Ceritasilat Novel Online

Hati Kecil Penuh Janji 3

Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto Bagian 3



"Benar apa yang dikatakan mamamu, Rini. Kalau kau

tidak tahan menerima ejekan atau cibiran di fakultas, kau- 210
bisa pindah ke universitas lainnya. Aku akan membantumu

sepenuhnya," kata Ronny.

Rini menoleh. Memandang satu demi satu wajah

orang yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah yang sangat

disayangi. Dan mereka tersenyum. Seolah-olah menghadir
kan hari esok yang penuh keceriaan. Dan Rini pun ikut

tersenyum.

Sepasang matanya berbinar-binar.

***- 211
BAB XIII

Pohon cemara menjulang tinggi. Ujung yang runcing

seperti menusuk matahari. Dan matahari yang bertengger

tepat di atasnya bersinar terik. Angin yang bertiup sesekali

menggoyang-goyangkan cemara itu. Sedang di bawahnya

banyak manusia yang berteduh. Mencari kesejukan dan

kenyamapan. Itulah suasana kesibukan yang tampak di

depan universitas Jayabaya. Di siang yang terik.

Tapi teriknya sang matahari bukan jadi sebab buat

Lusi. Lantaran ada perasaan kerasan berada di lingkungan

kesibukan itu. Selama ini fakultas baginya merupakan

tempat yang nyaman. Menyenangkan. Di samping untuk- 212
menimba ilmu, juga menumbuhkan kuncup cinta di hatinya.

Sambil tersenyum Lusi mengedarkan pandangan

berkeliling. Di mana dia? Di mana dia? Kok masih belum

nampak? Lusi terus mengayunkan langkah. Terus mencari
cari seseorang.

"Eeeeiit!" jerit Lusi kaget, la bertabrakan dengan

seorang laki-laki yang jalannya meleng. Laki-laki itu juga

kaget. Langsung melangkah mundur. Dan begitu

berpandangan, keduanya malah tertawa.

"Kalau jalan jangan melamun dong," kata Lusi

sembari senyum-senyum.

"Melamun itu menyenangkan."

"Habis yang dilamunkan, jadi orang terkaya dan

terkenal sih."

"Supaya bergairah."

"Asal jangan terlanjur gila saja."

Lantas mereka tertawa.

"Cowok lu mana?"

"Nggak tahu."

"Pulang sendirian. Kalau begitu gua antar yuk?"

"Punya SIM,"

"Bukan Surat Izin Mengemudi."- 213
"Lantas apa dong?"

"Surat izin mengantar."

"Gombal! Kayak anak presiden aja lu."

Lusi tertawa renyah.

"Eh, kau masih ingat sama Rini?"

"Nama Rini di Jakarta ini segudang tahu?"

Lusi mendecap jengah. Dia kalau ngobrol lama si

Kartolo ini maunya yang jelas. Sambil melirik Kartolo yang

berjalan di sisi ia menggerutu.

"Rini, teman sekolah kita di SMA dulu."

"Oooo yang cantik itu kan? Ya, ya. Cantiknya kayak

kamu. Aku sudah lama tak pernah bertemu. Kapan kau

bertemu dengannya?"

"Seminggu yang lalu."

"Di mana ketemunya?"

"Di TIM. Malah kami nonton bersama-sama."

"Masih cantik seperti dulu?"

"Waah, sekarang tambah cantik."

"Ya, seperti kamu juga. Sekarang tambah

cuaantiiiik."- 214
Lusi mengayunkan tasnya ke tubuh Kartolo. Kartolo

mengelak sambil tertawa.

"Dari dulu nggak bosan merayu."

"Habis yang dirayu nggak pernah mau."

"Awas ya, gua bilangin sama Bram baru tahu rasa."

"Duuh, baru digodain begitu mau lapor sama pacar,"

ledek Kartolo sambil cengar-cengir.

"Tuh orangnya!" Lusi menunjuk seorang laki-laki

yang berdiri menunggu di bawah pohon cemara. Kartolo

langsung kabur sembari tertawa. Sedang Lusi mengayunkan

langkah mendekati laki-laki itu.

"Sudah lama menungguku, Bram?" tegur Lusi.

"Lama sekali."

"Aku cari di fakultas kau tidak ada."

"Dosen yang mengajar sakit."

"Oooo," suara Lusi merdu. Menyusup ke telinga

Bramsista.

"Lantas tidak ada mata kuliah lagi dong."

"Ya. Aku mentraktirmu makan mie bakso."

"Itu memang kesukaanku. Bram. Rupanya kau

banyak duit hari ini ya?"

"Dapat pembagian komisi dari kakakku."- 215
"Syukurlah." Lusi tersenyum, manis. Lalu mereka

berjalan bersisian menjauhi kesibukan para mahasiswa.

Sepanjang jalan yang berdebu, mereka menyusuri

dengan langkah santai. Lusi mengayun-ayunkan tasnya, la

berjalan gemulai di samping Bramsista. Tubuhnya yang

langsing kelihatan anggun. Sedang Bramsista menenteng

map, dan sebentar-sebentar melirik gadis yang berjalan di

sisinya. Lalu mereka berhenti di bawah naungan atap halte.

Menunggu bis kota yang lewat.

Tak lama bis kota berhenti, mereka naik buru-buru.

Kebetulan ada tempat duduk yang kosong. Lusi dan

Bramsista duduk berdampingan. Penumpang lainnya

mengagumi kecantikan Lusi. Juga mengagumi ketampanan

Bramsista. Pasangan yang ideal.

Bis meluncur tersentak-sentak. Tapi Bramsista tak

memperdulikan. la sedang asyik mengamati mobil-mobil

sedan mewah yang hilir mudik. Rumah-rumah mewah yang

berjejer di pinggir jalan. Lalu ia melirik pada gadis yang

duduk di sampingnya. Gadis ini lebih pantas duduk di dalam

mobil sedan mewah itu. Juga menempati rumah mewah itu.

Tapi anehnya ia lebih senang pergi bersamaku naik bis kota.

Lebih senang denganku yang hidupnya numpang di rumah

saudara. Padahal banyak sekali yang mengejarnya. Lelaki

yang berlomba-lomba merebut cintanya. Sedang aku, ah,

apalah artinya dibandingkan mereka. Yang mengejar dan

yang beriomba merebut cintanya, adalah laki-laki anak

orang kaya. Semua punya mobil. Setiap hari kalau datang ke- 216
kuliah naik mobil, pakaian necis. Sedangkan aku, setiap hari

berdesak-desakan naik bis kota. Pakaian yang kumiliki

cuma beberapa stel saja. Sepatuku nyaris jebol. Pahit sekali

hidupku ini.

Tapi kenyataannya, gadis ini tidak berpaling dariku.

Apakah ini yang dinamakan cinta murni? Cinta yang tidak

silau dengan harta, kedudukan, serta kemewahan. Malah ia

lebih menyukai kepolosan. Kesederhanaan. Ah, tapi sifat

manusia kadang-kadang bisa berubah. Siapa tahu pada suatu

saat pikirannya berubah. Cintanya bisa berpindah pada yang

lainnya. Sebab apalah artinya diriku ini. Hidup masih

tergantung pada saudara. Ingin jadi pengarang novel masih

merasa belum mapan.

Belum dapat ide cerita yang bagus. Wah, jadi serba

membingungkan. Otak cemerlang terhambat karena uang.

Kalau saja orang tuaku kaya, sudah bukan halangan lagi

masuk fakultas kedokteran. Sejak dulu aku bercita-cita jadi

dokter. Lantaran tidak ada uang, terpaksa masuk fakultas

sastra. Menyedihkan sekali.

"Kok melamun," tegur Lusi.

Bramsista gelagapan.

"Kamu sekarang jadi sering melamun. Kenapa sih?"

"Ah, aku tidak sadar."

"Mikirin apa sih?"- 217
Memikirkan kamu. Ucapan itu cuma disimpan dalam

hati Bramsista. la tak ingin mengutarakannya.

"Ah, nggak."

Angin menerpa melalui jendela yang terbuka. Rambut

Lusi terurai. Beberapa jurai rambutnya menggesek-gesek

kulit wajah Bramsista. Harum rambut gadis itu tercium di

hidungnya.

"Terus terang aja deh!"

"Apa yang musti dikatakan?"

"Barangkali saja mikirin ceweknya yang baru."

Bramsista tertawa renyah. Lalu digenggam jari tangan

Lusi erat-erat.

"Jangan punya prasangka yang begitu, Lusi Malah

seharusnya aku yang bertanya begitu padamu."

Lusi melirik Bramsista. Genggaman tangan

Bramsista dibalasnya dengan erat. Dan kedua jari-jari

tangan pria dan gadis itu saling meremas hangat. Seolah
olah ungkapan tak ingin berpisah. Kemudian saling

berpandangan. Saling bertukar senyum penuh arti.

Ketika mereka sudah duduk berhadapan di restauran,

tak bosan-bosannya bertukar pandang. Bertukar senyum.

Sambil menyantap mie bakso tetap saja begitu. Sementara

kaki mereka di kolong meja saling bergesek-gesekan. Mesra

sekali.- 218
"Setelah dari sini kita nonton film ya?" ajak

Bramsista.

"Kau royal benar hari ini, Bram."

"Rasanya hari ini, aku ingin menghabiskan waktu

bersamamu. Bergembira, bersenang-senang."

"Masih ada hari yang lain."

"Tapi perasaanku menuntut hari ini, Lusi. Aneh

rasanya," kata Bram seperti pada dirinya sendiri.

"Aku sih senang sekali. Tapi duitmu bisa ludes,"

sahut Lusi sembari tersenyum. Bibirnya yang merah begitu

memikat. Bibir halus, kenyal, sering diciumi Bram kalau

sedang pacaran.

"Tak jadi soal. Bila kaumau sehabis nonton kita ke

ancol."

"Jangan Bram. Pulangnya nanti kemalaman."

"Oke."

Sehabis makan mei bakso, mereka keluar dari

restauran sambil bergandengan tangan. Mereka sengaja

berjalan kaki menuju ke gedung bioskop. Menyusuri trotoar
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalanan dengan langkah setapak-setapak. Lamban sekali. Di

terpa sinar matahari sore yang hangat. Sehangat rengkuhan

tangan Lusi di lengan laki-laki itu. Saling bertukar pandang,

tersenyum. Dan bahagia sekali.- 219
Pertunjukan film sore itu, penontonnya tidak terlalu

ramai. Dan kebanyakan murid-murid sekolah. Bram dan

Lusi duduk di kursi barisan belakang. Di pojok ruangan lagi.

Seperti pasangan remaja lainnya.

Dalam suasana redup, Bram tak mau melepaskan

rangkulannya di bahu gadis itu. Waktu yang terus bergeser,

tubuh mereka pun bergeser merapat. Dan pipi mereka

bergesekan. Bibir mereka bersentuhan. Lalu saling melumat

mesra. Napas Lusi tersendat-sendat. Napas Bram berembus

hangat di kulit wajah gadis itu. Betapa hangat, betapa manis,

betapa harum, betapa kepyal bibir Lusi. Dan entah sampai

berapa kali ciuman itu berlangsung.

Sampai bulan sabit bergayut di langit. Sinarnya yang

keperak-perakan membias. Baru kemudian Bram dan Lusi

keluar dari gedung bioskop itu. Berjalan berpelukan. Tangan

Bram merangkul bahu Lusi. Sedang sebelah tangan Lusi

memeluk pinggang Bram. Mereka tidak saling berbicara.

tapi hati mereka teramat bahagia.

***- 220
"Aku sudah mencarinya ke fakultas. Bu. Tapi Lusi

sudah pergi," kata Wawan dengan jengkel.

"Tak kau tanyakan pada temannya, ia pergi dengan

siapa?"

"Sudah, ia pergi bersama Bram."

"Tak kau tanyakan dia pergi ke mana?"

"Mereka tak tahu. Cuma yang mereka tahu, sejak

siang perginya."

"Sudah malam begini masih belum pulang," gerutu

ibunya jengkel.

"Aku juga sudah ke rumahnya Bram. Ia juga belum

pulang."

"Mulai saat ini, Lusi tidak boleh pergi sendiri. Kau

harus menemaninya Wan."

"Oke. Oke."

"Tenang saja, Bu. Sebentar lagi ia pasti pulang," ujar

ayahnya Lusi.

Benar saja apa yang diucapkan lelaki setengah baya

itu. Lusi muncul di ambang pintu rumah dengan wajah

berseri-seri. la melangkah masuk. Langkahnya lunak.

Sedang hatinya ciut juga, begitu melihat ibunya menyambut

dengan wajah cemberut. Wawan menatapnya tanpa

berkedip.- 221
"Dari mana baru pulang?!" tegur ibunya.

"Nonton film, Bu."

"Sama siapa?" .

"Bram."

Lusi menjawab dengan jujur. Mereka tahu kalau Lusi

tidak pernah berdusta.

"Cepat pergi mandi, setelah itu duduk di sini!"

perintah ibunya.

Lusi tanpa menyahut, langsung nyelonong menuju ke

kamarnya. Melempar tasnya ke meja tulis. Membuka

pakaiannya. Lain sekali sikap ibu malam ini. Ada apa

sebenarnya? Ada apa sebenarnya? Pertanyaan itu terus

berkecamuk di benaknya. Sewaktu sedang mandi

pertanyaan itu terus berkecamuk. Selagi mengenakan

pakaian masih berkecamuk. Menjadikan Lusi penasaran.

Lalu ia menemui ibunya di ruang tengah. Duduk di kursi

dengan tenang.

"Mulai sekarang, kau tak boleh pergi semaumu," kata

ibunya.

"Kalau pergi menonton film kan wajar, Bu."

"Iya. Tapi musti ditemani kakakmu atau adikmu.

Tidak kuizinkan lagi pergi bersama Bram."

"Kenapa bu?" Lusi terperangah.- 222
"Secara resmi tadi sore kau telah dilamar orang."

"Dilamar?" Lusi termangu.

"Ya. Aku dan ayahmu telah menerima lamaran itu."

"Ibuuuu!" jerit Lusi. "Kenapa ibu tidak berunding

dengan saya dulu?! Kenapa ibu dan ayah langsung

menerima lamaran itu?!"

"Semuanya serba mendadak, Lusi. Dan yang akan

menjadi calon suaminya bukan sembarang orang, la

terpandang. Seorang direktur muda yang bonafid. Kau pasti

akan menyukainya, dan hidupmu pasti akan bahagia."

Tapi keterangan ibunya membuat Lusi menangis.

Hatinya bagai disembelih.

"Bukan Ibu yang menjalani, tapi saya. Janganlah

karena harta, kemewahan dan jabatan, lalu Ibu dan ayah

mengorbankan anaknya. Saya tak sanggup membina rumah

tangga tanpa cinta. Apalagi saya sama sekali belum

mengenalnya. Sama halnya Ibu dan ayah menghukum saya

dengan penderitaan batin," kata Lusi di sela isak tangisnya.

"Aku dan ayahmu tidak berniat begitu, Nak. Justru

direktur muda itu sangat tepat untuk dicintai, ia tampan,

bergelar doctorandus ekonomi, punya perusahaan sendiri.

Kurang apa lagi?" balas ibunya antusias sekali.

"Jadi karena tampannya, karena gelarnya, karena ia

mempunyai perusahaan, itu yang menyebabkan dia tepat- 223
untuk dicintai? Alangkah getir nasibku," kata Lusi

mengeluh.

Tapi ibunya tidak memperdulikan keluhan itu. Tetap

dengan rasa antusias, ia melanjutkan;

"Kau belum melihat siapa orangnya. Maka wajar

kalau kau berkata begitu. Tapi anggapanmu itu sangat

keliru, Lusi. Justru ibu menganggap nasibmu begitu mujur.

Suatu karunia dari Tuhan yang bakal kauterima."

"Tapi Lusi mencintai Bram, Bu." Lusi terisak-isak.

"Apa yang bisa kau harapkan dari dia? Bram masih

diragukan hari depannya. Belum bisa dipastikan bakal

mampu membahagiakan hidupmu. Lupakan saja dia! Jangan

memilih hal-hal yang belum pasti dalam hidup ini. Apalagi

yang menyangkut calon suamimu, karena akan menentukan

kebahagiaan rumah tanggamu nanti."

"Benar apa kata ibumu, Lusi. Hidup berumah tangga,

tidak hanya cukup dengan cinta. Banyak faktor lainnya yang

menunjang kebahagiaan hidup berumah tangga," kata

ayahnya menimpali.

"Lusi tahu, Ayah. Tapi Lusi tidak mau terikat pada

kodrat. Kodrat sebagai wanita yang hanya menggantungkan

diri pada suami. Sekalipun suami Lusi kaya, mempunyai

gelar, mempunyai jabatan, atau barangkali cuma sekadar

manusia biasa. Lusi ingin bebas menentukan pilihan dalam

peranan sosial. Sebab Lusi tidak ingin diperbudak.- 224
Sedangkan Lusi tidak tahu, bagaimana sifat dan kepribadian

calon suami Lusi itu? Lusi jadi takut. Lusi jadi takut, kalau

harga diri Lusi disamakan dengan pembantu. Disamakan

sebagai budak."

Kedua orang tua Lusi tercenung sesaat. Suasana jadi

hening. Lusi mengusap air matanya dengan sapu tangan.

Lalu ia berbicara lagi;

"Demi Tuhan, Lusi tidak berniat mengecewakan

Ayah dan Ibu. Tapi berikanlah kebebasan pada Lusi untuk

menentukan pilihan."

"Lusi, ia sebagai seorang ibu, tak ingin menjerumus

kan anaknya hidup menderita. Membandingkan antara Bram

dengan calon suamimu, seperti bumi dengan langit. Tidak

ada gunanya merengkuh impian. Nak. Sebab impian adalah

impian. Bukan suatu kenyataan. Sedang yang akan hadir

dalam hidupmu adalah kenyataan. Itulah gambaran

kehidupan Bram dengan calon suamimu. Bram adalah

impianmu, sedang calon suamimu adalah kenyataan.

Kenyataan yang jelas akan membahagiakan hidupmu," tutur

ayahnya.

"Berikanlah Lusi waktu untuk berpikir Ayah," pinta

Lusi.

"Menurut sajalah, Nak. Percayalah pada ayah dan

ibumu," ibunya membujuk Lusi dengan lunak.- 225
Lusi bangkit. Lalu ia berjalan masuk ke kamarnya. Di

atas tempat tidur dibantingkannya dirinya. Membenamkan

tangisnya di permukaan bantal. Menangisi nasibnya yang

secara tiba-tiba harus meneguk empedu. Harus memutuskan

tali cinta dengan Bram. Tidak. Tidak! Tidak! Aku tak mau

dipisahkan dengan Bram. Hanya ia laki-laki yang kucintai.

Dan aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak

kucintai. Tidak kukenal sama sekali sifat dan kepribadian

nya.

***- 226
Keesokan harinya. Lusi tertegak lesu di bawah pohon

cemara. Sendiri dan sepi, di antara kesibukan para

mahasiswa. Sepasang matanya yang kini murung, nampak

selalu berkaca-kaca. Kesan kesedihan terlukis di matanya

yang indah itu. Dan pandangan matanya mencari-cari

seseorang yang ditunggu. Gelisah. Resah.

Kenapa ia belum jua datang? Sakitkah ia? Atau

barangkali sedang sibuk membantu kakaknya? Lusi

mendesah. Terus mengawasi setiap bis kota yang berhenti

menurunkan penumpang. Tapi setiap penumpang yang

turun, bukan orang yang sedang ditunggunya. Lusi jadi

mengeluh. Sampai sulit dihitung sudah, berapa kali ia

mengeluh.

Tapi kali ini jantungnya menggelepar. Dilihatnya

Bram melompat turun dari bis kota. Lusi menunggu laki-laki

itu semakin dekat. Senyum laki-laki itu, membuat Lusi

berusaha menghilangkan kemurungannya, la membalas

senyum Bram. Walau sebenarnya kemurungan masih

bertengger di hatinya.

"Yuk, kita masuk!" ajak Bram.

"Nanti saja!"

Bram termangu. Ditatapnya kedua mata Lusi yang

disaputi air tipis. Mata itu, mata itu, nampak terlukis

kesedihan. Kemurungan. Padahal sejak mengenal gadis itu,

ia tak pernah melihat kesedihan dan kemurungan di atas- 227
mata itu. Mata yang indah, yang pemiliknya pun dicintai

Bram.

"Kau nampak tidak seperti biasanya. Semalam

dimarahi orang tuamu?"
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu menggeleng.

"Lantas kenapa?"

"Aku ingin bicara denganmu, tapi jangan di sini

tempatnya."

"Oke, oke."

Lusi mengayunkan langkah. Bram membarengi di

sebelahnya.

"Kita ke Ancol saja."

"Kau tidak mengikuti kuliah?"

Bram jadi heran. Sebab gadis ini paling rajin

mengikuti kuliah. Wah, pasti ada masalah yang serius.

Lusi menggelengkan kepala lesu.

Sebuah bis kota berhenti. Lusi dan Bram buru-buru

melompat naik. Penumpang di dalam bis penuh. Bram dan

Lusi berdiri sembari berpegangan pada besi penyangga atap.

Tangan kiri Bram merangkul bahu Lusi. Melindungi dari

desakan-desakan penumpang lainnya. Sedang Lusi

menyandarkan kepalanya di dada laki-laki itu. Laki-laki

yang sangat dicintainya, la merasa terlindung, tentram, dan- 228
bahagia di dalam pelukan Bram. Itu sebabnya ia tak ingin

dipisahkan dengan laki-laki itu.

Matahari di langit tertutup awan hitam yang berarak.

Seperti hati Lusi yang tertutup kesedihan. Angin yang

bertiup menerjang pohon-pohon cemara. Menyapu rambut

Lusi hingga terurai. Dan mereka berlindung di bawah pohon

cemara yang tumbuh di tepian pantai. Di sebuah bangku

panjang mereka duduk berpelukan. Memandang ombang

lautan yang saling berkejaran.

"Ada yang kau sedihkan?" tanya Bram.

Lusi mengangguk.

"Karena semalam kau terlambat sampai di rumah?"

Lusi menggeleng.

"Lalu apa?"

Bram memandang Lusi. Membenahi jurai-jurai

rambut yang menutupi kening gadis itu. Lusi membalas

pandangan Bram. Mereka saling bertatapan.

Mata yang indah itu, oh sekarang merembes air. Mata

yang menatap dengan sekapan resah. Menyentuh dinding

hati Bram, sehingga tertanam rasa iba. Ikut jadi sedih.

"Kenapa kau menangis, sayang?"

Kerongkongan Lusi bagai tersekat untuk mengatakan.

Cuma air mata yang menitik dari sudut matanya. Napasnya

tersendat-sendat.- 229
"Katakanlah Lusi, apa yang menyusahkanmu?

Katakanlah, biar aku ikut memikirkannya," desak Bram

lembut.

"Sungguhkah kau mencintai aku. Bram?" suara Lusi

parau.

"Ya. Dengan sepenuh jiwa ragaku."

Lusi tertunduk sesaat. Lantas ditatapnya lagi wajah

Bram. Wajah tampan laki-laki itu telah terukir di hati Lusi.

Ditatapnya sepuas hati.

"Selama kita saling mencinta, Lusi ingin tidak ada

sesuatu apa pun yang menghalangi kita untuk bertemu," kata

Lusi.

"Sebenarnya apa yang terjadi Lusi?"

Bram menatap bola mata Lusi yang dibasahi air.

Disaput kesedihan dan kemurungan.

"Aku... aku dipaksa oleh orang tuaku," ucapan Lusi

terhenti. Napasnya tersendat-sendat disertai isak tangis.

"Dipaksa apa?"

"Menikah."

"Haaaah?"

Bram terperangah. Bengong dia.

"Tapi aku menolak. Aku tak mau berpisah denganmu,

Bram." Lusi mendekat tubuh Bram erat-erat.- 230
"Aku sudah menduga. Sejak hubungan kita mulai

erat, aku sudah mulai punya firasat tidak tentram. Selalu

bimbang dan gelisah. Karena pada suatu ketika, aku pasti

akan kehilangan kau. Tapi aku harus menerima kenyataan

ini. Aku harus sadar dengan keadaanku yang belum mampu

memilikimu."

"Aku tak ingin berpisah denganmu, Bram."

"Itu memang keinginan kita. Tapi aku tak kuasa atas

dirimu, sebab kehendak orang tuamu lebih berkuasa."

"Aku tak mau kawin dipaksa."

Pohon cemara ditiup angin kencang. Suaranya seperti

jeritan hati Lusi.

"Dengan siapa kau dipaksa kawin?"

"Aku belum pernah bertemu orangnya."

"Cara kuno, pada zamannya Siti Nurbaya. Dugaanku

pasti dia kaya."

"Ya. la punya gelar, seorang direktur, memiliki

perusahaan sendiri. Tapi aku tak perduli. Aku mencintaimu.

Bawalah aku pergi. Bawalah aku pergi ke mana saja, Bram."

"Tidak Lusi," suara Bram tegas.

Lusi terperangah.

"Kau tidak bersungguh-sungguh mencintaiku.

Karena kau takut menghadapi tantangan," kecam Lusi.- 231
"Jangan salah mengerti Lusi! Masalah ini bukan soal

berani atau takut," sahut Bram datar.

"Lalu soal apa?"

"Aku mencintaimu. Oleh sebab itu, aku tidak ingin

membuat hidupmu menderita. Kalau aku sampai mem
bawamu kabur, hidup kita pasti kocar-kacir. Tidak bisa lagi

meneruskan kuliah. Mencari pekerjaan pun tidak gampang."

"Aku akan tabah menghadapinya."

"Lalu kita akan hidup tanpa masa depan. Kita harus

membanting tulang untuk mencari sesuap nasi, demi

kelangsungan hidup kita. Dipacu seperti seekor kuda untuk

mencari nafkah. Kalau kita hidup sengsara, orang tuamu

akan mencemooh. Kenyataan itu sangat pahit, Lusi. Aku

masih ingin memperjuangkan hidup supaya punya arti."

"Berarti kauturut membiarkan hidupku tersiksa.

Merelakan aku kawin dengan laki-laki yang tidak kucintai,"

keluh Lusi kecewa.

"Apa dayaku, Lusi. Karena aku harus berusaha

menjadi orang lebih dulu. Baru punya keinginan untuk

hidup berumah tangga. Kita masih belum siap mengarungi

hidup baru."

"Jadi kau benar-benar telah rela?"

"Ya. Rela karena aku sangat mencintaimu. Sebab aku

sendiri tidak mampu membahagiakan hidupmu. Dari pada

hidupmu menderita, lebih baik turutilah kehendak orang- 232
tuamu, kalau hidupmu bahagia, aku pun ikut bahagia

menyaksikannya. Kau mengerti, sayang?"

"Tidak. Biar aku akan pergi sesuka hati."

"Jangan, Lusi. Jangan. Kau akan merusak hidupmu

sendiri."

"Biar!"

"Lusi!" Bram mendekap erat tubuh gadis itu.

"Kau tak boleh pergi."

"Biar!"

"Dengar Lusi, dengar! Kerelaanku bukan berarti aku

tidak mencintaimu. Aku masih punya cita-cita merebutmu

kembali. Datanglah kepadaku, bila hidupmu memang tidak

bahagia. Aku akan tetap menerimamu dengan tangan

terbuka. Begitu pula, cintaku tak akan pernah padam."

Lusi meremas kuat-kuat kemeja Bram.

"Oooooh Bram. Aku tidak bisa melupakanmu.

Kenapa hal ini musti terjadi? Kenapa di zaman modern ini,

masih ada orang tua memaksa kawin anaknya?"

Bram menarik napas berat. Tarikan napas yang

panjang.

"Itulah ironisnya kehidupan para gadis pada usia

dewasa. Apalagi seperti kamu yang memiliki wajah cantik.

Dalam gemuruhnya kota metropolitan, kecantikan bisa- 233
dijadikan alat, untuk mendapatkan suami yang kaya. Punya

jabatan tinggi, punya gelar, punya perusahaan, dan seorang

pejabat pemerintah. Mungkin begitu juga kehendak orang

tuamu."

Lusi menggigit bibirnya. Pedih hatinya.

"Sudahlah Lusi! Jangan pikirkan aku lagi! Semua itu

harus kau jalani sebagai anak yang berbakti kepada orang

tuanya."

Gadis itu menengadah. Matanya berbinar dalam

genangan air bening. Bibirnya terkuak dalam penantian.

Menanti singgahan bibir laki-laki itu. Dan jalaran lembut

mengusik perasaan Bram. Ditatapnya wajah Lusi dalam
dalam. Mata Lusi berkedip-kedip. Lalu kedua wajah itu kian

mendekat. Dan akhirnya bibir mereka saling melumat.

Saling berdekapan erat.

Dua kali ombak menebur ke tepian pantai.

Ciuman mereka terlepas. Lusi menyandarkan

kepalanya di dada laki-laki itu. Meresapi belaian sayang

jari-jari tangan Bram. Sehingga ia merenung dan berbicara

dalam hati. Laki-laki inilah yang patut dijadikan suami.

Laki-laki yang mampu mengendalikan nafsu dan

memikirkan masa depan nya.

Seandainya bukan dia, sudah pasti menuruti

kemauanku untuk kabur. Tak perduli cuma sesaat mengecap- 234
kebahagiaan, tapi bertahun-tahun disiksa penderitaan. Laki
laki seperti ini dapat diandalkan sebagai pelindung.

Memiliki rasa tanggung jawab yang besar.

***- 235
Sedang Handrian di kantornya, beberapa hari tidak

sempat berbincang-bincang dengan Rosalina. Sibuk

mengurus kemelut adiknya. Sampai urusan kantornya

sedikit keteter. Tapi baginya tak menjadi soal, yang penting

Rini telah sehat kembali. Ya, sehat kembali. Lalu bagaimana

dengan Rosalina?

Benar-benar sakitkah ia? tanya Handrian dalam hati.

Hari ini Rosalina memang tidak hadir di kantor. Itu

sebabnya Handrian jadi resah. Resah lantaran memikirkan

kesehatan perempuan itu.

Sampai sore menjenguk, Rosalina tetap tidak masuk

ke kantor. Dan sore itu buat Handrian menjadi sangat sepi.

la kepingin mengajak perempuan itu menikmati indahnya

panorama senja di pantai. Tapi keinginannya itu cuma

tertinggal di hatinya. Sungguhpun kerinduan melindas diri,

tak berani menjumpai perempuan itu di rumahnya. Dan
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedatangan Handrian memang tidak dikehendaki

perempuan itu. Sebab selama ini Rosalina tidak pernah

memberi tahu suaminya, bahwa ia sudah sekian lama

bekerja di kantor Handrian. Dan Handrian tahu itu, maka

keinginannya itu dikekangnya. Maka ia pulang ke rumah

dengan rasa gundah.

Entah kenapa, tak sekelumit pun rasa gembira

melintas di hatinya. Tak tahu, entah kenapa ia tak tergugah

dengan pembicaraan orang tuanya.- 236
Karena ia.sudah mulai dapat merasakan maksud

pembicaraan itu.

"Sudah seringkah Mama menganjurkan begitu. Tapi

sudah sering kali pula aku mengharap Mama mau bersabar,"

kata Handrian.

"Kali ini sudah penentuan."

"Maksud Mama bagaimana?"

"Mama sudah melamar seorang gadis untuk menjadi

istrimu."

Ucapan ibunya sama sekali tidak menimbulkan

kegirangan. Malah kaget. Lalu terbengong.

"Melamar seorang gadis untuk menjadi istriku?"

gumam Handrian seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Ya. Karena Mama sudah pusing memikirkan

hidupmu. Kalau kausudah hidup berumah tangga baru kami

merasa tentram."

"Aneh rasanya kalau seorang laki-laki dipaksa kawin

oleh orang tuanya. Dijodohkan cengan seorang gadis yang

sama sekali tak dikenalnya. Mana mungkin hidup rumah

tangga kami bisa bahagia dan harmonis?" kata Handrian.

"Pilihan mama pasti tidak akan mengecewakan

hatimu, ia gadis dari keluarga baik-baik. Dan mama tahu

kepribadiannya."

"Tidak, Mama. Aku sudah punya pilihan hati sendiri."- 237
"Tidak, Handrian. Kau harus menurut orang tua. Kau

tak boleh melawan, tahu? Sebab akan membawa akibat

buruk pada keluarga kita lagi, kalau kau bersikeras

menolaknya. Apakah kau telah lupa kejadian yang menimpa

adikmu? Semua itu lantaran kau tidak menuruti nasehat

mama. Apakah kaumau mengulanginya lagi?"

"Dan apakah gadis pilihan Mama itu semacam

Winda?"

"Tidak."

"Memang tidak," Rini menimpali, ia keluar dari

kamarnya, lalu menghenyakkan pantatnya di kursi. Ikut

berkumpui dengan kedua orang tuanya

Handrian jadi terperangah. Dipandangnya Rini

dengan kerjapan mata tak mengetti. Heh, sejak kapan Rini

ikut membantu kehendak orang tuanya? Apakah ia

mengenai gadis pilihan mama? pikir Handrian yang gusar.

"Kenapa kau ikut meyakinkan?" tanya Handrian.

"Karena aku tahu benar pribadi gadis itu."

"Berarti kau sudah mengenalnya lama?"

"Ya."

"Ah!" keluh Handrian tambah gusar.

"Pilihan mama sangat cocok untukmu. Rini

mengharap Kakak tidak menolaknya," kata Rini.- 238
Handrian menggigit bibir. Sedang di hatinya

berkecamuk peperangan batin. Antara berontak dan

kepatuhan, ia merasa harus patuh, lantaran tak ingin

mengecewakan perasaan Rini. Ya, Rini.

Sebab kejadian yang pernah menimpanya, karena

akibat karma dari perbuatan Handrian. Dan kalau untuk kali

ini, kemulian gadis itu dibalas dengan empedu, alangkah

menyedihkan, la juga masih ingat kalimat-kalimat yang

ditulis oleh Rini. Gadis itu menulis ungkapan perasaannya

di buku hariannya. Sangat mengharapkan petualangannya

yang selalu mempermainkan kaum wanita berakhir.

Tapi bagaimana dengan Rosalina?

Tercetus dari kata hatinya. Perempuan itu akan

mengalami goncangan hidup yang menyedihkan. Kegetiran

yang selama ini dialami, akan bertambah parah, jika

perempuan itu tahu harapannya akan hancur, Aku akan

menikah dengan perempuan lain. Sedangkan noda kenistaan

sudah tertinggal dalam dirinya. Oh Tuhan, jangan pisahkan

kami. Jangan pisahkan aku darinya. Aku sangat

mencintainya. Dan dia pun sangat mencintaiku. Apa jadinya

kalau antara kami kalau harus berpisah? Apa? Apa? Apa?

"Apa yang memberatkan hatimu. Kak?" tanya Rini.

"Aku telah mempunyai pilihan hati sendiri," desah

Handrian murung.- 239
"Kenapa sejak dulu kau tak pernah mau mengatakan

nya? Setiap kali mama bertanya, kau tak mau menjelaskan

nya," Lila menimpali. "Sekarang sudah terlanjur melamar

anak orang, baru kau mengatakannya."

"Karena belum saatnya."

"Apa alasannya?"

Handrian cuma mengembuskan napas keras. Seperti

kerbau yang disembelih. Dan kepedihan hatinya bagai

disembelih dengan sembilu.

"Sudahlah, lupakan saja gadismu itu."

"Tidak mungkin."

"Lantas bagaimana, sedang kau mau menikah dengan

gadis lain."

"Aku tak tahu. Aku tak tahu." Handrian bangkit dari

kursi. Ketika ia hendak melangkah ditegur ibunya.

"Handrian, malam ini kita sekeluarga hendak

berkunjung ke rumah calon istrimu."

"Maaf, Ma. Malam ini aku ada janji dengan salah

seorang pengusaha. Jadi tidak bisa ikut."

"Batalkan saja janjimu itu. Jangan membuat orang

tuamu malu, Han."

Handrian mengembuskan napas keras lagi. Lalu ia

menoleh ke arah Rini. Ingin rasanya ia mendapat bantuan- 240
moril dari adiknya itu. Supaya ikut memihak padanya. Tapi

gadis itu malah menganggukkan kepala. Bukan memihak

kepada Handrian, melainkan justru menganjurkan.

Anggukan itu segarai isyarat agar Handrian menuruti

kemauan orang tuanya. Wah, celaka. Keluh Handrian sambil

garuk-garuk kepala. Kali ini ia tak bisa berbuat apa-apa,

kalau Rini yang menghendaki. Karena ia sudah berjanji

dalam hati, tidak ingin mengecewakan adiknya. Dan sebagai

penebus dosanya.

"Baik," kata Handrian nampak kurang bersemangat.

Dan tambah kurang semangat lagi, sewaktu

mengendarai mobil menuju ke rumah calon istrinya.

Sedangkan kedua orang tuanya yang duduk di jok belakang

nampak berseri-seri. Itu dapat dilihat melalui kaca spion di

dalam mobil. Lalu Rini yang duduk di sampingnya juga

serupa. Dan Handrian sendiri yang murung.

Semakin dia murung, semakin dia ingat Rosalina.

Semakin dia berontak, maka dia tetap tak ingin dipisahkan

dengan Rosalina. Sungguhpun semua yang ada di dalam

mobil itu tak tahu. Tak mengetahui siapa pilihan hatinya.

Cuma ia seorang. Ditambah Hilda. Ditambah Fonny. Dan

ditambah sebagian karyawannya di kantor. Itu saja.

Sedangkan kedua orang tuanya, sengaja tak diberi tahu.

Begitu pun Rini. Karena ia mempunyai alasan. Alasan yang

senantiasa mengka-watirkan. Sebab jika tahu Rosalina yang

dipilihnya, sudah pasti ibunya, ayahnya, begitu pula Rini,

ingin tahu siapa sebenarnya Rosalina itu. Dan Rosalina- 241
bukan sendiri. Perempuan itu sudah bersuami. Jelas pasti

kedua orang tuanya tidak akan merestui. Bahkan

mencemooh. Ternyata perempuan pilihannya sangatlah

tidak tepat.

Dirinya yang sudah dinilai suka mempermainkan

perempuan, malah ditambah lagi keburukan, ia telah

merusak pagar ayu. Merusak rumah tangga orang lain. Akan

merebut istri orang.

Tapi semua tidak tahu. Semua tidak tahu siksaan yang

dialami perempuan itu. Perempuan yang hidupnya patut

dilindungi dalam kecamuk kegetiran. Kecamuk kesepian

yang merejah hidupnya. Kesetiaan seorang perempuan yang

patut dipelihara. Ketabahan yang sukar ditemukan pada

perempuan lainnya. Dan kehidupan perempuan yang

malang itu sangat patut dikasihani. Direngkuh dalam

sekapan manisnya kehidupan ini. Tapi, tapi, apa artinya

sekelumit kebahagiaan yang telah kusodorkan, kendati

kehancuran akan melanda hidupnya. Lebih parah. Semakin

parah. Bukan lagi madu, melainkan empedu yang paling

amis. Sebab aku harus menikah dengan gadis lain. Kejam.

Teramat kejam deraan kehidupan yang dialami perempuan

itu.

"Stop. Stop!" teriak Lila.

Handrian tersentak. Lalu buru-buru menginjak rem.

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah gedung. Rumah

gedung yang bentuk bangunannya hampir sama dengan- 242
gedung-gedung di sekitarnya. Dan Handrian mengenali

rumah-rumah itu adalah kompleks departemen keuangan. O,

di sini rupanya rumah gadis pilihan orang tuaku. Siapa ia?

Siapa ia?

"Ayo turun," ajak Lila.

Mereka bergegas turun dari mobil. Yang nampak

kurang semangat cuma Handrian. Tak bergairah

mengayunkan langkahnya memasuki halaman rumah itu.

Sungguhpun rumah itu nampak asri dan sejuk. Terlihat dari

luar, ruangan tamunya ditata dengan rapi. Mencerminkan

suasana keluarga yang harmonis. Dan seorang perempuan

setengah baya menyambut kedatangan mereka. Di depan

pintu, perempuan itu tersenyum ramah. Disusul oleh

suaminya.

"Setamat malam Kak Lila."

"Selamat malam."

Kedua perempuan itu saling berjabatan tangan.

Begitu pula Hendra berjabatan tangan dengan suami

perempuan itu. Lalu mereka dipersilakan masuk oleh

pemilik rumah. Di ruang tamu mereka duduk berkumpul.

Semua berwajah ceria. Dan yang nampak murung cuma

Handrian. Dengan diam-diam mencoba mengingat kembali

perempuan yang duduk di depannya. Rasanya ia pernah

melihatnya, tapi ia lupa entah di mana.- 243
"Bagaimana kelanjutan pembicaraan kita kemarin,
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dik?" tanya Lila.

Harni tersenyum gembira.

"Kami sekeluarga sangat gembira menerimanya."

"Lantas mengenai Lusi bagaimana?"

"Tidak ada masalah. Hanya dimaklumkan saja, kalau

anak saya adatnya agak keras juga. Barangkali masih malu
malu."

Mereka tertawa renyah. Sedang Handrian

menganggap tidak ada yang lucu dan menarik buatnya.

Lebih-lebih setelah mendengar adat calon istrinya agak

keras, wah bisa berabe. Semakin tak bergairah ia. Ingin

selekasnya meninggalkan tempat itu. Ia tak enak duduk di

kursi.

"Oh ya, perkenalkan ini calon suami Lusi," kata Lila

kepada Harni dan suaminya.

Dengan bermalas-malasan Handrian bersalaman

dengan kedua orang tua itu. Mereka gembira, tapi Handrian

menelan air ludahnya yang dirasa pahit.

"Lusi tidak kelihatan ke mana, Tante?" tanya Rini.

"Oh ya, Lusinya ke mana?" Lila menimpali.

"Ada di dalam kamar. Masih malu-malu keluar," kata

Harni sembari senyum-senyum. "Seperti kita dulu, kalau

mau dipertemukan dengan calon suami."- 244
Mereka tertawa lagi.

"Boleh kalau saya ingin ketemu Lusi, Tante?"

"Tentu saja boleh. Silakan masuk saja ke kamarnya."

Rini melangkah menuju ke kamar Lusi. Sedang

Handrian bertanya dalam diri sendiri. Lusi. Lusi yang mana

ya? Nampaknya Rini sudah mengenalnya dengan akrab.

Wah, jangan-jangan ini memang direncanakan oleh Rini. la

yang mempunyai kehendak untuk menjodohkan aku dengan

salah seorang temannya. Wah, bisa berabe nih.

Lusi kaget tatkala membuka pintu kamarnya. Ketokan

di pintu tadi, dikiranya mamanya. Tapi yang tegak di

hadapannya adalah Rini. Sahabatnya yang sangat

dirindukan. Maka langsung dipeluknya.

"Apa kabar Rini?"

"Seperti apa yang kaulihat. Sehat kan?" Rini

memandang kedua mata Lusi yang masih bergenang air

tipis. Dan kedua mata itu kelihatan membengkak. Terlalu

banyak menangis. Raut wajah nampak murung.

"Kau sendirian?"

"Tidak."

"Bersama siapa?"

"Kakak dan kedua orang tuaku."

"Kakakmu yang mana?"- 245
"Yang dulu menemaniku nonton di TIM."

Lusi terperangah. Rini duduk di kursi.

"Ada yang aneh?" tanya Rini sembari memandang

Lusi yang tercenung.

"Ah, tidak... tidak," sahut Lusi tergagap.

"Tapi nampaknya kau belum tahu maksud

kedatangan kami. Apakah orang tuamu tidak memberi

tahu?"

"Jadi... jadi... Handrian itu kakakmu?"

"Dulu kau 'kan pernah kenalan. Masak baru seminggu

yang lalu sudah lupa."

"Tak kusangka," desah Lusi. Ia menghenyakkan

pantat di pinggir tempat tidur.

"Jadi kau belum tahu kalau kakakku calon suamimu

ya?"

Lusi mengangguk lesu. Di ambang pintu kamar,

Harni tegak di situ.

"Rini, ajaklah Lusi menemui kakakmu," kata Harni.

"Yuk, kita keluar." Rini menarik lengan Lusi. Lusi

dengan bermalas-malasan bangkit. "Tapi sisir dulu

rambutmu yang kusut."

Tanpa bicara sepatah kata pun Lusi menyisir

rambutnya di depan cermin. Diamati wajahnya yang kurang- 246
bergairah. Rini tahu kemurungan di wajah Lusi. Maka

didekatinya gadis yang sedang menyidir rambutnya itu.

"Kau nampak kurang gembira, Lusi."

"Kau tidak tahu perasaanku, Rini. Seandainya

kauseperti aku sekarang. Akan sama halnya."

"Kau tidak menyukai kakakku?"

"Masalahnya bukan menyukai atau tidak, Rini. Tapi

aku sudah mempunyai pacar. Kami telah saling mencintai.

Seandainya ini terjadi pada dirimu, tentunya kau tidak

menghendaki dipaksa menikah dengan pria lain. Menyakiti

perasaan pacarmu," kata Lusi dengan sedih.

Rini jadi ikut merasakan kesedihan hati sahabatnya

itu. Sahabatnya harus menikah dengan lelaki yang tidak

dicintai. Dan lelaki itu adalah kakak kandungnya sendiri. Ini

merupakan kesengsaraan. Kepahitan. Yang harus

ditelannya, lantaran menuruti kehendak orang tua.

Menyedihkan memang. Sebab ketampanan Handrian tidak

mampu menggoyahkan hati Lusi. Atau barangkali pacarnya

lebih tampan dan melebihi segala-galanya, dibandingkan

Handrian? Itu terkaan Rini sembari menarik napas dalam
dalam.

Harni muncul lagi di ambang pintu kamar.

"Kenapa lama sekali?" suara Harni jengkel.

Lusi bermalas-malasan berjalan keluar dari kamar.

Rini mengikuti tanpa bicara. Dia dapat merasakan apa yang- 247
dirasakan Lusi. Dan sewaktu Lusi diperkenalkan dengan

Handrian, gadis itu berusaha untuk tersenyum. Berusaha

untuk nampak gembira. Padahal Rini tahu. Tahu kecamuk

di hati gadis itu. Sedangkan Handrian cuma termangu ketika

berpandangan dengan Lusi. Termangu lantaran sudah

pernah bertemu.

"Begini Nak Handrian," kata ayah Lusi lunak. "Kami

sangat gembira, bakal punya menantu seperti Anda."

Handrian tersenyum. Padahal hatinya dilindas

kegetiran.

"Kami sekeluarga juga begitu. Dik Nardi. Mereka

berdua memang pasangan yang ideal," sahut Hendra

sembari tertawa. Lila dan Harni juga ikut tertawa gembira.

Tapi ketiga remaja yang hadir di situ, sama sekali tidak

gembira. Kalau ada senyum di bibir, itu cuma pulasan

semata. Sebenarnya hati mereka dibalut kegelisahan.

"Langsung saja. Begini Nak Handrian, bapak intin

tahu lebih jelas, kapan Nak Handrian merencanakan

peresmian hari perkawinannya?" tanya Harni.

Handrian menelan ludah yang terasa pahit. Getir.

"Secepatnya. Lebih baik secepatnya," sahut Lila.

Handrian memandang Lusi. Gadis itu sejak tadi diam

tertunduk. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari

mulutnya. Bibirnya yang mungil itu. Ah, dia tak kalah

cantiknya dengan Rosalina. Ibarat buah tomat masih ranum.- 248
Tapi kenapa ia tidak gembira? Kelihatan murung. Apa yang

tengah dipikirkan?

"Bagaimana Nak Handrian?" tanya Nardi.

Handrian tergagap. Hendra dan Lila menangkap

kegelisahan di mata anaknya. Lalu Lila berkata;

"Sebaiknya minggu depan peresmiannya. Jadi

tepatnya kurang lima hari lagi."

"Maaf, saya mohon diberi waktu untuk berpikir," kata

Handrian.

Lusi mengangkat kepalanya. Pandangan matanya

bentrok dengan Handrian. Mata yang bening. Mata yang

indah, tapi disaputi genangan air bening. Membuat jantung

Handrian menggelepar. Kemurungan dan kesedihan di mata

gadis itu membuat perasaan Handrian jadi iba. Ada apa

sebenarnya? Kenapa gadis itu tidak gembira? Barangkali ia

sudah punya pacar? Seperti keadaan diriku yang sekarang?

Tak tahulah, desah Handrian. Yang gelisah dan bimbang.

"Kenapa mesti pakai pikir-pikir segala? Apakah

pilihan orang tuamu masih kurang?" ketus Lila.

Kembali Handrian tergagap.

"Ah, tidak... tidak..." Handrian tak ingin menyakiti

perasaan Lusi.- 249
"Ayo dong Lusi, ajak omong-omong Mas

Handrianmu," kata Harni sembari memegang bahu anaknya.

Lusi menggeliatkan tubuhnya malu-malu.

Mas Handrianmu? Kenapa tidak Mas Brammu saja?

Napas Lusi jadi sesak, ingat laki-laki yang selama ini sangat

dicintainya.

"Maklum, masih malu-malu." Harni senyum
senyum.

"Tak apa-apa. Tak apa-apa. Biarkan saja. Tak usah

dipaksa," kata Handrian terpatah-patah.

"Barangkali kita mengganggu mereka. Sebaiknya kita

ngobrol di ruang tengah saja," ajak Harni.

"Ya. Sekalian membicarakan peresmian hari

perkawinan mereka."

Di ruang tamu hanya tertinggal Handrian dan Lusi.

Semua berkumpul di ruang tengah. Serius membicarakan

peresmian hari perkawinan Handrian dan Lusi. Sedang

Handrian dan Lusi nampak kurang enak duduk di kursi.

Keduanya bagaikan disekap kegelisahan.

Maka Lusi menarik napas sepenuh dada. Dan

dadanya yang menyekap keluhan terasa sesak. Rasanya ada

segumpal batu yang mengganjal. Lalu ia memberanikan diri

memandang lelaki di depannya. Dan lelaki itu berbuat

serupa. Sehingga Lusi mengalihkan pandangan ke vas bunga

yang ada di atas meja.- 250
"Apa kabar Lusi?" tanya Handrian lunak.

"Baik-baik," sahut gadis itu bergumam. Wajahnya

yang cantik tertunduk.

"Pernah membaca hikayat Siti Nurbaya?"

Gadis itu mengangkat kepalanya. Matanya yang

bening memandang Handrian. Kemudian mengangguk.

"Apakah kau merasa nasibmu seperti hikayat itu?"

Lusi mengangguk lagi. Mereka bertatapan. Oh,

jangan pandang begitu. Mata lelaki itu menghujam, dengan

pandangan nanar. Oh, jangan menatap begitu. Sebab yang

akan terjadi adalah kegetiran yang mengimpitku. Andainya

hatiku belum memiliki lelaki lain, barangkali sejak mula kita

bertemu, pintu hatiku akan terbuka untukmu. Desah Lusi

dalam hati. Dan dia takut Handrian semakin masuk ke

hatinya, ia takut hatinya akan tergoyahkan.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengharap kau tidak akan membenciku," pinta

Handrian.

"Memang tidak pantas, kalau aku membencimu."

"Sebab aku tidak tahu rencana orang tuaku."

"Aku tahu."

"Kau menyesal?"

"Aku tak tahu."- 251
"Aku juga tak tahu. Kenapa yang tak pernah

kupikirkan menjadi kenyataan? Sedang yang selalu

kupikirkan, terlalu sukar untuk dicapai. Kadang-kadang aku

bingung menghadapi hidup ini. Cinta adalah kodrat pada.

setiap diri manusia. Tapi Kodrat yang dinamakan cinta,

masih belum mampu mengalahkan takdir. Suatu contoh, kita

mencintai seseorang. Tapi kita terpaksa menelan kegetiran,

lantaran takdir memisahkannya. Orang yang kita cintai

menikah dengan orang lain. Dan orang yang belum saling

mengenal, malah bisa menempuh hidup baru.

Melangsungkan pernikahan."

"Itu jodoh namanya."

"Ya. Jodoh itu di tangan Tuhan. Kalau begitu kita

memang dijodohkan oleh Tuhan?"

"Tidak."

"Lantas?"

"Dijodohkan oleh orang tua."

Handrian manggut-manggut. Dan perhatian mereka

jadi beralih. Sebab orang tua mereka telah kembali ke ruang

tamu. Setelah berbincang-bincang sejenak, lalu keluarga

Hendra mohon pamit.

O, jodoh, alangkah pahitnya kau! keluh Handrian

sembari mengendarai mobil. Aku harus jadi suami

perempuan yang tidak kucintai. Apa pun yang terjadi akan

kuhadapi, pikirnya. Di jaman modern ini, masih ada juga- 252
orang tua memaksa anaknya untuk kawin, dan anehnya laki
laki. Seperti aku. Hih! sungguh tidak lucu. Bukan dagelan.

Dan manakala Handrian sudah berbaring di rumah,

kecamuk di dalam hatinya terus berkepanjangan. Sedang

bayangan Rosalina menyelinap masuk ke dalam benaknya.

Wajah yang cantik dan anggun memeta berlama-lama.

Perasaan rindu-pun menggeliat nikmat dalam dadanya. Dan

jika sudah begini, rasanya Handrian berani menghadapi

tantangan apa pun macamnya. Ketabahan perempuan itu

yang tak pernah goyah, menghadapi bantingan-bantingan

penderitaan. Kesetiaannya yang tak pernah luntur,

menjalani deraan hidup yang begitu getir. Membuat ia

berbeda dengan perempuan mana pun yang pernah dikenal

oleh Handrian. Hanya ia, hanya Rosalina, perempuan satu
satunya untukku. Mudah-mudahan besok ia masuk bekerja.

Rosalina, Rosalina. Apakah kautidak merasakan, bahwa aku

sangat rindu padamu? Sakit apakah kau, Sayang? Kenapa

kautak memberi tahu? keluh Handrian. la mengharapkan

sekali bertemu dengan perempuan itu. Rasa rindu yang

meletup-letup di dalam dada, bagai mau memecahkan

rongga dadanya.

***- 253
Tiap kali melintasi ruang kerja lantai dua, Handrian

tak pernah lupa. Pertama yang dilihatnya meja yang

ditempat Rosalina. Dan hatinya selalu bertanya, apakah hari

ini, perempuan itu sudah masuk bekerja lagi. Kebiasaan itu

membuatnya senantiasa gelisah. Kalau perempuan itu tidak

hadir, maka ibarat sayur tanpa garam. Gairah kerjanya jadi

menurun. Lebih-lebih pada hari ini. Seandainya Rosalina

masih belum masuk bekerja, rasa gelisah di dalam dadanya

bagai mencekik paru-paru.

Dan ternyata di meja sudut ruangan itu kosong.

Rosalina tidak masuk lagi. Napas Handrian jadi sesak.

Kenapa ia belum masuk kerja? Kenapa? Apakah sakitnya

begitu parah? Atau kemelut rumah tangganya kian

membatu? Sehingga tidak bisa lagi dicairkan. Wah,

bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Keluh Handrian

sembari menuju kamar kerjanya. Lalu membuka pintunya.

Dan memandang Fonny. Fonny menghentikan

pekerjaannya. Gadis itu mengangguk disertai senyumnya.

Senyum yang mengartikan "Selamat siang, Pak." Handrian

membalasnya dengan senyuman pula.

"Rosalina belum juga masuk?" tanya Handrian. Lalu

ia meletakkan pantatnya di kursi pimpinan.

"Belum Pak."

"Pasti sakitnya parah."

"Bagaimana kalau saya menjenguknya di rumah."- 254
"Ja... jangan... jangan," kata Handrian tergagap.

Fonny jadi termangu. Heran dia.

"Tidak perlu dijenguk. Kalau ia sudah sembuh pasti

masuk bekerja lagi."

"Tapi saya kan sebagai teman. Pak. Saya datang

menjenguknya secara pribadi."

"Ya, ya. Menurut saranku, lebih baik jangan!"

"Nanti saya dianggapnya tidak solider."

"Ia ... ia ..."

Tiba-tiba pintu kamar kerja Handrian terbuka. Di

ambang pintu muncul Rosalina. Perhatian Handrian dan

Fonny segera tertuju pada perempuan yang melangkah

masuk. Dan jantung Handrian bagai meloncat, karena

saking girangnya. Tidak hanya jantungnya saja, melainkan

tubuhnya ikut melompat turun dari kursi. Lalu disambutnya

kedatangan Rosalina. Sorot matanya berbinar-binar penuh

kerinduan.

"Maaf, Pak. Beberapa hari ini saya tidak dapat masuk

bekerja," kata Rosalina. Handrian menggenggam jari tangan

perempuan itu. Telapak tangan lelaki itu hangat dirasakan

oleh Rosalina. Dan kehangatan itu mengusap lembut

perasaannya yang resah. Yang cemas. Membuat jantungnya

menggelepar.- 255
"Tak apa-apa. Tak apa-apa. Sebab Fonny sudah

memberi tahu, kalau kausakit. Kausakit apa?"

Handrian mengamati wajah Rosalina yang pucat.

Wajah itu nampak sedikit kurus. Dan sepasang matanya

dalam sekapan resah. Cemas.

Rosalina tidak menyahut, ia tertunduk bisu. Tapi di

sudut matanya ada butiran air bening. Kalau saja di dalam

kamar itu tidak ada Fonny, sudah sejak pertama ia masuk,

lelaki itu disergapnya dengan pelukan, ia akan menceritakan

keadaan dirinya. Tapi lantaran ada Fonny, maka segala

kecamuk serta keinginannya itu berusaha dikendalikan.

Begitupun dengan tangisnya yang nyaris pecah.

Handrian segera mendapat firasat yang kurang baik.

Kurang baik untuk dibicarakan di kamar kerjanya. Maka

dirangkulnya bahu perempuan itu.

"Sebaiknya kita membicarakannya jangan di sini,"

ajak Handrian setengah berbisik. Rosalina mengangguk.

"Fonny, urus pekerjaan di kantor."

"Baik Pak."

"Fonny, aku pergi dulu ya?"

Fonny mengangguk disertai senyum keramahannya.

Handrian dan Rosalina segera meninggalkan kamar itu.

Meninggalkan kantornya yang pegawainya sedang sibuk

menghadapi pekerjaan.- 256
Tempat itu sangat teduh dan nyaman. Pohon-pohon

mahoni yang berdaun rimbun, tumbuh dengan kokoh

menaungi tempat itu. Rumput-rumput hijau yang tumbuh

subur bagaikan permadani alam. Dan bangku-bangku

panjang terbuat dari besi terdapat di sana-sini. Ada cap

sponsornya. Tapi Handrian tak perduli dengan cap sponsor

itu. Dia menghenyakkan pantanya di situ. Disusul oleh

Rosalina.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu, Lina?"

tanya Handrian sembari memeluk pundak perempuan itu.

Menggelepar jantung Rosalina. Dan kecemasan yang

menyergap, membuat perempuan itu tak kuasa lagi

membendung tangisnya, la menangis di dalam pelukan

lelaki yang sangat dicintainya. Kendati mulutnya tak bisa

berkata. Tenggorokannya bagai tersekat.

"Kau bertengkar dengan suamimu?"

Rosalina menggelengkan kepala. Isak tangisnya

menggores hati Handrian.

"Katakanlah, Lina."

"Benih yang kautanam dalam kandunganku telah

berbuah," kata Rosalina di sela isaknya. Handrian

terperangah. Termangu.

"Apa?"

"Ak... aku telah hamil," suara Rosalina menjerit

dalam sekap.- 257
"Linaaa!" Handrian memekik girang. Lalu

dipeluknya erat-erat tubuh Rosalina. la merasa detik itu

teramat bahagia. Aku bakal punya anak. Aku bakal jadi

bapak, kata hati Handrian menggebu-gebu. Tapi, tapi,

Rosalina bukan sendiri.

Ia masih berstatus istri Gunawan. Oh, bagaimana ini?

Bagaimana ini? Dan Handrian dilindas keresahan.

Rosalina menutupi muka dengan kedua telapak

tangannya. Tangisnya terisak-isak pilu. Seolah-olah seluruh

isi dunia ini mengutuknya. Matahari yang bersinar terik

menghukum dengan baranya. Sebab janin bayi yang

dikandungnya adalah anak haram. Anak dari hasil perbuatan

serong. Terkutuklah aku. Terkutuklah aku! jeritnya dalam

dada. Nyaris dadanya pecah karena dilanda sejuta kecamuk.

"Kau sudah mendapat kepastian dari dokter, bahwa

kau benar-benar hamil?" tanya Handrian yang nampak

masih ragu-ragu.

Rosalina mengangguk.

"Aku berniat menggugurkan bayi dalam kandungan

ku ini."

"Jangan! Jangan digugurkan bayi dalam kandungan

mu," kata Handrian gusar.

"Kenapa jangan? Sebab bayi ini lahir sebagai anak

haram. Hasil dari perbuatan serong," sedih sekali perasaan

Rosalina. Hatinya bagai disayat oleh sejuta sembilu.- 258
"Aku akan secepatnya menikahimu."

"Tetapi... persoalannya tidak segampang itu."

"Tidak ada yang sulit. Benih yang tumbuh dalam

kandunganmu, adalah benihku. Maka kau harus menikah

dengan aku," kata Handrian tegas.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Handrian!" Rosalina hampir menjerit.

"Aku tidak perduli segala macam alasanmu.

Seharusnya kau merasa bahagia. Bahagia lantaran bisa

mempunyai keturunan. Ketahuilah, Lina. Seorang wanita

yang tak bisa melahirkan anak, sama halnya meriam tanpa

sumbu. Hidupnya akan kesepian sepanjang sisa usianya.

Teramat pedih, Lina."

"Kau harus tahu, aku ini masih istrinya Mas

Gunawan."

"Tetapi bayi yang ada dalam kandunganmu, adalah

darah dagingku. Bukan darah dagingnya Gunawan!"

Air mata semakin deras berlinang di pipi Rosalina.

"Mas Han, kuminta pengertianmu. Sekali lagi ku

minta pengertianmu. Jangan membuat keadaanku tambah

tersiksa," pinta Rosalina lemah.

"Sebetulnya tidak ada yang sulit. Kau sendiri yang

membuat dirimu tersiksa."

Rosalina mengusap air matanya, la melepaskan

pelukan dari Handrian. Lalu ditatapnya hamparan- 259
rerumputan hijau. Rumput yang tumbuh subur. Bukan

seperti diriku yang kering. Layu. Dan senantiasa dibalut

kemelut.

"Memang, sejak dulu aku sendiri yang membuat

diriku tersiksa. Berani bermain api yang akan membakar diri

sendiri, tapi aku sudah mengatakan, bahwa di antara kita

cuma teman setia belaka. Aku rela memberikan diriku

kepadamu, lantaran saling membutuhkan. Kalau dulu kau

tidak memperkosaku, tak mungkin kejadian itu terus

berlanjut."

"Meskipun begitu, sudah berapa kali aku berniat

mempersuntingmu? Tapi kau selalu menolaknya."

"Karena aku mempunyai suami."

"Kenapa sejak dulu kautidak mau berterus terang?"

"Aku aku ...," pecah lagi isak tangis Rosalina.

"Lina, kapan lagi kekerasan hatimu bisa luluh? Dalam

keadaan begini kautetap bersikeras. Bahkan kau berniat

menggugurkan janin bayi dalam kandunganmu. Demi

kesetiaanmu kepada Gunawan, kau tega membunuh

bayimu. Ini sungguh kejam! Pikiranmu terlalu kerdil. Kau

tidak berpikir menghadapi hari tuamu. Jika seorang anak

adalah tumpuan pada hari tuamu. Lain soalnya, kalau

suamimu bisa memberikan keturunan kepadamu."

Rosalina tercenung. Sesaat mereka diam.- 260
"Justru kalau dia tidak invalid, untuk apa aku

menuruti kemauanmu. Sampai akhirnya benih darah

dagingmu tumbuh dalam kandunganku."

"Lantas kau menyesal sekarang?" tanya Handrian.

"Aku tak tahu," keluhnya.

Handrian memukul bangku yang diduduki. Perasaan

jengkel meluap di dalam dadanya.

"Kau selalu tidak memberikan kepastian kepadaku!"

Handrian jadi marah.

"Bagaimana aku bisa memberikan kepastian?

Sedangkan aku masih terikat oleh hukum perkawinan

dengan Mas Gun. Seharusnya kau mau mengerti. Mau

mengerti!"

"Baik. Baik. Sekarang bagaimana dengan bayi dalam

kandunganmu itu? Kau tetap berniat menggugurkannya?"

Kini perempuan itu jadi bimbang.

"Kalau kau merasa keberatan merawatnya, berikan

bayi itu setelah lahir kepadaku. Aku akan mengasuhnya

dengan penuh kasih sayang. Karena ia memang darah

dagingku."

Oh, alangkah rumit persoalan yang akan timbul. Dan

persoalan ini belum diketahui oleh suaminya. Bagaimana

kalau ia tahu Rosalina telah hamil dengan lelaki lain. Apa

yang akan terjadi? Apa yang akan menimpa dirinya?- 261
Oh, alangkah sia-sianya kalau selama sembilan bulan

dia mengandung, lalu bayi itu diserahkan kepada Handrian.

Dan sejak dulu Rosalina menginginkan seorang adik, tapi

ayahnya meninggal ketika ia berusia lima tahun, ia diasuh

dan dibesarkan oleh ibunya yang telah menjanda. Seorang

ibu yang berhati mulia. Dengan penuh cinta dan kasih

sayang Rosalina dibesarkan. Sedih ataupun gembira tetap

direngkuhnya. Hidup menjanda tanpa mau menikah lagi.

Tak lain demi anaknya. Namun sayang umurnya tidak

panjang. Ketika Rosalina menginjak bangku SMA sudah

ditinggal mati ibunya. Tetapi cinta dan kasih sayang

perempuan itu tak bisa dilupakan oleh Rosalina. Sampai

detik ini.

Oh, alangkah kejamnya kau Rosalina! Kejam sekali

kalau membunuh bayi dalam kandunganmu. Kau sama

sekali tidak mewarisi sifat ibumu yang mulia. Yang penuh

cinta aan kasih sayang terhadap anaknya. Dan seharusnya

kaumerasa gembira. Gembira lantaran keinginanmu yang

dulu sudah tertebus. Bukan lagi seorang adik, tetapi anak

kandungmu sendiri. Darah dagingmu sendiri, ia merupakan

dambaan setiap ibu. Kau akan menyesal! Pasti menyesal

kalau sampai menggugurkan bayi dalam kandunganmu!

Itulah serentetan cetusan dari hati kecilnya. Membuat

Rosalina jadi mempunyai keberanian, menghadapi

rintangan dan ancaman apa pun macamnya. Sekarang demi

anak itu, ia tak perduli diusir oleh suaminya. Tak perduli

sekalipun akan dibunuh. Dan ia bertekad tidak akan

memberikan anaknya kepada Handrian.- 262
"Bagaimana? Kau tetap pada pendirianmu?" tanya

Handrian.

"Tidak," jawab Rosalina kali ini tegas.

"Lalu apa maumu selanjutnya?"

"Aku akan terus membiarkannya tumbuh besar di

kandunganku."

"Bagus. Kau tidak perlu kuatir, mengenai biaya dan

kebutuhanmu lainnya. Jika kau ingin supaya suamimu tidak

tahu, kau bisa tinggal di bungalowku di Puncak. Di sana kau

bisa hidup tenang, sambil menunggu anak kita lahir."

"Tidak."

"Kenapa tidak?"

"Aku mau tinggal di rumah saja."

"Nanti suamimu lama-lama akan tahu kalau kau

hamil," Handrian gelisah.

"Biar. Aku tak perduli apa pun yang bakal terjadi."

"Tapi aku kuatir. Siapa tahu suamimu sampai

menghajarmu, dan akibatnya kau bisa mengalami

keguguran kandungan."

"Aku bisa menjaga diri."

"Baik. Tapi setelah anak itu lahir, berikan kepadaku!

Biar aku yang merawat dan mengasuhnya."- 263
"Tidak. Anak ini aku yang mengandung, maka aku

yang berhak merawat dan mengurusnya."

"Aku hanya ingin supaya anak itu tidak disia-siakan

oleh suamimu. Karena ia lahir bukan dari darah dan

dagingnya. Demi baiknya, serahkan saja anak itu

kepadaku." Handrian tetap bersikeras.

"Siksaan batinku sudah terlampau berat. Mas Han.

Jangan kautambah lagi. Relakanlah anak ini dalam

asuhanku."

"Baiklah, Lina. Demi kebahagiaanmu, aku rela. Dan

seandainya suamimu marah, lalu kau diusirnya karena anak

kita, datanglah kepadaku. Aku akan secepatnya

menikahimu. Sebelum anak kita lahir."

Rosalina mengangguk. Handrian memeluk bahu

perempuan itu. Lalu dibimbingnya pergi meninggalkan

taman.

"Sebaiknya kau tidak usah kembali ke kantor."

"Kesehatanku sudah pulih."

"Tapi kau tidak boleh bekerja terlalu letih. Nanti bayi

kita bisa keguguran."

Rosalina tersenyum. Kedua pipinya disapu warna

merah jambu, dan tersipu malu.

Fonny menghentikan pekerjaannya, seorang gadis

remaja masuk tergesa-gesa ke kamar itu.- 264
"Kak Handrian pergi ya?" tanya gadis itu kepada

Fonny.

"Ya." Fonny mengangguk. Diamatinya wajah gadis

yang baru datang itu. Raut wajahnya mirip sekali dengan

Handrian. Cantik sekali. Pasti tak salah lagi, kalau gadis ini

adik kandung atasannya.

"Sudah lama perginya?" Gadis itu menghenyakkan

pantatnya di kursi.

Fonny mengangguk.

"Sendiri?"

"Tidak."

"Lantas dengan siapa?"

"Rosalina. Pegawai di sini."

"Rosalina yang mana ya?"

"Pegawai baru."

"Nampaknya di kantor ini telah ditambah pegawai

baru."

Fonny tersenyum.

"Monika ke mana?"

"Ia pindah di kantor cabang, dan saya menggantikan

jabatannya."

Gadis itu mengangguk-angguk.- 265
"Apakah Kak Handrian sering pergi dengan

Rosalina?"

Fonny mengangguk. Lalu meneruskan pekerjaannya.

Menyalin angka jumlah gaji karyawan yang akan

dikeluarkan hari ini. Sedang tamunya itu duduk termenung,

Ia membayangkan macam apakah gadis yang bernama

Rosalina itu? Kalau ia memandang Fonny, maka ditemukan

seraut wajah yang manis. Mempunyai daya tarik yang tak

kalahnya dengan artis idola. Kalau tersenyum manis sekali.

Tapi kenapa Handrian lebih sering pergi dengan gadis yang

bernama Rosalina? Pasti perempuan itu lebih cantik. Lebih

cantik dibandingkan dengan Fonny. Lantas bagaimana rupa

kecantikannya itu?

"Rini!"

Gadis itu terbangun dari lamunan, la menoleh karena

seseorang memanggil namanya. Ternyata Handrian yang

menghampirinya.

"Sudah lama kau di sini?" tegur Handrian.
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum."

"Kalau kaudatang ke mari, pasti sangat penting," ujar

Handrian sembari menepuk bahu adiknya.

"Begitulah."

"Soal apa?"- 266
Belum sampai dijawab oleh Rini, seorang perempuan

masuk kamar itu. Perhatian Rini tertuju pada perempuan

yang bertubuh langsing. Wajahnya cantik sekali. Begitu

anggun dalam penampilannya.

"Lina, kenalkan ini adikku," Handrian langsung buka

suara.

Rosalina dan Rini saling berjabatan.

O, senyumnya teramat memikat. Ramah. O, matanya

yang bening. Indah. O, hidungnya yang mancung, bagus

sekali. O, bibirnya yang merah. Tidak dipoles dengan

lipstik. Pantas saja kalau Handrian suka padanya. Pikir Rini.

"Rosalina."

"Rini."

Setelah saling berkenalan, Rosalina menghampiri

Fonny. la berbincang-bincang dengan Fonny mengenai

pekerjaan. Sedang Handrian menemani adiknya duduk di

kursi panjang.

"Bagaimana hasil pendaftaranmu masuk universitas

Jayabaya?"

"Tidak ada kesulitan."

"Syukur kalau begitu."

"Tadi aku ketemu Lusi."- 267
"Sssst!" Handrian memberi isyarat, agar Rini tidak

melanjutkan pembicaraannya. Dan Rini jadi bungkam. Tapi

Rosalina seperti mendapat firasat tidak enak. Maka dia buru
buru pergi dari kamar itu, tanpa meninggalkan kesan apa
apa. Seolah-olah biasa saja. Sibuk dengan pekerjaannya.

"Kalau membicarakan urusan pribadi jangan di

kantor," kata Handrian.

"Tapi ini penting untuk Kak Han ketahui."

"Soal Lusi?"

"Ya."

"Nanti saja, di rumah."

Rini mendesah. Mendesah lantaran seperti ada yang

dirisaukan. Seperti apa yang didambakan bakal hancur

berantakan. Sehingga membuatnya tak sabar.

"Kalau begitu kita bicara di lain tempat saja," ajak

Rini.

"Pekerjaanku hari ini banyak sekali, Rin."

"Rini tak menginginkan semuanya jadi berantakan.

Keluarga kita akan mendapat malu. Karena papa dan mama

sudah menyebarkan undangan."

"Apa?!" Handrian tersentak. "Undangan itu sudah

disebarkan? Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin?

Kenapa aku tidak diberi tahu?" kata Handrian gusar.- 268
"Makanya, kita bicara di lain tempat saja. Ayolah!"

Rini menarik lengan kakaknya. Handrian mengeluh, la

mengikuti adiknya keluar dari kantor.

Rosalina yang duduk di belakang meja kerjanya cuma

melirik, sewaktu Handrian pergi bersama adiknya. Siapa

gerangan Lusi itu? pikir Rosalina. Dan nampaknya Handrian

merahasiakannya. Pasti ada apa-apanya. Pasti ada apa-apa

nya. Maka jadi meletup rasa cemburunya. Tanpa cemburu,

itu namanya bukan cinta. Meskipun Rosalina belum

bersedia menikah, tapi dia sangat mencintai Handrian. Oleh

karena itu, cemburu pun mengimpit dada.

Rosalina bangkit, la ingin tahu apa yang dibicarakan

Handrian kepada adiknya. Barangkali saja Fonny

mendengar. Ya, lebih baik kutanyakan pada Fonny. Dan

Rosalina masuk ke kamar menemui Fonny. Tapi ia pura
pura membawa file dan bertanya pada Fonny.

"Apakah data jenis barang tidak perlu dicantumkan

dalam file ini?"

"Coba aku lihat."

Rosalina menyerahkan file itu. Dia duduk berhadapan

dengan Fonny yang dibatasi meja. Fonny membaca kembali

file itu.

"Wah, ini mesti ditanyakan kepada Pak Handrian.

Jenis barang yang dikirim. Biarlah nanti kutanyakan

padanya."- 269
"Kautahu Pak Handrian pergi ke mana?" tanya

Rosalina.

"Nggak tahu. Tapi kalau menurut dugaanku, masalah

gadis yang bernama Lusi."

"Kau mendengar apa yang dibicarakan mereka?"

"Soal keluarganya akan mendapat malu, dan surat

undangan yang telah disebarkan. Itu saja yang dibicarakan

di sini. Setelah itu Rini mengajak Pak Handrian pergi.

Mereka meneruskan pembicaraan di mana, aku tak tahu."

"Undangan? Siapa yang mau menikah?" ucapan

Rosalina seperti pada dirinya sendiri.

"Barangkali pernikahanmu dengan Pak Handrian,"

sahut Fonny sembari senyum-senyum.

"Ah, tidak mungkin," Rosalina mendesah.

"Kenapa tidak mungkin? Aku kan tahu, kalau Pak

Handrian sangat mencintaimu."

Rosalina jadi termenung. Menikah denganku? Itu

sangat tidak mungkin. Sebab selama ini aku selalu

menolaknya. Belum ada kesediaan untuk menikah. Apalagi

sampai mengenai undangan sudah disebarkan. Jantung

Rosalina jadi berdenyut kencang. Segumpal kegelisahan

bagai melonjat-lonjat di dalam dada.

"Tenang saja. Kak Lina. Mungkin Pak Handrian ingin

membuat surprise," ujar Fonny.- 270
"Ah!" desah Rosalina sembari bangkit.

"Oh ya, Kak Lina bisa ambil gaji pada bagian kasir."

Rosalina mengangguk. Lalu ia melangkah menuju ke

pintu. Tapi mendadak ia jadi kaget. Daun pintu itu terbuka,

dan muncul Handrian. Nyaris mereka bertubrukan. Fonny

yang melihat menahan tawanya. Dan Rosalina meneruskan

langkahnya sembari tertunduk. Sedang Handrian

memperhatikan perempuan itu melintas di sampingnya. Ada

firasat tak nyaman di hati laki-laki itu.

Dan tak nyaman pula di hati Rosalina. Sebab ia

menerima gaji di luar kebiasaan seorang pegawai. Ketika

ditanyakan pada Minati di bagian kasir, cuma mendapat

penjelasan;

"Saya cuma melaksanakan tugas atas perintah Pak

Handrian."

"Tapi di dalam daftar gaji pegawai hanya seratus ribu

rupiah. Tapi kenapa ada kelebihannya sebesar satu juta

rupiah?"

"Mungkin Anda pernah mendapatkan order untuk

perusahaan."

Rosalina menarik napas berat. Enggan rasanya untuk

terus bertanya pada Minati yang tak tahu apa-apa itu. la

cuma pegawai yang melaksanakan perintah dari atasannya.

Maka setiba jam pulang kantor, Rosalina sengaja

menunggu Handrian. Ia masih duduk melamun di belakang- 271
meja. Semua pegawai di ruangannya sudah lebih dulu

pulang. Menyusul kemudian Fonny. Gadis itu menemuinya

sejenak, lalu berkata:

"Kalau ditanya Pak Handrian, jangan bilang aku

memberi tahu soal tadi. Sebab Pak Handrian tadi bertanya

padaku. Apakah aku memberi tahumu."

Rosalina manggut-manggut.

"Mau menunggu Pak Handrian pulang?"

"Ya."

"Oke. Aku pulang duluan. Daaaaag."

"Daaaaag."

Fonny melangkah pergi. Detak sepatunya kian

menjauh dan hilang. Keadaan ruang kantor jadi hening.

Sepi. Rosalina masih duduk sendiri di belakang meja. Apa

yang dikerjakan di dalam kamar? Tanya Rosalina dalam

hati. Lama sekali laki-laki itu tidak keluar dari kamar

kerjanya. Semakin ingin cepat, semakin terasa lama

menunggunya.

Akhirnya pintu kamar itu terbuka. Handrian

melangkah keluar, dan termangu melihat Rosalina masih

duduk sendirian di belakang meja.

"Kau belum pulang, Ma?" tegur Handrian mesra.

Mama. Oh, alangkah nyaman panggilan itu dirasakan

oleh Rosalina. Tapi segumpal kegelisahan masih melonjat-- 272
lonjat di dalam dadanya. Lalu ia bangkit. Membuka tasnya

dan mengeluarkan setumpuk uang di atas meja.

"Apa maksud Mas Han memberi uang sebanyak ini

kepadaku?" tanya Rosalina.

"Untuk mencukupi kebutuhanmu. Siapa tahu kau

ingin membeli barang kesukaanmu."

"Kebutuhanku sudah tercukupi dengan gaji bulanan.

Dan tak ada sama sekali keinginanku untuk membeli barang

apa pun. Sekarang aku kembalikan uang ini kepadamu,"

kata Rosalina sembari menyodorkan setumpuk uang itu

kepada Handrian.

Handrian terperangah.

"Lina, jangan begitu!" Handrian menolak uang itu.

"Rasanya tidak pantas bagiku menerima uang

sebanyak ini."

"Tapi aku memberi uang itu dengan rela."

"Tidak." Rosalina menaruh uang itu di atas meja.

Tidak mau lagi menyentuhnya. "Aku tidak menghendaki

hubungan kita ini identik dengan uang. Aku tidak

menghendaki kau membeli diriku dengan uang."

"Jangan salah mengerti, Lina! Aku sama sekali tidak

bermaksud begitu. Justru aku telah menganggapmu sebagai

istriku. Pemberian dari suami kepada seorang istri."- 273
"Kita belum resmi jadi suami istri. Apa pun

alasannya, pemberian uang ini kuanggap sebagai imbalan

membeli diriku. Hatiku tidak rela menerimanya. Jangan

anggap aku perempuan semacam itu Kak Han," kata

Rosalina parau. Di kedua matanya tersaput air bening.

Handrian terharu sekali. Lalu dipeluknya Rosalina

dengan penuh sesal. Sebab ia sama sekali tidak menyangka,

kalau pemberiannya itu malah menyakiti perasaan Rosalina.

Dan ternyata Rosalina adalah seputih di antara ribuan

kembang. Bukan seperti perempuan-perempuan yang
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah digauli. Mereka hanya silau dengan kekayaan.

Uang. Jabatan. Sehingga menggebu-gebu mengobral

cinta dan tubuhnya. Untuk bisa ditukar dengan kekayaan,

uang, jabatan, dan cintanya. Tapi Rosaiina tidak seperti

mereka. Cinta adalah cinta. Dan kenikmatan yang diberikan

dari tubuh perempuan itu, bukan untuk ditukar dengan uang.

"Maafkan aku, Ma."

Handrian membelai rambut perempuan yang

dikagumi segala-galanya ini. Tidak hanya wajah yang

cantik, tapi hatinya juga cantik. Bersih dari ketamakan.

Punya pendirian yang kokoh. Maka apa pun yang akan

terjadi ia tak perduli. Tak perduli dengan hari

perkawinannya yang tinggal beberapa hari lagi.

"Maukah kau mengatakan secara jujur. Mas?"

"Ya."- 274
"Siapakah gadis yang bernama Lusi itu?"

Handrian termenung sembari mendekap erat tubuh

Rosalina. Ia merasa takut kehilangan perempuan yang

dicintainya ini. Menyebabkan perasaannya jadi berat

mengatakan. Bagai ditindih besi puluhan kilo. Tenggorokan

nya jadi tersekat.

"Katakan Mas."

"Tapi kau harus berjanji tidak akan meninggalkanku.

Berjanjilah dulu, baru aku akan mengatakan."

Rosalina menarik napas panjang. Lalu tengadahkan

muka. Menatap dalam-dalam wajah Handrian. Handrian

membalas tatapan itu. Sembari membenahi jurai-jurai

rambut yang menutupi kening Rosalina.

"Kalau Mas Han tetap setia, Lina tetap setia. Tak akan

meninggalkan Mas Han."

"Aku akan setia kepadamu, Lina. Demi Tuhan, hanya

kau satu satunya perempuan yang sangat kucintai. Kalau

saja kau bersedia menikah denganku, besok pun akan

kubuktikan. Tapi karena kau selalu menolak, akibatnya

badai kehidupan akan mengempasku. Namun percayalah,

cinta dan kesetiaanku tak akan goyah sedikit pun." Handrian

kelihatan sedih.

Rosalina jadi gelisah.

"Mas, apa maksudmu?"- 275
"Aku akan segera menikah dengan Lusi," suara

Handrian terdengar berat.

Di luar kantor udara sangat cerah. Langit tidak

nampak ada mendung yang berarak. Tapi yang dirasakan

Rosalina, seperti ada petir yang menyambarnya. Sekujur

tubuhnya jadi lemas. Membuat kedua kakinya tak mampu

lagi menyangga tubuhnya. Dan Handrian mendekapnya

erat.

"Linaaa!" pekik Handrian.

"Kau kejam mas," suara Rosalina lemah.

Lalu Handrian membopong Rosalina. Dibaringkan di

atas kursi panjang yang biasanya untuk menerima tamu.

Setitik demi setitik air mata Rosalina berderai di pipi.

Handrian menatapnya dengan pancaran mata sedih. Iba.

Maka dibelainya rambut perempuan itu lembut sekali.

"Jangan mengatakan aku kejam, Sayang. Semuanya

ini karena kehendak orang tuaku. Aku dipaksa menikah

dengan gadis itu. Demi Tuhan, ini bukan atas kemauanku.

Demi Tuhan. Percayalah kepadaku," kata Handrian

memohon pengertian Rosalina.

"Akan sia-sia aku mempercayaimu."

Handrian mendengus kesal. Kesal lantaran tak ingin

membuat malu orang tuanya. Di samping tak ingin

mengecewakan Rini. Rini yang kini hidupnya ternoda.

Akibat pembalasan dari Winda yang pernah dinodai pula.- 276
Oh, kenapa jadi begini? Nasibku jadi ditentukan oleh

mereka. Untuk menutup malu dan penebus kesalahan.

Alangkah getirnya. Tidak. Tidak! Aku tidak mau begitu.

"Lina, kita masih punya waktu. Katakanlah kau

bersedia menikah denganku. Demi anak kita, kau harus

bersedia. Besok kita melangsungkan pernikahan."

"Itu tidak mungkin," Rosalina menahan isaknya.

"Aku masih berstatus istri Mas Gun."

"Jadi mesti bagaimana? Katakanlah apa yang musti

aku lakukan?" Handrian nampak gusar. Serba salah.

"Menikah dengan Lusi. Dan melupakan aku."

"Aku tidak ingin berpisah dengan kau. Tidak ingin

berpisah dengan anak kita. Kau yang harus meninggalkan

suamimu dan menikah denganku."

Meninggalkan suamiku? Aku menceraikan suamiku?

Tidak! Hatinya berontak. Sekujur tubuhnya yang lemas,

mendadak terisi kekuatan lagi. Ia meletik bagai ikan turun

dari kursi. Membuat Handrian kaget.

"Tidak. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Aku

tetap akan setia kepadanya," kata Rosalina tegas.

"Kalau terus begini tidak akan ada penyelesaiannya,"

keluh Handrian nyaris putus asa.

"Oh Mas Han, mengertilah. Bagaimana mungkin aku

meninggalkannya dalam keadaan invalid begitu?- 277
Kekejaman mana lagi yang bisa menandingi, kalau aku

meninggalkannya, kemudian menikah denganmu?"

"Aku mengerti perasaanmu. Kau memang bukan

perempuan sekejam itu. Tapi pernahkah kau berpikir, bahwa

hari esok bagimu masih panjang? Hari esok yang bisa kau

nikmati penuh keceriaan. Kegembiraan. Dan kebahagiaan.

Pernahkah kau berpikir untuk berunding dengan suamimu?

Secara terbuka kau membicarakan tentang hidupmu. Masa

depanmu. Apakah hidupmu akan bisa bertahan terus

menerus begitu? Lantas bagaimana dengan nasib anak kita

setelah lahir?"

Rosalina berdiri tertunduk. Air matanya jatuh

menetes di ujung sepatunya. Dia tercenung dalam

kebimbangan. Kesedihan.

"Sekarang kalau suamimu tetap bersikeras ingin

memilikimu, ini namanya lebih kejam. Dia telah

membelenggumu dengan siksaan batin yang kian berlarut
larut. Kuanggap ia seorang Suami yang berakal picik! Ibarat

ingin memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Seharusnya

ia menyadari tentang kelemahannya. Kekurangannya. Tapi

kalau ia rela melepaskanmu, demi kebahagiaan hidupmu di

hati esok, ini baru namanya seorang suami yang berhati

mulia. Karena dirinya sudah tidak mampu membahagiakan

hidupmu. Lina ketahuilah, kau bukan boneka penghias

rumah. Dalam dirimu ada jiwa. Ada cita rasa. Ada hasrat dan

keinginan. Bukan cuma jadi budak kesetiaan," kata

Handrian seperti pidatonya almarhum Presiden Soekarno.- 278
Rosalina tengadahkan muka. Memandang Handrian

yang berjalan mondar-mandir di depannya. Semua ucapan

lelaki itu telah meresap ke dalam hatinya. Tapi masih belum

berani mengambil keputusan. Sedang kesedihan kian

membantu. Kepedihan merejah perasaannya.

Handrian mendekati Rosalina. Lalu ia memegang

tangan perempuan itu. Digenggamnya dengan penuh

kehangatan. Keduanya saling bertatapan. Air mata yang

membasahi di kedua pipi perempuan itu diusapnya lembut.

"Kau masih muda belia. Sayang. Penderitaan dan

siksaan batin telah kau jalani cukup lama. Mari kita arungi

bersama hari esok yang penuh kebahagiaan. Dan kita masih

punya waktu beberapa hari untuk memerangi nasib."

Handrian merengkuh kepala Rosalina, lalu didekap ke

dadanya. Sedang Rosalina memeluk tubuh Handrian,

seakan-akan mencari perlindungan.

"Berbicaralah terus terang kepada suamimu, bahwa

demi kebahagiaan kita, memohon pengertiannya. Memohon

supaya ia rela melepaskanmu untuk menjadi istriku. Demi

anak kita juga. Kalau ia memang seorang suami yang tidak

berakal picik, pasti akan merelakan kauhidup berbahagia

dengan lelaki lain."

"Aku tak sampai hati mengatakannya," keluh

Rosalina sembari terisak.

"Kalau kau tak sampai hati, biar aku yang menemui

nya. Mengutarakan semua niat baikku. Ingin bersungguh-- 279
sungguh memperistrimu. Berjanji akan membahagiakan

hidupmu."

"Jangan... oh... jangan," kata Rosalina dicengkam

kegelisahan.

"Lantas kalau jangan, kapan persoalan kita bisa

selesai? Milikilah keberanian demi kebahagiaan kita.

Sayang. Jika suamimu telah merelakan, aku akan berusaha

menggagalkan perkawinanku dengan Lusi."

"Tapi kau akan membuat malu orang tuamu."

"Aku tak perduli. Semuanya ini hanya tergantung

kepadamu, Sayang. Bila kau memang mempunyai tekad

bersedia menikah denganku. Semua persoalanku bisa

kuatasi. Percayalah."

"Misalnya suamiku bersikeras tak mengijinkan

bagaimana?"

"Tinggal tekadmu saja."

Rosalina menarik napas panjang. Handrian melepas
kan pelukannya. Ditatapnya dalam-dalam wajah Rosalina.

Seclah-olah dengan tatapannya itu, ia ingin memberikan

kekuatan pada perempuan itu. Supaya mempunyai

keberanian mengutarakan tekadnya pada suaminya.

"Berjoanglah untuk kebahagiaan kita, Ma. Untuk

anak kita." Handrian lalu mencium kening perempuan itu.

"Waktu kita semakin sempit, karena tinggal tiga hari lagi- 280
peresmian perkawinanku. Aku tak ingin kehilangan

dirimu."

"Ooooh Mas Han... aku takut. Takut kalau Tuhan

benar-benar akan memisahkan kita," suara Rosalina

gemetar.

Handrian berusaha meyakinkan. Sampai akhirnya

Rosalina mempunyai tekad untuk mengutarakan pada

suaminya. Mengutarakan niatnya akan menikah dengan

Handrian. la sudah tak tahan lagi hidup didera penderitaan.

Dilindas kegetiran yang tak jua mau berhenti. Dan hanya

dengan cara berpisah dari suaminya, baru segala

penderitaannya bisa berakhir.

Tapi benarkah Rosalina bisa mewujudkan impiannya?

Sementara batinnya dipacu oleh ketakutan, bila

sampai Handrian dimiliki orang lain. Oleh karena itu, ia jadi

ingin memiliki Handrian sepenuh hatinya. Berusaha
Hati Kecil Penuh Janji Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merebut laki-laki itu dari tangan seorang gadis bernama

Lusi. Sedangkan Handrian cuma tergantung kepada

Rosalina. Jika memang tidak ada masalah lagi, lusa

Handrian sudah berniat akan menikahi perempuan itu.

Namun kesemuanya itu baru sebentuk keinginan dan

tekad. Sementara badai kehidupan telah menunggunya di

esok hati. Karma pun sudah menanti kelengahan manusia.

Terutama para tokoh di dalam cerita ini.- 281
Untuk lebih jelasnya simak terus lanjutan episode

cerita ini. Cinta, Kasih sayang, kebencian, balas dendam,

dan untaian kehidupan Rosalina yang rumit akan ditemui.

SEKIAN DULU- 282
PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-buku

novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari

kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file

digital.

File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang

kemudian di kompilasi menjadi file PDF.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari

karya-karya yang coba dilestarikan ini.

CREDIT untuk :

? Awie Dermawan, sang pemilik buku aslinya.

? Grup Kolektor E-Books, tempat share ebook ini.

D.A.S




Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya Sapta Siaga 02 Rahasia Jejak Bundar

Cari Blog Ini