Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W Bagian 4
Sekarang Bu Narsih tidak menjawab lagi. Ada segurat kesadaran yang tiba-tiba menoreh hatinya. Di
zaman modern ini, anak-anak memang tidak dapat
lagi cuma dididik dengan metode-metode kuno
orang tuanya dulu. Mereka perlu ilmu-ilmu pendidikan baru yang lebih tepat. Pendekatan yang lebih
luwes. Bukan cuma larangan dan hukuman.
"Iwan memang tidak terlalu pandai menggambar; '
sambung Pak Zein. Mukanya masih tetap semurung
226
tadi.
"Tapi siapa pun yang melihat coretannya, tahu
apa yang coba dilukiskannya. Dia sedang mengambarkan seorang wanita. Tapi dalam bentuk yang sangat menjijikkan. Dan itulah cetusan perasaannya sekarang, Bu! Dia mengangap seorang wanita sebagai
makhluk mengerikan yang harus selalu dijauhi!"
Sekali lagi Bu Narsih membungkam. Tiba-tiba
saja wanita yang selalu ingin menguasai keadaan ini,
wanita yang suaranya harus didengar oleh setiap insan dirumahnya, seolah-olah kehilangan gairahnya
untuk berbicara. Dan Pak Zein memakai kesempatan
yang langka ini untuk bertanya. Tentu saja dengan
sangat berhati-hati.
"Kalau boleh saya tahu, siapakah Ros itu, Bu?"
Sekarang Bu Narsih menoleh. Begitu cepatnya
seperti disengat arus listrik. Dan yang terkejut bukan
hanya Bu Narsih. Pak Zein juga. Dia lebih terperanjat
lagi ketika melihat wajah perempuan itu. Wajahnya
bukan cuma pucat. Wajah itu mengerut seperti menahan sakit.
"Ros?" desahnya gemetar. Hampir tak terdengar.
"Iwan berulang-ulang menyebutkan nama itu."
Sekarang tatapan Bu Narsih memancarkan ketakutan.
"Mengapa tiba-tiba Iwan ingat adiknya?" Bu Narsih menganggap bingung.
"Kejadian itu telah lama
lama sekali ..."
"Adiknya?" potong Pak Zein dengan dada berdebar-debar.
"Dan dia telah meninggal?"
227
"Sepuluh tahun yang lalu."
Ada air menggenangi mata Bu Narsih.
"Maafkan saya, Bu. Bukan saya ingin membangkitkan kembali kenangan pahit Ibu. Tapi saya harus
mengetahui apa yang terjadi. Ros sakit apa, Bu?"
Bu Narsih menggelengkan kepalanya. Disekanya
air matanya. Dan ditatapnya Pak Zein dengan tatapan
getir.
"Ros meninggal karena kelalaian saya, Pak Zein,"
sahutnya lirih.
"Jatuh dari tempat tidur? '
Ada yang tidak cocok, pikir Pak Zein muram. Penasaran. Tidak ada hubungannya, dengan Iwan. Kematian adiknya pasti merupakan shock baginya. Lebih-lebih kalau dia ada di sana!
"Di mana Iwan pada saat kecelakaan itu terjadi,
Bu?"
Bu Narsih tidak langsung menjawab. Dia menghela napas berat. Matanya menerawang ke kejauhan.
Seakan-akan mengingat-ingat kembali peristiwa
yang telah lama terjadi. Peristiwa yang sebenarnya
ingin dilupakannya.
"Saya meninggalkan Ros bersama Iwan," gumamnya getir. Perlahan-lahan air mata menggenangi
matanya kembali.
"Ros sedang tidur ketika saya tinggalkan. Iwan sudah biasa menjaga adiknya ...."
Bu Narsih tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya. Dia sudah terisak-isak.
jadi itulah sebabnya, cetus Pak Zein dalam hati.
228
Iwan merasa bersalah karena tidak mampu menjaga
adiknya!
"Ibu memarahi dia?" tanya Pak Zein hati-hati.
"Karena kelalaiannya itu?"
"Sebenarnya saya ingin menghukum diri saya
sendiri."
"Tapi Ibu hukum juga Iwan, bukan?"
"Waktu itu saya kalap didera kesedihan. Saya
hampir gila!"
"Dan Iwan yang jadi korban. Ibu lupa dia masih anak-anak. Dia sudah cukup sedih kehilangan
adiknya. Ibu menambah rasa bersalahnya dengan
hukuman yang kurang bijaksana. Bertahun-tahun
perasaan bersalahnya itu dipendam dalam alam tak
sadarnya. Sekarang ketika muncul stress baru, tiba-tiba saja apa yang telah lama dipendamnya itu muncul
ke permukaan."
Ketika Pak Zein datang, kebetulan Bugi ada di
depan. Tapi dia buru-buru menyelinap masuk meskipun hatinya tiba-tiba berdebar gembira.
Pak Zein pasti datang untuk mengunjunginya.
Mungkin mau menyatakan maaf atas tindakannya kemarin. Mungkin cuma untuk menghiburnya.
Mungkin pula untuk yang lain.
Persetan! Pokoknya dia datang. Dan Bugi senang. Untuk apa pun dia datang. Rasanya Bugi sudah
229
langsung memaafkannya begitu melihat Pak Zein
muncul. Kemarahan dan kekecewaannya hilang entah ke mana.
Pak Zein datang. Artinya dia masih penuh perhatian. Tidak semua murid mendapat kunjungan rumah. Apalagi murid yang sedang dihukum!
Bugi ingin segera lari menghambur menghampirinya. Tapi dia malu. Lebih baik kalau Pak Zein
yang mencarinya. Biar tidak kentara dia yang sedang
menunggu-nunggu kedatangan Pak Zein!
Sengaja Bugi menyelinap ke belakang. Pura-pura sibuk membersihkan gudang. Biar Pak Zein agak
lama menunggu selama Ibu atau Rio mencari-carinya!
Tapi sudah hampir setengah jam Bugi menunggu,
panggilan yang diharapkannya belum datang juga.
Yang muncul justru Bram. Tapi dia cuma mencari Bi
Asih!
"Disuruh Ibu ambil minuman buat Pak Zein, Bi!"
teriak Bram dari jauh. Dia tahu Bugi ada di sana bersama Bi Asih. Tapi dia tidak memanggil Bugil "Pak
Zein ada di kamar Iwan!"
Jadi Pak Zein hanya datang untuk menengok
Iwan! Ada sembilu tajam yang menoreh pedih jantung Bugi. Harapan dan kegembiraannya langsung
amblas seperti disedot pasir apung.
Matanya terasa panas. Tapi Bugi pantang
menangis. Apalagi di depan orang lain! Cepat-cepat
dibalikkannya tubuhnya. Agar Bi Asih tidak sempat
melihat perubahan air mukanya.
230
"Tinggal dulu ya, Bugi," kata Bi Asih sambil menyandarkan sapunya di pintu gudang.
"Nanti Bibi ke
sini lagi."
"Biar, Bi." Bugi menekan suaranya agar tidak terdengar basah.
"Saya bisa sendiri kok."
Tetapi begitu Bi Asih pergi dan Bram tidak kelihatan lagi Bugi langsung melempar sapunya. Ditendangnya tumpukan karung beras di sudut gudang
dengan kesal.
"Kalau Ibu setuju, besok saya akan datang dengan
teman saya; ' kata Pak Zein sambil menghirup teh
yang baru disuguhkan Bi Asih.
"Tapi tentu saja Ibu
harus menanyakan pendapat Bapak dulu. Kalau Bapak tidak keberatan, saya akan membawa psikolog itu
ke sini besok malam. Barangkali dia dapat menolong
Iwan."
Bu Narsih cuma mengangguk. Pikirannya sedang
kalut.
"Sekarang, apakah saya boleh menemui Bugi?"
Bugi. Bu Narsih terhenyak dengan perasaan tidak
enak. Satu lagi. Satu penyakit lagi. Buat apa Pak Zein
menemuinya? Nanti dia menemukan kelainan baru
lagi. Dan keluarganya penuh dengan orang sakit!
Bugi tidak apa-apa. Dia sehat. Tidak pernah sakit.
Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta perhatian. Jadi buat apa ditengok? Cari penyakit saja.
231
"Bugi sedang tidur," sahut Bu Narsih mantap.
"Saya bangunkan?" Tapi dia tidak bergerak untuk
bangkit dari kursinya. Dan Pak Zein mengerti.
"Tidak usah, Bu. Terima kasih. Biar saya pulang
saja. Kalau dia bangun nanti, tolong sampaikan, saya
mampir di sini. Ada yang harus kami bicarakan? '
Ketika pintu kamar Dokter Kresno terbuka, Pak
Zein langsung berdiri.
"Giliran kita, Dios," katanya pada Dios yang masih
duduk sambil mengantuk.
"Heran, duduk sebentar
saja sudah tidur? '
Waktu mereka datang, ruang tunggu itu kosong.
Tapi ada, seorang pasien di dalam. Sekarang pasien
itu melangkah ke luar. Begitu tergesa-gesa. Tapi Pak
Zein langsung mengenalinya.
"Bram!" cetusnya antara kaget dan heran.
Bram mengangkat mukanya dengan terkejut. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak menyapa, tapi
tidak ada suara yang keluar. Mukanya pucat pasi.
Matanya terbelalak ketakutan.
"Bram?" tegur Pak Zein pula.
"Sakit apa?"
Bram tidak menjawab. Sebaliknya dari menjawab
dia malah bergegas pergi. Separuh berlari. Pak Zein
sudah hendak mengejarnya. Tapi Dokter Kresno telah muncul di ambang pintu.
"Zein?" tegurnya keheran-heranan.
"Ada apa? Siapa yang sakit?"
232
"Teman saya, Mas." Pak Zein menoleh pada Dios
yang sedang membatalkan kuapnya. Padahal mulutnya telah separuh terbuka.
"Ayo, masuk." Dokter Kresno melebarkan pintu.
"Sakit apa?"
"Dia sering main dengan segala macam perempuan nakal, Mas. Selama ini dia berobat asal saja. Di
tempat sembarangan pula. Sekarang dia mau menikah. Dia ingin periksa, Mas. Supaya bisa sembuh
betul."
"Bagus itu," komentar Dokter Kresno sambil
tersenyum ke arah Dios.
"Asal benar-benar jera dan
tidak ke sana lagi. Kalau tidak ya percuma. Nanti
kena lagi."
"Tidak ada zat antinya, Dok? Seperti vaksinasi
begitu? Kalau disuntik dulu sebelum main kita jadi
kebal?"
Dokter Kresno menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum.
"Untuk penyakit yang satu ini tidak ada obat
pencegahan."
"Tapi pengobatannya gampang kan, Dok? Sekali
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suntik saja sembuh?"
"Tidak ada penyakit yang sekali suntik saja sembuh. Harus minum obat. Dan harus diperiksa pula
sesudahnya. Apakah seluruh kuman-kuman itu benar-benar telah punah dari badan. Ingat, seorang
wanita biasanya tidak hanya mengidap satu macam
penyakit kelamin saja. Tubuhnya sudah merupakan
233
festival penyakit yang diperolehnya dari bermacam-macam langganan. jadi bagaimana Anda dapat
memastikan dengan sekali suntik saja dapat sembuh?
Penyakit kelamin itu macam-macam lho. Penyebabnya juga bermacam-macam. Yang Anda bilang sekali
suntik saja sembuh itu mungkin hanya gejalanya. Gejala penyakit itu memang hilang. Tapi kumannya belum! Kumannya terus berkembang biak dan merusak
organ-organ penting dalam tubuh Anda."
Dokter Kresno mengambil beberapa buah gambar
berwarna dari dalam lemarinya.
"Coba lihat ini." Dokter Kresno menunjuk pada
gambar alat kelamin seorang pria.
"Kira-kira satu
sampai lima hari sesudah penularan, penderita merasa gatal dan panas di ujung alat kelaminnya. Kadangkadang terdapat ereksi-ereksi yang nyeri yang diikuti oleh demam. Kemudian nanah akan keluar dari
lubang tempat kencingnya. Kadang-kadang juga
disertai darah. Alat kelamin di sekitar lubang tampak bengkak dan merah. Inilah gejala-gejala pertama dari gonore atau kencing nanah. Pengobatan
pada fase ini sebetulnya lebih mudah. Kuman belum
menjalar ke mana-mana. Tetapi bila pengobatan ditunda, atau tidak sempurna, kuman dapat menjalar
lebih ke dalam. Bila kuman sampai di bagian dalam
dari saluran kencing, maka air kencing dapat berwarna keruh, bahkan kadang-kadang berwarna merah.
Timbul rasa sakit pada waktu buang air kecil. Bila
penyakit menjadi kronis atau menahun, semua gejala
234
tadi boleh dikatakan sudah hilang. Penderita hanya
merasa tidak enak waktu kencing. Kadang-kadang
timbul rasa sakit yang yah tidak terlalu sakit sebenarnya, di perut bagian bawah. Anda lihat, walaupun
gejalanya sudah demikian minim, kuman sebenarnya justru sedang berkembang biak di bagian dalam
alat kelamin Anda. Bahkan mungkin sudah menjalar
sampai ke kelenjar kelamin."
"Wah, ngeri juga, Dok," dengus Dios.
"Kalau menikah, saya pasti menularkan kuman-kuman saya
pada isteri saya. Bagaimana dengan anak saya, Dok?
Dia juga bisa ketularan?"
"Yang ditakuti pada bayi sebenarnya penularan
GO pada matanya yang disebut blenorrhoea. Penyakit
ini dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diobati.
Ada borok yang bernanah di dalam kornea mata bayi
itu bila dia dilahirkan oleh ibu yang menderita GO.
Bukankah ketika lahir dia harus melewati jalan lahir
yang tidak penuh dengan kuman GO?"
"Aduh, tolong Obati saya, Dok," pinta Dios sungguh-sungguh.
"Selama ini Zein sering menakuti-nakuti saya. Tapi saya belum pernah merasa takut seperti sekarang! Saya tidak mau anak-istri saya kelak
ketularan GO, Dok!"
"Ada penyakit kotor lain yang lebih menakutkan.
Sifilis. Nah, penyakit ini lebih sulit lagi pengobatannya. Gejala-gejalanya pun lebih mudah diacuhkan
orang. Tanpa pengobatan pun gejala-gejalanya akan
hilang. Tapi penyakitnya jalan terus. Malah masuk
dalam stadium berikutnya yang lebih hebat? '
235
Dokter Kresno mengambil gambar lain dan memperlihatkannya pada Dios. Gambar yang sama. Alat
kelamin seorang pria. Tapi dengan sebuah luka kecil
dengan garis tengah kira-kira satu sentimeter, yang
berwarna merah seperti daging mentah.
Melihat gambar itu, tiba-tiba saja Dios menjadi
pucat. Dia pernah punya luka seperti itu beberapa
bulan yang lalu. Tapi sekarang sudah sembuh. Hanya
tinggal bekasnya saja.
"Saya pernah punya luka seperti itu, Dok!" cetusnya ngeri.
"Tapi sekarang sudah sembuh. Sama sekali
tidak sakit. Tidak ada apa-apanya. Sekali suntik saja
hilang!"
"Tidak disuntik juga akan hilang sendiri," sahut
Dokter Kresno sabar.
"Inilah siflis stadium pertama."
Dokter Kresno memperlihatkan gambar yang ketiga. Gambar seorang dengan bercak-bercak kemerah-merahan pada kulitnya.
"Dan ini sifilis stadium kedua. Terdapat ruam-ruam yang hilang timbul pada kulit tubuhnya. Badan
menjadi demam, tulang dan sendi terasa sakit, lemas,
sakit kepala. Bila dibiarkan, makin lama-lama akan
timbul papel-papel yang berkelompok di sekeliling
anus, alat kelamin, ketiak, jari. Kadang-kadang bintil-bintil berkelompok ini timbul di batas rambut
dan dahi, serta tengkuk. Dapat pula ditemukan pada
daerah-daerah lipatan kulit, selaput lendir atau lidah.
Seperti ini."
Sekali lagi Dokter Kresno memperlihatkan gam
236
bar lain. Kali ini gambar lubang dubur yang dikelilingi oleh papel-papel yang berkelompok. Lalu ditunjukkannya lagi sebuah gambar yang membuat Dios
mengeluarkan peluh dingin. Gambar mulut seorang
pria. Pada lidahnya terdapat kelainan yang amat
mirip dengan kelainan yang ada pada lidahnya sendiri
"Nah, kalau melihat gambar ini, Anda pasti mengerti, siflis tidak hanya dapat ditularkan melalui
hubungan kelamin saja, tapi dapat pula ditularkan
melalui kontak langsung lain ciuman misalnya? '
Di depan mata Dios tiba-tiba saja melintas adegan
tadi malam, ketika dia mencium Bugi mengulum
bibirnya dan memagut lidahnya
"Ya, Tuhan!" keluhnya hampir tak terdengar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun berlalu,
Tuhan mampir lagi di lidahnya.
"Nah, siflis, tidak berhenti juga merusak. Setelah
beberapa tahun, dia akan masuk ke stadium ketiga.
Pada stadium ini dia bukan hanya menyerang kulit dan selaput lendir saja. Dia merusak tulang juga.
Pada tahap ini, sifilis justru sudah tidak menular lagi.
Tapi coba lihat apa yang telah dirusaknya."
Dokter Kresno memperlihatkan gambar lain.
Gambar tungkai yang bengkok seperti parang. Dan
gambar langit-langit mulut yang berlubang.
"Pada tahap selanjutnya, sifilis malah dapat
menyerang jantung, pembuluh darah, dan jaringan saraf. Pernah lihat penderita saraf akibat sifilis?
237
Mengerikan! Meskipun semuanya akibat kesalahan
dan ketidaktahuan di masa lalu."
Tidak ada lagi yang bicara. Dios sudah kehilangan
nafsunya untuk bertanya. Sebaliknya, Pak Zein sejak
semula sudah diam saja. Pikirannya masih kacau dilibat pertanyaan. Mengapa Bram menjumpai seorang
dokter ahli penyakit kulit dan kelamin?
Kalau Bram sakit kulit biasa, mengapa tidak ada
orang yang mengantarnya berobat? Ibunya. Atau
ayahnya. Atau Bu Narsih sedang terlalu repot? Disibuki oleh sakitnya Iwan.
Pak Dadang mungkin sibuk di tempat kerjanya
jadi Bram pergi sendiri. Dia toh sudah besar. Tetapi
buat apa dia lari ketika disapa? Mengapa dia kabur?
Mengapa dia tampak begitu ketakutan?
"Dan ini yang terakhir." Dokter Kresno memperlihatkan gambar seorang bayi dengan kulit yang rusak, tungkai yang bengkok, dan jari-jari yang membengkak.
"Bayi ini baru berumur satu bulan. Lihat
bagaimana besar penderitaannya akibat lahir dari
ibu yang menderita siflis. Kuman-kuman yang berasal dari darah ibunya akan masuk melalui placenta
ke dalam darah janin. Jika janin itu tidak mengalami
keguguran atau kadang-kadang juga lahir mati, maka
akan beginilah nasibnya. Akibat dosa orang tuanya,
dia harus menderita seumur hidup. Seperti anak ini
juga,"
Dokter Kresno menunjuk pada gambar di bawahnya, gambar seorang anak berusia enam tahun dengan
susunan gigi-geliginya yang amat menyedihkan.
238
"Ini juga akibat sifilis congenital. Sifilis yang diturunkan oleh orang tuanya, anak itu berbentuk
aneh. Selain itu, telinganya pun tuli. Matanya rusak.
Dan mentalnya terbelakang. Nah, kalau sudah begini,
siapa yang harus disalahkan? Sesal pun sudah terlambat. Tak ada gunanya lagi."
Dokter Kresno melipat kembali gambar-gambar
itu. Membereskannya dan menyimpannya di dalam
lemari.
"Saya sengaja memperlihatkan gambar-gambar
ini pada pasien-pasien saya bukan untuk menakut-nakuti mereka. Tapi sekadar membangkitkan kesadaran pada mereka. Karena kadang-kadang pasien
menggampangkan saja penyakitnya. Sekali berobat
saja kan bisa sembuh. Padahal kuman-kuman masih
berkembang biak di dalam tubuhnya. Kemudian dia
main lagi. Dan menularkan penyakit itu pada patnernya. Sebaliknya, dia pun memperoleh tambahan
penyakit baru. Pernah dengar tentang penyakit Vietnam Rose? Nah, itu penyakit kotor yang cukup sulit
pengobatannya. Ada lagi yang disebut ulcus molle.
Yang ini agak jarang ditularkan, karena penderitanya
akan merasa sakit jika melakukan persetubuhan. Lalu
ada satu macam penyakit lagi yang ditularkan oleh
Virus. LV namanya Lymphopathia venereum. Yang
ini bisa menyebabkan pembesaran alat kelamin dan
buah zakar. Masih ada beberapa jenis penyakit lagi.
Seperti uretritis non gonore yang dapat menyebabkan
peradangan pada paru dan mata bayi yang baru lahir
239
dari ibu yang mengidap penyakit itu. Dan kalau Anda
sudah lama sering ke tempat-tempat begituan, saya
percaya kuman-kuman di dalam badan Anda pasti sudah membentuk ghetto. Dan kuman-kuman itu
pasti terdiri dari berbagai jenis penyakit. jadi selain
pemeriksaan fisik, darah Anda juga harus diperiksa. Sebelum dan sesudah pengobatan. Sampai bersih
betul. Baru Anda boleh melangkah ke ambang perkawinan. Demi kebaikan anak-istri Anda. Dan tentu
saja kebaikan Anda sendiri."
Dokter Kresno melakukan pemeriksaan yang
cukup lama sebelum memberikan dua buah suntikan
untuk Dios.
"Ini surat untuk memeriksakan darah dan sekret
dari alat kelamin Anda di laboratorium." Dokter
Kresno menyodorkan sehelai kertas yang dimasukkannya ke dalam sebuah amplop tertutup.
"Bawa
hasilnya pada saya. Ingat jangan bosan berobat. Sampai sembuh betul."
"Boleh bawa pacar saya kemari, Dok?" tanya Dios
ragu-ragu.
"Saya menciumnya tadi malam. Kelainan
pada lidah saya itu menular, kan?"
"Tentu. Mungkin pacar Anda sendiri tidak bersih.
Sebaiknya dia juga diperiksa. Pemeriksaan darah sebelum menikah banyak sekali manfaatnya."
"Dia masih sekolah, Dok. Saya percaya dia bersih."
"Tapi sekarang banyak anak sekolah yang sudah
mengidap penyakit kotor. Banyak pasien saya yang
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih duduk di bangku SMA. Anak SMP pun ada!"
240
"Boleh tanya, Mas?" potong Pak Zein setelah tidak
dapat lagi berdiam diri.
"Pasien yang tadi juga mengidap penyakit seperti ini?"
"Lho, itu rahasia jabatan, Zein!" Dokter Kresno
tersenyum, separuh bergurau.
"Dia murid saya, Mas. Kalau dia menderita penyakit kotor, bukankah sebaiknya saya tahu? Sebagai
gurunya, saya dapat membimbingnya. Mengarahkannya untuk berobat dengan baik Dan menasihatinya agar tidak melanjutkan kebiasaan buruknya itu!"
"Bagaimanapun, sebagai seorang dokter, saya tidak dapat menyebutkan penyakit pasien saya, Zein,"
kata Dokter Kresno, kali ini lebih serius.
"Tapi anak
itu memang perlu bimbinganmu. Baru pertama kali
datang. Belum terlalu menguatirkan '
"Sudah saya duga," gumam Pak Zein murung. Dia
sudah dapat mengambil kesimpulan sendiri meskipun Dokter Kresno tidak mau berterus terang.
"Kami
yang salah. Kami, guru-guru dan orang tuanya, yang
tidak dapat membimbingnya di jalan yang benar. Dia
tersesat karena kelalaian kami."
"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Zein,"
hibur Dokter Kresno.
"Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Belum terlambat. Hanya pesan saya, hadapilah dia dengan bijaksana. Ingatlah,
segebung nasihat dan segudang hukuman hanya
akan menjerumuskannya lebih dalam lagi ke lembah
kenistaan. Remaja harus dihadapi dengan pengertian
dan perhatian. Mereka sedang berada dalam masa
241
yang sulit. Keingintahuan yang meledak-ledak tanpa diikuti oleh pengetahuan dan cara berpikir yang
matang!"
Jika kulaporkan kepada Suster Katherine, pasti
Bram dihukum, pikir Pak Zein murung. Padahal hukuman bukan cara pemecahan yang baik. Jika kuceritakan pada orang tuanya, aku juga tidak yakin mereka
dapat bersikap bijaksana. Lebih-lebih ibunya. Perempuan itu kelihatannya mau menyerang saja. Seperti
macan. Ayahnya lebih bisa diajak bicara. Tetapi dia
tidak punya cukup waktu. Terlalu sibuk dilibat pekerjaan. Masa bodoh dengan pendidikan anak-anaknya.
Bertindak sendiri, tentu aku tidak mampu. Murid
hanya enam jam berada di sekolah. Selebihnya, dia
ada di rumah. Bagaimana guru dapat mengawasinya
terus-menerus? Tanpa kerja sama dengan orang tua,
rasanya percuma. Tetapi bagaimana mengajak mereka bekerja sama? Kerja sama yang tidak merugikan
Bram.
Karena terlalu pusing dirongrong pikirannya
sendiri, sikap Dios terluput dari perhatian Pak Zein.
Padahal sepanjang jalan dia juga diam saja.
Sekarang Dios tahu satu hal. Kenyataan yang
mengerikan. Buginya adalah Buginya Pak Zein. Sahabatnya. Teman sekamarnya. Kekasihnya adalah
murid kesayangan Pak Zein. Dan dia telah menulari
gadis itu dengan penyakitnya!
242
"Dia muridku," keluh Pak Zein sekeluarnya dari
kamar praktek Dokter Kresno tadi.
"Aku bertanggung jawab atas kenakalannya ini"
"Bukan salahmu sendiri saja, Zein. Masih banyak
guru lain yang bisa ikut disalahkan. Orang tuanya
juga bersalah."
"Kau tidak mengerti. Murid yang kuceritakan
padamu tadi malam tinggal pada keluarga ini. Bugi
saudara angkat Bram. Mereka sekolah di sekolah
yang sama. Sekolah tempatku mengajar. Sekolah
swasta yang baik. Yang terkenal keras disiplin dan
peraturan-peraturannya. Tapi dari keluarga ini saja,
aku telah menemukan dua kasus yang menguatirkan. Abang Bram menderita shock akibat perlakuan
guru-gurunya. Kami menghukumnya terlalu keras.
Sekarang Bram jatuh pula dalam pergaulan dengan
wanita-wanita tunasusila. Itu juga kuanggap sebagian
karena kesalahan kami sebagai gurunya. Apa yang
selama ini telah kami ajarkan pada mereka? Sudahkah kami mendidik moral mereka dengan benar?
Pernahkah kami menceritakan pada mereka bahaya
penyakit kelamin seperti yang diceritakan oleh Dokter Kresno tadi?"
Bram. Sekilas bayangan anak laki-laki itu berkelebat di depan mata Dios. Dia pernah melihat anak itu.
Beberapa kali. Dia datang bersama Bugi, ketika pertama kali Dios melihat gadis itu.
Tapi siapa namanya kata Zein tadi? Bugi? Ada
berapa banyak gadis yang punya nama seaneh itu? Tidak mungkinkah ..?
243
Ah, Dios yakin. Amat yakin. Buginya pasti Bugi
Pak Zein juga. Dia juga anak yatim-piatu. Tinggal
bersama orang tua angkat. Dan punya sifat kelaki-lakian Tak mungkin begitu persis!
Dios tidak berani lagi menemui Bugi. Dari Pak
Zein, Bugi pasti tahu manusia macam apa laki-laki
yang ingin mengawininya itu. Langganan wanita
! Pabrik penyakit kotor! Dan seperti ini yang ingin
menjadi pacarnya!
O, Dios tidak ingin Bugi mengetahui siapa dia sebenarnya! Seperti apa bejatnya moralnya! Dia tidak
sudi melihat mata gadis itu menatap jijik padanya! Biarlah mata yang polos itu saja yang tetap dikenangnya
sampai mati!
Lagi pula Zein pasti marah. Amat marah. Dios
telah menulari murid kesayangannya dengan penyakit kotor! Apa katanya kalau tahu nanti? Padahal dia
begitu baik!
Sejak dulu Zein telah menasihatinya untuk bertobat. Untuk kembali ke jalan Tuhan. untuk menjadi
orang yang beriman. Tetapi sejak Tuhan meninggalkannya bersama perampok-perampok yang membunuh ayah dan meludeskan harta mereka, Dios
selalu mengeraskan hatinya. Padahal bukan Tuhan
yang salah. Mengapa harus memusuhi. Tuhan dan
merusak badannya sendiri?
Sekarang Dios menyesal. Tapi sudah terlambat.
Sudah hilang kesempatannya untuk memiliki seorang gadis yang suci murni. Satu-satunya gadis yang
pernah dicintainya.
244
Zein pasti menentang hubungan mereka. Dia
sendiri menyayangi gadis itu. Apa pun bentuk kasih
sayang yang dikatakannya. Dan Bugi pasti memilih
gurunya.
Sesudah kehilangan Zein-lah, Bugi baru kembali
mencarinya. Dia cuma tempat pelarian! Ah, itupun
sudah terlalu berlebihan. Manusia macam apalah dia
ini! Dokter Kresno saja tidak dapat menduga ada berapa macam penyakit kotor di dalam tubuhnya!
Dios tidak ingin menjumpai Bugi lagi. Padahal malam Minggu ini, dia punya janji. Janji untuk
datang ke rumah gadis itu. Ah, lehih baik dia tidak
datang. Tapi bagaimana caranya memberitahu Zein
untuk membawa gadis itu ke dokter? Untuk memeriksakannya, siapa tahu dia sudah ketularan!
Sekali lagi Bugi kecewa. Sekali lagi seorang laki-laki mengecewakannya. Dios tidak datang. Padahal dia
sudah berjanji. Gombal! Tidak ada yang bisa dipercaya! Tidak Pak Zein, tidak juga Dios! Mereka sama
saja!
Tidak ada orang yang mau menyayanginya.
Menaruh perhatian padanya. Sekarang dia ditinggalkan, sendiri. 0, dia benar-benar tidak punya siapa-siapa!
Bugi ingin sekali keluar dari kepengapan rumah
ini. Dia ingin berjalan-jalan. Tapi Bram tidak pernah
245
mengajaknya lagi. Sejak Bugi selalu menolak ajakannya.
Dan malam ini, entah ke mana dia. Sore-sore sudah masuk ke dalam kamarnya. Kabur lewat pintu
belakang lagikah dia?
Ah, senangnya, kalau malam ini Bram mau mengajaknya pergi. Bosan di rumah. Kesal pula.
Ibu sedang berunding serius dengan Bapak. Entah
soal apa. Barangkali soal Iwan. Sudah dua hari anak
itu tidak mau keluar dari dalam kamar.
Hanya Rio yang mengejar-ngejarnya terus. Tapi
Bugi justru tidak mau bertemu dengan anak konyol!
Gara-gara dia Bugi dimarahi Ibu. Gara-gara dia surat
Iwan bocor. Gara-gara dia pula Iwan dihukum di rumah dan di sekolah!
Dasar anak manja. Ibu terlampau menyayanginya.
Lebih dari yang lain. Sekarang dia mengejar-ngejar
terus. Entah mau apa. Barangkali mau minta maaf.
Tapi Bugi tidak mau melihat mukanya lagi. Biar dia
jera! Dan berhenti mengganggu orang!
246
BAB XII
"JANGAN kemana-mana hari ini, Pak," pinta Bu
Narsih sore itu.
"Nanti malam Pak Zein akan datang
bersama psikolog untuk Iwan. Ini kan hari Minggu.
Cobalah tinggal di rumah, Pak. Lupakan sebentar
pekerjaanmu. Jangan ke pabrik dulu. Bantu aku mengawasi anak-anak. Mengatasi problem Iwan! Anakanak kan bukan cuma urusanku saja! Bapak juga
mesti ikut bertanggung jawab!"
"Duh, belum apa-apa sudah merepet seperti
petasan," keluh Pak Dadang kesal.
"Aku juga tidak
mau ke mana-mana kok. Paling-paling ke rumah Pak
Witono di ujung jalan situ. Kalau Pak Zein datang,
suruh saja si Maman panggil aku. Dia sudah tahu kok
rumah Pak Witono? '
"Jangan hari ini, Pak. Besok sajalah. Masih banyak
hari untuk pekerjaanmu. Berasmu kan bisa menunggu!"
"Berasku memang bisa menunggu. Sampai berkutu pun bisa. Justru pembeli yang tidak bisa menunggu! Kalau aku ayal-ayalan, langgananku bisa pindah,
Bu!"
"Tapi Pak Witono kan bisa menunggu sampai besok, Pak! Ini kan hari Minggu!"
"Buat pedagang beras mana ada hari Minggu, Bu?
Pak Witono sudah mengambil sepuluh papan dari
saingan kita. Kalau aku tidak mengadakan pendeka
247
tan dan bergerak cepat, dia bisa mengambil banyak
lagi, Bu!"
"Tapi Iwan, Pak
"Iwan kan sudah tidak apa-apa. Panasnya sudah
turun."
"Tapi dia belum sembuh, Pak! Masih melotot saja!
Diaaaam saja kalau diajak omong! Aku jadi takut.
Jangan-jangan Pak Zein benar, anak itu punya kelainan!"
"Itu kan salahmu. Ibu yang terlalu keras mengajar
anak!"
"Aku lagi yang disalahkan! Bapak sendiri tidak
pernah ada di rumah! Urusan anak-anak semuanya
aku!"
"Aku kan cari uang, Bu! Uang tidak datang sendiri
kalau tidak dicari! Itu kan demi kebahagiaamnu dan
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak-anak!"
Bugi sudah mendengar ribut-ribut itu. Biasa.
Orang tua angkatnya sedang bertengkar lagi. Ribut
terus sejak beberapa hari terakhir ini. Pasti gara-gara
lwan. Dia belum mau keluar juga dari dalam kamarnya.
Bu Narsih cemas sekali. Pak Dadang juga. Tetapi
tampaknya dia lebih cemas lagi kalau langganannya
diserobot orang. Hari Minggu pun dia pergi menutup
transaksi berasnya dengan Pak Witono.
Bugi-lah yang disuruh menutup pintu depan. Bu
Narsih sudah masuk kembali melihat Iwan. Arman
sedang sibuk membetulkan sepedanya.
248
"Nanti suruh si Maman menyusul Bapak kalau
ada tamu," pesan Pak Dadang sebelum pergi.
"Di rumah Pak Witono. Dia sudah tahu rumahnya."
Bugi hanya mengangguk. Dia baru saja mengunci pintu ketika seseorang muncul begitu saja di pintu
pagar. Dios. Tetapi wajahnya amat berbeda. Pucat.
Lesu. Dan ketakutan.
"Maafkan saya, tidak dapat menepati janji, Bugi."
katanya cepat-cepat sebelum Bugi sempat memalingkan mukanya.
"Percayalah, saya amat menyayangimu.
Tapi saya tidak bisa menjumpaimu lagi. Pergilah ke
Dokter Kresno bersama Pak Zein. Kamu harus berobat, Bugi."
Dia menyayangiku tapi tidak mau menemuiku lagi, geram Bugi dalam hati. Pernyataan sayang
model apa pula itu? Dan Bugi terlambat menyadari
kehadiran Pak Zein di belakang Dios. Dia sudah keburu memaki.
"Tukang bohong! Saya tidak percaya lagi padamu!"
Ketika Bugi hendak membalikkan tubuhnya untuk berlari masuk, dia melihat Pak Zein. Dia datang
lagi! Tapi pasti untuk Iwan!
Tidak ada orang yang mau menyayanginya. Tidak ada yang mau menemuinya. Tidak ada yang mau
memperhatikannya. Tidak ada! Dia cuma babu yang
merasa melunjak menjadi putri! Bu Narsih pun tidak menganggapnya sebagai anak! Dia cuma seorang
pembantu! Anak yatim-piatu yang tidak tahu diri!
249
Tanpa menyapa Pak Zein lagi, Bugi melompat
masuk ke dalam rumah. Tetapi Pak Zein pun tidak
memperhatikan Bugi. Dia sedang menatap Dios dengan marah.
Belum pernah Dios melihat Pak Zein dalam
keadaan semarah itu. Matanya terbelalak seperti dua
buah bola api yang panas, yang sedang terbakar dalam neraka kemarahan. Tanpa memberi kesempatan kepada Dios untuk membela diri, Pak Zein telah
memukulnya.
"Kau boleh mempermainkan semua gadis di
dunia ini," geramnya kepada Dios yang sedang jatuh
tunggang-langgang.
"Tapi jangan dia! Dia muridku!
Dan dia masih anak-anak!"
Ketika Pak Zein hendak merenggut Dios yang
masih terhantar di tanah sambil menyeka darah yang
mengalir melalui celah-celah bibirnya, teman yang
datang bersamanya itu langsung mencegahnya.
"Tunggu, Zein," katai psikolog itu, mencoba menyabarkan Pak Zein.
"Kekerasan tidak akan dapat
menyelesaikan persoalan!"
"Beri aku kesempatan untuk menjelaskan segalanya, Zein: ' pinta Dios sambil beringsut bangun.
"Sesudah itu, kau boleh memukulku!"
Bugi tidak berlari ke kamarnya. Dia tahu, Ibu pasti
akan mencarinya ke sana kalau Pak Zein memanggil
250
nya. Bugi tidak mau menemui gurunya lagi. Apalagi
bersama si tukang bohong itu!
Lebih baik Bugi bersembunyi di gudang. Tidak
seorang pun akan mencarinya ke sana. Ibu pasti tidak
dapat menemukannya.
Tetapi baru saja Bugi masuk ke dalam gudang, ada
suara langkah-langkah kaki di luar. Seseorang sedang
menuju kemari! Buru-buru Bugi bersembunyi di
balik karung...
Gudang itu gelap. Dan Bugi bersembunyi di balik
tumpukan karung beras. Pasti orang itu tidak akan
bisa melihatnya. Dia akan melongok sebentar. Mencari-cari dengan matanya dalam kegelapan. Lalu menutup pintu. Dan pergi.
Bugi memang mendengar pintu gudang terhempas tertutup. Dia bahkan tersentak kaget ketika
mendengar kunci pintu berputar.
Tapi Bugi tidak mendengar langkah-langkah kaki
menjauhi gudang. Dia malah mendengar seseorang
bergerak di dalam gudang ini
Siapakah yang masuk? Bram-kah? Atau Rio?
Gudang itu tidak mempunyai jendela. Lampu pun
tidak menyala. Seberkas cahaya yang amat lemah
menerobos dari situ-satunya lubang ventilasi di atas
sana.
Melalui lubang berukuran enam puluh kali empat
puluh sentimeter itu cahaya dari luar mencoba menjinakkan kegelapan gudang. Tetapi cahaya yang hanya sekian terlalu lemah untuk menyinari wajah orang
yang baru masuk itu.
251
Dalam gelap Bugi mendengar langkah-langkah
seseorang menghampiri tempatnya. Sambil menahan
napas dia membungkukkan tubuhnya semakin dalam di balik karung dan meringkuk di sana.
Kalau Bram yang hendak mempermainkannya,
Bugi harus sudah siap. Dia tidak mau berteriak atau
menanyakan siapa yang datang.
Kalau Bram sengaja membungkam dan masuk
diam-diam begitu, dia pasti tidak mau memberi tahu
siapa dia. jadi biar saja mereka, main sembunyi-sembunyian.
Tapi ternyata Bugi salah terka. Orang itu tidak
mencarinya. Dia mengangkat sesuatu di sudut sana.
Ketika Bugi mengintai, jantungnya berdebar kencang. Anak laki-laki itu sedang membelakanginya.
Dan suasana di sana gelap. Tapi dalam cahaya yang
samar-samar pun Bugi sudah dapat mengenali postur
tubuhnya dia bukan Bram tapi Iwan!
Apa yang dilakukannya membuat darah Bugi
berdesir lebih cepat lagi. Dia mengangkat jerigen
berisi minyak tanah yang biasa dipakai Bi Asih untuk mengisi kompornya. Seluruh isinya dituangkannya ke atas lantai dan Bugi hampir berhenti bernapas
karena kagetnya.
Apa yang kemudian dilakukan Iwan benar-benar
tidak terduga! Dia menyalakan sebatang korek api
dan melemparkannya ke lantai! Api langsung menyala dan menyambar
"Iwan!" teriak Bugi antara kaget dan ngeri.
252
Tiba-tiba Iwan berbalik. Dan sekali lagi Bugi
tersentak bingung. Nyala api yang sedang menjalar
dengan cepatnya ke mana-mana itu membiaskan
sinarnya ke muka Iwan. Dan muka itu ..... ya, Tuhan!
Itu bukan lagi muka Iwan! Bugi hampir tidak dapat
mengenalinya lagi!
Iwan yang penakut. Hampir setiap hari Bugi melihatnya dalam keadaan ketakuan. Tapi saat ini, dia bukan cuma takut. Dia sudah gila karena teramat sangat
ketakutan!
Mukanya mengerut demikian tegangnya. Dan
matanya menggelepar-gelepar liar seperti seperti
seperti
"Iwan! Awas!" teriak Bugi ngeri.
Bugi tidak sempat lagi membiarkan kebingungan
menguasai hatinya. Kaki Iwan sudah hampir dijilat
api. Segera Bugi melompat tanpa berpikir lagi. Ditariknya Iwan berlindung ke tumpukan karung beras,
satu-satunya tempat yang belum disambar api.
Aliran minyak tanah tertahan sementara oleh
tumpukan karung itu. Tapi gudang yang sedang terbakar itu telah pengap oleh asap yang menyesakkan
dada!
Dan sekali lagi Bugi tersentak kaget. Iwan menjerit sambil menghempaskan pegangan tangannya.
Dan jeritan itu ya, Tuhan! Itu bukan jeritan Iwan lagi!
Bugi sendiri tidak dapat mengenali suaranya lagi!
Jeritan Iwan melengking tinggi seperti lengkingan
binatang liar yang masuk perangkap dan dia melom
253
pat menjauhi Bugi, seolah-olah Bugi membawa penyakit menular yang sangat menakutkannya!
"Iwan!" teriak Bugi ngeri.
"Awas, api di belakangmu!"
Tapi Iwan masih lebih takut pada Bugi daripada
api itu! Dia menghambur ke pintu, seolah-olah hendak melarikan diri sejauh-jauhnya dari Bugi. Tapi
jalan ke sana sudah tertutup oleh kobaran api!
Ketika dari balkon rumahnya Bram melihat Pak
Zein memukul Dios, dia segera berlari ke kamar Iwan
untuk memanggil ibunya. Bergegas Bu Narsih pergi
ke depan untuk menjumpai Pak Zein.
"Suruh si Maman panggil Ayah di rumah Pak Witono!" perintah Ibu kepada Bram.
Tatkala sedang mencari Arman di belakang itulah
Bram melihat Iwan menyelinap ke dalam gudang.
Rasa herannya mendorong Bram untuk mengikutinya ke sana.
Apa yang mau dicari Iwan di dalam gudang? Bukankah dia sedang sakit? Jalannya saja masih terhuyung-huyung begitu. Dan Bram tersentak kaget
ketika tiba-tiba dia mendengar jeritan Bugi! jadi Bugi
juga ada di sana!
Secepat kilat Bram menerjang pintu yang tertutup. Tapi pintu itu terkunci. Dia tidak dapat masuk.
Lalu dia mendengar teriakan Bugi sekali lagi. Disusul
254
oleh jeritan Iwan! Apa yang terjadi? Bergegas Bram
mengambil tangga. Disandarkannya di bawah lubang
ventilasi. Gesit bagai kera dia memanjat ke atas dan
mengintai melalui lubang itu
Matanya terbelalak kaget ketika melihat kobaran
api yang sedang menjilat-jilat dengan hebatnya! Secepat kilat Bram meluncur turun dan berteriak-teriak
memanggil ibunya.
Pak Zein adalah orang pertama yang berhasil
menarik kesimpulan. Bu Narsih masih kebingungan menafsirkan satu-satu kata-kata Bram yang patah-patah.
Segera Pak Zein berlari mendahului yang lain
menuju ke gudang. Begitu mendengar suara api
yang gemeretak menghanguskan isi gudang, dia
langsung menerjang pintu. Sia-sia. Pintu itu tetap tidak bergeming.
"Bantu saya!" teriaknya pada Dios dan sang psikolog yang sedang mendatangi.
Bu Narsih yang datang paling akhir sudah
langsung menggedor pintu dengan paniknya sambil
memanggil-manggil Iwan.
"Pegangi Ibu, Har," perintah Pak Zein kepada Harman, si psikolog.
"Biar saya coba lagi bersama Dios."
Harman yang tubuhnya paling kecil di antara
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka bertiga mematuhi perintah Pak Zein tanpa
membantah. Dia juga menyadari bahaya itu. Ada kemungkinan Bu Narsih nekat menerobos masuk begitu pintu terbuka. Padahal api sedang berkobar-kobar
dengan ganasnya.
255
Sekali-dua kali Pak Zein dan Dios menerjang pintu itu dengan sekuat tenaga. Akhirnya pintu memang
berhasil dibuka dengan paksa. Tetapi yang menyembul ke luar malah kobaran api.
Dios tidak keburu mundur. Dan lidah api langsung
menjilatnya tanpa ampun. Bu Narsih menjerit histeris melihat baju Dios mulai dimakan api.
Dengan api berkobar di seluruh tubuhnya, Dios
berlari ke sana kemari dengan paniknya. Pak Zein
langsung mengejarnya. Mendorong tubuhnya. Dan
mengguling-gulingkannya di tanah. Sementara Harman sedang bergulat dengan Bu Narsih yang sedang
melolong-lolong hendak menerobos masuk mencari
Iwan.
Tanpa menghiraukan tangannya sendiri yang mulai terbakar, Pak Zein sibuk memadamkan api yang
menjilati tubuh Dios. Sementara itu Arman datang
dengan seember air dan menyiramkannya ke tubuh
Dios.
Ketika api berhasil dipadamkan, Dios belum pingsan. Dia masih mengerang kesakitan. Tapi, hampir
seluruh permukaan tubuhnya telah terbakar.
Pak Zein mendukungnya menjauhi api. Dan
membaringkannya di tanah.
"Beri dia minum," katanya kepada Arman.
"Saya
akan menolong Bugi dan Iwan."
Saat itu Harman telah berhasil menguasai Bu Narsih dan menenangkannya. Dia mendorong Bu Narsih ke arah mereka. Tapi begitu melihat Pak Zein, Bu
Narsih langsung menubruknya.
256
"Tolong Iwan, Pak Zein!" jeritnya sambil
menangis.
Ketika itulah Pak Zein mendengar teriakan Bram
dari atas tangga yang disandarkannya di bawah
lubang ventilasi. Tetapi dia tidak dapat mendengar
dengan jelas apa yang diteriakkan Bram. Tangis Bu
Narsih harus diredakan dulu.
"Tenanglah, Bu." katanya lembut tapi tegas.
"Percayalah, saya akan berusaha menolong Iwan dan
Bugi."
Kemudian sambil masih memegangi Bu Narsih,
Pak Zein berpaling ke arah Bram dan berteriak,
"Ada apa, Bram?"
"Bugi di sini, Pak!"
Semangat Pak Zein langsung tergugah kembali.
Didorongnya Bu Narsih ke arah Arman yang sedang
berdiri dengan tubuh gemetar di belakang mereka.
"Tolong jaga Ibu!" katanya tanpa sempat bernapas
lagi. Dia melompat ke arah Bram. Dan langsung memanjat begitu Bram turun dengan terburu-buru.
"Bugil" teriak Pak Zein sambil melongokkan
kepalanya melalui lubang ventilasi.
"jangan takut!
Bapak datang!"
Tapi Bugi sendiri sedang sibuk bergulat dengan
Iwan yang masih meronta-ronta sambil menjerit-jerit
hendak menerjang kobaran api. Dalam keadaan biasa pun, tenaga Iwan masih lebih kuat, daripada Bugi.
Apalagi dalam keadaan kalap begini. Sekali hentak
saja, Bugi sudah terhuyung mundur.
257
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan hampir jatuh, tangan Bugi menggapai mencari pegangan.
Karena tidak ada yang dapat dipegangnya, dia jatuh
terlentang. Tapi tangannya menyentuh gagang sapu
yang tadi dibuangnya.
Tanpa berpikir dua kali, Bugi melompat dengan
gesit. Melupakan rasa sakitnya. Dan memukuli punggung Iwan sekuat-kuatnya.
Rasa sakit berhasil menghentikan lari anak itu.
Bugi tidak menunggu lebih lama lagi. Dihantamkannya gagang sapu itu ke tulang kering di tungkai Iwan.
Iwan memekik kesakitan dan jatuh terduduk. Sementara itu, api sudah berkobar makin hebat. Hanya
tempat yang terlindung oleh karung beras itu yang
masih bebas dari jilatan api.
Tapi itu pun tidak lama tagi. Lidah api sudah menjilati karung itu dengan buasnya. Dan tempat mereka
terkurung api pun menjadi semakin menyempit.
Tak ada waktu. lagi. Dengan susah payah Pak
Zein menjejalkan tubuhnya melalui lubang ventilasi
itu dan merosot ke dalam. Begitu kakinya menjejak
lantai, dia langsung merangkul Bugi.
"Kamu tidak apa-apa, Bugi?" tanya Pak Zein cemas.
Bugi cuma menggeleng, karena dia memang tidak
mampu lagi berkata apa-apa.
"Kamu bisa memanjat kan?" Pak Zein membelai-belai punggung Bugi, seakan-akan ingin menyalurkan keberanian dan ketabahannya.
"Bapak tahu,
258
kamu dapat. Kamu anak perempuan yang paling hebat yang pernah Bapak kenal. Nah, kuatkan hatimu.
Panjat karung beras itu. Bapak akan bantu kamu naik
ke atas. Coba loloskan tubuhmu lubang itu."
Tapi sambil terbatuk-batuk pun Bugi masih sanggup menggeleng. Dia menunjuk Iwan. Dan Pak Zein
baru menyadari bahaya, yang lebih besar.
Segera Pak Zein melompat menyambar Iwan tepat
pada saat anak itu sedang memekik nyaring sambil
menerjang api yang menghalangi jalannya. Dia masih meronta beberapa kali. dengan paniknya dalam
pegangan Pak Zein sebelum Pak Zein berhasil memaksanya diam dengan tinjunya.
Tanpa menghiraukan tangan dan punggungnya yang ikut terbakar waktu menerobos api untuk
menyelamatkan Iwan, Pak Zein mengguling-gulingkan tubuh Iwan untuk memadamkan api yang mulai
menjilati bajunya. Kemudian dengan gesit didukungnya Iwan yang sudah terkulai lemas.
Susah payah Pak Zein mencoba mencari jalan
di antara kobaran api yang mulai mengurung mereka. Suara kayu yang dimakan api berderak-derak mengerikan. Sementara asap hitam bergumpal-gumpal menyerbu paru menyesakkan napas.
Melihat Bugi masih berdiri di tempatnya semula,
Pak Zein segera berteriak menyuruhnya naik lebih
dulu. Tetapi sekali lagi Bugi menggeleng. Dia malah
membantu Pak Zein menaikkan Iwan ke atas tumpukan karung dan mendorongnya ke dinding.
259
"Tolong naikkan Iwan ke atas punggung Bapak,"
kata Pak Zein sambil membungkuk di dekat Iwan.
"Lekas, Bugi. Kamu juga harus ikut naik."
Tetapi Bugi hanya membantu Iwan naik ke punggung Pak Zein. Dia sendiri memilih berdiri di samping gurunya.
"Bram!" teriak Pak Zein sambil terbatuk-batuk.
"Bram!"
Dan Bram melakukan tindakan yang cukup cerdik sebelum disuruh. Dalam keadaan bahaya, ternyata anak yang paling nakal itu justru punya otak yang
paling cemerlang.
Bram sudah menyeret sebuah meja ke bawah
lubang dan menempatkan meja yang lebih kecil di
atasnya. Maka begitu kepala Iwan muncul di lubang,
Bram dan Arman yang sudah berdiri di atas meja
itu dapat membantu menariknya keluar. Sementara
Pak Zein menopang kaki Iwan dan membantu mendorongnya dari bawah.
Begitu Iwan berhasil lolos, tanpa membuang waktu lagi Pak Zein menarik dan memanggulnya.
"Gapai lubang itu, Bugi! Ayo, cepat! Kamu harus
bisa!"
"Saya tidak mau meninggalkan Pak Zein!" protes
Bugi hampir menangis.
"Bapak menyusul nanti. Cepatlah. Panjat lubang
itu!"
Bugi dapat keluar lebih cepat dari Iwan. Tubuhnya
lebih kecil dan dia lebih gesit. Lagi pula dia berjuang
260
untuk keluar dengan secepat-cepatnya. Demi Pak
Zein. Supaya dia juga sempat keluar sebelum api keburu menghanguskan tempatnya.
Baru saja tubuh Iwan sampai dalam pelukan Bu
Narsih yang sudah menunggu di bawah, Bugi sudah
berhasil meloloskan dirinya melalui lubang itu. Tapi
Bugi tidak langsung turun. Dia menunggu Pak Zein
di tepi lubang.
Sementara itu tumpukan karung di bawah kaki
Pak Zein telah dijilati api. Kobaran ujung-ujung lidah
api itu telah menyambar tepi celananya. Dan dengan
cepat api mulai mencapai kakinya.
Tetapi Pak Zein tidak panik. Dia tahu apa yang
akan dilakukan Bugi jika dia tahu apa yang terjadi
pada gurunya sebelum dia sempat tiba di luar. Dengan tabah ditahannya rasa sakit dan panas yang mulai
menggigiti kakinya.
Baru setelah Bugi berhasil menyelamatkan diri,
Pak Zein mengayunkan tubuhnya ke atas. Tangannya
berhasil mencapai bibir lubang. Tapi tubuh dan tungkainya masih menggelantung di dinding.
Sementara itu lidah api menjilat-jilat semakin hebat di bawah kaki Pak Zein. Satu-dua jilatan api malah
telah sempat menyambar kakinya sebelum Harman
dan Bram berhasil membantu Pak Zein mengeluarkan dirinya dari neraka itu.
261
Dari keempat korban kebakaran itu, Bugi-lah
yang menderita luka bakar paling ringan. Dia hanya
menderita lepuh-lepuh kecil di kulitnya.
Setelah mendapat dua kali suntikan dan perawatan lokal di tempat-tempat yang mengalami luka
bakar, Bugi sudah diperbolehkan pulang. Area tubuhnya yang terbakar hanya meliputi 9%, itu pun kebanyakan luka bakar derajat satu dan dua.
Pak Zein mendapat luka bakar yang cukup hebat
di kedua belah tangan dan kakinya serta sedikit di
punggungnya. Iwan lebih hebat lagi karena mukanya
pun ikut terbakar. Demikian pula dadanya. Dia harus
dirawat bukan saja karena luka-luka bakarnya tapi
juga untuk menyembuhkan jiwanya.
Yang paling gawat justru Dios. Hampir seluruh
tubuhnya terbakar. Dia mendapat perawatan intensif dengan infus. Tetapi delapan jam kemudian dia
meninggal karena tidak dapat mengatasi shock-nya.
Hanya Bugi yang mendampingi kepergian Dios.
Pak Zein sendiri masih dalam perawatan. Tetapi kepada Bugi pun Dios tidak meninggalkan pesan apaapa. Yang terngiang di telinga Bugi hanya kata-katanya beberapa malam yang lalu.
"Mulai hari ini, saya akan melindungimu. Mencintaimu. Membuatmu bahagia. Kamu tidak perlu mencari siapa-siapa lagi. Kamu punya saya!"
Alangkah indahnya kata-katanya itu! Alangkah
merdunya janji yang diucapkannya! Belum pernah
Bugi memiliki seseorang yang menjanjikannya cinta
262
kasih! Hidup ini selamanya gersang. Selamanya kejam kepadanya. Dia tidak punya siapa-siapa. Tidak
ada orang yang mencintainya!
Dan sekarang telah pergi satu-satunya orang yang
pernah menjanjikan kasih sayang padanya. Tepat
seperti apa yang diucapkannya terakhir kali,
"Saya
amat menyayangimu. Tapi saya tidak bisa menjumpaimu lagi!"
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dios tidak dapat menjumpainya lagi. Karena maut
telah memisahkan mereka!
Untuk pertama kalinya Bugi bisa menangis lagi.
Tetapi hanya mayat Dios yang menyaksikan tangisnya Hanya dinding-dinding bisu yang mendengar
sedu sedannya
"Rasa tertarik seorang pemuda yang sedang
meningkat remaja kepada lawan jenisnya adalah hal
yang wajar," kata Harman pada Pak Dadang dan istrinya.
"Lebih-lebih kalau gadis itu sangat menarik
seperti anak angkat Bapak dan Ibu. Dalam hal ini,
sebagai orang tua, Bapak dan Ibu wajib mengarahkan agar rasa tertarik itu tidak berkembang menuju
perbuatan yang belum pantas dilakukan oleh remaja-remaja seumur mereka. Tapi bukan dengan cuma
menghukum seperti yang Ibu lakukan terhadap
Iwan."
"Saya menyesal, Nak? ' Bu Narsih menghela napas.
263
Peristiwa kebakaran itu menimbulkan shock yang
berat membekas amat dalam pada jiwa Bu Narsih.
Dalam beberapa hari saja, dia tampak jauh lebih tua.
Pak Dadang sendiri sudah merasa kuatir. Jangan-jangan istrinya pun perlu pertolongan seorang
psikolog. Atau jangan-jangan malah seorang psikiater.
Bu Narsih menjadi sering melamun. Tidak ada
nafsu makan. Sulit tidur. Kalau sudah tidur pun dia
sering terjaga malam-malam. Dan memekik histeris.
Katanya dia mimpi Iwan. Mimpi seolah-olah kebakaran yang mengerikan itu terjadi lagi. Mimpi tubuh Dios yang sedang dimakan api. Macam-macam.
Pak Dadang sendiri jadi ikut senewen.
"Pak Zein sudah menceritakan kepada saya peristiwa meninggalnya Ros sepuluh tahun yang lalu.
Sejak saat itu sebenarnya Iwan selalu dibebani oleh
perasaan bersalah. Dia merasa jijik kepada dirinya
sendiri. Sebenarnya akibatnya tidak akan sehebat itu
jika Iwan memiliki struktur kepribadian yang lebih harmonis. Hubungan interpersonal yang buruk
antara dia dengan orang tuanya menambah kecemasan yang tidak normal dalam dirinya. Orang tua
yang terlampau otoriter, disiplin yang terlalu keras,
hukuman yang kejam, semua itu menambah buruk
keadaan. Akibat pengalaman emosi dan frustrasi di
masa kanak-kanaknya ini, Iwan merasa dirinya sebagai anak yang tidak baik. Selalu merasa kurang dari
orang lain. Padahal di bawah sadarnya, dia menolak
264
anggapan itu. Kontradiksi ini selalu membangkitkan
kecemasan dalam dirinya. Untuk melindungi diri
dari impulse yang mengancam ini, untuk melarikan
diri dari anxietas yang selalu mengejarnya, timbullah
mekanisme penolakan yang disebut waham. Waham
adalah suatu keyakinan yang salah yang tak dapat
dikoreksi lagi, meskipun bagi orang normal kelihatannya tidak logis. Dalam kasus Iwan, mungkin telah
timbul waham tuduh diri dalam sepuluh tahun terakhir ini, setelah dia merasa bersalah menyebabkan
kematian adiknya, dan Ibu menghukumnya dengan
kejam. Ketika timbul trauma psikis baru akibat hukuman Ibu yang diluar batas dalam kasus Bugi, waham
yang telah lama terpendam itu muncul ke permukaan. Iwan merasa bersalah. Merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Dia menuduh dirinya kotor dan penuh
dosa karena mencintai seorang gadis. Sekarang Ibu
mengerti mengapa Iwan ingin membakar dirinya?
Dia menganggap dirinya kotor! Penuh berlumur
dosa. Dosa yang harus disucikan dengan api!"
Tak sadar Bu Narsih menggigil. Alangkah mengerikan akibat kesalahannya menghukum anak!
"Di sini bersama psikiater yang merawatnya, kami
masih menyelidiki apakah Iwan juga mendengar halusinasi. Suara-suara yang mungkin menyuruhnya
untuk membakar diri. Bila terdapat halusinasi pendengaran semacam itu, pengobatannya memerlukan
waktu lebih lama lagi. Di sini kami akan mencoba
mengembalikan lagi sentuhan-sentuhan normal di
265
dalam jiwa Iwan. Kami akan membiarkan dorongan-dorongan yang wajar hidup kembali dalam jiwanya. Tentu saja hal itu tidak mudah. Perlu waktu
yang cukup lama sebelum kami dapat mengeluarkan
Iwan dari sini. Apalagi seperti sudah saya katakan
tadi, Iwan memiliki struktur kepribadian yang kurang harmonis. Di samping itu, hubungan interpersonal yang baik antara Iwan dengan orang tuanya
masih dibutuhkan dalam perkembangan jiwanya.
Ibu harus mengubah cara mendidik anak-anak Ibu
yang keliru selama ini. Disiplin yang terlalu keras dan
hukuman yang sewenang-wenang tanpa pendekatan
dan pengertian akan memaksa jiwa anak mencari
jalan keluar lain. Pelepasan yang justru membahayakan. Kalau kita mau bersikap jujur, sebenarnya bukan cuma Ibu saja yang bersalah. Tindakan gurunya
juga saya anggap terlampau berlebihan. Akibat tindakan menghukum yang di luar batas ini, [wan sudah
terlanjur menganggap jijik daya tarik lawan jenisnya. Bila tidak diterapi secara tepat, waham ini akan
berkembang terus sampai dia dewasa. Dan makin
lama makin hebat sifatnya. Iwan akan tumbuh menjadi seorang laki-laki yang membenci wanita. Kebencian itu bisa demikian hebatnya sampai-sampai dia
menganggap hubungan antara kedua jenis kelamin
ini sebagai dosa yang harus dikutuk habis-habisan.
Ibu dapat membayangkan bagaimana ngerinya bila di
dalam masyarakat kita terdapat laki-laki yang punya
kelainan jiwa seperti itu, bukan? Dan ini bisa terjadi
266
pada Iwan! Dia bukan cuma membenci wanita. Dia
bisa sampai mengenyahkan mereka, lebih-lebih kalau
dianggapnya mereka sedang berbuat dosa!"
"Ya, Tuhan!" bisik Bu Narsih ngeri.
Dipalingkannya wajahnya. Disandarkannya ke
bahu suaminya. Air mata yang sejak tadi menggenangi matanya kini tumpah di sana.
Pak Dadang membelai-belai punggung istrinya
dengan murung. Dia sering menonton film tentang
seorang pembunuh yang sakit jiwa. Yang membunuh
wanita-wanita cantik. Terutama yang sedang bermesraan. Tetapi tak pernah dibayangkannya, sekarang
anaknya sendiri mempunyai kemungkinan untuk
memiliki kelainan seperti itu!
"Dalam hal ini, Bapak juga ikut bersalah." Pernyataan Harman seperti pengesahan atas pengakuan
Pak Dadang sendiri. Tanpa dikatakan pun, dia memang telah merasa bersalah.
"Pendidikan anak bukan
hanya tanggung jawab Ibu semata-masa. Bapak juga
perlu berpartisipasi. Berikan kesempatan pada anak
untuk mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka.
Problem mereka. Coba untuk memecahkan problem
itu bersama-sama. Berikan-mereka pengertiannya di
samping nasihat. Remaja cenderung untuk segera menolak nasihat-nasihat usang yang bertele-tele. Mereka tidak dapat menghargai pendapat orang tua kalau
orang tua itu sendiri tak mau menghargai pendapat
mereka. Pernahkah Bapak dan Ibu menanyakan
pendapat mereka, waktu makan malam bersama
267
misalnya? Pernahkah Ibu atau Bapak menanyakan
problem-problem mereka? Kesulitan-kesulitan mereka di sekolah. Pergaulan mereka dengan teman.
Dengan guru. Pernahkah ditanyakan alasan mereka
membolos? Mengapa mereka sering berkelahi. Kabur
dari rumah. Mengapa rumah dan sekolah tampaknya
demikian membosankan untuk mereka?"
Bu Narsih tidak menjawab. Pak Dadang harus menghela napas panjang dulu sebelum berhasil
mengumpulkan kata-kata di ujung lidahaya.
"Sekarang saya sadari, Nak Harman, betapa jauhnya saya dari anak-anak saya, meskipun kami hidup
serumah! Saya tidak tahu apa-apa tentang mereka.
Saya bahkan lebih mengenal beras di pabrik saya daripada anak-anak saya sendiri!"
"Dan aku selalu menghukum anak-anak, Pak,' ' desah Bu Narsih ke suaminya.
"Tanpa pernah memberi
kesempatan kepada mereka untuk membela diri!"
"Itu juga cara menghukum yang keliru, Bu. jika
mereka bersalah, jelaskan kesalahan mereka. Mereka
juga bersedia menyatakan penyesalan dan meminta
maaf kalau merasa bersalah. Tapi kalau mereka hanya
dihukum tanpa mengetahui dan menyadari kesalahannya, jiwa mereka akan berontak. Demikian pula
bila mereka dihukum dengan sewenang-wenang. Tidak sesuai dengan kesalahan yang mereka perbuat.
Konflik yang terpendam kini akan mencari jalan keluar. Dan meledak pada suatu saat dalam bentuk tindakan-tindakan yang tidak kita harapkan. Pada anak
268
anak yang normal, mungkin hanya berupa kenakalan
remaja. Seperti Bram dan Bugi. Barangkali Ibu dan
Bapak juga tidak tahu Pak Zein minta saya menyampaikan hal ini. Dan minta pengertian Bapak dan Ibu
agar menyelesaikannya dengan bijaksana pula. Jangan hanya menghukum. Hukuman saja tidak akan
menyelesaikan problem mereka sebagai remaja."
"Ada apa dengan Bram dan Bugi, Nak?" tanya Pak
Dadang dengan dada berdebar-debar.
"Bram menderita penyakit kotor. Tapi dia sudah
berobat. Dan dokter menyatakan penyakitnya dapat
sembuh dengan sempurna asal dia mau berobat dengan patuh dan rajin memeriksakan diri. Tugas orang
tuanyalah untuk mengawasi pengobatannya. Dan
menjaga agar dia tidak terkena infeksi lagi, Ibu dan
Bapak harus mencari tahu mengapa anak seumur
dia sampai pergi ke tempat-tempat seperti itu. Dan
bagaimana caranya agar dia tidak pergi ke sana lagi.
Saya percaya jika dia memiliki sebuah rumah yang
menyenangkan, orang tua yang penuh pengertian
dan dapat diajak bicara dari hati ke hati, dia tidak
perlu lari mencari tempat lain.' '
Begitu kagetnya Pak Dadang dan Bu Narsih sampai mereka tak mampu membuka mulut lagi. Jadi
bukan hanya Iwan yang sakit! Bram pun sakit! Dan
semua itu sebagian besar karena kesalahan mereka
sebagai orang tua!
"Masalah Bugi lain lagi. Saya menghargai
kemuliaan hati Bapak dan Ibu untuk mengangkat
269
nya sebagai anak. Tapi seorang anak bukan cuma
membutuhkan materi. Bukan hanya memerlukan
makanan, pakaian, dan sekolah. Dia juga membutuhkan kasih sayang. Perhatian. Dan kehangatan suasana
di rumah. Jika dia tidak menemukan semua itu di rumahnya sendiri, dia akan lari keluar untuk mencarinya. Kebetulan Bugi menemukannya pada seorang
laki-laki yang menderita penyakit kotor. Dan laki-laki itu pernah menciumnya. Pak Zein belum sempat
membawa Bugi ke dokter. Karena itu dia minta saya
menjelaskannya pada Ibu dan Bapak. Bawalah Bugi
ke dokter untuk memeriksakan diri. Dan berikanlah
dia sebuah rumah di mana dia dapat mencicipi kehangatan sebuah keluarga!"
Bu Narsih tak dapat lagi menahan tangisnya.
"Semua salahku, Pak," desahnya di sela-sela
tangisnya ketika mereka berjalan keluar dari ruang
praktek psikolog itu.
"Aku bersalah pada Iwan pada
Bram pada Bugi pada anak-anakku!"
"Minta ampunlah pada Tuhan, Bu" keluh Pak
Dadang sambil merangkul bahu istrinya.
"Minta petunjukNya."
"Aku merasa gagal total sebagai ibu mereka, Pak!
Semua anakku tidak ada yang benar. Iwan sakit jiwa.
Bram ketularan penyakit kotor. Bugi mungkin juga
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah terkena akibat pergaulannya dengan temannya
itu. Mungkin Bram juga yang membawa dia ke sana!
Padahal Bugi anak baik, Pak! Rajin dan pintar. Cuma
terlalu berani!"
270
"Kalau dia tidak berani, kita mungkin sudah kehilangan Iwan, Bu!"
"Aku menyesal telah memperlakukannya dengan
buruk selama ini, Pak!"
"Penyesalanmu belum terlambat, Bu. Mulai sekarang, marilah bersama-sama kita didik anak-anak
kita dengan lebih baik. Termasuk Bugi. Dia juga anak
kita, Bu."
"Kadang-kadang aku cemburu padanya, Pak. Aku
selalu curiga, jangan-jangan dia itu anak gelapmu."
"Apakah aku harus bersumpah dulu baru kau percaya, Bu? Atau kami berdua harus periksa darah untuk membuktikan Bugi bukan anak kandungku ?"
"Sudahlah, Pak. Lupakan saja. Aku tidak peduli
dia anak gelapmu atau bukan. Mulai sekarang, aku
akan menganggapnya sebagai anakku sendiri. Pengganti Ros, anak perempuan kita yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dan aku kan mendidik
anak-anakku dengan lebih luwes. Akan kudengarkan
semua problem mereka dan membantu memecahkannya. Agar mereka tidak mencari pemecahan di
tempat lain. Tempat yang kadang-kadang justru keliru!"
"Aku juga berjanji akan membantumu, Bu. Selama
ini, aku terlalu sibuk dilibat pekerjaan. Uang, hanya
uang yang kukejar. Sekarang aku sadar, untuk apa
uang kalau aku harus kehilangan anak-anakku?"
271
BAB XIII
KETIKA Pak Zein keluar dari rumah sakit, dia bukan
lagi guru olahraga yang gagah. Tubuhnya jauh lebih
kurus. Matanya cekung. Kaki-tangannya cacat.
Bekas luka bakar di punggungnya meninggalkan
kerutan yang tidak enak dilihat. Jaringan parut di
kedua belah kakinya pun cukup menyulitkan geraknya untuk melangkah.
Cacat yang paling hebat terdapat pada kedua belah
tangannya. Demikian hebat tarikan jaringan parut
yang terbentuk sehingga terjadi kontraktar yang
membuat Pak Zein tak dapat meluruskan jari-jarinya. Jari-jemarinya hanya dapat mencengkeram seperti cakar.
Tetapi Pak Zein sendiri tidak peduli dengan
keadaan fisiknya. Dia lebih memikirkan keadaan murid-muridnya.
Begitu diperbolehkan meninggalkan rumah sakit,
dia langsung menjenguk Iwan. Sayang Iwan belum
dapat berkomunikasi dengan baik. Dia masih ketakutan kalau dikunjungi orang. Dan dia selalu berusaha menutupi wajahnya dari pandangan orang lain.
Belakangan baru Pak Zein mengerti. Ada bekas luka
bakar yang amat mengerikan di wajahnya.
Pak Zein keluar dari kamar Iwan dengan air mata
berlinang. Kasihan anak itu! Sudah jiwanya sakit,
mukanya cacat pula. Dia menjadi korban dari cara
mendidik yang keliru.
272
Tidak henti-hentinya Pak Zein menyalahkan dirinya sendiri. Sebagai guru Iwan, dia merasa ikut bersalah!
Di dalam kamar tadi, dia masih berusaha menahan tangisnya. Tetapi di lorong yang sepi ini, kesedihannya hampir tak tertahankan lagi. Pak Zein duduk
di sebuah bangku panjang. Lengannya diulurkan
pada sandaran kursi itu. Lalu ditelungkupkannya wajahnya di sana.
Sebuah sentuhan ragu-ragu mampir di bahunya.
Ketika Pak Zein mengangkat wajahnya, dia melihat
Bram. Tegak dengan tatapan cemas di hadapannya.
"Pak Zein; ' tegur Bram antara cemas dan bingung.
"Kenapa?"
Pak Zein menghapus air matanya sambil mencoba
tersenyum. Diajaknya Bram duduk di sampingnya.
"Bapak hanya merasa sedih."
"Pasti karena Iwan. Ibu juga selalu menangis kalau
keluar dari kamarnya? '
"Karena itu jangan membuat Ibu tambah sedih, Bram. Sudah cukup banyak penderitaannya.
Bagaimana penyakitmu? Kamu masih berobat pada
dokter Kresno?"
"Katanya saya sudah sembuh? '
"Bagus kalau begitu. Berjanjilah pada Bapak,
Bram, kamu tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Belum pantas dilakukan oleh anak seumurmu. Lagi
pula infeksi yang berulang-ulang dapat menyebabkan
kemandulan."
273
Bram tidak menjawab. Dia hanya menunduk.
"Bapak mengerti problemmu, Bram. Kadangkadang libido atau dorongan seks itu sulit ditahan.
Orang dewasa bisa menikah untuk mengatasi kebutuhan biologis ini. Tapi remaja seumurmu tidak.
Karena itu kalian harus mencari jalan lain. Olahraga misalnya. Atau menyalurkan hobimu, Bapak lihat
kamu punya bakat main drama. Nah, mengapa tidak
memupuk bakatmu melalui latihan-latihan drama? Keletihan hsik dapat membuat kita melupakan
dorongan yang belum kita ingini itu."
Sekali lagi Bram membisu. Dia tidak tahu harus
menjawab apa meskipun dia meresapi benar kata-kata Pak Zein. Ternyata perubahan fisik tidak mengubah sifat Pak Zein. Dia masih tetap guru yang paling
simpatik!
"Bagaimana Bugi? Dia juga sudah pergi ke dokter?"
"Sudah diperiksa, Pak. Darahnya juga sudah dites.
Tidak ada apa-apa, kata dokter Kresno. Semuanya
baik."
Syukurlah kalau begitu. Bapak lega mendengarnya.
Yang terakhir dikunjungi Pak Zein adalah kuburan Dios. Pak Zein tak dapat hadir pada saat pemakamannya. Inilah pertama kali dia berada kembali
274
dekat jasad temannya itu setelah sekian lama berpisah. Padahal selama bertahun-tahun, setiap malam
mereka selalu tidur berdua. Dalam kamar yang sama.
Lama Pak Zein termenung merenungi gundukan
tanah bisu di hadapannya. Di tengah-tengah kesunyian tanah pemakaman, Pak Zein masih dapat mendengar kembali kata-kata Dios.
"Aku mencintainya, Zein! Aku sangat mencintainya! Besok harus kaubawa aku berobat, Zein! Ke
dokter mana saja, aku tak peduli! Aku tak peduli disuntik, diperiksa darah, atau dibedah sekalipun, aku
rela! Asal sembuh, Zein! Aku tidak mau menularkan
penyakit kotorku padanya!"
Tak sadar titik air mata Pak Zein. Mengalir ke pipi.
Dan jatuh membasahi gundukan tanah di depannya.
Kenapa kau harus pergi justru pada saat keinsafan
sudah datang menjengukmu, Dios?
"Sekarang sudah kutemukan gadis yang kucintai,
Zein! Gadis yang mampu membuatku berpikir tentang sebuah perkawinan! Tapi aku tidak akan kawin
sebelum sembuh, Zein! Aku harus berobat! Sampai
sembuh betul!"
Sekarang kau sudah sembuh, betul, Dios. Api
sudah menyucikan tubuhmu, memusnahkan kuman-kuman penyakitmu yang tak dapat dihilangkan
oleh obat! Beristirahatlah dengan tenang. Aku akan
menjaga kekasihmu baik-baik. Akan kulindungi dan
kudidik satu-satunya gadis yang pernah kaucintai.
Gadis yang dapat membuatmu rela melakukan apa
275
saja. Menghentikan kegemaranmu main perempuan.
Pergi ke dokter. Berobat sampai sembuh. Bahkan
mengorbankan nyawamu!
"Dia membutuhkan rehabilitasi," kata Dokter Harsa kepada orang tua Pak Zein.
"Antara lain dengan
skingraft. Pencangkokan kulit dari bagian badannya
yang lain. Tulang-tulang kecil yang rusak dimakan
api juga harus dibuang dan diperbaiki."
"Mahalkah biayanya, Dokter?" tanya ibu Pak Zein
muram.
Mereka bukan orang kaya. Biaya perawatan di rumah sakit ini saja masih harus ditanggung oleh sekolah tempat Pak Zein mengajar bersama orang tua
Bram. Dari mana mereka harus memperoleh biaya
untuk rehabilitasi?
"Tapi tanpa rehabilitasi itu Pak Zein akan menjadi
orang cacat!" desah Bugi sedih.
Bugi sedang berkumpul bersama teman-temannya di halaman sekolah. Pak Zein memang sudah
diperkenankan meninggalkan rumah sakit. Tetapi
bukan berarti dia sudah sembuh!
"Aku akan minta sumbangan pada orang tuaku,"
cetus Rita spontan.
"Akan kukumpulkan rupiah demi
rupiah untuk Pak Zein!"
"Ide yang bagus!" sambut Nunuk gembira.
"Kita
cari dana untuk rehabilitasi Pak Zein!"
276
"Ke mana?" potong Beno pesimis.
"Bagaimana
caranya? Mengedarkan formulir sumbangan ke rumah-rumah?"
"Atau turun ke jalan seperti waktu kita cari dana
PMI dulu?" sambung Dino.
"Boleh saja. Aku nggak
keberatan. Asal diizinkan"
"Orang tuaku tidak mampu," desis Dede.
"Paling-paling mereka nyumbang koran bekas untuk dijual di pasar!"
"Jual koran pun aku mau untuk Pak Zein!" gumam Lira.
"Tapi sampai kapan uang hasil penjualan
koranmu terkumpul? Apa Pak Zein mesti menunggu
sampai rambutnya beruban?"
"Aku ada usul," cetus Bugi tiba-tiba.
Teman-temannya serentak menoleh ke arahnya.
"Kira bikin malam kesenian seperti dulu. Tapi kali
ini, karcisnya kita jual."
"Cinderella lagi maksudmu?" sela Nunuk bersemangat.
"Aku bersedia main lagi!"
"Dan aku bersedia jual karcisnya!" sambung Dede
gembira.
"Aku dan Beno mau menyumbangkan lagu," sambar Dino antusias sekali.
"Suara kami tidak jelek,
kan?"
"Jelek juga nggak apa-apa," sahut Beno.
"Pokoknya mereka beli karcis!"
Ketika teman-temannya masih ribut, Bugi melangkah menghampiri Lira. Dan suasana mendadak
menjadi sepi ketika kedua gadis itu saling berhadapan.
277
Lira menatap Bugi dengan tegang. Siap menanti
segala kemungkinan. Sejak perkelahian dua bulan
yang lalu, mereka memang tak pernah lagi bicara.
Bugi selalu menghindar. Lira pun senantiasa membuang muka kalau bertemu.
Tapi hari ini Bugi langsung menghampiri Lira. Air
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya begitu serius. Teman-teman mereka sampai
menahan napas. Menunggu apa yang akan terjadi.
"Maukah kamu main lagi bersamaku, Lira?" tanya
Bugi di bawah tatapan tegang teman-temannya.
"Kita
persembahkan Cinderella sekali lagi. Tapi kali ini
khusus untuk Pak Zein. Jika kamu ingin memerankan Cinderella, aku bersedia tukar tempat."
Sejenak Lira tertegun. Tapi di detik lain, dia sudah
mengulurkan tangannya.
"Kamu lebih cocok jadi Cinderella," katanya, yang
disambut desah lega teman-temannya.
Ibu Lies pun terperangah ketika Bugi dan
teman-temannya datang menghadap. Selama beberapa saat dia hanya diam termenung. Masih tertegun
mendengar permintaan murid-muridnya. Dia tidak
menyangka anak-anak nakal ini punya ide yang demikian luhur.
"Kami mohon Bu Lies sudi memimpin latihan
kami," kata Bugi sungguh-sungguh.
"Kalau Bu Lies
anggap saya tidak pantas memerankan Cinderella,
saya bersedia diganti."
Bu Lies tidak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Dia hanya menatap murid-muridnya satu per
278
satu. Dulu dia kesal sekali melihat wajah-wajah mereka. Anak-anak nakal yang selalu membuat onar. Selalu menyakiti hati guru-guru.
Tetapi sekarang, wajah-wajah itu tampak serius.
Mata mereka menatap dengan penuh pengharapan.
Dan di mata mereka, Bu Lies menemukan sesuatu
yang selama ini tak pernah dilihatnya. Ketulusan
remaja untuk membela guru, yang mereka sayangi.
Diam-diam dia merasa terharu.
Suster Katherine tidak keberatan dengan usaha
murid-muridnya mengumpulkan dana untuk merehabilitasi Pak Zein. Dia malah bersedia diangkat jadi
pelindung. Semua pihak bahu-membahu demi terlaksananya usaha yang mulia itu.
Bram juga langsung mencalonkan diri begitu
didengarnya teman-temannya hendak menampilkan
kembali operet Cinderella. Kali ini dia tidak perlu diminta.
Karena semua pemain terdiri dari orang yang dulu-dulu juga, latihan berjalan lancar. Bu Lies tidak
perlu mengeluarkan energi terlalu banyak. Semua
sudah tahu tugasnya. Dan kali ini, ada motivasi yang
lebih kuat untuk menampilkan acara itu dengan sebaik-baiknya. Demi Pak Zein.
Anak-anak yang tidak kebagian acara, bergiat
menjual karcis sebanyak-banyaknya. Dengan de
279
mikian, mereka merasa ikut pula menyumbangkan
tenaga untuk kesembuhan Pak Zein.
Ketika Lira sebagai ketua panitia menguraikan
tekad dan perjuangan teman-temannya demi terwujudnya malam dana itu, bukan hanya Pak Zein yang
terharu. Hampir semua hadirin pada malam dana itu
tergugah untuk berpartisipasi.
Tidak heran kalau acara lelang berjalan meriah.
Para hadirin menyumbangkan apa saja yang mereka
rasakan pantas untuk disumbangkan. Jam tangan.
Pemantik api. Pulpen. Dan barang yang disumbangkan itu dilelang kembali. Uangnya dikumpulkan.
Keharuan menyengat hati Bugi dan teman-temannya ketika Bu Lies menyumbangkan kipas angin yang
baru diperolehnya dari hasil undian untuk dilelang.
"Barang itu bukan milik saya seutuhnya," kata Bu
Lies dalam kata sambutannya.
"Siswa-siswa IA yang
mengirimkan kupon-kupon itu ke majalah? '
Tak terasa menitik air mata Linda. Dia menyodok
rusuk Nunuk dengan sikunya. Ketika Nunuk berpaling, Linda melihat mata gadis itu juga sudah berlinang air mata.
Mereka sama-sama tersenyum kemalu-maluan.
Selama ini mereka begitu antipati pada Bu Lies. Adaada saja sifat guru itu yang mereka jadikan bahan
olok-olok.
Dia judes. Nyinyir. Tidak bisa melihat orang lain
senang. Norak. Iri hati. Dan masih segebung sifat
jelek lagi.
280
Tetapi malam ini, pengorbanannya sungguh meletikkan haru di hati murid-muridnya. Dia merelakan
hadiah yang baru dua hari diterimanya. Padahal dia
begitu mengharapkan hadiah itu.
Dibalik sifat-sifat buruknya, ternyata Bu Lies masih punya sepotong hati. Dan hati itu tidak sehitam
yang mereka sangka.
Setelah acara pembacaan sajak yang berjudul "Kidung Cinta buat Pak Guru" dipersembahkan oleh
Lira, Beno muncul bersama Dino membawakan beberapa buah lagu. Suster Katherine sendiri sampai
tidak mampu memberi komentar apa-apa.
Ternyata kedua berandal itu punya suara yang
cukup bagus. Dan mereka memiliki kesadaran untuk
ikut menyumbangkan sesuatu buat guru yang mereka
sayangi.
"Saya jadi iri pada Pak Zein," komentar Pak Tomo
terus terang.
"Dia begitu melekat di hati anak-anak? '
Operet Cinderella merupakan acara terakhir.
Sekaligus puncak acara pada malam itu. Sebelum
pertunjukan dimulai, Nunuk turun dari panggung.
Membawa seikat mawar merah yang dipersembahkannya kepada Pak Zein.
"Dari teman-teman untuk Pak Zein," kata Nunuk
waktu menyerahkan bunga itu.
"Sebagai tanda kasih
sayang, kami semua? '
Pak Zein tidak dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Suaranya hilang disekat keharuan. Bu Neni yang
duduk di sisinya pun ikut terharu.
281
Dengan susah payah Pak Zein berusaha membuka jari-jarinya untuk menerima bunga dari Nunuk.
Kilatan lampu blitz membiaskan genangan air di
matanya.
Begitu banyak yang telah dilakukan oleh murid-muridnya. Begitu besar perhatian mereka. Begitu
dalam simpati dan kasih sayang yang hendak mereka
ungkapkan dalam usaha meringankan penderitaan
gurunya.
Ah, anak-anak nakal.Ternyata di balik kenakalanmu, kalian punya hati yang amat mulia!
Operet Cinderella berlangsung dalam suasana
yang lebih mencekam. Dipersembahkan oleh pemain-pemain yang punya motivasi lebih kuat pula.
Tidak heran kalau pertunjukan itu sendiri jauh gemilang daripada pertunjukan yang pertama dulu.
Bugi bermain demikian bagusnya sampai-sampai
Suster Katherine sendiri berdesah kagum. Tepuk tangan riuh seakan-akan hendak meruntuhkan gedung
pertunjukan. Pujian kekaguman seolah-olah tak pernah putus-putusnya, menggema dari segala penjuru.
Malam dana itu berlangsung amat sukses. Lira
sebagai ketua panitia dan Bu Lies selaku guru pembimbing saling berpelukan dengan gembira. Tak ada
lagi rasa iri. Kesuksesan itu merupakan bagian dari
kerja keras mereka semua.
Seusai pertunjukan, guru dan murid sama-sama
menyerbu para pemain. Berebut memberi ucapan selamat. Berbaur dan larut dalam kegembiraan.
282
Bugi sendiri tak putus-putusnya menerima uluran
tangan dan ciuman. Tetapi di sela-sela kebahagiaannya, dia masih mencari-cari seseorang. Seorang yang
paling diharapkannya datang menyalami.
Susah payah Bugi menguakkan kerumunan
teman-temannya. Lalu diam-diam menyelinap ke
tangga di balik panggung. Dan melongok ke bawah.
Pak Zein memang sudah menunggunya di ujung
tangga di bawah sana. Ada senyum menghiasi bibirnya. Senyum yang itu-itu juga. Senyum yang dikenal Bugi. Senyum yang dulu dilihatnya setiap hari.
Senyum yang dirindukannya.
Dengan senyum itu di bibirnya, Pak Zein seolah-olah sudah kembali menjadi Pak Zein yang dulu.
Guru olahraga dan matematiknya yang gagah dan
simpatik. Orang pertama yang memperhatikannya.
Mengubah penampilannya. Mengubah segala-galanya!
Keharuan menyengat hati Bugi ketika dia terkenang kepada peristiwa yang sama beberapa bulan
yang lalu. Tanpa berpikir lagi, dengan air mata berlinang, Bugi mengangkat roknya. Dan naik ke atas
pegangan tangga.
Di bawah tepukan riuh teman-temannya yang tiba-tiba saja muncul, Bugi meluncur turun. Pak Zein
menyambutnya dalam pelukannya.
"Terima kasih, Bugi" kata Pak Zein terharu.
"Bapak bangga padamu!"
"Kami juga bangga padamu, Pak Zein !" seru Beno
283
dari atas. Dia langsung naik keatas pegangan tangga.
Dan meluncur ke bawah.
Serta-merta Pak Zein melepaskan Bugi dan menyambut Beno dalam pelukannya. Tindakan Beno
langsung diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Termasuk teman-teman putrinya.
Mereka baru berhenti meluncur ketika Suster Katherine muncul. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tetapi tidak bisa marah. Karena suasana
memang tidak mengizinkan.
Ketika Bugi mengangkat kepalanya, dia melihat
Pak Dadang sedang berdesak-desakan maju untuk
menghampirinya.
"Selamat, Bugi," katanya dengan suara yang penuh
oleh rasa haru dan bangga.
"Kamu hebat! Hebat sekali!"
Ketika Bugi membalas jabatan tangan Pak Dadang, untuk pertama kalinya laki-laki itu menariknya
ke dalam pelukannya. Tubuh Bugi yang mula-mula mengejang dalam pelukan ayah angkatnya lambat laun melembut ketika dirasakannya kehangatan
dekapan seorang ayah.
Tiba-tiba saja dada Bugi terasa sesak. Ada keharuan yang menyengat. Hampir meledak dalam bentuk
tangis kebahagiaan.
Akhirnya ditemukannya juga seorang ayah, bukan
hanya dengan kata-kata, tapi dengan segenap hatinya.
Air mata Bugi yang hampir menitik terdesak
kembali ke dalam rongga matanya ketika tatapann
284
ya berpapasan dengan tatapan Bu Narsih. Entah sudah berapa lama dia berada di belakang Pak Dadang.
Menyaksikan suaminya merangkul Bugi.
Tetapi tatapan Bu Narsih kali ini bukan lagi tatapan yang dikenalnya selama ini. Tatapan itu demikian lembut sampai Bugi tidak dapat mempercayai
matanya sendiri.
Ketika Pak Dadang melepaskan rangkulannya, tak sadar Bugi mundur dua langkah. Suasana
di sana cukup ramai. Hiruk-pikuk tawa dan canda
teman-temannya tidak henti-hentinya membisingkan telinga.
Tetapi Bu Narsih seolah-olah tidak mendengar
apa-apa lagi. Dia melangkah maju sambil membuka
lengannya lebar-lebar.
Semenjak dinasihati psikolog, sikap Bu Narsih terhadap Bugi memang telah berubah. Dia tidak pernah
minta maaf. Itu memang bukan sifatnya. Tetapi dia
Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berusaha untuk bersikap manis kepada Bugi.
Bugi sendirilah yang masih diliputi perasaan curiga. Dia tidak percaya Bu Narsih sudah berubah dan
mencoba untuk mengubah perlakuannya selama ini.
Karena itu hubungan mereka tetap jauh.
Tetapi malam ini tiba-tiba saja Bugi sadar, telah
ditemukannya ibu yang selama ini didambakannya.
Bu Narsih benar-benar telah berubah!
Sambil memekik "Ibu!" Bugi berlari ke dalam pelukan Bu Narsih.
"Tuhanku," bisik Bu Narsih dengan air mata ber
285
linang. Didekapnya Bugi erat-erat Dibelai-belainya
rambut gadis itu dengan penuh keharuan.
"Bertahun-tahun kupinta seorang anak perempuan lagi
kepada-Mu, sebagai pengganti Ros kami yang telah
tiada. Tapi karena kebodohanku, telah kusia-siakan
anugerah yang Kau-kirimkan kepada kami!"
Tamat
Trio Detektif 44 Komplotan Pencuri Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama