Ceritasilat Novel Online

Melati Di Musim Kemarau 3

Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono Bagian 3



Entah berapa lama tertidur, ia tak tahu. Ia dikagetkan Suara tangis Dahlia di sampingnya. Setengah meloncat ia terduduk di tempat tidur.

"Kenapa sayang ....'?" tanyanya.

mau pipis jawab Dahlia.

Tuning, segera mengangkat anak itu dan

dibawanya ke' kamar mandi. Di tengah ruang, ia melihat Didit sedang belajar dengan mata memerah menahan kantuk.

"Kok masih belajar Dit?" tanya Tuning kepada

adiknya.

"Aku khawatir kau memerlukan apa-apa nanti. Tadi waktu kau tidur mbak,kuraba dahi Dahlia sangat panas..."

"Ya, aku juga merasakannya. Padahal sudah tiga kali obat dari dokter siang tadi kuminumkan!

"Mas Rudi tadi datang sebentar Mbak "

"Oh ya ? Kenapa?"

"Dia hanya mampir sebentar untuk mengetahui keadaan Dahlia. Aku tak berani membangunkanmu dan mas Rudi juga tak mau menemuimu. ia hanya menyampaikan pesan kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan menghubunginya.

Tuning mengangguk dan matanya melayang ke jam dinding. Jam dua malam!

"Tidurlah Dit, kalau ada apa-apa nanti kau kubangunkan!" katanya kemudian. Suaranya terdengar lembut sekali.

Didit berdiri dan meraba kepala Dahlia yang masih menyandar ke bahu Tuning.

"Mau pis ma...." rengeknya, mengingatkan Tuning.

Di kamar mandi, Dahlia menangis ketika diguyur air oleh Tuning. Ia berteriak-teriak.

"Dingin Ma dingin Ma..." tangisnya.

Tuning tersenyum menghiburnya.

"Tahan sebentar ya nak, kakimu harus diguyur. Gatal nanti kena pis..." bujuknya dengan sabar.

Tetapi tubuh Dahlia menggigil keras sehingga Tuning merasa menyesal telah menyirami kakinya dengan air dingin. Lekas-lekas anak itu digendongnya dan dilapnya kaki yang basah itu dengan handuk kering yang diraihnya darijemuran tempat handuk. Setelah itu dipeluknya tubuh Dahlia dan dibawanya kembali ke kamar.

Lama sekali baru Dahlia terlelap kembali ke dalam mimpi. Tetapi Tuning tak bisa tidur lagi. Tubuh Dahlia semakin panas terasa di telapak tangannya. Ia tak berani mengukurnya. Tetapi ia amat gelisah sehingga menjelang pagi tatkala pada perasaannya tubuh Dahlia semakin panasjua, Didit dibangunkannya.

"Apa yang harus kita lakukan Dit. Kita berdua bertanggung jawab atas keselamatan anak ini. Mbak Rika almarhum telah mempercayakan anaknya ke dalam perlindungan kita berdua..." katanya. Air mata meluncur satu persatu ke atas pipinya.

Didit menarik nafas panjang.

"Bagaimana kalau kita bawa ke rumah sakit lagi?" tanyanya memberi usul.

Tuning melirik ke jam duduk di atas meja belajar Didit. Jam setengah empat lebih sepuluh.

"Naik apa?" tanyanya.

"Kita cari taksi!"

Tuning mengangguk.

"'Lekaslah. Aku akan bersiap-siap selama kau

berkemas."

Tetapi mencari taksi pada pagi buta seperti itu tidaklah mudah. Didit harus berjalan ke tempat telpon umum lebih dulu. Dari sana ia menelpon ke perusahaan taksi minta dikirim mobil. Dan setelah itu dengan lega Didit pulang. Tuning sudah bersiap-siap. Begitu taksi datang, nanti, Dahlia akan diangkatnya dan tempat tidur.

Tetapi sampai jam lima, taksi belum juga datang sehingga mereka berdua jadi gelisah. Sementara itu Dahlia beberapa kali beijingkatjingkat tanpa sadar. Didit menghela nafas.

"Cari lagi Dit!" kata kakaknya dengan suara panik.

Tanpa menunggu perintah sampai dua kali, pemuda itu meloncat keluar. Tak sampai sepuluh menit kemudian, ia sudah kembali dengan taksi.

"Sopir taksi yang kupesan mbak. Katanya lebih seperempat jam lamanya mencari-cari alamat kita!" menerangkan Didit sambil ikut mengangkat tubuh Dahlia.

"Suruh agak cepat menjalankannya. Tetapi katakan hati-hati di jalan ya Dit. Bawa anak sakit, begitu!"

Didit mengangguk. Mereka tiba di rumah sakit sudah terang tanah. Warna jingga mulai melumuri langit dan udara sejuk yang masih jernih mengusap paru-paru mereka. Tetapi tak satu pun di antara kakak beradik itu yang bisa menikmatinya. Mereka berjalan tergesa dengan Dahlia

di gendongan Didit, berjalan di lorong rumah sakit menuju ke bagian darurat. Bukan dokter kemarin yang memeriksa Dahlia pagi itu. Tetapi Didit yang masih punya ingatan ke arah yang lebih jauh, telah membawa obat-obat yang diberikan oleh dokter jaga kemarin siang untuk tambahan informasi.

Keduanya berdebar-debar tatkala dokter tersebut memeriksa Dahlia dengan amat teliti. Dahlia diam saja. Matanya yang sesekali terbuka, amat sayu. Tampaknya ia tidak begitu memperdulikan keadaan di sekililingnya sehingga hati Tuning seperti diiris-iris melihat anak itu.

"Bagaimana Dokter ...'?" tanyanya tak sabar.

"Saya rasa sebaiknya anak ini dirawat di rumah sakit saja ..." sahut dokter tersebut.

Tuning kaget. Matanya agak membelalak.

"Apakah itu perlu? Dan apakah penyakitnya berbahaya Dok?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Tenis-terang saya belum dapat memastikan apa penyakitnya. Baru dugaan saja. Justru karena itulah saya katakan sebaiknya anak ini tinggal di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dan pula dengan tinggal di rumah sakit, ia juga akan mendapat perawatan dan pengobatan yang lebih tepat."

"Tetapi saya tidak tega ..." gumam Tuning sambil menahan agar genangan air di matanya tidak runtuh.

"Justru kalau tinggal di rumah, saya yang

tidak tega. Di sini, anak ini akan terjamin perawatan dan pengobatannya. Setiap waktu tertentu, ia akan diperiksa. Pendek kata, di rumah sakit ini kami selalu siap selama duapuluh empat jam. Baik tenaga medisnya, maupun peralatannya"

"Kurasa, kata Dokter benar Mbak. Di rumah, apa yang bisa kita lakukan kecuali gelisah tak menentu saja?" sela Didit.

Tuning terdiam. Matanya mengawasi tubuh Dahlia yang lemah. Nafas anak itu bergerak tak teratur sehingga ia memutuskan untuk menuruti nasehat dokter jaga tersebut.

"Baiklah dokter, saya setuju..." katanya dengan suara perlahan.

"Tetapi apakah boleh saya tunggui?" lanjutnya kemudian. Dokter itu mengangguk.

"Asal jangan lebih dari dua orang. Dan, hanya seorang saja yang diperbolehkan tinggal di dalam kamarnya."

Tuning mengangguk. Ia mengikuti perawat yang mendorong Dahlia dalam tempat tidur beroda menuju ke kamar yang tersedia. Sementara itu Didit mengurus segala sesuatunya pada bagian darurat rumah sakit.

Ketika ia menemui Tuning kembali .di kamar tempat Dahlia dirawat, pemuda itu berbisik.

"Kita harus membayar ongkos perawatan selama sepuluh hari dimuka untuk nanti diperhitungkan apakah Dahlia hanya tiga hari atau lebih dari sepuluh hari tinggal di sini. Kau membawa uang Mbak?"

Tuning menggeleng. Dan saku tas tangan yang masih sempat diraihnya sebelum berangkat ke rumah sakit tadi, ia mengabarkan seikat kunci.

"Ambil uang dalam amplop biru dalam laci lemari. Dan bawakan beberapa keperluan Dahlia seperti handuk, baju tidur, sabun, dan sebagainya. Bisa?"

Didit mengangguk dan segera menghilang. Dan Tuning mengembalikan tatap matanya ke tangan perawat yang sedang mengompres kepala, ketiak dan sela paha Dahlia dengan kantong es.

Rasanya waktu berjalan amat lambat sekali. Sambil menunggui Dahlia, ia melihat pergantian tugas perawat yang jaga malam dan siang. Ia melihat celoteh mereka dan penyerahan tugastugas dari perawat yang satu ke perawat yang lain. Didengar-nya mereka membicarakan mana pasien-pasien baru dan hal-hal yang harus mereka lakukan sepeninggal kelompok perawat yang bebas tugas. Tetapi pikirannya tidak sepenuhnya tertuju kepada mereka, Ia sedang memikirkan gelang keroncong Rika,

Untuk perawatan rumah sakit dan obat-obat yang diperlukan Dahlia, ia memerlukan uang kontan. Dan berapa banyak itu, ia masih berteka-teki sendiri. Tetapi jelas akan sangat banyak jumlahnya. Belum lagi untuk biaya transport mondar-mandir dari dan ke rumah sakit. Ia juga harus membawakan makanan atau majalah majalah buat para perawat yang jaga malam sebab begitulah yang pernah didengarnya agar

mendapat perhatian yang lebih baik. Di manamana memang diperlukan uang pelicin. Dan sukar untuk menyalahkannya. Orang sudah sama maklum apa sebab keadaan berupa lingkaran setan itu. Akan terlalu banyak yang bisa dituding hidungnya.

Didit datang ke rumah sakit kembali setelah matahari bersinar dengan pongahnya di ujung langit. Dedaunan tanaman hias di halaman rumah sakit, bersepuh cairnya keemasan. Secara mendadak dunia seolah menjadi sibuk. Pegawai rumah sakit hilir mudik dan keluarga orang yang sakit keras, pulang dan pergi bergantian. Beberapa kali gerobak berisi pispot yang berderet-deret, gemeratak lewat di muka kamar-kamar.

"Beres Dit?" tanya Tuning begitu pemuda itu

masuk.

Didit mengangguk.

"Tetapi hanya ada uang sekian di amplop

biru," bisiknya sambil menyerahkan amplOp yang dibicarakannya itu.

Tuning menerimanya dan pelan-pelan menghitungnya. Ia mengangguk.

"Memang hanya sekian. itu sisa gaji bulan kemarin," katanya.

"Kurasa kita memerlukan sejumlah uang lagi. Kalau Dahlia nanti sudah diperiksa dokter lagi, aku akan pulang sebentar buat mandi. Setelah itu aku akan menjual sesuatu!"

"Ada yang bisa dijual?" tanya Didit khawatir.

"Ada. Peninggalan mbak Rika. Seharusnya akan kuberikan kepada Dahlia kalau kelak dia

besar. Tetapi ...?"

"Kalau aku kelak sudah mampu mencari uang, akan kuganti!" kata Didit kekanakan. Namun toh Tuning terharu. Ditepuknya lengan Didit.

"Kau sudah rapi. Sudah mandi tentunya. Tetapi kau sempatkan untuk sarapan juga kan?"

"Ya. Si bibik memaksa aku makan nasi gorengnya!"

"Seharusnyalah. Kurang tidur sudah tidak baik bagi kesehatan. Jangan ditambah lagi dengan kurang makan!"

"Kau juga harus segera makan Mbak. Mau kubelikan roti atau makanan lainnya?" tanya Didit,

"Di luar banyak orang jualan. Malah kulihat, ada kantinnyajuga!"

"Gampang nanti."

Sesosok tubuh yang datang menghalangi cahaya dari luar, menyebabkan kedua kakak beradik itu memalingkan kepalanya ke ambang'pintu. Di sana, berdiri Rudi dengan bungkusan di tangan nya.

"Bagaimana keadaannya?" tanyanya. Matanya terarah kepada Dahlia yang masih tidur dengan gelisah di tempatnya. Di kepalanya masih tergolek kantong es. Perawat sudah memberitahu cara-cara mengompres kepada Tuning.

"Masih seperti semula. Tetapi sejak disuntik tadi pagi. ia bisa tidur agak lama,"jawab Tuning. Matanya mengarah kepada obyek yang sama, yaitu Dahlia. Tetapi kemudian ia melayangkan matanya kepada Rudi kembali.

"Darimana kau

tahu kami disini?" tanyanya kemudian.

"Dari si bibik. Tepat tatkala Didit pergi tadi. Kususul tetapi di jalan sudah tidak terlihat lagi. Kukira sedang akan berangkat kuliah. Ini tadi aku-berputar-putar dulu di rumah sakit. Bertanya ke sana kemari baru ketemu!"

"Seharusnya kau tak perlu repot-repot, Rud. Kau tak ke kantor?" tanya Tuning.

"Dahlia bukan hanya kemenakanmu saja, Ning. Ia juga kemenakanku. Begitu mendengar ia masuk rumah sakit, aku telah memutuskan untuk ke kantor siang-siangan. Nah, ini kubawakan nasi goreng restoran Anu. Masih hangat nih. Kau harus makan!"

Tuning tersenyum.

"Terimakasih," sahutnya pendek. Tetapi bungkusan itu tak disentuhnya. Ia tak punya selera makan sama sekali. '

Sementara itu dokter jaga siang 'memeriksa Dahlia lagi. Tuning mendekatinya.

"Bagaimana Dok?" tanyanya.

"Akan kita lihat nanti. Siang ini akan kami periksa lebih lanjut," sahut dokter tersebut.

"Maksudnya?"

"Untuk mengetahui kepastiannya. kami akan memeriksa darah, urine dan faccesnya."

Dahlia menarik nafas panjang.

"Apakah... saya .bisa meninggalkannya sebentar maksud saya, kalau saya pulang untuk mandi apakah tidak akan terjadi sesuatu apa pun?" tanya Tuning tergagap.

"Pulanglah. Suhunya agak turun oleh kompres yang terus-menerus. Dan tampaknya ia bisa tidur setelah tadi disuntik," senyum dokter itu membujuknya,

"Dokter dan perawat selalu siap menolong jika ada apa-apa."

"Terimakasih!"

Sepeninggal dokter jaga yang tengah berkeliling itu, Tuning menatap Didit.

"Kau jangan kuliah hari ini ya Dit?"

"Memang sudah kurencanakan tidak. Kalau mbak Ning mau pulang pulanglah. Aku akan menunggui Dahlia. Katanya tadi mau......"

"Ya," sahut Tuning memotong,

"Aku akan berusaha secepat mungkin kembali kemari."

"Perlu kuantar?" sela Rudi.

"Aku membawa motor."

"Kurasa tak perlu. Temanilah Didit di sini siapa tahu Dahlia nanti bangun sebelum aku kembali. Adanya dua orang di dekatnya. akan mengurangi rewelnya jika tidak melihat aku ada di sisinya!" sahut Tuning.

"Bawakan boneka dan mainan yang kubelikan kemarin di Bobo, Ning, Siapa tahu benda-benda itu dapat menghiburnya,

"kata Rudi lagi.

Tuning mengangguk. Diraihnya tas tangannya dan diciumnya dahi Dahlia baru ia keluar. Di kelok lorong, Rudi menyusulnya.

"Ning, kau ada uang untuk biaya Dahlia?" tanyanya begitu berada di susi Tuning.

Tuning mengangguk.

"Jangan khawatir mengenai itu. Sedikit-sedikit

aku ada juga menyimpan tabungan,

"katanya berdusta.

"Tetapi aku tulus hendak membantumu Ning. Kalau kau mengalami kesulitan entah itu mengenai uang mau pun hal lainnya jangan segansegan minta tolong kepadaku. Dahlia juga kemenakanku dan aku ikut bertanggung jawab bagi kesejahteraannya demi kakakku. Aku bersungguh-sungguh mengenai bantuanku itu!" kata Rudi lagi.

"Ya. Terimakasih!"

"Jangan hanya bilang terimakasih saja Ning. tetapi resapkanlah itu. Aku benar-benar ingin membantumu!"

Tuning tersenyum. Pada saat itu hatinya terbelah jadi dua. Sebenarnya sama sekali ia tak ingin menjalin hubungan yang akrab dengan Rudi betapapun hubungan itu cuma hubungan persaudaraan. Ia cukup menyadari latar belakang masa lalu kakaknya. Ia juga insaf bahwa selama beberapa tahun ini ia makan, berpakaian, mencari ilmu dan berteduh di bawah perlindungan yang semuanya didapat dari hasil menjual tubuh kakaknya. Dan ia mengerti bahwa pandangan Rudi masih belum bersih dari kecurigaan-kecurigaan mengenai itu semua. Harga diri Tuning terluka sebenarnya. Tetapi di lain pihak. ia tahu bahwa Rudi seorang lelaki yang baik dan penuh pengertin sebenarnya. Pada masa prihatin seperti saat ini, kesediaan lelaki itu untuk membantu baik tenaga. waktu dan juga apa yang baru saja

ditawarkannya, terasa menyentuh perasaannya. Ia terharu.

"Aku berjanji akan minta pertolonganmu kalau ada sesuatu yang tak bisa kami tanggulangi. Dan sekali lagi, terimakasih, Rud!" katanya lama kemudian.

"Seharusnya terimakasih itu tak perlu. Kedudukanku dan kedudukanmu sama terhadap Dahlia!" gerutu Rudi.

Tuning terdiam. Dan mereka terus melangkah menuju ke gerbang rumah sakit. Rudi mencarikan taksi untuknya dan menyerahkan dua lembar ribuan kepada sopir taksi

"Kelebihannya untuk bung!" katanya. dan

menutup pintu mobil sambil memberi isyarat berangkat sehingga Tuning tak sempat memprotesnya.

Di rumah. Tuning mengambil buku tabanas dan satu gelang di antara enam gelang keroncong kepunyaan almarhum kakaknya. Bergegas ia ke bank mengambil simpanan yang semakin menipis itu dan kemudian menjual gelang tersebut. Hatinya lega sehingga perasaannya lebih mantab ketika ia kembali ke rumah sakit. Dan ia masih sempat menghirup susu dan makan sebutir telor setengah matang yang berulang-ulang disodorkan pembantu rumah tangganya. Diam-diam ia ber janji pada dirinya untuk menaikkan gaji pembantu yang setia dan penuh pengertian itu.

Dahlia masih tidur. Tetapi kata Rudi dan Didit, anak itu terbangun sekali untuk buang air kecil

dan minum obat. Petugas laboratorium sudah mengambil darah dan faecesnya belum lama ini.

"Kita sama menunggu apa hasilnya nanti," kata Rudi,

"Mudah-mudahan tidak ada penyakit yang serius padanya! "

Menjelang siang Rudi minta diri untuk pergi ke kantor.

"Sore nanti aku datang lagi," katanya,

"Jaga dirimu baik-baik, Ning. Dit, bujuklah dia supaya mau makan!"

Didit mengangguk. Tuning memperhatikan punggung Rudi yang menghilang di balik dinding lorong. Ia tak mengira bahwa lelaki itu akan berubah menjadi sedemikian lembutnya jika diingat bagaimana sikapnya pada pertama kalinya datang ke rumah. Dan kenyataan itu sangat menyakitkan dadanya. Sikap Rudi yang begitu lembut telah menyentuh bagian hatinya yang terdalam. Semenjak masa remajanya, ia belum pernah bergaul akrab dengan seorang lelaki. Ia selalu membatasi dirinya dalam pergaulan. Sikap selembut dan sepenuh perhatian semacam yang diberikan oleh Rudi adalah sesuatu yang baru pertama kalinya dialami. Dan sepanjang siang itu sambil menunggui Dahlia, sebentarsebentar matanya melayang ke ambang pintu. Secara tak disadarinya, ia mengharapkan munculnya Rudi kembali.

Sorenya ketika lelaki itu benar-benar datang dengan membawa beberapa majalah dan makanan kecil untuk Tuning dan Didit, untuk pertama

kalinya Tuning merasakan debar-debar yang aneh begitu menyadari kehadiran lelaki itu. Ini adalah suatu hal yang sama sekali belum pernah dirasakannya. Tetapi sebagai manusia yang normal, ia sadar bahwa suatu kerlip yang dinamakan cinta sedang mulai menyala dalam dadanya.

Sama sekali Tuning tidak merasa gembira menyadari itu semua. Tidak seharusnya ia jatuh cinta kepada lelaki satu itu. Ia bahkan merasa amat sedih, kecewa bahwa cinta yang mulai menggetar dadanya itu tertuju bukan kepada Boby atau kepada teman lainnya yang buta sama sekali mengenai masa lalu keluarganya. Kenapa justru kepada Rudi yang sudah banyak mengetahui mengenai latar belakang keluarganya, bahkan yang pernah memandangnya hanya dengan sebelah mata.

Pikiran Tuning yang beberapa saat terakhir itu tertuju kepada Rudi. terputus oleh datangnya dokter jaga. Ia datang dengan diiringi oleh dua orang perawat dan memeriksa Dahlia serta memberikan instruksi-instruksi kepada kedua pengiringnya itu.

Selesai memeriksa, Tuning mengejarnya.

"Dokter, bolehkah saya tahu apa penyakit kemenakan saya itu dan bagaimana keadaannya tanyanya dengan tergesa.

Dokter itu menghentikan langkah kakinya, mengawasi Tuning sebentar baru menjawab.

"Kemenakan Anda menderita paratyphus. begitu hasil laboratorium siang tadi. Tetapi

Anda tak usah terlalu mengkhawatirkannya. Ia telah mendapat pertolongan yang tepat dan saya senang bahwa Anda bergerak tepat dengan membawa anak itu ke rumah sakit secepat mungkin," katanya.

Tuning mendesah.

"Saya mohon agar Dokter berkata terus terang dan bukan hanya sekedar menentramkan hati saya. Saya lihat anak itu tampak amat lemah dan tidur terus," sahutnya.

"Itu karena suhu yang terlalu tinggi. Kesadarannya agak menurun. Itu memang biasa terjadi pada penderita penyakit yang sama. Tetapi keadaan semacam itu tidak berlangsung lama. Ia telah mendapat pengobatan dan perawatan yang, baik. Tetapi yang jelas, sama Sekali ia tidak boleh bangun dari tempat tidur sebelum sembuh betul. Dan untuk waktu yang belum bisa ditentukan, anak itu harus makan makanan yang disaring. Nah, karena hal-hal semacam itulah mengapa saya selalu menekankan kepada pasienpasien yang harus dirawat, supaya menuruti nasehat dokter. Betapa pun, hal itu penting dan berguna bagi si sakit sendiri!"

Tuning mengangguk.

"Terimakasih Dok..." katanya lirih sekali,

"Tetapi apakah jiwa anak itu bisa tertolong?"

"Insya Allah dengan doa-doa kepada Tuhan dan dengan perawatan yang baik serta pengobatan yang semakin maju, kemenakan Anda akan segera sehat kembali.!"

Dan karena tak tahu sampai berapa lama Dahlia akan tinggal di rumah sakit, Tuning agak bingung memikirkan pekerjaannya di kantor. Hari ke empat setelah Dahlia mulai memperlihatkan kemajuan. Tuning merasa berkewajiban untuk masuk kerja kembali. Ia menyerahkan kepada pembantu rumah tangga agar perempuan setengah baya itu mau menunggui Dahlia sampai tiba waktunya ia pulang kantor.

Mula-mula pembagian tugas untuk menemani Dahlia itu berjalan lancar. Kalau Tuning berangkat kerja, si bibik datang ke rumah sakit. Pulang dari kantor. ia segera menggantikan pembantu rumah tangga itu. Sorenya, Rudi akan datang dan malamnya Didit akan menemaninya hingga pagi. Tetapi lama kelamaan. kekuatan tubuh Tuning semakin melemah karena kurang istirahat. kurang tidur dan kurang makan. Masih ditambah lagi dengan beban pikiran atas penyakit Dahlia itu.

Berulangkali Rudi dan Didit memintanya supaya malam itu Tuning pulang ke rumah dan tidur. Begitu juga dengan Didit yang kewalahan melihat tekad Tuning buat menjagai Dahlia.

"Rambutmu kumal. pucat dan sinar matamu tampak letih!" kata Didit.

"Aku takut kau akan jatuh sakit Mbak. Cobalah sekali-sekali tidur di rumah. Aku akan menjaga Dahlia sebaik-baiknya!"

"Dengarkan saran yang baik itu _Ning. Jangan asal menuruti perasaan saja."Rudi menyela dengan cepat.

Tetapi Tuning, tak hendak menuruti. Alasannya, khawatir Dahlia terbangun malam hari tanpa melihat kehadirannya.

"Kalau rewel, kau juga yang akan susah!" katanya kepada Didit.

Begini saja,

"usul Rudi,

"Nanti kalau Dahlia terbangun kau bilang terus-terang bahwa kau akan pulang. Dan katakan bahwa aku dan Didit akan menggantikanmu. Ia tentu bisa memahami. Bilang saja kau merasa tak enak badan!"

"Jadi kau akan tidur di rumah sakit?" tanya

Tuning.

"Kenapa? Anehkah aku jika menunggui kemenakan sakit di rumah sakit? Lalu apa bedanya diriku dengan Didit dan kau sendiri sekali pun?"

Tuning terdiam. Ia sadar bahwa Rudi benar.

Sehabis makan roti dan lemper yang dibelikan Didit di kantin, Tuning, merasa tak enak dalam perutnya. Ia tahu bahwa hal itu disebabkan karena masuk angin. Siang tadi ia makan sedikit sekali di kantor dan sorenya, ia cepat-cepat mandi begitu tiba di rumah. Perjalanan agak macet tadi sehingga ia buru-buru mengejar waktu supaya bisa lekas tiba di rumah sakit. Tubuhnya belum lagi kering dari keringat ketika ia mandi menjelang ke rumah sakit tadi.

Merasa semakin tak menentu, ia tak mau mengambil resiko menyusahkan orang lain. Tergesa ia keluar dan di selokan ujung lorong, ia muntah-muntah tanpa bisa ditahan. Untunglah tidak ada orang yang melihatnya.

Merasa bersalah telah mengotori bagian rumah sakit, ia lekas mencari ember dan mengisinya dengan air. Rudi yang curiga melihat perbuatannya, memperhatikan diam-diam di belakangnya dan segera maklum apa yang terjadi.

"Sudah kukatakan bahwa kau harus istirahat malam ini. Pulanglah!" katanya.

Tuning tidak menjawab. Membawa ember penuh air yang disiramkan kedalam selokan bukanlah pekerjaan ringan bagi tubuh yang letih. Setelah meletakkan ember kembali ke kamar mandi, dengan terhuyung-huyung ia masuk kembali ke kamar Dahlia dan mencari kekuatan dengan menghenyakkan tubuhnya ke kursi dan menyandarkan kepalanya ke tiang tempat tidur. Wajahnya pucat dan keringat bermanik di dahinya.

"Pulanglah Mbak kalau kau tak ingin membuat keadaan menjadi lebih buruk. Semalam ini saja kau istirahat!"

"Ayo kuantar Ning. Aku akan membeli vitamin buatmu di jalan nanti. Kali ini, kau harus menurut apa kataku!" kata Rudi menyambung.

Tuning menyerah karena kepalanya seperti kitiran yang sedang berputar rasanya. Bahkan matanya juga berkunang-kunang dan pendengarannya berdenging. Ia tahu andai memaksa diri untuk bertahan, kemungkinan besar ia akan pingsan. Dan kejadian seperti itu tak diingininya.

Dipejamkannya matanya beberapa saat lamanya. Didit mengulurkan gelas berisi teh manis

dari termos yang memang disediakan pembantu rumah tangga untuk mereka yang menunggui Dahlia.

"Minumlah. Air gula akan memberi tenaga padamu!" katanya kepada sang kakak.

Tuning menurut. Rasa manis yang hangat memang dapat menolong sedikit. Rudi memapahnya.

"Ayo perlahan-lahan kita berjalan keluar mencari taksi," katanya.

Rudi meninggalkan motornya di rumah sakit. Ia ikut Tuning. Biar pun gadis itu melarangnya, Rudi tetap saja duduk di taksi yang membawa mereka pulang ke rumah Tuning. Bahkan di depan apotik, ia minta berhenti sebentar buat membeli tablet vitamin. Vitamin itu diberikannya kepada Tuning.
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Habis makan nanti, minumlah dan kemudian cobalah untuk tidur dengan tenang tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Toh Dahlia sudah lewat dari saat-saat kritisnya. Kau sudah mendengar sendiri bahwa anak itu sedang menuju ke arah kesembuhan," katanya dengan suara lembut.

Tuning tidak menjawab. ia merasa tersentuh oleh perhatian lelaki itu. Lebih-lebih karena caranya duduk di sisinya itu, Rudi bersikap seperti hendak melindunginya.

Di rumah, Tuning berusaha menelan kue-kue buatan pembantu rumah yang sedianya mau dikirimkan ke rumah sakit buat obat mengantuk bagi yang sedang menjaga si sakit. Setelah itu

ditelannya vitamin dari Rudi tadi. Memang, raganya lebih enak. Kepalanya tidak lagi berputar dan tubuhnya juga tak selemah semula walau keletihan masih terasa mengganduli seluruh sendi tubuhnya.

"Nah, Rudi, karena aku telah tiba di rumah dengan selamat, pulanglah. Jangan paksakan diri untuk menunggui Dahlia. Kau besok harus bekerja bukan?" katanya kemudian.

"Kalau kau atau Didit bisa menjaga Dahlia semalaman sedangkan paginya punya tugas lain yang berat, kenapa aku tidak?" gerutu Rudi,

"Dan sudah berulangkali pula kukatakan bahwa aku punya hak dan kewajiban yang sama terhadap anak itu!"

"Baiklah kalau kau memang telah berniat seperti itu. Tetapi pulanglah sekarang. Biarkan aku istirahat,"kata Tuning tersenyum membujuk,

"Dan bawalah kue-kue buatan bibik ini untuk teman mengobrol malam nanti dengan Didit!"

"Gampang nanti. Tetapi aku tak akan pulang sebelum kau makan. Kue dua potong tidak banyak jasanya buat memulihkan tenaga yang sudah diperas sekian lamanya!" bantah Rudi,

"Jadi makanlah. Kalau perlu, akan kutemani."

Ini sudah keterlaluan buat Tuning yang sedang lelah lahir batinnya. Perlakuan dan perhatian yang manis itu menyentuh tepat ke hatinya yang kering dari kasih-sayang. Dan getar asmara yang mulai berirama dalam jiwanya, menguasai otaknya.

"Rudi kau baik sekali,"katanya agak terbata,

"Belum pernah sebelum ini aku mendapat perlakuan manis dari orang lain"

Suara lembut. penuh perasaan dan terbata macam anak yang tak berdaya itu meluluh hati Rudi. Seketika itu bayangan hitam yang sesekali pernah mentabiri perasaannya terhadap gadis itu, runtuh. Pada saat itu, sinar lampu yang memandikan wajah Tuning, membuat gadis itu tampak mempesona. Dengan merunduk seperti itu, bulu matanya yang hitam dan panjang hampir menyentuh pipi kuningnya yang licin dan mulus. Ia sungguh amat cantik.

Rudi menelan ludah. Sadar bahwa ia sedang terpesona dan pertahanan yang dimilikinya selama ini agar tidak tertarik kepada kepribadian Tuning, hancur. Bahkan, ia jadi terlontar ke dekat Tuning duduk.

"Masih pusing?" tanyanya.

"Tidak begitu lagi. Hanya tinggal keletihan yang masih menguasaiku. Kalau nanti aku bisa tidur, kurasa besok sudah segar kembali. Apabila dengan vitamin yang kau berikan...." sahut Tuning sambil mencoba tersenyum dan bergurau. Kedekatan Rudi terlalu mempengaruhinya sehingga detak jantungnya bergerak tidak teratur. Ia tak ingin Rudi tahu itu.

"Seharusnya kau membagi apa yang kau alami itu kepada kami, aku atau Didit....." kata Rudi penuh rasa simpati.

"Aku tak mau merepotkan orang lain. Dan pula, kepadakulah mbak Rika berpesan. Sebelum mengalami kecelakaan, ia seperti telah mempunyai perasaan atau firasat. Beberapa kali ia mengatakan supaya aku menjaga Dahlia baik-baik. Waktu sakit Dahlia agak kritis kemarin-kemarin itu, hatiku bukan main cemasnya. Bukan saja karena aku amat menyayanginya, tetapi juga rasa tanggung jawabku kepada janji yang pernah kuucapkan kepada almarhum. Mana uang kontan tidak ada....tunggu jangan kausela dulu..... tetapi ada beberapa barang berharga peninggalan almarhum yang memang untuk keperluan Uahlia dan sudah kujual beberapa hari lalu. Aku hanya bermaksud mengatakan bagaimana penuhnya pikiranku mengenai Dahlia, jadi bukan hal yang aneh kalau aku merasa begitu letih hari ini...."

"Kasihan kau Ning....kenapa tak kau ceritakan mengenai hal itu kemarin-kemarin kepadaku. Aku tahu betapa beratnya pikiranmu. Bekerja di kantor belum lagi setahun, dan tentunya kau masih banyak disorot. Tetapi terpaksa beberapa kali membolos dan mungkin kau bekerja dengan tidak sempurna seperti biasanya," sahut Rudi dengan lembut," Dapat kumengerti bagaimana perasaanmu karena seluruh tanggung jawab berada di atas pundakmu yang sebenarnya belum kuat menanggungnya. Kau masih muda, boleh dikata sebatang kara pula....."

"Cukup Rudi!" kata Tuning memotong,

"Jangan diteruskan. Aku tak mau dikasihani. Aku bercerita tadi hanya untuk mengatakan kepadamu

bahwa keletihanku itu banyak sebabnya. itu saja!"

Rudi tersenyum. Tanpa sadar tangannya terulur dan mengelus pipi Tuning dengan lembut. Karena perbuatan itu tidak disangka-sangkanya. tubuh Tuning mengejang dengan mendadak. Matanya sedikit membelalak menatap ke arah Rudi. Bibirnya setengah terbuka. Sama sekali ia tak sadar bahwa saat itu ia tampak cantik dan tampak tak berdosa sehingga telah membobolkan seluruh pertahanan Rudi yang masih tersisa.

Lelaki itu mengecup bibirnya dengan lembut dan penuh perasaan. Maka kekejangan tubuh Tuning berubah menjadi gigilan. Suatu gigilan yang nyaris tak bisa dikendalikan. Betapa tidak? Ini adalah pengalamannya yang pertama kali. Dan rasanya, begitu menakjubkan.

Sayang sekali reaksi Rudi terhadap gigilan itu merupakan hal yang keliru. Ia telah salah mengartikannya. ia mengira bahwa gigilan itu berdasarkan sesuatu yang rendah sifatnya. Dan secara tibatiba, ia merasa amat kecewa. Tanpa kentara. ia melepaskan pelukannya. Sakit sekali dadanya. Ingatan tentang masa lalu Rika dan Tuning, terbayang di pelupuk matanya. Ia berpikir jauh. Tuning yang sedang mulai memperbaiki kehidupannya, mendapat pelukan dan ciuman seorang lelaki, di malam hari pula dan di tempat yang sunyi. tentulah menimbulkan dorongan yang telah membuat tubuhnya tadi menggigil!

Sementara Rudi berkutat dengan rasa kecewa,

tuning berkutat dengan rasa mata yang berbaur pesona. Lama keduanya membisu dalam alam pikiran masing-masing. Suasana hening itu baru terpecahkan tatkala jam dinding berbunyi sembilan kali.

"Sudahlah Rud....pergilah. Kendaraan umum agak sukar dicari di daerah ini. Dan pula, perlu kau ketahui bahwa tetangga sebelah menyebelah rumah sudah tahu bahwa aku tinggal sendiri di sini. Jangan sampai menimbulkan salah tafsir. Penduduk sini masih agak kolot,..." kata Tuning. Dan tatkala matanya bertemu dengan mata Rudi, pipinya berubah menjadi merah. Ia teringat pada keintiman yang baru saja mereka alami.

Lagi-lagi Rudi salah tafsir. Ia mengira gadis itu merasa malu telah memperlihatkan gairah yang tiba-tiba menggigilkan tubuhnya tanpa sadar tadi. Mengingat itu, rasa kecewa tadi terkait kembali dan ia menarik nafas panjangnya ketika mengiyakan kata-kata Tuning.

Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit kembali, hati Rudi dipenuhi oleh dua kekuatan besar yang saling berbantahan. Antara keakuan diri dan cinta kasih serta rasa simpati yang mulai tumbuh terhadap Tuning. Pada pihak pertama, ia merasa tak rela bahwa perasaan yang seharusnya suci itu tertuju kepada perempuan yang pernah hidup dalam kubangan cinta paksa yang umurnya cuma sepanjang satu pelukan saja. Dapatkah ia menerima kenyataan itu untuk memberikan kasih sayangnya kepada bekas perempuan bayaran? ,.

Tetapi di pihak lain, sukar sekali ia melepaskan pikirannya dari bayang-bayang tokoh yang bernama Tuning itu. Kecantikannya, kelembutannya, ketabahannya, dan penderitaan yang seringkali terbias dari matanya yang letih itu menyentuh perasaannya yang terdalam. Ia dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh Tuning itu di masa lalunya adalah karena suatu keterpaksaan.

Dalam belaian angin malam yang mengusap rambut, pipi dan tangannya, Rudi berulangkali mengeluh dan mengeluh. Kepribadian Tuning adalah kepribadian yang memang pernah dicitakannya ada pada perempuan yang ingin dinikahinya di suatu ketika nanti. Tetapi masa lalu yang begitu hitam adalah suatu hal yang paling ingin dihindari ada pada perempuan yang ingin dinikahinya. Ia terlalu idealis. bercita tinggi bagi istri dan calon ibu bagi anaknya kelak. Dan itu jelas tak akan ditemuinya pada wanita yang pernah membiarkan banyak lelaki dapat memilikinya asalkan ada uang di sakunya!

Tetapi rupanya, semakin cinta itu ditahan. semakin ia ingin meluap. Semakin ingin disingkirkan, semakin datang dan datang kembali. Semakin ia merasa ingin merendahkan nilai Tuning di matanya, semakin ia diserang oleh kata hatinya sendiri. Ya, kalau semua pria berpikiran seperti dirinya, akan pernahkah ada seorang pelacur yang berani menentang tatapan mata orang dalam pergaulan normal? Beranikah seorang pelacur meluruskan langkahnya kembali ke dunia yang

wajar dalam kehidupan orang 'baik-baik' kalau ia tahu bahwa dirinya tidak akan diterima dengan tangan terbuka sebagaimana masyarakat menerima orang lain? Padahal, sebagaimana orang lain. seorang pelacur juga punya harga diri dan kebutuhan untuk diterima dalam lingkungannya.

Tetapi mengapa ia masih saja sulit menerima Tuning walau ia tahu hatinya sudah digetari oleh perasaan yang begini lembut dan mesra? Rudi tetap saja tak bisa menjawab dan terseret kepada suatu dilemma yang tak terpecahkan.

****

Sejak ciuman di malam hari sepulangnya ia dan Rudi dari rumah sakit, Tuning merasa bahwa sikap Rudi kepadanya agak berubah. Keakrabannya mulai terhalang oleh batasan-batasan yang disebarkannya. Seolah, Rudi sedang melakukan semacam strategi guna tidak mengulangi kejadian yang sama.

Tuning termasuk wanita yang amat perasa. Betapa pun ia merasa tersinggung oleh sikap Rudi tersebut, ia tidak ingin gegabah memberi penilaian yang buruk kepada lelaki yang sebenarnya telah dicintainya itu. Secara diam-diam ia mempelajari sikap, bicara dan air mukanya jika mereka berdua sedang berdekatan. Dan dengan diam-diam pula ia mencoba menganalisanya. ,

Sebenarnya, mata Rudi merupakan jendela terbuka dari hatinya. Ia seorang lelaki yang baik sesungguhnya. Api kemesraan yang seringkali melindas kekecewaannya terhadap masa lalu Tuning, beberapa kali lolos dari kedua matanya. Tuning dapat merasakannya karena terhadap perasaan satu itu, ia amat peka. Tetapi jika melihat sikap Rudi yang tampak hati hati dan seperti sudah diperhitungkannya itu, Tuning dapat merasa bahwa lelaki itu tak ingin berhubungan secara lebih intim dengannya. Ia sadar bahwa bagi Rugi, ia adalah perempuan yang rendah. Ia dapat memastikan bahwa Rudi mempunyai dugaan baru tentang masa lalunya dulu bersama almarhum Rika.

Kalau Rudi bertanya. mungkin ia akan menerangkan siapa ia sebenarnya dan macam apa latar belakang keluarganya di daerah dulu semasa orang tuanya masih hidup. Tetapi karena sikap Rudi tidak terbuka dan bahkan membingungkan karena terkadang air mukanya begitu mesra dan terkadang pula begitu dingin. Tuning tak mau membuka riwayat hidupnya. Ia mengharapkan suatu hubungan yang tulus sifatnya. Yang penuh pengertian dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing tanpa perlu mempersoalkannya di dalam batin sekali pun.

Secara tak sadar. Tuning telah membela kehidupan kakaknya dulu. Apa yang Rudi ketahui tentang benturan-benturan yang dihadapi Rika

dulu? Apa yang Rudi ketahui bahwa almarhum Rika merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan

nenek dan adik-adiknya dan rela berkorban demi mereka semua?

Andaikata pun orang-orang seperti Rika dikatakan sebagai orang yang tak tahan benturan yang lebih baik memilih jalan salah daripada menghadapi kenyataan hidup yang pahit, tidak bolehkah mereka memperbaikinya jika kesempatan itu ada? Seperti Rika yang memilih bersuami misalnya. Tidak pantaskah mereka bertobat dengan melayari kehidupan normal sebagaimana manusia-manusia lain alami?

Pikiran semacam itu menimbulkan harga diri pada Tuning atas sikap Rudi yang membingungkan itu. Rudi boleh menganggap ia rendah dan perempuan yang tak pantas diajaknya bergaul secara intim. Tetapi janganlah cinta suci diikutsertakan di dalamnya. Tuning merasa bahwa cinta suci tidaklah memperhitungkan untung-rugi bagi masing-masing pihak. Cinta suci selalu mengandung pengorbanan. Dan pengorbanan mengandung suatu permaafan yang tulus.

Untuk menunjukkan harga dirinya itulah Tuning juga mulai mengambil sikap. Ia tidak lagi seramah semula. Caranya bicara selalu menonjolkan keangkuhan dan rasa dingin yang disebarkan untuk lelaki itu. Pendek kata. sikap Tuning mengingatkan Rudi pada perkenalan dan pertemuan-pertemuan mereka dulu. Dingin, sukar didekati, mudah tersinggung dan nyaris menjadi sinis.

Tetapi lelaki memang makhluk yang aneh. Melihat sikap Tuning seperti itu, keanehan itu pun muncul pada diri Rudi. Ia merasakan adanya tantangan yang menggebu dalam dirinya, waktu Tuning menyambut keakraban yang mulai disebarkan, kakinya begitu saja mundur. Tetapi begitu Tuning memperlihatkan suatu penentangan, Rudi justru ingin maju selangkah.

Ini baru dialami oleh Rudi. Ia pernah berhubungan kasih dengan beberapa gadis lain sebelum bertemu dengan Tuning. Tetapi selalu saja perasaannya yang terdalam tak pernah tersentuh oleh sesuatu yang begitu penuh romantika seperti selama ia berhubungan dengan Tuning. Setiap ia ingin mempererat hubungannya dengan gadis yang sedang berhubungan dengannya, setiap itu pula secara tiba-tiba dan mengejutkan, perasaannya menjadi tawar. Perasaan cinta yang semula dikira akan berkembang, mati secara mendadak. Begitu sampai beberapa kali terjadi sehingga ia tidak berani lagi menjalin hubungan yang serius dengan gadis manapun.

Tetapi tidak demikian halnya dengan hubungannya bersama Tuning. Timbul tenggelamnya perasaan-perasaan tertentu, peperangan-peperangan yang menguasai batinnya, rasa kasih sayang yang ditekannya dan banyak lagi, membuatnya ia tak pernah bisa lepas dari bayangan Tuning. Maka begitu ia melihat reaksi Tuning yang tak diduganya ada terhadap sikapnya sendiri yang mengambil jarak, membuat hati Rudi jadi penasaran. Dan yang membuatnya kesal adalah justru

itu terdapat pada gadis yang seharusnya tidak masuk hitungan baginya. Tuning bukanlah seperti gadis-gadisnya dulu. Bahkan juga tidak segolongan dengan teman-teman wanitanya di kantor atau teman bekas kuliahnya dulu.

Dan itu sudah tiba di puncaknya tatkala di suatu malam, Tuning bermaksud pulang ke rumah. Malam itu giliran Didit juga. Dan karena Dahlia sudah berangsur sembuh. Ia dapat diajak bicara dan mengerti bahwa Tuning harus beristirahat.

Pada saat itu Rudi juga bermaksud pulang. Di lorong, ketika mereka berdua sedang menuju keluar gerbang rumah sakit, Rudi menawarkan jasanya.

"Kuantar ya Ning?" katanya.

"Aku tak tahan naik motor Rud. Biarlah aku naik bajaj saja!" sahut Tuning dingin.

"Naik bajaj juga angin Ning!"

"Kalau begitu, aku akan naik taksi. Nah, itu dia ada taksi kosong!" Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Tuning segera berlalu dari dekat Rudi. Padahal keduanya tahu bahwa pada saat Tuning berkata itu, tidak ada satu pun taksi kosong yang lewat. Jelas bahwa kata-kata itu sinonim dengan penolakan!

Rudi merasa penasaran. Harga dirinya juga timbul. Apa ruginya kehilangan keakraban dari seorang perempuan bekas pelacur? Maka oleh pikiran itu, tiga hari ia tidak datang menjenguk Dahlia. Khawatir bertemu Tuning.

Sayang sekali otak dan perasaannya tak sejalan. Kekerasan hatinya untuk tidak bertemu dengan Tuning justru merobek hatinya sendiri. Ia rindu, Ya, ia bisa merindukan perempuan yang katanya tak pantas buat dijadikan kekasih itu!

Tiga hari kemudian setelah berputar-putar kota tanpa tujuan demi menghilangkan kerinduan tersebut, akhirnya toh tubuhnya mengingkari keinginan tersebut. Tahu-tahu ia sudah ada di depan pintu rumah Tuning.

Pada saat itu, Tuning sedang bersiap-siap mengunci pintu. Sudah jam setengah sepuluh malam saat itu. Dan Tuning hanya berada berdua saja dengan pembantu rumah yang Sudah tidur sejak jam setengah sembilan tadi. Kedatangan Rudi yang tiba-tiba itu mengagetkannya.

"Ada apa Rud? Kau dari rumah sakit?" tanya dengan suara cemas. Rudi maklum. Cepat-cepat ia menjelaskan kedatangannya.

"Tidak ada apa-apa. Aku justru ingin menanyakanmu mengenai kesehatan Dahlia. Tiga hari ini sibuk sekali dengan urusan kantor. Bagaimana keadaannya?"

"Oh dia baik-baik saja Rud. Paling lama tiga hari lagi juga sudah diperbolehkan pulang. Ia harus menjalani tes laboratorium untuk dilihat sampai seberapa jauh penyakit yang masih tinggal. Dokter mengkhawatirkan kambuhnya penyakit yang sama seperti dialami oleh dua orang pasiennya belum lama berselang ini," jawab Tuning.

"Syukurlah." kata Rudi. Ia turun dari motor

nya. Tuning mengkerutkan dahinya. Kalau hanya ingin bertanya mengenai Dahlia, buat apa ia akan mampir masuk ke rumah?

"Sebaiknya kau tengok dia saja Rud. Tampaknya kedatanganmu dan hiburan yang kau berikan kepadanya telah menyentuh hatinya. Kemarin ia menanyakan mengapa kau tidak datang menjenguknya!" katanya buru-buru. Tanpa sadar, ia berdiri diambang pintu masih dengan tangan yang memegang daun pintunya. Seolah, ia khawatir Rudi masuk.

"Kau sudah akan tidur?" tanya Rudi sambil berjalan ke arahnya.

"Y.....ya......" sahut Tuning gugup,

"Sudah malam bukan?"

"Belum untuk ukuran Jakarta. Masa aku tak kau beri minum, Ning. Aku haus nih. Atau tidak bolehkah aku masuk ke rumah?"

Tuning merasa tak enak oleh pertanyaan itu. ia bergerak menyisih tanpa kehendaknya sendiri dan Rudi masuk.

"Bukan begitu Rud," katanya semakin gugup,

"Tetapi soalnya sudah terlalu malam. Kau kan pernah kuberitahu bagaimana fanatiknya orangorang sini. Dan kurasa, itu benar!"

Penolakan itu menyebabkan Rudi kehilangan akal sehat.

"Biarlah orang lain mau mengatakan apa, tetapi aku ingin minum dan kalau boleh, ikut nonton Kamera Ria. Pelawaknya lucu malam ini. Kalau aku pulang, pasti ketinggalan pertunjukan!" katanya kalem.

Dengan apa boleh buat. Tuning terpaksa membiarkan Rudi duduk dan bahkan dengan santainya di muka pesawat televisi yang memang masih menyala.

Mereka duduk dengan diam-diam setelah Tuning membuatkan segelas es sirup bagi tamunya. Tetapi begitu Kamera Ria usai, Tuning menoleh kepadanya.

"Bukan aku mengusir ya Rud, tetapi ini benarbenar sudah malam. Apa nanti kata tetangga? Sebentar lagi ronda akan mulai!" katanya.

"Kalau kau begitu takut kepada tetangga, biarlah aku menginap sekalian di sini. Katakan saja bahwa aku saudaramu!" sahut Rudi kalem,

"Bukankah kamar Didit kosong'?"

Tuning terkejut. Wajahnya memerah oleh emosi-emosi yang saling bertentangan lewat dalam hatinya.

"Kurasa itu tidak pantas, Rudi!" katanya dengan nafas tersekat,

"Kita hanya berdua di rumah ini. Lain halnya kalau ada Didit dan Dahlia!"

"Kita tidak berdua Ning! Ada si bibik!"

"Si bibik ada di belakang dan sudah mengorok sejak tadi-tadi. Pendeknya, aku merasa tak enak kepada para tetangga. Mereka mudah sekali menafsirkan yang keliru!" bantah Tuning.

Bantahan itu walau diucapkan dengan suara lembut, namun terdengar tegas dan tidak bisa ditawar lagi. Rasa penasaran yang sudah sejak semula mengganjal di hati Rudi, tumbuh dengan kuat.

Apa kelebihan Tuning dibanding gadis-gadis lain sehingga setegas itu menolak kehadirannya? Ia agak berubah air mukanya, sehingga Tuning berkata lagi.

"Maafkan aku Rud. Kalau kau mau menemaniku atau mengajakku mengobrol, kan ada waktu lain yang lebih tepat. Datanglah besok sore atau nanti hari Minggu. Situasinya lebih santai!" katanya.

"Kau juga jangan salah duga terhadap maksudku ini. Aku hanya bermaksud baik. Selain menemanimu sambil nonton film seri, aku juga ingin mengetahui secara terperinci mengenai kesehatan Dahlia!"

"Kan sudah kukatakan bahwa sebaiknya kau sendiri yang datang menjenguknya. Dengan begitu kau bukan saja jadi tahu bagaimana kemajuannya, tetapi juga akan menyenangkan hati anak itu!"

Tampaknya kau menolak kebaikanku, Ning. Sudah kurasakan pada hari-hari terakhir ini!"

"Aku tak bermaksud demikian. Apakah perlu kuulangi lagi bahwa tetangga-tetangga di sini masih fanatik?" sungut Tuning.

"Justru karena itu ijinkanlah aku menginap malam ini!" kata Rudi semakin dongkol.

"Setidaknya mereka tahu bahwa aku ini masih famili dalam keluarga sini. Kalau kita mengobrol begini memang ada kemungkinan bahwa mereka akan lebih curiga yang bukan-bukan!"

Sebelum Tuning bisa membantah, Rudi sudah

berdiri dan segera mengunci pintu yang sedianya tadi akan dikunci oleh Tuning'sebelum kedatangannya tadi.

"Apa-apaan kau Rudy?" seru Tuning cemas.

"Tak ada apa-apa. Aku hanya bermaksud menemanimu. Itu saja!"

Tuning merasa diremehkan. Dengan wajah memerah ia membantah kata-kata Rudi.

"Aku keberatan!" katanya berulang kali,

"Juga peraturan wilayah sini. Barang siapa bermaksud menginap di salah satu rumah dalam wilayah ini, harus melapor dulu kepada ketua R.T. Paham?"

"Ah hanya semalam dan mereka toh tak ada yang melihatku datang!" bantah Rudi.

Tuning merengut. Matanya menatap Rudi dengan tatapan menghina. Sedikit banyak ia punya pengetahuan bahwa malam itu Rudi sedang penasaran terhadapnya dan tengah mencoba sampai dimana kekerasannya menolak.

Sama sekali ia tak sadar bahwa mata yang menatap dengan tatapan hina itu bukan saja mempercantik wajahnya tetapi juga menggelegakkan darah Rudi. Suatu kemarahan yang disulut oleh api asmara menyala. Rasa tersinggung berbaur pesona itu segera saja melumpuhkan akal sehatnya yang sudah sejak tadi tergoyah. Ia berjalan mendekati Tuning.

"Ning, janganlah jual mahal...." katanya,

"Biarkan aku menemanimu malam ini!"

Tuning menggelangkan kepalanya kuat-kuat.

"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak pula jawabanku!" sahutnya ketus._

"Aku mencintaimu Ning!" terlontar kata-kata itu dari mulut Rudi.

Tetapi Tuning mundur selangkah dengan mata melebar.

"Kau tidak mencintaiku, Rudi!" katanya dengan nada bergetar.

"Aku mencintaimu!"

"Tidak. terutama malam ini. Kau hanya sedang mabuk, entah mabuk apa tetapi aku yang kau jadikan pelampiasannya!" bentak Tuning.

Sekarang Rudi benar-benar dikuasai rasa penasaran yang terbungkus asmara tadi. Tangannya terulur memegang lengan gadis yang berdiri di hadapannya. Mata Tuning yang menyinarkan kemarahan dan kejijikan, menyakiti perasaannya. Buat apa ia pura pura alim dihadapanku. pikirnya. Sudah berapa ratus kali ia melayani lelaki lain dengan sikap yang intim? Lalu apa bedanya ia dengan lelaki-lelaki lain itu? Apakah hanya karena ia tak membayarnya?

"Ning " Wajah Rudi mendekati wajah Tuning. Gadis itu mengelak.

"Rudi, kuasai dirimu. Kau akan menyesalinya kalau kata-kata ini tak kau dengar!"_katanya terengah. Dadanya berdebar keras. Antara cinta dan benci, mengaduk-aduk hatinya.

"Jangan pura-pura alim Ning. Kau harus mengingat bahwa bagaimana punjuga dalam hubungan kita ini, tidak semata-mata hanya ada nafsu saja.

Bukankah kita sudah bersahabat selama ini?" bujuk Rudi.

Tetapi Tuning tetap mengelak bahkan bermohon dengan suara perlahan!

"Jangan sentuh aku, Rudi. Sudah cukup sekali ciumanmu waktu itu menyiksa batinku!"

Rudi tersenyum, menyangka perkataan dan sikap Tuning yang takut-takut itu merupakan sandiwara belaka. Tangannya malah terulur dan merengkuhkan tubuh gadis itu masuk kedalam pelukannya.

"Aku cinta padamu, Ning. Ijinkanlah...." bisiknya mendesis.

"Tidak!" kata Tuning memotong.

Tetapi Rudi tak menghiraukannya. Penolakan Tuning dan sikapnya yang merendahkan itu justru membuat api asmara tadi terbauri unsur lain. Yaitu unsur nafsu, ingin menundukkan gadis itu dengan rayuan.

Tuning mundur. Ia tersandar ke jendela kaca yang masih belum sempat ditutup tirainya. Dan Rudi memakai kesempatan di mana Tuning tak dapat menghindar itu dengan menghujaninya dengan ciumannya. Di bibir, hidung, dahi, leher dan rambutnya.

Untuk beberapa saat lamanya, Tuning terpengaruh. Ia sedikit menggigil mendapatkan perlakuan semesra dan seintim itu. Lupa bahwa mereka berada di muka jendela yang bisa terlihat dari luar!

Pada saat yang genting dimana Rudi mulai

membuka kepak leher gaunnya Tuning tersadar. Ini suatu penghinaan dan bukan perlakuan yang dilandasi cinta. Dalam keadaan terlena oleh perasaan, Rudi tidak menyangka bahwa Tuning akan memberontak. Pelukannya dikibaskan Tuning dan dengan gerakan cepat, gadis itu melompat kedalam kamarnya dan menguncinya kuat-kuat.

Kaki Tuning gemetar dan ia ingin menangis. Tak disangkanya bahwa Rudi akan setega itu terhadapnya.

"Ning....bukakan aku pintu!" terdengar suara ketukan pintu pada kamarnya.

Tetapi Tuning tidak menjawab, tetap berdiri di tempat tanpa berani bergerak barang selangkah jua pun.

"Ning....aku mencintaimu ." kata Rudi lagi,

"Sungguh!"

Masih juga Tuning tak hendak menjawabnya. Dan Rudi semakin penasaran.

"Ning, jangan marah. Aku hanya ingin menemanimu dan memberimu bukti kasih sayangku!" katanya.

Tuning menarik nafas panjang.

"Kalau kau memang mencintaiku, Rudi." katanya kemudian,

"Dan kalau kau ingin menemaniku, tidurlah di kamar Didit!"

Setelah itu ia melompat ke atas tempat tidur dan menutupi kepalanya dengan bantal. Butirbutir air mata mulai meluncur satu persatu. Bukan main pedih hatinya. Rasanya, ia amat dihina oleh lelaki yang justru dicintainya. Rasanya, ia

hanyalah perempuan murah yang tak ada harganya sehingga Rudi berani memperlakukannya serendah itu.

Ia menangis lama sekali, menyesali kehidupan ini. Tak pernah diduganya bahwa bayang-bayang hitam masa lalu kakaknya, masih saja mengikutinya walau itu telah berjalan bertahun-tahun yang lalu dan telah terkubur bersama kematiannya.

Keletihan yang menguras seluruh lahir dan batimnya, akhirnya membawa Tuning kedalam kegelapan. Ia tertidur dengan membawa mimpimimpi yang buruk tentang masa depannya yang gelap.

Sinar matahari berkilawan memantul ke wajah Tuning pagi itu. Ia tersentak bangun, dan segera sadar akan keadaan yang ada di seputar kehidupannya. Jendela yang lupa ditutup dengan tirai, gaun yang dipakainya bukan gaun tidur, dan.... Rudi.

Ia meloncat dari tempat tidur dan meraih arloji yang tergolek di atas meja. Jam setengah tujuh lewat!

Sedikit gugup ia meraih kimononya dan berniat membuka pintu kamar. Ia harus segera berangkat ke kantor kalau tidak ingin terlambat. Tetapi ingatan tentang Rudi membuatnya ragu. Sudah pergikah dia? Apa yang akan dilakukannya pada pertemuan pertama setelah kejadian yang memalukan tadi malam?

Tetapi suara-suara dari arah tamu yang samar tetapi tampaknya ramai, membuat rasa ingin tahunya bangkit. Dengan menabahkan hati, dibukanya pintu kamar dan dia keluar. Tetapi di ambang pintu, ia tertegun. Ada ketua RT. Ada dua orang tetangganya dan seorang yang dikenalnya sebagai ketua Hansip setempat.

"Selamat pagi dik Tuning....." sapa pak RT kepadanya.

"Selamat pagi, Pak....." sahutnya. Dadanya berdebar oleh firasat tak enak.

"Kami ingin bicara dengan dik Tuning," kata pak RT lagi.

Tuning mengangguk. Matanya melirik sebentar kepada Rudi yang duduk di sudut.

"Silahkan, tetapi tunggu sebentar. beri saya waktu untuk menukar gaun dengan yang lebih sopan," sahut Tuning.

"Silahkan....." kata tamu-tamu itu.

Bergegas Tuning memakai gaunnya yang sedianya akan dipakai ke kantor. Dari wastafel. ia berkumur-kumur dan mencuci mukanya. Setelah menghiasi dengan bedak dan lipstick yang lembut, ia merasa lebih mempunyai kepercayaan diri ketika keluar menemui tamu-tamunya kembali.

Rudi memberinya tempat. Dan dengan terpaksa, ia duduk di sisi lelaki itu. Padahal sejak melihat orang-orang yang duduk di ruang tamunya

itu, wajah lelaki itulah yang paling tak hendak dipandangnya!

"Begini dik Ning.....sebaiknya saya berbicara secara langsung saja demi menyingkat waktu. Maklum, kita punya tugas masing-masing. Nah, tadi malam saya mendapat laporan dari bapakbapak ini bahwa ada orang luar yang menginap di sini. Dan dia ternyata saudara Rudi ini yang menurut pak Hamdani tetangga kita ini, sudah biasa datang kemari. Benar?" Pak RT membuka pembicaraan.

"Benar. Dia adalah adik mas Dahlan. Anda ingat siapa pak Dahlan bukan?" sahut Tuning.

"Ya, saudara Rudi juga sudah mengatakannya kepada kami. Tetapi maaf' dik Ning, saksi-saksi ini melihat adegan cinta.....maaf...... sekali lagi maaf ....antara dik Tuning dengan saudara Rudi ini lewat jendela. Secara jelas. Dan kemudian tak lama kemudian lampu ruang tamu itu dipadamkan...."

Wajah Tuning menjadi merah padam. Bukan main malu perasaannya dan bukan main sakit dadanya mengingat perbuatan Rudi yang nyatanyata telah menghancurkan nama baiknya di daerah ini. Pikirannya kacau balau tak menentu. Pak RT melihat perubahan itu.

"Sekali lagi maafkanlah kami dik Ning. Hubungan percintaan antara dua orang lelaki dan wanita adalah urusan Pribadi yang tidak seorang pun boleh ikut campur di dalamnya. Tennasuk kami-kami ini tentu saja. Tetapi dik Ning kan tahu peraturan di sini siapa pun wajib mentaatinya demi keamanan dan kerukunan di antara sesama warga. Sedangkan saudara Rudi telah menginap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Itu kesalahan pertama. Dan kedua, alasan mengapa ia terpaksa menginap bukanlah alasan yang dapat diterima apalagi dengan kesaksian di balik jendela oleh beberapa saksi mata. Dan dik Ning tentu mengerti bahwa pemuka-pemuka warga masyarakat sini tidak bisa menerima hal semacam itu. Saya kira dik Ning cukup memaklumi mengapa demikian. Malahan ada sementara warga yang pernah mengeluh kepada saya dalam kasus tetangga kita bu Mimin waktu kepergok mempunyai simpanan anak muda.....dan saya kira dik Ning masih ingat kejadiannya. Keluhan warga tersebut adalah meminta supaya saya segera turun tangan karena hal semacam itu akan membawa kesialan bagi rumah-tangga kiri-kanan. Tentu dalam hal dik Ning, beda persoalannya. Tetapi toh ada baiknya kita selesaikan sebelum itu menjadi buah bibir. Dan Ning jangan tersinggung dalam hal ini karena kami cukup mempunyai penghargaan kepada dik Ning dan keluarga selama ini. Justru karena hendak mempertahankan nama baik dik Ning itulah kami bersepakat untuk menyelesaikan baik-baik. Dan kami berjanji akan menutup kejadian semalam hanya untuk kami sendiri. Dan itu saya jamin sebab kami juga tidak ingin ada warga kami yang merasa tertekan atau semacamnya karena merasa dipergoki .."

Tuning tertunduk dengan perasaan yang sulit digambarkan. Kalau tak malu, maulah ia menangis keras-keras. Didengarnya Rudi menarik nafas panjang dan memperdengarkan suaranya yang pertama.

"Pak RT, saya kira dalam hal ini dik Tuning tidak bersalah. Kesalahan itu ada pada saya karena sayalah yang memaksanya supaya memperbolehkan saya menginap. Padahal beberapa kali ia telah memberi ingat kepada saya mengenai peraturan dalam wilayah sini. Oleh karena itu, saya mohon agar bapak memberitahukan kepada saya bagaimana baiknya supaya saya bisa membersihkan nama baik dik Tuning kembali!" katanya dengan suara tegas.

Pak RT berdehem dan Tuning mengkerut di sudut kursi. Rasanya, semua ini seperti mimpi buruk saja. Hampir-hampir ia tak mempercayai persepsinya.

"Begini Dik," sahut pak RT lama kemudian,

"Peraturan yang ada pada kami ini bukan dimaksud untuk mengekang kebebasan individu, tetapi demi kebaikan kita bersama, sudah saya singgung tadi. Jangan sampai ada sikap curiga-mencurigai atau semacamnya Jadi juga demi ketenangan kita bersama juga. Oleh karena itu cobalah Adik berdua memikirkan lebih lanjut mengenal hubungan yang telah ada. Yaitu menikahlah kalian berdua dengan baik. Dan kami kaum muda akan membantu sedapat-dapatnya apa yang bisa dan mampu kita lakukan. Kita di sini mempunyai semangat gotong royong yang boleh dipuji, Dik!"

Mendengar itu, Tuning mengangkat wajahnya. Matanya menyala menatap ke mata Rudi. Tetapi lelaki itu membuang pandang matanya, merasa sakit oleh tatapan menuduh yang tersorot dari mata yang begitu terluka.

"Tenanglah," katanya.

Tetapi bagaimana bisa tenang, keluh Tuning hampir menjerit.

Tetapi keluhan hati itu berubah menjadi rasa terkejut demi mendengar kata-kata Rudi selanjutnya yang ditujukan kepada pak RT.

"Saya kira saran Bapak memang harus kami pertimbangkan," katanya,

"Walau pun saya berani bersumpah bahwa tadi malam tidak terjadi sesuatu yang tak senonoh kecuali hanya maaf sebagai pernyataan kasih sayang dan ucapan selamat tidur. Saya tidur di kamar Didit dan dik Tuning tidur di kamarnya sendiri. Tetapi karena saya memang telah bersalah baik menyalahi aturan warga sini yang saya rasa memang patut dipuji, juga karena kesalahan saya telah merusak nama baik dik Tuning. Dan karena kami berdua toh telah sama-sama dewasa dan saling menyinta, saya kira jalan yang paling tepat bagi kami berdua adalah menikah!"

"Rudi!" keluh Tuning tak dapat dicegah.

"Tenanglah, ini demi kebaikan kita berdua juga._ Dan pula, cepat atau lambat kita toh akan menikah juga bukan?" Rudi menghentikan bicaranya. Kakinya yang berdekatan dengan kaki Tuning dibawah meja, menekan ibu jari kaki gadis itu untuk membiarkan dia bicara,

"Jadi ada baiknya kalau saran pak RT itu kita pikirkan lebih jauh. Cuma pak RT, kalau boleh saya minta dengan sangat, sudilah Bapak-bapak saksi menyimpan kejadian malam tadi untuk sendiri saja. Kami mengharapkan kebahagiaan yang bersih dari pembicaraan orang banyak. Dapatkah hal tersebut disepakati?"

Pak RT dan bapak-bapak yang lain itu mengangguk dengan pasti.

"Terimakasih kalau demikian," ucap Rudi. Maka selesai sudah pembicaraan yang singkat padat itu. Pak Rt dan bapak-bapak yang lain itu harus segera berangkat ke tempat pekerjaan masinginasing.

Sepeninggal mereka, air mata Tuning menetes satu-persatu dan tergelincir ke atas pipinya. Ia memang mencintai Rudi. Itu harus diakuinya sendiri. Tetapi menikah dengannya secara terpaksa dan atas saran orang lain yang memergoki ciuman mereka berdua, sungguh menyentuh perasaan kewanitaannya. Mengapa kehidupannya dalam hubungan pria dan wanita selalu saja mengandung aib betapa pun ia selalu berusaha untuk menaikkan martabatnya sebagai seorang wanita baikbaik?
Melati Di Musim Kemarau Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ning, maafkanlah aku," kata Rudi dengan sedih,

"Aku sungguh tak mengira mengapa terjadi seperti ini. Kurasa satu-satunya jalan buat menghapus nama buruk kita hanyalah segera menikah begitu Dahlia sembuh. Mungkin memang kita berdua sudah ditakdirkan untuk menjadi suamiistri."

"Itu bukan takdir," sembur Tuning,

"Sebab kau seharusnya dapat menyangkal dan menolaknya!"

"Memang bisa saja Ning, tetapi aku berpikir lebih jauh. Kalau kita berdua menolak saran tersebut, besar kemungkinannya akan membuat mereka tidak bersimpati kepada kita dan akibatnya akan timbul cerita burung yang hanya akan membuat nama baik kita semakin cemar saja. Aku tak ingin itu terjadi Ning. Apa nanti yang masyarakat sekitar kita ini akan lakukan, mungkin juga bisa merembet kepada Dahlia. Anak-anak tetangga dilarang bemiain di sini, dan semacamnya yang akan membuat anak itu menderita pada masa remajanya!"

Kata-kata itu mengenai hati Tuning yang paling perasa. Ia cukup sadar bahwa masyarakat setempat masih teringat kepada ibu Dahlia yang ternyata hanya istri kedua dari pak Dahlan. Kalau Tuning menolak saran yang ditunjukkan mereka, memang akan tidak menyenangkan bagi masa depan Dahlia. Kecuali pindah rumah tentu saja. Tetapi kemana dan kapan? Itu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Padahal sementara itu kabar burung akan cepat tersebar jika ia membiarkan saran pak RT tersebut seperti angin lalu yang tak berarti.

Tuning terdiam. Hatinya terlalu pedih untuk menjawab kata-kata Rudi.

"Maafkanlah aku Ning, kau boleh marah boleh benci kepadaku. Tetapi betapa pun buruknya aku, aku masih punya rasa tanggungjawab atas perbuatan yang kulakukan. Kalau kau sudi Ning, biarlah kita menikah begitu Dahlia sudah dinyatakan sehat sama sekali!" sambung Rudi.

Waktu Tuning masih juga tidak menyahuti kata-katanya, Rudi mendekati gadis itu dan memegang kedua bahunya.

"Selama ini kita cukup bersahabat dan saling mengerti bukan? Apakah permintaan maafku tadi masih kurang?" tanyanya dengan suara lembut,

"Aku memang tak bisa berkata-kata dengan teratur' dan beriba-iba untuk meminta maafmu. Tetapi percayalah, hatiku sangat menyesal terhadap kejadian yang terpaksa meminta pengorbananmu, Ning!"

Tuning hendak membantahnya sedapat ia masih mampu buat menolak kemungkinan satu itu. Tetapi matanya yang melayang keluar, terbentur pada wajah Didit yang baru pulang dari rumah sakit itu tampak kuyu karena kurang tidur. Seketika itu juga luluhlah hatinya. Ia tak boleh menyusahkan hati pemuda yang masih lugu dan suci itu!

Dengan sedikit terisak, ia terpaksa mengatakan persetujuannya. Dan Rudi yang tahu apa yang menyebabkan Tuning segera menyerah, segera menguatkan hatinya sambil melepaskan pegangan

tangannya ke bahu Tuning tadi.

"Percayalah Ning, aku akan bertanggung-jawab pula buat selanjutnya. Tak mungkin kau akan kusia-siakan baik lahir mau pun batin," katanya berjanji.

Tuning hanya mengangguk samar. Ia masih terlalu terpukau oleh kejadian-kejadian tak tersangka yang dialaminya hanya dalam waktu sepuluh jam terakhir ini. Begitu terpukaunya sehingga untuk beberapa saat lamanya lupa bergegas pergi ke kantor, lupa menyiapkan bibik pembantu supaya berangkat ke rumah sakit untuk menggantikan Didit. Ya, ia hanya ingat satu hal saja. Dalam waktu dekat ini ia akan menjadi seorang istri. Istri Rudi! '

Apa yang terjadi pada diri Tuning di waktuwaktu terakhir ini rasanya bagai mimpi saja. Perasaannya seperti tak ikut bicara walau beberapa kejadian merubah suasana rumah. Dahlia telah pulang dan sudah sehat serta lincah kembali. Kemudian persiapan-persiapan perkawinan dan akhirnya perkawinan itu sendiri. Ia sungguh merasa amat kecil tatkala mengetahui bahwa pihak keluarga Rudi ternyata merupakan keluarga yang begitu terhormat. Tetapi perasaan itu disimpannya diam-diam dalam hatinya. Ia toh tidak akan hidup bersama mereka. Rasa khawatir yang paling menggerogoti hatinya adalah justru kehidupannya sebagai suami-istri bersama Rudi. Ia sungguh-sungguh takut menghadapi Rudi karena ia tahu bahwa Rudi masih menyimpan perasaan

yang negatif terhadap dirinya. Dugaannya bahwa Tuning dulu juga menjalani kehidupan seperti Rika, masih menyiksa batin lelaki itu sehingga Tuning tahu bahwa andai ia segera menyerah kedalam pelukannya. penghargaan lelaki itu terhadapnya akan semakin luntur.

Untuk menghindari kehidupan intim suami-istri, Tuning selalu mendahului masuk ke kamar tidur begitu selesai minum obat tidur. Hal itu disembunyikannya dari mata siapa pun.

Sebagai lelaki yang lembut, Tuning tahu bahwa Rudi tak akan sampai hati membangunkannya. Pastilah ia mengira bahwa Tuning merasa kecapaian sehingga begitu lelap tidurnya.

Pada malam keempat, oleh kecerobohannya sendiri, Tuning lupa menyimpan obat tidur tersebut. Tabung obat tersebut masih berada di laci meja hiasnya dan Rudi menemukannya tatkala sedang mencari kapas untuk mengusap jemarinya yang berdarah. Ia kena jarum pentul ketika sedang melepas jarum-jarum tersebut dari kemejanya yang baru dibeli.

Seketika itu juga darah Rudi menggelegak oleh amarah. ia segera sadar mengapa selama empat malam ini Tuning begitu pulas tidurnya. Dengan kata lain, ia tahu bahwa Tuning sengaja menghindari keintiman dengannya. Dan itu telah menyinggung harga dirinya sebab seharusnya bukan Tuninglah yang enggan berhubungan sebagai suami-istri yang selayaknya, tetapi dia. Ya, dia. Ia yang selalu menjaga diri agar tetap menjunjung

tinggi moral itu terpaksa harus menggauli wanita yang pernah dijamah oleh puluhan dan mungkin ratusan lelaki yang entah terdiri dari bangsa apa saja dan entah pula berpenyakit apa saja.

Didera oleh kemarahan itu, pada malam keempat ia mendahului Tuning masuk kamar dan pura-pura sudah tidur pulas. Ketika Tuning masuk. ia tahu bahwa perempuan itu tertegun-tegun. ragu hendak menyusulnya tidur. Tetapi tatkala ia melihat bahwa Rudi begitu pulas. dengan hati-hati perempuan itu menukar gaunnya dengan baju tidur. Saat itulah Rudi melihat pada pertama kalinya betapa mulusnya bahu dan punggung istrinya. Begitu indah pula_bentuk tubuhnya. Pada saat itu Rudi merasakan perang batin. Seharusnya ia bangga mempunyai istri seperti Tuning begitu cantik dan menarik itu, Tetapi....?

Pikiran Rudi tak jadi berjalan kemana-mana tatkala ia melihat Tuning menarik laci dan mencari tabung obat tidurnya yang lenyap. Perempuan itu memegang tepi rambutnya dan berpikir dimana ia telah menyimpan obatnya. Jangan-jangan dibuat mainan oleh Dahlia? Atau dimakannya?

Pikiran semacam itu membuatnya panik. Tetapi ketika secara tak sengaja matanya menatap ke tepi bak cuci, ia melihat tabung itu di sana. Seketika itu juga ia merasa curiga jangan-jangan Rudi yang meletakkannya. Atau dia sendiri yang lupa menaruh?

Apa pun juga, ia toh harus meminumnya demi penjagaan diri. Dengan hati-hati ia meletakkan sebutir obat tidur di telapak tangan kirinya. Tangan kanannya memegang gelas yang dibawanya dari kamar makan. Tetapi pada saat itu, terjadilah sesuatu yang tak tersangka olehnya. Rudi entah bila bangkit dari tempat tidur dan menyentil tablet tadi dari atas telapak tangannya hingga jatuh ke lantai.

"Buat apa minum obat tidur?" tanya lelaki itu dengan bibir bertaut.

Tuning yang masih kaget atas kejadian yang tak tersangka itu cepat-cepat membela diri.

"Belakangan ini aku sukar bisa... tertidur Rudi' katanya.

"Kau tidak jujur, Ning. Aku tahu kau sengaja menghindariku. Jangan mengelak, akuilah!" tangkis Rudi.

Kemarahan Rudi menulari perempuan yang belum juga hilang rasa kagetnya. Ia menatap mata Rudi.

"Kalau kuakui, kau mau apa?" tantangnya.

"Aku akan membuang obat itu ke tempat sampah!" Rudi tak kalah gertak.

"Apa hakmu hendak menguasai kemauanku, Rudi? Apakah itu karena secarik kertas yang menyatakan bahwa aku istrimu?"

"Benar. Dan seorang istri wajib memberi kebahagiaan kepada suaminya dan sebaliknya pun demikian. Tetapi kau justru lari dari kewajiban itu!"

"Wajib?" seru Tuning ketus," Tetapi aku juga wajib memiliki diriku sendiri dan membahagiakan diriku sendiri."

"Dengan menghindari kewajiban sebagai seorang istri?"

"Kalau perlu, ya."

"Baiklah kalau itu sekali atau dua kali," Tetapi kita masih pengantin baru Ning. Aku juga mengharapkan pelayanan sebagai seorang istri yang sesungguh-sungguhnya seorang istri. Itu suatu keharusan kalau memang kita dinamakan suami dan istri!"

"Siapa yang mengharuskan?"

"Peraturan. Dan juga aku!"

"Baiklah. Tetapi bukankah selama ini aku sudah melakukan kewajibanku semampuku. Aku mencoba memasak makanan kesukaanmu. Aku menyiapkan pakaian dalammu kalau mau mandi. Aku melayanimu makan. Aku juga....."

"Kau tahu pasti bahwa bukan itu yang kumaksud!" kata Rudi memotong.

Tuning tidak menjawab. Ia pura-pura menyisiri rambutnya. Tetapi pipinya yang merona merah terpantul dari kaca hias di depannya. Rudi melihat tangan itu gemetar sehingga ia merasa heran mengapa wanita yang sudah terbiasa bergaul dengan kaum lelaki itu bisa tampak gugup dan malu macam itu.

"Ning....." panggilnya,

"Kau belum menjawab apa kata-kataku tadi!" Tuning meletakkan sisirnya demi mendengar katakata Rudi.

"Aku tak mampu menjawabnya Rud. Pikiranku kacau......." katanya dengan suara gemetar. Sementara itu bayangan di kaca memantulkan rambut mengkilat yang bergelombang jatuh ke pundaknya. Dada Rudi mulai berdegup kencang melihat pesona di hadapannya itu.

"Ning " panggilnya lagi.

Tuning menoleh dan mata mereka bertemu.

"Sudah malam....." kata Rudi pula.

"Ya. sudah malam."

"Tidurlah..." kata Rudi lagi.

"Aku belum mengantuk. Tidurlah kau dulu. Aku masih punya bacaan yang belum habis ."

Rudi tersinggung lagi. Itu jelas penolakan. Dia lantas berdiri dan dengan gerakan kasar diangkatnya dagu istrinya.

"Kau istriku. Ning. Kita menikah secara sah dan sudah berjalan empat hari lamanya. Dan ini malam kelima. Rasanya aku sudah cukup bersabar hati melihat tingkahmu yang selalu menghindar. Sekarang dengan terus-terang. aku meminta hakku sebagai suamimu yang sah!" katanya.

"Jangan memakai hakmu untuk menuntut sesuatu dariku!"

"Aku tidak menuntut. Aku hanya meminta kesediaanmu!"

"Tidak. Jangan memaksa kehendakmu sendiri. Aku punya alasan tersendiri mengapa selalu menolakmu!"

Rudi menjadi semakin marah. Dengan kasar

ditariknya Tuning kedalam pelukannya dibawanya ke tempat tidur. Gerutunya!

"Bagaimana pun juga seorang suami lebih berhak daripada lelaki-lelaki lain betapa pun besarnya jumlah uang yang dikeluarkannya!"

Tuning tersentak. Ini adalah pertama kalinya Rudi mencetuskan ganjalan hatinya. Betapa pun Tuning sudah menduga, tetapi kata-kata yang menguatkan dugaan itu membuat dadanya terasa perih. Air mata duka begitu saja terkait dan mengaliri pipinya. Sinar mata yang terluka itu telah menyentuh perasaan Rudi yang sebenarnya juga mencintai Tuning. Ia jadi malu pada dirinya sendiri.

"Maafkan aku Ning," katanya dengan lebih lembut,

"Aku tadi terkait emosi belaka!"

Tuning tidak menjawab tetapi ia berusaha melepaskan pelukan Rudi. Tetapi gerakannya keliru karena tubuhnya justru menyentuh tubuh Rudi secara dekat sekali. Akibatnya Rudi terkait oleh gelegak asmara kembali. Tanpa perduli perlawanan Tuning karena kebetulan ia seorang olahragawan di kampusnya dulu, Rudi menghujani istrinya dengan ciuman-ciuman yang bertubitubi. Perlawanan Tuning mengendur tatkala ciuman itu bertambah mesra dan intim. Ia terlena dan_terlena. .Jantungnya berpacu, jantung Rudi yang terasa pada kulitnyajuga berpacu dan waktu pun berpacu.

Tiba-tiba secara tak terduga dan bagai halilintar datangnya. Rudi tersentak dan melepaskan

pelukannya. Matanya terbelalak menatap kepada Tuning. Bibirnya bergetar hebat.

"Kenapa.....kenapa tak kau katakan sebelumnya...?" tanyanya gagap.

"Apanya....?" Tuning bertanya dengan bibir bergetar dan wajah yang memerah. '

"Bahwa kau masih perawan!"

Tuning tidak menjawab. Tangannya meraih selimut dan diselimutinya sekujur tubuhnya.Air mata mengelinding satu persatu ke sisi wajahnya.

Melihat itu hati Rudi seperti diremas-remas. Sakitnya tak terkatakan. Didekapnya kepala Tuning. Tetapi perempuan itu mengelak. Hatinya juga sakit.

"A...aku tak menyangka bahwa soal itu.....penting bagimu," katanya,

"Dan sekarang aku baru tahu bahwa yang kau cintai bukanlah diri pribadiku tetapi keperawananku. Selama ini kau memandang rendah kepadaku bahkan sampai detik sebelum kau tahu bahwa aku masih perawan tadi. Tetapi sekarang, kau memandangku tinggi. Dan itu.....sangat menyakiti hatiku.."

Usai bicara, air mata Tuning berhamburan semakin banyak. Tetapi Rudi pun memerah matanya. Ia dapat mengerti bagaimana pedihnya hati perempuan yang jadi istrinya itu. Ia memang berdosa pedihnya hati perempuan yang jadi istrinya itu. Ia memang berdosa kepadanya. Ia juga merasa amat sakit mengenangkan dosanya. Terlebih bagaimana jahatnya ia tadi mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya ditujukan kepada gadis

sesuci Tuning.

Ning,...maafkanlah aku," katanya dengan suara gemetar,

"Aku tahu bahwa dosaku kepadamu bukan main besarnya. Tetapi ijinkanlah aku membela diriku. lkutilah cara berpikirku. Aku tumbuh dari keluarga yang kuat menjunjung susila sopan santun dan etika moral. Dan perkawinan tunggal merupakan tujuan utama sehingga memilih istri bagiku merupakan sesuatu yang harus kuperhitungkan matang-matang. Selama ini aku telah berperang melawan prinsip, egoisme dan perasaan cintaku kepadamu. Ketiganya menghantuiku dan menyiksaku. Ketika kita terpaksa harus menikah. kuanggap semacam petunjuk bahwa aku memang harus berkorban. Kalau -seorang wanita yang telah bertobat dari jalannya yang sesat, maka aku tak hendak menerimanya bukan? Tetapi penolakanmu beberapa malam ini membuatku tersinggung. Maka beginilah jadinya..."

"Aku mengerti. Bahkan aku juga menduga bahwa kau selalu menyangka bahwa aku dulu juga merupakan'bagian dalam kehidupan malam mbak Rika!"

"Maafkanlah. Tetapi bagaimana aku tak menyangkanya? Kau begitu cantik!"

"Kau belum kenal mbak Rika! Padahal mas Dahlan cukup banyak menceritakan tentang dirinya kepadamu!"

"Aku tak begitu mengetahuinya. Ning. Cobalah ceritakan...."

"Ia adalah perempuan luhur yang pernah ku

kenal di sepanjang hidupku ini. Ia selalu berkorban demi orang lain....." sahut Tuning.

Dan kemudian ia menceritakan segala-galanya sejak orang tua mereka meninggal sampai Rika meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas beberapa waktu berselang.

"Jadi Rud, karena keluhuran hatinya itulah ia selalu menghardikku agar segera masuk ke kamar begitu malam tiba. Ia tak pernah mengikutkan diriku kedalam bagian kehidupannya. Bahkan ia tak pernah mengijinkan aku ikut dia pergi walau itu urusan hendak membeli benang misalnya. Tak putus-putusnya ia mencemaskan diriku supaya tak ada bekas tamunya yang mengenalnya di jalan ketika ada bersamaku. Baru ketika ia menikah dengan mas Dahlanlah kehidupan baru secara perlahan mulai melingkupi kami sekeluarga. Pada saat itulah aku bisa meneruskan kuliahku dan kemudian menyelesaikannya......"

"Kau seorang sarjana....?"

Tuning mengangguk.

"Atas biaya seorang pelacur!" katanya dengan suara pahit.

"Tidak. Jangan kaukatakan seperti itu lagi. Sakit hatiku mendengar kata-katamu. Sekarang kuinsyafi bahwa pengetahuanku tentang likuliku hati wanita masih teramat miskin. Besok . itu kemakamnya ya Ning? Aku akan minta ampun di pusaranya." kata Rudi pula.

Tuning terdiam. Walau kemarahan dan kepedihan mulai surut dari hatinya. luka itu masih saja menganga dalam dadanya. Rudi tahu itu. Kaki Tuning diciuminya sehingga perempuan itu menarik kedua kakinya.

"Sudahlah Rud...." katanya terharu.

"Tetapi kau belum memaafkanku, Ning. Apakah yang harus kulakukan agar dosaku kepadamu ini terhapus? Haruskah aku mati dan dilahirkan kembali...?"

"Sudahlah Rudi, lupakanlah. Masih ada harihari esok di mana kita akan membangun kehidupan baru yang lebih cerah," sahut Tuning perlahan.

"Jadi kau mau memaafkanku bukan?" tanya Rudi bergetar oleh rasa haru. ia tak menyangka Tuning akan cepat memaafkannya.

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Tuning tetapi dari gerakannya waktu meraih kepala Rudi dan membenamkan wajahnya ke leher suaminya itu, Rudi tahu bahwa Tuning telah memaafkannya seeara tuntas. Ia amat terharu. Perasaan cintanya begitu membunga dan mengaliri seluruh pembuluh dan serat pada tubuhnya. Dengan lengan yang penuh aliran rasa cinta itu pulalah ia memeluk Tuning dan merengkuhkan tubuh perempuan itu kedalam kehangatan dan rasa aman yang dipancarkannya. Keharuman pribadi Tuning bagai melati, wangi sekali dan memberikan kebahagiaan bagi yang memilikinya!

TAMAT




Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Mahesa Kelud Delapan Surat Kematian Pendekar Rajawali Sakti 152 Istana Goa

Cari Blog Ini