Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong Bagian 1
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!Team Kolektor E-Book
K U D A P U T I H
( Ksyatria gunung)
Karya : SD LIONG
Penerbit : U.P. NAGA - SALA
Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya
Image Source : Awie Dermawan
Kontributor : Yons
April 2019, Kolektor - EbookK U D A PUT I H .
- Pahlawan gunung Dieng ?
Jilid I
---------------
S a y e m b a r a.
Tung . . . tung . . tung . . .
Bende bertalu tiga kali, pertanda pertandingan dimulai. Demang Wicara selaku pengacara
pertandingan segera tampil diatas mimbar. Ia berseru dengan lantang.
" Para kawula ( rakyat ) kabupaten Wirosobo dan para ksatrya yang ikut dalam sayembara
ini, dengarlah! Atas nama sang Adipati Wargontomo, sayembara ini dinyatakan dimulai ' - ( tampik
sorak dari para penonton memecah angkasa ) .
" Sayembara ini diadakan dengan maksud untuk memilih ksatrya sakti yang akan diangkat
menjadi Kepala tamtama (tentara) kabupaten Wirosoba. Ada.pun sayembara ini terdiri dari tiga
macam pertandingan:
Pertama, merentang busur pusaka kabupaten kyai Lodra, kemudian membidikkan kesebuah
sasaran berupa orang2an yang terpancang disana itu ( ia menunjuk kearah benda yang tergantung
pada tiang, kira2 seratus meter jauhnja ). Siapa yang dapat merentang paling kuat dan dapat
memanah ,sampai putus batang leher orang2 itu, ialah yang menang ! - ( tampik sorak ).
Kedua, adu ketangkasan mengendarai kuda kesayangan sang Adipati yang bernama si Putih.
Barang siapa dapat mengendarai dan mencongklangkan memutari alun2 ini, ialah yang menang! (
tampik sorak ).
Ketiga, mengadu tangkasnja kaki dan tangan (bertempur ) serta ketrampilan menggunakan
senjata. Baik dipukul maupun dibanting, asal lawan sudah jatuh ketanah, itu sudah dinyatakan kalah.
Karena sifatnja pertandingan ini adalah untuk memilih Senopati ( kepala pasukan ) dan ksatrya 2 yang
akan dijadikan perisai kabupaten Wirosobo, maka hin darkanlah bunuh membunuh serta
pertumpahan darah yang tak perlu! - ( tampik sorak).
Pemenang dari sayembara ini, akan diangkat menjadi Kepala tamtama ( tentara ) kabupaten
Wirosobo dengan mendapat hadiah seperangkat pakaian kebesaran dan kuda tunggangan si Putih.
Hadiah2 itu akan disampaikan sendiri oleh: sang Ayu Wigati! - (tampik sorak bergemuruh ).
Tung . . tung . . . tung . . . !
Dibawah naungan langit cerah yang disinari cahaya ke-emasan dari Hyang Surya, pagi itu
lapangan alun2 kabupateri Wirosobo yang teramat luasnja, se-olah2 banjir dengan lautan manusia.
Alun-alun itu merupakan halaman luar dari balai pendopo kabupaten. Serambi balai pendopo
kabupaten dihias menjadi sebuah bangsal agung, dimana pagi itupun sang Adipati Wargontomo I,
permaisuri dan puterinya yang bernama Ayu Wigati, patih, demang, lurah dan lengkap siap dengan
tamtama2, hadir untuk menyaksikan pertandingan.
Masa itu adalah tahun 1568. Winosobo merupakan sebuah kabupaten dalam daerah
Banyumas (letaknja dekat stasion Klampok sekarang) . Pada jaman kabupaten Wiresobo, kota
Banyumas masih belum ada, masih merupakan hutan belukar. Pada waktu itu kerajaan Jawa sudah
pindah ke Demak, kemudian pindah lagi ke Pajang. Yang menjadi Sultan Pajang adalah Adiwijaya.
Kabupaten Wirosobo termasuk daerah kekuasaan Pajang.
Menurut babad Banyumas , yang menjadi bupati. Wirosobo secara ber-turut2 ialah:
Bupati pertama: Adipati Paguwan atan Wirontomo I.
Bupati kedua : Adipati Wirontomo ( Raden Ketuhu)Bupati ketiga : Adipati Urang atau Wirontomo III .
Bupati keempat: Adipati Surawin.
Bupati kelima: Adipati Sugontomo (Jaka Tambangan).
Adipati Wargentomo I yang sekarang ini adalah Bupati keenam.
UmbuI2 beraneka warna menghias bangsal agung itu dengan meriah sekali. Alun-alun
dipagari oleh prajurit2 tam-tama yang bersenjata lengkap. Mereka menjaga pada setiap jarak
sepuluh depa. Disamping bangsal agung didirikan sebuah mimbar guna tempat pengacara dan para
juri pertandingan.
pada akhir2 ini keamanan daerah kabupaten Wirosobo agak terganggu. Disana sini timbul
perampokan dan pembegalan. Sebagai sesepuh yang dipertuan oleh kawulanja, Adipati
Wargontomo perihatin sekali dengan peristiwa2 yang merugikan kawulanya itu. Pun dari Sultan
Pajang, ia mendapat perintah supaya membentuk suatu pasukan yang kuat untuk menjaga
daerahnya. Dengan dasar2 itulah maka Adipati memutuskan untuk mengadakan suatu sayembara
guna memilih ksatrya2 gagah. Pemenangnja akan diangkat menjadi Senopati atau kepala pasukan,
sedang lain-lain pun jika suka akan diangkat menjadi perwira2. Pendek kata pasukan kabupaten itu
nantinja akan berintikan ksatrya2 pilihan yang dapat menegakkan kewibawaan pemerintahan
kabupaten Wirosobo.
Maklumat tentang sayembara itu disebar jauh keseluruh negeri daerah Wirosobo. Para
ksatrya dan jago2 sakti, diundang supaya ikut serta. Alhasil, dari segala pelosok wilayah Wirosobo,
bahkan dari luar daerah, ber-bondong2lah rakyat menuju keibukota kabupaten. Ksatrya2 yang akan
ikut itu ada yang membawa rombongan pengikut, ada yang seorang diri. Disamping itu tak kurang
juga jumlah rombongan2 yang hanya akan menonton saja. .Bagi rombongan pengikut sayembara
yang datang luar kota, disediakan bangsal penginapan.
" Pengikut pertarna : Kodrat dari lereng gunung Slamet ! " pengacara demang Wicara
mengumumkan.
Seorang lelaki berbadan tegap, tampil ketengah gelanggang. Ia membungkok hormat kearah
bangsal agung, kemudian memberi anggukan hormat kearah penonton yang mengelilingi alan- alun.
Bersamaan pada saat itu, dua orang ponggawa kabupaten muncul dengan memanggul sebatang
busur besar beserta setabung anak panah. Busur itu tak kurang dua meter panjangnya, terbuat
daripada galih (hati) kayu pohon rasamala yang berumur ratusan tahun. Teraju atau batang busur itu
merupakan dua buah ukiran naga yang saling berhadapan. Ukirannya halus dan warnanya indah
sekali sehingga tampaknya seolah-olah hidup. Titik pertemuan kepala kedua ekor naga itu,
merupakan bagian pegangan. Sedang bagian ekornya dibalut dengan emas.
Itulah busur kyai Lodra, pusaka dari kabupaten Wirosobo. Setiap ada peperangan atau
kerusuhan, maka adipati segera menitahkan mengeluarkan busur pusaka itu. Ia merentang dan
memetik tali busur itu. Apabila getaran tali busur berbunyi nyaring, itu pertanda prajuritnya akan
unggul. Tapi apabila getarannya melempem ( tak berbunyi), itu tanda akan kalah perangnya.
Demikianlah setelah memeriksa sejenak, Kodrat segera mulai mengangkat kyai Lodra.
Busur itu ternyata beratnya tak kurang dari 300 kati. Mulailah ia merentang. Mukanya segera
berobah merah padam, urat2 lengannya me-lingkar2 dan keringat mulai bercucuran membasahi
dahinya. Krek . . . busur melengkung. Dikerahkannya seluruh tenaga namun tetap tak bertambah.
Ternyata ia hanya berhasil merentang sampai sepertiga bagian saja.
Kemudian direnggutnya sebatang anak panah. Sasaran orang2an yang dipancang pada tiang
tonggak sejauh 100 meter itu terbuat dari pada kayu duren. Selayang membidik, Kodratpun lepaskan
picu tali basur. Panah mengaum dan bersarang tepat dikepala orang2an itu.
Penonton bersorak sorai dengan gempar.
Setelah Kodrat mundur, maka dengan Wicoro kembali melantangkan suaranya :" Pengikut
kedua : Godeksura dari Kedungrandu !Seorang lelaki yang memeiihara cambang (brewok) melangkah maju dengan gaya gajah
berjalan. Penonton memujinya dengan tepuk sorak yang riuh. Ia menghadap kebangsal agung untuk
rnemberi hormat, kemudian alihkan anggukan kepalanya kearah penonton, Dibawah elu pujian dari
para penonton, ia bersenyum lebar. Mimik wajahnya mengunjukkan keyakinan menang.
Kyai Lodra diangkat dan mulailah tali busur dipetik. Sekali menarik napas, mulailah ia
rnerentang. Krek, busur melengkung sampai sepertiga, tambah lagi sedikit sampai setengah bagian
dan tambah lagi sedikit . . . Huaahhh, tiba-tiba ia membentak keras sekali. Sedemikian keras
bentakannya itu hingga penonton yang terdekat, tersentak kaget dan menyurut mundur. Mulut jago
Kedungrandu itu bercaterukan gigi, gerahamnya saling bergosok hingga janggutnya ber-guncang2.
Gundu matanya bersitegang, hidungnya berkembang kempis. Rupanya bentakannya itu adalah
untuk mengarahkan seluruh tenaganya. Benar juga busur kyai Lodra mulai bergerak melengkung lagi
sedikit demi sedikit, makin lama makin condong kebelakang.
" Godeksura memang hebat! " terdengar salah seorang penonton dari baris sebelah utara
berseru.
" Memang, dahulu dikampungnya ia pernah berkelahi dengan seekor harimau yang hendak
mencuri kambing, " sahut kawannya yang rupanya tergolong orang yang ' sok tahu ' sendiri.
" Kuat sih memang kuat, hanya sayang ia penaik darah benar, suka berkelahi. Ia terkenal
sebagai seorang jagoan yang suka se-wenang2 mengandalkan kekuatannya dan ilmu kesaktiannya
aji2 Senggoro macan, " kata penonton lain.
" Konon kabarnya ia bersahabat karib dengan Sukra, anak Demang Toyareka, benarkah? "
orang kedua yang bicara tadi kembali menjeletuk.
" Sst, diamlah. Tu lihatlah Godeksura mengeluarkan aji2 Senggoro macan! " kata pembicara
pertama tadi.
Ternyata pada saat itu Godeksura tengah menggledekkan bentakannya yang
menggemparkan tadi. Sebenarnya aji2 Senggoro macan itu adalah suatu ilmu mengeluarkan
pernapasan. Godeksura telah dapat melatih napasnya sedemikian rupa, hingga ia dapat
mengumpulkan seluruh tenaga-dalamnya untuk disalurkan kebagian anggauta badan yang
dikehendakinya, misalnya kearah tangan atau kaki. Bentakan keras itu hanya untuk pengantar dari
tenaga yang hendak dilontarkannya. Jangankan kena pukulannya sedang angin-pukulannya saja
cukup dapat mematahkan batang pohon yang selengan besarnya. Barangsiapa terkena pukulan
Godeksura, tentu akan remuk tulang belulangnya.
Ia berguru pada kyai Teluhbraja dari Rawa Upas. Dari gurunya ia mernperoleh ber-macam2
ilmu pencak dan ilmu lindung ( kebal terhadap senjata tajam). Dengan ke-saktian2 itulah maka
Godeksura ? tiada beraja dihati tiada bersutan dimata ? atau memandang rendah pada semua orang.
Lebih2 ketika ia dapat menghantam binasa seekor harimau yang kesasar masuk kekampung, wah,
pamornya makin menjulang tinggi. Orang takut dan terpaksa menghormatinya. Banyak juga yang
menjadi anak muridnya. Dengan Sukra, anak demang Toyareka, ia besahabat baik karena sealiran.
Kembali Pada suasana digelanggang, saat itu Godeksura tengah mengundang seluruh
kekuatannya. Ini tampak dari wajahnya yang merah membesi. Namun kyai Ledra tetap tak mau
melengkung lagi. Betapa ia hendak memaksakan, tetap busur itu bersitegang. Setelah berjoang se
kuat2nya sampai beberapa saat dan hasilnya hanya dapat menambah lengkungan beberapa dim saja,
akhirnya menyerahlah ia. Busur mengatup lencang seperti semula lagi dan Godeksurapun
menghembus napas panjang untuk melepaskan himpitan dadanya, Tepuk sorak meletus gempar.
Habis beristirahat sejenak, ia menjemput sebatang anak panah lalu mengambil arah. Panah
mengaum dan cret, disanalah ia bersarang ditenggorokan sasarannya. Orang2an itu berayun keras
namun tak sampai jatuh.
Gelanggang kembali menggemuruh dengan sorak sorai!
Dengan senyum kebanggaan, Godeksura mundur ketempatnya. Sejenak, kembali denganWicara tampil berseru: " Pengikut ketiga: Banu dari Kedungwuni. "
Seorang lelaki pertengahan umur dengan dandanan mirip seperti pertapa, tampil ketengah
gelanggang. Sebagaimana pengikut2 yang terdahulu, iapun menghadap kearah bangsal agung untuk
memberi hormat dan tak lupa juga akan salamnya kepada para penonton.
Para penonton tak banyak memberi sambutan karena tak ada yang mengetahui asal usul
orang itu. Tapi yang terutama adalah karena pada umumnya para penonton menduga jago itu tentu
tak mungkin dapat mengalahkan Godeksura. Memang Banu seorang yang tak terkenal. Ia gemar
bertapa. Karena Kedungwuni terletak didaerah utara ( selatan Pekalongan ) , maka pergilah ia
bertapa kegunung Perahu. Disitu ia berhasil mendapat penerangan batin dan kesaktian. Pada suatu
malam ia bermimpi pergi ke Wirosobo. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang tua yang
memberinya sebuah semangka. Air liurnya menitik keluar demi dilihatni semangka itu semangka
jingga yang segar melincah. Tapi baru ia hendak memakan buah itu, tiba2 dari balik semak belukar
loncat keluar seekor anak macan. Anak macan itu menggigit kakinya. Ia menjerit kaget dan
terlepaslah buah semangka itu hilang ketanah. Ia tak mengerti alamat apakah mimpinya itu.
Tepat pada waktu itu, ia mendengar wara2 (pengumuman ) tentang adanya sayembara
memilih kepala tamtama kabupaten Wirosobo.Ah, mungkin buah semangka itu berarti suatu rejeki
atau hadiah. Siapa tahu hadiah pangkat Senopati itu akan menimpa dirinya. Demikian dengan
tafsiran Itu, pergilah ia ke Wirosobo.
Pertapa Banu mengangkat busur kyai Lodra lalu merentangnya. Krek, sekali kerahkan
tenaganya ia dapat merentangnya sampai setengah lingkaran. Tapi sampai disitu lantas macet.
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dicobanya untuk menggelorakan seluruh baju kekuatannya, namun sia2 jua.
Karena ternyata pertapa itu dapat juga merentang busur dengan cukup mengagumkan maka
penontonpun tak kikir untuk memberi tepuk pujian. Kemudian Banu membidikkan panahnya, sayang
bidikannya itu kurang kena karena hanya mengenai dada sasarannya. Penonton kembali memberi
sorak pujian namun tak semeriah seperti yang diberikan kepada Godeksura tadi.
Kini giliran demang Wicara mengumumkan nama pengikut yang keempat. Belum2 potongan
tubuh jago itu sudah memikat perhatian para penonton. Ya, betapa tidak. Seorang jantan perkasa
yang bersimbar dada (dadanya berbulu), tangan penuh bulu dan urat2. Kepala besar mata bundar,
mulut lebar menyanggah sepasang kumis melingkar keatas. Raut wajahnya sepintas pandang
menyerupai harimau gembong. Sayang umurnya sudah agak tua, diantara 48-an tahun. Sekalipun
begitu langkah kakinya tetap tegak, gaya jalannya seperti sapi jantan dari Benggala.
" Ah, jangan2 bapak kita itu nanti mengecewakan harapan kita, " kata seorang penonton dari
kerumun sebelah barat.
" Jangan kuatir! Ia bekas prajurit yang menghabiskan umurnya dimedan peperangan. Pernah
turut Fatahilah (Sunan Gunung Jati) menyerang Banten dan menggempur orang Portugis di
Sundakelapa, " sahut kawannya.
" Tapi mengapa ia ikut dalam sayembara ini? Kan lebih nikmat jadi kepala penyamun di
Karangkobar dari pada berhamba pada Adipati? tanya seorang lain.
"Ah, memang darah prajuritnya selalu merangsang sanubarinya.Siapa tahu ia mempunyai
maksud tersembunyi. Tapi yang terang, apabila pak Singo berhasil menjadi kepala tamtama, kita
tentu akan mendapat tempat juga, " kata yang seorang pula.
Pak Singo atau lengkapnya Singomejo terkenal sebagai benggolan penyamun yang
menguasai daerah Karangkobar.
Ia pandai bermain tombak, tenaganya kuat sekali. Mempunyai ilmu Janurwenda yakni kedua
tangannya dapat meremas hancur batu. Cekalannya seperti sapit baja. Musuh yang kena terpegang,
pasti remuk tulangnya. Entah sudah berapa banyak jago yang tercelaka ditangan mautnya itu.
Semasa mudanya Singomejo masuk menjadi prajurit kerajaan Demak. Ketika raja DemakPangeran Trenggono mengutus Fatahilah (Sunan Gunung Jati) untuk memadamkan huru hara
Banten, iapun ikut juga. Pada masa itu di Jawa Barat terdapat sebuah kerajaan Hindu yang terakhir
yakni Pajajaran. Raja Pajajaran kuatir akan diserang oleh Demak. Kebetulan orang Portugis minta ijin
padanya untuk membuka kantor dagang di Sundakalapa (Jakarta). Ia luluskan permintaan orang
Portugis itu agar dapat dijadikan kawan serekat untuk menghadapi Demak. Tapi setelah Fatahilah
dapat mengamankan Banten maka diusirnyalah orang2 Portugis itu dari Sundakalapa.
Karena tak puas dengan hadiah pangkat yang diberikan untuk jasa2nya daiam peperangan,
Singomejo keluar dari dinas keprajuritan. Ia berkelana untuk mencari ilmu kesaktian dan akhirnya
menadi kepala penyamun didesa Karangkobar. Sekalipun penyamun namun penyamun haguna yakni
hanya menyamun orang2 kaya yang jahat dan hasilnya dibagikan pada rakyat papa yang benar2
membutuhkan pertolongan.
Demikianlah pada saat itu Singomejo tengah merentang kyai Lodra. Sepasang pipinya
tampak mengemburg, dada berkempis dan rambut menyiak kejur. Krek, kyai Lodra melengkung
sampai setengah lingkaran. Terus saja ia memusatkan tenaganya kelengan dan busur itupun makin
melengkung sampai dua pertiga bagian. Sampai disitu macetlah. Betapa ia hendak memaksa se
kuat2nya, namun busur itu tetap menegang laksana baja yang kokoh. Singomejo mengakhiri
percobaannya dengan katupkan sang mata, Rupanya ia tengah memulangkan napas.
Gegap gempita bermula berasal dari kerumun sebelah barat tapi dalam sekejab saja segera
merata menyelubungi gelanggang.
Singemejo menjemput sebatarg anak panah dan mengarahkan kesasaran, Sret, anak panah
hingga diulu hati orang2an itu. Kembali sorak sorai menggema.
Segera setelah Singomejo mundur, seorang bertubuh tembun (gemuk tegap) melangkah
mau. Ia memelihara janggut panjang dan kumis tebal, mengenakan ikat kepala cinde wulung,
Menurut pengumuman pengacara, ia bernama Dongkol, lurah desa Klampok.
" Eh, siapakah gerangan orang pendek itu? " bisik seorang penonton.
" Hm, masakan tak kenal akan lurah Dongkol dari Klampok yang termasyhur gagah berani
itu, la pernah mengalahkan tujuh perampok yang coba hendak menggerayang kampungnya. Katanya
ia punya ilmu Belut-putih yaitu selalu lepas kalau dicengkau (dipiting) dan meleset kalau dibacok.
Karena ia yang jadi lurah, maka desa Klampok selalu aman, " seorang penonton lain memberi
keterangan.
Lurah Dongkol mulai pasang kuda2. Ia berseru keras dan mulai merentang, krek . . . busur
melengkung, tapi hanya sampai selingkar bulan sabit saja. Tak jauh bedanya dengan tentangan
Singomejo tadi. Tanpa menghiraukan mendapat sorak pujian atau tidak, iapun serentak mengambil
sebatang anak panah untuk Cret, perut orang2 an itu ter-sasak.
Sorak sorai gegap gempita!
Pengacara mengumumkan nama calon pengikut keenam dan tampillah seorang tinggi besar
berkumis cabang. Rombongan penonton sebelah selatan kedengaran hiruk.
" Pemimpin kita pak Sodrono pasti dapat mengatasi lawan 2nya, " seru seorang diantara
mereka.
" Ya, memang. Siapakah tak kenal akan nama Sodrono bajak sungai Serayu? Ia pernah
mengarungi sepanjang aliran sungai Serayu. Dimuara Laut Kidul pernah bertempur melawan
kawanan perompak dari Nusa Kambangan, " seorang lain menambahi bumbu.
" Tapi bagaimana ya kepandaiannya didaratan? " tanya kawannya.
" Tenaganya seperti banteng ketaton. terjangannya laksana petir menyambar. Pendek kata,
jangan bimbang pasti menang ! " kata orang tadi.
Memang pada akhir2 ini, diperairan Serayu timbul kawanan bajak yang menamakan dirinya "
yuyukangkang "Mereka mengadakan perompakan pada perahu2 pedagang, sewaktu juga mendarat untuk
menggarong desa. Bahkan daerah operasinya jauh sampai keselatan dimuara Laut Kidul. Sodrono,
pemimpin kawanan bajak Yuyukangkang itu mempunyai tenaga yang kuat sekali. Terutama
kepandaian berenang dan silam dalam air, menakjubkan sekali. Ia dapat bertempur didalam air
setangkas seperti didaratan. Kata orang, ia punya aji2 ilmu Ular- air.
Sodrono sebenarnya bekas ponggawa seorang bupati di daerah Jawa Barat. Sodrono
mempunyai seorang isteri yang cantik. Putera Bupati itu seorang pemuda bangor (suka plesir) dan
bermata keranjang. Melihat isteri Sodrono berparas licin. putera Bupati itu coba mengganggunya.
Karena mata gelap, Sodrono menghajar pemuda itu. Untung ia masih ingat akan junjungannya
(Bupati), hingga pemuda itu hanya dihajar setengah mati saja tak sampai melayang jiwanya.
Sekalipun begitu, Sodrono terpaksa melarikan diri karena hendak ditangkap.
Tiba dikali Serayu ia dihadang sekelompok bajak, tapi mereka dapat dikalahkan oleh
Sodrono. Melihat kegagahan Sodrono, kawanan bajak itu menyatakan takluk dan mengangkat
Sodrono menjadi pemimpin mereka. Sodrono yang tak punya bumi tempat berpijak (buronan),
terpaksa menerima. Namun ia mengadakan larangan keras kepada anak buahnya tak boleh
sembarangan merampas dan membunuh. Orangtua, wanita, anak kecil dan kaum pendeta tak boleh
diganggu. Yang melanggar akan dihukum sendiri, Sodrono ikut dalam sayembara karena ingin
kembali kedalam kalangan yang baik lagi. Penghidupan sebagai bajak, sering melawan batin-nya
sendiri. Ia ingin mengenyam penghidupan yang halal dan tenteram.
Demikianlah saat itu Sodrono mulai merentang busur. Gaya rentangnya mempesonakan
para penonton. Ia memang kuat sekali. Busur direntang sampai lebih dari setengah bagian, terus
tambah sampai duapertiga lalu macet. Karena menyamai rekor Singomejo maka penontonpun
menghujaninya dengan tepuk pujian. Sodrono mulai rnengambil bidikan dan ketika anak panah
diluncurkan, dada ,atas orang2 an itu tertembus. Kembali riuh rendah orang bersorak.
" Pengikut berikutnya: Dadang dari Cimiring," teriak Pengacara.
Seorang lelaki diantar umur 35 tahun, berkulit hitam, melangkah maju dengan tangkasnya.
Ia adalah pemburu dari hutan Roban yang terkenal. Ia hanya dapat merentang sampai sepertiga
bagian saja, tapi bidikannya tepat sekali bersarang kebatang leher sasarannya. Hanya karena
tenaganya kurang kuat, maka orang2an itupun tak putus.
" Pengikut kedelapan: Gunalewa dari dusun Widarapayung! "Gunalewa, adalah lurah dari dukuh Widarapayung. Widarapayung pada masa itu merupakan
bandar dari sungai Serayu bagian selatan. Pagi itu hari pasaran, Pasar Widarapayung penuh sesak
dengan orang berjual beli. Para nelayan dari Laut Kidul ber-bondong2 datang menjual hasil
tangkapannya. Di-tengah2 keramaian suasana, se-konyong2 seekor kerbau menjadi gila dan
mengamuk. Binatang itu lari kian kemari dan menerjang apa saja yang ditemuinya. Kegemparan
mencapai puncaknya ketika kerbau itu menerjang masuk ketengah pasar. Orang2 lari tunggang
langgang, dagangan mereka tercampah ruah. Tiada seorangpun yang dapat mengatasi binatang itu,
Lurah Gunalewa yang diberi tahukan peristiwa itu segera ber-gegas2 datang.
Ia membawa kain merah untuk memancing kerbau itu supaya keluar. Setelah itu baru ia
menempurnya. Gunalewa tahu akan kelemahan lawannya. Binatang itu menerjang dengan dahsyat
tapi sukar untuk segera memutar diri. Beberapa kali ia dapat menghindar dari terjangan binatang itu,
tapi setiap kali ia coba balas menghantam, kerbau itu tak kena apa2. Terpaksa ia gunakan siasat
menghabiskan dulu tenaga lawan baru kemudian menundukkannya. Tapi diluar dugaan, karena,
beberapa terjangannya iuput, kerbau itu merah matanya. Ia, mengamuk kalang kabut, kemana
Gunakwa mengisar kesitulah segera ia menerjangnya. Gunalewa kewalahan juga dibuatnya. Ia kuatir
kalau terus menerus begitu, bukan binatang itu melainkan ia sendiri yang akan kehabisan tenaga.
Tiba2 ia mendapat akal.
Ia loncat menghindar, kedekat onggok pasir, Begitu kerbau itu datang rnenerjang, cepat ia
menjemput segenggam pasir terus ditaburkan kemata binatang itu. Karena matanya kelilipan,
binatang itu mendengus keras, mata di-picing2kan-nya dan kepala di-goyang2kannya. Kesempatan itu
tak di-sia2kan oleh Gunalewa. Sekali ayunkan kaki, ia loncat menerjang. Dicekalnya sepasang tanduk
binatang itu terus dipelintirnya. Memang hebat sekali tenaga lurah Widarapayung itu, Kerbau tak
kuasa meronta dan Gunalewa segera menghantamkan moncong binatang itu ketanah. Seketika
rebahlah kerbau tak berkutik lagi.
Sejak itu nama Gunalewa termasyhur sebagai lurah yang sakti. Dan memang selain
bertenaga kuat, Gunalewa juga mempunyai ilmu Talirasa. Ilmu Talirasa adalah sebuah ilmu
mengurut urat yang ampuh. Bagian tubuh orang yang kena dijamahnja terus diurut menyungsangkeatas, tentu anggauta badan itu akan lumpuh tak dapat digerakkan. Kaerena kesaktiannya itu,
kawanan bajak yuyukangkangpun enggan ju untuk mengganggu dukuh Widarapayung.
Demikian saat itu Gunalewa mulai merentang busur. Iapun dapat merentang terpaut sedikit
dari Godeksura atau Sodrono. Bidikan panahnja mengenai ulu hati orang 2an itu.
Dalam gema tepuk sorak yang bergemuruh, Gunalewa mundur dan majulah pengikut
kesembilan Johar, jago pencak dari Banjarnegara. Setelah itu disusul dengan pengikut kesepuluh:
Bamuk, pembintai (tukang jagal) dari Ajibarang. Pengikut nomor sebelas adalah gandek Truna,
ponggawa kabupaten Wirosobo sendiri. Ber-turut2 mereka mencoba kekuatannya. Memang dapat
juga mereka merentang busur pusaka, tapi paling banyakpun hanya sampai setengah lingkaran saja.
Benar potongan tubuh mereka itu hebat2, ada yang tinggi besar, ada yang kokoh kekar. Tapi riwayat
mereka tak sehebat dengan jago2 yang tersebut dimuka tadi. Dalam membidik sasaranpun mereka
tak ber-lebih2an. Kena pada sasarannya tapi tak berhasil mengenakan bagian batang leher. Kini
tibalah pengikut yang keduabelas.
" Gogor dari gunung Diengl " dernang, Wicara berseru nyaring. Seorang pemuda desa
melangkah ketengah gelanggang. Ia hanya mengenakan celana panjang, berbaju kutang dan ikat
kepala warna hitam. Parasnya cakap, tubuhnya langsing tegap. Berbeda dengan jago2 terdahulu tadi
yang badannya sama kekar kokoh dan spiernya menonjol, pemuda desa itu tak mengunjuk potongan
yang mengesankan. Ciri2nya yang menonjolhanyalah, dadanya lebar membusung, matanya bersinar
tajam dan gerakannja amat gesit. Umurnja baru di-antara 20-an tahun. Sikapnya ke-malu2an.
Karena tadi ber-turut2 disuguhkan beberapa jago yang kurang menarik, maka kegairahan
para penonton dalam memberi tepuk-sorak agak menurun. Tidak beda sambutan mereka terhadap
munculnya pemuda desa itu. Mereka duga pemuda itupun takkan mengunjukkan prestasi (hasil)
yang mengherankan. Bahkan ada sementara penonton yang mendenguskan cemohan.
" Siapakah gerangan pemuda desa itu? " tanya sementara penonton.
" Entah! ya, memang besar nyalinya berani memasuki gelanggang sayembara ini, " sahut
seorang lain.
" Kasihan benar, tewas2 nanti jadi buah tertawaan orang saja. Kyai Lodra bukan husur
sembarang busur. Kalau beberapa jago2 kuat tadi saja hanya dapat merentang sampai duapertiga
bagian, bagaimana dengan bocah desa yang ke-malu2an itu? " gerutu seorang lagi.
" Jangan merghina orang, bung! Siapa tahu, hijau2 cabe rawit, biar muda tapi pedas. Kalau
sudah berani masuk gelanggang pertandingan, tentulah ia mempunyai kepandaian istimewa, " sahut
k.twannja. Agaknja orang itu simpati kepada sipemuda dan membelanya.
" Ah, biar bagaimana aku tak dapat menipu mataku ini. Terang ia seorang bocah gunurg,
jangancoba memakaikan kulit harimau pada seekor domba, " kata orang tadi.
" Tapi aku tetap yakin ia tentu mempunyai keistimewaan, " bantah kawanja itu.
" Beranikah kau bertaruh dengan aku? " orang tadi mulai meradang.
" Bertaruh bagaimana? "
" Kubilang ia tentu keok, tak nanti mampu merentang kyai Lodra. Kalau nanti ia gagal, akulah
yang menang. Sebaliknya jika ia dapat merentang, kaulah yang menang. "
" Jadi! Tapi apa taruhannya? "
" Kalau aku yang menang, kau harus menyerahkan anak perempuanmu . . . . "
" Kurangajar ! Jangan main gila . . .
"Eh, nanti dulu, jangan buru2 naik pitam, bung. Yang kumaksudkan, anakmu si Jinten itu akan
kuambil menantu, kunikahkan dengan anak Ielakiku yang sulung. "
" Ooh, begitu! Kalau aku yang menang? "
" Akan kuserahkan anak lelakiku itu kepadamu. "
" ? ! ? . buset! Kau mau main kayu padaku? Kan setali tiga uang? Kalah atau menang, Jintentetap kuberikan padamu? "
" Ada bedanya sedikit. "
" Apa? "
" Kalau kau kalah, kau kehilangan anak. Tapi kalau menang kau bakal dapat anak menantu. "
" Mulut rancung, putar2 mirta ditampar . . . . "
"Ssst, jangan berbantah. Lihatlah bocah gunung itu mulai beraksi," bentak seorang
kawannya lain.
Tenang2 sikap Gogor ketika mengangkat kyai Lodra. Ia mulai merentang dan dengan
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepatnya busur melengkung sampai setengah lingkaran, terus melengkung, terus . . . dua-pertiga
bagian terus . terus . . . terus . . Se-konyong2 terdengarlah bunyi gemertak, kraaakkk . . . . putuslah
busur itu!
Alun-alun kabupaten Wirosobo tergetar karena degam terlakan orang. Kumandangnya jauh
menggema bagai guruh diangkasa. Diantara teriakan itu terdapat suara jeritan mengaduh.
" Aduh, keparat! Mengapa kau injak kakiku sekuatmu? " teriak seseorang.
Orang yang didamprat itu buru2 menghaturkan maaf. Adalah karena rangsangan hatinya sampai ia
lupa diri dan ber-jingkrak2.
" Bangsat, ni terimalah! " seorang dari kerumun lain berteriak dan menyerang seorang
penonton yang dibelakangnya. Ternjata orang itu karena luapan kejutnya sampai mendorong orang
yang didepannja hingga jatuh terjerembab. Karuan saja orang yang didorong itu marah dan hendak
memukul. Untung dilerai oleh orang banyak.
Demikian beberapa kegaduhan yang menyela dalam pekik teriakan para penonton. Tak
kurang hiruknja. adalah keadaan dalam bangsal agung. Para patih, demang, lurah, bekel dan
ponggawa yang berada disitu, saling berpandangan satu sama lain. Bahkan Adipati Wargontomo
sendiri juga terbelalak.
" Siapakah pemuda itu, Dono? " tanyanya kepada patih Donorejo.
" Entahlah, gusti, hamba juga tak kenal. Coba hamba minta keterangan dulu pada demang
Wicara, " sahut Donoreja yang lalu mengutus seorang tamtama.
Beberapa jenak kemudian tamtama itu kembali dengan keterangan bahwa demang Wicara
juga tak kenal. Hanya menurut catatan dalam pendaftaran, pemuda itu bernama Gogor dari
pertapaan Tungguljati gunung Kendil di-lereng selatan gunung Dieng.
" Gusti, apakah pertandingan ini dilanjutkan terus? " tanya Donoreja setelah menghaturkan
keterangan tadi.
Wajah Adipati tampak pucat lesi. Ia ter-menung2 seperti memikirkan sesuatu, Pikirannya
jauh melayang kemasa yang lampau semasa marhum ayahandanya masih hidup. Ia terbeliak demi
mendengar pertanyaan patih Donoreja. Sesaat ia menghela napas dalam2.
"Karena kyai Lodra sudah putus, rasanya pertandingan babak pertama itu tak perlu
dilanjutkan lagi. Semua pengikut diperbolehkan ikut dalam babak kedua. Aku hendak jengkar
(masuk) kedalam, kalian boleh menyaksikan dulu disini, " katanya lalu berpaling kearah permaisuri, "
Dinda, kanda merasa agak pening, akan beristirahat dulu. Dinda bersama Wigati boleh terus
melihat."
Adipati segera masuk kedalam pendopo kabupaten. Semua hadirin heran akan sikap Adipati
yang mendadak tampak murung itu. Dugaan rnereka, Adipati tentu kecewa karena putusnya busur
pusaka itu.
Suasana digelanggang masih risau. Rakyat ingin menantikan bagaimana kelanjutan
pertandingan itu. Dalam pada itu, Gogor tampak kesima tegak berdiam diri seperti patung. Ia sendiri
juga tercengang akan peristiwa itu. Baru ketika demang Wicara mengumumkan keputusan, dapatlah
Gogor mengundurkan diri.
Ketika menghadap kearah bangsal agung untuk memberi hormat, tiba2 mata Gogortertumbuk dengan sepasang mata yang berkilau jernih. Gogor ter-mangu2 . . . dan, oh Gusti,
sepasang bibir merah delima merekah senyum. Terbanglah semangat Gogor, jantungnya serasa
berhenti berdenyut. Ya, betapa tidak. Dalam lapisan bibir merah itu merekahlah selarik gigi
semerdanta ( elok putih) kecil merata ba' biji mentimun. Itulah bibir ciptaan para Dewa Keinderaan
yang dipasangkan pada mulut insan Ayu, Wigati.
Memang Wigati dikasihi Dewata. Ia diberkahi sebuah paras cantik tiada bercela. Alis
melengkung bulan tanggal satu, mata berkilau laksana bintang kejora. Pipinya seperti pauh dilayang,
mengulum lekik pada senyumnya. Rambut hitam jengat dibelit sekar suhun (untaian bunga). Seuntai
kalung manikam menghias lehernya nan jenjang. Bahunya berselampaikan sebai2 (selendang) sutera
hijau pupus. Kain kemben jingga madu serasi benar dengan kulitnya yang berwarna kuning langsat.
Ah, sukar kiranja melukiskan kecantikan Yang-yang kesuma (dewi manis) dari kabupaten Wirosobo
itu!
Selama hidup belum pernah Gogor bergaul dengan kaum Hawa. Pancaran kejora dari sang
juwita itu benar2 mengoyakkan selaput jantungnya.
" Apakah ia seorang insan? " bertanya Gogor dalam hati. Namun segera ia tersentak oleh
sorak sorai para penonton. Sadar pula pikirannya bahwa cara menatap Iekat2 kepada seorang puteri
Adipati sedemikian rupa tadi adalah kurang layak. Ter-sipu2 ia tundukkan kepala dan undurkan diri.
Detik2 dari beradunya dua pasarg mata tadi hanya ber-langsung dalam sekejab saja. Hanya
yang bersangkutan dapat merasakan getaran kalbunya masing2. Semua hadirin yang berada
dibangsal agung maupun rakyat yang mengelilingi gelanggang pertandingan, tak sermpat
memperhatikan hal itu. Mereka mengira Gogor yang sejak masuk kedalam gelanggang tadi selalu
bersikap ke-malu2an, tentulah kesima sendiri dengan hasil yang dialaminya.
Namun kesemua itu tak lepas perhatian Sukra, putra demang Toyoreka. Saudah lama Sukra
berusaha untuk mengambil hati Ayu Wigati. Namun selama itu Wigati tak mengindahkannja. Sebagai
putera seorang demang, Sukra mendapat kebebasan. Ayahnya amat memanjakan dan dalam asuhan
demikianlah membuat Sukra menjadi seorang pemuda yang ambitieus (gila pangkat) dan keras
kepala. Apa yang diinginkannya harus tercapai walaupun dengan jalan apapun.
Adalah sudah menjadi kebanggaan pada masa itu, apabila seorang pemuda itu mempunyai
ilmu jaya-kawijayan (kesaktian). Seorang, pemuda yang gagah perkasa, menjadi pujaan orang. Untuk
menjaga gengsinya sebagai putera demang, Sukrapun tak mau ketintgilan didalam menuntut ilmu
kesaktian, Ia berguru pada kyai Balendung dilereng gunung Sindoro. Dari gurunya selain mendapat
pelajaran ilmu berkelahi (pencak), iapun diberi pelajaran Aji si Gajah Wulung, yakni suatu ilmu
mengeluarkan suara yang dapat membingungkan lawan. Dari suaranja, lawan akan mengira kalau ia
menyerang dari barat, padahal orangnya berada disebelah timur. Kalau suaranya kedengaran
disebelah utara, sebenarnya ia berada disebelah selatan. Karena lawan salah menduga itu maka
mudahlah dihantamnya.
Dengan ilmu2 yang dimilikinya itulah Sukra seperti harimau tumbuh sayap. Ia bertingkah se
wenang2 didaerahnya dan akhirnya karena sering bergaul dengan orang jahat, maka iapun
terjerumus dalam jalan yang kurang baik. Ia bersahabat baik dengan Godeksura. Dua serangkai itu
merupakan sekutu dua ekor harimau. Mereka ada uang, ada saktian.
Sudah lama Sukra ingin mempersunting puspa jelita dari kabupaten Wirosobo yang
sebenarnya masih ada ikatan keluarga. Ibu Sukra dengan isteri Adipati Wargontomo itu masih
saudara sepupu. Kepada Ayah bundanya, Sukra telah mengutarakan isi hatinya dan ibunyapun telah
menyampaikan hal itu kepada ibu Wigati. Namun selama itu Adipati masih belum menyatakan
persetujuannya karena diam2 ia mengetahui kalau puterinya tak setuju.
Sukra ingin membuktikan bahwa dirinya berharga menjadi menantu seorang Adipati. Iapun
mendaftarkan diri dalam sayembara itu. Sebenarnya ia jatuh pada giliran nomor empatbelas.Celakanya tiba pada nomor duabelas yakni Gogor, busur kyai Lodra sudah putus. Alangkah
kecewanya. Lebih kecewa pula ketika ia mengetahui tentang gerak gerik Ayu Wigati yang mengeuan
senyum kepada pemuda desa itu. Kekecewaannya itu serentak manjadi kemarahan. Hatinya panas,
panas sekali. Dan kemarahannya itu dicurahkan pada Gogor. Ya, pemuda desa itulah yang menjadi
gara2 nya, Gara2nya ia hilang kesempatan untuk mengunjuk kegagahan dan gara2nya Ayu Wigati
tersentuh perhatiannya.
Sementara Sukra sedang terbenam dalam lautan kemarahan, adalah didalam bangsal agung
telah berlangsung percakapan antara permaisuri dengan Ayu Wigati.
" Gati, siapa pemuda itu? " tanya isteri Adipati.
Wigati hanya menggeleng tak menyahut.
" Gati, mengapa kangmasmu Sukra tak muncul?" tanya ibunya pula.
Saat itu Wigati habis beradu pandangan dengan Gogor. Ia terpesona akan kegagahan
pemuda desa yang cakap itu. Ia tertarik dengan sikap pemuda Gogor yang sederhana, ke-malu2 an
dan rendah hati. Lebih2 sorot matanya yang begitu tajam menikam. Wigati adalah seorang puteri
Adipati yang cukup dimanjakan oleh ayah bundanya. Walaupun ia masih mempunyai empat orang
saudara, tiga lelaki seorang perempuan, namun sedemikian besar lautan kasih sang ayah yang
dialirkan kepada dirinya. Wigati bagaikan buah hati intan permata sang ayah. Sekalipun begitu,
Wigati tak menjadi tinggi hati. Ia tetap rendah, halus budipekertinya dan lemah lembut tutur
bahasanya. Ia penurut kepada ayah bunda dan ramah kepada setiap orang.
Dalam sangkar emas yang berupa dinding gedung kabupaten, Wigati diasuh dengan adat
istiadat, tata santun dan perlengkapan2 sebagaimana seorang puteri bangsawan harus memiliki. Ia
pandai sastera, tari karawitan, membatik dan lain2 pekerjaan tangan. Kiranya tiada ilmu kewanitaan
yang tak dikaji oleh puteri jelita itu. Ratu kembang kabupaten Wirosobo itu dihormati dan dicintai
oleh para biti-biti (dayang) dan sekalian kawula Wirosobo. Kecantikan puteri Wirosobo itu
termasyhur sampai keseluruh negeri bahkan Sultan Pajangpun selentang selenting mendengarnya
juga.
Wigati telah banyak berhadapan dengan para demang, lurah, bekel, perwira2, tapi selama itu
belum pernah ia tergetar perasaannya seperti ketika beradu pandangan dengan Gogor. Sorot mata
pemuda desa itu ber-kilat2 seperti mengandung besi sembrani. Adakah hal itu hanya menurut
perasaannya sendiri ataukah dirasakan oleh lain orang, ia sendiri tak tahu. Tapi yang nyata diam2 ia
merasa aneh dan heran sendiri mengapa sebesar itu baru pertama kali ini ia mempunyai perasaan
begitu . . .
Ketika Gogor mengundurkan diri, bayangannya masih membekas disanubari Wigati. Wigati
termenung hingga pertanyaan sang ibu itu se-olah2 tak didengarnya.
" Hai, Gati, mengapa kau diam saja? Mana Sukra?" ibunya mengulang pula.
Saat itu barulah Wigati terkejut dan ter-sipu2 nyahut: " Entah, bu, mungkin belum tiba
gilirannya. "
Sesingkat itu jawabannya dan bernada enggan. Sepatahpun ia tak mau menyebut nama
Sukra.
K u d a p u t i h.
Adipati Wargontomo I amat dikasihi Sultan Pajang. Karena jasa dan kebaktiannya kepada
kerajaan maka Sultan menghadiahkan seekor kuda putih. Kuda itu berasal dari pulau Sumbawa,
tinggi besar dan tegar, termasuk jenis kuda Sandelwood yang tersohor. Bupati Banyuwangi telahmenghaturkan kuda itu kepada Sultan Pajang selaku gelondong pengareng-areng atau bulu-bekti
(upeti).
Adipati Wargontomo memberi nama si Putih karena bulu kuda itu putih mulus laksana
kapas. Si Putih kuat, liar gesit dan pesat larinya. Entah sudah berapa kali harus bertukar pawang
(tukang kuda) karena tak sanggup menggembala kuda itu. Binatang itu memang aneh sekali
perangainya, Sedikit saja dikasar, tentu membinal. Pernah salah seorang bekas pawangnya yang
coba mengejek dengan kata2 menghina, tahu2 orang itu disepaknya sampai terlempar kedalam parit.
Indera perasaan si Putihh tajam benar, se-akan2 mengerti akan bahasa manusia.
Suatu keanehan adalah bahwasanya Putih itu penurut sekali kepada Ayu Wigati. Wigatipun
sayang akan kuda itu. Apabila sang puteri sedang bercengkerama didalam taman bunga beserta
dayang sahayanya, disuruhnya sang pawang membawa si Putih kesitu juga. Betapa bangga dan riang
kuda itu pada saat jari-jari halus meruncing landak dari sang Ayu membelai-belai bulu surinya.
" Paman Sonto, bolehkah kunaiki si Putih? " tanyanya pada suatu hari ketika bermain
didalam taman.
" Jangan sang Ayu, kuda itu galak. Apabila sampai dicampakkan, nanti harnba tentu dihukum
gusti Adipati," tergopoh-gopoh Sonto situkang kuda mencegahnya.
Tetapi se-olah2 mengerti bahasa percakapan mereka, si Putih menggigit tengkuk baju si
Sonto terus diangkatnya dan plung dilemparkan kedalam empang air. Sonto gelagapan dan me
ronta2, para dayang bertepuk-tepuk geli.
" Ah, Putih, jangan nakallah, " Wigati menegur kuda itu.
Putih meringkik pelahan dan menganggukkan kepala. Setelah itu ia bertelingkuh ketanah. Ia
menghembus-hembus tangan Wigati, seolah-olah hendak mempersilahkan dara itu supaya naik.
Rupanya Wigati mengerti akan isyarat itu. Tanpa ragu-ragu ia melangkah naik dan Putihpun
berbangkit. Hati-hati sekali si Putih membawa tuannya berkeliling taman yang luas dan penuh
dengan bunga-bungaan itu, Wigati tak kuatir, ia merasa aman. Sebentar-sebentar ia menunjuk kesana kemari untuk memetik bunga dan buah-buahan yang tumbuh pada pohon.
" Celaka! Kalau sang Ayu sampai kena apa-apa, matilah aku!" Sonto dengan pakaian basah
kuyup, mengeluh dan banting-banting kaki.
Para dayang makin geli melihatnya.
Beberapa saat kemudian terdengar derap kaki kuda mendatangi. Sonto cepat-cepat
menyongsongnya dan tercengang-cerganglah ia sampai ternganga mulutnya. Si Putih kembali
dengan membawa 'muatannya'yang berharga itu.
Wigati tampak riang gembira, tangannya penuh menjinjing bunga-bungaan dan buah-buahan. Hati
hati sekali si Putih menurunkan Wigati dan sebagai upahnya Wigati memberinya sebiji buah jambu.
Sonto ter-cengang2 keheranan melihat kelakuan kuda putih itu. Padahal beberapa hari yang
lalu, kakak Wigati lah dicampakkan ketanah ketika coba hendak menaiki kuda itu. Akibatnya tulang
kaki putera Adipati itu patah.
Si Putih kembali kedalam istalnya, meninggalkan pawang yang masih ter-longong2 itu . . . .
- - - -
Tung . . . tung . . . . tung . . . .
Bende bertalu dan pertandingan babak keduapun dimulai. Sonto keluar dengan menuntun
Putih ketengah gelanggang. Para penonton kagum dan memuji bulunya yang putih mulus dan
badannya tinggi tegar. Si Putih tak memakai pelana melainkan punggungnya ditutupi sehelai kainhitam bersulam kembang benang emas. Itulah kain buatan Wigati sendiri yang khusus
diperuntukkan si Putih. Dalam hiasan itu si Putih tampak makin perkasa. Demang Wicarapun segera
tampil.
" Pertandingan babak kedua, dimulai! Setiap pengikut harus dapat menaiki kuda putih ini
mengelilingi alun-alun. Pengikut pertama: Dadang dari Cimiring ! "
Dalam babak pertama tadi, Dadang jatuh pada nomor tujuh. Kini menurut undian ia jatuh
yang pertama. Maka majulah pemburu dari Cimiring itu. Sonto mengambil kain penutup dan
menyingkir kesamping. Si Putih tak memakai penutup apa2.
Dadang terkesiap, namun karena sudah terlanjur maju, apa boleh buat. Sebenarnya sebagai
pemburu ia sudah biasa menaiki kuda, tetapi naik kuda yang setingi macam si Putih dan tanpa
pelana, barulah pertama kali itu. Dalam pemburuan ia biasa naik kuda yang berpelana.
" Kalau tak kujinakkan dulu, tentulah aku harus naik dengan meloncat, " demikian ia
menimang2 dalam hati.
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Didekatinya si Putih, maksudnya hendak me-nepuk2 kepala kuda itu selaku perkenalan, Tapi
belum2 kuda putih Itu sudah meringkik. Rupanya kuda itu tak mau berkenalan Dadang. Dadang tak
menghiraukan, ia maju merapat dan sekali memegang bulu suri iapun ayunkan tubuhnya melayang
keatas punggung si Putih.
Ngeehhh . . . Putih meringkik keras. Sepasang kaki muka diangkat keatas. Sudah tentu seperti
menurun bukit, Dadang tergelincir kebawah. Selekas Putih turunkan kakinya muka, kakinya
belakangpun segera mengayun. Untung Dadang cepat menggulingkan diri kesamping. Sekalipun
begitu betisnya kena juga, sakitnya bukan alang kepalang. Dadang terpaksa undurkan diri dengan
kaki berpincangan.
Penonton bertepuk sorak gemuruh diseling gelak tertawa. Ada yang me-muji2 keberanian
Dadang, tapi sebagian besar sama mencemohkannya.
Pengikut kedua yalah Kasan dari Bobotsari. Tadi ia belum mendapat kesempatan maju
kegelanggang karena gilirannya jatuh nomor tigabelas. Didesanya Kasan terkenal sebagai seorang
pemberani.
Selekas menghampiri ia lantas menceplaknya, Tak mau ia coba mengambil hati itu seperti
Dadang tadi. Begitu berada diatas punggnnya, ia lantas saja memeluk leher binatang itu se
kencang2nya. Memang pintar juga ia. Dengan begitu ia tak memberi kesempatan kepada si Putih
untuk mencampakkan. Tapi si Putih tak kalah pintar, ia meringkik2 dan mogok. Sudah tentu Kasan
menjadi kewalahan. Terpaksa ia angkat kepalanya untuk duduk tegak. Kedua tangannya kencang2
mencekal bulu suri.
Nah, inilah waktunya. Begitu pelukan orang terasa agak kendor, mulailah si Putih beraksi.
Kali ini bukan mengangkat kakinya muka tetapi kakinya belakang yang melonjak keatas. Seperti
dibanting saja Kasan terpelanting jatuh kemuka . . . . Tepuk sorak dan gelak tertawa terdengar ramai.
Pengikut ketiga Banu, pertapa dari Kedungwuni. Dengan langkah pelahan pertapa itu
mendekati kehadapan si Putih. Disitu tampak mulutnya komat kami. Entah bagaimana tampak si
Putilt diam saja tak meringkik lagi. Pertapa itu lalu loncat kepunggurg. Masih si Putih tetap tak
membuat reaksi apa2. Banu makin berbesar hati. la yakin tentu dapat menundukkan kuda itu. Di
tepuk2 leher si Putih dan kuda itupun mulai berjalan. Girang sang pertapa tak terkira. Dengan
lenggangnya ia duduk diatas punggung si Putih. Banu menampar leher si Putih dan menyentaknya
supaya berlari, namun kuda itu tak mau. Ia tetap berjalan saja Sampai separoh perjalanan, se
konyong2 si Putih menconklang kemuka se-keras2 nya. Banu tersentak kebelakang da buru2 hendak
menyambar bulu suri, tapi si Putih jauh lebih cepat. Sekali congklang itu ia sudah belasan meter
jauhnya sehingga Banu menubruk angin dan jatuh menjorok kemuka, bum, ia meluncur ketanah . . . .
Pengikut keempat: Bawuk. Belum2 kedatangannya sudah disambut oleh si Putih dengan
ringkikan dan sepak yang ber-tubi2. Rupanya hidung si Putih yang tajam dap mencium bau situkangjagal binatang itu. Gentar juga Bawuk dibuatnya. Ia terpaksa mundur teratur.
Sebagai jago berikutnya Gunalewa, lurah d Widarapayung. Lurah yang menundukkan kerbau
gila itu, apungkan tubuhnya ke atas punggung si Putih dan menekik leher kuda itu kuat2. Si Putih
meringkik keras dan melonjak2 tapi tak kuasa melepaskan diri dari cekikan Gunalewa yang seperti
sepit baja itu, Cunalewa meng-usap2 kepala kuda itu. Tiba2 si Putih tunduklan kepalanya dan
menyirik (binal) mundur. Gunalewa tanu bahwa usapannya dengan ilmu Talirasa tadi telah membuat
si Putih puyeng. Buru2 ia mengusapnya lagi. Kali bukan kebelakang tapi kebagian muka. Si Putih
guncang-guncangkan kepalanya dan pada lain saat mendadak ia menncongklang keras laksana
angin. Gunalewa berusaha untuk bertahan tapi belum sampai pada tempat akhir, ia kehilangan
keseimbangan badan dan terlempar jatuh.
Sodrono sebagai pengikut yang keenam, juga mulai percobaannya dengan sebuah loncatan.
Tapi baru tubuhnya tiba dipunggung si Putih, binatang itupun segera mencoklang kemuka, sehingga
Sodrono meloncati angin. Tapi dengan tangkas sekali pemimpin bajak Yuyukangkang itu menyambar
ekor si Putih terus ditariknya. Begitu si Putih terhalang larinya, Sodronopun segera loncat lagi
kepunggungnya terus menelungkupi dan merangkul kencang-kencang leher kuda itu. Hanya dengan
cara yang mati-matian itulah maka Sodrono berhasil memutari alun-alun. Cara itu bukan layak
seperti orang naik kuda melainkan tidur tertelungkup diatas punggung kuda.
" Gogor! teriak pengacara.
Para penonton terkesiap. Masih segar dalam kesan mereka akan peristiwa menggemparkan
yang dilakukan oleh pemuda desa itu. Kini Gogor mendapat tempat yang istimewa dalam hati para
penonton. Orang2 yang tadi mengejeknya, kini tak berani buka suara lagi.
" Bagaimana, apa kau berani bertaruh lagi? " tanya pak Suma kepada kawannya. Pak Suma
adalah ayah si Minten. Sedang kawannya itu bernama pak Suta ialah orang yang mengajaknya
bertaruh tadi.
Pak Suta termenung saja.
" Ha, mati kutumu sekarang! " ejek pak Suma.
Mendengar ejekan itu panaslah hati pak Suta, sahutnya: " Mengapa tak berani? Aku tetap
tak percaya bocah desa itu dapat menundukkan si Putih! "
" Bagus, ayuh kita bertaruh. "
" Apa taruhannya? " tanya Suta.
" Sawah. Kalau aku kalah, ambillah sawahku. Kalau kau kalah, berikan sawahmu. "
Suta kembali merenung. Sesaat kemudian tampak mukanya berseri, serunya: " Bolehlah . . .
"
Suma girang karena keinginannya hendak membalas bakal terkabul. Baru ia tertawa, tiba2
Suta menjusuli: " Tapi ada syaratnya. "
" Syarat? " serentak Suma menarik kerut tawanya dan bertanya dengan heran. " Syarat apa?
" Yaitu pertaruhan kita yang tadi harus dijadikan. Akan segera kupilih hari yang baik untuk
melangsungkan pernikahan anakku dengan anakmu si Jinten. "
" Hm . . . tapi kau harus meminang dulu menurut adat yang layak, " Suma tak mau anaknya
dibuat sembarangan sebagai taruhan judi ' . Ia menuntut pelamaran yang terhormat berikut emas
kawinnya.
" Baik, tapi kaupun harus memberikannya, " sahut Suta dengan tersenyum. Memang cerdik
sekali dia. Tadi ia agak bimbang karena sebenarnya sawahnya sudah digadaikan pada orang. Tapi ia
telah memperhitungkan. Kalau sudah jadi besan, tentu sungkanlah Suma untuk mengambil
sawahnya. Pun andaikata ia (Suta) yang menang, ia tak mau mengambil sawah pak Suma. Ia
bertaruh itu hanya untuk menutup malunya karena ditantang oleh Suta.
Dalam pada itu digelanggarg, Gogor sudah menghampiri kedekat si Putih. Ia tak lekas2 loncat
atau merabah badan kuda itu, melainkan memandang lekat kemata si Putih. Mulutnya komat kamitseperti bicara, entah apa yang dikatakan. Si Putih meringkik tapi tak mengunjukkan tingkah laku
yang liar. Pada lain kejab, Gogor menepuk kepala si Putih, Segera si Putih berlari. Gogor bukannya
loncat keatas punggung tetapi ia sendiripun lantas ikut lari disampingnya. Demikianlah seekor kuda
dan seorang pemuda bahu membahu berlarian mengelilingi alun-alun.
Penonton sama kesima. Berisik kedengaran orang memperbincangkan tingkah laku pemuda
yang serba aneh itu. Itu bukan naik kuda melainkan berlari dengan kuda. Menurut peraturan
pertandingan, orang diharuskan naik diatas punggung si Putih dan melarikan kesekeliling alun-alun.
Malah sudah timbul keraguan sementara orarg bahwa Gogor tentu jeri menaiki kuda itu,
" Tu lihat, jagomu, betapa jempolnya I " seru Suta mengejek pak Suma. Yang diejek diam
saja.
Setelah beristirahat sejenak, Gogor meng-eIus2 leher si Putih. Mulut pemuda itu komat
kamit, Kini si Putih tak kedengaran meringkik. Kemudian selagi gema suara para penonton masih
kedengaran berisik membicarakan Gogor lantas menceplak kuda itu, Kuda meringkik dan melonjak.
Buru2 Gogor loncat turun dan meng-elus2 lehernya lagi. Setelah kuda itu tampak jinak, barulah Gogor
menceplaknya lagi. Tapi untuk yang kedua kalinya, si Putih meringkik. Kembali Gogor loncat turun
dan meng-usap2 leher binatang itu.
Dalam percobaan yang ketiga kalinya barulah Gogor diterima dengan baik oleh si Putih. Kuda
tak meringkik lagi. Dan sekali kaki Gogor mengepit perut kuda itu agak keras maka larilah si Putih
bagai anak panah terlepas dari busurnya. Tapi ditengah jalan kembali kuda itu meringkik dan
rnembinal. Buru2 Gogor loncat turun terus menarik bulu suri kuda itu diajaknya berlari. Beberapa kali
si Putih hendak mencongklang keras tapi selalu tertahan oleh cekalan tangan sianak muda yang kuat.
Demikianlah keduanya lari hingga mencapai tempat akhir tadi. Tapi berbeda dengan jago2
yang terdahulu tadi, bukannya Gogor berhenti tetapi lantas loncat keatas punggung si Putih lagi. Dan
si Putihpun lari terus. Kalini binatang itu tak mengunjuk keliarannya lagi. Hingga kembali ketempat
akhir dimuka bangsal agung dapatlah Gogor menaikinya dengan selamat. Turun dari kuda, ia lantas
memberi sebuah ciuman kepada si Putih.
Sorak sorai bergemuruh laksana gelombang Laut Kidul mendampar pasang. Tiap bibir, tiap
hati, tiap mata dari berpuluh2 ribu penonton sama ber-tanya2 ' siapakah pemuda desa itu' Keheranan
mereka itu mulai berkembang menjadikekaguman. Dan kekaguman itu cepat berobah sifatnya
menjadi pujaan. Mereka suka akan tingkah laku Gogor yang tidak congkak. Diam2 mereka dapat
menerima, andaikata nanti Gogor berhasil keluar menjadi juara dan diangkat menjadi Senopati.
Dalam berisik kehiruan penonton, berbangkitlah demang Wicara hendak mengumumkan
nama jago berikutnya. Tiba2 seorang tamtama bergegas menghampiri dan ber-bisik2 kepadanya.
Demang itu menganggukkan kepala.
" Kodrat dari lereng gunung Slamet, " teriaknya kemudian. Kodrat maju menghampiri si
Putih tapi dingin2 saja kuda itu menyambutnya, tak meringkik tak menyepak. Dibiarkan Kodrat naik
kepunggungnya tapi betapa ia hendak menyuruh berjalan, tetap si Putih mogok. Akhirnya Kodrat
kewalahan sendiri dan menyerah.
Pengikut kesembilan adalah lurah Dongkol. Sejak tadi ia memperhatikan gerak gerik kuda
itu. Ia anggap kuda itu harus ditundukkan dengan kekerasan baru suka menurut. Ia loncat keatas
punggung terus menyambak bulusuri dan mengepitkan kakinya kencang2 keperut kuda. Si Putih
merasa kesakitan. Ia coba melonjak-lonjak dan meringkik-ringkik tapi tak berhasil melepaskan diri.
Setelah meronta beberapa saat akhirnya si Putih menyerah. Ia menjadi jinak dan menurut. Lurah
Dongkol girang dan mulai menyuruhnya lari. Bermula si Putih lari dengan baik tapi segera setelah
kepitan lurah Dungkol agak kendor, iapun mulai binal. Kuda itu hendak membalas dendam. Ia lari
pontang panting sehingga Iurah Dongkol seperti digentak-gentakkan. Ia tak kuasa untuk
mengepitkan kakinya lagi. Tiba-tiba si Putih berhenti dan begitu lurah Dongkol menjorok kemuka,
kuda itu loncat keras-keras kemuka. Tubuh lurah Dongkol seperti orang yang didorong kemukakemudian ditarik kebelakang. Kalau dia bukan orang kuat, tulang pinggangnya tentu sudah patah.
Masih untung ia hanya terlempar kebelakang dan tangkas sekali ia dapat berjumpalitan diudara
hingga ketika jatuh ketanah ia dapat berdiri dengan kedua kakinya. Pada waktu ia hendak mengejar,
ternyata si Putih sudah lari kemuka bangsal.
Penonton sama bersorak. Ada sebagian besar yang merasa sayang. Hanya kurang sedikit saja
lurah itu sudah akan dapat mencapai tujuan tetapi sayang gagal.
Jago yang muju berikutnya jalah Truna, gandek atau ponggawa dari kabupaten Wirosobo.
Dengan langkah tetap ia menghampiri si Putih lalu meng-gosok2 kepala serta kaki kuda itu. Si Putih
tampak mengihas-kibaskan ekor dan kepalanya. Sesaat kemudian, Truna segera naik kepunggung
dan larilah kuda itu. Suatu keanehan adalah bahwa selama mengendarai itu Truna tak mau
memegang bulu suri si Putih, melainkan bebas lepas mernbiarkan dirinya dibawa kuda itu sampai
ketempat terakhir.
Penonton bersorak riuh rendah. Disamping memuji, merekapun heran mengapa gandek itu
dapat menundukkan si Putih dengan mudahnya. Ya, mengapakah Truna dapat melakukan hal itu?
Apakah ia mempunyai aji2 untuk menundukkan kuda? Kiranya itulah hasil usaha gandek itu sendiri.
Jauh beberapa waktu sejak dikeluarkan pengumuman tentang sayembara itu, memang sudah
terkilas dalam hati Truna untuk memasukinya. Didalam gedung kabupaten, ia memang terkenal
seorang pemberani. Sekalipun para tamtama juga menaruh perindahan kepadanya. Pernah terjadi
peristiwa, ia berkelahi dengan seorang tamtama karena gara2 seorang dayang. Tamtama itu
menaruh hati pada seorang dayang yang masih muda dan cantik. Karena pekerjaannya sering juga
Truna harus berhubungan dengan dayang itu. Hal itu menimbulkan kecurigaan sitamtama. Ia
cemburu dan menuduh Truna hendak main gila dengan sang kekasih, maka dicarilah sebuah alasan
untuk menantangnya berkelahi. Truna memberi penjelasan bahwa ia tak menaruh hati pada dayang
itu, namun tak digubris. Akhirnya berkelahilah kedua orang itu. Truna dapat membanting tamtama
itu sampai tak berkutik. Sejak itu Truna disegani oleh para tamtama kabupaten.
Truna berusaha menjadi sahabat Sonto, yakni tukang kuda yang merawat si Putih. Ia
membantu Sonto untuk memandikan si Putih, menyikat bulunya dan memberinya makan. Karena
itulah maka Truna sudah cukup dikenal si Putih, Kuda itu tahu membalas budi. Dalam peristiwa tadi,
ia biarkan Truna naik dipunggungnya dan mernbawanya lari mengitari alun-alun. Demikianiah latar
belakang dari kejadian yang mengherankan para penonton itu.
Kini majulah pengikut yang kesebelas yakni Johar, jago pencak dari itu Banjarnegara. Jago
coba2 hendak meniru perbuatan Truna. Tapi baru tangannya hendak mengusap leher si Putih, kuda
itu sudah meringkik2 dengan buasnya. Masih Johar untuk mencoba lagi untuk mengusap badan
binatang itu, tapi si Putih segera menyambutnya dengan sepakan. Johar berlincahan menghindar
kian kemari lalu menyambar sebuah kaki kuda itu. tapi si Putih loncat kemuka hingga kemuka hingga
Johar terseret. Benar2 seorang jago yang keras kepala. Cekalannya dilepas terus loncat kepunggung
kuda. Si Putih mengisar kesamping, plek. Johar menjatuhi punggung kuda dan memeluknya
kencang2. Tubuhnya rebah melintang dipunggung. Putih tak menghiraukan dan lari se-kencang2nya.
Tiba ditempat akhir, Johar meluncur turun dan bluk, jatuhlah . jatuhlah ia ketanah sembari
mendekap perutnya. Sampai sekian detik ia tak dapat bangun. Terpaksa beberapa tamtama
memapahnya bangun. Johar berjalan membungkuk sambil mendekap perutnya. Ternyata karena
tidur melintang dipunggung si Putih, perutnya seperti di-kocak2. Hanya karena kenekadannya saja
dapatlah ia mencapai akhir tujuan, tetapi setelah turun iapun lemas lunglai . . . .
Penonton tertawa geli melihat adegan yang lucu itu.
" Singomejo! " teriak pengacara.
Pengumuman itu telah mendapat sambutan yang riuh dari para penonton, Singomejo
termasuk salah seorang favorit yang diduga bakal dapat merebut kejuaraan. Sebagai seorang bekas
prajurit, mahir ia berkuda. Ia tahu tabiat binatang kuda. memang kuda yang baik tak boleh dikasar. Iameng-usap2 punggurg si Putih lalu pelahan2 naik, tapi Putih meringkik dan mengisar kesamping.
Singomejo mengulanginya lagi namun si Putih tetap tak mau. Sampai tiga empat kali, hilanglah
kesabaran Singornejo. Ia serentak loncat kepunggung Putih dan sekali kakinya mengepit keras maka
mencongklanglah kuda itu. Begitu kepitan kendor, Putihpun berhenti. Dikepit lagi, mencongklang
pula. Singomejo seperti di-ayun2. Tiba dimuka bangsal, Putih berhenti dan Singomejo loncat turun. Si
Putih berputar membelakangi dan plak . . . pantat Singomejo disepaknya hingga terjorok kemuka.
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singomejo marah dan hendak mengejarnya tapi si Putih sudah lari. Terpaksa Singomejo mundur
sambil meng-usap2 pantatnya yang sakit.
Penonton geli dibuatnya.
Pengikut yang terakhir adalah Godeksura, jago yang mempunyaibanyak harapan. Kalau tadi
dalam pertandingan merentang busur, Godeksura bertingkah sombong, kalini ia bersikap halus.
Tangannya mengusap kemuka si Putih dan seperti membaukan sesuatu kehidung kuda itu. Si Putih
meringkik pelahan, sikapnya tak bermusuhan. Melihat itu Godeksurapun lalu naik kepunggungnya
dan terus melarikan. Beberapa kali kedengaran si Putih merirgkik tapi setiap kali tangan Gudeksura
mengusap kemuka, kuda itupun diam. Hingga tiba ditempat akhir, Godeksura dapat menaikinya
dengan selamat.
Penonton gempar dan bertepuk tangan memuji. Godeksura tersenyum lenggang. Berbeda
dengan waktu masuk tadi, dalam berjalan ketempatnya itu kembali Godeksura mengunjukkan gaya
jalannya yang ke-congkak2an yaitu gaya Gajah-berjalan,
Apakah gerangan yang terjadi dibalik peristiwa itu? Kiranya setelah Gogor selesai melakukan
percobaan tadi, d-mang Wicara dihampiri oleh seorang tamtama yang menyampaikan pesan dari
Sukra bahwa pemuda itu menarik diri dari pertandingan. Setelah melihat Gogor berhasil
menundukkan si Putih, tiba2 Sukra mendapat pikiran lain. Ia mempunyai rencana baru.. Ia
memberikan rahasia untuk menundukkan kuda itu kepada Godeksura yakni supaya menciumkan
bunga kenanga kepada si Putih. Kenanga adalah bunga yang selalu disunting Wigati dan si Putih
sudah cukup mengenalnya. Benar juga dengan mengusap bunga itu, dapatlah Godeksura
menjinakkan si Putih. Sukra dapat mengetahui rahasia itu dari Sonto situkang kuda.
Demikianlah pertandingan babak kedua telah berakhir. Saat itu hari sudah siang, Matahari
se-olah2 turut menyaksikan pertandingan itu dengan penuh perhatian sehingga panasnya bukan
alang kepalang.
" Karena sudah siang dan panas, maka pertandingan babak ketiga diundur sampai besok
Pertandingan babak terakhir itu merupakan syarat yang terpenting. Setiap pengikut yang telah.
mengikuti babak kesatu dan kedua, tak peduli bagaimna hasilnya, diperbolehkan ikut dalam
pertandingan besok itu. Pertandingan untuk hari ini, cukup sampai sekian dulu, " seru demang
Wicara.
Pengumuman itu telah disambut dengan tepuk sorak gembira oleh para penonton.
Sebenarnya mereka sudah sama ber-sungut2 tak tahan cape dan panas. Pakaianpun sudah basah
dengan keringat.
- - - -
P e r j a m u a n .
Malamnya dibangsal penginapan diadakan perjamuan bagi para ksatrya yang ikut
sayembara. Demang Wicara ber-tindak sebagai tuan rumah pula.
" Saudara sekalian. Sebagaimana saudara maklumi, sayembara ini adalah untuk memilih
Senopati pasukan kabupaten Wirosobo yang akan dibentuk. Juga bagi Saudara2 yang tak beruntung
dalam sayembara itu, tetap kami harapkan tenaganya untuk menjadi perwira2 pasukan itu. Semogaperjamuan ini akan dapat mempererat hubungan dan memperkokoh persatuan kita, " kata demang
Wicara dalam pengantar sambutannya yang singkat.
Bangsal penuh dengan tetamu. Jago2 yang ikut dalam sayembara dengan rombongannya,
tamtama2 dan ponggawa2 kabupaten sama hadir. Mereka duduk ber-kelompok2 dengan rombongan
dan kenalan masing2. Entah disengaja atau tidak, meja Godeksura dengan anak buahnya itu sebelah
menyebelah dengan meja Gogor. Gogor ditemani beberapa tamtama dan Sukra! Ya, memang aneh.
Sukra memperkenalkan diri dan mengajak berkenalan Gogor.
Khusus untuk perjamuan itu, telah didatangkan seorang tandak termasyhur dari Adirejo.
Memarg apa yang disohorkan orang itu, nyata adanya. Larassari orangnya cantik, gaya tariannya
menggiurkan dan suaranya merdu merayu. Para wiyaganya (penabuh) juga pandai.
Hidangan dan minuman mulai beredar. Percakapan, gelak tertawa dan gemerincing
beradunya cawan dan mangkuk terdengar berisik sekali.
" Wah, saudara kuat sekali. Aku benar2 kagum, " Sukra memuji Gogor. Yang dlipuji hanya
tertawa dan mengucapkan kata2 merendah.
" Ai, jangan saudara malu2 kucing, memang tenaga saudara hebat sekali. Maukan
memberitahukan padaku, apa ya jamunya? " seru seorang gemuk yang duduk disebelah Godeksura,
bernama Jogelo. Ternyata ia adalah seorang kepercayaan Godeksura, bernama Jogelo. Jogelo
orangnya lucu, jujur dan setia. Itulah sebabnya maka Godeksura suka dan percaya padanya. Dia suka
tanpa tanpa tedeng aling2 mencela kesalahan orang bahkan kalau perlu ia ajak orang itu berkelahi.
sesudahnya, dengan gaya dan tingkah lakunya yang lucu ia dapat merebut hati sehingga orang itu
tak sakit hati. Oleh kawan2nya ia diberi julukan ? Jogelo' artinya jangan gelo (kecewa).
" Maaf, aku tak minum jamu apa2, " sahut Gogor.
" Ho, Jogelo, masakan orang mau memberitahukan rahasianya padamu. Nanti kau kan kuat
seperti gajah abuh, ha, ha, ha! " seru seorang kawannya.
Jogelo meringis tapi ia tak kurang akal. Serentak ia, menantang: " Kuat bukan hanya tenaga
saja tapi bermacam-macam. Aku tak percaya kalau bung Gogor kuat segala-galanya. Ayuh, kalau
berani adu kuat2an minum tuak (arak) dengan aku. Jangankan bung Gogor, pun semua hadirin disini
boleh maju, siapa yang berani bertanding minum dengan aku! "
Nyaring sekali tantangan itu diucapkan sehingga suasana perjamuan yang tadinya berisik,
mendadak menjadi sirap. Semua mata diarahkan padanya. Gogor diam saja. Tiba2 dari deretan
sebelah timur, berbangkit seorang tinggi besar, serunya: " Aku berani! "
" Bagus, kemarilah saudara, " seru Jogelo kepada orang itu yang ternyata salah seorang anak
buah Sodrono yang bernama Kampret.
Jogelo meminta tuak pada Sukra yang segera suruh pelayan menyediakannya.. Demikianlah
kedua jago minum itu adu kekuatan. Sampai pada seloki (cawan) yang kelimabelas, tampak wajah
Kampret mulai merah padam. Ia paksakan minum sampai lima seloki lagi dan bluk, jatuhlah
nglempruk kelantai . . . .
Jogelo masih segar hanya matanya yang mulai merah. Ia mendapat tepuk pujian dari para
hadirin. " Ayuh, siapa berani lagi? " serunya dengan bangga.
Sampai sekian saat, tiada orang yang berani menyahut. Jogelo menepuk dada dan berseru: "
Jogelo, juara minum yang tetap belum terkalahkan! "
Semua orang hanya tertawa saja melihat tingkah Jogelo yang ke-gila2 an itu. Kembali orang
melanjutkan percakapannya sambilmenikmati hidangan. Tak berapa lama Larasaripun tampil
ketengah ruangan. Dengan diiringi lagu Kinanti, mulailah ia menari. Tariannya lemah gemulai
mempesonakan, suaranya merdu merayu kalhu.
Sambil menelan air liur untuk mengantar sisa tuak yang masih terasa melekat didalam
mulutnya, berserulah Jogelo: " Hebat betul tandak itu . . . "
" Jogelo, apa kau pandai menari juga? " tanya Sukra." Siapa bilang aku tak dapat. Kegemaranku banyak sekali : minum, menari, berkelahi,
ngoceh, melucu, makan, tidur juga, ha, ha . . . " sahut Jogelo. Rupanya ia mulai sedikit sinting,
bicaranya tak genah.
Demikianlah Larasari menari dan menyanji, lagu demi lagu. Setelah itu ia lalu beristirahat.
Saat itu menjelang tengah malam. Sebagai acara penutup, Larasari akan menari lagi dalam tarian
tayuban. Dalam tayuban itu sitandak akan minta salah seorang hadirin mengawani menari. Barang
siapa yang kejatuhan sampur (selendang sitandak ), harus ikut menari.
" Bagus, Larasari, jangan lupa pilihlah aku. Ya, saudara2, aku punya usul. Siapa yang tak mau
menari didenda minum lima seloki, setuju? " lagi 2 Jogelo buka suara.
Para hadirin serempak memberi pernyataan setuju.
" Aku ada usul, " tiba2 Johar sijago pencak dari Banjarnegara berseru, " mengingat besok kita
harus bertanding, maka tayuban ini supaya dibatasi sampai 10 orang saja, agar kita dapat
beristirahat secukupnya. "
Karena beralasan, usul itupun diterima. Demikianlah tari tayuban itu segera dimulai. Ber
turut2 Larasari menjatuhkan sampurnya kepada beberapa orang yang ia tuju, antara lain Kodrat,
lurah Dongkol, Gunalewa, Sukra, Sodrono dll-nya. Tapi selama itu Jogelo masih belum mendapat
giliran. Ia bagaikan semut yang kelabakan diatas belanga panas, duduknya.pun tak tenang selain ber
ingsut2 saja.
" Hai, Larasari, mengapa aku belum kaupilih? " karena tak tahan lagi menjeritlah Jogelo yang
sudah makin mabuk itu.
Semua orang tertawa, Larasari melirik kearah Jogelo. Benar juga ia lantas menghampiri dan
lemparkan sampurnya kepada .. . Gogor! Jogelo yang sudah ternganga tertawa, mendadak berobah
meringis. Sedang Gogor sendiri merah padam mukanya. " Maaf, aku tak dapat menari, " katanya
tersipu2.
" Ha, kalau begitu saudara harus didenda, " seru Jogelo yang serentak berbangkit dan
memberi isyarat kepada pelayan supaya membawa tuak.
" Ni minumlah, " katanya sembari angsurkan satu seloki tuak. Apa boleh buat, walaupun tak
biasa minum tapi karena hendak menghormati peraturan, terpaksa Gogor meneguknya juga.
Menyusul seloki yang kedua dan ketiga. Huak . . . mulutnya serentak menguak mau muntah dan
kepala serasa ber-putar2. Muka anak muda itu merah padam dahinya bercucuran keringat. Melihat
itu kasihan juga Jogelo.
" Yang dua saloki, biarlah aku yang mewakili dan aku memilih menari saja, " kata Jogelo yang
tanpa menunggu persetujuan siapa2 lalu menjemput sampur dan maju ketengah.
" Kutut manggung! " serunya memberi perintah kepada para wijaga. Sebenarnya Larasari
enggan menari dengan Jogelo tapi demi melihat tingkah lakunya yang lucu, iapun diam2 geli juga.
Bahkan pada lain kejab ia merasa kagum demi melihat sigemuk itu pandai menari.
Demikian Jogelo dengan asyiknya menari bersama si-tandak cantik. Tapi sayang pengaruh
arak makin bekerja sehingga gerakan tariannya mulai kacau.
" Diteruskan lagu Kupu Kuning . . . . , " serunya. Gamelan berganti nada dalam irama yang
gobyos (lincah). Jo-gelo ter-huyung2 seperti orang hendak menubruk, sedang Larasari berlincahan bagaikan seekor kupu
yang menghindar.
Kupu . . . ayu . . tak encupe . . . , " Jogelo menyerbu maju, Larasari menghindar kesamping
dan aduh . . .? tiba2 terdengar teriakan mengaduh. Apa yang terjadi? Kiranya Jogelo telah menubruk
seorang wiyaga. Celakanya jari Jogelo tepat mengenai mata wiyaga itu hingga ia menjerit kesakitan.
Adegan itu benar2 membuat hadirin terpingkal-pingkal sekali.
" Keutara hilang ... keselatan luput . . . ho, kupu ayu, kemana kau . . . ha, ketimur . . . , "
demikian Jogelo mengoceh dan menubruk kesebelah timur. " Ha, terpegang kau sekarang . . "
" Auuhhl . . . keparat . . . plak . . , "
" Aduh-biyung, mati aku . . . "
Luput menyambar Larasari, Jogelo menubruk Singomejo dan kebenaran sekali mendapat
kumisnya. Dalam sintingnya Jegelo menganggap kumis itu sebagai sang kupu2 maka di-encup
(dicabut). Keruan sacija Singomejo menjerit kesakitan dan plak, ia ayunkan tinjunya menampar
muka, Jogelo mengaduh dan tersungkur mencium lantai . . .
x x x x x
Kalau didalam bangsal orang bersuka ria dalam perjamuan dan tayuban adalah didalam
pendopo kabupaten tampak diliputi suasana sayu. Malam itu Adipati memanggil patih Donoreja
untuk membicarakan sesuatu yang penting.
" Paman Dono, hatiku tak tenteram. Marhum ayahanda pernah memberitahukan bahwa
diantara pusaka2 kabupaten itu, adalah busur kyai Lodra yang paling berhikmah. Jika busur itu
sampai patah, pertanda pemiliknya bakal mengalami malapetaka besar, " kata Adipati.
" Gusti, segala apa hanya tergantung kehendak Ilahi. Kita titah manusia hanya menjalani
saja. Apakah hikmah kyai Lodra itu benar2 nyata, itu belum tentu. Jiwa kita ini Tuhan yang memberi
dan hanya Dia yang kuasa mengambilnya. Mari Gusti, kita senatiasa panjatkan doa kepada Yang Widi
agar Gusti selalu diridhoi dengan keselamatan dan tawakkal, " patih Donorejo menghiburnya.
" Terima kasih, Dono. Tapi benarkah pemuda itu luar biasa kuatnya? " tanya Adipati." Sebenarnya tak beda jauh dengan Singomejo. Godeksura, Sodrono dll. Ya, memang aneh,
mengapa busur tiba2 patah. Hamba sendiripun heran, " kata patih itu.
" Mungkin itu suatu firasat dan itulah yang menjadi renunganku tadi. Biarlah kuserahkan hal
itu kepada Yang Maha Kuasa, " Adipati menghela napas. Sesaat kemudian berkata pula ia: " Kalau
menurut pandanganmu, Dono, siapakah diantara jago2 itu yang akan keluar sebagai pemenang?"
" Singomejo, Godeksura, Sodrono dan pemuda itu, sama2 mempunyai harapan besar. Tapi
hamba senang kalau pemuda itu yang menang? " kata Donoreja.
" Mengapa? " tanya Adipati.
" Singomejo bekas prajurit pelarian dan ganti haluan menjadi kepala penyamun. Godeksura
seorang jagoan yang buruk tingkah lakunya. Sodrono seorang kepala bajak hanya pemuda tak
terkenal itu yang masih bersih. Pasukan yang Gusti hendak bentuk itu hendaknya disamping kuat.
pun harus setia kepada negara. Ini memerlukan suatu pimpinan iang murni jiwanya dan pengabdian
yang tulus ikhlas. "
Adipati membenarkan pernyataan patih itu, Demikianlah setelah membicarakan lagi
beberapa hal mengenai keadaan pemerintahan kabupaten Wirosobo, patih itupun segera minta diri.
Keluar dari puri kabupaten, ia menyusur jalan disebelah selatan alun2. Disitulah didirikan bangsal
penginpan untuk rombongan jago2 yang ikut pertandingan. Malam itu gelap cuaca, langit gelap
dengan awan tebal. Keadaan dibangsal itu sudah sunyi. ya, memang pesta perjamuan tadi sudah
selesai. Coba Johar tak mengusulkan supaya orang yang mendapat giliran menari dibatasi jumlahnya,
tentulah ,larut malam belum bubar. Sekalipun begitu puas juga para tetamu. Jogelo benar2
merupakan ' bintang' yang memborong perhatian seluruh hadirin. Karena mabuk tuak, beberapa
orang terpaksa digotong kedalam kamarnya.
Se-konyong2 dari salah sebuah bilik, beringsut keluar sesosok tubuh. Donorejo curiga dan
menghampirinya.
" Siapa? " tegurnya.
" Aku, Sukra, " sahut orang itu. " Dan kau . . . oh, paman Donorejo, " Sukra terkejut demi
mengetahui siapa datang. Ia buru2 menanyakan dari mana patih itu.
" Habis dari gedung kabupaten, Dan kau sendiri mengapa pada saat ini berada disini? "
Dondreja balas bertanya.
" Gogor mabuk tuak, terpaksa kuantar kedalam biliknya," kata Sukra yang lalu menceritakan
tentang tayuban tadi.
" Mengapa kau sendiri yang mengantar tidak menyuruh tamtama saja? " tanya Donoreja
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula.
Wajah Sukra berobah pucat, tapi cepat ia menguasai goncangan hatinya dan menyahut: "
Anu paman, mereka sibuk mengemasi alat2 perjamuan, ada juga yang mengantar tetamu2 yang
mabuk. Karena aku duduk semeja dengan Gogor dan merasa kasihan dengan anak muda yang
muntah2 dan pusing kepalanya itu, terpaksa kuantarkan ia kedalam biliknya. Rupanya ia tak pernah
minum tuak.
" Bagaimana keadaannya sekarang? "
" Tidak apa2, sudah tidur pulas, " kata Sukra.
Karena beralasan, hilanglah kecurigaan patih Donoreja. Demikianlah ia dan Sukra segera
pulang kerumah masing2.
XXXXX
P e r t a n d i n g a n.
Pagi2 sekali alun2 kabupaten sudah dibanjiri lautan manusia. Penjagaan dan tata tertip, tetap
dilakukan dengan keras. Didalam bangsai agung, tetamu2 sudah hadir. Adipatipun tampak jugabeserta permaisuri dan puterinya Ayu Wigati.
Tampillah demang Wicara kemimbar untuk mengumumkan peraturan pertandingan: " Jago2
yang ikut dalam pertandingan ini, berjumlah 13 orang. Dalam babak pertama, mereka akan diadu
menjadi 6 partai. Keenam pemenang itu akan diadu pula dalam 3 partai. Kemudian pemenangnya
akan memperebutkan gelar kejuaraan dalam bab yang terakhir. Dalam pertandingan itu, orang boleh
bertempur dengan tangan kosong atau memakai senjata, Karena dalam pertandingan ini jangan
sampai menumpahkan darah maka tidak boleh memakai senjata tajam melainkan tongkat atau
pentung. Alat2 itu telah disediakan. "
Penonton menyambut dengan tepuk sorak bergemuruh
" Partai pertama: Kodrat lawan Godeksura! " seru demang Wicara.
Kodrat yang umurnya, belum2 sudah gentar melihat potongan tubuh sang lawan. Apalagi
sudah lama ia mendengar kemasyhuran nama Godeksura.
Mau tak mau gentar juga hati Kodrat. Justeru itulah suatu pantangan bagi seorang jago yang
sedang bertempur.
Setelah saling memberi salam, maka Kodrat rnembuka serangan. Ia meninju dada lawan.
Godeksura tenang saja. Ia biarkan dadanya ditinju, dan hanya mendupak lutut orang. Telah
diperhitungkan, dadanya takkan menderita ditinju, sebaliknya lutut lawan tentu remuk kalau kena
didupak. Serangan ditangkis dengan dupakan itu memaksa Kodrat loncat mundur. Ia tahu bagaimana
tenaga lawan, tak mau ia adu kekerasan.
Godeksura tak putus akal. Ia memancing2 kesempatan. Setelah beberapa putaran,
sekonyong2 ia menubruk Kodrat dan karena yang ditubruk menghindar maka iapun menjorok
kemuka. Kodrat diam2 girang. Ia mengira dapat kesempatan bagus maka cepat sekali ia lantas
menghantam punggung lawan, bluk . . aduh!
Pukulan Kodrat tepat mengenai punggung tapi yang mengaduh kesakitan bukan Godeksura
melainkan Kodrat sendiri. Punggung Godeksura ternyata mengeras seperti kayu dan ketika Kodrat
kaget, dengan gerak-cepat yang mengagumkan, tangan Godeksura dilayangkan kebelakang
menyambar lengan. lawan. Kodrat mengaduh, lengannya serasa dijepit oleh sepitan baja dan ia
harus menanggung kesakitan hebat ketika sepit-baja itu dipelintir. Kodrat rasakan tulang lengannya
seperti patah dan mau tak mau ia harus melunglai ditanah.
Penonton bersorak riuh. Memang telah diduga semula bahwa Godeksura tentu akan
'menelan' lawannya itu dengan mudah.
Partai kedua adalah Banu lawan Gogor. Pertapa dari Kedungwwani itu membuka
serangannya dengan sebuah terjangan tapi luput. Banu cepat berputar tubuh dan kirim sebuah
tendanganpun Gogor tetap menghindarinya. Banu terpaksa berhenti sejenak untuk mengatur napas.
Dalam pada itu ia mempersiapkan rencana bagaimana untuk menyergap pemuda lawannya itu.
Tiba2 ia loncat menerjang, tapi hanya suatu gerakan kosong, Ketika Gogor menghindar
kesamping, cepat ia kejar dengan dua buah serangan istimewa. Tangan menghantam kepala dan kaki
menyapu kebawah. Sekaligus dua serangan itu dilakukan dengan cepat dan keras. Gogor termangu
karena tak menduga bahwa sipertapa mempunyaigerakan yang sedemikian cepatnya. Untuk
pukulan ia hindari dengan membungkuk, kemudian untuk kaitan kaki ia loncat keatas sampai dua
meter. Melihat itu diam2 Banu girang. Seban sekali ia menghantam se-keras2nya. Karena badannya
sedang melayang diatas, tak mungkin Gogor dapat menghindar lagi. Sekalian penonton sama
menahan napas karena mengira anak muda itu tentu kena.
Se-konyong2 Gogor berjumpalitan membuang tubuhnya kebelakang. Tapi Banu tak mau
memberi ampun. Baru kaki sianak muda menginjak bumi, ia loncat menerjang lagi. Tapi ia kaget
karena lagi2 menghantam angin. Ketika ia hendak berputar tubuh, tiba2 sebuah tangan
mendorongnya kuat2 sehingga ia tak kuasa menjaga keseimbangan badannya lagi. Tapi sebelumtersungkur mencium tanah tiba2 leher bajunya ditarik keatas sehingga ia dapat berdiri lagi.
" Maaf, sang pertapa! " seru sebuah kata2 yang bersahabat.
Banu berpaling kebelakang dan berkata: " Terima kasih atas kebaikanmu, anak muda. Aku
menyerah kalah. "
Adegan keras tapi yang berakhir dengan ramah itu telah mendapat tepuk pujian yang riuh
rendah dari para penonton.
" Partai ketiga: Dadang lawan Singomejo!" seru deemang Wicara.
" Anak muda, kau mau berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata? " tanya
Singomejo.
Sebagai pemburu, Dadang mahir menggunakan tombak, maka iapun menyatakan hendak
rnemakai senjata. Demikianlah kedua jago itu masing2 mengambil sebatang tongkat. Setelah pasang
kuda2, Dadang maju menusuk keperut lawan. Sebagai seorang prajurit yang kenyang pertempuran,
Singomejo tahu bagaimana caranya melayani serangan tombak. Ia menangkis se-kuat2nya kemudian
meneruskan menyapu kaki orang. Dadang tergetar dan sakit tangannya, terpaksa ia loncat mundur.
Gebrak pertama itu sudah menunjukkan siapakah yang kuat.
Dadang maju pula dengan gerakan menjabat kepala, waktu lawan menundukkan kepala ia
terus hendak menusuknya. Tapi kalah cepat karena sebelum ia dapat menarik sabatannya tadi,
tangan kiri Singomejo sudah menyambar pergelangan tangan lawan terus dipijatnya. Auuhh ..
Dadang menjerit dan lepaskan tongkatnya. Dengan ilmu remasan maut Supit Kala, Singomejo dapat
memaksa lawan menyerah.
" Yang keempat: Lurah Dongkol lawan Johar! "
Pertandingan ini tak kurang menariknya. Johar sijago pencak dari Banjarnegara itu
menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan lawan tapi lurah yang mempunyaiilmu
Belut-putih itu selalu dapat melejit lolos. Tubuhnya licin bagai belut. Sampai akhirnya dalam suatu
kesempatan, lurah Dongkol dapat meninju perut lawan sampai terjerembab jatuh. Donggkol loncat
hendak menginjak nya tapi dicegah demang Wicara yang menyatakan bahwa Johar sudah dianggap
kalah.
Partai kelima antara. Sodrono pemimpin bajak Yuyukangkang lawan Bawuk sipembantai, tak
berjalan lama karena Sodrono jauh lebih kuat. Kekalahan Bawuk itu terjadijurus yang kelima ketika
ia menendang dada lawan yang tak terjaga itu. Tapi diluar dugaan Sodrono miringkan tubuhnya lalu
menyusup maju untuk memikul kaki lawan. Sekali bahunya diangkat naik, Bawukpun seperti
dibanting, kepalanya membentur tanah hingga pusing tujuh keliling ...
Sebenarnya partai terakhir adalah Gunalewa lawan gandek Truna tapi ternyata Truna itu
adalah ipar Gunalewa maka Trunapun menyatakan mengundurkan diri. Sebagai gantinya adalah
Kasan darl Bobotsari. Dengan modal keeranian dan kekuatannya Kasan menghujani pukulan ber
tubi2, tapi Gunalewa hanya mengelak saja. Setelah nafsu menyerang dari lawan menurun barulah
Gunalewa bertindak. Ia memasang perangkap. Dibiarkan dirinya dibekuk oleh lawan tapi begitu
lawan hendak membantingnya, Gunalewa segera memijat kaki orang. Seketika itu Kasan mengaduh
dan mendumprah tak dapat berdiri Iagi. Kakinya kejang karena terkena ilmu urut Tali-rasa dari
Gunalewa. Gunalewa tak mau turun tangan lagi hanya memandangnya dengan tersenyum.
" Bangunlah! " kata Gunalewa seraya menepuk kaki orang. Kasan menggeliat bangun dan
diajak kembali ketempatnya oleh Gunolewa.
" Pertandingan babak pertama selesai. Keenam pemenangnya yakni Godeksura. lurah
Dongkol, Singomejo, Gunalewa, Gogor dan Sodrono akan bertanding lagi dalam babak kedua, " kata
demang Wicara.
Suasana menjadi tegang karena pertandingan kali ini lebih hebat dari tadi. Jago2 yang akan
bertanding itu adalah jago2 pilihan dan ternarna. Penonton berdebar2 karena tak dapat menduga
lebih dulu siapakah yang akan menang."Partai pertama yang akan bertanding ialah Gedeksura lawan lurah Dongkol, " demikian
pengacara mengumumkan.
Godeksura mempunyai pukulan geledek dan aji2 senggoro macan. Sedang lurah Dongkol
mempunyai ilmu Belut- putih. Dugaan orang bahwa pertandingan ini tentu hebat, memang benar.
Kedua jago itu masing2 tahu akan kesaktian lawannya. Beberapa kali Godeksura lancarkan pukulan,
terkaman dan tendangan tapi selalu lurah Dongkol yang licin seperti belut itu dapat meloloskan diri.
" Hayo, balaslah teman! " seru Godeksura. Ia hentikan serangannya dan bersikap menurggu.
Sebenarnya lurah Dongkol tahu kalau ia kalah kuat dengan lawan maka ia hendak gunakan
siasat memeras tenaga dan napas orang baru kemudian balas menyerang. Tapi Godeksura tak
bodoh, ia tak mau menyerang Irgi. Terpaksa lurah Dongkol mulai menyerang. Ia gunakan siasat
serangan-kilat. Ia berlincahan menyerang dari kanan-kiri muka-belakang, menghantam kepala,
meninju perut dan menyapu kaki. Gerakannya itu dilakukan serba cepat, baik maju maupun mundur.
Pada satu saat Dongkol menabas lambung kanan lawan, ketika Godeksura menangkis
dengan tangan kiri, Dongkol menghantam kepala dengan tangan satunya. Untuk itu Godeksura
gunakan tangan kirinya untuk menangkis. Karena kedua tangannya digunakan untuk menangkis
maka dada Godeksura terbuka. Dongkol nekad, se-konyong2 ia loncat menyrudukkan kepalanya
keperut orang. Hek, Godeksura ter huyung2 kebelakarg. Serudukannya berhasil, Dongkol menyusuli
lagi dengan pukulan yang menentukan. Tapi tiba2 Godeksura membentak se-kuat2nya. Itulah aji2
senggoro-macan. Bentakan itu sekeras halilintar menyambar sehingga Dongkol terkesiap kaget dan
tertegun. Bluk, tahu2 kakinya disapu oleh Godeksura hingga jatuh terjerembab. Godeksura belum
puas, ia loncat menendangnya tapi dengan tangkas Dongkol bergelundungan menghindar.
Godeksura yang tak kenal ampun loncat menerkamnya lagi. Karena diatas tanah, Dongkol tak dapat
bergeliatan dengan licin. Ia tak kuasa meronta ditindih lawan yang sekuat kerbau itu.
Pertandingan itu telah memakan waktu hampir sejam. Merupakan pertandingan yang
terlama sendiri selama itu. Demang Wicara buru-buru mengumumkan bahwa Godeksuralah yang
menang. Belum lagi hiruk pikuk teriakan penonton reda, demang Wicara mengumumkan pula jago
jago yang akan bertanding berikutnya, yakni Singomejo lawan lurah Gunalewa.
Kalau penonton mengharap partai ini akan sedahsyat partai Godeksura- Dongkol, itulah sia
sia. Pertempuran kedua jago ahli remas dan urut itu lebih banyak dilakukan dari jarak jauh. Kedua
duanya sama menghindari jangan sampai terjamah tangan lawan. Ilmu Supit-kala dari Singomejo itu
merupakan remasan maut sedang ilmu Tali rasa lurah Gunalewa itu merupakan ilmu urut yang
hebat. Sampai lama sekali mereka berbaku hantam tapi tiada hasilnya apa2.
" Hayo, kita adu remas-remasan! " akhirnya Singomejo menantang.
" Boleh ! " sahut Gunolewa. Keduanyapun berdiri tegak saling berhadapan. Sepasang tangan
mereka saling memegang lengan lawan. " Siap? " seru Singomejo.
" Siap! " sahut Gunalewa.
Keduanya segera saling mencengkeram lengan lawan. Tak berapa lama kemudian tampak
wajah mereka berobah merah, keringatpun mulai bercucuran. Dada mereka berkembang kempis,
keningnya mengerut tegang. Makin lama wajah Singomejo makin merah padam sedang wajah
Gunalewa akin pucat. Tiba2 Singomejo menggembor keras, tangannya mendorong tubuh lawan, bluk
. . . Gunalewa jatuh terlentang, bluk . . . Singomejopun jatuh tersungkur. Sampai sekian saat mereka
tak berkutik. Mengira kalau kedua jago itu pingsan, beberapa tamtama segera maju menghampiri.
Tiba2 Singomejo bergerak bangun. Sambil mengurut2 tangannya ia memandang kearah Gunalewa
yang masih rebah ditanah. Tamtama segera menggotong lurah itu keluar gelanggang.
Kiranya kedua jago itu tadi telah mengadu kesakti tangan mereka. Singomejo mengeluarkan
ilmu remasan Supit-kala sedang Gunalewa mengeluarkan ilmu urut Tali-rasa. Pada detik2 permulaan
Gunalewa rasakan kedua lengannya-sepertidijepit supit-baja, sakitnya sampai menusuk tulangBermula ia masih dapat bertahan dan coba kerahkan ten ganya untuk mengurut lengan orang. Ia
mengharap jika urat lengan lawan tersungsang tentu tenaga remasannya akan lemah. Siapa tahu
bukannya kendor sebaliknya jepit lawan malah semakin keras sehingga ulu hati Gunalewa sampai
Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama