Ceritasilat Novel Online

Segurat Bianglala Pantai Sengigi 1

Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W Bagian 1

Mira W.

SEGURAT BIANGLALA

DI PANTAI SENGGIGI

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 1993

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

BAB 1

"YUHUI! Lulus!"

Lindung melompat kegirangan. Begitu tinggi

lompatannya. Rasanya kalau tubuhnya lebih enteng

sedikit saja, dia pasti bisa mendarat di atap sekolah. Tetapi karena bentuk tubuhnya yang piknis, dia

mendarat di atas kaki Lestari.

Dalam keadaan biasa, Lestari pasti memekik marah. Dan balas menginjak. Tetapi kali ini menoleh saja

tidak. Dia masih memanjang-manjangkan lehernya.

Berdesak-desakan di depan papan pengumuman.

"Nomorku nggak ada, Ndung!" desahnya kecut.

"Jangan-jangan. .

"Masa nggak lulus sih?!" Kegembiraan Lindung

langsung merosot sampai separuhnya.

Salah satu dari Trio ALL tidak lulus, berarti ketiga-tiganya terpaksa ikut menanggung sakitnya. Bukankah semboyan mereka,

"One for ALL and ALL

for one"?

"Ini nomormu!" Seperti biasa, Asri yang paling

tenang di antara ketiganya.

Sejak semula, dia memang mencari nomor

teman-temannya lebih dulu. Baru mencari nomorn

ya sendiri. Soalnya Asri yakin sekali, dia pasti lulus.

Ranking pertama kelas, masa tidak lulus?

"Mana, As?"

"Tuh, persis di depan moncongmu! Makanya jangan ditinggal tu jimat kaca yang nangkring di atas

hidungmu! Buat apa cakep kalau bis lewat nggak kelihatan?"

"Matanya masih ketinggalan di Blok M!" sambung Lindung lega.

"Aduh!" Lestari menebah dadanya dengan gembira.

"Untung belum game ni jantung!"

"Cabut yuk!" Lindung menyeret teman-temannya

mundur.

"Ntar keburu teler di situ!"

"Eh, Ndung! Kamu masih ngutang, ya?" cetus Lestari tiba-tiba.

"Enak aja! Ngutang apa?"

"Nih!" Lestari menginjak kaki temannya dengan

gemas.

"Lunas deh!"

***

Asri, Lestari, dan Lindung bersahabat sejak SMP.

Demikian eratnya persahabatan mereka sampai mereka memproklamirkan diri sebagai Trio ALL. Enam

tahun bersahabat, mereka selalu kompak.

Asri yang juara kelas, berpenampilan tenang-tenang menghanyutkan tapi bandel luar-dalam, lebih

sering tampil sebagai pemimpin mereka.

Kecantikannya berada pada level sedang-sedang

saja. Tubuhnya tinggi atletis. Maklum, penggemar

olahraga kelas berat. Anggota tim bola voli sekolah yang andal. Juara lari se-RW. Dan jago renang

menyeberangi sungai.

Matanya, bagian yang paling menarik di wajahnya, hitam bening. Memancarkan kecerdasan,

keberanian, dan daya tarik yang memikat. Sementara dagunya yang berlekuk di tengah, mengesankan

kombinasi kekerasan hati dan ketegaran.

Lestari lain lagi. Anggota Trio ALL yang paling feminin, selalu tampil lembut tapi cepat gugup,

memiliki sosok tubuh dan raut wajah yang paling

digemari abad ini. Tubuhnya ramping memikat. Sehingga rasanya baju model apa pun pasti pas dipakainya dan serba enak dilihat.

Parasnya ayu menggoda. Senyumnya manis

mengundang. Tatapan matanya lembut dan manja

menggemaskan. Sayang, kadar kemampuan otaknya di bawah level. Terpaksa Asri dan Lindung mendongkraknya supaya Lestari bisa ikut naik kelas tiap

tahun.

Lindung, anggota Trio ALL yang paling unik, selalu tampil penuh spontanitas dan keriangan.

"Take it

easy" dan "cuekin aja" merupakan motto hidupnya.

Penggemar berat es krim yang hobinya makan pizza

ini, memiliki bobot tubuh yang agak terlalu montok

untuk ukuran cewek masa kini. Tapi diet merupakan

momok yang paling ditakutinya.

Belum tentu lulus saja, pagi-pagi dia sudah membekal selusin spidol warna-warni dari rumah. Begitu

Lestari membelakanginya, langsung saja dia mencorat-coret baju seragam temannya. Pas di punggung.

ALL, tulisannya besar-besar.

Terang saja Lestari memekik kaget. Tapi Lindung

tenang-tenang saja. Malah makin kurang ajar. Dengan spidol merah, dihadiahinya baju Lestari tanda

tangannya. Mending kalau diminta. Dan mending

kalau bagus.

Melihat ulah temannya, Asri ikut latah membubuhkan tanda tangannya. Dan sebelum dia selesai,

hampir setengah lusin temannya, entah dari mana

datangnya, ikut-ikutan repot berebut menandatangani baju Lestari.

"Mampus deh gue!" keluh Lestari bingung.

"Nyokap udah wanti-wanti bilang, baju ini mesti diwarisin ke dobel bravo!"

"Kalem aja, Tari," hibur Lindung sambil menyeringai geli menyaksikan baju putih Lestari yang sudah

berubah menjadi kanvas.

"Prasasti begini bersejarah,

mana boleh sih diwarisin ke dobel bravo? Simpan

dong buat kenang-kenangan! Hari model begini, nggak datang dua kali lho dalam hidup kita!"

Belum habis dia bicara, Asri sudah membubuhkan tanda tangannya di atas baju Lindung. Seperti

tadi, aksinya segera diikuti oleh separuh kelas.

***

"Ke mana kita liburan ini, As?" tanya Lindung

yang sedang kecewa berat karena ditolak satpam masuk pusat perbelanjaan di daerah elit itu.

Soalnya mereka masih memakai seragam sekolah.

Dan seragam sekolah mereka hari ini sudah penuh

coret-coretan.

"Sana pulang dulu tukar baju, Neng!" kata satpam

itu tegas.

Barangkali dia yakin, pelajar-pelajar yang memakai seragam sekolah, apalagi yang penuh corat-coret begini, bakal lebih banyak menyusahkan

daripada menguntungkan toko-toko yang dijaganya.

Belum lagi kalau mereka bertemu anak-anak dari

sekolah lain... wah, bisa runyam! Lebih aman digebah saja. Toh belum ada undang-undangnya. Mereka

tidak dapat menuntut, kan?

"Pelajar yang memakai seragam sekolah dilarang

masuk!" kata satpam itu tegas ketika Lindung berkeras ingin masuk.

"Kalau nggak pakai baju, Pak?" ejek Asri sambil

menyeret teman-temannya pergi.

lO

Ketika sedang menyeberang jalan, pas di zebra

cross, sebuah mobil mewah melintas cepat. Hampir

menyambar pantat Lindung yang memang ukuran

king Size. Kepala pemuda-pemuda harapan bangsa

melongok ke luar. Senyum mereka merekah cerah.

Seeerah mobil yang menaikkan status mereka sekelas lebih tinggi. Tapi tidak mental mereka.

Lindung menyumpah-nyumpah dengan kata-kata

yang tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sekalipun. Asri menunggingkan pinggulnya

mengejek. Sementara Lestari belum sadar juga binatang apa yang lewat barusan. Padahal binatang itu

hampir mencabut tulang panggul Lindung.

"Pakdeku bawa mobil ke Surabaya," potong Lestari sebelum Asri sempat menjawab pertanyaan

Lindung. Saat itu Asri dan Lindung sedang melahap

pizza. Sementara Lestari cuma berani menyantap

salad. Kalau mengikuti selera Lindung, mana bisa

langsing terus?

"Kita bisa ikut?" sambar Lindung, yang tak pernah menolak semua yang gratis... kecuali sampah,

itu sih jatah pemulung.

"Aku baru mau ngajak kalian ke Lombok," cetus

Asri, tenang tapi meyakinkan seperti biasa.

"Lombok?!" Lestari dan Lindung sama-sama menoleh dengan heran.

"Nyokap lu mau kawin lagi, As?" Lindung

ll

menyeringai lebar.

"Calon bokap lu orang Sasak?"

"Aku mau cari ayahku," sahut Asri santai. Seolah-olah dia cuma mengatakan ingin mencari sahabat

penanya.

Sekarang baik Lindung apalagi Lestari tertegun

bengong. Mata mereka terbelalak lebar. Bulat sekali.

Seperti kelereng.

"Jangan macam-macam lu ah!"

"Nggak kok. Ayahku cuma semacam."

"Ayahmu masih hidup?" desis Lestari bingung.

"Kamu serius nih?"

"Selusin rius!"

"Kepalamu nggak kebentur balon yang digantung

di depan pintu tadi, As?" sambar Lindung curiga.

"Bokap lu kan udah game?"

"Nyokap bilang, bokap gue masih hidup. Rokumnya di Pantai Senggigi."

"Ngibul!"

"Suer!"

"Kenapa baru bilang sekarang?"

"Ibu nggak mau aku ketemu Ayah."

"Ibumu pasti dikhianati!" sambar Lindung sok

tahu.

"Jadi sakit jiwa! Eh, sakit hati!"

"Ayah kabur dengan adik Ibu yang tinggal di rumah kami."

"Ih,jijai!"

"Nah, betul, kan? Apa aku bilang! Ibumu sakit

12

hati. Makanya dia bilang ayahmu sudah meninggal!"

"Nah, kenapa tiba-tiba sekarang hidup lagi?"

"Beberapa hari yang lalu, teman Ayah datang dari

luar negeri. Mereka sudah lama berpisah. Waktu Ibu

ngomong, aku kebetulan nguping."

"Kamu nekat mau cari ayahmu?" cetus Lestari

ngeri.

"Padahal kamu belum pernah ke Lombok!"

"Takut apa?"

"Ibumu tahu?"

"Kalau tahu, aku pasti dikurung!"

"Dan kamu nekat mau pergi juga?"

"Kalau takut, nggak usah ikut!"

"One for ALL and ALL for one!" potong Lindung

tegas.

"Kalau Asri pergi, kita harus ikut, Tari! Kalau

dia hilang ditelan hantu Gunung Rinjani, ke mana

kita harus menyerahkan diri?"

"Betul kamu mau ikut, Ndung?"

"Suer deh! Biar disambar nyamuk!"

"Kamu gimana, Tari?"

"Kalau ibuku kasih izin...," gumam Lestari bimbang.

"Kalau ibuku sih oke aja," sambar Lindung.

"Asal

gratis!"

"Pakai duitku aja. Aku punya Tabanas!"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, tunggu apa lagi? Ayo, hitung duitmu!"

***

13

Tetapi dihitung beberapa belas kali pun, dengan

kalkulator merek apa pun, tabungan Asri plus bunganya tetap tidak cukup untuk biaya mereka bertiga

ke Lombok.

"Wah, kalau duitmu cuma segitu, jangan-jangan

kita terpaksa melelang diri untuk sesuap nasi di Pantai Senggigi, As!" cetus Lestari kecewa.

"Paling-paling rambutmu yang laku buat nambal

atap bocor!"

"Belum ketemu ayahmu kita sudah jadi fosil!"

"Pokoknya aku tetap pergi," berkeras Asri.

"Nggak cukup beli tiket pesawat, aku naik bis!"

"Nggak cukup bayar ongkos bis, nyebur ke laut!"

sambung Lindung geli.

"Aku punya ide. . .," cetus Lestari tiba-tiba.

"Kamu menari Legong di depan serombongan

turis bule, aku dan Asri nyodorin kaleng?"

"Ayahku janji kalau lulus ujian. . ."

"Kamu dikasih boil?"

"Bukan! gerutu Lestari gemas.

"Kenapa sih kamu

selalu motong pembicaraan orang, Ndung?!"

"Waktu hamil, ibuku ngidam kepingin motong

lindung!"

"Apa hadiahmu, Tari?" desak Asri tidak sabar.

Padahal biasanya dia yang paling tenang.

"Sesuatu

yang laku dijual?"

"Anak anjing herder?" melotot Lindung.

14

"Kalung emas?"

"Motor bebek?"

"Tiket ke Hongkong?"

"Sapu terbang?"

"Ngaco semua! Mau dengar nggak?"

"Cepat dong!"

"Kartu kredit!"

15

BAB II

SUDAH lama Lestari ingin mempunyai kartu kredit

sendiri. Kok enak ya rasanya bisa beli barang tanpa

perlu membayar! Toh tagihan bakal datang ke alamat

Ayah bulan depan!

Tapi Ayah keberatan. Katanya Lestari belum cukup dewasa. Membeli dengan cara berutang begitu kan

perlu kebijaksanaan uang ketat. Kalau tidak, semua

barang dibeli... wah, bisa habis cadangan devisa!

Nanti, kata Ayah, kalau Tari sudah lulus ujian SMA.

Nah, sekarang Tari sudah lulus. Tidak heran kalau

malam itu juga dia langsung menagih janji. Hm, janji

tidak boleh diutang, kan?

Lestari langsung mempraktekkan teknik merayu

yang sudah dipelajarinya sejak kecil. Tentu saja dari

Ibu. Dari siapa lagi.

Lestari tahu sekali, ayahnya paling tidak tahan

rayuan. Apalagi kalau yang merayunya anak perempuan satu-satunya. Kalau yang merayunya anak perempuan orang lain. .. Tari tidak tahu. Mesti tanya Ibu.

Atau. .. Ibu juga tidak tahu?

"Yah, mana dong janjinya?" tanya Tari manja

sambil memijat kaki ayahnya.

16

Ayah sedang berlunjur di bangku panjang yang

terbuat dari rotan. Kalau malam, Ayah senang sekali

berbaring malas-malasan di bangku yang terletak di

teras yang menghadap ke kebun itu.

Kata Ibu, Ayah lebih senang memandangi dahan

pohon yang bergoyang-goyang ditiup angin daripada

pinggul wanita di kelab malam. Tentu saja itu kata

Ibu. Benar atau tidaknya, cuma Ayah yang tahu, kan?

Di dalam rumah dan di luar rumah, orang kan bisa

berbeda!

"Janji apa?" Biasa. Gaya Ayah. Pura-pura. Supaya

Tari merayu lebih gencar.

Tapi Tari sudah terlatih sejak kecil. Kata Ibu,

senjata perempuan yang paling ampuh adalah rayuannya. Lihat saja Cleopatra. Julius Caesar saja bisa

ditaklukkannya.

"Tuh Ayah!" Tari memijat kaki ayahnya lebih

keras sampai Ayah memekik. Tentu saja cuma pura-pura. Dia menikmati sekali kok pijatan anaknya.

"Katanya janji nggak boleh dilanggar!"

"Bukan dilanggar, ditunda! Masa nggak boleh?

Undang-undang saja bisa ditunda!"

"Pokoknya nggak boleh!" Tari mulai merajuk.

Mogok memijat.

"Janji mana boleh diutang sih?!"

"Janji yang mana? Ayah lupa!"

"Kalau Tari lulus ujian. . ."

"He-eh, kalau Tari lulus ujian. . .?"

17

"Alaa, Ayah!" Sekarang Tari memukul kaki

ayahnya dengan gemas.

"Masa lupa sih?"

"Lho, Ayah kan banyak urusan!"

"Tapi anak perempuan Ayah kan cuma Tari!"

"Jadi nggak boleh lupa?"

"Masa lupa janji sama anak sendiri?"

"Justru karena sama anak sendiri. .

"Boleh lupa?"

Ayah tertawa geli. Senang dapat mempermainkan

putrinya.

"Tentu saja Ayah nggak lupa. Hadiah, kan? Oke,

tapi pijat dulu dong yang enak!"

"Wah, ini sih pemerasan!"

"Bukan pemerasan dong. Bonus!"

"Ah, Ayah gitu sih!" Dengan gemas Tari mulai

lagi memijat kaki ayahnya.

Sejak berumur empat tahun, hampir tidak ada

malam yang terlewati tanpa memijati kaki ayahnya.

Rasanya, hal itu sudah menjadi kebiasaan rutin bagi

Tari. Sudah hampir tidak terasa lagi sebagai beban.

Tapi juga sudah hampir tak terasa kenikmatannya

lagi.

Baru hari ini, ketika dia menyadari keinginan Asri

untuk menemui ayahnya, Tari insaf, betapa beruntungnya dia masih memiliki seorang ayah. Ayah yang

demikian memperhatikannya. Demikian mengasihinya. Demikian memanjakannya.

18

Ayah Lindung juga masih hidup. Tapi anak perempuannya bukan cuma Lindung. Dia tidak dapat

memperoleh perhatian dan kemanjaan seperti yang

dimiliki Lestari.

"Aduh, enaknya punya anak perempuan!" Ayah

memejamkan matanya dengan nikmat.

"Apalagi

yang pintar mijat! Ayah jadi ngantuk nih."

"Tapi hadiahnya jangan lupa!"

"Kalau nanti Ayah ketiduran di sini, tolong ambilkan sarung Ayah yang kotak-kotak biru, ya. Itu ada

di kamar kerja Ayah. Dilipat dan ditaruh di atas meja

tulis. Hati-hati mengambilnya. Jangan sampai jie

Ayah berserakan ke lantai!"

Sesudah itu Ayah tidak mengucapkan apa-apa

lagi. Matanya terpejam rapat. Irama napasnya naikturun dengan teratur. Sia-sia Lestari mencoba memijat lebih keras untuk membangunkannya. Ayah tetap

terlelap.

Kata Ibu, kalau Ayah sudah tidur, istrinya jatuh

dari ranjang pun dia tidak tahu. Tapi Tari memang

tidak mau membangunkannya. Tidak tega. Meskipun

kecewa karena harus menunggu sampai esok lagi, dia

tidak berniat mengganggu ayahnya.

Hati-hati dia bangkit. Mengendap-endap meninggalkan tempat itu. Dan menuju ke kamar kerja.

Begitu masuk, Tari sudah melihat sarung itu. Ayah

seperti sengaja meletakkannya di tempat yang gampang terlihat.

19

Lestari langsung meraihnya. Dan sebuah benda

jatuh dari lipatan sarung itu.

Bunyinya tidak terlampau keras. Tetapi cukup

membuat Tari menoleh ke lantai... dan dia hampir

memekik gembira. ..

Dipungutnya kartu kredit itu dengan perasaan

haru. Ternyata Ayah telah menyiapkannya sejak beberapa bulan yang lalu!

Dengan penuh perasaan terima kasih diselimutkannya sarung itu ke tubuh Ayah. Ditatapnya wajah

temaram yang sedang terlelap itu. Dikecupnya udara

di hadapannya. Dibisikkannya kata-kata itu di dalam

hatinya.

Terima kasih, Ayah. Tari sayang padamu. ..

Ketika Tari berbalik untuk menyembunyikan air

mata haru yang menyembul di sudut matanya, ayahnya membuka matanya sedikit. ..

***

Lestari anak bungsu. Kedua orang kakaknya laki-laki. Tidak heran kalau dia sangat dimanja oleh

orangtuanya. Juga oleh kakak-kakaknya.

Dia tidak pernah merasakan haus kasih sayang.

Semua keinginannya pasti tercapai.

Wajahnya yang cantik, tatapan matanya yang lembut, sikapnya yang manja, merupakan asetnya yang

20

tak pernah gagal untuk menarik perhatian orang. Guru-gurunya, teman-temannya, bahkan karyawan di

sekolah, selalu siap membantunya.

Pemuda-pemuda yang berniat menjadi pacarnya,

sudah lama antre mendaftarkan diri. Lestari dapat

memilih mereka seperti memilih baju di toko.

Lindung tidak terlalu cantik. Tubuhnya pun agak

terlalu montok. Tapi dia menarik justru karena sifatnya yang polos dan periang. Selalu ceplas-ceplos.

Tidak pernah tampak susah. Dan pandai bergaul dengan siapa saja.

Dia bukan anak bungsu. Bukan pula anak sulung.

Dia mempunyai empat orang saudara laki-laki dan

dua orang saudara perempuan. Tidak dimanja seperti Tari. Tetapi masih mempunyai dua orangtua yang

menyayanginya.

Lain dengan Asri. Dia anak tunggal. Dari kecil

tidak pernah merasakan kasih sayang ayah. Ibunya

sibuk mencari nafkah.

Ibu memang menyayanginya. Tapi tidak pernah memanjakannya. Sejak kecil, dia sudah biasa

menyelesaikan setiap persoalannya seorang diri. Tanpa bantuan siapa pun. Hidup yang keras menempa

Asri menjadi gadis yang keras hati dan tegar.

Ketika mendengar ayahnya masih hidup, Asri

terguncang. Dia langsung menghadap ibunya. Minta

penjelasan. Sungguhpun penjelasan itu justru tambah

21
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memorak-porandakan perasaannya.

Sejak kecil, Asri tidak dibiasakan mendapat hadiah dari ibunya. Biarpun nilai ulangannya bagus-bagus, selalu naik kelas dan lulus ujian dengan nilai terbaik, ibunya tidak pernah memberi hadiah. Tapi kali

ini, Asri menuntut sesuatu.

"Asri ingin mencari Ayah," katanya tegas.

"Tidak!" sahut Ibu sama tegasnya. Parasnya berubah keras dan dingin.

"Tapi Asri kepingin lihat kayak apa sih bapak

Asri!"

"Tidak perlu."

"Ibu nggak adil!" protes Asri kesal.

Ibunya memang tidak menjawab. Tetapi Asri

tahu, percuma memohon lagi. Ibunya seorang wanita

yang keras hati. Teguh memegang pendirian. Sekali

dia mengatakan tidak, percuma mengharapkan Ibu

akan mengubah pendapatnya.

Tetapi Asri pun mewarisi sifat ibunya. Sekali dia

mengatakan ingin melihat ayahnya, percuma melarangnya. Dia akan tetap mencari ayahnya. Dia hanya

menunggu saat yang tepat.

Setiap anak berhak mengetahui seperti apa

orangtuanya, bukan? karena seburuk apa pun ayahnya, laki-laki itu tetap ayahnya!

***

22

Dengan bangga Lestari memperlihatkan kartu

kreditnya kepada teman-temannya. Kartu tambahan

itu memang hasil cangkokan dari kartu kredit ayahnya. Tapi apa salahnya? Yang penting bisa dipakai,

kan?

"Apa bisa buat beli tiket Jakarta-Selaparang

pulang-pergi?" gumam Asri ragu-ragu.

"Pasti dong!" sahut Lestari mantap.

"Kata Ayah,

kartu ini bisa buat beli apa saja!"

"Pasti nggak bisa buat beli rujak!" potong Lindung kocak.

"Ortumu oke aja kamu pergi ke Lombok, Ndung?"

"Bersama kalian, ke mana juga boleh. Asal gratis!"

"Kamu, Tari?"

"Mula-mula sih Ibu ragu-ragu. Katanya, kenapa

nggak ke Bali aja?"

"Lantas, kamu bilang apa?"

"Ke Bali kan udah pernah. Ke Lombok belum."

"Ke Paris juga belum kok!" sela Lindung sambil

menyeringai.

"Kalau kartu kreditmu bisa buat beli

tiket Jakarta-Paris, kenapa kita nggak ke sana aja?"

"Terus gimana?" potong Asri tanpa menghiraukan

seloroh Lindung.

"Akhirnya sih mereka oke aja."

"Kalau begitu kupinjam dulu duitmu, Tari."

23

"Nggak usah pikirin duitnya, deh. Yang penting,

gimana bisa nemuin ayahmu! Lombok kan nggak

selebar Blok M!"

"Aku punya foto ayahku." Asri merogoh saku

belakang jinsnya. Dan mengeluarkan selembar pas

foto berukuran empat kali enam yang sudah kekuning-kuningan warnanya.

"Nih, fotonya. Ketemu di

gudang."

"Ih, kecejuga ya bokap lu, As

'"

cetus Lindung.

"Tapi potret ini kan udah kedaluwarsa, As!" sela

Lestari bimbang.

"Itu kan fotonya lima belas tahun

yang lalu! Mungkin juga dua puluh tahun. Dua puluh

lima tahun. Pasti tampangnya udah ngalamin metamorfosa!"

"Jangan kuatir! Masa sih aku nggak bisa ngenalin

babe sendiri?"

"Gimana caranya? Mau kamu seret semua cowok

yang tampangnya mirip buat periksa darah? Dikira

vampir kamu!"

"Aku tahu nama ayahku. Punya fotonya. Mau apa

lagi? Tanggung ketemu!"

"Jangan setel yakin dulu, As! Kalau sebulan baru

ketemu ayahmu, kita keburu jadi gelandangan di

sana!"

"Jadi apa kek aku nggak takut! Pokoknya bisa ketemu bokap!"

"Aku yang takut! Jangan sampai kita kehabisan

24

duit di sana. Jual ini-itu buat sesuap nasi! Tragis,

kan?"

"Kamu punya kartu kredit. Aku punya Tabanas "

"Aku nggak punya apa-apa!" Lindung membeberkan dompetnya.

"Cuma segini nih."

"Itu sih bom melulu, Ndung!"

"One for ALL and ALL for one," kata Asri tegas.

"Kalau kami pergi, kamu juga mesti ikut, Ndung.

Biar modalmu cuma perut!"

"Trims berat kalau gitu!"

***

Tetapi kartu kredit Lestari mempunyai batas kredit. Sedangkan tiga helai tiket pesawat ke Lombok

pulang-pergi melebihi limit kartu kredit yang hanya

sejuta rupiah itu.

"Kalau kita pakai Tabanas-mu buat nambah ongkos tiket, aku kuatir kita nggak bisa makan di sana,

As," kata Lestari yang selalu kuatir.

"Uangjajanku udah habis buat beli makanan, Tari.

Utangku di kantin sekolah udah bertumpuk-tumpuk

nih."

Lindung memang tidak bisa diharapkan. Dia bukan tipe gadis yang dapat menabung selama masih

banyak pedagang makanan di seputar sekolah.

25

Asri lain lagi. Karena dia berdusta pada ibunya,

dia tidak dapat minta tambahan uang. Dia hanya

mengatakan ikut Tari berlibur ke rumah pakdenya di

Surabaya. Nah, ikut teman tidak perlu bayar ongkos,

kan?

Akhirnya Lestari menemukan jalan keluar. Naik

apa pun, pokoknya sampai di Lombok! Banyak jalan

menuju Pantai Senggigi. Tidak naik roda terbang,

roda menggelinding pun jadi!

Mula-mula mereka ikut pakde Lestari bermobil ke Surabaya. Bermalam di rumahnya semalam.

Kemudian dari sana, mereka menumpang bis cepat

ke Mataram. Ongkosnya tidak ada seratus ribu bertiga. Dan dalam tempo dua puluh jam, mereka telah

tiba di Pulau Lombok!

"Nah, beres, kan?" cetus Asri gembira di dalam

bis.

"Apa aku bilang, nggak ada yang perlu dikuatirin!"

"Kalau kita nggak bisa nemuin hotel pamanku di

Pantai Senggigi, kita harus belajar nangkap ikan buat

makan!"

"Hotel beneran nih? Bukan hotel prodeo? Jangan-jangan pamanmu sipir penjara!"

"Di mana kek aku nggak peduli," potong Asri

mantap,

"Pokoknya asal gratis!"

"Kalau di penjara sih, biar semalam juga aku

ogah sambung Lindung.

26

"Penjaranya juga nggak mau nampung kamu, Ndung! Takut napinya nggak kebagian makan!"

27

BAB III

BEGITU turun dari bis di Mataram, Lindung

langsung menghirup udara sepenuh paru-parunya.

"Hai, Lombok! Ini aku datang!" katanya dengan

gaya seorang turis. Padahal jangankan dolar, kamera

saja dia tidak punya.

Miliknya cuma ransel yang tergantung di punggungnya. Yang isinya sebagian besar bukan pakaian

tapi makanan. Begitu banyaknya makanan kering

yang dibawanya sampai bukan hanya keluarganya

saja yang heran, teman-temannya juga.

"Kamu mau pesiar ke Lombok apa ke Bosnia,

Ndung?" goda Lestari geli.

"Kamu kira di sana cuma

ada pasir doang?"

"Kalau duitmu habis, aku tetap nggak kelaparan,"

sahut Lindung santai.

Tetapi jangankan untuk bekal, untuk jatah hari itu

saja rasanya kurang. Soalnya sepanjang perjalanan

dia makan terus. Dan sesampainya di Mataram, ransel itu sudah separuh kosong.

"Udara di sini rasanya lain, ya," komentar Lindung sambil melangkah di tepi jalan.

"Rasanya debunya kurang, sampai aku susah bernapas."

28

"Soalnya paru-parumu udah biasa ngisap satu ton

debu Jakarta," sahut Asri sambil menunjuk sebuah

Cidomo, dokar yang ditarik kuda tapi memakai ban

mobil.

"Lihat tuh, dokar bermesin kuda begitu kan

antipolusi."

"Mobil sih ada. Tapi dibandingin Jakarta, jalan

ini sepi banget. Rasanya aku bisa nyebrang sambil

nandak!"

"Jangan sok kamu! Belum pernah dicium kuda,

ya?"

"Boro-boro kuda, orang juga belum!"

"Yuk kita cari angkutan ke Pantai Senggigi."

"Keme dulu ah! Aku lapar nih!"

"Ingatanmu cuma makan aja, Ndung! Kita kemari

kan mau ketemu ayahku, bukan menginspeksi restoran!"

"Cari siapa pun kita kan harus makan, As!"

***

Ayam taliwang, ayam bakar khas Lombok dengan

bumbunya yang pedas asyik, benar-benar memuaskan perut mereka. Apalagi ditambah nasi putih yang

masih berkepul-kepul asapnya... duh, benar-benar

sedap!

Udara pagi yang tidak terlalu panas, suasana temaram yang jarang dijumpai di Jakarta, sebentar saja

29

sudah membuat ketiga gadis remaja itu merasa betah.

Apalagi ketika mereka mendapat kesempatan cuci

mata di toko-toko suvenir sepanjang jalan.

Barang-barang cendera mata asli Lombok seperti keris, kendang, songket berderet-deret minta dijamah.

"Ndung, ranselmu udah kosong, kan, ya?" cetus

Lestari ketika matanya menangkap sehelai tenun ikat

yang cantik.

"Jangan macam-macam, Tari," tegur Asri tegas.

"Perjalanan kita masih jauh!"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cuma semacam!" bantah Lestari penasaran.

"Apa salahnya sih beli oleh-oleh sedikit? Bolehnya

lu yang ngatur! Duit gue kok!"

"Mendingan duitnya buat makan dulu, Tari," bujuk Lindung.

"Nanti pulangnya, kalau kamu mau borong isi toko ini berikut yang punyanya sekalian, aku

bantuin bawa deh! Asal jangan lupa aja komisinya.

Sepuluh persen!"

***

Dari Mataram ke Pantai Senggigi, mereka harus

melewati Ampenan. Kota pelabuhan tua yang menarik, justru karena bangunan-bangunan tempo dulu dan

jalan-jalan sempit yang dimilikinya.

Dari atas jembatan yang melintasi Sungai Jang

30

kok, mereka masih dapat menikmati hamparan tanaman kangkung yang menghijau segar seperti permadani beludru dari Persia. . ..

Sementara di tepi jalan, barisan gadis yang

menyunggi bakul berisi kelapa merupakan pemandangan langka yang sudah sulit ditemui di Jakarta.

Hamparan padi di sawah-sawah, deretan pohon

kelapa yang dilatarbelakangi bukit-bukit kecil kehijawan di kejauhan, menitikkan kekaguman di hati

gadis-gadis remaja yang sudah jenuh dengan suasana

kota besar itu.

Dari Ampenan, mereka melaju terus ke utara,

menuju ke Pantai Senggigi, mendaki bukit dan menikmati pemandangan alam yang indah menggoda

mata. Sementara di balik bukit, telah menanti panorama pantai yang terhampar megah.

Air laut yang biru mengundang, tidak henti-hentinya menyapa pantai yang senantiasa setia menanti. Layar-layar perahu seperti bintik-bintik putih di tengah

laut. Dan di sepanjang pantai, bangunanbangunan

hotel laksana jari yang menjulang ke angkasa, siap

mencengkeram bianglala yang meronai langit biru.

Melihat begitu banyaknya hotel, losmen, dan cottage di sana, mau tidak mau Lindung kebingungan

juga.

"Yang mana hotel pamanmu, Tari?"

"Nggak tahu, Ndung!" Lestari juga sama bingun

31

gnya.

"Terus terang aku nggak nyangka Pantai Senggigi udah begini ramai!"

"Kalem aja," hibur Asri, tenang dan mantap seperti biasa.

"Kita kan punya mulut. Bisa tanya."

Tapi tiga perangkat mulut pun rasanya tidak cukup untuk mengorek keterangan dari orangorang di

pantai itu. Dari petugas hotel sampai orang di pinggir

laut, tidak ada yang tahu di mana Hotel Waikiki.

"Adik-adik tidak salah alamat?" gurau seorang

pelayan hotel bertaraf internasional yang sudah tiga

kali mereka tanyai.

"Waikiki bukan di sini. Di Hawaii

barangkali."

"Sialan!" maki Lindung setelah mereka meninggalkan lobi hotel itu.

"Kaki udah lecet begini dia masih ngeledek!"

"Betul nama hotel pamanmu Waikiki, Tari?" Sekarang orang yang biasanya paling tenang sudah

ikut-ikutan bimbang.

"Yang penting, betul nggak di Lombok, bukan di

Irian Jaya!" sela Lindung kesal.

"Suratnya sih bilang begitu." Lestari mengeluarkan satu-satunya modal yang dimilikinya untuk mencari pamannya. Sehelai surat lusuh yang bertanggal

dua tahun yang lalu.

"Bilang apa?"

"Paman bilang begini sama Ibu,

"Mbak nggak

usah kuatir. Sekarang saya sudah mandiri. Punya ho

32

tel sendiri di Pantai Senggigi. Hotel Waikiki. . .."

"Dia nggak bilang di mana letak hotelnya? Di

dekat apa, di seberang hotel apa, di samping toko

apa?"

"Nggak disebut!"

"Wah, alamat tidur di kolong langit nih!"

"Jangan putus asa, coba kita tanya turis-turis bule

tuh!"

"Ogah, ah! Bahasa Inggrisku belepotan!"

"Kamu aja yang tanya, As! Percuma bahasa Inggrismu sembilan kalau nggak dipraktekin!"

Tapi tidak seorang pun dari turis-turis itu tahu di

mana Hotel Waikiki. Beberapa turis yang kurang ajar

malah mengira gadis-gadis itu minta dibawa ke hotel....

"Sialan!" maki Lindung kalang-kabut.

"Mendingan tidur di kolong langit daripada kena AIDS!"

***

Letih dan putus asa, Lindung menjatuhkan dirinya

di pantai. Kakinya sudah lecet. Perutnya pun sudah

menagih janji. Entah sudah berapa kilometer mereka tempuh. Menelusuri pantai menuju ke utara. Di

tempat ini sudah tidak ada lagi hotel. Cuma beberapa

cottage dan bungalo pribadi yang tersebar di sana-sini. Letaknya saling berjauhan. Tersembunyi di balik

pepohonan.

33

"Kita pulang aja, yuk," ajak Tari yang tiba-tiba

merasa takut berada di tempat yang sepi itu.

"Udah

malam begini, sepi lagi. Salah-salah kita bisa di..."

"Pulang ke mana?" potong Asri kesal.

"Kita nggak bakal pulang sebelum ketemu ayahku!"

"Maksudku pulang ke tempat tadi! Di sana kan ramai. Banyak hotel. Banyak orang. Di sini nggak ada

apa-apa, cuma hantu laut!"

"Hotel besar pasti mau terima kartu kreditmu,

Tari," tukas Lindung letih.

"Asal nggak aspal aja!"

"Tapi kalau nginap di hotel besar, cuma berapa

malam kita bisa tinggal di Lombok, N dung?"

"Ya,. di losmen juga oke deh! Asal nggak di

kolong langit! Dan asal bisa makan nasi!"

Belum habis Lindung bicara, Lestari memekik

histeris. Dari kegelapan malam di balik pepohonan

sana, tiba-tiba saja muncul sesosok bayangan. . ..

"Ntar dulu, Tari! Jangan kabur! Itu orang, bukan

hantu!" Buru-buru Asri menyambar lengan sahabatnya. Mencegah Tari mengambil langkah seribu.

Lindung yang tidak keburu bangun. cuma melongo saja di atas pasir. Mengawasi laki-laki tua yang

tertatih-tatih memikul dua buluh bambu berisi tuak

itu.

"Numpang tanya, Pak!" seru Asri, yang paling berani di antara ketiga gadis itu.

"Bapak tahu di mana

Hotel Waikiki?"

34

Lelaki itu berhenti melangkah. Meletakkan pikulannya. Dan mengawasi gadis-gadis itu dengan heran.

"Apa?" katanya sambil meletakkan tangannya di

telinga.

Lindung mengeluh dalam hati. Ada hantu kok

budek!

"Hotel Waikiki!" kata Asri separuh berteriak.

"Cari Pak Waliki?" tanyanya dalam nada yang

asing di telinga mereka.

"Itu rumahnya yang paling

ujung

35

BAB IV

PAK WALlKl kaget sekali melihat keponakannya

muncul malam-malam begini. Lama dia memegang

tangan Lestari, seolah-olah meyakinkan diri yang

datang bukan hantu.

"Astaga, Tari! Ngapain kamu malam-malam kemari?!"

"Cari Paman!" sahut Lestari antara lega dan kesal.

"Kenapa sih Paman ngaku-ngaku punya hotel kalau

cuma punya gubuk begini?"

Paman Waliki memang tinggal di pondok kecil

di belakang dua buah cottage yang berdampingan.

Baik pondoknya maupun kedua cottage kecil itu sama-sama terbuat dari bambu. Bentuknya sederhana.

Letaknya terasing dari keramaian. Sama sekali tidak mencerminkan kemewahan seperti yang mereka

bayangkan.

Di pohon besar yang terdapat di depan cottage itu,

terselip sebuah papan kecil yang ditulisi dengan tulisan tangan: Waikiki Cottage. For rent.

Tapi malam-malam begini siapa yang bisa melihat papan sekecil itu? Apalagi cuma ditulis dengan

cat! Dan tidak pakai lampu!

36

"Eh, jangan menghina! Ini bukan gubuk! Cottage

tradisional seperti ini justru yang digandrungi turis-turis bule!"

"Ini mah bukan cottage!" ejek Lestari.

"Rumah

kampret!"

"Lihat dulu dalamnya baru kasih komentar!" Tidak ada nada tersinggung dalam suara Paman Waliki.

"Justru tempat begini yang laku. Sepi, terasing,

alamiah. Di sini para wisman bisa menyatu dengan

alam. Mendengarkan simfoni ombak sepanjang hari.

Telanjang seharian berjemur di pantai juga tidak ada

yang peduli!"

"Tapi jangan bilang hotel dong!" gerutu Lestari

penasaran.

"Paman ge-er banget sih!"

"Lho, ibumu mana ngerti kalau Paman tulis cottage? Dia kan tahunya hotel!"

"Sok tahu! Emangnya cuma di sini yang ada cottage!"

"Ngomong-ngomong ngapain sih kamu ke sini,

Tari?"

"Liburan sama teman-teman."

"Malam-malam begini?"

"Sampainya sih nggak malam! Cari Hotel Waikiki

jadi kemalaman! Paman sih sok keren! Ngapain sih

pakai ganti nama jadi Waikiki segala?"

"Lho, Paman sih nggak ganti nama! Turis-turis

bule itu yang usul, bagaimana kalau cottage ini dina

37

yang artistik mengisi kamar tidur yang tidak terlalu

besar tapi cukup lengkap dan nyaman. Meja hias,

lemari, maupun lukisan-lukisan di dindingnya ditata

lumayan apik.

Dekorasi dinding dengan benda-benda tradisional

Sasak meniupkan napas kedaerahan yang memikat

sejak dari ruang tamu sampai ke kamar tidur. Sayang

cuma Asri yang memperhatikannya. Lindung lebih

tertarik pada dapurnya.

"Mana makanannya, Tari? Dua menit lagi nggak dapat jatah, cacing-cacing di ususku pasti unjuk

rasa!"

"Mendingan tu cacing piaraan dikasih ke Ragunan

aja, Ndung. Jadi kamu nggak repot ngasih makan!"

"Mau makan?" tanya Paman Waliki yang mendengar bisik-bisik mereka.

"Itu di dapur masih ada

nasi dan ikan."

"Kok nasi sama ikan, Tari?" Lindung menyeringai pahit.

"Katanya konsumsi orang bule. Mana
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

steak-nya, dong? Syukur kalau ada pizza!"

"Kamu betul-betul nggak berbudaya N dung! Cacing-cacingmu kan udah dari lahir tinggal di Taman

Margasatwa Nasional! Masa minta pizza? Nggak

level dong!"

***

39

Paman Waliki amat ramah. Tidak heran kalau

sikap Lestari padanya cenderung berani. Kadangkadang malah hampir sampai pada tahap kurang ajar.

Perlakuannya terhadap adik ibunya itu seperti terhadap teman saja.

Dulu selama bertahun-tahun, adik ibu Lestari

yang bungsu itu memang tinggal menumpang di

rumah orangtua Lestari. Karena itu Tari amat dekat

pada pamannya.

Terus terang Lestari mengemukakan maksud kedatangan mereka ke sana. Tentu saja dengan harapan

Paman Waliki dapat membantu mencari ayah Asri.

"Kalian boleh tinggal di sini sampai kapan saja,"

katanya spontan.

"Tentu saja kalau belum ada tamu

baru."

"Kalau ada tamu baru?"

"Terpaksa kalian tinggal bersama Paman di pondok belakang."

"Ada WC-nya nggak, Paman?" potong Lestari

ngeri.

"Tari sering kencing malam. Takut ah kalau

mesti jalan sendirian ke kebun!"

"Simpan aja kencingmu di botol!" Lindung tertawa geli.

"Asal jangan dikira si bule tuak lokal aja!"

"Botolnya kita tanam di kebun," sambung Asri.

"Seratus tahun lagi, botol itu digali arkeolog. Dan air

senimu jadi barang antik, Tari. Masuk museum!"

"Jangan diladenin, Paman!" sembur Lestari

40

jengkel.

"Mereka emang gokil semua! Kena polusi

limbah industri ! "

"Biar saja." Paman Waliki tersenyum riang.

"Sudah lama suasana di sini tidak seramai ini."

"Lebih ramai lagi kalau ada kerupuk, Paman," cetus Lindung gesit.

"Atau kacang goreng barangkali?"

"Pecahan kaca juga boleh ya, Ndung," sambung

Asri.

"Kalau dikunyah kan lebih ramai lagi."

"Emangnya kuda lumping!"

"Suka pisang goreng?"

"Waduh! Kita nggak pernah nolak rezeki, Paman!"

sambar Lindung gesit. Wajahnya langsung bersinar

sumringah seperti pengantin baru.

"Besok, ya. Beli pisangnya dulu."

***

"Pamanmu belum kawin, Tari?" tanya Asri sebelum sarapan pagi.

"Ngapain sih nanya-nanya? Naksir, ya?"

"Janggutnya sih boleh juga. Kayak si Felix!"

"Felix? Mantanmu yang nomor berapa tuh?"

"Kambing piaraan gue!"

Mereka sama-sama tertawa geli. Dan sama-sama

menutup mulut menahan tawa ketika dari cottage sebelah keluar dua orang pemuda kulit putih yang hanya mengenakan celana renang.

41

"Pagi-pagi begini kok udah mau berenang?" cetus

Lindung usil.

"Orang apa ikan duyung tuh?"

"Wah, tampang ni bule oke-oke juga nih!" komentar Asri spontan.

"Bodinya juga mulus, As," desis Lestari kagum.

"Nggak pakai dempul!"

"Good morning, Ladies!" sapa pemuda yang

rambutnya kuning seperti rambut jagung. Matanya

yang biru bersinar penuh gairah ketika melihat remaja-remaja putri yang menjadi tetangga mereka itu.

Dasar cowok. Apa pun warna kulitnya, dari mana

pun asalnya, terbuat dari apa pun hatinya, kalau lihat cewek langsung ge-er. Begitu melihat tiga gadis

cantik di depan cottage, tanpa diundang lagi mereka

langsung mampir.

"Gute" Morgen," balas Lindung sok aksi. Padahal

perbendaharaan kata Jermannya cuma sebanyak jari

tangannya.

"Sprichst du Deutch?" sambar temannya gembira,

seperti kambing menemukan rumput.

Bule yang ini lebih komersil tampangnya. Tubuhnya juga lebih tinggi daripada temannya. Tulang

rahangnya yang kokoh membentuk dagu yang hampir persegi. Hidungnya besar. Matanya tajam. Sadis.

Dia tidak memakai anting-anting sebelah seperti

temannya. Hanya seuntai kalung melingkari lehernya. Sepotong tulang, entah tulang apa, menggelan

42

tung di ujung rantai itu ke atas dadanya yang berbulu

lebat.

Sekali lihat saja, Lestari sudah mengagumi posturnya. Uh, benar-benar jantan!

"Nein," sahut Lindung spontan.

"Gue cuma Betawi sprechen ! "

Teman-temannya tertawa geli. Bule-bule itu juga.

Sebentar saja mereka sudah merasa akrab. Meskipun

komunikasi mereka gado-gado, mereka tidak merasa

terhalang untuk bergaul.

"Yang jangkung itu favoritku, As," bisik Lestari

seperti memesan tempat. Meskipun sebenarnya dia

tidak perlu bisik-bisik. Teriak-teriak juga mereka

tidak mengerti.

"Tampangnya kayak Arnold Suaraseger, ya?"

"Yang pendek pas buat Lindung."

"Apanya yang pas?" melotot Lindung.

"Emangnya sekrup!"

"Where do you come From?" tanya Jerman yang

pertama.

"Jakarta dong," sahut Asri seenaknya.

"Jakarta dong?" si bule menyipitkan matanya.

"Where is it?"

"Jakarta ya Jakarta! Bego lu ah!"

Mendengar jawaban Asri, tawa Lindung dan Lestari langsung meledak. Tanpa tahu apa yang lucu,

kedua pemuda itu ikut tertawa.

43

"My name is Volker," pemuda yang pertama mengambil inisiatif memperkenalkan diri.

"Gustav." Si Jangkung ikut-ikutan mengulurkan

tangan. Hm, nggak rugi kan kenalan dengan gadisgadis cantik! Apalagi kalau mereka tinggal di sebelah!

"Let us go to the beach!" ajak Volker. Gesit. Tanpa

membuang kesempatan sekejap pun. Seolah-olah takut Pulau Lombok keburu tenggelam.

"Dengan perut kosong?" Lindung menepuk perutnya.

"No u-fay!"

"Hus!" Lestari menepuk bahu temannya.

"Perut

melulu yang diurusin!"

"Biar dia keme, kita cabut yuk, Tari!"

"Eh, lupa, ya?"

"Apa?"

"Ke sini mau cari bokap lu, bukan cowok?"

"Ya, sambil menyelam minum bir deh! Habis berenang, kita ajak mereka cari bokap! Siapa tahu diajak

luneh!"

"Huu! Dasar cewek bakso!"

"Bakso lagi, bakso lagi! Bosan ah! Kalau burger

oke!"

"Warum zanken sie sich?" Gustav menoleh bingung ke arah temannya. Tidak mengerti mengapa gadis-gadis itu ribut. .

"Letis swinpfrst!" kata Volker kepada Lindung.

"Urusan makan nanti!"

44

"Oke, oke! But if I collapse, tau rasa lu!"

***

Hampir lupa Asri pada niatnya datang ke Lombok. Berwisata ternyata amat menyenangkan. Lebihlebih ditemani dua orang pemuda tampan yang pintar

bergaul.

Mereka bukan hanya pandai berenang. Mereka

juga pandai menyenangkan hati gadis-gadis remaja

itu.

Sementara Gustav dan Lestari beristirahat sambil

berjemur di pantai, Asri, Lindung, dan Volker berenang sampai jauh ke tengah. Air laut yang sejuk,

pasir yang lembut, dan cuaca Pantai Senggigi yang

ramah seakan membelai insan-insan remaja itu sampai lupa waktu.

Untung saja akhirnya Asri ingat untuk apa mereka jauh-jauh datang ke sana. Dan untung saja kedua

pemuda itu tidak menolak ketika Asri mengaj ak mereka mencari ayahnya. Ya, cowok mana sih yang tega

menolak permintaan gadis yang begitu menarik seperti Asri?

Dengan sepeda sewaan, kedua pemuda itu memboncengi Asri dan teman-temannya. Lestari duduk di

boncengan belakang sepeda Gustav. Asri nangkring

di depan. Sementara Volker memboncengi Lindung.

45

Dan sampai pegal mereka mencari, tidak seorang pun

tahu di mana ayah Asri tinggal.

"Makan dulu yuk," pinta Lindung dengan tampang kumal ketika perutnya mulai memanggilmanggil. Seperti itu memang tampangnya yang paten

kalau perutnya kosong.

"Udah malam nih! Sebentar

lagi kan kita mesti pulang kandang. Cuci kaki, cuci

tangan. bobok!"

"Lindung! Lindung!" keluh Lestari yang merasa

kenikmatannya terganggu.

"Apa sih sebenarnya tujuan hidupmu kecuali makan dan tidur?"

***

Pantai Senggigi pada waktu malam sungguh

mengesankan. Perahu-perahu nelayan yang tampak

di kejauhan seperti noktah-noktah putih di tengah laut

yang luas menghitam. Kelap-kelip lampu minyak di

perahu itu ibarat melukiskan ketidakberdayaan manusia di tengah-tengah kemegahan laut. Sementara di

sepanjang pantai, binar lampu-lampu hotel laksana

kunang-kunang di kegelapan malam. Berusaha bersaing menebarkan sinar di bawah cahaya bulan yang

redup.

Mengikuti amanat Lindung, malam itu mereka

makan di sebuah warung yang menyajikan makanan

asli Lombok. Dan Lindung yang sudah kecanduan

46

ayam taliwang, langsung memesan menu favoritnya.

Kalau tadi siang dia kerepotan mengiris steak,

sekarang tanpa malu-malu dia melahap ayam dengan tangan kosong. Meneomot nasi juga dengan tangan. Termasuk memindahkan kangkung dari piring

ke mulutnya. Menurut Lindung, itu memang cara

makan yang paling asyik. Praktis. Cepat. Bersih.

Mana ada yang lebih bersih dari tangan sendiri? Tentu saja setelah dicuci.

Melihat gaya makan Lindung yang begitu lahap,

asyik, dan berselera, Volker ikut menyingkirkan sendok garpunya. Lindung mengajarinya dengan bersemangat. Termasuk mengajarinya mengangkat sebelah kaki waktu makan.

Dan Volker bukan hanya menjadi bahan tertawaan

teman-temannya karena cara makannya yang lucu,

tapi juga karena dia berkali-kali menyeka keringatnya. Kepedasan menyantap makanan yang hampir
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya pedas.

"Enak?" Lindung menahan tawa melihat kedua

temannya sedang kelabakan mengusir rasa pedas

yang menggigit lidah.

"Too hot!" sahut Volker di tengah-tengah desis

"sss... ah... sss... ah...." yang keluar dari mulutnya.

Lalu kepada Gustav yang juga sedang repot

menyiram lidahnya dengan bergelas-gelas air putih,

bisiknya dalam bahasa Jerman,

47

"Kamu tidak lupa bawa obat sakit perut?"

"Apa kita masih sempat mengayuh sepeda pulang

untuk mengambilnya?"

***

Sepanjang jalan, Volker dan Gustav repot mencari

WC. Dan karena WC semakin sulit ditemui semakin

jauh mereka dari hotel dan rumah makan, terpaksa

pemuda-pemuda itu bergerilya di tengahtengah kerimbunan semak di balik pepohonan.

Untung saja sudah malam. Cuaca di sana gelap

pula. Dan tidak ada orang.

"Lu sih, Ndung!" gerutu Asri jengkel. Mereka

sedang menunggui sepeda sambil memberi makan

nyamuk.

"Orang bule lu suruh makan cabe!"

"Kalau malam nggak ketemu nasi, mata gue nggak bisa merem, As! Lu kan tahu adatnya usus gue!

Gampang-gampang susah!"

"Buat mereka mestinya ayam rebus aja!" keluh

Lestari mengkal.

"Seumur-umur gue belum pernah

disuruh nungguin orang b-a-b!"

"Kok ngomelnya baru sekarang? Jangan mau

enaknya aja dong! Tadi siang asyik banget sama si

Gustav! Sekarang disuruh nungguin pacar buang hajat aja ngedumal terus!"

"Eh, ngomong-ngomong Tomi mau dikemanain,

48

Tari? Dia belum expired, kan?"

"Biar aja dia jaga gawang di Jakarta! Iya, kan,

Tari? Pacaran kan kayak beli baju. Mesti dicobain

dulu satu per satu supaya dapat yang pas!"

"Ngaco lu ah! Gustav kan cuma teman biasa!"

"Eh, ingat nggak pesan Bu Lilik? Orang bule, darahnya lima belas persen rhesus negatif! Jangan sampai anak lu kena Eij'throblastmisfoetalis, Tari!"

"Kalau gue sih lebih takut kena AIDS!" sambung

Lindung spontan.

"Siapa tahu lho, mereka hombre!"

"Kalian mabuk kali, ya ?"

"Iya, mabuk teh!"

"Bukan! Mabuk cium bau indol dan skatol!"

"Sori!" cetus Volker yang muncul terbungkuk-bungkuk dari tempat gelap seperti leak

sakit perut.

"Sama-sama," sahut Asri seenaknya.

"Dua kali

lagi begini, kita bisa ketiduran di jalan!"

"Di mana tidur?" sela Gustav yang baru muncul

di belakang temannya dengan bahasa Indonesia yang

kacau.

"Tidur!" gerutu Lindung gemas.

"Baru merusak

lingkungan udah ngajak tidur!"

"Bukan merusak, Ndung," bantah Lestari.

"Menyebar pupuk kandang!"

49

BAB V

"ASTAGA, Tari! Dari mana saja kamu?" cetus

Paman Waliki antara lega dan kesal.

"Paman sampai

bingung!"

"Jangan bingung-bingung, Paman," sergah Lindung lincah.

"Tari udah gede kok! Nggak bakal hilang

deh, keselip di balik pohon kangkung!"

"Kalian harus tolong Paman," kata Paman Waliki

dengan wajah serius.

"Asri dan Lindung, bawa dulu

teman-temanmu ke belakang, ya?"

"Nggak usah dibawa-bawa, Paman! Mereka memang mau ke belakang kok!"

"Paman harus bicara denganmu, Tari!"

"Waduh, kok cepet banget? Udah langsung mau

dilamar lu, Tari?"

"Heran, nggak bisa serius sih?" Lestari menggebah teman-temannya pergi.

"Sana, pada ngegelinding

ke belakang! Nggak lihat tuh, tampang Paman udah

kayak tikus kepergok kucing?"

"Tapi si Gustav mau ambil obat diarenya dulu,"

kata Asri, santai seperti biasa.

"Mana bisa ngelamar

kalau mules?!"

"Pokoknya jangan kasih mereka masuk ke cottage

50

dulu!" potong Paman Waliki bingung. Kelabakan

seperti suami yang ketahuan punya simpanan. Tentu

saja simpanan perempuan. Kalau simpanan uang sih

malah senang istrinya.

"Yang mereka cari sekarang cuma WC-nya,

Paman!"

"Suruh mereka ke WC di belakang saja!"

***

"Mampet!" Lindung berusaha menjelaskan dengan tangannya setelah tidak berhasil menjelaskan

dengan bahasa Inggris yang kacau balau.

"WC di kamarmu penuh! Full! Full! Full!"

"Dia omong apa?" Volker menoleh ke arah Gustav dengan bingung.

Melihat kedua pemuda itu masih melongo kebingungan, tanpa banyak bicara, Asri langsung menarik

tangan mereka. Dan menyeretnya ke pondok Paman

Waliki. Dia membuka pintu WC. Dan mempersilakan

pemuda-pemuda itu masuk.

Begitu melihat tempat idaman, mereka tidak bertanya apa-apa lagi. Langsung berlomba masuk lebih dulu. Pokoknya ada tempat setor. Di mana, tidak

peduli. Kenapa, urusan belakangan.

"Praktis, kan?" Dengan lagaknya yang paten,

kalem campur sok, Asri melirik Lindung.

"Sedikit

bicara nggak kepilih..."

51

"Banyak kerja!" potong Lindung jengkel.

"Sialan! Hari ini nungguin orang b.a.b. terus! Lu aja

yang nunggu di sini ya, As? Tuh si Tari lagi datang!"

"Eit, ntar dulu!" Lestari langsung mencengkeram

lengan Lindung.

"Mau ke mana?"

"Cuti!"

"Nggak bisa!"

"Aku mau bobok!"

"Di sini dulu."

"Kumpul kebo maksudmu?"

"We have a big trouble!"

***

"Hah?!" Lindung terbelalak lemas.

"Serius nih,

Tari?"

"Suer! Majikan Paman, yang punya cottage ini,

datang sama pacarnya! Kalau dia tahu Paman nyewain cottage-nya, Paman bisa langsung di-PHK!"

"Tapi kamu kan keponakannya.

"

"Oke, kita bisa jadi keponakannya! Tapi bule-bule

itu? Sejak kapan keponakan Paman jadi bule?"

"Kita terus terang aja," sahut Asri tenang.

"Mereka pasti ngerti."

"Paman nggak kasih. Mereka langganan lama.

Kalau tahu, lain kali mereka pasti nggak mau datang

lagi!"

52

"Lain kali?" belalak Lindung gemas.

"Pamanmu

belum kapok? Masih ada lain kali? Betul-betul Mission Impossible!"

"Ini kan nafkah pamanku!"

"Gini aja," usul Asri santai.

"Kita ajak mereka

jalan-j alan sampai bos cabut dari sini."

"Ke mana?"

"Ke mana aja."

"Malam-malam begini?"

"Besok pagi dong. Biar aja malam ini mereka repot ngitung nyamuk di WC!"

"Tapi mereka kan nggak bisa dikurung semalaman di WC!"

"Kalem aja. Sebentar lagi kan bos pamanmu masuk kamar. Namanya aja lagi pacaran. Kalau mereka

udah masuk, kita kirim si bule pulang ke cottage mereka. Besok pagi-pagi kita jemput."

"Artinya malam ini kita bobok di pondok? Bad

luck!"

***

"Gunung Rinjani?!"

Yang kaget bukan cuma Volker dan Gustav. Lestari dan Lindung juga.

"Karena letaknya jauh, kita mesti pagi-pagi berangkat ke sana," sambung Asri santai.

53

"Lu kan belum pernah ke sana, As!" cetus Lestari

bingung.

"Emang belum,,

,

sahut Asri kalem-kalem sombong.

"Takut?" Dia mengucapkan kata yang terakhir

itu dalam bahasa Inggris sambil melirik pemudapemuda itu dengan pandangan penuh tantangan.

"Afraid?" sergah Gustav sambil tertawa lebar.

"De treking up Lombokis Great Volcano with beautiful

guides! Hoho, what a wonderful trip!"

"Lu gila ya, As?!" Lestari menyenggol rusuk Asri

dengan sikunya.

"Mau mati konyol?"

"Apa salahnya? Udah kepalang basah!"

"Biar deh gue basah-basahan di sini aja!" Lindung

buru-buru menimpali.

"Gue nggak nyanggup manjat

gunung! Boro-boro gunung, manjat tembok di belakang sekolahan aja ngusruk!"

"Gue juga ogah!" sambung Lestari.

"Belum bikin

surat wasiat!"

"Takut apa sih? Kita kan udah pernah camping di
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gunung Gede!"

"Tapi ini Rinjani, As! Jauh lebih tinggi. Dan kita

belum kenal medannya! Mau pulang nama aja lu kalau kesasar?"

"Ya, hitung-hitung nolong pamanmu deh!"

"Tapi kalau bikin celaka sendiri, aku ogah!" sela

Lindung gesit.

"Paman bukan, suami bukan! Numpang juga baru dua malam

54

"Tega kamu nyuruh kami pergi berempat aja?"

rajuk Asri.

"Malah asyik, kan? Nggak perlu arisan!"

"Kamu nggak takut kalau lagi camping di sana tiba-tiba kami di "

"Emang maunya, kan?"

"Idih, sadis kamu! Tomi sohibmu juga, kan?"

"Nah, emangnya aku bisa apa?"

"Kalau ada kamu, kami pasti ingat, lima terlalu

banyak! Kasihan kan kamu bengong aja...."

"Sialan! Emangnya aku satpam?"

"Itu gunanya teman, kan? Ngasih peringatan kalau hampir keluar jalur?"

"Aku mesti bawa kentongan?"

"Udah, jangan becanda aja dong!" potong Lestari

gemas.

"Sekarang, ke mana kita harus bawa tu bule?"

"Ke mana lagi? Mereka udah dua kali ke Lombok. Udah keliling-keliling tujuh keliling. Cuma ke

Rinjani belum."

"Gimana, Ndung?" tanya Lestari lemas.

"Kita

voting aja yuk. Aku abstain deh."

"Ala, lagakmu kayak anggota DPR aja! Pakai voting-votingan segala! Bilang aja kamu kepingin pergi

sama Gustav tapi takut!"

***

55

Paman Waliki langsung setuju. Dia malah membantu rencana mereka dengan bersemangat. Dia

memberikan peta. Bekal makanan berupa beras dan

ikan asin. Tidak lupa juga beberapa lembar uang kertas diselipkannya ke saku Lestari.

"Tidak banyak," bisiknya.

"Tapi lumayan untuk

tambahan bekal di perjalanan."

"Kalau ada sih banyakan, Paman," sahut Lestari

terus terang.

"Siapa tahu kami harus mencari rumah

sakit!"

"Yang penting cari restoran!" potong Lindung.

"Makan ikan asin doang mana kuat naik gunung?"

"Jangan kuatir, Ndung. Camping di lereng gunung

nggak sulit kok. Malah merupakan pengalaman yang

tak terlupakan!"

"Tentu saja tak terlupakan kalau kakiku patah!"

56

BAB VI

SETELAH bertanya habis-habisan ke sana kemari,

akhirnya Asri tahu apa yang mesti dilakukannya untuk membawa rombongannya ke Gunung Rinjani.

Mula-mula dia menyewa jip yang akan mengantar mereka ke Anyer, kira-kira enam puluh kilo meter

dari Pantai Senggigi.

Waktu berangkat, Lindung memang masih menggerutu terus. Tetapi begitu melewati Pemenang, ketika di depan mereka terhampar pemandangan laut

yang begitu indah, gerutuannya berganti dengan desah kekaguman.

Pantai yang temaram, dipagari oleh pohon-pohon

kelapa yang menyej ukkan mata, begitu pennai laksana dalam dongeng. Tak sadar terbawa oleh emosinya, Lindung mulai bersenandung. Dan Rayuan Pulau

Kelapa mengalun begitu saja di dalam jip.

Ketika Asri dan Lestari ikut menyanyi, Volker dan

Gustav pun latah ikut bersenandung. Meskipun tanpa

kata-kata. Dan meskipun lebih banyak mengacaukan

karena mereka tidak tahu not berikutnya.

Lindung-lah yang dengan sabar mengajari mereka menyanyi. Karena memang suaranya yang paling

lumayan.

57

"Indah!" cetus Volker dalam bahasa Jerman ketika jip mereka sedang terguncang-guncang melewati

jalan berdebu yang memotong hamparan sawah kuning menghijau di kanan-kiri mereka. Berkali-kali dia

menjepretkan kameranya.

Tak terasa mekar hati Lindung ketika mendengar seorang pemuda asing memuji keindahan tanah

airnya. Rasanya dia begitu bangga dan terharu sekali

sampai kehilangan rasa laparnya.

Rasa laparnya baru kembali ketika mereka melewati sebuah warung sate di Anyer. Dan begitu mereka masuk ke warung itu, Volker sudah berbisik-bisik

pada Asri. Jangan pesan "barang pedaspedas" untuk

mereka. . ..

"Oke deh, nasi putih aja buat tu bule," kata Asri

kepada laki-laki yang melayani mereka.

"Buat kami

bertiga. nasi dan sate ayam."

Terang saja Volker dan Gustav melongo bengong

ketika yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba di hadapan mereka. Sepiring penuh nasi putih memang tidak

pedas. Tapi dimakan dengan apa?

"Mau yang nggak pedas, kan?" Asri tersenyum

lebar menanggapi protes mereka.

"Nah, cuma itu

yang ada!"

"Biar deh mules lagi asal makan daging!" cetus

Gustav sambil menyambar setusuk sate.

"Jangan yang itu!" Lestari menyodorkan tiga tu

58

suk sate yang tidak terlalu banyak bumbunya. Dan

yang belum tercampur sambal.

"Ntar pada ribut lagi

cari WC!"

Tetapi sesudah mencicipi sate, tampaknya kedua

pemuda itu tidak peduli seandainya mereka mesti

mencari WC di sepanjang perjalanan sekalipun.

"Sate enak!" cetus Volker dalam bahasa Indonesia

yang lucu.

"Tambah dong!"

***

"Kenapa dia selalu bertanya kepada setiap

orang?" tanya Volker heran ketika melihat Asri bertanya kepada seorang pengemudi truk.

"Apa yang

ditanyakannya?"

"Apa saja," sahut Lestari seenaknya. Soalnya

penunjuk jalan kita tidak tahu apa-apa! Jangankan ke

Rinjani. Ke sini saja belum pernah!

Mereka sedang nongkrong di pinggir jalan.

Menunggu kendaraan yang dapat membawa mereka

ke desa Bayan.

"Come on seru Asri begitu negosiasinya dengan

sopir truk itu selesai.

"Let"s go!"

"Let's go dengkulmu!" gerutu Lindung yang sedang kekenyangan.

"Kalau tahu masih jauh, kenapa

jip tadi disuruh pulang? Kan mendingan naik jip daripada diangkut truk kayak sapi?!"

59

"Janjinya dia memang cuma ngantar kita sampai

sini," sahut Asri santai.

"Mana aku tahu masih jauh?

Aku kan belum pernah ke sini!"

Sambil mengomel Lindung memanjat ke atas

truk. Untung Volker berbaik hati mau membantunya.

Kalau tidak, Lindung pasti kepayahan menggendong

perutnya.

Lestari tidak menggerutu. Soalnya Gustav selalu

siap membantu. Naik delapan truk lagi pun dia tidak

keberatan.

Makin sulit keadaan mereka, makin giat Gustav menolong. Dan makin mesra hubungan mereka.

Cinta memang aneh dan tolol, kan? Tentu saja itu

pendapat Lindung.

"Asyik!" senyum selalu tersungging di bibir Lestari, biarpun mereka sedang terguncang guncang di

atas truk menelusuri jalan berbatu-batu dan beraspal

kembang-kembang.

"This is a great trip!" komentar Volker sama gilanya. Padahal Lindung sudah hampir muntah!

***

Desa Bayan hanya tiga kilometer dari Anyer. Tidak jauh jika mereka naik sedan. Dan jika jalanan

yang mereka tempuh mulus. Tetapi bahkan di desa di

kaki pegunungan Rinjani itu pun mereka belum dapat

beristirahat.

60

"Time out dulu, As!" teriak Lindung dari belakang. Dari atas bak truk.

"Kita cari hotel!"

"Hotel nenekmu!" balas Asri dari depan.

Dia memang kebagian duduk di tengah, di samping sopir dan keneknya. Mula-mula dia menganggap

anugerah itu sebagai haknya sebagai pemimpin rombongan.

Belakangan dia baru menyesal. Lebih baik mencium bau sayur daripada mengendus aroma asli produk

manusia.

"Di Batu Koq ada losmen," kata sopir itu ramah.

Jarang dia dapat penumpang begini cantik. Pintar.

Berani, lagi.

"Batu Koq?"

"Kira-kira empat kilometer lagi. Kalian bisa

menginap di sana. Dan bisa menyewa peralatan untuk mendaki gunung."

"Tolong antarkan kami ke sana ya, Pak," pinta

Asri separuh merayu.

"Kami sudah capek sekali kalau harus jalan kaki."

"Sudah biasa naik gunung, Dik?"

"Oh, ya! Sering! Semua gunung di Pulau Jawa sudah saya daki."

Tentu saja Asri berdusta. Dia baru dua kali camping. Itu pun cuma di Jawa Barat!

Tetapi efek kata-katanya memang luar biasa. Sopir truk itu dengan bersemangat mengantarkan rom

61

bengan anak muda pencinta alam itu ke Batu Koq.

Walaupun truk tuanya sudah batuk-batuk kecapekan.

"Truk ini cuma bisa sampai sini, Dik," kata sopir

itu sambil menghentikan mobilnya.

"Mana losmennya, Pak?"

"Mana losmennya, As?" jeritan Lindung sudah

terdengar membelah angkasa dari arah belakang truk.

"Masih ke atas sedikit lagi, Dik. Kalau adik jalan

terus ke arah Senaru, di dekat-dekat situ banyak losmen dan rumah makan."

"Kenapa kami tidak diturunkan di sana saja, Pak?

Kami takut kesasar."

"Truk saya tidak kuat lagi, Dik. Jalannya mendaki

terus. Tidak jauh lagi dari sini."

"Kapan bapak lewat di sini lagi?"

"Kenapa?"

"Kami minta dijemput di sini tiga hari lagi, Pak."

Sengaja Asri mengeluarkan dompetnya sebelum si

sopir sempat menjawab.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Segini cukup, Pak?"

"Terima kasih, Dik," sahut sopir itu lugu.

"Hatihati, ya."

"Terima kasih, Pak. Jangan lupa, tiga hari lagi! Di

sini!"

"Janji apa lu?" tanya Lindung yang baru turun

dari truk.

"Limousine gue jemput kita di sini tiga hari lagi."

"Aduh, sejuk ya udaranya!" cetus Lestari gembira.

62

Tidak tersisa letih di wajahnya. Apalagi kesal. Parasnya demikian sumringah seperti mendapat

medali emas Olimpiade.

"Fantastic!" desah Gustav sambil memandang

sekelilingnya.

"Look!" Dia menunjuk ke puncak air

terjun Sindang Gile di kejauhan.

"Can us visit that

dramatic waterfall, Asri?"

"Nggak sekarang!" sahut Asri sambil memimpin

teman-temannya melangkah ke Senaru.

"Kita cari

losmen dulu!"

"Dia selalu seperti ini?" tanya Gustav dalam bahasa Inggris kepada Lestari. Suaranya bernada kagum.

"Dia benar-benar gadis hebat! Tegas dan berjiwa

pemimpin!"

Lestari tidak menjawab. Untuk pertama kalinya

dia merasa jengkel mendengar nada suara Gustav.

Dia begitu mengagumi Asri!

"Sori!" bisik Gustav begitu melihat perubahan air

muka Lestari.

"Kamu juga hebat. Dan cantik!"

Dengan lembut diraihnya tangan Lestari. Digenggamnya dengan mesra. Sesaat mereka saling tatap

sambil bertukar senyum.

Perjalanan itu amat berkesan bagi mereka berdua. Hawa yang sejuk membelai kulit. Pemandangan

alam yang indah. Rumah-rumah tradisional Sasak

yang memikat mata. Dan perasaan aneh yang menjalari hati mereka. Hangat. Lembut. Dan nikmat.

63

***

Losmen yang mereka tempati hanya memiliki

enam buah kamar sederhana. Dengan kamar mandi

di luar kamar. Dan harus dipakai bersama-sama dengan penghuni lain.

"Kalau si Volker masih bocor, alamat gue nggak

kebagian jatah WC!" gerutu Lindung sambil menyeringai masam, ketika melihat kamar mandi merangkap WC yang hanya dua buah itu.

"Ngomel melulu!" komentar Asri jemu.

"Keluar sana! Di luar hawanya sejuk. Biar mesinmu yang

panas cepat dingin!"

Asri benar. Duduk-duduk di luar losmen amat

menyenangkan. Sudah pemandangannya indah, hawanya sejuk, lagi. Letak geografis tempat itu yang

kira-kira lima ratus sampai enam ratus meter di atas

permukaan laut menyuguhkan kesejukan udara pegunungan yang nyaman dan bersih.

Sebentar saja udara pernapasan yang demikian

bersih dan segar mampu mengusir keletihan selama

perjalanan. Dan sebentar saja, Lindung merasa ngantuk. Dan... lapar.

"Ngapain kita terus ke atas, As?" bujuk Lindung

yang sedang bermalas-malasan seperti kucing kekenyangan.

"Di sini aja udah dingin!"

"Ini sih baru di kaki Rinjani, Ndung!"

64

"Enakan kita camping di sini aja, As."

"Di halaman losmen ini?" Asri tersenyum lebar.

"Mendingan di halaman sekolah aja, Ndung!"

"Rasanya aku nggak kuat ke atas, As. Di sini aja

udah dingin, apalagi di atas!"

"Lemakmu kan lebih banyak daripada lemakku,

Ndung!"

"Tapi staminaku kendor!"

"Kalem aja. Kalau kamu nggak kuat, kita turun."

"Mana si Tari mau? Dia kan lagi asyik sama doinya. Sekarang aja udah lenyap dari peredaran!"

"Jangan kuatir. Dia masih di dalam orbit bumi.

Tuh Gustav lagi ngobrol sama bule-bule yang baru

turun dari atas."

"Kayaknya dia naksir tu bule ya, As."

"Tampangnya sih oke punya. Biar aj a deh. Hitunghitung vitamin, tambah energi!"

"Si Tomi mau di-DO dong!"

"Itu sih urusan dalam negeri mereka. Jangan intervensi, Ndung. Ntar diboikot PBB lu."

"One for ALL and ALL for one, kan? Urusan Tari

urusan kita juga!"

"Tapi pacarnya bukan pacar kita! Ingat, politik

luar negeri kita tetap bebas aktifl"

"Ngomong-ngomong, ntar malam kita makan apa

ya, As?"

"Tuh, di kebun banyak makanan! Daun, cacing,

ulat..."

65

"Serius nih, As! Dingin-dingin begini kalau

malam-malam lapar kan nggak bisa tidur!"

"Kapan sih perutmu cuti, Ndung? Dingin atau

panas kamu nggak pernah kenyang! Udah deh, daripada ngomongin makanan, mendingan temenin aku

cari peralatan buat besok yuk."

"Peralatan apa?"

"Mau camping kan mesti punya tenda!"

"Dan mesti bawa bekal, As. Di atas pasti nggak

ada warung sate!"

***

Losmen yang mereka tempati berada di antara

Batu Koq dan Senaru, desa terakhir di kaki Rinjani.

Sebuah desa yang berada pada ketinggian 500-600

meter di atas permukaan laut, berhawa sejuk, dan

masih berpenampilan asli.

Penduduknya hanya beberapa ratus orang. Sebagian besar petani.

Mereka masih tinggal di rumah-rumah tradisi onal

Sasak. Rumah panggung yang ditopang oleh empat

buah tiang dari kayu, berdinding anyaman bambu

dan beratap alang-alang. Rumah tanpa jendela yang

hanya memiliki sebuah pintu. Dan belum mengenal

listrik. Sumber penerangan hanyalah obor dari bambu yang dilumuri getah jarak.

66

Deretan rumah-rumah adat dengan lumbung padi

merupakan pemandangan khas Senaru. Sawah dan

kebun kopi melengkapi desa tradisional yang belum

mengenal modernisasi. Tapi justru yang membuatnya

semakin menarik sebagai obyek Wisata.

Di depan rumah. kakek-kakek yang sudah tidak

kuat ke sawah, asyik duduk-duduk mengobrol sambil mengunyah sirih. Bibir mereka yang memerah,

dilatarbelakangi oleh gigi geligi bertepi rata yang hanya tinggal beberapa buah itu, tampak bergerak-gerak dengan cepat. Menggumamkan bahasa yang tidak

dimengerti turis yang kebetulan lewat.

Mereka tampak demikian santai. Tidak terpengaruh oleh pendaki-pendaki Rinjani yang lalu lalang

di desa mereka. Acuh tak acuh terhadap turis-turis

asing yang kadang-kadang memotret mereka dalam

jarak yang cukup dekat.

Sementara istri-istri mereka, nenek-nenek berkulit keriput yang berkain dan berkebaya terbuka di bagian dada, sibuk menyiapkan makanan.

Warga yang lebih muda, sebagian besar petani,

baru pulang dari sawah atau ladang masing-masing

pada sore hari.

Hanya beberapa gelintir orang yang mampu

membaca keuntungan yang mulai menyentuh desa

mereka. Orang-orang inilah yang bekerja rangkap sebagai pemandu para pendaki Rinjani.

67

Sementara para pemilik losmen, seperti pemilik losmen yang ditempati Asri, ternyata bukan asli

orang dari sana. Lelaki ramah dan gesit berumur empat puluhan itu ternyata berasal dari Mataram,

Dengan berbekal sedikit modal dan keberanian

berwiraswasta, bekas pedagang cendera mata dari

Mataram itu mendirikan sebuah losmen sederhana di

tempat ini. Seiring dengan makin populernya Rinjani

sebagai obyek wisata, losmennya maju pesat.

Kini dia bukan hanya mengusahakan losmen.

Dia juga melengkapinya dengan peralatan mendaki gunung. Menyediakan pemandu wisata. Lengkap

dengan pengangkut beban yang tangkas dan kuat.

Karena itu ketika Asri dan Lindung datang menemuinya untuk menanyakan perlengkapan buat pendakian esok pagi, dia telah siap.

68

BAB VII

PEMILIK losmen dengan gesit menyiapkan apa-apa

yang mereka butuhkan. Tenda, kantong tidur, dan beberapa boks makanan. Ketika melihat perlengkapan

minim mereka, dia juga menawarkan sepatu yang cocok dan jas hujan.

"Wah, mereka benar-benar sudah profesional,"

gumam Asri kagum.

"Kalau udah tua, aku mau buka

losmen di sini, Ndung."

"Kalau udah tua, jantungku sudah keburu MPP,

As. Boro-boro naik gunung, naik tangga aja udah

minta time out!"

"Adik-adik butuh penunjukjalan supaya tidak kesasar di atas?" tanya pemilik losmen itu.

"Atau orang

untuk membantu mengangkati barang-barang ini?"

"Oh, tentu!" sambar Lindung segera. Ngeri melihat barang-barang sebanyak itu.

"Kok barangnya

banyak banget sih? Kita kan mau naik gunung. Bukan bikin rumah!"

"Mahal nggak, Pak?" potong Asri waspada. Di

tempat yang sudah profesional begini, mana ada

yang gratis? Dia tidak mau terjebak.

"Sepuluh ribu semalam."

69

Nah, betul, kan? Tempat boleh di udik. Harga

Metropolitan.

"Ih, kok mahal amat, Pak?"

"Anak Bapak sendiri yang akan menemani."

Pemilik losmen itu tersenyum komersil.

"Dia bisa

menunjukkan jalan sambil membantu mengangkati

barang-barang ini."

Masa bodoh anak siapa! Dia kira anaknya Tommy

Page? Menemani semalam saja sepuluh ribu? Ge-er

amat sih dia!

"Wah, nggak jadi aja deh, Pak. Mahal sih."

"Tapi kita perlu penunjuk jalan, As! Kalau kesasar

di atas, kita bisa jadi hantu gunung! Lagian barang

sebanyak itu, siapa yang bawa?"

"Kita kan punya Arnold Suaraseger. Percuma kita

kasih sate kalau cuma si Tari yang di gendong-gendong!"

"What is gendong?" tanya Volker yang tiba-tiba

muncul di belakang mereka.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuh, lu yang gendong!" Lindung menunjuk tumpukan barang di depan mereka.

"Be a Strong man,

okay?"

"Okay!" Volker menekuk lengannya separuh bergurau- memperlihatkan ototnya. Tetapi ketika mencoba mengangkut barang-barang itu, dia menyeringai

pahit.

"Can i've hire a porter here?"

"Sure! Sure!" Dengan bersemangat pemilik los

70

men itu memamerkan senyum sepuluh ribu rupiah.

"Don't worry!"

Asri sudah membuka mulutnya untuk menolak.

Uang mereka tidak banyak. Dan dia belum mau

pulang sebelum bertemu dengan ayahnya. Kalau

mereka tidak berhemat, mana cukup?

Dan matanya bertemu dengan mata seorang

pemuda Lombok yang baru masuk. Umurnya belum

ada dua puluh tahun. Wajahnya bersih dan tampan.

Matanya hitam bening.

Dia mengenakan ikat kepala berwarna merah.

Celana yang digulung sampai separuh betis. Tanpa

alas kaki. Dia tidak mengenakan baju sehingga bagian atas tubuhnya terbuka untuk dikagumi. Dan dia

memang pantas untuk memamerkan tubuhnya yang

tegap berotot itu....

"Kenalkan anak saya, Segara," kata pemilik losmen itu sambil tersenyum.

"Yang akan menjadi

penunjuk jalan dan pengangkut barang."

"Gimana nih, As?" bisik Lindung yang sudah

resah melihat Asri diam saja. Biasanya dia selalu

cerewet. Mengapa sekarang mendadak bisu?

"Well," Volker ikut menoleh.

"It is up to you, As!"

"Oke," cuma itu yang keluar dari mulut Asri. Apa

lagi? Dia kan tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini! Menolak makhluk seganteng dan segagah

ini menemaninya ke puncak Rinjani? Amboi! Yang

71

betul saja! Uang memang penting. Tapi bukan yang

terpenting, kan?

***

"Waduh, langsung diam lu lihat Batara Indra

turun dari kayangan!" goda Lindung di kamar mereka.

"Untung aja mereka nggak minta dobel!"

"Uang kita bisa nggak cukup nih. As," keluh

Lestari. yang tanpa dapat menolak sudah diangkat

menjadi bendahara merangkap penyandang dana.

"Ongkos sewa kamar dua malam, sewa peralatan,

beli makanan dan air buat kita bertiga saja sudah tujuh puluh ribu lebih. Kalau ditambah ongkos sewa

pemandu sepuluh ribu semalam selama tiga hari...."

"Kan dibagi dua sama mereka!" potong Asri tegas.

"Kita lima belas, mereka lima belas. Volker udah

setuju kok."

"Kita bisa kehilangan seratus ribu lebih buat ke

Rinjani aja, As. Kamu sadar nggak sih? Kalau nggak

hemat-hemat, kita bisa kelaparan di sini."

"Ah, Gustav pasti nggak rela kamu kelaparan!

Minta aja hatinya. rebus!"

"Lho, kok sinis begitu sih? Aku kan ngomong serius! Soalnya aku yang pegang duit..."

"Kamu kira doimu kuat ngangkat peralatan sebanyak itu ke atas? Paling-paling dia repot gendong

kamu

72

"Kok cembokur? Kamu yang mau ke sini, kan?"

"Nggak mau kalau bukan buat nolong pamanmu!"

"Eh, udah! Udah!" cegah Lindung kewalahan.

"Kok jadi tembak-tembakan begini? One for ALL

and ALL for one, kan? Tapi satu cowok nggak bisa

dibagi tiga! Sekarang udah pas. kan? Tiga plus, tiga

minus! Nggak usah three in one lagi! Ngapain ribut?"

"Asri yang cembokur!" Dengan jengkel Lestari

meninggalkan kamarnya.

"Cembokur sama doi lu? Yang bener aja,friend!

Bisa ge-er dia kalau tahu!"

"Udah deh," potong Lindung menyabarkan Asri.

"Kita kan sohib lengket. Masa ributin soal cowok sebutir?"

"Lu kira gue naksir si Suaraseger, Ndung? Waduh,

lu nggak lihat Gunung Thay San di depan mata!"

"Gue lihat Gunung Rinjani di depan mata lu!"

sindir Lindung sambil menyeringai masam.

"Makanya ilmu ekonomi lu langsung amburadul!"

"Gue masih lebih doyan nasi, Ndung."

"Tapi kalau nasi nggak ada, hamburger lu sikat

juga, kan? Gue udah hapal ilmu sapu bersih lu! Wajar

aja kalau Tari curiga! Reputasi lu udah kesohor dari

Menteng sampai Kebayoran!"

"Dia emang cakep ya, Ndung? Bodinya kayak

Silvester Stallone."

"Ya, maklum aja. Kerjanya tiap hari kan ngang

73

kut-ngangkut barang! Lu naksir berat ya, As?"

"Nggak naksir, Ndung? Barang istimewa begitu

kan nggak sepuluh tahun sekali diproduksi! Yang

kayak apa sih yang bikin kamu mabuk? Yang kualitas ekspor?"

"Yang bau bawang putih!"

"Koki?"

"Yang kayak gitu sih pemandangan biasa, As. Saban hari lewat di depan toko beras di samping rumah!"

"Kuli ngangkut beras? Ada yang cakep kayak begitu? Pesan dua deh, Ndung!"

"Belum disortir sih! Tapi pasti ada deh yang dadanya berkembang lengannya berenda!"

"Tatto maksudmu?"

"Panu!"

"Yang ini sih mulus, Ndung! Sembilan puluh

persen baru!"

'77

"Kamu kan belum periksa mesinnya.

***

Makin malam Lindung makin gelisah. Lestari belum masuk kandang juga. Padahal besok kan mereka

mesti berangkat pagi-pagi. Ke mana tu anak? Digondol wewe?

Dia sudah mencoba mencari di sekitar losmen.

74

Tapi Lestari seperti hilang ditelan kabut. Akhirnya

Lindung panik juga.

"As! Bangun, As!" Lindung menggoyang-goyang

tubuh Asri yang sudah meringkuk di tempat tidur.

"Tari hilang!"

Asri membuka matanya. Dan menatap Lindung

dengan tatapan polos seorang bayi. Tampaknya dia

belum sadar betul berada di mana.

"Gara-gara kamu Tari lenyap!"

Asri beringsut bangkit. Duduk di tepi tempat tidur. Dan mengucek-ngucek matanya.

"Cari Tari, yuk! Jangan-jangan dia bunuh diri di

air terjun!"

"Ngaco lu ah. Paling-paling dia lagi JJM sama

doinya."

"Jangan sok tahu, As. Kalau terlambat kan nyesel!"

"Terlambat ngapain? Nonton Suaraseger in action? Mau lihatfirst kiss-nya? Norak ah!"

"Tari kan lagi keki sama kamu!"

"Keki sama Tomi aja dia belum tentu mau bunuh

diri!"

"Pokoknya kita cari dia! Itu kan kewajibanmu sebagai Bu Lurah!"

"Itu sih kewajiban anjing pelacak!"

"Ada anggota hilang kamu enak-enakan tidur!"

"Habis mesti ngapain? Mukul kentongan?"

75

'77

"Cari dong

"Cari aja di kamar sebelah!"

"Sadis kamu!"

"Jawab dulu pertanyaanku, Non! Kamu udah cari

si Suaraseger?"

"Ngapain cari dia?"

"Kalau ada dia, pasti ada Tari! Wah, ilmu ukurmu

betul-betul payah!"

"Kalau dia nggak ada, itu lampu kuning, As!"

"Tandanya mereka nggak bunuh diri!"

"Ayo kita cari mereka, As! Bule kan suka free

sex!"

"Ah, jangan buru-buru nuduh jelek, Ndung! Nggak semua kok kayak gitu. Yang takut cewek kayak

si Volker juga banyak!"

"Tahu dari mana si Volker takut cewek?"

"Dia takut sama kamu, kan?"

"Sialan! Emangnya gue leak?!"

***

Betul saja. Gustav tidak ada di kamarnya. Volker yang diajak Lindung mencari teman-temannya

langsung setuju. Dia menyambar jaketnya. Dan mengawal kedua gadis itu keluar dari losmen.

Tapi sampai beku tubuh mereka dicium dinginnya angin malam, kedua insan itu belum ditemukan

76

juga. Jangankan orangnya. Bayangannya saja tidak

tampak.

"Aku nggak berani pergi lebih jauh lagi," kata

Asri yang selalu penuh perhitungan. Tentu saja kalau komputernya tidak sedang kemasukan Virus cinta.

"Takut nyasar! Mendingan kita pulang ke losmen

dulu. Minta bantuan."

"Bantuan penunjuk jalan maksudmu?" sindir

Lindung gemas.

"Baru besok dia kita sewa, As!"

"Kamu nggak takut nyasar?"

"Aku takut Tari yang kesasar ke kota terlarang!"

"Ah, otakmu ngeres!"

"Pengalaman."

"Pengalaman siapa?"

"Teman-teman."

"Teman-temanmu ada yang udah pengalaman?"

"Suasana di sini kan amat menunjang dan mengundang!"

"Dingin-dingin begini?"

"Gelap dan sepi."

"Emangnya jangkrik!"

"Kuckmal ! Sie kommenf?" seru Volker spontan ketika melihat beberapa orang keluar dari losmen.

"Itu mereka!" pekik Tari yang muncul dari tengah-tengah rombongan.

"Ke mana aja kamu, Ndung?

Bilang-bilang dong kalau ngelayap!"

"Ke mana udelmu!" gerutu Lindung gemas.

"Aku

77

bisa nanya yang sama, gombal
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sampai minta Segara dan Pak Lawang ikut

nyari kalian! Gustav kuatir kalian kesasar!"

"Kesasar di kamar!" sahut Asri ketus.

"Dengar,

besok jam delapan pagi, kumpul semua di sini! Kita

berangkat pagi-pagi. Jangan ada yang hilang lagi kalau nggak mau ditinggal!" Dengan tatapan judes Asri

meninggalkan rombongan itu.

"Kenapa dia?" tanya Gustav heran kepada Volker.

"Arsehloch!" rutuk Volker jengkel. Ditinggalkannya Gustav melongo bingung. Sudah bikin susah,

masih tanya, lagi!

***

Asri masuk paling dulu ke kamar. Membuka jaket, jins, dan sepatunya. Mengenakan piyama tlanel.

Dan menyelusup ke bawah selimut.

Lestari menyusul ke kamar dengan geram.

"Kenapa kamu marah-marah begitu?" tegurnya

kesal begitu menerobos masuk.

'"

"Tanya dirimu sendiri sahut Asri dingin sambil

membalikkan badan menghadap ke tembok.

"Kok bolehnya kamu cembokur gitu sih?"

"Cembokur?" Asri memutar tubuhnya kembali

menghadap Lestari.

"Sama doimu? Sakit!" Ditunjuknya pelipisnya dengan jari telunjuknya.

78

"Kenapa kamu ngambek aku jalan-jalan sama

Gustav?"

"Nggak marah kalau lain kali kamu bilang mau

pulang pagi! Jadi nggak nyusahin orang!"

"Aku kan bukan anak kecil lagi!"

"Ya, kamu memang anak besar, Non," sambung

Lindung sabar. Dia baru saja masuk ke kamar. Dan

menyadari, perang nuklir hampir meletus.

"Tapi

kami tetap kuatir. Sebab kamu anggota ALL!"

"Aku lagi jengkel, Gustav ngajak jalan-jalan! Nggak salah, kan?"

"Tapi nggak betul kalau sampai malam belum

pulang!"

Dengan jengkel Lestari menukar pakaiannya dengan baby doll. Dan menjatuhkan dirinya ke tempat

tidur yang satu lagi. Ditariknya selimut menutupi tubuhnya sampai ke kepala.

Tinggal Lindung yang melongo sendirian. Bengong menatap tempat tidur yang cuma dua. Di mana

dia mesti tidur?

79

BAB VIII

PUKUL tujuh pagi mereka telah berkumpul untuk

sarapan pagi bersama. Asri dan Lestari masih saling

berdiam diri. Suasana menjadi agak kaku dan tidak

enak. Untung Lindung sudah segar kembali seperti

burung kucica.

Pukul delapan kurang, semua sudah berkumpul di

halaman. Siap untuk berangkat.

"Jangan lupa bawa jaket," kata Segara khusus kepada Asri yang tidak mau jauh.

"Di atas dingin sekali

kalau malam."

"Sering ke atas?" tanya Asri penuh minat.

Segara cuma tersenyum. Senyumnya begitu sederhana. Tapi entah ada apanya senyum pemuda desa

yang lugu ini sampai Asri merasa begitu tertarik. Dan

merasa tertantang untuk memikat perhatiannya.

Untung Lestari sedang sibuk dengan pacar barunya. Kalau tidak, dia bisa jadi saingan berat. Memang

Tari lebih cantik. Orang buta juga tahu. Tapi Asri tidak gentar bersaing. Dia percaya sekali, dirinya punya kelebihan lain selain kecantikan. Kalau tidak,

masa daftar korbannya sudah sedemikian panjang?

"Saya juga sudah sering camping di gunung,"

80

Asri menyombongkan diri. Sombong kadang-kadang

perlu juga, kan? Untuk menarik perhatian.

"Rinjani pasti berbeda. Tingginya 3726 meter. Ingin mencapai puncaknya? Melihat kawahnya? Ada

danau yang indah sekali di sana. Namanya Segara

Anak."

"Terang dong. Kalau nggak, buat apa ke atas?

Sama aja boong, kan?"

Segara cuma tersenyum menanggapi pernyataan

yang agak congkak itu. Sekali lihat saja, dia memang

sudah dapat menerka, gadis-gadis ini bukan tipe pendaki gunung. Tapi dia tidak mau mencela. Dia hanya

menunggu.

"Sudah siap berangkat?"

"Tunggu apa lagi?"

"Boleh membantu memasang ransel di punggungmu?"

"Mesti bawa ransel juga?" protes Lindung cemas.

"Wah, bawa perut aja udah repot!"

"Perutmu overweight sih, Ndung!"

"Kami tidak mungkin membawa semuanya," kata

Segara sabar.

"Cuma ada tiga orang pria, kan?"

"Lalu apa gunanya menyewa kamu?"

"Jangan kuatir. Saya membawa yang paling berat."

Pagi-pagi saja Asri sudah mengagumi Segara.

Lindung sebenarnya juga. Kalau saja dia tidak se

81

dang repot menggendong ranselnya. Padahal ransel

itu cuma berisi makanan, air, dan selimut.

Volker dan Gustav masing-masing menggendong

ransel dan kantong tidur. Sisanya, ditambah peralatan

berkemah, diborong oleh Segara. Dan tampaknya,

dia begitu lincah melangkah di depan, meskipun bebannya sesungguhnya yang paling berat.

"Berat?" dia masih sempat bertanya pada Asri

yang selalu melangkah di sampingnya.

"Ransel ini?" Asri menepuk punggungnya.

"Nggak terasa apa-apa!"

Lindung yang berjalan di belakangnya bersama

Volker mengomel panjang-pendek.

"Kalau nggak berat, bawain nih ransel gue!"

"Need help?" tanya Volker simpatik.

"Nein!" sahut Lindung pendek.

"Danke sehon!"

Dalam hati, dia sudah memaki, tambah satu ransel

lagi, ngusruk lu! Udah deh, nggak usah help-help-an!

Cuma Gustav yang berjalan paling belakang dengan Lestari yang tampak santai. Karena Lestari tampak begitu lemah dan perlu dibantu, Gustav selalu

menolongnya.

Sebentar-sebentar ransel Lestari berpindah tangan. Gustav membantu meringankan bebannya. Sebaliknya, Tari tidak mau terlalu lama memberatkan

Gustav.

Akhirnya, ransel itu mondar-mandir terus. Bo

82

lak-balik seperti mesin fotokopi.

Maklum, lagi pacaran. Yang sinting di mata orang

lain, normal kok di mata mereka

Untung saja Lindung melangkah di depan mereka. Bukan di belakangnya. Kalau tidak, pasti sakit

matanya. melihat ransel yang bolak-balik terus.

Setelah berjalan dua jam, Lindung-lah yang pertama-tama berteriak minta istirahat. Kakinya sudah

tidak mau diajak kompromi lagi. Dia langsung menjatuhkan diri di rumput. Dan Volker membantunya

menurunkan ranselnya.

Gustav mengambil air dari ransel Lestari. Dan

menyodorkan botol minuman itu kepadanya. Seolah-olah mereka sudah berjalan dua hari dua malam

di Gurun Sahara.

"Tired?" tanyanya sambil tersenyum.

Lestari mengangguk sedikit sambil balas

tersenyum. Manis. Biarpun letih.

Edan, pikir Lindung heran. Capek kok masih

mesem! Cinta memang konyol, tolol, benjol.

Gustav memegang tangan Lestari. Dan membantunya duduk. Begitu lembut. Begitu hati-hati. Begitu

penuh perhatian. Seakan-akan takut Lestari tergelincir.

Cuma Asri yang belum duduk. Soalnya, Segara juga masih berdiri. Mereka menurunkan barangbarang bawaan mereka. Tapi tetap tegak menatap ke

sekeliling.

83

"Berapa jauh lagi?" tanya Asri gagah. Tidak mau

memperlihatkan keletihannya.

"Ke mana?" tanya Segara sabar.

"Ke mana? Ke mana lagi? Ke puncak gunung

dong!"

Segara tersenyum lunak.

"Masih jauh."

"Masih jauh?" Lindung berteriak kecewa.

"Perjalanan ke puncak masih sangat jauh. Dari

sini ke kawah masih sepuluh kilometer lebih. Dari

kawah ke puncak Rinjani masih seribu meter lagi

mendaki ke atas."

"Gue nyerah aja, As!"

"Di mana kita nginap nanti malam?" sambung Lestari sama cemasnya.

"Ada tempat untuk camping yang cukup nyaman.

Kira-kira enam-tujuh jam perjalanan dari sini."

"Tujuh jam?" jerit Lindung ngeri. Hampir sampai

ke taraf lengkingan.

"Mampus deh gue!"

"Jangan kuatir. Kita akan berjalan perlahan-lahan.

Dan beristirahat setiap kali lelah. Mendaki gunung

sangat menyenangkan kalau kita dapat menikmatinya.

"Waduh, bahasa Melayu tinggi!" komentar Asri

kagum.

"Kamu anak sekolahan ya, Segara?"

Segara cuma tersenyum tipis. Dan senyumnya

malah membuat Asri tambah penasaran.

"Sering ngantar turis asing ke sini?"

84

"Itu memang pekerjaan saya."

"Inggrismu pasti sip juga dong."

"Ah, cuma sekadar mengerti."

"Kok merendah terus sih?"

"Tidak ada yang dapat dijadikan modal untuk

sombong."

"Siapa bilang? Di Jakarta, kamu pasti laku keras!"

"Sebagai apa? Kuli angkat barang?"

"Pernah nyoba main sinetron?"

Segara tertawa perlahan. Tawanya demikian

sopan. Tapi tidak mengesankan kelemahan.

"Kita bisa berangkat lagi sekarang? Supaya jangan kemalaman sampai di tempat camping."

"Come on, Lindung!" ajak Volker membangkitkan semangat Lindung yang sudah sampai ke titik

nadir.

"Let us sing together!"

Dengan bernyanyi bersama, mereka memang

dapat melangkah lebih ringan. Padahal perjalanan

mendaki dan menerobos belukar cukup sulit.

Dari Naik-naik ke Puncak Gunung yang dengan

cepat dipelajari oleh kedua pemuda asing itu, sampai
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Happy Wanderer mengalun di tengah-tengah hutan

yang sepi. Hanya suara burung dan kelopak sayapnya

yang meningkahi alunan suara mereka. Kera-kera

yang kebetulan melongok dari atas dahan pohon, buru-buru melompat pergi ketika melihat mereka.

Tatkala sedang menikmati makan siang di keting

85

gian antara bumi dan langit, menikmati langit bersih

membiru di atas kepala, dan lembah luas menghijau

di bawah kaki mereka, mau tak mau segurat perasaan

haru menyelusup ke hati mereka.

"Kamu betul, As," cetus Lindung ketika sedang

menikmati bekalnya.

"Apa? Makan ikan asin juga enak asal lapar?"

"Ini benar-benar pengalaman yang tidak terlupakan!"


Merival Mall 10 Kemenangan Manis Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a Pengemis Binal 15 Sengketa Orang Orang

Cari Blog Ini