Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W Bagian 4
"Ayah minta saya membantunya di losmen kami
di Rinjani. Ada serombongan turis Jepang yang ingin mendaki sampai ke puncak. Ayah membutuhkan
tenaga saya."
"Tidak bisa menemui Asri sebentar saja?"
"Saya sudah harus berangkat, Pak. Titip salam
saja buat Asri."
Salam? Ayah Asri mengepal tinjunya dengan
gemas. Jauh-jauh dia datang ke Mataram cuma
mendapat salam? Siapa pikirmu dirimu itu? Presiden
Amerika Serikat? Kaisar Jepang? Pangeran Charles?
"Kamu tidak bisa meluangkan waktu sedikit untuk mampir ke Gili?" Ayah Asri menelan kemengka1annya.
"Asri ingin bertemu. Besok dia sudah harus
kembali ke Jakarta."
"Saya minta maaf, Pak. Benar-benar tidak sempat. Mungkin lain kali."
Berapa kali kiramu kesempatanmu, pandir?! Asri
tidak akan dua kali minta bertemu!
"Maaf kalau Bapak lancang bertanya, Segara,"
suara ayah Asri berubah dingin. Penuh wibawa. Suara ayah seorang gadis yang tersinggung.
"Sampai di
mana sebenarnya hubunganmu dengan Asri?"
"Kami cuma teman, Pak," sahut Segara tenang.
Wajahnya bersih. Tidak menampilkan perasaan apaapa.
"Saya kan cuma pemuda desa. Dan Asri tidak
pernah mau serius dengan seorang pemuda saja."
246
BAB XXIII
"BETUL apa yang dikatakannya, Asri?" desak ayah
Asri menahan marah. Tentu saja marah kepada pemuda yang telah mengecewakan putrinya.
Lihat, betapa mendung wajahnya! Bagaimana kecewa tatapan matanya ketika melihat ayahnya datang
seorang diri....
Ah, di mana mata ceria penuh sinar yang dilihatnya tadi pagi? Di mana kerlingnya yang manja-manja
menggemaskan itu? Di mana suaranya yang lembut
manja merayu,
"Ayah mau dong bantuin Asri?"
Ayah Asri mengepal tinjunya dengan gemas. Untung tidak diayunkannya tinju itu ke muka Segara
tadi. Sombong!
"Betul," sahut Asri muram tapi jujur.
"Jadi kamu cuma menganggapnya teman?"
"Maunya sih."
"Nah, jangan sedih kalau begitu! Ayah bisa mencarikan sepuluh orang teman lagi untukmu! Yang
lebih setia. Lebih cakep. Dan lebih menaruh perhatian padamu!"
"Tapi kan nggak ada yang kayak dia!"
"Temanmu kan banyak, As. Buat apa mengejar
ngejar yang seperti itu? Sombong!"
"Biar sombong tapi gaya!"
"Ayah benar-benar tidak mengerti," keluh ayahnya pusing.
"Pantas saja Segara tidak mau datang.
Barangkali dia juga bingung, siapa sebenarnya yang
kamu pilih. Dia atauNorman."
"Wah, Norman sih udah kadaluwarsa!"
"Apanya yang kadaluwarsa? Ayah pikir, dia lebih
cocok untukmu. Memang agak urakan tapi..."
"Pasti pecah perang saudara!"
"Perang saudara?" Ayah tambah bingung.
"Norman sudah Asri transfer buat Asih. Ayahnya melongo heran. Cinta anak-anak sekarang benar-benar
canggih! Bisa ditransfer. Janganjangan malah bisa
difax. Edan!
***
"Sok gengsi juga tu anak!" gerutu Asih, ikut kesal
mendengar nasib saudara kembarnya.
"Jual mahal!"
"Tapi aku malah tambah kagum. Tandanya dia cowok yang punya kualitas. Punya harga. Ditolak sekali, uang kembali!"
"Iya sih, mendingan yang mahal sekalian daripada
beli barang obralan yang seribu dapat tiga ya, As?"
"Tapi kamu jangan alergi sama yang second hand
kayak si Norman, ya! Biar bekas, dia bukan keluaran
248
pasar loak! Kualitasnya museum punya lho!"
"Biar aku yang bicara dengan si Segara, As. Ayah
mau kok mengantarku ke Senaru. Katanya, jangankan ke sana. Ke puncak Rinjani pun dia mau! Padahal kalau encoknya lagi kumat, jangankan mendaki
gunung, jalan saja pakai tongkat!"
"Lho! Kok muda-muda udah encok?"
"Jangan-jangan turunan ya, As!"
"Celaka empat belas kalau encokku datang pas
aku lagi jadi pengantin!"
"Tapi semangat kebapakan Ayah lagi menggebu-gebu, As! Ayah ngotot sekali ingin membantumu.
Sekarang siapa yang pergi? Kamu atau aku?"
"Bisa nyesel tujuh belas turunan kalau nyuruh
kamu! Kita kan produk pabrik yang sama! Bedanya,
kamu produk yang cacat!"
"Dan kamu limbah pabrik itu!" balas Asih mengkal.
"Makanya mesti didaur ulang biar tidak merusak
lingkungan!"
***
Tentu saja Segara juga ingin menemui Asri. Hanya dia yang tahu betapa dia merindukan gadis itu.
Tetapi dia berusaha mengeraskan hatinya. Dia tidak mau lagi menemui Asri. Buat apa melanjutkan
hubungan kalau Asri tidak membalas cintanya?
Segara memang kecewa. Dia belum pernah jatuh
cinta. Sekalinya jatuh cinta, dia bertepuk sebelah
tangan. Gadis yang dicintainya tidak menanggapinya dengan serius. Asri cuma main-main. Seperti hobinya selama ini. Mempermainkan pemuda-pemuda
yang tertarik kepadanya. Nah, buat apa menemuinya
lagi?
Asri datang ke Gili bersama ibunya. Pasti urusan
keluarga. Bukan karena ingin menemuinya! Lagi
pula... mengapa dia hanya menyuruh ayahnya, tidak
datang sendiri ke Mataram? Siapa dikiranya dirinya?
Kalau dikiranya Segara sama dengan cowokcowok murahan yang dipermainkannya selama ini,
dia keliru besar! Kalau dikiranya dengan menjentikkan jari, Segara akan datang tergopoh-gopoh ke
hadapannya, dia keliru besar! Kalau dikiranya hanya
dengan mengirim ayahnya dia bisa mendatangkan
Segara, dia keliru besar! Kalau...
Dan Segara tertegun bingung. Tiba-tiba saja gadis
yang sejak kemarin mengisi benaknya itu muncul di
losmen ayahnya!
Betulkah Asri yang datang? Bukankah kata ayahnya hari ini dia pulang ke Jakarta? Salah lihatkah dia?
Mungkin saja karena terlalu memikirkan Asri... dia
jadi berilusi?
"Apa kabar, Segara?" sapa gadis itu dengan suara
wajar-wajar saja.
250
"Baik," sahut Segara ragu. Dicobanya mengekang
kegugupan dan keheranannya. Dipendamnya kuatkuat debar kegembiraan yang meronta-ronta di hatinya.
"Selamat datang di kaki Rinjani."
"Asri titip surat untukmu," kata gadis itu santai.
Dia mengeluarkan sepucuk surat dari ranselnya.
Dan menyerahkannya dengan tenang. Begitu tenang
sikapnya sampai Segara jadi salah tingkah.
"Dia sudah pulang ke Jakarta tadi pagi."
Segara melongo heran. Jadi gadis ini... bukan
Asri?
"Saya Asih, saudara kembarnya," sambung gadis
itu pula. Walaupun sebenarnya tidak perlu.
"Kamu
lupa, ya?"
Tentu saja Segara tidak lupa. Dia cuma kaget. Tidak menyangka
Ya, penampilan gadis ini memang lebih mirip
Asih. Rambutnya memang sudah dipotong pendek.
Tapi dia masih mengenakan bando, ciri khasnya. Asri
tidak pernah mengenakan bando.
Bajunya juga lebih konvensional modelnya. Celana panjang. Dengan kemeja berkerah sportif dan
berlengan pendek. Warnanya pun warna-warna pastel yang lembut.
Sikapnya lebih tenang. Bahasa Indonesianya terjaga. Dan dia lebih serius.
Ah, gadis ini pasti bukan Asri! Tapi... mengapa
Segara tetap merasa ragu? Ada sesuatu yang tak dapat
diterangkan... yang tak dapat dilihat dengan mata....
"Maafkan saya," desis Segara antara gugup dan
malu.
"Saya tidak dapat membedakan kalian...."
"Betul?" Gadis itu tersenyum lunak. Senyumnya
tidak menggoda. Tapi cukup membuat dada Segara
berdebar aneh.
"Saya mirip Asri?"
"Hampir segala-galanya...." Cepat-cepat diralatnya kembali ketika dilihatnya mata gadis itu berbinar
sekejap.
"Saya memang bodoh! Namanya saja saudara kembar. Pasti mirip!"
"Ah, Asri pasti lebih cantik, kan?"
"Mengapa kemari?" cepat-cepat Segara membelokkan percakapan.
"Mengantar surat."
"Khusus mengantar surat?" Apa di Jakarta sudah
tidak ada kantor pos?
"Ayah kebetulan ada urusan di Anyer."
"Ooo."
"Tiga hari lagi saya dijemput di sini."
"000."
"Saya kan belum pernah kemari."
"Ooo."
"Ketika saya bilang ini losmenmu, Ayah tidak keberatan saya menginap di sini tiga malam."
"Ooo."
"Kok 000, 000, 000, terus?! Malas ngomong, ya?
252
Mau buru-buru baca surat Asri?"
"Oh, nanti saja!" Segara tersipu.
"Katanya Asri
datang bersama ibunya?"
"Kenapa kamu tidak mau menemuinya?"
"Saya sibuk."
"Sampai tidak sempat mampir di Gili?"
"Mungkin lain kali."
"Tapi kapan lagi Asri kemari? Jakarta kan bukan
di Senggigi
"Maafkan saya. Tapi saya tidak sempat..."
"Kamu marah, ya?"
"Mengapa harus marah?"
"Asri bilang kamu tersinggung."
"Mengapa harus tersinggung?" Suara Segara menyimpan kepahitan. Sekaligus menyiratkan
keangkuhan. Dia berusaha menindas kekecewaannya
dalam ketidakacuhan yang menyakitkan.
Gadis itu masih ingin melanjutkan pembicaraan
mereka. Tetapi Segara keburu minta diri.
"Permisi. Saya harus melayani tamu. Nanti kita
ngobrol-ngobrol lagi. Sudah dapat kamar?"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolong carikan. Kamu tidak mau saya tidur di
luar atau di losmen lain, kan?"
"Rasanya hari ini losmen kami penuh sesak...."
"Ayahmu pasti punya kamar cadangan
***
"Tolong berikan kamar saya padanya, Ayah," pinta Segara cepat-cepat. Hampir tak sabar lagi ingin
membuka surat di sakunya.
"Dia teman saya. Biar
saya tidur di gudang."
"Kamu mau ke mana?"
"Ada urusan. Suruh Arnak bereskan kamar saya.
13
ya.
Tanpa menunggu lagi, Segara cepat-cepat membalikkan tubuhnya. Bergegas meninggalkan ayahnya. Mencari tempat sepi.
Diambilnya surat itu. Dibukanya dengan dada
berdebar-debar. Duh, harumnya kertas surat berwarna merah muda yang lembut ini!
Hai, Cing! Masih keki ?
Khas Asri. Segara ingin tersenyum. Sekaligus ingin merintih pahit.
Sori berat nulis surat begini. Soalnya kamu jahat! Nggak mau ngerumpi sama sohib lama lagi!
Tidak ada kemesraan dalam surat itu. Tapi Segara
merasa dadanya berdebar hangat. Sebuah perasaan
yang telah dua minggu lebih lenyap dari hatinya kini
kembali bersemi. Sebuah perasaan yang baru saja
dikenalnya beberapa minggu terakhir ini, tapi yang
seolah-olah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hatinya.
Perasaan itu yang kini perlahan-lahan merayap
masuk kembali ke relung-relung hatinya... membias
254
kan kehangatan ke tembok-temboknya yang dingin....
Padahal hari ini pas gue lagi mejeng di Gili,
di rokum bokap gue! Ya, udah deh kalo kamu nggak mau kenal lagi! Kita akhiri sampai di sini aja
hubungan bisnis kita! Hehehe, sori deh, nggak bisa
nulis surat sih! Pokoknya saya mau bilang seratus
satu kali, kamu jahat! Saya kecewa berat kamu nggak mau datang.
"Padahal udah dijemput camer!
Keterlaluan, kelewatan, kelebihan, and so 017, kan?
Sampai ketemu again deh! Awas lu, kalo kapal ogut
anjlok di Selat Bali, nyesel deh lu lima generasi!
Segara ingin tertawa. Sekaligus ingin menangis.
Dia merasa geli. Tapi juga merasa pedih.
Surat itu khas Asri. Lincah. Lucu. Bebas. Seenaknya. Dia ngomel. Dia marah-marah. Tapi dia tetap
bercanda. Menganggap enteng segalanya.
Tapi... bukankah karena dianggap sepele, Segara
tersinggung?
"Dia emang nggak pernah serius kok," terngiang
lagi kata-kata Lindung.
"Kalau Asri bisa serius,
rasanya kita nggak perlu lagi PBB! Mendingan tu
gedung megah diubah aja fungsinya jadi tempat seminar! Soalnya cari tempat seminar di Jakarta kan sekarang susah! Cari kutu aja diseminarin sih!"
Terbit sesal di hati Segara ketika melipat surat itu.
Mengapa dia tidak mau meluangkan waktu untuk
menjumpai Asri?
Waktunya memang sempit. Tapi bukan tidak ada
sama sekali. Kalau mau, dia bisa ke Gili Air dulu.
Baru ke Rinjani.
Soalnya, memang bukan tidak ada waktu. Tidak
mau. Dia merasa tersinggung. Dan merasa tak ada
gunanya lagi melanjutkan hubungan mereka.
Padahal, apa salahnya berteman? Kalau Asri tidak
mau menjadi pacarnya, mengapa harus marah? Mereka kan bisa berteman! Dan Asri pasti dapat menjadi
teman yang menyenangkan! Segara sangat menyukainya
Tapi bagaimana aku dapat berteman dengan gadis yang kucintai, pikir Segara pahit. Untuknya aku
mungkin cuma satu di antara puluhan teman prianya.
Satu di antara belasan mantan pacarnya. Tapi bagiku,
dia adalah satu-satunya gadis yang pernah kucintai!
***
Asri berbaring santai di tempat tidur Segara.
Memang tidak salah cetak. Yang datang ke losmen
ayah Segara memang Asri! Mustahil dia membiarkan
saudara kembarnya datang kemari menemui Segara!
Yang benar saja! Bisa kecolongan!
Tapi dasar Asri. Dia tidak mau datang sebagai dirinya. Dia menyamar sebagai Asih. Meminjam bajunya. Bandonya. Ranselnya. Bahkan gayanya.
256
Dia minta ayahnya mengantarkan kemari. Menggugat janji Ayah pada Asih. Ayah bersedia mengantarkan sampai ke puncak Rinjani sekalipun, kan?
Nah, tidak usah sampai puncak! Sampai kaki saja!
Cuma Asri minta dijemput di tempat ini tiga hari lagi.
Meskipun bingung dan kuatir, Ayah terpaksa
menurut. Bagaimana lagi caranya untuk merebut
simpati putrinya yang bandel dan liar ini?
Penampilannya memang mirip Asih. Tapi sifatnya
benar-benar berbeda! Dia bukan cuma bandel. Sekaligus liar. Berani. Tapi... bukankah justru karena sifatnya dia menjadi amat menarik?
"Jangan bilang-bilang Ibu," pesannya sebelum
ayahnya meninggalkan losmen itu.
"Supaya Ibu nggak nyusul kemari!"
Nah, itu PR buat ayah Asri! Apa yang harus dikatakannya kepada mantan istrinya? Ke mana Asri? Sejak punya anak perempuan, baru sekarang ayah Asri
merasakan bingungnya jadi seorang ayah! Soalnya,
Asih tidak pernah merepotkan!
"Jangan kecewakan ayahmu, Asri," pesan ayahnya sebelum diusir pergi. Lama-lama di situ, bisa ketahuan. Siapa tahu Ayah kelepasan bicara. Atau kesalahan memanggilnya... bisa rusak dong rencananya!
"Jangan sia-siakan kepercayaan ayahmu. Jaga dirimu
baik-baik..."
"Dsb, dsb, deh!" potong Asri tak sabar.
"Pokoknya Asri pasti pulang utuh! Paling-paling minus keringat dan " Asri tidak melanjutkan kata-katanya ketika ingat yang sedang diajak omong ayahnya, bukan
Lindung.
Akhirnya ayah Asri memutuskan untuk tidak
pulang ke Gili. Dia bermalam di rumah temannya di
Bayan. Daripada pusing mencari alasan untuk membohongi ibu Asri.
Sebelum pulang, diam-diam, tanpa setahu Asri,
dia menemui ayah Segara. Dan menitipkan putrinya.
Ketika dirasanya pemilik losmen itu hanya berbasa-basi, diselipkannya selembar uang. Cukup untuk
memacu perhatian dan semangatnya membantu mengawasi Asri.
***
Asri memandang ke seluruh kamar dari atas ranjang Segara. Bukan main. Akan diceritakannya pada
Lindung dan Lestari sesampainya di Jakarta nanti.
Dia pernah masuk ke kamar Segara. Dan berbaring
di ranjangnya! Hm, pasti monyong mulut Lindung
karena kaget dan tidak percaya!
Kamar itu kecil. Sederhana. Tapi rapi. Berselera.
Hm, bukan memuji nih. Tapi kamar ini memang khas
mencerminkan pribadi pemiliknya.
Tak sadar Asri membayangkan kembali penampi
258
lan Segara tadi. Ketika untuk pertama kalinya mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.
Seperti pada pertemuan mereka yang pertama, Segara tampil hanya mengenakan celana dan ikat pinggang dari kain tenun tradisional Lombok berwarna
merah. Juga kali ini, dia mengenakan ikat kepala.
Membuat penampilannya bertambah gagah di mata
Asri.
Sambil tersenyum-senyum, Asri membayangkan
pula bagaimana cara Segara menatapnya tadi. Benarkah dia tidak curiga? Tidak merasakah dia siapa
yang datang? Tidak berdentangkah lonceng di dadanya?
Barangkali dia tidak menduga, Asri-lah yang
menyamar menjadi Asih! Otaknya mungkin tidak
sampai ke sana! Dia terlalu polos. Terlalu sederhana.
Terlalu lugu!
"Buat apa?" Asih saja tidak dapat memahami alasannya. Apalagi Segara! "Buat apa menyamar jadi
aku? Kamu mau melamarnya atau cuma mau mempermainkannya lagi? Kamu kurang main waktu kecil, ya?"
"Dia sudah menolakku," sahut Asri mantap.
"Nah,
aku mesti tahu dulu dong, dia masih kayak dulu nggak?"
BAB XXIV
"BELUM siap?!" cetus ayah Segara kaget.
"Tamutamu sudah menunggu di luar! Mau berangkat jam
berapa? Sekarang sudah hampir pukul delapan!"
Seperti orang linglung, Segara menyambar jaketnya. Dan langsung keluar. Dia memang kesiangan
bangun. Hampir semalaman tidak bisa tidur. Ayahnyalah yang memanggilnya kembali.
"Mana perlengkapanmu?"
Kembali Segara masuk ke dalam. Ketika keluar
lagi, dia sudah menggendong ransel dan kantong tidurnya.
Di luar, delapan orang turis Jepang, dua di antaranya wanita, telah siap berangkat. Mereka dipecah
menjadi dua rombongan. Lima orang akan mengunjungi Sindanggile, dipimpin oleh adik Segara.
Rombongan yang dipimpin Segara, terdiri atas
tiga orang laki-laki. Ketiganya pendaki gunung yang
berpengalaman. Mereka bermaksud mencapai puncak Rinjani. Meninjau kawahnya. Dan turun ke Danau Segara Anak.
Peralatan mereka lengkap. Fisik mereka pun prima. Selain menyewa seorang penunjuk jalan yang
berpengalaman, mereka juga menyewa dua orang
pengangkut barang.
Pukul delapan tepat mereka berangkat. Udara pagi
itu cerah. Langit bersih. Matahari bersinar terang.
Tetapi hawa di sana tetap sejuk menyegarkan.
Segara memilih jalan yang biasa dilaluinya kalau
mendaki Rinjani. Jalan yang paling mudah. Dan paling aman. Tapi yang justru mengingatkannya pada
rombongannya beberapa minggu yang lalu... rombongan istimewa yang tak mungkin dilupakannya.
Sambil melangkah Segara masih dapat membayangkan kembali gadis itu... melangkah gagah di
sisinya....
Dia memang berbeda. Amat berbeda dengan
gadis-gadis yang dikenalnya selama ini. Tetapi bukankah justru karena berbeda kehadirannya terasa
istimewa?
Tubuhnya yang ramping menyimpan kekuatan
yang mengagumkan untuk seorang gadis seusianya.
Wajahnya yang belia menyiratkan semangat pantang
menyerah yang langka dimiliki oleh gadisgadis manis yang biasanya lembek dan manja.
Kegigihannya, keberaniannya, dan kecerdasannya seakan melengkapi daya tariknya. Ah, kalau saja
dia bisa sedikit serius... lengkaplah figur gadis impian yang didambakannya!
***
Melewati Desa Senaru, ketiga orang Jepang itu
amat tertarik meninjau komunitas tradisional di sana.
Sebagai bangsa modern yang masih amat menghargai tradisi, minat mereka begitu besar untuk mengetahui seluk-beluk masyarakat Sasak ini.
Segara harus mengerahkan segenap pengetahuannya untuk menjelaskan segala sesuatu yang ingin
mereka ketahui. Rumah adat Sasak merupakan salah
satu yang paling menarik bagi mereka.
Sambil mendengarkan Segara menjelaskan fungsi hinanbale sebagai ruang induk, beruga yang berfungsi sebagai ruang tamu, dan sambi untuk gudang
penyimpanan makanan, ketiga turis itu sibuk membuat foto.
Dengan bahasa Jepang mereka coba membujuk
seorang nenek dengan kebaya terbuka dan seorang
anak bertelanjang dada untuk berfoto bersama. Sayang penduduk di sana belum memanfaatkan ajakan
turis untuk memperoleh uang. Atau justru karena belum komersil, mereka tetap mampu mempertahankan
keasliannya?
Jepang yang paling tua malah berani mencoba
mengunyah sirih. Dan amat berminat membeli tempat sirih yang disebut pabuan. Lengkap dengan isinya, sirih, tembakau, kapur, dan pinang.
262
Dengan susah payah Segara harus menggebah
mereka keluar dari desa itu supaya tidak terlambat
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai di tempat tujuan. Tetapi karena mereka terdiri
atas pria-pria yang kuat dan berpengalaman, hanya
dalam waktu dua-tiga jam saja, mereka telah berhasil
mencapai tempat rombongan Asri menikmati makan
siangnya.
Tadinya mereka tidak mau beristirahat. Belum lelah, katanya. Mereka hanya minum. Dan membuat
beberapa foto.
Pemandangan di tempat itu memang sangat indah.
Apalagi bila langit bersih tak berawan. Pemandangan
ke lembah-lembah sekitar begitu mempesona.
Tetapi ketika turis-turis itu sedang sibuk membuat
foto, Segara justru sedang melamunkan seorang gadis... duduk di sana menikmati bekalnya... nasi putih
dengan ikan asin....
Dilayangkannya tatapannya ke balik semaksemak. Di sanalah dulu dia mengawal Asri dan Lindung buang air kecil. Dan di pohon itulah... Asri duduk
berjuntai bersama Volker
Segara masih dapat merasakan kulit yang halus
itu menyentuh lengannya... daging yang lembut dan
hangat itu melekat di punggungnya ketika dia memanjat ke atas....
Dia masih dapat membayangkan gadis itu merosot turun dengan berani.... Segara dan Lindung beru
saha menangkap tubuhnya.
Tetapi sengaja entah tidak, Asri justru meluncur
ke dalam pelukannya Ah, Segara tersenyum sendiri membayangkannya.
Alangkah indahnya saat-saat itu! Momen-momen
yang sungguh tak terlupakan! Asri pandai sekali
mempermainkan perasaan seorang pemuda.... Mungkin karena dia sudah terlatih? Sudah pengalaman?
Salah seorang dari turis itu berteriak. Tapi Segara tidak mendengarnya. Seorang lagi memanggilnya.
Percuma. Segara tidak memperhatikannya.
Dia tengah asyik mengkhayalkan gadis yang serba menggoda itu... dengan senyumnya yang memikat, lirikannya yang menawan. melangkah seperti
melenggang ke arahnya...
"Segara!" panggilnya manja.
Segara mengedipkan matanya. Ah, bayangan itu
tampak begitu nyata! Seolah-olah Asri benar-benar
ada di depannya... tersenyum ke arahnya....
Segara masih berbaring di rumput. Setangkai
rumput muda digigit-gigitnya di antara gigi geliginya. Bibirnya merekah. Menyunggingkan seuntai
senyum....
"Segara!"
Lima jari-jemari yang hangat mencengkeram lengannya. Dan Segara baru sadar, dia tidak mengkhayal! Gadis itu benar-benar tegak di hadapannya!
264
Tapi dia pasti bukan Asri! Asri tidak mungkin berada di sini! Dia...
"Segara!" panggil Asri sekali lagi. Dia benarbenar
cemas melihat keadaan pemuda itu.
Apa yang terjadi pada Segara? Mengapa dia bertingkah seperti orang linglung begini? Dia sedang
melamun atau...
"Asih...?" gumam Segara bingung, seperti pasien
yang baru sadar dari koma yang lama.
"Kamu kenapa?"
Segara bangkit dengan tersipu-sipu.
"Maaf, saya agak mengantuk. Semalam kurang
tidur! Mengapa kamu ada di sini?"
"Saya ingin ikut kamu. Kata Asri, pemandangan
di sini indah sekali."
"Tidak mungkin!" cetus Segara kaget.
"Turisturis
Jepang ini ingin ke puncak Rinjani!"
"Mereka tidak ke neraka, kan?"
"Tapi kamu tidak mungkin menyamai kecepatan
dan kekuatan mereka!"
"Karena itu saya berangkat sejam lebih dulu. Kalau saya ikut kamu, pasti dilarang!"
"Mustahil, Asih! Kamu belum pernah mendaki
gunung "
"Kan ada kamu? Tolonglah, Segara. Sudah lama
saya ingin melihat kawah Rinjani!"
"Ada apa?" tanya salah seorang dari turis-turis
itu. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Ditatapnya Asri
dengan heran.
Dari mana munculnya hantu yang cantik ini?
Rasanya mereka belum naik terlalu tinggi. Kadar zat
asam masih cukup. Tidak mungkin mereka berhalusinasi....
"Teman saya," sahut Segara murung. Problem
saya. Penyakit! "Ingin ikut ke atas."
"Mengapa tidak?" Turis Jepang itu tersenyum
gembira. Laki-laki! Pesek ataupun mancung, hidungmu tetap saja belang! "Di mana pun, kehadiran gadis
cantik pasti menyenangkan!"
Tapi temannya tampak bimbang. Nah. lelaki yang
ini pasti perkecualian!
"Dia kuat? Jangan sampai memperlambat perjalanan kita...."
"Jangan kuatir!" sambar Asri gemas.
"Saya tidak
akan menyusahkan!"
Bumi yang kuinjak ini tanah airku! Dia lebih kenal aku daripada kamu!
"Kamu tidak mungkin ikut, Asih," Segara-lah
yang keberatan.
"Perjalanan ini amat sulit. Dan mereka pendaki-pendaki profesional. Kamu pasti kewalahan mengikuti mereka! Orang Jepang, terkenal
sangat menghargai waktu!"
"Jadi kalian tega meninggalkan saya di sini?" rajuk Asri, sengaja dalam bahasa Inggris. Dan dengan
266
suara keras. Kuatir ada di antara mereka yang mengenakan alat bantu dengar.
"Biar saja dia ikut ke atas," sahut Jepang yang pertama dalam bahasa Jepang.
"Kita tidak bisa meninggalkannya sendirian di sini!"
"Kalau dia mau ikut, boleh saja!" Turis yang ketiga, pria muda bertubuh tinggi ramping berambut
hitam lebat, berwajah rupawan dengan daging lebih di pelupuk bawah matanya, menatap Asri sambil
tersenyum.
"Tampaknya dia gadis yang berani. Saya
kagum padanya."
Dengan bahasa Inggris yang bagus, gaya yang
sopan tapi enak dilihat, dia menghampiri Asri.
"Hai!
Nama saya Akira."
"Hai!" balas Asri sambil mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya.
"Senang berkenalan
denganmu."
Dia tidak bohong. Memang senang berkenalan
dengan pria Jepang yang tampan dan hangat ini. Padahal menurut pendapat Asri, pria Jepang biasanya
kaku dan dingin seperti robot. Tentu saja itu pria Jepang yang Asri lihat di pabrik sepatu.
Yang satu ini perkecualian. Dia hangat. Simpatik. Bahasa Inggrisnya bagus. Dan... menambah kejengkelan Segara.
Cemburukah dia? Selama perjalanan, dia tak pernah bersikap manis. Mukanya asam terus seperti tahu
basi.
Padahal turis-turis itu tampaknya tidak keberatan
Asri ikut. Makin ke atas, mereka malah makin ramah.
Bahkan Jepang yang kedua itu, yang mukanya
paling jelek seperti Ninja, sudah mau mengobrol
dengan Asri. Menanyakan binatan g apa yang barusan
lewat. Meskipun dalam bahasa Inggris hasil rekayasa
Dai Nippon.
Asri memanggilnya Mister Tak Ada, Renovasi
dari Takeda. Dan tampaknya, dia tidak keberatan.
Jepang yang pertama, memang sudah ramah dari
sananya. Umurnya paling tua. Mukanya bulat berminyak. Bibirnya dower. Matanya sipit. Kalau tertawa, bola matanya langsung lenyap.
Tetapi justru dia yang paling suka tertawa. Dan
per di pinggangnya paling lentur. Sebentar-sebentar
tubuhnya dibungkukkan seperti pegas. Apalagi kalau
sedang bicara dengan wanita.
Karena senyum tak pernah lekang dari bibirnya.
Asri menyebutnya Tuan Murah Tawa, modifikasi
dari Tawamura.
Mereka demikian mengagumi kreativitas Asri
mengutak-atik nama. Kalau saja mereka tahu apa
yang dapat dihasilkan oleh pemulung-pemulung
Indonesia dari tempat sampah, mereka pasti lebih
kagum lagi. Siapa bilang cuma orang Jepang yang
paling kreatif di Asia?
268
BAB XXV
TANPA keikutsertaan Asri, pendaki-pendaki berpengalaman itu dapat mencapai camping site Rinjani
hanya dalam lima jam saja. Tetapi karena membawa
seorang gadis remaja yang amat menarik, periang,
dan manja menggemaskan, waktu pendakian memanjang menjadi enam jam.
Tetapi tidak ada yang menggerutu. Apalagi
menyesal. Seperti berlomba, Akira dan Tuan Murah
Tawa selalu menanyakan apakah Asri letih. Dan ingin beristirahat.
Tampaknya, waktu tidak penting lagi. Buat orang
Jepang sekalipun. Apa lagi yang lebih menyenangkan selain mendaki gunung sambil menikmati pemandangan indah didampingi seorang gadis pribumi
yang cantik dan lincah?
Tempat itu sendiri membangkitkan nostalgia di
hati Asri. Di sinilah mereka berkemah. Di tempat ini
pula dia berdansa dengan Segara.
Tertelentang kelelahan di rumput. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Sambil menikmati kehadiran Segara di sampingnya.
"Mengapa kita tidak camping di sini saja?" usul
Asri kepada teman-teman seperjalanannya.
Sebenarnya masih sore. Tapi dia sudah letih.
Rasanya kakinya hampir tidak mau diangkat lagi.
Betisnya sakit. Ujung-ujung jari kakinya lecet. Terla
lu dipaksakan berjalan cepat mengikuti teman-temannya. Apalagi jalan terus mendaki.
Akira langsung setuju. Rasanya kalau Asri minta
nginap dua malam di sini pun dia pasti tidak menolak.
Tuan Murah Tawa oke saja. Dia cuma tersenyum.
"Capek?" tanyanya ramah.
Tapi Mister Tak Ada tampaknya ragu. Baginya.
waktu benar-benar yen. Kalau tidak dihemat, rupiah
bakal mengambang terus.
"Masih jauh?" tanyanya pada Segara.
Segara jadi serba salah. Tentu saja dia tahu, Asih
letih. Gadis itu tak dapat membohonginya. Dia perlu
istirahat.
Kalau mereka tidak berkemah di sini, masih diperlukan satu-dua jam lagi untuk mencapai sisi kepundan. Dengan Asih yang sudah begini letih, perjalanan
mendaki bisa lebih lama lagi. Cuaca keburu gelap.
Dan udara bertambah dingin.
"Sebenarnya pemandangan di sini sangat indah,"
kata Segara akhirnya.
"Lebih-lebih waktu fajar esok
pagi. Sayang kalau dilewatkan. Jika kita berangkat
pagi-pagi, sebelum gelap kita sudah mencapai Segara
Anak."
270
"Setuju," cetus Akira spontan.
"Lebih baik kita
bermalam di sini daripada di atas."
Mestinya Segara senang karena Akira menyokong
usulnya. Tapi mengapa dia malah jengkel? Karena
dia tahu Akira menyetujuinya supaya Asri dapat istirahat?
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa lama lagi kita dapat mencapai Segara
Anak?"
"Dari bibir kepundan, kita perlu lima-enam jam
untuk turun ke bawah. Cukup curam dan licin. Meskipun ada anak tangga untuk menuruninya."
"Kalau begitu kita berkemah di sini saja malam
ini," kata Akira tegas.
Asri memberinya seuntai senyum manis. Sebagai tanda terima kasih. Biarpun sedang tidak ingin
tersenyum karena lelah, Asri mau tersenyum terus
sampai bibirnya pegal, asal dapat segera istirahat. Oi,
capeknya!
Dan Akira membalas senyum manis itu dengan
seringai penuh arti yang membuat Segara merasa
muak. Terus terang, dia lega mendengar mereka mau
berkemah di sini. Tetapi ketika melihat senyum Asih
dan seringai Akira, mengapa hatinya terasa sakit?
Bukankah dia tidak punya perasaan apa-apa terhadap Asih? Nah, mengapa cemburu?
Dia memang mencintai Asri. Oke. Itu tak dapat
disangkal lagi. Tapi... saudara kembarnya? Mengapa
dia cemburu melihat hubungan Asih dengan si Jepang muda yang tampan itu? Konyol, kan?
Dan Asih! Mengapa dia bertingkah seperti Asri?
Makin lama Asih makin mirip saudara kembarnya!
Dia begitu pandai mempermainkan perasaan Segara! Seolah-olah dia tahu Segara jengkel. Dan sengaja
menambah kejengkelannya!
Uh, lihat bagaimana manjanya dia pada Akira!
Apakah... dia sengaja menarik perhatian Segara? Untuk apa"? Memancing Segara supaya cemburu"?
Kalau Asih mengira dapat mengalihkan cinta Segara pada saudara kembarnya karena mereka serupa...
bah! Dia keliru besar! Tidak semudah itu, Non!
Cinta bukan bola yang dapat dioper seenaknya!
Perlu dua tahun lagi bagi Segara untuk jatuh cinta
pada perempuan lain!
***
Sementara Segara sedang menginstruksikan
orang-orangnya untuk mendirikan kemah dan menyiapkan makanan, Akira tengah asyik membuat foto.
Dan Asri dijadikannya model untuk setiap foto yang
dibuatnya.
"Gadis cantik dengan latar belakang pemandangan yang indah!" desahnya kagum.
"Percaya tidak,
foto ini akan memenangkan hadiah!"
272
"Ya, hadiah kemplangan palang pintu dari istrimu!" ejek Asri dalam bahasa Melayu.
Tentu saja Akira bingung mendengar tanggapan
Asri.
"Apa katamu?" desaknya penasaran.
"Fotomu harus lebih indah dari aslinya!"
"Pasti! Foto ini sudah menang sebelum dinilai!"
Dan kamu sudah memenangkan hati Asih sebelum bertanding, gerutu Segara dalam hati.
Dengan kesal dihantamkannya palunya ke paku
yang memancangkan tenda ke tanah. Dan karena
matanya sedang melirik-lirik Asri, palu itu hampir
saja meremukkan jarinya.
"Segara!" pekik Asri kaget ketika melihat Segara
melemparkan palunya dan menarik jarinya dengan
kesakitan.
Meskipun sedang bergaya di depan kamera,
ternyata perhatiannya tidak luput dari Segara. Tanpa
mengacuhkan Akira lagi, Asri memburu pemuda itu.
"Jarimu nggak apa-apa?"
"Sana sajalah!" sahut Segara dingin.
Dengan kasar disingkirkannya tangan Asri ketika gadis itu menjamah tangannya untuk memeriksa.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dengan mengentakkan kaki, ditinggalkannya tempat itu.
"Kenapa dia?" tanya Tuan Murah Tawa heran.
"Akira terlalu dekat dengan gadisnya," sahut Mis
ter Tak Ada tenang. Rupanya biar tampaknya tidak
memperhatikan, matanya tajam juga.
"Segara!" Asri mengejar Segara tanpa mempedulikan Akira lagi. Padahal Akira sedang memanggilnya.
"Asih!" serunya tidak tahu diri.
"Fotomu belum
selesai!"
"Segara!" seru Asri lebih keras ketika pemuda itu
terus juga melangkah tanpa menoleh.
Seekor monyet yang sedang mengantuk di dahan
kayu kabur ketakutan ketika mendengar seruan Asri.
Dikiranya Batara Guru turun ke mayapada mewartakan hari kiamat.
Tetapi yang diteriaki justru seperti tidak mendengar apa-apa. Melangkah terus menjauh tanpa menoleh.
"Segara teriak Asri putus asa.
"Kalau kamu tidak mau berhenti, saya bunuh diri!"
Tentu saja Asri cuma menggertak. Tapi Segara langsung berhenti. Dan menoleh dengan marah.
"Mau apa?" tanyanya kasar.
"Mau ke mana kamu?"
"Bukan urusanmu."
"Kenapa adatmu jadi rusak begini?" tanya Asri
antara kesal dan bingung.
Pertanyaan yang tepat itu mengusik kesadaran Se
gara. Tiba-tiba saja dia insaf. Ya, mengapa dia jadi
274
begini? Di mana letak kesalahannya? Mengapa dia
jadi marah-marah tidak keruan?
Melihat pemuda itu tertegun bengong, Asri
langsung menghampiri.
"Ada apa, Segara?" desak Asri hati-hati.
"Apa
karena Asri?"
"Maaf," gumam Segara lesu.
"Tanganmu nggak apa-apa?"
"Cuma lecet sedikit. Jangan kuatir."
"Saya kira jarimu sudah remuk!" Asri menghela
napas lega.
"Mengapa kamu marah-marah begitu?"
"Saya juga tidak tahu."
Segara tidak berdusta. Dia memang tidak tahu.
Asri iba melihatnya. Tak sampai hati mempermainkannya lagi. Tapi... haruskah dia berterus terang?
"Ada yang ingin saya katakan, Segara "
"Kembalilah ke perkemahan," potong Segara gugup.
"Saya akan menyusul nanti."
"Saya tidak mau kembali tanpa kamu!"
Segara menghela napas berat. Dadanya terasa
pengap.
"Tolonglah, Asih. Jangan ganggu saya...."
"Kamu merasa saya mengganggumu?"
Ya, keluh Segara dalam hati. Karena kamu makin
mirip dengan Asri!
***
Tetapi ketika setengah jam kemudian Segara kembali ke perkemahan, Asri tidak berada lagi di sana.
"Ke mana dia?" tanyanya cemas.
"Pergi dengan Jepang itu," sahut salah seorang
pembantunya.
Setan! Segara benar-benar marah. Ke mana mereka?
"Mereka tidak tahu jalan!" geramnya kepada
pembantu-pembantunya.
"Bisa kesasar!"
"Katanya cuma dekat-dekat sini," sahut salah seorang dari kedua pemuda itu.
Dengan gusar Segara melangkah pergi mencari
Asri. Pemuda-pemuda itu mengawasinya dengan
heran.
Mereka sudah sering pergi dengan Segara mendaki gunung. Tapi belum pernah mereka melihatnya
marah-marah seperti ini.
Hari ini, semuanya tampak serba salah. Dia marah-marah terus. Dan pekerjaannya tidak ada yang
beres. Apakah lantaran gadis itu?
Lihat saja bagaimana mendung air mukanya!
Bagaimana kusut rambutnya! Padahal biasanya dia
selalu rapi. Tenang. Wajahnya bersih. Sikapnya santai tapi ramah. Kalau begini adatnya, mana bisa dia
jadi pemandu yang paling top di Rinjani?
Ketika hari mulai gelap dan Segara belum dapat
menemukan mereka juga, dia mulai panik.
276
"Asih!" teriaknya antara kesal dan cemas.
"Di
mana kamu?"
Mengapa aku begitu menguatirkannya? Benarkah cuma karena dia temanku, saudara Asri? Bukan
karena aku mempunyai perasaan lain terhadapnya?
Ah, ini benar-benar gila! Bagaimana aku dapat mempunyai perasaan yang sama terhadap dua orang gadis
kembar?
Tentu saja Asri mendengar suara Segara. Begitu
langkah-langkah kaki Segara terdengar mendekat,
sinar lampu senternya tampak di balik semaksernak,
pelukan si Jepang yang sejak tadi selalu ditolaknya,
buru-buru dilayaninya.
Dan Segara tak dapat menahan emosinya lagi ketika melihat gadis itu berada dalam pelukan Akira.
"Asih!" geramnya gusar.
Asri pura-pura terkejut. Dan langsung melepaskan dirinya dari pelukan Akira.
Tetapi Akira tetap tenang. Dia tidak merasa bersalah. Ditatapnya Segara dengan santai.
"Ada apa?" tanyanya sambil meraih bahu Asri.
"Waktu makan malam?"
"Jika sekali lagi kalian meninggalkan rombongan
tanpa setahu saya, saya akan mengundurkan diri!"
"Tapi kami juga tidak tahu di mana kamu tadi!"
balas Akira tersinggung. Lho, apa hak pemandu ini
marah-marah padanya? Dia dibayar untuk menun
jukkan jalan! Bukan mengasuh mereka!
"Di sini dia yang memimpin," bujuk Asri lembut.
"Kita mesti patuh padanya. Tanpa dia, kita tidak akan
sampai ke puncak Rinjani."
Dengan santai Asri meraih tangan Akira. Dan
membimbingnya melewati Segara. Hatinya gembira sekali. Sekarang semuanya jelas baginya. Segara
mencintainya! Tapi... siapa yang dicintai Segara?
Asri? Atau... Asih?
***
Malam amat dingin. Tetapi Segara tetap merasa
panas. Dia sudah bergulung dalam kantong tidurnya. Sudah lama mencoba memejamkan mata. Tetapi
belum dapat terlelap juga. Padahal tubuhnya cukup
letih.
Hatinya panas. Sepanas api unggun yang berkobar di sana. Darahnya mendidih. Kemarahannya meluap. Hampir tak dapat dipendam lagi.
Adegan itu tak mau hilang juga dari matanya.
Asih dalam pelukan seorang pria!
Tapi kenapa aku harus marah, pikir Segara bingung. Dia kan bukan pacarku!
Tentu saja Segara tidak menduga, di salah satu kemah itu, Asri juga tengah memikirkannya. Asri gembira. Sekaligus iba.
278
Segara cemburu. Hm, itu artinya cinta, kan? Tapi
Asri juga merasa menyesal mempermainkannya.
Kasihan.
Kalau mempermainkan Akira, itu lain lagi. Tak
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada yang perlu disesali. Lha, dia juga sering mempermainkan wanita kok! Kini dia ketemu imbang.
Klop, kan?
Pada Asri, Akira mengaku bujangan. Padahal dari
Tuan Murah Tawa, Asri sudah dapat info kilat. Anaknya sudah dua.
Tentu saja Akira tidak mengira, gadis Indonesia
begitu cepat menyambar info. Dia tidak tahu betapa
senangnya orang Indonesia ngerumpi. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, info dapat diperoleh
lebih cepat daripada yang dipancarkan melalui satelit.
Baru ditinggal tiga menit saja, Asri sudah berhasil mengorek info penting dari Tuan Murah Tawa.
Makanya ketika Akira merayunya, Asri tertawa terpingkal-pingkal dalam hati.
Dasar lelaki! Apa pun warna kulitmu, warna
hatimu sama saja! Keruh! Tidak boleh melihat gadis
nganggur
Tapi... tidak semua laki-laki, kan? Ada yang seperti Segara... Dan Asri tertegun. Apa bedanya dengan
Segara?
Bukankah dia mengira Asih-lah yang berada di
sini? Bagaimana dia bisa cemburu? Kalau dia tidak
mencintai Asih
Lho! Asri jadi bingung. Siapa sebenarnya yang
dicintai Segara? Asri? Atau... saudaranya"?
Tiba-tiba saja Asri ingin kembali menjadi dirinya
sendiri. Dia ingin Segara tetap mencintai Asri!
Mendadak dia merasa cemburu pada Asih. Pada
dirinya sendiri! Edan!
Tapi... bagaimana dia tahu siapa yang dicintai
Segara kalau dia membuka penyamarannya? Dan
bagaimana membuat Segara percaya?
***
"Kawal dong, Segara," pinta Asri pagi itu selesai
sarapan.
"Ke mana?" tanya Segara. Datar.
"Nyanyi."
Tanpa berkata apa-apa, Segara bangkit.
"Jangan ke tempat yang banyak ularnya. ya!"
Sengaja Asri menggunakan kata-kata yang sama.
Bahkan nada suaranya dibuat sama. Tapi... astaga!
Lelaki rupanya kalau terlalu polos dan lugu malah
jadi bloon! Sampai capek Asri memancing-mancing,
umpannya belum disambar juga!
Segara tetap tidak merasa. Tidak ingat siapa yang
pernah mengucapkan kata-kata seperti itu. Atau... bukan tidak ingat. Dia ingat, tapi tidak menduga yang
mengucapkan orang yang sama!
280
"Balikkan badanmu," pinta Asri meniru kata-kata Lindung ketika Segara menunjukkan tempat yang
terlindung di balik semak.
Segara memutar tubuhnya dengan patuh. Tidak
terpikir apa-apa. Polos seperti BBL-bayi baru lahir.
Barangkali menurut pendapatnya, semua wanita
akan berkata begitu juga kalau terpaksa b.a.b. di alam
terbuka.
Dan Asri merasa kesal bukan main. Bagaimana
lagi menyadarkan pemuda itu siapa dirinya? Kalau
dia langsung bilang, Hai, Segara! Ini aku, Asri! Segara pasti tidak percaya. Atau malah jatuh pingsan....
"Segara!" panggil Asri putus asa.
Segara yang sudah melangkah beberapa langkah
di depan langsung berhenti.
"Boleh bicara denganmu?"
"Soal apa?" tanya Segara malas ketika Asri sudah
berada di sampingnya.
"Bagaimana kalau kita duduk dulu di situ?"
"Kita harus segera kembali ke perkemahan. Turisturis itu bisa ribut. Mereka membayar saya untuk
menunjukkan jalan..."
"Bukan untuk mengantarkan saya kencing?" potong Asri kesal.
"Maksud saya, bukan untuk jalan-jalan bersamamu!"
"Kamu sebut ini jalan-jalan?"
"Jangan mulai lagi, Asih."
"Mulai apa?"
"Menggoda saya."
"Kamu anggap ini godaan?"
"Mengapa melakukan ini pada saya? Dulu kamu
baik...."
"Melakukan apa?"
"Membuat saya kesal!"
"Kamu kesal? Kenapa?"
Kenapa? Segara terdiam. Ya, mengapa harus kesal?
"Karena saya memaksa ikut?"
"Bukan."
"Karena saya menyusahkan?"
"Bukan."
"Karena saya bukan Asri?"
"Bukan!"
"Karena kamu cemburu?"
Cemburu? Kata itu seperti petir menyambar.
Cemburu?
Asri melihat wajah pemuda itu merah padam. Sejenak dia gelagapan. Tidak dapat menjawab. Bahkan
tidak dapat membalas tatapan Asri. Mulutnya hanya
membuka sedikit, dan menutup lagi. Tidak ada suara
yang keluar.
"Segara." Asri meraih tangan pemuda itu dengan
lembut.
"Kamu mencintai saya?"
282
Sekarang Segara mengawasi Asri dengan bengong. Siapa sebenarnya yang dicintainya? Asri?
Atau... gadis ini? Saudara kembarnya?
Mengapa cinta begitu mudah ditransfer? Dioper
seperti bola?
Seekor burung terbang mencicit di atas kepala
mereka. Dengan terkejut Segara melepaskan pegangan Asri.
Dia melangkah gontai menjauhi. Dan menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon. Dicabutnya
setangkai rumput. Digigit-gigitnya dengan gugup.
"Saya sendiri tidak mengerti," keluhnya bingung.
Sedih. Putus asa.
Asri tidak tega melihat keadaan pemuda itu. Hampir saja dia membuka penyamarannya. Segara demikian menderita! Didera kebingungan dan rasa bersalah. Buat apa meneruskan penyamaran ini? Semua
sudah jelas. Segara mencintainya!
"Saya mencintai Asri "
Asri sudah hampir membuka mulutnya. Berteriak.
Bersorak.
"Segara, ini aku!"
Ketika tiba-tiba dibatalkannya kembali. Katakata
Segara yang selanjutnya menerpa telinganya. Merobek jantungnya.
"Selama ini saya mengira mencintai Asri..."
Astaga! Asri melongo bingung. Apa katanya?
"...ternyata saya mencintaimu..."
Asri jatuh terduduk. Lemas. Mukanya pucat-pasi.
Segara menatap Asri dengan sungguh-sungguh.
Tatapannya demikian memikat. Sedih. Tapi jujur.
"Rasanya saya mencintaimu, Asih..." desisnya polos.
Ketika dilihatnya Asri diam saja seperti orang
linglung yang dipukul kepalanya, Segara bangkit.
Meraihnya. Dan memegang tangannya dengan hangat.
Tetapi ketika tangan Segara tengah meremas tangannya dengan lembut sekalipun, Asri masih membeku seperti batu. Segara mencintai Asih! Kekasihnya mencintai saudara kembarnya.... Ya, Tuhan!
284
BAB XXVI
AKU tidak peduli, gumam Asri sepanjang perjalanan. Kalau dia mencintai Asih, aku akan tetap menjadi Asih!
Tetapi... bagaimana melenyapkan Asih yang asli?
Menyuruhnya berganti identitas menjadi Asri? Dua
minggu mungkin oke. Tapi seumur hidup? Nanti
dulu! Asih pasti protes keras. Mungkin malah unjuk
rasa!
Persetan! Pokoknya Asih tidak boleh lagi bertemu
dengan Segara. Kalau perlu, sampai hari pernikahan
mereka!
Asih harus dikirim dengan paket khusus ke Jakarta. Jika dia tidak mau, dia harus tetap menjadi Asri
kalau kebetulan bertemu Segara!
Nah, lu! Bagaimana caranya? Urusan belakangan
deh. Jika perlu, minta bantuan Ayah. Kalau masih kurang, Norman dikerahkan. Pokoknya, sekarang hepi
dulu. Menikmati keindahan kawah Rinjani sambil
menatap senyum Segara yang mulai merekah lagi
seperti matahari seusai gerhana.
"Capek?" tanya Segara lembut ketika mereka sedang menuruni undakan yang menelusuri sisi kepun
285
dan menuju ke Segara Anak.
Asri menggeleng sambil tersenyum manis. Dalam
keadaan seperti ini, letih pun tidak terasa! Ah, cinta!
Alangkah indahnya kamu!
Kalau kutahu dari dulu cinta begini indah, kenapa
harus takut menghampirinya, pikir Asri sambil mengulum senyum.
Ditatapnya wajah Segara dari samping. O, rasanya
hari ini dia menjadi dua kali lebih tampan! Dan memang, dua kali lebih perlente!
Lihat saja cara dia menggulung kaki celananya
sampai ke lutut. Cara dia mengikatkan secarik kain
merah di kepalanya. Cara dia menyisir rambutnya.
Dan cara dia tersenyum....
Dan Asri memekik kesakitan. Karena terlalu asyik melirik Segara, dia tidak melihat batu kecil yang
licin itu. Yang begitu diinjak, langsung kabur.
Asri tergelincir. Sebelah kakinya terperosok ke
undakan di bawahnya. Untung Segara keburu menyambar tangannya. Tapi kaki Asri terkilir. Sakitnya
bukan main.
Asri langsung terduduk. Mengurut mata kakinya yang terasa sakit. Segara berjongkok di dekatnya
dengan cemas.
"Sakit?" tanyanya seperti ikut merasakan sakitnya.
"Sedikit," sahut Asri sambil mencoba berdiri.
286
Segara membantunya. Tapi Asri tidak mampu
berjalan. Sakitnya bukan main. Terpaksa dia duduk
kembali. Dikerumuni teman-temannya. Segara berjongkok memeriksa mata kaki Asri.
"Bengkak," keluhnya kuatir.
"Kamu tidak mungkin melanjutkan perjalanan."
"Saya ingin sekali melihat Segara Anak!" desah
Asri, hampir menangis karena jengkel. Untuk kedua
kalinya dia tidak dapat melihat danau yang terkenal
itu!
"Saya juga menyesal, Asih...," keluh Segara lirih.
Dia masih berjongkok di dekat Asri berlunjur.
"Tapi
rasanya kamu mesti menunggu di sini sampai kami
kembali."
"Mau menolong saya, Segara?"
"Memindahkan gunung pun saya mau!"
"Saya ingin melihat Segara Anak."
Segara menatapnya dengan bingung. Tapi Asri
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatapnya dengan sungguh-sungguh. Kekerasan
hatinya terpancar kuat di matanya.
"Bawalah saya ke sana."
"Tapi kamu tidak bisa berjalan dengan kaki bengkak seperti ini! Sakitnya bukan main!"
"Papahlah saya."
Sejenak mereka saling pandang. Sebelum akhirnya Segara mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
"Oke," katanya tegas.
"Saya akan membuat tandu."
Bukan cuma Segara yang mengagumi tekad Asri.
Orang-orang Jepang itu juga.
"Gadis ini punya kelas cetus Akira kagum.
"Dia
gadis yang berani!"
Jadi meskipun repot, mereka bahu-membahu
menggotong Asri di atas tandu darurat yang dibuat
Segara.
***
Impian Asri melihat Segara Anak akhirnya tercapai. Meskipun dia harus melihatnya dari atas tandu.
Siang itu udara begitu cerah. Langit bersih tak berawan. Angin berembus sepoi-sepoi. Membuat air
danau yang kehijau-hijawan tenang bagai cermin.
Memantulkan kehijawan pohon-pohonan di sekitarnya.
"Kita seperti berada di dunia yang lain," cetus Tuan Murah Tawa kagum.
"Begitu sepi. Begitu
megah. Begitu mencekam...."
Teman-temannya sibuk membuat foto. Tapi Segara sibuk memeriksa kaki Asri.
"Bengkaknya tambah besar," keluhnya cemas.
"Jangan-jangan ada tulang yang patah. Kamu tidak
boleh menginjak tanah dulu, Asih."
"Lalu bagaimana saya pulang ke losmen?" Meskipun kesakitan, kekuatiran dan perhatian Segara
288
menghibur hatinya. Ah, sakit pun rasanya berkurang
kalau didampingi oleh kekasih yang sangat mencintainya! "Terbang?"
"Kami akan mengusungmu dengan tandu."
"Perjalanan menuruni gunung dengan membawa
korban kecelakaan di atas tandu bukan pekerjaan enteng!"
"Saya pernah mengikuti latihan evakuasi korban
kecelakaan dari puncak gunung," sahut Segara mantap.
"Jangan kuatir."
"Kami siap membantu," kata Tuan Murah Tawa
spontan ketika Segara menjelaskan rencananya.
Asri merasa terharu melihat kebaikan mereka.
Ternyata bangsa apa pun dia, orang baik tetap baik!
Padahal kata buku sejarah, orangtua mereka dulu
sangat kejam di zaman Romusha! Untung saja kekejaman mereka tidak menjadi penyakit turunan!
***
Mereka masih harus bermalam semalam lagi sebelum menuruni gunung untuk kembali ke Senaru.
Teman-teman Segara mendirikan kemah di camping
site yang sama. Sementara Segara repot membuat ramuan dari daun-daunan untuk mengobati mata kaki
Asri.
"Masih sakit?" tanya Segara selesai membubuhi
obat.
"Mendingan," sahut Asri walaupun sakitnya tidak
berkurang.
Segara pergi sebentar. Dan kembali lagi dengan
sepiring makanan.
"Makanlah," katanya penuh perhatian.
"Supaya
tenagamu pulih."
Asri merasa sangat terharu. Segara begitu memperhatikannya. Dia melayaninya dengan cermat.
Mengobatinya dengan sabar. Mengapa sampai hati
menipunya?
"Segara," panggil Asri sesaat sebelum Segara pergi selesai melayaninya makan.
"Ya?"
"Boleh tanya? Jangan jawab kalau tidak mau."
"Tanyalah."
"Bagaimana hubunganmu dengan Asri?"
"Cuma teman," sahut Segara datar.
"Tapi saya tahu dia mencintaimu."
"Ah, pemuda desa seperti saya tidak pantas untuk
menjadi pacarnya. Lagi pula Asri tidak pernah serius
dengan seorang pemuda saja."
Kamu keliru! Asri menghela napas jengkel. Keliru berat! Tapi... bagaimana meralat anggapan Segara? Dia sudah telanjur salah tafsir!
"Kamu mau memaafkan saya, Segara?" desah
Asri sedih. Serba salah.
"Untuk apa? Kamu tidak punya salah. Kamu tidak
290
merebut saya dari tangan Asri. Antara kami memang
tidak ada hubungan apa-apa."
"Kalau suatu hari kamu menemukan kesalahanku,
kamu mau memaafkanku?"
Aduh! Pertanyaan apa itu! Kedengarannya tolol
dan naif sekali! Bukan cuma Asri yang bingung. Segara juga.
Dia langsung menyentuh dahi Asri. Kuatir
pikirannya kalut karena demam. Segara tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Asri. Ah, pasti efek
dari kakinya yang sakit!
"Lebih baik kamu tidur," kata Segara lembut sambil menyelimuti tubuh Asri.
Tetapi ketika dia hendak meninggalkan kemah,
Asri memanggilnya sekali lagi.
"Segara," desisnya perlahan.
"Saya sudah berubah!"
"Tidak," sanggah Segara agak bingung.
"Kamu
tetap Asih yang saya kenal. Kamu gadis baik dan
lembut."
Lama sesudah Segara meninggalkan kemahnya,
Asri masih belum dapat memicingkan matanya.
Gadis yang baik dan lembut! Gadis seperti itu
yang dikagumi Segara! Tapi aku bukan gadis seperti
itu!
***
Sesampainya kembali di losmen, Segara langsung
memanggil dukun urut untuk mengobati kaki Asri.
Sore itu juga, ketika dia sedang duduk berlunjur di
balai-balai di depan losmen dengan kaki yang dibubuhi ramuan yang baunya tujuh rupa, teman-teman
Jepangnya menghampirinya. Mereka mau pamit.
"Hai!" sapa Akira ramah.
"Bagaimana kakimu?"
"Belum perlu diganti," sahut Asri sambil
tersenyum.
"Berangkat sekarang?"
"Ya. Sampai jumpa. Saya tak akan melupakanmu."
Gombal! Asri tersenyum lebar. Dasar laki-laki!
Sampai di Tokyo ketemu geisha, kamu pasti lupa namaku!
"Lain kali kalau saya datang lagi, kamu masih
bisa ditemui di sini?"
"Tentu," sahut Asri asal saja. Mungkin saja sudah
jadi istri pemilik losmen ini! Tentu saja pemilik yang
muda! Kalau yang tua sih... amitamit.
Tuan Tak Ada masih tetap langka senyum. Dan
masih tetap tidak menyukai wanita. Sakit, kali. Tapi
dia juga menyalami Asri dengan ramah. Basa-basi.
Mungkin juga karena bahasa Inggrisnya paling semrawut di antara teman-temannya, dia paling pelit bicara.
Tuan Murah Tawa datang paling akhir. Tapi sampai saat terakhir pun dia tetap tersenyum. Kalau ada
292
kontes leak tersenyum di sini, pasti dia pemenangnya.
"Kamu mengubah pandangan saya tentang gadis
Indonesia," katanya terus terang.
"Mudah-mudahan mengubah ke arah yang baik!"
tukas Asri spontan.
"Kalau tidak, saya bisa menggagalkan program Visit Indonesia Year yang tahun
ini dimodifikasi jadi Visit Asean Year!"
"Selama ini saya mengira gadis Indonesia cuma
bisa menari! Habis cuma itu yang selalu dipertontonkan pada turis!"
"Tarian memang budaya nasional kami yang bernilai tinggi! Kami bangga memperkenalkannya kepada dunia!"
"Tapi kamu menampilkan citra yang lain. Gadis
Indonesia yang berjiwa petualang, berani, dan gesit.
Pendaki gunung yang hebat!"
Aduh, Tuan Murah Tawa! Engkau memang super
baik! Mudah-mudahan kamu bukan cuma sedang
berbasa-basi. Atau lebih celaka lagi, menyindir!
***
Sepeninggal turis-turis Jepang itu, losmen sepi.
Belum datang tamu baru.
Ayah Segara sedang sibuk membersihkan kamarkamar losmennya. Tapi Segara tidak mau jauh dari
Asri.
Dia menemani Asri duduk-duduk di balai-balai di
depan losmen. Sebentar-sebentar, dia memeriksa kaki
Asri. Mengharapkan kaki yang bengkak itu tiba-tiba
mengempis seperti balon yang dibuang anginnya.
"Makin lama kamu makin mirip Asri," cetus Segara tak sadar, ketika melihat perpisahan Asri dengan
turis-turis Jepang itu.
"Kamu disukai tua-muda, karena supel dan pintar bergaul."
"Jika Asri ingin kembali padamu? Kamu mau menerimanya?"
Segara tertegun. Terkejut dan bingung. Menyadari
telah kelepasan bicara.
"Tidak mungkin," katanya setelah tidak tahu lagi
harus menjawab apa.
"Asri tidak mungkin kembali."
"Kamu menyukainya, kan?"
Lama Segara terdiam. Seperti sedang berpikir
keras. Atau sekadar mencari kata-kata yang tepat.
"Kamu menyukainya?" desak Asri penasaran.
"Ya," lambat-lambat Segara mengembuskan kata
itu bersama napasnya.
"Masih tetap menyukainya sampai sekarang?"
"Ya," sahut Segara tersiksa karena terpaksa menjawab.
"Meskipun dia bukan gadis yang baik dan lembut?"
"Dia memang berbeda."
"Karena itu dia menarik?" sergah Asri gemas.
294
Lho! Asri sendiri jadi heran. Apa-apaan ini?
Bagaimana dia bisa merasa cemburu pada dirinya
sendiri? Siapa sebenarnya dia sekarang? Asri atau
Asih?
"Ya." Segara menggigit bibirnya.
"Dia sangat
menarik...." Ketika dilihatnya perubahan air muka
Asri, buru-buru disambungnya dengan gugup.
"Tapi
kamu jangan kuatir, Asih. Karena dia bukan gadis untuk saya."
"Kalau dua-duanya ingin jadi pacarmu, yang
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana yang kamu pilih?"
"Asih!" Segara mengawasi gadis itu dengan bingung.
"Kenapa pertanyaanmu jadi aneh-aneh begini?"
"Pokoknya jawab sajalah!"
"Saya tidak mungkin memilih karena Asri cuma
menganggap saya teman!"
"Jadi kamu memilih saya karena tidak mampu
menggapai Asri?"
"Asih!" sergah Segara serba salah.
"Jangan berkata begitu!"
"Tapi benar, kan?" desak Asri gemas.
"Tidak dapatkah kita melupakan Asri?"
"Tentu saja tidak! Dia saudara kembarku! Dan dia
cintamu yang pertama!"
"Jangan sampai Asri merusak hubungan kita,Asih...," keluh Segara kewalahan.
"Saya tidak mau mendapat sisa!"
"Kata siapa cinta kita cinta yang tersisa? Kamu
belum pernah pacaran, kan? Nah, saya juga belum!
Kita akan menjadi yang pertama, sekaligus yang terakhir!"
Kalau begitu, keputusanku sudah mantap. Aku tidak akan berhenti menjadi Asih! Kamu menginginkan gadis yang baik dan lembut? Oke, aku akan menjadi gadis yang baik dan lembut... kalau bisa!
296
BAB XXVII
AYAH Asri yang muncul menjelang magrib, kaget
sekali melihat kaki anaknya.
"Asri!" cetusnya spontan, lupa sandiwara anaknya.
"Kakimu kenapa?"
"Ah, cuma kepeleset," sahut Asri sambil mengedipkan matanya.
"Saya Asih, bukan Asri!"
"Ya, Asih," sergah Ayah asal saja. Dia sudah buru-buru duduk di samping Asri dan memeriksa kakinya.
"Aduh! Kakimu bengkak!"
"Namanya aja keseleo," sahut Asri seenaknya.
"Udah diurut kok."
"Kalau tulangmu retak, diurut malah patah sekalian!"
"Kenapa sih lagak Ayah kayak dokter aja? Sering main sinetron di TV, ya"? Atau sering main dokter-dokteran di rumah?"
"Hus! Ayah serius, Asri!"
"Asih!"
"Asih, Asri, sama saja!"
"Lain!" Asri mengerling kepada Segara yang baru
datang membawakan minuman.
"Selamat sore, Pak," sapanya sopan.
"Sore," sahut ayah Asri agak heran. Lain amat
lagakmu sekarang! Sopan. Ramah. Hangat. Banyak
senyum. Hm. Asri memang jagonya kalau memutar
antena simpati orang! Hhh, gara-gara pemuda ini dia
jadi repot! Tapi mengapa senang sekali rasanya dapat
berbuat sesuatu untuk anaknya yang satu ini? "Kamu
jatuh di mana, As?"
"Di kamar mandi." Asri menyeringai masam. Kalau saja Ayah tahu di mana kamar mandinya! Di Danau Segara Anak! Hehehe....
"Ayo, ikut Ayah ke dokter."
"Buat apa? Asih nggak sakit kok!"
"Ayahmu benar, Asih. Tidak ada salahnya kan
memeriksakan kakimu ke dokter? Aku bisa ikut."
"Kamu mau pulang ke Mataram?"
"Tugasku di sini sudah selesai."
"Tidak ada tamu lagi yang perlu kaupandu ke
gunung?" sindir ayah Asri.
"Biasanya kan kamu
repot!" Mampir ke Gili saja tidak mau! Huh. Anak
muda. Lagakmu banyak! Jual mahal!
"Dia cuma part time guide kok." Asri tersenyum
tipis.
"Kadang-kadang jadi part time lover!"
Segara membalas gurau Asri dengan seuntai
senyum lembut. Dan melihat senyum itu, ayah Asri
merasa perutnya sakit. Dia kenal sekali apa yang berada di hati mereka kalau seorang pemuda tersenyum
seperti itu!
298
***
Sesampainya di Mataram, ternyata Segara tidak
langsung pulang ke rumahnya. Sesudah mengantar
Asri ke dokter, dia ingin ikut ke Gili. Sekarang. Asri-lah yang kalang kabut.
"Buat apa repot-repot ngantar ke Gili? Kaki saya
sudah difoto. Tidak ada tulang yang patah. Lusa saya
pasti sudah bisa lari seratus meter!"
Tentu saja Asri juga tidak ingin berpisah. Tapi ikut
ke Gili berarti bertemu dengan Asih!
"Kamu belum bisa jalan. Bagaimana bisa naik ke
perahu motor? Turun dari mobil saja susah!"
"Lho, saya cuma terkilir, kan? Bukan lumpuh!"
Kali ini Segara memang tidak dapat dilarang. Dan
yang berdebar-debar bukan hanya Asri. Ayahnya
juga. Dia juga ikut terlibat.
Mengapa aku ikut terlibat dalam permainan anakanak ini? pikirnya resah dalam perahu. Seharusnya
aku mengarahkan putriku yang bandel ini. Bukan
malah mengikuti semua sepak terjangnya!
"Kamu harus kembali ke Mataram," desak Asri
dalam perahu.
"Begitu menurunkanku di pantai,
kamu harus segera kembali ke Bangsal. Kuliahmu
sudah lama terbengkalai!"
"Boleh minta minum dulu di Gili?" Segara
tersenyum lunak.
"Asih benar, Segara," begitu saja kata-kata itu
terlepas dari mulut ayah Asri.
"Sebaiknya kamu
langsung pulang ke Mataram."
"Tidak boleh mampir dulu ke rumah Bapak?"
"Kamu sudah terlalu banyak bolos kuliah!"
Di pantai Gili Air, Asih lari lintang-pukang begitu
melihat Segara ikut datang bersama ayah dan saudaranya. Ketika mencari tempat sembunyi, dia sampai
menubruk Ibu.
"Maaf, Bu!" kata Asih tergesa-gesa.
"Lebih baik
Ibu juga sembunyi bersama saya!"
Tentu saja Ibu mau ditarik Asih ke dalam rumah.
Meskipun mulutnya tidak henti-hentinya bertanya.
"Ada apa sih?"
"Penjelasannya panjang, Bu. Diam-diam saja
dulu di sini!"
Tentu saja Ibu mau diam kalau tidak melihat Asri.
Tetapi begitu melihat dari balik pintu Asri digendong
turun dari perahu, dia tidak dapat ditahan lagi.
"Asri!" jeritnya panik.
"Ada apa? Kenapa kakimu?"
Asih tidak keburu mencegah ibunya. Dia memukul
kepalanya dengan gemas. Dan malapetaka itu terjadi.
***
Segara menurunkan Asri dengan hati-hati. Ayah
300
Asri memapahnya di pasir. Dan teriakan ibu Asih
melengking membelah udara.
"Asri! Ada apa? Kenapa kakimu?"
Mereka sama-sama menoleh. Tapi bukan cuma
wajah Asri yang pucat. Wajah ayahnya juga.
Tidak seorang pun berani melihat wajah Segara.
Tetapi biarpun tidak melihat, Asri dapat menerka
seperti apa paras pemuda itu sekarang.
Asih memang tidak muncul. Dia sudah bersembunyi di dapur. Tidak berani melihat. Tetapi Ibu berlari-lari dengan cemas. Menghambur mendapatkannya.
Dan tiba-tiba saja Segara mengerti semuanya. Tiba-tiba saja dia mengerti mengapa cintanya begitu
mudah ditransfer!
Tanpa berkata apa-apa, dia ikut memapah Asri ke
dalam rumah. Tapi Asri merasa bukan hanya tangannya saja yang dingin. Tangan Segara juga. Bahkan
tangan ayahnya ikut membeku!
Dan pada saat yang paling menegangkan itu, tiba-tiba saja Asri merasakan kedekatan dengan ayahnya. Tiba-tiba saja perasaan itu menyeruak ke hati kecilnya... merambah ke segenap benaknya.
Perasaan yang belum pernah dimilikinya, sekalipun dia sudah menemukan ayahnya! Genggaman
ayahnya terasa memberikan rasa aman. Perasaan terlindung. Perasaan kebersamaan yang aneh....
301
Pada saat yang sama, Ayah pun merasakan naluri
kebapakan yang kuat menjalari hatinya. Dipeluknya Asri dengan lengan-lengannya yang kokoh. Seolah-olah dia ingin melindungi gadis kecilnya dari
trauma yang akan menerpanya.
Asri menerima sinyal yang dipancarkan dari tubuh ayahnya. Dia merasa lebih tenang. Biarpun masih tegang menunggu reaksi Segara.
"Kenapa kakimu?" desak Ibu, seolah-olah cuma
kaki Asri yang paling penting dalam hidupnya.
"Cuma terkilir," Ayahlah yang menyahut.
Untuk pertama kalinya Asri mendengar suara
ayahnya demikian tegas dan berwibawa.
Asih merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Tanpa berkata apa-apa, dia menyorongkan kursi untuk
saudaranya.
Asri duduk di kursi itu. Ayah menarik kursi lain
untuk tempat kakinya berlunjur. Ibu langsung memeriksa kaki Asri sambil mengeluh kuatir.
"Tidak apa-apa," nada suara Ayah seperti menyesali kekuatiran Ibu yang berlebihan.
"Sudah difoto.
Tidak ada tulang yang patah."
"Kamu jatuh di mana, Asri?" desak Ibu. Tidak
mengerti situasi yang tegang di sekelilingnya.
"Di
Gunung Rinjani," sahut Segara datar.
Ibu memekik marah. Tapi tidak ada yang mengacuhkannya.
302
"Terima kasih, Segara," kata Ayah pada pemuda yang masih tertegun di dekatnya itu.
"Silakan
duduk."
"Sebaiknya saya pulang, Pak," sahut Segara
tawar.
"Saya kira Asri sudah tidak memerlukan saya
lagi. Saya harus kembali ke Mataram. Kuliah saya
sudah lama terbengkalai."
Asri mengangkat mukanya. Tepat pada saat Segara menoleh ke arahnya. Dua pasang mata bertemu
dalam bentrokan diam-diam yang menyakitkan.
Tidak ada kemarahan dalam mata Segara. Tidak
ada kebencian. Tapi di mata itu Asri melihat rasa
sakit yang amat sangat. Dan dia ikut merasa nyeri
sampai mengeluarkan air mata.
Segara tidak tahan memandang mata Asri yang
berkaca-kaca lebih lama lagi. Dia berbalik. Dan melangkah gontai ke luar.
Seperti memahami perasaannya, Ayah memeluk
bahu Asri dengan lembut. Dan untuk pertama kalinya, Asri merasa memperoleh seorang ayah dalam
hidupnya.
***
Segara sedang duduk menunggu perahu yang
akan membawanya menyeberang kembali ke Bangsal ketika ayah Asri menghampirinya.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
303
"Mari Bapak antarkan," katanya ketika Segara
menoleh.
"Tidak usah, Pak. Jangan repot-repot. Sebentar
lagi ada perahu yang berangkat ke Bangsal."
Suara Segara datar. Tanpa nada. Tetapi tetap dalam batas-batas kesopanan. Dan hal itu membuat
ayah Asri semakin menyukainya.
Pemuda ini marah. Kecewa. Sakit hati. Merasa
dipermainkan. Tapi dia tetap dapat menguasai diri
dengan baik. Tetap sopan pada orangtua. Tidak kasar.
Pada Asri. Maupun pada keluarganya.
"Segara," cetus ayah Asri sambil berjongkok di
dekatnya.
"Bapak ingin kamu tahu satu hal. Bapak
juga tidak menyetujui tindakan Asri menyamar jadi
Asih. Tapi tindakan itu dilakukannya bukan untuk
mempermainkanmu."
Bukan untuk mempermainkanku, geram Segara dalam hati. Hanya untuk mempermalukan aku!
Membuatku tampak bodoh! Kalau saja dia tahu, betapa aku telah mengutuki diriku karena begitu mudah
jatuh cinta pada gadis lain! Baginya, cinta mungkin
hanya permainan. Tapi bagiku, cinta seperti tahun kabisat yang hanya datang empat tahun sekali!
"Asri kembali kemari untuk menemuimu...."
Dan mengecohku! Sekarang kamu pasti sedang
tertawa gelak-gelak. Menceritakan pada saudaramu
betapa bodohnya pemuda desa yang kamu permainkan!
304
"Ketika kamu menolak menemuinya di sini, dia
penasaran."
Dan sakit hati! Dia harus membalas kecongkakan
pemuda desa yang tidak mau datang menemuinya!
"Asri memang bukan tipe gadis yang pasif
menunggu...."
Dia harus bertindak untuk membalas dendam!
Biar pemuda desa yang angkuh itu tahu siapa dirinya! Asri yang diantre pemuda dari Sabang sampai
Merauke!
"Dia belum puas sebelum berhasil menemuimu...."
Sekarang kamu puas, Asri? Kamu sudah berhasil mengelabui cowok bego ini! Kamu sudah berhasil membuatnya seperti badut! Nah, sekarang
kamu punya bahan bagus untuk ngerumpi bersama
teman-temanmu di Jakarta nanti!
"Dan mengorek isi hatimu...."
Dan kini dia tahu aku mencintainya! Persetan, siapa pun namanya, aku mencintainya! Dan dia mempermainkan cintaku....
Tapi... benarkah Asri mempermainkan cintanya?
Tiba-tiba saja Segara ingat tatapan mata gadis itu sesaat sebelum mereka berpisah tadi.
Itu bukan tatapan mata yang penuh kemenangan.
Bukan mata yang menertawakan kebodohannya. ltu
tatapan yang pahit.... Sama pedihnya, sama sakitnya
305
dengan tatapannya sendiri....
Mata bening yang selalu tersenyum itu, yang selalu memandang enteng segalanya, kini sudah kehilangan ketegarannya.
Adakah Segara melihat air mata di mata itu tadi?
Atau... cuma ilusinya semata-mata? Asri tak pernah menangis. Dalam sakit yang bagaimanapun...
Tapi... matanya tadi berkaca-kaca.... Menangiskah
dia? Karena telah menyakiti hati pemuda yang sungguh-sungguh mengasihinya?
306
BAB XXVIIJ
MALAM terakhir di Gili, Asri menikmati makan
bersama saudara dan orangtuanya. Untuk anakanak lain, mungkin hal biasa. Terlalu biasa, sampai
kadang-kadang disepelekan. Tapi bagi Asri dan Asih,
ini kesempatan yang langka. Makan malam bersama
yang pertama mereka rasakan. Mungkin pula yang
terakhir.
Selesai makan, Asri masih ingin menikmati kebersamaan itu. Sendirian malah membuatnya sedih.
Ingat Segara. Tapi dia sengaja memberi kesempatan
pada orangtuanya. Karena itu diajaknya Asih menyingkir.
"Maafkan aku," kata Asih ketika mereka sedang
melangkah berdua di tepi pantai.
"Aku tidak keburu
mencegah Ibu membuka rahasiamu."
"Mau nebus dosa?"
"Aku harus dihukum?"
"Bayar utang!"
"Tapi kamu yang minta tolong!"
"Bandomu ini buat aku."
"Ke mana semua tukang bando di Jakarta?"
"Segara menyukainya."
307
"Ah, dia menyukai semua yang melekat di tubuhmu!"
"Kamu menyukainya?"
"Kamu salah minum obat apa tadi?"
"Sekarang dia membenciku. Aku takut dia beralih
padamu!"
"Cinta bukan halaman buku yang gampang dibalik!"
"Dia pernah bilang, mula-mula dia mengira
mencintaiku. Tetapi sesudah bertemu denganmu, dia
baru sadar, kamulah yang sebenarnya dicintainya...."
"Jangan pura-pura bodoh! Siapa pun nama gadis
yang dicintainya, gadis itu adalah kamu!"
"Tadinya aku nggak mau tukar identitas lagi! Aku
ingin terus jadi kamu!"
"Untung sandiwaramu terbongkar!"
"Jahatnya!"
"Aku tidak mau tukar tempat!"
"Nggak mau tinggal sama Ibu?"
"Tidak betah tinggal di Jakarta."
"Takut ketemu cowok liar macam si Norman?"
"Aku mencintai pulau ini."
"Kalau begitu, sampai di Jakarta nanti, aku fax
Norman ke alamatmu
***
308
"Apa pun alasanmu, aku tidak setuju dengan caramu mendidik Asri," kata Ibu sesudah anak-anak
meninggalkan mereka.
"Anak-anak tidak boleh dibiasakan membohongi orangtua!"
"Aku cuma ingin menolong Asri. Dia sangat ingin
menemui pacarnya."
"Tapi bukan begitu caranya!"
"Oke, itu salahku. Asri sudah minta izin padaku
untuk bermalam di Senaru. Dan aku sudah mengizinkan. Kalau mau marah, marahilah aku."
"Kau tahu bahayanya mendaki gunung? Untung
cuma kakinya yang terkilir!"
"Aku percaya pada kemampuan Asri. Dia gadis
yang hebat, berani, gesit, cerdik. Aku bangga jadi
ayahnya."
"Tapi membiarkan dia menginap di tempat pacarnya...."
"Aku sudah bilang, aku percaya padanya. Asri
dapat menjaga dirinya, dari keganasan alam maupun
keisengan lelaki."
"Kok yakin amat"? Baru juga sebulan kenal Asri!"
"Dia anakku. Mewarisi sifat-sifatku. Aku kenal
dia seperti mengenal diriku sendiri."
"Tapi aku tetap tidak setuju dengan caramu mendidik anak! Sebagai ayah, kau terlalu gegabah!"
Malam itu mereka memang berdebat. Tapi tidak sampai bertengkar. Dan sebuah perasaan aneh,
309
sama-sama menyelinap ke hati mereka. Perasaan
memiliki sesuatu yang sama. Yang sama-sama mereka sayangi. Yang sama-sama mereka perhatikan. Dan
perasaan itu menciptakan kedekatan yang akrab di
hati mereka.
***
"Terima kasih, Ayah," bisik Asri sambil memeluk
ayahnya.
Untuk kedua kalinya mereka berpisah di Pelabuhan Udara Selaparang. Tapi kali ini, Asri bukan hanya telah menemukan ayahnya. Dia telah memiliki
seorang ayah.
Ayah Asri merangkul putrinya dengan terharu
sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya dia memperoleh pengakuan putrinya. Dan
pengampunan istrinya.
Rasanya beban berat yang menindih hatinya selama ini punahlah sudah. Dia dapat menghirup udara
dengan lebih lega. Dapat menikmati hidup dengan
lebih bergairah.
Ketika Asri bergerak untuk melepaskan pelukan
ayahnya, seseorang memanggilnya. Asri tidak perlu
menoleh untuk memastikan siapa yang memanggilnya. Tetapi dia menoleh juga. Begitu cepatnya sampai
otot-otot lehernya terasa sakit. Dan matanya bertemu
310
dengan mata itu. Mata yang dicintainya. Mata yang
selalu tenang. Tapi yang sekali waktu pernah bersorot
demikian getir sampai Asri ikut merasa nyeri.
Tak ada yang dapat mereka ucapkan. Mereka sama-sama membisu. Hanya mata mereka yang saling
menyapa.
Dan ketika senyum sama-sama merekah di bibir
mereka, ayah Asri tahu, bianglala telah merona lagi
di hati putrinya. Dia meraih bahu Asih. Dan membawanya pergi.
"Mau tukar tempat lagi?" bisik Asih sambil lewat.
Segara menyerahkan seikat bunga yang sejak tadi
disembunyikannya di balik tubuhnya. Dan menyerahkannya pada Asri. Di tangkainya, terikat sepucuk
surat.
"Balasan suratmu," katanya lembut.
Asri sudah hendak membukanya. Tapi Segara
mencegahnya.
"Jangan di sini," pintanya sungguh-sungguh.
"Bagaimana kakimu?"
"Baikan. Tapi masih perlu orang untuk memapah."
"Itu ibumu datang."
"Ibu mana kuat memapah saya ke atas pesawat?"
"Jangan kuatir. Ada seorang pramugari mendorong kursi roda untukmu."
"Ibu!" keluh Asri pura-pura kesal.
"Kenapa sih
311
Ibu selalu bikin kacau suasana?
"Selamat jalan, Asri." Segara menjabat tangannya
dengan hangat.
"Selamat tinggal, Segara. Sampai jumpa lagi."
Dari atas kursi rodanya, Asri melambaikan tangannya. Segara membalasnya sambil tersenyum lembut.
Dan Asri tidak menunggu sampai pesawat tinggal
landas untuk membuka surat Segara. Di dalam surat
itu, cuma ada sebaris kalimat.
Siapa pun kamu, saya tetap menyayangimu.
Tapi bagi Asri, surat yang mirip telegram itu lebih berharga daripada seratus surat cinta yang pernah
diterimanya. Dia bersorak gembira sambil melempar
surat itu keatas.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tamat
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Rajawali Emas 46 Panah Cakra Neraka Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama