Ceritasilat Novel Online

Melati Di Musim Kemarau 2

Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono Bagian 2



Setelah satu minggu memperingati meninggalnya sang nenek, bersama Didit yang baru saja menyelesaikan SMA-nya itu, ia berangkat kembali ke Jakarta. Rumah sewa di kampung halamannya itu terpaksa diberikan kepada yang berhak kembali.

Sementara itu setelah tinggal di Jakarta, Didit bermaksud untuk mencari pekerjaan.

"Jadi apa saja aku mau, Mbak. Pelayan toko, mempromosikan dagangan orang atau apa sajalah asal aku bisa menghidupi diriku sendiri dan barangkali sedikit sedikit bisa menyokongmu!" katanya kepada Tuning.

Tetapi Tuning menolak gagasan itu mentahmentah.

"Tidak. Kau harus meneruskan sekolahmu. Kau lelaki, Dit. Kau harus jadi orang. Begitulah juga yang pernah pikirkan oleh mbak Rika.

Biarlah aku yang bekerja setelah Dahlia nanti tidak lagi terlalu merasa kehilangan. Sekarang ini tenangkanlah hatimu dan carilah sekolah yang sesuai dengan kemampuan. 'Jangan terlalu mencemaskan biaya. Ada beberapa tinggalan mbak Rika yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita sehari hari selama setengah tahun lebih!" katanya.

"Tetapi itu berarti aku telah menghisap tenagamu dan juga apa yang menjadi haknya Dahlia!" bantah Didit,

"Aku sekarang telah cukup dewasa mbak. Kemarin-kemarin aku masih mau menerima uluran tangan dari kakak-kakakku. Tetapi setelah aku lulus SMA dan mampu bekerja, rasanya tak sepantasnya menjadi bebanmu!" '

"Jangan berkata seperti itu lagi, Dit!" kata Tuning tegas,

"Pokoknya kau harus menurut kataku sekarang ini karena aku selain sebagai kakakmu, aku juga sebagai kepala keluarga di sini. Kau harus bersekolah, titik. Kalau kau merasa telah menghisap tenagaku, hitunghitung saja itu hutangmu. Kelak boleh kau bayar dengan memberiku dan Dahlia perlindungan!"

Didit tersenyum pahit.

"Ingat lho Mbak, waktu lima tahun bukan waktu yang sebentar. Apa saja bisa terjadi dalam waktu sekian!"

"Kau jangan pesimis, Dit. Pikirkanlah hal-hal yang baik. Dalam waktu sekian, siapa tahu aku bisa sukses dalam karir pekerjaanku. Atau aku mendapat suami yang cukup kaya?" sahut Tuning sambil tertawa. Maka Didit pun dapat tertawa

membayangkan gurawan Tuning yang mungkin saja bisa terjadi itu. Yang jelas, ia memang harus menuruti kehendak kakaknya demi masa depan mereka sendiri. .

Tiga bulan setelah pembicaraan itu, Tuning dapat menyelesaikan sekolahnya dan berhasil meraih gelar sarjana. Dan suatu keberuntungan ia dapat diterima bekerja oleh suatu perusahaan yang baru dibuka. Di tempat itu ia bisa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri, sesuai dengan kantornya yang juga sedang merintis jalan ke arah perkembangan dan kemajuan.

Kehidupan baru itu memperteguh hati Didit yang juga sudah diterima di suatu universitas. Sementara itu, Dahlia pun sudah tidak terlalu menggantungkan diri kepada Tuning lagi. Ia mau ditinggal di rumah bersama pembantu rumah tangga. Pada siang hari, ia dapat bermain atau tidur di kamar pamannya setelah pemuda itu pulang dari kuliah.

Kelihatannya segalanya akan berjalan lancar. Tetapi dengan datangnya seorang tamu yang belum dikenal dan bersikap angkuh serta memandang hina kepada Tuning, gadis itu merasakan ketenangannya terganggu. Tamu itu seorang lelaki muda yang cukup tampan. Tetapi gerak-geriknya yang memandang hina, telah mengingatkan Tuning kepada istri tua mas Herman suami Rika yang pertama dulu. Hatinya menjadi kecut. Siapakah lelaki itu?

"Anda mencari siapa?" tanyanya dengan sikap

yang diusahakan agar dapat menyaingi sikap tamunya. Dingin dan angkuh.

"Saya mencari keluarga dari seorang yang bernama Rika. Ia telah meninggal bersama dengan mas Dahlan dalam suatu kecelakaan. Benar bukan?" sahut lelaki itu dalam nada seenaknya.

"Ya benar. Dan saya adalah keluarga mbak Rika. Tepatnya, saya adalah adik kandungnya!" sahut Tuning dengan nada yang sama dinginnya dengan nada suara tamunya.

"Dapatkah saya bicara sebentar di sini?"

"Silahkan. Mari masuk .."

lelaki itu melangkah melewati Tuning yang berdiri di sisi pintu. Samar-samaria menyentuh harum maskulin yang tersiar dari pakaian lelaki itu. Ia cepat cepat duduk di kursi depan kursi yang diduduki tamunya, dibatasi sebuah meja.

"Dapatkah Anda mulai .. ?" tanyanya tak sabar. Dadanya terus menerus berdebar semenjak lelaki itu menyebut nama pak Dahlan.

"Jadi Anda adik almarhum?" tanya lelaki itu tanpa perduli kata-kata Tuning tadi.

Tuning mengangguk dengan perasaan dongkol. Tamu yang sedingin dan seangkuh itu di rumah orang, baru kali itu dilihatnya.

"Kalau begitu, saya juga akan memperkenalkan diri. Saya adalah adik mas Dahlan!" kata lelaki itu. tetap dengan nada suara yang sama. Angkuh dan dingin.

Tuning tertegun dan dadanya semakin berdebar. Apa maksud kedatangannya? Meminta

Dahlia atau meminta rumah ini?

"Begini .." kata lelaki itu melanjutkan,

"Jauh-jauh hari sebelum kakak saya meninggal. ia telah berterus terang kepada saya mengenai perkawinannya dengan kakak perempuan Anda. Saya kaget sekali. Terus terang perbuatan semacam itu tak pernah terjadi sebelumnya pada keluarga kami. Tetapi apa mau dikata karena ia mengatakannya setelah kakak Anda mengandung tua. Dan pula. saya tak berhak menghalangi tindakannya. Saya hanya seorang adik saja bahkan usia kami berjarak agak jauh ...'

"Kakak Anda mempunyai alasan tertentu hingga melakukan perbuatan yang di luar kebiasaan keluarga Anda!" kata Tuning memenggal bicara tamunya.

"Mungkin, tetapi yang nyata perbuatan itu telah disembunyikannya dari mata dan telinga seluruh keluarga kami dan tentu saja juga kepada keluarga istrinya. Hanya kepada saya sajalah ia membuka rahasianya. Mula-mula saya pikir karena ia merasakan adanya beban mental yang harus dikeluarkan kepada seseorang. Dan ia hanya melihat kepada saya saja sebagai orang yang jauh lebih muda dan yang jelas tidak akan menyerangnya. Tetapi ketika ia meninggal. pikiran saya terus-menerus seperti dibayangi oleh sesuatu keadaan di mana saya harus memperhatikan turunan almarhum. Dan itu memberi beban mental kepada saya sehingga saya memutuskan untuk menengok kemari. Mas Dahlan pernah tercetus sekali, mengatakan bahwa ia ingin supaya saya sekali-sekali melihat anaknya yang manis dan lucu. Nah, karena cetusan itu saya anggap sebagai amanat, dengan ini saya ingin sedikit melepaskan beban moril saya. Kedatangan saya hari ini adalah karena ingin mengetahui keadaan anak almarhum. Siapa namanya?"

"Namanya Dahlia. Dan terimakasih atas perhatian yang Anda berikan kepadanya," sahut Tuning mencoba bersikap ramah,

"Anak itu dalam keadaan baik. Sehat dan tumbuh dengan subur serta tidak kekurangan sesuatu apa pun. Saya rasa, Anda tak perlu ikut mengkhawatirkan keadaannya!"

"Syukurlah." kata tamu itu pura-pura tak tahu pada rasa tak senang yang terbias dari mata Tuning,

"Saya hanya memenuhi kewajiban belaka Sebagai adik dan orang yang telah dipercayai oleh almarhum!"

Tuning tidak bersuara. Dan lelaki itu meneruskan bicaranya.

"Dan demi rasa tanggung-jawab yang sedikit banyak ada pada pikiran saya, saya ingin bertanya siapakah yang membiayai kehidupan sehariharinya selama ini?" tanyanya. Sama sekali ia tak perduli kepada perubahan wajah pada Tuning.

"Karena sekarang ini saya yang menjadi kepala keluarga di sini, maka seluruh tanggung jawab berada di atas pundak saya. Dengan demikian, sayalah yang mencari makan. Saya pulalah yang mengusahakan agar kesejahteraan keluarga ini tetap dapat dipertahankan. Sekali lagi, saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan keadaannya!"

"Lalu apa mata pencaharian Anda untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan yang serba sulit ini?" tanyanya. Ada nada ejekan dalam suaranya sehingga Tuning menduga sesuatu. Boleh jadi pak Dahlan juga pernah menceritakan siapa Rika dan di mana ia berkenalan dengan istri keduanya itu.

"Saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang eksport dan import," jawab Tuning dengan bibir hampir bertaut,

"Dan barangkali Anda perlu juga mengetahui di mana letak kantornya dan apa yang saya kerjakan di sana dan berapa pula besarnya jumlah gaji saya?"

Mendengar sahutan Tuning, lelaki itu tertegun. Tetapi sebenarnya bukan hanya dia saja yang terkejut. Tuning pun demikian karena ia tak mengira dapat berbicara setajam itu. Rupanya, hati yang tersinggung terlalu dalam, mampu membuat se seorang berubah sikap. Ia yang pendiam dan sabar itu mampu juga membalas kesombongan orang lain yang terlalu memandang rendah kepadanya.

Tetapi rupanya lelaki itu tidak merasa perlu untuk berbasa-basi kepada Tuning. Dengan sengaja, ia mengitari seluruh sudut ruangan dengan matanya.

"Syukurlah ....." gumamnya.

"Tanpa Anda bilang pun, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa saya memang tak perlu mengkhawatirkan keadaan anak itu!"

"Kalau Anda memandang hal tersebut dari apa yang terlihat, itu keliru. Memang benar kakak saya hidup dengan berkecukupan selama menjadi istri kakak Anda. Mas Dahlan memanjakannya dan memberikan apa yang terbaik untuknya. Dan ini semua, seperti rumah yang kami tempati ini walaupun kecil dan seluruh isinya memang hasil pemberian kakak Anda. Tetapi bukankah itu wajar? Apa pun status yang diberikan orang, ia juga istri yang sah. Seorang suami berhak untuk mencukupi kebutuhan istrinya tidak perduli apakah istri itu istri yang ke sepuluh sekali pun!" sahut Tuning dongkol,

"Dengan demikian, hak itu semua tentu saja menjadi hak milik anaknya setelah ia meninggal dunia. Jadi Anda tak perlu mengkhawatirkan masa depan anak itu. Dan pula, saya tokh masih kuat untuk mencari nafkah buat menghidupinya!"

"Maaf Anda salah mengerti atas arti pandangan saya terhadap rumah ini. Tetapi yah memang saya lebih percaya sekarang bahwa anak mas Dahlan itu tidak akan terlantar. Apalagi yah, Anda punya penghasilan tentu saja!"

"Bagaimana pun juga saya harus mengucapkan terimakasih saya atas perhatian Anda sampai-sampai datang berkunjung kemari. Dan saya juga harus mengatakan rasa salut saya atas kunjungan ini sebab Anda telah mencoba untuk mendengar pesan almarhum mas Dahlan meskipun itu bertentangan dengan hati Anda sendiri. Maka saya harap

setelah Anda menyaksikan rumah ini dan mendengar dari mulut saya sendiri bahwa tidak ada halhal yang perlu dipikirkan mengenai anak kakak Anda, hati Anda bisa merasa lega. Setidaknya tak ada beban perasaan di hati Anda lagi dan tak perlu berpikir lebih jauh lagi." kata Tuning dengan nada tajam dan tegas,

"Dan perlu Anda ketahui demi ketenangan Anda akibat pesan atau amanat almarhum yang memberatkan hati Anda, bahwa saya amat menyayangi Dahlia. Anak itu telah saya anggap sebagai anak kandung saya sendiri. Dengan sekuat kemampuan saya, saya akan selalu berusaha memberi kebahagiaan kepada anak yang tak berorang tua lagi itu. Di tangan saya, ia terjamin bukan saja fisiknya tetapijuga batinnya Dan itu tercakup pendidikan moral yang akan saya tanamkan sedini mungkin. Nah, saya kira tak ada hal-hal lain lagi yang bisa saya utarakan. Rasanya semua telah jelas saya paparkan kepada Anda!" Lelaki itu terdiam sesaat, tidak percaya bahwa ia akan mendapat nada tantangan semacam itu. Tetapi tentu saja ia tak mau kalah karena ia merasa lebih terhormat dari gadis yang berasal dari keluarga dengan noda hitam di belakangnya. Bahkan ada semacam rasa kekhawatiran mengingat masa depan anak yang ditinggalkan kakak lelakinya ke tangan gadis yang walaupun sangat cantik tetapi perlu diragukan akhlaknya itu. Dan lebih jauh lagi, ia juga meragukan kebenaran Tuning mengenai mata pencaharian. Mengingat masa lalunya, pendidikan gadis di hadapannya itu tentulah tidak seberapa. Jadi mungkinkah ia dapat membiayai rumah tangga ini?

"Baiklah kalau begitu. Mungkin saya sudah terlalu banyak mencampuri urusan yang bukan urusan saya. Tetapi karena saya mengingat bahwa anak itu anak almarhum kakak saya yang paling saya hormati dan cintai, saya terpaksa ikut memperhatikan kesejahteraannya. Dan saya boleh merasa lega sekarang bahwa anak itu cukup terjamin. Cuma perlu juga saya katakan, andaikata ada halhal yang menyulitkan mengenai anak itu, misalnya biaya jika nanti ia harus mulai bersekolah misalnya, hubungi saja saya," katanya lama kemudian. Dari dompet yang diambilnya dari saku, ia mencabut kartu nama dan diserahkan kepada Tuning

Tuning menerima kartu nama itu dan diletakkan di atas meja tanpa sekilas pun dilirik. Ia enggan membacanya. Dan sama sekali ia juga tidak merasa bahwa kartu nama itu akan diperlukan di suatu ketika nanti.

Sikap Tuning tersebut bisa terbaca oleh lelaki itu. Ia mengangkat bahunya. Dan karena merasa sudah tidak ada hal lain yang akan dibicarakan, ia segera minta diri.

Di ambang pintu pagar. ia bertanya:

"Anda tinggal dengan siapa di rumah ini kalau saya boleh tahu."

Tuning yang peka perasaannya itu merasa bahwa lelaki itu tengah menyelidiki macam apa dan siapa saja yang hidup bersama kemenakan yang

belum pernah dilihatnya itu.

"Dengan pembantu dan adik saya!" jawabnya dingin.

"Keduanya wanita?"

"Adik saya lelaki. Dan kadang-kadang kami juga menerima tamu. Adik saya mempunyai teman-teman yang cukup banyak jumlahnya. Dan ada kalanya meski itu jarang terjadi. ada juga teman saya yang datang berkunjung. Anda perlu tahu alamat dan pekerjaan mereka barangkali?"

Lelaki itu terperangah. Ia tahu bahwa Tuning sedang memuntahkan rasa tersinggungnya. Tetapi apa boleh buat. Sebagai seorang paman, ia juga punya suara untuk menanyakan tentang siapasiapa yang bergaul dengan kemenakannya. Apalagi ia tahu macam apa ibu si anak itu dulunya.

"Maaf kalau Anda tersinggung perasaan akibat pertanyaan saya tadi. Seperti sudah saya katakan tadi, saya hanya ingin meyakinkan diri saya sendiri apakah anak itu memang berada di tangantangan yang bisa menjamin lahir dan juga menjamin perkembangan batinnya!"

"Dan saya juga sudah mengatakan berulangkali tadi bahwa Anda tak perlu mengkhawatirkan anak itu. Tidak sekarang, tidak besok dan tidak nantinya. Ia terjamin lahir dan batin," sahut Tuning cepat,

"Atau tidakkah Anda percaya kepada kata-kata saya?"

"Saya percaya ....."

Tuning tersenyum samar dengan tatapan mata yang dingin.

"Terimaksih," katanya tanpa nada yang sesuai dengan apa yang diucapkannya itu,

"Tetapi sayalah yang tidak percaya mengenai kepercayaan Anda terhadap kata-kata saya. Tetapi terserah, itu hak Anda. Dan percaya atau tidaknya Anda kepada saya. saya tak perduli!"

Sang tamu menelan ludah, menyadari bahwa ketidak-ramahan nyonya rumah itu erat kaitannya dengan sikapnya yang memandang rendah. Tetapi ia cukup berhati ksatria untuk tidak menyalahkan Tuning. Kalau tadi ia bersikap lebih ramah dan tidak menatap hina kepada nyonya rumah, tentulah si nyonya rumah itu tidak hersikap demikian dingin.dan sinis. Namun begitu, ia juga tidak mau menyalahkan dirinya sendiri. Betapa tidak jika ia selalu ingat bahwa kakak gadis tersebut adalah bekas pelacur!

Perlahan-lahan Tuning berjalan bersama rekanrekan sekantornya menyeberangi halaman beraspal yang terhampar di depan gedung yang baru saja ditinggalkannya. Suara teman-teman itu terdengar riuh. Mereka memang selalu bergurau, saling mengejek, saling menggoda setiap jam kantor bubar. Seolah keseriusan pada jam-jam sebelumnya, terurai lepas.

Tetapi Tuning hanya tersenyum-senyum saja menjadi pendengar yang baik. Ia terus melangkah dengan tenang keluar halaman menuju ke halte bis. Dilihatnya, teman-temannya mulai berpencarpencar begitu tiba di mulut pintu halaman. Ada yang ke kiri mencari bajaj, ada yang menyeberang

menunggu oplet dan ada yang menuju ke halte bis. Dan tak jarang pula mereka yang mempunyai kendaraan bermotor menawarkan jasa buat memberi tumpangan kepada rekan-rekannya.

Seseorang dengan kendaraan scooter, mendekati tempat Tuning sedang menanti oplet.

"Kuantar yuk Ning," kata lelaki yang mengendarai scooter tersebut.

"Terimakasih Bob. Sayang arah rumahku dan rumahmu berlawanan. Kalau tidak, mau juga aku menerima tawaranmu. Tetapi sekarang sebaiknya kita jalan ke tujuan masing-masing. Jangan membuang waktu hanya untuk mengantarkan aku!" sahut Tuning tersenyum manis.

"Itu tidak jadi soal buatku. Apalah artinya seperempatjam bahkan lebih sekali pun demi seorang kawan baik?"

"Bagiku persoalan Bob, sebab aku tak suka berhutang budi walau si pemberi budi itu tidak memberi piutang kepadaku atau tanpa pamrih sekali pun!"

"Ayolah jangan terlalu banyak pertimbangan. Lihat, bis dan oplet-oplet begitu penuh sesak dipadati orang-orang yang juga pulang dari kantor!" bujuk Boby.

"Lain kalilah Bob. Biarlah berdesakan dengan penumpang lain, aku tak perduli!"

"Betul Ning, jangan mau. ikut motorku saja!" sela seorang pria berkumis yang lewat perlahanlahan di dekat mereka dengan sepeda motornya yang berkilat-kilat. Boby tertawa melihatnya.

"Silahkan ikut dia kalau kau mau dilabrak istrinya Ning! " katanya.

"Sialan kau Bob. Menyesal aku dulu memberimu surat undangan ketika aku menikah!" gerutu lelaki di atas motor tadi.

Tuning tertawa. Ia tahu bahwa lelaki bersepeda motor itu hanya ingin mengganggu Boby saja. Hampir semua rekan sekantornya tahu bahwa Boby sedang mencoba menarik perhatian Tuning. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan minatnya yang besar terhadap diri Tuning. ia ingin menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman, tetapi kesempatan buat mendekati Tuning masih saja belum ada. Tak heran karena sampai demikian jauhnya, Tuning bersikap biasa-biasa saja bahkan pura-pura tak tahu tentang apa yang ada di balik sikap Boby.

"

Tuning sendiri heran terhadap dirinya sendiri mengapa hatinya tak pernah tersentuh oleh perasaan cinta atau semacamnya. Ia sudah lebih dari dewasa buat berhubungan secara serius, akrab dan mesra dengan semang pria. Sulit sekali ia dapat merasakan getar yang asing setiap ada teman pria yang mencoba mencairkan hatinya. Tak pernah tergerak barang sedikit juga pun hati yang seharusnya diisi asmara itu. Seringkali dalam keheranan itu ia mempunyai dugaan bahwa hatinya yang dingin dan beku itu karena pengaruh kehidupan masa lalunya bersama Rika sebelum sang kakak itu menikah dengan pak Dahlan. Ia selalu melihat bagaimana mudahnya orang mengobral

cinta. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bagaimana cinta dapat diperjual-belikan. Dengan mata kepalanya sendiri ia pernah mengintip dari jendela kamarnya seorang lelaki turun dari sedan mengkilat hanya untuk membeli cinta yang sesaat saja. Padahal mungkin saja ia di rumah merupakan ayah teladan dan suami yang baik. Dan dengan kesaksiannya sendiri ia melihat wajah-wajah muda yang seolah tak berdosa, datang menghibur diri dengan uang yang mungkin didapatnya dengan susah-payah itu hanya untuk mendapatkan sekedar cinta yang dangkal. Padahal mungkin saja pemuda-pemuda itu seorang pegawai atau karyawan suatu perusahaan yang terkenal alim di kantornya karena tak berani bergaul akrab dengan kawan lain jenisnya.

"Hei Ning, kok melamun!" keluh Boby membuyarkan pikirannya,

"Kau mau kuantar pulang kan?"

"Kan sudah kukatakan bahwa aku tak mau menerima kebaikan orang?" senyum Tuning menjawab.

"Hutang uang mudah dibayar tetapi hutang budi bagaimana membayarnya?"

"Aduh, jangan berfilsafat Ning. AKu tadi juga mengatakan bahwa demi seorang kawan aku tidak mempersoalkan waktu dan segalanya!"

"Terimakasih Bob. kau baik sekali. Tetapi itu ada oplet kosong. Jadi sampai sekian dulu obrolan kita. Nah, sampai besok pagi, Bob!"

Tanpa menengok lagi ke arah Boby, Tuning langsung masuk ke dalam oplet. Ia duduk di dekat

pintu dan membiarkan Boby membelokkan scooternya ke arah tujuannya sendiri.

Dengan perasaan lega ia menyandarkan punggungnya. Matanya mengawasi ke seberang jalan dengan maksud menghindari benturan pandangan kepada Boby yang sedang menstarter scooternya. Tetapi matanya yang tajam itu tiba-tiba bergetar ketika menangkap sosok tubuh seseorang yang penah dikenalnya sedang menstarter kendaraannya, seperti yang juga sedang dilakukan Boby. Tetapi sosok tubuh itu berwujud seorang lelaki yang paling tidak disukainya. Rudi. adik pak Dahlan!

Sambil menstarter itu, Rudi tengah mengawasinya. Entah sejak kapan" ia di sana dan apa pula maksudnya. Tuning tak tahu. Tetapi ketika oplet mulai bergerak dan Rudi juga ikut bergerak, tibatiba saja kepala Tuning dipenuhi dugaan yang menyakiti hatinya sendiri. Jangan-jangan, Rudi sedang menyelidiki kebenaran atas ceritanya, apakali ia benar bekerja atau hanya isapan jempol saja.

Seketika itu juga dada Tuning berdebar oleh kaitan emosinya. Beberapa hari lalu, pembantu rumah tangganya mengatakan bahwa ada seorang lelaki muda, tampan naik sepeda motor menanyakan alamat tempat pekerjaan Tuning Dan Tuning yang memang telah memberi alamat yang jelas kepada pembantu rumah tangga demi penjagaan kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi di rumah terutama pada diri Dahlia, tak pernah mengira bahwa ada seseorang yang mendapatkan alamat tersebut. Lebih-lebih untuk tujuan tertentu.

Sampai ia melihat Rudi di seberang jalan itulah Tuning baru tahu siapa lelaki yang datang menanyakan alamat kepada pembantu rumah tangganya.

Ketika ia mengetahui bahwa Rudi mengikuti lari oplet yang ditumpanginya, debar-debar dalam dada Tuning itu semakin kuat. Ia benci sekali karena tahu bahwa Rudi memang sengaja menunjukkan kepada Tuning bahwa ia sedang menyelidikinya. Kurang ajar sekali memang, sehingga dengan bibir yang bertaut keras, Tuning melemparkan pandangan matanya ke tempat lain dengan sikap angkuh yang berhasil diperlihatkannya. Apa hak lelaki itu sampai-sampai menyelidiki persoalan pribadi orang lain? Seharusnya lelaki itu tahu bahwa betapa pun jahatnya Seorang ibu, tak pernah ia terlintas barang sedikit pun untuk mengajak anaknya masuk ke lembah hitam yang pahit. Dan sebagai bibinya, ia juga tak akan pernah membiarkan Dahlia masuk ke lingkup kehidupan seperti apa yang dulu ibunya pernah perbuat. Tak akan pernah walau apa pun yang akan terjadi!

Tatkala Rudi masih saja mengekor di belakang oplet yang ditumpanginya, Tuning hampir-hampir tidak tahan duduk berdiam diri. Ia ingin turun dan melempari wajah lelaki itu dengan batu. Matanya yang dingin dan sinis itu membuatnya merasa benci. Lima menit lagi ia duduk di situ dengan sepeda motor di belakangnya, kemungkinan besar ia akan melaksanakan keinginan jahat tadi. Tetapi untunglah sepeda motor Rudi berbelok ke kiri sementara oplet yang ditumpangi Tuning tetap berjalan ke arah semula. Bukan main lega hatinya.

Tetapi ketika esok Sorenya ia melihat kembali sosok tubuh Rudi di tempat yang sama, kedongkolan yang ada pada kemarinnya, datang lagi dengn berlipat ganda. Menilik Sikapnya, Tuning dapat memastikan bahwa Rudi masih ingin membuktikan lebih jelas lagi apakah benar-benar Tuning bekerja.

Namun begitu, ia masih dapat menahan diri untuk tidak menimbulkan pertengkaran di depan orang banyak walau ia memang ingin sekali melempari wajah angkuh itu dengan batu. Tetapi ketika dua hari berikutnya Rudi juga masih melakukan hal yang sama, bobollah kesabaran Tuning. Dengan keberanian yang mengherankan dirinya sendiri, ia menyeberang jalan dan membiarkan sebuah oplet kosong lewat di hadapannya. Saat itu Rudi masih duduk di atas sadel sepeda motornya. Tampaknya ia tak mengira bahwa Tuning akan menghampirinya. '

"Apa maksud Anda mengikuti aku pulang dari kantor?" desis Tuning tanpa pembukaan kata yang lebih bersifat basa-basi. Ia merasa tak ada perlunya bersikap sopan kepada lelaki yang juga tidak punya rasa kesopanan terhadapnya itu.

"Kurang yakinkah Anda bahwa anak mas Dahlan

tidak saya hidupi dengan uang kotor?" sambungnya dengan suara tajam.

Rudi tampak gelagapan dan Tuning memakai kesempatan itu untuk meneruskan serangannya.

"Saya harapkan mulai besok Anda tak usah membuang-buang waktu lagi dengan menyelidiki kehidupan pribadi orang lain. Saya rasa Anda masih bisa mengingat pelajaran budi-pekerti yang diajarkan di sekolah dulu!" semburnya.

Dan kemudian tanpa menanti reaksi Rudi, ia cepat-cepat berbalik dan menyeberang kembali untuk menantikan Oplet kosong lewat di hadapannya. Ia merasa lega tatkala tidak melihat Rudi mengekor di belakang seperti beberapa hari sebelumnya.

Tetapi betapa terkejutnya Tuning tatkala tiba di rumah ia melihat motor berwarna merah mengkilat itu sudah diparkir di halaman rumahnya ketika ia sampai. Darah Tuning mendidih. Betapa lancang dan kurang ajarnya lelaki itu berani mendahului perjalanannya! Ia langsung masuk ke rumah dan berdiri menjulang di hadapan Rudi yang sedang duduk di sudut ruang. Wajah gadis itu kemerahan. Sama sekali ia tidak sadar bahwa dengan wajah yang mengkilat oleh keringat, rambut yang agak berantakan karena angin sore yang nakal, ia tampak cantik sekali. Dan Rudi melihat itu dengan Sedikit pesona yang lewat di kepalanya.

"Sebenarnya saya tidak ingin disebut sebagai tuan rumah yang tidak punya rasa sopan-santun," kata Tuning kepadanya,

"Tetapi Anda telah memulainya. Dan itu tepat sekali. Karenanya, maafkanlah saya jika saya terpaksa meminta Anda keluar dari rumah ini. Anda harus ingat biar pun ini rumah pelacur misalnya, Anda juga tidak bisa semau Anda sendiri masuk di dalamnya setelah sikap tak sopan yang selama ini Anda perlihatkan!" kata Tuning dengan dada turun-naik menekan emosi yang meluap-luap dalam dadanya.

"Saya tidak masuk begitu saja Tuning, pembantu rumah telah mempersilahkan saya masuk dan duduk!" jawab Rudi.

Tuning tertegun. Lelaki satu ini tentu telah menanyakan hal-hal yang menyangkut dirinya. Ia bukan hanya tahu tempatnya bekerja saja tetapi juga tahu namanya. '

"Dan saya datang kemari inijuga bukan dengan maksud kurang ajar."

"Lalu apa namanya kalau menyelidiki urusan orang lain seenaknya sendiri? Lalu apa pula namanya masuk ke rumah orang tanpa bilang ba atau bu'?" sembur Tuning ketus. Suatu hal di luar kebiasaannya. Ia termasuk gadis pendiam dan lembut. Namun sikap Rudi yang memandang hanya dengan sebelah mata terhadapnya dan kemudian juga cara pemuda itu menghadapinya, membuat Tuning jadi emosionil. Marah, jengkel, dongkol, tersinggung, bercampur-aduk dalam dadanya.

"Saya datang kemari tadi dengan mengucapkan permisi lebih dulu. Dan pembantu Anda telah mempersilahkan saya masuk. Masihkah itu kurang ajar namanya?"

Tuning terdiam. Pada saat itu, mata Rudi tampaklebih lembut dari biasanya. Penghinaan yang biasanya terpancar dari mata dan sikapnya, mulai menipis. Hati Tuning jadi lebih sabar.

"Baiklah. tetapi apa maksud Anda datang kemari?" tanya Tuning kemudian.

"Saya datang kemari dengan maksud hendak minta maaf kepada Anda. Selama ini tampaknya saya memang seperti menghina Anda dengan menyelidiki tempat pekerjaan Anda dan sebagainya. Tetapi sungguh bukan demikian maksud saya. Saya hanya ingin tahu sampai seberapa jauh latar kehidupan mereka yang bergaul dengan anak mas Dahlan sehari-harinya!" _

"Hmm, saya jadi menduga lebih jauh lagi. Selama ini saya yakin bahwa Anda juga menyelidiki Didit adik saya apakah benar ia saudara kandung saya atau barangkali pacar saya yang saya simpan dalam rumah ini!" sahut Tuning terkait kembali emosinya. Pipinya memerah oleh perkataannya sendiri.

"Maafkanlah ....." gumam Rudi,

"Selama ini saya mengira bahwa garam sama asinnya!"

"Seberapa banyak yang telah Anda dengar dari mas Dahlan mengenai kami?" tanya Tuning memotong.

"Hanya mengenai kakak Anda!" membetulkan Rudi.

"Oke. Saya ingin tahu apa saja yang mas Dahlan telah ceritakan mengenai kakak saya almarhum!" tantang Tuning,

"Saya kira saya berhak

mengetahui setelah Anda secara diam-diam menyelidiki tentang keluarga saya ini lewat jalan belakang. Bagaimana pun juga, saya lebih fair dalam permainan ini!"

"Semuanya!"

"Semuanya?" ulang Tuning,

"Itu pasti menurut perkiraan Anda! Mbak Rika bukan orang yang mudah mempercayakan isi hatinya walau itu kepada suaminya sendiri. Dan saya rasa, mas Dahlan jelas mengetahui mengenai itu. Jadi tak mungkin ia akan menceritakan semuanya kepada Anda. Sungguh mati saya tak bisa mempercayainya. Anda tentu hanya tahu latar belakang yang sedikit mengenai mbak Rika. Dan buruknya, interpretasi Anda dan mungkin juga orang lain, selalu mengandung hal yang negatif. Nah karena saya merasa tak ada faedahnya buat merubah citra itu, ada baiknya jika Anda tahu bahwa saya sungguh tak perduli apa pun pandangan Anda. Oke?"

"Saya mengerti. Tetapi maukah Anda memaafkan saya?"

"Saya juga meminta maaf kepada Anda bahwa saya tidak bisa berbasa-basi mengatakan bahwa hal itu tak apa-apa atau saya akan melupakan dan semacamnya sebagai tanda menerima permintaan maaf itu!" sahut Tuning dengan suara tenang sekali. Itu sama saja dengan kalimat yang berarti penolakan atas permintaan maaf Rudi kepadanya.

Melihat Rudi tertegun, Tuning melanjutkan lagi bicaranya.

"Nah, saya kira cukup sekian yang bisa saya katakan. Atau masih ada hal lain yang akan Anda utarakan? Misalnya berapa besar jumlah gaji saya dan siapa saja yang bergaul akrab dengan saya?" katanya. Tenang sekali suaranya namun kata demi kata telah menghunjam ke hati Rudi. Lelaki itu memerah pipinya.

"Saya belum pernah melihat anak mas Dahlan. Bolehkah saya melihatnya? Bukankah ia juga keponakan saya sehingga status kita berdua ini sebenarnya sama?" tanyanya kemudian.

"Jadi Anda mau juga mengakuinya!" gumam Tuning menyahut,

"Tetapi sayang sekali sore ini ia pergi ke Taman Ria dengan adik saya. Seminggu sekali atau terkadang kalau ada kesempatan bisa dua kali, saya atau adik saya akan mengajaknya jalan-jalan. Nah, Anda lihat kebutuhan rokhaninya pun kami jamin dengan baik!"

"Barangkali ada fotonya .....?"

"Banyak sekali. Tetapi terus-terang saya enggan mencarinya. Saya terlalu lelah hari ini. Pekerjaan saya banyak Sekali sehari ini. Jadi, lain kali saja. Oke?"

Rudi mengangguk dan terpaksa minta diri. Sikap Tuning sudah memperlihatkan bahwa ia ingin supaya tamunya segera pulang.

"Baiklah kalau begitu," Katanya sebelum minta diri," lain kali saya akan datang lagi untuk melihat anak itu."

Tuning tidak menjawab dan membiarkan lelaki itu keluar menuju ke tempat motornya diparkir.

Sebelum pergi, ia menoleh.

"Oh ya Anda tentu sudah membaca kartu nama saya bukan? Nama saya Rudi," katanya.

Tuning mengangguk tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun. Tetapi dalam hatinya Tuning sedang menggerutu. Dia tak perduli siapa pun nama lelaki itu. Entah namanya Rudi, Harjuna atau Bagong sekali pun.

Rupanya sikap dingin yang berhasil diperlihatkan Tuning kepada tamunya, membuat lelaki itu kapok. Bahkan timbul pula rasa penghargaan atas tekad gadis itu untuk bekerja di kantor dan bukan kehidupan macam kakaknya dulu. Dan yang jelas, ia tak pernah lagi datang ke depan kantor di mana Tuning bekerja.

Melihat kenyataan bahwa Rudi tidak pernah datang lagi baik ke depan kantor maupun ke rumah, hati Tuning merasa lega. Adanya Rudi terasa merupakan ancaman baginya. Sedikit atau banyak, Didit tentu akan curiga mengapa ada lelaki yang memandang rendah kepada kakak-kakaknya. Padahal Tuning tidak ingin itu terjadi. ia tak suka jika sampai Didit terluka oleh benturan kenyataan masa lalu kakaknya yang hitam itu. Dan terlebih lagi, Tuning tak suka jika Didit mengenangkan Rika sebagai sesuatu yang pernah ternoda. Tuning tidak rela itu. Ia ingin agar Didit akan selalu mengenang jasa Rika pada masa-masa lampau di mana perempuan muda yang sudah almarhum itu pernah membiayai seluruh kehidupan nenek dan adik-adiknya. Tuning memang sangat mencintai

Rika dan juga adiknya Didit!

Angin sore yang lembut mengusap wajah Tuning dan Dahlia menjelang senja itu. Keduanya sedang bemain-main di halaman muka rumah yang tak seberapa luas itu. Tuning baru saja membelikan Sepeda roda tiga untuk keponakannya. Dan anak kecil yang tampak sangat gembira itu hanya bisa berteriak-teriak gembira duduk di atas sepedanya yang tetap hanya berhenti di tempat. Tuning menertawakannya.

"Putar pedalnya dengan kakimu, sayang!" katanya,

"Kayuh terus ke depan. Kalau kau hanya berteriak-teriak saja, biar sampai kapan sepedamu hanya akan berdiri di tempat yang sama!"

Dahlia hanya tertawa saja menirukan tantenya. Sepeda baru itu masih terasa asing baginya.

Tuning lantas berjongkok. Kedua kaki Dahlia ditapakkannya ke pedal dengan kuat.

"Injak dan putar dengan kakimu!" katanya.

Dahlia menurut. Sepedanya bergerak maju beberapa langkah ke depan untuk kemudian terhenti lagi. Dan Tuning pun tertawa lagi. Pelanpelan didorongnya sepeda roda tiga itu sehingga kaki Dahlia bisa berputar lebih mudah di atas pedal.

"Nah. terus maju. Sepedanya jadi jalan kan?" katanya.

"Bagus! Bagus!" teriak Dahlia gembira. Dan setelah beberapa saat lamanya, ia mulai dapat mengayuh sendiri sehingga Tuning melepaskan dorongannya. Mula-mula laju sepedanya amat lambat tetapi lama kelamaan. dapat juga Dahlia menguasai kakinya walau kadang-kadang karena keasyikan melihat turun naiknya kakinya, ia lupa mengendalikan setangnya. Tentu saja sepedanya jadi menubruk kursi. pot bunga dan sebagainya. Tetapi Tuning membiarkan kegembiraan anak kecil yang baru saja merasakan perkenalan dengan benda baru pada tubuhnya itu. Ia hanya tersenyum saja mengawasi Dahlia sambil duduk di kursi besi.

Sayang ketenangan itu ternodai oleh suara derit pintu pagar yang dibuka seseorang. Darah Tuning membeku demi melihat siapa yang datang. Rudi tengah berjalan menuntun sepeda motornya, masuk ke halaman.

"Selamat sore," kata lelaki itu.

"..... sore ....." sahut Tuning pendek. Kegembiraannya lenyap dengan tiba-tiba. Bahkan timbul semacam kemarahan tatkala ia melihat penampilan Rudi sore itu. Dengan kemeja dari bahan kaos yang berwarna biru tua dan celana putih yang sewarna dengan sepatunya, ia tampak rapi dan tampan. Dan Tuning tak ingin mengakuinya walau dalam hatinya sekalipun. Ia ingin membencinya!

Sementara itu begitu melihat ada orang asing, Dahlia segera turun dari sepedanya dan bergegas lari ke tempat Tuning. Dengan malu-malu, anak itu menyandarkan tubuhnya kepangkuan bibinya. Dan Tuning mengelus rambutnya dengan lembut.

"Silahkan duduk!" katanya kepada Rudi. Tangannya menunjuk ke arah kursi kosong di mukanya. Di hadapan Dahlia, Tuning tak ingin menunjukkan keketusannya seperti yang sudah-sudah.

"Terimakasih!"

Lelaki itu menatap ke arah Dahlia dengan penuh perhatian. Ada semacam pergolakan yang terbias dari matanya. Tuning dapat mengerti itu karena seperti itulah yang terlihat pada wajah Didit pada pertama kalinya melihat Dahlia. Yang terkait dalam ingatan adalah ibu si anak. Dan mungkin saat itu Rudi teringat kepada almarhum kakak lelakinya.

"Anak itu cantik sekali," gumam Rudi kemudian,

"Tak saya kira!"

Pada saat itu Dahlia memang tampak cantik

dan menggemaskan. Gaunnya yang merah berbunga-bunga putih dengan renda di sekeliling dadanya, lalu dengan kuncir di kiri kanan telinganya, ia tampak begitu manis. Matanya yang besar dan bening. mengintip Rudi lewat lengan Tuning. Kakinya yang bersepatu merah dan terbungkus kaus kaki berwarna putih dengan pinggiran bermotif bunga warna merah, tampak montok dan sehat.

Mata Tuning melirik ke arah anak yang dikatakan cantik itu dan ia mengakui dalam hatinya. Wajah Dahlia memang banyak mendapat warisan dari Rika. Hanya bentuk alis dan rambutnya yang ikal menurun dari mas Dahlan.

"Ia memang cantik. Ibunya seorang perempuan yang jelita!" sahutnya.

Rudi tidak menjawab. Tetapi pandang matanya yang beralih dari wajah Dahlia kepadanya, mengandung pengertian yang mudah ditebak. Tuning memang punya banyak persamaan dengan kakaknya. Sama-sama jelitanya.

"Kecantikan ibunya memang banyak menurun kepadanya!" kata Tuning perlahan. Semburat warna merah melintasi pipinya karena mata Rudi masih saja menatap kepadanya.

"Anda mirip dengan dia?"

"Barangkali ....." sahut Tuning semakin perlahan,

"Banyak orang mengatakan demikian."

"Siapa nama anak itu?" Rudi mengalihkan lagi pehatiannya kepada Dahlia.
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dahlia," jawab Tuning. Dan kepada anak itu, ia memerintahkan supaya maju mendekati tamunya. Ia harus mengingat pada mas Dahlan. Betapa pun, lelaki itu punya hubungan darah dengan Dahlia.

"Beri salam kepada oom Rudi ini, Lia!" katanya.

Meski dengan sikap takut dan ragu, anak itu berjalan juga ke dekat Rudi dan mengulurkan tangannya.

"Katakan Selamat sore oom!" perintah Tuning

lagi.

Dan Dahlia menuruti perintahnya untuk kemudian kembali ke tempatnya semula.

"Dahlia anak manis sekali!" puji Rudi kepada anak itu,

"Cobalah bermain sepeda lagi. Sepeda siapa itu?"

Mendengar benda kesayangan yang baru dimilikinya itu, rasa malu anak itu menghilang. Matanya mengawasi sepedanya.

"Sepeda Lia. Sepeda baru!" katanya.

"Aduh, sepeda baru. Siapa yang membelikan?"

"Tante Ning!"

Rudi melirik kepada Tuning. Perlahan-lahan ia mulai dapat mengenali sifat gadis itu. Penuh kasih sayang kepada keponakannya. Mendidik dengan lembut namun tegas. Rasanya agak sulit mempercayai bagaimana masa lalunya jika melihat apa yang terpampang di hadapannya.

Merasa dilirik, Tuning memindahkan perhatiannya kepada Dahlia.

"Bermainlah sepeda Lia. Belajar menjalankannya ya?" katanya kepada anak itu,

"Nanti kalau

sudah pandai, sepedanya kita bawa ke taman dan kau bisa bersepeda di sana!"

Dahlia gembira mendengar janji itu. Dengan langkahnya yang pendek-pendek, ia berjalan ke arah sepedanya.

"Apakah saya mengganggu?" anya Rudi tiba

tiba.

"Saya hanya merasa heran mengapa Anda merasa perlu datang lagi kemari .." sahut Tuning acuh tak acuh.

"Waktu itu saya sudah mengatakan keinginan saya yaitu melihat wajah anak kakak saya almarhum!"

"Sekarang Anda telah melihat sendiri dengan jelas sekali!"

"Ya, dan hati saya tersentuh. Anak itu hanya tahu bahwa keluarganya cuma Anda dan adik Anda. Ia sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa di sana, ia punya paman-paman dan bibibibi bahkan juga kakek dan nenek. Lalu di sebuah rumah lain, ia juga mempunyai dua orang kakak lelaki yang sudah remaja. Seharusnya, saya ikut memperhatikannya kemarin-kemarin....."

"Sebenarnya ia anak yang beruntung dengan kenyataan tersebut. Tetapi karena masa lain ibunya, ia terisolir dari keluarga lainnya. Tetapi tak apalah, kekurangan itu dapat saya timbuni Seorang diri," sahut Tuning dingin.

"Tetapi untuk waktu selanjutnya, saya ingin juga membantu Anda mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan Dahlia. Misalnya jika Anda atau

adik Anda sakit dan anak itu menjadi terlantar, hubungi saya tanpa Anda harus merasa sungkan."

"Terimakasih. Tetapi mudah-mudahan segalaaya berjalan lancar!"

"Tetapi tentunya Anda akan mengijinkan saya datang sekali-sekali kemari buat menengoknya bukan?"

"Saya tak berhak melarang seorang paman yang ingin menengok kemenakannya. Tetapi buat Anda pribadi, apa perlunya?"

"Saya merasa berkewajiban terhadap keturunan mas Dahlan. Sedikit atau banyak, saya ingin juga menyumbangkan perhatian saya kepada Dahlia. Mungkin di suatu ketika nanti mengajaknya jalan-jalan seperti yang ANda atau adik Anda lakukan. Atau dalam hal lainnya. Terus-terang sekarang ini hati saya tergerak begitu tahu bahwa keponakan saya begitu cantik, mungil dan tak berdosa"

"Ya .." sahut Tuning mengambang. Pikirannya melayang ke tempat yang jauh sehingga matanya tampak amat sayu.

"Tampaknya Anda tak begitu berkenan terhadap kata-kata saya tadi," kata Rudi tiba-tiba.

"Bicara sejujurnya, saya sedang memikirkan kakak saya .Alangkah senangnya dia andai masih dapat mendengar. Kata-kata Anda akan menguap kekeringan jiwanya. Selama ini ia hanya merasa sebagai orang yang tersisihkan!" jawab Tuning terus-terang. .

Rudi tidak menjawab. Ia juga sedang memikirkan hal yang sama namun dalam pandangan yang berbeda. Yah, bagaimana mungkin ia dapat memandang dari sudut yang dilihat oleh Tuning? Melihat masa lalu kakak Tuning. ia tak dapat mentolerir seperti apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Pertama. ia tak mempunyai hubungan darah dengannya Seperti kaitan yang ada pada Tuning dengan kakaknya itu. Kedua, ia belum pernah mengenalnya bahkan melihat pun belum. Dan ketiga. profesi pelacur adalah profesi yang paling menjijikkan baginya. Tak bisa diterimanya .bahwa tubuh yang diciptakan oleh Tuhan, yang seharusnya dihormatinya sebab di suatu saat akan menjadi tempat bagi calon anak-anaknya, bisa dijual kepada ratusan orang tanpa batas.

Tuning melihat perubahan yang ada pada wajah tamunya. Maka dengan menirukan gaya sang' tamu itu bertanya. ia pun mengeluarkan tekanan perasaan itu secara terus-terang.

"Tampaknya Anda tak begitu berkenan terhadap kata-kata saya tadi," katanya.

"Terus-terangnya. ya. Maafkanlah kejujuran saya ini. Tetapi ketika mas Dahlan menceritakan perkawinannya yang kedua, hati nurani saya berontak. Ini perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan tak berperasaan. Saya tak pernah percaya bahwa seseorang dapat membagi cinta dan perhatiannya sama besar dan sama beratnya kepada beberapa orang istrinya sedangkan seorang ibu saja tak bisa membagi cinta dan perhatiannya sama besar terhadap masing-masing anaknya. Tentu ada yang harus lebih diperhatikan. Ada yang lebih disayanginya dan ada pula yang lebih sering ditegurnya. Jadi sungguh tak mungkin .."

"Anda belum mengenal kakak saya," kata Tuning memotong,

"Ia seorang perempuan yang rendah hati dan tahu diri. Dan ia tak pernah menuntut perhatian dan semacamnya yang sama besar dengan yang diberikan kakak Anda kepada istri pertamanya. Saya tahu pasti mengenai hal itu. Dan sama sekali bukan suatu pembelaan asal saja karena ia kakak saya!!"

"Ya. saya percaya itu. Anda orang yang jujur saya lihat. Tetapi mengenai pandangan saya terhadap perkawinan mas Dahlan dengan kakak saya. juga bukan pandangan subyektif. Saya selalu berusaha memandang persoalan secara obyektif. Begitu pun dalam hal tersebut. Nah, saya lanjutkan. Dan marilah Anda saya ajak mengikuti jalan pikiran saya. Saya kenal baik dengan istri mas Dahlan yang pertama. Memang saya akui, ia mempunyai banyak kekurangan yang tak dapat mengisi apa yang dibutuhkan oleh _mas Dahlan. Tetapi bayangkanlah perasaan kewanitaannya Ia mendapat seorang madu yang maaf bekas seorang pelacur betapa pun yang tingkat tinggi sekalipun. Sebagai seorang ibu. tentu ia merasakan kekhawatiran atas diri kedua anaknya yang sudah remaja itu sebab cepat atau lambat, keduanya akan mendengar juga perbuatan ayah mereka. Sampai di sini Anda dapat mengikuti jalan pikiran saya?"

Tuning mengangguk. Ia cukup punya perasaan yang lembut untuk dapat bersimpati kepada perasaan orang lain. Dengan mudah ia bisa menempatkan diri kepada perasaan istri pertama mas Dahlan. Dan hal itu tak pernah terpikirkan olehnya dulu. Ia harus mengakui pada dirinya sendiri bahwa terkadang ia masih terlalu polos untuk berpikiran sebagaimana pikiran orang lain yang sudah bisa panjang, dalam dan berliku-liku.

"Nah, kalau begitu akan saya lanjutkan," kata Rudi lagi,

"Jadi dengan sendirinya Anda tentu juga dapat memahami perasaan saya waktu pertama kali mendengar berita itu. Tentu juga ada kaitannya dengan tiga hal saya telah sebutkan tadi. Belum mengenal, tidak ada kaitan darah. dan profesi kakak Anda. Dan dari sudut kami, belum pernah ada di antara keluarga kami yang melakukan poligami Waktu mendengar bahwa perkawinan itu juga membuahkan seorang anak. timbul hal lain dalam hati saya. Seperti apa keturunan kakak saya yang tersayang itu .....?"

Wajah Tuning memerah demi mendengar itu. Ia malu terhadap masa lalu kakaknya. Berapa kali ia dulu pernah mendengar suara-suara cekikikan dari arah kamar lda. Berapa kali pula ia mencium bau rokok dari kamar kakaknya dan berapa kali pula ia terpaksa harus menyingkir jika pada siang hari ada tamu untuk lda. Ia merinding dan merasa muak. Dan ia harus berjuang mati-matian untuk mengembalikan citra kakaknya di matanya. Ia sangat mencintai Rika dan ia tahu benar pengorbanan sang kakak tersebut. Namun toh perjuangan batin buat mengembalikan citra sang kakak itu cukup memerlukan waktu. Padahal ia adalah adik kandung Rika. Apalagi Rudi yang tak ada kaitan darah dan sama sekali belum pernah mengenal kakaknya itu. Ya. seharusnya ia tak boleh begitu saja merasa sakit hati atas perlakuan Rudi selama ini. Rudi punya alasan tersendiri mengapa terpaksa bersikap demikian terhadapnya. Dan terlebih lagi sebagai gadis yang punya perasaan hrius, ia dapat menduga bahwa Rudi mencurigai kesuciannya sebagai gadis yang baik-baik.

Melihat wajah Tuning yang memerah. Rudi segera meminta maaf. Lanjutnya:

"Maafkan kalau saya bicara terus-terang yang pasti menyinggung perasaan Anda. Tetapi telah saya katakan tadi bahwa saya ingin bicara sejujurnya. Nah, ketika terjadi peristiwa kecelakaan yang mengambil nyawa kakak saya maupun kakak Anda, saya mengira bahwa hal itu adalah hukuman Tuhan. Tentu saja itu pikiran pendek saya ketika itu. Tentu banyak faktor lain mengapa terjadi kecelakaan tersebut. Berminggu-minggu bahkan berbulan lamanya saya berada dalam peperangan batin. Akankah saya menengok keturunannya yang didapatkan dari maaf perempuan lacur itu? Akankah saya berani melihat kenyataan jika saya sampai melihat anak itu mempunyai suatu cacad bawaan misalnya? O, Tuning, Anda harus bisa memahami perasaan saya kala itu. Dan ketika akhirnya saya mampu memutuskan tindakan

saya, perbuatan dan sikap saya mungkin tampak tidak simpatik sehingga menyinggung perasaan Anda. Tetapi hari ini setelah saya lebih mengenal Anda dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana keturunan mas Dahlan. saya juga mulai sadar bahwa mungkin ada hal-hal lain yang selama ini tidak saya lihat!"

"Dengan demikian, Anda mulai sadar bahwa tidak semua garam sama asinnya," gumam Tuning.

"Ya, mungkin memang demikian!"

"Kalau begitu Anda juga harus percaya bahwa ada juga pelacur yang melakukan pekerjaannya karena terpaksa dan merasakan beban mental yang berat. Dan itulah yang dialami kakak saya sampai akhirnya bertemu dengan mas Dahlan. Ia tidak sama seperti kawan mbak Rika lainnya yang mudah sekali menjual rayuan gombalnya. Ia juga tak dapat bermuka-muka manis dan berpura-pura demi mengeduk keuntungan yang besar."

Rudi mengangguk. Melihat ketenangan lelaki itu, Tuning merasa sudah cukup banyak mereka membicarakan almarhum Rika. Menambahinya hanya akan memberi kesan bahwa ia sedang mencoba membela kakaknya. Karenanya ia lekaslekas merubah pembicaraan.

"Mau minum apa? Teh atau sirup?" tanyanya.

"Apa sajalah yang tidak merepotkan," sahut yang ditanya.

Tuning menyuruh Dahlia masuk dan mengatakan kepada pembantu rumah tangga untuk mem

buatkan es sirup dua gelas.

"Lia boleh juga ya?" tanya anak itu.

Tuning tertawa dan mengangguk,

"Tetapi esnya tidak boleh terlalu banyak!" sahutnya.

Dahlia mengangguk untuk kemudian berlari masuk ke dalam.

"Berapa umur anak itu?" tanya Rudi mengikuti tubuh anak itu hingga hilang di balik dinding dengan matanya.

"Sebentar lagi tiga tahun."

"Alangkah cepatnya waktu berlalu," gumam Rudi perlahan.

Tuning tidak menjawab. Matanya asyik memperhatikan dedaunan yang bergerak-gerak oleh angin senja yang mulai turun. Sayap senja mulai melebarkan warnanya yang muram ke seluruh permukaan bumi. Dan nun samar-samar di kejauhan, suara bedug Magrib mulai memanggil-manggil; Sementara satu dua nyamuk mulai berdengung di atas kepala mereka.

"Kita pindah di dalam'?" usul Tuning lama kemudian setelah ada seekor nyamuk yang menggigit betisnya.

Rudi mengangguk. Ia berdiri bersamaan dengan Tuning yang juga berdiri. Tetapi pada saat itu mereka mendengar suara scooter yang masuk ke halaman. Serentak keduanya menoleh ke arah asal suara.

Di atas scooter, Boby tersenyum lebar kepada mereka.

"Halo Ning," katanya sambil turun. Dan sambil memparkir kendaraannya di dekat motor Rudi, ia meneruskan bicaranya.

"Mudah-mudahan kedatanganku ini tidak menganggu."

"Ah, tidak ....." sahut Tuning,

"Masuklah."

Di dalam, ia memperkenalkan kedua lelaki itu.

"Tumben Bob? Tak biasanya kau datang mengunjungiku!" katanya kemudian.

"Sebenarnya kalau kau tidak ada rencana dan usulku ini tidak mengganggu, aku ingin mengajakmu nonton," jawab Boby.

"Kalau ada rencana, harap jangan menundanya hanya karena saya. Silahkan saja. Saya datang kemari hanya iseng saja." sela Rudi tiba-tiba.

"Ah, tidak. Aku tidak ingin menonton." kata Tuning cepat,

"Kau kan sudah kuberitahu berulang kali Bob, aku tak suka nonton. Masa lupa?"

"Lupa sih tidak. Tetapi film ini film bagus, Ning!"

"Bagus atau tidak, tidak jadi persoalan bagiku. Sudahlah Bob. kalau ingin menonton ajaklah kawan yang lain. Jangan aku!"

"Aku hanya ingin mengajakmu saja. Tetapi sudahlah kalau memang tak mau tak apa Kita toh bisa mengobrol lebih bebas di sini. Betul bukan?" katanya kepada Rudi.

Rudi hanya mengangguk saja dengan senyuman tipis di sudut bibirnya.

"Ning, rumahmu mungil tetapi semarak!" kata Boby tiba-tiba. Lelaki muda itu memang biasa bersikap bebas terhadap siapa pun.

"Ah, bisa saja " sahut Tuning mengelak.

"Tetapi sungguh, Ning Kau tinggal dengan siapa di sini. Orang tuamu?"

Tuning baru akan menjawab ketika tiba-tiba dari arah belakang terdengar tangis Dahlia. Sebelum gadis itu masuk, pembantu rumah tangga sudah keluar ke ruang tamu dengan Dahlia berada di gendongannya.

"Jatuh dari kursi," katanya menerangkan.

"Ia ingin melihat saya membuat es sirup di atas kursinya dan terpeleset."

Tuning mengambil alih Dahlia ke dalam gendongannya. Sahutnya:

"Biar kudiamkan. Tolong es sirupnya lekas dibawa kemari ya bik?"

Pembantu rumah tangga itu masuk ke dalam kembali setelah mengiyakan. Dan Tuning mulai membujuk Dahlia dengan suara lemah lembut sehingga anak itu terdiam. Hanya sesekali isaknya masih terlolos dari bibirnya yang memerah.

"Lain kali jangan berdiri di atas kursi lagi ya Lia? Atau kalau ingin juga. minta tolong kepada bibik supaya bisa ditempatkan yang aman. Mau berjanji kan?"

Dahlia mengangguk. Tuning lantas menciumnya dan meletakkan anak itu ke pangkuannya tatkala duduk kembali menghadapi tamu-tamunya.

"Anak umur sekian memang sedang lagak-lagaknya serba ingin tahu." katanya kepada kedua lelaki itu dengan maksud minta maaf atas kejadian

tak terduga tadi.

"kami bisa memaklumi," sahut Boby.

Dahlia menyela perhatian. Kaki kirinya dijulurkannya ke depan.

"Mama akit!" katanya.

"Kakinya sakit?" sahut Tuning penuh perhatian,"Yangmana?Coba Mama lihat...." Dengan gerakan tergesa ia memeriksa kaki Dahlia. Ada goresan kecil yang memerah. Mungkin tergores sekrup atau semacamnya yang biasa ada pada kursi. Tuning meniupnya perlahan.

"Nah, sudah sembuh. Sekarang Lia duduk yang manis ya?" bujuknya kemudian.

Dahlia mengangguk dan menyandarkan kepalanya yang mungil ke dada Tuning. Gadis itu merasa lega melihat anak itu mau menurut. Perhatiannya kembali dialihkan kepada kedua tamunya. Pada saat itulah ia baru melihat wajah Boby yang agak aneh. Lelaki itu tengah menatapnya dengan keheranan yang jelas terpancar dari mata dan alisnya.

"Anak itu anakmu?" tanyanya. Tuning sadar pada apa yang dipikirkan oleh Boby. Semenjak Rika meninggal. Dahlia memang memanggilnya "mama" dan ia membiarkannya karena anak itu tampak menyukai panggilan baru yang diberikan kepada tantenya itu.Tetapi setitik pun Tuning tak pernah mengira bahwa hal itu dapat menimbulkan salah pengertian bagi orang-orang yang melihat dan mendengarnya. Tetapi ia tidak perduli. Pertanyaan Boby menimbulkan akal baru

yang mungkin dapat menghindarkan dirinya dari kesulitan kelak di kemudian hari.

"Ya. Anak ini anakku. Kenapa?" sahutnya.

"A anakmu? Jadi kau pernah menikah?"

Tuning hanya tersenyum saja. malas menjawab

pertanyaan itu. Kalau saja Boby memakai kalimat lain untuk pertanyaannya misalnya: "Jadi kau sudah menikah" atau semacamnya, mungkin ia masih mau menjawabnya. Tetapi pertanyaan Boby yang diucapkan di hadapan Rudi yang menganggapnya tak lebih daripada Rika, membuatnya merasa tertekan.

"Aku tak mengira ' gumam Boby.

"Banyak hal yang tak tersangka di dunia ini, Bob!"

"Ayah anak itu telah meninggal?" tanya Boby lagi.

"Ya. lebih dari setengah tahun lalu!"

"Kau tak pernah menceritakan!"

"Aku merasa tak ada perlunya untuk menceritakan riwayat hidupku kepada orang lain. Apalagi aku punya rencana sendiri dalam hidupku ini yang sama sekali tak ada kaitannya dengan orang lain!" sahut Tuning dingin.

Boby menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Pikirannya melayang-layang ke masa sebelumnya. Pantaslah Tuning tidak suka bergaul bebas dengan teman-teman yang lain. Pantaslah gadis itu tampak lebih dewasa. Pantaslah ia sukar didekati. Pantaslah seribu satu macam pantas lainnya!

Sementara itu Rudi memperhatikan keduanya dan samar-samar dapat menangkap apa yang ada di balik dusta Tuning. Pada saat itulah ia mulai dapat mengenali hati gadis itu. Pelan-pelan ia juga mulai dapat menghargai diri gadis itu. Ada kesadaran yang semakin dalam bahwa memang tidak semua garam sama asinnya!

Keheningan menyebar di antara mereka. Suara burung-burung yang pulang ke tempatnya masing-masing. terdengar nyaring di atas pohon yang tampak dari ruang depan di mana ketiga orang itu tengah duduk dengan diam-diam. Senja semakin tua dan kegelapan mulai merayapi bumi menyebar ke seluruh kaki langit.

"Silahkan minum," kata Tuning tiba-tiba. Dan keheningan pun memecah.

Rudi menghirup es sirupnya hingga setengah isi gelasnya. Tetapi Boby hanya menghirup pada permukaannya saja.

"Kalau memang tidak suka nonton Ning, sebaiknya aku minta diri dulu. Ada urusan lain

yang harus kuselesaikan," kata lelaki yang terakhir itu. Ia melihat arlojinya dengan sikap yang berlebihan. Tuning tersenyum dalam hatinya. Sudah jelas itu hanya alasan belaka supaya dapat mengundurkan diri. Ah, alangkah dangkalnya minat seorang pria kepada wanita yang katanya sedang didekati buat suatu hubungan yang lebih dalam dan lebih mesra. Baru mengetahui bahwa si wanita itu janda saja, sudah ingin mengundurkan dengan tergesa.

"Silahkan Bob," tetapi ia menyahut dengan sopan dan lembut,

"Dan maaf ya aku terpaksa mengecewakanmu!"

"Tak apa. Aku juga minta maaf telah mengganggu ketenanganmu selama ini!"

Tuning tersenyum dan mengantarkan tamunya hingga ke halaman. Ia baru masuk ke rumah kembali setelah suara scooter lenyap di kejauhan.

"Kau tidak ingin pulang juga?" tanyanya kepada Rudi yang masih duduk di sudut ruang dengan tenang. Ia sedang memperhatikan Dahlia yang tengah merengek kepada pembantu rumah tangga supaya menyalakan teve.

Rudi agak kaget mendengar pertanyaan itu. Tuning telah mengganti panggilan Anda dengan kau yang lebih akrab. Apa maksudnya? Dan mengapa pula ia bertanya semacam itu kepadanya? Rudi tahu bahwa Tuning sedang mengecewakan sesuatu, tetapi ia tak dapat meraba apa yang membuatnya kecewa? Apakah karena Boby segera mengundurkan diri akibat dustanya tentang siapa

Dahlia tadi?

Tuning tahu kekagetan Rudi tetapi ia tak perduli. Kalau Boby yang semula menaruh minat saja segera angkat kaki ketika ia mendustai bahwa Dahlia anaknya, apalagi Rudi yang tak punya minat dan hanya punya gambaran yang salah tentang dirinya sehubungan dengzm masa lalu Rika? Jadi buat apa memakai basa basi dan buat apa pula harus bersopan-sopan? Ia toh sudah dicap rendah. Sejuta kali pun ia bersikap anggun sebagai seorang putri kerajaan, Rudi akan menganggapnya tak lebih dari seonggok sampah yang sedang berusaha menjadi pupuk demi Dahlia!

"Kau menginginkan aku pulang?" Tanpa sadar, Rudi tertulari sikap Tuning yang mulai menanggalkan basa-basi di antara mereka berdua. Dan bagi Rudi apa pun motivasi dari sikap yang tibatiba berubah itu, ia cukup merasa senang. Beraku dan berengkau terasa lebih akrab dan kehilangan kejanggalan yang Sering dirasakannya ada pada dirinya sendiri setiap berbicara dengan Tuning.

"Aku hanya bertanya saja. Kau akan tetap tinggal sampai nanti atau akan segera pulang. tak jadi persoalan bagiku. Tak ada bedanya!"

"Kalau begitu aku akan tinggal sampai nanti. Terus-terang aku masih ingin berdekatan dengan Dahlia. Aku mengharapkan ia mau berhandaihandai denganku," sahut Rudi.

"Terserah ....." gumam Tuning. Ia menghenyakkan tubuhnya ke kursi dan menatap ke arah layar teve tanpa berkedip. Keheningan segera saja

melingkupi mereka berdua. Kecuali suara dari pesawat teve, selebihnya tak ada suara. Dahlia asyik menonton.

"Ning " Tiba-tiba Rudi memecahkan suasana hening yang berjalan beberapa saat lamanya itu.

Tuning menoleh dan menunggu.

"Boleh aku bertanya?" tanya Rudi melanjutkan.

"Silahkan. Aku lebih menyukai keterbukaan betapa pun pahitnya itu!" sahut Tuning.

"Kenapa kau mengaku sebagai ibu Dahlia?" tanya Rudi lagi.

"Aku tidak mengaku asal saja. Aku memang telah menganggap Dahlia sebagai anakku. Dan di suatu ketika yang tepat nanti. aku akan mengadopsi anak itu. Jadi kurasa jawabanku kepada Boby tadi punya kebenaran!"

Rudi tertegun. Mengadopsi seorang anak bagi gadis yang belum menikah adalah suatu tindakan yang berani. Betapa tidak? Belum tentu ada lelaki yang mau menerima keadaan semacam itu. Tetapi Rudi segera menetralisir keheranannya. Mengingat masa lalu Tuning, tampaknya gadis itu punya rasa takut buat menikah. Dan karena tak ada rencana menikah, mengadOpsi anak bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan panjang lebar lebih dulu. Begitulah jalan pikiran Rudi saat itu.

"Tetapi seharusnya kau menerangkan status anak itu kepada lelaki tadi. Hal itu akan meng

hindari kekecewaannya!" cetus Rudi di kemudian.

Tuning tertawa mendengar kata-kata itu.

"Apa yang kau ketahui tentang kecewa, Rudi?" dengusnya kemudian,

"Kalau kau mau tahu, aku leblih kecewa daripada dia!"

"Maaf, aku tak mengira segawat itu perasaanmu. Apakah kalian berdua merupakan pasangan kekasih?" tanya Rudi lagi. Kali itu dengan nada suara yang terdengar hati-hati.

"Jangan terlalu jauh menduga!" sahut Tuning,

"Ia memang mempunyai minat kepadaku. Kentara dari cara dan sikapnya dan juga dari bicaranya yang terkadang bernada ke arah itu. Tetapi dari bicaranya yang terkadang bernada ke arah itu. Tetapi dari pihakku, tak ada reaksi. Hatiku tenang-tenang saja. Suatu ketenangan yang sudah mendarah daging dalam hatiku. Boleh kau ketahui bahwa hatiku di segi asmara atau semacamnya itu, telah beku. Aku muak. Dan kenapa demikian, tanpa kukatakan pun kau tentu sudah dapat menduganya!"

"Tetapi kau tadi mengatakan bahwa hatimu kecewa!" kata Rudi memotong.

"Kekecewaan yang kumaksud bukanlah kecewa karena patah hati atau semacamnya. Kekecewaanku adalah mengenai hati pria pada umumnya. Sepanjang pengalaman hidupku yang sekian tahun lamanya ini. aku selalu melihat priapria yang mudah mencintai yang kumaksud dengan mencintai adalah suatu cinta yang dangkal,

yang sama sekali tidak mendalam. Kenapa kukatakan mudah karena begitu melihat seorang wanita punya sedikit saja kelebihan maka si pria akan berusaha mendekatinya. Kalau tampaknya tidak cocok, dengan segera ia beralih kepada wanita lain yang dirasanya lebih sesuai. Pendek kata, sedikit kelebihan dari si wanita maka si pria cepat tertarik dan sedikit saja kekurangan maka rasa tertarik itu berubah menjadi sebaliknya!" jawab Tuning.

"Kau bisa memahami apa yang kumaksud bukan?"

Rudi mengangguk.

"Ya, aku bisa mengerti itu walau pendapatmu itu agak a priori. Tetapi apakah yang kau katakan tadi ada kaitannya dengan Boby tadi?" .

"Ya. Di luar perasaanku pribadi, aku kecewa terhadap keteguhan pribadi seorang lelaki. Mereka selalu mengharapkan yang serba sempurna. Harus cantik, harus masih gadis suci, harus yah seribu satu harus lagi. Karenanya begitu salah satu keharusan itu tak terpenuhi, bubarlah minat yang semula tampak menggebu-gebu itu macam balon besar yang tiba-tiba kempis. Nah, sebagai bukti. kau telah melihat sendiri bagaimana Boby cepat-cepat minta diri begitu kukatakan bahwa Dahlia anakku!"

"Bukan aku membela sejenisku ya Ning, tetapi seorang lelaki boleh jadi berpetualang dengan beribu macam sifat gadis-gadis yang ditemuinya tanpa banyak mempermasalahkan apa dan siapa si gadis itu. Tetapi begitu menginjak tahap berikutnya, yaitu hendak memilih teman hidupnya yang notabene juga sebagai calon ibu bagi anakanaknya, ia akan selektip. Kurasa hampir semua orang selalu memilih yang terbaik jika mungkin!".

Tuning tersenyum samar. Sahutnya :

"Aku memang tidak masuk hitungan!"

"Jangan terus menyerah macam itu Ning. Aku hanya mencoba melihat lewat kaca mata Boby. Caranya mengangkat kaki begitu ia tahu bahwa Dahlia anakmu, aku tahu bahwa calon yang dipilihnya untuk suatu hubungan serius adalah seorang gadis yang belum pernah menikah. Kurasa itu wajar bukan?" kata Rudi,

"Kecuali kalau sebelumnya memang sudah ada suatu katakata cinta yang serius sifatnya!"

"Tidak. Aku tak punya perasaan apa-apa terhadapnya. Justru kepergiannya memberiku kebebasan yang lebih enak karena rasanya sungguh menekan jika seseorang yang sama sekali tak kita minati selalu mengekor kemana pun pergi seperti lalat melihat gula jawa yang manis. Aku cuma kecewa terhadap hati kaum lelaki pada umumnya!"

"Kuakui memang demikianlah pada umumnya sifat kaum lelaki terhadap soal cinta. Mudah datang dan mudah pula pergi. Tetapi di sanalah letaknya suatu hal yang merupakan semacam ketentuan yang seolah mengharuskan kaum wanita sempurna. Cuma arti sempurna bagi tiap lelaki berbeda-beda. Mungkin yang diinginkan bibirnya yang sempurna atau hidungnya, pokok

nya hal-hal yang menyangkut fisik. Tetapi yang terbanyak adalah kesempurnaan segi batiniah. Ini masuk akal karena si lelaki akan menyerahkan keturunannya kepada wanita tersebut. Mengandungnya, memberinya kasih-sayang jika telah lahir nantinya dan yang terpenting memberi pendidikan yang baik. Pendidikan moral yang saya maksudkan. Nah, dari seorang ibu yang tidak punya moral yang baik tak usah terlalu sempurnalah bagaimana bisa memberikan pendidikan moral yang baik kepada anak-anaknya bukan?" sahut Rudi,

"Jadi seharusnyalah kaum wanita selalu mawas diri, memperkembangkan diri untuk menjadi wanita yang baik, suci dan semacamnya sebab di bawah telapak kakinyalah keturunan dan keluarganya merasakan kebahagiaan!"

"Itu suatu harapan yang sungguh baik. Tetapi seharusnya juga kaum pria berpikir adil, jangan hanya berpengharapan muluk-muluk tetapi dirinya sendiri tidak dibina. Bukankah seorang ayah adalah tonggak keluarga? Kalau tonggak itu seorang yang patut dihargai, yang kuat mentalnya yang tinggi moralnya, yang berkepribadian, niscayalah keluarga akan merasa aman dan tentram berada di bawah perlindungannya. Apakah sebuah keluarga dapat berbahagia hanya dengan seorang ibu yang sempurna saja tanpa si ayah mengimbanginya? Pikirkanlah Rudi!" sanggah Tuning.

Rudi terdiam untuk akhirnya tersenyum.

"Kau benar. Ning. Seharusnyalah baik pria maupun wanita sama-sama membangun moral dan memperkembangkan diri menuju ke tempat yang lebih sempuma di segala bidang karena memang seharusnyalah demikian sesuai dengan harapan semua insan yang suka kepada kebaikan dan keindahan!" katanya kemudian.

Tuning juga tersenyum.

"Kita kok jadi melantur berdebat!" gumamnya

"Toh setidaknya aku jadi bisa meraba bagaimana sebenarnya hati wanita lewat caramu berpikir!"

Tuning tersenyum lagi.

"Syukurlah kalau pendapatku tadi ada gunanya. Mudah-mudahan di suatu ketika kelak kau akan mendapatkan seorang istri yang sempurna seperti harapanmu!" katanya.

Rudi tidak menanggapi kata-kata itu. Pikirannya melayang jauh. Menilik cara gadis itu mendidik anak, caranya berjuang untuk mendapatkan rejeki dengan meninggalkan masa lalunya dulu. bisa diduga bahwa gadis itu seorang yang teguh kemauannya. Bukan hal yang mudah membanting setir apalagi dengan tanggungan dua orang dalam keluarganya. Berapa gajinya dibanding pemasukan tatkala ia masih mengikuti kehidupan kakaknya almarhum dulu? Yah. betapa pun hitamnya masa lalu Tuning. mau atau pun tidak. Rudi mempunyai penghargaan tersendiri terhadap nya sekarang ini.

Selama Rudi mengenal Tuning, ia tahu bahwa gadis itu termasuk wanita yang pendiam. lembut

dan mempunyai sikap dan sopan-santun yang cukup tinggi. Dan menilik cerita mas Dahlan bahwa Rika juga sejenis itu, Rudi punya dugaan besar bahwa kedua kakak beradik itu berasal dari keluarga baik-baik dan cukup terpelajar. Mungkin benturan-benturan dalam kehidupan ini telah membuat mereka lupa kepada dasardasar kebaikan yang pernah diterimanya dari orang tua. Dan benturan macam apa itu, Rudi tak berani menanyakannya walau keinginan untuk itu amat kuat menghuni hatinya.

Dan ketika Rudi pada suatu kesempatan berkenalan dengan Didit, dugaan tentang latar belakang keluarga Tuning, semakin kuat berada dalam pikirannya. Pemuda yang masih kuliah di kedokteran gigi itu punya sikap yang sopan dan rendah hati. Tetapi dalam hal-hal tertentu, ia punya prinsip-prinsip kuat yang tampaknya tak tergoyahkan. Kepribadiannya menonjol. Dan sikap semacam itu besar kemungkinannya memang merupakan hasil didikan orang tua yang menjunjung budi pekerti yang baik..

Kalau sudah demikian. Rudi tak habis berpikir mengapa Rika dan Tuning yang begitu cantik itu pernah terperosok ke jalan yang keliru.

Tetapi lepas dari segala macam dugaan dan analisa itu. semenjak ia mulai mengenali keluarga Tuning. semakin sering ia datang berkunjung. Mula-mula alasan pertamanya adalah hendak mengeratkan hubungannya dengan Dahlia. Tetapi lama-kelamaan ia tak dapat menutupi bahwa

sebenarnya ia merasa senang mengobrol dengan Tuning atau Didit. Kedua kakak-beradik itu enak sekali diajak bertukar pikiran. Keduanya mempunyai pengetahuan yang luas terutama Tuning. Rasanya Rudi tak bisa mempercayai bahwa gadis itu pernah hidup sebagai perempuan bayaran bersama dengan kakaknya.

Pernah Rudi mengorek darimana pengetahuan yang banyak itu didapatnya, gadis itu hanya tersenyum saja tanpa mengatakan apapun. Rudi hanya dapat menduga bahwa gadis itu pasti banyak belajar. Ia tentulah seorang yang menyukai kemajuan dengan cara autodidak. Tetapi apa pun cara yang pernah ditempuh Tuning untuk kemajuan, Rudi merasa bahwa secara perlahan namun pasti, ia mulai menaruh rasa simpati kepadanya. Terlebih ketika ia melihat bagaimana sepulangnya dari kantor setelah kerja lembur, Tuning masih menyempatkan diri untuk berjalan jalan dengan Dahlia. Keadaan itu akhirnya bukan saja menimbulkan rasa simpati Rudi kepada Tuning, tetapi juga menyebabkan lelaki itu menawarkan diri buat mengantarkan ke mana pun Dahlia yang menginginkannya. Dan karena tampaknya Dahlia mulai erat kepada Rudi, Tuning suka membiarkan Rudi mengambil alih tugasnya. Kadang-kadang mereka bertiga pergi bersama. Ke Ancol, ke Bobo dunia kanak-kanak, ke mana saja. Kalau tidak dengan motor, mereka naik taksi.

Di suatu saat, Rudi membawa pinjaman mobil

dari salah seorang kakaknya. Karena hari itu hari Minggu. Rudi mengusulkan untuk jalan-jalan ke Bobo lagi. Mendengar itu Dahlia sudah berteriak kegirangan walau pun Tuning belum menyetujuinya. Namun karena melihat kegembiraan Dahlia, Tuning toh tak tega untuk menolaknya. Ia Segera mendandani anak itu. Dan sebagaimana biasanya, Dahlia selalu tampak cantik, manis dan lucu oleh tangan Tuning.
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuning sendiri hanya mengenakan celana panjang dengan blus longgar berbunga kecilkecil. Sederhana tetapi tampak pantas melekat ke tubuhnya yang ramping semampai.

"Kebetulan," katanya begitu selesai menyiapkan dirinya sendiri maupun Dahlia,

" Aku sedang merencanakan untuk membelikan boneka sebab sudah cukup lama aku menjanjikannya tanpa segera mewujudkannya."

"Beres, di sana gudangnya alat-alat permainan!" sahut Rudi,

"Dan aku juga menjanjikan untuk membelikan sesuatu yang lain. Biar dia pilih sendiri sekehendak hatinya!"

Tuning mengangguk dan segera menggamit lengan Dahlia. Keduanya masuk ke dalam mobil setelah Rudi membukakan pintu untuk mereka.

Hari itu hari Minggu siang yang cerah. Dan Dahlia juga berwajah cerah dengan gaunnya yang berwarna kuning muda. Tas kecil dari bahan yang sama dengan gaunnya tersampir di pundak. menyilang dadanya. Topinya berwarna coklat muda sewama dengan sepatunya. Sungguh suka

Rudi melihat anak semanis dan serapi itu. ia memuji cara Tuning merawat dan mendadani anak itu.

"Nanti setelah dari Bobo, kita beli ice cream. Kau suka ice cream bukan Lia?" tanyanya kepada anak itu.

"Suka oom," sahut Dahlia gembira,

" Mama juga suka!"

Rudi tertawa dan Tuning tersenyum.

"Sebentar lagi kau berulang tahun, Lia. Mama senang bahwa sekarang kau sudah pandai berbicara, tidak lagi cedal!" kata Tuning kemudian.

"Ya, Lia mau sekolah kelas lima!" sahut Dahlia bangga.

Sekali lagi Rudi dan Tuning tertawa.

"Sekolah tidak langsung kelas lima Lia." kata Rudi membetulkan." Tetapi kelas nol dulu lalu kelas satu, dua dan seterusnya. Sudah pandai menghitung bukan?"

"Bisa, satu dua tiga empat enam....

tujuh...."

"Stop Lia. sesudah empat, lima dulu baru enam!" sela Tuning. Dan Dahlia menirukan kemudian mengulangi hitungannya kembali.

Rudi tersenyum. Ada semacam keharuan dalam hatinya mendengar pembicaraan antara Tuning dan Dahlia yang terdengar manis itu. Ia teringat kepada almarhum kakaknya. Alangkah senangnya andaikata yang berada di dalam mobil ini bukan ia dan Tuning berserta anak itu. Tetapi orang tua anak itu. Dan jauh di dalam

hatinya. ia membayangkan tokoh Rika. Entah seperti apa wajahnya. tetapi tentulah perenpuan itu juga lembut. halus. sopan santun seperti Tuning. Namun bayangan indah itu tergeser secara tiba-tiba tatkala ia membayangkan puluhan dan mungkin ratusan lelaki yang datang silih berganti masuk ke dalam kamar perempuan itu. Dan dari rahim yang ternoda ratusan lelaki itu mas Dahlan telah menitipkan keturunannya!

Tanpa sadar Rudi menarik nafas panjang dan berusaha mengenyahkan bayang-bayang hitam yang melintasi kepalanya yang semula terisi bayangan sebaliknya. Tetapi sukar sekali sebab kehadiran Tuning di sisinya masih berada dalam lingkup persepsinya. Maka mau tak mau bayangan hitam itu mengikutikepalanya. Begitu kuatnya sehingga pernah terlintas dalam hati Rudi suatu rasa khawatir kalau-kalau ada bekas langganan Rika atau Tuning yang melihatnya jalan bersama gadis itu.

Untunglah kesibukan Selanjutnya menipiskan bayang-bayang tadi. Dahlia minta dibelikan boneka oleh Tuning dan Rudi menambahi satu set perabot dapur dari plastik berwarna merah. Dan setelah puas naik bermacam-macam alat permainan listrik dan telah pula menghabiskan puluhan uang logam ratusan untuk menggerakkan permainan-permainan listrik tersebut. Rudi mengajak makan di sebuah rumah makan.

Sambil menunggu pesanan makanan dan ice cream. mereka memperhatikan Dahlia yang

memeluk kedua bungkusan mainannya itu dengan erat. Tetapi melihat mata anak yang berat dan sayu itu, Tuning tersenyum dan berkata kepada Rudi.

"Capai barangkali. Tampaknya mulai mengantuk!"

Rudi menertawakan anak itu. Dan ketika ini goreng dan ice cream yang dipesannya datang. ia menggodanya.

"Lia tidak suka ice cream kan?" katanya kepada anak itu.

"Suka sahut Dahlia. Tetapi begitu dua sendok es masuk ke mulutnya. anak itu menguap.

"Mengantuk anak sayang ...,?" tanya Tuning.

"Ayolah habiskan ini gorengnya kemudian kita pulang."

Tetapi Dahlia menggeleng dan menguap lagi sehingga Tuning menyuruhnya turun.

"Sini mama suapi." katanya.

"Kau ini sudah mengantuk lagi lho. Padahal bangun pagi tadi sudah siang!"

"Lia mau bobok " sahut anak itu sambil mengangkat tubuhnya sendiri supaya bisa duduk di pangkuan Tuning. Tuning membantunya. Tetapi telapak tangannya yang terasa panas pada ketiak Dahlia menyebabkan gadis itu berseru kaget.

"Kok badannya terasa panas!" katanya. Buru-buru disentuhnya dahi dan sisi leher Dahlia. Panas sekali rasanya.

"Rud, anak ini sakit rupanya!" serunya lagi.

Rudi menirukan cara Tuning meraba kepala anak itu. Memang terasa panas sekali. Dan melihat kegugupan Tuning, ia jadi ikut khawatir.

"Dahlia tak pernah sakit" gumam Tuning sambil menyandarkan kepala anak itu ke dadanya,' Paling-paling hanya batuk dan pilek. Dibawa ke dokter sekali saja langsung sembuh. Tetapi sampai panas seperti ini, belum pernah."

"Jadi bagaimana? Kita pulang sekarang?" tanya Rudi.

"Sebaiknya begitu. Aku takut ia kena angin terlalu lama. Suruh saja pelayan itu membungkus pesanan kita itu. Toh belum dimakan. Habiskan dulu minumanmu sambil menanti pelayan membungkuskan untuk kita," jawab Tuning. Dari tiada suaranya, Rudi tahu bahwa gadis itu Sedang panik. Maka tanpa membuang waktu lagi, saran gadis itu dilaksanakannya. Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di rumah. Dahlia sudah tertidur di atas pangkuan Tuning. Nafasnya tampak lebih cepat dari biasanya. Dengan hati-hati gadis kecil itu diletakkannya di atas tempat tidur setelah sepatunya dilepaskan. Pelan-pelan dahinya dicium oleh Tuning dengan hati berat. Ia tak berani meninggalkan Dahlia jauh-jauh.

"Kalau mau pulang, pulanglah Rud. Terimakasih atas segalanya. Tetapi makanlah bakmi gorengnya dulu. Biar ditemani Didit." katanya kepada Rudi yang masih berdiri di ambang pintu.

Tetapi Rudi tetap tinggal di tempat setelah

ia dan Didit makan ini goreng di ruang makan. Lelaki itu merasa tak tega meninggalkan Dahlia. Ia berdiri kembali di ambang pintu kamar.

"Bagaimana. masih panas?" tanyanya berbisik.

Tuning meraba lembut dahi dan lengan Dahlia. Rasa khawatir terbias dari kedua bola matanya.

"Rasanya malah bertambah panas ..." bisiknya dengan gelisah. Ia berdiri dan keluar kamar. Dipanggilnya Didit dengan suara gugup.

"Dit, kalau anak panas diberi minum apa?" tanyanya kemudian.

"Dahlia masih panas?

"Heeh " gumam Tuning.

"Coba ingat-inagat

pelajaranmu!"

"Wah, pelajaranku belum sampai ke sana Mbak, tetapi kata teman-teman untuk pertolongan pertama baik juga diberikan novalgin. Untuk Dahlia, beri saja seperempat tablet. Punya tablet itu kan?"

Tuning mengangguk tetapi ia masih tetap berdiri dengan ragu.

"Kau yakin kalau tablet itu baik?" tanyanya

kemudian.

Didit mengangkat bahunya.

"Bagaimana aku tahu mbak? Belajar di kedokteran gigi baru beberapa bulan!" sahutnya.

" Tetapi kalau maudicoba dengan bodreksin atau semacamnya kurasa tak apa-apa. Ini kan hanya pertolongan sementara!"

"Aku tak mau. mengambil resiko, Dit. Dia masih kecil!" kata Tuning setelah berpikir-pikir beberapa saat lamanya,

"Siapa tahu ia alergi terhadap obat-obat tertentu. Bagaimana saranmu?

"Kalau aku, bawa saja ke dokter. Bagaimana mas Rud?" Pemuda itu meminta pendapat Rudi yang menyusul ke belakang dan ikut mendengar kata-katanya yang penghabisan.

"Ya kurasa itu jalan yang terbaik. Ada dokter di sekitar sini?"

"Ada tetapi kalau Sabtu dan Minggu. ia biasa keluar kota bersama keluarganya," sahut Tuning.

"Baiklah sambil dipikir kita tolong dulu anak itu. Ia terbangun dan mencarimu!" kata Rudi.

Tuning berlari ke kamar kembali dan melihat Dahlia duduk di atas tempat tidur dengan menangis.

"Lia 'nggak enak Lia nggak enak ..." keluhnya disela tangisan yang dikeluarkan tersendatsendat.

Tuning membujuknya. Anak itu diraihnya kedalam pelukannya.

"Nanti minum obat ya? Lia tiduran saja di sini ya nanti mama tunggu. Sebentar lagi Lia pasti baik kembali,

"katanya dengan suara lemah lembut.

Tetapi Dahlia tetap rewel. Mainan yang diulurkan oleh Rudi ke tangannya, disingkirkannya.

"Minum susu ya sayang?" Didit ikut membujuk,

"Atau teh manis?"

Dahlia menggeleng. Tangisnya bertambah keras. Didit menatap kepada kakaknya.

"Tetapi kalau aku boleh usul, sebaiknya Dahlia dibawa ke rumah sakit saja. Di sana Selalu ada dokter jaga. Mereka tentu lebih tahu apa yang harus dilakukan kepada anak itu. Hari Minggu begini mana ada dokter yang praktek," sela Rudi tiba-tiba.

"Bagaimana Dit?" tanya Tuning minta pertimbangan.

"Mas Rudi benar. Menunggu sore atau menunggu besok, hanya memperpanjang waktu yang diisi kecemasan saja!" jawab Didit.

Begitulah akhirnya mereka membawa Dahlia ke rumah sakit yang terdekat. Tuning merasa bersyukur karena Rudi belum jadi pulang sehingga dapat memakai mobil kakaknya.

Di mobil, Dahlia agak tenang. Bahkan ia tertidur lagi menjelang akhir perjalanan. Anak itu tak banyak cerewet ketika dokter jaga yang memeriksanya membalik-balikkan tubuhnya.

Mereka pulang ke rumah kembali setelah mengambil obat atas resep yang diberikan dokter tersebut. Dan selama itu. Dahlia juga hanya tidur saja di pangkuan Tuning, membuat hati Tuning agak lega.

Rudi pulang ke rumahnya setelah menjelang sore. Baik Tuning mau pun Didit. mengucapkan terimakasih kepadanya.

"Sebenarnya lelaki itu lelaki Yang baik" gumamnya kepada dirinya sendiri. memandang mobil yang semakin menjauh.

"Apa mbak ..?" tanya Didit yang masih berdiri di sampingnya.

Tuning menoleh dan tersenyum kepada adiknya.

"Tidak. aku hanya mengharapkan Dahlia segela sehat kembali!" katanya. Ya. ia memang tak ingin mengatakan apa-apa kepada Didit sebab pemuda itu hanya tahu bahwa Rudi seorang lelaki yang baik semenjak mengenalnya pada pertama kali!

***

Setelah minum obat begitu Dahlia bangun dan memberinya susu sebanyak segelas, Tuning berharap agar panas tubuh anak itu segera turun. Tiap sebentar ia mengukur suhunya. Dan selalu saja berada di tempat yang tak berkisar jauh dari semula. empat puluh derajad Celcius.

Sorenya. ia memberi lagi obat yang siang telah diminum itu setelah Dahlia mau makan semangkuk kecil agar-agar nenas buatan pembantu rumah. Tetapi setelah anak itu tidur kembali. Tuning merasa bahwa suhu anak itu bukannya turun tetapi malah meningkat. Diukurnya, empatpuluh derajat lebih empat setrip.

Dada Tuning berdebar-debar. Terlebih karena di bawah sinar lampu, pipi Dahlia tampak memerah dan nafasnya turun naik dengan gerakan tak bebas.

Pembantu rumah tangga menyarankan supaya mengurapi anak itu dengan bawang merah dan minyak yang dicampur jadi satu. Dan karena Tuning tak tahu harus berbuat apa, saran itu diturutinya. Menjelang malam, suhu tubuh Dahlia memang agak menurun sehingga Tuning mau makan juga sedikit ketika dipakSa pembantu rumah tangga.

"Makanlah Non." kata perempuan itu,

"Biar saya yang menunggui. Sejak siang tadi non Tuning tidak makan. Nanti kalau masuk angin dan sakit juga, semakin kita semua jadi bingung!"

Seusai Tuning makan. Dahlia terbangun. Tuning segera memberinya minum obat lagi. Dokter telah menyuruhnya memberikan obat tersebut sebanyak empat kali sehari. Pagi. siang, sore dan malam. Karena tak mau makan. Tuning membuatkan susu lagi dan memberikan kepada anak yang sedang sakit itu. Setelah Dahlia meminumnya sebanyak setengah gelas saja. anak itu tertidur lagi. Tuning ikut tidur di sampingnya. Tubuhnya terasa letih dan pikirannya yang gelisah terus-menerus membuatnya amat lesu.


Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau Go Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun

Cari Blog Ini