Ceritasilat Novel Online

Jangan Renggut Matahariku 3

Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W Bagian 3



* * *

Di dalam. Monika masih menyumpah-nyumpah dalam hati. Dia bukan saja tidak berhasil membalas dendam pada penipu yang telah menyamar menjadi dirinya itu. Dia juga tidak memperoleh simpati dari orangtua Prasetya.

Dia bahkan tidak dapat menemukan Prasetyanya yang lama. Prasetya yang dikenalnya. Dia malah seperti bertunangan dengan orang lain. Orang asing yang tidak dikenalnya. Dan tidak mengenalnya sama sekali!

"Pras lelah," sungut ibu Pras dengan suara datar, ketika Monika mendesaknya terus mengapa dia akhirnya memilih naik kapal itu.

"Dia perlu istirahat.

"Biar saya antar Mas Pras ke kamar," kata Monika menahan kekesalannya. Mengapa semua orang di rumah ini seperti memusuhinya? Dia kan tidak salah apa-apa! Bukan salahnya kapal itu tenggelam! Bukan salahnya Prasetya jadi begini!

"Biar Tante saja," potong ayah Pras dingin.

"Kamu pulang saja. Sudah malam."

Tanpa menunggu jawaban Monika lagi, ibu Pras menghampiri anaknya. Dan mengajaknya ke kamar. Mematuhi perintah ibunya seperti kerbau dicocok hidung, Prasetya bangkit mengikutinya.

Yang membuat Monika tambah jengkel, Prasetya tidak menoleh sama sekali ke arahnya. Apalagi memberi salam.

"Selamat malam, Mas!" dengus Monika seakan mengingatkan dia masih di sana. Dan dia bukan patung.

"Tidur yang nyenyak. Besok aku kemari lagi."

Tapi Prasetya tidak memedulikannya. Menoleh saja tidak. Membuat Monika tambah jengkel.

"Apa sebenarnya yang terjadi. Oom?" berungut Monika sambil berpaling pada ayah Prasetya.

"Mengapa dia jadi begitu?"

"Pras mengidap amnesia," sahut ayah Pras datar.

"Dia tidak kenal siapa pun."

"Mustahil dia melupakan saya!"

"Namanya saja dia tidak ingat!"

"Sampai kapan. Oom?"

"Siapa yang tahu? Sekarang lebih baik kamu pulang."

"Saya ingin tinggal di sini untuk membantu Tante merawat Mas Pras."

"Tidak perlu." sahut ayah Pras dingin.

"Kalau kami butuh bantuanmu, nanti kami hubungi."

Lama sesudah Monika pergi dengan wajah cemberut menahan marah, ayah Prasetya masih termangu-mangu di ruang makan. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia dan istrinya tiba-tiba merasa begitu tidak menyukai Monika . Gadis itu tidak salah apa-apa. Memang bukan salahnya Prasetya mendapat kecelakaan. Bukan salahnya pula Prasetya menjadi berubah begini.

Tetapi sejak pertama kali melihat Monika. sejak melihat sikapnya pada wanita yang diusirnya itu, ayah Pras merasa tidak menyukai tunangan anaknya yang satu ini. Entah mengapa, walaupun wanita yang mengaku menjadi Monika itu seorang penipu, ayah Pras lebih menyukainya.

Dia tampak lebih bersahaja. Lebih seadanya. Lebih tegar. Tanpa kekerasan hati dan kesetiaannya, Prasetya sudah tidak tertolong lagi.

itukah juga yang menyebabkan ayah Pras tidak menyukai Monika? Karena di bawah sadarnya, dia dan istrinya sebenarnya lebih menyukai wanita yang menyamar jadi Monika itu? Mereka berutang budi padanya. Tapi merasa sakit hati karena ditipu. Perasaan ambivalen itu yang membuat mereka marah. Dan kemarahan itu mereka proyeksikan pada Monika. Padahal gadis itu tidak bersalah!

***

SEMAKIN hari adat Prasetya semakin Jelek. Dia mencurigai setiap orang. termasuk Monika dan orangtuanya sendiri. Pekerjaannya menjadi berantakan. Karena dia lebih banyak marah-marah daripada bekerja.

Sekretarisnya sudah dipecat bersama beberapa orang stafnya yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Ketika ayahnya menegurnya, dia malah mengusir orang tua itu.

"Mengapa tidak pulang saja ke negaramu, Pa?" sergahnya jengkel.

"Jangan ikut campur urusan saya! Yang Papa tahu cuma politik!"

"Kalau Papa tidak ikut ngomong, sebentar lagi kamu jadi gembel!" gerutu ayahnya marah.

"Karena yang kamu tahu sekarang cuma marah-marah dan memecat orang!"

Selagi mereka terlibat pertikaian sengit. ibu Pras muncul bersama Monika. Dan persoalan yang dibawanya lebih pelik lagi.

"Monika tidak dapat menunggu lagi." cetus ibunya datar.

"Katanya dia mengandung anakmu."

Prasetya mengawasi Monika sedemikian rupa sampai yang ditatap bukan hanya marah tapi sekaligus terhina.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Mas Pras tidak percaya anak yang kukandung ini anakmu?"

"Siapa kamu sebenarnya?" tukas Prasetya dingin.

"Benarkah kamu tunanganku?"

"Siapa pikirmu yang mau mengaku-aku menjadi calon istri lelaki amnesia seperti Mas Pras?"

"Banyak," sahut Prasetya seenaknya. Nadanya sangat menyakitkan.

"Karena aku kaya. Kamu perempuan kedua yang mengaku tunanganku."

"Jangan samakan aku dengan penipu itu!" sembur Monika setelah tidak dapat menahan amarahnya lagi.

"Jika aku tidak mengandung anakmu, Mas pikir aku masih sudi datang kemari?"

"Kamu dapat membuktikan anak dalam kandunganmu itu anakku?"

"Dia memang calon istrimu, Pras," sela ibunya datar.

"Sebelum kecelakaan itu terjadi. kalian hampir menikah."

"Bagaimana Mama tahu?" sambar Prasetya sinis.

"Mama malah tidak mengenalnya!"

"Mama baru melihatnya sekali tahun lalu," sahut ibu Pras menahan kekesalannya.

"Mama memang lupa wajahnya. Tapi Mama ingat namanya. Dan ingat kamu pernah menelepon akan segera menikahinya."

"itu bukan jaminan. Bukan bukti."

"Kalau begitu biar kugugurkan saja anakmu!" ancam Monika putus asa.

"Ketika Mas Pras

menghilang, aku memang hampir melakukan aborsi."

"Kenapa sekarang harus minta izin lagi padaku?"

"Diam!" bentak ayah Pras tidak sabar lagi.

"Kalian berdua sama-sama sakit! Yang kalian bicarakan itu anak kalian! Darah daging kalian!"

"Papa tahu dari mana?"

"Dengar. Pras," ayahnya mengatupkan rahangnya sesaat menahan marah.

"Apa pun yang ingin kamu lakukan terhadap perusahaanmu, itu urusanmu! Kamu hancurkan sekalipun Papa tidak peduli lagi. Tapi jika kamu bunuh anak kalian, Papa tidak ingin mengakuimu lagi!"

Akhirnya Prasetya memang menikahi Monika. Tetapi pernikahan tidak mengubah tabiatnya. Tidak menyembuhkan amnesianya.

Dia masih sering bermimpi terbenam dalam kubangan lumpur yang pekat. Terengah-engah menahan napas sambil memburu ke arah sinar matahari yang menerobos masuk dalam kegelapan yang pengap.

Dia masih sering terbangun tengah malam sambil berteriak-teriak,

"Jangan! Jangan ambil matahariku!"

Tetapi ingatannya tak kunjung kembali. Justru Monika yang menyingkir ke kamar lain ketika bayinya lahir. Dan dia enggan kembali lagi ke kamar tidur Prasetya.

Dia tidak mau terjaga malam-malam. Terkejut karena teriakan-teriakan suaminya.

Barangkali dia sudah gila, gerutu Monika dalam

hati. Sebentar lagi harus dirawat di rumah sakit jiwa!

Satu-satunya hiburannya hanyalah putranya. Anak laki-lakinya yang sehat dan montok Bayi lucu itulah yang membuatnya tidak menyesal menikah dengan Prasetya Sanjaya.

Kadang-kadang Monika merasa heran, pada suatu saat dulu dia malah hendak melenyapkan bayinya yang montok itu. Hanya karena sakit hati pada ayahnya.

Prasetya sendiri tidak begitu mengacuhkan anaknya. Kini dia lebih sibuk dengan pekerjaan barunya. Perusahaannya yang lama sudah dijual hanya beberapa saat sebelum krisis moneter melanda. Dan dia meraup untung besar dengan gonjangganjingnya rupiah terhadap dolar.

Kemudian dia terjun di bursa saham. Keberanian dan kesintingannya membeli saham-saham yang harga per lembarnya lebih murah dari harga sebutir permen. ternyata membuahkan hasil yang fantastis ketika kemudian harganya melejit kembali.

Tetapi kesuksesan finansialnya tidak sejalan dengan kebahagiaan rumah tangganya. Semakin hari Prasetya semakin tidak peduli pada anak_istrinya. Monika yang kesepian kemudian menemukan seorang kekasih baru.

Indra Sukandar. seorang pelukis muda yang baru mulai meniti karier. Monika menganggapnya sangat berbakat walaupun sebenarnya dia tidak tahu apaapa tentang lukisan. Yang dia tahu hanyalah seniman muda itu sangat tampan. Sangat romantis. Dan sangat memperhatikan dirinya. Seperti Prasetya dulu. Sebelum dia hilang ingatan.

Monika tidak segan-segan memodalinya untuk menyelenggarakan. sebuah pameran lukisan. Tentu saja di luar tahu suaminya. Dia menjual cincin pertunangannya. hadiah dari Prasetya. Dan memberikan uangnya kepada Indra

Sebagai gantinya, indra memberikan malam yang sangat indah untuk Monika. Yang membuatnya melupakan segala-galanya. Dan yang membuatnya yakin, laki-laki ini memang diciptakan untuknya.

"Kamu harus minta cerai, Monik," bisik Indra setelah mereka memadu cinta dalam salah sebuah vila milik Prasetya di Puncak.

"Tinggalkan suamimu yang sinting itu. Mari kita raih kebahagiaan kita sendiri."

Monika mencium laki-laki itu dengan penuh gairah. Aroma cat yang melumuri rambut dan pakaian pelukis itu seperti ganja yang memabukkan. Membuatnya seperti melayang-layang di langit ketujuh.

"Belum saatnya. Sayang," balasnya berbisik. Mesra.

"Suatu hari nanti, aku pasti meninggalkannya. Aku sudah muak hidup bersamanya."

'Tunggu apa lagi?" desak Indra bersemangat.

Umurnya yang baru dua puluh dua tahun. sebelas tahun lebih muda dari Monika, membuat semangatnya menggelora kalau sedang menginginkan sesuatu. Dan wanita dalam pelukannya ini memang amat menggairahkan. Sekaligus sangat berpengalaman.

Dia yang mengajarkan semua kenikmatan hidup

yang baru pernah dicicipinya. Dia yang membakar semangatnya untuk melukis terus. Dia yang membangkitkan kreatifitasnya. Dia pula yang memodali Semua kebutuhannya.

Indra sangat tergila-gila kepada Monika. Sehingga rasanya dia rela melakukan apa pun yang diperintahkan wanita ini.

"Kamu belum jadi seniman terkenal."

"Aku harus jadi seniman terkenal dulu baru dapat memilikimu?" belalak Indra kecewa.

Monika tersenyum sabar. Dibelainya pipi Indra seperti membelai pipi Satria, putranya yang kini sudah berumur empat tahun.

"Kalau tidak, aku dan anak kita nanti makan apa?"

"Aku masih sanggup membiayaimu dengan hasil keringatku sendiri! Kamu tidak percaya?"

"Tentu saja aku percaya." Monika membelaibelai lukisan yang baru saja dibuat Indra dengan ujung jari kakinya. Lukisan dirinya. Memang tidak terlalu mirip. Tapi Monika menyukainya. Soalnya dalam lukisan itu dia tampak lebih muda dan cantik "Kamu sangat berbakat. Makanya aku menyuruhmu menyelenggarakan pameran lukisan. Supaya masyarakat pencinta lukisan mengenal hasil karyamu. Kalau sudah terkenal, tidak susah kok menjual lukisanmu sampai jutaan rupiah."

"Kamu yakin aku bisa berhasil?"

"Kalau tidak, masa aku begitu percaya padamu?"

Indra merangkul Monika dengan penuh terima kasih.

"Terima kasih, Sayang," gumamnya lembut.

"Kalau tidak ada kamu, barangkali sampai sepuluh tahun lagi pun aku masih tetap pelukis kacangan."

Perselingkuhan Monika dengan Indra Sukandar saat itu sudah berjalan hampir dua tahun. Tetapi Prasetya tidak mengetahuinya. Dia memang tidak begitu memperhatikan lagi anak_istrinya. Waktu dan perhatiannya disita habis oleh bisnisnya di bidang jual-beli saham dan perusahaan barunya yang bergerak di bidang valuta asing.

Prasetya baru terusik ketika menyadari tiba-tiba saja rumah dan vila-vilanya yang bertebaran dari Anyer sampai Bali dipenuhi oleh lukisan diri istrinya.

Prasetya tahu sekali. Monika tidak menyukai lukisan. Dia malah tidak mengerti apa-apa tentang seni yang satu ini.

Lalu mengapa tiba-tiba saja dia senang dilukis? Cara baru untuk membuang-buang uang suaminya? Atau...

Prasetya tertegun ketika menyadari, lukisan itu Semuanya hasil karya pelukis yang sama. Seorang pelukis yang tidak terkenal. Yang kepada siapa pun dia bertanya, tidak ada yang mengenalnya.

Indra. Itu goresan parafnya di setiap lukisan yang dibeli Monika. Indra. Indra siapa? Punya hubungan apa dengan istrinya? Mengapa Monika tergila-gila membeli lukisan seorang pelukis yang tidak terkenal?

Ketika pelukis baru itu tiba-tiba mengadakan pameran lukisan yang serba "wah" di sebuah galeri

yang cukup mewah, Prasetya bertambah curiga. Sejak mengalami kecelakaan di laut hampir lima tahun yang lalu, sifat paranoidnya memang semakin lama semakin menonjol. Meskipun sifat itu pula yang membawa keberuntungan dalam bisnis barunya.

Apa peran Monika dalam karier pelukis muda itu? Mengapa dia tampak begitu sibuk akhir-akhir ini? Diakah yang mensponsori pameran lukisan itu? Diakah yang memakai duit suaminya untuk memperkenalkan seorang pelukis yang bukan apaapanya?

Atau... memang bukan tidak ada apa-apa di antara mereka?

Ketika Prasetya tiba-tiba muncul di pameran lukisan yang sepi pengunjung itu, dia melihat istrinya sedang tegak di depan sebuah lukisan bersama seorang pria muda yang sangat tampan. Dan ketika melihat cara mereka berdekatan, ketika melihat cara mereka tertawa. ketika melihat cara mereka berbicara, tiba tiba saja Pras mengerti. Dia mengerti kalau kecurigaannya sekali lagi beralasan.

Dia mengerti mengapa Monika harus hadir di acara seperti ini. Dia mengerti mengapa Monika harus membiayai pameran lukisan seorang pelukis muda yang belum punya nama. Dan dia mengerti mengapa istrinya rela membuang-buang uang suaminya untuk memenuhi rumah serta vila mereka dengan lukisan yang tidak laku dijual!

Hanya satu jawabannya. Pelukis itu masih muda dan sangat tampan. Monika pasti berselingkuh dengan pelukis sjalan itu!

Prasetya tidak semarah itu kalau Monika hanya menyerahkan tubuhnya sendiri. Tapi dia bukan hanya menyerahkan tubuhnya. Dia menyerahkan uang suaminya! Uang Prasetya! Uang yang dicarinya dengan susah payah itu yang dihambur-hamburkannya! Kurang ajar!

Prasetya hampir tidak dapat menahan amarahnya. Tetapi pada saat terakhir. dia sadar. melabrak mereka di tempat ini tidak ada gunanya.

Pameran ini sepi pengunjung. Sepi wartawan. Tidak ada media massa yang meliput seandainya pun Prasetya melabrak pelukis itu. Prasetya tidak bisa menjatuhkan nama baiknya karena dia memang belum punya nama.

Jadi sambil menahan marah, diam-diam Prasetya menyingkir. Menyelinap pergi sebelum mereka melihatnya.

Dia bertekad untuk menghancurkan pelukis tidak tahu diri itu. Meremukkan kariernya dan harga dirinya. Dan seorang Prasetya Sanjaya tahu sekali caranya.

Monika meremas koran itu dengan geram. Sudan beberapa belas koran pagi dibacanya. Tidak ada satu pun yang mengulas pameran lukisan Indra. Padahal dia sudah mengundang beberapa orang wartawan. Ketika akhirnya dia menemukan sebuah koran yang mengulasnya, ulasan itu bukan main sinisnya.

"Kulit yang Tidak Sesuai dengan Isi".

Itu judul beritanya. Tapi yang dibicarakan bukan sambutan. Bukan dukungan. Melainkan pameran lukisan Indra Sukandar: Tempatnya mewah. Tapi lukisannya miskin. Tidak ada apa-apanya! Mengecewakan pengunjung yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari!

Ingin rasanya saat itu juga Monika menelepon surat kabar itu. Mencari wartawan yang menulisnya. Dan memaki-maki wartawan terkutuk itu!

Tetapi ketika tangannya sudah meraih telepon, tiba-tiba dia teringat pada Indra. Sudahkah dia membaca berita ini? Kalau sudah, bagaimana tanggapannya? Masih cukup kuatkah dia menahan kekecewaannya?

Sebagai seniman yang baru muncul. kepercayaan diri Indra masih rapuh. Terjangan badai seperti ini dapat memorak-porandakan harga dirinya. Kariernya bisa luruh sebelum berkembang.

Memang salah Monika juga. Sebenarnya Indra sendiri belum berani mengadakan pameran. Dia merasa belum saatnya. Monika-lah yang mendesaknya terus. Dia yang terus-menerus meyakinkan Indra, dia pasti berhasil. Pameran ini akan menjadi titik balik kesuksesannya sebagai pelukis.

Padahal Monika tidak tahu apa-apa. Dia tidak paham lukisan. Tidak mendalami pameran lukisan semacam itu.

lnilah akibatnya kalau dia main hantam kromo saja. Pamerannya gagal. Lukisannya dicela habishabisan. Indra pasti syok!

Terburu-buru Monika menyambar kunci mobilnya. Dia mengendarai sendiri mobilnya ke rumah Indra. Memang kalau pergi ke rumah pria itu, Monika tidak mau diantar sopir. Dia kan tidak bodoh. Sopirnya punya mata dan mulut. Dan Prasetya yang membayar gajinya.

Begitu Monika tiba di sana, rumah itu sepi seperti kuburan. Indra memang tinggal sendiri di rumahnya yang berukuran enam kali lima belas meter itu. Mula-mula rumah itu rumah kontrakan. Monika yang mencicilnya untuk Indra sehingga kini Indra memilikinya.

Supaya tidak usah memikirkan bayar sewa, kata Monika waktu dia membeli rumah itu. Dan konsentrasimu bisa tumplek blek untuk lukisanmu.

Tentu saja Indra tidak menolak. Karena membayar sewa rumah memang merupakan salah satu bebannya setiap akhir bulan kalau belum ada lukisannya yang laku terjual.

Untuk memacu kreativitas pelukis muda itu, Monika juga membuatkan sebuah sanggar kecil di halaman belakang rumah itu. Di sanalah Indra biasa melukis. Dan di sana pulalah kini dia ditemukan.

Tetapi kali ini dia tidak ditemukan sedang melukis seperti biasa. Dia ditemukan sedang mengamuk. Merusak semua alat lukisnya. Koyakan kanvas berserakan ke sana kemari. Cat dan kuas bertebaran di lantai. Tampaknya dia benar-benar frustrasi.

Monika membiarkan saja Indra menumpahkan kekesalannya. Dia menunggu dengan sabar sampai

lndra berhenti sendiri karena tidak ada lagi yang dapat dilemparkannya.

Lalu Indra menjatuhkan tubuhnya di lantai sanggarnya. Dia duduk sambil menutup mukanya. Tidak peduli tangannya berlepotan cat.

Dengan sabar Monika menghampirinya. Memilih tempat yang bersih agar bajunya tidak kena cat. Bukan khawatir bajunya ternoda. Tapi takut kalau Prasetya kebetulan sudah pulang dan melihat noda itu.

Hati-hati dia duduk di sisi Indra. Dan membelaibelai kepalanya dengan lembut.

Tetapi kali ini Indra meronta. Kali ini dia tidak mau dibelai. Tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak kecil.

Disingkirkannya tangan Monika dengan jengkel. Dan dia menggeser tubuhnya menjauh.

"Tinggalkan saja aku!" geramnya sengit.

"Aku pelukis sampah yang tidak berbakat! Tidak punya masa depan! Pameranku hanya pantas mengundang lalat!"

Monika tahu dari mana dia menyitir ungkapan pedas itu. Dari mana lagi kalau bukan dari koran sjalan itu!

"Aku tidak mau melukis lagi! Lebih baik aku cari kerjaan lain! Jadi pemulung lebih menghasilkan duit daripada pelukis macam aku!"

"Kalau kamu tidak mau melukis lagi, itu hakmu," sahut Monika sabar.

"Aku juga tidak akan memaksamu. Kalau kamu ingin wiraswasta, aku bisa memberimu modal."

"Dari mana uangnya?" sambar Indra sinis.

"Dari suamimu? Kapan kamu mau bercerai kalau terusmenerus mengharapkan uangnya?"

"Bagaimana aku bisa bercerai kalau kamu belum punya pekerjaan?" ' _

"Kita bisa memulai usaha bersama."

"Usaha apa? Kamu cuma bisa melukis. Aku cuma bisa mengambil uang suamiku. Dari mana kita dapat uang untuk menghidupi anak-anak kita?"

"Yang penting kamu bercerai dulu."

"Lalu kita makan apa?"

"Kamu tidak percaya padaku? Aku bisa kerja. Bisa cari duit. Meski tidak sehebat suamimu! Kalau kamu rela hidup susah bersamaku. kita bisa segera menikah setelah kamu bercerai!"

Tentu saja Monika ingin menikah dengan Indra. Tetapi dia tidak mau hidup susah. Hidupnya dengan Prasetya memang bukan hidup yang bahagia. Tapi paling tidak, dia hidup berkecukupan. Tidak melarat.

Kalau harus memilih, Monika lebih suka hidupnya yang sekarang. Punya suami. Punya anak. Punya uang. Dan punya kekasih gelap. Kurang apa lagi? Semuanya tersedia. Status. Uang. Seks.

Tetapi Indra mendesaknya terus. Dan semakin hari desakannya semakin menjemukan. Sejak kariernya ditebas ulasan buruk di koran itu, dia memang sudah berhenti melukis. Dan karena belum punya pekerjaan lain, adatnya jadi jelek sekali. Lebih jelek dari Prasetya.

Karena kalau Prasetya masih punya tempat lain

untuk melampiaskan adatnya yang jelek, Indra tidak. Monika menjadi satu-satunya tempat pelampiasan. Dan Monika lama-lama menjadi bosan.

"Prasetya tidak mau menceraikanku," katanya berdusta setelah tak tahan lagi didesak terus.

"Kalau kamu ingin membebaskanku, kamu harus menyingkirkannya."

Indra melongo bingung. Ditatapnya Monika dengan tatapan tidak mengerti.

Menyingkirkannya? Menyingkirkannya bagaimana'?

*****

Frida menukar seragam perawatnya dengan pakaian biasa. Lalu dia berkemas hendak pulang ke rumah.

Hari ini dia letih sekali. Begitu banyak pasien baru yang masuk. Yang lama pun tidak kurang merepotkannya. Dia sudah lelah sekali. Ingin buru buru pulang.

"Pulang, Mbak?" tegur salah seorang perawat muda.

Frida cuma tersenyum. Karena pertanyaan itu memang cuma basa-basi. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Ditanyakan oleh semua perawat yang berpapasan dengannya. Dia memang termasuk perawat senior di rumah sakit itu.

Ketika dia melewati ruang perawat, Dokter Harsa yang kebetulan berada di sana menoleh Atau dia memang bukan kebetulan berada di sana?

"Ke sini sebentar, Da." panggilnya begitu melihat Frida.

"Tugas malam ini?"

"Tidak," sahut Frida dengan suara wajar. Dia memang selalu mencoba bersikap wajar kepada

bekas kekasihnya itu. Walaupun pada mulanya bukan main susahnya.

Sudah hampir lima tahun dia bekerja kembali di rumah sakitnya yang lama. Tetapi sejak pertemuannya dengan Prasetya Sanjaya, dia memang sudah bertekad untuk memutuskan hubungannya dengan Dokter Harsa. Dan dia tidak ingin menyambungnya kembali, tidak peduli bagaimanapun kerasnya dokter itu berusaha.

"Mana status pasien di kamar lima? Kok nggak ada di sini?"

Frida mencari status yang dimaksud walaupun dia dan Dokter Harsa sama-sama tahu, itu bukan tugasnya lagi. Masa tugas Frida hari ini sudah usai. Seharusnya Dokter Harsa bertanya kepada perawat jaga. Bukan kepadanya.

Ketika sudah menemukan status itu. tempatnya memang tidak jauh dari depan Dokter Harsa, Frida meletakkannya di meja.

"Saya permisi pulang dulu, Dok. Selamat malam."
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebentar, Da. Siapa perawat jaga malam ini?"

"Suster Ana. Sudah datang kok, Dok. Barusan saya ketemu dia."

"Suster Ana?" Dokter Harsa menghela napas panjang.

"Tidak ada yang lain?" '

Tidak ada. Memangnya restoran. Bisa pilih menu. Yang tugas jaga kan tergantung gilirannya.

"Mau kamu menolong saya. Da?"

"Saya mau pulang, Dok."

"Saya tahu. Tapi masih sempat tolong saya. kan?"

Sebenarnya Frida merasa enggan. Dia sudah lelah. Dan dia sudah ingin huru-buru pulang. Tetapi tidak sopan menolak permintaan tolong. Apalagi yang minta tolong dokternya.

"Bantu saya punksi lumbal, ya? Kalau kamu yang asistensi, pasien lebih nurut."

"Pasien mana yang malam*malam mau punksi lumbal, Dok?" tanya Frida heran.

"Pasien kamar lima itu. Suspek meningitis."

"Harus dilakukan malam ini juga, Dok?"

"Lebih baik malam ini Lebih cepat memastikan diagnosanya lebih baik, kan? Minta laboran periksa LCS-nya malam ini juga, Da. Tolong siapkan semuanya, ya? Bilang juga sama istrinya. Sekalian minta izinnya. Saya tahu saya bisa mengandalkanmu."

"Tapi itu bukan tugas saya lagi, Dok," bantah Frida setelah dia merasa haknya dilangkahi.

"Itu tugas Suster Ana. Dia yang tugas malam ini. Saya sudah mau pulang."

"Jadi kamu tidak mau menolong saya?" suara Dokter Harsa terdengar berubah.

Tatapan matanya berubah dingin. Frida malah membaca ancaman di mata itu. Tetapi dia tidak gentar. Dia tidak merasa bersalah kok.

"Bukannya tidak mau, Dok. Tapi tugas saya untuk hari ini telah selesai."

"Karena itu kamu menolak menolong pasien?"

"Kalau tidak ada perawat lain. tentu saja saya tidak dapat menolak. Dok. Tapi perawat jaga sudah datang...."

"Suster Ana tidak segesit kamu. Saya lebih suka kamu yang asistensi."

Kalau begitu mengapa tidak menunggu sampai besok pagi saja?

Tetapi Frida tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dia tidak tahu urgensinya melakukan punksi lumbal itu malam ini juga. Hanya dokter yang tahu. Jadi dia tidak dapat mempenanyakannya. Dia hanya merasa segan. Karena itu bukan tugasnya.

Tetapi Dokter Harsa tampaknya tidak mau dibantah. Jika Frida berkeras terus menolaknya, harga diri dokter itu akan jatuh. Akhirnya terpaksa dia mengalah.

Frida tidak tahu Dokter Harsa sengaja memintanya asistensi supaya dapat berada lebih lama di dekatnya atau hanya untuk menyiksanya.

"Terima kasih," katanya ketika mereka berjalan menelusuri lorong rumah sakit setelah selesai melakukan punksi lumbal.

"Boleh mengajakmu minum di kantin untuk mengucapkan terima kasih?"

'Tidak usah, Dok," sahut Frida letih.

"Saya capek sekali. Mau pulang saja."

Ketika Frida berbalik, Dokter Harsa meraih tangannya. Frida terperanjat sekali. Segera dia menoleh-noleh ke sekitarnya. Untung sudah tidak ada orang di sana Dia tidak mau gosip hubungan gelap mereka merebak lagi. Jangan seperti dulu. Jangan lagi.

"Masih panggil Dok? Di sini sudah tidak ada orang. Dan kita sudah tidak bertugas."

"Maafkan saya...."

Frida berusaha melepaskan tangannya dengan rikuh. Tapi Dokter Harsa malah mengetatkan genggamannya.

"Saya ingin menyampaikan berita baik untukmu, Da. Sudah lama saya ingin mengatakannya padamu. Tapi kamu selalu menghindar. Sepertinya kamu enggan berada berdua saja dengan saya."

Frida memaksa melepaskan lengannya dari genggaman Dokter Harsa. Dia merasa salah tingkah. Sudah hampir lima tahun dia mencoba menjauhi dokter ini. Memang tidak mudah. Tapi Frida bertekad dia harus melakukannya. Di hatinya kini sudah tidak ada siapa-siapa lagi.

"Saya akan segera bercerai."

Lama Dokter Harsa mengamat-amati reaksi Frida. Mengawasi parasnya. Menunggu tanggapannya.

Tetapi perawat yang dicintainya itu tidak memberikan reaksi apa apa. Parasnya memang memperlihatkan kekagetan. Tapi bukan kegembiraan seperti yang disangkanya.

"Itu kabar buruk," sahutnya lirih.

"Bukan kabar baik. Anak-anak Mas Har akan kehilangan salah satu orangtuanya."

Mula-mula Dokter Harsa melongo mendengar jawaban yang tidak disangka sangka itu. Ketika akhirnya dia memahami arti jawaban Frida, kemarahannya meledak.

"Jangan munafik, Frida!" geramnya kesal.

"Sepuluh tahun kamu menunggu-nunggu perceraian saya..." _

"Lima tahun," potong Frida pahit.

"Lima tahun kedua, saya sudah tidak menunggu apa-apa lagi."

"Bohong! Saya tidak percaya!" Frida mengangkat bahu.

"Saya permisi dulu." katanya letih.

"Selamat malam."

"Frida!" panggil Dokter Harsa sesaat sebelum perawat itu berlalu. Frida berhenti melangkah. Dan berpaling. Sekejap mata mereka bertatapan dalam kesunyian di lorong rumah sakit. Tetapi mata Frida sudah tidak memancarkan harapan lagi. Mata itu kosong. Hampa tanpa sinar.

"Benar kamu sudah tidak mengharapkan saya lagi?"

"Saya sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi."

"Mengapa, Frida? Kalau saya boleh tahu, apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang menimpa dirimu ketika kamu meninggalkan rumah sakit ini? Mengapa kamu menjadi begitu berubah? Kamu seperti menjelma menjadi orang lain!" Sesuatu yang tak terlupakan. Tetapi Frida tidak ingin mengatakannya.

Sesampainya di rumah, malam sudah larut. KUmahnya sudah sepi. Oni, pembantunya, sudah lama terlelap. Frida tidak ingin membangunkannya. Karena itu dia membawa kunci sendiri.

Dia mencuci tangan dan kakinya sambil masih

memikirkan Dokter Harsa. Akhirnya berita itu didengarnya juga. Dokter Harsa akan bercerai. Tetapi berita itu datang terlambat. Terlambat lima tahun. Frida sudah tidak mengharapkannya lagi. Tidak menunggunya lagi.

Frida menukar bajunya sebelum masuk ke kamarnya. Dia ingin masuk ke kamar tanpa membawa segala macam kotoran dan kuman dari rumah sakit. Dia ingin menemui Dewi tanpa menularkan penyakit yang mungkin ikut pulang bersamanya.

Ditatapnya putrinya yang sedang tertidur dengan lelapnya itu. Dikecupnya dahinya dengan penuh kasih sayang.

"Kalau saja boleh tahu, apa sebenarnya yang terjadi?"

Memang hanya Frida yang tahu. Sesudah memiliki Dewi, dia tidak ingin menikah dengan lakilaki lain kecuali ayah anak ini. Karena dia tidak ingin sejarah masa lalunya menimpa putri kesayangannya.

Tidak akan diberinya Dewi seorang ayah tiri. Tidak juga kalau laki-laki itu Dokter Harsa sekalipun.

Hanya ada seorang laki-laki yang pantas menjadi ayah Dewi. Dan kalau dia tidak berhasil memilikinya, Frida tidak akan memberinya ayah yang lain.

Perjuangan Frida untuk memiliki Dewi tidak ringan. Dia tidak punya suami. Tidak punya uang. Tidak punya pekerjaan.

Tetapi dia ingin mempertahankan kehamilannya. Dia tidak ingin melenyapkan anak Prasetya.

Frida perawat yang berpengalaman. Dia langsung tahu begitu dia hamil. Mula-mula dia memang takut. Bingung. Panik. Tidak tahu harus melakukan apa. Satu hal yang pasti. Sejak permulaan sekali, sejak pertama kali tahu dia hamil, Frida tidak pernah berniat menggugurkan kandungannya.

Frida malah melamar pekerjaan kembali di rumah sakitnya yang lama. Karena konduitenya bagus, pengalamannya pun banyak, dia langsung diterima.

Dokter-dokter dan rekan-rekan perawatnya menyambut hangat kembalinya Frida ke tengah-tengah mereka. Tetapi orang yang paling gembira pastilah Dokter Harsa.

Dia baru mulai agak kecewa ketika menyadari, Frida sudah berubah. Amat berubah. Dia sengaja menjauhkan diri. Mengambil jarak. Diajak ke mana pun, dia menolak dengan halus. Diajak bicara halhal yang bersifat pribadi, dia mengelak dengan manis.

Dokter Harsa baru terperanjat ketika melihat perawat itu hamil.

"Siapa yang melakukannya, Da?" desaknya penasaran.

Dia tahu sekali kualitas perawatnya yang satu ini." Dia bukan tipe wanita yang gampang-gampang menyerahkan kehormatannya.

Pertanyaan yang sama juga menghantui semua rekannya. Bedanya, hanya Dokter Harsa yang berani menanyakannya. Yang lain hanya berani berbisik-bisik di belakangnya. Saling bertanya kepada teman sendiri.

"Seorang pria yang sangat saya cintai, Dok." sahut Frida sambil tersenyum pahit. Matanya menerawang jauh. seakan-akan membayangkan sesuatu yang sangat indah, tapi yang berada sangat jauh di balik awan.

"Suamimu? Di mana dia sekarang?"

"Dia berada jauh dari sini, Dok."

"Dia meninggalkanmu?"

"Tidak. Saya yang meninggalkannya."

"Kalian bercerai?"

Frida hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sendu. Lalu dia tidak mau berkata apaapa lagi. Dia menolak memaparkan rahasianya.

Dia mengambil cuti tiga bulan ketika melahirkan Dewi. Tatkala Dokter Harsa dan rekan-rekan perawatnya menengoknya, mereka melihat seorang ibu yang sangat bahagia dan seorang bayi yang sangat manis.

Tetapi mereka tidak melihat seorang laki-laki pun di sana. Dan mereka pulang dengan segurat pertanyaan di kepala mereka.

Siapa ayah bayi itu? Di mana dia sekarang?

"Mama berdoa. semoga suatu hari nanti kamu akan melihatnya, Sayang," bisik Frida setiap kali dia teringat pada ayah bayinya. Dikecupnya pipi yang montok itu dengan lembut.

"Tapi seandainya kamu tidak pernah melihatnya sekalipun, Mama harap kamu menyayanginya. Karena dia seorang ayah yang hebat."

Begitu hebatnya sampai Mama begitu mencintai-nya. Begitu mengaguminya. Suatu hari nanti, Mama

berjanji akan menceritakan kehebatannya padamu. Supaya kamu bangga memiliki ayah yang sehebat dia. Dan tidak merasa rendah diri karena tidak dapat memamerkannya kepada teman-temanmu.

***

MONIKA melongo kebingungan. Ketika dia tiba di rumah. dilihatnya semua lukisannya telah lenyap!

"Ningsih!" teriaknya panik.

Ketika pembantu itu tergopoh-gopoh masuk, Monika langsung menunjuk ke dinding ruang tengah.

"Pada ke mana lukisan saya?" teriaknya menahan marah.

Pembantu itu langsung mengerut ketakutan.

"Bapak suruh panggil tukang loak. Bu...."

"Apa??" Hampir putus jantungnya. Tukang... loak?

"Katanya semua lukisan itu suruh diturunkan dan diberikan ke tukang loak...'

Kurang ajar kau, Prasetya Sanjaya! Kurang ajar!

Monika menyambar telepon seperti alap-alap. Ningsih terbirit-birit meninggalkan ruangan sebelum kecipratan amukan majikannya.

Hhh, Bapak memang keterlaluan! Masa lukisan Ibu semuanya diberikan ke tukang loak!

"Bilang istrinya mau bicara!" geram Monika sengit.

Sudah sedang kesal, sekretaris Pras menyahut seenaknya, lagi. Suaranya yang merdu menggemaskan seperti menggelitiki telinga Monika. Membuatnya makin gusar seperti jangkrik yang digelitiki kakinya.

"Maaf, Bapak tidak bisa diganggu."

Siapa yang mau mengganggu? Dia mau melabrak!

"Bapak bilang tidak mau diganggu. Bu. Oleh siapa pun."

"Dengar ya, kaupanggil dia. Atau aku akan terus menelepon sampai kupinginu budek!"

Tetapi sekretarisnya memang tidak bisa apa-apa. Dia memilih mengorbankan telinganya daripada pekerjaannya .Akhirnya Monika terpaksa menunggu sampai suaminya pulang.

"Kamu kemanakan lukisan-lukisanku?" bentaknya begitu Prasetya melangkah masuk. .

"Lukisan apa?" sahut Prasetya acuh tak acuh.

"Jangan berlagak bodoh! Ningsih bilang kamu jual lukisanku ke tukang loak?"

"Oh, itu yang kamu sebut lukisan?" Prasetya tersenyum sinis.

Heran. Senyumnya sekarang tidak menarik lagi. Malah sinis menyakitkan. Tatapannya juga tidak lagi menyimpan senyum seperti dulu. Tatapan itu lebih banyak bersorot dingin menyebalkan. Di mana Prasetya Sanjaya yang dikenalnya? Di mana lelaki yang pernah dikaguminya? Sudah lenyap ditelan

hantu laut? :

"Jangan menghina! Kamu sendiri tidak becus melukis!"

"Karena itu aku tidak melukis," sahut Prasetya seenaknya "Dan tidak gegabah mengadakan pameran lukisan!"

"Aku tahu kamu iri padanya! Karena itu kamu rusak kariernya, kamu hina hasil karyanya!"

"Iri? Kepada pelukis sampah yang lukisannya tidak laku sampai harus rela jadi gigolo istriku?"

"Mas Pras!" jerit Monika setengah histeris saking marahnya

"Kenapa? Aku tidak salah. kan? Kamu tukar tubuhmu dan uangku dengan segebung lukisan butut yang tukang loak pun tidak mau beli! Kamu tahu berapa aku harus membayar tukang loak itu supaya dia sudi tolong membuangkan tumpukan sampahmu itu?"

"Cukup!" bentak Monika menahan marah.

"Sudah cukup Mas Pras menyiksaku! Lebih baik kita bercerai daripada melanjutkan perkawinan yang sakit ini!"

"Mama!" Satria tiba-tiba saja muncul dari dalam kamarnya, dikejar oleh pengasuhnya. Dia berlarilari menghampiri ibunya dengan langkahnya yang kecil-kecil dan lucu.

Monika meraih anaknya ke dalam gendongannya. Dan menyuruh pengasuhnya pergi. Diciuminya Satria sekadar untuk meredakan kemarahannya. Memang cuma anak inilah pelipur laranya setiap kali berada di rumah. Karena yang lain, semuanya sudah berubah menjadi sumber pertengkaran! ,;

"Kamu boleh saja pergi dari rumahku," sambung Prasetya tenang.

"Tapi jangan harap bisa membawa anak dan uangku."

"Satria anakku," Monika memeluk anaknya eraterat sampai Satria menangis ketakutan.

"Dia akan kubawa."

"Melalui pengadilan," sahut Prasetya dingin.

"Dan percaya padaku, kamu akan pergi ke gubuk kekasihmu seperti gembel! Tanpa membawa uang sepeser pun!"

"Aku akan menuntut separo kekayaanmu yang menjadi hakku. Dan aku akan memenangkan hak asuh Satria. Hakim pasti tidak sampai hati memberikan seorang anak berumur empat tahun kepada seorang ayah yang gila kerja dan sakit ingatan!"

''Coba saja." tantang Prasetya datar.

"Kamu tahu betapa hebatnya deretan pengacara yang dapat kusewa. Dan betapa ulungnya orang-orang yang kubayar untuk mendapatkan bukti perselingkuhanmu."

* * *

"Prasetya tidak akan menceraikanku," tangis Monika ketika Indra dengan marahnya sedang mengusap-usap memar di lengan Monika yang katanya merupakan hasil kekasaran suaminya.

"Dia lebih suka menyiksaku. Mengurungku dalam penderitaan. Dia sudah tahu perselingkuhan kita. Tapi dia tetap menolak bercerai!"

"Aku harus menghajarnya," geram Indra sengit. Darah mudanya menggelegak dibakar api kemarahan. Kalau lelaki itu ada di depannya sekarang. pasti sudah dibunuhnya! Dia berani menyakiti keka sihnya! Lelaki apa yang tega menyiksa wanita seperti itu!

"Jangan. Sayang," Monika memeluk kekasihnya sambil menahan tangis.

"Dia sangat berkuasa. Uangnya banyak sekali. Dia dapat melakukan apa saja terhadap kita!"

"Tapi takkan kubiarkan dia menyiksamu seperti ini, Monik! Dia harus kuhentikan sebelum membuatmu lebih menderita lagi!"

Sejak hari itu, memang hanya satu tekad Indra Hanya satu cita-citanya. Menghentikan Prasetya menyiksa Monika. Tetapi sampai hari ini, dia belum tahu caranya. Padahal hampir setiap hari Monika datang sambil menangis mengadukan penderitaannya. Diperiihatkannya bekas-bekas siksaan di tubuhnya.

Semakin hari memar di tubuh dan wajahnya semakin banyak. Rasanya Indra sudah tidak tahan lagi.

"Katakan apa yang harus kulakukan, Monik!" sergahnya putus asa.

"Aku hampir gila melihatmu disiksa setiap hari! Bagaimana aku dapat menolongmu? Membebaskanmu dari monster yang sadis itu?"

Monika sudah tahu. Tetapi dia belum berani mengatakannya. Sebuah rencana telah terlukis di kepalanya. Rencana untuk memakai tangan Indra guna menyingkirkan Prasetya.

Karena tanpa menyingkirkannya, sebentar lagi

Monika akan kehilangan semuanya. Satria. Dan uang Pras yang banyak itu. Dia akan kehilangan segala-galanya. '

Prasetya akan menendangnya seperti gembel. Dan Monika tahu, suaminya yang gila itu akan menepati ancamannya. Karena walaupun sinting, dia sangat berkuasa. Pras dapat melakukan apa saja. Menceraikan istrinya tanpa santunan sepeser pun. Dan merampas Satria.

Monika merasa, Prasetya sudah memiliki buktibukti penyelewengannya. Karena itu dia hanya tinggal menunggu waktu.

Monika harus mendahuluinya. Kalau tidak, dia akan disingkirkan seperti pengemis.

Dia sudah mulai memupuk dendam di hati Indra. Setiap hari dipanas-panasinya anak muda itu dengan memperlihatkan memar di muka dan tubuhnya. Padahal dia sendiri yang membuat memar itu. Karena meskipun menyebalkan, Prasetya belum pernah mengasarinya. Yang jahat hanya mulutnya. Bukan tangannya.

Tetapi ketika Indra menanyakan bagaimana caranya membebaskan dirinya dari monster yang sadis itu, Monika belum berani mengemukakan rencananya. Karena terus terang, dia masih raguragu.

Monika baru tergugah untuk melaksanakan niatnya ketika suatu hari Prasetya bertemu dengan seorang wanita dari masa lalunya. Dan tiba-tiba saja Monika merasa gentar. Merasa terancam.

***

PRASETYA tidak ingat siapa wanita itu. Ingatannya belum kembali juga walaupun lima tahun telah berlalu. Tetapi dia tahu betapa cantiknya wanita muda yang tegak di hadapannya ini. Dan untuk menilai kecantikan seorang wanita, pria tidak membutuhkan memori. Dia hanya membutuhkan sepasang mata

"Oom Pras lupa. ya?" gadis itu tersenyum manis. Matanya yang indah begitu bening berkilawan seperti intan.

"N ggak ingat sama saya lagi?"

"Tentu saja ingat," sahut Prasetya sambil mengulum senyum. Di depan gadis secantik ini masa dia bilang lupa? Dia lelaki yang tidak takut mengambil risiko. Karena itu dia sukses dalam bisnis barunya.

"Masa lupa sama wajah secantik ini? Paling-paling cuma lupa namanya! Tapi apa artinya sebuah nama?"

Senyum gadis itu melebar. Matanya juga ikut tersenyum. Cerah.

"Saya Vania, Oom. Kita ketemu sebelum kapal kita tenggelam lima tahun yang lalu. Ingat nggak?"

"Ingat dong," sahut Prasetya santai. Berdusta

memang sudah menjadi bahasanya sehari-hari. Mana ada pedagang yang tidak berdusta? "Kamu di mana sekarang? Masih kuliah?"

"Ekonomi, Oom. Semester terakhir. Makanya Vania kemari. Perlu bahan untuk bikin skripsi. Oom mau bantu, kan? Kiki yang bilang, perusahaan ini milik Oom Prasetya Bapaknya kenal Oom. Sama-sama gemar main valas."

"Boleh saja," Prasetya tersenyum lebar.

"Bilang saja apa yang Oom bisa bantu."

Heran, pikir Vania setelah lama mengamat-amati laki-laki ini. Apanya yang berubah, ya? Mengapa seperti ada yang hilang dari dirinya?

Senyumnya masih tetap menarik. Walau tidak setulus dan selembut dulu. Tatapan matanya juga berubah. Tidak ada lagi mata yang selalu tersenyum menyejukkan seperti dulu. Walaupun Vania harus mengakui, tatapan itu masih tetap tatapan paling menarik yang pernah dilihatnya.

"Oom sudah menikah?"

"Sudah. Vania?"

Gadis itu senyum tersipu.

"Aris masih kuliah, Oom. Arsitektur. Katanya sih setahun lagi."

Aris. Yang mana yang namanya Aris itu? Pacar gadis cantik ini? Tapi peduli apa! Yang penting gadis ini. Bukan pacarnya. Persetan dia punya sebelas pacar sekalipun!

"Oom jadi menikah dengan Tante Monika?"

"Dengan siapa lagi? Apa Oom kelihatannya seperti Don Juan?"

"Don Juan sih tidak," gurau Vania ringan.

"Tapi playboy!"

"Jadi begitu penilaianmu. Nona Manis?" Prasetya tertawa cerah.

"Pantas saja kamu memilih bikin skripsi di sini!"

"Apa hubungannya?"

"Playboy kan pasti ganteng."
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi?" Vania menahan tawa.

"Daripada kerja di perusahaan yang direkturnya jelek seperti drakula?"

Mereka sama-sama tertawa geli.

"Jadi Oom tidak keberatan kalau perusahaan ini saya jadikan obyek untuk skripsi?"

"Mengapa tidak? Tapi ada syaratnya."

"Jangan berat-berat syaratnya ya, Oom! Takut Vania nggak sanggup!"

"Belum tanya sudah takut!"

"Apa syaratnya'!"

"Temani Oom makan."

"Sekarang?"

"Kapan lagi?"

"Kebetulan sih. Saya memang belum makan!"

"Tapi bukan hanya hari ini. Tiap hari!"

"Wah, selesai bikin skripsi, saya bisa melembung seperti balon!"

Ketika Monika memergoki suaminya sedang pergi makan siang dengan seorang gadis yang luar biasa cantiknya, dia mulai merasa terancam. Apalagi ketika mendengar dari sekretarisnya, tiap hari Prasetya pergi dengan gadis itu. Katanya sih makan siang. Tetapi siapa yang tahu? ;

"Siapa gadis itu?" tanya Monika ketika dia sudah tidak dapat menahan kekhawatirannya lagi.

"Teman lama," sahut Prasetya acuh tak acuh.

"Bohong. Dia jauh lebih muda daripadamu! Pantas jadi anakmu!"

"'Tidak percaya ya sudah. Tidak ada yang suruh kok."

"Mau apa dia di kantormu?"

"Bikin skripsi."

"Skripsi tentang makan siang dengan bos?"

Sekarang Prasetya menoleh. Dan matanya menatap istrinya dengan tatapan yang sangat dibenci Monika. Tatapan sinis yang menjengkelkan.

"Oh, sekarang kamu menyelidiki juga suamimu? Perlu bahan untuk kasus perceraian kita nanti? Oke, catat ini baik-baik, rekam kalau perlu, aku akan berselingkuh dengan gadis itu! Lalu aku akan menceraikanmu dan mengawininya! Tetapi jangan harap kamu bisa memperoleh uang dan anakku!"

"Separo hartamu adalah hakku," geram Monika sengit.

"Tapi Satria seutuhnya milikku."

"Minta saja pada pelukis sampahmu! Kalau dia tidak punya duit, suruh dia menjualmu. kalau masih ada yang mau. Kalau dia tidak bisa memberimu anak. mungkin kamu bisa minta sekalian pada orang yang membayarmu!"

Saking gemasnya, Monika melemparkan jambangan hunga di hadapannya ke kepala suaminya. sayang meleset.

'Heran," gumam Vania ketika malam itu Aris mengunjunginya di rumah.

"Aku kok merasa sepertinya Oom Pras sudah berubah banyak."

"Nggak heran." sahut Aris santai.

"Pasti dia tambah tua dan jelek!"

"Bukan. bukan fisiknya yang terutama kurasakan berubah." bantah Vania sambil merenung.

"Wajahnya masih tetap setampan dulu. Tubuhnya juga masih tetap gagah. Tapi sifatnya..."

"Ya, namanya juga tambah uzur, pasti tambah nyebelin. Makanya, kalau pacaran. cari yang seumur!"

Aris _tidak mengerti, pikir Vania sambil menghela napas panjang. Percuma saja mengajaknya benukar pikiran. Dia memang cuma mengenal Prasetya Sanjaya dari luar. Dan dia benci pada saingannya itu. Meskipun pada saat dibutuhkan, Aris tidak ragu-ragu menyelamatkan jiwanya.

Tetapi Vania mengenal Prasetya lebih dalam lagi. Biarpun cuma sekejap, pertemuan di kapal malam itu telah mengikat hati mereka dengan seutas benang yang tidak kelihatan. Benang itu yang kini tidak dirasakan lagi keberadaannya.

Prasetya terasa begitu jauh. Seperti orang asing. Tak ada lagi laki-laki yang dikaguminya itu. Lakilaki yang dapat tampil romantis seperti seorang kekasih, sekaligus dapat bersikap arif bagai seorang ayah.

Prasetya seperti menjelma menjadi orang lain.

Dia tampil berbeda. Jauh berubah dibandingkan Prasetya Sanjaya yang dikenalnya dulu.

"Kamu harus hati-hati menjaga dirimu, Nia." Tak ada lagi kata-kata lembut dan bijak yang keluar dari mulutnya seperti dulu. Ketika mereka berada berdua saja di geladak kapal.

"Jangan percaya pada janji laki-laki. Karena lebih banyak yang tidak ditepati daripada yang dipatuhi." Sekarang Prasetya malah cenderung menggodanya. Mengajaknya minum satnpai setengah mabuk. Membawanya ke diskotek sampai larut malam kalau kebetulan Vania sedang lembur di kantornya. Beberapa kali dia malah membujuk Vania untuk pergi ke hotel.

"Idih, kok Oom jadi begini sih?" protes Vania antara jijik dan kecewa.

"Begini bagannanaT' tanya Prasetya santai, tanpa raSa bersalah.

"Dulu Oom tidak begini !"

"Dulu aku tidak pernah mengajakmu ke diskotek?"

"Oom tidak pernah mengajak saya ke kamar!" sergah Vania dengan paras memerah.

Membuat Prasetya tambah gemas dan penasaran. Ingin memetik bunga yang sedang merekah dengan segarnya itu.

"Tentu saja." sahutnya tangkas.

"Dulu kan kamu masih kecil."

"Oom Pras sudah berubah!"

"Peduli apa? Kamu juga sudah berubah. Kamu makin cantik dan sudah siap dipersunting!"

"Ih. ngomongnya kok begitu?"

"Oom serius, Vania. Aku akan melamarmu setelah bercerai."

"Cerai?" belalak Vania antara kaget dan tidak percaya.

"Oom tega menceraikan Tante Monika?"

"Kenapa tidak? Perkawinan kami seperti neraka."

"Tapi dia yang menyelamatkan nyawa Oom! Ketika Oom sudah tidak bernapas lagi, dia yang memberi Oom pernapasan buatan. Dia yang memijat-mijat dada Oom. Dia yang menghentikan perdarahan di kepala Com ."

"Monika berbuat begitu?" Prasetya tertawa dingin.

"Aku tidak percaya! Kalau anak kami kejang saja, dia sudah kebingungan. Tidak tahu harus melakukan apa!"

"Tidak mungkin! Tante Monika kan seorang perawat!"

"Perawat?" sekarang Prasetya yang mengerutkan dahinya.

Lalu sekejap ingatannya kembali kepada wanita yang dulu mendampinginya pulang ke Jakarta, ketika dia baru saja memperoleh kesadarannya. Wanita itukah yang dimaksudkan Vania? Diakah yang menyelamatkan nyawanya?

"Tante Monika yang mendampingi Oom selama Oom koma. kan? Masa sekarang Oom mau menceraikannya?"

"Bukan dia," sahut Prasetya datar.

"Monika yang lain. Tapi dia tidak cantik. Mukanya biasa saja. Dan dia penipu."

"Oom ngomong apa sih?" gerutu Vania bingung.

"Siapa yang tidak cantik dan siapa yang penipu?"

"Bukan urusanmu. Sekarang maukah kamu membicarakan soal lain?"

"Saya kecewa kalau Oom Pras seperti ini."

"Seperti apa?" .

"Ingin bercerai. Oom sudah punya anak, kan?"

"Satu. Dan dia akan kubawa kalau kami bercerai."

"Oom pasti sangat menyayanginya. Kasihan kan kalau dia harus kehilangan ibunya."

"Monika yang lebih kehilangan. Karena itu Satria akan kubawa."

Sekejap Vania melongo kebingungan. Duh, jahatnya lelaki ini! Benarkah Prasetya Sanjaya yang kini berada di hadapannya? Begitu hebatkah kecelakaan itu telah mengubah sifat dan kepribadiannya?

"Oom tega memperlakukan Tante Monik seperti itu?" desis Vania iba.

"Dia juga tega mengkhianatiku. Menghamburhamburkan uangku untuk seorang gigolo yang tidak pantas menyentuh uangku!"

Gigolo? Sekali lagi Vania terenyak kaget. Tante Monika berselingkuh dengan lelaki lain? Pantas saja Oom Pras tampak begitu sadis! Tapi... Tante Monika yang sealim itu bayangan Frida kembali melintas di depan mata Vania. Mungkinkah perempuan seperti dia menyeleweng dengan seorang gigolo?

"Sudah, jangan pikirkan lagi oom-mu yang tua bangka itu," Aris meraih bahu Vania sambil tersenyum.

"Pikirkan saja pacarmu yang ada di depanmu ini. Dia tidak pernah berubah. Masih tetap ganteng dan macho. lya, kan?"

Vania menoleh. Menatap kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Dibelainya pipi Aris dengan lembut.

Sebenarnya Aris juga berubah. Tetapi dia berubah ke arah yang lebih baik. Dia lebih dewasa, Lebih matang. Dan lebih sabar. Tidak pemberang seperti dulu lagi.

"Suatu hari dia akan berubah," kata Oom Pras dulu.

"Dan kalau dia berubah, saya percaya, kamulah yang mengubahnya."

Memang benar. Kesabaran dan kelembutan Vania-lah yang sedikit-banyak mengubah sifat Aris. Setelah lima tahun bersama. sifat Vania menular juga kepadanya. Aris menjadi jauh lebih baik.

Aris tidak pernah menggodanya. Tidak pernah mengajaknya melakukan hal-hal yang belum diperbolehkan. Mereka bergaul dan berpacaran dengan penuh tanggung jawab. Saling menjaga. Saling mengingatkan.

Tidak seperti Oom Prasetya. Belum apa-apa dia sudah... ah. Mengapa sekarang dia jadi begitu? Padahal jika dia mau, dulu dia bisa melakukannya dengan sangat mudah!

Waktu itu Vania masih hijau. Belum mengerti apa-apa. Masih mudah sekali terjebak.

Lebih-lebih suasana romantis di tengah laut sangat menunjang. Dan Vania sedang terpukau

oleh ketampanan dan penampilan Prasetya. Tak ada orang di kabinnya saat itu. Prasetya bisa saja mengambil apa yang diinginkannya. Tapi bahkan saat itu, dia tidak mengambil apa yang bukan miliknya!

Dia pergi dengan santun. Memperlakukannya sebagai seorang wanita terhormat. Padahal saat itu Vania baru remaja tujuh belasan!

Mengapa justru sekarang Prasetya memperlakukannya seperti ini? Mengajaknya ke hotel seperti perempuan murahan!

Vania sedih. Lebih merasa sedih daripada terhina. Dia mengagumi pria itu. Pria idola dari masa remajanya. Dia ingin Prasetya seperti dulu. Dia ingin pria itu kembali menjadi Prasetya Sanjaya yang dikenalnya!

Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah kecelakaan yang mengubahnya'? Atau... perempuan yang bernama Monika itu, tunangan yang kini menjadi istrinya?

***

Kamu harus melakukannya, Dra!" Monika terisak di pelukan kekasihnya.

"Aku sudah tidak tahan lagi!"

Indra memegang kedua belah pipi kekasihnya. Dibukanya kacamata hitamnya dengan hati-hati. Dan darahnya mendidih melihat lebam yang menyelimuti mata kiri Monika.

"Dia memukulmu lagi?" geram Indra gemetar menahan marah.

"Lelaki laknat itu! Aku harus membunuhnya!"

Monika membenamkan wajahnya di dada Indra. Dan menangis tersedu-sedu.

"Kamu harus minta cerai, Monik! Hari ini juga! Mari kuantar kamu ke polsek Supaya hakim nanti punya bukti untuk meluluskan gugatan ceraimu!"

"Dia akan membawa Satria! Dan tidak akan memberiku uang sepeser pun!"

"Uang bukan segala-galanya! Kalau kamu rela hidup miskin bersamaku..."

"Masalahnya bukan hidup miskin. Dra! Kita

tidak punya apa-apa untuk dimakan! Kamu kan tidak punya pekerjaan!"

"Ayahmu tidak bisa meminjami kita modal?" keluh indra murung.

"Ayahku jauh di Surabaya! Dan sejak semula, Papa tidak setuju aku bercerai! Bikin malu saja katanya."

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" gumam Indra resah.

"Aku tidak bisa tinggal diam melihatmu disiksa setiap hari!"

"Kamu harus menolongku. Dra!" pinta Monika dengan suara memelas.

"Bagaimana caranya?"

"Menyingkirkan suami keparat itu!"

"Maksudmu...?" Indra menyipitkan matanya dengan tegang.

"Tidak ada jalan lain," gumam Monika pahit.

"Kalau aku sudah keburu diceraikan, dia akan membawa Satria dan semua hartanya." .

"Jadi...?"

"Kita harus mendahuluinya. Dia harus disingkirkan selama aku masih menjadi istrinya. Dan kita akan memperoleh semuanya. Rumah. Perusahaan. Uang. Dan... Satria."

"Tapi bagaimana caranya? Kita tidak punya uang untuk menyewa orang ."

"Kita akan melakukannya sendiri," sahut Monika mantap.

"Supaya kita tidak usah membocorkan rahasia ini kepada orang ketiga."

"Kamu ingin meracuninya?"

"Terlalu kasar. Jika seorang laki-laki mati kera

cunan, istrinya yang pertama-tama akan dicurigai."

"Jadi?"

"Kita akan melakukannya seperti perampokan biasa."

"Perampokan? Kamu akan merampok rumahmu sendiri?"

"Tentu saja bukan aku. Tapi kamu. Aku akan memberitahukan apa yang harus kamu lakukan. Juga alibi untuk membebaskanmu dari tuduhan."

"Aku harus... merampok di rumahmu dan mem...?" Paras Indra langsung memucat.

"Bukan di rumahku. Terlalu kasar. Lebih baik di jalanan. Kamu hadang mobilnya. Pura-pura menodongnya. Begitu dia membuka kaca jendelanya, habisi dia. Ambil apa saja yang dimilikinya supaya kelihatannya seperti perampokan biasa."

Indra tertegun bingung. Tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ketika darahnya sedang mendidih, memang mudah mengucapkan akan membunuh lelaki sjalan itu. Tetapi ketika sampai waktunya untuk bertindak, masih beranikah dia?

Dia cuma seorang pelukis. Bukan pembunuh. Apa pun motifnya!

Dan yang akan dibunuhnya seorang manusia. Betapapun jahatnya dia!

Sanggupkah dia melakukannva?

Tiba-tiba saja Prasetya teringat kembali kepada Frida. Perempuan yang tidak diketahui namanya. Yang mengaku sebagai Monika, tunangannya.

Sudah lama dia melupakannya. Sejak Monika mengusirnya dari rumah pada malam dia datang ke Jakarta.

Selama ini perempuan itu tidak pernah muncul kembali. Prasetya juga tidak pernah mengingatingatnya lagi. Perempuan itu tidak cantik. Dan dia seorang penipu. Menyamar menjadi tunangannya. Menipu semua orang. Mentang-mentang Prasetya sedang lupa ingatan.

Motifnya pasti uang. Apa lagi. Dia tampak begitu sederhana. Pasti berasal dari sosio-ekonomi rendah. Jadi pasti uang yang diincarnya!

Untung Monika segera berhasil membongkar penipuannya. Dan mengusirnya pergi sebelum dia dapat menipu lebih jauh lagi.

Dan Prasetya tidak pernah memikirkannya lagi sampai tadi. Ketika Vania mengingatkannya.

"Dia yang menyelamatkan nyawa Oom!" kata Vania tadi.

Diakah yang kulihat dalam setiap mimpiku, pikir Prasetya gundah. Diakah matahari yang menerangi dalam kegelapan ketika aku sedang sekarat? Suaranyakah yang selalu kudengar ketika aku masih berada dalam keadaan koma?

Vania memang cantik. Aku sangat tertarik padanya. Ingin memilikinya. Tapi bukan suaranya yang kudengar. Bukan dia matahari hidupku.

Monika memang istrinya. Ibu anaknya, kalau

benar Satria anaknya. Tapi bukan dia yang menyelamatkan nyawaku. Bukan dia matahariku!

Perempuan itulah... perempuan yang dikatakan Vania... perempuan itulah'mungkin matahari hidupku! Dia yang menyelamatkan nyawaku. Dia yang mendampingiku selama aku koma. Suaranya yang terus-menerus kudengar.

Tapi apa peduliku Wanita itu sudah tidak berarti lagi bagiku. Aku memang sudah kehilangan memoriku. Tapi apa ruginya? Aku tidak ingin mengingat-ingat lagi masa laluku! Yang penting adalah masa depan! Persetan dengan masa lalu!

Aku mungkin berutang budi padanya. Bahkan berutang nyawa. Tapi jika dia tidak datang menagih. buat apa lagi aku mencarinya untuk melunasi utangku?

Tetapi meskipun pikirannya berkata demikian. hati Prasetya tetap resah. Selama lima tahun terakhir ini. dia seperti tidak tahu apa yang dicarinya. Apa yang membuat hatinya selalu resah. Pikirannya selalu diliputi kecurigaan. Jiwanya dibelit kebencian kepada dunia sekitarnya.

Sekarang tiba-tiba saja dia menyadari. Ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Bukan cuma memorinya. Tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang bernama ketenangan hidup. Kepercayaan diri. Kesejukan jiwa. Itu yang selama lima tahun ini tidak dimilikinya. Itu yang ikut menghilang bersama memori dan... perempuan itu!

Perempuan yang sederhana penampilannya. Tidak

cantik. Pernah menipu menjadi tunangannya... Untuk apa?

Benarkah karena dia menginginkan uangnya? Tapi kalau benar uanglah yang menjadi motifnya. mengapa dia menolak tawaran balas jasa dari ayah Prasetya?

Dia pergi tanpa membawa uang sepeser pun. Dan dia tidak pernah muncul lagi. Tidak pernah menuntut apa-apa.

"Apa pun yang dilakukannya," kata ayah Prasetya datar.

"dialah yang menyelamatkan nyawamu. Pras. Kalau bukan karena kegigihannya. kamu sudah mati."

Kalau aku mati sebelum dia menjadi istriku, dia tidak akan menerima warisan sesen pun. ltukah yang menyebabkan dia ngotot untuk menyelamatkan nyawaku?

Tapi sial baginya. Sebelum dia berhasil menjadi istriku. Monika keburu muncul! Lalu dia menghilang. Lenyap sampai sekarang.

Prasetya memang tidak pernah memikirkannya lagi. Dia sudah menghapus perempuan itu dari kepalanya. Tapi... mampukah dia melenyapkannya dari hati kecilnya?

ltukah sebabnya hatinya selalu gelisah? Jiwanya selalu resah. Tidak ada rasa aman. Selalu mencurigai lingkungan. Karena jiwanya seperti kehilangan pegangan....

Persis seperti ketika dia berjuang mati-matian dalam kubangan lumpur itu.... Hanya suara perempuan itu yang terdengar. Hanya suaranya yang menjadi pegangan. Hanya suara itu yang meyakinkan Prasetya. dia masih hidup!

Dialah matahari yang menerobos dalam kegelapan. Ketika alam sekitarnya sudah memusuhinya, dialah seleret cahaya yang masih memberi harapan. Cahaya itulah yang membawa Prasetya keluar dari lembah kematian!

Ketika cahaya itu tiba-tiba menghilang dari hidupnya, Prasetya merasa resah. Jiwanya terus mencari walaupun tidak disadarinya. Dan baru hari ini tiba-tiba kesadaran itu menyentuh nuraninya.

Jika dia bertemu lagi dengan perempuan itu mungkinkah hidupnya menjadi lebih tenang? Mungkinkah dia tidak usah lagi memusuhi lingkungarinya?

"Dalam jiwa manusia, ada dua sisi yang berlawanan seperti mata uang," kata psikiater yang dikunjungi Monika.

"Jika sisi baiknya yang lebih dominan, dia akan menjadi orang baik. Sebaliknya, jika sisi jahatnya yang menang. dia akan berubah menjadi orang jahat. Karena kedua sisi itu berada dalam keseimbangan dinamis, sifat manusia menjadi gampang berubah."

"Tapi suami saya mungkin berbeda, Dok," keluh Monika pada tahun-tahun pertama pernikahannya. Ketika dia masih mengharapkan perubahan sifat suaminya.

"Dulu dia sangat baik. Sangat menyenangkan. Sesudah kecelakaan yang membuatnya,

koma berminggu-minggu, dia seperti berubah menjadi pribadi yang lain. Dia menjadi jahat. Kejam. Egois. Tutur katanya menjadi kasar. Sinis. Menyakitkan. Bahkan tatapan matanya yang dulu tenang menyejukkan kini berubah menyebalkan!"

"Dalam kepribadian manusia ada tahapan perkembangan yang disebut id, ego, dan superego. ld dan ego berkembang leluasa pada masa anak-anak. Tidak dikontrol oleh superego yang dibentuk oleh pendidikan dan norma yang berkembang dalam masyarakat, yang diserap oleh pribadi yang dewasa. Pada suami Anda, mungkin kecelakaan itu merupakan trauma-yang sangat hebat, bukan saja untuk otaknya, tapi sekaligus juga bagi jiwanya, sehingga dia kehilangan sebagian besar superegonya. Akibatnya egonya memuncak. menjadi lebih dominan. Jika Anda dapat mengajak suami Anda kemari untuk berkonsultasi, mungkin saya dapat menganalisa kelainannya dengan lebih baik."

Tetapi Monika tidak pernah berhasil mengajak Prasetya ke seorang psikiater. Dia bukan saja melecehkannya. Malah menganggapnya menghina dirinya.

"Kalau kamu anggap suamimu gila, cari saja lelaki lain. Jangan psikiater!"

Monika terkejut sekaligus tersinggung mendengar kekasaran jawaban suaminya. Sejak itu dia tidak pernah lagi berniat mengajak suaminya berobat. Dan hubungan mereka semakin renggang.

Lalu Indra Sukandar masuk dalam kehidupannya. Dan Monika lebih tidak peduli lagi pada suaminya, kecuali ketika mereka hampir bercerai.

Gadis cantik itu hampir tiap hari berada di kantor Prasetja. Dan mereka selalu makan siang bersama. Tetapi hari ini, Vania bukan hanya tidak berada di kantor. Dia malah datang ke rumah. Dan ketika melihat Monika, bibirnya yang ranum itu terbuka sedikit, melukiskan keheranan yang amat sangat.

Jadi inilah Tante Monika yang lain. pikirnya bingung. Pantas Oom Pras bilang istrinya bukan Tante Monika yang menyelamatkan nyawanya!

"Jadi Tante bernama Monika juga?" desahnya heran.

"Ini termasuk dalam survei untuk skripsimu?" sindir Monika pedas.

Mendengar pedasnya kata-katanya dan judesnya sorot matanya, Vania bertambah yakin, Monika yang satu ini memang jauh berbeda! Lalu mengapa Oom Pras mengawininya?
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katanya dia tunanganku," sahut Prasetya acuh tak acuh ketika Vania menanyakannya.

"Dia bilang dia mengandung anakku."

"Apa tidak ada temanmu yang lebih muda dan belum menikah sampai kamu rela menjadi gundik suamiku?" kecam Monika tajam sebelum Vania sempat bertanya lagi.

"Tante bilang apa?" sergah Vania tersinggung. Pantas saja Oom Pras berubah! lstrinya saja begini!

"Kamu mengincar suamiku, kan?"

"Saya sudah punya pacar," sahut Vania kesal.

"Teman dari SMU. Tahun depan kami akan menikah kalau sudah diwisuda. Jadi Tante tidak usah

khawatir. Saya cuma ingin membuat skripsi. Bukan merebut suami orang!"

"Makan siang bersama suami orang termasuk dalam skripsimu?"

"Tidak. Tapi itu termasuk dalam syarat yang diajukan Oom Pras."

"Masih ada syarat lain? Bermalam di kamar hotel misalnya?"

"Syarat yang satu itu saya tolak," bantah Vania tegas.

"Saya masih punya haiga diri. Selamat siang, Tante. Saya datang hanya untuk memuaskan rasa penasaran saya."

"Penasaran ingin melihat istri pria yang berselingkuh denganmu?"

"Penasaran ingin membuktikan kebenaran katakata Oom Pras."

"Bahwa kamu lebih cantik dan muda daripada istrinya?"

"Bahwa istrinya bukan Tante Monika yang saya kenal."

"Kamu kenal penipu itu?"

"Penipu atau bukan, dia jauh lebih baik dari Tante. Dan saya rasa, Oom Pras tidak akan berubah sedrastis itu kalau dia tidak salah memilih."

Kurang ajar, geram Monika dalam hati. Dia jengkel sekali. Ingin rasanya mengusir gadis itu keluar dari rumahnya. Tapi Vania sudah pergi

sebelum diusir. Dan kata-katanya terus terngiang seperti ejekan di telinganya.

"Penipu atau bukan, dia jauh lebih baik dari Tante!" :

"Kenapa kamu ke rumahku?" tanya Prasetya kurang senang. Dia sedang mengemudikan mobilnya keluar kantor untuk makan siang.

"Belum cukup melakukan survei di kantorku saja?"

"Saya ingin melihat istri Oom." sahut Vania terus terang.

"Monika tidak pedu dilihat," dengus Prasetya dingin.

"Tidak pantas!"

"Oom benar. Dia memang bukan Tante Monika yang saya kenal."

"Aku menyesal mengawininya." Ketika mengucapkan kata-kata itu, Prasetya menekan klakson mobilnya dengan gemas.

Pria yang menyeberang sembarangan di depan mobilnya itu menoleh marah karena klaksonnya. Dia mengacungkan tinjunya sambil melotot ganas. Tetapi Prasetya malah mengacungkan jari tengahnya. Untung pria itu tidak mengejar mobilnya. Rupanya dia cuma menggertak.

"Tapi dia sudah menjadi ibu anak Oom. Saya tidak sempat melihatnya. Tapi kalau dia baru berumur empat tahun, dia pasti sedang lucu-lucunya."

"Kamu suka anak kecil?"

"Suka sekali. Mereka makhluk mungil yang lucu dan menggemaskan. Kadang-kadang nakal dan kurang ajar. Tapi mereka polos dan jujur."

"Mau punya anak?"

"Kalau Tuhan memberikan, mengapa tidak?"

"Aku akan memberikannya kepadamu kalau kita menikah nanti."

"Tapi saya tidak mau menikah dengan Oom!"

"Karena pemuda itu?" desis Prasetya jengkel.

"Siapa namanya? Aris? Dia lebih istimewa dariku?"

"Karena Oom sudah menikah! Sudah punya anak-istri!"

"Kami akan segera bercerai."

"Jangan gara-gara saya, Oom!"

"Monika berselingkuh. Aku tidak bisa memaafkannya."

"Kalau saya tidak menolak, bukankah Oom juga sudah berselingkuh?"

"Itu berbeda."

"Karena Oom laki-laki?"

"Karena kita melakukannya dengan cinta."

"Cinta?" cetus Vania dengan paras kemerahmerahan.

"Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu."

"Oom malah tidak ingat siapa saya!"

"Tetapi begitu melihatmu di kantorku tempo hari, aku sadar, kamulah wanita yang kudambakan untuk menjadi istriku. Perasaan itu timbul begitu saja ketika melihatmu."

"Tapi saya mencintai Aris, Oom. Kami sudah berjanji akan segera menikah setelah diwisuda tahun depan."

"Kamu hendak mengatakan tidak mencintaiku?"

"Saya mengagumi Oom. Dulu, Oom Pras adalah pria idola dari masa remaja saya."

"Dan sekarang?"

"Oom sudah jauh berubah. Terus terang, saya kecewa."

"Semua orang pasti berubah. Itu hukum alam. Pacarmu tidak berubah?"

"Aris memang berubah. Tapi seperti Oom bilang dulu. dia berubah ke arah yang lebih baik. Dia lebih dewasa. Lebih matang. Lebih sabar."

"Aku pernah meramalkannya begitu?" Prasetya tersenyum sinis.

"Dulu aku memakai bola kristal untuk merayumu?"

"Oom tidak memakai bola kristal. Dan Oom tidak merayu saya. Itu sebabnya saya mengagumi dan menghormati Oom Pras."

"Sekarang tidak lagi?" senyum Prasetya berubah bengis. Tunggu sampai kupaksa kamu menghargai aku! Mengetahui siapa aku sebenarnya!

"Oom sangat berubah. Saya tidak tahu apa sebabnya Karena kecelakaan itu. Atau karena Tante Monika yang sekarang menjadi istri Oom bukan Tante Monika yang sebenarnya."

"Apa maksudmu bukan Tante Monika yang sebenarnya?"

"Tante Monika yang saya kenal bukan seperti Tante Monika yang saya temui di rumah Oom."

"Yang mana Tante Monika yang kamu kenal?"

"Yang saya temui waktu di kapal dulu. Lima tahun yang lalu. Pada malam kapal kita tenggelam."

"Seperti apa dia?"

"Seorang wanita sederhana. Tapi sangat tabah dan berkepribadian kuat. Kalau bukan karena kegigihannya. Oom sudah tewas."

"Kamu bukan orang pertama yang mengatakannya. Ayahku juga pernah berkata begitu. Tapi dia bukan Monika. Dia penipu. Dia menyamar menjadi tunanganku. Untuk menguasai uangku."

"Tidak mungkin!" bantah Vania tegas.

"Saya tidak kenal padanya. Tapi saya pernah melihatnya. Dia bukan tipe wanita seperti itu! Kalau boleh menerka, saya malah lebih mencurigai Tante Monika yang sekarang menjadi istri Oom!"

"Maksudmu, istriku yang sekarang bukan Monika yang sebenarnya?" Prasetya tersenyum mengejek.

"Kamu terlalu banyak nonton film Amerika!"

"Maksud "saya, kalau motifnya menginginkan harta Oom. Tante Monika yang sekarang jadi istri Oom, tidak peduli dia asli atau aspal, lebih punya kemungkinan daripada perempuan yang dulu saya kira Tante Monika!"

"Sok tahu kamu. Bagaimana kamu bisa menilai orang yang belum kamu kenal?"

"Insting. Naluri kewanitaan saya."

"Aku tidak percaya pada naluri seorang gadis yang memilih calon suami yang tepat saja tidak bisa!"

"Maksud Oom. lebih baik saya menikah dengan Oom Pras daripada dengan Aris? itu yang Oom sebut naluri yang tepat?"

"Ada apanya pemuda itu sampai kamu memilih dia? Masa depan saja dia belum punya!"

"Kami akan mencarinya bersama-sama. Tapi satu hal telah kami miliki bersama. Cinta"

Ketika mengucapkan kata yang terakhir itu, paras

Vania memerah. Tetapi dia tidak tersipu-sipu lagi. Dia mengucapkannya dengan tenang. Dengan lembut. Tapi khidmat. Seolah-olah dia mengucapkan sesuatu yang sakral.

Mau tak mau Prasetya tertegun dibuatnya. Tidak menyangka gadis semuda ini mampu mengucapkan kata-kata seperti itu.

"itu yang tidak Oom miliki lagi sekarang," suara Vania berubah datar.

"Cinta."

"Sudah kukatakan aku mencintaimu."

"itu bukan cinta, Oom. Karena saya tidak merasakannya. Bahkan ketika Oom Pras tidak mengucapkan kata itu, ketika kita berada berdua saja di atas kapal, saya dapat merasakan getaran-getaran cinta yang Oom pancarkan melalui sinar mata dan senyum Oom. Mungkin saat itu saya belum menyadarinya. Tapi saya dapat merasakannya. Getaran itu yang tidak saya rasakan lagi sekarang. Oom Pras sudah kehilangan semuanya "

Prasetya sangat marah. Marah sekali. Tetapi dia bukan hanya marah. Dia bingung. Benarkah dia sudah tidak dapat menyalurkan cinta lagi? Benarkah sudah tidak ada cinta di hatinya?

Dengan sengit Prasetya membelokkan kemudi mobilnya. Mobil menikung tajam. Bannya berderitderit memprotes.

"Mau ke mana kita, Oom?" sergah Vania cemas.

Tetapi Prasetya tidak menjawab. Dia membisu. Membiarkan Vania bertanya terus dalam kebingungan

***

ARIS melihat jam tangannya sekali lagi. Heran. Biasanya Vania tidak pernah ingkar janji. Dia selalu lepat memegang waktu. Mengapa sore ini dia sangat terlambat?

Mereka sudah berjanji akan menonton pertunjukan pukul tujuh. Sebelumnya Vania ingin menyelesaikan skripsinya dulu. Aris sudah satu jam menunggu di rumahnya. Tetapi Vania belum datang juga. Ke mana dia?

"Vania tidak bilang pergi ke mana, Tante?" tanya Aris kepada ibu Vania yang juga sudah resah.

"Katanya dari kantor Pak Sanjaya dia akan langsung pulang, Ris. Dia tahu kok kamu mau datang jam lima."

"Mungkin nggak ya, lelaki itu mengajaknya makan malam dulu? Ini kan hari terakhir Vania datang ke kantornya."

"Tadi Vania bilang mereka cuma mau makan siang seperti biasa. Tapi memang hari ini Pak Sanjaya agak terlambat karena ada urusan penting. Katanya dia minta ditunggu sampai pukul dua."

"Tadi juga Vania bilang begitu. Sampai pukul d_ua tadi dia masih di kantor. Itu terakhir kali dia menghubungi saya. Sesudah itu saya kehilangan kontak, Tante. Di kantor sudah tidak ada. Handphone-nya dimatikan."

Ketika setengah jam kemudian Vania belum muncul juga, Aris benar-benar cemas. Tidak biasanya Vania terlambat. Dan kalau terlambat, dia pasti berusaha menghubunginya. Apa yang terjadi sebenarnya? Ke mana Vania?

Lalu telepon berdering. Aris segera mendahului meraihnya.

***

Monika tidak mengantar indra ke bandara untuk menghindari kecurigaan. Dia hanya memberikan uang kepadanya dan membeberkan rencana mereka.

Indra akan naik pesawat ke Yogyakarta. Di sana dia harus tinggal di hotel selama seminggu. Dia harus terlihat menghadiri berbagai acara. Pameran lukisan rekannya. Lesehan bersama beberapa orang pelukis muda. Bahkan menghadiri sebuah seminar yang tidak ada kaitannya dengan lukisan.

Semata-mata untuk memberinya alibi. Lalu dia harus menyelinap keluar dari hotelnya. Dan diamdiam kembali ke Jakarta dengan bus.

Monika sudah menuliskan nomor polisi mobil Prasetya. Sudah menyebutkan merek dan warna mobilnya. Sudah memberikan peta lokasi kantor Prasetya. Sudah memberitahukan jalan mana saja

yang biasa dilalui Prasetya kalau dia pulang dari kantor ke rumahnya. Lengkap dengan petunjuk jam berapa biasanya Prasetya pulang kantor. Dia akan memberikan sebuah pistol supaya Indra mudah membunuhnya. Indra kan cuma pelukis. Bukan perampok. Jadi semua rencana" yang dirancangnya harus mudah dan mulus.

Monika memeluknya erat-erat sebelum berpisah. Seolah-Olah memberikan semangat kepada pemuda yang sudah ciut nyalinya itu. Maklum. Indra bukan pembunuh. Dia pemuda baik-baik. Dia hanya terpaksa melakukannya. Demi menyelamatkan perempuan yang dicintainya.

Tetapi lndra bukan hanya minta pelukan. Dia minta lebih. Dan dia hampir terlambat mengejar pesawatnya.

Prasetya mengemudikan perahu motornya dengan kecepatan tinggi. Deru mesinnya meraung-raung ketika haluan perahu itu membelah laut. Meninggalkan ribuan buih ombak mengekor di buritan perahunya.

"Ke mana kita. Oom?" desak Vania cemas.

"Oom kan janji cuma akan mengajak saya makan siang!"

"Ke pulau," sahut Prasetya datar.

"Tapi itu di luar rencana, Oom!" protes Vania kesal.

"Di luar perjanjian!"

"Aku kan tidak pernah bilang di mana kita akan makan siang ini."

"Tapi saya sudah ada janji, Oom! Saya harus sampai di rumah jam lima!"

Siapa peduli, gerutu Prasetya dalam hati.

Dengan jengkel Vania mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dan berusaha menghubungi Aris. Tapi tidak ada sinyal di ponselnya. Mereka berada di luar jangkawan.

Sekonyong-konyong Prasetya membelokkan perahunya dengan tajam. Membuat seluruh badan perahu motor itu berguncang kuat. Sampai Vania hampir terpelanting kalau tidak cepat-cepat berpegangan kuat-kuat. Ponselnya terlempar jatuh ke dasar perahu.

Tebasan badan perahu itu memuncratkan air laut ke wajah Prasetya. Menyisakan rasa dingin yang mengiris wajahnya. Sekilas kilatan peristiwa itu menoreh ingatannya.

Tubuhnya seperti terbanting ke papan keras. Lalu terperosok ke dalam air yang sangat dingin. Air dingin yang seperti mengiris wajahnya. Lalu dia merasakan sakit yang sangat hebat di kepalanya sebelum semuanya lenyap sama sekali.

Prasetya memejamkan matanya. Dan bayangan sebuah kapal yang sangat besar melompat ke benaknya. Kapal itu sudah miring. Air mulai menggenangi sebagian besar geladak. Sementara panasnya api yang berkobar-kohar melalap semua yang menghalanginya... menghanguskan... merobohkan....

Lalu dia mendengar teriakan di kejauhan... teriakan histeris... teriakan seorang wanita....

Dan Prasetya terlambat membuka matanya. Terlambat menyadari, teriakan itu bukan lagi berasal dari kejauhan. Teriakan itu berasal dari wanita di dekatnya... Vania-lah yang memekik histeris ketika perahu motor Prasetya meluncur tak terkendali....

Pada saat-saat terakhir Prasetya masih dapat mendengar ledakan hebat, kobaran api dan dinginnya air yang mengiris pipi ketika tubuhnya terlempar ke laut... dan secarik tabir gelap seperti terko yak... mengembalikan ingatannya kepada kejadian lima tahun yang lalu....

Dia sedang menumpang sebuah kapal pesiar... kapal itu ditabrak sebuah kapal tanker dalam cuaca buruk akibat amukan badai... kapal mereka terbakar dan tenggelam... dia sedang berdiri di geladak ketika sebuah benda berat menghantam kepalanya... dan dia tidak ingat apa-apa lagi....

Semuanya terasa gelap. Tubuhnya seperti ditarik ke dalam sebuah kubangan lumpur yang sangat pekat.... Makin lama makin dalam....

Prasetya bemsaha menahan napas... berusaha mengapung ke atas.... Tapi semuanya sia-sia... dia malah tersedot makin ke bawah....

Napasnya sesak karena tertahan terlalu lama.... Sebentar lagi paru-parunya pasti meledak....

Prasetya sudah putus asa Sia-sia mencoba berenang ke atas. Kaki-tangannya seperti lumpuh. Tidak mau digerakkan.

Lalu dia mendengar suara wanita itu... suara yang dikenalnya....

Suara itu terdengar begitu dekat.... Jadi ada

orang di sana... di dekatnya! Dia tidak sendirian.

Semangat Prasetya bangkit kembali. Dia berjuang sekuat tenaga untuk tetap hidup. Mati-matian dia berusaha menggerakkan kaki-tangannya. Berenang mencari asal suara itu.

Lalu dia melihat sinar... sinar yang menerobos kegelapan yang pekat... sinar yang menunjukkan jalan... keluar dari kubangan maut ini....

Prasetya menggerakkan tangan-kakinya sekuat tenaga supaya dapat mengapung ke permukaan... dia berusaha mati-matian menahan napas dan berenang ke atas... ke atas... ke atas lagi.... Menuju ke cahaya di atas sana... menuju ke matahari....

Seteguk air terhirup masuk. lkut tertelan melalui mulutnya. Dia jadi gelagapan. Dan menyadari. sekejap tadi memorinya telah berbaur dengan kenyataan. Sekarang dia juga sedang tenggelam. Dia harus berjuang untuk mengapung secepatnya... sebelum kehabisan napas dan menelan air lebih banyak lagi....

Ketika kepalanya berhasil menembus permukaan air. Prasetya menarik napas sedalam-dalamnya. Paru-parunya terasa hampir pecah karena terburubum mengisap udara dalam jumlah besar sekaligus. Dia terbatuk-batuk sampai beberapa tetes air mimerat keluar dari hidung dan mulutnya.

Lalu dia melihat benda yang sedang terbakar hangus itu. Dan dia baru sadar. Itu perahu motornya! Perahunyalah yang sedang terbakar.

Kesadaran itu melecut kengerian di hatinya

ketika mendadak Prasetya ingat, dia tidak sendirian di perahu itu!

"Vania!" teriaknya panik.

Dia berenang ke sana kemari mencari Vania. Menyelam dan mengapung kembali untuk mengambil napas. Dari kejauhan dia sudah melihat perahuperahu penolong berdatangan. Tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mau terlambat. Dia tidak mau kehilangan Vania!

"Vania!" teriaknya lagi sambil buru-buru menyelam mencari gadis itu.

Dan Prasetya hampir memekik ketika melihat tubuh gadis itu sedang tenggelam ke dasar laut.

* * *

Frida hampir tidak mempercayai matanya sendiri ketika melihat laki-laki yang sedang melangkah di samping brankar itu. Prasetya Sanjaya! Benarkah dia yang sedang melangkah memasuki Bagian Syaraf itu?

Wajahnya masih setampan ketika Frida meninggalkannya lima tahun yang lalu. Walaupun penampilannya tidak keruan seperti baru mengalami kecelakaan. Pelipisnya bekas dijahit. Rambutnya basah dan kusut.

Apa yang terjadi? Baru mengalami kecelakaan lagikah dia?

Dan... wanita dalam brankar itu... wanita yang dipandanginya dengan cemas... istrinyakah? Monika-kah yang baru mengalami kecelakaan?

"Kecelakaan di laut, Mbak." kata perawat yang mendorong brankar itu kepada Frida yang masih tertegun di ambang pintu ruang perawat Bagian Syaraf.

"Trauma kapitis dengan dugaan hematoma epidural. Dokter Harsa sudah dihubungi. Dia minta Mbak Frida menyiapkan pasien ini untuk dikirim ke OK secepatnya"

Ketika perawat itu menyebutkan namanya, Prasetya menoleh. Tepat pada saat Frida sedang memandangnya. Dan untuk sesaat. tatapan mereka terbuhul dalam simpul yang sulit dilepaskan. Mereka sama-sama terpukau. Seolah-olah ingatan mereka dilontarkan lima tahun ke belakang....

Frida, pikir Prasetya galau. Apakah bukan...

Ketika melihat cara Prasetya memandangnya, Frida sadar. memori pria itu telah kembali. Dia telah sembuh dari amnesianya. Dan dia mengenalinya!

Ada debar yang sulit diredakan di dadanya. Jantungnya memukul keras sekali. Dan bayangan Dewi seperti melintas di depan matanya.

Miripkah wajahnya dengan wajah lelaki ini? Mungkinkah bibir laki-laki ini yang telah menitis di bibir putrinya?

"Selamat malam. Pak," sapa Frida sambil berusaha sekuat tenaga menindas perasaannya. Ditampilkannya sikap yang wajar dan profesional.

Lalu dia menoleh pada wanita dalam brankar itu. Dan Frida langsung mengenali, wanita yang sudah berada dalam kesadaran yang sangat menurun itu bukan Monika!

Vania? Benarkah Vania yang dilihatnya? Remaja SMU yang bersama-sama mereka dalam kapal yang tenggelam lima tahun yang lalu?

Ya Tuhan! Sempitnya dunia ini!

Atau... bukan dunianya yang sempit. Prasetya memang punya hubungan istimewa dengan gadis ini. Dia sedang bersama Vania ketika kecelakaan itu terjadi... mungkinkah Vania kini sudah... ah. menjadi. .. pengganti Monika?

Ada perasaan tidak enak yang sulit dienyahkan menjalari hati Frida. Perasaan yang tak pantas lagi bertengger di sana! Dia tidak berhak memiliki perasaan itu! Dia harus mengusirnya!

"Frida...?" desis Prasetya lirih. Matanya menatap wanita itu dengan perasaan kacau.

Inikah wanita yang pernah menyelamatkan hidupnya? Yang suaranya terus terdengar justru pada saat dia sudah berada di pintu gerbang kerajaan maut? Yang kegigihannya telah menyelamatkan nyawanya. . ..

"Ya. dia memang Suster Frida." cetus perawat yang mendorong brankar Vania dengan agak heran.

"Bapak kenal di mana?"

"Lima tahun yang lalu," sahut Prasetya dengan suara dan tatapan seperti sedang menerawang ke suatu masa yang sudah lama sekali dalam hidupnya.

"Bawa masuk pasiennya, Ni," potong Frida ketika tiba_tiba dia menyadari dia sedang bertugas. Dan kalau dia sedang bertugas, tidak ada waktu untuk urusan pribadi. Nyawa pasien adalah yang terpenting.

"Kita siapkan untuk operasi." Lalu dia

berpaling kepada Prasetya, dan suaranya terdengar wajar dan tegas,

"Sampai di sini saja, Pak. Silakan Bapak duduk di ruang tunggu."

Lama Prasetya masih tertegun di tempatnya. Pikirannya kacau. Dia menyesal sekali telah mencelakakan Vania. Kondisinya buruk sekali, sehingga dokter pun tidak dapat meramalkan gadis itu mampu atau tidak mengatasi masa kritisnya.

Kepala Vania terbentur hebat pada sebuah benda keras. Diperkirakan benda itu adalah perahunya. Tapi mungkin pula sesuatu di dalam laut ketika dia sedang tenggelam.

Vania kehilangan kesadarannya selama beberapa jam. Ketika diperiksa dokter di ruang Unit Gawat Darurat, kesadarannya membaik. Tapi Dokter Harsa mengatakan saat itu Vania berada dalam Iucide intervaL Kesadarannya membaik hanya sesaat untuk kemudian menurun lagi.

Vania harus dioperasi segera untuk melenyapkan gumpalan darah yang menekan otaknya. Kalau terlambat, dia bisa meninggal.

Pikiran Prasetya juga digalaukan oleh pertemuannya dengan perawat itu. Frida. Baik penampilan maupun sikapnya jelas sekali melukiskan kepribadiannya.

Vania benar. Tidak diperlukan seorang pakar yang hebat untuk menilai sifat perempuan itu. Frida tidak mungkin sengaja menipunya. Dia pasti punya alasan yang kuat untuk menyamar menjadi Monika.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan lama-kelamaan. ketika hampir semua ingatannya kembali, Prasetya mulai dapat mengingat semuanya. Frida melarikan diri setelah melukai majikannya. Karena itulah dia menyelundup ke dalam kapal yang naas itu.

Mungkinkah dia menyamar sebagai Monika untuk menghindari pemeriksaan yang bem ajib? Untuk melindungi dirinya sebagai penumpang gelap di kapal itu?

Kalau benar demikian, kasihan sekali dia! Semua orang telah menuduhnya menipu karena mengincar uang Prasetya! Semua orang kecuali... Vania!

Dan gadis yang baik itu, gadis yang manis wajah maupun budinya, kini terbaring antara hidup dan mati... semua gara-gara ulah Prasetya!

SAMBIL menunggu operasi vania, Prasetya berusaha menghubungi ibu Vania melalui sekretarisnya. Mengabarkan bahwa Vania mendapat kecelakaan. Dan karena dia harus dioperasi segera. ibu Vania diharapkan datang secepatnya untuk menengok putrinya dan menandatangani izin operasi.

Lalu Prasetya berusaha menghubungi istrinya. Tetapi dia tidak dapat menemukan Monika. Di rumah tidak ada. Ponselnya pun dimatikan. Akhirnya dia menyuruh sekretarisnya untuk mencoba terus menghubungi istrinya.

Ketika mendengar suara majikannya, sekretarisnya sadar. sesuatu yang hebat telah terjadi. Tapi ada yang lebih hebat dari kecelakaan itu. Sesuatu yang mengubah majikannya.

Suaranya terdengar sangat berubah. Caranya memberi instruksi pun tidak seperti biasa. Ketika Prasetya menyuruh memberitahu istrinya. sekretarisnya lehih heran lagi. Biasanya, bosnya mana pernah peduli pada istrinya?

Karena itu sekretarisnya yang saat itu sudah

berada di rumah, segera melaksanakan instruksi majikannya. Dia mencari alamat dan nomor telepon Vania di agendanya. Lalu menghubungi ibu Vania.

Ketika sekretaris Prasetya menelepon, Aris masih berada di rumah Vania. Mereka panik ketika mendengar kabar itu. Dan langsung menuju ke rumah sakit.

"Apa yang terjadi, Suster?" tanya Aris penasaran di ruang Gawat Darurat. Sementara ibu Vania sudah tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun karena sedang terisak menahan tangis.

"Di mana Vania sekarang? Kami boleh melihatnya?"

"Vania harus dioperasi segera. Karena itu dia sudah tidak berada di sini lagi," sahut Suster Lini.

"Dia sudah berada di kamar Operasi. Silakan Ibu menghubungi Suster Frida di Bagian Syarat" untuk menandatangani izin operasi."

"Kecelakaan apa yang menimpa Vania. Sus?" desak Aris gelisah.

"Mobil?"

"Perahu motornya terbalik dan meledak."

"Perahu... motor?" desis Aris antara terkejut dan tidak percaya.

Dan kemarahannya meledak ketika melihat Prasetya yang sedang duduk menunggu di ruang tunggu kamar operasi. Lelaki itu langsung berdiri ketika melihat kedatangan mereka. Dia hendak menghampiri ibu Vania. Tetapi Aris mendahului menyelak ke depan.


Si Penakluk Dewa Iblis Karya Lovely Dear Gento Guyon 2 Tanah Kutukan Pasukan Mau Tahu 13 Misteri Penyamar

Cari Blog Ini