Ceritasilat Novel Online

Kidung Cinta Buat Pak Guru 1

Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W Bagian 1

Mira W

KIDUNG CINTA

BUAT PAK GURU

Penerbit PT Gramedia

Jakarta, 1990

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

BAB I

KETIKA pertama kali Bu Narsih melihat anak itu,

hanya satu kesan yang melintas di otaknya. jembel..

Dia bukan cuma kotor. Bau. Menjijikkan. Tetapi

sekaligus juga sarang kuman. Nah untuk apa suaminya memindahkan sarang kuman ini ke rumahnya?

"Kita tidak perlu pelayan baru, Pak! Apalagi yang

masih bocah tanggung begini!"

"Dia bukan pembantu, Bu. Aku sudah mengangkatnya sebagai anak."

Mendidih darah Bu Narsih. Mengangkat anak?

Tanpa seizinnya pula? Oh, suaminya pasti sudah

mabuk! Punya hubungan apa jembel ini dengan dia?

Mengapa tiba-tiba suaminya ingin mengangkat anak?

"Rumah kita bukan rumah yatim piatu, Pak! Belum sebulan Bapak bawa si Maman kemari, sekarang

sudah datang lagi yang lain!" Sambil menggerutu Bu

Narsih melirik ke luar.

Monster itu sedang duduk seenaknya di lantai beranda. Kulitnya sama kotornya dengan bajunya. Sama

baunya dengan rambutnya. Bu Narsih buru-buru

malingkan kembali wajahnya dengan jijik

"Yang ini malah lebih celaka lagi dari si Maman!

Dari comberan mana dia Bapak pungut?"

Dan Bu Narsih memekik kaget. Entah dari mana

anak itu memperoleh sebuah kantung plastik bekas.



Begitu dipungutnya langsung ditempelkannya ke bibir. Ditiupnya sampai menggelembung. Dan dipukulnya kuat-kuat.

"Kurang ajar!" Bu Narsih berpaling dengan marah. Pada pertemuan pertama saja dia sudah tidak

menyukai anak, ini. Kotor. Jorok. Kurang ajar lagi!

Lagi pula Bu Narsih curiga jangan-jangan anak ini

Ah.

"Kalau orang tua sedang bicara, kamu mesti

diam! Dan kalau orang tuamu tidak pernah mengajarmu sopan santun, aku yang akan mengajarmu!"

"Itu memang tugasmu, Bu." Pak Dadang menghela napas sabar.

"Sebab orang tuanya telah meninggal."

"Enak saja! Setiap pulang dari pabrik, Bapak selalu bawa penyakit!"

"Tapi ini anak si Jabrik, Bu."

"Aku tidak peduli siapa bapaknya!"

"Centeng itu sudah lima belas tahun bekerja di

pabrik berasku. Dan tewas waktu melaksanakan tugas menjaga gudang beras kita!"

"Tapi kita tidak wajib memelihara anak setiap

karyawan kita yang meninggal, Pak! Kita kan sudah

memberi santunan kepada keluarganya!"

"Benar, Bu. Ketika si Jabrik tewas sepuluh tahun

yang lalu, aku juga, tidak berniat mengambil anaknya.

Tapi sekarang keadaannya lain. Istri si Jabrik meninggal karena wabah kolera. Anak ini sebatang kara. Si

Endang, mandor kita sendiri yang mengantarkannya

kepadaku. Dia tidak sanggup mengurus anak ini. Apa

lagi menyekolahkannya. Padahal otaknya cerdas."

"Tapi rumah kita bukan rumah yatim piatu, Pak!

Kalau anak setiap pegawai kita yang meninggal Bapak bawa kemari, jangan-jangan tahun depan kita

terpaksa beli rumah baru!"

"Aku punya kewajiban moral untuk menyekolahkan anak-anak bekas karyawanku yang setia, Bu. Aku

tidak bisa menelantarkan mereka!"

"Tapi tidak perlu sampai mengangkat anak! Beri

saja mereka uang. Biayai sekolah mereka kalau perlu. Angkat anak asuh. Kan masih banyak cara lain.

Buat apa memungut anak segala?! Anak kita sudah

banyak!"

"Dia yatim piatu, Bu. Apa salahnya sih ikut tinggal di sini? Rumah kita masih cukup luas untuk

anak-anak terlantar ini. Si Maman misalnya. Apa Ibu

merasa rugi, merawatnya? Dia kan bisa bantu-bantu

di dapur, ngepel lantai, merawat kebun kalau pulang

sekolah. Ibu sendiri yang bilang dia bisa diandalkan

untuk menjaga rumah kalau kita pergi semua. Bi Asih

kan sudah tua. Sama pembantu yang muda kan Ibu

tidak bisa cocok. Ada saja yang salah. Tiap minggu

ganti pembantu. Kalau bukan Ibu yang tidak suka,

mereka yang tidak betah."

"Tapi mencari pembantu tidak sama dengan mengangkat anak, Pak!"

"Aku tidak pernah mencampuri urusanmu dalam

mencari pembantu, Bu. Tapi kali ini kumohon agar

Ibu mengabulkan satu permintaanku. Biarlah anak

ini tinggal di rumah kita. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi."

"Boleh saja. Tapi tidak perlu diangkat anak!"

"Demi hutangku pada si Jabrik, Bu. Dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan gudang

kita!"

"Apa tidak bisa dibayar dengan uang saja? Titipkan anak ini pada Mang Endang. Kita yang membiayai hidup dan sekolahnya. Kan beres?!"

"Aku sudah berjanji akan mengangkat anak ini

sebagai anakku, Bu. Aku malah sudah minta Mang

Endang agar mengurus surat-suratnya."

"Kok tumben Bapak tidak minta pendapatku

dulu."

"Cobalah mengerti perasaanku, Bu. Sejak kematian si Jabrik, aku selalu merasa berhutang padanya.

Sekarang ada kesempatan untuk melunasi hutang

itu!"

"Tidak ada alasan lain?"

"Lho, alasan apa lagi?"

Bu Narsih belum sempat menjawab. Sekali lagi

mereka sama-sama tersentak kaget. Tiba-tiba saja

anak yang sedang duduk berlunjur di lantai itu

melompat menerkam sesuatu di halaman.

"Astaga!" Bu Narsih mengurut dada.

"Bikin kaget saja!"

Tetapi anak itu tidak peduli. Dia sedang memasukkan seekor jangkrik yang baru saja ditangkapnya

ke dalam kantung plastik bekas yang sudah robek itu.

Bagian yang robek ditutupnya dengan tangannya.

"Buat apa jangkrik itu?" geram Narsih kesal bercampur jijik. Dia paling alergi terhadap binatang binatang kecil yang menjijikan. Kalau ada lipas di kamar mandi saja, dia sampai melompat-lompat sambil

berteriak-teriak memanggil pembantunya.

Dengan tenang anak itu berpaling pada Bu Narsih. Matanya yang kurang ajar menatap dengan berani, seolah-olah yang dihadapinya cuma seorang

tetangga yang tidak punya hubungan apa-apa dengan

dirinya.

"Akan kupelihara," katanya tanpa emosi. Suaranya

sekosong air mukanya.

"Kamu pelihara?" Bu Narsih membelalakkan

matanya lebih lebar lagi.

"Untuk diadu? Tidak! Di

sini bukan di kampungmu! Di rumah ini kamu tidak

boleh berbuat seenakmu sendiri! Tidak boleh menularkan kebiasaan jelekmu kepada anak-anak lain!"

"Diadu?" Ada senyum yang amat menyakitkan

tersungging di bibir yang tipis itu.

"Tentu saja tidak

ini jangkrik betina."

"Jadi untuk apa kamu tangkap?"

"Akan kupelihara."

"Dipelihara?" Naik alis Bu Narsih mendengarnya.

"Tidak! Aku tidak mau rumah ini penuh jangkrik!

Dengan kasar dirampasnya kantung plastik dari tangan anak itu. Dilemparkannya jauh-jauh.

"Sekarang

pergi mandi! Baumu sudah sama dengan comberan!"

"Tapi "

10

"Jangan membantah lagi! Mandi lalu tukar bajumu! Jangan sampai kutu-kutu dari badanmu pindah

ke kursi rumah ini! Astaga." Bu Narsih mengurut

dada.

"Belum pernah aku melihat anak sekotor ini,

Pak! Biar anak jembel sekalipun! Entah sudah berapa

tahun dia tidak pernah mandi!"

"Dia tidak membawa baju, Bu." Pak Dadang

menghela napas panjang.

"Dia tidak punya apa-apa

kecuali yang lekat di tubuhnya."

"Lebih bagus!" gerutu Bu Narsih muak.

"Lebih

mudah memusnahkan satu baju daripada membuang

sekopor sampah! Biar dia pakai baju si Maman!"

"Tidak mungkin, Bu." Sekali lagi Pak Dadang

menghela napas.

"Karena badannya lebih kecil dari si Maman? jangan kuatir, kita punya tiga orang anak laki-laki! Salah

satu baju mereka pasti ada yang muat! Lagipula, lebih

baik dia pakai baju kelonggaran daripada jadi sarang

kutu!"

"Tapi dia tidak sama dengan anak-anakmu, Bu,"

sahut Pak Dadang sabar.

"Dia perempuan."

Bu Narsih tidak jadi memutar tubuhnya. Dia menoleh dengan terkejut. Dan matanya yang separuh

terbelalak berpapasan dengan sepasang mata yang

terlalu indah untuk seorang anak laki-laki. Tapi terlampau lancang untuk mata seorang gadis desa.

"Jadi...?" Bu Narsih tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia masih terpukau mengawasi anak itu.

Seakan-akan tidak percaya kepada matanya sendiri.

11

Sekali lihat, tidak seorang pun menyangka dia

seorang anak perempuan. Kemeja lusuhnya yang

kelonggaran menyembunyikan dengan baik dada

seorang gadis desa berumur empat belas tahun. Celana pendeknya yang sudah tidak ketahuan lagi apa

warnanya sama kotornya dengan kulitnya. Rambutnya yang dipotong pendek barangkali punya warna

yang cukup bagus kalau berkenalan dengan shampoo

nanti. Tapi sekarang, lebih baik tidak usah melihatnya

dulu. Rambut itu lebih kotor dari bulu si Belang kalau

dia baru pulang mengaduk-aduk tempat sampah!

"Siapa namamu?" tanya Bu Narsih separuh

mengeluh.

Akhirnya, setelah sepuluh tahun menunggu,

datang juga seorang anak perempuan ke rumahnya.

Tapi bukan anak dari rahimnya sendiri! Bukan anak

perempuan mungil yang manis lembut. Yang dapat

dibelikannya gaun yang indah-indah. Sepatu yang

bagus. Pita untuk mengikat rambutnya yang ikal bergelombang Hah! Yang muncul justru seorang anak

yang lebih mirip laki-laki. Kasar. Kotor. Dan bau.

"Boga."

"Bo Bu Narsih menelan sepotong nama yang

ganjil itu bersama ludahnya.

"Apa?"
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boga," ulang anak itu dalam nada jemu.

"Boga? Boga apa?"

"Boga saja."

"Nama apa itu! Bukan nama seorang anak perempuan!"

12

Sekarang anak itu menatap Bu Narsih dengan tatapan meremehkan.

"Di kampung semua orang memanggilku begitu."

"Tapi di sini kamu harus punya nama yang lebih

bagus! Boga! Bah! Boga apaan!"

"Sudahlah," potong Pak Dadang jemu.

"Boga ya

Boga. Apa salahnya sih? Dalam bahasa Sunda, boga

artinya "punyai"

"Kalau dia mau tinggal di Jakarta, dia harus punya nama yang lebih sesuai," sahut Bu Narsih angkuh.

"Bukan nama kampungan begitu! Mulai sekarang

namamu Bugi. Itu kalau kamu mau tinggal di sini."

"Baiklah," Pak Dadang menghela napas.

"Namamu sekarang Bugi. Bugi Lesmana. Lesmana adalah

nama Bapak. Karena kamu sekarang kami anggap

anak. Bugi akan Bapak sekolahkan di sini. Boleh tinggal di rumah ini. Anggap saja rumah sendiri, ya."

"Tapi kamu tidak boleh malas!" sela Bu Narsih

cepat.

"Biarpun bukan pembantu, kamu mesti rajin.

Membereskan kamar sendiri. Bantu-bantu Bi Asih.

Dan jangan membahasakan dirimu lagi dengan aku!

Tidak sopan! Di depan orang tua, kamu harus bersaya. Dan ingat, tidak ada jangkrik, lipas, cacing, dan

sebangsanya di rumah ini. Mengerti?!"

"Tapi ..."

"Jangan membantah lagi!" bentak Bu Narsih kesal.

"Kecil-kecil sudah pintar membantah! Sekarang ikut

ke belakang!"

Malas-malasan anak itu bangkit mengikuti Bu

Narsih. Ketika Bu Narsih membelakanginya, dijulurkannya lidahnya dengan kesal.

Belum apa-apa sudah mau mengatur! Siapa sih ni

orang?!

"Wah, Ibu punya kacung baru!" cetus si bungsu

Rio begitu melihat ibunya masuk diikuti oleh seorang

anak yang bukan main kotornya.

"Buset baunya!" Bram memijit hidungnya sambil

mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengusir bau

yang menyengat.

"Mobil tinja lewat!"

"Mesti disemprot DDT, Bu! Baunya selangit!"

sambung Rio lincah. Dia memang yang paling gesit

di antara saudara-saudaranya. Paling cerewet pula.

"Orang apa bangkai sih?"

"Mau mandi, ya?" sambar Bram, yang tubuhnya

paling besar. Paling kasar pula.

"Lihat yuk! Barangkali badannya ada belatungnya!"

"Jangan di kamar mandi kita, Bu!" protes Iwan, si

sulung yang pendiam.

"Di sumur saja. Nanti lubangnya mampet! Kesumbat kotoran!"

"Ah, tidak usah ngajari Ibu!" bentak Bu Narsih ketus.

"Sana, temui Ayah! Baru pulang dari pabrik."

"Ala, dari pabrik sih bawa apaan," gerutu Rio.

"Paling-paling bawa sampah kayak begini lagi! Buat nyesek-nyesekin kamar pembantu! Ayah punya pabrik

beras apa pabrik jembel sih, Bu?"

14

"Justru yang model begini langka, Rio! Ini sih

orang bukan monyet bukan! Lihat saja mukanya sudah lumutan begitu!"

"Ah, siapa bilang! jembel kayak begini di pasar

juga banyak! Buat apa diimpor jauh-jauh dari udik?

Ngundang lalat, Bu! Nggak percaya? Coba deh Ibu

gantung di dapur. Sebentar juga diserbu lalat!"

Dengan marah Bugi membelalakkan matanya ke

arah Rio. Kalau tidak ada Bu Narsih, sudah ditamparnya anak kecil yang lancang mulut ini.

Sialan! Masa dia disamakan dengan sampah?! Dianggap sepotong daging busuk yang bisa digantung

di dapur dan dikerubungi lalat?

"Eh, dia marah lu!" cetus Rio kaget.

Tentu saja Rio tidak berani bertindak. Di sana ada

Ibu. Iwan pun cuma berani mengejek. Itu pun dari

jauh. Tapi Bram, yang paling bandel di antara mereka, sudah melompat ke depan Bugi. Dan Bugi tidak

menunggu sampai Bram sempat mendorongnya. Dia

sudah mendahului mendorong sekuat tenaga.

Karena tidak menyangka calon pembantu itu berani kurang ajar padanya, Bram kehilangan keseimbangan. Ketika dia sedang terhuyunghuyung, Rio

maju mengganjal kaki Bugi. Kali ini Bugi-lah yang

jatuh tersungkur.

"Astaga!" Ibu berbalik dengan gusar.

"Apa lagi

ini?!"

"Dia berani mendorong Bram, Bu !"

"Tapi dia menghalangi jalan!"

15

"Eh, kacung berani bela diri?" belalak Iwan sengit.

"Nggak tahu diri!" Didorongnya dada Bugi dengan

kasar.

Saat itu Bugi baru saja merayap bangun. Tapi dia

sudah siaga. Sebelum tangan Iwan menyentuh dadanya, dia sudah mendahului menendang tulang kering

di tungkai Iwan.

Melihat abangnya sempoyongan sambil melolong

kesakitan, Bram langsung maju untuk memukul

Bugi. Tapi Ibu keburu mencegah. Didorongnya Bram

mundur.

"'Apa-apaan ini?" geram Ibu gemas.

"Kalian berani

kurang ajar di depan Ibu?!"

"Nah, Ibu lihat sendiri saja!" gerutu Bram penasaran.

"Dia yang kurang ajar pada kami!"

Bram berkacak pinggang dengan jengkel di depan

Bugi. Dan tatapannya yang berapi-api perlahanlahan

berubah heran melihat sikap calon pembantu itu. Dia

bukan menunduk ketakutan. Malah balas menatap

dengan sama garangnya. Sikapnya pun sama menantang dengan matanya.

"Kalian yang mulai dulu!"bentak Bu Narsih kesal.

"Tapi kacung ini kurang ajar pada kami, Bu!"

"Bugi bukan kacung! Dia anak angkat Ayah!"

Waktu mengucapkan kata-kata itu, Bu Narsih

sendiri kesal. Selama ini suaminya belum pernah

berniat mengangkat anak. Punya pikiran ke sana saja

tidak! Nah, mengapa tiba-tiba sekarang dia mau memungut anak ini? Ketika membawa Arman kemari

16

bulan lalu, suaminya juga berpesan agar anak itu di

sekolahkan. Dan diperlakukan dengan baik. Tapi Arman tidak pernah diangkat anak!

"Wah, kami tidak sudi, Bu!" protes Bram dan Iwan

berbareng.

"Sana protes pada ayah kalian!" gerutu Bu Narsih

sambil menyeret Bugi ke sumur.

"Awas, kalau kalian,

berani membuntuti Ibu lagi!"

Bugi sendiri tidak peduli. Di angkat anak atau

tidak baginya sama saja. Baru datang saja dia sudah

merasa tidak betah di rumah ini. Perempuan yang

harus dipanggilnya Ibu ini bukan main cerewetnya!

Belum apa-apa sudah sok mengatur.

"Buka bajumu," perintah Bu Narsih masih marah

karena peristiwa tadi.

"Ingat, tidak boleh kurang ajar

lagi pada anak-anakku! Mereka memang nakal. Tapi

kamu harus selalu mengalah!" Lalu sambil berpaling

ke belakang, dia berteriak nyaring,

"Man! Maman!

Pompakan air! Lekas!"

Tergopoh-gopoh anak yang dipanggil Maman itu

berlari-lari ke sumur. Tubuhnya lebih besar daripada

Bram. Tapi air mukanya yang ketolol-tololan menggambarkan ketakutan yang amat sangat.

Dan Ibu hampir terlambat menyadari satu hal.

Bugi sudah tidak pantas lagi mandi di sumur. Dia

sedang membuka bajunya dengan patuh. Tanpa malu-malu. Tetapi sekarang, Bu Narsih-lah yang salah

tingkah.

17

Lekas-lekas disambarnya baju Bugi. Ditutupkannya kembali ke dadanya. Diusirnya Arman pergi. Lalu

di bawah tatapan Arman yang masih melongo keheranan, diseretnya Bugi ke kamar mandi.

"Ini sabun." Bu Narsih menyodorkan sabun ke

tangan Bugi.

"Berdiri di bawah pancuran itu. Mandi

yang bersih. Jangan naik ke dalam bak! Mengerti?!"

Bugi mengangguk dengan patuh. Tetapi, begitu

Bu Narsih pergi dan pintu kamar mandi tertutup, dia

langsung melompat ke dalam bak.

Bukan main, pikirnya kagum. Di sini orang bisa

mandi sambil tiduran!

Dibukanya keran air sebesar-besarnya. Dan dia

sampai melompat karena kagetnya. Air itu astaga

panasnya!

Bak ini pasti tidak ditaruh di sini untuk merebus

orang, pikir Bugi bingung. Dan matanya terbentur

pada keran yang satu lagi. Ragu-ragu diputarnya keran itu. Dan dia hampir bersorak gembira.

Air dingin! Ajaib. Air panas dan dingin dapat

mengalir bersama-sama! Wah!

Sambil berendam tangan Bugi meraih sabun yang

diberikan Bu Narsih tadi. Didekatkannya ke hidung.

Amboi, wanginya! Dihisapnya harum aroma sabun

itu sedalam-dalamnya dan matanya sampai terpejam karena asyiknya. Mandi air hangat dengan sabun

wangi hm, hari ini dia pasti sudah jadi putri raja!

Dan Bu Narsih masuk tanpa permisi lagi. Matanya terbelalak marah melihat Bugi sedang berlunjur

18

dalam bak, penuh busa sabun. Tangannya sedang

memukul-mukul air, memercik-mercikkan air ke

sana kemari.

"Bandel!" teriak Bu Narsih jengkel.

"Ibu sudah

bilang, jangan naik ke dalam bak! Lihat, semua jadi

kotor!"

"Nanti saya bersihkan," sahut Bugi berani "Boleh
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakai sikat ini?"

"Jangan!" Bu N arsih tambah kesal.

"Itu sikat WC!

Jangan dipakai untuk membersihkan bak mandi!

Aduh, bagaimana aku harus mengajari berandal

ini?!" Dirampasnya sikat WC itu. Dipukulkannya

dengan gemas ke pantat Bugi.

"Lain kali kamu harus

nurut!"

Bugi tidak mengaduh. Tidak mengelak. Apalagi

melawan. Diterimanya hukumannya dengan tabah.

"Kata Endang, umurnya empat belas tahun." Pak

Dadang menghembuskan asap rokoknya dengan

dahi berkerut. Sejak kedatangan Bugi, istrinya marah-marah terus. Dia jadi pusing.

"Sudah lulus SD. Dia

masih kepingin sekolah. Tapi Endang tidak sanggup

lagi membiayainya. Anaknya sendiri banyak."

"Kupikir dia tidak perlu sekolah lagi. Anak perempuan buat apa sih sekolah tinggi-tinggi. Lebih baik

dia bantu-bantu aku di dapur."

19

"Tapi otaknya cerdas, Bu. Sayang kan kalau tidak

sekolah lagi?"

"Jadi dia mau Bapak sekolahkan terus sampai jadi

dokter?"

"Apa salahnya? Orang tuanya cuma centeng! Tapi

bukan berarti anaknya tidak boleh jadi sarjana! Kita

harus bangga kalau bisa menjadikannya orang terhormat, Bu."

"Bapak sajalah yang mencarikan sekolah, buat dia.

Aku malas."

"Kelihatanya Ibu tidak begitu suka padanya."

"Ah, anak kurang ajar! Sama anak-anak kita saja

dia berani!"

"Dia belum tahu aturan permainan di sini, Bu.

Sabarlah. Nantikan bisa diberi tahu perlahan-lahan.

Dia biasa hidup liar di kampung. Maklumlah kalau

mula-mula masih berani melawan."

"Sudah liar, berani lagi!" gerutu Bu Narsih jengkel.

"Seperti anak lelaki saja! Main dorong, main tendang,

main pukul! Hhh, anak perempuan kok seperti itu.

Kalau tidak melihat sendiri badannya, aku tidak percaya dia perempuan!"

"Sekarang dia pakai baju siapa?"

"Ya baju Rio. Siapa lagi. Cuma itu yang muat.

Anak kurus begitu. Baju Iwan kelonggaran. Apalagi

punya Bram."

"Belikan rok besok ya. Bu. Kalau kubawa ke sekolah nanti masa pakai celana begitu. Tidak pantas,kan.

20

Bu Narsih menghela napas berat. Tiba-tiba saja

tatapannya yang garang berubah sedih.

Bukan cuma Pak Dadang yang tertegun sekejap

melihat anak itu. Istri dan anak-anaknya juga. Sesudah mandi dan memakai pakaian bersih, Bugi tampak amat berbeda.

Kulitnya memang hitam terbakar matahari. Tapi

tidak sekasar kulit anak laki-laki. Ada satu hal lagi

yang membuat Bu Narsih menghela napas lega. Di

balik debu yang mengotori kulitnya, tidak ada panu

atau kudis, yang dapat menyebabkan Bu Narsih ikut

merasa gatal.

Tidak ada jamur atau kutu yang bersarang di

rambutnya. Padahal Bu Narsih sudah begitu kuatir.

Dengan penuh perasaan curiga, diawasinya Bugi

menyisir rambutnya. Rambutnya memang pendek

sekali. Membuatnya lebih mirip anak laki-laki. Tapi

bagaimanapun, sesudah mandi, wajah Bugi yang rupawan sudah tampak lebih feminim.

"Banci!" ejek Bram yang masih penasaran.

"Lelaki

bukan perempuan bukan!"

"Tapi sama banci aja kalah!" Rio memanas-manasi abangnya.

"Sekali dorong aja langsung keok!"

"Ada Ibu sih! Kalau nggak ada, sudah bonyok kupukul mukanya!"

"Sekarang kan Ibu nggak ada."

21

"Berani, Bram?" tantang Iwan separuh memancing.

Iwan juga masih penasaran. Kesal ditendang begitu saja tanpa sempat membalas. Tapi Ibu galak. Kalau tahu mereka berkelahi, pasti dia yang paling dulu

kena marah.

Tidak bisa mengajar adik. Sudah besar masih seperti anak kecil. Dan entah apa lagi. Padahal berapa sih

selisih umur mereka?

Dia baru enam belas. Bram lima belas. Rio sebelas. Apa bedanya setahun? Tapi kalau mereka nakal,

dialah yang dimarahi.

Ibu memang tidak adil. Galak. Pemarah pula. Bapak saja takut.

"Kenapa tidak?" balas Bram garang.

Di antara saudara-saudaranya, Bram memang

yang paling pemberang. Paling berani. Paling nakal,

pula. Tubuhnya paling besar. Lebih tinggi sedikit dari

abangnya. Dan anak kampung yang mungil itu! Hah!

Apa pula yang harus di takuti? Tingginya saja cuma

sebahunya! Sekali sodok saja pasti masuk bengkel!

"Mendingan makan telur dulu dua biji!" Rio membakar lagi.

"Biar nggak jatuh sekali dorong!"

"Lihat saja nanti!" Tanpa berpikir lagi, Bram

segera mencari Bugi.

"Kalau kalah jangan panggil

Bram lagi!"

22

"Disapu dulu baru dipel!" perintah Arman yang

tiba-tiba saja merasa mendapat asisten.

"Yang bersih,

ya. Ibu galak lho."

"Sapu saja sendiri!" Bugi membuang sapu yang

baru saja disodorkan Arman ke tangannya.

"Dari tadi

nyuruh-nyuruh melulu!"

"Eh, dikasih tahu malah membantah?!"

"Habis dari tadi bisanya nyuruh saja! Kerjain

sendiri! Situ juga punya tangan, kan!"

"Aku kan repot!"

"Ah, repot ngapain!"

"Kamu di sini pembantu tahu nggak?! Bukan majikan! Jangan enak-enakan makan-tidur saja!"

"Peduli amat!"

"Eh, melawan, ya?" Arman sudah mengangkat

tangannya untuk memukul. Tapi begitu dilihatnya Bugi menyambar sapu dan bersiap-siap balas

memukul, dibatalkannya niatnya. Arman sudah tahu

apa yang terjadi pada Iwan dari adik-adiknya. Kancil

ini cukup berbahaya. Apalagi kalau perkelahian mereka sampai diketahui Ibu. Wah!

"Awas kamu ya!" gerutunya separuh mengancam.

"Kulaporkan pada Ibu baru tahu rasa!"

"Silakan! Aku juga nggak betah di sini!"

"Huu, dasar anak kampung!"

"Hah! Baru sebulan di sini sudah merasa jadi

orang kota, ya?"

"Pokoknya aku nggak norak kayak kamu!" balas Arman dengan muka merah padam,

"Aku bisa

menyesuaikan diri!"

23

"Jadi pelayan itu yang kamu sebut menyesuaikan

diri?!"

"Nah, apa pikirmu kamu ini? Anak angkat? Kamu

juga pembantu!"

"Aku mau pulang!"

"Pasti dilarang Bapak."

"Biar saja."

"Eh, kamu berani melawan?"

"Kenapa tidak?"

"Kalau dilarang, kamu masih berani juga pulang?"

"Kalau perlu, aku kabur!"

"Kuadukan pada Ibu baru tahu rasa!"

"Ngadu deh. Dasar tukang ngadu!"

Arman sudah membuka mulutnya untuk mencaci

lagi. Tetapi begitu ekor matanya menangkap bayangan Bram, lekas-lekas dikatupkannya kembali mulutnya. Arman tidak mau cari urusan dengan anak itu.

Dia sudah jera.

Waktu baru datang dulu, entah berapa puluh kali

dia digojlok. Untung dia tidak punya sifat melawan

seperti Bugi.

Arman tahu diri. Dia anak yatim. Miskin pula. Dipungut sebagai pelayan Pak Dadang saja dia sudah

merasa beruntung. Di kampung, sudah tidak ada lagi

kerabat yang mau memelihara dirinya. Masa paceklik

karena kemarau panjang sedang melanda desanya.

Di sana makan saja susah. Apalagi sekolah. Tetapi

di sini dia dapat hidup serba kecukupan. Makan tak

pernah kurang. Tidur enak. Kerja pun tidak terlalu

24

berat. Iadi apa salahnya menumpang hidup di sini?

Apa pun predikatnya di rumah ini pasti masih lebih

enak daripada di kampung!

"Eh, sini kamu!" Ketika melihat Bram datang

menghampiri. Bugi dengan gaya mengancam, cepatcepat Arman menyingkir. Gelagat jelek. Bram terkenal pemberang. Lebih baik cari selamat. Dia pura-pura tidak melihat Iwan dan Rio yang muncul di

belakang Bram sambil berkacak pinggang.

Wah, bakal seru nih, pikir Rio gembira. Mumpung Ibu nggak ada!

Iwan juga sedang mengawasi Bugi dengan dada

berdebar-debar. Makhluk aneh ini sudah menarik

perhatiannya sejak pertama kali datang. Ada perempuan kok kayak begini! Setahu Iwan, anak perempuan biasanya cengeng. Penakut. Bisanya cuma teriak-teriak. Baru, dijaili sedikit saja sudah menangis.

Nah, yang ini betul-betul kelainan!

"Mau apa?" balas Bugi judes. Diawasinya Bram

dengan galak.

Arman sampai tercekik karena kagetnya. Tidak

sadar dia menoleh. Bukan main! Anak kampung ini...

astaga! Dia berani menyahut selancang itu pada

pada

Dan Arman tidak jadi beranjak pergi. Ingin tahu

kesudahannya. Tatapan Bram demikian menggelegak. Tapi tatapan Bugi pun tidak galaknya!

Tanpa banyak bicara lagi Bram langsung

menyerang. Dan kini yang terperanjat bukan cuma

25

Arman. Bram dan saudara-saudaranya juga. Bugi bukan hanya gesit. Dia juga pintar berkelahi. Dia berkelit dengan gesit. Memukul dan menendang dengan

ganas.

Hanya karena tubuhnya lebih kecil dan tenaganya kurang kuat akhirnya dia harus kalah. Bugi jatuh
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tungang-langgang ketika satu pukulan Bram melanda

mukanya. Tetapi tak ada pekik kesakitan yang meluncur dari celah-celah bibirnya. Yang mengeluh justru

Arman. Bergegas dia datang melerai.

Tetapi Iwan menariknya mundur dengan kasar.

"Minggir!" bentak Iwan galak.

"Kamu juga mau

melawan, ya?"

"Nanti Ibu marah," desis Arman ketakutan.

Tanpa berani berkutik, dilihatnya saja dengan ketakutan bagaimana Bram mengayunkan kakinya untuk menendang Bugi.

Tapi Bugi bukan cuma gesit. Dia juga cerdik.

Disambarnya sapu yang tadi dibuangnya.

Dipukulkannya sekuat tenaga ke kaki Bram. Iwan

yang maju untuk menolong adiknya mendapat hajaran yang lumayan kerasnya pula. Sekarang Rio pun

terpaksa maju. Dia tidak dapat tinggal diam melihat

punggung abang-abangnya dihajar gagang sapu berkali-kali.

Dikeroyok tiga, Bugi memang kewalahan. Tapi

tetap tidak mau menyerah! Arman sampai terbengong-bengong melihatnya. Ketika Bram berhasil

merampas sapu dari tangan Bugi dan berbalik hendak menghajarnya, Pak Dadang muncul.

26

"Bagus!" geramnya sambil merampas sapu dari

tangan Bram.

"Sekarang kalian berkelahi juga dengan

anak perempuan! Main keroyok pula! Huh, bagus!

Ayah benar-benar bangga!"

"Dia bukan perempuan, Yah!" bantah Bram penasaran.

"Banci!"

"Mengeroyok anak perempuan juga pekerjaan

banci!"

"Dia yang duluan, Yah," sambung Iwan ketakutan.

"Dia memukuli Bram dengan sapu. Saya terpaksa

menolong Bram

"Ah, aku nggak perlu ditolong!" protes Bram tersinggung.

"Sudah diam!" bentak Pak Dadang kesal.

"Ayah

benar-benar malu. Dan kau, Arman! Bukannya melerai malah enak-enak menonton!"

"Sudah saya coba, Pak," desis Arman kecut. Tapi..."

"Sama juga. Sekarang kalian pergi ke halaman.

Berlutut di sana. Jangan duduk sebelum hukuman

kalian selesai! Lekas!"

"Huu, Ayah!" gerutu Rio jengkel.

"Rio kan nggak

tahu apa-apa!"

"Jangan membantah!"

"Sss...sa saya juga, Pak?" menggagap Arman ketakutan.

"Semua!" Belum pernah Arman melihat Pak

Dadang semarah ini. Biasanya dia begitu sabar.

Ketika Bugi memutar tubuhnya untuk mengikuti

mereka, Pak Dadang memanggilnya.

27

"Mau ke mana?"

Bugi tidak jadi melangkah. Dia berpaling sambil

menyeka darah yang masih meleleh di sudut bibirnya. Dan melihat keadaan anak itu, Pak Dadang tak

dapat lagi melampiaskan kemarahannya. Dagunya

memar. Pipinya bengkak. Bajunya pun koyak. Tetapi

matanya tetap bersorot menantang!

"Pergi cuci mukamu," kata Pak Dadang separuh

mengeluh.

"Tukar baju. Dan jangan berkelahi lagi!

Kalau Ibu tahu..."

Tetapi suara Bu Narsih sudah terdengar di halaman sebelum Bugi sempat bergerak.

"Berkelahi lagi?"

"Dia yang mulai duluan, Bu!" sahut Iwan ketakutan.

"Bram dipukul pakai sapu! Tanya Arman deh kalau Ibu nggak percaya!"

Ditatap Ibu dengan tiba-tiba sudah cukup membuat Arman gelagapan. Apalagi ketika melihat Pak

Dadang muncul bersama Bugi di ambang pintu beranda. Dia jadi salah tingkah. Serba salah. Peluh dingin sudah membasahi sekujur wajahnya.

"Betul itu, Arman?"

Wah, kalau Ibu sudah memanggilnya dengan

nama itu, tandanya keadaan sudah benar- benar gawat! Sebentar lagi, alarm pasti berbunyi!

"Betul, Bu...," sahut Arman gugup. Dia melirik

Iwan dengan ketakutan justru pada saat Iwan sedang

memelototinya dengan penuh ancaman.

Ibu berpaling dengan marah ke arah Bugi. Dan

28

mulutnya yang sudah terbuka hendak membentak

mendadak mengatup kembali melihat keadaan anak

itu.

"Dia dikeroyok bertiga," kata Pak Dadang dingin.

"Bukan main anak-anakmu ini!"

"Pergi cuci muka dan tukar baju!" Dengan kesal.

Ibu melemparkan bungkusan yang masih dipegangnya ke muka Bugi. Bungkusan itu jatuh dan terbuka.

Sehelai gaun terlempar ke luar.

"Percuma dibelikan

baju kalau baru dipakai sebentar sudah robek lagi!"

Tanpa berkata apa-apa Bugi memutar tubuhnya.

Tetapi suara Ibu sudah menggelegar lagi sebelum dia

sempat bergerak.

"Pungut bajumu!"

Sekejap Bugi tertegun. Ditatapnya rok teronggok

di lantai itu dengan tubuh mengejang. Baju? Untuknya? Alangkah ganjilnya! sebuah gaun pula. Selama

ini, dia tidak pernah memakai rok kecuali kalau hendak, pergi ke sekolah....

"Pakai rok itu!" sambung Ibu galak.

"Biar semua

orang tahu kamu perempuan!"

"Bukan perempuan, Bu!" sambung Bram sambil

menyeringai mengejek.

"Banci!"

"Diam kamu! Sekali lagi kamu berkelahi dengan

anak perempuan Ibu belikan kamu rok!"

"Rio juga ya, Bu!" sambar si bungsu Rio setengah

merayu.

"Rio kepingin pakai kalung!" Dengan manja Rio berlari mendapatkan ibunya. Tetapi Bu Narsih

29

mengangkat telunjuknya dengan dingin. Dan Rio terpaksa kembali ke tempatnya sambil menggerutu.

"Huu, Ibu! Rio kan nggak tahu apa-apa!" Sambil

berlutut di sisi Bram, Rio menyodok rusuk abangnya.

"Gara-gara kamu sih!"

30

BAB II

"Nah, Pak Zein ini wali kelasmu, Bugi," kata Suster

Katherine, memperkenalkan seorang laki-laki muda

di kantor kepala sekolah.

"Beliau guru matematik

merangkap guru olahraga. Kalau ada kesulitan, boleh

kamu paparkan padanya. Beliau akan menolongmu."

Sambil menoleh kepada Iaki-laki yang datang itu,

sambung Suster Katherine ramah.

"Ini murid baru kita, Pak Zein. Namanya Bugi

Lesmana. Dia adik angkat Iwan dan Bram Lesmana

yang di kelas 11 A itu. Barangkali agak sulit baginya

untuk menyesuaikan diri dengan pelajaran kita di

sini. Tapi saya percaya, dia mampu. Bugi baru datang

dari kampung. Belum lama tinggal di Jakarta bersama orang tua angkatnya. Angka-angka dalam STTB

SD-nya memang baik sekali, walaupun angka-angka

itu tidak menjamin kelancaran studinya di sini. Tetapi nilai IQ-nya baik sekali, Pak Zein. Seratus empat

puluh dua."

"Luar biasa," komentar Pak Zein sambil tersenyum.

Entah ada apanya senyum itu. Tetapi Bugi sudah

tertarik sejak pertama kali melihatnya. Guru yang

satu ini sungguh berbeda dengan guru-guru yang selama ini dikenalnya. Tampangnya enak dilihat. Sama

sekali tidak memancarkan kesan galak atau angker.

"Mula-mula saya juga tidak berani langsung menerimanya di sini," sambung Suster Katherine.

"Tapi

31

tes yang kita berikan dapat dikerjakannya dengan

baik. Nilai rata-ratanya tujuh koma delapan. Jadi

saya tak punya alasan lagi untuk menolak anak yang

sepandai dia, sungguhpun dia baru datang dari desa."

"Saya kira itu keputusan yang tepat, Suster. Kita

beri Bugi kesempatan tiga bulan untuk mengikuti

pelajaran di kelas satu. Boleh saya bawa dia ke kelas

sekarang, Suster?"

"Tentu. Nah, Bugi, ikut Pak Zein, ya."

"Mari, Bugi, Bapak perkenalkan pada temanteman sekelasmu," kata Pak Zein ramah.

"Bapak

harap kamu senang sekolah di sini."

Tanpa membantah Bugi mengikuti guru barunya.

Ketika melewati deretan kelas-kelas sampingnya, beberapa kali Bugi mendecah kagum dalam hati.

Alangkah berbeda dengan sekolahnya dulu! Di

sini tidak ada atap bocor. Yang bekas-bekas air hujannya melukiskan peta-peta pulau tak bernama

di dinding yang sudah terkelupas catnya. Tak ada

bangku reot yang tidak dipelitur.

Gedung bertingkat yang megah terpampang di

depan mata. Halaman yang luas dengan fasilitas

olahraga yang belum pernah dilihatnya membentang

dikelilingi kelas-kelas yang nyaman.

Semuanya serba rapi. Serba teratur. Sama rapinya seperti bunga-bunga dan tanaman di kebun sana.

Sama teraturnya seperti murid-murid yang sedang

berbaris di muka kelas masing-masing.

Guru dan murid sama-sama mengenakan serag

32

am. Bedanya, murid-murid memakai kaus kaki putih

dan sepatu hitam. Guru boleh memilih warna sepatu

mereka. Dan boleh tidak memakai kaus kaki.

Di sekolah yang lama, tidak ada namanya seragam. Tiap hari ada baju yang tidak dicuci. Lebih-lebih

kalau musim hujan. Kadang-kadang sampai seminggu Bugi tidak menukar bajunya. Tidak ada lagi baju

yang cukup pantas untuk dipakai ke sekolah.

"Ini kelasmu, Bugi." Pak Zein membawanya masuk ke dalam kelas yang terletak paling ujung.

"Kelas

1 A."

Kelas yang sedang hiruk-pikuk itu langsung sepi

begitu Pak Zein masuk. Semua mata menatap Bugi

dengan tatapan ingin tahu. Beberapa mulut yang iseng sudah tidak tahan lagi. Saling bisik dengan teman

di sebelahnya.

"Lelaki apa perempuan sih?" bisik Ita.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rambutnya pendek begitu, jalannya kayak koboi, tapi kok

pakai rok?"

"Banci kali!" Linda balas berbisik. Dan mereka sama-sama tertawa cekikikan.

"Tampang sih boleh," menimpali Beno.

"Kebetulan bangku sebelah kosong nih!"

""Anak-anak, ini teman baru kalian," kata Pak Zein

di tengah-tengah galau bisik-bisik.

"Namanya Bugi

Lesmana."

"Nama sih kayak hostes," ejek Dino.

"Penampilan

model wadam!"

"Ah, kayak yang namanya bagus aja!" sambung

Rita.

"Namamu juga masih nebeng nama sabun!"

33

"Ini kelas percobaan baginya. Kalau dalam tiga

bulan Bugi dapat mengikuti pelajaran kita, dia boleh

terus ikut di kelas ini. Kalau tidak... yah, dia terpaksa

mengulang lagi tahun depan."

"Jangan kuatir, Pak! Dia boleh nyontek pekerjaan

saya, asal ada imbalannya!"

"Huu, masih kecil sudah mental amplop!"

"Bapak harap kalian membantu Bugi agar dia

dapat menyesuaikan diri di sini," sambung Pak Zein

tanpa menghiraukan seloroh murid-muridnya.

"Beres, Pak!" sahut Beno berani.

"Saya tanggung

dia betah di sini! Kalau tidak, uang kembali!"

"Nah, kebiasaannya muncul!" menyeringai Dahlan.

"Gaya kaki lima jangan dibawa ke kelas, Ben!"

"Nah duduklah, Bugi. Itu di sebelah Beno ada

bangku kosong. Kita mulai dengan pelajaran hari ini.

Ada PR, kan?"

"Banyak, Pak," sahut Lira dengan gayanya yang selalu manja-manja menggemaskan itu. Sudah lama dia

naksir pada wali kelasnya yang ganteng ini.

Pak Zein masih muda. Baru dua puluh dua.. Tapi

sarjana muda FIPIA ini tidak serupa dengan caloncalon sarjana lain yang dikenal Lira. Dia belum pakai

kaca mata. Punggungnya tidak bungkuk. Tubuhnya

tinggi atletis seperti bintang film. Tampangnya pun

tampang idola remaja.

Cakepnya bukan cakep klasik model Clark Gable.

Wah, yang begituan sih sekarang sudah kuno. Tapi

bukan juga tampang nyentrik macam Mick Jagger

atau feminim model Michael Jackson.

34

Pokoknya Pak Zein ini idola teman-teman sekelas

Lira. Hampir semua teman-teman putrinya naksir.

Tapi yang berani berterus terang cuma beberapa. Itu

pun di belakang kepala Pak Zein. Maklum. Dia kan

guru. Bisa murka dewa mereka di kantor kepala sekolah sana.

"Pak Zein mana pernah sih nggak ngasih PR?"

sambung Nunuk tak mau kalah. Seakan-akan takut

tidak kebagian lirikan Pak Zein yang maut itu.

"Kepingin kita jadi sarjana Ilmu Pasti semua kali!"

Pak Zein cuma tersenyum menyambut keluhan

murid-muridnya.

"Yang nomor enam tuh, Pak! Susah banget!" sambar Lira, takut keduluan teman-temannya.

"Nomor satu saja belum, kan," sahut Pak Zein

simpatik sekali, tanpa meninggalkan senyum patennya.

"Coba kamu ke depan, Lira. Kerjakan di papan

tulis yang nomor satu itu."

Lira merapikan gaunnya dulu sebelum maju ke

depan kelas. Tahu hari ini ada pelajaran Pak Zein,

pagi-pagi dia sudah menyetrika gaunnya empat kali.

Dan merasa sedang diawasi Pak Zein dari belakang,

dia mencoba melangkah seanggun-anggunnya. Pinggulnya yang berukuran jumbo itu diayunkannya

dengan lenggak-lenggok yang dapat membuat orang

yang melihat menelan ludah dua kali.

Beno langsung memungut karet penghapusnya

dan menimpuk sasaran yang menantang itu. Dan

Lira menjerit seperti dipatuk ular.

35

"Ada yang nimpuk, Pak!" geramnya gemas,

separuh untuk mengadu, separuh lagi untuk menarik perhatian Pak Zein. Soalnya Pak Zein sudah mulai

menunduk memeriksa pekerjaan murid-muridnya.

"Siapa yang menimpuk Lira?" tanya Pak Zein sabar.

"Saya, Pak!" sahut Beno berani.

"Habis pinggulnya

egal-egol kayak bandul jam!"

"Tangan jadi gatal nih, Pak!" sambung Dino sambil menyeringai.

Anak laki-laki tertawa gelak-gelak. Anak perempuan cekikikan sambil melirik teman di sampingnya.

"Dia memang minta ditimpuk kok, Pak!"

"Jangan bergurau di kelas," kata Pak Zein tegas.

"Ayo, ambil penghapusmu, Beno. Dan minta maaf

pada Lira."

Sambil menyeringai Beno maju ke depan. Dia memungut penghapusnya dan berpaling pada Lira yang

sedang menatapnya dengan wajah cemberut.

"Sori ya, Lira!"

"Awas, kalau berani lagi!" belalak Lira jengkel.

Beno kembali ke bangkunya. Ketika duduk, sengaja dia menyepak kaki Bugi. Dikiranya gadis itu

akan menjerit. Tapi Beno jadi heran. Bugi diam saja.

Dia malah menatap dengan garang.

"Waduh, sori ya!" cetus Beno dengan suara dan

gaya seorang wadam.

"Kalau malam Zus operasi di

mana sih?"

Tentu saja Bugi tidak mengerti arti pertanyaan yang

36

terakhir itu. Tetapi mendengar tawa teman-temannya, dia tahu Beno sedang mengejeknya.

"Di sini," sahut Bugi sambil memukulkan penggarisnya ke kepala Beno.

Yang terkejut bukan cuman Beno. Teman-temannya juga. Mereka tidak menyangka anak baru ini demikian galaknya!

"Kapok kamu, Ben!" Rita yang duduk di belakang

mereka mengikik geli.

"Makanya tu mulut mesti disekolahin juga!"

Beno sudah bangkit dengan marah. Lupa dia masih berada di dalam kelas. Dan di depan ada Pak Zein.

Begitu dia melayangkan tangannya untuk memukul

Bugi, Pak Zein membentaknya. Dan tiba-tiba saja

Beno sadar, Pak Zein masih hidup. Dibatalkannya

serangannya. Diliriknya Bugi sambil menyeringai

masam.

"Nanti awas ya, kalau pulang!"

"Kenapa mesti nanti?" tantang Bugi panas.

"Bugi," tegur Pak Zein yang masih mengawasi

mereka.

"Ini di dalam kelas. Dan pelajaran sudah

dimulai. Kalau kamu tidak dapat duduk dengan tenang, di luar juga ada bangku."

Terpaksa Bugi kembali duduk dengan patuh. Ada

sesuatu yang tidak dapat dilawan di mata Pak Zein.

Ketegasan yang diselimuti kewibawaan.

Bugi sudah menaruh respek pada guru yang satu

ini sejak pertama kali bertemu. Dia bisa teramat sabar. Lembut. Penuh pengertian. Tapi di saat lain, dia

tidak ragu-ragu memperlihatkan ketegasannya.

37

Bugi sedang kebingungan mencari mobil jemputannya ketika Beno datang bersama kawan-kawannya. Kata Pak Dadang tadi pagi, dia harus pulang

bersama Iwan dan adik-adiknya. Mang Dahim akan

menjemput mereka. Tapi Bram dan Iwan sudah tidak

tampak lagi batang hidungnya.

Penasaran Bugi menjenguk ke SD Rio masih

duduk di kelas empat. Arman di kelas lima, meskipun

tingginya sudah sama dengan Pak Guru. Tapi kedua

anak itu pun sudah tidak ada. Kelas mereka sudah

kosong.

Terpaksa Bugi keluar lagi. Dia sedang menelusuri

kaki lima sambil mengawasi mobil-mobil yang masih

diparkir di depan sekolah ketika Beno menghadangnya.

"Halo!" sapanya sambil menyeka rambutnya ke

belakang. Suaranya kecil-kecilkannya seperti perempuan.

"Minggir! Koboi lewat

Sengaja Dino mendorong tubuh Dahlan ke arah

Bugi.

"Aduh!" teriak Dahlan seperti dicapit kepiting.

Tentu saja cuma pura-pura. Dia berlagak sempoyongan menabrak Bugi.

Tapi kali ini Bugi tidak mengelak. Dia menunggu

sampai tubuh Dahlan cukup dekat. Lalu didorongnya

sekuat tenaga. Kaget karena tidak menyangka, Dahlan sempoyongan hampir jatuh.

'"

38

"Gile!" cetusnya terkejut.

"Galak amat!"

"Jangan main-main lu, Lan!" Beno memukul bahu

Dahlan sekeras-kerasnya.

"Dia kan pacar gua!"

Tanpa menoleh pada Bugi, dengan gayanya yang

konyol, Beno meraih bahu anak perempuan itu. Tentu saja maksudnya cuma main-main. Dia memang

gemar mengganggu anak-anak perempuan. Apalagi

anak baru.

Tetapi Bugi bukan dari jenis gadis-gadis yang

dikenalnya selama ini. Begitu lengan Beno mendekat,

dipegangnya kuat-kuat dengan kedua belah tangannya. Dan digigitnya sampai anak laki-laki itu menjerit

kesakitan.

Sekarang Beno betul-betul marah. Diayunkannya

tinjunya ke muka Bugi. Sekali-dua kali Bugi masih

dapat menghindar. Tapi pukulan ketiga tidak dapat

dielakkannya lagi. Dan dia jatuh tunggang-langgang

di atas trotoar.

Roknya tersingkap. Semua anak yang menonton

menertawakannya. Kecuali Beno. Dia sendiri terkejut

melihat hasil perbuatannya.

Lutut dan siku Bugi berdarah. Mulutnya juga. Tapi

dia tidak mengaduh. Apalagi menangis.

Ketika Beno mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, Bugi malah meludah. Dan sebelum

Beno sempat mundur, Bugi telah menendang kakinya. Giliran Beno yang ditertawakan teman-temannya ketika dia terhuyung mundur sambil menyeringai

kesakitan.

39
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibu marah sekali ketika mengetahui Bugi tidak

pulang bersama anak-anaknya. Dan itu memang

yang diharapkan Bram. Dia tahu Ibu sangat keras.

Pulang harus tepat pada waktunya. Terlambat berarti

harus mempertanggungjawabkan di depan Ibu. Dan

terlambat akibat ngelayap atau alasan lain yang tak

dapat diterima, berarti hukuman.

Sengaja Bram menyuruh Mang Dahim langsung

pulang sebelum Bugi sempat naik ke mobil. Arman

yang sudah meringkuk ketakutan di sudut diancamnya sampai tidak berani membuka mulut lagi. Dan

laporan mereka seperti koor yang memerahkan telinga Ibu.

"Kami sudah lama nunggu si Bugi, Bu! Dia nggak

mau pulang kali!"

Ketika satu jam kemudian Bugi pulang dalam

keadaan babak belur, kemarahan Ibu sampai pada

puncaknya.

"Berkelahi lagi!" geram Ibu sengit.

"Kamu ini lelaki atau perempuan sih? Masa tiap hari berkelahi?!"

Bugi tidak menjawab. Karena dia memang tidak

merasa perlu menyahut. Apa pula yang harus dijawabnya? Dia hanya tegak menunggu hukuman.

Dan dia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebuah

tamparan yang lumayan kerasnya melanda pipinya.

"Kalau berani berkelahi lagi tidak usah sekolah!"

geram Ibu Narsih kesal.

"Pulang saja ke kampung!

Biar jadi jagoan di sana!"

40

Bram tergelak puas.

"Sukur." Dia menyeringai menang.

"Rasain lu!"

Tapi Bugi masih membalas tatapannya dengan

berani. Dan Bram merasa ditantang. Iwan juga. Bedanya, Bram berani menteror Bugi dengan tindakan.

Iwan tidak. Dia hanya meminjam tangan adiknya.

Bagaimana mereka harus menundukkan bajingan

kampung yang kotor itu. Dia harus diajar adat.

Bram pernah merobek-robek buku tulis Bugi

sampai sekecil-kecilnya. Ketika dia membuka buku

itu di kelas keesokan harinya, serpihan kecil-kecil

berjatuhan dari buku itu. Dan Bugi menjadi bahan

tertawaan teman-temannya.

Bram juga pernah menuangkan air ke dalam tas

sekolah Bugi. Dan melekatkan permen karet di halaman buku-bukunya.

Sekali-dua kali Bugi masih dapat menahan diri.

Tetapi karena Bram melakukannya setiap hari, kesabaran Bugi habis juga. Dia tahu kapan Bram melakukan semua itu. Kalau Bugi tidak ada di kamar. Bram

akan menyelinap masuk.

jadi sengaja Bugi pura-pura keluar dari kamarnya

sore itu. Tetapi dia segera masuk lagi melalui jendela.

Dan bersembunyi di belakang lemari.

Bugi sudah meletakkan sarang tawon ke dalam

tasnya. Begitu Bram mengeluarkan benda bulat itu,

Bugi langsung menjepretnya dengan ketapel. Sarang

tawon itu pecah dan isinya beterbangan ke luar. Buru-buru Bugi melompat melalui jendela dan menutupkannya kembali.

41

Malam itu Bram tidak muncul di meja makan.

Esoknya pun tidak masuk sekolah. Mukanya sembab

disengat tawon. Tapi dia tidak berani mengadu ke

Ibu. Hanya sejak hari itu dia tidak berani menyelinap

ke dalam kamar Bugi.

42

BAB III

"Saya dengar kemarin Bugi berkelahi." Tidak ada

nada marah dalam suara Pak Zein.

"Kenapa? Coba

ceritakan kepada Bapak."

"Tidak ada apa-apa," sahut Bugi tanpa mengangkat wajahnya.

"Bugi tidak mungkin berkelahi tanpa sebab." Suara Pak Zein demikian sabar. Alangkah berbeda dengan Ibu! Ibu selalu sudah memaki sebelum bertanya,

"Beno mengganggumu?"

Bugi cuma menggangguk sedikit. Dia tidak merasa perlu mengadu. Kepada siapa pun. Itu urusannya

sendiri. Buat apa orang lain ikut campur? Toh mereka

tidak akan peduli.

"Kamu memang patut membela diri kalau diganggu, Bugi."

Sekarang Bugi mengangkat mukanya dengan keheran-heranan. Ditatapnya gurunya dengan tatapan

tidak percaya. Tidak salah dengarkah dia?

Di kampungnya dulu Bugi juga suka berkelahi.

Tapi tidak ada orang yang membelanya. Tidak ada

yang memuji. Bahkan tidak ada yang menaruh perhatian.

"Bapak bangga padamu. Kamu gadis yang berani. Bukan gadis cengeng yang dapat dipermainkan

seenaknya. Jika orang mengganggumu, kamu memang punya hak untuk membela diri."

43

Dengan bingung Bugi mengawasi gurunya. Tapi

Pak Zein membalas tatapannya dengan tenang.

"Beno memang nakal. Hampir setiap anak perempuan pernah diganggunya. Tentu saja dia belum pernah ketemu yang seperti kamu. Dia pasti jera. Dan

tidak berani mengganggumu lagi."

Pak Zein tersenyum sabar melanjutkan kata-katanya.

"Tetapi yang nakal di sekolah ini bukan cuma

Beno. Kamu toh tidak mungkin melawan mereka semua. Kamu tidak dapat berkelahi setiap hari.

Memusuhi semua orang. Jadi kalau ada yang mengganggumu lagi, laporkan saja pada Bapak, ya? Bapak yang akan mewakilimu menindak mereka. Oke,

Bugi? Kamu percaya pada Bapak, bukan?"

Perlahan-lahan Bugi mengangguk. Saat ini dia

memang tidak dapat mempercayai siapa pun. Hidup telah mengajarkannya agar tidak mempercayai

seorang pun kecuali dirinya sendiri. Tetapi hari ini

muncul seorang laki-laki yang berbeda dari semua laki-laki yang pernah dikenalnya selama ini. Dan tampaknya laki-laki ini bisa dipercaya... sedikit.

"Maaf kemarin ya," tegur Beno begitu Bugi masuk

ke kelas. Kali ini untuk pertama kalinya Beno tidak

bersuara dan bertingkah laku seperti wadam. Sikapnya serius meskipun senyum nakal masih tersungging di bibirnya.

"Masih sakit?"

44

"Apanya?" balas Bugi dingin. Masih curiga kepada

sekelilingnya. Selama ini semua yang ada di sekitarnya selalu menampakkan sikap permusuhan. Jadi dia

harus selalu waspada.

"Apanya? Ya semuanya. Mulutmu. Sikapmu. Lututmu. Hatimu..." Beno menyeringai minta maaf.

"Tadinya aku nggak bermaksud memukulmu. Betul

lho! Habis kamu kelewatan sih! Ini kan tangan, bukan

tulang! Masa digigit..."

"Waduh, rayuan gombal!" sambar Dino begitu dia

masuk ke dalam kelas.

"Jangan mau sama dia, Bugil!

Kalau mau pacaran lebih baik sama aku! Lebih bonafid!"

"Kamu panggil apa dia?" belalak teman-temannya

menahan tawa.

"Bugil! Nggak salah, kan? Memang namanya begitu kok!"

"Eh, jangan ganggu dia lagi!" Beno pura-pura

mendorong Dino dengan gemas.

"Mau gua cocor lagi

monyong lu?!"

"Lho, itu memang namanya kok! Coba, siapa

namanya? Bugi, kan? Bugi Lesmana, kan? Kalau disingkat, Bugi L, kan? Nah, ayo baca, siapa namanya!"

Meledak tawa teman-temannya. Dino memang

pintar membolak-balik nama orang. Padahal namanya sendiri berbau pesan sponsor.

"Udah dong, jangan godain dia lagi kenapa sih?"

potong Rita iba. Dilihatnya paras Bugi sudah merah

padam.

45

"Nggak deh."

"Nggak deh! Besok udah lupa lagi!"

"Betul. Nggak lagi. Kita makan bakso tenis yuk,

Gil?"

"Eit, nggak bisa!" potong Beno, pura-pura marah.

"Bugil pacar gua. Mesti minta izin dulu sama yang

punya!"

"Wah, ngelunjak nih! Baru digigit sekali udah

berasa munyain! Lu udah punya Surat Izin Pacaran

belum?"

"Siip! Surat sih belakangan. Bisa diurus. Pokoknya

kita cs kan, Gil?"

Beno mendekati Bugi sambil tersenyum-senyum.

Lengannya sudah diulurkannya untuk meraih bahu

gadis itu. Tentu saja maksudnya cuma main-main.

Tetapi begitu dilihatnya reaksi Bugi, buru-buru ditariknya kembali lengannya.

Pancaran berbahaya keluar dari mata yang dingin

itu. Dan tiba-tiba saja Beno menyadari bahaya yang

mengancam lengannya. Teman-temannya langsung

tertawa geli melihat tingkahnya.

"Hati-hati, Ben! Yang ini buas lho!" ejek Dahlan.

"Perlu bantuan?"

"Bantuan?" Beno balas mengejek.

"Dari kamu?

Puih! Nggak tahu diri! Ngaca dulu dong! Sekali

dorong aja celentang!"

"Sst! Diam! Pak Zein datang!" seru Dede dari posnya yang paling strategis, di sudut dekat pintu.

Dan angin puyuh menderu di seluruh kelas.

46

Semua anak lari ke bangku masing-masing. Tepat

pada saat Pak Zein menginjak ambang pintu, tikus

pun tak ada yang mencicit lagi.

Begitu masuk, Pak Zein langsung melirik Bugi.

Justru pada saat Bugi sedang menatapnya. Sekejap

mereka bertemu pandang. Dan Pak Zein tersenyum

simpatik. Dia membalas sapaan murid-muridnya

dengan ramah. Meletakkan bukunya di atas meja.

Dan duduk di kursi guru.

"Saya dapat laporan dari guru-guru lain," kata Pak

Zein sebelum pelajaran dimulai.

"Kalian nakal lagi."

"Bohong, Pak!" sambut Beno bersemangat.

"Kami

cuma menahan bola anak-anak kelas 11 B. Soalnya

bola kami hilang gara-gara mereka!"

"Bukan soal itu. Ada laporan lain yang masuk.

Dari Pak Anwar."

"Wah, Pak Anwar sih sentimen sama kelas kita,

Pak!"

"Ulangan PSPB kemarin mendadak, Pak! Kami
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ada yang belajar!"

"Lampu sen motor Pak Anwar pecah sendiri, Pak!

Bukan kami yang nimpuk!"

"Siapa di antara kalian yang meletakkan permen

karet di kursi guru?"

Terdengar bisik-bisik dan tawa kecil dari sana-sini. Pak Zein menyapukan pandangannya ke seluruh

kelas. Dan tatapannya berhenti di wajah Dino.

"Kamu, Dino?"

Seringai Dino langsung lenyap. Air mukanya berubah serius.

47

"Bukan, Pak! Waduh, mana saya berani sih, Pak?!

Pak Anwar tegangannya tinggi!"

"Kamu barangkali, Beno?"

"Aduh, kenapa saya yang selalu disalahkan sih,

Pak?"

"Kamu residivis sih," bisik Rita geli.

"Kita tidak akan mulai pelajaran hari ini sebelum

ada yang mengaku," kata Pak Zein tegas.

"Ingat, lempar batu sembunyi tangan adalah perbuatan pengecut! 1 A memang kelas yang terkenal nakal. Tapi bukan kelas buat si pengecut. Kalau kalian tidak berani

mengakui perbuatan kalian, Bapak malu menjadi

wali kelas ini."

"Ayo dong, ngaku!" desis Lira seperti orang kepedasan.

"Saya yang melakukan, Pak!" Tiba-tiba Dahlan

berdiri sambil mengacungkan tangannya.

"Saya hargai keberanianmu mengakui perbuatanmu, Dahlan. Istirahat nanti, kamu harus menghadap

Pak Anwar. Minta maaf dan bersedia menerima hukuman dari beliau. Ingat, jangan ulangi lagi perbuatanmu."

"Baik, Pak."

"Sekarang kamu boleh duduk." Pak Zein menghela napas.

"Masih ada satu kasus lagi. Kali ini pengaduan dari Bu Lies. Siapa di antara kalian yang mencuri

amplop dari dompetnya?"

"Bukan mencuri, Pak!" Hampir separuh kelas serempak berteriak.

"Jatuh sendiri!"

48

"Saya percaya," sahut Pak Zein sabar.

"Siapa yang

menemukan?"

"Kami semua, Pak! Jatuh di depan kelas!"

"Mengapa tidak dikembalikan?"

"Isinya cuma kupon, Pak!" Nunuk tertawa geli.

Teman-temannya serentak tertawa riuh. Bu Lies

memang guru yang populer di kelas mereka. Tetapi

populer karena tidak disukai. Dia guru bahasa Indonesia dan Kesusastraan. Sekaligus mengajar kesenian.

Tetapi anak-anak menggelarinya si Tukang Sirep.

Soalnya kalau pelajaran Bu Lies, hampir separuh

kelas jatuh tertidur. Sisanya terangguk-angguk mengantuk.

"Apa pun isinya, barang yang bukan milik kalian,

harus dikembalikan kepada pemiliknya!"

"Sudah kami kirim lewat pos, Pak?" sambung Linda lincah.

"Dikirim ke mana?" Kali ini Pak Zein yang bingung. Dia mengerutkan dahi. Dan menatap Linda

yang masih tersenyum-senyum itu dengan tatapan

tajam.

Ditatap demikian, jantung Linda memukul dua

kali lebih cepat. Dan dia tidak berani tersenyum lagi.

"Ke majalahnya, Pak. Itu kan kupon yang digunting Bu Lies dari majalah. Kalau sudah terkumpul, harus dikirim. Nanti diundi, Pak. Siapa tahun Bu Lies

dapat T. shirt!"

Dan tawa meledak di seluruh kelas tanpa dapat

ditahan-tahan lagi. Pak Zein menggeleng-gelengkan

kepalanya sambil menahan senyum.

49

Anak-anak ini memang benar-benar nakal. Hampir tiap hari dia dapat pengaduan. Dari guru-guru

lain. Maupun dari Suster Katherine sendiri. Ada-ada

saja pengaduan mereka. Kepalanya sampai pusing.

Pak Zein bukan tidak menyadari kebencian murid-muridnya pada guru-guru tertentu. Terhadap guru-guru itu, derajat kenakalan mereka naik berlipat

ganda. Memang tidak seluruhnya kesalahan mereka.

Tetapi bagaimana pun juga, sebagai wali kelas, dia

wajib menasehati murid-muridnya.

"Kalau Bu Lies datang mengajar nanti, kalian harus minta maaf. Dan katakan terus terang, kalian sudah menolong mengirimkan amplop itu."

"Kalau Bu Lies dapat mobil, kami nanti diajak

pulang ya, Pak?" cetus Dino lantang.

"Huss! Sudah diam! Sekarang jangan ribut lagi.

Kalau masih tetap begini nakal dan senang mempermainkan guru-guru, Bapak sudah kewalahan jadi

wali kelas ini."

"Wah, jangan dong, Pak!" sanggah seluruh kelas.

"Kami sayang kok sama Bapak!"

"Kalau benar demikian, saya tidak mau dengar

lagi pengaduan tentang kenakalan kalian."

"Kalau guru-gurunya yang membosankan,

bagaimana Pak? Kami juga boleh ngadu?"

"Kalian harus menghormati semua guru.

Bagaimanapun sifat dan cara mereka mengajar. Anggap guru sebagai orang tua kalian di sekolah!"

"Wah, kalau kayak Pak Anwar dan Bu Lies sih aku

50

mendingan nggak punya orang tua sekalian!" bisik

Rita pada Henny.

"Hari ini kita olahraga," kata Pak Zein kemudian.

"Bela diri. Ada yang tidak bisa ikut?"

"Saya, Pak!" Lira mengacungkan jarinya paling

dulu. Seolah-olah takut keduluan.

"Hari ini saya tidak bisa "

"Cuti haid!" ejek Dino.

"Apa lagi!"

"Kok haid lu sebulan dua kali, Lira?" sambar Dahlan.

"Lha, kok lu apal sih, Lan?" Dede mengikik geli.

"Jangan ribut," potong Pak Zein.

"Ayo, anak laki-laki keluar dulu. Siapkan matras."

"Pak! Pak! Saya juga tidak bisa ikut, Pak!" seru

Bert.

"Mules!"

"Lu mens juga, Bert?" sindir Dino.

"Pantes muka

lu mulai jerawatan!"

"Kamu harus ikut, Bert," perintah Pak Zein tegas.

"Tidak ada alasan untuk tidak ikut olahraga. Kamu

laki-laki. Kalau perlu, lebih baik kamu roboh di arena

daripada menyerah sebelum bertanding. Jangan cengeng?"

"Anak perempuan boleh ya, Pak?" sambung Lira

manja.

"Saya catat di buku ini, Lira. Kalau kamu bohong,

saya skors. Tidak boleh ikut olahraga lagi."

"Sukur lu!" maki Nunuk puas. Tentu saja separuh

berisik.

Sudah lama Nunuk kesal pada Lira. Sikapnya di

51

depan Pak Zein selalu berlebihan. Cari perhatian saja!

Hhh. Kayak tampangnya kebagusan! Sudah pantatnya extra large. Betisnya king size. Belum lagi jerawat di

pipinya. Tak terhitung jumlahnya.

Tetapi Lira tidak marah. Itu memang salah satu

sifat Pak Zein yang dikaguminya. Dia simpatik. Tapi

tegas. Dia bisa ramah. Namun pada saat lain tidak

ragu-ragu untuk bersikap keras. Ah, benar-benar jantan pilihan.

Bugi mengikuti pelajaran bela diri yang diajarkan

Pak Zein dengan sungguh-sungguh. Sebentar saja,

dia sudah lebih mahir daripada teman-teman putrinya yang sudah lebih dulu berlatih. Anak perempuan

paling tidak menyukai pelajaran ini. Dan karena mereka berlatih dengan segan-seganan, hasilnya pun kurang memuaskan.

Bugi merupakan perkecualian. Sekali berlatih

lagi, Pak Zein-lah yang bingung. Dia tidak tahu harus

mencari siapa untuk sparrin g partner Bugi.

Anak perempuan sudah bukan tandingannya lagi.

Anak laki-laki pasti akan mengisenginya. Jadi terpaksa Pak Zein sendiri yang turun tangan.

"Bagus, Bugi," puji Pak Zein, benar-benar karena

kagum, ketika Bugi berhasil mengelakkan serangannya.

"Kamu benar-benar berbakat."

"Bukan perempuan sih," gerutu Lira, karena

cemburu.

52

"Kromosomnya lebih satu, Pak!" sambar Dahlan,

yang baru saja mencuri baca Xxy Syndrome milik

Ibu.

"Kenapa kalau kromosomnya lebih satu?" potong

Nunuk ingin tahu.

"Ya seperti itulah. Lelaki bukan, perempuan bukan!"

"Ah, sok tahu lu!"

"Eh, nggak percaya? Kromosom lelaki XY. Perempuan XX. Tapi dia perkecualian. XXY. jadi lelaki bukan, perempuan juga bukan!"

Dahlan tersenyum bangga ke arah teman-temannya yang sedang mengawasinya antara bingung dan

ingin tahu. Tetapi dia tidak sempat berlama-lama menikmati kebanggaannya. Bugi datang begitu tiba-tiba

di dekatnya. Dan sekali gerak, dia telah mempraktekkan ilmu yang baru diajarkan Pak Zein.

Kesudahannya benar-benar mengundang pekikan kaget anak-anak perempuan. Dan desis kagum

teman-teman prianya. Dahlan terkapar sebelum sempat membela diri!

"Bugil Jangan Begitu!" bentak Pak Zein antara terkejut dan marah.

"Ilmu yang saya ajarkan hanya untuk membela diri, bukan untuk menyerang orang!"

Bugi masih ingat bagaimana marahnya Pak Zein.

Belum pernah dia melihat tatapannya segusar itu.

53

Sejak pertama kali bertemu, Pak Zein selalu ramah.

Sorot matanya selalu bersinar lembut. Senyumnya

demikian menyejukkan. Tetapi hari ini dia betul-betul marah.

Bugi merasa ada yang tidak enak mengganjal

hatinya. Dia telah membuat Pak Zein gusar. Dan itu

membuatnya tidak tenang.

Aneh. Biasanya Bugi tidak peduli orang lain marah atau tidak. Tapi hari ini mengapa terasa begitu

berbeda?

Bugi merasa dia harus menemui Pak Zein sebelum pulang. Kalau tidak, sepanjang hari ini dia tidak

akan merasa tenang.

Pak Zein sedang tunduk menulis di ruang guru

ketika Bugi mengetuk pintu. Dia langsung mengangkat wajahnya. Dan matanya bertemu dengan tatapan

Bugi yang ragu-ragu.

"Oh, kamu, Bugi." Suaranya lunak. Tak ada nada

marah lagi di dalamnya.

"Ayo masuk. Ada apa?"

Bugi melangkah ke depan meja Pak Zein. Dan tertunduk di sana.

"Duduklah dulu," kata Pak Zein lagi.

"Ada yang ingin kamu ceritakan pada Bapak?"

"Saya ingin minta maaf, Pak." kata Bugi dengan

suara tertekan.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh."

Ada senyum bijaksana melintasi bibir Pak Zein.

Senyum biasa. Senyum seorang guru. Tapi bagi Bugi,

senyum itu menyembuhkan luka di hatinya.

54

"Bapak tahu Bugi menyesal. Sudahlah. Lain kali

jangan berkelahi lagi, ya. Apalagi di depan Bapak. Itu

namanya tidak sopan."

"Tapi Bapak menyuruh saya membela diri."

"Kamu menyerang Dahlan, Bugi. Bukan membela

diri."

"Dia mengejek saya."

"Anak laki-laki di sini memang bandel, Bugi. Bapak akan tegur mereka sekali lagi. Tapi Bugi, tahukah

kamu mengapa mereka selalu mengejekmu?"

Bugi mengangkat mukanya. Dan menatap Pak

Zein dengan serius.

"Sikapmu, Bugi," tukas Pak Zein sabar.

"Cobalah

mengubah Sikapmu. Kamu anak perempuan. Dan

perempuan adalah makhluk yang lembut. Walaupun

bukan berarti makhluk lemah. Kamu harus berani

membela diri kalau diganggu. Tapi jangan sekali-kali meninggalkan sifat kewanitaanmu. Menjadi wanita bukan berarti menjadi lemah. Memperlihatkan

sifat-sifat kewanitaan bukan berarti menyerah saja

kalau diganggu. Tapi percayalah pada Bapak, Bugi.

Teman-teman akan lebih menghargaimu kalau kamu

meninggalkan sifatmu yang kelaki-lakian. Mereka

akan berhenti menggodamu kalau menyadari betapa

menariknya gadis yang bernama Bugi Lesmana itu.

Dan mereka akan berlomba-lomba memikat hatimu."

Bugi sudah berjanji akan mematuhi nasihat Pak

Zein. Dia tidak mau melihat Pak Zein kecewa. Kalau ada yang tidak ingin dilihatnya kecewa, orang itu

adalah Pak Zein.

55

Tetapi sekarang ada persoalan lain yang tidak

dapat dielakannya. Dia sedang menunggu mobil jemputan ketika Iwan dan adik-adiknya terlihat dalam

suatu perkelahian.

Entah apa sebabnya. Tahu-tahu Bram dikeroyok.

Rio langsung turun tangan membantu kakaknya.

Iwan juga. Meskipun dengan separuh terpaksa. Masa

Bugi harus tinggal diam?

Jumlah penyerang itu cukup banyak. Enam orang.

Tubuh mereka tidak lebih kecil dari Bram. Dua orang

di antaranya pasti anak-anak kelas tiga.

Sebentar saja Rio sudah babak belur. Tapi dia masih mencoba melawan. Dan Bugi tidak dapat tinggal

diam. Bagaimanapun mereka saudara angkatnya.

Dan dia tidak bisa berteriak-teriak minta tolong seperti Rita. Atau Nunuk. Atau Lira. Dia harus bertindak.

Tanpa menunggu lagi, Bugi meraih sebatang dahan kering. Diayunkannya dahan itu berulang-ulang

ke punggung pengeroyok-pengeroyok Rio.

Mula-mula Rio sendiri keheran-heranan melihatnya. Tapi Bugi tidak menunggu ucapan terima

kasih. Begitu penyerang-penyerang Rio mundur, dia

memukul pengeroyok Bram. Tetapi anak itu terlalu

besar untuk merasakan sakit hanya dengan sekali pukul saja. Merasa sakit dia malah semakin buas.

Dan dia berbalik menyerang Bugi.

Ketika salah seorang pengeroyoknya mundur,

Bram punya kesempatan untuk melihat siapa yang

56

datang menolongnya. Dan dia menjerit marah karena

merasa terhina. Ditolong seorang anak perempuan!

Bah! Dia tidak sudi!

"Minggir!" teriaknya kepada Bugi.

"Kepukul

ringsek lu!"

Terlambat. Saat itu penyerangnya telah berhasil

menjotosnya. Bugi jatuh terlentang. Rio dan Bram

sama-sama melompat hendak menolong. Tapi dihalangi-halangi lawan mereka.

Ramli sendiri tidak jadi menghajar Bugi begitu

dilihatnya anak itu perempuan. Dia sudah berbalik

untuk memukul Bram ketika Bugi bagkit lagi memungut dahannya. Dipukulkannya kayu itu kuat-kuat ke

tulang kering di tungkai Ramli.

Bugi tidak menunggu sampai Ramli yang sedang

terhuyung-huyung mundur sambil memegangi kakiknya itu jatuh terduduk. Tanpa membuang kesempatan sedikit pun, dia menghajar musuh-musuh Rio.

"Horas, Bugil!" seru Rio walaupun dia sedang

sempoyongan kena pukul.

Sekarang hampir semua anak memanggilnya demikian. Bugi sudah tidak bisa marah lagi. Daripada

membuang energi untuk marah, lebih baik dia terus

mendesak lawan-lawannya.

Bugi baru berhenti ketika Ramli menyerangnya

kembali dengan buas. Tetapi saat itu, dia memperoleh bantuan yang tidak disangka-sangka. Beno menerjang Ramli sebelum dia berhasil memukul Bugi.

"Eit! Kira-kira lu! Masa berkelahi sama anak perempuan!" geram Beno, masih separuh bergurau.

57

"Bukan urusan lu, Sialan!" maki Ramli, balas

menyerang Beno.

"Siapa bilang? Dia kan pacar gua!"

Bugi masih memegang kayu. Tapi saat itu, dia tidak ingin memukul Beno. Bahkan ketika Beno jatuh

terpukul, Bugi menyodorkan kayunya. Tentu saja

maksudnya untuk memukul Ramli.

Tetapi Ramli lebih gesit. Dia menyambar kayu

itu. Dan memukulkannya ke lutut Bugi. Beno sampai

berteriak karena kagetnya.

Bugi jatuh terduduk. Mukanya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang mengaduh malah Ramli,

Beno menyeruduknya dengan marah. Dan dia tidak

sempat menghindar. Perutnya sampai terlipat dua

karena sakitnya.

"Sakit, Bugil?" Beno langsung berlutut di sisi Bugi

yang masih duduk sambil mengurut lututnya.

"Sedikit," sahut Bugi menahan sakit.

Beno mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Tetapi Bugi pura-pura tidak melihat.

Dia merayap bangun dengan susah payah. Dan berjalan terpincang-pincang untuk menolong Rio yang

telah tersungkur untuk kesekian kalinya.

Untung para guru keburu datang melerai sebelum

korban bertambah banyak lagi. Mereka yang berkelahi dibawa menghadap kepala sekolah. Dan Suster

Katherine terheran-heran melihat Bugi ikut menghadap. Apalagi melihat keadaannya.

Dagunya memar. Lututnya bengkak. Bajunya

58

kotor. Tetapi matanya tetap bersorot setenang ketika Suster Katherine pertama kali melihatnya. Sama

sekali tidak ada perasaan bersalah.

"Mereka mengeroyok Iwan, Bram, dan Rio." sahutnya tegas ketika kepala sekolah menanyakan alasannya ikut terlibat dalam perkelahian itu.

"Tapi kamu seorang gadis, Bugi!" cetus Suster Katherine, tanpa bermaksud menyembunyikan

perasaan bingungnya.

"Apa bedanya?"

"Bedanya?" Suster Katherine menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tentu saja ada bedanya! Kamu seorang wanita! Bagaimana kamu bisa berkelahi dengan

mereka?"

"Bugi sudah pernah berkelahi dengan setiap anak

lelaki di sekolah ini, Suster." Beno menyeringai nakal.

"Termasuk saya!"

"Saya percaya Bugi hanya bersifat kelaki-lakian."

Pak Zein mengemukakan pembelaannya di depan rapat di ruang guru.

"Tapi bukan transvestit atau banci."

"Pak Zein yakin kita tak perlu minta pertolongan

seorang ahli?" Suster Katherine mengerutkan dahinya.

"Psikiater misalnya?"

"Saya percaya ini bukan deviasi atau penyimpangan seks, Suster. Bugi cuma terpengaruh lingkungannya. Saya sudah bicara dengan bapak angkatnya. Dia

59

lahir dan dibesarkan di kampung yang selalu kekurangan pangan meskipun terletak di daerah yang termasuk gudang beras di Jawa Barat. Ayahnya bekerja

sebagai penjaga malam pabrik beras Pak Dandang.

Dia jarang di rumah. Dengan sendirinya Bugi-lah

yang harus menggantikan tugas ayahnya. Dia anak

paling besar. Apalagi setelah ayahnya meninggal."

"Di mana adik-adiknya sekarang?" sela Bu Sumiati yang tiba-tiba merasa tertarik.

"Meninggal ketika terjadi wabah muntaber di

daerah itu. Wabah yang juga merenggut nyawa ibu

mereka."

"Ah, Bugi benar-benar harus dikasihani."

"Tapi tidak perlu dengan berlebihan. Dia sendiri

tidak mau dikasihani."

"Kalau berhadapan dengan anak itu, saya sendiri

kadang-kadang lupa dia wanita."

"Sikapnya memang persis anak laki-laki."

"Pak Zein percaya tidak ada kelainan biologis

padanya?" tanya Pak Anwar.

"Kelainan genetik misalnya? Pak Zein sendiri bilang dalam pelajaran olahraga, Bugi tidak dapat dibandingkan dengan anak-anak

perempuan. Dia terlalu superior."

"Untuk mengetahui adanya kelainan genetik kita

perlu pemeriksaan genetik pula. Pemeriksaan kromosom misalnya. Dan itu tentu saja wewenang seorang dokter. Tapi apakah kita perlu melakukannya?

Apa keuntungannya untuk Bugi? Dia hanya akan

merasa tertekan. Apalagi bila hasilnya benar-benar

60

mengejutkan adanya keabnormalan dalam dirinya. Dia bukan atlet. Kita tidak perlu bukti termasuk

golongan kelamin mana dia sebenarnya. Kita hanya

perlu mengubah sifat-sifatnya. Penampilannya. Dan

saya sanggup menanganinya. Berilah saya kesempatan."

"Bilang Ibu, kami terlambat karena ada les tambahan di sekolah." ancam Bram di dalam mobil yang

membawa mereka pulang. Dia duduk di samping

Mang Dahim yang hanya dapat mengangguk ketakutan. Dia sudah pernah merasakan sengsaranya kalau dimusuhi anak-anak berandal ini. Jadi lebih baik

menurut saja.

"Awas, kalau Mang Dahim berani mengadu!"

"Jangan bilang kami berkelahi lagi, Mang Dahim

sambung Iwan, lebih banyak bernada takut daripada

ancaman.

"Tapi bagaimana menyembunyikan

muka kalian yang babak belur begitu?"

keluh Mang Dahim serba salah. Mengadu dimarahi

anak-anak. Tidak mengadu pasti dimarahi Bu Narsih.

"Ah, pokoknya bilang aja nggak tahu!" bentak

Bram galak.

"Ibu ada di rumah?" tanya Iwan bingung.

"Ya ada. Bapak juga nggak ke mana-mana hari

ini.

"Mati lu!" keluh Iwan gugup. Dia melirik Rio yang

duduk separuh berbaring di sampingnya. Luka-lukanya cukup banyak. Tambah menyolok setelah dilumuri obat merah di P3K sekolah.

61
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu masuk dulu, Wan," perintah Bram yang biasanya jadi pemimpin.

"Ajak Ibu ke dalam. Aku dan

Rio menyelinap ke belakang."

"Huu, enak aja!" protes Iwan.

"Bajuku kotor begini! Bisa-bisa aku yang dinyanyiin!"

"Ala, kamu yang paling siip! Bajumu kan cuma kotor sedikit! Bilang aja jatuh!"

"Tapi mukaku "

"Mukamu masih mulus kayak banci dibedakin!

Berantem atau jaipongan sih kamu tadi?"

"Sialan! Gara-gara kamu aku ikut babak belur! Lain kali kalau berkelahi jangan ngajak-ngajak

orang!"

"Kamu sih bukan berkelahi kok! Cuma teriak-teriak!"

Dan mereka sudah hampir ribut kalau Rio tidak

buru-buru melerai.

"Sudah hampir sampai nih! Gimana dong? Di sekolah sudah dapat gocap! Masa di rumah tambah jigo

lagi?"

"Pokoknya Iwan harus masuk dulu! Biar kita nggak usah ketemu Ibu!"

"Nggak mau!"

"Tampangmu kan nggak rusak!"

"Tapi aku nggak mau! Enak aja! Suruh nyatroni

macan sendirian! Kamu yang bikin gara-gara kok!"

"Tapi kalau Ibu melihat keadaan Rio, kita pasti

dipermak lagi!"

"Masa bodoh! Pokoknya kita tanggung bertiga!"

62

"Huu, dasar pengecut!"

"Kamu sendiri? Lagak sih jagoan! Dikeroyok

langsung jiper!"

"Nggak minta bantuan kok!"

"Sudah deh!" potong Rio jengkel.

"Kenapa ribut

terus sih? Sudah dekat sarang macan ni! Baunya saja

sudah kecium!"

"Biarin," gerutu Bram dengan muka merah padam.

"Dimarahi ya dimarahi! Nggak takut!"

"Lebih baik kamu yang masuk dulu, Bugil," cetus

Rio tiba-tiba.

"Berani?"

"Kenapa tidak?" sahut Bugi acuh tak acuh.

Sekarang Rio-lah yang terperanjat.

"Nggak takut?"

"Takut apa?"

"Dimarahi Ibu?"

"Biar aja."

"Kalau begitu, kamu yang masuk dulu, Bugil!"

sambung Iwan yang tiba-tiba bersemangat kembali.

"Boleh saja."

"Nggak usah!" geram Bram tersinggung. Dilindungi anak perempuan? Wah, dia tidak sudi! "Kita masuk sama-sama!"

"Bego kamu!" bentak Iwan jengkel.

"Mau dimarahi Ibu lagi?"

"Biar!"

"Kalau begitu biar Bram masuk dulu." Rio menyeringai puas.

"Kita belakangan."

"Pengecut! Kita masuk sama-sama!"

63

Dan mobil keburu berhenti sebelum mereka selesai bertengkar. Tanpa berkata apa-apa Bugi membuka pintu mobil. Dia melangkah ke dalam tanpa ragu

sedikit pun.

Mereka yang sedang bertengkar spontan berhenti. Tertegun mengawasi Bugi yang sedang melangkah

mendekati Ibu yang sudah berkacak pinggang di depan beranda. Dan mata Ibu langsung membulat begitu melihat keadaan Bugi.

Dari jauh pun Ibu sudah melihat Bugi berjalan

terpincang-pincang. Lututnya bengkak. Tapi Ibu masih dapat menahan marahnya. Ditunggu Bugi cukup

dekat. Barulah dilihat dagu Bugi yang memar. Dan

kemarahannya meledak tanpa dapat ditahan-tahan

lagi.

Bugi pasti berkelahi! Bukan jatuh! Karena itu

mereka pulang terlambat! Oh, anak kampung ini benar-benar tidak tahu diri!

Dengan gemas Ibu melayangkan tamparannya ke

pipi Bugi. Ketika wajah Bugi tersentak ke samping,

yang mengaduh justru Rio. Tidak sadar, Bram juga

memalingkan wajahnya ke tempat lain.

"Ibu sudah bosan memarahimu," geram Bu Narsih sengit.

"Sekarang jangan banyak rewel lagi. Benahi bajumu. Angkat kaki dari sini. Pulang ke kampungmu! Biar jadi jagoan di sana! Perempuan apa sih

kamu ini!"

"Sabarlah, Bu." Pak Dadang menghela napas panjang. Entah sudah berapa lama dia tegak di belakang

istrinya.

64

"Tidak! Aku sudah cukup menahan sabar! Dasar

anak tidak tahu diuntung!"

"Pikirlah, Bu, dia harus pulang ke mana?"

"Masa bodoh! Bukan urusanku!"

"Ibu tidak kasihan padanya ...?"

"Aku sudah cukup mengasihinya!"

"Dia sebatang kara, Bu

"Ah, dia tidak perlu dikasihini! Anak jagoan kok!"

Pak Dadang menoleh ke arah Bugi sambil menghela napas. Tetapi anak itu telah membalikkan tubuhnya. Dan meninggalkan mereka dengan langkah

gontai.

"Bugil" panggil Pak Dadang tersendat.

Sekejap Bugi berhenti melangkah. Mengangkat

mukanya. Dan menatap Pak Dadang. Tatapannya begitu sedih. Tetapi tidak ada air di matanya.

"Sebentar, Bugi

"Sudah!" bentak Bu Narsih gemas. Dalam keadaan

seperti ini, tidak seorang pun dapat mencegah dia.

Tidak juga suaminya.

"Biarkan dia pergi!"

Pak Dadang menjadi serba salah. Dia tidak sampai hati membiarkan Bugi pergi. Tetapi tidak berani

menentang kemauan istrinya.

Sekilas dia seperti hendak mengatakan sesuatu.

Rahangnya mengejang. Mukanya memerah. Namun

tidak ada suara yang keluar dari celah-celah bibirnya.

Lehernya seperti tercekik.

Sekejap Bugi masih memandang Pak Dadang.

Setelah dilihatnya lelaki itu diam saja, diputarnya

65

tubuhnya dengan segera. Dan dia melangkah ke belakang dengan kepala tunduk.

Bram tidak tahan lagi melihatnya. Dia sudah memegang handel pintu mobilnya. Siap melompat dan

menghambur mendekati ibunya. Dia harus menjelaskan semuanya! Bukan salah Bugi. Ini semua

gara-gara dia. Karena kesalahannya anak itu terlibat

dalam perkelahian. Tetapi Iwan lebih cepat lagi menghalanginya. Matanya menatap Bram dengan penuh

permohonan.

"Jangan sekarang!" pintanya ketakutan.

"Ibu sedang marah! Habis kita dimaki-maki nanti!"

Sementara itu Pak Dadang masih berusaha membujuk istrinya.

"Kita sudah mengangkatnya jadi anak kita, Bu.

Masa soal kecil begini saja dia sudah diusir?"

"Aku jadi curiga padamu, Pak," geram Bu Narsih

sengit.

"'Jangan-jangan dia anakmu sendiri!"

"Astaga, Bu!" cetus Pak Dadang kaget.

"Omong

apa itu!"

"Habis Bapak begitu memperhatikan dia! Pakai

mengangkat anak segala!"

"Aku hanya kasihan padanya, Bu. Dan merasa berhutang budi pada si jabrik. Dia telah mengorbankan

nyawanya untuk membela pabrikku!"

"Tapi tidak perlu sampai mengangkat anak!"

"Aku ingin dia bisa menggantikan Ros, Bu."

"Tukang berkelahi seperti dia?" sergah Bu Narsih

separuh berteriak.

"Tidak mungkin!"

66

"Kami yang berkelahi, Bu sela Bram lirih. Dia

sudah berada di hadapan ibunya. Kepalanya tertunduk dalam. Untuk pertama kalinya dia merasa bersalah. Bugi diusir. Dan Semua itu gara-gara, dia!

"Bukan kami, Bu!" protes Iwan ketakutan.

"Bram

Dia masih ingat bagaimana kejamnya cara Ibu

menghukum. Dipukul, ditampar, dan dikurung dalam WC. Hukuman yang paling ditakuti Iwan. Berada di dalam sebuah ruangan tertutup. Dikunci dari

luar. Gelap. Pengap. Sendirian.

Waktu itu umurnya baru tujuh tahun. Dia

menangis. Menjerit-jerit. Mengedor-gedor pintu.

Memohon dibebaskan. Tetapi sampai suaranya habis,

Ibu belum mau melepaskannya juga.

Sampai sekarang kejadian itu masih membekas

dalam jiwanya. Dia merasa sangat takut pada Ibu.

Dan benci pada Ayah. Ayah tidak pernah datang menolongnya. Ayah selalu tunduk pada kehendak Ibu!

"Bugi mencoba menolong Rio," sambung Bram

tanpa menghiraukan bantahan abangnya. Dia juga

diperlakukan Ibu dengan sama kerasnya. Tetapi Bram

tidak pernah jera. Tidak kenal takut.

"Kalau Bugi tidak ikut berkelahi, Rio sudah remuk!"

Dan melihat keadaan Rio, Ibu sampai tidak mampu membuka mulutnya untuk memarahi mereka!

Tanpa menunggu perintah, Pak Dadang cepat-cepat melangkah ke belakang untuk mencari Bugi.

67

Lama Bugi termenung di dalam kamarnya. Dia

tidak tahu apa yang harus dibawa. Dia memang tidak punya apa-apa. Satu-satunya miliknya, baju yang

melekat di tubuhnya ketika datang dulu, telah dibuang oleh Bu Narsih. Jadi apa yang harus dikemasi?

Bugi hanya membereskan buku-bukunya. Menyusunnya baik-baik di atas meja. Dan merapikan kamarnya.

Ketika Bugi memutar tubuhnya, hendak keluar,

Pak Dadang muncul di ambang pintu. Sekilas mereka

bertatapan. Ada keharuan bercampur iba yang tersorot dari mata Pak Dadang.

"Tidak ada yang saya bawa kecuali baju yang pakai ini, Pak. Kalau, saya punya baju sendiri nanti, baju

ini akan saya kembalikan. ...."

"Tidak usah, Bugi," potong Pak Dadang terharu.

Dipegangnya bahu anak itu dengan lembut.

"Kamu

tidak perlu pergi. Ibu sudah tahu apa yang kamu

lakukan untuk Rio."

Bugi belum sempat menjawab. Belum sempat

berpikir. Bu Narsih sudah muncul di belakang Pak

Dadang. Sekejap mereka saling pandang. Sekejap

Bugi mengira Bu Narsih akan mengatakan sesuatu.

Tetapi ternyata tidak.

Bu Narsih diam saja. Dia melirik tangan Pak

Dadang yang melekat di bahu Bugi. Dan Bugi tidak

sempat menyadari perubahan air mukanya.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rio harus dibawa ke dokter, Pak." Suara Ibu

sedingin tatapannya. Padahal sekilas Bugi mengira

68

Bu Narsih mengatakan sesuatu kepadanya.

"Bugi, kamu tidak usah pergi." Itu kata-kata yang

paling diharapkan Bugi. Atau mungkin,

"Ibu maafkan

kamu sekali ini, Bugi. Tapi awas, jangan berkelahi

lagi!"

Namun Bu Narsih tidak berkata apa-apa kepadanya. Tidak sepatah kata pun. Dia sudah memutar tubuhnya dan berlalu. Hanya helaan napas Pak Dadang

yang terdengar. Lalu Pak Dadang pun meninggalkannya. Mengikuti Bu Narsih.

Terpincang-pincang Bugi masuk kamarnya. Lesu

didera rasa sakit di lututnya. Dan rasa pedih di hatinya.

Di dunia benar-benar tidak ada orang yang memperhatikannya. Apalagi menyayanginya! Dalam kesakitan pun dia harus selalu menanggung derita itu

seorang diri!

Bugi hanya mengompres lututnya dengan abu

hangat. Itu pun pemberian Bi Asih. Dibungkusnya

dengan daun pisang. Diberikannya kepada Bugi.

Setelah dikompres, rasa sakitnya memang agak

berkurang. Tetapi semalam-malaman Bugi merasa

demam. Dan dia tidak tahu ke mana harus mengadu.

Sebenarnya Bugi tidak ingin masuk sekolah pagi

ini. Badannya masih demam. Lututnya pun masih

sakit. Tetapi dia tidak mau berurusan dengan Bu Narsih.

69

Daripada dimarahi Ibu, dimaki-maki pemalas,

lebih baik ditahannya saja rasa sakitnya. Apalagi sejak

pagi Bu Narsih marah-marah terus. Suaranya sudah

terdengar sampai ke belakang.

"Sakit sedikit saja sudah mau bolos!" Pasti Rio

yang sedang dimarahi. Siapa lagi. Dia yang belum kelihatan sejak pagi.

"Anak laki-laki sakit sedikit mesti

tahan! Jangan cengeng!"

Pasti tidak akan ada bedanya kalau Bugi yang tidak masuk sekolah. Meskipun dia anak perempuan.

Dalam kamus Bu Narsih, sekolah itu wajib. Kalau

sampai tidak bisa bangun dari ranjang, baru boleh

tidak masuk sekolah.

"Kita bolos saja yuk," usul Bram sesampainya mereka di sekolah.

"Aku tahu tempat yang sip. Kamu bisa

tidur-tiduran di bawah pohon, Rio!"

Rio langsung setuju. Bugi juga. Cuma Iwan yang

menolak. Memikirkan dimarahi Ibu saja sudah ngeri.

Apalagi membayangkan hukumannya.

Kalau Pak Anwar tahu mereka tidak masuk semua

hari ini, pasti Ibu mendapat surat panggilan besok.

Dan Ibu tidak suka menunggu terlalu lama untuk

menghukum mereka.

Ah, lebih baik Iwan masuk sekolah hari ini. Biar

Bram, Rio, dan Bugi saja yang dihukum. Heran. Mereka kok tidak pernah jera.

"Bosan sekolah terus," itu selalu jawaban Bram.

Diucapkan dengan seenaknya pula.

"Otak kita kan

bukan komputer. Masa, dijejali informasi terus. Sekali-sekali kan kita kepinging rileks. Menikmati hidup!"

70

Dan yang disebutnya sebagai menikmati hidup

hari itu ialah pergi ke Monas. Berbaring-baring di

bawah pohon, sambil membaca stensilan yang dipinjamkan Beno. Di rumah dia tidak bisa bebas membaca. Setiap saat Ibu dapat tiba-tiba muncul. Dan melihat kertas-kertas itu.

Gawat. Sekali lihat saja, ibu pasti tahu kertas-kertas lusuh itu berisi apa. Entah dari mana ibu tahu.

Barangkali di zamannya dulu juga, sudah ada kertas-kertas semacam ini.

Beberapa kali Rio juga mengintip-intip ingin melihat. Heran memang. Di rumah tadi dia kelihatannya

sakit sekali. Sekarang lincahnya bukan main.

"Ayo, ke sana!" Bram mendorongnya dengan marah,

"Anak kecil mau tahu saja!"

Biarpun nakal, rupanya Bram masih punya tanggung jawab. Dia tidak ingin adiknya rusak sebelum

waktunya. Tetapi Rio malah ngambek.

"Katanya sakit," gerutu Bram kesal.

"Sana tiduran

di bawah pohon!"

Tapi Rio bukannya tidur-tiduran. Dia malah memanjat ke atas pohon. Dan mengintai orang pacaran.

Beberapa kali Rio memanggil-manggil Bugi. Mengajaknya mengintip. Tapi lutut Bugi sakit. Dia merasa

lebih enak berbaring-baring di tempat teduh, begini.

Angin yang semilir membuatnya mengantuk. Matanya hampir terpejam.

Terpaksa Rio tertawa-tawa sendiri saja di atas

pohon. Bagaimanapun, yang begini asyik daripada

71

duduk mengantuk di bangku sekolah. Baru ketika

dia kelepasan, tertawa terlalu keras, yang diintipnya

merasa terganggu.

Yang laki-laki lalu mengejar Rio dengan marah.

Terpaksa dia meluncur turun. Dan terbirit-birit lari

minta perlindungan Bram.

Tetapi laki-laki itu tidak takut pada seorang anak

SMP. Tubuhnya hampir dua kali lebih besar daripada tubuh Bram. Sekali dorong saja, Bram sudah terhuyung-huyung hampir jatuh. Dan dua buah tamparan yang lumayan kerasnya melanda pipi Rio kiri

dan kanan.

"Biar kapok kamu!" geramnya gemas.

"Kecil-kecil

sudah pintar ngintip!"

Bugi sudah hampir tertidur. Tetapi, teriakan-teriakan Rio menyentakkannya bangun. Sekali lihat

saja, Bugi sadar, percuma melawan. Dua lawan satu

pun mereka belum tentu menang. Lebih baik cari

akal untuk lolos.

Segera diambilnya sebuah ranting kecil. Dilemparkannya ke kaki pacar itu. Sambil menjerit "Ular!

Ular!" Bugi kabur ke arah Rio.

Akalnya ternyata menemui sasaran. Ketika teman

gadisnya ikut menjerit-jerit, laki-laki itu segera

meninggalkan Rio. Dan Bugi menariknya. Mengajaknya lari secepat-cepatnya.

Melihat adik-adiknya kabur, Bram pun ikut berlari-lari lintang-pukang di belakang mereka.

72

Rio tidak dihukum. Tidak pula diberi surat panggilan. Gurunya percaya dia sakit. Mukanya memang

masih babak belur. Tetapi Bram dan Bugi dipanggil

menghadap kepala sekolah.

Suster Katherine memang termasuk jenis manusia

yang sulit dibohongi. Nalurinya tajam. Segala macam

dusta anak didiknya sudah dikenalnya. Tidak percuma dua puluh tahun dia berkecimpung dalam dunia

pendidikan.

"Nah, Nona dan Tuan, ke mana saja kalian pergi

kemarin?"

"Lutut Bugi sakit." Bugi sendiri terkejut. Tidak

menyangka Bram punya akal secerdik itu. Dia sudah hampir menoleh dengan tatapan kaget. Untung

masih sempat dibatalkannya. Nanti Suster Katherine

curiga.

"Saya mengantarkannya ke puskesmas."

"O, ya?" Tidak ada nada tidak percaya dalam suara Suster Katherine. Bram sudah hampir menarik

napas lega. Eh, rupanya kali ini si Nenek terkecoh

juga. Ternyata tidak sulit membohongi dia.

"Ibu tidak

membawamu berobat, Bugi?"

Spontan Bugi menggeleng. Mudah saja. Ibu memang tidak membawanya berobat. Memberi obat saja

tidak.

"Tidak kamu katakan lututmu sakit?"

Sekali lagi Bugi mengeleng.

"Lain kali harus kamu katakan pada Ibu kalau ada

yang sakit."

73

Ah, Bram menghela napas lega. Sip. Lolos. Kalau

dipikir-pikir, Suster Katherine ini baik juga. Penuh

pengertian

"Baiklah. Kamu tentu takut mengatakannya pada

Ibu."

Kali ini Bugi mengangguk lega. Tidak sadar Bram

juga ikut mengangguk. Sedikit. Hah, Suster Katherine memang baik! Bijaksana!

"jadi kalian pergi ke puskesmas,"

"Ya," sahut Bram cepat-cepat. Takut Bugi salah

menjawab.

"Ada dokter yang mengobatimu di sana, Bugi?"

Ser. Darah Bugi berdesir cepat. Entah mengapa,

nalurinya membisikkan, ini pertanyaan berbahaya.

Berbau jebakan. Dia sudah separuh mengggeleng.

Tapi Bram keburu menganguk. Jadi terpaksa Bugi

ikut mengangguk.

"Lututmu diobati?"

Sekali lagi Bugi mengangguk.

"Difoto?"

Difoto?" Bugi menatap Suster Katherine dengan

bingung. Bram-lah yang, menjawab,

"Tidak, Suster.

Katanya tidak apa-apa."

"Oh, bagus." Suara Suster Katherine masih tetap

sesabar tadi. Tetapi matanya bersinar tajam. Bugi

merasa tidak enak melihat mata itu. Dia merasa,

perangkap semakin dekat.

"Lututmu diobati, Bugi?"

Tentu saja. Itu gunanya Bugi ke dokter, bukan?

Cepat-cepat dia mengangguk.

74

"Obat apa? Salep? Krim? Kompres?"

Ah, mati aku! keluh Bugi dalam hati. Yang aku

tahu cuma abu hangat pemberian Bi Asih!

"Kompres, Suster." Dengan gesit. Bram menjawab.

Dia sudah biasa memilih salah satu jawaban kalau

ada pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dalam

kertas tes.

"Diberi obat minum juga?"

"Ya, tiga macam, Suster."

Bram lagi yang menjawab. Dia memang gesit. Berani pula.

"Coba besok bawa obatnya kemari. Suster

lihat."

Bugi merasa sesak. Tali jerat itu telah dirasakannya menyentuh lehernya.

"Belum kami beli, Suster." Suara Bram mulai terdengar goyah.

"Belum?"

"Belum. Bugi sudah merasa baikan."

"O, ya? Mana resepnya?"

Sret. Bugi benar-benar merasa tercekik. Tetapi

Bram belum mau menyerah juga. Pada saat-saat terakhir pun dia masih mencoba menggelepar-gelepar
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan diri.

"Hilang, Suster."

"Hm." Sekarang wajah Suster Katherine berubah

bengis. Ditatapnya Bram dengan tajam.

"Kamu sudah pernah ke puskesmas, Bram?"

"Belum eh, sudah, Suster!"

"Tahukah, kamu di puskesmas pasien selalu

dibekali obat?"

75

Sekarang Bram mati langkah. Bugi sudah menyerah sejak tadi. Yang kemudian terdengar dalam ruangan itu suara Suster Katherine yang berat berwibawa.

"Tuliskan kata-kata ini seratus kali di bukumu.

Saya tidak akan membolos lagi. Lalu minta tanda tangan ayah atau ibumu."

"Gampang," Bram ketika mereka keluar dari ruang kepala sekolah.

"Aku bisa meniru tanda tangan

Ibu. Cuma begitu. Lalu di bawahnya dicoret garis

panjang. Beres deh. Itu bagianku. Bagianmu, tuliskan

kata-kata di bukuku! Oke?"

"Ya," sahut Bugi separuh terpaksa.

"Bagus."

Bram mengulurkan tangannya. Sekejap tertegun.

Lalu ragu-ragu disambutnya tangan itu.

76

BAB IV

BUGI baru saja mengenakan celana panjangnya ketika pintu kamarnya diketuk perlahan. Dia tahu siapa

yang ada di luar. Cepat-cepat dipadamkannya lampu

kamarnya. Dibukanya pintu dengan hati-hati. Tanpa

berbunyi sedikit pun. Dan Bram menyelinap masuk.

"Siap?" bisik Bram dalam kegelapan kamar itu.

Bugi mengangguk. Dia melebarkan daun jendela. Lalu dengan gesit melompat ke luar. Tindakannya

segera diikuti oleh Bram.

Sejak perkelahian melawan Ramli yang lalu,

mereka memang jadi bersahabat. Bram dan saudara-saudaranya sudah dapat menerima Bugi seperti

apa adanya. Sekarang Bram malah merasa beruntung

punya saudara seperti Bugi. Dia merasa mendapat

teman yang dapat diajak bekerja sama.

Iwan terlalu penakut. Dan Rio masih terlalu kecil.

Untuk petualang-petualangan seperti ini, Bram lebih

suka mengajak Bugi. Dia gesit seperti anak laki-laki.

Berani. Dan dapat menyimpan rahasia dengan baik.

Lagipula Bugi jarang bicara dengan Ibu. Dia pasti

tidak akan kelepasan omong. Sebaliknya Ibu juga jarang patroli kamar Bugi. Ke kamar Bram pun hanya

sekali setiap malam. Tiap pukul sebelas. Bram sudah

hafal sekali kebiasaan Ibu.

Ibu akan membuka pintu sedikit, karena itu pintu

tidak boleh dikunci, mengintip ke dalam, dan menut

77

up pintu itu kembali. Bram sudah menyelimuti gulingnya baik-baik, dan memadamkan lampu.

Untung sejak kecil Bram biasa tidur di dalam kamar yang gelap. Ibu pasti tidak akan curiga. Dan mata

Ibu yang sudah mulai rabun tanpa kaca mata itu tidak

akan dapat membedakan tubuh Bram dengan guling.

Apalagi dalam keadaan gelap begini.

Hanya lampu kecil di depan kamar Bram yang

menyala. Dan sinarnya tidak cukup terang untuk

menerangi seisi kamar. Letak tempat tidur pun jauh

di sudut. Ibu pasti tidak tahu Bram, ada di sana atau

tidak!

Bram tidak senang dipingit. Dia kan anak laki-laki. Masa dikeram seperti anak gadis! Siang belajar.

Malam harus tidur. Pergi ke sana tidak boleh. Ke sini

harus minta izin.

Ibu akan menyensor ke rumah siapa saja dia boleh

pergi. Untuk urusan apa. Berapa lama. Bah! Kalah

narapidana!

Dan teman seperti Beno pasti masuk dalam daftar hitam Ibu. Waktu kelas satu dulu mereka sekelas.

Tapi Beno tidak naik. Sudah dua kali diskors. Sekali

lagi malah hampir dikeluarkan. Untung ada Pak Zein.

Beno masih diberi peluang untuk sekolah di sana.

"Kalau dikeluarkan dari sekolah, kita malah tidak

bisa mengawasinya? demikian pembelaan Pak Zein.

"Beno bisa bertambah liar. Makin nakal. Berilah

kami kesempatan sekali lagi untuk mendidiknya.

Tugas guru bukan cuma mengajar anak-anak yang

patuh saja!"

78

Ah, Pak Zein memang baik. Sering Bram mengaguminya. Kalau saja, guru-guru yang lain penuh

pengertian seperti dia! Kalau saja Ibu atau Ayah sedikit mirip Pak Zein! Mungkin Bram tidak perlu kabur untuk memuaskan gejolak darah mudanya.

Tidak perlu memanjat jendela rumahnya sendiri untuk mencari dunia yang sesuai dengan rasa

keingintahuannya. Tidak perlu memanjat tembok

melompati pagar hanya untuk mencari kebebasan

yang tak pernah dimilikinya di siang hari!

Untung Bram punya teman senasib seperti Beno.

Dia juga gemar bertualang. Dan sudah banyak pengalaman. Abangnya banyak. Dia bisa belajar dari

mereka.

Untung pula sekarang ada Bugi. Kamarnya terletak di belakang. Di bawah pula. Melalui jendela kamarnya yang menghadap ke kebun belakang, mereka


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Wiro Sableng 044 Topeng Buat Wiro Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat

Cari Blog Ini