Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto Bagian 1
- 1 -- 2
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3
FREDY
SISWANTO
Selaput
Pagar Ayu
PENERBIT
" SETIAWAN "
JAKARTA- 4
novel drama percintaan
SELAPUT PAGAR AYU
SATU
** Kehidupan manusia tak luput
dari cinta dan napsu adalah kodratnya,
di mana napsu yang tak terkendali justru
akan merusak dirinya sendiri! **- 5
SELAPUT PAGAR AYU
Sebuah novel karya Fredy Siswanto
Diterbitkan pertama kali oleh:
Penerbit Gultom - Jakarta
Cetakan kedua 1987
Lukisan cover oleh Fan Sardy
Dilarang mengutip tanpa seizin penulis
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
ALL RIGHTS RESERVED
Apabila ada nama dan tempat kejadian, atau pun cerita
yang sama, cerita ini hanyalah khanyalan.- 6
BAB I
Kebiasaan yang tercermin dalam sifatnya sangat
pendiam. Begitu pendiam, sehingga sepintas menimbulkan
kesan sombong dan angkuh. Cuma yang lebih mengetahui
pribadinya hanyalah sebagian teman-teman dekatnya.
Terutama teman-teman di rekolahnya. Itu pun sebagian
banyak kaum putri. Anehnya dia tetap disukai oleh siapapun
juga, sebab parasnya yang cantik dan lembut senantiasa
mengundang pesona.
Rosalina Mawarti itulah nama lengkapnya. Semenjak
ia berusia sepuluh tahun sudah mengalami goncangan
goncangan dalam hidupnya. Dan goncangan itu semakin
merejah sampai kini, saat ia telah berusia delapan belas
tahun. Goncangan itu membuat sifatnya jadi pendiam dan- 7
mempunyai kebiasaan sering duduk melamun seorang diri
di teras pada saat matahari hampir terbenam. Ada sesuatu
kenangan yang tak dapat dilupakan pada saat-saat seperti
itu. Meskipun hatinya terenyuh, sedih, namun ia berusaha
tabah menerima kenyataan. Semuanya itu sudah menjadi
kehendak Tuhan.
Sore ini pun, Rosalina berbuat demikian. Kali ini, ia
bukan sekedar melamun seperti biasanya, melainkan ikut
prihatin memikirkan pamannya yang sudah dua hari
berbaring di rumah sakit. Maryani keluar dari rumah dan
melihat keponakannya masih duduk di teras pada sebuah
tembok yang mengitari teras itu. Dan tembok itu memang
sengaja dibuat untuk tempat duduk-duduk ketika bersantai.
"Kau jadi ikut membesuk paman, Lina?" tanya
Maryani.
Rosalira menoleh, memandang bibinya yang sudah
berpakaian rapi dan siap untuk berangkat.
"Kalau Lina ikut, yang jaga rumah siapa Bi?" sahut
Rosalina.
"Kita kunci saja."
Rosalina berdiri. Didit, Tirta dan Lusi berhamburan
ke luar dari dalam rumah. Ketiga anak itu langsung
menyeret lengan ibunya seperti sudah tak sabar lagi.
"Ayo dong. Bu!" ajak Didit.- 8
"Tunggu, Kak Lina mau ikut," ujar Rosalina sambil
berlari masuk ke dalam rumah. Cuma sebentar Rosalina
sudah keluar lagi. Rupanya ia sekadar menyisir rambutnya
dan memakai selop. Lalu, dikuncinya pintu rumah.
Maryani menggandeng Lusi yang masih berusia
empat tahun, sedangkan Rosalina berjalan mendampingi
Didit yang berusia tujuh tahun dan Tirta lebih muda setahun
dari Didit. Mereka berjalan di gang yang sempit itu menuju
ke sebuah halte bis kota, yang terletak tidak begitu jauh dari
mulut gang.
Sejenak mereka menunggu bis kota. Lusi berbicara
nyerocos, ingin lekas bertemu dengan ayahnya, membuat
Maryani agak kesal dibuatnya. Dan ketika sebuah bis
berhenti di depan halte itu, buru-buru Rosalina naik dan
membantu adik-adiknya serta bibinya masuk ke dalam bis
kota itu. Penumpang berdesak-desakan. Semua tempat
duduk sudah penuh. Dengan mengeluh Rosalina berdiri
diapit di sela-sela ketiak penumpang.
Mereka turun di halte yang letaknya berhadapan
dengan rumah sakit Cipto Mangun Kusumo. Bergegas
mereka ikut menyeberang beramai-ramai dengan banyak
orang yang rupanya mempunyai tujuan sama hendak
membesuk ke rumah sakit.
Rosalina sambil berjalan mengawasi adik-adiknya
yang berlari-larian di lorong rumah sakit. Mariyani cuma
bisa menghela napas panjang untuk mengurangi rasa- 9
jengkelnya melihat kelakuan anak-anaknya. Agaknya Didit
yang memulai berlari-lari di lorong rumah sakit menuju ke
kamar yang dihuni ayahnya. Si kecil itu sudah hafal setiap
kelokan lorong sampai akhirnya masuk ke sebuah kamar.
"Ayaaah!" panggil Didit sambil berlari menubruk
ayahnya yang seddng duduk di atas tempal tidur. Kemudian
disusul oleh Tirta dan Lusi.
"Kalian kemari dengan siapa?" tanya Darusman pada
Didit.
"Sama ibu dan Kak Lina," sahut Didit.
Darusman lantas tersenyum pada tamunya yang
duduk di kursi. Tamunya itu masih muda dan ramah.
Wajahnya tergolong lumayan dan simpatik. Dan tamunya
itu membalas dengan senyuman ramah.
"Berapa putranya. Om?" tanya pemuda itu.
"Tiga. Semuanya nakal-nakal," sahut Darusman
sambil tersenyum kecil. "Tapi biar bagaimanapun juga,
namanya anak sendiri, jadi baru dua hari tinggal di rumah
sakit rindunya setengah mati."
Rosalina bersama Maryani memasuki kamar itu.
Suara langkah mereka membuat pemuda itu menoleh ke
arah pintu. Lalu dia mengangguk sambil melempar senyum
sapa. Rosalina dan Maryani membalas senyuman pemuda
itu.- 10
"Kenalkan, Bu! Ini putra Pak Bromo," ujar Darusman
sembari memperkenalkan tamunya itu.
Mendengar nama Bromo, langsung saja Maryani
mengangguk hormat. Sejenak Maryani bersalaman dengan
pemuda itu.
"Maryani."
"Gunawan" pemuda itu membalas menyebutkan
namanya.
"Dan itu keponakan saya, Dik," Darusman menunjuk
Rosalina.
Rosalina ganti bersalaman dengan Gunawan. Sekejap
Gunawan dapat menikmati wajah Rosalina yang cantik.
Matanya yang indah dan berbulu lentik. Mata itu sempat
menyeruakkan kesejukan di hati Gunawan. Dan senyum di
bibirnya mengundang daya tarik yang kuat. Maka Gunawan
hanya bisa menarik napas dalam-dalam seusai bersalaman
dengan gadis itu.
"Bagaimana kesehatanmu, Pak?" tanya Maryani.
"Sudah agak membaik. Tapi dokter masih belum
mengijinkan pulang."
"Menurut dokter. Om memang harus banyak
istirahat," sahut Gunawan.
Maryani mengangguk sambil tersenyum ke arah
Gunawan.- 11
"Bibi cuma kuatir kalau Om terlalu lama di rumah
sakit, pekerjaannya akan terbengkalai."
"Tenang saja, Bi. Sementara ini masih bisa saya
wakili."
"Ah, jadi merepotkan Dik Gunawan saja."
"Tidak apa-apa. Om Darusman memang terlalu berat
pekerjaannya di kantor, sehingga terserang penyakit ginjal.
Maka saya sudah menyarankan pada ayah agar Om
dicarikan pembantu di kantor," ujar Gunawan penuh
perhatian. Dan Gunawan masih sempat melirik pada
Rosalina yang sedang bermain-main dengan adik-adiknya.
Barangkali gadis itu tengah memperhatikan ucapannya.
Meskipun Rosalina bermain-main dengan adiknya,
pusat pendengarannya tertuju pada ucapan pemuda itu. la
jadi ingin tahu siapa sebenarnya Gunawan itu? Sekilas
Rosalina melirik pemuda itu dan pandangannya bentrok.
Cepat-cepat Rosalina tertunduk dan pura-pura mengawasi
adiknya yang bercanda.
"Jangan berisik, nanti dimarahi dokter," kata Rosalina
pada Didit.
Didit tadi ngambek ditegur Rosalina. Maryani begitu
tahu Didit ngambek langsung menarik lengan anaknya itu
dan disuruhnya duduk yang baik. Rosalina ikut menarik
Tirta dan Lusi untuk berdiam di dekatnya. Sedangkan- 12
Darusman dan Gunawan cuma senyum-senyum
memperhatikan kenakalan ketiga anak itu.
"Lina," panggil Darusman.
"Ya, Paman."
"Apa sudah keluar hasil pengumuman ujian
sekolahmu?"
"Sudah, Paman. Tadi pagi."
"Bagaimana hasilnya?"
"Saya lulus. Paman."
"Syukur, paman senang sekali mendengarnya."
Suara bel berdenting-denting. Suster yang bertugas
malam berjalan melintasi setiap kamar sambil
membunyikan bel. Pertanda jam besuk sudah habis.
"Jam besuk sudah habis, Bu," kata Darusman, kecewa
karena rasa rindu pada anak dan istrinya belum tuntas.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pulang ya Pak."
"Hati-hati di jalan. Urus anak kita baik-baik. Bu."
Maryani mengangguk sedih.
"Maaf, Om. Bagaimana kalau Bibi dan yang lainnya
saya antar sampai ke rumah," kata Gunawan tulus.
"Tak usah, Dik Gun, merepotkan saja," sela Maryani
sebelum Darusman memberi jawaban.- 13
"Ah, biasa Bi. Mari," ajak Gunawan rendah hati.
"Ikut saja. Bu."
Maryani mengangguk berat.
"Lina pulang. Paman," pamit Rosalina.
Darusman mengangguk. Lalu dia menciumi pipi
anak-anaknya sebelum mereka meninggalkannya.
***
Sengatan matahari pagi menyentuh kulit Rosalina.
Pipinya yang halus dan putih itu jadi bersemu kemerahan
seperti biasa, setiap pagi ia berangkat ke sekolah bersama
sama Didit dan Tirta. Setelah mengantarkan kedua anak itu
ke sekolahnya, barulah ia menuju ke sekolahnya sendiri.
Sebenarnya, pagi itu Rosalina merasa malas untuk
datang ke sekolah. Sebab, cuma sekadar absen dan
memperbincangkan acara perpisahan para murid. Namun,
bila ia ingat dirinya adalah ketua kelas, ia tak bisa
melepaskan tanggung jawabnya, la harus hadir setiap ada
rapat para murid dengan guru-guru. Lebih-lebih saat
menjelang pesta perpisahan seperti hari ini.
Rosalina berjalan sambil mendekap buku catatan di
dada. Untuk menuju ke sekolah cukup ditempuh dengan
berjalan kaki. Di samping mengirit ongkos, jaraknya pun- 14
tidak terlampau jauh. Dan uang pemberian Bibi Maryani
setiap hari ditabungnya. la berharap dengan uang
tabungannya bisa membantu mewujudkan cita-citanya
untuk melanjutkan pelajarannya ke universitas, Ia merasa
kasihan pada pamannya kalau terlalu berat membiayainya.
Apalagi ia tahu pamannya berpenghasilan paspasan untuk
menghidupi keluarganya. Kesedihan menyusup ke dalam
relung hatinya yang paling dalam. Penyesalan pun menjadi
pelengkap sisa hidupnya.
Kenapa takdir menghendaki begini? keluh Rosalina
dalam hati. Hidupku cuma menjadi beban orang lain,
walaupun paman dan bibi tak pernah mengeluh mencukupi
kebutuhanku. Lalu apakah aku harus menggantungkan
hidup pada mereka? Tidak. Aku harus bekerja untuk
membiayai hidupku. Aku tidak boleh terus-menerus begini.
Tanpa disadari, ia telah tiba di pintu gerbang sekolah,
Ia segera membuang lamunannya. Tahun-tahun yang
dilaluinya telah mengajarkannya untuk tetap tabah
menghadapi kenyataan, la tidak boleh murung ataupun
bersedih jika berada di antara teman-temannya. Dan tetap
memperlihatkan keceriaan pada masa remaja, sekalipun
hatinya merintih sedih.
"Lina!" panggil Anton yang tiba-tiba muncul dari
balik pintu gerbang.
Rosalina cukup kaget.- 15
"Aaah, kamu suka bikin kaget saja!" bentak Rosalina
sambil menghela napas panjang.
Rosalina meneruskan langkahnya dan Anton
mengikuti di sampingnya. Murid-murid lainnya saling
berbisik melihat Rosalina berjalan dengan Anton menuju
kelas.
"Kau mau meneruskan ke mana?" tanya Anton.
"Kalau ada biaya sih ke universitas."
"Ya, kita bisa sama-sama."
"Itu masih cita-cita, lho. Lantas Mira mau
meneruskan ke mana?"
"Sama seperti cita-citamu."
Rosalina menelan air ludahnya yang dirasa pahit.
Pahit karena nasibnya tidak seperti Mira. Gadis itu tanpa
bersusah-payah masuk universitas karena orang tuanya
kaya. Sedangkan dirinya apa? Sekali iagi Rosalina berusaha
untuk tidak menyesali nasibnya.
Rosalina dan Anton memasuki kelas. Para murid yang
ada di dalam kelas itu saling bergerombol menjadi tiga
kelompok. Nampaknya mereka sedang asyik merencanakan
sesuatu.
"Naaah, itu Lina sudah datang!" teriak Ida.
"Ada apa nih?" sahut Rosalina mendekati kelompok
Ida.- 16
Anton ikut nimbrung juga.
"Kami punya rencana bagus, Lina. Dan kami semua
sudah kompak dengan rencana itu," ujar Ida menggebu
gebu.
"Rencana apa?"
"Dua minggu lagi, kami merencanakan pergi
bertamasya ke Batu Raden."
"Apakah rencana itu sudah disetujui oleh kepala
sekolah?"
"Belum. Justru kami sedang menyusun kelompok
untuk mengajukan usul ini. Tentunya kau sebagai ketua
kelas yang mewakili kami menghadap kepala sekolah."
Rosalina diam dan berpikir sejenak.
"Bagaimana, kau setuju?" desak Ida.
"Setuju aja deh, Lin," Tina menimpali.
"Iya, dong. Tamasya ini kan menjelang perpisahan
kita," Gatot nyeletuk sambil mencolek lengan Rosalina.
Rosalina memukul tangan Gatot yang usil.
"Lantas mengenai biayanya bagaimana?" tanya
Rosalina.
"Setiap murid dipungut lima ribu rupiah. Dan semua
murid di kelas ini setuju. Sudahlah, jangan bertele-tele!"- 17
"Baik, kalau semuanya sudah setuju. Nanti aku akan
menghadap Pak Kandar," ujar Rosalina.
"Sekarang saja. Mau tunggu apa lagi?"
"Iya, deh."
Rosalina menaruh bukunya di dalam laci, lalu
berjalan meninggalkan kelas.
"Perlu ditemani, Lin?" tanya Anton.
"Tak usah."
Tapi Ida, Gatot dan Tina tidak tinggal diam di kelas.
Mereka ikut membuntuti Rosalina menuju ke kantor, walau
akhirnya mereka cuma menunggu di luar saja.
Sebelum masuk, Rosalina mengetuk pintu kantor.
"Masuk!" suara Pak Kandar dari dalam kantor.
Rosalina membuka pintu kantor dan melangkah masuk, la
duduk di depan Pak Kandar yang sedang sibuk menulis.
Rosalina tak tahu apa yang sedang ditulis Pak Kandar. Yang
penting ia mau menyampaikan rencana semua murid di
kelasnya. Dan ia tidak perduli kalau Pak Kandar belum mau
mengangkat wajahnya dan memperhatikan kehadirannya.
Masih tekun menulis pada buku tebal.
"Ada perlu apa?" tanya Pak Kandar tanpa
memandang Rosalina yang duduk di depannya.- 18
"Semua murid di kelas mengajukan usul untuk
bertamasya ke Batu Raden, Pak!" sahut Rosalina lunak.
Lembut dan merdu kedengarannya.
"Apa?" suara Pak Kandar bernada terkejut dan
lantang. Dia segera mengangkat wajahnya dan memandang
Rosalina yang duduk di depannya.
Rosalina agak gugup juga mendengar suara Pak
Kandar yang lantang itu. Namun ia berusaha tetap tenang.
Dan perhatian guru-guru yang ada di kantor tertuju padanya.
Tapi sikap Pak Kandar segera berubah lunak, setelah
mengetahui muridnya yang paling cantik duduk di
depannya, la tersenyum.
"Ooooh... kau, Rosalina. Apa yang kaukatakan tadi?
Coba ulangi," pinta Pak Kandar sembari senyum-senyum.
Kepala sudah botak, tapi kelakuan masih kanak
kanak, gerutu Rosalina dalam hati. Dan Rosalina sejak dulu
tahu kalau kepala sekolahnya ini senang menggoda murid
murid yang cantik. Maklum meskipun sudah tua, ia masih
tetap membujang.
"Semua murid di kelas kami mengajukan usul untuk
mengadakan tamasya ke Batu Raden, Pak."
"Dalam rangka apa itu?"
"Menjelang perpisahan antar murid di kelas tiga."
Pak Kandar manggut-manggut.- 19
Rosalina merasa agak lega melihat anggukan dan
senyum Pak Kandar.
"Soal biayanya bagaimana?"
"Ditanggung bersama. Pak. Setiap murid dipungut
lima ribu rupiah."
"Bagus, bagus. Lalu kapan rencananya?"
"Dua minggu lagi, Pak. Bapak setuju kan?"
Pak Kandar tersenyum.
"Kalau saya pribadi pasti setuju. Tapi hal ini harus
dirundingkan dengan guru-guru lainnya."
"Semoga guru-guru lainnya akan setuju. Pak. Kalau
tidak pasti semua murid akan kecewa."
"Okey, tunggu saja hasil keputusannya nanti."
"Terima kasih. Pak."
Rosalina bangkit, lalu meninggalkan kantor itu. Pak
Kandar masih sempat memperhatikan tubuh Rosalina yang
gemulai lenyap dari pandangannya. Dia meneguk air
ludahnya yang mendadak terasa manis.
Di luar kantor, Rosalina disambut teman-temannya.
Mereka berduyun-duyun masuk ke dalam kelas bersamaan
beli sekolah berdentang-dentang.
"Bagaimana, Lin?" tanya Ida tak sabar lagi.- 20
"Tunggu saja hasil rapat para guru."
"Jadi Pak Kandar tidak menyetujui rencana kita?"
sela Anton penasaran.
"Pada prinsipnya. Pak Kandar setuju. Tapi dia harus
berunding dengan guru-guru yang lainnya."
Para murid sudah duduk di bangkunya masing
masing, saling membicarakan guru-guru. Pokoknya, yang
dibicarakan mereka hanyalah kejelekan setiap guru. Seolah
olah rencana mereka tak akan disetujui oleh semua guru.
Hanya Rosalina dan Nina yang duduk tenang sebangku.
Kedua gadis itu tidak ambil pusing pada percakapan teman
temannya. Anton sebentar-sebentar memandang Rosalina
yang duduk tenang di bangkunya. Diam-diam, sejak setahun
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berselang Anton sudah menaruh hati pada gadis itu. Cuma
saja Rosalina tidak menampakkan tanda-tanda membalas
cintanya.
Keadaan kelas yang ribut karena pembicaraan yang
saling bersahut-sahutan, mendadak, jadi hening. Pak Kandar
masuk ke dalam kelas itu. Semua murid duduk tenang di
bangkunya masing-masing. Dan perhatian mereka tercurah
pada Pak Kandar yang berdiri di depan kelas.
"Apakah benar kalian semua mempunyai rencana
ingin bertamasya ke Batu Raden?" tanya Pak Kandar penuh
wibawa.- 21
"Betuuuul, Paaaaak!" serempak semua murid
berteriak.
"Tenang!" bentak Pak Kandar.
Keadaan kelas jadi hening. Hanya ada suara batuk
kecil.
"Setelah para guru merundingkan usul kalian semua,
ternyata..." ucapan Pak Kandar sengaja dihentikan. Dia
mengambil sebatang rokok di kantongnya.
Semua murid jadi tegang dan tak sabar lagi ingin
mendengar kelanjutan ucapan Pak Kandar. Tapi Pak Kandar
dengan santai malah menghenyakkan pantat di kursi.
"Ternyata apa. Pak?!" celetuk Anton tak sabar lagi.
"Saya belum selesai bicara!" bentak Pak Kandar.
Anton jadi ciut mendengar bentakan Pak Kandar yang
terkenal galak itu. Sementara murid lainnya berusaha
menahan tawa. Termasuk Rosalina.
Pak Kandar bangkit dari tempat duduknya.
Pandangan matanya mengitari semua murid, lalu berhenti
ketika sampai pada Rosalina. Rosalina merasa gerah
bertemu pandang dengan kepala sekolahnya yang bermata
nakal itu. la cepat menundukkan muka. Aktingnya sih boleh;
tapi cuma buat nampang saja, gerutu Rosalina dalam hati.
Sebab ia tahu betul kelakuan kepala sekolahnya ini. Ia
pernah mengajak Rosalina untuk nonton film. Fuuiii... tak
usah ya.- 22
"Ternyata tidak semudah apa yang kalian bayangkan
untuk mengadakan tamasya ke Batu Raden. Sebab rencana
kalian harus pula disetujui oleh orang tua masing-masing.
Maka demi menjaga hal-hal yang tidak kami inginkan,
setiap murid yang akan ikut harus menyerahkan surat ijin
tertulis dari orang tuanya. Mengerti?!"
"Beres, Paaaaak!" serempak semua murid menyahut.
Rosalina mengacungkan jari di antara teriakan para
murid. Dan teriakan itu berhenti pada saat Rosalina berkata:
"Jadi pada prinsipnya semua guru-guru setuju usui
kami. Pak?"
"Setuju... setuju," balas Pak Kandar manggut
manggut.
Semua murid di dalam kelas itu bersorak gembira.
Pak Kandar pun segera berlalu meninggalkan kelas itu. Ida,
Tina, Gatot dan Anton menyerbu Rosalina dan menjabat
tangannya sebagai rasa gembira atas keberhasilan Rosalina
mengusulkan rencana mereka.
***
Maryani sudah selesai mendandani ketiga anaknya,
sementara Rosalina tengah mengenakan roknya yang
berwarna biru bergaris-garis putih. Rambutnya dibiarkan- 23
terurai ikal di batas pundaknya. Dengan berdandan
sederhana begitu, tetap terpantul pesona pada dirinya.
Bahkan sore itu Rosalina tampak cantik dan anggun.
"Sudah selesai, Lina?!" suara Maryani dari ruang
tengah.
Buru-buru Rosalina keluar dari Kamarnya dan
menjumpai bibinya yang telah siap berangkat.
"Sudah, Bi."
Rosalina menyambar tangan Tirta dan Didit. Maryani
menggandeng Lusi dan bersama-sama melangkah ke ruang
depan. Tapi langkah mereka terhenti di ruang tamu karena
di ambang pintu rumah, sesosok tubuh laki-laki sudah
berdiri.
"Selamat sore, Bi," tegur lelaki muda itu.
"Oooo... Dik Gunawan. Mari silakan masuk," balas
Maryani ramah.
"Terima kasih, Bi. Sengaja saya kemari untuk
menjemput Bibi, barangkali Bibi mau ke rumah sakit, bisa
sama-sama. Saya juga mau membesuk Om Darusman."
Maryani memandang Rosalina sejenak dan beralih
pada Gunawan. Rosalina jadi ikut memandang Gunawan
dengan perasaan senang. Alangkah baiknya pemuda ini,
pikir Rosalina polos. Pada saat yang bersamaan, Gunawan
juga memandang Rosalina, sehingga pandangan mereka
bertemu. Keduanya saling melempar senyum. Senyum- 24
Gunawan bermakna getaran perasaan, sedangkan senyum
Rosalina sekadar keramahan terhadap tamunya.
"Bibi jadi semakin merepotkan Dik Gunawan saja,"
kata Maryani sambil tersenyum senang.
"Tidak, Bi! Kita toh punya tujuan sama, hendak
membesuk Om Darusman. Bagaimana? Kita berangkat
sekarang?"
Maryani berjalan duluan bersama Gunawan dan
ketiga anaknya, sementara Rosalina. mengunci pintu rumah.
Rosalina berjalan cepat setelah selesai mengunci rumah,
membarengi langkah-langkah mereka di gang sempit itu.
Anak-anak kecil di mana pun sama. Umumnya,
mereka paling senang kalau diajak naik mobil. Gunawan
nampak sabar sekali melayani ketiga anak Maryani naik ke
dalam mobil. Hal itu membuat Maryani dan Rosalina
merasa kikuk dan risih.
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit,
Rosalina tak berbicara sepatah kata pun. la duduk membisu
di sebelah Gunawan yang begitu tenang melarikan
mobilnya.
"Lina mau melanjutkan studi ke mana?" pertanyaan
Gunawan memecah kebisuan Rosalina.
"Nggak tahu nih. Mas, entah mau melanjutkan ke
mana," balas Rosalina sambil tersenyum.- 25
"Masak Lina nggak punya cita-cita?" Gunawan
melirik Rosalina.
"Cita-cita sih ada, tapi..." ucapan Rosalina terhenti, la
takut menyinggung perasaan bibinya yang duduk di jok
belakang.
"Tapi kenapa?"
"Perlu dipikirkan lebih serius."
Gunawan manggut-manggut.
Maryani yang duduk di jok belakang, cuma senyum
senyum. Dia merasa senang kalau Rosalina bisa bergaul
intim dengan Gunawan. Maryani mulai dapat merasakan
kalau Gunawan menaruh simpati pada Rosalina.
Mobil yang dikemudikan Gunawan telah memasuki
halaman rumah sakit Cipto Mangun Kusumo, dari berhenti
di tempat parkir. Bergegas semua penumpangnya, turun.
Maryani sengaja menyuruh ketiga anaknya untuk lebih dulu
masuk ke rumah sakit bersamanya, ia ingin memberikan
kesempatan kepada Gunawan dan Rosalina supaya bisa
mempererat hubungan secara pribadi, sebab dari dulu
Rosalina orangnya pemalu.
Kenyataannya memang begitu. Rosalina berjalan
menunduk tak banyak bicara di sisi Gunawan. Kalau
Gunawan tidak mulai bertanya, gadis itu hanya diam saja.
"Semenjak saya mengenal Om Darusman, saya
sangat, kagum dengan kepribadiannya. Dia jujur dan tekun- 26
menghadapi pekerjaan di kantor. Saya yakin, kepribadian
nya itu pasti tertanam dalam jiwamu," kata Gunawan
bernada memuji.
Rosalina cuma senyum-senyum. Dan ketika
Gunawan melirik, ia bisa melihat senyum Rosalina yang
sangat memikat. Manis. Mendebarkan perasaannya.
Gunawan jadi ingin lebih lama sampai di kamar Om
Darusman. Dia senang ngobrol dengan Rosalina dan senang
melihat senyumannya yang aduhai manisnya. Maka
Gunawan memperlambat ayunan langkahnya supaya bisa
agak lama sampainya, karena dia merasa bangga berjalan di
sisi gadis itu. Betapa tidak, hampir setiap orang yang melihat
Rosalina mengagumi kecantikannya.
"Kalau kamu tidak keberatan, boleh saya datang ke
rumahmu setiap saat?"
"Pintu rumahku senantiasa terbuka menerima tamu
yang berniat baik."
"Terima kasih. Berarti kamu senang bergaul
denganku."
"Bergaul dengan siapapun saya senang!"
"Terima kasih untuk kedua kalinya. Kalau misalnya.
Mas Gun ajak kamu nonton film bagaimana?" pancing
Gunawan, meneliti sikap gadis itu. Dia hendak menguji
apakah Rosalina gadis yang gampang diajak berkencan.- 27
"Waaaah, kalau urusannya sudah sampai di situ, sorry
saja. Mas."
Gunawan tersenyum senang. Langkah mereka telah
sampai di ambang pintu kamar Darusman. Gunawan
mengangguk sambil tersenyum pada Om Darusman.
"Selamat petang. Om," sapa Gunawan.
"Selamat petang," balas Darusman dengan senyum
gembira.
Gunawan dan Rosalina mendekati Om Darusman
yang duduk di kursi. Lelaki setengah baya itu sudah nampak
sehat. Rosalina menaruh buah-buah segar serta dua kaleng
roti di atas meja.
"Dari Mas Gun, Om," kata Rosalina.
"Terima kasih. Dik Gun. Dokter sudah mengijinkan
saya pulang besok," ujar Darusman riang.
"Saya ikut merasa gembira, Om. Jam berapa besok
Om mau pulang?" tanya Gunawan.
"Sekitar jam 9 atau 10 pagi. Mudah-mudahan saja
tidak ada kesulitan."
Didit, Tirta dan Lusi saling berebut mengambil buah
apel di atas meja. Rosalina berusaha mencegah keributan
ketiga adiknya itu.
"Ini apa-apaan sih! Buah apel itu kan untuk bapak,
bukan untuk kalian," seru Rosalina.- 28
Tapi ketiga adiknya itu tak mau menghiraukan
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkataan Rosalina. Maryani menggelengkan kepala sambil
menarik napas berat.
"Lina, ajak mereka main di luar," perintah Darusman.
Rosalina menggiring ketiga adiknya keluar dari
kamar itu. Gunawan ikut membantu. Sedangkan Darusman
dan Maryani nampak termenung di dalam kamar.
"Apakah uang simpananmu habis sama sekali. Bu?"
"Ada. Tapi kalau untuk membayar ongkos selama
Bapak dirawat di rumah sakit tidak cukup."
"Kalau begitu mintalah bantuan kepada Bu RT.
Dalam jangka waktu sebulan akan kita kembalikan."
Maryani mengangguk berat.
Percakapan itu sayup-sayup, sampai ke telinga
Gunawan yang duduk di depan teras kamar. Pemuda itu
menarik napas panjang yang disertai perasaan haru menjalar
di dalam dadanya. Sementara Rosalina yang duduk di
sebelah Gunawan tak henti-henti mengawasi adik-adiknya.
Ketiga anak itu berlari-larian di lorong rumah sakit..
"Mengurus anak-anak kecil membutuhkan
kesabaran," gumam Gunawan.
Rosalina menoleh, la baru sadar kalau sejak tadi
Gunawan sudah duduk di sebelahnya. Hanya dibatasi oleh
sebuah meja.- 29
"Iya, Mas. Apalagi mereka ini nakalnya setengah
mati."
"Kenakalan anak-anak seumur mereka sudah wajar.
Yang penting bagaimana cara kita mengasuhnya."
Hening sejenak. Rosalina meremas jari-jari tangan,
setengah memainkan. Apa yang dilakukannya, hanya untuk
mengurangi keresahan hatinya.
Sebab, ia tahu bahwa Paman dan Bibinya tengah
menghadapi kesulitan, Ia tahu benar kalau mereka tak
mempunyai uang cukup untuk membayar ongkos perawatan
paman di rumah sakit, Ia jadi ingat uang tabungannya.
Barangkali uang itu bisa sedikit banyak membantu kesulitan
mereka.
"Apa yang tengah kaupikirkan, Lina?" tanya
Gunawan.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," sahut Rosalina gugup.
Lusi berlari-kecil ke pangkuan Rosalina. Rosalina
membelai sayang rambut keponakannya itu. Dengan cara
demikian ia bisa menutupi kegugupannya. Juga
menghindari pertanyaan Gunawan yang muliai menjurus ke
soal pribadi.
"Lusi nggak boleh lari-larian ya, nanti jatuh?" kata
Rosalina lunak.
"He-eh" balas si kecil manggut.- 30
"Dan Lusi mesti menurut sama Kak Lina," sambung
Gunawan.
Lusi mengangguk. Rosalina tersenyum.
"Kapan-kapan, Lusi mau pergi ke Taman Ria sama
Om?"
Lusi menggeleng.
"Kenapa?"
Lusi menggeleng lagi.
"Kalau ajak Kak Lina mau?"
"Heh!" Lusi mengangguk.
"Coba sekarang Lusi tanya sama Kak Lina. Kak Lina
mau nggak pergi sama Om?"
Lusi memandang Rosalina. Cuma itu yang bisa
dilakukannya, tanpa bisa bicara. Kedua pipi Rosalina
nampak bersemu merah jambu, Ia tersenyum-senyum malu.
Gunawan merasa senang kalau melihat Rosalina malu-malu,
sebab tambah menarik. Membuat perasaan Gunawan
menjadi gemas.
"Om kan orangnya baik. Nggak suka jahil atau usil.
Makanya Kak Lina nggak boleh takut kalau diajak pergi
sama Om," ujar Gunawan pada Lusi yang secara tidak
langsung ditujukan pada Rosalina.- 31
"Ah, Mas Gun bisa saja," gumam Rosalina sembari
senyum-senyum.
"Soalnya saya selalu melihat kamu dalam keadaan
murung."
"Memang kapan Mas Gun sering melihat saya
murung?"
"Dua kali kita bertemu, tapi dari sorot matamu sering
kujumpai kemurungan. Ya. kan?"
Rosalina tertunduk, Ia tidak menduga kalau Gunawan
menaruh perhatian begitu besar padanya. Sikapnya yang
matang dan sabar itu memang dikagumi Rosalina. Namun
kekaguman itu masih tidak lebih dari seorang teman,
meskipun Gunawan seorang pemuda simpatik, tapi hati
Rosalina masih belum bisa tergoyahkan.
Seorang suster membunyikan bel. Gunawan jadi
kecewa karena belum puas berbincang-bincang dengan
Rosalina. Bunyi bel itu seperti mengusir keasyikannya.
"Jam besuk sudah habis," kata Rosalina.
"Tapi jam bicara kita belum habis kan?"
Rosalina bangkit dari tempat duduknya sambil
tersenyum.
"Lain waktu masih bisa diteruskan," ujar Rosalina
dibarengi langkahnya masuk ke kamar bersama Lusi.- 32
Gunawan tersenyum, nampak dia amat senang
mendengarnya. Berarti besar harapannya untuk bisa
mengambil hati gadis itu. Lalu dia berdiri dan bersama-sama
Didit serta Tirta masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Bibi
Maryani dan Rosalina sedang berpamitan pada Om
Darusman. Dan sebelum mereka berpisah Om Darusman
mencium ketiga anaknya secara bergantian.
"Saya permisi. Om," pamit Gunawan.
"Terimakasih, Dik Gun."
Darusman cuma bisa memandang berlalunya orang
orang yang dicintainya. Sementara di hati kecilnya terpercik
harapan gembira. Harapan yang mulai tampak dari sikap
Gunawan yang menaruh perhatian pada keponakannya. Dia
dapat membaca dari sorot mata Gunawan, bahwa pemuda
itu menaruh hati pada Rosalina. Maka dia hanya bisa berdoa
semoga harapannya itu bisa menjadi kenyataan. Gunawan
dan Rosalina saling mencintai.
Pagi itu, Rosalina sengaja tidak masuk sekolah, la
mengantar bibinya ke rumah sakit untuk menjemput Paman
Darusman. Sesampainya mereka di depan rumah sakit,
entah mengapa Rosalina jadi gugup ketika melihat Gunawan
sudah berdiri menunggu di pintu gerbang. Sehingga ia
berdiri saja seperti terpana. Untung Gunawan segera
menegurnya.
"Linaaa!"- 33
Rosalina menggerakkan bibir untuk tersenyum.
"Eeee, Dik Gun. Sudah duluan sampai di sini," balas
Maryani senang. "Sudah lama?"
"Setengah jam yang lalu, Bi."
"Sudah ketemu. Om?"
"Belum."
"Ayo, kita masuk sama-sama."
Maryani, Rosalina dan Gunawan melangkah, masuk
ke ruang tunggu.
"Sebaiknya kita ke kantor rumah sakit untuk
membayar perongkosan Om," kata Maryani.
"Saya sudah menyelesaikannya, Bi."
Maryani dan Rosalina termangu. Langkah mereka
terhenti.
"Jadi?" gumam Maryani masih bingung.
Rosalina juga bingung dan menatap Gunawan.
Sedang Gunawan cuma senyum-senyum tenang.
"Sekarang kita hanya tinggal menjemput Om
Darusman saja," kata Gunawan.
"Apa yang mesti bibi lakukan sebagai balas budi
terhadap Dik Gun?"- 34
"Sudahlah, Bi. Om Darusman sudah tak sabar lagi
menunggu kita."
Bergegas Maryani, Rosalina dan Gunawan berjalan di
lorong rumah sakit itu menuju ke kamar Darusman.
Alangkah baiknya hati Mas Gun, pikir Rosalina sambil
berjalan, ia melirik ke arah pemuda yang berjalan di
sampingnya. Bertepatan pada saat itu Gunawan juga
meliriknya. Pandangan mereka bertemu. Gunawan
melempar senyum dan dibalas oleh Rosalina. Kedua pipi
gadis itu bersemu merah jambu.
Sementara itu Darusman yang tinggal di kamarnya
berjalan mondar-mandir. Perasaan resah meletup-letup
dalam dada. Ia resah karena membayangkan kalau istrinya
sampai tidak berhasil meminjam uang pada Bu RT di
kampungnya, celaka. Pasti Darusman tak bisa pulang hari
ini. Dan alangkah memalukannya.
"Paaaak!" suara perempuan yang memanggilnya
dengan suara girang.
Darusman cepat menoleh. Dilihatnya istrinya dan
Rosalina yang didampingi Gunawan memasuki kamarnya.
Wajah mereka begitu cerah.
"Kau sudah siap untuk pulang. Pak?" tanya Maryani.
"Lantas soal..." ucapan Darusman terhenti karena
malu didengar oleh Gunawan.- 35
"Sudah beres. Pak. Dik Gun yang menyelesaikan
nya."
Darusman kaget dan menarik napas lega. Ditepuk
tepuknya pundak Gunawan pelan-pelan.
"Budi baik Dik Gunawan semoga dibalas oleh Tuhan.
Kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih," tutur
Darusman terharu.
"Tolong menolong adalah kewajiban umat manusia.
Om."
Diam-diam Rosalina ikut terharu juga. Alangkah baik
dan mulianya hati pemuda itu, pikir Rosalina. Dan sikap
serta perbuatan pemuda itu mulai menyentuh dinding
hatinya.
Setelah Maryani mengemasi pakaian suaminya dan
Rosalina membantu memasukkan roti-roti kalengan serta
buah-buahan ke dalam tas, mereka bertempat meninggalkan
kamar itu. Gunawan tidak tinggal diam, ikut membantu
Rosalina membawa roti kalengan. Dengan wajah-wajah
cerah mereka tinggalkan gedung induk rumah sakit itu.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunawan lebih dulu membukakan pintu mobil untuk
Darusman dan istrinya. Setelah sepasang suami-istri itu
duduk di jok belakang, baru menyusul dia dan Rosalina
duduk di jok depan. Gunawan meluncurkan mobilnya
dengan perasaan lega. Dan Rosalina duduk di samping ikut
menghela napas lega.- 36
"Sebaiknya Om istirahat di rumah barang dua atau
tiga hari lagi. Urusan di kantor masih bisa saya bantu," ujar
Gunawan sambil menyetir mobilnya.
"Om rasa sebaiknya besok Om sudah mulai masuk
bekerja. Sudah sehat benar kok," sahut Darusman senyum
senyum.
""Ya syukur kalau begitu. Om. Yang terang saya
sudah ceritakan mengenai keadaan Om pada ayah saya."
Darusman bertukar pandangan dengan istrinya.
Rupanya mereka sudah merasakan adanya jalinan simpati
antara Gunawan dan Rosalina. Terbukti keduanya saling
kikuk di hadapan mereka, tidak seperti hari-hari
sebelumnya.
***- 37
BAB II
Ada semacam ketegangan dan keraguan di hati
Rosalina, manakala pamannya menyarankan agar ia
bersedia menemani Gunawan pergi. Segala bentuk perasaan
yang bergumul dalam dadanya, lantaran belum pernah
bepergian berdua secara formal dengan seorang pria. Maka
sekujur tubuhnya jadi panas dingin. Seperti terserang asma
secara mendadak.
"Turutilah ajakannya, Lina," saran Darusman lunak.
"Lina malu, Paman," gemetar Rosalina menjawab.
"Malu sama siapa?" sahut Maryani.
"Kalau ketemu teman."- 38
"Sejak dulu kau selalu malu setiap bergaul intim
dengan pria. Kau ini kan sudah dewasa, Lina. Sudah
sepatutnya untuk menentukan pria mana yang kau sukai,"
tutur Maryani.
Rosalina menghela napas berat. Patutkah aku
menemani Mas Gun pergi? Itu yang selalu dipertanyakan
Rosalina dalam hati. Sudah dua kali ia menjauhi pria yang
menaruh hati padanya. Dulu Hendra, seorang mahasiswa
kedokteran yang menaruh hati padanya. Pemuda itu mundur
secara teratur lantaran Rosalina minder dan malu menemui,
setiap Hendra datang ke rumahnya. Begitupun Rusdi
pegawai DKI yang sering datang ke rumahnya, tapi Rosalina
malah mengurung diri di kamar. Dan haruskah kali ini ia
mengecewakan paman dan bibinya? Apalagi hal ini
menyangkut kelangsungan hubungan kerja antara pamannya
dengan Gunawan.
"Jangan kecewakan Mas Gunawan, Lina," desak
Maryani.
Rosalina melangkah masuk ke kamarnya. Maryani
membuntutinya. Lalu ia membuka lemari pakaiannya dan
Maryani menjadi lega hatinya.
"Kau bersedia, bukan?" tanya Maryani masih ragu
ragu.
"Mas Gun suruh tunggu sebentar! Saya mau tukar
pakaian," ujar Rosalina.- 39
Maryani buru-buru pergi untuk memberitahu pada
Gunawan, sementara Rosalina berdandan di muka cermin.
Gunawan memang pria yang patut menjadi pendamping
hidupmu, Lina. Dia adalah figur seorang suami, juga
seorang ayah yang baik. Hidupmu pasti akan bahagia, di
samping dia. la seorang putra pengusaha besar yang kaya
raya. Pria itu sangat tepat menjadi pilihan hatimu. Dan
Rosalina tersentak sendiri mendengar bisikan hatinya. Dari
mana datangnya cetusan isi hati yang begini? Maka Rosalina
jadi terheran-heran sendiri.
Tapi kemudian Rosalina menganalisa suara hatinya
itu. Di dalam hatinya memang ada sesuatu yang aneh. Sejak
kehadiran pria itu, perasaannya kadangkala tak menentu.
Sekilas ia teringat pada saat melihat Gunawan sudah berdiri
di pintu gerbang rumah sakit, entah kenapa ia jadi gugup dan
terpana. Apakah itu bukan berarti ada sesuatu dalam
perasaannya? Sesuatu yang mengikat jalinan hubungan
batin.
"Belum selesai, Lina?" suara Maryani menegurnya.
Rosalina menoleh setengah tersentak. Ternyata
bibinya sudah berdiri di ambang pintu kamar. Buru-buru ia
menyisir rambutnya.
"Sudah kok, Bi."
"Cepat, sudah ditunggu Dik Gunawan."- 40
Rosalina bergegas keluar kamar dan langsung
menemui Gunawan di ruang tamu. Kali ini Gunawan jadi
terpana melihat Rosalina yang begitu cantiknya. Lebih
cantik dari hari-hari sebelumnya, meskipun cara
berdandannya sangat sederhana. Keanggunan terpantul dari
sikapnya yang lugu.
"Sudah siap?" tanya Gunawan.
"Masih ada yang kurang cara berpakaianku?"
"O, tidak. Aku pamit dulu sama om dan bibi."
Gunawan bangkit. Maryani dan Darusman muncul di
ruang tamu.
"Om dan Bibi, kami pergi," pamit Gunawan.
"Jangan sampai larut malam pulangnya, ya?" sahut
Maryani.
"Baik, Bi."
Gunawan bersama Rosalina berjalan berdampingan
menyusuri gang sempit yang hanya cukup untuk dua orang.
Sehingga saat mereka melangkah, acapkali kulit lengan
mereka bersentuhan. Degup jantung Rosalina jadi tak
beraturan lagi. la tertunduk malu di sisi pemuda itu.
Di mulut gang itu Gunawan memarkir mobilnya.
Gunawan membukakan pintunya untuk Rosalina, lalu dia
berjalan mengitari tubuh mobil itu dan duduk di belakang
stir. Dihempaskannya pintu bersamaan dengan Rosalina.- 41
"Ke mana nih tujuan kita?" tanya Gunawan sambil
menstarter mobilnya.
"Terserah Mas Gun," sahut Rosalina.
"Senang melihat pantai di sore begini?"
Rosalina mengangguk.
Gunawan meluncurkan mobilnya dengan santai.
"Aku jadi ingat nyanyian lama yang kusenangi.
Lagunya Nur Afni Octavia."
Rosalina menoleh dan memandang Gunawan. "Lagu
apa?"
"Wajah cantik nan ayu siapa yang punya," kata
Gunawan menirukan nada lagu itu.
Rosalina membuang muka malu. Kedua pipinya
merah jambu.
"Senang dengan lagu itu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Soalnya yang nyanyi Mas Gun." Gunawan tertawa.
"Justru syair lagu itu sengaja kutuju kan padamu.
Apakah kau sudah ada yang punya?"
"Ah, jangan bicara soal itu."- 42
"Lho, kenapa?"
"Bicara saja yang lainnya. Kan masih banyak,"
sanggah Rosalina manja.
Gunawan senyum-senyum sembari melirik gadis
yang duduk di sisinya. Dia semakin berniat ingin
mengutarakan isi hatinya. Gadis yang duduk di sisinya
adalah pilihannya yang terakhir. Dia tak memperdulikan
apapun yang akan terjadi, asalkan cintanya tak akan ditolak.
Mentari senja masih separuh tertinggal di permukaan
laut ufuk barat. Mobil yang dikemudikan Gunawan berhenti
di pinggir pantai. Tidak begitu jauh dari sebuah restauran
kecil yang nampak masih sepi pengunjung. Gunawan dan
Rosalina turun dari mobil sembari mengempaskan pintunya.
Langkah-langkah mereka terayun santai di pasir pantai.
Angin yang berembus semilir mengurai rambut Rosalina.
"Lina berasal dari mana?"
"Semarang."
"Orang tua masih ada?"
Rosalina menggelengkan kepala. Pertanyaan itu jadi
membuat wajah Rosalina sedih.
"Kedua orang tua Lina sudah tiada?"
"Kalau masih hidup, barangkali aku tidak pindah ke
Jakarta."
Gunawan menghela napas berat.- 43
"Rupanya karena itu kau sering kulihat murung."
Langkah mereka terus terayun dan membekas di pasir
pantai. Sebentar-sebentar Gunawan memandang gadis di
sisinya yang langkahnya gemulai. Dan acapkali kulit lengan
mereka bersentuhan. Jadi timbul keinginan Gunawan untuk
menggandeng jari-jemari tangan gadis itu. Namun ada
semacam kebimbangan kalau gadis itu menolaknya.
Sedang di dalam dada Rosalina semakin bergejolak
getaran yang aneh itu. Apalagi setiap kulit lengannya
bersentuhan dengan kulit lengan Gunawan. Sungguh mati,
perasaan semacam ini belum pernah dialami sebelumnya.
"Kita singgah di restauran itu sambil berbincang
bincang," ajak Gunawan.
Rosalina cuma menurut saja. Entah mengapa
sikapnya jadi berubah penurut seperti anak kecil. Padahal
menghadapi teman-teman prianya, ia selalu menolak kalau
tak sesuai dengan keinginannya. Dan apakah yang
dilakukannya ini sesuai dengan keinginannya? Jawabnya
cuma tarikan napaf panjang.
Di bawah tenda mereka duduk berhadapan. Pelayan
datang, mereka segera memesan minuman. Sejenak mereka
berdiam sambil memandang ke permukaan laut. Tapi
Gunawan tak tahan lebih lama memandang permukaan laut,
sebab nalurinya mengatakan ada yang lebih mempesona
untuk dipandang. Untuk dikagumi. Tak lain adalah seraut
wajah Rosalina.- 44
Kemudian Gunawan mengalihkan perhatian ke wajah
Rosalina. Matanya menatap Rosalina dalam-dalam.
Benturan pandangan terjadi, sehingga membuat Rosalina
menundukkan kepala malu. Membuat perasaan gadis itu jadi
tak menentu.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah berapa lama kau tinggal bersama Om
Darusman?"
"Dua tahun."
"Setelah lulus SMA kau mau melanjutkan ke mana?"
"Aku belum tahu."
"Kenapa? Apakah... maaf... ada kesulitan biaya?"
"Begitulah," Rosalina mengeluh.
Gunawan menghela napas. Ditatapnya raut wajah
Rosalina yang tampak berusaha tersenyum, tetapi di balik
senyum itu seakan tersimpan beban kesedihan. Penderitaan.
"Lina, cobalah untuk melupakan sesaat tentang
kesedihan dan penderitaanmu. Mas Gun ingin bisa serius
tentang kita berdua," kata Gunawan.
Rosalina tengadahkan muka dan memberanikan diri
memandang Gunawan. Matanya yang bening indah berbulu
lentik itu sangat dikagumi Gunawan, sehingga Gunawan
terus menatapnya.
"Perkenalan kita memang baru terjalin sepekan. Tapi
apa salahnya kalau aku berbicara dari hati ke hati. Dan- 45
sebelumnya aku mohon jangan lekas marah ya?" lembut
tutur kata Gunawan.
Rosalina menggeleng sambil menunduk, tapi mencuri
pandang melalui sela-sela bulu matanya yang lentik ke arah
Gunawan. Degup jantungnya menggelepar-gelepar.
"Mas Gun sebenarnya mencintaimu."
Ucapan Gunawan seakan-akan bom yang meledak
dan nyaris membuat jantung Rosalina rontok. Sekujur
tubuhnya tidak punya kekuatan lagi, manakala telapak
tangannya digenggam Gunawan. Sekujur tubuhnya dingin
sekali dan gemetar. Sebab hal ini untuk pertama kalinya
dialami, mendengar ucapan cinta yang tulus dari seorang
pria.
"Apakah kau sudi membalas cintaku, Lina?" suara
Gunawan lirih tapi mantap.
Rosalina menarik jari tangannya yang digenggam
Gunawan.
"Aku belum bisa menjawab sekarang, Mas."
"Aku mengerti. Tapi Lina jangan punya anggapan,
bahwa cinta yang datangnya cepat akan pergi dengan cepat
pula. Karena cinta bisa tumbuh di saat pandangan pertama.
Seperti manakala aku melihatmu pertama kalinya."
Rosalina diam sambil memandang lurus ke
permukaan laut. Di ufuk barat matahari sudah tergelincir
hilang. Yang tinggal cuma berkas-berkas cahayanya, merah- 46
di sela-sela mega. Panorama alam telah redup disongsong
malam. Kebimbangan pun masih bergelut di dalam hati
gadis itu.
"Dan jangan sangsikan ketulusan cintaku. Bila kau
membalasnya, kita akan segera menikah. Soal kau mau
meneruskan kuliah, bukan suatu penghalang bagiku."
Menikah? Gemetar juga sekujur kaki Rosalina
mendengarnya. Karena ia belum pernah memikirkan tentang
pernikahannya. Kendati dalam benaknya sudah terbayang
kebahagiaan bila hidup bersama dengan Gunawan.
Hidupnya pasti tak akan menderita. Namun ada juga yang
terselip dalam perasaannya, bahwa hidupnya yang sebatang
kara dan miskin ini dapatkah diterima oleh kedua orang tua
Gunawan?
"Pikirlah dulu secara masak! Aku akan sabar
menunggu kepastianmu," ujar Gunawan penuh harapan.
Gunawan menyodorkan minuman teh botol pada
Rosalina. Sejenak pembicaraan mereka terhenti, masing
masing menyedot minumannya dengan pipet. Cuma
kadangkala mata mereka saling bertemu pandang. Lantas
bertukar senyum.
"Jalan-jalan ke sana, yuk?" ajak Gunawan.
Rosalina mengangguk seraya meletakkan botol
minuman ke meja. Gunawan memanggil pelayan restauran
dan membayar minuman. Setelah itu mereka mengayunkan- 47
langkah ke pesisir pantai. Gunawan kali ini memberanikan
diri menggandeng tangan Rosalina. Dan gadis itu hanya
diam saja. Selama mereka berjalan di pesisir pantai,
seringkah Rosalina menemui sepasang remaja tengah asyik
bercumbu. Ada juga yang tengah berciuman. Pemandangan
yang dijumpainya menggetarkan hatinya. Sehingga waktu
jari-jari tangannya diremas-remas oleh Gunawan, sekujur
tubuhnya jadi dingin mendadak. Ada sentuhan mesra dan
nikmat ke hati sanubarinya.
"Kau kedinginan kena udara laut?" tanya Gunawan.
Rosalma menggeleng.
"Jari tanganmu dingin sekali."
Rosalina merasa malu, tapi tak kuasa melepaskan
tangannya dari genggaman pemuda itu. Dan ketika
Gunawan memeluk pundaknya, ia pun tak bisa menolaknya.
Bagi Rosalina, inilah pertama kali dipeluk oleh seorang pria,
dan untuk pertama kali pula Gunawan melakukannya.
Biarpun baru sekali ini, ia merasakan dekapan itu benar
benar menyentuh perasaan kewanitaannya. Merasa
terlindung dan bahagia.
"Kau lihat pasangan muda-mudi yang asyik itu?" kata
Gunawan memancing gairah Rosalina. Dia mengharap gadis
itu jadi agresif. Tapi sahutan Rosalina malah di luar
dugaannya.
"Mas, kita pulang saja, yuk?" pinta Rosalina.- 48
"Kenapa buru-buru?"
"Habis, Mas Gun ngajarin yang gitu-gituan sih?" kata
Rosalina manja.
"Mas Gun kan cuma kasih unjuk, barangkali Lina
senang. Itu sama saja lihat film gratis kan?"
Rosalina mencubit pinggang Gunawan. Gunawan
merintih kesakitan tapi ketagihan.
"Mas, pulang," rengek Rosalina.
Gunawan menghentikan langkahnya, Rosalina jadi
ikut berhenti. Lalu Gunawan memegang dagu Rosalina dan
mengangkatnya pelan-pelan. Wajah mereka saling
berhadapan dan kian mendekat, sehingga Rosalina dapat
merasakan embusan napas Gunawan yang hangat
menyentuh kulit wajahnya. Kehangatan napas itulah yang
membuat Rosalina tersadar, ia seperti tersadar dari semacam
hipnotis yang berasal dari kemesraan pemuda itu. Buru-buru
didorongnya tubuh Gunawan. Gunawan jadi kaget.
"Jangan anggap Lina gadis gampangan, Mas."
"Tak kau ijinkan aku menciummu?"
"Belum saatnya."
"Kenapa?"
"Rela dicium adalah pertanda membalas cinta Mas
Gun."- 49
"Jadi kalau sekarang tidak mau dicium, belum mau
membalas cintaku?"
"Bukankah Mas Gun menyuruhku untuk berpikir
masak-masak sebelum memberikan jawabannya?"
Gunawan tersenyum. Pintar juga gadis ini, pikirnya.
Dia jadi lemah dan kalah karena ucapannya sendiri.
"Okey, mari kita pulang," ajak Gunawan sembari
merangkul pundak Rosalina.
***
Dengan senyum-senyum Rosalina masuk ke dalam
kamarnya. Lapat-lapat ia masih mendengar suara Gunawan
yang memohon diri pada paman dan bibinya. Pada jari
tangannya masih terasa remasan pemuda itu. Dan sisa-sisa
dingin pada sekujur tubuhnya pun masih terasa, ia jadi
tersenyum sendiri ketika melepaskan pakaiannya dan
bertukar daster.
Langkah-langkah lunak memasuki kamarnya, ia
melirik, ternyata bibinya yang masuk. Cepat-cepat ia
mengambil novel di atas meja tulis dan pura-pura asyik
membaca. Ada rasa malu yang menyergap dirinya. Rasa
malu jika bibinya bertanya soal hubungannya dengan
Gunawan.- 50
Dan ternyata bibinya duduk di pinggir tempat tidur.
Dugaan Rosalina tidak meleset, sebab pertanyaan wanita
setengah baya itu bernada ingin tahu.
"Kok cuma sebentar perginya, Lin?"
"Cuma jalan-jalan saja, Bi," sahut Rosalina singkat.
"Diajak ke mana barusan?"
"Ke pantai."
Rosalina sambil menjawab membaca novel.
Sekalipun kalimat yang tercetak di lembaran kertas itu tidak
ada satu pun yang melekat di benaknya. Sebab ia melakukan
hal itu hanya untuk menghindari pertanyaan bibinya yang
lebih mendetail.
"Nampaknya Gunawan menaruh hati padamu, Lina."
Rosalina menoleh ke arah Maryani.
"Dari mana Bibi tahu hal itu?"
"Dari sikap dan pancaran matanya. Bibi dan paman
merasa gembira kalau hubunganmu dengan Gunawan bisa
lebih serius. Dan kau memang su"iah saatnya untuk
menentukan calon pendamping hidupmu. Gunawan seorang
pemuda yang baik, punya titel insinyur dan punya masa
depan cerah," tutur Maryani antusias.
"Tapi Lina masih ingin meneruskan studi, Bi."- 51
"Bibi senang kau masih punya keinginan untuk
melanjutkan pelajaran ke universitas atau ke akademi
lainnya. Cuma kau perlu memikirkan keadaan kita. Soal kau
mau meneruskan studimu masih bisa dirundingkan dengan
Gunawan. Hal ini bibi sarankan kepadamu, sebab Gunawan
telah mengutarakan isi hatinya pada paman dan bibi. Dia
berniat mempersuntingmu."
Rosalina jadi terhenyak. Perasaannya bergejolak tak
menentu disebabkan keterus-terangan Gunawan pada
paman dan bibinya. Dan anjuran yang disampaikan bibinya
merupakan nasihat yang baik untuk dirinya. Untuk masa
depannya.
"Anjuran Bibi akan saya pertimbangkan dulu."
Maryani tersenyum. Dia mengelus-elus bahu
Rosalina dengan penuh kasih sayang. Elusan itu
mengingatkan Rosalina akan kasih sayang ibunya yang telah
tiada.
"Pertimbangkan dulu dengan masak. Anjuran bibi
jangan kau anggap sebagai keharusan. Bibi cuma
memberikan gambaran masa depanmu yang cerah, sebab
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah banyak penderitaan yang kau alami. Paman dan bibi
ingin melihat hidupmu bahagia."
Maryani bangkit, lalu berjalan meninggalkan
Rosaling yang duduk di atas tempat tidur. Kepergian
Maryani membuat Rosalina jadi termenung. Termenung- 52
memikirkan hasehat perempuan itu. Perasaannya jadi
terombang-ambing kalau memikirkan ketergantungannya
pada paman dan bibinya. Sementara letupan-letupan anah
terjadi di dalam dadanya bila mengingat kelembutan dan
kasih sayang Gunawan.
Rosalina berbaring. Memandang langit-langit kamar
sambil merenung. Bayangan wajah Gunawan yang simpatik
hadir dalam lamunannya. Pelukan tangan pemuda itu
seakan-akan masih terasa di bahunya. Dan ketika jari
tangannya memegang dagu, lalu hendak menciumnya.
Embusan napas pemuda itu sangat menggetarkan
perasaannya. Kenapa tak kubiarkan dia mencium bibirku?
bisik hati Rosalina. Bukankah aku telah merasakan
terlindung dan teduh di dalam pelukannya? Selain itu dia
telah mengutarakan ketulusan cinta padaku.
Tapi aku masih ragu-ragu dan malu. Aku belum
pernah merasakan bagaimana perasaan jatuh cinta. Detik itu
aku hanya pasrah. Menyukainya. Masalah cinta belum
kutemukan dalam naluriku. Ah, sudahlah. Sudahlah. Untuk
apa aku terlalu memikirkan cinta? Sedang bagaimana
rasanya jatuh cinta saja aku belum tahu.
Rosalina mengambil novel yang tergeletak di
sebelahnya, la memaksa pikirannya untuk menyimak
kalimat demi kalimat yang berderet. Namun usahanya itu
sia-sia. Pikirannya masih melayang pada Gunawan. Pemuda
itu benar-benar telah menggoyangkan perasaannya. Semua- 53
kejadian yang dialami bersama pemuda itu tak mau sirna
dalam benaknya.
Sambil mendesah Rosalina menutup kembali novel
itu. Kenapa aku terlalu memikirkan dia? Apakah ini yang
dinamakan orang, sedang jatuh cinta? Benarkah aku
mencintainya? Mas Gun, kau telah menyiksa perasaanku,
keluh Rosalina dalam hati. Kalau aku tahu akan begini
jadinya, aku tak akan mau pergi bersamamu. Sebab disiksa
perasaan seperti ini sangat membingungkan.
***
Ida menyerahkan setumpuk surat ijin yang telah
ditandatangani oleh setiap orang tua murid. Rosalina
menerimanya dan meneliti satu persatu.
"Tinggal berapa murid lagi yang belum
menyerahkan?" tanya Rosalina pada Ida.
"Sebenarnya ada enam murid lagi. Dua di antaranya
tidak mau ikut."
"Siapa yang tidak mau ikut?"
"Nunung dan Tasman."
"Kasihan. Mereka tidak lulus ujian, maka tidak mau
ikut bertamasya."- 54
"Kita serahkan saja surat-surat ijin ini pada Pak
Kandar."
"Lalu soal biaya setiap murid apa sudah terkumpul?"
"Sudah."
"Baik. Kita menghadap Pak Kandar sekarang."
Rosalina dan Ida melangkah meninggalkan kelas.
Tapi di ambang pintu kelas nyaris bertubrukan dengan
Anton. Rosalina menggerutu sedangkan Anton tertawa.
"Jalannya nyelonong aja!" maki Rosalina.
"Duh, sewotnya. Boleh ikut nggak?" balas Anton
sembari senyum-senyum.
"Cuma mau ke kantor."
"Ngapain?"
"Nih, menyerahkan surat-surat ijin dari orang tua
murid."
"Ikut."
Anton membarengi langkah Rosalina dan Ida. Dia
sambil melangkah tak henti-hentinya melirik pada Rosalina
yang berjalan di sisinya. Perasaan sejuk dan bahagia
menyusup di dalam dadanya bila berada di sisi gadis itu.
Ada letupan yang mendorong niatnya untuk mengajak
berkencan, namun belum berani mengutarakan. Sebab gadis
yang ada di sisinya tak acuh saja.- 55
Ketika langkah mereka hampir sampai di pintu
kantor, pandangan Rosalina tertuju ke arah pintu gerbang, la
menghentikan langkahnya begitu melihat Gunawan sudah
berdiri di sana. Sedang apa dia di sini? pikir Rosalina.
"Linaaa!" panggil Gunawan sambil melambaikan
tangan.
"Siapa dia, Lin?" tanya Anton sinis.
"Temanku," sahut Rosalina seraya membalas
lambaian tangan Gunawan. "Aku temui dia sebentar ya?"
Rosalina berlari-lari kecil menghampiri Gunawan
yang berdiri di dekat pintu gerbang. Gunawan menyambut
nya dengan senyum ceria.
"Mau perlu apa datang kemari. Mas?" tegur Rosalina
malu-malu. Jantungnya berdetak kencang.
"Mau menjemput kamu. Hari ini bebas dan tidak ada
pelajaran kan?" Rosalina mengangguk.
"Tapi ada sedikit urusan dengan kepala sekolah."
"Selesaikan dulu, aku tunggu kamu."
"Kalau lama bagaimana?"
"Tetap kutunggu."
Rosalina tersenyum senang, ia buru-buru
meninggalkan Gunawan dan menghampiri Ida yang
menunggu bersama Anton di depan piniu kantor.- 56
"Yuk, kita temui Pak Kandar," ajak Rosalina. Pak
Kandar sedang berbincang-bincang dengan Bu Lili ketika
Rosalina masuk kantor. Dan pembicaraan itu nampaknya
santai-santai saja. Pak Kandar senyum-senyum begitupun
Bu Lili. Rosalina jadi punya firasat kalau kedua gurunya itu
tengah ada main. Sampai-sampai kehadiran Rosalina
bersama kedua temannya tak diketahui mereka. Memang
Pak Kandar dan Bu Lili adalah pasangan yang serasi.
"Selamat siang, Pak," sapa Rosalina nekad saja. Pak
Kandar tersentak dan mengalihkan pandangan pada
Rosalina. Nampak gugup juga kepala sekolah itu
menghadapi ketiga muridnya. Tapi dia dengan cepat bisa
menunjukkan kewibawaannya.
"Ada apa, Lina?" suaranya tenang dan berwibawa.
"Mau menyerahkan surat-surat ijin orang tua murid
yang mau ikut tamasya, Pak."
"Sini," pinta Pak Kandar sambil menyodorkan
telapak tangannya.
Rosalina menyerahkannya. Bu Lili melempar
pandang yang disertai senyumnya pada Rosalina. Rosalina
membalas dengan mengangguk dan tersenyum.
"Soal pembiayaan sudah terkumpul semua?" tanya
Pak Kandar seraya memandang Rosalina.
"Sudah, Pak."- 57
"Bagus. Soal kendaraannya biar bapak yang urus
nanti. Dan kalian boleh pergi."
"Terima kasih. Pak."
Ketiga murid itu meninggalkan kantor. Dan Rosalina
mempercepat langkahnya menuju kelas. Keadaan sekolah
itu nampak sepi karena semua murid sedang mengikuti
pelajaran di kelasnya masing-masing. Terkecuali murid
murid kelas tiga yang nampak santai karena habis ujian.
"Kau nampak buru-buru mau ke mana sih?" tegur Ida
ketika sampai di kelas.
"Mau pulang."
Rosalina mengambil bukunya di dalam laci meja.
"Sama pacarmu itu ya?"
"Siapa yang bilang dia pacarku?"
"Barangkali saja. Tapi dia keren kok. Cocok kalau
kamu mau jadi pacarnya."
Anton cuma melirik kesal pada Rosalina. Tapi
Rosalina tak tahu kalau sedang dilirik Anton
"Aku duluan ya. Daaaag," Rosalina berlari-lari kecil
meningalkan kelas.
Gunawan menghela napas lega sembari tersenyum
ketika Rosalina berlari mendekatinya.- 58
Dia memperhatikan rambut Rosalina yang terurai
melambai-lambai, lalu kedua bahunya yang bergerak-gerak.
Gadis itu laksana bidadari cantik yang menuju ke arahnya.
Ingin rasanya Gunawan menyambut dengan dekapan. Ingin
rasanya setelah mendekap tak dilepaskan lagi. Seperti
harapannya ingin mempersunting gadis itu. Tapi setelah
Rosalina sampai di dekatnya, yang dilakukannya, Cuma
berani menggandeng tangan gadis itu.
"Sudah selesai urusannya dengan kepala sekolah?"
"Yaaah," sahut Rosalina masih terengah-engah.
Gunawan baru melepaskan gandengan tangannya
setelah Rosalina duduk di dalam mobil. Bergegas dia ikut
duduk di belakang stir. Meluncurkan mobilnya pergi dari
halaman sekolah.
"Aku jadi tak enak kerja di kantor, karena selalu ingat
kamu. Makanya aku sengaja menjemputmu, mau ajak kamu
berduaan pergi," kata Gunawan.
Wajah Rosalina tampak kemerah-merahan saking
senangnya, tapi bibirnya tak berucap sepatah kata. Dia cuma
berubah tambah kikuk dan jantungnya berdetak kencang.
"Meskipun aku membawamu dari sekolah tapi aku
sudah minta ijin sama Om Darusman di kantor. Jadi tidak
asal main comot," lanjut Gunawan sambil menginjak rem.
Rambu lalu lintas menyala merah. Mobil Gunawan
berhenti. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk- 59
memandang Rosalina yang duduk di sisinya. Bila Gunawan
menatap wajah Rosalina yang pipinya kemerah-merahan itu,
terlihat agak malu-malu, tampak olehnya bola mata Rosalina
yang bening berbinar-binar. Cinta di hatinya pun semakin
menggelora.
Lampu hijau menyala. Gunawan melarikan mobilnya.
"Kita ngobrol di rumahku saja ya?" ajak Gunawan.
"Jangan ..."
"Kenapa?"
"Aku malu."
"Sama siapa?
"Orang tua Mas Gun."
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau siang begini mereka tak ada di rumah. Kita
lebih asyik berbincang-bincang di sana. Mau ya?" bujuk
Gunawan lembut.
"Asal jangan lama-lama, Lina mau."
"Beres."
Rumah kediaman orang tua Gunawan sangat mewah
dan bertingkat dua. Pilar-pilar yang menyangga bangunan di
bagian depan sangat mengagumkan. Memberikan bentuk
seperti rumah-rumah kerajaan di Roma. Dan warna putih
yang cemerlang mewarnai seluruh temboknya
mencerminkan keanggunan rumah itu. Dan Rosalina- 60
menghela napas kekaguman bila sedang memandang rumah
kediaman Mas Gunawan ini. Pintu pagar halaman segera
dibuka oleh tukang kebun manakala mobilnya hendak
masuk. Lalu Gunawan menggandeng tangan a Rosalina
yang nampak ragu-ragu dan minder.
"Ayo, masuk saja," ajak Gunawan sembari
menariknya.
Begitu Rosalina memasuki ruangan rumah itu,
suasananya tenteram dan sejuk. Rumah yang begini
besarnya tidak banyak penghuninya. Sepi. Cuma yang
dilihatnya ada seorang pembantu rumah perempuan
setengah baya.
"Mbok, tolong buatkan minuman," perintah
Gunawan pada pembantunya itu.
"Baik, Tuan."
"Eeeee, tunggu dulu," teriak Gunawan. Lalu dia
bertanya pada Rosalina. "Nona yang cantik mau minum
apa?"
"Jangan panggil begitu ah, Mas. Malu kan kalau
didengar orang?" sanggah Rosalina manja.
Gunawan tertawa kalem.
"Tapi nyatanya kamu memang cantik. Sekarang mau
minum apa? Yang dingin apa yang hangat?"
"Dingin saja."- 61
Gunawan memerintahkan pembantunya untuk
membuatkan es jeruk.
"Duduklah dulu. Aku mau membuat kejutan," ujar
Gunawan sembari melangkah ke kamarnya.
Rosalina duduk sendiri di dalam ruangan yang sejuk
dan mewah itu. la terpana memperhatikan keadaan di dalam
rumah ini. Semuanya serba luks dan gemerlapan. Tak lama
kemudian pembantu rumah itu datang mengantarkan
minuman.
"Silakan diminum, Non."
"Terima kasih. Mbok."
Pembantu itu pergi. Gunawan keluar dari kamarnya,
lalu memutar radio tape. Sebuah lagu lembut mengalun
merdu di ruangan itu.
"Mari ke kamarku," ajak Gunawan.
Rosalina tiba-tiba takut. Selama hidupnya ia belum
pernah masuk ke kamar pria yang bergaul intim dengannya.
"Jangan takut! Mari masuk ke kamarku. Akan aku
perlihatkan pada kamu sesuatu yang indah," desak Gunawan
sambil menarik tangan Rosalina.
Rosalina menggelengkan kepala. Tubuhnya gemetar.
Dingin, ia masih duduk di kursi dengan lutut terasa goyah.
Suasana dalam rumah yang begitu sepi semakin mencekam- 62
perasaannya. Seolah-olah Gunawan sengaja membawanya
ke mari untuk melakukan sesuatu pada dirinya.
Rosalina jadi tambah takut.
"Nggak usah ah. Mas Gun," balas Rosalina serak.
"Jangan takut! Kau kira aku mau berbuat yang tidak
senonoh ya?"
Rosalina masih mengelak, tapi Gunawan menatapnya
dengan sorot mata jujur dan bersungguh-sungguh.
"Jangan kecewakan Mas Gun, Lina! Percayalah, Mas
Gun punya niat tulus dan suci."
Rosalina sekali lagi memandang Gunawan.
Pandangan yang meneliti. Dan intuisinya mengatakan tidak
akan terjadi apa-apa. Gunawan memang berniat baik. Maka
Rosalina bangkit dan mengikuti ajakan Gunawan masuk ke
kamar itu.
"Perhatikan pakaian pengantin ini," kata Gunawan
sambil menunjuk gaun pengantin yang indah gemerlapan
tergantung di kamarnya.
Rosalina jadi amat tertegun memperhatikannya.
Terlampau indah gaun pengantin itu. Lalu siapakah yang
akan memakainya? Pertanyaan itu berbisik dalam hatinya.
"Sangat indah," gumam Rosalina karena selama
hidupnya ia belum pernah melihat gaun pengantin seperti- 63
itu. "Seperti gaun pengantin Lady Diana istri pangeran
Charles."
"Kau tahu, untuk siapakah gaun pengantin ini?"
Rosalina mengerjap-ngerjapkan mata sambil
menggeleng.
"Untukmu."
Rosalina bengong. Untukku? Apakah kali ini aku
tidak bermimpi?
"Untukku?" gumam Rosalina termangu.
"Ya, untukmu. Kau adalah pilihanku yang terakhir,
maka jangan hancurkan harapanku untuk memilikimu. Tak
ada gadis lain yang sangat kucintai selain dirimu," kata
Gunawan lembut.
Kemudian Gunawan menatap Rosalina dengan sayu,
sehingga membuat gadis itu menundukkan muka. Gunawan
lantas merengkuh kedua bahu Rosalina dan mendekapnya
erat. Rosalina seakan-akan tidak punya kekuatan apa pun.
Sekujur tubuhnya dingin sekali dan gemetar ketika jari
tangan Gunawan meraih dagunya. Dan perasaan haru serta
bahagia menyergap ke dalam lubuk hatinya. Menyebabkan
setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
"Lina, kenapa kamu menangis?" suara Gunawan
resah, ketika dilihatnya Rosalina menangis. "Jangan
kecewakan harapanku. Sayang."- 64
Jari tangan Gunawan mengangkat perlahan-lahan
dagu Rosalina. Kepala Rosalina terangkat, dan kini mata
Rosalina yang basah menatap mata Gunawan yang berbinar
binar cinta. Rosalina bagaikan pasrah, menutup kedua
kelopak matanya perlahan-lahan sewaktu wajah Gunawan
mendekati wajahnya. Embusan napas Gunawan yang hangat
terasa bagai menjilati kulit mukanya.
Rosalina seakan-akan mau jatuh tak kuat berdiri,
makanaka bibir Gunawan melumat bibirnya secara lembut.
Inilah untuk pertama kali ia dicium oleh seorang pria,
sehingga ia bagai murid yang dalam pelajaran pertama.
Sangat kaku, takut-takut sedikit, kadangkala malu,
kadangkala geli, tapi lambat laun ia merasa bahwa ciuman
itu adalah sungguh indah. Berkesan.
Gunawan melepaskan ciumannya sejenak sambil
memandang wajah Rosalina yang masih me-meiamkan
kelopak matanya. Bibir gadis itu masih ternganga dan tak
tahu apa yang musti dilakukannya. Kelihatan masih bego.
Dan kenyataannya Rosalina memang bego dalam hal
ciuman, sebab hal itu dilakukan baru pertama kalinya.
"Lina," suara Gunawan lirih.
Rosalina membuka matanya perlahan-lahan dengan
sikap masih menunggu. Begitu kedua matanya terbuka dan
dapat melihat Gunawan, maka Rosalina jadi malu. Ia sadar
dengan segala ketololannya. Buru-buru ia menjatuhkan- 65
kepalanya di dada Gunawan. Wajahnya merah jambu tersipu
malu.
"Mas Gun begitu sih," rengek Rosalina manja.
"Baru pertama ya?"
Rosalina memukuli dada Gunawan pelan dengan
manja tapi gemas.
"Rela dicium adalah pertanda membalas cinta Mas
Gun, bukan?" kata Gunawan mengulangi ucapan Rosalina
yang dulu.
Rosalina saking gemasnya mencubit perut Gunawan.
Gunawan meringis menahan rasa sakit. Tapi kemudian
Gunawan membalas dengan pelukan erat yang dibarengi
ciuman di bibir Rosalina. Dan untuk kedua kalinya ini,
Rosalina mulai memberanikan diri membalas lumatan,
isapan bibir Gunawan. Begitu pula tangan Gunawan juga
mulai nakal meremas, melilin bagian-bagian yang peka di
tubuh Rosalina. Menyebabkan gadis itu menggeliat dan
merintih.
Dalam keadaan begitu timbul pikiran nakal Gunawan
ingin membaringkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur.
Tetapi dia sadar bahwa hal itu akan menghilangkan
kepercayaan Rosalina. Gadis itu pasti akan menilai cintanya
hanya karena dorongan nafsu semata. Bukan cinta yang
tulus dan suci. Di samping itu dia teringat pada mamanya.
Seandainya mamanya datang dan melihatnya berada dalam- 66
kamaar dengan gadis lain, pasti akan dimaki habis-habisan.
Dan Rosalina akan kena sasarannya pula.
Gunawan melepaskan ciuman itu. Dibelainya rambut
Rosalina penuh kasih sayang. Dia tak ingin dipisahkan
dengan gadis itu, walau apa pun yang akan terjadi.
"Lina, kau membalas cintaku bukan?" tanya
Gunawan masih dalam keraguan.
Rosalina cuma memandang Gunawan dalam-dalam.
Dari sorot matanya sudah merupakan jawabannya. Mata itu
berbinar-binar cinta yang tulus.
"Kau bersedia menikah denganku?"
"Apakah Mas Gun sudah berpikir masak-masak
untuk memperistri Lina yang miskin dan sebatang kara ini?"
balas Rosalina.
"Kau adalah pilihanku yang terakhir, walau apa pun
kenyataannya. Dan aku berniat menikah denganmu
meskipun apa yang akan terjadi," ujar Gunawan mantap.
Rosalina tak dapat lagi membayangkan getaran
perasaan bahagia detik itu. Cinta yang dulu masih
tersembunyi di balik keraguan serta kebimbangan, kini
menembus dinding hatinya. Bersatu dalam pauttan jiwa
yang ada di dalam diri Gunawan. Ia pasrahkan hidupnya
untuk mengabdi pada cinta dan kesetiaan terhadap pria
idamannya.
Gunawan mencium kening Rosalina lembut.- 67
"Mari kuantar kau pulang, Lina."
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rosalina mengangguk.
"Kalau tidak ada aral melintang, lusa aku akan datang
melamarmu."
Oh, begitu bahagia Rosalina mendengar kata-kata itu.
Gunawan memeluk pundaknya dan membimbingnya keluar
dari rumah mewah itu dengan sejuta rasa bahagia. Mungkin
saat itu insan yang paling berbahagia hanyalah Rosalina.
***- 68
BAB III
Gunawan sengaja mencari kesempatan yang tepat
untuk bisa berbincang-bincang dengan kedua orang tuanya.
Kebetulan pada akhir makan malam, kedua orang tuanya
tidak mempunyai acara untuk pergi. Sebab pada
kebiasaannya setiap malam ada saja acaranya. Kalau tidak
rapat, arisan, menghadiri undangan pesta dan pokoknya
urusan orang kaya. Sampai-sampai untuk waktu istirahat
dan santai di rumah jarang sekali ada.
Selesai makan malam Bromo dan Sari duduk santai di
ruang tengah sambil menikmati acara TV. Sementara
Gunawan yang masih duduk di ruang makan mengulur
waktu sesaat untuk menemui kedua orang tuanya. Di
samping itu dia selalu memperhatikan wajah kedua orang- 69
tuanya, apakah ada kemungkinannya untuk diajak bicara
mengenai Rosalina. Bukan lagi persoalan Dewi.
Ketika Gunawan mendapatkan wajah kedua orang
tuanya ceria, berbincang-bincang sambil tertawa, maka
Gunawan menghampiri mereka. Dia mengatur pernapasan
agar tidak tersendat sendat waktu berbicara nanti. Memang
ada keraguan yang berada di antara keberanian saat itu.
Namun karena letupan perasaan ingin memiliki Rosalina,
keraguan itu jadi lenyap dan yang ada tinggal keberanian.
Menderita, sengsara, bahkan mati pun dia tak merasa takut
lagi.
"Tidak ada acara malam ini, Pa?" tegur Gunawan
santai. Dia duduk tidak berjauhan dari mamanya.
"Tidak. Lantas kau bagaimana?" balas Bromo sambil
melirik Gunawan.
"Sama, Pa."
Bromo mengambil rokok cerutu di saku kimononya.
Disulutnya cerutu itu dan disedotnya kuat-kuat sampai
pipinya kempot, lantas diembuskan asapnya sembari bicara.
"Persiapanmu untuk melangsungkan pernikahan
sudah dekat, Gun. Dua minggu lagi Dewi akan pulang dari
Nederland."
"Saya tahu, Pa. Kalau boleh, saya ingin mengutarakan
segumpal perasaan yang selama ini terpendam."- 70
"Katakan saja. Barangkali pesta perkawinanmu minta
dirayakan tujuh hari tujuh malam?"
"Bukan itu, Pa."
"Lantas apa? Ayo katakan."
"Dua tahun saya tertekan perasaan sejak Papa dan
Mama membatasi kebebasan untuk menentukan pilihan hati.
Sedangkan pada zaman modern seperti sekarang ini Papa
dan Mama masih menganut sistem pada zamannya Siti
Murbaya."
Bromo tersentak. Dia sampai terbatuk mengisap
cerutunya karena mendengar ucapan Gunawan. Spontan
saja lelaki berbadan gemuk itu memutar tubuhnya ke
hadapan putranya.
"Sejak kapan kau punya keinginan untuk protes
begitu hah?!" suara Bromo lantang.
Sari jadi ikut gusar.
"Gun, kau ini kenapa?" tegur Sari mendekati
putranya. Mencoba untuk menyadarkan apa yang baru
dikatakan. Tapi Gunawan nampaknya ingin memprotes sifat
ayahnya.
"Jika Papa dan Mama ingin melihat saya hidup
bahagia, ijinkan saya memilih calon istri. Karena perasaan
pria jauh berbeda bila dibandingkan dengan wanita," kilah
Gunawan.- 71
Bromo bangkit dari kursi malasnya sambil menatap
tajam Gunawan. Jari tangannya menunjuk muka putranya
dengan gemas.
"Jadi jelasnya kau tidak mau menikah dengan
Dewi?!"
Gunawan mengangkat telapak tangan seolah-olah
mengisyaratkan agar ayahnya tidak lekas marah.
"Dengar dulu, Pa! Berilah kesempatan buat saya
untuk mengutarakan pendapat. Pendapat yang mungkin bisa
Papa terima secara logika dan naluriah. Pria yang menjalani
hidup berumah tangga dengan wanita pasti berlandaskan
cinta. Karena tanpa cinta, seorang pria tak akan menemui
kebahagiaan hidup berumah tangga. Dan akibatnya pria itu
akan berbuat sekehendak hatinya, masa bodoh terhadap
istrinya, mencari kepuasan dan kebahagiaan di luar rumah."
"Kau mau mendikte aku?!" potong Bromo sengit.
"Jangan potong dulu, Pa! Pembicaraan saya belum
habis. Kemudian mengenai perasaan wanita yang lemah,
berbeda dengan pria. Sekalipun dia bersikeras menolak,
namun setelah menjalani hidup berumah tangga akan luluh.
Lambat laun dia akan mencintai suaminya. Di sini letak
bedanya dua insan yang berlainan jenis. Jadi kalau Papa dan
Mama tetap pada niatnya menikahkan saya dengan Dewi,
bisa berarti ingin melihat anaknya hidup tersiksa. Bisa jadi
seorang suami yang masa bodoh terhadap istrinya. Hidup
rumah tangganya tidak harmonis dan bahagia."- 72
"Kamu mesti ingat, kedua orang tua Dewi sudah
cukup banyak membantu kita. Yang menjadikan keluarga
kita seperti ini hanya mereka. Sekarang kau boleh berkata
sesuka hatimu, tapi harus disertai pemikiran tentang masa
lalu kita. Dulu kita ini apa?!" kecam Bromo.
"Saya mengerti, Pa. Tapi jangan diii saya yang harus
menebus masa lalu itu. Demi untuk mempertahankan
semuanya itu lantas mengorbankan masa depan dan
kebahagiaan saya," balas Gunawan tetap bersikeras.
Sari merengkuh lengan Gunawan. Wanita itu jadi
resah karena perselisihan pendapat antara ayah dan anak.
"Jangan membantah, Gun! Semuanya itu demi
kelangsungan hubungan antara keluarga Dewi dengan kita.
Jangan kau hancurkan semua rencana baik kita, Nak!" tutur
Sari bernada membujuk.
"Saya sudah punya pilihan hati, Ma. Saya tak ingin
hidup berumah tangga yang akan mengalami kehancuran."
"Kau mau membuat malu kedua orang tuamu?!
Kenapa baru sekarang kau menolaknya? Kenapa tidak
waktu pertama kali keluarga Dewi merundingkan masalah
perkawinanmu dengan keluarga kita? Siapa gerangan yang
telah mempengaruhi pemikiranmu?!" kata Bromo penuh
curiga. "Atau barangkali keluarga gadis pilihan hatimu itu?"
"Tidck ada seorang pun yang mempengaruhi saya.
Sikap ini timbul dari diri saya pribadi. Saya merasa takut- 73
menghadapi hari esok mengarungi hidup berumah tangga
dengan wanita yang tidak saya cintai."
Bromo membanting rokok cerutunya ke lantai. Lelaki
itu jengkel setengah mati karena merasa disepelekan.
"Persetan dengan segala alasanmu! Aku peringatkan,
jangan coba-coba menggagalkan rencana perkawinanmu!
Kau akan menerima akibatnya yang sangat buruk!" ancam
Bromo.
Sari menarik lengan Gunawan. Dia melihat pancaran
mata suaminya bagai singa yang siap menerkam. Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka Sari menarik
Gunawan masuk ke kamarnya.
"Turuti saja anjuran Papamu, Gun! Jangan
kecewakan dan membuat malu kedua orang tuamu," suara
Sari lunak. Membujuk agar Gunawan mau menuruti
kehendak suaminya.
Gunawan memegang kedua bahu ibunya. Dari seret
matanya yang menatap perempuan itu, bermakna minta
pengertian. Kebebasan menentukan calon istri.
"Mama, saya sudah cukup menderita batin selama ini.
Kalau saja Mama tahu bagaimana sikap Dewi terhadapku,
pasti akan merasa pedih di hati. Dia tak ada perasaan
menghormati pada diriku. Harga diriku dianggapnya rendah
dan sebagai pesuruh belaka. Seandainya kehendak papa bisa- 74
terlaksana, akan jadi apa aku ini di dalam kehidupan Dewi,"
keluh Gunawan.
Sari menarik napas berat. Bola mata perempuan itu
nampak berkaca-kaca memandang putranya. Keluhan yang
didengar bagai sebilah sembilu yang menggores hatinya.
"Kenapa hal. itu tak pernah kau bicarakan, Gun?"
"Akan percuma saja. Papa terlalu mengagung
agungkan Dewi, padahal papa tidak pernah tahu
pergaulannya di luar. Ganti-ganti pria, gadis pesta dan
sifatnya egois. Bagaimana hidup rumah tangga kami
nantinya bisa bahagia, Ma?"
"Setelah kau utarakan mengenai Dewi, Mama jadi
serba salah. Papamu pendiriannya terlampau keras dan sukar
diajak kompromi."
Gunawan menjatuhkan pantatnya di pinggir tempat
tidur. Dia mendesah seperti patah semangat. Tak ada lagi
jalan perdamaian menghadapi sifat ayahnya yang egois itu.
"Kalau Papa tetap memaksa, saya akan pergi dari
rumah ini," ujar Gunawan nekat.
"Jangan punya niat begitu, Nak," suara Sari gusar dan
resah.
"Habis tidak ada jalan lain, Ma."
Sari tak kuasa lagi menahan tangisnya. Dia berlalu
dari kamar itu dengan perasaan sedih.- 75
Hening mencekam setelah Sari pergi. Gunawan masih
termenung di atas tempat tidur dalam kesendirian. Dia
merasa gundah lantaran ada peperangan batin di dalam
dadanya. Dia tak dapat menuruti kehendak ayahnya untuk
menikah dengan Dewi. Tapi sebagai seorang anak, ingin
berbakti pada kedua orang tuanya. Ingin membahagiakan
mereka.
Namun dengan menikah tanpa cinta, mungkinkah
lahir suatu kebahagiaan? Kalau hidup rumah tangganya
berantakan, apakah kedua orang tuanya ikut merasa
bahagia? Tidak. Harapan yang selalu diimpikan ayahnya
adalah duri-duri tajam yang akan merejah hidup Gunawan.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia menyadari sepenuhnya bentangan hari esok cuma
penderitaan batin. Menikah dengan Dewi sama .halnya
menyerahkan diri untuk bahan ejekan. Menjadi budak sifat
egois gadis itu. Semua yang akan terjadi bagai terbayang di
peluk matanya. Huh! Bisa punya titel insinyur dan kaya
karena orang tuaku. Coba kalau tidak mendapat kepercayaan
dari ayahku, mana .bisa keluarga Bromo jadi kaya dan
terpandang. Paling-paling jadi pegawai administrasi
perusahaan saja.
Gunawan bangkit dan berusaha membuang bayangan
Dewi. Persetan dengan gadis macam dia, gerutunya dalam
hati. Lalu perhatiannya ditujukan pada foto yang berbingkai.
Foto itu tergantung di dinding. Seraut wajah cantik yang
tersenyum manis. Itulah foto Dewi.- 76
Ditatapnya foto itu dan timbul niatnya ingin
menghancurkan. Tapi niat itu jadi urung lantaran masih
terkendalikan. Dan dia coba membandingkan wajah Dewi
dengan Rosalina. Betapa jauh bedanya, sebab masih lebih
cantik Rosalina. Lebih lembut san anggun kekasihnya.
Tergerak hati Gunawan untuk mengambil keputusan yang
nekat. Malam ini juga dia akan datang menemui Om
Darusman. Dia akan kemukakan niatnya untuk secepatnya
menikah dengan Rosalina
***
Rosalina yang sejak tadi sore mengurung diri di
kamarnya, merasa jenuh. Yang dilakukannya sejak tadi
cuma duduk melamun. Berbaring di atas tempat tidur juga
melamun. Tak lain membayangkan pesta perkawinannya
yang meriah dan penuh kebahagiaan di samping Gunawan.
Apalagi kalau ia membayangkan pada saat memakai gaun
pengantin yang indah itu, oh alangkah cantiknya. Bisa persis
putri Cinderella.
Rosalina berjingkat turun dari tempai tidur. Duduk
atau berbaring sudah tak enak lagi. Ada letupan-letupan
perasaan bahagia yang ingin disampaikan kepada bibinya, la
merasa sudah tak mampu lagi membendungnya. Dan hal ini
memang harus diutarakan karena Gunawan akan segera
melamarnya. Dengan langkah pelan ia menuju ke pintu.- 77
Diintipnya dari balik pintu ruang tengah yang hening. Di
sana tengah duduk Maryani yang sedang menisik pakaian
anaknya yang sudah robek, sedangkan Darusman
mengerjakan pekerjaan perusahaan. Tak nampak adik
adiknya di sana, barangkali sudah tidur.
Rosalina memberanikan diri keluar dari kamarnya.
Suara langkah Rosalina mengalihkan perhatian Maryani
kepadanya.
"Kukira kau sudah tidur, Lin," sapa Maryani sembari
tersenyum.
Darusman cuma menoleh ke arah Rosalina sekilas,
lalu meneruskan pekerjaannya lagi.
"Belum ngantuk, Bi."
"Barangkali ada yang membuatmu susah tidur?"
Rosalina menggeleng.
"Mikirin Mas Gun?"
Rosalina tersipu.
"Terus terang saja kalau ada apa-apa! Anggap saja
bibi dan paman sebagai orang tuamu sendiri."
Rosalina duduk di sebelah Maryani. Aku berterus
terang atau tidak, pikir Rosalina ragu-ragu Keraguan itu
disebabkan benturan rasa malu. Tapi kalau tidak kukatakan
pada bibi dan paman berarti kurang jujur. Rosalina jadi- 78
bingung, sehingga mempengaruhi sikapnya yang kikuk dan
serba salah.
Maryani merasa heran melihat sikap Rosalina.
"Sikapmu nampak aneh malam ini. Ada apa, Lina?"
tegur Maryani.
Rosalina tertunduk malu. la berusaha tetap tenang.
"Sebenarnya..." ucapan Rosalina terhenti.
"Sebenarnya kenapa?"
Maryani jadi serius menghadapi Rosalina.
"Saya malu mengatakan soal Mas Gun," gumam
Rosalina sembari tertunduk.
"Katakan saja, kenapa dengan Mas Gun?"
"Kemarin saya diajak ke rumahnya dan ia
menunjukkan gaun pengantin yang amat indah. Mas Gun
mengatakan gaun pengantin itu untuk saya dan akan segera
melamar pada Paman dan Bibi."
Maryani termangu mendengar ucapan Rosalina.
Begitu pula Darusman mendadak berhenti menulis dan
mengalihkan perhatiannya kepada Rosalina. Lelaki
setengah baya itu ikut termangu.
"Ternyata Mas Gun telah mempersiapkan segala
sesuatunya untuk pesta pernikahan kami berdua," lanjut
Rosalina.- 79
"Dan kau mau menerima lamarannya, bukan?" tanya
Maryani.
Rosalina mengangguk sembari tersipu. Maryani
saling berpandangan dengan suaminya dan sama-sama
menghela napas lega. Wajah mereka nampak gembira.
Terdengar suara ketukan pintu. Perhatian mereka
beralih ke ruang tamu. Dan denyut jantung Rosaling
semakin kencang.
"Coba kau lihat siapa yang datang, Lin," perintah
Maryani.
Rosalina bergegas melangkah ke ruang tamu. Sekujur
tubuhnya mendadak jadi panas dingin begitu meliihat
Gunawan berdiri di ambang pintu.
"Lina," sapa Gunawan sembari tersenyum.
"Mas Gun. Silakan duduk. Mas!"
"Paman dan Bibi ada di rumah?" sambil bertanya
Gunawan duduk di kursi tamu.
"Ada. Tunggu sebentar ya?" Rosalina masuk ke ruang
tengah.
"Siapa, Lin?"
"Mas Gun. Dia ingin bertemu dengan Paman dan
Bibi"- 80
Darusman dan Maryani segera menemui Gunawan
yang duduk di kursi ruang tamu. Sedangkan Rosalina berdiri
di balik dinding kayu yang membatasi ruang tamu dengan
ruang tengah. Dengan jantung yang menggelepar kencang ia
mendengarkan pembicaraan mereka. Perasaannya pun
berdebar-debar.
"Malam, Om. Mengganggu nih."
"Ah, tidak apa-apa."
Darusman dan istrinya duduk berdampingan
menghadapi Gunawan.
"Banyak yang hendak saya utarakan pada Om dan
Bibi mengenai niat saya melamar Rosalina. Semoga Om dan
Bibi tidak merasa kecewa, begitupun Rosalina. Apa yang
saya rencanakan, ternyata di luar dugaan."
Rosalina jadi gelisah mendengar ucapan Gunawan.
"Maksud Dik Gun bagaimana?" tanya Darusman
kurang faham.
"Orang tua saya melarang menikah dengan gadis
yang bukan pilihannya, sebab mereka sudah menjodohkan
saya dengan seorang gadis yang disenanginya. Dua tahun
saya menderita tekanan batin karena dipaksa mau menikah.
Padahal sama sekali saya tidak mencintai pilihan orang
tuaku itu."
Darusman dan Maryani silih berpandangan. Gundah
perasaan sepasang suami istri ini. Lebih gundah dan gelisah- 81
adalah Rosalina. Gadis itu menggigit kuku jari tangannya
yang gemetar. Apa yang akan diperbuatnya untuk
mengurangi gejolak perasaannya yang tak menentu.
"Sejak pertama saya kemukakan niat saya pada Om
dan Bibi ingin memperistri Rosalina, telah saya persiapkan
segala rencananya untuk menyelenggarakan pesta. Sampai
sampai saya telah membeli gaun pengantin yang indah untuk
Rosalina," kata Gunawan berdusta. Sesungguhnya yang
membeli gaun pengantin itu bukan dia, tapi Dewi sewaktu
pergi ke Paris. Dan gaun pengantin itu sengaja dibeli dengan
harga mahal untuk pesta perkawinannya dengan Gunawan.
Demi untuk, meyakinkan Om Darusman dan dapat memiliki
Rosalina, terpaksa dia berkata dusta.
Darusman cuma manggut-manggut.
"Jadi keputusan Dik Gun bagaimana?"
"Saya tetap pada pendirian semula, bahwa saya akan
memperistri Rosalina."
"Meskipun tidak mendapat restu orang tua?"
"Ya."
"Dik Gun, sebaiknya sebelum telanjur pikirkanlah
masak-masak dulu! Perkawinan yang tidak mendapat restu
orang tua akan menemui banyak rintangan, godaan dan
penderitaan," nasehat Darusman.
"Kalau memang benar orang tua saya tidak mau ambil
perduli, saya akan hidup berdikari. Saya akan mencari- 82
pekerjaan di perusahaan lain guna mencukupi biaya hidup
berumah tangga. Saya sudah pikirkan hal ini dengan matang,
Om."
"Cobalah sekali lagi berunding secara baik-baik
dengan kedua orang tuamu! Barangkali bisa mendapatkan
titik temu yang sefaham. Jangan gampang menuruti emosi,
sebab akhirnya bisa menyesal sendiri."
"Nasehat Om memang benar, cuma keadaan saya
terdesak oleh waktu. Gadis yang menjadi pilihan orang tua
saya dua minggu lagi akan pulang dari Nederland. Sudah
empat bulan dia tinggal di sana, dan bila kembali ke tanah
air harus menikah dengan saya. Maka untuk mencegah hal
itu jangan sampai terjadi, saya malam ini secara resmi
melamar Rosalina."
Darusman menarik napas berat. Begitupun Maryani.
Sepasang suami istri itu tak bisa memberikan jawaban apa
apa.
"Kami tidak dapat memberikan keputusan, semuanya
tergantung pada Rosalina. Sebaiknya Dik Gun berunding
bagaimana baiknya dengan dia."
Darusman bangkit diikuti istrinya, lalu meninggalkan
Gunawan sendiri di ruang tamu. Tapi tak lama. Karena
Rosalina segera muncul dan menemaninya duduk berduaan.
"Rosalina mau kan, seandainya hidup bersama Mas
Gun mulai dari nol?"- 83 Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rosalina mengangguk.
"Tapi sebaiknya Mas Gun pertimbangkan dulu
risikonya menentang kehendak orang tua," kata Rosalina.
Gunawan merapatkan duduknya ke tubuh Rosalina.
Digenggamnya erat jari-jari tangan gadis itu dengan
perasaan yakin. Lalu dia berkata:
"Aku tidak takut menghadapi hidup ini, Lina. Apalagi
hidup bersamamu. Percayalah, demi untukmu akan
kupertaruhkan seluruh hidupku."
Perasaan haru menyusup ke dalam hati sanubari
Rosalina. Kedua matanya jadi terasa hangat karena
bergenang butiran air bening.
"Mas Gun tidak menyesal memilih Lina?"
"Tidak sayang," kata Gunawan mantap. Diangkatnya
tangan Rosalina sampai menyentuh hidung lantas
diciumnya.
***
"Itu cuma alasannya saja!" kilah Bromo sembari
berjalan mondar-mandir di depan istrinya yang duduk di
kursi. Isak tangis perempuan itu tak diperdulikannya.- 84
"Tapi aku yakin, apa yang dikatakannya benar, Pa.
Kalau Dewi memang gadis yang baik, sudah tentu Gunawan
tidak akan menolaknya. Secara fisik Dewi tak ada celanya,
cantik dan pandai. Seharusnya kita berpikir, kenapa
Gunawan bersikeras tak mau menikah dengan Dewi?"
bantah Sari.
"Aku jadi heran, Ma. Aku jadi heran karena
pikiranmu tiba-tiba berubah!" Bromo uring-uringan seperti
kakek kebakaran jenggot. "Dan ikut-ikutan memprotesku.
Apakah kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?"
Sari berusaha memerangi ketakutan menghadapi
suaminya, meskipun di kedua matanya menetes butiran
butiran air bening. Dia memberanikan diri menatap lelaki
yang berdiri di depannya sambil berkata;
"Sadar, mengingat anak kita cuma satu-satunya.
Sebagai seorang ibu yang melahirkannya, tak ingin melihat
hidupnya tersiksa. Terus-menerus mengalami tekanan jiwa
karena tidak dihormati istrinya, Diremehkan. Hal itu bisa
membuatnya gila apabila tidak tabah menjalaninya. Kalau
dia gila, apakah kita tega melihatnya? Cobalah Papa pikir
baik-baik mengenai akibat dari kehendak Papa yang cuma
bertolak dari harta dan kedudukan semata."
Bromo menarik napas berat. Ucapan istrinya bagai
cermin yang memantulkan sifat dan kehendaknya tanpa mau
perduli perasaan orang lain. Perasaan istri dan anaknya.
Namun apa yang hendak dikata, demi menjaga nama baik- 85
dan kehormatan, kehendaknya harus terlaksana. Gunawan
harus menikah dengan Dewi. Sebab kalau tidak, kedua
orang tua Dewi pasti akan kecewa. Merasa dipermainkan.
Permufakatan yang telah dijalin bersama, ternyata akhirnya
cuma kebohongan semata.
Dengan tubuh lesu dan perasaan gusar, Bromo
menjatuhkan diri di kursi. Pikirannya jadi kacau, tapi tetap
berusaha mempertahankan prinsipnya.
"Gunawan harus menuruti perintahku," kata Bromo
dengan nada berat, tidak sekeras tadi.
"Papa tega melihat Gunawan menderita tekanan
batin?" suara Sari seakan-akan merintih.
"Semuanya sudah terlanjur, kenapa tidak sejak dulu
Gunawan menolaknya. Sekarang setelah segalanya
dipersiapkan, dengan tiba-tiba dia ingkar. Sebagai lelaki dia
harus jantan dan sportif, jangan akhirnya kita berdua yang
menanggung malu. Dan mau dikemanakan muka kita
menghadapi orang tua Dewi kalau sampai gagal?" keluh
Bromo semakin gusar.
Suara derum mobil terdengar berhenti di garasi. Sari
jadi nampak cemas sembari memandang suaminya, sebab
dia tahu Gunawan pulang. Kecemasan perempuan itu
lantaran takut terjadi percekcokan antara suami dan
anaknya.- 86
"Mama minta Papa jangan bertindak kasar pada
Gunawan," kata Sari memohon. Bromo tidak memberikan
reaksi apa pun pada ucapan istrinya. Tetap santai mengisap
cerutu, walaupun perasaannya gusar.
Gunawan melangkah gontai memasuki ruang tengah.
Dia menghentikan langkahnya sejenak. Memandang kedua
orang tuanya yang tengah duduk di kursi. Gunawan
menemukan seraut wajah Ibunya yang murung dan sedih,
laiu mengalihkan perhatian pada ayahnya yang duduk santai
di kursi malas. Tak salah lagi, pasti antara papa dan mama
sedang terjadi percekcokan, pikir Gunawan.
"Dari mana, Gun?" tegur Bromo yang duduk di kursi
malas bergoyang-goyang. Dia bertanya tanpa memandang
kehadiran Gunawan.
"Dari rumah teman," sahut Gunawan singkat.
"Teman atau calon istri?"
Gunawan merasa terpojok oleh pertanyaan ayahnya.
Menjadikan dia gusar dan salah tingkah. Untuk
mengendalikan kegusaran dan salah tingkahnya, maka dia
berdiam sejenak tanpa memberi jawaban.
"Jawab dengan jujur!" suara Bromo bernada tinggi.
Bukan membentak atau menghardik.
"Dari rumah calon istri," jawab Gunawan tegas.
Bromo bangkit dari kursi malas itu lalu menatap
Gunawan yang masih berdiri di tempatnya. Sementara itu- 87
Sari ikut berdiri dan rasa cemas melanda perasaannya.
Ketika Bromo melangkah mau mendekati Gunawan, tapi
Sari lebih duluan merengkuh lengan anaknya. Berbuat
seakan-akan melindungi dari terkaman seekor harimau.
Bromo menghentikan langkahnya.
"Siapa calon istrimu itu?" tanya Bromo dengan
sepasang matanya yang berbinar-binar marah.
"Tidak ada artinya kalau sekarang saya beri tahu
Papa. Dia memang tidak berarti untuk Papa, tapi berarti buat
saya."
"Pengecut! Dari sejak kecil aku tidak pernah
mendidikmu untuk menjadi seorang pengecut! Termasuk
keinginanmu menggagalkan pernikahan dengan Dewi.
Seharusnya kau sebagai laki-laki menunjukkan sifat jantan
dan sportif!" kecam Bromo yang amarahnya semakin
meluap.
"Sabar, Pa, sabaaar. Kendalikan emosimu," pinta Sari
dengan suara gemetar.
"Aku paling benci menghadapi seorang pengecut!
Biarpun dia adalah anakku. Apalagi ditambah dengan
kelakuannya yang akan membuat malu orang tua! Akan
mencoreng muka kita dengan arang hitam! Minggiiir!"
bentak Bromo yang kian kalap menyambar lengan istrinya.
Perempuan yang melindungi Gunawan terhuyung
huyung hampir jatuh karena dicampakkan oleh suaminya.- 88
Dibarengi jeritannya ketika melihat tamparan Bromo yang
kencang mendarat di wajah Gunawan.
"Kurang ajar! Kubikin mampus kauuu!" teriak
Bromo seraya menampar wajah Gunawan berulang kali.
Dan yang ditampar cuma diam saja tanpa mau mengelak.
"Hentikaaan! Hentikaaan kekejamanmu, Paaaa!"
pekik Sari sambil menarik sekuat-kuatnya tubuh Bromo
menjauhi putranya, sehingga antara Sari dan Bromo saling
adu kekuatan. Dorong-mendorong.
"Jangan halang-halangi aku, Ma! Biar kuhajar sampai
mampus si anak pengecut itu! Dia akan membuat kita
malu!" ancam Bromo yang sudah seperti kemasukan setan.
"Lebih baik kau bunuh akuuu! Bunuh saja akuuu!"
suara teriakan Sari menantang tindakan suaminya.
Ternyata tantangan Sari meredakan kemarahan
Bromo. Dengan napas terengah-engah lelaki setengah baya
itu menjauhi istrinya. Lantas masuk ke kamarnya sembari
membanting daun pintu kencang. Suara bantingan pintu itu
terasa nyaris merontokkan jantung Gunawan dan Sari.
Sambil menangis sedih, Sari memeluk putranya.
Gunawan membalas pelukan ibunya dengan perasaan haru,
hingga di kedua kelopak matanya bergayut butiran air
bening. Dia terharu dan ingin menangis, lantaran ibunya
mau mengerti perasaannya. Dan perempuan itu
membimbing Gunawan masuk ke kamarnya.- 89
Diambilnya handuk kecil dan.diusapnya darah yang
membasahi bibir Gunawan. Usapan lembut tangan
perempuan itu sangat mengharukan perasaan Gunawan
yang sedang dilanda kepedihan dan kesengsaraan.
"Mama, dengan terpaksa besok saya akan pergi dari
rumah ini," ujar Gunawan sambil memeluk ibunya. Kali ini
air matanya tak dapat dibendung lagi. Sedih karena harus
berpisah dengan ibunya, sebab perempuan itulah yang mau
mengerti perasaannya. Selalu memberikan perhatian dan
kasih sayangnya.
"Jangan, Nak. Mama tidak mengijinkan kau pergi dari
rumah ini," balas Sari dengan suara parau di sela-sela isak
tangisnya.
"Tapi tampaknya papa sudah tidak menyenangi saya
lagi. Biarkanlah Gunawan menempuh jalan hidup sendiri,
daripada harus menikah dengan Dewi."
"Kau tega meninggalkan Mama, Nak?" sedih sekali
pertanyaan Sari.
"Ini terpaksa saya lakukan, Ma."
Sari memandang wajah putranya dengan air mata
bercucuran. Dibelainya rambut Gunawan lembut penuh
kasihsayang. Betapa berat perasaan seorang ibu yang akan
berpisah dengan putranya. Sejak kecil dibesarkan, diasuh
dan dididik penuh cinta kasih, tapi sekarang berniat akan
pergi meninggalkannya.- 90
"Lalu kau akan tinggal di mana setelah pergi dari
rumah ini. Nak?"
"Mama tidak perlu kuatir! Saya masih bisa mencari
rumah kontrakan yang sederhana. Setelah itu saya akan
segera melangsungkan pernikahan dengan calon istri saya."
"Ooooh, pesta perkawinanmu akan menyedihkan
tanpa mendapat restu papamu. Beri tahu pada mama siapa
calon istrimu itu?"
"Kelak Mama akan tahu. Dia gadis baik-baik dan
mempunyai sifat keibuan. Saya tidak meragukan kesetiaan
nya, Mama."
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sari melepaskan pelukan di tubuh Gunawan. Dia
duduk di pinggir tempat tidur sambil termenung. Gunawan
duduk di sisi perempuan itu dan memeluk bahunya,
"Maafkanlah saya, Ma. Saya telah mengecewakan harapan
Mama dan papa," kata Gunawan sedih.
Sari memegang jari tangan Gunawan yang masih
memeluk bahunya. Dan perempuan itu berusaha tersenyum
walau kedua matanya menitikkan air bening.
"Jalanilah apa yang menjadi kehendak hatimu. Mama
hanya bisa mendoakan agar kau bisa hidup bahagia."
Gunawan memeluk ibunya lagi. Dia menangis seperti
anak kecil, sedang Sari membelai rambutnya penuh kasih
sayang.- 91
"Mama punya uang simpanan dan perhiasan tanpa
setahu papamu. Mama berikan kepadamu sebagai bakal
untuk membina rumah tangga dengan calon istrimu. Tengah
malam nanti akan mama serahkan padamu supaya tidak
diketahui papamu. Pergunakanlah pemberian mama itu
sebaik-baiknya.".
"Terima kasih. Mama. Hatimu sungguh mulia," kata
Gunawan yang begitu terharu akan kemuliaan ibunya.
"Besok pamit dengan papamu secara baik-baik."
Gunawan mengangguk sambil melepaskan pelukan
pada ibunya. Lalu perempuan itu bangkit. Sebelum
meninggalkan kamar itu, dia mengusap air matanya.
Gunawan cuma bisa memandang berlalunya perempuan
yang dicintai itu dengan perasaan bagai tersayat sembilu.
***
Perasaan pilu dirasakan oleh Gunawan ketika
meninggalkan kamarnya. Sebuah koper besar yang berisi
pakaian dan bekal pemberian ibunya dijinjingnya di tangan
kanan. Suasana di dalam rumah pagi itu masih nampak sepi,
dan Gunawan melangkah ke ruang tengah. Ibunya sedang
duduk seorang diri sambil termenung sedih. Langkah
langkahnya yang lunak mendekati perempuan itu.
"Mama," panggilnya dengan suara parau.- 92
Perempuan setengah baya itu menoleh. Kedua
matanya dibasahi air bening yang berkilau-kilau, dan
memandang Gunawan dengan penuh kesedihan. Sedihnya
seorang ibu yang akan ditinggalkan putra tercinta dan
tersayang.
"Berpamitlah pada papamu" kata Sari yang bersuara
parau.
"Papa mana, Ma?"
"Ada di dalam, kamar. Ketuk saja pintunya."
"Masih tidur?"
Sari menggelengkan kepala. Kedua matanya nampak
membengkak karena terlalu banyak menangis. Dan keadaan
ibunya yang demikian bagai ada sembilu yang menggores
hati Gunawan. Dia merasa telah menyiksa perasaan
perempuan itu, hanya untuk menuruti kehendak hatinya.
Maka ditaruhnya koper, lalu berlutut di hadapan ibunya
yang duduk di kursi. Bersimpuh di pangkuan ibunya.
"Maafkanlah anakmu yang tak tahu balas budi ini.
Mama," kata Gunawan dengan suara parau. Kedua matanya
berkaca-kaca menatap perempuan yang dikasihi. Saat itu ia
merasa, perpisahan adalah hal yang amat menyedihkan.
Apalagi berpisah dengan seorang ibu yang berhati muiia.
"Tak perlu menyesali diri, sebab apa yang akan
dijalani sudah menjadi tekadmu. Semoga Tuhan akan
senantiasa melimpahkan karunia-Nya padamu!"- 93
Gunawan mencium tangan ibunya.
"Temuilah papamu!"
Gunawan bangkit. Dengan langkah berat dia
menghampiri pintu kamar ayahnya. Diketuknya daun pintu,
tangannya gemetar. Perasaannya berdebar-debar, seakan
akan dia bakal menghadapi seekor singa yang galak. Siap
menerkam mangsanya. Dan apa pun yang akan terjadi,
Gunawan telah siap menghadapinya.
Daun pintu kamar terbuka. Seraut wajah lelaki yang
tak acuh muncul di hadapan Gunawan. Kedua matanya
berkilat-kilat menyimpan kemarahan dan kebencian.
"Ada apa?!"
"Saya pamit akan pergi," suara Gunawan gemetar.
Kedua mata Bromo menatap tajam wajah anaknya.
Perasaan marah, geram dan jengkel berkecamuk di dalam
dada. Kendati ada juga perasaan sedih di lubuk hatinya.
Namun kesedihan itu cuma secuil dan lenyap lagi, bila ingat
sifat anaknya yang pengecut! Biar dia pergi. Biar dia pergi!
Seorang anak yang tak tahu balas budi. Tak mau berbakti
pada orang tua, dan malah akan membuat malu, kecam
Bromo dalam hati.
Sambil mengempaskan daun pintu dengan keras,
Bromo berteriak:
"Pergilah anak pengecut!"- 94
Inilah ganjaran karena menentang kehendak orang
tua. Ini kenyataan yang harus diterima oleh Gunawan. Daun
pintu yang diempaskan dan suara debumnya laksana
mengusirnya agar cepat pergi dari rumah itu. Nyaris
membuat jantungnya rontok seketika. Kesedihan pun
tambah merejah dalam dada.
Elahan napasnya terasa semakin berat dan tersendat.
Dia cuma bisa memandang pintu tebal berwarna coklat itu
sesaat, lalu membalik, dan berjalan mendekati kopernya.
Dijinjingnya koper itu, sembari memandang ibunya yang
duduk menangis di kursi.
"Selamat tinggal,... Ma," pamit Gunawan.
Gunawan berjalan terseok-seok meninggalkan
ruangan itu. Sedang perempuan itu cuma bisa mengawasi
dengan air mata bercucuran. Menangis terisak-isak seorang
diri.
Gunawan pergi membawa mobil. Mobil yang dibeli
dengan jerih-payahnya sendiri. Semakin jauh dia
meninggalkan rumah, semakin lenyapnya kesedihan itu.
Sebab di sana, di rumah Darusman telah menanti calon
pendamping hidupnya. Dan tak lama lagi mahligai impian
akan menjadi kenyataan.
Matahari pagi sejak muncul di ufuk timur, diselaputi
mega. Ketika mobil Gunawan berhenti di mulut gang yang
menuju ke arah rumah Rosalina, mentari itu menampakkan
dirinya penuh. Sinarnya yang keemasan mulai memanggang- 95
seisi alam semesta. Dan telaki muda itu bergegas turun dari
mobil, bagai tak sabar lagi ingin lekas berjumpa dengan
pujaan hati. Demi cintanya pada gadis itu, dia rela
menderita. Rela pergi dari naungan sebuah rumah yang
mewah dan hidup tak menentu.
Belum sampai menginjak pekarangan rumah
Darusman, langkah Gunawan terhenti di gang sempit itu.
Dia menghentikan langkah karena melihat Rosalina sedang
berjalan ke arahnya. Gadis itu mengenakan pakaian seragam
sekolah. Setelah mereka berdekatan, kali ini pandangan
mata Rosalina nampak heran bersitatap dengan Gunawan.
"Lina," panggil Gunawan setengah bergumam.
"Ada apa pagi-pagi menemui Lina, Mas?"
"Lina mau berangkat ke sekolah?"
"Ya."
"Bagaimana kalau Lina hari ini tak masuk sekolah?
Sebab mas Gun ingin sekali bicara hal yang penting
denganmu."
Rosalina terdiam sambil menimbang-nimbang, lalu
dia tersenyum.
"Lina tidak keberatan. Kita berbicara di rumah atau di
tempat lain?"
"Sebaliknya kita pergi mencari tempat yang tenang.
Okey?"- 96
Rosalina mengangguk. Gunawan langsung
menggandeng tangan gadis itu dan berjalan bersama menuju
mobil.
***
Pagi yang cerah di tepian pantai. Matahari yang
memancarkan sinarnya, mengusir sisa-sisa awan tipis yang
menyerupai kabut. Dan mengeringkan sisa-sisa embun yang
menempel di permukaan dedaunan. Debur ombak yang tiada
kenal henti merupakan rangkaian suasana yang indah.
Pagi itu Gunawan membawa Rosalina menikmati
panorama pantai. Suasananya masih sepi. Mereka hanya
duduk di dalam mobil yang berhenti di bawah pohon nyiur.
Gunawan tak ingin duduk berjauhan, maka dipeluknya bahu
Rosalina.
"Kapan kita menikah, Lina? Kiranya tak perlu
mengulur waktu lebih lama lagi. Apalagi kau telah
mengetahui keadaanku," kata Gunawan mendesak.
Ditatapnya gadis itu penuh harap, kemudian diambilnya
tangan Rosalina dan jari-jarinya diremas-remas halus, penuh
rasa sayang.
"Terserah kehendak Mas Gun. Tapi jangan lupa pada
janjinya Mas Gun?"
"Janji apa?"- 97
"Rosalina tetap diberikan kesempatan untuk
memasuki perguruan tinggi."
Gunawan tidak segera menjawab, melainkan menarik
napas panjang. Dia jadi menilik keadaan dirinya sekarang
yang belum mampu berbuat banyak untuk Rosalina. Untuk
memenuhi tuntutan Rosalina paling tidak dia harus sudah
punya pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan keadaannya
masih tak menentu.
"Rupanya Mas Gun berat memenuhi permintaanku
ya?"
"Aku pikir hal itu bisa kita rundingkan nanti."
"Jadi Mas Gun merasa keberatan?"
"Tidak, Lina!" kata Gunawan dengan tersenyum.
Senyum itu hanya untuk menutupi kebimbangan perasaan
nya. "Aku mengidamkan sebuah rumah tangga yang tentram
dan bahagia. Dengan titel yang kupunyai aku ingin mencari
pekerjaan yang layak untuk kelangsungan hidup kita."
Rosalina termangu.
"Mas Gun mau mencari pekerjaan?"
"Ya."
"Lalu pekerjaan Mas Gun di kantor yang sekarang ini
bagaimana?"
Gunawan menarik napas berat. Nyeri di relung
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya mulai terasa lagi.- 98
"Mulai hari ini Mas Gun pergi dari orang tua dan
meninggalkan pekerjaan. Demi besarnya cinta Mas Gun
kepadamu."
"Ooooh," keluh Rosalina sambil menyandarkan
kepalanya di dada lelaki itu. Perasaannya jadi sedih dan
terharu. Ditambah belaian tangan lelaki itu, rasanya ia ingin
menangis. Terlampau besar pengorbanan Gunawan untuk
dirinya.
"Semua pakaian dan keperluanku telah ada di dalam
koper. Sekarang koper itu ada di dalam bagasi mobil.
Beginilah keadaan Mas Gun yang kini tak punya tempat
tinggal lagi, tapi punya cinta yang tulus padamu. Punya niat
ingin membahagiakan hidupmu. Dengan bekal yang
diberikan mamaku, cukup berlebihan untuk melangsungkan
pernikahan dan kontrak rumah yang sederhana. Tinggal
bagaimana pendapatmu, ingin tetap menikah dengan Mas
Gun atau mundur secara baik-baik."
Air mata Rosalina tak dapat dibendung lagi. la sangat
terharu dan sedih.
"Mas, aku mencintaimu dengan segenap hati. Kalau
Mas Gun menghendaki kita cepat menikah, Lina akan
pasrah. Lina tidak akan meninggalkan Mas Gun dalam
keadaan bagaimanapun," kata Rosalina setulus hatinya.
"Lina," suara Gunawan lembut. "Aku mencintaimu
dengan segenap jiwaku. Ah, Lina, seandainya aku bisa
mendapatkan pekerjaan dan berpenghasilan lebih dari- 99
cukup, ingin rasanya, aku membiayaimu meneruskan
kuliah. Menuruti apa saja yang jadi permintaanmu.
Semuanya itu tak lain hanya ingin membahagiakan
hidupmu, sayang," ujar Gunawan dalam desah.
"Lina tahu. Mas."
Gunawan menghela napas lega. Ternyata Rosalina
benar-benar mencintainya. Tak ada lagi keraguan di hatinya
untuk segera melamar Rosalina. Cepat melangsungkan
pernikahan adalah lebih baik, daripada hidupnya tanpa
kendali.
"Kita pulang. Aku akan menemui Om Darusman dan
bibi untuk melamarmu," ajak Gunawan tak sabar lagi.
***- 100
BAB IV
Rinai hijau gerimis menghiasi malam yang sepi.
Suara beduk Isya baru saja terdengar dari sebuah mesjid.
Namun dalam keadaan hujan begitu, siapapun merasa malas
untuk keluar rumah. Kalaupun ada yang keluar pasti
mempunyai kepentingan dan bukan sekadar jalan-jalan atau
isene Dan di angkasa sesekli petir menyamoar yang disusul
suara guruh menggelegar.
Tapi pada malam itu di rumah Darusman sedang
terjadi peristiwa yang penting. Peristiwa yang tak akan
mudah dilupakan dalam sejarah hidup dua insan. Siapa lagi
dua insan itu, kalau bukan Gunawan dan Rosalina. Di ruang
tengah Gunawan yang memakai peci duduk di samping- 101
Rosalina yang mengenakan kain kebaya dan berkerudung
kain sutera. Hanya dibatasi meja mereka berhadapan dengan
seorang penghulu. Sedang Darusman serta Maryani duduk
mengapit kedua mempelai itu. Akad nikah itu berlangsung
dalam suasana mengharukan.
Penghulu itu menjabat tangan Gunawan sambil
membacakan ayat-ayat suci. Dan setiap yang diucapkan
penghulu, Gunawan harus menirukannya. Nada suara
Gunawan serak parau, sehingga menyebabkan Rosalina
menitikkan air matanya. Dia dapat merasakan, bahwa suara
Gunawan adalah semacam jeritan hati yang pedih. Dan
bukan Rosalina saja yang dapat merasakannya, melainkan
Darusman serta Maryani.
"Saya bacakan akad nikah ini untuk mengawinkan
Gunawan dan Rosalina," kata penghulu itu.
Kemudian Gunawan dan Rosalina menandatangani
buku surat nikah. Tangan Gunawan gemetar ketika
menandatangani buku itu, demikian pula Rosalina. Begitu
selesai Rosalina menangis karena merasa haru dan bahagia.
Darusman segera memegang bahu Rosalina dengan
perasaan haru. Kedua matanya dibasahi air mata.
"Jadilah seorang istri yang baik, Lina! Susah-senang
harus ditanggung bersama. Karena perkawinanmu dengan
Gunawan tidak direstui orang tuanya," tutur Darusman.
Rosalina mengangguk sambil menahan isaknya.
Sedang Gunawan meremas-remas jari tangannya seolah-- 102
oleh memberikan sebentuk ketabahan pada istrinya.
Rosalina membalas remasan tangan Gunawan, sehingga
kedua tangan itu jadi saling bergenggaman erat. Sebagai
ungkapan tak ingin berpisah dan bersatu dalam mengarungi
hidup berumah tangga.
Selesai akad nikah, sepasang mempelai itu beranjak
masuk ke kamar Rosalina. Sementara Darusman tengah
asyik ngobrol dengan penghulu ditemani istrinya. Ketiga
anaknya berhambur keluar dari kamar setelah tahu acara
akad nikah selesai. Keadaan di ruangan itu jadi berisik oleh
suara anak-anak kecil yang bercanda.
Lain halnya dengan apa yang terjadi di kamar
pengantin. Pakaian kebaya yang dikenakan Rosalina dibuka
kancingnya satu-satu oleh Gunawan. Rosalina dengan malu
malu mencegah tangan suaminya, tapi Gunawan terus
memaksanya.
"Biar aku yang membukanya sendiri, Mas" kata
Rosalina lirih. Malu didengar orang di luar kamar.
"Aku kan suamimu, kenapa malu?"
"Nanti saja... di sini tidak tenang," ronta Rosalina
sambil menggeliat-geliat.
Gunawan tak perduli. Baju kebaya Rosalina berhasil
dibukanya. Duh, kulit di bagian dada istrinya begitu mulus.
Putih. Langsung dipeluk istrinya erat-erat dengan dibarengi
ciuman yang hangat. Kali ini Rosaiina jadi agresif membalas- 103
cumbuan dan remasan suaminya. Dan dengan pelan-pelan
tangan Gunawan membuka kain kebaya yang menutupi
tubuh istrinya. Buru-buru Rosalina melepaskan ciuman.
"Jangan di sini. Mas. Katanya mau bulan madu ke
Puncak?" rengek Rosalina dengan suara pelan sambil
menutupi tubuhnya yang nyaris polos.
"Hmmm, hmmmm..." gumam Gunawan yang
mendaratkan ciuman ke leher Rosalina. Dan ciuman itu
terus merambat turun pelan-pelan hingga mendekati benda
kenyal yang membusung di bagian dada istrinya. Dia tak
menghiraukan lagi Rosalina yang menggeliat-geliat sambil
merintih lirih.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Gunawan dan
Rosalina kaget yang disertai gerakan reflek menutupi
tubuhnya yang separuh telanjang. Ternyata Lusi yang
nongol di ambang pintu, sebab pintunya lupa dikunci dari
dalam.
"Lusiii!" panggil Maryani. "Jangan masuk kamar Kak
Lina."
Si kecil itu cuma tersenyum dan berlalu. Gunawan
dan Rosalina saling berpandangan, lalu sama-sama tertawa
cekikikan, "Apa yang aku bilang," kata Rosalina senyum
senyum malu.
"Okey deh, kita berangkat sekarang saja ke Puncak."
"Mas Gun keluar dulu, Lina mau tukar pakaian."- 104
"Lho, aku kan suamimu, kenapa mesti kau usir?"
"Nanti kejadian kayak tadi lagi. Mas Gun nggak sabar
sih," sungut Rosalina manja.
"Ya, deh. Jangan lama-lama ya. Mas Gun tunggu di
luar," sembari berkata Gunawan masih sempat mencium
bibir istrinya. Lalu beranjak meninggalkan kamar.
Rosalina membuka koper dan mengambil celana
Levis. Tak ketinggalan kaos berlengan panjang berwarna
merah. Koper itu ditutupnya lagi, lalu ia berdiri di depan
cermin membuka kain kebaya yang menutupi tubuhnya.
Sejenak diamatinya tubuhnya yang indah tanpa busana di
depan cermin, sembari membayangkan bagaimana mahm
pertama itu berlangsung? Ngeri kalau mendengar cerita
tentang malam pertama, namun di balik kengertian itu
tentunya ada perasaan bahagia. Dan Rosalina tersenyum
senyum.
Tubuhku yang masih suci ini hanya milik Mas Gun
seorang, kata hati Rosalina sambil mengenakan celana
Levis. Dan kesucianku akan membuat Mas Gun bahagia.
Kebahagiaan sejati dari seorang suami, bila mendapatkan
istrinya masih perawan di malam pertama. Hal itu membuat
Rosalina merasa bangga.
Selesai berpakaian ia menyisir rambutnya. Kemudian
Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Pedang Keadilan Karya Tjan I D
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama