Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 13
penjahat yang bernama Putut Jantoko itu? Dan ia menduga begitu, karena melihat bahwa
orang yang bernama Jantoko ini bersenjata tongkat. Menduga begitu tiba-tiba saja Pertiwi
Dewi sudah menyerang Putut Jantoko dengan selendang merahnya. Serangan ujung
selendang merah itu mengenai Putut Jantoko secara tepat. Dan akibatnya lutut Putut
Jantoko menddak seperti lumpuh. Ia berjingkrakan sambil memegang lututnya yang
sakit itu.
Klenting Mungil mengangkat kepalanya, mengamati muridnya dengan pandangan
mata heran. Teriak kakek kepala gede itu. "Putut Jantoko! Mengapa engkau berteriak dan
berjingkrakan macam itu? Apakah engkau tidak malu?"
"Tapi ....... tapi........lutut murid menjadi lumpuh oleh serangan dia......." bantah
Putut Jantoko masih berjingkrakan untuk menjauhi dua orang gadis itu, sambil berusaha
memulihkan lututnya.
Tentu saja Klenting Mungil tidak memandang sebelah mata baik kepada Pertiwi
Dewi maupun Irma Sulastri. Dan karena ia tahu bahwa muridnya Putut Jantoko itu
seorang yang tangguh, dan takkan kalah menghadapi dua orang gadis itu, sekalipun
mengeroyok. Maka walaupun ia melihat Putut Jantoko berjingkrakan, ia tidak bergerak
dan jari-jarinya masih saja tetap untuk memberikan pertolongan kepada Bagus Lantung.
Sebaliknya, setelah ujung selendangnya berhasil memukul lutut Putut Jantoko,
gadis ini menjadi mantap. Ia menerjang maju untuk mengulang serangannya lagi sambil
berteriakk pada Irma Sulastri. "Adik Irma, hunus pedangmu dan marilah kita bunuh laki
laki busuk itu!"
Tentu saja Pertiwi Dewi sekarang menyebut Putut Jantoko sebagai laki-laki busuk.
Karena ia sekarang menjadi yakin bahwa orang inilah dahulu yang sudah menghancurkan
kebahagiaan keluarganya. Orang inilah yang sudah menyebabkan kakak perempuannya
menjadi seorang perempuan sesat. Dosa laki-laki ini bagi dirinya sudah tidak dapat
diampuni lagi. Maka harus memperoleh hukuman yang setimpal. Dan justeru laki-laki ini
harus dihukum sesuai dengan dosa-dosanya, maka disamping menganjurkan kepada Irma
Sulastri, serangannya sendiri juga hebat sekali. Dua ujung selendang merah itu sekarang
menyambar-nyambar dahsyat sekali. Berubah bagaikan dua ekor ular yang sedang marah,
menyambar kesana dan kemari.
Dan Irma Sulastri yang sudah memegang pedangnya itupun tak mau ketinggalan.
Iapun menyerang dengan hebat. Dua orang gadis itu sekarang menyerang bersama-sama
dan mengerahkan segenap kepndaiannya. Yang seorang bersenjata panjang, sedang
seorang lagi bersenjata pendek.
"Kurang ajar!" bentak Putut Jantoko nyaring. "Benarkah kamu ini inginhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
memusuhi aku?"
Dan sambil membentak ini? terpaksa Putut Jantoko harus berloncatan kesana dan
kemari, dalam usahanya menghindari sambaran dua senjata lawan. Diam-diam Putut
Jantoko kaget sekali. Ia tidak pernah menduga sama sekali bahwa dua orang perempuan
ini, merupakan perempuan muda yang tangguh. Tidak mungkin bagi dirinya sekarang
harus melawan tanpa senjata. Maka tongkat pusakanya itu segera dipegang dalam tangan
kanan, untuk melayani terjangan dua orang gadis itu yang berbahaya
"Bagus!" seru Pertiwi Dewi dengan suaranya yang menggeletar. "Dengan tongkat
itulah engkau dahulu sudah menghancurkan keluargaku. Dan sekarang engkau harus
mampus di tanganku!"
"Apa?" Putut Jantoko kaget.
"Engkau harus mampus hari ini, sebagai penebus dosa-dosamu terhadap
keluargaku. Huh, apakah engkau tidak mendengar?"
Begitu menjawab, maka senjata Pertiwi Dewi menyambar lebih dahsyat. Tetapi
setelah memegang tongkat itu. Putut Jantoko tidak gentar sedikitpun. Tongkatnya begitu
hebat. Jangan lagi hanya selendang seperti ini. Walaupun senjata dari baja apabila
terbentur oleh tongkatnya akan segera patah.
Dua orang gadis itu gerakannya gesit sekali. Sungguh kebetulan pula bahwa
mereka seperti membagi pekerjaan. Yang seorang bersenjata pedang dan merupakan
senjata pendek, sedang yang seorang lagi bersenjata selendang dan merupakan senjata
yang panjang.
Klenting Mungil mengangkat kepala dan mengamati mereka yang sedang
berkelahi dengan pandangan mata aneh dan menyala. Persoalannya ia tahu bahwa
muridnya yang tua itu cukup tangguh. Tetapi mengapa ia berhadapan dengan dua orang
gadis itu saja harus mengerahkan kepandaian? Akan tetapi kakek aneh ini menjadi sadar
sendiri bahwa gadis baju merah itu memang tidak dapat diabaikan begitu saja. Buktinya
Bagus Lantung roboh dan tidak sadarkan diri akibat tidak kuasa menghadapi gadis baju
merah itu?
Dan ketika itu, Bagus Lantung sudah mulai bergerak sadar dari pingsannya.
Pemuda ini kemudian bangkit dan kaget sekali, karena melihat dirinya sudah disamping
gurunya. Namu sesaat kemudian setelah ia sadar akan keadaan sendiri, Bagus Lantung
menggeram. "Huh, ijinkanlah murid membantu kakang Jantoko untuk menghajar
mereka."
"Heh-heh-heh." Klenting Mungil ketara terkekeh. "Tetapi mengapa engkau tadihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sampai roboh dan tidak sadarkan diri?"
"Itu suatu kecelakaan guru," sahutnya cepat. "Gadis baju merah itu menyerang
aku secara curang. Akibatnya murid roboh dan tidak ingat diri lagi."
Memang bukannya tidak beralasan Klenting Mungil mengijinkan Bagus Lantung
terjun ke gelanggang melayani dua orang gadis itu. Yang dihadapi oleh Putut Jantoko
adalah dua orang gadis yang berwajah cantik. Dan kakek ini akan selalu merasa senang
dan bahagia sekali apabila dua orang muridnya memperoleh gadis-gadis yang membuat
muridnya senang. Tidak perduli akan akibat dari perbuatan dua orang muridnya itu, yang
bisa menimbulkan akibat buruk terhadap para perempuan. Yang penting bagi Klenting
Mungil, sebagai seorang guru dan sebagai orang tua, dirinya harus dapat memenuhi
harapan muridnya.
"Plak plak............!" sambaran ujung selendang merah yang tepat mengenai
sasaran, walaupun tidak menyebabkan Putut Jantoko celaka dan terluka parah, dan hanya
kuasa membuat laki-laki itu terhuyung. Tetapi terhuyungnya Putut Jantoko itu tidak disia
siakan oleh Irma Sulastri menggunakan pedangnya menyabet.
"Trang............aihhh..........." sabetan pedang Irma Sulastri diterima oleh tongkat
Putut Jantoko. Dan gadis ini kemudian menjerit kaget, karena pedangnya menjadi patah
begitu terbentur tongkat lawan. Maka Irma Sulastri segera meloncat ke belakang dengan
wajah pucat.
Pertiwi Dewipun tidak kurang kagetnya melihat apa yang baru terjadi. Mengapa
begitu pedang Irma Sulastri berbenturan dengan tongkat Putut Jantoko menjadi patah?
Selami ini ia hanya mengenal tongkat ampuh, senjata Fajar Legawa saja. Kalau begitu.
Apakah tongkat orang ini memang tongkat Fajar Legawa yang dapat dirampas? Namun
dugaannya itu segera ia bantah sendiri. Bentuk tongkat itu jelas berbeda disamping
perbedaan warna tongkat pula. Maka gadis ini lebih condong kepada pendapat bahwa
tongkat Putut Jantoko memang mirip dengan tongkat Fajar Legawa, yang kuasa
mematahkan senjata lawan.
Tetapi justeru sadar bahwa senjata tongkat Putut Jantoko itu ampuh dan kuasa
mematahkan senjata lawan, maka Pertiwi Dewi menjadi marah bukan main. Sudah sejak
lama ia bercita-cita untuk dapat membalas dendam kepada penjahat yang telah
menghancurkan keluarganya. Sekarang dirinya dapat berhadapan dengan penjahat itu,
dan betapa hancur harapannya kalau sekarang ini tidak membalas sakit hati keluarganya
itu. Lebih baik dirinya mati saja menyusul ayah bundanya, daripada harus tersiksa oleh
perasaan duka akibat tidak kuasa membalas sakit hati.
"Heh-heh-beh!" Putut Jantoko ketawa terkekeh mengejek, dengan hasil yang
diperoleh, dapat mematahkan pedang gadis itu. Kemudian, "Sejak tadi aku sudah berkata,
engkau jangan berusaha melawan aku karena tiada gunanya. Bukankah sayang jugahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa pedangmu itu harus patah oleh tongkatku? Dan tentu saja sekarang engkaupun
tidak lagi mempunyai senjata, dan apalagi yang akan engkau pergunakan melawan aku?"
Merah padam wajah Irma Sulastri, ia berdiri terpaku tanpa dapat membuka mulut.
Tetapi sepasang mata gadis ini menyala bagai api. Memang sulit dibayangkan betapa
perasaan Irma Sulastri sekarang ini. Bahwa pedangnya telah patah berbenturan dengan
senjata lawan.
"Siut .........!" dalam marahnya, tiba-tiba Irma Sulastri telah menyambitkan
pangkal pedang yang tinggal sepotong itu, dipergunakan menyerang Putut Jantoko.
"Heh-heh-heh, engkau marah?" ejek Putut Jantoko sambil terkekeh, dan dengan
gampangnya pula ia menghindari serangan itu, hanya dengan menggeser kaki.
Tetapi di saat Putut Jantoko belum juga puas ketawa ini, Pertiwi Dewi sudah
menyerang lagi dengan selendang merah,
"Kakang, berikan padaku!" teriak Bagus Lautung. "Biarkan aku saja yang
melawan gadis baju merah itu "
"Heh-heh-beh, silahkan!" sahut Putut Jantoko. "Aku memang tidak
berkepentingan kepada dia, tetapi aku berkepentingan kepada yang seorang."
Bagus Lantung mengamati kearah Irma Sulastri. Dan tiba-tiba saja mulut laki-laki
ini menyeringai, sedang sepasang matanya berkedip-kedip hampir tidak percaya kepada
pandangan matanya sendiri. Sebelum dirinya pingsan tadi, ia mengenal gadis itu sebagai
seorang laki-laki tampan dan bertubuh kurus. Ternyata laki-laki itu hanya palsu belaka,
merupakan penyamaran dari seorang gadis cantik sekali bertubuh ramping dan tinggi.
Diam-diam ia mengakui, bahwa sesungguhnya gadis ini lebh menarik dan lebih cantik
dibanding dengan si baju merah. Akan tetapi dirinya tidak dapat berbuat apa-apa, justeru
kakak seperguruannya sudah menginginkan gadis yang ramping dan tinggi itu.
Tetapi gadis baju merah ini memang tidak boleh dianggap sepele. Selendang
merahnya itu cukup berbahaya dan apabila dalam menghadapi tidak berhati hati, dirinya
akan roboh untuk kedua kalinya. Hanya saja, sekarang ini gurunya hadir. Hal ini
menambah kepercayaan akan kekuatan diri, justeru apabila terjadi sesuatu atas dirinya,
gurunya takkan tinggal diam dan tentu akan memberikan bantuannya. Dan kalau dirinya
tidak mampu menghadapi gadis ini, bukankah tiada halangan kalau ia minta pertolongan
gurunya supaya menangkap gadis itu?
"Baiklah kakang." sahut Bagus Lantung kemudian. "Biarlah aku melanjutkan
perkelahianku dengan gadis baju merah yang galak tetapi manis itu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ia mengamati Pertiwi Dewi dengan sepasang mata bersinar-sinar. Kemudian.
"Adik yang manis, engkau harus mendengar apa yang aku katakan ini. Sekarang aku
tidak seorang diri, kakak seperguruanku hadir disamping gurukupun hadir. Walaupun
engkau memaksa diri untuk melawan, perlawananmu hanyalah sia-sia belaka. Lebih baik
engkau sekarang menyerah baik-baik, dan engkau akan hidup bahagia. Heh-heh,
bukankah engkau akan senang apabila engkau aku boyong pulang ke rumahku sebagai
isteri terkasih dan tercinta?"
"Manusia busuk!" teriak Pertiwi Dewi yang marah bukan main. "Jika tidak aku
bunuh, engkau tentu selalu menghina dan merendahkan perempuan."
Selesai mengucapkan kata-katanya ini. Pertiwi Dewi telah menerjang dengan
selendangnya. Ujung selendang itu segera saja menyambar kearah Bagus Lantung,
sebagai dua ekor ular yang hidup dan galak. Dan laki-laki ini sadar pula betapa bahaya
senjata yang lemas itu. Maka dengan pedang di tangan kanan, ia segera melayani serangan
Pertiwi Dewi.
Dan ketika itu Irma Sulastri mengamati Putut Jantoko dengan wajah pucat.
Patahnya pedang oleh Putut Jantoko itu, membuat gadis ini untuk beberapa jenak
lamanya bingung. Tanpa pedang, bagaimanakah mungkin dirinya dapat melawan laki
laki itu? Tetapi sebaliknya untuk menggunakan pedang "Sokayana" yang berhulu emas
dan ia sembunyikan pada pinggang, iapun ingat akan pesan gurunya. Bahwa pedang
Sokayan itu banyak yang menginginkan dan menghendaki. Apabila dirinya tidak berhati
hati, dan apabila pedan gitu sampai jatuh ke tangan orang jahat, akan dapat menimbulkan
akibat yang amat buruk. Akan tetapi sebaliknya kalau dirinya tidak bersenjata dan
kemudian dirinya sampai tertangkap dan ditawan oleh laki-laki ini, bukankah akibatnya
malah lebih parah lagi? Bukan saja pedang itu tetap direbut orang, akan tetapi malah
dirinya sendiri menderita akibat yang paling buruk.
Setelah mempertimbangkan beberapa jenak lamanya, maka kemudian timbullah
keputusan Irma Sulastri untuk melindungi keselamatan diri dan pedang. Maka sejenak
kemudian segera tampak seleret sinar kuning emas yang berkilau, disusul oleh raung suara
pedang, ketika pedang itu mulai dipergunakan oleh Irma Sulastri.
"Trang trang trang .....!" dan Putut Jantoko melompat mundur dengan sepasang
mata terbelalak disamping rasa kaget. Dan sebaliknya Irma Sulastri berbesar hati, dan
bibir menyungging senyum.
Putut Jantoko memang kaget sekali, ketika pedang gadis itu berbenturan dengan
tongkatnya tidak menjadi patah. Dan disamping itu, iapun merasakan bahwa pedang yang
berhulu emas itu, memiliki daya yang mujijat. Tongkatnya yang semula ringan itu,
menurut perasaannya secara tiba-tiba menjadi berat dan sulit ia gerakkan karena tongkat
itu mendadak terasa berat, maka barang tentu gerakannya berkelahi menjadi kacau pula.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Heran dibuatnya, mengapa bisa terjadi seperti itu.
Dan justeru di saat dirinya masih keberatan ini, Irma Sulastri telah menerjang maju
sambil menyerang dengan pedang Sokayana. Putut Jantoko berusaha menghindar,
melompat ke samping sambil pula menangkiskan tongkatnya.
"Trang............!" Putut Jantoko kaget lagi. Dalam gerakannya tadi ia tidak
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermaksud membenturkan senjatanya. Akan tetapi mengapa diluar kemauannya,
tongkatnya itu sudah membentur pedang dan menerbitkan suara yang amat nyaring? Di
samping akibat benturan senjata itu memercikkan pijar api, Putut Jantoko merasakan
lengannya tergetar hebat sekali tanpa diketahui apakah sebabnya.
Putut Jantoko melompat mundur sambil mengamati senjatanya. Ia menjadi kaget
ketika melihat tongkat itu. Ternyata sekarang pada tongkat itu terdapat dua lekuk yang
cukup dalam, bekas bacokan pedang lawan. Dengan begitu membuktikan sampai
dimanakah ketajaman pedang itu, disamping kuasa pula menghadapi keampuhn senjata
tongkat yang selama ini selalu ia banggakan.
Memang dalam kenyatannya, selama ini tongkat Putut Jantoko itu baru sekali saja
berhadapan dengan senjata hebat, ketika berhadapan dengan Fajar Legawa. Akan tetapi
sebelum itu tongkatnya akan segera dapat mematahkan senjata lawan, setiap kali terjadi
benturan. Selama ini, tongkatnya itu tidak pernah menderita cacat oleh perlindungan keris
ampuh yang disimpan di dalam tongkat. Namun pada hari ini, berhadapan dengan
pedang tipis di tangan gadis itu, dua kali berbenturan mendapatkan dua cacat yang cukup
dalam.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh lagi, karena Irma Sulastri yang berbesar
hati sudah menerjang maju lagi. Sambaran pedangnya begitu cepat dan dari gerakan
pedang itupun menyambar pula hawa dingin penuh mujijat.
Mendadak saja teringatlah Putut Jantoko akan keterangan gurunya. Bahwa di
dunia ini terdapat sebatang senjata ampuh, berwujud pedang dengan hulu emas.
Bukankah pedang gadis ini merupakan pedang yang ampuh dan hulunya dari emas
menyilaukan mata? Teringat akan itu tiba-tiba saja ia berteriak, "Gadis ini menyimpan
pedang Sokayana."
"Heh-heh-heh, aku sudah tahu!" sahut Klenting Mungil sambil ketawa terkekeh,
dan sekarang kakek aneh itu sudah berdiri tidak jauh dari tempat Irma Sulastri.
Memang Klenting Mungil menjadi tertarik sekali ketika mendengar suara benturan
tongkat Putut Jantoko dengan pedang lawan, tetapi pedang lawan tidak menjadi patah.
Ketika ia mengamati, sepasang mata kakek kepala gede ini tidak berkedip dan
memusatkan perhatian kepada hulu pedang itu yang kuning kemilauan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pedang Sokayanakah?" tanyanya dalam hati. Ia segera bangkit dan mendekati
Irma Sulastri. Dan ketika jaraknya menjadi dekat merasakan sambaran angin yang dingin
penuh mujijat, Klenting Mungil menjadi yakin bahwa pedang di tangan gadis ini, yang
hulunya menyinarkan warna kuning yang kemilauan, tentulah pedang Sokayana.
"Jantoko!" katanya kemudian kepada muridnya. "Mundur dan bantulah adikmu
menghadapi gadis baju merah itu, agar dapat tertangkap. Dan gadis ini serahkan padaku,
untuk aku tangkap hidup-hidup."
Putut Jantoko mengiakan, kemudiana mundur untukmembantu Bagus Lantung
yang memang repot sekali menghadapi gadis baju merah itu. Selendang merah itu
menyambar-nyambar dengan dahsyat, sehingga Bagus Lantung harus berloncatan kesana
dan kemari berusaha menyelamatkan diri dan sulit untuk membalas, karena senjatanya
lebib pendek. Serangan balasan yang berguna bagi Bagus Lantung hanyalah sambitan
pisau belatinya, tetapi mengingat persediaannya yang terbatas iapun tidak berani
sembarangan menghamburkan pisau itu.
"Bagus!" teriak Pertiwi Dewi. "Majulah berbareng untuk mampus!"
Semangatnya menyala-nyala, justeru Putut Jantoko merupakan musuh besarnya
yang harus ia bunuh. Hanya yang membuat gadis ini agak gelisah, ketika melihat kakek
kepah gede itu turun tangan menghadapi Irma Sulastri. Pertiwi Dewi menjadi khawatir
sekali. Manakah mungkin Irma Sulistri sanggup menghadapi kakek sakti mandraguna itu?
Tetapi apa yang terjadi sekarang ini memang luar biasa. Dan keadaan yang
dihadapi ini menuntut kepada dirinya tidak boleh ragu-ragu. Mati dan hidup diluar
kemampuan manusia. Untuk itu maka diam-diam iapun pasrah diri sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
"Bocah! Serahkan pedangmu itu sebelum aku memaksamu!" hardik Klenting
Mungil sambil mendekati Irma Sulastri.
"Ambillah sendiri jika engkau bisa!" balas Irma Sulastri sambil menggenggam
pedangnya erat-erat. Ia sudah bertekat bahwa apapun yang terjadi, ia harus dapat
mempertahankan pedang pusaka pemberian gurunya ini. Lebih lagi ia menyadari bahwa
akibatnya akan hebat sekali kalamana pedang pusaka Sokayana ini sampai jatuh ke tangan
orang yang tidak bertanggungjawab.
"Heh-heh-heh, engkau menantang aku?" ejek Klenting Mungil sambil terkekeh.
"Apakah sulitnya mengambil pedang itu dari tanganmu? Jagalah baik-baik!"
Begitu berkata, kakek kepala gede ini segera berloncatan gesit sekali danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
berkelebatan di sekitar Irma Sulastri, dalam usahanya untuk merebut pedang itu. Klenting
Mungil melancarkan pukulan-pukulan ilmu sakti jarak jauh. Maksudnya untuk bisa
menekan Irma Sulastri agar tidak berdaya lagi. Dirinya sendiri memang tidak berani
sembrono berhadapan dengan pedang Sokayana yang terkenal amat tajam itu. Sedang
disamping itu, gerak pedang gadis inipun cepat luar biasa dan sulit bagi dirinya dapat
merebut pedang gadis itu tanpa menekan menggunakan tenaganya.
Perkelahian antara Klenting Mungil dengan Irma Sulastri ini berlangsung cepat
sekali. Kakek kepala gede itu terkenal sebagai seorang sakti yang dapat bergerak gesit
bagai bayangan setan. Tetapi berhadapan dengan gadis Irma Sulastri sekarang ini, ia
merasa heran dan kagum akan kecepatan geraknya. Bukan saja gerakannya yang cepat,
tetapi sambaran pedangnyapun selalu berbahaya dan pertahanannya amat rapat.
Akan tetapi apa yang terjadi sekarang ini, sesungguhnya menimbulkan rasa heran
dalam dada gadis ini sendiri. Mengapa sekarang sesudah memegang dan berkelahi dengan
pedang Sokayana keadaannya menjadi lain? Gerakannya menjadi lancar sekali. Baik
serangan maupun pertahanannya menjadi tambah hebat. Hingga sekalipun tingkat Irma
Sulastri ini sesungguhnya jauh di bawah Klenting Mungil, namun untuk sementara
Klenting Mungil tidak berdaya sama sekali merebut pedang itu.
Bukan secara kebetulan saja Irma Sulastri dapat bergerak lebih cepat dan hebat
dibanding tadi. Rahasianya terletak pada berat pedang itu yang cocok dengan tangannya.
Pedang Sokayana yang tipis dan tidak begitu berat, menyebabkan gerakan Irma Sulastri
seperti memperoleh semangat baru.
Namun bukan Klenting Mungil apabila hanya menghadapi gadis ingusan seperti
Irma Sulastri ini saja memperoleh kesulitan. Setelah beberapa saat lamanya berkelahi,
Klenting Mungil segera dapat menemukan titik kelemahan lawan. Lalu timbullah
keyakinan dalam hatinya, bahwa cepat atau lambat, ia akan dapat mengalahkan gadis ini,
merebut pedangnya dan dapat menawan hidup-hidup untuk muridnya.
Sementara itu perlawanan Pertiwi Dewi yang menghadapi Putut Jantoko dan
Bagus Lantung, juga bertambah hebat. Gadis baju merah ini bagai menari. Selendang
merahnya berkibaran dan menyambar dengan dahsyat. Akan tetapi karena tahu dan sadar
bahwa senjata Putut Jantoko amat berbahaya, maka gadis ini selalu berusaha
menghindarkan benturan senjata.
Sesungguhnya, di samping selendang merah itu, Pertiwi Dewi memiliki senjata
lain, ialah sebatang pedang. Tetapi menyadari bahwa senjata Putut Jantoko sanggup
mematahkan pedang Irma Sulastri, maka ia khawatir kalau pedangnya mengalami nasib
yang sama. Oleh sebab itu ia merasa lebih untung menggunakan senjata selendangnya
yang panjang. Di samping dapat menyerang dari jarak yang lebih dari pedang, senjata
yang lemas ini agak sulit untuk dirusakkan dengan tongkat itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dalam saat-saat yang menegangkan itu, mendadak terdengarlah suara orang
ketawa bekakakan. Belum juga lenyap suara ketawa orang itu, tersusul dengan suara
orang yang terdengar berkata mengejek. "Ha-ha-hah, tidak tahu malu! Seorang tua
bangkotan menghina seorang muda!"
Angin yang dahsyat bertiup. Menyusul terdengar semacam ledakan kecil.
Kemudian tampak tubuh Klenting Mungil terhuyung mundur dua langkah. Dan tak lama
kemudian Klenting Mungil sudah berhadapan dengan seorang kakek lain.
"Mundurlah!" tegur suara perempuan yang cukup halus.
Ketika Irma Sulastri memalingkan mukanya, ia segera melihat seorang perempuan
muda yang wajahnya amat cantik. Pakaiannya indah sekali, tapi dari cara perempuan itu
memandang dan mengucapkan kata-katanya, Irma Sulastri segera dapat tahu bahwa
perempuan yang belum dikenalnya ini seorang perempuan angkuh. Namun karena
dirinya menyadari tertolong oleh datangnya dua orang ini, iapun segera mundur. Dan
khawatir kalau orang inipun menghendaki pedang kencana yang bernama Sokayana itu,
ia cepat menyimpan kembali pedang itu di dalam bajunya.
"Siapa engkau, berani mengganggu aku?" bentak Klenting Mungil dengan
mendelik.
"Heh-heh-heh," sambut kakek kurus itu. "Katakan dahulu siapa namamu, orang
tua yang tidak tahu malu dan beranimenghina orang muda."
Kehadiran seorang kakek kurus dan seorang perempuan yang masih cukup muda
itu, memang tidak berakibat apa-apa bagi Irma Sulastri. Akan tetapi bagi Pertiwi, sudah
cukup mengagetkan dan dalam hatinya segera timbul pertanyaan yang sulit dijawab.
Pertanyaan itu adalah apakah sebabnya dua orang itu datang ke tempat ini? Apakah hanya
secara kebetulan saja, ataukah memang sengaja?
Mengapa Pertiwi Dewi kaget? Tidak aneh. Sebab perempuan itu bukan lain adalah
Niken Respati, kakak perempuan Pertiwi Dewi sendiri. Setelah menjadi seorang
perempuan sesat, maka perempuan itu berganti nama dengan Dyah Raseksi. Dan
kehadirannya sekarang ini, Dyah Raseksi disertai oleh Jalu Gigis, guru dan sekaligus ayah
angkatnya.
Dan begitu melihat Putut Jantoko, perempuan ini segera melompat dan berteriak.
"Berikan laki-laki busuk bertongkat itu padaku!"
NAMUN ketika Dyah Raseksi mengenal kepada Pertiwi Dewi, perempuan ini
terbelalak untuk sejenak. Ia tampak heran mengapa adik perempuannya itu sekarang
wajahnya tidak hitam lagi akibat racunnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mengapa wajah adiknya itu sekarang menjadi cantik lagi. Lalu siapakah yang
sudah menolong adiknya itu? Tetapi saat sekarang ini baginya lebih penting untuk
mengurus Putut Jantoko yang telah berdosa besar kepada dirinya. Untuk itu tentang
persoalan dengan Pertiwi Dewi dapat ditunda lebih dahulu. Katanya kemudian.
"Persoalan antara kita dapat kita bicarakan nanti."
"Baik!" sahut Pertiwi Dewi dengan tersenyum dingin. "Mari sekarang kita
berlomba engkau ataukah aku yang lebih dahulu dapat merobohkan lawan?"
"Hemmm," Dyah Raseksi hanya mendehem.
Tentu saja, Dyah Raseksi tidak memandang sebelah mata kepada adik
kandungnya ini. Mampu berbuat apakah Pertiwi Dewi, yang dahulu dengan gampang ia
kalahkan, kemudian ia racun mukanya hingga menjadi hitam dan jelek?
Begitulah, dengan bernafsu Dyah Raseksi segera menerjang kepada Putut Jantoko.
Sebaliknya Putut Jantoko menjadi kaget juga setelah mengenal, siapakah perempuan yang
menerjang dirinya sekarang ini. Ia masih ingat bahwa perempuan ini adalah perempuan
yang dahulu ia culik dan kemudian menjadi isterinya beberapa bulan.
"Mampuslah!" teriak Dyah Raseksi dengan nada yang geram.
"Aeh-he-heh," Putut Jantoko menyambut dengan ketawanya terkekeh. "Sudah
lama tak pernah bertemu, dan engkau malah tambah cantik. Mari sekarang kita mencari
obat rindu, manis, mari engkau aku peluk dan aku cium."
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Dyah Raseksi sambil menerjang dengan
gemas.
Dan Putut Jantoko menyambut ucapan perempuan itu dengan ketawa mengejek.
Sementara itu antara Klenting Mungil dan Jalu Gigis telah terjadi perkelahian
sengit. Dua orang kakek itu bergerak cepat sekali bagai bayangan. Dan saking cepat
gerakan mereka, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata.
Di antara mereka yang memperoleh kebebasan hanyalah Irma Sulastri. Gadis ini
sekarangdapat berdiri sambil menonton. Tetapi gadis ini belum menyimpan pedang
pusakanya yang berhulu emas itu. Sebab diam-diam gadis ini khawatir akan datangnya
serangan tiba-tiba terhadap dirinya.
Dan sambil menonton ini, Irma Sulastri diam-diam berdebar juga. Sebab ia tahu
benar, bahwa tongkat Putut Jantoko itu ampuh sekali. Apabila terjadi benturan, tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
urung pedang orang menjadi patah.
Di antara mereka itu, yang menjadi paling sibuk adalah Bagus Lantung. Kalau
harus melawan Pertiwi Dewi seorang diri dirinya memang tidak mampu. Seperti yang
sudah terjadi tadi, dirinya harus menjadi pingsan oleh sambaran ujung selendang. Tetapi
walaupun begitu Bagus Lantung malu kalau harus menyerah begitu saja kepada
perempuan ini. Maka dengan pedang yang dicampur gerakan sambitan pisau belati, Bagus
Lantung terus membela diri dan berusaha pula mendesak lawan. Namun perlawanannya
itu kurang berarti, karena tak juga ia dapat mengimbangi Pertiwi Dewi.
"Trang............aihhh............!" benturan senjata yang nyaring disusul oleh pekik
nyaring dari mulut Dyah Raseksi. Apa sebabnya? Karena begitu terbentur, senjata Dyah
Raseksi segera patah.
Atas hasilnya ini Putut Jantoko ketawa mengejek. Kemudian bujuknya lagi,
"Manis, janganlah engkau rewel dan malu lagi. Telah lama diantara kita tidak pernah
bertemu, dan akupun amat rindu jadinya. Maka marilah kita simpan senjata, dan lebih
baik kita sekarang memadu kasih."
Betapa marah dan penasaran perempuan ini mendengar kata-kata Putut Jantoko
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Akan tetapi ia terpaksa menahan mulut, justeru dalam keadaan seperti ini dirinya
tidak boleh terburu oleh nafsu. Malah kemudian ia menjadi sadar, bahwa agaknya tongkat
Putut Jantoko ini mempunyai persamaan dengan tongkat Fajar Legawa. Senjata yang
sanggup mematahkan setiap senjata yang berbenturan. Dirinya sudah tidak mempunyai
senjata lagi. Untuk mengatasi lawan kiranya tiada jalan lain lagi kecuali dirinya harus
mengerahkan barisan ularnya.
Terpikir demikian, Dyah Raseksi segera bersuit nyaring berkali-kali. Putut Jantoko
yang tidak tahu maksud perempuan ini menertawakan dan mengejek, Dengan mulut
cengar-cengir dan sepasang mata yang menyala ia terus membujuk kepada Dyah Raseksi.
Sebab bagaimanapun perempuan ini sekarang tambah cantik dan tambah matang,
sehingga kuasa pula membuat jantung Putut Jantoko seperti mau copot.
Disaat Dyah Raseksi sedang bersuit nyaring dalam usahanya memanggil barisan
ular itu, maka Pertiwi Dewi lelah berhasil menerbangkan senjata Bagus Lantung. Pedang
Bagus Lantung dapat direnggut dengan ujung selendang merah, kemudian dibuang ke
tempat beberapa tombak jauhnya.
Bagus Lantung mati kutu. Bersenjata saja dirinya tidak mampu melawan Pertiwi
Dewi, apa pula sekarang tanpa senjata. Untuk meminta bantuan kepada kakak
seperguruan maupun gurunya tidak mungkin, justeru merekapun menghadapi musuh.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menguras isi kantung senjata rahasia. Ia
menghujani serangan kepada Pertiwi Dewi dengan belatinya yang beracun. Akan tetapihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sungguh sayang, setiap pisau belati yang menyambar itu dengan gampang dapat ditangkap
oleh selendang Pertiwi Dewi.
Diam-diam Bagus Lantung tambah gentar. Merasa dirinya tidak mungkin minta
bantuan kepada guru maupun kakak seperguruannya ini, kemudian ia melompat panjang
dengan maksud untuk melarikan diri. Sayang sekali Pertiwi Dewi yang sudah marah tidak
mau main kasihan lagi. Begitu melihat Bagus Lantung bergerak untuk melarikan diri,
Pertiwi Dewi mendengus dingin. Kemudian ia menarik selendangnya menjadi pendek,
dan ketika selendang itu digentakkan maka meluncurlah tiga batang pisau belati beracun
yang tadi berhasil ditangkap. Dalam usahanya menyelamatkan diri Bagus Lantung sudah
melompat ke samping, kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan. Tetapi sungguh
sayang, begitu sambaran tiga batang pisau belati itu luput segera disusul lagi dengan
sambaran pisau belati yang lain.Maka berbareng dengan teriakan ngeri keluar dari mulut
Bagus Lantung, darah merah segera mengalir dari luka. Ternyata dua batang pisau belati
telah bersarang ke tubuhnya. Yang sebatang menancap paha dan yang sebatang lagi
menancap pada pinggang. Akibatnya Bagus Lantung tidak dapat bangkit berdiri lagi
karena pingsan.
Apa yang baru dialami Bagus Lantung membuat Putut Jantoko maupun Dyah
Raseksi kaget. Lebih-lebih ratu penjahat gunung Ungaran yang bernama Dyah Raseksi
itu. Ia hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dalam melawan Putut
Jantoko, dirinya harus kehilangan senjatanya, tetapi sebaliknya Pertiwi Dewi sekarang,
malah tanpa kesulitan mengalahkan Bagus Lantung.
Tetapi pada saat itu, terdengarlah suara gemerisik dan berdesis sambung
menyambung. Semula suara itu samar-samar, namun makin lama menjadi semakin nyata.
"Ah.....ular.....ular..... !" tiba-tiba terdengarlah pekik Irma Sulastri yang nyaring,
terpengaruh oleh rasa jijik dan takut.
Pertiwi Dewi yang sudah menggerakkan selendang merahnya untuk menghajar
Bagus Lantung tertunda. Gadis ini memalingkan muka, mengamati kearah Irma Sulastri
memandang. Tiba-tiba saja gadis ini bergidik, karena tampak olehnya ratusan ular besar
dan kecil merayap digiring oleh sembilan orang wanita bermuka hitam legam. Melihat
munculnya ular-ular itu segera teringatlah Pertiwi Dewi akan pengalamannya ketika itu.
Ketika ia datang bersama Fajar Legawa ke gunung Ungaran.Ketika itu saking ngeri dan
jijik dirinya sampai pingsan
Mendadak terdengarlah geram Klenting Mungil. Tubuh kakek itu mencelat tinggi
sambil melancarkan serangan kilat kearah Jalu Gigis. Serangan yang hebat dengan angin
yang menyambar amat dahsyat. Akan tetapi Jalu Gigis yang mempunyai Aji Welut Putih
tidak takut dan menyambar dengan kekerasan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Plak buk buk.....!" terdengarlah suara benturan telapak tangan diikuti oleh suara
pukulan yang mendarat ke sasaran. Jalu Gigis terhuyung mundur beberapa langkah,
kemudian berdiri tegak dengan dada berombak. Sebaliknya tubuh Klenting Mungil
terpental ke belakang. Tetapi terpentalnya tubuh Klenting Mungil itu kearah Bagus
Lantung yang menggeletak pingsan. Kemudian dengan sambaran tangan yang tangkas,
Bagus Lantung sudah dikepit tangan kiri. Dan sesudah berteriak memberi isyarat kepada
Putut Jantoko, kakek itu lari secepat terbang disusul oleh muridnya.
Pertiwi Dewi waspada. Iapun segera menyambar lengan Irma Sulastri diajak
melarikan diri. Dua orang gadis ini menjadi ngeri melihat munculnya ratusan ular yang
digiring sembilan orang perempuan bermuka hitam itu. Maka tak ada jalan lain meniru
Klenting Mungil melarikan diri.
"Hi-hi-hi, mau lari kemana engkau?" teriak Dyah Raseksi sambil melompat dan
mengejar. Perempuan ini menjadi berbesar hati, bahwa semua lawannya melarikan diri
takut barisan ularnya. Oleh sebab itu ia bermaksud untuk mengejar.
Tetapi baru beberapa langkah ia lari, ia mendengar suara huak dan memalingkan
muka. Ternyata Jalu Gigis muntah darah segar dari mulutnya. Melihat ini Dyah Raseksi
kaget, disamping merasa heran. Ayah angkatnya dilindungi olehAji Welut Putih.
Biasanya pukulan orang akan punah. Tetapi mengapa sebabnya ayah angkatnya sekarang
terluka?
"Engkau luka?" tanya Dyah Raseksi sambil menghampiri.
"Hemm, pukulan bangsat itu hebat sekali," sahut Jalu Gigis lirih. "Tetapi
sekalipun terluka, tidak berbahaya. Hayo, sekarang kita kejar dua orang bocah itu. Hemm,
aku tadi melihat sebatang pedang berhulu emas. Tentu pedang itulah pedang pusaka
Sokayana yang dicari orang."
"Pedang Sokayana?" Dyah Raseksi terbelalak, "Benarkah itu, ayah?"
"Mari kita coba kejar dan kita rebut!"
Dan ayah dan anak ini kemudian berlarian menyusul. Sementara sembilan orang
perempuan bersama barisan ularnya itupun mengikuti di belakangnya, walaupun
tertinggal cukup jauh.
Klenting Mungil gembira ketika melihat dua orang gadis itu ikut lari dan searah
dengan dirinya. Ia sudah bertekat untuk dapat merebut pedang Sokayana itu. Hanya
sayang pukulan Jalu Gigis yang tadi bersarang ke dadanya berat sekali. Isi dadanya
terguncang hebat sekali dan dada dirasakan sesak. Maka setelah berlarian agak jauh,
kakek ini limbung dan disusul semburan darah merah dari mulutnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh, guru terluka?" seru Putut Jantoko yang kaget sambil menghampiri.
Kemudian ia mengambil alih Bagus Lantung yang masih pingsan dari tangan gurunya.
"Tangan bangsat tua itu cukup keras," kata Klenting Mungil sambil berusaha
menekan pergolakan darah dalam tubuhnya agar tidak muntah darah lagi. "Tetapi
sekalipun aku terluka, aku harus dapat merebut pedang Sokayana itu."
"Benar!" sambut Putut Jantoko yang segera terangsang nafsu keserakahannya.
"Dan apabila guru dapat menguasai pedang pusaka Sokayana itu, kita akan menjagoi
dunia ini dan semua orang akan tunduk kepada kita."
"Kita tunggu di sini?" Klenting Mungil memberi petunjuk. "Dan apabila gadis itu
muncul, harus kita gunakan siasat jitu."
"Maksud guru?" tanyaPutut Jantokoyang belum mengerti.
"Kita ajak mereka bersekutu untuk melawan mereka, dan sesudah bangsat tua dan
anaknya itu bisa kita usir, barulah kita selesaikan dua bocah itu."
"Bagus! Murid setuju! Tetapi guru, sebaiknya mereka kau tangkap hidup-hidup.
Sayang gadis-gadis cantik itu mati muda dan belum dapat diperisteri murid berdua."
"Heh-heh-heh, jangan khawatir, apakah sulitnya menundukkan dua bocah itu?"
Tak lama kemudian muncullah Pertiwi Dewi dan Irma Sulastri. Melihat Klenting
Mungil dan muridnya menghadang di depan, Pertiwi Dewi segera menarik Irma Sulastri
untuk lewat tempat lain.
"Hai kemarilah!" teriak Putut Jantoko, "Kalian tidak perlu takut kepada kami.
Mari kita kerja sama melawan mereka."
Tetapi tanpa menjawab Pertiwi Dewi dan Irma Sulastri sudah menghilang di balik
rerumpunan pohon pergi ke arah lain. Mereka tidak percaya kepada mulut Putut Jantoko.
Dan Pertiwi Dewi pun tidak sudi bekerjasama dengan musuh besarnya yang harus
dibunuh itu.
Tentu saja Klenting Mungil dan Putut Jantoko tak mau melepaskan Pertiwi
Dewidan Irma Sulastri. Guru dan murid inipun kemudian melompat dan lari menuju ke
tempat dua orang gadis tadi menyelinap.
Segera terjadilah kejar mengejar dalam hutan yang cukup luas itu. Ternyata
walaupun sudah terluka, gerakan Klenting Mungil seperti tidak terpengaruh. Gerakannyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
masih tetap saja gesit dan ringan. Sedang Putut Jantoko yang sambil mendukung Bagus
Lantung yang pingsan, tertinggal beberapa tombak di belakangnya. Kemudian lebih
kurang dua puluh tombak jauhnya, muncul Jalu Gigis dan Dyah Raseksi.
Baik Pertiwi Dewi maupun Irma Sulastri menyadari akan bahaya yang
mengancam keselamatannya. Melawan satu pihak saja sudah cukup berat, apa lagi harus
menghadapi dua-duanya. Sulit bagi mereka mengharapkan dapat lolos dari maut.
Dan celakanya, arah yang dituju oleh mereka salah. Dua orang gadis ini menjadi
kaget dan bingung ketika berhadapan dengan jurang lebar dan dalam. Untuk kembali
tidak mungkin, laripun tidak. Untuk menyelamatkan diri. kemudian timbullah tekat
mereka menyusuri jurang. Akan tetapi justeru menyusuri jurang ini tidak mudah. Daerah
kiri dan kanan jurang sulit dilalui. Gerakan mereka menjadi lambat. Dan tahu-tahu,
mereka telah terjepit di antara Klenting Mungil dengan Jalu Gigis. Terus berhadapan
dengan bahaya, kembalipun sama akibatnya.
Menghadapi ancaman bahaya ini, segera timbul ketabahan Pertiwi Dewi. Gadis
ini telah digembleng oleh pengalaman hidup yang cukup pahit. Dahulu dirinya sudah
bertekad mati dengan melempar diri ke jurang. Akan tetapi nyatanya maut belum juga
sudi merenggut. Maka menghadapi ancaman bahaya sekarang inipun tak kenal menyerah
dan putus asa. Katanya,
"Adik Irma. Apakah engkau takut mati?"
Irma Sulastri yang menyadari pula akan ancaman bahaya dari depan dan
belakangini timbul keberaniannya pula. Ia menggeleng. Sahutnya."Lebih baik mati
daripada dihina orang. Tetapi........yang membuat aku ngeri adalah ular-ular itu............"
"Rasa ngeri itu timbul oleh pandang mata kita," kata Pertiwi Dewi. "Maka apabila
ular-ular itu muncul lagi, kita nanti melawan dengan memejamkan mata. Kita gunakan
pendengaran kita untuk mengenal bahaya. Bagaimana?"
"Karena tak ada jalan lain, apa boleh buat."
"Kita lawan mereka dengan beradu punggung. Dengan begitu banyak keuntungan
yang dapat kita peroleh."
Begitulah, dua orang gadis ini segera bersiap dirimemberi perlawanan. Mereka
berdiri saling membelakangi. Dan melihat ini, Dyah Raseksi ketawa cekikikan.
"Hi-hi-hik, Pertiwi! Engkau dan aku adalah saudara kandung dan aku adalah
kakak perempuanmu. Sekarang ini engkau berhadapan dengan maut, dan tentu saja
sebagai kakakmu aku takkan tega. Apakah engkau mau mendengar nasihatku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sesungguhnya ia amat benci kepada kakaknya yang jahat itu. Namun karena sadar
sekarang ini berhadapan dengan bahaya, maka timbullah keinginan mengetahui maksud
DyahRaseksi. Tanyanya kemudian. "Engkau akan memberi nasehat apa?"
"Hi-hi-hik, nasihatku begini. Lebih baik engkau berdiri di pihakku dan kita
bekerjasama membunuh musuh besar kita, yang sudah membunuh bunuh ayah bunda
dan merusak hidupku. Bukankah dengan terbunuh matinya bangsat itu, berarti kita dapat
membalaskan sakit hati ayah bunda?"
Tergerak hati Pertiwi Dewi diingatkan sakit hati orang tuanya kepada Putut
Jantoko itu. Memang membunuh mati Putut Jantoko merupakan tugas mulia bagi
keluarga. Tentu saja ia tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Akan tetapi
sebaliknya ia bukan seorang gadis bodoh, iapun dapat menduga bahwa ajakan Dyah
Raseksi itu tentu mengandung maksud tertentu pula.
"Bagus!" sambut Pertiwi Dewi penuh dengan semangat, "Sakit hati ayah bunda
memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tetapi aku ingin bertanya, apa sajakah yang
engkau tuntut sesudah maksud kita terlaksana."
"Tentu saja hubungan antara kita menjadi baik kembali seperti ketika ayah bunda
kita masih hidup walaupun jalan hidup yang kita tempuh berlainan!"
"Lalu apa lagi?" pancing Pertiwi. Sebab gadis ini sudah menduga, tentu kakak
perempuannya itu tidak bedanya dengan Klenting Mungil, berkehendak untuk merebut
pedang pusaka Sokayana di tangan Irma Sulastri.
Sebelum Dyah Raseksi sempat menyahut, Jalu Gigis sudah mendahului, "Tidak
perlu panjang mulut. Aku akan merebut pedang berhulu emas itu."
"He-he-he!" Klenting Mungil terkekeh mendengar ucapan Jalu Gigis itu.
"Ternyata tujuanmu sama dengan aku sahabat. Engkaupun tertarik dan menghendaki
pedang pusaka Sokayana. Kalau begitu marilah kita sekarang berlomba. Siapa yang paling
dulu merebut, dialah yang berhak memiliki."
"Huh, pedang itu harus jatuh ketanganku!" teriak Jalu Gigis. "Dan siapapun yang
berani menghalangi, akan aku bunuh lebih dulu."
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil saling membuka mulut ini, dua orang kakek itu sudah beringsut maju dan
makin mendekati tempat Pertiwi Dewi dan Irma Sulastri berdiri. Dua orang gadis ini
menjadi tegang tapi tidak gelisah. Masing-masing telah bersiap diri untuk memberi
perlawanan. Pertiwi Dewi telah siap dengan selendang merahnya. Irma Sulastri telah siap
dengan pedang pusaka Sokayana.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dalam keadaan yang amat menegangkan itu, mendadak terdengarlah suara
terakan nyaring. "Hai siapa disitu membicarakan pedang pusaka Sokayana? Aku
mendengar, dan akupun berhak minta bagian."
Suara teriakan itu nyaring sekali dan terdengar amat jelas. Ini membuktikan bahwa
orang dapat mendengar dari tempat jauh dan dapat pula mengirimkan suaranya seperti
itu jelas bukan orang sembarangan.
Irma Sulastri dan Pertiwi Dewi tambah tegang. Baru menghadapi dua pihak ini
saja sudah sulit kalau bertambah lagi orang yang menghendaki pedang pusaka Sokayana,
tentu akan bertambah sulit lagi.
"Mbakyu," bisik Irma Sulastri. "Apkah tidak lebih baik aku gunakan siasat
melemparkan pedang ini ke jurang, kemudian kita mendapat kesempatan pergi?"
"Jangan," cegah Pertiwi Dewi sambil menggeleng. "Sampai dimanakah
pertanggungan jawabmu kepada gurumu, yang sudah memberi kepercayaan membawa
pedang Sokayana? Oleh sebab itu sedapat bisa kita harus mempertahankan, apabila tidak
mungkin, harus kita tebus dengan nyawa."
"Jadi engkau akan membela aku seperti! itu?"
"Mengapa tidak? Lebih baik kita mati bersama apabila tidak lepas dari ancaman
bahaya ini."
"Terima kasih."
Pada saat itu, baik Klenting Mungil Maupun Jalu Gigis sudah bergerak maju.
Agaknya dua orang kakek ini menjadi khawatir, usahanya memperebutkan pedang
pusaka Sokayana itu kalah dahulu dengan orang yang tadi berteriak. Baik Irma Sulastri
maupun Pertiwi Dewi pendiriannya sudah tetap. Lebih baik mati daripada harus
menyerah tanpa perlawanan.
"Aih, kurang ajar!" Klenting Mungil berteriak kaget sambil melompat jauh ke
belakang menghindari sambaran pedang di tangan Irma Sulastri dan gadis inipun
kemudian tidak berani sembarangan bergerak, karena sadar bahwa lawan yang dihadapi
tingkatnya jauh di atas dirinya.
Jalu Gigis pun terhalang usahanya maju oleh sambaran selendang merah ditangan
Pertiwi Dewi. Senjata yang lemas itu dapat bergerak cepat sekali tidak terduga, hingga
walaupun Jalu Gigis dilindungi oleh Aji Welut Putih tidak berani sembarangan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ayah.........?" terdengar seruan pendek tetapi nyaring. Disusul oleh serangkum
dahsyat menyambar ke arah Klenting Mungil. Kakek kepala gede inipun tidak berani
sembrono. Ia menghindar ke samping, dan tiba-tiba saja matanya terbelalak kaget.
Bentaknya kemudian. "Hai, kau!"
"Ya, aku Abdulrajak. Mengapa?" sahut orang yang baru datang itu dan ternyata
tokoh Madura yang bernama Abdulrajak.
"Engkaupun ingin memperebutkan pedang pusaka Sokayana?" tanya Klenting
Mungil.
"Mengapa tidak? Engkau berhak dan akupun mempunyai hak yang sama."
Abdulrajak memalingkan muka. Kemudian membentak. "Tahan!"
Bentakan Abdulrajak itu berpengaruh. Hingga mampu membuat Jalu Gigis yang
sudah akan melancarkan serangannya kearah Pertiwi Dewi, menahan tangannya. Akan
tetapi walaupun begitu Jalu Gigis mendelik. Katanya, "Engkau ingin bersaing dengan
aku?"
"Ya! Antara kita bertiga mempunyai kepentingan yang sama."
"Huh! Kalau begitu, marilah kita berlomba. Siapa yang dapat merebut pedang itu
lebih dahulu, dialah yang berhak!" kata Jalu Gigis.
"Tidak. Bukan begitu!" Abdulrajak menggeleng. "Kita sebagai manusia-manusia
tua bangka dan pikun ini, apakah tidak malu menghadapi bocah kemarin sore? Nah
karena itu biarlah bocah itu menjadi penonton untuk sementara, disaat kita sedang
bertanding memperebutkan siapa yang menang."
"Hemm," Klenting Mungil mendengus. "Bagus! Kalau begitu biarlah aku Jalu
Gigis mengeroyok engkau lebih dahulu."
Ternyata ucapan Klenting Mungil ini memancing perhatian Jalu Gigis. Dan kakek
ini segera memberikan sambutannya cepat-cepat. "Benar! Tenaga baru harus menghadapi
kami berdua lebih dahulu."
Bukannya tidak bermaksud apabila Jalu Gigis segera mendukung dan menyetujui
pendapat Klenting Mungil itu. Antara mereka sudah menderita luka dalam. Walaupun
luka itu tidak parah, tetapi luka itu akan tetap mempengaruhi juga dalam perkelahian.
Dengan mengeroyok berdua, bagaimanapun akan memperoleh keuntungan.
Abdulrajak ketawa terkekeh. Jawabnya kemudian. "Heh-heh-heh, ternyata kamuhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
merupakan manusia-manusia licik. Kalau begitu, biarlah aku mengundang sahabatku!"
Tiba-tiba saja Abdulrajak bersuit nyaring. Suitan itu akan bisa didengar orang dari
tempat jauh. Ternyata belumjuga lenyap suara suitan Abdulrajak itu, sudah terdengar
suitan lain sebagai jawaban. Bukannya dari satu tempat, akan tetapi malah dari arah utara
dan selatan.
Mendengar itu Jalu Gigis maupun Klenting Mungil mengerutkan alis. Dari suara
suitan itu jelas bahwa tokoh Madura ini mempunyai beberapa orang sahabat yang akan
segera muncul. Diam-diam Klenting Mungil maupun Jalu Gigis terpengaruh. Dengan
begitu, mereka akan terpaksa bekerja keras. Tetapi walaupun begitu, mereka tidak
menjadi gentar. Bagi Jalu Gigis yang merasa mempunyai barisan ular, merasa pasti bahwa
barisan ularnya akan bisa menolong keadaan. Sebaliknya Klenting Mungil yang tidak
ingin turun harga, dengan dua orang muridnya tidak gampang dikalahkan lawan.
Tak lama kemudian segera terdengar suara gemerisik daun kering terinjak kaki.
Dari arah selatan segera muncul tiga orang laki-laki. Hampir berbareng dari arah utara
juga muncul tiga orang laki-laki. Tetapi begitu melihat salah seorang yang datang dari
arah ini, hampir berbareng Pertiwi Dewi dan Irma Sulastri berteriak. "Kakang
Fajar...........!"
Yang dipanggil untuk sejenak terbelalak. Akan tetapi kemudian Fajar Legawa
segera meloncat dan menghampiri dua orang gadis itu. Irma Sulastri segera menubruk dan
memeluk kakaknya. Dan masih sambil memeluk Irma Sulastri dengan tangan kiri, tangan
kanan pemuda itu menyambar lengan Pertiwi Dewi. Sepasang matanya mengamati penuh
perhatian. Kemudian. "Pertiwi ............engkau sudah cantik lagi.........?"
Pertiwi Dewi menundukkan muka, dan dari sudut matanya mengalir air mata.
Pertemuannya dengan pemuda yang dicintai dalam keadaan seperti sekarang ini,
membuat perasaan Pertiwi Dewi tidak keruan. Ada rasa bahagia, gembira tetapi juga
terharu.
Ternyata Fajar Legawa muncul bersama Tumpak Derita dan Wukirsari. Dan
agaknya merekapun tidak menduga bahwa di tempat ini sedang terjadi ketegangan.
Wukirsari mengamati Jalu Gigis dan Klenting Mungil sejenak. Kemudian
mengalihkan pandangan matanya kearah Dadungawuk yang datang bersama Tambak
Raga dan Tambak Rawa. Baru sesudah itu, ia menghampiri Pertiwi Dewi sambil
menyapa. "Sungguh bahagia hatiku, aku dapat bertemu dengan engkau dalam keadaan
selamat. Ke mana sajakah engkau selama ini?"
Pertiwi Dewi memberikan hormatnya sambil menepis air matanya. Kemudian
jawabnya. "Tuhan belum menghendaki saya mati, paman. Dan selama empat tahun saya
berdiam di pulau Sempu bersama guruku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aihh, jadi engkau ditolong oleh paman Purwo Waseso?" Wukirsari kaget.
"Benar, paman."
"Bagus! Sekarang engkau tentu sudah berbeda jauh dengan dahulu!" kata
Wukirsari sambil mengangguk-angguk dan mulut tersenyum. "Tetapi ahh, sayang. Kita
sekarang ini berhadapan dengan bahaya, justeru tiga tokoh jahat harus kita hadapi
bersama-sama. Kalau saja saat sekarang ini gurumu muncul, semuanya akan dapat
diselesaikan dengan mudah."
"Ya. Paman benar."
Tetapi manakah mungkin dapat mengharapkan munculnya Purwo Waseso?
Dalam padaitu, setelah puas berpelukan, FajarLegawa segera menanyakan perihal
dan keadaan Irma Sulastri selama ini. Dan oleh gadis itu kemudian dituturkan apa yang
sudah dialami selama ini. Bahwa dirinya telah ditolong Menak Singgih kemudian menjadi
muridnya. Fajar Legawa mengangguk-anggukkan kepalanya dan diam-diam ia menjadi
bangga, bahwa adiknya menjadi murid seorang tokoh sakti mandraguna.
"Mereka sekarang ini mengejar-ngejar aku, dalam usaha mereka merebut
pedangku ini." Kata Irma Sulastri sambil menunjukkan pedang Sokayana yang berhulu
emas.
Tadi perhatian FajarLegawa tertuju kepada Irma Sulastri, sehingga ia tidak
memperhatikan pedang Sokayana itu. Akan tetapi sekarang sesudah ia mengamati pedang
di tangan adiknya itu, Fajar Legawa terbelalak. Kemudian, "inikah yang disebut orang
pedang kencana atau pedang Sokayana, yang berbulu emas?"
"Benar. Dan guru menyerahkan padaku, dengan pesan agar aku
mengamankannya supaya tidak jatuh ke tangan orang jahat."
"Tetapi mengapa mereka tahu dan kemudian berusaha merebut dari tanganmu?"
"Karena terpaksa. Pedangku patah ketika berkelahi melawan dia," sahut Irma
Sulastri sambil menuding kearah Putut Jantoko. "Dan dalam usaha membela diri, aku
gunakan pedang Sokayana ini."
"Ahh, engkau sembrono. Seharusnya pedang itu tidak engkaupergunakan
sembarangan."
"Mudah saja engkau mencela!" sahut Irma Sulastri yang menjadi mendongkol.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Jika engkau mengalami seperti aku, engkaupun akan berbuat sama. Melawan tanpa
senjata berarti aku mati. Dan kalau mati, tidak urung pedang Sokayana ini dirampas
musuh. Apakah bukan lebih baik pedang digunakan untuk melawan?"
"Sudahlah, semuanya sudah terjadi," nasehat Wukirsari. "Yang penting sekarang
kita hadapi segala akibatnya."
Memang tak bisa dibantah ucapan Wukirsari ini. Segala akibat harus dihadapi
dengan dada terbuka. Keadaan memang kurang menguntungkan bagi pihak Irma Sulastri.
Pihaknya terdiri dari empat orang muda dan dua orang kakek. Sedang pihak lain,
walaupun mereka berdiri sendiri-sendiri, dalam usaha memperoleh keuntungan bisa
bersatu untuk sementara. Jumlah mereka lima orang muda dan tiga orang kakek. Jelas
jumlahnya lebih besar, belum terhitung barisan ular yang sudah disiapkan oleh Dyah
Raseksi. Menghadapi kenyataan yang tidak menguntungkan ini, diam-diam Wukirsari
maupun Abdulrajak sedang memutar otak untuk mencari jalan guna kemenangan pada
pihaknya.
"Sekarang dua buah pusaka yang dicari orang berada di sini semua." Teriak
Klenting Mungil, sambil mengamati Jalu Gigis dan Dadungawuk bergantian
"Menghadapi keadaan sekarang ini, bersatu akan memberi keuntungan."
"Ha-ha-ha, bagus!" Dadungawuk ketawa berkakakan menyambut ajakan Klenting
Mungil. "Aku setuju dengan pendapatmu."
Akan tetapi Jalu Gigis mendengus dingin. Kemudian katanya dengan nada yang
angkuh. "Antara pihak kami dengan pihakmu masih terdapat satu masalah yang belum
diselesaikan. Selama masalah itu belum selesai, tentu saja anakku tidak sudi bersekutu."
"Katakanlah yang jelas! Masalah apa yang kau maksud itu?" desak Klenting
Mungil.
"Serahkan muridmu yang bernama Putut Jantoko itu kepada anakku! Sebab
muridmu itulah yang sudah membuat anakku hidup menderita. Anakku takkan puas
sebelum dapat membunuh dia."
Memang antara Jalu Gigis dan Dyah Raseksi sudah berunding dalam menghadapi
situasi. Hadirnya beberapa orang yang tidak diharapkan itu, menyebabkan Jalu Gigis dan
Dyah Raseksi harus berhati-hati melangkah. Sebab bagaimanapun Pertiwi Dewi masih
merupakan adik kandungnya, dan sebaliknya Putut Jantoko adalah musuh besarnya.
Maka bagi Dyah Raseksi sekarang ini yang lebih penting harus dapat membalas sakit hati
itu. Baru kemudian masalah lain dipikirkan kemudian.
Atas tuntutan Jalu Gigis itu tentu saja Klenting Mungil berjingkrak marah danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kemudian mencaci maki, "Bangsat busuk. Anjing tua tak kenal aturan! Huh, engkau
berani menghina dan merendahkan aku! Huh! Cobalah sendiri jika memang dapat
menangkap muridku!"
"Mengapa tak bisa? Lihat, dia akan aku tangkap dan aku bunuh" teriak Dyah
Raseksi yang sudah melompat ke depan.
Klenting Mungil berusaha melindungi muridnya, tetapi Jalu Gigis segera
menerjang maju untuk melayani Klenting Mungil. Melihat kakak
seperguruannyamenghadapi Dyah Raseksi, maka Bagus Lantung segera pula maju
dengan maksud untuk mengeroyok. Akan tetapi pemuda ini menjadi kuncup nyali dan
kemudian mundur, ketika melihat Pertiwi Dewi melompat kearah dirinya. Bagaimanapun
ia mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis berselendang
merah itu. Kalau dirinya sekarang nekad tidak urung dirinya akan celaka. Daripada
celaka, bagi dirinya lebih baik berdiam diri dan menonton saja.
Tetapi justeru terjadinya peristiwa diluar dugaan ini, telah menolong keadaan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Abdulrajak tadi sedang memperhitungkan kekuatan menghadapi lawan. Namun setelah
antara Klenting Mungil dengan Jalu Gigis saling berkelahi ini, tidak adalagi yang perlu
digelisahkan. Kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Abdulrajak dan Wukirsari,
untuk segera menerjang kearah Dadungawuk dan dua muridnya.
Segera terjadi perkelahian yang sengit sekali terbagi dalam dua kelompok.
Abdulrajak melayani Dadungawuk, sedang Wukirsari melayani keroyokan Tambak Raga
dan Tambak Rawa. Di tempat lain, antara Jalu Gigis dengan Klenting Mungil terjadi
perkelahian hebat. Sedang Putut Jantoko dengan tongkat pusakanya, berusaha mendesak
Dyah Raseksi yang sekarang ini bersenjata dua ekor ular hidup pada tangan kiri dan
tangan kanan. Dua ekor ular yang amat berbisa dan buas itu menyambar-nyambar
dahsyat. Menyemburkan bisanya di samping berusaha mematuk. Setiap kali tongkat Putut
Jantoko menyambar, seperti sudah terlatih ular itu dengan gesitnya bisa menghindar.
Hingga berkali-kali sambaran tongkat itu selalu luput.
Putut Jantoko sadar. Bahwa perempuan yang dihadapi sekarang ini membenci
dirinya setengah mati. Orang yang membenci dan mendendam seperti Dyah Raseksi ini,
tidak mungkin sedia memberi ampun. Akan tetapi sebaliknya ia belum ingin mati. Sedapat
mungkin bisa ia harus dapat menyelamatkan diri, dan seharusnya pula malah dapat
membunuh perempuan ini. Apabila dapat membunuh perempuan ini berarti dirinya akan
terbebas dari salah seorang musuh.
Sulit dilukiskan perkelahian hebat yang terjadi saat itu. Gerakan Klenting Mungil
yang melayani Jalu Gigis cepat sekali. Saking cepatnya, tubuh mereka lenyap dan yang
tampak seorang hanyalah warna pakaian masing masiag, yang bergulung-gulung dan
berpindah-pindah. Dua-duanya tidak bersenjata. Mereka menggantungkan kepada duahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tangan dan dua kaki. Mereka saling tendang dan saling pukul.
Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Abdulrajak dengan Dadungawuk.
Masing-masing bersenjata. Abdulrajak dengan sebatang pedang, sedang Dadungawuk
dengan senjata andalannya sepasang penggada yang besar. Gerakan Dadungawuk tidak
begitu cepat, akan tetapi sambaran penggadanya yang berat itu amat berbahaya.
Abdulrajak tidak berani sembrono. Menggunakan kecepatannya bergerak, dengan
pedangnya ia selalu berusaha mencari lowongan.
Yang paling ringan pekerjaannya, adalah Wukirsari. Dalam menghadapi dua
orang murid Dadungawuk ini, tanpa kesulitan ia telah berhasil mendesak hingga mereka
terpaksa harus main mundur. Untung juga bahwa Wukirsari seorang kakek yang baik hati.
Ia merasa tidak tega untuk membunuh Tambak Raga dan Tambak Rawa. Setiap
serangannya selalu ditujukan untuk mengusir saja dari tempat ini.
Tetapi semua itu tidak lepas dari pengamatan Pertiwi Dewi. Ia menjadi tidak puas
akan sikap Wukirsari yang begitu baik hati. Gadis ini masih teringat akan sikap mereka
yang kurang ajar empat tanun yang lalu. Maka pada kesempatan ini, Pertiwi Dewi ingin
membalasnya.
"Paman salah satu berikan kepada saya teriaknya!" sambil melompat.
Melihat ini, Fajar Legawa tidak mau ketinggalan. Iapun segera melompat
mengikuti gerak Pertiwi Dewi sambil berteriak. "Paman Wukirsari. Saya juga sanggup
menghajar mereka."
Tidak enak bagi Wukirsari untuk menolak permintaan mereka itu. Maka akhirnya
ia melompat ke belakang sambil ketawa terkekeh. Ia mengerti bahwa tingkat Fajar
Legawa maupun Pertiwi Dewi sekarang ini sudah melampaui tingkat Tambak Raga dan
Tambak Rawa. Sehingga secara pasti dua orang muda itu akan berhasil mengatasi lawan.
Kemudian Wukirsari mencurahkan perhatiannya ke arah Dadungawuk yang berkelahi
sengit dengan Abdulrajak. Dari pengamatannya itu jelas bahwa Dadungawuk tidak
berdaya di bawah tekanan sambaran pedang Abdulrajak yang sulit diterobos.
Perhatian Wukirsari kemudian beralih kepada Jalu Gigis dan Klenting Mungil.
Ternyata gerakan dua orang kakek itu sekarang sudah berubah dan tidak cepat seperti tadi.
Wukirsari memperhatikan dengan seksama, dan kemudian ia dapat melihat bahwa dua
orang kakek itu sudah sama-sama menderita luka dalam yang cukup parah. Agaknya
dalam perkelahian antara mereka sudah saling pukul secara telak, sehingga menyebabkan
dua-duanya terluka parah.
Dari keadaan mereka, Wukirsari dapat memperkirakan bahwa tidak urung dua
orang kakek itu akan sama-sama roboh dan menderita rugi. Sayang sekali di antarahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mereka tidak ada yang mau mengalah. Mereka tetap memaksa diri. Dan masing-masing
pihak ingin keluar sebagai pemenang. Wukirsari hanya dapat menghela napas panjng.
Benar bahwa dua orang kakek itu dalah orang-orang yang bergelimang dengan kejahatan.
Kematian mereka akan berarti mengurangi jumlah orang jahat di dunia ini. Tetapi dibalik
itu, berbareng dengan kematian mereka, akan berarti ilmu kesaktian mereka terbawa mati.
Padahal belum tentu ilmu kesaktian mereka itu telah diwarisi para muridnya.
Dan agaknya Bagus Lantung pun menyadari apa yang terjadi kepada gurunya.
Pemuda ini tampak gelisah akan tetapi ia tidak berani gegabah maju membantu gurunya.
"Aduh............!" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak mengaduh dan nyaring.
Ternyata yang berteriak mengaduh kesakitan itu Tambak Raga, akibat hajaran
ujung selendang merah ditangan Pertiwi Dewi. Dengan senjata sepasang belati panjang,
ia tadi melayani serangan gadis itu. Dan diam-diam orang kasar ini gembira dan merasa
pasti akan dapat mengalahkan dan menangkap gadis kecil mungil ini. Namun di luar
dugaannya sama sekali, selendang Pertiwi Dewi itu dapat bergerak cepat sekali. Tahu
tahu sepasang belati panjangnya itu terampas oleh ujung selendang. Dan kemudian
dengan gugup ia harus berusaha menghindari karena senjatanya itu menyambar ke arah
dirinya sendiri, sehingga senjata mau makan tuan. Tambak Raga berhasil menghindari
sambaran pisau belati yang disambitkan Pertiwi Dewi
Tapi ia tidak berhasil menghindari sambaran ujung selendang merah yang
menyusul. Tampak Raga berteriak mengaduh karena lecutan ujung selendang itu
dirasakan seperti pukulan tinju ketika bersarang di punggungnya. Dan kemudian Tambak
Raga gulung koning sambil mengaduh-ngaduh kesakitan, ketika ujung selendang Pertiwi
Dewi menghujani lecutan ke tubuhnya.
Nasib Tambak Rawa tidak lebih baik dibanding Tambak Raga. Goloknya yang
besar itu ketika terbentur tongkat Fajar Legawa segera patah, disaat orang ini sedang
terbelalak kaget akibat goloknya patah, tongkat Fajar Legawa sudah menyambar dahsyat.
Tambak Rawa masih berusaha menghindar sambaran tongkat itu dengan melompt ke
belakang. Akan tetapi gerakan Fajar Legawa lebih cepat tapi. Tongkat pemuda itu berhasil
memukul paha. Tambak Rawa memekik ngeri kemudian roboh. Dan tendangan yang
menyusul dari Fajar Legawa membuat tubuh Tambak Rawa terlempar jauh, kemudian
terguling masuk .ke dalam jurang.
Melihat bahwa Fajar Legawa telah dapat mengalahkan lawannya itu, Pertiwi Dewi
segera mempercepat gerakan ujung selendangnya. Pukulan ujung selendang yang
memukul kepalanya membuat Tambak Raga roboh pingsan. Kemudian pukulan kedua
dan ketiga kuasa membuat kepala orang itu pecah sehingga roboh binasa.
Dadungawuk kaget bukan main melihat dua orang muridnya roboh dan tewashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
itu. Dirinya sendiri memperoleh kesulitan dalam melawan Abdulrajak. Maka kemudian
terpikir untuk lari menyelamatkan diri. Untuk itu maka Dadungawuk segera
menyambitkan senjatanya yang beracun. Begitu terbentur tanah segera mengepulkan asap
hitam dan orang yang menyedot hawa beracun akan menjadi pingsan. Pertiwi Dewi dan
Fajar Legawa segera melompat menjauhi sambil menahan napas.
"Trang crak......!" terdengar sura benturan senjata. Disusul oleh suara benda yang
terbacok.
Apa yang terjadi? Benturan senjata yang nyaring tadi ternyata merupakan benturan
pedang Abdulrajak dan senjata Dadungawuk. Ternyata Abdulrajak tidak takut kepada
senjata beracun yang meledak itu, dan malah ia menerobos asap yang hitam itu, untuk
mengejar Dadungawuk. Benturan senjata segera terjadi. Tetapi mentalnya pedang
Abdulrajak itu, kemudian diteruskan, menjadi sebuah babatan. Sebagai akibatnya salah
satu lengan Dadungawuk terbabat putus. Tetapi Dadungawuk tidak mengeluh maupun
mengaduh, dan orang tua itu melarikan diri secepatnya untuk mencari selamat. Jadi
kesudahannya, Dadungawuk sendiri melarikan diri sambil menderita luka, sedang dua
orang muridnya mati terbunuh.
Ketika perhatian mereka kemudian beralih kepada Klenting Mungil dan Jalu
Gigis. Mereka menjadi kaget. Ternyata dua orang kakek itu sekarang tidak bergerak sama
sekali. Mereka sekarang duduk di atas tanah, tetapi tangan masing-masing teracung ke
depan. Orang tahu belaka apa artinya dua orang kakek itu duduk berdiam diri dengan
tangan teracung ke depan. Dua orang kakek itu sekarang telah berkelahi dalam puncak
yang paling berbahaya. Mereka sekarang telah berkehhi dengan tenaga sakti. Dan
walaupun tampaknya dua orang itu tanpa bergerak, tetapi sesungguhnya mereka senang
berkelahi hebat. Tenaga sakti yang tidak tampak meluncur menggelombang menyerang
lawan lewat jari-jari dan telapak tangan. Siapa yang kalah kuat akan segera roboh dan tak
mungkin dapat hidup lagi.
Sementara itu Dyah Raseksi yang berkelahu melawan Putut Jantoko, belum juga
dapat mengatasi. Tongkat Putut Jantoko terlalu hebat. Setiap tersentuh, ular yang
dipergunakan oleh Dyah Raseksi sebagai senjata segera mati. Untung juga bahwa
perempuan ini mempunyai persediaan ular hidup yang tersimpan dalam kantung. Setiap
salah seekor mati, Dyah Raseksi segera mengganti dengan ular baru.
Karena terlalu lama tidak dapat segera mengalahkan Putut Jantoko ini, Dyah
Raseksi menjadi penasaran. Tiba-tiba saja mulutnya melengking nyaring tiga kali.
Mendengar ini Putut Jantoko kaget berbareng khawatir. Ia tahu maksud perempuan ini,
tentu memanggil barisan ularnya. Takut berhadapan dengan barisan ular yang berbahaya
itu, kemudian ia melompat jauh sambil berteriak. "Adi Lantung! Lekas lari!"
Bagus Lantung yang tadi sedang memperhatikan gurunya menjadi kaget. Iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melompat juga untuk menyelamatkm diri, sekalipun perasaan tidak tega meninggalkan
gurunya masih berkelahi. Namun justru keraguannya yang sejenak itu, harus ditebus
dengan mahal. Ia merasakan sambaran angin sambitan dan menghindarkan diri. Tetapi
dari mulut orang ini terdengar suara pekik mengerikan. Tangannya berserabutan dalam
usahanya menangkap dan membetot ular yang menggigit pungggungnya. Akan tetapi
sayang sekali ular itu mengatupkan mulutnya kuat-kuat, dan ketika dibetot sebagian
daging punggungnya copot. Secepatnya Bagus Laatung berusaha menelan obat pemunah
racun yang dimiliki. Sayang sekali pemunah racun itu bukan pemunah racun ular. Maka
walaupun telah banyak ia menelan obat pemunah racun itu, ia tetap menderita keracunan
hebat. Ia lari terus. Tetapi tidak lama kemudian Bagus Lantung roboh. Seluruh tubuhnya
bengkak dan menghitam, karena racun ular itu ganas sekali.
Ketika itu sudah terdengar suara gemerisik dan desis yang bersahutan. Muncullah
kemudian sembilan orang perempuan berwajah hitam sambil menggerakkan ular ratusan
banyaknya, besar dan kecil menyerbu tempat itu. Melihat munculnya ular, Pertiwi Dewi
dan Irma Sulastri menjadi jijik dan menyembunyikan wajahnya di belakang telapak
tangan.
"Jangan takut!" hibur Fajar Legawa, "Tongkatku akan mengusir segala macam
ular."
"Benar!" sambut Pertiwi Dewi tiba-tiba, karena gadis ini segera teringat
pengalamannya ketika menyerbu gunung Ungaran.
Fajar Legawa segera di depan dan melindungi Pertiwi Dewi dan Irma Sulastri.
Tumpak Denta dengan pedangnya segera berdiri di belakang gadis itu, dengan maksud
untuk menghalau kalau ada ular bergerak dari belakang. Adapun Abdulrajak dan
Wukirsari tenang-tenang saja, kedatangan barisan ular itu seperti tidak mempengaruhi
dan membuat mereka takut.
Namun sembilan orang perempuan dengan barisan ularnya itu tidak menyerbu
kearah mereka. Melainkan langsung ke arah Jalu Gigis dan Klenting Mungil yang masih
beradu tenaga sakti. Sembilan orang perempuan bermuka hitam dan ratusan ular itu
segera mengurung secara rapat dan mendesis-desis. Sebagian ular ada yang berusaha
mendekati Klenting Mungil. Namun ternyata pada jarak satu meter di sekeliling Klenting
Mungil itu, seperti dilindungi oleh benteng ajaib. Ular-ular itu tidak dapat maju lagi, dan
apabila nekad malah segera roboh pingsan. Akibatnya ular itu pun tahu akan bahaya dan
tidak berani bergerak maju lagi. Mereka hanya berdesis-desis sambil mengurung rapat.
Perhatian orang sekarang dipusatkan ke arah Jalu Gigis dan Klenting Mungil yang
masih beradu tenaga sakti. Tangan masing-masing masih teracung ke depan seperti
semula. Bedanya kalau tadi mereka nampak tenang dan sehat, sekarang wajah mereka
berubah agak memucat. Keringat berbintik-bintik membasahi dahi dan leher, sedang asaphttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tipis telah mengepul dari ubun-ubun.
Menyaksikan itu, baik Wukirsari maupun Abdulrajak berdebar tegang. Mereka
mengerti apa yang sudah terjadi. Dalam usaha mereka mengerahkan tenaga sakti untuk
dapatmengalahkan lawan, sekarang mereka telah sampai pada keadaan bahaya dan
menentukan. Karena mereka sudah sampai pada babak berbahaya ini, maka akibat yang
kemudian diperoleh, yang kalah akan mati dan yang menangpun akan menderita luka
parah. Kalau toh yang menang masih dapat mengobati lukanya, hal itu harus lewat waktu
yang lama.
Tetapi apapun yang akan diderita oleh mereka, baik Wukirsari, Abdulrajak
maupun yang lain tidak perduli. Bagaimanapun di antara mereka dengan dua orang kakek
ini berseberangan. Kalau dua orang kakek itu akhirnya harus meninggal, malah berarti
tokoh-tokoh jahat akan berkurang jumlahnya dan meringankan beban melawan
kejahatan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dyah Raseksi mengamati ayah angkatnya dan lawan bergantian, penuh
perhatian dengan hati yang tegang berdebar. Tentu saja ia tahu pula akan arti dari
perkelahian seperti ini. Dan iapun berharap agar ayah angkatnya bisa memperoleh
kemenangan. Sayang sekali bahwa antara dirinya dengan ayah angkatnya, dalam hal
tenaga sakti terpaut amat jauh. Sedang disamping itu selama ini ia belum pernah
mempelajari bagaimanakah cara menggagabungkan tenaga. Kalau saja tahu caranya,
tentu ia sudah maju kemudian membantu tenaga kepada ayah angkatnya.
Setelah beberapa saat lamanya berlalu, segera terjadi pula perubahan keadaan. Jalu
Gigis yang semula duduk tidak bergerak seperti arca itu, sekarang tubuhnya sudah mulai
bergoyang-goyang. Lengan yang teracung itupun sekarang gemetaran tidak karuan,
sedang wajahnya bertambah pucat. Di pihak lain, wajah Klenting Mungil juga pucat,
tetapi tubuhnya masih tegak tidak bergerak, sedang lengan yang teracungpun masih dalam
keadaan seperti semula.
Melihat keadaan ini tentu saja Dyah Raseksi menjadi gelisah bukan main. Ia tahu
akan arti semua ini. Dalam gelisah dan mengkhawatirkan keselamatan ayah angkatnya
ini, mendorong kepada perempuan ini untuk bertindak. Ia menjadi tidak ingat lagi akan
pantas dan tidak pantas. Mendadak ia melompat sambil melengking nyaring, sedang
tangan terayun untuk memukul.
"Jangan!" teriak Wukirsari dan Abdulrajak hampir berbareng. Tubuh dua orang
tua ini sudah bergerak melompat ke depan. Namun karena sekitar tempat itu penuh
dengan ular berbisa, maka gerakan dua orang tua ini terhalang. Sebab mereka harus
menghalau semua ular yang datang menyerbu, menyemburkan bisa dan berusaha
mematuk.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aughhh.........!" terdengarlah jerit dari mulut Dyah Raseksi. Tubuhnya terpental
ke belakang lebih tiga meter jauhnya. Dari mulut menyembur darah merah. Kemudian
perempuan ini terhuyung, lalu roboh di atas tanah.
Apa yang terjadi memang sudah diduga oleh Wukirsari dan Abdulrajak. Dan
itulah sebabnya dua orang kakek ini berusaha mencegah. Tadi Dyah Raseksi bergerak ke
depan bermaksud membantu ayah angkatnya dengan pukulan, untuk memukul Klenting
Mungil. Tanpa disadari bahwa pada saat itu tubuh Klenting Mungil penuh tenaga mujijat,
akibat sedang mengerahkan tenaga sakti. Setiap bagian tubuh yang terpukul, akan
memberi perlawanan hebat. Sebagai akibatnya pukulan Dyah Raseksi membalik dan
memukul diri sendiri. Itulah sebabnya tubuh Dyah Raseksi terpental, muntah darah dan
kemudian roboh tak bergerak.
Namun bukannya tidak berarti pukulan Dyah Raseksi ini. Sebagai akibat sebagian
tenaga harus menghalau serangan dan pukulan Dyah Raseksi ini, maka gelombang
serangan yang tadi sudah hampir dapat mengakhiri Jalu Gigis, menjadi berkurang. Tiba
tiba terdengarlah suara ugh dari mulut Klenting Mungil itu, tubuh Jalu Gigis roboh di atas
tanah tak berkutik. Namun kemudian setelah tubuh Klenting Mungil melayang turun,
kakek inipun segera roboh tak berkutik. Keadaannya menyedihkan, sebab beberapa elor
ular segera mengeroyok dan menggigit.
Apa yang terjadi diluar semua dugaan orang. Malah sembilan orang perempuan
anak buah Dyah Raseksi itupun tidak menyangka sama sekali, sehingga mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. Mereka kemudian hanya berusaha mencegah ketika beberapa ekor
ular merayap maju untuk menggigit Dyah Raseksi maupun Jalu Gigis. Dengan jalan, dua
orang perempuan sudah meloncat maju dan menyambar tubuh Dyah Raseksi maupun
tubuh Jalu Gigis. Namun menyadari bahwa mereka tak mungkin mampu melawan
musuh sakti itu, maka kemudian sembilan orang ini bersuit nyaring. Berbareng dengan
gerakannya pergi meninggalkan tempat ini maka barisan ular itupun ikut bergerak.
Mendadak terdengar pekik Pertiwi Dewi "Mbakyu......mbakyu Dyah Raseksi......"
Tetapi gadis ini tidak melompat dan mengejar, hanya kemudian menjatuhkan diri
bersimpuh diatas tanah sambil menangis tersedu-sedu. Adapun sebabnya gadis ini tidak
mengejar, bukan lain karena jijik dan ngeri kepada ular-ular itu.
Ya, bagaimanapun sikap Dyah Raseksi kepada dirinya, namun sebagai saudara
kandung. Pertiwi Dewi merasa tidak tega juga melihat saudaranya itu celaka ditangan
lawan.
Tumpak Denta, Wukirsari dan Abdulrajak yang belum tahu hubungan Pertiwi
Dewi dengan Dyah Raseksi, menjadi heran melihat gadis ini sekarang menangis sesudah
memekik memanggil nama Dyah Raseksi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sementara Irma Sulastri memeluk dan berusaha menghibur Pertiwi Dewi. maka
Fajar Legawa segera menerangkan kedudukan Pertiwi Dewi dan Dyah Raseksi.
Diceritakan pula tentang pertemuan yang pertama secara tidak terduga ketika Pertiwi
Dewi bersama dirinya menyerbu gunung Ungaran. Akan tetapi sebagai akibatnya, Pertiwi
Dewi harus menderita akibat kekejaman Dyah Raseksi yang kemudian mendorong gadis
ini melempar diri ke dalam jurang. Namun untung usahanya membunuh diri tidak
terlaksana tertolong oleh Purwowaseso dan kemudian malah menjadi muridnya.
"Ahh..murid paman Purwowaseso ..?" dua orang kakek itu berseru tertahan
hampir berbareng karena tidak menduga.
"Sedang adikku yang semula hilang diculik penjahat, ternyata sekarang telah
menjadi murid kakek Menak Singgih." Fajar Legawa menjelaskan dan keterangan ini pun
memancing seruan tertahan dari mulut kakek itu.
"Bagus, heh-heh-heh!" kata Wukirsari kemudian sambil terkekeh gembira.
"Ternyata di dunia ini sekarang telah muncul orang-orang muda perkasa yang
menggantikan orang-orang tua yang sudah keropos dimakan umur. Heh-heh-heh bagus
sekali. Dengan hadirnya orang-orang muda perkasa, akan berarti orang-orang yang sudah
tua seperti aku ini dapat mengaso dengan hati tenteram."
"Engkau benar!" sambut Abdulrajak yang menjadi gembira pula. "Dan munculnya
para muda perkasa ini, kiranya merupakan pertanda bahwa dunia ini makin tenteram dan
makmur. Ha-ha-ha mari-mari, kita sekarang pergi bersama untuk mengaso di tempat
sepi."
Dua orang kakek itu kemudian bergandeng tangan dan pergi dengan langkah
cepat.
"Paman! Tunggu? Saya ingin bicara dengan kalian!" teriak Fajar Legawa yang
berusaha mencegah kepergian mereka.
Akan tetapi teriakan Fajar Legawa itu seperti tidak didengar oleh dua orang kekek
itu. Mereka terus bergerak cepat, tidak menjawab dan tidak juga berpaling. Malah
kemudian tubuh dua orang kakek itu hilang di balik daun-daun pohon yang rimbun.
Fajar Legawa hanya dapat menghela napas dan tidak berani mengejar. Sebabnya
walaupun mengejar, toh dua orang kakek itu takkan mau berhenti dan memberi
penjelasan. Akan tetapi walaupun begitu, Fajar Legawa tahu akan sikap orang tua itu.
Agaknya mereka merasa lapang dan lega sekarang, setelah dikalangan orang muda
muncul orang muda perkasa yang bisa diandalkan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tak lama kemudian empat orang muda ini saling pandang. Diantara mereka yang
saling bertatap pandang begitu lama adalah Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi. Sekarang
setelah dapat bertemu kembali dan wajah si gadis pulih kembali menjadi cantik, Fajar
Legawa gembira bukan main. Lalu teringatlah pengalamannya ketika itu dirinya saling
peluk dengan gadis itu.
"Adi Fajar, marilah kita meningalkan tempat ini, kemudian mencari tempat
mengaso dan bicara," kata Tumpak Denta perlahan sambil mengamati mereka
bergantian.
"Engkau benar," sambut Fajar Legawa. "Memang tidak enak terlalu lama di
tempat ini."
Maka kemudian empat orang muda ini melangkah pergi meninggalkan tempat ini.
Untung mereka segera menemukan tempat yang menyenangkan. Di samping rindang di
tepi sungai pula. Walaupun hawa panas dan matahari memancarkan sinarnya yang terik,
mereka merasa sejuk. Pada kesempatan ini Fajar Legawa segera mendesak kepada Pertiwi
Dewi maupun Irma Sulastri untuk menceritakan apa yang sudah dialami. Dan dua orang
gadis itupun secara bergantian telah menceritakan pengalamannya.
Berkali-kali Tumpak Denta maupun Fajar Legawa mengeluarkan suara "ck ck ck"
karena merasa heran dan kagum. Akan tetapi disamping perasaan itu, mereka merasakan
kebahagiaan yang tidak terkira. Bagaimanapun pertemuannya baik dengan Irma Sulastri
maupun Pertiwi Dewi di tempat ini, berarti sebagian tugasnya sudah dapat diselesaikan.
"Aku tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya, dua buah benda pusaka yang
banyak menjadi rebutan orang itu, telah dimiliki oleh kakak beradik!" kata Tumpak Denta
dalam menyatakan kegembiraanrya. "Tentu saja ini bukan merupakan peristiwa yang
kebetulan saja. Tetapi peristiwa ini tentu telah sesuai dengan kehendak Tuhan. Keris
pusaka TiIam Upih dikuasai adi Fajar Legawa, sedang pedang pusaka Sokayana dikuasai
oleh diajeng Irma Sulastri."
"Benar. Akan tetapi sebaliknya dengan adanya benda pusaka ini, bagaimanapun
tanggung jawabku aku menjadi bertambah," sahut Fajar Legawa. "Sebab bahaya belum
lewat, dan orang-orang yang menginginkan benda pusaka ini tentu masih berusaha
memperoleh kesempatan untuk merebut. Kakang, inilah sesungguhnya yang membuat
aku gelisah. Apakah selama hidupku, aku hanya akan disibuki oleh masalah benda
pusaka ini saja?"
"Semua itu tergantung caranya menilai." Tumpak Denta memberikan
pendapatnya. "Apabila engkau merasa berkewajiban untuk mengamankan pusaka itu,
kiranya engkau malah merasa bahagia memperoleh kepercayaan begitu besar."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Benar!" sambut Pertiwi Dewi. "Dalam persoalan ini kita harus berpikir agak jauh.
Pertama, benda pusaka itu penting artinya bagi manusia hidup di dunia ini. Dan lebih lagi
bahwa keris pusaka Tilam Upih itu adalah benda pusaka warisan ayahmu sendiri. Ini
merupakan kewajiban seorang anak untuk mengamankan peninggalan bersejarah itu.
Yang kedua, kitapun harus berpandangan jauh. Orang yang berusaha merebut dan
mendapatkan benda pusaka itu belum tentu beritikad baik. Kemungkinan mereka
mempunyai cita-cita yang hanya untuk kepentingan diri. Hinggap dengan begitu, bisa
mendorong kepada orang itu untuk melakukan kejahatan. Nah, apa jadinya kalau benda
pusaka yang penting artinya itu, dipergunakan orang untuk kejahatan?"
Fajar Legawa menghela napas. Ia memang tidak bisa membantah benarnya
pendapat Tumpak Denta maupun Pertiwi Dewi ini. Akan tetapi sebaliknya, tugas itu
terasa cukup berat pula Sebab harus selalu berhadapan dengan orang-orang yang tidak
bertanggung-jawab.
Irma Sulastri tidak memberikan pendapatnya. Tetapi ia merasakan pula betapa
tanjung jawab yang harus dipikul untuk mengamankan pedang pusaka Sokayana.
Kemudian terdenngar Fajar Legawa berkata, "Semua ini merupakan urusan yang
perlu kita pikirkan secara seksama guna pengamanannya. Akan tetapi yang penting bagi
kita sekarang adalah tenpat kita untuk berteduh dan mengaso. Bukankah kita sekarang ini
ibarat burung tanpa sarang?"
Diingatkan oleh Fajar Legawa ini, barulah mereka ingat dan sadar. Untuk sejenak
lamanya dua gadis itu bertatap pandang. Namun kemudian terdengarlah Tumpak Denta
berkata. "Marilah soal tempat tinggal itu kita bicarakan perlahan-lahan sambil
menentukan pilihan. Tetapi untuk tinggal sementara waktu, kiranya lebih tepat apabila
sekarang kita pulang saja ke lembah Galunggung. Bukannya tempat tinggal guru dapat
kita jadikan tempat berteduh sementara?"
"Aihh, kakang benar," sambut Fajar Legawa gembira. "Kiranya lebih tepat apabila
kita pulang ke sana. Tetapi ahhh........."
"Ada apakah?" tanya Irma Sulastri yang curiga.
"Bicara tentang tempat tinggal guru, aku segera teringat akan nasib guru........."
sahut Fajar Legawa sambil menghela napas panjang, nampak sedih.
"Apakah terpikir olehmu untuk mencari orang itu guna menuntut balas?" pancing
Tumpak Denta.
"Apa yang terjadi?" tanya Pertiwi Dewi tiba-tiba.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Atas pertanyaan Pertiwi Dewi ini kemudian Tumpak Denta menerangkan
musibah yang telah menimpa gurunya. Bahwa orang yang bertanggung jawab melakukan
pembunuhan itu adalah murd-murid Wasi Jaladara dari perguruan Merbabu.
Fajar Legawa menggelengkan kepalanya, kemudian berkata. "Apabila aku harus
menuntut balas kiranya cukup banyak yang harus aku lakukan. Bukankah ayahku
dibunuh mati oleh Sultan Agung? Kakang, apakah kiranya terpikir olehmu bahwa kita
harus mencari Tohjoyo dan yang lain untuk menuntut balas?"
"Jika engkau sependapat dengan aku, lebih baik kita lupakan saja masalah itu
untuk sementara," sahut Tumpak Denta. "Yang lebih penting bagi kita sekarang pulang
dahulu ke Galunggung."
"Dan bagaimanakah dengan engkau?" tanya Fajar Legawa sambil menatap
kepada Irma Sulastri dan Pertiwi Dewi.
"Aku menurut saja keputusan kalian," sahut dua orang gadis itu hampir berbareng.
Memang mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menyerah kepada keputusan
Fajar Legawa dan Tumpak Denta.
Akhirnya berkatalah Fajar Legawa. "Baiklah! Mari kita sekarang berangkat ke
sana."
"Tetapi aku lapar!" kata Irma Sulastri tiba- tiba.
Keluhan Irma Sulastri yang lapar ini, ternyata berpengaruh kepada perut yang lain.
Merekapun kemudian merasa lapar, dan oleh sebab itu mereka tertawa. Karena tempat
itu berjauhan dengan desa maka kemudian mereka harus berburu binatang hutan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya memang mujur nasib empat orang muda ini. Mereka kemudian dapat
membunuh seekor rusa. Maka setelah binatang itu disembelih, dikuliti dan dipotong
potong, mereka segera berpesta dengan daging bakar.
Daging rusa itu dibakar tanpa bumbu. Tetapi karena perut lapar, terasa enak juga
walaupun daging itu tanpa bumbu maupun garam.
Memang, orang akan merasa enak makan apabila perut lapar. Pengaruh lapar
itulah yang membuat makanan apa yang masuk terasa lezat. Tetapi sebaliknya perut
penuh, perut yang sudah kenyang akan menolak sekalipun makanan itu lezat sekali.
Tetapi walaupun mereka begitu lapar, empat orang muda ini tak kuasa
menghabiskan rusa itu. Dan kalau harus membawa daging itu terlalu repot, maka sisa
daging itu mereka tinggalkan begitu saja di tempat itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akhirnya mereka berangkat pergi pulang ke lembah Galunggung, bekas tempat
tinggal Suria Kencana. Yang terjadi kemudian bahwa Fajar Legawa yang sudah saling
jatuh cinta dengan Pertiwi Dewi itu kawin dan membentuk rumah tangga bahagia.
Perkawinan mereka dilangsungkan bersama-sama dengan Irma Sulastri yang kawin
dengan Tumpak Denta.
Sampai di sini, cerita "Iblis dari Gunung Wilis" berakhir, walaupun demikian
bukan berarti para pembaca yang budiman akan berpisah dengan para tokoh dalam cerita
ini. Pada kesempatan lain dan dalam cerita lain, para pembaca yang budiman akan
bertemu lagi dengan mereka. Cerita di mana para pembaca akan dapat bertemu dengan
Fajar Legawa, Pertiwi Dewi, Irma Sulastri, Ayu Kedasih, Tohjoyo maupun yang lain,
berjudul "FITNAH BERDARAH"
- TAMAT
Solo, awal Oktober 1975
Raja Naga 15 Pusara Keramat Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Drama Di Ujung Pisau Bedah Surgeon
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama