Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W Bagian 2
"Tapi Pak Bambang ingin sekali bertemu, Bu.
Waktunya terserah Ibu."
"Sudah saya bilang, tidak ada waktu!" belalak
Niken gusar. "Masa menangani urusan begini saja
tidak bisa? Mau saya pindahkan ke divisi lain?"
"Maaf, Bu," Ir. Hadinata menunduk sambil
menelan kejengkelannya. "Saya hanya tidak tahu
bagaimana harus menolak permintaan Pak Bam
bang. Dia penasaran sekali mengapa tawarannya
ditolak, padahal perusahaan lain memberi kalkulasi
lebih tinggi."
"Bagaimana dia tahu perusahaan lain memberi
penawaran lebih tinggi?" dengus Niken tajam. "Ada
yang membocorkannya?"100
Paras Ir. Hadinata memucat sedikit. Bibirnya
terkuak seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tetapi
tidak ada suara yang keluar. Matanya menatap
direktrisnya dengan resah.
"Saya akan minta Pak Suwito meneliti kasus ini.
Jika ternyata benar dugaan saya, ada kolusi antara
anak buah saya dengan pihak subkontraktor ter
tentu, saya akan menindaknya dengan tegas!
Selamat siang!"
Ir. Hadinata terpaksa meninggalkan ruang kerja
direktrisnya walaupun dia masih ingin bicara.
Selamat siang, berarti keluar! Dan dia tidak punya
peluang lagi.
Bambang Pranoto memang bekas teman
kuliahnya. Jadi ketika dia minta tolong, Hadinata
tidak keberatan membantu.
Apa salahnya? Tidak merugikan pihak
perusahaan Bangun Bumi Bertuah sebagai
developer, kan? Membangun 50 rumah tipe
Kenanga berukuran seratus meter di atas KSB.
seratus lima puluh meter seharga lima puluh juta per
rumah sudah reasonable sekali! Subkontraktor lain
mematok harga lebih tinggi!
Mengapa Ibu Niken malah marah? Menuduhnya
bekerja sama dengan pihak subkontraktor? Kalau
tidak merugikan perusahaan, apa salahnya bekerja
sama?
Mengapa Ibu Niken kelihatannya benci sekali
pada Tanah Suka Jadi Makmur?101
"Kau kenal sama Ibu Niken, Bang?" tanya
Hadinata penasaran ketika dia bertemu lagi dengan
temannya untuk menyampaikan penolakan
direktrisnya untuk bertemu.
"Niken Prasetyo? Namanya saja baru pernah
dengar!"
"Orangnya memang terkenal sadis! Tidak punya
hati! Tapi biasanya dia mengandalkan nalar! Kalau
menguntungkan perusahaan, bekerja sama dengan
siapa pun dia tidak peduli!"
"Tidak ada cara lain untuk mempertemukan aku
dengan dia, Di? Siapa tahu dengan pendekatan."
"Orangnya susah, Bang! Salah-salah aku yang
dipecat! Sudahlah, kau cari developer lain saja!"
"Order lagi susah, Di. Sektor properti lagi
kelebihan pasokan. Cari developer yang masih aktif
membangun seperti perusahaanmu mulai sulit!"
"Cobalah di tempat lain, Bang."
"Sudah kucoba, Di. Tapi itulah. Zaman
keemasan bidang properti tampaknya sudah hampir
lewat! Kau tahu kan, membangun dengan lima ratus
ribu per meter saja rumah tipe begitu, margin
keuntunganku sudah tipis sekali!"102
BAB X
ALDI melayangkan tangannya ke wajah Indah.
Sambil memekik kesakitan Indah terhuyung jatuh ke
tempat tidur.
"Awas kalau berani bilang begitu lagi!" ancam
Aldi beringas.
"Bunuh saja aku!" tangis lndah setengah
histeris. "Aku memang sudah tua! Jelek! Tidak
laku!"
Aldi menatap wanita itu sejenak dengan kesal
sebelum mengentakkan kakinya meninggalkan
kamar mereka. Dia benar-benar merasa pengap.
Dua-tiga tahun terakhir ini lndah memang
berubah drastis. Bukan hanya tubuhnya. Sifatnya
juga. Tingkahnya menjadi aneh kalau bukan
menyebalkan.
Cemburunya menjadi tiga kali lipat lebih hebat.
Barangkali seiring dengan lunturnya kepercayaan
dirinya terhadap daya tariknya. Stres ber
kepanjangan membuat nafsu makannya mem
bengkak. Tubuhnya menjadi gemuk. Lebih tak
terurus lagi karena sekarang dia malas senam. Segan
merawat tubuhnya.103
"Buat apa," gerutunya kalau Aldi memperingat
kannya. "Aku toh bukan bintang film lagi! Sudah
nggak laku!"
Tentu saja Aldi tahu, bukan baru sekali-dua
Indah mengirimkan surat lamaran ke studio film.
Tapi siapa yang mau memakai wanita di atas tiga
puluh? Apalagi dunia film sedang sekarat. Dan
Indah sama sekali tidak punya bakat akting.
Ketika dunia sinetron sedang marak, usia Indah
sudah merangkak ke angka empat puluh. Dan
tubuhnya sudah keburu melar.
Satu-satunya lowongan yang tersisa cuma men
jadi bintang iklan sabun cuci. Tapi Indah merasa ter
hina kalau dia ditampilkan sebagai ibu gemuk yang
sedang mengucek-ucek baju. Memangnya dia babu!
Dia kan Indah Juwita Purnama yang terkenal!
Mantan bintang film!
Stresnya tambah membubung karena Aldi masih
tetap disukai wanita, di kantor maupun di
lingkungan rumah mereka. Dalam usia empat puluh
satu tahun, Aldi Prasetyo masih tetap ganteng dan
menawan. Tubuhnya masih tegap dan atletis. Dan
gayanya masih tetap dikagumi wanita dari segala
usia.
Sementara Indah sendiri sudah tersudut di
pojok. Jangankan ditegur lelaki, dilirik saja tidak!
Padahal sebelum kabur dengan Aldi dulu, dia
aktris terkenal. Cantik. Seksi. Memikat. Pengagum
nya banyak. Di mana-mana disapa orang. Tentu saja
itu pendapat Indah.104
Sekarang? Di pasar saja tidak ada yang kenal!
Tetangga tidak memandang sebelah mata.
"Ibu gemuk yang di sebelah itu?" mereka
mencibir sinis. "Piaraan!"
Entah dari mana mereka tahu. Yang berbau
busuk memang sulit ditutupi. Tapi rata-rata
tetangganya tahu, dia tidak menikah dengan Aldi.
Bagaimana Aldi dapat mengawininya? Dia belum
bercerai dengan istrinya!
Tiga belas tahun yang lalu mereka kabur begitu
saja ke Riau. Ketika situasi ekonomi di Batam mulai
cerah, Aldi mengajaknya pindah ke sana. Usahanya
di Batam maju pesat. Tetapi pertengahan tahun lalu,
terjadi resesi ekonomi. Banyak perusahaan yang
bangkrut.
Meskipun perusahaan Aldi tidak sampai gulung
tikar, dampak resesi itu mengenai juga perusahaan
nya. Dia terpaksa menjual asetnya untuk melunasi
utang bank. Lalu dia mengajak Indah kembali ke
Jakarta. Dan mencoba melamar pekerjaan di
beberapa perusahaan yang masih sehat. Tentu saja
tidak mudah mencari pekerjaan pada saat hantu
PHK sedang bergentayangan di mana-mana. Semua
perusahaan sedang cenderung mengecilkan jumlah
karyawan.
Mengurangi lembur. Bahkan memangkas gaji
direksi. Siapa yang mau menerima karyawan baru?
Tetapi untung, Sunaryo Muchlis, bekas teman
nya waktu SMA, masih mengenalinya. Biarpun
perusahaannya tidak berniat menambah pegawai,105
Sunaryo sulit menolak Aldi. Akhirnya dia diberi
kesempatan mencoba selama tiga bulan.
Aldi terpaksa menerima pekerjaan itu, biarpun
gaji permulaannya hanya delapan puluh persen dari
gaji yang seharusnya. Dia memang hanya ingin
bekerja untuk sementara waktu, sambil menyusun
kekuatan untuk membuka usaha sendiri.
"Sori, Al," keluh Sunaryo muram. "Hanya
segitu yang dapat kuberikan padamu. Perusahaanku
sendiri sedang ketar-ketir akibat dampak gejolak
moneter. Percayalah, kalau keadaan membaik, kau
akan kuberi kesempatan lebih baik."
Tentu saja Aldi bersedia menunggu. Lagi pula,
dia memang tidak punya pilihan lain. Daripada tidak
ada kerjaan.
Tetapi yang tidak dapat bertahan justru Indah.
Semakin hari dia menjadi semakin menyusahkan.
Adatnya semakin sulit. Cemburunya membabi buta.
Semua perempuan yang melirik Aldi, mengajaknya
bicara, menelepon, dicurigai.
Tukang jamu saja, kalau agak ayu sedikit, asal
dia bolak-balik terus menawarkan dagangannya,
dibentak. Kalau tidak mau pergi, diusir-usir.
Pembantu, apalagi. Bukannya Aldi tidak kuat
membayar gaji. Tapi Indah tidak mau ambil risiko.
"Kamu kan mata keranjang!" kilahnya pedas.
"Lebih aman tidak usah ada pembantu!"
"Kalau begitu cari saja yang sudah kempot!" tu
kas Aldi jengkel. "Atau yang matanya picek!"106
Kalau Aldi marah, Indah lebih gusar lagi. Dan
buntut setiap pertengkaran mereka, pasti itu-itu juga.
Dia selalu menyalahkan Aldi.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gara-gara kamu aku jadi begini!" geramnya
gemas. "Kalau aku tidak kabur meninggalkan Bang
Roni, aku sekarang masih aktris terkenal!"
Bukan itu saja. Kalau belum puas menyalahkan
Aldi, Indah menyalahkan anak mereka juga. Bram
anak mereka satu-satunya. Umurnya baru sepuluh
tahun. Dia belum mengerti mengapa kalau sedang
kesal, dia ikut dimarahi walau tidak punya salah
apa-apa.
"Gara-gara menyusui kamu, payudaraku jadi
kendor!" geram Indah sengit. "Gara-gara beranak
aku jadi gembrot! Gara-gara bunting kamu, aku
kabur! Dan karierku amburadul!"
Kali ini Aldi menganggap kata-kata Indah sudah
keterlaluan. Dan hanya tamparan yang mampu
membungkam mulutnya.
"Awas kalau berani bilang begitu lagi!" ancam
Aldi beringas.
Dia khawatir kesintingan Indah akan mengacau
kan pikiran Bram. Dia masih kecil. Belum dapat
memahami keadaan ibunya. Pindah sekolah dan
pindah lingkungan saja sudah cukup membuatnya
stres. Ditambah lagi ulah ibunya yang tidak keruan.
Pasti membuat Bram tambah bingung.
Sering dia melongo mengawasi ibunya yang se
dang marah-marah membantingi barang. Kadang-107
kadang bukan barang yang dibantingnya. Tapi
badannya sendiri.
Dan bukan cuma itu saja. Terakhir gangguan
jiwa Indah lebih parah lagi. Bukan omongannya saja
yang kacau. Bukan cuma pikirannya yang kalut. Dia
malah mencoba membunuh diri!
Terpaksa Aldi membawanya ke klinik psikiatri.
Dan di luar dugaan, di sana dia bertemu dengan
adiknya!
Ternyata Eko-lah dokter jaga yang dipanggil
malam itu ketika Aldi membawa Indah ke klinik.
Dan pertemuan yang tidak disangka-sangka itu
terasa amat menyakitkan bagi mereka.
* * *
"Eko?" sapa Aldi antara kaget dan tidak percaya.
Dokter bertubuh kerempeng yang tidak
memakai baju dokter itu memang benar Eko
Prasetyo. Dia sedang bergegas masuk ke ruang
gawat darurat, ketika seseorang di ruang tunggu
memanggilnya, Eko berhenti dan menoleh.
Wajahnya langsung berubah ketika mengenali
kakaknya.
"Siapa yang sakit, Mas?" tanyanya datar. Sama
sekali tidak terlihat gembira berjumpa dengan
kakaknya yang telah tiga belas tahun menghilang.
"Indah," sahut Aldi tersendat. Untuk kedua
kalinya malam ini dia kehilangan ketenangannya.
Yang pertama, ketika menemukan Indah mencoba108
bunuh diri dengan mengerat nadi di pergelangan
tangannya tadi.
Paras Eko terlihat lebih datar lagi. Nyaris mem
beku. Matanya menatap dingin sekilas. Sebelum dia
melangkah masuk sambil mengangkat bahu.
Aldi terpukul melihat sikap adiknya. Alangkah
berubahnya Eko sekarang! Dia seperti sudah men
jelma menjadi orang lain! Tetapi pukulan terbesar
dirasakannya ketika Eko sudah sempat menjumpai
nya setelah menolong Indah.
"Keadaannya sudah tidak mengkhawatirkan,"
kata Eko tawar. Wajahnya kosong tanpa emosi.
"Tapi jiwanya sakit. Dia mengidap delusi
persekutorik. Waham dikejar-kejar mantan suami
yang hendak membunuhnya. Dan dia yakin sekali
Mas ada main dengan perempuan lain. Sebab itu dia
bunuh diri, karena merasa tak ada lagi yang mem
perhatikan dan melindungi dirinya."
"Dia bisa sembuh?"
Eko mengangkat bahunya dengan tatapan
hampa.
"Harus psikoterapi. Perlu waktu. Selama itu, dia
juga harus minum obat supaya wahamnya tidak ber
tambah parah."
"Perlu dirawat?"
Eko mengawasi kakaknya sejenak sebelum
menjawab.
"Tidak perlu. Mas Aldi-lah yang harus
merawatnya."109
Entah mengapa, Aldi tidak suka mendengar
nada suara adiknya. Apakah Eko mengira dia
hendak melepas tanggung jawabnya atas diri Indah?
"Sebentar lagi dia boleh pulang," kata Eko
tawar sambil memutar tubuhnya untuk masuk
kembali ke dalam. "Kami hanya perlu observasi satu
jam lagi."
"Eko!" panggil Aldi sebelum tubuh adiknya
lenyap di balik pintu ruang gawat darurat.
Eko menoleh. Tapi tidak menghampiri. Dia
hanya menatap kakaknya dengan tatapan beku.
"Kau tahu di mana Niken?"
Sesaat Eko mengawasi Aldi dengan dingin. Lalu
sambil mengangkat bahu, sahutnya kering, "Tidak."
Tanpa menunggu lagi, Eko menutup pintu.
* * *
"Ada apa, Mas?" tanya Niken heran. "Dari tadi
diam saja."
"Sebenarnya aku ingin tanya sesuatu."
"Tanyalah. Soal apa?" Niken memindahkan
steaknya ke piring suaminya. "Beratku sudah naik
setengah kilo. Malam makan sayur saja."
Eko mengawasi istrinya sejenak. Lalu dia
menunduk kembali menatap piringnya.
"Sudahlah, lupakan saja."
"Ah, Mas Eko bikin penasaran saja! Soal apa
sih?"
"Tadinya aku mau tanya sesuatu."110
"Tanyalah!"
Lama Eko menatap Niken sebelum membuka
mulutnya.
"Kamu tidak mau punya anak lagi?"
Niken membalas tatapan suaminya dengan
tegang. Tetapi beberapa saat kemudian, tatapannya
melunak.
"Mas ingin punya anak?"
"Bukankah sudah waktunya kamu lepas spiral
mu? Atau... kamu tidak mau hamil karena takut
gemuk?"
"Aku hanya masih repot, Mas."
"Perusahaanmu masih kurang banyak?"
"Aku sendiri tidak tahu apa masih bisa memper
tahankan semuanya sampai gejolak moneter ini
berlalu. Mas kan tahu sebagian besar modalku
berasal dari kredit. Kalau pihak bank tidak mau
memberi roll over....**
"Jadi anak kita mesti menunggu sampai badai
moneter ini berlalu?" Eko tersenyum kaku. "Kamu
tidak takut masa suburmu juga bisa ikut berlalu?"
"Bagaimana kalau kita tunggu setahun lagi,
Mas?"
"Terserah kamu saja. Kurasa kamu belum ingin
punya anak karena belum dapat melupakan Dimas."
Sampai kapan pun aku tak dapat melupakannya,
desis Niken dalam hati.
* * *111
Dia tidak boleh menemui Niken, pikir Eko mantap.
Dia sedang duduk di kamar kerjanya. Menatap
kertas kosong di hadapannya. Di kertas itu ter
bayang wajah kakaknya.
Aldi masih tetap tampan. Menarik. Malah
tampak lebih memikat karena terlihat matang
meyakinkan. Perempuan biasanya mengagumi pria
yang sudah matang, kan? Termasuk Niken! Eko
yakin sekali, dia belum dapat melupakan Aldi!
Niken sudah miliknya. Kalau dia tahu Aldi
masih hidup dan kini sudah kembali...
Dia tidak boleh tahu, geram Eko sambil me
nekan sebatang pensil sekuat-kuatnya ke atas meja,
sampai pensil itu patah menjadi dua. Dia tidak boleh
merampas Niken kembali! Niken milikku. Dan akan
tetap menjadi milikku!
Kalau aku tidak dapat memilikinya, orang lain
juga tidak....
Salahnya sendiri kalau dulu Aldi meninggalkan
Niken! Enak saja dia kembali sekarang! Bagiannya
cuma Indah! Perempuan yang sudah berubah
ingatan itu!
* * *
"Gula darah puasamu seratus delapan puluh. Dua
jam sesudah makan dua ratus empat puluh," kata
Eko sambil mengawasi hasil laboratorium di
hadapannya. "Artinya kamu mengidap diabetes
melitus. Penyakit kencing manis."112
Indah menatap Dokter Eko dengan putus asa.
"Mengapa penderitaan saya tidak ada habis
habisnya?"
"DM bukan kanker," sahut Eko datar. "Kalau
kamu rajin berobat, gula darahmu bisa dijaga agar
tetap normal."
"Dan badan saya bisa ramping kembali?"
"Kenapa kamu ingin sekali kelihatan ramping?"
"Saya bekas aktris terkenal!" suara Indah
langsung meninggi satu oktaf. "Mana ada aktris
gembrot?"
"Kamu masih ingin berakting?"
"Itu impian saya!"
"Kalau begitu, jangan bunuh diri!"
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi siapa lagi yang mau pakai saya?"
"Kamu masih cantik. Kalau kamu bisa
menurunkan berat badanmu, siapa tahu..."
"Tolong saya, Eko!" Indah merengkuh tangan
Eko dengan tiba-tiba sampai Eko tersentak kaget.
"Beri saya obat kurus! Obat awet muda! Obat
apa saja asal saya bisa memperoleh kembali daya
tarik saya!"113
BAB XI
"Bos!" cetus manajer unit Roni Jamal dengan mata
terbelalak lebar. "Ada kejutan!"
"Kejutan dengkulmu!" bentak Roni Jamal
sengit. "Jadwal syuting berantakan gara-gara unitmu
salah jemput artis!"
"Tapi ini benar-benar di luar dugaan, Pak!
Tebak, siapa yang datang!"
"Alamak! Kau mau main kuis pula di sini?"
Roni Jamal mendelik lebar seperti hendak menelan
manajer unitnya bulat-bulat. Tapi Podang malah
menghambur ke dekat bosnya dan berbisik di
telinganya. Kali ini, mata Roni Jamal membelalak
dua kali lebih lebar. Kumisnya sampai berdiri.
"Suruh dia pergi!" bentaknya dengan suara
bagai halilintar. "Jangan injak kantorku lagi!"
Podang sampai terlonjak mundur saking kaget
nya.
"Bapak nggak mau lihat dia?" desisnya heran.
"Kau mau lihat aku jadi pembunuh?"
"Tapi, Pak... Indah Juwita Purnama sudah
berubah!"114
"Keluar kau!" bentak Roni sengit. "Usir dia
pergi!"
Dengan ketakutan Podang menghambur ke luar.
Ditemuinya Indah Juwita Purnama yang sedang
duduk menunggu.
"Sori," gumamnya perlahan. "Bos lagi ngamuk.
Nggak mau ketemu siapa-siapa."
"Sudah kau bilang aku yang datang?" sergah
Indah kecewa.
Dia sudah berdandan hebat, khusus untuk hari
ini. Dokter Eko telah menolongnya. Entah obat apa
yang diberikannya. Tapi dalam enam minggu, be
ratnya telah susut sepuluh kilo. Memang tubuhnya
belum terbentuk seperti dulu. Tapi paling tidak,
Roni Jamal tidak akan mengelirukannya dengan
ondel-ondel.
"Sudah. Tapi dia malah mengusirmu."
Indah menatap manajer unit itu dengan kecewa.
"Kau harus menolongku," pintanya hampir
menangis.
"Menyelundupkanmu ke kamar kerjanya?"
Podang menggeleng ngeri. "Aku bisa di-PHK!"
Tapi Indah pantang ditolak. Dan dia masih ingat
bagaimana caranya kalau hendak minta tolong pada
manajer unit yang satu ini.
* * *115
Roni membuka pintu kamar kerjanya dengan kesal.
Syuting hari ini terpaksa ditunda. Unitnya benar
benar konyol! Masa salah jemput artis!
Dibantingnya pintu dengan sengit. Dinyalakan
nya AC. Wuh! Hari ini benar-benar panas! Dan dia
tertegun. Mengapa AC sudah hidup? Dari tadi dia
belum masuk kemari. Masih sibuk mengatur jadwal
syuting yang amburadul.
Dan kursi di balik meja tulisnya berputar. Mata
Roni hampir melompat ke luar ketika melihat siapa
yang duduk di sana....
"Halo, Bang!" sapa Indah dengan suara yang
manja-manja menggemaskan, suara yang suatu
waktu dulu menjadi senjata andalannya.
Tetapi kali ini, senjatanya tidak mempan. Juga
senyumnya yang manis menggoda. Bukannya
terpikat, Roni malah meledak.
"Siapa yang memberimu izin masuk kamar
kerjaku?" bentaknya sengit.
"Bang Roni!" sergah Indah hampir menangis
karena kecewa.
"Keluar kau!" Roni menghampiri mantan
istrinya dengan berang. "Jangan pernah menginjak
kantorku lagi!"
Roni sudah mengangkat tangannya untuk
memukul ketika Indah memekik histeris. Matanya
terbeliak kelakutan. Dan dia menghambur lari ber
sembunyi di balik lemari.
"Jangan bunuh saya, Bang!" teriaknya panik.
"Jangan!"116
Sekarang, Roni-lah yang bingung. Indah terus
menerus menjerit. Dan pintu kamar kerjanya
digedor orang.
"Diam!!" bentak Roni kewalahan. "Diam!!"
Tetapi Indah masih menjerit-jerit ketakutan
sampai Roni dengan panik membuka pintu kamar
kerjanya. Podang dan beberapa orang karyawan lain
menerobos masuk dengan bingung.
"Bawa dia keluar!" seru Roni kesal. "Bawa dia
ke dokter! Atau persetan, ke mana saja! Barangkali
dia sudah gila!"
* * *
"Kami sudah menemukan Indah Juwita Purnama,
Bu," Dede Azwar menyeringai puas. "Kemarin dia
datang ke kantor mantan suaminya. Minta
pekerjaan."
Niken memajukan tubuhnya begitu cepatnya
sampai dadanya menyentuh tepi meja tulisnya. Dan
untuk pertama kalinya, Dede melihat wajah yang
dingin itu berubah.
"Kontak dia," perintahnya tegas. "Dan Anda
boleh mempelajari konsep surat perjanjian kerja
sama kita."
"Ibu tidak ingin tahu seperti apa dia sekarang?"
sela Sinta bingung.
Sekarang Niken menoleh ke arahnya. Dan
jantung Sinta memukul lebih keras ketika melihat
dinginnya sorot mata wanita itu.117
"Pakai dia, atau perjanjian kita batal!"
"Tapi dia sudah berubah, Bui" bantah Dede
bingung. "Dia bukan Indah Juwita Purnama yang
dulu lagi! Ibu harus melihatnya dulu...."
"Anda yang harus mengontaknya, bukan saya,"
potong Niken kaku, datar. "Saya menginginkan dia
dalam produksi kita. Titik."
"Dalam kondisi seperti apa pun?"
"Dalam kondisi seperti apa pun."
"Tapi dia sekarang dirawat di klinik jiwa, Bu!
Katanya dia sudah gila!"
Niken tertegun kaku. Matanya menatap tamunya
dengan tegang.
* * *
"Saya tidak tahu dia dirawat di mana!" sahut Roni
jengkel. "Dan saya tidak kenal Anda! Selamat
siang!"
Roni Jamal membanting teleponnya dengan
sengit. Ada-ada saja. Tiba-tiba Indah muncul seperti
keluar dari lubang kubur. Dan dia sudah tidak
waras!
Belum selesai satu persoalan, kini muncul per
soalan lain. Ada direktur perempuan yang mencari
Indah. Katanya mau mengajaknya main sinetron!
Puah! Kalau tidak sakit, perempuan itu pasti gila!
Jangan-jangan teman satu sel Indah di rumah sakit
jiwa!118
Roni Jamal menyambar gelasnya dan meneguk
isinya sampai habis.
Bayangan wajah Indah yang sedang menjerit
jerit ketakutan melompat lagi ke depan matanya.
Benarkah dia sudah gila?
Barangkali Indah kualat padanya. Diambil men
jadi istri. Dijadikan bintang film. Dan dia kabur
begitu saja dengan lelaki lain!
Bah! Di mana lelaki itu sekarang? Masihkah dia
bersama Indah? Atau... Indah sudah ditinggalkann
ya mentah-mentah?
Sekarang Indah sudah tidak muda lagi. Tidak
secantik dulu. Badannya pun tidak seseksi dulu lagi.
Siapa yang masih mau padanya?
Lelaki buaya itu, kalau dia masih ganteng
seperti dulu, pasti sudah menemukan mainan baru,
yang lebih muda dan menggiurkan!
* * *
"Anda sudah bertemu dengan Indah Juwita
Purnama?" desak Niken melalui telepon.
"Kami masih mencari info, Bu," sahut Dede
Azwar jemu. "Mantan suaminya tidak bisa ditanya.
Katanya dia sudah tidak peduli lagi pada Indah.
Karyawannya bilang, bos mereka malah sudah ber
sumpah akan membunuh Indah kalau dia muncul
lagi!"
"Masa tidak ada yang tahu dia dibawa ke
mana?"119
"Indah hanya dirawat satu hari. Sudah dibawa
pulang oleh suaminya."
Suaminya. Jantung Niken berdebar tidak
keruan. Kepalanya berdenyut. Mukanya merah
padam. Suaminya! Aldi-kah orangnya? Tapi mereka
belum bercerai! BagaimanaAldi bisamenikah lagi?
Bagaimana dia bisa mengawini Indah?
Niken baru dapat menikah dengan Eko setelah
tiga tahun Aldi dinyatakan hilang. Setelah suaminya
dianggap meninggal.
Mungkinkah Aldi memakai identitas baru?
Atau... dia bukan Aldi?
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya masih ingin memakai Indah Juwita
Purnama dalam produksi kita," kata Niken tegas
setelah dia dapat menguasai dirinya kembali. "Cari
dia. Dan saya masih memerlukan info lain. Harap
Anda terus menghubungi saya."
"Gila!" Dede membanting teleponnya dengan
mengkal. "Kayak nggak ada artis lain! Sudah tahu
sinting, masih mau dipakai juga!"
"Barangkali dia mau bikin sinetron Cintaku di
Rumah Sakit Jiwal" Sinta tertawa geli. "Sudahlah,
lebih baik kita mundur daripada ikut sinting! Cari
pemodal lain yang masih waras!"
* * *
"Indah tidak bakal sembuh kccuali dia memperoleh
kembali kepercayaan dirinya, kebanggaannya,120
semangatnya untuk eksis," kata Eko tawar. "Tanpa
itu, dia bisa hancur. Lama-lama dia bisa gila."
Belum gilakah dia sekarang? pikir Aldi murung.
Berteriak-teriak di kantor mantan suaminya?
"Apa yang harus kulakukan?" keluh Aldi putus
asa. "Apa aku harus bikin rumah produksi? Bikin
sinetron supaya dia bisa main? Dari mana
modalnya? Televisi mana yang mau menayangkan?
Siapa yang mau nonton?"
"Itu PR-mu," desah Eko dengan kepuasan yang
aneh. "Mas Aldi yang dulu merenggut kariernya.
kan?"
"Kamu juga punya pikiran begitu?" geram Aldi
gemas. "Kamu juga menyalahkan aku?"
Eko mengangkat bahu dengan acuh tak acuh.
"Ini resep obatnya," katanya sambil menyodor
kan sehelai resep. "Yang ini obat gula. Yang dua itu
antidepresi dan trankuiliser. Jaga jangan sampai dia
mencoba bunuh diri lagi. Mentalnya masih labil.
Beberapa hari ini dia harus diawasi ketat."
"Kenapa tidak dirawat saja? Di sini banyak
perawat yang dapat mengawasinya, kan?"
"Tidak ada kamar kosong," sahut Eko datar.
"Lagi pula, dia tidak perlu dirawat. Dia belum gila.
Dan tidak membahayakan orang lain."
"Tapi aku kasihan pada Bram, Eko! Dia
bingung sekali melihat ibunya!"
"Itu kewajiban Mas Al untuk menjelaskannya
pada Bram. Bukan memisahkannya dari ibunya.121
Mas Al kan tidak dapat menyingkirkan Indah untuk
selamanya."
"Bukan selamanya," kilah Aldi kesal. "Hanya
sementara! Untuk beberapa hari ini! Bukankah
katamu beberapa hari ini keadaannya gawat? Dia
bisa mencoba bunuh diri lagi?"
"Karena itu Mas Al harus mengawasinya. Dan
jangan lupa berikan obatnya. Awasi betul supaya
obatnya benar-benar ditelan. Bukan disimpan di
mulut lalu dibuang!"
Aldi memandang adiknya dengan benci. Jelas
sekali Eko sengaja membuatnya susah. Barangkali
dia sengaja hendak membalaskan dendam Niken.
Atau dia sendiri menikmati kesulitan abangnya?
Sejak kecil adat Eko memang aneh. Dia tidak
nakal. Tidak suka berkelahi. Tidak suka menjaili
orang. Tapi dia suka sekali menikmati penderitaan
orang lain. Selalu terbayang kepuasan yang aneh di
wajahnya kalau dia melihat sesamanya menderita.
Heran, orang seperti dia kok malah jadi dokter!
Atau... itu justru medianya untuk menyaksikan
penderitaan?
* * *
"Siapa?" Sunaryo Muchlis mengerutkan dahinya
dengan heran. "Ibu Ardini dari PT Merenda Masa
Depan? Saya tidak kenal. Untuk urusan apa?"122
"Beliau hanya minta izin untuk bertemu, Pak.
Katanya untuk menjajaki kemungkinan kerja sama
di pasar modal."
"Dalam situasi seperti ini? Saat semua saham di
bursa saham anjlok?"
Tetapi ketika sudah berhadapan dengan direktris
PT Merenda Masa Depan yang cantik dan menarik
ini, Sunaryo tidak menyesal waktu makan siangnya
berkurang setengah jam.
"PT Merenda Masa Depan merupakan
perusahaan efek yang sudah empat tahun bergerak
di dunia pasar modal, Pak Naryo," Niken membuka
pembicaraannya dengan gaya yang tenang tapi
meyakinkan. "Anda bisa mengecek bonafiditas
perusahaan saya melalui data di Bursa Efek
Jakarta."
"Oke, apa yang ingin Ibu tawarkan pada saya?"
"Sebagaimana Anda ketahui, perusahaan saya
bergerak di bidang kepialangan dan penjaminan
emisi saham dan obligasi. Pak Naryo dapat meraih
modal dari investor nasional dan asing dengan men
jual saham melalui perusahaan saya di bursa
saham."
"Dalam keadaan bursa saham yang sedang
sekarat seperti sekarang? Siapa yang mau beli
saham, Bu? Setiap hari harga saham kita anjlok,
termasuk saham-saham perusahaan yang kuat!"
"Justru sekarang saat yang terbaik, Pak.
Sebentar lagi investor asing akan menyerbu bursa
saham kita pada saat harga saham kita sedang123
murah-murahnya, untuk dilepas kembali pada saat
menguat! Jika Anda ingin menyelamatkan
perusahaan Anda, tidak ada jalan lain kecuali go
public! Itu cara tercepat mendapat suntikan dana."
"Saya harus memikirkannya dulu," Sunaryo
menggeleng bingung. "Perusahaan sepatu yang saya
miliki ini memang sedang berkembang pesat. Kami
bahkan sudah dapat mengekspor ke luar negeri. Tapi
pada saat gejolak moneter seperti sekarang, siapa
yang tidak kelimpungan?"
"Tidak perlu buru-buru," sahut Niken tenang.
"Kita bicarakan lagi sambil lunch minggu depan.
Oke?"
"Oke," sahut Sunaryo bagai disihir. Bagaimana
menolak undangan makan siang seorang wanita
cantik? "Tapi saya heran, mengapa Ibu memilih
perusahaan saya? Masih banyak perusahaan lain
yang lebih besar dan bonafide!"
Niken tidak menjawab. Dia hanya tersenyum
tipis. Dan senyumnya begitu misterius. Tapi
sekaligus... menarik!124
BAB Xll
TERUS terang, Sinta agak terhibur melihat
penampilan Indah Juwita Purnama. Dia masih tetap
cantik, walau wajahnya sudah tidak muda lagi.
Tubuhnya memang tidak seindah masa mudanya,
tapi memadailah untuk wanita empat puluh tahunan.
"Minta saya ikut main sinetron?" terbelalak
mata Indah. Dia hampir tidak mempercayai
telinganya sendiri. Mukjizat apa yang turun dari
langit ini? Tiba-tiba ada produser yang mengajaknya
main sinetron! Bukan main! Bukan main! Bukan
main...!!!
"Saya Dede Azwar, produser dari PT Gilang
Gemilang Entertainment, Mbak Indah. Kebetulan
koproduser kami punya cerita yang cocok untuk
Mbak. Dia menginginkan Mbak-lah yang main,
tentu saja kalau Mbak Indah setuju...."
"Saya gembira sekali!" potong Indah terburu
buru, takut mukjizat itu keburu terbang lagi ke
langit. "Sudah lama saya ingin kembali berakting,
tapi belum ada kesempatan!"125
"Ini skenarionya, Mbak," Sinta menyodorkan
skenario sebanyak tiga belas episode. "Barangkali
mau Mbak Indah pelajari dulu."
"Saya hanya perlu waktu dua hari," sahut Indah
bersemangat. "Siang-malam saya akan mempelajari
nya!"
"Tenang-tenang saja, Mbak," sela Sinta
khawatir. "Persiapan produksi masih lama. Masih
banyak waktu kok."
"Terima kasih!" sambut Indah tanpa berusaha
menyembunyikan kegembiraannya. "Bilang sama
koproduser Anda, dia tidak bakal kecewa! Saya
akan bermain sebaik mungkin! Dan dunia seni peran
akan melihat Indah Juwita Purnama berakting
kembali!"
"Kami permisi dulu, Mbak. Ini kartu nama saya.
Silakan menghubungi kami kalau ada pertanyaan."
"Jangan khawatir saya tidak akan main rangkap!
Saya tidak mau dikontrak beberapa produksi
sekaligus! Itu tidak profesional! Mana bisa saya
menghayati peran kalau harus main ganda?"
Sinta dan Dede bertukar pandang. Benarkah
artis yang satu ini sudah sakit? Diterima di satu
produksi saja belum tentu, siapa yang menawarkan
kesempatan main rangkap? Memangnya dia siapa?
"Mana kontraknya? Biar sekalian saya pelajari."
"Minggu depan Mbak kami minta datang ke
tempat kami untuk tes peran. Jika oke, draft kontrak
akan segera kami kirim."126
"Saya masih perlu dites?" desis Indah agak
tersinggung. "Saya kan bukan pemain baru!"
"Kami tidak meragukan kemampuan akting
Mbak Indah. Tapi cocok-tidaknya dengan peran
itu...."
"Jangan berikan peran itu pada orang lain! Itu
bagian saya!"
* * *
"Bram!" teriak Indah setengah histeris ketika anak
nya baru saja menginjak ambang pintu depan.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bram yang baru pulang sekolah tertegun kaget.
Ketika dilihatnya ibunya menghambur meng
hampirinya, dengan ketakutan dia melempar tas
sekolahnya dan bersembunyi di balik meja.
"Ibu main sinetron, Bram!" teriak Indah dengan
air mata mengalir deras. Dia tertawa lebar sambil
membuka lengannya lebar-lebar untuk memeluk
anaknya. Tapi Bram malah kabur dengan ketakutan.
"Ibumu aktris!"
Bram lari ke halaman. Dan Indah terus
mengejarnya.
"Bram!" pekiknya bersemangat sekali. "Bram!
Mau ke mana?"
"Ada apa, Bu?" tanya Bu RT yang tergopoh
gopoh keluar dari rumahnya. Dia memandang Indah
dengan bingung. Lalu menoleh ke arah Bram yang
sedang lari lintang-pukang menjauhi ibunya.127
"Saya main sinetron, Bui" Indah tertawa gem
bira. Air matanya berlinang-linang. "Ibu tahu kan,
saya dulu bekas bintang film!"
Ibu RT mengawasi Indah dengan cermat.
Khawatir ingatannya terganggu lagi.
"Lebih baik masuk ke rumah, Bu," katanya
cemas. "Minum obatnya, ya? Biar saya yang cari
Bram."
"Ibu dengar? Tadi ada produser minta saya ikut
dalam produksinya! Saya akan main sinetron!"
"Ya, sudah," Ibu RT menghela napas panjang.
Dasar sinting! "Sekarang masuklah. Minum obat.
Lalu istirahat. Saya jemput Bram dulu."
"Ibu juga masih cantik kok! Kalau Ibu mau ikut
main, saya bisa minta produser mengajak Ibu juga!"
"Saya mau jadi ibu RT saja," sahut Bu RT
sabar. Asal jangan jadi sinting seperti kamu!
* * *
"Saya akan main sinetron!" cetus Indah dengan
kegembiraan yang meluap-luap ketika dia datang ke
klinik Dokter Eko.
Eko menatap pasiennya dengan cermat. Seolah
olah hendak menilai kesehatan mental pasiennya.
"Tadi ada produser datang ke rumah! Mereka
mencari saya! Mengajak saya ikut main dalam
produksi mereka yang terbaru!"
Apakah ini ilusi? pikir Eko sambil mengerutkan
dahi.128
"Jangan pandang saya seperti itu!" bentak Indah
gusar melihat cara Eko menatapnya. "Saya belum
gila! Lihat, ini kartu nama mereka!"
Indah melemparkan kartu nama Dede Azwar ke
meja Eko. Dengan mata menyipit, Eko mengawasi
kartu nama itu.
Hm, tampaknya tidak meragukan. Indah tidak
mengkhayal.
"Selamat," cetusnya datar. "Obatmu yang paling
mujarab telah kamu temukan...."
Indah melompat memeluk Eko sambil tertawa
gembira.
"Semua ini berkat jasamu!" katanya dengan air
mata berlinang. "Kalau bukan karena kamu, saya
masih jelek dan gembrot!"
Eko merenggangkan pelukan Indah. Ditatapnya
wanita yang sedang menangis sambil tersenyum itu.
"Mas Al sudah tahu?" tanyanya tawar.
Air muka Indah langsung berubah. Senyumnya
lenyap.
"Saya tegang menunggu reaksinya," dengusnya
kesal. "Dia tidak percaya saya bisa kembali ke dunia
akting! Sekarang dia akan lihat buktinya! Saya
masih tetap Indah Juwita Purnama, bintang film
berbakat! Kalau saya sudah jadi aktris sinetron ter
kenal, Aldi pasti kembali pada saya!"
"Mas Al main perempuan lagi?"
"Siapa bisa membuatnya jera? Tidak boleh lihat
dada montok, paha mulus!"129
"Siapa gadisnya kali ini?" nada suara Eko ter
dengar aneh. Tapi Indah sedang terlalu bersemangat
untuk memperhatikan.
"Pasti teman sekantornya! Tiap hari dia pulang
sampai malam!"
"Kamu tahu siapa namanya?"
"Peduli apa dengan segala macam perempuan
murahan begitu? Sebentar lagi, Aldi akan
merangkak mencium kaki saya!"
* * *
"Saya sudah memeriksa semuanya," kata Niken
sambil meletakkan gelas minumannya. "Saya ber
pendapat perusahaan Anda sangat sehat, karena
tidak punya utang."
"Ibu yakin dapat 'menjual' perusahaan saya di
bursa efek?" desak Sunaryo bernafsu.
"Mungkin ada beberapa pembenahan yang
harus Pak Naryo lakukan. Jika Anda tidak
keberatan, tim saya dapat memberi masukan dan
pengarahan yang mungkin berguna dilakukan
sebelum pemeriksaan oleh akuntan publik."
"Terima kasih, Bu Ardini. Jika berhasil, saya
tidak akan melupakan jasa Anda. Silakan memberi
pengarahan apa yang harus saya lakukan. Sebagai
pialang berpengalaman, Ibu pasti sudah tahu kiat
terbaik untuk menjual!"130
"Mari kita bersulang," Niken mengangkat
cawan vodka tonik-nya sambil tersenyum manis.
"Untuk kerja sama kita yang pertama."
* * *
"Dia sudah ada di kantor kami, Bu," kata Sinta di
telepon. "Pak Dede menyuruh saya menanyakan,
apakah Ibu mau ikut menyaksikan tes peran yang
kami adakan?"
"Saya akan datang secara incognito saja," sahut
Niken datar. "Kalau urusan saya di kantor sudah
selesai. Mengenai tes peran, saya kira Pak Dede
lebih berpengalaman. Silakan saja mulai."
Niken meletakkan telepon itu. Membenahi tas
kantornya. Menutup notebook-nya. Dan menelepon
sekretarisnya.
"Saya akan keluar sebentar, Tia. Suruh Pak
Danu bawa mobil saya ke depan."
"Bagaimana dengan rencana meeting jam tiga,
Bu?"
"Tunda satu jam."
Niken meletakkan teleponnya. Dan meraih tas
tangan dan tas kantornya sekaligus. Lalu dengan
langkah pasti, dia meninggalkan kamar kerjanya.
* * *131
Niken mengawasi Indah Juwita Purnama yang
sedang berakting dari balik kaca jendela kamar kerja
Dede Azwar.
Wajahnya begitu kosong dan dingin sampai
Dede yang duduk di sampingnya merasa heran ber
campur ngeri.
Inikah mimik seorang pengagum? Seorang
bekas fans? Dia lebih mirip melihat monster
daripada aktris kesayangannya!
Sekarang kecantikanmu cuma sekian, geram Ni
ken dalam hati. Sekarang kau bukan apa-apa, Indah
Juwita Purnama! Jika kita diadu lagi, aku meragu
kan apakah Aldi masih memilihmu!
Diam-diam Dede mengawasi Niken dari samp
ing. Dan tiba-tiba saja dia menyadari, betapa mirip
nya potongan rambut dan cara berdandan kedua
wanita itu! Apakah Niken Ardini Prasetyo sengaja
meniru Indah Juwita Purnama?
Dan Dede jadi tersentak kaget ketika mendadak
dia sadar, Niken sedang menatapnya dengan dingin.
"Maaf, Bu!" sergahnya gugup. "Dari tadi Ibu
belum memberi komentar!"
"Apakah perlu?" suara Niken kering dan tawar.
"Anda pakarnya, bukan?"
"Menurut pendapat saya," Dede menarik napas
berat. Dadanya terasa pengap. "Dia tidak punya
peluang...."
"Maksud Anda, dia tidak berbakat?"
"Kita akan gagal kalau memaksakan diri
memakainya."132
"Saya masih beranggapan dia yang paling cocok
memerankan tokoh Astuti."
"Masih banyak artis lain yang lebih mampu dan
lebih laku dijual, Bu Niken! Percayalah pada saya.
Anda bisa datang lagi untuk melihat mereka dan
memilih...."
"Untuk sementara kita pilih dia," potong Niken
tegas. "Sodorkan kontrak. Suruh dia pelajari. Tapi
jangan disetujui dulu. Tunggu sampai persiapan kita
selesai."
"Oke, kita jadi punya waktu untuk memilih lagi.
Lebih baik kontrak kita tunda saja, Bu. Kalau sudah
pasti Indah yang kita pilih, baru kita sodorkan
kontrak...."
"Berikan sekarang," sela Niken datar tapi
mantap.
Dede menatap Niken dengan bingung. Tapi
melihat dinginnya sorot mata perempuan itu, dia
tidak jadi membuka mulutnya.
* * *
Indah melemparkan draft surat perjanjian itu ke atas
meja makan. Tepat mengenai piring Aldi. Dengan
gemas Aldi menyingkirkannya. Tetapi Indah
merampasnya. Dan mendorongnya lagi ke depan
mata Aldi.
"Apa-apaan sih kamu?" bentak Aldi jengkel.
"Baca!" sergah Indah sambil tersenyum pongah.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baca!!"133
Aldi membaca surat perjanjian itu dengan acuh
tak acuh.
"Apa ini?" dengusnya tawar.
"Apa katamu?" belalak Indah kesal. "Itu
kontrak, tahu nggak? Kontrakku dengan produser
Gilang Gemilang Entertainment untuk bikin sinetron
tiga belas episode!"
"Ini baru draft," Aldi menyingkirkannya dengan
muram. "Jangan keburu gembira dulu. Belum tentu
jadi. Kalau mereka menemukan pemain baru, kamu
ditendang!"
"Mengapa kamu jahat sekali?" geram Indah
gemas. Direnggutnya surat perjanjian itu dengan
sengit.
"Aku justru kasihan padamu! Jangan terlalu
excited dulu! Kamu bisa sakit kalau gagal!"
"Gagal bagaimana? Aku sudah dites! Dan
produser itu spesial mencariku! Katanya aku paling
cocok untuk peran itu!"
"Kamu kenal produsernya?" tanya Aldi curiga.
"Pak Dede Azwar," sahut Indah mantap. "Sudah
kukenal sejak belasan tahun yang lalu! Dia kan
bekas produser film juga! Sekarang lari ke sinetron
karena dunia film kita sudah mati!"
"Dia spesial mencarimu?"
"Dia datang ke rumah begitu dapat alamatku!"
"Dari mana dia dapat alamatmu?"
"Peduli apa? Dia kan bisa tanya ke manamana!"
"Ke mana? Alamatmu yang terdaftar di Parfi
bukan alamat ini, kan? Kamu sudah menghilang tiga134
belas tahun! Tidak ada yang tahu ke mana kamu
pergi, di mana kamu bersembunyi! Siapa yang
memberitahu dia alamatmu?"
"Barangkali Bang Roni," suara Indah melunak.
"Dia sudah tidak mau mengenalmu lagi! Buat
apa dia memberikan alamatmu kepada produser
lain?"
"Barangkali si Podang, manajer unitnya. Mana
aku tahu? Lagi pula, apa peduliku?"
"Kamu tidak curiga?"
"Apa yang mesti dicurigai?"
"Aku curiga ada orang yang akan mencelaka
kanmu!"
"Siapa?"
"Orang yang mendendam padamu!"
"Bang Roni?"
"Dia masih sakit hati padamu, kan?"
"Kalau begitu buat apa dia menyuruh Pak Dede
memberiku peran?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi kamu harus hati-hati.
Semua ini sangat mencurigakan."
"Masa bodoh amat! Pokoknya aku tidak bakal
menyia-nyiakan kesempatan ini! Aku akan kembali
ke dunia akting! Dunia akan mendengar namaku
lagi!"
Dan kau akan melata mengemis cintaku lagi,
Aldi! Aku tidak bisa dibandingkan dengan cewek
murahanmu, siapa pun dia!135
BAB XIII
"APA maksudmu?" geram Aldi menahan marah.
"Kamu pecat aku?"
"Bukan memecatmu, Al," Sunaryo menghela
napas berat. "Hanya dirumahkan. Statusmu kan
masih percobaan...."
"Ada apa sebenarnya?" desak Aldi dengan
wajah merah padam. "Baru beberapa hari yang lalu
kau puji pekerjaanku! Kau bilang akan mengangkat
ku sebagai pegawai penuh!"
"Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan presta
simu, Al. Cuma kebetulan perusahaan sedang ketar
ketir dilanda krisis ekonomi seperti sekarang...."
"Omong kosong! Kudengar perusahaanmu
sedang mencoba masuk bursa, kan? Ini ulah si
Arnold? Dia tidak suka padaku? Dia yang men
desakmu agar memecatku?"
"Lho! Ini tidak ada hubungannya dengan Ar
nold!" bantah Sunaryo secepat mungkin. Dia masih
ingat bagaimana pemberangnya temannya waktu
SMA ini. Salah-salah si Arnold bisa babak belur
tanpa sebab!136
"Kalau begitu, siapa iblisnya?" geram Aldi den
gan suara menyeramkan. Terus terang, Sunaryo
ngeri melihat sorot matanya. "Bilang padaku! Atau
kau bakal menyesal!"
"Ini bukan persoalan siapa atau apa, Al! Bukan
persoalan pribadi! Sungguh. Ini kebijaksanaan
perusahaan. Menyangkut beberapa karyawan, bukan
hanya kau! Beberapa karyawan yang tidak terlalu
penting, dipindahtugaskan. Yang statusnya masih
percobaan dirumahkan sementara sampai ada
keputusan lebih lanjut...."
* * *
Pintu kamar kerja Niken menjeblak terbuka. Aldi
menerobos masuk tanpa dapat ditahan lagi oleh Tia
yang mencoba menghalangi dengan kebingungan.
"Bapak tidak bisa masuk begitu saja, Pak!" se
runya kesal. "Bapak harus buat janji dulu!"
Tetapi percuma menahan Aldi. Apalagi kalau
dia sedang marah begini. Didorongnya Tia seperti
mendorong setangkai bambu. Dia menghambur tak
tertahankan lagi ke depan meja Direktur. Dan
matanya bertemu dengan mata yang sudah sangat
dikenalnya itu....
Niken yang sedang menghadap layar monitor
komputernya menoleh ketika pintu kamar kerjanya
terempas terbuka. Dan sekali lihat saja, dia sudah
tahu siapa yang datang....137
Aroma yang khas itu... aroma tembakau yang
berbaur dengan wangi rempah-rempah.... Sampai
kapan dia dapat melupakannya?
Selalu terbit nyeri yang nikmat di hatinya setiap
kali menghirup aroma itu, sungguhpun orangnya
tidak berada di depannya....
Tetapi kini dia datang, Bukan hanya bayangan
nya. Bukan imajinasinya belaka. Dia benar-benar
muncul!
Tinggi. Tegap. Ganteng. Masih tetap menawan
seperti dulu. Kecuali beberapa helai rambut putih di
pelipisnya dan matanya yang sedang menyorotkan
kemarahan....
"Maaf, Bu!" suara Tia yang gugup ketakutan
membuyarkan kebekuan Niken. "Bapak ini
memaksa masuk...."
"Tinggalkan kami," perintah Niken tegas.
Dingin. Ditatapnya tamunya dengan sorot yang
mampu membekukan seember air.
Aldi tertegun kaku di depan meja. Kemarahan
nya merosot ke titik nol. Berganti dengan rasa
terkejut dan tidak percaya. Jadi ibu direktris PT
Merenda Masa Depan yang arogan itu... yang sok
mengatur perusahaan Sunaryo Muchlis... yang entah
apa sebabnya merumahkan dirinya.... Astaga!
Sekarang dia tahu apa sebabnya!
Tia mengundurkan diri dengan bimbang. Dia
masih menatap mereka dengan bingung ketika
menutup pintu.138
"Niken...?" desah Aldi hampir tak terdengar.
"Kamu... benar Niken?"
Aldi hampir tidak mempercayai matanya sendi
ri. Dia memang mirip Niken Ardini, mantan istrinya
yang belum pernah diceraikannya! Tapi... ah,
alangkah berubahnya penampilannya sekarang!
Wajahnya cantik dan terawat rapi. Make up-nya
sempurna. Rambutnya yang hitam kelam dan ikal
tertata rapi bagaikan baru keluar dari salon. Dan
dandanannya begitu mirip dengan Indah....
Niken tidak menjawab. Dia hanya membalas
tatapan Aldi dengan dingin. Dan melihat cara wanita
itu menatapnya, Aldi merasa tak perlu bertanya lagi.
Kemarahannya telah terjawab.
"Kamu berhak melakukannya," katanya lesu.
"Tetapi sekalipun cara ini dapat membalaskan sakit
hatimu, aku tetap berutang maaf padamu, Nik.
Dosaku sangat besar. Hukuman seperti ini saja,
belum setimpal untukku. Selamat siang."
Niken mengawasi laki-laki yang sedang me
langkah ke luar dengan gontai itu. Kukunya men
cengkeram meja tulisnya dengan geram. Meng
goreskan torehan panjang yang membiaskan
dendam dan sakit hati.
Hukumanmu memang belum habis, bisiknya
dingin.
Tangan Niken meraih teleponnya. Suaranya ter
dengar bengis di ruang yang sepi itu.
"Sambungkan dengan Dede Azwar."139
Niken hanya perlu menunggu tiga menit. Dan
dia hanya mengucapkan tiga patah kata.
"Batalkan kontrak Indah."
* * *
Dede Azwar meletakkan teleponnya dengan pelipis
berdenyut.
"Rasanya kita berurusan dengan orang gila, Ta."
"Dari dulu saya sudah bilang, batalkan kerja
sama dengan mereka! Si Octopus itu tidak serius
mau bikin sinetron! Dia hanya memperalat kita!"
"Tapi dia tidak membatalkan kerja sama dengan
kita. Dia hanya membatalkan kontrak Indah!"
"Buat apa susah-susah cari Indah kalau cuma
untuk dipermainkan? Bukannya dia yang ngotot
mau pakai Indah untuk peran Astuti?"
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku juga nggak ngerti. Makin dipikir,
kepalaku makin pusing. Lama-lama begini, aku
bukan dapat duit, malah keluar duit! Masuk rumah
sakit! Stroke!"
"Kalau dia cuma minta batalkan kontrak Indah,
apa susahnya? Ya batalkan! Dari dulu kita yang
tidak setuju pakai dia, kan?"
"Kau tidak kasihan sama dia? Gilanya bisa
kumat kalau kontraknya dibatalkan!"
"Kita belum bikin kontrak, kan?"
"Tapi kita sudah menyodorkan kontrak! Kita
sudah mengiming-imingi dia peran! Kejam
menariknya kembali dengan cara seperti ini!"140
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Aku tidak sanggup menghadapinya, Ta. Kau
saja yang pergi menemuinya."
"Saya?" Sinta melongo bingung.
* * *
Seperti sudah diduga, Indah menangis menjerit-jerit
ketika Sinta menyampaikan kabar buruk itu,
betapapun hati-hatinya dia mengatakannya.
Yang tidak diduga oleh Sinta, Indah melompat
dan mencakar mukanya sampai dia lari lintang
pukang menyelamatkan diri.
Sepeninggal Sinta, Indah berteriak-teriak
histeris sampai para tetangga berdatangan dan
membawanya dengan paksa ke rumah sakit jiwa.
"Ke mana suaminya?" tanya Pak RT bingung,
ketika dokter menanyakan apa yang terjadi dan
riwayat penyakit pasien itu. "Saya cuma ketua RT,
Dok. Saya tidak tahu apa-apa!"
"Tadi ada perempuan datang ke rumahnya, Pak
RT," lapor Bu Ermina yang biang gosip dan jago
ngintip di lingkungan RT mereka. "Baru ngomong
sebentar, tiba-tiba Bu Indah ngamuk. Perempuan itu
dicakarnya sampai dia terbirit-birit kabur naik mo
bil. Mobilnya minicab warna biru... sopirnya..."
"Tolong cari suaminya," potong dokter jaga itu
jemu. "Saya perlu riwayat penyakit pasien ini."
Tapi ke mana saya harus mencarinya? keluh Pak
RT dalam hati. Kata orang di kantornya, suami Bu141
Indah sudah tidak bekerja di sana lagi! Dia sudah
dirumahkan... tapi di rumah juga tidak pernah ada!
* * *
Aldi menghabiskan waktunya mabuk-mabukan
di sebuah pub. Pertemuan yang tidak disangka-sang
ka dengan Niken mengembalikan kenangannya ke
masa lalu.
Bohong kalau dia tidak pernah terkenang
kepada istrinya yang lugu itu. Dalam tiga belas
tahun, entah sudah berapa ratus kali dia mem
bayangkan Niken. Entah sudah berapa ribu kali dia
menyesali tindakannya dan mengutuki dirinya.
Saat itu dia memang lupa diri. Busa cinta yang
memabukkan dengan Indah membius kesadarann
ya. Dia khilaf. Dan tidak mampu berpikir normal
lagi.
Sesudah busa yang memabukkan itu sirna, baru
timbul sesalnya. Dia merasa amat berdosa telah
menyakiti hati Niken sekejam itu. Tetapi apa lagi
yang harus dilakukannya? Meninggalkan Indah dan
kembali pada istrinya?
Niken mungkin mau menerimanya kembali. Dia
lugu dan baik hati. Tetapi Roni Jamal? Maukah dia
menerima Indah kembali?
Dia sudah sesumbar akan membunuh Indah.
Dan Indah sudah tidak berani kembali. Bagaimana
Aldi tega meninggalkannya? Apalagi ketika dia tahu
Indah hamil.142
Hubungan mereka telah membuahkan seorang
janin! Aldi tidak mungkin meninggalkan mereka
begitu saja!
Sebelum bersua kembali dengan istrinya, Aldi
sering membayangkan betapa sedihnya Niken.
Tetapi ketika melihatnya tadi, Aldi baru sadar,
Niken bukan hanya sedih. Dia remuk. Hancur. Dan
perasaan bersalah Aldi semakin menggigit.
Niken sudah mematuhi semua keinginannya.
Dia tidak membantah harus mengubah dirinya
seperti Indah. Bahkan setelah tiga belas tahun
berlalu, dia masih tetap menaati keinginan suami
nya... meniru Indah!
Tetapi ada sesuatu yang berubah dalam dirinya!
Sekali lihat saja Aldi sadar, yang duduk dengan
wajah membeku di hadapannya itu bukan Niken
Ardini, bekas istrinya yang lugu dan lembut itu! Dia
telah berubah total! Penderitaan telah mengubahnya!
Aldi telah mengubahnya....
Dan Aldi semakin terpuruk dalam perasaan ber
dosa. Semakin terbenam dalam kubangan sesal.
Jika Indah sudah memperoleh kembali
kepercayaan dirinya, pikir Aldi murung sambil
melangkah keluar dari tempat minum itu. Jika dia
sudah kembali meraih kariernya sebagai bintang,
masih maukah Niken menerimaku kembali? Tapi...
maukah dia memaafkan kesalahanku dan mem
beriku kesempatan sekali lagi? Bagaimana dengan...
Bram? Dan bagaimana kalau... Niken sudah
menikah lagi?143
Indah mungkin sudah tidak menghendaki Bram.
Tanpa kehadiran anaknya, dia lebih bebas meneng
gelamkan dirinya di dunia peran. Tapi kalau Niken
sudah menikah lagi... Aldi tak berhak lagi meng
harapkannya!
Aldi tidak berani mengendarai mobilnya. Dia
memilih naik taksi dalam keadaan setengah mabuk
begini. Takut mencelakakan orang lain. Dan
sesampainya di rumah, dia kaget setengah mati
melihat tetangga berkerumun di depan rumahnya.
* * *
"Dia hancur," kata Eko selesai memeriksa
Indah. "Mentalnya remuk redam. Perlu waktu lama
untuk menyembuhkannya."
"Maksudmu...," desis Aldi ngeri. "Dia... sudah
gila?"
Eko mengangkat bahu dengan paras hampa.
"Itu istilah awam."
Dan Aldi habis sabar. Dicengkeramnya kerah
baju adiknya. Disentakkannya sampai tubuh Eko
terangkat sepuluh senti dari lantai.
"Jangan perlakukan aku seperti ini lagi, Eko!"
desis Aldi beringas. "Atau kupatahkan lehermu!"
Diturunkannya adiknya dengan sekali sentak.
Eko menggerak-gerakkan lehernya yang sakit dan
merapikan kerah bajunya sambil mengomel.
"Jangan perlakukan aku seperti ini lagi di depan per
awatku!" gerutunya sengit. "Atau kusuruh Indah
mencari dokler lain!"144
"Mengapa kamu seperti tidak pernah bersimpati
pada penderitaan pasienmu?" geram Aldi penasaran.
"Mengapa tanya padaku?" balas Eko kesal.
"Mas Al yang membuatnya menderita!"
"Apa salahku? Produser itu yang mendadak
menolaknya! Dan aku sudah pernah memperingat
kannya!"
"Kalau Mas Al masih tetap memujanya seperti
dulu dan tidak berpaling pada perempuan lain, dia
tidak usah mencari perhatian di tempat lain! Dia
tidak usah berjuang keras meraih kembali kariernya
dan suaminya!"
"Kata siapa aku berpaling pada perempuan
lain?"
"Itu hobimu dari muda, kan?"
"Tapi tidak ada siapa-siapa..."
"Jangan salahkan Indah kalau dia tidak percaya
padamu! Reputasimu memang jelek sekali!"
"Lalu aku harus bagaimana?" keluh Aldi putus
asa. "Aku memang bekas playboy! Tapi sekarang
aku tidak punya perempuan lain kecuali Indah! Aku
sudah punya Bram! Kalau bukan aku, siapa lagi
yang harus mengurusnya?"
"Trauma psikisnya kali ini berat sekali. Gejala
neurotik yang ditimbulkannya pun menjadi sangat
berat. Selain pemberian obat-obatan, terapinya ada
lah dengan cara mengusahakan sekali lagi pem
bebasan emosinya yang sudah lama direpresikan ke
alam bawah sadarnya, dan yang meledak hari ini
akibat trauma penolakan. Jika Mas Al dapat145
mengusahakan peran itu baginya, barangkali terapi
abreaksi afektif ini dapat berjalan lebih mulus."
* * *
"Apa maksud Anda dia tidak lulus tes peran?" desak
Aldi marah. "Perusahaan Anda sudah menyodorkan
kontrak!"
"Kami memang berniat memakai Mbak Indah,
Pak," sela Sinta resah. "Tapi pihak produser
beranggapan peran itu kurang cocok untuknya...."
"Kalau tidak cocok, mengapa jauh-jauh harus
mencarinya? Dari mana kalian tahu alamatnya?"
"Waktu Mbak Indah datang ke kantor Pak Roni
Jamal...."
"Jadi dia biang keladinya!" geram Aldi sengit.
Tanpa permisi lagi dia meninggalkan kantor
Dede Azwar. Dan Sinta mengurut dada sambil
menghela napas lega. Dirabanya mukanya yang ma
sih terasa perih bekas cakaran.
"Istrinya gila, suaminya pemberang," keluhnya
kesal. "Kenapa mesti berurusan sama segala macam
penyakit begituan!"
"Siapa, Ta?" tanya Dede yang baru masuk dan
kebetulan hampir bertubrukan dengan pria yang seJangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang terburu-buru keluar itu. Langkahnya garang
seperti harimau luka.
"Suami Indah," sahut Sinta sambil menghela
napas panjang. "Dia marah-marah karena kita tidak146
jadi memakai istrinya. Untung aku tidak dijotos
nya!"
"Dia?" Dede memalingkan wajahnya dengan
takjub. Tapi pria itu sudah tidak kelihatan lagi
batang hidungnya. "Nah, kalau dia bisa jadi aktor,
Ta! Kenapa tidak kamu tanya mau main sinetron
atau tidak?"
"Kau mau aku dicakar istrinya sekali lagi?" den
gus Sinta Asmara jengkel.
* * *
"Seharusnya aku, yang memukulmu!" geram Roni
Jamal sengit. "Kau membawa lari istriku! Meng
hancurkan filmku! Aku ingin sekali menyuruh orang
meremukkan kepalamu!"
"Pukullah aku kalau kau berani!" tantang Aldi
sama marahnya. "Tapi menghancurkan mental
Indah dengan cara begitu sungguh kejam dan
pengecut!"
"Aku harus bagaimana? Menerima kembali
bekas istriku yang lari dengan lelaki lain? Tidak
kubunuh saja dia sudah bagus!"
"Tapi kau tidak perlu mengatur siasat untuk
menjebaknya!"
"Menjebak apa?"
"Menyuruh produser lain pura-pura
mengontraknya!"
"Aku tidak pernah menyuruh siapa pun mencari
dia! Bagiku, dia telah mati!"147
Tiba-tiba Aldi tertegun. Roni mungkin benci
sekali kepada mantan istrinya. Tapi kalau dia ber
kata demikian, Aldi yakin, dia tidak berdusta. Dia
tidak perlu menyangkal kalau memang dia yang
melakukannya.
"Kata orang di Gilang Gemilang Entertainment,
mereka mendapat alamat Indah dari sini!"
"Aku tidak tahu di mana dia tinggal! Dan demi
setan, tidak peduli dia tinggal di kolong jembatan
atau di rumah sakit jiwa sekalipun! Aku tidak punya
urusan dengan produser wanita yang mencarinya
itu! Kalau dia mau pakai barang rongsokan, silakan
saja!"
"Produser wanita?" rahang Aldi mengejang.
"Dede Azwar maksudmu?"
"Bukan dia! Dia sih lelaki! Yang satu lagi!
Yang menelepon kemari! Kalau Dede yang men
carinya, sudah kumaki-maki dia! Kami kenal sudah
belasan tahun! Kalau dia berani memakai bekas
istriku...." Tiba-tiba wajah Aldi berubah menyeram
kan. Pancaran berbahaya bersorot di matanya.148
BAB XIV
ALDI menerobos masuk ke rumah Niken tanpa
dapat dicegah. Pembantu yang sedang tegak dengan
ketakutan di ambang pintu itu disingkirkannya
dengan kasar.
"Di mana Bu Niken?" bentaknya sambil mem
banting pintu dan menguncinya. Dikantunginya
kunci itu sambil memelototi pembantu yang sudah
menggeletar ngeri itu. "Awas kalau berani macam
macam! Kubunuh kau!"
Matilah aku, Mak, rintih pembantu wanita yang
baru berumur tujuh belas tahun itu. Orang ini pasti
rampok! Sebentar lagi dia pasti bakal mengalung
kan celurit ke leherku....
"Di kamar...," gumamnya lirih, sarat dengan ke
takutan. Seluruh tubuhnya gemetar membayangkan
adegan di televisi yang sering dilihatnya pukul lima
sore.
"Di mana Bapak?"
"Nggak ada Bapak... nggak ada Bapak...."
"Masuk ke kamarmu! Jangan keluar lagi dari
sana!"149
Seperti mendapat anugerah perpanjangan umur,
pembantu itu melompat secepat-cepatnya, meng
hambur lari ke belakang.
Aldi melangkah dengan langkah-langkah garang
ke atas. Dibukanya pintu setiap ruangan yang di
anggapnya kamar. Ketika dia membuka pintu kamar
yang terletak jauh di belakang, dia melihat Niken.
Niken sedang mengambil sesuatu di atas lemari
kamar tidurnya Dia berjingkat di atas tangga dua
tingkat. Ketika pintu kamarnya dibuka dengan
kasar, dia menoleh. Dan matanya bertemu dengan
mata Aldi.
Saat itu Niken mengenakan short dari bahan
stretch yang ketat dan tipis. Tungkainya yang putih
mulus terpampang menantang di depan mata Aldi.
Lengannya yang tengah terulur ke atas lemari
pun tidak tertutup oleh T-shirt tanpa lengan yang
dipakainya. Kaus ketat berwarna hitam itu meme
takan lekak-lekuk tubuhnya dengan sangat memikat
sampai Aldi tak mampu membuka mulutnya.
Segebung dampratan yang telah siap disembur
kannya tersekat di tenggorokan. Matanya yang
menyala dibakar api kemarahan meredup dengan
sendirinya.
Ketika mereka bertemu di kantor Niken, wanita
itu tidak keluar dari balik meja tulisnya. Saat itu,
Niken mengenakan blazer yang formal dan sopan.
Yang dilihat oleh Aldi, hanya wajahnya yang
cantik dan rambutnya yang tertata rapi.150
Tapi malam ini, Niken berada di kamar tidurnya
sendiri. Dia mengenakan baju santai karena merasa
tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Bukan salahnya
kalau cara berpakaiannya memancing gairah dan
kekaguman Aldi.
Bagaimana mungkin dia bisa begitu berubah,
pikir Aldi antara heran dan tidak percaya. Tubuhnya
begitu indah. Begitu menggiurkan. Padahal dia
sudah tidak muda lagi!
Niken pasti menjaga benar tubuh dan penampi
lannya. Untuk siapa? Suaminya? Atau...
Niken turun dari tangga dengan sikap yang ber
pura-pura acuh tak acuh. Ditutupinya debar
jantungnya yang tidak keruan melihat cara Aldi
menatapnya. Disembunyikannya wajahnya yang
terasa panas.
Dia tidak boleh memperlihatkan keinginannya!
Gila. Apa-apaan ini? Suaminya telah pergi
meninggal-kannya begitu saja! Dia tidak berhak
lagi....
Dan tahu-tahu Aldi telah berada begitu dekat
dengan dirinya. Lengannya merengkuh tubuh Niken
dengan kasar. Memaksanya rebah ke pelukannya.
Niken meronta dengan marah. Marah kepada
perlakuan Aldi yang kurang ajar. Tapi terlebih lagi
marah kepada dirinya sendiri! Mengapa sekujur
tubuhnya seperti bersorak ria, seolah-olah menyam
but kepulangan sang pahlawan, si pemilik tunggal?
Tanpa memedulikan perlawanan Niken, Aldi
mendekap mantan istrinya erat-erat. Segenap151
kerinduan yang terpendam selama ini disalurkannya
melalui rengkuhan eral lengan-lengannya. Tubuh
Niken terasa begitu hangat. Begitu lembut. Begitu
harum. Begitu menggoda.
Niken meronta dengan panik. Bukan khawatir
akan diperkosa. Justru cemas kalau tubuhnya
menolak perintah nalarnya. Perlawanannya terasa
makin lemah. Penolakannya mentah dan tanggung.
Dadanya justru menggelora digedor gairah yang
meluap. Hatinya meronta liar menggapai kerinduan.
Aroma yang dikenalnya itu... aroma yang belasan
tahun dirindukannya... kini bukan hanya menggoda
hidungnya. Sekaligus membangkitkan nafsu yang
sulit dikekang.
Dilibat malu dan marah, Niken menampar
wajah Aldi dengan sekuat tenaga. Tetapi Aldi tidak
mengelak. Tidak mencegah. Dibiarkannya Niken
memukulinya sepuas-puasnya sampai pukulan itu
melemah dengan sendirinya.
Dia tetap memeluk Niken erat-erat. Menciumi
nya dengan penuh kerinduan. Membelainya dengan
penuh gairah.
Ketika dirasanya pukulan Niken melemah,
ketika disadarinya betapa sia-sianya Niken berusaha
menolak cumbuannya, Aldi mengoyakkan kaus
Niken dengan sekali sentak.
* * *152
"Tidur, Dok," lapor Suster Ika kepada Dokter Eko.
"Malam ini tenang."
"Kalau begitu tidak perlu suntikan lagi. Awasi
saja. Kemungkinan tentamen suicidum masih
tinggi"
"Baik, Dok. Dokter pulang sekarang?"
"Kalau sudah tidak ada pasien lagi, saya ingin
istirahat. Sudah malam sekali."
Eko membenahi tas dokternya. Menukar baju
dengan kemeja biasa. Dan melangkah ke luar dari
kamar prakteknya.
Baru juga dia sampai di depan pintu keluar,
Suster Pingkan berlari-lari menyusulnya.
"Pasien Indah, Dok!" serunya gugup.
"Ada apa lagi?" keluh Eko jemu. "Baru saja Ika
bilang dia tidur nyenyak!"
"Bukan tidur, Dok! Rupanya cuma bantalnya
yang diselimuti! Dia sendiri sudah lenyap!"
"Kabur lagi?" geram Eko gemas.
"Rupanya obatnya tidak ditelan semua, Dok!
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditaruh di bawah lidah, lalu dibuang ke laci!
Makanya dia tidak tidur! Cuma pura-pura!"
"Lain kali mesti disuntik," tukas Eko dingin.
"Lekas cari dia! Barangkali larinya belum jauh!
Bawa dia kemari."
* * *
"Tidak mau! Tidak mau!" jerit Indah sambil
meronta-ronta ketika dua orang petugas yang ber-153
tubuh tinggi besar menyeretnya kembali ke klinik.
"Saya mau pulang! Pulang! Pulang!"
"Di mana?" tanya Eko dingin sambil mengawasi
petugas-petugasnya yang membawa pasien itu ke
ruang gawat darurat.
"Masih di depan, Dok. Mau numpang mobil
yang lewat. Untung tidak ada yang memberi
tumpangan! Mereka takut barangkali. Kan di depan
klinik jiwa!"
"Siapkan CPZ-nya, Ika," perintah Eko tegas.
"Saya segera ke sana."
Sesaat Eko mengawasi telepon di atas mejanya.
Setelah ragu sebentar, dia mengangkat telepon itu.
Dan menekan beberapa nomor.
Lama Eko menunggu. Tetapi tidak ada jawaban.
Dengan sengit dilelakkannya kembali telepon itu.
Lalu dia melangkah ke ruang gawat darurat.
Indah sudah dipegangi ramai-ramai di atas
tempat tidur. Suster Ika menyodorkan sebuah jarum
suntik. Eko meraihnya dengan mantap.
"Jangan!" jerit Indah ketakutan. "Jangan bunuh
saya! Jangaaaannn!!!"
Jeritannya melengking panjang. Dia meronta
ronta sekuat tenaga. Eko membenamkan jarum
suntiknya tanpa ragu sedikit pun.
* * *
"Kamu boleh menghukumku, Nik," gumam
Aldi muram sambil membelai-belai punggung
Niken yang berbaring di sisinya. "Aku memang154
berdosa padamu. Tapi tolong, jangan siksa Indah
lagi. Jiwanya sudah sakit!"
Niken tidak menjawab. Dia berbaring miring di
ranjangnya. Membelakangi Aldi. Di bawah sehelai
selimut. Tetapi pikirannya mengembara ke mana
mana.
Pantaskah dia mengampuni mereka? Memang
Aldi yang meninggalkannya. Tetapi Indah-lah gara
garanya!
Sekarang Niken sudah berhasil mencungkil Aldi
dari tempat kerjanya. Dia juga sudah hampir ber
hasil meremukkan mental Indah! Haruskah dia
berhenti dan melupakan semuanya?
Utang Dimas mungkin sudah terbayar. Tapi
baru separonya! Dimas telah menukarnya dengan
nyawanya. Ayahnya dan perempuan itu harus mem
bayarnya dengan hukuman seumur hidup!
"Kamu sudah menikah lagi?" tanya Aldi lirih
ketika Niken diam saja.
Niken menggeleng. Untuk satu alasan yang dia
sendiri tidak tahu, dia tidak ingin Aldi mengetahui
siapa suaminya.
"Kalau begitu kamu masih tetap istriku! Kita
belum pernah bercerai!"
* * *
Eko melangkah masuk ke rumahnya pada pukul satu
malam. Rumahnya sudah gelap dan sepi. Padahal155
biasanya Niken masih sibuk di ruang kerjanya. Tapi
malam ini kamar kerjanya kosong.
Komputernya sudah dimatikan. Meja tulisnya
rapi. Tak ada file atau kertas-kertas yang berserakan.
Tidak bekerjakah Niken malam ini? Rasanya tidak
mungkin! Dia selalu kekurangan waktu! Katanya
dua puluh empat jam sehari tidak cukup!
Eko masuk ke kamar kerjanya sendiri yang ter
letak di samping kamar kerja Niken. Diletakkannya
tasnya di atas meja. Disapunya meja dengan ujung
jarinya. Kotor.
Mmm, dia menghela napas jengkel. Besok dia
harus menyuruh meja ini dibersihkan!
Sambil melangkah ke luar, dia membenarkan
letak pigura yang agak miring. Lalu dia mengambil
minuman di lemari es. Dan agak tertegun sesaat.
Kaleng birnya berkurang satu. Padahal biasanya
Niken tidak suka bir. Ada tamukah tadi? Tamu siapa
sampai Niken melupakan pekerjaannya?
Eko melangkah hati-hati ke kamar. Dia merasa
heran melihat Niken sudah tidur nyenyak di atas
tempat tidur. Lelahkah dia? Tidak biasanya dia tidur
sepagi ini. Biasanya dia agak insomnia. Tapi saat ini
tidurnya lelap sekali. Sampai lupa mematikan lampu
kamar mandi. Padahal biasanya Niken lebih suka
tidur dalam gelap.
Eko melangkah ke sisi tempat tidur sambil
melepas dasinya. Dan matanya menangkap secarik
kain hitam di bawah tempat tidur.156
Dibungkukkannya tubuhnya. Dipungutnya kain
itu. Hendak dibuangnya ke tempat sampah. Eko
merasa terganggu sekali kalau ada sesuatu yang
tidak pada tempatnya, sekecil apa pun benda itu.
Tetapi mendadak tangannya mengejang. Di
bawah remang-remang lampu kamar mandi yang
lupa dimatikan, mata Eko menyipit ketika
menyadari benda apa yang sedang dipegangnya.
* * *
"Berikan peran itu kepada Indah kalau dia sembuh
nanti, Nik," pinta Aldi sungguh-sungguh. Dia me
nelungkup separo berbaring di sisi Niken, di atas
tempat tidurnya. "Aku rela melakukan apa pun
keinginanmu."
Niken berbaring tertelentang dengan sehelai
selimut menutupi tubuhnya sampai ke dada. Peluh
masih membanjir, badannya masih terasa lemas.
Kamu telah memenangkan pertempuran ini,
Nik, bisik hati kecilnya. Kamu telah berhasil
menaklukkanAldi!
"Aku ingin kamu kembali pada Indah," kata
Niken sambil menatap lurus ke langit-langit
kamarnya. "Tapi kamu harus selalu berada di sisiku
kalau kubutuhkan."
"Maksudmu," Aldi tersenyum pahit, "kamu
jadikan aku gigolomu?"
"Memang cuma itu kelasmu sekarang," sahut
Niken angkuh. Aku sudah berada jauh di atasmu!157
"Oke! Kalau cuma dengan mendapatkan peran
itu Indah dapat diharapkan sembuh, akan kupenuhi
keinginanmu, Nik. Aku tidak merasa rugi kok! Kita
mulai lagi?"
"Tidak," sahut Niken tegas. "Sekarang kamu
harus pergi!"
"Kenapa? Tidak ada suami yang akan memakai
tempat tidur ini malam ini, kan?"
"Bukan hakmu untuk bertanya," dengus Niken
dingin.
"Oke, Bos!" Aldi tersenyum pahit sambil
bangkit dari tempat tidur. "Aku harus sudah mulai
belajar menyesuaikan diri. Dan mulai belajar
mematuhi perintahmu. Boleh minta izin memberi
ciuman perpisahan?"
"Tidak. Kamu harus pergi. Sekarang!"
Perempuan, pikir Aldi sambil melangkah gontai
meninggalkan rumah Niken. Kalau berkuasa, siapa
bilang kalian tidak lebih kejam dari pria?
* * *
"Mengapa kamu selalu ingin pulang?" tanya Eko
pada Indah.
"Saya takut," sahut Indah pendek. Datar.
Matanya menatap kosong.
"Takut siapa?"
"Bang Roni. Dia mau membunuh saya.
Memukuli saya sampai mati."
"Karena itu kamu kabur ke rumah?"158
"Saya ingin memergoki Mas Aldi."
Apa hubungannya Mas Aldi dengan mantan
suaminya? Apakah mutu proses berpikir Indah
sudah menjadi inkoheren?
"Kenapa?"
"Dia sering main gila."
"Sama siapa?"
"Siapa saja."
"Karena itu kamu ngotot mau pulang?"
"Saya bisa pulang sendiri. Lelaki tergiur kalau
melihat saya. Mereka pasti mau mengantarkan saya
pulang. Saya punya kunci duplikat di atas pintu."
"Kunci apa?" desak Eko sambil menyipitkan
matanya.
Tetapi Indah sudah tidak bisa ditanya lagi.
Eko mengawasi pasiennya dengan tajam. Daya
konsentrasi Indah memang sudah jauh menurun
dibandingkan pertemuan-pertemuan mereka yang
sebelumnya. Dalam wawancara, proses berpikirnya
pun seperti tiba-tiba terhalang sesuatu.
Tetapi selain itu, kecuali waham dikejar mantan
suaminya yang bertentangan dengan realita, semua
nya masih dalam batas psikoneurosa. Dia mengidap
depresi karena trauma psikis dikecewakan produser
yang sudah mengiming-imingi harapan yang
demikian melambung.
Aku harus menilai status psikiatrinya dengan
lebih mendalam lagi, pikir Eko sambil bertopang
dagu. Masih dibutuhkan lebih banyak tes lagi besok.159
* * *
"Kamu punya lima perusahaan, Nik," kata Aldi
sambil memasukkan potongan daging steak itu ke
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulutnya. "Tak ada lowongan untukku?"
Niken mengaduk-aduk saladnya dengan garpu.
Wajahnya hampa.
"Aku butuh pekerjaan," sambung Aldi terus
terang. "Aku harus menghidupi Indah dan Bram,
anakku."
Anak. Wajah Niken membeku. Aldi punya
anak? Mereka punya anak? Sekilas wajah Dimas
melintas di depannya. Dan hati Niken terasa sakit.
"Tidak ada lowongan," sahut Niken tegas.
Datar.
"Juga kalau aku yang minta?"
"Dalam pekerjaan, aku tidak bisa ditawar. Tidak
ada koneksi-koneksian."
Aldi tersenyum pahit.
"Kamu sengaja membiarkan aku sengsara?"
Niken mengawasi Aldi dengan tajam. Matanya
seolah-olah berkata, itu upahmu!
"Aku akan memberimu uang," katanya tawar.
"Setiap kali kamu menjalankan perintahku."
"Kamu tahu mengapa kubiarkan kamu
menghina diriku?"
"Untuk membayar utangmu," sahut Niken
kering.
"Aku ingin mengembalikanmu menjadi Niken
ku yang dulu."160
"Niken-mu sudah mati!"
"Tidak," Aldi menggeleng mantap. "Kamu yang
ingin melenyapkannya. Tapi di dalam dirimu, masih
tersisa Niken yang kukenal! Suatu hari, aku akan
mengeluarkannya kembali dari tempat persem
bunyiannya!"
Niken membuka tasnya. Dan mengeluarkan
uang lima ratus ribu rupiah.
"Tugasmu yang pertama," katanya datar. "Pergi
ke kuburan Menteng Pulo. Beli kembang tabur.
Kamu harus nyekar di semua kuburan yang terletak
di Blok N."
Aldi tersenyum pahit.
"Kamu tidak punya ide yang lebih baik untuk
menghukumku?"
"Bukan hakmu untuk bertanya," desis Niken
dingin. "Dan jangan harap kamu bisa mengelabui
ku. Akan kukirim orang untuk mematai-mataimu!"
Kamu akan melihat ayahmu, Sayang! Akhirnya
dia datang juga ke hadapanmu!
* * *
Eko membungkuk dan mengulurkan tangannya ke
bawah ranjang. Dia menarik keluar sebuah tape
recorder mini. Dan membawanya keluar kamar.
Seperti malam sebelumnya, malam ini pun
Niken sudah terlelap. Padahal baru pukul dua belas.
Rupanya dia letih sekali.161
Eko membawa tape itu ke kamar kerjanya. Dia
mengunci pintu. Menyalakan lampu. Dan duduk di
depan meja tulisnya.
Diletakkannya tape kecil itu di atas meja.
Ditekannya tombol rewind. Ketika pita sudah ter
gulung habis, dia menekan tombol play.
Disandarkannya punggungnya ke sandaran
kursi. Dan dia menunggu.
Terdengar suara gemeresik sebelum suara itu
terdengar. Lalu semuanya menjadi begitu jelas. Eko
seperti sedang mendengarkan penggalan adegan dari
sebuah film biru.
Dengan mudah Eko mengenali suara si aktor.
Dan wajahnya membeku seperti mummi.
* * *
"Besok kamu boleh pulang," kata Eko dengan suara
datar di tepi pembaringan Indah.
Suster Ika yang tegak di samping dokternya
menatap heran. Mengapa pasien ini buru-buru
dipulangkan? Keadaannya masih begitu labil!
Kemungkinan bunuh diri masih sangat besar! Lagi
pula... bukankah kata Dokter Eko dia masih harus
menjalani beberapa tes lagi?
Tetapi tentu saja Suster Ika tidak berani mem
bantah. Dia merasa tidak kompeten untuk memberi
pendapat. Jadi dia diam saja mengawasi.
"Suamimu akan menjaga dan merawatmu di ru
mah," sambung Eko tawar. "Kamu harus tetap162
minum obat tiga kali sehari. Dan harus terus kontrol
ke sini setiap tiga hari."
Indah tidak menjawab. Matanya memang
mengawasi Eko. Tetapi dia seperti tidak mendengar
apa-apa. Dia tampak letih dan mengantuk.
"Akibat pengaruh obat," kata Eko ketika Aldi
menanyakan keadaan Indah yang masih mencemas
kan itu. Tentu saja Aldi merasakan juga perubahan
sikap Eko. Hari ini dia bukan main dinginnya.
Tetapi Aldi tidak peduli. Yang mengkhawatirkannya
cuma kondisi Indah.
"Kamu yakin dia sudah tidak apa-apa? Dia diam
saja kalau ditanya, tapi tampak gelisah dan sangat
tegang...."
"Pada reaksi depresi, pasien memang
mengalami penurunan keadaan afektif. Aktivitas
nya, baik pikiran, perasaan, maupun perbuatan
mengalami penurunan dan hambatan," sahut Eko,
tetap dengan suara datar tapi tegas.
"Tapi dia sudah tidak apa-apa. Bawa pulang
saja. Lingkungan keluarga dan rumah yang dikenal
nya dapat mempercepat proses penyembuhan.
Apalagi dia selalu meracau ingin pulang. Bahkan
kemarin dia mencoba kabur lagi. Lebih berbahaya
kalau dia kabur sendiri!"
Aldi tidak membantah walaupun sebenarnya dia
masih bimbang. Merawat Indah di rumah tentu amat
merepotkan bila kondisinya masih begini. Apalagi
dia masih harus mengurus Bram.163
Belum lagi kalau tiba-tiba Niken memanggil
nya. Dia tidak mau ditolak, kan? Dan pasti tidak
mentolerir penundaan. Dia sedang memamerkan
kekuasaannya. Tetapi kalau hal itu dapat
mengurangi dendamnya dan mengobati sakit hati
nya, Aldi tidak keberatan. Dia tahu betapa mend
eritanya Niken selama tiga belas tahun terakhir ini.
Yang dia tidak tahu, Niken menyembunyikan
sesuatu daripadanya. Dan bukan cuma Niken....164
BAB XV
"PAK DEDE AZWAR?" sapa Niken melalui
telepon. "Saya hanya ingin menyampaikan kita jadi
memakai Indah Juwita Purnama untuk memerankan
tokoh Astuti. Saya tunggu di kantor saya hari Senin
depan untuk pembicaraan selanjutnya."
Dede menghela napas panjang sebelum men
jawab dengan sesopan mungkin.
"Dengan segala hormat Ibu Niken A. Prasetyo,
kami sudah memutuskan untuk membatalkan kerja
sama dengan Ibu. Sebagai seniman, mungkin
penalaran bisnis kami kurang. Tapi kami lebih
mengandalkan hati dan perasaan. Karena itu, silakan
Ibu mencari mitra yang sepaham. Selamat siang."
Dengan tenang tapi mantap Dede meletakkan
telepon. Sesudah itu dia berteriak sekuat-kuatnya
melampiaskan kelegaan hatinya.
Sebaliknya di dalam ruang kerjanya yang
nyaman, Niken terenyak sambil masih memegangi
teleponnya. Wajahnya perlahan-lahan berubah
dingin.
* * *165
"Apa maksudmu mereka menolak kerja sama?"
tanya Aldi bingung selagi makan siang bersama
Niken di sebuah restoran.
"Mereka tetap tidak mau memakai dia."
"Tapi aku sudah telanjur mengatakannya kepada
Indah. Tidak mungkin diralat lagi tanpa menimbul
kan trauma psikis yang lebih berat!"
"Aku akan mencari mitra kerja baru," sahut
Niken acuh tak acuh. "Habis aku harus bagaimana
lagi? Dia memang sudah tidak laku!"
Aldi habis sabar. Dicengkeramnya lengan Niken
dengan berang. Begitu kuatnya cengkeramannya
sampai Niken menyeringai kesakitan.
"Lepaskan!" geramnya marah. "Kamu me
nyakiti tanganku!"
Tetapi Aldi tidak mau mengendurkan ceng
keramannya.
"Jangan permainkan aku, Niken!" desisnya
kesal.
"Apa maksudmu?" balas Niken sama marahnya.
"Kamu sengaja melakukan semua ini!"
"Maksudmu, aku yang mencegah mereka me
makainya?"
"Dia sudah cukup menderita, Nik! Dan kita su
dah membuat perjanjian!"
"Kalau begitu batalkan saja perjanjian kita!'"
dengan gemas Niken mengibaskan tangannya lepas
dari cengkeraman Aldi. Lalu tanpa menunggu lagi,
Niken melangkah keluar meninggalkan restoran itu.166
Aldi meletakkan dua lembar uang lima puluh
ribuan di atas meja. Lalu dia bergegas menyusul
Niken.
Dari pintu Aldi melihat Niken sedang melintasi
halaman parkir. Dikejarnya wanita itu. Disambarnya
tangannya dari belakang.
Niken meronta berusaha melepaskan diri. Tetapi
Aldi mendorongnya dengan kasar ke dalam mobil.
Aldi masuk dengan cepat ke balik kemudi. Dan
melarikan mobilnya dengan ugal-ugalan. Tetapi
Niken tidak tergugah. Dia sama sekali tidak merasa
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngeri. Apa lagi yang ditakutinya kini? Mati pun dia
tidak peduli!
"Kamu sudah janji akan menolong Indah!"
geram Aldi kesal. "Kamu harus menepati janjimu,
Nik!"
"Apa lagi yang harus kulakukan?" jawab Niken
sama jengkelnya. "Harus kubuat rumah produksi
sendiri? Atau harus kubeli stasiun TV yang mau
menayangkan sinetron yang tidak bakal laku
dijual?"
"Berakting cuma satu-satunya cara untuk mem
percepat penyembuhannya!"
"Nah, beraktinglah! Aku tidak dapat menolong
lagi!"
Aldi membanting kemudi mobilnya dan
mengerem mendadak sampai mobil itu terlonjak
berhenti. Mesinnya langsung mati.
Aldi menoleh. Dan menatap Niken dengan
tajam.167
"Aku tahu aku telah menyakiti hatimu...."
Bukan cuma menyakiti, dengus Niken dalam
hati. Kau merobeknya! Mematahkannya! Meremuk
kannya....
"Tapi aku sudah menyesal. Dan berniat me
nebus dosaku. Aku rela melakukan semua per
mintaanmu, bukan hanya karena Indah! Tapi kamu
harus menolongnya, Nik! Kumohon sekali lagi.
Atau akan kubuat kamu menyesal!"
Niken membalas tatapan pria itu dengan sakit
hati. Begitu besarnyakah cintanya pada perempuan
itu? Dan kemarahan tambah berkobar di hati Niken.
Kemarahan yang dibakar cemburu.
"Apa lagi yang belum kamu lakukan padaku?"
desisnya dingin. "Kamu bunuh aku sekalipun, sakit
nya tak akan melebihi apa yang telah kamu lakukan
tiga belas tahun yang lalu!"
Ketika mengucapkan kata-kata itu, untuk
pertama kalinya air mata Niken berlinang. Dan me
lihat mata yang berkaca-kaca itu, melihat kesakitan
yang terpancar di sana, luluh lantaklah hati Aldi.
Dia ikut merasa nyeri. Dan kemarahannya
langsung buyar.
Direngkuhnya Niken ke dalam pelukannya.
* * *
"Pak Roni Jamal?" sapa Niken melalui telepon.
"Nama saya Niken Ardini."168
"Saya tidak kenal Anda," sahut Roni dingin. Dia
sedang uring-uringan. Produksinya yang telah siap
tayang gagal total. Pemasukan iklan tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Dari dua puluh empat slot
iklan yang tersedia, baru dua yang masuk. Padahal
iklanlah yang paling diharapkan dapat mengemba
likan modalnya.
"Saya produsen air mineral Segar. Saya ber
maksud bekerja sama dengan Anda."
Roni mengerutkan dahi.
"Bekerja sama bagaimana?"
"Anda ada waktu kalau saya undang makan
siang besok?"
"Di mana?" tanya Roni setelah terdiam sesaat.
* * *
"Saya bersedia membeli separo dari jatah iklan yang
tersedia dalam produk Anda, kalau Anda mau
melakukan satu permintaan saya."
"Permintaan apa?" tanya Roni curiga.
"Saya ingin Anda menemui Indah Juwita Purna
ma."
Roni Jamal bangkit dari kursinya dengan marah.
"Siapa Anda sebenarnya?" desaknya curiga.
Niken menatap lelaki itu dengan tenang.
"Saya Niken Ardini, mantan istri Aldi Prasetyo,
pria yang tiga belas tahun yang lalu melarikan istri
Anda."169
Sesaat Roni Jamal tertegun. Mulutnya separo
terbuka. Tetapi tidak ada suara yang keluar. Jadi
wanita cantik ini... Astaga, lelaki apa si Aldi itu!
Meninggalkan perempuan seperti ini untuk lari
dengan Indah!
"Jika Anda tertarik untuk bekerja sama," sam
bung Niken tenang, "silakan duduk kembali. Kita
lanjutkan pembicaraan kita. Jika tidak, selamat
siang."
Roni Jamal menjatuhkan dirinya dengan tidak
sadar. Matanya masih mengawasi Niken dengan
tatapan bingung.
"Ingatan Indah sudah setengah terganggu. Dia
mempunyai waham, dikejar-kejar Anda untuk
dibunuh. Saya ingin Anda datang untuk mengajak
nya berdamai."
"Tapi untuk apa?" sergah Roni bingung. "Kita
sama-sama korban dari perbuatan mereka!"
"Saya punya kesepakatan dengan mantan suami
saya," sahut Niken singkat.
"Tapi saya tidak mau bersepakat dengan
bajingan itu!" geram Roni gusar. "Saya masih sakit
hati pada mereka! Kalau saya punya kesempatan,
saya memang akan membunuh Indah!"
"Percayalah pada saya, Pak Roni, Anda punya
kesempatan yang lebih baik kalau menuruti saran
saya."
* * *170
Begitu melihat Roni Jamal tegak di ambang pintu
rumahnya, Indah memekik histeris. Dia menyambar
pisau hendak menikam lelaki itu, sebelum Roni
sempat menyapa, menyatakan maksud kedatangan
nya. Dalam benak Indah, dia mengira Roni datang
untuk membunuhnya. Roni lari lintang-pukang
menyelamatkan diri ke dalam mobilnya.
Indah mengejarnya sambil menjerit-jerit panik.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
Sesaat sesudah mobil Roni meraung pergi,
Bram melangkah memasuki halaman. Melihat
ibunya mengejar sambil menghunus pisau, refleks
Bram melemparkan tasnya dan kabur ke rumah
sebelah.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!" teriak Indah
sambil mengejar anaknya.
Ibu Ermina yang baru membuka pintu terbelal
ak ngeri. Buru-buru dia menyeret Bram masuk dan
mengunci pintu.
* * *
"Ibu Indah sudah tidak dapat melihat realita lagi,"
kata psikiater yang merawat Indah, setelah dia
diringkus beramai-ramai oleh tetangganya yang
membawanya ke rumah sakit. "Dalam ilusinya, dia
melihat anaknya sebagai mantan suaminya, yang
datang untuk membunuhnya."171
Aldi termangu-mangu di depan meja tulis dokter
jiwa itu. Mengapa keadaan Indah malah bertambah
buruk?
"Karena kondisinya sudah membahayakan
orang di sekelilingnya, saya anjurkan agar Bu Indah
dirawat di rumah sakit jiwa, Pak."
"Selama ini dia ditangani oleh adik saya sendiri,
Dok," sahut Aldi murung. "Dokter Eko Prasetyo,
psikiater juga."
"Oh, saya kenal Dokter Eko. Kalau Ibu Indah
memang pasiennya, saya akan menghubunginya
untuk konsultasi."
Eko langsung minta agar Indah dirawat di
kliniknya.
"Saya yang akan menanganinya," katanya tegas.
"Dia memang pasien saya. Sudah lama mempunyai
delusi persekutorik seperti itu."
"Tapi kondisi kejiwaannya hari ini sangat
buruk, Dokter Eko. Dia melihat anaknya sebagai
mantan suaminya. Dikejarnya anak itu dengan
sebilah pisau terhunus."
"Jika sense of realify-nya memang sudah ter
ganggu," kata Eko di depan Aldi ketika abangnya
membawa Indah ke kliniknya setelah keadaannya
agak tenang, "mungkin neurosa-nya kini sudah
berubah menjadi psikosa. Dia mengidap paranoia.
Bahkan mungkin lebih parah lagi kalau benar dia
salah mempersepsikan anaknya sebagai mantan
suami yang hendak membunuhnya."172
"Artinya...," desah Aldi sedih. "Indah betul-bet
ul sudah... gila?
* * *
"Aku melihatnya!" Indah berkeras menyatakan
keyakinannya di depan Aldi. "Aku melihat Bang
Roni datang! Dia mau membunuhku!"
"Yang datang Bram, Indah!" bantah Aldi sedih,
separo putus asa. "Anak kita! Kamu hampir mem
bunuhnya!"
Eko yang duduk di balik meja tulisnya,
mengawasi Aldi yang sedang bersitegang dengan
Indah yang berbaring di dipan periksa. Dahinya
berkerut. Dia sedang berpikir keras.
Indah sudah melewati semua tes kejiwaan yang
baru saja dilakukannya. Dan semua tes itu men
yatakan sense of reality-nya. masih cukup baik.
Kepribadiannya pun utuh. Proses berpikirnya be
lum terlalu terganggu. Mengapa dia mengatakan
mantan suaminya yang datang?
"Biar Indah dirawat dulu di sini," katanya per
lahan. "Aku ingin melakukan beberapa macam tes
lagi. Kalau keadaannya membaik, dalam beberapa
hari dia boleh pulang."
"Kalau tidak?" gumam Aldi bingung, resah. Eko
mengangkat bahu.
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
* * *173
"Dirawat?" Niken mengangkat alisnya, berlagak
bodoh. "Kenapa lagi?"
"Dia menyerang Bram. Menganggapnya sebagai
mantan suaminya yang datang untuk
membunuhnya."
"Kalau begitu, jiwanya sudah benar-benar
sakit!" cetus Niken mantap. "Kalau pikirannya
sudah terganggu, kepribadiannya retak, apalagi bila
ada halusinasi, dia sudah dapat digolongkan ke
dalam skizofrenia paranoid!"
Aldi menghela napas sedih. Dia tampak sangat
menyesal. Dan Niken bertambah cemburu melihat
perhatian Aldi yang demikian besar pada Indah. Ada
apanya lagi perempuan itu? Mengapa Aldi masih
sangat memperhatikannya?
"Dalam keadaan seperti itu, dia sangat ber
bahaya untuk lingkungannya. Dia bisa tiba-tiba
mendengar suara yang menyuruhnya membunuh
seseorang. Atau melihat ular di tempat tidur
anaknya yang segera dipukulnya sekuat tenaga. Dia
harus dirawat di rumah sakit jiwa!"
"Aku akan minta agar dia dirawat," desah Aldi
muram. "Aku mengkhawatirkan anakku...."
* * *
"Saya tidak bisa memenuhi perjanjian kita," sore itu
juga Roni menghubungi Niken. "Perempuan itu
sudah gila! Dia malah menyerang saya!"174
"Oke," sahut Niken tenang. "Kita batalkan saja
perjanjian kita."
"Apa maksud Ibu yang sebenarnya?" desak
Roni curiga.
"Saya hanya ingin menolongnya," sahut Indah
tenang. "Membalas kejahatan dengan kebaikan."
Dengan tenang diletakkannya teleponnya.
Sebagai seorang perawat berpengalaman, tentu
saja Niken sudah menduga apa yang akan terjadi
kalau Indah melihat Roni datang ke rumahnya.
Waham kecurigaannya masih sangat kuat! Dia
mengira Roni datang untuk membunuhnya! Karena
itu dia mendahului mengambil pisau....
Dan kini semua orang dapat memastikan, Indah
sudah gila, bukan hanya terganggu pikirannya! Dia
harus dirawat di rumah sakit jiwa, mungkin untuk
waktu yang lama sekali!
Niken menyeringai puas. Piala kemenangan itu
sudah diraihnya. Dia sudah berhasil merampas sua
minya kembali!
* * *
Selama Indah dirawat, hubungan Niken dan
Aldi bertambah intim. Mereka menjadi lebih sering
ber-temu. Niken seolah-olah sudah memperoleh
kembali suaminya yang hilang. Aldi hanya pulang
untuk melihat Bram. Atau menengok Indah di
klinik. Sesudah itu, dia akan cepat-cepat kembali
kepada Niken.175
Mereka pergi ke pantai. Ke Puncak. Ke Anyer.
Bahkan lebih jauh lagi kalau Aldi dapat menitipkan
Bram ke rumah temannya untuk semalam-dua
malam.
Kalaupun tidak ke luar kota, mereka pergi ber
dua hampir seharian, tanpa menduga Eko memantau
aktivitas istrinya dengan diam-diam.
"Kamu sekarang jarang di kantor," kata Eko
dengan suara datar. Tak tampak emosi apa-apa di
wajah maupun di suaranya.
Tetapi Niken terkejut setengah mati.
"Mas cari saya tadi?"
"Sudah beberapa kali aku meneleponmu. Kata
sekretarismu, kamu tidak ada di kantor Sejak pagi."
"Oh, saya harus meninjau proyek."
"Setiap hari? Handphonemu juga dimatikan."
"Ada beberapa calo tanah yang sedang
mengejar-ngejar saya."
Eko mendengus di hidung.
"Sekarang kamu juga selalu pulang malam.
Kadang-kadang malah tidak pulang. Punya obyek
bam?"
"Mas kan tahu ekonomi kita sedang morat
marit. Saya sedang berjuang keras untuk
menyelamatkan perusahaan saya."
"Barangkali kamu terlalu berani berspekulasi,"
kata Eko sambil bangkit dari kursinya. "Atau terlalu
banyak membuang biaya untuk sesuatu yang tidak
perlu. Sekadar memuaskan ambisimu."176
Niken menatap suaminya dengan tegang. Tapi
Eko sudah meninggalkan ruang makan tanpa me
noleh lagi. Setitik perasaan tidak enak menjentik
hati Niken.
* * *
"Benar Indah sudah boleh pulang?" tanya Aldi bin
gung. "Aku khawatir..."
"Dia sudah tidak apa-apa," potong Eko tegas.
"Hanya perlu minum obat dengan teratur dan
kontrol tiap tiga hari."
"Kamu pikir tidak berbahaya untuk Bram?"
"Mas Al tidak dapat menjauhkan anak itu seter
usnya dari ibunya!"
"Tapi kalau Indah melihatnya sebagai Roni
Jamal...."
"Hasil tesnya baik. Indah sudah tidak
berbahaya. Bawa dia pulang."
"Mengapa kamu begitu ingin menyuruhnya
pulang?" geram Aldi gemas.
"Mengapa Mas Al begitu tidak ingin dia
pulang?" balas Eko tajam. "Supaya lebih bebas?1'
"Apa maksudmu?" belalak Aldi berang.
"Mas lebih bebas kalau Indah dirawat di sini,
kan?"
"Aku hanya memikirkan Bram!"
"Nah, jagailah dia! Itu tugasmu, bukan?"177
Aldi malah tidak tega meninggalkannya.
Padahal biasanya, berapa susahnya baginya
meninggalkan seorang wanita?
* * *
"Keadaannya tidak terlalu baik," kata Eko selesai
memeriksa Indah.
"Dia seperti sedang fly," keluh Aldi bingung.
"Bukan karena kebanyakan obat?"
"Itu memang efek samping dari major
tranquiliser," sahut Eko datar. "Tapi tanpa obat itu,
dia bisa ngamuk lagi."
"Tidak perlu dirawat?"
"Tidak kalau Mas Al dapat menjaganya baik
baik di rumah. Kecuali," suara Eko terdengar mer
endah, "kalau Mas Al nanti malam ada urusan."
Sikap Eko biasa saja. Agak acuh tak acuh.
Malah cenderung dingin. Aldi sama sekali tidak
menaruh curiga. Perhatiannya sedang tercurah habis
pada In-dah.
"Nanti malam memang aku harus pergi. Biar
saja Indah dirawat di sini. Kamu jaga nanti malam?"
"Seharusnya bukan giliranku, Tapi kalau Indah
di sini, lebih baik aku yang jaga. Dia selalu ingin
kabur."
Aldi menepuk bahu adiknya dengan lega.
"Terima kasih, Eko."178
"Nanti malam Mas Al mesti pergi?" tanya Eko
seperti sambil lalu saja. Wajahnya tidak menampak
kan emosi apa-apa.
"Ada janji dengan Naryo. Katanya dia mau
mencarikan pekerjaan untukku. Dia minta aku
datang untuk makan malam bersama temannya."
"Ooo."
"Kalau Indah bisa dirawat di sini, aku bisa
pergi"
"Bram?"
"Waktu kujemput pulang sekolah tadi, dia minta
izin nginap semalam di rumah temannya yang se
dang ulang tahun. Kupikir tidak ada salahnya se
bagai selingan. Rasanya Bram juga ikut stres
melihat keadaan ibunya."
"Jadi rumahmu kosong."
"Ya, kenapa?"
"Tidak apa-apa," Eko mengangkat bahu. Suara
nya rata saja. "Untung Mas ada teman makan di
luar."
"Jangan khawatir. Kamu urus Indah saja."
"Jam berapa Mas Al pulang?"
"Sesudah makan malam. Sekitar pukul sembi
lan. Ada apa memangnya?"
"Kalau ada apa-apa dengan Indah, aku tahu di
mana harus menghubungi Mas Al."
"Hubungi saja aku di rumah sesudah jam
sembilan."
Eko hanya mengangkat bahu. Wajahnya
kosong.179
* * *
"Perasaanku tidak enak," kata Niken sambil bangkit
dari tempat tidur di kamar Aldi. "Aku harus
pulang."
"Baru jam sembilan. Kenapa buru-buru?" tanya
Aldi yang masih berbaring lemas di tempat tidurnya.
"Entahlah, aku cuma merasa tidak enak."
"Pasti karena kamar ini bukan kamarmu. Tidak
ada siapa-siapa malam ini. Bram nginap di rumah
temannya. Indah dirawat di klinik. Kenapa tidak
bermalam di sini saja?"
"Aku harus pulang," gumam Niken muram.
Dia sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba
saja dia begitu ingin pulang. Eko pasti sudah berada
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di rumah. Untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak
mengerti, Niken ingin sekali berada di dekat
suaminya.
Perasaannya tidak enak sekali. Padahal dia baru
saja memadu cinta dengan Aldi. Dan seperti yang
sudah-sudah, Aldi pandai sekali membuatnya
melupakan segala-galanya.
Tetapi sesudah semuanya berakhir, sekonyong
konyong saja perasaan tidak nyaman itu menyelinap
ke hatinya. Perasaan yang tidak dapat dipahami apa
artinya. Tetapi menimbulkan keresahan yang amat
mengganggu.
Benarkah cuma karena mereka memadu cinta di
kamar Indah, bukan di kamarnya sendiri atau di
kamar hotel seperti biasanya?180
"Kuantar kamu pulang," kata Aldi sambil
bergeser ke tepi tempat tidur.
"Tidak usah," bantah Niken segera. "Aku naik
taksi saja."
Dia khawatir Eko sudah berada di rumah dan
mengenali mobil Aldi. Eko sudah tahu Aldi telah
kembali. Tidak curigakah dia? Mengapa dia tidak
pernah mengatakan Indah sudah menjadi pasienn
ya?
"Ada apa?" gerutu Aldi agak kesal. "Malam ini
sikapmu aneh sekali!"
"Besok kutelpon," kata Niken tanpa menghirau
kan kekesalan Aldi. "Aku pulang dulu."
"Betul tidak mau kuantarkan?"
"Tidak usah. Selamat malam."
Bergegas Niken melangkah ke luar. Entah ada
apanya rumah itu. Tetapi bulu romanya terasa
meremang ketika dia melewati ruang tengah. Tak
sadar Niken menoleh ke ruang makan. Dia seperti
mendengar suara aneh dari sana. Dan dia merasa
seperti sedang diawasi. Entah oleh siapa.
Tanpa menoleh lagi, buru-buru Niken membuka
pintu depan dan melangkah ke luar untuk mencari
taksi.
Dia sedang menunggu taksi di tepi jalan ketika
sebuah tangan menyentuh bahunya. Niken hampir
memekik saking kagetnya.
"Sori!" cetus Aldi sambil tersenyum. "Aku
membuatmu kaget?"181
"Jangan pernah berbuat begini lagi!" sergah
Niken kesal. "Jantungku hampir putus!"
Aldi tertawa geli.
"Kenapa kamu kelihatannya takut sekali? Kita
tidak berselingkuh, kan? Kamu masih istriku!"
"Tidak lucu!" dengus Niken mengkal.
"Masuklah ke mobilku."
"Sudah kubilang aku mau pulang sendiri!"
"Tidak takut diculik malam-malam begini?
Musuh bisnismu banyak, kan?"
"Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bergurau."
"Aku juga tidak. Masuklah ke mobil. Aku antar
kan kamu ke mana saja. Kamu boleh turun di tengah
jalan kalau tidak mau kuantar ke rumah!"182
BAB XVII
EKO melangkah masuk dengan tenang ke kamar
kerjanya di klinik. Diletakkannya tas dokternya di
atas meja. Kemudian ditutupnya pintu.
Dicucinya tangannya beberapa kali di wastafel.
Lalu dibasuhnya wajahnya dengan air dingin.
Ditatapnya wajahnya di cermin. Wajah yang penuh
percikan air itu tampak beku dan hampa.
Lalu disambarnya tas dokternya. Dibukanya
pintu kamar kerjanya. Dengan langkah-langkah
mantap dia melangkah menelusuri koridor yang
menuju ke kamar pasien.
Dibukanya salah satu pintu kamar. Tanpa meny
alakan lampu dia melangkah masuk. Menghampiri
ranjang seorang pasien. Dan menyingkap selimut
nya.
Parasnya berubah ketika melihat ranjang itu
kosong.
* * *183
"Bapak belum pulang?" tanya Niken Ietih
kepada pembantunya yang membukakan pintu.
"Belum, Bu."
"Tidak telepon?"
"Tidak, Bu."
Aneh, pikir Niken sambil melangkah masuk ke
rumahnya. Bukankah katanya tadi pagi dia mau
pulang sore-sore karena tidak praktek? Mungkinkah
dia menunggui Indah di klinik? Gawatkah keadaan
nya?
"Yang tersisa hanya tinggal belas kasihan,"
terngiang kembali pengakuan Aldi tadi. "Selama
keadaannya masih begitu, aku tidak tega meninggal
kannya."
Aku pun tidak mungkin kembali padanya, pikir
Niken murung. Kalau dia tahu aku sudah menikah
dengan Eko...
"Aku memang playboy," katanya dulu. "Tapi
kalau kamu gadis adikku, aku akan memilih gadis
lain."
Marahkah Aldi kalau dia tahu Niken telah me
nikah dengan adiknya?
Ah, Niken sekarang benar-benar bingung. Tidak
disangkanya permainan apinya ternyata meng
hanguskan tubuhnya sendiri! Kalau Eko sampai tahu
istrinya berselingkuh dengan abangnya...
Berselingkuhkah namanya berhubungan
kembali dengan Aldi? Mereka belum pernah ber
cerai!184
"Kamu masih istriku," kata Aldi mantap. Dan
dia tidak menikah dengan Indah. Jadi... siapa
sebenarnya yang berselingkuh?
Mungkinkah membatalkan pernikahannya
dengan Eko karena Aldi, suaminya yang sah, masih
hidup?
Rasanya sudah saatnya aku bicara serius dengan
Aldi, pikir Niken mantap. Aku harus berterus terang
padanya. Dan menceritakan semuanya pada Eko.
Yang harus terjadi, terjadilah! Niken sudah pasrah....
* * *
"Dok! Dokter Eko! Ada telepon!" panggil Suster Ika
dari ambang pintu. Dia mengawasi dokternya yang
sedang tertegun bengong di samping tempat tidur
pasien itu dengan heran. "Ada apa, Dok?"
Eko berpaling. Dan Suster Ika hampir memekik
kaget melihat paras dokternya. Dalam cahaya
remang-remang dari lampu di koridor depan kamar,
wajah itu begitu dingin dan hampanya seperti
mayat!
"Di mana pasien Indah?,, suaranya terdengar
kering kaku.
Suster Ika melongo bingung. Matanya
mengawasi tempat tidur yang kosong itu dengan
panik.
"Jangan-jangan dia kabur lagi, Dok!" sergahnya
bingung. "Dari tadi dia sudah meracau ingin
pulang!"185
"Kenapa tidak dijaga?" bentak Dokter Eko
dengan kemarahan yang mengerikan.
"Saya kira... saya kira dia... dia masih bersama
Dokter...." Suster Ika menggagap ketakutan. "Dia
baru saja dibawa ke ruang konsultasi...."'
"Siapa yang menyuruh membawanya ke sana?"
"Dokter yang menyuruh saya menyiapkannya,
kan? Kata Dokter, malam ini dia harus diterapi
sekali lagi sebelum diperbolehkan pulang...."
Eko melewati perawatnya dengan gusar. Begitu
berangnya dia sampai bahunya menyenggol tubuh
Ika ketika dia melewati pintu.
Ika terjajar mundur. Tangannya tidak sengaja
menepis tas Eko. Tas itu terlepas. Jatuh ke lantai.
Tutupnya terbuka. Isinya berserakan. Sepasang
sarung tangan. Sebotol kecil kapas alkohol. Dua
buah jarum suntik berukuran masing-masing 3 cc
dan 5 cc. Beberapa gulung kasa. Masker. Tisu.
Kertas-kertas. Agenda. Notes kecil. Dan entah apa
lagi.
Eko memunguti barang-barangnya dengan
marah. Dan bergegas menjejalkannya kembali ke
dalam tasnya. Buru-buru Ika ikut berjongkok untuk
membantu memberesi barang-barang yang ber
serakan.
"Tidak usah!" dengan kasar Eko merenggut
benda-benda di tangan Ika. Lalu dengan terburu
buru, dijejalkannya isi tas itu kembali.
"Maaf, Dok...," Ika tergagap ketakutan.186
"Sana pergi cari Indah!" perintah Eko datar.
"Jangan temui saya sebelum ketemu!"
"Baik, Dok. Ada telepon untuk Dokter...."
"Saya tahu!" potong Eko sengit.
Dia melangkah dengan berang ke kamar
kerjanya. Ika mengawasi dokternya dengan bingung.
Mengapa dia semarah itu? Bukan baru sekali ini
Indah mencoba kabur. Biasanya, dia malah tidak
terlalu peduli! Dan matanya menangkap sebuah
benda di lantai....
Eko mengempaskan pintu kamar kerjanya
dengan jengkel. Diraihnya telepon dengan kasar.
"Halo!" sapanya kaku. "Dokter Eko Prasetyo di
sini!"
"Eko!" suara Aldi terdengar sangat aneh.
"Kamu harus ke sini secepatnya! Indah..."
* * *
Ketika Eko tiba di rumah Aldi, kakaknya sendiri
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang membukakan pintu. Belum pernah Eko melihat
Aldi dalam keadaan seperti itu. Dia menikmati
dengan kepuasan yang aneh bagaimana tidak
karuannya wajah yang ganteng dan selalu tenang
itu.
"Indah, Eko!" jelas sekali Aldi berusaha
menahan emosinya. "Di kamar tidur...."
Eko melangkah duluan ke kamar tidur. Aldi
mengikuti dengan limbung di belakangnya.187
Pintu kamar tidak tertutup. Lampu sudah
menyala terang. Eko dapat melihat dengan jelas
tubuh Indah yang berbaring miring di tempat tidur.
Wajahnya menghadap ke tembok. Kepalanya
berlumuran darah.
Eko memeriksa sebentar sebelum memastikan,
Indah telah tewas.
"Apa yang terjadi?" tanyanya tenang sambil
berpaling pada abangnya. "Aku tidak dapat
menolong kalau Mas Al tidak menceritakan semua
nya."
Sesaat Aldi mengawasi adiknya dengan
bingung. Parasnya tegang.
"Apa... apa maksudmu?" tanyanya tergagap.
"Kamu pikir... aku yang membunuhnya?"
Eko mengangkat bahu. Ditunjuknya sepotong
besi berlumuran darah di dekat kaki tempat tidur.
"Bukan cuma aku yang bakal punya pendapat
seperti itu, Mas."
"Kamu gila!" sergah Aldi marah. "Aku tidak
mungkin membunuh Indah!"
"Yang penting, apakah yang berwajib punya
pendapat seperti itu pula?"
"Aku tidak tahu apa-apa! Aku baru pulang. Dan
menemukan dia sudah... sudah..."
"Mas Al dari mana?" tanya Eko santai. "Oh, ya!
Makan malam bersama Naryo, kan? Dan seo rang
temannya!" Eko tersenyum puas. "Bagus, Mas!
Kamu jadi punya alibi! Punya saksi yang bisa
menguatkan, Mas tidak ada di rumah waktu pem-188
bunuhan ini terjadi! Dari lebam mayat yang terjadi,
dokter forensik dapat mengira-ngira jam berapa
waktu kematiannya!"
Eko menatap abangnya dengan kenikmatan
yang memuncak ketika melihat paras yang tampan
itu memucat.
* * *
"Indah tewas?" Niken hampir berteriak saking
kagetnya. "Dibunuh?"
Untuk pertama kalinya setelah tiga belas tahun
terakhir ini, Niken kehilangan kebenciannya pada
perempuan itu. Hatinya benar-benar tersengat. Dan
bongkah es yang membekukan hatinya selama ini
seperti tiba-tiba mencair.
"Aku belum bisa pulang," sahut Eko di telepon.
Suaranya kedengaran tenang dan datar. "Masih
banyak yang harus diselesaikan."
"Apa yang terjadi, Mas?" erang Niken dengan
bulu kuduk yang meremang. "Siapa yang tega
membunuh orang sakit?"
"Itu tugas polisi untuk mencari tahu. Yang jelas,
Indah tewas dibunuh di kamar tidurnya sendiri. Dia
kabur dari klinik kira-kira sejam yang lalu."
Mata Niken langsung memintas ke jam dinding.
Satu jam yang lalu! Itu berarti hampir bersamaan
waktunya dengan saat dia meninggalkan rumah
Aldi!189
Ya Tuhan, desah Niken dalam hati. Tanpa
menyadari itulah pertama kalinya dia menyebut
nama Tuhan lagi setelah doanya untuk menyelamat
kan Dimas tidak dikabulkan. Itukah sebabnya
perasaanku demikian tidak enak? Itukah sebabnya
bulu romaku meremang ketika melintasi ruang
tengah rumah Indah? Malaikat Maut mungkin sudah
masuk ke rumah itu! Dan sedang menunggu saat
yang tepat untuk bertindak....
"Mas Al bagaimana?" cetus Niken cemas ketika
tiba-tiba dia teringat pada laki-laki itu.
"Masih ditanya-tanya oleh polisi. Dia yang
menemukan mayat Indah ketika pulang. Kamar
tidurnya gelap tapi tidak terkunci. Indah terkapar di
tempat tidur dengan kepala berlumuran darah."
Niken memejamkan matanya dengan ngeri.
"Untung Mas Al punya dua orang saksi,"
sambung Eko dengan suara ganjil.
"Sak... si...?" Niken tergagap gugup.
"Dua orang temannya," sahut Eko puas.
"Mereka makan malam bersama di restoran.
Sunaryo, bekas teman SMA Mas Aldi, menawarkan
pekerjaan di tempat temannya."
Sekarang, paras Niken-lah yang memucat.
"Halo, Nik?" sapa Eko sabar. "Kamu masih
mendengarkan?"
"Mas Al... Mas Al... bilang begitu?" desah
Niken lemah.
"Tentu saja, bilang apa lagi? Itu memang
alasannya siang tadi waktu menitipkan Indah di190
klinik. Tidak ada yang menjaganya di rumah karena
malam ini dia ada janji dengan temannya."
Tangan-kaki Niken terasa dingin dan lemas. Dia
hampir tak kuat lagi menggenggam telepon. Hampir
tak sanggup lagi berdiri.
"Nik? Kamu nggak apa-apa?" tanya Eko pura
pura menaruh perhatian. "Bagaimana meeting-mu?"
"Meeting!" desis Niken lemah.
"Dengan investor dari Singapura itu? Sukses?"
Niken terkulai di bangku. Tidak mampu lagi
menjawab.
Jauh di klinik sana, Eko meletakkan teleponnya
sambil menyeringai dingin.
* * *
Indah Juwita Purnama tewas akibat trauma tumpul
pada sisi kepalanya. Tulang parietal kanannya
hancur. Pecahan tulang melukai otak. Menimbulkan
perdarahan masif yang segera membawa kematian.
Pertanyaan gencar pihak kepolisian menyadar
kan Aldi, dialah yang dicurigai. Apalagi dia tidak
dapat menghadirkan saksi yang memperkuat alibi
nya di mana dia berada ketika pembunuhan itu
terjadi.
Tentu saja Aldi tidak dapat membawa-bawa
Sunaryo Mukhlis dan menyuruhnya menjadi saksi
palsu. Dia pun tak dapat mengatakan dia berada
bersama Niken.191
Begitu banyak saksi yang akan memberatkan
Niken, bahwa dia memang mendendam pada Indah.
Dia punya motif yang kuat sekali untuk
menyingkirkan Indah.
Jadi lebih baik kalau Aldi tidak membawa-bawa
Niken. Karena alibinya sama lemahnya dengan
Aldi.
"Kamu harus mengatakan saat itu kamu
bersamaku!" desak Niken ketika dia dapat men
jumpai Aldi.
"Buat apa? Buat apa membawa-bawa kamu?
Bersamamu atau tidak, sama saja. Alibiku lemah.
Kita malah dapat dituduh bersekongkol membunuh
Indah! Banyak sekali saksi yang dapat memberat
kanmu, Nik. Kamu sengaja mencelakai dia untuk
membalas dendam!"
"Tapi kalau tidak, mereka akan menuduhmu!
Kamu tidak punya alibi, tidak punya saksi. Kalau
mereka menanyaiku, aku bisa menunjuk Roni
Jamal! Dialah yang selalu sesumbar ingin mem
bunuh Indah!"
"Aku tidak percaya dia yang membunuh Indah.
Buat apa? Indah sudah sakit ingatan. Dia sudah ter
hukum. Buat apa Roni Jamal membalas dendam
lagi?"
"Tapi paling tidak polisi punya seorang
tersangka lain! Bukan hanya kamu!"
"Aku tidak mau melibatkanmu, Nik. Supaya
kamu jangan terbawa-bawa!"192
"Ah, mereka di sini, Pak!" cetus Eko pura-pura
lega ketika menemukan Niken dan Aldi di ruang
tamu rumahnya. Dia menyilakan dua orang perwira
polisi melangkah masuk. "Benar kan dugaan saya,
kakak saya pasti di sini. Ngobrol dengan istri saya!"
Aldi berpaling ke arah Niken dengan kaget.
Tepat pada saat Niken tengah menatapnya dengan
perasaan bersalah. Ketika melihat cara Niken
menatapnya, Aldi merasa tidak perlu bertanya lagi.
"Aku baru menjelaskan pada bapak-bapak ini
kisahmu dengan Niken, Mas Al," kata Eko tanpa
perasaan bersalah. "Tiga belas tahun yang lalu kamu
meninggalkan istrimu untuk kabur dengan Indah.
Aku menikahi Niken setelah tiga tahun Mas Al tidak
ada kabar berita. Saat itu Niken sempat dirawat di
klinik jiwa karena anaknya meninggal. Dia sedang
hamil ketika kamu tinggalkan, Mas."
Dengan kepuasan yang sempurna, Eko
menikmati penderitaan hebat yang tergurat di wajah
abangnya. Wajah yang selama ini tak pernah dilanda
derita. Wajah sang pemenang.193
BAB XVIII
KEESOKAN harinya, Aldi Prasetyo menycrahkan
diri kepada yang berwajib dengan didampingi
seorang pengacara.
"Saya ingin memberikan pengakuan membunuh
Indah Juwita Purnama," kata Aldi dengan suara
tawar. "Saya melakukannya seorang diri. Tanpa
bantuan orang lain."
Jangan Ucapkan Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Niken mengerti mengapa Aldi me
lakukannya. Dia ingin membebaskan Niken dari
segala tuduhan, setelah pengakuan Eko malah me
libatkannya dalam kasus itu.
Tetapi yang berwajib tidak menerima begitu
saja pengakuan itu. Mereka tetap melakukan
penyidikan meskipun Aldi telah ditahan akibat
pengakuannya.
Ada dua hal yang menimbulkan pertanyaan di
benak polisi yang menyidik kasusnya.
Yang pertama, Aldi tidak tahu persis jenis
senjata pembunuh yang dipergunakannya. Dia
hanya mengatakan sepotong besi. Tapi deskripsinya
tentang senjata itu tidak sesuai dengan data yang
ditemukan laboratorium forensik kriminal. Dia194
hanya sempat melihat besi itu sekilas. Itu pun dalam
keadaan panik.
Yang kedua, kalau benar Aldi merencanakan
pembunuhan, bagaimana dia tahu malam itu Indah
kabur dari klinik?
Kecuali kalau Aldi tidak sengaja membunuh
Indah karena dia memergoki Aldi sedang
bermesraan dengan Niken!
Tapi Aldi tetap menyangkal tuduhan itu karena
dia ingin melindungi Niken. Dia tetap berkeras
mengatakan malam itu dia hanya berada berdua saja
dengan Indah ketika pembunuhan itu terjadi.
Dan keteguhan Aldi untuk membebaskan Niken
dari segala tuduhan, mengharukan hati Niken.
Nuraninya benar-benar tersentuh. Jadi... benarkah
masih ada cinta di hati bekas suaminya, bukan
hanya nafsu?
"Kamu harus menolong Mas Aldi, Nik," bujuk
Eko dengan suara yang tulus, seolah-olah dia
memang benar memikirkan keselamatan abangnya.
"Bagaimanapun, hukuman untuk pembunuhan
berencana jauh lebih berat. Mas Al bisa dipidana
mati."
Eko mengawasi Niken sejenak. Menikmati
muramnya wajah istrinya.
"Jika kamu mengaku malam itu sedang
bersamanya ketika dipergoki Indah, tuduhannya
hanya pembunuhan tidak berencana. Hukumannya
pasti lebih ringan."195
Mengapa? pikir Niken dengan perasaan ganjil.
Mengapa Eko seolah-olah menikmati sekali
penderitaan kami? Mengapa dia begitu ingin aku
juga masuk penjara bersama Aldi?
* * *
Roni Jamal ikut diperiksa oleh yang berwajib.
Podang dan teman-temannya tidak dapat
menyangkal, mereka memang beberapa kali men
dengar majikannya sesumbar hendak membunuh
Indah.
Ketika kesaksian itu dikonfirmasikan kepada
Roni, mukanya langsung pucat pasi. Menyadari
betapa kelancangan mulutnya dapat menjerat
lehernya sendiri.
"Itu cuma manifestasi kemarahan saja, Pak!"
katanya ketakutan. "Kalau istri Bapak kabur dengan
lelaki lain, barangkali Bapak juga akan semarah
saya!"
"Tapi saya tidak akan berniat membunuhnya,"
sahut polisi yang memeriksanya dengan tenang.
"Saya juga tidak, Pak! Itu cuma mulut besar
saja! Mana berani saya membunuh orang!"
"Indah memang punya delusi dikejar-kejar
mantan suaminya untuk disiksa dan dibunuh,"
dengan enteng Eko memberi keterangan. "Karena
itu dia tidak betah diam di satu tempat. Dia selalu
ingin kabur. Ingin sembunyi. Tapi paranoianya yang196
terberat adalah kecurigaan bahwa suaminya main
gila dengan perempuan lain."
"Dan menurut Pak Dokter, perempuan itu
adalah Ibu Niken Ardini, istri Bapak sendiri?'"
"Mantan istri kakak saya," sahut Eko mantap.
Begitu tegas dan datarnya suara Eko sampai
perwira polisi itu mengemyitkan keningnya.
Tidak cemburukah dokter jiwa ini mengetahui
istrinya main gila dengan lelaki lain, siapa pun le
laki itu?
"Tahukah Anda, Dok, jika ternyata kakak Anda
masih hidup dan ternyata mereka belum bercerai,
perkawinan Anda dengan istrinya menjadi tidak
sah?"
"Apa maksud pertanyaan itu?" balas Eko
dingin.
"Hanya mengumpulkan informasi. Satu per
tanyaan lagi, Dok. Jika istri Anda ingin kembali
berkumpul dengan suaminya, Anda rela melepas
kannya?"
"Pertanyaan apa itu!" dengus Eko marah.
"Tidak relevan dengan kasus ini!"
"Semua informasi yang berkaitan kami anggap
penting untuk diselidiki."
"Bagi saya semuanya sudah jelas. Dalam setiap
terapi, Indah selalu mencurigai Mas Aldi main gila
dengan Niken. Malam itu dia kabur dari rumah
sakit. Dan menemukan mereka di kamarnya. Apa
semua itu belum cukup jelas? Mas Aldi tidak
sengaja membunuh Indah. Mungkin Indah197
menyerang Niken sehingga mereka harus membela
diri! Mudah-mudahan pengacara mereka cukup
pandai untuk meringankan hukuman!"
* * *
"Mau ke mana, Nik?" tegur Eko ketika dilihatnya
istrinya sudah bersiap-siap hendak pergi. Pakaian
nya ganjil sekali. Celana jins dan kemeja warna
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan Pusaka Dalam Kuburan Karya Siau Dji
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama