Ceritasilat Novel Online

Jangan Ucapkan Cinta 1

Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W Bagian 1



Mira W.

JANGAN

UCAPKAN CINTA

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2000





ebook by syauqy_arr

v

JANGAN UCAPKAN CINTA

Oleh Mira W

GM 401 98.890

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270

Desain sampul: Stephanus Herwinoto

Foto sampul oleh Marcel A.W.

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

anggota IKAPI, Jakarta, Febuari 1978

Cetakan kedua: Oktober 1998

Cetakan ketiga: Oktober 1999

Cetakan keempat: Desember 1999

Cetakan kelima: Juni 2000

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MIRAW.

Jangan Ucapkan Cinta / Mira W.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998.

208 hlm; 18cm.

ISBN 979 - 605 - 890 - 1

I. Judul

813 K

E-Book by syauqy_arr

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab PercetakanBAB I

PlNTU kamar praktek Dokter Eko Prasetyo

terempas terbuka. Suster Niken Ardini yang

kebetulan hendak membuka pintu memekik kaget.

Sesosok tubuh tinggi dan tegap terhuyung

masuk menubruknya. Refleks Suster Niken me
nangkapnya. Tetapi tubuh itu terlalu berat. Dia

terdorong mundur. Dan mereka sama-sama

sempoyongan melanda meja tulis Dokter Eko.

Niken terempas ke atas meja tulis. Tubuh laki
laki itu setengah menindihnya. Wajahnya yang

berlumuran darah hampir melekat ke wajah Niken.

Eko melompat dari balik meja tulisnya.

Memburu mereka dengan kaget.

"Mas Aldi!" sergahnya antara terkejut dan

bingung. "Astaga! Apa yang terjadi?"

Bergegas Eko meraih tubuh abangnya. Tetapi

karena tubuh Aldi hampir satu setengah kali besar

tubuhnya, Eko terhuyung hampir jatuh.

"Bantu saya, Nik," pintanya sambil berusaha

keras memapah abangnya ke tempat tidur. "Kamu

tidak apa-apa?"7

Niken menatap sekilas ke arah tangan kanannya

yang berlumuran darah. Lalu dengan cekatan dia

membantu dokternya memapah pasien itu ke tempat

tidur.

"Mas Aldi abang saya," kata Eko setelah

mereka berhasil membaringkan pria itu di tempat

tidur. "Tolong bersihkan lukanya dulu, Nik."

Tanpa perlu diperintah dua kali, dengan gesit

Niken menyiapkan alat-alat untuk merawat luka.

Dirobeknya kemeja yang sudah separo hancur itu.

Dan sekilas, dada yang bidang dan berotot itu,

dengan bulu yang tipis menyemak, menggoda

matanya.

Sebagai seorang perawat senior, bukan baru

sekali Niken melihat dada yang telanjang. Tetapi

entah mengapa, ketika melihat yang satu ini, ada

debar ganjil yang menggetarkan jantungnya.

Mukanya tiba-tiba terasa panas. Lebih-lebih

ketika matanya bentrok dengan mata yang tajam

menjelajah itu....

Ya Tuhan! Mata itu... benar-benar bukan mata

orang baik-baik! Tetapi... mengapa... justru menjadi

amat... memikat?

Niken berusaha sekuat tenaga agar tangannya

tidak tampak bergetar ketika sedang membersihkan

luka pasiennya. Dia berusaha keras agar matanya

tetap terpusat pada pekerjaannya. Tetapi perasaan

ada sepasang mata yang luar biasa tajam sedang

mengawasi, mau tak mau membuatnya grogi.

Untung Dokter Eko mengalihkan perhatian pasien8

itu dengan pertanyaannya yang seperti tidak ada

habis-habisnya.

"Berkelahi lagi, Mas?" suaranya terdengar

kosong dan tawar. Diperiksanya luka di dada kiri

abangnya. "Luka tikaman pisau ini harus dijahit.

Untung tidak terlalu dalam. Mas tahu alat apa yang

ada di baliknya, kan? Kalau sampai tertusuk..."

Suaranya berubah ganjil. "Mas Al pasti tidak

tertolong lagi! Siapa yang menikammu, Mas? Saya

harus membuat visum. Kita harus lapor polisi...."

"Tidak usah!" Suara lelaki itu terdengar berat

dan dalam di telinga Niken. "Jahit saja cepat!"

"Tapi, Mas...."

"Mau kamu jahit sekarang atau aku harus cari

dokter lain?" bentak Aldi tidak sabar.

Eko menghela napas panjang. Tanpa berkata

apa-apa lagi, dia meraih jarum suntik yang telah

disediakan perawatnya.

* * *

"Terima kasih, Nik," suara Eko selembut senyum

yang bermain di bibirnya ketika Niken menyuguh
kan dua cangkir teh panas di atas meja tulisnya.

"Kamu boleh pulang, saya sudah tidak

memerlukan kamu lagi malam ini."

"Terima kasih, Dok," sahut Niken sopan.

"Selamat malam."9

Aldi mengawasi perawat yang sedang

mengundurkan diri sambil membawa nampan

kosong itu dengan tatapan seorang ahli.

"Mmm, perawatmu yang ini boleh juga,"

komentarnya terus terang. "Tidak seperti yang dulu.

Melihatnya saja, jangankan orang sakit, yang sehat

seperti aku saja jadi ikut sakit!"

Eko tersenyum masam.

"Dasar playboy! Luka boleh menganga, mata

tetap blingsatan!"

"'Wajar, kan? Aku lelaki normal. Bisa mem
bedakan perempuan cantik dengan pasien yang

belum mandi!"

"Kata siapa saya tidak bisa, Mas?"

"Kamu bukan gay, kan?"

Eko tertawa pahit.

"Kalau saya bukan playboy seperti Mas Al,

tidak berarti saya sakit, kan?"

"Kenapa kamu belum punya pacar juga?"

"Belum ada yang cocok."

"Perawatmu yang manis itu juga tidak?"

"Dia sudah punya pacar."

"Malah aneh kalau belum. Tapi itu tidak berarti

peluangmu sudah habis!"

"Itu pasti salah satu jurus andalanmu!"

"Perlu kuajari?"

Eko tersenyum tipis.

Saat itu Niken lewat sambil mengucapkan

salam. Dia sudah bertukar baju. Sambil menjinjing

tasnya, dia membuka pintu ruang praktek.10

"Tidak kamu antar pulang?" tanya Aldi kepada

adiknya.

"Oh, Niken biasa pulang sendiri. Kadang
kadang dijemput pacarnya."

"Malam-malam begini?"

"Rumahnya dekat."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Aldi menyambar

kunci mobilnya. Menyambar jaket Eko yang ter
gantung di dekat wastafel. Dan menghambur ke

pintu untuk menyusul Niken.

"Mas Al!" seru Eko antara bingung dan kesal.

"Kamu perlu istirahat!"

"Mengantar seorang gadis tidak perlu tenaga,"

sahut Aldi santai sambil menutup pintu.

* * *

"Suster!" panggil Aldi tanpa ragu sedikit pun. Niken

yang sedang berdiri di tepi jalan menunggu bajaj,

menoleh kaget. Parasnya langsung berubah ketika

melihat sesosok tubuh tinggi tegap menghampiri

dari halaman tempat praktek. Sehelai jaket yang

kekecilan, Niken tahu milik siapa, menyelubungi

kemejanya yang sudah separo hancur.

"Mari saya antar," kata Aldi mantap, seolah
olah dia yakin sekali, gadis yang diajaknya tidak

bakal menolak. "Saya juga mau pulang."

"Terima kasih," sahut Niken sambil berusaha

meredam debar jantungnya. "Biar saya naik bajaj

saja, Pak."11

"Panggil saya Aldi. Jangan bikin saya merasa

tua. Umur saya baru dua delapan."

Tanpa merasa rikuh sama sekali, Aldi membuka

pintu mobilnya dan menyilakan Niken masuk.

Tetapi Niken tidak bergerak dari tempatnya.

"Terima kasih. Biar saya pulang sendiri."

Aldi menatap gadis itu dengan kesal.

"Mesti minta izin adikku? Atau... izin

pacarmu?"

"Saya cuma ingin pulang sendiri."

"Bodoh! Kamu takut sama saya?"

Niken melirik dengan resah ke arah tempat
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

praktek. Dan melihat Eko sedang mengawasi

mereka dari ambang pintu.

Aldi menoleh sekilas. Dan membanting pintu

mobilnya dengan jengkel.

"Oke," dengusnya sambil mengangkat bahu.

"Tunggulah bajajmu!"

Aldi mengitari separo tubuh mobilnya. Masuk

ke balik kemudi. Dan menghidupkan mesin

mobilnya. Kemudian tanpa menunggu lagi, dia

melarikan mobilnya meninggalkan tempat itu.

Niken masih menunggu bajaj ketika mobil Eko

keluar dari halaman. Pintu kirinya terbuka ketika

mobil itu berhenti di dekat Niken.

"Masuklah, Nik," pinta Eko sungguh-sungguh.

"Saya antarkan kamu pulang."

Setelah ragu sejenak, akhirnya Niken masuk ke

dalam mobil.12

* * *

"Maafkan abang saya," cetus Eko setelah mobilnya

meluncur mulus di jalan raya. "Dia memang selalu

seperti itu."

"Oh, tidak apa-apa, Dok! Pak Aldi cuma

mengajak saya pulang. Maksudnya kan baik...."

"Kenapa kamu tidak mau ikut? Takut?"

Niken tidak menjawab. Eko meliriknya sekilas.

"Memang lebih baik kalau kamu tidak mau

didekati. Mas Aldi figur yang disukai wanita.

Sekaligus ber-bahaya bagi mereka."

"Pak Aldi memang punya modal untuk itu."

"Modal untuk jadi playboy maksudmu? Wajah

ganteng, tubuh atletis, duit banyak? Kalau saja

kaummu tahu berapa banyak air mata yang harus

mereka korbankan untuk menebusnya!"

"Sejelek itu rekomendasi Dokter untuknya?"

"Sejak kecil Ibu sangat memanjakannya.

Maklum, anak sulung. Pandai. Cakep. Berani. Ibu

sangat bangga pada Mas Al. Tidak heran sejak kecil

dia sudah doyan berkelahi!"

"Anak laki-laki berkelahi kan biasa, Dok."

"Tapi kalau hampir setiap hari dia berkelahi,

sudah tidak biasa lagi, kan? Apalagi kalau mem
perebutkan cewek!"

"Seperti malam ini?" Sekilas bayangan dada

yang berbulu itu menggoda pandangan Niken. Dan

parasnya tiba-tiba terasa panas. Tatapan mata yang

setajam tatapan scekor binatang buas itu melintas13

lagi di depan matanya. Ah, mengapa tatapan itu

serasa begitu memikat?

"Mas Al baru kembali dari London. Dia

mengambil business administration. Entah kebetulan

entah sengaja, dia bertemu kembali dengan pacarnya

yang pertama. Kamu percaya tidak, Nik, kata Mas

Aldi, mereka sudah pacaran sejak kelas lima SD!"

"Dan wanita itu sudah menikah?"

"Siapa pikirmu yang menyewa orang untuk

menghajarnya? Untung saja tikaman pisau itu tidak

cukup dalam!"14

BAB II

NlKEN ARD1NI bukan berasal dari keluarga kaya.

Ayahnya hanya memiliki sebuah warung kecil di

pinggiran kota Tegal.

Niken anak kedua dari tiga orang bersaudara.

Kakak laki-lakinya meninggal ketika berumur tujuh

tahun karena tipus. Adiknya meninggal ketika

berumur tiga minggu karena 'mfeksiperinatal.

Sebenarnya Niken mempunyai cita-cita menjadi

dokter. Kedua saudaranya meninggal karena

penyakit infeksi. Ibunya harus kehilangan rahimnya

akibat perdarahan post partum setelah melahirkan,

karena tidak ditangani dengan baik oleh tenaga

medis.

Niken mempunyai dendam terhadap penyakit

yang memusuhi keluarganya sejak dia masih berusia

sangat muda. Karena itu dia bertekad untuk menjadi

seorang dokter.

Tetapi kesulitan ekonomi menghambat cita
citanya. Lulus SMA, dia tidak mampu melanjutkan

studi ke fakultas kedokteran, walaupun IQ-nya 142

dan dia diterima di fakultas kedokteran negeri.15

Karena itu dia memilih menjadi perawat. Agar

dapat membantu orangtuanya, sekaligus tidak

kehilangan cita-citanya sama sekali.

Dia lulus sekolah perawat dengan angka

gemilang. Pekerjaannya di rumah sakit pun selalu

memuaskan. Dia menjadi perawat favorit para

dokter. Dan selalu muncul sebagai perawat teladan

setiap kali diadakan pemilihan.

Niken sangat menyukai pekerjaannya.

Dedikasinya tinggi. Pengabdiannya total. Sifatnya

yang lugu di-kombinasikan dengan otak yang encer

dan sikap yang gesit, amat mendukung profesinya.

Jenjangnya meningkat cepat. Dia senantiasa

menjadi perawat pilihan di setiap bagian di rumah

sakit tempat-nya bertugas.

Pada usia dua puluh satu tahun, dia bertemu

dengan Bambang Pranoto, tetangganya ketika masih

di Tegal dulu. Dan hubungan masa kanak-kanak

mereka berlanjut ke tahap yang lebih intim.

Bambang yang calon insinyur, seorang pemuda

yang sabar, penurut, dan tidak banyak tuntutan.

Karena itu hubungan mereka berlangsung mulus,

hampir tanpa gejolak.

Rasanya tidak seorang pun di antara mereka,

tidak juga orangtua keduanya, yang pernah me
mikirkan kemungkinan lain, kecuali bahwa Niken

dan Bambang suatu hari nanti, kalau Bambang

sudah lulus, akan menjadi pasangan suami-istri.

Dari luar, mereka merupakan pasangan yang sangat

ideal.16

Niken juga tidak punya pilihan lain. Karena

walaupun terhitung cantik, dia tidak pernah meng
harapkan lebih dari apa yang dapat diperolehnya.

Dia merasa seorang pria seperti Bambang, sudah

lebih dari cukup baginya.

Kecuali ketika suatu hari, dia bertemu dengan

seorang pria model lain. Pria yang seperti berasal

dari dunia yang berbeda. Pria yang serasa di luar

jangkauannya, tetapi yang begitu muncul, langsung

menerobos hatinya. Mendesak ke tempat yang

paling khusus di sana. Dan tidak dapat disingkir
kannya lagi walau dia ingin mengenyahkannya.

* * *

Indah Juwita Purnama, tampil secantik namanya,

bahkan ketika dia belum mengerti artinya cantik.

Orangtuanya amat membanggakan dan memanja
kannya. Guru-gurunya berebut memuji dan men
cubit pipinya yang berlesung pipi. Teman-temannya

amat mengagumi rambutnya yang panjang, hitam

pekat, dan ikal berombak.

Tetapi Aldi Prasetyo paling menyukai matanya.

Mata hitam bening yang selalu bersorot manja

menggemaskan itu, begitu enak dilihat. Lebih-lebih

kalau bibirnya sedang menyunggingkan senyum

menggoda. Rasanya Aldi rela babak belur setiap

hari asal mata itu menatapnya dengan penuh

kecemasan yang berbaur dengan kekaguman.17

Untuk dapat duduk di sampingnya, Aldi harus

menyingkirkan Teguh, temannya yang paling bandel

di kelas. Tetapi itu bukan rintangan bagi Aldi. Baku

hantam perkara biasa baginya.

Sejak kecil dia sudah terbiasa berkelahi untuk

membela Eko, adiknya yang kurus kering dan ber
kacamata tebal itu. Setiap kali ada anak yang meng
ejeknya, anak itu harus berurusan dengan tinju dan

tendangan Aldi.

Ibu memang selalu memarahinya kalau dia ber
kelahi. Tetapi Aldi merasa, di balik kemarahannya,

sebenarnya Ibu merasa bangga. Dan setiap kali dia

membela Eko dengan penuh iba dan kasih sayang,

Ibu sebenarnya mengharapkan Aldi terus-menerus

menjaga dan melindungi adiknya seperti itu.

Aldi pacaran dengan Indah sampai di bangku

SMP. Karena ketika mereka berumur lima belas

tahun, Aldi tertarik kepada seorang wanita yang

lebih dewasa. Dan sejak itu, silih berganti wanita

yang pergi dan datang ke pelukannya.

Tante Yulia, janda kaya yang memeliharanya

sejak Aldi berumur lima belas tahun, mengajari

segala hal yang dibutuhkannya untuk menyempur
nakan penampilannya dan daya tariknya.

Bagi Aldi, Tante Yulia adalah guru, teman,

sekaligus kekasih. Tante Yulia bukan hanya

melimpahinya dengan segala macam hadiah, dia

juga rela membiayai studinya.

Kelas dua SMA, Aldi melanjutkan pelajaran ke

London, karena Tante Yulia menikah dengan18

seorang diplomat yang bertugas di sana. Hubungan

mereka berlangsung tiga tahun, sebelum Aldi me
nemukan seorang wanita lain, yang lebih muda dan

cantik.

Saat itu Aldi sudah dapat bekerja sambil me
lanjutkan kuliah. Tidak tergantung lagi pada

dukungan keuangan Tante Yulia.

Dia mengembara dari pelukan seorang wanita

ke pelukan wanita lain. Keahliannya menaklukkan

wanita semakin berkembang seiring dengan

pertumbuhan tubuhnya yang semakin memikat.

Dan ketika Aldi kembali sepuluh tahun

kemudian, untuk menghadiri pemakaman ibunya,

dia bertemu kembali dengan Indah Juwita. Saat itu

Indah telah menjadi seorang bintang film. Dan dia
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menikah.

"Ita?" sapa Aldi ragu-ragu ketika dia melihat

dara jelita yang sedang duduk di bawah payung

lebar di tepi kolam renang sebuah hotel

internasional.

Gadis yang mengenakan kacamata hitam yang

menutupi hampir separo mukanya itu menoleh. Dan

keangkuhan sikapnya langsung mencair begitu

mengenali Aldi.

Indah segera bangkit sambil melepaskan

kacamatanya. Dan sebentuk wajah yang amat

dikenalinya itu, wajah cantik menawan dengan

sepasang mata yang bersorot manja menggemaskan,

kembali terpampang di depan mata Aldi.19

Indah Juwita Purnama memang masih secantik

masa remajanya dulu. Bahkan kini dia tampak lebih

dewasa dan memukau. Tubuhnya yang dibalut baju

renang warna hijau manyala, tampil begitu meng
giurkan. Dada dan pinggul yang padat berisi,

pinggang yang melekuk ramping, kulit yang putih

mulus, seperti melecut gairah Aldi sampai ke titik

zenit.

Sebaliknya, Indah juga sedang terpukau me
natap pemuda dari masa remajanya. Pemuda yang

telah tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Tampan.

Tinggi. Tegap. Dengan tatapan tajam menguasai,

rahang kokoh dan dagu berlekuk seperti manusia

purba.

Dandanannya modis tapi rapi. Serapi rambutnya

yang tebal, hitam kelam, dan bersih.

"Apa kabar, Ta?" dengan cepat Aldi dapat

menguasai sikapnya, sementara Indah masih rikuh

dibalut rasa terkejut dan tidak percaya. "Sedang apa

di sini?"

Indah menerima uluran tangan laki-laki itu. Dan

ketika genggaman tangan yang kuat itu seolah

menyentakkannya kembali dari masa lalunya, dia

baru mampu menyunggingkan sepotong senyum

patah.

"Syuting."

Mata Aldi langsung melebar. Tentu saja dia

sudah melihat kamera yang tegak di tepi kolam

renang. Dia sudah melihat para kru film yang sibuk20

menata setting untuk adegan berikutnya. Yang Aldi

tidak tahu, Indah-lah bintang filmnya!

"Surprise?" senyum Indah kini menggeliat

menggoda. Ketika tersenyum, matanya ikut berbinar

bangga.

"Tidak juga." Dalam sekejap, Aldi sudah

kembali ke sikapnya yang paten. Santai, kadang
kadang acuh tak acuh, menggemaskan. "Kamu

memang punya bakat kok."

"Siap, Yang?" sela seorang laki-laki separo

baya yang mengenakan topi bisbol. Lelaki itu kurus

dengan jakun menonjol di lehernya dan sebatang

rokok terselip di antara bibirnya.

Begitu tiba di samping Indah, lengannya

langsung terulur merangkul pinggang wanita itu.

Seolah sengaja, Indah merapat manja sambil ter
senyum manis. "Kenalkan Al, Bang Roni Jamal,

produserku, sutradaraku, sekaligus..." Indah

mengerling mesra. "Suamiku."

* * *

"Biasa," Aldi meneguk minumannya dengan santai.

Suaranya datar saja, tanpa emosi. "Jalan pintas di

dunia showbiz."

Saat itu mereka sedang minum di sebuah pub.

Aldi menelepon Indah, mengundangnya minum.

Indah langsung menanggapi, seolah-olah dia

memang sudah beberapa hari menunggu-nunggu

undangan Aldi.21

Dan setelah mengobrol ke sana kemari melepas

kangen, Aldi bertanya dengan sinis, apakah Indah

tidak punya pilihan lain. Sudah tidak ada lelaki

lagikah yang cukup tampan di Jakarta, sampai dia

memilih Roni Jamal, yang posturnya mirip penderita

tbc itu?

"Dia baik dan sangat memperhatikanku," sahut

Indah dengan suara yang sengaja dibuatnya agar

Aldi cemburu.

Tetapi sebaliknya dari cemburu, Aldi malah

mengejek. Dia menuduh Indah mengawini Roni

hanya supaya bisa jadi artis.

"Maksudmu," potong Indah gemas. "Aku bisa

jadi begini karena jadi istrinya?"

Dengan tenang Aldi menatap bekas pacamya.

Tatapannya tidak melecehkan. Tetapi merasa sedang

dinilai, emosi Indah langsung meledak.

"Kamu belum berubah sedikit pun!" dengan

geram Indah bangkit meninggalkan mejanya.

"Semoga ada perempuan yang bisa meremukkan

kesombonganmu!"

Aldi tidak menjawab. Sambil tersenyum tipis,

dia meraih gelasnya. Dari balik gelas minuman itu,

diawasinya Indah yang sedang bergegas pergi

dengan wajah merah padam. Ketika sedang meng
hirup minumannya dengan perlahan-lahan, dia tahu

apa yang akan dilakukannya.

* * *22

"Boleh mengundangmu makan malam?" tanya Aldi

ketika dia berhasil menghubungi Indah melalui

telepon dua minggu kemudian.

"Maaf, aku sibuk," sahut Indah singkat. Dingin.

"Cari saja perempuan lain. Yang bisa kamu jemput

kalau kamu sedang ingin ditemani. Dan kamu

tinggalkan begitu saja kalau sudah bosan."

Aldi tertawa santai. Sama sekali tidak merasa

tersinggung.

"Aku cuma mengundangmu makan malam,

bukan mengajak menikah!"

"Tahu berapa tarifnya mengundang seorang

bintang makan malam?"

"Ada tarif tertentu untukmu?" ejek Aldi sinis.

"Berapa extra-charge-nya kalau sampai pagi ?"

"Sialan kau, Aldi Prasetyo!" teriak Indah sengit.

"Semoga kamu terscdak tulang ikan waktu makan

malam nanti!"

Aldi tertawa di hidung. Tawanya terdengar

sengau melecehkan.

"Kamu tidak takut makan malam bersama

seorang teman lama, kan? Atau... suamimu yang

produser dan sutradara itu menyeleksi juga dengan

siapa istrinya yang bintang film terkenal itu boleh

pergi?"

"Aku boleh pergi dengan siapa saja!" geram

Indah gemas. "Tapi aku tidak mau pergi dengan

kamu!" dengan sengit dibantingnya teleponnya.

Tetapi ketika setengah jam kemudian Aldi

sudah muncul di ruang tamunya dengan membawa23

seikat mavvar kuning, Indah tidak dapat mencegah

keinginan-nya untuk menemui laki-laki itu.

"Kamu benar-benar tidak tahu malu!" sungut
nya dengan kemarahan yang sudah merosot

separonya ketika melihat betapa gantengnya pria itu.

Dan betapa semaraknya mawar di tangannya.

"Gadis yang kuundang untuk menemaniku

makan malam mendadak kena cacar air," sahut Aldi

sambil tersenyum tipis. Disodorkannya mawarnya

dengan gaya yang mengembalikan nostalgia Indah

ke masa lalunya. "Lagi pula dia tidak tahu restoran

tempat kita pacaran dulu masih ada atau sudah

digusur jadi gedung bertingkat!"

* * *

Jika sudah kehilangan sinismenya, Aldi dapat

berubah menjadi makhluk yang sangat hangat dan

romantis. Kadang-kadang Indah bingung, bagai
mana lelaki itu dapat mengubah sikapnya dengan

begitu enaknya.

Tetapi di situlah memang letak salah satu daya

tarik Aldi Prasetyo. Ketika dia membawa Indah

berkeliling mengunjungi tempat-tempat nostalgia

masa remaja mereka, Indah sudah kehilangan tiga

perempat kemarahannya.

Dan tatkala Aldi mendekapnya di lantai disko,

Indah tak tahu lagi ke mana sirnanya kebencian dan

sakit hatinya kepada pemuda itu. Dia merasa24

demikian lengketnya sehingga rasanya tidak ingin

berpisah lagi.

Dia masih menyimpan sisa-sisa sakit hatinya

karena ditinggalkan begitu saja tatkala Aldi

berpaling kepada perempuan lain tiga belas tahun

yang laiu. Tapi jawaban Aldi yang tidak

menyiratkan rasa bersalah sedikit pun, membuat

Indah tidak mampu lagi menggugat.

"Itu pengalaman pertamaku dengan seorang

wanita," kata Aldi terus terang. "Waktu itu, kamu

belum jadi wanita. Tanpa bimbingannya, aku tidak

bisa seperti sekarang."

"Sampai sekarang kamu masih perlu

dibimbing?"

Aldi tertawa perlahan. Bahkan tawanya

demikian memikat hati Indah! Mengembalikan

romantismenya ke masa remaja. Ketika cinta masih

terasa begitu halus, lembut, dan putih seperti kapas!

"Kamu pikir, aku perlu dites?"

* * *

Aldi hanya memerlukan waktu beberapa hari

saja untuk mengembalikan Indah ke dalam

pelukannya. Tetapi menyingkirkan Roni Jamal,

ternyata tidak semudah menyingkirkan Teguh,

teman sebangku Indah ketika SD dulu.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Roni mengetahui siapa yang menggoda

istrinya, dia mengirim orang untuk menghajar Aldi.

Aldi baru saja keluar dari pub ketika tiga orang

pria berbobot delapan puluh kilo langsung25

menyergapnya. Meskipun mahir ilmu bela diri, Aldi

tidak mampu mengalahkan mereka.

Dia dihajar habis-habisan dan nyaris tewas

tertikam pisau kalau tidak keburu datang orang
orang yang melerai perkelahian mereka. Ketiga

tukang pukul itu melarikan diri dengan sebuah

mobil. Dan tanpa mencatat nomor polisi mobil itu

pun, Aldi sudah tahu siapa yang mengirim mereka.

Tetapi membuat Aldi jera, rupanya juga tidak

se-gampang mengancam Marcel, aktor yang

menjadi lawan main Indah di film.

Aldi bukannya jera, malah muncul di rumah

Roni Jamal malam itu juga.

Dadanya masih dibalut. Mukanya babak belur.

Tapi sikapnya tetap garang.

"Sekali lagi kau kirim tukang pukulmu, akan

kukirim kau ke penjara!" ancam Aldi dalam nada

yang membuat Roni harus berpikir dua kali sebelum

menendang pria itu keluar.

"Sekali lagi kau ganggu istriku, akan kukirim

kau ke kamar mayat!" balas Roni sengit.

Tetapi ketika Aldi bangkit menghampiri, Roni

terpaksa mundur dua langkah. Umur pria itu separo

umurnya. Dan tubuhnya dua puluh senti lebih tinggi,

dua puluh kilo lebih berat.

"Indah!" teriaknya dengan suara parau. "Usir

bajingan ini atau kupanggilkan polisi!"

"Kau menyuruh istrimu yang cantik itu untuk

mengusirku?" ejek Aldi sinis. "Dia belum bilang

padamu kami akan segera menikah?"26

* * *

"Maafkan aku, Al," desah Indah setelah permainan

cinta yang panas di rumah Aldi. "Aku terpaksa

mengecewakanmu...."

Aldi merenggut tubuh wanita yang sedang ber
baring memunggunginya itu dengan kasar. Tubuh

Indah tersentak menghadap ke arahnya. Tapi

melihat air mata yang mengalir ke pipinya,

kemarahan Aldi merosot separonya.

"Dia mengancammu?" sergahnya muram.

"Dia cuma tidak ingin menceraikanku."

"Karena kamu masih laku dijual?"

"Karena dia benar-benar masih mencintaiku!"

bantah Indah tersinggung.

"Tapi dia harus tahu kamu sudah tidak men
cintainya lagi!"

Indah terdiam. Dan diamnya membuat ke
marahan Aldi meledak. Dicengkeramnya bahu

wanita itu erat-erat.

"Katakan padaku, Ta!" geramnya sambil

memaksa Indah membalas tatapannya. "Kamu

masih mencintainya?"

Indah memalingkan wajahnya. Membiarkan dua

tetes air mata mengalir turun.

"Dia sangat baik padaku... dia yang membuatku

jadi aktris...."

"Tapi kamu tidak usah membayarnya dengan

menjadi istrinya untuk selamanya!"27

"Aku tidak bisa bercerai kalau dia belum meng
hendakinya, Al!"

"Persetan! Untuk apa melanjutkan pernikahan

kalau kalian sudah tidak saling mencintai lagi? Dia

hanya membutuhkanmu sebagai bintang! Supaya dia

tidak usah membayar honormu lagi!"

Tapi apa bedanya denganku, pikir Indah resah.

Aku juga mengawininya hanya untuk memuaskan

ambisiku menjadi seorang aktris!

"Tinggalkan aku," ancam Roni Jamal sengit.

"Dan kariermu tamat!"

"Kamu cantik dan berbakat," bujuk Aldi

mantap. "Bukan Roni Jamal, pasti ada produser lain

yang memakaimu! Memangnya cuma dia yang

produser? Dia cuma produser kelas kacangan!"

Berhari-hari batin Indah berperang antara cinta

dan ambisi. Dia merasa amat bingung. Tidak

mampu mengambil keputusan. Dan tidak seorang

pun dapat dijadikannya tempat untuk bertanya.28

BAB III

"PRAKTEKMU sepi begini," komentar Aldi begitu

masuk ke kamar praktek adiknya. "Jangankan untuk

hidup, buat menggaji perawat saja tidak cukup!"

Niken yang sedang membenahi seprai di ranjang

pasien pura-pura tidak mendengar pembicaraan

mereka. Padahal sejak Aldi masuk, telinganya sudah

dipasang baik-baik. Entah mengapa, makhluk yang

satu ini begitu menarik perhatiannya. Padahal sikap
nya kadang-kadang menyebalkan.

Lain benar dengan adiknya. Dokter Eko

Prasetyo, walaupun wajahnya jauh dari tampan,

profilnya terlalu tirus dan kacamatanya terlalu tebal,

bodinya pun minus seperti selembar papan, amat

sopan dan lembut.

"Ah, saya kenal Suster Niken bukan baru

setahun-dua," sahut Eko sabar, sama sekali tidak

merasa tersinggung. "Kami pernah bertugas di

rumah sakit yang sama ketika saya masih coschap

sebagai mahasiswa kedokteran. Berhubung calon

suaminya tidak mengizinkan dia kerja di rumah29

sakit setelah menikah nanti, Suster Niken

mengundurkan diri. Dan bekerja di sini."

"Hm," Aldi mendengus acuh tak acuh sambil

melayangkan tatapannya pada perawat muda yang

sedang mendorong meja instrumen ke sisi tempat

tidur itu.

Wajahnya memang manis. Walaupun tidak

disaput make up. Tetapi bodinya kurang. Terlalu

kerempeng. Untung saja dia mengenakan seragam

perawat. Kalau dia memakai bikini, pasti mirip

papan selancar.

"Sudah siap, Nik?" cetus Eko sambil bangkit

dari kursinya. "Mas Aldi mau buka jahitan."

"Sudah, Dok," sahut Niken sopan.

Tanpa menunggu perintah adiknya, Aldi bangkit

menuju ke tempat tidur. Sambil melangkah dia

membuka bajunya. Dan seperti tidak sengaja

menyerahkannya pada Niken.

Dengan gugup Niken menerima kemeja lelaki

itu. Harumnya lotion beraroma tembakau yang

berbaur dengan eau de toiletnya yang menebarkan

wangi rempah-rempah, menyiratkan kesan maskulin

yang menyergap hidungnya. Membangkitkan

sensasi aneh di hatinya. Sebuah sentuhan halus

serasa membelai nuraninya. Membuatnya melayang

walau cuma sekejap.

Dan ketika kesadarannya kembali, sekilas Niken

seperti melihat senyum tipis membayang di bibir

laki-laki itu. Membuat pipinya terasa panas terbakar.30

Buru-buru Niken berbalik untuk menyembunyi
kan wajahnya. Dan Eko tegak tepat di hadapannya.

Matanya yang bersorot heran menatap penuh tanda

tanya dari balik kacamatanya. Untung ada kemeja di

tangan Niken. Dia dapat mengangkat benda itu lebih

tinggi. Dan pura-pura sibuk menggantungkannya di

sekat pemisah ruangan.

Ketika Niken kembali menghampiri tempat

tidur, Aldi sudah berbaring di sana. Eko sedang

sibuk memeriksa luka abangnya.

"Bagus," cetusnya tanpa berusaha menutupi

kekagumannya. "Lukamu sembuh sempurna. Tidak

ada komplikasi. Mas Al memang hebat! Pinset dan

gunting, Nik."

Niken segera menyerahkan alat yang dibutu
hkan dokternya. Dengan cekatan dia membantu

pekerjaan Dokter Eko.

"Perawatmu boleh juga," tukas Aldi ketika

adiknya selesai melakukan tugasnya.

"Oh, Niken memang gesit," Eko tersenyum

sambil mencuci tangan. "Dari dulu semua dokter

puas dengan pekerjaannya."

"Kapan dia kawin?" tanya Aldi acuh tak acuh

sambil turun dari tempat tidur. "Kamu pasti sangat

kehilangan."

"Katanya bulan depan. Tapi kamu nggak

berhenti kan, Nik?"

Niken yang sedang mengantarkan kemeja Aldi

hanya tersenyum tipis.31

"Kalan diizinkan, saya ingin terus bekerja di

sini, Dok."

"Diizinkan siapa?" tanya Aldi sambil menerima

kemejanya. Ditatapnya perawat itu dengan tajam.

Niken balas menatap. Sesaat hatinya terasa

disengat aliran listrik seribu volt ketika mata mereka

bertemu.

"Oleh suami tentu saja, Pak...."

"Sudah saya bilang jangan panggil pak!"

"Maaf...."

"Nama saya Aldi."

Sekali lagi mata mereka bertemu. Tetapi kali ini

Aldi menatap dengan lebih lembut. Dan sekali lagi

listrik itu menyengat. Kali ini malah dengan arus

yang terasa jauh lebih kuat sampai menggetarkan

tangan Niken.

"Saya antar kamu pulang," kata Aldi tegas

setelah mengenakan bajunya. "Kalau kali ini kamu

tolak lagi, saya marah!"

Niken tertegun. Bukan oleh ajakan itu sendiri.

Tapi oleh cara lelaki itu mengajaknya. Ya, Tuhan!
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki apa yang punya kekuasaan begini besar?

Mengapa begitu sulit menolak ajakan yang lebih

mirip perintah itu?

Jauh di sudut ruangan, dekat wastafel, Eko

menatap abangnya dengan perasaan tidak senang.

Tetapi dia pun tidak mampu membuka mulutnya.

* * *32

"Di sini saja, Pak... eh, Mas," cetus Niken gugup, di

depan gang rumahnya. "Rumah saya masuk ke

dalam sedikit...."

"Tidak masuk mobil?" tanya Aldi sambil

menepikan mobilnya.

"Tidak muat. Tidak apa-apa kok. Di sini saja."

"Saya antarkan kamu ke dalam."

"Oh, tidak usah!" protes Niken kaget.

Aldi menoleh sekilas.

"Kalau saya mengantarkan seorang gadis, saya

selalu mengantarkannya sampai ke depan rumah."

"Tapi..."

Tapi Aldi sudah mematikan mesin mobilnya.

Dia turun dengan mantap. Dan membuka pintu

untuk Niken. Diperlakukan seperti itu, Niken jadi

tambah gugup. Keringat membanjiri sekujur tubuh
nya. Kaki dan tangannya terasa dingin.

Lebih-lebih ketika Aldi mengulurkan tangan

untuk membimbingnya. Sekejap Niken jadi salah

tingkah. Dan tidak tahu harus menerima atau

menolak uluran tangan itu.

Aldi-lah yang meraih tangannya ketika dilihat
nya gadis itu bengong sekejap. Lalu tanpa ragu

sedikit pun, dibimbingnya tangan Niken.

Tangan gadis itu terasa dingin dalam

genggamannya. Dan Aldi tahu sekali, bukan dingin
nya malam yang menyebabkannya. Diam-diam, dia

tersenyum tipis.33

Ketika angin malam berkesiur agak kencang,

tanpa bertanya lagi Aldi membuka jaketnya dan

menyelubungkannya ke tubuh Niken.

Niken merasa lehernya tercekik. Sehingga untuk

mengucapkan terima kasih pun dia tidak mampu....

Lebih-lebih tatkala lengan pria itu melingkari

bahunya setelah menyelubungkan jaket. Dan seperti

tidak sengaja, meraih tubuhnya lebih merapat.

Gerakan Aldi begitu enak. Begitu mantap. Sama

sekali tidak berkesan kurang sopan sampai Niken

tidak merasa dikurangajari. Dia malah merasa

dimanjakan. Dilindungi. Dan sebuah perasaan lain...

perasaan yang selama ini belum pernah dirasa
kannya, menyelusup ke relung hatinya yang paling

gelap....

Dan untuk pertama kalinya, Niken merasa segan

ketika melihat pintu pagar rumahnya. Tak sadar,

kakinya melangkah lebih pelan.

Tentu saja Aldi merasakannya. Dan dia tahu apa

sebabnya. Dia terlalu berpengalaman. Apalagi

menghadapi seorang gadis sehijau Niken. Perasaan

gadis itu seperti sebuah buku yang terbuka di

hadapannya.

"Ini rumah saya," suara Niken tersendat, nada
nya mirip keluhan. "Terima kasih telah mengantar
kan saya, Mas Aldi...."

Aldi melepaskan rangkulannya di bahu Niken.

Digenggamnya tangan gadis itu, kuat tapi lembut.

"Selamat malam," suaranya terdengar begitu

sopan dan hangat sampai Niken serasa tidak mem-34

percayai pendengarannya sendiri. Bagaimana pria

yang tampak begitu kasar dan urakan mampu ber
sikap seperti ini?

Tak ada lagi pria menyebalkan yang tampil

begitu macho dan kurang ajar. Yang tatapannya

tajam bagai binatang buas. Sikapnya acuh tak acuh

menyepelekan.

Yang tampil di depannya kini, seorang ksatria

yang lembut dan santun. Yang mampu mem
perlakukan seorang gadis sedemikian rupa sampai

gadis itu rasanya ingin menangis karena terharu dan

bahagia.

Sesaat sebelum pergi, Aldi malah menatapnya

dengan tatapan yang begitu hangat mengundang.

Senyumnya sopan memikat. Dia malah seperti tidak

sengaja meninggalkan jaketnya. Membuat Niken

yang memang sedang terpukau lebih tidak dapat lagi

melupakannya.

Tanpa ragu sedikit pun, Aldi memarkir motor
nya di depan rumah Indah.

"Ibu ada?" tanyanya mantap pada pelayan yang

membukakan pintu.

Tanpa berkata apa-apa, pelayan itu melebarkan

pintu dan mendahului masuk ke dalam. Aldi meng
ikutinya ke ruang tamu. Dan matanya menyipit ke
tika melihat Roni Jamal sudah menunggu di sana.

"Selamat sore," sapa Aldi dingin. "Tidak ada

syuting?"

"Indah!" panggil Roni tanpa mengacuhkan

sapaan Aldi. "Tamumu sudah datang!"35

Aldi sudah merasa, sesuatu yang tidak

menyenangkan bakal terjadi. Tetapi sikapnya tetap

santai. Tanpa menunggu dipersilakan, dia duduk

dengan tenang di depan Roni. Baik cara duduknya

maupun sikapnya memperhhatkan rasa percaya diri

yang begitu besar, sampai mau tak mau Roni merasa

kagum.

"Spesial tidak syuting untuk menjadi penerima

tamu istrimu?" senyum Aldi tidak melecehkan, tapi

cukup menyakitkan hati Roni. "Perlu satpam?"

"Ada sesuatu yang akan dikatakannya padamu!"

sergah Roni menahan marah. "Sesuatu yang akan

membuatmu tidak kembali lagi ke rumah ini!"

"Kaupikir ada yang bisa menahanku?"

Suara Aldi begitu tenang dan mantap. Sama

tenang dan mantapnya dengan sikapnya ketika dia

berdiri menyambut Indah.

"Selamat sore," sapanya hangat. "Kamu cantik

sekali."

"Kita harus bicara, AI," sergah Indah gugup.

Matanya merah menahan tangis.

"Bertiga?" Aldi melirik Roni dengan tatapan

yang membuat suami Indah naik darah. "Di sini?"

"Dengar, Bung!" geram Roni sambil bangkit

menghampiri Aldi dengan ganas. "Siapa kaupikir

dirimu ini? Kau sedang bicara dengan istriku!"

"Calon mantan." Senyum berbahaya menggeliat

di bibir Aldi. "Sebentar lagi dia akan jadi istriku!"36

"Katakan padanya, Indah!" Roni mengepalkan

tinjunya dengan sengit. "Katakan padanya sekarang

juga!"

"Beri saya waktu," pinta Indah menahan tangis.

"Saya harus bicara berdua saja!"

* * *

"Apa maksudmu tidak jadi bercerai?" desak

Aldi gusar. "Dia mengancammu? Kalau dia berani

menyentuh sehelai saja rambutmu..."

"Bukan jiwaku, Al!" desis Indah getir. "Karier
ku!"

Aldi tidak jadi membuka mulutnya. Tiba-tiba

saja rahangnya mengejang. Lambat-lambat dia

menyandarkan punggungnya ke kursi. Napasnya

yang sempat tertahan sejenak terasa panas melewati

rongga hidungnya.

Karier! Karier! Kariernya sebagai bintang film!

Itu yang tak dapat ditinggalkan Indah Juwita Purna
ma, aktris yang sedang naik daun!

"Bang Roni yang menemukanku, Al! Dia yang

membuatku jadi bintang! Kalau aku meninggalkan
nya sekarang, karierku habis! Masa depanku

amburadul!"

"Maksudmu," Aldi mengatupkan rahangnya

menahan marah. "Kamu harus tetap menjadi istrinya

supaya dapat terus menjadi bintang film?"

"Aku baru mulai, Al. Jika aku meninggalkan dia

dan membatalkan kontrak..."37

"Kamu tidak perlu membatalkan kontrak kalau

bercerai!"

"Bang Roni sudah bersumpah akan meng
hancurkan karierku kalau aku meninggalkannya!"

"Bagaimana caranya? Melarang semua produser

memakaimu dalam produksi mereka? Kamu pikir

suamimu sehebat itu? Bah! Dia boleh coba!"

"Siapa yang mau memakaiku, Al? Filmku baru

dua. Dua-duanya miliknya. Dan belum beredar. Dia

sudah sesumbar akan memetieskan film itu! Tidak

peduli berapa kerugian yang harus ditanggungnya!"

"Omong kosong, Ta! Dia hanya mengancammu!

Percaya padaku! Tidak ada produser yang cukup

gila menanggung kerugian sebesar itu! Kamu tahu

berapa ongkos produksi sebuah film? Suamimu

masih waras, Ta! Dia lebih baik mencari istri lagi

daripada bangkrut!"

"Tapi aku takut, Al!" desah Indah lirih.

"Tolonglah aku! Beri aku kesempatan... sekali ini

saja! Jika karierku sudah mantap..."

Baru kau kembali padaku, geram Aldi dalam

hati. Cinta macam apa itu? Dapatkah cinta menga
lah pada karier? Pada masa depan?

* * *

Aldi bukan tipe pria cengeng yang menangisi nasib

kalau ditinggalkan kekasih. Bagi seorang lelaki

seperti dia, wanita pergi dan datang dalam

kehidupannya seperti bus keluar-masuk terminal.38

Sejak kecil, sakit dan perjuangan sudah menjadi

sahabatnya. Hampir tak ada hari yang lewat tanpa
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkelahian. Luka dan babak belur sudah hampir tak

dirasakan lagi.

Ayah Aldi menghilang ketika Eko masih dalam

kandungan. Dan sejak itu, ingatan ibu Aldi seperti

agak terganggu walaupun tidak gila.

Dia masih bekerja sebagai penjahit. Dan karena

hasil jahitannya bagus, langganan-langganannya

tidak peduli biarpun kadang-kadang bicaranya agak

kacau.

Ketika Eko lahir, Aldi yang baru berumur

setahun sudah harus belajar hidup sendiri dalam

boksnya yang sepi. Dia harus berjuang sendiri

mengisi hari-harinya yang sepi. Dan karena sejak

kecil hidupnya memang sulit, tak ada kesulitan yang

terlalu besar yang dapat meremukkan Aldi. Tak ada

hambatan yang tak dapat ditanggulanginya. Juga

ketika Indah Juwita Purnama, cintanya yang

pertama, meninggalkannya karena memilih karier

daripada cinta.39

BAB IV

"ADA apa, Nik?" tanya Bambang heran. "Makan
mu sedikit sekali. Nggak ada selera sama sekali.

Sakit?"

"Ah, cuma kenyang," sahut Niken datar. "Tadi

siang makan ketoprak sih."

"Ketoprak lagi? Wah, sekali-sekali mesti kamu

ajak aku makan ketoprak di dekat rumahmu! Atau

kamu mesti belajar supaya bisa membuatkan

suamimu nanti!"

Niken hanya tersenyum tipis. Senyumnya terasa

hambar. Bambang mengawasi calon istrinya dengan

cermat.

"Ada apa? Kamu tidak bisa mendustai aku, Nik!

Pasti ada urusan yang membuatmu gundah!"

"Ah, nggak ada apa-apa."

"Doktermu yang seperti orang sakit jiwa itu?"

gurau Bambang sambil tersenyum geli. "Sudah

kubilang, jangan kerja sama dia! Dia orangnya

aneh!"

"Dokter Eko baik sekali, jangan menghina!"

bantah Niken kesal. Lagi pula bukan dia

penyebabnya... tapi kakaknya....40

"Sori, cuma guyon kok!" Bambang tersenyum

lebar. "Dia memang baik sekali. Cuma rada aneh.

Belum punya pacar, Nik?"

"Apa anehnya kalau dia belum punya pacar?"

"Nggak aneh kalau dokter muda seperti dia

belum punya pacar? Dia bukan gay, kan?"

"Tampangnya memang minus. Tapi dia sangat

baik. Sopan. Lemah lembut. Gadis yang akan

menjadi istrinya pasti perempuan yang beruntung."

"Makanya aku melarangmu bekerja padanya

terus!"

Tapi sainganmu bukan dia, keluh Niken dalam

hati. Saingan beratmu malah belum pernah kaulihat!

Dia yang justru berbahaya....

Dia yang membuatku sulit tidur setiap malam.

Dia yang membuatku seperti melupakanmu. Dia

malah yang membuatku ingin membatalkan

pernikahan!

Betapa tidak? Bagaimana aku dapat menikah

denganmu kalau melihat sehelai jaket saja sudah

dapat memancing gairahku? Kalau tanpa melihat

orangnya saja aku sudah dapat mencium aroma

lotionnya, eau de toiletnya. Bagaimana aku dapat

menjadi istri seorang laki-laki dengan bayangan

lelaki lain di kepalaku?

"Lekas habiskan makananmu, Nik. Aku ingin

mengajakmu melihat contoh-contoh kartu undangan.

Gila, sebulan lagi menikah, undangan saja kita

belum punya!"41

"Mas," cetus Niken tiba-tiba setelah lama ter
diam. "Kalau aku berterus terang padamu, kamu

tidak marah?"

Bambang mengangkat wajahnya dengan

terperanjat. Ketika matanya bertemu dengan mata

gadis itu, dia sudah merasa, sesuatu yang hebat telah

memorakporandakan rencana mereka.

"Mas, kalau aku ingin menunda perkawinan

kita, Mas nggak marah, kan?"

* * *

"Tidak jadi menikah?" cetus Eko kaget. Matanya

menyipit di balik kacamata tebalnya.

"Bukan tidak jadi," bantah Niken jengah.

"Hanya diundur kok, Dok."

"Diundur sampai kapan? Kenapa?"

"Saya masih perlu waktu untuk memikirkan
nya."

"Diundur sampai waktu yang tidak tertentu, kan

sama saja dengan batal!"

Heran. Barangkali hanya perasaan Niken saja.

Tetapi... mengapa dia seperti mendengar nada lega

dalam suara Dokter Eko?

"Saya hanya tidak ingin terburu-buru menikah,

Dok," kilah Niken sambil memalingkan wajahnya.

"Takut menyesal."

"Tidak menyesal kalau calon suamimu yang

ganteng itu keburu diambil orang?"42

"Ah, kalau sudah jodoh, masa ke mana sih,

Dok?"

"Mas Bambang-mu setuju? Dia mau saja

menunda pernikahan kalian?"

"Agak kesal sih. Tapi dia kan tidak bisa

memaksa saya."

"Kamu pasti punya alasan yang cukup kuat,"

Eko mengawasi perawatnya dengan curiga.

"Tunggu apa lagi? Bambang sudah jadi insinyur.

Umurmu sudah dua empat. Sudah matang untuk

menjadi seorang istri dan ibu."

"Saya hanya belum merasa sreg," sahut Niken

resah.

"Perasaan takut semacam itu kan biasa buat

calon mempelai, Nik! Jangan sampai kamu

terlambat menikah gara-gara pikiran yang bukan
bukan!"

"Saya hanya khawatir, Mas Bambang bukan

calon suami yang cocok untuk saya, Dok...."

"Bambang kurang apa lagi, Nik? Dia sudah

meraih gelarnya, hidupnya sudah mapan, dan kalian

sudah tiga tahun pacaran, kan? Kamu tunggu lelaki

yang seperti apa lagi?"

Niken tidak mampu menjawab. Tetapi ketika

bayangan lelaki itu selintas lewat di depan matanya,

mukanya tiba-tiba terasa panas. Dan melihat paras

Niken yang memerah, secercah perasaan tidak enak

menyelinap ke hati Eko.

* * *43

Eko anak bungsu yang amat dekat dengan ibunya.

Meskipun menurut pendapatnya, Ibu lebih

menyayangi Aldi yang kuat dan jantan, sebenarnya

Eko-lah yang lebih lengket dengan ibunya.

Sejak Eko dalam kandungan, ayahnya sudah

pergi meninggalkan mereka. Satu-satunya tempat

pelampiasan kasih dan kesepian ibunya adalah Eko.

Dan karena jiwa ibunya agak terganggu sejak

ditinggalkan suaminya, kadang-kadang caranya

memperlakukan anak bungsunya pun agak berbeda

dengan cara ibuibu lain memperlakukan anak

mereka.

Tidak heran kalau sejak kecil Eko tumbuh ber
beda dari kakaknya. Yang aneh bukan hanya postur

tubuhnya, kadang-kadang sifatnya juga.

Eko bisa bersikap hangat dan lembut pada suatu

saat. Tetapi di saat lain, dia bisa dingin dan kaku

tanpa emosi. Amat sulit menerka apa yang diingin
kannya. Lebih sulit lagi menjabarkan mengapa dia

melakukan hal ini, bukan hal itu.

Karena tubuhnya kecil dan lemah, mukanya

aneh, lebih-lebih setelah dia berkacamata tebal sejak

kecil akibat strahismus-nya, Eko sering menjadi

bahan olok-olok teman-teman sekolah dan tetangga
nya.

Aldi-lah yang selalu membela dan melindung
inya. Ketergantungan Eko terhadap abangnya,

tumbuh berbareng bersama rasa irinya atas

kelebihan-kelebihan Aldi, menimbulkan ambivalen-44

si yang bertumbuh seiring dengan perkembangan

fisik dan mentalnya.

Jika Aldi lebih tanggap, seharusnya dia sudah

menyadari keanehan adiknya sejak dulu. Tetapi dia

terlalu menggampangkan sesuatu. Tidak peduli

dengan hal-hal yang dianggapnya remeh. Dia terlalu

sibuk dengan urusannya sendiri. Dunianya sudah

terlampau marak disesaki problem dengan wanita
wanita cantik.

"Niken!"

Suara itu tidak terlalu keras. Tapi di telinga

Niken, ledakannya sekeras bom. Dia menoleh begitu

cepatnya sampai lehernya terasa sakit.

"Kaget?"

Lelaki itu muncul dari tempat gelap. Dan Ni-en

sudah dapat menghirup aroma tembakau yang

berbaur dengan wangi rempah-rempah itu sebelum

wajahnya jelas terlihat.

"Boleh mengantarmu pulang?"

"Ah...," desah Niken gugup. Seluruh per
bendaharaan kata seperti lenyap dari otaknya. Dia

tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun, biar
pun yang paling sederhana. Tubuhnya terasa panas
dingin seperti kena serangan malaria.

Aldi membuka pintu mobil untuk Niken, seolahJangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olah dia sudah yakin, gadis itu tidak bakal menolak

ajakannya. Dan seperti kena sihir, Niken masuk ke

mobil dengan patuh.45

"Belum terlalu malam," kata Aldi sambil

mengemudikan mobilnya. "Sudah tidak ada

pasien?"

"Cuma satu," sahut Niken dengan susah payah.

Aduh, mengapa begini sulitnya untuk membuka

mulut saja?

"Kasihan Eko," gumam Aldi tanpa rasa iba

sedikit pun. "Salahnya sendiri. Siapa suruh mau jadi

dokter."

"Dokter Eko kan baru buka praktek, pantas saja

kalau masih sepi," entah mengapa, begitu men
dengar dokternya dicela, kata-kata langsung

mengalir lancar dari mulut Niken. "Saya yakin,

beberapa tahun lagi, prakteknya pasti laku!"

"Hm," Aldi tersenyum tipis. "Kelihatannya

adikku punya seorang fans."

"Dokter Eko pintar dan ramah. Masa depannya

pasti cerah."

"Kalau begitu, mengapa tidak memilihnya?"

Niken menoleh dengan terkejut. Tepat saat itu,

Aldi berpaling sekilas. Mereka beradu pandang se
kejap.

"Boleh tanya? Jangan jawab kalau tidak mau."

"Soal apa?"

"Kalau kamu begitu mengagumi Eko, mengapa

harus menikah dengan orang lain?"

"Saya menghormati Dokter Eko," sahut Niken

setelah lama terdiam. "Tapi tidak mencintainya."

"Juga kalau Eko mengharapkanmu?"46

"Antara saya dan Dokter Eko hanya ada

hubungan profesi. Kami saling menghormati. Tapi

tidak lebih dari itu."

"Kalau begitu, saya baru berani mengundangmu

minum."

Niken menatap Aldi dengan bengong. Tetapi

yang ditatap hanya tersenyum tipis.

"Saya memang playboy. Tapi kalau wanita itu

gadis adik saya, saya akan mencari perempuan lain."

* * *

Aldi bukan hanya membawa Niken minum. Dia

mengajaknya ke disko. Dan sesudah melewati

setengah malam bersama laki-laki itu, rasanya

Niken tidak menyesal sekalipun dia harus mem
batalkan pernikahannya.

"Kujemput besok jam tujuh," kata Aldi ketika

dia mengantarkan Niken sampai ke depan pintu

rumahnya.

"Jangan!" protes Niken kaget. "Aku bisa dipecat

Dokter Eko!"

"Cuma ada satu jalan untuk menghindarinya,"

Aldi tersenyum santai.

"Minta izin?"

"Minta berhenti!"

"Dan kehilangan satu-satunya pekerjaanku?"

"Apa bedanya? Kamu kan akan segera

menikah!"47

"Baru saja aku berpikir untuk membatalkan
nya!"

"Kata siapa kamu bisa membatalkan per
nikahanmu?"

"Mas Bambang sekalipun tidak berhak

memaksaku menikah!"

"Tentu saja tidak! Karena kamu tidak akan me
nikah dengan dia!"

Ketika Niken sedang tertegun bingung, Aldi

meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Dan

melancarkan sebuah ciuman kilat.

"Kamu akan menikah denganku," bisiknya

lembut. "Selamat malam, Niken. Sampai besok. Jam

tujuh."

Lama sesudah laki-laki itu lenyap, Niken masih

tertegun bengong di depan pintu rumahnya. Malam

sudah larut. Sudah lewat tengah malam. Gang di

depan rumahnya sudah sepi. Angin dingin bertiup

menusuk tulang.

Tetapi Niken seperti tidak merasakan apa-apa.

Tidak merasa takut. Tidak merasa dingin. Bahkan

tidak merasa mengantuk.

Sukmanya seperti melayang-layang ke langit

ketujuh. Hatinya hangat dibelai kebahagiaan. Dada
nya bergolak oleh gairah bercarnpur haru.

Ya Tuhan! Makhluk yang paling luar biasa yang

pernah dijumpainya itu, lelaki paling hebat yang

pernah dicintainya... melamarnya!

* * *48

"Ada apa?" tanya Eko heran. "Dari tadi lihat jam

terus! Ada janji?"

"Kalau boleh...," gumam Niken gugup. "Saya

ingin minta izin, Dok...."

Belum habis Niken bicara, pintu kamar praktek

diketuk dua kali. Tanpa menunggu perawatnya lagi,

Eko membuka pintu. Dan dia tertegun bingung.

Begitu banyak karangan bunga memenuhi ruang

tunggunya yang kosong melompong. Dan di tengah
tengah bunga yang menggunung, seorang anak

muda menyodorkan sehelai kertas.

"Untuk Suster Niken Ardini," katanya sopan.

"Tolong ditandatangani, Dok."

"Apa-apaan ini?" sergah Eko marah. "Siapa

yang bikin lelucon seperti ini di tempat praktek

saya?"

Dengan sengit dia merenggut kartu yang

melekat di salah satu karangan bunga yang paling

dekat. Dan dahinya langsung berkerut ketika

membaca pesan yang tertulis di sana.

"Niken Ardini, maukah kamu menikah dengan

saya?"

Eko menyerahkan kartu itu dengan gemas pada

Niken yang sedang tertegun bengong di sisinya.

"Bilang sama Mas Bambang-mu, kalau mau

bikin lelucon, jangan di tempat praktek saya!"

Tetapi Niken seperti tidak mengacuhkan

kemarahan dokternya. Matanya langsung berkaca
kaca. Sementara pipinya merona merah. Dan

bibirnya mengulum senyum.49

"Bukan Mas Bambang yang mengirimnya,

Dok," desahnya bahagia campur haru. Sesudah itu

dia tidak mampu berkata apa-apa lagi.

* * *

"Jangan permainkan Niken, Mas!" geram Eko men
ahan marah begitu dia dapat menemukan abangnya.

"Dia bukan gadis yang cocok untuk dipermainkan!"

"Kata siapa aku mau main-main?" sahut Aldi

sabar. "Kalau cuma mau main-main, buat apa

melamarnya?"

"Kamu gagal mengejar Indah Juwita Purnama!

Karena itu kamu alihkan libidomu pada sembarang

perempuan yang lewat!"

"Kata siapa Niken Ardini perempuan

sembarangan? Kamu terlalu menyepelekannya!"

"Justru karena aku menghormatinya, Mas, aku

kasihan padanya kalau dia sampai jadi korbanmu

yang kesekian!"

"Kata siapa dia akan kukorbankan?" dengus

Aldi santai. Dia melanjutkan latihan binaraganya

tanpa memedulikan kemarahan adiknya.

"Aku tidak rela kamu perlakukan Niken seperti

ini, Mas!"

"Seperti apa?"

"Jangan ganggu dia!"

"Mengganggukah namanya melamar seorang

gadis untuk menjadi istriku?"

"Aku tahu kamu tidak serius, Mas!"50

"Aku malah belum pernah seserius ini!"

"Niken sudah hampir menikah dengan seorang

insinyur, Mas! Dan Bambang seorang lelaki yang

baik! Jangan sia-siakan hidupnya hanya untuk

kesenanganmu!"

"Dengar baik-baik, Eko!" bentak Aldi habis

sabar. "Kamu setuju atau tidak, aku tetap akan

mengawini perawatmu! Satu-satunya pertanyaanku

sebelum melamarnya hanyalah, ada hubungan apa di

antara kalian!"

Lama Eko tertegun menatap abangnya. Rahang
nya mengejang kaku. Wajahnya pucat dan kosong.

* * *

"Sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya Eko datar

di depan meja tulis di kamar prakteknya. "Kamu

tidak tahu seperti apa bejatnya moral kakakku."

"Saya mencintainya, Dok," Niken menunduk

dengan paras memerah.

"Cinta!" cetus Eko dengan suara melengking.

"Kamu baru sebulan mengenalnya!"

"Saya jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya,

Dok," desah Niken terus terang. "Setelah hari itu,

saya terus-menerus memikirkannya...."

"Bukan cuma kamu yang pernah merasakannya,

Nik! Tapi aku tidak rela kamu jadi korban seperti

mereka!"51

"Jika saya harus memilih, Dok, saya memilih

menderita asal boleh tetap mencintainya daripada

kehilangan kesempatan untuk memiliki cintanya."

"Perempuan!" dengus Eko sengit. "Kalian

benar-benar bodoh!"

"Jika cinta berarti kebodohan, saya tetap akan

memilihnya, Dok. Daripada hidup dalam

kegersangan tanpa cinta."

Eko mengawasi perawatnya dengan mata
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbelalak gusar. Urat-urat wajahnya menyembul

meredam ledakan kemarahan di dadanya.

Terus terang, Niken terkejut. Belum pernah dia

melihat Eko dalam keadaan seperti itu. Tiba-tiba

saja dia seperti berubah menjadi monster.

"Kamu akan menyesal!" desisnya seorang diri

ketika Niken telah meninggalkan kamar prakteknya.

"Air matamu akan runtuh sebanyak tetes-tetes

cintamu! Suatu hari, akan kamu kutuki hari per
temuanmu dengan dia!"52

BAB V

SEJAK sebelum menikah pun, Niken tahu,

suaminya yang satu ini lain dari yang lain. Aldi

bukan Bambang, yang penurut dan gampang diatur.

Aldi sangat posesif dan amat dominan sebagai

suami. Keinginannya harus selalu dituruti. Bahkan

kadang-kadang keinginan yang amat bertolak be
lakang dengan kehendak Niken.

Ketika orangtua Niken yang tinggal di Tegal

menginginkan pesta pernikahan, betapapun

sederhananya, Aldi malah membawa mempelainya

menikah tamasya ke Inggris.

Dan jika Niken mengira mereka akan berbulan

madu di sebuah kota metropolitan seperti London,

sekali lagi dia harus gigit jari. Aldi membawa

istrinya ke County Durham, daerah pedesaan di

sebelah utara York.

Di sana mereka tinggal di sebuah pesanggrahan

di luar kota Durham, sebuah bangunan kuno dari

abad ketujuh belas, dengan deretan kamar besar

yang seperti berhantu. Padahal kalau boleh memi
lih, Niken lebih suka tinggal di hotel berbintang

yang modern dan tidak menakutkan seperti ini.53

Kamar mereka terletak di tingkat dua, dengan

jendela besar yang bertirai tebal. Ranjang dan per
abotan di kamar itu terbuat dari kayu, besar, berat,

dan kuno. Kalau malam, penerangan yang redup di

kamar itu menciptakan bayang-bayang yang

menyeramkan di benak Niken.

Yang Iebih keterlaluan lagi, Aldi tidak

mengizinkan Niken mengenakan gaun pengantin

yang biasa untuk malam pertama mereka di sana.

Dia menyuruh istrinya mengenakan busana bergaya

Tudor, yang membuat Niken merasa dirinya

menjelma menjadi Anne Boleyn, istri Henry VIII

yang dipancung di Tower of London pada abad

keenam belas. Entah dari mana Aldi memperoleh

gaun itu, dan dari mana dia mempunyai ide yang

begitu kontroversial.

"Supaya pinggulmu yang kecil tertutup gaun,"

katanya santai ketika Niken memperlihatkan

keengganannya mengenakan busana itu. "Dan

supaya cocok dengan suasana di sini."

Akhirnya Niken mematuhi juga keinginan

suaminya. Peduli apa. Toh tidak ada seorang pun

yang dikenalnya di sini! Dia hanya perlu

menyenangkan suaminya. Habis perkara!

Seperti belum puas menata istrinya, Aldi

menyuruh Niken menata rambutnya sesuai dengan

model bajunya. Dan sesudah Niken benar-benar

menjelma menjadi Anne Boleyn, Aldi memotretnya

habis-habisan.54

"Kita akan menciptakan foto pengantin yang

paling unik," katanya puas.

Walaupun Niken lebih suka dipotret dalam

busana pengantin Jawa, dia tidak berani membantah.

Barangkali beginilah imajinasi Aldi sejak masa

remaja yang dilewatinya di Inggris. Sakit,

barangkali. Tapi kalau sakitnya cuma sekian, Niken

masih dapat menerimanya.

Sebagai seorang perawat, Niken tahu betapa

banyaknya pria yang mengidap deviasi seksual.

Permintaan mereka sering aneh-aneh. Kelakuan seks

mereka pun berbeda. Jadi kalau keganjilan Aldi

hanya menyuruh istrinya memakai pakaian tertentu

yang sesuai dengan imajinasinya, oke-oke sajalah.

Lagi pula apa pun yang diperintahkan Aldi

padanya, bagaimanapun enggannya kadang-kadang

Niken memenuhi keinginannya, dia tidak pernah

menyesal mengawini laki-laki itu.

Di luar ide-idenya yang nyentrik, Aldi sangat

menarik. Dia romantis, kadang-kadang dengan

romantisme yang unik. Misalnya saja, dia memper
siapkan makan malam berdua saja dengan mem
pelainya, di sebuah ruangan yang mirip ruang

makan istana, lengkap dengan lampu-lampu kristal

kuno, lilin-lilin bernyala di atas tempat lilin yang

besar dan antik, serta sederetan pelayan yang

mengenakan busana kerajaan lnggris dari abad

keenam belas.

Selesai santap malam yang romantis, Aldi mem
bawanya menikmati indahnya malam di lapangan55

rumput yang luas yang mengitari bangunan itu.

Sepinya suasana, hampir tidak kelihatan sepotong

bayangan pun di sana, membuat mereka merasa

dunia ini memang hanya diciptakan untuk mereka

berdua.

Aldi membimbingnya menyeberangi lapangan

rumput, meniti jembatan kayu yang terbentang di

atas sepotong sungai dangkal di belakang

pesanggrahan, dan sambil saling rangkul menerobos

pagar kayu yang memisahkan kompleks bangunan

itu dari dunia luar.

Ketika kembali, karena gelapnya suasana,

mereka tidak dapat menemukan tempat mereka

keluar. Tetapi Aldi tidak pernah mengeluh. Tanpa

permisi, dia merengkuh pinggang istrinya sampai

Niken memekik antara geli dan kaget.

Sambil tertawa Aldi memondong tubuh istrinya,

dan mendorongnya ke atas pagar. Kemudian dia

sendiri ikut memanjat naik.

Ketika gaun Niken yang panjang dan lebar ter
sangkut di pagar, tubuhnya tergelincir ke bawah

pagar. Dia memekik lagi, kali ini karena ngeri.

Tetapi Aldi dengan sigap merengkuh istrinya.

Niken melingkarkan lengannya ke leher suamin
ya sambil mendesah lega. Mukanya pucat karena

kaget dan takut. Tapi Aldi malah menertawakannya.

Diciumnya bibir istrinya dengan mesra.

"Selamat datang kembali di rumah, Sayang,"

bisiknya hangat. "Tidak menyesal jadi istriku, kan?

Kalau jadi istriku, kamu harus siap bertualang!"56

Dan ketika Aldi merebahkannya di atas rumput,

meskipun kalau boleh memilih, Niken lebih suka

merebahkan diri di atas kasur yang empuk, Niken

merasa kebahagiaannya telah sempurna. Dia tidak

merasa menyesal sama sekali, sekalipun dia harus

membayar mahal kenikmatan ini.

Aldi menelungkup di atas tubuhnya. Tangannya

membelai mesra pipi Niken. Sorot matanya begitu

lembut mengasihi.

Niken merasa hatinya begitu damai. Begitu

teduh. Begitu penuh cinta. Sepotong langit hitam

menudungi kepala mereka. Ratusan bintang ber
taburan sambil sekali-sekali berkedip seperti

mengucapkan selamat.

Aldi tidak menunggu lagi untuk membelai

istrinya dengan hangat. Mencumbunya dengan

mesra. Dan membuat Niken lupa di mana dia

berada.

Ketika cumbuan Aldi menerbangkannya ke

awang-awang, melambungkannya ke langit ketujuh,

Niken tidak menyesal telah memutuskan hubungan
nya dengan Bambang yang telah berlangsung tiga

tahun.

Selama tiga tahun, entah sudah berapa kali

Bambang mengucapkan cinta, sesuatu yang tak

pernah dilakukan Aldi selama ini. Tapi bahkan

ketika Bambang sedang menatapnya dengan lembut,

hati Niken tidak pernah bermekaran seperti ini.

Sukmanya tak pernah mendesah minta dipuas
kan. Tubuhnya tak pernah meminta lebih.57

Dengan Aldi, segalanya terasa berbeda. Aldi

mampu menyuguhkan permainan cinta yang meng
getarkan, yang membuat Niken tidak menyesal

seandainya pun dia harus menukar kenikmatan itu

dengan jiwanya.

Aldi bukan hanya mampu membuat Niken

ketagihan dan mabuk kepayang. Dia pun mampu

membuat Niken rela melakukan apa pun demi sua
mi yang dicintainya.

Dalam keadaan seperti itu, rasanya Niken rela

menyerahkan segala-galanya untuk Aldi. Apa pun

yang dipinta suaminya akan dipasrahkannya.

Juga ketika sepulangnya ke Jakarta, Aldi

menyuruhnya mengikalkan rambutnya. Mengecat

hitam rambut aslinya yang merah kecokelatan. Dan

mengguntingnya supaya mirip seorang bintang film

muda yang sedang naik daun.

Bukan hanya itu. Aldi menuntutnya agar

memutihkan kulitnya. Membesarkan dada dan

pinggulnya, tidak peduli melalui latihan fisik atau

operasi sekalipun.

Tetapi ketika Eko mendengarnya, dia marah

sekali.

"Dia ingin mengubahmu menjadi orang lain!"

geram Eko kesal. "Seseorang yang didambakannya

tapi tidak dapat dimilikinya!"

"Mas Aldi hanya menginginkan istrinya terlihat

menggiurkan," kilah Niken kemalu-maluan. "Dada

dan pinggul saya memang terlalu tipis."58
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk itu, Niken berjuang keras memenuhi

keinginan suaminya. Demi memacu gairah Aldi, dia

rela diapakan sekalipun. Bahkan ketika Aldi

menyuruhnya meniru gaya dan dandanan aktris

idolanya, Niken tidak keberatan. Diubah menjadi

perempuan lain sekalipun, Niken tidak keberatan,

asal Aldi bahagia.

Usaha keras dan penderitaannya seolah terbayar

lunas tatkala Aldi mencumbunya dengan penuh

gairah. Tatkala suatu malam dengan bangga Aldi

membawanya ke acara preview film baru yang

dibintangi si aktris. Dengan mesra dirangkulnya

istrinya. Diperkenalkannya kepada Indah Juwita

Purnama.

Tetapi ketika berhadapan dengan aktris cantik

yang gemerlapan dan seksi itu, kebanggaan Niken

melorot sampai separonya. Apa pun yang dikena
kannya, bagaimanapun keras usahanya, Niken sadar,

dia tidak mampu menyaingi Indah Juwita Purnama,

apalagi mengalahkannya.

Senyum Indah begitu meyakinkan. Gayanya

amat percaya diri. Dan dia tidak memandang

sebelah mata pun kepada Niken. Saat itu, Niken

memang sudah berubah total. Tapi tubuhnya belum

terbentuk seperti yang diharapkan, bila Indah yang

dijadikan acuan. Apalagi sikap dan penampilannya.

Dia boleh gesit di rumah sakit. Boleh cekatan

menangani pasien. Tetapi di ajang pergaulan seperti

ini, di tengah gemerlapnya dunia showbiz, dia

seperti rusa masuk kampung.59

Dan yang kecewa bukan hanya Niken. Aldi

juga. Dia gagal membanggakan istrinya. Apalagi

membuat Indah cemburu. Senyumnya yang sinis

begitu menyakitkan.

"Istrimu boleh juga," komentar Indah seperti

tahu sekali maksud Aldi. "Tapi kalau cuma segitu,

aku benar-benar kecewa pada seleramu. Rasanya

selera playboy-mu sudah mengalami degradasi!"

Sepulangnya dari acara itu, Aldi seperti

kehilangan semangatnya. Dan Niken tahu sekali apa

sebabnya.

Dia juga tahu mengapa selama seminggu Aldi

tidak menyentuhnya, meski Niken sudah berusaha

keras merangsang gairah suaminya.

Yang Niken tidak tahu cuma satu. Aldi telah

kembali kepada Indah.

* * *

Sejak itu, sikap Aldi berubah. Dia bukan hanya

tidak pernah lagi menyentuh istrinya dengan penuh

gairah. Sikapnya pun menjadi kasar.

Apa pun yang dilakukan Niken, selalu serba

salah. Apa pun yang dihidangkan, ditolak.

Bagaimanapun penampilannya, Aldi merasa muak.

"Sudah berapa kali aku bilang, belajar! Belajar

bergaul! Belajar etiket! Supaya jangan memalukan

suamimu di depan umum!" gerutu Aldi ketika Niken

salah mengambil garpu salad dalam salah satu

jamuan makan dengan bos Aldi. "Dan rambutmu60

yang merah jelek itu! Mengapa belum disemir lagi?

Kamu tahu kan, aku paling benci rambut merah

seperti itu! Mengapa tidak pernah kamu pedulikan

apa yang disukai suamimu?"

Niken tidak pernah membantah. Bahkan dia

tidak pernah menjawab cacian suaminya. Dia malah

mematuhi semua keinginannya. Dia mengambil les

etiket dan pergaulan. Dia menghitamkan rambutnya

setiap bulan. Tetapi selalu ada saja yang masih

kurang di mata Aldi.

Sejak bertemu dengan Indah, dia memang jadi

uring-uringan terus. Dan Niken-lah yang menjadi

tumpuan kemarahannya.

Baru ketika dia berhasil mendekati Indah

kembali, sikapnya agak berubah. Aldi memang jadi

lebih jarang di rumah. Tetapi kalau di rumah, dia

terlihat lebih cerah. Sikapnya kepada istrinya pun

menjadi lebih lunak.

"Belilah baju baru," katanya sambil meletakkan

beberapa lembar uang kertas di atas meja. "Bosan

lihat bajumu itu-itu juga!"

Niken yang merasa lega melihat perubahan

sikap suaminya tentu saja tidak berani membantah.

Dia berusaha keras memilih dan membeli baju yang

disukai Aldi. Yang dapat merangsang gairahnya.

Niken merasa begitu berbahagia ketika setelah

bulan-bulan yang gersang, dia memperoleh kembali

cumbuan suaminya. Hanya saja Niken tidak tahu,

Aldi membayangkan perempuan lain setiap kali

menggaulinya.61

* * *

Aldi merobek gaun Indah dengan ganas. Seperti

tidak sanggup menunggu lagi, diempaskannya

wanita itu ke tempat tidur. Direnggutnya apa yang

diinginkannya secepat mungkin.

Indah tidak melawan. Tidak menolak. Tidak

memprotes sama sekali. Diikutinya saja alur yang

dipilih laki-laki itu. Padahal mereka baru saja ber
tengkar hebat.

Tentu saja Indah juga menikmatinya. Sudah

lama dia kehilangan kenikmatan yang satu ini, yang

hanya Aldi yang mampu mempersembahkannya.

Dengan suaminya sendiri, segalanya ber
langsung hambar dan rutin. Indah tidak pernah

menggapai puncak. Roni terlalu cepat, lebih-lebih

kalau dia sedang letih didera pekerjaan.

Dan sesudah pergumulan yang panas itu, baik

Aldi maupun Indah sama-sama tak mau lagi saling

melepaskan.

"Pergilah bersamaku, Ta!" sergah Aldi di

tengah-tengah desah napasnya yang memburu. "Kita

tinggalkan semuanya!"

Indah mendesah panjang di sela-sela erangan
nya. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang dapatr

menolak? Jangankan ke tempat Iain, ke neraka pun

dia ikut!62

BAB VI

KALAU Aldi meninggalkan Niken tanpa pamit, In
dah bukan saja meninggalkan suaminya, tapi

sekaligus filmnya yang ketiga, yang baru mencapai

empat puluh persen pengambilan gambar.

Dan kalau Roni Jamal murka bukan main,

Niken bukan hanya marah. Dia sakit hati, sekaligus

dendam. Lebih-lebih saat suaminya meninggalkan
nya, dia sedang hamil.

Siang-malam Niken menunggu Aldi untuk

menyampaikan kabar gembira itu. Dia baru pulang

memeriksakan diri dari dokter. Dan Dokter Hendro

memastikan, Niken hamil.

Niken sudah merancang segebung kata-kata

untuk menyampaikannya pada Aldi. Dia sudah men
genakan gaun malamnya yang paling menggiurkan

untuk menyambut suaminya.

Tetapi malam itu, Aldi tidak pulang. Keesokan
nya pun dia tidak muncul. Resah dan cemas Niken

menghubungi kantornya. Tetapi tidak ada yang tahu

ke mana Aldi pergi. Dia seperti menghilang begitu

saja. Bahkan adiknya, Dokter Eko Prasetyo, tidak

punya bayangan ke mana kakaknya pergi.63

"Dia tidak bilang apa-apa," dengus Eko jengkel.

"Dari dulu dia memang selalu begitu. Tapi sekarang,

dia sudah punya istri! Dia tidak bisa pergi semaunya

saja!"

Niken baru punya bayangan ke mana suaminya

menghilang ketika beberapa hari kemudian, seorang

produser meneleponnya. Dia kehilangan istrinya.

Dan dia menuduh Aldi-lah yang melarikan Indah.

"Suamimu bajingan!" damprat Roni Jamal

sengit. "Akan kubunuh dia kalau bertemu!"

Aku juga ingin membunuhnya dengan tanganku

sendiri, pikir Niken dengan mulut terkunci. Dia

bukan hanya merusak hidupku. Dia menghancurkan

masa depanku!

"Sudah kuramalkan sebelum kamu menikah,"

suara Eko terdengar muram. Tapi Niken tak dapat

mengusir pcrasaan itu. Dia seperti mendengar

kepuasan yang aneh di balik suara dokter itu. "Akan

kamu kutuki hari pertemuanmu dengan dia!"

* * *

Hari-hari yang kemudian menjelang, merupakan

masa paling sulit dalam hidup Niken. Dia hamil.

Dan dia tidak punya pekerjaan.

Satu-satunya harta peninggalan Aldi hanyalah

rumah yang ditempatinya. Tetapi rumah itu atas

nama Aldi. Walaupun dia memiliki surat nikah yang

sah, Niken tidak dapat menjual rumah itu tanpa

persetujuan suaminya. Sedangkan sampai saat itu,64

nasib Aldi belum diketahui. Selama dia belum

dinyatakan meninggal, Niken tidak dapat mewarisi

hartanya.

Niken hanya dapat minta tolong pada Eko.

Bekerja lagi padanya. Tetapi Eko sendiri dalam

kesempitan. Prakteknya tidak laku. Biarpun dia

tidak menolak permintaan Niken, gaji yang diberi
kannya kepada perawatnya tidak besar.

Niken pun tidak dapat minta tolong pada

orangtuanya. Ayahnya bukan orang kaya. Satu
satunya yang dapat mereka lakukan hanyalah

meminta Niken pulang. Tapi Niken sudah bertekad

akan menjalani sendiri penderitaannya.

Dia sudah memilih sendiri peraduannya. Dia

akan tetap tidur di sana, sekalipun harus berbaring di

atas onak duri.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia pun tidak mungkin kembali pada Bambang.

Lelaki itu sudah menikah, satu bulan sesudah Niken

memutuskan hubungan.

"Semua orang sudah tahu aku akan menikah,"

katanya saat itu. "Bagaimana harus kukatakan pada

orangtuaku, pada teman-teman sekantorku, aku

tidak jadi menikah?"

"Maafkan aku, Mas," desah Niken sedih, sarat

dengan perasaan bersalah, "Aku tidak tega

menyakiti hatimu. Tapi jika aku menikah dengan
mu, aku bukan cuma membohongi diriku sendiri.

Aku menipumu. Karena kuberikan tubuhku

kepadamu, tapi hatiku telah kuberikan pada lelaki

lain."65

* * *

Karena gajinya tidak cukup, uang peninggalan Aldi

semakin menipis, sementara dari suaminya sendiri

tetap tidak ada kabar berita, Niken mencoba

melamar pekerjaan di rumah sakit tempat dulu dia

bertugas. Tetapi rumah sakit tidak mau menerima

karyawati yang sedang hamil tua.

"Tunggulah setelah melahirkan, Nik," kata

kepala bagian personalia yang sudah dikenalnya

dengan baik itu.

Tentu saja Niken mau menunggu. Kebutuhann
ya akan uanglah yang tidak menunggu. Sekarang

kebutuhannya bukan hanya untuk dirinya sendiri.

Tetapi juga untuk anaknya.

Sebagai seorang perawat, Niken tahu sekali

pentingnya gizi yang baik untuk janin dalam

kandungan. Dia juga memerlukan minum vitamin.

Periksa hamil. Membeli berbagai keperluan untuk

bayinya.

Dan semua itu harus dilakukannya seorang diri,

karena dia tidak punya suami!

Niken sudah mencoba pula mencari pekerjaan

lain. Tapi siapa mau menerima seorang wanita

hamil yang cuma punya ijazah perawat?

Dari satu kantor ke kantor lain Niken mencoba

mencari pekerjaan. Ketika usahanya gagal, dia

mencoba berdagang makanan. Tetapi makanan

buatannya tidak terlalu enak, sehingga pelanggan66

malas kembali. Akhirnya bukan untung, dia malah

rugi.

Penderitaan Niken ternyata bukan hanya

kekurangan uang. Dia juga sangat kehilangan

suaminya. Semua yang ada di rumah itu meng
ingatkannya kepada Aldi. Dan bagaimanapun dia

merasa sakit hati, dia tidak dapat membunuh

cintanya kepada lelaki itu. Betapapun dia men
dendam, perasaan rindunya semakin hari semakin

tak tertahankan.

Aldi Prasetyo memang jahat. Tidak bertanggung

jawab. Sadis meninggalkan istrinya tanpa pamit

seperti itu. Tetapi Niken tetap menunggunya. Tetap

merindukannya. Tetap mendambakan belaian kasih
nya.

Di balik dendam dan kebencian karena merasa

dikhianati, masih bergolak sebongkah gairah. Masih

bergelora segebung cinta.

Hanya Niken yang tahu betapa sepi malam

malam panjang yang harus dilaluinya seorang diri.

Hanya Niken yang tahu ke mana dia harus

menyalurkan kerinduan akan belaian sayang

suaminya.

Setiap malam dia memimpikan suaminya.

Sering dia mendapat aura, menghirup aroma

tembakau yang berbaur dengan wangi rempah
rempah itu. Tetapi ketika dia terburu-buru membuka

matanya, tak ada orang lain di kamarnya. Tak ada

Aldi. Tak ada siapa-siapa. Hanya dia seorang diri,

terkapar dalam derita kerinduan yang menyakitkan.67

Sementara itu kandungannya semakin mem
besar. Tenaganya tidak sekuat biasa lagi. Dia lebih

cepat lelah. Kegesitannya jauh berkurang karena

harus membawa-bawa beban berat di perutnya. Dan

suatu hari, dia jatuh pingsan di kamar praktek

Dokter Eko Prasetyo.

"Sudah saya bilang, kamu harus cuti," gerutu

Eko setelah Niken siuman. Dia mendapatkan dirinya

terbujur di atas ranjang praktek Eko. Dokter itu

tegak di sisi tempat tidurnya. Menatapnya tanpa

berkedip. Dan melihat cara Dokter Eko

memandangnya, tidak sengaja dada Niken berdebar

tidak enak.

"Kehamilanmu sudah berumur tiga puluh dua

minggu. Sebaiknya kamu tidak terlalu capek."

"Saya tidak apa-apa," desah Niken sambil men
coba bangun.

Eko segera mencegahnya. Dan ketika dia

menahan Niken bangun, tangannya mencengkeram

bahu wanita itu.

"Berbaring saja di situ!" bentak Eko marah.

"Kamu mau jatuh lagi seperti tadi?"

Terpaksa Niken mematuhi perintah dokternya.

Hanya supaya Eko melepaskan tangannya dari ba
hunya. Niken merasa rikuh. Dan merasa lebih

canggung lagi ketika Eko tidak melepaskan juga

cengkeramannya.

"Kalau hanya uang soalnya, jangan khawatir.

Saya tetap akan mengirim gajimu walaupun kamu

tidak bekerja di sini lagi!"68

"Terima kasih, Dok," gumam Niken sambil

menyingkirkan tangan dokter itu dengan hati-hati.

"Tapi saya sudah tidak apa-apa. Boleh saya pulang

dulu?"

"Kamu pulang dengan saya," sahut Eko tegas.

"Ini perintah!"

Ketika mengucapkan kata-kata itu, mata Eko

menatap tajam dari balik kacamata putihnya. Dan

tatkala mata mereka beradu, Niken merasa hatinya

lebih tidak enak lagi. Dia hams buru-buru

memalingkan tatapannya. Dan segurat pertanyaan

menoreh benaknya.

Mengapa Dokter Eko menatapnya seperti itu?

Dokter Eko memang baik. Sepeninggal Aldi,

hanya dia yang menolong Niken. Tapi kalau dia

mengharapkan Niken akan berpaling kepadanya

sebagai balasan kebaikannya, dia akan kecewa! Di

hati Niken hanya ada Aldi seorang!

Tetapi Dokter Eko memang aneh. Dia tidak

pernah mengucapkan cinta. Apalagi melamar!

Sama anehnya dengan sikapnya. Kadang
kadang dia tampak normal. Tapi kadang-kadang,

Niken tidak dapat memahami dirinya.

Dia kasihan pada nasib Niken. Bersimpati pada

penderitaannya. Tetapi bagaimanapun Niken men
coba, dia tidak dapat mengusir perasaan itu. Dia

merasa di balik rasa iba dan simpatinya, sebenarnya

Eko menikmati sekali penderitaan Niken.

Mungkinkah Eko menyalahkannya karena tidak

mau menuruti petuahnya sebelum Niken menikah69

dengan Aldi? Atau... dia sendiri sebenarnya meng
inginkan Niken. Tapi karena dia sendiri tidak pernah

berani mengungkapkan perasaannya dan kakaknya

mendahuluinya memiliki gadis yang diam-diam

didambakannya, dia memendam dendam kepada
nya?

Tetapi sampai anaknya lahir, Niken tidak punya

pilihan lain. Dia terpaksa menerima bantuan Eko.

Karena cuma dia yang bisa menolong.

"Seorang anak laki-laki yang lucu!" cetus Eko

ketika dia melihat bayi Niken untuk pertama kalin
ya. "Hidung dan dagunya mirip Mas Aldi. Sayang,

dia tidak bisa melihat anaknya!"

"Suatu hari dia akan melihat ayahnya," tukas

Ni-ken mantap, lebih mirip tekadnya sendiri

daripada kemungkinan terjadi.

"Tidak!" sergah Eko dengan suara ganjil. "Dia

tidak akan pernah melihat ayahnya!"70

BAB VII

"EMPAT PULUH RIBU?" Niken terbelalak kaget.

"Mengapa begitu mahal? Resepnya untuk obat

generik, kan?"

"Kebetulan amoksisilin generik-nya lagi

kosong," sahut petugas di apotek itu acuh tak acuh.

"Kalau tidak mau diganti yang sejenis, cari saja di

apotek lain."

Dengan jengkel Niken merenggut kembali

resepnya. Digendongnya anaknya yang baru

berumur dua tahun, yang sedang menangis lemah

sambil merintih. Ketika dia hampir melewati pintu

apotek, seorang pria berdasi memanggilnya dengan

ragu-ragu.

Niken menoleh kaget. Dan matanya melebar

ketika melihat Bambang tegak di hadapannya. Rapi.

Keren. Bergaya eksekutif. Lengkap dengan kemeja

tangan panjang. Dasi. Kacamata berbingkai emas

dari merek terkenal. Dan tentu saja, tas kantor dari

bahan kulit asli, yang harganya lima bulan gaji

Niken sebagai perawat.71

"Kamu Niken, kan?" tegur Bambang seperti

tidak percaya dengan matanya sendiri. "Astaga,

Nik! Kamu berubah sekali!"

Nada suara Bambang memang tidak meleceh
kan. Tidak. Sama sekali tidak. Tapi bagaimanapun,

Niken tak dapat mengusir perasaan rendah diri dari

sudut hatinya.

Pasti tambah tua dan kurus, keluh Niken dalam

hati. Hampir tiga tahun aku dijerat penderitaan....

Dan ketika melihat wanita muda yang keren dan
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik itu, tiba-tiba saja Niken merasa minder. Dan

tiba-tiba saja dia menyesal tidak memoles wajahnya

dengan make up sebelum berangkat tadi....

Ah, siapa yang ingat dengan segala macam

make up? Dimas tiba-tiba kejang. Sudah tiga hari

memang dia demam. Dan Niken belum sempat

membawanya ke dokter. Dikiranya cuma demam

biasa. Pusing. Muntah. Tidak mau makan. Siapa

sangka hari ini dia kejang-kejang. Dan kejangnya

lebih lama dari kejang demam biasa.

Niken membawa Dimas secepatnya ke rumah

Dokter Eko. Dan di sinilah mereka sekarang... ah,

mengapa dia harus memilih apotek ini? Mengapa

dia harus bertemu dengan Bambang...?

"Obatnya sudah selesai, Mas," kata wanita

muda yang dandanannya amat modis itu. Perhiasan

gemerlapan menyemarakkan penampilannya. "Yuk,

pulang!"72

"Kenalkan dulu, Da, ini Niken, temanku,"

Bambang menoleh kembali pada Niken sambil

tersenyum bangga. "Ini istriku, Nanda."

Nanda menoleh sekilas pada Niken. Tanpa

memandang sebelah mata dia mengulurkan

tangannya, sekadar membalas jabatan tangan Niken.

"Saya ke mobil dulu, Mas," kata Nanda sambil

melemparkan sepotong senyum basa-basi pada Ni
ken. Lalu tanpa menoleh lagi dia melangkah anggun

ke mobilnya.

Tidak sengaja Niken ikut menoleh ke luar. Se
buah mobil dari merek terkenal. Seorang sopir ber
diri di samping mobil, membukakan pintu untuknya.

Tak sengaja dada Niken terasa sakit. Dan

Bambang seperti dapat membaca mimiknya.

"Bagaimana keadaanmu, Nik?" tanyanya pura
pura iba. "Ini anakmu?"

"Ya," Niken mengembuskan jawaban itu

bersama embusan napasnya. Anak siapa lagi?

Ditimang-timangnya Dimas yang masih merintih

lemah. Ditepuk-tepuknya pantatnya dengan lembut.

"Dia lagi sakit. Aku mesti buru-buru pulang."

"Boleh kuantarkan? Kamu nggak bawa mobil,

kan? Tunggu, aku tanya Nanda dulu, ya."

"Terima kasih. Tidak usah repot-repot. Sampai

jumpa."

Bergegas Niken menggendong anaknya keluar.

Bambang masih memegangi pintu sambil

mengawasinya.73

"Bekas sahabatmu?" tanya Nanda begitu Bam
bang masuk ke mobil.

"Teman lama," sahut Bambang sambil menarik

napas panjang. "Baru tiga tahun berpisah. Tapi

rasanya dia sudah bertambah tua tiga belas tahun!"

* * *

"Seharusnya kamulah yang naik mobil itu, Sayang,"

bisik Niken sambil mengecup pipi anaknya. Dia

menggendong Dimas masuk ke dalam bajaj di depan

apotek. "Tapi Mama tidak menyesal memilih ayah
mu. Suatu hari, kalau kamu sudah rnelihat Papa,

kamu pasti mengerti mengapa Mama memilihnya."

Seperti mengerti kata-kata ibunya, Dimas

mengeluh panjang. Dia memejamkan matanya

dengan lesu. Dan merintih sedikit.

"Pusing ya, Sayang?" bisik Niken sambil

meraba dahi anaknya.

Ah, masih panas. Dia harus memperoleh anti
biotika itu secepatnya. Kalau tidak, panasnya tidak

mau turun. Atau turun sedikit, lalu naik lagi.

Diam-diam Niken menyesali dirinya, tidak

membawa Dimas ke dokter lebih cepat. Dikiranya

Dimas hanya flu biasa. Panas sedikit dan sakit leher.

Rewel. Tidak mau makan. Lagi pula beberapa hari

ini dia sibuk mengurus laporan kepada yang

berwajib. Sudah tiga tahun suaminya menghilang

tanpa kabar berita. Seharusnya dia sudah berhak

mewarisi hartanya. Kalau dia dapat menjual rumah74

Aldi... barangkali dia dapat lepas dari kesulitan

ekonomi yang telah menjeratnya selama ini! Niken

sudah pengap sekali. Ingin buru-buru lepas dari

beban berat yang menindih hidupnya.

Niken sudah berniat menjual rumahnya dan

membawa anaknya pulang ke Tegal. Dia akan men
coba mencari penghidupan berdua saja dengan

Dimas di sana.

Ada dua-tiga rumah sakit di Tegal. Masa tidak

ada yang mau menerimanya sebagai perawat? Dia

dapat menitipkan Dimas pada ibunya kalau harus

berdinas malam.

"Dan Mama dapat memberimu kehidupan yang

lebih baik," bisik Niken kepada anaknya dengan

perasaan bersalah. "Kamu berhak menikmati uang

ayahmu, Dimas sayang. Hanya itu yang dapat

diberikannya kepadamu."

* * *

"Tolong, Dok!" tangis Niken di telepon. "Panasnya

tidak mau turun, dan dia kejang lagi!"

"Sebentar saya ke sana," sahut Eko datar. "Saya

sedang ada pasien."

"Apa tidak sebaiknya saya bawa ke rumah sakit

saja, Dok?" desah Niken cemas. "Saya takut Dimas

kena meningitis!"

"Tunggu saya," perintah Eko tegas. "Kompres

saja dulu, masukkan antikonvulsan melalui

anusnya."75

Tetapi ketika Eko muncul di rumah Niken sejam

kemudian, kesadaran Dimas sudah sangat menurun.

Kuduknya kaku. Demamnya bertambah tinggi. Dan

petekia di kulitnya bertambah banyak. Bergegas

mereka membawanya ke rumah sakit.

Dokter anak yang memeriksa Dimas di ruang

gawat darurat menyetujui pendapat Niken, bahkan

sebelum dilakukan punksi lumbia.

"Kemungkinan meningitis purulenta," kata

dokter itu dengan dahi berkerut. "Sebaiknya diinfus

dulu sambil menunggu hasil lab cito."

"Mesti dirawat, Dok?" gumam Niken antara

sedih dan bingung.

"Kalau sudah koma, bukan hanya dirawat, dia

harus masuk ICU."

Tapi dari mana aku memperoleh biaya

perawatannya? pikir Niken resah. Dia menoleh ke

arah Eko. Tepat pada saat dokter itu berpaling

kepadanya. Tetapi Eko tidak berkata apa-apa. Dia

hanya mengawasi Niken. Dan tidak seorang pun

mengerti arti tatapannya.

* * *

Niken tidak sanggup merawat anaknya di ICU.

Karena itu Dimas hanya ditaruh di ruang isolasi.

Dua puluh empat jam Niken menjagai anaknya

terus-menerus. Dia tidak tidur sekejap pun. Bahkan

tidak makan sama sekali.76

Niken membantu perawat mengganti infus.

Mengawasi mereka memasukkan obat ke dalam

cairan itu. Memantau demamnya yang tidak kunjung

turun. Mengganti kompres.

Niken bahkan tidak henti-hentinya berdoa dan

mengajak Dimas bicara. Meskipun Dimas tidak

bereaksi sama sekali. Dia masih tetap dalam

keadaan koma. Dan tidak seorang pun sanggup

membangunkannya. Tidak juga orang yang paling

disayanginya. Satu-satunya orang yang paling dekat

dengannya sejak lahir.

"Bangun dong, Sayang," bisiknya lirih. "Mama

kesepian sekali. Sama siapa Mama harus ngomong

kalau bukan sama Dimas? Bangun, ya? Nanti Mama

dongengin si Kancil lagi, baru Dimas boleh tidur

lagi...."

Tetapi Yang Mahakuasa berkehendak lain.

Demam Dimas tak kunjung turun. Dan kesadarann
ya pun tak kunjung pulih.

Dimas meninggal tanpa memperoleh kesadaran
nya kembali.

Niken seorang perawat senior. Dia sudah sering

melihat kematian. Sudah sering mendampingi pa
sien yang hampir meninggal. Dia selalu tahu dengan

persis kapan waktu kematian pasien itu.

Tetapi ketika anaknya sendiri meninggal, Niken

hampir tidak menyadarinya. Dia tidak percaya

Dimas telah meninggalkannya.

"Tidak mungkin!" bantahnya ketika dokter

memegang tangannya dan menggelengkan kepala-77

nya dengan murung. "Tidak mungkin! Dimas masih

di sini! Ke mana lagi dia pergi kalau saya masih di

sini? Sejak lahir, dia tidak pernah pergi tanpa saya!

Kami tidak pernah berpisah!"

Ketika dokter itu diam termangu, ketika Niken

melihat Dimas-nya diam saja walaupun Niken

mengguncang-guncang tubuhnya, dia menubruk

kaki Dokter Eko, meratap sambil memohon pilu.

"Tolong saya, Dok! Tolong! Bangunkan Dimas!

Jangan biarkan dia pergi! Kami tidak pernah

berpisah!"

Tetapi sekarang mereka harus berpisah. Niken

harus meninggalkan anaknya seorang diri dalam

liang lahatnya yang gelap dan sempit. Orangtuanya

memaksa membawanya pulang. Walaupun Niken

ingin terus mendampingi buah hatinya. Sementara

Eko tak mampu menolongnya. Dia hanya tegak

mematung di tepi liang lahat, mengawasi Niken

yang sedang menangis dalam rangkulan ibunya.

"Saya ingin tetap di sini!" tangis Niken getir.

"Saya tidak boleh meninggalkan Dimas! Tidak mau!
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak mau!"

Sambil meraung Niken meronta ingin men
ceburkan dirinya ke dalam lubang kubur. Untung

ayahnya masih cukup sigap mendekapnya.

"Mari kita pulang, Nik," gumam ayahnya

dengan air mata berlinang. "Tak ada lagi yang dapat

kita lakukan untuk Dimas.... Kita harus meninggal
kannya beristirahat dalam damai di sini...."78

Dengan siapa Dimas di sana? Ke mana dia harus

mencari ibunya kalau lapar? Kalau kedinginan?

Kalau ketakutan?

"Dimas tidak akan pernah merasakan semua itu

lagi, Nik," hibur ibunya dengan suara tersendat.

"Sekarang tak ada lagi penderitaan, rasa sakit, ke
takutan...."

Mungkin benar Dimas-nya tak akan pernah

merasakan penderitaan lagi... karena semua pen
deritaan itu kini telah menjadi milik Niken!

Jika dulu Niken masih memiliki Dimas laksana

sebuah oase di padang gurun derita hidupnya, kini

yang tersisa hanyalah panasnya dendam dan kering
nya cinta di tengah-tengah kegersangan hidupnya....

* * *

"Niken tidak gila," kata Eko mantap di depan

orangtua perawatnya. "Dia hanya mengalami

depresi berat akibat kehilangan anaknya. Tetapi

untuk mencegah kelainan jiwa yang lebih berat,

sebaiknya Niken dirawat."

"Dirawat?" desis ibunya separo panik. "Di

rumah sakit... jiwa?"

"Jika depresinya tidak semakin berat, Niken

dapat berobat jalan ke klinik saya. Kebetulan saya

sedang mengambil spesialisasi ilmu jiwa.

Percayalah, Bu, saya yang akan menangani Niken."79

"Terima kasih, Dokter. Tapi kami sangat

mengkhawatirkan keadaan Niken. Sudah beberapa

kali dia mencoba membunuh diri...."

"Itu akibat terburuk dari depresi melankolia
nya, Bu. Karena itu dia harus segera diberi obat-obat

antidepresi, sekaligus psikoterapi."

"Apakah tidak sebaiknya kami bawa dia pulang,

Dok?" sela ayah Niken murung. "Di rumah, ada istri

saya yang bisa selalu mengawasinya."

"Tapi di sini ada saya yang dapat mengobatinya

dengan lebih baik," sahut Eko tegas.

Sesaat ayah dan ibu Niken mengawasi dokter itu

dengan bimbang. Terus terang, mereka khawatir

meninggalkan anaknya seorang diri di Jakarta.

Tetapi ada sesuatu di mata dokter itu yang membuat

perintahnya sukar ditolak.

"Kalau begitu biar istri saya tinggal di sini untuk

sementara waktu, Dok," gumam ayah Niken berat.

"Biar dia menemani Niken selama berobat."

"Oke." Eko mengangkat bahu. "Ini resep obat

yang harus dibeli. Selamat siang."

* * *

Eko mendengarkan dengan penuh gairah seluruh

kisah masa lalu Niken. Dia sedang melakukan

psikoanalisa. Niken berbaring santai di sofa.

Sementara Eko duduk di kursi, di dekat kepala

Niken.80

Sudah beberapa kali mereka melakukan psiko
analisa seperti ini. Dan semakin lama, bukan hanya

Niken yang merasa semakin lega. Eko pun merasa

semakin terlibat.

Niken merasa lebih baik karena dapat me
numpahkan semua problem yang terpendam di alam

bawah sadarnya. Sementara Eko merasa semakin

bersemangat untuk menggali lebih dalam lagi.

Penderitaan pasiennya seperti bumbu penyedap

dalam sebuah buku cerita. Eko sangat menikmati
nya. Makin berat penderitaan yang dipaparkan

Niken, makin bergairah pula Eko mendengarkan

kisahnya.

Beberapa kali dia menghipnotis pasiennya.

Menggali kejadian-kejadian yang dalam keadaan

sadar tak dapat diungkapkan Niken. Dan sebagian

besar kejadian itu, menyangkut hubungan Niken

dengan Aldi.

"Kamu masih mencintainya?"

"Saya tidak dapat melupakannya."

"Kamu tidak boleh melupakannya. Tapi kamu

harus berhenti mencintainya. Dia telah meng
khianatimu. Selama kamu masih mencintainya,

kamu akan tetap menderita."

"Rasanya saya ingin mati saja. Saya ingin

menyusul Dimas. Ingin menemaninya...."

"Kamu tidak boleh mati, Niken," berulang
ulang Eko menekankan kalimat itu setiap kali dia

mengakhiri terapinya. "Kamu masih punya utang

yang belum terbayar lunas!"81

Sesudah menjalani psikoterapi selama hamper

dua tahun, Niken berubah total. Tak ada lagi

perawat lugu yang memelas dirundung penderitaan.

Yang tampil kini adalah seorang wanita yang tegar.

Yang hampirtidak memiliki lagi hati dan emosi.

Aku tidak akan mati, desis Niken setiap malam

sebelum tidur, sambil mengawasi foto anak dan

suaminya. Aku masih punya utang pada kalian!82

BAB VIII

"MANA proposal yang saya minta?" tanya Niken

dingin kepada stafnya yang sudah membeku

ketakutan di depan meja tulisnya.

"Saya minta maaf, Bu...," gumam Dra. Hastuti

Timur, S.E. dengan suara bergetar. "Saya... saya..."

"Kalau saya kembali sesudah makan siang

nanti, proposal itu sudah harus berada di atas meja

saya," potong Niken tegas, dingin. "Selamat siang."

Tapi, Bu..." Keringat dingin membasahi sekujur

wajah Hastuti. Bibirnya gemetar. Wajahnya pucat.

"Selamat siang!" ulang Niken datar.

Dengan wajah membeku dia meraih teleponnya.

Tanpa mengacuhkan lagi Hastuti yang terpaksa me
langkah keluar dengan limbung sesudah mengucap
kan selamat siang.

"Tia, suruh masuk tamu dari production house

itu."

Ketika Niken meletakkan teleponnya, matanya

menyapu foto Dimas yang terpampang dalam se
buah pigura kecil yang manis di atas meja tulisnya.

Disentuhnya foto itu dengan ujung jarinya. Dan se
cercah kerinduan membelai hatinya.83

Sudah sepuluh tahun berlalu. Tapi Niken selalu

merasa, Dimas masih berada di dekatnya. Selalu

disentuhnya foto anaknya dengan penuh kerinduan.

Dan dering telepon menyentakkan Niken.

Diraihnya telepon dengan segera.

"Bapak di saluran tiga, Bu," terdengar suara

sekretarisnya, formal tapi sopan.

"Sambungkan," sahut Niken tegas, datar.

"Tahan dulu telepon yang lain." Niken menekan

tombol nomor tiga. "Mas Eko? Ada apa?"

"Simposiumnya baru selesai pukul lima, Nik,"

terdengar suara Eko Prasetyo di pesawat telepon.

"Sesudah itu ada acara lepas kangen dengan teman
teman sejawat di coffee shop. Mungkin malam ini

aku tidak makan di rumah."

"Oke," sahut Niken tanpa emosi. "Selamat

siang, Mas."

Diletakkannya pesawat teleponnya. Dua bulan

terakhir ini, suaminya memang jarang makan malam

di rumah. Tampaknya dia sedang sibuk sekali.

Simposium. Ceramah ilmiah. Dan entah apa lagi.

Tetapi sebenarnya Niken tidak terlalu peduli.

Dia sendiri cukup repot. Kesibukannya sebagai

komisaris utama di dua perusahaan sekaligus

direktris utama tiga perusahaan lain, sudah cukup

menyita waktunya setiap hari.

Usahanya bergerak dari bidang properti sampai

EMKL. Dan dewi fortuna tampaknya memang se
lalu berada di sisinya. Seperti Midas, semua yang

disentuhnya seolah-olah berubah menjadi emas.84

Sebagai developer, usahanya di bidang properti

sukses besar, sehingga seperti octopus yang ber
tangan banyak, dia dapat merambah ke mana-mana.

Meskipun pada mulanya modalnya hanya kredit

bank dengan jaminan rumah Aldi, satu-satunya

peninggalan suaminya.

Dengan memanfaatkan iklim usaha yang sedang

cerah dan kepercayaan pihak bank, Niken dengan

lihainya memutar modalnya dan menanamkannya di

bidang lain, meskipun sebagian besar asetnya

berasal dari kredit.

Terus terang ketika memutuskan untuk banting

setir dan memulai hidup baru di atas puing-puing

reruntuhan masa lalunya, Niken sendiri tidak yakin

dia mampu melakukannya.

Dia harus mengorbankan dirinya menerima

lamaran Dokter Eko Prasetyo untuk menjadi

istrinya, hanya supaya dia memperoleh status sosial

dan kesempatan untuk belajar. Dua hal yang sangat

penting untuk memulai usaha.

Lima tahun Niken menempa dirinya menjadi

seorang pemula pelaku bisnis setelah menjejali

otaknya dengan berbagai ilmu ekonomi. Dia

berjuang memperbaiki penampilannya, bukan hanya

dengan mencetak tubuh yang indah menggiurkan,

tapi sekaligus melatih pergaulannya agar dapat

tampil di kalangan atas.

Setelah membekali dirinya dengan keyakinan,

Niken mulai terjun di dunia bisnis. Dan selama lima
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun terakhir ini, dia menjadi salah satu fenomena85

ajaib yang lumrah terjadi di republik ini. Dia

melahirkan lima perusahaan dalam lima tahun,

dengan modal terbesar berasal dari kredit bank.

Dan di sinilah dia bertengger sekarang. Di atas

kursi direkturnya yang tinggi dan empuk. Di bawah

sana, belasan stafnya yang sarjana, membungkuk

hormat menunggu perintahnya.

Dan karena Niken Ardini terkenal keras dan

bengis, menurut Niken itulah salah satu kiatnya

untuk memajukan perusahaan, anak buahnya bukan

hanya patuh dan berdisiplin, sekaligus takut berbuat

kesalahan.

"Masuk!" perintah Niken tegas, datar, ketika

pintu kamar kerjanya diketuk dua kali.

Tia, sekretarisnya yang rapi dan cekatan, mem
buka pintu dan menyilakan tamu-tamunya masuk.

"Selamat siang, Bu," sapa Tia sopan. "Bapak

Dede Azwar dari Rumah Produksi Gilang Gemilang

Entertainment."

"Selamat siang, Bu Niken Ardini," Dede Azwar

membungkuk hormat setelah tertegun sesaat.

Sungguh, tidak disangkanya ibu direktris yang

bernama besar itu ternyata cuma seorang wanita

cantik di pertengahan tiga puluh!

Niken membuka tangannya, menyilakan tamu
tamunya duduk di sofa. Ketika dia keluar dari balik

meja tulisnya, menghampiri tamu-tamunya, sekali

lagi Dede Azwar terenyak.

Niken Ardini mengenakan blazer dari bahan lin
en dengan merek eksklusif berwarna kuning men-86

yala, yang sejak tadi sudah mencolok mata Dede.

Tetapi ketika dia keluar dari balik meja, Dede baru

dapat melihat betapa pendek dan sempitnya rok

yang dikenakannya.

Tungkainya yang putih dan mulus tidak terlalu

panjang. Tapi cukup menggoda mata lelaki sehat

seperti Dede Azwar.

Ketika Niken Ardini duduk dengan santai tapi

tertib sambil menyilangkan kakinya, tak sadar Dede

Azwar menelan ludahnya. Tetapi Niken sama sekali

tidak merasa rikuh. Sikapnya tetap formal dan

correct.

"Terima kasih Ibu sudi meluangkan waktu

untuk menerima kami," cetus Sinta Asmara, ketika

dilihatnya produsernya bengong saja. "Kami dari

Gilang Gemilang Entertainment. Saya, Sinta

Asmara, pemimpin produksi, dan ini Bapak Dede

Azwar, produser."

"Mmm, benar, Bu," sergah Dede setelah dia

dapat menguasai dirinya kembali. Sekejap tadi, dia

seperti menghilang di nirwana. "Kami sungguh

takjub ketika mendengar Ibu masih mempunyai

minat untuk bekerja sama dengan rumah produksi

kami. Padahal Ibu seorang wanita bisnis yang

sibuk."

Bagaimana dia membagi waktunya untuk

merawat wajah dan tubuhnya, pikir Sinta bingung.

Rambutnya begitu rapi seperti baru keluar dari

salon....87

"Sebelum saya bergabung, saya ingin melihat

pembukuan perusahaan, jumlah aset, data aktivitas,

dan rencana kerja Anda," tukas Niken tegas.

"Setelah makan siang nanti, akan saya perlihatkan

proposal bentuk kerja sama yang saya inginkan. Dan

kita akan bertemu kembali minggu depan untuk

pembicaraan lebih lanjut. Oke?"

"Buset, gue nggak sanggup kerja sama dengan

orang bisnis kayak dia!" gerutu Dede Azwar ketika

mereka sedang meninggalkan kantor Niken Ardini.

"Kita kan seniman. Perusahaan sih punya, tapi mana

punya pembukuan rapi seperti mereka? Apa yang

mau dia lihat? Aset? Kamera saja masih nyewa!

Rencana kerja? Ya bikin sinetron! Tapi bisa

ditayangkan atau tidak di TV, itu masalahnya, kan?

Yang kita perlukan dari dia kan cuma modal!"

"Orang kayak dia mau tanam modal di

production house saja aku sudah heran!" desis Sinta

bingung. "Mendingan dia beli lahan daripada bikin

sinetron!"

"Masa bodoh amat! Yang kita perlukan cuma

duitnya! Sudah dua produksi kita yang belum di
tayangkan. Kalau tidak dapat suntikan dana, rumah

produksi kita cuma tinggal nama!"

"Rasanya tidak segampang itu. Niken Ardini

bukan hanya ingin menanamkan modal. Dia punya

maksud lain. Kurasa dia mau ikut terjun dalam

produksi, bukan cuma nyumbang dana!"88

"Apa yang dia tahu soal sinetron? Dia cuma

tahu soal tanah, ekspedisi, air mineral, konfeksi,

paling-paling bursa saham!"

* * *

"Di mana Hastuti?" suara Niken di telepon ter
dengar garang. "Suruh menghadap saya!"

"Menengok anaknya di rumah sakit, Bu," sahut

Tia gugup. "Tadi dia minta menghadap, tapi Ibu

sedang keluar makan siang."

"Anaknya sakit?" nada suara Niken melunak.

"Dapat telepon mendadak dari suaminya, Bu.

Anaknya mendadak kejang-kejang. Sudah dua hari

anak Mbak Tuti dirawat di rumah sakit, Bu."

"Ya sudah," begitu cepatnya sirna kemarahan

dalam suara direktrisnya sampai Tia sendiri merasa

heran. "Suruh menghadap kalau datang nanti."

Niken meletakkan teleponnya. Matanya

menyapu foto Dimas yang sedang tertawa me
mamerkan giginya. Disentuhnya foto anaknya

dengan lembut sambil tersenyum.

* * *

"Betul Bos nggak marah, Tia?" tanya Hastuti kcta
kutan.

"Betul, Mbak. Mula-mula sih sepertinya dia

mau menggorok leher Mbak Tuti ketika tidak

menemukan proposal itu di atas mejanya. Tapi89

waktu saya bilang Mbak lagi ke rumah sakit nengok

anak, kemarahannya langsung reda!"

"Begitu?" sergah Hastuti setengah tidak

percaya. "Masa sih macan betina itu masih punya

hati?"

"Macan juga sayang anak, Mbak! Saya pernah

dengar orang-orang bilang, anaknya mati waktu

berumur dua tahun! Pernah lihat foto anak lakilaki

yang lucu di atas meja tulis Bos?'"

"Kalau begitu mintakan izin untuk menghadap

sekarang, Tia!"

"Jangan lupa cerita tentang penyakit anakmu,

Mbak! Lebih dramatis lebih bagus! Supaya dosamu

diampuni!"

Dengan menekan rasa takutnya, Hastuti Timur

melangkah masuk ke kamar kerja direktrisnya

setelah dipersilakan masuk oleh Tia. Dia hampir

tidak mampu membalas tatapan tajam wanita di

balik meja tulis itu.

"Selamat siang, Bu," sapa Hastuti gugup. Dia

berusaha keras mengingat-ingat kisah sedih yang

telah dikarangnya baik-baik sejak menunggu

panggilan tadi. Tapi entah mengapa, di depan

bosnya, melihat wibawa dan kebengisan yang

terpancar dari mata yang tajam itu, memorinya

seperti membeku. Lidahnya kaku. Akhirnya dia

tidak mampu berkata apa-apa. Karena begitu

membuka mulutnya, yang pecah malah tangisnya.

Anehnya, Niken Ardini tidak menegur. Tidak

membentak. Dia menunggu dengan sabar sampai90

tangis Hastuti mereda. Lalu dia menunjuk kursi di

depannya.

Dengan menahan tangis Hastuti beringsut duduk

di depan meja tulis. Disekanya air matanya yang

mengucur terus.

"Taruh data-datanya di meja saya," kata Niken

datar. "Kamu boleh pulang."

Hastuti memandang bosnya sambil menahan

napas. Dipecatkah dia?

"Tunggui saja anakmu," Niken membalas

tatapan stafnya dengan tanpa emosi. "Kalau sudah

pulang dari rumah sakit, kamu boleh kembali."

"Kembali?" sergah Hastuti terbata-bata. Mata
nya yang berlinang air mata menatap Niken dengan

bingung. "Kembali... ke mana... Bu?"

"Ke sini, ke mana lagi?" bentak Niken jemu.

"Kecuali kalau kamu mau kerja di tempat lain!"91

BAB IX

EKO sampai di rumah pada pukul sebelas malam,

ketika Niken masih sibuk di depan komputer di ka
mar kerjanya. Dia tampak sangat letih.

"Acara kangen-kangenannya di coffee shop atau

di ruang fitness?" tanya Niken setelah menoleh se
jenak. "Kok kayaknya Mas capek banget!"

"Jam delapan tadi ada panggilan dari klinik,"

sahut Eko lesu. "Ada pasien mau bunuh diri."

"Depresi?"

"Delusi persekutorik. Dia punya waham dikejar
kejar mantan suaminya, hendak disiksa sampai

mati."

Niken tersenyum tipis sambil memusatkan

kembali konsentrasinya pada layar monitor. Eko

menunggu sejenak sambil mengawasi istrinya se
belum bangkit dari kursinya menghampiri Niken.

Agaknya dia hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak

jadi melihat keseriusan Niken.

"Aku tidur duluan, ya, Nik. Capek sekali,"
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya sambil mengecup dahi istrinya.

"Sebentar saya menyusul, Mas," sahut Niken

lega.92

Tentu saja dia merasa lega. Pekerjaannya malam

ini masih cukup banyak. Dua puluh empat jam se
hari akhir-akhir ini rasanya memang kurang bagi

Niken. Kalau suaminya sudah tidur, dia bisa bekerja

terus sampai dini hari.

Tapi... ah, sebenarnya Eko tak pernah merepot
kan. Dia suami yang baik. Penurut. Tidak banyak

tuntulan. Lain benar dengan abangnya....

Hhh, mengapa selalu teringat pada bajingan itu?

Mengapa selalu membandingkan setiap lelaki yang

ditemuinya dengan mantan suaminya?

Aldi memang hebat. Tapi cuma di tempat tidur.

Untuk yang satu itu, Eko memang bukan apa-apa.

Tak dapat dibandingkan. Tetapi selebihnya, Eko

suami ideal. Tidak seperti Aldi!

Niken mengatupkan rahangnya menahan marah

ketika teringat pada lelaki yang satu itu. Lelaki yang

telah menghancurkan hidupnya dengan teramat

kejam! Tetapi... mengapa selalu terbit di hatinya

kerinduan yang pedih setiap kali teringat belaian

kasihnya?

Tiga belas tahun telah berlalu. Tapi Niken masih

tak dapat melupakannya! Cumbuannya yang panas.

Belaiannya yang mesra. Ciumannya yang

memabukkan. Permainan cintanya yang membuat

ketagihan,...

Niken menggebrak keyboard-nya dengan

gemas. Huruf-huruf berlompatan di layar monitor.

Tetapi dia tidak peduli lagi. Konsentrasinya buyar.93

Dengan kesal ditinggalkannya ruang kerjanya.

Tetapi sesaat sebelum keluar, bayangan tubuhnya

memantul pada cermin di dekat pintu. Dan tiba-tiba

saja, dada Niken bergelora oleh gairah yang mem
bubung.

Alangkah indahnya tubuhnya sekarang!

Dirabanya dadanya yang padat menyembul.

Disentuhnya pinggangnya yang ramping. Lalu

tangannya turun membelai pinggulnya yang

montok berisi.

Di mana sekarang perempuan itu? Kalau mereka

bertemu lagi kini, Niken ingin melihat siapa yang

lebih memikat!

Digeliatkannya tubuhnya dengan gaya yang

menggiurkan di depan cermin. Ditatapnya wajahnya

dengan tajam. Sebentuk wajah yang bukan hanya

cantik. Sekaligus mulus, rapi, dan terawat

sempurna!

Agaknya tidak percuma dia membuang pulu
han juta untuk memperbaiki penampilannya. Dari

wajah, payudara, sampai pinggul, semuanya hasil

polesan tangan yang ahli.

Dan Niken terus merawat wajah dan tubuhnya

setiap hari, seolah-olah tampil cantik memikat

adalah obsesinya. Tidak heran kalau dia selalu

mengunjungi salon kecantikan dan panti kebugaran

dengan rajinnya, tidak peduli bagaimanapun

sibuknya dia.94

Dan inilah hasilnya! Seraut wajah yang cantik

dan mulus. Rambut hitam tebal yang selalu tertata

rapi. Tubuh molek yang melekuk menggiurkan!

Seuntai senyum pongah bermain di bibirnya.

Untuk wanita yang telah berumur tiga puluh tujuh

tahun, penampilannya memang luar biasa. Dia

tampak begitu matang dan menggoda.

Sekarang Niken tak takut lagi bersaing.

Sekarang dia malah begitu ingin menjumpai Indah

Juwita Purnama. Dia ingin melihat, siapa kini yang

lebih menarik!

* * *

"Pembukuan mereka amburadul, Bu," lapor Hastuti

di ruang meeting. "Rencana kerja tidak kompeten.

Dari segi aset maupun aktivitas, perusahaan Gilang

Gemilang ini jelas tidak bonafide."

"Kalau tidak begitu mereka tidak datang pada

kita," sahut Niken tenang. "Dari segi pengalaman

kerja, mereka telah berkecimpung di dunia film dan

televisi selama hampir lima belas tahun. Kalau

benar demikian, mereka pasti telah mengenal dunia

akting dengan sangat baik."

"Tapi mereka bukan mitra kerja yang baik, Bu.

Apalagi pengalaman kita di bidang ini nol besar."

"Itu alasan kita bekerja sama, kan? Telepon

mereka. Minta mereka menuliskan dengan lebih

spesifik lagi pengalaman kerja mereka selama lima

belas tahun terakhir ini. Dengan siapa mereka95

pernah bekerja sama. Siapa saja karyawan dan

bintang yang pernah mereka pakai. Minggu depan

atur pertemuan saya dengan mereka."

Tapi buat apa? pikir Hastuti bingung. Apakah

Ibu Niken sudah sinting?

"Kalau tidak sinting, apa kaupikir dia bisa

seperti sekarang?" ejek Arman sinis. "Pendidikan

formalnya cuma perawat! Tapi dalam lima tahun,

dia bisa memiliki lima perusahaan! Modalnya cuma

nekat, Tut! Nekat!"

"Dan sekarang dia mau merambah ke dunia

hiburan?"

"Oktopus punya delapan tangan, kan? Sekarang

dia baru punya lima!"

"Tapi buat apa susah-susah bekerja sama

dengan perusahaan yang jelas-jelas amburadul

seperti itu? Betapa susahnya minta izin bikin rumah

produksi sendiri?"

"Kau tidak dengar? Dia butuh pengalaman

mereka! Sesudah dia mengisap pengetahuan

mereka, tinggal tunggu kapan dia mendepak mereka

pergi!"

"Kupikir Bos tidak sungguh-sungguh ingin

bikin sinetron. Dia punya maksud lain."

"Dia pernah bilang padaku, dia akan membuat

semua produk yang mendatangkan uang. Sinetron,

iklan, videoklip, pokoknya apa saja yang laku di
jual!"

"Ambisinya benar-benar luar biasa. Aku benar
benar kagum pada semangat dan energinya. Apa96

memang begitu perempuan, kalau sudah mencapai

tingkatan tertinggi kariernya?"

"Biasanya karier wanita terhambat karena dia

harus membagi waktu antara pekerjaan dan keluar
ga. Kalau Bu Niken, apa lagi yang menghambatnya?

Anak tidak punya. Suami dokter jiwa yang sibuk

menangani orang gila! Kata Tia, kadang-kadang dia

lupa, mau menelepon ke kliniknya, nyambung ke

kantor istrinya!"

* * *

"Indah Juwita Purnama?" Dede Azwar melongo

bingung. "Itu sih aktris yang sudah kedaluwarsa,

Bu! Sudah tidak main lagi!"

"Tiga belas tahun yang lalu dia bintang favorit

saya," sahut Niken datar. "Untuk produksi kita yang

akan datang, saya ingin dia yang main."

"Tapi Indah sudah tidak laku dijual, Bu!" sela

Sinta bingung. "Sudah tidak ada komersialnya!

Umurnya mungkin sekarang sudah empat puluh ta
hun. Dan dia sudah tidak pernah muncul lagi! Tidak

ada yang mau pakai!"

"Untuk peran yang satu ini, dia yang saya

anggap paling cocok," sahut Niken tegas, tawar.

"Kalau bukan dia yang main, saya tidak jadi ikut

kerja sama dalam produksi ini."

"Sialan!" dengus Dede kesal ketika dia mening
galkan kantor Niken. "Sekalinya ada pengusaha

yang mau kerja sama, sinting!"97

"Dia mau bikin sinetron buat panti jompo, kali!"

Sinta menimpali dengan sama jengkelnya. "Kalau

pemain utamanya saja nenek-nenek, siapa yang mau

nonton?"

* * *

"Insinyur Bambang Pranoto?" Niken menyipitkan

matanya sambil mengawasi tanda tangan di sudut

bawah surat perkenalan perusahaan itu.

"Direktur PT Tanah Suka Jadi Makmur, Bu,"

sahut Ir. Hadinata. "Sesudah saya teliti,

perusahaannya cukup bonafide. Penawaran yang

dimasukkannya pun reasonable sekali. Jika kita

setuju menunjuknya sebagai subkontraktor tahap

kedua proyek kita...."

"Siapa yang memberimu hak untuk memutus
kan?" bentak Niken marah. "Apa yang terjadi

dengan subkontraktor kita yang lama? Mereka

kurang memberimu pelicin?"

Insinyur Hadinata tertegun bingung. Mukanya

entah sudah berapa kali berubah warna. Merah.

Pucat. Merah lagi.

Mengapa Ibu Direktris begitu gusar? Kalau dia

tidak setuju...

"Keluarkan yang satu ini dari prakualifikasi!"

Niken melemparkan surat yang sedang dipegang
nya dengan gemas. "Untuk selanjutnya, saya tidak

mau mendengar nama perusahaan ini lagi!"98

Insinyur Hadinata tambah bengong. Matanya

menyapu kepala surat yang terpampang megah di

atas kertas itu. Mengapa Ibu Niken begitu tidak

menyukai nama Tanah Suka Jadi Makmur? Padahal

itu sebuah nama yang bagus! Sepertinya bawa hoki!

* * *

Niken tidak membenci Bambang. Bukan Bambang

yang meninggalkannya. Dialah yang mengkhianati
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan mereka yang telah berjalan tiga tahun.

Dan semua itu gara-gara perjumpaannya dengan

Aldi!

Tetapi pertemuan dengan Bambang akan mem
bangkitkan nyeri luka lama. Niken tidak mau

menoreh luka itu lagi. Lebih-lebih kalau pertemuan

dengan Bambang akan mengembalikan ingatannya

pada siang yang panas itu... suatu hari... di sebuah

apotek....

Saat itu Niken tidak mampu menebus obat

untuk Dimas. Saat itu Niken harus menggendong

Dimas yang sedang sakit, berpanas-panas mengejar

bajaj, keluar-masuk apotek untuk mencari obat

generik.

Saat itu Bambang dan istrinya yang cantik dan

angkuh, masuk ke sebuah mobil mewah... mobil

yang meluncur pergi dengan pongahnya meninggal
kan segumpal debu untuk Niken dan Dimas.99

Memang bukan salah Bambang. Dia sudah men
gajak Niken ikut. Berniat mengantarkannya pulang,

walau mungkin cuma basa-basi.

Tetapi bagaimanapun, Niken belum dapat

melupakan sakit hatinya. Dan karena dia tidak dapat

melampiaskan sakit hatinya, dia membalasnya

dengan bertindak seperti ini. Padahal, apa salah

Bambang? Dia malah tidak tahu siapa Ibu Niken A.

Prasetyo, direktris PT Bangun Bumi Bertuah yang

digelari karyawan-karyawannya sebagai si Octopus

itu!

* * *

"Saya tidak mau menemuinya, tidak ada waktu!"

sahut Niken pendek, kering.


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul

Cari Blog Ini