Ceritasilat Novel Online

Kembali Dalam Pelukan Cinta 1

Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto Bagian 1



- 1 -- 2
Kolektor E-Book

Awie Dermawan

Foto Sumber oleh Awie Dermawan

Editing oleh D.A.S- 3
FREDY. S

KEMBALI

DALAM

PELUKAN

CINTA

PENERBIT : T.B SANDRO JAYA

JAKARTA- 4
KEMBALI DALAM PELUKAN CINTA

Karya : Fredy. S

Setting : Sinar Repro

Cetakan Pertama Tahun 1997

Penerbit: T.B Sandro Jaya. Jakarta

Dilarang mengutip memproduksi dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari penerbit- 5
KEMBALI DALAM PELUKAN CINTA

Fredy Siswanto

Sinopsis

Dengan tabah Rosana melahirkan dan membesarkan

anaknya. Lalu dengan anaknya, Rosana menjalani hari-hari

dalam penderitaan. Tak seorang pun mau memperhatikan

dia dan anaknya. Dia dan anaknya, bagaikan diasingkan dari

kehidupan.

Di sisi lain, Herman yang menuruti kemauan kedua

orang tuanya, cuma ingin menyenangkan hati mamanya.

Karena istri pilihan kedua orang tuanya sebenarnya tak

dicintainya.

Ternyata Herman ingin kembali kepada Rosana.

Karena, wanita itu adalah segala-galanya dalam hidupnya.

Tapi maukah Rosana menerimanya?

Rosana sudah terlalu banyak menderita.....- 6
Bab. 1

Apa mungkin aku hamil? Desis Rosana dalam hati,

berusaha menerka-nerka apa yang sebenarnya tengah

dialaminya. Sudah beberapa hari belakangan ini, aku

merasakan gejala mual dan kepala pening seperti ini. Dan

aku yang dulu tidak menyukai rasa asam dan pedas,

sekarang jadi suka rasa asam dan pedas.

Apakah itu semua tanda-tanda wanita hamil dan

sedang mengidam? Kalau memang benar aku hamil,

bagaimana jadinya? Sedangkan aku belum menikah. Aku

masih kuliah... Tentu orang akan menuduhku kuliah nyambi

melacur.

Oh Tuhan... aku bukan pelacur. Kalau memang benar

aku mengandung, maka anak yang kukandung memiliki

ayah. Herman ayahnya, sebab dialah yang selama ini

menjadi kekasihku sebab dialah yang selama ini menjadi

kekasihku dan sudah beberapa kali aku dan dia melakukan

hubungan badan sebagaimana layaknya suami-istri. Tapi

apakah Herman mau menerima kenyataan ini?- 7
Rasa pening di kepala Rosana semakin terasa

berdenyut, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang

bisa saja dia alami. Kemungkinan yang buruk, yang tak

pernah selama ini terpikir di benaknya. Jika kemungkinan

buruk yang ada dalam pikirannya benar-benar terjadi, apa

yang bisa dia lakukan? Menuntut Herman untuk

menikahinya, tidak mungkin. Sebab apa yang dilakukannya

dengan Herman, semata-mata dilakukan atas dasar suka

sama suka, bukan suatu paksaan.

"Herman...," desis Rosana lirih dengan wajah

mendung dan pandangan mata menerawang kosong.

"Malam ini aku gelisah, Her. Aku gelisah, sebab aku.

merasakan sesuatu kelainan di tubuhku. Apakah kau di sana

juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan saat

ini?"

Dipeluknya guling semakin erat, dengan

membayangkan kalau yang berada dalam pelukkannya

bukanlah guling, namun tubuh Herman yang seakan

tersenyum, memberikan ketenangan dan rasa percaya diri

pada Rosana. Lama Rosana termenung melamun sambil

memeluk guling. Matanya menerawang jauh. Pikirannya

melayang pada kejadian-kejadian yang pernah dialaminya

bersama Herman. Kejadian-kejadian yang indah dan

menyenangkan, namun akhirnya berakibat fatal terhadap

dirinya. Dengan kelainan yang dia rasakan ditubuhnya.

Berulang kali Rosana berusaha mencari jalan untuk

mengatasi semua yang kini dia alami. Namun tetap saja,- 8
sulit baginya untuk menemukan jalan itu. Meski kini dia

calon sarjanya, namun baru kali ini dia mengalami hal

seperti yang kini dia rasakan. Karena memang bani setelah

menjalin hubungan dengan Herman, dia mengalami

kejadian-kejadian yang baru dirasakan. Kesulitannya dalam

mencari jalan untuk menyelesaikan masalahnya,

dikarenakan sudah dua hari ini Herman tidak datang ke

kampus. Padahal kalau saja Herman datang, dia akan bisa

mengutarakan semuanya dan meminta pendapat pada

Herman, bagaimana jalan penyelesaiannya.

"Kemana Herman...?" pikirnya lirih. "Sudah dua hari

dia tidak datang ke kampus. Sakitkah dia...? Oh, jika dia

besok tidak datang ke kampus lagi, bagaimana aku? Apa

yang harus kulakukan kalau

dengan wajah semakin menggambarkan kemurungan.

Kepalanya kembali dirasakan semakin bertambah pusing,

memikirkan semuanya.

Malam yang sepi itu. semakin membuat Rosana kian

bertambah gelisah. Hatinya masih terasa tidak menentu,

ingin rasanya segera pagi, agar segera bisa memastikan apa

yang sebenarnya terjadi atas dirinya. Kemudian dia berharap

Herman datang ke kampus, agar dia bisa meminta pendapat

kekasihnya sekaligus meminta tanggung jawab kekasihnya

atas kehamilan yang dia alami akibat hubungan cintanya

dengan lelaki yang dicintainya itu. Namun bagaimana waktu

berlalu dengan cepat? Semakin dirasakan, waktu akan

semakin lambat rasanya.- 9
Setelah lama gelisah, akhirnya Rosana pun dapat

tertidur ketika jam di dinding sudah menunjukkan angka

satu dini hari. Tidurnya pun nampak gelisah, sebagaimana

yang dirasakan oleh pikirannya.

Keesokan harinya, Rosana menuruti saran Ayahnya.

Dia pun datang ke puskesmas untuk berobat. Namun Rosana

sangat kaget, ketika dokter mengajaknya bicara dan

memberitahukan hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter

itu atas dirinya.

"Bagaimana, Dok...?" tanya Rosia dengan wajah

menunjukkan kecemasan dan ketidak sabaran, karena dia

ingin segera mengetahui hasil pemeriksaan yang diakukan

oleh-dokter Yuwono.

"Apa yang Anda rasakan bukan gejala masuk

angin...," jawab dokter itu.

"Bukan karena masuk angin, Dok?" ulang Rosana

memastikan.

"Benar..."

"Lalu saya kenapa, Dok?" tanya Rosana dengan

wajah semakin menunjukkan kegelisahan. Wajahnya kini

menggambarkan perasaan cemas dan khawatir, kalau-kalau

apa yang dikhawatirkannya menjadi kenyataan. Dan

kekhawatirannya memang terbukti, ketika dokter .itu

menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.- 10
"Rasa mual dan kepala pening yang Anda alami,

bukan sakit biasa... Tetapi dikarenakan sekarang Anda

sedang mengandung tiga bulan," tutur dokter itu dengan

bibir tersenyum. Menjelaskan hasil pemeriksaan yang telah

dilakukannya.

"Saya hamil, Dokter?!" tanya Rosana dengan mulut

terperangah kaget, sebab dia sama sekali tidak menduga,

kalau dia benar-benar hamil. Dia mulanya menyangga kalau

mual perutnya dan penih kepalanya, akibat masuk angin.

Tidak tahunya, dia hamil hasil hubungan badan dengan

Herman.

"Ya."

Lemas lunglai seketika sekujur tubuh Rosana, setelah

mengetahui kalau kini dia telah hamil hasil hubungan badan

dengan Herman. Memang semua dia inginkan, tetapi yang

membuatnya cemas, selama ini kedua orang tua Herman

belum pernah ditemuinya. Sehingga dia belum yakin,

apakah mereka setuju anaknya berhubungan dengannya atau

tidak. Kalau setuju, memang itu yang dia harapkan. Tapi

bagaimana kalau tidak? Itu yang menjadi pikirannya.

Bagaimana nasibnya dan juga nasih anak yang

dikandungnya, kalau sampai Herman tidak menjadi

suaminya?

"Ada apa, Nyonya...?" tanya dokter setengah

menyelidik. "Apa ada kesulitan?" tanyanya kemudian

dengan mata memperhatikan wajah Rosana. Sepertinya- 11
berusaha mengetahui kecemasan yang tengah dialami oleh

wanita muda dan cantik itu.

"Ti... tidak apa-apa. Dokter...," jawab Rosana gugup

dengan bibir berusaha tersenyum. Untuk menutupi

kecemasannya.

"Benar tidak ada masalah...?"

Rosana mengangguk.

"Syukurlah. Saya berharap Nyonya bahagia atas

kehamilan itu. Dan tentunya ini pertama kali Nyonya

mengandung bukan...?" kata dokter itu dengan bibir

tersenyum.

"Be... benar, Dokter."

"Semoga bayi yang Nyonya kandung sehat."

"Terimakasih..."

"Sama-sama..." jawab doktor itu."Oh ya. ini resep

obat yang harus Nyonya ambil..." Dengan bibir masih

tersenyum, dokter itu menyerahkan selembar kertas

bertuliskan resep obat pada Rosana yang segera

menerimanya.

"Sekali lagi terimakasih. Permisi. Dok .."

"Mari..."

Rosana pun berlalu meninggalkan puskesmas. Dia

pulang ke rumah dengan wajah murung. Dan semua itu- 12 Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat kedua orang tuanya semakin bertambah heran.

Juga semakin penasaran, sehingga Ayahnya kembali

bertanya.

"Sudah ke dokter, Ros...?" tanya Ayahnya. Ketika

melihat Rosana sudah pulang dari puskesmas.

"Sudah."

"Menurut dokter bagaimana, Ros...?" ibu Rosana

bertanya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya dialami

oleh anaknya.

"Masuk angin biasan, Bu."

Wanita setengah baya itu menarik napas dalam
dalam. Matanya masih memperhatikan ke wajah Rosana.

Sepertinya dia belum percaya dan yakin dengan apa yang

dikatakan anaknya. Namun kemudian, wanita setengah baya

itu menarik napas dalam-dalam, seakan berusaha

meyakinkan perasaannya.

"Ya sudah... ibu sudah khawatir. kalau-kalau bukan

masuk angin. Betapa malunya ibu, jika sampai kau

mengalami hal seperti yang ibu bayangkan," kata wanita

setengah baya itu dengan wajah keras dan agak sinis. "Jika

sampai hal itu terjadi, ibu tak akan mengampunimu. Dan

tidak sudi ibu tinggal bersamamu. Kau mengerti itu, Ros...?"

"Mengerti, Bu."

"Ingat, di rumah ini ibulah yang menentukan

semuanya." kata wanita setengah baya itu dengan mata- 13
memandang lekat ke wajah Rosana. "Jika ibu sudah tak

senang, maka tak seorang pun yang bisa mencegahnya

termasuk ayahmu..."

"Iya. Bu."

"Ya sudah, makan dulu. Sebelum berangkat kuliah,

jangan lupa bebenah dulu. Aku ada urusan sebentar. Jika

ayahmu pulang, bilang ibu sedang keluar sebentar...," kata

wanita setengah baya itu mengingatkan Rosana.

"Iya, Bu."

"Sana makan."

"Baik. Bu...," jawab Rosana. "Ibu sudah makan?"

tanyanya sebelum berlalu ke ruang makan.

"Sudah."

Rosana pun berlalu meninggalkan Ayah untuk makan

siang. Sedang Ayah kini masuk ke dalam kamar. Tidak lama

kemudian, Ayah kembali keluar dengan dandanan rapi.

"Ros, ibu pergi dulu..."

"Iya, Bu."

"Kalau sampai kau berangkat kuliah ayahmu belum

pulang, kunci saja pintunya dan titipkan kunci pintunya pada

Bu Jum...," kata wanita setengah baya itu mengingatkan.

"Baik. Bu."- 14
Scpeninggalan Ayah pergi, Rosana kembali

termenung memikirkan keadaannya. Oh Tuhan, betapa dia

akan malu kalau sampai orang mengetahui keadaannya yang

sebenarnya. Dan betapa ibu serta ayahnya akan marah, kalau

mereka tahu bahwa sekarang dia sedang mengandung.

Rosana akhirnya menangis, karena tidak tahu harus

bagaimana menghadapi kenyataan itu. Ditambah lagi, dia

belum tahu persis bagaimana tanggapan kedua orang tua

Herman. Juga tanggapan Herman, kalau mengetahui dia

sudah mengandung. Apakah Herman akan mau menerima

kenyataan dan mau menikahinya? Bisakah dia menutupi apa

yang terjadi pada dirinya kepada kedua orang tuanya,

terutama pada ibunya?

Betapa ibunya akan murka, kalau sampai mengetahui

kejadian yang sebenarnya. Apalagi dia telah membohongi

Ayahnya dengan mengatakan bahwa apa yang dialaminya

hanya masuk angin belaka.

Dia tahu, ibunya selama ini berusaha untuk mencari

kesalahannya. Sehingga bisa mengusirnya dari rumah itu.

Ayahnya tak bisa berbuat apa-apa. Karena ayahnya kalah

wibawa dibanding ibunya. Mungkin semua itu dikarenakan

ayahnya yang terlalu mencintai ibunya.

Ingat semua itu, Rosana kembali menangis. Siang itu

seperti biasanya Rosana berangkat kuliah. Namun kali ini,

dia berangkat kuliah agak cepat, karena dia berharap bisa

bertemu dengan Herman, kekasihnya. Dan dia akan- 15
menceritakan apa yang terjadi atas dirinya pada Herman.

Namun sudah dua hari Herman tidak datang ke kampus,

entah ada apa dan kemana. Padahal Rosana sudah ingin

sekali bertemu dengan pemuda kekasihnya itu, untuk

mengutarakan . yang tengah dia alami. Yang ada hubungan

dengan hubungan cinta yang mereka jalani selama lebih dari

tiga tahun.

Ketika Rosana sampat di gerbang kampus, terdengar

suara seorang lelaki menyapanya.

"Hai Ros, tumben kau datang sangat awal..."

"Iya, Yud... lagi kurang enak di rumah."

"Memangnya kenapa...?"

"Tidak apa-apa. Hanya kurang enak saja," jawab

Rosana tetap menutupi masalahnya.

"Benar tidak ada apa-apa?"

"Sungguh. Kok kamu seperti kurang percaya sih..."

"Ya. siapa tahu kau punya masalah dengan ibu

tirimu..."

"Tidak, Yud."

"Syukurlah..." gumam pemuda itu dengan mata masih

memandangi sosok gadis cantik yang berdiri di hadapannya.

"Kau sudah makan siang, Ros...?"

"Sudah, kenapa...?"- 16
"Tidak apa-apa. Kalau belum, biar kutraktir kau..."

"Terimakasih, aku masih kenyang..."

Pemuda bernama Yudi tersenyum.

"Yud..."

"Ya...?"

"Apa kau melihat Herman...?" tanya Rosana pada

teman kuliahnya yang bernama Yudi. Dia bertanya pada

pemuda. itu, karena dia merasa Yudilah orang yang paling

dekat dengan Herman. Keduanya merupakan teman yang

akrab. Dan biasanya, dimana pun mereka senantiasa berdua.

Hanya semenjak Herman berpacaran dengan Rosana, Yudi

agak tahu diri. Dia agak menjauhi Herman, karena tidak

ingin mengganggu hubungan mereka. Namun persahabatan

mereka tetap berjalan baik.

"Tidak tuh..."

"Sudah dua hari dia tidak nongol. Kemana ya...?."

"Iya tuh belis! Ngapain sih sampai dua hari bolos

kuliah?" Yudi ikut kesal dengan temannya. Bagaimana juga,

hubungan persahabatan diantara mereka terjalin erat. Jadi

jika salah seorang ada yang tidak datang, mereka akan saling

mempertanyakan. Lebih-lebih Rosana yang memang sudah

tiga tahun menjadi pacar Herman, dia merasa kehilangan

jika Herman tidak berangkat kuliah. Dan lagi memang dia

ingin bertemu dengan pemuda itu, sebab ada yang hendak

dia bicarakan dengan Herman. Tapi sudah dua hari dia tidak- 17
melihat kekasihnya datang ke kampus. Itulah yang

membuatnya jadi khawatir. Dan hatinya jadi bertanya-tanya,

ada apa sebenarnya dengan Herman?

"Mungkinkah hari ini dia tidak datang lagi...?"

gumam Rosana sepertinya pertanyaan yang baru saja keluar

dari mulutnya, ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Entahlah... Ada apa sih, Ros?" tanya Yudi, ingin

tahu ada masalah apa yang sedang dihadapi oleh Rosana.

Bagaimana juga, sebagai seorang teman, Yudi ingin

membantu Rosana jika memang memerlukan bantuan.

Apalagi Yudi pernah menyukai Rosana. bahkan mungkin

sampai sekarang. Hanya saja karena cinta Rosana jatuh pada

Herman, sehingga sebagai seorang teman yang baik, Yudi

terpaksa mengalah. Namun begitu, jika Rosana memerlukan

pertolongan, dia akan semampunya berusama membantu.

"Tidak ada apa-apa..."

"Kuharap kau tak perlu sungkan-sungkan padaku,

Ros...," kata Yudi dengan mata masih memandang lekat ke

wajah Rosana, seakan dia berusaha untuk menyelidiki

masalah yang sedang dihadapi oleh Rosana. "Jika memang

ada masalah antara kau dan Herman, sebagai seorang teman

aku akan berusaha membantu memecah-kan masalah
kalian. Katakanlah, ada apa...?" tanya Yudi setengah

mendesak, berharap Rosana akan mau menceritakan

masalah yang dihadapinya.- 18
"Percayalah kami tidak ada masalah. Aku hanya

ingin bertemu dengannya saja... Bagaimana juga, sudah dua

hari dia tidak masuk kuliah. Aku mengkhawatirkan dirinya

saja," jawab Rosana masih tetap tidak mau mengatakan hal

yang sebenarnya.

"Baiklah, aku percaya... Kau mau kemana?"

"Aku mau ke taman. Kalau nanti Herman datang,

tolong katakan aku menunggunya di taman kampus ya,

Yud?" pinta Rosana.

"Baiklah, akan kusampaikan..."

"Terimakasih sebelumnya, Yud..."

"Ah, lupakanlah... Sebagai teman, aku sudah

sepantasnya membantumu." jawab Yudi dengan bibir

tersenyum, berusaha meyakinkan temannya akan ketulusan

niat hatinya.

"Aku duluan, Yud..."

"Ya. Akan kutunggu dia di sini..."

Rosana pun berlalu meninggalkan Yudi menuju ke

taman kampus dimana biasanya dia menunggu Herman

sambil mengenang kenangan indah saat pertama kali dia

berkenalan dengan Herman. Yang kemudian dilanjutkan

dengan hubungan cinta.

Sesampainya di taman kampus, seperti biasanya

Rosana duduk sendirian sambil termenung. Pikirannya- 19
meladang pada kejadian kemarin malam, ketika perutnya

dirasa mual. Sehingga dia muntah-muntah. Dan kejadian itu,

membuat kedua orang tuanya, terutama Ayah bertanya

dengan wajah menggambarkan kekhawatiran. Entah apa

yang membuat Ayah seketika mengkhawatirkan dan

mencurigai dirinya. Dua hari dia menunggu Herman untuk

bertemu dan dia akan mengadukan semua yang terjadi

padanya kepada Herman. Tapi kekasihnya, sampai sekarang

belum juga datang ke kampus. Entah kenapa.

Rosana menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk

sedikit menenangkan perasaannya. Entah bagaimana lagi
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia akan berbuat, jika sampai Herman tidak datang ke

kampus hari ini. Akankah dia mendatangi rumah Herman

dan menceritakan masalahnya di rumah Herman? Entahlah.

Dia masih bingung menghadapi semuanya. Apalagi dia

selama ini belum kenal dengan keluarga Herman. Rosana

semakin terhanyut dalam lamunan dan pikirannya. Dia tenis

berkutat dengan masalah yang tengah dialaminya, yang

memerlukan sebuah penyelesaian untuk membebaskan

dirinya dari masalah tersebut.

Mentari siang terasa memanggang bumi.dan isinya.

Rosana masih duduk di taman kampus. Masih terhanyut

dengan lamunan dan pikirannya tentang apa yang kini

terjadi pada dirinya. Dia hamil. Itu merupakan masalah yang

harus secepatnya diselesaikan. Sebab kalau tidak segera

diselesaikan, akan membuat aib yang sangat besar. Apa

jadinya nanti, kalau semua orang tahu bahwa dia- 20
mengandung sebelum menikah? Dia harus bertemu dengan

Herman, untuk membicarakan masalah yang sedang

dihadapinya. Karena masalah itu, adalah hasil hubungannya

selama ini dengan Herman. Namun lelaki itu, sudah dua hari

tidak datang ke kampus. Entah kemana. Dan semua itu

semakin membuat perasaan Rosana bertambah gelisah.

Sementara itu, dari jalan raya sebuah mobil jeep warna hijau

tentara yang dinaiki seorang pemuda, masuk ke pelataran

parkir sebuah universitas swasta yang ada di wilayah

Jakarta-Timur. Pemuda tampan dengan tubuh tegap dan

rambut sedikit gondrong itu. di wajahnya nampak

menggambarkan keceriaan. Pemuda tampan itu bernama

Herman, anak seorang pengusaha yang cukup berhasil.

Setelah memarkir mobilnya di pelataran parkir,

Herman bergegas turun. Dia hendak menuju ke kampus,

ketika seorang teman kuliahnya datang menghampirinya.

"Hai Her..."

"Hai juga..."

"Kemana saja lu dua hari? Kok kagak nongol di

kampus?" tanya pemuda itu.

"Gue agak sibukan, Yud..."

"Oh ya, bokin1 lu nungguin..."

"Ada apa memangnya?"

1 Kata-kata slank untuk Bini, Istri.- 21
"Kagak tahu. Doi hanya ngomong kalau lu datang,

suruh cepet nemuin dia...," kata Yudi memberitahukan,

sekaligus menyampaikan amanat yang dia terima.

"Ada apa ya?"

"Lebih baik lu temuin aja sendiri..."

"Dimana dia...?"

"Di taman barang kali.:."

"Oke , deh. gue temui dia dulu. Takut ngambek...,"

kata Herman setengah berseloroh, kemudian setelah

menepuk pundak temannya, dia pun bergegas meninggalkan

temannya.

Di taman kampus, nampak Rosana duduk sendirian

dengan wajah murung. Matanya memandang lepas tak

bertuju. Sepertinya ada masalah yang sedang dia hadapi.

Beberapa kali juga, dia nampak menarik napas dalam
dalam, seakan berusaha untuk melegakan dadanya yang

terasa sesak oleh beban kehidupan dan masalah yang sedang

dihadapinya. Masalah cinta yang telah dia perjuangkan

dengan segenap perasaannya. Bahkan untuk cinta, dia telah

menyerahkan kegadisannya pada lelaki yang dia ciatai.

Lelaki yang dihadapkan akan menjadi pendamping

hidupnya kelak, dengan anak-anak yang lucu dan

menyenangkan.

Jika ingat akan lamunannya bisa hidup bahagia

bersama kekasihnya kelak dan anak hasil cinta kasih- 22
mereka, Rosana tersenyum-senyum sendiri. Namun setiap

kali ingat akan hubungan mereka yang sampai sekarang

masih belum menentu, Rosana jadi sedih. Selama hampir

tiga tahun dia berhubungan dengan Herman, tak sekali pun

dia bertemu dengan keluarga Herman, terutama kedua orang

tua kekasihnya. Sehingga dia belum bisa memastikan,

apakah hubungannya dengan Herman disetujui atau tidak

oleh kedua orang tua kekasihnya itu.

Padahal dia sudah menyerahkan segala yang dia

miliki pada Herman. Apa. jadinya, kalau sampai kedua

orang tua Herman tidak menyetujui hubungan cinta mereka?

Saking asyiknya melamun, sampai-sampai Rosana

tidak menyadari kalau pemuda yang sedang ada dalam

lamunannya, kini sudah berada di belakangnya.

Herman memang datang secara diam-diam. Dia ingin

menggoda kekasihnya. Dan dengan hati-hati sekali, Herman

mendekati Rosana yang masih asyik dengan lamunannya.

Lalu kedua tangannya segera ditutupkan di kedua mata

Rosana, yang dengan segera memegang kedua tangan

pemuda itu.

"Herman..."

Herman membuka kedua tangannya.

"Bagaimana kau tahu kalau aku yang menutup

matamu?" tanya Herman dengan bibir tersenyum. Matanya

memandang lekat ke wajah Rosana yang cantik.- 23
"Jelas aku tahu..."

"Bagaimana caranya?"

"Aku.sudah mengenal dirimu luar dalam, Her..."

"O, begitu...?"

Rosana menghela napas dalam-dalam.

Sesaat keduanya terdiam.

"Her...," akhirnya Rosana membuka kata.

"Ya."

Kembali Rosana tidak langsung bicara. Wajahnya

masih menggambarkan kemurungan. Dan semua itu,

semakin membuat Herman bertanya-tanya, ada masalah apa

sebenarnya dengan kekasihnya. Sehingga tidak biasanya

Rosana menunjukkan wajah murung.

"Ada apa, Ros...?" tanya Herman setelah duduk di

samping Rosana yang kini wajahnya kembali

menggambarkan kemurungan. Seakan ada masalah yang

tengah membebani pikiran gadis cantik primadona kampus

itu.

"Kau. nampak murung... Kenapa...?" desak Herman,

ingin tahu apa yang menyebabkan kekasihnya nampak

murung. Matanya masih memandang lekat ke wajah

kekasihnya.

"Aku takut, Her...," desah Rosana dengan suara lirih.- 24
"Takut kenapa...?" tanya Herman. "Apa kedua orang

tuamu marah padamu...?"

Rosana menggeleng.

"Lalu, apa yang kau takutkan...?" kembali Herman

mendesak dengan mata masih lekat menatap wajah Rosana,

ingin mengetahui" apa yang menyebabkan kekasihnya itu

murung dan mengatakan takut. Apa yang ditakutinya?

Sesaat Rosana menghela napas dalam-dalam, kemudian

dengan suara lirih dia pun mengatakan apa yang

membuatnya takut. Dan membebani pikirannya. Sehingga

membuatnya jadi murung.

"Her..."

"Ya."

"Tiga bulan ini aku tidak mens."

"Oh ya...?"

"Ya," jawab Rosana disertai desah lirih. Matanya

balas menatap lekat ke wajah Herman.

Seakan ingin menyelidiki, bagaimana reaksi

kekasihnya.

"Itu yang membuatmu takut...?" kembali Herman

bertanya.

"Ya. Aku takut hamil, Her..."- 25
Herman tersenyum senang. Tangannya memegang

pundak Rosana. Matanya memandang lekat ke wajah

Rosana, yang balas memandang ke arahnya dengan wajah

masih menunjukkan ketidakmengertian akan sikap

kekasihnya. Juga masih menggambarkan kecemasan serta

kekhawatiran akan apa yang tengah terjadi padanya.

"Kenapa kau tersenyum, Her...?" tanya Rosana tak

mengerti akan arti senyum kekasihnya. "Aku sudah

memeriksakannya ke dokter dan ternyata aku memang

hamil, Her..."

Herman semakin melebarkan senyumnya, yang

semakin membuat Rosana kian bertambah tidak mengerti

akan arti senyum lelaki tampan yang telah membuatnya

jatuh cinta. Dan mau menyerahkan segala yang dimilikinya

pada pemuda itu.

"Aku senang mendengarnya," jawab Herman masih

dengan bibir tersenyum dan mata lekat memandang ke

wajah Rosana. Membuat Rosana semakin tidak mengerti

akan maksud kekasihnya yang sebenarnya.

"Benarkah kau senang...?" tanya Rosana dengan mata

balas memandang lekat ke wajah Herman, seakan dia ingin

meminta kepastian dari pemuda itu.

Herman mengangguk tegas dengan bibir masih tetap

dihiasi senyum. Senyum yang terasa menyejukkan dan

seakan berusaha meyakinkan Rosana. Senyum tegas

seorang lelaki yang penuh tanggung jawab, yang siap- 26
menjalani dan menyongsong kehidupan bersama wanita

yang dicintainya.

"Kenapa...?"

"Karena memang hal itu yang aku inginkan."

"Maksudmu...?" Rosana masih bertanya, sebab dia

masih belum mengerti akan maksud kekasihnya yang

sebenarnya, juga akan kesungguhan Herman pada masalah

yang sedang dihadapinya.

"Kau tak perlu khawatir, Ros...," kata Herman

menghibur dengan bibir masih mengurai senyum. Matanya

masih memandang lekat ke wajah cantik Rosana. "Kalau

kau mengandung. Karena itu memang yang kukehendaki,

Ros," katanya kemudian dengan bibir masih mengembang
kan senyum. Matanya masih memandang lekat ke wajah

Rosana, seakan dia berusaha untuk memberi keyakinan dan

menenangkan hati gadis itu. Agar Rosana tidak perlu

mencemaskan dan mengkhawatirkan apa yang kini tengah

dialaminya.

"Aku tak mengerti, Her."

"Kau tahu, dengan kehamilanmu aku bisa memberi
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alasan pada kedua orang tuaku, kalau aku harus bertanggung

jawab atas kehamilanmu... ?" kata Herman masih dengan

bibir tersenyum senang, berusaha meyakinkan kekasihnya

agar kekasihnya tidak perlu mencemaskan kehamilannya.- 27
"Pokoknya kau tak perlu khawatir, Ros. Aku akan tetap

menikahimu..."

"Benarkah...?" tanya Rosana meminta kepastian.

Matanya masih memandang lekat ke wajah Herman yang

duduk di sampingnya dengan tatapan mata redup.

"Kau harus percaya padaku, Ros... Apa selama ini aku

pernah mengecewakan dan ingakar padamu...?" kata

Herman masih tetap berusaha meyakinkan kekasihnya,

kalau dia bersungguh-sungguh akan bertanggung jawab.

"Bagaimana dengan kedua orang tuamu...?" tanya

Rosana masih menunjukkan wajah khawatir.

Herman tersenyum.

"Aku yakin, mereka akan mau mengerti."

Digenggamnya tangan Rosana dengan bibir tersenyum dan

mata masih memandang lekat ke wajah gadis itu, seakan

berusaha meyakinkan Rosana kalau mereka pasti akan

bersatu. Kalau kedua orang tua Herman akan menyetujui

pernikahan mereka.

"Kau harus yakin, Ros...," katanya kemudian masih

menggenggam tangan Rosana dan matanya masih tetap

memandang lekat ke wajah gadis cantik itu.

Rosana hanya diam menunduk dengan mata

berlinang. Haru mendengar ucapan kekasihnya. Bangga,

karena Herman akan menjadi suaminya. Lelaki yang dicintai

dan disayanginya itu, akan bertanggung jawab menikahinya.- 28
Itu berarti apa yang. diingingkan dan diharapkannya bakal

terlaksana. Dia bisa membina rumah tangga dengan

Herman. Bisa mendidik dan membesarkan anak-anak

mereka dengan penuh cinta kasih. Itulah keinginannya

selama ini. Tak ada keinginan lainnya.

"Kita harus secepatnya menikah, Her. Sebab kini aku

sudah mengandung tiga bulan. Aku khawatir, perutku

semakin lama akansemakin membesar dan kelihatan. Aku

akan malu sekali, Her...," desah Rina lirih.

"Aku mengerti. Percayalah, aku akan secepatnya

melamarmu dan kita akan segera menikah," kata Herman

masih berusaha. meyakinkan kekasihnya. Digenggamnya

ta-ngan Rosana dengan erat. Terus benisaha memberikan

ketenangan hati gadis itu, agar bisa menghadapisemua

masalah "Kita akan membina rumah tangga seperti yang kita

impikan selama ini, Ros..."

Rosana kembali menghela napas dengan mata masih

memandang lekat ke wajah Herman.

Herman tersenyum penuh arti:

"Oh ya, Ros, apa orang tuamu sudah mengetahui?"

"Belum. Aku takut, Her. Kau tahu sendiri, ibu tiriku

pasti akan memarahiku kalau mengetahui aku hamil," desah

Rosana lirih dengan wajah masih menggambarkan

kesenduan.

"Ya, aku mengerti..."- 29
"Itu sebabnya aku ingin kau segera melamarku dan

menikahiku, Her. Sebab aku tidak ingin ibu tiriku serta

orang lain mengertahui kehamilanku ini," desah Rosana

disertai dengan helaan napas dalam-dalam.

Herman manggut-manggut.

"Aku mengerti," katanya lirih. "Dan aku akan segera

menikahimu..." ujarnya kemudian masih dengan wajah

menunjukkan keseriuasan dan bibir, dihias senyum,

mengharap Rosana akan mempercayai ucapannya.

Sesaat Rosana terdiam dengan mata memandang ke

wajah Herman. Tidak lama kemudian, akhirnya Rosana pun

bisa kembali berkata meski suaranya lirih.

"Kutunggu, Her." Herman tersenyum.

"Sebentar lagi kuliah dimulai, Ros. Ayo kita masuk,"

ajak Herman sambil membimbing kekasihnya. Keduanya

pun. meninggalkan taman kampus, untuk mengikuti mata

kuliah yang sebentar lagi akan dimulai.

Sepanjang kuliah dilangsungkan, Herman beberapa

kali nampak menengok ke arah Rosana. Pemuda itu merasa

kasihan melihat kekasihnya yang kelihatannya masih belum

bisa tenang. Dia maklum akan kesulitan yang dialami oleh

Rosana. Bagaimana juga, sebagai wanita Rosana patut

bingung, karena dia sedang mengandung. Dan betapa akan

malunya Rosana, kalau sampai kandungannya membesar

belum menikah. Apa kata orang nantinya?- 30
Rosana memang sedang mencemaskan status

hubungannya dengan Herman yang selama ini belum juga

diketahui bagaimana hasilnya. Karena selama tiga tahun dia

menjalin cinta dengan Herman, belum pernah sekali pun

Herman mempertemukan dia dengan kedua orang tua

pemuda itu. Disamping itu, orang tua Herman memang

jarang berada di . rumah. Mereka merupakan orang-orang

sibuk, yang lebih banyak waktunya di luar, ketimbang,

berada di rumah. Jadi Rosana belum tahu, apa kedua orang

tua Herman setuju hubungan anaknya dengan dia atau tidak.

Rosana juga kadang merasakan kecemasan, takut

kalau-kalau Herman tidak bertanggung jawab. Apa jadinya

nanti dengan dia dan anak yang dikandungnya, kalau sampai

Herman tidak bertanggung jawab? Tapi nampaknya Herman

benar-benar akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Itu

semua bisa dibuktikan dari perkataannya tadi di taman

kampus. Ya, semoga saja Herman memang bertanggung

jawab atas perbuatannya. Hanya harapan itu yang bisa

sedikit menenangkan perasaan hati Rosana.

?????- 31
Bab. 2

Seperti biasanya Herman senantiasa berusaha untuk

menunjukkan sikap yang bertanggung jawab sebagai

seorang kekasih pada wanita yang dicintainya. Sehingga

akan mendatangkan keyakinan kekasihnya, kalau dia

memang bersungguh-sungguh dalam menjalin cinta dengan

gadis itu.

"Kita pulang bersama, Ros..."

Rosana mengangguk.

"Ayo." ajak Herman membimbing kekasihnya

meninggalkan ruangan kampus. Mereka keluar dari kampus

bersama. Menuju ke mobil jeep wilis wariia hijau tentara

milik Herman. Keduanya naik ke mobil itu, yang tidak lama

kemudian perlahan melaju menjnggalkan halaman parkir

kampus. Turun dan kemudian menyelusuri jalan raya.

"Kita mau kemana..,?" tanya Herman sambil

menengok ke arah Rosana yang duduk disampingnya. Dia

meminta pendapat kekasihnya, setiap kali mereka jalan

bersama. Herman ingin Rosana yang menentukan kemana- 32
mereka akan pergi. Semua itu Herman lakukan, karena dia

ingin menyenangkan hati kekasihnya:

"Maumu kemana...?" Rosana balik melimpahkan

pertanyaan dan juga keputusan pada Herman. "Kau kan

yang pegang setir. Sedang aku hanya menumpang... Aku

akan mengikuti kemana pun kau pergi," kata Rosana

kemudian sambil balas memandang ke arah kekasihnya

yang semakin gagah duduk di belakang stir jeep wilis.

"Bagaimana kalau kita makan dulu, Ros?" ajak

Herman.

"Terserah kau," jawab Rosana. Dia sepertinya

menyerahkan segala keputusannya pada Herman. Sebagai

seorang kekasih, Rosana pun tidak ingin mengecewakan

kekasihnya dengan menolak ajakan kekasihnya. Toh dengan

begitu, akan semakin mempererat hubungan cinta di antara

mereka berdua.

"Kau nampak gelisah tadi, Ros...," kata Herman

sambil terus menjalankan mobilnya. "Apa ada yang kau

pikirkan...?" tanya Herman kemudian.

"Entahlah, aku merasa tidak tenang tadi..."

"Kenapa...? Apa memikirkan masalah kita?"

"Mungkin..."

"Apa yang kau pikirkan?"- 33
"Entahlah... aku merasa takut, cemas dan banyak lagi

masalah yang mengganggu pikiranku, disamping masalah

kehamilanku, Her," desah Rosana lirih. "Sebab jika berlarut
larut, janin dalam kandunganku semakin lama, akan

semakin bertambah besar. Apa jadinya nanti...?" keluh

Rosana sambil menggigit bibir kuat-kuat, berusaha menahan

kegelisahan hatinya yang membuatnya merasa pilu dan was
was serta gelisah tak menentu.

"Tadi itu belum seberapa, Her, dibandingkan

keadaanku kemarin malam. Kemarin malam, aku tidak bisa

tidur. Pikiranku tidak menentu. Bagaimana tidak? Dua hari

kau tidak kuliah tanpa kabar berita. Sedang aku merasakan

ketidak menentuan... Kau memang jahat, tidak

berperasaan...!" kecam Rosana sengit dengan wajah

menggambarkan kekesalan.

"Loh, kok marah...?"

"Siapa yang tidak marah. Aku kebingungan, kau

malah enak-enakkan di rumah. Bukankah itu menunjukkan

kalau kau tidak mempunyai perasaan...!" kembali Rosana

mengecam, dengan mata tajam memandang ke wajah

kekasihnya.

"Aku tidak tahu...," elak Herman membela diri.

"Kalau kau sudah tahu, apa yang akan kau lakukan?"

tanya Rosana dengan suara masih tegas.

"Ya, aku senang..."- 34
"Kau senang. Sedang aku..."

"Memangnya kenapa...?"

"Kenapa...?" sungut Rosana dengan wajah cemberut.

"Ya bingung," katanya kemudian masih dengan wajah

cemberut.

"Bingung kenapa...? Kehamilan bagi wanita biasa

kan? Lagi pula, kau hamil ada yang berbuat. Kecuali hamil

seperti Maryam, ibu nabi Isa, boleh kau bingung," kata

Herman masih tetap menggoda, berusaha mengajak

kekasihnya bercanda. Namun justru godaannya semakin

membuat Rosana bertambah cemberut.

"Kau sih lelaki, enak... Berbuat berapa kali pun tidak

akan kelihatan. Sedang aku... wanita, sekali berbuat akan

nampak kelainan pada tubuhku...," sungut Kosana semakin

bertambah sengit, dengan mata semakin tajam memandang
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke wajah kekasihnya yang masih tersenyum-senyum.

"Sekarang, bagaimana aku...? Semua orang pasti akan

menuduhku yang bukan-bukan, Her... Semua orang akan

menyangka aku kuliah sambil ngompreng... Betapa aku

akan malu sekali, Her... Malu..."

Senyum yang semula melekat di bibir Herman

seketika menghilang. Kini wajahnya berubah menjadi

murung. Dia menyadari, bagaimana perasaan Rosana. Ya,

tentunya Rosana merasakan kegelisahan dan kecemasan.

Karena bagaimana juga, orang akan memandang hina- 35
kepadanya jika sampai orang mengetahui kalau dia hamil.

Padahal saat itu dia masih kuliah.

"Kuharap kau mau bersabar dan tenang. Aku akan

berusaha secepatnya menyelesaikan masalah kita. Aku juga

tahu dan mengerti apa yang kau rasakan, Ros," kata Herman

berjanji, berusaha memberikan keyakinan dan ketenangan

pada kekasihnya.

"Itu yang kuharapkan, Her..."

"Ya, aku mengerti. Dan memang ini merupakan

tanggung jawabku sebagai lelaki. Kita telah berbuat, maka

kita pun harus mau menanggung resikonya...," desah

Herman lirih.

Matanya masih memandang lurus ke arah jalanan.

Mobil jeep wilis yang dinaiki kedua sejoli itu terus melaju,

menuju ke sebuah rumah makan untuk makan dan untuk

sekedar-menenangkan pikiran mereka, sekaligus untuk

kembali membicarakan hubungan cinta diantara mereka.

Juga kalau mungkin, merencanakan tindakan mereka

selanjutnya dalam menghadapi masalah yang sedang

dialami oleh Rosana yang kini sudah mengandung tiga

bulan, hasil hubungan mereka yang selama tiga tahun

terjalin. Sesampai di depan sebuah rumah makan, Herman

menghentikan mobilnya. Kemudian dia membimbing

kekasihnya masuk ke dalam rumah makan itu. Mengambil

tempat duduk, lalu memesan makanan dan minuman yang

menjadi kesukaan mereka.- 36
Sambil menunggu pesanan yang mereka pesan

datang, Herman mengajak Rosana ngobrol tentang mereka

dan hubungan mereka berdua selama ini.

"Bagaimana yang baik menurutmu, Ros?" tanya

Herman membuka pembicaraan diantara mereka. Matanya

memandang lekat ke wajah gadis yang duduk di depannya.

Gadis cantik jelita yang telah menyerahkan segalanya pada

dirinya. Dan kini menghasilkan sebuah janin yang

dikandung oleh gadis itu.

"Tentang apa...?"

"Rencana kita?"

"Aku ingin menikah secepatnya, Her."

"Ya, aku tahu..."

"Aku tidak ingin semua orang mengetahui kalau bayi

yang kukandung hasil hubungan diluar nikah, Her. Betapa

aku akan malu sekali kalau semua terjadi," lirih suara

Rosana. "Itu sebabnya, aku mengharap kau segera

menikahiku..."

"Ya, aku akan berusaha secepatnya."

"Lalu kapan kau akan memperkenalkan aku pada

kedua orang tuamu, Her...? Atau kedua orang tuamu datang

ke rumahku untuk memintaku pada kedua orang tuaku,

Her...?" tanya Rosana, karena selama tiga tahun mereka

berhubungan menjalin cinta, belum sekali pun Herman

memperkenalkan dia pada kedua orang tuanya.- 37
Herman tidak langsung menjawab, namun untuk sesat

dia nampak terdiam. Sulit baginya untuk menjawab dan

mengabulkan permintaan Rosana. Sebab selama ini,

sebenarnya kedua orang tuanya terutama mamanya tidak

setuju dia berhubungan dengan Rosana. Dia khawatir

Rosana akan kecewa, kalau sampai bertemu dengan

mamanya. Karena bisa jadi, mamanya akan mengeluarkan

ucapan yang bisa menyinggung perasaan Rosana. Dan itulah

yang membuat Herman senantiasa tidak mengajak

kekasihnya ke rumah. Dia tidak ingin Rosana kecewa dan

tersinggung, setelah mengetahui bahwa mamanya tidak

menyetujui hubungan mereka.

"Her..." Rosana menegur kekasihnya yang masih

diam, sepertinya ada sesuatu yang membebani pikiran

kekasihnya. Sehingga Herman terdiam, ditanya kapan akan

memperkenalkan dia pada kedua orang tua lelaki itu.

"Ya..:" Herman tersadar dari diamnya.

"Kok kamu diam...? Ada apa...?" tanya Rosana

dengan mata memandang lekat ke wajah kekasihnya, seakan

ingin tahu apa yang sedang membebani pikiran kekasihnya.

"Tidak apa-apa...," jawab Herman berusaha menutupi

kebingungannya. "Aku akan ngomong pada kedua orang

tuaku."

"Mengapa harus ngomong dulu?"- 38
"Karena selama ini, mereka belum mengetahui

hubungan kita, Ros. Kau mau sabar bukan...?" kata Herman

sambil menggenggam tangan gadisnya, berusaha

memberikan keyakinan dan ketenangan pada kekasihnya.

Rosana terdiam. Dia agak kaget mendengar ucapan

kekasihnya. Rosana benar-benar tidak menduga sama

sekali, kalau selama tiga tahun dia berhubungan dengan

Herman, pihak keluarga Herman belum mengetahui akan

hubungan anak mereka dengannya.

"Ros..."

"Ya."

"Kenapa kau diam...?" tanya Herman dengan mata

memperhatikan wajah Rosana. Sepertinya dia khawatir

kalau-kalau Rosana akan merasa tersinggung setelah

mengetahui bahwa hubungan mereka selama ini belum

diketahui oleh pihak orang tua Herman.

"Tidak apa-apa."

"Kau marah padaku, Ros...?" kembali Herman

bertanya, ingin kepastian dari kekasihnya. Matanya masih

memandang lekat ke wajah Rosana. Wajah cantik jelita,

namun kini menggambarkan kemurungan atas perubahan

yang terjadi pada tubuhnya.

Rosana menggelengkan kepala. Matanya masih

memandang lekat ke wajah kekasihnya. Kemudian dia

nampak menghela napas dalam-dalam, seakan dia berusaha- 39
memahami kesulitan yang dialami oleh Herman dalam

menghadapi keluarganya.

"Jadi kau mau mengerti dan mau bersabar, Ros?"

tanya Herman meminta kepastian. Rosana mengangguk

lemah. Disertai desah napasnya, diapun berkata lirih.

"Baiklah, aku akan sabar menunggu kepastian

darimu, Her... Kuharap kau dan kedua orang tuamu akan

secepatnya datang ke rumahku untuk melamarku," harap

Rosana.

"Terimakasih atas pengertianmu, Ros. Aku berjanji

akan secepatnya mengajakmu ke rumumahku untuk

kuperkenalkan pada kedua orang tuaku. Atau aku akan

meminta kedua orang tuaku untuk datang ke rumahmu dan

melamarmu," kata Herman berjanji dengan tangan masih

menggenggam erat tangan kekasihnya. Berusaha

meyakinkan kekasihnya akan kesungguhan niatnya

mempertemukan Rosana dengan kedua orang tuanya.

Sehingga masalah yang sedang dihadapi Rosana, akan

secepatnya selesai.

Pesanan yang mereka pesan akhirnya datang. Pelayan

segera meletakkannya di atas meja, dimana mereka duduk

saling berhadapan dengan kebisuan. Ada sesuatu yang

menyelimuti perasaan mereka saat itu. Entah apa yang

sedang mereka pikirkan. Hanya mereka berdua yang

mengetahui. Namun tentunya apa yang mereka pikirkan,

masih ada hubungannya dengan masalah yang tengah- 40
mereka hadapi. Masalah kehamilan Rosana akibat hubungan

cinta yang selama ini mereka bina.

"Ros..." Herman menegur.

Rosana memandang ke wajah kekasihnya. Wajahnya

nampak agak murung. Bagaimana juga, perasaannya

seketika berkecamuk tidak karuan setelah mendengar

keterangan Herman, kalau selama ini kedua orang tua

Herman belum mengetahui hubungan mereka.

"Maafkan aku..."

"Tidak apa," desah Rosana lirih. "Aku mengerti

kesulitanmu, Her. Namun aku berharap kau dapat

menyelesaikan masalah kita secepatnya. Karena aku tidak

ingin orang mengetahui kalau aku hamil diluar nikah, Her..."

"Aku tahu, Ros. Aku berjanji akan secepatnya

menyelesaikan masalah kita," jawab Herman disertai helaan

napas dalam-dalam. "Kita akan segera menikah..."

"Bagaimana kalau kedua orang tuamu tidak setuju?"

tanya Rosana ingin mengetahui bagaimana keputusan

kekasihnya kalau sampai kedua orang tuanya tidak

menyetujui hubungan dan juga rencana mereka untuk

menikah.

"Aku akan tetap menikahimu."

"Meski kedua orang tuamu tidak merestui?"

"Ya."- 41
Rosana kembali terdiam dengan pikirannya. Entah

mengapa, dia merasa ada sesuatu yang masih mengganjal

dibenaknya. Perasaannya lebih khawatir kalau-kalau kedua

orang tua Herman tidak setuju dengan rencana mereka,

ketimbang berhasilnya. Dari pernyataan Herman yang

mengatakan kalau sampai sekarang kedua orang tuanya

tidak mengetahui hubungan mereka saja, sudah nampak

bahwa ada sesuatu yang menjadi perintang cinta mereka.

Dan tentunya masih berhubungan dengan cinta mereka

berdua.

"Sudahlah... untuk sementara sebaiknya kita

lupakanlah dulu masalah kita ini. Sebaiknya kita makan

dulu. Percayalah, aku akan berusaha memberi pengertian

pada kedua orang tuaku. Sehingga mereka mau mengerti

dan merestui pernikahan kita," kata Herman terus berusaha

menenangkan hati kekasihnya, sambil memandang ke wajah

Rosana. "Ayo kita makan dulu," ajaknya kemudian, yang

dengan segera dituruti oleh Rosana.

Keduanya pun makan bersama. Untuk beberapa saat

keduanya hanya diam membisu, tak ada yang berusaha

untuk bicara. Rosana hanyut dengan pikirannya. Hatinya
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih dilanda kecemasan. Khawatir kalau-kalau kedua

orang tuanya Herman tidak menyetujui hubungan mereka.

Apa jadinya? Bagaimana dengan bayi yang dikandungnya?

Haruskah dia menggugurkannya?

Tidak...! Itu tidak mungkin. Disamping biaya abortus

sangat mahal dan jarang ada dokter yang mau- 42
melakukannya, juga tindakkan abortus sangat tidak baik.

Disamping dilarang oleh agama, juga dilarang oleh negara.

Karena tindakkan abortus, merupakan tindakkan kejahatan.

Karena secara tidak langsung, abortus juga merupakan

sebuah tindakan pembunuhan.

Keduanya kembali diam, menikmati makanan yang

telah dihidangkan. Setelah selesai makan, Herman

mengajak kekasihnya meninggalkan rumah makan. Dia

harus mengantar kekasihnya sampai ke rumah, agar orang

tua Rosana akan merasa tenang, tidak mencemaskan anak

mereka. Disamping itu, Herman juga tidak ingin Rosana

mendapat marah dari Ayah.

"Ayo kita pulang..."

Herman membimbing kekasihnya, keluar meninggal
kan rumah makan. Menuju ke mobil Kemudian keduanya

naik ke atas mobil yang tidak lama kemudian, melaju

meninggalkan halaman parkir rumah makan.

"Her..."

"Ya."

"Jika kita menikah nanti, kita akan tinggal dimana?"

"Di rumahku..."

"Kenapa harus di rumahmu?"

"Ya, kurasa di rumahku lebih baik untuk anak kita,

Ros."- 43
"Kalau rumahku?"

"Aku tidak ingin merepotkan keluarga-mu."

"Di rumahmu juga merepotkan keluargamu," jawab

Rosana. "Aku juga tidak ingin kita senantiasa dibantu. Aku

ingin kita bisa hidup sendiri. Karena menurutku, nasi yang

kita makan akan lebitv enak jika kita usaha sendiri,

ketimbang diberi oleh orang lain. Meski itu keluarga kita

sendiri, Her..."

"Ya, kalau begitu nanti sebaiknya kita ngontrak"

"Itu lebih bagus."

"Aku harus bekerja."

"Kalau memang memungkinkan, aku pun akan

pekerja."

"Lalu bagaimana dengan anak kita?"

"Aku yang ngurus. Aku akan kerja, setelah anak kita

besar. Aku ingin anak kita menjadi anak yang baik dan

berhasil menjadi orang. Tidak seperti kita..."

"Apa kita tidak bisa menjadi orang?" tanya Herman

sambil memandang ke arah kekasihnya yang duduk di

sampingnya dengari tatapan lurus ke depan. Pandangan

mata Rosana seakan kosong. Sepertinya pikiran Rosana

tidak sedang tertuju pada pembicaraan yang tengah

berlangsung. Tapi entah kemana.- 44
"Entahlah... Mungkin kita bisa menjadi orang.

Mungkin juga tidak..." jawab Rosana dengan wajah masih

hampa, tanpa ada ekspresi sikap sebagaimana kalimat yang

tengah diucapkannya, Sepertinya meski dia sedang ngobrol

dengan Herman, namun pikirannya tidak berada, di tempat

itu. Pikirannya melayang tidak menentu, entah kemana

tujuannya.

"Kenapa kau bicara begitu?" tanya Herman,

"Apa alasanmu mengatakan hal seperti itu...?"

tanyanya kemudian sambil kembali memandang ke arah

kekasihnya yang masih bersikap diam dan wajahnya

menggambarkan kekosongan.

"Ya, jadi tidaknya kita menjadi orang yang berguna,

tergantung niat kita..."

"Aku belum mengerti maksudmu..."

Rosana menarik napas dalam-dalam. Menengok ke

arah kekasihnya sebentar, kemudian kembali mengarahkan

pandangannya ke jalanan. Disertai desahan, napas berat,

Rosana pun. kembali berkata menjelaskan maksud

ucapannya,

"Maksudku begini... Jika kita memang berniat

sungguh-sungguh membina rumah tangga, maka kita akan

mempunyai gairah dan semangat untuk membangun

kehidupan yang baik. Namun sebaliknya, jika kita tidak

bersungguh-sungguh membinanya, atau setengah-setengah.- 45
Maka kita pun tak akan bisa menjadi orang yang berhasil.

Dengan kata lain hidup tidak, mati pun tidak."

"Kau menganggapku tidak sungguh-sungguh?"

"Aku tidak bicara begitu," tukas Rosana.

Keduanya kembali diam. Mobil tenis melaju,

membawa keduanya semakin jauh meninggalkan rumah

makan dimana tadi mereka makan. Keduanya masih sama
sama diam dengan pikiran masing-masing. Hanya sesekali

keduanya nampak menghela napas dalam-dalam, seakan

berusaha menenangkan perasaan di hati masing-masing.

Malam terus beranjak.Sepertinya turut membuat

kedua insan itu hanyut dalam lamunan mereka.

Kadang Herman prihatin dan kasihan pada Rosana,

setiap kali ingat kalau kekasihnya kini harus menghadapi

banyak masalah. Sejak kecil, Rosana ikut dengan Ayah dan

hidup penuh penderitaan. Itu sebabnya, dia berusaha untuk

bersungguh-sungguh mencintai Rosana dan ingin

menjadikan Rosana sebagai istrinya.

Mobil berhenti di depan rumah keluarga Rosana.

Herman dan Rosana segera turun. Pemuda itu ikut menuju

ke teras rumah kecil itu. Bahkan ketika pintu rumah dibuka

oleh seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahunan dan

lelaki setengah baya yang tidak lain ayahnya Rosana

mempersilakan Herman masuk, pemuda itu pun menurut

masuk.- 46
"Silakah duduk nak Herman."

"Terimakasih, Pak."

Herman pun duduk.

"Sebentar ya, Her, aku menaruh buku dulu," kata

Rosana yang diangguki oleh Herrnan. Kemudian gadis itu

pun berlalu meninggalkan ruang tamu, masuk ke kamarnya.

Sedang Herman, kini duduk ditemani oleh ayahnya Rosana.

"Bagaimana kuliahnya, nak Herman...?" tanya

ayahnya Rosana membuka pembi-caraan diantara mereka

setelah Rosana berlalu masuk ke dalam kamarnya, untuk

mengganti pakaiannya.

"Baik, Pak," jawab Herman dengan menunjukkan

kesopanannya.

"Nak Herman..."

"Saya, Pak..."

"Maaf sebelumnya, jika pertanyaan yahg hendak

bapak ajukan pada nak Herman, agak menyinggung

perasaan nak Herman," kata ayah Rosana kemudian dengan

hati-hati. Lelaki berusia sekitar lima puluh tahunan itu,

berharap pemuda yang kini diajak bicara tidak tersinggung

dengan apa yang akan dia tanyakan.

"Ah, tidak mengapa, Pak. Silakan jika bapak ingin

mengajukan pertanyaan, pada saya," jawab Herman masih

dengan sikap yang sopan dan santun. Bagaimana juga, dia- 47
kini tengah berbicara dengan orang tua kekasihnya. Sudah

sepantasnya dia harus mempertunjukkan sikap hormat dan

santunnya.

"Begini nak Herman... Sebenarnya bapak tidak ingin

mencampuri urusan nak Herman dengan Rosana, anak

bapak. Namun sebagai orang tua, bapak pun tidak bisa

membiarkan anak bapak tidak menentu..."

"Maksud bapak?"

"Nak Herman... Apa benar nak Herman mencintai

anak saya?"

"Benar, Pak."

"Sungguh-sungguh nak Herman mencintai anak

saya?"

"Sungguh-sungguh, Pak."

"Syukurlah. Tapi yang perlu bapak ingatkan,

bagaimana dengan kedua orang tua nak Herman?" tanya

ayahnya Rosana mengingatkan.

Karena bagaimana juga, orang tua Herman turut

berperan dalam masalah percintaan Herman dan anaknya.

Dan bagaimana juga, status ekonomi; mereka, turut pula

menentukan status hubungan cinta antara Herman dengan

Rosana. Itu tidak bisa dipungkiri, karena biasanya orang

kaya, merasa malu mempunyai menantu orangi miskin.- 48
Dan kalau pun mau menerima menantu orang miskin,

kebanyakan menantunya itu seakan dijadikan budak dalam

keluarga.

Herman terdiam untuk beberapa saat. Dia belum bisa

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ayahnya Rosana,

sebab dia sendiri belum mengetahui bagaimana tang-gapan

kedua orang tuanya jika mengetahui dia masih berhubungan

dengan Rosana.

Ya. sebenarnya mamanya sudah mengetahui kalau dia

berhubungan dengan Rosana, namun mamanya tidak setuju.

Semua itu dikarenakan mamanya menghendaki Herman

menikah dengan jadis pilihan mamanya. Gadis yang oleh

mamanya dikatakan masih keturunan bangsawan

sebagaimana dengan keluarga mereka. Karena menurut

mamanya, keturunan bangsawan harus menikah dengan

golongan bangsawan pula.

"Bagaimana nak Herman?" ayahnya Rosana kembali

bertanya. "Bapak sarankan, jika memang kedua orang tua

jinak Herman tidak menyetujui hubungan nak Herman

dengan anak bapak, sebaiknya nak Herman pikirkan dulu

baik-baik. Jangan sampai terjadi penyesalan di kemudian

hari. Baik dari pihak nak Herman, maupun dari pihak

Rosana...," kata ayahnya Rosana kemudian dengan mata

masih memandang lekat ke wajah Herman yang masih

menunduk dalam, sulit untuk menjawab dan memutuskan

masalah itu.- 49
"Saya kira kedua orang tua saya akan mengerti.

Pak...," akhirnya Herman menjawab, meski dia masih

merasakan keraguan melilit hatinya.

Benarkah orang tuanya akan mengerti dan menyetujui

hubungan cintanya dengan Rosana? Dari pembicaraannya
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mamanya beberapa waktu yang lalu saja, jelas

mamanya tidak menyetujui hubungannya dengan Rosana.

Herman masih ingat kata-kata mamanya, waktu pertama kali

dia menceritakan tentang Rosana pada mamanya.

Kata-kata mamanya waktu itu. Meski memang bukan

merupakan keputusan final, namun kalimat itu merupakan

suatu peringatan baginya, agar tidak meneruskan

hubungannya dengan Rosana. Namun Herman tetap pada

pendiriannya. Dia pun tetap menjalin hubungan dengan

Rosana, walau semua itu dilakukan oleh Herman secara

diam-diam. Dan tak pernah memperkenalkan Rosana pada

kedua orang tuanya.

"Ya. kalau memang begitu syukurlah... Sebagai orang

tua, bapak tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak hanya

mengingatkan saja. Jangan sampai kelak ada masalah

diantara kalian berdua. Bapak pun tidak ingin Rosana

disalahkan, begitu juga bapak tidak ingin nak Herman

dipersalahkan...." kata ayahnya Rosana masih dengan

sikapnya yang adil dan bijaksana.

"Iya, Pak."- 50
Dari dalam kamar, Rosana keluar dengan sudah

berganti pakaian tidur. Di bibirnya mengurai seulas senyum

manis. Senyum yang mampu menggetarkan hati lelaki. Dan

senyum indah itulah, yang mem-buat mahasiswa tergila-gila

dan berlomba untuk mendapatkan cinta Rosana. Dan karena

kecantikan wajahnya serta keindahan senyumnya, Rosana

pernah menjadi putri kampus. Juga primadona kampus.

"Nah tuh Rosana sudah keluar. Kalian ngobrolah.

Bapak ada pekerjaan yang. harus diselesaikan...," kata

ayahnya Rosana. "Bapak tinggal dulu nak Herman..."

"Iya, Pak..."

Ayahnya Rosana pun berlalu, meninggalkan anaknya

yang kini menemani Herman.

"Kau tidak tidur, Ros?"

"Masih sore..."

"Ingat,, kau harus banyak istirahat. Jaga

kesehatanmu, Ros," kata Herman mengingatkan Rosana,

kalau kekasihnya sekarang sedang dalam mengandung.

Tidak baik orang yang dalam keadaan mengandung melek

malam.

"Aku mengerti. Tinggal bagaimana kau, Her..."

"Maksudmu?"

"Jika kau memang mencintai anak yang kukandung,

kuharap kau tidak mengecewakan ku."- 51
"Aku akan berusaha secepatnya menyelesaikan

masalah kita. Ros. Percayalah, aku sangat mencintai anakku.

Juga mencintaimu," kata Herman dengan mata lekat

menatap wajah kekasihnya, berusaha meyakinkan Rosana,

kalau dia bersungguh-sungguh ingin membina rumah

tangga bersama Rosana yang kini tengah mengandung anak

hasil hubungan cinta mereka.

"Aku pun berharap begitu, Her...," lirih suara Rosana

berkata. Disertai helaan napas yang berat. Matanya

memandang ke wajah Herman sesaat. Kemudian dengan

lemah kepalanya ditundukkan. Semua itu semakin membuat

Herman turut haru dan trenyuh melihat kesedihan yang

tergambar di wajah Rosana. Sehingga Herman pun turut

diam.

Lama keduanya berdiam diri. Sampai akhirnya

Rosana kembali membuka suara.

"Aku berharap kita bisa tetap menjadi satu untuk

selamanya, sampai akhir nanti. Namun jika sampai kau

mengingkari atau kedua orang tuamu tidak merestui

hubungan kita, entah bagaimana aku dan anakku. Sebab aku

tak akan menggugurkannya. Bagaimana juga, bayi dalam

kandunganku adalah bukti cintaku yang tulus padamu.

Kalau memang salah, maka bukan dia yang bersalah,

melainkan kedua orang tuanya yang bersalah. Entah aku

yang terlalu mencintaimu dengan menggebu-gebu, sehingga

aku rela menyerahkan segalanya padamu. Atau kau yang

salah, karena tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau- 52
mengakui bayi yang kukandung ini sebagai anakmu. Atau

kedua orang tuamu, jika merekalah yang melarangmu

menikahiku...," desah Rosana lirih agar tidak terdengar oleh

ayahnya. Wajah Rosana kembali menggambarkan

kemurungan. Meski belum jelas semuanya, namun Rosana

merasakan ada sesuatu yang sudah sepantasnya menjadikan

hatinya was- was dan merasa khawatir.

Herman terdiam membisu. Dia pun sedang berpikir,

bagaimana caranya agar mamanya menyetujui dan merestui

perkawinan mereka. Karena dari pembicaraan yang pernah

dilakukan dia dengan mamanya, terkesan kalau mamanya

tidak menyetujui hubungannya dengan Rosana. Dan

mamanya kelihatannya tidak ingin mendengar dia

membicarakan masalah Rosana.

Itu dulu, tiga tahun yang lalu. Ketika dia pertama kali

menjalin hubungan cinta dengan Rosana. Mungkin

mamanya tidak setuju, karena saat itu dia masih baru kuliah.

Namun sekarang, dia sudah tingkat akhir tentu pandangan

mamanya pun berubah. Disamping itu mungkin dengan

kehamilan Rosana, mamanya akan mau mengerti dan mau

merestui hubungan mereka.

Bagaimana juga, bayi yang ada dalam kandungan

Rosana, adalah darah dagingnya, yang berarti masih

keturunan mamanya. Dan mamanya tidak bisa memungkiri

kenyataan itu. Selain itu, banyak orang tua mengatakan,

seorang ibu akan jauh lebih menyayangi cucunya ketimbang

anaknya sendiri.- 53
Dia harus berusaha. Siapa tahu mamanya akan

tersentuh perasaannya, setelah men-dengar bahwa Rosana

kini sudah mengandung darah dagingnya, yang berarti juga

cucunya.

"Aku bangga mendengar ungkapanmu, Ros. Betapa

di hatiku, kau adalah wanita yang sempurna. Ibu yang baik

bagi anaknya. Tak akan dapat kutemui, wanita sepertimu

lagi, Ros...," lirih akhirnya Herman berkata, "Rasanya aku

tak mungkin bisa menjalani hidup ini, tanpa denganmu..."

Rosana menarik napas dalam-dalam. Dipejamkan

matanya, disertai dengan kepalanya menengadah ke atas.

Tidak terasa, air matanya meleleh, keluar dari kelopak kedua

matanya. Entah apa arti air mata itu. Mungkin haru, sedih,

bahagia atau pilu. Tak ada yang mengerti. Hanya Rosana

sendiri yang mengerti arti air matanya yang berlinang dan

akhirnya jatuh meleleh membasahi kedua pipinya yang

kuning dan mulus. .

"Kau menangis, Ros...?" tanya Herman lirih dengan

mata memandang ke wajah Rosana, dimana kedua pipi gadis

itu kini basah oleh air mata.

Rosana menggigit bibir kuat-kuat, agar tidak

mengeluarkan suara dalam tangisnya. Sedang air matanya,

semakin bertambah deras keluar dari kedua matanya yang

masih memejam rapat. Dia terus berusaha menahan agar

tidak keluar suara tangisnya. Sebab kalau sampai

mengeluarkan suara, tentu Ibu dan Ayah akan mendengar.- 54
Mereka pasti akan merasa curiga. Dan mereka pasti akan

keluar, untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.

Herman bangun dari duduknya, kemudian melangkah

mendekati kursi dimana Rosana duduk. Lalu dengan lembut,

jari tangannya. menyeka air mata yang meleleh membasahi

kedua pipi kekasihnya.

"Jangan menangis, Ros. Percayalah, aku akan tetap

bersamamu. Dan aku tetap mencintai sertai

menyayangimu...," bisik Herman di telinga Rosana,

berusaha menghibur hati kekasihnya.

"Jangan kecewakan aku, Her...," desis Rosana lirih

sambil membuka kedua matanya yang tadi terpejam.

Herman mengangguk.

"Ijinkan aku pulang, Ros..."

Rosana mengangguk.

"Hapus air matamu, lalu panggil kedua orang tuamu.

Aku akan pamit," pinta Herman yang dengan menurut

dilakukan oleh Rosana. Gadis itu. pun beranjak bangun

untuk memanggil kedua orang tuanya, karena Herman akan

pamit pulang.

"Ada apa, nak Herman?" tanya ayahnya Rosana

setelah keluar menemui tamu anaknya.

"Pak, Bu, saya permisi dulu mau pulang..."

"Oh, silakan... Hati-hati di jalan."- 55
"Terimakasih sebelumnya, Pak. Bu..."

"Sama-sama. Kamilah yang seharusnya berterima

kasih pada nak Herman, sebab anak kami telah merepotkan

nak Herman," jawab Ayah Rosana dengan bibir tersenyum.

Herman turut tersenyum.

"Permisi, Pak, Bu..."

"Ya."

Dengan diikuti oleh Rosana, Herman pun melangkah

keluar menuju ke mobilnya.

"Aku pulang dulu, Ros..."

Rosana mengangguk.

"Jaga dirimu baik-baik."

Kembali Rosana mengangguk.

"Aku akan secepatnya memberi kabar padamu," kata

Herman lagi dengan mata masih memandang lekat ke wajah

kekasihnya. Sepertinya dia tidak ingin pergi meninggalkan

kekasihnya. Dia ingin senantiasa berada di sisi Rosana,

mendampingi wanita cantik yang dicintai dan mencintainya

itu untuk menyongsong kehidupan. Merawat dan

membesarkan serta mendidik anak mereka yang kini masih

ada dalam kandungan Rosana.

"Aku menunggu..."- 56
"Jangan terlalu memikirkan masalah ini, Ros. Ingat,

kau harus menjaga kesehatanmu, agar bayi yang kau

kandung sehat dan kelak akan menja.di anak yang baik serta

pintar...," desah Herman mengingatkan.

Rosana mengangguk dengan mata masih memandang

ke wajah tampan, kekasihnya. Lelaki yang telah

menaklukan harinya, dan bahkan telah dia percaya untuk

mendapatkan apa yang dia miliki.

"Aku pulang ya...?"

Rosana kembali mengangguk. Kali ini dia berpesan.

"Hati-hati di jalan..."
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya."

Herman mengulurkan kedua tangannya.ke arah

kepala Rosana. Kemudian dengan lembut, ditariknya kepala

Rosana ke arah wajahnya. Lalu dengan lembut pula, Herman

memberi kecupan sayang di kening Rosana.

"Selamat malam, semoga kau mimpi indah, Ros. Dan

jangan lupa, bawa aku dalam mimpimu..."

"Selamat malam juga. Aku pun berharap kau mimpi

indah dan kau akan membawaku dalam mimpi indahmu...,"

balas Rosana dengan wajah sendu.

Herman pun menstater mobilnya. Tidak lama

kemudian, mobil sedan itu melaju perlahan meninggalkan

halaman rumah Rosana, menembus jalan ditengah malam- 57
yang agak sunyi. Sedang Rosana, dengan agak malas

melangkah masuk dalam rumahnya.- 58
Bab. 3

Malam itu Herman baru saja sampai di rumah setelah

mengantar Rosana pulang. Setelah memasukan mobil ke

garasi, dia pun berjalan menuju ke pintu depan rumahnya.

Dibukanya pintu rumah, kemudian dia pun melangkah

masuk.

Ketika dia masuk ke rumah, di mang tamu mamanya

tengah duduk sendirian. Papanya entah dimana, juga Vera,

adiknya tidak kelihatan saat itu. Setelah menutup pintu

rumah, Herman pul meneruskan langkah kakinya.

"Selamat malam. Ma..?" sapa Herman ketika

melewati sofa dimana mamanya duduk dengan mata

memandang ke arahnya. Seakan ada sesuatu yang sedang

menjadi perhatian mamanya saat itu atas dirinya.

Mungkin juga mamanya merasa heran, karena dia

pulang kuliah larut malam. Sebab saat itu jam di dinding

sudah menunjukkan angka sepuluh.

"Kok mama belum tidur...?" tanya Herman kemudian

dengan diikuti menghentikan angkahnya.- 59
Sebagai seorang anak, Herman pantas mengkhawatir
kan mamanya. Dia khawatir ada masalah yang sedang

dihadapi mamanya. Dan sebagai seorang anak lelaki, sudah

sepantasnya Herman mengkhawatirkan mamanya. Sebagai

anak pertama dan lelaki, dia adalah pembela keluarga jjika

ada masalah di keluarganya.

"Malam...," jawab mamanya Herman dengan suara

dingin. Matanya masih memandang ke arah anaknya.

Kemudian dengan rasa ingin tahu, mamanya Herman

kembali bertanya.

"Mama memang sengaja menunggumu, Her. Dari

mana saja kau, Her...?" tegurnya.

Mata wanita setengah baya itu, masih tertuju ke arah

anaknya. Memperhatikan sekujur tubuh anaknya dengan

seksama. Bagaikan Khawatir kalau-kalau ada bagian tubuh

anaknya yang hilang.

"Kuliah, Ma...," jawab Herman.

"Kuliah apa yang sampai malam hari begini...?" tanya

mamanya.menyindir dengan bibir tersenyum kecut dan mata

masih tetap memandang lekat ke wajah anaknya. Herman

tak menyahuti.

"Sini duduk..." perintah mamanya. Herman pun

menurut duduk di samping mamanya.

"Herman..."- 60
"Ya, Ma..."

"Mama ingin tanya padamu. Apa selama ini mama

pernah mengajarimu berbohong...?" tanya mamanya

Herman dengan nada tegas dan tajam. Matanya memandang

lekat ke wajah anaknya, seakan tengah melakukah

penyelidikan.

"Tidak, Ma."

"Apa selama ini mama pernah mengajarimu

menentang dan berani terhadap orang tua...?" kembali

mamanya Herman bertanya dengan mata masih tetap

memandangi wajah anaknya, bagaikan seorang jaksa yang

tengah menanyai tertuduh.

Herman terdiam.

"Jawab, Herman...?"

"Tidak. Ma."

"Lalu kenapa kau berani berbohong dan berani

menentang mama...?" tanya wanita setengah baya itu

dengan disertai helaan napas dalam-dalam. Matanya tetap

tertuju pada wajah anaknya yang kini menundukkan kepala.

"Herman tidak merasa berbohong dan berani

menentang mama," jawab Herman lirih, berusaha membela

diri.- 61
"Benar kau tidak merasa berbohong dan berani

menentang mamamu...?" tanya mamanya Herman meminta

jawaban yang tegasan dari anaknya,

"Benar, Ma."

"Baik... rupanya kini kau sudah tidak menghiraukan

mama lagi," gumam wanita setengah baya itu, membuat

Herman bertambah tak mengerti akan maksud mamanya

yang sebenarnya. Sudah dia bingung karena Rosana hamil

dan dia baru saja hendak mengatakannya pada mamanya,

ternyata mamanya telah lebih mendahului melakukan

interogasi kepadanya. Sehingga Herman pun tak bisa untuk

mengutarakan apa yang dibawanya sepulang mengantar

Rosana ke rumahnya.

"Maksud mama...?" tanya Herman memberanikan

diri, karena dia sama sekali belum mengerti akan maksud

perkataan mamanya yang sesungguhnya. Dia merasa,

selama ini dia tidak pernah menyepelekan atau menentang

mamanya. Selama ini, dia senantiasa menurut dan berusaha

menunjukkan baktinya pada kedua orang tuanya. Tapi

kenapa mamanya tiba-tiba menuduhnya tidak lagi

menghiraukan ucapannya? Bukankah itu merupakan hal

yang aneh? Dan tidak bisa diterima?

"Kau sudah mahasiswa dan juga calon sarjana,

Herman. Seharusnya kau mengerti apa yang mama

maksudkan," kata mamanya Herman dengan suara masih

tegas.- 62
"Sungguh, Ma. Herman belum mengerti akan maksud

ucapan mama," jawab Herman lirih. Kemudian setelah

menarik napas dalam-dalam, Herman meneruskan

ucapannya.

"Selama ini, Herman merasa telah menuruti apa kata

mama. Dan selama ini, Herman merasa tak pernah sekali

pun berani menentang mama. Bagaimana Herman mengerti

maksud mama, kalau kenyataannya Herman tak pernah

melakukan tindakkan yang menentang atau menyepelekan

mama..?"

Lelaki muda dan tampan itu wajahnya seketika

berubah sedih. Bahkan nampak hampir menangis. Hatinya

kesal karena dia merasa selama ini mamanya senantiasa

menekannya. Mamanya tidak mau mengerti, kalau dia

bukan anak kecil lagi. Kalau dia sudah dewasa. Sudah

mahasiswa, calon sarjana yang memiliki intelektualitas

tinggi. Yang sudah sepantasnya menentukan masa depan

diri sendiri.

Hartati, mamanya Herman manggut-manggut.

"Baik, kalau memang kau belum mengerti maksud

mama. Sekarang mama ingin tanya padamu. Dan mama

berharap kau mau menjawabnya dengan jujur," kata

mamanya Herman dengan tetap memandang ke wajah

anaknya.

"Tentang apa, Ma?"- 63
Wanita setengah baya itu tidak langsung

mengutarakan pertanyaannya. Namun untuk sesaat dia

nampak menarik napas dalam-dalam dengan mata masih

memandang lekat ke wajah anaknya. Tatapan matanya yang

tajam, membuat Herman tidak berani mengangkat wajahnya

untuk beradu pandang. Jangankan dia yang sebagai anak.

Papanya saja yang menjadi suami, kadang tidak berani

beradu pandang dengan mamanya jika mamanya Herman

sedang dalam keadaan marah. Dan kejadian itu, sudah

berlangsung semenjak Herman kecil. Dan kenyataan itu pula

yang membuat Herman serta adiknya, Vera pun turut takut

beradu pandang dengan mamanya jika mama mereka sedang

marah.

"Herman..."

"Ya, Ma..."

"Benarkah kau masih pacaran dengan gadis bernama

Rosana?" tanya mamanya Herman dengan mata

memandang lekat ke wajah anaknya.

"Darimana mama tahu...?"

"Pari siapa mama tahu, itu tak menjadi soal. Mama

hanya minta kau menjawab apa yang mama tanyakan

dengan jujur," tegas Hartati.

Herman menunduk semakin dalam.

"Benar kau masih menjalin hubungan dengan gadis

itu?"- 64
"Memangnya kenapa, Ma?"

"Eh, ditanya malah balik bertanya. Jawab dulu

pertanyaan Mama. Apa benar kau masih pacaran dengan

gadis yang bernama Rosana...?" ulang wanita setengah baya

itu dengan mata masih memandang lekat ke wajah anaknya.

Seakan wanita setengah baya itu meminta jawaban yang

juga kepastian dari anaknya

"Kalau benar memang kenapa, Ma?"

"Jadi benar..?" tanya wanita setengah baya itu.

Matanya semakin lekat, menatap ke wajah anaknya yang

dengan. lemah menganggukkan kepala.

"Iya, Ma."

"Bukankah sudah mama katakan dari pertama kali

kau membicarakan masalah Rosana, kalau mama tidak

menyukainya. Kalau mama tidak ingin kau menjalin

hubungan dengannya? Kenapa kau masih tetap menjalin

hubungan dengannya? Bukankah itu merupakan tindakkan

membantah...?!" bentak Hartati marah, karena dia merasa

telah disepelekan oleh anaknya.

"Kau dengar Herman. Mama tidak setuju kau dengan

gadis itu! Kau jangan bikin malu orang tua, Her. Papa dan

mamamu sudah menyetujui kau menjadi suami Nidia. Lagi

pula, kau bisa melihat Nidia jauh lebih cantik dibandingkan

gadis itu. Nidia juga memiliki segalanya. Orang tuanya kaya- 65
raya dan terpandang. Pendidikkan Nidia pun sangat
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membanggakan. Dia kini menyandang gelar Phd."

"Tapi, Ma..." Herman hendak membantah, namun

Hartati dengan cepat memotong.

"Mama tidak mau mendengar alasan apapun darimu.

Jangan bikin malu Mama."

"Ma, beri Herman kesempatan untuk berusaha..."

"Sekali mama bilang tidak setuju, tidak... Jangan

sekali-kali kau membantah, kalau kau masih ingin mama

anggap sebagai anak mama kau harus menuruti apa kata

mama. Tapi jika kau tetap dengan pendirianmu, hendak

menikahi gadis itu, silakan kau boleh angkat kaki dari rumah

ini dan jangan lagi menginjak rumah ini! Biarlah mama

kehilangan seorang anak. Mama lebih suka hilang anak satu,

ketimbang harus dilawan oleh anak yang tidak mau mengerti

maksud baik mama yang sebenarnya. Kau mengerti,

Herman...!" tegas mamanya setengah mengancam.

Herman terdiam dengan kepala masih menunduk.

"Mama sudah memilihkan istri untukmu, Herman.

Mama tidak ingin kau membantah. Dan perlu kau ingat,

istrimu tidak akan membikin malu keluarga kita..." kata

mamanya kemudian dengan wajah menggambarkan

keyakinan, kalau pilihannya itu benar-benar sempurna dan

bisa dipercaya.- 66
Herman masih diam. tak berkata. Rasanya percuma

saja dia berusaha meminta pengertian mamanya, karena

mamanya tetap keras pada pendiriannya. Namun disisi lain,

dia juga mencintai Rosana.

Terlebih kini Rosana dalam keadaan hamil. Rasanya

tidak mungkin, dia meninggalkan Rosana dan menikah

dengan Nidia, gadis pilihan mamanya.

"Nidia itu anak orang berada. Dia lulusan sarjana luar

negeri. Masa depannya cerah. Apa yang kau banggakan dari

Rosana? Lagi pula, kalau masalah cantik? Nidia tidak kalah

dibandingkan Rosana, Kau bisa membuktikannya besok...!"

kata mamanya lagi berusaha meyakinkan anaknya, agar mau

menerima tawarannya. Agar bisa menerima Nidia, gadis

pilihannya untuk mendampingi hidup Herman kelak.

"Tapi, Mama..." Herman berusaha membantah,

namun belum juga dia selesai bicara, mamanya telah lebih

dulu memotong ucapannya. Membuat Herman seketika

menghentikan perkataannya.

"Apalagi yang mau katakan...?" tanya mamanya

Herman dengan mata memandang lekat ke wajah anaknya.

Pandangannya yang tajam itu, membuat Herman kembali

menunduk. Dia tidak berani beradu pandang dengan

mamanya. Jangankan dia, papanya juga senantiasa tidak

berani beradu pandang dengan mata mamanya yang tajam

dan terasa menuduk.- 67
"Herman lebih mencintai Rosana, Ma..." jawab

Herman dengan suara lirih, berusaha memohon pengertian

dari mamanya kalau cinta tidak bisa dipaksakan.

"Bagaimana Herman bisa membina rumah tangga dengan

orang yang tidak Herman cintai, Ma...?" kata Herman

kemudian berusaha mengingatkan mamanya dan memberi

pengertian pada mamanya akan arti cinta yang sebenarnya.

"Omong kosong...! Cinta itu mudah diucapkan dan

didapatkan setelah kalian membina rumah tangga nanti,

Herman...," kata mamanya Herman masih tetap pada

pendiriannya. "Kau belum melihat Nidia, jadi kau bisa

bicara begitu. Tapi nanti, kalau kau sudah bertemu, mama

yakin pendirianmu akan berubah," kata mamanya .dengan

bibir tersenyum, membayangkan kecantikan wajah calon

menantunya. Dia yakin, tentu akan bisa melupakan Rosana

bertemu dengan Nidia.

Herman terdiam tak menyahut.

"Mama yakin, jika kau sudah bertemu dengan Nidia

dan sudah mengenal dia lama, pasti kau akan

bisamenerimanya...," kata mamanya Herman dengan bibir

tersenyum, masih membayangkan bagaimana anaknya

kelak akan hidup berdampingan dengan Nidia. Dan yang

lebih dari itu, dia akan bangga karena mempunyai besan

orang terpandang dan terhormat serta kaya raya.

"Tidak, Ma... Herman tidak bisa..."

"Kau mau membantah mama ya?"- 68
"Maaf. Mama. Bukannya Herman hendak

membantah dan berani pada mama. Tapi Herman hanya

minta, pengertian dari mama. Herman sudah dewasa, sudah

mahasiswa dan calon sarjana. Berilah kesempatan pada

Herman untuk menentukan pilihan hati Herman sendiri,

Ma..."

"Baik... kalau itu memang maumu. Tapi ingat, jika itu

sudah kemauanmu, jangan harap mama mau mengakuimu

sebagai anak lagi. Dan silakan kau boleh minggat dari rumah

ini. Jangan menginjakkan kaki ke rumah ini lagi!"

Setelah berkata begitu, Hartati bangun dari duduknya.

Kemudian dengan kesal, wanifa setengah baya itu berlalu

meninggalkan anaknya yang masih duduk terdiam seorang

diri dengan pikiran yang masih berkecamuk tidak menentu.

Ucapan mamanya adalah sebuah keputusan, bukan main
main.

Kalau mamanya sudah mengatakan tidak akan

mengakui dirinya sebagai anak lagi tentunya akan terjadi.

Dan itulah yang membuat hati Herman bimbang. Haruskah

dia tetap pada pendiriannya, yang berarti dia tidak akan lagi

diakui anak oleh mamanya? Atau mengikuti kemauan

mamanya, yang berarti dia harus meninggalkan Rosana dan

bayi dalam kandungan Rosana hidup menderita? Setelah

beberapa saat terdiam dengan pikiran berkecamuk tak

menentu, akhirnya Herman bangun dari duduknya. Menuju

ke tangga loteng. Naik ke loteng dan masuk ke dalam

kamarnya untuk tidur. Namun entah mengapa malam itu- 69
Herman tak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya gelisah,

memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya dengan

mamanya.

Tadi ketika dia baru pulang mengantar Rosana, terjadi

perdebatan yang seru antara dia dan mamanya. Perdebatan

itu semata-mata dikarenakan Herman ingin mendapatkan

hak menentukan masa depan sendiri. Tidak harus senantiasa

menuruti kehendak mamanya. Namun akhirnya dia kalah.

Walau papa dan adiknya sudah berusaha membantunya,

tetap saja mamanya merupakan Ratu di rumah itu. Segala

keputusan yang diambil mamanya, merupakan hukum yang

harus dilaksanakan oleh penghuni rumah itu. Tidak

terkecuali papanya.

Kadang Herman juga bertanya, kenapa sih papanya

harus mengalah dengan mamanya? Bukankah papanya di

rumah, itu adalah kepala rumah tangga? Seharusnya

papanyalah yang berhak menentukan semua keputusan di

rumah itu.

Tapi di keluarganya sangat lain. Justru mamanyalah

yang berhak menentukan keputusan di rumah tangga itu.

Yang membuat Herman kadang jengkel, mamanya setiap

mengambil keputusan tidak terlebih dulu meminta

pertimbangan dari keluarganya. Dia masih ingat akan kata
kata mamanya yang tegas dan tidak mau tahu apapun

alasannya. Mamanya tetap tidak menyetujui hubungan cinta

dia dengan Rosana.- 70
Ingatan Herman kembali melayang pada perdebatan

antara dia dan mamanya yang barii berlangsurig tadi.

"Sekali mama bilang tidak setuju, tidak... Jangan

sekali-kali kau membantah, kalau kau masih ingin mama

anggap sebagai anak mama kau harus menuruti apa kata

mama. Tapi jika kau tetap pada pendirianmu, silakan kau

boleh angkat kaki dari rumah ini. Jangan kembali lagi. Dan

mama tidak akan mau mengakui kau sebagai anak mama

lagi. Biarlah mama kehilangan anak satu, asalkan mama

tidak ditentang oleh anak. Kau mengerti itu, Herman...!"

Begitulah senantiasa yang dikatakan oleh mamanya, setiap

kali Herman mengajak membicarakan masalah Rosana.

Herman menggeliatkan tubuhnya. Dari semula

tengkurap dengan kedua tangan menopang dagu, kini

terlentang dengan kedua tangan dibawah kepala. Matanya

memandang ke langit-langit kamar. Seakan dia ingin

meminta pertolongan pada langit-langit kamar, agar dia bisa

mencari jalan keluar guna menyelesaikan masalah yang

tengah dihadapinya.

"Mama sudah memilihkan istri untukmu, Herman.

Mama tidak ingin kau membantah. Dan perlu kau ingat,

istrimu tidak akan membikin malu keluarga kita..." kata

mamanya kemudian dengan wajah menggambarkan

keyakinan, kalau pilihannya itu benar-benar sempurna dan

bisa dipercaya.- 71
"Nidia itu anak orang berada. Dia lulusan sarjana luar

negeri. Masa depannya cerah. Apa yang kau banggakan dari

Rosana? Lagi pula, kalau masalah cantik? Nidia tidak kalah

dibandingkan Rosana. Kau bisa membuktikannya besok...!"

kata mamanya lagi berusaha meyakinkan anaknya, agar mau

menerima tawarannya. Agar bisa menerima Nidia, gadis

pilihannya untuk mendampingi hidup Herman ketak.

"Tapi, Mama..." Herman berusaha membantah,

namun belum juga dia selesai bicara, mamanya telah lebih

dulu memotong ucapannya. Membuat Herman seketika

menghentikan perkataannya.

"Apalagi yang mau katakan...?"

"Herman lebih mencintai Rosana, Ma..." jawab

Herman dengan suara lirih, berusaha memohon 1 pengertian

dari mamanya kalau cinta tidak bisa dipaksakan.

"Bagaimana Herman bisa membina rumah tangga

dengan orang yang tidak Herman cintai, Ma...?" kata

Herman kemudian berusaha mengingatkan mamanya dan

memberi pengerb pada mamanya akan arti cinta yang

sebenarnya.

"Cinta itu mudah diucapkan dan didapatkan setelah

kalian membina rumah tangga nanti, Herman...," kata

mamanya Herman masih tetap, pada pendiriannya. "Kau

belum melihat Nidia, jadi kau bisa bicara begitu. Tapi nanti,

kalau kau sudah bertemu, mama yakin pendirianmu akan

berubah," kata mamanya dengan bibir tersenyum,- 72
membayangkan kecantikan wajah calon menantunya. Dia

yakin, kalau Herman tentu akan bisa melupakan Rosana jika

sudah bertemu dengan Nidia.
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Herman terdiam tak menyahut.

"Mama yakin, jika kau sudah bertemu dengan Nidia

dan sudah mengenal dia lama, pasti kau akan bisa

menerimanya...," kata mamanya Herman dengan bibir

tersenyum, masih membayangkan bagaimana anaknya

kelak akan hidup berdampingan dengan Nidia. Dan yang

lebih dari itu, dia akan bangga karena mempunyai besan

orang terpandang dan terhormat serta kaya raya. Herman

terus hanyut dengan pikirannya. Kesal hatinya, setiap kali

ingat akan kediktatoran mamanya. Dia juga tidak habis

mengerti, kenapa papanya tidak bisa berbuat apa-apa?

Kenapa justru mamanya yang seakan menjadi kepala rumah

tangga di rumah itu?

Bukan papanya?

Herman masih terus memikirkan masalah yang

dialaminya.

Masalah cintanya dengan Rosana, yang terus

ditentang oleh mamanya. Juga masalah ucapan kekasihnya

tadi sore, ketika di kampus. Pernyataan kekasihnya, yang

memberita-hukan kalau sekarang kekasihnya sedang

mengandung janin hasil hubungan cinta mereka. Dan janin

itu, kini sudah berusia tiga bulan. Herman kembali menarik

napas dalam-dalam, setiap ingat kata-kata kekasihnya.- 73
Kemudian dia kembali teringat pada kata-kata Rosana tadi

sore, ketika mereka berada di kampus. Bahkan dia tadi sore

pun telah berjanji pada Rosana, kalau dia akan bertanggung

jawab dengan menikahi wanita itu.

Herman terhempas ketika ingat akan janjinya pada

Rosana yang baru beberapa waktu lalu dia ucapkan. Kenapa

dia tadi tidak memberitahu pada mamanya, kalau Rosana

kini dalam keadaan hamil? Sehingga dia tidak akan dipaksa

tenis untuk menikahi Nidia.

Mengapa dia tak memiliki keberanian? Pikir Herman

dalam hati, menyesali kepengecutannya. Malam terus

merambat bergulir seirama dengan berputarnya waktu. Jam

di dinding kamar pun sudah menunjukkan angka satu dini

hari lewat tiga puluh lima menit. Namun Herman masih

belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya masih terus

melayang tak menentu. Memikirkan semua masalah yang

tengah dihadapinya. Lelah memikirkan semua masalah yang

dihadapinya, akhirnya Herman pun tanpa sadar ia tertidur.

***- 74
Bab. 4

Herman tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah,

sebuah lapangan rumput yang sepi dan senyap. Itu semua

membuat Herman kebingungan bercampur tegang. Dia tak

tahu, bagaimana tahu-tahu dia berada di tengah sebuah

lapangan rumput yang sekelilingnya dikelilingi pepohonan

besar dan lebat?

Dan anehnya, hanya di lapangan itu saja yang agak

terang. Sementara di sekelilingnya, suasananya sangat gelap

mencekam.

Ditambah lagi dengan suara angin yang bergesek

dengan dedaunan, semakin membuat suasana di sekitar

tempat itu kian terasa mencekam. Sampai-sampai bulu

kuduk Herman meremang berdiri, merasakan ketegangan

yang mencekam jiwa.

Herman masih belum mengerti, dimana dia sekarang.

Dan kenapa tahu-tahu dia berada di tempat menyeramkan

sp.perti itu, ketika dari arah kegelapan, seorang wanita

cantik dengan senyum merekah di bibirnya, indangkah

mendekat, ke arahnya. Membuat Herman semakin- 75
bertambah terperangah. Matanya yang semula memandang

tegang ke sekelilingnya, seketika pandangannya tertumpu

pada sosok elok tersebut. Lelaki muda dan tampan itu, kian

terpesona oleh kecantikan wanita itu, yang kini masih

melangkah ke arahnya dan belum diketahui darimana

datangnya.

Wanita cantik jelita tersenyum, namun di wajahnya

menggambarkan kemurungan itu nampak misterius, sulit

untuk diartikan. Apa senyumnya itu pertanda dia bahagia

bertemu dengan Herman? Atau justru sebaliknya, wanita

cantik itu sedih atas pertemuannya dengan Herman?

Herman tak tahu, apa makna senyum wanita cantik

yang tahu-tahu hadir di depannya. Yang datang dari tempat

yang sangat gelap dan sulit untuk ditembus oleh pandangan

mata Herman.

"Herman...," desis wanita cantik itu memanggil

namanya, membuat Herman terperangah sekaligus tersentak

kaget. Dia heran, darimana wanita cantik bergaun serba,

putih dengan rambut dibiarkan terurai itu mengenal

namanya? Padahal dia sama sekali tak pernah bertemu

dengan wanita cantik itu. Apalagi mengenalnya. Lalu

darimana wanita cantik itu mengenal namanya?

Wanita cantik itu masih memandang lekat ke wajah

Herman. Kakinya yang indah, melangkah gemulai

mendekati Herman yang masih berdiri mematung, dengan

mata masih memandang lekat ke wajah cantik di- 76
hadapannya. Pandangannya masih menunjukkan kalau dia

belum memahami, darimana wanita cantik itu tahu kalau

namanya Herman. Karena dia merasa belum pernah bertemu

apalagi mengenal wanita cantik itu.

"Lupakah kau kepadaku, Her?"

"Siapa Anda, Suz...?" balik Herman bertanya dengan

suara agak tersendat. Matanya masih memandang lekat ke

wajah cantik wanita itu, yang masih melangkah mendekat

ke arahnya dengan bibir terhias ulasan senyum. Senyum

yang sangat misterius dan sulit diartikan. "Darimana Anda

tahu nama saya...?"

Wanita cantik itu masih tersenyum. Dia semakin

mendekat ke arah Herman.yang masih mematung dengan

wajah menggambarkan keheranan. Heran dengan kejadian

yang kini tengah dialaminya. Kejadian yang aneh,

sebagaimana kemunculan wanita cantik itu yang entah

darimana datangnya.

Mungkin wanita cantik itu datang dari hutan lebat

yang mengelilingi lapangan rumput dimana Herman

berada? Herman tak tahu. Sebagaimana dia juga tak

mengerti, kenapa dia tahu-tahu berada di tengah lapangan

rumput yang sepff-yang dikelilingi oleh hutan leoar dan

menyeramkan.

"Aku telah lama mengenalmu, Her..."- 77
Telah lama? Gumam Herman dalam hati dengan

kening mengerut. Aneh. Bagaimana mungkin? Bertemu saja

mereka baru sekarang. Kenapa wanita cantik itu mengatakan

telah lama mengenalnya? Kapan dan dimana mereka pernah

bertemu?

"Ah, Anda jangan berseloroh..."

Wanita cantik itu lagi-lagi tersenyum. Matanya masih

memandang lekat ke wajah Herman. Tatapannya yang

tajam, bagaikan sebuah mata pedang yang menusuk ke

dalam lubuk hati Herman. Dan lelaki muda itu tersentak.

Dia tiba-tiba seperti pernah melihat tatapan mata

tajam wanita itu. Tapi dimana dan kapan? Herman berusaha

mengingatnya, namun sulit. Dia tak juga bisa mengingat

dimana dan kapan d pernah melihat wanita cantik itu.

"Aku tak berseloroh," jawab wanita cantik itu dengan

mata masih memandang lekat ke wajah Herman, seakan dia

berusaha meyakinkan lelaki muda dan tampan itu, kalau apa

yang dikatakannya memang benar. Dia tidak mereka-reka.

"Aku mengenalmu. Bahkan sangat mengenal dirimu..."

Herman semakin terperangah mendengar penuturan

wanita cantik itu. Rasa heran semakin membelit jiwanya,

yang bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita Cantik itu.

"Sangat mengenalku...?" ulang Herman tanpa sadar

dengan mata balaf menatap ke wajah cantik wanita itu.- 78
Seakan ingin meyakinkan dirinya, benarkah apa yang

dikatakan wanita cantik itu?

"Ya."

"Siapa Anda sebenarnya?"

"Aku selama ini dekat denganmu, Her."

"Dekat denganku?"

"Ya,"

"Aku tak mengerti, siapa Anda sebenarnya."

"Kau mungkin lupa padaku."

"Demi Tuhan, aku tak mengenal Anda."

Membelalak lebar mata wanita cantik itu,

mendengar" Herman menyebut nama Tuhan. Tubuhnya

bahkan bergetar hebat. Seakan ada guncangan dasyat yang

melanda jiwanya, saat Herman mengucap nama Sang

Pencipta alam semesta ini dan isinya. Termasuk mereka

berdua yang juga merupakan ciptaan-Nya. Ada rasa takut

yang mencekam jiwa wanita cantik itu, ketika mendengar

asma Tuhan.

"Kenapa, Suz...?"

"Tidak... tidak apa-apa."

"Anda nampak gugup," terka Herman.

"Ah, tidak: Oh ya, maukah Anda menemaniku?"- 79
"Kemana?" ?

"Dimana rumah Anda?"

"Di sebrang hutan itu," jawab wanita cantik itu sambil

menunjuk ke arah pepohonan yang lebat dan gelap

mencekam. Membuat Herman mengerutkan kening.

Tergetar hatinya setiap kali melihat suasana di

sekelilingnya yang gelap gulita. Tapi pantaskah seorang

lelaki menunjukkan rasa takutnya saat seorang wanita

memintanya untuk mengantar? Betapa memalukan sekali.

Pikir Herman dalam hati. "Bagaimana, apa Anda bersedia

mengantar saya?"

"Anda mau pulang?"

"Ya."

"Lalu darimana Anda tadi?" tanya Herman.

"Aku tersesat ketika hendak pulang dari main

kerumah teman yang ada di Timur hutan itu." Kembali

wanita cantik itu menujuk ke arah hutan lebat yang

mengelilingi tanah lapang dimana mereka berada.

"Tolonglah saya. Siapa lagi yang akan mengantar

saya, kalau bukan Anda...?" rengek wanita cantik itu, terus

berusaha membujuk agar Herman mau mengantarnya.

"Baiklah. Mari...," akhirnya Herman yang merasa

kasihan pada wanita cantik itu, tanpa memikirkan kembali- 80 Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keanehan yang dialaminya menurut mau mengantarkan

wanita itu ke rumahnya.

"Terimakasih atas kesediaan Anda." kata wanita

cantik misterius itu dengan bibir kembali mengurai senyum.

"Lupakanlah."

"Keduanya melangkah, meninggalkan tempat semula

menuju ke arah Selatan dimana hutan gelap dengan

pepohonannya yang rimbun dan lebat membentang. Tidak

berapa lama kemudian, keduanya sampai di perbatasan

hutan. Ada rasa ngeri terlihat di mata Herman, saat melihat

keadaan hutan di depannya yang sangat gelap gulita. Namun

dia berusaha untuk menutupinya dengan senyum, saat

wanita cantik itu melirik ke arahnya.

"Anda takut...?"

"Tidak," jawab Herman tegas.

"Syukurlah, tak percuma saya meminta antar Anda."

Keduanya terus melangkah. Namun kejadian aneh

tiba-tiba terjadi pada Herman. Ketika kakinya sudah masuk

ke dalam hutan sekitar lima meter, seketika dia merasakan

suasana sekelilingnya berubah. Matanya tak bisa melihat

apa-apa lagi. Gelap gulita. Tidak lama kemudian, dia

melihat cahaya terang benderang menyilaukan dengan

puluhan sinar warna-warni. Tak ubahnya di tempat itu, ada

ratuhan bintang.- 81
"Suz... Suz...!" seru Herman berusaha memanggil

wanita cantik yang tadi jalan bersamanya. Namun tak ada

suara yang menyahuti. Membuat Herman semakin

bertambah kebingungan. Kepalanya terasa semakin

bertambah- penih. Lalu kembali suasana di sekelilingnya

menjadi gelap. Dan akhirnya, Herman tak ingat apa-apa lagi.

Entah berapa lama Herman pingsan. Ketika dia

membuka matanya kembali, tahu-tahu tubuhnya sudah

diikat di palang kayu membentuk salib. Kedua tangannya

dipentang dengan pergelangan tangan terikat Begitu juga

kedua kakinya. Sementara di sekelilingnya, api menyala.

Mulanya api itu menyala kecil, namun semakin lama api

tersebut semakin bertambah besar. Bagaikan hendak

membakar tubuhnya.

"Dimana aku...?! Akh...!" Herman menjerit-jerit

kepanasan.

Dia berusaha untuk melepaskan diri dari api yang siap

membakar sekujur rubuhnya. Namun ikatan pada tangan dan

kakinya, sulit untuk dibuka.

"Lepaskan aku... Lepaskan aku...!" teriaknya sambil

terus berusaha melepaskan diri dari ikatan di tangan dan

kakinya. Namun tetap saja dia tak mampu. Sementara api

yang mengelilinginya, semakin lama semakin membesar

oan siap melalap sekujur tubuhnya. Tolong...! Lepaskan

aku...!"- 82
Tubuh Hemian yang terpanggang, terus menggeliat
geliat dengan diikuti teriakkan-teriakkan menyayat. Namun

tak seorang pun yang berusaha untuk menolongnya.

Sementara itu, dari balik api sesosok wanita cantik dengan

lenggang bagaikan tak terpengaruh oleh panasnya api yang

menyala-nyala, menerobos masuk menghampiri Herman

yang masih berteriak-teriak kepanasan.

"Ini belum seberapa panasanya, Herman."

Dengan menahan rasa sakit, perlahan Herman

membuka matanya.

Betapa marahnya dia, saat melihat siapa yang datang.

Sekaligus dia juga merasa heran, bagaimana wanita cantik

yang kini datang bersama seoran bayi dalam gendongannya

itu bisa masuk ke lingkaran api dan mendekati dirinya tanpa

merasakan panasnya api tersebut? Juga bayi dalam

gendongan wanita cantik itu, seakan tidak merasakan

kepanasan. Rasanya tidak masuk di akal. Tapi itulah yang

dilihat Herman. Kalau begitu, siapa wanita cantik ini? Pikir

Herman.

"Siapa kau sebenarnya...? Apa maksudmu dengan

mengikat tangan dan kakiku seperti ini, dan memanggang

tubuhku begini rupa...?" tanya Herman dengan mata

memandang tajam ke wanita cantik yang berdiri di depannya

masih dengan senyum manis yang penuh misteri. "Apa

salahku sehingga kau menyiksaku sedemikian rupa...?

Bukankah aku tak pernah berbuat jahat kepadamu. Bahkan- 83
aku telah berbuat baik kepadamu? Dengan mau

mengantarmu pulang?"

"Aku jiwa yang lara, Herman... Aku tidak

menyiksamu, Herman. Aku hanya ingin mengujimu. Untuk

membuktikan kesetiaanmu padaku. Aku kekasihmu..."

"Kekasihku...?"

"Ya. Tidakkah kau ingat siapa aku...?"

Dengan masih berusaha menahan rasa sakit dan

panas, Herman terus berusaha mengingat-ingat siapa wanita

cantik itu, yang mengaku kekasihnya. Tapi pikirannya yang

tidak dalam keadaan tenang, tak mampu mengingatnya. Dan

memang dia belum pernah merasa mempunyai kekasih lain,

selain Rosana.

"Aku tak tahu siapa kau."

Wanita cantik yang menggendong bayi di tangannya

itu tersenyum mendengar jawaban Herman.

"Aku Rosana..."

"Tidak... tidak mungkin..."

"Aku Rosana, Herman. Dan ini anakmu... anak kita,

Herman."

"Bukan! Jangan tipu aku, karena aku tak percaya

padamu. Kau Iblis...!" maki Herman dengan kesal, karena

wanita cantik itu tidak mengerti balas budi. Ditolong, malah

kini menyandera dan menyiksanya.- 84
"Siapapun aku menurutmu, tak mengapa. Yang

penting, kau harus denganku. Harus... harus, Herman. Kau

harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku,

Her...!" wanita cantik itu tertawa. Suara tawanya meringkik,

membuat bulu kuduk Herman meremang berdiri. Kemudian

dengan masih tertawa cekikikan, wanita cantik itu

melangkah meninggalkan Herman. Dengan enak sekali

tanpa mengalami kebakaran di tubuhnya, wanita cantik itu

menembus api yang semakin membesar dan memanas.

Sehingga membuat Herman kian bertambah kepanasan.

"Akh ukh... Lepaskan aku...! Panas... panas...

Tolong,..!" teriak Herman sambil terus berusaha

melepaskan diri dari siksaan itu. Tubuhnya menggeliat
geliat. Tangan dan kakinya terus berusaha melepaskan

ikatan tersebut.

Hampir saja Herman mati hangus terbakar, kalau saja

dia tidak ditolong dengan suara gedoran di pintu kamarnya.

"Herman... Herman..!"

Herman beranjak bangun, kemudian duduk di tepi

tempat tidur. Matanya memandang ke arah jam di dinding

kamarnya. Jam sudah menunjukkan angka enam lewat lima

belas menit. Oh, ternyata sudah pagi. Dengan menghela

napas dalam-dalam, Herman beringsut bangun dari tempat

tidurnya. Disisirnya rambut dengan jari-jari kedua tangan

nya. Kemudian dia melangkah ke arah pintu, dimana suara

mamanya terdengar memanggil.- 85
"Her... Herman..."

"Ya, Ma?

"Kenapa kau...?"

"Tidak apa-apa, Ma. Hanya mimpi..."

"Hari" sudah pagi. Bukankah kau akan menjemput

Nid?"

"Herman agak sakit, Ma."

"Alasan lagi... Jangan beralasan. Cepat bangun dan

mandi. Kemudian segera ke Bandara. Jangan kecewakan

Nidia, Her."

"Huh, Mama. Silvi saja kenapa sih...?"

"E-eh... Kau ini kenapa sih? Kau belum melihat

Nidia. Mama yakin, kalau kau sudah melihatnya, kau pasti

tak akan menyesal. Ayo keluar dan mandi. Papa dan adikmu

sudah menunggu untuk sarapan pagi."

Herman akhirnya membuka pintu. Dengan wajah

kusut dia melangkah meninggalkan kamarnya. Mamanya

hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan

tingkah laku anaknya. Meski agak membangkang dan nakal,

namun akhirnya Herman menuruti apa yang dianjurkan.

Dan itulah yang membuat wanita setengah baya itu

bangga. Kemudian dengan diikuti helaan napas dan senyum

simpul di bibirnya, wanita setengah baya itu pun melangkah

meninggalkan pintu kamar anaknya, menuju ke meja makan- 86
dimana suami dan anak perempuannya berada dan tengah

menunggu untuk sarapan pagi bersama.

"Mana Herman, Ma?" tanya Pak Budianto, suaminya,

papanya Hery dan Vera ketika istrinya datang.

"Sedang mandi."

"Dia mau menjemput Nidia?"

"Mau, Pa."

Tidak lama kemudian Herman datang ke ruang makan

dimana kedua orang tua dan adiknya sudah menunggu.

Dengan wajah dingin dan mulut membisu, Herman duduk di

kursi yang masih kosong.

Justru penampilannya yang murung itu, membuat

kedua orang tua dan adiknya jadi memperhatikan ke arahnya

dengan kening mengerut. Tak mengerti, apa yang membuat

Herman merungut begitu.

"Kenapa sih Ma, wajah mas Herman cemberut

begitu?" tanya Vera sambil memperhatikan wajah

kakaknya. Seakan gadis berusia dua puluh dua tahun yang

kini duduk di bangku kuliah semester enam itu, ingin

mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi oleh

kakaknya.

"Mana Mama tahu... Tanya saja sama kakakmu."

"Kenapa, Mas?"- 87
Tanya saja sama Mama," jawab Herman

membalikkan masalahnya pada mamanya, yang semakin

membuat papa dan adiknya kebingungan dan bertanya
tanya, ada apa sebenarnya.

"Kok jadi lempar-lemparan masalah," gumam Pak

Budianto menengahi. "Ada apa sih? Kita ini keluarga. Kalau

ada masalah, hendaknya diselesaikan dengan cara

kekeluargaan. Ayo Herman, katakan sama Papa, ada apa

sebenarnya?"
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Herman malas jemput Nid. Tapi Mama memaksa.

Herman kan sudah dewasa, Pa. Lagi pula, sekarang bukan

jaman Siti Nurbaya lagi. Beri dong Herman kebebasan

untuk memilih," tutur Herman mengadukan masalahnya.

"Papa dan Mama tidak melarangmu memilih

pilihanmu sendiri. Tetapi apa yang kau harapkan dari

Rosana, gadismu itu...?1 tanya mamanya menyela.

"Tapi, Pa..."

"Tapi apa...?" tanya Budianto. Herman tidak

langsung menjawab. Dia terdiam menunduk, seakan akan

kebimbangan terpancar dari wajahnya. Bimbang akan

masalah yang hendak dia katakan. Apakah dia harus

mengatakan hal yang sebenarnya? Bahkan Rosana sudah

hamil?

"Kenapa? Mengapa kau diam? Katakanlah, ada apa

sebenarnya, Herman...?" tanya papanya mendesak, dengan- 88
mata memandang ke wajah anaknya. Ingin mengetahui

masalah yang sedang ada dalam pikiran anaknya dan kini

menjadi perdebatan antara anak dan istrinya.

"Rosana hamil,. Pa."

"Kau yang melakukannya?" tanya Pak Budianto

sambil memandang ke wajah anaknya, meminta jawaban

dari anaknya secara jujur.

Herman dengan menundukkan kepala, mengangguk.

"Apa?! Jadi...," suara mamanya Herman terputus.

Kini hanya matanya saja yang masih lekat memandang

tajam ke arah anaknya yang masih diam sambil

menundukkan kepala.

"Tidak, Herman! Mama tidak setuju kau menikah

dengannya. Bagaimana juga, kau harus menikah dengan

Nidia."

"Tapi, Ma..."

Herman hendak menyela, ketika dengan cepat

papanya menengahi.

"Begini saja, Her. Papa mengerti akan keinginanmu.

Tentunya kau ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi

pada Rosana. Namun bagaimana juga, kau harus

mempertimbangkan kembali nama baik dan hubungan baik

papa serta mamamu dengan Om dan Tante Santiko. Jadi

lebih baik kita ambil jalan tengahnya saja, agar semuanya

berjalan baik," kata Pak Budianto bijaksana.- 89
"Kau, tetaplah bertanggung jawab atas, perbuatan

yang telah kau lakukan pada Rosana. Kau nikahi Rosana,

namun dengan syarat setelah bayi yang dikandungnya lahir,

ceraikan Rosana. Kemudian kau nikahi Nidia. Papa mau

menanggung anakmu sampai dia besar dan berhasil. Sebab

anak yang dikandung oleh Rosana, bagaimana pun

merupakan cucu Papa. Bahkan, kelak anakmu akan

mendapatkan seperlima dari kekayaan Papa. Dengan kata

lain, anakmu dari Rosana mempunyai saham di

perusahaan."

"Itu tidak mungkin, Pa," sela istrinya tak setuju.

"Apa yang tidak mungkin? Kita toh bisa memberi

alasan pada Mas dan Mbak Santiko kalau pernikahan

diundur setahun sambil menunggu anak kita tamat, Ma."

Pak Budianto masih tetap menunjukkan kebijaksanaannya

dalam mengambil keputusan.

Namun kelihatan istrinya tak setuju dengan jalan

tengah yang diambil suaminya. Linati ingin anaknya

meninggalkan Rosana saja dan menikah dengan Nidia Dia

merasa malu, jika anaknya harus menikah dengan anak

seorang guru sekolah menengap pertama yang miskin.

"Pokoknya Mama tak setuju. Titik...!" tegas

mamanya Herman tetap pada pendiriannya. Dan tak seorang

pun dari keluarga itu yang membantah. Semua terdiam.

Tak ada yang membantah atau memprotes keputusan

mamanya Herman.- 90
Suasana seketika berubah menjadi kaku. Bisu dan ia...

Dan suasana pagi itu juga, seketika menjadi hambar. Nafsu

makan seketika hilang. Herman langsung bangun dari

duduknya, kemudian berlalu meninggalkan ruang makan

dimana kedua orang tuanya dan adiknya hanya bisa terdiam

membiarkannya pergi.

"Seharusnya mama tidak terlalu kaku terhadapnya,

Ma," kata Budianto berusaha meyakinkan istrinya, kalau

Herman sudah dewasa, bukan anak kecil. Kalau sudah

selayaknya Herman dibebaskan menentukan pilihannya

sendiri. "Dia sudah dewasa. Bukan anak-anak lagi. Sudah

sepantasnya dia diberi kebebasan untuk menentukan

pilihannya sendiri..."

"Ala... papa tahu apa? Apa papa tahu siapa Rosana

itu?"

"Memangnya siapa Rosana?"

"Dia anak orang miskin. Apa papa tidak tahu

rencananya? Dan juga rencana Ayah dengan menjadikan

Rosana sebagai tumbalnya...!" tegas mamanya Herman

masih bersikeras dengan sikapnya, kalau dia tetap tidak

setuju jika Herman menikah dengan Rosana..

"Memang apa rencana mereka?"

"Mereka terutama Ayahnya, ingin menguasai harta

kekayaan kita, Pa..."

"Jangan menuduh sembarangan, Ma."- 91
"Aku tidak menuduh. Tapi itu bukti, Pa... Sudah tahu

dari pertama kali aku tidak setuju Herman berhubungan

dengan gadis itu. Eh, dasar ganjen, gadis itu tetap nekad

menjalin hubungan dengan Herman. Bahkan dengan sengaja

menyeret anak kita ke dalam jebakannya. Huh, mereka kira

dengan kehamilan Rosana, Herman akan begitu saja dapat

mereka kuasai! Tidak, Pa... Nidia akan datang. Dan Herman

harus menikah dengan Nidia," tegas mamanya Herman

dengan wajah bersungut-sungut.

"Tapi bagaimana pertanggung jawaban anak kita

pada Rosana, Ma...? Gadis itu hamil oleh anak kita..."

"Perduli amat dengan gadis centil itu. Dia sendiri

yang menyodorkan dirinya. Herman tak salah. Seharusnya,

gadis itu tahu diri dong,.."

Budianto hanya bisa menarik napas dalam-dalam

mendengar ucapan istrinya.. Rasanya dia tidak bisa berbuat

apa-apa untuk membantu anaknya. Di rumah itu, istrinya

jauh lebih berkuasa dibandingkan dirinya. Memang semua

salahnya. Kenapa dulu dia senantiasa mengalah pada

istrinya. Harta kekayaan yang mereka miliki, memang

warisan dari orang tua istrinya. Namun sebagai seorang

lelaki, tidak seharusnya Haryanto bersikap lemah dan

senantiasa mengalah. Kini semua sudah terlanjur, tidak

mungkin dibenahi dari awal lagi. Ibarat nasi, sudah menjadi

bubur. Tak bisa dijadikan beras lagi.

"Terserah mama... Aku mau berangkat ke kantor."- 92
"Calon menantu kita mau datang, Pa. Sebaiknya kau

tak perlu ke kantor. Toh kantor dan perusahaan itu milik kita

sendiri," kata mamanya Herman melarang suaminya pergi.

Haryanto hariya bisa menarik napas dalam-dalam.

Sebenarnya dia ingin membantah kemauan istrinya. Namun

dia tak sanggup. Dan kembali, dia harus menuruti kemauan

istrinya.

Meski hatinya kesal, namun akhirnya Herman pun

menurut pergi ke bandara untuk menjemput Nidia.- 93
Bab. 5

Pagi itu di Bandara Soekarno-Hatta, nampak seorang

pernuda tampan berdiri di peron dengan mata menyapu ke

sekeliling bandara. Sepertinya pemuda tampan berambut

gelombang agak gondrong itu, tengah mencari seseorang.

Dia tengah memang, berusaha untuk mencari seseorang

yang tiba di Jakarta dari Belanda pagi ini. Orang yang

dicarinya, tiada lain seorang gadis yang oleh kedua orang

tuanya, gadis itu hendak dijodohkan dengannya.

Sebenarnya Herman, nama pemuda tampan itu sangat

malas sekali menjemput gadis yang bernama Nidia yang

belum diketahui seperti apa orangnya. Dan kedua, dia juga

malas karena sebenarnya dia lebih menyintai Rosana,

kekasihnya yang sudah dipacari dan bahkan digauli selama

tiga tahun lebih dibandingkan pada Nidia, yang belum dia

kenal. Hanya karena dia tidak ingin mengecewakan

mamanya saja, sehingga membuat Herman akhirnya mau

pagi-pagi datang ke Bandara untuk menjemput anak dari

teman mamanya, semasa mamanya dan mama Nidia masih

sama-sama duduk di bangku sekolah lanjutan pertama.- 94
Dari pengeras suara, terdengar operator

memberitahukan pada para penjemput dengan bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris, kalau pesawat Garuda

penerbangan Australia-Indonesia sebentar lagi akan

mendarat.

Herman menarik napas dalam-dalam. Entah

mengapa, tiba-tiba hatinya agak berdebar. Dia merasakan

ada ketegangan yang tengah dirasakannya. Pikirannya pun

tak menentu. Sebentar melayang, pada Rosana, kekasihnya.

Tentunya Rosana tengah menunggunya di kampus.

Oh, bagaimana jadinya nanti? Jika mamanya tetap

memaksakan kehendaknya agar dia mau menikah dengan

Nidia? Lalu bagaimana dengan Rosana? Padahal dia sudah

berjanji pada Rosana dan ayahnya, kalau dia akan

bersungguh-sungguh dengan Rosana. Tentunya mereka

akan kecewa sekali, kalau sampai dia mengingkari janji.

Lelaki muda itu masih gelisah. Haruskah dia pulang

saja, lalu membiarkan Nidia kebingungan sendiri mencari

alamat rumahnya? Atau langsung ke Bandung dimana

keluarganya berada? Rasanya tidak berperi kemanusiaan,

membiarkan orang yang belum tahu keadaan Jakarta

seorang-diri mencari alamat rumahnya. Salah-salah Nidia

akan mendapatkan kesulitan.

Lamunan Herman seketika buyar, ketika telinganya

mendengar suara mesin pesawat mendekat. Dari jarak

sekitar satu kilo meter, pesawat itu mendarat. Kemudian- 95
bergerak secara perlahan dengan dibimbing seorang

instuktur atau juru parkir. Lalu berhenti.

Mata Herman tanpa kedip memperhatikan pesawat.

Garuda yang baru saja berhenti. Tidak lama kemudian, pintu

pesawat pun terbuka. Dari dalam pesawat, turun para

penumpangnya. Namun sebanyak itu, belum ada yang

dikenali oleh Herman. Semuanya orang asing baginya.

Bahkan sampai penumpang terakhir turun, seorang wanita
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berambut sebatas bahu bergelombang agak pirang.

Berhidung bangir dan berwajah molek seperti boneka.

Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu

melangkah sambil menyapukan pandangan matanya, ke

sekeliling bandara. Seakan wanita muda dan jelita itu tengah

berusaha mencari orang yang. menjemput atau yang

dikenalnya. Namun sejauh itu, belum juga dia menemukan

orang yang dikenalnya ada di sekitar peron.

Wanita muda dan cantik itu menghentikan

langkahnya. Menarik napas dalam-dalam, sambil menyeka

keringat. Udara di Jakarta, tidak seperti ketika dia berada di

Belanda. Di sini suhu udara sangat panas. Sehingga kulitnya

yang kuning langsat dan halus, terasa tersengat sinar mentari

yang agak panas.

"Huh...," gadis cantik.itu mengeluh sambil

menghempaskan napasnya panjang-panjang. Kemudian

kembali melangkah ke peron, mengambil barang-barang

yang dia bawa. Kemudian wanita cantik itu pun melangkah- 96
meninggalkan peron, berusaha mencari taksi. Ketika wanita

muda dan cantik itu baru saja keluar dari Bandara.,

Herman mendekati wanita itu dan menyapanya

dengan ramah.

" Nidia ?" tanya Herman.

"Oh ya. siapa nama Anda...?"

"Herman..."

"Herman...?" ulang wanita jelita itu dengan mata

semakin lekat menatap wajah tampan Herman dan mulutnya

yang mungil, agak terbuka.

"Saya diutus oleh orang tua saya untuk menjemput

seorang teman, anak teman papa dan mama saya."

"Siapa namanya...?" tanya gadis indo canttik jelita itu

sambil memandang ke wajah pemuda tampan yang berdiri

di depannya.

"Nidia..."

"Nidia...?" ulang gadis itu dengan kening mengerut.

Matanya yang indah namun tajam, masih memandang lekat

ke wajah tampan lelaki muda di hadapannya.

"Ya."

"Nidia siapa...?"

"Nidia Rosalia...".- 97
"Itu namaku," jawab Nidia.

"Anda...?" ,.

"Ya, aku Nidia Rosalia. Kenapa Anda mencari saya?"

tanya Nidia kemudian. Matanya yang indah dengan bulu

mata lentik, masih memandang lekat ke wajah tampan

Herman.

"Ah, sungguh kebetulan sekali. Seperti yang tadi saya

katakan, saya disuruh mama saya untuk menjemputmu."

"Siapa nama mama Anda...?"

"Hartati."

"Tante Tati..."

"Ya. Mamaku memang dipanggil Mama Tati atau

tante Tati..."

"Jadi kau Herman yang diceritakan Tante lewat

suratnya?"

"Ya," jawab Herman sambil mengulurkan tangannya

kedepan dengan bibir tersenyum. Nidia pun menyambuti

uluran tangan itu dengan bibir turut tersenyum. Kemudian

keduanya saling berjabatan tangan. Bibir mereka sama-sama

tersenyum.

"Anda cantik sekali, membuat saya tidak mengenal

Anda...," puji Herman.- 98
"Ah, kau terlalu memuji, Herman," jawab Nidia

sambil tersipu-sipu. Berdesir hatinya, mendapatkan pujian

dari pemuda setampan dan sebaik Herman. Apalagi setelah

dia tahu, lelaki tampan itu calon suaminya. Lelaki yang

sudah ditunangkan oleh kedua orang mereka untuk

dijadikan suaminya.

"Tetapi sungguh, kau memang cantik sekali."

"Jangan berlebihan memuji. Nanti jatuh cinta..."

Herman tertawa, diiringi oleh tawa merdu Nidia.

Sehingga pagi itu, terasa semakin indah oleh hiasan tawa

mereka.

"Anda bisa saja... Oh ya, mari kubantu membawakan

koper Anda."

"Terimakasih."

Herman pun mengambil alih, membawa kopor Nidia.

Mengajak gadis cantik itu ke mobilnya yang tidak berada

jauh dari tempat dimana Nidia berada.

"Mobilmu...?"

"Bukan."

"Lalu mobil siapa...?" tanya Nidia.

"Mobil papaku."

"Ah. kau..."- 99
"Silakan masuk," ajak Herman sambil membukakan

pintu depan mobilnya. Setelah memasukkan kopor bawaan

Nidia di bagasi.

"Terimakasih." Nidia pun menurut masuk. Setelah

menutup kembali pintu depan mobilnya, Herman pun

melangkah ke pintu mobil di sampingnya. Kemudian masuk

dan duduk di belakang stir mobil.

Tidak lama kemudian, mobil melaju meninggalkan

tempat parkir bandara.

"Kemana kita...?" tanya Herman.

"Menurutmu, sebaiknya kemana..." balik Nidia

bertanya sambil memandang ke wajah Herman yang tampan

dan duduk di samping, mengemudi mobil.

"Kalau perintah mamaku, Mama ingin kau ke rumah.


The Propotition Propotition 1 Karya Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Wiro Sableng 037 Maut Bermata Satu

Cari Blog Ini