Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto Bagian 2
kuketahui kehidupanmu yang getir, cintaku kian bertambah
dalam. Tapi bukan berarti, bahwa aku menuntut supaya kau
menikah denganku secepatnya. Meninggalkan suamimu
yang malang itu. Bukan. Melainkan aku berjanji pada hati
kecilku ini akan setia menantimu. Berjanji tak akan jatuh- 106
cinta lagi, walau sampai memutih rambutku." Handrian
lebih erat memegang tangan Rosalina.
Sejenak mereka diam. Rosalina tidak tahu apa yang
harus dikatakan lagi. Pria itu bagai telah mengucapkan
sumpahnya. Dan Rosalina tambah risau.
"Mengapa kau mencintaiku? Mengapa kau bersedia
menantiku? Tak adakah gadis lain yang patut untuk kau
cintai? Mengapa harus aku?"
Handrian menarik napas panjang. Selintas kejadian
yang dialami Rini bagai beliung yang menusuk hatinya.
"Petualangan sudah berakhir, Lina. Benturan yang
pahit telah menyadarkan diriku. Sekarang hanya penyesalan
yang menghujam hidupku. Asal kautahu saja, bahwa hukum
karma pembalasannya lebih menyedihkan. Adikku yang tak
tahu apa-apa telah diperkosa tujuh orang laki-laki.
Barangkali kejadian itu karena karma atas perbuatanku,"
kata Handrian sedih.
Rosalina ikut terharu mendengar ucapan pria itu.
Sementara hatinya meronta. Meronta karena menjadi
tumpuan penebus kesalahan.
"Jadi kau mencintaiku cuma sekedar menebus
kesalahanmu?"
"Jangan salah mengerti, Lina. Pada mulanya aku
tertarik oleh sinar matamu yang selalu sendu. Kutahu
engkau tak bahagia. Matamu yang sendu menggambarkan- 107
suatu pribadi yang hampa. Kesepian. Selanjutnya aku
tambah tertarik oleh kemisteriusan hidupmu. Kau
menyerupai dewi Sri yang menyimpan pesona dalam
hening. Ini yang membuat aku makin banyak memberikan
perhatian padamu. Dan akhirnya menjelma cinta di dalam
hatiku. Aku tidak mampu mengelak dari kenyataan, bahwa
hakekat cinta putih telah melekat dalam jiwaku. Terserah
kau mau percaya atau tidak. Sebab dalam hidupku, hanya
kau yang pertama kucintai dengan segenap jiwaku," tutur
Handrian.
"Aku tak dapat menentukan antara kau dan suamiku.
Aku tak kuasa menghindar darimu, tapi aku akan tetap setia
terhadap suamiku."
"Aku tidak akan merebut kaudari suamimu. Kecuali...
kalau " Handrian menghentikan pembicaraannya.
"Kecuali apa?" tanya Rosalina semakin resah.
"Kecuali kalau kau sudah hidup sendiri. Tidak terikat
oleh hukum perkawinan."
Gelombang tangis perempuan itu semakin menanjak.
Sedu sedannya memenuhi dadanya.
Napasnya jadi kian sesak. Handrian buru-buru
mengambil sapu tangan dan mengusap air mata Rosalina. Ia
tak ingin orang lain yang ada di situ mengetahui.- 108
"Jangan menangis, Lina! Jangan menangis! Aku tidak
mempunyai maksud jahat. Sama sekali tidak punya niat
mempengaruhi agar kau minta cerai dari suamimu."
"Aku mengharap begitu, Han. Pengorbanannya tidak
kecil artinya buat diriku. Sudah sepatutnya aku merawatnya
dengan kesetiaanku."
"Kau mau menceritakannya kepadaku?"
Lama Rosalina baru memulai ceritanya, ia tidak tahu,
apakah itu sepatutnya untuk diceritakan. Yang jelas ia ingin
menunjukkan besarnya cinta Gunawan padanya. Supaya
Handrian bisa mengerti perasaannya selama ini.
"Sebenarnya hubungan kami tidak direstui oleh orang
tuanya. Tapi dia nekat melanggar larangan orang tuanya dan
tetap menikah denganku, ia diusir dari rumah oleh ayahnya,
sebab menolak gadis yang dicalonkan jadi istrinya. Dengan
alasan dia tidak mencintai gadis itu," kata Rosalina sambil
menarik napas sesak. Lalu ia melanjutkan ceritanya lagi.
"Lalu kami melangsungkan pernikahan di rumah
paman. Menyedihkan sekali memang sebab pernikahan itu
cuma dihadiri oleh paman dan bibiku saja. Barangkali yang
ikut menyaksikan hanya tetesan air hujan dan petir yang
menyambar. Selesai akad nikah, kami berangkat berbulan
madu ke Puncak. Tapi di tengah perjalanan, mobil yang
kami tumpangi nyaris bertubrukan dengan truk. Dan dia
membanting stir ke kiri, sehingga menabrak pohon di
pinggir jalan. Maka kedua kakinya remuk dan lumpuh,"- 109
pada akhir katanya isak tangis meledak lagi. "Kemudian ia
menderita impoten." Rosalina sedih sekali. Seakan-akan
kehilangan arti hidupnya.
"Sudah lama hubunganmu dengan dia sebelum
menikah?"
Rosalina menggelengkan kepala.
"Kami kenal di rumah sakit, sewaktu pamanku di
rawat, ia wakil direktur perusahaan yang dikelola ayahnya.
Dan pamanku bekerja di perusahaan itu. Perkenalan kami
berjalan lebih dua minggu, lalu dia mendesak untuk cepat
menikah. Padahal aku masih ingin kuliah, ia berjanji
memenuhi keinginanku itu. Setelah menikah aku
diperbolehkan meneruskan kuliah. Tapi malapetaka
menimpa kami. Terpaksa cita-citaku kandas. Aku harus
memerangi hidup yang getir. Mencari pekerjaan ke sana ke
mari untuk menyambung hidup kami. Sampai akhirnya aku
dapat bekerja di salon itu. Kebetulan pemilik salon itu masih
kenalan suamiku. Sudah dua tahun aku menanggung beban
yang meletihkan. Menjenuhkan. Merawat suamiku setiap
hari yang tergantung dariku."
"Kasihan," gumam Handrian yang terharu.
"Ya, sangat kasihan. Maka aku minta pengertianmu.
Aku tidak bisa meninggalkan suamiku, ia akan tambah
menderita."
"Kasihan," gumam Handrian lagi.- 110
"Kami tak minta dikasihani."
"Tapi sudah sepatutnya aku menaruh belas kasihan.
Lebih-lebih terhadapmu. Kau masih, muda, Lina. Tidak
seharusnya hidupmu jadi beku karena kegetiran itu. Kalau
kau hilang akan tetap tabah dan setia, itu cuma timbul
lantaran rasa belas kasihan semata. Sementara batinmu
menjerit. Meratap dalam nestapa. Perempuan mana yang
akan tabah menghadapi kenyataan begitu sepanjang
hidupnya. Perempuan mana, Lina?"
"Barangkali akulah orangnya. Aku akan berusaha
menghadapi kenyataan ini."
"Lalu kauanggap aku hanya temanmu di atas ranjang?
Pemuas nafsumu yang tak terpenuhi oleh suamimu. Begitu
ya?"
Rosalina menatap Handrian dengan air mata
berlinang. Lalu ia berkata;
"Aku menyadari segala kekurangan dalam diriku.
Karena aku tak kuasa menghindar darimu. Kau memberi
begitu banyak arti dalam hidupku. Kau membuatku bahagia.
Melimpahiku dengan kasih sayang dan kelembutan. Dan di
sampingmu, aku merasa terlindung dari kegetiran.
Kehampaan dan kesepian. Di sampingmu aku dapat
mengenyam kenikmatan yang tiada batasnya. Terdorong
oleh segalanya itu, maka kubiarkan kau menyanjungku,
memanjakanku. Dan segalanya itu telah kureguk penuh
kebahagiaan. Hanya sekedar teman setia, ya Handrian.- 111
Sebab kenyataan tidak memungkinkan kita hidup bersama.
Kita harus menjalani hidup masing-masing."
"Sifatmu yang egois telah membuat aku tersiksa,"
keluh Handrian.
"Kau anggap aku tidak tersiksa?"
"Lantas untuk apa kau hidup hanya untuk tersiksa?"
"Barangkali sudah nasibku," desah Rosalina.
"Kita hidup justru untuk memerangi nasib. Bukan
nasib memerangi kita."
"Aku tak tahu, aku tak tahu." Rosalina kian resah.
Sedih.
"Oooh, Rosalina. Aku menyesali pertemuan kita yang
pertama. Sebab pertemuan kita adalah awal dari tumbuhnya
cinta suciku kepadamu."
Rosalina terisak-isak lagi.
"Biarlah kesetiaan itu tetap pada diriku. Biarlah cinta
yang tumbuh padamu tetap bersemi, walau akhirnya
hubungan kita sekedar teman setia. Bukan untuk saling
memiliki."
Handrian mencium jari tangan Rosalina.
"Lina sayangku," lembut suaranya. "Aku akan tetap
menantimu sampai kapan pun. Kalau aku tidak bisa
memilikimu, biarlah aku menjalani hidupku tetap sendiri.- 112
Hidup hanya dengan mencumbu bayang-bayangmu laksana
kau telah jadi milikku. Sebab mencinta bukan berarti harus
memiliki."
***- 113
Rosalina sampai di rumah seperti biasanya pulang
bekerja. Seperti waktu belum menjalin hubungan dengan
Handrian. Padahal hari itu, Rosalina terakhir masuk bekerja
di salon. Seharian waktunya telah dihabiskan bersama
Handrian di sky garden restauran. Lalu ia diantar Handrian
di ujung jalan yang tidak terlampau jauh dari rumahnya.
Kemudian ditempuhnya jarak itu dengan mengayunkan
langkah seorang diri.
Sebenarnya tak perlu resah. Ya, sebenarnya memang
tak perlu resah. Setelah dikeluarkan dari pekerjaannya di
salon, Handrian telah bersedia menerimanya di perusahaan.
Perusahaan yang dipimpin oleh pria itu. Tapi apa enaknya?
pikir Rosalina. Setiap hari ia selalu bertemu dengan pria itu.
Sedang yang ia inginkan hanya sekali waktu saja bertemu.
Sebab acapkali bertemu, perasaannya dilibat kepedihan.
Persoalan yang dibicarakan tak lain hanya soal nasib dan
rasa belas kasihan, la merasa dipuja, namun ditikam kemelut
yang menyiksa. Handrian selalu menyodorkan madu yang
bercampur dosa. Ia tahu itu madu. Ia tahu itu dosa. Tapi ia
tak kuasa untuk menghindari. Jadi ketidakpastian adalah
kawan setianya. Termasuk ketidakpastiannya untuk
memerangi nasib. Sama halnya satu menginginkan diantara
dua pilihan. Antara kesetiaan dan cinta, ia merasa tak
sanggup untuk memilih di antara dua. Membuatnya jadi kian
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjepit dengan kemelut hidup. Semakin dia tetap pada
pendiriannya, semakin terombang-ambing hidupnya.- 114
Dan ketika ia memasuki rumah, suasananya nampak
murung. Semurung pria yang duduk di kursi rodanya. Tak
ada senyum di bibir pria itu. Pandangan matanya pun enggan
rasanya bertemu dengan istrinya. Segumpal kenyerian
mengganjal di ulu hati Rosalina. Sungguhpun begitu, ia
tetap menunjukkan perhatian pada suaminya.
"Sudah mandi sore. Mas?" tanya Rosalina.
Laki-laki itu cuma menggeleng. Rosalina menaruh tas
di meja dan melepaskan sepatunya. Lalu ia hendak bersiap
mendorong kursi roda itu. Tapi Gunawan mencegahnya.
"Biarkan aku di sini," katanya dingin.
"Aku ambilkan air ya. Mas?"
"Tidak usah."
"Kenapa Mas?"
"Tidak kenapa-kenapa."
Rosalina bergerak maju dan berdiri di depan
suaminya. Ditatapnya mata Gunawan yang dingin. Tak
acuh. Tidak mau membalas tatapannya.
"Mas Gun membenciku?"
Laki-laki diam beku. Tak ada keinginan untuk
membalas pandangan perempuan yang berdiri di depannya.
Sehingga sikap yang begini, membuat perasaan Rosalina
bagai disembelih.- 115
"Kau membenciku, Mas?" tanyanya lagi.
Gunawan menggelengkan kepala pelan, tapi lesu.
"Lantas kenapa?"
"Aku semakin menyadari, bahwa hidupku cuma
benalu dalam hidupmu. Ibarat tembok yang tinggi,
menghalangi jalan hidupmu mencapai kebahagiaan.
Mengukungmu dengan deraan penderitaan dan kejenuhan."
"Jangan bicara begitu, Mas! Berarti kau menyia
nyiakan kesetiaanku," suara Rosalina mulai parau.
"Kesetiaanmu cuma terdorong oleh rasa belas
kasihan. Kurasa tak lebih dari itu. Seperti kesetiaan seorang
pengasuh kepada orang yang cacat. Yang lumpuh, yang
menggantungkan nasib pada orang lain."
"Ucapanmu menyakiti perasaanku, Mas."
"Aku tidak bermaksud menyakiti, tapi kenyataannya
memang benar. Aku adalah manusia yang menyusahkanmu.
Aku merasa menjerumuskanmu ke lembah penderitaan.
Tidak mampu membahagiakan hidupmu. Ini kenyataan,
Lina. Ini kenyataan. Aku tidak punya niat menyakiti
perasaanmu."
"Sekalipun ini memang kenyataan, aku telah rela
menerimanya. Tetap setia kepadamu, Mas."
"Kau memang setia. Aku tak pernah mengelak
dengan kesetiaanmu. Tapi dengan laki-laki itu? Kau sengaja- 116
membandingkan segala kekuranganku dengan laki-laki itu,
Lina. Apakah ini bentuk kesetiaanmu?"
Rosalina ingin menjerit. Tapi kerongkongannya bagai
tersekat. Cuma isaknya yang terdengar. Lalu perempuan itu
berlari masuk ke kamarnya, la menjatuhkan diri di atas
tempat tidur. Tangisnya yang tersedu-sedu dibenamkan ke
permukaan bantal.
Suara derit kursi roda menyusup ke telinga Rosalina.
la tahu suaminya masuk ke kamar. Tapi lebih baik diam saja.
Lebih baik tidak menyahut pembicaraan lelaki itu. Sebab
kalau harus dijawab, malah perasaannya jadi serasa
disembelih. Bersitatap dengan laki-laki itu pun akan terasa
menyakitkan. Soalnya mata laki-laki itu dingin dan tak acuh.
"Lina, katakanlah! Katakanlah kalau kau mencintai
laki-laki itu!" kata Gunawan.
Isak tangis perempuan yang tetap terdengar. Bukan
jawaban yang dikehendaki Gunawan.
"Jawab, Lina!"
Rosalina bangkit. Lalu tanpa banyak bicara lagi terus
berlari meninggalkan kamar. Tas yang masih tergeletak di
atas meja langsung disambar dengan tangannya. Dengan
langkah tergesa-gesa pergi meninggalkan rumahnya, ia
tidak menghiraukan lagi teriakan suaminya. Segumpal
kenyerian menyentak-nyentak di ulu hatinya.- 117
Lantas ia naik bis kota. Di antara penumpang ia
menundukkan muka. Berusaha menyembunyikan muka dari
tatapan penumpang lainnya. Agar mereka tidak melihat
kedua matanya yang dibasahi air mata. Agar kesedihannya
tidak dilihat oleh mereka. Maka dengan sehelai sapu tangan
dia menutupi separuh wajahnya.
Dan barulah ketika sampai di rumah bibinya,
Rosalina menangis lagi. la terisak-isak di kursi. Maryani
dengan lembut terus mendesaknya.
"Kau bertengkar dengan suamimu?"
Rosalina menggeleng.
"Jadi kenapa?"
"Aku diberhentikan dari pekerjaan, Bi."
"Apa kesalahanmu?"
Rosalina merasa dadanya mau pecah. Bagai tak kuasa
menampung siksaan batinnya. Siksaan yang timbul lantaran
kedustaannya selama ini. Dan untuk kali ini pun ia harus
berdusta lagi kepada Bibi dan Pamannya.
"Lina sering tidak masuk kerja," katanya parau.
"Suamimu sudah tahu?" Rosalina menggeleng
"Tak perlu bersedih, Lina. Paman akan membantumu
mencarikan pekerjaan," Darusman menimpali.- 118
"Lina mohon kepada Paman dan Bibi agar tidak
menceritakan pada Mas Gun. Sebab dia akan merasa
terpukul dengan keadaan Lina," suara Rosalina seperti
memohon.
"Tentu. Bibi dan Paman tahu apa yang kau rasakan."
Maka Rosalina meredakan tangisnya, la mengusap
wajahnya. Matanya pedih. Segumpal tangis masih tersekap
di dalam dadanya.
"Boleh Lina nginap di sini, Bi?"
Ucapan itu membuat Maryani dan Darusman
terheran.
"Kau pasti bertengkar dengan suamimu," kata
Maryani menuduh.
"Lina cuma mau menenangkan pikiran, Bi. Pikiran
Lina kalut sekali," keluhnya.
"Kau sudah memberi tahu suamimu kalau mau
menginap di sini?"
Tak ada sahutan, tapi kepala Rosalina menggeleng.
"Nanti Gunawan cemas menunggumu di rumah."
"Lina dari rumah langsung ke mari. Jadi Mas Gun
tahu Lina pergi."
Maryani menarik napas berat. Memandang suaminya.
Dan Darusman menganggukkan kepala. Sebagai isyarat- 119
agar Rosalina diperbolehkan menginap di sini. Maka
Maryani segera membimbing Rosalina masuk ke dalam
kamar anak-anaknya.
"Ada apa sebenarnya kau dengan Gunawan?" tanya
Maryani masih penasaran.
Rosalina duduk di kursi bersebelahan dengan bibinya.
Lalu Maryani mengamati wajah Rosalina yang murung dan
sedih.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rosalina dengan suara
berat.
"Aku tidak percaya. Terus teranglah, Lina. Hidup
berumah tangga memang tak bisa menghindari
percekcokan. Biar itu yang kecil ataupun yang besar. Bibi
ingin kau mengatakannya terus terang."
"Lina mempunyai teman pria di luar rumah."
"Intimkah pergaulanmu dengan pria itu?"
Kepala Rosalina mengangguk berat.
"Pria itu pernah datang ke rumah dan bertemu dengan
Mas Gun."
"Lalu bertengkar dengan suamimu?"
"Tidak."
"Sebagai seorang istri, kau tidak baik bergaul intim
dengan pria lain. Sebab akan dinilai kurang baik, Lina."- 120
Tangis Rosalina menggelombang lagi. Dan tangis itu
bagai mengundang Darusman. Lelaki setengah baya itu
muncul di ambang kamar.
"Ada persoalan yang serius dengan suamimu," tanya
Darusman pada Rosalina.
"Nampaknya begitu. Pak. Sebab Rosalina intim
bergaul dengan pria lain," sahut Maryani.
Darusman tertunduk. Termenung, ia tahu apa yang
membelenggu perasaan Rosalina selama ini. Keterangan
yang pernah diberikan dari dokter, sewaktu Gunawan
dirawat di rumah sakit, sudah diduganya akan menimbulkan
persoalan begini. Rosalina seorang istri yang muda belia,
penuh gairah, sudah pasti akan terbentur kebutuhan nafkah
batin. Jiwanya pasti menuntut kebahagiaan yang
sewajarnya. Sewajar istri lainnya yang digauli suaminya.
Maka Darusman cuma bisa menarik napas panjang.
"Yani, biarkan Rosalina istirahat," kata Darusman
yang seolah-olah memerintahkan istrinya untuk meninggal
kan Rosalina. Sebab laki-laki itu tahu betul apa yang
dirasakan oleh Rosalina.
Tahu siksaan batin perempuan muda itu.
Maryani mengikuti suaminya berlalu dari kamar itu.
Lalu mereka duduk berdua di ruang tengah. Barulah
Darusman menceritakan keadaan Gunawan yang
sebenarnya. Gunawan yang tidak mampu memberikan- 121
nafkah batin kepada istrinya. Kesedihan menyusup ke
relung hati Maryani. Dan akhirnya Darusman dan Maryani
cuma bisa merenungi nasib Rosalina. Telah lebih dua tahun,
Rosalina tersiksa batinnya. Dipacu oleh deraan nasib yang
terperosok di lumpur penderitaan.
***- 122
BAB XI
Semakin meruncing kehidupan rumah tangga
Rosalina. Nyaris mendekati kehancuran. Sebab Gunawan
sudah tidak mau bertegur-sapa terhadap istrinya. Sementara
sang istri setiap hari dengan susah-payah masuk dan keluar
kantor untuk mencari pekerjaan. Sampai terasa begitu letih
tubuh dan jiwanya memerangi nasib. Nasib yang terperosok
di lumpur penderitaan.
Apa artinya cuma memiliki ijasah SMA?
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timbul kembali penyesalan di hati Rosalina. Nilai
yang tercantum bagus di ijasah, yang rata-rata sembilan,- 123
takkan bisa memberi peluang untuk diterima bekerja di
kantor. Yang dibutuhkan setiap kantor, bila seseorang
mempunyai ketrampilan. Sehingga acapkali ia menemui
pimpinan kantor, selalu yang ditanyakan: Trampil mengetik
sepuluh jari? Apakah memiliki sertifikat Bon A atau Bon B?
Dan macam-macam yang menyangkut urusan kantor. Bukan
kepandaiannya sewaktu di bangku sekolah. Menyedihkan
sekali.
Kian letih langkah Rosalina. Matahari yang bersinar
terik, tak perduli pada segelintir manusia seperti Rosalina
yang memerangi nasib, ia tetap memanggang bumi.
Memanggang tubuh dan jiwa Rosalina yang meratapi nasib.
Setiap pagi sampai sore di bawah teriknya matahari mencari
pekerjaan. Naik dan turun bis kota yang berjejal-jejal
penumpang. Tak perduli. Matahari tak perduli dengan
seluruh penghuni kota Jakarta. Sedang kota Jakarta yang
kejam, juga tak perduli dengan orang-orang sibuk mencari
pekerjaan.
Dan Rosalina memandang gedung-gedung pencakar
langit. Gedung-gedung itu laksana keangkuhan yang
dimiliki kota Metropolitan ini. Tiada keramahan dan
kesejukan rasa. Kalau memang ada, itu cuma buat
keuntungan pribadi. Jakarta, Jakarta. Kapan aku bisa
memerangi nasib? Kapan kau bisa tersenyum ramah
kepadaku? Mungkin suatu saat? Ya, aku berharap itu bisa
terjadi entah kapan.- 124
Rosalina masih berdiri termenung, ia menoleh ke kiri
dan kanan, beberapa pria membawa map lusuh. Wajahnya
nampak letih dan kumal. Barangkali mereka senasib
denganku? Pikir Rosalina. Susah mendapatkan pekerjaan di
kota besar ini. Tapi kemudian hati Rosalina menyeletuk;
Kau tidak senasib dengan mereka, Lina. Sebab kau masih
beruntung mempunyai teman Handrian. Teman setiamu itu
telah menawarkan pekerjaan untukmu. Kenapa kau mesti
bersusah-susah mencari pekerjaan?
Ah, keluh Rosalina. Menghentikan suara hatinya.
Lalu ia menimbang-nimbang. Ya, untuk apa aku mesti
bersusah-payah seperti ini? Padahal Handrian telah
mengulurkan tangan untuk menerimaku bekerja di
kantornya. Dari pada setiap hari aku berkeliaran begini. Dan
Rosalina segera naik bis kota menuju ke kantor Handrian.
Rosalina membasuh keringatnya di wajahnya. Sapu
tangannya sampai kumal, selesai dipakai menyeka debu
yang menempel di kulit wajahnya yang halus. Lalu ia
melangkah lunak memasuki ruangan kantor yang ber-AC.
Seluruh karyawan mengangguk sambil melempar senyum
ramah kepadanya.
"Pak Handrian ada di tempat?" tanya Rosalina.
Karjo berdiri dan mengangguk.
"Ada. Silakan masuk!"- 125
Rosalina mengayunkan langkah. Menaiki anak
tangga ke ruang atas. Di ruang lantai dua, sambutan semua
karyawan menyenangkan hatinya.
Dan ketika masuk ke kamar direktur, hatinya
berdebar-debar.
"Rosalina," suara Handrian menegur dengan
gembira. Senyum yang sangat ceria menghiasi bibirnya.
Dan senyum itu bagai mengupas seluruh keletihan Rosalina.
Ruang yang sejuk. Senyum Handrian tak kalah sejuknya di
hati Rosalina. Rasa letih dan capainya mendadak jadi hilang.
Handrian menyambut Rosalina penuh perhatian.
Mempersilakan Rosalina duduk di kursi. Fonny tersenyum
ramah membalas anggukan Rosalina.
"Dari rumah?" tanya Handrian sembari duduk di
sebelah Rosalina.
Rosalina mengangguk.
"Bagaimana dengan tawaranku kemarin?"
Masih ada keraguan di hati Rosalina. Padahal
sewaktu menuju ke mari ia sudah mengambil keputusan.
Tak ada jalan lain, bahwa ia harus menerima tawaran itu.
Bekerja di kantor Handrian.
"Bagaimana, Lina?"
Rosalina merasa risih. Dan ia memandang sekilas ke
arah Fonny. Sekretaris itu sedang sibuk mengetik. Seolah-- 126
olah tak ingin tahu urusannya dengan Handrian. Lalu
Rosalina mengalihkan perhatian pada Handrian. Ditatapnya
wajah Handrian dengan pancaran mata sayu. Kemudian
kepala mengangguk.
"Aku senang sekali. Kau mau bekerja di sini," kata
Handrian dengan wajah berseri-seri. Tangannya menepuk
nepuk mesra bahu Rosalina. Lalu ia bangkit dan
menghampiri Fonny yang sibuk mengetik.
"Fonny," panggil Handrian.
"Ya, Pak." Fonny menghentikan jarinya yang
mematuk huruf-huruf mesin tik. Dan gadis itu membalas
pandangan, direkturnya. Menunggu perintah dari atasannya.
"Mulai besok, siapkan meja tulis dan kursinya di
ruang depan."
"Baik, Pak."
"Dan mulai besok, Nona Rosalina akan membantu
tugas-tugasmu. Aku harap Fonny mau membimbing Nona
Rosalina melakukan pekerjaan."
Handrian memutar tubuhnya menghadap Rosalina.
"Nah, mulai besok kau sudah masuk bekerja di sini.
Fonny akan membimbingmu dalam menyelesaikan
pekerjaan. Mudah-mudahan kau kerasan bekerja di sini."
"Terima kasih."- 127
Handrian mendekati mejanya, lalu menenteng tas
Echolac-nya.
"Lina bisa berbincang-bincang dengan Fonny.
Karena Fonny akan dapat memberikan pengetahuan
kegiatan perusahaan ini. Aku ada urusan."
"Baik, Pak."
"Aku ada urusan dengan kepala ekspedisi muatan
kapal laut. Aku pergi dulu, Lina," pamit Handrian.
Rosalina mengangguk. Senyum yang teramat manis
mengembang di bibir perempuan itu untuk mengiringi
kepergian Handrian. Setelah itu ia mendekati Fonny. Fonny
menarik kursi untuk Rosalina. Mereka duduk bersebelahan.
"Pak Handrian orangnya disiplin sekali menerapkan
aturan kepada bawahannya, ia tegas, keras, tapi juga lembut
dan bijaksana. Maka tidak heran kalau semua karyawan
betah kerja di kantor ini. Termasuk saya juga," kata Fonny.
Rosalina senyum-senyum. Yang sementara ia ketahui
cuma kelembutan dan kemesraan pria itu. Ada juga
kemarahannya, tapi sedikit sekali. Barangkali disebabkan
karena Handrian sangat mencintainya. Ini boleh jadi.
Sungguhpun begitu, Handrian memang pria yang patut
untuk dikagumi dalam banyak hal. Bukan soal perempuan
saja. Soal bisnis pun, ia cukup berhasil.- 128
"Sebenarnya saya juga terlalu repot menghadapi
pekerjaan. Memang sudah sepantasnya kalau Kak Lina
diperbantukan pada saya."
"Tapi saya belum tahu apa-apa, Fonny."
"Semuanya itu bisa dipelajari secara perlahan-lahan.
Yang penting Kak Lina tekun menghadapinya. Bisa
mengetik?"
Rosalina menggeleng.
"Sementara bisa pakai sebelas jari."
Mereka tertawa. Sudah mulai nampak akrab.
"Perusahaan yang dikelola Pak Handrian memiliki
kantor cabang di Semarang. Sekarang sedang sibuk
mengerjakan proyek perumahan dan listrik masuk desa."
Semarang. Ah, kota kelahiranku. Membangkitkan
kerinduan kepada kampung halamanku, kata hati Rosalina.
"Dan sebagai pimpinan cabang dikelola oleh Nona
Monika. Yang dulu menjabat sekretaris di sini."
Monika. Namanya sangat bagus. Pasti orangnya juga
cantik, pikir Rosalina. Dan gadis yang duduk di sebelahnya
juga cantik. Rosalina jadi agak minder. Sebab karyawati di
kantor ini, semuanya berpakaian bagus-bagus. Dandanan
nya pun sangat menarik. Lalu ia mengamati roknya yang
lusuh dan sederhana sekali. Tercium bau keringat. Tapi- 129
gadis yang duduk di sebelahnya, gaunnya bagus, bau parfum
wangi menyeruak ke hidung.
"Lalu apa yang bisa saya bantu, Fonny?"
"Paling membuat laporan keuangan. Bisa kan?"
Rosalina mengangguk.
"Nanti bisa saya bantu cara menyusunnya."
Pesawat telpon di meja Fonny berdering. Fonny buru
buru mengangkatnya.
"Selamat siang," kata Fonny ramah.
"Rosalina masih ada di situ?"
Fonny mengenali suara yang menyusup ke
telinganya. Tak salah lagi Handrian yang sedang menelpon.
"Ada pak."
"Tolong aku mau bicara."
Fonny menyerahkan gagang telpon kepada Rosalina.
"Pak Handrian mau bicara," kata Fonny memberitahu
Rosalina.
"Hallo..."
"Lina, ya?"
"He'eh," suara Rosalina persis Iin Parlina-nya Trio
Bimbo.- 130
"Papa siang ini tidak bisa kembali ke kantor. Sebab
urusannya masih belum selesai. Mama nanti pulang sendiri
ya? Papa tidak bisa mengantar Mama. Padahal papa juga
ingin mengajak Mama jalan-jalan," kata Handrian mesra
dan lembut.
Perasaan Rosalina amat bahagia. Bahagia sekali
dipanggil mama oleh Handrian. Selama ia menjalani hidup
berumah tangga dengan suaminya, tak pernah dipanggil
begitu. Dimanja dan disayang.
"Nggak apa-apa deh. Biar nanti aku pulang sendiri,"
balas Rosalina senyum-senyum bahagia.
"Jangan marah ya, Ma?"
"Kenapa mesti marah? Malah Lina di sini berdoa agar
bisnis Pak Han bisa berhasil."
"Jangan panggil Pak! Panggil papa dong," ledek
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Handrian.
"Ah!" sergah Rosalina manja.
"Okey ya, Ma. Jangan lupa, besok mama mulai masuk
kerja. Daaaag."
Rosalina meletakkan gagang telpon ke induknya.
"Fonny, aku pulang ya?" pamitnya.
"Tidak ngobrol dulu, Kak?"- 131
"Besok kita kan masih bisa ketemu," Rosalina
bangkit.
"Sampai jumpa besok," balas Fonny.
Rosalina melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
***- 132
Handrian baru pulang dari pelabuhan. Hasil yang
telah disepakati bersama dengan pimpinan EMKL cukup
menggembirakan. Dan sekarang, setiap ia baru pulang
kantor, atau urusan bisnis lainnya, selalu menjenguk kamar
Rini. Sejak kejadian yang menimpa diri Rini, perhatian
Handrian semakin besar. Kalau dulu sering terjadi perang
mulut, tapi sekarang Handrian sangat menyayangi Rini. la
merasa berdosa pada adiknya itu.
Dan sore itu ia menemui Rini di kamarnya. Gadis
yang malang itu banyak mengalami perubahan. Selalu
mengurung diri di kamar. Menghabiskan waktu yang luang
untuk merenungi diri. Wajahnya yang dulu ceria dan manja,
kini berubah murung dan kuyu. Alangkah menyedihkan
nasibmu, Rini. Kau adikku satu-satunya yang telah menjadi
korban karma, keluh Handrian penuh penyesalan. Maka ia
berusaha menghibur hati Rini.
"Rini, kita jalan-jalan yuk?" ajak Handrian yang kian
sedih memikirkan adiknya. Sebab setiap dilihat, Rini selalu
merenung murung di kamarnya.
"Malas," sahutnya tak bersemangat.
Handrian memeluk pundak Rini.
"Aku semakin sedih memikirkan keadaanmu, Rin.
Setiap hari kerjamu hanya murung di kamar. Aku tahu apa
yang kau pikirkan. Tapi kalau terus menerus begitu, kau
akan kehilangan gairah untuk hidup. Tubuhmu akan menjadi
kurus kering. Maka sebaiknya kita jalan-jalan yuk?"- 133
Rini menatap mata Handrian. Pancaran mata yang
dulu tak mau terkalahkan, tapi sekarang mata Handrian
berkaca-kaca. Setiap menghadapi adiknya pasti disaputi air
bening. Dan pancarannya penuh kesedihan. Menyebabkan
perasaan Rini terenyuh juga.
"Mau jalan-jalan ke mana?"
"Nonton film, nonton pementasan drama di TIM, atau
apa saja yang kau sukai. Pokoknya yang bisa menghibur dan
menyenangkan hatimu. Mau ya?"
"Kamu belum mandi," Rini memperhatikan pakaian
Handrian.
"Itu soal kecil. Kalau kau mau, aku akan cepat-cepat
mandi."
"Baiklah."
Handrian buru-buru keluar dari kamar Rini. Lalu
pergi mandi juga buru-buru. Tukar pakaian, menyisir
rambutnya pun buru-buru. Semua itu karena ingin buru-buru
mengajak adiknya pergi. Sudah seringkah ia mengajak
pergi, tapi Rini menolaknya. Dan selagi gadis itu mau, maka
Handrian tak mau membuang waktu. Takut pendirian
adiknya jadi berubah. Padahal ingin sekali menghibur
kemurungannya. Menghibur kesedihannya.
Dan ketika mereka hendak pergi, dirasa aneh oleh
kedua orang tuanya. Kerukunan kedua anaknya itu tidak
seperti biasanya. Handrian begitu menyayangi adiknya.- 134
"Tumben rukun. Mau ke mana?" tegur Lila.
"Mau nonton, Ma." Handrian merangkul pundak
Rini. Terus membimbingnya keluar.
Hendra dan Lila saling bertukar pandang. Lalu
bertukar senyum. Mereka gembira menyaksikan kedua
anaknya rukun.
Handrian menuruti kemauan Rini nonton film di TIM.
Sejak dulu ia gemar nonton film nasional, ketimbang film
barat. Sekali waktu memang. Kalau film barat yang temanya
drama percintaan. Ia tidak menyukai tema cerita yang keras
dan sadis. Sebab perasaannya begitu halus dan peka.
Waktu mereka sampai di TIM, dan baru saja turun
dari mobil, Rini melihat Lusi bersama kakaknya. Kebetulan
mobil mereka di parkir berjejeran. Antara Rini dan Lusi
saling bertatapan. Sudah sekian lama mereka tidak saling
berjumpa.
"Lusi!"
"Rini!"
Lalu kedua gadis itu saling berpelukan.
"Apa kabar nih?" tanya Lusi.
"Baik-baik. Dan kau?"
"Sama. Lebih dari setahun ya kita tidak bertemu."
"Yah, begitulah. Kau kuliah di mana sekarang?"- 135
"Di Jayabaya. kau?"
"UI. Oh ya, kenalkan ini kakakku," Rini menarik
langan Handrian.
Handrian dan Lusi bersalaman. Lalu ganti bersalaman
dengan kakak Lusi.
"Rini mau nonton apa?"
"Film."
"Sama dong. Kalau begitu kita sama-sama saja."
"Okey."
Mereka berempat menuju ke loket. Lusi buru-buru
membeli karcis ke loket, tapi kalah cepat dengan Handrian.
Karena Handrian lebih cepat menyerahkan uang kepada
penjual karcis. Hingga tangan Handrian dan Lusi saling
bersentuhan, ketika berusaha lebih dulu membeli karcis.
"Biar saya saja yang beli," kata Handrian sembari
melempar senyum kepada Lusi. Dan gadis itu membalas
tersenyum.
"Saya aja deh," balas gadis itu manja. Tetap
menyodorkan uangnya kepada penjual karcis.
Seorang gadis yang duduk di loket itu jadi bingung.
"Yang mana nih?" tanya gadis yang sudah menyobek
empat lembar karcis.
"Tenang. Saya saja," sahut Handrian.- 136
"Yaaaah, nggak laku deh duit gua," gumam Lusi
senyum-senyum.
Rini dan Wawan, kakaknya Lusi tertawa. Sedang
Handrian memandang wajah Lusi sembari tersenyum.
Cantik sekali gadis ini, pikir Handrian. Matanya, hidungnya,
bibirnya, semuanya indah. Tapi buru-buru Handrian
membuang pikiran yang mengagumi kecantikan gadis itu.
Sebab yang ada di hatinya cuma Rosalina seorang, ia wanita
yang telah melekat di hatinya, ia juga masih melebihi
kecantikan Lusi. Lalu ia merangkul pundak Rini dan
mengajak Lusi serta Wawan masuk ke gedung bioskop.
Selama mengikuti pertunjukan film, tak ada satu pun
yang membuka suara. Seandainya yang duduk di sisi
Handrian adalah Rosalina, sudah berkali-kali ia mengecup
bibirnya. Memeluknya dengan mesra. Tapi yang duduk di
sisinya adalah Lusi. Sayang sekali, keluh Handrian yang
dilihat kerinduan.
Ketika pertunjukan usai, Handrian menghela napas
lega. Impitan kerinduan di dada mulai hilang. Sebab dalam
keadaan yang begini, ia ingat pertama kali mencium
Rosalina. Di gedung bioskop juga. Meski bukan di gedung
bisokop ini. Sungguh, kenangan itu tak mampu
dilupakannya, la untuk pertama kalinya mencium
perempuan yang begitu bergairah. Tapi timbul penyesalan
setelah mengajak Rosalina ke Hotel. Perempuan itu bukan
pelacur. Dan perempuan itu menangis sedih karena disangka
pelacur.- 137
Lalu mereka berempat keluar dari gedung bioskop.
"Lusi, main dong ke rumahku," kata Rini
"Masih di rumahmu yang dulu kan?"
"Habis mau pindah ke mana lagi?"
"Barangkali pindah ke istana."
Rini dan Lusi tertawa. Mereka mengayunkan langkah
menuju ke tempat parkir. Lalu naik ke mobilnya masing
masing. Rini masih sempat mengeluarkan kepala di jendela
mobilnya. Dan berkata kepada Lusi.
"Kapan mau main ke rumah?"
"Kalau punya waktu."
"Benar ya, aku tunggu lho!"
"Beres!"
Kedua mobil itu meluncur meninggalkan arena TIM.
Handrian merasa sedikit lega melihat Rini tampak gembira.
"Kau kenal Lusi di mana?" tanya Handrian sambil
mengendarai mobil.
"Bekas teman di SMA dulu. la orangnya baik sekali.
Selama menjalin persahabatan senantiasa saling mengerti.
Tidak seperti Winda yang tega menjerumuskan aku."- 138
"Sudahlah, jangan disebut-sebut lagi gadis brengsek
itu. Kalau saja ia laki-laki, sudah kutantang duel mati
matian. Sayang ia perempuan," gerutu Handrian geram.
Mobil terus meluncur menuju ke Pecenongan.
"Kita singgah ke warung kaki lima untuk makan
malam. Rini ingin makan apa?" tanya Handrian.
"Udang saja."
"Okey," Handrian merasa senang kalau bisa
memenuhi keinginan adiknya.
Lalu mereka singgah di warung kaki lima. Handrian
menyuruh Rini memesan apa saja yang disukai. Dan Rini
merasakan perhatian dan kasih sayang dari Handrian
terlampau berlebihan, la menyadari kalau kesemuanya itu
dilimpahkan, karena merasa bersalah padanya. Bagai ingin
menebus segala kesedihan yang membelenggu hidupnya.
Tapi cukupkah penyesalan dan kesedihan Rini tertebus?
Belum.
Gadis itu akan tetap meratapi hidupnya yang ternoda.
Kalau ia nampak gembira, itu cuma di luarnya saja, sedang
dilubuk hatinya merintih sedih.
Mereka menyantap hidangan penuh selera. Sebentar
sebentar Handrian memandang adiknya. Dan Rini cuma
tersenyum pahit. Seusai makan mereka pulang ke rumah.
Kegembiraan memang dirasa oleh Rini. Namun belum bisa
menebus kesedihan yang bagai terukir di hatinya.- 139 Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***- 140
Handrian melangkah ke dalam kantornya, ia berjalan
sembari mengedarkan pandang ke sekitar ruangan. Dan ke
arah pegawai baru yang duduk di belakang meja. Letaknya
di pojok ruang. Rosalina. Ya, Rosalina yang telah
menempati mejanya. Perempuan itu mengangguk sambil
tersenyum menyambut kedatangan atasannya. Anggukan
dan senyuman itu, sebagaimana karyawan lainnya. Bukan
seperti terhadap teman setia atau kekasihnya. Jadi formal.
Dan Handrian membalas begitu pula.
"Selamat siang, Pak."
"Siang."
Handrian terus masuk ke kamarnya. Fonny yang
sedang mengetik mengangguk. "Selamat siang, Pak."
"Siang. Sudah diberi tahu tugas Nona Rosalina?"
"Sudah Pak."
Handrian menghenyakkan pantat di kursi. Beberapa
kali dia sibuk menelpon relasinya. Fonny sibuk mengetik.
Dan Rosalina juga sibuk menyalin nota keuangan ke dalam
buku. Sementara karyawan yang berada di ruangan itu,
seringkah melirik Rosalina. Rambut Rosalina yang
bergelombang hingga bahu, hitam legam teratur rapi.
Wajahnya yang cantik dan anggun tampak ceria. Ketekunan
perempuan itu menghadapi pekerjaan menimbulkan
simpati. Sikapnya yang diam tapi ramah. Memang serasi- 141
dengan sikap Handrian. Perempuan itu sangat ideal untuk
menjadi istri pimpinan kantor itu.
Padahal Rosalina merasa kikuk dan asing duduk di
ruangan itu. Sebab ia belum pernah menjadi karyawan di
sebuah kantor. Meskipun dia telah berusaha menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Tiba-tiba lampu interkom di
mejanya menyala, lalu Rosalina mengangkat gagang
interkom itu.
"Lina," suara Handrian.
"Ya Pak."
"Fonny mau bertugas ke luar kantor. Tolong kalau
ada telpon dilayani dulu."
"Baik Pak."
Rosalina menaruh gagang interkom ke induknya.
Pintu kamar direktur terbuka. Fonny keluar dari kamar itu
dan menghampiri Rosalina.
"Fonny pergi dulu ya, Kak."
Rosalina mengangguk.
"Jika ada yang menelpon saya, tolong dicatat dari
siapa, dan apa keperluannya. Terima kasih lho," Fonny terus
melangkah pergi.
Rosalina meneruskan pekerjaannya. Tapi tak lama
kemudian telpon di mejanya berdering. Rosalina menerima
nya.- 142
"Selamat siang," suara Rosalina ramah.
"Pak Handrian ada di tempat?"
"Ya. Boleh saya tahu, siapakah Anda?"
"Hilda. Tolong sambungkan ke pesawat Pak
Handrian."
"Baik. Tunggu sebentar," balas Rosalina dengan
perasaan berdebar-debar. Sebab ia mengenal perempuan
yang menelpon itu. Dengan jari tangan gemetar Rosalina
memijit nomor line interkom di kamar Handrian.
"Ada telpon Pak Han," kata Rosalina dengan suara
berat.
Sementara Handrian menerima telpon di kamarnya.
"Hallo Hilda, ada perkembangan apa nih?"
"Babe kemarin malam menelpon, bahwa pembayaran
tahap pertama sudah dikirim melalui Bank Indonesia. Cuma
belum bisa cair, karena belum mengetahui nomor
rekeningmu di Bank Indonesia."
Handrian segera memberi tahu nomor rekeningnya.
"Okey. Nanti malam aku interlokal ke rumah babe.
Menurut kabar dari babe, staf kamu yang bekerja di sana
sangat cekatan lho."
"Lihat dulu dong, siapa pimpinannya," sahut
Handrian disertai tawanya.- 143
"Soal bisnis gua memang salut. Tapi kau harus
dipensiun jadi playboy," Hilda juga tertawa.
"Sial! Gua sekarang memang sudah pensiun. Mau
insaf. Tapi gua minta lu datang ke kantor hari ini. Gua ingin
membuat surprise buat kamu."
Hilda tertawa lagi.
"Surprise apa nih?"
"Pokoknya datang saja deh."
"Okey."
Sembari senyum-senyum Handrian meletakkan
gagang telpon ke induknya.
Dan tak lama kemudian, Hilda benar-benar datang, la
melangkah ke dalam kantor Handrian. Ketika ia
mengedarkan pandang ke pojok ruang jadi terpana.
Rosalina? Benarkah yang duduk di belakang meja itu
Rosalina, pikir Hilda masih ragu-ragu. Kemudian Rosalina
mengangkat kepalanya, bersitatap dengan Hilda. Baru ia
yakin kalau gadis itu memang Rosalina. Maka buru-buru
dihampirinya.
"Lina!" panggil Hilda girang.
Rosalina mengangguk sembari tersenyum. Senyum
yang belum pernah dilihat oleh Hilda. Begitu ceria. Lalu
Hilda mengulurkan telapak tangannya. Rosalina
menyambut dengan senang hati. Sesaat mereka bersalaman.- 144
Dan di hati Hilda menyeletuk; Barangkali ini yang dikatakan
surprise!
"Apa kabar, Lina?"
"Baik-baik."
"Aku senang sekali bertemu lagi denganmu. Sudah
lama bekerja di sini?"
"Baru mulai hari ini," kata Rosalina agak malu.
"Kuharap kau betah kerja di sini."
"Aku berharap begitu juga."
"Dan kuharap bisa secepatnya Handrian melamar
mu."
Rosalina tersipu malu. Kedua pipinya jadi berubah
merah jambu.
"Sungguh lho, aku ikut berbahagia. Sebentar, aku
mau menemui Pak direktur. Nanti kita ngobrol lagi ya?"
"Silakan."
Hilda masuk ke kamar direktur. Kedatangannya
langsung disambut oleh senyum Handrian. Senyum
kemenangan.
"Bagaimana? Sudah ketemu bidadariku?" tanya
Handrian.- 145
"Hebat. Otakmu memang encer. Bagaimana caranya
bisa menaklukkan gadis itu heh? Apa kaupunya ajimat yang
ampuh?" sahut Hilda sembari duduk di kursi.
Handrian tertawa.
"Bukan karena ajimat. Tapi aku sudah bertobat."
"Bertobat? Waah!" dan Hilda ketawa ngikik.
Handrian senyum-senyum, la mengeluarkan rokok
filternya. Menyulut sebatang, lalu menyodorkan yang lain
pada Hilda. Hilda mengambil sebatang terus disulutnya.
"Apakah ia masih merupakan misteri buat kau?"
Handrian menyedot rokoknya. Kepalanya menggeleng.
"Problemnya juga sudah kau ketahui?"
"Yaaah," desah Handrian.
"Lantas kenapa tak segera kau lamar?"
"Ia masih belum mau."
"Masih aneh," gumam Hilda. "Barangkali selain ia,
sudah buru-buru menerima lamaranmu. Kau adalah harapan
kebahagiaan seorang gadis. Tampan, seorang direktur, kaya
raya, dan segala-galanya deh."
"Ia masih ingin bekerja."
"Lebih enak jadi istri direkturnya."
"Itu menurut kau."- 146
"Aku rasa gadis mana pun sama dengan
keinginanku."
"Tapi ia lain."
"Atau masih ada alasan yang lain?"
"Itu rahasia perusahaan."
"Bukan main. Sudah main rahasia-rahasiaan nih?"
"Setiap orang punya rahasia dalam hidupnya. Dan
rahasia itu yang boleh tahu cuma ia dan aku."
"Jika suatu saat Monika datang bagaimana?"
"Masa lalu bukan lagi saat ini. Dan sebenarnya antara
aku dan Monika tidak ada rasa saling mencintai. Yang ada
cuma saling membutuhkan. Itu saja."
"Tapi setidak-tidaknya akan melukai hati Rosalina."
"Aku bisa menjaga, supaya tidak melukai hatinya."
"Itu yang penting. Sebab kau harus bisa
membandingkan, antara Monika dengan Rosalina. Monika
cuma perlambang sex appeal, sedangkan Rosalina tipe
wanita yang penuh kesetiaan. Pribadinya anggun dan sangat
ideal menjadi istri serta ibu anak-anakmu."
Ya, memang ia seorang istri yang setia. Tabah
menghadapi penderitaan hidupnya. Kendati ia telah
tergelincir ke lembah dosa. Bermain serong dengan laki-laki
yang bukan suaminya, la hanya menyalurkan nalurinya- 147
sebagai perempuan normal. Lewat jalan yang bukan
semestinya memang. Dan oleh peradaban manusia memang
dianggap dosa. Tetapi sebagai perempuan, ia membutuhkan
nafkah batin. Nafkah batin yang tak mampu diberikan
suaminya.
"Aku memang berniat memperistri Rosalina."
Hilda tidak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam
hati Handrian. Ia merasa senang, bahwa Handrian berniat
memperistri Rosalina.
"Sudah waktunya jam makan siang. Aku ajak
Rosalina ya?" kata Hilda.
"Kita makan siang bersama," Handrian bangkit. Lalu
ia bersama Hilda meninggalkan kamar itu.
Hilda menghampiri Rosalina yang masih sibuk bekerja.
"Lina, sudah waktunya istirahat makan siang."
Rosalina menghentikan pekerjaannya. Lalu mengangkat
kepalanya dan memandang Hilda. Senyum di bibirnya selalu
manis. Ramah.
"Yuk, kita makan siang dulu, Lin," ajak Hilda
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembari menarik lengan Rosalina.
Rosalina bangkit dari tempat duduknya, terus
mengikuti Hilda. Mereka berjalan meninggalkan ruang
kantor. Rosalina berjalan tertunduk di sisi Handrian. Sedang- 148
Hilda sambil berjalan menggandeng tangan Rosalina. Hilda
nampak begitu akrab sekali.
***- 149
Rosalina turun dari mobil sembari mengempaskan
pintu. Bersama Fonny mendatangi perusahaan advertising
yang terkenal di Jakarta. Selama ia bekerja membantu tugas
tugas Fonny, memperluas usaha perusahaan, banyak
pengalaman yang didapat. Mengenal beberapa kantor
perusahaan yang selama ini bekerja sama dengan
perusahaan yang dikelola Handrian. Semakin tahu jaringan
urusan kantor, semakin kagum dengan sistem kerja
Handrian. Ternyata direktur muda itu memiliki otak yang
jenius. Boleh dibilang seorang pengusaha muda yang cukup
berhasil.
Rosalina melangkah ke dalam kantor. Fonny berjalan
sembari membalas teguran-teguran para karyawan. Banyak
juga artis terkenal yang datang ke kantor itu. Sebagian ada
yang kenal dengan Fonny. Rupanya para artis punya
kepentingan dengan biro advertising itu. Poster-poster artis
yang berpose segala mode terpampang di dinding. Pintu
ruang direktur terbuka, dan di pintu itu tegak berdiri seorang
laki-laki muda.
Rosalina terperangah. Rasanya ia kenal laki-laki itu.
Dan jantung Rosalina menggelepar. Masa remaja yang
indah. Ya, masa di bangku SMA. Itulah sebabnya debaran
di dada membuat napasnya tersendat-sendat.
Laki-laki itu sedang berbicara dengan seorang artis
yang berparas cantik. Bercanda sembari tertawa ceria. Tidak
seperti dulu, senantiasa pendiam dan kaku dalam pergaulan.- 150
Memakai kemeja biru muda, dengan dasi lebar. Begitu rapi.
Jauh bila dibanding pada masa di bangku SMA.
Rosalina mengerjap-ngerjapkan matanya. Dan
pembicaraan laki-laki itu sudah berakhir. Lalu beralih
perhatian ke arah Rosalina dan Fonny yang berdiri
menunggu. Berbinar mata laki-laki itu ketika menatap
Rosalina. Rosalina dan laki-laki itu saling bersitatap. Maka
suara laki-laki meledak ;
"Rosalina!"
Dan Rosalina mendesah; "Anton."
Dengan penuh gembira Anton menjabat tangan
Rosalina.
"Apa kabar, apa kabar, Lina?" Anton seperti
mendapat lotre. Girang sekali.
"Baik-baik," balas Rosalina tersenyum.
"Eee, sudah saling kenal toh?" suara Fonny setengah
heran.
"Lina adalah teman sekelasku waktu di bangku SMA.
Sudah hampir tiga tahun ya, kita tidak saling ketemu?"
Rosalina mengangguk. Lantas Anton menarik lengan
Rosalina masuk ke kamar kerjanya. Sementara tamu-tamu
lainnya dipersilakan menunggu di luar. Rosalina dan Fonny
merasa diistimewakan. Seolah-olah mereka adalah tamu
yang sangat penting. Semua itu lantaran Anton sudah rindu- 151
pada Rosalina. Sampai sekian lamanya, laki-laki itu masih
menyimpan kuncup cinta di hatinya. Di masa lalu, ia masih
belum berani mengungkapkan perasaannya pada Rosalina.
Dan pertemuannya kali ini, bagai menyirami kuncup di
hatinya. Membersit kerinduannya.
Rosalina dan Fonny duduk berhadapan dengan
Anton. Wah, hebat. Siapa yang akan menyangka kalau
Anton jadi seorang direktur yang cakap, pikir Rosalina
sembari termangu memperhatikan Anton. Anton yang
duduk di kursi direktur.
"Sudah lama tak ada kabar beritanya, ke mana saja
Lina?" tanya Anton sambil memperhatikan Rosalina. Nyaris
kelopak matanya tak berkedip ketika memandang Rosalina.
Tambah cantik dan anggun. Tambah matang pula, pikir
Anton yang terpana.
"Sibuk mengadu nasib."
"Burukkah nasibmu?"
"Sedang-sedang saja."
"Kenapa waktu malam perpisahan di sekolah, kau tak
datang?"
Kenyerian menggesek di dalam dada Rosalina.
Bagaimana ia masih ingat malam perpisahan itu? Sedang
Rosalina sendiri sudah melupakan. Tapi pertanyaan itu
menimbulkan geleparan jantung yang tak menentu.- 152
"Ak... aku mendadak harus pulang ke Semarang. Ada
famili yang sakit," sahut Rosalina terbata-bata. Kedua
matanya terasa hangat.
"Ooo, lantas sekarang masih kuliah?"
Rosalina menggeleng.
"Ia sudah bekerja di perusahaan kami, Pak," Fonny
menimpali.
Anton mengalihkan perhatian ke Fonny. Kepalanya
manggut-manggut. Lalu pindah lagi memperhatikan
Rosalina.
"Sudah lama bekerja di perusahaan Pak Handrian?"
"Belum."
"Pantas. Kalau kebetulan aku ke sana, tak pernah
melihatmu. Ngomong-ngomong masih sendiri nih?" Anton
tersenyum-senyum.
Dan Rosalina juga tersenyum-senyum. Tak ada
jawaban dari bibir perempuan itu. Tapi yang menjawab
malah Fonny;
"Ia pacarnya Pak Handrian."
"Oh, ya?"
Rosalina menepuk bahu Fonny. Tersipu malu dia.
Sampai kedua pipinya jadi merah jambu. Sedang Anton dan
Fonny tertawa.- 153
"Aku kepingin main ke rumahmu," ujar Anton.
"Tapi rumahku jelek. Masuk gang kampung lagi."
"Tak jadi soal. Tolong beri alamat rumahmu."
"Jangan," keluh Rosalina tersendat. Napasnya terasa
sesak. "Kalau mau ketemu di kantor saja."
Anton jadi agak kecewa. Tapi kemudian ia berusaha
untuk tersenyum, agar rasa kecewanya tak begitu kentara.
"Okey, okey. Sekarang apa yang bisa aku bantu?"
Rosalina menyerahkan urusan kantor kepada Fonny.
Dan Fonny segera mengeluarkah buku-buku promosi dan
brosur.
"Perusahaan kami baru mengimpor mesin-mesin alat
pertanian modern. Dan gambar-gambar dari brosur ini,
harap dibuatkan iklannya untuk surat kabar," tutur Fonny
menyerahkan buku-buku promosi itu kepada Anton. Lalu
Anton mempelajari gambar mesin-mesin alat pertanian itu.
"Cuma itu?" tanya Anton.
"Mungkin dua minggu lagi mesin-mesin tersebut
akan tiba di Indonesia. Dan setelah diuji coba, ada
permintaan dari Pak Handrian untuk membuat film
dokumenter."
"Baik. Ada yang lainnya lagi?"
"Saya rasa baru itu."- 154
Anton menekan nomor interkom.
"Darus?"
"Ya, Pak."
"Datang ke kamar saya."
"Baik, Pak."
Anton meletakkan gagang interkom ke induknya.
Sesaat kemudian Darus masuk ke kamar Anton.
"Ada apa, Pak?"
"Tolong kamu pelajari buku promosi ini. Setelah itu
buatkan disain iklannya," kata Anton seraya menyerahkan
buku promosi itu kepada Darus.
"Baik pak," Darus melangkah pergi. Anton
memandang Rosalina lagi. Sedang Rosalina merasa kikuk
dipandang tajam begitu.
Dulu Anton tak pernah memandang seperti itu. Malah
ia selalu tertunduk kalau ditatap Rosalina. Tapi sekarang
laki-laki itu jadi agresif. Bahkan sorot matanya berbinar
binar. Barangkali karena pergaulannya sekarang dengan
artis-artis ia berubah pemberani dan nampak santai.
"Rosalina tidak ingin jadi artis terkenal?" tanya
Anton.
"Ah," desah Rosalina tersipu.- 155
"Kalau mau, tidak perlu bersusah-susah. Aku bisa
mengorbitkanmu, melalui iklan-iklan di mass-media.
Wajahmu cantik, bentuk tubuhmu indah. Dan cocok untuk
film-film iklan. Tak lama kau bisa cepat melejit," ujar Anton
antusias sekali.
"Aku tak pernah bermimpi jadi artis."
"Tapi aku bisa menjadikan kauartis terkenal. Kapan
kapan kalau kita punya waktu, aku ingin mengajakmu ke
sanggar. Banyak juga artis yang sekarang terkenal, dulu ikut
grup sanggar kami. Dan bagi dirimu, tak akan banyak
menemui kesulitan. Karena dirimu tiada celanya."
Rosalina senyum-senyum. Lalu Fonny mengajak
Rosalina untuk segera meninggalkan kantor itu.
"Kami permisi dulu, Ton. Lain kali bisa ketemu lagi,"
pamit Rosalina.
"Okey. Pikirlah dengan tenang, Lina! Jalan ketenaran
buat kamu sudah terbuka. Tinggal kamu mau atau tidak."
Rosalina dan Fonny bangkit.
"Aku pikir-pikir dulu, Ton. Permisi."
Anton mengantar Rosalina dan Fonny cuma sampai
di pintu kamarnya. Sebab tamu-tamu lainnya sudah
menunggu. Rosalina melangkah sembari mengedarkan
pandang. Banyak juga gadis-gadis cantik yang menunggu
giliran ingin menghadap Anton. Tak salah lagi, mereka ingin- 156
mendapat kesempatan jadi gadis foto model. Dan ingin jadi
artis yang terkenal.
Kemudian Rosalina duduk di samping Fonny. Dan
mobil yang dikemudikan Fonny meluncur cepat. Dada
Rosalina menyenak. Angin yang mendesau lewat di dekat
telinganya. Kepalanya dirasa mulai pening. Dan perutnya
jadi mual.
"Aaaah!" keluh Rosalina terdengar agak keras.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan kanan memijit-mijit pelipisnya.
Tangan kiri mendekap perutnya.
Fonny terheran memandang Rosalina.
"Kak Lina kenapa?"
"Kepalaku pusing. Perutku mual, rasanya ingin
muntah," suara Rosalina terdengar berat. Dan akhirnya
Rosalina muntah-muntah.
Fonny jadi cemas, la menghentikan mobilnya di
pinggir jalan. Lalu ia memijit-mijit tengkuk Rosalina.
"Barangkali Kak Lina masuk angin," kata Fonny.
Rosalina terus muntah-muntah. Mukanya berubah
pucat, dan tubuhnya jadi lemas. Fonny tambah cemas.
"Saya antar ke dokter ya?"
"Tidak usah..."- 157
"Kalau begitu saya antar pulang ke rumah saja. Biar
nanti Fonny memberi tahu Pak Handrian, kalau Kak Lina
sakit."
Rosalina mengangguk lesu. Fonny bergegas
meluncurkan mobilnya menuju ke rumah Rosalina. Rosalina
duduk bersandar di jok. Tubuhnya lemas bagai tak
mempunyai kekuatan lagi. Sedang rasa pening dan mual
semakin menyergap-nyergap dirinya. Fonny yang
mengendarai mobil, sebentar-sebentar memandang
Rosalina. la berharap cepat tiba di rumah Rosalina.
Keringat dingin merembes lewat pori-pori Rosalina.
Ia memejamkan mata. Kesibukan mobil yang berlalu-lalang,
hanya bayangan kabur yang nampak. Semakin menambah
pening dan mual. Dan tak tahu, bahwa mobil telah tiba di
jalan yang dituju. Tapi Fonny belum tahu rumah Rosalina.
"Yang mana rumahnya, Kak?" tanya Fonny.
Rosalina membuka matanya, ia tergagap.
"Stop. Stop di sini."
Rosalina berusaha mengembalikan kekuatan
tubuhnya yang lemas. Fonny menghentikan mobilnya.
"Saya antar sampai ke dalam. Kak."
"Tidak usah..., terima kasih. Aku masih kuat jalan
sendiri," ujar Rosalina dengan suara lemah. Lalu ia turun
dari mobil.- 158
"Besok, kalau masih belum sehat, Kak Lina istirahat
saja di rumah. Tidak usah memaksakan diri masuk bekerja,"
kata Fonny.
Bibir Rosalina yang pucat berusaha untuk tersenyum.
Kemudian Fonny melambaikan tangan. Meluncurkan
mobilnya kian menjauhi Rosalina. Baru Rosalina
mengayunkan langkahnya menuju ke teras rumah. Langkah
yang terasa berat dan limbung. Tapi terus jua dipaksakan.
Daun pintu diketuknya beru langkah. Rasa pening dan
mual terus melanda dirinya. Luapan rasa mual diperutnya
berusaha ditahan. Jangan sampai muntah-muntah. Dan
ketika pintu rumah dibuka oleh Gunawan, tanpa membuang
waktu lagi ia berhambur masuk. Gunawan jadi heran
melihat Rosalina yang tidak seperti biasanya, dan hari masih
siang sudah pulang dari bekerja di salon. Ya. Sudah pulang
dari salon. Itu yang diketahui Gunawan, bahwa Rosalina
dikira masih bekerja di salon, ia tidak mengetahui hal yang
sebenarnya. Sebab selama ini, Rosalina tidak pernah
bercerita apa-apa.
Setelah menutup kembali daun pintu, Gunawan
menggelindingkan kursi rodanya. Menuju ke kamar. Di
kamar Rosalina berbaring di atas tempat tidur. Dan sesaat
kemudian, Rosalina memuntahkan semua isi perutnya.
Tubuhnya kian tergapai lemas di atas kasur. Sedang
Gunawan memperhatikan istrinya yang muntah-muntah,
perasaannya jadi iba. Ia jadi kasian memikirkan istrinya
yang selama ini membanting tulang, bekerja untuk- 159
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Maka didekatinya
Rosalina. Tengkuk perempuan itu dipijit-pijitnya.
"Kau kenapa?" tanya Gunawan.
"Nggak tahu..." Rosalina menjawab dengan tubuh
terkulai lemas. Di sekujur tubuhnya dibasahi keringat
dingin.
"Barangkali kau masuk angin."
Kepala Rosalina mengangguk lemah.
"Makanya jangan diforsir menghadapi pekerjaan.
Aku kerokin ya?"
"Nggak usah. Sebentar juga baik lagi."
"Sekarang tidurlah dulu."
Kedua mata perempuan itu terpejam, la memaksakan
diri untuk tidur. Memerangi rasa pening dan mual. Hal
seperti ini belum pernah dirasakan olehnya. Perut mual, tapi
badan tidak merasa demam. Aneh, pikir Rosalina sembari
menggeliat. Mendekap perutnya, ia berusaha menahan
jangan sampai muntah-muntah lagi.
Dan sesaat kemudian rasa pening dan mual itu
berangsur-angsur hilang. Cuma kondisi tubuh Rosalina
masih lemas. Sisa-sisa air liur di dalam mulutnya dirasakan
pahit. Bagai empedu.
***- 160
BAB XII
Rini baru meninggalkan ruang fakultas, la
mengayunkan langkah menuju ke kampus. Ingin melihat
kegiatan-kegiatan para mahasiswa yang mengadakan
diskusi. Tapi sesampai di kampus hanya para mahasiswa
yang bergerombol. Barangkali diskusi belum dimulai. Dan
entah kenapa, tiba-tiba perasaannya jadi resah. Sebab semua
mahasiswa yang bergerombol mengalihkan perhatian pada
dirinya. Tentu saja Rm jadi salah tingkah. Sedang di antara
mahasiswa yang bergerombol terdapat Winda.
Maka Rini membalikkan badan. Melangkah pergi
meninggalkan kampus itu. Sementara hatinya digeluti
kepedihan. Pasti Winda membicarakan tentang diriku. Ia
dengan sengaja mengobarkan api yang membakar diriku.- 161
Biar jadi hangus diriku. Sehangus noda yang melekat dalam
tubuhku. Supaya mereka memencilkan aku dari pergaulan.
Apalah artinya seorang gadis yang telah diperkosa tujuh
orang laki-laki. Perbuatan terkutuk itu dilakukan silih
bergantian. Kalau sudah begini, laki-laki mana yang sudi
padaku? Kejam! Benar-benar kejam!
Rini mengeluh dalam sekejap. Kedua matanya dirasa
hangat. Oh, gadis itu hampir menangis. Tapi tangisnya pun
dalam sekejap, la tak ingin kecamuk di hatinya diketahui
orang lain. la tak ingin dikasihani orang lain. Semuanya
diterima dengan hati rela. Cuma kalau ia merasa dikucilkan
dari pergaulan, alangkah menyedihkan.
Rangga seorang mahasiswa membarengi langkah
Rini. la termasuk teman dekat Ronny. Kemurungan Rini
membuat laki-laki itu ingin mendekatinya. Entah apa
maksudnya.
"Sendirian saja, Rin?" tegur Rangga.
Rini menoleh. Lalu mengangguk.
"Sudah beberapa hari tak masuk kuliah ya?"
"He'eh."
"Ke mana?"
"Di rumah saja."
Mereka menuju ke kantin. Detak-detak sepatu mereka
terdengar menepak di lantai. Sesaat mereka diam sembari- 162
mengayunkan langkah. Ada segerombol mahasiswi yang
memperhatikan Rini. Tapi Rini pura-pura tak acuh. Lalu
Rini duduk di kursi pojok menghadapi meja. Ditemani
Rangga yang meletakkan pantat di sampingnya. Mereka
duduk bersebelahan.
"Mau makan atau minum saja?" tanya Rangga.
"Minum."
"Apa?"
"Es jeruk saja."
Rangga bangkit, lantas menuju ke bar kantin. Setelah
memesan, ia berbalik ke tempat duduknya. Seorang pelayan
datang mengantarkan dua gelas es jeruk ke atas meja
Rangga. Rangga buru-buru membayar, dan pelayan itu
pergi. Keduanya sama-sama mengaduk es jeruknya.
"Bagaimana kegiatan-kegiatanmu di kampus?"
Rini cuma mendesah. Kedua bahunya terangkat sedikit.
"Rasa-rasanya hubunganmu dengan Ronny mulai
renggang ya?"
Gadis itu merasa segumpal kenyerian mengganjal di
dalam dada. Menyebabkan napasnya tersendat. Kedua
matanya terasa hangat.
"Mungkin begitu," katanya bergumam.
"Bertengkar?"- 163
"Tidak."
"Dapat ganti yang baru?"
"Tidak."
"Lantas kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa."
Rini meneguk es jeruk.
Rangga begitu pula.
"Tapi sekarang, kayaknya ia intim dengan Winda."
"Biarin."
"Tidak takut direbut Winda?"
"Biarin."
Padahal seperti ada beliung yang menusuk hatinya.
Tidak! Tidak! Teriaknya di dalam dada. Membuat dadanya
nyaris meledak, karena menahan rasa sesak. Meski bibirnya
mengucapkan "Biarin", tapi di dalam hatinya tak ingin
kehilangan Ronny.
Dan di bawah teriknya sinar matahari, Ronny
melangkah menuju ke kantin. Rambutnya yang gondrong
sedikit menutupi telinga, ditata begitu rapi. Ditiup angin
hingga terurai. Terurai tapi tidak merusak dandanannya.
Pemuda ini memang selalu kelihatan rapi. Pakaiannya necis.
Barangkali sesuai dengan fakultas kedokteran yang
ditekuni. Itulah sebabnya, tidak heran kalau banyak gadis- 164
yang mengejarnya. Wajahnya tampan dan berotak
cemerlang.
"Sang Arjuna datang," gumam Rangga.
Rini jadi memperhatikan Ronny. Jantungnya dirasa
menggelepar. Lebih menggelepar lagi, manakala seorang
gadis berlari-lari menghampiri laki-laki itu.
"Mas Ronny!" panggil gadis itu.
Lagi-lagi ia. Jangan-jangan dia sudah mempengaruhi
Ronny, pikir Rini resah. Dan Rini menundukkan muka.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak ingin melihat Ronny berjalan bersisian dengan
Winda. Apalagi melihat kemanjaan Winda terhadap laki
laki itu. Cuma ia mendengar suara tawa Winda yang manja.
Semakin dekat. Dan mereka duduk menghadapi meja. Tidak
begitu jauh dari tempat duduk Rini dan Rangga.
"Hallo," sapa Rangga.
"Hallo juga," balas Ronny. Cuma sekilas laki-laki itu
memandang Rini. Ada rasa tak acuh di pancaran matanya.
Tak acuh yang dibalut kebencian. Untung pancaran mata itu
tidak bersitatap dengan mata Rini. Sebab Rini selalu
tertunduk. Nampaknya tidak ingin melihat kehadirannya.
"Perhatikan keintiman Ronny dengan Winda," kata
Rangga lirih.
"Aku tahu..." desah Rini tak mau mengangkat
kepalanya, ia cukup mendengar suara gelak tawa Winda
yang manja. Sementara hatinya bagai ditusuk-tusuk- 165
sembilu. Dan kalau ia sampai melihat, kepedihan itu malah
tiada terperikan.
Maka Rini bergegas bangkit dan berjalan pergi.
Rangga masih terpaku sendirian di tempat duduknya.
Termangu ia. Sedang Rini terus berjalan tanpa menolah lagi.
la masuk di bawah naungan atap gedung induk universitas.
Kalau saja siang ini tidak ada mata kuliah, sudah ingin dia
cepat-cepat pulang. Kalau saja beberapa hari yang lalu ia
tidak bolos kuliah, tidak mungkin dia masuk kuliah. Untuk
apa datang ke fakultas, jika perasaannya bagai ditusuk-tusuk
beliung. Cuma menerima kegetiran ini. Kegetiran yang
disodorkan oleh Winda.
Rini menarik napas berat. Pandangan matanya jadi
baur. Air bening menyaputi di kelopak matanya. Aku tak
boleh menangis. Tak boleh mengangisi hubungan dengan
Ronny. Kalau ia memang memutuskan, itu sudah
sepatutnya. Sebab diriku sudah melekat noda. Dan
pemutusan hubungan itu, tak ada yang harus disesali. Yang
semestinya disesali adalah diri yang kini ternoda. Itu saja.
Itu saja.
Dan Rini menabrak laki-laki yang berdiri tegak di
depannya, la terkejut ketika mengangkat kepalanya.
Ternyata laki-laki itu adalah Ronny.
"Kau?" suara Rini bergetar parau.
"Pulang kuliah aku menunggumu."- 166
Rini masih tertegak, sementara Ronny melangkah
pergi. Sampai laki-laki itu lenyap di belokan koridor gedung
universitas. Dan Rini berjalan tertunduk sambil mendekap
buku di dadanya. Resah mencekam perasaannya. Sikap laki
laki itu telah begitu banyak berubah. Dingin. Tak acuh, dan
sinis.
Dan menyebabkan Rini tak bergairah mengikuti mata
kuliah.
Dan Ronny memang menunggu Rini sampai pulang
kuliah.
Dan mereka meninggalkan gedung universitas itu.
Dan Rini kembali menyesali dirinya yang ternoda.
Sehingga makin rendah diri pergi bersama Ronny. Duduk
berdampingan dengan Ronny di dalam mobil. Barangkali
akibat kejadian terkutuk yang dialami. Diperkosa tujuh
orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Membuat hidupnya
dibalut kegetiran. Jadi layu dan rapuh. Mengalami mental
breakdown yang tiada terperikan. Teramat menyedihkan
memang.
Dan Ronny membawa Rini ke pantai. Tapi Ronny
tidak mengajak Rini turun dari mobil. Mereka hanya duduk
di dalam mobil sambil menatap laut. Laut yang debur
ombaknya menerjang ke tepian pantai. Seperti debur darah
Rini yang menerjang-nerjang dinding jantungnya. Berdesir
desir. Membuat sekujur badannya lemas. Keresahan pun
melonjak-lonjak di dalam dadanya.- 167
"Kenapa sering tidak masuk kuliah?" tanya Ronny
dingin.
"Malas," jawab Rini singkat.
"Lalu, kaumau jadi apa?"
"Ya, apa saja."
"Lantas, untuk apa kaumasuk universitas?"
"Untuk menyakiti perasaan orang lain" ketus Rini.
"Apa maksudmu?" Ronny menatap tajam gadis di
sampingnya.
"Barangkali Winda yang lebih tahu."
"Kalau begitu cerita Winda dapat kupercaya?"
"Banyakkah yang diceritakan Winda?"
"Ya. Kausekarang suka datang ke pesta. Pergaulanmu
jadi liar."
"Dan kau percaya?"
"Ya. Dan bagaimana dengan Alec pacarmu itu?"
Sebilah sembilu bagai mengiris hatinya. Sungguh
keterlaluan. Keterlaluan sekali. Pasti Winda telah membakar
cemburu laki-laki ini. Dan menceritakan keadaan dirinya
yang telah ternoda. Diperkosa tujuh orang laki-laki. Oh,
orang semacam apakah Winda itu? Wajahnya cantik, tapi di
balik kecantikan itu, tersimpan sifat seekor serigala.- 168
"Terserah apa penilaianmu," suara Rini parau.
"Aku minta kau jujur mengatakannya."
"Aku tak tahu apa salahku, sampai hati Winda
menjerumuskan aku."
"Dijerumuskan atau memang kehendak hatimu?"
"Terserah. Terserah kau mau percaya atau tidak.
Terserah kalau kau tidak sudi lagi padaku," kata Rini disertai
isaknya.
"Lebih setahun kita berpacaran. Tapi dengan segala
kepahitan, terpaksa aku memutuskan hubungan kita."
"Kalau itu memang kehendakmu, aku tak apa-apa.
Aku rela. Diriku memang telah ternoda. Tak pantas lagi
untuk dirimu," kata Rini terbata-bata.
"Cuma itu yang ingin kukatakan."
Ronny menstarter mobilnya. Lalu meluncurkan mobil
itu, meninggalkan tepian pantai. Sedang Rini berusaha tetap
tabah menelan kepahitan. Kegetiran yang disodorkan oleh
Ronny. Meski pun isak tangisnya tersekap. Membuat
dadanya nyaris meledak. Meledak, menahan tangis yang
menyergap-nyergap.
***- 169
Kursi malas bergoyang-goyang. Hendra duduk di
kursi itu sembari membaca. Hampir setiap hari lelaki
setengah baya itu, menghabiskan waktunya dengan
membaca buku-buku.
Lila menghampiri suaminya yang duduk di kursi
malas.
"Makan malam dulu, Pa."
"Sebentar. Tinggal beberapa halaman lagi."
"Papa kalau sudah membaca buku sampai lupa
makan. Sudahlah, Pa. Masih bisa diteruskan nanti. Kita
makan malam dulu," desak Lila.
"Mama duluan sama Rini."
"Biar mama tunggu sampai Papa selesai membaca,"
kata Lila dalam keluh.
"Dan Rini mana mau makan kalau tidak bersama-sama."
Hendra mengalihkan perhatian dari buku yang dibaca,
berpindah ke Lila yang berdiri di sampingnya.
"Sejak pulang kuliah, Rini tak kelihatan ke mana?"
tanya Hendra.
"Sudah beberapa hari ini, nampaknya kondisi
badannya kurang sehat. Tapi setiap ditanya bilang tidak apa
apa."
"Barangkali ada sesuatu problem yang dihadapi."- 170
"Mungkin," desah Lila.
Perasaannya mulai disaputi resah.
"Cobalah Mama tengok di kamarnya. Sedang apa ia?"
Lila segera menghampiri pintu kamar Rini.
Diketuknya daun pintu yang terkunci rapat.
"Rini. Rini!" panggilnya.
Tak ada sahutan dari dalam kamar. Perempuan itu
terus mengetuk pintunya. Berulang kali ia panggil nama
anaknya. Tetap tak ada sahutan. Diketuk tambah keras, tapi
cuma keheningan. Membuat perempuan itu diimpit
kecemasan.
Maka Lila menghambur ke arah suaminya, la nampak
kebingungan dan cemas.
"Pa. Papa. Aku sudah mengetuk pintu kamarnya
berulang kali, tapi tidak ada sahutan suara Rini," kata Lila
gemetar.
Hendra bangkit, la menaruh buku di atas meja.
Perasaannya jadi ikut cemas. Lalu ia menghampiri pintu
kamar, diikuti Lila. Daun pintu itu diketuknya berulang kali.
Semakin keras.
"Rini! Riniiii!"
Hendra tambah gelisah. Sebab tak ada sahutan. Maka
ia tak mau berhenti mengetuk daun pintu.- 171
Bahkan mulai menggebrak-gebraknya dengan keras.
Ia berteriak memanggil Rini. Tetap hening suasana
kamar itu. Dan yang terdengar suara detak sepatu. Tapi
bukan dari dalam kamar Rini, melainkan detak sepatu
Handrian. Laki-laki itu baru saja pulang dari mengurus
bisnisnya.
Hendra dan Lila mengalihkan perhatian. Dipandang
nya kehadiran anaknya itu. Sementara Handrian terheran
memandang kedua orang tuanya yang dilanda kecemasan.
"Ada apa ribut-ribut, Pa?" tanya Handrian.
Tapi yang menyahut malah Lila. Dengan suara
gemetar perempuan itu berkata;
"Rini ada di dalam kamar, Han. Tapi sudah berulang
kali dipanggil tidak ada sahutan. Sampai digebrak-gebrak
pintunya pun tidak mau membuka."
Celaka. Pasti telah terjadi sesuatu pada dirinya, pikir
Handrian jadi cemas. Lalu ia menggebrak-gebrak daun pintu
kamar itu.
"Rini. Riniiii!" teriaknya keras.
Yang ada hanya keheningan.
"Terpaksa kita dobrak pintunya," ujar Handrian
penasaran. Sudah tak sabar lagi. Lantas ia melangkah
mundur menjauhi daun pintu kamar, la mengerahkan
seluruh tenaganya. Dan ia melompat, menerjang daun pintu- 172
dengan tendangan karate. Daun pintu kamar itu terlepas dari
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engselnya. Rubuh ke lantai dengan suara debum yang keras.
Dan suara debum yang keras itu tidak membangunkan
Rini. Tubuh gadis itu terkulai lemas di atas tempat tidur.
Bergegas Handrian bersama kedua orang tuanya berhambur
mendekati gadis itu.
"Rini!"
Handrian menggoyang-goyang tubuh adiknya. Tubuh
gadis itu tengkurap. Bagai daun yang telah layu. Kemudian
Handrian membalikkan tubuh itu hingga tertelentang.
Handrian sangat terkejut ketika melihat di mulut gadis itu
berbusa. Maka ia menjerit.
Lila ikut menjerit, langsung ditubruknya tubuh
anaknya itu. Ia menangis dalam jeritnya yang memilukan.
"Riniii... kau kenapa?! Apa yang telah kau lakukan?!"
suara Lila melengking. Bagai merobek-robek hati Handrian
dan suaminya.
Handrian melihat sebuah kaleng Baygon tergeletak di
lantai. Langsung dipungutnya kaleng yang isinya tinggal
sedikit. Tangannya yang memegang kaleng itu jadi gemetar.
Dan ditatapnya kaleng itu dengan mata berkaca-kaca.
"Obat pembasmi serangga ini telah diminumnya,"
desahnya menggigil.
"Cepat kita bawa ia ke rumah sakit!" teriak Hendra
yang panik.- 173
Handrian membanting kaleng itu dengan geram. Lalu
ia membopong tubuh Rini yang lemas itu. Dada gadis itu
masih bergelombang, naik turun. Meski napasnya tersendat
sendat. Dan Handrian membawa lari adiknya ke luar kamar.
Hendra dan Lila mengikutinya.
Seorang pelayan perempuan yang berusia agak tua
ikut panik.
"Jaga rumah, Mbok," perintah Hendra sembari i lari
ke luar.
"Ba... baik. Tuan."
Dengan mobil Handrian mengangkut Rini ke rumah
sakit. Dan mobil itu meluncur dalam kecepatan tinggi.
Jarum spedometer melewati kulminasi. Banyak yang
menjerit-jerit pada setiap tikungan. Tak menghiraukan
makian pengemudi lainnya yang disalip. Yang penting jiwa
adiknya bisa tertolong.
Setibanya di halaman ruma sakiti, Handrian langsung
membopong Rini. Berlari masuk ke koridor rumah sakit.
Hendra dan Lila terus mengikuti di belakang. Cemas
meletup-letup dalam dada mereka. Tangis Lila menyertai
langkah-langkahnya. Menimbulkan perhatian semua orang
yang ada di sekitarnya.
Seorang dokter segera memberikan pertolongan.
Dibantu dua orang suster yang cekatan. Sementara Handrian
dan kedua orang tuanya dilanda kecemasan. Memandang- 174
Rini yang berbaring di atas tempat tidur sambil berdoa.
Berdoa agar jiwa Rini bisa tertolong.
"Maaf, sebaiknya ditunggu di luar saja," pinta dokter.
Hendra merangkul bahu istrinya. Membimbingnya ke
luar meninggalkan kamar itu. Tangis perempuan itu tersedu
sedu. Sedang Hendra hanya berlinangan air mata. Seperti
Handrian begitu juga. Tangis mereka tersekap di dalam
dada.
Di bangku panjang, mereka duduk berderet. Hendra
dan Lila masih diliputi tanda tanya. Mereka masih belum
tahu yang menjadi sebab anaknya nekat bunuh diri. Nekat
meminum pembasmi serangga. Di lain pihak, Handrian tahu
kegetiran yang dialami adiknya. Menyebabkan gadis itu
nekat bunuh diri.
Tapi kemudian, dia merenungi ucapan adiknya.
Ucapan yang rela menerima kegetiran itu. Tak lain untuk
menjaga nama baik keluarganya. Jangan sampai tercemar
lantaran dia diperkosa tujuh orang laki-laki. Pada sebuah
pesta muda-mudi yang gila-gilaan. Namun anehnya, kenapa
kerelaannya jadi berubah begini? Rini nekat meminum
pembasmi serangga. Pasti. Pasti ada penyebab lain. Tak
mungkin dia senekat itu. Dan Handrian tahu betul sifat
adiknya yang pendiam. Tak mau menyakiti perasaan orang
lain. Halus sekali cita rasanya.
"Kautahu sebab adikmu nekat bunuh diri?" tanya
Hendra.- 175
Handrian tersentak, ia jadi gelagapan.
"Ti... tidak."
"Tanpa ada penyebabnya, tak mungkin Rini berbuat
begitu."
Handrian mengangguk berat. Ya, tanpa ada
penyebabnya tak mungkin. Aku harus bisa mengetahui
penyebabnya, kata hatinya berontak. Dan tangis ibunya
seperti memacu dirinya untuk mengetahui penyebabnya.
Dokter yang menolong Rini keluar dari kamar
periksa. Spontan Handrian bangkit dan menghampirinya.
Lila jadi tak sabar lagi ingin tahu keadaan anaknya. Tapi
Hendra merengkuh lengan Lila supaya tenang. Jangan
panik.
"Bagaimana, Dokter?" tanya Handrian.
"Racun itu sudah bisa dikeluarkan dari perutnya. Tapi
keadaannya masih kritis."
"Tolonglah anak saya. Dokter! Tolonglah! Jangan
sampai anak saya meninggal," pinta Lila di sela sedu
tangisnya.
"Saya akan berusaha, Bu. Tapi Tuhan yang
menentukan."
"Apakah masih ada kemungkinan bisa tertolong.
Dokter?" Handrian kian cemas.- 176
"Kemungkinan itu ada. Kita lihat saja perkembangan
nya nanti. Sebab ia masih belum sadarkan diri.
"Kami akan menunggu sampai ia sadar," Lila
menimpali.
"Saya rasa tidak perlu ditunggu. Dua orang suster
sudah cukup untuk menjaga dan merawatnya."
Dokter itu memberikan pengertian yang cukup
banyak. Sehingga Lila mau meninggalkan rumah sakit itu.
Meskipun di dalam hati perempuan itu merasa berat. Seperti
yang dirasakan Hendra dan Handrian. Tapi karena peraturan
rumah sakit menghendaki begitu, mereka tak bisa berbuat
banyak.
Setelah kembali ke rumah, pertama yang dituju
adalah kamar Rini. Hatinya yang berontak, ingin lekas tahu
penyebabnya. Barangkali ia bisa menemukan petunjuk.
Maka Handrian membuka laci meja belajar Rini. Di dalam
laci itu ditemukan buku harian. Lalu diambilnya buku itu
dengan tangan gemetar. Setiap halaman dibuka. Alangkah
bagus tulisan tangan Rini. Untai-untai kalimat yang tertera
di lembaran buku, mengungkapkan perasaannya. Perjalanan
hidupnya dari hari ke hari.
Handrian terus mencari tulisan Rini di bulan ini. Tiba
tiba bekas sobekan foto bertebaran jatuh dari buku itu.
Segera dipungutnya sobekan foto yang tercecer di lantai.
Lalu ditempat-tempelkan sehingga nampak utuh.- 177
"Ronny," desahnya lirih. Kemudian dibacanya
kalimat-kalimat yang tertera di buku harian itu.
Mama apakah yang kualami ini?
Kejahatan apa yang telah kulakukan?
Sepanjang hidup yang kususuri tak pernah
menyakiti orang lain. Tak pernah menjerumuskan
orang lain. Tapi kenapa, aku harus mengalami
begini? Kehilangan kesucian yang kujaga selama
hidupku. Kesucian yang ingin kuberikan pada
suamiku kelak. Namun telah dihancurkan oleh tujuh
orang laki-laki yang tak kukenal. Mereka telah
memerkosaku.
Kutatap langit yang tak nampak rembulan
ataupun bintang. Hari yang kulalui merangkak sepi.
Sepanjang hari aku menangisi diri yang lunglai, layu,
kering dan keropos. Sementara dalam diri terkumpul
noda kenistaan. Noda yang ditinggalkan tujuh orang
laki-laki terkutuk. Membuahkan nestapa yang
menggapai-gapai hatiku. Merobek harapan bahagia
di hari esok. Dan aku tercampak di lembah hina.
Mengapa hal ini mesti terjadi? Diriku jadi kian
terbuang ke jurang yang paling berduri. Diriku yang
tak patut diajak bergaul. Semua pancaran mata
teman-temanku, seolah-olah mengejek. Mencibir.
Mencemooh. Inilah karma dari perbuatan kakakku.- 178
Kakak yang suka mempermainkan gadis-gadis.
Sungguh terlalu menyakitkan.
Kenyataan atau bukan, tinggal Tuhan yang
tahu. Teman yang telah kuanggap baik telah
menjerumuskan aku ke jurang nestapa. Telah
menghancurkan seluruh kebanggaan yang kujaga
bertahun-tahun. Aku jadi sadar kini, rupanya ia telah
berhasil membalas sakit hatinya, la merasa
dipermainkan oleh kakakku. Barangkali niatnya
membalas, lantaran kesuciannya telah direnggut
kakakku?
Oh Tuhan, alangkah getirnya hidupku.
Kekejaman mana yang bisa menandingi fitnah.
Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan. Itulah
yang dilakukan Winda terhadapku, ia yang begitu
tega menjerumuskan aku, menghancurkan kebangga
anku, tidak cuma sampai di situ saja. Ia telah
mempengaruhi Ronny. Sehingga laki-laki yang
kucintai itu tidak sudi lagi padaku. Memutuskan tali
cinta yang mengikat batin kami. Lantas untuk apa aku
terus hidup? Untuk diejek, dicemooh dan dihinakah?
Oh Tuhan, semakin direnungkan, semakin
dilanda kegetiran tak terbatas. Dalam hidupku yang
melekat noda kian terbuang. Di antara hari yang
merangkak sepi, kemelut tak jua mereda. Sebab noda
yang melekat dalam diri, tak akan bisa terhapuskan.
Air mataku telah kering karena menangisi nasib. Tapi- 179
betapapun demikian, hanya Tuhanlah yang tahu
segalanya.
Dan barangkali di sisi-NYA segala kegetiran
yang kualami bisa sirna. Di dalam pangkuan-NYA
dapat kutemukan kebahagiaan abadi. Aku tak tahan
hidup di lembah hina. Aku tak tahan jadi serpihan
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
noda. Lebih baik aku kembali ke pangkuan Tuhan.
Semoga kakakku akan sadar. Dan mencintai
seorang gadis untuk terakhir kalinya. Biar/ah diriku
yang menjadi korban, asalkan dia menemukan
kebahagiaan. Karena cinta lebih mulia dibandingkan
napsu.
Untaian kalimat itu berakhir. Setetes air mata jatuh
membasahi pipi Handrian. Dia begitu terharu membaca
buku harian itu. Kalimat yang tertera di lembaran buku,
menampung pelampiasan kegetiran dan jeritan hati.
Handrian meletakkan pantat di kursi menghadapi
meja. la menangis dalam kesendirian. Menangisi hidup Rini
yang begitu menyedihkan. Sehingga ia tidak menyadari,
kalau ayah dan ibunya sudah berdiri di sebelahnya.
"Handrian," tegur ayahnya.
Laki-laki itu menoleh. Gugup ia.
"Berikan buku itu padaku."- 180
"Ah, jangan..." desah Handrian ketakutan.
"Kenapa jangan?"
Handrian mendekap buku itu erat-erat. la seperti
dikejar ketakutan. Tak boleh orang tuanya tahu. Tak boleh
orang tuanya mengetahui keadaan Rini yang sebenarnya.
Tapi Hendra terus mendesaknya. Lila jadi ikut penasaran
ingin tahu buku harian anaknya.
"Berikan padaku, Han."
"Iya, Han. Berikan buku itu kepada Papamu. Supaya
persoalannya jadi tahu. Ayo. Ayo. Ayo berikan," desak Lila.
"Tidak."
"Ada apa sebenarnya heh?! Aku jadi curiga," kata
Hendra sembari menatap tajam Handrian.
"Ini pasti ada yang tidak beres! Kalau kau
menyayangi kedua orang tuamu, berikan buku itu! Jangan
seperti anak kecil!" ketus Lila kesal.
Dengan berat hati, Handrian memberikan buku harian
itu.
"Sebelumnya maafkan aku. Sebab selama ini aku
tidak menghiraukan nasehat Mama," kata Handrian yang
bersuara parau.
Setelah mengucapkan itu, Handrian melangkah pergi.
Langkahnya yang gontai menepak di lantai. Lalu ia naik ke
dalam mobil sembari mengempaskan pintunya. Biarlah.- 181
Biarlah segalanya jadi jelas. Orang tuanya akan tahu, apa
yang dirahasiakan atas kejadian yang dialami Rini. Perasaan
Handrian tersayat pedih. Dengan lesu ia meluncurkan
mobilnya.
Dan setibanya di kantor, membuat penjaganya
terheran. Tidak pernah Handrian datang ke kantor di malam
seperti ini. Ada apa? pikir penjaga kantor yang usianya
setengah baya itu. Belum sempat bertanya, Handrian sudah
menyuruhnya.
"Buka kamar kerjaku! Dan tolong belikan bir
sebanyak lima botol," perintah Handrian sembari
menyerahkan uang.
"Baik, Pak." Penjaga itu buru-buru naik ke lantai dua.
Membuka pintu kamar kerja Handrian.
Lalu ia kembali turun dan pergi ke warung. Handrian
duduk di kursi sambil menyandarkan kepalanya, ia
merenungi langit-langit ruangan itu. Merenungi kehidupan
nya sendiri. Dan merenungi kehidupan adiknya. Penyesalan
yang akhirnya menyergap dalam dada.
Penjaga kantor itu mengantarkan lima botol bir ke
meja yang dihadapi Handrian. Lalu dihabiskan satu demi
satu isi minuman di dalam botol itu. Hingga akhir kepalanya
dihantam rasa pusing. Dan tertidurlah ia di kursi.
***- 182
Handrian mengedarkan pandang ke seputar ruangan.
Denyutan rasa pening di kepalanya masih tersisa. Lalu ia
memijit-mijit keningnya. Memandang sinar matahari yang
menerobos ventilasi jendela. Oh, ia tersentak. Kemudian
melompat turun dari kursi. Kursi panjang yang empuk, dan
semalaman dia tidur pulas di situ.
Maka Handrian mengembuskan napas panjang
panjang. Lantas memandang botol-botol bir yang telah
kosong. Terus beralih ke meja kerjanya. Oh, jadi semalam
aku tidur di sini? Sekarang jam berapa? Sekarang jam
berapa? Handrian Handrian bingung. Kemudian pandangan
matanya tertuju pada jarum jam dinding. Jam sembilan lebih
lima belas menit. Waah, celaka. Sungguh memalukan. Lalu
ia buru-buru menyambar gagang interkom dan memencet
nomornya.
"Dahlan mana?" tanya Handrian.
"Saya sendiri Pak."
"Cepat singkirkan botol-botol kosong di kamarku."
"Baik Pak."
Gagang interkom itu diletakkan kembali ke induknya.
Tanpa membenahi pakaian dan rambutnya yang kusut, ia
berjalan meninggalkan kamar itu. Sewaktu melangkah di
ruang karyawan, ia melihat Fonny sedang ngobrol dengan
Rosalina. Kedua perempuan itu melemparkan senyum.- 183
Handrian membalas agak malu-malu. Dan ia terus
mengayunkan langkah meninggalkan kantor.
Aku harus menemui Winda! Lalu Ronny. Niat
Handrian meletup-letup di dalam dada. la telah meluncurkan
mobilnya di jalan raya. Tak perduli dengan wajahnya yang
lusuh. Pakaiannya yang kusut. Yang penting ia harus ketemu
dengan kedua manusia itu.
Sesampainya di depan gedung universitas, ia
langsung bertanya pada seorang pemuda, ia tahu pemuda
yang membawa map itu, pasti mahasiswa di situ.
"Selamat siang bung," sapa Handrian yang berdiri
menyandar di pintu mobil.
Pemuda itu mengangguk sembari tersenyum.
"Siang. Ada apa Bung?"
"Apakah Anda kenal dengan Winda?"
"Ya. Kenapa?"
"Maukah Bung menolong saya, dan memberi tahu
pada Winda, bahwa saya ingin menemuinya."
"Tentu. Lebih baik Bung tunggu di kantin, saya akan
panggilkan Winda."
Sejenak Handrian menimbang-nimbang.- 184
"Okey," Handrian setuju. Mereka melangkah masuk
ke dalam gedung universitas, ia sudah tahu dimana letak
kantin, sebab dulu sering menunggu Winda di situ.
Dan sekarang ia mengulang kenangan lampau. Duduk
menunggu Winda sampai selesai mengikuti mata kuliah.
Tapi untuk kali ini, bukan untuk berpacaran, la ingin
melampiaskan kemarahannya.
Dan gadis yang ditunggu nampak keluar dari gedung
fakultas. Langkahnya terayun gemulai. Tergesa-gesa.
Rupanya ia ingin segera tahu siapa laki-laki yang
mencarinya. Di bawah cengkeraman matahari yang
menyengat, rambut gadis itu terurai ditiup angin. Semakin
dekat langkahnya ke kantin. Dan ketika menginjak lantai
kantin, dia nampak mengedarkan pandang. Hingga akhirnya
menemukan Handrian yang duduk di sudut ruangan. Mereka
bertatapan.
"Winda!" panggil Handrian sembari menggapai
tangan.
Handrian? Laki-laki itu datang lagi? Mau apa ia? pikir
Winda yang kelihatan gembira tapi resah. Dengan
melangkah satu-satu ia menghampiri laki-laki itu.
"Duduklah Winda," suara Handrian lunak.
Winda meletakkan pantatnya di kursi. Berhadapan
dengan Handrian, yang dibatasi sebuah meja. Gadis itu
tersenyum sembari menatap Handrian. Handrian- 185
membalasnya. Tapi senyuman laki-laki itu hambar dan
pahit.
"Mas Han tidak masuk kantor?" tanya Winda.
Sembari memperhatikan pakaian laki-laki di depannya yang
kusut. Rambutnya yang awut-awutan. Dan sepasang
matanya di bagian sudut nampak merah.
Handrian cuma menggeleng.
"Katakan, apa salah Rini padamu?"
Winda tak bereaksi, ia menepiskan muka,
memandang gedung induk universitas.
"Jawab, apa salahnya padamu?!" suara Handrian agak
keras.
Tetap tak ada jawaban.
Handrian memandang tajam wajah gadis itu. Wajah
yang cantik. Rambutnya yang terurai ditata rapi. Pakaian
yang dikenakan sangat bagus. Dan segalanya yang bisa
dilihat memang memikat. Tapi siapa tahu, kalau hatinya
berduri. Punya kekejaman yang teramat keji.
"Katakanlah Winda, kenapa kaubegitu kejam pada
adikku?"
Winda menoleh. Membalas tatapan mata Handrian.
"Tanyakanlah pada dirimu sendiri," sahut Winda.- 186
"Persoalan kita, memang persoalan kita. Kenapa kau
menjerumuskan Rini?"
"Aku tidak merasa menjerumuskan."
"Tapi kau yang mengajaknya ke pesta gila-gilaan
itu."
"Ia mau. Dan dia sampai diperkosa, aku pun tidak
tahu."
"Kenapa kau sampai tidak tahu?"
"Ia tidak memberi tahu, sewaktu masuk ke kamar
bersama laki-laki. Dan kukira itu sudah biasa
dilakukannya," kata Winda tak acuh.
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin? Sebab kakaknya juga sudah
biasa melakukan begitu," Winda berkata sembari mencibir.
"Jangan samakan aku dengan dia!"
Winda tertawa mengejek. Tawa itu bagai beliung
yang menusuk hati Handrian.
Seorang pelayan kantin menghampiri.
"Mau pesan apa Mas?" tanya pelayan itu.
"Es jeruk satu."
"Aku juga," ujar Winda yang menimpali. Pelayan itu
pergi.- 187
Handrian mengembuskan napas keras. Kesal
bercampur jengkel. Sedang Winda nampak tenang-tenang
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja. Bahkan senyum yang menghiasi bibirnya, adalah
senyum mengejek. Dirasa oleh Handrian terlalu
menyakitkan. Sehingga ia menilai Winda bagai serigala
yang berkulit gadis cantik.
"Pernahkah Rini menyakiti hatimu?"
Winda tidak menjawab.
"Jawab Winda."
"Tidak."
"Kalau tidak, kenapa kau sekejam itu padanya?"
Winda meliriknya, lalu berkata; "Karena kau telah
mempermainkan aku. Setelah kaurenggut kesucianku, tak
kau perdulikan aku lagi. Dan Rini sudah selayaknya
mengalami kejadian itu. Agar kau tak menyombongkan diri,
mentang-mentang gampang mempermainkan gadis-gadis.
Habis manis, sepah dibuang!"
"Pernahkah aku memaksa merenggut kesucianmu?"
Winda tertunduk diam.
Pelayan datang mengantar dua gelas es jeruk. Lalu
pergi lagi dan pindah menghampiri pengunjung lainnya.
"Bukankah kita melakukan hal itu dengan dasar
sama-sama mau?"- 188
"Tapi kau telah menodaiku."
"Kau jangan munafik, Win! Jangan munafik! Kau
rela menyerahkan kesucian, cuma lantaran terdorong
keinginanmu yang muluk. Supaya kau bisa menuntutku
terlalu banyak. Padahal selama ini apa yang kau minta sudah
kupenuhi. Mobil, perhiasan, pakaian dan berapa banyak
uang yang sudah kuberikan padamu? Tapi balasanmu
terlampau kejam pada adikku. Pada Rini yang tak bersalah
dan tak berdosa," keluh Handrian sedih. Sedih karena
keadaan adiknya yang ada di rumah sakit. Gara-gara Winda,
Rini jadi nekat bunuh diri.
Winda mengaduk-aduk es jeruknya. Pura-pura tak
memperdulikan ucapan laki-laki itu.
"Jadi hubungan kita selama ini cuma saling
membutuhkan."
Winda mengangkat kepalanya. Menatap nanar ke
wajah Handrian.
"Cuma saling membutuhkan?" dahi Winda berkerut.
"Ya. Pernahkah aku mengutarakan perasaan cinta
kepadamu?"
Elahan napas Winda terdengar berat.
"Pernahkan aku mengatakan ingin memper
suntingmu?"- 189
"Ah!" desah Winda yang gusar. "Tapi aku
mencintaimu."
"Cintamu hanya pamrih, Winda. Kau sudah terlalu
banyak menuntut kepentingan untuk dirimu sendiri. Jadi
egois. Ingin menguasai seluruh hidupku. Terdorong
keinginan untuk jadi seorang istri direktur. Justru karena itu,
aku menganggapmu bukan perempuan idamanku. Dan aku
berpendapat antara kita hanya saling membutuhkan. Tak
lebih dari itu."
"Laki-laki pengecut!" ketus Winda jengkel.
"Siapa yang pengecut? Kau atau aku?"
"Kau!"
Handrian tersenyum sinis.
"Tidak merasakah kau, bahwa kesucian dan harga
dirimu telah kau jual? Winda, Winda. Perempuan semacam
kau perasaan egonya terlalu besar. Kurang bisa menimbang
rasa. Tidak tahu diri."
"Cukup!" bentak Winda.
"Belum. Masih ada kekejamanmu yang lain. Kenapa
kau pengaruhi Ronny, hingga ia memutuskan hubungan
dengan Rini? Kenapa? Kenapa?! Apa salahnya Rini padamu
heh?!" kata Handrian sengit.
Winda spontan bangkit. Menatap Handrian tajam.
Balasan tatapan mata Handrian berkilat-kilat, menyimpan- 190
kemarahan. Kalau saja yang berdiri di depannya itu bukan
perempuan, pasti bogem4-nya sudah melayang ke wajah
orang itu. Maka Handrian cuma bisa meremas-remas jari
tangannya sendiri. Geregetan.
"Ada sebab, tentu ada akibat. Anggap saja itu akibat
dari ulahmu! Supaya kaudapat merasakan juga. Maaf, aku
tidak ada waktu lagi untuk ngobrol," Winda memutar
tubuhnya. Lalu berjalan meninggalkan Handrian.
Laki-laki itu cuma bisa mendengus. Dengusnya
seperti sapi disembelih. Sedangkan letupan-letupan
kemarahan tersekap dalam dada. la hanya bisa menatap
Winda yang masuk ke gedung fakultas. Lalu ia termenung.
Bagaimana cara untuk menemui Ronny? Menyuruh salah
seorang mahasiswa untuk memanggilnya atau kucari
sendiri? Lebih baik kucari sendiri di fakultasnya. Handrian
segera bangkit. Memanggil pelayan dan membayar
minuman. Meskipun tak setegukpun diminumnya.
Dengan langkah mantap Handrian menyusuri koridor.
Para mahasiswa yang hilir mudik tak menghiraukannya.
Saling tak acuh. Sambil melangkah Handrian ingat semasa
masih kuliah dulu.
Seperti mereka juga. Kecuali terhadap teman akrab
atau sefakultas, baru mereka mau bertegur sapa. Dan dia jadi
merasa terasing di antara kesibukan mahasiswa di
4 kepalan- 191
universitas itu. Tapi ia tak perduli. Akhirnya ia melihat
Ronny sedang ngobrol dengan Winda.
"Ronny!" tegur Handrian.
Ronny menoleh. Winda bergegas melangkah pergi.
Gadis itu tak ingin bertemu dengan Handrian. Dan Handrian
juga tidak membutuhkan gadis itu. Ia tambah muak.
"Hallo, Han." Ronny membalas teguran itu.
"Aku ingin bicara denganmu."
"Soal Rini?'
"Ya."
"Aku rasa tidak ada persoalan lagi."
"Maksudmu?"
"Sekarang hubunganku dengan Rini, tak lebih dari
teman biasa."
"Kau telah terpengaruh oleh omongan Winda?" suara
Handrian sengit.
Ronny membalas tatapan Handrian. la dapat melihat
kilat-kilat di mata laki-laki itu. Maka ia tersenyum agar
ketegangan bisa berkurang.
"Aku rasa bukan itu persoalannya," ujar Ronny.
"Lantas apa?"- 192
"Mari kita bicara di tempat yang tenang," ajak Ronny.
Ronny mengayunkan langkah. Handrian berjalan di sisinya.
Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Mereka melintasi koridor gedung induk universitas. Terus
menuju ke perpustakaan.
"Kau dan aku sudah sama-sama dewasa. Menyangkut
soal perempuan pilihan, yang akan menjadi calon istri,
barangkali kau sependapat dengan aku. Pengetahuan
ataupun pengalaman yang telah kita peroleh, bisa kita
gunakan untuk menilai seseorang. Entah itu sifat seseorang,
kepribadiannya, tindak-tanduknya, silsilah dari keturunan
nya, atau lingkungannya," tutur Ronny.
"Mengenai Rini pendapatmu bagaimana?"
"Sifat Rini memang baik. Tindak-tanduknya selama
kukenal begitu mengesankan. Tapi soal kepribadiannya, aku
masih meragukan. Maaf, kalau aku berbicara secara terbuka
padamu. Kau tak boleh marah, sebab masalah ini bisa kita
diskusikan. Masing-masing kita punya argumentasi."
"Ya, teruskan saja." Handrian melirik Ronny yang
berjalan di sisinya. Detak-detak sepatu mereka bergema di
ruangan yang sepi. Mereka mulai memasuki ruang
perpustakaan.
"Tentu ada sebabnya kalau aku meragukan
kepribadiannya. Sebab kepribadian yang buruk ataupun
moral, masih bisa ditutupi dengan tindak-tanduk manusia.
Orang mengatakan munafik. Berlagak alim tapi rusak. Nah,- 193
menyangkut masalah Rini, kepribadiannya terbentuk karena
silsilah dari keturunannya atau lingkungannya."
"Jadi menurut pendapatmu, keturunan keluarga kami
rusak, begitu?" nada suara Handrian tinggi.
Ronny menghenyakkan pantat di kursi. Handrian
duduk di sebelahnya. Mereka duduk berdua di pojok
ruangan. Suasana ruangan itu hening dan sepi.
"Aku tidak menetapkan begitu. Tapi hidup ini bagai
ditetapkan oleh baik atau buruknya setiap perbuatan
manusia. Itulah sebabnya, hidup ini tidak bisa terlepas dari
karma. Sebab dan akibat. Aku tidak perlu berkata kau itu
siapa? Lalu kau itu bagaimana? Mungkin kau lebih tahu
siapa dirimu. Dan apa yang kau inginkan dalam hidup ini.
Perempuan, napsu, harta, kemewahan, kedudukan,
kebahagiaan, cinta, atau masih banyak lagi yang lainnya.
Jadi persoalan Rini, bisa kau selusuri sebab dan akibat itu."
Handrian tertunduk diam. Merenungi segala
perbuatan yang selama ini dilakukan. Berarti karma? Bukan
dijerumuskan Winda, lantaran gadis itu ingin membalas
sakit hatinya?
"Hidup memang tidak dapat terlepas dari nasib dan
karma. Aku tahu itu. Tapi cobalah ditelusuri, seperti apa
yang barusan kau katakan. Kejadian yang menimpa Rini
bukan karma. Ada penyebab lain yang sengaja
menjerumuskan dia. Asal kau tahu saja, bahwa seorang
gadis yang bernama Winda telah menjerumuskannya."- 194
"Tentu ada sebabnya, kenapa Winda sampai hati
berbuat begitu."
Handrian mengembuskan napas panjang. Seolah-olah
ingin membuang beban yang menindih di dada. Beban yang
ditimbulkan dari perbuatannya sendiri.
"Memang, ia ingin membalas sakit hatinya," gumam
Handrian.
"Kau tak perlu bercerita, aku sudah tahu."
"Dan apakah kau tahu kepribadian Winda?"
Ronny mengangguk-angguk.
"Ia bukan gadis yang baik. Suka mempergunjingkan
orang. Egois. Dan materialistis. Sudah seringkali aku
memberi nasehat pada Rini, agar jangan terlalu akrab
dengannya. Tapi rupanya Rini tak menggubrisnya. Sampai
akhirnya ia mengalami kejadian terkutuk itu. Jadi kau
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan menyalahkan aku. Kalau aku dengan terpaksa
memutuskan hubungan dengan Rini."
"Aku mengerti. Dan sebenarnya aku tidak mau ikut
campur dalam persoalan ini. Aku cuma ingin mengetahui
tanggapanmu yang logis. Setelah tahu begini, aku merasa
puas. Meskipun kau memutuskan hubungan dengan
adikku."
"Aku memutuskan karena merasa diabaikan. Dan aku
meragukan kepribadiannya."- 195
"Aku tidak mau mengatakan, bahwa Rini mempunyai
kepribadian baik. Sebab itu akan menimbulkan anggapan
bodoh. Sebagai seorang kakak, pasti akan membela adiknya.
Akan menyanjung-nyanjung adiknya. Semuanya itu akibat
pergaulan yang menjerumuskan dia. Dan kalau aku menilai
kamu, belum begitu mendalam menyelami kepribadiannya.
Kau hanya terpengaruh oleh kata-kata Winda. Kurasa cukup
kita berbincang-bincang," Handrian bangkit.
"Tunggu." Ronny ikut bangkit.
"Ada yang perlu diperbincangkan lagi?"
"Kenapa... Rini sekarang jarang masuk kuliah?"
"Ia merasa dikucilkan di fakultasnya. Semua teman
temannya mencibir, mengejek dan mencemooh. Termasuk
kau."
"Aku tidak begitu."
"Ah, sudahlah." Handrian mengayunkan langkah.
Ronny mengikutinya.
"Apakah ia membenciku?"
"Aku tidak tahu. Cuma aku menilai pendirianmu
terlalu picik."
"Picik?"
"Ya. Kau manusia yang tidak mempunyai perasaan.
Tega memutuskan hubungan cinta pada seorang gadis, yang- 196
baru mengalami tragedi. Hal itu menjadikan dia putus asa.
Nekat melakukan bunuh diri."
Ucapan Handrian bagaikan bom yang meledak di
dekat Ronny. Sehingga laki-laki itu terkejut bukan kepalang.
Nyaris jantungnya rontok.
"Rini sampai melakukan hal itu?"
"Ya. Ia minum Baygon, dan sekarang dirawat di
rumah sakit Cipto Mangun Kusumo. Ia dalam keadaan
kritis."
"Ya, Tuhan!" Ronny mengeluh sedih. Handrian kian
mempercepat langkahnya. Dan Ronny tertegak sendirian
bagai patung bisu.
***- 197
Handrian baru saja tiba di rumahnya. Di ruang tengah
yang lebar, dilengkapi perabotan luks5 suasananya hening.
Seperti di dalam sebuah gereja yang gedungnya besar dan
megah. Sehingga detak-detak sepatunya yang menginjak
lantai suaranya bergema. Saking heningnya. Lalu ia
memperhatikan di kursi malas. Seperti biasanya kursi itu tak
pernah kosong. Ayahnya duduk di situ dalam diam. Murung
dan sedih. Sedang di kursi lainnya duduk seorang
perempuan setengah baya. Wajahnya sedih. Di matanya
selalu berlinangan air yang berkilau-kilau, ia adalah ibunya.
"Dari mana semalam kau tak pulang, Handrian?"
tegur ayahnya memecah keheningan itu.
"Tidur di kantor." Handrian menghenyakkan pantat di
kursi. Letih sekali ia. Pakaiannya lusuh, wajahnya kumal.
"Kenapa harus tidur di kantor heh?!"
"Pikiran sedang kalut, Pa."
"Kalut bukan lantaran memikirkan adikmu, tapi
lantaran terlalu banyak berurusan dengan pacar-pacarmu."
Handrian tak bersuara, la tertunduk merenungi lantai.
"Aku sudah tahu, apa yang terjadi pada diri adikmu.
Tapi kenapa kau tidak mau mengambil tindakan. Kenapa
kau diam saja?!" bentak Hendra.
5 mewah- 198
"Rini melarangku untuk bertindak apa pun.
Semuanya itu karena untuk menjaga nama baik kita.
Kehormatan kita. Kalau kejadian itu sampai diadukan ke
polisi, dan tercium oleh wartawan, semua orang akan tahu."
"Tidak perduli. Pokoknya laporkan ke polisi, supaya
orang-orang yang memperkosa Rini dibekuk. Harus
menerima hukuman yang setimpal!" kata Hendra bersikeras.
"Tapi Rini sudah berpesan begitu, Pa. Kalau kita
sampai tidak menuruti pesannya, akan menimbulkan
kejadian yang lebih tragis."
"Inilah akibatnya karena kau tidak menuruti nasehat
mama," kata Lila yang mulai terisak-isak. Suara perempuan
itu serak. Tenggorokannya kering.
"Maafkanlah Handrian, Ma." Handrian berkata
dengan perasaan sedih.
"Penyesalanmu sudah tiada gunanya lagi. Kalau dari
dulu kau menuruti nasehatku, tak mungkin akan terjadi
begini. Rini tidak jadi korban balasan sakit hati Winda."
"Mama kira Winda itu gadis baik-baik? Aku lebih
mengetahui pribadinya, Ma. Dia bukan perempuan pilihan
untuk kujadikan istri."
"Lalu perempuan apa yang menjadi pilihanmu itu?
Tunjukan pada mama. Mama ingin tahu. Ingin mengetahui
perempuan macam apa yang kau sukai."- 199
Handrian tak menjawab. Tapi kecamuk dihatinya
meletup-letup; seandainya Rosalina bukan istri orang,
seandainya ia masih sendiri, perempuan itu akan
kutunjukkan pada orang tuaku. Macam ialah perempuan
yang kudambakan. Perempuan yang memiliki cinta,
kesetiaan dan kepatuhan burung merpati putih. Punya
kepribadian yang anggun, sebening embun pagi, tabah
menghadapi bantingan-bantingan hidup yang getir.
Meskipun dalam kecamuk kenyataan, dia telah tergelincir di
lembah nista. Bergumul dengan dosa. Tapi semuanya itu
lantaran dia manusia biasa. Manusia yang dikaruniai
kesempurnaan. Maka sudah sewajarnya kalau gairah napsu
menggapai-gapai hatinya. Sebab lebih dua tahun jiwanya
terbelenggu kehampaan. Kesepian. Dan kekeringan.
Sebagai seorang istri tak pernah menikmati kepuasan nafkah
batinnya.
"Jawab Han! Katakan perempuan mana yang kau
sukai. Mama jenuh melihat hidupmu yang sampai kini
masih membujang. Mama muak dengan kebiasaanmu yang
suka memburu gadis-gadis. Lalu mempermainkannya.
Setelah puas, lantas kau tinggalkan begitu saja," kata Lila
dengan nada kesal.
"Bersabarlah, Ma!"
"Mama sudah tidak sabar."
"Ah!" desah Handrian bingung. Lalu ia bangkit dan
masuk ke dalam kamarnya.- 200
Hendra dan Lila cuma bisa mengeluh. Memandang
putranya yang hilang di balik pintu kamar.
"Aku tidak menginginkan kemelut ini tambah
berlarut. Handrian harus secepatnya menikah," ujar Lila.
"Tapi mana mungkin? la belum menemukan calon
istrinya."
"Apakah Papa akan terus membiarkan cara hidupnya
yang begitu? Mentang-mentang hidup Papa dulu juga
begitu. Seharusnya Papa bersikap tegas. Bisa membimbing
anak dengan baik."
"Ia kan sudah dewasa, Ma. Ia bisa menentukan jalan
hidupnya sendiri. Apalagi soal hidup berumah tangga. Ini
bukan persoalan sepele."
"Pokoknya, sekarang aku tidak mau tahu. Dengan
kejadian yang dialami Rini, telah menghancurkan
perasaanku sebagai ibu. Mulai sekarang aku akan bersikap
tegas. Handrian harus menuruti kehendak hatiku."
"Lantas apa kehendak hatimu itu?"
"Kalau keadaan Rini sudah kembali baik, kita ke
rumah Harni."
"Ada keperluan apa ke sana?"
"Ia punya anak gadis yang cantik."
"Maksudmu Handrian akan kau jodohkan dengan
dia."- 201
Hendra mengembuskan napas panjang, ia tak dapat
memberikan suatu pendapat mengenai keinginan istrinya
itu. Dan dia sudah mengenal keluarga Harni sejak dulu.
Keluarga yang hidupnya harmonis. Suami Harni bekerja di
departemen keuangan. Punya tiga orang anak. Tapi Hendra
tidak mengetahui yang dicalonkan istrinya, untuk
dijodohkan dengan Handrian. Meskipun dulu, lebih dari dua
tahun yang lalu, Hendra dan Lila sering berkunjung ke
rumah Harni. Namun dia kurang memperhatikan putra
putrinya. Sedangkan Lila sampai saat ini, bila punya waktu
senggang sering berkunjung ke sana. Setiap bulan sekali
mereka mengadakan arisan.
***- 202
Handrian keluar dari kamar. Sudah selesai mandi.
Pakaiannya necis dengan dasi lebar tergantung di krah
kemeja. Rambutnya di sisir rapi. la berjalan sembari
menjinjing tas echolac.
"Handrian pergi ke kantor dulu," pamit Handrian
pada kedua orang tuanya. "Nanti sore Handrian jemput,
untuk membesuk Rini di rumah sakit"
Hendra dan Lila cuma mengangguk. Handrian
melangkah pergi. Di dalam mobil ia tergesa-gesa
menghidupkan mesin mobilnya. Ingat hari ini banyak sekali
urusannya di kantor. Di samping ia ingin lekas ketemu
dengan Rosalina. Perempuan itu adalah dewi kota
Metropolitan, bunga yang indah penghias kantor, pengobat
keletihan, kejenuhan di kala sibuk.
Tapi ketika Handrian tiba di kantor, meja yang biasa
ditempati Rosalina kosong. Tidak ada tanda-tanda, bahwa
yang menempati mengerjakan sesuatu. Sebab di atas meja
itu bersih. Kacanya mengkilat. Ke mana Rosalina? pikir
Handrian sembari melangkah. Membalas sapaan para
karyawannya dengan anggukan kepala. Dan terus
melangkah menuju kamar direktur.
Pada saat Handrian masuk kamar direktur, pertama
yang dilihatnya adalah Fonny. Dan dia menghela napas lega,
lantaran sekretarisnya itu ada. Mengangguk sembari
tersenyum padanya.
"Selamat siang. Pak."- 203 Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siang." Handrian duduk di kursi pimpinan.
Fonny memberi tahu Handrian, bahwa empat orang
relasinya baru saja menelpon. Handrian buru-buru
memerintahkan Fonny untuk menelpon kembali. Satu
persatu dihubunginya. Dan satu-satu pula diselesaikan
urusan bisnisnya oleh Handrian. Setelah semua urusan
selesai, baru kemudian dia bertanya pada Fonny:
"Rosalina tak kelihatan ke mana?"
"Pulang, Pak."
"Kenapa?"
"Sejak dari kemarin dia sakit. Saya sudah memberi
saran, kalau belum sehat betul jangan masuk kantor dulu.
Tapi ia tetap memaksakan diri."
Handrian terperangah.
"Sakit apa?"
"Kepalanya pening. Muntah-muntah terus."
"Ooooh," keluh Handrian.
"Nampaknya ia masuk angin."
"Kau tahu, apakah ia sudah ke dokter?"
"Ia bilang sore ini baru mau pergi!"
Handrian jadi termenung. Barangkali ia terlalu letih
menjalani hidupnya. Pekerjaan yang setiap hari dilakukan- 204
mengurus suaminya, sangat mempengaruhi jiwanya.
Kondisi badannya. Dan setiap kali perempuan itu harus
melawan jerit hatinya. Ah, alangkah malangnya nasibmu.
Sayang. Tapi aku tak bisa berbuat banyak, lantaran kau
masih tetap setia pada suamimu.
***
Angin sore menerobos masuk melalui jendela yang
terbuka lebar. Gorden yang berwarna putih melambai
lambai diterpa angin. Angin yang berembus membawa
aroma bunga mawar. Wangi dan menyejukkan kamar rumah
sakit itu. Kamar yang dihuni Rini.
Dan gadis itu menepiskan muka. Tidak ingin
berpandangan dengan seorang pria tampan. Sedang pria itu
berharap sekali bisa seintim dulu. Namun gadis yang
berbaring di atas tempat tidur itu tak memperdulikannya.
"Rini," suara pria itu lunak.
Rini tidak menyahut. Tetap membuang muka. Yang
dapat diperhatikan oleh pria itu cuma dada Rini yang
bergelombang. Dan isak tangisnya yang terdengar lirih.
Tertahan. Bibirnya digigit kuat-kuat, wajahnya pucat sekali,
dan tubuhnya lunglai.
"Rini, kenapa kau berbuat senekad itu?"- 205
"Pergilah Ronny! Pergilah," kata Rini dengan suara
lemah. Isak tangisnya merobek-robek hati Ronny.
"Ijinkanlah aku di sisimu. Jangan kau usir aku," pinta
Ronny.
"Untuk apa kau menjengukku di sini?"
"Kau tidak senang menerimaku?"
"Ya. Pergilah!"
"Rini," tangan Rini digenggam oleh Ronny hati-hati
sekali. Seolah-olah tidak ingin menyakiti gadis itu lagi.
"Aku tidak menyangka akan terjadi begini."
"Biarkan! Biarkan yang hancur sekalian hancur," kata
Rini parau.
"Jangan berkata begitu, Rini!"
Gadis itu menoleh. Menatap Ronny dengan air mata
berlinang. Bibirnya yang pucat gemetar.
"Walaupun hidupku telah ternoda, tapi aku tidak
butuh belas kasihanmu. Dan kau lebih pantas mengunjungi
gadis lain. Seperti Winda. Atau gadis yang masih suci
lainnya."
"Aku datang bukan untuk mempersoalkan orang lain,
Rini. Tapi antara kita." Ronny meremas jari tangan gadis itu.
Remasan yang halus dan mesra. Sambil ditatapnya gadis itu
dengan rasa harunya.- 206
"Persoalan apa lagi, Ronny? Bukankah hubungan kita
sudah putus?"
Ronny menggelengkan kepala.
"Kenapa kau menggeleng? Kau sendiri yang
menghendaki kita putus."
"Aku menyesal. Aku telah menyakiti hatimu, dan aku
ingin minta maaf."
Air bening merembes lagi dari sudut mata Rini.
Mengalir perlahan jatuh membasahi pipinya. Lalu Ronny
membasuh dengan sapu tangannya. Lembut sekali.
"Kau tidak bersalah. Kenapa musti minta maaf?"
"Kau mau mendengarkan penjelasanku bukan?"
Rini mengalihkan perhatian dari wajah Ronny,
berpindah ke langit-langit kamar. Semua yang ada di
ruangan itu serba putih. Seputih hati gadis itu, meskipun
dalam dirinya terdapat noda.
"Tadi siang Handrian menemuiku di fakultas. Kami
ngobrol cukup lama. Ngobrol tentang keadaan dirimu.
Setelah itu aku menemui Winda. Sebab Handrian
mengatakan, bahwa kau telah nekat melakukan bunuh diri.
Lalu aku mengusut sebab kejadian yang menimpamu pada
Winda. Kami sampai bertengkar, karena Winda berusaha
ingkar. Tidak sportif. Maka ia kutempeleng di kampus.
Persoalannya jadi ramai. Banyak mahasiswa yang ikut- 207
campur. Kebetulan di kampus hadir salah seorang gadis
yang tahu persis masalahnya.''
Rini terperangah memandang Ronny.
"Siapa gadis itu?"
"Gina. Waktu undangan pesta itu ia hadir. Maka
dengan secara terbuka ia menceritakan kejadian itu. Winda
jadi histeris, lalu menyerang Gina. Mereka berkelahi, tapi
kemudian dipisah oleh para mahasiswa," Ronny menarik
napas panjang.
"Orang macam apakah Winda itu?" gumam Rini.
"Ya. Aku baru tahu setelah Gina menceritakan
semuanya padaku. Ternyata Winda cuma mau membalas
sakit hatinya, la merasa telah dipermainkan oleh kakakmu.
Lalu menjerumuskan kau."
"Dan kau telah terpengaruh bukan?"
"Ya. Tapi sekarang tidak. Kini aku telah tahu siapa
yang benar. Dan aku minta ijinmu untuk memperkarakan
pada pihak yang berwajib. Supaya perempuan seperti Winda
menerima hukuman yang setimpal. Berikut tujuh laki-laki
terkutuk itu!" kata Ronny dengan geram.
"Jangan..." desah Rini.
"Kenapa jangan? Hukum harus ditegakkan. Aku akan
menuntutnya!"- 208
"Jangan. Oh, jangan, jangan, oooh... tidak Ronny,"
kata Rini sembari memeluk Ronny. Membenamkan
wajahnya dipelukan laki-laki itu.
"Mereka harus menerima hukuman."
"Tuhan akan membalasnya. Biarkan, biarkan,
biarkan... Ronny," isak Rini.
"Ya, Tuhan akan membalasnya. Tapi selain itu
hukum hanya ditegakkan."
"Orang-orang akan tahu... orang-orang akan tahu
keadaan diriku. Ooooh... jangan, Ronny. Biarkan saja. Aku
rela menerimanya."
Jantung Ronny berdesir-desir karena darah yang
mengalir bagai disentak-sentakkan. Dan dia semakin tahu,
bahwa hati gadis ini begitu mulia. Kepribadiannya bukan
seperti apa yang diceritakan Winda. Terkutuklah buat gadis
yang bernama Winda itu! Sumpah serapah pun berkecamuk
di hati laki-laki ini.
Suara detak-detak sepatu memasuki kamar itu. Rini
dan Ronny saling melepaskan pelukan. Dan perhatian
mereka tertuju pada Handrian, Hendra dan Lila. Ada
perasaan malu dan kikuk pada diri Rini. Tapi orang-orang
yang baru memasuki kamar itu malah tersenyum gembira.
Gembira melihat Rini yang nampaknya rukun kembali
dengan Ronny.- 209
"Sudah lama Ron?" tanya Handrian. Ditepuk
tepuknya pundak Ronny.
"Cukup lumayan," sahut Ronny. Lalu ia mengangguk
kan kepala sembari tersenyum kepada Hendra dan Lila.
Hendra dan Lila membalas dengan senyuman ramah. Terus
mendekati Rini yang terbaring di atas tempat tidur.
Rini merasa malu bersitatap muka dengan kedua
orang tuanya. Sebab ia harus menerima kenyataan.
Tekadnya untuk bunuh diri telah gagal. Maka ia tak bereaksi
ketika dibelai rambutnya oleh ibunya.
"Rini, bunuh diri adalah dosa. Sayang. Jangan
lakukan hal itu lagi ya?" pinta Lila yang lunak. Penuh kasih
sayang.
Rini tidak menyahut. Air matanya berderai lagi.
"Mama dan papa sudah tahu kejadian yang
menimpamu. Nak."
"Tapi Rini tak tahan hidup diejek, dicibir dan
dicemooh, Ma."
"Barangkali itu cuma beberapa gelintir manusia yang
tak suka padamu. Dan kalau itu terjadi di fakultasmu, kau
bisa pindah di universitas lainnya. Yang penting kau tidak
boleh putus asa, Rini."
Wiro Sableng 045 Manusia Halilintar Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Perfume Story Of Murderer Karya Patrick
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama