Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W Bagian 2
bisa keluar dari rumah tanpa dicurigai. Lain, halnya
kalau Bram keluar dari pintu belakang. Pintu yang tidak terkunci tentu akan memancing kecurigan Ibu.
Kemudian dari kebun mereka tinggal memanjat pintu belakang. Dan alam bebas menanti mereka di luar
sana.
Siang tadi Bram sudah meminjamkan celana
jeans-nya yang kekecilan kepada Bugi. Dan sekarang,
dalam pakaian seperti kemeja gombrong dengan celanajeans yang digulung kakinya karena kepanjangan,
tak seorang pun menyangka dia seorang anak perempuan.
79
Bugi berlari sama cepatnya seperti Bram. Bisa memanjat pagar dan melompati parit dengan sama gesitnya pula.
Kadang-kadang Bram sendiri merasa kagum. Barangkali dia benar-benar bukan perempuan, pikir
Bram geli. Tapi sekarang dia sendiri tidak peduli.
Pokoknya dia punya teman.
Beno sudah menunggu dalam jipnya yang diparkir di bawah pohon beberapa puluh meter dari rumah mereka. Dan Dino langsung membukakan pintu
begitu melihat dua sosok bayangan mendatangi.
Bram melompat lebih dahulu ke dalam jip. Bugi
menyusul beberapa detik kemudian. Dino segera
pindah ke bangku depan begitu mereka naik.
"Darijauh tadi kukira Rio yang ikut." Dino menyeringai ke arah Bugi.
"Wah, kalau anak mama itu yang
ikut, mendingan kita nggak jadi pergi!"
"Jeans-mu keren betul, Gil," goda Beno sambil
menghidupkan mesin mobilnya.
"Beli di Pasar Rumput, ya?"
"Sialan, itu jeans-ku!" potong Bram sebelum Bugi
sempat menjawab.
"Kok masih bau tukang loak sih?"
"Lho, kamu kok tahu sih baunya tukang loak? Pernah tidur bareng, ya?"
Mereka sama-sama tertawa geli. Jip Beno meluncur dengan kecepatan penuh, membelah jalan raya,
pada pukul sepuluh malam. Beberapa orang, pengemudi yang kendaraannya diganjal begitu saja me
80
nekan klakson dengan marah. Tetapi Beno malah
tertawa puas.
"Hati-hati Ben! Kamu kan belum punya SIM!"
kata Dino, meskipun hatinya berkata sebaliknya. Dia
senang dimaki-maki orang begitu. Dengan mengemudikan mobil secara demikian, mereka merasa
dirinya gagah dan menjadi pusat perhatian. Sesuatu
yang selalu didambakannya. Tetapi yang tidak pernah diperolehnya di rumah.
"Ke mana kita?"
"Tetap pada rencana semula. Malam ini Ramli
ulang tahun. Kita bikin dia nyesel bikin pesta!"
Mereka tiba di depan rumah pukul sebelas lewat
sepuluh menit. Jalanan di depan rumah itu sudah
sepi. Tapi belum ada tanda-tanda pesta akan berakhir.
Cahaya terang-benderang masih memancar ke
luar melalui pintu yang terbuka. Musik yang hingar-bingar pun masih bertalu-talu memekakan telinga. Untung pekarangan rumah Ramli cukup luas.
Kalau tidak pasti tetangganya sudah protes. Bising
mendengar polusi suara di tengah malam.
Begitu jip mereka berhenti, isinya langsung berlompatan ke luar. Bram sudah memberi instruksi apa
yang harus dikerjakan. Maka begitu sampai, mereka
sudah tahu tugasnya masing-masing.
Ada kira-kira dua buah mobil dan sebelas
81
buah motor diparkir di depan rumah Ramli. Bugi
mendapat tugas mengempiskan ban bersama Dino.
Bram dan Beno langsung melenggang masuk seperti
tamu yang mendapat undangan istimewa.
Kemeriahan pesta segera memudar begitu
keduanya masuk. Suasana tegang langsung menyelimuti seluruh ruangan. Tetapi Bram dan Beno tetap
bersikap tenang.
"Selamat ulang tahun, Ram," kata Bram santai ketika Ramli dengan sikap garang menghampiri mereka bersama teman-temannya.
"Siapa yang ngundang kalian?" bentak Ramli tajam sambil berkacak pinggang.
"Wah, nggak sopan nih anak," gerum Beno, pura-pura kesal.
"Diberi selamat malah minta diembat!"
"Kami nggak bisa kasih apa-apa, Ram," sambung
Bram setenang semula.
"Sudah kami cari di semua
toko, tidak ada hadiah yang cocok buat kamu, jadi
kami bawakan ini saja Bram menyodorkan sebuah bungkusan besar yang dibungkus dengan kertas
berwarna-warni.
Sedetik Ramli memandang bungkusan itu dengan
ragu-ragu. Tetapi, Bram tidak memberi kesempatan
padanya untuk berpikir lama-lama. Dijejalkannya
kado mereka ke tangan Ramli.
"jangan kuatir. Bukan bom!" tukas Beno separuh
mengejek.
"Masa buka kado saja takut sih?"
"Yang mana pacarnya Ramli?" Bram memandang
berkeliling pada gadis-gadis yang sedang mengeru
82
muni mereka, agak jauh di belakang.
"Tolong deh
buka kadonya nih! Ramli takut barangkali!"
"Nggak usah!" bentak Ramli tersinggung. Dengan
sengit dirobeknya kertas pembungkus kado itu.
Tak sadar teman-temannya mundur dengan
sendirinya. Anak-anak perempuan, juga ikut bergerak mundur. Mereka malah lebih cepat. Dan, lebih banyak mundurnya. Akibatnya, beberapa orang
mengaduh ketika kaki mereka terinjak.
Beno dan Bram tertawa geli. Apalagi melihat
muka Ramli yang gemas tapi kecut. Tidak dibuka dia
malu. Dibuka dia takut.
Ketika Beno tiba-tiba berteriak, semua anak
perempuan ikut berteriak. Dua-tiga orang yang
bergegas mundur tidak keburu lagi menghindari
teman di belakangnya. Mereka saling tabrak dan
terhuyung-huyung hampir jatuh. Sebuah gelas tidak
sengaja tersenggol jatuh, dengan menerbitkan suara
berisik.
Teman-teman pria Ramli pun tak sadar sudah
bergerak mundur semua. Yang lebih cepat terkejut
malah sudah melompat menghindar. Dan menabrak
meja di dekatnya.
Ramli sendiri tidak kalah kagetnya. Begitu Beno
berteriak langsung dilepaskannya bungkusan yang
sedang dibukanya.
Bungkusan itu jatuh ke lantai. Dan Ramli melompat mundur. Karena dia melompat, teman-teman di
belakangnya pun ikut lompat menghindar. Dan sua
83
sana jadi kacau padahal tidak ada apa-apa. Bram dan
Beno tertawa, terpingkal-pingkal.
"Kurang ajar!" geram Ramli sengit. Mukanya
merah padam. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa!
Karena memang tidak ada apa-apa!
Bungkusan itu masih tetap teronggok dengan tenangnya di lantai! Ramli segera menyambar bungkusan itu dengan geram dan menyentakkan kertas
pembungkusnya yang terakhir. Dan ketegangan yang
menyelimuti mereka berubah menjadi gelak tawa
Ramli mendapat sehelai gaun butut lengkap dengan
BH yang bukan main dekilnya!
"Pakai besok kalau pergi ke sekolah, Ram," kata
Beno cepat-cepat, sebelum kemarahan Ramli meledak.
"Supaya anak-anak tahu kamu perempuan!"
"Dan tidak malu lagi berkelahi dengan anak perempuan!" sambung Bram sambil berlari keluar.
"Ramli berkelahi dengan anak perempuan?" jerit
teman-teman putrinya antara marah dan heran.
"Dia memukul teman putri kami sampai babak
belur!" sahut Beno sesaat sebelum kabur.
"Tanya saja
deh sendiri!"
Ramli melemparkan bungkusan itu dan lompat
mengejar mereka. Tetapi Dino sudah siap di balik
kemudi jip mereka. Begitu Bram dan Beno melompat
ke dalam mobil yang telah dibukakan pintu belakangnya oleh Bugi, jip itu menderu maju.
Ramli langsung melompat ke atas motornya. Tetapi ban motor itu sudah tidak mau menggelinding lagi
84
"Kurang ajar!" geram Ramli sengit. Dia sudah
menghampiri mobilnya. Tetapi ban mobil itu mengalami nasib yang sama
Di dalam mobil mereka, Beno dan Bram sedang
menceritakan peristiwa itu, sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Pacarnya, yang katanya bintang film itu juga ada
di sana?" potong Dino geli.
"Lengkap!"
"Biar tau rasa dia!"
"Besok dia pasti cari kita!"
"Coba saja kalau berani! Suster Katherine sudah
mengancam akan menskors siapa pun yang berani
berkelahi lagi!"
"Sekarang ke mana nih?
"Pulang deh?" potong Bugi sambil menguap.
"Sudah malam."
"Sebentar lagi ah," protes Bram.
"Pengap di rumah. Nonton nggak boleh. Video nggak boleh pinjam
kecuali malam minggu! Mau ngapain di rumah?"
"Iya, sesak kalau di rumah terus,"sambung Beno.
"Kalau ngelayap begini aku baru merasa bebas!"
"Ke mana kita?"
"Ke rumah Dahlan? Katanya dia ada Video baru."
"Ah, gawat! Bokapnya udah pulang dari luar negeri!"
85
"Ke tempat Tante Doris?"
"Ogah, ah! Minggu aku ngebon, belum bayar!"
"Ala, cuwek aja! Pokoknya sip deh!"
"Siapa sih Tante Doris? " sela Bugi bingung.
"Mau
apa kita ke sana?"
"Tantenya si Beno."
"Eh, enak aja ngomong!"
"Memang dia tante kamu! Ngaku nggak?"
"Kira-kira kalau nuduh! Oom gua bisa koprol di
kuburannya!"
"Dia break dance juga gua nggak peduli."
"Mau apa kita ke sana?" desak Bugi penasaran.
"Pokoknya kamu lihat saja deh, Gil. Pasti ketagihan! Tapi awas! Ingat baik-baik! Jangan bilang kamu
perempuan"
"Kenapa?"
"Bisa ditelanjangi ramai-ramai kamu!"
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, tempat apaan tuh?"
Rumah Tante Doris benar-benar di luar dugaan
Bugi. Rumah itu terletak di daerah kelas satu. Di antara deretan rumah-rumah mewah yang menjulang
megah bagai istana.
Rumah tante Doris sendiri tidak kalah cantiknya.
Sebuah gedung bertingkat yang kokoh seperti puri.
Dikelilingi taman yang cukup luas untuk beternak
kerbau. Dipagari oleh tembok, yang kokoh bagai istana.
86
Beno langsung turun begitu Dino menghentikan
mobilnya di depan gerbang yang tertutup rapat. Dia
melangkah mantap ke depan pintu. Menekan bel.
Dan menunggu.
Bugi tak tahu pasti apakah Beno mengucapkan
sepatah dua patah kata di depan pintu itu. Dia seperti
melihat bibir Beno bergerak-gerak. Tetapi dia tidak
dapat menemukan orang yang diajaknya bicara.
"Beno sedang bicara dengan alat elektronik."
Bram tertawa geli menyambut kenorakan pertanyaan
Bugi.
"Ada kamera tersembunyi di balik pintu itu.
Tante Doris bisa melihat wajah Beno di layar TV di
kamarnya."
Bukan main. Bugi tidak berusaha menyembunyikan kekagumannya. Kaya amat tantenya si Beno
ini! Belum hilang kagumnya, pintu gerbang telah
terbuka. Padahal tidak ada seorang pun yang terlihat
membukanya!.
Beno langsung naik kembali ke dengan mobil. Dan
Dino meluncurkan mobilnya memasuki pekarangan.
Mobil berhenti di depan rumah. Beno melompat
turun. Dan membukakan pintu untuk Bugi.
"Selamat datang di Versailles," katanya sopan.
Tentu saja cuma main-main. Dia membungkukkan
badannya. Dan membuka lengannya lebar-lebar,
menyilakan turun.
Bugi menginjak kerikil di bawah kakinya dengan
begitu berhati-hati. Seolah-olah dia takut menimbulkan suara berisik yang akan mengganggu si pemilik
87
rumah. Ini kan tengah malam?! Dan pemilik rumah
yang seperti istana ini pasti bukan orang biasa!
"Tante Doris tidak marah kita datang malammalam begini?" bisiknya bingung.
"Kalau marah kita pasti tidak dibukakan pintu!"
"Tapi ini sudah tengah malam, Bram!"
"Ah, cuwek aja! Dia memang manusia malam kok"
"Bukan manusia," bisik Beno.
"Kelelawar!"
Bugi melirik rumah itu dengan ragu-ragu. Tapi tidak ada kesan mengerikan yang ditampilkannya. Rumah Tante Doris sangat indah. Terlalu indah. Sama
menariknya seperti perempuan separuh baya yang
menyambut mereka sambil tersenyum dalam sana.
Wajahnya amat cantik. Liku-liku tubuhnya pun
demikian menggiurkan. Gaun tidur yang dipakainya
begitu memikat. Tipis. Halus. Indah. Merangsang
Astaga, mengapa dia memakai seperti ini untuk menyambut teman-teman kemenakannya?
"Selamat malam, Tante!" sapa Beno sambil maju
mencium pipi Tante Doris.
Teman-temannya langsung mengikuti ulahnya. Kecuali Bugi. Mengucapkan selamat malam saja
ia sudah tidak mampu. Suaranya tercekik di leher.
Apalagi ketika Tante Doris tersenyum kepadanya.
Senyum itu! Aduh manisnya.
Ruangan ini sangat luas. Ada cermin yang amat
lebar di dinding. Hampir menutupi seluruh permukaannya. Memberi kesan seolah-olah ruangan ini
menjadi dua kali lebih besar.
88
Di tengah ruangan ada sebuah meja yang dikelilingi kursi yang amat empuk joknya. Kalau Bugi
menengadah ke atas, ada lampu gantung yang sangat
indah. Besar. Dan daun-daun gelasnya menimbulkan
suara gemerincing yang aneh jika saling beradu.
"Tante Doris tanya kamu mau minum apa, Gil!"
Bram menyodok pinggang Bugi sambil berbisik.
"Jangan norak dong!"
Bugi tergagap kaget. Apalagi ketika disadarinya
tante yang cantik itu sedang memandangnya sambil
tersenyum.
"Apa saja," sahut Bugi singkat.
"Apanya yang apa saja?" potong sambil tertawa.
Dino juga langsung ikut menertawakannya. Tetapi Tante Doris tidak. Dia tetap tersenyum ramah. Tidak ada nada ejekan dalam senyum itu.
Baru ketika Bugi mencicipi minumannya dia
menyesal telah menjawab apa saja tadi. Minuman
yang merah seperti sirop itu ternyata bukan main tidak enaknya! Pahit. Panas. Dan ...aneh. Ingin rasanya
disemburkannya kembali ke luar. Tapi ke mana?
Di sekitarnya terhampar permadani tebal yang
bukan main bagusnya. Ada gambar orang-orangan
seperti Aladin di tengah permadani. itu. Warnanya
kombinasi antara biru dan merah tua. Kalau disentuh
dengan kaki, halusnya bagai beludru. Wah, mana berani Bugi menyemburkan sirop ke sana!
Terpaksa ditelannya saja. Dan dia tersedak. Terbatuk-batuk dengan hebatnya. Minuman yang panas itu
89
terasa membakar kerongkongannya. Dan yang terasa
panas ternyata bukan lehernya saja. Pipinya juga. Telinganya. Dadanya. Matanya
"Waduh, norak amat sih kamu, Gil!" gerutu Bram
kesal.
"Malu-maluin aja!"
"Nggak apa-apa." Tante Doris langsung duduk
di sampingnya. Dan mengurut pungungnya dengan
lembut. Tetapi Bugi malah melonjak kaget. Dan dia
batuk makin hebat!
"Tolong ambilkan es di kulkas, Sayang."
Gadis yang dipanggil "Sayang" oleh Tante Doris itu
jauh lebih muda. Dia hanya mengenakan kaus seperti
singlet dan celana putih yang bukan main pendeknya.
Bugi heran bagaimana dia bisa tahan berada dalam ruangan sedingin ini hanya dengan pakaian yang
sedemikian minimnya. Ruangan ini astaga dinginnya! Tapi yang merasa kedinginan agaknya cuma
Bugi.
"Rupanya temanmu ini sakit, Ben," kata gadis itu
ketika menyodorkan minuman.
"Bawa saja ke kamar
deh, Tante."
Bugi menghabiskan isi gelasnya dia sudah setahun
tidak pernah minum air dingin. Begitu dia selesai minum, Tante Doris menghela tangannya dengan lembut. Tetapi Bugi serta-merta menolak.
"Maaf, Tante," katanya gelagapan,
"saya mau
pulang saja
"Teman-temanmu belum mau pulang," Tante Doris tersenyum manis.
"Ria mengajak mereka ke belakang. Kamu juga mau ikut?"
90
Kuat tapi lembut Tante Doris menarik Bugi bangun. Terpaksa Bugi mengikutinya. Tante ini sangat
baik. Amat baik. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya yang cantik. Bagaimana Bugi bisa menolak?
Tante Doris menekan sebuah tombol kecil di
dinding. Dan Bugi hampir terlompat karena kagetnya. Dinding di hadapannya tiba-tiba terbuka. Dan
terhamparlah sebuah ruangan yang amat luas.
Beberapa pasangan sedang asyik bergoyang-goyang. Entah sedang mengapa mereka. Tangan kaki
mereka menggelepar-gelepar seperti anak yang sedang menderita kejang demam. Musik yang hingar-bingar bertalu-talu seperti hendak memecahkan
anak telinga. Padahal sebelum dinding terbuka tadi
Bugi tidak mendengar apa-apa.
"Tuh doi lu, Ben," kata Dino di sela-sela kebisingan. Suaranya hampir hilang ditelan jeritan penyanyi
yang sedang adu keras dengan musik pengiringnya.
"Kira-kira, No! Itu sih sapi bunting!"
"Eh, minggu lalu kamu dansa sama dia tiga ronde!"
"Mata lu di kaki, No! Sama bomber begitu siapa
yang berani ngajak dansa? Dicolek saja kita langsung
permisi sama bumi!"
"Lihat, Ben! Si Bram sudah tinggal landas tuh!"
Bram memang sudah langsung terjun, menghentak-hentakkan anggota tubuhnya bersama Ria. Tetapi
Beno dan Dino belum mendapat pasangan. Seorang
gadis manis yang ditaksir Beno serta-merta menolaknya.
91
"Hidungmu bengkok kayak concorde! Kebentur
jidat bisa dekok!"
"Wah, bener tuh!" sambung Dino sambi tertawa
geli.
"Mendingan sama yang ini, Neng! Lebih bonafid!"
"Bonafid apaan!" ejek Beno.
"Sepatunya saja masih kredit!"
"Sama kamu juga sori saja deh." Gadis manis itu
tersenyum ke arah Dino.
"Muka rata kayak Combi!
Nggak tahu mana depan mana belakang!"
"Wah, sialan tu grepe!" gerutu Beno ketika gadis
itu telah melenggang pergi sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dan melambaikan tangannya.
"Kita kerjain yuk, No!"
"Pulang, Ben!" pinta Bugi dari belakang. Kepalanya sudah pusing.
"Sebentar deh. Panggil Bram dulu."
Tapi Bram belum mau pulang. Dia masih asyik
menggoyang-goyangkan badannya.
"Tanggung! Belum pegel!"
"Kalau pegel nanti dipijit, ya?" Ria melirik manja.
"Kebetulan ada film bagus di kamar. Mau lihat?"
Ria bergerak lincah ke arah Bugi. Dan Bugi buru-buru memejamkan matanya rapat-rapat. Setiap
kali matanya terbentur pada pantat Ria yang dibungkus ketat oleh celana pendek, dia merasa pusing.
"Pusing?" bisik Tante Doris. Tepat di telinganya.
Bugi membuka matanya dengan terkejut. Ujung
bibir Tante Doris serasa sudah menyentuh daun tel
92
inganya. Menimbulkan sensasi aneh yang mendebarkan.
Tante Doris tersenyum.
"Kamu kelihatannya kurang sehat. Mari istirahat
di kamar Tante."
Sebelum Bugi sempat menjawab, Tante Doris telah merangkulnya! Dan membawanya ke kamar.
Ada sebuah ranjang besar berbentuk bulat di tengah-tengah kamar yang berdinding ungu ini. Tante
Doris merengkuhnya ke tempat tidur.
Tetapi begitu Bugi menyentuh ranjang itu, dia
langsung terlonjak kembali. Kasurnya seolah-olah
bergerak menyibak. Ada gemericik bunyi air di
bawahnya. Tante Doris lekas-lekas mendorongnya
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ke atas ranjang.
"Tidak apa-apa. jangan takut. Ini ranjang model
terbaru. Kasurnya berisi air."
"Tapi, saya tidak bisa berenang, Tante!" desis Bugi
panik. Tangannya menggapai-gapai seperti orang
tenggelam ketika tubuhnya terbenam di tengah-tengah ranjang.
Tante Doris tersenyum geli.
"Kamu tidak akan tenggelam." Dengan lembut
diraihnya tubuh Bugi ke dalam pelukannya.
"Mari
Tante hangatkan tubuhmu. Kamu kedinginan."
Tetapi Bugi sudah menggelinjang bangun. Agak
sulit bangkit dari ranjang yang genit ini. Alasnya seakan-akan tidak mau disentuh. Menggeliat ke
sana kemari dengan manja. Dan Tante Doris sempat
93
merenggut kemejanya sesaat sebelum Bugi berhasil
berdiri.
Kemeja yang sudah lapuk itu, kemeja Bram yang
sudah kekecilan, langsung terbuka, Robek di bagian
dada. Dan Tante Doris terhenyak bingung. Tetapi
cuma sesaat. Di detik lain dia sudah tertawa kembali.
"Jadi kamu seorang gadis," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mengapa kamu berdandan seperti ini?"
"Seperti apa?" geram Bugi antara marah dan
tersinggung. Bajunya robek. Bagaimana dia harus
pulang?
"Seperti anak laki-laki."
"Saya memang begini."
"Kamu masih sekolah?"
"Tentu saja."
"Dan kamu pergi ke sekolah dengan rambut
sependek ini? Dalam pakaian anak laki-laki?"
"Tentu saja tidak! Saya memakai rok!"
"Dan rambutmu? Kamu memakai wig? Rambut
palsu?"
"Buat apa? Rambut saya memang begini!"
Tante Doris sudah hendak bertanya lagi. Tetapi
lampu kecil di atas pesawat TV-nya berkedip-kedip
sambil mengeluarkan dengung yang tidak terlalu
keras. Serentak Tante Doris mengulurkan tangannya,
menekan tombol pesawat TV-nya.
Ada gambar pintu gerbang yang sedang terbuka perlahan-lahan muncul di layar itu. Sebuah mo
94
bil meluncur masuk ke halaman. Dan Tante Doris
bergerak cepat seperti ular. Dipadamkannya TV itu.
Ditekannya sebuah tombol yang lain.
"Ria, Oom pulang," katanya cepat-cepat.
"Bawa
anak-anak ke belakang."
Lalu gesit seperti seekor burung, Tante Doris melayang ke sudut kamar. Membuka lemari pakaiannya.
Dan memilih-milih sehelai baju. Dijejalkannya blus
itu ke tangan Bugi yang tertegun bingung.
"Cepat tukar bajumu!"
Sebelum Bugi sempat memprotes, Tante Doris telah mendorongnya ke kamar mandi yang terletak di
dalam kamar itu. Dan ketika Bugi masih tertegun-tegun di dalam kamar mandi sambil memegangi blus
itu, Tante Doris telah menggedor-gedor pintunya.
"Sudah belum? Ayo, cepat keluar!"
Terpaksa Bugi menukar bajunya. Begitu dia muncul di pintu, Tante Doris merampas kemejanya dan
menjejalkannya ke dalam tempat sampah. Lalu menimbunnya dengan segala macam barang yang dapat
ditemuinya.
Ketika Bugi masih terbengong-bengong menatap
ulah tante aneh itu, pintu kamar terbuka. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tegak di ambang pintu.
Dia menatap Bugi dengan tajam, seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat.
Tetapi Tante Doris sudah menyerbunya. Dengan
gaya yang manja-manja menggemaskan, Tante Doris merangkul laki-laki itu dan menciumnya. Dia
95
mengucapkan beberapa patah kata yang Bugi tidak
mengerti artinya. Tapi sebelum Tante Doris selesai
bicara, laki-laki itu telah melepaskan rangkulannya
dan menghampiri Bugi dengan garang.
"Siapa dia?"
"Keponakanku dari Surabaya. Jangan keliru lho,
dia perempuan kok!"
"Aku tidak tahu kau punya keponakan di Surabaya!"
"Kita baru beberapa bulan menikah, aku bisa
memperkenalkanmu kepada seluruh keluargaku!"
Tante Doris tertawa renyah. Dihampirinya Bugi
yang masih tertegun bingung, tak mengerti sandiwara apa yang sedang berlangsung di hadapannya.
"Ini Oom-mu, Lin. Suami Tante. Ayo, kasih salam
sama Oom."
"Selamat malam, Oom," kata Bugi patuh, meskipun namanya bukan Linda. Dan tante aneh ini bukan
apa-apanya.
Laki-laki itu cuma mendengus. Dan menuju ke
kamar mandi.
"Lebih baik, kamu pulang saja Lin. Sudah malam,"
kata Tante Doris pula.
"Hati-hati di jalan ya. Titip
salam buat Mama."
Mama? Mama siapa? Mama yang mana?
Tetapi Bugi diam saja. Dan membiarkan Tante
Doris membawanya ke luar sambil mendorong bahunya dengan lembut. Begitu sampai di bawah,
teman-temannya berlompatan ke luar. Dan mereka,
kabur ke dalam jip.
96
(Apa-apaah sih?" gerutu Bugi, masih penasaran.
"Siapa tante itu? Mau apa kita ke rumahnya?"
"Belum mengerti juga?" Dino balas menggerutu.
"Kita gagal! Suami Tante Doris keburu pulang!"
"Gagal? Apanya yang gagal?"
"Tunggu saja beberapa hari lagi, Gil." Beno
tersenyum sinis.
"Kita, pergi ke tempat yang lebih asyik. Nanti kamu tambah pintar."
"Kenapa mesti tunggu beberapa hari lagi?" sambar Bram, masih kesal karena acaranya berantakan.
Ketika Tante Doris menelepon Ria, justru adegan
yang paling hot baru saja muncul dilayar TV. Dan
film yang bagus itu terpaksa dihentikan pemutarannya. Demikian pula belaian mesra tangan Ria di tubuhnya..
Wah, Bram benar-benar penasaran! Dan sekarang
dia merasa gerah. Buat apa pulang kalau bakal tidak
bisa tidur? Berendam di dalam bak mandi yang berisi
air sedingin es pun percuma saja. Lebih baik diteruskan. Sudah kepalang.
"Waduh, ngotot rupanya si Bram ini!" cetus Beno
sambil tertawa geli.
"Sudah ngebet ya, Bram?"
"Lagi tanggung!" sahut Bram pendek.
"Gimana, No? Mau ikut ke sana?"
"Aku sih ikut saja."
"Aku mau pulang," potong Bugi sebelum ditanya.
"Sudah jam dua belas malam
"Kalau jam dua belas siang mereka tidak ada di
sana!"
97
"Mereka siapa?"
"Teman-teman yang mau kita kunjungi."
"Aku mau pulang."
"Silakan, mau turun di mana?"
"Gila kamu, Bram!" sanggah Beno, separuh terkejut separuh marah.
"Masa si Bugil kamu suruh
pulang sendirian tengah malam begini? Bisa-bisa nggak sampai ke rumah!"
"Habis dia ngotot mau pulang!"
"Kita antar dulu dong."
"Jauh!"
"Kalau begitu mendingan kamu ikut saja, Gil," bujuk Dino.
"Cari pengalaman!"
"Pakai jaketku saja, Gil." Beno mengambil jaketnya dari tempat duduk belakang.
"Kamu kelihatannya
kedinginan."
"Iya, blusmu juga kelewat menyolok, Gil," sambung Dino.
"Lebih baik kamu pakai jaket Beno."
Bugi tidak menyahut. Tidak membantah. Tidak
pula mengiyakan. Kepalanya sudah pusing. Tetapi
ketika menyadari dinginnya angin malam di luar mobil, lekas-lekas dikenakannya jaket Beno. Tidak ada
yang peduli jaket itu kebesaran. Semua orang sibuk
dengan kegiatan masing-masing.
"Kita minum dulu yuk."
Beno mengajak teman-temannya duduk di sebuah
warung yang meskipun hanya diterangi oleh cahaya
petromaks tapi larisnya bukan main.
98
Banyak anak-anak muda sedang duduk minum di
tempat itu. Beberapa orang lagi sedang merokok. Abu
rokoknya mereka jentikkan ke dalam gelas bir mereka. Lalu dengan nikmatnya dihirupnya minuman itu
sampai habis.
Beberapa orang gadis berpakaian menyolok melayani mereka sambil tertawa-tawa. Bugi tidak tahu
apa yang mereka tertawakan. Dia juga tidak tahu
mengapa pada tengah malam begini masih banyak
orang duduk minum-minum di sini. Masih banyak
gadis-gadis muda, beberapa orang di antaranya mirip
anak sekolah, bergayutan manja di lengan dan bahu
pria di sebelahnya.
Satu-dua orang gadis malah berani menyeka busa
bir di bibir pemuda yang duduk di samping mereka.
Baru ketika Bugi melihat gadis-gadis itu pergi dan
datang bersama beberapa orang pengunjung, tiba-tiba saja Bugi mengerti.
Di kampungnya juga ada tempat-tempat seperti
ini. Di sana juga banyak anak-anak di bawah umur
yang suka ke tempat-tempat beginian. Tetapi dia tidak menyangka teman-temannya juga ikut terlibat.
Dan Bram!
Sekonyong-konyong bayangan wajah Bu Narsih
melintas di depan mata Bugi. Tatapannya yang galak. Air mukanya yang dingin. Bentakan-bentakannya
yang menggelegar
Astaga! Tahukah Bu Narsih apa yang dilakukan
anaknya? Tahukah dia anaknya sering pergi ke tempat-tempat seperti ini?
99
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak sadar Bugi menggigil sendiri. Kalau saja Bu
Narsih tahu! Kalau saja Pak Dadang tahu! Kalau saja
Suster Katherine tahu! Kalau saja Pak Zein tahu!
"Dingin, Dik?" sapa seorang perempuan bergincu tebal yang tahu-tahu sudah duduk di sampingnya.
Bahunya menyentuh bahu Bugi, seolah-olah tidak
disengaja.
"Mau yang hangat-hangat?"
"Ah, tidak," sahut Bugi pendek. Dia buru-buru
menutup hidungnya, mencegah bersin.
Perempuan ini luar biasa harumnya. Seperti tiba-tiba ada pabrik minyak wangi pindah ke sebelahnya. Bugi cepat-cepat menggeser duduknya, menjauh.
Tapi perempuan itu lebih cepat lagi merangkulkan
lengannya melingkari bahu Bugi.
"Mau ke mana sih?" gumamnya manja, separuh
mengerang.
Sialan ni perempuan, geram Bugi dalam hati.
Jengkel. Mau apa sih? Kita kan sama-sama perempuan!
Bugi sudah hendak berdiri. Sudah hendak mengibaskan lengan perempuan itu dari bahunya ketika tiba-tiba matanya beradu dengan mata seorang pemuda yang duduk di seberang mejanya.
Entah sudah berapa lama pemuda itu mengawasinya. Begitu mata mereka bertemu, ada senyum
merekah di bibirnya.
Terpaksa Bugi duduk kembali. Dan membatalkan
niatnya. Entah ada apanya senyum itu. Senyum yang
mengingatkannya kepada seseorang
100
Dan Bugi tersentak kaget. Tiba-tiba saja tubuh
Bram menabrak mejanya. Belum sempat dia berpikir
ada seorang lagi yang jatuh tunggang-langgang di
dekat kakinya Dino. Astaga. Apa-apaan sih mereka ?
Lalu kedai itu menjadi gaduh. Hampir semua laki-laki di sana sudah terlibat dalam perkelahian. Entah siapa yang mulai dulu. Entah apa pula sebabnya.
Tidak ada yang peduli. Pokoknya semua main pukul.
Siapa yang dekat, itu yang dijotos. Ada botol di atas
meja, langsung disambar dan dipukulkan ke kepala
lawan. Perempuan-perempuan di sana langsung kabur sambil berteriak-teriak. Termasuk gadis di sebelah Bugi.
Tetapi Bugi tidak langsung turun tangan. Dia
melihat dulu siapa lawannya. Di kakinya, Bram dan
Dino sedang merayap bangun. Dan seorang bertubuh
besar dengan badan penuh tato sudah mengayunkan
kakinya
Terpaksa Bugi bertindak. Disambarnya botol
di atas meja. Entah botol siapa. Siapa yang peduli?
Diayunkannya kuat-kuat ke kepala itu. Untuk itu,
Bugi terpaksa naik ke atas bangkunya. Dan lelaki itu
roboh tanpa sempat mengaduh lagi.
Lalu Bugi melihat Beno. Dia sedang dalam bahaya
besar. Lawannya juga anak tanggung. Tapi dia mempunyai pisau.
Tanpa berpikir dua kali, Bugi menyeruduk pinggang anak itu dengan kepalanya. Sekarang Beno
mempunyai peluang untuk merampas pisaunya. La
101
wannya sedang kehilangan keseimbangan. Tetapi
Bugi lebih cepat lagi mencegahnya.
"Jangan, kita pulang saja!" katanya di antara keributan yang terjadi.
Beno menurut. Tetapi belum jauh mereka melangkah, dia melihat Bram sedang terlibat dalam
perkelahian seru. Terpaksa Bugi membiarkan Beno
membantu Bram dulu. Dan dia hampir terlambat
menolong dirinya sendiri.
Seorang yang sudah separuh mabuk menyerangnya. Bugi sudah tidak keburu mengelak. Diterimanya
saja pukulan dengan tabah.
Tetapi sesaat sebelum tinju lawan mengenai muka
Bugi, seseorang menyentakannya mundur. Dan mengirim sebuah jotosan ke rahang laki-laki itu.
Sekali pukul saja, lelaki yang sudah di ambang tidur itu langsung ambruk untuk tidak dapat bangun
kembali. Bugi tertegun menatap penolongnya. Tetapi
pemuda itu cuma tersenyum. Senyum yang mengingatkannya kepada, seseorang
"Boleh menawarkan minum?" sapa laki-laki itu
ramah.
Bugi ingin mengangguk. Tetapi kepalanya justru
menggeleng. Untung laki-laki itu tidak melihat. Atau
dia melihat tapi tak peduli. Dia mengambilkan minuman hangat untuk Bugi.
Di kampung Bugi dulu, minuman itu disebut
sekoteng. Hangat rasanya. Apalagi kalau diminum
malam-malam begini. Hujan pula. Soalnya minuman
itu pakai jahe.
102
"Silakan minum."
Tanpa menunggu perintah kedua, Bugi langsung
meneguk minumannya. Waduh, enaknya! Terasa
hangat sampai ke tulang-tulang sumsum.
Laki-laki itu tersenyum melihat kepolosan remaja di depannya. Entah mengapa sejak pertama melihatnya, wajah yang terlalu manis untuk seorang anak
laki-laki ini selalu menghantuinya. Sikapnya terlalu
lembut untuk pria. Tetapi caranya berkelahi terlalu
jantan untuk seorang gadis. jadi termasuk jenis yang
mana makhluk di hadapannya ini?
Dia sangat menarik. Masih begitu muda pula. Barangkali masih sekolah. Mengapa dia tersesat ke tempat-tempat seperti ini?
"Teman-temanmu?" Pemuda itu melirik Bram
dan Beno yang sedang membersihkan baju mereka
yang kotor akibat berkelahi.
Perkelahian sudah berhenti dengan sendirinya.
Pemilik warung sedang membenahi barang-barangnya yang berantakan sambil mengomel.
"Teman sekolah," sahut Bugi dengan suara rendah.
Takut penyamarannya terbongkar. Nalurinya membisikkan di tempat seperti ini, jadi pria lebih aman.
"Siapa nama Adik? Boleh tahu?"
"Bugi."
"Nama yang aneh. Nama saya Dios."
Nama yang lebih aneh lagi, pikir Bugi. Tapi dia
diam saja.
"Ayah saya senang membaca cerita koboi," sam
103
bung Dios, seperti mengerti apa yang Bugi tapi tidak
dikatakannya.
"Nama itu dipungutnya dari buku.
Barangkali nama itu berarti Tuhan. Tapi dalam saya,
tidak ada Tuhan."
Tentu saja, pikir Bugi. Mana ada Tuhan di tempat-tempat seperti ini!
"Tahu arti namamu?"
Bugi menggeleng.
"Tidak pernah ditanyakan pada ayahmu?"
"Saya tidak punya ayah."
"Oh. maaf, maaf. Ayahmu sudah meninggal?"
Kali ini Bugi mengangguk. Lirih.
"Tinggal sama Ibu?"
"Ibu juga sudah meninggal."
"Jadi?" Pemuda tak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya.
Bugi mengangkat bahu. Diteguknya minumannya. Menyadari keengganannya menjawab, pemuda
itu langsung mengalihkan pembicaraan.
"Sudah biasa main di tempat-tempat seperti ini?"
Sekali lagi Bugi menggeleng.
"Sudah saya sangka. Kamu lain sekali dengan
teman-temanmu. Cuma ikut-ikutan mereka?"
Belum sempat Bugi menjawab, seorang perempuan molek yang masih amat muda langsung menghampiri Dios.
"Hai," sapanya dengan suaranya yang lembut
menggemaskan. Dilingkarkannya lengannya di bahu
pemuda itu. Kemudian dirangkulnya dengan mesra.
"Main?"
104
"Nggak capek?" tanya Dios tanpa mengalihkan
tatapannya dari Bugi.
"Beliin minuman dulu dong," sahutnya manja.
"Nanti capeknya hilang."
Dios memanggil si pemilik warung dan memesankan segelas minuman. Sementara si gadis muda
sudah menghampiri Bugi. Dibelainya pipinya dengan
lembut. Didekatkannya mulutnya sambil tersenyum.
"Kamu juga ingin main, Dik?"
"Tidak!" sahut Bugi tegas, separuh jijik. Dijauhkannya mukanya. Digesernya duduknya menjauh.
Sebaliknya dari marah, perempuan itu malah tertawa.
"Lalu mau apa kamu duduk di sini?"
"Dia sedang minum bersamaku," Dios-lah yang
menjawab.
"Pergilah. Nanti kalau perlu, kupanggil!"
Sekarang gadis itu menoleh ke arah, Dios sambil
membelalak jengkel.
"Jadi sekarang kau main juga
dengan anak laki-laki?"
"Bukan urusanmu." Dios menyodorkan minuman
yang baru saja datang.
"Ini minumanmu. Pergilah
cari mangsa lain."
"Homoseks," gerutu gadis itu sambil merenggut
minumannya. Dia melenggang pergi dengan menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Langganan." Dios tersenyum ke arah Bugi.
"Tapi
malam ini saya segan main. Kamu juga tidak ingin
main, kan? Teman-temanmu sudah mabuk. Bagaimana kalau ngobrol sambil minum? Mau coba bir?"
105
Bugi langsung menggeleng.
"Saya lupa kamu masih anak-anak. Kalau begitu
sekoteng lagi, ya?"
"Saya mau pulang," sahut Bugi tegas. Dia segera
bangkit hendak mencari teman-temannnya. Keterlaluan mereka! Mau berapa lama di sini? Apa mereka
mau tidur di sini sampai pagi?
"Teman-temanmu belum selesai."
"Itu Dino!" cetus Bugi sambil berlari menghampiri temannya.
Dino baru saja keluar dari kamar. Dia sedang berlagak mengancingkan kemejanya. Melurus-luruskan
bagian yang kusut. Dan menaikkan celananya. Wah,
rasanya gagah keluar dari kamar seorang perempuan
dalam keadaan begini.
"Sudah, No?" tanya Beno yang tiba-tiba saja muncul di dekat temannya.
"Kok cepat? Jagoan amat lu!"
"Beres," sahut Dino bangga.
"Gua bikin sampai dia
nggak bisa bangun lagi dari ranjang!"
Baru saja Dino selesai menutup mulutnya, pintu
di belakangnya terbuka. Seorang perempuan yang tidak muda lagi tegak berkacak pinggang di ambang
pintu. Bibirnya yang bergincu tebal menyeringai ke
arah mereka. Ditatapnya anak-anak itu satu per satu.
Tidak seorang pun di antara mereka mengerti arti
tatapannya. Mata itu tersenyum. Tapi tidak mengejek.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa lagi?" tanyanya kepada Dino.
"Ini temanmu juga?"
Melihat gergasi itu Beno langsung menarik tangan
Dino.
106
"Ini yang bikin KO, No? Aduh, kenapa lu pilih
yang kayak begini? Ini sih mumi! Mukanya saja sudah lumutan begitu!"
"Ayo, masuk," kata perempuan itu sambil bersandar ke pintu. Tatapannya sekarang mengincar Beno.
Tapi Beno sudah buru-buru mundur.
"Lain kali saja deh, Tante," sahut Beno sambil
menyeringai.
"Lagi sakit gigi nih!"
Tanpa permisi lagi, Beno memutar tubuh dan
mengambil langkah seribu. Dino langsung mengikuti jejaknya. Tetapi Bugi yang baru saja tiba belum
mengerti urusannya. Dan si tante montok langsung
menangkap lengannya.
"Kamu juga temannya?" desis si tante sambil
menarik Bugi masuk ke dalam kamarnya.
"Ayo, masuk! Belum pernah, kan? Mari kuajari bagaimana
menjadi lelaki dewasa!"
Perempuan itu memaksa Bugi masuk ke dalam
kamarnya. Terpaksa Bugi memukulnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Kaget dan sakit, si tante
terpaksa melepaskan Bugi. Dan Bugi langsung kabur
mengejar teman-temannya.
"Kurang ajar," geram perempuan itu sengit.
"Bocah-bocah ingusan! Lagaknya saja seperti jagoan!
Di luar bilang mau main, di dalam langsung pingsan!"
107
Begitu Bugi masuk ke dalam jip, mobil itu langsung
menderu kabur. Beno dan Dino sedang asyik menceritakan kehebatan pengalaman masing-masing
sambil tertawa-tawa. Tidak seorang pun ingat pada
Bram. Kecuali Bugi. Dan ketika mereka menyadari
Bram belum ada bersama mereka, jip mereka sudah
terlalu jauh.
Terpaksa Beno memutar kembali ke kompleks
pelacuran untuk mencari Bram. Malam itu memang
hanya Bram yang benar-benar menemukan pengalaman yang pertama. Dino dan Beno boleh hebat menceritakan pengalaman masing-masing. Tapi sesungguhnya yang hebat itu cuma khayalan mereka saja.
Dino sudah kejang sebelum si tante selesai merayu. Dia permisi keluar mau buang air kecil dulu.
Beno lain lagi. Dia sudah mulai. Tapi tidak mampu menyelesaikannya. Cerita-ceritanya yang hebat
diambilnya dari pengalaman-pengalaman abangnya.
Hanya Bram yang kebetulan menemukan seorang
pelacur yang sabar dan penuh pengertian. Astuti,
pasti bukan nama sesungguhnya, sudah tidak muda
lagi. Usianya sudah di atas tiga puluh. Tapi wajahnya
masih terlihat cantik. Tubuhnya juga.
Begitu Bram mengajaknya 'ngamar', Astuti sudah
tahu dengan pemuda macam apa dia berhadapan.
Uang banyak, fantasi berlebihan, tapi pengalaman
nol. Keberanian tidak ada. Cuma keingintahuan yang
menggebu-gebu. Maka begitu mulai, Astuti tidak
langsung menjebak Bram dengan rayuan yang panas.
108
Tidak mendorongnya sampai ke sudut sehingga dia
kehilangan muka.
Astuti memperlakukan anak muda itu dengan
lembut. Dengan sikap membimbing. Sama sekali tidak mendesak. Diajaknya Bram bersama-sama menelusuri lorong-lorong kenikmatan yang sebenarnya
belum boleh dicicip oleh seorang anak seumur dia.
Ketika teman-temannya tiba, Bram baru saja menemukan ujung lorong itu. Lorong yang penuh dengan kuman penyakit berselubung kenikmatan.
"Betul sampai ke sana, No?" desak Dahlan penasaran. Dia dan teman-temannya sedang asyik mendengarkan. Dino yang sedang menceritakan pengalamannya dengan seru.
"Beno bilang, tunggangamnu
kayak mesin giling!"
"Huu, mesin giling juga sip! Pokoknya sampai ke
finish!"
"Finish apaan!" ejek Beno sambil menyeringai.
"Buktinya dia lari sipat kuping begitu gergasi itu
muncul!"
"Perempuan begituan sih tahan bantingan, Ben!
Baru dibanting sekali saja dia masih sanggup bangun
cari mangsa lain!"
"Katanya sudah kamu bikin teler! Yang KO kamu
apa dia sih, No?"
Teman-temannya tertawa geli. Cuma Bram yang
109
diam. Semalam-malaman dia tidak bisa tidur. Pengalaman pertama itu terus-menerus menghantuinya.
Sekarang dia merasa mengantuk sekali. Bahkan ketika sedang berada di kelas tadi.
Tak satu pun pelajaran yang dapat diterimanya
dengan baik. Konsentrasinya buyar. Perhatiannya
nol. Pak Anwar sampai mengusirnya ke luar tanpa
ampun lagi. Dan Bram menggunakan kesempatan itu
untuk merokok di WC.
Tapi hari ini, merokok pun tidak dapat menolong.
Jiwanya sedang resah. Imajinasinya berkeliaran ke
mana-mana. Tubuhnya pun terasa pegal. Dan Ramli
tiba pada saat yang tidak dikehendakinya.
Bram sedang tidak ingin berkelahi. Tidak ada semangat. Tidak ada tenaga pula. Tetapi tantangan itu
tidak dapat ditolak.
Untung Ramli tidak dapat leluasa membalas dendam. Teman-teman Bram sedang berkumpul semua.
Dan mereka tidak akan tinggal diam kalau ada salah
seorang di antara teman mereka yang diserang.
Solidaritas di antara remaja memang kuat. Untung pula Ramli datang pada waktu jam istirahat. Jadi
masih berada di halaman sekolah. Perkelahian tidak
dapat berlangsung lama. Padahal dalam ronde pertama saja Bram sudah hampir menyerah.
Guru-guru keburu datang melerai. Dan pengadilan diadakan di ruang kerja kepala sekolah. Saat itu
juga.
110
Suster Katherine menepati ancamannya beberapa
hari yang lalu. Berkelahi lagi berarti diskors. Ramli
dan teman-temannya tidak boleh masuk sekolah selama tiga hari. Suster Katherine tidak peduli apa alasan mereka menyerang Bram. Pokoknya siapa yang
memulai perkelahian, dia yang harus diskors.
Bram dan teman-temannya dihukum. Mereka diharuskan membersihkan halaman sekolah.
"Sialan," gerutu Dahlan sambil mencabuti rumput
dengan gemas.
"Gara-gara kamu, Bram! Aku yang tidak tahu apa-apa jadi ikut-ikutan dihukum!"
Tetapi Bram tidak menyahut. Makin siang tubuhnya makin terasa tidak enak. Kepalanya pusing.
Matanya pedih. Mengantuk. Lemas. Tidak ada gairah
lagi untuk bergurau. Apalagi di bawah panas terik
matahari.
111
BAB V
"DUA bulan lagi sekolah kita mengadakan malam
kesenian," kata Pak Zein depan murid-muridnya.
"Setiap kelas harus menyuguhkan sebuah atraksi.
Kelas kita diminta untuk menampilkan acara yang
agak berbeda dengan kelas-kelas lain. Drama. Atau
fragmen misalnya. Tapi saya memilih sebuah operete,
Cinderella."
"Saya mau ikut, Pak!" cetus Beno segera.
"Ah, kamu sih paling-paling jadi tikus!" sambar
Dahlan.
"Tampang sudah ada. Tinggal dipoles sedikit
diuber-uber kucing!"
"Masa tikus sebesar itu? Tikus bengkak, kali! Kecemplung di got!"
"Siapa yang jadi Cinderella, Pak?" tanya Lira sambil menahan napas. Dadanya berdebar-debar. Kalau
saja Hm.
"Sudah lama Bapak pikirkan," sahut Pak Zein sabar. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya.
"Untuk
memerankan Cinderella, Bapak memilih Bugi."
Bukan hanya Bugi yang terkejut. Teman-temannya juga. Seluruh kelas jadi gempar. Riuh rendah oleh
tawa geli yang bercampur ejekan.
"Apa nggak salah pilih, Pak?" Dede mengikik geli.
"Kok Cinderella wadam, Pak?" ejek Dahlan, belum lupa cara Bugi mendorongnya sampai terjerem
bab.
112
"Dia sih Jango, Pak!" sambung Dino.
"Bukan Cinderella! Jalannya aja kayak koboi!"
"Apa sudah nggak ada perempuan lagi di kelas ini,
Pak?"
"Pak! Bapak bercanda, ya?"
"Saya serius," sahut Pak Zein sabar.
"Saya yakin tidak ada yang lebih tepat untuk memerankan tokoh
itu selain Bugi."
Kalau tidak melihat sendiri Pak Zein menatapnya
sambil tersenyum, Bugi juga tidak percaya. Dia pasti
salah dengar!
"Kalau Bugil yang jadi Cinderella, saya yang jadi
Pangeran-nya, Pak?" usul Beno, tentu saja cuma
main-main.
"Huu, kamu sih Pangeran Padang Pasir!" sindir
Alex.
"Hidung aja bengkok kayak tang!"
"Bukan!" bantah Bert gesit.
"Pangeran Kencet! Kakinya aja panjang sebelah! Mesti didongkrak dulu!"
"Dan mukanya kotor kayak TV nggak pakai antena!" sambung Dede geli.
"Punya kaca nggak sih rumah, Ben?" cetus Nunuk
tak mau kalah.
"Tampang rusak luar biasa begitu,
baru nongol aja penonton sudah pada lari, kirain piaraan bonbin lepas!"
"Tapi suaranya hebat," Dino mencoba membela
temannya.
"Nggak usah pengeras suara juga kedengaran sampai ke Kampung Melayu."
"Memang biasa teriak-teriak di terminal kok,"
sambung Dahlan geli.
113
"Bapak minta kamu ikut latihan pulang sekolah
nanti, Bugi," kata Pak Zein tanpa menghiraukan seloroh murid-muridnya.
"Kamu juga, Lira. Bapak ingin
kamu ikut main."
"Jadi ibu ya, Pak?" sambar Beno sambil menyeringai.
"Wah, cocok cocok sekali, Pak! Anaknya memang sudah delapan kok!"
"Huss!" belalak pura-pura berang. Padahal hatinya sedang membengkak bangga. Terpilih di antara
sekian banyak murid merupakan hal yang luar biasa.
Apalagi yang memilihnya Pak Zein! Wah. Wah.
Lira cuma agak kecewa mengapa tidak terpilih jadi
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cinderella! Apa sih kelebihan banci itu daripadanya?
Tampang boleh diadu. Suara juga tidak kalah.
Bodi barangkali dia agak kebesaran sedikit. Pinggangnya juga rada kedodoran. Dan pinggulnya terlalu
montok.
Tapi siapa bilang Cinderella mesti ramping seperti
tiang listrik? Yang jelas, dia pasti tidak tomboi! Wah,
bagaimana ributnya penonton nanti kalau Cinderella
muncul dan jalannya seperti Jango! Hi hi hi.
"Kamu juga ikut, Nuk," kata Pak Zein lagi. Tidak
keberatan kan jadi saudara tiri Cinderella?"
Jadi apa pun Nunuk bersedia selalu dekat dengan
Pak Zein. Baginya, Bugi bukan saingan. Anak itu bukan perempuan kok!
Yang keberatan justru Bugi sendiri. Baginya
nyanyi bukan tugas yang terlalu berat. Di kampungnya dulu, dia sering nyanyi. Hampir tiap hari. Di
114
ladang. Di pancuran. Di pematang sawah. Di atas
punggung kerbau Tapi di depan umum? Di muka
penonton yang mencibirkan bibir? Wah, gawat! Bisa
kacau nyanyiannya!
Lagi pula menjadi seorang gadis lugu yang
menyerah saja pada nasib, yang menangis tiap hari
didera kekejaman ibu tiri, yang berjalan saja harus
serba lemah gemulai seperti penari aduh-aduh
tunggu dulu! Pak Zein pasti salah pilih!
"Kamu dapat, Bugi." Suara Pak Zein sabar tapi tegas. Tatapannya demikian lembutnya membuat Bugi
sulit membantah.
"Percayalah pada Bapak, kamu
dapat. Kamu cantik. Kamu hanya perlu mengubah
penampilanmu. Dan Bapak percaya kamu mampu."
Dalam latihan pertama, tentu saja Bugi menjadi
bahan tertawaan. Setiap penampilannya selalu mengundang ejekan. Bugi sendiri sudah putus asa.
Tetapi Pak Zein tidak. Dialah satu-satunya orang
yang masih percaya, Bugi mampu melakukannya. Bu
Lies sendiri, guru kesenian sekolah mereka, sudah
kewalahan.
"Kalau Bugi tidak diganti, biar saya saja yang mengundurkan diri dari acara ini, Pak Zein," katanya
uring-uringan.
"Saya tahu Pak Zein ingin membantu
dia. Menyembuhkannya. Tapi jangan dengan mengorbankan acara ini. Mengorbankan anak-anak yang
lain."
115
"Dan mengorbankan reputasi Bu Lies?" Pak Zein
tersenyum "Baiklah, Bu. Saya ambil alih seluruh kegiatan acara ini. Saya yang bertanggung jawab. Anakanak yang ingin mengundurkan diri pula. Silahkan.
Saya akan jalan terus."
Tentu saja Lira dan Nunuk berkeras ingin ikut.
Bugi juga. Semangatnya terbangun kembali melihat
kegigihan Pak Zein membelanya.
Bugi tidak ingin mengecewakan kepercayaan gurunya. Apa pun petunjuk Pak Zein diikutinya dengan
patuh. Yang mengundurkan diri justru sang Pangeran. Soalnya dia murid kesayangan Bu Lies.
Tetapi Pak Zein tidak putus asa. Dia meminjam
Bram dari kelas dua. Dan hanya Pak Zein yang berhasil memaksanya ikut main. Wali kelasnya sendiri
tidak mampu.
Bram memang pintar berkelahi. Tapi dia tidak
pandai main sandiwara. Pak Zein memilihnya karena
postur tubuhnya yang bagus. Wajahnya pun lumayan.
Dan sikapnya gagah. Dia cocok sekali memerankan
sang Pangeran yang jatuh cinta kepada Cinderella.
Mula-mula tentu saja Bram menolak. Kalaupun
akhirnya dia ikut, itu hanya karena dia menghormati
Pak Zein. Kewibawaan guru olahraga dan matematika itu membuatnya segan.
Tetapi setelah beberapa kali ikut latihan. Bram
sendiri merasa heran. Dia mulai ketagihan mengikuti
latihan yang diadakan di sekolahnya!
116
"Bagus sekali." Pak Dadang mengangguk-angguk
puas ketika Pak Zein membentangkan rencananya dan datang ke rumah untuk minta izin pada Pak
Dadang.
"Sejak ikut acara ini, Bugi dan Bram jadi jarang berkelahi."
"Mengisi waktu senggang remaja dengan menyalurkan bakat mereka di bidang kesenian dan olahraga
memang ide yang sangat baik," sambung Bu Narsih.
"Terima kasih, Pak Zein."
"Simpan dulu terima kasihnya, Bu." Pak Zein
tersenyum.
"Saya belum berhasil kok. Sekarang, bolehkah saya mengajak Bugi pergi? Saya ingin memilihkan gaun yang lebih tepat untuk latihan besok."
"Tentu saja," sahut Bu Narsih sebelum suaminya
sempat membuka mulut.
"Tapi saya boleh mengajukan permintaan kan, Pak Zein?"
"Mengenai apa, Bu?"
"Gaun yang terpilih untuk Bugi biarlah kami yang
membayarnya."
"Ada dana yang tersedia untuk acara ini, Bu." Pak
Zein tersenyum.
"Kami tahu, Pak Zein. Tapi anggaplah ini sumbangan dari kami."
117
Seumur hidup, Bugi belum pernah membonceng
motor. Tapi dia tidak takut. Ketika dia hendak naik
seperti menunggang seekor kuda, Pak Zein langsung
mencegahnya.
"Duduklah seperti wanita dewasa, Bugi," pintanya sambil tersenyum simpatik. Tidak ada menggurui
atau mengejek dalam suaranya.
Bugi tidak dapat tersinggung walaupun dia agak
tersipu. Pak Zein selalu memperlakukannya seperti seorang wanita dewasa. Dan itu membuatnya
kadang-kadang merasa jengkel. Meskipun dia jadi
ingin bersikap seperti yang dikehendaki gurunya.
"Gadis-gadis duduk seperti ini." Pak Zein langsung
memberi contoh.
"Menyamping dengan kaki dirapatkan."
"Biasa naik kuda sih, Pak!" sela Rio geli. Tapi Bu
Narsih keburu menutup mulutnya.
Iwan dan Bram tidak memberi komentar apa-apa.
Tidak seorang pun tahu apa isi kepala mereka ketika
melihat motor itu menderu pergi.
"Bugi belum makan, kan?" cetus Pak Zein di sela-sela deru motornya.
"Kita makan dulu, ya? Bapak
lapar."
"Tidak ada yang menunggu Pak Zein makan di
rumah?"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu Bugi baru
menggigit bibirnya. Dia jadi terkejut sendiri. Mengapa mengajukan pertanyaan seperti itu? Ah, bikin
malu saja.
118
Tetapi Pak Zein cuma tersenyum. Terus terang dia
sendiri kaget. Tidak menyangka Bugi berani mengajukan pertanyaan seperti itu.
Enam bulan bergaul dengan gadis itu, hanya Pak
Zein yang melihat kemajuan yang paling besar dalam
diri Bugi. Tentu saja dia gembira. Namun tak urung
hatinya berdebar-debar juga. Entah karena apa.
"Tidak ada siapa-siapa di rumah." Suaranya masih
seramah dan sesabar biasa.
"Bapak tinggal di asrama
mahasiswa. Orang tua tinggal di Palembang."
"Tak ada teman?"
Bugi sendiri heran. Tapi dia tidak mampu menahan mulutnya untuk bertanya. Dia begitu hebat didesak rasa ingin tahu.
"Tentu saja ada. Di sana banyak mahasiswa."
"Tapi tidak ada yang menunggu Pak Zein makan?"
"Kami masing-masing sibuk dengan urusan
sendiri-sendiri."
"Enak tinggal di asrama, Pak?"
"Yah tidak seenak rumah sendiri. Seperti Bugi."
"Bugi nggak punya rumah."
"Jangan berkata begitu, Bugi. Orang tua angkatmu
sangat baik, kan?"
Tidak ada jawaban. Tetapi di balik punggungnya,
Pak Zein tahu, Bugi mengangguk. Meskipun lirih.
"Mengapa, Bugi? Ibu angkatmu masih sering marah-marah?"
Kembali tidak ada jawaban. Bugi hanya menghela
napas. Bu Narsih memang tidak seperti dulu. Tidak
119
sering marah-marah lagi. Tapi mengapa tidak ada
kehangatan seorang ibu seperti yang dirindukannya? Mengapa sikapnya selalu tawar, tatapannya selalu
kosong?
Ibukah namanya kalau dia tidak pernah mengungkapkan kasih sayang, meskipun cuma seorang
ibu angkat? Dan rumahkah namanya kalau tidak ada
kehangatan kasih sayang di dalamnya?
"Bugi mau makan apa?" Pak Zein mengalihkan
pembicaraan ketika tidak didengarnya jawaban gadis
itu.
"Terserah Pak Zein saja."
"Hm, coba Bapak pikir dulu. kamu sudah pernah
mencicipi fried chicken?"
"Makanan apa itu, Pak?"
"Kita coba saja, ya. Bugi pasti suka."
Pak Zein menepikan motornya. Mendahului
turun. Dan mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu.
Bugi yang sudah bersiap-siap untuk melompat
turun jadi salah tingkah. Wah, susahnya jadi perempuan. Loncat segini saja harus dibantu! Padahal apa
artinya motor ini kalau dibandingkan dengan kerbau? Hhh.
Bugi mengulurkan tangannya dengan tersipu-sipu.
Kemudian diaturnya langkahnya sebaik-baiknya di
samping Pak Zein. Dia tidak boleh memberi malu Pak
Zein. Lelaki segagah dia mesti didampingi oleh seorang gadis yang tidak memalukan.
120
Dan benar saja. Rumah makan itu penuh orang.
Begitu Pak Zein ruendorong pintu dan menyilakannya masuk lebih dulu, kilatan tatapan mereka seperti
lampu blitz yang berkilauan dari sana-sini.
Merasa dipandang dari segala penjuru, Bugi merasa serba salah. Untung Zein cukup bijaksana. Dengan
tenang dia membimbing Bugi ke bangku yang paling
dekat.
"Ini meja kita, Bugi," katanya tanpa mengacuhkan
sekelilingnya.
"Kamu duduk di sini, ya, Bapak pesan
makanan dulu."
Kalau mengikuti tingkahnya yang biasa, Bugi pasti langsung duduk. Tetapi di depan Pak Zein, dia mesti duduk dengan cara yang lebih feminin.
Pak Zein tidak suka perempuan yang kasar. Dan
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bugi sudah bertekad untuk tidak mengecewakannya.
Masa jadi perempuan dewasa saja tidak bisa?!
Pak Zein kembali tidak lama kemudian dengan
senampan makanan dan minuman.
"Boleh pakai tangan, Bugi" katanya sambil
tersenyum. Disodorkannya ayam dan kentang.
"Makanlah. Santai saja. Tidak perlu terburu-buru."
Bugi memang berusaha untuk tidak terburu-buru.
Diawasinya dulu, bagaimana cara Pak Zein makan.
Baru diikutinya.
"Rambutmu sudah agak panjang, Bugi," kata Pak
Zein sambil makan.
"Kita rapikan sedikit di salon,
ya?"
Dan salon yang dimaksud Pak Zein ternyata bu
121
kan tempat tukang cukur seperti yang disangka Bugi.
Tempatnya juga bukan di bawah pohon. Ruangannya
harum. Dan dinginnya bukan main!
"Potong rambut, Oom?" sapa penata rambut yang
cantik itu.
Kalau datang seorang diri, Bugi pasti tidak percaya
perempuan ini tukang cukurnya. Soalnya penampilannya mirip bintang film. Tentu saja dalam pandangan Bugi.
Mukanya berwarna-warni. Leher, lengan, dan
jari-jarinya berkilau-kilawan. Gaunnya begitu memikat sehingga biarpun mengantuk, rasanya orang yang
sedang dicukurnya tidak dapat memejamkan mata
sekejap pun.
"Bukan saya," sahut Pak Zein tenang.
"Adik saya
ini."
Sekarang perempuan cantik itu menoleh ke arah
Bugi yang separuh bersembunyi di balik tubuh Pak
Zein. Tatapannya membuat Bugi merasa panas dingin. Wah, cukur di Jakarta benar-benar lain!
"Model apa?" tanyanya ramah.
Tiba-tiba saja Bugi menyukainya. Senyumnya
menarik sekali. Wah, dia pasti punya banyak langganan biarpun cukurannya tidak begitu bagus.
"Tolong pilihkan model yang tepat untuknya,"
pinta Pak Zein lagi.
"Jangan terlalu pendek, asal modis."
Perempuan cantik itu melirik Pak Zein sambil
tersenyum. Tatapannya penuh humor. Dia tidak ber
122
kata apa-apa lagi. Pak Zein-lah justru yang merasa
perlu memberi penjelasan.
"Bulan depan dia main dalam operet di sekolahnya. Cinderella tidak bisa memikat seorang pangeran
dalam keadaan seperti ini, bukan?"
"Serahkanlah pada kami." Perempuan itu tertenyum manis.
"Percayalah, dia akan membuat
semua laki-laki di sekolahnya ingin jadi pangeran!"
Pak Zein harus menunggu lebih dari dua jam sebelum melihat hasilnya. Ternyata Tante Rien betul-betul berniat membantu. Dia bukan hanya mendandani
rambut Bugi, lengkap dengan rambut palsunya, tetapi
sekaligus menghias wajah gadis itu dan meminjaminya sebuah gaun panjang lengkap dengan sepatunya
yang bertumit tinggi.
Ketika Bugi keluar dari dalam bersama Tante
Rien, Pak Zein sampai hampir-hampir tidak mengenalinya lagi.
"Bagaimana?" tegur Tante Rien bangga.
Pak Zein sampai hampir lupa menutup mulutnya.
Di depannya berdiri seorang gadis cantik bersanggul
dan bergaun panjang yang sedang menatapnya dengan kemalu-maluan. Tak ada lagi gambaran gadis
tomboi yang tukang berkelahi itu
"Sayang pertunjukannya bukan hari ini?" komentar Pak Zein setelah tidak tahu lagi harus memberi
komentar apa.
123
"Jangan kuatir, Oom." Tante Rien tersenyum simpatik.
"Bawalah dia kemari untuk didandani tiga jam
sebelum pertunjukan itu. Baju, sepatu, dan sanggul
ini juga boleh disewa."
"Bagaimana kalau saya beli, Tante Rien?"
Sekarang Tante Rien menatap Pak Zein dengan
sungguh-sungguh, meskipun bibirnya masih tetap
tersenyum.
"Dia tidak tiap hari harus main jadi Cinderella
kan, Oom?"
Cuma tante Rien yang melihat bagaimana merahnya muka Pak Zein terkena sindiran itu. Bugi
sendiri masih lebih repot mengatur caranya berjalan.
Wah, sepatu tinggi ini betul-betul merepotkan! Kalau
dia tidak berhati-hati, salah-salah dia bisa tergelincir!
"Dia hanya perlu latihan jalan," komentar Tante
Rien pula.
"Sudah saya ajarkan bagaimana caranya
melangkah."
"Terima kasih untuk bantuannya, Tante Rien."
Pak Zein mengeluarkan dompetnya.
"Bagaimana?
Dia dapat memiliki gaun, sepatu, dan sanggul ini, bukan?"
Tentu saja Tante Rien tidak dapat menolak permintaan laki-laki yang seganteng Pak Zein. Apalagi
sejak mula pertama dia telah tertarik pada Bugi.
Tante Rien menyebutkan sejumlah harga. Ketika
uang Pak Zein ternyata tidak cukup, malah mengortingnya tanpa ragu-ragu.
"Pak Zein ...!" protes Bugi begitu melihat Pak Zein
124
mengeluarkan lembaran uang terkhir dari dompetnya.
"Tidak apa-apa, Bugi," hibur Pak Zein tenang.
"Sebagian uang ayahmu juga kok."
"Tapi, Pak Zein ..."
"Kalau kita cari sendiri, belum tentu dapat yang
begini cocok untukmu."
"Tapi ini terlalu mahal, Pak Zein!"
"Tidak, kalau untuk membuatmu jadi secantik ini,
Bugi."
Tentu saja Pak Zein tidak bermaksud apa-apa. Kata-kata itu keluar dari hatinya yang paling tulus. Tidak ada keinginan yang lebih besar lagi baginya saat
ini kecuali melihat Bugi menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan feminin.
Tetapi entah mengapa, bagi Bugi, semua jadi terasa
lain. Sejak, saat itu, ada perasaan aneh yang menggelitiki sudut hatinya yang paling dalam. Perasaan yang
selama ini belum pernah menyentuhnya. Perasaan
yang dia sendiri, tidak tahu apa namanya.
Pak Zein menghentikan motornya tepat di muka
rumah Pak Dadang. Dia langsung turun. Dan mengulurkan tangannya untuk membantu Bugi.
Sekarang Bugi memang tidak dapat melompat
lagi. Dia masih mengenakan sepatunya yang bertumit tinggi. Dia harus lebih berhati-hati kalau tidak
mau terkilir.
125
Tetapi bukan cuma itu yang membuat Bugi segan
melepaskan genggaman Pak Zein. Dia sudah lama
menginjak tanah lagi. Sudah dapat berdiri dengan
tegak. Tapi mengapa dia seolah-olah tidak mau berpisah dengan laki-laki ini?
Seperti mengerti perasaan gadis itu, Pak Zein
membalas tatapan Bugi dengan lembut.
"Kamu cantik, Bugi," bisiknya, sama lembutnya
dengan tatapannya.
"Bapak bangga padamu."
"Terima kasih, Pak Zein."
"Masuklah, Bugi." kata Pak Zein sambil melepaskan tangan Bugi.
"Sudah malam. Ini baju dan rambutmu. Simpanlah sampai hari pertunjukan. Buat
kejutan untuk teman-temanmu."
Lama sesudah Pak Zein pergi, Bugi masih tertegun di halaman. Ada perasaan kosong menyelinap
ke hatinya. Sambil menghela napas, dengan langkah
gontai Bugi masuk ke dalam. Dan dia hampir bertubrukan dengan Bu Narsih.
Melebar mata perempuan itu melihat penampilan
Bugi sekarang. Dia sudah melepaskan sanggul dan
gaun panjangnya. Tetapi make-up-nya belum dihapus. Dia masih mengenakan sepatunya yang bertumit tinggi dan bukan itu saja!
Ada sesuatu yang berubah di dalam mata gadis
itu. Bu Narsih sendiri ragu di mana dia pernah menemukan tatapan seperti itu. Tetapi itu pasti bukan
tatapan seorang gadis tomboi yang senang berkelahi!
Di hadapan Bu Narsih kini tegak seorang gadis
126
remaja yang tersipu-sipu karena terlalu lama ditatap. Dan rambutnya ....aduhai! Pak Zein pasti seorang
yang berselera tinggi.
Potongan rambut Bugi sekarang begitu sesuai
dengan raut wajahnya. Pendek. Tapi modis. Sekarang
Bu Narsih malah ragu-ragu benarkah dulu dia pernah meragukan gadis ini lelaki atau perempuan!
Dan Bu Narsih belum sempat membuka mulutnya
ketika Pak Dadang tiba di belakangnya.
"Bugi?" tegurnya keheran-heranan, dalam nada tidak percaya,
"Astaga! Hampir tidak kenal! Pangling!"
Bugi menunduk kemalu-maluan. Tetapi matanya
bercahaya.
"Cantik kamu sekarang, Bugi," puji Pak Dadang
tanpa berusaha menyembunyikan rasa kagumnya.
"Nah, begitu dong jadi perempuan! Mesti bisa dandan!"
"Pergilah mandi, Bugi," potong Bu Narsih tanpa
memberi komentar apa-apa. Dia sudah membalikkan tubuhnya sebelum Bugi sempat melihat setitik
air yang mengintai di sudut matanya.
Bugi baru selesai mandi ketika Rio melongok di
pintu kamarnya. Dan mulut anak itu mengejang dengan sendirinya.
"Bugil!" cetusnya heran.
"Buset! Kamu lain deh
sekarang!"
127
"Siapa bilang?" bantah Bugi.
"Yang lain rambutnya doang."
"Bohong!" Dengan seenaknya Rio duduk di sisi
tempat tidur Bugi.
"Teman-teman bilang, kamu naksir Pak Zein, ya?"
"Eh, sembarangan ngomong!"
"Pak Zein kan cakep, ya?"
"Mancing, ya?"
"Tapi Pak Zein sudah punya pacar, Bugil!"
"Biar aja."
Acuh tak acuh Bugi mencoret-coret bukunya.
Tentu saja cuma pura-pura. Telinganya sudah dipasangnya baik-baik. Menunggu kelanjutan warta berita
Rio. Anak kecil ini memang cerewet. Dan tukang gosip. Seperti perempuan. Tapi gosipnya kali ini penting.
"Pacarnya cakep lho, Bugil!"
"Biar aja."
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bugil tahu siapa?"
"Ah, nggak kepingin tahu."
Bohong Bugi. Bugi sendiri heran. Belum pernah
dadanya bergemuruh sekeras ini. Belum pernah dia
berdusta selancar ini pula.
"Lira bilang, pacarnya Pak Zein guru taman
kanak-kanak di sekolah kita. Namanya ..."
Rio sengaja berhenti. Diawasinya Bugi sambil
tersenyum. Ternyata Bugi juga berhenti menulis. Dia
menunggu kelanjutan info Rio dengan tegang.
Tapi kancil itu! Dia malah mengulur waktu. Dan
128
Bugi jadi serba salah. Tanpa disadarinya, pipinya memerah.
"Lira juga naksir Pak Zein, Bugil!"
Kalau itu sih Bugi juga sudah tahu. Lira tak pernah berusaha menyembunyikan perasaannya. Di
depan teman-temannya sekalipun. Tapi guru taman
kanak-kanak
"Bugil ingin tahu nama pacarnya Pak Zein nggak?"
"Ah, buat apa," sahut berlagak acuh tak acuh. Dicoret-coretnya lagi bukunya. Dan dalam coretan itu
terlukis bayangan seorang perempuan dewasa
cantik feminin
"Bugil!" Rio memukul bahunya, begitu tiba-tiba
sampai Bugi tersentak kaget.
"Kamu melamun, ya?"
"Aduuuh! Godain terus sih!"
Dengan jengkel Bugi bangkit untuk balas
memukul Rio. Tetapi anak itu dengan gesit melompat
menghindar.
Bugi mengejarnya dengan gemas. Rio berlari ke
luar kamar dengan lincah. Dia terus lari sambil tertawa-tawa ke tingkat atas. Berputar di ruang belajar.
Masih sempat meraih karet penghapus Iwan yang sedang belajar bersama Bram. Menimpuk ke arah Bugi.
Dan melompat lagi menuruni tangga.
Dengan gemas Bugi mengejarnya. Dia tidak
menuruni anak tangga itu satu per satu tapi meluncur
turun melalui pegangan tangga. Dan berhasil meraih
Rio yang baru saja menginjak lantai dasar.
129
"Aduh!"
Rio memekik sekeras-kerasnya ketika Bugi menjewer telinganya. Padahal dia tidak merasa sakit. Heran. Akhir-akhir ini kalau disakiti oleh Bugi dia malah
merasa senang. Entah mengapa. Dan ibu muncul di
hadapan mereka.
"Bercanda lagi!" geram Ibu judes.
"Ayo belajar!"
"Rio jail, Bu." Walaupun masih penasaran terpaksa Bugi melepaskan telinga Rio.
"Rio, sudah berapa kali Ibu bilang ...'
"Bugil pacaran sama Pak Zein, Bu!"
"Bohong!" cetus Bugi kaget. Tapi pipinya langsung
memerah.
"Rio!" bentak Ibu jengkel.
"Omong apa itu!"
"Betul, Bu! Bugil pacaran sama Pak Zein!"
"Awas, kalau kamu berani omong begitu lagi, Rio!"
"Semua orang ngomong begitu, Bu! Tanya Bram
deh kalau Ibu nggak percaya!"
"Sudah! Pergi sana! Dan ingat, jangan panggil
Bugi seperti itu lagi!"
Ibu menoleh pada Bugi. Tepat pada saat Bugi juga
sedang meliriknya. Sesaat mata mereka beradu. Dan
Bugi buru-buru menunduk.
Pipinya terasa panas. Untuk pertama kalinya Bugi
melihat Ibu menatapnya seganjil itu. Bukan marah.
Bukan! Bukan pula jengkel. Lalu apa?
Ibu tidak berkata apa-apa lagi. Rio pun sudah berlari pergi setelah menghadiahi Bugi juluran lidahnya.
Tapi Bugi memikirkan tatapan Bu Narsih.
130
Tahukah Ibu bagaimana perasaannya terhadap
Pak Zein? Tetapi bagaimana Ibu bisa tahu? Dia sendiri juga tidak tahu kok!
Bugi menyukai Pak Zein sejak pertama kali bertemu. Dia orang pertama yang memperlakukannya
dengan ramah. Menerimanya dengan tulus. Membantunya untuk meninggalkan sifatnya yang kasar
dan kelaki-lakian.
Bukan itu saja. Figur Pak Zein amat memikat.
Menarik. Sifat-sifatnya maupun penampilannya. Jadi
salahkah kalau Bugi tertarik kepadanya?
Tidak ada perasaan apa-apa. Bugi hanya merasa
senang berada di dekatnya. Pak Zein merupakan figur Ayah yang sudah lama dirindukannya. Sekaligus
sahabat. Tetapi kalau benar dia cuma menganggapnya sebagai ayah dan sahabat. Mengapa dia tidak senang mendengar gosip Rio, tadi?
Guru taman kanak-kanak yang mana? Cantikkah dia? Belum pernah Bugi didesak perasaan ingin
tahu sehebat ini.
Bagaimanapun besok pagi Bugi harus mencari
tahu. Dia akan memancing Lira. Dan melihat sendiri
seperti apa pacar Pak Zein
Semalam-malaman Iwan tidak bisa tidur. Wajah
Bugi yang baru terus-menerus mengganggunya.
Alangkah cantiknya dia sekarang! Sampai berdebar dada Iwan setiap kali memandangnya.
131
Dan bukan cuma itu. Bukan hanya jantungnya
saja yang ribut tak mau diam kalau matanya berpapasan dengan mata Bugi. Perutnya juga. Perut itu
terasa mules. Tangan-kakinya pun ikut-ikutan menjadi dingin.
Padahal Bugi bukan orang baru. Sudah setengah
tahun dia tinggal di sini. Tiap hari pulang dan pergi
sekolah bersama-sama.
Di antara mereka memang sudah tidak ada permusuhan lagi. Sejak Bugi membantu mereka dalam
perkelahian melawan Ramli, Bugi telah diterima seperti apa adanya. Walaupun dia tidak sepatuh si Arman. Walaupun dia bandel. Suka melawan. Akhirnya
Iwan dan adik-adiknya terpaksa menerima kehadirannya.
Mereka memang sudah tidak pernah berkelahi
lagi. Si bungsu Rio malah sudah begitu akrab dengan
Bugi. Mereka sering main layang-layang bersama.
Main kelereng. Gasing. Yoyo. Dan entah apa lagi.
Bram juga sudah berubah. Dia sudah mau berteman. Meskipun kadang-kadang mereka masih
bertengkar juga. Keduanya sama-sama, keras kepala.
Tidak mau mengalah. Kalau sedang ribut, mereka
memang terlihat saling membenci. Tapi Bram memang begitu. Dia selalu membenci orang yang tidak
mau menuruti kehendaknya.
Justru Iwan-lah yang paling jarang berkomunikasi
dengan Bugi. Selama ini dia cuma menganggap anak
itu seperti si Arman. Tidak lebih. Kadang-kadang dia
132
malah lupa Bugi itu anak perempuan. Dia tidak pernah mengacuhkannya..
Tetapi hari ini ada sesuatu yang berubah dalam
dirinya. Dan perubahan membuat Iwan tiba-tiba
menyadari siapa Bugi. Dia perempuan. Cantik pula.
Penuh daya tarik.
Ketika Bram yang terpilih sebagai Pangeran, sebenarnya Iwan iri juga. Mengapa adiknya yang selalu
lebih beruntung?
Bram lebih pintar. Angka-angka rapornya selalu
biru meskipun dia jarang belajar. Sebaliknya dengan
Iwan. Dia sudah belajar mati-matian. Tapi rapornya
selalu kebakaran.
"Otaknya otak si Arman," gerutu Ayah waktu melihat rapornya.
Tentu saja Iwan tersinggung. Masa dia disamakan
dengan pembantu? Arman memang bodoh. Badan
sudah sebesar kerbau masih duduk di kelas lima. Tidak naik melulu.
Tapi Iwan tidak mau disamakan dengan Arman.
Dia kan baru sekali tidak naik. Tiap tahun dia naik
kelas meskipun hanya dengan angka pas-pasan. Kecuali waktu di kelas dua SMP ini.
Hhh, Ayah bisanya mengejek saja! Kalau di depan
Ibu, tidak berani apa-apa. Ibulah yang menentukan
semuanya. Ibu pula yang memarahinya kalau rapornya kebakaran.
"Tidak ada uang jajan dan nonton film kalau
rapormu masih begini!" Kata-kata Ibu sudah mer
133
upakan undang-undang di rumah mereka.
"Pulang
sekolah, belajar! Tiap malam Ibu akan periksa PRmu!"
"Rio nggak kan, Bu?" sambar si bungsu Rio dengan manja. Satu-satunya yang tidak pernah dipukul
Ibu. Dimarahi pun paling jarang. Ibu memang tidak
adil! "Rapor Rio merahnya kan cuma satu! Matematik memang susah kok, Bu! Semua anak juga nggak
bisa. Gurunya sih ..."
"Sudah! jangan menyalahkan guru!" Paling-paling Ibu cuma memelototi Rio.
"Kalau ada yang tidak
bisa, tanya sama Bram!"
"Ah, dia sih malas, Bu!" protes Bram.
"Mana, bego
lagi! Susah ngajarnya!"
Bugi-lah akhirnya yang mengambil alih tugas itu.
Diam-diam anak kampung ini pintar juga. Dan Rio
senang belajar padanya.
Apalagi sekarang, pikir Iwan gemas. Rio pasti makin lengket! Bugi kan cakep! Dan Bram! Huh! Cuma
pura-pura saja dia membenci Bugi. Diam-diam dia
juga naksir! Dan dia pasti punya kesempatan. Hampir tiap hari mereka berlatih bersama .....
134
BAB VI
BEGITU Bugi masuk ke kelas, teman-temannya
langsung terdiam.
"Ada apa," tanya Bugi jengah. Pura-pura tidak
tahu. Dan tawa teman-temannya langsung meledak.
"Buset," sorak Beno, orang pertama yang berhasil
menemukan suaranya kembali.
"Cakep banget kamu,
Bugil!"
"Beno!", tegur Dahlan, pura-pura bengis.
"Dua
sudah cukup, lho! Nunuk dan simpananmu yang di
bonbin itu mau dikemanain?"
"Siapa bilang?" balas Beno tak mau kalah.
"Kata
Bu Ning, empat sehat, lima sempurna, kan?!"
"Huu, lagaknya mau punya lima pacar!" gerutu Lira, orang yang paling gerah melihat perubahan
penampilan Bugi.
"Utangnya saja berceceran di mana-mana!"
"Apa hubungannya sih utang sama pacar? Kalau
buat traktir Bugil, sepatu juga gua jual deh!"
"Huu, gombal!" Lira memalingkan wajahnya dengan kesal.
"Terompah si Abu Kasim, kucing juga nggak mau!"
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penampilan Bugi hari ini benar-benar menguatirkan. Potongan rambutnya bukan lagi cukur kelimis
crew cut, seperti ketika pertama datang dulu. Bukan
pula model batok kelapa atau mangkuk tengkurap ketika perlahan-lahan rambutnya yang tak terurus itu
mulai menjadi panjang.
Sekarang rambut Bugi masih tetap pendek. Tapi
rapi dan modis. Gaya jalannya pun mulai membaik.
Sekali pandang, tak ada lagi yang meragukan, dia lelaki atau perempuan. Dan dia cantik.
Mata Pak Zein sungguh tajam. Dia bisa menemukan mutiara, meskipun masih terbenam dalam
lumpur. Dan kini dia berhasil mengosoknya sampai
mengkilap.
"Selamat pagi," Pak Zein membalas sapaan murid-muridnya begitu masuk ke dalam kelas.
Seperti biasa, senyum paten selalu menghiasi
bibirnya. Tetapi di mata, Lira, senyum dan lirikan
pertamanya diberikan pada Bugi. Sialan. Dan Bugi
akan membalas senyum itu dengan menunduk kemalu-maluan.
Ada yang berubah dalam tatapan Bugi sekarang.
Matanya tidak bersorot dingin lagi. Mata itu lebih
hidup. Lebih bercahaya. Dan memikat.
Pasti bukan ilusi Lira semata-mata. Dia yakin
sekali, tatapan dan senyum Pak Zein bukan lagi sekedar basa-basi. Hanya karena bibirnya terlalu pendek.
Atau karena ingin memamerkan betapa putih dan
rata giginya.
Pak Zein benar-benar ingin tersenyum. Dan senyumnya untuk Bugi demikian penuh arti! Lira dapat
merasakan betapa hangatnya tatapan mereka setiap
kali bertemu pandang.
"Ah, ngaco!" komentar Rita santai.
"Pak Zein memang doyan senyum kok! Sama siapa saja juga senyumnya kayak gitu. Dasar kamu yang cemburu, Lira!"
136
"Eh, nggak percaya?" sembur Lira ketika dia
sedang mengemukakan kekuatirannya di depan
teman-temannya.
"Mereka pasti ada apa-apanya!
Tahu nggak, mereka pernah pergi sampai malam berdua! Katanya makan di luar dan jalan-jalan cari baju!
Pergi ke salon segala! Boncengan motor!"
"Wah, isyu tuh !"
"Rio yang bilang!"
"Mereka cari baju untuk pementasan bulan depan," potong Nunuk kesal.
"Kamu sih curiga aja!"
"Eh, perlu bukti lagi? Nih, tahu nggak kalian, barusan Bugil pergi ke TK!"
"Nah, apa hubungannya?"
"Dia mau lihat Bu Neni!"
"Bu Neni? Pacarnya Pak Zein?"
Lira mengangguk puas sedemikian rupa, seolah-olah dia baru menemukan virus pembawa kanker
darah..
"Lho, memangnya kenapa?"
"Waduh, telmi lagi! IQ-mu betul-betul tengkurap!"
"Waktu kita dengar Pak Zein pacaran sama Bu
Neni, kita juga dulu ramai-ramai pergi melihatnya!
Jadi apa salahnya? Nggak ada yang aneh, kan?"
"Ah, si Lira memang tukang cari gara-gara! Dia
cemburu sama si Bugil! Itu saja!"
"Huu, otak memang di dengkul semua!"
Dengan gemas Lira meninggalkan teman-temannya. Dia benar-benar penasaran. Dan tidak akan berhenti menyelidiki sebelum kecurigaannya terbukti.
137
Kalau teman-temannya tidak mau dengar, dia
akan mulai dengan guru-guru. Mereka pasti peduli!
Guru yang pacaran dengan murid wah, itu tabu!
Dan Lira tahu sekali dari mana dia harus mulai. Dia
sudah menemukan guru yang paling tepat.
Sejak ikut latihan sandiwara di sekolahnya, Bugi
memang tidak pernah keluar malam lagi. Kecuali untuk latihan bersama teman-temannya. Seperti malam
ini diadakan gladiresik di sekolah mereka.
Esok malam semua jerih payah mereka akan
dipertaruhkan. Akan berhasilkah mereka? Bugi
merasa panas-dingin setiap kali membayangkannya.
Padahal biasanya dia tidak pernah mengenal takut.
Alangkah kecewanya Pak Zein kalau mereka sampai gagal! Dan alangkah malunya Bugi nanti kalau
penonton menertawakan permainannya!
Bram dapat bermain dengan lebih tenang walaupun ini dia uring-uringan terus sejak Bugi menolak
ikut keluar malam lagi bersamanya. Barangkali karena dia laki-laki, dia lebih dapat bermasa bodoh. Atau
karena dia tidak pernah diteror oleh ulah Lira.
Lira selalu mengejek Bugi kalau Pak Zein sedang
tidak melihat. Ada-ada saja yang ditertawakannya.
Untung Bugi masih bisa menahan diri. Kalau tidak,
gladiresik malam ini pasti berantakan! Di mana ada
Cinderella marah pada ibu tirinya? Wah, itu tentu
menyimpang dari skenario!
138
"Siap, Bugi?" tanya Pak Zein di belakang panggung, tatkala malam itu mereka berkemas untuk pulang.
"Saya takut, Pak," sahut Bugi terus terang.
"Ah, kolokan," desis Lira yang kebetulan mendengar pembicaraan mereka.
"Pakai takut segala!"
Cibirnya tidak jadi dilanjutkan ketika melihat Bu
Lies muncul dari kegelapan. Cuma Lira yang tidak
merasa heran. Cuma dia yang tahu mengapa Bu Lies
masih berada di sini.
Bu Lies tidak punya keperluan apa-apa lagi di
tempat ini. Acara yang diasuhnya sudah lama selesai
latihan. Tetapi dia belum pulang. Dan cuma Lira yang
tahu apa sebabnya.
"Mainlah sebaik-baiknya, Bugi," kata Pak Zein
sungguh-sungguh.
"Jangan takut gagal. Bapak bangga padamu? '
Bugi mengangkat wajahnya. Matanya yang
bersinar-sinar dalam keremangan suasana menatap Pak Zein dengan penuh perasaan. Dia demikian
mengagumi lelaki ini. Rasanya, mati pun dia rela.
Demi Pak Zein. Dia akan main sebaik-baiknya.
"Malam ini jangan menghafal dialog," kata Pak
Zein ketika mengantar Bugi ke depan sekolah.
"Terus tidur saja. Supaya besok Bugi bisa bangun dengan
segar."
Bugi cuma mengangguk. Halaman sekolah sudah
gelap. Sebagian lampu-lampu yang tadi dinyalakan
139
sudah dipadamkan. Tinggal beberapa buah lampu
kecil lagi yang masih membagikan sinarnya yang
remang-remang. Dan mereka berjalan begitu dekat.
Berdampingan. Hanya berdua.
Ada perasaan bahagia yang sulit dilukiskan di hati
Bugi. Perasaan yang membuatnya ingin menangis.
Ah, akhir-akhir ini dia memang jadi cengeng! Entah
mengapa!
"Itu Bram sudah menunggu di mobil," cetus
Pak Zein begitu melihat mobil Mang Dahim sudah
menunggu di depan sekolah.
"Selamat malam, Bugi."
"Selamat malam, Pak Zein," sahut Bugi perlahan.
Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya Pak Zein sekali
lagi. Ditunggunya senyum yang dirindukannya itu.
Kemudian tersipu-sipu dia berlari ke mobil.
"Lama amat sih!" gerutu Bram mengkal.
Bugi tidak menjawab. Karena memang dia tidak
ingin.
Di kepalanya hanya ada bayangan Pak Zein. Dan
diamnya membuat Bram tambah jengkel.
"Mau ikut nggak nanti malam?"
"Pak Zein bilang malam ini harus tidur sore-sore '
"Ah, kuno!"
"Kita tidak boleh menghafal lagi."
"Siapa yang mau menghafal?"
"Besok kita harus bangun dengan segar? '
"Kalau nggak ngelayap malah sakit!"
"Pokoknya aku nggak mau lagi pergi ke tempat-tempat begituan?
140
"Temanmu nanyain terus!"
"Biar saja."
Sekilas bayangan senyum yang menarik itu melintas di depan mata Bugi. Tetapi, lekas-lekas ditindasnya kembali perasaannya.
Ada senyum lain yang kini lebih dominan. Dan
selama senyum itu masih tetap dapat .persetan dengan senyum yang lain!
141
BAB VII
TEPUK tangan riuh seolah-olah tidak akan pernah
berakhir. Layar sudah lama diturunkan. Pembawa
acara sudah cukup lima berdiri di depan corong. Tapi
tepuk tangan belum mau berhenti juga.
"Bukan main," komentar Pak Dadang bangga.
"Bugi hebat sekali ya, Bu?"
"Bram juga," desis Bu Narsih dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak sangka dia bisa main seperti itu
ah, anak-anak nakal sampai merinding bulu kudukku
melihat permainan mereka, Pak!"
"Wah, si Bugil cakep, ya!" Hampir seperti gema
komentar semacam itu berdengung di ruang pertunjukan.
"Nggak nyangka dia bisa begitu '
Tetapi orang yang paling dipuji-puji setelah pementasan yang sukses itu justru sudah tidak ada di
sana. Begitu layar diturunkan, Bugi langsung melepaskan sepatunya. Menjinjing sepatu itu dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain menjinjing tepi bawah gaunnya, dia melompat berlari-lari
mencari Pak Zein.
Begitu melihat Pak Zein di bawah tangga, Bugi
memanggilnya. Ketika Pak Zein menengadah sambil
tersenyum bangga, tanpa berpikir lagi, Bugi naik ke
atas pegangan tangga. Dan meluncur turun langsung
ke dalam rangkulan Pak Zein.
"Selamat, Bugil" desis Pak Zein tanpa berusaha
menyembunyikan perasaan harunya.
142
Akhirnya perjuangannya membuahkan hasil juga.
Tidak sia-sia jerih payah mereka selama dua bulan
terakhir ini.
Bugi telah membuktikan kemampuannya. Bakatnya. Sekaligus daya tariknya sebagai seorang wanita.
Tidak sia-sia kepercayaan yang telah diberikan Pak
Zein kepadanya.
"Aktingmu luar biasa, Bugi. Bapak bangga padamu."
Tetapi Bugi sudah tidak dapat berkata apa-apa
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Dia sudah menangis sambil tertawa dalam pelukan Pak Zein.
"Inilah pertama kali Bapak melihat air matamu,
Bugi." Pak Zein tersenyum haru.
"Biasanya kamu tidak pernah menangis."
"Air mata saya sudah terkuras habis waktu Ibu
meninggal, Pak," sahut Bugi terus terang.
"Di pemakaman adik-adik saya, saya sudah tidak bisa
menangis lagi."
Dengan lembut Pak Zein membimbing Bugi naik
kembali ke atas. Ke ruang pementasan.
"Kamu tidak
boleh bersembunyi, Bugi. Teman-temanmu tentu
mencarimu. Ingin memberi selamat? '
"Tapi saya lebih suka ngobrol di sini dengan Pak
Zein."
"jangan begitu, Bugi. Mereka juga berhak menyalamimu. Dan Bapak juga harus memberi selamat
pada Bram, Lira, Nunuk, dan yang lainnya lagi? '
"Nanti Bapak kembali lagi ke sini?"
143
Ah, rasanya malam ini Bugi tidak mau berpisah
sekejap pun dengan Pak Zein. Ingin selalu di dekatnya. Tetapi Pak Zein cuma tersenyum. Senyum yang
itu-itu Iuga. Yang dapat membuat gemas gadis-gadis.
"Bugi mau minum?"
"Pak Zein yang traktir?"
"Nah, ni dia yang kita cari-cari!" Suara Beno yang
seperti ember bocor sudah mengiris telinga sebelum
Pak Zein sempat menyahut. Dan sebelum mereka
sempat saling melepaskan pegangan tangan masing-masing.
"Waduh, si Bugil pacaran dulu sih!" cetus Nunuk
setengah merajuk.
"Pantas saja terus hilang dari peredaran!"
"Jangan panggil Bugi seperti itu lagi, ..Nuk," potong Pak Zein sabar.
"Tidak sopan."
"Tapi itu memang namanya kok, Pak!"
"Kamu sendiri suka kalau namamu dipermainkan
orang?"
"Apa misalnya, Pak?" sambar Dahlan geli.
Teman-temannya langsung tertawa riuh. Cuma
Nunuk yang diam. Pipinya memerah.
"Apa yang kamu tidak ingin dilakukan oleh orang
lain terhadap dirimu, jangan kamu lakukan kepada
orang lain: ' kata Pak Zein sabar tapi tegas.
"Nah, mulai sekarang jangan memanggil Bugi seperti itu lagi.
Lebih-lebih di depan saya."
"Saya juga, Pak!" cetus Dino tidak mau kalah.
"Anak-anak suka mengejek nama saya!"
144
"Bukan mengejek! Tolong mengiklankan!"
"Ala, ikut-ikutan ngadu!" Lira menyodokkan sikunya dengan kesal ke rusuk Dino.
"Kamu sih nggak
bakal dialem deh!"
Tentu saja Dino dan teman-temann tahu mengapa
Lira jadi sejudes itu. Sejak tadi dia ribut mencari Pak
Zein. Tahu-tahu yang dicarinya datang bersama gadis
yang paling dicemburuinya.
Malam itu, Bugi memang benar-benar lengket
pada Pak Zein. Dia tidak mau menonton drama bersama teman-temannya. Ketika layar telah dinaikkan
kembali dan teman-temannya asyik menonton, Bugi
buru-buru menyelinap ke belakang panggung.
Di sini tempat yang paling berkesan baginya.
Inilah tempat pertemuannya dengan Pak Zein setiap malam sehabis latihan. Dan malam ini merupakan malam terakhir. Esok tak ada lagi malam-malam
seperti ini. Tempat ini hanya akan menjadi tempat
kenangan.
"Melamun?" Suara itu seperti hembusan angin
saja, yang membelai lembut telinga Bugi. Ketika dia
menoleh, dilihatnya Pak Zein menyodorkan segelas
minuman.
"Yang saya janjikan," katanya sambil tersenyum.
"Ah, hausnya sudah hilang, minumannya baru
datang!"
"Sudah tiga kali saya beli minuman. Belum ketemu Bugi sudah diserbu anak-anak."
"Aduh, kasihan!"
145
Bugi tertawa geli. Diteguknya minumannya sampai habis. Sekadar untuk menyenangkan hati Pak
Zein. Padahal isinya tidak enak. Namanya saja sirop.
Tidak manis sama sekali. Cuma warnanya saja yang
merah.
"Tidak masuk ke dalam, Bugi? Nonton drama?"
"Ah, panas. Enakan di sini.' '
"Dramanya kan bagus."
"Bosan."
"Nanti dicari teman-temanmu lagi? '
"Biar."
"Bapak masuk dulu, ya."
"jangan dong, saya kan sendirian di sini!"
Heran. Di depan Pak Zein, Bugi selalu menjadi
manja.
"Sejak tadi juga sendiri."
"Tapi sekarang kan ada Pak Zein."
"Lebih baik kita masuk ke dalam, Bugi."
"Ah, enakan di sini. Kita ngobrol." '
"Ngobrol apa?"
"Apa saja. Misalnya, orang tua Pak Zein? '
"Kan sudah Bapak ceritakan, mereka ada di
Palembang." '
"Pak Zein punya adik?"
"Dua orang."
"Saya tidak punya siapa-siapa." Ada gurat kelabu
menodai mata yang indah itu.
"Jangan berkata begitu, Bugi. Kamu masih punya
orang tua angkat, kan? Punya saudara-saudara pula."
146
"Tidak sama dengan orang tua kandung."
"Itu hanya perasaanmu saja? '
"Ah, Pak Zein nggak ngerti!"
"Saya mengerti, Bugi. Tapi jangan biarkan
perasaanmu menipumu. Orang tua angkatmu sayang
padamu. Kalau sayang itu masih kamu rasakan kurang, kamulah yang harus berusaha menumbuhkannya!"
"Ah, nggak ada orang yang sayang pada saya!"
"itu hanya perasaanmu. Sekarang kamu sudah
berubah. Semua orang pasti jatuh hati padamu. Jika
dulu orang tuamu belum memperlihatkan kasih sayangnya, sekarang kamu hanya tinggal menunggu
waktu. Mereka begitu terharu melihat penampilanmu tadi."
Tapi bukan kasih sayang mereka yang paling kuharapkan saat ini, pikir Bugi gemas. Tidak mengerti
jugakah Pak Zein? Atau dia cuma pura-pura?
Pak Zein membuka jendela kamar asramanya.
Malam ini udara sangat panas. Dia merasa gerah. Sudah dua jam, dia mencoba tidur. Entah sudah berapa
belas kali dia bolak-balik di tempat tidur. Tapi matanya belum mau terpejam juga. Padahal dia sudah amat
lelah.
Pementasan malam ini benar-benar telah menguras habis tenaganya. Menyita, perhatiannya selama
147
berbulan-bulan. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Pementasan itu sukses. Kalau bukan yang
paling sukses dalam malam kesenian ini.
Dan semua sukses itu sebagian besar karena Bugi.
Dialah yang berhasil mencuri simpati dan perhatian
penonton. Dialah primadona malam ini!
Tidak sadar Pak Zein, tersenyum sendiri. Bugi
memang muridnya yang paling unik. Dari gadis lelaki-lakian yang bandel, kini dia berubah menjadi putri
cantik yang dapat memikat hati siapa saja.
Hm. Pak Zein hampir tidak dapat membayangkan
lagi bagaimana rupa Bugi beberapa bulan yang lalu.
Dengan rambut sependek rambut anak laki-laki. Dan
gaya berjalan yang mirip koboi
Sekarang Bugi telah berubah. Tapi dia belum
puas. Belum merasa bahagia.
"Nggak ada orang yang
sayang pada saya!" katanya tadi.
Ah, kalau saja dia tahu, betapa sayangnya Pak
Zein padanya! Kalau saja aku boleh menyatakan
perasaanku yang sebenarnya pada muridku sendiri,
keluh Pak Zein dalam hati. Mungkin aku dapat memberikan apa yang belum pernah dimiliki Bugi kebahagiaan!
"Tidak mungkin!" cetus Suster Katherine dengan
dahi berkerut.
"Saya tidak percaya Pak Zein seperti
itu!"
148
"Bukan cuma saya yang melihatnya memeluk
Bugi, Suster," berkeras Bu Lies.
"Dan ini saya anggap
sangat memalukan! Merusak wibawa guru di depan
anak didik!"
"Mereka hanya menyalurkan kegembiraan karena suksesnya pementasan itu, Bu Lies," sanggah Bu
Sumiati santai.
"jangan terlampau membesar-besarkan sesuatu."
"Apa tidak ada cara lain yang lebih sopan untuk
menyalurkan kegembiraan?" bantah Bu Lies judes.
"Kita ini orang Timur, Bu Sumiati. Jangan-jangan
nanti ada guru pria yang mencium murid putri yang
naik kelas!"
"Kalau benar laporan Bu Lies ini, Suster, saya juga
keberatan," sambung Pak Anwar.
"Kita memang telah
setuju memberi kesempatan kepada Pak Zein untuk
memperbaiki Bugi. Tapi tentu saja bukan dengan cara
seperti ini!"
"Untuk menyembuhkan Bugi, saya kira Pak Zein
telah berhasil," komentar Bu Ning.
"Dalam waktu
yang relatif singkat, Bugi benar-benar telah berubah.
Dan saya kira, itu tidak mudah. Perlu kesungguhan,
kerja keras, dan pendekatan yang tepat. Dalam hal
ini, kita tidak boleh melupakan jasa Pak Zein."
"Tapi untuk menyembuhkan Bugi, Pak Zein tidak
perlu sampai pacaran dengan dia!" protes Bu Lies
dingin.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Untuk alasan apa pun, guru tidak boleh pilih
kasih terhadap murid-muridnya!"
"Saya setuju dengan pendapat Bu Lies, Suster,"
149
sokong Pak Anwar mantap.
"Pak Zein harus diberi
peringatan."
"Saya tidak peduli dengan Pak Zein," potong Pak
Tom acuh tak acuh.
"Dia sudah dewasa. Tahu apa
yang harus dilakukan. Tapi Bugi baru empat belas
tahun. Dia sedang mengalami masa pancaroba. Dia
baru saja melewati masa yang paling sulit dalam
hidupnya. Saya tidak mau dia mendapat shock dan
berubah lagi seperti dulu! Bagaimanapun, saya mau
Bugi tetap seperti sekarang!"
"Saya sokong pendapatmu, Pak Tom," cetus Pak
Didin gembira.
"Yang penting bagi saya, Bugi sudah
sembuh. Artinya, Pak Zein telah berhasil melaksanakan tugasnya!"
"Dan menghalalkan setiap cara?" sindir Bu Lies
sinis.
"Termasuk memberikan surat izin pacaran untuk guru dan murid?"
Tawa kecil bergema di sana-sini.
"Bugi masih terlalu kecil untuk pacaran," komentar Pak Anwar.
"Dia baru kelas satu SMP. Di mana
harus kita letakkan nama baik sekolah ini kalau ada
guru pacaran dengan murid!"
"Bugi hanya menganggap saya sebagai ayahnya,
Suster," sanggah Pak Zein dalam kesempatan berdialog berdua, saja dengan Suster Katherine.
"Figur yang
didambakannya. Yang telah lenyap bersama masa
150
kanak-kanaknya. Jangan menghukum dia sekejam
ini. Kalau pendekatan saya disalahartikan oleh Bugi,
sayalah yang salah, Suster. Bukan Bugi. Dia masih
putih seperti salju. Polos seperti bayi. Jangan biarkan
guru-guru yang lain menyiksanya dengan perasaan
bersalah!"
"Saya mengerti, Pak Zein," sahut Suster Katherine sabar.
"Saya tidak akan memanggil Bugi. Saya
akan minta kepada guru-guru yang lain untuk tidak menegurnya pula. Apalagi menyindir di muka
teman-temannya. Saya percaya pada Pak Zein. Saya
harap, Pak Zein juga tidak akan mengecewakan saya.
Demi nama baik sekolah kita."
Tentu saja Pak Zein tidak ingin mengecewakan
Suster Katherine. Menyia-nyiakan kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Lagi pula dia tidak mau merusak Bugi. Murid yang paling disayanginya.
Kalau memberikan perhatian dan kasih sayang
kepada gadis itu dianggap merusak, Pak Zein akan
mengalah. Dia akan berusaha menjauhi Bugi. Dia
akan memperlakukan gadis itu sama seperti murid-muridnya yang lain.
Tapi... ah, kasihan Bugi. Dia akan kehilangan perhatian dan kasih sayang yang baru saja diperolehnya!
"Melamun lagi." Bu Neni menghela napas kesal.
Sejak tadi mereka duduk berhadapan di ruang
guru. Tetapi Pak Zein lebih banyak diam. Dahinya
berkerut. Senyumnya langka. Aneh. Padahal biasanya
Pak Zein orangnya periang. Selalu tersenyum.
151
"Bilang dong, ada apa sih?"
"Ah, nggak ada apa-apa." Pak Zein menghela napas berat.
"Pulang yuk."
Tetapi di atas motornya pun Pak Zein lebih banyak membisu. Dan Bu Neni tahu apa sebabnya. Apa
lagi! Pasti gara-gara anak perempuan itu!
Bu Neni sudah banyak mendengar cerita tentang
dia. Dari Pak Zein sendiri. Lebih-lebih dari guru-guru lain.
Pak Zein begitu bersemangat kalau sedang menceritakan tentang Bugi. Wajahnya berseri-seri. Dan
dia selalu memuji-muji anak itu.
Yah, Bu Neni sendiri sudah pernah melihatnya.
Dia memang manis. Apalagi sekarang. Dan bukan
cuma itu. Bugi memiliki daya tarik yang aneh. Pesona
yang belum dimiliki oleh hampir semua gadis-gadis
seumurnya.
"Awas lho, Bu Neni," goda Bu Lies kemarin. Nadanya memang seperti bergurau. Tapi entah mengapa, Bu Neni tidak senang mendengarnya. Rasanya
ada yang tidak enak di dalam sini.
"Pak Zein naksir
muridnya tuh!"
Pak Zein memang tidak membantah. Tidak juga
mengiyakan. Dia cuma tersenyum. Tetapi Bu Neni
lebih tidak enak lagi melihat senyum itu.
Pak Zein memang tampan. Simpatik. Gagah pula.
Tidak heran kalau sarjana muda FIPIA itu digandrungi murid-muridnya.
Gadis-gadis remaja seumur mereka memang se
152
dang mengagumi figur-figur yang gagah. Dan guru
setampan Pak Zein memang selalu jadi idola di mana-mana. Tetapi selama ini, belum pernah Bu Neni
melihat Pak Zein menaruh perhatian seperti perhatiannya kepada Bugi. Terus terang, dia sendiri juga
sudah mulai curiga.
"Ada apa?" desak Bu Neni setelah tidak tahan lagi
didiamkan begitu saja.
"Anak itu lagi? Bugi?"
"Ah, tidak," sahut Pak Zein di sela-sela deru motornya.
Sayang Pak Zein membelakanginya. Kalau tidak,
Bu Neni pasti dapat melihat perubahan air mukanya.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama