Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto Bagian 3
takut kehilangan kesempatan yang paling berharga.
Membuat Rosalina hampir tertawa geli. Tapi ketawanya
ditahan, dan sambil malu-malu ia membalas uluran tangan.
"Handrian," kata Handriaan saat menjabat tangan
gadis itu. Amboi, halusnya telapak tangan gadis ini.
"Rosalina," suara Rosalina lirih. Cepat menarik
tangannya dari remasan pria itu. Dan Handrian tersenyum
senang.
"Sekarang saya senang sekali bisa berkenalan dengan
Anda. Kemarin saya kecewa karena Anda buru-buru pergi,"
kata Handrian senyum-senyum.
Rosalina melirik dalam diam. Rambutnya yang
terurai hitam legam melambai ditiup angin. Lehernya yang
putih mengintai.
"Mudah-mudahan sekarang tidak buru-buru pergi,"
lanjut Handrian.
"Sekarang pun sama," kata Rosalina.- 202
"Pernahkah Anda tidak buru-buru?"
"Kadang-kadang."
"Bisakah aku menjumpai kadang-kadang itu?"
"Tentu bisa."
"Di mana?"
"Kapan-kapan."
"Ya, kapan-kapan kita bisa jalan-jalan bersama."
"Ah!" Rosalina mendesah. Perasaannya jadi resah.
Gelisah.
"Kerja di mana?"
"Salon kecantikan."
"Sayang," gumam Handrian. Kalau saja dia belum
menerima Fonny, gadis ini lebih pantas untuk dijadikan
sekretarisnya.
"Kenapa?"
"Kamu tidak pantas jadi capster."
"Siapa bilang?"
"Saya."
"Tapi saya merasa pantas."
Handrian garuk-garuk kepala. Padahal rambutnya
tidak gatal. Itu hanya kompensasinya saja, untuk jawaban- 203
gadis di sampingnya. Kali ini dia kikuk menghadapi
Rosalina. Bis kota berhenti di depan mereka. Rosalina cuma
memandang kondekturnya yang berteriak. Karena bis kota
itu bukan yang ditunggu.
"Aku ingin mengantarmu. Boleh?"
Rosalina memandang pria itu sekejap. Bibirnya
merekah senyuman. Handrian tidak mampu menduga arti
senyuman itu. Apakah dia mau atau menolak. Sedang
wajahnya tetap teduh. Tidak angkuh. Juga tidak sombong.
"Sekalian ingin tahu tempat tinggalmu. Boleh kan?"
Rosalina menggelengkan kepala pelan. Rambutnya
tertiup angin. Menambah keanggunannya. Membuat
Handrian makin penasaran.
"Kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa."
Handrian mengeluh kecewa. Baru kali ini dia merasa
ditolak seorang gadis. Baru kali ini dia canggung dan kikuk
menghadapi seorang gadis. Ah, cuma pada Rosalina. Dan
mata Rosalina melihat nomor bis kota yang melncur ke
arahnya. Buru-buru ia melambaikan tangan.
"Tidak perlu naik bis. Akan saya antar sampai
rumah," desak Handrian yang jadi gusar. Bis yang distop
Rosalina berhenti di depan halte.- 204
"Terima kasih," kata Rosalina sambil mengangguk.
Lalu ia naik ke dalam bis kota. Bis meluncur membawanya
pergi dari pria itu.
Handrian cuma mengeluh kecewa memandangi
berlalunya bis kota itu. Dua kali. Ya, dua kali dia masih
belum mampu melunakkan hati gadis itu. Besok akan
kucoba lagi, pikir Handrian antusias. Dia harus bisa
menundukkan gadis itu.
***
Sore menjenguk. Keresahan pun menjenguk jendela
hatinya. Tak tahu, apa penyebab keresahan itu. Barangkali
karena terlalu memikirkan nasib yang tersuruk dalam
nestapa? Ah, itu cuma sebagian kecil. Dan hal meratapi
nasib, sejak dulu ia tak pernah putus asa. Tetap tabah
menjalani segala kegetiran. Cuma sepi itu, kesepian itu
membuat hidupnya terasa hampa.
Maka Rosalina menarik napas sepenuh dada.
Hampanya hidup Rosalina, adalah sepi padang pasir yang
kering. Senantiasa menunggu tetesan air hujan yang dua
tahun tak pernah turun. Dua tahun lebih tiga bulan. Kurun
waktu yang cukup panjang, bagi seorang istri yang
merindukan kehangatan. Hampanya hidup Rosalina, adalah
jerit hati seorang istri yang tanpa pernah menikmati malam- 205
pertama. Sementara usia terus merambat ketuaan.
Hampanya hidup Rosalina, adalah hampa wanita yang
bertanya-tanya, bagaimana nikmatnya seorang istri yang
mempunyai suami normal? Suami yang tidak impoten.
Ah! Rosalina jadi tersentak karena pandangannya
tertumbuk pada seorang pria. Pria bertubuh tinggi. Dan
pakaiannya necis, tanpa meninggalkan dasinya yang kendor
melingkar di kerah kemeja. Entah sudah berapa lama pria itu
ada di situ.
Handrian pun mengawasi gadis itu. Bibirnya senyum
senyum ramah menyapa. Tapi sebaliknya Rosalina jadi
resah. Gusar. Matanya terus mengalihkan perhatian dari pria
itu ke arah jam dinding. Waktu pulang sudah tiba. Maka ia
merapikan kertas-kertas nota dan bersiap-siap untuk pulang.
Daisy seorang karyawati yang siap menggantikan
tugasnya menghampiri.
"Sudah waktunya pulang, Lina."
"Ya."
Rosalina bergegas mengayunkan langkah meninggal
kan ruang salon, ia tidak menghiraukan Handrian. Tak mau
tahu, apakah pria itu ada niat ingin menemuinya. Diayunkan
langkahnya menuju ke halte bis kota. Diam-diam Handrian
mengikuti di belakangnya. Mereka berhenti di bawah atap
halte di sore yang cerah.- 206
"Selamat sore," sapa Handrian lunak. Dan sikapnya
nampak kikuk. Seperti kemarin. Dia sendiri bingung, apa
yang menyebabkan jadi begitu.
Pandangan Rosalina singgah di wajah pria itu.
Pandangan yang penuh pesona. Bola matanya yang bening
berbinar-binar ditimpa cahaya sore.
"Ada perlu apa?" tanya Rosalina.
Handrian jadi nampak kebingungan. Sebab
pertanyaan gadis itu dianggap formal. Bukan menghadapi
pergaulan santai dan keakraban. Semuanya itu lantaran
pembawaan Rosalina yang anggun. Kepribadian yang tidak
gampang untuk dianggap remeh. Itulah sebabnya, Handrian
jadi kikuk menghadapi gadis ini.
"A... aa... anu, biasa ingin ketemu," kata Handrian
cengar-cengir.
"Biasa? Memangnya kita sudah sering bertemu?"
"Eh, bukan. Maksudku ingin bertemu kamu."
"Tapi jangan di waktu jam kerja."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan waktu jam kerja."
"Baik. Baik. Tapi boleh kan, kalau menemuimu
setelah jam kerja? Di halte ini. Seperti jam begini," bujuk
Handrian dengan suara serak.- 207
Rosalina mengerjapkan mata. Handrian senang.
Berarti keinginannya disetujui gadis itu.
"Tidak buru-buru pulang kan?"
"Tunggu bis kota."
"Aku antar saja yuk?"
Kepala Rosalina menggeleng. Angin yang berembus,
menerpa rambutnya yang panjang terurai. Handrian jadi
ingin membelai rambut itu. Rambut yang hitam legam
teratur rapi.
"Aku bersungguh-sungguh ingin tahu tempat
tinggalmu. Aku mohon kau tidak keberatan. Boleh kan?"
Handrian tak patah semangat. Menggebu-gebu niatnya.
Rosalina tetap menggeleng.
"Kenapa aku tak boleh tempat tinggalmu?"
"Ah!" keluh Rosalina. Keluhan tak senang.
"Barangkali aku tak pantas berkunjung ke
rumahmu?"
"Begitulah."
"Ah!" keluh Handrian. Baru kali ini dia merasa i
ditampik oleh seorang gadis. Cuma Rosalinalah. Maka dia
menarik napas sepenuh dada. Dan dada-nya yang
menampung keluhan terasa sesak. Dia menoleh ke gadis di
sampingnya.- 208
"Jadi kalau aku ingin setiap saat menemui
bagaimana?" tanya Handrian.
Bola mata Rosalina yang bening membalas
pandangan pria itu. Suara yang baru diucapkan pria itu
menyentuh perasaannya. Suara yang sendu, juga
merindukan pertemuan berikutnya. Dan pandangan mata
pria itu, oh sangat memelas, sangat mengharapkan balasan
simpatinya.
"Kalau ingin bertemu denganku cukup di sini."
"Ooooh, terlalu gampang agaknya," gumam
Handrian.
"Apa?!" Rosalina tersentak.
"Seperti kalau ingin menemui perempuan di Monas."
"Kau kira aku perempuan apa?!" Suaranya keras, dan
matanya menatap Handrian tajam.
"Jangan salah mengerti. Pertemuan kita seperti itu.
Seperti orang yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Padahal aku ingin datang ke rumahmu secara baik-baik.
Bukan sekadar begini. Sekadar iseng-iseng kayak dagelan."
"Jangan" keluh Rosalina resah. Gelisah.
"Orang tuamu galak?"
"Tidak."
"Jadi kenapa?"- 209
"Tidak apa-apa."
Handrian mengembuskan napas keras-keras. Hatinya
jadi rusuh. Kacau-balau. Kecewa dengan kekerasan hati
gadis itu. Tapi ah, pesona gadis itu, keanggunan gadis itu
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah mengobrak-abrik perasaannya. Sekalipun kecewa, ia
tetap berkeinginan mendapatkannya.
"Baik. Kalau aku tidak kau ijinkan ke rumahmu tidak
apa-apa. Bagaimana kalau di sore yang cerah ini kita jalan
jalan? Sekadar mencari hiburan."
Rosalina diam. Tampak berpikir. Memang, hiburan
sangat dibutuhkan setiap insan. Kadang-kadang, ia jadi ingat
membicarakan yang diucapkan pada pria itu. Ya, kadang
kadang ia merasa amat membutuhkan hiburan. Dan ia
menimbang-nimbang, sanggupkah setiap manusia hidup
tanpa hiburan? Seperti apa yang selama ini dialami. Sudah
lebih dua tahun ia menjalani bantingan-bantingan hidup
yang getir. Tenaga dan pikirannya cuma terbelenggu oleh
sakitnya suami. Maka sepatutnya kalau ia sesekali mencari
hiburan. Melupakan sejenak kegetiran hidupnya. Tapi
dengan ajakan pria di sampingnya? Rosalina menghirup
udara sepenuh dada. Bimbang dan ragu.
"Mau ya? Kita nonton di theatre mobil."
Dengan ragu-ragu Rosalina mengangguk. Handrian
melompat girang seperti anak kecil. Rosalina tersenyum
melihat kelakuannya.- 210
"Kamu seperti anak kecil," kata Rosalina.
"Hatiku senang buuuangeeet!"
Handrian buru-buru membukakan pintu mobil.
Mempersilakan gadis itu duduk di jok depan. Men/usul dia
duduk di sampingnya. Kecerahan wajah Handrian seperti
cerahnya panorama sore yang disongsong senja temaram.
Dan dia melarikan mobilnya santai.
"Kalau malam, apa acaranya?" tanya Handrian sambil
mengendarai mobil.
"Di rumah saja."
"Sering nonton film?"
"Nggak."
"Sering jalan-jalan?"
"Nggak."
"Masak pacarnya nggak pernah mengajak pergi."
Rosalina diam.
"Sudah punya pacar?"
"Nggak."
"Waaah, jawabannya kok nggak melulu. Jadi
senangnya apa dong?"
"Di rumah saja."- 211
Handrian jadi gemas, tapi senang. Rambu lalu lintas
menyala merah. Mobil berhenti. Handrian memandang
gadis yang duduk di sampingnya. Namun yang dipandang
tenang-tenang saja. Wajahnya mengawasi lampu merah
yang sedang menyala.
"Kalau kau mengijinkan aku tahu rumahmu, aku juga
brtah main ke rumahmu. Tapi kau tak mau memberitahu,
jadi aku tak bisa main ke sana."
"Ah!" desah Rosalina.
"Biarlah tak apa-apa. Aku sudah cukup gembira dapat
mengajakmu pergi. Mudah-mudahan bisa menghilangkan
kebiasaanmu tinggal di rumah melulu. Sesekali pergi
bersamaku mencari hiburan.. Seorang gadis yang selalu
mengurung diri di rumah tanpa hiburan bisa lekas tua lho."
Suara klakson mobil yang di belakang saling
bersahut-tahutan. Rosalina jadi gusar. Dilihatnya lampu
rambu lalu lintas menyala hijau.
"Lampunya sudah hijau," kata Rosalina.
Handrian tersentak dan buru-buru melarikan
mobilnya. Mobil yang ada di belakang menyalip.
Pengemudikan menyemprotkan makian.
"Kalau pacaran jangan di tengah jalan. Nyong!"
teriak pengemudi itu.
"Biar monyong asal bahagia, monyet!" balas
Handrian sambil tertawa.- 212
Rosalina cuma melirik Handrian yang senyum
senyum.
Rembang petang menyelimuti alam semesta. Lampu
lampu di sepanjang jalan sudah menyala terang. Tapi
suasana pantai yang dilalui mobil Handrian remang-remang.
"Katanya mau nonton. Kenapa kemari?" tanya
Rosalina gelisah.
"Masih ada waktu setengah jam lagi. Kita bisa
pergunakan untuk ngobrol sambil menikmati rambang
petang di pantai."
Mobil yang dikemudikan Handrian berhenti di
pinggir pantai. Dia menarik napas lega. Menggeserkan
pantat agar tubuhnya menghadap gadis di sampingnya. Tapi
Rosalina menggeser tubuhnya. Merapat ke pintu mobil,
takut dijamah tangan pria itu.
"Takut denganku?" tanya Handrian lembut.
"Kira-kira begitu"
"Berarti kau menyangka aku tukang perkosa iya?"
"Bisa jadi, kalau lupa daratan."
Handrian tertawa kalem.
"Jika sama-sama mau, apakah itu bisa dikatakan
memperkosa?"
"Tapi aku tidak mau."- 213
"Aku pun tidak memaksa."
"Kita pulang saja."
"Eeeit, tunggu dulu. Sabar. Jangan lekas tersinggung
dan marah. Aku cuma bergurau. Sejak kita kenalan tak
pernah bergurau. Kau selalu diam kalau tidak diarak bicara.
Lantas bagaimana kita bisa bercanda?"
Rosalina menarik napas panjang. Menghirup udara
AC yang sejuk. Ucapan pria yang duduk di sampingnya
menyentuh kalbu. Bercanda? Ah, selama lebih dua tahun
hidupku selalu serius. Terlalu serius. Terasa meletihkan
tiada canda dan keceriaan. Tawaku cuma sekadar pelepas
kegetiran. Candaku cuma penghias kepalsuan. Padahal di
balik kenyataan, hidupku teramat menderita dan tersiksa.
"Kau senang dengan laut?"
Sebagai jawaban Rosalina mengangguk.
"Sering ke sini?"
"Tidak."
"Tapi pernah diajak pacar ke sini kan?"
Bola mata Rosalina yang bulat, bening dan berkilau
menatap Handrian. Tatapan yang tak menghendaki
pertanyaan pria itu diteruskan.
"Kita mau nonton atau ngobrol persoalan pribadi?"
suaranya tegas.- 214
"Ya, deh. Kita nonton sekarang." Handrian
menghidupkan mesin mobil dengan memutar kunci kontak.
Lalu dia meluncurkan mobil meninggalkan pesisir pantai.
Mobil-mobil berderet secara teratur menghadap layar
bioskop. Sepasang muda-mudi berpelukan di dalam
mobilnya masing-masing. Yang nampak berbeda cuma
Handrian dan Rosalina. Mereka duduk agak berjauhan.
Selang beberapa saat kemudian pertunjukan telah dimulai.
Rosalina terpaku diam menyaksikan pertunjukan itu.
"Senang film horor?" tanya Handrian.
"Yah." sahut Rosalina tanpa menoleh pria di
sampingnya. Pandangannya tertuju ke layar bioskop.
Pelan-pelan Handrian menggeser pantatnya. Biar
lebih dekat dengan gadis yang duduk di sebelahnya. Dan dia
pura-pura menggeliat sambil meletakkan tangan di sandaran
tempat duduk Rosalina. Sedang Rosalina dalam keadaan
tegang menyaksikan jalan ceritanya film horor itu. Tiba-tiba
ia terkejut. Rasa takut menguasai diri. Pada saat adegan yang
mengerikan Rosalina tanpa sadar menjatuhkan kepalanya di
bahu Handrian. Langsung saja Handrian memeluknya.
Seolah-olah melindungi dari rasa takut gadis itu.
"Aku takut," gumam Rosalina menutupi mukanya
dengan telapak tangan.- 215
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Itu kan cuma film,"
kata Handrian lembut. Mesra. Jari tangannya membelai
mesra rambut gadis itu.
Suara pria itu menyadarkannya. Suara itu bukan suara
suaminya. Lalu ia membuka telapak tangannya dan menatap
wajah Handrian. Wajah yang ditimpa cahaya remang
remang. Dan wajah itu sangat tampan, jauh bila
dibandingkan dengan wajah suaminya. Pelukan dan belaian
tangan pria itu telah menimbulkan letupan-letupan gairah.
Sehingga tubuhnya diserang dingin mendadak.
"Kenapa kau ajak aku nonton film yang
mengerikan?" suara Rosalina datar. Berusaha melepaskan
diri dari pelukan pria itu. Kendati ia merasa senang. Merasa
terlupakan kehampaan hidupnya. Terlindung dalam
kehangatan. Tapi Handrian malah mendekapnya, tak mau
melepaskan tubuh yang dingin itu. Dan Rosalina pun tak
kuasa berbuat banyak. Diam. Meresapi kemesraan yang
diberikan pria itu.
"Katanya kau senang film horor. Kenapa takut?"
"Tapi bukan yang mengerikan begitu."
"Film horor semua mengerikan, Manis."
"Ah," keluh Rosalina meronta manja.
"Lina," suara Handrian lembut. Mesra.
Rosalina tengadahkan muka. Memandang seraut
wajah pria yang tampan. Pria yang memeluknya dan- 216
sekaligus mampu menimbulkan pijar-pijar yang
menggemparkan jantung. Mampu membuat tak berdaya.
"Sejak bersua denganmu, perasaanku tak menentu.
Aku ingin selalu berada di sisimu," kata Handrian.
Tulusnya ucapan pria itu membuat Rosalina gelisah.
Bimbang. Muncul di hatinya perasaan bersalah dan dosa. la
merasa telah mengkhianati cinta suaminya. Memberikan
suatu harapan-pada pria lain, dan ini adalah awal dari suatu
bencana. Maka ia meronta dan melepaskan pelukan
Handrian.
"Kenapa, Lina?" tanya Handrian terheran. Rosalina
menggelengkan kepala. Gelisah dia. Rasa salah dan dosa
menguasai dalam dada.
"Ketahuilah, Sayang, perasaan yang bergetar dalam
dada, tak lain disebabkan aku membutuhkanmu.
Membutuhkan untuk saling mengerti, saling mempercayai
dan saling menyayangi."
Tak ada sahutan dari Rosalina. la tertunduk dam.
Sementara di dalam dada berkecamuk perasaan tak
menentu. Gelisah, resah, bimbang yang beraduk dengan
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segenap sel dalam tubuhnya yang menjerit. Menjerit minta
dibelai dan disayang. Menjerit lantaran nafkah batinnya
selalu tak terpenuhi. Dan kenyataan itu membuat jiwanya
terombang-ambing. Tangan pria itu merengkuh bahunya.
Dalam keadaan jiwa yang terombang-ambing itu, ia jadi
pasrah. Jadi penurut seperti anak kelinci. Sehingga ia tidak- 217
meronta manakala dipeluk erat pria itu. Dibelai rambutnya
penuh kasih sayang. Sebab kehangatan pria itu, kemesraan
pria itu, telah mampu mengisi kehampaan hidupnya.
"Lina, percayalah kepadaku! Aku tidak main-main
padamu," ujar Handrian sambil meraih dagu gadis itu.
Perlahan-lahan diangkatnya wajah cantik yang sepasang
bermata sayu, namun bingung. Gelisah, tapi pasrah. Lalu
wajahnya kian didekatkan ke wajah gadis itu. Semakin
dekat. Namun ketika bibirnya akan menyentuh bibir gadis
itu, tiba-tiba Rosalina memalingkan muka.
"Tak kau ijinkan aku menciummu? Tapi dari sorot
matamu, kau juga membutuhkan aku," kata Handrian.
"Masih banyak wanita lain yang lebih cocok
untukmu," suara Rosalina parau. Melepaskan pelukan kedua
tangan pria itu.
"Tapi perasaanku mengatakan cuma kau."
"Jangan ..." keluhnya.
"Kenapa jangan?"
"Jangan banyak bertanya tentang aku. Ini
permintaanku, bila kau masih ingin berkawan."
"Baik. Aku tidak akan bertanya soal pribadi-mu.
Sekalipun itu buruk, aku tetap memujamu. Tapi tolong
beritahu alamat rumahmu. Aku akan datang dengan
ketulusan hatiku," pinta Handrian penuh pengharapan.- 218
"Tidak akan ku beritahu."
"Aku jadi tak habis mengerti, kenapa kau
merahasiakan tempat tinggalmu. Kau seperti bidadari yang
hadir dalam mimpiku. Dan ketika aku terbangun hanya bisa
memujamu dalam angan-angan, merenungi kehadiranmu
yang seperti misteri."
"Itu memang lebih baik."
"Nampaknya kau tak serius."
"Bisa juga begitu. Terserah penilaianmu."
Handrian menarik napas berat. Kesal dia.
"Ternyata susah menyelami perasaanmu. Kalau
diteruskan bisa membingungkan. Lebih baik kita nikmati
pertunjukan film saja."
"Ya."
Tak terdengar lagi percakapan mereka. Selama
berlangsungnya pertunjukan itu Rosalina duduk tenang.
Sekalipun takut menyaksikan adegan yang mengerikan. Dia
cuma memejamkan mata.
Tidak menutupi mukanya atau menjatuhkan
kepalanya di pelukan pria itu. Sedang Handrian tak enak
duduk. Sebentar-sebentar mendesah, Lalu melirik gadis
yang duduk di sampingnya. Sungguh, baru kali ini dia
disiksa oleh gadis itu. Padahal biasanya, bila menghadapi
gadis lainnya, dalam suasana begini, serangan ciuman dan- 219
remasan hangat tak pernah berhenti. Dan sekarang, dia
cuma bisa mengeluh.
Pertunjukan usai. Rosalina melihat jarum jam
tangannya.
"Kita pulang yuk, hari sudah malam," ajaknya.
"Takut dimarahi orang tua?"
"Besok aku harus masuk kerja."
Nampak tak bersemangat Handrian memutar kunci
kontak. Setelah mesinnya hidup, dia meluncurkan mobil
meninggalkan arena theatre mobil. Mengemudikan
mobilnya pun tak bersemangat.
"Kita singgah di restauran, makan malam."
"Tidak usah. Nanti kemalaman, takut tidak ada bis
lagi."
"Aku antar sampai rumah."
"Jangan. Di terminal Senen saja."
"Tidak takut pulang sendiri?"
"Sudah biasa."
Pendirian gadis ini teramat kukuh. Sukar untuk
digoyahkan, pikir Handrian. Dia memikirkan bagaimana
caranya bisa meruntuhk m pendiriannya. Ini memang
memerlukan waktu yang tidak cepat. Biar perlahan-lahan- 220
tapi pasti. Dia bertekad ingin menundukkan gadis itu.
Bagaimanapun susahnya seorang playboy harus mampu.
"Di sini saja," pinta Rosalina ketika mobil yang
dikemudikan Handrian sampai di depan terminal Senen.
Mobil itu berhenti. Rosalina bergegas melangkah
turun.
"Terima kasih," ucapnya sembari mengayunkan
langkah di keramaian para penumpang yng sedang
menunggu kendaraan.
Handrian mengembuskan napas panjang lewat mulut.
Dan dia meluncurkan mobilnya, setelah Rosalina hilang dari
pandangannya.
***- 221
BAB VII
Di hari belakangan ini senyum selalu menghiasi
bibirnya. Wajah pun cerah setiap menginjakkan kaki di
kantor. Seperti waktu dulu Monika masih menjadi bunga di
ruangan kerjanya. Harumnya, keindahannya, juga
kelembutannya setiap saat bisa dicium atau diisap madunya.
Memang mengasyikkan. Dan kini ada penggantinya. Bunga
itu masih segar. Kalau sedang malu-malu bagai bunga lili
yang ditiup angin. Bergoyang-goyang. Menggemaskan.
Ketika handrian melintasi ruangan menuju kamar
direktur, seluruh karyawannya melempar senyum. Tak lupa
mengucapkan: "Selamat pagi. Pak." Belakangan ini
Handrian getol berangkat pagi. Menyebabkan karyawannya- 222
takut terlambat. Padahal dulu datangnya sekitar jam 10 atau
11 siang. Sejak adanya sekretaris baru, wah rajin sekali.
Handrian masuk kamar kerjanya. Fonny langsung
melempar senyuman disertai anggukan kepala.
"Selamat pagi. Pak."
"Pagi," sahutnya sambil melangkah menghampiri
meja. Tas Echolac ditaruh di atas meja. Lalu dia
menghenyakkan pantat di kursi direktur.
"Sudah lancar menangani pembukuan?"
"Sudah, Pak." Merekah lagi senyum di bibirnya.
Handrian memandang senyum sekretarisnya. Bibir
yang tipis terpoles lipstik itu sangat manis kalau tersenyum.
Bagaimana kalau dicium ya? Handrian jadi tersenyum
sendiri. Dan matanya berbinar-binar. Pancaran yang selalu
ada pada gadis bila sedang memandangnya. Tertarik melihat
ketampanan Handrian.
"Kalau ada yang belum mengerti tanyakan saja."
"Saya belum menemui kesukaran. Pak."
"Syukur. Barangkali soal di luar pembukuan?"
Fonny termangu memandang Handrian. Matanya
mengerjap-ngerjap sayu.
"Soal apa. Pak?"- 223
"Misalnya hubunganmu dengan pacar?" ujar
Handrian santai. Gaya playboy-nya beraksi, Gadis itu
tersenyum malu.
"Sudah punya pacar?"
"Sudah. Tapi putus."
"Kenapa putus?"
"Tidak ada kecocokan."
"Soal apa?"
Telepon berdering. Fonny segera mengangkat gagang
telepon itu. "Selamat pagi."
"Bisa bicara dengan Pak Handrian?"
"Dari mana?"
"Semarang."
"Tunggu sebentar!"
"Dari siapa?" tanya Handrian.
"Dari Semarang."
Handrian buru-buru bangkit menghampiri Fonny.
Sengaja dia tidak mengangkat gagang telepon di mejanya,
tapi mengambil dari tangan Fonny. Kulit tangannya
bersentuhan dengan kulit tangan Fonny yang halus.
"Hallo siapa nih?" tanya Handrian sambil
memandang Fonny.- 224
"Selamat pagi. Pak. Nampaknya sudah mendapat
sekretaris baru ya? Suaranya lembut dan merdu sekali. Pasti
orangnya cantik," suara sahutan itu tertawa ceria.
"Monika ya?"
"Betul, Pak. Saya boleh tahu nama sekretaris Bapak
yang baru?"
Handrian senyum-senyum. Fonny memperhatikan
senyum itu. Pandangan mereka beradu, dan Handrian
mengerdipkan mata sebelah. Fonny jadi tersipu.
"Namanya Fonny. Orangnya manis sekali," kata
Handrian sambil duduk di sandaran lengan kursi Fonny.
Tangannya sebelah kanan memeluk bahu gadis itu. Mesra
sekali. Fonny diam tertunduk malu. Wajahnya merah jambu.
"Yang rukun. Jangan dimarahi ya. Pak?"
"Itu jelas. Sayang. Aku akan memperlakukan dia
seperti kamu. Menyayanginya. Memanjakannya."
Monika tertawa.
"Ada apa. Sayang. Pagi-pagi sudah telepon?"
"Proyek listrik masuk desa sudah mulai dikerjakan.
Dan mengenai anggaran biayanya telah disepakati oleh
petugas setempat."
"Bagus. Lalu apa lagi. Sayang?"- 225
"Apakah saya bisa mengambil uang di bank? Sebab
kami harus mengeluarkan biaya untuk proyek ini."
"Dana di bank sudah tersedia. Kalau kamu merasa
membutuhkan sekali, untuk apa mesti ragu-ragu. Ambil
sesuai dengan kebutuhan. Toh itu untuk kelancaran proyek
kita. Okey?" tangannya membelai rambut Fonny mesra.
"Baik. Selamat berpacaran. Pak. Sekali waktu tengok
saya ke Semarang. Saya di sini kesepan."
"Tentu, Sayang. Daaaag."
Handrian menyerahkan gagang telepon pada Fonny.
Fonny menaruhnya ke induknya.
"Dari istri Bapak?" tanya Fonny.
Handrian tertawa kalem.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya masih bujangan. Manis! Yang baru menelepon
tadi adalah kepala cabang perusahaan kita yang ada di
Semarang. Dulu dia sekretaris di sini dan sekarang
digantikan kamu," kata Handrian sembari mengelus-elus
bahu gadis itu.
Dan Fonny malu-malu, tapi senang.
"Pak, malu kalau mendadak ada tamu," kata Fonny
manja.
"Tenang saja. Kalau ada tamu atau karyawan yang
masuk, pasti terlebih dahulu memberitahu lewat aiphone."- 226
"Tapi pekerjaan saya bisa terbengkalai."
Diciumnya rambut gadis itu. Bau wangi tersedot ke
hidungnya. Tak salah lagi rambutnya yang hitam setiap hari
dikeramas pakai samphoo itu. Lalu Handrian berdiri di
depan gadis itu. Pandangan matanya yang sayu membuat
Fonny yang terpana. Alangkah tampan dan simpatiknya
direktur muda ini. Tapi pacarnya juga segudang, pikir Fonny
sembari tersenyum.
"Kapan-kapan kalau ada waktu kita minum-minum di
restauran sambil ngobrol ya?" ajak Handrian lembut.
Fonny cuma mengangguk. Handrian kembali duduk
di kursinya. Keduanya sibuk menangani pekerjaannya.
Fonny mengetik dan Handrian meneliti laporan keuangan
perusahaan. Dalam kesibukannya, sekilas bayangan wajah
Rosalina singgah di benaknya. Gadis cantik yang anggun
penuh daya pesona. Alangkah kukuh pendirianmu. Bagai
baja yang sukar ditembus. Tapi aku tak akan mau menyerah,
sebelum bisa menundukkanmu.
Pintu ruangan itu terbuka. Muncul seorang gadis
berparas ayu. Fonny segera menyambut dengan senyuman.
Siapa lagi, pikir Fonny.
"Haaiii, Hilda! Sudah lama kita tidak bertemu," sapa
Handrian gembira.
"Sekretarismu baru ya?" balas Hilda sambil
melangkah.- 227
"Ya. Manis kan?"
Fonny tertunduk malu. Hilda tersenyum.
Menghenyakkan pantat di kursi yang berhadapan dengan
Handrian.
"Monika ke mana?"
"Dia sekarang jadi kepala cabang di Semarang.
Perusahaanku juga. Ngomong-ngomong ada kepentingan
apa nih?"
"Bisnis. Ayahku mendapat tender proyek di
Sumatera. Proyek perumahan untuk kalangan ABRI."
"Ya, aku tahu. Sudah sepantasnya kalau ayahmu
seorang ABRI berpangkat tinggi mendapat tender proyek
itu. Lantas bagaimana?"
"Cuma ayahku tidak tahu mengenai urusan yang
begituan, makanya aku punya inisiatif untuk bekerja sama
denganmu."
"Okey. Okey, sebaiknya kita bicara sambil minum
minum di restauran. Kebetulan tadi pagi aku tidak sempat
santapan pagi," ajak Handrian. Hilda bangkit.
"Fonny, kalau ada telepon beritahu, aku keluar
sebentar."
"Baik, Pak."
Handrian dan Hilda meninggalkan ruangan itu. Tidak
jauh dari kantornya, mereka singgah di restauran. Handrian- 228
senang makan di situ lantaran suasananya tenang. Enak
untuk ngobrol dan santai. Handrian langsung memesan dua
porsi sate kambing. Dia tahu selera Hilda sama.
"Ayahmu masih bertugas di Sumatera?"
"Masih."
"Dari mana kau tahu ayahmu dapat tender?"
"Tiga hari yang lalu dia pulang. Kebetulan ada
kepentingan dinas ke Jakarta. Cuma satu hari. Lalu omong
punya omong, dia mengemukakan proyek itu."
"Kau ada minat nggak kerja sama denganku?"
"Jelas minat sekali."
"Syukur. Bagaimana keadaan pacar-pacarmu? Masih
terus digalakkan?"
Handrian senyum-senyum.
"Kamu ini kapan bosan pacaran? Kerjaannya dari
sejak SMA pacaran melulu. Ada pacar yang baru lagi?"
sindir Hilda sembari senyum-senyum.
Pertanyaan Hilda mengingatkan Handrian pada
Rosalina. Dia merasa perlu bertukar pikiran dengan Hilda.
Kebanyakan wanita perasaannya tidak jauh berbeda.
Apalagi soal cinta.
Pelayan restauran mengantarkan pesanan Handrian.
Bau lezat sate kambing merangsang gairah napsu makannya.- 229
Langsung saja hidangan di atas meja disantapnya bersama
Hilda.
"Aku punya kenalan baru. Banyak hal yang berbeda
antara gadis itu dengan seluruh koleksi pacarku. Dia cantik,
anggun, wajahnya teduh seperti dewi. Aku telah dibuatnya
mabok kepayang," katanya sambil mengunyah sate.
"Di mana letak bedanya?"
"Banyak sekali. Mau dibilang angkuh, tapi mau
kuajak pergi. Mau dipeluk dan disayang, tapi tidak mau
dicium."
"Itu namanya jinak-jinak merpati. Masak seorang
playboy macam kamu tidak punya kamus?" kata Hilda
sembari tertawa.
"Ah, kampungan mesti pakai kamus. Dia bukan jinak
jinak merpati, tapi terlalu kukuh pendiriannya. Ibarat
rembulan nampak dekat, namun sukar diraih tangan.
Jelasnya aku tak bisa menarik kesimpulan."
"Kau kenal dia sudah lama?" "Lebih kurang dua
minggu." "Pantas, masih baru."
"Kau kan tahu, kalau aku baru kenal cewek langsung
lengket. Seperti amplop dengan perangko. Sekali jilat
langsung lengket. Tapi yang satu ini susahnya minta
ampun," sambil bicara menyanatap hidangan.
"Setiap gadis sifatnya lain-lain. Kau sudah bisa
dibilang selangkah berhasil bisa mengajak gadis itu pergi.- 230
Dan selama dia masih mau menjawab pertanyaanmu, itu
berarti ada harapan. Kalau dia menolak, dia akan membisu
seribu basa. Masih perlu diajari juga nih playboy. Apa mau
dipensiunkan jadi playboy-nya?"
"Dengkulmu! Sekarang kalau dia tidak mau jujur
mengutarakan pribadinya bagaimana?"
"Wah, itu tidak baik."
"Dan tidak mau memberitahu rumahnya bagaimana?"
"Lebih-lebih tidak baik."
"Makanya jangan bilang mau pensiuni aku jadi
playboy."
"Jadi kalau ketemu di mana?"
"Di halte bis kota."
"Wah, tambah tidak baik. Dia berarti perempuan
jalanan."
"Jangan cuma bilang tidak baik melulu. Kasih dong
jalan keluar yang baik," gerutu Handrian.
Tenggorokannya seret, lalu dia meneguk minuman
teh es.
"Sekarang aku mau bertanya, dan jawabanmu harus
jujur."
"Okey."- 231
"Kau pertama kenal di mana?"
"Di sebuah halte, di suatu sore yang cerah."
"Dia masih sekolah?"
"Tidak."
"Kuliah?"
"Tidak."
"Bekerja?"
"He?eh." Handrian mengangguk.
"Kerja di mana?"
"Salon kecantikan."
"Tidak salah lagi!" tukas Hilda begitu yakin.
"Apanya?"
"Dia cuma pura-pura sok alim. Sok suci. Aku kan
tahu gadis-gadis salon kecantikan itu bagaimana? Dan kau
juga mestinya tahu. Kau sering keluyuran dengan gadis
gadis begitu. Pokoknya, di mana kalau seorang gadis
merahasiakan tempat tinggalnya, ada sesuatu yang tak beres.
Atau memang dia gadis jalanan. Itu saja."
"Sikap dan penampilannya tidak mencerminkan gadis
murahan."
"Itu bisa jaja. Apa susahnya pura-pura jadi orang baik
dan suci? Setiap gadis aku rasa bisa melakukannya.- 232
Termasuk aku yang sok alim di rumah, tak tahunya gadis
pesta. Bukan begitu, Han?"
"Aku jadi tambah bingung."
"Jangan bingung. Kalau kau suka padanya, harus
berusaha sampai dapat. Tapi ingat saranku, jika kau
kelihatan terlalu mengejarnya, gadis itu akan lari. Jangan
terlalu sering ditemui. Kau pura-pura acuh saja. Acuh-acuh,
tapi butuh. Sebab kalau kau memperlihatakan sikap
memburu, terlalu mencintainya, dia akan tambah jual mahal.
Bisa-bisa kau disuruh mencium ujung kakinya. Paham?"
Handrian menarik napas berat.
"Dia terlalu mempesona," gumamnya.
"Pujianmu yang begitu sering kudengar, bila kau
sedang memburu perempuan. Sudah bosan mendengarnya."
"Tapi yang satu ini melebihi segalanya."
"Wah, bisa sinting kau."
"Kayaknya sih begitu."
"Langsung pensiun jadi playboy."
"Sial kau! Lagi-lagi soal pensiun," ketus Handrian
sambil tertawa.
"Yang perlu kau perhatikan, perasaan perempuan
sangat peka dan halus. Maka jangan kau tanyakan berapa- 233
umurnya, berapa anaknya atau berapa suaminya.
Mengerti?"
Handrian tertawa ngakak.
***
Handrian melangkah turun dari mobil. Pintunya
diempaskan, lalu mengayunkan langkah menuju ke teras
rumah. Mulutnya yang sedikit monyong mengeluarkan
siulan lagu "Love Story". Walau dia nampak letih, tapi
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya kelihatan cerah. Secerah sore itu.
Jangan bingung. Kalau kau suka padanya, harus
berusaha sampai dapat. Itulah saran Hilda. Dan saran .itu
masih terngiang di telinganya. Menyebabkan semangatnya
tambah menggebu-gebu. Membuat wajahnya cerah dan
bersiul-siul gembira. Aku harus bisa menundukkan gadis
itu, pikirnya. Walau dengan cara apa pun. Belum puas
rasanya kalau cuma basa-basi. Harus. Harus! Harus dapat
mencium bibirnya. Kalau berhasil menciumnya, berarti
sudah dapat meluluhkan pendiriannya yang kukuh. Bisakah
begitu? Harus yakin, bisa.
Langkah Handrian terhenti di ruang tengah. Di
ruangan itu nampak Hendra dan Lila selaku orang tuanya
sedang duduk santai.- 234
"Selamat sore, Papa ... Mama," sapanya Langkahnya
terayun mendekati kedua orang tuanya itu.
Hendra dan Lila menyambut dengan senyum
gembira.
"Duduklah dulu, Han! Papa mau bicara denganmu,"
kata ayahnya.
Handrian melegakkan pantatnya di kursi. Berhadapan
dengan kedua orang tuanya. Lalu melepas sepattu dan kaos
kakinya. "Soal apa, Pa?"
"Banyak kemajuan yang kau peroleh selama ini?"
"Begitulah, karena sudah membuka kantor cabang di
Semarang."
Seorang pelayan perempuan setengah baya mendekat.
Lalu meletakkan secangkir kopi di meja. Di depan Handrian.
Dia berlalu sambil membawa sepatu yang baru dilepas tuan
mudanya.
Sepasang suami-istri itu merasa bangga atas
keberhasilan yang dicapai putranya. Hendra dan Lila saling
bertukar senyum.
"Tapi rasanya papa dan mamamu belum puas, kalau
cuma bisnismu saja yang berhasil" kata Hendra.
Handrian termangu. Dia belum paham kemau-an
orang tuanya.
"Apa yang dikehendaki papa dan mama?"- 235
"Berapa lama lagi kau mau hidup membujang, Han?
Kau sudah saatnya menentukan calon pendamping
hidupmu. Papa dan mamamu sudah kepingin menggendong
cucu!" ujar Hendra sambil terkekeh.
Handrian senyum-senyum.
"Aku sendiri masih bingung, Pa. Gadis mana yang
pantas dijadikan calon istriku. Sebab belum menemukan
pilihan yang tepat."
"Lantas mengenai Winda sahabat adikmu itu
bagaimana?"
"Ini usul Papa atau Rini?" balas Handrian.
"Ya menurut penilaian kami, dia serasi untuk menjadi
calon istrimu."
"Waah, ini pasti Rini yang punya kerjaan. Mentang
mentang Winda sahabatnya terus disusulkan supaya
kujadikan calon istri."
"Bukan begitu, Han." Ibunya ikut menimpali. "Antara
keluarga kita dengan keluarganya sudah seperti saudara.
Alangkah baiknya kalau persaudaraan itu jadi resmi."
"Rini mana, Ma?" tanya Handrian gemas juga.
"Sedang pergi sama Winda."
"Winda dan gadis yang kukenal lainnya, tak lebih dari
teman untuk berkencan. Jadi hasrat untuk bersungguh
sungguh belum terpikirkan."- 236
"Kelakuanmu jangan seperti masa muda papamu.
Sering mempermainkan perempuan-perempuan. Segala
macam perempuan cantik dipacarinya. Yang keturunan
Belanda, Arab, Cina, semua bangsa ada!" damprat Lila
kesal.
Hendra dan Handrian tertawa.
"Itu kan dulu, Ma. Masa lalu tak perlu diungkit
ungkit."
"Tapi kita punya anak gadis lho, Pa. Kalau Handrian
suka mempermainkan perempuan, yang ditakutkan jangan
jangan Rini kena getahnya."
"Sabar Ma! Pilihanku pasti akan berkenan di hati
papa dan mama," ujar Handrian. Lalu dia meneguk kopi
yang disediakan untuknya.
"Benar juga nasehat mamamu, Han. Ubahlah
kelakuanmu itu."
"Tentu, Pa. Jangan kuatir! Suatu saat nanti, aku akan
membuat surprise. Pilihanku benar-benar kejutan." Sekilas
Handrian membayangkan wajah Rosalina yang cantik dan
anggun. Wajah yang kelak akan menjadi seorang istri, juga
seorang ibu yang baik.
Ketika Rosalina keluar dari pintu salon dan berjalan
menuju ke halte, dia melihat Handrian berdiri di sana. Di
bawah atap halte. Pria itu sudah berdiri menunggu. Dan
hatinya jadi resah. Kehadiran pria itu membuat Rosalina- 237
bingung. Apalagi pelukan lengannya yang begitu hangat,
mesra dan menggemparkan jantungnya masih terasa di bahu
Rosalina.
Langkahnya terayun lunak. Gemulai. Tapi hatinya
resah, jantungnya berdebar-debar. Tahun-lahun yang telah
dilaluinya ia tak ingin berdekatan dengan pria mana pun.
Untuk mempertahankan pendiriannya tidak gampang
menaruh simpati, apalagi jatuh cinta pada pria lain. Dan
selama ia bekeraja di salon, memang belum pernah terkecoh
hatinya. Menjauhi para pria yang mengejarnya.
Menawarkan sejuta kebahagiaan dan kekayaan. Termasuk
kawan usaha Lili yang selalu mencari kesempatan untuk
menggoyahkan ketabahan hatinya.
Masa dua tahun yang getir adalah hal yang tak
terduga. Dan kehadiran pria itu dalam hidupnya merupakan
keresahan panjang, la tak ingin mengalami kejadian yang
tak terduga lagi. Sebab hal yang tak terduga adalah bencana.
Mungkin getir. Mungkin siksaan batin yang
berkepanjangan. Mungkin penderitaan yang tak terperikan.
Ya, semua itu telah singgah dalam hidupnya. Keluh gadis itu
sembari melangkah.
Senyum pria itu menyambutnya mesra.
"Kenapa wajahmu murung, Lina?" tegur Handrian
lunak.
Rosalina menghentikan langkah di sebelah pria itu.- 238
"Tidak kenapa-kenapa."
"Barangkali dengan mencari hiburan, wajahmu akan
kembali ceria. Seperti keceriaanmu tempo hari."
Jantung Rosalina menggelepar. Denyutnya tidak
teratur. Sebab ingat kemesraan dan belaian kasih sayang pria
itu. Betapa meresap di dalam kalbunya. Dapat melupakan
bantingan-bantingan penderitaan dan kehampaan hidupnya.
"Kita jalan-jalan lagi ya?" ajak Handrian setengah
membujuk.
Rosalina menimbang-nimbang. Wajahnya yang
tertunduk perlahan-lahan terangkat, lalu bola matanya yang
bening memandang pria yang berdiri di sebelahnya. Bibir
pria itu mengembangkan senyum. Matanya yang sayu terasa
menyejukkan dalam kalbu.
"Mau ya?" desak Handrian.
Rosalina mengangguk. Handrian langsung
menggandeng tangan Rosalina mendekati mobil.
Genggaman tangan pria itu menggetarkan kalbu. Dan
senyum pria itu begitu kalem di saat meluncurkan mobilnya.
Rosalina cuma menarik napas berat. Kenapa ketabahan
hatinya telah goyah menchadapi pria itu? Kenapa aku bisa
menghindari pria lainnya, tapi menghadapi pria ini tak
mampu? Aku bisa menolak setiap ajakan pria lain, namun
tak mampu menolak ajakannya? Jawabnya cuma helaan- 239
napas panjang. Pada sisi-sisi helaan napas ada keresahan dan
tiada daya.
"Senang kerja di salon?" pertanyaan Handrian
memecah kebisuan.
"Ya."
"Tentu banyak kenalan."
"Ya."
"Biasanya tamu yang datang genit-genit."
"Ya."
"Dan sikap kamu melayani bagamimana?"
"Biasa."
"Biasa itu bisa diinterpretasikan macam-macam. Bisa
buruk, bisa baik."
"Terserah penilaianmu."
"Waah, berat," keluh Handrian.
"Ya sudah. Makanya jangan tanya lebih banyak soal
pekerjaan."
"Tapi kau boleh banyak bertanya soal pekerjaanku.
Aku akan jawab secara jujur dan gamblang."
"Aku tidak punya keinginan untuk mengetahui
keadaanmu. Cukup kuketahui dari apa yang kulihat saja.
Kau seorang intelek, kaya dan terhormat."- 240
Handrian tersenyum. Melirik pada gadis yang duduk
di sampingnya. Tapi yang dilirik sedang memperhatikan
gedung-gedung pencakar langit. Gedung yang melintas
mundur dengan cepat karena dilalui mobil yang ditumpangi
Rosalina.
"Tidak ingin tahu pribadiku yang bejat?"
"Selama kau bersikap baik kepadaku, aku akan
menganggap kau baik."
Handrian mendecap-decap kagum. Kepalanya
tergeleng-geleng.
"Aku kagum dengan cara berpikirmu."
Bibir merah yang halus bagai kelopak mawar itu
tersenyum. Senyum itu sangat disukai Handrian. Karena ada
daya magnetnya. Setiap pria ingin menciumnya. Termasuk
dia. Gemas melihatnya.
"Kita mau ke mana, Han?" tanya Rosalina. Suaranya
merdu.
"Nonton di New Garden Hall."
"Kalau filmnya kayak kemarin aku nggak mau,"
suara Rosalina manja.
"Enakan kayak kemarin," kata Handrian senyum
senyum.
"Nggak ah!"- 241 Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti kalau takut peluk saja aku!"
Wajah Rosalina di bagian pipi jadi merah jambu. Dan
Handrian makin gemas kalau di kedua pipi gadis itu merah
jambu. Kepingin dia mencium pipi itu. Tapi kapan? Harus.
Harus. Harus bisa kucium pipinya malam ini juga. Dari pipi
terus ke bibirnya yang halus dan indah itu.
"Tenang saja, filmnya drama percintaan kok."
"Ya, aku baca iklannya di surat kabar tadi."
Sampailah mereka ke halaman parkir bioskop. Turun
dari mobil, Handrian tak membiarkan tangan gadis itu
melambai hampa. Digandengnya tangan itu sembari
diremas-remasnya mesra. Langkah mereka terayun menuju
loket. Handrian melihat pancaran mata orang di sekitarnya.
Pancaran yang serupa, mengagumi kecantikan Rosalina.
Dan kedua insan itu adalah pasangan yang ideal. Prianya
tampan, wanitanya cantik.
Handrian tak membiarkan Rosalina jadi perhatian
orang. Cukup dirinya saja yang memperhatikan Rosalina.
Maka diajaknya Rosalina masuk ke gedung bioskop. Di
lantai atas mereka duduk. Sengaja dimintanya tempat duduk
di sudut, supaya rencananya tidak gagal.
Lampu di ruangan bioskop padam. Suasananya jadi
semakin romantis. Handrian juga mulai romantis karena
tangannya memeluk bahu Rosalina. Rosalina diam, tapi- 242
ujung kedua kakinya dingin. Gemetar. Letupan-letupan
gairah menerjang bila dalam pelukan Handrian.
"Lina, apakah pergaulan kita hanya sekadar kencan?"
suara Handrian lembut di dekat telinga Rosalina.
"Aku rasa lebih baik begitu."
"Kenapa, Sayang?" Jari tangan Handrian meremas
remas jari tangan Rosalina.
"Seperti pernah kau katakan, kita hanya saling
membutuhkan."
"Apa yang kau butuhkan dariku?"
"Teman yang baik dan sehati." Rosalina menjawab
sambil memperhatikan layar bioskop. Adegan sepasang
remaja yang saling bertemu di stasiun kereta api.
"Tidak lebih dari itu?"
"Ya."
"Tapi aku membutuhkan kau untuk kumiliki."
Rosalina mengalihkan pandangan dari layar j bioskop
berpindah ke wajah Handrian yang begitu i dekat. Nyaris
hidung Rosalina bersentuhan dengan hidu.ig pria itu.
Dengan bola yang bening, ditatapnya dalam-dalam wajah
Handrian. Perasaannya berdebar-debar.
"Carilah gadis lain yang pantas untuk kau miliki."
"Yang kuinginkan cuma kau seorang."- 243
Dan adegan di layar bioskop sepasang remaja sedang
bercumbu. Berkasih-kasihan. Tapi adegan itu tak menarik
perhatian Handrian. Bukan lantaran dia sering
melakukannya pada gadis-gadis, melainkan jantungnya
berdebar-debar. Debaran semacam ini tak pernah dirasakan
bila menghadapi gadis lain. Hanya menghadapi Rosalina
jantungnya seperti meloncat-loncat. Sedang Rosa
lina mengalami hal yang serupa. Tubuhnya gemetar.
Darahnya mengalir mendesir di jantung. Hangatnya napas
pria itu bagai membelai kulit wajahnya. Sentuhan lembut
jari tangan Handrian memegangi dagunya.
Dan pipi mereka bergesekan pelan. Hati-hati sekali.
Hidung Handrian mencium pipi Rosalina, terus bergeser
pelan ke samping. Dan Rosalina terperangah. Rosalina
merasa bulu romanya merinding, ketika bibir pria itu
menyentuh bibirnya. Kehangatan mulai dirasa dari lumatan
lembut bibir Handrrian. Rosalina semula ragu-ragu
membalas, tapi kemudian ia hanyut. Tak membiarkan
kenikmatan cuma tertinggal dalam sepi. Maka dibalasnya
lumatan itu. Semakin hangat sampai ia lupa diri. Seperti
seorang musafir yang terdampar di padang pasir tiba-tiba
mendapatkan air. Dalam dahaga diteguknya air sepuas
puasnya.
Dan remasan tangan pria itu, oh ... tubuh Rosalina
menggelinjang. Pori-pori di sekujur tubuhnya menguapkan
sari-sari berahi. Sampai begitu lama dua insan itu terhanyut- 244
ciuman yang menggairahkan. Ketika bibir mereka terpisah,
napasnya terengah-engah bagai berlari jauh.
Rosalina langsung menyembunyikan wajah di dada
Handrian. Wajahnya merona merah. Sementara gairah
napsu meletup-letup dalam dada. Belaian tangan Handrian
semakin melelapkan.
Dan Handrian tak membiarkan waktu berlalu tanpa
kehangatan. Kembali dihujani ciuman bibir gadis itu.
Remasan dan pilihan jari tangannya menjalari bagian
bagian yang peka di tubuh Rosalina. Rosalina jadi seperti
cacing kepanasan. Desah dan rintihannya tersekap karena
bibir Handrian tak mau lepas. Seandainya. Seandainya ada
orang duduk di sebelahnya, pasti akan memaki-maki atau
bila perlu dilempar sepatu. Untung saja penonton di lantai
atas sepi. Cuma empat gelintir manusia.
Semakin hangat. Semakin panas darah yang berdesir
di tubuh mereka. Keagresipan Rosalina membakar berahi
Handrian. Maka dengan lembut Handrian membisikkan
ajakan ke telinga Rosalina.
Rosalina tersentak, la seperti sadar. Buru-buru ia
melepaskan diri dari pelukan pria itu.
"Jangan anggap aku wanita jalanan. Meskipun kita
bertemu dan berkencan di jalanan," kata Rosalina dengan
napas terputus-putus.- 245
Handrian jadi tercenung. Sesaat dia diam tak tahu apa
yang musti diperbuat. Lalu dia berkata dalam desah
penyesalan.
"Maafkan aku, Lina. Semua ini karena gejolak
perasaanku yang tak terkendali. Aku menyesal punya niat
mengajakmu ke hotel."
Rosalina tertunduk sedih.
Setitik air mata jatuh di pipinya.
***- 246
BAB VII
Suasana rumah itu masih seperti dulu. Cuma ada
sedikit perubahan keadaan. Di ruang tamu ada kursi dan
meja tamu walau modelnya kuno. Dan beberapa perabotan
rumah tangga lainnya yang serba sederhana. Belum terlihat
adanya kemajuan yang menyolok. Suasana rumah yang sepi
hanya dihiasi suara mesin tik yang bertalu-talu. Mengisi
keheningan malam di rumah itu.
Malam. Beberapa hari ini Rosalina selalu pulang
malam. Ada kesibukan apa lagi dia? pikir. Gunawan.
Sejenak jari tangannya berhenti memukul huruf-huruf mesin
ketik. Dan matanya memandang jarum jam beker yang
berdiri di atas meja. Dia mendesah. Lalu menggelindingkan- 247
kursi rodanya meninggalkan kamar. Rasa jenuh mulai
hinggap pada semangatnya.
Maka dia duduk merenung di ruang tamu. Menyedot
rokoknya sampai kedua pipinya nampak kempot. Wajahnya
pun kini sudah mulai ada keriput-keriput di bawah mata.
Nampak semakin tua, karena direjah keputus-asaan dan
kemurungan. Rasa gundah dan kegelisahan menyergap
nyergap di dalam dada. Lalu dia menyambar tongkat yang
tersandar di dinding. Hanya dengan menggunakan tongkat,
lalu berjalan mondar-mandir akan bisa mengurangi siksaan
batinnya.
Dengan tersaruk-saruk pincang lelaki itu berjalan
mondar-mandir di ruang tamu. Tidak sia-sia jerih payah
Rosalina selama dua tahun, ia melatih Gunawan sampai
akhirnya dapat berjalan. Meskipun tidak seperti lelaki yang
normal. Tapi hal itu sudah dapat menggembirakan hatinya.
Dan semangat Gunawan jadi menggebu-gebu.
Memuji kesetiaan istrinya yang begitu tabah
menghadapi penderitaan. Tanpa kesetiaan wanita itu,
barangkali dia sudah nekat untuk mati. Dia mencintai
Rosalina dengan segenap jiwanya. Dia tak akan bisa hidup
tanpa Rosalina. Kesetiaannya, kecantikannya, bahkan
kemarahannya, semuanya itu sudah terpateri dalam jiwanya.
Dia memahami kalau Rosalina kadang-kadang
marah. Sebab Rosalina terlampau letih menjalani hidupnya.
Pekerjaaan yang dirasa menjenuhkan dilakukan istrinya- 248
setiap pagi dan sore harus memandikan, menyiapkan
pakaian, membantunya memakai celana.
Tapi dua minggu terakhir ini Rosalina sering pulang
malam. Dan itulah yang membuat Gunawan gelisah. Ada
perubahan apa yang terjadi dalam hidupnya? Pikir Gunawan
setengah curiga.
Suara ketukan pintu menyentakkan Gunawan. Dia
menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu
terdengar lagi. Semakin keras
"Siapa?!" tegur Gunawan.
"Lina, Mas."
Gunawan menyeret kedua kaki palsunya untuk
melangkah. Didekatinya daun pintu dan dibukanya.
Rosalina melangkah masuk. Gunawan menutup lagi daun
pintunya.
"Pulang malam dari mana, Lin?" tanya Gunawan
sembari melangkah. Rosalina membantu suaminya
mendekati kursi roda. Lalu Gunawan duduk keletihan di
kursi roda itu. wajahnya dibasahi keringat.
"Pekerjaan di salon banyak. Mas." Rosalina berdusta.
Hatinya perih.
"Pekerjaan apa?" suara Gunawan dingin.
"Dalam rangka kontes ratu kecantikan. Aku
membantu merancang busananya," kata Rosalina berdusta- 249
lagi. Semakin ia berdusta pada suaminya, semakin pedih
hatinya. Tapi tak ada cara lain. Tak ada jawaban lain. Kalau
ia berterus-terang, pasti perasaan suaminya akan tersayat.
Lalu ia mendorong kursi roda yang diduduki suaminya.
Menuju ke kamar yang suasananya hampa. Tidak ada gairah
kehangatan.
Rosalina menghenyakkan pantat di pinggir tempat
tidur. Lalu melepaskan sepatunya. Ketika ia mengulum
bibirnya, masih terasa hangat bekas lumatan Handrian. Ah,
terlalu. Sungguh terlalu pria itu, keluh Rosalina dengan
berusaha melupakannya. Lalu ia memandang suaminya
yang duduk di kursi roda. Perasaan bersalah dan iba
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalut hatinya.
"Sore tadi kau sudah mandi, Mas?"
Gunawan menggelengkan kepala lesu.
"Sekarang mandi pakai air hangat ya?"
"Sudah malam."
"Dibasuh dengan handuk saja."
"Tidak."
Rosalina mendesah. "Masih mau ngetik lagi?"
"Ya."
Rosalina mendekati suaminya. Dielus-elusnya bahu
Gunawan penuh kasih sayang. Seperti perlakuan seorang ibu
pada anaknya.- 250
"Istirahat saja. Mas. Badan yang terlalu di-forsir bisa
jatuh sakit" tutur Rosalina lunak.
"Tergantung. Sedikit lagi naskahnya selesai."
Gunawan menggelindingkan kursi rodanya mendekati meja.
Rosalina ikut membantu mendorongnya.
Gunawan meneruskan pekerjaannya. Rosalina
membuatkan secangkir kopi untuk suaminya. Setelah itu ia
berbaring di atas tempat tidur melepas lelah. Urat-uratnya
yang kejang mulai mengendur, la memandang langit-langit
kamar. Dan bayangan wajah Handrian yang tampan muncul.
Senyumnya yang kalem. Matanya yang lembut dan sayu.
Dan ciuman pria itu. Dan remasan serta pilinan tangan pria
itu, ah... betapa nakal. Betapa menggairahkan. Tapi Rosalina
buru-buru membuang bayangan pria itu. la memejamkan
matanya rapat-rapat.
Suara ketukan mesin ketik bertalu-talu di kesunyian
malam itu. Sementara Rosalina yang berbaring di atas
tempat tidur membolak-balikkan badan, la gelisah. Gundah.
Sisa-sisa letupan berahi masih meloncat-loncat di dalam
dada. Cumbu rayu Handrian di gedung bioskop tadi,
menyebabkan Rosalina tak dapat tidur.
"Mas Gun!" suara Rosalina dalam rintihan.
Gunawan menoleh ke arah istrinya yang berbaring di
atas tempat tidur. Dia memandang tangan Rosalina yang
menggapai-gapai. Meminta agar segera tidur di sisinya.
Meminta dicumbu dan disayang. Menyebabkan perasaan- 251
Gunawan jaiii iba. Dia menghentikan pekerjaan mengetik
dan berbaring di sisi istrinya.
Rosalina langsung memeluk suaminya. Sedang
Gunawan yang kini nampak dingin, kehilangan gairah,
cuma bisa merenungi langit-langit kamar. Kulit pipi mereka
bergesekan. Dan ada jalaran halus yang menggelitik berahi.
"Mas ciumlah aku! Aku rindu dengan ciumanmu
yang hangat," pinta Rosalina mengeluh.
Gunawan menarik wajah Rosalina dan diciumnya
penuh cinta. Dengan hangatnya Rosalina membalas ciuman
itu. Jiwa yang sudah lama merindukan kehangatan dari
orang yang dicintainya Maka keagresipannya menyentak
nyentak. Bagai kuda teji yang binal. Dan sel-sel dalam
tubuhnya dilibat berahi yang panas.
"Aku ingin lebih, Mas," rintihnya terengah-engah.
Lelaki itu berusaha sekuat tenaga. Berusaha agar
dapat menuruti kehendak istrinya. Berusaha melawan
kenyataan yang dialami. Namun pada detik-detik Rosalina
sangat membutuhkan, ternyata Gunawan tak mampu
melakukannya.
"Tidak bisa, Lina. Aku tidak mampu melakukannya,"
keluh Gunawan lemah. Dan dia menghentikan segenap
belaiannya. Tidur di sisi istrinya sambil merenungi
kegetiran.- 252
Dengan penuh kecewa Rosalina menyambar selimut,
la menyelimuti dirinya sampai batas leher. Lalu ia
membalikkan badan memunggungi Gunawan. la teramat
kecewa. Dan ia menangis terisak-isak. Tersedu-sedu.
"Kau bosan hidup begini?" tanya Gunawan lemah.
"Sudah sekian lama aku butuh pelampiasan. Mas.
Aku perempuan biasa, dan sebagai seorang istri ingin
kebutuhan nafkah batin," kata Rosalina kesal di antara sedu
dan isak tangis.
"Kau benci padaku?"
"Tidak. Aku tetap menyayangimu. Kalau tidak,
mengapa aku tetap hidup bersamamu. Hanya sebagai
perempuan normal, aku membutuhkan pelampiasan."
Mereka diam. Isak dan sedunya tangis Rosalina yang
mengisi keheningan. Gunawan memegangi bahu Rosalina.
"Lina, apakah cinta itu harus diperlambangkan
dengan seks? Apakah perkawinan akan hancur apabila
seksnya terganggu? Lemah seperti aku?" Gunawan bertanya
dengan suara parau.
"Cinta adalah cinta. Tapi dalam perkawinan tidak
hanya cukup dengan cinta. Banyak hal yang dituntut dalam
perkawinan dan menjalani hidup berumah tangga," kata
Rosalina di tengah sedunya. "Aku percaya pada cintamu.
Pengorbananmu tak kecil artinya buat hidupku."- 253
"Dan cintamu telah berubah? Apakah sekarang
cintamu telah berubah?" suara Gunawan hati-hati sekali.
"Tidak. Aku akan tetap setia hidup di sampingmu."
"Oooh Lina, kenapa takdir menghendaki begini?
Padahal aku ingin sekali membahagiakan hidupmu lahir
maupun batin," keluhnya. Setitik air mata jatuh membasahi
pipinya.
Rosalina jadi terharu mendengar ketulusan ucapan
suaminya, la membalikkan badan dan memeluk Gunawan.
Kedua insan itu saling berpelukan. Sama-sama menitikkan
air mata. Hanya itu akhir dari cumbu. Cuma kesedihan
semata.
***
Matahari baru muncul di ufuk timur. Awan di langit
terus menyisih digusur angin. Berarak menjauhi matahari
yang mencorongkan sinarnya ke permukaan bumi. Dan
Handrian juga baru muncul di halte pagi itu. Tegak berdiri
bagai tugu Monas di tengah keramaian kota. Cuma
keramaian penghuni kota Jakarta pagi ini, jauh berkurang
dibandingkan hari-hari biasa. Soalnya ini hari Minggu. Hari
libur.
Entah sudah berapa banyak bis kota lewat. Entah
berapa kali dia melihat gadis yang turun dari bis kota. Sudah- 254
sukar untuk menghitungnya, lantaran saking banyaknya.
Dan gadis yang dinantikan belum jua muncul. Dia rindu
pada gadis itu. Sudah lima hari dia tak bertemu. Sibuk
mengurus pekerjaan proyek hasil tender ayah Hilda.
Hasilnya memang memuaskan dan lancar. Untuk
mensyukuri usaha kerja sama itu, Hilda menyelenggarakan
pesta di villanya.
Kalau saja dia tidak merahasiakan rumahnya,
barangkali aku tidak perlu bersusah-susah seperti ini. Berdiri
menunggu di halte. Letih mengawasi bis kota yang lewat.
Pegal biji mata memperhatikan setiap gadis yang turun dari
bis kota. Sungguh, baru kali ini aku jadi budak cinta. Kalau
biasanya gadis-gadis mengejarku, tapi kini aku mengejar
Rosalina. Cih! Memalukan. Seorang direktur muda yang
jenius, seorang playboy intelek, kini cuma berdiri menunggu
seorang gadis di halte.
"Ah, persetan! Kalau hati sudah terpaut mau
apalagi?" Desah Handrian kesal. Sebuah bis kota berhenti
menurunkan penumpang. Yang turun kali ini Rosalina.
Kegembiraan meledak di dalam dada Handrian. Buru-buru
dihampirinya Rosalina yang mengayunkan langkah menuju
salon.
"Linaaa!"
Rosalina menghentikan langkah. Termangu
memandang Handrian yang berdiri di depannya.- 255
"Pagi-pagi kok sudah ada di sini?" tegur Rosalina
heran.
"Sengaja ingin mengajakmu pergi."
"Aku harus masuk kerja, mana mungkin?"
"Mungkin saja, kalau kau mau mbolos."
"Ah, jangan..." desah Rosalina sambil melangkah.
Handrian mencegahnya. Mereka berdiri di trotoar jalanan.
Dekat dengan mobil Handrian yang berhenti.
"Ini kan hari Minggu. Bukan waktunya untuk
bekerja, tapi bersantai."
"Aku tahu. Tapi salon tempatku kerja buka, h dan
kalau hari Minggu begini pengunjungnya ramai."
"Alaaah, sekali waktu mbolos kan tidak apa-apa.
Ayolah," desak Handrian tak sabar.
"Aku takut," keluh Rosalina resah.
"Aaah," Handrian juga mengeluh.
"Ini kan hari Minggu, Lina. Jangan takut. Aku
bertanggung jawab kalau sampai pemilik salon itu marah,
atau memecatmu. Percayalah."
Elahan napas Rosalina terasa berat. Hatinya resah
lagi. Tak kuasa. Tak kuasa menolak ajakan pria itu. Sebab
mata pria itu, mata yang punya kekuatan untuk meluluhkan
perasaan. Mata yang memohon simpati. Memohon rasa- 256
sayang. Sekaligus menimbulkan gairah dalam dada
Rosalina. Maka ia jadi ragu-ragu untuk bersedia atau
menolak. Tapi jika ditimbang, cenderung rasa bersedia.
Cuma masih dilapisi keraguan.
"Kita pergi ya?" suara Handrian lembut sekali.
Lembut dan memohon.
Dan Rosalina kalau mendengar suara itu merasa iba.
Merasa senang. Merasa didambakan dan disanjung. Dari ia
memang membutuhkan segalanya itu. Dipandangnya wajah
Handrian dalam-dalam. Matanya mengerjap-ngerjap sayu.
Mata yang indah itu sangat dikagumi Handrian. Keduanya
saling bertatapan.
"Mau ya?" suara Handrian bernada sama
Dan Rosalina mengangguk ragu-ragu. Handrian
langsung membukakan pintu mobil untuk Rosalina. Lalu
mereka duduk berdampingan di dalam mobil. Mobil
meluncur cepat meninggalkan tempat itu.
"Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Rosalina
sambil memandang pria yang sedang mengemudi di
sampingnya. Pria itu membalas tatapannya. Bibirnya
tersenyum kalem.
"Tenang saja. Pokoknya hari ini kita bikin acara
gembira."
"Acara apa?"
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kebetulan aku diundang pesta oleh temanku."- 257
"Jadi kau membawaku untuk menghadiri pesta itu?"
"Ya."
"Pantaskah aku datang ke pesta dengan pakaian
begini?" kata Rosalina sambil memperhatikan gaunnya
yang warnanya biru bergaris-garis putih. Padahal ia malah
kelihatan cantik dan anggun kalau memakai gaun itu.
"Pakaian apa pun yang kau kenakan, kau tetap jantik
dan mempesona."
Rosalina tersenyum mencibir. Melirik ke arah
Handrian.
"Ah, rayuan gombal!"
Tawa Handrian yang kalem menyambutnya. Rosalina
memperhatikan alam sekelilingnya. Memperhatikan gardu
gardu jalan tol Jagorawi di depannya. Rosalina mulai
gelisah.
"Kau mau membawaku ke mana?"
"Puncak. Pestanya di sebuah villa."
Mendengar keterangan villa, hati Rosalina jadi ciut.
Letupan gelisah di dalam dada semakin ditambah rasa takut.
Sikapnya nampak bingung.
"Sebaiknya kau antar aku, kembali ke salon," pinta
Rosalina.- 258
"Tenang. Jangan takut, Lina. Percayalah, aku tidak
mempunyai niat buruk. Aku menghormatimu seperti
terhadap ibuku. Maka buanglah jauh-jauh prasangka buruk
yang ada di benakmu."
Ucapan itu melegakan perasaan Rosalina. la
tersenyum untuk menghilangkan sisa-sisa kegelisahan. Pria
itu memang selalu menghormatinya. Dan rasa penyesalan
pria itu masih terbayang di benaknya. Menyesal telah
mempunyai niat akan membawanya ke hotel. Maka
perasaan Rosalina kembali tenang. Melempar pandang pada
alam yang hijau. Indah. Menyejukkan rasa yang selalu
gersang.
Villa yang terpacak diam di atas bukit itu sangat
megah. Tidak aneh, sebab pemiliknya seorang pejabat
pemerintah. Dan villa itu cuma ditempati kalau pemiliknya
sedang berlibur atau mencari ketenangan. Maklum, orang
orang penting memang kehidupannya begitu. Tapi villa itu
hari ini nampak ramai dikunjungi pasangan muda-mudi.
Termasuk Handrian dan Rosalina yang baru saja turun dari
mobil.
Musik yang berirama meriah seperti menyambut
kehadiran Rosalina. la merasa paling tabu dengan suasana
pesta disco seperti itu. Dan selama hidupnya, ia tak pernah
menghadiri pesta anak-anak muda begini. Maka ia jadi kaku
dan kikuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.- 259
"Ayo, tidak usah malu-malu," kata Handrian sambil
menarik lengan Rosalina. Mengajaknya masuk ke ruang
dalam.
Musik irama disco mengalun keras mengiringi
pasangan muda-mudi sedang berjoget. Banyak para muda
mudi menegur Handrian penuh kegembiraan. Seolah-olah
mereka mendewakan Handrian. Dan kenyataan itu cukup
membuat Rosalina bangga. Tidak percuma mempunyai
teman Handrian.
"Hallo Handrian!" sapa Hilda yang menyambut
kedatangan Handrian. Gembira sekali gadis itu memeluk
Handrian, lalu mencium pipinya.
"Kenalkan, ini pacarku," kata Handrian. Hilda
memandang Rosalina. Meneliti raut wajah Rosalina dengan
termangu.
"Alangkah cantik dan anggunnya, Han." Hilda
terpana sambil memuji kecantikan Rosalina.
Lalu dia mengulurkan telapak tangannya. Disambut
oleh uluran tangan Rosalina. Malu-malu ia menjabat tangan
Hilda.
"Hilda."
"Rosalina."
"Silakan menikmati acara dengan gembira."
"Terima kasih."- 260
Handrian merangkul bahu Rosalina. Membimbing
nya ke ruang pojok untuk mencari tempat duduk.
"Kau senang dengan pesta seperti ini?" tanya
Handrian setelah duduk berdampingan di kursi.
Rosalina menggeleng.
"Lalu yang kau senangi apa?" jari tangan Handrian
meremas-remas jari tangan Rosalina. Lembut dan mesra.
"Nonton film."
"Tapi untuk hari ini, kau berusaha untuk
menyukainya. Hanya sekadar untuk bersenang-senang
sesaat. Melupakan beban penderitaan dan keletihan. Okey?"
Rosalina menarik napas panjang, la seperti
merenungkan dirinya yang tertekan batin. Tertekan
penderitaan dan kehampaan. Lalu ia mengangguk sambil
tersenyum.
"Sekarang kau mau minum apa?"
"Nanti saja. Tak usah repot-repot."
"Tak apa-apa. Teh botol saja, ya?"
Rosalina mengangguk. Handrian bangkit dan berjalan
masuk ke ruang belakang. Sedang Rosalina duduk seorang
diri sambil memandang pasangan muda-mudi sedang
berdisco.- 261
Di ruang belakang, Hilda menarik lengan Handrian
masuk ke sebuah kamar. Mereka duduk di pinggir tempat
tidur.
"ltu cewek yang kau katakan kemarin ya?" tanya
Hilda.
"Ya. Menurut kamu bagaimana?"
"Cantik sekali. Anggun penampilannya. Lebih syiiip,
kalau dibandingkan cewek-cewekmu yang lain."
"Memang, tapi gampang-gampang susah," keluh
Handrian.
"Sudah kau lakukan saranku?"
"Yah," Handrian mengangguk. "Tapi susah"
"Jadi kau belum berhasil?"
"Kalau menciumnya sudah."
"Alaaah, dia itu cuma jual mahal. Buktinya dia mau
kau cium. Biasa kan, kalau masih baru, malu-malu. Nanti
juga bakal jadi galak. Percaya nggak?"
"Barangkali kau yang begitu. Dia susah."
"Biar nanti aku yang bantu. Sekarang temani dia dulu.
Minumannya akan segera kuantar ke sana."
Handrian kembali ke ruang disco. Sementara Hilda
mengambil dua botol teh, lalu dibawa masuk ke kamar.
Supaya jinak, pikir Hilda mengambil tablet perangsang dari- 262
dalam tasnya. Di dalam acara bebas begini obat itu tak
pernah ditinggalkannya. Dia memang tergolong gadis free
sex. Pergaulannya bagai kuda betina yang liar. Dan pada
setiap minuman diberinya tiga tablet itu. Biar pertarungan
jadi seru," pikirnya lagi. Setelah tablet itu larut, dia
membawa dua botol minuman itu ke luar kamar. Langsung
diberikan pada Handrian dan Rosalina.
"Kenapa tak kau ajak turun, Han?" tegur Hilda
senyum-senyum.
"Itu soal gampang. Nanti kau bisa lihat sendiri."
"Dan kalau nanti perlu istirahat, pakai saja villa yang
di sebelah kosong."
"Macam-macam saja kau ini," balas Handrian sambil
tertawa. Hilda ikut tertawa, lalu dia pergi menghampiri
Rudy. Handrian sudah sejak dulu tahu kalau Rudy memang
pacarnya Hilda. Sama-sama gilanya jika urusan soal seks.
Tapi anehnya dari dulu Hilda belum bunting. Seandainya
bunting, waah bisa didor kepalanya Rudy sama ayahnya
Hilda.
Handrian dan Rosalina menyedot minuman dengan
pipet. Sembari minum saling berpandangan mesra.
"Kita turun, yuk?"
"Aku tidak bisa."
"Kalau lagunya lembut mau kan?" bujuk Handrian
lembut.- 263
Kerjapan mata Rosalina adalah isyarat setuju, tapi
masih nampak ragu-ragu. la meneruskan menyedot
minuman sampai hampir habis. Haus sekali dia.
Musik keras berganti musik slow. Suara lembut
penyanyi Andy Williams membawakan lagu "Feelings"
mengalun merdu. Suasana berubah jadi romantis. Sekalipun
hari siang, ruangan pesta remang-remang karena seluruh
gorden jendela ditutup rapat.
"Yuk, kita turun," ajak Handrian menarik tangan
Rosalina. Rosalina duduk bersandar di kursi. Matanya sayu,
tapi napasnya sedikit terengah. Dan Handrian melihat
pancaran mata Rosalina tidak seperti biasanya.
"Kau kenapa. Sayang? Capek?"
Rosalina menggeleng. Lidahnya menjilati bibir.
Handrian berbuat serupa. Lalu mereka melangkah ke tengah
ruangan. Saling berpelukan mengikuti irama musik yang
lembut itu. Tubuh mereka saling merapat, mendekap erat
dan bergoyang. Gesekan kulit wajah, menimbulkan letupan
gairah di dada Rosalina. Dekapan erat pria itu, menekan
benda lunak yang sebesar pepaya di dadanya. Dan gesekan
di bawah pusar membakar darahnya. Panas. Dan untuk kali
ini Rosalina ingin cepat berbaring di atas tempat tidur. Obat
perangsang itu telah membakar berahinya. Begitu tinggi,
sampai napasnya pun terengah-engah. Sampai ia tak
memperdulikan orang lain. Dilumat bibir Handrian dengan- 264
gairah membara. Dan Handrian tak kalah gairahnya
membalas ciuman itu.
"Han, aku tak tahan," rintihnya. Tubuhnya menggigil.
"Tak tahan apa?"
"Aku letih. Ingin istirahat."
"Kau memang nampak letih. Sayang."
Belum sampai selesai lagu itu, mereka meninggalkan
lantai dansa. Handrian membimbing Rosalina ke villa
kosong di sebelah. Dan sesampainya di k.imar, tubuh
Rosalina dibaringkan di atas tempat tidur. Tubuh Rosalina
yang indah tergolek letih. Tapi matanya begitu sayu
memandang Handrian. Sedangkan gemuruhnya napsu
berahi pria itu telah menguasai pikirannya.
Maka disergapnya tubuh Rosalina. dihujani ciuman
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang nangat. Remasan dan pilinan tangannya menyusuri
tubuh Rosalina. Rosalina mengge-linjang-gelinjang bagai
cacing kepanasan. Letupan napsu berahi telah sampai di
ubun-ubun. Satu demi satu pakaian Rosalina terlepas dan
jatuh ke lantai. Rosalina meronta. Sergapan-sergapan
Handrian membuat ia tak berdaya. Walau napsu berahi
menguasai diri, tapi Rosalina berusaha mempertahankan
kesucian.
"Jangan... jangan lakukan itu! Aaaah... Aaaah...
jangan!" rintihnya yang lemah.- 265
Handrian tak perduli. Dia makin tambah kesetanan.
Diperkosanya Rosalina yang lemah itu.
Di kebun belakang villa ada seekor ayam jantan dan
betina. Si ayam jantan nampaknya sedang berusaha mencari
kelengahan ayam betina. Lantaran sudah sejak tadi ayam
jantan belum bisa menjinakkan ayam betina. Kalau ayam
jantan sudah berhasil mematuk leher yang betina, tapi lolos
lagi. Kalau ayam jantan sudah berhasil naik ke punggung
ayam betina, tapi belum bisa mencapai sasaran. Sebab ayam
betina menggerak-gerakkan pantatnya. Lepas lagi. Hal
seperti ini berulang kali terjadi.
Tentunya ayam jantan itu kesal. Jengkel. Maka
digigitnya leher ayam betina. Lantas ayam jantan naik ka
punggungnya dan menekan ke bawah. Sampai ayam betina
terjongkok. Berat ditindih si jantan. Dan kali ini sasarannya
tepat. Ayam betina berkeok, Rosalina pun memekik tertahan
dalam rintihan. Dan saat-saat klimaks yang selalu diimpikan
Rosalina terjadi sekarang! Kedua insan itu dilibat benang
benang berahi yang panas.
Masih perawan! Gadis ini masih suci. Dan aku telah
menodainya, desah Handrian dalam hati. Dia diserbu rasa
penyesalan. Bersalah! Dan isak tangis Rosalina bagai sejuta
sembilu yang menyayat hatinya.
"Tak kusangka... kau tega menodaiku secara paksa,"
ratap Rosalina di sela tangisnya. Tubuhnya terkulai letih dan
pucat.- 266
Handrian yang berbaring di sisi Rosalina merenungi
perbuatannya. Lalu dia memiringkan tubuh menghadap
Rosalina. Tangannya memeluk tubuh wanita yang berbaring
di sisinya. Wanita muda yang menangisi kesucian.
Ditatapnya wanita itu dengan perasaan haru dan penyesalan.
Lalu dikecupnya lembut kening Rosalina. Diusap air mata
di pipi wanita muda itu dengan penuh kasih sayang.
"Maafkanlah aku, Lina! Apa pun yang akan terjadi,
aku akan bertanggung jawab! Aku akan segera
mempersuntingmu," kata Handrian tulus.
Ucapan itu membuat Rosalina tersentak. Wajahnya
yang bersimbah keringat tambah pucat. Nampak jadi
ketakutan dan resah.
"Jangan Han, jangan mempunyai keinginan untuk
mempersuntingku! Biarlah noda kenistaan tertinggal dalam
diriku. Aku akan tetap menempuh jalan hidupku sendiri,"
balas Rosalina terisak-isak.
Handrian termangu heran. Aneh. Sungguh aneh sifat
gadis ini, pikir Handrian. Seharusnya dia yang mengejar
tanggung jawabku untuk segera mengawini, tapi aku yang
punya niat mengawininya, malah dia menolaknya. Benar
benar aneh gadis ini.
"Lina, aku jadi tak mengerti apa yang kau cari dalam
hidup ini. Katakanlah terus terang padaku."- 267
Tak ada jawaban dari mulut Rosalina. la menyambar
selimut untuk menutupi tubuhnya yang tanpa busana. Lalu
ia turun dari tempat tidur. Handrian mencegahnya.
Memegangi lengan Rosalina.
"Lina, kau mau ke mana?"
Tangan Handrian dikibaskan hingga terlepas, la turun
dari tempat tidur. Dengan sempoyongan dipunguti
pakaiannya satu-satu di lantai. Handrian tak tinggal diam.
Dia menyambar selimut, lalu ditutupi tubuhnya, dan buru
buru membimbing Rosalina berjalan ke kamar mandi. Sebab
dia melihat setiap Rosalina melangkah nampak kesakitan.
Ah, kasihan dia.
Tapi Rosalina menolak, la nampak benci pada pria
itu. Dan Rosalina bergegas masuk ke kamar mandi. Pintunya
dikunci rapat-rapat dari dalam. Handrian berdiri menyandar
di daun pintu.
"Lina, jangan benci padaku." pinta Handrian. "Aku
sangat mencintaimu."
Rosalina tidak menyahut, la membersihkan percikan
darah di pangkal pahanya. Dan darah itu terus mengalir,
walau setetes demi setetes. Tidak begitu deras. Tapi rasa
perih dan nyeri membuatnya menangis. Menangis karena
merasakan sakit. Namun di hatinya ada semacam sentuhan.
Sentuhan yang selama ini diimpikan. Tak pernah dialami
semenjak lebih dua tahun menjadi istri Gunawan. Inikah arti- 268
malam pertama? Dan hal itu dirasakan bukan dengan
suaminya, tapi dengan seorang pemuda yang dicintainya.
Benarkah aku mencintai Handrian? Tercetus
pertanyaan dalam hatinya. Dan dijawab oleh hati kecilnya
sendiri: Kau memang mencintainya, Lina. Dia adalah pria
yang tersimpuh di hatimu, selain Gunawan. Bukankah kau
merasa bahagia jika berada di sisinya? Kau memang
bahagia. Akui saja, Lina. Dia yang lebih patut daripada
Gunawan. Dia lelaki normal. Dan Rosalina terisak lagi bila
ingat suaminya.
"Lina, bukalah pintunya! Apa yang kau lakukan di
kamar mandi?" pinta Handrian gelisah.
Pintu kamar mandi itu terbuka. Handrian hendak
masuk, tapi Rosalina mendorongnya keluar, ia telah selesai
mengenakan pakaian.
"Antarkan aku pulang ke Jakarta."
Handrian merangkul bahu Rosalina lembut.
"Tenang dulu, Lina! Persoalan ini harus kita
selesaikan dengan baik. Aku bukan laki-laki pengecut. Aku
akan bertanggung jawab atas perbuatanku," kata Handrian.
"Aku tidak butuh tanggung jawabmu."
"Dengar, Lina! Dengar, Sayang. Aku mempunyai niat
tulus, jadi bukan sekadar menutupi kebejatan perbuatanku.
Bukan sebagai imbalan karena aku telah memperkosamu.
Bukan. Bukan itu masalahnya. Tapi karena aku sangat- 269
mencintaimu, Sayang. Karena aku ingin memilikimu," tutur
Handrian memohon pengertian Rosalina.
Rosalina mendorong tubuh Handrian agar menjauh.
Dengan suara berat ia berkata:
"Jika kau ingin menjadi temanku yang setia, jangan
sangkut-sangkut soal pernikahan."
Handrian mengembuskan napas keras-keras. Untuk
membuang rasa kesal. Rasa jengkel. Betapa anehnya gadis
ini. Betapa kukuh pendiriannya. Tapi Handrian sangat
mencintai Rosalina. Keinginannya begitu menggelora untuk
memperistri wanita muda itu.
"Jadi hubungan kita cuma sebagai teman?"
"Memang begitu."
"Aaah, kau hadir dalam hidupku bagai bayang
bayang yang tak jelas. Padahal aku mendamba-kanmu
sebagaimana wujud yang sebenarnya. Wujud yang tampil di
depan mataku. Tapi kau tak pernah memberikan cita-cita
dan harapan padaku. Kau malah menolak rasa tanggung
jawabku. Aku jadi bingung apa yang kau inginkan dalam
hidup ini, Lina?"
"Terserah apa penilaianmu. Sekarang antarkan aku
pulang! Kalau kau tak mau, aku bisa pulang sendiri," tukas
Rosalina.
Kesal. Jengkel, itulah yang bergejolak di dalam dada
Handrian menghadapi Rosalina. Dia belum pernah menemui- 270
gadis yang sekeras ini. Bagai baja pendiriannya. Maka dia
cuma bisa mengembuskan napas keras.
"Baik. Akan kuantar kau pulang sekarang. Dan mulai
saat ini, aku tak mau bicara soal pernikahan. Barangkali
yang kau butuhkan cuma kepuasan bercumbu. Untuk itu aku
selalu siap melayanimu kapan saja," dengan kesal Handrian
berkata begitu. Disambar pakaiannya, lalu dikenakan buru
buru.
Rosalina tidak memperdulikan ucapan Handrian. la
melangkahkan kakinya tersaruk-saruk. Pangkal pahanya
terasa nyeri. Perih. Dan Handrian tahu apa yang dirasakan
perempuan itu. Maka direngkuhnya lengan Rosalina.
Dibimbingnya melangkah setapak demi setapak
meninggalkan villa itu. Setapak terus setapak.
Untuk setapak selanjutnya silakan mengikuti Episode
yang kedua dari "Selaput Pagar Ayu" ini. Segalanya akan
lebih jelas. Dan lebih detail mengungkapkan penderitaan
Rosalina yang semakin parah. Begitupun karma apa yang
akan dirasakan Handrian? Sebagai laki-laki, dia telah
menodai kesucian tubuh istri orang. Perusak Pagar Ayu!
SEKIAN DULU- 271
Episode selanjutnya :
HATI KECIL PENUH JANJI- 272
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-buku
novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari
kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file
digital.
File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang
kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari
karya-karya yang coba dilestarikan ini.
CREDIT untuk :
? Awie Dermawan, sang pemilik buku aslinya.
? Grup Kolektor E-Books, tempat share ebook ini.
D.A.S- 273
Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Rahasia Benteng Kuno Thian Ge Tjiat Bared To You Karya Silvia Day
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama