Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono Bagian 1
Melati Di Musim Kemarau
Maria A Sardjono
Ebook by Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
****
Dengan gerakan hati-hati sekali, Tuning mendorong daun pintu kamar kakaknya. Sinar lampu tidur menyergap bola matanya, hampir menyaingi sinar matahari pagi yang menembus sela tirai jendela kaca yang menghadap ke kebun.
"Mbak sudah bangun...?" tanyanya berbisik.
Sahutan yang menggumam dari atas tempat tidur mengembangkan senyum manis di bibir gadis yang berdiri di muka tempat tidur itu.
"Sudah jam sembilan lewat mbak. Katanya mau ke kantor pos?" katanya dengan lembut seusai senyum manisnya terurai. Dan dengan gerakan yang sama lembutnya dengan suaranya, tangan Tuning menjangkau tombol lampu tidur
dan mematikannya. Kini sinar matahari bebas mengintip tanpa saingan lagi.
"Ayolah mbak. Nasi goreng yang kubuat untuk sarapan hampir dingin!" katanya lagi.
"Uhhh masih mengantuk..." keluh Rika dari atas tempat tidurnya. Tetapi perempuan itu tetap saja bangkit dari berbaring setelah menguap sekali dan menggeliat dua kali.
"Aku tak tahu apa yang akan Nenek katakan andaikata melihatmu bangun sesiang ini," gerutu Tuning .Gadis itu berjalan menyeberangi ruangan dan membuka daun jendela lebar lebar ke kiri dan ke kanan. Udara segar segera saja menerobos masuk dan sinar terang mengusir kemuraman cuaca kamar tidur berukuran tiga kali empat meter itu.
Setelah itu, Tuning lalu memutar tubuhnya, menghadap ke arah kakaknya yang masih duduk berjuntai di tepi tempat tidur. Matanya menangkap dada kakaknya yang tersembul di balik gaun tidurnya yang tipis. Serta merta bayangan menjijikkan yang sering lewat di kepalanya, singgah lagi. Dan untuk mengibaskan pikiran itu, Tuning lekas-lekas berkata lagi:
"Berapakah yang akan kau kirimkan kepada nenek nanti, Mbak?"
"Tigapuluh ribu rupiah. Didit membutuhkan untuk melanjutkan ke SMA. Aku ingin supaya ia masuk ke sekolah yang lebih baik demi masa depannya. Ia anak lelaki," jawab Rika perlahan.
"Apakah itu cukup?" tanya Tuning lagi,
"Memasukkan ke SMA sekarang memerlukan biaya
yang cukup banyak Mbak. Untuk uang pangkalnya, seragamnya, uang bangkunya dan entah uang apa lagi. Tidak seperti semasa kita waktu itu. Lulusan SMP tidak sebanyak jumlahnya seperti tahun-tahun berikutnya!"
"Kurasa cukup karena sebelum ini aku juga sudah mengirim uang sebanyak dua kali lipat dari bulan bulan lalu!"
Tuning melirik ke atas meja di samping tempat tidur kakaknya. Ada beberapa lembar uang puluhan ribu di sana. Maka sekali lagi lintasan pikiran yang menjijikkan itu lewat lagi dan terbias lewat mata dan lekukan bibirnya tanpa ia sengaja. Dan Rika melihatnya. Bibirnya yang bagus menguakkan senyuman getir ketika ia menarik nafas panjang dan berkata:
"Memang uang kotor, Ning. Tetapi apalagi yang bisa kulakukan?"
Suaranya yang bergetar menyentuh perasaan Tuning. Serta merta luruhlah hatinya.
"Ah mbak, jangan ditinjau datangnya uang itu dari mana. Tetapi tinjaulah dari pengorbananmu!" katanya buru-buru.
Rika tidak menjawab. Dikibaskannya selimut yang menutupi kedua kakinya jauh-jauh untuk ke-mudian turun dari tempat tidur.
Dari tempatnya, Tuning melihat tubuh kakaknya yang indah itu mulai kelihatan menonjol tulang-tulangnya. Lagi-lagi hatinya tersentuh.
"Kau semakin kurus, Mbak. Apakah vitamin dari dokter Broto tidak lagi kau minum?" tanyanya.
"Selalu tanpa pernah terlupa. Kekurusanku tak ada hubungannya dengan vitamin atau makanan, Ning!" sahut Rika acuh tak acuh. Dan dengan sama tak perdulinya, perempuan muda yang cantik itu menyisir rambutnya yang berantakan. Lewat kaca hias, ia melihat pantulan wajah adiknya yang tengah memperhatikan perbuatannya. Dia menoleh ke arah sang adik begitu selesai menyisir.
"Kenapa kau tatap aku terus-menerus, Ning?" tanyanya.
"Kau tidak sesegar kemarin-kemarin, Mbak. Kau tampak letih. Seharusnya mbak Rika istirahat ....." sahut yang ditanya.
"Aku memang letih Ning. Tetapi susut tubuhku bukan karena itu!"
"Lalu kenapa mbak?'. tanya Tuning polos.
Rika menarik nafas panjang lagi sebelum ia menjawab pertanyaan adiknya.
"Terus-terang, aku muak kepada kehidupan ini!" katanya dengan suara ketus yang pahit didengar.
"Kalau begitu, apakah tidak sebaiknya kita pulang ke rumah Nenek di kampung halaman kita?" usul Tuning.
Rika menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Tidak," desisnya,
"Aku tak ingin mengotori kampung halaman kita di mana kita pernah hidup berbahagia bersama ibu dan ayah. Dan pula, kalau kita pulang bagaimana dengan kehidupan sehari-hari kita?"
"Kau bisa bekerja seperti dulu lagi, Mbak. Dan aku juga bisa!" sahut Tuning.
"Tetapi berapa gaji seorang jebolan SMA Ning? Dan meskipun kan sudah duduk di tingkat tiga universitas, pada kenyataannya ijazahmu pun baru ijazah SMA pula yang kau punyai? Lalu pekerjaan apa yang dapat kita lakukan dengan ijazah seperti itu?"
Tuning tidak menjawab. Dia cukup menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan di kota kelahirannya. Jangankan di sana, di Jakarta seperti sekarang pun sukar sekali bisa mengisi lowongan pekerjaan seperti apa yang diidamkannya. Kota kelahirannya yang kecil, kurang menjanjikan masa depan yang baik jika ditinjau dari keahlian yang tak mereka miliki. Lalu mereka mau bekerja apa di sana? Tidakkah mereka hanya akan menambah beban neneknya?
Melihat adiknya berdiri terpekur, Rika mencoba menghiburnya.
"Sudahlah Ning, kepalang basah mandi pula sekalian," katanya,
"Bagiku asal kalian adik-adikku bisa jadi orang, hatiku sudah senang!"
"Jangan bicara seperti itu Mbak!" komentar Tuning tak senang.
"Kenapa? Apakah kata-kataku keliru?"
"Mbak Rika bicara seolah umurmu berlipat dua kali dengan umurku maupun umur Didit. Kau masih muda, Mbak. Jangan kau sia-siakan masa mudamu ini. Masa depan masih cukup luas untukmu. Jangan pula menyerah pada nasib!"
"Tidak boleh menyerah kepada nasib, Ning? Jadi aku harus menyingsingkan lengan mengangkat dada dan menentang Herman?" Suara Rika semakin meninggi.
"Masih banyak manusia lain yang jauh lebih buruk dari nasibmu, Mbak Rika!"
"Aku tidak bicara tentang orang lain, Ning. Aku bicara tentang diriku!"
Tuning terdiam. Dilarikannya pandang matanya keluar jendela. Matahari semakin tinggi tergantung di langit. Dari kejauhan, ia mendengar suara tukang sayur menjajakan jualannya. Dan dari arah belakang, ia mendengar suara pembantu rumah tangga mereka sedang memompa air. Deritnya yang kurang pelumas menyakitkan telinga. Namun pikiran gadis itu tidak tertuju ke sana. Ia sedangmengembalikan ingatannya ke masa lain lebih dua tahun yang silam. Dengan bekal semangat yang menggunung dan harapan yang membukit, ia pergi dari kota kelahirannya mengikuti Rika yang pada masa itu baru saja menikah dengan lelaki bernama Herman.
Mereka berkenalan ketika Herman bertugas di kota kelahiran Rika. Hanya dalam waktu lima bulan saja, lelaki itu telah meminta Rika untuk mendampingi hidupnya sebagai seorang istri. Dan karena Herman bekerja dan tinggal di Jakarta, mereka pun pindah begitu tugas Herman usai.
Mereka bertiga tinggal di rumah yang mungil. Dan walaupun Herman sering tugas malam, kehidupan mereka cukup manis dan berbahagia. Barangkali kebahagiaan itu akan terus mereka alami andaikata tidak terjadi sesuatu yang menjungkirbaikkan kehidupan yang manis itu.
Suatu siang tatkala Rika dan Tuning sedang duduk mengobrol, datanglah seorang wanita muda yang menilik air mukanya jelas menunjukkan bahwa kedatangannya bukan dengan itikad baik. Tanpa basa-basi sedikit pun, perempuan itu menyerang Rika dengan kata-katanya yang mengoyak perasaan. ;
"Seharusnya kecantikan yang dianugerahkan Tuhan kepadamu itu harus dipelihara dengan baik dan bukan untuk menjerat kaum lelaki!" katanya dengan suara yang mengingatkan suara tembakan yang dilepaskan secara beruntun,
"Dan kalau memang hendak memakai kecantikan itu sebagai jerat untuk lelaki, lihat-lihat dulu orangnya Sudah punya istri atau belum, begitu! Jangan asal main serobot saja!"
Baik Tuning maupun Rika berdiri tertegun di depan tamunya tanpa mengerti apa yang dikatakan.
"Tunggu dulu Kak, jangan marah-marah di rumah orang." kata Rika akhirnya,
"Kakak siapa dan mengapa marah di sini?"
"Dan siapa yang Anda maksud dengan menyerobot suami orang?" sela Tuning.
"Mmm cerita basi!" gumam perempuan itu dengan ketus," Pura pura tak tahu kesalahan. bermuka seolah tak berdosa!"
"Kakak, bicaralah terus-terang
baik. Apa kesalahan saya kepada Kakak karena saya baru sekali ini melihat Kakak. Siapa tahu kakak salah alamat atau khilaf karena sedang diamuk amarah!" sahut Rika lagi.
"Aduh manisnya," keluh perempuan itu dengan nada mengejek,
"Betapa pandainya bermain sandiwara!"
"Demi Tuhan Kakak, saya tidak bersandiwara. Kakak siapa dan apa maksud kedatangan kakak kemari sebab saya sama sekali tak mengerti ujung pangkal bicara kakak!" sangkal Rika mulai kehabisan rasa sabar.
Suara Rika yang nyata mulai terdengar marah itu menyebabkan wanita tak diundang itu mulai berpikir lebih tenang.
"Siapa yang istri Herman?" tanyanya kemudian.
"Saya," sahut Rika,
"Anda mengenalnya?"
Perempuan itu mendengus. Tanpa mengindahkan pertanyaan Rika, ia meneruskan bicaranya.
"Berapa lama kalian telah menikah?"
"Hampir lima bulan. Mengapa?"
"Dan selama itu adik percaya begitu saja kepadanya tanpa berniat mengetahui siapa dia sebenarnya atau ."
"Siapa kakak?" tanya Rika memotong. Suaranya terdengar gemetar,
"Mengapa kakak mau ikut campur dengan urusan pribadi saya?"
"Tentu saja karena hal itu menyangkut kebahagiaan hati anak-anak saya. Herman adalah suami saya dan kami telah menikah selama sepuluh tahun dengan tiga orang anak yang lahir dalam perkawinan kami. Sejak pulang dinas ke luar kota, sikapnya mulai berubah dan jarang berada di rumah. Selidik punya selidik, di sini ada biang keladinya! " Suara perempuan itu semakin tinggi dan semakin tinggi terbalut oleh emosi yang memuncak.
Tetapi sementara itu, Rika pun tak kalah emosinya. Wajahnya mendadak pucat dan bibirnya bergetar.
"Be benarkah yang kakak katakan .....'?" tanyanya gemetar,
"Tidakkah tidakkah ini suatu kekeliruan atau mungkin fitnah?"
"Fitnah?" jerit perempuan itu. Dengan kasar ia membuka tas tangannya dan mengeluarkan dua buah foto berukuran kartupos. Keduanya dikibaskibaskannya ke depan Rika.
"Lihatlah yang jelas, foto siapa ini!" katanya melanjutkan.
Tangan Rika gemetar ketika mengarah kedua foto tersebut. Tuning ikut melompat mendekati kakaknya untuk melihat benda yang sama itu. Benarlah. Kedua foto itu adalah foto keluarga. Herman duduk memangku Seorang anak dan perempuan itu bersandar di sisinya dengan mesra. Dua orang anak lainnya menyandari pangkuan ibunya. Dan foto satunya, adalah foto perkawinan antara Herman dengan perempuan itu.
Buktibukti itu sudah lebih dari cukup. Rika gemetar di tempatnya dengan wajah yang pias sehingga Tuning memapahnya duduk.
"Tabahkan hatimu, Mbak..." bisiknya berulangkali.
"Sa saya sungguh tak mengiranya .." keluh Rika Air mata mulai berhamburan ke atas pipinya.
Sekeras kerasnya hati perempuan itu, melihat keadaan Rika seperti itu menimbulkan pengertian padanya bahwa persoalan tersebut bukan kesalahan Rika semata mata. Hermanlah yang tak punya iman kuat.
"Itulah mengapa tadi saya katakan, kalau hendak menikah dengan seorang lelaki apalagi lelaki itu berasal dari kota lain, Selidiki lebih dulu siapa keluarganya, apa latar belakang kehidupannya dan sebagainya. Jangan asal merasa kecantikannya sudah menjerat hati lelaki itu lantas merasa sudah cukup sampai sekian saja. Ingatlah ada beberapa orang anak yang jadi korban!" gerutu perempuan itu lebih lunak.
"Su sudah saya katakan tadi, saya tak mengiranya..." ulang Rika terbata,
"Ia hanya mengatakan sebagai seorang lelaki bujangan yang hidup sebatang kara."
"Huh begitu yang dikatakannya?"
"Ya ....." sahut Rika lirih sekali,
"Sejahatnya saya kak, tak mungkin saya mau menikah dengan lelaki yang sudah jadi suami orang. Kami sudah biasa hidup menderita sejak orangtua kami meninggal. Jadi saya tak mau orang lain juga mengalami apa arti penderitaan. Saya sungguh menyesal mengalami nasib seperti ini ......"
"Hmmm lantas ....?" Perempuan itu mendenguskan kekesalan hati yang mulai tersentuh pengertian.
"Berilah waktu kepada saya Kak. Saya akan menyelesaikan persoalan ini hingga tuntas. Saya bukan perempuan yang bisa puas menjadi istri kedua dimana ada keluarga lain yang lebih membutuhkan suami saya sebagai ayah dan suami. Bagaimana pun berat dan kagetnya hati saya saat ini, saya harus berusaha agar Herman kembali seutuhnya kepada kakak dan anak-anak kakak. Saya bukan wanita yang biasa merebut suami orang ....." Air mata kembali mengaliri pipi Rika yang semakin pucat.
Tuning mengerti betapa beratnya keputusan Rika saat itu. Ia begitu mencintai Herman. Kepada lelaki itulah ia menggantungkan harapan masa depannya. Kepada lelaki itulah ia ingin menyandarkan hidupnya. Dan sekarang segalanya telah musnah berantakan. Tak ada lagi tersisa sedikit pun kemanisan yang telah pernah direguknya selama berbulan-bulan ini
Tuning menarik nafas panjang dan dalam, kembali ke waktu dan ruang kini. Apa yang terbayang dalam ingatannya itu telah terjadi lebih dua tahun yang lalu. Namun bekasnya merupakan goresangoresan dalam yang lukanya tak sembuh-sembuh. Sejak saat itu Rika kehilangan pegangan. Kepercayaannya kepada lelaki, lenyap. Namun penderitaan demi penderitaan yang telah dikecapnya semenjak kedua orang tua mereka meninggal lebih sepuluh tahun lalu, menumbuhkan kekerasan dan
ketekadan hati untuk tidak menyerah pada nasib. Kerasnya hidup di Jakarta ditentangnya di atas puing puing kehancuran hatinya. ia tak ingin menyusahkan nenek dan adiknya Didit. Diteruskannya jalan kehidupan yang lama itu tanpa Herman di sisinya. Lewat surat-surat dan kiriman uangnya, ia memberikan kesan kepada neneknya bahwa ia masih hidup berbahagia dengan Herman dan siap membantu adik adik dan neneknya yang nyaris jompo itu. Dengan tersenyum getir, ia menabahkan diri untuk membaca surat balasan neneknya.
"Aku setiap saat tak henti-hentinya bersyukur bahwa kau mendapatkan suami yang begitu penuh pengertian kepada keluarga istrinya. Dibiayainya Tuning bersekolah, dikiriminya aku uang buat menyekolahkan Didit. Oleh karena itu Rika, berbaktilah kepadanya. Usahakanlah agar kau bisa menjadi istri sesempurna mungkin. ." begitu sang nenek sering berkata.
Yah, tahu apa sang nenek bahwa kiriman uang itu atas hasil penjualan barang-barang perhiasan yang pernah dibelikan Herman dulu? Tahu apa sang nenek bahwa selama ini kedua cucu perempuannya hidup dengan hanya mengandalkan pen-jualan benda-benda yang semula mengisi rumah mungil mereka? Dan tahu apa pula sang nenek bahwa kedua cucu perempuan yang disangkanya masih hidup dalam kemanisan itu mulai gemetar ketakutan menghadapi masa depan yang suram sementara kontrak rumah sudah mendekati akhirnya? Dan pernahkah terpikir oleh sang nenek
bahwa setiap hari kedua cucunya itu rajin menulis surat lamaran kerja dan mendatangi kenalan-kenalan yang mungkin bisa menolong untuk mencarikan pekerjaan buat mereka?
Sang nenek hanya tahu bahwa Rika hidup berbahagia dengan suaminya setiap kiriman uang datang dari Jakarta dengan tulisan pendek. Untuk Nenek dan Didit dari kami berdua, Rika dan Herman. Yang tahu keadaan sebenarnya hanyalah Tuning seorang. Ia juga yang tahu bagaimana akhirnya Rika mendapat pekerjaan di suatu perusahaan swasta yang sebenarnya tidak ada lowongan. Ia diterima karena kecantikannya.
Mula-mula kedua kakak beradik itu tak pernah tahu apa alasan majikan Rika menerima lamaran teRSebut. Tak sedikit pun mereka menyangka bahwa kebaikan itu mengandung bisa. Lelaki setengah baya pemilik perusahaan itu tak lebih hanyalah merupakan Herman Herman yanglain, yang banyak tersebar di kota kota besar dunia. Maka sekali lagi Rika menjadi korban hidung belang yang hanya mengejar kecantikan yang masih segar. Dan Rika punya segala-galanya. Cantik, segar, muda dan masih polos.
Dalam luka hati dan kekecewaan yang melumuri keputus-asaan menghadapi masa depan yang gulita, ia kehilangan pegangan. Lupa pada segala aturan norma dan moral. Ia hanya tahu satu hal. Buat apa memberikan dirinya hanya untuk seorang lelaki jika dalam lingkup kehidupan ini hanya terdiri dari lelaki lelaki semacam Herman?
Dan ketika ia mengerti bahwa apa yang dapat diberikannya itu bisa menghasilkan uang, mulailah ia membuka kehidupannya yang baru sebagai perempuan panggilan kelas tinggi. Ia punya modal untuk itu. Cantik, muda, dingin dan anggun pada luarnya serta cukup terpelajar sehingga menerbitkan keinginan lelaki buat mengenalnya Secara lebih intim.
Dan kini bersama teman seprofesinya, ia mengontrak rumah yang sekarang ditempati bersama adiknya Tuning. Namun begitu, walau kehidupannya boleh dikata berlumur kemesuman, setitik pun ia tak ingin memercikkan nodanya kepada keluarga. Dengan segenap kemampuannya, ia selalu melindungi Tuning dari pandangan lelaki-lelaki yang datang bertamu. Selepas senja, ia selalu memerintah dengan tegas kepada Tuning untuk masuk ke kamar dan tidak boleh keluar jika tidak benar-benar penting.
"Aku sudah terlanjur rusak, Ning. Tetapi aku tak rela kau ikut ternoda. Aku tak ingin ada salah seorang tamuku atau tamu kak Ida yang melihatmu tinggal di sini. Bukan hanya karena aku tak mau kau ikut terpecik nodaku saja, tetapi juga karena kau amat cantik sehingga para tamu itu memikirkan hal yang bukan-bukan tentang dirimu!" begitu Rika sering berkata kepada adiknya.
Dan sebagai adik yang patuh dan sebagai gadis yang menghormati pengorbanan sang kakak, Tuning tak pernah membantah katakata kakak
nya. Ia mengerti bahwa Rika jarang sekali memakai uang yang dihasilkannya. Kecuali untuk keperluan sehari-hari, semuanya dikirimkan kepada neneknya. Ia bercita-cita hendak membeli rumah sewa neneknya buat tempat berlindung di masa tua nanti bagi dirinya dan adik-adiknya.
Rika belum tua, bahkan masih belia namun jalan pikirannya sangat panjang. Ia juga menginginkan kedua adiknya menjadi orang yang terhormat.
"Kau harus jadi orang, Ning. Bersekolah setinggi mungkin. Begitu juga dengan Didit. Biarlah aku begini, asal kalian berdua kelak bisa menjadi orang yang terpandang. Jika saatnya tiba, akan ada gilirannya di mana aku yang minta naungan dari kedua adikku untuk beristirahat dan menghabiskan masa tuaku serta bertobat dari segala dosa yang sekarang kubuat ini," begitu Rika selalu mendorong semangat Tuning.
Dan jika sudah demikian, Tuning selalu purapura sibuk dengan sesuatu hanya untuk menyembunyikan ujung hidungnya yang memerah. Ia tak ingin kakaknya tahu bahwa kata-kata yang diucapkan dengan tulus itu sangat menyentuh perasaannya yang terdalam karena jelas itu mengandung suatu pengorbanan yang cukup besar. Rika masih amat muda dan masa depan masih panjang. Tetapi ia telah memilih jalan pendek demi memberi jalan panjang buat adik-adiknya di masa denan nanti! ,.
****
DUA
Hari itu hari Minggu menjelang siang. Rika, Tuning dan Ida duduk-duduk di ruang tengah sedang melihat acara musik di pesawat televisi. Kecuali suara dari pesawat teve, tidak ada Suara lainnya.
"Ning, kau mau mengantarkan aku belanja ke Glodok Plaza?" suara Ida yang lincah berkumandang menyaingi lagu Bukit Berbunga dari studio teve itu.
Tuning menoleh ke arah kakaknya, meminta persetujuan. Rika berpikir sejenak sebelum mengangguk.
"Kalau kau suka, pergilah!" katanya lembut. Dan kepada teman serumahnya, ia bertanya dengan suara yang sama lembutnya: "Kau mau belanja apa sih lda?"
"Macam-macam," sahut yang ditanya,
"Tetapi yang jelas, minyak wangi kesayanganku habis"
"Tentunya juga ditambah beberapa gaun lagi kan?"
"Ah, kau tahu saja," senyum lda,
"Soalnya ini kesempatan, Rika. Kemarin si dia'memberiku uang ekstra!"
"Syukurlah, lda!" sahut Rika,
"Itu rejekimu. Cuma kalau aku boleh mengeluarkan suara, janganlah terlalu boros Gunakan uangmu sebaikbaiknya!"
"Terimakasih atas saranmu itu, Rika. Kau memang baik. Tetapi sayangnya, kita punya pendapat yang berbeda. Rejeki hari ini adalah untuk hari ini. Besok akan ada rejeki yang lain!" kata Ida lagi. Ia tersenyum lebar sehingga kedua lesung pipitnya tampak jelas. Tuning sering berpikir tentang Ida yang punya lesung pipit semanis itu. Ia sungguh menarik dengan kulitnya yang hitam manis dan mulus itu. Kalau mau, ia bisa menjadi wanita terhormat dengan seorang suami yang akan menyayanginya. Profesi yang disandangnya bukan karena alasan ekonomi, karena kedua orang tuanya berkecukupan. Rumahnya cukup besar di daerah Tebet. Tetapi Ida tak suka berada dibawah pengawasan orang tuanya yang keras. Ia tak suka bersekolah, tak suka bekerja. ia hanya suka pada kemewahan. Dan untuk tidak mengganggu kedua orang tuanya, ia telah mencarinya"
Sendiri secara keliru. Tetapi tampaknya ia tak perduli. Cara yang ditempuhnya itu memang cara yang mudah dan cukup berhasil karena kebetulan ia manis, menarik dan lincah. Bahwa hal itu tak akan berjalan lama, Ida tak pernah memikirkannya. Dan mungkin juga tak mau memikirkannya.
"Nah bagaimana Ning, kau mau menemani aku kan?" tanya Ida tak sabar,
"Nanti kubelikan kau bedak atau lipstick terserah apa yang kau maui. Dan kau boleh memilih merk apa saja!"
"Pilih Pula, Ning!" sela Rika tersenyum.
"Aduh, jangan yang terlalu mahal!" seru Ida tertawa.
"Katanya pilih merk apa saja!" goda Rika.
"Maksudku yang harganya tidak terlalu tinggi
Tuning tersenyum.
"Sudahlah, aku masih punya bedak dan lipstick yang bisa cukup sebulan lebih. Kalau memang mau mentraktir, traktir saja ini bakso dengan es campur. Kenyang!" katanya.
"Oke. Dan masih kutambahi dengan satu buku novel yang seharga duaribu kebawah. Bagaimana?"
"Sangat setuju!" sahut Tuning,
"Kau tak mau ikut memakai kesempatan ini Mbak?"
Rika menggeleng.
"Aku lebih Suka diam di rumah. Kau tak butuh apa-apa Ning? Rasanya kau sudah perlu membuat beberapa potong gaun untuk kuliah lagi. Kalau
kau mau, nanti kuberi uang jawabnya.
"Terserah. Kau Sendiri tidak titip apa-apa untuk keperluanmu?"
"Tidak. Tetapi kalau ada buku yang bagus, bolehlah!"
"Nanti kita usahakan lewat toko buku buat kakakmu yang alim itu, Ning!" sela lda,
"Aku segan mengajaknya pergi-pergi sebab jawabannya itu-itu saja. Segan keluar, enak di rumah, sedang kurang enak badan. Fui, seperti nenek-nenek!"
Rika hanya tersenyum saja mendengar komentar itu. Dan Tuning yang melihat senyum kakaknya, hanya bisa menarik nafas panjang. Sebagai adik yang punya hubungan begitu erat dengan kakaknya, ia dapat meraba apa yang jadi alasan mengapa Rika enggan keluar rumah. Apalagi jika harus pergi dengan adiknya. Tuning tahu bahwa Rika takut bertemu dengan langganannya. Bahkan juga takut melihat kehidupan manusia lain dengan segala kesibukannya sementara ia merasa din sebagai sampah masyarakat.
"Hanya buku? Tidak ingin oleh-oleh lainnya?" tanya Tuning sambil berusaha menghilangkan kesedihan hatinya.
"Kalau ada makanan yang enak seperti martabak atau semacamnya, aku mau juga kaubelikan Ning!"
"Beres. Kita bisa mampir beli makanan kan kak Ida?"
Ida mengangguk. Ia masuk ke kamarnya.
"Kutunggu sepuluh menit, Ning. Kau bisa siapkan?" katanya.
"Lima menit juga aku sudah siap di muka hidungmu!" sahut Tuning sambil masuk kedalam kamarnya.
Ia keluar dari kamarnya tak berapa lama kemudian, dengan celana panjang dan blus lengan tiga perempat yang longgar. Rika menatap penampilan adiknya dengan rasa bangga. Tuning memang jelita, masih segar pula. Diam-diam ia merasa kurang suka bahwa sang adik akan pergi dengan lda. Rasanya tak sampai hatinya melihat gadis yang masih suci murni seperti Tuning, berjalan bersama Ida di muka umum. Apa nanti pandangan lelaki yang pernah mengenal Ida kepada Tuning jika mereka bertemu di jalan?
Tetapi keberatan itu hanya disimpannya saja di dalam hati. Tak tega ia menyurutkan kegembiraan Tuning siang hari Minggu yang cerah itu. Pipi gadis yang hampir tak pernah kenal arti hiburan itu, tampak memerah oleh gairah hati hendak melihat dunia luar yang bukan dunia rumah dan sekolah yang sehari-hari dihadapinya.
"Ambil uangku di dalam dompet coklat itu Ning!" katanya memecahkan pikirannya sendiri,
"Limabelas cukup?"
"Lebih dari cukup Mbak. Kau tahu sendiri aku tak pernah memilih bahan pakaian yang mahal bukan?" sahut Tuning tersenyum. '
Rika juga tersenyum. Matanya melayang ke ambang kamar tidur ida. Perempuan itu sudah rapi. Di tangannya tergenggam lembaran-lembaran,
puluhan ribu yang sedang dihitungnya. Ia tahu bahwa Tuning yang juga sedang memperhatikan obyek yang sama, sedang menarik nafas panjang Dari matanya yang bagus, terpancar sinar mata yang sudah cukup dikenali olehnya. Tuning sedang merasa jijik karena tahu bahwa lembaran uang itu hasil dari jual tubuh yang seharusnya dihormati oleh pemiliknya sendiri!
Rika lantas menundukkan kepalanya, sadar bahwa Tuning pun mempunyai pikiran yang sama tentang dirinya. Sang adik sempat melihat perubahan wajah kakaknya. Ia mengerti benar jalan pikiran sang kakak itu. Buru-buru ia mendekat dan menyerahkan dompet coklat yang tadi diminta Rika.
"Jangan sedih Mbak," bisiknya perlahan,
"Uang ini tidak sekotor yang dipegang kak Ida. Kau sungguh berbeda dari kak Ida atau lain-lainnya. Kau mencari uang bukan untuk dirimu sendiri, bukan untuk foya-foya seperti dia......"
Rika tersenyum dan menganggukkan kepalanya. _
"Terimakasih atas pengertianmu, Ning!" bisiknya kembali
Tuning hanya mencubit pipi kakaknya dan menyusul Ida yang sudah siap untuk berangkat. Rika memperhatikan keduanya hingga lenyap di ujung jalan. Lambat-lambat ia berdiri dan mematikan pesawat televisi untuk digantikan dengan suara musik dari tape recorder yang terletak di rak sudut ruang. Ia memilih lagu-lagu yang tenang dan
menikmati alunan musiknya dengan membenamkan dirinya di kursi. ingatannya lari kepada pak Dahlan langganannya yang paling sering datang. Lelaki itu punya kebiasaan yang agak berbeda dari langganan-langganan lainnya. Mereka bukan hanya sekedar berhubungan secara fisik saja tetapi juga membicarakan hal-hal lainnya. Bahkan kadang-kadang, pak Dahlan hanya datang membayar untuk mencurahkan isi hatinya belaka. Dan kalau sudah demikian, kadang-kadang Rika juga enggan menerimanya. Hal itu sering membuat pak Dahlan memikirkannya.
"Kau berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang kukenal, Rika. Kau tak pernah minta ini dan itu. Tak pernah menuntut yang bukanbukan. Kau pendiam, dan itu sering mengingatkan aku pada almarhum ibuku yang juga pendiam dan lembut hati. Aku sayang kepadamu!" begitu pak Dahlan pernah berkata kepadanya.
Tetapi Rika yang sudah terbiasa menerima kata-kata sanjungan yang ia-tahu bahwa semua itu cuma sebagai pemanis mulut belaka, hanya tersenyum saja menanggapi kata-kata pak Dahlan. Tetapi lelaki itu tahu.
"Mungkin kau menyangka bahwa kata-kataku semacam rayuan gombal belaka Rika. Tetapi itu tidak benar. Aku baru mengatakan sayang kepadamu sekarang ini setelah aku mengenalmu berbulan-bulan lamanya bukan? Kau harus tahu bahwa sejak aku mengenalmu, aku tak pernah datang kepada perempuan lainnya. Aku hanya
datang kemari saja!" kata pak Dahlan.
Kata-kata itu pun hanya ditanggapi Rika dengan senyuman dingin. Hatinya sudah terlalu beku untuk tergerak oleh kata-kata semanis apapun. Kali itu pak Dahlan agak tersinggung karena ia telah berkata yang sebenarnya.
"Kau seperti tak pernah percaya pada setiap kata-kataku!" katanya dengan nada kurang senang.
"Jangan marah Pak. Aku memang sulit percaya kepada kaum lelaki yang datang kemari atau ke tempat semacam ini!" sahut Rika tenang.
"Lho kenapa?"
"Karena lelaki demikian, berarti lelaki yang tidak bisa dipercaya. Jangankan kepada perempuan-perempuan seperti kami, kepada istri yang dinikahi dengan cintanya yang sejati pun. mereka telah mencuranginya. Mau buktinya Pak? Nah, kalau seorang lelaki itu bisa dan patut dipercaya, ia tentu akan cukup puas dengan istrinya apa pun kekurangannya. Dan tak usah jajan di luar!"
Pak Dahlan tertegun mendengar teguran itu. Baru kali itulah ia mendapat teguran dari perempuan bayaran. Aneh.
"Yah, memang kuakui bahwa argumentasimu ada benarnya. Tetapi kau juga harus mengerti Rika bahwa seorang lelaki juga punya kebutuhan lain, yaitu harga dirinya sebagai seorang suami. Kalau hal itu sudah diinjak dan digilas oleh seorang istri, rasanya rumah tangga itu terasa sebagai neraka. Jalan satu-satunya hanyalah pergi ke
perempuan bayaran buat melepaskan ketegangan batin. Kalau tidak, rumah tangga bisa bubar berantakan. Dan yang jadi korban pertama adalah anak-anak. Dan itu aku tak mau terjadi pada keluargaku karena aku sangat menyayangi anakanakku!" katanya kemudian.
Rika mengangguk mengerti.
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, itu hanyalah segelintir saja yang terjadi pada sekian kasus penyelewengan seorang lelaki.." gumamnya.
"Rika, istriku sudah lama sekali menolak dini ku sebagai suami yang sebenar-benarnya sebagai suami. Hal itu gara-gara aku pernah tergoda pada sekretarisku di kantor. Padahal Rika, sungguh mati aku hanya iseng saja dan ingin tahu sampai seberapa jauh diriku ini masih diminati oleh kaum wanita. Belakangan ini istriku terlalu sibuk dengan urusan anak-anak dan organisasi sehingga aku merasa disepelekan, disingkirkan dari kehidupannya. Padahal aku benar-benar masih mencintainya. Nah sejak ia memergoki penyelewengan yang sebenarnya hanya iseng saja itu, ia memandangku semakin rendah dan bahkan seperti hina. ini membuatku sakit hati sehingga kulampiaskan segala tekanan dan tegangan yang kurasakan dalam jiwaku!"
Rika mengangguk. Saat itu semakin mengertilah ia akan liku-liku hati lelaki. Cinta dan kebutuhan jasmani maupun kebutuhan untuk dihargai, bisa berjalan sendiri-sendiri.
"Jadi Rika, percayalah kepadaku bahwa aku
menyayangimu karena selain kau mengingatkan kepada almarhum ibuku, kau juga punya kepribadian yang berbeda dengan wanita-wanita lain. Kebutuhanku untuk berdekatan denganmu bukan sekedar kebutuhan biologis belaka tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang sekarang tak kudapatkan dari istriku yaitu pelayanan, kepatuhan dan terutama pengertian dan kelembutan!"
"Semua itu hanyalah salah satu dari pelayananku sebagai perempuan bayaran, Pak!"
"Tidak, aku sudah cukup mengenalmu bahwa kau bukan wanita yang munafik hanya karena sekian lembar puluhan ribu. Terutama kepadaku, kau lebih banyak memberi ketulusan hati. Aku merasakannya disini, dalam dadaku ini!" sangkal pak Dahlan sambil menunjukkan telunjuk ke arah dadanya sendiri.
"Mungkin,..." sahut Rika perlahan. Dan pak Dahlan mencengkeram bahu Rika sehingga perempuan itu meringis kesakitan.
"Jangan katakan mungkin," desaknya,
"Kau harus percaya pada kata-kataku!"
Rika terpaksa tersenyum.
"'Yang kumaksud dengan mungkin adalah karena kemungkinan itu berdasarkan alasanku pribadi, Pak. Dulu, aku pernah bercita-cita punya suami yang penuh pengertian seperti dirimu. Jadi mungkin secara tak kusadari, kelembutan yang pernah ingin kuberikan kepada seseorang, tersalur pada sikapku kepadamu, Pak. Tetapi tolong camkan Pak, itu bukan cinta atau sejenis
nya sebab perasaan semacam itu sudah tak mungkin lagi tumbuh di dadaku. Tokoh idaman yang pernah kuharapkan sudah musnah dan cintaku pun sudah lenyap tanpa bekas Yang ada sekarang hanyalah aku sebagai penjual cinta semu belaka!" katanya tandas.
Pak Dahlan memperhatikan raut muka Rika yang keras tatkala berkata seperti itu.
"Rika, sebenarnya sudah lama aku ingin tahu mengapa kau memilih jalan hidup yang seperti ini," katanya lama kemudian.
"Pak Dahlan akan mendengar cerita yang klise saja kalau mendengar ceritaku sebab banyak di antara mereka yang bekerja macam diriku, juga menjual cerita semacam ini hanya demi langganannya supaya merogoh sakunya lebih dalam!" jawab Rika kalem.
"Aku percaya kepadamu, Rika."
"Tetapi aku tak butuh kepercayaan dari siapa pun!"
"Rika, menilik hatimu yang keras dan lekukan bibirmu yang terkadang begitu sinis, aku yakin bahwa ada latar belakang yang getir dalam kehidupan masa lalumu. Katakanlah kepadaku, Rika. Aku ingin kau juga mencurahkan perasaan-perasaanmu kepadaku seperti aku selama ini mencurahkan perasaan dan pengalamanku kepadamu!"
Rika tidak memenuhi harapan itu pada pertemuan kah itu. Namun karena pada pertemuanpertemuan berikutnya pak Dahlan semakin memperlihatkan perhatian dan kasih sayangnya yang
tulus, akhirnya tanpa sadar Rika mencetuskan juga kisah hidupnya.
"Sekarang ini cita-citaku hanyalah membuat kedua adikku dapat bersekolah setinggi mungkin dan menjadikan mereka sebagai orang yang bisa dihormati oleh masyarakat. Aku akan ikut salah satu dari mereka kelak jika telah jadi orang. paling tidak supaya mereka tidak ikut terlumuri noda-nodaku, aku hanya ingin tinggal di kampung halaman dan cukup puas hanya dengan menerima kiriman-kiriman uang dari kedua adikku," katanya di akhir ceritanya.
"Kata-katamu itu sungguh tidak sepantasnya kau ucapkan sekarang. Fikiranmu tidak sesuai dengan usiamu yang masih belia, Rika. Janganlah pesimis begitu. Sekarang, di mana kedua adikmu itu?"
"Yang satu masih tinggal di kampung halamanku bersama nenek yang sudah menjanda. Dan adikku satunya .yang perempuan tinggal bersamaku di sini!"
"Tinggal di sini? ida bukan saudaramu kan?"
"Bukan. Kami tidak hanya berdua yang tinggal di sini Ada adikku ."
"Tetapi.....dia tidak.....i'" Pak Dahlan tidak meneruskan pertanyaannya, tetapi Rika maklum apa yang ada dalam pertanyaan yang terputus di udara itu.
"T idak. Ia adalah bagian dari rumah ini walau
kami hidup satu atap dengannya. ia masih begitu murni dan sudah duduk di tingkat tiga fakultas ekonomi. Begitu ada tanda-tanda kedatangan tamu dalam rumah ini, ia segera masuk ke kamar dan belajar atau membaca di kamarnya. Telah kuperintahkan padanya untuk tidak memperlihatkan diri. Aku amat mengkhawatirkan dirinya. Tetapi syukurlah hingga detik ini ia selalu selamat dari mata orang lain dan ia tumbuh sebagai gadis yang lebih dewasa dari usianya!"
Pak Dahlan terpekur dan merasa kagum bahwa di balik kehidupan seorang pelacur, terdapat kehidupan yang begitu penuh pengorbanan. Nyatalah sekarang bahwa Rika memang benar-benar bukan seperti perempuan-perempuan bayaran lainnya. Kisah Rika terus-menerus menggoda perasaannya di mana-mana. Di kantornya, di saat ia sedang bercakap-cakap dengan kenalan dan keluarganya. Di mana saja!
Berhari-hari ia berkutat dengan pikirannya hingga tibalah kesimpulan pada hatinya bahwa sebenarnya ia mencintai Rika. ia ingin merubah kehidupan perempuan itu menjadi lebih baik. Dan tatkala ia mengunjungi Rika, ia mengajukan suatu usul yang mengagetkan Rika. Lelaki itu memintanya untuk dijadikan istri keduanya.
"Aku tahu bahwa kau kaget mendengarnya dan mungkin juga tersinggung Tetapi aku tak tahu jalan apalagi yang bisa kutawarkan untuk kehidupan masa depanmu yang lebih baik. Sama sekali aku tak bermaksud merendahkan dirimu dengan
menjadikanmu sebagai istri kedua dan bukan istri tunggal. Kau tentu bisa memaklumi bahwa aku tak ingin rumah tanggaku hancur demi. anakanakku." kata pak Dahlan hati-hati.
"Jangan salah sangka Pak, aku tidak tersinggung. Kekagetanku adalah justru karena tak mengira bahwa diriku masih pantas dijadikan sebagai seorang istri walau pun kedudukannya sebagai istri kedua. Bahkan istri yang ke sekian pun, rasanya aku masih belum pantas. Karenanya pak Dahlan jangan terlalu terpaku pada kisah kehidupanku sehingga jatuh iba dan mengusulkan hal yang bukan-bukan." sahut Rika menyela.
"Aku bukan hanya sekedar jatuh iba kepadamu saja, Rika. Tetapi aku juga menyayangimu, mencintaimu. Aku ingin memberimu kebahagiaan batin!"
"Terimakasih Pak, tetapi aku sungguh tak pantas menerima kebaikanmu!"
"Apakah benar hanya itu alasanmu menolak Rika? Bukan karena meragukan ketulusan hatiku? Ataukah karena dengan menikah, penghasilanmu jadi berkurang?"
Mata Rika menjadi basah ketika mendengar kata-kata pak Dahlan.
"Kata-katamu menyakiti hatiku Pak....." keluhnya," Kau tak tahu apa yang ada dalam batinku.."
Melihat itu pak Dahlan merengkuh kepala Rika dan meletakkannya ke dadanya.
"Maafkan aku Rika. Penolakanmu tadi pun
menyakiti hatiku sehingga tak sadar aku telah melukai hatimu!" bisiknya menyesal.
Rika tak menjawab. Pak Dahlan memakai kesempatan itu untuk mengemukakan perasaan-perasaannya yang lain.
"Pikirkanlah ketulusan hatiku itu Rika. Dengan menikah, kau tidak perlu melayani lelaki lain yang katamu sering membuatmu merasa muak kepada kehidupanmu ini. Badanmu juga tidak jadi rusak seperti sekarang. Kau lesu, kurus dan kesegaranmu lenyap, itu alasan ke satu. Alasan lamnya yang lebih penting adalah pikirkan masa depan kedua adikmu. Aku bersedia menyekolahkan mereka dan dengan demikian mereka juga tidak akan ikut terpecik kehidupanmu yang sekarang ini karena betapa pun. seorang istri walau istri yang kesekian, masih lebih terhormat daripada perempuan...maaf....perempuan bayaran!" katanya dengan suara lembut namun meyakinkan.
Ketika Rika masih juga belum bersuara, lelaki itu melanjutkan: "Juga pikirkan bahwa dengan kehidupan yang kutawarkan itu, kau tidak lagi merasa dikejar dosa karena membohongi nenekmu. Kau juga tidak perlu merasa malu berjalan dengan adikmu karena adikmu berjalan dengan seorang istri dan bukan dengan perempuan .maaf lagi....perempuan murahan!"
Rika tetap tidak bersuara sehingga pak Dahlan merasa tak puas.
"Aku tak mendesakmu sekarang Rika, tetapi pikirkanlah apa yang kuharapkan darimu. Kau
bukan saja harus mempertimbangkan masa depanmu mau pun masa depan kedua adikmu, tetapi juga masa depanku. Pernikahan kita akan melenyapkan rasa berdosa atau bersalah yang seringkali mendera hatiku. Hubungan kita selama ini hanyalah hubungan yang kotor kedengarannya. Dan aku tak inginkan itu. Perasaanku yang tulus kepadamu telah menuntutku agar aku membersihkan kekotoran tersebut dengan mengawinimu!" katanya lagi.
"Aku mengerti Pak......" akhirnya Rika bersuara juga," Tetapi aku tak ingin menyakiti hati istrimu...."
"Ia tahu bahwa aku bukan seorang suami yang baik. Tetapi jika ia tahu aku hanya berhubungan dengan seorang perempuan saja. tentu perasaannya tidak sewas-was jika aku berganti-ganti kekasih. Pokoknya Rika, ia memang tidak perduli kepadaku lagi. Tetapi, sebagai seorang ibu dan is? tri, ia masih punya rasa ketakutan bahwa ulahku akan memberi malu kepadanya mau pun kepada anak-anak. Nah, dengan perkawinanku bersamamu, kekhawatiran itu tak perlu lagi. Mengerti kau jalan pikiranku ini?"
Rika mengangguk. Tetapi wajahnya tampak muram. Pak Dahlan membelainya.
"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan sekarang. Kuberi waktu bagimu untuk berpikir secara baik. Karenanya agar kau tak terpengaruh, aku tidak akan datang mengunjungimu selama sepuluh hari. Kurasa itu cukup untuk memberimu peluang agar
dapat berpikir lebih tenang!"
Dan ketika lelaki itu pergi, Rika menerima uang hingga tiga kali banyaknya daripada biasa. Merasa bahwa itu sebagai bukti kasih sayangnya, ia segera menutup pintu kamarnya bagi tamu lain dengan alasan sedang berhalangan. Ia memang sudah hampir tiba di puncak kejenuhannya.
Dan hari ini adalah hari ke delapan semenjak pak Dahlan memberinya waktu buat berpikir. Namun meski pun rumah sepi dan musik yang mengalun itu terdengar lembut menenangkan, sampai detik itu ia masih belum dapat memutuskan lamaran yang diajukan pak Dahlan kepadanya. ia masih ragu dan lebih lanjut lagi, ia merasa tidak pantas lagi menjadi seorang istri!
***
TIGA
Dentang jam dinding sebanyak empat kali mengagetkan Rika yang masih terbaring di sofa. Gelagapan ia bermaksud mematikan tape recorder. Tetapi ternyata sudah mati. Ia mendengar suara senandung suara Ida dari kamarnya. Jadi, Ida dan Tuning telah pulang. Salah satu dari mereka tentu telah mematikan tape recorder.
Rika lantas bangkit dan menuju ke kamar Tuning, ingin melihat apa saja yang telah dibeli adiknya itu. Mula-mula ia hanya melihat kereruangan dan kesepian kamar karena jendelanya tertutup tirai. Mengira Tuning tidur, ia bermaksud keluar lagi. Tetapi ketika ia mendengar isakan halus dari arah tempat tidur, niat itu diurungkannya. Matanya segera melihat bahwa Tuning sedang terte
lungkup di atas tempat tidurnya.
"Kenapa kau Ning?" tanyanya. Rasa khawatir menyusup ke hatinya. Ia tahu bahwa Tuning bukan gadis yang cengeng.
Suara kakaknya yang tak diduga akan masuk ke kamarnya, membuat tangis Tuning terhenti karena kaget.
"Tidak ada apa-apa Mbak," sahutnya dengan suara bergetar.
"Mungkin karena pusing dan lelah saja. Glodok Plaza kan jauh mbak!"
Rika tidak percaya kepada alasan yang diberikan Tuning. Terdengar nyata bahwa jawaban itu cuma diada-adakan saja.
"Jangan mencoba menutupi sesuatu dariku, Ning. Kau harus mengatakan apa yang menyebabkanmu menangis. Kau kecopetan?" desaknya.
"Tidak. Aku telah membeli semua yang kubutuhkan!"
"Kalau begitu kenapa? Tak mungkin kalau hanya pusing dan letih saja kau menangis begini sedih!" desak Rika lebih lanjut.
"Hari ini aku memang agak cengeng mbak. Jadi biarkan aku sendiri. Nanti juga sudah biasa lagi," sahut Tuning. Suaranya masih saja menahan tangisnya yang belum lepas semua.
"Ning....jangan mengelakkan pertanyaanku. Apakah Ida menyakiti hatimu?" Hal itu dikatakan Rika karena Ida pernah berkata kepadanya tentang Tuning!"
"Enak ya jadi Tuning. Tanpa make up pun wajahnya masih segar, lembut dan cantik. Aku iri!"
Tetapi Tuning menggelengkan kepalanya kuatkuat.
"Ia baik. Aku tadi ditraktir ini bakso, dibelikan buku dan masih ditambah dengan bedak Revlon!" bantahnya.
"Nah kalau begitu katakan kepadaku mengenai apa yang menyebabkan kau menangis. Kau tak ingin aku menduga yang keliru bukan? Atau kau sudah tidak lagi mempunyai kepercayaan kepadaku?"
"Bukan aku tak mempercayaimu Mbak.....aku hanya tak ingin melukai hatimu. Aku akan sedih jika melihatmu sedih!"
Rika tersentak. Bahu adiknya dicengkeram tanpa kesadaran penuh.
"A...da berita tentang Didit atau Nenek," tanyanya.
"Tidak. Mereka baik-baik. Sudahlah Mbak, pergilah ke kamarmu sendiri. Aku sudah tidak apa-apa lagi!"
"Aku hanya mau' pergi jika kau mau berterusterang kepadaku.
Aku akan terus gelisah kalau kau tak berterusterang kepadaku!"
"Aku mengerti Mbak. Tetapi aku tak mau menambah beban pikiranmu!"
"Bebanku sudah terlalu banyak Ning. Ditambah satu lagi tak ada artinya sama sekali. Nah ceritakan apa yang kau tangiskan tadi!" Bantah Rika menenangkan adiknya,
"Aku sudah kesal."
"Aku digoda dua orang lelaki, Mbak. Sikap mereka kurang ajar sekali. Sama sekali tak ada sopan santunnya. Waktu aku memperlihatkan wajah cemberut, mereka malah tertawa!" akhirnya Tuning mengaku juga.
"Hanya itu saja Ning? Rasanya itu tak mungkin membuatmu menangis. Gadis digoda lelaki di jalan, itu kan hal yang biasa. Dan kau sudah sering mengalaminya!" kata Rika ragu,
"Aku yakin bahwa kau masih menyembunyikan lainnya.
Tuning tidak menjawab.....pura-pura membetulkan bantalnya. Tetapi Rika merasa tak puas.
"Di mana waktu kau digoda tadi?" tanyanya mendesak.
"Di toko buku!"
"Ada Ida di dekatmu?"
Wajah Tuning agak memerah sehingga sang kakak mulai meraba kepada dugaan yang melintasi pikirannya.
"Ya, dia memang ada di dekatku!"
"Apa katanya? Tidakkah ia membelamu'?"
"Ia hanya tertawa saja dan tidak mengacuhkan kedua lelaki muda itu!"
"Apa yang lelaki-lelaki itu katakan kepadamu, Ning?"
Tuning tidak menjawab. Tetapi wajahnya semakin merah sehingga Rika semakin mendesak.
"Keluarkanlah isi hatimu, Ning. Setidaknya itu akan mengurangi rasa tak enak dalam hati. ku. Nah sekali lagi kuulangi. apa yang lelakilelaki muda itu katakan?"
"Mereka......mereka mengatakan akan datang
ke rumah. Ia mengira aku.....wajah baru, Malahan, ia juga mengatakan bahwa mereka sanggup membayar tinggi jika aku benar-benar barang baru. Mereka tak suka melihatku sok suci jika di depan orang banyak....." Suara Tuning terdengar bergetar dan kedua matanya mulai basah lagi.
"Sudahlah Ning, jangan terlalu dipikirkan," hibur Rika yang sebenarnya merasa sangat sedih,
"Sekarang kau tahu mengapa aku tak pernah mengajakmu pergi bersama bukan? Dan sebenarnya aku juga tak rela jika kau bepergian dengan kak ida. Aku tak ingin noda kami ikut mencemarimu!"
"Kak Ida tampak sudah biasa digoda seperti itu." kata Tuning lagi,
"Dan lelaki itu tampaknyajuga sudah amat kenal dengannya!"
"Ya sudahlah, Ning. Lupakanlah itu. Tetapi untuk selanjutnya, pikirkanlah lebih jauh jika kak ida mengajakmu pergi lagi. Begitu pun jUga jangan sering memaksaku supaya mengantarkanmu ke toko anu atau nonton ini dan itu lagi. Aku ingin selalu menjaga namamu Ning!"
Tuning meraih tangan kakaknya dan menggenggamnya erat-erat.
"Kau tidak sama dengan kak Ida.....kau berbeda Mbak. Aku tak pernah menganggapmu rendah. Oh mbak, kalau begini, rasanya aku ingin lekas menyelesaikan sekolahku supaya bisa bekerja. Aku ingin mengangkatmu ke jalan yang benar kembali!" katanya.
Rika tersenyum haru. Ada yang terbetik di hatinya. ia merasa dalam kepahitan apa pun yang ditemui dalam kehidupan ini selalu ada titik yang biSa dikatakan sebagai hikmah. Penderitaan yang diarungi bersama Tuning, telah menimbulkan rasa saling menyayangi bahkan saling rela berkorban untuk masing-masing. Hubungan mereka sangat erat dan mesra.
"Mbak....apakah tidak sebaiknya kita pulang ke tempat nenek?" tanya Tuning tiba-tiba,
"Kau tak usah malu mengakui, bahwa Herman ternyata suami orang."
Rika tersenyum lagi. Kali ini senyuman yang getir.
"Tidak Ning, aku sudah terlanjur terperosok. Aku tak mau pengorbanan ini menjadi sia-sia. Kau dan Didit harus menyelesaikan sekolah dulu. Aku juga tak ingin nenek harus membanting tulang berdagang kain batik ke mana-mana di masa yang seharusnya sudah diisi dengan ketenangan hidup. Biarlah ia tetap dengan bayangannya yang membahagiakan, di mana yang teringat dalam plkirannya adalah kita berdua berdiri di peron setasiun menunggu kereta api jurusan Jakarta masuk setasiun dengan wajah berseri penuh harapan yang menggunung. Biarkanlah ia membayangkan aku berada di tangan seorang suami yang penuh cinta kasih!"
Tuning terdiam. Ujung-ujung jemari kakinya menguis-nguis kertas yang tercampak di lantai. Ia tertunduk.
"Ning!" panggil Rika sehingga Tuning terpaksa mendongakkan kepalanya kembali," kalau kau ingin pulang, pulanglah. Aku punya pikiran kalau kau setuju, yaitu ingin menempatkanmu di luar kota atau di mana saja yang jauh dariku. Aku akan tetap membiayai sekolahmu dari jauh!"
"Tidak!" bantah Tuning cepat,
"Aku tak ingin kau kesepian. Aku hanya mau pergi jika kau juga pergi. Aku tak sanggup berpisah denganmu. ingatlah bahwa Nenek juga menitipkan diriku kepadamu!"
Rika terdiam menyadari keteguhan dan kesetiaan adiknya. Ia bangkit dari tepi tempat tidur Tuning dan berdiri di depan jendela menyibakkan tirai-tuanya ke samping. Angin sore berhembus masuk dan menggoyangkan rambut Rika hingga bergerak perlahan-lahan.
"Mbak, kau sedih..?" tanya Tuning tiba-tiba,
"Maafkan aku yang telah membuatmu susah....."
Rika menggelengkan kepalanya. Wajahnya tetap terarah keluar jendela tetapi pikirannya lari kepada pak Dahlan. Apa yang disarankan lelaki itu masuk secara cepat menembus hatinya yang terlembut. Pengalaman Tuning baru saja tadi seolah merupakan jawaban dari apa yang pernah diucapkan pak Dahlan. Ia juga harus memikirkan nama baik adiknya, masa depan mereka.
"Kau tampak sedih..." kata Tuning lagi.
"Aku sedang memikirkan sesuatu...." sahut kakaknya perlahan.
"Mengenai kehidupan kita? Kau mau supaya kita pindah dari rumah ini dan hidup baru yang
lebih baik?"
"Mungkin..."
"Ayolah Mbak, jangan bimbang. Kalau perlu, aku akan melepaskan sekolahku dan kita berdua membuka warung atau semacamnya? Tentu saja itu sambil menunggu mendapat pekerjaan yang lebih baik!"
"Tidak Ning," sahut sang kakak,
"Kau harus terus kuliah. Dua tahun lebih sedikit tak lama lagi. Kau harus jadi orang. Dengan bekal sarjana ekonomi, paling tidak kau tak perlu lebih banyak bersaing dengan pelamar-pelamar lainnya."
"Lalu apa maksudmu tadi...?" tanya Tuning tak mengerti.
"Terus-terang Ning,..aku sedang memikirkan lamaran seseorang yang hendak menikahiku..."
"Oh mbak....betulkan?" seru Tuning merasa gembira. Perempuan yang masih amat belia itu juga masih terlalu polos untuk mengenali kehidupan,
"Kau mencintainya? Kau jatuh cinta kepadanya?"
Rika tersenyum dan membalikkan tubuhnya menghadap kepada adiknya yang sekarang sedang duduk berjuntai di tepi tempat tidur.
"Jangan begitu naif," katanya,
"Dalam kehidupan yang kujalani, cinta sejati seperti yang ada dalam angan-anganmu hampir-hampir tidak ada. Jadi tolong jangan kau sebutkan soal satu itu. Ia hanya menyayangiku dan menginginkan aku keluar dari kehidupan yang kujalani ini."
"Toh kedengarannya lebih baik. Terkadang,
rasa sayang lebih bertahan dari cinta yang menggebu, Mbak!"
Rika tersenyum lagi, tahu bahwa adiknya masih terlalu putih dalam soal cinta. Apa yang dikatakannya itu hanya teori-teori belaka yang entah dipungutnya dari mana.
"Kau terlalu muluk membayangkan pernikahan yang ditawarkan orang kepadaku, Ning. Dalam hal ini aku hanyalah sebagai istri kedua!" katanya.
Tuning terdiam lama, terpekur dengan gelisah. Pikirannya berjalan lambat namun melingkupi segala hal yang bisa diperhitungkan.
"Kurasa.....sebagai istri kedua...itu masih jauh lebih baik daripada kehidupanmu yang sekarang," katanya kemudian,
"Kau pernah mengatakan telah jemu pada kehidupan yang sekarang kau jalani ini. Nah, adanya perkawinan, kau akan mempunyai seseorang yang melindungimu. Paling sedikit, kau tidak harus melayani orang lain yang bukan suamimu. Maaf aku telah berkata secara jujur. Tetapi ini perlu supaya kau mau berpikir secara lebih luas. Barangkali saja ada hal-hal yang semula tak kau pikirkan namun yang kebetulan ada dalam pikiranku, bisa kau pakai sebagai bahan pertimbangan. Tentu saja segalanya pulang kepadamu sebagai orang yang bersangkutan. Kau berhak menerima dan juga berhak menolaknya. Aku hanya bisa berkata seperti ini sementara kau juga yang harus menjalaninya Asal kau tahu saja Mbak, bahwa apa pun itu, aku selalu mengharapkan kebahagiaan buatmu!"
Rika mengangguk. Dengan perlahan-lahan, ia mulai membuka semua yang dibicarakannya bersama pak Dahlan waktu itu. Tuning mendengarkan dan segera memberikan komentarnya.
"Menilik ceritamu, aku menduga bahwa lelaki itu seorang lelaki yang baik walau agak lemah hati atau kurang iman dalam hal-hal tertentu. Kurasa, kalau ia menikah denganmu, pikirannya lebih tenang dan ia terbebas dari beberapa tekanan perasaan yang selama ini menyebabkan ia seolah seperti musafir dengan berpindah dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Dengan begitu, kau telah berjasa memberi pengarahan yang lebih baik. Setidaknya, tekanan yang diakibatkan sikap istrinya, tidak membuatnya terlalu menyusahkan lagi!"
Kata-kata Tuning memang masuk akal. Lelaki seperti pak Dahlan adalah lelaki yang lemah iman karena sikap istri yang memandangnya lebih rendah. Tanpa ada seseorang yang menetralisir perasaan tersisihkan atau terhina yang dideritanya dari si istri, akan menimbulkan banyak hal. Ia akan semakin sering mencari wanita-wanita lain demi memuaskan kebutuhannya untuk diperlakukan sebagai seorang lelaki yang benar-benar lelaki, yang bukan sekedar sebagai teman hidup atau ayah dari anak-anaknya yang terlanjur hadir kedunia. Dan kebutuhan itu tak akan mungkin bisa terpuaskan karena mustahillah itu bisa diterimanya dari perempuan-perempuan bayaran yang,
hanya melayaninya sekejap dan demi lembaranlembaran uang di sakunya saja!
"Dan perlu kau ingat pula Mbak," lanjut Tuning ketika melihat kebimbangan yang mewarnai air muka kakaknya,
"Surat-surat Didit yang pernah meminta supaya kau mengijinkan ia berlibur ke Jakarta!"
Sekali lagi kata-kata Tuning menyentuh hatinya. Beberapa kali memang Didit pernah mengharapkan supaya diperbolehkan datang berlibur ke Jakarta. Tetapi selalu saja ia memakai alasan yang bermacam-macam guna menghindari kedatangan adiknya yang sebenarnya sudah amat dirindukannya itu. Didit belUm pernah melihat kota Jakarta. Kalau saja kehidupannya tidak sekotor itu, dengan gembira ia akan menerima kedatangan Didit. Bahkan kalau perlu, neneknya yang sudah tua itu pun biar datang menjenguk. Tetapi mengingat keadaannya, ia tak ingin Didit datang dan menyaksikan siapa sebenarnya si kakak yang telah membiayai kehidupan dan sekolahnya itu. Pemuda itu belum tentu bisa menerima kenyataan pahit itu seperti Tuning. Tuning telah mengikuti sejak awal kejatuhan hati Rika oleh kedatangan istri Herman yang mengawali rentetan kehidupan yang pahit itu.
"Pikirkanlah Mbak, aku bukan bermaksud untuk memaksamu. Aku hanya ingin menunjukkan hal-hal yang patut dipakai sebagai bahan pertimbangan, sebab aku menyayangimu!" kata Tuning" lagi. 1
Dan Rika juga mengangguk lagi.
"Memang untuk hidup di dunia ini, orang memerlukan keberanian karena segalanya bisa dan mungkin terjadi," gumamnya,
"Dan itu mengandung resiko pula!"
"Semua aksi selalu mengandung resiko, Mbak. Suatu kebebasan bertindak selalu pula menuntut adanya suatu pertanggungan jawab. Kurasa mengenai itu kau lebih tahu. Aku hanya bisa berdoa agar apa pun keputusanmu, itu sudah merupakan titik pemilihan dalam pertimbangan yang adil tentang baik dan buruknya. Semoga kau berbahagia sebab menilik usiamu, kau masih punya kesempatan buat meraih kebahagiaan!"
Rika tersenyum dan menatap adiknya dengan sinar mata lembut.
"Kadang-kadang, kau bisa juga berpikiran matang." katanya,
"Dan kata-katamu itu memang patut kuperhatikan dan kujadikan sebagai bahan pertimbangan. Terimakasih, Ning!"
Tuning tersenyum. Ya, untuk sekarang ini selain kata-katanya tadi, ia memang hanya bisa tersenyum demi memberi tanda bahwa dirinya selalu siap dengan pengertiannya!
***
Satu kali lagi, Rika membalik kalender dan menyobek yang teratas.
"Rasanya, waktu cepat sekali berjalan," gumamnya.
Di belakangnya, Tuning tersenyum menanggapi komentarnya. Dipungutnya lembaran kalender yang sudah tak terpakai itu dan diremasnya untuk kemudian teriempar ke keranjang sampah.
"Kesibukan memang sering membuat waktu seperti cepat lajunya. Belakangan ini kau memang tampak sibuk dengan urusan rumah tangga!" katanya.
"Kau kan tahu aku tak bisa tinggal diam hanya bermalasan saja!" sahut Rika.
"Tetapi kau cukup menyenanginya kan'!" selidik Tuning.
"Ya."
"Dan tidak menyesali keputusan yang telah kau ambil?"
"Tidak. Mas Dahlan begitu baik dan penuh perhatian terhadapku. Kehidupan ini terasa lebih tenang daripada yang sudah-sudah!"
Tuning terdiam. ia tak bisa mempercayai begitu saja kata-kata kakaknya. Rika memang seorang wanita yang pendiam dan tertutup sehingga sukar menebak apa yang dirasakannya. Tetapi kehidupan baru yang dijalaninya bersama pak Dahlan, tidak memperlihatkan perubahan yang berarti pada dirinya. Kesan bahagia, tidak terpancar dari gerak-genknya walau pun sekarang tak pernah ada keluhan lagi yang terlolos lewat bibirnya.
Melihat adiknya terdiam, Rika yang peka perasaan itu menoleh.
"Kenapa kau diam Ning?" tanyanya,
"Apakah ada yang agak ganjil dalam ucapanku tadi?"
"Terus-terangnya....aku heran kenapa kau masih saja kurus. Aku sedih melihat tulang-tulangmu yang menonjol seperti itu!" sahut Tuning perlahan.
Rika mengerti jalan pikiran adiknya. Sekarang, ia memang tidak lagi menerima tamu-tamu malam. Ia dan Tuning tinggal di rumah kecil yang dibelikan oleh pak Dahlan. Kehidupannya benarbenar telah berubah sama sekali. Masa lalunya
telah sirna. Tetapi ia tidak juga memperlihatkan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia merasa bahagia. Tubuhnya kurus dan terkadang masih memperiihatkan tanda-tanda kelelahan.
Dan mendengar kata-kata Tuning, ia tersenyum.
"Kekurusanku tidak ada hubungannya dengan perasaan atau semacamnya Ning. Aku tidak sehat. Itu saja!" sahutnya kemudian.
"Kalau begitu, kau harus ke dokter Mbak!" usul Tuning.
"Hal itu memang sudah kupikirkan. Sejak pernikahanku enam bulan yang lalu, aku masih belum memeriksakan diri lagi. Padahal waktu itu aku disuruh kembali karena meski kesehatan umum pada diriku cukup baik, lib pada darahku kurang dari yang seharusnya. Kurasa itu yang jadi penyebab kekurusanku!"
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kalau kuantar ke dokter sore ini?" Tuning menawarkan diri.
Rika tersenyum.
"Kalau kau mau, aku senang sekali!" katanya.
Dokter langganan Rika mengatakan bahwa kedatangannya tepat sekali karena tekanan darahnya sangat rendah
"Nanti saya beri obat dan beberapa vitamin. Tetapi saya sarankan supaya pil anti hamil yang biasa Anda minum itu segera dihentikan demi kesehatan Anda!" katanya.
Tuning agak terkejut menyadari itu. Kenapa Rika masih memakai obat anti hamil? Tetapi .sebagai seOrang adik, ia merasa tak berhak ikut campur dalam rumah tangga kakaknya. ia hanya bisa ikut mendesak agar sang kakak menghentikan pil anti hamil itu.
"Kalau kau merasa itu perlu, minumlah nanti kalau kau sudah merasa lebih sehat. Sekarang hentikan Sementara dulu!" katanya.
Rika menurut. Dan entah memang pil anti hamil itu yang jadi penyebab, atau karena obat dan vitamin yang diberikan oleh dokternya, pelanpelan obat dan vitamin yang diberikan oleh dokternya, pelan-pelan Rika tampak lebih sehat. Bobot tubuhnya juga mengalami kenaikan dan wajahnya tampak lebih segar sehingga ia tampak semakin cantik.
Ketika Tuning baru saja bisa bernafas lega, tiba-tiba saja Rika kembali seperti semula. Selera makan hilang, tubuh kurus dan wajah pucat. Tentu saja Tuning jadi cemas.
"Kau minum obat pencegah hamil lagi Mbak?" tanyanya di suatu ketika. Saat itu mereka sedang makan bersama pak Dahlan karena lelaki itu sedang menginap di rumah. Dan Rika hanya makan sedikit saja sehingga Tuning lupa berpikir secara lebih jauh. Terlambat untuk menarik katakatanya karena ia melihat perubahan wajah pak Dahlan. Yah, seharusnya ia tidak boleh ikut campur.
"Jadi selama ini kau minum obat pencegah hamil?" tanya lelaki itu kepada kakaknya. Tuning semakin sadar akan kesalahannya. ia bukan saja
telah membicarakan hal yang tak perlu dicampuri, tetapi juga telah membuka sesuatu yang ternyata telah dirahasiakan Rika kepada pak Dahlan!
"Aku sudah terbiasa meminumnya. Tetapi beberapa bulan terakhir ini tidak lagi karena dokter menyarankannya!" sahut Rika perlahan.
"Tetapi yang jelas, sebelum itu kau telah meminumnya meski kau sadari bahwa statusmu jelas, yaitu seorang istri!"
Rika tidak menjawab. Dan pak Dahlan merasa tidak puas.
"Dan dalam status yang sudah jelas itu, kau masih saja khawatir akan mengandung!" gumamnya dalam nada kecewa.
"Kau jangan salah paham, Mas. Kuakui aku ingin mempunyai keturunan darimu karena ternyata aku dan kau juga, cukup sehat setelah samasama diperiksa oleh dokter waktu itu. Dan aku cukup normal dengan naluri keibuan yang ada pada hatiku. Tetapi aku harus menatap lebih jauh. Jika aku punya anak, kau akan semakin terikat kepadaku. Adanya anak dalam perkawinan kita, akan mengikat dirimu sehingga kau tidak bisa bergerak bebas andaikata di suatu ketika nanti kau merasa harus kembali kepada istrimu yang sah," kata Rika menjelaskan.
"Kau juga istriku yang sah!"
"Pokoknya, aku tak ingin menyusahkanmu. Kau telah banyak memberiku kehidupan yang lebih baik segala-galanya, Mas!"
Pak Dahlan menatap Rika dengan perasaan
kagum. Semakin ia mengenal Rika, semakin ia tahu betapa tulusnya hati perempuan itu.
"Aku mengerti jalan pikiranmu Rika. Tetapi seharusnya itu tak perlu ada," katanya kemudian,
"Seolah kau tak mempercayai niatku untuk membahagiakanmu. Kau adalah istriku, titik. Dan walau di sana juga ada istriku, ia hanya istri dalam surat nikah dan hak saja. Bahwa aku memperistrimu, jauh-jauh hari aku telah memperhitungkan segala-galanya termasuk kemungkinan adanya anak yang lahir. Jadi kusesali pikiranmu yang pendek itu. Kau tak boleh memikirkan yang bukanbukan sebab semenjak kau kukawini, hatiku lebih tenang. Baik dalam pekerjaanku di kantor, mau pun dalam kehidupan sehari-hari di kantor. Aku tidak pernah lagi marah-marah tak keruan. Pendek kata, sekarang istriku pun merasa lebih tenang karena aku tidak lagi tampak gelisah. Nah, justru karena itulah kalau kau mau tahu isi hatiku, sebenarnya aku menginginkan keturunan darimu jika memang Tuhan mengijinkan. Bukan saja hal itu karena aku ingin membuatmu terikat kepadaku, tetapi juga karena dengan istriku di sana, aku hanya mempunyai dua orang anak lelaki saja!"
Suara pak Dahlan yang lembut dan penuh perasaan itu menyentuh tepat perasaan Rika. Tanpa ia dapat mengendalikan, isaknya terlolos dari mulutnya. Tuning kaget sekali karena sudah lama sekali Rika tak pernah menangis. Ia sudah terlalu kebal.
"Kenapa kau Mbak...?" tanyanya khawatir, bersamaan dengan pak Dahlan yang mendekati tempat duduk Rika.
"Mengapa? Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu?"
Rika menggeleng dan cepat-cepat mengusap air matanya.
"Tidak ada sesuatu apa pun!" katanya terengah.
"Jangan dusta Rika. bukankah aku sering berkata kepadamu bahwa kita berdua harus bicara terbuka jika ada sesuatu yang mengganggu perasaan?" desak pak Dahlan.
Rika tertunduk.
"Perasaanku sedang tersentuh Mas," sahutnya lirih.
"Kau begitu menempatkan diriku pada kedudukan yang amat terhormat dengan mengharapkan anak dari rahimku perempuan yang kotor ini. Kalau saja aku tahu sampai sedemikian jauhnya ketulusan hatimu. aku tentu tidak menghabiskan waktuku dengan derita yang kubuat sendiri. Tak perlu juga aku dengan diam-diam minum jamu yang hanya menambah mualnya perut dan menurunnya selera makanku. Aku aku minta maaf Mas ....."
Pak Dahlan mengerutkan dahinya. Begitu juga halnya dengan Tuning yang duduk di seberang meja makan.
"Apa maksud bicaramu itu Rika?" tanya pak Dahlan kemudian,
"Bicaramu tak jelas ....."
"Kesehatanku agak merosot dalam minggu-'
minggu terakhir ini. Dan ada tanda-tanda bahwa aku mulai mengandung, Mas. Dokter sudah melihat beberapa gejalanya. Dan ia mengatakan bahwa aku cukup sehat untuk melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi ketakutanku akan masa depan bukan saja membuatku menderita selama minggu-minggu terakhir ini, namun juga membuatku kehilangan selera makan dan bahkan telah mencoba minum jamu-jamu agar janin itu tidak terus berkembang ....."
'Rika!" seru pak Dahlan terkejut. Tangannya memeluk bahu Rika dengan erat,
"Pikiranmu sungguh pendek. Ayo bersiap-siaplah, aku ingin membawamu ke dokter sekarang juga!"
"Maafkanlah aku, Mas .."
"Sudahlah. kita harus ke dokter untuk meyakinkan apakah kandunganmu itu Sehat. Kau tidak tahu betapa gembiranya aku mendengar ini," katanya memotong,
"Kuharap kau mau mematuhi kata-kataku. Buanglah jamu-jamu entah jamu apa pun itu, dan jaga kesehatanmu baik-baik demi anakku yang tengah kau kandung itu!"
Rika menurut dan masuk ke kamarnya. Tuning menyusul dengan tergesa.
"Kenapa tak kau katakan kepadaku. Mbak? Kau berdosa telah berniat membuang janin yang tak berdosa. Padahal kau lihat sendiri bagaimana sayangnya mas Dahlan kepadamu!" katanya.
"Ya, kuakui aku memang berdosa. Pikiran pendekku mengatakan lebih baik janin itu mati sebelum jadi bayi. Aku tak ingin ia ikut menderita karena tak dikehendaki ayahnya!" sahut Rika dengan air mata berlinang
Hati Tuning menjadi iba.
"Sudahlah, tetapi untuk lain kali cobalah kau berani berbicara secara terbuka sehingga kalau ada apa apa, bisa dibicarakan dan dicari bagaimana pemecahannya yang terbaik. Apalagi hal itu hanya bayanganmu saja yang terlalu buruk. Hadapilah dunia ini bukan hanya melulu dengan hati yang diwarnai pesimisme saja!" katanya melembut.
Rika mengangguk. Dan Tuning meninggalkannya setelah berkata dengan suara yang semakin lembut "Cepatlah, mas Dahlan Sudah menantikanmu. Aku khawatir dokternya sudah pulang!"
"Kurasa belum. Pasiennya banyak sekali " sahut Rika dengan suara yang mulai diwarnai kelegaan dan keringanan perasaan.
"Mudah mudahan memang belum ....." sahut Tuning sambil berlalu dari kamar kakaknya. Gadis itu merasa lega bahwa ia telah melihat titiktitik terang bagi perkembangan kehidupan Rika selanjutnya ia ingin melihat sang kakak hidup berbahagia dan mengalami kehidupan yang tidak berbeda dengan wanita-wanita lain dalam rumah tangganya
Dan bulan-bulan yang berjalan memang membawa perubahan baru dalam rumah tangga Rika. Perempuan itu melalui masa kehamilannya dengan penuh harapan. Sebelumnya tak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan mempunyai
seorang bayi yang lahir dari sebuah perkawinan. Selama ini, ia hanya tahu bahwa masa mudanya telah usai dan kebahagiaan satu-satunya yang ingin diraih hanyalah menyaksikan kedua adiknya jadi orang. Dan sekarang, Tuhan telah memberi sesuatu yang berlimpah banyaknya dari apa yang pernah diharapkannya. Rasanya tak habis habisnya ia ingin bersujud kepada Tuhan mengantarkan rasa syukurnya atas anugerah yang diterimanya. Bayinya seorang anak perempuan yang mungil, cantik dan sehat. Pak Dahlan begitu amat berbahagianya sehingga Rika ditimbuninya dengan hadiah-hadiah. Kedua anak lelakinya yang sudah remaja bukanlah anak-anak yang masih membutuhkan belaian seperti bayi merah yang tak berdaya itu. Kehadiran bayi itu membawa semangat dan gairah baru dalam jiwanya.
"Aku akan menamakannya Dahlia," katanya kepada Rika,
"Kecantikan bayi itu seperti bunga dahlia!"
Rika hanya tersenyum saja. Apakah nama itu Inem, Minah atau Elizabeth, ia tak perduli. Kebahagiaannya sudah terlalu penuh dalam jiwanya. Menyusui bayi, apalagi bayi yang dikandung dan dilahirkannya sendiri adalah cita-cita yang tak pernah berani diharapkannya pada beberapa waktu yang lalu. Dan sekarang, ia telah menjadi seorang ibu yang di suatu ketika nanti akan dipanggil "mama" oleh Dahlia! Alangkah menakjubkannya!
Melihat perkembangan terakhir dalam kehidupan Rika yang bercahaya terang itu, hati Tuning ikut berbahagia. Ia bisa mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pelajaran sekarang. Ia juga tidak lagi merasa harus menyendiri dalam pergaulan. Selama ini, ia selalu berusaha membuat jarak di antara dirinya dengan teman-teman lain. Ia sadar bahwa beberapa di antara mereka telah mengiranya sebagai gadis yang angkuh. Kecantikan yang dipunyai, otak yang tajam karena diasah setiap malam, pakaian-pakaian rapi yang tak pernah ketinggalan jaman karena dimanjakan kakaknya, memang memudahkan penilaian angkuh atau semacamnya terhadap dirinya. Tetapi Tuning tak perduli. Pokoknya, ia hanya berusaha agar tidak terjalin keakraban diantara dirinya dengan mereka semua guna menghindari pengenalan yang lebih lanjut. Ia tak ingin ada seorang di antara mereka yang ingin datang ke rumah sebab ia khawatir ada temannya yang tahu mengenai apa pekerjaan kakak yang selama ini menghidupinya.
Tetapi sekarang segala kekhawatiran itu menipis dari pikirannya. ia mulai membuka hatinya dan menjalin keakraban-keakraban dengan temantemannya walaupun sifatnya tidak terlalu intim. Namun demikian, yang penting baginya adalah hubungan inter personal yang memang seharusnya terjalin di antara sesama mahasiswa.
Sementara itu, Rika juga tidak terlalu menutup diri seperti semula. Kadang-kadang, ia mau juga pergi dengan Tuning dan Dahlia dalam gendongan atau kereta bayinya. Oleh pemeliharaan yang teliti dan penuh kasih sayang, Dahlia memang
tumbuh dengan subur. Tahun pertama dilaluinya dengan pesat, Dan pak Dahlan yang bngtu sayang kepada anak itu, seringkali mengajak mereka semua jalan-jalan keluar kota dengan mobilnya. Rasanya, tahun tahun yang terakhir ini merupakan sinar mentari yang amat cerah setelah hujan badai yang terlalu lama mengisi hari-hari mereka.
"Sekarang jika Tuhan hendak memanggilku, aku rela sudah," begitu Rika sering termenung sendiri setiap melihat Dahlia berjalan gontai menuju ke ayahnya hendak minta dipangku. Ia yang semula disebut sebagai kupu-kupu malam itu merasa tak pantas dianugerahi kebahagiaan yang sedemikian itu. Ia tahu bahwa mereka yang pernah seprofesi dengannya dulu. hampir-hampir mustahil bisa mengecap kebahagiaan rumah tangga seperti apa yang dialaminya.
Pak Dahlan cukup mengerti bagaimana perasaan Rika. Perasaan cintanya terhadap perempuan itu semakin dalam saja dari hari ke hari. Ia bukan saja seorang perempuan yang berhati tulus, tetapi juga seorang istri yang amat berbakti kepadanya. Suatu hal yang belum pernah diterima dari istrinya yang tua. Rika tak pernah mempunyai suatu tuntutan apa pun. Ia patuh dan menerima apa saja perlakuan suaminya.Dan kadang-kadang, pak Dahlan merasa tak enak juga melihat sikap seperti itu.
"Kalau aku terlalu sibuk sehingga tidak menggilirimu, kau begitu tenang tanpa bertanya apa-apa. Kenapa Rika?" begitu ia pernah bertanya.
"Karena aku tahu diri seberapa porsi yang
harus kudapat!" sahut Rika tertawa.
"Mendengar itu, aku jadi ragu, jangan-jangan kau tak mencintaiku, Rika!" katanya merajuk.
"Cara orang memanifestasikan cintanya berbeda-beda, Mas. Pokoknya aku tak ingin membuatmu merasa bersalah. Kebahagiaanmu lebih kupikirkan!" sahut Rika
Pak Dahlan memberungut.
"Kadang-kadang aku ingin supaya kau jangan terlalu baik hati, Rika!" katanya,
"Konon kata orang, mereka yang berhati sebagai bidadari, umurnya tidak panjang. Terlalu lama di dunia bisa membahayakan kebaikan tersebut karena dunia ini penuh hal-hal yang kotor. Dan pula, terhadap orang-orang yang sebaik bidadari, Tuhan ingin segera didampinginya! "
Rika tertawa.
"Jangan terlalu mendewakan diriku Mas. Dan lepaskan pikiranmu dari omong kosong tadi sebab kalau hal itu kau percayai. aku pun akan mempercayai. Dengan demikian, aku juga ingin supaya kau jangan terlalu baik, terlalu ingin berkorban sebab orang yang sebaik dirimu, seringkali dipanggil Tuhan lebih cepat dari pada panggilanNya terhadap orang lain!" katanya bergurau.
Pak Dahlan tertawa dan memeluknya dengan mesra.
"Kalau pun dipanggil. kita toh akan pergi bersama-sama karena kita bercitra adalah orang-orang yang baik!" katanya.
Tuning yang saat itu kebetulan mendengar
pembicaraan mesra antara suami-istri yang tengah mengawasi Dahlia bermain bersama-sama itu jadi menggerutu.
"Pikiran kalian yang bukan-bukan saja. Kenapa berbicara seperti itu kalau nasih ada ribuan obrolan lain yang lebih menggembirakan?" katanya menyela.
Rika dan pak Dahlan tertawa bersama, dan segera melupakan pembicaraan tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan Tuning. Ketika di suatu Minggu kedua suami-istri itu belum juga pulang padahal mereka hanya mengatakan akan pergi ke Bandung sehari saja dalam rangka memperingati ulang tahun perkawinan mereka yang ketiga. hati Tuning menjadi gelisah. Ia ingat katakata Rika yang tidak seperti biasanya
"Titip Dahlia ya Ning. Jangan terlantarkan dia!" katanya sebelum berangkat dan bukan.
"Jaga baik-baik Dahlia ya Ning" seperti biasanya jika ia mau pergi meninggalkan anaknya.
Dan ternyatalah kemudian kegelisahan Tuning memang beralasan. Hari berikutnya, ia mendapat berita bahwa Rika dan suaminya mengalami kecelakaan menjelang masuk kota Bandung. Mobilnya bertabrakan dengan truk gandengan bermuatan penuh. Keduanya tewas seketika.
Takdirkah itu atau hanya suatu kebetulan yang tragis, Tuning hanya tahu satu hal saja yaitu Rika telah tiada, dan meninggalkan satu-satunya anak permata hati kepadanya. Seluruh tanggung jawab masa depan Dahlia, nenek dan Didit berada di
pundaknya sekarang ini. Betapa pun besarnya goncangan dan kepahitan yang harus ditelannya, mau ataupun tidak ia harus menjalaninya juga!
Sebagai gadis yang masih belum banyak pengalaman dalam kehidupan yang luas ini, kematian Rika membuat goncangan yang cukup parah bagi Tuning. Jika tidak ingat akan Dahlia yang telah dipercayakan kepadanya, maulah Tuning ikut dikubur bersama kakaknya. Ia hanya sebatang kara saja di kota yang penuh tantangan kehidupan ini. Pada saat itu, ia sedang mempersiapkan diri dalam pembuatan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana. Rika bangga terhadapnya.
Tetapi kini, segalanya telah berubah. Seluruh tanggung jawab berada di atas pundaknya, Ia hampir-hampir tak tahu harus berbuat apa dengan adanya peristiwa pahit yang tiba-tiba menimpa dirinya itu.
Selama ini, Tuning memang tidak banyak bergaul dengan kawan-kawan atau pun tetangganya secara akrab. Biar pun Rika telah menjadi seorang ibu rumah tangga bahkan menjadi seorang ibu pula, Tuning masih saja belum berani bergaul sebebas mungkin dengan orang lain. Masih saja terselip rasa khawatir jika di suatu ketika ada seseorang yang pernah tahu tentang diri kakak kandungnya itu. Ia tahu bahwa Rika yang molek itu mempunyai banyak langganan karena sikapnya yang lembut dan anggun. Tamu-tamunya seringkali lupa bahwa ia hanyalah perempuan bayaran belaka. Oleh karena itulah Tuning jarang sekali mengajak teman-teman kuliahnya datang ke rumah. Kemungkinan bahwa seseorang akan mengenali Rika, bisa saja terjadi. Dan Tuning tak ingin itu terjadi. Bukan saja untuk ketenangan hatinya tetapi juga tak ingin hati kakaknya yang telah sembuh itu akan terluka lagi.
Tetapi sekarang setelah kakaknya tiada. Tuning baru merasa betapa kesepiannya dia. Setelah empatpuluh hari peringatan meninggalnya kakak dan iparnya, ia seolah tenggelam dalam dunia yang sama sekali terasing. Peristiwa itu selain mengundang rasa terkejut pada para tetangga kiri dan kanan rumah, juga kepada teman-teman kuliahnya, telah pula membuka rahasia status Rika dalam rumah tangga pak Dahlan. Jenazah pak Dahlan yang langsung dibawa ke rumah istri tuanya dari rumah sakit, telah mengundang banyak
dugaan dan akhirnya juga pengetahuan bahwa perempuan itu hanya istri kedua saja.
Tuning seringkali menangisi kakaknya secara diam-diam jika Dahlia telah tertidur pulas di sisinya. Ia sadar bahwa ada beberapa mulut usil yang seolah menyalahkan kecelakaan itu karena kakaknya telah merebut pak Dahlan dari istri tuanya. Namun yang membuat hatinya lebih berduka adalah karena Dahlia yang masih belum tahu apa-apa itu sering menanyakan ibunya. Untuk itu, Tuning telah menunda pembuatan skripsinya. Bahkan keinginannya untuk bekerja pun disingkirkannya. Ia tidak tega meninggalkan Dahlia seorang diri di rumah dengan pembantu rumah tangga. Dahlia telah mengalihkan kebutuhan kasih sayangnya kepada Tuning. Kemana-mana ia mengekor kepada bibinya itu, seolah tirasatnya yang masih murni merasakan ketakutan akan kehilangan orang yang disayanginya lagi.
Tetapi justru karena ia tak bisa bekerja, barangbarang perhiasan Rika terpaksa dijualnya satupersatu. Bahkan juga tape recorder kesayangan kakaknya itu telah pula dijualnya. Dan ketika hampir tak ada lagi yang bisa dijualnya sesudah selamatan yang ke seratus hari meninggalnya Rika, Tuning terpaksa membongkar lemari almarhum mencari sesuatu yang mungkin bisa dijualnya. Kemarin Didit sudah menulis surat kepadanya bahwa neneknya sakit dan memerlukan uang.
"Aku tahu bagaimana beratnya tanggunganmu
mbak Ning, tetapi aku tak tega melihat nenek terbaring tak berdaya. Kirimilah uang seberapa saja kau mampu. Aku telah menjual sepedaku bulan kemarin untuk biaya hidup sehari-hari selama beberapa minggu secara amat sederhana. Rupanya kenyataan itu menambah rasa duka nenek sejak meninggalnya mbak Rika yang kau kabarkan kepada kami ....." begitu antara lain isi surat Didit kepadanya.
Tuning merasakan hatinya seperti diiris-iris Sudah terbayang olehnya jika imannya tidak kuat, ia akan mengalami kehidupan seperti yang pernah dijalani oleh Rika sebelum menikah dengan pak Dahlan. Ia terlalu cinta kepada keluarga dan sekarang seluruh tanggung jawab mengenai keluarga itu berada di atas pundaknya.
Air matanya menitik tatkala ia hanya menemukan kotak-kotak perhiasan yang kosong. Dan walaupun ia melihat pakaian Rika banyak sekali dan bagus-bagus, hatinya tak tahan untuk membiarkan pikirannya sendiri melintaskan keinginan untuk menjualnya. Dengan hati pedih yang sulit dilukiskan ke dalam kata-kata, ia menutup kembali lemari pakaian almarhum. Tetapi pikiran tentang laci terbawah yang selalu terkunci rapat menyalakan harapannya lagi. Cepat-cepat ia mengambil ikatan kunci-kunci yang disimpan Rika di rak yang paling atas. Rasanya ia merasa mendapat harta 'karun yang luar biasa ketika akhirnya ia menemukan buku tabanas dan sekotak perhiasan lagi. Menilik tanggalnya, Tuning tahu bahwa tabungan dan perhiasan itu dibeli pada masa Rika masih tinggal bersama Ida. Jumlahnya lumayan. Kalau ia bisa berhemat, bisalah uang itu dipakai selama delapan sampai sepuluh bulan bersama Dahlia.
Sambil menyimpan harta karun itu kembali, Tuning sadar bahwa cara Rika menyimpan benda dan harta itu seolah memberikan suatu pertanda bahwa betapa pun hinanya cara ia mendapatkannya. harta tersebut masih tetap ada faedahnya. Laci terbawah seperti memberi kesan bahwa jika sudah tidak ada apa-apa lagi yang dipunyainya, harta yang tersimpan di dalamnya itu cukup mempunyai jasa walau apapun caranya ia mendapatkannya. Seolah, ia hendak mengingatkan bahwa pengorbanannya bukan hal yang sia-sia saja.
Dengan penuh perasaan, Tuning mengirimkan sejumlah uang kepada Didit.
"Kalau Nenek membantah dibawa ke dokter seperti biasanya. panggillah dokternya ke rumah, Dit. Aku ingin supaya nenek segera sehat kembali. Sudah kurencanakan supaya kau dan Nenek mau tinggal di Jakarta bersamaku dan Dahlia. Kehadiran kalian untuk ikut mengawasi Dahlia akan memberi kesempatan bagiku menyelesaikan sekolahku yang tinggal selangkah. Dan kemudian aku akan mencari pekerjaan," katanya dalam surat yang menyertai pengiriman uang tersebut.
Rencana yang bagus dan pasti akan disetujui oleh siapa pun yang mengetahui persoalan yang dihadapinya. Tetapi ternyata Tuhan mempunyai
suatu rencana lain, yang tak seorang manusia pun tahu apa yang ada di balik rencana tersebut. Orang hanya bisa melihat yang nyata terlihat oleh mata. Nenek Tuning meninggal dunia hanya seminggu setelah uang kiriman cucunya itu sampai. Rupanya perempuan tua itu merasa tidak ada artinya lagi untuk meneruskan perjalanan hidupnya yang sudah panjang itu setelah cucu kesayangannya tiada.
Tuning terpaksa mengajak Dahlia buat menghadiri pemakaman neneknya. Maka sekali lagi, ia menghadapi jenazah dari salah seorang yang disayanginya. Hatinya semakin hancur.
Kisah Kisah Sufi Karya Idries Shah Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Goosebumps 23 Kembalinya Sang Mumi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama