Sepasang Remaja Karya V Lestari Bagian 1
V. LESTARI
SEPASANG REMAJA
Penerbit PT Gramedia
Jakarta, 1988
Ebook by Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
LEMBAGA Pemasyarakatan Anak Nakal Bagian Pria.
Ketika itu, sekelompok anak sedang bermain voli di
halaman. Anak laki-laki dan perempuan berbaur dengan
mayoritas laki-laki. Sebagian lain duduk-duduk di
pinggiran memandangi yang main.
Semuanya berwajah cerah. Sesekali kedengaran sorak
dan tawa berderai. Pertanda bahwa mereka memang
menikmati kegiatan itu. Sangat menikmati. Padahal
di tempat lain dan suasana yang lain kegiatan serupa
mungkin berlangsung biasa-biasa saja biarpun sama
menggembirakan. Mereka memang lain. Bagi mereka,
gerak-gerik yang lepas bebas adalah suatu kebutuhan,
baik secara fisik maupun kejiwaan. Tapi khusus untuk
mereka hal demikian serba terbatas. Harus dibatasi.
Mereka adalah anak-anak nakal yang harus dihukum dan
direparasi sesuai kenakalan yang telah mereka lakukan.
Tapi pada saat itu hampir tak bisa ditemukan ciri nakal
di wajah-wajah mereka. Biasa-biasa saja. Tak beda dengan
anak lain di luar Lembaga. Bahkan ada yang berwajah
bocah, manis tanpa dosa.
Seorang pria dan seorang wanita setengah baya
mendekat ke pinggir lapangan. Mereka ikut tertawa dan
7
E-Booh by syquqy_qrr
memberi semangat kepada yang tengah bermain, berbicara
sepatah dua patah kepada yang tengah duduk-duduk lalu
melambai kepada Pak Darma sang pelatih. Kemudian
mereka menuju ke bawah pohon rindang, tak jauh dari
situ, untuk duduk-duduk sambil memperhatikan.
"Tuh sepasang merpati tua mau pacaran," celetuk
seorang anak perempuan kepada teman sebelahnya.
"Huu, itu sih nggak menarik. Percuma diliatin," sahut
si teman.
Seorang anak perempuan yang belum lama duduk
sehabis bermain menyeka peluhnya dengan handuk kecil
lalu ikut bicara dengan nada mencemooh,
"Sok tahu.
Masa orang pacaran di tempat begini. Di tempat sepi
dong!"
Kedua anak yang pertama bicara menutup mulut lalu
saling melirik. Kemudian mereka beringsut menjauh.
"Huu dasar perek," sungut yang satu.
"Iya. Terang aja dia udah berpengalaman."
"Emangnya kamu belum?"
Yang ditanya menyikut temannya. Lalu keduanya
terkikik.
Anak perempuan yang dikatai perek itu melirik
dengan wajah jengkel. Lalu ia menjulurkan lidahnya ke
arah mereka. Yang di sana pura-pura tak melihat.
Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan besar keluar
lapangan untuk digantikan pemain lain. Dia menyeka
8
peluh dan mengatur napas lalu duduk di sebelah si gadis
perek. Si gadis buruburu menarik kembali lidahnya dan
memasang wajah manis. Si pemuda meliriknya sebentar
dengan sikap acuh tak acuh, lalu memandang kembali
ke lapangan. Ia berharap dapat giliran main lagi sebelum
permainan dinyatakan usai. Sayang memang. Lapangan
cuma satu.
"Hei, mainmu bagus tadi, ya. Serve kamu keras kayak
geledek. Apalagi smas/J-nya," tegur si gadis. Tapi dalam
hati ia berkata lain. Ya, terang saja kamu bisa main begitu.
Soalnya, badanmu gede!
Yang diajak bicara cuma nyengir. Bahkan menoleh
pun tidak.
"Tapi kamu licik. Masa smash diarahkan ke cewek.
Terang aja dia nggak bisa balas," kata si gadis jengkel
karena tak diladeni.
Baru sekarang si pemuda menoleh.
"Oh, jadi kamu yang kena smashku tadi.> Nggak salah
dong. Kita kan harus cari kelemahan lawan."
Si gadis cemberut. Jadi dia dianggap lemah.
"Mentang-mentang gede.
" ia mengomel.
"Mestinya cewek-cewek main sendiri di lapangan
lain."
"Mana lapangannya?" tanya si gadis ketus.
"Atau main yang lain kek."
"Enak saja. Egois."
Si pemuda beringsut sedikit. Dia menyesal duduk di
situ.
Tapi si gadis juga menyesal. Dia tidak punya teman di
tempat itu. Di bagian cewek semua menyebalkan. Sedang
di bagian cowok dia tidak tahu karena mereka terpisah.
Kesempatan untuk bertemu hanya pada saat seperti itu.
Dan itu pun baru terlaksana setelah berbulan-bulan
lamanya ia di situ melewati berbagai tempaan yang tidak
menyenangkan. Itulah pertama kalinya ia diizinkan main
bersama. Belajar hidup bermasyarakat dengan cara yang
baik dan benar, demikian kata para pembina. Sungguh
menyebalkan. Ternyata di matanya semua cowok di situ
adalah anak kecil. Tak peduli mereka semua menyimpan
sejarah kenakalan. Mungkin cuma maling-maling kecil.
Padahal angan-angannya membayangkan akan bertemu
dengan cowok-cowok yang keras dan matang karena
pengalaman, bukan karena usia. Atau pemberontak
pemberontak yang senasib dengan dirinya. Ketemu
dengan orang-orang senasib adalah hal yang paling
menyenangkan.
Tapi ada juga cowok yang mampu menarik per
hatiannya. Si gede di sebelahnya. Bukan cuma tubuhnya
yang kelihatan perkasa, tapi wajahnya pun lumayan
cakep. Sepintas lalu kelihatannya dia sudah dewasa, tapi
bila diperhatikan jelas tampak kebeliaannya.
Si gadis beringsut lebih dekat. Dia tersenyum manis.
Ah, menggemaskan juga kenapa cowok ini tidak kelihatan
10
tertarik padanya, padahal banyak orang bilang dia ayu.
Tapi justru karena itu juga dia jadi semakin penasaran.
"Eh, sori ya. Kadang-kadang aku suka judes."
Si cowok gede memandang heran. Sepertinya dia
sudah lupa akan dialog mereka tadi.
"Boleh kutahu namamu?" tanya si gadis.
"Abi."
"Panjangnya apa?"
"Abimanyu."
Si gadis menunggu sebentar. Mestinya si Abi juga
menanyakan namanya. Tapi ternyata tidak. Dia jengkel.
Tapi dia tak ingin dirinya tak dikenal.
"Namaku Erika. Panggilannya Riri."
"Oh ya," jawab Abi kikuk. Tiba-tiba dia merasakan
tatapan dua orang yang berada di bawah pohon sebelah
sana tertuju ke arahnya. Untuk kesekian kalinya ia
diingatkan bahwa ia sedang dinilai.
Riri memandang geli. Mana mungkin di tempat
seperti itu ada cowok pemalu? Kalau tidak nakal, bandel
atau badung, tak mungkin orang bisa berada di situ. Jadi
susah membayangkan bahwa orang seperti itu ternyata
pemalu menghadapi cewek. Pikiran itu membuat dia
tambah berani. Tak seperti Abi ia sama sekali tidak
teringat kepada kedua orang di bawah pohon sana.
"Apa statusmu di sini, Bi?"
Abi menoleh kaget. Ia bertatapan dengan sepasang
mata hitam yang jeli dan bersinar-sinar.
11
"Aku anak titipan," kata Riri sebelum Abi sempat
menjawab.
"Ya, aku ditaruh di sini oleh orang tuaku
supaya jadi anak yang baik dan manis."
"Emangnya kau kenapa?"
"Orang bilang, aku perek. Ngerti kan artinya.> Aku
suka keluyuran malam pulang pagi. Pacaran sama siapa
saja yang kusukai. Aku heran bener kenapa mereka mesti
peduli. Aku kan cuma mengikuti jejak? Mereka juga
suka pacaran sana sini lalu berantem kalau di rumah.
Jadi buat apa aku disuruh jadi orang baik kalau mereka
sendiri nggak baik? Apa dikira aku nggak tahu mana
yang disebut baik dan mana yang jelek itu? Masalahnya
cuma aku nggak mau jadi baik kalau mereka nggak baik
duluan!"
Abi tertegun.
"Nggak adil, Bi," keluh Riri lagi. Untuk sesaat dia
melupakan keingintahuannya perihal Abi. Dia terlalu
asyik meluapkan kejengkelannya sendiri.
"Kenapa nggak adil?" tanya Abi ingin tahu.
"Mestinya jangan dibuat Lembaga seperti ini untuk
kita saja, tapi untuk mereka juga. Namanya aku sudah
punya. Lembaga Pemasyarakatan Orang Tua Nakal."
Riri ketawa ngakak. Abi juga. Tawa itu sungguh me
nyenangkan perasaannya. Sudah lama dia tidak tertawa
seperti itu. Tapi dia segera teringat pada mata para
pengawas di sebelah sana.
12
"'Hari-hati, Ri. Kita diawasi," ia mengingatkan.
"Emangnya kenapa? Kita kan cuma ngobrol lalu
ketawa. Apa itu salah?"
"Sebaiknya jangan sampai dianggap salah. Di sini kita
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus berusaha dianggap baik supaya cepat keluar."
"Emangnya kau ingin cepat keluar.>
"Tentu saja. Siapa yang senang ditahan lamalama?"
"Oh ya. Apa sih statusmu?"
"Anak negara."
"Jadi?"
"Aku dimasukkan ke sini karena vonis hakim."
"Apa yang sudah kauperbuat?"
Wajah Abi menjadi muram. Dia tak ingin men
ceritakan, juga tak pernah menceritakan kepada teman
temannya di situ.
"Aku janji tidak akan bercerita kepada orang lain, Bi.
Sungguh. Memang aku suka terus terang tentang diriku
sendiri, tapi tentang orang lain sih nggak pernah. Apalagi
kalau diminta."
"Tapi kau cerita tentang orang tuamu."
"Tentu saja aku harus cerita. Habis mereka ada sang
kutannya dengan diriku. Kenapa aku di sini.> Kan gara
gara mereka juga."
Abi termenung. Mungkin sikap seperti Riri itu lebih
jantan. Tapi, bukankah kasusnya sendiri berbeda?
"Ya sudah. Kalau nggak mau cerita ya sudah. Nggak
usah cemberut begitu," sungut Riri.
13
"Aku nggak keberatan, Ri. Tapi kau jangan kaget. Aku
dituduh membunuh ayahku sendiri!"
Toh Riri kaget. Ia memperhatikan wajah Abi lebih
cermat seakan mau mencari ciri di situ. Ciri yang dapat
menunjukkan bahwa dia seorang pembunuh. Tapi tentu
saja dia tak berhasil menemukannya.
Kemudian matanya turun menyelusuri tubuh Abi lalu
singgah di kedua tangannya. Tangan yang kuat dan kekar.
Smashnya kayak geledek tadi. Dengan tangan kosong
mampukah dia memukul orang sampai mati.> Hampir saja
Riri merinding. Tapi dia berusaha menahan perasaannya.
Mungkin wajah Abi yang murung membangkitkan rasa
ibanya. Tiba-tiba saja timbul penasarannya.
"Katamu, kau dituduh? Cuma dituduh, kan?Tentunya
kau sendiri tidak berbuat!" kata Riri penuh kepastian.
Abi menoleh. Dan untuk sesaat Riri serasa melihat air
mata di mata Abi. Tapi Abi memalingkan muka dengan
cepat.
"Aku memang membunuhnya, Ri. Aku membenci
nya," kata Abi pelan.
Riri diam sebentar. Tapi dia merasa harus bicara.
"Aku juga benci sekali pada orang tuaku. Dua-duanya
malah. Dan aku juga kepingin sekali membunuh mereka!"
Hilang sesal dan duka Abi mendengar kata-kata
yang diucapkan dengan penuh kesungguhan itu.
Ia tersenyum karena merasa lucu. Tentunya Riri
14
cuma mau menghiburnya saja. Sepertinya Riri mau
mengatakan bahwa membunuh itu tidak apaapa. Tentu
saja, sebelumnya tak pernah ada orang bilang begitu
kepadanya.
"Berapa umurmu sekarang, Bi?"
"Tujuh belas."
"Oh, sama denganku. Lantas, sudah berapa lama kau
di sini?"
"Dua tahun."
"Jadi kau melakukannya waktu umur lima belas.>
Berapa tahun kau divonis?"
"Tah un depan aku bebas kalau aku baik-baik saja. Sejak
semula aku berusaha bersikap baik. Kalau hukumanku
ditambah berarti umurku sudah lebih dari delapan belas.
Nanti aku bisa dimasukkan Lembaga Pemasyarakatan
orang dewasa. Aku takut, Ri."
"Untung saja badanmu yang gede ini tidak mengecoh
hakim hingga dia mengirimmu ke penjara. Eh, apakah
dua tahun yang lalu badanmu sudah segede ini?"
Abi tertawa.
"Kecilan dikit. Entah kenapa aku bisa
bongsor kayak gini. Dulu aku malu. Sekarang aku
beruntung. Coba kalau aku kecil pasti aku diinjak di sini."
"Mungkin kau keturunan gede. Apakah ayahmu juga
bongsor?"
"Nggak. Dia kecil kurus."
"Lho? Mungkin ibumu."
15
"Ibuku juga kecil. Ah, jangan heran begitu. Wajar
saja. Aku cuma anak angkat kok. Aku nggak tahu orang
tua kandungku siapa dan kayak apa."
Riri merasa prihatin. Sebelumnya dia sudah banyak
mendengar cerita kelabu di tempat ini. Tapi yang
didengarnya sekarang membuatnya ngenes. Mungkin dia
sendiri lebih beruntung.
"Aku tahu. Mungkin mereka suka menyiksamu?
Biasanya begitu. Mentang-mentang bukan anak kandung
lalu tak sayang."
"Begitu juga nggak, Ri. Yang membenciku adalah
ayahku. Dia sering memukuliku. Sejak semula dia
nggak suka mengangkatku sebagai anak, begitu menurut
cerita ibuku. Tapi ibuku sendiri sangat menyayangiku.
Itu sebabnya aku ingin cepat pulang untuk bisa segera
menemaninya," cerita Abi dengan bangga.
"Apakah ibumu tidak marah karena kau telah
membunuh suaminya?"
Abi cuma menggelengkan kepala.
"Kau sendiri, Ri, berapa lama kau di sini?"
"Tergantung ibuku. Berapa lama dia mau menitipkan
aku. Tapi buat apa sih aku buru-buru pulang.> Toh
pulangnya ke neraka. Kalaupun di sini juga neraka,
kayaknya masih lebih baik. Karena di sini semua yang
membuatku sebel dan benci adalah orang lain!"
"Tapi di sini kau tak punya kebebasan."
16
"Di rumah sama saja. Sepulangnya dari sini pasti aku
akan dipingit."
Abi termangu. Dia tidak bisa memberi saran.
Semangatnya untuk bermain sudah hilang. Tapi ia
menyukai kehadiran Riri.
"Kau pernah kabur?" ia bertanya. Tapi kemudian
ia menyadari kebodohan idenya. Riri tentunya tak
bisa disamakan dengan dirinya. Bagaimanapun anak
perempuan tak bisa disamakan dengan anak lelaki.
Riri tidak menertawakan.
"Aku nggak mau kabur.
Percuma. Mereka akan menangkapku lalu memasukkan
lagi aku ke sini. Tapi, buat apa? Aku nggak punya bekal
untuk dibawa kabur. Mau makan apa? Mau tidur di
mana?"
Abi membenarkan.
"Aku pernah kabur dari rumah.
Wah, sengsara. Tapi aku lelaki."
"Lelaki perempuan sama saja," kata Riri ketus.
Abi tak membantah. Dia sudah tahu, membantah
atau mendebat Riri tak ada hasilnya.
"Sudah berapa lama kau di sini, Ri?"
"Setengah tahun."
"Kalau begitu, ini pertama kalinya kau main ke sini."
"Ya. Aku disekap dulu. Setelah jadi anak yang baik
baru boleh keluar."
"Ah, sebenarnya kita bisa saja jadi anak yang baik. Ya,
kan?"
17
"Ya, memang bisa. Asal mau aja," Riri membenarkan.
Mereka sama tersenyum dan saling memandang.
Keakraban kian terasa.
"Hei, enak ya bicara sama kamu. Sayang kita nggak
bisa sering-sering ngobrol," keluh Riri.
"Ya. Sayang memang. Tak sering-sering cewek dan
cowok olahraga bersama. Tapi hati-hati. Mereka ingin
melihat tingkah laku kita."
"Kau benar. Kalau begitu aku akan jadi anak yang
baik dan manis," kata Riri sambil tertawa.
"Nah, jaga sikap. Di sana ada dua pasang mata."
"Ya. Kayaknya mereka lagi memperhatikan kita. Bu
Nani itu sangat ketat mengawasi aku. Kepadanyalah aku
dititipkan Mama."
"Kau suka dia?"
"Tidak. Tak ada satu pun di antara mereka yang
kusukai. Kubenci mereka semua. Apalagi kalau sudah
memberi nasihat begini-begitu. Dalam hati aku bilang,
emangnya kalian sendiri orang baik dan suci semua?
Ngomong sih gampang."
"Tapi aku suka Pak Agus."
"Kalau begitu mintalah dia supaya ikut membina
para cewek juga. Kalau kau suka dia mungkin aku pun
menyukainya juga. Kayaknya enak ya kalau ada orang
yang bisa kita sukai," keluh Riri.
"Dan dia juga suka kita," sambung Abi.
18
Mereka memandang ke lapangan. Tapi perasaan tidak
menyatu dengan keasyikan yang tengah berlangsung di
sana.
Tiba-tiba Riri tersentak. Ia merasa sedih. Sekarang ia
tidak yakin lagi siapa yang lebih beruntung. Dia atau Abi.
"Kau sudah memilikinya, Bi!"
"Apaan?" tanya Abi heran.
"Orang yang kausukai dan juga menyukaimu."
"Siapa dia?"
"Ibumu, bukan? Itu sebabnya kau kepingin cepat
keluar. Ada orang yang menunggu kepulanganmu," kata
Riri dengan sedih.
Abi tertegun. Ia memandang Riri tak mengerti. Tapi
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata-kata Riri itu mengingatkannya juga. Tiba-tiba segala
kegembiraannya yang masih tersisa lenyap.
"Ibuku sudah lama tidak datang menjenguk, Ri!"
Kemurungan Abi membuat kesedihan Riri berangsur
surut.
"Kenapa, Bi?"
"Nggak tahu."
"Kau mengkhawatirkan dia?"
"Entah. Ah, barangkali iya. Nggak tahulah. Aku
bingung."
"Sudahlah. Jangan sedih. Sori, tadi aku iri padamu.
Sekarang nggak lagi. Brengsek juga ya? Lihat orang lain
lebih beruntung aku iri. Tapi kalau sebaliknya aku jadi
19
ngenes. Orang macam apa diriku ini," Riri menyesali
dirinya.
"Kamu baik kok, Ri. Sudah tahu aku pembunuh kau
nggak takut atau benci. Orang lain mungkin merasa
ngeri lalu pergi menjauh. Maka itu aku nggak berani
terus terang pada orang lain. Soalnya, aku pikir cuma aku
satu-satunya di sini yang dihukum karena membunuh.
Paling jahat, kan?"
"Ah, nggak. Orang membunuh itu kan harus dilihat
dulu alasannya," kata Riri sok pintar.
"Terima kasih, Ri."
Perasaan Riri pun melambung. Sebenarnya dia ingin
sekali menanyakan bagaimana cara Abi membunuh ayah
nya. Tapi dia tak sampai hari. Mungkin nanti.
***
"Lihatlah mereka berdua bicara dengan asyik. Ke
lihatannya akrab sekali, bukan? Padahal aku yakin
keduanya pasti baru berkenalan," kata Bu Nani kepada
rekannya Pak Agus.
"Siapa anak perempuan itu?"
"Namanya Erika atau Riri. Dia dititipkan ibunya,
Nyonya Merry, yang sudah kewalahan mengaturnya. Dia
badung, selalu membantah dan memberontak. Senang
nya keluyuran bersama teman-temannya lalu bergadang
20
di pinggir Jalan Sabang. Kepada siapa pun dia mengaku
bahwa dirinya perek. Heran. Nggak malu."
"Ada perbaikan? Kalau tak ada, tentunya dia belum
kauizinkan keluar."
"Kelihatannya memang dia baik-baik saja, kecuali
badung dan ketusnya itu. Tapi kita tidak tahu bagaimana
kalau dia kembali ke rumah nanti. Dia cerita padaku
tentang orang tuanya yang kedua-duanya jarang di rumah
tapi kalau ada di rumah kemungkinan besar hanya untuk
berantem. Ibunya punya pacar, ayahnya juga."
"Ibunya sering ke sini?"
"Paling sebulan sekali. Katanya sibuk. Tapi kalau
datang mereka berdua tidak kelihatan akrab. Si Riri
mukanya masam dan ibunya nyerocos."
Pak Agus menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu me
mang cerita yang umum dari anak-anak yang jadi nggak
keruan. Orang tua berantakan hasilnya anak-anak yang
juga berantakan. Tapi mereka tak bisa melihat kesalahan
diri sendiri. Yang disalahkan adalah anak-anak yang tak
tahu diri."
"Ya. Kasihan. Tapi si Riri itu mesti diajar menghargai
dirinya sendiri. Biar punya harga diri. Jadi perek itu
kan murahan. Katanya, dia pernah dibawa oom-oom
beberapa kali."
Pak Agus kembali menggelengkan kepala.
"Semuda
itu," gumamnya.
21
"Tapi yang seperti dia itu cukup banyak lho, Pak
Agus. Bukan dia sendiri. Dia hanya salah satu."
"Toh bila yang satu itu bisa diperbaiki sudah bagus
sekali, kan, Bu?"
"Yah, kalau bisa. Lihat saja pergaulannya dengan
cowok. Saking biasanya dia enak saja berakrab dengan
cowok yang baru dikenalnya. Aku khawatir dia mau
merayu si Abi itu, Pak. Anak itu badannya gede. Kalah
orang dewasa. Apa Bapak pikir takkan ada ekses buruk
dari hubungan mereka berdua?"
Pak Agus tertawa.
"Jangan berprasangka dulu, Bu.
Kita lihat saja. Mereka kan butuh teman. Tidak mungkin
juga anak itu diasingkan terusterusan. Atau dilarang
bergaul dengan lain jenis."
"Tapi si Abi itu..."
"Biarpun usianya belia dia bukan anak kemarin sore."
"Aku tahu. Dia pernah membunuh, kan?"
"Ah, sebaiknya kita jangan berprasangka berdasarkan
kesalahan yang telah diperbuat orang. Tujuan kita adalah
untuk memperbaiki, bukan mencari-cari kesalahan."
Bu Nani tersipu sebentar.
"Ya, Pak Agus benar."
Sesaat mereka diam. Pandang beralih ke lapangan.
"Kali ini anak perempuan yang main sedikit, Bu.
Kenapa, banyak yang nakal?" tanya Pak Agus.
"Bukan begitu. Sebagian memilih main pingpong.
Kita punya meja baru. Sedang mereka yang datang ke
22
sini memang senang voli."
Pak Agus mengangguk.
"Ah, setiap pandangku beralih ke lapangan selalu
kembali pada kedua anak itu. Mereka sangat menarik
perhatianku. Apa gerangan yang mereka percakapkan?
Kelihatannya serius. Jarang kulihat si Riri bicara seperti
itu dengan temannya sendiri di tempat kami. Dia lebih
suka menyendiri, angkuh dan segan bergaul."
"Mungkin tak ada teman yang dirasanya cocok.
Maklum lingkungan sempit."
"Justru si Abi yang didekatinya."
"Biarkan mereka bergaul dengan baik. Kulihat
kebetulan saja mereka duduk berdampingan."
"Aku ingin tahu apa yang mereka percakapkan.
Mungkin riwayat masing-masing. Si Riri tak pernah
segan untuk menceritakan perihal dirinya sendiri. Dia
seperti buku terbuka. Entah bagaimana dengan si Abi.
Mungkinkah dia mau menceritakan perbuatannya dulu?"
Pak Agus menggelengkan kepala.
"Kukira tidak. Dia tidak seterbuka itu, apalagi
kepada orang yang baru dikenal. Mengakui perbuatan
membunuh itu tidak mudah, Bu. Lebihlebih bila yang
dibunuh itu ayah sendiri."
"Kukira ayah angkat."
"Ya. Memang benar. Dia diangkat anak sejak masih
bayi."
23
Bu Nani menarik napas panjang.
"Ah, kok bisa
begitu, ya? Sudah diambil dan diasuh akhirnya malah
membunuh yang mengasuh. Bukankah itu sama saja
dengan membalas air susu dengan air tuba?"
Pak Agus menatap lawan bicaranya dengan pandang
kurang setuju.
"Aku yakin riwayatnya tidak lurus seperti itu, Bu. Sama
sekali bukan hitam putih seperti apa yang digambarkan
oleh peribahasa itu. Membunuh itu perbuatan yang
paling melawan hati nurani setiap orang. Kecuali dia
tak punya hati nurani. Nah, pasti dorongannya itu juga
sesuatu yang luar biasa."
"Apa dorongannya?" tanya Bu Nani ingin tahu.
"Kebencian. Si bapak membenci Abi dan kerap
memukulinya."
"Lantas si Abi melawan dan tanpa sengaja bapaknya
mati. Tak mengherankan. Tenaganya pasti besar."
"Ah, Ibu belum tahu rupanya. Bukan begitu caranya
si bapak mati. Dia jatuh terguling-guling dari atas tangga,
lalu setibanya di lantai bawah kepalanya membentur
dinding. Benturan itulah yang menyebabkan matinya."
"Si Abi mendorongnya?"
"Oh, bukan. Ceritanya tidak begitu. Si bapak terpeleset
sepatu roda milik Abi yang terletak di anak tangga kedua
dari atas. Begitu terinjak dia menggelinding."
"Kalau begitu mungkin saja itu bukan kesengajaan."
24
"Tapi dia mengaku sendiri bahwa dia sengaja
meletakkannya di situ dengan maksud supaya bapaknya
menginjaknya. Tentu, masa sepatu roda diletakkan di
anak tangga atas. Jelas berbahaya."
"Mungkin dia tidak bermaksud membunuh, tapi
mencederai saja. Ya, membalas begitu. Biarpun benda
itu diletakkan di sana kan belum tentu si bapak akan
menginjaknya. Kecuali kalau dia tak punya mata. Atau
matanya kurang awas."
"Ya. Itu pun merupakan pertimbangan hakim yang
mengadili. Padahal andaikata dia tidak mengaku orang
bisa saja menganggapnya sebagai kelalaian yang tak
disengaja."
"Dasarnya masih anak-anak sih," ucap Bu Nani
simpati. Dia membayangkan seorang ayah yang kejam.
"Ya, biarpun badan gede pikirannya kan tetap pikiran
anak-anak."
Pak Agus memandang Bu Nani sebentar. Lalu ia
tersenyum. Ya, rasa keibuan seorang wanita mudah
dibangkitkan oleh rupa manis seorang anak tanpa mau
tahu apa yang ada di balik rupa manis itu.
"Ibu perlu tahu juga. Si Abi itu tidaklah seperti anak
anak lain seusianya. Dari sejak mulai berjalan sampai
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang lebih sepuluh tahun dia adalah setan kecil, begitu
menurut istilah ibunya. Bengalnya kelewatan. Baru se
telah usia sepuluh bengalnya mengurang. Tapi menginjak
25
puber, sekitar tiga belas tahun, dia kabur dari rumah.
Beberapa bulan kemudian baru berhasil ditemukan polisi
sedang keluyuran di terminal bis antarkota di Bogor.
Ternyata selama beberapa bulan itu dia sudah berkenalan
dengan rokok, ganja, dan seks!"
Wajah Bu Nani berubah. Nah, ngeri dia sekarang,
pikir Pak Agus geli.
"Tapi itu semua masa lalu. Kita tentu berharap semua
pengalaman buruknya itu takkan terulang," Pak Agus
meneruskan setelah melihat tak ada komentar dari Bu
Nani.
"Bagaimana dengan ibunya? Apakah dia tidak
membencinya juga mengingat suaminya mati karena
perbuatannya? Apalagi sejak kecil sudah merongrong
dengan kenakalan," tanya Bu Nani kemudian.
"Menurut ibunya, ia sangat menyayangi Abi. Dan
menurut Abi, ia juga menyayangi ibunya. Katanya,
kalau dipukul atau dimarahi ayahnya ibunya selalu
melindungi."
"Tapi bagaimana sekarang? Masihkah si ibu
menyayanginya?"
"Entah. Pada tahun-tahun pertama Abi di sini ibunya
rajin berkunjung. Sikapnya penuh sayang. Dan tidak
kelihatan menyesali. Tapi belakangan ini sudah lama
tidak kelihatan. Itu membuat si Abi murung. Bahkan
pernah dia minta izin untuk menelepon. Tapi kukatakan,
26
biar aku saja yang menghubungi ibunya. Setelah
kuhubungi, ibunya mengatakan sedang sibuk dengan
bisnis dagangnya hingga tidak sempat berkunjung. Itu
bisa dimaklumi mengingat dia harus mencari nafkah
sendiri. Tapi dia mau juga menelepon Abi dan berbicara
sebentar. Kelihatannya Abi terhibur meskipun tetap
kecewa. Kemudian aku beroleh info dari orang lain yang
tahu. Ternyata ibunya Abi bermaksud kawin lagi!"
Bu Nani terkejut. Pandangnya kembali terarah ke
pada Abi yang masih asyik bercengkerama dengan Riri.
Tidak ada kesan nakal atau brutal dari tingkah lakunya.
Malah Abi kelihatan sopan dan baik. Cara dia ngomong
dengan Riri sepertinya dia menaruh respek kepada lawan
bicaranya padahal hampir pasti dia sudah tahu apa dan
siapa Riri itu. Mungkin dia memang sudah berubah. Dan
itu tentu berkat pembinaan yang telah dia peroleh selama
berada di Lembaga.
"Padahal Abi bilang padaku, ingin sekali cepat pulang
supaya bisa segera menemani ibunya yang sendirian," Pak
Agus melanjutkan.
Bu Nani jadi kian termangu.
27
II
TINA Melinda berumur empat puluh tiga tahun tapi
masih memiliki penampilan yang menarik. Mungkin
karena tubuhnya yang langsing dan wajah yang manis.
Atau mungkin juga karena kegemarannya merawat diri
dan berhias. Atau kemungkinan-kemungkinan yang
lain. Ada banyak sebab yang menentukan penampilan
seseorang. Sesuatu yang tak bisa dipastikan oleh faktor
usia.
Hari-hari belakangan ini dia sedang sibuk membenahi
rumahnya yang baru. Letaknya di sebuah kawasan real
estate. Sebuah rumah ukuran sedang yang masih bisa
diperbesar karena tanah sekitarnya cukup luas. Tapi
untuk saat itu ukuran sekian lebih dari cukup. Dia hanya
bersama seorang pembantu. Dan nanti ada Abi, kalau
anak itu keluar dari LPAN. Kemudian akan ada juga
seorang suami. Itu baru kemungkinan. Tapi tampaknya
akan jadi kepastian.
Tina tersenyum membayangkan kemungkinan itu.
Matanya memancarkan kemesraan. Pikirannya me
layang dari realitas yang tengah dihadapi. Cinta yang
memabukkan. Ya, dia serasa mabuk. Penuh sensasi yang
panas. Untuk itu dia perlu duduk dan bersandar dulu
28
supaya lebih nyaman. Baru setelah sensasi itu lewat dia
bangkit dan melanjutkan kegiatannya.
Beberapa saat lamanya ia memandangi tangga yang
bentuknya lurus kaku ke atas. Rumah itu berloteng.
Semua kamar tidur letaknya di atas. Wajar saja. Tapi
sebetulnya dia tidak suka rumah berloteng. Apalagi
dengan tangga yang lurus begitu. Itu mengingatkannya
akan rumahnya yang dulu. Toh ia memilih rumah yang
itu. Memang ia memilihnya bukan semata-mata karena
bentuk melainkan faktor lingkungannya. Bentuk selalu
bisa diubah. Meskipun lotengnya sayang dibuang, tapi
tangganya bisa diubah, misalnya dibuat melingkar supaya
tidak terlalu tinggi. Dan yang penting, tidak sama persis
seperti tangga di rumahnya yang dulu.
Ia meninggalkan rumah itu lalu menjualnya dengan
maksud menghapus kenangan mengerikan dari peristiwa
yang lalu. Tak mungkin ia bisa tinggal di sana lagi.
Bayang-bayang itu selalu muncul. Tak ingin dipikirkan.
Tak ingin dibayangkan. Tapi datang sendiri.
Setiap ia menuruni tangga rumah yang dulu itu ia serasa
melihat Karim tergeletak di bawahnya. Badannya rebah
setengah miring sementara kepalanya tegak bersandar
ke dinding karena terpepet di sana. Posisi tak wajar yang
menandakan bahwa lehernya patah. Tapi yang mengerikan
adalah matanya. Mata itu melotot memandang ke atas,
ke arahnya. Itulah yang tidak tertanggungkan. Seakan
1113179. itu menuntut pertanggungjawaban.
29
Untunglah rumah itu cepat laku hingga dia tidak
perlu lama-lama menumpang di rumah keluarganya. Jadi
dia bisa secepatnya membeli rumah baru. Rumah yang
tak menyimpan apa-apa karena belum pernah ditinggali
orang. Tapi rumah itu memiliki tangga yang sama.
Sesuatu yang terasa agak mengganjal pada mulanya.
Tapi bisa hilang kemudian karena terpikir bahwa ia bisa
mengganti bentuknya.
Sudah beberapa hari ia tinggal di situ. Ia merasa
nyaman. Tak pernah ada bayang-bayang masa lalu.
Walaupun terpikir tapi tak mengganggu. Juga tangga
itu. Bahkan pernah dicobanya berlamalama berdiri di
atas tangga sambil memandang ke bawah. Tak ada apa
apa. Ia lega dan yakin, lalu menertawai diri sendiri.
Tapi keyakinan itu baginya perlu. Demi ketenteraman
perasaan.
Di garasi tersimpan sebuah mobil peninggalan
Karim. Dan di tepi sebuah jalan yang merupakan pusat
pertokoan terdapat sebuah toko peninggalan Karim juga.
Ah, bukan sepenuhnya peninggalan Karim melainkan
milik bersama. Ketika mereka kawin toko itu belum
berkembang seperti sekarang. Bahkan hampir bangkrut
kalau saja ia tidak membantu dengan uangnya sendiri.
Semua uangnya yang merupakan warisan dari orang
tuanya.
Toko itulah sumber nafkahnya yang harus di
usahakannya sendiri sekarang. Memang ia tidak
30
canggung lagi karena sudah biasa. Tapi ia cuma sendiri.
Tak ada Karim lagi yang mendampingi. Tapi hal itu
juga tidak membuatnya repot. Ada orang lain yang
mau membantunya dengan senang hati. Johan, calon
suaminya.
Semula Johan adalah leveransir yang memasok se
bagian barangyang mengisi tokonya. Di samping ituJohan
juga memasok beberapa toko yang lain dengan barang
yang sama. Sudah bertahun-tahun ia melakukannya dan
kerja sama terjalin dengan baik. Baik Tina maupun Johan
sama-sama puas dengan kerja sama itu.
Tahun depan Abi keluar dari LPAN. Jadi dia bisa
membantu juga. Yang diharapkan Tina adalah supaya Abi
bisa menjalin hubungan baik dengan Johan. Itu penting
sekali. Tapi untuk itu Abi tentu saja harus berubah
dulu. Menurut Pak Agus, Abi memang sudah berubah.
Mungkin dia boleh merasa optimis. Bagaimanapun, Abi
adalah anak angkatnya yang sah menurut hukum. Dulu
dia dan Karim mengadopsinya secara resmi. jadi Abi
memiliki hak-hak seperti anak kandung. Tapi bukan itu
saja masalahnya. Abi memiliki arti yang besar bagi Tina.
Sangat besar.
Di loteng terdapat tiga kamar. Salah satu disiapkannya
untuk Abi. Perabotannya sudah ada. Cuma belum
dirapikan saja. Itu bisa dilakukan nanti, menjelang Abi
pulang. Tapi di dinding sudah digantungi beberapa foto
31
Abi yang diberi bingkai. Di antaranya ada yang masih
bayi, gemuk dan lucu. Manis tentu saja. Sedang foto
terakhirnya diambil beberapa bulan menjelang kematian
Karim. Tina sendiri yang memotret semua foto-foto itu.
Sekarang Tina duduk di tempat tidur yang kasurnya
belum diberi seprai dengan tatapan ke arah foto-foto itu.
Wajah-wajah Abi dalam berbagai pose dan tingkat usia
itu memandang kepadanya.
"Dia tampan.
" gumam Tina dengan senyum di
bibirnya.
"Si setan kecil yang manis."
Ya, kalau saja Abi tidak manis dan lucu pasti tidak
dipilihnya dulu semasa Abi masih berada di Panti
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Asuhan. Melihat Abi dia segera jatuh cinta. Tak habis
pikirnya bagaimana mungkin orang tua kandung anak
itu bisa tega hati dengan merelakannya untuk orang lain.
Dan ketika prosedurnya belum beres karena dia harus
membujuk Karim dulu, kecemasan menghantuinya terus
kalau-kalau anak itu keburu diambil orang lain. Anak
sebagus itu pasti jadi incaran para orang tua yang ingin
mengangkat anak. Dia sangat gelisah dan resah. Berbagai
cara dilakukannya untuk membujuk Karim. Memang
sudah jelas tak mungkin adopsi bisa terlaksana bila salah
satu pihak tidak setuju.
Ketika itu Abi berusia sembilan bulan sedang mereka
berdua sudah empat tahun kawin tanpa tanda-tanda
akan dikaruniai anak. Dari hasil pemeriksaan dokter
32
disimpulkan bahwa tipis kemungkinan mereka bisa
memiliki anak sendiri. Saluran telur Tina tersumbat
sedang sperma Karim terlalu lemah. Pengobatan untuk
keduanya bisa saja dilakukan, tapi hasilnya sulit untuk
dipastikan. Terlalu sulit.
Karim sendiri tidak berminat mengangkat anak.
Prinsipnya, kalau tidak dikaruniai anak sendiri ya
sudah. Banyak orang senasib. Dan kebahagiaan tidak
selalu ditentukan oleh ada tidaknya anak. Bahkan selalu
mungkin anak itu malah merongrong nantinya. Justru
tanpa anak kita tidak terikat dan tidak terganggu. Bebas
ke mana saja mau pergi. Kita bisa keliling dunia kalau
punya duit tanpa memikirkan anak di rumah. Bila
rumah kebakaran kita bisa lari membawa badan sendiri,
kelakarnya dengan tega hati.
"Sekarang kau bisa ngomong begitu karena masih
muda," protes Tina waktu itu.
"Tapi nanti, kalau sudah
tua renta, siapa yang mau mengurus kita? Kepada siapa
kita akan bergantung kalau bukan kepada anak?"
"Bisajadi dia malah tidak mau mengurus kita walaupun
harta kita sudah habis untuk menyekolahkannya."
"Kita didik dia supaya sayang pada orang tua. Manusia
kan bisa diajar."
"Aku lebih suka masuk rumah jompo saja kalau sudah
tua," kata Karim kukuh.
"Yang biayai siapa? Emangnya gratis?"
33
"Kudepositokan uangku dan bunganya dipakai untuk
itu."
"Enak saja ngomong. Ayolah, jangan berkeras begitu.
Demi aku. Kalau kau sayang padaku."
"Pikirkan, Tin. Kita tidak tahu keturunan siapa anak
itu. Siapa orang tuanya. Siapa nenek moyangnya. Apakah
orang baik-baik atau bukan. Bagaimana kalau itu anak
pelacur dengan bandit ulung?"
"Kau keterlaluan!" jerit Tina.
"Aku cuma mengingatkan supaya kau tidak menyesal
kemudian."
"Aku tidak akan menyesal!" tantang Tina.
Karim akhirnya mengalah tapi dengan syarat,
"Jangan
paksa aku untuk menyayangi anak itu."
Tina sama sekali tidak khawatir.
"Kau pasti akan
menyayanginya nanti. Lihat saja," katanya dengan yakin.
Tapi apa yang terjadi kemudian tak pernah
terbayangkan oleh Tina.
Karim tak bisa menyayangi Abi. Lebih dari itu, dia
malah membencinya setengah mati. Memang tidak
secara mendadak perasaan itu timbul, melainkan lambat
laun namun pasti. Sedang Tina sudah menjanjikan tak
akan menyesal. Tak mungkin lagi surut.
Begitu mulai mampu menapakkan kakinya ke lantai
dan gentayangan ke sana kemari, maka Abi pun mulai
membuat seisi rumah tersentak. Apa saja yang berada
34
dalam jangkawan tangannya dia pegang. Dan kalau
sudah terpegang malanglah nasib benda itu. Riwayatnya
akan tamat bila pertolongan tak datang pada waktunya.
Pendeknya, dia tak boleh lepas dari pandangan mata
barang sedetik pun. Kecuali kalau dia sedang tidur. Itu
merupakan saat Abi yang paling manis.
Pantaslah bila kemudian Abi mendapat j ulukan si setan
kecil karena kebengalannya yang super. Dia membuat
seisi rumah melotot dan tegang bila sedang terjaga.
Meleng sedikit maka akan kedengaran suara prang atau
gedebak-gedebuk. Bahkan kucing pun akan lari mencari
tempat yang paling aman bila didekati Abi, yaitu naik
ke atas pohon. Barulah bila Abi tidur para pengasuhnya,
termasuk Tina, akan terkapar kecapekan. Tapi celakanya
waktu tidur Abi terlalu singkat bila dibandingkan dengan
waktu terjaganya. Akibatnya jarang ada pengasuh yang
tahan lama bekerja. Hampir semua menyatakan minta
ampun lalu angkat kaki tak peduli dibujuk dengan gaji
besar. Untuk Abi memang diperlukan pengasuh yang
super sabar. Dan kalau pengasuh tak ada maka terpaksalah
Tina menanggung cobaan itu sendirian.
Cobaan paling berat bagi Tina datang dari Karim.
"Nah, apa kubilang.> Dia anak bandit! Anak setan!"
"Jangan ngomong begitu. Nanti kalau sudah besar dia
akan tahu."
"Dia memang harus tahu bahwa dia bukan anak
kandung."
35
"Tapi nanti, jangan sekarang. Dia terlalu kecil untuk
menerima kenyataan itu."
"Kau masih membelanya?"
"Anak lelaki memang bengal. Di mana-mana begitu."
"Bengal sih bengal tapi nggak sampai kelewatan
seperti itu. Dasarnya memang anak bandit!"
Pertengkaran antara mereka berdua selalu terjadi
bila barang yang dirusak Abi kebetulan adalah milik
Karim. Apalagi bila barang itu berharga. Lama kelamaan
kemarahan Karim memuncak hingga tangannya pun
melayang. Abi mulai kena pukul. Sekali dua kali lalu
sering. Tapi Tina selalu membela. Itu di depan Karim.
Tapi bila Karim tidak melihat atau saat Karim tidak di
rumah dan dia sendiri sudah kewalahan menghadapi Abi
tangannya pun ikut pula melayang. Namun sesudah Abi
menangis kesakitan dia menyesal lalu memeluknya.
Lama kelamaan Tina merasa dirinya seperti martir,
yang menderita karena melakukan suatu perbuatan
yang benar. Dia tidak boleh menyesal. Juga menghadapi
kenyataan bahwa suasana rumah tangganya tidak
harmonis lagi. Yang disalahkannya, meskipun cuma
dalam hati, adalah Karim. Kenapa Karim tidak mau
berusaha menyayangi Abi.> Dan bukankah Karim sendiri
seolah mengharapkan bahwa Abi adalah anak bandit yang
akan merongrong kelak.> Dan harapan itu jadi kenyataan.
Semua salah Karim. Abi terlalu kecil untuk menanggung
36
salah. Dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak sengaja berbuat
nakal. Kenakalannya di luar kehendaknya.
Ketika Abi berumur tiga tahun Tina mengajaknya
ke pasar dan sesudah itu merasa kapok. Pengalamannya
begitu memalukan hingga ia tak akan mau mengulangnya
lagi.
Ketika Abi dituntun anak itu menarik dengan keras
kain seorang ibu yang berada di sebelahnya hingga
merosot. Ibu itu berteriak kaget, marah dan malu. Tina
juga malu menerima dampratan dan tersipu meminta
maaf.
Lalu Abi digendongnya dan dibawanya pindah ke
tempat lain. Tapi ketenangannya cuma sesaat. Lagi-lagi
terdengar jeritan yang membuat tengkuknya meremang.
Lalu ia serasa mau pingsan setelah melihat apa yang
berada dalam genggaman tangan Abi. Sepotong sanggul!
Tina membawa Abi ke psikiater untuk membuktikan
kepada Karim bahwa Abi bukan anak setan. Kesimpulan
psikiater melegakan sekaligus mencemaskan. Abi anak
hiperaktif. Tapi belum meyakinkan benar meskipun
gejala-gejala sudah menunjuk ke situ. Tidak bisa
diam. Tangan dan kaki maunya bergerak terus. Susah
konsentrasi. Menyimpan energi besar untuk melakukan
gerakan tubuh berlebihan. Tapi yang jelas dia bukan anak
setan. Dan bisa diberi obat penenang.
Karena obat itu mereka bisa merasa lebih lega.
Tapi setelah tiba saatnya Abi masuk sekolah gangguan
37
bermunculan. Sering kali Tina dipanggil ke sekolah untuk
dilapori perihal kenakalan Abi. Ditambah oleh badannya
yang bongsor, di mana saja ia muncul ia selalu jadi
jagoan yang suka meneror anak-anak lain. Ia merepotkan
Tina yang jadi sasaran pengaduan dan sering kali juga
kemarahan. Orang selalu menganggap bahwa anak yang
kurang ajar itu disebabkan karena kurang diajar. Padahal
Tina tak bosan-bosannya mengajarkan dan memberi
tahu. Ini tak boleh. Itu tak boleh. Ini jangan. Itu jangan.
Tapi bagi Abi semua itu sepertinya tidak mempan.
Bahkan pukulan tak membuat jera.
Dalam menangani persoalan Abi hanya Tina yang
repot sendiri. Karim tak pernah mau ikut membantu.
Dia memasabodohkan saja. Tapi anehnya, justru hal itu
menyenangkan Tina. Semakin susah karena ulah Abi dia
malah semakin senang. Perasaannya jadi kian berguna.
Kian dibutuhkan. Dan satu hal yang jadi imbalan utama
dari segala jerih payah dan tekanan batinnya adalah
sayang Abi kepadanya!
Ya, Abi menyayanginya. Padahal Karim yang jadi
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suaminya tak lagi menunjukkan rasa sayangnya kepada
nya. Semakin jauh Karim darinya semakin dekat dia
dengan Abi.
Abi tumbuh semakin besar. Kenakalannya pun ber
ubah bentuk. Dia tidak lagi melakukan hal-hal destruktif
terhadap benda seperti ketika usia balita. Tapi ujud
38
kenakalannya lain lagi. Apa yang dia lakukan pada usia
sepuluh tahun adalah bentuk-bentuk kenakalan remaja.
Menurut psikiater yang pernah menanganiAbi sewaktu
usia balita, kelihatannya Abi perlu mendapat kejutan
atau pukulan supaya sadar dan berbalik arah. Maksudnya
tentu bukan pukulan fisik sebagai hukuman, karena yang
demikian itu sudah cukup banyak diperolehnya. Tapi
sesuatu yang menjatuhkan kebanggaannya dan memukul
harga dirinya sampai semaput. Tapi teori sang psikiater ini
masih berupa perkiraan. Dan bagi Tina kesannya terlalu
abstrak untuk dijalankan. Pukulan macam bagaimana?
Kejutan macam apa?
Menjelang usia Abi yang ketiga belas terjadi peristiwa
menggemparkan di rumah mereka. Meja tulis Karim
porak-poranda. Kertas-kertas penting miliknya hancur
berhamburan di lantai, baik yang ada di atas meja maupun
yang ada di dalam laci tak terkunci. Tak kepalang marah
Karim. Serasa mau pingsan dia karena tak kuat menahan
emosi. Dengan geram dia berteriak seperti orang gila
lalu menerjang Abi tanpa tanya-tanya dulu. Sebatang
tongkat disambarnya untuk dijadikan pemukul. Bertubi
tubi pukulan didaratkannya ke tubuh Abi tanpa mencari
sasaran lagi. Ke mana saja arah jatuhnya ia tak peduli.
Pokoknya kena.
Abi tidak melawan. Tapi ia juga berteriak-teriak
menanyakan kesalahannya.
39
"Apa salahmu? Lihat itu! Lihat! Siapa perusak di
rumah ini kalau bukan kau? Dasar anak setan! Anak
bandit! Anak pelacur!" Karim meledak.
Sambil melindungi mukanya dengan tangan Abi
menyahut,
"Kalau begitu Mama pelacur dan Papa bandit?
Papa setan?"
"Bangsat! Kau bukan anakku, tahu? Kau juga bukan
anak ibumu! Kau adalah anak yang tidak dikehendaki
orang tuamu sendiri! Kau kami ambil untuk dibesarkan,
tapi begini balas jasamu? Dasar bangsat! Bangsaaat!"
Tongkat mendera tubuh Abi. Terus berulangulang.
Akhirnya Abi berhasil menangkap ujung tongkat lalu
merenggutnya dengan kuat. Ia berhasil merebut tongkat
kemudian melemparnya jauhjauh. Karim tertegun dan
sejenak merasa ngeri kalau-kalau Abi mengamuk dan
menyeruduknya. Pada usia sekian itu tubuh Abi sudah
lebih besar daripada tubuhnya. Tapi saat itulah Tina
menyerbu masuk. Melihat darah mengucur dari hidung
Abi ia menjerit lalu memeluknya. Tapi dengan kasar Abi
mendorongnya ke pinggir lalu berlari ke luar ruangan.
Terdengar pintu kamar digabrukkan. Dia masuk
kamarnya sendiri.
Tanpa mempedulikan Karim, Tina berlari mengejar
Abi.
Pada hari itu juga Tina menceritakan kepada Abi
tentang kisahnya semasa bayi. Dan beberapa hari
40
sesudah itu Abi kabur dari rumah. Saat Abi dalam proses
pencarian terjadi perang dahsyat antara Tina dan Karim.
Mereka saling menyalahkan. Bagi Karim, segala yang
rusak dan hilang dari kehidupan mereka berdua adalah
gara-gara Abi. Padahal dia sudah memperingatkan. Dia
sudah punya Hrasat buruk. Kenyataannya benar. Anak itu
sudah jadi penghancur, baik benda maupun hidup. Tapi
bagi Tina, kerusakan itu disebabkan karena sikap Karim
yang tak mau menerima sesuatu yang telah disetujuinya
sendiri. Kalau memang tidak suka, apalagi punya Hrasat
buruk, lebih baik tidak setuju saja dari permulaan. Tegas
saja. Tak usah pakai syarat apa-apa.
Perang itu sesungguhnya cuma merupakan ledakan
dari perang kecil-kecil sebelumnya. Masalahnya sama.
Dulu kecil. Sekarang besar. Tapi sesudah padam sendiri,
karena sama-sama capek oleh emosi, situasi menjadi
lebih dingin daripada sebelumnya. Beku. Tak ada maaf
terucapkan karena masing-masing menganggap tidak
perlu. Keduanya merasa benar. Lagi pula buat apa? Maaf
tidak bisa dipakai membangun kembali sesuatu yang
telah hancur, karena keinginan dan itikadnya tak ada.
Padahal selama berbulan-bulan Abi menghilang mereka
kembali tinggal berdua.
Tapi Tina merasa sendiri. Dia kehilangan Abi. Jadi
dialah yang sibuk menghubungi polisi dan melakukan
berbagai upaya pencarian lainnya.
41
Ketika Abi ditemukan dan pulang ke rumah ia
kelihatan berubah. Fisiknya jelas jadi lebih kurus dan
dekil, tapi yang menyolok adalah tingkah lakunya. Dia
jadi pendiam dan misterius. Dia pun tak suka berontak
lagi seperti dulu. Suatu sikap yang membuat ia kelihatan
lebih dewasa. Tapi bicaranya masih saja kasar, apalagi
ditambah oleh perbendaharaan kata kotor dan jorok. Bagi
Tina itu tidak mengherankan. Tentunya itu ilmu yang
diperoleh Abi dari terminal bis di mana ia ditemukan.
Tapi apa saja pengalamannya selama menghilang tak
mau ia ceritakan. Ia bungkam bila ditanya. Tina penasaran.
Lebih-lebih setelah Abi kemudian suka mengeram diri di
kamar sepulang sekolah. Lalu Tina mengintip. Dan apa
yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri. Sekali ia
melihat Abi mengisap rokok dengan gaya yang nikmat
sekali, lalu kelihatan teler sesudahnya. Lain kali ia melihat
Abi melakukan masturbasi.
Tina mengajak Abi ke Dokter Waluyo, psikiater yang
dulu menangani Abi di kala berusia balita. Ternyata Abi
tidak membantah. Dia menurut saja. Biarpun cemas Tina
merasa optimis melihat sikap Abi itu. Mungkinkah Abi
sendiri sebenarnya ingin memperbaiki diri tapi tak bisa
melakukannya sendiri?
Setelah lewat kurang lebih sepuluh tahun Dokter
Waluyo sudah banyak lebih tua daripada dulu. Usianya
sudah hampir enam puluh. Tapi dia belum pikun.
42
Rambutnya memang sudah memutih semua, tapi
matanya menatap tajam dan cerdas. Nyatanya dia
pun masih mengenali Abi dan kasusnya dulu. Dan dia
menerima Abi dan Tina dengan senang.
Berbulan-bulan lamanya Abi menerima psikoterapi.
Sekali dua kali Tina masih mengantarkan Abi ke tempat
praktek Dokter Waluyo. Tapi kemudian dan selanjutnya
Abi selalu pergi sendiri. Ia lebih suka pergi sendiri. Mula
mula Tina tidak percaya. Baru setelah Dokter Waluyo
membenarkan ia tak ragu lagi.
Sementara itu Karim bagaikan orang asing. Dia
sudah jarang di rumah. Bila usai bekerja di toko ia pergi
entah ke mana. Dan kalau kebetulan berada di rumah
ia menghindar. Abi pun menjauh. Komunikasi hampir
tak ada. Sedang Tina pun bersikap acuh. Ia mencurahkan
perhatiannya kepada toko mereka. Bagaimanapun toko
itu milik bersama. Pemiliknya boleh saja berperang, tapi
usaha harus jalan terus demi keuntungan berdua.
Kemudian terjadilah peristiwa itu.
Ketika mengenang peristiwa itu pandang Tina kembali
tertuju ke foto Abi di depannya. Wajah Abi hampir tak
menampakkan ekspresi apa-apa, tapi matanya begitu
jernih. Tatapannya seolah mengandung sesuatu makna.
Apakah dia cuma berkhayal?
Tina memejamkan matanya. Ketika membukanya
lagi ia menatap mata Abi. Serasa ada kelembutan di
43
situ. Kelembutan yang hanya bisa dia rasakan di saat
Abi berada dalam pelukannya karena membutuhkan
perlindungannya. Tidak salah lihatkah dia? Aku sayang
padamu, Mama! Begitu ucap mata Abi.
44
III
"BU BU..."
Panggilan lirih itu mengagetkan Tina. Dia melompat
dari duduknya.
Di ambang pintu berdiri Bi Inem.
"Ada Pak Johan, Bu."
"Suruh tunggu sebentar, Bi."
Tina merapikan rambut dan pakaiannya sebentar.
Di situ ada cermin dinding yang arahnya berseberangan
dengan dinding di mana foto-foto Abi tergantung. Dia
memperhatikan wajahnya sesaat. Ada rasa kurang puas.
Garis-garis ketuaan sudah muncul di wajahnya. Sempat
dia menyesali usianya. Tapi matanya tertuju ke foto Abi
di cermin. Ah, kenapa dia harus risau? Biar seabad pun
usianya dia memiliki cinta!
Ia bergegas menuruni tangga.
Di bawah tangga menunggu Johan. Dia memandang
ke atas sambil tertawa.
"Hati-hati. Nggak usah buru-buru begitu, kan? Pelan
pelan aja," katanya sambil mengulurkan tangan.
Tina langsung masuk dalam pelukan Johan. Di situ
dia merasa segar dan muda kembali.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Johan kemudian.
45
"Tak usah, Han. Kau sudah cukup sibuk mengawasi
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
toko. Bagaimana di sana? Banyak pembeli?"
"Lumayan. Tapi tak lebih banyak daripada hari
kemarin. Mungkin karena kau tak ada. Kapan beresnya
rumah ini? Kelihatannya sih sudah rapi. Asri," pujiJohan.
Mereka duduk berdampingan. Tina bersandar manja.
Bi Inem tersipu memasuki ruang dengan membawa
baki berisi minuman. Ia malu melihat adegan mesra.
Takut mengganggu. Setiap kali Johan datang ber
kunjung ia lebih suka menyingkir jauhjauh. Tapi ia
takut kalau dipanggil tidak mendengar. Dan ia juga
harus membawakan minuman. Tak kunjung hilang
risinya melihat kemesraan kedua orang itu meskipun
mereka selalu bersikap seakan dia tak ada. Karena itu
dia sendiri tidak mengerti kenapa dia harus merasa risi
padahal mestinya lama-lama jadi biasa. Entah kenapa dia
merasakan adanya kejanggalan. Begitu kuat terasa hingga
susah menghilangkannya. Mungkin karena dia sudah
tua hingga tidak bisa mengikuti zaman lagi. Sekarang
memang banyak yang aneh-aneh. Masa perempuan
pacaran sama lelaki yang jauh lebih muda? Kok rasanya
tidak enak dilihat. Orang lain bilang itu lumrah saja.
Malah ada nenek-nenek kawin sama anak muda. Tapi dia
tetap saja merasa tidak enak.
Bi Inem sudah bekerja pada keluarga Tina sejak Abi
masih berusia balita. Tapi karena dia khusus pembantu
46
rumah tangga merangkap koki maka dia tidak kebagian
tugas mengasuh Abi. Itu salah satu sebab kenapa dia tahan
lama bekerja. Memang sesekali dia pernah juga disuruh
mengawasi Abi bila pengasuhnya sedang berhalangan,
tapi cuma sebentar saja. Dia tak perlu terkapar kecapekan.
Tentu saja banyak yang dilihat dan dialaminya
sepanjang waktu itu. Dia pun ikut melihat bagaimana
majikan laki-lakinya mati terkapar di bawah tangga. Ah,
banyak. Banyak.
Tapi majikan wanitanyaselalu bersikap baik kepadanya.
Itu juga salah satu sebab kenapa dia betah bekerja. Bagi
seorang pembantu, majikan baik di samping gaji cukup
adalah yang utama, demikian prinsip sederhana Bi Inem.
Sedang Abi pun tak pernah mengganggunya atau merusak
barang-barangnya. Ya, apa pula yang mau dirusak? Dia
tak punya apa-apa. Dia cuma berharap bila kelak Johan
jadi majikannya juga akan baik pula kepadanya. Dan Abi
yang kabarnya akan pulang tak lama lagi juga begitu pula.
Sedikit ngeri dia membayangkan Abi karena mengenang
perbuatannya dulu. Mudah-mudahan saja penjara anak
anak, begitu dia menamakan tempat penampungan Abi,
dapat membuat Abi insaf dan jera. Lalu jadi anak yang
baik. Ya, semua baik agar tenteram dan damai.
"Beberapa hari lagi aku akan mengunjungi Abi. Kau
mau ikut, Han?" tanya Tina.
Johan mengerutkan kening.
47
"Sebaiknya jangan dulu. Kalau aku ikut, dia tentu
akan bertanya-tanya."
"Tapi dia harus diberi tahu."
"Tentu saja. Tapi lebih baik nanti kalau dia pulang."
"Tapi itu kan masih lama."
"Kita kawin dulu. Baru beri tahu dia. Orang tua kan
tak perlu minta izin pada anaknya."
"Memang betul. Tapi nanti dia merasa tak dihargai."
"Itu mungkin saja. Tapi coba pikirkan eksesnya kalau
dia diberi tahu jauh-jauh hari. Dia akan berpikir macam
macam, padahal dengan berada jauh dari kita dia tidak
bisa melihat kenyataan. Jadi yang dia pikirkan mungkin
yang buruk-buruk saja."
"Ah, kau benar," Tina membenarkan. Padahal semula
ia menganggap Johan khawatir janganjangan Abi tidak
menyetujui perkawinan mereka lalu menjadi penghalang.
"Aku yakin dia akan menyukaimu."
"Mudah-mudahan."
"Menurut Dokter Waluyo, seorang anak lakilaki me
merlukan dan menginginkan ayah. Tidak perlu ayah
kandung, tapi tokoh ayah untuk dijadikan panutan."
"Ah, aku jadi ngeri. Pantaskah aku jadi bapak? Aku
belum pernah jadi bapak."
Tina tertawa.
"Tentu pantas saja. Tapi, kau belum
mengatakan apa kau sendiri menyukainya atau tidak."
"Bagaimana aku bisa mengatakan kalau aku belum
bergaul dengannya. Dulu aku cuma melihatnya sebentar
48
sebentar. Ah, beruntung dia bukan setan kecil lagi seperti
dulu. Tapi ketika aku melihatnya sewaktu diadili aku
sungguh merasa iba, Tin. Dia sama sekali tidak kelihatan
seperti anak nakal. Dengan badannya yang gede tapi
wajah yang belia dia seperti orang dewasa yang mentalnya
terbelakang."
"Ah, sudahlah. Jangan bicarakan hal itu lagi."
Johan diam sebentar. Lalu dia bicara dengan pandang
jauh ke depan,
"Kau sayang sekali padanya, bukan? Wah,
aku bisa iri nanti."
Tina memeluknya. Lalu mengecupnya.
"Hei, jangan berpikir yang bukan-bukan. Masa iri sih?
Sayangku padamu dan sayangku padanya tentu berbeda."
Johan balas memeluk.
"Aku cuma main-main, Sayang.
Tapi aku akan berusaha menyayanginya juga."
Tina terharu.
"Terima kasih, Han."
Ia merasa bahagia. Kata-kata seperti itu belum pernah
diucapkan Karim dulu. Karim tak pernah berusaha
menyayangi Abi. Itu sebabnya kenapa segala permasalahan
muncul. Tapi semua itu masa lalu. Sekarang mereka akan
memulai hidup baru. Abi akan memperoleh ayah baru.
Untuk dia seorang suami baru. Dan untuk mereka semua
sebuah rumah baru.
***
49
Tina melajukan kendaraannya melewati jalanjalan
di wilayah Tangerang. Setelah ada jalan tol jarak yang
harus ditempuhnya tak begitu jauh lagi. Juga lebih
menyenangkan walaupun harus membayar untuk itu.
Saat dia akan melewati LPAN Wanita ia mendengar
bunyi klakson mobil berulang-ulang di belakangnya.
Gencar dan keras memaksanya untuk memberi perhatian.
la heran. Ada mobil sedan di belakangnya dan tangan
si pengendara yang rupanya seorang wanita melambai
lambai memberi tanda agar dia menepi. Tak jelas siapa
itu.
Dia melambatkan kendaraannya. Mobil itu menyusul.
Si pengendara menjulurkan kepalanya ke luar jendela.
Sebelah tangannya menunjuknunjuk ke pinggir.
"Tin! Ke sana sebentar yuk!" teriaknya.
Lalu mobil itu berbelok memasuki pekarangan LPAN
Wanita.
Tina mengenali wanita itu. Dia Merry, seorang ke
nalan. Di samping itu mereka adalah langganan masing
masing. Tina langganan salon milik Merry, sedang Merry
langganan toko Tina.
Di sebelah Merry duduk seorang gadis muda. Dia
memandang Tina ingin tahu. Baru kemudian Tina
mengenalinya sebagai Riri yang kadangkadang suka juga
berbelanja ke tokonya. Tapi, kenapa mereka memasuki
tempat itu? Keingintahuan juga yang mendorongnya
50
mengikuti saran Merry. Ia ikut berbelok lalu berhenti di
belakang mobil Merry.
Mereka keluar dari mobil masing-masing lalu saling
mendekat.
"Ngapain di sini, Mer?" tanya Tina.
"Ah, belum tahu, ya? Riri kutitipkan di sini," kata
Merry tanpa segan. Sementara Riri berdiri menjauh
setelah menyalami Tina. Kemudian perlahan-lahan ia
kembali ke mobil dan menyandarkan tubuhnya. Pan
dangnya ditujukan ke arah lain. Dari sikapnya jelas ia
tak ingin ikut mendengar percakapan kedua ibu yang
topiknya pasti mengenai dirinya.
"Lho, kenapa dia?" tanya Tina ingin tahu.
"Dia kan nakalnya kebangetan. Susah diatur. Dan
yang paling merisaukan itu lho. Dia suka keluyuran
malam-malam, bergaul sama perekperek, lalu tanpa
malu-malu mengakui dirinya perek juga. Aku kewalahan,
tak bisa lagi mendidiknya."
"Tapi, kenapa harus di tempat seperti ini? Di sini dia
bergaul dengan anak-anak nakal."
"Tapi mereka kan diajar dan dibina, tidak dibiarkan
begitu saja. Kalau di rumah, siapa yang mengajar? Lebih
lebih dalam soal disiplin."
"Sudah berapa lama dia di sini?"
"Jalan tujuh bulan. Banyak perbaikannya lho. Baru
san dia diizinkan berlibur ke rumah. Sekarang mau
kukembalikan lagi. Biar jadi baik benerbener."
51
"Berapa lama mau kautaruh di sini?"
"Tergantung. Kalau sudah baik tentu kubawa pulang."
"Kok dia mau, ya? Padahal katamu, dia badung."
"Ya. Dia sekarang lebih mudah diatur. Tadinya aku
khawatir kalau diajak berlibur ke rumah nanti tak mau
kembali lagi ke sini. Eh, tahu-tahu justru dia yang
mengingatkan aku bahwa saat untuk kembali sudah tiba.
Itu pasti gejala perbaikan. Tingkah lakunya pun sekarang
lebih halus dan sopan," cerita Merry dengan bangga.
Tina mengangguk sambil melayangkan pandangnya
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke arah Riri. Gadis itu sudah masuk ke dalam mobil.
Tentu lebih enak di situ daripada kepanasan berdiri di
luar.
"Ngomong-ngomong, kau sendiri mau ke mana?"
tanya Merry. Kini giliran dia memenuhi keingintahuan
nya.
"Mau menengok Abi," sahut Tina segan.
"Oh iya. Lembaga bagian pria di sebelah sana, kan?"
kata Merry seakan baru ingat.
"Bagaimana kabarnya
Abi?"
"Baik."
"Kapan dia keluar?"
"Tahun depan."
"Oh, cepat sekali waktu berjalan, bukan? Apakah dia
sudah berubah? Maksudku tak nakal lagi?"
"Tidak. Dia sudah baik sekarang."
"Syukurlah."
52
Sebenarnya Merry berharap Tina mau bercerita lebih
banyak. Dia sudah mendengar gosip tentang Tina dan
ingin mendengar sendiri dari mulut yang bersangkutan.
Tapi rupanya Tina lebih suka tutup mulut. Untuk
menanyakannya secara langsung ia tidak berani.
Mereka berpisah.
Tina melambai ke arah Riri. Ia tidak tahu apakah
Riri melihat atau tidak. Tapi beberapa saat kemudian
Riri melompat keluar lalu berseru,
"Daaaag... Tante!"
Senyumnya yang cerah menghiasi wajahnya.
Merry merasa puas melihat sikap putrinya. Riri sudah
tahu sopan santun sekarang.
Pintu gerbang masih cukup jauh dari tempat mereka
berhenti. Merry tidak segera menjalankan kendaraannya.
"Anak angkatnya Tante Tina itu berada di Lembaga
bagian pria. Dia ditahan di sana karena membunuh
ayahnya, atau tepatnya suami Tante Tina itu. Kau tentu
nggak kenal karena belum pernah bertemu. Namanya si
Abi. Dia memang tidak pernah berada di toko. Apalagi
waktu kecil. Kabarnya anak itu tukang merusak barang.
Bisa habis barang setoko," celoteh Merry.
Riri terkikik. Dia tak bisa membayangkan Abi sebagai
perusak. Tentu bukan karena badan yang gede itu maka
dia suka merusak barang.
Merry senang. Dikiranya Riri merasa geli oleh
gurawannya. Sudah lama mereka tak suka mengobrolkan
sesuatu. Biasanya percakapan mereka berbeda arah.
53
"Emangnya kenapa dia suka merusak, Ma? Apa dia
kemasukan?"
"Tentu saja bukan. Tapi bengalnya kelewatan. Itu dulu
waktu dia masih kecil. Sekarang sih nggak tentunya."
"Sekarang udah gede, Ma?"
"Iya dong. Kalau nggak salah hitung, umurnya tentu
sudah tujuh belas sekarang."
"Badannya juga gede dong."
"Kok tahu?" tanya Merry heran.
"Ih, nggak. Iseng aja."
"Memang badannya gede kok. Terakhir Mama
melihatnya sewaktu disidang. Bongsor bener. Pantasnya
orang tua kandungnya gede."
Riri tertarik. Ia harus menahan ibunya lebih lama
untuk diajak bicara sebelum ibunya meninggalkannya.
Ia ingin tahu lebih banyak tentang Abi. Kalau tidak
sekarang entah kapan ia bisa bertemu ibunya lagi. Tapi
ia tahu, belum saatnya bercerita tentang perkenalannya
dengan Abi. Ibunya bisa berprasangka macam-macam.
"Bagaimana caranya dia membunuh ayahnya, Ma?"
"Kenapa kautanyakan?" tanya Merry dengan pandang
selidik.
"Nggak apa-apa. Kepingin tahu aja. Badan gede itu
kan berarti tenaganya juga gede. Apa dipukulnya dengan
tangan kosong?"
"Oh, nggak begitu. Dia meletakkan sepatu rodanya
di anak tangga atas. Ayahnya menginjaknya lalu
54
menggelinding ke bawah, menabrak dinding kemudian
mati."
"Bagaimana kalau yang menginjak orang lain?"
"Mungkin sudah diperhitungkan."
"Ah, jadi Mama menghadiri sidangnya waktu itu?
Kok Riri nggak tahu."
"Habis kau kelayapan melulu sih," cetus Merry.
Tapi segera menyesal. Tentu sebabnya bukan karena
itu. Padahal dengan berkata begitu ia bisa memancing
kejudesan Riri. Ternyata tidak.
Riri cuma tersenyum. Dan manisnya senyum itu
membuat ibunya kian senang. Ya, anakku memang sudah
berubah.
"Ah, Mama. Waktu itu kan Riri sekolah. Kalau disuruh
bolos sih mau aja. Apalagi lihat sidang pembunuhan
yang belum pernah Riri lihat. Tapi ngomong-ngomong,
kasihan ya."
"Kasihan siapa?"
"Anak itu tentu saja. Siapa namanya, Abi atau apa ya?"
"Abi. Tapi kok dia yang dikasihani. Kan dia sudah
membunuh orang."
"Pantasnya bapaknya itu kejam, Ma."
"Katanya memang suka memukuli."
"Nah, bener kan? Kalau begitu Riri lebih beruntung
dong. Biarpun Mama bawel tapi nggak suka mukul."
Merry pura-pura cemberut tapi kemudian ia tertawa.
Cara Riri berbicara itu toh berbeda daripada biasanya.
55
Tidak sinis. Dia tambah senang bercerita.
"Dan tahukah kau, Ri.> Tante Tina itu mau kawin lagi.
Tahu sama siapa?"
Riri tertegun sebentar. Baik atau burukkah kabar itu
bagi Abi? Tapi kemudian ia menyahut santai,
"Tahu, Ma.
Sama lelaki."
"Ya. Tentu saja sama lelaki. Tapi dia jauh lebih muda
daripada Tina. Mungkin ada sepuluh tahun."
Riri bersiul.
"Itu masih lebih baik daripada dua puluh,
Ma."
Merry tertawa. Baru sekarang rasanya dia bisa tertawa
menanggapi gurawan Riri.
"Apakah si Abi itu tahu, Ma?"
"Itulah yang Mama ingin ketahui," sahut Merry
menyesal.
"Tapi Mama tidak berani menanyakan."
"Emangnya Tante Tina tidak sayang sama anak
angkatnya?"
"Katanya sih sayang. Dulu dia yang berkeras ingin
mengambil anak itu, tapi suaminya tidak mau. Jadinya
mereka ribut terus."
"Mungkin sekarang Tante Tina mau memberi tahu.
Yah, masa iya nggak dikasih tahu."
"Mungkin. Besok-besok Mama mau belanja di
tokonya. Siapa tahu bisa mendengar cerita."
Riri tertawa. Begitulah ibunya.
"Bagaimana kalau si Abi nggak setuju, Ma?"
56
"Lho, dia tentu tidak punya hak untuk tidak setuju.
Yang punya hak seperti itu adalah orang tua."
Riri diam. Tak ada lagi yang bisa diketahuinya dari
ibunya. Sekarang ia tinggal berharap bisa diajak main
voli lagi di Lembaga bagian pria dan ketemu Abi. Tapi
ia juga tahu, tidak boleh terlalu kentara memperlihatkan
harapannya. Itu bisa mengundang prasangka. Yang
penting adalah kelakuan baik. Selalu baik. Selalu manis.
"Kapan datang lagi, Ma? Lebih sering dong datang
nya," ia meminta. Diam-diam ia berharap ibunya akan
membawa cerita baru tentang Tante Tina bila datang lagi
nanti. Sekarang cerita tentang Tante Tina jadi menarik.
Kembali Merry keheranan. Ini ada kejutan lagi
untuknya.
"Pasti Mama datang lagi nanti. Secepatnya."
Sebelum berpisah Merry mencium pipi Riri kiri
kanan. Kali ini sambutan dari Riri terasa hangat.
Mungkinkah Riri bisa dijadikan teman sekarang? Merry
ingat pacar terakhirnya yang sudah minggat. Sedang dia
sendiri sudah kapok. Dan suaminya? Ah suami...
***
Tina memasuki pekarangan LPAN pria yang
bangunannya lebih luas dibanding LPAN wanita. Wajar
saja. Anak nakal berjenis laki-laki selalu lebih banyak
57
dibanding yang wanita.
Abi menyambutnya dengan gembira. Dan Tina
menanggapi kegembiraan itu dengan haru.
"Sudah lama Mama nggak datang. Abi kirain sakit."
Kata-kata yang mengandung perhatian itu
menggetarkan perasaan Tina. Dulu-dulu mana mungkin
Abi mengucapkan kata seperti itu? Matanya menjadi
basah. Untuk sesaat ia tak bisa bicara.
Abi memperhatikan. Ia tak mengerti kenapa ibunya
berwajah sayu.
"Mama memang nggak sakit, kan? Atau terlalu capek?
Kata Pak Agus, Mama sibuk di toko. Kasihan. Mama
sendirian sih."
Tina merasa bersalah. Ia teringat kepada Johan. Tapi
tak mungkin ia menceritakan kepada Abi. Tidak sekarang.
"Jangan membayangkan yang bukan-bukan, Bi.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mama memang capek, tapi nggak sampai kecapekan.
Kan ada pembantu. Yang penting Mama sehat. Dan kau
juga."
"Abi ingin cepat pulang, Ma."
"Kenapa? Di sini keras ya?" tanya Tina ngenes.
"Ah, nggak. Biasa aja."
"Nggak ada teman?"
"Oh, teman sih ada, Ma." Abi teringat kepada Riri.
Tentunya bukan teman cewek yang dimaksud ibunya.
"Lantas kenapa? Sabar sajalah."
58
"Abi kepingin menemani Mama. Di rumah kan nggak
ada orang lelakinya. Abi juga bisa membantu di toko
nanti. Boleh kan, Ma?"
Tiba-tiba Tina merasakan suatu getaran yang lain
sekarang. Tanda peringatan?
"Boleh saja. Tapi Mama pikir, kau perlu sekolah, Bi.
Kata pembina di sini, kau cerdas kok."
"Sekolah apa sih, Ma?"
"SMA tentu saja. Kau masih muda, kan? Nanti selesai
SMA akan ada banyak pilihan untukmu."
Abi tidak membantah. Ia tak ingin mengatakan
bahwa semangat belajarnya sudah lenyap. Duduk di
bangku selama berjam-jam lalu menghafal sungguh
menyebalkan. Tapi ia tak ingin mengecewakan ibunya.
Bagaimanapun ia senang ibunya datang setelah prasangka
buruk mulai datang mengganggu. Terpikir bahwa ibunya
sudah membenci dan melupakannya.
Lalu ia memandang dan mengagumi. Dandanan ibu
nya tampak semarak dan serasi. Make-upnya pun lengkap.
Sesuatu yang tak dilihatnya ketika terakhir ibunya datang
berkunjung.
Tatapan itu membuat Tina merasa risi. Tibatiba saja
ia menyadari bahwa Abi bukan kanakkanak lagi. Ia sudah
dewasa. Hampir dewasa.
"Mama kelihatan cantik," puji Abi.
"Terima kasih," jawab Tina tersipu. Aneh rasanya
menerima pujian seperti itu dari Abi.
59
"Sejak Mama terakhir ke sini, apa nggak ada masalah,
Bi?" tanya Tina untuk mengalihkan persoalan.
"Nggak ada, Ma. Biasa-biasa aja," sahut Abi dengan
tatapan ke arah alis Tina. Tak ada rambut lagi di situ.
Semuanya ludes dicukur bersih. Gantinya adalah sapuan
pensil yang hitam legam. Rasanya dulu tidak begitu.
Tina tidak senang ditatap secara kritis seperti itu. Ia
memalingkan muka.
"Abi sudah mengajukan permohonan untuk cuti, Ma.
Barang seminggu aja. Kepingin lihat rumah baru. Siapa
tahu Abi bisa membantu membereskan."
"Ah, kau mau cuti? Sudah diizinkan?" tanya Tina
dengan perasaan tak enak. Ia membayangkan bahwa hari
harinya bersama Johan akan terganggu. Ah, kenapa dia
mesti berpikir begitu?
"Belum tahu, Ma. Belum ada jawaban."
"Mama senang kalau boleh. Nanti Mama jemput,"
kata Tina tak bisa lain.
"Tolonglah Mama bicara dengan mereka. Kalau
Mama yang ngomong barangkali dikasih."
"Baiklah. Nanti Mama coba, ya? Tapi kau jangan
terlalu berharap."
"Sama Pak Agus saja, Ma."
"Sebentar, ya. Sekarang kita ngobrol dulu. Ayolah kau
cerita, Bi."
"Cerita apa ya. Setiap hari sama aja. Namanya di
kurung sih."
60
Maka Tina yang bercerita tentang kegiatannya di toko
dan di rumah. Semua kegiatannya yang bisa diingatnya
diceritakannya. Kecuali tentang Johan.
Setelah selesai bercerita timbul perasaan canggung.
Ternyata menghadapi Abi yang masih kecil dengan yang
sudah besar seperti sekarang ini terasa lain. Ada yang
membingungkan. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang
tak bisa diikuti. Abi kecil yang sudah dia kenal betul sudah
menghilang hampir tak berbekas. Tiba-tiba muncul Abi
besar yang berbeda. Susah betul untuk dikenal dan
diselami. Ada masa peralihan yang juga hilang.
Sesekali Abi memberikan komentar terhadap
ceritanya dengan gaya dan nada dewasa. Pertanda bahwa
pikirannya berkembang rasional dan kritis. Tapi anehnya,
Tina tidak merasa bangga. Sebaliknya, dia cemas.
Tadi, dalam perjalanan menuju tempat ini dia merasa
rindu. Tapi ketika tiba saatnya akan pulang ia malah
senang.
"Ma, jangan lupa ngomong sama Pak Agus," Abi
mengingatkan.
"Tentu saja nggak lupa."
Sambil berjalan menuju kantor Pak Agus, Tina me
mutar otaknya. Dia merasa belum siap, sungguh-sungguh
belum siap menerima kedatangan Abi di rumah. Dengan
Johan di sisinya tentu.
Agus menerima Tina dengan ramah.
61
"Menurut Abi, dia mengajukan permohonan cuti.
Saya harap Bapak tidak mengabulkannya," Tina langsung
mulai.
Pak Agus terkejut. Ia bengong sebentar.
"Lho kenapa, apa ada persoalan, Bu?"
"Ya, ada. Saya belum siap menerimanya, Pak."
Pak Agus tertegun.
"Apa karena perbuatannya dulu, Bu?" ia bertanya
lambat-lambat.
"Oh, bukan. Ini persoalan pribadi saya sendiri."
Pak Agus mengangguk. Karena dikatakan pribadi itu
ia tak berani menanyakan.
"Saya ingin tahu, apa sesungguhnya permohonannya
itu akan dikabulkan tadinya, Pak?" tanya Tina.
"Sesungguhnya tidak, Bu. Tapi bukan karena persoalan
cuti itu sendiri. Kami menganggap tanggung kalau diberi
cuti sekarang. Toh dua bulan lagi ia akan dibebaskan!"
Kini giliran Tina yang terkejut.
"Secepat itu, Pak? Bukankah rencananya tahun
depan, berarti ada sekitar sepuluh bulan lagi dia baru
boleh keluar?"
"Memang itu vonisnya. Tapi dia memperoleh banyak
keringanan. Penilaian kami terhadap dirinya baik sekali,
Bu. Itu pun sebagai penghargaan atas usahanya. Dia
sungguh-sungguh ingin mengubah dirinya, Bu. Saya
kira, kesungguhan itu juga disebabkan karena dia sangat
62
ingin bisa pulang ke rumah secepatnya untuk menemani
Ibu!"
Wajah Tina berubah. Ketegaran dan kemantapannya
saat memasuki ruangan itu hilang sebagian besar. Dia
merasa kacau.
"Bagaimana Bapak bisa memperkirakan hal itu?
Apakah memang cuma kira-kira saja?"
"Oh, tidak. Dia sering kali berbicara pada saya
mengungkapkan isi hati dan perasaannya. Terus terang,
saya menyukainya, Bu. Saya patut memuji [bu karena rela
membesarkan seorang anak yang sulit seperti dia. Tapi
saya yakin dan saya berharap Ibu tidak akan menyesal
karenanya. Oh ya, dia juga sering mengatakan ingin
sekali bisa membalas budi dan jasa Ibu. Hidupnya akan
dibaktikannya untuk Ibu."
Mendadak Tina tak bisa menguasai dirinya. Sudah
ditahannya sekuat tenaga. Tapi tak bisa. Tangisnya
meledak. Ia tersedu dan terguguk. Sedih sekali. Terpaksa
ia menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya.
Pak Agus bingung. Ia tak tahu mesti bilang apa.
Menghibur pun tak bisa. Hatinya juga trenyuh mendengar
isak tangis itu. Ia diam saja sambil memalingkan muka.
Tak tega ia memandang.
Tina membuka tasnya, menarik tisyu dari situ untuk
digunakan mengeringkan mata dan hidungnya. Lalu
menegakkan kepalanya kembali. Ia menatap Pak Agus.
63
"Maafkan saya, Pak," katanya lirih.
Pak Agus tak berani balas menatap. Wajah Tina coreng
moreng oleh maskara dan eye-shadow yang luntur oleh air
mata. Memelas tapi juga menggelikan.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya mengerti bagaimana pe
rasaan Ibu. Saya ingin menolong kalau bisa. Katakan
saja."
"Tolong, Pak, jangan katakan dulu padanya tentang
pengurangan masa tahanan itu. Carilah alasan lain
kenapa permohonan cutinya ditolak. Saya perlu waktu
untuk berpikir dan mempersiapkan diri dulu. Nanti akan
saya beri kabar secepatnya."
"Kalau cuma itu bisa saja, Bu. Tapi percayalah, Ibu tak
perlu mencemaskan tingkah lakunya. Toh bila dia sudah
pulang Ibu bisa terus berhubungan dengan kami untuk
memberi kabar."
Terpaksa Tina memberi tahu.
"Masalahnya bukan itu, Pak. Tadi sudah saya katakan.
Begini, Pak. Saya bermaksud menikah dalam waktu dekat.
Bila Abi cepat pulang saya khawatir dia akan merusak
suasana. Maksud saya, oh, eh, dia akan konflik dengan
calon suami saya," kata Tina dengan wajah merah.
"Apakah Ibu tidak memberi tahu dia?"
"Belum. Dan saya harap Bapak juga tidak memberi
tahu lebih dulu."
"Bukankah lebih baik dia tahu lebih dulu daripada
nanti?"
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
64
"Saya memang berencana akan memberi tahu dia bila
saya telah menikah. Maksudnya supaya dia tidak berpikir
macam-macam dan tidak bertindak macam-macam lebih
dulu."
"Oh, jadi Ibu khawatir dia akan menghalangi niat
Ibu?"
"Ya, begitulah," jawab Tina tersipu. Sesuatu dalam
pandangan Pak Agus membuat ia merasa kurang enak.
"Tapi dia sudah lebih dewasa sekarang. Mustahil dia
tak bisa mengerti. Katakan saja baik-baik."
Tina termenung.
"Kalau saya beri tahu sekarang, dia bisa ngambek,
Pak. Lalu tidak mau pulang."
"Tapi dia toh akan tahu juga bila pulang dan me
nemukan seorang pria lain di sana. Akibatnya bisa lebih
mengagetkan."
"Saya... saya akan merundingkan dulu dengan calon
suami saya, Pak."
"Maaf, kalau boleh saya tahu, apakah dia sudah tahu
tentang Abi dan mau menerimanya juga?"
"Oh, jelas, Pak. Bahkan dia sudah berjanji untuk
berusaha menyayangi Abi."
"Bagus kalau begitu. Mungkin problemnya tak
seberapa berat. Ibu tak usah risau," hibur Pak Agus.
Tina memang terhibur karenanya. Pasti Johan akan
cocok dengan Abi.
65
Di muka pintu ia terkejut melihat Abi.
"Oh, kau masih di sini?"
"Iya, nunggu Mama."
Lalu Abi juga terkejut melihat wajah ibunya. Sudah
coreng moreng, sebelah alisnya pun tinggal separuh. la
heran tapi juga ingin tertawa. Toh ia takut kalau-kalau
ibunya marah. Jadi ia segera memalingkan muka supaya
rasa geli itu tidak menetap.
Tina tak mengerti tapi tak bertanya. Ia sibuk berpikir.
"Begini, Bi. Mama sudah ngomong sama Pak Agus.
Katanya kau tak perlu minta cuti karena tanggung.
Toh kau nanti juga pulang. Ya, dua bulan lagi kau akan
pulang, Bi. Untuk seterusnya! Bebas!"
Abi melotot lalu berseru girang. Ia memeluk ibunya,
hampir menenggelamkan ibunya dalam rangkulan
tangannya yang kukuh.
Sesaat Tina merasa susah bernapas. Hangat dan erat
pelukan Abi, tapi dia merasa asing di situ. Sebelumnya
Abi tak pernah memeluknya. Dia sadar, sejak semula
kedewasaan fisik Abi telah memberinya perasaan jauh.
Kini seakan Abi ingin menjangkaunya kembali. Tapi itu
tidak mungkin.
"Nah, berterimakasihlah pada Pak Agus. Mama mau
pulang, ya?"
Abi melepaskan pelukan lalu melangkah akan
mengiringi ibunya. Ia agak kecewa karena ibunya
66
tidak kelihatan terlalu gembira atau ikut bergembira
bersamanya. Tapi kekecewaan itu cuma sebentar, hapus
oleh kegembiraannya sendiri.
"Kau nggak usah ngiringi aku, Bi. Biar Mama jalan
sendiri."
Abi melambaikan tangan. Bahkan wajah ibunya yang
lucu itu tidak membangkitkan rasa gelinya lagi. Ingin
tahu kenapa juga tidak. Ia membalikkan tubuh menuju
pintu kantor Pak Agus. Pintu diketuknya pelan.
"Masuk!"
"Maaf, boleh saya mengganggu sebentar, Pak?"
"Boleh. Masuk saja. Duduklah."
Lalu Abi meluapkan kegembiraannya kepada Pak
Agus. Juga rasa terima kasihnya. Yang diajak bicara cuma
tersenyum tapi diam-diam merasa bingung. Dia masih
ingat betul. Bukankah ibu tadi berpesan supaya jangan
menyampaikan kabar itu dulu kepada Abi? Nanti, katanya.
Jangan sekarang. Tahu-tahu dia memberitahukannya
sendiri begitu melangkah ke luar pintu. Ah, perempuan.
"Siap mental, Bi? Lama terbiasa di tempat ini kau
pasti akan canggung bila berada di luar kembali. Jadi
siap-siaplah dari sekarang."
"Saya siap, Pak."
"Juga menghadapi kekecewaan?"
"Ya, Pak."
"Jangan pernah melupakan apa yang pernah ku
katakan dulu. Mau jadi apa kau nanti tergantung pada
67
dirimu sendiri. Kau sendiri penemunya. Bukan orang
lain. Siapa pun dekat dan akrabnya dia. Mempengaruhi
boleh tapi tidak menentukan. Boleh sedih, boleh kecewa,
tapi jangan sampai hancur. Nasibmu di tanganmu sendiri.
Bukankah manusia itu lahir sendiri dan mati sendirian
pula?" kata Pak Agus bernafsu.
Abi heran sebentar. Tak biasanya Pak Agus bicara
dengan nada emosional begitu kecuali bila dia sedang
marah.
"Ya, Pak. Terima kasih. Saya akan selalu ingat," katanya
terharu, karena yakin bahwa hal itu tentu disebabkan
karena perhatian Pak Agus kepadanya.
Pak Agus menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
merasa terdorong tadi oleh sikap dan katakata Tina hingga
simpatinya kepada Abi jadi lebih besar. Sesungguhnya
dia kecewa kepada Tina. Ya, setiap wanita pada dasarnya
memiliki sifat dan naluri keibuan yang bisa dia curahkan
kepada seseorang, siapa saja tak harus anak kandung. Tapi
bila kemudian datang seorang laki-laki yang menawarkan
cinta maka beralihlah perhatian dan curahan keibuannya.
"Ngomong-ngomong, Pak, kapan kita boleh main
voli lagi dengan mengundang... mengundang mereka?"
tanya Abi malu-malu.
"Mereka?" balas tanya Pak Agus dengan kening
berkerut.
"Oh, maksudmu Lembaga wanita? Boleh
saja. Maunya kapan? Tapi, kupikir kayaknya lebih
menyenangkan main sendiri saja. Atau nggak?"
68
Godaan itu membuat Abi tersipu. Tapi dia cepat
memperoleh jawab.
"Kan bisa belajar bergaul, Pak."
Pak Agus tertawa.
"Bergaul lewat main voli? Ah ya,
itu tentu baik juga. Apa kau sudah beroleh teman? Yang
tempo hari itu, kan?"
Wajah Abi tambah memerah. Rupanya memang
benar saat itu Pak Agus memberi perhatian kepadanya
dari bawah pohon.
"Siapa namanya?"
"Riri, Pak. Kami cuma ngobrol aja kok, Pak. Ber
kenalan, begitu. Kepadanya saya ceritakan semuanya. Dia
memberi reaksi yang baik. Tidak ngejek atau menjauh.
Padahal itulah yang saya takutkan, Pak."
Pak Agus mengangguk.
"Ya. Baik sekali kalau
begitu. Tapi menurut ibu asramanya, Bu Nani, gadis itu
dititipkan ibunya di situ karena binal. Perek, kata orang."
"Ya. Dia juga mengakui hal itu kepada saya.
Pendeknya, kami saling mengakui diri masingmasing,
Pak," cerita Abi tanpa malu-malu lagi.
Pak Agus tahu, ia tak bisa melarang. Setiap orang
berhak memilih temannya sendiri. Dan bagi Abi,
mungkin dia merasa lebih senang berteman dengan
seseorang yang sama-sama punya masa lalu yang kelam.
Itu menimbulkan perasaan senasib dan sama. Tak perlu
memandang ke atas atau ke bawah terhadap diri masing
masing.
69
"Bila bersahabat, peliharalah persahabatan itu dengan
akal sehat, Bi."
"Ya, Pak. Terima kasih."
Sesudah Abi berlalu, Pak Agus masih merenung.
Bagaimanapun kecewanya terhadap Tina dia merasa
bangga akan Abi. Dan juga dirinya sendiri. Sedikit
banyak dia sudah berhasil menjalin keakraban dengan
Abi. Nalurinya mengatakan bahwa Abi melihat tokoh
ayah dalam dirinya. Dialah seorang tokoh yang bisa
dilihat, ditiru, dan diakrabi. Bukan cuma dikhayalkan,
karena yang dirindukan dan dibutuhkan itu tak pernah
dimiliki. Mungkinkah karena itu maka begitu banyak
perubahan terjadi pada diri Abi? Padahal pada mulanya
ia mengira Abi cuma pura-pura baik saja agar bisa cepat
keluar. Kalau memang benar demikian, oh Tuhan,
alangkah bahagianya aku! Pak Agus menjerit dalam hati.
Sementara itu, Tina terduduk di mobilnya dengan
gundah. Dia merasa tak punya pegangan. Dua bulan lagi.
Singkat sekali waktu sekian itu. Betapa senangnya si Abi.
Betapa kecewanya dia. Tapi, kenapa dia harus kecewa?
Karena perasaan asing yang muncul tadi itu? Karena
terbiasa tanpa Abi? Atau karena Johan?
Mendadak pandangnya jatuh ke kaca spion di depan
nya. Ia terbelalak. Hampir saja ia menjerit saking kaget.
Mukanyakah itu? Ya ampun. Makeupnya berlepotan.
Pantas orang-orang yang berpapasan dengannya tadi pada
70
senyum-senyum. Dan Pak Agus. Dan Abi. Kurang ajar.
Kenapa dia diam saja? Dia terlalu girang dengan kabar
itu. Dia mementingkan dirinya sendiri. Tak ingat ibunya
menanggung malu membawa-bawa muka yang seperti
itu. Tapi, betulkah Abi egois? Ah, tak adil juga menilainya
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti itu. Lantas, ke mana harus dilampiaskannya
emosinya yang menggelegak itu? Oh, dia mendambakan
ketenangan. Dan dia akan mencarinya dari Johan.
71
RIRI kelihatan murung.
"Dua bulan lagi, Bi? Cepat amat sih," keluhnya.
Abi tertawa.
"Aku di sini kan sudah lama, Ri. Sudah
bosan bener."
"Aku juga bosan."
"Berusahalah supaya kau pun cepat keluar."
Wajah Riri cerah kembali.
"Ya. Kau benar. Aku akan berusaha. Pasti bisa. Aku
di sini kan tergantung ibuku. Apa kata dia, ya terjadilah
begitu."
"Bagaimana cutimu tempo hari?"
"Nyebelin. Habisnya di rumah teruuus. Kalau keluar
paling-paling sama Mama."
"Papamu?"
"Nggak tahu ke mana orang itu. Pergi pagi pulang
malam atau pulang pagi lagi. Jarang sekali ketemunya.
Aku yakin, dia punya simpanan."
"Simpanan?"
"Iya. Masa nggak tahu. Cewek."
"Dan mamamu? Katamu, dia juga punya pacar."
"Kayaknya sih udah nggak lagi. Mungkin pacarnya
bosan," Riri tertawa.
"Eh, ngomong jelek di belakangnya
72
kan nggak apa-apa, ya? Asal jangan di depannya saja.
Katanya, kita mesti punya tenggang rasa. Ngomong
nggak boleh seenaknya, ceplas-ceplos. Kalau kamu punya
perasaan, orang lain juga punya. Begitu kata orang tua
tua."
"Emangnya kau nggak pernah sakit hati sama
seseorang?"
"Nggak tahu, kayaknya si nggak."
"Sama orang tuamu?"
"Ah, sedikit. Ya, gara-gara mereka aku jadi begini.
Kalau mereka baik masa aku nggak baik juga sih. Anak
itu kan ikut orang tua."
"Gimana kalau orang tuamu nggak kunjungjadi baik?
Apa kau ikut juga?"
Riri termenung sebentar.
"Ah, nggak kepikir ke situ.
Kejauhan itu sih," jawabnya kemudian.
"Kamu sendiri, apa nggak kepingin orang tuamu jadi
baik?"
"Tentu aja kepingin. Siapa sih yang nggak? Terus
terang aku selalu iri bila melihat keluarga yang kelihatan
harmonis dan rukun. Tapi aku suka mikir, apa betul
mereka itu harmonis dan rukun? Jangan-jangan cuma
luarnya doang. Munafik. Pura-pura saja."
"Tapi susah juga dong, Ri, kalau kita mesti lihat orang
lain saja."
"Memang susah. Habisnya kita kan masih muda.
Perlu lihat contoh. Nah, yang tua-tua itu harusnya beri
73
contoh yang baik. Kita kan ikut aja. Kalau orang tua
geblek, anaknya geblek juga."
"Nggak selalu, Ri. Itu kata Pak Agus lho. Aku percaya
dia. Paling akhir dia bilang, jangan mau hancur karena
orang lain siapa pun dia. Itu nggak bisa kulupakan."
"Maksudmu dengan hancur itu apa sih?"
"Jadi rusak gitu."
"Kayak kita ini?"
"Mungkin. Tapi kita kan masih belum rusak bener.
Masih bisa diperbaiki."
"Apa iya?"
"Iya dong."
"Ah, itu kan katamu. Orang lain belum tentu."
"Kan udah dibilang, jangan ikutin orang lain. Punya
pendirian sendiri gitu. Kita kan punya perasaan. Kita
tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Eh, aku
cuma nerusin omongan Pak Agus lho. Tapi aku percaya
dia bener."
"Jadi kalau aku berpendirian, jadi perek itu nggak
apa-apa gimana? Toh aku nggak nyakitin orang lain."
"Nggak nyakitin diri sendiri?"
"Nyatanya aku nggak merasa sakit."
"Apa iya?"
Riri memandang jengkel.
"Emangnya kamu nggak
seneng punya teman perek?"
Abi tidak menyahut. Dia memandang ke lapangan.
Riri menyikutnya.
"Sori deh. Salah ngomong."
74
"Jangan jadi perek lagi dong, Ri."
"Iya deh," jawab Riri tanpa berpikir lagi.
Abi tidak puas tapi ia tak ingin mendesak.
"Nggak percaya?" tanya Riri.
"Percaya. Kamu kan nggak mau dibawa ke sini lagi.
Ya, kan?"
"Ya. Kau betul. Ah, susah jadi anak yang nggak bisa
apa-apa," keluh Riri.
"Emangnya kau nggak sekolah lagi, Ri?"
"Dulu sekolah baru kelas satu SMA lantas aku
dikeluarkan. Terus aku mogok sekolah ketika Mama mau
mencarikan aku sekolah yang baru."
"Dia ingin betul kau jadi anak baik. Kalau nggak masa
dia masukin kau ke sini," kata Abi sambil mengenang
ibunya sendiri.
"Tapi dia sendiri tetap aja begitu. Eh iya, salah
ngomong lagi. Kayaknya Mama memang sudah mulai
berubah. Mungkin karena ditinggal pacarnya. Habis
Mamajuga nggak tahu diri sih. Udah tua-tua masih mau
pacaran sama yang lebih muda. Padahal lelaki yang lebih
muda itu cuma mau duitnya."
Habis bercerita begitu tiba-tiba Riri teringat akan per
jumpaannya dengan Tina tempo hari. Dia segera men
ceritakan.
"Ternyata ibumu dengan ibuku itu kenal baik, Bi."
"Apa saja yang mereka percakapkan?" tanya Abi
tertarik.
75
"Nggak tahu. Aku jauh-jauh aja. Habis sudah pasti
ngomongin aku. Buat apa dengerin? Wah, ibu-ibu itu
kalau udah pada kumpul bawelnya kebangetan. Maka
itu aku nggak mau disuruh membantu ibuku di salon.
Di sana banyak ibuibu. Senengnya ngomongin orang
melulu."
"Jadi kau nggak denger apa yang mereka omongin
tentang aku?"
"Nggak. Wah, kepingin tahu juga rupanya."
"Iya dong. Aku ingin tahu apa saja keluhankeluhan
Mama. Dia kan sendirian di rumah. Oh ya, sama
pembantu. Tapi kan nggak ada lelakinya. Rumah yang
begitu itu kan nggak aman, Ri."
Hampir meledak tawa Riri kalau saja ia tidak ingat
ingat untuk menjaga perasaan Abi. Tapi ia juga sadar,
rupanya Abi belum diberi tahu Tante Tina. Mustahil
ibunya salah informasi. Biasanya ibunya tahu banyak
tentang Ibu Anu atau Nyonya Anu. Sumbernya adalah
para langganannya di salon.
"Kau senang dong dikunjungi Tante Tina?"
"Jelas. Cuma Mama satu-satunya di dunia ini yang
aku miliki."
"Kau sayang sekali padanya."
"Iya dong. Habis siapa lagi?"
"Barangkali nanti ada orang lain?"
Abi menatap wajah Riri. Pertanyaan macam apa itu?
76
la menilainya lain.
"Ya. Barangkali nanti memang ada
orang lain. Siapa tahu?" katanya penuh arti.
"Lama kalian ngobrol?" tanya Riri lagi.
"Nggak begitu. Kenapa?"
"Cerita apa aja sih Tante?"
"Macam-macam. Tentang rumah baru kami. Oh,
kapan-kapan kalau kau sudah bebas datanglah ke rumah.
Aku sendiri juga belum pernah lihat."
"Katanya nggak pantas cewek mendatangi cowok."
"Kalau begitu, nanti aku datang ke rumahmu. Boleh?"
Riri tersenyum senang.
"Boleh dong. Masa nggak."
"Kau tentunya punya banyak kawan."
"Emangnya kau mau mencariku atau kawan
kawanku?" goda Riri.
"Ya, kau dong. Aku cuma mau bilang, nanti kalau
kau sudah keluar kau lupa sama aku karena sudah banyak
kawan yang lain."
"Ah, nggak. Kau lain. Dan satu hal sudah pasti, Bi.
Kalau aku memutuskan nggak jadi perek lagi pasti aku
nggak akrab lagi sama mereka."
Abi mengangguk.
"Memang susah ya kalau nggak punya teman. Kita
kepingin tapi nyari yang menyenangkan itu kok susah
dapetnya. Apalagi orang kayak aku. Badan gede begini
memang ada untungnya, tapi ada juga ruginya. Dulu
kalau aku masuk kelompok siapa saja aku selalu disuruh
77
jadi tukang pukul. Mereka yang cari onar aku yang
disuruh maju ke depan. Belum lagi ejekan yang macamSepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
macam. Gajah, King Kong, Raksasa, dan entah apa lagi
julukan yang pernah mereka berikan."
Riri tersenyum.
"Aku pikir, di mana-mana juga
manusia itu mulutnya usil. Nggak boleh ngeliat sesuatu
yang lain dari biasanya lantas ngatain. Emangnya dia
sendiri sempurna?"
"Kamu benar. Di mana-mana sama. Kita yang mesti
kebal. Mesti tahan. Di sini juga begitu."
"Di sini?"
"Iya. Ada aja yang brengsek. Mentang-mentang kita
punya salah. Punya dosa. Kayak dia itu bersih aja. Mung
kin dosanya malah lebih banyak. Cuma nggak ketahuan
aja."
"Banyak yang begitu, Bi?"
"Ah, lebih baik aku nggak cerita soal itu. Bahaya. Ada
kuping di mana-mana. Toh aku nggak lama lagi keluar.
Tapi biar bagaimanapun, di sini ada Pak Agus. Coba
kalau nggak ada dia, wah nggak tahu jadi gimana deh."
"Ya. Kamu beruntung, Bi."
"Ah, beruntung sih nggak. Justru aku sering berpikir,
diriku ini manusia paling malang di dunia. Siapa yang
melahirkan aku aja aku nggak tahu. Siapa ibuku, siapa
bapakku? Kata Papa aku anak bandit ulung dan pelacur.
Siapa tahu bener begitu."
78
Riri termangu.
Tapi Abi sudah beralih ke masalah lain.
"Apa
rencanamu kalau keluar nanti, Ri?"
"Nggak tahu. Belum kepikir."
"Pikirkan dulu. Kan enak nanti tinggal dijalanin."
"Emangnya kamu udah punya?"
"Iya. Aku mau sekolah aja. Daripada bengong. Kata
nya orang yang keseringan bengong dan ngelamun itu
paling gampang dimasukin setan. Soalnya, nggak ada
kerjaan sih."
"Kamu mau sekolah apa sih?"
"Ibuku menyuruh masuk SMA. Tapi aku segan.
Di sini aku diajarin ngutik-ngutik mesin. Seneng juga.
Mungkin aku cocok masuk STM. Itu juga saran Pak
Agus. Biar Pak Agus saja yang beri tahu Mama. Kalau aku
yang ngomong sendiri entar nggak dipercaya. Tapi buat
Mama sih kayaknya yang penting asal aku sekolah saja.
Nah, kamu juga sekolah, Ri. Apa ibumu sudah usul?"
"Ya jelas dong. Orang tua itu kayaknya suka nge
dorong-dorong anak supaya sekolah, rajin dan tekun.
Padahal dia sendiri males."
"Penyakitmu kambuh, Ri."
Riri tertawa.
"Ya ya, aku juga mau sekolah deh. Tapi sekolah apa
belum mikir. Aku mau lihat-lihat dulu apa yang kira-kira
aku senengin."
79
Mereka saling memandang dan tersenyum. Ada ke
cerahan masa depan di mata masing-masing.
"Kalau kamu keluar duluan, Bi, tunggu kabar dari
aku, ya? Aku pasti akan menyusul."
"Tapi kamu harus baik-baik supaya bisa cepat keluar."
"Beres."
Lantas Riri teringat lagi. Tadi masalahnya sempat
tersisih.
"Eh, Bi, jadi Tante Tina nggak bawa berita besar, ya?"
"Berita besar? Emangnya ada berita besar?" tanya Abi
curiga.
"Ih, aku cuma tanya. Barangkali ada. Soalnya kamu
kan udah lama nggak ketemu."
"Kayaknya sih nggak ada. Ceritanya biasa-biasa aja.
Kasihan ibuku. Dia sibuk. Dan dia sendirian. Kalau ada
aku kan bisa bantuin."
Riri merasa kasihan. Dia membenci Tante Tina.
Sebenarnya ia ingin bertanya lagi. Inginkah kau
mendapat ayah Bi? Tapi ia takut akan menyinggung.
Bukankah ia sudah belajar banyak tentang tenggang
rasa? Lagi pula ia sendiri seperti senasib. Seorang ayah
dimilikinya, tapi rasanya sama saja seperti tidak punya.
Dia cuma melihat bayangbayangnya saja, berkelebat
datang dan pergi. Padahal dia ingin punya dalam arti
yang luas, yaitu melihat, merasakan, dan menikmati.
Jadi Abi tentu sama saja. Semua anak sama. Itu sebabnya
seseorang punya dua orang tua.
80
Tapi kalau logikanya begitu, mestinya Tante Tina juga
tahu. Ya, apalagi dia sebagai orang dewasa yang katanya
sudah lebih banyak pengalaman hidupnya. Tapi, kenapa
dia tidak mau menyampaikan berita itu sebagai sesuatu
yang menggembirakan buat Abi?
***
Merry sedang sibuk di salonnya. Pembantunya ada
tiga orang, tapi sepertinya belum cukup. Mungkin dia
harus mencari tenaga lagi. Langganan bisa lari kalau
disuruh menunggu terlalu lama.
Belakangan ini, kemajuan zaman yang ditandai juga
dengan kemajuan kaum wanita ternyata ikut mencerahkan
bisnis salon-salon kecantikan. Para wanita yang kian
banyak bergiat di luar rumah merasa perlu memperbaiki
penampilan. Itu merupakan syarat kemajuan juga.
Karena itu salon milik Merry yang diberinya nama
serupa namanya menjadi kian laris. Tapi mungkin juga
bukan cuma karena sebab itu saja, karena salon-salon
lain di sekitarnya sudah bertumbuhan bagaikan jamur
dan toh tak semuanya laris. Sebab utama lainnya adalah
karena Merry sendiri memiliki bakat dan kemampuan
untuk mempercantik orang.
Ilmu itu ingin diwariskannya kepada Riri, sebagai
putri tunggalnya. Dan tentu saja juga salon miliknya
81
itu nanti. Memang tak ada orang lain. Tapi Riri tidak
berminat. Bahkan tak pernah memberi perhatian sedikit
pun.
"Bagaimana kabarnya si Riri, Mer?" tanya Nyonya
Debra yang rambutnya sedang didandani Merry.
"Baik. Banyak kemajuannya kok. Ketika tempo hari
dia pulang untuk berlibur sudah banyak perubahannya.
Dia sudah lebih lembut dan sopan. Cuma ngomongnya
saja yang masih suka ceplasceplos tanpa dipikir dulu.
Buat aku yang penting dia nggak suka keluyuran malam
lagi. Lalu mau sekolah juga," cerita Merry tanpa segan.
Memang tak ada gunanya menyembunyikan karena
kenalan-kenalannya toh sudah tahu. Dan rasanya pun
lebih enak karena dia tak perlu lagi pura-pura.
"Syukurlah kalau begitu. Padahal terus terang aku
sendiri merasa ngeri. Tempat itu kan penuh dengan
anak-anak nakal. Gimana kalau anak kita bukannya jadi
bener malah tambah brandal? Di sana kan dia bisa belajar
kenakalan dari anak lain."
"Ya. Banyak orang ngomong begitu. Aku sampai
ikut takut pada mulanya. Tapi mau gimana lagi? Aku
sudah kewalahan mengurusnya. Masa anakku yang cuma
seorang sampai jadi perek. Gimana sih. Bapaknya cuma
tahu menyalahkan aku. Padahal dia sendiri..."
"Memang lelaki suka begitu, Mer," kata Nyonya
Debra sok tahu.
82
"Pikir aja, Deb. Dulu zaman perempuan nggak bisa
cari duit kaum bapak itu bisa seenaknya melempar
tanggung jawab dengan alasan mereka sibuk dan capek
cari nafkah. Sekarang sesudah istri bisa bantu cari duit
hingga mereka nggak capek lagi, eh alasannya lain lagi.
Katanya, itu sih ibunya nggak ada di rumah terus.
Padahal mereka, cari duit atau nggak cari duit, tetap aja
jarang di rumah."
"Betul begitu. Betul. Memang nyebelin."
"Tapi untunglah. Riri sudah mau berubah. Itu tentu
jasaku. Bapaknya sendiri nggak berbuat apa-apa."
"Memangnya ke mana aja sih dia?" tanya Nyonya
Debra ingin tahu.
"Nggak tahu. Pokoknya aku nggak peduli. Kalau aku
peduli, aku bisa gila. Sekarang aku cuma menyibukkan
diri dan ngurus si Riri aja. Biar nggak ada suami tapi
masih ada anak. Aku capek cari duit ada tujuannya. Buat
si Riri."
"Dan si Herman gimana tuh?" goda Nyonya Debra.
"Oh, dia sudah kudepak," jawab Merry seenaknya.
Dia tak malu-malu lagi. Toh semua orang sudah tahu.
Nyonya Debra tersenyum. Dia tahu lebih banyak
lagi. Bukan Merry yang mendepak Herman melainkan
sebaliknya. Herman pergi meninggalkan Merry setelah
memperoleh materi cukup banyak. Herman, kekasih
Merry terakhir, tak berbeda dengan kekasih-kekasihnya
83
yang lain. Mereka adalah gigolo yang menawarkan cinta
denganirnbakum
Dulu, keadaan semacam itu disembunyikan rapat
rapat. Orang masih malu-malu. Hanya para bapak yang
dianggap wajar memiliki kekasih wanita muda yang pantas
jadi anak anna keponakannya. Tapi kenuuhan tejadi
perkembangan lain. Para ibu tak ketinggalan mengikuti
jejak. Lama-lama kian berani. Mereka tak canggung lagi
membicarakan sang kekasih dengan sesamanya.
"Iiet sudah dengar Kanang Tdna?'tanya TJyonya
Debra kemudian.
"Kenapa dia?" balas tanya Merry. Siapa tahu ada info
wmgbdmndhdaga.
"Kabarnya dia juga punya pacar. Kenal si Johan yang
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suka melever macam-macam barang ke toko? Nah, dia
itulah. Orangnya sih boleh juga. Ada tampang. Ada
potonganf"centaPJyonya[)ebra
"Aku belum pernah lihat orangnya. Tapi aku juga
sudah dengar. Kabarnya mereka akan kawin."
"Huh, kawin? Masa iya sih. Paling-paling mereka
cuma pacaran. Mana mungkin si Johan itu serius. Kalau
nwnmngmanmukan&muuwamathgmhf'
"Tina kan nggak jelek, Deb. Dan cinta juga tak kenal
batas usia."
Debra tertawa.
"Pokoknya kita lihat saja. Ayo, taruhan
yuk?"
84
"Nggak ah. Males."
"Ah kamu. Mentang-mentang bakal kalah. Coba saja
kaupikir. Si Tina itu kan punya anak angkat yang ada di
penjara...."
"Bukan penjara. Tapi Lembaga Pemasyarakatan Anak
Nakal," potong Merry.
"Iya, samasaja. Nah, anak itu kan pernah mencelakakan
bapaknya sampai mati. Si Johan pasti takut akan bernasib
sama. Apalagi kabarnya anak itu badannya gede. Biarpun
si Johan itu cukup kekar, tapi bisa kalah dia. Apalagi
kalau dipukul pakai alat..."
"Sudah ah. Jangan ngomong yang gituan lagi," potong
Merry ngeri.
Debra tertawa geli.
Untung saja pembicaraan sudah berhenti karena be
berapa saat kemudian orang yang tengah dibicarakan
muncul. Tina masuk dengan wajah cerah.
"Hei, mau cuci muka, Tin?" tanya Merry ramah.
"Nggak. Aku ke sini cuma mampir kok. Eh, kebetulan
ada Debra. Jadi bisa sekalian."
Lalu Tina membuka tasnya sementara Debra dan
Merry saling bertukar pandang.
Tina mengeluarkan dua helai amplop yang kemudian
diberikannya kepada kedua wanita itu. Seorang satu.
"Aku cuma mau memberikan ini. Sudah ya. Sampai
nanti. Pokoknya kalian harus datang."
85
Sebelum sempat ditanya lagi Tina sudah menghilang.
Yang ditinggalkan buru-buru membuka amplop.
Undangan perkawinan.
Wajah Debra berubah.
"Wah, kalah aku. Rupanya
bener mereka akan kawin."
"Kau nggak perlu merasa kalah. Kita kan nggak
taruhan."
Berbeda dengan Debra, Merry sama sekali tidak
merasa iri oleh perkawinan itu. Sebaliknya, ia yakin Tina
telah melakukan suatu kebodohan. Kenapa harus kawin?
Kawin cuma menyusahkan diri sendiri.
"Bu Merry, ada telepon dari Riri," seorang pembantu
nya memberi tahu.
Serta-merta berita baru itu tidak lagi menguasai
pikirannya. Ah, ada apa dengan Riri?
"Sori, mengganggu ya, Ma. Pasti Mama lagi sibuk,"
kata Riri di awal pembicaraan.
Terbuai perasaan Merry. Riri sudah benarbenar tahu
etiket sekarang.
"Nggak apa-apa kok, Ri. Katakan saja ada apa."
"Saya cuma mau ngomong, Ma. Begini. Sudah
beberapa hari ini Riri mikir tentang masa depan. Kalau
boleh Riri juga mau belajar di salon Mama. Kayaknya
sih menarik juga. Dan kalau Riri sudah punya semangat
belajar mungkin Riri juga mau sekolah. Supaya nggak
bodoh dan dibilang nggak terpelajar. Kok cuma lulusan
SMP sih. Malu juga sama diri sendiri. Gimana, Ma?"
86
Merry tertegun. Hampir dia tak percaya akan apa
yang didengarnya. Tempo hari ketika Riri berlibur dia
sudah berusaha membujuk, tapi Riri masih juga acuh.
Sekarang tiba-tiba mau sendiri. Susah diduga anak itu.
"Eh, tentu saja Mama setuju. Kan itu yang Mama
kehendaki. Tapi kamu yang nggak mau."
"Dulu dan sekarang kan lain, Ma. Katanya, manusia
itu berubah terus setiap detik, setiap menit, setiap jam.
Apalagi kalau sudah hitungan hari, minggu, dan bulan."
"Tapi kamu harus berjanji nggak akan keluyuran lagi."
"Jelas dong, Ma. Riri sudah kapok."
"Bagus kalau begitu. Kapan mau mulai?"
"Gimana bisa mulai sih, Ma. Kan Riri masih dikurung
di sini."
"Maksud Mama, kapan kau mau pulang?"
"Secepatnya dong, Ma. Di sini Riri merasa takut.
Gawat nih, Ma."
Merry terkejut.
"Gawat bagaimana, Ri? Ayo beri
tahu."
Suara Riri menjadi lebih perlahan.
Anna Karenina Jilid 1 Karya Leo Tolstoi Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama