Ceritasilat Novel Online

Kuda Putih 2

Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong Bagian 2

nyeri. Hampir saja ia tak kuat menahan sakit dan hendak melepaskan cengkeramannya. Untunglah

pada saat2 yang tegang itu tiba2 ia dapatkan remasan lawan mulai kendor. Diam2 ia bergirang. Tapi

kegirangannya itu berobah menjadi kekagetan ketika se-konyong2 Singomejo menggembor keras

dan mendorongnya kebelakang. Karena tulangnya lemah lunglai maka ia tak kuwasa menahan

kakinya dan terlempar jatuh. . .

Singomejopun sebenarnya juga sakit dan linu tanganya, Lengannya serasa kesemutan dan

kehabisan sungsum. Tapi ia tak mau menyerah mentah2. Dikerahkan seluruh tenaganya untuk

memperhebat remasannya. Namun bagaimanapun ia berjoang toh akhirnya menyerah juga. Makin

gunakan tenaga penuh, makin sakitnya tak tertahan, urat-nadinya seperti di-iris2. Tenaganya mulai

merana dan mata ber kunang2.

" Celaka, kalau aku tak dapat berontak, tentu kalah! pikirnya. Ia mengumpulkan napas untuk

mengundang seluruh sisa tenaganya yang masih ada, lalu dengan menggembor keras ia mendorong

tubuh lawan se-kuat2 nya dan berhasillah. Namun ia tak dapat mempertahankan keadaan dirinya

yang bagaikan pelita kehabisan minyak itu. Habis mendorong sendiripun jatuh tersungkur tak

kabarkan diri. Beberapa menit kemudian ia dapat tersadar lebih dulu. Dengan demikian ia

dinyatakan sebagai pemenang.

Singomejo harus melalui perjoangan berat baru ia dapat lolos dari lubang jarum. Memang

sebenarnya kekuatan keduanya tak banyak selisihnya. Kekalahan Gunalewa itu diderita karena

lengannya didahului dijepit sekeras2nya hingga ia tak ada kesempatan untuk menggerayangi

(menguruti) tangan lawan. Ia kena diakali lawannya.

Partai terakhir adalah Gogor Iawan Sodrono.

" Jangan keras2, pak, " kata Gogor sehabis memberi salam kepada pemimpin bajak itu.

" Jangan merendah diri, anak muda, " jawab Sodrono dengan bersenyum. Ia membuka

serangan dengan sebuah terjangan. Ketika Gogor menghindar, ia kirim pula sebuah tendangan dan

waktu anak muda itu loncat mundur, Sodronopun merangsang maju. Dan ketika Gogor masih tetap

mengelak, Sodrono makin beringas. Dengan gaya Ular-menyambar, ia terkam tubuh lawan. .Namun

Gogor tetap main menghindar saja. Entah sudah berapa puluh serangan dan terjangan yang

diterimanya, tapi jangankan kena sedang bajunya saja tak pernah terjamah oleh lawan. Dan

anehnya, satu kalipun ia tak mau membalas.

Diam2 Sodrono merasa heran disamping timbul rasa kagumnya terhadap kegesitan anak

muda itu.

"Mengapa kau tak mau membalas? " tanyanya serta ia berhenti untuk mengambil napas.

" Silahkan bapak saja yang menjerang. Kita kan hanya sekedar menguji kepandaian, bukan

bertempur sungguh2, " sahut Gogor.

" Baiklah, mari kita main2 dengan senjata, " kata Sodrono yang lantas mengambil dua batang

tongkat. Jang sebatang diberikan kepada Gogor.

Sodrono cepat lancarkan serangan dengan membolang- balingkan tongkat kekanan kiri.

Pertama menyambar kepala, Gogor menundukkan kepalanya, Sodrono menabas perut. Waktu

Gogor lengkungkan tubuhnya kebelakang, Sodrono putar lagi tongkatnya untuk membabat kaki.

Untuk itu terpaksa Gogor loncat kebelakang.

" Bagus! " teriak Sodrono sembari loncat menyerbu. Karena terdesak Gogor tak dapat

mengelak lagi, terpaksa ia menangkis. Sekali mainkan tongkat, ia memutar sedemikian gencar dan

seru. Anginnya men-deru2 laksana badai. Memang pemuda itu sedang mengeluarkan permainan

golok Angin-lesus yang diciptakan oleh gurunya kyai Tungguljati.

Sodrono terkesiap menyaksikan permainan tongkat sianak muda. Iapun tak mau kalah,diputarnya tongkat laksana kitiran. Gertak-gemertuk bunyi tongkat saling beradu. Tiba2 tongkat

Gogor mencelat keudara. Sodrono membarengi menghantam se-kuat2nya, bum . . . krak . . . Sodrono

menghatam tanah sampai berlubang karena Gogor mengelak. Secepat kilat pemuda itu loncat

keatas tongkat terus menginjak se-keras2nya hingga putus dan tahu2 sudah Ioncat kebelakang.

" Maaf, pak! " serunya.

" Bagus, anak muda, aku menyerah. Budimu tak kulupakan, " seru Sodrono seraya

melangkah mundur.

Penonton sama ke-heran2 an. Sedemikian cepat adegan itu berlangsung sehingga mereka

tak tahu apa jang terjadi. Kiranya berbareng dengan loncat keatas tongkat tadi, Goggon sudah

ulurkan tangannya untuk menjodok dada Sodrono, tapi ketika hampir mengenai tiba2 ia buka

tinjunya dan hanya menjelentik saja. Sodrono bukan orang yang tak tah ukebaikan. Ia percaya kalau

anak muda itu mau berlaku ganas, dadanya pasti tertinju remuk. Untuk kebaikan anak muda itu, ia

balas dengan pernyataan menyerah.

Demikianlah pertandingan babak kedua telah selesai. Pemenangnya ialah Godeksura,

Singemejo dan Gogor. Karena jumlahnya ganjil maka ketiga jago itu akan bertanding secara bergilir.

Penonton lebih tegang lagi, mereka tak menghiraukan lelah dan kepanasan.

" Pertama Godeksura akan bertandmg melawan Singomejo! " seru demang Wicara.

Penetapan itu adalah hasil daripada undian.

Rombongan pengikut Godeksura dan rombongan anak buah Singomejo ber-teriak2 dan

bertepuk tangan untuk memberi sokongan moril kepada pemimpinnya masing2. Pertandingan kedua

jago ini benar2 merupakan pertempuran antara banteng lawan harimau. Kiranya tiada seorangpun

yang dapat menduga siapa nanti yang akan menang. Mereka sama kuat dan sama saktinya.

Godeksura dengan langkag Gajah-berjalan maju ketengah gelanggang. Singomejo pun dengan

potongan tubuhnya yang menyerupai orarg- utan melangkah maju. Kini kedua jago itu saling

berhadapan.

" Saudara Singo ingin main2 dengan tangan kosong atau dengan senjata? " tanya Godeksura

dengan ramah.

" Baik kita main2 dengan tangan kosong dulu, " sahut Singomejo.

" Ya, kalau hegitu silahkan menyerang, " Godeksura pasang kuda2 siap menunggu serangan

orang.

Singomejopun tak mau banyak bicara lagi. Ia membuka serangan dengan dua gerakan,

tangan kiri menghantam kepala dan tangan kanan menjotos dada. Godeksura tak berani

memandang rendah seperti ketika menghadapi Kodrat tadi. Ia tundukkan kepala dan menangkis,

plak . . . dua kepalan besi saling beradu keras. Dua2 nya tergetar mundur selangkah.

Kini mereka mempunyai gambaran jelas akan kekuatan lawan. Mereka bertempur dengan

hati2. Beberapa putaran telah berlangsung namun keduanya belum mendapat keuntungan apa2.

Terjang, jengkau menjengkau, tendang menendang silih berganti dilakukan. Namun selama itu

Singomejo selalu menjaga jangan sampai adu kekerasan apabila tak perlu.

" Kalau terus2 an begini, tentu tak ada kesudahannya. Baik kuserangnya gencar supaya

kalang kabut, " diam2 Godeksura menimang. Begitulah ia terus menerjang dan menghujani pukulan.

Benar juga Singomejo menjadi keripuhan dan terdesak. Malah pada satu saat ia terancam

remuk dadanya karena tak keburu menangkis jolosan Godeksura. Untung dalam saat2 yang

berbahaya itu ia tak panik. Cepat ia miringkan tubuh dan jejakkan kakinya keperut lawan. Bluk,

Singomejo bahunya kena dan terlempar sampai dua meter tapi Godeksurapun ter-huyung2 mau

jatuh karena perutnya termakan. Keduanya sama menderita kesakitan, tapi Singomejo lebih berat.

" Hayo kita pakai senjata! " tantang Godeksttra.

Singomejo mengiakan. Demikian kedua jago itu bertempur lagi dengan memakai tongkat.

Baik dalam adu pukulan maupun dengan tongkat, ternyata Godeksura lebih keras tenaganya.Beberapa kali Singomeljo harus menahan kesakitan apabila tongkatnya saling beradu.

" Wut .. . krak . . . dalam sebuah kesempatan Godeksura kembali menghantam kepala lawan

se-kuat2 nya. Karena tak dapat menghindar, Singomejo menangkis. Begitu hebat hantaman

Godeksura itu hingga ketika berbenturan kedua tongkat mereka sama2 putus. Sebat sekali

Singomejo ulur kan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan terus

dipelintirnya. Godeksura kesakitan dan terpaksa lepaskan tongkatnya. Berbareng itu Singomejopun

ayunkan tongkatnya untuk memukul kepala sang lawan. Tapi tak kalah sebatnya Godeksura sudah

menendang siku lengan hinnga tongkat Godeksurapun mencelat keudara. Singomejo penasaran, ia

gerakkan kakinya menyapu kaki lawan. Karena sebelah kakinya yang menendang tadi masih diatas,

sukarl Godeksura untuk meghindar.

Sebelum ajal berpantang maut, Godeksura tak mau menyerah mentah-mentah. Dalam

jatuhnya ia sempat mentojor muka lawan.

Bluk, Godeksura jatuh terjerembab seperti dibanting. Tapi Singomejapun terpelanting

jungkir balik ke lakang. Dua2nya sama rubuh, dua2 nya sama kesakitan. Sampai pada saat itu

pertempuran sudah berlangsung lebih dari satu jam tapi belum ada yang kalah. Karena mengetahui

kekuatan keduanya berimbang, akhirnya demang Wicara memutuskan bahwa pertandingan itu

serie.

" Karena tidak ada yang kalah dan menang, maka Godeksura dan Singomejo akan bertanding

dengan Gogor. Yang akan bertanding lebih dulu ialah Godeksura lawan Gogor, demikian demang

Wicara mengumumkan.

Godeksura memang gagah perkasa. Setelah beristihat beberapa saat iapun sudah segar

kembali. Kalau Godeksura - Singomejo ibarat harimau lawan banteng, adalah sekarang Godeksura
Gogor ini bagaikan harimau lawan rusa. Baik umur maupun potongan tubuh, Godeksura lebih

unggul. Sekalipun begitu diam-diam Godeksura sendiri berani memandang ringan lawannya.

" Mau tangan kosong atau pakai senjata? " tanyanya

" Terserah, " jawab Gogor.

Godeksura menyatakan lebih baik dengan tangan kosong dulu. Begitulah setelah

dipersilahkan, Godeksura menyerang. Ia menerjang dan Gogor menyelinap kebelakang Godeksura

berputar dan Ioncat menerkam, pun Gogor tahu tahu menghilang. Diam-diam Godeksura heran dan

kagum atas kegesitan lawan. Kembali ia menyerbu, pukulan, tendangan, terkaman, tabasan dan

bahkan cekikan dilancarkan ber-tubi2, namun dengan gerak yang luar biasa gesitnya Gogor selalu

dapat lolos. Satu waktu untuk terkaman lawan, Gogor menyelundup kebawah ketiak. Setelah

beberapa serangannya gagal, Godeksura me-ngambil napas sejenak. Tiba2 Gogor mengerut kesakitan, mukanya pucat dan tangan menekan

perut. Waktu Godeksura menerjang, ia hanya menghindar kesamping tapi gerakannya tak setangkas

tadi. Godeksura melontarkan pukulan ketika Gogor mengelak, ia susuli pula dengan sebuah

tendangan. Gogor menghindar tapi lamban sekali gerakannya sehingga pahanya termakan. Ketika

anak muda itu ter-huyung2, dengan gaya harimau menerkam kambing Godeksura loncat menerkam.

Masih Gogor berusaha hendak mengisar tapi nyata benar kalau ia lemas seperti tak bertenaga.

Bahunya kena dicengkeram dan tahu2 tengkuk lehernya seperti dijepit besi, tubuhnya terangkat

keatas dan serasa di-putar2.

" Mampus kau! " teriak Godeksura seraya lemparkan tubuh anak muda itu.

Wut, tubuh Gogor bagaikan layang2 putus melayang diudara. Tubuhnya tampak lemas

lunglai tapi ketika jatuh dibumi ternyata kakinya yang tiba lebih dulu. Gerakannya itu tak ubah

seperti keadaan seekor kucing, Dan memang begitulah, Gogor gunakan ilmu meringankan tubuh

Condromowo. Adalah karena ia menderita sakit perut, maka ia tak dapat berdiri tegak melainkan

berjongkok. Sekalipun begitu ia belum dianggap kalah karena tidak jatuh tertelentang.

Baru ia berbangkit bangun dengan masih mendekap perut, Godeksura sudah memburu.

Begitu tiba ia lantas ayunkan tinjunya. Gogor tak menghindar lagi bahkan ia meramkan mata seperti

menahan sesuatu yang memuakkan dadanya. Bluk, huakkk . . . .Jilid II

S e n o p a t i.

" Kurang ajar! " teriak Godeksura seraya loncat mundur sambil meng-usap2 muka dan me
micing2kan mata.

Kiranya pukulan Godeksura tadi tepat mengenai perut lawan tapi bersamaan itu Gogor

menguak dan muntahkan isi perutnya. Hancuran makanan bercampur air yang berbau busuk itu

tepat menyemprot muka Godeksura. Walaupun pukulan itu telah menyebabkan Gogor ter-huyung2

beberapa langkah namun Godeksura tak dapat mengejar karena ia tak tahan bau muntahan busuk

yang menyiram muka dan rambutnya itu. Tak henti2 nya ia gebes2 (gentarkan kepala) dan

menyeringai. Bahkan karena masih saja bau busuk itu terasa dihidungnja ia lantas lari kesamping

gelanggang dan minta air pada seorang penjaga untuk membasuh mukanya. Sementara itu Gogor

masih tegak berdiri ditengah gelanggang. Dari dadanya yang berkembang kempis, nyatalah pemuda

itu sedang mengatur pernapasannya. Ber-angsur2 wajah-nya yang tadi pucat kini mulai merah.

Habis membasuh muka Godeksura maju menghampiri lawan lagi. Mengapa kau muntahi

mukaku? " tegurnya dengan geram. Gogor diam saja dan terus mengatur pernapasannya. Sampai

dua kali Godeksura mengulang teguran tanpa mendapat penyahutan, marahlah ia.

" Kurang ajar, terimalah ni! " serunya sembari ayunkan kakinya menendang perut sianak

muda. Bluk, auhh . . .

Gogor kena perutnya dan terpental beberapa langkah lagi tapi dalam pada itu Godeksura

pun menjerit kesakitan sembari mendekap ujung kakinya. Ternyata tendangannya itu tepat

mengenai sabuk Gogor. Sabuk itu terbuat daripada kulit binatang binyawak yang keras. Sedemikian

kerasnya sampai senjata tajampun tak dapat menabasnya, Kalau senjata tajam saja tak mempan

apalagi kaki yang terdiri dari daging belaka.

Huak, disana kembali Gogor muntah2. Tapi sehabis itu mukanya makin berseri segar dan

keringat mengucur. Ketika Godeksura menghampiri lagi, Gogor sudah membuka mata dan

bersenyum.

" Terima kasih, pak, atas hadiah tinju dan tendanganmu tadi. Kini aku merasa enak, "

katanya dengan girang.

Godeksura melongo tak tahu apa yang dimaksudkan anak muda itu. " Terima kasih? Jadi

tinjuku tadi dapat menyembuhkan sakitmu? Apa kau sakit? " tanyanya.

" Ya, tadi perutku sakit sekali dan tenagaku serasa lumpuh, " sahut Gogor. " Sekarang, mari

kita ber-main2 lagi. "

Godeksura memberi penyahutan dengan sebuah terjangan tapi ia menubruk angin karena

Gogor menyelinap hilang. Cepat Godeksura berputar tubuh dan loncat meninjunya.

" Aku disini, pak! " seru Gogor dari arah belakang.

" Keparat sambal pedas! " teriak Godeksura sembari menyerangnya lagi.

Tapi bagaimanapun ia menerjang, menubruk, menerkam dan meninju, namun selalu

mendapat angin kosong karena Gogor selalu menghilang. Akhirnya ia kesal hati dan berhenti

menyerang.

" Hayo kau balas menyerang, " serunya.

" Baik, hati2 lah! " teriak Gogor. Kini ia mulai menyerang dengan cara yang istimewa. Ia

meninju dari muka, begitu Godeksura menangkis, cepat ia loncat kekiri untuk mencakarnya. Begitu

Godeksura menghalaunya, Gogor sudah menyelinap kebelakang untuk menaboknya dan begituGodek-sura berputar kebelakang, Gogor sudah menyelinap kekanan untuk menjiwir telinga.
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian seterusnya, Gogor ber-putar-putar mengitari lawan. Gerakannya lincah dan gesit sekali

sehingga Godeksura bingung dibuatnya. Se-olah2 ia melihat ada beberapa Gogor yang

mengepungnya. Karena tahu bahwa lawan tak menyerangnya sungguh2 iapun tak mau menangkis.

Tapi mau tak mau ia harus turut berlincahan mengikuti gerakan lawan karena pernah sekali ia

lambat berputar, kepalanya kena ditabok anak muda itu. Akhirnya tidak lagi merupakan seperti

orang berkelahi tapi lebih banyak menyerupai seperti orang ber-lonjak2 menari.

Karena Godeksura bercabang bauk dan bersimbar dada maka sepintas pandang gayanya itu seperti

monyet menari. Penonton sama geli dibuatnya.

Beberapa saat kemudian tampak wajah Godeksura merah padam, dahinya bercucuran

keringat dan napasnya ter-engah2. Tahu ia kalau dipermainkan oleh lawan tapi apa daya. Ia harus

mengikuti gerak sianak muda kalau tak mau ditabok. Tiba2 ia mengeluarkan bentakannya Senggoro
macan dan berhasil membuat Gogor tertegun. Tapi hanya sejenak karena pada lain kejab anak muda

itu mulai 'menari' lagi. Sampai dua tiga kali Godeksura mengeluarkan bentakannya yang hebat itu

tapi yang terakhir habis membentak ia lantas mendumprah jatuh. Rupanya ia kehabisan napas dan

lemas tenaganya. Gogor tak mau menyerang melainkan memandangnya saja. Rupanya ia sendiri

juga mengatur pernapasannya. Godeksura habis diperas tenaganya melawan Singomejo, kemudian

harus me-lonjak2 sembari ber-putar2, sudah tentu 'bensinnya' habis.

Karena orang sudah jatuh terduduk ditanah dan sampai sekian saat tak bangun maka

demang Wicara mengumumkan bahwa Gogorlah yang menang. Penonton bersorak riuh rendah.

Benar2 suatu kemenangan yang indah dan lunak.

Partai terakhir diperebutkan antara Gogor lawan Singomejo. Singomejo tak mau menderita

kekalahan yang menggelikan seperti Godeksura.

" Anak muda, kalau kau sanggup menerima 3 buah seranganku, aku terima kalah, " katanya.

" Baik, silahkan, " sahut Gegor seraya pasang sikap.

" Pertama, aku akan memukulmu! " seru Singomed:o sembari bersiap.

Setelah Gogor menyatakan siap maka Singomejopun melontarkan sebuah pukulan dahsyat

kedada sianak muda. Blak, Gogor tersurut kebelakang sampai tiga empat langkah tapi ia tak kurang

suatu apa. Kiranya ia telah gunakan ilmu meringankan tubuh Condromowo yakni sebuah ilmu yang

di-dasarkan pada seni melemaskan tubuh dari kucing Condromowo. Pukulan yang bagaimana

kerasnyapun akan menjadi tak berarti apabila tiba pada daging yang sudah sedemikian kendor

hingga lenak seperti kapas.

"Bagus, anak muda, srkarang aku hendak mendorongmu! teriak Singomejo, Dengan

menggembor keras Singomejo mendorong se-kuat2nya. Tapi segara ia tersentak kaget demi

mendapatkan tubuh anak muda itu kokoh tegak bagai sebuah gunung, kakinya se-akan2 berakar

kebumi.

" Baik, masih kurang satu kali lagi. Bersiaplah, aku hendak meremas tanganmu, " kata

Singomejo seraya maju mendekati dan mencekal kedua lengan Gogor. Gogor cepat2 kerahkan

tenaga-dalam untuk mengencangkan urat2 lengannya.

Setelah sekian jenak me-remas2, tiba2 Singomejo lepaskan cengkeramannya dan berseru: "

Bagus, anak muda, aku menyerah. "

Ia telah gunakan ilmu remasan Supit-kala tapi tak mempan, paling2 hanya melecetkan kulit

tangan pemuda itu. Kedua lengan Gogor berobah keras seperti batu. Singomejo tak berhasil dan ia

menetapi janjinya.

Sorak sorai bergemuruh meng-elu2 sang juara sehingga ketika demang Wicara

mengumumkan nama Gogor sebagai pemenang sayembara, sampai tak kedengaran. Pertandingan

itu ditutup dengan talu bendr dan gamelan monggang (berbunyi riuh).Upacara penyerahan hadiah berupa seperangkat pakaian Senopati dan kuda putih dilakukan

oleh Ayu Wigati. Gogor ber-debar2 jantungnya ketika berhadapan dengan puteri jelita itu. Bukan

karena bangga akan hadiahnya melainkan kepada orang yang menyerahkannya. Tangannya gemetar

ketika menyambuti pakaian itu dan darahnya tersirap ketika beradu pandangan dengan sang puteri.

Ia ter-sipu2 tundukkan kepalanya se-olah2 takut memandang pancaran mata Ayu Wigati yang laksana

menembus selaput jantungnya. Raut muka Wigati yang ayu itu makin tampak gilang gemilang. Bau

harum yang menyiar dari tubuh dewi itu, membuat semangat Gogor me-layang2 kenirwana . .

" Kuda putih itu menjadi milikmu. Sebenarnya berat hatiku berpisah dengan kuda yang

kusayangi itu, tapi legalah juga perasaanku karena kuda itu jatuh ketanganmu. Kupercaya kau tentu

menyayangi dan merawatnya baik2, kata Wigati dengan nada suara yang halus merdu bagai seruling

nafiri. "

"Terima kasih, sang puteri. Akan kurawat kuda itu seperti diriku sendiri, " sahut Gogor

dengan nada getar. Gogor, senopati baru dari Wirosobo yang tak gentar menghadapi jago2 tangguh,

ternyata luluh seluruh baju-nadinya ketika berhadapan dengan sijelita Wigati.

Pun Wigati juga mempunyai kesan mendalam pada anak muda itu. Roman Gogor yang

cakap, tutur bahasanya yang sopan santun dan tingkah lakunya yang sederhana ke-malu2an itu,

makin menggores dikalbu Wigati.

Demikianlah upacara pemberian hadiah yang disaksikan oleh be-ribu2 mata itu, amat

mengesankan sekali. Lebih2 oleh kedua anak muda yang bersangkutan itu sendiri. Kesan pertemuan

mereka yang pertama itu, tak dapat mereka lupakan sepanjang hidup.

Sudah tentu dialalm dunia ini terdapat dua jenis imbangan. Siang dengan malam, baik

dengan buruk, hitam dengan putih. Kemenangan Gogor menjadi Senopati itu menimbulkan kontra

dan pro dikalangan penonton. Yang tak senang sudah tentu rombongan jago2 yang terpecundang

(kalah) tadi, misalnya anak buah Godeksura, rombongan Singomejo, Sodrono dll. Sedang dikalangan

tamu yang hadir dalam bangsal kehormatan itu juga terdapat dua golongan, yakni golongan patih

Donorejo yang menyambut girang kemenangan anak muda itu dan golongan demang Toyareka yang

tiak menyukai. Sedang dikalangan rakyat yang menonton pada umumnya menyambut baik

pengangkatan Gogor menjadi senopati.

Diantara orang yang tak menyukai kemenangan Gogor, adalah Sukra yang paling hebat

sendiri. Putera demang Toyareka itu merasa gusar, benci, gemas dan dengki sekali kepada Gogor.

Tapi sebagai seorang yang licin, Sukra dapat menindas perasaannya. la tetap tak putus asa mencari

akal untuk mencelakai Gogor, walaupun rencananya yang tadi gagal. Ia anggap Gogor adalah 'duri

dalam daging' yang harus dilenyapkan.

Mengapa tadi ketika melawan Godeksura tiba2 Gogor sakit perutnya dan menjadi lemas

lunglai? Kiranya hanya Sukra yang mengetahui rahasia itu. Memang pandai sekali merancang tipu.

Dalam perjamuan kemarin malam, sebelumnya ia telah membisikkan kepada pelayan yang

mengurus minuman tuak agar memberi tuak yang paling keras kepada Gogor. Pelayan itu heran tapi

ia mau juga melakukan perintah itu karena Sukra menyisipkan serenceng uang kedalam sakunya.

Jogelo mengajukan usul mendenda minum kepada siapa yang tak mau menari, Larasari

melemparkan sampur kepada Gogor, kesemuanya itu adalah atas petunjuk yang direncanakan

Sukra. Untuk itu Sukra tak menghiraukan jumlah uang. Pandangannya yang tajam dapat menduga

lebih dulu bahwa Gogor yang bersikap ke-malu2an itu tentu tak mau menari dan tentu didenda

minum. Ternyata perhitungannia itu tak meleset. Karena minum tuak keras Gogor menjadi mabuk.

Waktu bubaran Sukra sengaja mengantar sendiri pemuda itu kekamar penginapannya. Setelah

membaringkan Gogor ke-balai2, Sukra lalu mengambil gelas yang diisinya dengan air dan .. racun.

Racun itu diperolehnya dari Godeksura.

Guru Godeksura adalah Teluhbraja yang tingggal di Rawa Upas. Dinamakan Rawa Upas

karena didalam rawa itu banyak terdapat ber-macam2 ular dan kelabang berbisa. Binatang2 berbisaitu memang dipelihara kyai Teluhbraja. Upas atau bisa ular dan kelabang itu dipergunakan kyai

Teluhbraja untuk ramuan obat racun. Dengan obat racun itulah tangan dan kaki Godeksura

direndam supaya mati-rasa sehingga tak merasa sakit kalau dibuat menghantam benda keras atau

menangkis serangan senjata tajam. Kala racun itu diminum, dalam waktu enam tujuh jam, pertama
tma orang akan merasa sakit perutnya dan lemas tenaganya, setelah itu putuslah urat-urat nadinya.

Jika tak binasa, orang tentu menjadi invalid (cacad) tak punya tenaga seumur hidup.

Sukra telah memberikan racun itu kepada Gogor. Waktu keluar dari kamar Gogor, Sukra

kepergok patih Donorejo. Untung dengan tangkasnya ia dapat memberi alasan yang dapat diterima

sehingga patih itu tak menaruh syak wasangka.

Pagi- pagi sebelum pertandingan hari kedua dimulai, Sukra lebih dulu mencari pelayan yang

mengurus bangsal penginapan. Girang sekali ia ketika mendapat keterangan bahwa gelas yang

ditaruh dimeja kamar Gegor itu sudah habis isinya. Ya, memang ketika bangun ,Gogor merasa haus

dan meneguk habis gelas air itu. Lebih girang lagi ia ketika meIihat dalam pertempuran dengan

Godeksura, Gogor tiba2 mendekap perut dan wajahnya menampil kesakitan. la yakin orang tentu

takkan menaruh kecurigaan apa2 atas kekalahan Gogor dan mengira kalau pemuda itu tentu remuk

dibanting Godeksura. Tapi ia masih tak enak hati. Ia melirik kearah bangsal agung dan astaga . . .

patih Donorejo tampak mengeliarkan pandangannya seperti mencari seseorang. Ia tahu patih itu

tentu hendak mencarinya, maka buru2 ia menyusup kedalam rombongan penonton.

Tetapi alangkah kecewanya ketika Godeksura menghantam perut Gogor dan pemuda itu

muntah2. Hantaman Godeksura itu se-akan2 membantu Gogor untuk muntahkan isi perutnya yang

mengandung racun itu. Diam-diam Sukra menyumpahi Godeksura. Dan akhirnya Sukra menggigit jari

karena jago yang diandalkan itu terpaksa harus bertekuk lutut ka-rena dipermainkan Gogor.

Namun Sukra bukan Sukra kalau kegagalan pertama itu menyebabkan ia mundur. la terus

berusaha untuk mencelakai Gogor.Pendek kata dengan jalan apapun, ia harus dapat merebut Ayu

Wigati, jangan sampai Ratu-kembang Wirosobo itu jatuh pada Gogor. Dan tipu muslihat Sukra

memang lihay sehingga menjadikan kisah cerita ini menarik dan menggairahkan sekali . . .

x x x x x x x

Sehabis penyerahan hadiah maka demang Wicara mengadakan pendaftaran bagi mereka

yang ingin masuk menjadi tamtama. Sebenarnya pendaftaran itu dititik-beratkan pada jago2 yang

ikut dalam sayembara tadi. Tapi ternyata sebagian besar mereka sudah pergi. Godeksura dengan

anak buahnya, Singomejo dan rombongan, Sodrono serta pengikut, lurah Dongkol, Gunalewa dll,

siang2 sudah menyingkir waktu diadakan penyerahan hadiah tadi. Hanya beberapa saja yang masih

tinggal dan mendaftarkan diri a.l Kodrat, Dadang, Johar, Bawuk dan Kasan serta ber-puluh2 pemuda.

Banu sang pertapapun tak kelihatan batang hidungnya. Pemuda2 itu suka masuk menjadi tamtama

karena senang mendapat Senopati muda yang gagah perkasa.

Tiba2 Jogelo muncul. " Mas demang, akupun mau masuk, " katanya kepada demang Wicara.

" Lho, kemana rombonganmu tadi? Mengapa hanya kau, sendiri yang datang? " tanya

Wicara. Jogelo menyatakan kalau Godeksura dan anak buahnya sudah sama pulang.

" Aku ingin mongabdikan diri pada kabupaten Wirosobo dan terutama karena aku cinta pada

mas Gogor, " sahut Jogelo seraya menghampiri Gogor: " Mas Gogor, kau benar2 gagah perkasa, aku

kagum. Pimpinlah aku, kalau aku salah makilah. Tapi kalau kau sendiri salah, jangan marah kalau

kucela! "

Gogor tersenyum " Jangan keliwat menjunjung diriku. Mana aku pantas memimpin orang

yang lebih tua? Kita hanya sama2 mengabdi pada negara dan rakyat Wirosobo. "

Demikianlah sebuah pasukan baru telah dibentuk. Dengan tekun dan disiplin cermat, Gogor

melatih pasukannya,itu cara2 berbaris dan berperang. Walaupun pemimpinnya jauh lebih muda, tapi

anak buah pasukan itu taat dan senang dibawah pimpinan Gogor. Gogor dapat menyesuaikan diridan menempatkan segala persoalan pada tempatnya. Dalam disiplin, ia keras. Tapi sebagai

pemimpin pasukan ia bijaksana dan memperhatikan kepcntingan anakbuahnya. Dan sebagai kawan,

ia tak mau menyombongkan kedudukannya melainkan ramah tamah.

Adipati menamakan pasukan itu Cokromurti. Ia girang dengan kemajuan pasukan

bayangkara kabupaten itu. Kepercayaan terhadap Gogor makin besar. Gogor diberi tugas lagi untuk

menjaga keselamatan gedung kabupaten.

XXXXXXX

Sebagaimana tiap malam, malam itupun Gogor membagi anakbuahnya untuk meronda

gedung kabupaten. Diantara mereka yang mendapat giliran jaga, terdapat juga Jogelo. Jogelo

menjaga dipos pintu-belakang taman-sari (taman kebupaten).

Malam itu terang bulan. Rembulan bersinar gilang gemilang. Sejak dahulu kala dewi

Rembulan itu selalu menjadi lambang kebesaran malam. Ia menjadi saksi dari ratusan ribu pasangan

yang dirundung duka, ratusan ribu dari yang tartawa riang dihimbau paduan janji. Gelak tertawa

para joli remaja, isak tangis hati yang dipukau mulut culas sang kekasih, selalu dicurahkan kepada

sang Dewi Malam. Karena kebesaran jiwa dan kesucian peribadinya itulah maka sang Rembulan

selalu menjadi sumber ilham para pujangga dan penyair. Dari jaman kejaman ber-butir2 permata

kata, bertetesan dari tarian kalam para pujangga untuk menyanjung puja dan mengabadikan

kesucian sang Dewi itu.

Lamat2 terdengar suara percakapan orang didalam taman.

" Malam apakah ini, yung?" kedengaran suara yang bernada halus,

" Malam Jumat, gusti, " sahut sebuah suara agak parau.

Dari nadanya terang mereka itu tentu kaum wanita. Ya, memang itulah Ayu Wigati dengan

biyungnya (inang pengasuh) yang bernama Cepluk. Malam purnama yang seterang itu menyebabkan

Wigati tak dapat tidur. Ia ajak Cepluk cari angin ditaman. Mereka duduk dibawah pohon kenanga,

" Yung, apakah yang paling tepat kalau orang duduk menikmati rembulan itu? " tanya

Wigati.

" Minum dan makan kemikan (kuwih) sambil mendengarkan orang menyanyi atau bercerita,

" sahaut Cepluk.

" Benar, dapatkah kau menyanyi? "

" Dapat tapi suara hamba seperti kendang pecah, jangan2 gusti nanti bising mendengarnya."

" Cerita sajalah, yung. "

Dayang itu mengiakan. Ia menceritakan tentang dongeng Timun Emas. Pada waktu

menceritakan Timun Emas dikelar Buto Ijo, tiba2 dayang itu menjerit se-kuat2nya ? tolongngng ' dan

loncat bangun. Wigati turut terkejut dan menanyakan sebabnya. Tiba2 terdengar bunji cit, cit, cit .

" Minta ampun Gusti Allah! Tadi kaki hamba serasa dicium benda dingin dan tahu2 jempol

kaki hamba digigit. Kurang ajar' tikus keparat! " seru Cepluk.

"Ha, Ha, ha, ha, huk, huk, huk .. . .

"Lho, siapa yang tertawa itu? Anjing atau orang? " tanya Wigati.

Cepluk segera berseru: " Hai, orang atau anjing yang bersuara tadi? "

" Anjing! " seru sebuah penyahutan dari luar pintu.

" Kiranya anjing, gusti, " Cepluk melapor pada junjungannya.

" Jadi binatang dapat bicara menyebut dirinya? tanya Wigati dengan geli.

Cepluk gelagapan dan tersadar akan ketololannya. Buru2 ia menghampiri pintu dan berseru:
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, siapa kau, anjing atau manusia? "

Tapi sampai dua kali dayang itu mengulangi seruannya tetap tak dijawab. Segera ia balik

melapor pada Wigati:

" Memang anjing, gusti. Kalau orang tentu menyahut. "Wigati tertawa, Ceplukpun ikut tertawa juga. Hanya orang yang berada diluar pintu taman,

yang ternyata Jogelo meringis seperti monyet kepedasan. Tadi ia geli mendengar Cepluk menjerit

kaget digigit tikus. Tapi serta takut ketahuan puteri Adipati, buru2 ia katupkan mulutnya. Karena

tertawa dengan mulut tertutup, nadanya seperti anjing menggonggong,

"Kurangajar, kau Cepluk. Masakan orang dimaki anjing, " diam2 Jogelo memaki dayang itu.

Cepluk melanjutkan ceritanya sampai habis dan Wigati memujinya. la minta inang

pengasuhnya itu bercerita lain lagi tapi Cepluk mengusulkan supaya ganti acara ber-teka-teki saja.

Wigatipun setuju dan minta sang dayang mengajukan teka teki lebih dulu.

Ceplukpun mengajukan teka tekinya: " Kalau pagi kakinya empat, siang kakinya dua dan

malam kakinya tiga.

" Apa itu Pluk, masakan ada machluk seganjil itu? Wigati menyatakan keheranannya setelah

berpikir dengan sia2. Akhirnya ia menyatakan tak dapat.

" Anu gusti, manusia. Kalau pagi kakinya empat artinya diwaktu bayi orang tentu merangkak

dengan kedua tangan dan kaki. Siang kakinya dua artinya, orang yang sudah dewasa tentu berjalan

dengan dua kaki. Sedang kalau malam kakinya tiga artinya, kalau sudah tua orang tentu berjalan

dengan tongkat, " Cepluk menerangkan.

" Benar, yung, sekarang akulah yang mengajukan teka teki : hidup tapi mati, mati tapi hidup,

apa itu?"

Kini giliran Cepluk yang putar otak. Tapi sampai sekian ia hanya garuk2 kepala dan akhirnya

berseru: " pohon, dia mati kerena tak bernyawa tapi bisa tumbuh besar. "

" Salah! "

" Habis apa, ya . ."

" Kuku, tolol , . . ! " tiba2 dari luar pintu terdengar suara penyahutan.

Cepluk tersentak kaget, pun Wigati juga terkesiap. Ia suruh Cepluk memanggil orang yang

lancang mulut itu. berapa lama kemudian Cepluk kembali dengan diiring oleh seorang tamtama

gemuk.

" Oh, kiranya kau Jogelo? " tegur Wigati.

Jogelo ter-sipu2 menghaturkan maaf atas kelancanngannya tadi. Ia berbuat begitu karena

hendak membalas dendam pada Cepluk yang memakinya tadi. Wigati tersenyum geli melihat

tingkah laku Jogelo. Ia tak marah bahkan menyuruh Jogelo duduk. " Jogelo, kabarnya kau pandai

menyanyi, suaramupun merdu. Nah, cobalah sekarang kau menyanyi. "

Dihadapan putri Adipati, Jogelo tak berani membanntah. Dasar ia memang gemar menyanyi

maka inilah suatu kesempatan untuk membanggakan suaranya. Maka iapun mulai tarik suara dalam

lagu Kinanti:

Salinan bebas.

1. Mider ing rat angelangut, Berkeliling seIuruh dunia,

lelana anjajah negari, berkelana menjelajah negri,

mubeng tepining samodra, menyusur pantai samudera,

sumengka agraning wukir, melintasi puncak gunung

analasak wana wasa menyusup hutan belukar

tumurun ing lurang trebis. Menuruni jurang curam.

2. Sajekti kalamun suwung, Ternyata hampa belaka,

tangeh miriba kangwarni, tak mungkin menyamai,

lan sira pupulaningwang, dikau, o, pulaanku,manawa dasaring bumi, baik didasar bumi,

miwah luhuring akasa , atau diangkasa raja

tuwin lroning jalaniddi maupun dalam nirwana

" Aduh, mas Jogelo, hatiku serasa disendal2- (ditarik)- mendengar suaramu yang merdu itu, "

tiba2 Cepluk berseru. Plak . . ." Kurangajar, nyamuk ini berani menggigit pipiku, " katanya pula seraya

menampar pipinja sendiri.

3. Iku sapa kang weruh, Siapa gerangan yang tahu,

nanging kiraning tyas mami, namun kiranya bagiku.

sanadyan ing tri bawana, walaupun ditiga benua,

Ana-a kang mada hauppp . . . huk, huk. Ada yang sama . . .

Waktu Jogelo mulai menyanyi 'ana-a . . . ' itu, hidung Cepluk menjyeringai karena dicium

nyamuk. Buru2 ia menampar dengan tangan tapi nyamuk itu menerobos masuk kedalam lubang

hidungnya, heh, heh, hajing .... Cepluk berangkis dan mulutnya yang tengah mengulum susur

(tembakau) itu turut menyemprot. Susur meluncur keluar dari mulutnya melayang seperti roket dan

tepat sekali nyasar kedalam mulut Jogelo yang tengah terbuka, haupppp . . . huk, huk . . . .

Tenggorokannya tersumbat dan mati2an ia memuntahkannya.

Wigati tertawa geli pun Cepluk yang bermula melongo turut juga ketawa ter- pingkal2.

"Ha, ha, " tiba2 dari balik rumpun pohon terdengar suara orang itu. Wigati terkesiap dan

Ceplukpun lantas menyapa orang itu. " Aku, Cepluk, " sahut sebuah suara dan bersamaan dengan

dengan itu muncullah seorang kepala tamtama muda yang cakap. " Maaf, sang puteri, aku telah

lancang masuk kemari. "

Ternyata orang itu adalah Gogor. Ia kelilirg untuk menilik para penjaga yang bertugas. Dipos

pintu belakang taman, ternyata tiada penjaganya, sedang pintu taman terbuka. Ia terkejut dan

mengira jangan2 ada penjahat. Buru2 ia masuk kedalam taman. Dari cela2 pohon dilihatnya Ayu

Wigati tengah duduk dihadap oleh dayang dan . . . Jogelo, Gogor tak mau membuat Ayu Wigati kaget

maka ia hanya bersembunyi dibalik pohon. Tapi biar bagaimana, akhirnya tak dapat ia menahan:

gelinya ketika melihat Jogelo blekikan (ketulangan) susur.

Akhirnya dapat juga Jogelo muntahkan susur itu, tapi karena tak tahan akan baunya, ia

muntah2. "

Itulah upahnya orang yang meninggalkan tugas! seru Gogor," Dia tak bersalah karena akulah yang memanggilnya " buru2 Wigati menerangkan.

Jogelo mengusap2 mukanya yang mandi keringat. ia menjemput susur terus hendak

dilernparkan pada Cepluk. " Ni, terimlah kembali . . "

"Jangan kurang adat, Jogelo!" Gngor membentaknya dan ajak Jogelo berlalu tapi Wigati

minta agar Gogor duduk.

" Pandaikah kau menyanyi, Gogor?'" tanya Wigati.

" Tidak, sang ayu. Suaraku parau seperti burung gagak, " sahut Gogor.

" Tak apalah, coba kau nyanyi sedikit saja, " Wigati mendesak. Kalau lain orang tentu sudah

ditolak mentah2, Tapi karena Wigati yang meminta, iapun menurutnya juga. Setelah merenung

sejenak ia menyatakan hendak menyambung nyanyian Jogelo tadi.

Iku ta sapa kang weruh, Siapa gerangan yang tahu,

nanging kiraning tyas mami, namun kiranya bagiku,

sanadyan ing tri bawana, walaupun dalam tiga benua,

ana-a kang mada warni, ada yang sama rupanya,

maksih sumeh semu sira, masih dikaulah yang lebih,

lurus larase respati. cantik mengikat hati." Sudah, sang ayu, hamba tak dapat menyanyi, " kata Gogor.

" Suaramu merdu sekali, " Wigati memuji. Cepluk dan Jogelopun juga ikut memuji. Memang

selain digembleng dengan ilmu kesaktian, pun Gogor mendapat pelajaran sastra dari gurunya.

" Akang, kau gagah dan pandai. Siapakah gurumu dan dari manakah asalmu? " Wigati

menanyai diri senopati muda itu.

" Hamba berasal dari lereng gunung Dieng, guru hamba adalah kyai Tungguljati digunung

Kendil. Tentang riwayat hamba, amat panjang sekali, sang ayu, " sahut Gogor.

Wigati minta supaya dituturkan. Pun Jogelo ikut2 an mendesak supaya Gogor

membentangkan riwajat. Entah bagaimana Gogor sendiri merasa heran, apa yang diperintahkan

Wigati, ia benar-benar tak kuasa membantahnya. Maka berceritalah ia.

. . . . . . . .

Diantara jalan yang merentang hutan belantara di-lereng gunung Dieng, tampak seorang tua

sedang berjaian, Tubuh orang tua itu masih tampak segar, langkahnyapun gesit. Ia mengenakan

pakaian serba putih dan kepala warna wulung (lembayung).

Ia adalah kyai Tungguljati dari puncak Kendil dibagian selatan pegunungan Dieng, Menurut

kepercayaan rakyat setempat, gunung Kendil itu adalah tempat bersemayan sang Hyang Ismaya

(Semar) yang bertugas menjaga keselamatan tanah Jawa.

Pada saat itu kyai Tungguljati baru pulang dari men-cari daun2 yang dipergunakan untuk

ramuan obat. Memang selain seorang yang berilmu, pun Tungguljati seorang achli obat2an, tak

sedikit rakyat yang telah mendapat pertolongannya.

Se-konyong2 Tungguljatidikejutkan dengan suara tangis bayi yang dibawa angin. Ia heran

mengapa ditengah hutan belantara ada bayi menangis. Segera ia menyusup kearah datangnya suara

itu. Dan betapalah kagetnya demi ia ,melihat seekor harimau gembong, tengah menjinjing sebuah

buntalan kain dengan giginya. Tangis bayi itu terang berasal dari dalam buntalan kain.

Tungguljati bertindak cepat menerobos maju. Melihat ada manusia datang, harimau itu

melarikan diri. Tungguljati mengejarnya, bagaikan seekor kera, ia berlincahan menerobos rumpun

pohon dan semak berduri yang menghadang jalannya. Akhirnya ia menjunput sebuah batu kerikil

dan dilontarkan. Lontarannya itu tepat mengenai kepala siraja hutan dan karena kesakitan binatang

itu lepaskan buntalan yang digigit dan mengaum keras. Binatang itu berputar kebelakang, kyai

Tungguljatipun bersiap dengan menghunus cundriknya (belati).

Digunung Dieng terdapat banyak peninggalan jaman purbakala berupa candi2, a.l candi

Janoko, candi Werkudoro, candi Semar, candi Gatotkaca dll. Pada suatu malam Turgguljati bermimpi

berjumpa dengan seorang puteri cantik. Puteri itu minta supaya Tungguljatimerawat barangnya

yang terpendam dibawah puri candi Sembodro. Keesokan harinya Tungguljati pergi kecandi

Sembodro dan menggali dibawah puri (pintunya). Disitu ia mendapat sebilah cundrik. Sejak iiu

cundrik dirawatnya baik2.

Diantar oleh auman dahsyat, harimau gembong loncat menubruk, tapi dengan tangkasnya

Tungguljati menghindar. Harimaupun secepat kilat sudah menerkamnya pula, pun Tungguljati lagi2

loncat menghindar. Dua kali serangannya gagal menyebabkan harimau itu berhenti sejenak. Kini ia,

berjalan mengitari lawan. Tungguljati tahu perangai harimau yalah tak mau menyerang dari muka

melainkan suka menerkam daribelakang, maka iapun mengisar tubuhnya selalu menghadapi

binatang itu. Tahu kalau orang mengerti siasatnya, harimau itupun berhenti dan mulai ber-ingsut2

siap menerjang. Tungguljati mengisar kemuka sebatang pohon. Pada waktu harimau loncat

mengganasnya, ia menyelinap ke-samping. Luput menerjang orang, harimau itu menerkam batang

pohon. Rupanya binatang itu marah sekali, sekaligus ia ingin menerkam mangsanya untuk di-robek2.Karena me-nerjarg se-kuat2nya, kuku binatang itu sampai masuk kebatang pohon. Kesempatan itu

digunakan se- baik2nya oleh Tungguljatiuntuk menikamnya dengan cundrik. Seketika matilah

binatang itu tertusuk cundrik pusaka.

Waktu memeriksa buntalan kain, ternyata disitu terdapat seorang bayi laki yang sehat,

sebuah kancing emas dan secarik. kertas yang berbunyi: Tetesan darah Brata. Melihat wajah

Tungguljati, bayi itu berhenti menangis dan tertawa.

" Duh Dewata, siapakah gerangan orang tua bayi ini? Mengapa tega benar mereka

meninggalkan bayi yang semungil ini? " kata Tungguljati seorang diri. Akhirnya ia mengambil putusan

untuk membawa pulang bayi itu.

Sebenarnya repot dan canggung sekali seorang lelaki merawat bayi, .

Tapi dengan ketekunan dan kesabarannya dapat jugalah Tungguljati membesarkannya. Anak itu

diberi nama Gogor yang berarti anak harimau, Tungguljati tak tahu siapa nama bayi itu dan siapa

orang tuanya. Nama Gogor itu adalah sebagai kwnang2 an ia mendapatkan anak dari seekor

harimau.

Sejak berumur 6 tahun, mulailah Tungguljatimelatih Gogor, anak murid yang sekaligus juga

putera angkatnya. Ia menghendaki kelak Gogor akan menjadi pemuda yang gagah perkasa. Tiap pagi

Gogor mengambil air disumber yang terdapat dibawah gunung. Kelenting atau tempajan air yang

dibuat mengambil air itu, makin lama makin ditambah besar. Sesuaai dengan bertambahnya umur,

pun dari sebuah kelenting kemudian ditambah menjadi dua buah. Sampai pada umur 10-an tahun,

Gogor dapat membawa kelenting itu mendaki kepuncak gunung dengan berlari. Kecuali itu apun

disuruh ayahnya menebang pohon, membelah kayu.

" Gor, coba kau petikkan daun legundi yang tumbuh itepi aliran sumber itu, " demikian pada

suatu hari Tungguljati menyuruh puteranya. Ia minta supaya Gogor kembali dengan lekas.

Hanya kurang lebih seperempat jam lamanya, Gogorpun sudah kembali dengan membawa

daun obat itu. Ia berlari se-kencang2 nya. Ia heran sendiri, mengapa dengan tak membawa dua buah

kelenting, ia dapat lari seperti terbang. Memang itulah yang dikehendaki Tungguljatimengapa tiap

pagi ia suruh Gogor berlari-lari mendaki gunung dengan tembawa dua buah kelenting besar.

Hasilnya, kini Gogor dapat lari secepat angin. Pun dari latihannya menebang pohon dan membelah

kayu itu, tenaga Gogor menjadi kuat.

Setelah itu Gogor diberi pelajaran mengatur pernapasan. Tiap pagi dan malam, ia duduk

bersila bersemedhi dan mengatur pernapasannya. Bermula agak sukar, tapi lama kelamaan ia

merasa badannya lebih segar dan pikirannya terang. Setelah itu disuruhnya belajar memusatkan

napas untuk menyalurkan tenaga-dalam kebagian tubuhnya mana saja yang dikehendaki.

Sesudah latihan dasar itu selesai, barulah Tungguljati, mulai mengajarnya ilmu kesaktian

misalnya ilmu pencak, ilmu bermain golok angin-lesus yakni ilmugolok ciptaan TungguIjati sendiri

yang didasarkan atas gaya berputarnya angin lesus (puyuh). Gogor yang berotak terang lekas dapat

menerima semua pelajaran itu. Pada suatu hari ketika mencari dihutan ia menyaksikan seekor kera

putih tengah ber-tempur dengan ular. Ia ketarik dengan gaya gerakan sikera dan memperhatikan

betul-betul. Pulangnya ia menirukan gerak-gerik binatang itu dan merangkainya menjadi sebuah

ilmu berkelahi, kemudian meminta petunjuk dari ayahnya.

Tungguljati girang bahwa puteranya mempunyai daya yang bagus. Setelah ditambah dan

disempurnakan jadilah gerakan itu sebuah ilmu berkelahi yang hebat. Kerena sumbernya dari kera

putih maka ilmu itu dinamakan ilmu keraputih. Dengan pengalaman itu Gogor makin bersemangat.

Setiap kali berjumpa dengan binatang berkelahi tentu diperhatikan dan dicatatnya dalam hati. Dari

situlah maka ia memperoleh pelajaran2 tentang cara harimau menerkam, tupai melompat, kucing

melayang dsb.

Selain ilmu kesaktian jasmaniah, pun Tungguljati menggembleng jiwa puteranya dengan
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelajaran2 sastera tembang, cerita dan pitutur-pitutur yang berisi falsafat keluhuran budi dan sifat-sifat ksatrya utama. Tungguljati beranggapan bahwa ilmu itu harus diamalkan untuk kepentingan

rakyat dan sesama manusia. Pengamalnya harus benar-nar berjiwa luhur utama. Kesaktian yang

dimiliki oleh orang berbudi rendah tentu akan menjadi malapetaka bagi manusia. Senjata ditangan

orang2 yang tak bertanggung jawab pasti menjadi alat pembunuh yang ganas.

Demikianlah Gogor dibesarkan dan berangkat dewasa dalam asuhan seorang pertapa
ksatrya yang sakti dan luhur budi. Pada suatu hari kyai Tungguljati memanggil putranya. Gogor

disuruhnya ke Pening untuk mencari daun pegangga-ular yang berbunga merah. Khasiat daun itu

dapat menyembuhkan segala macam luka; demam dan penolak racun.

" Tapi hati-hatilah, puteraku. Pegangga-ular itu kebanyakan tentu berbunga putih, yang

berbunga merah jarang terdapat, termasuk tanaman yang mempunyai khasiat luar biasa. Biasanya

setiap tumbuh-tumbuhan yang luar biasa tentu ada penunggunya, entah ular berbisa entah bangsa

sato hewan buas, " kata Tungguljati.

Gogor berangkat dengan restu ayahnya. Ujian pertama didapatinya ketika dikaki bukit

Merbabu ia dihadandang oleh segerombolan penyamun. Bermula kawanan penyamun itu mengira

kalau mendapat 'seekor domba'' tapi alangkah terkejut mereka bahwa domba itu ternyata seekor

banteng muda. Kawanan penyamun itu dihajar pontang panting oleh Gogor.

Ketika tiba di Rawa Pening, Gogor menjadi heran. Didapatinya desa disitu sunyi senyap,

rumah2 sama tutup suasana se-olah2 diliputi oleh kegelisahan. Mereka berkumpuldirumah kepala

desa. Rupanya dirumah kepala desa itu sedang mengadakan hajat perkawinan. Tapi anehnya tidak

tampak wajah senyum dari orang2 yang bertandang disana jauh bedanya dengan suana perkawinan

yang biasanya beriang gembira.

" Pak, mengapa rumah penduduk disini sama tutup pintunya? " tanyanya kepada seorang

pak tua.

" Nak, rupanya kau orang dari lain tempat. Nanti malam kepala desa kami akan

mengawinkan anak perempuannya. Sekarang semua penduduk sama bertandang kesana, "sahut pak

tua itu.

" Tapi mengapa mereka bermuram durja dan gelisah? " tanya Gogor pula.

" Kau tak tahu, nak. Kepala desa menikahkan puterinya itu dengan perasaan sedih. "

"Mengapa pak? "

Pak tua itu menuturkan bahwa beberapa hari yang lalu desa itu kedatangan kawanan

penyamun dari gunung Jabalaikat. Kepala desa mengerahkan rakyatnya untuk melawan, tapi sia2.

Melihat anak perempuan kepala desa berparas cantik, terpikatlah hati sikepala penyamun. Ia minta

kepala desa menyerahkan anak perempuannya untuk dijadikan isteri atau seisi rumah kepala desa

dan seisi desa ini akan dihabiskan. Kepala desa terpaksa meluluskan. Nanti malam kepala penyamun

akan mengirim anak buahnya untuk menjemput mempelai perempuan.

" Pak, maukah kau membawa aku, menghadap kepala ladesa? " kata Gogor. Pak tua itu

heran tapi demi ditinjaunya Gogor itu seorang pemuda baik2, mau juga ia mengantarkannya.

Kepala desa menyambut kedatangan Gogor dengan dingin. Tapi segera ia terbelalak kaget

demi mendengar maksud Gogor hendak membantu kesulitan tuan rumah. Gogor menyatakan ia

akan menyaru menjadi mempelai perempuan untuk menggantikan puteri kepala desa.

" Jangan anak muda, kalau sampai gagal bukan saja jiwamu hilang pun jiwa seluruh

penduduk desa ini pasti binasa, " kata kepala desa.

Gogor tahu bahwa tuan rumah menyangsikan dirinya. Ia segera mengajaknya keluar

kehalaman. Ia minta disediakan seutas tali dan lima orang yang kuat. Setelah tersedia, ia segera ajak

kelima orang adu kekuatan menarik tali. Kelima orang kuat itu tak mampu menarik Gogor sebaliknya

malah kena ditarik.

" Sekarang kalian berlima boleh menyerang aku dengan senjata, " kata Gogor.

Kelima orang itupun segera bersiap dengan senjata pedang, golok, tombak, pentung dankapak.

" Hayo, majulah semua! " seru Gogor.

Kelima orang itupun segera menyerang Gogor dari lima jurusan. Tiba2 Gogor loncat keatas

melampaui kepala mereka dan melayang turun dibelakang. Secepat kilat ia sapukan kaki dan

terjerembablah orang yang berada dimukanya. Orang yang bersenjata golok berputar diri

menghantam tapi dengan gerak yang sebat sekali Gogor menghindar dan mencengkeram tangan

orang diputarnya. Bersamaan pada saat itu pedang dan tombak menyerangnya. Untuk itu Gogor

berkelit dan loncat menginjak tombak. Wut, kapak membacok dari belakang, Gogor menangkisnya

dengan golok rampasannya. Orang itu menjerit kesakitan dan kapaknya terlempar keudara. Dalam

waktu yang singkat saja Gogo dapat mengatasi kelima penyerangnya.

"Bagus, anak muda, bantuanmu kuterima, " akhirnya kepala desa menyatakan.

Demikianlah Gogor dibawa masuk untuk menjadi mempelai perempuan, rambutnya ditutupi

dengan kain kerudung. Dalam dandanan sebagai seorang gadis, Gogor tampak cantik juga..

Malamnya datang rombongan utusan kepala penyamun untuk menjemput mempelai perempuan.

Mereka membawa tandu untuk mengangkut. Kepala desa rakyat disitu sama berdoa agar Gogor

dapat kembali dengan selamat.

Didalam sarang penyamun diadakan pesta menyambut nempelai. Prakoso sikepala

penyamun berdandan bagus. Ia duduk bersanding dengan mempelai perempuan dihadiri oleh

seluruh anak buahnya. Malam pesta itu beracara bebas, makan minum bersuka ria. Beberapa anak

buah me-muji2 kecantikan mempelai perempuan. Hanya saja mereka merasa heran mengapa pada

malam hari mempelai perempuan mengenakan kerudung kepala. Mereka minta supaya mempelai

perempuan membuka kerudung kepalanya agar para anakbuah mengenainya lebih jelas.

" Ya, Sumi, bukalah kerudung kepalamu. Jangan malu-malu, kita semua keluarga sendiri, "

kata Prakoso kepada bakal isterinya. Namun Gogor hanya menggeleng,Prakoso heran sendiri. Ia ulangi permintaannya tapi tak diturut. Akhirnya ia hendak

membuka sendiri kerudung kepala itu pun mempelai perempuan beringsut menyingkir. Keheranan

Prakoso makin bertambah besar. Ia curiga jangan2 mempelai perempuan itu mempunyai cacad atau

bagaimana. Ia maju dan dengan cepat menyambar kain kerudung itu dan . . . . berbareng dengan

teriakan kaget dari semua anak buah penyamun yang menyaksikan bahwa mempelai perempuan

ternyata seorang wanita berambut terondol (pendek), tahu2 Prakoso sudah dibekuk lengannya terus

diputar kebelakang punggungnya. Kepala penyamun itu menjerit kesakitan.

" Dengarlah, hai, sekalian anakbuah penyamun! Jika kukehendaki, pemimpinmu ini tentu

sudah amblas jiwanya. Tapi aku masih suka memberinya kesempatan. Sekarang hanya kupatahkan

kedua lengannya saja. Jika ingin sembuh dia harus pergi kepertapaan Tungguljati digunung Kendil

untuk meminta obat, tapi dengan syarat harus, bertobat tidak jadi penyamun lagi. Kamu sekalianpun

harus bubarkan diri kembali kejalan yang benar. Tapi siapa yang tak terima boleh maju, " kata Gogor.

Tiba2 dua sosok tubuh loncat menerjang dari kanan kiri. Yang dari kanan membacok dengan

golok yang dari kiri menghantam dengan tinju.

" Bagus, kau ingin mencoba! " seru Gogor sembari ayunkan kakinya menendang. Aduh . . .

aduh mati aku .. .demikian terdengar dua macam jeritan. Yang satu berasal dari penyerang golok

yang karena tangannya sakit senjatanya sampai terpental jatuh. Sedang yang satu berasal dari mulut

Prakoso karena dikemplang tinju anakbuahnya sendiri. Ternyata sambil menendang, Gogor menarik

Prakoso untuk disongsongkan pada orang yang menyerang dari sebelah kiri. Akibatnya Prakosomenjadi pusing tujuh keliling, mulutnya mendamprat habis2 an pada anakbuahnya itu. Orang itu

kesima dan tahu2 ia sendiri jatuh menggelebuk kelantai karena dikait kakinya oleh Gogor.

" Kalau ingin me-remuk2 kepala pemimpin sendiri, kamu sekalian boleh maju semua! " seru

Gogor.

Melihat ketangkasan dan kegagahan mempelai palsu itu, semua anakbuah menjadi jeri. Tak

seorangpun yang berani coba2 menyerang lagi. Gogor suruh mengambil keluar semua harta

kekayaan gerombolan penyamun itu dan dibagi rata kepada para anakbuahnya. Setelah itu ia suruh

mereka pulang kekampung halaman masing2. Demikian setelah mengulangi peringatannya kepada

Prakoso, Gogorpun segera pergi. Baik kepada sekalian anakbuah maupun kepada Prakoso, memberi

ancaman apabila kelak dikemudian hari ia dapatkan mereka menjadi penyamun, tentu akan

dibunuhnya.

Semalam suntuk penduduk desa Rawa Pening tak tidur. Mereka menantikan kedatangan

Gogor dengan penuh kecemasan. Menjelang fajar, kepala desa hendak memimpin beberapa orang

yang bertenaga kuat untuk menyusul Gogor, tapi tiba2 disebelah muka sana kelihatan sesosok tubuh

berlarian datang, Dalam beberapa kejab saja orang itu sudah tiba dan ternyata Gogor. Gogor

disambut dengan segala sorak sorai kegirangan, ia di-elu2 sebagai pahlawan. Dalam perjamuan untuk

menghormat Gogor, ia menuturkan yang dialaminya semalam. Kemudian ia menyatakan maksud

kedatangannya di Rawa Pening.

Mendengar hal itu semua orang sama kerutkan dahi. Jelas kalau mereka itu gentar. Hanya

seorang pemuda yang tampil kemuka dan menyatakan siap membantu Gogor. Ternyata ia bernama

Karsa, seorang pemuda pemberani yang menjadi kekasih Sumi. Ia berterima kasih sekali bahwa

kekasihnya telah diselamatkan maka sebagai pembalas budi ia hendak membantu Gogor.

" Terima kasih atas bantuanmu, saudara. Tapi apa yang menyebabkan orang sama ketakutan

mendengar maksudku tadi? " tanya Gogor.

Kepala desa menerangkan bahwa pegangga-ular bunga merah itu memang terdapat di Rawa

Pening, tetapi tempatnya sukar bukan kepalang.

" Daun itu tumbuh dalam sebuah goha yang dijaga oleh machluk aneh. ular bukan ular,

buaya bukan buaya. Kepalanya seperti ular tapi badannya buaya, warnanya putih, " kata kepala

desa.

Gogor mengangguk. Habis makan ia segcra ajak Karta berangkat. Ternyata goha itu letaknya

ditepi rawa sebelah tenggara. Karsa menyatakan bahwa binatang itu jarang sekali mau keluar, maka

sebaiknya nanti malam saja dengan umpan katak. Karsa menangkap beberapa ekor katak.

Setelah matam tiba, Karsa mulai mengikat kaki katak2 itu dan dipasang dimulut goha, Gogor

dan Karsa ber-siap2 pinggir mulut goha. Tak berapa lama katak2 itupun mulai mendengkung sahut2

an. Beberapa saat kemudian dari dalam goha terdengar bunyi berkeresekan. Rupanya binatang itu

mulai merayap keluar hendak memangsa katak. Kiranya memang benar, pada lain saat sebuah

kepala ular yang besar menjulur keluar dari mulut goha. Karsa memberi isyarat tangan kepada Gogor

agar jangan bertindak dulu.

Setelah memutar melihat kian kemari, binatang itn menjulur keluar. Ternyata tubuh

binatang itu menyerupai buaya dan panjangnya sama dengan anak buaya. Begitu menghampiri

dekat, binatang itu cepat menyambar seekor katak. Tepat pada waktu ia menelan katak, tiba2 Gogor

dan Karsa loncat menyergapnya. Gogor menusuk kepala siular- buaya dengan cundrik sedang Karsa

menghantam tubuh binatang itu dengan kapak. Tapi kulit binatang itu keras sekali hingga serangan

itu tak mempan.

Binyawak putih itu menyerang Gogor. Gogor loncat dan menginjak tubuh binyawak itu. Ia

menghujaninya dengan tusukan cundrik namun sia2 jua. Akhirnya ia mendapat akal. Pada suatu

kesempatan binyawak itu tengah pentang mulutnya hendak menyerbu lawan, secepat kilat Gogor

masukkan sebatang galah kemulut sibinatang. Binyawak kesakitan dan hendak mengatupkanmulutnya tapi tak dapat karena terganjel oleh galah. Kembali Gogor menghujani tusukan, tapi

rupanya binatang itu tak merasa sakit sedikit juapun.

Binatang itu marah, ia menerjang Gogor dengan beringas. Walaupun mulutnya ternganga, ia

masih dapat menyerang dengan cakarnya yang tajam. Dengan ilmu kegesitan Bajin-lompat (tupai

melompat), dapatlah Gogor mengelak kian kemari. Tapi kasian adalah Karsa. Pemuda itu hanya

berani, tapi tak cukup memiliki ilmu berkelahi. Karena kurang ccpat menghindar, kakinya kena

tersabat ekor sibinyawak. Sekali mengaduh Karsa ngelumpruk jatuh seperti lumpuh baju-nadinya.

Dan kini binatang itu alihkan perhatiannya kepada Karsa.

Gogor terbeliak kaget, tanpa manghiraukan apa2 lagi ia loncat untuk mengangkat Karsa, tapi

kalah cepat. Baru ia menjamah tubuh Karsa, binyawak itupun sudah menubruk-nya. Gogor buru2

mengisar kesamping namun kakinya kena tercengkeram juga, sakitnya bukan kepalang. Sambil

mencengkeram lawan, binatang itupun segera ajukan mulutnya hendak menggigit, tapi malang

baginya, karena mulutnya terganjal dengan kayu tadi, ia tak dapat berbuat apa2, paling2 hanya

lidahnya yang amat panjang itu menjulur keluar.

Gogor sedapat mungkin menahan sakit dan diam2 ia-mencari kelemahan lawan. Ya, hanya

bagian mata dan lidah binatang itu letak kematiannya. Ia cepat timpukan cundrik-nya kemata

binyawak. Demi binatang itu lepaskan cakar untuk meng-usap2 matanya yang menjadi buta itu,

secepat kilat Gogor membetot (mencabut) lidah binatang itu terus . . . digigitnya.

Kuatir binatang itu terlepas, maka iapun menggigitnya mati2 an dan menghisap darahnya.

Entah sudah berapa lama ia menggigit dan menghisap darah lidah binyawak itu, tiba2 ia rasakan

tubuhnya panas kepalanya pening dan pingsanlah ia tak ingat diri lagi . . .

Ketika membuka mata ternyata ia berbaring pada sebuah balai2 dalam sebuah bilik. Ia heran

dan hendak bangun. Tiba-tiba pintu dibuka dan muncullah sikepala desa dengan tersenyum.

" Nak, kau sudah bangun? " tegurnya dengan ramah. Atas pertanyaan Gogor, kepala desa itu

mengatakan bahwa pemuda itu sudah tidur sehari semalam. Iapun rnenceritakan apa yang telah

terjadi. Kiranya sepeninggal Gogor dan Karsa, malamnya dengan mengajak beberapa penduduk,

kepala desa itu menuju kegoha binyawak. Ia hendak menjenguk keadaan Gogor. Alangkah kejut

mereka ketika didapatinya Gogor dan Karsa menggeletak pingsan ditanah dan seekor binyawak

raksasa melingkar tak bernyawa didekat mereka. Buru2 kepala desa itu suruh mengangkut Gogor dan

Karsa pulang. Keesokan harinya ia suruh orang masuk kedalam goha untuk mengambil pohon

pegangga-ular berbunga merah. Kepala desa mengambil segenggam untuk dilumurkan pada kaki

Karsa. Tak berapa menit kemudian, Karsa dapat bangun berdiri. Pun luka dikaki Gogor akibat

cengkeraman cakar binyawak dilumuri daun itu, tapi anehnya pemuda itu tetap belum sadarkan diri,

Kepala desa menyudahi keterangannya dengan menyatakan bahwa binyawak putih itupun juga

dibawanya pulang,

Waktu Gogor diajak melihat, ternyata binatang itu memang sejenis binyawak (komodo).

Karena sudah berumur 100-an tahun, kulit binatang itu menjadi keras macam kulit buaya. Yang

nyata binatang itu tentulah tergolong binyawak yang luar biasa karena kulitnya putih. Kebanyakan

binyawak kulitnya berwarna kelabu ke-hitam2 an.

Gogor menghaturkan terima kasih atas kebaikan kepala desa. Ia menyatakan kepala desa

boleh mengambil binyawak itu, tapi kepala desa dan penduduk disitu menolak. Mereka takut

jangan2 binyawak yang dianggapnya keramat akan membawa bencana. Demikianlah setelah

menginap satu malam lagi, keesokan harinya Gogor berangkat pulang dengan membawa bangkai

binyawak. Segenap penduduk be-ramai2 mengantarkan. Diantara mereka tampak juga Karsa dan

Sumi.

"Entah dengan cara bagaimana kami harus membalas budimu itu, saudara Gogor. Tapi
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percayalah, bahwa Tuhan tentu mengijinkan kami untuk membalas budi saudara, " demikian ucapan

Karsa sewaktu memberi selamat jalan. Gogor hanya tersenyum dan mendoakan supaya kedua sejoliitu lekas mendirikan mahligai rumah tangga yang bahagia.

Ada suatu hal yang membuat Gogor heran yakani walaupun dengan memanggul seekor

bangkai binyawak, namun ia rasakan tubuhnya ringan sekali, larinyapun semakin cepat dari dulu.

Kyai Tungguljati menyambut kedatangan puteranya itu dengan girang. Ia agak terkejut

waktu melihat Gogor membawa pulang bangkai binyawak tapi ia segera berobah kegirangan setelah

mendengar penuturan puteranya.

" Anakku, rejekimu sungguh besar sekali. Binyawak ini bukan sembarang binyawak,

melainkan binatang yang sudah berumur 100-an tahun dan tergolong binyawak istimewa karena

berkulit putih. Kupercaya tentu mempunyai khasiat yang luar biasa. Nah, setelah menghisap darah

binatang ini, bagaimana rasa tubuhmu? " kata kyai itu.

Waktu Gogor menyatakan bahwa tubuhnya terasa ringan sekali, berserulah Tungguljati

dengan girangnya :

" Itulah ! Gerakanmu sekarang tentu jauh lebih gesit. Ingin bukti? Cobalah kau loncati pagar

itu, " kata Tungguljati.

Gogor menurut. Sekali ayun, ternyata ia dapat melintasi pagar yang tak kurang dari 3 meter

tingginya. Setelah itu Tungguljati menguliti kulit binatang itu. Ia yakin kulit itu tentu ada khasiatnya

tapi ia belum rnengetahui. Maka dicobanya untuk disabatkan pada seekor kambing piaraannya.

Seketika kambing itu mendumprah tak dapat berdiri. Ternyata binatang itu seperti lumpuh.

Tunguljati kaget2 girang, buru2 ia lumuri kambing itu dengan pegangga merah tapi tak berhasil.

Akhirnya ia coba memberinya makan dengan sekerat daging binyawak dan ternyata dapatlah

kambing itu berdiri kembali. Dengan percobaan itu, maka Tungguljati , segera membuat dua buah

sabuk dari kulit binyawak, satu diberikan pada Gogor. Daging binyawak itu dijadikan obat

penawarnya.

Pada suatu hari ketika Tungguljati pulang dari mencari daun obat ia memanggil Gogor. "

Puteraku, hari ini kau genap berusia 20 tahun. Sebagi pemuda dewasa kau sudah cukup

mempunyai bekal perjoangan hidup. Ilmu yang kauperoleh itu, bukanlah untuk perhiasan dan

kebanggaan diri saja, melainkan harus diamalkan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. "

Tungguljati berhenti sejenak lalu meneruskan pula :

" Batu takkan meujadi mustika jika tak digosok. Kaupun akan terpendam jika tak keluar

mencari pengalaman. Nah, besok berangkatlah ke Wirosobo. Disana diadakan sayembara memilih

senopati. Ikutlah, itu suatu kesempatan untuk mengabdi kepada negara. Tapi ingat, jangan temaha

pangkat rakus harta, junjunglah selalu sifat ksatrya utama 'rame ing gawe, sepi ing pamrih' .

Demikianlah banyak2 kyai Tungguljatimemberi wejangan kepada Gogor. Keesokan harinya

Gogor tak dapat menahan cucuran air matanya ketika mengambil selamat berpisah dengan ayahnya

yang tercinta itu.

" Akang, kau berbahagia mempunyai seorang ayah yang berbudi luhur, " kata Wigati dengan

terharu demi Gogor menyudahi penuturannya.

"Ngup, ngup . . .

'' Lho, kenapa kau Jogelo? " tegur Cepluk.

Jogelo buru2 mengusap hidungnya yang bercucuran air ingus, sahutnya : " Tak apa2, aku

hanya terkenang akan nasibku semasa kecil. Kalau mas Gogor mempunyai ayah berbudi, sebaliknya

aku mempunyai ayah celaka. Waktu aku masih kecil, ibuku sudah meninggal dan ayah mencarikan

seorang ibu tiri. Aduh, minta ampun, Pluk. Ganas benar ibu tiriku itu, tiap hari aku selalu mendapat

persen gebukan." Ni, sampai botak karena terluka dipukul centong olehnya "

" Aduh, kasihan benar kau, Jogelo. Mengapa begitu? " tanya Cepluk dengan penuh

perhatian.

" Hanya sepele saja. Waktu ayah pulang, ibu hendak menyediakan makan tapi ternyata

bakulnya kosong karena nasinya sufah kuhabiskan . . . .

Cepluk mendelik matanya seperti orang dicekik setan. Wigati dan Gogor tersenyum geli.

XXXX XXX

" Mas Sukra, celaka, Gogor semalam telah bertemu dengan sang ayu " demikian Jogelo pagi

itu melapor pada Sukra.

Memng atas permufakatan Sukra dan Godeksura, maka Jogelo disuruh masuk menjadi

tamtama agar dapat memata2 i gerak gerik Gogor. Apapun yang diketahuinya pada Gogor, harus

segera dilaporkan pada Sukra.

" Bagaimana ia dapat masuk kedalam gedung kabupaten? " tanya Sukra dengan gelisah.

"Karena hendak mencari aku. "

" Dimana kau saat itu? "

" Didalam taman karena dipanggil sang Ayu " kataJogelo yang menuturkan kejadian

semalam. " Wah, rupanya sang Ayu terpikat hatinya waktu rnendengar Gogo menyanyi lagu Kinanti.

Setan benar anak itu, suaranya merdu sekali. Kalau aku seorang gadis, memang aku tentu kepincut

padanya. Orangnya bagus, muda, gagah perkasa dan suaranya merdu . . . "

" Tutup mulutmn, tolol ! " bentak Sukra dengan geramnya. Mendengar Jogelo memuji-muji

Gogor dihadapannya, hampir saja Sukra tak dapat menahan kemarahan dan hendak menampar

mulutnya. Untung pada lain kilas, ia ingat bahwa Jogelo itu anakbuah Godeksura. Kalau Jogelo

ditempeleng, mungkin Godeksura tak puas.

" Jogelo, dengarlah ! Tugasmu menjadi tamtama adalah untuk -mata2i Gogor. Yang paling

penting, kau harus menjaga jangan sampai Gogor sempat bertemu dengan Wigata. Bahkan

usahakanlah supaya Wigati membenci pemuda itu, tahu? " kata Sukra dengan nada keras.

"Tapi Gogor . . . "

Ni, jangan jatuh! " cepat Sukra menukas kata2 Jogelo dengan menyusupkan uang kedalam

saku Jogelo. Jogelo terkesiap dan hendak mengembalikan uang itu. Ia mengkal juga hatinya di-kata2 i

Sukra.

Sukra buru2 mencekal tangan Jogelo dan mernbisikinya: " Jogelo, tuak dikedai Sutar itu

istimewa sekali. Cobalah kau kesana . . . . " Habis berkata Sukra lantas ngelojor pergi.

Jogelo melongo tapi bukan karena masih mendongkol melainkan membayangkan tuak

istirnewa yang dikatakan Sukra itu. Belum2 air liurnya sudah menitik keluar .

-------
D e n d a n g r e m a j a.

Sebagai taman dihias dengan beraneka bunga, pun ibukota Wirosobo bukan ibukota kalau

tiada puteri2 cantiknya. Memang Wirosobo disemarakkan dengan puteri2nya yang cantik jelita.

Mereka kebanyakan adalah puteri para demang, bekel, lurah dan punggawa2 kabupaten. Memang

di-antara kembang2 itu, Wigati lah yang menjadi Ratu-kembangnya, tetapi disampingnya masih ada

beberapa jelita yang selalu menjadi buah bibir dalam setiap pembicaraan para pemuda. Antara lain

adalah puteri patih. Donorrja yang ber-nama Retna Asih. Dengan Ayu Wigati, Retna Asih merupakan

sepasang bunga yang memegahkan kabupaten Wirosobo.

Dalam jenjangan masa akil dewasa, Retna Asih bagaikan kuntum bunga yang mekar berseri.

Kumbang2 beterbangan kian kemari hendak menyanjung namun selama itu sang bunga belumberkenan menyambutnya. Berbeda dengan perangai Wigati yang lemah lembut halus pekerti, Retna

lebih periang dan ramah tamah. Ibarat bunga, Wigati adalah laksana bunga Melati yang permai

agung mengikat jiwa, sedang Retna adalah bagaikan bunga Mawar yang sedap dipandang. Mereka

bersahabat baik, usia merekapun hampir sebaya hanya Retna lebih muda beberapa bulan dari

Wigati.

Diantara kawanan kumbang yang menyanjung sang bunga itu, terdapat Ganda, kakak Wigati.

Tapi entah bagaimana Retna Asih masih belum sungguh2 menerimanya. Sikap nya yang jinak2

merpati itu, makin mendidihkan semangat Ganda.

Sesuai dengan perangainya yang periang, disamping belajar tata-susila keputerian, Retna

Asihpun gemar juga akan berburu dan mengendarai kuda. Dalam hubungan inilah maka ia sering

datang berkunjung kepada Wigati. Tetapi bukan bermain dengan Wigati melainkan lebih banyak

bersama2 Ganda untuk belajar memanah dan naik kuda. Gandapun seorang pemuda yang suka ilmu

kesaktian. la ber-paras cakap, gagah dan bangsawan. Apalagikah yang kurang pada pemuda itu?

Tapi dunia ini memang ganjil. Diantara yang ganjil, yang dapat digolongkan aneh, adalah hati

wanita. Kalau tiap-tiap wanita Wirosobo yang bertentangan mata dengan Ganda niscaya tersipu-sipu

dan berdebar-debar hati, kalau para jelita dikabupaten mengidam-idamkan agar di-persuntingkan

oleh putera Adipati itu, adalah Retna Asih masih tampak belum mantep, masih malu-malu kucing,

Walaupun pergaulan mereka cukup akrab tapi berlainan perasaan hatinya. Ganda menganggap

hubungan itu sebagai tanda terbukanya kuntum-hati sang dara. Sebaliknya Retna Asih merasa hanya

dalam batas-batas kawan saja.

Donoreja mencintai puterinya itu. Memang terkilas sudah dalam pikiran Donoreja akan

pilihan teman-hidup bagi puterinya. Namun sebagai seorang ayah yang bijak-bestari, tak mau ia

menentukan calon yang tak disukai anaknya. Donoreja seorang patih yang jujur yang tak silau dirajuk

harta keduniawian, tak goyah dimabuk pangkat. Bukan tak tahu ia bahwa putera sang Adipati sedang

mengarah Retna, namun tak mau ia lekas-lekas menganggukkan kepala meengadahkan tangan.

Betapapun ia sendiri setuju pada Ganda yang tiada bercela kelakuannya itu, namun ia serahkan

keputusan kepada yang menjalani sendiri (Retna Asih). Apa guna tubuh dihias dengan zamrud

manikam kalau hati tak ber kasih? Ia biarkan bibit-bibit asmara itu bersemi sendiri dengan wajar

dilubuk hati sang putri. Untuk itu ia memberi secara kebebasan secara bijak.

Ada dua sifat yang menonjol dari kedua anak muda itu. Dan sifat2 itu tak jarang

menimbulkan salah faham mereka. Ganda keras hati. Seumpama ia memberitahukan isi hatinya

kepada sang ayahbunda, Adipati tentu akan segera meminang Retna dan Donoreja pasti akan

menerimanya dengan tangan terbuka. Tetapi Ganda tak ingin memperoleh kemenangan yang

mudah. Ia ingin merebut hati Retna dengan usaha sendiri. Karena cintanya yang mendalam, ia

berubah menjadi cemburu.

Retna Asih agak tinggi hati (angkuh). Ia tak mau diikat kebebasannya dan memang ia merasa

belum terikat oleh siapapun juga.

" Coba kautimbang kak Wigati. Masakan aku selalu dituduh yang bukan-bukan oleh kangmas

Ganda. Dulu aku dikatakan menaruh hati pada Sukra, pada hal kalau ia datang kegedung kepatihan

itu hanya untuk menemui ayah saja. Jarang sekali Sukra berjumpa dengan aku. Kemarin dulu iupun

ia meradang padaku, ' kata Retna kepada Wigati.

" Mengapa? " tanya Retna. Retna datang atas panggilan Wigati dan Wigati berbuat begitu

karena mendapat keterangan dari Ganda bahwa ia (Ganda) habis bertengkar mulut dengan Retna.

Ganda malu menerangkan persoalannya kepada adiknya, tapi Wigati dapat merabah demi melihat

wajah kakaknya yang gelisah. Ya, memang Ganda gelisah karena Retna tak datang.

Walaupun kedudukan orangtua mereka sebagai junjungan dan patih, namun karena

akrabnya Wigati dan Retna saling berbahasa kakak-adik. Memang kalau diturutkan silsilahnya,

sebenarnya patih Donoreja itu masih ada hubungan keluarga jauh dengan Adipati." Aku hanya menanyakan tentang senopati yang baru itu. Eh, siapa namanya . . . . ya, Gogor.

Belum2 ia sudah kurang senang. Mengkal hatiku, sengaja ku-puji2 senopati muda yang cakap dan

gagah perkasa itu. Akang Ganda marah dan membentak aku lalu masuk kedalam, " menerangkan

Retna.

" Retna, memang begitulah perangai kangmas-ku itu. Tapi ketahuilah bahwa ia sekali2 tak

bermaksud buruk kepadamu. Kebalikannya dengan kecemburuannya itu, menandakan kalau ia amat

kasih kepadamu, " kata Wigati.

" Telah kuutarakan kepadanya bahwa aku belum dapat mengambil keputusan. Aku minta

waktu yang cukup untuk mempertimbangkannya. Bagi kita kaum puteri, pernikahan itu merupakan

persoalan yang genting. Sekali kita jatuh ketangan lelaki yang tak bertanggung jawab, hancur

leburlah idam2an kita. "

" Rupanya pikiranmu lebih tua dari usiamu, Retna_. Tapi ketahuilah, kita kaum puteri masih

tcrbelenggu oleh adat istiadat dimana orangtua mempunyai hak menentukan jodo kita, " ujar Wigati.

Retna terdiam sampai beberapa jenak. Tiba2 ia nyeletuk pula: " Hai, kak Wigati, benarkah

senopati yang baru itu masih muda, cakap dan gagah? Menurut keterangan inang pengasuhku,

Gogor menjadi kembang bibir rakyat Wirosobo. Kaum wanita menyanjung kebagusannya, kaum pria

mengagumi kegagahannya. "

Tersirap darah Wigati demi mendapat pertanyaan itu Namun cepat ia dapat menguasai

getaran hatinya dan mengiakan.

" Apakah kau sudah mengenalnya? Ah, betapa senangnya kalau aku dapat meminta

pelajaran ilmu memanah dari ia. Tapi bagaimanakah caranya berkenalan dengan dia ? Bagaimana

pendapatmu, kak Wigati? "

Ayu Wigati diam saja. Hanya jantungnya yang ber-debar keras.

" Mengapa kau diam saja, kak Wigati? " Retna mengulang pertanyaannya.

Wajah Ayu Wigati bertebar merah dadu. buru2 ia menyahut: " Entahlah, tapi Retna, kangmas

Ganda telah menantimu dipuri taman, lekaslah kau menjumpainya. "

Retna Asih menyatakan tak mau tapi setelah dinasehati dan dibujuk Wigati, akhirnya ia pergi

juga. Memang demikianlah hubungan antara Ganda dengan Retna Asih. Cabik2 bulu ayam, mereka

mudah bertengkar tapi mudah berbaik kembali.

Demikianlah suasana dibalik dinding kabupaten Wirosobo.

*********

B e r b u r u.

Musim berburu telah tiba. Hal itu memang sudah menjadi adat kebiasaan kabupaten bahwa

setiap tahun tentu mengadakan perburuan besar. Adipati diiring para tamtama dan ponggawa telah

berangkat untuk berburu kehutan Roban digunung Slamet. Hutan itu terkenal banyak binatang buas

a.l harimau, babi hutan, rusa dll.

Ikut serta dalam perburuan itu beberapa demang dan seregu pasukan pemanah, Gogor,

Sukra, Jogelo dan . . . Retna Asih. Donoreja tak ikut karena sebagai patih mangkubumi (perdana) ia

tak dapat meninggalkan tugas pekerjaannya. Pada umumnya pckerjaan se-hari2 dikabupaten

Wirosobo adalah patih itu yang mengepalai dan memutuskan. Hanya dalam hal2 yang teramat

penting barulah ia meminta pertimbangan Adipati. Tetapi walaupun ayahnya tak ikut, Retna Asih

turut juga, Ia merengek-rengek meminta ijin kepada ayahnya dan Sukralah yang membantu keras

untuk membujuk Donoreja, kemudian mengajukan permohonan kepada AdiPati. AkhirnyaAdipatipun meluluskan juga.

Wigati tak ikut, ia memang agak kecewa dan tersentuh perasaannya. Pada akhir-akhir ini, ia

mendengar dsas desus bahwa Gogor sering berkunjung ketempat kediaman Donoreja untuk

memberi pelajaran memanah pada Retna. Hal itu kemungkinan besar memang benar karena Retna
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asih lama tak datang lagi kegedung kabupaten. Pun Jogelo memberi keterangan begitu, malah

Ganda sudah kelabakan dan marah2. Putera Adtpati itu dengan geramnya mengupat-caci Sukra yang

dikatakan menjadi biangkeladinya. Sukralah yang membawa dan mengenalkan Gogor pada Retna

Asih.

" Mengapa kangmas Sukra berbuat demikian? Adakah Gogor lupa akan ikrarnya? Adakah ia

sudah berpaling haluan? " demikian Wigati menimang2 dalam hati. Pikirannya terkenang akan

pertemuan tengah malam ditamansari tempo hari. Gogor telah melanjutkan nyanyian Jogelo. Lagu

yang dikumandangkan itu adalah merupakan jeritan kalbu pernyataan ikrar.

Dan sejak itu perhubungannya dengan Gogor makin hari makin erat. Walaupun belum

pernah mulut menyatakan karena terpancang oleh palang kedudukan dan garis tata-susila, namun

sinar perpaduan mata dari kedua insan itu sudah saling merangkai bunga dari benang sutera halus

pada permadani Asmara yang suci murni.

Sebagai seorang puteri bangsawan yang berbudi halus,, Wigati tak mudah percaya akan

segala berita itu. Ia yakin Gogor bukan pempda yang mudah membuang hati. Namun sekalipun

begitu, perasaannya tersinggung juga dan tertampung dalam kekecewaan.

Pada beberapa yang lalu Ganda telah diutus ayahandanya kedaerah Klampok untuk

memungut pajak, maka ia tak dapat ikut dalam perburuan itu. Memang Adipati telah mendidik

putera2nya untuk mengurusi soal2 ketatanegaraan. Dalam hal itu mereka harus meminta

pertimbangan dari Donoreja.

Begitulah ketika tiba dihutan Roban, maka rombongan Adipatipun segera berkemah.

Biasanya perburuan itu dilangsungkan sampai sepekan lamanya. Adipati telah memecah

rombongannya menjadi empat regu. Masing2 regu terdiri dari 25 orang. Regu pertama dipimpin oleh

Adipati sendiri bersama demang Wira, regu kedua dipimpin oleh Dadang, itu bekas pemburu dari

Cimiring yang ikut dalam sayembara kemudian masuk jadi tamtama. Regu ketiga dipimpin oleh Johar

sijago pencak dari Banjarnegara dengan dibantu oleh Sukra. Sedang regu keempat dipimpin oleh

Gogor dan Jogelo. Retna Asih manasuka boleh ikut pada semua regu. Untuk lebih menggairahkan

semangat sekalian orang, maka Adipati telah menjanjikan bahwa regu yang mendapat hasil

perburuan paling banyak sendiri akan diberi hadiah. Setiap matahari terbenam, regu2 itu harus

kembali ke-tempat perkemahan. Apabila menemui bahaya atau kecelakaan, harus melepaskan

pertandaan panah-api keudara.

Hari pertama karena sudah sore, maka Adipati hanya mem-bagi2 keempat regu itu dan

orang2 yang diharuskan jaga malam serta petugas yang menunggu perkemahan dan menyiapkan

makanan. Hari kedua barulah mereka berangkat.

Petang harinya ber-turut2 keempat regu itu pulang dengan membawa hasil yang lumayan.

Jogelo agak pincang karena terantuk pada batu dan jatuh membentur pohon. Dahinya tumbuh

tanduk yang berupa benjut sebesar telur.. Namun siperiang itu tetap ber-seri2 karena ia membawa

hasil perburuan yang istimewa, yakni sepasang anak macan yang masih kecil.

Tengah malam ketika semua orang tidur pulas, tiba2 terdengar orang men-jerit2. Jaga
malam dan orang2 sama bangun. Tapi apa yang terjadi? Kiranya Jogelo yang jadi gara2. Selagi ia tidur

mendengkur, mukanya telah diterkam dan hidungnya di-gigit2 oleh sianak macan. Rupanya binatang

itu lapar dan mengira hidung Jogelo yang besar itu sebagai susu induknya. Sudah tentu Jogelo

gelagapan dan -men-jerit2 kesakitan.

Pada saat semua orang tertawa geli se-konyong2 terdengar aum harimau, makin lama makin

keras kedengarannya. Rupanya itulah induk dari anak macan yang dibawa Jogelo itu. Sekalian orangsegera siap dengan senjatanya. Jogeloidiperintahkan membawa anak macan itu diluar kemah dan

diikat pada sebuah tonggak untuk mengumpan induknya.

Terdengar auman dahsyat dan seekor harimau gembong loncat dari balik semak. Seperti

seorang ibu yang merindukan anaknya, binatang itu hendak menubruk anaknya tadi, tapi sesaat itu

hujan anak panah menabur dari empat lijurusan. Sekali mengatarn keras, binatang itu terkulai

dihadapan kedua anaknya. Anaknya ber-lincah2 menciumi induknya. Sang induk yang tengah

meregang jiwa itu masih sempat lepaskan pandangan sayu yang penghabisan kali kepada sepasang

anaknya. Seperti anak kecil yang manja, sepasang anak macan itu me-ngoloh2 induknya. Kasihan,

binatang kecil itu tak tahu bahwa induknya sudah tak bernyawa . . . .

Setelah diperiksa ternyata induk harimau itu penuh berhias dengan anak panah. Tapi yang

fatal (mematikan), adalah sebatang tombak yang menancap ditenggorokannya menembus sampai

kejantung. Ketika dicabut ternyata milik Adipati. Memang Adipatilah yang melontarkannya.

Kalau hari kedua Retna Asih ikut pada rombongan Gogor, adalah pada hari ketiga itu ia ikut

pada Sukra. Tengah hari mereka melepaskan lelah dibawah sebatang pohon yang rindang. Tiba2

tampak seekor kelinci putih mungil lari menyelinap diantara betukar, seketika Retna Asih berbangkit

dan mengejarnya. Sukra ikut melakukan pengejaran. Kelinci itu lincah dan gesit sekali. Retna Asih

dan Sukra terpencar.

Tiba2 Sukra mendengar ringkikan kuda. Ketika menyingkap daun yang menghalangi

pandangannya, ternyata jauh di-sebelah sana tampak Gogor tengah berkuda. Seketika timbullah

syaitan yang membujuk hati Sukra. Dalam tempat yang sesunyi itu, pasti orang tak mengetahui dari

mana asalnya s-batang anakpanah yang menembus tubuh Gogor. Ah, Gogor, Gogor! Kau selalu akan

menjadi perintang bagiku. Selama kau masih ada, Wigati tentu tak mau padaku. Ya, untuk mencapai

tujuan, seorang laki2 harus berani berbuat ganas. Demikian pergolaan yang terbit dalam pikiran

Sukra. Dan se-perti didorong oleh nafsu jahat, ia segera menyusup kedalam sebuah semak2 Iebat

dan mulai mengambil arah.

" Akang Sukra, kau dimana? LihatIah, aku telah ber-hasil menangkap kelinci tadi! " tiba2

terdengar derap kaki kuda dan suara Retna Asih berteriak memanggil. Pada saat itu Sukra siap

melepas picu busurnya, demi mendengar teriakan Retna ia tersentak kaget dan terlepaslah

anakpanah dari busurnya.

Berbareng pada saat itu terdengar si Putih meringkik dan melonyak keatas. Cret, sebatang

anakpanah melayang hanya terpaut satu dim dari rambut Gogor. Ikat kepala Gogor tertembus tapi

anakpanah itu terus meluncur maju dan mengenai sebatang pohon. Bluk, se-konyong2 seekor ular

sawa yang besar bergeIantungan jatuh dari pohon itu.

"Astagafirullah! Umurmu panjang, mas Gogor. Selamat, selamat, jangan lupa panggil aku

kalau nanti dirumah kau selamatan, " tiba2 terdengar Jogelo berlarian mendatangi. Sebelum

orangnnya tiba suaranya sudah kedengaran. Ia menghampiri bangkai ular. Ular itu mati karena

kepalanya tertembus sebatang anakpanah. " Hai, siapakah orangnya yang telah menolong senopati

kita ini? " Jogelo berteriak nyaring.

Dua orang muda mudi muncul dari baiik semak lebat dan berlarian menghampiri Jogelo. "

Jogelo, ada apa saja?" seru sipemudi yang bukan lain adalah Retna Asih.

Waktu Jogelo menceritakan apa yang terjadi, Retna, berteriak girang: " Hai, yang melepas

panah tadi adalah kangmas Sukra. Kau harus berterima kasih kepadanya, akang Gogor "

Jogelo meIongo tapi pada Iain kejab iapun ikut berseru: "Ya, mas Gogor, kau berhutang jiwa

pada . . . aduh, haiii..".

Ternyata sebelum Jogelo menghabisi kata2 nya tengkuknya digigit si Putih terus diangkatnya.

Gogor buru-buru suruh kuda itu menurunkan.

" Terima kasih atas bantuanmu, saudara Sukra, " kata Gogor. Sukra merah padam mukanya.Sebenarnya si Putih melonyak dan meringkik tadi karena mencium bau ular. Memang setiap

kali ada bahaja ia tentu meringkik dan melonyak untuk memberi tanda pada tuannya. Dan secara

tak disengaja, sekali gerak si Putih telah dapat menyelamatkan Gogor. Karena melonyak itu maka

tubuh Gogor turut bergoncang dan melesetlah bidikan panah Sukra. Anakpanah itu secara kebetulan

sekali telah nyasar kearah kepala ular yang sudah siap hendak menyambar Gogor.

Peristiwa itu malam harinya menjadibuah tutur dari semua orang. Sukra mendapat pujian

sana sini bahkan Adipati sendiri memberi hadiah tuak padanya sebagai tanda kegirangannya karena

senopatinya telah diselamatkan jiwanya.

Pada hari keempat karana rupanya hewan2 yang berada dekat sekeliling tempat itu sama

menghilang, maka regu2 pemburu dari Wirosobo itu menyusup masuk kepedalaman hutan

belantara. Retna Asih tetap ikut dalam regu Sukra. Mereka menuju kearah barat laut. Tapi selama itu

mereka tak berjumpa dengan hewan galak, melainkan bangsa kera dan bangsa unggas.

" Lihat, akang, sepasang ayam hutan itu. Daripada hampa lebih baik kita dapatkan mereka, "

kata Ratna sembari lepaskan sebatang anakpanah. "

" Kena, akang, mari kita ambil, " katanya pula sembari lari menghampiri.

Ketika mereka hendak menjemput ayam-hutan itu, tiba2 muncul lima orang mengepyng

mereka. Mereka berpakaian serba hitam dan menghunus Senjata.

" Mau apa kalian? " tegur Sukra sambil bersiap.

" Menangkapmu, " sahut salah seorang yang paling tua dan berjanggut.

" Mengapa? "

" Karena kalian telah membunuh ayam. kami. Hutan ini adalah milik kami, rakyat kerajaan

Pejajaran yang sudi tunduk pada Demak.

" Aku tak tahu kalau ayam hutan itu milikmu, " bantah Sukra yang selanjutnya bersedia

mengganti uang.

" Haram dengan uang kerajaan Jawa! Jangan banyak omong, lekas serahkan dirimu! " seru

salah seorang yang memegang tombak.

" Aku mau saja, tapi kawanku ini tak mau, " kata Sukra sembari mengacungkan kerisnya.

" Kurangajar! " bentak mereka seraya maju menyerang. Siorang tua yang agaknya menjadi

pemimpin mereka itu, membagi orangnya. Yang dua orang harus menawan Retna dan membawa

pulang, yang tiga orang mengerubuti Sukra. Sukra dapat menghadapi ketiga lawannya itu dengan

baik, Pun Retna cepat acungkan busurnya mengancam kedua orang tadi yang coba mendekatinya.

Se-konyong2 orang tua tadi menggembor keras sekali, sedang kedua kawan-nyapun men-jerit2.

Retna kaget dan mengira kalau Sukra terluka, ia berpaling. Kesempatan itu digunakan se -baik2nya

oleh salah seorang pengeroyoknya yang menyergapnya dari belakang. Retna menjerit, ketika Sukra

menoleh, punggungnya kena terhantam. Rubuhlah ia seketika. Salah seorang segera ayunkan

parangnya.

" Jangan, bukan dia yang memanah ayam, melainkan anak perempuan ini, " kata

pemimpinnya. Begitulah mereka segera membawa Retna Asih.

Ketika tersadar, Sukra sudah tak melihat bayangan orang2 Pejajaran tadi dan Retna Asih. Ia

duga Retna tentu dibawa mereka. Karena ia hanya seorang diri, maka ia tak berani mengejar jejak

mereka. Buru2 ia lari kembali keperkemahan, Ditengah jalan ia berpapasan dengan rombongan

Gogor.

" Celaka, Retna Asih diculik orang Pejajaran, " demikian Sukra segera menuturkan peristiwa

tadi.

Gogor terkejut. Ia suruh Sukra melapor pada Adipati sedang ia sendiri segera ajak

rombongannya mengejar penculik2 itu. Tiba2 terdengar derap kaki kuda mencongklang datang.

Penunggangnya seorang pemuda bangsawan yang cakap. Sementara dari kejauhan masih terdengar

derap kuda pula." Hai, Ganda, berhentilah! " teriak Sukra demi mengetahui siapa yang datang itu.

Ganda loncat turun dari kudanya. Sikapnya beringas sekali. Begitu mendekati Sukra, tanpa

bilang ba atau bu, ia segera mentoyor mukanya. Sukra ter-huyung2, Ganda loncat dan menyusuli

pula dengan sebuah tinju ..

" Akang Ganda, jangan!" tiba2 berbareng dengan suara derap kaki kuda terdengarlah sebuah

lengkingan. Ternyata yang datang adalah Ayu Wigati.

Ganda tahan tinjunya dan Sukrapun sempat berdiri tegak. Ia mengusap hidungnya yang

bercucuran darah.

" Mengapa kau pukul aku, Ganda? " tegurnya. Walaupun ia marah tapi dihadapan Wigati ia

tak mau bersikap kasar.

" Apa kau masih pura2 tak tahu? Hm, licin benar kau mengatur siasat. Sengaja kau

memperkenalkan Gogor pada Retna supaya Gogor putus dengan Wigati . . . ," Ganda terhenti

sejenak memandang Wigati. Adiknya itu tersipu-sipu merah mukanya.

" Siapa bilang? " bantah Sukra.

" Jogelo, tapi akulah yang menarik kesimpulannya. Sudah jangan banyak omong, mana Retna

sekarang? " tampak Ganda ber-kilat2 matanya menanyakan sang kekasih.

" Ditawan gerombolan orang Pejajaran! " kata Sukra. Ia lantas menceritakan peristiwa yang

dialami dengan Retna Asih. Gogor dan romhongannya telah melakukan pengejaran dan ia hendak

melapor pada Adipati.

" Baik, sekarang kuampuni dulu, tapi awas kau jika Retna sampai kena apa2, " kata Ganda

sembari loncat keatas kuda.

" Tahan, akang, hendak kemana kau? " seru Wigati.

" Menyusul Retna."

" Aku ikut, akang, " kata Wigati sembari menaiki kudanya. Sekejab pula kedua kakak adik itu

sudah lenyap dari pemandangan. Sukrapun meneruskan perjalanannya. Mengapa Ganda dan Wigati

tiba2 datang kehutan itu? Kiranya ketika Ganda pulang, ia mendapat keterangan bahwa


Wiro Sableng 191 Jabrik Sakti Wanara Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik

Cari Blog Ini