Ceritasilat Novel Online

Kidung Cinta Buat Pak Guru 3

Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W Bagian 3



"Pasti ada persoalan. Kata Bu Lies, kau dipanggil

Suster Katherine tadi? '

"Ah, cuma membicarakan Malam Kesenian tadi

malam."

Cuma itu. Lalu dia terdiam lagi. Aneh. Tidak biasanya Pak Zein begitu pendiam. Pelit dengan kata-kata. Apalagi kalau topiknya Bugi. Wah, biasanya

dia begitu menggebu-gebu menceritakan tentang

murid favoritnya! Sampai Bu Neni tidak kebagian kesempatan untuk bicara!

"Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan,"

"Hhh? Soal apa?"

Ada nada acuh tak acuh yang menyinggung

perasaan Bu Neni dalam suara Pak Zein, Entah di

planet mana dia sedang berada sekarang! Yang jelas,

pasti tidak di sini! Dia harus diberi kejutan dulu. Biar

perhatiannya turun lagi ke bumi!

153

"Soal Bugi."

Nah, dia diam. Tapi taruhan, pasti telinganya sedang dipasangnya baik-baik.

"Banyak yang membicarakan kalian? '

Ada nada jengkel dalam suara Bu Neni. Meskipun

dia sudah berusaha menekannya. Tetapi Pak Zein

diam saja. Terpaksa Bu Neni membuka serangan

baru. Pancingnya belum mengena.

"Saya hanya ingin menasihatimu. Kalau boleh.

Jangan terlalu memberi perhatian istimewa kepadanya.

Bu Neni memberi kesempatan kepada Pak Zein

untuk menyanggah. Tetapi gayung masih tetap belum

bersambut.

"Barangkali kau tidak merasa. Tapi hubungan kalian terlalu dekat. Orang-orang sudah mulai membicarakannya. Dan saya tidak mau kalian jadi korban

gosip semacam itu!"

"Mereka tidak mengerti apa-apa!" geram Pak Zein

sambil mengatupkan rahangnya, menahan marah.

"Jangan dengarkan mereka!"

"Tapi saya bukan hanya mendengar! Saya juga

melihat!"

"Melihat apa?"

"Hubungan kalian."

"Hubungan apa?"

"Kau gurunya. Dia muridmu. Ingat itu."

"Lalu?"

"Dia masih anak-anak."

154

"Lalu?"

"Kau pasti mengerti. Bugi memang belum dewasa.

Tapi dia juga bukan anak kecil lagi. Dia sudah menjadi seorang gadis remaja!"

"Baru saja kaukatakan dia masih anak-anak!"

"Tapi sudah cukup besar untuk digosipkan dengan

seorang laki-laki. Dan laki-laki itu gurunya sendiri!"

"Saya hanya ingin memberi perhatian dan kasih

sayang. Sesuatu yang tidak pernah dimilikinya sejak

kecil. Orang tuanya meninggal. Orang tua angkatnya tidak dapat memberi kebahagiaan. Nah, salahkah

memberi sedikit kebahagiaan kepada Bugi, sesuatu

yang belum pernah dicicipinya selama ini?"

"Salah karena dia muridmu!" sahut Bu Neni tegas.

Tanpa dapat ditawar lagi.

"Bukan putrimu! Bukan

pula pacarmu!"

"Tapi saya gurunya! Tidak bolehkah seorang guru

menjadi pengganti orang tua muridnya?"

"Tidak boleh, karena akan menjadi bahan pergunjingan orang! Jauhi anak itu, sebelum dia sendiri

terlanjur salah tafsir pada sikapmu!"

Sekarang Bugi merasa perlu memiliki sebuah

cermin di kamarnya. Untuk pertama kali dalam

hidupnya dia menyadari, betapa manis sebenarnya

wajahnya. Apalagi kalau rambutnya selalu terlihat

rapi. Pakaiannya bersih. Pipi dan bibirnya agak merah

155

sedikit jalannya lebih lemah gemulai Sikapnya

lebih lembut Wah, Pak Zein pasti menyukainya!

Dan untuk sesuatu alasan yang Bugi sendiri tidak

mengerti, dia ingin selalu terlihat cantik. Lebih-lebih

di depan Pak Zein. Dia harus mempertahankan kecantikannya. Kalau bisa, tiap hari bertambah cantik!

Sayang di sekolahnya dilarang memakai lipstick.

Tidak diperkenankan menghias diri seperti pada

Malam Kesenian itu.

Dan Bu Narsih! Hah! Dia selalu marah-marah.

Berdandan terlalu lama saja dia ngomel! Padahal apa

salahnya sih anak perempuan mempercantik diri?

"Kecil-kecil sudah genit!" gerutu Bu Narsih sekembalinya dari kamar Bugi.

"Pantas lama sekali

dandannya. Mau pergi ke sekolah saja seperti pergi

ke pesta! Bercermin sampai berjam-jam!"

"Anak perempuan kan beda dengan anak laki-laki, Bu," keluh Pak Dadang, bosan dengan gerutuan-gerutuan istrinya.

"Apalagi yang sedang remaja.

Apa salahnya sih dia dandan? Dulu dia jorok seperti

anak laki-laki kau marah. Sekarang dia rapi kau kesal

juga. Kau ini maunya apa sih, Bu?"

"Ini kan sudah siang! Sarapan saja belum.

Bagaimana tidak terlambat sekolah? Itu anak-anak

sudah di mobil semua. Menunggu Tuan Putri selesai

berdandan!"

"Biar saja mereka menunggu. Mereka harus belajar menghormati saudaranya. Memang begitu kalau

punya saudara perempuan. Kalau mereka pulang ter

156

lambat karena berkelahi, Bugi juga menunggu mereka."

"Ah, Bapak ini! Selalu membela dia!"

"Pak! Bu! Saya pergi dulu!" seru Bugi dari luar ruang makan. Dia berlari-lari ke mobil tanpa menoleh

lagi.

"Lihat, dia malah tidak menyentuh sama sekali sarapannya!" gerutu Bu Narsih gemas.

"Kepingin

langsing barangkali!"

"Bugil, kamu pacaran ama Pak Zein ya?!" goda

Beno begitu Bugi masuk ke dalam kelas.

"Nggak perlu izin dari kamu, kan?" balas Bugi

acuh tak acuh.

Beberapa hari ini desas-desus itu memang sudah

santer melanda sekolah mereka. Bugi pacaran dengan

Pak Zein. Hah!

"Ya perlu dong! Kamu kan belum kuberi surat talak!"

"Makanya, Ben, dandani dong tu muka!" sambar

Dino geli.

"Kalau tampang kayak genderuwo begitu,

mana ada pacar yang betah?"

"Tampangnya si Beno sih bukan cuma rusak!

Hancur!"

"Semut juga kejeblos kalau jalan di muka dia! Banyak lubangnya!"

"Ventilasi. Biar hawa busuk di mulutnya gampang

keluar!"

157

"Hati-hati sama Bu Neni, Gil," sambung Linda.

"Dia judes lho!"

"Nanti kita pulang sama-sama, ya. Takut kamu

dilabrak!"

"Jangan takut, Gil! Ia mendukungmu tanpa reserve!"

"Asal jangan lupa komisinya, Gil. Kita bersedia

deh jadi kurir kalau ada surat rahasia!"

"Konyol," gerutu Lira geram.

Memang cuma dia yang masih penasaran. Nunuk juga ikut kesal. Tapi dia sudah mengaku kalah.

Teman-temannya yang lain malah merestui hubungan Bugi dengan Pak Zein. Murid pacaran dengan

guru! Yuhui! Benar-benar suatu revolusi!

Pak Zein sendiri tidak memberi komentar apaapa kalau disindir mengenai hubungannya dengan

Bugi. Dia cuma tersenyum. Seolah-olah menganggap

semua itu cuma kelakar belaka.

Namun perlahan tapi pasti, dia mulai menarik

diri. Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan berdua

dengan Bugi. Apalagi bepergian seperti dulu!

Bugi sudah menjadi seorang gadis normal. Diterima oleh lingkungannya. Pelajarannya maju. Tak ada

perkelahian lagi. Tak ada kenakalannya yang perlu

dicatat.

Dari Suster Katherine, Pak Zein malah pernah

mendengar kabar yang melegakan hati. Kata ibu angkatnya, gadis itu sudah mendapat menstruasi. Jadi dia

benar-benar normal seperti yang selama ini diharapkan Pak Zein!

158

Bugi akan berkembang terus sebagai gadis normal.

Tubuhnya akan tumbuh semakin sempurna. Kewanitaannya akan semakin menonjol. Dia akan semakin

menyadari siapa dirinya. Demikian pula lingkungannya. Tak ada lagi yang meragukan identitasnya. Dan

itu berarti tugas Pak Zein telah selesai! Tak perlu lagi

pendekatan khusus. Pak Zein tak punya alasan lagi

untuk mendekatinya. Lebih-lebih diawasi oleh sekian

pasang mata yang selalu menaruh curiga!

"Aku jadi bertambah yakin kalau kau juga sedang

jatuh cinta, Zein," komentar Dios, teman sekamarnya.

Sejak tadi Pak Zein termenung. Ada buku yang

terbuka di hadapannya. Tetapi halamannya tak pernah dibalik.

"Aku yakin gadis itu pasti bukan Neni. Iya, kan?"

Pak Zein tidak menjawab. Dia hanya menghela

napas. Panjang. Berat.

"Salah seorang muridmu, Pak Guru?" Dios

tersenyum, separuh mengejek.

"Rupanya kita sama-sama sakit! Coba dengar, Zein! Aku juga sedang

jatuh cinta! Tapi pada seorang pemuda!"

Kata-kata Dios berhasil menggugah perhatian

Pak Zein. Dia langsung mengangkat mukanya dengan terkejut. Mata mereka berpapasan. Dan untuk

pertama kalinya setelah beberapa bulan ini, Pak Zein

menemukan perubahan dalam mata temannya.

Ada yang berubah dalam mata yang selalu

tersenyum itu. Barangkali dia benar. Dia sedang sakit.

Mereka sama-sama sedang sakit!

159

"Aneh, ya?" Dios tersenyum pahit.

"Aku belum

pernah jatuh cinta. Begitu banyak, wanita, dalam

hidupku. Tapi belum pernah ada yang kucintai. Sekarang aku jatuh cinta. Tapi bukan pada seorang wanita!"

"Jangan main-main. Dios. Guraumu tidak lucu."

"Aku justru ingin minta pertolonganmu, Zein.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang engkau ketahui tentang homoseksualitas?"

"Aku sama tidak tahunya dengan engkau, Dios.

Aku kan bukan dokter. Tapi abang Neni seorang dokter. Aku kenal baik padanya. Kalau kau mau, kita bisa

ke sana besok."

"Belum segawat itu, Zein. Aku cuma ingin tahu

pendapatmu. Sakit atau tidakkah aku ini?"

"Ceritakanlah padaku, Dios. Di mana kau ketemu

dia?"

"Di tempat biasa. Aku sedang minum. Dia datang

bersama teman-teman sekolahnya. Manis seperti

perempuan. Tapi dalam perkelahian, gagah dan gesit

seperti jantan sejati. Dia masih sangat muda. Orang

tuanya telah meninggal. Ke sana hanya ikut-ikutan

teman."

Dios menyulut rokoknya. Menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asap rokoknya

kuat-kuat. Diangkatnya kakinya. Dilunjurkannya ke

atas meja.

Kepalanya ditengadahkannya ke langit-langit kamar. Bersandar ke sandaran kursinya. Tatapannya

menerawang jauh. Seakan-akan di langit yang ses

160

ungguhnya di luar sana, dia membayangkan wajah

yang satu itu wajah yang tidak pernah mau hilang

lagi dari benaknya.

"Mula-mula aku sendiri tak sadar. Aku tidak

tahu mengapa selalu ingin menunggu kedatangannya. Mengapa aku lebih senang duduk minum sambil

ngobrol dengan dia daripada main. Padahal langgananku sedang kosong. Baru ketika beberapa bulan ini

dia tidak muncul-muncul, aku merasa hehilangan.

Dan tiba-tiba saja malam ini aku sadar, aku mungkin

sedang jatuh cinta padanya! Aku benar-benar sakit,

Zein! Aku jatuh cinta pada seorang anak laki-laki!

Homoseks kah aku ini? Aku tidak pernah menderita

oedipus complex. Tidak pernah mencintai ibuku dengan berlebihan. Aku malah tidak terlalu dekat dengan

Ibu. Dan aku bercinta dengan perempuan. Sering.

Normal. Tidak ada kelainan. Tidak ada impotensi.

Lalu apa? Mengapa tiba-tiba aku bisa jatuh cinta pada

seorang anak laki-laki?

"Homoseksualitas memang kelainan yang terjadi

bila seseorang menaruh perasaan birahi pada sesamanya yang sejenis. Tapi pernah kudengar, para ahli

mengatakan, semua manusia sebenarnya mempunyai

sifat homoseksualitas dalam dirinya. Tidak ada heteroseksualitas murni di dunia ini. Tapi pada orang-orang

normal, sifat heteroseks-nya lebih menonjol. Aku bukan seorang ahli, Dios. Tapi dengan pernyataan itu,

aku berharap mudah-mudahan hanya ada pergeseran

selera dalam dirimu. Mungkin karena konflik psikis

161

yang terjadi belakangan ini. Stress yang tidak kausadari. Aku yakin kau laki-laki normal. Dan sesudah

stress itu bisa kauatasi, kau akan kembali normal seperti dulu. Kau begitu berselera terhadap wanita. Aku

tidak percaya kau sakit!"

"Atau aku termasuk seorang yang biseksual?" gumam Dios penasaran.

"Semacam AC-DC? Mencintai

perempuan dan lelaki sekaligus?"

"Kurasa lebih baik kita temui temanku besok. Dia

pasti lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."

"Aku juga takut, Zein. Ketakutan itu memaksaku berhubungan lebih sering lagi dengan perempuan-perempuan begituan! Aku takut, Zein! Aku

takut jangan-jangan tidak lama lagi aku tidak menyukai wanita! Dan tidak suka meniduri mereka lagi

"Kau merusak dirimu sendiri, Dios. Kau tahu,

perempuan-perempuan itu akan memindahkan penyakit mereka ke tubuhmu!"

"Tapi aku lebih takut kena penyakit yang satu itu,

Zein!"

"Yang satu ini bukan penyakit, Dios! Cuma kelainan!"

"Karena itu tidak bisa diobati, Zein."

"Tapi kau keliru kalau kaukira mudah mengobati

penyakit kotor yang mereka tularkan padamu. Dengan kena infeksi berulang-ulang seperti ini, berobat

asal saja di tempat-tempat sembarangan, kau bisa celaka, Dios! Bukan penyakitmu yang sembuh, malah

162

tubuhmu yang kebal terhadap antibiotik! Penyakitmu

akan menyebar ke sana kemari. Menulari istrimu kalau kau menikah kelak. Dan menurunkan cacat pada

anak-anakmu! Kau tidak takut, Dios? Kau tidak pernah jera?"

"Aku belum memikirkan perkawinan, Zein." '

"Tapi suatu hari kau akan ke sana juga, Dios."

"Tidak, kalau belum kutemukan seorang wanita

yang betul-betul kucintai, Zein."

"Suatu saat kau akan menemukannya, Dios."

"Sekarang pun aku sudah menemukannya. Tapi

aku tidak bisa mengawininya. Dan kami tidak mungkin punya anak!"

"Kau sudah pernah menggaulinya?"

"Bagaimana caranya? Aku sudah pengalaman

dengan perempuan yang bagaimanapun. Tapi belum

pernah dengan laki-laki!"

"Aku kira kau tidak sakit, Dios. Kau tidak ingin

menggaulinya. Karena kau tahu, dia laki-laki." '

"Bukan karena itu, Zein. Bukan karena alasan itu.

Tapi karena aku mencintainya! Sungguh-sungguh

mencintainya! Aku sudah merasa puas walaupun

kami hanya duduk-duduk sambil ngobrol. Dan aku

selalu ingin berada di dekatnya, walaupun kami tidak

melakukan apa-apa!"

163

BAB VIII

"SIAPA punya nih?" Bugi menyambar karet penghapus bergambar mobil-mobilan dari atas meja. Kemudian tanpa menunggu jawaban, dibawanya penghapus itu ke mejanya sendiri.

"Pinjam."

"Huu, pinjam melulu!"

Iwan pura-pura menggerutu. Padahal hatinya sedang berdebar-debar. Karet penghapus itu kebetulan miliknya. Terus terang dia tidak keberatan Bugi

meminjamnya. Dia malah ingin menghadiahkannya

pada gadis itu. Cuma dia masih malu. Dan dia harus terus berpura-pura untuk menutupi perasaannya

sendiri.

"Bermodal dong dikit!"

"Nggak boleh pinjam ya sudah!" Bugi melemparkan karet penghapus itu kembali ke meja Iwan.

"Dasar pelit!"

"Nih, pinjam penghapus Rio saja!" Buru-buru Rio

melontarkan penghapusnya. Mumpung ada kesempatan. Tidak boleh luput nih! "Tapi ada syaratnya."

Bugi menangkap penghapus itu dengan gesit.

Tetapi dia tidak jadi memakainya ketika mendengar

kata-kata Rio yang terakhir. Dasar kancil! Kecil-kecil

sudah pintar cari akal!

"Mau kasih pinjam atau meras nih?"

"Ambil ini saja deh." Malu-malu Iwan menyorongkan penghapusnya.

"Kasihan, orang nggak punya!"

164

"Huu, nggak butuh!" Bugi membuang mukanya.

"Baru penghapus! jelek lagi!"

"Eh, nggak mau nih?"

"Rio punya saja, Bugil!" serobot Rio tidak mau kalah.

"Nggak usah pinjam! Buat kamu saja. Tapi ajarin

ini, ya?"

"Nggak mau ah!" Sekarang Bugi yang berlagak

tahan harga. Akhir-akhir ini dia memang sudah

merasakan enaknya jadi anak perempuan. Apalagi

kalau yang lain laki-laki semua.

"Kalau mau ngasih,

mesti yang baru dong!"

"Aduuh, ribut melulu sih!" bentak Bram yang juga

sedang belajar di sana. jengkel dia melihat saudara-saudaranya ribut menyodorkan penghapus pada

Bugi. Bahkan Arman yang sedang membuat PR ikut

tertegun bengong. Ingin juga memberi. Tapi tidak

punya apa-apa. Tidak tahu apa yang harus diberikan.

"Bukan ribut sama kamu kok!" balas Bugi dingin.

Dengan Bram dia memang mesti bertengkar terus.

Bram selalu mengajak ribut.

"Stip pinjam, pensil pinjam, bolpoin pinjam," ejek

Bram lagi.

"Lama-lama pacar juga pinjam!"

"Nggak pinjam sama kamu!"

Dengan gemas Bugi menimpuk Bram. Tapi Bram

lebih gesit berkelit. Sambil berlari ke luar, dia masih

mengejek terus.

Melihat Bram sudah keluar, Arman buru-buru membuntuti. Otaknya sudah keruh, Sudah tidak

dapat dijejali apa-apa lagi. Lebih baik dia ikut Bram

nonton TV.

165

Mau nonton sendiri, Arman takut. Ibu galak sekali. Lebih-lebih kalau dia belum membuat PR. Ah, lain

tahun lebih baik dia berhenti saja. Bosan sekolah.

Lama sesudah Bugi dan Rio meninggalkan ruang

belajar pula, Iwan masih merenung di sana. Ibu yang

sudah empat belas kali bolak-balik mengawasi mereka, mengira Iwan masih asyik menghafal.

Ibu pasti tidak tahu Iwan sedang melamun. Soalnya kalau terdengar suara langkah-langkah kaki Ibu,

Iwan akan berpura-pura menyimak bukunya. Dan

mulutnya berkomat-kamit seperti sedang menghafal. Ibu pasti tidak mau mengganggu dan buru-buru

meninggalkannya.

"Ada ulangan apa besok, Bram?" tanya Ibu curiga.

Bram sedang asyik menonton film seri di TV. Padahal Iwan masih asyik dengan bukunya.

"Nggak ada," ' sahut Bram tanpa memalingkan mukanya dari layar TV.

"Bohong!" Tanpa mempedulikan protes-protes

para pemirsa termasuk Ayah, Ibu langsung mematikan TV.

"Ayo belajar! Lihat Iwan masih belajar terus!

Kamu sudah enak-enakan nonton TV!"

"Ah, dia belajar buat ulangan minggu depan kali!"

bantah Bram jengkel.

"Kepingin dipuji Ibu, jadi sok

rajin!"

"Rio juga nggak ada ulangan, Bu!" rengek Rio

manja.

"Rio boleh nonton, ya?"

Arman juga masih ingin nonton. Tapi dia tidak

berani berkata apa-apa. Cuma air mukanya yang

turut memohon.

166

"Ayolah, Bu," Ayah juga ikut mengajukan permohonan.

"Nyalakan lagi TV-nya. Nggak apa-apa kan

mereka nonton sebentar. Mumpung filmnya lagi ramai,"

"Besok bukan hari Minggu," kata Ibu tegas tanpa

dapat dibantah lagi.

"Selesai belajar harus tidur."

Terdengar gumam kekecewaan di ruang itu.

"Huu, Ibu," gerutu Rio sambil membanting-banting kakinya.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Percuma deh punya TV. Sore acaranya

jelek. Malam nggak boleh nonton!"

"Apa salahnya sih mereka nonton sebentar, Bu?"

Heran. Malam ini Ayah juga ikut gigih. Barangkali

filmnya benar-benar bagus. Dan Ayah kecewa karena

tidak boleh nonton juga.

"Sudah malam! Mereka kan harus tidur! Bapak

sendiri juga mesti bangun pagi-pagi besok. Mau ke

pabrik lagi, kan?"

Dan itulah vonisnya. Walaupun seluruh rumah

menggerutu, Ibu juga akhirnya yang menang.

Sambil mengomel Bram dan Rio berjalan ke kamar masing-masing. Melewati ruang belajar, Bram

yang masih penasaran mengambil sebuah gelang

karet. Dijepretnya Iwan yang masih pura-pura belajar.

"Mau jadi profesor, ya?" ejeknya jengkel.

"Biar

tambah tebal tuh kaca mata!"

"Dia sih bukan belajar!" sambung Rio, yang juga

masih kesal karena tidak boleh nonton TV.

"Melamun!"

167

Arman juga mangkel. Tapi dia tidak berani berkata apa-apa. Dia sudah berjalan lebih dulu ke kamarnya. Percuma marah-marah. Ibu tidak bisa dibantah.

Tidak bisa diajak kompromi.

Iwan sudah bangkit dengan gusar ingin mengejar

Bram, tapi Ibu keburu muncul di ambang pintu. Dan

dia terpaksa membatalkan niatnya.

"Sudah belajarnya?" tanya Ibu tajam.

"Sebentar lagi, Bu," sahut Iwan serba salah. Dia sudah terlanjur berdiri.

"Kepingin kencing dulu."

Ketika menuju ke kamar kecil, dia melewati kamar Bugi. Lampu di kamar gadis itu masih menyala.

Sinarnya yang lemah menyelinap ke luar dari sela-sela di bawah pintu kamar. Tapi sudah tidak ada suara

apa pun. Sudah tidurkah dia?

Lama Iwan tertegun di depan kamar Bugi. Di saku

celananya ada karet penghapus baru. Ingin diberikannya kepada gadis itu sekarang juga, Tapi dia malu.

Bagaimana kalau Bugi menolak? Bagaimana kalau

Ibu memergokinya sedang mengetuk pintu kamar

gadis itu? Ah, dia jadi bimbang.

Akhirnya Iwan kembali ke kamar belajar. Ibu sudah tidak ada. Suasana pun sudah sepi. Semua sudah

masuk ke kamar masing-masing.

Tapi Iwan belum ingin tidur. Belum mengantuk.

Dan tangannya menyentuh karet penghapus di saku

celananya. Bagaimana dia dapat memberikannya kepada Bugi?

Hampir satu jam Iwan memutar otak. Barulah dia

menemukan jalan itu.

168

BAB IX

BUGI menemukan surat itu ketika dia pulang sekolah. Diselipkan di bawah pintu kamarnya.

Pasti perbuatan Bram, pikir Bugi gemas. Diremasnya dengan jengkel. Dilemparkannya begitu

saja ke tempat sampah. Lalu dia menukar baju dan

pergi ke ruang makan.

Bram sudah ada di sana. Dia sedang makan dengan lahap. Sedikit pun dia tidak menoleh ketika Bugi

masuk. Hm, dia pasti berpura-pura. Dia sedang

menunggu reaksi Bugi.

Rio masuk sambil bersiul-siul.

"Lapar, Bu," katanya begitu duduk di kursi makan.

"Hari ini makan apa? Yaa, lalap lagi! Memangnya Rio

kambing, tiap hari disuruh makan lalap terus?!"

"Jangan cerewet, Rio." Ibu menyendokkan nasi ke

piring Rio. Padahal Bugi datang lebih dulu. Dia juga

lebih dulu duduk. Lebih dulu membalikkan piringnya. Tapi Ibu tidak menyendokkan nasi ke piringnya.

"Sayur-sayuran kan sehat. Nanti otakmu jadi pintar." '

"Ah, masa sih, Bu?" gerutu Rio.

"Buktinya kambing nggak pernah pintar!"

"Iwan mana?" tanya Ibu tiba-tiba.

"Kok tidak kelihatan?"

"Sakit perut," sahut Bram acuh tak acuh.

"Katanya

nggak mau makan ." '

"Uh bohong!" sela Rio.

"Dia sudah makan bakso tadi di sekolah!"

169

"Ibu sudah bilang, jangan jajan!" geram Ibu

jengkel.

"Kotor! Nanti bisa kena muntaber! Memalukan, anak gedongan kena muntaber! Seperti orang

kampung saja!"

Tangan Bugi yang sedang menyendok nasi tiba-tiba mengejang. Nafsu makannya pun langsung hilang.

Dia hanya... makan beberapa suap saja. Lalu tanpa

berkata apa-apa dibawanya piringnya ke belakang.

Bugi baru teringat kembali kepada surat itu ketika

sedang berbaring di tempat tidurnya selesai mencuci

piring. Tiba-tiba saja dia ingin tahu apa yang disembunyikan Bram dalam amplop itu. Pasti sesuatu yang

mengejutkan. Dia memang jahat.

Bugi sudah bersiap-siap untuk lari ketika membuka amplop itu. Tapi yang keluar cuma sehelai kertas.

Merah muda. Wangi Gila. Apa-apaan ini?

Hati-hati Bugi meletakkan kertas itu di atas meja.

Dan matanya langsung menyipit ketika mengenali

tulisan lwan

Iwan! Bukan Bram! Ah, profesor yang satu ini

tidak suka bergurau. Dia terlalu serius! jadi apaapaan ini? Apa artinya surat ini?

"Bugi, sudah lama saya ingin mengatakan ini, tapi

saya tidak berani. Kalau malam, saya selalu mimpi

kamu. Siang juga selalu ingat kamu. Apa kamu begitu

170

juga? Saya ingin selalu berada dekat kamu, tapi saya tidak berani. Malu. Saya ingin bicara lebih banyak dengan kamu. Tentang apa saja. Tapi kamu seolah-olah

tidak pernah mengacuhkan saya. Kamu lebih dekat

dengan Rio. Bahkan lebih sering bicara dengan Bram.

Di sekolah, kamu juga selalu menjauh. Apa kamu tidak menyukai saya? Saya sangat menyukaimu. Saya

suka rambutmu yang sekarang. Saya suka rambutmu

dibiarkan lebih panjang sedikit lagi. Maukah kamu

membalas surat ini? Letakkan saja di kamar mandi

setiap pagi. Saya akan mandi sesudah kamu. Supaya

tidak ada orang yang dapat mengambil suratmu selain saya. 0 ya, ini ada penghapus bara. Buat kamu.

Supaya tidak usah pinjam-pinjam lagi. Iwan."

Tentu saja Bugi kebingungan. Dia tidak tahu Iwan

serius atau main-main. Tapi profesor itu tidak pernah

bergurau! jadi apa artinya surat ini! Ah, seandainya saja Pak Zein yang menulis surat ini .....

Diam-diam Bugi menghela napas panjang. Mengapa dia selalu ingat pada Pak Zein? Padahal Pak

Zein begitu lain sekarang.

Naluri Bugi membisikkan, Pak Zein kini sengaja

berusaha menjauhinya. Dia tak pernah berada berdua saja dengan Bugi. Apalagi datang ke rumah seperti dulu!

Ah, Pak Zein benar-benar telah berubah! Sikapnya memang masih selembut dulu. Senyumnya pun

tidak berubah. Walaupun Bugi merasa Pak Zein kini

lebih sering menghindari mereka beradu pandang.

171

Tatapan Pak Zein masih tetap sehangat biasa. Pak

Zein hanya tidak ingin memanjakan Bugi. Mengistimewakannya dengan perhatian berlebihan. Padahal

justru itu yang diinginkan Bugi!

Apakah karena kini Bugi sudah menjadi seorang

gadis yang sempurna? Pak Zein tidak merasa perlu

lagi mengistimewakannya? jadi perhatiannya dulu

cuma karena itu? Karena dia tidak ingin Bugi tampak

berbeda dengan gadis-gadis lain?

Ah, Bugi benar-benar kecewa. Semakin hari semakin terasa juga Pak Zein sengaja menjauhkan diri.

Ada-ada saja alasannya. Asal menyingkir dari hadapan Bugi. Padahal apakah sebenarnya kesalahannya?

Bugi merasa dia tidak pernah mengecewakan Pak

Zein. Mengapa Pak Zein jadi lain? Dia tidak pernah lagi mengajaknya, ngobrol berdua seperti dulu.

Apalagi membicarakan soal-soal pribadi. Menasihatinya. Menghiburnya di kala susah. Kesepian. Putus

asa. Tak pernah lagi membangkitkan semangatnya.

Menaruh perhatian istimewa seperti dulu.

Malam hari kalau sedang berada seorang diri di

kamarnya, Bugi sering merasa sedih. Dia merasa

hidupnya hampa, kembali. Hatinya kosong.

Sering Bugi berpikir untuk apa hidup ini? Untuk

apa belajar dengan giat? Tidak ada orang yang akan

memujinya. Berbangga dengan hasil pelajarannya.

Tidak ada orang yang peduli padanya!

Pak Dadang memang baik. Tapi dia terlalu sibuk

dengan pekerjaannya. Kalaupun dia ada waktu, dia

172

tidak suka banyak bicara. Apalagi membicarakan

soal-soal pribadi Bugi.

Pak Dadang tidak pernah mencampuri urusan

pendidikan anak-anaknya. Nah, mengapa sekarang

dia harus memperhatikan Bugi dengan segala persoalannya? Itu urusan istrinya.

Kadang-kadang malah Bugi merasa Pak Dadang

sengaja tidak ingin memperlihatkan perhatian kepadanya. Lebih-lebih di depan istrinya.

Bu Narsih lain lagi. Dia cuma sibuk melarang. Ini

tidak boleh, itu jangan. Bisanya cuma menyuruh saja.

Belajar. Belajar. Belajar! Hhh, persis radio rusak!

Tak tahukah mereka seorang gadis remaja membutuhkan juga sesuatu yang lain? Bukan cuma belajar!

Bugi membutuhkan kehangatan dalam keluarga.

Kasih sayang. Perhatian. Bukan cuma sandang pangan yang cukup!

Satu-satunya manusia yang memperhatikannya

hanya Pak Zein! Tapi Pak Zein yang dulu! Sekarang

dia sudah lain! Tidak mau didekati. Selalu menyingkir. Mencegah pertemuan berdua.

Kalau Bugi pura-pura menemuinya di ruang guru,

Pak Zein sengaja mengajaknya ke halaman. Atau pura-pura memanggil salah seorang temannya. Sengaja

untuk menemani mereka.

Dan Bugi sering merasa sedih melihat sikap Pak

Zein itu. Tapi kadang-kadang dia juga kesal. Ingin

marah. Ingin menangis. Namun tak pernah ada rasa

173

benci. O, dia tidak bisa membenci Pak Zein, apa pun

yang dilakukannya terhadap dirinya!

Kadang-kadang Bugi ingin Pak Zein berterus

terang. Kadang-kadang dia merasa tak dapat lagi memendam perasaannya seorang diri. Ingin bertanya

mengapa Pak Zein kini berubah? Apakah karena Bu

Neni?

Bugi sudah pernah melihatnya dua kali. Dia memang cantik. Tubuhnya tinggi dan ramping. Amat

sesuai mendampingi Pak Zein yang gagah.

Bugi sering melihat mereka pulang berdua. Berboncengan motor. Entah mengapa, dia jengkel melihat adegan seperti itu. Apalagi sekarang setelah Pak

Zein seolah-olah menjauhkan diri darinya.

Bu Neni-kah sebabnya? Gara-gara diakah Pak

Zein jadi lain? Hhh, dia memang ayu! Menarik. Memikat
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi bukan itu yang membuat Bugi merasa rendah

diri! Kalah sebelum bertanding. Bu Neni sudah dewasa! Itu saja. Cuma itu kelebihannya!

Bugi menyusut keringat yang mengalir di dahinya.

Sore ini panas. sekali. Dia ingin buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Lalu Mandi.

Hhh, enaknya mandi panas-panas begini. Badannya pasti terasa segar kembali. Dan dia bisa membuat

PR-nya dengan tenang.

174

Arman sakit. Dan Bu Asih repot membuat kue di

dapur. Tanpa disuruh, Bugi mengambil alih pekerjaan Arman. Tugas rutin tiap hari. Mengepel lantai. Dan monyet kecil itu datang meloncat-loncat.

Menginjak-injak lantai yang masih basah.

"Rio bantu ya, Bugil?" seru Rio cepat-cepat ketika

dilihatnya mata Bugi telah separuh membelalak.

"Bantu apa? Biar lantainya lekas kotor lagi?"

"Duh, galak amat sih! Mau dibantuin kok malah

marah-marah! Mau dibantu nggak nih?"

"Nggak usah!"

"Nggak nyesel?"

"Bilang aja perlu apa? Nggak usah nyogok!"

"Udah bikin PR?"

"Huh, biasa! Ngapain sih di kelas ? Melamun, ya?"

"Gurunya ngajarnya kelewat cepat. Matematik

kan susah!"

"Ah, siapa bilang! Matematik enak kok!"

"Duh, pacarnya sih, dibelain terus!"

Dengan gemas Bugi memukul lengan Rio. Tetapi

Rio mengelak dengan gesit.

"Nggak kena!" sorak Rio lincah.

"Ayo, pergi sana!" bentak Bugi jengkel.

"Bikinin PR dong!"

"Nggak! Rio jahat!"

"janji deh, Rio nggak ngatain lagi."

"Nggak!"

"Ayo dong, Bugil," rengek Rio separuh bergurau.

"Rio bantu ngepel, ya?"

175

"Nggak usah!"

"Biar lekas selesai!"

"Nggak usah!"

"Rio!" tegur Ibu dari ruang tengah.

"jangan ribut!

Ayah masih tidur!"

"Rio minta diajarin matematik, Bu! Tapi Bugil

ngepel terus!"

"Ih, tukang ngadu!" desis Bugi sambil menjulurkan lidahnya.

"Biar." Rio balas mencibirkan bibirnya. Dan Ibu

muncul di ambang pintu.

"Arman ke mana, Bugi?"

"Sakit, Bu."

"Sakit lagi. Hhh!" gerutu Ibu jengkel.

"Baru sekali pergi ikut Ayah ke pabrik sudah sakit. Bagaimana

mau sekolah kalau sakit melulu. Sudah lima belas tahun, SD saja belum lulus? '

Tanpa berkata apa-apa Bugi melanjutkan kerjanya. Tapi Rio merampas kain pelnya dengan gesit.

"Ayo dong, Bugil! Bikin PR!"

"Bikin saja sendiri. Masa mesti dibikinin terus?"

"Nggak bisa! Ajarin dong!"

"Sudah, Bugi. Tinggal saja. Biar nanti Ibu suruh

Bi Asih."

"Tanggung Bu. Tinggal sedikit."

"Sudah. Ajari Rio saja. Kuartal lalu, rapornya merah semua."

Dengan segan Bugi bangkit dan mencuci tangan.

Rio terus membuntutinya dari belakang.

176

"Bugi mandi dulu. Rio sediakan saja buku-bukunya.

Kali ini Rio patuh. Dia berlari ke kamarnya sendiri. Mengambil buku-bukunya. Dan kembali ke belakang. Ke kamar Bugi.

Ketika sedang membalik-balik buku Bugi, tidak sengaja Rio menemukan surat Iwan. Matanya

langsung membulat. Dan Bugi masuk tepat pada saat

Rio sedang asyik-asyiknya membaca surat itu.

Tentu saja mula-mula Bugi tidak tahu apa yang

sedang dibaca Rio sambil tersenyum-senyum sendiri

itu.

"Rio keluar dulu dong," pinta Bugi sambil mengeringkan mukanya dengan handuk.

"Bugi mau ganti

pakaian."

Bugi baru merasa heran ketika tidak didengarnya

jawaban Rio. Dia menoleh dengan curiga. Dan memekik marah sambil menerjang Rio. Tentu saja maksudnya untuk merampas suratnya.

Tetapi Rio lebih gesit. Dia melompat ke atas tempat tidur. Berguling. Dan lari keluar sambil masih

membawa surat Iwan.

Bugi mengejar dengan marah. Dan dia hampir

bertubrukan dengan Ibu yang juga sedang tergesa-gesa keluar mendengar keributan itu.

"Ada apa lagi, Rio?" geram Ibu kesal.

"Katanya

mau belajar!"

"Bugil pacaran, Bu!" lapor Rio sambil tertawa-tawa.

177

"Rio, kalau kamu bergurau terus, bagaimana bisa

belajar?! Senang kalau tidak naik, ya?!"

"Bugil dapat surat cinta nih, Bu!"

Rio melambai-lambaikan kertas di tangannya.

Dan dahi Ibu langsung berkerut ketika hidungnya

mencium harumnya kertas itu.

"Dari siapa?" tanya Ibu dingin.

"Dari Iwan, Bu!"

"Bawa kemari, Rio!" desis Bugi marah.

"Kembalikan!"

Dengan marah Bugi menerjang Rio untuk

merampas kembali suratnya. Tetapi, Ibu lebih cepat

lagi meraihnya. Dan mukanya langsung berubah ketika membaca surat itu.

Kalau ada saat-saat yang paling menyiksa diri

Bugi, inilah saatnya. Rasanya lebih baik dia yang dihukum daripada harus menyaksikan Iwan menerima

hukuman itu seorang diri.

Bugi merasa ikut bersalah. Dia yang telah lalai

menyimpan surat itu. Kasihan Iwan. Apa sebenarnya

kesalahannya?

Iwan hanya mengungkapkan perasaannya dengan

jujur. Menuliskan apa yang terasa di hatinya. Mengapa Ibu harus menghukumnya sekejam itu?

Iwan bukan hanya dimarahi. Ditampar. Dikata-katai dengan kata-kata yang bukan main pedasnya. Dia juga harus menanggung malu di depan saudara-saudaranya.

Suratnya dibeberkan seperti koran. Semua orang

dapat membacanya sambil menyeringai mengejek.

Dan bukan itu saja.

Ibu seakan-akan belum puas dengan hukuman

yang diberikannya. Esoknya Ibu melaporkan hal itu

kepada Suster Katherine. Dan Iwan mendapat tambahan hukuman lagi.

Dia diharuskan membaca suratnya di depan

kepala sekolah. Di depan wali kelasnya, Pak Anwar.

Kemudian juga di depan guru-gurunya.

Itu saja sudah merupakan hukuman yang amat

memalukan bagi Iwan. Tetapi rupa-rupanya mereka belum puas. Entah apa dosanya menulis surat

semacam itu kepada seorang anak perempuan. Seakan-akan dia sudah berbuat kesalahan yang amat besar. Dan mereka tidak akan berhenti menyiksanya

sebelum dia hancur sama sekali.

"Bagus sekali surat Iwan ya, Pak Zein?" sindir Pak

Anwar.

"Bisa dipertimbangkan untuk pementasan

yang akan datang?"

Pak Zein tidak menyahut. Tidak juga tersenyum.

Tampaknya dia keberatan dengan cara rekan-rekannya menghukum Iwan.

Anak ini berbeda dengan Bram. Atau dengan

Beno. Atau dengan anak laki-laki lain yang nakal.

Iwan terlalu perasa. Hukuman yang paling berat baginya adalah diberi tahu di depan umum. Mengapa

harus menyiksanya dengan cara seperti ini?

179

Tetapi Pak Zein tidak punya hak untuk memutuskan. Dia hanya dapat memberi saran. Pak Anwar-lah

yang lebih berhak. Dia wali kelas Iwan.

"Sekarang bawa surat itu ke kelas, Iwan," perintah

Pak Anwar dingin.

"Biar teman-temanmu juga ikut

mendengarkan isinya."

"Saya rasa sudah cukup, Pak Anwar," potong Pak

Zein segera.

"Dia harus dibuat jera," Pak Anwar berkeras pada

pendapatnya.

"Biar tidak berani mengulangi lagi per

buatannya yang memalukan ini. Ayo, Iwan, ikut Bapak ke kelas."

""Anak-anak."

Pak Anwar berdiri dengan angkernya di depan

kelas. Di sebelahnya, Iwan tertunduk dengan muka

merah padam. Lengannya tergantung lunglai di

samping tubuhnya. Kakinya tertekuk lemas. Hampir

tidak kuat lagi menahan tubuhnya.

Mati-matian Iwan harus menahan perasaannya

supaya tidak usah menangis di depan kelas. Sejak

kemarin sore dia harus menanggung hukuman. Dan

neraka ini seakan-akan tidak habis-habisnya menderanya. Dia sudah tidak tahan lagi. Tapi mereka belum mau berhenti juga.

"Iwan akan membacakan surat cintanya di depan

kelas. Kalian dengarkan baik-baik. Siapa yang be

180

rani meniru perbuatannya menulis surat semacam

ini, akan menerima hukuman yang sama pula. Ayo,

Iwan, silahkan mulai. Baca dengan suara keras! Biar

teman-temanmu dengar semua!"

Tersendat-sendat Iwan membaca suratnya. Beberapa kali Pak Anwar harus membentaknya menyuruh

terus. Gemuruh tawa meledak di seluruh kelas ketika Iwan mengakhiri pembacaan suratnya. Dan Iwan

tak dapat menahan air matanya lagi. Dia merasa amat

malu. Rasanya dia tak mampu lagi membalas tatapan

masa teman-temannya yang penuh ejekan. Rasanya

dia tidak ingin sekolah lagi.

"Saya harap kamu jera, Iwan," kata Pak Anwar,

puas melihat reaksi Iwan. Dia pasti tidak berani lagi

mengulangi perbuatannya.

"Suratmu akan saya simpan baik-baik di ruang guru. Supaya setiap guru bisa

mengagumi kepandaianmu menulis surat. Ingat, kalau kamu berani menulis surat seperti ini lagi, akan

saya suruh kamu membacakannya di halaman sana!"

Sebentar saja berita itu sudah menjalar ke seluruh

kelas. Pada jam istirahat, anak-anak membicarakannya. Hari itu, surat Iwan untuk Bugi menjadi topik

yang paling hangat.

Mereka memang menertawakan Iwan. Mengejeknya. Tapi sebagian lagi justru menyesali Bugi.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keterlaluan," gerutu Nunuk jengkel "Kalau kamu

nggak mau membalas surat Iwan, kan nggak perlu

ngadu sama Suster! Kasihan kan Iwan!"

"Ah, dia kan cuma mau nampang sama Pak Zein!"

181

Lira menggunakan kesempatan yang langka itu

untuk mendiskreditkan saingannya. Kesempatan

baik. Kapan lagi. Mumpung semua orang sedang

menyesali Bugi!

"Biasa, mau narik perhatian!"

Kebetulan Bugi juga sedang jengkel. Dan dia seperti menemukan tempat pelampiasan. Tanpa berkata

apa-apa dilayangkannya tangannya ke pipi Lira.

Serentak suasana menjadi sunyi. Semua terperangah bengong. Termasuk Lira. Dia seakan-akan tak

percaya Bugi baru saja menamparnya.

Baru ketika dirasanya pipinya sakit, kemerahan

meledak di dadanya. Direnggutnya rambut Bugi. Dicakarnya mukanya.

Tapi Bugi tidak menunggu sampai kuku Lira berhasil merobek kulitnya. Ditinjunya Lira sampai jatuh

tunggang-langgang. Dan sorak riuh pecah mengiringi jatuhnya gadis itu.

Kalau Lira yang jadi korban, tidak ada yang

menyesal. Semua telinga memang telah bising mendengar hasutan-hasutannya. Dan mereka semua seperti meminjam tangan Bugi untuk memberi pelajaran

pada si Panjang Lidah.

"Bapak tidak mengerti, Bugi," keluh Pak Zein ketika Bugi dipanggil menghadap ke kantor kepala sekolah.

"Mengapa kamu berkelahi lagi?"

182

Mula-mula Bugi tidak menjawab. Dia diam saja.

Tetapi ketika Pak Zein mendesak terus dan mengulangi lagi pertanyaannya, Bugi mengangkat mukanya

dengan marah.

"Saya juga tidak mengerti mengapa Pak Zein

menjauhi saya!" geramnya menahan tangis.

Yang terkejut bukan hanya Pak Zein. Suster Katherine juga.

"Saya skors kamu tiga hari untuk keberanianmu ini, Bugi," kata Suster Katherine tegas. Pak Zein

sendiri belum dapat mengucapkan sepatah kata pun.

Masih tertegun mendengar jawaban Bugi tadi.

"Kalau

kamu berani kurang ajar lagi pada gurumu, saya akan

panggil orang tuamu menghadap."

"Suster," sela Pak Zein secepat mulutnya dapat

dibuka kembali,

"izinkanlah saya bicara berdua saja

dengan Bugi."

"Jangan terlalu diberi hati, Pak Zein," komentar

Pak Anwar tanpa diminta.

"Nanti murid-murid kita

jadi kurang ajar semua!"

"Kamu boleh pulang sekarang, Bugi." Suster Katherine menyerahkan surat yang baru saja ditulisnya.

"Berikan ini pada orang tuamu? '

Tanpa menoleh lagi pada Pak Zein, Bugi meninggalkan kantor kepala sekolah. Ketika Pak Zein hendak mengejarnya, Suster Katherine cepat-cepat menghalangi.

"Tunggu, sebentar, Pak Zein," katanya tegas.

"Saya

ingin bicara."

183

Ketika teman-temannya melihat Bugi masuk

kembali ke dalam kelas, mereka langsung mengerubunginya.

"Dapat berapa duit, Bugi?" cetus Dino separuh

bergurau.

"Kamu dimarahi Suster?" desak Rita tidak mau

kalah.

Bugi tidak menjawab. Dia membereskan bukunya.

Menjejalkannya ke dalam tas. Dan sambil menggigit

bibir, meraih tasnya.

"Mau ke mana?" desak teman-temannya penasaran.

"Pulang," sahut Bugi dengan suara tertekan.

"Diskors tiga hari."

Tanpa menunggu reaksi teman-temannya, dia

langsung keluar. Tetapi mereka masih mengikutinya.

"Karena memukul Lira?" desis Henny gemas.

"Yang betul saja! Itu sih keterlaluan!"

"Lira memang pantas dipukul kok

"Yuk ramai-ramai kita gebuk dia! Biar kita juga

ikut libur tiga hari! Kebetulan besok banyak ulangan!"

"Demonstrasi deh! Biar Suster tahu duduk perkara yang sebenarnya! Jangan sewenang-wenang menghukum!"

"Ayo!" sambar Dino segera.

"Kita menghadap Suster! Kita bilang Lira yang mulai dulu!"

184

"Lebih baik kita minta Pak Zein yang bicara!" usul

Rita.

"Suara Pak Zein lebih didengar daripada kita!"

"Jangan!" bantah Bugi.

"Aku tidak ingin melibatkan kalian!"

"Tapi putusan Suster tidak adil!"

"Hukumanmu terlalu berat, Bugil! Kamu cuma

memukul anak yang mengejekmu!"

"Hukuman ini bukan karena berkelahi dengan

Lira!" sanggah Bugi sambil menggigit bibir menahan

tangis.

"Tapi karena membentak Pak Zein!"

Lama sesudah Bugi menghilang, teman-temannya

masih tertegun tanpa tahu harus bicara apa lagi. Ada

apa dengan Pak Zein?

Mereka bukannya tidak tahu perubahan sikap Pak

Zein terhadap Bugi akhir-akhir ini. Mereka menduga semua itu gara-gara Bu Neni. Barangkali Bu Neni

cemburu. Dan Pak Zein terpaksa menjauhi Bugi. Kalau tidak mau kehilangan Bu Neni. Tapi tidak menolong Bugi dalam keadaan seperti ini betul-betul keterlaluan!

Mereka tahu bagaimana tersiksanya Bugi akibat

surat Iwan itu. Dapat dipahami kalau dia kesal. Tapi

sampai membentak Pak Zein? Apa yang telah dilakukan oleh guru mereka yang paling simpatik itu?

Ketika Pak Zein masuk ke dalam kelas, tidak ada

hingar-bingar yang biasa ditemuinya setiap hari.

Semua murid-muridnya terdiam dengan tatapan

ganjil.

Tatapan mereka penuh tanda tanya. Tapi penuh

185

pula dengan tuduhan. Dan Pak Zein tidak suka melihatnya. Dia lebih suka murid-muridnya, ribut seperti

biasa. Daripada diam seperti ini!

"Ada PR?" tanya Pak Zein seperti biasa. Hanya bukan dengan nada yang biasa. Tidak ada lagi senyum

di bibirnya. Tidak ada pula senyum di matanya. Dan

jawaban yang biasa diperolehnya pun tidak muncul.

Lira diam saja. Dia sudah kehilangan gairahnya

untuk bicara. Mukanya babak belur. Bibirnya bengkak. Tidak dibuka saja sudah cukup sakit. Apalagi

digerakkan dia diam. Lagi pula teman-temannya sedang tidak menyukainya. Dia dimusuhi oleh seluruh

kelas.

Semuanya bersimpati pada Bugi. Dan karena simpati itu pula Pak Zein tidak memperoleh jawaban.

Seluruh kelas membisu.

Beno dan Dino malah menolak mengeluarkan

buku PR-nya. Mereka diam saja, Dan Pak Zein menemukan tantangan di mata mereka.

"Ada apa?" tanya Pak Zein tersinggung. Dia memang sedang kesal.

Tidak ada jawaban.

"Kalian tidak membuat PR?"

Tetap sepi. Anak-anak perempuan menunduk.

Anak laki-laki balas menatap dengan tatapan dingin.

Cuma satu-dua anak yang mengeluarkan buku. Yang

lainnya hanya diam mematung.

"Baiklah." Pak Zein menutup bukunya.

"Saya

jawab tantangan kalian. Ada yang ingin kalian bicarakan? Bicaralah. Soal apa? Soal Iwan? Soal Bugi?"

186

Murid-muridnya saling pandang tidak ada yang

berani membuka mulut. Mereka belum tahu benar

apa yang terjadi. Jadi apa yang harus mereka bicarakan?

Mereka hanya tidak puas Bugi dihukum seberat

itu. Dan tidak puas karena Pak Zein kelihatannya tidak membantu teman mereka.

Mereka kecewa karena Pak Zein mereka yang idola itu, guru yang paling mereka kagumi dan banggakan, ternyata tidak ada bedanya dengan guru-guru

yang lain! Tidak berani pacaran dengan murid. Dan

tidak berani pula membela murid kesayangannya di

depan Suster Katherine!

Pak Zein demikian terpukul melihat sikap murid-muridnya. Apalagi hatinya sedang gundah karena sikap Bugi. Karena gadis itu diskors tiga hari.

Gara-gara dia pula. Belum lagi wejangan-wejangan

Suster Katherine yang terasa demikian tajam.

Ah, Pak Zein benar-benar pusing. Diraihnya

bukunya dengan kecewa. Dan tanpa berkata apa-apa

lagi, ditinggalkannya kelas itu.

Nunuk sudah berdiri untuk minta maaf. Tapi

Beno langsung menarik tangannya.

"Biar! Nggak ada pelajaran kan enak ! Bosan belajar terus!"

"Pak Zein marah tuh!"

"Biar dia marah! Sekali-sekali kan boleh!"

"Biar mereka tahu, bukan cuma guru yang bisa

marah! Kita juga bisa ngambek!"

187

Akhirnya aku pun kehilangan Pak Zein, pikir Bugi

di sepanjang perjalanan pulang. Satu-satunya orang

yang kuanggap sungguh-sungguh menyayangiku.

Ternyata dia sama saja dengan guru-guru yang lain.

Hanya seorang guru! Tidak lebih! Yang memperhatikan, mendidik, menjejali nasihat, melimpahkan

hukuman, memberikan pelajaran Tapi tidak pernah bisa mencintai! Cinta memang cuma permainan

anak-anak. Permainan kerbau!

Bugi menghapus air matanya ketika becaknya berhenti di depan rumah. Dia tidak mau saudara-saudaranya melihat air matanya. Dia juga tidak sudi Ibu

mengasihaninya karena melihat air mata itu.

Hari ini Bugi pulang terlambat. Dan Ibu sedang

marah-marah terus. Dia pasti sedang marah lagi.

Tapi akan diterimanya semua hukuman itu dengan

tabah. Sebagai penebus dosanya pada Iwan.

Entah di mana Iwan sekarang. Mungkin Ibu masih mengurungnya di kamar. Atau dia mengurung

dirinya sendiri. Malu keluar menemui adik-adiknya.

Rio dan Bram pasti tidak henti-hentinya megejek.

Tapi kalau Bugi mengira Rio dan Bram juga akan

mencemoohkannya, dia keliru. Bram justru tampil

membelanya ketika Ibu memarahi Bugi pulang terlambat.

"Anak-anak mengejeknya terus, Bu." Bugi sendiri

sampai menoleh. Tidak menyangka Bram akan berdiri di pihaknya, justru pada saat dia telah ditinggalkan

188

oleh semua orang! "Gara-gara surat Iwan. Kalau Bugi

tidak memukul anak itu, mereka tidak akan berhenti

menyorakinya!"
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi gara-gara perkelahian itu dia diskors tiga

hari!"

"Semua gara-gara Ibu," gerutu Bram berang.

"Buat

apa Ibu bawa surat itu ke sekolah? Sekarang semua

anak mengejek mereka. Kalau besok mereka masih

menyoraki Iwan, akan saya pukul mereka semua!"

"Eh, kamu mau diskors juga?!" belalak Ibu jengkel.

"Tidak, Bram! Ibu larang kamu berkelahi! Adukan

saja mereka pada guru!"

"Ah, percuma!" Sambil menggerutu Bram melangkah pergi meninggalkan Ibu dan Bugi.

"Mereka

belum mau diam kalau belum dihajar!"

"Awas, Bram!" teriak Ibu pensaran.

"Kalau Ibu

dengar kamu berkelahi lagi!"

Hari itu Bugi tidak mendapat hukuman. Ibu memang marah. Mengomel. Menggerutu. Tapi tidak

menghukum. Bugi dibiarkan kembali ke kamarnya.

Barangkali Ibu juga tahu, Bugi sendiri sudah

merasa terhukum. Dia tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Karena kelalaiannyalah Iwan

harus menanggung malu.

Entah di mana Iwan sekarang. Bugi hendak mencarinya untuk minta maaf. Tapi masih maukah dia

memaafkan?

189

Bugi masih ingat bagaimana tatapannya di sekolah

tadi. Begitu penuh dendam. Begitu penuh kebencian.

Ah, lengkaplah sudah kini. Teman-teman menyalahkannya. Iwan membencinya. Dan Pak Zein .....

Bugi menelungkup sedih ke atas mejanya. Pak

Zein sudah berubah! Tak ada lagi orang yang menyayanginya! Tak seorang pun!

Dan seseorang menyelinap ke dalam kamarnya.

Bugi tidak mengetahui kedatangannya sampai dia sudah berada tepat di belakangnya.

"Sori ya, Bugil: ' bisik Rio serius.

Tapi Bugi pura-pura tidak mendengar. Dibuangnya mukanya. Setan kecil! Gara-gara dia surat itu jatuh

ke tangan Ibu.

"Sori deh. Rio nggak sengaja."

Sekali lagi Bugi mendengus sambil membuang

muka.

"Rio nggak tahu ada Ibu. Lain kali nggak berani

lagi."

"Pergi!" bentak Bugi kesal.

"Nggak usah ngomong

lagi!"

"Baikan deh, Bugil," rengek Rio.

"Rio belum bikin

PR nih."

"Sana, pergi!"

"Bugil marah, ya?"

"Pikir saja sendiri!"

"Jangan marah dong ...."

"Mau pergi nggak?" bentak Bugi marah.

"Duh, galak amat sih! Masa begitu saja marah? Si

190

Iwan memang kurang ajar kok! Biar saja dia dipermak Suster!"

Dengan jengkel Bugi mendorong Rio.

"Keluar!" geramnya gemas.

Tetapi Rio memang nakal. Merasa dirinya akan

jatuh, cepat-cepat dipegangnya lengan Bugi. Dijatuhkannya dirinya ke lantai. Sambil jatuh, dia menyeret

tubuh Bugi pula. Dan Bugi yang tidak menyangka,

kehilangan keseimbangan. Dia jatuh menindihi Rio.

"Aduh!" teriak Rio pura-pura kesakitan. Padahal

kedua belah tangannya digunakannya untuk menggelitiki pinggang Bugi.

"Rio!" jerit Bugi sambil menggeliat geli. Dia menggulingkan tubuhnya, menjauh.

Tetapi Rio malah menubruknya sambil tertawa-tawa. Digelitikinya pinggang Bugi sampai gadis

itu kewalahan.

Akhirnya kesabaran Bugi habis. Ditamparnya pipi

Rio sekuat-kuatnya. Ketika anak itu sedang tertegun

antara sakit dan tidak percaya, Bugi menampar pipinya yang sebelah lagi.

"Bugil" bentak Ibu dari ambang pintu kamar.

"Apa-apaan ini?!"

"Rio jail, Bu!"

"Bugil nggak mau ngajarin Rio, Bu!" sambung

Rio tidak mau kalah. Diusap-usapnya pipinya sambil

menyeringai kesakitan.

"Kalau tidak mau ngajar adik sendiri ya sudah!"

geram ibu berang. Dengan sengit diraihnya lengan

191

Rio. Dihelanya sampai Rio terpaksa berdiri.

"jangan

dipukuli! Kamu tidak berhak memukuli Rio seperti

itu! Ibu saja belum pernah menamparnya!"

Dengan jengkel Ibu menyeret Rio keluar dari kamar Bugi.

"Sudah! Jangan minta diajari sama dia lagi! Nanti

Ibu carikan guru yang bisa memberimu les tambahan!" Dibantingnya pintu sampai tertutup. Dan ditinggalkannya Bugi yang masih tertegun bengong.

"Berani dia kurang ajar pada anak-anak kita,"

gerutu Bu Narsih di depan Pak Dadang.

"Tiap hari

lagaknya makin melunjak! Siapa sih dia kira dia itu?!"

"Sudahlah, Bu," keluh Pak Dadang bosan.

"Ini kan

cuma pertengkaran anak-anak!"

"Tapi dia berani menampar Rio di depan mataku!

Sampai dua kali, Pak!"

"Mungkin Rio yang nakal." '

"Rio memang nakal. Tapi kan bukan baru sekarang dia nakal!"

"Sudahlah, soal kecil buat apa dibesar-besarkan?"

"Bapak tidak marah anak sendiri dipukuli orang

lain?"

"Lho, Bugi kan anak kita juga, Bu!"

"Tidak! Dia anak si Jabrik! Bukan darah daging

kita!"

"Bu!"

192

"Sudah keterlaluan dia! Dikiranya sudah cantik,

sudah banyak yang naksir, jadi bisa berbuat seenaknya saja!"

"Jangan begitu, Bu! Hati-hati dengan mulutmu.

Kalau terdengar Bugi, nanti dia sedih!"

"Biar!"

"Kita sudah menganggapnya anak sendiri, Bu!"

"Tapi dia belum menganggap Rio adiknya!"

"Mungkin Rio yang nakal? '

"Rio cuma minta diajari matematik. Dia tidak bisa

membuat PR-nya. Bugi tidak mau."

"Kalau Bugi tidak mau, kenapa tidak minta pada

Iwan? Atau Bram?"

"Mereka juga tidak mau!"

"Nah, kenapa Ibu tidak marah pada Bram? Kenapa cuma pada Bugi?"

"Karena Rio minta pada Bugi! Dan Bugi berani

memukulnya!"

"Sudahlah, panggil saja Bugi ke sini. Biar aku yang

bicara."

"Tidak usah! Buat apa?! Memangnya cuma

dia yang bisa mengajari Rio? Besar kepala! Mentang-mentang pintar. Besok aku cari guru untuk Rio.

Biar dia les tambahan di rumah."

"Boleh saja. Tapi jangan memusuhi Bugi, Bu. Belum tentu dia yang salah."

"Ala, Bapak ini memang terlalu memanjakannya!

Begini akibatnya! Babu sudah merasa jadi putri! Lebih dari anak!"

193

"Jangan bicara begitu, Bu! Kasihan kan Bugi!"

"Aku juga kasihan padanya, Pak. Siapa bilang tidak? Akhir-akhir ini aku malah sudah mulai sayang

padanya! Aku menganggapnya seperti seperti

" Bu Narsih membuang mukanya dengan kesal.

"Seperti anak perempuan kita sendiri! Tapi apa balasannya terhadap kita? Aku sendiri yang minta dia mengajari Rio, Pak. Apakah itu terlalu banyak? Apakah

permintaanku terlalu sulit?"

"Biasanya juga Bugi mau mengajari Rio, kan?

Tiap malam dia yang bersusah payah menerangkan

matematik kepada Rio. Malam ini mungkin dia sedang kesal. Suratnya diambil oleh Rio. Dia juga manusia kan, Bu. Punya perasaan. Masa cuma Ibu yang

boleh kesal, Bugi tidak?"

"Ah. Bapak ini, memang pintar omong. Selalu

membela Bugi!"

"Bukan begitu, Bu," kilah Pak Dadang sabar. Suara Bu Narsih mulai melunak. Dan Pak Dadang tahu,

itu tanda kemarahannya sudah mereda.

"Aku cuma

mencoba berlaku adil. Bugi anak kita juga. Dan aku

bangga padanya. Dia cantik. Pintar. Rajin. Mau apa

lagi?"

"Tapi tidak sepatuh yang kita harapkan!"

"Itu memang sudah sifatnya. Tapi aku lebih suka

yang begitu dari pada yang cuma menurut saja tapi

bodoh seperti si Maman

"Kalau si Maman tidak naik lagi tahun ini, lebih

baik dia berhenti saja, Pak. Percuma disekolahkan

kalau memang otaknya bebal!"

'"

194

"Nah, ganti acara sekarang."

"Serius, Pak. Dia sendiri sudah malas sekolah.

Sakit sedikit terus tidak masuk! Malas!"

"Tapi aku wajib membekalinya ilmu, Bu. Dia harus lulus SD. Sesudah itu dia boleh pilih, mengikuti

kursus apa saja yang disukainya."

"Ah, dia sudah kepingin kerja kok."

"Mau kerja apa kalau SD saja tidak lulus?"

"Wiraswasta barangkali," sahut Bu Narsih acuh

tak acuh.

"Atau kuli pabrik seperti bapaknya!"

"Jangan omong begitu, Bu! Aku tidak rela dia jadi

kuli pabrik! Bagaimanapun, dia mesti punya kedudukan yang lebih baik daripada bapaknya. Kalau tidak,

percuma saja kupungut dia."

"Jangan terlalu dimanja. Pak. Nanti si Maman jadi

besar kepala. Tukang membantah seperti Bram!"

"Ah, tidak mungkin, Bu. Si Maman anak baik.

Patuh. Penurut pula."

"Ya, semua itu kan aku yang mendidiknya. Kutanamkan disiplin yang keras di rumah ini. Apa Bapak sanggup mendidiknya seperti itu juga di pabrik?

Hhh, Bapak sih terlalu lembek. Jangan-jangan dia

jadi bertambah malas nanti."

"Si Maman memang bodoh. Tapi aku yakin, dia
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setia seperti bapaknya. Akan kudidik sebaik-baiknya

di pabrik paling tidak sebagai kasir? '

195

Malam itu hanya Bram dan Rio yang hadir di ruang belajar. Arman sudah sejak kemarin sakit. Dan

dalam suasana rumah yang panas begini, dia merasa

lebih aman berkurung di dalam kamarnya sendiri.

Salah-salah dia bisa ikut kecipratan kemarahan Ibu.

Hhh. Mendengar suaranya saja kalau Ibu sedang

murka, Arman sudah gemetaran. Biarpun bukan dia

yang dimarahi.

Iwan tidak keluar dari kamarnya sejak siang. Begitu pulang sekolah, dia langsung mengubur diri di

dalam kamar. Tidak mau makan. Tidak mau mandi.

Apalagi belajar.

Sudah bosan Ibu bolak-balik ke kamarnya. Iwan

berkerudung selimut di tempat tidur. Dan tidak mau

berkata sepatah pun.

Matanya terpejam rapat. Meskipun Ibu tahu Iwan

tidak tidur. Percuma dimarahi. Dia seperti tidak

mendengar apa-apa.

Akhirnya Ibu bosan sendiri. Lelah marah-marah

terus. Dibujuknya Iwan supaya makan. Tapi Iwan

tidak bergerak sama sekali. Ketika Ibu mengguncang-guncang tubuhnya, Ibu terkejut sendiri. Badan

Iwan panas.

"Coba bujuk dia supaya makan sedikit, Pak," keluh

Ibu putus asa.

"Supaya bisa minum obat. Badannya

panas."

"Sudah begini baru aku disuruh maju,' ' gerutu Pak

Dadang kesal.

"Ibu sih terlalu keras mendidik anak!"

"Lho, aku lagi yang disalahkan!" belalak Bu Narsih tersinggung.

"Masa aku harus diam saja melihat

anak-anakku pacaran? Astaga, buang ingus sendiri

saja belum bisa, sudah mau pacaran!"

"Tapi bukan demikian caranya mengajar anak,

Bu!"

"Habis bagaimana?!"

"Iwan lain dengan Bram. Berbeda dengan Rio. Dia

lebih perasa. Tidak perlu Ibu menghukumnya seperti

itu!"

"Seperti apa? Aku hanya memarahinya. Menamparnya seperti biasa. Kata-kata saja tidak mempan

buat remaja yang sedang nakal-nakalnya seperti dia!"

"Ibu bukan hanya memarahinya. Bukan cuma

menamparnya. Ibu mengurungnya dan membeberkan suratnya di depan anak-anak! Buat apa?"

"Supaya dia malu dan jera berbuat begitu lagi!

Dan supaya Bram dan Rio tidak mengikuti jejaknya!"

"Nah, sekarang dia malu sekali. Keluar saja tidak

mau."

"Biar kalau dia tidak mau keluar. Tapi dia harus

makan. Harus minum. Supaya jangan sakit!"

"Nah, cobalah bujuk dia supaya makan."

"Ah, Bapak ini mau enaknya sendiri saja. Anakanak selalu urusanku. Tidak mau tahu sama sekali!"

"Iwan takut pada Ibu. jadi Ibu yang harus membujuknya."

Tapi siapa pun yang membujuknya, sia-sia saja.

Semakin malam, orang tuanya semakin kuatir. Diamdiam ada segurat penyesalan menyelinap ke dalam

hati Bu Narsih.

197

Iwan tidak menjawab sepatah kata pun. Tidak

mau membuka matanya. Tidak mau bergerak.

"Sudahlah," keluh Pak Dadang akhirnya.

"Besok

kita bawa dia ke dokter."

"Semua salahmu," gerutu Bram di ruang belajar.

Sejak tadi tidak ada satu kalimat pun yang mampu dihapalnya.

"Kamu yang konyol! Bercanda kelewatan!"

"Rio juga nyesel, Bram," keluh Rio murung. Dia

juga belum dapat membuat PR. Belum satu nomor

pun. Melamun terus sejak tadi.

"Bugil pasti marah

sekali. Dia nggak mau baikan lagi ya, Bram?"

"Tau, tanya aja sendiri. Kolokan sih."

Rio menghela napas. Dia merasa serba salah. Sekarang seluruh rumah memusuhinya. Padahal dia

cuma main-main. Cuma ingin menggoda Bugi. Dia

tidak menyangka sampai sebegitu hebat akibatnya.

Tadi Rio bertemu Bugi di belakang. Bugi baru

keluar dari kamar Arman. Mengantarkan makanan.

Tapi dia pura-pura tidak melihat.

Ketika Rio memanggilnya, Bugi tidak menoleh.

Dia berjalan terus. Dan mukanya! Waduh, masamnya! Tatapannya sama pahitnya seperti suaranya ketika

dia membentak.

"Sudah, jangan dekat-dekat, nanti Bugi lagi yang

disalahkan ibu!"

"Rio minta maafdeh, Bugil," kata Rio serius. Dike

198

jarnya terus gadis itu. Biar ke kamarnya sekalipun.

Tetapi Bugi sudah menutup pintu kamarnya. Dan

Rio terpaksa tinggal di luar.

Dalam keadaan biasa, Rio pasti menggedor-gedor

pintu itu. Sampai Bugi terpaksa, keluar. Atau membiarkannya masuk. Tapi malam ini wah, jangan coba-coba! Ibu bisa ngamuk!

Terpaksa Rio pergi. Mengendap-endap dia melangkah ke kamar Iwan. Dia harus menjelaskan kepada abangnya, Bugi tidak bersalah. Bukan dia yang

memberikan surat itu.

Rio juga ingin menjelaskan, dia tidak sengaja

mencelakakan Iwan. Dia cuma main-main. Tapi Ibu

ada di sana. Ayah juga. Baru juga Rio sampai di ambang pintu, Ayah sudah mengusirnya pergi.

"Sana, belajar saja," kata Ayah tegas.

"Iwan sakit.

Jangan ribut di sini!"

Belajar. Belajar. Belajar. Huh! Cuma itu yang ada

dalam pikiran Ayah! Padahal mana bisa orang belajar

dalam keadaan seperti ini? Tidak ada suasana belajar

sama sekali! Bram juga cuma bengong saja sejak tadi.

Entah apa yang dipikirkannya.

Semalam-malaman Pak Zein, tidak dapat tidur.

Kata-kata Bugi yang tajam menerpa telinganya hampir setiap dia menarik napas.

"Saya juga tidak mengerti mengapa Bapak men

199

jauhi saya!" Kata-kata itu tidak diucapkan dengan

penuh kebencian. Tidak. Sama sekali tidak ada nada

benci dalam suara Bugi, maupun dalam tatapannya.

Pak Zein malah mendengar nada basah dalam

suara gadis itu. Getir. Pahit. Sakit hati. Kecewa. Dia

pasti mengucapkannya dengan separuh menangis.

Padahal Bugi tidak pernah menangis!

Sampai sebegitu jauhkah aku telah menyakiti hatinya, pikir Pak Zein sedih. Mengecewakan harapan

seorang gadis yang selalu dirundung malang!

Mengusir bayang-bayang kebahagiaan yang baru

saja menghampirinya Baru saja ditemukannya seseorang yang penuh pengertian. Yang dapat memberinya perhatian dan kasih sayang Sekarang ternyata

orang itu sama saja dengan yang lainnya!

Ah, belum pernah Pak Zein merasa hatinya begini

sakit. Hanya karena dia telah menyakiti Bugi!

Mengapa dia harus melarikan diri dari perasaan

yang sebenarnya? Mengapa dia harus bersembunyi

di balik predikatnya sebagai seorang guru? Mengapa

ditinggalkannya Bugi seorang diri di luar sana?

O, dia benar-benar pengecut! Pantas saja semua

muridnya ikut memusuhinya! Tapi bukankah semua

itu dilakukannya juga demi kebaikan Bugi? Supaya

dia tidak digosipkan ada main dengan gurunya?

Supaya prestasinya di sekolah tidak diragukan karena

hubungannya dengan salah seorang guru?

"Saya harap Pak Zein tidak akan mengecewakan

saya." Terngiang kembali kata-kata Suster Katherine

200

dua bulan yang lalu.

"Demi nama baik sekolah kita? '

Apa sebenarnya yang telah dilakukannya terhadap

Bugi sampai merusak nama baik sekolah mereka?

Dia hanya memberikan perhatian dan kasih sayang!

Salahkah itu?

"Salah karena dia muridmu!" Kata-kata Bu Neni

yang tandas dan tegas melintas lagi di otak Pak Zein.

"Bukan putrimu! Bukan pula pacarmu!"

Jadi hanya kepada anak dan kekasih saja kita

boleh memberikan kasih sayang? Ah, kalau begitu

lebih baik dia berhenti saja jadi guru! Daripada harus

melawan suara hatinya sendiri!

Sebagai orang awam, dia bebas memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan Bugi. Dia

akan menganggap gadis itu sebagai adiknya. Sebagai

teman. Atau persetan, sebagai apa saja, asal dia bahagia!

201

BAB X

SEBENARNYA Bugi tidak ingin pergi ke warung mesum itu lagi. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri

tidak akan pergi lagi ke tempat-tempat seperti itu.

Tapi itu dulu. Waktu Bugi masih memiliki Pak

Zein. Masih memiliki sedikit harapan kebahagiaan

Masih memiliki senyumnya yang menarik itu. Masih memiliki waktunya hari-harinya

Sekarang? Apa lagi yang diharapkannya? Apa lagi

yang masih dimilikinya? Dan orang tua angkatnya ternyata sia-sia saja mengharapkan kasih sayang mereka pengakuan mereka

"Berani dia kurang ajar pada anak-anak kita!"

Terngiang kembali kata-kata Bu Narsih di depan Pak

Dadang. Kata-kata yang masih sempat didengar Bugi.

"Tiap hari lagaknya semakin melunjak! Siapa sih dia

kira dia itu?! Babu sudah merasa jadi putri!"

Ada yang terasa nyeri di dalam sini. Bugi merasa pedih. Amat pedih. Di mana sebenarnya letak hati

itu? Mengapa rasa sakitnya terasa di seluruh tubuh?

Sia-sia mengharapkan pengakuan mereka!

Bagaimanapun dia tetap bukan anak mereka! Dia

bukan siapa-siapa! Tidak punya siapa-siapa!

Ah, alangkah leganya dada ini seandainya dia bisa

menangis. Bisa menumpahkan kepengapannya kepada orang lain. Tapi siapa yang mau mendengarkan

keluh kesahnya? Kepedihan-kepedihannya? Dia tidak punya siapa-siapa!

202

Dan Bugi tidak bisa menangis seorang diri di tempat tidur! Dia tidak bisa hanya mengadu pada sepotong bantal! Lebih baik dia keluar. Pergi ke tempat di

mana masih ada senyum yang dapat dimilikinya
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi masih adakah dia di sana?

Dios baru saja keluar dari dalam kamar wanita

langganannya ketika dilihatnya ada keributan di

warung tempatnya biasa minum. Sebenarnya dia segan ke sana. Capek-capek begini buat apa lagi melibatkan diri dalam perkelahian?

Tetapi setiap kali lewat di sana, Dios memang selalu memerlukan untuk menengok lebih dahulu ke

dalam. Siapa tahu ya, siapa tahu ..... orang yang

ditunggunya

Ah, anak itu tidak pernah muncul lagi. Entah ke

mana dia. Namun malam ini pun Dios tidak melupakan, kebiasaannya. Menoleh ke dalam. Mencari seseorang. Meskipun selalu diakhiri dengan helaan napas kecewa.

Aneh memang. Bagaimana dia bisa jatuh cinta

pada anak SMP? Anak laki-laki pula! 0, dia takut!

Amat takut. Takut kehilangan kejantanannya!

Dan ketakutan itu yang memaksanya semakin

sering mencoba. Beberapa kali memang gagal. Terutama kalau dia sedang sangat ketakutan.

Tetapi setiap kali dia berhasil mengusir pikiran

203

yang megacaukan perasaannya, setiap kali itu pula

dia berhasil. Jadi dia masih mampu. Masih sehat. Masih seorang laki-laki dan Dios terhenyak kaget!

Di dalam sana, di meja yang sama, ada seorang

anak perempuan Ah, seorang anak perempuankah

itu? Rambutnya pendek. Tapi modis. Rapi. Wajahnya

manis. Dia mengenakan kemeja dan jeans ....Tapi ada

bukit yang menonjol di balik kemejanya Dia pasti

bukan anak laki-laki! Bukan orang yang dicarinya!

Tapi gadis itu naik ke atas bangkunya. Dan mengayunkan botol yang dipegangnya ke kepala laki-laki

yang mengganggunya .....

Dios kenal gaya itu. Dan bersamaan dengan tempik sorak riuh yang mengiringi jatuhnya laki-laki itu

mencium tanah, Dios menerobos masuk.

Gadis itu menoleh. Dan matanya berpapasan dengan mata Dios yang sedang menatap antara terkejut

dan heran.

"Bugi. ?" tak sadar Dios menggumam.

Ada kegembiraan menyelinap di hati Bugi ketika

dia melihat pemuda itu. Tetapi kegembiraannya tidak

bertahan lama. Dios tidak tersenyum. Tidak ditemukannya senyum yang dicari-carinya itu! Di sini pun

tidak ada senyum baginya!

"Kamu pasti Bugil" desis Dios antara ketidakpercayaan dan kebahagiaan.

"jadi kamu seorang gadis!

Dan saya saya saya tidak sakit!

"Hai, minggir!" Seseorang menyentakkan bahu

Dios ketika dia berusaha menghampiri Bugi.

"Dia

gadisku! Aku yang melihatnya duluan!"

204

Ketika Dios berusaha melepaskan pegangan itu di

bahunya, sebuah, jotosan melanda rahangnya. Dios

jatuh tunggang langgang menabrak meja.

Tetapi itu pun tidak sempat tertawa terlalu lama.

Begitu dia berbalik menghadap Bugi, sebuah tendangan mampir di selangkangannya. Selagi dia membungkuk kesakitan, Dios merenggut bahunya dan

meninju mukanya. Kemudian sebelum kegaduhan

merambat ke mana-mana, ditariknya tangan Bugi

keluar dari warung itu.

"Mengapa nggak pernah bilang kamu perempuan?" sesal Dios ketika membawa Bugi menjauhi

warung itu. Tentu saja dengan gembira.

"Buat apa?" Bugi balas bertanya acuh tak acuh.

"Kamu juga nggak pernah tanya, kan?"

"Berbulan-bulan saya mengira saya ini sakit.

Mencintai seorang pemuda."

"Cinta?" Bugi menoleh dengan terkejut. Matanya

menatap Dios tanpa berkedip.

"Ya, cinta." Dios membalas tatapan Bugi dengan

serius.

"Mustahil kamu belum pernah dengar. Tidak

pernah ada seorang pemuda yang menyatakan cinta

padamu?"

Bugi menggeleng. Ditundukkannya kepalanya.

Disepaknya kerikil-kerikil kecil yang menghalangi

langkahnya.

205

"Tidak ada yang mencintai saya."

"Sekarang ada, Bugi." Dios mengambil tangan

gadis itu dan menggenggamnya erat-erat.

"Saya benar-benar mencintaimu!"

"Tidak mungkin."

"Tidak mungkin katamu ?"

"Kamu tidak tahu siapa saya. Saya pun tidak kenal siapa kamu. Dan kita baru dua kali berjumpa.

Sedangkan orang-orang yang tinggal serumah berbulan-bulan, orang yang tiap hari saya temui, di sekolah, tidak ada yang mencintai saya!"

"Cinta tidak dapat dipaksa, Bugi. Tidak dapat

diharapkan tumbuh meski tiap hari berjumpa! Tapi

sekali dia datang, kamu tidak dapat lagi mengusirnya

pergi walaupun kita lama tak berjumpa!"

"Tapi bagaimana saya tahu saya mencintaimu?"

"Kamu mencari saya, bukan? Kamu merasa kehilangan? Nah, itu tandanya kamu mencintai saya,

Bugil"

"Ya, saya memang merasa kehilangan. Tapi baru

malam ini Baru malam ini saya tiba-tiba ingin menemuimu ..."

Dios meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

Bugi memang tidak melawan. Tidak menolak. Tapi

tubuhnya mengejang seperti sebatang besi. Kaku.

Kering. Tanpa emosi. Tanpa kegairahan. Tanpa kehangatan.

"Pejamkan matamu, Bugi," bisik Dios lembut. Diangkatnya dagu gadis itu. Ditatapnya matanya yang

206

polos itu dengan mesra.

"Saya akan menciummu.

Dan kamu akan segera tahu, apakah kamu mencintai

saya."

Dengan patuh Bugi mengikuti anjuran Dios.

Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Dibiarkannya

bibir Dios menyentuh bibirnya.

"Bagaimana?" bisik Dios lembut. Penuh harap.

Bugi membuka matanya dengan heran.

"Bagaimana apanya?"

"Kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Dios bingung. Kecewa.

"Saya hanya merasa bibirmu menyentuh bibir

saya."

"Kalau begitu pejamkan lagi matamu!"

Kali ini Dios tidak menunggu lagi. Dan kali ini,

dia bukan hanya mencium. Dia memagut bibir gadis

itu. Dan mengulumnya sampai Bugi kehabisan napas

dan meronta lepas.

"Bagaimana?" desak Dios penasaran.

"Bibir saya sakit!"

Astaga, Dios menghela napas. Dilepaskannya pelukannya.

"Kamu masih anak-anak," gumamnya antara pasrah dan kecewa.

"Berapa umurmu?"

"Lima belas."

"Sudah dapat haid?"

"Apa hubungannya dengan haid?"

"Sudahlah." Dios meraih tangan gadis itu dan

meremasnya dengan gemas.

"Bagaimanapun saya

207

lebih suka gadis yang masih polos dan belum berpengalaman seperti kamu. Dengar, akan saya antarkan kamu pulang. Jangan kembali lagi ke tempat tadi.

Atau tempat-tempat lain semacam itu. Kamu tidak

perlu lagi mencari saya. Tidak perlu lagi ikut-ikutan

teman-temanmu. Saya akan datang seminggu sekali

ke rumahmu. Setiap malam Minggu. Mulai hari ini

saya akan melindungimu. Mencintaimu. Membuatmu bahagia. Kamu tidak perlu mencari siapa-siapa

lagi. Kamu punya saya!"

Pak Zein belum tidur ketika seseorang menerjang

pintu kamarnya. Dia menggelinjang bangun dengan

terkejut. Dan menyalakan lampu. Dios menerobos

masuk. Langsung menyerbunya di tempat tidur.

"Aku tidak sakit, Zein! Aku sehat! Aku laki-laki normal!" katanya tanpa titik koma lagi. Diguncang-guncangnya bahu Pak Zein yang masih duduk

kebingungan di tempat tidurnya.

"Sekarang kau malah lebih mirip orang sakit!"

gerutu Pak Zein jengkel.

"Kenapa? Sudah ketemu

pacar baru? Perempuan yang cantiknya bukan alang-kepalang?"

"Dia perempuan, Zein! Dia seorang gadis! Bukan

laki-laki! Aku normal, Zein! Aku tidak sakit!"

Dios menyeret sebuah kursi dan duduk di dekat

Pak Zein. Karena terlalu terburu-buru, kursi itu ham

208

pir saja terbalik. Tetapi Dios tidak peduli. Wajahnya

berseri-seri. Matanya berlumur kegembiraan. Bibirnya seakan-akan hampir tak cukup lebar lagi untuk

menampung senyumnya.

"Jadi kau ketemu dia," gumam Pak Zein sambil

menghela napas. Tangannya sudah terulur untuk memadamkan lampu. Tetapi Dios serta-merta mencegahnya.

"Dengar dulu, Zein!"

"Apa lagi? Kau sudah ketemu dia, kau tahu dia

perempuan, kau tahu kau tidak sakit. Lalu apa lagi?

Aku mau tidur!"

"Bawa aku ke dokter, Zein! Bawa aku ke dokter

yang paling pandai! Temanmu kenalanmu atau

siapa saja! Aku mau berobat!"

"Kenapa? Dia seorang pelacur? Pelacur yang

berkedok anak sekolah?"

"Dia benar-benar anak sekolah, Zein! Masih murni!"

"Tapi kautemukan dia di tempat seperti itu, bukan?"

"Tapi dia lain, Zein! Dia cuma ikut-ikutan teman!"

"Kau kan tidak tahu dia masih murni atau tidak?

Jangan terburu nafsu, Dios. Nanti kau menyesal. Banyak perempuan nakal yang menyamar jadi anak sekolah. Berlagak masih suci."

"Tapi aku yakin dia tidak, Zein! Nah, dicium saja

masih tidak mengerti apa-apa!"

"Kaucium dia?" Pak Zein tersenyum sambil meng

209

gelengkan kepalanya.

"Kau tidak takut memindahkan

kuman-kuman sifilis-mu padanya?"

"Hah?" Dios hampir saja tergelincir dari kursinya.

"Bisa menular dengan cara seperti itu, Zein?"

"Sifilis bisa menular melalui ciuman, Dios!"

"Kalau begitu besok harus kaubawa aku berobat,

Zein! Ke dokter mana saja, aku tidak peduli! Aku tidak peduli disuntik, diperiksa darah, atau dibedah
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekalipun, aku rela! Asal sembuh, Zein. Aku tidak

mau menularkan penyakit ini kepadanya!"

"Bagus sekali kalau kau sudah punya kesadaran begitu, Dios. Mudah-mudahan kali ini kau serius. Dan mudah-mudahan anak sekolah ini dapat

menarikmu dari dunia hitam yang telah kaujelajahi

selama bertahun-tahun!"

"Petualanganku telah berakhir, Zein. Ingat apa kata-katamu dulu? Kau bilang aku harus berobat sampai sembuh betul baru boleh menikah. Agar tidak

menularkan penyakitku pada anak-istriku!"

"Waktu itu kau malah tidak percaya ada perkawinan dalam hidupmu." Pak Zein tersenyum.

"Kau bilang, kau baru akan menikah bila sudah kautemukan

perempuan yang kaucintai. Padahal yang kaucintai

saat itu seorang laki-laki!"

"Sekarang sudah kutemukan gadis yang kucintai,

Zein! Gadis yang membuatku berpikir tentang perkawinan. Tapi aku tidak akan kawin sebelum sembuh, Zein! Aku harus berobat! Sampai sembuh betul.

Dan aku tidak mau main-main lagi dengan wani

210

ta-wanita begituan. Aku sudah jera. Aku tidak akan

ke sana lagi. Tolonglah aku, Zein, bawa aku besok kepada doktermu!"

"Tentu, Dios. Tapi kau tidak akan menikah bulan

depan, kan? Gadismu masih sekolah."

"Aku akan menunggunya, Zein. Sampai dia cukup

dewasa. Sementara itu, aku juga harus melanjutkan

kuliahku. Kuliahku yang sudah lama terlantar."

"Syukurlah, Dios. Aku benar-benar gembira kau

sudah sadar."

"Bagaimana dengan kau, Zein? Akhir-akhir ini

kulihat kau sudah akrab lagi dengan Neni. Kenapa?

Muridmu sudah punya pacar baru? Guru yang lebih

ganteng daripadamu barangkali? Atau teman sekelasnya yang pintar main voli? Atau anak SMA yang

jago ngebut? Atau mahasiswa tetangganya yang biasa

ngebrik?"

"Kau tidak mengerti, Dios. Persoalanku tidak

sesederhana hubunganmu dengan anak sekolahmu

itu. Muridku ini anak yatim-piatu. Ayahnya dibunuh orang ketika sedang menjalankan tugas. Ibunya meninggal kena wabah kolera. Dia diangkat anak

oleh sebuah keluarga. Bekas majikan ayahnya. Dia

disekolahkan. Diberi tempat tinggal. Diberi makan.

Pakaian. Tapi tidak pernah diberi perhatian dan kasih

sayang. Aku yang memberi kedua hal yang dibutuhkannya itu, Dios. Karena cuma aku yang mengerti

penderitaanya dan tahu apa yang didambakannya.

Ketika dia sudah menemukan apa yang dicarinya,

211

dia sudah menganggapku sebagai guru, sahabat,

ayah, tiba-tiba orang-orang menggosipkan hubungan

kami. Dan aku melakukan suatu kebodohan, Dios.

Aku mengundurkan diri. Menjauhkan diri darinya.

Membiarkan dia kembali mencari-cari pegangan dalam dunianya yang gersang. Dia merasa ditinggalkan,

Dios. Dan dia meledak. Semua salahku. Aku menyesal sekali."

"Belum terlambat, Zein. Dia masih hidup, kan?

Nah, temui dia. Terangkan segalanya. Jangan dengarkan mulut orang lain. Kau mau jadi apanya? Gurunya? Ayahnya? Temannya? Pacarnya ? Nah, pilih salah

satu. Habis perkara!"

"Tidak semudah itu, Dios. Dia kan muridku? '

"Waktu yang akan menentukan, Zein. Tiap hari

umur muridmu akan bertambah. Dan kalau seorang

gadis remaja menjadi dewasa, dia bisa berubah, Zein.

Yang penting, kau harus bersikap tegas pada Neni.

Kasihan dia menunggu-nunggumu terus. Umurnya

sudah cukup untuk menikah. Kalau kau memang tidak mencintainya, buat apa berpura-pura dan membiarkannya menunggu terus?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan Neni!"

"Kau bisa membohongi Neni, Zein. Tapi kau tidak

bisa menipuku! Kau mencintai muridmu!"

"Tidak sebagai kekasih, Dios," sahut Pak Zein tegas.

"Ada jalinan kasih sayang yang lebih murni dan

lebih agung yang dapat kuberikan padanya. Cinta dapat putus karena kesalahpahaman, cemburu,

212

atau orang ketiga. Tapi kasih sayang tidak. Perasaan

itu abadi, tulus, tanpa mengharapkan balasan. Tidak usang oleh waktu, tidak lekang oleh kebosanan.

Perasaan yang hanya ingin memberi, melindungi,

dan membahagiakan."

213

BAB XI

"SAYA merasa Bugi telah diperlakukan dengan tidak

adil. Suara Pak Zein yang tegas menggema lantang di

tengah-tengah suasana rapat keesokan harinya.

"Kalau Bugi diskors tiga hari, seharusnya saya juga diskors karena saya juga ikut bersalah."

Dengung komentar mulai terdengar di sana-sini.

Tapi cuma Pak Anwar yang cukup cepat memberi

tanggapan.

"Kalau setiap guru memperlihatkan solidaritas

terhadap anak emasnya yang dihukum, pasti tiap hari

ada guru yang tidak masuk, Pak Zein!"

"Ini bukan solidaritas buta, Pak Anwar," bantah

Pak Zein mantap.

"Saya merasa bertanggung jawab

pada Bugi."

"Pak Zein memang wali kelasnya," sanggah Bu

Ning.

"Tapi kita semua juga gurunya. Artinya kita

semua harus ikut bertanggung jawab pula? '

"Pak Zein mungkin hanya ingin mengatakan, dia

yang merasa paling dekat dengan Bugi," sindir Bu

Lies sambil, tersenyum sinis.

"Kita tidak bisa memperlakukan Bugi dengan

adil kalau pandangan kita masih dilandasi oleh kecurigaan terhadap hubungan Bugi dengan Pak Zein,"

kata Bu Sumiati terus terang.

"Dalam hal ini saya

kira Pak Zein-lah yang paling tahu. Jadi lebih baik

Pak Zein yang menjelaskannya lebih dulu. Tapi apapun keterangannya, kita harus menerimanya dengan

lapang dada."

"Bugi lahir dari keluarga miskin," kata Pak Zein

tanpa berpikir lagi. Apa pun alasan dilakukannya

untuk membela Bugi. Dia sudah menanyakan pada

murid-muridnya mengapa Bugi sampai berkelahi.

Dia bahkan sudah mendapat keterangan dari Bram,

apa yang terjadi di rumah. Dan Pak Zein merasa dia

harus bertindak untuk menolong gadis itu.

"Dia anak

sulung. Adik-adiknya banyak. Ayahnya jarang di rumah. Siang bekerja di pabrik. Malam masih di sana

sebagai penjaga malam. Bugi dituntut untuk menjadi pengganti ayah di rumah. Tapi sebaliknya, dia

sendiri kehilangan figur ayah. Ayahnya meninggal

waktu Bugi berusia empat tahun. Umur tujuh tahun,

dia sudah harus bekerja keras seperti seorang anak

laki-laki. Menggembalakan kambing. Memandikan

kerbau. Mencangkul kebun. Mencari kayu bakar. Kita

melihat penampilannya yang kelaki-lakian sebagai

kelainan. Mula-mula saya juga berpendapat begitu.

Baru setelah mengetahui latar belakang kehidupannya yang keras itu, saya mengerti, penampilan dan

sikapnya itu cuma sebuah akibat. Karena itu saya yakin, Bugi masih dapat diperbaiki? '

"Dalam hal ini, Pak Zein memang berhasil," potong Suster Katherine tanpa seulas senyum pun di

bibirnya. Sejak tadi dia belum berkata sepatah pun.

Tapi begitu dia berbunyi, suaranya didengar oleh

guru yang paling mengantuk sekalipun.

"Tapi saya

215

tidak ingin Bugi menyalahartikan kebaikan Pak Zein.

Nanti semua murid kita menjadi kurang ajar dan

guru akan kehilangan wibawa? '

"Guru memang harus memiliki wibawa, Suster," sahut Pak Zein, hormat tapi tegas.

"Tapi bukan

cuma itu. Guru harus punya hati, perasaan, telinga,

perhatian, simpati pada murid-muridnya, terutama

yang paling punya problem seperti Bugi. Kita harus

menjadi pengajar, pendidik, sekaligus pelindung dan

sahabat mereka!"

"Saya keberatan," protes Pak Anwar tegas.

"Antara

guru dengan murid tetap harus ada jarak! Tanpa itu,

murid akan kehilangan, respek. Dan kita kehilangan

wibawa."

"Buktinya Pak Zein sendiri," sambung Bu Lies

puas,

"Karena terlalu jauh mengadakan pendekatan,

Bugi jadi berani kurang ajar!"

"Bugi tidak pernah berlaku tidak sopan, Bu

Lies. Apa yang diucapkannya hari itu hanya cetusan

perasaannya yang tertekan. Dia merasa heran karena

saya menjauhinya. Padahal dia membutuhkan saya,

bukan hanya sebagai guru!"

Terdengar gumam sinis dari sana-sini. Bu Lies

bertukar pandang dengan Bu Bambang sambil

tersenyum mengejek.

"jadi sebagai apa lagi, Pak Zein?" desak Pak Anwar sinis.

"Sebagai ayah, sebagai pelindung, sebagai teman."

"Wah repot, Pak Zein!" protes Pak Sumo separuh

216

berkelakar.

"Murid-murid kita hampir empat ratus

orang jumlahnya!"

"Saya, kira tidak semua murid memerlukan perhatian khusus seperti Bugi," sanggah Pak Zein tangguh.

"Dia kehilangan orang tua. Kehilangan kasih

sayang dan perhatian!"

"Tapi dia sudah punya orang tua angkat!"

"Orang tua angkatnya tidak pernah memperlihatkan perhatian dan kasih sayang seperti yang diharapkannya!"

"Kalau begitu kita harus menegur orang tuanya!"

"Saya kira kasih sayang tidak pernah dapat diminta. Kasih harus tumbuh dengan sendirinya? '

"Bugi memang harus dikasihani," sambut Pak

Tomo tegas.

"Perbuatannya kemarin mestinya dapat

dimaafkan. Dia sedang tertekan. Kehilangan perhatian gurunya. Tidak, memperoleh kasih sayang

orang tua pula. Apalagi kemarin muncul persoalan

Iwan Lesmana. Kita pasti sudah dapat membayangkan bagaimana situasi di rumah mereka kemarin. Ibu

mereka bukan figur ibu yang terlalu ramah."

"Dan saya ikut merasa bersalah," sambung Pak

Zein pula.

"Saya menjauhkan diri dari Bugi pada saat

dia memerlukan saya. Hanya karena takut hubungan

kami disalahartikan. Saya juga keberatan dengan cara
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita menghukum Iwan. Saya anggap tindakan kita sudah melampaui batas? '

Pak Anwar menggeram marah.

"jadi bagaimana maunya Pak Zein ini?! Anak yang bersalah tidak

boleh dihukum?!"

217

"Yang penting bukan bagaimana cara menghukum dan apa hukumannya," sanggah Pak Zein tegas.

"Tapi apakah hukuman itu sesuai dengan kesalahan

si anak dan sesuai pula dengan kepribadiannya! Hukuman yang merusak tidak bersifat mendidik anak

menjadi baik!"

"jadi Pak Zein anggap saya keliru menghukum

Iwan?"

"Hari ini Iwan tidak masuk. Kata Bram, abangnya

sakit. Apakah Pak Anwar tak pernah berpikir yang

sakit justru hatinya?"

"Ah, dia hanya malu bertemu dengan

teman-temannya! Itu pertanda baik. Agar jera mengulangi perbuatannya!"

"Saya anggap itu justru pertanda buruk," bantah

Pak Zein, tenang tapi mantap.

"Siang ini selesai mengajar saya akan ke rumah mereka. Jika tindakan saya

dianggap salah pula, saya akan mengajukan permohonan mengundurkan diri."

"Jangan emosi, Pak Zein! Murid kita bukan hanya

Bugi dan Iwan saja!"

"Tapi merekalah yang saya anggap paling membutuhkan perhatian kita. Ingatlah apa yang dikatakan

oleh Ibu Teresa, penyakit terbesar dewasa ini bukan

kusta atau tbc, melainkan perasaan tidak dikehendaki, tidak diperhatikan dan ditinggalkan oleh sesama

manusia!"

218

Terus terang, sudah lama Bram mengagumi Pak

Zein. Kalau ada guru yang paling diseganinya di sekolah, guru itu adalah Pak Zein.

Bram mengagumi ketampanannya. Kegagahannya. Tubuhnya yang tinggi dan atletis. Senyumnya

yang magis. Yang mampu memikat hati anak-anak

perempuan. Tatapan matanya yang tenang tapi menguasai. Sikapnya yang sabar tapi penuh wibawa.

Bram pun mengagumi kepandaiannya. Lebih-lebih dalam cabang-cabang olahraga. Menurut pendapatnya, Pak Zein itu yang sempurna. Kalau dengan

bersekolah orang dapat menjadi sepandai Pak Zein,

pasti tidak ada lagi teman-teman Bram yang malas

belajar.

Tetapi entah mengapa, akhir-akhir ini Bram

jengkel melihat ulah Pak Zein. Lebih-lebih kalau dia

memperlihatkan perhatian yang begitu besar kepada

Bugi. Seperti hari ini. Sejak pagi pertanyaannya tentang Bugi tidak ada habis-habisnya. Padahal Bram

sedang tidak enak badan.

Sejak kemarin badannya panas. Kencingnya sakit.

Tetapi dia tidak berani mengatakannya kepada Ibu.

Ibu sedang marah-marah terus. Cuma Iwan yang

ada dalam pikirannya. Bram sama sekali luput dari

perhatiannya.

Sebenarnya Bram ingin bertanya pada Pak Zein.

Dia pandai. Pengetahuannya banyak. Dia pasti tahu

Bram sakit apa. Lagi pula Pak Zein itu gurunya yang

paling baik. Bijaksana. Penuh pengertian. Dia pasti

219

tidak akan mengadu pada Suster Katherine. Atau Pak

Anwar. Atau Ibu.

Tetapi Bram tidak pernah mendapat kesempatan

untuk bertanya. Pak Zein sudah mendahului bertanya terus. Dan pokok pertanyaannya selalu Bugi.

"Apa yang dilakukannya di rumah? Dia sedih?

Merasa terpukul? Ibumu memarahinya kemarin?"

Sampai bosan Bram menjawab. Mengapa Pak

Zein begitu menaruh perhatian kepada Bugi? Muridnya kan bukan cuma dia!

Pak Zein mempunyai empat ratus orang murid.

Yang tidak masuk hari ini mungkin lebih dari sepuluh orang. Yang sakit banyak. Yang diskors pun tidak

kurang. Nah, mengapa cuma Bugi yang mendapat

kunjungan rumah?

Memang Pak Zein menanyakan Iwan juga. Tapi

Bram merasa, perhatian Pak Zein yang terbesar tetap

untuk Bugi! Dan Bram menyesal sekali telah berterus

terang di depan Pak Zein.

Mengapa harus dikatakannya Bugi mengurung

diri terus di kamar? Nah, sekarang dia mau ikut ke

rumah!

Pulang sekolah, Pak Zein datang bersama Bram

dan Rio. Tapi yang ditemuinya siang itu cuma Bu

Narsih. Pak Dadang sudah berangkat ke pabrik.

"Iwan sudah sembuh." Bu Narsih tidak menyem

220

bunyikan perasaan kurang senangnya atas kedatangan Pak Zein. Dia sudah banyak mendengar tentang

hubungan guru yang satu ini dengan Bugi. Dari

anak-anaknya sendiri, maupun dari guru-guru yang

lain. Bu Lies sering membicarakannya. Pak Anwar

juga. Bu Narsih senang Bugi mendapat perhatian istimewa dari gurunya. Tapi tentu saja bukan perhatian

semacam itu! "Tadi dokter sudah datang. Dia sudah

disuntik. Sudah minum obat pula. Panasnya sudah

turun. Cuma masih lemah."

"Boleh saya menemuinya, Bu?"

"Silakan," sahut Bu Narsih enggan.

"Dia masih di

kamar. Barangkali tidur."

"Ibu tidak keberatan saya menemuinya seorang

diri di kamar?"

"Oh, tentu saja." Bu Narsih mengangguk separuh

terpaksa.

"Tapi maaf saja, Pak Zein, kamarnya masih

berantakan."

"Oh, tidak apa." Pak Zein masih tetap menyunggingkan senyumnya meskipun yang melihat sudah

tidak menyukainya.

"Terima kasih? '

Iwan sedang mencorat-coret sesuatu di seprainya

ketika Pak Zein masuk. Tapi dia tidak peduli. Dia tidak mengangkat mukanya sama sekali. Bahkan tidak

menghentikan kesibukannya mencorat-coret seprai

tempat tidurnya. Dan Pak Zein tidak jadi menegur

ketika melihat coretan-coretan itu.

221

Iwan menggunakan spidol merah untuk menggambarkan perasaannya. Dan Pak Zein sangat terperanjat melihat gambaran itu. Rasanya dia lebih baik

melihat Iwan menulis sepuluh surat cinta lagi daripada mencorat-coret gambaran seperti itu.

"Iwan," sapa Pak Zein hati-hati. Dihampirinya

tempat tidur anak muda itu. Diperhatikannya sikapnya.

Iwan tidak menjawab. Tidak menoleh. Sedikit pun

perhatiannya tidak tergugah, seolah-olah dia sedang

tenggelam dalam dunianya sendiri. Asyik mencorat-coret seprainya.

Hati-hati Pak Zein duduk di sisi tempat tidurnya.

"Iwan," panggilnya sekali lagi. Lebih keras.

Kali ini Iwan tersentak. Dia seperti baru terjaga

dari tidur yang amat lelap. Dia menoleh. Dan menatap Pak Zein dengan tatapan bingung, seakan-akan

dia baru menyadari, ada orang lain di kamarnya.

Pak Zein memaksakan sepotong senyum, meskipun sebenarnya dia tidak ingin tersenyum. Ada segurat firasat tidak enak menyelinap ke sudut hatinya. Entah mengapa, dia risau sekali melihat keadaan

Iwan. Keadaan yang tidak pernah dibayangkannya

semula. Sungguh tak pernah disangkanya keadaan

lwan akan begini menguatirkan. Sampai dia melihat

dengan mata-kepalanya sendiri.

Ada sesuatu yang berubah dalam diri anak itu.

Dan perubahan dalam jiwanya itu terlukis dimatanya. Dalam caranya menatap. Tergambar pula dalam

222

coretan-coretannya di seprai. Itukah manifestasi

kekalutan jiwanya sekarang?

"Iwan," ulang Pak Zein sekali lagi ketika tidak didengarnya juga jawaban Iwan,

"bagaimana

perasaanmu sekarang?"

Iwan tidak menyahut. Dia hanya memandang Pak

Zein sedemikian rupa, seolah-olah dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya.

"Kata Bram kamu sakit," kata Pak Zein sabar.

"Karena itu saya datang menengokmu."

Iwan menggelengkan kepalanya. Pak Zein tidak

tahu untuk apa. Dia merasa Iwan sendiri pun tidak

tahu untuk apa dia menggeleng.

"Masih ada yang terasa sakit?" ulang Pak Zein,

lebih lembut.

"Kepalamu barangkali?"

Sekali lagi Iwan menggeleng. Dan Pak Zein

bertekad untuk tetap berkomunikasi dengannya.

Iwan butuh kesabaran. Pikirannya pasti sedang kacau. Dalam keadaan seperti ini dia perlu seseorang

yang mau mendengarkan curahan perasaannya. itu

pun kalau dia masih dapat mencurahkan isi hatinya.

"Ceritakan pada Bapak apa yang kaurasakan,

Iwan. Kamu masih merasa takut? Atau malu barangkali? Ceritakanlah semuanya. Mungkin Bapak bisa

menolongmu."

"Ros." Bibir Iwan bergerak. Pak Zein melihatnya.

Tetapi suaranya lemah sekali. Hampir tak terdengar.

Pak Zein harus mendekatkan telinganya supaya dapat

mendengar lebih jelas.

223

Apa katamu, Iwan? Coba ulangi sekali lagi? '

"Ros."

"Ros?"

"Ros."

"Ya. Ros. Mengapa dia?"

"Mati."

Bergetar hati Pak Zein. Ada secercah perasaan cemas menyelusupi relung-relung hatinya.

"Mati?" tanyanya hati-hati.

"Mati."

"Di mana?"

"Di sini."

Sekarang kecemasan itu berubah menjadi belati

yang menikam tepat di ulu hati Pak Zein. Ada sesuatu

yang tidak beres. Pasti. Dan itu pasti mengenai masa

lalu Iwan. Masa kanak-kanaknya.

Ada suatu peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang

meninggalkan bekas yang amat dalam di hati Iwan.

Bertahun-tahun kejadian itu ditenggelamkannya ke

alam bawah sadarnya. Dan kini, setelah mengalami

trauma psikis, tiba-tiba saja apa yang disimpannya

di alam bawah sadarnya itu mengapung kembali ke

permukaan.

"Kurang ajar," geram Bu Narsih ketika Pak Zein

melaporkan apa yang dilihatnya di kamar Iwan.
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar anak bandel! Merusak barang saja!"

224

"Biarkan dulu, Bu." Buru-buru Pak Zein mencegah Bu Narsih yang sudah bergerak menuju ke kamar

Iwan untuk memarahinya.

"Jangan dimarahi dulu.

Perasaannya sedang kacau? '

"Tapi dia tidak boleh merusak barang! Nanti jadi

kebiasaan! Kalau marah lalu merusak!"

"Dia bukan merusak, Bu. Dia sedang menyalurkan perasaannya yang tertekan. Mencoba berkomunikasi dengan lingkungannya."

Ah, tidak usah macam-macam, pikir Bu Narsih

jengkel. Tidak perlu teori-teori ilmu jiwa yang sulit.

Mendidik murid saja kamu belum becus!

"Ada seorang teman saya yang udah jadi psikolog,

Bu," sambng Pak Zein muram.

"Apa Ibu tidak keberatan kalau saya ajak dia kemari?"

Waduh, cetus Bu Narsih kaget. Tentu saja cuma

dalam hati. Sekarang anakku dianggap gila! Macam-macam saja! Guru muda ini memang terlalu

banyak tingkah!

"Saya kira belum perlu, Pak Zein," sahut Bu Narsih

jemu. Mengapa dia belum mau pulang juga? Pekerjaanku masih banyak! "Saya masih bisa mengatasinya

sendiri."

"Ketika Iwan menyatakan perasaannya yang terpendam dalam bentuk surat untuk Bugi, yang diributkan sebagai surat cinta itu, saya masih dapat

mengerti. Dalam dunia remaja, seperti itu masih wajar."

"Tapi buat saya, itu sudah keterlaluan, Pak Zein!"

225

potong Bu Narsih kesal.

"Mereka masih kecil! Dan

mereka anak-anak saya!"

"Mereka bukan anak kecil lagi, Bu. Iwan sudah

hampir tujuh belas. Bugi lima belas. Mereka sudah

remaja. Dan di gerbang masa puber, anak-anak biasanya mulai menyadari daya tarik lawan jenisnya.

Itu normal, Bu Narsih. Fenomena yang wajar untuk

anak-anak seumur mereka. Tugas kita sebagai orang

tua dan guru cuma mengarahkan, agar gejala yang

normal ini tidak tambah menyimpang ke arah yang

salah, yang baru boleh dilakukan setelah mereka dewasa. Tapi kita tidak bolek menghukum mereka sedemikian rupa sehingga mereka menganggap seks sebagai barang yang tabu, dosa yang harus dijauhi. Jika

pendapat yang salah ini sudah keburu diserap oleh

mereka, remaja-remaja akan tumbuh menjadi orangorang dewasa yang seksophobia. Mereka membenci

lawan jenisnya. Menganggap seks sebagai dosa menjijikkan. Pendeknya, mereka akan menjadi orangorang yang tidak normal!"


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu Natasha Karya Viktor Malarek Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga

Cari Blog Ini