Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong Bagian 3
ayahandanya seciang berburu. Itu tak mengherankannya, tapi yang membuat panas hatinya adalah
ikut sertanya Sukra, Gogor dan Retna Asih. Ia mendapat keterangan patih Donorejo bahwa turut
sertanya Retna Asih itu atas anjuran Sukra. Ganda yang dimabuk cemburu cinta segera menarik
kesimpulan bahwa Sukralah yang sengaja mengatur tipu daya merenggangkan hubungan Gogor
dengan Wigati. Ia tahu Sukra menaruh hati pada Wigati, hal itu ia tak keberatan. Tapi mengapa
untuk mencapai maksudnya, Sukra harus mengumpankan Retna? Kalau tipu muslihat Sukra itu
berhasil, bukanlah ia (Ganda) yang akan kehilangan Retna?
" Sukra harus kuberi hajaran I" akhirnya Ganda mengambil putusan. Ia segera ajak Wigati: "
Wigati, mari kita susul mereka. Lihat saja bagaimana nanti gerak gerik Gogor terhadap Retna."
Se-halus2 budi Wigati, namun masih kalah dengan panasnya api asmara yang membakar
hatinya. Memang itulah suatu kesempatan untuk meninjau sendiri bagaimana keadaan Gogor dan
Retna. Begitulah kedua putera Adipati itu berangkat dengan naik kuda.
Ketika tiba diperkemahan, ternyata ayahnya dan orang2 sudah berangkat berburu. Dari
penjaga kemah, mereka mendapat keterangan bahwa Sukra dan rombongannya menuju kebarat
laut. Dan apa yang terjadi ditengah jalan ketika Ganda berjumpa dengan Sukra, telah dipaparkan
disebelah atas.
- 0
Ketika kerajaan Pajajaran yang dirajai Prabu Sedah digempur oleh Panembahan Yusup atau
Sultan Banten, cucu dari Sunan Gunung Jati, maka jatuhlah kerajaan Hindu di Jawa Barat itu.
Memang negeri Pajajaran pada masa Itu sudah mundur sekali, tetapi jatuhnya kerajaan itu
bukan semata-mata karena tidak ada kekuatan untuk mempertahankannya, melainkan karenapenghianatan ki Jongjo, seorang Pajajaran yang telah masuk Islam dan menjadi hamba Pangeran
Yusup. Komplotan itu dibantu oleh saudara ki Jongjo yang masih ada di Pakuan. ibukota kerajaan
Pajajaran.
Ketika tentara. Banten mengepung Pakuan, pada suatu malam saudara ki Jongjo mengawal
salah satu pintu gerbang kota. Ia memasukkan ki Jongjo yang membawa 500 orang perajurit. Dengan
mudah pada malam itu juga diadakan penyerbuan. Prabu Sedah, permaisuri dan banyak hamba
sahayanya yang meninggal dalam pertempuran itu. Pembesar-pembesar yang mau menjadi Islam
diperkenankan terus memegang jabatannya. Sebagian penduduk yang tak mau memeluk Islam,
meloloskan diri ke Banten Selatan. Keturunan mereka ialah orang Baduy di Gunungkancana. Mereka
masih menganggap dirinya orang Pajajaran.
Boko yang menjadi lurah diperbatasan sebelah timur laut pun mengajak rakyatnya melarikan
diri kepegunungan Samet. Mereka hidup menyendiri, tak mau tunduk pada kerajaan Demak. Adat
kebiasaan mereka serba aneh. Retna Asih ditawan oleh anakbuah Beko dan kini dihadapan pada
pemimpin itu.
,,Hai, puteri ayu, hukum kami adalah hutang jiwa bayar jiwa. Sekalipun hanya seekor ayam
hutan tapi kau harus mengganti dengan jiwa. Tapi ada pengampunan yakni kau harus menjadi
isteriku, dengan begitu kau sudah menjadi rakyat Pajajaran, dosamu tadi gugur, " kata Boko yang
bertubuh tinggi besar dan bertenaga kuat.
" Siapa sudi jadi isterimu, seorang raksasa hutan, "damprat Retna.
" Ha, ha, puteri ayu, kau boleh menolak tapi putusan tetap tak dapat dirobah. Hai, anak2 ku,
bawa puteri ini kedalam dan suruh wanita2 menghiasnya. Besok siapkan peralatan kawin, "
pemimpin gerombolan orang Pajajaran itu memberi perintah kepada anakbuahnya,
" Tahan dulu! Kalau mempelai perempuan tak setuju tak boleh dipaksa, " tiba2 terdengar
sebuah suara nyaring dan muncullah seorang pemuda diiring seorang gemuk pendek.
" Siapa kau? " tanya Boko
" Gogor, senopati dari Wirosobo, " sahut pemuda itu yang bukan lain adalah Gogor. Untuk
mencapai tempat kediaman pemimpin orang Pajajaran itu, Gogor harus melalui beberapa pos
penjagaan yang dijaga oleh anakbuah ki Boko. Dengan mudah Gogor dan anakbuahnya dapat
membikin mereka tak berdaya.
" Dan aku, Jogelo, tamtama seniman juara minum tuak, " seru Jogelo dengan busungkan
dada. "
Siapa tanya padamu? " damprat ki Boko.
" Lho, kau tanya tidak? "
" Tidak perlu! Boko menggeram.
" Ya, sudah. " Jogelo menyeringai.
Boko tak mau menggubris sigila lagi, ia menanyakan maksud kedatangan Gogor. Gogor
menyatakan hendak mengambil Retna Asih puteri patih Donoreja. Tentang kesalahan puteri itu, ia
bersedia menghaturkan maaf dan mengganti kerugian.
"Kami tak membutuhkan maaf, itu pernyataan kosong. Ganti kerugianpun tak berfaedah,
jiwa yang hilang tetap hilang. Hanya ada satu cara untuk menebus kesalahan itu yalah mengadu
kesaktian. Jika kau mampu mengalahkan aku ,puteri itu boleh kaubawa pulang," kata Boko.
Baru Gogor hendak menyahut tiba2 terdengar dera kaki kuda mendatangi. Ternyata Ganda
dan Ayu Wigati.
" Gogor, kasihlah aku yang menempur pimpinan mereka," teriak Ganda. Gogor mencegah
tapi putera Adipati tetap pada pendiriannya.
" Hai, siapa kau? Mengapa kalian berebutan mati?" tegur Boko.
" Aku Ganda, putera. Adipati Wirosobo. "
" Oh, begitu. Mengapa kau tak sayang akan jiwamu. Biarkan saja dia yang berkelahi, " kataBoko sambil menunjuk Gogor.
" Retna Asih adalah . . . kawanku. Aku wajib membelanya, " sahut Ganda. Kemudian ia
berpaling kepada Gogor: "Kau harus mengalah, atau kita nanti berkelahi sendiri. Aku hendak
membela kehormatan Retna Asih. "
Gogor insaf bahwa putera Adipati itu hendak merebut hati Rctna Asih dengan
kegagahannya. Ia harus mengalaj dan bahkan hendak membantunya secara diam2. Begitulah
tuanrumah segera ajak tetamunya kesebuah lapangan kosong. Tampaknya pemimpin orang
Pejajaran itu yakin tentu menang terhadap anak2 muda yang dipandangnya masih hija itu. Diam2
Gogor membesikisesuatu kepada Jogelo.
" Anak Adipati, hayo kau sebagai tetamu boleh menyerang dulu, " seru Boko.
" Baik! " sahut Ganda. Ia membuka serangan dengan meninju kedada lawan. Boko
menangkis, plak, lengan Ganda terkisar dan pemuda itu meringis kesakitan. Ia tersadar bahwa lurah
Pejajaran ini kuat sekali tenaganya. Tapi entah bagaimana, didalam membela Retna Asih, sedikitpun
Ganda tak gentar. Ia tahu raksasa Pejajaran itu kuat sekali tapi kaku dan berat gerakannya. Tak mau
Ganda adu kekerasan lagi. Ia berlincahan menghindar dan menyerang.
Tiba2 Ganda menendang. Paha Boko termakan tapi berbareng itu Boko menghantam Ganda
terpelanting. Boko loncat maju dan ayunkan pukulan yang sekeras palu besi .
" Tolong! Tolong! " tiba2 terdengar suara teriakan diantara penonton. Orang2 tersentak
kaget, bahkan Boko sendiripun terkesiap dan hentikan tinjunya ditengah jalan.
" Ada apa, kau? " tegur salah seorang anakbuah Boko.
" Aduh kurangajar, perutku digigit semut piaraanmu. i Dasar semut Pejajaran tentu kurang
adat. masakan perut kosong mati2 an. Aku menuntut hukum orang Pejajaran. Gigit daging, ganti
daging. Ayuh, bawa kemari daging yang lezat! " seru Jagelo.
" Baik, " kata orang itu sembari lari kedalam rumah. Beberapa saat ia kembali dan
memberikan sekerat daging kepada Jogelo. Jogelo mem-bau2 daging itu, wah, sedap juga. Segera ia
mengganyangnya.
"Aduh, keparat, Gigiku menggigit tulang. Hai, daging apa ini? Mengapa tulangnya begini
kecil? " teriak sigila.
" Bukan daging sembarang daging, melainkan daging tikus. Tadi kucing kami menubruk tikus.
Dari pada sayang kalau tak habis, sisanya kubakar dan kulumuri bumbu. Enak tidak masakan orang
Pejajaran? "
Huak ... huak . . . Jogelo muntah2, Orang2 Pejajaran tertawa geli. Dalam pada itu
pertempuran mulai ber-jalan lagi dengan seru. Tadi karena Boko hentikan tinjunya, Ganda yang
sudah hampir kalah dapat menyelinap kesamping dan balas menyerang.
Selang beberapa jurus, kembali Ganda terancam Ia kena terdoreog dan Boko sudah ayunkan
tinju. Tapi sekonyong2 muka Boko meringis kesakitan, kepalanya digeleng-gelengkan dan tinjunya
dipakai mengusap2 . Kesempatan itu tak di-sia2 kan Ganda yang loncat menjejak perut Boko se-kuat2
nya hingga raksasa itu jatuh tertelentang. Celaka, kepalanya terantuk pada batu hingga matanya ber
kunang2. Sebelum ia sadar, Gandapun sudah menghujaninya lagi dengan pukulan.
"Cukup, ia sudah pingsan! " Gogor loncat ketengah dan mencegah. Iapun menolong
menyadarkan Boko.
" Bagaimana, apa aku boleh membawa pulang tuan puteri? " tegur Ganda.
" Silahkan, orang Pejajaran tak mau ingkar janji, " sahut Boko.
Demikianlah Retna Asih segera diajak pulang oleh Ganda. Ketika tiba dikaki bukit, mereka
berjumpa dengan rombongan Adipatiyang hendak memberi bantuan. Karena hari sudah sore, maka
mereka bermalam diperkemahan lagi.
Mengapa dalam perkelahian tadi tiba2 Boko kesakitan hingga menderita kekalahan? Kiranya
sebelum pertandingan dimulai, Gogor telah membisiki Jogelo apabila Ganda ter-ancam supaya ber-teriak2 membikin kaget Boko. Tapi demi melihat Jogelo muntah2 makan daging tikus, Gogor cemas
kalau2 Jogelo tak dapat melakukan tugasnya lagi. Diam2 ia menghampiri Jogelo dan memungut
tulang yang tajam ujungnya. Ketika Ganda terancam, cepat Gogor jentikkan kepingan tulang itu
dengan kedua jarinya.
Ditangan Gogor tulang itu dapat berobah menjadi semacam senjata gelap yang ampuh.
Tulang mengenai pipi Boko, sakitnya bukan alang kepalang. Dengan bantuan gelap itulah maka
Ganda dapat merebut kemenangan.
Sukra mengatur rencana untuk meretakkan hubungan Gogor Wigati, bahkan ia hendak
membunuh Gogor. Tapi kesemuanya itu gagal. Setelah melalui peristiwa itu, hubungan kedua
pasangan itu erat kembali. Tahu betapa besar kasih Ganda, Retna Asih insaf dan terbuka hatinya.
Demikianpun Wigati yang mengetahui bahwa Gogor tak berobah hatinya, makin suburlah bibit
Asmara dalam sanubari puteri jelita itu.
Lagi2 yang menggigit jari adalah Sukra. Namun anak demang itu tak putus asa. la tetap
menunggu kesempatan lagi. Dan ia percaya, usahanya itu pasti takkan sia2.
B e r p i s a h.
Pada suatu hari datanglah lurah Kawunganten menghadap Adipati. Lurah itu melaporkan
bahwa didaerah Rawa Keling terdapat gerombolan orang2 pelarian dari Pejajaran yang hendak
berusaha membangunkan kerajaan Pakuan lagi. Pemimpin mereka bernama ki Gentonglodong, sakti
dan gagah perkasa. Ia menghimpun anakbuahnya terdiri dari penyamun, bajak, orang2 gagah, baik
orang Pejajaran maupun orang dari kerajaan Jawa asal setuju dengan akan mereka.
Gentonglodong sebenarnya adalah kakak-seperguruan dari Godeksura. Kedua saudara
seperguruan itu mempunyai riwayat yang menyebabkan hubungan mereka retak.
Guru mereka, kyai Teluhbraja, mempunyai seorang anak perempuan yang cantik. Sudah
wajar kiranya apabila pergaulan antara pemuda pemudi tentu menimbulkan kisah asmara.
Gentonglodong dan Godeksura sama2 menyintai Tantri-puteri Teluhbraja. Teluhbraja lebih sayang
pada Godeksura, tapi Tantri lebih suka pada Gentonglodong. Bingung teluhbraja hendak mengambil
putusan.
Pada sualu hari, se-konyong2 Tantri lenyap. Teluhbraja bingung, Godeksura marah2 dan
Gentonglodong heran.
" Ah, kakang Gentonglodong, kau tentu mengetahui kemana Tantri pergi. Ia baik sekali
padamu, " kata Godeksura.
Gentonglodong yang perawakannya lebih kecil tapi lebih cakap dari adik seperguruannya itu,
kerutkan dahinya. Belum ia mengatakan apa2, gurunya sudah turut menuduh.
" Ya, Gantonglodong, beritahukanlah diri adikmu itu kepadaku, " kata Teluhbraja.
" Sungguh mati, kyai, aku tak tahu kemana dan apa sebab Tantri pergi, " Gentonglodong
membantah.
" Ah, masakan ! Beberapa hari yang lalu telah kuajak Tantri omong2 tentang pernikahannya.
Ia menyatakan pergaulaanya dengan kalian berdua selama ini hanyalah sebagai kakak-adik saja.
Waktu kutanyakan pikirannya bagaimana kiranya kunikahkan ia dengan si Godek, ia gelengkan
kepala. Tapi waktu kutawari kau, Gentong, ia diam saja. Kukatakan kepadanya supaya ia
mempertimbangkan pilihannya lagi dan kunyatakan bahwa aku lebih condong pada si Godek.
Memang kuperhatikan dalam dua tiga hari ini wajahnya selalu muram. Dan tahu2 pagi ini ia telah
minggat. Apakah hal itu kurang cukup menjadi alasan untuk menuduhmu, Gentong?" ujar
Teluhbraja.
" Kyai guru yang kuhormati. Aku Gentonglodong adalah seorang laki2. Walaupun sekarang
kuketahui bahwa kyai ternyata pilih-kasih terhadap muridnya, namun aku tak sakit hati karena telahmenerima budi kyai yang sebesar lautan. Memang kuakui bahwa aku cinta pada Tantri, tapi aku tak
mau memperkosa batinnya. Biarkan ia memilih pemuda yang dicintainya sendiri. Dan andaikata
pilihanya itu jatuh pada Godeksura, sekali2 aku tak bakal sakit hati. Bagiku, asal Tantri bahagia,
akupun turut bahagia."
" Omong kosong, kakang Gentong. Kau selalu membayangi kemana Tantri pergi, se-olah2
takut kalau Tantri sampai berdekatan padaku. Kau memang pandai mengambil hatinya, "
menyeletuk Godeksura.
" Apakah sebagai kakak-adik tak boleh bergaul rapat? Apakah hubungan itu yang kau artikan
sebagai mengambil hati? " balas Gentonglodong.
" Sudahlah, Gentong. Sekarang jawablah: Apa hukumannya murid yang berani membohongi
gurunya? " tanya Teluhbraja.
" Dibikin cacad anggauta badannya agar seluruh ilmu kepandaiannya hilang," sahut
Gentonglodong.
" Bagus, Gentong, coba bilang baju siapa yang kudapatkan didalam bilik Tantri ini? "
Gentonglodong terbeliak dan pucat wajahnya. Memang baju itu kepunyaannya, tapi ia
sendiri tak tahu mengapa berada dibilik Tantri,
"Ho, Gentong, kau tak dapat menyahut?" Teluhbraja menegas tajam.
" Tapi kyai, aku tak merasa menaruhkan disitu "
Maafkan aku, akang!" tiba2 Godeksura menerjang kakak-seperguruannya degan tinjunya.
" Godek, berhentilah dulu! seru Centonglodong sembari loncat menghindar. Namun
Godeksura tak mau mendengar lagi. Ia bahkan menyerang lebih dahsyat sehingga Gentonglodong
kewalahan. Namun kyai Teluhbraja tetap diam saja.
" Godek, aku terpaksa, " akhirnya karena terdesak dipojok, Gentonglodong gunakan gerak
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayam-jantan-menerjang, Yakni secara tiba2 ia loncat kemuka dan kedua kakinya menjejak dada.
Godeksura yang tak mengira Gcetonglodong balas menyerang secara istimewa, telah tak keburu
menghindar dan tubuhnya bagai layang2 putus tali, terlempar keudara. Untung kyai Teluhbraja cepat
menyambutinya.
Takut kalau gurunya murka, maka pada saat Teluhbraja menyambuti tubuh Godeksura,
Gentonglodongpun segera melarikan diri. Habis meletakkan Godeksura, Teluhbraja hendak
mengejar tapi tiba2 Gumbrek, inang pengasuh Tantri meneriakinya supaya berhenti.
" Kyai, maaf, tadi jeng Tantri telah menyerahkan surat ini kepadaku supaya dihaturkan pada
kyai, " kata inang itu.
Waktu memaca isinya, dada Teluhbraja yang tadinya berkembang kempis tampak reda,
wajahnyapun mulai tenang. Godeksura menanyakan dan kyai itupun segera suruh muridnya
membaca sendiri. Ternyata itulah tulisan Tantri yang menyatakan bahwa ia memang minggat atas
kehendaknya sendiri karena bingurg memilih jodo. Akhirnya ia memutuskan, siapa yang dapat
menemukannya, ialah yang menjadibakal suaminya.
Godeksura meminta restu dari gurunya untuk mencari Tantri, tapi ternyata ia tak berhasil.
Tantri sebenarnya saat itu bersembunyi didekat situ. la tahu tentang perkelahian ke-dua kakak
seperguruannya itu. Setelah mengetahui bagaimana ketidak-adilan ayahnya terhadap
Gentonglodong serta kejahatan Godeksuna yang sengaja memfitnah dengan menaruhkan baju
Gentonglodong kedalam bilik Tantri, akhirnya , gadis itu memutuskan akan menyusul kakak
seperguruannya yang kesatu itu. Setelah berhasil menjumpai, akhirnya Gentonglodong segera ajak
kekasihnya itu berhamba pada kerajaan Pejajaran di Pakuan. Waktu Pejajaran dihancurkan tentara
Banten, Gentonglodong dan Tantri melarikan diri kedaerah selatan dan menetap di Rawa Keling. ,
Lama kelamaan diketahui juga jejak mereka oleh Teluhbraja dan Godeksura. Tapi karena nasi sudah
menjadi bubur apalagi Tantri sudah mempunyai anak dengan Gentonglodong, mau juga ayahnyamengampuni. Demikianpun Godeksura berbaik kembali dengan kakak-seperguruannya itu.
Malah kini ia membantu usaha kakaknya untuk membangun kembali kerajaan Pejajaran.
Demikianlah sekelumit kisah Gentonglodong, pemimpin gerombolan Rawa Keling.
Waktu menerima laporan dari lurah Kawunganten itu, Adipati segera bermusyawarah
dengan patih Donoreja dan para demang. Demang Toyoreka mengusulkan supaya Adipati
mengirimkan pasukan untuk menindas pemberontakan itu.
" Lelatu anaknya api, kalau gerakan mereka yang belum besar tak segera ditindas,
dikuatirkan akan menimbulkan bahaya besar dikemudian hari. Hamba usulkan agar Gusti suka
mengirim senopati Gogor dengan pasukannya ke Rawa Keling, kata Toyoreka.
Sukra yang mendapat berita tentang kedatangan lurah Kawunganten itu, segera memasang
jerat lagi. Ia mengisiki ayahnya supaya mengusulkan Gogor mengepalai pasukan untuk
memadamkan pemberontakan2 itu. Kalau Gogor pergi, mudahlah bagi Sukra untuk mendekati
Wigati. Ternyata usul Toyoreka itu disetujui. Diputuskan, Gogor dengan pasukan Cokromurti,
menggempur Rawa Keling. Sebagai senopati, Gogor tak dapat membantah perintah itu. Baginya,
tugas negara lebih berat dari kepentingan peribadi. Dan memang tugas tentara itu adalah sebagai
bhayangkara negara. Demikianiah ia segera berkemas, memilih anakbuah yang ikut dan siapa2 yang
harus tetap tinggal menjaga kabupaten.
Malamnya ia ajak Jogelo masuk ke gedung kabupaten untuk mengambil selamat tinggal
dengan Ayu Wigati. Pertemuan mereka kali ini, jauh berbeda dengan yang sudah2, karena diliputi
dengan suasana kesayuan.
" Akang Gogor, aku seperti mendapat firasat bahwa perpisahan kita kali ini akan membawa
hal2 yang tak menyenangkan. Mungkin kita takkan berjumpa lagi, akang, " kata Wigati.
" Oh, sang ayu, janganlah meng-ada2kan yang tak ada. Percayalah dan restuilah agar aku
dapat menyelesaikan tugasku dan segera dapat pulang kembali.
" Memang seharusnya begitu, akang, tapi aku tak dapat membohongi diriku. Namun, akang,
walaupun bagaimana, hatiku selalu beserta padamu."
" Duh sang ayu, se-berat2 tugas negara yang dibebanbankan pada hamba, masih lebih berat
hamba menerima pernyataan sang ayu. Bengawan Silugangga akan kering, gunung akan runtuh,
tetapi kesetyaan hatiku takkan lapuh . .
" Akang, terimalah tanda peringatan ini, " kata Ayu Wigati sembari menyerahkan sebuah
tusuk kundai berbentuk kembang Melati kepada Gogor. Simpanlah baik2, akang, Akan kukirim
pesanku kepada sang Angin, akan kusampaikan doaku kepada sang Dewi Malam dan akan kuberikan
senyumku kepada Hyang Baskara . . .
" Sang ayu, kembang Melati sumumping neng ati-ati (tercantum dihati). "
Wigati mengangguk dan tersenyum . .
T u g a s.
Pemberontakan pasukan kabupaten Wirosobo, telah di-antar dengan upacara meriah.
Senopati Gogor naik kuda para perwira dan tamtama Cokromurti. Jogelo diangkat menjadi wakil
senopati, ia tampak gagah juga. Pengangkatan Jogelo itu bukan didasarkan karena ia gagah perkasa
tapi karena ia pandai menguasai anakbuah pasukan. ,Memang sekalipun sigemuk itu agak limbung,
tapi ia disenangi orang bawahannya.
Rawa Keling jauh dari Wirosobo, kira2 memakan waktu 6-7 hari perjalanan. Rawa Keling itu
terletak didaerah Kawungaten, sebelah barat Kroya. Pada masa itu keadaan didaerah2 seperti
Purbolinggo, Sukaraja, Banyumas, Kroya dsb, masih merupakan hutan belantara. Sebenarnya
perjalanan itu dapat ditempuh dengan naik perahu disungai Serayu, etapi Gogor memilih jalan
didaratan saja. Karena tugas yang diberikan kepada Gogor itu, selain tugas-pokok membasmigerombolan Rawa Keling, pun untuk menilik keadaan daerah2 dan desa2 yang termasuk dalam
kekuasaan Adipati Wargontomo.
Bermula perjalanan mereka itu tak menemui suatu halangan. Apalagi berkat kepandaian
Jogelo menguasai hati orang, sekalian anak pasukan selalu riang gembira.
Pada hari itu merekapun mulai masuk kedaerah Karangkobar. Oleh lurah setempat mereka
disambut dengan perjamuan yang menyenangkan. Tengah malam ketika sekalian orang tidur pulas,
tiba2 mereka dikejutkan oleh suara kuda meringkik dan suara orang mengaduh. Ketika Jogelo dan
Gogor keluar, tampak sesosok bayangan terlempar dari kandang kuda tapi begitu bangun orang itu
segera melarikan diri.
Ternyata ada penjahat hendak mencuri kuda. Rupanya ia ketarik dengan si Putih, tapi baru ia
hendak menjamah, sudah disepak mencelat oleh kuda putih itu.
Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan. Ketika tiba disebuah hutan, tiba2
terdengar suara seperti macam bunyi burung Kulik. Si Putihpun agak gelisah dan meringkik. Gogor
memperingatkan anakbuahnya supaya waspada dan ber-jaga2.
Se-konyong2 suara seram itu terdengar pula dan pada lain kejab terdengar suara mendesing.
Tahu2 sebatang anak-panah melayang kearah Gogor. Gogor cepat menghindar, cret, anakpanah itu
menancap pada pohon ditepi jalan . . .
Jilid III
Dengan tangkas Gogor loncat turun dari kudanya. Pada saat ia hendak mencabut anakpanah
itu, tiba2 dua sosok tubuh loncat keluar dari balik semak dan menikam Gogor.
" Awas, Go . . . , " Jogelo berteriak memperingati Gogor tapi kalah cepat dengan anakmuda
itu yang sudah berputar tubuh dan secepat kilat menendang rubuh salah seprang penyerangnya.
Yang seorang lagi ia sambar tangannya terus dipelintir.
" Lepaskan! " sebuah teriakan mengguntur dan berbareng saat itu sebuah belati melayang.
Gogor cepat dorong orang yang dicekalnya tadi sementara ia sendiripun menyurut mundur. Belati
luput dan menyelinap masuk kedalam semak.
Orang itu tak mau menyerang lagi melainkan menolong kawannya yang jatuh. Sedang
Gogorpun bersiap-siap. Ia memandang kesekeliling tapi tak kelihatan barang seorang manusia.
" Hai, siapa itu? Jangan plintat plintut menyerang secara gelap. Kalau berani keluarlah! "
teriak Jogelo yang sementara itu sudah tiba disisi Gogor.
Sebagai jawaban terdengar suara tertawa nyaring. Seorang demi seorang muncul. Mereka
berbaris berjajar rapi. Muka mereka ditutupi kain hitam, hanya bagian mata, hidung dan mulut yang
kelihatan. Di-tengah2nya berdiri seorang tinggi besar, rupanya yang menjadi pemimpin.
" Hai, siapa kamu? " tegur Jogelo dengan bercekak enggan.
" Ho, orang cebol, jangan petantang petenteng. Panggil pemimpinmu! " seru orarg ti nggi
bwsar itu.
Gogor tampil kemuka dan menanyakan maksud mereka.
" Kalian harus kembali ke Wirosobo lagi! "
" Mengapa? " tanya Gogor.
" Aku hanya diperintahkan melarang kalian. Apa sebabnya, tanya saja pada pemimpin kami.
"
"Dimana pemimpinmu? "
" Di Rawa Upas. "
" Kalau aku menolak? "
" Coba saja kalau kau mampu. "
" Baik, silahkan atur barisanmu. Kita bertempur secara keroyokan atau satu per satu? "" Secara keroyokan kau tentu menang, karena jumlah anakbuahmu lebih banyak dan
lengkap senjatanya. Kita bertempur secara ksatrya, satu lawan satu, " kata pemimpin itu.
" Ho, kau juga mengaku ksatrya? Sudah jangan banyak omong, ajukanlah jagomu. Mari siapa
ingin mencicipi tinju Jogelo, tamtama pilihan dari kabupaten Wirosobo! " Jogelo menyeletuk sambil
busungkan dada.
Seorang bertopeng yang tubuhnya pendek kekar maju. Ia menyerang dengan meninju muka
Jogelo tapi Jogelo pun juga menjotos perut lawan. Bluk, bluk, dua2nya sama tersungkur.
" Setan ales, mengapa kau tak menghindar? " seru penyamun.
" Setan belang, mengapa kau juga tak mau menyingkir? " sahut Jogelo.
Mereka maju lagi. Sipenyamun loncat menubruk, Jogelo hendak menyingkir tapi agak
terlambat, kakinya ke tersambar terus ditindihi. Keduanya main gumul, berguling guling silih
berganti menindih. Tapi rupanya Jogelo Iebih kuat, ia dapat menindih lawan. Tiba 2 Jogelo tertawa
terpingkal2 dan kendorkan jepitannya. " Kurangajar, mengapa kau mengili ketiakku . . . "
Sipenyamun pendek cepat membekuk Jogelo dan menindihnya, tapi se-konyong2 iapun
lepaskan pitingannya dan muntah2 sembari mendekap hidungnya . . . Jogelo cepat memberi sebuah
ketupat (tinju) yang tepat bersarang didagu lawan. Orang itu mencelat kebelakang, untung disambut
oleh seorang penyamun lain.
" Jogelo, jangan kurang ajar! " seorang bertopeng lain loncat maju. Jogelo terbeliak karena
orang mengenal namanya. Selagi ia ter-longong2, orang itu sudah menubruk dan mencekik. Jogelo
berusaha meronta tapi orang itu segera memberinya sebuah bogem mentah (tinju). Tubuh Jogelo
yang pendek gemuk itu seperti bola yang bergelundungan. Tapi anehnya Jogelo tidak jatuh ditempat
barisannya melainkan ditempat musuh. Rupanya orang itu memang segaja berbuat begitu.
" Kau kuat sekali kawan, " seru Gogor ketika loncat maju. Orang itu menyambut dengan
sebuah terjangan. Dua tiga kali ia menerjang tapi selalu luput. Pada terjangan yang ke empat, baru ia
disambut dengan dorongan oleh Gogor. Orang itu terkejut atas kekuatan Gogor, tapi sudah ter
lambat. Ia terpental sampai beberapa meter dan setelah jungkir balik lalu, rubuh.
" Hebat sekali senopati Wirosobo! aku ingin menguji imumu bermain senjata, " seru
sipemimpin topeng hitam seraya menyiapkan tombaknya. Ia terus menusuk tapi dikelit Gogor.
" Hai, senopati, loloslah senjatamu, " serunya demi Gogor tetap bertangan kosong.
" Tak perlu, sepasang tanganku ini cukuplah untuk melayani kau, " sahut Gogor.
" Itu kau sendiri yang mengatakan, jangan menyesal, " seru orang tinggi besar itu sembari
menyerang. la menusuk, menghantam, menyapu dan membabat, namun selalu mendapat angin
kosong. " Setan alas, mengapa main kucingan, " teriaknya dengan napas ter-engah2. Rupanya ia
banyak mengeluarkan tenaga. Setelah mengambil napas sejenak, ia loncat menusuk dan
menghantarn kepala Gogor, krak, sebatang pohon yang besarnya selengan orang, terhantam kutung.
Sedang Gogor entah kemana lenyapnya. Secepat berputar tubuh ia menusuk se -kuat2nya, cret .. .
ujung tombaknya menyusup kedalam batang pohon. Sekali ini Gogor baru bertindak Sebelum oran g
itu ,dapat mencabut tombaknya, ia sudah diringkus Gogor. Karena tengkuknya dicekik, orang itu
mengaduh kesakitan. Ia menyerah. Tetapi alangkah kejut Gogor ketika didapatinya kawanan
penyamun topeng hitam tadi satupun tak ada yang keihatan lagi. Pun anak pasukan Cokromurti tak
kurang kagetnya. Karena tadi asyik mengikuti Senopatinya bertempur, mereka sampai tak
mamperhatikan kawanan penjahat itu.
" Kemana gerombolanmu menghilang? " tanya Gogor. Orang itu menerangkan anakbuahnya
sudah pulang ke Rawa UPas dengan membawa Jogelo. Memang dialah yang memerintahkan
mereka.
" Baik, kau harus membawa aku kesana, " kata Gogor. Ia hanya mengajak seorang tamtama,
Dadang disuruh tinggal disitu bersama anak pasukannya.
Rawa Upas adalah sebuah rawa didalam lembah. Disitu terdapat sebuah goha besar yangdipakai sebagai markas. Ketika tiba, Gogor suruh penyamun tadi melaporkan pemimpinnya. Seorang
kakek tua yang berambut putih tapi masih segar gagah tampak berjalan keluar dengan seorang yang
bertubuh kekar dan bersimbar dada. Karena memakai topeng kain hitam, maka wajahnya tak
kelihatan, Gogor ingat2 lupa seperti sudah pernah bertemu dengan orang semacam itu.
" Anak muda, tahukah kau mengapa kuundang kau kemari? " tanya sitopeng hitam dengan
nadanya yang lantang. Waktu Gogor mengatakan tak tahu, orang itu berkata pula: " Batalkan niatmu
ke Rawa Keling, Mereka bukan pemberontak melainkan hendak membangun kerajaan Hindu lagi.
Lihat, sekarang Pajang dengan Mataram sedang retak hubungannya. Demakpun tentu tak tinggal
diam. Kalau mereka saling bertengkar memperebutkan kerajaan, apa salahnya Rawa Keling
menempuh jalan serupa? "
" Senopati di Mataram itu putera angkat Sultan Pajang. Pertengkaran mereka adalah urusan
dalam kerajaan, Tapi gerombolan Rawa Keling itu hendak memancing ikan diair keruh, mengacau
keamanan negara, " Gogor menyahut.
" Mengacau? Adakah menghimpun orang2 gagah dalam usaha membangun kerajaan Pakuan
itu diaggap mengacau? " seru pemimpin bertopeng itu.
" Jangan coba melanggar kemauan alam. Ibarat rembulan, kerajaan Hindu itu adalah
seumpama rembulan di-fajar hari. Ia sudah pudar dan harus menyerahkan tugasnya menyinari tanah
Jawa ini kepada matahari kerajaan Jawa Islam. Kalau gerakan orang Rawa Keling itu tak boleh dicap
sebagai pengacau tentutah setiap grrombolan pengacau atau penyamun mengajukan alasan yang
serupa, " bantah Gogor, .
" Baik, anak muda, kau pandai bicara tapi entah sampai dimana kepandaianmu berkelahi.
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum kau kesana lebih dulu hendak kuuji kepandaianmu.
" Baik, silahkan. Tapi lebih dulu aku ada janji.
Jika aku kalah aku rela pulang kembali ke Wirosobo. Tapi kalau menang, orangku Jogelo tadi
kuminta, " kata Gogor.
Benggol topeng hitam itu mengiakan dan segera bersiap. Ia membuka serangannya dengan
sebuah jotosan. Kalau lawan memperlihatkan tanda2 menghindar, ia cepat Tarik pulang tangannya.
Tapi kalau lawan lambat menghindar, ia memukul lepas.
Gogor tahu cara lawan bermain. Ia mengatur tipu, pura2 ia hendak menghindar, ketika orang
hendak menarik pulang pukulannya, secepat kilat ia maju menghantam. Bluk, pundak kiri lawan kena
dihantamnya tapi karena orang juga menghantam maka pundaknya juga kena. Keduanya terpental
sampai beberapa langkah. Setelah itu, mereka bertempur lebih seru tapi lebih ber-hati2.
Menjelang jurus yang ke 80, setelah menangkis, Gogor melontarkan sebuah pukulan
dahsyat. Ia yakin sekali ini musuh tentu terguling. Se-konyong2 orang itu menggembor keras sekali
sehingga Gogor tertegun. Samar2 ia seperti sudah pernah mendengar suara semacam itu.
" Godeksur . . . "
Belum habis Gogor berseru, orang itu mengirim sebuah tendangan. Dan secepat angin,
selagi tubuh Gogor melayang keudara, orang itu kembali menyusuli membabatkan pedangnya. Krek,
ia tersentak kaget dan berbalik ter-longong2. Terang sabatannya itu mengenai perut lawan, tapi
anehnya pemuda itu tak kena apa2. Ia tersentak kaget ketika ,,ada sebuah kaki menendang
pergelangan tangannya dan sebuah tinju melayang kedadanya. Hendak menghindar, sudah
terlambat. Bluk, bersamaan dengan saat pedangnya terlempar keudara, tubuhnyapun jatuh
terjerembab.
Kekalahan Gogor yang tiba2 berobah menjadi kemenangan itu ternyata berkat sabuknya.
Tabasan pedang lawan tadi mengenai sabuk kulit binyawak yang tak mempan senjata. Naik atau
turun sedikit saja, pedang pemimpin topeng hitam itu tentu berhasil membelah perut Gogor.
Habis menghantam tubuh lawan, Gogor enjot tubuhnya menyambar pedang yang meluncurturun dari udara, terus diancamkan ketenggorokan orang, bukannya hendak membunuh tetapi
hanya untuk memaksa lawan menyerah.
"Jangan main2 dengan jiwa muridku! " tiba2 terdengar bentakan keras dan sesosok tubuhpun
melayang. Belum orangnya tiba, sebuah benda sudah menyambar. Tring, pedang Gogor tergetar
keras hingga tangan pernuda itu kesakitan dan terpaksa lepaskan pedangnya terus loncat mundur.
Kakek berambut putih tadi sudah berdiri tegak dihadapannya. Melihat muridnya terancam,
kakek itu loncat sembari taburkan sebuah batu. Batu itu kecil dan batu biasa, tetapi ditangan sikakek
benda itu berobah sifatnya menjadi semacam pelor besi yang kuat sekali. Kalau seorang yang
mempunyai tenaga kuat seperti Gogor sampai dipaksa melepaskan pedangnya, dapatlah kiranya
diketahui sampai dimana kesaktian kakek berambut putih itu.
" Anak muda, kau hebat sekali! Aku tua bangka ini, ingin main2 dengan kau barang beberapa
jurus saja, " kata kakek itu.
" Siapa nama kakek yang mulia? " tanya. Gogor.
" Teluhbraja!"
" Teluhbraja? " ulang Gogor dengan kaget, " bukankah kyai ini guru Godeksura? Kalau
begitu, pemimpin topeng hitam itu tadi Godeksura? "
" Hm, benar. "
" Tetapi mengapa kyai turut campur urusan ini? Bukankah kyai rakyat kerajaan Jawa,
mengapa membantu gerakan orang2 yang hendak membangun kerajaan Pakuan? "
" Aku tidak mencampuri urusan negara. Aku tidak membantu urusannya tetapi membantu
orangnya. Aku membantu Gentonglodong bukan karena ia hendak membangun kerajaan Hindu,
tetapi karena ia adalah murid dan menantuku, " sahut Teluhbraja.
" Tapi diri Gentonglodong itu tak dapat dipisahkan dengan usahanya memberontak, " bantah
Gogor.
"Anak muda, jangan mencampur-adukkan orang dengan urusan. Kau boleh menuduh apa
saja, tapi bagiku aku tetap pada pendirianku tadi. Sudahlah anak muda, jangan buang tempo. Hayo,
kita malai main2. Pakailah senjatamu, akan kulayani dengan tangan kosong, " kata Teluhbraja.
"Tidak, kyai, akupun akan melayani kyai dengan tangan kosong juga."
"Baik, kita main2 dengan tangan kosong dululah. Marik, kau serang dulu."
Kalau terhadap lain orang, Gogor tentu tak mau menyerang dulu. Tetapi karena Teluhbraja
itu tingkatannya seangkatan dengan gurunya, kalau ia tak mau menyerang itu dapat diartikan ia
memandang rendah pada kyai tersebut. Maka tanpa ragu2 setelah mengucap maaf, ia segera
menyerang.
Sebagai seorang angkatan tua, Teluhbraja tetap pegang harga diri. Ia mengalah dirinya
diserang sampai lima jurus dengan tak mau menangkis atau balas menyerang. Tapi ia menjadi kaget
demi gerakan anak muda itu laksana angin cepatnya, bagai hujan mencurah gencarnya. Ia
berloncatan kian kemari dan dengan susah payah barulah ia dapat melewatkan kelima jurus itu. Kyai
itu harus mandi keringat dan bahkan hampir saja ia termakan oleh pukulan anak muda coba tidak
dalam saat2 yang berbahaya ia dapat membuang tubuhnya berjumpalitan kebelakang. Sambil
mengusap peluhnya, diam2 ia memuji kelihayan. sianak muda.
" Bagus anak muda, sekarang aku hendak balas menyerang. Kalau kalau sanggup bertahan
sampai 10 jurus, kau menang, " kata Teluhbraja.
" Terserah kyai, aku hanya menurut saja, " tetap Gogor masih menghormati kakek itu. Tadi ia
melihat sendiri bagaimana kelincahan kakek maka ia tak berani memandang rendah dan diam 2
merencanakan akan melayani dengan ilmu Tapak-angin.
Terjangan pertama dari Teluhbraja seolah2 seperti seekor elang menyambar. Gogor
menghindar kesamping tapi secepat kilat kyai itu sudah merangsangnya pula hingga Gogor terpaksabuang tuhuhnya berjumpalitan kebelakang.
" Bagus anak muda, kau telah dapat menghindari seranganku pertama dengan baik. Inilah
seranganku yang kedua! " seruan Teluhbraja itu dibarengi dengan sebuah pukulan. Ketika Gogor
berkelit, Teluhbraja menendangnya dan ketika Gogor loncat mundur, kyai itu sudah maju
meninjunya. Serangan ber-tubi2 itu dilakukan dengan gencar sekali sehingga Gogor tak sempat
menghindar lagi. Dalam keadaan begitu tak ada lain jalan baginya kecuali menangkis. .
Krak, Gogor tersurut mundur sampai tiga langkah tapi Teluhbrajapun tersurut satu langkah.
Dengan benturan itu tahulah Gogor kalau tenaga dalamnya masih kalah dengan lawan. Kini ia
bertempur dengan hati2. Ia gunakan gerak-cepat Tapak-angin untuk menjalankan ilmu
permainannya Kera-putih. Pertandingan antara seorang gembong tua dengan seorang anak muda itu
menyerupai pertempuran antar harimau lawan ular. Yang satu dahsyat beringas, yang satu tenang
lincah. Teluhbraja mengandalkan kekebalan badan dan menyerang seru, Gogor tahu hal itu maka ia
berlaku tenang untuk menguasai setiap gerakan lawan. Begitu lawan menyerang, ia tangkis atau
hindari. Setiap ada kesempatan balas menyerang bahkan ada kalanya ia mendahului menyerang
sebelum diserang.
Diam-diam Teluhbraja memuji lawan. Masih semuda itu ternyata Gogor hebat sekali
kepandaiannya. Teluhbraja penasaran, bagaimanapun ia harus dapat menundukk anak muda itu
supaya kemasyhuran namanya tidak jatuh. Pertempuran seru itu telah berjalan 9jurus, kurang
sejurus lagi sudah selesai. Sekonyong-konyong ia menggembor keras, jauh lebih keras dari gemboran
Godeksura tadi. Pada saat itu Gogor tengah lancarkan pukulan, ia tertegun. Telubraja ayunkan
tangan kanan, menyusul tangan kirinya. menyodok lambung. Gogor surutkan tubuhnya kebelakang,
kemudian untuk serangan lambung ia menangkisnya. Tapi alangkah kejutnya ketika tiba-tiba tangan
kanan Teluhbradia yang semestinya masih kurang sekilan (sejengkal jari tangan dari pundaknya itu,
berobah panjang. Gogor gugup karena ia sedang sibuk menjaga lambungnya., buru2 ia kerahkan
tenaga-dalam kebahunya. Bluk, ia terpelanting. Untung dapat berjumpalitan dan berdiri tegak.
Bahunya terasa sakit.
Teluhbraja tadi gunakan ilmu Luwing-sekilan, suatu ilmu untuk memanjangkan tulang. Ilmu
itu sukar diyakinkan karena orang harus membenam diri didalam air selama 4hari untuk membikin
lemas tulang belulang. Latihan-latihannya harus dilakukan didalam air. Karena sukarnya ilmu itu
Godeksura belum diberi ajaran.
"anak muda, kau hanya setengah kalah karena kau masih dapat berdiri tegak. Sekarang hayo
kita main dengan senjata, " seru Teluubraja sembari mengambil tongkatnya.
Tongkat itu aneh bentuknya. Pangkal atas berupa ukir2an kepala ular, sedang ujung bawahnya
merupakan ekor ular dibalut dengan besi runcing yang dilumuri racun.
Gogor melolos sabuk pinggangnya. Ia mainkan sabuk itu dengan ilmu golok Angin-lesus.
Sekarang tongkat Telult-braja yang laksana ribuan ular memagut itu, selalu dapat dihalau Gogor,
kalau tidak ditangkis tentu dapat dikelit. Gogor menderita kekalahan tadi karena tak menyangka
kalau lawan mempunyai ilmu memanjangkan tulang. Kini ia bertempur dengan penuh semangat dan
hati2. pertempuran berjalan dengan serunya. Tahu2 sudah berjalan sampai 50-an jurus, namun masih
belum ada yang kalah atau menang.
Tempat mereka bertempur itu adalah dimuka halaman goha, ditepi rawa. Didalam rawa itu
dipelihara banyak sekali, ular berbisa dan kelabang serta lintah. Pertempuran mereka sudah
mencapai 100-an jurus lebih. Hari sudah mulai petang karena matahari sudah terbenam. Teluhbraja
amat bernapsu sekali hendak lekas2 menyelesaikan pertempuran itu, tetapi ternyata bukan makin
lelah sebaliknya makin lama Gogor makin perkasa. Ber-puluh2 jurus kembali telah lewat.
" Kena!" sekonyong Teluhbraja berteriak. Dalam suatu gerakan yang istimewa ia dapat
menipu lawan. Setelah menangkis sabuk Gogor, ia lanjutkan dengan sebuah tusukan dan pukulantangan kiri. Karena menangkis pukulan, Gogor tak sempat lagi menghindar dari tusukan ujung
tongkat. Lagi2 bahunya yang kena, luka itu mengeluarkan sedikit darah. Bermula Gogor tak
menghiraukan ,tapi setelah berselang beberapa gebrak lagi, ia rasakan lengannya kiri lemas lunglai.
Jantungnyapun berdebaran keras.
" Celaka, aku kena racun. Kurangajar, kyai ini telah melumuri racun pada tongkatnya, "diam 2
ia mengeluh kaget. Karena orang berlaku ganas marahlah ia.
Ia menyerang dengan gencar seolah-olah berkejaran dengan waktu. Detik demi detik, rasa
nyeri itu makin merangsang naik. Lengan kirinya kaku tak dapat digerakkan lagi. Karena serangan
kalap itu, Teluhbraja sibuk tak keruan. Ia tahu bahwa lawan mulai lemas maka iapun segera hendak
mengachiri pertempuran. Ketika Gogor maju menyabat, ia tak mau menghindar malah maju
merapat dan kirim sebuah tendangan. Ia perhitungkan sabatan sabuk lawan itu tentu tak dapat
mengapa-apakan dirinya.
Walaupun tahu bahwa ia tentu celaka oIeh tendangan Teluhbraja, tapi karena jaraknya
begitu rapat, Gogor tak mungkin menghindar lagi. Maka jalan satu-satunya yalah:- sama-sama mati
bareng. Ia kerahkan sisa tenaganya yang masih ada untuk menyabat. Blak, plak, bum . . . Gogor
terlempar kedalam rawa upas. Tetapi Teluhbrajapun medumprah ketanah tak dapat bangun. Sabuk
kulit binyawak telah meremukkan tulang bahunya. Teluhbraja tak mengira sama sekali bahwa sabuk
sianakmuda itu ternyata mempunyai khasiat luar biasa untuk menghancurkan ilmu kebal. Ketika
Godek-sura mengangkatnya bangun ternyata Teluhbraja sudah tak punya kekuatan lagi. Ia menjadi
invalid. Seorang kyai sakti yang termasyhur karena kekejamannya telah kehilangan segala-galanya.
Walaupun jiwanya masih tapi ia menjadi Seorang invalid yang ludas ilmu kesaktiannya. Tulang bahu
adalah pusat tenaga, Kalau tulang itu remuk, orang tentu tak punya kekuatan lagi.
Godeksura girang karena Gogor terlempar kedalam rawa yang penuh ular berbisa, kelabang
dan lintah. Ia percaya anakmuda itu pasti binasa, Tapi ia berduka karena gurunya telah menderita
cidera yang begitu mengenaskan. Segera ia memondong gurunya kedalam goha untuk diberi
pertolongan.
Lapangan tepi rawa yang tadi menjadi gelanggang adu jiwa yang hebat, kini berobah sunyi
kembali. Sekalian anakbuah Godeksura sama masuk kedalam goha. Tiba-tiba ada dua sosok
bayangan sama-sama bergerak menuju ketepi rawa. Yang satu dari balik sebuah batu, yang seorang
dari dalam sebuah bilik batu karang.
" Hai, siapa kau! " bentak salah seorarg ketika kedua bayangan itu berpapasan ditepi rawa
" Aku Karsa, " sahut yang ditegur lalu balat bertanya.
" Aku Jogelo, " sahut orang yang menegur itu, " hendak mengapa kau? "
" Aku hendak menolong Gogor. "
" Kau anakbuah Godeksura, mengapa mau menolong musuh? " tanya Jogelo.
"Karena aku pernah menerima budinya " jawab Karsa yang kalu menuturkan peristiwa ketika
Gogor datang di Rawa Pening. "Dan kau kan ditawan dibelakang goha, mengapa dapat keluar?"
Karena berhadapan dengan seorang kawan, Jogelopun memberi keterangan sejujurnya. la
tahu bahwa ternyata kawanan topeng hitam itu adalah anakbuah Godeksura atau kawannya sendiri.
Ketika mendengar Gogor kecemplung didalam rawa ular, timbulah rasa kasiannya. Selama bergaul
dengan anakmuda itu, ia banyak mendapat pertolongan dan bantuan. Ia kagum atas pribadi
anakmuda itu dan rasa kagum itu pelan2 berobah menjadi rasa sayang. Sebagai seorang jujur
berontaklah batinnya. Mengapa ia mau dijadikan pekakas Sukra? Apa salah Gogor? Lebih2 karena
sering dimaki2 Sukra, ia jengkel dan jemu terhadap anak muda itu. Ia tak mau memberi laporan dan
menerima uang Sukra lagi.
Kini Gogor dalam bahaya. Ia harus lekas2 menolongnya. Dua orang penjaga yang disuruh
mengawaninya, diringkus dan diikatnya. Setelah menyumpal mulut mereka, iapun segera keluar.
Tapi ia segera menjadi bingung ketika harus mencari jalan untuk mencari Gogor." Jangan kuatir, biarlah aku menyelam kedalam rawa ini," kata Karsa.
" Tapi apa kau tak digigit ular?" tanya Jogelo.
" Tidak, karena aku telah mencuri botol minyak dari bilik kyai Teluhbrojo. Sekujur badanku
kulumuri dengan minyak itu. Karena bau minyak itu, ular2 dan kelabang2 tentu menyingkir, " Karsa
menerangkan.
Jogelo girang sekali dan suruh Karsa segera menyelam dalam rawa. Benar juga, kawanan ular
dan kelabang tak berani mengganggu Karsa. Setelah berenaug kian kemari didalam rawa achirnya ia
berhasil menemukan tubuh Gogor. Cepat ia menarik keluar dan dibawa kedaratan. Gogor tampak
pucat dan napasnya berhenti. Tubuhnya tak ujut daging lagi karena penuh dikerumuni lintah. Jogelo
dan Karsa cepat2 mencabuti binatang itu. Mereka dapatkan tubuh anakmuda itu masih hangat,
Mereka segera menguruti dada dan sekujur tubuh Gogor. Untuk kegirangan mereka, wajag Gogor
pelan2 berangsur merah, namun orangnya masih tetap tak ingat orang. Kuatir kalau dipergoki
anakbuah topeng hitam, Jogelo dan Karsa segera memanggul Gogor pergi. Disebuah hutan mereka
bertemu dengan tamtama yang rnembawa si Putih. Dalam perundingan diputuskan, Joge lo disuruh
naik si Putih dan membawa Gogor kembali ketempat barisannya. Si tamtarna akan menyusul dengan
berjalan kaki. Sedang Karsa kembali kedalam goha lagi agar jangan dicurigai orang2 topeng hitam.
Ditengah jalan tiba2 Jogelo dipegat oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berikat kepala kain wulung. Kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu tampak
masih segar. Yang luar biasa pada kakek itu adalah sepasang matanya yang ber-kilat2 tajam.
" Pak tua, mengapa kau menghadang jalan? " tegur Jogelo.
" Siapa yang kaubawa itu? " kakek itu balas bertanya.
" Gogor, senopati Wirosobo. Ia terkena luka beracun dan mati! "
" Gogor mati? Mana berikan padaku! "
" Jangan bergurau, pak. Siapa kau, orang Rawa Upas? "
" Siapa bergurau padamu. Jangan buang waktu, lekas berikan senopati itu kepadaku. "
" Baik, " seru Jogelo sembari keprak si Putih menerjang kemuka. Kakek itu menghindar
kesamping dan secepat kilat menyambar ekor si Putih. Seketika kuda itu terhenti, meringkik dan
melonjak keatas. Jogelo dan Gogor tergelincir jatuh. Sebelum ia sempat bangun tahu2 tengkuknya
dipijat sebuah tangan yang kuat. Seketika itu Jogelo tak dapat berkutik lagi. Ia hanya dapat
mengawasi sikakek menghampiri Gogor dan setelah membuka baju dan mengendorkan celana
sianak muda, kakek itu mulai meng-urut2 sekujur badannya. Setelah itu ia mengeluarkan dua butir pil
dan meminumkan kemulut Gogor.
" Ah, untung tak terlambat, " kata kakek itu seorang diri lalu menghampiri Jogelo untuk
memijat bahunya. Seketika itu Jogelo dapat bergerak dan bangun. "Nak, senapatimu ketulungan.
Sejam lagi ia tentu tersadar. Nanti kau beri minum dua butir pil lagi dan selanjutnya dalam tiga hari
suruh ia minum dua butir pil setiap pagi dan sore. Selama tiga hari itu ia harus mengasoh dan
menjalankan latihan pernapasan. Nah, simpanlah pil ini. " kata kakek itu sembari memberi 10 butir
pil sebesar biji jagung.
" Terima kasih, pak. Tapi siapakah nama bapak ini?" tanya Jogelo.
"Sudahlah, kau nanti dapat bertanya pada senopatimu ini. Aku tak punya waktu karena
masih ada urusan penting, " kata kakek itu sembari angkat kaki. Tampaknya seperti orang berjalan
tapi cepatnya bukan kepalang. Dalam beberapa kejab saja lenyaplah sudah bayangan kakek aneh itu.
Jogelo mengangkat Gogor dibawa kesebuah tempat 'yang terlindung dibalik semak. Si
Putihpun mengikuti berbaring didekat situ. Ini untuk menjaga kemungkinan apabila kawanan topeng
hitam mengejar.
Benar juga selang sejam kemudian tampak Gogor membuka matanya. Yang pertama kali
terdengar jalah mulut-Nya mengaduh kesakitan karena tulangnya terasa sakit. Ia hendak bangun tapi
tak dapat karena tenaganya masih lemas sekali. Jogelo memberinya sebuah senyum girang. Iamelarang anak muda itu bangun, lalu mencari air dan meminumkan dua butir pil kemulut Gogor.
Gogor menurut saja, habis minum pil ia tidur lagi. Semalam itu Jogelo tak tidur, ia menjaga disisi
Gogor.
Keesokan harinya Gogor dapat bangun. Ia merasa lapar. Karena tak membawa bekal, Jogelo
mencarikan buah2an. Habis itu Jogelo menyuruh Gogor minum pil lagi.
" Jogelo, mengapa kau berada disini bersama aku? " tanya Gogor setelah menghembuskan
sebuah helaan napas longgar.
Jogelo menuturkan pengalamannya ketika dibawa kawanan topeng hitam ke Rawa Upas.
Bermula ia coba meronta2 dari ringkusan beberapa anakbuah topeng hitam, tapi cepat mulutnya
disumbat dan kaki tangannya diikat. Ketika Gogor masih bertempur dengan pemimpin mereka,
diam2 Jogelo dibawa pergi. Setiba di Rawa Upas begitu dilepaskan sumbat dan ikatannya, ia lantas
berontak hendak memukultapi tahu2 ia ditampar kepala oleh seorarg anakbuah topeng hitam. "
Kurangajar, Jogelo, mentang2 kau sudah naik pangkat jadi perwira Wirosobo lantas lupa kawan, ya? "
Jogelo gelagapan, ketika ia hendak bertanya orang itu membuka kain kerudung mukanya
dan ternyata si Banjir, kawannya sendiri.Banjir memberi keterangan bahwa kawanan topeng hitam
itu sebenarnya adalah anakbuah Godeksura. Jogelo ditawan ke Rawa Upas untuk memancing Gogor
datang kesitu. Dan ketika mendengar kabar Gogor terlempar kedalam-rawa, Jogelo lantas lolos dari
tahanan, bertemu Karsa dan sama2 berusaha menolong anakmuda itu.
" Tapi mengapa kau tak mati terbenam dalam rawa yang penuh ular berbisa itu?" tanya
Jogelo.
" Entahlah, tapi kumasih ingat ketika tubuhku melayang kearah rawa, aku masih sempat
memasukkan senjataku sabuk itu kedalam baju. Apa yang terjadi selanjutnya aku tak ingat lagi,"
Gogor menerangkan.
Ya, memang ia tak tahu bahwa suatu kejadian ajaib telah dapat menyelamatkan jiwanya. Hal
itu adalah berkat sabuknya kulit binyawak. Kulit binyawak walaupun sudah ?mati? dijemur kering tapi
karena pada waktu itu belum ada ilmu memasak kulit, jadi masih mentah.
Bermula puluhan ekor ular dan kelabang menggigit tubuh Gogor. Binatang2 itu baru
menyingkir ketika sabuk kulit Gogor menyiarkan bau. Sebagai gantinya kawanan lintah segera
mengerumuni tubuh Gogor, Binatang2 itu tak mempan dengan bau binyawak. Lintah adalah binatang
menghisap darah, berkat lintah2 itulah maka racun gigitan ular dan luka tusukan tongkat Teluhbraja,
dapat dihisap habis. Memang Gogor kehabisan darah, untung ia lekas dapat diketemukan Karsa dan
ditolong keluar.
Waktu Jogelo menceritakan tentang kakek tua tadi, berteriaklah Gogor: " Hai, dimana ia
sekarang? Itulah ayahku! " -- Jogelo terbeliak kaget. Ia menerangkan kyai itu sudah pergi tanpa
meninggalkan pesan apa2. Ya, memang kakek tua tadi adalah kyai Tungguljati. Tapi mengapa
mendadak ia tiba dihutan situ? Kiranya hal itu hanya secara kebetulan saja.
Ditengah hutan Karangkobar terdapat sebuah payau atau rawa-rawa. Pada achir2 ini
didaerah payau itu terbit suatu kejadian aneh yang menggemparkan. Binatang2 sampaipun burung2
yang mendekati payau itu tentu mati. Beberapa penduduk coba menyelidiki, tapi hanya seorang
yang dapat kembali selamat. Yang lain2 menjadi mayat. Menurut keterangan orang itu, kawan2nya
yang menjadi korban itu akibat dari mencium bau keras. Hidung, mulut, mata dan telinga korban2 itu
sama mengeluarkan darah. Mereka meliht ditengah payau ada suatu benda aneh. Bentuknya seperti
orang bayi putih memakai topi caping. Machluk aneh itu seperti ber-gerak2 ditengah payau. Tahu2
serangkum bau yang amat keras sekali semerbak memenuhi payau dan orang2 itupun terjungkal
rubuh.
Tungguljati mendengar juga kejadian aneh itu. Sebagai seorang ahli obat2an, ia mengambil
kesimpulan bahwa benda ajaib itu tentulah sebangsa tanaman atau binatang yang luar biasa.
Kebetulan ia memang berniat turun gunung untuk mengusut siapa orangtua Gogor, Maka ?sekalitepuk dua lalat ' , menyelidiki keanehan dipayau Karangkobar sekalian mengusut orangtua Gogor.
Pertama ia hendak menuju ke payau itu agar bahaya yang mengancam rakyat di daerah situ dapat
lekas dibasmi. Dalam perjalanan, ditengah jalan ia berpapasan dengan Jogelo. Gogor memang belum
ditakdirkan mati. Secara tak terduga-duga ia ditolong oleh kawanan lintah dan secara tak terduga
pula ia bertemu dengan ayah angkatnya.
Tiga hari kemudian Gogor sudah sembuh, hanya masih agak lemah. Ia ajak pasukannya
melanjutkan perjalanan ke Rawa Keling.
R a w a K e l i n g.
" Akang, mengapa kita tak menggempur kesana? " tanya seorang dara kepada seorang
pemuda. Dara itu kira2 baru berumur 17-an tahun, manis dan lincah. Sedang pemuda yang berada
disisinya itu diantara20-an tahun umurnya, tegap dan ganteng.
" Kita tak boleh gegabah. Benar kemarin kita dapat megundurkan mereka, tapi fihak kitapun
menderita kerugian jiwa. Bapak mengatakan supaya kita tetap menjaga disini dan menyambut
mereka dengan anakpanah, " sahut pemuda itu.
" Akang, gagah benar anakmuda itu. Rupanya ia menjadi pemimpinnya. Coba bukan dia yang
mempertahankan, tentu kita sudah dapat membasmi anakbuahnya, " kata dara. Pemuda itu hanya
mendengus. Rupanya ia tak senang dara memuji lain pemuda apalagi seorang musuh.
Siapakah gerangan sepasang muda mudi itu? Kiranya dara itu bernama Rani, puteri tunggal
dari Gentonglodong kepala Rawa Keling. Sipemuda bernama Gita, murid kesayangan dari
Gentonglodong. Gita adalah anak dari seorang sahabat Gentonglodong yang binasa ketika kerajaan
Pakuan diserang tentara Banten. Anak itu dirawat dan diasuh oleh Ge tonglodong. Sejak kecil Gita
dan Rani main2 bersama, belajar ilmu kesaktian bersama. Karena tak punya putera lelaki maka
Gentonglodongpun memberikan didikan ilmu ke saktian kepada Rani. Hubungan mereka bermula
hanya sebagai kakak beradik tapi dengan keberangkatan mereka keaIam dewasa, diam-diam Gita
menaruh cinta kepada Rani. Sebaliknya Rani masih kosong pikirannya. Cintanya kepada Gita itu
hanya sebagai seorang adik kepada kakak. Memang Gita belum pernah mengutarakan isi hatinya
karena ia anggap belum waktunya.
Pada saat itu mereka bersama anakbuah Rawa KeIing sedang siap ditepi rawa untuk
menyambut serangan pasukan Cokromurti. Memang Gogor dengan pasukan telah tiba di Rawa
Keling. Berbeda dengan Rawa Upas yang hanya merupakan sebuah rawa kecil, Rawa Keling itu amat
luas. Untuk mencapai markas kaum Rawa Keling, Gogor harus menyeberangi rawa itu dengan
perahu. Setelah membuat perIengkapan seperlunya, kemarin Gogor mulai bergerak. Tapi
kedatangan perahu2 Gogor itu telah disambut hangat oleh anakbuah Gentonglodong. Dalam srrbuan
pertama itu Gogo mengalami kekalahan dan terpaksa balik kepangkalannya.
Yang menjadi pemikirannya yalah bagaimana harus menghadapi hujan anakpanah dari kaum
Rawa Keling, Fihaknya sudah kehabisan anakpanah untuk membuatnya harus memakan waktu
beberapa hari. Sampai jauh malam Gogor tak dapat tidur. Ia memandang keluar kemah. Hujan turun
deras. Pikirannya bekerja keras bagaimana dapat menyerang pertahanan musuh. Tapi makin keras
memikirkan, makin buntu otaknya. Karena hatinya kesal, ia berbaring dipembaringan yang terbuat
dari tumpukan dami. Begitu melihat tumpukan dami yang empuk dan Iunak itu, seketika ia loncat
bangun. " Ha, ketemu sekarang. Cara ini tentu berhasil, serunya dengan girang.
Seketika itu juga ia berlari keluar dan memerintahkan anakbuahnya untuk menutupi perahu2
dengan tumpukan dami. Malam itu juga ia suruh Jogelo dan Dadang masing-masing memimpin 20tamtama dengan mengitari rawa, memotong belakang barisan musuh. Jogelo mengitari kejurusan
utara dan Dadang dari jurusan selatan. Walaupun masih hujan lebat, Jogelo dan Dadang segera
berangkat juga. Dinihari, ketika hujan berhenti kabut turun dengan tebalnya sehingga permukaan
rawa itu tertutup semua. Saat k itu Gogor segera ajak anakbuahnya naik perahu. Sekalian anak
pasukan merasa heran, mereka sudah kehabisan anak-panah.
" Kalian tak usah menyerang, cukup nanti ber-sorak2 saja untuk menarik perhatian musuh, "
kata Gogor.
Barisan Rawa Keling terperanjat demi mendengar sorak sorai yang gempar dari dalam kabut
yang menutupi permukaan rawa. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera , lepaskan anakpanah.
Ribuan batang anakpanah mencurah bagai hujan tapi sorak sorai itu bukannya reda sebaliknya
malah makin ramai. Mereka gugup sekali dan memanah kalang kabut. Dalam beberapa saat,
habislah anakpanah mereka.
" Siapkan pedang dan tombak! " perintah Gita yang memimpin pertahanan pasukan Rawa
Keling itu.
Mereka menanti dengan berdebar-debar. Dari dalam kabut yang sudah menipis itu,
muncullah 10 onggok dami yang berlajar diatas air. Onggok dami penuh bertaburan dengan
anakpanah. Tumpukan-tumpukan dami itu makin mendekati tepi.
" Akang, kita tertipu musuh. Onggok dami itu tentu perahu mereka. Anakpanah kita se mua
tertancap didami itu, " kata Rani.
" Ya, Rani, orang-orang Wirosobo itu cerdik sekali menipu kita .. . . " baru Gita berkata
begitu, dari balik onggok dami itu muncul tamtama-tamtama yang mencabuti anakpanah dan
membidikkan kearah pasukan Rawa Keling. Terdengar jeritan mengaduh dari beberapa anakbuah
Gita yang rubuh.
" Mundur! " teriak Gita untuk mengatasi kekalutan barisannyaa. Setelah mengambil
kedudukan yang baik, ia memberi perintah lagi: " Sulut sisa anakpanah yang masih dan lepaskan
kearah perahu dami mereka! "
Puluhan panah api segera berhamburan kearah perahu dami. Dalam sekejab saja,
tumpukan-tumpukan dami itu terjilat api. Gogor cepat perintahkan anakbuahnya untuk
melemparkan tumpukan dami kedalam air. Dengan dilindungi oleh serangan anakpanah yang masih
belum terbakar, dapatlah Gogor mendarat ditepi rawa. Dengan bersorak gegap gempita, pasukan
Cokromurti menghunus pedang dan maju menyerbu.
" Hujani batu! " teriak Gita. Memang sebelumnya Gita sudah menyiapkan pertahanan yang
rapi. Kalau pertahanan dengan anakpanah bobol, ia akan mundur ketempat persediaan batu.
Karena serangan batu itu, serbuan pasukan Cokromurti terpaksa terhenti. Beberapa saat
kemudian, kembali mereka maju. Kalini pasukan Rawa Keling tak melempari batu lagi. Rupanya
persediaan batu mereka sudah habis.
" Mundur kepertahanan ketiga!" perintah Gita.
" Aduh, celaka kakiku!'' teriak beberapa anakbuah Cokromurti. Kaki mereka berlumuran
darah karena terpijak duri. Ternyata disepanjang garis pertahanan ketiga itu penuh ditaburi dengan
duri yang tajam2. Gogor perintahkan supaya mengambil batu2 tadi dan dilemparkan sepanjang
jalanan berduri itu. Dengan berjalan diatas batu itu dapatlah pasukan Cokromurti maju menyerang
lagi.
" Mundur kepertahanan keempat!" kembali Gita memberi komando. Disepanjang jalan
panuh dengan daun2 pisang.
" Buset, kurang ajar, aku tak dapat jalan! " kembali terdengar teriakan pasukan Wirosobo.
Kaki mereka terlekat pada daun2 itu karena ternyata daun-daun itu dilumuri dengan getah.
" Akang, kita serang saja sekarang selagi mereka sibuk menghilangi getah," kata Rani.
" Jangan, Rani. Biarkan mereka kelabakan tahu rasa dulu. Nanti dalam pertahanan yangterachir baru kita hantam, " jawab Gita. Karena pasukan Wirosobo sudah mulai maju lagi, ia segera
perintahkan anakbuahnya mundur kepertahanan yang kelima. Pertahanan itu merupakan
pertahanan yang terachir. " Siapkan senjatamu semua. Sekali ini kita hajar tikus-tikus Wirosobo itu,"
serunya kepada sekalian anakbuah.
Pasukan Cokromurti yang sudah beberapa kali mengalami rintangan2 istimewa itu, mulai
ber-hati2. Tapi mereka merasa aneh mengapa kalini disepanjang jalan tak tampak sesuatu yang
mencurigakan. Malah sekarang disana tampak pasukan Rawa Keling bersiap ditengah jalan seperti
akan bertempur. Gogor segera pimpin anakbuahnya menerjang maju.
" Aduh . . . aduh . . . aduh . . . tolong . . tolong. "
" Ha, ha, modar kamu sekalian! " teriak pasukan Rawa Keling ketika melihat musuh
terjerumus kedalam lubang jebakan. Lubang itu dalamnya hampir 3 meter, didasarnya penuh
ditaburi duri2 tajam. Karena atasnya ditutup dengan tanah rata, maka pasukan Wirosobo tak
menduga sama sekali. Mereka kejeblus semua, tindih menindih tak keruan.
Dengan menghunus senjata, anakbuah Rawa Keling berlarian menghampiri. Tetapi mereka
dikejutkan dengan melayangnya sesosok tubuh dari dalam lubang itu. Itulah Gogor. Ketika melayang
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turun, diam2 ia mengeluh. Cepat ia injakkan kakinya kanan pada kakinya kiri, dengan meminjam
tenaga injakkan itu ia menggeliat dan berjumpalitan keatas dan berhasil keluar dari lubang jebakan.
Dan begitu luar ia segera segera mengamuk musuh dengan pedangnya. Anak buah Rawa Keling
kocar kacir.
" Minggir! ' tiba2 terdengar bentakan keras. Seorang muda gagah maju menerjang Gogor.
Anakbuah Rawa Keling sama menyisih dan berbaris mengelilingi tempat pertempuran itu. Mereka
menyaksikan pemimpin mereka, Gita, menempur senopati Wirosobo. Apabila perlu mereka hendak
mengeroyok senopati itu.
Gita bersenjata sepasang klewang (semacam golok), menabas kepala dan membabat kaki
lawan. Untuk itu Gogor loncat sembari menangkis, tapi cepat Gita menarik ulang tabasannya lalu
menusuk. " Bagus! " seru Gogor menerjang kesamping, secepat kilat iapun menusuk lambung. Gita
menangkis dengan klewang kiri kemudian klewang kanannya dibuat membacok.
Demikianlah kedua pemuda itu bertempur seru. Sebagai murid kesayangan dari
Gentonglodong, Gita telah mewarisi hampir seluruh kepandaian gurunya. Walaupun Gentonglodong
itu murid Teluhbraja, tapi sejak ia menetap dinegeri Pejajaran ia menuntut ilmu kesaktian lagi dari
beberapa pendeta Hindu. Dalam beberapa hal, Gentonglodong lebih unggul dari Teluhbraja. Gerak
permainan sepasang klewang Gita itu menyerupai dengan pagutan ular kobra. Permainannya
mempunyai banyak ragam perobahan yang sukar diduga. Ada kalanya serangannya amat dahsyat
tapi ternyata kosong atau hanya gertakan belaka. Ada kalanya tusukan itu seperti acuh tak acuh,
tetapi ternyata malah berobah menjadi serangan berbahaya. Gogor terpaksa harus ber-hati2
melayaninya. Tapi bagaimanapun karena masih asing dengan permainan lawan, Gogor lebih banyak
bertahan dari menyerang.
Se-konyong2 dibarisan Rawa Keling terbit kekacauan. Terdengar suara orang berteriak
mengaduh dan dering senjata beradu. Rupanya disana terjadi pertempuran. Kiranya Jogelo dengan
anak buahnya telah datang menyerbu musuh. Tak berapa lama kemudian Dadangpun datang.
Seketika kalutlah barisan Rawa Keling.
" Rani, hancurkan musuh itu, " seru Gita demi mendengar laporan anak buahnya. Setelah
dara itu pergi ia segera suruh anak buahnya membunyikan kentongan untuk memberitahukan pada
markas diatas.
Rani sidara lincah, cepat mainkan goloknya untuk membuka jalan. Yang petama ia jumpai
adalah seorang perwira musuh yang bertubuh gemuk pendek.
" Hai ada Srikandi mengamuk, " teriak si gemuk itu."Jangan kurangajar, orangutan. Sebutkan namamu jangan mati tanpa nama ! " bentak Rani.
" Mati aku! aku ini manusia bukan orangutan, masakkan orangutan pakai celana sebagus ini.
Aku juga punya nama, kalau kusebut tentu kau kecewa. "sahut sigemuk dengan menyeringaikan
hidung.
" Sebutlah, siapa sudi merasa kecewa padamu, " tanpa terasa Rani belum mau menyerang
karena terbawa percakapan sigemuk yang aneh.
" Tak percaya? Baik, dengarlah. Namaku yalah Jogelo! " seru Jogelo dengan busungkan dada,
" ha, kau kecewa begitu. Hai, jangan marah... "
Ternyata Rani agak terlongong mendengar nama orang yang lucu, tapi ketika Jogelo
mengejeknya, marahlah dara itu, Tanpa menunggu orang selesai bicara ia lantas loncat menyerang.
Saking kagetnya Jogelo loncat mundur dan bum .... kakinya terantuk batu dan terpeleset jauh
tersungkur." Hai nanti dulu, kalau kau wanita ksatria. jangan menyerang orang yang sedang jatuh.
Biar aku bangun dulu, aku belum kalah," seru sigila itu sambil merangkak bangun.
" Hi, hi, " dara itu tertawa geli. " Nah, sudah siap? Siapa yang menyerang dulu?"
" Aku pria kau wanita sudah tentu pria harus mengalah pada wanita. Silahkan kau
menyerang lebih dulu! "
" Baik, " seru Rani yang terus menyerangnya. Jogelo menangkis tapi Rani cepat menarik
pulang golok untuk babatkan kebawah. Ketika Jogelo loncat kembali, Rani sudah menarik goloknya
dan ditusukkan keperut. Jogelo kaget dan buru2 menangkis. Kalini Rani tak menarik senjatanya tapi
pada waktu kedua senjata berbenturan, dara itu gelincirkan goloknya kebatang pedang Jogelo terus
dipapaskan ketangannya. Dan berbareng itu kaki Rani mendupak. Serangan istimewa itu telah
membuat Jogelo kelabakan. Kalau ia sayang pedangnya perutnya tentu termakan kaki sidara, kalau
sayang kantong-nasi tangannya tentu kurung. Achirnya ia terpaksa lepaskan pedangnya dan loncat
kebelakang.
Tapi ternyata Rani gesit sekali. Sebelum Jogelo sempat berdiri tegak ujung golok Rani sudah
melekat ditenggorokannya. " Hayo, menyerah tidak? "bentak dara itu.
" Suruh menyerah, mau saja. Tapi hai, siapa itu . . . !" tiba2 Jogelo berseru dengan nada kaget
sembari menuding kemuka. Tanpa terasa Rani berpaling kebelakang tapi tak melihat apa2. " Siapa? "
serunya sembari memandang' kemuka lagi. Tapi ternyata Jogelo sudah berdiri disana dengan
mencekal pedang dan tertawa geli.
" Kurangajar, kau menipu aku! " teriak Rani seraya loncat menerjang. Jogelopun siap
menyambutnya. Ia tak percaya kalau tak dapat mengalahkan seorang anak perempuan. Tapi
ternyata ia harus menyumpahi dirinya sendiri mengapa berbadan gemuk sehingga tak dapat
mengimbangi gerakan sidara yang lincah sekali. Jogelo mandi keringat dan napasnya mulai senin
kemis, malah celana dan bajunya robek karena sabatan Rani.
Pada suatu saat karena tertipu, dada Jogelo terancam dengan ujung golok Rani. Jogelo sudah
tak sempatmenangkis lagi dan ia sudah meramkan mata sambil meratap: " Mati aku sekarang!"
Tring, tiba2 ujung golok sidara yang sudah menyentuh dada Jogelo itu tergetar keras hingga
jatuh dan tangan Ranipun terasa sakit sekali. Sebuah batu kerikil telah menghantam golok Rani,
berbareng itu terdengar sebuah seruan : "Jogelo, jangan bikin malu! Masakan kau kalah dengan
anakperempuan, minggirlah!" Belum seruan itu habis, Gogor sudah loncat datang. Ia memungut
golok Rani menyerahkan kepada yang empunya: " Ni, golokmu! "
Rani merah padam wajahnya. Dari malu ia menjadi gusar dan sebagai jawaban, bukannya ia
menerima golok akan tetapi menerjang dengan tinjunya. Jangan dikira ia seorang anakperempuan
yang lemah. Ia sudah digembleng ayahnya untuk menjadi seorang macan betina. Anakbuah Rawa
Keling tak ada yang berani dengan dara itu. Ada seorang anakbuah, orangnya masih muda dan
bermata keranjang; Tiba2 hendak mengganggu Rani, telah dihajar babak belur oleh sidara.
"Aduh biyung, " jotosan Rani itu mendapat sasaran yang tepat. Tetapi yang kena bukan
Gogor karena anakmuda itu sudah menghindar, melainkan Jogelo yang berada dibelakang Gogor.
Jogelo tadi meramkan mata menunggu kematian, tapi dadanya hanya terasa sakit sedikit (karena
terkerat ujung golok) dan tak sampai mati. Baru ia membuka ta untuk melihat apa yang terjadi, tahu2
perutnya disodok tinju. Ia ter-huyung2 kebelakang sambil mendekap perutnya.
" Rani, hayo kembali kemarkas, bukalah jalan da! " tiba2 terdengar suara Gita yang pada saat
itu sudah menerjang pasukan Wirosobo. Karena amukan anakmuda itu berhasillah ia ajak
anakbuahnya mundur keatas.
" Hai, jangan! " Gogor loncat menabas sebuah pedag yang menyambar kepunggung Rani.
Melihat Jogelo kesakitan, seorang anakbuahnya marah dan membacok Rani, tapi dipukul Gogor.
"Ni, golokmu dan silabkan pulang, " kata Gogor kepada Rani. Ia melarang anakbuahnya
mengganggu dara itu. Rani menatap wajah senopati muda itu sejenak, lalu putar tubuh dan pergi.
Tapi dalam pertempuran, Gogor berhasil mementalkan batang klewang Gita. Selagi Gitaterdesak, tiba2 ia mendengar bunyi kentongan dari arah markas. Kentongan mengingatkan supaya
Gita menarik pulang anakbuahnya. Gita menyerang hebat, ketika Gogor menghindar kebelakang,
Gita cepat gunakan kesempatan itu untuk lari. " Naiklah kemari kalau berani, kami menunggumu! "
seru Gita.
Gogor tak mau mengejar. Ia menghampiri ketempat anakbuahnya yang dipimpin Jogelo.
Justeru sant itu ia lihat Jogelo terancam dadanya. Buru2 ia jemput sebuah kerikil dan ditimpukkan
kegolok Rani. Jogelo berhasil diselamatkan dan Ranipun pulang dengan tinggalkan goloknya.
O h, a s m a r a, a s m a r a . . .
Gogor telah menolong anakbuahnya yang terjeblus dalam lubang jebakan tadi.
Dalam pertempuran itu hampir seluruh anak pasukan Wirosobo terluka. Gogor perintahkan
mereka beristirahat situ. Ia bersama sisa anak buahnya yang hanya berjumlah 20an orang, lanjutkan
penyerbuanuja keatas gunung.
Markas orang Rawa Keling itu bagus sekali letaknya, yalah sebuah lembah yang dikelilingi tanah2
tinggi dari pegunungan. Mulut lembah dijaga oleh beberapa anakbuah tapi kedatangan Gogor tak
dirintangi bahkan dipersilahkan masuk. Gogor menduga lawan tentu sudah mengadakan persiapan.
Markas mereka merupakan sebuah rumah pendopo yang besar. Diserambi pendopo tampak duduk
beberapa orang, dihalaman serambi dijaga oleh beberapa anakbuah yang bersenjata. Gogor
dipersilahkan duduk, sedang Jogelo dan anak pasukanya disuruh berdiri dihalaman.
Gogor agak terkesiap demi dilihatnya Godeksura berada disitu, Gita dan Ranipun hadir,
mereka duduk mengapit seorang lelaki setengah tua, berperawakan sedang tapi padat, Gogor
menduga orang itu tentu pemimpin Rawa Keling dan dugaannya itu memang benar karena ia adalah
Gentonglodong
" Senopati, kutahu kau hanyaa mgemban tugas dari Adipati Wirosobo. Tapi kusangsi kalau
kau memahami tujuan gerakanmu itu," kata Gentonglodong.
"Karena bapak hendak memberontak dengan tujuan hendak membangun kerajaan Pejajaran
lagi, " sahut Gogor.
" Telah kuduga lebih dahulu kau tentu menjawab demikian. Memberontak? Memberontak
kepada siapa? Kepada kerajaan Pajangkah? Bukankah Sultan Pajang itu juga dicap pemberontak oleh
Aria Penangsang karena Joko Tingkir hendak merebut kerajaan Demak? Tapi karena Joko Tingkir
menang, ia berhak menjadi yang dipertuan kerajaan Pajang. Tapi apakah ia berhak terus menerus
mengkangkangi tahta kerajaan? Apakah seluruh rakyatnya tunduk padanya? Tu lihatlah, Sutawaijaya
sudah mulai menyusun kekuatan di Mataram. Ia tentu mempunyai maksud tertentu. Dan andaikata
ia bergerak, ia tentu dicap pemberontak oleh Sultan Pajang. Tapi Sutawijaya tentu mengatakan ia
hanya berjoang untuk melaksanakan cita2nya. Senopati, kau tentu bertanya: habis siapa yang benar?
Kujawab: kebenaran itu dimiliki oleh setiap insan menurut anggapannya sendiri. Tapi kebenaran
mutlak umum, rakyatlah yang menjadi hakim dan sejarah jadi saksinya. Kalau Aria Penangsang, Joko
Tingkir, Sutawijaya boleh berusaha, mengapa aku Gentonglodong tidak boleh? Soal berhasilnya
cita2ku itu tergantung pada usahaku. Memang Wargontomo berhak mengutus kau menumpas aku,
tapi akupun berhak membela usahaku, membela rakyatku."
Gogor terdiam dengan uraian pemimpin Rawa Keling itu. Ia hanya menanyakan bagaimana
maksud tuan rumah. Gentonglodong bersuit keras, lalu menunjuk keatas tanah tinggi: " Senopati,
lihatlah diatas tanah tinggi. Kalau mau, tadi kau dan anakpasukanmu tentu sudah tinasa. " -- Gogor
memandang keatas. Ternyata diatas tanah tinggi itu tampak ratusan anakbuah Rawa Keling siap
dengan busur.
" Kau telah melukai guruku dan tadipun dapat mengalahkan muridku. Dua buah hinaan iturasanya harus kau bayar dengan jiwamu. Sekali kau datang kemari jangan harap kau dapat pulang,
kecuali kau mampu mengalahkan kami, " kata Gentonglodong pula.
Gogor tahu bahwa sekali sudah masuk kesarang harimau ia harus dapat menangkap harimau
itu. Terhadap kawanan pemberontak ia tak boleh memberi ampun. Ia menantang berkelahi dengan
cara apa saja. Gita minta ijin dari gurunya untuk maju. Begitulah keduanya segera terlibat dalam
pertempuran seru. Tapi kalini Gogor tak mau memberi hati. Ia tahu bahwa ia masih harus
menghadapi beberapa jago yang tangguh maka ia percepat pertandingan itu. Habis menabas
klewang Gita sampai mencelat keudara, Gogor menyapu kaki lawan hingga jatuh terpelanting.
" Aku juga akan minta pelajaran padamu, senopati, " tiba2 Rani melengking terus loncat dan
menyerang. Gogor menghindar dan terus main menghindar saja. Diam2 Gentonglodong merasa suka
dengan senopati Wirosobo yang cakap dan gagah itu. Dan entah bagimana pikirannya melayang
kediri anakperempuannya.
" Awas, senopati, jika menghadapi paman Godek, dalam serangan yang merapat " tiba2 dara
itu berbisik. Gogor terkesiap heran tapi Rani sudah loncat keluar gelanggang.
" Gogor, untuk yang ketiga kalinya kita berhadapan lagi. Rupanya kita ini ditakdirkan menjadi
musuh bebuyutan, aku atau kau yang harus mati! " kata Godeksura melangkah kernuka. la memulai
serangannya dengan sebuah terjangan.
Karena orang hanya memakai tinju, maka Gogorpun melayani juga dengan tangan kosong.
Selama dalam pertempuran itu, Godeksura selalu menggenggam tinjunya saja. Tiba2 ketika ia
berhasil menyiak pukulan Gogor, dengan kecepatan kilat ia meninju muka Gogor. Pada saat hampir
mengenai, Godeksura membuka tinjunya. Gogor kaget dan condongkan mukanya kebelakang tapi
pada saat itu hidungnya mencium bau wangi yang keras sekali. Seketika kepalanya pening dan
permainannyapun menjadi kacau. Jogelo dan anakbuahnya menerjang, tapi mereka disambut oleh
anak-buah Rawa Keling.
Dalam pertempuran itu, fihak Wirosobo menderita kekalahan. Dengan susah payah Dadang
dapat menyelamatkan anakpasukannya keluar dari lembah itu, tapi Jogelo kena ditawan. Gogor
makin limbung, pada lain saat ia kena tersapu kakinya dan jatuh terpelanting. Godeksura dengan
geram loncat hendak menghantam.
" Jangan paman, ia sudah pingsan, " Rani loncat menghadang. Gitapun menghampiri dan
menegur sidara " Rani, mengapa kau membantu seorang musuh? "
" Aku tidak membantu, aku hanya menuntut keadilan. Apakah seorang musuh yang sudah
tak berdaya tetap kita bunuh? " sahut Rani.
" Musuh tetap musuh. Kita tak tega membunuhnya, apakah ia juga tak tega membunuh kita?
Dia sudah kalah."
" Kalah? " tukas Rani.
Gita tercengang tapi belum sempat ia membuka mulut, Godeksura sudah mendahului: "
Rani, untuk mengalahkan musuh, orang bebas menggunakan segala macam cara. Yang nyata ia
sudah rubuh, tentang hendak diapakan, baiklah kita minta persetujuan kakang Gentong. " Gogor
diikat dengan rantai besi dan dimasukkan dalam sebuah bilik batu. Besoknya ia dihadapkan pada
Gentonglodong. Gentonglodong sayang akan kepandaian anakmuda itu. Kalau ia dapat memperoleh
seorang pembantu seperti Gogor, usahanya tentu berhasil. Maka dengan segalamacam omongan, ia
membujuk anakmuda itu supaya suka ikut padanya, tapi Gogor tetap menolak.
Godeksura dan Gita mendesak, supaya Gogor dilenyapkan saja agar jangan sampai
menimbulkan bahaya dikemudian . Achirnya karena tak berhasil membujuk, Gentonglodong
menyerahkan Gogor kepada Godeksura dan Gita. Suatu malam Godeksura menggusur Gogor
kehutan dibelakang markas. Baru mereka hendak turun tangan, tiba2 Rani muncul.
" Jangan paman dan kang Gita. Serahkan ia padaku tentu dapat melakukan perintah ayah, "
Kuda Putih Ksatria Gunung Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata dara itu." Tidak, Rani, ia harus dibunuh, " sahut Gita. Tapi dara itu tetap bersikeras dengan
mengatakan bahwa tadi ia sudah menemui ayahnya dan mendapat persetujuan untuk melakukan
percobaan. Gitapun tetap ngotot. Keduanya berbantah.
" Akang, jika kau sanggup mengalahkan aku, biarlah senopati itu kuserahkan padamu, "
achirnya Rani jengkel menantang.
"Rani, mengapa kau begitu mati2an membelanya? " Gia mulai meradang.
" Aku bukan membelanya hanya membantu ayah mendapatkannya, " sahut Rani tak kurang
sengit.
" Mendapatkan apa? " tanya Gita.
" Mendapatkan seorang pembantu yang boleh diandalkan untuk melaksanakan cita2 ayah, "
sahut Rani.
" Apakah aku bukan seorang kepercayaan? Apakah paman Godek tak boleh diandalkan?
Mengapa bapak begitu merindukan senopati itu, kalau beliau tak mempunyai maksud . . . "
" Mempunyai maksud apa? " Rani menegas.
" Rani, sejak kedatangan senopati itu, kau bersikap aneh kepadaku. Kau amat
memperhatikan kepadanya, membuatkan ramuan jamu dan menyajikan makanan. Kau tentu sudah
mengatakan isi hatimu kepada bapak dan bapak hanya setuju mengambilnya sebagai menantu ."
" Kurangajar, kau akang!' teriak Rani seraya maju menyerang. Gita melayninya, pikirnya ia
sekedar hendak memberi sedikit jiwiran kepada adik seperguruannya itu. Tetapi diluar dugaan,
lambungnya kena disodok sampai ia terhuyung huyung kebelakang. Untung ketika Rani hendak maju
mengejar, Godeksura suclah menghadang ditengah. " Sudah Rani, jangan berkelahi dengan kakak
sendiri, " Godeksuro melerai.
" Bagus Rani, kau telah membela kekasihmu dengan mati2 an. Jadi kau ter-gila2 padanya! "
teriak Gita dengan gusar.
Rani merah padam wajahnya. Dari malu ia menjadi gusar, tantangnya: " Ya, memang aku
suka padanya, mau apa? Peduli apa aku suka pada siapa saja, aku bukan budakmu? "
" Ha, ha, Rani, mengaku terus terang memang lebih baik. Kau sudah suka pada lain orang,
bapak ternyata pilih kasih. Dia mengajarkan ilmu Sapi-anrin kepadamu, tapi tidak mengajarkan
padaku. Kalau Rawa Keling tak kai menyukai diriku lagi, perlu apa aku tinggal disini? Ingat, Rani, Aku
tentu datang lagi ke Rawa Keling sini! " seru Gita dengan beringas. Habis memandang Gogor dan
Rani dengan berapi, ia lantas angkat kaki.
" Rani, Gogor dapat kuberi ampun tapi dengan syarat, " kata Godeksura.
" Apa syaratnya, paman? "
" Pertama, ia tak boleh kembali kekabupaten Wirosobo. Kedua ia harus memberi obat untuk
guruku dan ia harus menyerahkan sabuk kulitnya kepadaku. "
" Jangan ngaco belo! Kalau mau bunuh bunuh aku. Seorang ksatrya bolehh dibunuh tak
boleh dihina. Tapi kau sudah dapat menggunakan tipu muslihat menjatuh aku! " teriak Gogor.
Rani buru2 menyabarkan Godeksura yang mulai marah. Ia minta paman gurunya itu masuk
dulu nanti ia akan membujuk Gogor supaya meluluskan. Setelah Godeksuro pergi, maka Rani mulai
membujuk. Ia mengatakan baik senopati itu untuk sementara meluluskan syarat Godeksura tadi.
Nanti apabila ada kesempatan, keadaan bisa berobah.
" Akang, seorang gagah harus pandai menyesuaikan diri. Berani asal berani, tanpa memakai
perhitungan, itu bodoh. Percayalah akang, kau pasti dapat memperoleh kebebasanmu lagi, " kata
sidara.
" Terima kasih Rani. Tetapi mengapa kau begitu baik kepadaku? " tanya Gogor.
" Ah, tidak apa2 akang. Bukantah kita ini sebenarnya tak bermusuhan? Mengapa kita harus
bunub membunuh? " Rani balas bertanya. Gogor mengiakan. Achirnya karena sukar inenolak
kebaikan dara itu, ia meluluskan juga syarat dari Godeksura tadi." Baik, Rani, syarat yang pertama dapat kululuskan. Aku takkan kembali ke Wirosobo, tapi
anakpasukan Wirosobo itu tak boleh diganggu, biarkan mereka pulang. Kudaku si Putih supaya
dipelihara baik2 disini. Syarat yang ketiga, kelak kalau aku berjumpa dengan ajahku, tentu akan
kumintakan obat itu. Tetapi syarat yang kedua, maaf aku tak dapat meluluskan. Sabuk itu pemberian
dari ayahku, aku tak mau mengabaikan pesan beliau. Sabuk hilang berarti jiwa hilang juga, " katanya.
Rani anggap pernyataan pemuda itu beralasan. Dan ketika ia memberitahukan kepada
Godeksura, Godeksura terpaksa menerima juga. Pada suatu hari Godeksura meminta baju Gogor,
baju itu dilumuri dengan darah kambing dan dikirimkan kepada Sukra di Wirosobo.
Gogor tetap ditaruh ditempat yang dijaga keras. Setiap hari Rani daIang kesitu untuk
mengirim hidangan dan ber-omong2. Gogor tak mempunyai perasaan apa2 terhadap dara itu, karena
hatinya sudah di 'tinggal' dikeraton kabupaten Wirosobo. Tapi untuk jangan menyakitkan hati Rani,
ia tak mau menuturkan hubungannya dengan Wigati. Justeru karena itulah maka Rani malah makin
bersemi rasa cintanya.
Jogelo yang pernah minggat ketika di Rawa Upas dulu, sekarang dijebluskan dalam tempat
tahanan yang letaknya disebelah kamar Gogor. Walaupun ditawan, sigila itu tetap riang. Tiap malam
ia menyanyi dengan lantang, menyanyikan lagu2 asmara dari irama Kinanti, Dandanggula dll.
L a y u M e l a t I b u n g a .
Tiap malam tiada pernah lowong Wigati mendoa kepada Hyang Jagadnata, agar Gogor
selamat dan berhasil menunaikan tugasnya. Kepada Dewi Malam ia persembahkan doanya agar
disampaikan pada sang kekasih. Setiap sang angin berhembus, ia selalu mengirimkan bisikan
kalbunya agar dibawa jauh kepada orang yang dikenangkan itu, Walaupun ia sudah mengikat
hubungan dengan Gogor tapi dasar puteri halus. ia tetap tak dimabuk rindu yang ber-lebih2 an.
Itulah sebabnya maka sampai pada saat itu Adipati tak mengetahui tentang keadaan puterinya.
Sudah hampir sebulan, pasukan kabupaten yang pergi ke Rawa Keling itu tak kedengaran
beritanya. Sukra, atas usul demang Toyareka, meminta ijin kepada Adipati untuk menyirapi berita
mereka. Ditengah jalan ia berpapasan dengan anakpasukan Cokromurti yang menderita kekalahan
Dari merekalah Sukra tahu bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan kabupaten itu. Diam2 Sukra
girang karena Gogor ditawan musuh. Lebih girang lagi ketika dalam perjalanan pulang ia disusul oleh
pesuruh fihak Rawa Keling yang membawa baju Gogor berlepotan darah. Pesuruh itu diam2
menyerahkan surat Godeksura kepada Sukra. Begitu tiba dikabupaten, ber gegas2 Sukra menghadap
Adipati.
" Gusti, celaka. Pasukan 'Cokromurti menderita kekalahan dan Senopati ditawan kemudian
dibunuh orang Rawa Keling," katanya.
" Apa? Gogor dibunuh? Apa buktinya?" tanya Adipati. Sukra menyerahkan baju berlumuran
darah milik Gogor.
" Apakah baju itu benar milik Gogor? Mengapa tak kau tangkap pesuruh itu?" seru Donoreja
yang curiga dengan keterangan Sukra.
Sukra terkesiap. Ia tak menduga bakal menghadapi pertanyaan itu. Untung ayahnya buru2
menolorg: " Rakyan patih pesuruh itu adalah orang utusan. Apakah seorang utusan pantas
ditangkap? Dalam hal itu, pesuruh tersebut menganggap Sukra dapat mewakili fihak kabupaten.
Hamba rasa gusti Adipati tentu takkan menyalahkan Sukra."
Donoreja marah karena Toyoreka membela anaknya. Baru ia hendak membantah. Adipati
sudah mendahului: " Sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini
bagaimana tindakan kita untuk menghukum kawannan Rawa Keling itu? "
" Kita kerahkan seluruh prajurit Wirosobo untuk menggempur mereka, gusti. Kalau
dibiarkan, lama kelamaan tentu makin kurang ajar dan salah2 berani mengancam kita disini, " katademang Toyareka. Sepintas lalu, usul Toyoreka itu memang bagus, tapi kalau direnungkan lebih
dalam, hal itu membahayakan keselamatan kabupaten. Rupanya Donoreja mengerti hal itu, tapi ia
diam saja karena hendak menunggu bagaimana reaksi Adipati.
Ternyata Adipati tak punya pandangan apa2, ia meminta pendapat dari patih Donoreja. "
" Gusti, pada hemat hamba, baiklah untuk sementara ini kita susun lagi kekuatan terlebih
dahulu. Gugurnya Gogor itu suatu kehilangan besar bagi Wirosobo. Kita harus mencari seorang
pengganti yang cakap dan segagah dia, baru nanti kita bergerak menumpas mereka. Jika sekarang
kita bertindak, kabupaten akan kosong. Siapakah yang akan menjaga keselamatan kabupaten? Dan
siapakah yang berani memastikan kawanan pemberontak itu takkan menggunakan kesempatan
tersebut untuk menggempur kita? Hamba kuatir, gusti, mereka mempunyai cecunguk dikabupaten
sini. "
Adipati mengangguk, ia anggap pendapat patih itu memang brnar. Toyoreka tertegun
sedang Sukra ter-sipu2. Achirnya diputuskan oleh Adipati, untuk membentuk lagi sebuah pasukan
yang kuat dan mencari senopati gagah.
Pecahnya berita kekalahan Cokromurtidan binasanya senopatiyang gagah, telah
menggemparkan seluruh kabupaten Wirosobo. Tapi yang paling gempar adalah didalam keputerian
sendiri. Mendengar berita buruk itu, seketika pingsanlah Wigati. Cepluk dan para binti dayang sibuk
menolong puteri itu.
" Duh Dewata yang maha agung, mengapa tak kau cabut sekali nyawaku? Apakah arti hidup
tanpa hati? Duh, Dewata, dengarkanlah ratapanku, kabuIkan permohonanku, jangan lama2 kau siksa
diriku dimayapada ini . . "
Demikian ratap tangis Wigati seolah2 menyanggah (protes) Dewata yang menggariskan nasib
sedemikian buruk kepadanya. Ia merasa dirinya adalah orang yang paling celaka didunia. Saking
mererasnya sang hati, Wigati jatuh sakit. Dari hari kehari badannya semakin kurus, semangatnya
hilang. Sudah tentu Adipati menjadi sibuk. Ia yang tak sakit puterinya itu bukan sakit biasa, sudah
bingung menyuruh orang memanggil dukun2 yang pandai. Namun sakit Wigati tak kunjung sembuh.
Diantara insan Wirosobo, hanya Sukra yang tahu jelas sebab musabab atau sumber penyakit
Wigati. Ia meminta pada Adipati supaya diijinkan untuk mengobati sang puteri. Karena sudah
kewalahan, Adipati tak keberatan. Demikianlah setiap hari Sukra tentu berkunjung kegedung
kabupaten. memberi jamu penguat badan kepada Wigati, tapi yang terpenting ia banyak menghibur
puteri itu dengan cerita yang menarik. Pada itu berceritalah Sukra:
Dahulu kala ada seorang janda yang mempunyai seorang anak, Anak itu mungil dan sehat.
Ibunya menyayang puteranya itu melebihi dari jiwanya sendiri. Anak yang menjadi buah kesayangan
lbunya itu berangkat besar dengan siraman kesayangan dan kemanjaan. Pada suatu hari anak itu
meminta buah mangga. Dasar anak, karena mangga itu manis sekali, ia makan sampai berlebih2an.
Ibunya diam2 saja, malah besok paginya dibelikan lagi. Demikianlah berturut-turut beberapa hari
anak itu makan buah mangga tanpa takaran. Beberapa hari kemudian, anak itu sakit perutnya dan
berak2, namun la tetap meminta buah mangga. Karena amat memanjakan, siibu membiarkan saja.
Penyakit berak sianak makin hebat dan ketambahan dengan muntah2, akhirnya meninggal dunia.
Kematian anak itu menyebabkan sIibu seperti gila. Mayat anaknya clisimpan dalan peti dan
ia berkelana mencari dukun. Pak, aku hendak minta obat untuk menghidupkan anakku yang sudah
mati, " demikian setiap kali datang pada dukun ia tentu berkata demikian. Habis sudah dukun dan
orangtua2 pandai diseluruh negeri dikunjunginya, tetapi mereka semua hanya gelengkan kepala,
Rasanya kalau ada jalan yang memungkinkan, ia hendak menghadap kepada Allah untuk
menyampaikan sanggahannya. Mengapa, ya, mengapa putera tunggalnya itu diambil? Dosa apakah
ia maka Allah sampai menghukumnya sebesar itu? Ia merasa dirinya orang yang paling celaka
didunia ini.
Pada suatu hari ia bertekad mendaki gunung Himalaya. Konon dipuncak gunung itu terdapatseorang pertapa sakti yang menghidupkan kembali orang mati. Jerih payahnya itu berhasil, ia dapat
bertemu dengan sang pertapa. Dan dengan ratap tangisnya, ia memohon obat.
" Baik, jangan bersedih. akan kuberimu obat penghidup anakmu itu, Mintalah biji pala pada
orang yang tak pernah kematian anaknya, orangtuanya, saudaranya atau keluarga.Minumkanlah
pala itu, insya Allah, anakmu tentu akan hidup seketika. "
Dengan girang tak terhingga wanita itu segera mencari pala. Dari rumah kerumah. kampung
dan desa, kota demi kota diseluruh negeri telah dijelajahi, tapi ia tak berhasil mendapatkan orang
yang tak pernah kematian keluarganya. ia kembali melapor pada sang pertapa lagi.
" Itulah, hai wanita! Setiap manusia didunia ini tentu pernah kematian keluarganya. Entah
orangtuanya, suaminya, isterinya, anaknya atau saudaranya. Jadi bukan hanya kau yang mengalami
keadaan itu. Kematian adalah kodrat manusia hidup. Kau sendiri dan akupun nanti akan mati juga
apabila sudah sampai janji kita kepada Yang Kuasa.. "
Mendengar ucapan itu, siwanita itu mendapat kesadaran pikiran dan penerangan batin. Tak
Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama