Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W Bagian 4
"Ke mana kaubawa dia?" geram Aris menahan marah. Kalau peristiwa ini terjadi lima tahun yang lalu, tinjunya pasti sudah menghajar wajah pria itu.
"Maafkan saya," sahut Prasetya dengan perasaan bersalah. Ketika mengucapkan kata-kata itu, matanya memperlihatkan kesakitan yang amat sangat sampai Aris tidak tega memaki.
"Saya yang salah."
"Kau harus menjelaskan apa yang terjadi, Prasetya!"
"Perahu kami terbalik dan meledak. Kepala Vania terbentur benda keras dan dia tenggelam...."
Ibu Vania mengeluh berat dan tubuhnya terhuyung lemas. Aris harus buru-buru menangkapnya dan membimbingnya duduk di bangku. Dia masih berusaha menabahkan dan menghibur ibu Vania ketika tak lama kemudian Prasetya datang membawa segelas air.
Ingin rasanya Aris menampar gelas itu. Dia bahkan ingin menjotos dagu Prasetya Tetapi pada saat terakhir dibatalkannya. Dia sadar, dia harus menahan diri supaya tidak memperkeruh suasana.
Vania sedang dioperasi. Kepalanya yang indah itu tengah dibuka. Nyawanya berada di ujung tanduk. Rasanya tidak pantas mereka berkelahi di sini. Salah-salah mereka malah diusir keluar oleh satpam.
Karena itu Aris mati-matian menahan dirinya. Dikepalnya tinjunya erat-erat. Sementara tangan kirinya menerima gelas dari Prasetya dengan kasar. Lalu disodorkannya gelas itu ke bibir ibu Vania.
"Minum sedikit, Tante." bujuknya lunak.
Tapi Ibu Vania menyingkirkannya. Dia tidak ingin minum. Tidak bisa!
Di dalam sana, di keheningan ruang operasi, putri tunggalnya yang cantik, permata hatinya.
belahan jiwanya, tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Maut sudah mengintai di balik tirai. Siap menerkam dan membawa pergi satu-satunya anaknya. Satu-satunya harapannya. Salu-satunya alasan mengapa dia masih ingin melihat matahari esok pagi.
Ayah Vania sudah meninggal sebelum sempat melihat bayinya. Kecelakaan kereta api merenggut nyawanya. Padahal dia begitu ingin melihat putrinya .Begitu mendambakan dapat mendampingi istrinya melahirkan.
Sepeninggal ayah Vania, dia merasa sudah tidak ingin hidup lagi. Dia merasa jiwanya sudah pergi bersama suami yang dicintainya.
Tetapi pada saat terakhir sebelum ibu Vania nekat membunuh diri, janin dalam kandungannya bergerak. Dan dia sadar, dia tidak sendiri lagi.
Suami yang dicintainya memang telah pergi. Tetapi dia meninggalkan sesuatu dalam rahimnya. Dia meninggalkan sebagian dirinya untuk mendampingi istrinya yang kesepian.
Dan ibu Vania membatalkan niatnya. Dia berjuang seorang diri untuk membesarkan kandungannya. Melahirkan. Dan merawat bayi yang luar biasa manisnya itu.
Sejak kecil saja Vania sudah memperlihatkan kecantikan yang alamiah. Kepandaiannya juga sangat mengagumkan. Seolah-olah dia ingin membuktikan kepada ibunya, dia pantas untuk dilahirkan. Dia pantas hidup!
Dari hari ke hari Vania tumbuh menjadi seorang
gadis yang sangat menarik. Dan bukan itu saja. Bukan hanya penampilannya yang prima. Hatinya juga sangat lembut. Dia menjadi kebanggaan ibunya. Dan menjadi incaran setiap pria yang melihatnya.
Tetapi kini putri kebanggaannya terhantar tak berdaya di atas meja operasi! Kepalanya yang cantik itu akan dibuka....
Ibu Vania memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak mampu membayangkannya lagi. Dia ingin mengusir bayangan yang mengerikan itu dari hadapannya. Tetapi ketika bayangan itu tidak mau pergi juga, dia menangis.
Aris menyandarkan tubuh ibu Vania ke bahunya. Dirangkulnya'wanita yang sedang menangis itu. Dibelai-belainya punggungnya.
Dia tahu bagaimana galaunya perasaan ibu Vania Dia sendiri juga tidak kalah sedihnya. Tidak kurang cemasnya.
Dan penantian mereka berakhir ketika dua jam kemudian dokter keluar dari kamar operasi. Masih mengenakan jubah operasinya.
"Kami sudah berhasil mengeluarkan bekuan darah dari kepalanya," kata Dokter Harsa letih.
"Tapi terus terang kami tidak dapat menjanjikan apa-apa. Kita lihat perkembangannya dalam dua puluh empat jam mendatang."
"Kami boleh melihatnya, Dok?" tanya Aris gugup.
"Sekarang dia belum sadar. Masih di ruang pascabedah."
Tetapi berjam-jam kemudian pun Vania belum"
memperoleh kesadarannya. Semakin lama keadaannya bukan semakin membaik, malah semakin memburuk. Dokter merencanakan operasi ulang. Tetapi mereka harus memperbaiki dulu keadaan umumnya sambil menunggu kalau-kalau kesadarannya meme baik.
Prasetya ingin sekali mendampingi Vania di sisi pembaringannya. Dia ingin memegang tangan gadis itu dan mengajaknya berkomunikasi. Dia ingin ada seseorang yang mendampingi dan mengajak Vania bicara, seperti dulu ketika dia berada dalam keadaan koma.
Dia ingin menjadi matahari kehidupan gadis itu. Tetapi ketika melihat Anis, tiba-tiba Prasetya sadar, bukan dia yang diinginkan Vania.
Kalau Vania menginginkan seseorang berbicara dalam kegelapan yang menyelimuti dirinya sekarang, dia ingin orang itu adalah Aris. Kalau dia ingin sebuah matahari kehidupan menyetorkan sinarnya dalam kegelapan yang membungkusnya, Prasetya yakin. Aris-lah matahari itu.
"Saya mencintai Aris, Oom. Kami berjanji akan segera menikah setelah diwisuda tahun depan."
Itu kata-kata yang diucapkan Vania di dalam mobil. Kata-kata yang diucapkannya dengan mantap. Penuh kesungguhan.
"Satu hal telah kami miliki bersama," katanya khidmat.
"Cinta."
Baru sekarang Prasetya dapat merasakannya. Ketika bukan hanya memorinya saja yang telah kembali, hatinya juga.
"Duduk di sampingnya, Ris," kata Prasetya dengan suara perlahan dan patau.
"Pegang tangannya. Ajak dia bicara. Seolah-olah dia masih di sampinginu. Menatap dan tersenyum padamu."
Aris benci kepada laki-laki itu. Lebih-lebih setelah dia mencelakakan Vania. Tetapi ketika Aris menoleh dan melihat bagaimana keadaan Prasetya, dia tidak dapat lagi mengumbar kebenciannya.
Ketika bicara, Prasetya tidak menatapnya. Dia memandang Vania. Dan ketika melihat sorot mata pria itu, tiba-tiba saja Aris menyadari, Prasetya bukan hanya mengagumi Vania. Dia mencintainya.
Suaranya ketika mengucapkan kata-kata itu terdengar begitu pelan. Begitu basah. Tapi penuh perasaan. Penuh kesedihan. Membuat AriS tidak mampu membuka mulutnya. Jangankan untuk menggerutu. Untuk menjawab saja pun dia tidak mampu.
"Saya pernah mengalaminya," sambung Prasetya lirih.
"Ketika saya berada dalam kegelapan yang pekat, hanya suara Frida yang membangkitkan harapan saya. Ketika matahari menyorotkan sinarnya menyeruak kegelapan, semangat saya untuk bertahan hidup bangkit kembali. Saya berjuang mencari matahari kehidupan itu. Dan saya menemukannya."
Aris menatap Prasetya dengan heran. Semakin lama dia semakin takjub. Tidak menyangka seorang laki-laki seperti Prasetya Sanjaya sanggup mengucapkan kata-kata seperti itu!
"Kalau sekarang Vania berada dalam kegelapan dan keputusasaan seperti saya saat itu, saya ingin
dia juga menemukan matahari kehidupannya dan mendengar suaramu. Supaya dia tahu kamu berada di dekatnya dan masih setia menunggunya. Dia sangat mencintaimu. Dan bersedia menikah denganmu setelah kalian diwisuda tahun depan."
Sekarang Aris bukan hanya heran. Dia terenyak bingung.
Dan yang mendengarkan kata-kata Prasetya ternyata bukan hanya Aris. Karena di balik tirai, Frida yang kebetulan berada di sana juga mendengarnya. Dan butir-butir air matanya runtuh tak tertahankan lagi.
***
Menjelang subuh baru Prasetya meninggalkan rumah sakit. Sebenarnya dia tidak ingin meninggalkan Vania sekejap pun. Tetapi dia ingin memberikan kesempatan kepada Aris untuk berada berdua saja dengan Vania.
Prasetya mengantarkan ibu Vania pulang, walaupun sebelumnya wanita itu berkeras hendak mendampingi anaknya. Kondisinya sangat lemah sehingga Aris memaksanya istirahat di rumah. Dan Prasetya menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang.
Setelah menurunkan ibu Vania di rumahnya, Prasetya langsung pulang. Dia baru merasa letih setelah menginjakkan kakinya di depan pintu rumahnya. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan sakit. Pelipisnya berdenyut.
Padahal ketika sedang tegang menunggui Vania di rumah sakit tadi, dia malah tidak merasakan apa-apa. Dia malah lupa minum obat yang diberikan dokter.
Ketika Prasetya masuk ke dalam rumah, ruangan depan masih gelap dan sunyi. Ningsih hanya membukakan pintu lalu masuk kembali ke kamarnya setelah menyediakan minuman hangat untuk majikannya. Barangkali dia masih mengantuk. Ingin melanjutkan tidurnya.
"Ibu sudah pulang?" tanya Prasetya sambil menghirup minumannya.
"Sudah, Pak," sahut Ningsih dalam nada mengantuk.
"Di kamar. Tidur."
Prasetya meletakkan cangkirnya. Lalu tertatihtatih dia melangkah ke kamarnya. Sudah lama mereka tidur terpisah. Sejak Satria lahir Karena itu ketika membuka pintu kamar, Prasetya tidak menemukan siapa pun di sana.
Dan untuk pertama kalinya Prasetya merasa kosong. Sepi. Seperti ada yang hilang di hatinya. Rasanya pedih.
Hati-hati Prasetya membuka bajunya. Dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor. Lalu dia masuk ke kamar mandi. Dan membasuh badannya.
Setelah mandi, Prasetya merasa lebih segar. Dia merasa sebagian tenaganya telah kembali. Dan sebuah keinginan muncul begitu saja di benaknya. Dia ingin melihat anaknya. Ingin melihat Satria. Rasanya tidak sanggup menunggu sampai dia terjaga nanti.
Lima tahun dia kehilangan memorinya. Ternyata dia bukan hanya kehilangan ingatannya. Dia juga kehilangan hatinya. Cintanya. Orang-orang di sekitarnya.
Empat tahun lebih dia telah melupakan anaknya sendiri. Satria tidak pernah merasakan perhatian dan kasih sayang yang utuh dari ayahnya. Sejak lahir, hanya ibunya yang benar-benar memperhatikannya. Di mana ayahnya selama ini?
Mereka memang berdekatan secara fisik. Tetapi tak ada pertalian kasih yang wajar antara ayah dan anak. Ayahnya seolah-olah berada begitu jauh di seberang lautan.
Prasetya tidak pernah menghabiskan waktunya untuk memanjakan anaknya. Untuk bermain bersamanya. Mengobrol berdua. Dan Prasetya merasa sangat menyesal. Diam-diam dia berjanji untuk mengejar waktu yang telah lewat dengan sia-sia itu. Dia berjanji untuk memperbaiki hubungannya dengan anaknya.
Kalau fajar menyingsing nanti, Satria akan merasakan untuk pertama kalinya kasih sayang dan perhatian ayahnya!
Tetapi Prasetya tidak sanggup menunggu sampai matahari terbit. Sampai anaknya terjaga. Dia ingin membisikkan janjinya di telinga anaknya malam ini juga.
Ketika pintu kamar Satria terbuka, secercah sinar dari ruang tengah menerobos masuk ke dalam. Dan Prasetya tertegun.
Yang tergolek lelap di atas tempat tidur bukan
hanya Satria seorang diri. Monika ternyata berada di sana juga. Dia tidur di sisi anaknya. Sebelah lengannya menjadi bantal Satria. Tangannya yang lain terulur jauh di atas kepalanya.
Lama Prasetya tertegun memandangi mereka Keduanya sedang tidur nyenyak sekali. Begitu aman. Begitu damai. Seolah-olah karena berada berdua, mereka tidak merasa kehilangan. Tidak merasa membutuhkan apa-apa lagi. Tetapi... benarkah mereka tidak membutuhkan seorang ayah? Seorang suami?
Tiba-tiba saja Prasetya merasa menyesal. Merasa bersalah. Kali ini bukan hanya kepada anaknya. Tetapi juga kepada istrinya.
Tiba-tiba saja dia mengerti, mengapa Monika mencari pelarian dalam pelukan seorang pelukis muda. Dia kehilangan kasih sayang dan perhatian suaminya.
Monika begitu kesepian. Begitu merasa ditelantarkan suaminya.
Justru pada saat umurnya mencapai usia yang kritis bagi seorang wanita muda, ketika usianya mulai merambat ke angka tiga puluhan. ketika seorang wanita mulai merasa warswas kehilangan daya tariknya, suaminya menelantarkannya.
Dan Monika mencari penggantinya dalam pelukan seorang laki-laki lain. Laki-laki yang lebih ganteng dari suaminya. Yang umurnya jauh lebih muda. Laki-laki yang dapat mengembalikan kepercayaan dirinya.
"Maafkan aku. Monik." bisiknya sambil menge
cup pipi istrinya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. lalu Prasetya mencium dahi anaknya. Dan membisikkan janjinya di telinganya.
Seharian itu Monika kalang kabut berusaha menghubungi lndra. Dia ingin menyuruh pemuda itu membatalkan rencana mereka.
Tibaotiba saja Prasetya berubah drastis. Bukan cuma ingatannya saja yang sudah kembali. Sifatnya juga.
Tadi pagi dia terjaga ketika Prasetya menciumnya. Lalu dia mengintai dari balik bulu matanya bagaimana Prasetya mencium anaknya pula. Dia mendengar dengan jelas bisikan Prasetya di telinga Satria. Dan Monika hampir tidak mempercayai pendengarannya ketika mendengar janji paling mengharukan yang pernah didengarnya dari mulut seorang ayah.
Monika hampir terlambat menutup matanya kembali. Hampir terlambat berpura-pura tidur kembali. Hampir terlambat menenangkan debar jantungnya. Rasanya kalau Prasetya berada lebih dekat lagi. jangan-jangan dia dapat mendengar detak jantung istrinya!
Monika bukan hanya terkejut. Dia terharu. Hampir tidak mempercayai apa yang dilihat dan didengarnya. Bermimpikah dia?
Tetapi Prasetya langsung keluar sambil menutup
pintu. Dan Monika tak dapat memejamkan matanya lagi sampai subuh.
Lalu pagi ini, ketika dia terlambat bangun, dia menemukan hal yang lebih aneh lagi. Prasetya sudah berada di dapur. Dia bukan hanya sedang sarapan di meja makan sambil membaca koran seperti biasa. Dia sedang membuatkan telur orakarik untuk Satria sambil mengajak anaknya ngobrol!
Satria duduk di atas meja. ya. dia tidak salah lihat! Satria duduk di tepi meja makan sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya. Dia sedang tertawa-tawa gembira sambil melempar-lemparkan kulit telur ke lantai.
Maksudnya tentu saja memasukkan kulit telur itu ke keranjang sampah. Tetapi karena dia belum pandai membidik, lemparannya banyak yang kesasar ke lantai. Akibatnya kulit telur berserakan di sana-sini. Tetapi Prasetya tidak marah. Dia malah tersenyum-senyum!
"Betul?" suara Satria berlumur kegembiraan murni seorang anak kecil.
"Betul Papa mau bawa Tiya ke laut? Kita ngapain di sana. Pa? Mancing. ya?"
"'Iiya berani masang umpannya'?" Prasetya mengaduk-aduk telurnya sambil tertawa. Tawanya begitu tulus di telinga Monika. Begitu cerah.
Rasanya pagi ini suasana seluruh rumah jadi ikut cerah. Kecuali tampang si Ningsih.
Melihat hasil karya majikannya, melihat kulit telur yang berserakan di lantai, rasanya dia lebih baik disuruh menggoreng seratus telur daripada disuruh diam menonton begini.
"Mama!" Satria-lah yang paling dulu melihat kedatangan ibunya. Dia langsung meluncur turun dari meja tanpa perasaan bersalah. Padahal biasanya, salah sedikit saja, Prasetya sudah membentaknya.
"Papa mau ngajak Tiya mancing, Ma! Papa mau ngajak Tiya ke laut!" Lalu tiba-tiba Satria seperti teringat sesuatu. Dia menoleh dengan cepat kepada ayahnya.
"Mama boleh ikut nggak. Pa?"
"Boleh dong, kalau nggak nakal." Prasetya berpaling pada istrinya sambil tersenyum.
Dan Monika hampir tidak mempercayai penglihatannya. Prasetya tersenyum kepadanya! Dan senyum itu... ya Tuhan! Senyum patennya. Senyum miliknya. Senyum yang telah lenyap selama lima tahun bersama memorinya!
Monika terkulai di kursi makan saking lemasnya. Tiba-tiba saja dia merasa bingung. Kacau. Takut. Lebih-lebih ketika Prasetya duduk di sampingnya setelah meletakkan piring berisi telur orak-arik di hadapannya.
"Jangan bikin malu di depan Satria dan Ningsih." bisiknya separo bergurau.
"Katakan enak walaupun kurang garam. Oke?"
"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Monika setelah tidak dapat mengekang rasa herannya lagi.
"Kemarin aku mengalami kecelakaan," sahut Prasetya tenang.
"Kepalamu terbentur lalu ingatanmu kembali?"
"Perahuku terbalik dan meledak."
Monika melongo antara kaget dan heran.
"Aku sudah mencoba menghubungimu. Tapi kamu tidak ada di rumah. Ponselmu juga dimatikan." '
"Mas Pras tidak apa-apa?"
"Cuma lecet," sahut Prasetya berdusta.
"Yang di pelipismu itu pasti jahitan."
"Matamu boleh juga."
"Mas tidak perlu dirawat?"
"Dokter mengijinkan pulang. Buka jahitan tiga hari lagi."
"Sama siapa Mas di perahu itu?"
"Vania. Tadi malam dia harus dioperasi. Kepalanya terbentur benda keras. Waktu kutinggalkan. dia belum siuman. Tapi barusan kutelepon Aris, katanya Vania sudah sadar. Dan menurut dokter, kondisinya membaik."
Pantas Prasetya tampak lega. Gembira. Santai. Justru Monika-lah yang panik. Kalang kabut.
Dia berusaha keras menghubungi Indra. Menyuruhnya membatalkan rencana mereka. Prasetya telah berubah! Dia tidak patut dienyahkan! Monika tidak rela anaknya kehilangan ayah yang baru saja diperolehnya!
Tetapi Monika tidak berhasil menemukan Indra. Ponselnya tidak aktif. Dan dia tidak pernah berada di kamar hotelnya.
Padahal Monika harus menemukannya! Harus! Mereka harus membatalkan rencana gila itu! Dan Monika harus menemukan Indra sebelum terlambat!
Prasetya menjenguk Vania siang itu, Vania sudah sadar penuh. ibunya dan Aris duduk di sisi tempat tidurnya.
Aris tengah memegangi tangannya sambil mengucapkan beberapa patah kata dengan suara hampir berbisik. Begitu pelannya suaranya sampai Prasetya tidak dapat mendengar apa yang diucapkannya. Tetapi walaupun tidak dapat mendengar, Prasetya dapat menerka apa yang dikatakan Aris. Dia dapat merasakannya.
Ketika melihat kedatangan Prasetya, Aris tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak menyapa. Tidak memberi salam. Air mukanya pun datar saja. Tetapi dia mengajak ibu Vania keluar. Meninggalkan Prasetya berdua saja dengan Vania. Dan Prasetya mengerti. Aris memberinya kesempatan untuk mencurahkan isi hatinya.
Tetapi Prasetya tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya duduk di sisi tempat tidur gadis itu. Meraih dan menggenggam tangannya dengan lembut. Membalas tatapan matanya sambil tersenyum.
Melihat cara Prasetya menatapnya, melihat senyum yang menghiasi bibirnya, Vania sadar, laki-laki itu telah memperoleh kembali ingatannya. Tapi bukan cuma ingatannya. Prasetya telah memperoleh kembali kepribadiannya yang lama Sifat-sifatnya. Hatinya.
Dan mereka tidak perlu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Karena mata mereka telah berbicara dengan sendirinya.
Mereka masih saling pandang ketika Frida memasuki kamar Vania untuk memonitor fungsi-fungsi vitalnya. Wajahnya langsung berubah melihat siapa yang duduk di sisi ranjang Vania sambil memegangi tangannya dengan lembut. Tiba-tiba saja hatinya terasa sakit. Dan dia hampir lupa tugas apa yang harus dilakukannya di sana.
Tetapi sekejap kemudian dia sudah mampu menguasai dirinya. Ketika Prasetya menoleh ke arahnya. Frida hanya mengangguk sedikit. Lalu dengan sikap sewajar mungkin, dia memeriksa Vania. Prasetya bangkit untuk memberi tempat pada Frida. Selagi perawat itu memeriksa Vania, Prasetya hanya mengawasi dengan serius.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Prasetya setelah Frida selesai memeriksa dan mencatat hasilnya dalam status Vania.
"Lebih baik." sahut Frida wajar. Dia berusaha mengekang emosinya. Dan berusaha tampil profesional walaupun hatinya terasa pedih. Disentuhnya lengan Vania sambil tersenyum. Lalu setelah mengangguk pada Prasetya, lekas-lekas ditinggalkannya kamar itu.
Frida baru menarik napas dalam-dalam setelah berada di luar kamar. Rasanya pengap sekali. Dan sesaknya tidak hilang walaupun dia sudah berada di luar. Dia belum sempat mengosongkan air mukanya ketika Aris tahu-tahu telah berada di dekatnya. Agak cemas melihat kemurungan paras perawat itu.
"Bagaimana, Suster?" desak Aris khawatir.
"Vania bisa sembuh. kan? Dia bisa normal kembali?"
"Sampai sebegitu jauh. semua baik," sahut Frida sambil memaksakan sepotong senyum. Dan karena dipaksakan, senyum itu jadi kelihatan hambar.
"Terus terang. kondisinya sebaik yang kita harapkan."
"Terima kasih, Suster," Aris menghela napas lega.
"Terima kasih untuk semua yang Suster telah lakukan untuk Vania." '
"Jangan benerima kasih pada saya," sanggah Frida datar.
"Saya hanya melakukan tugas."
"Tapi Suster Frida melakukannya dengan sangat baik. Dengan penuh dedikasi."
Lama sesudah Frida meninggalkannya, Aris masih mengawasi punggungnya. Lalu dia masuk ke kamar. Dan melihat Prasetya masih duduk di sisi pembaringan Vania.
"Apakah sudah pernah ada orang yang menceritakan padamu apa yang telah dilakukan Suster Frida untuk menyelamatkan nyawamu lima tahun yang lalu?" tanya Aris tawar.
Prasetya memutar kepalanya dan menatap pemuda itu dengan tenang.
"Kalau tidak salah, kamu orang ketiga yang mengatakannya."
"Kau sudah mengucapkan terima kasih?"
"Belum. Saya malah membiarkan Monika mengusirnya dan memakinya penipu."
"Seharusnya ada orang yang menghajarmu," geram Aris jengkel.
"Dan aku ingin sekali melakukannya di suatu tempat nanti."
"Tidak perlu," sahut Prasetya tenang.
"Sekarang juga saya akan mengejarnya dan meminta maaf."
"Satu pertanyaan lagi."
"Biasanya kamu secerewet ini?"
"Kau tahu dia mencintaimu?"
Kali ini Prasetya tidak menjawab. Dan mereka saling tatap tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Monika nekat mengejar Indra ke Yogyakarta dan mencari pemuda itu di setiap pelosok yang mungkin dikunjunginya. Ketika sampai malam dia tidak berhasil juga mencium jejak pemuda itu, terpaksa dia kembali ke hotel dan menunggunya di sana.
Hampir tengah malam baru Indra tampak memasuki lobi hotel. Dia tampak lesu dan tegang. Kemejanya lusuh. Rambutnya yang panjang kusut masai. Wajahnya muram.
"indra!" panggil Monika dengan perasaan lega.
Ya Tuhan! Terima kasih dia masih di sini! Terima kasih aku berhasil menemukannya sebelum terlambat!
Indra memalingkan mukanya seperti disengat aliran listrik dua ribu volt. Dia terbelalak seperti melihat hantu ketika mengenali siapa yang berada di hadapannya.
"Dia... sudah...?" Parasnya langsung memucat. Bibirnya,bergetar hebat. Matanya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Ditariknya Monika dengan cepat ke sudut yang sunyi. Lalu sambungnya dengan suara perlahan yang bernada kesal,
"Mengapa kamu kemari? Kamu yang bilang, bahaya sekali kalau kita terlihat berdua!"
"Aku datang untuk membatalkan rencana kita, Indra!" bisik Monika lega.
"Untung kamu belum melakukannya!"
"Membatalkan?" mata Indra menggelepar bingung.
"Membatalkan apa?"
"Apa lagi? Ya rencana kita! Prasetya baru mendapat kecelakaan. Dia sudah berubah total..."
"Apa maksudmu?" sergah Indra marah.
"Maksudku. kita tidak perlu lagi menjalankan rencana kita."
"Dia sudah mati?"
"Dia masih hidup. Dan dia sudah berubah. Aku tidak tega melakukan rencana kita!"
"Tidak mungkin!" dengus Indra sengit. Amarahnya langsung meledak.
"Kamu ingin kembali padanya? Kamu ingin meninggalkanku?"
"Kita bisa bicarakan baik-baik. Aku yakin Mas Pras mengerti."
"Tidak mungkin!"
"Mengapa tidak? Dia sudah berubah total!"
"Karena aku sudah menyewa orang untuk menjalankan rencana kita!" bisik Indra kesal.
"Kamu tidak bisa mengubah rencana seenaknya, Monik!"
Sekarang giliran Monika yang terbelalak. Matanya bersorot penuh ketakutan.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu... menyewa orang lain?" desisnya gugup.
"Aku tidak berani melakukannya." gumam Indra tawar.
"Aku bukan..."
"Indra!" desah Monika panik. Dipegangnya Iengan pemuda itu dengan gugup.
"Kita harus menghentikannya! Kita harus segera menghentikannya!"
"Aku tidak tahu di mana mencarinya!" sahut Indra sama gugupnya.
"Dia akan menemuiku jika tugasnya sudah selesai! Uang dua juta yang kamu berikan padaku sudah kuserahkan kepadanya sebagai uang muka. Sisanya kujanjikan kalau tugasnya sudah selesai.... Dia minta dua puluh juta. Monik . Kamu harus menguSahakannya...."
"Tapi uang itu kuberikan padamu sebagai bekal selama di Yogya! Bukan untuk menyewa "
"Aku tahu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Dia bekas temanku waktu di SMU dulu. Sekarang dia menganggur. Dia langsung menyanggupi permintaanku. Kita tidak bisa lagi menghentikannya. Karena aku sendiri tidak tahu di mana dia sekarang!"
Monika terenyak lemas. Sesaat dia tidak tahu harus melakukan apa. Lalu tiba-tiba dia teringat ponselnya. Dibukanya tasnya dengan gugup. Diaduk-aduknya tasnya sampai isinya berhamburan
keluar. Begitu menemukan poan mungilnya, lekaslekas dilekannya nomor ponsel suaminya.
Dia harus memperingatkan Prasetya! Dia harus memberitahu suaminya, bahaya maut sedang mengancamnya. Seorang pembunuh sedang menunggunya di perjalanan pulang, entah di mana, mungkin di dekat rumah mereka!
Dia harus waspada. Atau sebaiknya, dia mengambil jalan lain! Atau tidak pulang sekalian!
* * *
"Mbak Frida, ada yang cari," kata Suster lna kepada Frida yang sedang mengisi status di ruang perawat.
"Keluarga pasien. Tuh, lagi nunggu di luar."
Frida mengangkat mukanya. Dan melihat ke luar melalui kaca yang memisahkan ruangan itu dari lorong di depannya. Dia tidak usah menajamkan matanya untuk mengenali siapa yang sedang menunggu untuk bertemu.
"Suruh masuk, ln," pinta Frida sambil mengosongkan air mukanya.
"Masuk, Pak." kata Suster Ina sambil berjalan keluar.
Tanpa ragu-ragu Prasetya masuk ke dalam ruang perawat. Langsung menghampiri meja Frida.
"Maaf, boleh mengganggu sebentar?" tanyanya sopan ketika dilihatnya Frida masih sibuk menulis.
Tentu saja Frida hanya berpura-pura. Dia bukan sedang sibuk menulis. Dia sedang sibuk menenang
kan debar jantungnya sendiri. Dan sibuk menampilkan sikap yang sewajar mungkin.
Frida mengangkat wajahnya. Dan menatap pria itu dengan tenang.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya formal.
Tetapi Prasetya tidak menjadi salah tingkah diperlakukan seresmi itu. Dia malah memamerkan senyum terbaiknya. Senyum yang membuat Frida terlena sesaat. Terkenang pada sebuah malam lima tahun yang lalu malam yang tak terlupakan di atas sebuah kapal pesiar.
"Boleh mengajakmu makan siang setelah tugasmu selesai?"
"Terima kasih. Tapi hari ini tugas saya baru selesai pukul delapan malam."
"Kalau begitu, makan malam." sahut Prasetya dengan suara yang sulit dibantah.
"Saya jemput jam delapan?"
"Delapan tiga puluh."
"Di sini?"
"Di rumah saya. Mas Pras tidak ingin mengajak saya makan malam dengan seragam perawat. kan?"
Prasetya tertawa lunak. Teringat makan malam mereka di kapal lima tahun yang lalu.
Tetapi Frida tidak ikut tertawa. Karena kenangan itu justru membuatnya sedih.
* * *
Kesedihannya bertambah ketika dewi
seperti tidak mau ditinggal di rumah. Dia memaksa ingin ikut ibunya.
Memang bukan salahnya. Frida jarang di rumah. Sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah sakit
Dewi harus mengisi hari-harinya bersama pengasuhnya. Hanya kalau kebetulan ibunya berada di rumah, Dewi dapat bermanja-manja pada ibunya.
Karena itu dia kesal sekali ketika Mama mengatakan akan pergi lagi padahal dia baru saja sampai di rumah. Sudah sehari-semalam Dewi menunggu ibunya. Bukankah tadi malam Mama sudah tidak pulang? Masa sekarang Mama mau pergi lagi?
"Uwi mau ikut Mama!" rengeknya tanpa dapat dibujuk lagi. Padahal biasanya dia jarang ngambek. Untuk anak yang berusia empat tahun. sebenarnya Dewi termasuk anak yang penuh pengertian. Tapi entah mengapa malam ini dia rewel sekali. Dia memaksa ingin ikut.
Tahukah dia dengan siapa ibunya pergi malam ini, pikir Frida resah ketika kesadaran itu tiba-tiba menyeruak ke benaknya. Mungkinkah ini naluri seorang anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah?
Ketika Prasetya tiba di rumah Frida, Dewi masih ngambek. Tangisnya malah menjadi-jadi. Frida dan Oni sampai kewalahan membujuknya.
Prasetya agak terperanjat melihat ada seorang anak kecil di rumah Frida.
"Keponakanmu?" tanya Prasetya sambil tersenyum.
"Anak saya," sahut Frida kaku. Dia menghindari
tatapan mata Prasetya. Khawatir pria yang berpengalaman itu mampu membaca tatapannya.
"Anakmu?" sergah Prasetya tidak percaya. Jadi dia sudah menikah! "Di mana ayahnya?" tanyanya setelah mampu mengatasi kekagetannya.
"Dia tidak marah saya mengundangmu makan malam?"
"Dewi yang marah." sahut Frida tersendat.
"Dewi?" Prasetya tertegun sejenak sebelum senyum kembali menghiasi bibirnya. Dan Frida harus meredam kepedihan hatinya ketika mengenali senyum itu. Betapa dia masih memuja dan mengagumi senyumnya! "Oh, jadi namanya Dewi! Cocok sekali dengan namanya. Dia memang cantik seperti seorang dewi! Boleh saya menggendongnya?"
Kali ini giliran Frida yang tertegun. Dan dia belum sempat menjawab ketika Prasetya sudah keburu menggendong anaknya. Tangis Dewi langsung mereda begitu berada dalam gendongan ayahnya. Dia menatap pria itu dari balik tirai air mata yang menggantung di bulu matanya. Tatapan matanya begitu penuh tanda tanya. Begitu menggemaskan Prasetya.
"Kamu memang cantik seperti dewi," katanya sambil mengecup pipi anak itu.
"Kalau sudah besar nanti. pasti banyak pria yang patah hati!"
Frida mengawasi mereka dengan terharu. Seandainya saja mereka tahu .
Seandainya Dewi tahu, harapan ibunya telah menjadi kenyataan... suatu hari nanti, Dewi akan melihat ayahnya....
Malam ini. Dewi bukan hanya melihatnya. Dia
telah merasakan gendongan ayahnya. Bahkan ciumannya....
"Kenapa kamu ngambek, Manis? Cowok mana yang menjaili kamu?"
"Uwi mau ikut Mama!" rengek Dewi manja.
"Sudah, Wi," Frida meraih anaknya dari gendongan Prasetya.
"Jangan nakal begitu. Heran, biasanya kamu nggak suka ngambek!"
Tapi Dewi malah merangkul leher Prasetya. Membuat Prasetya tertawa riang. Dia sudah jatuh hati pada saat pertama kali melihat bocah manis yang lucu ini. Aneh rasanya kalau dulu dia takut menikah karena takut punya anak!
Ternyata Vania benar. Mereka adalah makhluk yang lucu menggemaskan!
Tadi pagi Prasetya untuk pertama kalinya merasakan bahagianya mengobrol, bermain, dan bergurau dengan Satria. Malam ini, dia malah mendapat pengalaman baru lagi. Dia begitu terpikat pada bocah yang satu ini. Ternyata dia menyukai anak kecil. Mereka bukan hambatan yang menakutkan lagi untuk sebuah pernikahan! Mereka malah merupakan pelengkap yang sangat dibutuhkan untuk melanggengkan sebuah rumah tangga.
"Uwi mau ikut Mama!" rengek Dewi separo menangis. Lengannya memeluk leher Prasetya eraterat seolah-olah minta bantuan.
"Dewi!" sergah Frida antara kesal dan malu.
Entah mengapa anak ini. Biasanya dia begitu patuh dan penuh pengertian. Mengapa tiba-tiba saja dia menjadi begini sulit diatur?
Memalukan! Nanti Prasetya mengira Frida tidak becus mendidik anak!
"Oh. jadi bidadari' yang cantik ini menangis karena mau ikut Mama!" Prasetya tertawa lunak. Dicubitnya pipi Dewi yang montok itu dengan gemas. Bukannya kesal, dia malah kelihatan senang sekali.
"Kalau Dewi janji nggak ngambek lagi, Oom mau minta izin Mama ngajak kamu!"
Frida hampir tidak percaya pada telinganya. Prasetya hendak mengajak anaknya ikut mereka? Tidak merasa terganggukah dia?
"Betul?" Dewi menatap Prasetya dengan tatapan tidak percaya. Ketika matanya yang bulat dan bening itu, mata yang masih berlinang air mata, menatapnya dengan tatapan polos yang lucu menggemaskan, Prasetya langsung merasa sayang padanya.
"Masa sih Oom bohong?" Prasetya pura-pura membelalak jenaka. Lalu dia berpaling kepada Frida sambil tersenyum.
"Boleh ya, Ma?"
Sesaat Frida tertegun. Tidak tahu harus menjaWab apa. Hatinya sedang berperang antara baru dan bahagia.
Akhirnya anaknya dapat melihat ayahnya. Merasakan gendongannya. Menikmati senyumnya Walaupun dia tidak tahu siapa lelaki yang kini sedang menggendongnya sambil tersenyum jenaka.
"Howe!" Prasetya bersorak sambil berputar-putar menggendong anaknya.
"Mama kasih izin! Mama
bilang Dewi boleh ikut!"
"Cree!" Dewi ikut berteriak gembira.
"Uwi boleh ikut!"
Mereka sama-sama tertawa riang. Ketika Prasetya menoleh ke arah Frida, dia baru menyadari, wanita itu tidak ikut tertawa. Wajahnya malah terlihat mendung. Diam-diam Prasetya merasa heran.
Malam itu Frida tidak banyak bicara. Dia menyibukkan diri melayani dan menyuapi anaknya makan. Prasetya-lah yang lebih banyak mengobrol bersama Dewi. Dan dari mulut anak yang cerdik itu dia tahu, Dewi belum pernah melihat ayahnya.
"Boleh bertanya? Jangan jawab kalau tidak mau."
"Apa lagi yang belum diceritakan Dewi padamu?" Frida menghela napas panjang.
"Sesuatu yang dia sendiri tidak tahu."
"Apa?"
"Di mana ayahnya?"
"Perlukah Mas menanyakannya?"
"Majikanmu? Umurnya sesuai..
Frida menggeleng kesal. Ketika menggelengkan kepalanya. matanya menyiratkan kesakitan.
"Dia belum sampai melakukannya."
"Kalau begitu... siapa?"
"Seseorang yang melintas dalam hidup saya." sahut Frida datar.
"Saya mengenalnya?"
"Mengapa Mas harus mengenalnya?" Frida meraih gelasnya Hanya supaya matanya tidak usah membalas tatapan pria itu. Prasetya terlalu berpengalaman. Matanya pasti pintar menilai.
"Saya merasa. saya mengenalnya"
"Kok Mas punya perasaan demikian?"
"Karena saya merasa mengenal anak ini."
Frida terenyak. Dia sampai lupa menyembunyikan tatapannya. Dan ketika melihat cara Frida memandangnya. tiba-tiba saja Prasetya sadar, dugaannya tidak meleset.
"Kita melakukannya malam itu," desahnya penuh penyesalan. Wajahnya berkerut seperti menanggung perasaan bersalah "Sekarang saya mengerti, mengapa saya begitu cepat lengket padanya..." Prasetya menatap Dewi yang sedang asyik mengaduk-aduk sirupnya. Air matanya merebak menahan haru.
"Ketika saya menggendongnya tadi, sebuah perasaan aneh menjalari hati saya. Saya merasa seperti telah mengenalnya.
"Mas tidak perlu merasa bersalah," gumam Frida dengan suara tertekan.
"Saya juga tidak menuntut tanggung jawab Mas Pras. Apalagi saya tahu. Mas kini sudah menikah...."
"Dan anak saya baru saja memperoleh ayahnya," sambung Prasetya sedih.
"Karena selama ini, saya telah menelantarkan anak dan istri saya."
"Kembalilah pada mereka, Mas," pinta Frida tulus.
"Saya sudah merasa bersyukur karena anak saya telah melihat ayahnya walaupun dia tidak mengenalinya."
"Saya harus bertanggung jawab," kata Prasetya tegas.
"Saya akan mengangkatnya sebagai anak. Saya akan membiayai hidupnya. Pendidikannya. Dan semua kebutuhannya."
"Istri Mas Pras pasti keberatan."
"Tidak," sanggah Prasetya tegas.
"Monika pasti setuju. Kami akan membuat perjanjian."
"Perjanjian?" .
"Saya akan memaafkan perselingkuhannya. Tapi dia harus mengizinkan saya mengangkat Dewi sebagai anak saya."
"Tidak, Mas," Frida menggeleng mantap.
"Saya masih sanggup membiayainya dengan keringat saya sendiri. Mungkin yang Dewi butuhkan hanya kasih sayang seorang ayah. Itu yang tak dapat saya berikan kepadanya."
"Kalau begitu, saya akan menjadi ayahnya."
"Saya tidak ingin merusak rumah tangga Mas Pras."
"Rumah tangga saya memang sudah rusak. Tapi bukan karena kalian."
"Karena Vania?"
Mereka sama-sama terkejut ketika Frida kelepasan menanyakannya. Tetapi sesaat kemudian, Prasetya sudah berhasil mengatasi kekagetannya.
"Vania mencintai Aris," katanya dengan ketenangan dan ketulusan yang mengagumkan.
"Mereka akan menikah setelah diwisuda tahun depan."
"Tapi saya merasa Mas Pras mencintainya."
Prasetya tersenyum pahit.
"Saya mencintainya sejak pertama kali melihatnya. Tapi saya harus mengakui, pemuda itu lebih hebat dari saya. Dia yang berhasil memenangkan hati gadis itu. Tetapi memang, tidak semua cinta harus diakhiri dengan perkawinan, kan? Lalu kata siapa cinta semacam itu tidak abadi?"
Tidak perlu mengajarkannya kepada saya. keluh Frida pedih di dalam hati. Karena saya telah lima tahun memendamnya!
"Saya ingin kamu bertemu dengan Monika dan anak kami. Satria seumur dengan Deni. Mereka pasti dapat menjadi sahabat yang baik."
"Malam-malam begini?" sergah Frida enggan. Secercah perasaan tidak enak menjalari hatinya. Entah dari mana datangnya.
"Kalau tidak malam, kamu tidak bisa bertemu dengan Monika. Dia jarang di rumah."
"Perlukah saya menemuinya?"
"Dia harus minta maaf padamu."
"Untuk apa?"
"Semua yang diucapkannya padamu lima tahun
yang lalu di rumah saya."
"Tidak perlu."
"Tapi saya menginginkannya. Dia harus minta maaf seperti saya telah minta maaf padamu."
"Saya telah memaafkannya."
"Jika dia belum memaafkanmu. dia tidak dapat menerima Dewi."
"Haruskah dia menerima Dewi?" .
"Harus jika Dewi ingin mempunyai seorang ayah."
"Bagaimana Dewi dapat memiliki ayah yang menjadi ayah anak lain?"
"Lebih baik daripada tidak punya sama sekali.
Kelak jika dia sudah cukup besar untuk mengerti, saya yang akan menjelaskannya."
Ada sesuatu yang namanya wibawa. Dan itu yang dimiliki Prasetya Sanjaya Kata-katanya sulit dibantah. Mirip perintah walaupun tidak diucapkan dalam nada memerintah.
Frida tidak dapat menolak walaupun sebenarnya dia segan bertemu dengan Monika. Dewi sudah kelihatan mengantuk. Sebentar lagi pasti dia tidur.
"Dia pasti melupakan kantuknya kalau ketemu Satria," Prasetya tersenyum sambil mencolek pipi Dewi.
"Mereka pasti cocok Sama-sama bawel."
Akhirnya Frida terpaksa mengalah. Ikut ke rumah Prasetya. Saat itu sudah hampir pukul sepuluh. Dan tepat seperti yang diramalkan Frida, Dewi Sudah tidak dapat menahan kantuknya. Di perjalanan dia sudah tertidur. Bersandar di kursi belakang mobil dengan kepala tergolek ke samping.
Prasetya berhenti sebentar di pinggir jalan. Lalu dia mengulurkan jaketnya untuk menyelimuti tubuh Dewi. Dan bocah cilik itu tidak terjaga sama sekali. Tidurnya sangat lelap.
"Lebih baik antarkan kami pulang," pinta Frida ketika melihat putrinya sudah tidur.
"Percuma saja ke rumah Mas Pras kalau Dewi sudah tidur, kan"
"Sayang sekali," keluh Prasetya sambil tersenyum.
"Padahal rumah saya sudah dekat. Oke. nggak apa-apa. Masih ada hari esok "
Dan kata-kata Prasetya belum selesai diucapkan. Senyumnya pun masih tersungging di bibir. Dia sedang membalikkan tubuhnya setelah menyelimuti
tubuh Dewi di jok belakang ketika seseorang mengetuk kaca jendelanya.
Prasetya langsung membukanya tanpa ragu-ragu. Dan sekilas dia melihat kilatan laras pistol... terarah ke kepalanya....
Refleks secepat kilat Prasetya membungkuk dalam sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Dan dia merasakan desingan peluru lewat hanya beberapa sentimeter dari kepalanya.
Letusan senjata dan jeritan Frida memecahkan kesunyian malam. Membuat beberapa orang yang berada di sana tersentak kaget.
Penembak gelap itu langsung kabur ke sebuah motor yang telah menunggu tak jauh dari sana. Dia melompat ke boncengan motor. Dan motor itu langsung kabur.
Tetapi Prasetya masih sempat melihat nomor polisi motor itu. ketika lampu mobilnya yang belum dipadamkan sekilas meneranginya. Dia sudah memasukkan gigi mobilnya. siap untuk menginjak gas dan mengejar motor itu, ketika Frida mencengkeram lengannya dengan ketakutan.
"Jangan dikejar. Mas!" pintanya gugup. Matanya melukiskan ketakutan dan kekagetan yang amat sangat.
"Mereka pasti kawanan perampok yang biasa mencari mangsa mobil-mobil yang lewat di sini!"
Prasetya meletakkan tangannya di atas tangan Frida. Menggenggamnya dengan lembut untuk menenteramkan hatinya. Saat itu tidak sengaja mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya
Prasetya menyadari, betapa murninya cinta Frida. Cinta yang tulus. Tanpa mengharapkan balasan. Tanpa mengharapkan apa-apa.
Lalu mereka sama-sama tersentak dari pesona yang mengikat mereka ketika beberapa orang muncul di pintu mobil. Menanyakan keadaan Prasetya.
"Tidak apa-apa. Kami baik-baik saja," sahut Prasetya sambil menutup kaca dan menjalankan mobil setelah menoleh sekejap ke bangku belakang.
Dewi masih terlelap dalam tidurnya. Posisi duduknya pun tidak berubah. Kepalanya tergolek ke samping. Matanya terpejam rapat. Rupanya kegaduhan yang terjadi tidak mengusiknya sama sekali.
"Untung Dewi tidak bangun." bisik Prasetya sambil menyentuh tangan Frida yang terkulai di atas pangkuannya.
"Tidurnya lelap sekali."
"Tolong antarkan kami pulang saja, Mas," desah Frida masih dicekam syok.
"Sudah malam."
"Tidak mau ke rumah dulu? Sudah dekat. Saya ingin melapor ke polsek. Mumpung masih ingat nomor motornya dan ciri-ciri bajingan itu."
"Buat apa cari perkara, Mas? Kan kita tidak apa-apa."
"Kejahatan tidak boleh dibiarkan. Nanti semakin merajalela."
"Saya khawatir komplotan itu malah mengincar Mas Pras kalau dilaporkan. Siapa tahu mereka punya sarang di sini. Mas kan selalu lewat di sini kalau pulang."
"Saya tidak takut."
"Saya yang takut!"
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika mengucapkan kata-kata itu, Frida hampir memekik penuh emosi. Prasetya menoleh sekejap. Dilihatnya wanita itu sangat gelisah. Padahal biasanya dia begitu tenang. Diremasnya tangan Frida dengan lembut. Seolahalah ingin menyalurkan kekuatan dan ketenangan ke hatinya. Entah mengapa ketika menggenggam tangan Frida, Prasetya merasa mereka begitu dekat.
"Kita sudah sampai." katanya sambil berhenti di depan rumahnya.
"Saya minta dengan sangat agar kamu mau membawa Dewi masuk."
"Tapi Dewi sudah tidur...."
"Saya akan menggendongnya. Tinggallah di rumah saya. Malam ini saja Tadi pagi, untuk pertama kalinya setelah empat tahun, saya membuatkan sarapan untuk Satria. Kalau kamu izinkan, besok saya ingin membuat sarapan untuk mereka berdua. Kamu tidak keberatan, kan? Tidak keberatan mengabulkan permintaan seorang ayah yang baru saja memperoleh anak-anaknya kembali?"
Frida menggeleng menahan haru. Dan Prasetya mencium tangannya dengan penuh terima kasih.
"Kamu perempuan paling baik yang pernah saya kenal," gumamnya lembut.
Tapi hanya salah satu nama dalam agendamu, sambung Frida sedih. Kamu tidak pernah mencintaiku. Entah wanita mana dalam koleksimu yang kamu bayangkan ketika mencumbuku malam itu....
"Dan hari ini kamu bukan cuma perempuan paling baik. Kamu menjadi istimewa karena saya tahu kamu adalah ibu anak perempuan saya...."
Prasetya menoleh ke belakang sambil tersenyum bahagia.
"Terima kasih telah memberikan anak semanis ini kepada saya, Frida. Terima kasih telah memberinya kesempatan untuk melihat dunia. Dan terima kasih karena kamu telah merawatnya. Membesarkannya. Menyayanginya. Semua yang selama ini tidak dapat saya berikan kepadanya."
Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, Prasetya tampak sangat terharu. Suaranya terdengar bergetar dalam kegelapan.
Lalu dia turun dari mobil. Membukakan pintu untuk Frida. Dan membantunya turun.
"Tunggu sebentar," kata Prasetya sambil menekan bel pintu.
"Saya akan menggendong Dewi."
Prasetya membuka pintu belakang. Menyingkapkan jaket yang menyelimuti tubuh Dewi dengan hati-hati. Dan dia terenyak kaget. Hampir jatuh dalam syok.
Dewi masih tertidur lelap dalam posisi yang tidak berubah Posisi yang seperti tadi juga. Tapi tubuh di balik jaket itu sudah berkubang dalam darahnya sendiri.
***
PRAsetYA berlari lari menuju Ke Unit Gawat Darurat sambil menggendong Dewi yang sudah tidak sadarkan diri. Frida membuntuti di belakangnya sambil menangis.
Darah Dewi melumuri baju Prasetya. Mengotori seprai ketika tubuhnya diletakkan di atas ranjang periksa. Dokter dan perawat di UGD segera berlarian menolongnya.
Tangis Frida mencetuskan kepanikan di antara rekan-rekan sejawatnya. Mereka berusaha sekuat tenaga menolong Dewi.
Bahkan Dokter Harsa yang dipanggil Frida melalui telepon datang tak lama kemudian. Penampilannya tidak keruan seperti baru bangun tidur. Dia memang belum lama pulang praktek Baru saja terlelap beberapa menit ketika pembantunya membangunkannya karena ada telepon dari UGD.
Suara Frida yang histeris bercampur tangis di pesawat telepon tidak cukup jelas. Yang diucapkannya berulang-ulang hanyalah,
"Tolong Dewi, Mas! Tolong!"
Karena itu Dokter Harsa langsung datang ke rumah sakit. Dan Frida menyambutnya di UGD sambil menangis. Keadaannya sungguh sangat mengenaskan. Padahal biasanya dia begitu tenang. Begitu percaya diri. Begitu terampil menghadapi pasien-pasiennya. seperti apa pun kondisi mereka.
Tetapi ketika Dokter Harsa memeriksa Dewi, dia sadar, kecemasan Frida tidak berlebihan. Keadaan umum anak itu memang sangat buruk.
Dia sudah berada dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dan dia kehilangan banyak darah.
"Yang bukan keluarganya silakan meninggalkan ruangan," pinta Dokter Harsa kepada Prasetya yang masih termangu-mangu sambil memegangi kaki anaknya.
"Biarkan kami menolongnya."
"Biarkan dia di sini, Mas," gumam Frida pahit.
"Dia ayahnya."
Dokter Harsa menoleh sekali lagi kepada pria itu seperti tidak mempercayai pendengarannya. Dan dia mengenali pasien yang datang bersama Vania tadi malam itu. Pria itu sedang memegangi kaki anaknya dengan air mata berlinang.
Jadi dialah ayah anak Frida, pikir Dokter Harsa murung. Dialah yang menyebabkan Frida begitu berubah! Dialah yang menyebabkan Frida menolaknya!
Dewi dioperasi malam itu juga. Peluru yang menembus jok mobil itu masuk ke lehernya, tembus ke belakang kepala, dan bersarang di batang otaknya.
Dia langsung kehilangan kesadarannya dan tidak pernah sadar kembali biarpun dokter-dokter sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya.
Dewi meninggal di atas meja operasi. Dan ketika melihat Dokter Harsa keluar dari kamar operasi dengan penampilan lemas dan lesu, Frida tahu, dia telah gagal menyelamatkan buah hatinya.
Dokter Harsa memegang bahunya dan menggelengkan kepalanya dengan murung. Frida memekik histeris dan Dokter Harsa langsung memeluknya. Tangis wanita itu pecah dalam pelukannya. Air matanya membanjiri jubah operasinya. Dan isaknya menyayat hati Dokter Harsa.
Tidak sadar tangannya membelai punggung Frida. Dan ingatannya kembali pada saat-saat romantis mereka lima tahun yang lalu.
Tetapi Frida tidak merasakan kehangatan itu sedikit pun. Dia sedang tenggelam dalam telaga kesedihan yang amat menyesakkan napas.
Dewi meninggal. Dokter Harsa tidak berhasil menyelamatkan buah hatinya. Putri kesayangannya telah pergi. Begitu cepat. Begitu tragis. Tanpa permisi. Tanpa memberi isyarat apa-apa.
Tidak ada tanda apa-apa yang diberikannya kepada ibunya bahwa dia akan segera meninggalkannya Dewi pergi begitu saja. Berlalu dalam tidurnya.
"Dewi tidak pernah sadarkan diri lagi. Da." bisik Dokter Harsa lunak.
"Dia tidak pernah merasakan sakit. Peluru itu langsung menembus batang
otaknya. Dia langsung tidak sadar. Tidak menderita sama sekali...."
Prasetya masih termangu-mangu di bangkunya. Menyaksikan adegan di hadapannya seperti sedang menonton film. Ibu yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan dokter yang berusaha menghibur dan menabahkan hatinya.
Ya, semuanya memang seperti film. Yang berputar dan berputar lagi di depan matanya. Berulangulang mengoyakkan hatinya.
Gadis kecil yang manis dan lucu itu. Anaknya. Putri yang baru saja ditemukannya. Bagitu cepat dia harus berlalu! Padahal Prasetya belum sempat memberitahukan padanya, hari ini dia sudah menemukan ayahnya. Ayah yang mungkin selalu ditanyakannya.
Justru ayahnyalah yang mengantarkan maut kepadanya. Dia menukar jiwanya dengan jiwa ayahnya. Dewi pergi untuk menggantikan ayah yang baru pernah dilihatnya!
Dan ponselnya berdering. Prasetya sudah ingin mematikannya. Tetapi dibatalkannya ketika melihat di layar siapa yang meneleponnya.
"Mas Pras!" cetus Monika dengan suara gemetar menahan kegembiraan dan kelegaan.
"Aduh! Syukur Mas tidak apa-apa!"
Prasetya sedang berada dalam masa yang paling menyedihkan. Otaknya tidak dapat diajak berpikir. Dia tidak dapat memahami kata-kata Monika Bahkan tidak dapat membuka mulut.
"Mas di mana sekarang?" tanya Monika lagi.
"Jangan pulang ke rumah malam ini, Mas! Tinggal saja di hotel! Saya pulang besok pagi."
Prasetya tidak merasa ketika ponsel itu meluncur dari tangannya. Jatuh ke lantai. Dia sedang terbuai dalam kesedihannya sendiri. Tidak ada yang dapat menghiburnya. 'Tidak ada. Juga suara Monika yang penuh kelegaan.
* * *
Kedua orang penjahat itu berhasil ditangkap hanya beberapa jam kemudian. Prasetya yang dipanggil pagi itu juga untuk mengidentifikasikan mereka langsung mengenali salah seorang di antaranya. Dan tinjunya sudah langsung meremukkan hidungnya.
Prasetya harus dibawa keluar sebelum sekujur wajah bajingan itu hancur dihajarnya. Dan polisi tidak memerlukan waktu lama untuk mengorek pengakuannya.
Dia segera menceritakan siapa yang membayar mereka. Dan berapa juta mereka dibayar.
Siang itu juga, Indra Sukandar yang baru saja tiba di rumahnya sekembalinya dari Yogyakarta, langsung dibekuk. Dan diseret ke polres.
Indra tidak diberi peluang untuk menyangkal. Begitu dikonfrontasikan dengan orang yang disewanya untuk melenyapkan Prasetya Sanjaya, dia tidak dapat mengelak lagi. Dia langsung mengakui perbuatannya.
Tetapi Indra tidak mengatakan motifnya. Dia
juga tidak menyebut-nyebut nama Monika. Bagaimanapun polisi menekannya, dia tetap membisu. Dan polisi sudah merasa. dia sedang melindungi seseorang.
"Bapak kenal dia?" tanya polisi kepada Prasetya yang masih didengar keterangannya sebagai saksi.
"Teman istri saya," sahut Prasetya datar.
"Seorang pelukis."
"Ada dugaan mengapa dia hendak menyingkirkan Bapak?"
Mengapa dia hendak menyingkirkanku? Karena dia menginginkan Monika? Dia tidak puas hanya berselingkuh. Dia menginginkan wanita itu menjadi istrinya. Miliknya seratus persen!
Monika. Tiba-tiba saja ingatan Prasetya kembali kepada teleponnya tengah malam tadi. Mengapa Monika meneleponnya tengah malam begitu? Dan pesannya sangat aneh!
"Jangan pulang ke rumah malam ini, Mas! tinggal saja di hotel!"
Tahukah Monika ada pembunuh yang mengincar jiwa suaminya? Pembunuh yang disewa Indra dan tengah menunggu di dekat rumah mereka!
"Syukur Mas tidak apa-apa!" itu cetusan kelegaan Monika ketika dia mendengar suara suaminya.
Makin dikaji, Prasetya makin yakin, Monika tahu rencana Indra untuk membunuhnya. Terlibatkah Monika dalam rencana itu?
Tetapi kalau dia terlibat. mengapa dia malah melarang suaminya pulang? Mengapa dia malah seperti hendak memperingatkan Prasetya ada bahaya
maut yang sedang mengancam? Ada pembunuh bayaran yang sedang mengincarnya, menunggunya di dekat rumah mereka?
Dari polres Prasetya kembali lagi ke rumah sakit untuk membantu Frida mengurus jenazah anaknya. Ketika ditemuinya wanita itu di kamar mayat. Frida sudah lebih tenang. Dia bersimpuh di depan jenazah Dewi. Wajahnya masih murung bersimbah air mata. Tetapi tangisnya sudah tidak terdengar lagi. Dia tampak pasrah. Kepalanya tertunduk dalam seperti sedang memanjatkan doa.
Prasetya bersimpuh di sampingnya, agak sedikit ke belakang. Dia ikut larut dalam keheningan yang menyelimuti mereka di sana.
Tubuh Dewi yang kecil mungil sudah terbaring tenang di hadapan mereka. Wajahnya yang sudah dibersihkan tampak mulus tanpa cela. Suci tanpa dosa. Sama sekali tidak membayangkan penderitaan. Matanya terpejam rapat. Seperti sedang tertidur lelap.
"Dia langsung tidak sadar," kata Dokter Harsa tadi malam.
"Tidak menderita sama sekali...."
Hanya kata-kata itu yang sedikit menghibur Prasetya. Anaknya tidak menderita. Tidak merasakan sakit. Dia meninggal dalam tidurnya. Tidak merasakan sakit ketika timah panas itu menembus lehernya. Tidak merasa sakit ketika pisau operasi membuka kepalanya. Bahkan tidak merasa sakit
ketika jarum suntik menembusi lengannya. Dewi tidak merasa apa-apa.
Tidurlah yang lelap, Sayang. bisik Prasetya ketika dia sedang tepekur menatap anaknya. Kalau kamu bangun nanti. ada malaikat yang akan menuntunmu. Membawamu ke suatu tempat yang sangat indah....
Air mata Prasetya merebak lagi. Padahal biasanya dia orang yang paling sulit menangis. Tapi ketika kehilangan Dewi, ketika kehilangan anak yang baru sehari dikenalnya, dia merasa seperti sebagian tubuhnya ikut dikoyakkan dan dibawa pergi.
Prasetya yang membawa Dewi ke pemakaman. Dia yang menggendong anaknya ke liang lahat. Tiba-tiba saja. pada saat terakhir dia boleh berada di dekat anaknya, dia telah bertindak sebagai seorang ayah.
Dia yang membeli tanah pemakaman. Mengurus pemakamannya Bahkan memilih nisan terbaik yang dapat dipersembahkannya untuk anaknya.
Frida membiarkan Prasetya mengambil tugasnya untuk memakamkan anak mereka. Dia ingin memberikan kesempatan kepada pria itu untuk melakukan tugasnya sebagai seorang ayah. Dan ketika Prasetya menyadari keikhlasan Frida, sekali lagi dia mengucapkan terima kasih. Meskipun hanya di dalam hati.
Sejak membawa Dewi ke rumah sakit tadi malam, mereka memang selalu bersama-sama, kecuali ketika Prasetya dipanggil ke polres. Tetapi mereka tidak pernah berbicara. Mereka sedang sama-sama
dilihat ketegangan yang kemudian disusul oleh kesedihan yang mendalam ketika ternyata Dewi tidak berhasil diselamatkan.
Tetapi walaupun mereka tidak berbicara dengan kata-kata, mereka merasa hati dan mata mereka saling bertautan. Mereka diikat oleh kesedihan yang sama. Dibuhul oleh perasaan kehilangan yang sama pula.
Mereka sama-sama membisu ketika sedang bersimpuh di depan gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan Dewi yang terakhir. Di sanalah, di dalam kegelapan dan kedamaian di bawah tanah, Dewi berbaring. Tetap lelap dalam tidurnya yang panjang dan abadi.
Satu per satu teman dan handai tolan meninggalkan tanah pemakaman itu. Tetapi Prasetya masih bersimpuh menemani Frida.
"Sejak lahir, dia tidak pernah menyusahkan," gumam Frida dengan air mata berlinang.
"Dia tidak pernah menuntut apa-apa. Dan saya merasa belum dapat memberikan apa-apa kepadanya ketika dia sudah harus pergi...."
"Dia pernah menanyakan saya?" tanya Prasetya lirih.
"Pernah bertanya di mana ayahnya?"
"Hanya sekali. Ketika dia menonton film di teletisi."
"Apa katanya?"
"Dia hanya bertanya mengapa dia tidak punya ayah."
Prasetya merasa hatinya teriris. Nyeri. Nyeri sekali.
"Apa yang kamu katakan padanya?"
"Saya bilang, semua anak punya ayah." Frida menyusut air matanya.
"Suatu hari, Dewi akan bertemu dengan Papa."
"Saya menyesal tidak datang lebih cepat."
"Bukan salah Mas Pras. Kata Dewi, kalau sudah besar nanti, dia akan pergi mencari ayahnya."
"Seharusnya saya mengatakan siapa saya," desah Prasetya getir.
"Selagi saya punya kesempatan."
"Saya juga menyesal," rintih Frida menahan tangis.
"Tadi malam Dewi bersikap begitu aneh. Tidak biasanya dia ngambek tidak mau ditinggal.... Mungkin dia sudah punya firasat, kami akan segera berpisah...."
Frida menangis lagi. Tidak sadar Prasetya meraihnya ke dalam pelukannya. Dan tangis Frida pecah di dada Prasetya.
"Saya yang mengajaknya pergi," desah Prasetya getir.
"Saya yang memperkenalkannya pada Malaikat Maut. Dewi menukar nyawanya dengan nyawa ayahnya Seharusnya saya yang mati!"
Mereka berpelukan di tengah tanah pemakaman yang sunyi. Frida terisak di dada lelaki yang dicintainya. Kedukaannya seperti melebur di dada Prasetya. Ikut larut bersama sakitnya hati laki-laki itu.
Prasetya melekatkan dagunya di atas rambut Frida. Dipeluknya wanita itu erat-erat. Dipejamkannya matanya. Dibiarkannya air mata merembes dari celah-celah bulu matanya
Alangkah kejamnya perlakuannya kepada wanita ini! Dia telah merenggut kehormatannya. Meninggalkan seorang bayi di rahimnya Menuduhnya sebagai penipu. Mengusirnya begitu saja dari mmahnya. Dan kini, dia malah mengambil miliknya yang paling berharga! Dia merampas satu-satunya kebahagiaan yang dimilikinya!
Apa sebenarnya yang telah diberikannya kepada Frida kecuali penderitaan? Padahal wanita ini telah memberinya sekuntum cinta yang sangat suci. Begitu muminya sampai dia tidak mendendam diperlakukan seperti seonggok sampah. Begitu tulusnya sampai dia tidak mengharapkan apa-apa. Dia bahkan rela cintanya tidak berbalas!
Selama ini ternyata bukan hanya ingatannya saja yang hilang. Hatinya juga. Bahkan penilaiannya yang biasanya prima.
Di depannya ada seorang wanita yang punya hati yang begitu tulus. Punya cinta yang demikian mengagumkan. Tetapi dia malah masih mengejarngejar seorang gadis yang sudah memberikan cintanya kepada lelaki lain!
Dia bahkan masih terikat pada seorang istri yang sudah berselingkuh. Sudah mengkhianati perkawinan mereka. Dan pacar istrinya itu malah terlibat dalam persekongkolan busuk untuk mengenyahkan dirinya!
"Maafkan saya, Frida," desah Prasetya lirih. Penuh perasaan bersalah.
"Jika Dewi tidak mengorbankan dirinya. ayahnya yang laknat ini tidak akan pernah menyadari betapa jahatnya dia sebenarnya. Dan betapa bodohnya dia, karena tidak dapat mengenali sebutir intan dalam pelimbahan."
Di kejauhan, Monika menyaksikan adegan itu dengan wajah pucat pasi. Dia tidak mendengar apa yang dikatakan suaminya. Tetapi melihat bagaimana cara Prasetya memeluk wanita itu. dia tahu, wanita yang dipeluknya itu pasti mempunyai arti khusus bagi dirinya.
Siang tadi dia pulang dari Yogya bersama Indra. Monika langsung pulang ke rumah. Dari Ningsih dia mendengar peristiwa yang terjadi tadi malam. Dan Monika merasa sangat ketakutan.
Dengan panik dia menghambur ke mobilnya. Melarikan mobil itu ke rumah Indra. Dan dari kejauhan dia melihat Indra sedang digiring ke dalam mobil polisi.
Tiba-tiba saja Monika dicekam ketakutan yang amat sangat. Tiba-tiba saja hidup Monika yang tenang menjadi berantakan. Diterpa badai yang dicetuskannya sendiri.
Dia merasa sangat cemas. Bayangan terali penjara yang kejam dan dingin menghantui dirinya. Kalau saja Indra mengatakan siapa yang mencetuskan rencana pembunuhan itu... habislah riwayatnya! Dia pasti ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara yang sempit menyesakkan napas!
Dialah otaknya. Dalangnya. Bahkan orang yang memberikan uang kepada Indra dan pembunuh bayarannya. Dia juga yang memberikan pistol kepada Indra. Dari tangannyalah senjata ilegal itu berasal. Jadi dialah yang akan dihukum paling berat!
Monika langsung mencari Prasetya. Ingin minta maaf. Sekaligus minta tolong. Tapi apa yang dilihatnya di kuburan itu justru tambah menyesakkan napasnya.
Mula-mula dia juga tidak mengenali Frida. Dia cuma pernah melihat wanita itu sekali. Lima tahun yang lalu. Dan tidak ada yang mengesankan dalam penampilannya. Dia terlalu sederhana untuk diingat.
Prasetya-lah yang mengatakan siapa ibu anak yang tewas itu sesampainya di rumah. Dan bukan itu saja. Prasetya juga mengatakan siapa ayahnya.
Monika benar-benar kalut. Bingung. Panik. Lebih-lebih ketika Prasetya bertanya dingin sambil menatapnya dengan tajam.
"Kamu juga tahu rencana pacarmu untuk menyingkirkanku, bukan?"
Monika tidak dapat menjawab. Dia hanya memandang suaminya dengan nanar. Dan melihat cara Monika menatapnya. Prasetya menyadari, istrinya bukan hanya tahu. Dia terlibat!
Saat itu Prasetya merasa sangat marah. Tetapi bukan kemarahan yang terutama menyiksa batinnya. Justru kesedihan yang sangat menyakitkan hati. Begitu sakitnya sampai dia merasa dadanya seperti dikoyakkan cakar harimau.
"Jika aku yang mati. aku tidak akan sebenci ini padamu," geram Prasetya dengan suara gemetar menahan marah.
Matanya merah. Bibirnya bergetar. Tinjunya terkepal. Membuat Monika merasa sedih sekaligus takut. Belum pernah dilihatnya Prasetya dalam
penampilan seperti itu. Bahkan pada waktu dia masih kehilangan ingatannya sekalipun.
"Tapi yang kalian bunuh itu anakku! Anak yang telah empat tahun menderita karena dosa ayahnya!"
Prasetya memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya. Tapi bahkan tanpa melihat parasnya pun, Monika dapat merasakan kenyerian hatinya. Suaranya basah. Getir. Sangat emosional. Penuh rasa bersalah. Memendam kesakitan yang tak terperikan.
"Aku baru saja hendak menebus dosaku... mengakui anak yang belum pernah kulihat... tapi yang kuberikan kepadanya bukan kebahagiaan! Malah sebutir peluru!" Prasetya mengangkat kedua belah tangannya ke depan dada. Mengawasi telapak tangannya yang terbuka dengan nanar.
"Darahnya membasahi tanganku... darah anak kecil yang tidak berdosa..." suara Prasetya mulai gemetar menahan tangis.
"Darah anakku seharusnya aku yang mati! Bukan Dewi! Dia masih terlalu muda untuk mati!"
"Maafkan aku. Mas!" sergah Monika menahan tangis.
"Aku menyesal sekali! Ketika melihatmu begitu berubah kemarin pagi, aku sudah berusaha mencegah mereka...."
"Bahkan dalam kegilaanku, aku tidak pernah berpikir untuk membunuhmu!"
"Ampuni aku, Mas..."
"Aku tidak bisa mengampunimu," potong Prasetya dingin. Dia berbalik. Dan menatap istrinya dengan tatapan yang membekukan tulang. Tatapan
yang begitu penuh kebencian.
"Karena kamu telah membunuh anakku!"
"Mas!" Monika menghambur ke hadapannya hendak merangkul suaminya untuk meminta maaf.
Tetapi Prasetya menyingkirkan tubuhnya dengan kasar. Monika terhuyung dan jatuh terduduk di sofa
"Aku akan menceraikanmu dan membawa Satria. Jika hartaku yang kamu inginkan, kamu boleh minta apa saja yang kamu kehendaki. Aku tidak mau melihatmu lagi! Jijik!"
Dengan sengit Prasetya meninggalkan Monika yang masih terisak di tempat duduknya. Dia menyambar kunci mobilnya. Dan tidak seorang pun tahu ke mana dia pergi malam itu.
****
KETIKA frida sampai di makam Dewi pagi-pagi sekali. dia melihat seorang pria sedang bersimpuh di depan nisan anaknya. Tanpa mendekat pun, Frida tahu siapa laki-laki itu. Dia hanya tidak tahu sudah berapa lama Prasetya berada di sana.
Prasetya mengangkat mukanya ketika mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya. Dan dia melihat Frida datang membawa bunga .
Diberikannya segenggam bunga tabur kepada Prasetya. Lalu tanpa berkata apa-apa dia bersimpuh di sampingnya .Menundukkan kepala untuk berdoa Lalu dengan air mata berlinang, ditaburkannya bunga ke pusara anaknya. .
Prasetya ikut menaburkan bunga dengan mulut terkunci. Rahangnya memang terasa kaku. Bukan karena kedinginan. Tapi karena kesedihan yang mengejangkannya.
Prasetya membayangkan bagaimana sedihnya Frida ketika dia mengantarkannya pulang ke rumah dari pemakaman.Frida mulai menangis lagi ketika melihat rumahnya.
Tapi tangisnya tak tertahankan lagi ketika melihat sepeda kecil Dewi di sudut rumah. Ketika melihat bonekanya masih tercecer di lantai. Bahkan coretancoretan gambarnya masih terpampang di pintu kamarnya.
Sambil menangis Frida berjongkok memeluk sepeda anaknya. Melihat ibu yang sedang berduka itu, air mata Prasetya merebak lagi. Sementara Oni sudah menghambur ke dapur sambil menangis tersedu-sedu.
Dengan lembut Prasetya meraih bahu Frida. Merengkuhnya ke dalam pelukannya. Dia dapat merasakan sakitnya hati Frida ditinggal anak tunggalnya.
Dia sendiri ikut merasakan kesakitan itu. Begitu sakitnya sampai air matanya rasanya tidak mau kering.
"Baru dua bulan saya sanggup membelikannya sepeda ini..." rintih Frida getir.
"Padahal sudah lama dia menginginkannya.... Dewi tidak pernah minta apa-apa.... Dia tidak pernah menuntut agar dibelikan sepeda... dia hanya menunggu dengan sabar... sampai ibunya punya uang untuk..." Dan tangis Frida meledak lagi.
"Sudahlah," Prasetya membelai-belai punggung Frida dengan lembut. Ditelannya air matanya. Disimpannya kesedihannya. Di mana dia ketika anaknya mendambakan sebuah sepeda kecil? Padahal dengan sekali menjentikkan jari saja, dia dapat membelikan anaknya seratus sepeda! "Sekarang pasti Dewi sudah punya sepeda yang lebih bagus.
Dia anak yang baik, katamu. kan? 'Tuhan pasti sayang padanya. Dan dia akan menjadi kesayangan para malaikat juga."
"Tadi malam saya bermimpi," gumam Frida ketika dia selesai berdoa dan menabur bunga di pusara anaknya.
"Saya mimpi bertemu Dewi. Dia begitu manis. Begitu bahagia. Wajahnya bersih. Bersinar. Seperti malaikat kecil..."
"Saya juga bermimpi," tukas Prasetya sambil menatap Frida dengan sungguh-sungguh.
"Saya bermimpi menikahimu. Dan kita memiliki seorang anak perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan Dewi."
Sesaat Prasetya melihat Frida tertegun. Mengawasinya dengan tatapan hampa.
Prasetya langsung meraih tangannya. Dan menggenggamnya dengan lembut.
"Apakah terlalu pagi melamarmu, Frida? Saya tidak minta jawaban sekarang. Saya tahu kamu masih berduka karena kehilangan Dewi. Dan belum dapat memikirkan yang lain. Tapi sejak tadi malam, saya tidak dapat lagi mengusir pikiran itu dari kepala saya Saya rasa Dewi juga menginginkannya."
"Tidak," Frida menggeleng sambil melepaskan tangannya.
"Saya yakin, Dewi tidak mau anakmu tidak punya ayah seperti dia"
"Saya akan menceraikan Monika Dan membawa Satria. Monika boleh memiliki apa saja yang diinginkannya, kecuali anak kami. Saya tidak rela anak saya mempunyai ibu seorang pembunuh."
Sekarang Frida mengangkat wajahnya dengan
terperanjat. Matanya menatap Prasetya dengan nanar.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia terlibat dalam peristiwa itu," Prasetya memalingkan wajahnya sambil mengatupkan rahangnya menahan perasaannya.
"Tidak mungkin!" cetus Frida getir.
"Saya juga tidak menyangka." keluh Prasetya lirih.
"Saya tahu dia berselingkuh. Tapi saya tidak pernah berpikir dia tega menyingkirkan saya."
"Karena itu Mas melamar saya? Untuk membalas dendam pada Monika? Atau karena Mas Pras merasa bersalah pada Dewi? Pada saya? Mas ingin memberikan Dewi-Dewi baru kepada saya?"
Prasetya menoleh. Dan menatap Frida dengan tatapan yang tak dapat dilupakan. Tatapan yang sangat pedih. Begitu pedihnya sampai Frida ikut merasakan hatinya tersayat ketika mata mereka bertemu.
"Saya memang ingin memberikan Dewi-Dewi baru kepadamu. Karena saya juga menginginkannya. Tetapi saya ingin menikahimu karena sekarang saya sadar, seharusnya saya melakukannya lima tahun yang lalu."
"Mas Pras tidak mencintai saya," desah Frida pahit.
"Saya tahu siapa wanita yang Mas cintai."
"Tapi saya berjanji akan belajar mencintaimu," gumam Prasetya gemetar. Matanya bersorot penuh harap. Dan karena harapan itu berbaur dalam gelimang kesedihan, mata Prasetya menyiratkan getaran yang sangat mengharukan sukma. Yang tak mungkin dibalut dusta. Tak mungkin dibingkai kepalsuan.
"Kamulah matahari hidupku, Frida. Saya tidak mampu menghindarimu. Tolong, jangan renggut matahariku."
Frida begitu terharu mendengarnya. Akhirnya dia memperoleh sesuatu yang telah lima tahun didambakannya. Lamaran dari pria yang dicintainya.
Pria yang sungguh-sungguh dikasihinya. Begitu tulusnya kasihnya, sampai rasanya dia tidak peduli pria itu mencintainya atau tidak, cintanya kepada pria itu tidak akan berkurang sedikit pun.
Tetapi pada saat yang bersamaan Frida insaf, pria itu masih milik perempuan lain. Dia tidak berhak memilikinya. sebesar apa pun cintanya kepada laki-laki itu.
"Saya tidak berani menjanjikan apa-apa," gumamnya lemah.
"Karena Mas Pras masih terikat dalam sebuah perkawinan. Apa pun yang dilakukan Monika, dia masih tetap istrimu. Dan sekarang, saya belum mampu memikirkan yang lain kecuali Dewi. Hanya dialah yang mengisi pikiran dan hati saya."
"Saya mengerti. Saya tidak menyalahkanmu berduka karena kehilangan Dewi. Tapi kalau saya boleh mengusulkan, maukah kamu meninggalkan rumahmu yang sekarang"? Di dalam rumah itu. tersimpan begitu banyak kenangan pahit. Kamu tidak akan dapat melupakan kesedihanmu selama kamu masih tinggal di sana."
"Saya memang tidak mau melupakan Dewi. Dan tidak akan pernah melupakannya. Lagi pula yang ditinggalkannya di rumah itu bukan kenangan pahit.
Tapi kenangan paling indah dalam hidup kami...." ketika mengucapkan kata-kata itu, air mata Frida kembali menggenangi matanya.
"Bukan maksud saya menyuruhmu melupakannya. Tapi saya tidak mau kamu terkurung terus dalam kesedihan. Saya ingin kamu bangkit menantang kenyataan. Tabah dan tegar menghadapi cobaan hidup seperti Frida yang saya kenal."
"Waktu yang akan menyembuhkan luka di hati saya. Mas. Tapi tidak dengan meninggalkan rumah itu. Karena kenangan yang Dewi tinggalkan di rumah itu tidak ingin saya lupakan. Dia meninggalkan kenangan paling manis dalam hidup saya. Apa pun yang ditinggalkannya di sana, akan selalu mengingatkan saya padanya."
* * *
Ketika Prasetya sampai di rumah setelah mengantarkan Frida pulang, dia tidak menemukan Monika. Dia hanya menemukan Satria yang sedang menangis dan pengasuhnya yang sedang kebingungan meredakan tangisnya.
Prasetya langsung meraih anaknya ke dalam gendongannya.
"Nyari ibunya, Pak," kata pengasuhnya agak kesal.
"Semalaman ditemani tidur, diajak ngomong. Pagi-pagi ditinggal pergi."
"Ke mana ibunya?"
"Nggak tahu. Pak. Nggak bilang. Pagi-pagi sekali sudah pergi. Satria masih tidur ketika dipeluki dan
diciumi sampai terjaga. Sudah bangun malah ditinggal pergi. Ya langsung ngambek!"
Ke mana Monika, pikir Prasetya dengan perawan tidak enak. Dia menggendong Satria yang masih menangis ke kamarnya. Tempat tidurnya masih berantakan. Belum dibereskan. Tetapi tidak ada apa-apa di sana yang dapat dipakai untuk petunjuk ke mana Monika pergi. Lalu telepon berdering.
"Telepon, Pak." kata Ningsih dari luar kamar.
"Katanya dari polres!"
Prasetya menurunkan Satria dari gendongannya. Hendak keluar menerima telepon. Tetapi Satria malah meronta-ronta. Sambil menjerit-jerit minta digendong.
"Hus!" bentak Prasetya sambil meraih kembali anaknya.
"Apa-apaan sih kamu? Kok jadi cengeng begini? Ayo, anak laki-laki nggak boleh cengeng!"
Digendongnya anaknya keluar kamar. Diraihnya telepon tanpa kabel yang diserahkan pembantunya.
"Pak Sanjaya?" suara di ujung sana terdengar sangat formal dan berwibawa "Bapak bisa datang ke polres sekarang?"
"Boleh saya tahu untuk urusan apa, Pak?"
"Istri Bapak datang melapor. Katanya hendak membuat pengakuan."
Monika datang ke polres untuk membuat pengakuan bersalah? Dia rela dihukum karena merasa bersalah kepada suaminya atau... merasa berutang kepada pelukis itu? Dia ingin bersama-sama menanggung hukuman atas dosa mereka?
"Satu hal lagi. Pak." kata polisi itu sebelum
Prasetya mematikan telepon.
"Tadi pagi Indra Sukandar ditemukan membunuh diri di dalam selnya. lstri Anda histeris ketika kami menyampaikan kabar itu. Mungkin kedatangan Bapak dapat membantu menenangkannya."
Indra Sukandar membunuh diri? Hampir terlepas telepon itu dari tangan Prasetya. Mengapa dia senekat itu? Tidak kuat didera perasaan bersalah? Tidak tahan mendekam dalam tahanan? Atau... dia sengaja berkorban untuk melindungi Monika?
Polisi masih terus menekannya untuk memberi pengakuan siapa lagi yang terlibat dalam kasus itu. Karena yang berwajib memang sudah mencurigai Monika. Sengajakah Indra mengorbankan jiwanya supaya dia tidak usah melibatkan wanita yang dicintainya? Kalau benar demikian... cintanya harus dikagumi walaupun keliru!
"Indra Sukandar sudah membuat pengakuan tertulis sebelum membunuh diri," kata polisi yang menelepon Prasetya.
"Surat yang ditemukan dalam selnya itu berisi pengakuan, hanya dialah yang terlibat. Dia mengakui telah menyewa orang untuk membunuh Bapak. Menurut pengakuannya. istri Bapak sama sekali tidak terlibat."
Prasetya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia termangu-mangu di depan meja tulis petugas itu.
"Tapi pagi ini istri Bapak justru datang untuk memberi pengakuan. Katanya dialah yang menjadi otak komplotan itu. Dia yang merencanakan. Memberi uang dan pistol. Juga menunjukkan jalan
yang pasti Bapak lewati. Sekaligus memberitahukan merek dan warna mobil Bapak serta nomor polisinya"
Saat itu Monika pasti belum diberitahu Indra sudah meninggal, pikir Prasetya murung. Padahal dengan matinya Indra. Monika punya kesempatan untuk bebas!
Rupanya tak ada kejahatan yang tak berbalas. Mereka berdua sudah menerima hukuman atas dosa mereka. Karena ulah merekalah seorang anak kecil yang tidak bersalah harus direnggut dari pelukan kasih sayang ibunya.
Ketika Prasetya diizinkan menemui Monika, dia hampir tidak mengenali istrinya. Monika yang selalu menjaga penampilannya, yang selalu tampil glamour seperti seorang selebriti, kini tak ada bedanya dengan penghuni rumah sakit jiwa.
Ketika melihat Prasetya, dia malah menangis tersedu-sedu. Dan melihat keadaan istrinya, sebagian dendam dan sakit hati Prasetya luluh dengan sendirinya
"Aku akan mencari pengacara untuk mendampingimu," katanya dengan suara datar.
"Bukan untuk membebaskanmu dari kesalahan. Hanya meringankan hukumanmu. Karena aku tahu. kamu sudah menerima hukuman yang paling berat."
***
Setelah melalui persidangan yang panjang dan melelahkan, Monika dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara potong tahanan. Setelah melalui begitu banyak penderitaan dalam masa penahanannya yang cukup panjang, Monika tidak terlihat terlalu terguncang lagi dengan keputusan itu.
Indra sudah tewas. Prasetya sudah menceraikannya. Dan hakim yang memutuskan gugatan cerai Prasetya juga sudah memberikan hak asuh Satria kepada ayahnya.
Jadi Monika sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi. Dia merasa sudah tidak punya apa-apa. Tidak ada cinta. Tidak ada keluarga. Tidak ada masa depan.
Jadi apa bedanya lagi berapa tahun pun dia harus dikurung di penjara? Selamat tinggal masa lalu! Selamat datang kegelapan!
Setahun setelah itu, Prasetya menikah dengan Frida. Dan dia membawa Satria pindah ke rumah Frida yang lama. Rumah yang penuh kenangan manis bersama Dewi.
Prasetya merenovasi rumah itu, tetapi dia tidak mengubah bagian-bagian rumah yang mengingatkan Frida pada anaknya. Dia malah membiarkan kamar Dewi utuh seperti semula. Karena dia sadar, Frida masih perlu waktu untuk melupakan kesedihannya. Dan menghapus kenangannya, bukan cara terbaik untuk menghapus kedukaannya.
Sementara itu Vania dan Aris merencanakan untuk melangsungkan pernikahan selesai mereka diwisuda, sesuai dengan rencana semula.
Sebagai hadiah perkawinan mereka, Prasetya mengirimkan tiket kabin kelas eksekutif dalam sebuah kapal pesiar ke Alaska.
Dalam kartu ucapan selamatnya, Prasetya menulis begini.
Selamat menempuh hidup baru. semoga di kapal nanti tidak ada serombongan anak SMU yang akan mngganggu bulan madu kalian.
Ketika membaca kata-kata itu, Vania tersenyum penuh haru. Dan kenangannya kembali kepada suatu malam tak terlupakan dalam hidupnya.
Tamat
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama