lagu

Lilin-lilin Kecil yang kuanggap biasa-biasa saja,

kudengar tepuk tangan yang cukup keras di ujung

198

meja sebelah kiri, melebihi suara lainnya.

Aku menoleh ke arah asal suara. Kulihat,

Mas Tomi duduk sendirian di sana. Melihatku

menoleh ke arahnya, ia tersenyum manis. Demi

sopan santun, senyum itu kubalas. Tetapi sesudah

itu aku mulai merasa terganggu oleh kehadirannya. Pandangan matanya terus-merrerus menatapiku dengan sengaja. Ia memang belum pernah

melihatku memakai pakaian yang bukan pakaian

kantor.

lnilah hasil dari pemikiranku yang tak panjang, keluhku dalam hati. Sebab aku sendirilah

yang memberi informasi kepadanya mengenai

kegiatanku menyanyi di hotel ini. Tak kupikirkan bahwa informasi yang kumaksudkan sebagai

bukti bahwa aku tidak menganggur sama sekali

itu telah dicatat Mas Tomi di kepala. Dan malam

ini, dia datang untuk menyaksikannya.

Ketika tiba saatnya aku beristirahat dan giliran Mas Bondan mempertunjukkan kebolehan,

diam-diam aku keluar ruangan untuk mencari angin segar. Kupilih tempat duduk di sudut ruangan

yang menghadap air mancur, teraling pilar besar

dan pohon palem buatan yang sangat mirip dengan aslinya.

Terus terang, aku mulai merasa bosan. Menjadi seorang penyanyi bukanlah cita-citaku meskipun aku sangat menyukai musik. Kalau disuruh

memilih, aku lebih suka mengiringi orang menyanyi daripada aku yang menjadi penyanyinya.

Bermain musik sungguh mengasyikkan. Apalagi

199

kalau dalam orkes besar. Bahkan bukan hanya

bermain piano yang kuinginkan, tetapi juga bermain biola. Ketika aku masih duduk di SMP dan

Oom Hardi-adik Ibu-belum pindah ke luar

kota, aku sering belajar biola kepadanya. Sejak

Oom Hardi pergi, kegiatanku bermain biola pun

semakin berkurang. Lebih-lebih setelah kusadari

biola milikku bukan dari jenis yang bagus, semangat belajarku pun menurun. Tetapi mengenai

hal itu tak kukatakan kepada Ibu maupun kepada

Bapak ketika mereka menanyakannya. Kujawab

saja aku kurang berbakat bermain biola.

Tetapi sekarang, tiba-tiba saja keinginanku

untuk bermain biola lagi, muncul dengan kuat.

Aku tahu, biola yang bagus, sangat mahal harganya. Tetapi memang, sesuatu yang betul-betul

bagus di dunia ini tak ada yang murah. Apalagi

gratis. Dan sesuatu yang indah sering kali tidak

mudah dicapai.

Pikirku kemudian, apa salalrnya kalau aku

nanti membeli sebuah biola yang lumayan bagus

dan kemudian mulai mempelajarinya lagi di salah satu tempat kursus musik. Sekarang ini cukup

banyak sekolah-sekolah musik atau tempat kursus yang berkualitas. Hidup cuma sekali dan masa

muda cuma sebentar, kenapa tak kuisi itu dengan

sesuatu yang bermanfaat selagi aku mampu? Aku

tidak bekerja sekarang ini. Waktuku banyak. Di

bank, jumlah uangku juga lumayan besar. Selama dua tahun bekerja, aku rajin menabung. Dan

tak jarang, tabunganku tiba-tiba bertambah tan

200

pa kuketahui sebelumnya. Bapak atau ibu yang

mengetahui nomor rekeningku di bank, cukup

sering mengisi tabunganku. Memang tidak dalam

jumlah yang banyak, tetapi jelas itu menambah

jumlah dan tentu saja juga bunganya.

"Aster " tiba-tiba seseorang menyebut namaku.

Tanpa menoleh pun aku tahu, itu suara Mas

Tomi. Tetapi toh demi sopan santun aku terpaksa

menghadapkan wajahku kepada orang yang baru

datang menghampiriku itu.

"Mas Tomi " kataku menyapa.

"Suka juga

makan malam di hotel yang mewah, rupanya."

Mas Tomi menggelengkan kepalanya, lalu

menyusul duduk di dekatku.

"Terus terang, baru sekali ini kok!" katanya

sambil tertawa.

"Makan malam di tempat begini

bukan mainanku. Tetapi sekali-sekali tak apalah.

Apalagi aku datang ke sini ini hanya untuk melihatmu menyanyi."

"Kok tahu?" Aku pura-pura lupa bahwa sumber informasi itu dari diriku sendiri meskipun itu

tak kusengaja.

"Tentu saja tahu. Bukankah kau sendiri yang

mengatakan padaku bahwa tidak bekerja di kantor bukan berarti kau tidak mempunyai penghasilan. Kau katakan pula bahwa saat ini kau bekerja

di hotel ini. Ingat?"

"Oh, ya ?" aku tetap pura-pura lupa.

"Aku

kok tidak ingat..."

"Ya. Tetapi harus kuakui, ternyata suaramu

201

memang bagus. Siapa temanmu itu, Dik Aster?

Permainan organnya luar biasa."

"Dia bukan temanku. Dia Mas Bondan, kakak

sepupuku!"

"Wah, kalian keluarga pemusik rupanya."

"Begitulah. Ibuku juga pandai bermain piano

dan organ. Suaranya bagus. Lalu pamanku pandai bermain biola. Kakak ibuku, ahli bermain

saksofon. Juga yang lain-lainnya."

"Kaujuga ahli bermain musik?"

"Ahli sih tidak. Tetapi kalau cuma bermain ala

kadarnya, bisa. Sebentar lagi giliranku bermain.

Mas Bondan ganti beristirahat."

"Kau sungguh memiliki banyak hal yang

mengejutkanku, Dik Aster. Malam ini kau tampak begitu memesona dengan gayamu yang lain

dari biasanya."

"Ah, itu kan karena kau baru sekarang melihatku berpakaian dan berpenampilan beda, Mas."

"Ya. Tetapi kau memang tampak memesona!"

"Jangan berlebihan ah, Mas." Aku mulai

merasa tak enak. Kuhindari lelaki itu dengan

mengorbankan karierku di kantor. Tetapi sekarang, dia malah berada di depanku lagi. Bahkan

bisa lebih bebas karena tidak ada orang-orang sekantor yang melihat kami sedang berduaan. Sial,

memang.

"Selesai bertugas nanti, kau pulang dengan

Mas Bondan?" pancingnya.

"Ya."

"Bolehkah tugas Mas Bondan kuambil alih?"

202

pinta Mas Tomi dengan penuh harap. Matanya

menatap mataku tanpa berkedip.

"Aku tak terbiasa pergi dengan lelaki lain,

Mas. Keluargaku agak keras dalam hal ini!" dalihku.

"Tetapi tentunya tidak begitu ketika kau

masih dengan Dik Arya, kan?"

"Itu lain. Waktu itu, aku adalah kekasihnya."

"Sebelum menjadi kekasih, tentunya ada masa-masa pendekatan, kan? Nah, pada masa-masa

seperti itu, Dik Arya belum menjadi kekasihmu,

kan?" kata Mas Tomi lagi dengan suara merayu.

"Jadi kalau aku mengantarkanmu pulang malam

ini, tentunya tidak apa-apa, kan? Kedua orangtuamu pasti akan mengerti. Apalagi kita pernah

bekerja di kantor yang sama."

Aku menarik napas panjang. Mas Tomi mulai menjajaki segala kemungkinan untuk lebih mendekatiku. Mestinya, dari caraku menghindarinya selama ini, dia tahu bahwa aku tidak

mempunyai perasaan tertentu terhadapnya. Tetapi yah, cinta itu sering membutakan mata, bukan?

"Kapan-kapan sajalah, Mas. Aku sendiri juga

merasa risih bahkan tak suka pergi dengan lelaki yang bukan apa-apaku!" Akhirnya kukatakan

juga apa yang tak kusukai itu.

"Oke. Kapan-kapan, ya?"

Aku menarik napas panjang lagi. Lebih panjang dan lebih lama daripada sebelumnya. Mas

Tomi hanya mendengarkan separuh perkataanku.

Bagian akhir dari kalimat yang kuucapkan, tidak

masuk ke telinganya. Payah!

203

"Sudah saatnya aku masuk kembali," kataku

mengalihkan pembicaraan yang tak menyenangkan itu.

"Mas Bondan pasti mencariku."

Selesai tugas menyanyi malam itu, tanpa menoleh ke mana pun lagi aku langsung mengekor

di belakang Mas Bondan. Dan merasa lega ketika

akhirnya aku bisa duduk di dalam mobilnya tanpa melihat Mas Tomi lagi.

"Siapa lelaki itu, Aster?" tanya Mas Bondan

sesudah mobilnya bergerak mulus ke jalan raya.

Hm, jadi tadi Mas Bondan melihatku bersama

Mas Tomi.

"Lelaki yang mana?" tanyaku pura-pura tak

tahu.

"Kau tahu siapa yang kumaksud, Aster."

"Oh, dia." Aku masih berlagak pilon.

"Itu

Mas Tomi, bekas atasanku."

"Ganteng dia."

"Ya."

"Malam ini dia sengaja datang untuk melihatmu, kan?"

"Ya. Kok tahu?"

"Feeling."

"Sok tahu kau, Mas!"

"Bukan begitu. Sebab aku sekarang jadi ingat,

lelaki itu pernah bersamamu di dalam lift ketika aku menjemputmu di kantor waktu hari hujan

lebat itu. Ya, kan?"

Tentu saja aku ingat. Sebab kehadiran Mas

Bondan sore itu kuanggap sebagai penyelamatku.

Ketika itu, Mas Tomi terus mengejar ingin men

204

gantarkanku pulang.

"Ya," kujawab pertanyaan Mas Bondan apa
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adanya.

"Kau menyukainya?"

"Kenapa sih kau tiba-tiba ingin tahu urusanku?" Aku mulai jengkel.

"Kau juga kenapa sih belakangan ini emosimu mudah terkait? Ditanya begitu saja, tersinggung," balas Mas Bondan.

Aku terdiam. Mas Bondan benar. Melihatku

diam, lelaki itu berkata lagi.

"Aku bukan mau ikut campur urusan

pribadimu!" katanya.

"Tetapi sebagai orang yang

diserahi tanggung jawab oleh Tante Pur untuk

ikut menjaga keselamatanmu, rasanya tak enak

juga kalau aku hanya diam ketika melihatmu sedang didekati orang."

"Tetapi aku ini bukan anak kecil lagi, Mas!"

"Betul sekali. Sebab kalau kau masih seorang

gadis kecil, aku akan langsung menggendongmu pulang setelah menonjok hidung orang yang

menganggumu."

Kalau tidak dalam keadaan jengkel, perkataan

Mas Bondan itu pasti akan membuatku tertawa.

Tetapi entahlah, sedang ke mana rasa humorku.

"Lalu bahaya apa yang saat ini sedang mengancamku menurut pikiranmu, Mas?" tanyaku

menanggapi perkataannya itu.

"Jangan sinis. Aku cuma mau bilang bahwa

sebaiknya kau bersikap tegas kalau kau memang

tidak menyukai lelaki itu. Sebab lelaki yang tahu

205

diri, tidak akan berusaha menempel terus kalau

dari pihak si gadis menunjukkan suatu ketegasan. Kecuali kalau kau bermaksud seperti burung

merpati."

"Burung merpati apa?" tanyaku pura-pura tak

tahu.

"Yah, taktik burung merpati. Burung merpati kan kelihatannya jinak. Tetapi begitu didekati, dia terbang," sahut Mas Bondan kalem.

"Kau

pasti pernah mendengar pepatah lama, j inak-j inak

merpati. Suatu pepatah atau istilah untuk mengatakan taktik yang sering dilakukan perempuan

buat menunjukkan bahwa dia bukan perempuan

murahan. Mau, tetapi pura-purajual mahal dulu."

"Aku bukan perempuan seperti itu!" Emosiku

mulai terkait lagi.

"Itu aku tahu persis, Aster. Jangan mengamuk!" Mas Bondan tertawa pelan sambil menoleh sesaat ke arahku.

"Justru karena itulah tadi

kukatakan bahwa bersikap tegaslah kepadanya

kalau kau memang tidak mau memberinya harapan."

Seharusnya aku berterima kasih kepada lelaki itu. Tetapi tidak. Aku teringat lagi bagaimana

dia bisa lupa diri dan menciumku hanya karena

lehernya kupeluk mesra. Sebab yang dirasakannya saat itu hanyalah pelukan tangan di lehernya.

Bukan siapa yang memeluknya.

"Bersikap tegas sih memang bagus, Mas.

Tetapi Mas Tomi itu orang yang baik. Dia bekas

atasanku. Dan menurut firasatku, pendekatannya

206

kepadaku bukan bersifat murahan. Tetapi serius.

Jadi kalau aku bersikap kasar kepadanya kan keterlaluan namanya!" kataku kemudian.

"Cinta itu

kan bersifat kasih. Nah, bagaimana aku bisa berbuat jahat kepada orang yang mengasihiku?"

"Lalu, apa rencanamu?" kudengar nada pancingan dari suara Mas Bondan.

"Yah, melihat seberapa jauh pendekatannya

itu dapat menggerakkan hatiku!" Tentu saja itu

tidak benar. Aku cuma menjawab asal menjawab.

Tujuanku, ingin mengetahui apa pendapat Mas

Bondan.

"Kalau kau mau mencobanya, ya silakan saja.

Tetapi jangan minta bantuanku kalau nantinya

kau terjerat sendiri!" begitu ia mengomentari

perkataanku tadi.

"Kecuali kalau pada akhirnya

nanti muncul perkembangan baru ketika hatimu

yang paling murni mulai terbuka karena pendekatannya."

Apa yang dikatakan oleh Mas Bondan, kuakui

kebenarannya. Tetapi aku tahu betul, hatiku tak

mungkin terbuka karena pendekatan Mas Tomi.

Bahkan oleh seribu lelaki lain yang lebih ganteng

daripada Mas Tomi sekalipun. Aku kenal betul

siapa diriku. Sekali aku melabuhkan perasaan

cinta, sulit untuk menghilangkannya. Terhadap

Mas Arya yang nyata-nyata tak pantas kuberi kesetiaan dan cintaku saja pun, lama baru aku mampu melenyapkannya dari hatiku.

Tetapi sejujurnya kuakui, saat itu emosiku sedang kacau. Otakku juga sedang terganggu. Aku

207

tak ingin mengakui kebenaran yang Mas Bondan

katakan itu.

"Meskipun hatiku yang paling murni belum

tentu bisa menyambut pendekatannya itu, tetapi

kalau tidak berani mencoba berdekatan dengan

dia, bagaimana aku tahu seperti apa rasanya. Ya,

kan, Mas?" Aku menanggapi komentarnya tadi.

Suatu tanggapan yang juga cuma asal-asalan,

sebetulnya. Sahutan untuk menunjukkan kepada

Mas Bondan bahwa aku juga mempunyai pendapat sendiri.

"Terserah kalau itu maumu, Aster!" Mas Bondan menjawab pendek.

"Tentu saja," kataku dengan nada menantang.

"Sudah kukatakan, aku bukan anak kecil lagi.

Aku juga boleh mempunyai pendapat sendiri,

kan? Dan lagi, bukan hanya lelaki yang boleh

melakukan pendekatan atau meneoba-coba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dan

peluang. Perempuan juga boleh mencari peluang

dan coba-coba dulu dong!"

"Kalau Tante Pur mendengar perkataanmu

itu, pasti beliau kaget!"

"Biar saja."

"Kau sekarang mulai menjengkelkan, Aster.

Tahukah?" Mas Bondan mendesis.

"Entah ke

mana adikku Aster yang manis dan menyenangkan itu!"

"Idih, kok jadi begitu kata-katamu?" Aku juga

mendesis.

"Ilabis aku disuruh mengatakan apa? Memuji

208

mujimu sambil bertepuk tangan dan membiarkanmu masuk ke dalam hutan yang berbahaya?"

"Mas Tomi bukan orang yang berbahaya,

Mas!" bantahku.

"Itu hanya kau yang mengetahuinya secara

lebih baik. Jadi silakan saja kalau kau mau meneoba-coba bermain api atau petasan bersamanya."

Aku menoleh ke arah Mas Bondan. Tak biasanya lelaki itu memperlakukan diriku seperti

itu. Biasanya, dia begitu lembut. Begitu manis.

Begitu penuh kesiapan untuk membantuku dalam

hal apa pun. Sedikitnya, memberiku saran dan

nasihat dengan cara yang halus. Tidak merupakan sindiran seperti itu. Maka rasa jengkelku tadi

telah berubah menjadi kemarahan.

"Memangnya aku suka main api, Mas?" tanyaku kemudian, setengah membentak.

"Lho, mana aku tahu? Kau kan sudah gadis

dewasa sekarang. Aku sudah tak bisa ikut mengawasimu lagi seperti dulu. Jadi kau suka main api

atau tidak, itu kau sendiri yang tahu."

"Kau sekarang mulai menjengkelkan, Mas.

Tahukah kau?" tanyaku mengikuti caranya berkata kepadaku tadi. Aku yakin, dalam keadaan

biasa, dia pasti akan tertawa.

"Entah ke manakah

kakakku tersayang yang selalu siap menjadi pelindung dan pengawalku itu?"

"Kakakmu tersayang itu sedang kehilangan

adiknya yang manis, Aster!" begitu ia malah

menjawab.

"Jadi jangan harap dia akan muncul

209

sekarang."

"Hm, begitu Aku pastilah bukan hanya

menjengkelkan. Tetapi lidahku juga sudah mulai

tajam.

"Pantaslah malam itu aku mendapat perlakuan istimewa!"

Mas Bondan mengurangi laju kendaraannya.

la menoleh kepadaku. Dari keremangan cahaya

lampu jalan, kulihat matanya berkilat-kilat.

"Perlakuan istimewa yang mana?" tanyanya

dengan suara kering.

"Hanya karena pelukan mesra di lehermu, kau

langsung lupa diri. Lalu adik tersayangmu kausangka perempuan lain!" sahutku.

Laju kendaraan mencapai titik nol. Mas Bondan menepikan kendaraan. Kemudian tangannya

yang semula berada di atas kemudi, terulur ke

arah tanganku dan menyentakkannya.

"Aster, jangan sekali-sekali perkataan itu kauulangi lagi!" katanya dengan suara pelan tetapi

setiap patah perkataannya itu diberinya tekanan

kuat.

"Sakit dadaku mendengarnya. Sakit sekali.

Kau pasti tidak bisa membayangkan betapa kuatnya rasa sakit itu. Tetapi tolonglah, justru karena

kau tidak memahami rasa sakit yang kualami itu,

kuharap kau tak akan berkata seperti itu lagi kepadaku!"

Mendengar perkataan yang sama sekali tak

kusangka-sangka tadi, aku melongo.

',,

210

Sembilan

HARI itu, hari libur nasional. Pagi-pagi sekali

ketika aku masih di tempat tidur, Linda sudah

meneleponku. Hubunganku dengan bekas temanteman sekantorku memang masih tetap terjalin

baik. Terutama dengan Linda. Bukan hanya

karena usia kami hanya terpaut sekitar tiga bulan

tetapi juga karena kami berdua merasa cocok satu

sama lainnya.

"Apa acaramu hari ini, Aster?" begitu ia bertanya kepadaku begitu mendengar suaraku.

"Seperti biasanya, membantu urusan rumah

tangga ibuku, main musik, dan membaca!" sahutku, apa adanya.

"Dan kebetulan malam ini nanti,

hari tugasku main musik dan menyanyi di hotel.

Memangnya kenapa, Lin?"

"Tidak bosan, Aster?"

"Setengah mati!" aku menjawab dengan terus

terang sambil tertawa.

"Sebetulnya sih aku ingin

bekerja. Tetapi sampai hari ini tak satu pun surat

lamaran kerjaku yang mendapat balasan positif."

"Kau sih, hanya soal Mas Tomi dan Tatik

sampai mengorbankan karir. Rugi sendiri, kan?"

"Betul, Linda. Tetapi aku tidak menyesal karenanya kok. Aku memang sudah tidak tahan

211
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekerja di dalam suasana yang tak sehat seperti

itu. Lagi pula, biarlah usaha Tatik untuk meraih

perhatian Mas Tomi berjalan mulus tanpa kehadiranku."

"Kelihatannya kok tak akan berhasil, Aster.

Begitulah yang kulihat!"

"Aku tak heran. Pak Tomi datang ke hotel

tempatku menyanyi, seminggu yang lalu. Dia

menawarkan jasanya untuk mengantarku pulang," sahutku lagi.

"Tetapi kutolak. Kalau Tatik

berhasil meraih hati Mas Tomi kembali, pasti lelaki itu tidak datang untuk melihatku menyanyi!"

"Kok dia tahu kau bekerja di sana?"

"Itulah gobloknya aku. Tanpa sadar aku pernah menceritakan padanya apa yang akan kulakukan sesudah berhenti kerja," sahutku sambil

tertawa jengkel. Jengkel kepada diriku sendiri.

"Nanti, kapan-kapan aku akan menceritakan padamu mengenai hal itu. Nah kembali ke soal semula, kenapa pagi-pagi begini kau meneleponku?

Padahal hari libur seperti ini kan lebih enak diisi

dengan bermalas-malasan di tempat tidur!"

"Aku sudah terbiasa bangun pagi, Aster. Tadi

begitu bangun, tiba-tiba saja aku ingin pergi

memancing. Nah, maukah kau menemaniku?"

"Mau sih mau, Lin. Tetapi aku tidak mempunyai peralatannya. Itu yang kesatu. Yang kedua,

aku belum pernah memancing!"

"Ah, itu kan masalah sepele, Aster!" Linda

tertawa.

"Peralatan pancing, di rumahku ada beberapa set. Kami sekeluarga senang memancing.

212

Dan persoalan keduamu, itu juga gampang. Aku

akan mengajarimu bagaimana caranya memancing. Berani bertaruh, kau pasti akan ketagihan

kalau sudah bisa memancing."

"Kedengarannya menarik. Tetapi apakah

pulang-pulang nanti kita tidak gosong terpanggang matahari?"

"Tentu saja kita akan memilih tempat pemancingan yang diberi tempat peneduh, Aster!" Linda

tertawa.

"Akujuga tidak mau kulitku jadi rusak."

"Oke, kalau begitu. Aku mau ikut memancing

bersamamu."

"Sejam lagi, aku akan sampai di rumahmu.

Mandilah sana." Suara Linda terdengar riang sekali.

"Bisa?"

"Beres. Mengenai makanan dan minuman,

bagaimana?"

"Beres. Semuanya kutanggung!"

"Siiiip." Sebelum telepon kumatikan, aku

mendengar lagi suara tawa riang itu.

Sejam kemudian Linda sudah muncul di rumahku dengan salah satu mobil ayahnya. Orangtua Linda termasuk kaya. Di dalam mobil itu

tersedia berbagai macam makanan dan minuman

dingin. Maka begitulah, bersama Linda, seharian

itu aku menghabiskan waktu dengan memancing. Aku senang sekali mendapatkan kesibukan

yang sama sekali baru bagiku itu. Karenanya,

tak kuperhatikan terbangnya waktu. Rasanya tiba-tiba saja hari sudah sore. Oleh sebab itu begitu Linda menurunkanku di muka rumah, dengan

213

terburu-buru aku masuk ke kamar mandi setelah

menyerahkan beberapa ekor ikan gurami dan

ikan emas hasil pancinganku kepada Ibu, dengan

bangga.

Rasanya aku sudah secepat kilat mandi dan

merias wajahku. Tetapi toh tetap saja aku dikalahkan waktu. Tahu-tahu saja Mas Bondan sudah

mengetuk pintu kamarku.

"Masih lama, Aster?" tanyanya dari luar.

"Tinggal memakai gaun," sahutku buru-buru.

Aku tahu kalau tidak berangkat sekarang, kami

berdua bisa terlambat sampai ke hotel.

"Cepat lho, jangan sampai kita terlambat,"

kata Mas Bondan lagi.

"Oke." Sambil menjawab, kubuka lemari pakaianku. Siang tadi aku tidak menyiapkan baju

apa yang akan kupakai malam ini. Sebab biasanya baju-bajuku yang tergantung di lemari, hampir

semuanya kusut masai karena berimpitan. Dan

sekarang tak ada waktu lagi untuk menyetrika salah satu gaun-gaun itu.

Merasa gemas pada diriku sendiri, kuambil

saja gaun sutra biru yang selama ini kusia-siakan.

Seperti yang sudah kuduga, gaun yang terbuat

dari bahan sutra itu tidak kusut. Karenanya tanpa berpikir panjang lagi, gaun malam yang sebetulnya tak ingin kulihat lagi itu terpaksa kupakai juga. Kemudian, kukenakan perhiasan yang

cocok dengan gaun itu. Baru setelah itu kubuka

pintu kamar.

Mas Bondan menatap wajahku kemudian den

214

gan pandangan matanya yang tak bisa kubaca, ia

menelusuri tubuhku. Tetapi ia tak melontarkan

komentar apa pun kepadaku. Padahal aku yakin,

entah sedikit entah banyak, ia mengetahui gaun

biru yang kukenakan itu menyimpan kenangan

masa laluku bersama Mas Arya. Sebab tak mungkin ia lupa, dengan gaun biru itulah aku pergi

ke pesta perkawinan Mas Arya. Bapak, Ibu, dan

dia sendiri telah memuji-mujiku malam itu. Dan

beberapa hari sebelumnya, kubuat puisi tentang

gaun itu. Puisi itu, sekarang telah menjadi sebuah

lagu yang indah. Lagu yang sering kami nyanyikan berdua.

Entah karena sikap Mas Bondan yang meskipun tak berkata apa pun tetapi jelas menunjukkan

reaksi atas gaun biru yang kupakai itu, atau entah karena aku sedang letih karena seharian tadi

memancing, hatiku sangat tertekan malam ini.

Kalau tidak ingat apa pun, ingin sekali rasanya

aku melepas gaun itu dan mencampakkannya

keluar mobil.

Kupikir-pikir, tampaknya gaun sutra biru ini

mempunyai potensi menyusahkan diriku. Bahkan

sudah sejak pertama kalinya kupakai. Nyatanya

nasib sial juga kualami ketika di dalam perjalanan menuju ke hotel, tiba-tiba saja Mas Bondan

menanyakan sesuatu yang semestinya tak perlu

ia ucapkan. Laki-laki itu benar-benar mulai menjengkelkan.

"Apakah ada sesuatu yang khusus pada malam

hari ini, Aster?" begitu ia bertanya kepadaku.

215

Saat itu mobil yang membawa kami berdua sudah hampir memasuki halaman hotel.

Setelah di sepanjang perjalanan tadi kami

hampir-hampir tidak berbicara, pertanyaan Mas

Bondan yang tiba-tiba itu terasa mengejutkan.

Aku menoleh kepadanya.

"Apa maksud bicaramu itu, Mas?" aku balik

bertanya.

"Kau tahu apa yang kumaksud dengan pertanyaanku tadi !"

"Kalau gaun biru ini yang kaumaksudkan,

jawabannya adalah tidak. Tak ada sesuatu yang

khusus pada malam ini. Yang ada, hanyalah kebetulan!" sahutku dengan suara ketus.

"Jadi, jangan mengarang yang bukan-bukan di kepalamu

hanya karena puisi yang kubuat waktu itu. Lagi

pula, itu kan bukan urusanmu!"

Mas Bondan tidak menjawab. Aku juga tak

mempunyai keinginan untuk membicarakannya. Tetapi ketika kami berdua sedang berjalan

menyeberangi lobi hotel, lelaki itu berkata lagi.

"Entah pengakuanmu tadi memang betul demikian ataukah cuma dalih untuk menutupi hal

sebenarnya, itu memang bukan urusanku!" katanya dengan suara dingin.

"Tetapi yangjelas Aster, aku tidak ingin cuaca apa pun yang ada di hatimu saat ini berpengaruh pada penampilan kita."

"Jangan khawatir, Mas," sahutku dengan suara yang tak kalah dinginnya.

"Otakku masih

cukup bagus untuk mampu memilahkan urusan

atau perasaan pribadiku dengan hal-hal yang

216

menyangkut kepentingan orang banyak. Itu artinya, aku masih mampu menempatkan tugas dan

kewajibanku di atas kepentingan diriku sendiri.

Puas?"

"Puas!"

Aku menarik napas panjang. Hubunganku

dengan Mas Bondan belakangan ini memang seperti cuaca di pergantian antara musim hujan dan

musim kemarau. Sulit diduga. Kadang-kadang

tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi

apa-apa di antara kami berdua. Kadang-kadang

pula, rasanya seperti ada yang sedang mengganjal di hati kami masing-masing. Tak jarang pula

terjadi situasi yang menegangkan. Bahkan seperti

gunung berapi di bawah permukaan bumi. Salah

seorang di antara kami seperti dalam keadaan

siap memuntahkan lahar.

Hubungan kami yang seperti cuaca tak rnenentu itu membuatku sering merasa amat sedih.

Sebab aku sadar betul, kedekatan dan kemanisan

yang selama ini terjalin di antara hatiku dan hatinya, telah hilang. Keakraban dan kehangatan

yang menyelimuti pergaulan kami berdua, telah

terkikis. Sesuatu yang paling indah dalam hidupku, telah lenyap. Antara diriku dan Mas Bondan

sekarang terdapat jurang menganga yang semakin meluas lubangnya. Memang tidak kelihatan di

permukaan, tetapi jelas sekali terasakan.

"Lagu apa yang akan kita nyanyikan di awal

penampilan kita nanti?" tanyaku kepadanya. Lelaki itu sedang mengatur-atur tombol organ.

217

"Seperti biasanyalah!" sahut Mas Bondan tanpa menoleh.

"Lagu Gaun Biru?" tanyaku, mencari kepastian.

"Ya. Kenapa kau menanyakannya?"

"Yah, barangkali saja karena gaun yang kupakai ini..."

"Kan tadi sudah kukatakan, soal-soal yang

berkaitan dengan gaun birumu atau yang

semacam itu bukanlah urusanku. Kau sendiri pun

mengatakan begitu," Mas Bondan merebut pernbiearaan.

"Jadi yang penting bagiku, kita harus

tampil sebaik mungkin sebagaimana biasanya.

Tanpa mengingat hal-hal lain yang bisa menguranginya. Oke?"

"Oke. Dan itu artinya, lagu Gaun Biru akan

tetap menjadi lagu primadona kita!" sahutku

memastikan.

"Tepat sekali. Sampai akhir bulan ini, sesuai

dengan rencana kita untuk mempopulerkannya."

"Oke. Kau tak usah khawatir aku akan melakukan sesuatu yang mengurangi nilai penampilan kita."

"Bagus. Nah, bisa kita mulai sekarang?"

Kuanggukkan kepalaku. Setelah aku mengambil mikrofon dan memeriksanya apakah sudah

siap dipakai atau belum suara organ pun mulai

berkumandang. Kemudian setelah kukatakan kepada para pengunjung bahwa aku akan menyanyikan lagu Gaun Biru, terdengarlah nyanyianku

melengkapi permainan organ Mas Bondan. Maka

218

lagu Gaun Biru itu pun mengisi ruangan yang

sudah mulai banyak dikunjungi tamu-tamu. Ada

yang sedang makan, ada yang baru memesannya, ada yang cuma minum bir. Dan tidak sedikit pula yang datang ke ruangan ini hanya untuk

menikmati musik sambil memesan minuman ringan.

Seperti biasanya, aku tak pernah mau menatap

ke arah wajah para pengunjung apabila aku sedang menyanyi. Meskipun sudah hampir dua bulan tampil bersama Mas Bondan, masih saja aku

mempunyai perasaan malu ditonton orang ketika

sedang melantunkan lagu. Biasanya sesudah lagu
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai, barulah aku berani menatap mereka.

Begitu pun yang terjadi ketika aku menyanyikan lagu pertama itu. Setelah lagu selesai, baru

aku melayangkan pandang mataku ke seputar

ruangan sambil membungkuk untuk menyatakan

terima kasih atas tepuk tangan mereka. Entah

karena gaun biru itu penyebabnya atau memang

malam itu nasibku sedang sial, aku tak tahu.

Tetapi yang jelas, pada saat tubuhku tegak kembali, pandang mataku yang sedang menyapu ke

seluruh ruangan itu menubruk seraut wajah yang

sudah sangat kukenal. Dengan seketika tanpa aku

mampu mencegahnya, pandang mataku terhenti

di sana. Raut wajah yang membuat mataku jadi

berkunang-kunang itu adalah milik Mas Arya.

Untuk beberapa saat lamanya aku nyaris tak

bisa berpikir apa pun kecuali memikirkan kehadiran Mas Arya yang sama sekali tak kuduga

219

itu. Hampir saja aku tidak mendengar suara Mas

Bondan yang ketika itu sedang memberi pengumuman tentang lagu berikutnya. Lagu yang akan

kami nyanyikan berdua.

Lekas-lekas perhatianku kualihkan kembali

ke tempat semula. Kepada lagu yang akan kunyanyikan berduet dengan Mas Bondan. Entah

lagu apa, aku masih belum tahu. Tetapi sayangnya, ketenangan batinku sudah terlanjur goyah.

Bahkan kedua belah kakiku terasa gemetar. Sulit

sekali aku memfokuskan perhatian kepada yang

seharusnya.

Sebetulnya yang menyebabkan goyahnya batinku itu bukanlah melulu karena keberadaan Mas

Arya. Melainkan juga kesadaranku atas nasib sial

yang sedang kuhadapi. Pertama, karena aku memakai gaun biru yang sudah amat dikenal oleh

Mas Arya. Padahal sungguh mati aku tak mau ia

keliru tafsir, mengira aku masih mencintainya.

Lebih-lebih lagi karena aku baru saja menyanyikan lagu Gaun Biru yang sebelum kulantunkan,

judulnya kusebut lebih dulu. Mas Arya pasti tahu

bahwa gaun biru itu memiliki ikatan khusus dengan dirinya. Dengan demikian, lagu itu pun tak

jauh-jauh dari keberadaannya.

Tetapi aku juga yakin, dia belum tahu bahwa

gaun yang berkaitan dengan dirinya itu sekarang

tidak lagi mengandung sesuatu yang bersifat asmara atau semacam itu. Melainkan hanya bersifat

peringatan bagiku. Sebab dengan melihat gaun

biru itu, aku diingatkan untuk tidak melupakan

220

sebuah kesalahan fatal yang pernah kulakukan

dan karenanya jangan sampai aku mengulangi

lagi kesalahan yang sama.

Hal kedua yang menimbulkan goyangnya

perasaanku ini adalah rasa takutku kalau-kalau Mas Bondan melihat keberadaan Mas Arya.

Sebab dengan melihat kehadiran Mas Arya di

tempat ini, Mas Bondan pasti menyangka aku

telah dengan sengaja mengenakan gaun biru ini

untuknya. Apalagi kalau ingat perkataan Mas

Bondan yang dilontarkan kepadaku di dalam perjalanan ke sini tadi. Lelaki itu pasti semakin tak

mempercayaiku. Dalihku bahwa aku memakai

gaun biru itu karena suatu kebetulan saja, pasti

akan ditanggapi dengan cemoohan.

Untuk mengurangi perasaanku yang kacau-balau itu, kuajak Mas Bondan berbicara.

"Lagu apa yang akan kita nyanyikan berdua,

Mas?" tanyaku kepadanya.

"Lihat dalam catatanku."

Aku tahu, setiap menghadapi tugas untuk

menyanyi atau memainkan lagu, Mas Bondan

selalu membuat catatan mengenai lagu-lagu apa

yang akan dimainkan dan siapa yang akan menyanyikannya. Lalu apakah lagu itu akan dinyanyikan solo, duet, atau dimainkan secara instrumentalia. Sekarang catatannya untuk malam itu

terletak di sudut, di bagian atas organ. Catatan itu

kuambil. Kubaca di sana, lagu berikutnya setelah

lagu Gaun Biru tadi adalah Unforgettable.

"Aku tidak hafal syairnya!" bisikku.

221

"Aku tahu. Baliklah kertas catatan itu, aku

telah menyalinnya di situ. Kita pernah berlatih

dengan lagu itu. Masih ingat, kan?"

"Masih. Syairnya saja yang aku tak hafal."

"Dengan catatanku itu, beres, kan? Bisa kita

mulai sekarang?" Mas Bondan melirikku sesaat

lamanya.

"Jangan terlalu lama mengambil waktu

jeda."

"Oke."

Aku dan Mas Bondan menyanyikan lagu itu

dengan meniru cara Natalie Cole menimpali suara nyanyian almarhum ayahnya. Suaraku dan

suara Mas Bondan pas sekali untuk lagu itu. Padahal kami baru sekali ini menyanyikannya di

depan umum. Latihan yang pernah kami lakukan,

sudah berselang cukup lama. Dan cuma sekali

itu. Waktu itu hubunganku dengan Mas Bondan

masih mulus tanpa lika-liku, sekitar dua bulan

yang lalu.

Rasanya lega sekali ketika lagu demi lagu

setelah itu dapat kami suguhkan dengan bagus

dan mendapat tepuk tangan meriah dari pengunjung. Padahal sebelumnya aku sempat merasa

amat khawatir kalau-kalau kegalawan hatiku tadi

berpengaruh pada penampilanku.

Sayangnya, nasib sial masih belum lepas juga

dari diriku. Aku memang berhasil menghindarkan pandang mataku dari tempat Mas Arya sedang duduk sambil mengawasiku itu. Tetapi ketika pandang mataku kusapukan ke bagian lain,

tiba-tiba aku melihat Mas Tomi juga ada di ruang

222

ini. Jengkel sekali aku menghadapi situasi sial

seperti itu. Mau marah, marah kepada siapa?

Kalau toh Mas Arya merasa harus datang ke

sini, kenapa harus malam ini ketika aku sedang

mengenakan gaun biru? Dan kalau Mas Tomi

ingin melihatku lagi kenapa harus datang pada

malam yang sama? Aku benar-benar merasa putus asa sekarang. Karenanya sesudah menyanyikan satu lagu lagi, aku pamit ke toilet kepada

Mas Bondan. Di sana aku ingin bersembunyi untuk menenangkan kegundahan hatiku.

Tetapi tentu saja tidak mungkin aku berlama-lama di sana. Tak sampai sepuluh menit,

aku sudah gelisah. Mas Bondan pasti sedang

menungguku. Jadi meskipun enggan masuk

kembali ke ruangan tempat kedua lelaki yang sama-sama tak kusukai itu sedang duduk di sana,

kutinggalkan juga toilet. Bersama dengan Mas

Bondan, aku harus menyelesaikan tugas kami

malam itu.

"Aster " begitu pintu toilet kututup kembali

setelah kakiku melangkah keluar, aku mendengar suara Mas Arya. Dengan perasaan seperti diganduli berton-ton besi, aku terpaksa menoleh ke

arah asal suara. Kulihat, lelaki itu sedang berjalan

ke arahku. Aku yakin, dia langsung mengikutiku

ketika melihatku keluar ruangan.

Sejak hari pernikahannya tiga bulan yang lalu,

baru satu kali inilah aku bertemu muka dengan

Mas Arya lagi. Kami bertatapan mata selama beberapa detik. Dan dengan perasaan heran, kute

223

mukan suatu kenyataan yang tak tersangka-sangka. Melihat kehadirannya, aku seperti melihat

kehadiran seorang teman lama. Bukan seseorang

yang pernah menempati tempat istimewa di batinku. Mengherankan, bukan?

"Halo " sapaku sambil mengulurkan tangan

kepadanya.

Mas Arya tidak mau menyambut uluran tanganku. Matanya masih terus menatapiku. Kulihat ada binar-binar menyala pada kedua belah

matanya.

"Seperti inikah pertemuan di antara dua orang

kekasih yang sudah tiga bulan lamanya tak bertemu?" tanyanya kemudian.

"Dua orang kekasih?" Alis mataku kujinjit.

"Siapa itu, Mas Ary? Kalau yang kaumaksudkan

itu kita berdua, harus kutanyakan lagi kepadamu.

Sedang mimpikah kau?"

"Aster, kata-katamu itu menyakiti hatiku "

"Kok aneh!" kataku memenggal perkataannya.

"Kalaupun kita berdua merupakan sepasang

kekasih, itu kan sudah lama berlalu. Kita sudah

berpisah secara baik-baik lebih dari enam bulan

yang lalu setelah kuturuti semua keinginanmu.

Termasuk memakai gaun ini di hari pernikahanmu!"

"Tiga bulan aku memendam rasa rindu kepadamu. Dan hari ini, aku sudah tak tahan lagi

menindas rasa rindu itu terus-menerus," kata Mas

Arya seperti tidak mendengar perkataanku tadi.

"Tetapi apa yang kuhadapi? Kau menyambut per

224

temuan kita ini dengan sikap dingin. Pedih sekali

hatiku, Aster."

"Semestinya aku yang merasa sedih mendengar perkataanmu itu," kataku memotong lagi

perkataannya.

"Aku pangling melihatmu, Mas.

Ternyata, kau tidaklah seperti lelaki yang pernah

kukenal. Bisa-bisanya berkata seperti itu kepada

perempuan lain yang bukan istrimu. Apalagi istri

itu kaunikahi bukan karena paksaan dari mana

pun. Melainkan karena pilihanmu sendiri, entah

apa pun alasannya."

Semburat rona merah melintasi sesaat wajah

Mas Arya.

"Aku juga pangling melihatmu, Aster. Pertama, meskipun aku tahu kau menyukai musik,

tetapi baru sekarang ini aku mengetahui bahwa

ternyata suaramu begitu bagus. Kedua, kulihat

kau tampak semakin cantik saja. Ketiga, aku

tidak melihat lagi dirimu yang lemah lembut dan

manis seperti yang kukenal selama ini. Apa yang

kulihat sekarang adalah gadis berlidah tajam dengan sikap yangjauh dari mesra. Aku..."

"Itu karena kau belum mengenal siapa diriku

yang sesungguhnya, Mas Ary," aku menyela perkataannya.

"Jadi, tak ada yang berubah padaku.

Bahwa kau merasa pangling karena kurangnya

pengenalanmu terhadapku, itu tak lagi relevan

untuk dibicarakan. Singkatnya, pangling atau

tidak, bukan masalah."

"Malam ini aku sengaja datang sendiri kemari

untuk melihat dirimu," Mas Arya berkata lagi.

225

Seperti tadi, ia mengabaikan perkataanku.

"Sebagaimana kukatakan tadi, rinduku kepadamu

sudah tak tertahankan lagi. Oleh sebab itu bukan

main berbunganya hatiku ketika melihatmu memakai gaun biru. Seolah nasib telah mengatur itu

semua sehingga..."

"Maaf, Mas Ary," lagi-lagi aku memotong

perkataan Mas Arya.

"Bahwa malam ini kau melihatku memakai gaun biru ini, tidak ada kaitannya dengan nasib yang telah mengaturnya. Sebab

hanya kebetulan aku mengambil gaun ini dari lemari lalu memakainya. Kau harus tahu sekarang
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa gaun biru ini tak lagi menjadi pakaian

yang paling istimewa bagiku. Jadi, gaun birukah

yang kuambil dari lemari pakaianku, atau gaun

hijau, merah, atau apa pun, itu suatu kebetulan

belaka. Kau sendiri kalau mengambil pakaian

dari lemari juga begitu, kan?"

"Bicaramu tidak sesuai dengan kenyataan!"

"Yang mana yang tak sesuai?" Alis mataku

kujinjit lagi.

"Lagu Gaun Biru yang kaunyanyikan tadi belum pernah kudengar. Sudah begitu setelah lagu

yang kaunyanyikan itu kusimak baik-baik, tahulah aku bahwa isinya menyangkut hubungan kita

berdua. Jadi jelas sudah, bahwa lagu itu adalah

lagu ciptaanmu!"

"Kau keliru, lagu itu bukan ciptaanku. Kemampuanku di bidang musik tidak sehebat Mas

Bondan. Mana bisa aku menciptakan lagu seindah itu!"

226

"Mas Bondan? Tetapi syair lagu itu seperti suara dari hatimu...?"

"Itu adalah puisi yang kubuat tatkala hubungan kita berdua baru saja putus. Jadi, puisi itu

kubuat tatkala luka di hatiku masih berdarah.

Mas Bondan menemukan kertas coretan puisiku

tanpa sengaja, lalu membuatkan lagunya. Mula-mula aku tidak setuju, tetapi ketika mendengar lagunya begitu indah, ya akhirnya kubiarkan

saja. Itu kan cuma sekadar lagu. Lagi pula luka

hatiku toh sudah sembuh sama sekali." Kujawab

pertanyaannya itu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Air mukaku menampilkan kesungguhan.

"Jadi biarlah masa lalu itu tertinggal di belakang

kita. Sekarang ini, kita sedang menghadapi masa

depan!"

Mas Arya terdiam. Aku yakin, dia sedang

mencerna perkataanku. Mudah-mudahan saja dia

mempercayainya. Kesempatan itu kupakai untuk

melanjutkan langkah kakiku.

"Aku harus masuk ke dalam kembali, Mas!"

kataku sambil berjalan.

"Sampai ketemu dan

sampaikan salamku pada istrimu!"

"Aster " Mas Arya menyusulku.

Langkah kakiku yang bergerak dengan tergesa itu kuperlambat dengan perasaan terpaksa.

"Apa lagi?" tanyaku.

"Aku masih mencintaimu, Aster."

"Itu urusanmu, Mas. Tak ada kaitannya dengan diriku. Maafkan, hatiku sudah tidak lagi bersamamu!" kujawab perkataannya dengan ketus.

227

Sebab aku melihat dari kejauhan, Mas Bondan

sedang melihatku berjalan bersama bekas kekasihku itu.

"Jadi saranku, pindahkan cintamu itu

kepada istrimu. Kau telah memilihnya menjadi

teman hidup. Bukan aku. Dengan demikian dialah yang berhak mendapatkan cintamu. Oke?"

"Aster... apakah sudah ada orang lain di hatimu?"

Semula aku akan menjawab "'tidak". Tetapi

wajah Mas Bondan melintasi pikiranku. Ketika

pandang mataku melayang ke arah lelaki yang

sedang menghabiskan permainan medley-nya di

depan sana, hatiku menjadi penuh oleh perasaan kasih meskipun itu diwarnai kepiluan yang

menyengat. Aku sadar betul, dia bukan milikku.

Dia milik Mbak Astri. Sudah begitu ketika pandang matanya melayang ke arahku, aku melihat

cemooh di dalamnya. Tetapi apa boleh buat, aku

tetap saja mencintainya.

"Ya," akhirnya kujawab pertanyaan Mas Arya

sesuai dengan kenyataan yang ada. Apa pun kepedihan yang menyertainya, perasaan kasih dan

cinta itu memang kurasakan terhadap Mas Bondan. Aku tidak berdusta.

"Betapa beruntungnya lelaki itu. Siapa dia,

Aster?"

Aku tidak menjawab. Langkah kakiku yang

sempat melambat tadi, mulai kupercepat lagi.

Tetapi lagi-lagi Mas Arya menyusul langkahku.

"Siapa dia, Aster?" tanyanya lagi. Nada suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang amat kental.

228

Hampir saja aku membentak Mas Arya kalau saja Mas Tomi tidak muncul dengan tiba-tiba

dari balik pilar yang berada di dekat pintu ruangan yang sedang kutuju itu. Aku yakin sekali,

Mas Tomi sudah melihat air mukaku yang sedang

jengkel. Bekerja bersamaku selama dua tahun dan

dia menaruh perhatian khusus pula, pastilah lelaki itu mampu membaca perubahan-perubahan air

mukaku. Jadi sedikit atau banyak, dia tahu juga

bahwa kehadiran Mas Arya sedang membuatku

kesal. Apalagi dia mengetahui bahwa Mas Arya

sudah beristri.

"Halo, Dik Ary!" Lelaki itu melangkah

mendekati Mas Arya sambil mengulurkan tangannya.

"Apa kabar?"

Dengan hati lega kusaksikan bagaimana Mas

Arya menyambut uluran tangan bekas atasanku

itu.

"Baik, Mas. Bagaimana Mas Tomi sendiri"?"

"Baik." Mas Tomi tersenyum manis.

"Menikmati hidangan hotel juga?"

"Ya, begitulah," Mas Arya menjawab dengan

agak gelisah. Aku tahu sebabnya. Masih ada ganjalan di hatinya. Ia ingin tahu betul siapa lelaki

yang berhasil merebut hatiku. Tetapi mana aku

mau mengatakannya. Itu adalah rahasia hatiku.

"Sudah sering datang ke sini?" kudengar Mas

Tomi bertanya lagi kepada Mas Arya. Suatu percakapan basa-basi belaka.

"Baru sekali ini. Kebetulan saja aku mendengar Aster bekerja di sini, jadi aku mampir ke

229

mari..."

"Dengan istri?"

"Sendirian, Mas. Ini tadi pulang dari kantor

aku langsung ke mari."

Karena pembicaraan ini tak ada sangkut pautnya dengan diriku, apalagi aku tahu Mas Bondan

sedang menunggu, lekas-lekas aku pamit mau

melanjutkan tugas. Tetapi Mas Tomi menahanku.

"Sebentar, Dik Aster," katanya tergesa.

"Malam ini aku yang akan mengantarkanmu pulang. Bagaimana?"

Kalau saja tidak ada Mas Arya di situ, tawaran

Mas Tomi itu pasti kutolak mentah-mentah. Tetapi karena aku ingin mengesankan pada bekas

kekasihku bahwa sekarang ini aku seorang gadis

yang masih bebas, ajakan Mas Tomi langsung

saja kuiyakan tanpa berpikir panjang lebih dulu.

"Oke, Mas!" sahutku. Kemudian kutinggalkan kedua lelaki itu dengan langkah tergesa

menuju ke mimbar, tempat Mas Bondan sedang

mengakhiri permainan organnya.

"Giliranmu, Aster!" kata lelaki itu begitu melihatku kembali.

"Lagunya?"

"Lihat saja di dalam catatanku!" Mas Bondan

menjawab pendek.

Aku mulai marah kepadanya. Pikirku, apa sih

susahnya menjawab pertanyaanku. Catatan itu

ada di depan matanya persis.

"Tolong ambilkan kalau kau tak mau membacakan untukku!" sahutku ketus.

230

"Ambil sendiri!"

Karena berada di depan umum, meskipun

hatiku panas terpaksa jugalah aku mengulurkan

tanganku untuk mengambil catatan yang ada di

depannya itu. Kepala kami nyaris bersinggungan

karenanya. Samar-samar kucium aroma wewangian yang dipakainya. Aroma yang mulai kukenal. Aroma yang mengingatkan diriku pada kejadian di dalam mobil beberapa malam lalu.

Tetapi ah, persetan dengan debar jantungku

yang tiba-tiba menjadi cepat itu. Dengan susah-payah kualihkan perhatian kepada catatan

Mas Bondan yang sekarang berada di tanganku.

Kubaca, aku harus menyanyikan lagu Untuk Apa

yang sangat bagus dinyanyikan oleh Rahka Duri.

Hm, rupanya Mas Bondan cukup peka melihat segala sesuatu di seputar tugasnya. Kemarin

siang, aku memang menyanyikan lagu itu dengan

iringan pianoku sendiri ketika dia sedang mencuci mobilnya. Rupanya, diam-diam dia memperhatikan hal itu.

Agar aku tidak lagi dipengaruhi suasana bersuhu tinggi di sekitar kami berdua, kucurahkan

perhatian dan perasaanku kepada lagu yang kunyanyikan.

Lagu itu menceritakan tentang seseorang

yang menanyakan kepada kekasih barunya, untuk apa mengungkit kisah masa lalunya dengan

orang lain. Bahwa itu semua sudah berlalu, jadi

terima dia apa adanya.

Saat aku menyanyikan lagu itu, tak kuingat

231

bahwa saat itu aku sedang diperhatikan orang

banyak. Aku benar-benar larut di dalam lagu dan

syairnya. Tetapi justru karena itulah, begitu lagu

itu selesai kunyanyikan, aku mendapat aplaus

yang sangat meriah. Sesuatu yang tidak kusangka-sangka.

"Kau menyanyi bagus sekali!" kata Mas Bondan ketika aku meletakkan kembali catatannya di

depan hidungnya.

"Penuh perasaan...."

"Terima kasih.

" jawabku, tak mengira Mas

Bondan akan memujiku.

"Apakah itu ada kaitannya dengan kedua lelaki di luar sana?"

Setelah mendengar pujiannya tadi dan sekarang mendengar perkataan sinis yang diucapkannya itu, aku merasa seperti dibanting sesudah dipanggul di atas tandu berlapis emas. Sakit sekali.

Karenanya begitu tak ada orang yang memperhatikan kami, kusembur dia dengan perkataan

yang kuucapkan dengan sepenuh kemarahanku.

"Belakangan ini, kau senang sekali menyakiti hatiku," desisku dengan mata menyala-nyala.

"Mulai malam ini, aku tak akan mau lagi mendampingimu menyanyi di sini. Carilah orang lain

saja. Sekarang, aku mau pulang."

Tanpa menunggu reaksinya dan tanpa memedulikan bahwa aku masih harus menyanyi dua

buah lagu lagi, kuraih tasku. Kemudian kutinggalkan tempat itu. Pikirku, aku akan naik taksi.

Tak kupedulikan rasa takut yang sering muncul

kalau aku terpaksa harus naik taksi sendirian

232

pada malam hari.

"Dik Aston..." suara Mas Tomi menyusup ke

telingaku. Saat itu aku sudah berada di lobi dan

sedang berniat meminta bantuan pegawai hotel

untuk mencari taksi untukku.

"Mau ke mana?"

"Mau pulang, Mas."

"Lho, aku tadi sudah menawari untuk mengantarkanmu pulang, kan?" kata Mas Tomi.

"Dan

kau sendiri pun sudah mengiyakannya. Kok sekarang mau pulang sendirian!"

"Mas Bondan masih mempunyai urusan dengan pihak hotel, jadi aku memutuskan untuk pulang lebih dulu!"

"Yang kutanyakan, kenapa mau pulang sendirian padahal kau tadi sudah mengiyakan tawaranku untuk mengantarmu pulang."

"Aku lupa..."

"Kalau begitu, ayolah ikut bersamaku!" kata

Mas Tomi sambil tersenyum.

"Aku akan mengantarkanmu pulang sampai di depan pintu rumahmu."

Menolak tawaran yang melepaskanku dari

kesulitan ini? Tentu saja tidak. Meskipun dengan berat hati karena merasa telah memanfaatkan
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mas Tomi, aku pun meninggalkan hotel.

233

Sepuluh

"ADA apa tadi, Dik Aster...?" suara Mas

Tomi menyusup ke telinga dan membuyarkan

lamunanku. Sementara itu mobil yang

dikendarainya terus melaju membelah lalu lintas

yang masih cukup ramai pada jam setengah

sebelas malam itu.

"Apanya yang ada apa, Mas?" aku balik bertanya.

"Kelihatannya kau agak marah kepada Dik

Ary. Memangnya kenapa?"

"Oh, itu...." dengan segan aku menjawab pertanyaannya.

"Tadi, Mas Ary bilang dia masih

mencintaiku. Tentu saja aku marah. Memangnya

dia itu siapa? Apa lupa kalau sudah ada seorang

istri di rumahnya!"

"Kalau memang kalian masih saling mencintai, kenapa hubungan kalian berdua terputus?"

"Maaf, Mas. Aku tak mau membicarakan halhal yang sudah berlalu!" sahutku eepat-eepat.

"Asal kau tahu saja, bahwa apa pun perasaanku

terhadap Mas Ary, itu tak lagi relevan dengan

kenyataan yang sekarang terjadi. Dan otakku

masih cukup sehat untuk tetap berdiri di jalan

kebenaran. Maka aku juga tetap berpegang pada

234

prinsip kebenaran tersebut untuk tidak merusak

kehidupan perkawinan orang."

"Tetapi tidakkah kau mempunyai keinginan

untuk mencoba membuka hatimu bagi lelaki

yang lain?" Mas Tomi bertanya lagi.

"Tidak, Mas. Sedikitnya untuk masa-masa sekarang ini. Aku masih ingin bebas untuk

mengembangkan diri!"

"Kau tidak ingin bekerja di kantor lagi?"

"Bukankah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak cocok bekerja di balik meja kantor?

Jadi setelah selesai masa istirahat ini, aku akan

mencari pekerjaan yang sesuai dengan hatiku."

Tak kuceritakan bahwa setiap hari aku selalu

mengirimkan surat lamaran kerja. Dan sampai

hari ini, belum satu pun tanggapan positif yang

kuterima.

"Berapa lama kau merencanakan istirahat,

Dik Aster?"

"Mungkin dua bulan lagi, mungkin juga tiga

bulan.

" sahutku asal menjawab.

"Aku belum

tahu. Tergantung suasana hatiku saja."

"Bolehkah selama masa istirahatmu itu, aku

datang berkunjung ke rumahmu?"

"Masalahnya bukan boleh atau tidak boleh,

Mas!"

"Lalu apa masalahnya kalau begitu?"

"Sebelum kujawab, bolehkah aku berterus

terang kepadamu?"

"Dengan senang hati, Dik Aster!"

"Tetapi berjanjilah untuk tidak marah kare

235

nanya!" Kulirik sesaat lelaki itu dengan diam-diam.

"Aku berjanji."

"Begini lho, Mas, selain aku tidak begitu cocok bekerja di kantor, alasanku keluar dari pekerjaanku waktu itu sebenarnya adalah memberi

kesempatan padamu untuk menguntai kembali

hubunganmu dengan Tatik..."

"Kelihatannya kau lebih tahu tentang perasaanku terhadap Tatik," aku mendengar nada tak

suka di dalam suaranya.

"Bukan begitu, Mas. Tatik terus-menerus

mencoba menerorku. Jadi pikirku, apa salahnya

aku pergi demi memberi kesempatan padanya

untuk meraih hatimu kembali."

"Sok tahu kau, Dik Aster!"

"Terserah apa katamu, Mas. Asal kau mengerti, aku bermaksud baik."

"Apanya yang baik!" Mas Tomi sedikit

mendengus ketika mengucapkan kata-katanya

itu.

"Bukan maksud baikkah kalau dengan kepergianku itu aku memberi kesempatan padamu

untuk melihat kenyataan sebenarnya?" sahutku.

"Sebab sungguh membuat perasaanku sangat sedih melihatmu berada dalam angan-angan yang

tak akan menjadi kenyataan, sementara ada seorang gadis cantik yang begitu mencintaimu."

"'Maksudmu, kau tetap tidak akan membuka

hati untukku?"

"Maafkanlah Mas, aku terpaksa mengiyakan

236

pertanyaanmu itu. Sebab sama seperti perasaanmu terhadap Tatik yang tetap beku, begitulah

yang juga kurasakan terhadap pendekatanmu.

Bahkan juga pendekatan laki-laki lainnya. Oleh

sebab itu aku merasa sedih ketika melihatmu datang ke hotel khusus untuk melihatku menyanyi

dan bermain musik. Rasanya, percuma saja aku

meninggalkan pekerjaanku waktu itu."

Mas Tomi terdiam lama. Setelah beberapa

menit berlalu baru dia berkata lagi.

"Hatimu sekeras batu wadas, Dik Aster!"

"Mungkin."

"Itu artinya, kau tidak suka melihat kehadiranku di hotel..."

"Sudah kusinggung tadi, yang tidak kusukai

adalah kesia-siaan yang kawalami, Mas. Sebab

kau telah membuang-buang waktu, tenaga, dan

uang hanya untuk sesuatu yang sia-sia."

"Mungkin " Mas Tomi berkata pelan.

"Tetapi biarpun begitu, hatiku senang bisa melihatmu,

bisa mendengarkan suara dan permainan organmu. Dan malam ini bisa mengajakmu makan

pula!"

Kami memang baru saja selesai makan

makanan ringan. Di hotel tadi, kami sudah sama-sama mengisi perut meskipun tidak terlalu

kenyang. Mas Tomi mengajak mampir makan siomay di rumah makan langganannya. Siomaynya

sungguh enak sekali. Sepanjang pengalamanku,

akujarang sekali menemukan siomay yang enak.

Minumannya juga enak-enak. Aku memilih jus

237

campuran. Jambu biji dengan nanas dan entah

dengan campuran apa lagi aku tak tahu. Pokoknya enak dan segar.

"Mas, kau itu lelaki yang baik, yang penuh

pengertian terhadap siapa pun. Kau juga lelaki

yang berkepribadian matang dan memiliki kehidupan dan karier yang telah mapan. Pastilah itu

semua akan menjadi modal untuk membahagiakan keluargamu kelak," kataku menanggapi perkataannya tadi. Itu benar. Kecuali sikapnya yang

beberapa kali lepas kontrol bila berdekatan denganku tanpa terlihat orang lain, berteman dengan

Mas Tomi cukup menyenangkan.

Mas Tomi terdiam. Matanya menatap lurus ke

depan. Tetapi aku tahu, hatinya gundah. Sungguh

tak enak rasanya menolak cinta laki-laki sebaik

Mas Tomi. Tetapi apa boleh buat. Aku memang

benar-benar tidak bisa mencintainya.

"Kalau dipikir-pikir, perasaan manusia itu

benar-benar pelik, ya, Mas?" aku berkata lagi.

"Kenapa aku dulu bukannya jatuh cinta kepada lelaki yang sebaik dirimu tetapi kepada lelaki lain, yang kalau dibandingkan berada jauh di

bawah nilaimu. Tetapi yah, itulah sesuatu yang

mau ataupun tidak harus diterima sebagai kenyataan betapapun pahitnya itu!"

"Sudahlah, kita membicarakan hal lain saja!"

Mas Tomi menyela perkataanku.

"Aku setuju, tetapi pembicaraan kita masih

belum selesai," sahutku eepat-eepat.

"Sebab dari

perkataan-perkataanku tadi, aku bermaksud men

238

jawab pertanyaanmu tentang apakah kau boleh

datang berkunjung ke rumahku atau tidak. Tadi

kau menanyakan itu, kan?"

"Ya. Aku menangkap maksud baikmu, Aster. Kau ingin supaya aku realistis dan menerima kenyataan agar jangan sampai terjatuh dari

awang-awang. Sebab semakin tinggi angan-angan itu kugantungkan di langit, akan semakin

terasa sakit ketika jatuh menyentuh kenyataan!"

"Itulah yang sebetulnya tak kuinginkan terjadi padamu, Mas!" kataku lagi.

"Kau terlalu baik

untuk mengalami rasa sakit hanya karena sesuatu

yang tak layak!"

"Kau baik sekali, Dik Aster. Perasaanmu halus dan rendah hati. Orang tidak bisa sakit hati

mendapat penolakan darimu!"

"Aku tidak sebaik yang kausangka, Mas. Terhadap Mas Ary, aku telah bersikap kejam. Aku

yakin sekali, malam ini dia pulang dengan membawa rasa sakit hati dan kecewa."

"Itu bukan sesuatu yang kejam, Dik Aster.

Tetapi suatu ketegasan yang memang diperlukan

untuk Dik Ary. Obat itu pahit, bukan?"

"Ya." Usai menjawab perkataan Mas Tomi,

pembicaraan kualihkan kepada hal-hal yang

ringan. Tentang bagaimana seharian tadi aku

belajar memancing ikan dengan Linda. Tentang

bagaimana Linda menceritakan mengenai tunangannya yang meninggal hanya tiga bulan menjelang pernikahan mereka. Sampai sekarang ia

merasa trauma untuk memulai percintaan yang

239

baru. Juga aku bercerita tentang bagaimana ikanikan hasil tangkapan kami yang besar-besar itu

akan dimasak oleh ibu kami masing-masing. Dan

seterusnya, dan seterusnya lagi.

Aku senang Mas Tomi bisa ikut terbawa larut

dalam eerita-cerita itu. Semula, aku khawatir

kalau-kalau dia tak bisa menerima penolakanku.

"Kalau dilihat-lihat, Linda itu ada miripnya

denganmu, ya?" tanyanya setelah ceritaku selesai.

"Apanya yang mirip?"

"Entahlah, apanya. Mungkin pandangan

matanya yang tajam. Mungkin sepak terjangnya

yang tak pernah mau diam. Mungkinjuga caranya bersikap di dalam pergaulan!"

"Dari sekian banyaknya teman, memang dialah yang paling cocok denganku," aku mengakui.

"Mungkin seperti katamu itu, Mas, ada banyak

persamaan di antara kami berdua yang selama ini

tak terlalu kuperhatikan."

"Diajuga secantik dirirnul"

Aku menoleh ke arahnya demi mendengar

perkataannya. Ada secercah harapan yang muncul di hatiku. Kecil sekali, tetapi daripada tidak

ada, bukan?

"Berteman dengan dia, menyenangkan!" komentarku dengan harapan yang mulai bersemi

tadi.

"Ada-ada saja yang ditanganinya. Ada-ada

saja yang digelutinya. Mas, ada baiknya kalau

kau berteman lebih akrab dengannya..."
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan terlalu jauh berangan-angan, Dik

240

Aster!" Mas Tomi tertawa pelan. Tetapi aku


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil

Cari Blog Ini