Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 4
mendengar, tawa itu mengandung rasa sedih.
"Aku tadi cuma mengemukakan sesuatu yang
baru kusadari sekarang."
"Lho, aku kan cuma mengatakan ada baiknya
kalau kau berteman lebih akrab dengannya. Bukan untuk pacaran atau semacam itu!" Aku mencoba tertawa juga untuk menetralisir suasana.
"Linda itu seorang gadis penggembira yang bisa
menularkan kegembiraan kepada orang-orang di
sekelilingnya. Kurasa, kau membutuhkan hal-hal
semacam itu."
"Itu bisa dipikirkan kapan-kapan saja. Toh
aku dan Linda bekerja di tempat yang sama,"
Mas Tomi mulai mengalihkan pembicaraan.
"Sekarang kita sudah mendekati perempatan jalan
lho. Aku belum tahujalan menuju rumahmu. Ke
mana arah kita?"
"Setelah perempatan jalan terus saja kok,
Mas. Nanti kalau ada jalan ke kiri, kita belok ke
kiri. Lalu jalan ke kanan yang pertama, kita berbelok ke sana. Rumahku di pojokan."
"Oke."
Hari sudah semakin larut malam ketika mobil
Mas Tomi tiba di depan rumah orangtuaku. Jam
yang melingkari pergelangan tanganku menunjuk jam setengah dua belas lewat sedikit. Sejak
putusnya hubunganku dengan Mas Arya, baru
sekali ini aku pulang sampai larut malam. Tak
pernah lagi aku jalan-jalan dengan seseorang.
Tak pernah lagi aku nonton film atau makan di
241
restoran dengan seorang lelaki.
"Sebaiknya aku turun dan menyerahkanmu
kepada orangtuamu, Dik Aster!" katanya sambil
mematikan mesin mobil.
"Oke."
"Sekarang sudah larut malam. Bukan malam
Minggu pula. Mudah-mudahan kedua orangtuamu tidak marah kepadaku."
Aku ingat, di dalam pembicaraan kami waktu itu, aku pernah mengatakan kepada Mas Tomi
bahwa kedua orangtuaku termasuk keras terhadapku. Padahal, itu tidak benar. Apa yang kukatakan itu hanyalah dalih agar Mas Tomi tidak lagi
mengajakku pergi.
"Untuk kali ini, mereka pasti tidak akan marah. Tetapi untuk yang seterusnya, aku tak berani
menjamin yang sama. Sudah pernah kukatakan
kepadamu, kan, Mas, orangtuaku agak keras
mengatur diriku. Maklum, anak tunggal!" lni
pun tidak benar. Sebab jawaban itu hanya untuk
menabiri diriku dari kemungkinan diajak pergi Mas Tomi lagi. Kedua orangtuaku memang
sangat memperhatikan diriku. Tetapi mereka
menaruh kepercayaan kepadaku. Tak pernah
mengerasiku. Aku sajalah yang keterlaluan, tak
mampu menjaga kepercayaan yang ditaruh mereka ke kepalaku. Kuhilangkan keperawananku
sebelum waktunya.
Memasuki halaman rumah, aku melihat mobil Mas Bondan sudah terparkir di depan garasi.
Rupanya, dia sudah lebih dulu sampai di rumah.
242
"Aku tadi ingin supaya bisa lebih cepat sampai ke rumah, tetapi malah Mas Bondan yang lebih dulu tiba!" kataku, mengomentari keberadaan
mobil itu.
"Itu mobilnya, ya?"
"Ya."
"Diajuga tinggal di sini?"
"Untuk sementara, ya. Sedikitnya, sampai dia
menikah."
"Kalau siang dia bekerja di mana?"
"Dia mengajar di perguruan tinggi jurusan
musik. Selain itu, dia juga menjadi pengurus
dan sekaligus pengajar di yayasan musik." Entah mengapa, aku merasakan suaraku terdengar
mengandung kebanggaan waktu menjawab pertanyaan Mas Tomi itu. Ataukah itu bagian dari
cinta? Bukankah para ibu juga sering membanggakan anak-anaknya yang kalau dilihat kelayakannya, tak memiliki bobot memadai untuk patut
dibanggakan? Tetapi itulah kasih cinta.
"Kakak sepupumu itu hebat, Dik Aster. Permainan musiknya luar biasa. Suaranya juga bagus."
"Kau belum melihatnya bermain piano, Mas.
Dia ahlinya. Sudah sejak berumur lima tahun dia
mempelajarinya." Lagi-lagi kudengar nada bangga dalam suaraku sendiri.
"Kau juga tak kalah hebatnya, Dik Aster.
Kalian meman g termasuk keluarga pemusik yang
tak banyakjumlahnya di negara kita ini. Yang kuherani, kenapa kehebatan itu tidak diperkenalkan
243
kepada masyarakat luas."
"Aku dan Mas Bondan sedang mulai merintisnya."
Percakapan terhenti ketika kami berdua sudah
berdiri di teras. Karena tidak membawa kunci
serep, terpaksalah aku mengetuk pintu. Telingaku
masih mendengar suara televisi dari ruang tengah. Berarti, di rumah ini masih ada orang yang
menonton televisi dan mendengar ketukan pintuku. Memijit bel akan mengejutkan orang. Setidaknya, Bik Popon pasti sudah tidur. Kasihan dia
kalau sampai terbangun karena bunyi bel.
Semula aku menyangka, Ibu yang akan membukakan pintu untukku. Ternyata bukan. Mas
Bondanlah yang membukakan pintu.
"Mas, ini Mas Tomi!" kataku kepada lelaki
yang membukakan pintu untukku itu.
"Dia yang
mengantarku pulang."
Mas Tomi mengulurkan tangannya kepada
Mas Bondan. Mereka bersalaman sebentar.
"Saya Bondan, kakak sepupu Aster," begitu Mas Bondan berkata sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih Anda telah mengantarkan Aster
sampai di rumah."
"Maaf, Mas, saya agak kemalaman membawa
Dik Aster pulang." Meskipun tidak ditanya, dengan sopan Mas Tomi menjelaskan kenapa kami
baru pulang sekarang.
"Tadi, kami masih merasa
lapar. Jadi kami mampir sebentar ke warung siomay langganan saya."
"Oh, ya. Tak apa-apa," Mas Bondan men
244
jawab penjelasan Mas Tomi, kemudian menoleh
kepadaku.
"Asal jangan jadi kebiasaan saja. Dalam hal ini kedua orangtuanya agak keras. Ya,
kan, Aster.
"
Aku tidak menjawab. Sebab kalau itu kulakukan, pasti isinya tidak enak didengar meskipun
perkataan yang diucapkan sekenanya saja itu malah menunjang dustaku kepada Mas Tomi tentang
kedua orangtuaku. Tetapi aku tidak ingin mengomentari perkataannya. Aku harus memikirkan
perasaan Mas Tomi juga. Sudah terlalu banyak
kekecewaan yang kusuapkan padanya.
"Bapak dan Ibu...?" Mas Tomi bertanya, masih
dengan sikap sopannya tadi. Meskipun kalimatnya tidak lengkap, kami semua tahu apa yang ia
maksud. Maka Mas Bondan menjawabnya.
"Mereka sudah tidur," jawabnya.
"Kalau begitu, saya mohon dipamitkan."
"Akan saya sampaikan. Terima kasih sekali
lagi, Anda sudah mengantar Aster pulang!"
Setelah berbasa-basi dengan satu atau dua
kalimat lagi, Mas Tomi langsung pamit pulang.
Kuantarkan dia sampai ke pintu pagar, sekalian
untuk menggembok pintunya. Setelah lelaki itu
pergi, aku masuk ke rumah kembali.
"Puas?" Tiba-tiba Mas Bondan bersuara,
menyambut kehadiranku kembali.
Sambil menutup pintu rumah, aku melotot kepadanya.
"Jelaskan pertanyaanmu mengenai apa yang
kaumaksud dengan kata "puas" itu, Mas!" kataku
245
dengan suara ketus.
"Acara coba-cobamu itu."
"Coba-coba apa?" Mataku melotot lagi kepada lelaki yang berdiri di depanku itu. Meskipun
aku begitu marah kepadanya, tetap saja pandang
mataku tak mampu mengabaikan betapa gagahnya Mas Bondan dengan kaus ketat tanpa lengan
yang mencetak tubuhnya itu. Aku tahu, ia suka
memakai pakaian seperti itu untuk tidur. Pasti
enak dipakai. Kecuali di kamar kedua orangtuaku, kamar-kamar lain di rumah ini memang tidak
dilengkapi alat pendingin ruangan. Daya listriknya kurang.
"Bukankah kau pernah mengatakan kepadaku
bahwa meskipun seorang perempuan, kau juga
berhak mencoba-coba bermain api!" kata lelaki
itu. Suaranya terkontrol dan kalem. Tetapi isinya,
menyakitkan.
"Aku tak pernah mengatakan mau mencoba-coba bermain api!" bantahku.
"Oke, mungkin tidak persis begitu yang kaukatakan. Tetapi jelas kau bilang padaku bahwa
untuk mengetahui apakah ada kemungkinan
membuka hatimu bagi bekas atasanmu itu kau
harus mau meneoba-eoba dulu untuk melayani
pendekatannya. Nah, pertanyaanku tadi, sudah
puaskah kau dengan acara eoba-cobamu itu?"
Kuakui, aku memang pernah mengatakan
hal seperti itu kepada Mas Bondan. Tetapi sesungguhnya tidak demikianlah yang kuinginkan.
Bahkan jauh dari itu. Sebab untuk apa aku mem
246
buang-buang waktu untuk sesuatu yang tak ada
manfaatnya. Menurutku, perasaan cinta adalah
sesuatu yang datangnya dari lubuk hati yang
terdalam. Soal cepat atau lambat perasaan itu
disadari oleh yang bersangkutan, itu soal kedua.
Tetapi yang jelas bukan dengan cara coba-coba.
Apalagi dengan cara bermain api.
Jadi, apa yang kukatakan kepada Mas Bondan
waktu itu hanyalah suatu cara untuk membuat
lelaki itu merasa jengkel dan tertantang. Bukan
yang sesungguhnya. Sebab aku tahu, Mas Bondan diberi kepercayaan oleh kedua orangtuaku
untuk melindungi dan memperhatikan diriku
sebagai adiknya. Tetapi lelaki itu mengira kepergianku dengan Mas Tomi tadi ada kaitannya dengan apa yang pernah kukatakan waktu itu.
"Hm,jadi kau ingin tahu apakah aku puas atau
tidak dengan acara eoba-eobaku itu?" sahutku
kemudian.
"Tentu saja. Siapa tahu caramu itu bisa kutiru
di suatu ketika nanti!"
"Gombal!" Aku mendengus.
"Tetapi kalau
kau memang ingin tahu apa hasil acara coba-cobaku itu, jawabnya adalah ya. Aku merasa puas
karena telah mendapatkan hasil yang positif."
"Hm, begitu..."
"Ya, begitu!" Kuanggukkan kepalaku sambil
menyerobot pembicaraan kami.
"Aku tidak bohong!"
ltu benar. Aku memang tidak berbohong.
Kepergianku bersama Mas Tomi tadi telah rne
247
nelorkan suatu hasil yang positif. Mas Tomi sudah tahu dengan jelas bahwa hatiku benar-benar
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ada padanya dan tak ada kemungkinan untuk mengubahnya. Tetapi bukan itu kesan yang
kuberikan kepada Mas Bondan mengenai hasil
positif yang kusebutsebut tadi. Dengan sengaja,
dugaannya kubawa pada pemikiran lain. Bahwa,
hubunganku dengan Mas Tomi telah mengalami
suatu kemajuan ke arah terbukanya suatu hubungan percintaan.
Untuk beberapa saat lamanya, aku melihat Mas Bondan menatapku dengan tatapan
menyelidik.
"Kuharap, itu bukan suatu pelarian!" komentarnya kemudian.
"Kenapa kau mempunyai dugaan seperti itu?"
"Karena gaun birumu!"
Tanpa sadar aku menunduk untuk melirik
gaun biru kenangan yang masih kupakai ini. Pikiranku lari kepada Mas Arya. Sudah sejak tadi,
Mas Bondan mempunyai persangkaan bahwa
gaun itu kupakai dengan sengaja. Ketika Mas
Bondan melihat Mas Arya hadir untuk menyaksikan penampilanku, persangkaan yang ada pada
lelaki itu pastilah sudah menjadi keyakinan.
"Memangnya gaun biruku kenapa?" tanyaku.
Aku ingin tahu seberapa jauhnya persangkaannya itu dan seberapa jauh pula keyakinan yang
bertengger di kepalanya.
"Dik Arya merasa bangga dan bahagia karena kau memakai gaun itu, kan?" Mas Bondan
248
tersenyum mengejek.
"Apalagi karena lagu Gaun
Biru kaunyanyikan di hadapannya."
"Aku menyanyi bukan untuk dia saja!" Aku
mendengus.
"Tetapi, bahwa dia merasa bangga
dan menyangka cintaku masih ada padanya, itu
memang benar. Ketika sangkaannya itu kubantah, dia tidak mempercayaiku sehingga aku tadi
terpaksa bersikap agak kasar kepadanya!"
Karena apa yang kukatakan itu benar dan
tidak mengada-ada, kubalas pandang mata Mas
Bondan yang mengandung cemooh itu dengan
berani. Pelan-pelan cemooh yang melumuri bola
mata Mas Bondan, mulai meluntur. Aku tahu,
Mas Bondan telah mempercayai perkataanku.
"Bahwa kau membantah persangkaan DikAry
dan bersikap agak kasar kepadanya, aku percaya
itu. Dari kejauhan tadi, aku memang sempat melihat wajahmu yang galak," sahutnya kemudian.
"Tetapi apakah hatimu sungguh-sungguh sudah
melupakan lelaki itu, aku tak yakin. J ustru karena
itulah aku tadi mengatakan kepadamu agar kesempatan yang kauberikan kepada Mas Tomi itu
jangan menjadi tempat pelarian."
Rupanya usahaku agar Mas Bondan menangkap kesan keliru mengenai hubunganku dengan
Mas Tomi berhasil. Tetapi karena apa yang dikatakan oleh Mas Bondan itu tidak benar, aku merasa kesal. Tak ada sedikit pun pelarian hati dalam
hubunganku dengan Mas Tomi. Namun sayangnya aku tak bisa membela diri. Mas Bondan tidak
boleh tahu bahwa tak ada hubungan khusus di an
249
tara diriku dan Mas Tomi. Pembelaan diri hanya
akan membuka kebenaran yang sesungguhnya,
kebenaran yang sengaja kusembunyikan darinya.
Karenanya, aku hanya bisa menyemprotkan rasa
jengkel.
"Sok tahu kau, Mas."
"Memangnya kenapa kalau aku sok tahu?"
Mas Bondan menantangku.
"Kau menyebalkan, Mas!" Aku mendengus.
"Sikapmu terhadapku melebihi sikap Ibu dan
Bapak. Seolah, aku ini anak remaja yang masih
hijau. Cinta sejatikah yang kuberikan kepada Mas
Tomi, cinta pelariankah, atau cinta main-mainkah
itu, tak perlu kaupusingkan. Itu urusanku. Dan
apa pun yang nantinya akan kuhadapi, itu juga
urusanku. Aku bukan anak kemarin sore yang tak
sanggup menghadapi risiko dan konsekuensinya.
Paham?"
"Paham sekali. Tetapi apakah yang kauucapkan itu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi nantinya, aku tetap menyangsikannya!"
"Apa dasar kesangsianmu itu, Mas?" aku
menyemburkan kemarahanku lagi.
"Belum-belum kok sudah menghakimi!"
"Lho, apakah kau lupa apa yang terjadi di
malam pengantin Dik Arya?" Mas Bondan menjinjitkan alis matanya.
"Lalu siapa yang malammalam keluar kamar mencari sesuatu di dapur
dengan harapan sesuatu itu dapat membuatnya
mengantuk? Siapa pula yang menangis di sofa
dengan tangis yang sedemikian menyedihkan
250
sampai-sampai jantungnya seperti mau meledak
keluar?"
Diingatkan kelemahan yang pernah terjadi
padaku, aku merasa malu. Malam itu memang
malam yang benar-benar kelabu bagiku. Malam
ketika aku merasakan sungguh betapa malangnya
menjadi seorang anak yatim-piatu yang terbuang
seperti seonggok kain lapuk kotor dan tak berharga.
"Nah, tidak bisa menjawab, kan?" Mas Bondan tersenyum mengejek lagi.
"Jadi, Aster, janganlah sesumbar bahwa dirimu akan sanggup
menghadapi risiko dan konsekuensi atas perbuatan apa pun yang kaulakukan!"
Diejek seperti itu, rasa malu yang kurasakan
tadi berubah menjadi kemarahan. Dengan sekuat
tenaga yang kumiliki, dada Mas Bondan kudorong dengan kedua belah tanganku. Karena tak
menyangka akan mendapat perlakuan seperti
itu, ia tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan diri. Apalagi sikap tubuhnya tidak
menunjang. Ia berdiri di tengah ruangan dengan
kedua belah tangannya terlipat di dada. Sementara itu kakinya yang sebelah menapak ringan ke
lantai.
Akibat kehilangan keseimbangan, Mas Bondan terdorong mundur. Suatu hal yang memang
kukehendaki. Aku ingin mendorongnya masuk ke
kamarnya yang tak jauh dari tempat kami berdiri
itu dan menghentikan segala ocehannya. Seharian ini kekuatan diriku benar-benar telah terkuras
251
habis-habisan. Lahir dan batin. Sejak bangun
pagi tadi, lalu pergi memancing bersama Linda,
sesaat pun aku belum beristirahat. Terus-menerus
berdebat dengan Mas Bondan bisa membuatku mati berdiri dengan seluruh kekuatan yang
terkuras habis....
"Masuk ke kamarmu dan tutup mulut!" desisku sambil terus mendorong dadanya.
Mas Bondan mencari keseimbangan dengan
meraih tubuhku. Karena tubuhnya tinggi dan
kuat, aku tak mampu menahannya sehingga sekarang akujuga kehilangan keseimbangan. Apalagi
seperti yang sudah kukatakan tadi, hsikku dalam
keadaan letih. Sudah begitu sepatuku bertumit
tinggi pula.
Akibatnya, kami berdua terjatuh tepat di ambang pintu kamar tidurnya. Untungnya, Mas
Bondan memiliki kegesitan yang didapatnya
dari kebiasaan berolahraga. Meskipun terjatuh
ke lantai, empasannya tidak terlalu menyakitkan
berkat kegesitan usahanya memilih cara terjatuh
yang paling aman. Meskipun sakit, sakitnya tidak
seberapa.
Tetapi rasa terkejut yang diakibatkan jatuhnya
kami berdua itu, sangat luar biasajadinya. Posisi
tubuh kami berdua seperti posisi dua orang insan
yang sedang berkasih mesra. Terbaring di lantai,
berhadapan muka dengan kedua belah tangan
berpelukan erat.
Menyadari itu, aku seperti orang kehilangan
akal. Kurasa, Mas Bondan pun mengalami hal
252
yang sama. Setelah emosi yang meledak-ledak
tadi dan sesudah saling melempar perkataan
pedas, apa yang terjadi sekarang betul-betul
mengaburkan akal sehat yang masih tersisa. Situasi yang bertolak belakang itu melupakan segala-galanya.
Mataku menatap mata Mas Bondan. Mata
lelaki itu juga menatap mataku. Kedua pasang
mata kami yang saling menatap entah berapa
lamanya itu nyaris tak berkedip. Kami sama-sama seperti kena sihir, terpukau sedemikian rupa
bagaikan dua orang dungu menyaksikan sesuatu
yang menakjubkan....
Tetapi akhirnya ketika akal sehatku mulai
kembali, kurasakan tubuhku bergetar menahan
gairah luar biasa yang tak kumengerti kenapa
bisa terjadi dalam keadaan seperti ini. Namun
sebelum aku sempat berpikir apa pun, tiba-tiba
saja Mas Bondan menciumku.
Ciuman lelaki itu begitu panas. Begitu liar.
Begitu penuh nafsu dan begitu intim. Aku seperti
dilontarkan ke dunia lain. Apalagi ketika dengan
sama panas dan sama liarnya ia menggulingkan
tubuhnya ke atas tubuhku sambil terus mencium bibirku. Ketika aku megap-megap kehabisan
napas, bibirnya yang panas itu berpindah lalu
mengecupi apa saja yang bisa dikecupinya. Sisi
wajahku, sisi telingaku, mataku, dan akhirnya
juga lekukan di bawah leherku.
Aku menggelinjang sambil merintih. Lelaki
itu telah membawaku ke suatu perasaan yang
253
menghanyutkan seluruh badan dan jiwaku. Terlebih ketika tangannya mengelus dan meraba
bahuku dengan jemari yang bergerak memutar,
menelusup ke arah dadaku. Perasaan seperti itu
tak pernah kualami bersama Mas Arya. Bahkan
juga tak kurasai ketika malam itu aku kehilangan
keperawananku.
Ya, malam ketika aku memakai gaun yang
sekarang ini kukenakan, aku telah kehilangan
keperawananku. Betapapun gilanya apa yang kulakukan bersama Mas Bondan dan betapapun gilanya lelaki itu memesraiku sampai seperti orang
sedang hilang akal, ingatan tentang malamku
bersama Mas Arya itu seperti suara halilintar di
sisi telingaku. Aku pun tersentak. Kusadari, diriku yang sudah tidak layak lagi bagi Mas Bondan
yang masih suci.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada
padaku, kudorong tubuh Mas Bondan dari atas
tubuhku. Kurenggutkan tubuhku sambil berusaha bangkit berdiri. Kemudian tanpa ingat pada
tasku yang terjatuh entah di mana dan sepatuku
yang terlepas juga entah di mana, terhuyung-huyung aku berlari meninggalkan Mas Bondan dan
masuk ke dalam kamarku.
Seluruh tubuhku bergetar. Kedua belah kakiku
seperti tak memiliki tulang. Dengan susah-payah
karena kedua belah tanganku gemetar, aku melepaskan gaun biruku. Kemudian gaun itu kulempar ke sudut kamar, lalu kuempaskan tubuhku
yang masih bergetar itu ke atas tempat tidur.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
254
lngin sekali aku menangis keras-keras tetapi
entah kenapa mataku tetap saja kering. Entah, lari
ke manakah air mataku, aku tak tahu.
Dengan seluruh perasaanku yang kacau-balau, kupejamkan mataku yang kering itu rapat-rapat. Bayangan kemesraan yang baru saja kualami
itu terpeta di sana. Memang tidak terjadi sesuatu
yang lebih jauh, tetapi aku tak yakin apakah itu
juga tidak akan terjadi seandainya tubuhnya tak
kudorong dari atas tubuhku. Tadi, kami berdua
benar-benar seperti dua bola api membara yang
siap meledak bersama.
Tetapi, mengapakah hal seperti itu bisa terjadi?
Dari pihakkujelas, aku memang mencintai lelaki
itu. Tetapi Mas Bondan? Mengingat bagaimana
sayangnya dia kepadaku, mustahil kalau dia mau
melakukan perbuatan seperti tadi. Jadi jawaban
dari pertanyaanku itu cuma ada dua. Yang pertama, Mas Bondan sedang terbalut nafsu bersifat
biologis sehingga akal sehatnya lenyap. Kedua,
sesungguhnya lelaki itu juga mencintaiku entah
dia menyadarinya ataupun tidak.
Tragisnya, mana pun yang benar dari kedua
jawaban itu tetap saja membuat tubuhku semakin
gemetar dengan perasaan yang luar biasa kacau!
255
Sebelas
PAGl-PAGI sekali aku sudah bangun. Karena
hari ini hari Kamis, aku memilih sarapan bersama
Bapak dan Ibu. Hari Kamis, Mas Bondan tidak
mengajar pada pagi hari. Jadi kalau kesiangan
sedikit saja, aku pasti akan bertemu muka
dengannya. Sebab biasanya kalau tidak ada tugas
pada pagi hari, Mas Bondan suka bangun siang.
Padahal setelah kejadian malam tadi, hatiku
benar-benar tidak siap berhadapan dengannya
lagi.
"Tumben bangun pagi-pagi sekali!" komentar Ibu sambil mengulurkan pinggan berisi nasi
goreng kepadaku. Sejak aku tidak bekerja di kantor, jarang sekali aku sarapan dengan kedua orangtuaku.
"Mau ikut mobil Bapak sampai di terminal,"
sahutku.
"Boleh, kan, Pak?"
"Tidak!" Bapak tersenyum menatapku.
"Kau
yang akan mengemudikan mobil. Aku yang akan
ikut bersamamu."
"Lho ?" Aku menjinjitkan alis mataku.
"Bapak tidak ke kantor?"
"Bapakmu akan ke luar kota bersama Pak
Hermawan hari ini," Ibu yang menjawab. Pak
256
E-Booh by syauqy_arr
Hermawan adalah atasan Bapak.
"Kau mau ke mana?" tanya Bapak, menyambung pembicaraan.
"Mau mencari sesuatu, Pak." Aku tak mau
mengatakan bahwa hari ini aku mau mencari biola yang cukup berkualitas. Tak peduli harganya yang pasti mahal. Kata orang, dalam kondisi
yang tak luar biasa, tidak satu pun yang gratis di
dunia ini. Apalagi alat musik yang bisa menciptakan suara indah dan bisa dinikmati banyak orang.
"Yang dicari itu pasti barang-barang yang
berurusan dengan kebutuhan seorang gadis!" Ibu
menyela sambil tertawa.
"Baju, alat-alat kecantikan, sepatu, parfum dan lain sebagainya. Ya,
kan?"
Aku tertawa tanpa memberi penjelasan. Tetapi nanti, aku pasti akan menceritakan tentang apa
yang akan kubeli itu kepadanya. Sebab begitu
mempunyai biola, aku akan langsung mencari
tempat kursus musik. Tetapi tentu saja bukan di
tempat Mas Bondan mengajar. Dan meskipun
aku ingin merahasiakannya terutama terhadap
Mas Bondan, akhirnya Ibu pasti akan tahu juga
bila nanti mendengar aku berlatih. Dibanding
yang lain, Ibu paling banyak tinggal di rumah.
Sulit memberi kejutan padanya.
Sungguh beruntung aku hari ini. Sepanjang
hari tanpa dibatasi waktu, aku bisa memakai
mobil Bapak keliling kota Jakarta, mendatangi
toko-toko musik untuk mencari biola. Semula
aku mengira akan naik dan turun bus seperti bi
257
asanya, dengan risiko akan menghabiskan waktu
di jalan.
Setelah makan siang di sebuah rumah makan
dengan membawa kotak berisi biola yang berhasil kubeli, kutelepon Ibu di rumah.
"Bu, Ibu mau memakai mobil atau tidak?"
tanyaku kepadanya.
"Tidak. Kenapa?"
"Urusanku belum selesai."
"Selesaikanlah. Kau bebas memakai mobil
sampai kapan pun hari ini. Bapak baru akan pulang besok sore."
"Asyiklah kalau begitu. 1er mau oleh-oleh
apa?"
"Apa sajalah. Sebiji permen saja pun kalau
dibelikan oleh anak tercinta, rasanya lain!" sahut
lbu sambil tertawa.
"Apalagi kalau permennya nano-nano yang
ramai rasanya itu, ya, Bu."
"Ya." Ibu tertawa lagi.
"Sudah ya, Bu, ya?" kataku menutup pembicaraan dengan manja. Aku tahu betul, Ibu sangat senang kalau aku bermanja-manja padanya.
"Daah."
"Dah."
Selesai makan siang, kudaftarkan diriku ke
sebuah kursus musik yang cukup terkenal di Jakarta Selatan. Aku mengambil kursus untuk kelas
istimewa. Seminggu dua kali dan dengan bayaran
yang cukup mahal. Tetapi yah seperti apa yang
pernah dikatakan orang kepadaku dan yang juga
258
menempel di otakku, aku memang mengakui
bahwa di dunia ini tak ada yang gratis untuk sesuatu yang bermutu dan istimewa.
Setelah mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kursus itu, aku membeli beberapa buku musik berisi lagu-lagu klasik untuk
permainan biola. Beberapa lagi untuk permainan piano sebagai oleholeh buat Ibu. Kemudian
dalam perjalanan pulang, aku mampir membeli
penganan yang disukai Ibu.
Hari sudah menjelang sore ketika mobil
Bapak kumasukkan ke dalam garasi. Hatiku sangat lega ketika tidak melihat mobil Mas Bondan.
Dan semakin lega ketika melihat betapa girangnya hati Ibu mendapat oleh-oleh yang kubawa
untuknya itu.
"Belakangan ini agak sulit mencari buku-buku piano yang bagus. Ini pasti mahal sekali ya,
Ndak?" komentarnya sambil membalik-balik
buku musik itu.
"Aduh, ada lagu Serenade karya
Toselli yang komplit aransemennya."
"Buku itu untuk grade empat, Bu."
"Kelihatannya begitu. Dan yang ini, Sonatinen album keluaran Jerman..." Ibu menghentikan
gerakannya membuka-buka buku musiknya yang
baru, kemudian menatapku.
"Ini pasti mahal harganya."
"Buku-buku impor mana ada yang murah sih,
Bu," sahutku sambil tertawa senang. Ibu tampak
gembira sekali mendapat buku-buku musik baru
itu.
"Ada rupa, ya ada harga."
259
"Nanti uangmu habis!" komentar Ibu lagi.
"'Biolamu itu kan mahal sekali harganya."
Karena kebetulan Ibu melihat kotak biola
yang tadi kubawa masuk, terpaksalah hal itu tak
km'ahasiakan kepadanya.
"Untuk sesuatu yang indah, tak ada yang murah apalagi gratis di dunia ini. Dan sering kali
pula, ada hal-hal atau sesuatu yang tak bisa dibandingkan dengan kegratisan yang bersifat materi. Jadi Bu, andaikata pun uangku habis karenanya, itu tak masalah. Apalagi, simpananku di
bank cukup besar kok, Bu."
"Ya sudah kalau begitu."
Setelah mandi, kubuka barang-barang pembelianku tadi. Buku biolaku kusandarkan pada alat
penyangga buku yangjuga kubeli di toko musik,
kemudian dengan dipandu buku musik itu aku
mencoba memainkan biola. Mudah-mudahan apa
yang sedikit-sedikit pernah kupelajari dari Oom
Hardy dulu, masih ada yang menempel dalam ingatanku.
Kuakui, ini tidak mudah. Bahkan sulit. Terutama karena sudah lama sekali aku tidak memainkannya. Namun toh masih ada yang bisa
didengar telinga meskipun sering keliru gesekan.
"Masih ingat?" suara ibu yang mengintip
melalui pintu kamarku itu menyela perhatianku.
"Sedikit..." sahutku, masih merasa canggung
memeluk biola dan menggesek senar-senarnya.
"Nanti kalau aku sudah semakin ahli, kita duet
ya, Bu. Ibu bermain pada piano, aku pada bio
260
la. Tetapi Ibu jangan bercerita dulu kepada Mas
Bondan mengenai ini. Aku ingin memberi kejutan padanya."
"Ya." Sambil tertawa, Ibu merapatkan kembali pintu kamarku.
Sejak hari itu, aku mempunyai kesibukan
baru, mengikuti kursus biola dan berlatih di rumah kalau tidak ada siapa-siapa. Belum dua bulan mengikuti kursus biola di tempat kursusku
itu, aku ditawari menjadi pengajar piano untuk
para pemula termasuk anak-anak.
"Guru yang biasa mengajar di tempat ini, pindah keluar kota!" kata si pemilik tempat kursus
itu dengan penuh harapan.
"Kami ingin Mbak
Aster yang menggantikannya."
Kejadiannya memang suatu kebetulan belaka.
Hari itu aku datang terlalu pagi. Masih ada sekitar tiga puluh menit lagi baru giliran kelas biolaku tiba. Daripada menunggu sambil melamun,
aku melihatlihat beberapa piano yang terpajang
di lantai dasar yang dipergunakan untuk ruang
pamer. Kuelus sebuah grana'piano yang berpelitur amat halus.
Lantai dasar tempat kursus itu memang toko
musik yang cukup lengkap meskipun tidak selengkap toko tempat aku membeli biola.
"Yang ini baru tiba, Mbak!" kata si pemilik
sambil mendekatiku. Aku yakin, dia mempunyai indra keenam untuk menangkap rasa tertarik
yang tersirat dari air muka seseorang.
"Asli dari
Jepang."
261
"Bukan assembling sini?"
"Bukan, built up dari sana."
"Pasti mahal sekali."
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si pemilik itu tersenyum sambil menyebutkan
sebuah angka yang membuat mataku melotot.
"Wow. Itu hampir menyamai harga sebuah
mobil!" seruku.
"Masih belum mencapai harga mobil sedan
mewah, Mbak."
"Tetap saja mengagetkan orang. Tiga tahun
yang lalu, harganya jauh di bawah itu!"
"Tentu saja. Dolar pun sekarang kan sudah
empat kalinya nilai uang rupiah kita waktu itu."
"Kalau yang itu?" Aku menunjuk piano lain.
Peliturannya mulus, licin, dan mengilat. Aku bisa
bercermin di permukaannya.
"Yang itu assembling sini. Lebih murah." la
menyebutkan sejumlah angka lagi.
Dan aku kembali mernelototkan mata meskipun tidak selebar tadi.
"Wah, uang kita benar-benar sudah tidak
bernilai lagi!" keluhku.
"Bagaimana orang bisa
membeli sesuatu yang dicita-citakannya kalau
keadaan terus begini?"
"Kalau Mbak mau, kamijuga mempunyai beberapa piano bekas yang kualitasnya bagus."
Aku tersenyum kepada si pemilik.
"Kami sudah mempunyai piano kok, Pak. lni
tadi cuma mau melihat-lihat," sahutku kemudian.
"Kalau begitu Mbak pandai bermain piano,
ya?"
262
"Pandai sih tidak. Cuma dalam kategori paspasan!" sambil menjawab, tanganku mengelus-elus permukaan piano yang mahal harganya
itu. Permukaannya yang lembut dan halus sekali
terasa menyentuh ujung-ujung jernariku.
"Hm,
apakah piano ini boleh saya coba?"
"Silakan."
Tanpa berpikir lagi aku memainkan beberapa
lagu yang kuingat di luar kepala. Kemudian juga
kumainkan lagu Gaun Biru dengan variasi sesuka hatiku berdasarkan ajaran-ajaran yang pernah
diberikan oleh Mas Bondan.
"Bagus sekali, Mbak. Siapa yang mengajar
Mbak bermain piano?" komentar si pemilik. Wajahnya berseri-seri.
"Rupanya Mbak suka musik,
"
ya.
"Keluarga saya memang suka musik. Ibu saya
mendatangkan guru piano ke rumah," sahutku
sambil mengakhiri permainanku. Memang lain
rasanya menarikan jemari di atas piano yang
masih gres baru. Apalagi di ruang yang luas, sehingga keutuhan suaranya tidak terganggu keberadaan barang-barang lainnya.
"Sudah berapa lama Mbak belajar piano?"
"Wah, tidak ingat berapa lamanya. Tetapi
yangjelas, saya belajar piano sudah sejak kecil."
Itulah awal pembicaraan kami sampai si pemilik itu menawariku menjadi pengajar piano di
tempatnya. Karena bisa diatur dengan hari-hariku
belajar biola, aku menyetujuinya. Apalagi honornya juga lumayan, meskipun di bawah yang
263
kuterima dari Mas Bondan ketika aku masih
mendampinginya menyanyi di hotel. Entah apa
yang dikatakan oleh Mas Bondan kepada manager hotel mengenai absenku itu, namun tak sepatah
kata pun dia menyinggungnya.
Sejak kejadian malam itu, hampir-hampir aku
tak pernah bertemu muka dengan Mas Bondan.
Baik dia maupun aku, sama-sama berusaha tidak
berhadapan muka. Setiap aku mendengar suara
mobilnya masuk ke halaman rumah, lekas-lekas aku masuk ke kamar. Begitu juga pada pagi
harinya. Sebelum telingaku mendengarnya pergi,
aku tak mau keluar dari kamar.
Sebaliknya pun demikian. Mas Bondan tak
akan keluar dari kamarnya kalau dia mendengar suaraku. Di meja makan, masing-masing kami
berusaha menghindari makan bersama.
Karena Mas Bondan mempunyai televisi di
kamarnya, Ibu tidak mencurigai adanya sesuatu yang aneh di antara diriku dan Mas Bondan.
Apalagi aku sudah bercerita kepadanya bahwa
aku sudah tidak lagi membantu Mas Bondan
menyanyi di hotel.
"Kenapa, Aster?" tanya Ibu waktu itu.
"Enak
kan, hobi kita mendapat imbalan uang yang
cukup lumayan besarnya!"
"Untuk satu atau dua bulan sih menyenangkan, Bu. Tetapi lebih dari itu aku tak sanggup,"
dalihku.
"Lama-lama membosankan kok, Bu.
Lagi pula, menjadi penyanyi bukanlah duniaku.
Aku lebih suka bermain musik."
264
lbu mempercayaiku. Apalagi ketika ia mengetahui bagaimana bersemangatnya aku mempelajari biola. Sering kali dengan penuh perhatian ia
menemaniku berlatih kalau tidak ada siapa-siapa.
Dalihku bahwa kegiatanku itu tak boleh diketahui oleh Bapak dan Mas Bondan demi memberi
kejutan kepada mereka, dipercayainya mentah-mentah.
Jadi untuk sementara waktu ini aku boleh
merasa lega. Pertemuanku dengan Mas Bondan,
bisa kuhindari. Aku sendiri mempunyai kegiatan
yang menyenangkan. Belajar biola di tempat aku
kursus, lalu melatihnya di rumah dan mendapat uang dari kegiatanku mengajar piano, cukup
menghibur hatiku.
Namun meskipun demikian, memang tidak
mudah bagiku untuk mengibaskan ingatan tentang kejadian di atas lantai kamar Mas Bondan
malam itu. Tak habis-habisnya aku mengherani kejadian yang rasarasanya tak masuk di akal
bahwa hal seperti itu bisa terjadi di antara diriku
dengan Mas Bondan. Satu kali dia menciumku di
mobil, itu sudah terlalu banyak mewarnai pergulatan dalam batinku. Dan sekarang, apa yang terjadi di dalam mobil itu malah belum apa-apanya
jika dibandingkan dengan kejadian di atas lantai
dua bulan yang lalu.
Ketika hari-hari terus berlalu dan aku melihat
Mas Bondan mulai sering mengajak Mbak Astri
datang ke rumah, perasaanku semakin luar biasa
gundahnya. Tetapi tentu saja aku harus mengeka
265
ng perasaan yang timbul-tenggelam dan menyesakkan dada itu dengan susah-payah. Sebab apa
hakku untuk tidak menyukai kehadiran Mbak
Astri? Apalagi dia cuma datang berkunjung dan
paling-paling untuk makan bersama.
Kalau Mbak Astri makan di rumah, aku terpaksa ikut makan bersama demi menunjukkan
kepedulian dan rasa sopan santunku terhadap
tamu. Namun dalam kesempatan seperti itu, satu
kali pun aku tidak ingin berbenturan mata dengan
Mas Bondan. Bahkan berbicara barang sepatah
kata pun kepadanya, aku tak mau melakukannya.
Begitu juga yang terjadi pada hari Minggu itu.
Aku terpaksa tinggal di rumah ketika mengetahui Mas Bondan sedang menjemput Mbak Astri.
Hari itu hari ulang tahun Ibu. Padahal ingin sekali
aku melarikan diri ke luar rumah. Sebab sudah
terbayangkan olehku, perjurnpaanku dengan Mas
Bondan hari itu akan lebih sering terjadi dibanding hari-hari lain. Acara ulang tahun dalam keluarga kami memang merupakan acara keluarga
yang meskipun sederhana tetapi selalu melibatkan kami semua.
Untuk acara makan siang hari Minggu istimewa itu, Ibu membuat nasi kuning komplet. Bapak
membelikan kue tart yang bagian atasnya dipenuhi buah. Aku membuat es kopyor sintetis terbuat
dari agaragar yang kuberi essence rasa kopyor.
Kutambahi dengan sari kelapa dan sirup coco
pandan.
Untuk kado Ibu, kemarin aku membeli sepo
266
tong blus berwarna creme yang cantik. Sekarang
blus yang harganya cukup mahal itu kubungkus
dengan rapi dan kuberi pita. Tadi pagi, Bapak
berbisik kepadaku menanyakan apa kadoku.
"Blus yang cantik, Pak!" aku ganti berbisik
sambil tertawa.
"Pasti tidak sama seperti kado
Bapak."
"Kok kamu tahu?" Bapak juga tertawa. Pasti
beliau teringat ulang tahun Ibu empat tahun yang
lalu. Kado kami sama. Bapak membelikan vas
bunga kristal, aku juga menghadiahi itu. Sebelumnya, kami berdua samasama mencatat di dalam hati ketika Ibu mengatakan ingin mempunyai
vas pajangan kristal. Sejak itu untuk menghindari
kejadian yang sama, kami berdua selalu membicarakan lebih dulu mengenai kado yang akan kami
beli. Tetapi kemarin, kami sama-sama lupa.
"Tadi aku melihat Bapak mengantongi sesuatu berbungkus kertas kado. Benda sekecil itu tentu bukan blus, kan?" sahutku sambil tertawa lagi.
"Aku menghadiahi gelang emas."
"Waduh, pasti mahal. Emas sekarang harganya luar biasa!"
"Demi istri tercinta, Ndak!" Bapak mengedipkan mata sehingga untuk ke sekian kalinya, aku
tertawa.
Di dalam hati, aku merasa berbahagia untuk
kedua orangtua angkatku yang saling mencintai
itu. Tetapi di dalam hatiku pula aku menangis
sedih membayangkan masa depanku. Entahlah
apakah masih ada masa depan yang indah bagi
267
ku, aku meragukannya. Budaya Timur termasuk
budaya Jawa menempatkan keperawanan sejajar
dengan kesucian seorang perempuan. Adil atau
tidakkah itu mengingat lelaki tidak dituntut hal
yang sama, kenyataannya aku masih hidup dalam
masyarakat dengan tata nilai semacam itu. Dan
akankah ada lelaki yang secara tulus mencintai
istrinya tanpa mempersoalkan apakah ia masih
perawan ataukah tidak, aku juga tidak yakin.
Sambil berusaha mengibaskan pikiran itu dari
benakku, aku menyibukkan diri dengan mengambil alih pekerjaan Ibu. Kudorong beliau dari
dapur dan memberinya kesempatan untuk merias
diri. Sebentar lagi tamu-tamu akan datang.
Aku sedang melepaskan es batu dari kotaknya yang baru saja kuambil dari lemari es ketika
mendengar suara mobil Mas Bondan masuk ke
halaman. Hatiku mulai tertekan lagi karenanya.
Dengan tangan agak bergetar kumasukkan es-es
itu ke dalam tempat es buah yang sudah terisi
dengan es kopyor sintetis tadi. Kombinasi warna
putih kopyor sintetis, merah sirup, putih bening
sari kelapa, lalu ditambah es kotak kecil-kecil
yang mengambang di permukaannya, membuat
minuman itu sungguh tampak menggiurkan. Dan
rupanya itulah yang paling mencolok mata Mbak
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Astri begitu masuk ke ruang makan.
"Aduh, minuman apa itu, Dik Aster?" tanyanya sambil melangkah mendekati meja.
"Kelihatannya enak sekali diminum panas-panas begini."
268
"Es kopyor sintetis, Mbak!" Perasaan tertekan
itu semakin menyebar ke seluruh dadaku. Aroma
parfum yang lembut dan tersiar dari tubuh Mbak
Astri betul-betul sangat mengganggu ketenanganku. Sebab pikiranku lalu mengembara pada
apa yang pernah dilakukan oleh Mas Bondan kepadaku malam itu. Bagaimanakah cara lelaki itu
menciumi leher harum Mbak Astri"? Nakal jugakah jemarinya yang menelusuri bahu Mbak Astri,
seperti yang dilakukannya terhadapku waktu itu?
"Bolehkah aku minta minum dulu?" kudengar
Mbak Astri berkata lagi.
Tanganku semakin bergetar dipengaruhi
bayangan nakal tadi. Lekas-lekas agar tidak terlihat oleh siapa pun, tempat pencetak es yang
masih kupegang itu kubawa pergi ke dapur.
"Sebentar ya, Mbak, kuambilkan gelas untukmu dulu," sahutku sambil mengibaskan tangan
ke udara, pura-pura kedinginan karena sentuhan
es tadi.
"Hih... dingin..."
"Aku juga mau, Aster!" Mas Bondan yang
menyusul di belakang Mbak Astri menimpali.
Mendengar suara Mas Bondan, tanganku
yang semakin terasa bergetar itu kusembunyikan.
Ini adalah perkataan pertama yang dilontarkannya kepadaku semenjak peristiwa mesra di antara
kami waktu itu. Karenanya masih sulit bagiku
mengatur perasaanku yang kacau-balau.
"Ya...." sahutku menjawab permintaannya.
Mudah-mudahan suaraku yang juga mulai bergetar itu tidak tertangkap telinga orang. Terutama
269
telinga Mas Bondan.
Setelah mengambil dua buah gelas kosong
dari dapur, aku mengisi keduanya dengan es
kopyor sintetis yang diminta oleh Mbak Astri dan
Mas Bondan tadi. Sementara itu sambil berdiri di
dekatku, mereka berdua menunggu pelayananku.
Diam-diam aku berdoa agar tak seorang pun di
antara keduanya melihat tanganku yang sedang
bekerja itu gemetar.
"Siapa yang membuat es ini, Dik Aster?" tanya Mbak Astri setelah gelas berisi es kopyor sintetis itu beralih ke tangannya.
"Aku, Mbak."
"Mmm, enak...." Mbak Astri menghirup isi
gelasnya.
"Belajar dari mana kau, Dik Aster?"
"Dari Ibu. Dan Ibu belajar dari majalah," aku
menjawab sebisa-bisanya sambil menenangkan
debarjantungku yang tiba-tiba ikut ambil bagian.
Saat itu, tanganku ganti mengulurkan gelas berisi
es kopyor kepada Mas Bondan. Lelaki itu melangkah ke arahku sehingga tubuh kami semakin
berdekatan.
Entah disengaja entah tidak, tangan kami
bersentuhan ketika aku memindahkan gelas itu
ke tangannya. Aku yakin sekali, lelaki itu pasti
merasakan tanganku yang bergetar. Sebab kulihat matanya amat tajam ketika menatapku. Tetapi
lekas-lekas aku melengos ke arah lain. Untungnya suasana menegangkan itu tidak berlangsung
lama, terurai karena munculnya Ibu dari kamarn
ya.
270
"Wah, tamunya sudah datang 10!" kata perempuan itu. Ia tampak cantik setelah menukar daster yang dikenakannya di dapur tadi dengan gaun
berwarna hijau tosca.
"Malah sudah minum, Tante!" sahut Mbak
Astri sambil mendekati Ibu dan mencium kedua
belah pipinya.
"Selamat ulang tahun, Tante."
"Terima kasih, Astri. Silakan..."
Suara Ibu terhenti oleh seruan Bapak dari depan.
"Pur, Titik datang bersama suaminya!" begitu Bapak berseru.
"Hm, dia ingat juga rupanya!" Ibu tertawa
sambil melangkah keluar.
Keluarga Ibu memang akrab antara satu dengan yang lainnya. Kalau ada di antara mereka
yang berulang tahun, pasti mereka akan datang
ke tempat yang sedang berulang tahun. Ada pesta
ataupun tidak. Jadi bahwa Tante Titik datang, itu
bukan berarti Ibu mengundangnya.
Belum lama Tante Titik tiba, Bude Sri muncul bersama suaminya. Kakak ibuku yang baru
datang itu adalah ibu Mas Bondan. Suasana di
rumah kami menjadi semarak rasanya. Bude Sri
yang periang itu suka sekali melucu. Dan kalau
tertawa suaranya terdengar renyah.
Tak lama kemudian, telepon berdering. lnterlokal dari keluarga Oom Asto di Surabaya,
mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu.
Disusul kedatangan Oom Hardy bersama kedua
anaknya yang hampir sebaya dengan diriku. lstri
Oom Hardy sedang dinas ke luar kota sehingga
271
tidak bisa ikut bergabung.
Setelah berdoa sebentar di sekeliling meja
makan, kami semua menyanyikan lagu Panjang
Umurnya. Setelah itu acara makan pun dimulai.
Ulang tahun Ibu tahun lalu juga semeriah sekarang. Tetapi waktu itu Mbak Astri masih belum menjadi kekasih Mas Bondan. Sebaliknya,
Mas Arya yang saat itu masih menjadi kekasihku, ikut hadir dalam acara keluarga ini. Tetapi itulah kehidupan. Orang datang dan pergi di dalam
kehidupan setiap manusia. Suka ataupun tidak.
Direncanakan ataupun tidak.
Seperti biasanya kalau keluarga Ibu berkumpul, acara bermusik ria pasti tak pernah ketinggalan. Begitupun hari itu. Setelah acara makan
siang selesai dan mereka sedang bersiap-siap untuk bermain musik, Bude Sri menepuk bahu.
"Hari ini kau tidak banyak bicara sih, Na'uk.
Kenapa?" katanya kepadaku. Karena pertanyaan
itu diucapkan di depan orang banyak, hampir
setiap orang yang sedang berkumpul di ruang
tengah itu menoleh ke arahku. Aku tahu, Mas
Bondanjuga menaruh perhatian kepadaku ketika
mendengar perkataan ibunya itu.
"Masa sih, Bude," sahutku dengan pipi yang
mulai dirambati rasa panas. Risih rasanya menjadi pusat perhatian orang dalam keadaan tak siap
begini.
"Iya. Biasanya kau kan seperti burung kutilang!"
"Oh, itu mungkin karena sejak datang tadi,
272
Bude banyak memborong pembicaraan sehingga
saya tidak kebagian waktu," sahutku lagi. Karena
sekarang aku sudah lebih siap, aku bisa membalasnya. Bahkan menimbulkan tawa yang lain.
"Kalau begitu, sekarang kesempatan kuberikan kepadamu, Ndak!" Bude Sri berkata sambil
tertawa.
"Ayo, menyanyilah buat kami. Baru sekarang kami tahu bahwa ternyata kau bukan hanya pandai bermain piano, tetapi juga menyanyi."
"Dibanding suara Ibu, suara saya seperti suara
burung gagak!"
"Tetapi tidak begitu yang dikatakan oleh Bondan. Ayolah Aster, menyanyilah buat ibumu dan
buat kami," Bude Sri mendesakku lagi.
"Turutilah permintaan Ibu, Aster!" Mas Bondan yang sejak tadi juga tak banyak berbicara,
mulai mengeluarkan suara.
"Menyanyilah lagu
Gaun Biru. Aku yang akan mengiringimu dengan
piano!"
Karena menolak terus-menerus bukan saja
tak ada manfaatnya tetapi juga bisa merusak suasana gembira hari itu, terpaksalah aku menuruti
keinginan mereka. Apalagi Mas Bondan sudah
langsung duduk di muka piano. Maka begitulah,
meskipun dengan berat hati, aku terpaksa menyanyikan lagu itu sampai habis. Mereka semua
bertepuk tangan untuk kami.
"Lagunya siapa itu?" Tante Titik yang suka
menggubah lagu itu bertanya setelah menghentikan tepuk tangannya.
"Aku belum pernah
mendengar lagu itu. Padahal lagunya enak seka
273
li!"
"Mas Bondan yang membuat lagunya,
Tante," sahutku cepat-cepat. Habis ini aku tak
ingin membuang waktu lagi. Sudah kurencanakan, kalau nanti yang lain-lain sudah mulai asyik
bermain musik, aku akan masuk ke kamar dan
bersembunyi di sana.
"Tetapi syairnya, Aster yang membuatnya,"
Mas Bondan menyambung bicaraku.
"Lagu itu bisa dijual Bondan!" Oom Hardy
menyela.
"Itu lagu yang bagus lho!"
"Nanti akan kami pikirkan," sahut Mas Bondan.
"Sekarang sebaiknya yang berulang tahun
ganti menyanyi untuk kami. Setuju, kan?"
"Setuju!" serentak keluarga besar kami itu
berseru.
"Sebelum aku menyanyi, aku dan Aster akan
menyajikan suatu pertunjukan lebih dulu!" sahut
Ibu.
Aku menoleh ke arah Ibu dengan gerakan cepat. Apa maksud bicaranya?
"Aster, ambillah apa yang kausimpan di dalam kamarmu itu!" kata Ibu ketika melihatku menatapnya dengan pandangan bertanya.
Dengan seketika, aku mengetahui apa maksudnya. Sekali lagi demi tidak merusak suasana,
aku terpaksa mengambil biolaku. Ketika kembali
dari kamar, aku melihat Ibu sudah duduk di depan piano.
"Kita mainkan lagu UnIukApa yang kaumainkan kemarin dulu di kamar," bisik Ibu kepadaku
274
ketika aku sudah berdiri di sampingnya.
Kuanggukkan kepalaku. Sesaat kemudian,
lagu yang dikenalkan oleh Rafika Duri itu pun
berkumandang di ruang tengah rumah kami melalui alunan biolaku dan permainan piano Ibu.
Kami berdua belum pernah berlatih bersama.
Tetapi paduan permainan kami sungguh sempurna berkat keahlian Ibu menimpali permainan
biolaku. Tepuk tangan bergemuruh lagi di akhir
permainan kami.
"Kapan kau belajar biola, Aster?" Bapak tampak senang sekali.
"Tiga bulan yang lalu," sahutku pelan.
"Tetapi
Pak, dulu waktu di SMP aku pernah belajar biola
kepada Oom Hardy. Ya kan, Oom?"
"Ya." Oom Hardy tertawa lembut. Senang dia
melihatku masih teringat pada apa yang pernah ia
ajarkan kepadaku.
"Oh ya, Bapak ingat itu," kata Bapak lagi.
"Lagu yang lain, Aster!" pinta Bude Sri,
menyela pembicaraan.
Dengan berbisik, Ibu menyebut lagu Spring
Song. Aku menganggukkan kepala. Lagu itu juga
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sering kumainkan di kamar. Rupanya, meskipun
tidak masuk ke kamarku, Ibu selalu memperhatikan latihanku.
Seperti tadi, aku juga mendapat tepuk tangan
meriah setelah menyelesaikan permainan biola.
Setelah itu aku boleh merasa lega karena acara
selanjutnya diambil alih nyanyian Ibu. Kemudian
pamanku lainnya yang memang sengaja memba
275
wa saksofon, rnenimpalinya.
Pelan-pelan aku meninggalkan ruang tengah
itu dengan diam-diam. Di halaman samping, di
bawah pohon belimbing dan pohon mangga yang
lebat daunnya, aku duduk sendirian di atas kursi
yang biasa dipakai Bapak untuk membaca sambil
mencari angin.
Untuk beberapa saat lamanya kunikmati kesendirianku. Tetapi kemudian, rasa sedih yang
sejak tadi menekan hatiku itu datang lagi. Aku
merasa sangat kesepian. Kenyataan hidupku sebagai seorang anak yatim-piatu tanpa sanak-saudara itu terasa menggigiti batinku lagi ketika kusadari bahwa di ruang tengah sana keluarga besar
yang sedarah itu sedang bersukaria. Di antara
mereka, sesungguhnya aku hanyalah orang luar
yang kebetulan masuk ke dalam keluarga itu berkat nasib baikku
Air mataku mengalir tanpa terasa. Karena
tahu tidak ada orang yang akan memergoki aku
duduk di situ, kubiarkan air mata itu mengaliri
pipi. Kubiarkan pula tangis tanpa suara itu membasuh luka-luka di hati.
Tetapi tangis itu terhenti dengan seketika tatkala aku merasa ada seseorang sedang memperhatikan diriku. Maka aku menoleh ke samping.
Di sudut halaman dekat tiang jemuran pakaian,
aku melihat Mas Bondan sedang berdiri menatapku.
Aku terkejut. Entah mataku salah melihat,
entah pula itu cuma khayalanku, aku menangkap
276
kilawan di mata lelaki itu. Dan di dalam kilawan
itu, kulihat matanya yang mengarah kepadaku itu
dilumuri pandangan mesra yang kental.
Ataukah itu illusiku belaka?
277
Dua Belas
JAM dinding di kamar makan menjelang dini
hari itu berbunyi dua kali. Tetapi sekejap pun aku
belum tidur. Sudah kucoba untuk menghitung
mundur dari dua ratus hingga nol, tetapi aku
tidak juga terseret kantuk. Sudah pula kucoba
mengendurkan otot-otot dengan menelusuri
bagian demi bagian tubuhku dengan tangan batin,
namun tetap saja aku tak bisa tertidur. Sungguh
menjengkelkan karena keadaan seperti ini seolah
sudah menjadi langganan tetapku belakangan ini.
Harus kuakui, sejak aku dipergoki oleh Mas
Bondan sedang menangis di samping rumah, lalu
kutangkap kilau matanya yang mengandung kemesraan itu, aku mengalami insomnia. Sulit tidur.
Aku sadar apa sebabnya. Di relung-relung batinku sedang terjadi gangguan pikiran yang sangat
merisaukan diriku. Ada suatu masalah pelik yang
tak terselesaikan oleh dunia batinku. Ada ketakutan yang tak teratasi oleh j iwaku.
Tetapi bagaimana tidak demikian? Pandangan
mata Mas Bondan ketika menatapku itulah yang
menggerogoti batinku sedikit demi sedikit dan
meninggalkan penyakit yang tak kunjung sembuh. Dan seperti yang sudah kukatakan, dunia
278
batinku sama sekali tak akan mampu menyelesaikannya. Sebab satusatunya yang bisa menyelesaikan masalah pelik itu hanyalah Mas Bondan.
Tetapi, justru di situlah letak permasalahannya.
Karena mustahil bagiku untuk bertanya kepadanya mengapa ia menatapku seperti itu dan apa
makna pandangan matanya itu.
Seperti yang kualami sesudah kejadian
malam di lantai kamar Mas Bondan waktu itu,
lalu menghadapi pertanyaan dari relung batinku tanpa mendapat jawaban pasti, sekarang pun
aku menghadapi hal serupa. Kedua-duanya sama-sama menyebabkan seluruh dunia batinku
porak-poranda.
Kalau waktu itu aku bertanya-tanya sendiri
mengapa Mas Bondan memperlakukan diriku
seperti seorang kekasih, sekarang aku juga bertanya-tanya apa yang menyebabkan pandang
matanya bisa begitu berkilawan ketika menatapku siang itu.
Kalau waktu itu aku menghadapi dua jawaban
yang saling bertolak-belakang, sekarang pun aku
menghadapi dua jawaban yang sama sekali tak
senada. Dan kalau waktu itu diriku terbelah di antara jawaban yang mengatakan bahwa perlakuan
Mas Bondan itu didorong nafsu biologis dan
jawaban yang lain mengatakan bahwa itu terjadi
karena Mas Bondan mencintaiku, sekarang pun
kedua jawaban itu membelah diriku. Yaitu antara
jawaban yang mengatakan bahwa pandang mata
Mas Bondan siang itu disebabkan oleh cinta dan
279
jawaban lain yang mengatakan bahwa kilawan
mata laki-laki itu dilandasi rasa kasihannya terhadapku.
Tragisnya, apa pun kebenaran dari jawabanjawaban itu, semuanya menempatkan diriku pada
situasi yang sulit. Seandainya nafsu biologis Mas
Bondan bangkit karena diriku, itu berarti baginya aku ini hanyalah objek. Objek yang kebetulan saja menjadi saudara sepupu angkatnya. Dan
seandainya pula dia merasa kasihan kepadaku
ketika melihatku menangis, itu pun menunjukkan bahwa diriku cuma objek belas kasihannya.
Objek yang kebetulan bernama Asteria Windarti
ini. Dan jelas bagiku, apa pun itu, telah meneuil
martabatku sebagai insan. Melukai juga harga diriku sebagai subjek yang utuh.
Namun andaikata Mas Bondan memang sungguh mencintaiku, itu juga tak kalah tragisnya.
Kenyataan bahwa sepatah kata pun ia tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta, bahkan menyiratkan dalam sikapnya pun tidak, itu berarti sadar ataupun tidak, ia tahu hal itu tak semestinya
terjadi. Apalagi saat ini dia sudah mempunyai
seorang kekasih.
Begitu juga dari pihakku. Memang betul,
sudah dapat kupastikan bahwa aku memang benar-benar mencintainya. Dengan suatu cinta asmara sebagaimana yang diberikan seorang gadis
kepada lelaki yang telah merebut hatinya. Namun, justru itulah tragisnya. Trauma masa lalu
ketika keluarga Mas Arya mempermasalahkan
280
garis keturunanku, begitu membekas di dalam
batinku. Mau ataupun tidak, muncul pemahaman
dalam diriku bahwa manusia tidaklah berdiri
sendirian saja, melainkan berkaitan dengan halhal lain di luar dirinya. Sedangkan hal seperti itu,
jelas aku tak punya. Siapakah kedua orangtuaku,
dari mana asalku, anak sah atau anak haramkah
aku, di manakah sanak keluargaku, lalu suku
apakah aku ini, sedikit pun aku tak tahu. Identitas yang kumiliki sekarang adalah sesuatu yang
berkaitan dengan ketulusan dan kemurahan hati
kedua orangtua angkatku. Maka jika dibandingkan dengan Mas Bondan, aku hanyalah seekor
anak anjingjalanan. Itu yang pertama.
Yang kedua, seandainya pun Mas Bondan
mencintaiku, pantaskah seorang gadis yang sudah kehilangan keperawanannya ini menerima
cintanya? Sungguh, tak bisa kubayangkan kalau
ia mengetahui hal itu.
Jadi, dengan berbagai macam pikiran seperti
itu bagaimana aku tidak mengalami insomnia begini? Apalagi aku tahu dari Ibu, besok pagi-pagi
sekali Mas Bondan akan pergi bersama Mbak Astri ke pantai Anyer. Meskipun kepergian mereka
tidak hanya berduaan, tetapi aku yakin di sana
mereka mempunyai banyak kesempatan untuk
memupuk percintaan.
Dari Ibu aku tahu pula bahwa sekolah musik
tempat Mas Bondan memberi kursus, mengadakan wisata ke Anyer selama dua hari. Sabtu pagi
mereka berangkat, Minggu sore kembali ke .la
281
karta. Setiap orang diperbolehkan membawa satu
orang. Boleh istri atau suaminya. Boleh kekasihnya. Boleh anaknya. Bahkan juga boleh temannya.
Sepatah kata pun Mas Bondan tidak mengatakan hal itu kepadaku. Dan itu tidak aneh karena
sejak hari ulang tahun Ibu, hubungan kami berdua mulai renggang kembali. Baik aku maupun
dia sama-sama berusaha menghindari perjumpaan.
Sekali lagi, jam dinding di ruang makan terdengar. Kini berbunyi tiga kali. Berarti, satujam
telah berlalu lagi. Tetapi belum juga aku merasa
mengantuk. Suatu hal yang benar-benar sangat
menyebalkan, karena biasanya setelah berhasil
tertidur selama satu atau dua jam, aku terbangun,
dengan tubuh lesu. Dan kalau sudah begitu, pergi ke tempat kursus yang biasanya menggairahkan hatiku pun mulai menjadi sesuatu yang sebaliknya. Malas rasanya pergi ke tempat yang
eukupjauh dengan kendaraan umum yang penuh
sesak. Apalagi kalau cuacanya tak menunjang.
Kadang-kadang begitu panas kerontang. Kadang-kadang pula hujan deras bercampur angin
kencang. Sekarang ini musim hujan memang sedang tiba di penghujungnya.
Untunglah hari Sabtu bukanlah hariku belajar biola maupun mengajar piano. Jadi kalau aku
nanti terbangun dengan tubuh lesu lagi seperti
kemarin dan kemarinnya lagi, aku bisa bermalas-malasan di rumah.
282
Begitulah yang terjadi di hari yang baru itu.
Aku terbangun ketika mendengar suara Bik Popon mengusir kucing tetangga masuk ke rumah.
Saat itu, jam duduk di samping tempat tidurku
menunjuk pukul tujuh kurang seperempat. Dan
seperti yang sudah kuduga, tubuhku terasa lesu.
Tetapi kali ini aku tak mau menyerah. Lekas-lekas aku turun dari tempat tidur sebelum dikalahkan oleh keinginan bermalasmalasan.
Di luar, Ibu sedang membuat susu norzfat untuk Bapak. Melihatku keluar kamar, beliau bertanya kepadaku.
"Hari ini acaramu apa, Aster?"
"Tidak ada acara apa pun," sahutku.
"Kenapa
lbu menanyakan itu"?"
"Maukah kau mengantar Ibu ke tempat senam?"
"Hari Sabtu Ibu juga senam?"
"Ya. Kata dokter, bersenam seminggu sekali
masih kurang. Jadi Ibu mengambil kursus senam
di tempat lain."
"Sejak kapan itu, Bu?"
"Sejak Sabtu yang lalu. Tetapi hari ini bapakmu tidak bisa mengantar Ibu ke sana. Ada
relasinya yang akan datang menjelang siang ini.
Sedangkan di tempat senam yang baru itu, Ibu
masih belum mempunyai teman akrab yang mobilnya bisa Ibu tumpangi."
"Oke, aku akan mengantarkan Ibu ke sana!"
aku memutuskan. Pikirku, daripada melamun di
rumah, lebih baik melihat pemandangan di luar,
283
apa pun itu.
"Kalau begitu mandilah sana. Senamnya
dimulai jam sembilan nanti." Melihat wajah Ibu
tampak gembira ketika mendengar kesediaanku
mengantarkannya pergi, aku merasa keputusanku
itu tidak salah.
"Okay, Mom," aku mencoba bercanda untuk
memberi semangat kepada diriku sendiri.
"Thanks, Honey," Ibu tak mau kalah.
"Tetapi kau tak usah sarapan dulu, Aster. Di samping
tempat senam, ada kantin yang menyediakan
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makanan. Enakenak lho makanannya. Ada siomay, batagor, ketoprak, taoge goreng, dan lain
sebagainya. Mi ayamnya juga enak, lho. Diberi
jamur dan taoge!"
"Ibu mendapat persen berapa dari mereka?"
"Nanti akan kuminta kepada pemiliknya.
Bayangkan, pagi-pagi begini sudah mengiklankan jualannya. Komisinya besar, itu!"
Kami berdua pun tertawa. Meskipun senda
gurau yang kulontarkan itu cuma basa-basi dengan tujuan agar Ibu tidak melihat kelesuan yang
sedang merambati tubuhku, senang juga rasanya
dapat membuat Ibu tertawa. Apa pun yang terjadi, aku tidak ingin menyeret orang lain ke dalam
pusaran kesedihanku. Biarlah itu semua kualami
dan kurasai sendiri.
Dalam perjalanan ke tempat senam, Ibu yang
pada dasarnya suka bicara itu menceritakan tentang hubungan Mas Bondan dengan Mbak Astri.
"Kakakmu itu aneh," ceritanya.
"Pada hari
284
ulang tahun Ibu waktu itu, Bude Sri kan menyinggung tentang hubungannya dengan Astri. Ketika Bude Sri mengatakan bahwa keluarga besar
kita sudah siap untuk melamar Astri dan bahkan
juga sudah siap untuk membantu hari perkawinannya, dia marah."
"Marah kepada siapa?" tanyaku sambil berusaha mendengar cerita Ibu dengan perasaan netral.
"Ya kepada ibunya itu!" Ibu tersenyum, menjawab sambil menggelengkan kepala.
"Untung
saja Astri tidak mendengar."
"Kenapa marah?" aku bertanya dengan penuh
rasa ingin tahu. Sebab benar seperti komentar Ibu
tadi, Mas Bondan memang aneh.
".lustru karena itulah, kami tidak tahu kenapa
pertanyaan yang wajar seperti itu ditanggapi dengan marah oleh kakakmu."
"Barangkali Mas Bondan sedang jengkel kepada Mbak Astri," pancingku.
"Mungkin. Tetapi kemarin dulu, dia tampak
senang sekali ketika mengetahui Astri mau ikut
berakhir pekan dengannya ke Anyer!"
"Kok Ibu tahu?" Kutekan rasa nyeri yang mulai muncul di hatiku.
"Ketika dia menelepon Astri, kebetulan Ibu
ada di dekatnya."
"Barangkali saja setelah rasa jengkel Mas
Bondan kepada Mbak Astri berlalu, kerinduan
mulai menggantikannya!" kataku. Dan lagi-lagi
pula rasa nyeri itu muncul lagi ketika aku men
285
gucapkan kata-kata yang menyangkut hubungan
Mas Bondan dengan Mbak Astri.
"Mungkin. Tetapi waktu itu Ibu sempat juga
mendengar kakakmu itu merayu Astri..."
"Mas Bondan merayu Mbak Astri?" tanpa sadar aku memotong perkataan Ibu. Sulit aku membayangkan Mas Bondan merayu tanpa menyertakan perasaanku yang teraduk-aduk. Dan sekarang
lbu mengatakan pernah mendengarnya.
"Iya, lewat telepon!" jawab Ibu.
"Dari apaapa yang dikatakan oleh Bondan, aku tahu bahwa
Astri tidak langsung mengiyakan ajakan kakakmu itu. Dan karena itulah dia merayu Astri sampai akhirnya menyetujui."
"Makanya Mas Bondan senang sekali ketika
akhirnya Mbak Astri mau ikut ke Anyer. Begitu,
kan, Bu?" komentarku.
"Tetapi yang mengherankanku, Bu, kenapa Mbak Astri tidak langsung
mengiyakan ajakan Mas Bondan."
"Dari apa-apa yang dikatakan oleh Bondan
kepada Astri lewat telepon itu, Ibu mengambil
kesimpulan bahwa Astri agak tersinggung karena
ajakan kakakmu yang mendadak. Masuk akallah,
sebab ketika mereka bersama-sama sekian lamanya pada hari ulang tahunku waktu itu, semestinya Bondan sudah mengatakannya atau setidaknya menyinggung tentang wisata ke Anyer,"
lbu menjawab pertanyaanku tadi.
"'Itulah antara
lain mengapa kukatakan kakakmu itu aneh. Sama
seperti yang dikatakan oleh Astri, Ibu juga menganggap Bondan telah dengan sengaja menunda
286
pembicaraan tentang wisata itu."
"Tetapi bisa saja Mas Bondan lupa, Bu,"
pancingku lagi.
"Kau kenal bagaimana kakakmu, kan?" Ibu
tersenyum.
"Orangnya cermat, daya ingatnya
kuat. Jadi Ibu lebih percaya pada kemungkinan
lain. Mungkin saja, semula dia tidak tertarik untuk pergi."
"Yah, mungkin juga..."
"Tetapi yang aku tidak ketahui, apa alasannya?" Ibu menaikkan kedua belah bahunya.
"Ah, sudahlah. Itu urusan mereka. Lebih penting menanyakan urusan anakku sendiri. Nah,
bagaimana denganmu, Ndak? Sudah ada pandangan lain"?"
"Pandangan lain apa?" aku pura-pura tak tahu
meskipun telah menangkap apa yang dimaksud
lbu dalam pertanyaan itu.
"Gantinya Arya."
"Belum, Bu. Malas memikirkan hal itu!"
"Trauma?" Ibu melirikku.
"Jangan, Nduk.
Tidak semua orang sepicik keluarga Arya. Apa
pun latar belakangmu, kau itu mutiara yang berharga. Camkan itu!"
Dalam keadaan sedang merasa sendirian seperti ini, perkataan Ibu sungguh mengharukan. Air
mata nyaris menggenangi mataku.
"Bagaimana dengan Pak Tomi?" Ibu berkata
lagi. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah menceritakan sedikit tentang Mas Tomi kepadanya.
"Ada kemajuan?"
287
"Kan sudah kukatakan, perasaanku kepadanya tak akan berubah sampai kapan pun. Dan dia
sudah tahu itu, Bu. Belakangan ini, dia malah
tidak pernah meneleponku lagi. Mungkin, dia sudah menemukan gadis lain," berkata seperti itu
pikiranku lari kepada Linda. Mudah-mudahan
harapanku waktu itu menjadi kenyataan. Dengan Linda, hati Mas Tomi pasti akan jauh lebih
senang dan damai dibandingkan dengan Tatik
yang urakan itu.
"Tetapi kemarin dulu, dia meneleponmu ketika kau sedang pergi!" Ibu menjawab sambil melirikku lagi.
"Bondan tidak mengatakannya"? Dia
yang menerima telepon itu."
"Tidak. Mas Bondan lupa, barangkali." Tetapi
aku yakin, lelaki itu tidak lupa. Sebab kalaupun
dia tidak ingin berhadapan muka denganku, ada
banyak cara lain untuk mengatakan kepadaku
mengenai telepon itu. Melalui Bik Popon, misalnya.
"Aster..."
"Ya, Bu ?"
"Tidakkah kauperhatikan, belakangan ini
kakakmu itu agak nganeh-nganehi?"
"Nguneh-nganehi bagaimana?"
"Yah, tidak seperti biasanyalah."
"Misalnya?" pancingku.
"Pulang dari mana pun, jarang sekali mau
berhandai-handai dengan kita," sahut Ibu.
"Tidakkah kauperhatikan itu?"
Tentu saja, pikirku. Kalau lelaki itu melihat
288
ku ada di ruang tengah menonton televisi dengan
lbu dan Bapak, mana mau dia ikut bergabung
bersama kami seperti dulu-dulu.
"Yah, memang. Tetapi itu kan karena Mas
Bondan sekarang mempunyai kesibukan yang
cukup banyak. Pasti pulang-pulang sudah capek,
dia," aku mencoba membelanya agar pikiran Ibu
tidak mengembara terlalujauh.
"Mungkin juga," Ibu menganggukkan kepala.
"Menyanyi sendirian tentu lebih capek. Kalau kau ada waktu, sekali-sekali temanilah dia,
Ndak."
"Ya...." kujawab kata-kata Ibu hanya untuk
tidak memperpanjang pembicaraan. Setelah itu,
aku mengubah topik.
"Mulai di sini, aku tidak
tahujalan lho, Bu. Kita ke arah mana?"
"Sudah betul kok arahnya. Cuma nanti setelah
pertigaan itu, kita belok ke kiri. Dari sana terus
saja sampai perempatan kedua, baru ke kiri lagi.
Setelah itu .....
"
"Bingung ah, Bu!" sambil tertawa, aku memotong perkataan Ibu yang belum selesai.
"Nanti
saja kalau sudah belok ke kiri, Ibu memberitahu
lagi."
"Oke." Ibu juga tertawa.
Karena waktu yang dipakai senam oleh Ibu
hanya satu jam, aku menunggu di kantin yang
letaknya satu halaman dengan tempat beliau senam. Ketika aku masuk, sudah ada beberapa orang
yang duduk di situ. Kelihatannya mereka juga
menunggu yang sedang bersenam. Di halaman
289
maupun di tepi jalan memang ada beberapa mobil yang diparkir.
Aku memesan mi ayam dan es teler.
"Menunggu juga, Mbak?" seseorang menegurku.
Aku menoleh. Seorang lelaki muda dengan
kumis tipis dan rambut agak gondrong tengah
menatapku, tak jauh dari mejaku. Wajah dan
penampilannya menarik. Di atas mejanya, terhidang nasi uduk dengan ayam goreng.
"Ya," kujawab pertanyaan lelaki itu.
"Tadi, Ibu Mbak, ya?"
"Ya." Rupanya, dia melihat kami datang.
"Baru sekali ini Mbak ke sini?"
"Ya, karena Ibu baru dua kali ini datang kemari. Beliau anggota baru," sahutku.
"Mas juga
menunggu Ibu?"
"Bukan. Saya menunggu kakak saya. Suaminya baru saja meninggal jadi ibu kami menyuruh
saya menemaninya."
"Seorang adik yang baik!" pujiku.
"Tidak begitu baik," lelaki itu tertawa. Kalau
tertawa, wajahnya bertambah menarik.
"Sebab
saya hanya mau menemaninya kalau senam. Dan
sekarang, saya sedang mengajarinya menyopir.
Biar tidak tergantung pada orang. Nah, saya bukan seorang adik yang terlalu baik, kan?"
Aku tertawa. Entah mengapa, aku senang melihat caranya bicara dan mencari bahan pembicaraan itu.
"Setidaknya, Mas masih mau mengajar meny
290
opir. Apa pun alasannya, tetap saja itu sesuatu
yang bisa disebut membekali keahlian buat sang
kakak tercinta."
"Yah, memang. Merasa terpaksakah atau apa
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun itu, saya memang sangat mencintai kakak
saya. Dia masih terlalu muda untuk menjadi janda."
"Kenapa suaminya meninggal dunia?"
"Kecelakaan kapal terbang dua bulan yang
lalu di dekat Palembang. Mbak pasti sudah
mengetahuinya lewat media massa. Pilotnya adalah suami kakak saya."
"Kasihan. Kalau tak salah ingat, kakak Mas
cantik, ya? Saya melihatnya di televisi waktu
itu."
"Ya, kakak saya memang cantik. Sama seperti Anda, Mbak. Tetapi berhadapan begini, Mbak
tampak lebih muda daripada kalau sedang di berada panggung."
Aku tertegun. Jadi dia menyapaku itu karena
pernah melihat aku menyanyi di hotel. Entah kapan itu, aku tak tahu.
"Anda suka makan-makan di hotel, ya?"
"Aduh, saya bukan orang kaya, Mbak. Malam
itu saya menemani bos menjamu relasi kami."
Lelaki itu tertawa.
"Saya mengagumi suara dan
permainan organ Mbak waktu memainkan medley malam itu."
"Ah, Mas terlalu berlebihan. Saya lebih mahir
memainkan piano daripada organ."
"Dan toh bisa sebagus itu." Lelaki itu mengh
291
entikan perkataannya karena pelayan sedang meletakkan pesananku di depanku. Setelah pelayan
pergi, baru dia melanjutkan bicaranya.
"Lelaki
yang ganteng itu teman, suami, atau siapa?"
"Oh, itu kakak sepupu saya."
"Suara dan permainan organnya juga bagus.
Rupanya keluarga Mbak keluarga seniman, ya?"
"Barangkali demikian."
"Ayo, Mbak. Minya dimakan, saya temani."
Rupanya dia menunggu pesananku datang baru
mau makan.
"Nanti dingin lho."
Kuanggukkan kepalaku. Setelah beberapa
suap mi masuk ke mulutku, lelaki itu bersuara
lagi.
"Sejak kapan Mbak belajar musik?" tanyanya.
"Sudah sejak kecil. Kalau tak salah ingat,
kelas satu Sekolah Dasar."
"Kalau begitu anak kakak saya itu sudah bisa
mulai belajar organ. Di rumah, mereka memiliki
satu organ yang cuma buat pajangan kelihatannya!" Lelaki muda itu tertawa lagi.
"Kan lebih
baik dimanfaatkan."
"Ya. Sebaiknya memang demikian."
"Mbak bisa memberi kursus?"
"Saat ini saya memang memberi pelajaran
musik di sebuah tempat kursus. Tetapi itu untuk pelajaran piano, karena dasar keahlian saya
memang piano. Sedangkan organ, saya belajar
sendiri. Kadang-kadang juga belajar dari kakak
sepupu saya itu."
"Tetapi kalau mengajar memainkan organ kan
292
bisa, Mbak?"
"Sebaiknya keponakan Anda itu belajar
di tempat yang benar. Memanggil guru yang
memang ahlinya ke rumah, atau mengambil kursus di tempat kursus yang bagus."
"Mbak bisa memberi rekomendasi untuk itu?"
Tanpa berpikir panjang demi membantu anak
kecil yang baru ditinggal selama-lamanya oleh
sang ayah itu, aku mengeluarkan kartu namaku.
Kartu nama itu dibuatkan oleh pihak tempat aku
memberi kursus. Lengkap dengan alamat tempat
kursus, nama toko tempat kursus itu diadakan,
juga alamat rumahku berikut teleponnya.
"Mudah-mudahan ini bisa membantu," kataku sambil mengulurkan kartu nama itu.
"Tempat
kursus ini bisa diandalkan mutunya. Ada beberapa lulusan dari situ yang sekarang bergabung di
beberapa orkestra." Antara lain kusebutkan nama
pemusik terkenal yang sekarang menjadi pemimpin sebuah orkestra terkenal.
"Rekomendasi Anda ini pasti sangat membantu!" Lelaki itu menyimpan kartu namaku baikbaik.
"Tetapi terus terang saja, saya dan pasti
juga kakak saya tidak berharap terlalujauh dalam
mengarahkan anakanak menjadi pemusik."
"Tentu saja tidak. Keluarga kami pun demikian. Musik bagi kami selain hobi,juga untuk mengasah batin kita agar menjadi peka menangkap
keindahan. Bahwa di kemudian hari nanti akan
menjadi profesi, itu perkara lain," aku mengatakan yang sebenarnya.
"Bagi kami, pendidikan
293
formal itu penting. Kakak sepupu saya itu seorang sarjana arkeologi."
"Dan Anda sendiri?"
"Saya lulusan fakultas hukum dan baru saja
kena PHK." Tentu saja tak kuceritakan bahwa
akulah yang minta keluar dari pekerjaanku.
"Dan
setumpuk surat lamaran sudah saya kirimkan ke
mana-mana, sampai sekarang belum juga ada
hasilnya. Nah, dengan keahlian musik yang saya
miliki, saya masih punya kesempatan lain untuk
mendapatkan penghasilan. Ya, kan?"
"Betul juga. Nyatanya Mbak bisa menjadi penyanyi pada malam hari dan siang harinya
mengajar piano." Lelaki muda itu menganggukkan kepala.
"Sungguh patut menjadi bahan pertimbangan apa yang Mbak ceritakan itu. Keponakan saya harus belajar musik. Terima kasih atas
masukannya..."
Waktu sejam seperti terbang begitu saja kalau
kita mendapatkan teman mengobrol yang menarik. Tahu-tahu saja para peserta senam sudah mulai keluar.
"Mereka sudah bubar," kataku ketika melihat
lbu ada di antara mereka. Kuraih kunci mobil
sambil berdiri.
"Ya, kakak saya juga sudah kelihatan." Lelaki itu juga meraih kunci mobil yang semula
terletak di dekat piringnya yang sekarang telah
kosong.
"Saya sungguh beruntung dapat bertemu
Anda, Mbak Aster. Sekali lagi, terima kasih atas
masukannya tadi."
294
Rupanya lelaki itu sempat membaca namaku
dari kartu nama yang kuberikan kepadanya tadi.
Aku tersenyum.
"Terima kasih kembali."
"Nama saya Hary, Mbak Aster!" Tangannya
terulur kepadaku.
"Sampai ketemu minggu depan
kalau saya beruntung bertemu Mbak lagi."
Aku membalas uluran tangannya sambil
tersenyum, kemudian pergi dari tempat itu untuk
menemui ibuku. Senang juga dapat tambahan
kenalan.
Tetapi ketika Minggu malam aku menerima
telepon dari lelaki muda bernama Hary, terus
terang aku telah melupakan perkenalanku dengannya pada Sabtu kemarinnya. Kebetulan, Mas
Bondan yang mengangkat telepon. Saat itu, ia
baru saja selesai mandi setelah pulang dari Anyer.
Dan tidak ada siapa-siapa yang bisa ia mintai tolong untuk memberitahu tentang telepon itu kepadaku. Kedua orangtuaku sedang bepergian dan
Bik Popon pasti sedang beristirahat di belakang
sana.
"Aster " kudengar lelaki itu mengetuk pintu
kamarku.
"Telepon untukmu."
Buku karya Danielle Steel yang sedang
kubaca, kuletakkan ke meja. Kubuka pintu kamar
dan tanpa mengatakan apa pun kepada Mas Bondan, aku langsung menuju ke meja telepon.
"Halo...?"
"Halo, Mbak Aster. Masih ingat lelaki muda
jelek yang kemarin pagi mengobrol denganmu
295
sambil sarapan di kantin?"
"Oh, Mas Hary!" Untunglah aku ingat namanya. Nama Hary memang nama yang mudah diingat.
"Kenapa kau meneleponku? Ada perkembangaan baru rupanya."
Aku bersikap ramah kepada laki-laki bernama
Hary itu. Tetapi keramahan itu memang kusengaja. Ada Mas Bondan, tak jauh dari tempatku. Aku
tak ingin dia tahu kalau lelaki yang meneleponku
itu baru kukenal kemarin.
"Ya. Kakakku senang sekali ketika kuceritakan tentang pertemuanku denganmu. Dia menginginkan kedua anaknya belajar organ. Tetapi
waktu aku menunjukkan tempat kursus yang kaurekomendasikan itu, dia kurang setuju."
"Kenapa?"
"Pergi ke tempat kursus kan repot, Mbak Aster. Harus ada yang mengantarkan ke sana, harus
tepat pula waktunya dan seterusnya lagi."
"Lalu?"
"Kalau Mbak Aster setuju, kakakku ingin
Mbak Aster saja yang mengajar anak-anak itu di
rumah. Kupikir-pikir, apa yang dikatakan oleh
kakakku itu ada benarnya. Anak-anak itu masih
kecil-kecil. Jadi yang penting buat mereka adalah belajar musik, melemaskan jemari mereka,
mengenal keindahan, dan semacam itu. Soal
bagaimana nantinya, apakah mau dikursuskan ke
tempat yang kaurekomendasikan, atau entah apa
pun itu tergantung pada bagaimana perkembangan mereka nanti. Misalnya, mereka menyukain
296
ya atau tidak. Ada bakat atau tidak. Begitu lho.
Bagaimana pendapatmu, Mbak?"
Karena Mas Bondan ada di depan televisi,
aku tak mau berlama-lama mengobrol di telepon.
Sebab sedikit atau banyak, pasti ada perkataanku
kepada Hary yang tertangkap olehnya. Dan pasti
akan ada sedikit atau banyak pula yang memunculkan kesimpulan dalam pikirannya. Padahal
aku tak ingin ia mengetahui apa pun yang menyangkut kegiatanku.
"Begini, Mas Hary, mengenai apa yang kaukatakan itu kupikirkan lebih dulu, ya?" kataku
memutuskan.
"Besok pagi, teleponlah aku lagi."
"Kelihatannya kau sedang repot, ya?" Hary
pasti menangkap kegelisahanku. Tajam juga
perasaannya.
"Ya. Jadi, sampai besok, ya?"
Ketika aku melintas di ruang tengah dan melewati Mas Bondan yang sedang duduk, setan
mulai menghinggapi diriku. Bayangan tentang
kemesraan apa saja yang dilakukannya bersama
Mbak Astri selama dua hari di Anyer itu mempengaruhi otakku.
"Kenapa kau tak mengatakan kepadaku kalau
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mas Tomi meneleponku kemarin dulu?" semburku.
"Lupa."
"itu penting, tahu?!"
"Penting mana dengan pengagum barumu
tadi? Belum pernah aku mendengar nama Hary!"
Sialan, pikirku. Enak saja dia menilai hubun
297
ganku dengan kenalan lelakiku secara murahan
seperti itu.
"Itu urusanku. Selagi masih muda dan selagi
masih mempunyai daya tarik, apa salahnya dikagumi orang, kan?" semburku lagi.
"Jadi kalau
ada telepon dari siapa pun yang mencariku, jangan pernah lupa lagi untuk mengatakannya kepadaku. Di meja telepon kan ada banyak kertas
dan pulpen untuk mencatatnya."
"Kau sekarang sangat berubah, Aster. Rasanya, aku seperti berhadapan dengan orang lain
saja!" Mas Bondan berkata dengan suara dingin.
"Menyebalkan."
"Tentu saja lain. Kau pikir setiap gadis harus
sama dengan orang yang selama dua hari ini kaueumbui dan kaumesrai seperti apa yang pernah
kaulakukan kepadaku di lantai kamarmu malam
itu?" Usai berkata seperti itu, setan yang memandu bibirku tadi mendorong kakiku agar berlari
masuk ke kamar kembali.
Tetapi aku kalah cepat. Sebelum pintu kamarku sempat kututup, dalam waktu sekejap saja
Mas Bondan sudah berdiri di dalam kamar. Tepat
di hadapanku!
298
Tiga Belas
"COBA kauulangi kata-katamu tadi, Aster!" Mas
Bondan mendesis. Matanya yang menatap mataku
seperti sebilah pedang tajam, siap mengiris bola
mataku.
"Aku ingin mendengarkan sekali lagi
katakata mutiaramu tadi."
"Kata-kata yang mana?" aku menantang.
"Semuanya!"
"Aku tidak ingat lagi."
"Kau ingat itu dengan baik, Aster!" Mas
Bondan mendesis lagi.
"Jangan mencoba-coba
mengelak."
"Kalaupun aku ingat, mulutku tak sudi mengatakannya!" Dengan sikap menantang plus kepongahan yang berhasil kukenakan di wajahku,
aku menatapnya.
"Kenapa kok tidak sudi?" Ada desakan pada
nada suara Mas Bondan.
"Aku menolak menjawab pertanyaanmu.
Setiap manusia berhak untuk menentukan dirinya sendiri dengan bebas, kan?" dengan sikap
mengejek, kujawab pertanyaan Mas Bondan tadi.
"Nah, aku juga manusia. Jadi aku berhak menentukan diriku sendiri. Dalam hal ini adalah kebebasan untuk menolak menjawab pertanyaan itu."
299
Mas Bondan mengetatkan gerahamnya. Kulihat, otot-otot menyembul dan bergerak-gerak di
pelipisnya.
"Aku tak pernah menyangka bahwa ternyata
kau bisa keras kepala dan menjengkelkan orang,
Aster. Kalau tidak ingat kau ini seorang perempuan, pasti sudah kululuhlantakkan dirimu!"
"Pikiranmu kuno dan bersifat patriarkis!" kujawab perkataannya itu dengan semburan.
"Menganggap perempuan itu lemah. Lalu kau merasa
tinggi hati untuk memperlakukan kaum perempuan sama seperti perlakuanmu terhadap temanteman sejenismu. Itu pelecehan namanya!"
"Jadi apa yang harus kulakukan?" Mata Mas
Bondan menyipit.
"Lakukan saja padaku seperti kalau kau ingin memperlakukan seorang lelaki.... Jangan
sungkan-sungkan. Aku tak takut kaululuhlantakkan," aku membentaknya.
"Asal kau tahu saja,
aku akan membalasmu. Utang mata bayar mata.
Utang gigi, bayar gigi. Utang telinga, bayar telinga. Maka kalau kau mau menekuk-bengkokkan
tubuhku, silakan saja. Aku akan membalas dengan perbuatan yang sama."
Mas Bondan tertawa mengejek.
"Kau mau membalas dengan kekuatan apa"?
Tubuhku lebih kuat daripada tubuhmu, Nona,"
katanya kemudian.
"Jadi,jangan mimpi yang bukan-bukan."
Aku menyadari kebenaran kata-katanya. Tetapi setan yang tadi menguasaiku, mulai lagi men
300
cengkeramkan gigi-giginya pada diriku yang saat
itu sedang terpanggang kemarahan. Dan karenanya demi meraih benang kemenangan tipis yang
masih bisa kulakukan, kubiarkan ajaran setan itu
memimpin lidahku.
"Aku masih mempunyai kekuatan lain yang
pasti akan membuatmu takluk!" aku ganti
mengejek. Seluruh air muka dan sikap tubuhku
menunjukkan penentangan.
"Jangan mengada-ada, Aster. Akuilah kekalahanmu dan segera ucapkan sekali lagi apa yang
kaukatakan di luar tadi. Salah dengarkah telingaku tadi atau apa...?"
"Enak saja menyuruh-nyuruh orang, seperti
sang pemenang. Sebesar apa pun kemarahaner
dan sehebat apa pun kekuatanmu untuk meluluhlantakkan diriku, jangan harap itu berhasil."
"Dengan kata lain, kau akan menang. Begitu?!" Mata Mas Bondan berkilat-kilat.
"Tepat sekali."
"Oke, kalau kau memang bisa mengalahkanku, aku akan menyudahi pertengkaran ini. Kata-kata mutiaramu tadi akan kuanggap seperti
angin lalu." Mas Bondan mendesis lagi.
"Jangan
lagi sampai meluluhlantakkan diriku. Mendorongku keluar kamar ini saja pun kau pasti tak
akan mampu. Huh, di mana sih letak kekuatanmu? Sombong sekali kau."
"Sudah kukatakan, aku mempunyai kekuatan
yang pasti akan bisa menaklukkanmu!" ejekku,
dibimbing oleh setan tadi.
"Seks!"
301
Mas Bondan terpana. Matanya menelusuri
wajahku, memancarkan ketidakpercayaannya
atas apa yang baru didengarnya tadi. Aku menjadi malu karenanya. Pipiku terasa panas sekali
sementara setan tadi bersembunyi entah di mana.
"Siapa yang mengajarimu bersikap murahan
seperti ini, Aster?" Mas Bondan mengulurkan
kedua belah tangannya dan mencengkeram bahuku. Bibirnya bertaut ketat dan dahinya berkerut.
Setan yang bersembunyi tadi, datang lagi dan
hinggap di kepalaku.
"Lho, bukankah kau yang mengajariku?" kataku sambil berusaha melepaskan kedua belah
bahuku dari cengkeraman tangan laki-laki itu.
"Di lantai kamarmu, malam itu. Masa kau lupa
itu sih, Mas?"
"Aster, kau benar-benar membuatku kehilangan kesabaran!" Pipi lelaki itu tampak kemerah-merahan mendengar perkataanku.
"Kalau hilang kesabaranmu, lalu kau mau
mengapakan aku? Kau cium dan kaumesrai diriku?" Setan tadi semakin giat memandu lidahku.
"Kelihatannya, kau mengundangku untuk itu,
ya"?" Mata Mas Bondan tampak menyala-nyala di
wajahnya yang kemerah-merahan itu.
Aku tidak menjawab. Sebagai gantinya, kutatap mata lelaki itu dengan menengadahkan
kepalaku dan dengan sikap menantang.... Maka
setan pun bersoraksorai. Mas Bondan menyergap
bibirku dengan bibirnya.
Gila. Setan benar-benar sedang berada di
302
puncak kekuatannya. Tanganku kedua-duanya
langsung saja terulur ke arah lehernya dan menguncinya ke dalam pelukanku. Kemudian tubuhku kurapatkan ke tubuhnya.
Perbuatan seperti itu belum pernah kulakukan
terhadap siapa pun. Ketika bermesraan dengan
Mas Arya pun aku lebih banyak bersikap pasif,
merasa tak pantas bersikap agresif. Tetapi tidak
demikian halnya sekarang ketika aku berada dalam pelukan Mas Bondan. Berada di dekatnya,
seluruh hati dan tubuhku benar-benar bisa menyala karena dirinya.
Perbuatan itu menyebabkan tubuh Mas Bondan bergetar. Kemudian tangannya yang mulai
menelusuri bagian belakang tubuhku memegang
pinggulku crat-erat dan menekankannya pada tubuhnya yang kekar.
Aku merasa seluruh bulu kudukku merinding
dan kedua belah kakiku terasa lemas sehingga
rnelimbungkan kekuatan tegak tubuhku. Nyaris
saja aku merosot ke bawah. Merasakan itu, kedua
belah tangan Mas Bondan langsung menunjang
tubuhku dengan akibat tubuhku semakin merapat
ke tubuhnya.
Tanpa dapat kueegah, tubuhku bergetar.
Meskipun pakaian lengkap membalut tubuh
kami, tetapi keintiman itu terasa oleh masing-masing pihak. Dan sebelum aku menyadari
kelanjutannya, Mas Bondan mengangkat tubuhku yang kehilangan kekuatan itu ke atas tempat tidurku. Kemudian ia menindihku sementara
303
bibirnya merambati lekuk leherku. Aku menyerah. Senjata telah makan tuannya.
Dalam keadaan seperti itu aku tak tahu lagi
setankah yang lebih banyak menguasai diriku,
atau cintakah yang menyelimuti diriku, ataukah
kedua-duanya. Namun yang jelas, perbuatan
Mas Bondan itu kubalas dengan sama mesra
dan hangatnya. Kukecupi seluruh lehernya dan
kuelusi rambut, kuduk, dan bahunya.
Tiba-tiba kurasakan tangan Mas Bondan yang
semula memeluk pinggangku itu turun merambat ke pahaku dan menyingkapkan daster yang
sedang kukenakan. Aku tersentak. Tangan itu kutepis dan dadanya kudorong.
"Aku... aku tidak... bersungguh-sungguh...."
seruku sambil berusaha melepaskan pelukan tangan Mas Bondan. Dengan tangan gemetar kupeluk tubuhku sendiri sambil beringsut menjauhi
Mas Bondan.
"Tidak bersungguh-sungguh... apa?" Mas
Bondan bertanya. Suaranya terdengar parau dan
bergelombang.
"Tentang... seks itu..."
"Huh, kau kira aku tak tahu!" Mas Bondan
juga beringsut menjauhkan dirinya, memilih
duduk di tepi tempat tidurku. Suaranya masih
saja terdengar parau dan bunyi napasnya terdengar berat.
"Tetapi kau... tetap saja mau menaklukkanku!" tuduhku dengan dada berombak-ombak.
"Aku cuma mau menunjukkan kepadamu
304
bahwa sikapmu yang seperti itu, bisa berbahaya!"
Pipi Mas Bondan merona merah kembali.
"Tetapi
harus kuakui... aku tak berhasil menaklukkanmu.
Bahkan sebaliknya... kaulah yang telah meluluhlantakkan diriku."
Aku terpana menghadapi kejujurannya padahal aku tak mau mengakui bahwa senjata yang
kupakai itu telah berbalik menikam diriku sendiri. Tetapi setan mulai lagi menggangguku dengan menghadirkan bayangan kemesraan antara
lelaki itu dengan Mbak Astri. Rasa cemburu pun
berkibar-kibar di kepalaku.
"Kau memang mudah ditaklukkan oleh...
hal-hal semacam itu. Padahal, semalam kau bermesraan dengan Mbak Astri di tepi pantai sampai sepuas hatimu. Dan sekarang masih saja bisa
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkalahkan olehku... eh bukan olehku, tetapi
oleh nafsu biologismu. Hampir saja aku menjadi
obyek pelampiasannya..." Pipiku terasa panas sekali ketika mengucapkan kata-kata yang semestinya tak boleh keluar dari mulutku itu. Murahan
sekali kedengarannya. Aku sendiri merasa amat
malu karenanya. Namun rasa cemburu telah bekerja sama dengan setan tadi. Mas Bondan tampak
marah sekali.
"Jahat sekali kau, Aster " ia mendesis.
"Aku
tidak serendah itu. Aku tak mudah terbakar nafsu
semacam itu. Huh, memangnya aku ini seperti
apa di kepalamu yang jahat itu?"
"Tetapi tadi malam ketika bersama Mbak Astri di tepi pantai...?"
305
"Aku dan Astri tidak bermesraan meskipun
kami duduk berdua di tepi pantai!" Mas Bondan
membantahku.
"Dan ingat-ingat perkataanku,
Aster. Aku cukup punya otak untuk tidak mudah
lupa diri hanya karena berdekatan dengan seorang perempuan."
"Lalu apa namanya perbuatanmu ketika kita
bergumul di lantai kamarmu waktu itu dan
apa pula nama perbuatan yang baru saja terjadi
tadi..." Lagi-lagi pipiku terasa panas ketika mengucapkan perkataan itu.
"Permainan congklakkah itu?"
"Ya ampun, Aster. Tajamnya lidahmu!" Mas
Bondan memburai rambutnya sendiri dengan
pipi yang semakin memerah.
"Tahukah kau bahwa baru bersamamu sajalah aku bisa kehilangan
akal dan ingin meluluhlantakkanrnu dan sekaligus juga ingin meleburkan diriku bersamamu?"
Aku ternganga mendengar pengakuannya itu.
Dengan mata melebar, kutatap sikapnya yang
serbasalah dan pipinya yang masih saja merona
merah itu.
"Jadi, aku ini... pencetus... nafsu biologismu...?" tanyaku kemudian, mulai tersinggung.
"Begitu?!"
Mas Bondan mengangkat wajahnya dan rnenatapku dengan tatapan terluka.
"Jangan sekali-sekali kau berkata seperti itu
lagi kepadaku. Rasanya aku pernah mengatakan
hal sama kepadamu beberapa waktu yang lalu!"
katanya.
"Sakit hatiku mendengarnya. Sebab bu
306
kan begitu yang sebenarnya."
"Lalu apa kalau begitu? Menjadikan diriku
sebagai kelinci percobaan?"
"Sungguh, Aster, lidahmu tajam sekali..."
Mas Bondan menatapku dengan matanya yang
berkilat-kilat tadi.
"Aku ingin sekali memukul
pantatmu. Tidak mengertikah bahwa aku aku
mencintaimu... .
"
Kalau tadi aku ternganga mendengar pengakuannya, sekarang aku tersentak kaget. Hampir-hampir aku tak mempercayai pendengaranku. Padahal, aku sering kali mempertanyakan
hal itu dengan perasaan yang sangat resah. Tak
terbayangkan sebelumnya kalau malam ini, aku
akan dilambungkan ke langit ke tujuh oleh pengakuannya itu.
"Jangan menatapku seperti itu, Aster," kudengar Mas Bondan mengeluh, kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan.
"Semestinya ini tidak boleh terjadi. Aku... sungguh amat
bersalah karena... telah membangunkan macan
tidur dalam dirimu. Aku... aku benar-benar seperti pengkhianat. Diminta Tante Pur untuk menjagamu, tetapi aku malah merusakmu. Seperti...
seperti pagar makan tanaman..."
"Tidak, Mas. Kau tidak bersalah!" kataku begitu perkataan Mas Bondan yang melambungkan
perasaanku itu tak lagi terlalu menjerat diriku.
"Sebab... yang kaubangunkan pada diriku bukanlah macan yang tidur. Tetapi cintaku padamu
yang semula cuma tersembunyi. Aku... aku juga
307
mencintaimu, Mas. Mencintaimu sudah semenjak cintaku kepada Mas Arya mati!"
Mendengar perkataanku, Mas Bondan melepaskan telapak tangan dari wajahnya. Ia meloncat
bangun dari tempat tidurku. Berdiri menjulang di
tepi tempat tidurku, lelaki itu menampilkan air
muka putus asa.
"Kalau... kalau memang begitu... aku harus pergi dari rumah ini...." keluhnya kemudian.
"Aku... aku telah merusak tatanan..."
Tanpa memberi kesempatan padaku untuk
mengetahui apa maksud perkataannya itu, Mas
Bondan menyelinap keluar kamarku dan meninggalkan diriku termangu-mangu sendirian dengan
dada berdegup kencang.
Harus tertawakah aku sekarang? Harus
menangiskah aku? Bayangkan, Mas Bondan
mencintaiku. Seluruh analisisku terhadap semua
perbuatan dan perkataannya kepadaku di sepanjang pergaulan kami selama ini tampaknya tidak
mengarah kepada kebenaran dan kenyataan.
Tetapi ternyata, apa yang paling kuragukan justru itulah yang benar. Itu artinya kemesraan yang
dibalutkan kepadaku, gairahnya yang menyala,
perhatiannya, kelembutannya, kesabarannya, kebaikannya, semua itu dimotori cintanya kepadaku. Dan artinya pula, ia tidak mencintai Mbak
Astri sebagaimana cintanya kepadaku. Dengan
demikian, pusaran pikiran dan belitan tanda tanya
yang harihari belakangan ini membuatku tak dapat tidur nyenyak, telah terlepas. Tetapi, toh dunia
308
batinku tidak juga mendapatkan kedamaian karenanya. Bahkan semakin resah. Ada M bak Astri
di sana. Ada keluarga besar Mas Bondan di sana.
Dan ada keluarga Mbak Astri pula di sana.
Nama yang tiba-tiba masuk lagi ke dalam pikiranku itu menyentakkan diriku. Mereka berpacaran sudah hampir satu tahun lamanya. Perjalanan
ke arah pernikahan pasti sudah disiapkan oleh
kedua belah pihak keluarga mereka. Setidaknya,
persiapan mental seperti cita-cita, harapan, reneana-reneana, dan semacamnya. Usia keduanya
sudah siap untuk itu.
Sekarang tak heran aku kenapa Mas Bondan
tadi mengeluhkan perasaannya, bahwa ia telah
merusak suatu tatanan. Bahkan karenanya, ia ingin pergi meninggalkan rumah ini.
Aku termangu-mangu dengan perasaan terguncang. Tidak bisa tertawa. Tidak bisa menangis. Pikiranku melayangjauh,jangan-jangan Bude
Sri juga sama saja seperti keluarga Mas Arya.
Masalah bibit, bobot, dan bebet menjadi tiang
utama dalam memilih calon menantunya. Tentu
saja aku ini bukan apa-apa jika dibanding dengan
Mbak Astri.
Untuk kesekian kalinya aku menangis di dalam hati, memanggil-manggil ayah dan ibuku entah di mana pun mereka berada dan entah seperti
apa pun mereka, untuk mencari jawaban, siapakah aku ini?
Bermalam-malam sebelum ini aku sudah
merasakan dan mengalami bagaimana rasanya
309
sulit memejamkan mata dan sering kali menjelang terang tanah baru aku bisa tertidur. Tetapi baru malam ini aku benarbenar tak bisa tidur
barang sekejap pun. Perang batin terus-menerus
timbul dan tenggelam dalam batinku. Setiap
aku teringat pengakuan Mas Bondan bahwa ia
mencintaiku, perasaanku melambung-lambung
kembali ke awan-awan kebahagiaan. Tetapi setiap aku teringat kenyataan lain yang tergelar di
hadapanku, aku terernpas kembali dan merasakan
lagi kesakitan-kesakitan yang menggerogoti batinku secuil demi secuil. Meninggalkan luka-luka menganga yang tak sembuh-sembuh. Dalam
keadaan begitu, bagaimana aku bisa tertidur?
Pagi itu dengan tubuh lemah dan lesu aku
berangkat ke tempat kursus, tempat aku belajar biola dan mengajar piano. Dan tampaknya
hari itu tak sesuatu pun yang bisa membantuku
agar sedikit bersemangat. Sebaliknya, segala
sesuatu yang kujurnpai terasa semakin menyesakkan dada. Matahari mengirimkan panasnya
yang terik, pengapnya udara, dan debu kota Jakarta yang tak kenal kompromi. Penuh sesaknya kendaraan yang kunaiki dan susahpayahnya
tanganku menyelamatkan kotak berisi biola kesayanganku dari tubuh-tubuh berkeringat yang
berdesakan, nyaris membuatku frustrasi.
Untungnya saja tempatku kursus, sejuk karena alat pendingin. Apalagi mengingat aku rnengajar piano di tempat itu, pimpinan di tempat itu
menyarankan agar aku mengambil kursus privat
310
saja demi kewibawaanku di depan peserta kursus
lainnya. Setidaknya, suasana yang tak banyak orangnya itu agak membantu mengurangi kegelisahan batinku.
Namun karena tidak tidur semalaman dan
semangatku sedang turun drastis, hari itu merupakan hari yang sangat berat bagiku. Menjelang
senja setelah tugasku selesai, aku memilih naik
taksi. Tak kuat aku naik turun kendaraan umum.
Sesudah sarapan sedikit nasi goreng yang kutelan
dengan susah payah tadi pagi sampai menuju pulang petang ini, perutku belum terisi nasi barang
sebutir pun. Kue di meja ruang istirahat yang
disediakan untuk para pengajar, tak sekilas pun
kulirik. Meskipun perutku kosong, aku merasa
kenyang. Tak ada keinginanku untuk makan sesuatu.
Sesampai di rumah, mobil Mas Bondan belum kelihatan. Aku merasa lega karenanya. Kehadirannya di rumah pasti akan menambah beban batinku. Aku tak sanggup menatap matanya.
Aku juga tak sanggup berada di dekatnya sebab
kedekatan yang ada di antara kami hanyalah
kedekatan yang tampak. Tetapi hati kami?
Ketika Bik Popon masuk ke ruang tengah untuk mengambil cangkir Ibu yang telah kosong,
aku memanggilnya dari kursi malas yang biasa
diduduki Bapak.
"Ada air panas, Bik?" tanyaku. Dengan letih
kupejamkan mataku sesaat.
"Untuk apa, Non? Mau dibikinkan kopi?"
311
"Tidak, Bik. Untuk mandi."
Bik Popon menatapku. Aku yakin, perempuan
itu pasti menangkap kelesuan yang membayang
pada wajahku. Apalagi tak biasanya aku mandi
dengan air panas.
"Non Aster sakit?" tanyanya.
"Tidak, Bik. Aku cuma merasa lelah. Dengan
mandi air panas, aku berharap otot-otot tubuhku
yang kaku ini akan terasa agak lentur."
"Tunggu, saya jerangkan air dulu, ya?"
"Ya. Terima kasih, ya, Bik."
"Kenapa, Nduk?" suara Ibu yang baru muncul
dari kamarnya menimpali perkataanku.
"Minta
air panas buat apa, Sayang?"
"Untuk mandi."
"Kau kurang enak badan, Aster?" Ibu menatapku dengan pandangan khawatir. Seperti Bik
Popon tadi, Ibu pasti juga dapat menangkap kelesuan yang membayang di wajahku.
"Aku tidak apa-apa kok, Bu. Cuma capek."
"Tetapi matamu tampak kuyu dan ada lingkaran hitam di bawahnya. Kau tampak seperti
orang sakit," kata Ibu lagi sambil mendekatiku.
"Sungguh, Bu, aku tidak apa-apa."
"Suhu tubuhmu tidak naik?"
"Tidak. Normal-normal saja."
"Ya sudah, kalau begitu. Tetapi kalau kau
merasa perlu ke dokter, biar nanti diantar kakakmu. Sebentar lagi, dia akan pulang."
"Kok Ibu tahu?" tanpa sadar, terloncat begitu
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja pertanyaan itu dari mulutku.
312
"Tadi dia sendiri yang mengatakannya. Katanya dia ingin makan malam bersama-sama."
"Tumben " lagi-lagi perkataan itu meloncat
begitu saja dari mulutku.
"ia ingin mengatakan kepada bapakmu mengenai niatnya untuk meninggalkan rumah ini.
Tadi dia sudah membicarakan hal itu denganku."
Semalam aku sudah mendengar mengenai hal
itu dari mulut Mas Bondan sendiri. Tetapi dalam
hatiku aku masih memiliki harapan, apa yang diucapkannya itu hanyalah karena didorong emosi
sesaat. Bukan sesuatu yang serius. Dan kalaupun
itu sesuatu yang serius, tidak akan secepat ini
pelaksanaannya. Karenanya mendengar apa yang
dikatakan oleh Ibu, hatiku terguncang.
Dengan susah payah aku berusaha menampilkan wajah tenang.
"Kenapa dia ingin meninggalkan kita, Bu?"
tanyaku sambil bersyukur di dalam hati karena
aku mampu bersikap wajar.
"Katanya sih ingin mendekati tempatnya bekerja. Di sini, terlalujauh."
"Dari dulu kan memang begitu, Bu..."
"Yah, memang begitu. Tetapi barangkali saja
semakin lama semakin dirasa berat olehnya.
Maklumlah, daerahdaerah di sekitar kita ini kan
daerah yang padat lalu lintasnya. Kau merasakan
sendiri kan, kalau sudah macet bisa gila kita dibuatnya."
"Tanpa dia, rumah ini akan terasa lebih sepi.
Tak akan terdengar lagi suara organ atau per
313
mainan pianonya yang memenuhi seluruh penjuru rumah kalau dia sedang berlatih...." lagi-lagi
terloncat begitu saja perkataan dari mulutku.
"Yah, Ibu juga merasa kehilangan dia. Tetapi
alasan-alasannya itu masuk akal."
"Alasan yang mana lagi"?"
"Selain alasan letak rumah kita yang terlalu
jauh dari tempat kerjanya, ia juga mengatakan
sesuatu yang berkaitan dengan dirimu."
"Tentang diriku, Bu?" Aku kaget. Kutenangkan dadaku yang tiba-tiba berdebar itu. Apa yang
dikatakan Mas Bondan kepada Ibu?
"Ya. Katanya, kau sudah tidak memerlukan
kehadirannya lagi seperti ketika baru putus hubungan dengan Arya."
"Hm, begitu yang ia katakan...?" aku bergumam dengan perasaan agak lega. Ternyata Mas
Bondan tidak mengatakan apa pun mengenai apa
yang terjadi di antara kami berdua.
"Dia juga mengatakan sesuatu yang membuatku tertawa. Katanya, kau sekarang sudah
jauh lebih dewasa, sudah mandiri, dan tak lagi
bisa diperlakukan seperti anak baru gede sebagaimana perlakuannya kepadamu selama ini!"
kata Ibu sambil tersenyum.
"Kurasa, dia benar.
Kau sekarang memang tampak jauh lebih dewasa
dan mandiri secara mental, Nduk."
Untuk tidak meneuil kegembiraan Ibu, aku
ikut tersenyum. Dan dengan lega aku bisa menghindar dari pembicaraan tentang Mas Bondan
lebih lanjut. Apalagi sesudah itu air panas untuk
314
mandiku siap. Untunglah. Sebab berbicara mengenai Mas Bondan membuat perutku menjadi
keras karena tegang.
Tepat ketika aku selesai mandi, telingaku
mendengar suara mobil Mas Bondan masuk ke
halaman setelah sebelumnya mobil Bapak yang
masuk. Aku menjadi tegang lagi. Sambil memakai gaun rumah yang sudah kusiapkan di atas
tempat tidur, kutenangkan dadaku yang tiba-tiba
berdebar-debar. Untuk menenangkannya, aku
tetap tinggal di kamar, menunggu sampai ada
yang memanggilku keluar untuk makan malam
bersama.
Aku tahu, Mas Bondan juga Bapak, akan
mandi lebih dulu baru makan. Karenanya sambil menunggu waktu, kuhibur diriku dengan
mendengar musik dari radio di samping tempat tidurku. Aku sendiri duduk melamun di tepi
tempat tidur dan menyesali kegagalanku untuk
mendapatkan rasa segar setelah mandi air panas
tadi. Sebab sekarang rasa lesu tadi justru terasa
semakin menyebar ke seluruh tubuhku. Rasanya
aku sudah tidak punya sisa kekuatan apa pun lagi.
Bayangan rumah yang tiba-tiba menjadi sepi sepeninggal Mas Bondan nanti, membuatku seperti
mau gila.
Barangkali saja untuk mengatasi rasa lesu
yang semakin menguasai diriku itu aku harus lekas-lekas makan, pikirku. Semalaman tidak tidur,
seharian kurang makan, dan terkurasnya tenaga,
memang memicu kondisi fisikku menjadi buruk.
315
Tetapi kalau aku makan duluan dan langsung berbaring di sini, apa nanti kata mereka semua?
Ah, sudahlah. Lebih baik aku menunggu.
Sayangnya, setengah jam kemudian ketika aku
dan yang lain-lain baru saja duduk mengelilingi
meja makan, telepon berdering.
"Biar aku yang menjawab...." kata Mas Bondan sambil berdiri lagi.
Sejak berada di ruang yang sama beberapa
menit yang lalu, baik aku dan Mas Bondan sama-sama menghindari pertautan pandang mata
di antara kami berdua. Begitu pun ketika semenit
kemudian dia mengatakan kepadaku bahwa telepon itu untukku. Dia tak mau menatap mataku.
"Dari mana?" Seperti dia, akujuga tidak mau
menatap matanya.
"Lelaki bernama Hary..."
Aku semakin merasa terpuruk begitu mendengar nama itu lagi. Kenapa Hary tidak meneleponku kemarin, tadi pagi, atau besok saja? Kenapa
harus sekarang? Aku benar-benar sedang tidak
ingin melakukan komunikasi dengan siapa pun.
Tubuhku lemah lunglai dan pikiranku penuh dijejali masalah yang itu-itujuga, masalah-masalah
yang tak pernah terselesaikan.
"Ilalo?"
"Mbak Aster, bagaimana mengenai kursus
organ untuk kedua keponakanku itu?" Hary
langsung menyodorkan sesuatu yang selama beberapa hari ini tak sempat kupikirkan. Rasa bersalah mulai meneubiti hatiku.
"Bersediakah kau
316
menjadi guru mereka?"
"Kelihatannya tidak mungkin, Mas Hary.
Jadwal kegiatanku sudah sangat padat. Setelah
kupikir-pikir, sulit bagiku menyisihkan waktu
untuk itu," sahutku dengan perasaan lesu yang
semakin menggerogoti diriku.
"Barangkali pada kesempatan lain?"
"Aku belum tahu, Mas." Karena merasa tak
enak menolak permintaan orang begitu saja, perkataan itu kulanjutkan.
"Tetapi teleponlah aku
sebulan lagi. Siapa tahu aku bisa mengatur waktu
lebih baik."
"Oke," Hary berkata dengan suara ringan.
"Tetapi omong-omong nih, Mbak Aster masih
menyanyi di hotel itu, kan?"
Semestinya aku menjawab tidak, sesuai dengan kenyataan yang ada. Tetapi tiba-tiba timbul
pikiran lain dalam diriku. Terdorong oleh pikiran
itu, pertanyaan Hary kujawab dengan jawaban
yang tak sesuai dengan kenyataan.
"Masih," sahutku.
"Kenapa kautanyakan itu?"
"Besok malam aku akan menemani bos lagi,
menjamu seorang relasi. Alangkah baiknya kalau
aku bisa melihatmu lagi. Setidaknya, perkenalan
kita tak terputus begitu saja."
"Ya, mudah-mudahan..."
"Oke, sampai di sini dulu ya, Mbak. Sampai
ketemu besok."
"Ya."
Kepalaku menjadi pusing dengan tiba-tiba.
Dua pikiran baru yang bertentangan, bertengger
317
di kepalaku dan menambahi beban berat yang sudah ada di sana. Yang pertama, timbulnya keinginan menggebu-gebu untuk sekali lagi menyanyi
dan main musik bersama Mas Bondan. Siapa
tahu itu merupakan yang terakhir kalinya. Yang
kedua adalah pikiran lain yang membantah pemikiran itu. Apakah itu tidak akan menoreh luka
batinku menjadi lebih menganga lagi?
Sambil meletakkan gagang telepon ke tempatnya kembali, aku melirik kepada mereka yang sedang duduk mengelilingi meja makan. Kelihatannya, mereka semua menungguku duduk kembali.
Tak seorang pun di antara ketiganya yang sudah
mengambil nasi. Kelihatannya pula, kehadiranku
dianggap penting bagi mereka.
Entah mengapa perasaanku menjadi amat
sedih karenanya. Ditambah tubuh letih lesu dan
kepala pusing akibat pikiran yang datang bertubi-tubi itu, aku tak mampu lagi bertahan. Langkahku yang menuju kursi makan kembali mulai
oleng. Dan pandang mataku mulai berkunangkunang. Kubelalakkan mataku untuk melenyapkan kunang-kunang itu. Tetapi yang tampak olehku hanyalah kegelapan yang menyergap. Aku
terjatuh.
Namun sebelum tubuhku terpelanting ke lantai, sempat terasa olehku sepasang tangan terulur
dengan gerakan gesit dan langsung menyangga
tubuhku. Suara kursi terbalik yang entah tersepak
oleh siapa menyusup ke telinga, menghantarku
tenggelam ke dalam kegelapan yang semakin
318
pekat.
319
Empat Belas
DALAM kegelapan, ketika aku merasa seperti
berjalan di lorong yang luar biasa panjang, yang
seperti tak ada ujungnya, yang tak memiliki
penerangan barang sekerlip cahaya pun, samarsamar aku mendengar namaku dipanggil orang.
Rasanya suara itu terdengar amat jauh.
lngin sekali aku menjawab, tetapi lidahku terasa kelu. lngin sekali aku membuka mata untuk
mengetahui siapa yang memanggilku, tetapi pelupuk mataku tak bisa kubuka. Berat sekali rasanya. Sementara itu dadaku terasa sesak.
"Aster... Aster " suara itu kudengar lagi di
sisi telingaku. Kalaupun lidah dan mataku tak
berfungsi, barangkali saja pikiranku masih bisa
kuajak kerja sama. Tetapi ternyata itu pun sulit
kulakukan. Suara siapa yang memanggil-manggil
namaku, aku tak mampu mengingatnya.
"Aster " Namaku disebut lagi. Suaranya berbeda dengan suara yang memanggil-manggilku
tadi.
"Aster... bangun, Aster."
Suara yang itu sepertinya suara ajaib. Karenanya, mendengar suara itu pikiranku mulai bereaksi. Rasanya seperti kuda yang ingin berlari
mengakhiri lorong panjang yang gelap gulita
320
tadi, demi mendapatkan secercah cahaya di ujung
sana, entah di mana itu.
"Aster " suara itu kudengar lagi. Suara ajaib
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang rasanya memiliki ikatan batin dengan diriku
itu, seperti cemeti yang siap melecut kuda dalam
pikiranku. Pelupuk mataku yang seperti ditindih
sebongkah batu itu rasanya seperti mulai kehilangan beban berat. Meskipun nyaris tak ada artinya,
tetapi aku mampu menggerakkannya sedikit.
"Aster " suara ajaib itu kudengar lagi. Lalu
tibatiba bau yang menusuk, mengejutkan sarafsaraf dalam hidungku. Maka bersamaan dengan
cemeti yang melecut pikiran kudaku tadi, pelupuk mataku mampu bergerak lagi. Bahkan kemudian juga mampu menggulirkan beban berat yang
menindihnya. Mataku pun berhasil terbuka.
"Aster " suara ajaib itu suara Mas Bondan.
Dia duduk di tepi sebelah kiri tempat tidur. Di
bagian kakiku, aku melihat Bapak duduk sambil memijit-mijit telapak kakiku. Sedangkan Ibu
duduk di tepi sebelah kanan tempat tidur. Di tangannya terdapat sebotol minyak pepermin dan
Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama