Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 5
saputangan. Rupanya, bau menyengat itu berasal
dari situ.
"Aster " suara Ibu yang gemetar menyiratkan rasa lega begitu melihat mataku terbuka.
"Aduh, akhirnya kau siuman juga. Ibu sudah takut sekali...."
Aku belum sepenuhnya sadar. Kepalaku pusing sekali. Dadaku juga masih terasa sesak. Dan
seluruh tubuhku persis seperti seonggok kain
321
lusuh Lemah sekali rasanya. Mataku kupejamkan kembali.
"Aster " itu suara Mas Bondan lagi.
"Bagaimana rasanya?"
Aku diam saja. Mau bicara pun tenagaku tak
ada.
Suara bel pintu memecah perhatian. Serentak
lbu dan Bapak berdiri.
"Itu Pak Drajat, barangkali " kata Bapak
sambil melangkah keluar kamar.
"Langsung saja diajak kemari, Mas!" kata
lbu. Suaranya terdengar lega meskipun getarnya menunjukkan ia masih mengkhawatirkan
keadaanku.
Jadi tadi ada yang memanggil Pak Drajat, tetangga yang rumahnya berjarak dua rumah dengan tempat tinggal kami. Pak Drajat seorang dokter. Keluarganya dan keluarga orangtuaku sangat
akrab.
"Maaf lho, Pak Drajat, kami merepotkanmu
lagi...." kudengar suara Bapak dari luar.
"Aster
tibatiba saja pingsan. Cukup lama pingsannya.
Kami semua bingung sekali tadi..."
"Sekarang sudah siuman?" itu suara Pak Drajat.
"Kelihatannya sih sudah. Tetapi masih tampak lemah sekali," sahut Bapak. Suaranya semakin mendekat ke arah kamarku.
"Mari, Pak,
silakan masuk."
Pak Drajat memeriksaku dengan teliti. Mengukur tekanan darahku, memeriksa nadiku, meli
322
hat kelopak bagian dalam mataku, mendengarkan
suara dadaku melalui steteskop, memijat dengan
telapak tangannya pada bagian perutku, lalu
menanyakan ini dan itu kepada Ibu.
Sepanjang pemeriksaan itu, aku diam saja dan
membiarkan Pak Drajat melakukan tugasnya. Selesai melakukan pemeriksaan, Pak Drajat menatapku dengan pandangan tajam.
"Perutmu kosong, Aster!" katanya.
"Kapan
terakhir kalinya kau makan?"
"Tadi pagi...." aku berhasil menjawab pertanyaan Pak Drajat.
"Sudah kuduga. Tekanan darahan rendah sekali!" kata Pak Drajat lagi.
"Dan kelihatannya,
kamujuga kurang tidur selama berhari-hari. Ya?"
"Ya..."
"Dan terlalu capek bekerja. Ya?"
"Ya."
Pak Drajat memandang ke arah Ibu.
"Buatkan teh hangat yang manis, Mbakvu.
Lalu kalau ada bubur, sebaiknya Aster makan
bubur saja dulu untuk malam ini. Tenaganya
masih lemah untuk mencerna makanan lain."
"Nanti akan kucarikan bubur ayam," Mas
Bondan bersuara.
"Sekalian membeli obat kalau
ada resepnya."
"Ya, akan kubuatkan resep. Tetapi untuk sekaran g ini, nanti akan kusuruh orang mengantarkan
obat untuk dimakan malam ini "
"Jangan repot-repot, Pak Drajat, biar aku nanti yang akan pergi bersamamu untuk mengambil
323
obat itu," sahut Bapak.
"Sakit apa anakku ini, Pak"?" tanya Ibu menyela.
"Untuk sementara ini, aku hanya bisa mengatakan, Aster mengalami kelelahan lahir batin.
Dengan istirahat dan cukup makan, dia akan
segera pulih."
"Jadi tidak ada sebab yang lain, Pak?" tanya
lbu lagi.
"Mudah-mudahan tidak. Tetapi kalau boleh
kuusulkan, tak ada salahnya kalau diadakan pemeriksaan lebih lanjut."
"Pemeriksaan lebih lanjut bagaimana?" tanya
lbu lagi.
"Yah, sedikitnya pemeriksaan darah."
"Aku setuju, Pak"
"Baik, nanti kubuatkan surat pengantarnya!"
"Apakah Pak Drajat mempunyai dugaan tertentu?" suara Bapak yang menyela pembicaraan
itu terdengar khawatir.
"Kelihatannya, anak ini mengalami anemia.
Kekurangan butir darah merah. Bagian dalam
kelopak matanya pucat."
"Besok kalau dia sudah kuat untuk pergi, biar
aku yang mengantarkannya, Oom!" Mas Bondan
mulai ikut bersuara lagi.
Begitulah, gara-gara aku jatuh pingsan, Mas
Bondan mengundurkan pembicaraan tentang
rencana pindahnya. Apalagi karena ternyata
pingsanku malam itu berlanjut menjadi penyakit. Rasa pusing yang kurasakan malam itu tidak
324
sembuh-sembuh. Sebagai akibatnya, aku tak bisa
bangkit dari tempat tidur. Bahkan baru bangkit
duduk saja pun kepalaku seperti gasing berputar.
Dan aku menjadi mual karenanya.
Jadi pagi itu aku terpaksa membiarkan diriku
menjadi pasien Ibu. Beliaulah yang menyeka wajah dan tubuhku. Kalau aku ingin pergi ke kamar
kecil, beliaujuga yang menyangga tubuhku.
"Aster, apakah kau cukup kuat untuk pergi ke
laboratorium?" tanya Ibu sesudah memakaikan
aku pakaian dan menyisir rambutku.
"Rasanya tidak, Bu. Kepalaku pusing sekali."
"Kemarin perihal kepalamu yang pusing itu
sudah kaukatakan kepada Pak Drajat?"
"Tidak. Kupikir, rasa pusing itu akan hilang...." sahutku lemah.
"Tetapi ternyata malah
semakin menyiksa..."
"Nanti Ibu akan meneleponnya. Barangkali
ada tambahan obat yang harus kauminum."
Sebelum ke kantor, Bapak menjengukku lebih
dulu. Dibelainya rambutku.
"Lain kali, Aster, perhatikanlah makanmu.
Lapar atau tidak, kalau waktunya makan ya makan. Begitu juga atur waktu-waktu istirahatmu.
Ingat sekuatkuatnya tubuh kita, pasti ada batas
kekuatannya." begitu ia memberiku nasihat.
"Ya, Pak..."
"Dan sadarilah pula, kalau badan kita lemah,
penyakit akan mudah menyerang kita karena tak
ada daya tahan untuk mengusirnya," Bapak melanjutkan nasihatnya.
325
"Ya, Pak..."
"Dan yang lebih penting, Aster, berpikir
positillah setiap menghadapi masalah. Yakinlah
bahwa di antara sekian banyaknya pintu tertutup, pasti ada yang tidak dikunci. Dan kalaupun
semua terkunci, yakinlah bahwa pasti ada kunci
yang bisa ditemukan," kata Bapak lagi.
"Ikatan
antara tubuh dan jiwa kita itu sangat erat. Fisik
yang sangat lapar sekalipun, kalau jiwa kita
merasa jenuh, maka rasanya seperti kenyang terus. Melihat makanan, muak rasanya. Tahu kan
maksud Bapak?"
"Ya, Pak...."
"Nah, Bapak cuma mau mengatakan kepadamu bahwa memanjakan perasaan negatif itu tidak
ada manfaatnya. Malah bisa merugikan. Sebab
rasa sakit yang menyerang jiwa, hati, perasaan,
sangat besar pengaruhnya terhadap hsik kita. Begitu saja pesan Bapak, ya Ndak. Pulang dari kantor malam nanti, Bapak ingin melihatmu sudah
sehat seperti semula!"
"Ya, Pak..." Aku ingin sekali menangis.
Alangkah bodohnya aku, bisa-bisanya merasa
kesepian, merasa sendirian seperti sebatang kara.
Padahal kedua orangtua angkatku begitu mencintaiku dengan sepenuh hati. Sedangkan bagaimana perasaan orangtua, keluarga, dan kerabatku
yang sedarah terhadap keberadaanku, aku tak
tahu. Yangjelas, pada kenyataannya mereka telah
menyerahkanku ke panti asuhan dan tak pernah
lagi memedulikan masalah itu.
326
"Bapak mau berangkat sekarang. Kau ingin makanan apa, nanti Bapak belikan." Bapak
menepuknepuk pipiku.
"Jeruk, apel, atau apa?"
"Majalah apa saja yang terbaru. Itu saja."
"Cokelat?"
"Boleh. Yang ada isi kenari atau kacangnya,
kalau ada." Bapak selalu ingat, aku sangat suka
cokelat di masa kecilku. Demi kenangan manis
itu, aku mengiyakan untuk menyenangkan hatinya. Padahal baru membayangkan cokelat saja,
aku sudah merasa mual.
"Akan Bapak usahakan."
Setelah mencium dahiku, Bapak melangkah keluar. Tetapi baru sampai di pintu, aku
memanggilnya.
"Pak..."
"Hmm...?"
"Kenapa Bapak menasihatiku seperti itu," tanyaku.
"Dokter mengatakan apa kepada Bapak?"
"Pak Drajat tidak mengatakan apa-apa, kecuali menyampaikan sedikit dugaannya. Bahwa,
menurut pengamatan sekilasnya, kau sedang
mengalami depresi. Soal kebenarannya, tentu
kau sendiri yang tahu, Nduk. Bapak tadi kan sudah berpesan kepadamu, carilah pintu yang tidak
dikunci. Kalau toh semua pintu itu dikunci, cari,lah anak kuncinya!"
"Kalau tidak ada anak kuncinya, Pak?"
"Buatlah. Tuhan memberi kita akal budi, panca indra, dan kemawan untuk itu," Bapak menjawab sambil tersenyum lembut.
"Oke?"
327
"Oke, Pak. Terima kasih."
Bapak berbeda dengan Ibu. Di mana saja dan
dalam kesempatan apa pun, Ibu selalu menyertakan kata-kata mutiaranya, nasihat-nasihatnya,
contohcontoh yang ada di seputar kehidupan ini,
dan lain sebagainya, guna mengasah budi pekertiku. Tetapi Bapak, beliau baru menasihatiku kalau aku sedang mengalami sesuatu. Seperti ketika
aku baru saja mengalami patah hati ditinggal Mas
Arya waktu itu.
"Terima kasih kembali, Non. Tetapi sekali
lagi camkanlah, Aster, jangan sia-siakan masa
mudamu, kecantikanmu, kesehatanmu, dan kebahagiaanmu hanya untuk memikirkan orang atau
hal-hal yang tak layak kaupikirkan!" Begitulah,
sambil membuka pintu kamarku, Bapak masih
merasa perlu menambahi kuliah paginya.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Pak. Akan kuusahakan." Hm,jadi Bapak
masih menyangka penyakitku berkaitan dengan
Mas Arya!
"Nah, Bapak akan pergi sekarang!"
"Hati-hati, ya, Pak."
Bapak tersenyum, kemudian melangkah keluar dan menutup kembali pintu kamarku. Aku
menarik napas panjang. Lepas dari persangkaan
Bapak mengenai sumber pikiran yang membuatku sakit ini, kurasa apa yang ia katakan itu benar. Di dunia ini ada banyak manusia menderita
penyakit fisik yang asalnya dari masalah-masalah
kejiwaan yang tak terselesaikan. Dan tak kurangkurang pula yang berakibat pada kacaunya "pek
328
erjaan" otak mereka sehingga menimbulkan
perilaku-perilaku menyimpang. Mulai dari penyimpangan dengan derajat yang ringan, sampai
yang berat dan bisa membahayakan lingkungan.
Setelah suara mobil Bapak menghilang tidak
lama sesudah itu, kudengar langkah-langkah kaki
lbu menuju ke kamarku. ia muncul dengan wajah
yang lebih cerah dibanding ketika ia melihatku
tak mampu bangkit dari tempat tidur.
"Aster, kakakmu baru saja menelepon," katanya.
"Dia menanyakan keadaanmu. Katanya
dia akan pulang lebih cepat supaya bisa mengantarkanmu ke laboratorium"
"Tetapi Ibu bilang, aku tak kuat bangun, kan?"
"Ya. Justru itu dia sekarang sedang berusaha
agar bisa membawa pegawai laboratorium ke
rumah untuk mengambil darahmu," sahut Ibu.
"Jadi benar rupanya pendapatku tadi, sebelum
kita tahu harus bagaimana mengenai pemeriksaan darahmu itu, sebaiknya kau tidak makan dan
minum apa-apa dulu, kecuali air putih."
Akujuga tahu, untuk mendapatkan hasil yang
akurat dalam pemeriksaan darah di laboratorium,
si pasien diharuskan puasa sekitar sepuluh sampai dua belas jam lamanya. Jadi kalau darah kita
mau diambil pada pagi hari, diharapkan setelah
makan malam kita tidak mengisi perut lagi sampai selesai pelaksanaannya. Tetapi mengundang
pegawai laboratorium ke rumah pasien?
"Apakah ada pegawai laboratorium yang bisa
diminta datang ke rumah pasien, Bu?" tanyaku
329
kemudian.
"Kata Bondan, dia pernah mendengar ada laboratorium milik swasta yang memberi pelayanan
kepada pasien sampai di rumahnya.... Tetapi tentu saja ada biaya tersendiri untuk itu."
Ternyata apa yang dikatakan oleh Mas Bondan kepada Ibu, tidak salah. Darahku bisa diambil di rumah tanpa harus pergi ke laboratorium.
Dan sore nanti, hasilnya sudah bisa diambil.
Bereslah masalah itu.
Tetapi tidak demikian halnya dengan kepalaku. Bangkit sedikit saja, kepalaku masih berputar-putar seperti kitiran rasanya. Selera makanku
juga masih jauh dari yang diharapkan. Untungnya malam tadi aku bisa menghabiskan sepiring
bubur ayam yang dibelikan oleh Mas Bondan.
Dan untungnya pula setelah minum susu dan makan separuh piring nasi tim buatan Ibu, sesiang
itu aku bisa tidur meskipun aku tahu itu berkat
bantuan obat penenang. Tetapi bagiku, bisa tertidur nyenyak selama satu atau duajam adalah sesuatu yang sangat mewah mengingat berhari-hari
sebelum ini aku mengalami insomnia.
Aku tak tahu siapa yang masuk ke kamarku
ketika aku tidur tadi, Ibu atau Mas Bondan, tetapi
yangjelas aku melihat sekeranjang buah di meja
dekat tempat tidurku Tetapi aku yakin, buahbuah itu dibeli oleh Mas Bondan. Bapak masih
berada di kantor. Karena aku sakit, Ibu dan Bik
Popon pasti tidak akan keluar rumah hari ini. Ah,
apakah dia tadi menatapi wajahku ketika aku se
330
dang tidur? Terbukakah mulutku tadi? Apakah
pakaianku ada yang tersingkap?
Pertanyaan-pertanyaan menggoda seperti itu
menimbulkan debar-debar jantung yang tak beraturan di dalam dadaku. Aku benar-benar merasakan bagaimana tersiksanya jatuh cinta kepada
seorang lelaki yang tak bisa kumiliki. Ternyata
pengalaman serupa yang pernah kurasai ketika
Mas Arya memilih gadis lain demi memenuhi
keinginan keluarganya, bukan apa-apa jika dibanding dengan apa yang sekarang kualami ini.
Sorenya setelah aku mencoba mandi di kamar
mandi dengan bantuan Ibu, Mas Bondan masuk
ke kamarku dengan membawa amplop berisi hasil pemeriksaan darahku pagi tadi. Saat itu dengan
setengah berbaring, kubiarkan rambutku disisir
lbu. Meskipun tidak sehebat tadi sebelum tidur,
kepalaku masih saja pusing. Aku belum berani
duduk.
"Sebaiknya hasil laboratorium ini kubawa ke
tempat Pak Drajat sekarang, ya, Tante?" tanya lelaki itu, meminta pesetujuan Ibu.
"Ya, sebaiknya begitu. Nanti kalau memang
adikmu perlu dibawa ke sana, ya kita bawa!" Ibu
menyetujui usulnya.
"Semakin cepat kita mengetahui hasilnya, semakin baik."
"Aku juga berpendapat begitu." Tanpa menatap ke arahku, Mas Bondan langsung pergi. Tak
sampai setengah jam setelah itu, dia sudah kembali.
Seperti yang sudah diduga, butir darah mer
331
ahku memang di bawah normal. Tetapi yang
lain-lainnya normal-normal saja.
"Pak Drajat mau melihat Aster kalau sudah selesai dengan pasicn-pasicnnya," katanya
setelah menceritakan mengenai hasil pemeriksaan darahku.
Dua jam kemudian ketika Pak Drajat sedang
memeriksaku, Bapak pulang dari kantor. Ia membawa sekotak cokelat dan empat buah majalah
pesananku.
"Bagaimana keadaannya, Pak?" tanya Bapak
kepada Pak Drajat setelah meletakkan barang-barang bawaannya ke meja di samping tempat tidurku. Dekat dengan keranjang buah yang dibeli
Mas Bondan siang tadi.
"Tekanan darahnya sudah mulai bagus meskipun masih belum mencapai angka yang seharusnya. Tetapi kelihatannya, anak ini kena penyakit
mag."
"Kena mag?" Ibu menyela dengan mata melebar.
"Ya."
"Lalu pusingnya kenapa, Pak Drajat?" tanya
lbu lagi.
"Gangguan pada lambung juga bisa mengakibatkan pusing-pusing." Pak Drajat melorotkan
kacamata, menatapku sesaat lamanya.
"Bagaimana, Aster, semalam bisa tidur?"
"Daripada malam-malam sebelumnya yah
lumayanlah, Oom."
"Lalu siang tadi bagaimana? Bisa tidur?"
332
"Kalau siang tadi memang saya bisa tidur lebih nyenyak meskipun cuma satu atau dua jam.
Tetapi itu kan karena pengaruh obat."
"Obat itu hanya sekadar membantumu, Aster.
Jadi tidur dengan cara alamilah yang paling bagus. Oleh sebab itu kalau tidak sangat perlu, obat
yang kecil itu tidak usah diminum."
"Ya, Oom," aku menjawab enggan.
"Yang penting, janganlah kau terlalu banyak
membiarkan dirimu dikuasai pikiran. Oom mengerti, sebagai gadis yang sudah dewasa dan baru
mulai hidup di tengah masyarakat, pasti ada banyak benturan dan masalah. Ya, kan? Nah, kalau
bukan kita sendiri yang mencoba mengatasinya,
lalu siapa?"
"Ya, Oom." Karena berada di bawah tatapan
setiap orang di kamarku itu, pelan-pelan bara api
mulai menghangati kedua pipiku. Rasanya aku
seperti sedang diadili.
"Lalu obatnya masih harus diteruskan, Pak
Drajat?" Ibu menyela bicara. Aku yakin, perasaan Ibu yang peka sudah menangkap kerikuhanku. Karenanya, ia segera membelokkan pembicaraan.
"Teruskan saja. Isinya cuma Vitamin. Nanti
saya beri tambahan satu macam obat lagi untuk
mengurangi rasa pusingnya. Tetapi itu diminum
kalau perlu saja, ya, Aster."
"Ya, Oom."
"Makanlah yang banyak. Jangan takut gemuk.
Sampai sepuluh kilogram lagi kau masih belum
333
kelihatan gemuk!" kata Pak Drajat lagi.
"Baiklah."
"Tetapi jangan hanya "ya" dan "ya",
"baik" dan
"baik" saja lho, Aster." Pak Drajat menepuk bahuku.
"Atasilah persoalan batin kalau memang itu
ada. Dan jangan menganggap enteng apa yang
menimpamu ini. Sebab ada banyak penyakit berat yang ternyata disebabkan karena pikiran."
Bara panas tadi menjalar lagi ke seluruh
wajahku. Meskipun tidak melihatnya secara
terang-terangan, tetapi lewat ekor mata, aku tahu
Mas Bondan sedang menatapku dengan sepenuh
perhatiannya.
Sedikit atau banyak, apa-apa yang hari itu
dikatakan oleh Bapak dan Dokter Drajat masuk
juga ke dalam otakku. Karenanya meskipun malas
makan, kupaksa diriku untuk menghabiskan nasi
tim ayam yang diambilkan Bik Popon. Siang
tadi aku cuma bisa menghabiskan separuhnya.
Sesudah makan dan masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi dan buang air kecil, aku langsung
mematikan lampu besar di kamarku. Kemudian
kusurukkan kepalaku yang masih agak pusing itu
ke bantal, mencoba tidur.
Lagi-lagi karena pengaruh obat, usahaku untuk tidur dan melupakan segala kesusahanku,
berhasil.... Tetapi sayangnya, hal itu tidak berlangsung sampai pagi. Aku terbangun entah jam
berapa, tak kuketahui persisnya. Yang aku tahu
secara persis adalah suasana di luar kamarku dalam keadaan sunyi senyap. Aku tak mendengar
334
suara apa pun selain suara detak halus jam duduk
yang karena gelapnya ruang kamarku itu, aku tak
bisa melihatnya. Aku tak tahu jam berapa sekarang ini.
Dalam keadaan sunyi sepi seperti itu, aku mulai merasa gelisah lagi. Rasanya, kesenyapan itu
seperti menyergap dan melemparkanku ke dalam lubang dalam yang tak kelihatan dasarnya.
Seluruh diriku, lahir dan batin terasa gamang.
Kutarik selimut yang semula cuma menyelimuti kedua belah kakiku dan kupeluk gulingku
erat-erat. Dengan apa yang kulakukan itu, aku
berharap mendapat perlindungan terhadap sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa bentuknya. Tetapi, pastilah itu berkaitan dengan masa depanku
yang gelap.
Dalam perasaan tak menentu begitu, tiba-tiba saja muncul firasat yang mengatakan bahwa
di kamar itu aku tidak sendirian. Bahkan kemudian aku juga merasa seperti ada sepasang mata
sedang menembus punggungku dengan tatapan
matanya. Tak enak sekali rasanya.
Tentu saja firasat seperti itu tak masuk
akal. Karenanya aku tak mau membiarkannya.
Kukibaskan hal-hal yang tak masuk akal itu jauhjauh dari pikiranku. Kemudian kubalikkan tubuh
dan kubuka mata untuk membuktikan kepada
diriku sendiri bahwa firasat semacam itu cuma
khayalan.
Tetapi alangkah terperanjatnya diriku ketika
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalam kegelapan kamarku itu, aku melihat ses
335
osok tubuh sedang duduk di kursi, menghadap ke
arahku. Meskipun di dalam cahaya remang yang
terbias dari lubang di atas pintu, aku kenal betul
sosok tubuh itu milik Mas Bondan.
"M-mas... Bondan ?" tanyaku berbisik.
"Ya, aku."
"Kenapa kau duduk di situ?" Dadaku mulai
berdesir menyadari kehadirannya di kamarku, di
malam yang telah larut begini. Dalam kegelapan
pula.
"Aku menungguimu."
"Menungguku?"
"Ya. Tadi setelah Pak Drajat memeriksarnu
dan mengatakan beberapa hal yang berkaitan
dengan penyakitmu, aku tahu bahwa dugaanku
benan"
"Dugaan apa?"
"Kemarin waktu kau pingsan dan Pak Drajat
mengatakan bahwa besar kemungkinan penyebab
pingsanmu itu karena kurang tidur dan makan,
aku berpikir jangan-jangan itu berkaitan dengan
persoalan kita..."
"Mas, aku tak mau membicarakan hal itu!"
kataku memotong. Napasku mulai terengah karena sesak.
"Aku juga tidak mau, sebetulnya!" Mas Bondan menghela napas, panjang sekali.
"Tetapi
kita harus membicarakannya, Aster. Sebab kalau
tidak, kita berdua akan tersiksa."
Aku terdiam menyadari kebenaran perkataannya. Dan melihatku terdiam itu, Mas Bondan
336
melanj utkan bicaranya.
"Aster, beberapa hari lalu ketika aku mengajak Astri ke Anyer, sebenarnya ada sesuatu yang
ingin kubiearakan bersamanya. Kesempatan berada di tempat yang netral, yangjauh dari telinga
orang lain, kupakai untuk itu," katanya.
"Di sana,
aku meminta pengertian Astri untuk menunda
pembicaraan mengenai peningkatan hubungan
kami, walaupun kedua belah pihak keluarga sudah mengharapkan langkah ke arah yang lebih
pasti."
"Ke... kenapa?" tanyaku, memotong lagi bicaranya.
"Karena beberapa bulan belakangan ini aku
mulai sadar bahwa perasaanku kepada Astri tidaklah mencukupi untuk membangun sebuah keluarga. Dengan kata lain, aku meragukan diriku
sendiri. Sementara itu, perhatian Astri pun tampaknya lebih banyak tersita pada kesibukannya
kuliah. Kau sendiri tahu kan bagaimana sibuknya
dia melakukan penelitian-penelitian untuk gelar
doktornya itu."
"Nanti kalau studinya sudah selesai, perhatiannya pasti akan sepenuhnya kembali kepadamu..."
"Masalahnya bukan sekadar itu saja, Aster.
Tetapi, aku mulai merasa tak mampu mengikuti
kiprahnya. Cita-eitanya tinggi, ingin menjadi ilmuwan seperti ayahnya. Sebaliknya, dia juga tak
mampu mengikuti alur perjalanan hidupku yang
banyak diwarnai seni musik. Bahkan ia pernah
337
melontarkan ketidaksetujuannya melihatku rnenyanyi dan bermain musik di hotel. Meskipun ia
tidak mengatakannya, tetapi aku tahu bahwa dia
merasa malu seandainya kelak ia menikah dengan seorang pemusik kelas teri. Bayangkan seorang doktor yang nantinya akan bergerak di bidang sains bersuamikan penyanyi hotel..."
"Jangan sinis begitu, Mas."
"Jangan salah mengerti, Aster. Aku cuma mau
mengatakan tentang suatu fakta. Tak ada sinisme
di sini."
"Kalau kalian sama-sama menyadari adanya
perbedaan dan memahaminya, j ustru akan bagus
jadinya. Perbedaan justru bisa memperkaya masing-masing pihak. Apalagi ada cinta di dalamn
H
ya.
"Masalahnya justru karena aku mencintai ga
dis lain, Aster!" suara Mas Bondan lebih sebagai
keluhan daripada pernyataan.
"Dan kau tahu, siapa gadis itu, kan?"
Dadaku berdenyut kencang mendengar perkataan Mas Bondan. Kupejamkan mataku yang
mulai terasa panas. Bahagia rasanya dicintai oleh
lelaki yang kucintai itu. Tetapi juga sedih rasanya
memikirkan berbagai macam hal yang diakibatkannya. Kami berdua tak mungkin bersatu.
"Aster, kau pasti masih ingat bagaimana
malam itu aku memekikkan keputusasaanku
kepadamu. Aku yang biasanya begitu tegar dan
bahkan mampu menularkan ketegaran itu kepada orang-orang di sekelilingku termasuk dirimu,
338
malam itu kehilangan seluruh ketegaran. Bahwa
ternyata kita saling mencintai, membuatku jadi
seperti seekor kodok pengecut. Aku ingin lari
dari kenyatan. Aku ingin selekasnya pergi dari
rumah ini. Aku ingin menjauhi Astri pula. Pokoknya aku ingin menjauhi kalian berdua, entah untuk sementara entah untuk selamanya...." Mas
Bondan menghentikan sesaat perkataannya sambil mengembuskan napas dengan keras.
"Tetapi
pada saat aku baru saja mulai mau melangkah
untuk melaksanakannya, tiba-tiba kau pingsan
dan..."
"Maafkanlah aku..." Air mataku mulai merebak.
"Tak ada yang perlu dimaafkan," Mas Bondan
mengibaskan tangannya ke udara.
"Ketika melihatmu pingsan dengan wajah pucat pasi, lalu tidak memberikan reaksi sedikit pun ketika namamu dipanggil-panggil, aku betul-betul menyadari
betapa besar cintaku kepadamu. Meskipun aku
tak berani memperlihatkan perasaanku di depan
orang lain, tetapi andaikata Tante Pur sempat melihatku, pasti dia tahu betapa ketakutannya diriku. Aku takut sekali kalaukalau kau tak pernah
bangun lagi..."
Air mata meleleh melalui sudut mataku dan
turun membasahi bantalku. Tetapi aku diam saja,
tak berani bersuara. Untungnya Mas Bondan
masih belum puas mengeluarkan ganjalan perasaannya.
"Aster, ketika Pak Drajat tadi mengatakan
339
bahwa kau harus mengatasi persoalan batinmu
lalu bilang bahwa ada banyak penyakit berat
yang asalnya dari pikiran, aku menjadi amat gelisah. Kusadari sekarang betapa menderitanya dirimu. Setelah dengan Dik Ary, sekarang dengan
diriku..."
"Apa yang kualami dengan Mas Ary... tak
ada apa-apanya dibanding dengan yang kualami
sekarang ini ." aku terisak, menyela bicaranya
lagi.
Mas Bondan pindah duduk ke tepi tempat tidurku. Rambutku dibelainya.
"Kalau saja kau tahu bahwa aku juga sangat menderita...." katanya dengan suara lembut.
"Aku melarikan diri dengan menyibukkan diri.
Kubiarkan ledakan-ledakan emosiku dengan
menyalahi hal-hal yang sebelumnya tak pernah
kualami..."
"Aku juga...." kupotong lagi perkataan Mas
Bondan, masih terisak-isak.
"Tak heran, temperamenku akhirakhir ini sering membuatmu jengkel,
marah, dan kaget."
"Ya, dan aku baru menyadarinya sekarang,
Aster."
Aku tak menjawab, sibuk menghapus wajahku yang basah. Pada saat itu tiba-tiba Mas Bondan menanyakan sesuatu yang sama sekali tak
kusangka.
"Aster, maukah kau membantuku?" tanyanya.
"Membantu apa?"
"Membantu dan menemaniku menghadapi
340
siapa pun yang ada di hadapan kita dan bersama-sama pula melayani kemarahan, tantangan,
atau apa pun sebagai akibat dari pelanggaran
yang kita lakukan terhadap tatanan yang sudah
mapan di tengah keluarga besar kita."
"Apa maksudmu, Mas?"
"Aku akan berterus terang kepada Tante Pur
dan kepada kedua orangtuaku mengenai kita berdua..."
"Lalu...?"
"Aku akan memutuskan hubunganku dengan
Astri, dan... menikah denganmu!"
Mendengar perkataan yang tak pernah kuharapkan karena kemustahilannya itu, aku malah
menjadi sangat ketakutan. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa diriku tak pantas menjadi istri
Mas Bondan. Siapakah diriku sampai ia harus
mengorbankan Mbak Astri yang cantik, pandai,
dan begitu baik hati itu? Siapakah diriku ini sampai-sampai Mas Bondan berani mengumpulkan
tekad untuk menghadapi keluarga besar kami"?
Sungguh tak layak Mas Bondan mengorbankan semua itu hanya untuk seorang gadis yang
tak bisa menjaga diri dan telah kehilangan keperawanan ini. Aku ini "sisanya" Mas Arya. Tak
ada apa-apa lagi yang bisa kuberikan kepada Mas
Bondan sebagai persembahan cinta.
Ya, demi cintaku kepadanya, aku tak akan
membiarkan keinginan Mas Bondan terwujud.
Dia berhak mendapat istri yang segalanya jauh
lebih baik daripada diriku.
341
Lima Belas
SETELAH rasa kaget dan terpesona yang
kualami pelan-pelan menghilang dari diriku lalu
aku sadar pada kenyataan yang sedan g kuhadapi,
barulah perkataan Mas Bondan tadi kutanggapi.
"Apa yang tadi kaukatakan kepadaku, Mas?"
dengan rasa gamang yang luar biasa aku bertanya
kepada Mas Bondan, untuk mendengarkan sekali
lagi apa yang tadi diucapkannya. Benarkah pendengaranku tadi?
"Setelah hubunganku dengan Astri putus, aku
akan meminta kepada kedua orangtuaku untuk
melamarmu. Aku tak peduli meski barangkali
akan terjadi kegoncangan luar biasa dalam keluarga besar kita," sahut Mas Bondan menjawab
pertanyaanku. Isinya sama seperti yang kudengar
tadi. Berarti, aku tidak salah dengar. Apalagi kali
ini ia berkata dengan lebihjelas dan lebih tegas.
Aku bangkit untuk duduk. Tapi karena gerakan itu membuatku pusing, kusandarkan kepala
di bagian atas tempat tidurku yang merapat ke
dinding kamar.
"Aku... aku tidak setuju, Mas!" sahutku
terbata-bata.
"Kenapa?" kudengar nada menuntut di dalam
342
suara Mas Bondan.
Kutelan napasku yang nyaris tersangkut sambil mencari jawaban yang paling bisa diterima.
"Aku... aku tidak mau menyakiti hati Mbak
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Astri. Aku pernah merasakan betapa sakitnya disingkirkan orang demi gadis lain, seperti pemain
yang didorong keluar panggung di saat orangorang sedang bertepuk tangan untuknya. Seluruh
rencana masa depan, tiba-tiba hancur berkepingkeping," akhirnya aku menemukan jawaban yang
memang menjadi salah satu alasan penolakanku.
"Tidak, Mas, aku tidak sanggup menyaksikan itu
semua...."
Mas Bondan terdiam beberapa saat lamanya.
Kemudian setelah menarik napas dalam-dalam
dan mengembuskannya dengan cepat, ia bersuara
lagi.
"Aku juga tidak mau menyakiti hati Astri,"
katanya.
"Tetapi kalau dia mengetahui tentang
kita dari orang lain atau mungkin juga memergoki sendiri dengan mata kepalanya, luka yang
dirasakannya pasti akan terasa lebih menyakitkan. Astri gadis yang rasional, Aster."
"Masalahnya tidak sesederhana itu, Mas. Aku
juga termasuk gadis yang rasional. Tetapi ketika
aku disingkirkan begitu saja oleh Mas Ary dengan alasan apa pun, ada rasa tak berharga yang
membebani batinku. Dan itu sangat menyedihkan."
"Aku tahu. Tetapi latar belakang keluarga Astri berbeda, Aster."
343
Meskipun Mas Bondan tidak mengatakannya
secara terang-terangan apa yang ia bicarakan, aku
mengerti apa yang ia maksudkan dari perkataannya itu. Mbak Astri tidak mengalami masalah
krisis identitas yang berkaitan dengan asal-usul
keluarganya sebagaimana yang kualami.
"Kau mau mengatakan bahwa Mbak Astri
lebih kuat mentalnya karena memiliki keluarga
yang jelas. Begitu?" tanyaku kemudian.
"Ya, kira-kira begitu."
"Lalu...?"
"Aku tak akan mundur dari tekadku semula.
Aku ingin memperistri dirimu!" Mas Bondan
menjawab dengan sikap yang meyakinkan.
"Dan
bersama-sama denganmu, aku akan menghadapi semua tantangan yang menghadang di depan
kita."
Hatiku menciut mendengar perkataan Mas
Bondan. Rupanya sia-sia saja usahaku untuk
menghambat keinginannya memperistri diriku.
Kelihatannya pula meskipun dia sadar bahwa kemungkinan mengalami hambatan itu ada, namun
tampaknya ia merasa optimis.
"Mas, kau melupakan satu hal," kataku mengingatkannya.
"Apa?"
"Aku yakin, awal hubungan kalian berdua
dulu pastilah diwarnai cinta. Kau mencintainya
dan diajuga mencintaimu. Bahwa dalam perjalanannya kalian merasakan adanya perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, itu wajar terjadi.
344
Tetapi bahwa perbedaan itu sampai meneuil
sedikit demi sedikit cinta kalian terutama dari pihakmu, itu sudah tidak wajar lagi. Jangan campur
adukkan cinta dengan hal-hal lainnya yang menyangkut minat, bakat, kegiatan, dan pekerjaan
atau profesi kalian. Hal itu "
"Sebenarnya, apa yang mau kaukatakan kepadaku, Aster." Mas Bondan memotong perkataanku dengan tidak sabar.
Aku tertegun. Kutatap wajahnya dalam keremangan kamarku. Kemudian kuhela napasku
panjang-panjang.
"Aku... aku cuma mau mengatakan, jagalah
perasaan Mbak Astri dan keluarganya. Perasaanku langsung tertekan setiap membayangkan
Mbak Astri akan patah hati. Sebab yang seperti itu justru tidak terlalu kurasakan ketika Mas
Ary meninggalkanku, meskipun semua orang
mengira demikian," kataku kemudian.
"Saat itu
yang paling kurasakan adalah perasaan terbuang,
perasaan tak berharga, rasa cemas yang luar biasa menghadapi masa depan yang harus kulalui
sendirian tanpa seseorang mendampingiku. Tetapi yang akan dialami Mbak Astri, lebih dari itu. Ia
akan kehilangan orang yang sangat dicintainya."
Mas Bondan terdiam. Kesempatan itu segera
kupergunakan sebaik-baiknya.
"Mas, kuharap janganlah kau bertindak terburu nafsu. Berpikirlah secara lebih mendalam.
Sadarilah akibat-akibatnya. Bukankah kau selalu
mengajariku agar memiliki sikap mantap dalam
345
menentukan keputusankeputusan yang menyangkut kehidupan masa depan, dengan menyertakan
segala hal yang terkait di dalamnya?"
Karena Mas Bondan masih saja terdiam dan
tenggelam di dalam pikirannya, aku melanjutkan
bicaraku tadi.
"Mas, aku... aku mencintaimu...." kataku.
Tiba-tiba saja aku merasa amat sedih ketika bicara seperti itu.
"Bahwa aku tidak menyetujui keinginanmu untuk memutuskan hubungan dengan
Mbak Astri, itu tak ada sangkut-pautnya dengan
perasaanku."
"Lalu apa reneanamu...?" Mas Bondan memotong perkataanku dengan nada tak sabar.
"Pertanyaanmu itu tidak tepat, Mas!" aku
ganti memotong perkataannya.
"Lalu seperti apa yang tepat?" ada tantangan
di dalam suara Mas Bondan
"Jangan tanyakan apa reneanaku, tetapi rencana apa yang masih bisa kubuat dalam kondisi
seperti ini!" kataku.
"Lalu jawaban dari pertanyaan itu apa?"
"Karena rencana itu bukan rencana yang dibuat atas dasar yang kumaui dan yang kuinginkan, maka rencana seperti apa yang masih bisa
kubuat, aku sendiri pun masih belum tahu. Jadi
aku tak bisa menjawab sekarang...." sahutku dengan hati semakin pedih.
"Setidaknya untuk jangka panjang...."
"Dalam jangka pendek...?" ada tuntutan dalam nada bicaranya itu.
346
"Aku... aku... akan mencoba meraih apa-apa
yang barangkali masih tersisa untukku...."
"Konkretnya bagaimana?"
"Apanya?"
"Rencanamu itu."
"Oh, itu..." Aku memalingkan wajah. Mataku
mulai basah lagi.
"Kalau boleh, pertama-tama
aku ingin menyanyi di hotel bersamamu sekali
lagi."
Mas Bondan terdiam beberapa saat lamanya.
"Kenapa, Aster?"
"Aku ingin memiliki... kenangan manis bersamamu...." sahutku terbata-bata.
"Sesuatu yang
akan kukenang sampai akhir hayatku kelak..."
"Dengan kata lain, kau tetap bersikukuh untuk
tidak menginginkan rencanaku!" Mas Bondan
menyela perkataanku dengan tidak sabar.
"Lagi-lagi kau memakai kata-kata yang
kurang tepat, Mas. Sebab bukannya aku tidak
menginginkan rencanamu, tetapi aku tidak bisa.
Dan kata-kata tidak ingin dan tidak bisa itu berbeda artinya. Kuharap kau memakluminya."
"Sayang sekali aku tak mampu memakluminya, Aster," suara Mas Bondan terdengar merajuk.
"Kalau begitu, kembalilah ke kamarmu, Mas.
Dan beristirahatlah. Mudah-mudahan setelah itu,
pikiranmu akan menjadi lebih segar dan terang
sehingga mampu memaklumi segala sesuatunya
dengan lebih baik."
"Aku tidak ingin kembali ke kamarku. Aku
ingin tidur di sini, menemanimu!" Mas Bondan
347
merajuk, seperti kanak-kanak yang menggerutu
karena keinginannya tak dipenuhi oleh sang ibu.
"Mas, jangan merajuk begitu!" aku menegurnya.
"Di manakah Mas Bondan-ku yang selama ini kukagumi?"
"Tetapi, Aster, sebelum aku kembali ke
kamarku dan mencoba untuk memikirkan segala sesuatu yang ada di seputar kita dengan lebih
mendalam, jawablah dulu pertanyaanku."
"Pertanyaan apa?"
"Seandainya saat ini aku dalam keadaan bebas, artinya tak ada Astri sebagai kekasihku, apakah kau mau menjadi istriku, Aster?"
Aku menghela napas panjang lagi. Gaun sutra
biru yang ternoda itu membayang di pelupuk
mataku. Bahwa Mas Bondan tidak memedulikan
siapa diriku, siapa keluarga asliku, itu sudah merupakan sesuatu yang patut kusyukuri. Apakah itu
harus kutambahi dengan keadaanku yang sudah
bukan perawan lagi sementara dia masih seorang
perjaka?
"Tidak, Mas...." akhirnya kujawab juga pertanyaan itu meskipun dengan susah payah. Sungguh tidak mudah mengucapkan sesuatu yang
sangat bertolak belakang dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginan kita.
Mendengar itu Mas Bondan bangkit dari tepi
tempat tidurku.
"Aku meragukan cintamu, Aster!" katanya setengah mendesis, kemudian dengan langkah lebar-lebar ia berjalan ke arah pintu dan
348
menyelinap keluar.
Air mataku mengalir kembali. Kali ini, air
mata itu lebih banyak diwarnai keputusasaan.
Aku merasa batinku terasa hampa, sehampa-hampanya.
Kalau kukatakan bahwa setelah itu aku tak
lagi bisa tidur, setiap orang pasti memakluminya. Dan itulah yang memang terjadi padaku. Sisa
malam itu kuhabiskan dengan kegelisahan yang
tak kunjung usai. Tetapi aku tak mau tergantung pada obat tidur. Akibatnya, aku terbangun
dengan perasaan yang amat lesu. Seolah usaha
Pak Drajat untuk menyembuhkanku, sia-sia saja
hasilnya.
Untungnya, kepalaku tak lagi terlalu berputarputar seperti sebelumnya. Apalagi, setelah sarapan dan minum obat lambung dan vitamin. Oleh
sebab itu aku mulai mencoba untuktidak lagi terikat kepada tempat tidur. Dengan sesantai mungkin yang bisa kuraih, aku duduk bermalas-malasan di kursi malas Bapak dan membaca majalah
yang kemarin ia bawakan untukku. Kularikan
kegelisahan batinku dengan menenggelamkan
diri ke dalam artikel dan tulisan-tulisan lain yang
tersaji di situ.
"Asyik betul, Sayang!" suara Ibu meningkahi keasyikanku membaca.
"Sudah terasa lebih
enak?"
"Ya."
"Bisa tidur nyenyak?"
"Mula-mula ya. Tetapi ketika terbangun en
349
tah jam berapa, sampai pagi aku tak bisa tidur
lagi," aku menjawab pertanyaan Ibu dengan terus
terang.
"Obat tidurnya tidak kau minum?"
"Tidak, Bu. Takut menjadi kebiasaan."
"Tetapi wajahmu tampak pucat dan lesu.
Setelah makan siang nanti, minumlah sebutir lagi,
Aster. Biar bisa tidur siang dengan nyenyak."
Usul Ibu bagus juga kalau kulakukan. Sebab
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau bisa, aku ingin pergi menemani Mas Bondan menyanyi di hotel. Karenanya saran Ibu kutanggapi.
"Baiklah, Bu!" sahutku.
"Biar aku bisa ikut
Mas Bondan menyanyi malam nanti!"
"Tidak. Ibu tidak setuju!" dengan terkejut
lbu menoleh ke arahku.
"Kau masih belum sehat
betul."
"Cuma menyanyi dan main biola apa sih beratnya, Bu."
"Tidak, Aster. Kapan-kapan sajalah!" Ibu berkata dengan tegas.
"Aku akan beristirahat dan tidur yang nyenyak
sepanjang hari ini, Bu. Sore nanti aku pasti akan
sesegar sayuran yang baru dipetik. Percayalah,
Bu."
"Tidak, Aster. Ibu tidak setuju!"
"Ada apa, Tante?" suara Mas Bondan menengahi pembicaraan kami. Tampaknya, lelaki itu
baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah
dan harum samponya mengambang di udara.
Setelah menatapnya sesaat, kukembalikan
350
perhatianku kepada majalah yang terkembang di
pangkuanku. Aku tak berani menatapnya lama-lama. Aku juga tak mau menjawab pertanyaannya.
Tetapi dari apa yang kulihat dalam waktu yang
cuma sebentar itu, aku dapat menangkap sesuatu dari wajahnya. Sama seperti diriku tampaknya
lelaki itujuga mengalami sulit tidur malam tadi.
Dan sekarang, dia kesiangan bangun. Padahal
aku mengira dia sudah pergi ke tempatnya rnengajar sejak tadi-tadi.
"Adikmu ingin ikut pergi ke hotel bersamamu
nanti malam," kudengar Ibu menjawab pertanyaan Mas Bondan tadi.
"Mau membantumu menyanyi, katanya. Tentu saja Tante tidak mengizinkan!"
"Apakah kau sudah merasa sehat untuk itu,
Aster?" sekarang lelaki itu mengarahkan pembicaraan kepadaku.
"Aku pasti tidak akan berani mengajukan
keinginan seperti itu kalau belum merasa sehat.
Memangnya aku senang pingsan atau sakit di saat
bertugas?" sahutku tanpa menoleh ke arahnya.
"Aster, jangan keras kepala. Kan masih ada
hari lain!" Ibu masih saja merasa keberatan atas
keinginanku itu.
"Apalagi kau sendiri mengatakan kepada Ibu tadi, bahwa hampir semalam suntuk kau tidak bisa tidur."
"Kau tidak bisa tidur?" Mas Bondan menyela.
"Cuma ketika menjelang pagi," sahutku
masih tanpa menoleh kepadanya dan pura-pura
sibuk melihat gambar-gambar yang tersaji di ma
351
jalah.
"Itu pun karena sudah kekenyangan tidur
sebelumnya. Tetapi kalau cuma untuk menyanyi
dan bermain musik, aku masih sanggup. Apalagi
aku akan beristirahat selama seharian nanti."
"Kalau begitu terserah Tante saja, bagaimana
baiknya...." Mas Bondan melemparkan keputusan kepada Ibu.
"Kok malah terserah Tante!" Ibu mulai merasajengkel.
"Mestinya kau menasihati Aster!"
"Tante tahu bagaimana Aster kalau sudah
mempunyai kemawan, kan?"
"Kau benar, Bondan." Ibu berdiri di depanku.
"Nah, Aster, bukan Ibu saja kan yang mengatakan kau keras kepala?"
"Aku keras kemawan, ya. Tetapi keras kepala,
tidak. Lain lho, Bu!"
"Jadi...?" Mas Bondan menyela.
"Jadi seperti yang sudah kukatakan tadi, aku
akan mencoba tidur siang sebanyak-banyaknya."
"Lalu...?"
"Lalu aku akan ikut ke hotel bersamamu dan
menyanyi di sana sambil membawa biola."
"Rupanya kau sudah merencanakan itu, ya?"
"Ya," aku menjawab dengan sikap degil.
"Bondan," Ibu ganti menyela.
"Kelihatannya
kau malah memberi angin padanya sih!"
Kudengar tawa Mas Bondan.
"Seperti yang sudah kukatakan tadi, Tante
pasti lebih kenal bagaimana Aster kalau sudah
mempunyai kemawan," sahutnya kemudian.
"Jadi
kalaupun aku memaksanya ikut tetapi dia tidak
352
mau, ya tidak ikutlah jadinya. Sebaliknya, kalau
dia mau ikut meskipun kularang sampai berbusa-busa pun mulutku, ya dia akan pergi juga."
"Asal tahu saja, kemawanku yang keras bukan
asal keras begitu saja. Tetapi dengan disertai rasa
tanggung jawab," aku menyela dengan ketus.
"Ah terserahlah, Aster!" Rupanya, kejengkelan Ibu sudah sampai ke ubun-ubun.
"Pokoknya kalau kau sampai jatuh sakit lagi, akan kusuruh bapakmu memasukkanmu ke rumah sakit."
"Sudah, begini saja!" Mas Bondan menengahi.
"Aster, kau harus menepati janjimu untuk tidur siang sebanyak-banyaknya. Kalau tidak, aku
tak mau mengajakmu pergi. Bagaimana?"
"Oke."
"Bagus," sahut Mas Bondan. Kemudian ia
pindah bicara kepada Ibu.
"Aku akan pergi keluar
sebentar, Tante."
"Kau tidak mengajar hari ini, Bondan?" Ibu
menyela.
"Kan libur semester, Tante."
"Oh, iya. Aku lupa!" Ibu meninggalkan tempat berdirinya, pergi ke meja makan.
"Kau tidak
sarapan dulu, Bondan?"
"Mau, Tante. Ada roti, kan?"
"Ada."
Ketika Mas Bondan sedang mengolesi rotinya dengan selai, diam-diam aku masuk ke kamar.
Entah memang aku mengantuk karena kurang
tidur ataukah karena obat tidur yang kuminum,
siang itu aku tidur selama tiga jam nonstop. Dan
353
bangun dengan tubuh yang terasa lebih segar ketika matahari sudah melorot di kaki langit.
Merasa mampu melakukan apa pun yang kuinginkan, lekas-lekas aku mandi. Entah dengan
alasan apa yang tak jelas, aku mengambil gaun
sutraku yang berwarna biru dari gantungannya.
Kemudian setelah memakai sepatu dan mengambil biola, aku langsung keluar dari kamar.
lbu sedang membereskan majalah-majalah
yang bertebaran di meja ketika aku melintas di
ruang tengah. Tangannya yang sedan g bekerja itu
terhenti.
"Jadi juga kau pergi!" gerutunya sambil rnenatapi wajahku.
Aku yakin, ia tidak menemukan tanda-tanda
kurang sehat pada wajahku. Aku tadi telah merias wajahku dengan cermat dan dengan bantuan
alat-alat kecantikan, aku tampak sesehat biasanya. Tidak sedikit pun menampilkan tanda bahwa
dua malam yang lalu akujatuh pingsan. Jadi aku
yakin, Ibu tidak terlalu berat hati lagi untuk melepaskanku pergi bersama Mas Bondan.
"Tentu saja jadi, Bu!" sahutku tersenyum,
sambil merentangkan kedua belah lenganku.
"Lihat, anak Ibu sudah sesegar mawar yang baru
merekah."
Mau tak mau Ibu tertawa juga mendengar
candaku. Dan itu merupakan tanda-tanda positif
buatku. Hatiku menjadi lega karenanya.
"Tetapi jangan biarkan dirimu menjadi lelah,
Aster!" katanya kemudian.
354
"Tidak, Bu. Aku cuma mau menyanyikan dua
atau tiga lagu. Setelah itu aku akan lebih banyak
duduk dan.
" suaraku terhenti karena suara pintu
kamar Mas Bondan yang terbuka. Lalu kulihat,
lelaki itu keluar. Seperti diriku, lelaki itujuga sudah siap untuk berangkat.
"Bondan, kau dengar apa yang dikatakannya
itu, kan?" kata Ibu begitu melihat Mas Bondan.
"Jadi kalau dia terlalu banyak berdiri dan menyanyi, tegurlah dia atas nama Tante!"
"Jangan khawatir, Tante."
"Bu, aku berangkat dulu, ya...?" kataku begitu melihat Mas Bondan mengambil kunci mobil.
Setelah mencium kedua belah pipi Ibu, lekas-lekas aku keluar menyusul Mas Bondan.
Setelah kami berada di jalan raya, Mas Bondan melirikku sesaat lamanya.
"Dik Ary akan datang ke sana?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Aku merasajengkel.
"Karena kau begitu ngotot mau ikut aku, padahal baru pagi ini kau bisa keluar dari kamarmu!" sahut Mas Bondan dengan suara kering.
"Itu yang pertama. Yang kedua, karena kau memakai gaun birumu itu!"
"Aku tak peduli kau mau mempercayaiku
atau tidak, tetapi keinginanku menyanyi malam
ini sungguhsungguh murni. Sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan Mas Ary atau dengan siapa punl"Aku mendengus.
"Artinya, duga
355
anmu itu ngawur semua."
"Lalu kenapa, kalau begitu?"
"Kenapa aku ingin menyanyi?"
"Ya. Katakan dengan jawaban yang jujur, Aster!" Mas Bondan mendesak.
"Aku sudah pernah mengatakan kepadamu
kan apa alasannya!"
"Katakan dengan perkataan yang lengkap,
Aster!"
"Ah, kau!" aku menggerutu.
"Aku kan sudah
bilang padamu semalam, bahwa aku ingin menguntai sekali lagi kenangan manis bersamamu
yang akan kusimpan di dalam batinku. Puas?"
Mas Bondan tidak menjawab. Tetapi dari gerakan jemarinya yang mencengkeram kemudi mobil, aku tahu perasaannya terganggu oleh jawabanku itu. Karena aku tidak tahu persis perasaan
apa yang sedang menguasainya, aku diairi saja.
Mas Bondan juga terdiam dan membiarkan suasana hening itu berlanjut hingga mobilnya tiba di
halaman hotel. Tetapi setelah ia memarkir mobilnya di tempat yang tak begitu jauh dari pintu
hotel, tiba-tiba ia bersuara lagi.
"Kalau mendengar betapa inginnya kau mempunyai kenangan manis bersamaku, aku hampir
saja melupakan bahwa kau tidak mencintaiku!"
katanya dengan suara dingin.
"Aku mencintaimu, Mas."
"Aku tidak melihat kesungguhan cintamu!"
"Menolak menikah denganmu bukan berarti
aku tidak mencintaimu. Dan tidak berarti cintaku
356
kepadamu tidak serius!" sahutku.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tak memahamimu dalam hal ini. Bahkan aku juga tidak bisa mempercayai cintamu!"
Mas Bondan mengakhiri pembicaraan dengan
membuka pintu mobil.
Dengan perasaan tertekan, aku terpaksa
mengikuti perbuatannya setelah meraih kotak biolaku. Aku masih ingin memberinya pengertian
bahwa pikirannya itu keliru. Tetapi ketika kami
berdua sudah berjalan berdekatan menuju pintu hotel, dia mulai bicara lagi. Tetapi mengenai
hal-hal yang tak ada kaitannya dengan persoalan
semula.
"Nanti untuk lagu pertama, kita akan membawakan lagu Gaun Biru!" katanya, masih dengan suara dingin.
"Kau yang menyanyikannya.
Setelah itu, kau boleh memilih lagu apa saja yang
kausukai dengan biolamu. Aku yang akan mengiringinya. Siap?"
"Siap. Kau membawa catatan lagu-lagu seperti biasanya, kan?"
"Ya."
Ruang besar tempat Mas Bondan menyajikan
hiburan bagi tamu-tamu hotel, sudah mulai didatangi orang ketika kami berdua masuk. Suasananya terasa semarak. Besok memang hari libur
nasional. Tak heran kalau malam ini merupakan
malam panjang bagi mereka.
Dalam waktu singkat, Mas Bondan mempersiapkan segala sesuatunya. Lalu tak berapa lama
kemudian, kami pun mulai menyajikan pertun
357
jukan. Dan seperti biasanya, tepuk tangan meriah menyambut akhir permainan kami. Lagu
Gaun Biru memang indah. Tetapi tepuk tangan
itu berubah membahana ketika aku mengakhiri
permainan biolaku. Bahkan ketika aku menegakkan kembali tubuh sesudah membungkuk ke
arah para tamu untuk mengucapkan terima kasih,
tepuk tangan itu terus berkumandang. Hal seperti itu baru sekali ini kami alami. Karenanya Mas
Bondan berbisik di dekatku.
"Mereka minta tambah," katanya.
"Lagu apa enaknya?" aku ganti berbisik.
"Lagu apa yang kaukuasai?"
"Lagu klasik, ajaran dari tempat kursusku.
Mimret In G, misalnya."
"Mainkan saja. Itu lagu indah. Aku akan rnengiringinya."
Seperti tadi, lagu itu pun mendapat tepuk
tangan yang meriah. Aku ingin melanjutkannya dengan lagu gembira La Paloma sebetulnya,
tetapi ketika menegakkan badan kembali sesudah
membungkuk kepada para tamu, kepalaku mulai
agak pusing. Niat itu pun kutangguhkan.
"Sekarang kau yang main sendiri dulu, ya,
Mas?" saranku kepada Mas Bondan tanpa mengatakan apa pun tentang kepalaku yang pusing
itu.
"Aku ingat pesan Ibu untuk tidak membiarkan diriku kecapekan."
"Oke."
Kupakai waku istirahat itu dengan duduk di
bagian meja sudut yang kosong. Tetapi belum
358
lama aku menikmati kesendirianku sambil memandang dan mengagumi Mas Bondan, seseorang menghampiriku.
"Selamat malam, Mbak Aster..."
Aku tersentak. Hary yang berkenalan denganku di tempat senam Ibu, berdiri di depanku dan
mengingatkanku pada pembicaraan telepon dua
malam yang lalu. Ia memang akan hadir di sini
malam ini, menemani bosnya. Sekarang sambil
tersenyum manis kepadaku, ia mengulurkan tangannya. Untuk menunjukkan sopan santun, uluran tangan itu kusambut.
"Selamat malam, Mas Hary."
"Malam ini Mbak Aster tampak sangat memesona. Bukan hanya dalam penampilan yang begitu pantas dengan gaun berwarna biru, tetapi juga
dalam permainan biolanyal" lelaki itu berkata
lagi.
"Aku sungguh kagum."
"Terima kasih." Aku tersenyum.
"Tetapi kuharap,jangan berlebihan ah!"
"Bagaimanapun juga, aku ingin sekali duduk
di sini untuk menemani primadona malam ini,
tetapi bosku pasti akan menegurku kalau itu kulakukan." Hary tertawa.
"Kalau begitu, jangan lakukan!" Aku
tersenyum lagi. Sekarang sambil melayangkan
pandang mataku ke arah Mas Bondan.
Aku agak kaget ketika mengetahui pandang
matanya yang menyambar ke arahku. Padahal ia
sedang menyanyikan sebuah lagu sementara tangannya bermain di atas tuts organ. Sempat-sem
359
patnya ia melemparkan pandangan tajamnya itu.
Pasti dia melihatku mengobrol dengan Hary.
"Kapan-kapan, aku akan datang sendirian
supaya bisa lebih bebas mengobrol denganmu,
Mbak Aster."
"Sayang sekali, malam ini malam terakhir
penampilanku."
"Lho, kenapa"? Kontraknya habis?"
"Bukan karena masalah itu," aku enggan
menjawab pertanyaannya. Tetapi rupanya Hary
kurang peka dalam hal itu. Masih saja ia mendesakkan pertanyaannya.
"Lalu karena apa kalau begitu?"
"Aku akan menikah!" karena tak tahu harus
menjawab apa, kata-kata itu terluneur begitu saja
dari mulutku.
Hary agak tertegun mendengar jawabanku.
"Wah, aku tak menyangka!" katanya beberapa
saat kemudian.
"Aku terlambat nih!"
Aku tertawa.
"Lelaki sepertimu pasti tak ada istilah terlambat," sahutku dengan bercanda.
"Pasti malah
kebingungan mencari yang mana yang akan kaupetik di antara sekian banyak bunga mekar mewangi di depanmu."
Kami berdua pun tertawa. Kemudian dia minta diri untuk kembali ke mejanya. Sepeninggalnya, perhatianku kukembalikan ke arah Mas Bondan lagi. Lelaki itu sedang memainkan lagu-lagu
instrumentalia secara medley. Memainkan lagulagu secara medley begitu, biasanya dia akan ber
360
main selama kurang lebih lima belas menit.
Kutunggu dia menyelesaikan permainannya,
baru aku bangkit dari tempat dudukku dan menggabungkan diri lagi dengannya. Karena sedang
senang-senangnya bermain biola, aku memilih
memainkannya daripada menyanyi. Untungnya
Mas Bondan tahu semua lagu yang ingin kumainkan. Dan itu bukan sesuatu yang luar biasa,
karena ada banyak lagu yang menjadi pelajaran
dalam kursus piano, juga menjadi pelajaran untuk kursus musik lainnya. Termasuk biola.
Setelah aku menyanyikan sebuah lagu dan
tiga lagu lagi melalui permainan biolaku, Mas
Bondan menyuruhku duduk kembali.
"Kulihat, kau mulai merasa lelah!" katanya.
"Duduklah kembali ke sana. Aku tak mau menjadi sasaran kemarahan Tante Pur kalau kau sampai
jatuh sakit lagi!"
"Itu tak mungkin terjadi, Mas. Tetapi meskipun begitu, usulmu agar aku beristirahat, kuterima. Cuma saja beri aku kesempatan sekali lagi
untuk memainkan lagu Gaun Biru dan kau yang
mengiringinya."
"Tadi kan sudah, Aster."
"Kunyanyikan, memang sudah. Tetapi kumainkan dengan biolaku, belum. Sekarang aku
ingin mencoba memainkannya dengan lebih
baik. Sebab siapa tahu, aku tak akan bermain
musik bersamamu lagi seperti yang sekarang kita
lakukan ini."
Mas Bondan melirikku sesaat.
361
"Yah, karena sudah bertemu dengan seseorang!" bisiknya.
Untuk beberapa detik lamanya aku tak rnengerti apa yang dimaksudkan olehnya. Tetapi ketika aku teringat kepada Hary yang sedang duduk
di antara para tamu, tahulah aku apa tujuan bicaranya itu. Aku diam saja. Biarlah dia dengan
segala dugaannya itu. Rupanya, seseorang kalau sedang jatuh cinta jadi mudah sekali merasa
cemburu. Sama seperti rasa cemburu yang sering
menyelinap dalam hatiku setiap membayangkan
Mas "Bondan berduaan dengan Mbak Astri.
Dengan mencoba mengabaikan kecemburuan
Mas Bondan, pelan-pelan kupeluk biolaku dan
kemudian kumainkan lagu Gaun Biru dengan
penuh perasaan. Seolah menyalurkan jerit hatiku
lewat gesekan senarsenarnya, mendayu, menangis, mengeluh. Mas Bondan menimpalinya dengan
pemainan organ. Tampaknya juga dengan sepenuh perasaan. Apakah dia sadar bahwa malam ini
adalah malam terakhir bermain bersama-sama?
Tetapi, ketika lagu itu selesai kumainkan dan
tubuhku membungkuk untuk menyambut tepukan membahana yang seperti meledakkan seluruh
ruangan itu, aku tak mampu mempertahankan diriku. Seluruh tubuh dan perasaanku sudah tersita
seluruhnya. Kepalaku mulai berputar seperti kitiran lagi rasanya. Celakanya, lantai yang kupijak
pun rasanya sedang berputar.
Maka akhirnya aku tersungkur jatuh ke depan
dan tenggelam dalam kegelapan.
362
Enam Belas
"MAU minum lagi?" kudengar suara lembut Ibu
di sisi tempat tidurku.
"Ya," aku tak mau mengecewakan Ibu, jadi
kujawab pertanyaannya dengan "ya." Aku tahu,
ia masih cemas melihat keadaanku. Tetapi aku
juga tahu, ia marah karena larangannya agar aku
jangan pergi ke hotel tadi, kulawan.
"Air putih atau teh manis hangat?"
"Teh manis hangat, kalau ada. Kalau tidak
ada, air putih juga tidak apa-apa."
"Selalu siap, Aster. Ibu menaruh termos isi teh
manis di sini," sambil menjawab seperti itu, Ibu
menuang isi termos yang dibicarakannya itu ke
dalam gelas kosong sampai hampir tiga perempat
gelas banyaknya. Kemudian ditambahinya dengan air putih agar jangan terlalu panas.
"Bisa duduk?" Dengan tangan memegang
gelas penuh berisi teh manis hangat itu, Ibu menatapku. Di dalam matanya aku melihat kasih
seluas lautan. Rasa jengkelnya kalah oleh kasihnya.
"Bisa."
"Tidak pusing
"Tidak terlalu. Kalau cuma duduk, tak apa
(>),
363
E-Booh by syauqy_arr
99
apa...
Untuk membuktikan kebenaran perkataanku, aku bangkit untuk duduk. Kubiarkan Ibu
menyorongkan gelas yang dipegangnya itu ke
bibirku. Dan aku meminumnya sampai hampir
sebanyak setengah gelas.
"Mau berbaring lagi?" tanya Ibu setelah rneletakkan gelas yang isinya tinggal separuh itu ke
meja.
"Setengah berbaring saja."
Lekas-lekas Ibu menumpuk kedua bantal dan
satu guling yang melengkapi tempat tidurku itu
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di belakang punggungku. Setelah itu, dia duduk
kembali di tempatnya semula.
"Bagaimana perasaanmu? Lelah rasanya atau
bagaimana?"
"Tidak," sahutku.
"Biasa-biasa saja kok, Bu.
Tetapi kepalaku masih pusing."
"Apa yang terjadi tadi? Kenapa kau sampai
pingsan lagi?"
Diingatkan hal itu, aku merasa tak enak. lngatanku lari kepada peristiwa beberapa jam lalu.
Setelah menyelesaikan lagu Gaun Biru dengan
sepenuh perasaan dan kemampuan, hatiku yang
sedang susah dan ditambahi kecurigaan Mas
Bondan atas kehadiran Hary di tempat itu membuatku kehabisan tenaga. Baik lahir maupun batin. Aku pingsan.
Untungnya tidak seperti dua hari yang lalu,
kali ini aku cepat sadar kembali. Dan untungnya
pula meskipun menimbulkan sedikit kegaduhan,
364
suasana di ruang itu tidak terlalu terpengaruh kejadian yang kualami. Apalagi mereka semua melihat, dalam waktu yang singkat aku sudah sadar
dan bisa bangkit kembali.
Tentu saja, bangkit berdiri kembali setelah
Mas Bondan dan beberapa orang di dekatku berhasil menyadarkanku, tidak mudah kulakukan.
Kepalaku terasa amat berat dan tubuhku lemah
lunglai. Tetapi dengan modal tekadku demi
mengembalikan suasana santai yang sedikit tercabik tadi, aku berhasil keluar ruangan dengan
dipapah Mas Bondan sampai ke kursi empuk di
lobi.
"Kembalilah ke sana, Mas, lanjutkan permainanmu!" kataku setelah duduk di tempat yang
nyaman dan di udara yang lebih segar itu. Meskipun kepalaku masih terasa seperti berputar-putar,
tetapi itu tidak lagi terlalu mengganggu seperti
tadi. Apalagi obat pusing dari Pak Drajat yang
kubawa di tasku dan yang langsung kuminum
begitu aku tersadar tadi, sudah mulai bekerja.
"Tetapi bagaimana denganmu? Aku ingin
membawamu pulang dan..."
"Jangan!" kataku memotong perkataannya
yang diucapkan dengan nada khawatir itu.
"The
show must go on, Mas." Aku tidak apa-apa kok.
Cepatlah masuk kembali sana. Aku tidak mau
merusak suasana hanya gara-gara kesalahanku.
Semestinya aku tadi patuh pada saran Ibu..."
"Aku juga bersalah. Semestinya, aku tidak
membiarkanmu ikut!"
365
"Semua sudah terlanjur terjadi, Mas. Sekarang, lakukanlah sesuatu yang dapat memperbaiki kesalahan kita. Lanjutkan pertunjukanmu. Aku
akan duduk di sini sampai kau menyelesaikan
tugasmu!"
"Kau benar-benar tidak apa-apa, Aster?" Mas
Bondan masih saja menyiratkan perasaan cemasnya.
"Ya, aku tidak apa-apa.
" kuhentikan bicaraku. Seorang waiter datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi secangkir minuman
yang langsung diletakkan di meja depanku.
"Pak Agus menyuruh Ibu minum teh manis
ini," katanya.
Pak Agus adalah atasannya. Pasti tadi dia melihatku pingsan.
"Terima kasih."
"Apakah Ibu perlu minyak angin atau..."
"Tidak, terima kasih. Kebetulan saya membawanya kok, Dik."
"Pak Agus berkata kalau Ibu membutuhkan
sesuatu, bisa menghubungi saya atau wailer yang
lain."
"Tolong sampaikan ucapan terima kasih
kami!" kali itu Mas Bondan yang menjawab.
Kemudian dari dompetnya ia mengeluarkan selembar dua puluh ribuan yang langsung diberikan
kepada irfaiter tadi.
"Ini untuk beli rokok, Dik."
"Terima kasih, Pak."
Sepeninggal l'VCII'fCI' itu, aku mendesak Mas
Bondan lagi agar ia segera masuk ke dalam.
366
"Aku tadi cuma terlalu capek. Pasti aku tak
akan pingsan lagi. Apalagi setelah minum teh
manis hangat ini. Jadi cepatlah masuk ke sana dan
lanjutkan pertunjukanmu. Aku berjanji, kalau ada
apa-apa aku akan menyuruh orang memanggilmu!" begitu yang kukatakan kepadanya.
Sekitar sepuluh menit setelah Mas Bondan
mulai bertugas kembali ke tempatnya semula,
aku melihat Hary bersama bosnya melintas di
dekatku. Kelihatannya, mereka akan pulang.
Tetapi ketika lelaki itu melihat keberadaanku, ia
menghampiriku.
"Lho, kok belum pulang?" sapanya.
"Belum."
"Kenapa tadi, Mbak Aster?" ia bertanya sambil mengawasiku.
"Ah, itu tadi hanya karena aku terlalu capek."
"Pantas, kau kelihatan agak pucat. Lalu sekarang menunggu Mas Bondan menyelesaikan
tugas?"
"Ya."
"Bagaimana kalau kuantar kau pulang duluan? Daripada menunggu di sini, kan?" Hary
menawarkan jasanya.
Karena aku tak mau mencari tambahan penyakit, tawaran manis itu kutolak.
"Aku sudah tidak apa-apa kok. Lagi pula
sebentar lagi tugas Mas Bondan akan selesai.
Terima kasih lho atas perhatianmu."
"Oke kalau begitu," Hary tersenyum kepadaku, melambaikan tangannya dan melangkah per
367
gi setelah melanjutkan perkataannya.
"Hati-hati
dan sampai ketemu."
Jadi begitulah, akhirnya aku duduk sendirian
di tempat duduk empuk yang nyaman itu dan
mampu bertahan sampai Mas Bondan mengakhiri tugas. Dan meskipun sakit kepalaku masih
belum pulih, akujuga berhasil berjalan ke mobil
Mas Bondan yang dibawanya sampai ke depan
pintu masuk hotel.
Sekarang, setelah ke kamar mandi dan mengganti gaunku dengan daster yang disiapkan oleh
lbu, aku berbaring di tempat tidurku dengan
keadaan yang lebih nyaman.
"Aku minta maaf, Bu," kataku setelah ingatan tentang kejadian di hotel tadi kukibaskan dari
pikiranku.
"Mestinya nasihat Ibu tadi kudengarkan."
"Sudahlah," dengan bijaksana Ibu tidak mau
mengutik-utik kesalahanku.
"Kalau sekarang kau
bisa tidur, tidurlah."
"Ya," sahutku.
"Sebentar lagi."
"Sudah malam, lho."
Suara Ibu terhenti dengan masuknya Mas
Bondan. Di tangannya, ia membawa segelas susu.
"Kubuatkan susu, Aster!" katanya.
"Minumlah selagi masih panas, lalu cobalah tidur."
"Tante juga baru menyuruhnya tidur," Ibu
menyela.
"Aku baru saja minum teh," sahutku.
"Nanti
perutku penuh air."
"Pokoknya sebelum tidur, susu ini harus kau
368
minum. Ini bagus untuk kesehatan!" kata Mas
Bondan lagi.
"Oke."
"Jadi kau betul-betul tidak mau kubawa ke
tempat Pak Drajat?" Mas Bondan berkata lagi.
Tadi di mobil, Mas Bondan berniat membawaku
mampir ke rumah Pak Drajat untuk memastikan
keadaanku. Tetapi kutolak mentah-mentah dengan alasan aku sudah tidak apa-apa. Lagi pula
hari sudah larut malam. Pak Drajat tentu sudah
beristirahat.
"Tidak," dengan alasan yang sama, sekarang
pun aku menolak usul itu.
"Kalau begitu, tidurlah sekarang. Dan jangan
lupa susunya diminum dulu," kata Mas Bondan
pula. Kemudian dia menoleh kepada Ibu.
"Ayo
Tante, kita keluar saja supaya Aster bisa mengaso."
lbu mengecup dahiku lebih dulu sebelum keluar bersama Mas Bondan. Tetapi setelah mereka
berdua keluar, ganti Bapak yang masuk. Ia ingin
mengucapkan selamat tidur kepadaku.
"Lain kali jangan bandel, ya?" katanya setelah
mengecup dahiku. Dua kali beliau mengatakan
hal sama. Tadi waktu aku baru tiba dan Mas Bondan melaporkan keadaanku, Bapak agak marah.
Rupanya, sebelum itu pun ia sudah marah kepada
lbu yang tak mampu menahan kemawanku.
"Ya, Pak.."
Untunglah aku tidak sulit tidur malam itu.
Meskipun pada awalnya cukup lama aku bergul
369
ing ke kiri dan ke kanan, akhirnya aku tertidur
juga sampai pagi. Tetapi meskipun demikian, Ibu
melarangku keluar kamar. Apalagi beliau tahu,
kepalaku mulai pusing lagi.
"Untuk sehari ini, sebaiknya kaujangan turun
dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi.
Pak Drajat kutelepon tadi, beliau mengatakan kau
mengalami vertigo. Nanti sore kau akan diperiksa lagi olehnya," kata Ibu ketika membawakanku sarapan. Jeli juga mata Ibu. Begitu melihatku masuk ke kamar kembali setelah keluar dari
kamar mandi, beliau langsung menyusulku dengan membawa baki berisi sarapan untukku. Setangkup roti isi sosis dan segelas susu. Masih ada
sebutir telur matang dan sebuah apel pula.
"Ibu terlalu memanjakanku!" protesku.
"Ini
tidak boleh, itujangan. Dan sekarang sarapan semewah ini!"
"Ibu cuma mau realistis!" bantah Ibu.
"Berdasarkan pengalaman selama ini, kau harus ditangani dengan tangan besi. Tidak boleh diberi
hati. Jadi makanlah apa saja yang Ibu bawakan
untukmu."
Aku tertawa menyeringai mendengar perkataan Ibu.
"Aku bukan anak kecil lagi!" kataku memprotes lagi.
"Justru karena bukan anak kecil lagi, semestinya kau memahami maksud larangan Ibu!" Ibu
menggerutu.
"Nah, sekarang kau harus patuh kepada Ibu. Kalau tidak, bapakmu bisa marah-ma
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
370
rah lagi seperti kemarin malam."
Tanpa menunggu bantahanku lagi, Ibu segera
keluar. Tetapi tak lama kemudian ia kembali lagi
dengan membawa dua majalah terbitan paling
baru dan memberikannya kepadaku. Ketika melihatku hanya minum susu, ia berkata lagi.
"Habiskan rotinya!" katanya.
"Setelah itu kalau kau tidak mau tidur, bacalah majalah-majalah
ini sambil setengah berbaring. Kalau perlu putar
kaset dan cari lagu-lagu yang kausukai. Terserah
apa maumu. Asalkan kau tidak keluar kamar. Setidaknya untuk hari ini saja. Ibu ingin melihatmu
segera sehat seperti semula!"
Aku diam saja. Tidak mengiyakan, tetapi
juga tidak membantah. Kutunggu Ibu keluar dari
kamarku dulu baru melanjutkan sarapan. Setelah
itu kuputar lagu-lagu kesayanganku sambil membuka-buka majalah yang dibawakannya tadi.
Memang lumayan menyenangkan juga dapat bersantai seperti itu meskipun kepalaku masih saja
seperti berputar-putar.
Entah berapa lamanya aku mulai asyik tenggelam dalam bacaanku itu, aku tak tahu. Yang
jelas, keasyikan semacam itu terganggu ketika telingaku mendengar suara pintu kamarku
diketuk orang.
"Non Aster, ada tamu!" itu suara Bik Popon.
"Non mau menemuinya di kamar atau di luar?"
"Siapa dulu tamunya, Bik?"
"Non Astri."
Aku menarik napas panjang. Pasti dia menden
371
gar keadaanku dari Mas Bondan. Ah, aku seperti
orang sakit keras saja ditengok-tengok.
"Kalau begitu, bawalah dia masuk kemari,
Bik," sahutku kemudian.
"Kepalaku masih pusing."
Mbak Astri tampak manis dan menarik sekali
dengan gaunnya yang berwarna kuning dan rambut yang diberi jepit di atas telinga kanannya.
"Sakit ya, Dik Aster?" sapanya begitu masuk.
Ia memilih duduk di kursi yang ditariknya dari
depan meja riasku.
"Ah, cuma terlalu lelah kok, Mbak."
"Mas Bondan bilang kau sampai pingsan dua
kali dalam waktu tiga hari ini. Kenapa bisa begitu
sih?"
"Ya itu tadi, Mbak, aku terlalu lelah. Itu saja."
Aku tersenyum sambil menatapnya.
"Hmm, kau
tampak cantik dan segar hari ini, Mbak. Aku jadi
merasa seperti kain kumal dibandingkan dirimu."
"Ada-ada saja," Mbak Astri tertawa.
"Kau
masih tetap jelita kok meskipun tidak berdandan."
"itu karena Mbak Astri sedang sakit mata, barangkali."
Kami berdua pun tertawa. Masuknya Bik Popon dengan membawa segelas es sirup menghentikan tawa kami. Es itu ditaruhnya di atas meja.
Dekat tempat tidurku.
"Terima kasih, Bik Popon!" kata Mbak Astri.
"Silakan diminum, Non."
"Ya. Segar sekali kelihatannya."
372
Setelah Bik Popon meninggalkan kamarku,
Mbak Astri meneguk es sirupnya sampai lebih
dari separuh gelas. Kemudian dia bertanya lagi
dengan penuh perhatian.
"Apa kata dokter, Dik Aster?"
"Beliau bilang aku mengalami kelelahan yang
lewat takaran, kurang darah dan sedikit kena
gangguan pada lambungku. Lalujuga vertigo."
"Kedengarannya kok lebih disebabkan gangguan psikologis daripada gangguan fisiologis,"
Mbak Astri bergumam. Tetapi air mukanya tampak serius.
Kusangka, dia akan mengobrol ringan-ringan
saja seperti biasanya. Tetapi ternyata, dugaanku
keliru. Pandang matanya yang menatapku itu
tampak serius.
"Setelah melihat keadaan Dik Aster tidak
seburuk yang kusangka, aku ingin membicarakan
sesuatu yang penting bersamamu. Tetapi kalau
Dik Aster berpendapat bahwa waktunya tidak
tepat, katakan saja dengan terus terang. Aku akan
menundanya sampai besok atau lusa..."
Apa yang akan dikatakannya kepadaku? Minta saran agar Mas Bondan bersikap lebih mesra
dan lebih serius?
"Hari ini aku merasa sudah pulih kok, Mbak.
Jadi kalau Mbak Astri mau berbicara denganku
sekarang, silakan saja," aku memutuskan. Pikirku, menundanya hanya akan membuat pikiranku
akan semakin berat dipenuhi seribu tanda tanya.
"Nah, apa yang bisa kubantu, Mbak?"
373
Mbak Astri menatapku sejenak, kemudian
dengan air muka semakin serius ia mulai berbicara lagi. Jadi tidak seperti dugaanku yang mengira ia datang hanya untuk menengok orang sakit, ternyata kedatangannya itu memang sengaja
dilakukannya untuk menemuiku secara empat
mata.
"Begini Dik Aster, barangkali kedua orangtuamu danjuga yang lain-lainnya tidak sampai berpikirjauh tentang sesuatu yang sebetulnya sudah
lama sekali kulihat terjadi di rumah ini..."
"Tentang apa, Mbak?" aku memutuskan bicaranya sebab tak tahan berada dalam keadaan tegang yang tiba-tiba menyungkup seluruh diriku.
"Tentang penyakit yang sedang kauderita,"
sahut Mbak Astri.
"Bahwa akar penyakit fisik
yang membuatmu sampai pingsan dua kali ini
bersumber dari dunia batinmu. Dengan perkataan
lain yang lebih jelas, saat ini kau sedang mengalami sakit cinta, Dik Aster. Sakit cinta yang belum diberi obat secara tepat."
Meskipun aku tidak tahu persis cinta mana
yang ia maksudkan, tetapi jantungku mulai bergetar tak beraturan mendengar perkataannya itu.
Bahkan kedua belah tanganku mulai berkeringat
karenanya. Lekas-lekas aku mencoba menenangkan diri dengan bersuara sekena-kenanya saja.
"Aku sedang mengobatinya kok, Mbak Astri!" kataku.
"Bahwa, Mas Ary bukanlah jodohku.
Bahwa, dunia ini tidak cuma sebesar daun kelor.
Aku harus juga berpikir..."
374
"Apa yang kubicarakan tidak ada sangkut-pautnya dengan Mas Ary!" Mbak Astri
memotong perkataanku dengan suara tegas.
"Yang kubicarakan adalah sesuatu yang menyangkut Mas Bondan."
"Mas Bondan?"
"Ya. Jadi jangan mencoba-coba mengelakkan
kenyataan dengan melemparkan persoalan kepada hal lain yang tak ada sangkut-pautnya. Dan
aku yakin, kau tahu betul apa yang kumaksudkan
dalam pembicaraan kita ini."
Mendengar perkataan Mbak Astri, aku seperti
membeku di tempat.
"Apa sih yang mau kaukatakan kepadaku
itu, Mbak?" tanyaku kemudian, masih mencoba
mengelak meskipun aku tahu betul usaha seperti
itu hanya akan sia-sia.
"Dik Aster, sudah lama sekali aku mempunyai
firasat bahwa Mas Bondan menaruh perasaan cinta kepadamu, tapi ia selalu mencoba menyingkirkannya jauh-jauh dari hati. Dan karena itu masih
firasatku saja, aku tidak mempersoalkannya. Aku
terlalu rasional untuk bicara mengenai hal-hal
yang tak berlandaskan bukti-bukti yang jelas.
Tetapi meskipun demikian, aku selalu memasang
mata dan telinga..."
"Kau berpikir terlalu jauh, Mbak!" aku memotong bicara Mbak Astri untuk sekali lagi mencoba mengelakkan kenyataan. Tetapi perempuan itu
tak mau diinterupsi.
"Jangan memotong-motong perkataanku, Dik
375
Aster. Biarkan aku menyelesaikannya lebih dulu.
Setelah itu, baru kita bahas bersama. Asalkan kau
bisa bersikap objektif,jujur, dan menerima realitas yang ada dengan sikap kesatria!"
"Baiklah." Aku merasa malu mendengar betapa tertatanya bicara Mbak Astri dan betapa bagusnya penguasaan dirinya.
"Dik Aster, aku kenal Mas Bondan cukup
lama meskipun kami berhubungan secara khusus
baru satu tahun lamanya. Tidak terlalu sulit bagiku untuk membaca apa yang ada pada dirinya.
Dengan demikian aku juga melihat bagaimana
selama ini ia selalu menempatkan dirimu di papan atas dari seluruh persoalan yang menyangkut
keluarga besarnya, mengalahkan yang lain-lain.
Setiap membicarakan tentang dirimu, tanpa ia sadari matanya selalu tampak berbinar-binar..."
"Sejak kecil ia memang menyayangiku seperti terhadap adik kandung sendiri, Mbak!" aku
tak tahan untuk tidak menginterupsinya meskipun aku sudah berjanji untuk menjadi pendengar
yang baik.
"Itulah yang ada di dalam kepalaku pada
awal-awal hubungan kami. Tetapi seperti kataku tadi, aku ini selalu mencoba tetap bersikap
rasional meski dalam keadaan apa pun. Bahkan
di saat yang paling manis dalam hubungan kami
sekalipun, aku tak pernah tenggelam di dalamnya. Sehingga meski pada mulanya hanya merupakan dugaan-dugaan, akhirnya aku tahu juga
bahwa Mas Bondan memang mencintaimu, Dik
376
Aster. Suatu perasaan cinta yang bukan cinta
persaudaraan. Dan itu sudah berlangsung sejak
lama, jauh sebelum ia bertemu denganku!" Mbak
Astri menjawab perkataanku tadi.
"Dengan demikian, persangkaanku semula yang mengatakan
bahwa perhatian dan kasih sayangnya kepadamu
sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya itu,
hancur berguguran."
"Itu tidak benar, Mbak. Mas Bondan mencintaimu!"
"Aku yakin, dia memang mengira begitu pada
awalnya sehingga perkiraan itu juga menjadi
semacam jalan dan cara baginya untuk mengikis
sedikit demi sedikit cintanya kepadamu!" Mbak
Astri menanggapi perkataanku dengan sabar.
"Tetapi aku tahu, usahanya itu gagal. Lebih-lebih lagi ketika ia mengetahui tentang hancurnya
hubunganmu dengan Mas Ary. Coba pikirkanIah, Dik Aster, kau kan sudah dewasa dan bukan
termasuk gadis rapuh. Tetapi toh Mas Bondan
merasa perlu pindah kemari dengan alasan yang
menurutku tak masuk akal."
"Mungkin, Ibu yang menyuruhnya, Mbak!"
"Tidak. Aku yakin sekali, tidak. Sebab, alasan yang paling masuk akal mengapa ia pindah
kemari adalah karena keinginannya yang besar
untuk mendampingimu. Dengan kata lain, Dik
Aster, ia tidak tahan melihatmu sendirian menderita."
Ingin sekali aku menangis mendengar perkataan Mbak Astri yang aku yakin akan kebe
377
narannya itu. Tetapi aku berusaha mati-matian
untuk tidak membiarkan rasa haru yang manis itu
terus menyebar ke seluruh serat dagingku. Sedapat-dapatnya, aku harus menjaga perasaan Mbak
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Astri. Sungguh, tak enak sekali aku kepadanya.
"Mbak, aku "
Tetapi perkataan yang akan kuucapkan untuk
mengurangi rasa tak enak itu terhenti oleh suara
Mbak Astri yang cepat-cepat memotong perkataanku.
"Biarkan aku menyelesaikan perkataanku
dulu, Dik Aster!" katanya.
"Nah, kulanjutkan,
ya? Perlu kauketahui bahwa selama ini aku mencoba untuk selalu menjaga jarak di antara hatiku dan hatinya. Tak kubiarkan perasaan kasihku kepadanya terus berkembang sebelum aku
menemukan bukti bahwa segala yang kuduga
dan semua firasat yang mampir di kepalaku itu
tidak benar. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian, justru semakin lama dugaan dan firasatku
itu semakin mendekati kebenaran. Dan akhirnya
dalam minggu ini, kebenaran itu berhasil kusingkap. Mas Bondan mengajakku bicara dari hati ke
hati di Anyer. Rupanya, ia ingin menangguhkan
pembicaraan ke arah masa depan kami. Alasannya, ada perbedaan-perbedaan di antara kami
yang perlu diluruskan, lebih dulu. Tetapi aku tahu
alasan sebenarnya, Dik Aster. Ia sedang bingung
digugat hati nuraninya sendiri untuk bersikap jujur"
Aku tertunduk tak mampu berkata apa pun.
378
Pandang mataku lurus menatap ke arah bibir
Mbak Astri dan kubiarkan ia melanjutkan bicaranya.
"Aku tahu betul, akhir-akhir ini Mas Bondan
berada dalam perang batin. Terus terang, semula
aku tidak tahu persis mengenai perang batinnya
itu. Tetapi tiba-tiba kemarin, mataku seperti terbuka dan mulai melihat segala sesuatunya menjadi begitu gamblang," katanya.
"Gara-gara aku
menelepon Mas Bondan untuk meminta bantuannya mengantarkanku ke pesta perkawinan seorang teman malam ini nanti. Tetapi ia minta maaf
kepadaku karena tak bisa memenuhi keinginanku dengan alasan bahwa kau sakit. Katanya, dua
kali kau pingsan. Dari ceritanya mengenai penyakitmu, aku menangkap keprihatinannya yang
mendalam terhadap dirimu. Dan dari ceritanya
mengenai penyakit itu pula, aku menangkap
bahwa penyakit yang kauderita bukanlah penyakit biasa. Melainkan penyakit luar biasa. Alias,
penyakit cinta."
"Mbak Astri..."
"Ssstt, jangan bicara dulu!" seperti tadi, Mbak
Astri tak mau bicaranya disela.
"Sebab hal yang
paling penting belum kukatakan kepadamu. Yaitu, dari segala hal yang ada di seputar kehidupan
Mas Bondan selama aku mengenalnya, kini aku
dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kau dan Mas Bondan sama-sama saling
mencintai. Tetapi sama seperti diriku, Mas Bondan juga baru menyadarinya belakangan ini..."
379
"Mbak "
"Sshh, jangan merasa sungkan karenanya,
Dik Aster. Perasaan cinta adalah perasaan yang
paling pelik. Justru itu hari ini aku datang kepadamu untuk mengatakan dengan seluruh ketulusan
hati bahwa kalian berdua tidak perlu memikirkan
hal-hal lain sehingga sampai membuatmu sakit
begini, sampai membuat Mas Bondan yang lembut dan ramah selama ini bisa berubah menjadi
keras dan mudah menjadi emosional. Dan menyambung apa yang dikatakan oleh Mas Bondan
di Anyer waktu itu, penangguhan pembicaraan ke
arah masa depan kami itu memang sangat perlu.
Tetapi yangjauh lebih perlu sekarang setelah aku
melihat perkembangan baru ini adalah mengakhirinya. Artinya, sudah kupastikan dan kuputuskan
bahwa di antara diriku dan dia tak perlu lagi ada
masa depan, baik yang ditangguhkan pembicaraannya maupun yang tidak. Atau dengan perkataan yang lebih jelas, masa depan bagi Mas
Bondan tidaklah berkaitan dengan diriku lagi.
Melainkan dengan dirimu, Dik Aster!"
"Mbak Astri..." aku tergagap-gagap. Sekarang
air mataku sudah tak bisa kubendung lagi. Aku
benar-benar sedang berada dalam telaga perasaan
yang bercampur aduk, tanpa aku mampu berbuat
dan berkata apa pun.
Melihatku menangis, Mbak Astri meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Jangan merasa bersalah karenanya, Dik Aster!" katanya. Suaranya terdengar lembut.
"Aku
380
tahu betul kau tidak mau menyakiti hatiku. Begitu pun Mas Bondan. Dan sebagai akibatnya
kalian berdua sama-sama menderita. Tetapi ketahuilah, aku justru merasa amat bersyukur karena
mataku terbuka sekarang ini di saat segala sesuatunya masih belum terlambat. Bahwa, masih
banyak hal yang bisa kita benahi bersama-sama."
"Tetapi aku ingin kalian berdua hidup berbabagia, Mbak..."
"Aku tahu. Tetapi Dik Aster, itu tidak mungkin. Kami berdua berada di dalam dunia yang
berbeda. Seperti dirinya, aku juga kurang merasa
nyaman berada dalam dunianya. Kurasa, perpisahan betapa pun pahitnya itu, merupakan jalan
yang paling benar buat kami berdua."
"Tidak, Mbak. Aku... aku tak akan menikah
dengan Mas Bondan..."
Duh, betapa munafiknya aku. Seandainya saja
gaun sutra biruku tidak ternoda, tak mungkin aku
akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Sebab,
sesungguhnya noda itulah yang memotori alasan
penolakanku. Jadi bahwa aku tak mau menyakiti
hati Mbak Astri, itu tak terlalu penuh porsinya.
"Dik Aster, kalian tidak memiliki hubungan
sedarah. Jadi tak ada alasan bagi kalian untuk
tidak berani melangkah bersama," kudengar perempuan itu berkata lagi.
"Mbak..." mulutku seperti terkunci rasanya.
Masih dengan air mata bercucuran, kupandangi
wajah Mbak Astri yang tampak tulus. Sedih sekali hatiku. Kenapa harus begini jadinya?
381
"Sudahlah, Dik Aster, jangan menangis. Aku
mengatakan sesuatu yang dilandasi kebenaran
meskipun itu terasa pahit. Kita semua memang
telah keliru langkah selama ini. Tetapi karena kita
sama-sama menyadarinya, akan semakin kelirulah kalau kita tidak menyurutkan langkah untuk
memperbaikinya. Jadi, Dik Aster, kuharap setelah
ini kau mau memikirkan semua yang tadi kukatakan secarajernih demi kebaikan kita semua. Kau,
aku, dan Mas Bondan."
Usai berkata seperti itu, Mbak Astri bangkit
dari tempat duduknya. Kemudian tangannya meraih tasnya.
"Aku pulang dulu, Dik Aster," katanya kemudian sambil melangkah keluar dari kamarku.
"Kumohon, camkanlah baik-baik semua hal yang
kukatakan kepadamu tadi."
Sepeninggal Mbak Astri, tangisku mulai meledak lagi dan baru berhenti ketika aku merasakan bahuku dipeluk seseorang. Masih dengan
tirai air mata, aku menoleh. Kulihat, Mas Bondan
berada di dekatku. Dialah yang memelukku.
"Ketika mobilku masuk ke jalan di depan rumah kita ini, aku melihat mobil Astri melintas...."
katanya dengan suara lembut.
"Apakah dia baru
pulang dari sini?"
"Ya."
"Hm, berarti dia sudah mengatakan segala-galanya kepadamu seperti apa yang kami bicarakan melalui telepon semalam...." Mas Bondan
berbisik.
382
"..."Ya
"Meski betapa pun pahitnya itu, tidakkah kau
melihat merekahnya kenyataan bahwa hambatan batin kita sudah mulai tersingkir sedikit demi
sedikit?" Mas Bondan membelai-belai rambutku.
"Jadi kenapa mesti menangis, Aster? Tidakkah
lebih baik kita memikirkan tentang masa depan
kita berdua nanti...?"
"Tidak, Mas, bukankah kemarin malam aku
aku sudah mengatakan kepadamu bahwa andaikata tidak ada Mbak Astri pun... aku... aku tidak
akan menikah denganmu...?" kujawab perkataannya dengan air mata yang semakin membanjir.
"Tidak ingatkah kau pada apa yang kukatakan
itu?"
"Bagaimana aku bisa melupakan kata-kata
yang membuatku terluka setiap kali itu terngiang
di telingaku!" kata Mas Bondan.
"Oleh sebab itu,
Aster, kuminta kejujuranmu untuk mengatakan
alasan sebenarnya mengapa kau menolakku. Padahal engkau mencintaiku..."
"Aku... aku keliru mengartikan perasaanku, Mas. Sebab setelah aku mempelajari diriku
sendiri, ternyata aku tidak mencintaimu..."
"Begitu menurutmu?" Mas Bondan mendesis.
Kemudian dengan gemas, dibalikkannya tubuhku
menghadap ke arahnya.
"Kau yakin itu, Aster?"
"Ya."
"Aku ingin membuktikannya!"
Selesai berkata seperti itu, disergapnya tubuhku ke dalam pelukannya. Kemudian dengan
383
bibirnya yang hangat itu, ditangkapnya bibirku.
Gelora perasaannya yang dipenuhi rasa cinta,
amarah, frustrasi, dan berahi membuat bibirnya
seperti sebongkah bara api. Dikecupinya seluruh
bagian wajahku, leherku, bahuku, lenganku yang
telanjang sementara tangannya menelusuri bagian-bagian lain tubuhku yang tak tersentuh kecupannya. Maka tangisku pun menguap. Maka
pula, tubuhku terbakar bara api yang diselimutkannya padaku. Dengan tangan gemetar, kubalas
pelukan dan ciuman-ciumannya dengan perasaan-perasaan dan gairah yang sama besarnya...
Penuh cinta. Penuh rasa frustrasi. Penuh rasa berahi dan penuh pula rasa amarah tanpa aku tahu
siapa dan apa yang membuatku marah.
Ketika aku semakin tenggelam dalam
pusaran-pusaran perasaan itu dengan membiarkan tangan Mas Bondan menyusup ke bagian
dadaku, sementara tanganku juga menyusup ke
bidang dadanya melalui sela-sela kancing kemejanya, tiba-tiba lelaki itu melepaskan tubuhku
dari pelukan dan cumbuannya.
"Seperti itukah sikap seseorang yang katanya tidak mencintaiku?" tanyanya dengan suara
parau. Dengan matanya yang berapi-api ia menatapku.
Aku merasa malu sekali. Kusembunyikan wajahku di balik bantal. Wajahku terasa panas sekali
sementara tubuhku masih terasa gemetar.
"Aster, tidak bisakah kau bersikap jujur kepadaku dengan menjawab sejujurnya. Mengapa
384
kau tak mau menerima diriku?" tanya Mas Bondan lagi.
Aku masih belum mampu menjawab pertanyaan itu sehingga Mas Bondan kehilangan kesabaran.
"Aster, jangan membuatku gila. Jawablah
dengan jujur apa pun jawabannya. Maka aku
akan pergi sejauh-jauhnya demi menghormati
kemauanmu!" katanya lagi dengan nada suara
yang mengandung keputusasaan.
Aku sadar, seperti diriku dia pun sebenarnya
sedang mengalami tekanan mental yang luar biasa. Apalagi setelah mendengarkan analisis Mbak
Astri tadi, kesadaran itu semakin menebal. Sebab meskipun tidak seratus persen tepat, hampir
semua yang dikatakan Mbak Astri tadi menunjukkan kebenaran. Karenanya aku tak boleh
membiarkan Mas Bondan terlalu lama berada
dalam keadaan porak-poranda seperti itu. Boleh
jadi seperti diriku, lelaki itujuga mengalami sulit
tidur. Boleh jadi juga dia mengalami kelelahan
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mental yang nyaris tak tertanggungkan.
"Aster, tidak kasihankah kau kepadaku...
membiarkan diriku terkatung-katung begini,"
kudengar dia berkata lagi.
"Kalau kau memang
tidak mencintaiku, betapapun sakitnya menghadapi hal itu, aku berjanji tak akan pernah lagi
mengganggumu. Itu hakmu. Tetapi aku yakin
seyakin-yakinnya bahwa kau mencintaiku. Karenanya, jawablah dengan sikap kesatria, mengapa
kau menolak pendekatan batinku!"
385
Yah, aku memang harus bersikap kesatria.
Pelan-pelan dengan tekad yang mulai merekah di
hatiku, kusingkirkan bantal yang tadi menutupi
wajahku.
"Mas, kau tahu dan keluarga kita semua tahu,
bahwa aku ini hanyalah anak pungut dari kedua
orangtuaku," kataku kemudian.
"Siapa keluargaku dan apa latar belakangnya, kita tidak tahu.
Siapa tahu aku ini anak seorang pelacur atau..."
"Aster!" Mas Bondan memenggal perkataanku.
"Di mana kausembunyikan telingamu? Di
mana pula hatimu kaubuang? Apakah menurut
anggapanmu semua saran, nasihat, dan pendapat
yang diberikan oleh kedua orangtuamu, olehku,
dan oleh keluarga lainnya itu hanya basa-basi? Tidak sadarkah bahwa apa yang kaukatakan
itu justru merupakan penghinaan, seolah kami
semua ini mempunyai pikiran yang picik?"
"Kau tahu, tidak begitu yang kumaksudkan..."
"Kalau begitu, kau jangan pernah lagi mengucapkan kata-kata semacam itu. Memikirkannya
pun jangan. Sebab seperti ayahmu, kami semua
juga memandangmu sebagai mutiara. Janji?"
"Ya...." suaraku mulai parau kembali. Kalau
tadi karena pengaruh cumbuan Mas Bondan, sekarang karena rasa haru.
"Dan sadarilah, Aster, seandainya kau bukan anak angkat Tante Pur, akan mungkinkah
aku mencintai saudara sedarahku? Rasanya tak
mungkin, sebab bagiku hubungan antarsaudara
sepupu itu masih terlalu dekat. Jadi dengan per
386
kataan lain, aku justru bersyukur bahwa kau bukan putri kandung Tante Pur. Paham?"
"Ya," suaraku semakin terdengar parau.
"Nah, alasan apa lagi yang menyebabkan kau
tak mau menikah denganku, Aster?" suara Mas
Bondan terdengar semakin mengandung desakan.
"Katakan dengan jujur. Dan jangan berkelit
seperti sikap orang pengecut!"
Aku tersentak. Aku pengecut? Tidak!
"Dan jangan bersikap munafik. Di mulut bilang tidak mau, tetapi hati dan tubuhmu bilang
ya!" Mas Bondan menyerangku lagi.
Aku tersentak lagi. Aku munafik? Tidak!
Dengan jawaban-jawaban yang memenuhi
hatiku, keberanianku mulai muncul. Aku tidak
pengecut, aku tidak munafik. Karenanya aku harus berani menjawab pertanyaan itu dengan sikap
kesatria. Kalaupun Mas Bondan akan menganggapku menjijikkan, itu harus kuterima. Memang
aku telah bersikap murahan, membiarkan keperawanan hilang hanya karena pengaruh perasaan
ketika menghadapi perpisahan dengan Mas Arya.
"Mas, kau tahu gaun biruku...?" akhirnya aku
memasuki pembicaraan berbahaya itu dengan
hati yang lebih mantap.
"Gaun biru kenanganmu bersama Dik Ary
itu"?"
"Gaun biru itu memang pernah menjadi
kenangan indahku bersama Mas Ary karena dialah yang memilihkan dan membelikannya sebagai hadiah ulang tahunku. Tetapi ketika gaun
387
itu kukenakan di akhir hubungan kami berdua,
makna gaun itu tak lagi sebagai kenangan. Melainkan sebagai peringatan diriku bahwa aku telah
berbuat bodoh, murahan..."
"Sehingga rasanya gaun itu seperti terkoyak,
tercabik!" Mas Bondan menyela bicaraku.
"Begitu, kan?"
"Ya..." Entah apa maksud bicaranya tadi, aku
tak tahu. Tetapi kujawab saja pertanyaan itu dengan jawaban yang sebenarnya. Ya!
"Lanjutkan!"
"Tetapi, Mas, gaun itu tak sekadar terkoyak
dan tercabik, tetapi juga "
"Ternoda, kan...?" untuk kedua kalinya Mas
Bondan menyela bicaraku. Kali ini suaranya terdengar penuh emosi.
"Ya...." aku menjawab ragu. Apa maksud bicaranya itu?
"Lanjutkan!"
Aku menarik napas panjang, kebingungan.
Dengan pandangan nanar kulanjutkan bicaraku.
"Mas, aku tak layak dan tak pantas untukmu.
Kau begitu baik, begitu suci sedangkan diriku hanyalah gadis murahan. Karena dengan gaun biru
itulah aku telah..."
"Terbius keadaan sehingga keperawananmu lenyap!" untuk ketiga kalinya Mas Bondan
memotong perkataanku. Tetapi kali ini, perkataannya membuatku seperti tersengat aliran
listrik. Dengan terperanjat kutatap dia.
"Kau... kau tahu itu, Mas?" tanyaku terba
388
ta-bata.
"Tidak, aku tak tahu!" Mas Bondan menjawab.
"Tetapi aku sudah mengiranya dengan perkiraan
sebesar sembilan puluh sembilan persen!"
"Dan... dan kau tidak jijik karenanya?"
"Kau sungguh picik mempunyai pikiran seperti itu. Kau pikir aku ini siapa? Kau pikir pula
perasaan cintaku ini serendah itu?" Mas Bondan
mendelik.
"Aku mencintaimu, Aster. Mencintai seluruh dirimu. Kelebihan-kelebihanmu,
kekurangan-kekuranganmu. Semuanya. Itu artinya masih perawankah dirimu atau sudah bukan
perawankah, tak menjadi masalah buatku. Apalagi aku tahu, mengapa hal itu sampai terjadi!"
Mendengar perkataan Mas Bondan, air mata
haru membanjir tanpa aku mampu menahannya
lagi. Sungguh, sejak aku jatuh cinta kepada Mas
Bondan, entah sudah berapa banyak air mataku
tercurah. Tetapi air mata yang mengalir sekarang,
sungguh berbeda rasanya. Ada kebahagiaan luar
biasa yang mewarnainya. Suatu perasaan yang
baru sekarang ini kurasai. Sebab sungguh betapa
indahnya dicintai seseorang dengan cinta setulus
dan sematang itu.
"Maafkanlah aku, Mas...." bisikku.
"Aku...
aku telah banyak menyakitimu...
"Kumaafkan," Mas Bodan tersenyum. Matanya berkilawan.
"Dengan syarat, kau harus melupakan gaun biru itu."
"Ya. Maka mulai hari ini, gaun sutra biru itu
hanya merupakan gaun biasa. Sama seperti gaun
389
gaunku yang lain."
Mas Bondan tidak mau menjawab kata-kataku. Tetapi sebagai gantinya, ia merentangkan
kedua belah lengannya sambil tersenyum manis
kepadaku. Sementara itu matanya yang menatapku tampak bercahaya, bagaikan disepuh perasaan
cintanya kepadaku.
Kalau sudah demikian, apalagi yang bisa kulakukan selain mengempaskan diriku ke dalam
pelukannya yang hangat itu, bukan?
TAMAT
Lima Sekawan 05 Berkelana Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama