Ceritasilat Novel Online

Sepotong Hati Tua 1

Sepotong Hati Tua Karya Marga T Bagian 1



Sepotong Hati Tua

Marga T

Penerbit Pt Gramedia

Jakarta 1977

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

*****

TUAN Yunus tersentak bangun dari tidur siangnya. Dia tidak tahu pasti apa yang menyebabkannya. Mungkin mimpinya. Ah, dia memang sudah tua. Sudah mulai bermimpimimpian di siang hari. Mimpi tentang Neli lagi. Sudah tiga kali dia mimpi bertemu Neli. Betulkah cinta pertama sukar terlupa? Ah, dia betul-betul sudah tua. Sudah tua. Sudah mulai sentimentil, bicara-bicara tentang cinta. Di mana cinta itu? Di rekening koran. Ya. Di dalam mobil-mobil. Ya. Di lobby hotel Hilton. Ya. Tapi tentunya bukan di dompet kosong. Bukan di atas lantai papan. Seandainya dulu dia tidak kaya, seandainya dulu dia tidak memiliki villa ini, mungkin Neli tidak mencintainya. Seandainya dia dulu cuma kacung.. ah, jangan mencurigai orang yang sudah tiada. Buktinya Neli mencintainya dan mati karena cinta. Laki-laki tua itu menghapus air matanya.

Ah, ke mana pula si Hasan. Mengapa tidak dibawakannya aku botol air panas. Sedingin ini

rasanya. Oh, pantas. Rupanya kunyuk itu tidak menutup jendela ketika aku tidur. Awas dia! Bila Tomy datang, akan kuadukan kecerobohannya itu. Tapi, ah! Untuk apa sih ribut-ribut. Tanpa Hasan aku toh kesepian. Pasti, aku telah membukanya.

Kctika mulai tidur tadi. Tuan Yunus melirik arlojinya. Ah, baru pukul empat sore. Waktu makan masih dua jam. Lapar betul rasanya. Mungkin laparnya ini yang membangunkannya tadi. Ya, mungkin laparnya yang ... tapi tadi belum terasa apa-apa. Setelah merasa dingin, baru disadarinya perutnya kosong. Boleh jadi jendela itu yang bikin gara-gara, sehingga dia tidak sempat mencium Neli. Tuan Yunus bangkit dari tempat tidur. Diluruskannya tungkai-tungkainya yang terserang rematik, lalu dimasukkannya kakinya yang kuruskurus itu ke dalam sandal. Diseretnya mereka ke arah jendela. Tiba-tibadia tertegun di muka jendela. Jadi dia tidak bermimpi tadi. Neli benar datang. Menjemputnya pergi ke tempat yang aman. Pergi dari jangkawan suami yang tidak dicintai Neli. Aaaah si tua tersenyum simpul. Pantas dia terbangun! Suara mobilnya itu! Masih juga merah menjadi warna kesayangannya. Ya, deru mobilnya yang membangunkannya. Dan dia sama sekali tidak marah. Marah pada Neli? Mustahil!

Tuan Yunus mula-mula ingin segera memanggil nama itu, tapi kemudian dibatalkannya. Neli pasti tidak tahu bahwa dia tengah

diperhatikan olehnya. Hiiii si Tua tertawa geli sendirian. Dilihatnya Neli menjinjing dua buah koper yang tidak terlalu besar, tapi cukup berat kelihatannya. Ingin sekali hatinya, mengambil alih barang-barang itu, tapi bila dia keluar dari persembunyiannya sekarang, pasti hilang semua kegembiraannya. Ah, Neli yang tercinta. Betapa mengagumkan dia. Tetap tampak muda, padahal dia sendiri sudah menjadi begini tua. Masih akan cintakah perempuan itu padanya? Dan ke mana suaminya yang pemabuk itu? Sukurlah bila dia sudah pergi ke neraka atau ke mana pun, asal tidak lagi bersama Neli.

Sesuatu mengganggu pemandangannya. Neli tengah membuka tutup panci di dapur. Tapi sesuatu menghalangi matanya. Tuan Yunus menoleh.

_ Dingin Tuan. Lebih baik jendela ini saya tutup saja

-Kurang ajar, kau! Bedebah! Nyah dari sini! gerutu Tuan Yunus marah.

Nanti kambuh rematik Tuan bujuk Hasan masih memegangi daun jendela dan Tuan Yunus mengangkat tangan menahannya.

Apa pedulimu bila rematik itu kambuh? Engkau toh terus tidur nyenyak! Hasan menunduk, tapi belum melepaskan jendela itu.

Kalau Tuan mau berbuat sesuka Tuan, lebih baik saya berhenti aja!

Tuan Yunus sedikit panik. Dia selalu takut ditinggalkan Hasan.

Ah, mengapa engkau mudah tersinggung

benar. San? Tentu saja engkau boleh menutup jendela ini, tapi nanti dulu. Semenit lagi. Aku tengah asyik memperhatikan kekasihku yang sudah puluhan tahun tidak aku lihat

Sekarang Hasan ikut-ikut menjulurkan kepala. Dilihatnya seorang gadis muda tengah menyiapkan meja makan, dibantu oleh seorang pelayan wanita. Hasan mengerutkan keningnya. Lalu diam-diam menggeleng. Majikannya benar-benar sudah pikun. Bagaimana mungkin gadis semuda itu sudah tidak dilihatnya puluhan tahun? Umurnya paling-paling baru dua puluh. Dan kekasihnya, lagi? Ah, Ah!

Tuan, tegurnya pelan, Sudah satu menit

Sambil tersenyum simpul, Tuan Yunus membiarkan jendela ditutup, sebab udara betul-betul sudah menjadi dingin. Dia bisa batuk-batuk kalau tidak lekas menyingkir.

Hm, hm keluhnya kesenangan, setelah begitu lama menunggu, akhirnya dia datang juga. Betapa cantiknya. Ah, aku perlu mandi dan ganti kemeja

Tapi Tuan, sore hari Tuan tidak boleh mandi geleng Hasan.

Tidakkah tercium olehmu bau keringatku? seru si kakek sambil mencium lengan kemejanya.

Tidak, Tuan. Kalau tidak berkeringat, tentu saja tidak bau

Biarpun begitu, aku mau mandi! Dan ganti baju

-Itu baju tadi pagi.....

Biarpun begitu!

Tapi Tuan dokter sudah memesan....

_Peduli apa dia! Barangkali dia tidak punya kekasih. Isterinya tentu menerima saja betapapun baunya dia. Tapi kekasih, lain! Kita harus serba sempurna di hadapannya. Kekasih itu adalah kunci ke surga dunia. Isteri cuma dapat menciptakan neraka belaka! Jadi, aduh! Aku mau ganti pakaian, kataku! Mana? Mana? Kemeja yang baru itu, yang bergaris garis biru!

Tuan, kalau begini terus, saya tidak sanggup! Biarpun gaji saya dinaikkan, saya tidak sanggup!

Tuan Yunus bengong menatap pembantunya yang setia itu. Air mukanya tampak guram dan sedih. Dia tidak berani melanggar larangan Hasan. Laki-laki setengah umur itu menjadi kasihan melihat majikannya.

Lagipula hari sudah sore dan dingin. Tuan tentu tidak dapat keluar. Nanti batuk-batuk sepanjang malam _ bujuknya.

-Aku akan panggil dia ke mari katanya keras kepala.

Ah, Tuan. Dia masih lelah. Biarkan dulu istirahat semalam. Salah-salah nanti dia masuk angin

Laki-laki tua itu menekur. Hasan menanti dengan berdebar-debar. Lega hatinya ketika tampak majikannya tersenyum.

Ya, engkau betul, San. Tidak sepatutnya kita mengganggunya malam ini. Pasti dia lelah sekali. Mengemudikan mobil sendiri. Ah, apakah suaminya yang kurang ajar itu tidak sanggup menggaji seorang sepir untuknya? Dia toh tahu, di atas sini banyak kabut dan perempuan sering kali kurang awas matanya. Salah-salah dia tidak melihat tikungan di mukanya, lalu..... si kakek menggigil membayangkan suatu kecelakaan.

Tuan bisik Hasan menyadarkan dengan meletakkan tangannya di atas bahu majikannya, bukankah perempuan itu sudah selamat?

Ah, ya kata Tuan Yunus malu, tapi San, aku lapar. Bolehkah aku makan sekarang?

Tentu saja, Tuan sahut Hasan dengan cepat, akan saya sediakan dengan segera

Hasan pergi ke dapur dan Tuan Yunus pura pura membaca sehelai koran, tapi pikirannya penuh dengan Neli.

Pada usia lima puluhan, Hadi Yunus adalah seorang duda yang banyak memberi harapan pada gadis-gadis cantik. Namun sejauh itu, harapan itu memang cuma berupa harapan. Tidak ada wajah manis yang menyentuh hatinya dan mereka terpaksa menyeka air mata, melihat harta yang berlimpah berlalu dari dekapan hangat mereka. Tentu saja Hadi sering membawa perempuan-perempuan ke villanya. Tapi tidak sekali pun hatinya tergetar. Dia tahu, mereka cuma

mengharapkan uang dan hadiah dari Tuan Yunus yang boros. Itu pun diturutinya. Disisipkannya lembaran-lembaran berharga di antara belahan baju si wanita. Dilemparnya sekotak besar hadiah ke dalam mobil, lalu diperintahkannya sopir mengantar penghibur itu kembali ke kota.

Begitu saja tingkah polahnya bertahun-tahun sejak kematian isterinya. Orang mengira, dia takkan jatuh cinta lagi. Bidadari secantik apa pun, dibiarkannya meluncur pergi dari pelukannya. Tapi ketika dia melihat Neli di villa sebelah, tiba-tiba dia merasa hidup kembali. Pemilik villa yang semula dikatakannya sombong dan congkak, kini dikaguminya, sebab mempunyai menantu perempuan yang hebat. Waktu itu Neli berusia dua puluh satu tahun, masih berbau segar bangku sekolah dan sudah tiga tahun menikah. Entah apa yang membuat Tuan Yunus mabuk kepayang. Neli biasa saja. Malah sederhana dandanannya. Wajahnya memang menarik, tapi tidak cantik luar biasa seperti misalnya Susi atau Lila yang pernah menjadijuara Bikini.

Sekarang, dua puluh tahun kemudian aaah, dia kembali . Tuan Yunus tersenyum simpul. Hasan yang masuk saat itu, diam-diam menggeleng. Apa lagi olah si Tua ini, pikirnya.

Tuan sapanya dengan pelan, tapi si kakek terkejut juga.

Setan alas, kau! Mengagetkan aku saja! Bedebah! hardiknya.

Hasan yang sudah biasa dengan letusan semacam itu, diam saja.

-Ada apa? -tanya laki-laki tua itu sambil melipat koran yang tidak dibacanya.

-Makanan sudah siap, Tuan

-Bawa ke mari!

-Di kamar makan saja, Tuan. Supaya dapat hangat terus

_ Huh! Macam anak kecil saja: makan harus di meja makan! sambil menggerutu dia bangkit dan berjalan gontai ke belakang.

Di atas meja makan dipasang plat-plat pemanas makanan. Ada tiga, tapi biasanya cuma dua yang dipakai. Untuk sup dan makanan bergajih. Tuan Yunus mencicipi sesendok sup. Keningnya mengerut.

_ Besok aku akan minta Neli membuat sup. Kau boleh mencobanya! Bukan begini ini yang disebut sup. Ini air garam dicampur daging dan sayuran setengah busuk!

Tuan, sayuran itu baru saja dipetik dari kebun! bantah Hasan dengan dongkol, dan itu adalah sup kesukaan Tuan

_ Hm, mungkin. Tapi aku lebih suka sup buatan Neli

Hasan melayani tuannya sambil sesekali menyumpahi perempuan yang bernama Neli, yang baru saja datang dengan mobil Fiat merahnya. Heran. Biasanya villa itu disewakan pada orang-orang asing. Pemiliknya tidak pernah muncul. Tahu-tahu sekarang. dari mana pula muncul

nya perempuan itu?! Seorang penyewa biasa? Tapi mengapa si Tua itu mengenalnya?

Garam, San! Tuli, Kau?!

Hasan tergagap sedikit tapi dengan sigap menyambar botol garam dan mengetuk-ngetuknya di atas mangkuk Sup.

Sedikit lagi pinta Tuan Yunus ketika Hasan meletakkan kembali botol itu ke atas meja kecil di samping meja makan.

-Cukup, Tuan. Tidak boleh terlalu banyak garam _ kata Hasan tegas.

Mengapa radio tidak bermata? tiba-tiba tanya sang tuan di tengah hirupan sup.

Mungkin dimatikan, Tuan sahut Hasan bergegas ke ruang duduk.

Betul radio itu mati. Tentu Tuan Yunus yang melakukannya, cuma dia lupa. Dinyatakannya radio itu tanpa mengganti sendernya.

Ya, itu sudah bagus! _ terdengar teriak dari ruang makan. Radio itu tengah memperdengarkan lagu-lagu cinta jaman sekarang. Biasanya Tuan Yunus lebih tertarik pada siaran warta berita, tapi yah! Hasan mengangkat bahu. Mungkin si Neli itu gara-garanya.

Ketika semua makanan yang disajikan sudah licin tandas, si Tua menyeka mulutnya dengan telapak tangan yang kemudian dibersihkannya di serbet penyeka mulut. Dipandangnya Hasan yang tengah mengangkat mangkuk sup, lalu tiba-tiba katanya, San, apakah menurut engkau, aku masih boleh kawin lagi?

Hasan terpaku seketika. Tidak bergerak-gerak seakan-akan tewas. Baru sedetik kemudian dia menoleh dan mendapati tuannya tengah menatapnya seperti anak kecil. Di sudut bibirnya terdapat sebutir nasi. Di kumisnya yang jarang, terperangkap sepotong kecil wortel.

-Ah, siapa pula yang pernah melarang orang yang ingin kawin, Tuan? Bukankah itu peristiwa gembira yang paling disukai manusia? Apakah Tuan sudah mencuci mulut?

Jangan perintah aku! hardik Tuan Yunus dengan geram, lalu bangkit menuju tempat cuci tangan. Di muka kaca bermenit-menit lamanya dia bengong, sambil merabai seluruh mukanya. Lalu mengusap-usap rambut kepalanya. Hasan purapura tidak tahu. Makin diperhatikan, makin bertambah pola si Tua.

Ah, sebaiknya aku cukur saja kumis tikus ini. umamnya seakan pada diri sendiri', lalu sedikit lebih

keras, San, di mana Tomi meletakkan minyak cukur dan minyak rambutnya

Semua dibawanya. Tuan

_ Brengsek! Mengapa tidak ditinggalkannya disini? Di kota dia dapat beli lagi. Takut aku pakai, rupanya! kata si Tua dengan sifat curiganya yang makin menjadi-jadi dari hari ke hari. Kemudian terpandangi olehnya sabun cuci tangan yang sudah kecil. Timbul lagi berangnya. Hasan yang sudah ke dapur dipanggilnya.

Ada apa. Tuan?

Mana sabun cuci muka?

Hasan tertegun. Sejak kapan tuannya mencuci muka sore-sore? Kan mandi pagi sudah dianggapnya lebih dari cukup? Katanya sendiri, orang setua dia tidak boleh terlalu sering kena air panas, nanti kulit makin kering dan makin cepat bertambah keriput.

Sabun yang biasa sudah habis, Tuan?

Bedebah, kau! Ini kan sabun cuci tangan! Untuk cuci muka, kataku!

Hasan pergi tanpa membantah dan segera kembali dengan sabun baru.

Perlu air panas, Tuan?

Kau gila! Makin keriput aku nanti! lalu dibukanya sabun itu dan dibasahinya dengan air kran kemudian digosok-gosoknya hingga berbusa. Jari-jarinya mengeriput kedinginan, tapi ditahannya.

Mau apa kau masih di sini? serunya menoleh menatap Hasan. Laki-laki itu segera berlalu sambil komat-kamit tanpa makna.

Busa sabun itu dengan lembut diolesnya ke seluruh muka, kecuali bagian mata, supaya tetap dapat memandang cermin. Dengan tertutupnya semua keriput oleh busa, tampak masih muda dan penuh gairah pandangan mata Tuan Yunus. Dalam hati dia bersorak. Ah, aku masih semuda ini, pikirnya riang. Pasti tidak lama lagi aku akan berhasil mempersunting Neli, yang telah menghantuiku bertahun-tahun lamanya.

Ketika rasa pahit menyelinap ke dalam mulut,

baru sadar, lalu dengan enggan menyapu busa itu bersama air dingin. Hiii, dia hampir menggigil, tapi dia anti air panas. Untuk menghalau rasa dingin yang ngilu, lekas-lekas disambarnya handuk tangan lalu dibawanya ke muka.

Tuan! seru Hasan sengaja menanti saat itu, handuknya sudah kotor, penuh bekas cabai dan minyak. Itu untuk tangan

Lalu mana handuk untuk muka? tanya si tuan menuntut, walaupun belum pernah ada handuk muka di situ.

Ini -kata Hasan menyorongkan handuk yang biasa dipakai mandi.

Bersungut-sungut si Tua menyeka mukanya. Setelah kering, dilemparnya begitu saja handuk itu. Untung lekas ditangkap Hasan sehingga tidak tergelincir ke lantai. Kemudian sisirnya yang kotor itu dibasahinya dengan air lalu disisirnya uban-ubannya. Mula-mula dicobanya belahan baru, di tengah, namun setelah memandang cermin, dua detik, diputuskannya untuk tetap pada belahan pinggir yang dianggapnya lebih pantas.

Belahan tengah mirip kepala hidung belang gumamnya, heran. Waktu muda, aku pantas dengan belahan itu, walaupun bukan hidung belang

Hasan senyum-senyum sendiri di belakang tuannya. Bukan hidung belang? Ya, bukan. Cuma mata keranjang saja.

Selesai berhias dan setelah menggerutu sebab Hasan ternyata tidak mempunyai minyak rambut (memang dia tidak pernah memakainya), Tuan Yunus kembali pada soal ganti kemeja. Hasan tetap melarangnya keluar berjalan-jalan, jadi ganti kemeja itu tidak masuk akal. Udara begitu dingin, angin agak kencang. Tidak, Tuan. Si Tua menatapnya degan pandang memelas seperti anak kecil, lalu tiba-tiba dia mengangguk dan tidak membantah lagi.

Aku mau duduk-duduk di dalam. Kalau Nona dari sebelah datang menanyakan aku, katakan aku sedang istirahat. Tapi kalau dia memaksa, biarkan dia masuk dengan kata-kata itu Tuan Yunus mengambil beberapa helai koran yang sudah basi dan masuk ke dalam. Dari ruang makan terdengar suara radio beralih ke depan. Hasan menggeleng geleng sambil berjalan ke dapur. Dia ingin sekali tahu, siapakah perempuan di sebelah yang telah memikat hati tua majikannya. Apakah betul namanya Neli? Kalau ya, berarti tuannya tidak main-main. Namun kapan dan di mana dikenalnya perempuan semuda itu? Bukankah dia sudah empat belas tahun mengikuti majikannya dan belum pernah melihat perempuan itu di sampingnya? Atau barangkali itu cuma lamunan orang tua yang mulai pikun? Hasan memang sudah biasa mendengar majikannya gambar-gembor tentang kehebatan dirinya. Tentang gadis-gadis yang selalu mengelilingi masa mudanya, dan dompetnya.

Hasan sebenarnya ingin menemui tukang kebun sebelah malam itu juga, tapi hujan mendadak turun. Terpaksa disabarkannya hatinya hingga esok.

Ketika Tuan Yunus mau tidur, ditegurnya Hasan.

_Apakah Nona Neli tidak datang?

-Tidak, Tuan-kata Hasan, lalu iba hatinya melihat air muka yang suram itu dan dihiburnya, Pasti karena hujan begini lebat

Ya, pasti dan wajah tua itu cerah lagi. Hasan tidak tahu, berdosakah dia memberi harapan yang bukan-bukan seperti itu?! Atau sama sintingkah dia dengan tuannya?

Esoknya, matahari keluar dengan malu-malu. Tapi Tuan Yunus sudah berterima kasih sekali. Dengan bersemangat, dia memakai kemeja bergaris-garis biru. Mandinya diperlama sepuluh menit. Cuma ada sedikit kekurangan: dia tidak memakai minyak rambut maupun parfum. Sudah disuruhnya Hasan menggeledah kamar anaknya, namun tidak setetes pun parfum tercium. Juga tidak seoles pun minyak rambut tersisa.

_ Apakah laki-laki muda sekarang sudah tidak berseni? _ tanyanya heran, dulu, aku tidak pernah ketinggalan semua itu. Coba, San, barangkali ada sapu tangan baru di lemarinya. Milikku sudah tua semua

Untunglah ada satu. Walaupun sedikit bau

ngengat, sebab terlalu lama disimpan, tapi kelihatan masih baru. Dengan bekal kemeja dan sapu tangan baru, dia berniat menjumpai tetangganya.

Lebih baik pakai sepatu, Tuan usul Hasan sambil menyerahkan sepatunya, jalanan licin dan basah. Nanti terpeleset atau masuk angin

Engkau benar. Memang tidak pantas bertamu memakai sandal rumah. Ah, aku mulai pikun. Apa dayaku tanpa engkau keluhnya.

Dengan serba rapi Tuan Yunus melangkah ke luar. Sebenarnya jalan melintasi kebun bunga di samping villa, jauh lebih cepat. Tapi dia mengambil jalan besar, yang dilalui kendaraan biasa. Dia tidak ingin kelihatan keremaja-remajaan dengan melompat-lompat di kebun bunga. Lima menit kemudian, dia sudah mengetuk pintu tetangganya dan ketika gerendel bergerak, hatinya serasa terbang. Sudah siap nama itu di ujung lidahnya. Pintu terbuka dan mulai terkuak pelan-pelan. Ah, dia main intip-intipan, pikirnya tersenyum riang.

Nel ..kata itu membeku di udara. Yang muncul cuma pembantu.

Siapa Tuan? Ada apa?

Apakah Non ada?

Sedang pergi mandi-mandi. Tuan dari mana?

Ke mana? tanya Tuan Yunus tanpa mendengar pertanyaan orang. Saya kurang tahu, Tuan. Tapi Tuan ini siapa?

Tukang kebun menghampiri dan mendengar pertanyaan pembantu perempuan itu.

Ini tuan dari sebelah. Ada apa, Tuan? tanyanya ramah, sebab seringnya diberi rokok kretek oleh Hasan.

-Saya mencari Non Neli. Ke mana dia berenang?

Non Neli? tanya tukang kebun menoleh pada pembantu.

--Non Neli?! ulang pembantu keheranan.

Ya, yang kemarin datang dengan mobil merah kata Tuan Yunus, tidak sabar melihat kedunguan orang-orang di sekitarnya.

Oh, itu Non Lisa!

_ Masa bodoh aku siapa namanya sekarang! Orang memang gemar mengganti-ganti nama atau menambah-nambah alias! Kira-kira kapan dia pulang?

Tuan ada urusan apa? Nanti saya sampaikan kata pembantu menawarkan.

Tuan Yunus nyaris menelan perempuan itu dengan belalakan matanya. Untung tukang kebun segera muncul di tengah.

Apakah Tuan ingin datang lagi? Nanti saya beritahu Hasan bila Non sudah kembali
Si Tua ragu-ragu sejenak.

Ah, jangan susah-susah. Tidak perlu memberi tahu Hasan. Katakan saja pada Non Neli, saya datang menjenguknya

Non Neli? gumam pembantu mengawasi

langkah laki-laki tua itu menjauh. Pikun bisik tukang kebun, tujuh puluhan

ketika Lisa pulang berenang tengah hari, pembantunya segera melaporkan tentang kedatangan tetangga sebelah.

Ada urusan penting? tanyanya sambil menyediakan dua buah gelas.

Entahlah, Non. Tapi rasanya Tuan itu cuma ingin berkenalan

Oh, kalau begitu besok saja. Sekarang saya ada tamu. Engkau masih ingat teman sekolahku, si Budi itu, bukan? Kebetulan saja aku bertemu dengan dia di kolam tadi

Ya, saya masih ingat Neng Budi. Yang suka petik mangga buat rujak?

Lisa tertawa sambil menuang minuman. Pembantunya senang melihat wajahnya yang cerah. Semoga Budi ini dapat menggantikan Neng Tomi yang menghilang begitu saja.

Apakah akan saya sediakan makan siang sekarang, Non?

Sebenarnya mereka sudah makan baso, tapi Icah pasti tersinggung kalau mereka tidak makan. Seakan-akan masakannya tidak enak. Seharusnya dia pesan tadi pagi, tidak usah masak. Tapi siapa tahu akan bertemu Budi?!

Ya, boleh, Cah

Icah segera bergerak mau mengambil piring ke dapur. Lisa menoleh sehingga rambutnya yang panjang bergoyang-goyang.

-Anu, Cah, seperti apa sih Tuan yang datang tadi pagi?

Tahu, deh, saya tidak bisa bilang. Pokoknya sudah tua. Agak bungkuk

Oh, kalau sudah tua, ya biar besok saja. Kalau masih muda.... Lisa tersenyum lucu, bolehlah kita undang dia makan...

Masih tersenyum-senyum dibawanya kedua gelas itu ke luar. Icah juga ikut-ikut tertawa. Lisa, memang lincah dan lucu. Sayang Tuan Tomi meninggalkannya, sehingga tampaknya dia patah hati. Icah tidak mengenal Tomi, sebab pemuda itu selalu mengunjungi Lisa di asrama, belum pernah ke rumah.Tapi Icah tahu dari gambar dan cerita-cerita Lisa padanya.

Sepuluh menit kemudian, lcah keluar memberitahukan meja sudah siap. Budi menoleh dan tertawa melihatnya.

Halo, lcah. Masih cantik dan awet muda saja, kau. Betah ya, ikut Lisa?! Sudah berapa tahun?

Hampir sepuluh, Tuan sahut Icah ke

malu-mainan.

-Wah, cepatnya waktu berlalu Budi mengeleng-geleng sambil mengikuti Lisa berjalan masuk.

Ya sambung Lisa menoleh ke belakang, dancepatnya orang menjadi tua

Aaah Budi tergelak-gelak, siapa yang menjadi tua? Engkau masih tetap muda seperti waktu pesta perpisahan sekolah kita. Dan aku? Engkau toh takkan mengatakan bahwa aku sudah menjadi tua'?! tantang Budi.

Oh, tidak! Engkau memang tidak nampak tua, Bud. Tapi aku! Aku merasa sudah tua!

Icah yang cerdik lekas-lekas mengalihkan perhatian Lisa ke tempat nasi. Dia sudah apal betul keluh kesah majikannya yang merasa tua setelah kepergian Tomi.

Mereka makan tidak lama dan setelah itu pergi lagi. Setengah jam kemudian, muncul Hasan dari pekarangan belakang.

-Ssst-serunya pelan ketika melihat Icah di jendela dapur.

Icah menoleh dan tersenyum genit. Laki-Iaki berkumis itu boleh juga, pikirnya. Dia sudah melihatnya tadi pagi berindap-indap di pagar belakang, rupanya mau mengintai. Naksirkah dia? pikir Icah dan debar jantungnya makin naik. Dilihatnya laki-laki itu melambai. Icah melap tangannya yang basah dengan kainnya, lalu membuka pintu belakang.

Ada apa? tanyanya tanpa menghampiri Hasan.

-Tidak ada orang?

Icah menggeleng. Hasan setengah berlari menuju ke pintu tempat Icah berdiri.

Siapa Abang?
-Saya, Hasan. Majikan saya tadi ke mari, bukan?

Icah menutupi senyumnya dengan telapak tangannya.

Mengapa tertawa?

Jadi itu tuanmu kata Icah tanpa menjawabnya.

Ya. Dia sudah agak pikun. Tadi dia menanyakan majikanmu, bukan?

lya sahut Icah mengangguk. Betulkah namanya. Neli? _

Tentu saja, bukan. Nona saya bernama Lisa

Sudah aku duga gumam Hasan pada diri sendiri, menekur sesaat, kemudian terpandang olehnya wajah Icah ketika dia mengangkat kepalanya,

O ya, siapa namamu?

Icah bisiknya malu-malu.

Sudah kawin?

Ah, tanya kok begitu?! tegur Icah.

Apa terlarang? Saya sendiri sudah pernah kawin sekali. Anak saya laki-laki satu. Ketika berumur enam tahun, dia tewas bersama ibunya dalam kecelakaan kereta api. Waktu itu saya

bekerja sebagai opas di kantor Tuan Yunus. Tuan merasa kasihan mendengar riwayat saya, lalu diajaknya saya tinggal bersamanya. Sampai sekarang. Sudah empat belas tahun Hasan tampak merenung dengan mata sedih.

Mengapa Abang tidak kawin lagi? tanya Icah selang sesaat.

Tidak bisa sahut Hasan menggeleng, saya merasa menanggung dosa kematian mereka. lsteri saya ingin dijemput dari kampung, tapi saya tidak mau. Sebab makan ongkos banyak. Saya kirimi saja uang untuk dia datang sendiri. Kalau saya jemput, mungkin dia.... aah! Sudahlah! Nanti Tuan bangun dan mencari saya

Tanpa menanti reaksi leah, Hasan berlari ke pagar dan hilang di antara semak-semak. Icah berdiri terpaku dengan tangan mengepal. Sesuatu yang aneh menyelinap ke dalam hatinya. Dia belum pernah merasakan hal semacam itu. Sejak berumur tujuh belas, dia sudah dibawa orang ke kota dan bekerja di rumah Lisa. Pikirannya selalu gembira, tidak ada keinginan apaapa kecuali menyenangkan Lisa serta almarhum ayahnya. Uang selalu cukup di dompetnya, sebab dia memang tidak perlu membeli apa-apa. Baju-baju dan sandal, selalu disediakan. Setelah bekerja lima tahun, dia juga diberi kalung dan anting-anting emas. Apalagi yang diinginkannya? Dia tidak pernah memikirkan laki-laki. Jera melihat kedua bibinya yang menjadi sapi perahan dari suami masing-masing. Mereka membanting tulang di rumah majikan dan akhir bulan, datang suami, menuntut gaji yang dihabiskan di tikar judi. Tidak. Dia tidak akan menjadi sapi perahan. Nyah suami. Tapi Hasan?! Laki-laki itu tampaknya sedikit lain. Air mukanya baik. Dan bila dia sendiri sudah mempunyai pekerjaan yang lumayan, tentu dia tidak akan membebani isteri. tapi ah! Dia sudah bilang sendiri takkan mau kawin lagi, karena masih terkenang akan anak -isterinya. Gila. gila, gila! Icah bergumam memarahi dirinya sendiri sambil menutup pintu dan melanjutkan kerjanya di dapur. Namun hatinya tidak menjadi tenang. Walaupun dicobanya mengusir Hasan dari pikirannya, laki-laki itu terbayang-bayang terus. Belum pernah Icah mengalami hal serupa itu. Tempat sambal terlepas dari tangannya. Untung cuma jatuh ke meja, sehingga tidak pecah. Digeleng-gelengnya kepalanya hampir sepuluh kali untuk menentramkan hati. Ketika tidak juga berhasil, dia pergi ke kamar mandinya dan menyiram kepalanya dengan segayung, air dingin. Rasa segar membuat dia lebih riang. Dibasuhnya muka sekalian, lalu dikeringkannya bersama rambutnya. Baru dilanjutkannya kerjanya. Walaupun Hasan masih terbayang, tapi pikirannya sudah tenang lagi. Ketika Lisa kembali sore hari, Budi ikut serta juga. Untung Icah masak nasi cukup banyak. Udara kembali mendung dan hujan mengancam. Sebaiknya makan sekarang, Non. Nanti Tuan kehujanan, tidak bisa pulang

Oh. Budi akan tinggal di sini, Cah. Beri dia kamar di bawah. Daripada menghambur-hamburkan uang untuk hotel, kan lebih baik disini. Aku juga kesepian sendirian
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesepian? Ya, apakah dia juga tidak kesepian? Sehari-hari tidak mempunyai teman. Tidak pernah ngobrol-ngobrol. Pulang ke kampung tidak betah sebab orang tua dan saudara tidak ada. Tetangga sudah asing. Tidakkah dia kesepian? Dan Hasan? Apakah Hasan tidak kesepian?

Saya bereskan kamar sekarang, Non?

-Ya. sekarang. Makan. sebentar lagi

Budi sudah diam di Situ selama beberapa nari dan Lisa sama sekali tidak ingat akan kunjungan tetangganya. Setiap pagi, sebelum jendela sebelah terbuka, mereka sudah pergi jalan-jalan atau berenang. Sore-sore bila udara mulai jelek, baru mereka pulang dan jendela biasanya sudah ditutup oleh Hasan. Jadi Tuan Yunus tidak pernah melihatnya lagi sejak hari pertamaitu dan dia menjadi murung. Bila Hasan menanyakan sebabnya, dia cuma menghela napas serta menggeleng. Antusiasnya untuk menjadi manja dan bertingkah, hilang. Dia menerima saja apa yang disediakan Hasan dan melakukan semua yang diusulkannya.

Mula-mula Hasan tidak begitu mengacuhkah perubahan itu. Dia malah senang karena kurang gangguan dan pekerjaannya lebih lekas selesai, sehingga lebih banyak kesempatan untuk mengintai Icah bila dia sedang di dapur. Sedap juga memperhatikan perempuan yang tidak tahu bahwa dia tengah dibidik.

Tetapi ketika suatu pagi, Tuan Yunus tidak mau bangun, Hasan sibuk juga. Mengapa pula si Tua ini mau terus di tempat tidur, pikirnya, khawatir kalau-kalau dia sakit.

Apakah Tuan ingin sarapan di sini? Nanti saya bawakan. Setelah itu Tuan dapat mandi air panas
Aku tidak mau sarapan! Tidak mau mau

-Apakah Tuan sakit? tanyanya was was.

Laki-laki tua itu diam beberapa saat sebelum menjawab. Suaranya parau bercampur linangan air mata.

-Ya, San, hatiku sakit. Hatiku sakit sekali

Hasan tertegun menatapnya. Seingatnya, tuannya belum pernah mencucurkan air mata. Sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Hati sakit? Sakit betul atau sakit hati'? Perlu dokter? Sebelum Hasan membuka mulut, Tuan Yunus sudah bicara lagi.

Aku sudah dilupakan oleh orang yang aku cintai. Selama puluhan tahun, aku terus mengenangnya. Aku begitu mencintainya sehingga aku tidak pernah menikah dengan orang lain. Tapi kini! Setelah bertemu, dia mencampakkan aku! Sudah beberapa hari yang lalu aku datang ke sebelah, tapi dia belum juga ke mari menemui aku. Apakah tidak sakit hati kita kalau begini, San? Tidakkah sakit hatimu bila engkau tidak diacuhkan oleh orang yang kaucintai?!

Hasan tergagap-gagap menerima pertanyaan itu. Tentu saja dia tidak mempunyai pengalaman untuk menjawab.

_ Barangkali sebaiknya Tuan datang sekali lagi. Mungkin dia berhalangan atau.....

-Tidak! -seru si Tua tegas sambil menghapus air matanya yang cuma bertetes dua kali,

harga diriku, San! Harga diriku sebagai laki-laki! Aku takkan menginjak lagi lantai sebelah, sebelum dia datang ke mari! Dan bila dia tidak datang aaah!

Tuan Yunus tidak menyelesaikan kata-katanya dan Hasan lekas-lekas mengambil kesempatan itu untuk pergi ke dapur mengambil sarapan.

Laki-laki tua itu betul-betul sakit hati serta keras kepala. Dia tidak mau sarapan. Setelah diancam akan berhenti oleh Hasan, diteguknya susu, tapi lebih dari itu, dia emoh. Waktu makan siang, terjadi hal yang sama. Dengan ancaman, cuma sup setengah setengah piring yang di

makannya. Tapi malam hari, dia betul-betul mogok makan. Walaupun sudah diancam tiga kali, dia tetap menolak. Baru Hasan menjadi sibuk bukan main. Mereka cuma berdua di situ. Telepon tidak ada. Rumah di kota tidak dapat dihubungi. Dan dia bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan tuannya.

_Apakah Tuan sakit?

San, aku ini sudah boleh bunuh diri. Tuhan mungkin tidak marah. Setan pasti mengijinkan. Tadi sore, dari jendela aku lihat dia pulang bergandengan. Tertawa-tawa. Mengayun-ayun tangan. Dengan seorang laki-laki, San. Seorang laki-laki muda. Itu rupanya sebabnya mengapa dia tidak mengacuhkan aku! Ya, aku sudah tua. Sedang dia masih muda dan cantik. Aku heran mengapa dia tetap semuda dulu. Tapi setidak-tidaknya, aku toh masih mencintainya?! Oh, San, apa salahku? Apa salahku, maka nasibku semalang ini? Dulu dia begitu cinta padaku. Dulu dia hanya hidup untukku-Tuan Yunus menghela napas, kemudian terbatuk-batuk.

Kekhawatiran Hasan bukan tidak beralasan. Kalau pikiran tuannya kusut. asihma nya timbul. Laki-laki tua itu duduk setengah membungkuk di ranjang dan menekan dadanya dengan tangan kanan, seakan-akan mau menghentikan batuk itu. Hasan segera mengambil botol minyak kayu putih dari atas meja, lalu menuang isinya ke tangan dan mengoleskannya di punggung serta dada tuannya. Batuk itu terhenti sejenak

dan Tuan Yunus merebahkan diri. Tapi semenit kemudian dia tegak kembali sambil mengeluh sesak napas. Hasan menyusun ketiga bantal itu menjadi satu dan laki-laki tua itu menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Napasnya terengah-engah seita berbunyi keras. Hasan pergi ke luar mengambil segelas air dan sebungkus obat dari salah satu botol di meja. Dibukanya kertas itu lalu diberikannya obat bubuk itu pada tuannya yang menelannya tanpa bantahan.

Apakah Tuan merasa sesak sekali?

Si Tua menggelengkan kepala. Hasan berdiri sebentar di kaki tempat tidur memegangi gelas. Ketika serangan tidak tampak menghebat, baru dia meninggalkan kamar untuk menyelesaikan tugasnya di belakang. Malam itu dia mengangkut kasurnya ke kamar tuannya dan tidur di situ.

Esoknya, KetiKa icah tengan di dapur, Hasan muncul. Perempuan itu berusaha menutupi gembiranya, namun tidak berhasil. Senyumnya lebar dan giginya putih. Tapi Hasan tidak memperhatikan itu. Dia langsung bertanya

apakah lcah sendirian di rumah?!

Kalau ya, memang ada apa? tanya Icah berani, heran sendiri dia dari mana datangnya tingkah genitnya. Hasan tidak tampak siap menyambuti seloroh itu.

Mengapa Nona majikanmu tidak datang-datang ke tempat saya? tanyanya langsung ke sasaran.

Dia sibuk! -sahut Icah sedikit angkuh, merasa kurang senang sebab tadi tidak mendapat tanggapan.

-Ah, sibuk kenapa. sih?

Orang muda "kan biasa. Pacaran

Aaah -keluh Hasan, tapi menjenguk sebentar 'kan tidak apa-apa. Sekarang majikan saya jatuh sakit!

Lho!! seru Icah heran. Hasan menghela napas.

Yah! Kalau orang sudah tua, maklum saja, deh. Kadang-kadang kelakuan mereka aneh melebihi anak kecil. Malah sering tidak masuk akal. Saya mengikuti Tuan sejak anak-isteri saya meninggal. Waktu itu umur saya baru dua puluh lima. Sekarang sudah tiga puluh sembilan. Jadi sudah empat belas tahun saya bekerja. Dulu Tuan keras hati dan tidak pernah sedih ditinggal gadis mana pun melihat keheranan Icah, Hasan menjelaskan, -Majikan saya itu duda. Sudah sejak anaknya berumur dua tahun. Dia tidak menikah lagi, tapi berganti-ganti gadis

terus. Tuan sangat pandai memanjakan mereka. Setiap kali saya melihat dia pulang membawa yang baru, saya yakin bahwa dia akan mengawininya. Tapi ternyata tidak pernah terjadi. Dan Tuan juga tidak pernah sedih bila seorang gadis cantik pergi. Tapi sekarang! Mungkin karena sudah tua, majikan saya menjadi berubah.Dia jatuh cinta pada majikanmu!

Dia?! -Icah ingin tertawa tapi tidak berani, melihat air muka Hasan yang keras dan serius.

Karena majikanmu tidak juga datang mengunjunginya, dia jatuh sakit. Kemarin dia menangis! -keluh Hasan tanpa memperhatikan bahwa Icah benar-benar sudah ingin tertawa. Ketika Hasan menoleh, sebabtidak ada reaksi, Icah lekas-lekas menundukdan mengubah air mukanya.

-Ya katanya sejenak kemudian, setiap orang memang boleh jatuh cinta. Tapi Nona sudah ada pacarnya

Yang kemarin sore bergandengan tangan dengannya dan tertawa-tawa dengan mesra?!

Abang tahu?

Hasan tiba-tiba berdebar lebih keras mendengar Icah memanggilnya abang. Tapi Icah tampak tidak sengaja sebab dia tidak menyadari perubahan pandangan Hasan.

Apa sih kerja pacarnya itu? Saya kurang tahu. Cuma Non bilang, dia sedang mengawasi pembangunan sebuah Hotel

di atas -Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa Budi bukan pacar majikannya, tapi kemudian pikirnya dengan cerdik, lebih baik bila si Pikun itu mengira nonanya sudah ada yang punya. Jadi dia tidak akan mengganggu lagi.

--Ah, majikan saya, seratus kali lebih kaya

Ya, tapi saya akan keberatan kalau majikan saya yang muda itu kawin dengan orang yang sudah pikun! kata Icah kembali menahan tertawa.

-Biar amat kalau mereka saling suka! lalu Hasan menjadi curiga dan menatap Icah Ayo, saya tahu, engkau pasti tidak mengatakan pada nonamu bahwa majikan saya datang ke mari! Ngaku!

Saya sudah menyampaikannya! seru Icah lantang, apa sih, pake curiga-curiga segala? Memang saya ini apamu?

Aduh, jangan marah, dong bujuk Hasan, tidak baik cepat marah. Engkau "kan cantik! Merah muka Icah yang putih. Lebih merah lagi mendengar pertanyaan Hasan. Sudah pernah kawin, belum, Cah?! _ Icah menggeleng sambil menunduk. Siapa yang mau dengan orang jelek dan

Ah,jangan suka bilang begitu. Icah manis, kok. Sungguh. Barangkali kapan-kapan kita bisa kawin, asal Icah mau

Icah tersenyum sedikit genit, menatap Hasan. Kerenjuga laki-laki ini, pikirnya. Katanya, Abang takkan kawin lagi! ra

juknya dan Hasan kembali berdebar mendengar panggilan itu. Sudah belasan tahun tidak ada orang yang memanggilnya abang. Dengan begitu mesra lagi.

-Ah, manusia itu selalu berubah, Cah. Saya sebenarnya sering kesepian. Apalagi majikan saya sudah begitu tua. Kalau dia sudah tiada, tentu saya akan tambah kesepian! Kerja tidak ada. Rumah tidak ada. Mungkin sih saya tidak akan dikeluarkan, tapi apakah orang mau menjadi pelayan terus seumur hidup? Kalau sudah tua. sudah tidak dapat lagi bekerja, tentu malu makan nasi majikan dengan percuma. Waktu itu kita harus bisa hidup sendiri. Bukan begitu, Cah?

Icah menunduk tanpa menjawab. Da tidak pernah berpikir sampai kesana. Tapi kini, mendengar uraian Hasan, dia tiba-tiba merasa sedih, sebab nasibnya juga mirip dengan nasib Hasan. Kalau sudah tua.... yaa, kalau sudah tua anak tidak ada, rumah tidak ada, suami tidak ada!

-Kalau sudah tua, saya ingin pulang ke kampung. Rumah saya masih ada. Walaupun cuma gubuk-gubuk. tapi rumah sendiri. Tanah sedikit, juga masih, ada. Uang gaji saya selama ini saya tabung untuk pensiun nanti. Keperluan saya seharihari tidak banyak dan makan pakai semua sudah dijamin oleh Tuan Hasan tampak bicara pada diri sendiri. Matanya redup merenung jauh. Icah menatap tanpa bergerak-gerak. Betapa gembiranya dia bila dapat menatap Hasan terus

sepanjang hari.

-Tapi-kata Hasan menoleh dan tersenyum, -sekarang ini kita masih bekerja pada majikan. Belum pensiun. Jadi ngobrol tidak bisa lama-lama. Mungkin Tuan memerlukan saya

Hasan meluruskan tubuhnya yang sejak tadi ditopangnya di jendela. Dicoleknya pipi Icah dan tertawa.

-Kalau bisa, bujuklah nonamu supaya datang menjenguk Tuan saya, Dia sakit sekarang!

-Ah, ada-ada saja! Orang pikun kok diladeni?!

-Maklum saja kalau orang jatuh cinta. Tolong, ya?! Soalnya, kalau Tuan kenapa-kenapa, itu tanggungan saya. Anaknya jauh di kota

Icah mengangguk. namun Lisa tidak datang. Icah memang bermaksud meneruskan permintaan Hasan, tapi Lisa sibuk terus dengan Budi, sehingga tidak sampai hati Icah mengganggunya. Di samping itu, dia tidak percaya ada orang bisa mati karena cinta.

Lisa tenang-tenang saja hilir mudik bersama teman sekolah yang baru dijumpainya kembali. Mereka memang pernah pacaran sebentar ketika sama-sama di kelas dua SMA. Kelas tiga, mereka terpisah kelas dan Budi tampak erat dengan gadis sebangkunya. Lisa juga mendapat yang baru, tapi putus ketika tamat sekolah. Di bangku kuliah, Lisa berkenalan dengan Tomi dan hubungan berlangsung tiga tahun. Kemudian Tomi dengan

mendadak hilang begitu saja. Lisa berhenti kuliah karena patah semangat. Ujian-ujiannya jebol semua. Dia keluar dari asrama. Itu dua tahun yang lalu. Ketika ayahnya masih ada. Ayahnya tidak melarang dia berhenti kuliah. Harta warisannya lebih dari cukup untuk Lisa seorang. Lisa memusatkan perhatian pada bidang lain. Dia belajar merangkai bunga dan menggunting baju di Tokyo. Tiga bulan yang lalu ayahnya meninggal. Lisa kembali ke rumah. Dan kini.... oh, Budi tampaknya masih mencintainya. Lisa sama sekali lupa akan tetangganya yang mengunjunginya di pagi hari. Dia asyik memikirkan kemungkinan Budi mengambil alih tempat Tomi. Dapatkah? Mungkinkah? Kadang-kadang dia merasa mungkin. Kadang-kadang juga, tidak. Budi memang lebih dewasa pikirannya. sebab dia sudah tiga tahun berdiri sendiri. Bekerja sebagai pengawas bangunan dari sebuah kontraktor. Tomi masih berbau anak sekolah, walaupun dia juga tidak kekanak-kanakan. Dan dia sudah meninggalkan dirinya begitu saja. Tapi mengapa sulit betul melupakan Tomi. keluh Lisa dalam hati.

SIANG itu, Tuan Yunus juga mengeluh dalam hati karena hal yang sama. Sulit betul melupakan engkau. Neli. Dua puluh tahun yang lalu....."

Waktu itu Hadi Yunus berusia lima puluh tahun, tapi tampak sepuluh tahun lebih tnuda. Semua itu, katanya, berkat hidupnya yang penuh dengan gairah cinta. Cinta memberi harapan dan rasa damai. Kedamaian membuat saraf-saraf di seluruh tubuh istirahat, darah mengalir lebih pelan, jantung tidak usah bekerja keras, kulit lebih tahan kerut dan lemak tidak lekas bertimbun pada perut serta dagu. Entah dari mana Hadi memperoleh teori itu. Kalau dia tidak bohong, itu dibacanya dari sebuah buku tua. yang diperolehnya kebetulan saja dari tukang loak. Semasa duduk di bangku sekolah, Hadi memang gemar sekali membaca. Setelah dewasa, kegemaran itu berubah arah.

Dan untuk mempraktekkan teori itu. Hadi

jatuh cinta setiap saat ada makhluk cantik lalu di muka hidungnya. Bahkan dari jarak puluhan meter, dia dapat mencium adanya makhluk lembut yang mempesona. Selain kecantikan, dia mengutamakan kemudaan. Kurang cantik tidak apa-apa, asal muda. Walaupun cantik sekali, bila sudah tua, dia emoh. Takut ketularan lekas tua. Maksud Hadi, walaupun fisik belum tua, dia takut kalau-kalau pikirannya menjadi tua, bila bercinta dengan perempuan berumur.

Biasanya gadis-gadis itu menjadi pacarnya sebulan atau dua bulan. Mendampinginya ke mana pun Hadi pergi. Setelah itu mereka akan dilempar ke tepi bersama setumpuk hadiah-hadiah. Alasan Hadi: karena banyaknya gadis cantik di sekitarnya, maka dia harus adil dan bagi-bagi berkat. Tapi sebenarnya, dia memang sudah memutuskan untuk tidak terikat. Sesuai dengan teorinya. Bila dia terikat, maka pasangannya pada suatu saat pasti akan menjadi tua dan itu akan menyeretnya menjadi tua pula.

Tidak jelas sebenarnya mengapa Hadi menjadi binal. Serta kapan mulainya. Ketika isterinya meninggal, Hadi sudah empat puluh lima tahun. Mereka cuma menikah tiga tahun. Dan isterinya baru berusia dua puluh dua tahun waktu itu. Setahun kemudian, anak mereka lahir. Hadi tampak mencintai isterinya. Tapi ketika perempuan itu bani sebulan dikubur, orang sudah melihatnya menggandeng perempuan lain.

Cinta tinggal cinta gumamnya, tapi

aku perlu hidup dan tetap awet muda!

Begitulah Hadi berjalan dengan pongahnya diantara aliran arus kecantikan, dihormati dan ditakuti karena dompetnya yang tidak segan-segan dibukanya lebar-lebar bila menguntungkan baginya. Dalam hati, dia mencemooh mereka semua.

Tapi pada suatu hari Sabtu itu dia membawa seorang gadis baru ke villanya. Hujan rintik-rintik dan kabut tidak ada. Di villa sebelah, dilihatnya Tuan Sukrisna tengah mengisap pipa tanpa menengok padanya, walaupun suara mobil cukup keras, sebab dia sengaja menginjak gas lebih dalam.

-Tuancongkak itu! -tunjuk Hadi dan gadis di sebelahnya mengikik. Hadi mencubit pipinya. sebab dia sudah ikut-ikut mencemooh lawannya.

Belum menjadi jendral sudah sombong begitu. Mending kalau lebih kaya! Isterinya sudah penyakitan. Cari yang muda, tidak dapat-dapat!

Dan mereka tertawa berdua. Tuan di sebelah seakan-akan asyik betul dengan pipanya, sehingga ketika seorang perempuan muda keluar dan berdiri di sebelahnya, menanyakan sesuatu, dia tampak sedikit kaget. Tapi Hadi lebih kaget lagi. Dengan terpesona, tanpa mengindahkan sopan, ditatapnya gadis sebelah villanya. Pacarnya malam itu merasa tersinggung, tapi Hadi sudah lupa etiket percintaan.

-Masyaalah! Baru dibilang bininya penyakitan, keluar bini mudanya yang ce, cc, cc.... bukan main! -Hadi menggeleng-geleng.

-Hadi, apakah engkau tidak mau memasukkan mobil ke garasi? Aku kedinginan sungut si gadis.

Oh, maaf, maaf! seru Hadi tersadar, lalu mengganti gigi persnelingtidak baik mengawasi bini orang -katanya lagi.

-Kok tahu?! -ejek si gadis.

Hadi tidak menjawab. Jongos menutup kembali pintu garasi dan mengangkat koper kecil si nona.

Di mana kamar mandi?! -tanya si gadis yang masih uring-uringan.

Non mau mandi sekarang? -tanya jongos.

-Tentu! Habis mau apa?

Pembantu itu segera melangkahkan kaki ke dalam, sedangkan Hadi pura-pura sibuk memeriksa motor.

-Jang, kalau sudah, kan ke mari lagi, ya?!

-Ya, Tuan

Lima menit kemudian Ujang muncul lagi.

Sudah mandi? tanya Hadi menunju dengan gerakan kepalanya.

Sedang mandi, Tuan. Ada tugas apa?

Ah, tidak Hadi tertawa, aku cuma heran kok tuan sombong di sebelah itu sekarang sudah punya bini baru? Sejak kapan sih? Engkau "kan biasanya erat dengan pembantu mereka?!

Oh, Non Neli! Ujang, tertawa, laki-laki kerempeng begitu mana bisa gampang-gampang dapat bini muda, Tuan! Non Neli itu menantunya

_Aaah'?! Mengapa baru, sekarang aku melihatnya? Baru kawin?

_ Tidak, Tuan.Anaknya yang perempuan sudah dua tahun. Mereka baru kembali Malaysia, Tuan. Suaminya, anak laki-laki Tuan Sukrisna, menjadi dokter

Hm. Dikiranya dia sendiri yang anaknya menjadi dokter! Tomi juga akan menjadi dokter! -gumam Hadi, selalu sengit bila mendengar kelebihan tetangganya, walaupun mereka tidak pernah saling berhubungan. Tidak pernah beramah-tamah, juga tidak pernah bertengkar.

-Mudah-mudahan, Tuan -sembah Ujang.

Apanya yang mudah-mudahan? -tanya Hadi heran

Anu, mudah-mudahan Neng Tomi menjadi dokter

Hadi tidak menjawab. tapi mengawasi pintu masuk ke dalam, kalau-kalau pacarnya muncul.

Pintu dapur saya kunci, Tuan -bisik Ujang yang mengerti arah pandang tuannya, -diarakkan ke mari tanpa mengetuk dulu

Cerdik kau, ya -Hadi tersenyum lalu menyambung, Semuda itu sudah punya anak dua tahun?! Umur berapa, ya?

Ujang tentu tidak akan sering dapat persen

kalau dia tidak secerdik sekarang. Dia mengerti betul isi hati tuannya.

-Kata babunya, Non Neli baru dua puluh satu tahun

Aha, bagus! -seru Hadi, tidak berani keras-keras, takut terdengar ke dalam, -hampir separuh umurku! Tanda baik, tuh!

Dan babunya bilang, Non tidak bahagia dengan suaminya. Dijodohkan orang tua sih

Senyum Hadi makin lebar.

Mengapa? Sering dipukul? Atau kurang perhatian? Atau lemah syahwat? Ah, ah, ah

-Hei, buka pintu! Buka pintu!! Apa-apaan ini! -teriak dari dalam menyetop pembicaraan yang meriah itu. Ujang bergegas pergi membuka pintu dan Hadi mengorek-ngorek karburator yang tidak apa-apa.

Sang pacar muncul dengan wajah muram. Hadi memuji gaunnya, tapi dia mendengus saja.

_Ah, jangan begitu, manis -bujuk Hadi, di sini engkau tidak boleh masam. Aku tidak suka kemuram. Ujang tadi lupa

Dipeluknya gadis itu dan dikecupnya.

Nah, sekarang tertawa lagi, ya

Gadis itu tertawa seperti robot. Ah, pasti manis nian menantu sebelah itu bila tertawa, pikir Hadi terkenang kenang.

Apa sih yang kaukerjakan sejak tadi? tanya gadis itu ikut membungkuk di samping Hadi, bukankah lebih baik mandi dulu lalu makan. Mobil ini tadi tidak mengalami gangguan, bukan?!

Ya, tapi aku biasa memeriksanya sehabis jalan jauh. Duduklah di dalam dan dengarkan radio.

Sebentar lagi aku selesai. Masih banyak waktu untuk kita berdua, Manis dan dipeluknya lagi pacarnya, tapi gadis itu mengelak melihat jari-jarinya berlumur oli.

Baiklah aku ke dalam. Jangan lama-lama, ya?!

-Oke, Manis angguk Hadi dan begitu si Nona menghilang, segera dibersihkannya tangannya. Di tutupnya kap mobil, lalu sambil bersiul-siul masuk ke dalam melalui dapur.

Ujang tengah memasak makanan malam. Hadi membuka tutup panci dan mendengus-dengus menciumi isinya.

Jang, tambah lada dan kayu manis yang banyak. Juga onje sedikit

Tapi ini otak ini direndang, Tuan

Masa bodoh. Pokoknya tambah lada, kayu manis dan onje. Perempuan ini sedikit dingin. Sudah sebulan aku mengenalnya di kota, tapi baru sekali dia mau diajak bermalam di pulau Duyung. Dan hampir-hampir seperti batang pisang lakunya. Beri lada yang banyak! kata Hadi sambil meninggalkan dapur.

_Di mana ada rendang diberi kayu manis, onje, lada gumam Ujang, sambil menggerutu

dalam hati terhadap perempuan-perempuan berdarah dingin.

Menurut Hadi -dan cuma dia yang tahu benar tidaknya -, perempuan yang dingin akan menjadi hangat bila diberi campuran otak, lada, kayu manis serta onje. Lebih hebat lagi kalau diminumi rebusan kuku macan serta jahe. Tapi kuku macan sulit sekali mendapatnya. Orangorang sudah tidak diperbolehkan menembak macan semau mereka, sebab jumlah binatang itu berkurang dengan menyolok.

Keahlian Ujang boleh dipuji. Dengan segala macam bumbu yang serba aneh, rendangitu masih tetap enak rasanya. Hadi senang melihat gadis itu makan banyak rendang. Malam akan menjadi hangat, pikirnya. Tapi esoknya, gadis itu marah.

Hadi tengah mengagumi bunga-bunga di halaman luar, ketika dilihatnya menantu sebelah datang dengan gunting dan keranjang. Anak perempuannya mengikut dari belakang.

Selamat pagi -sapa Hadi dengan keahlian senyumnya memikat wanita.

Selamat pagi -balas wanita itu setengah tidak pedulilalu mulai dengan guntingnya. Hadi mengawasi.

Ah, Nyonya rupanya pencinta bunga

Begitulah senyum wanita itu tanpa mengangkat muka, ini untuk kamar makan. Sayang kami tidak mempunyai mawar-mawar seperti Tuan.

Oh, silakan bila Nyonya menghendakinya...

-Ah, tidak, terima kasih -geleng si Nyonya.

Silakan mari guntingnya....

Tidak usahlah. Saya baru kemarin mengganti bunga di kamar saya. Lain hari, bila Tuan benar-benar mengijinkan
--Tentu. Dan ..anu....panggil saja saya Hadi

Terima kasih -sahut si Nyonya tanpa menyebutkan namanya, lalu lekas-lekas menggiring anaknya masuk ke dalam.

Hadi menoleh, ke arah pandangan wanita itu tadi. Oh! Kau! gumamnya setengah marah dalam hati. Ternyata gadis itu tengah berdiri di teras memandang ke sebelah dengan mata marah.

-Sedap betul pagi-pagi sudah ngobrol-ngobrol! tukasnya, pantas tergesa -gesa bangun! Dulu, waktu nginap di Anu, kaupeluk aku terus sampai makan siang, sampai perutku lapar!

Ah, jangan begitu, Lina bujuk Hadi tanpa memperlihatkan kedongkolannya, apa salahnya baik baik dengan tetangga?!

Hm, engkau ini baik baik dengan tetangga, ya?! -ejek Lina teringat peristiwa kemarin, -tentunya tetangga yang muda dan cantik, bukan?!

Sudahlah --bisik Hadi, geli ingat Sukrisna tua yang congkak, itu.

Hadi menyeret kursi di teras dan duduk memangku Lina. Dibelai-belainya rambut gadis itu sambil membayangkan bahwa itu kepala nyonya tetangga yang cantik itu. Dikecupnya pipi Lina dan dibayangkannya itu pipi menantu sebelah. Dia sudah sering bertemu dengan yang cantik-cantik, tapi mengapa menantu Sukris_ na itu membuatnya berdebar-debar?! Dia sudah bosan dengan pipi licin dan bibir merekah, tapi mengapa pipi perempuan itu tampak begitu berseri dan bibirnya begitu mempesona?!

-Sedang memikirkan apa? -bisik Lina.

Kau!

Mengapa, aku? ingin menikah dengan aku?

Siapa yang bicara soal nikah?! bisik Hadi tersenyum melihat kemanjaan gadis itu,

kalau aku menikah dengan engkau, tentu akan banyak laki-laki yang mati penasaran! Aku berdosa jadinya

Huh! -sungut Lina, -mulut laki-laki! Pandai betul bikin alasan! Padahal sebenarnya cuma ingin: tembak dan lari. Seperti sopir-sopir yang menabrak tapi tidak mau bertanggung jawab!

Ah, kau ini macam anak kecil saja! Apa pula yang mesti dipertanggungjawabkan? Engkau datang bersamaku karena kemauanmu. Sama sekali tidak ada paksaan. Aku tembak engkau, tapi aku tidak lari. Apa yang mesti aku per

tanggungjawabkan, kalau yang dipertanggungjawabkan itu tidak ada?

-Tidak ada kan karena pil-pil itu. Dan engkau yang menghendaki aku menelannya!

Oh, aku tidak memaksa! Terserah padamu. Kalau engkau tidak mau menelannya, oke saja. Tapi ingat, aku sudah menyediakan segala sesuatu untuk mencegahnya. Mencegah engkau menjadi malu. Bila engkau keras kepala, jangan berlari-lari menangis padaku. Itu urusanmu! Aku sudah berusaha melindungi engkau!

_Huh! -dengus gadis itu mendongkol.

Sudah,sudah bujuk Hadi, mengapapagi-pagi kita harus ribut mulut? Lebih baik engkau mandi sekarang. Setelah itu kita sarapan

Didorongnya gadis itu dan dengan segan dia masuk ke dalam. Hadi masih duduk terus di teras. Matanya memandang ke sebelah, berharap akan melihat lagi perempuan yang telah menyelinap ke dalam hatinya. Tapi villa si angkuh itu sepi-sepi saja. Diambilnya rokok di atas meja dan disulutnya. Dengan mata tetap melirik ke sebelah, pikirannya bergolak mencari siasat. Baginya tidak menjadi soal, apakah perempuan itu bersuami atau tidak. Setia atau tidak. Yang setia, dapat dijadikannya tidak setia. Yang tidak setia, akan berlarilari mengejarnya. Apa gunanya hidup ini kecuali untuk bercinta dan menjadi bahagia. Semua orang mendambakan itu. Tapi memang tidak semua berhasil mendapatnya. Walaupun begitu, setiap orang, tanpa kecuali,

pernah berusaha menemukannya. Dia, yang dikurniai bakat istimewa penemu cinta mengapa pula harus alim-alim berdiam diri?! Aib bila tidak mau mengembangkan pribadi Aaah... Hadi menarik napas bangga. Nyonya sebelah itu akan menjadi miliknya! Dan suaminya yang lemah syahwat itu-ah, betulkah itu sebabnya?! Rasanya agak mustahil bagi seorang dokter apalagi yang masih muda, untuk menderita penyakit itu. Malah lebih masuk akal cerita kenalannya obat yang dapat menambah potensi laki-laki dan dokter, pasti nomor satu mencobanya, sebelum memberikannya pada pasien! Tapi seandainya betul begitu keadaan suaminya, wah itu jalan pertama yang membuat isteri-isteri lari! Lari mencari sumber mata air sejati... ha ha dengan apa boleh buat, terpaksa main cinta dengan buku-buku saja atau mengubur diri dalam kamar pemeriksaan kencing dan darah yang pengap itu. Dan anak mereka... ah, anak itu tidak menjadi soal. Dia masih kecil serta manis. Tentu ikut ibunya. Tapi.... mungkin juga perempuan itu tidak mau meninggalkan suaminya. Dokter! Walaupun kurus macam kerangka, walaupun gemuk seperti drum air, walaupun botak, walaupun pemarah, walaupun..... lemah... ah! Hadi tersenyum sendiri. Dia tahu ada perempuan-perempuan yang kawin dengan titel. Ada yang kawin dengan harta. Dan dokter biasanya memiliki keduanya. Tapi perempuan ini lain, katanya dalam hati. Dia sengaja menyembunyikan matanya. Mengapa?

Karena matanya penuh dengan kesepian. Dan mata yang sepi memancarkan isi hati yang merana. Perempuan yang merana, tidak cukup hanya dilapisi titel serta harta. Hadi tersenyum lagi dan menjentikkan abu rokok ke lantai.

Seandainya dia toh tidak mau meninggalkan sang dokter, oke. Tapi mereka tetap akan menjadi sepasang kekasih. Sebab mereka dilahirkan untuk itu. Perempuan itu tidak akan lari daripadanya.

Bau harum tiba-tiba menerpa hidungnya. Sambil menoleh, Hadi menjulurkan lengannya dan meraih Lina dari belakang.

-Sudah semenit aku perhatikan. Engkau senyum-senyum melulu. Ada apa sih? kesegaran membuat gadis itu lebih ramah dan menarik.

Ada engkau! -tukas Hadi dengan kesopanan seorang pemikat wanita.

-Aku tengah memikirkan ide-ide baru tentang engkau. Tentang kita. Sayang bukan bila suasana yang sejuk ini kita buang-buang percuma?

Lina tersenyum manja bukan main. Dikalungkannya lengannya ke leher Hadi dan dia duduk di lengan kursi.

Wah, engkau belum mandi serunya mencium rambut Hadi. Laki-laki itu menggaruk-garuk kepala.

Kadang-kadang aku memikirkan apa per

lunya mandi. kalau toh kena debu lagi dan mesti mandi lagi, lalu kena debu lagi, lalu mesti mandi lagi.

Ya, itu betul. Apa gunanya makan, kalau lapar lagi, lalu mesti makan lagi, lalu...

--Ah, itu lain. Aku tiba-tiba jadi lapar. Ayo kita sarapan dulu. Perkara mandi, gampang!

Akhir pekan itu berlangsung dengan hangat dan intim. Lina ingin datang lagi minggu depan, tapi Hadi bilang, minggu depan dia ada urusan dan tidak dapat ke sana. Kalau Lina ingin datang sendiri.... ah, Lina tidak mau sendiri. Tentu saja engkau boleh membawa kawan priamu. ah, Lina tidak mempunyai kawan pria selain engkau,.

Jadi Lina tidak mau ke villa dan Hadi dengan aman datang sendiri bersama sebakul penuh rencana. Lina sama sekali tidak curiga.

Dari Ujang diperolehnya berita kilat bahwa nyonya idaman itu masih ada. Tengah minggu, suaminya datang sekali. Kata babunya, mereka bertengkar. Tuan dokter kembali ke kota sedang isteri menelungkup berderai air mata. Aaah. Hadi menghirup udara kemenangan. Pasti dokter itu lemah.... Malam itu dia mimpi memeluk sang kekasih sedahsyat-dahsyatnya dan tuan dokter dengan tidak berdaya memperhatikan dari jauh. Dia belum tahu bagaimana rupa dokter itu. Tapi dalam mimpi muncul juga dia, tanpa wajah. Itu biasa.

Esoknya, pagi-pagi, walaupun udara masih

dingin, Hadi sudah siap menunggu di teras dengan sebungkus kretek yang masih baru. Sambil bergelung dalam kain pelekat, diliriknya halaman sebelah. Ah, dahlia tengah berkembang dengan cantik. Juga gladiol dan anyelir. Pasti nyonya itu akan datang menggunting mereka. Lalu ditolehnya halamannya sendiri. Masih ada mawar segar beberapa tangkai. Untuk dia. Akan ditawarkannya padanya.

Semenit. Dua menit. Tiga menit. Sebatang kretek. Dua batang. Lama juga rupanya menanti. Dan dia tidak pernah melakukannya. Biasanya, perempuan-perempuan itulah yang menantinya. Tapi Hadi mempunyai kapasitas multipotensial. Dia sanggup melakukan apa saja untuk memenuhi keinginan hatinya.

Tiga batang. Empat. Ujang datang dengan secerek kopi dari sebuah cangkir. Hadi menuang kopi perlahan-lahan lalu menyenduk gula dua kali. Diletakkannya kreteknya di pinggir meja, dan diaduknya kopi itu. Dihirupnya perlahan-Iahan sambil mengarahkan pandangan ke kebun sebelah.

Tengah dia melamun begitu, tahu-tahu pintu tetangga sudah kedengaran terbuka dan suara anak kecil yang riang mengejutkannya. Cangkir kopinya nyaris terlepas dari bibirnya karena tergetar. Lekas-lekas diletakkannya itu di atas meja dan disekanya bibirnya dengan punggung tangan.

Mama! teriak si cilik, setengah melengKing.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-Ya terdengar suara halus dari pintu terbuka.

Hadi yang biasanya membuat gadis-gadis berdebar-debar, kini merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dari pintu itu.... dari pintu itu sepotong gaun merah muda dan sebentuk kaki yang indah muncul. Hadi menahan napas sambil memperhatikan lebih lanjut. Kaki itu diikuti temannya. Betis yang padat dan langsing. Pinggul yang terbungkus rok setengah ketat, tapi sopan. Pinggang yang kecil. Profil dada yang menantang.... Hadi sekarang membuang napas yang ditahannya tadi. Serasa mau meledak dadanya menyaksikan pemandangan begitu bagus. Dan seakan merasa diperhatikan; perempuan itu menoleh, Hadi kaget. Dia asyik mengatur denyut jantungnya, sehingga tidak sempat melempar senyum. Namun aneh bin ajaib. perempuan itu tersenyum padanya. Ah, betulkah dia tersenyum.... bukankah itu halusinasi saja... ah,dia mendekat ke batas pagar.... betulkah dia masih tersenyum?!

Selamat pagi

Jantung Hadi menggelepar-gelepar mendengar suara yang lembut begitu dan kerongkongannya kering.

Selamat pagi untung akhirnya keluar juga potensinya untuk bicara, walaupun lagu suaranya tidak begitu bagus.

Perempuan itu sudah menjulurkan lengannya yang bukan main indah itu ke luar batas pagarnya dan menunjuk bunga-bunga mawar.

Dulu Tuan menawarkan mawar-mawar itu.... katanya setengah malu.

Ah, ya, tentu, tentu Hadi melompat bangun dari kursi, tidak mengerti mengapa dia jadi lupa sopan, sejak tadi masih duduk walaupun diajak bicara oleh wanita. Kain pelekat ditanggalkannya.

Nama saya, Hadi. Masakan sudah lupa

Ah, ya wanita itu tertawa, Tuan Hadi!

Panggil saya, Hadi saja. Mari saya gunting tangkai-tangkainya

Ah, biar saya sendiri, kalau diperbolehkan masuk ke sana

Oh, tentu! Hadi menguak semak yang kelihatan agak terbuka dan berjauhan letaknya, sehingga terbuka jalan lewat. Si kecil segera melompat ke situ.

Hati hati Lisa! seru perempuan itu, permisi, tu.... Hadi

Bidadari itu melangkah dengan hati-hati dan Hadi melepaskan semak itu kembali. Dilihatnya gaun sebelah belakang membawa serta beberapa helai daun kemuning.

Permisi, Zus, gaunnya banyak daun dan seakan-akan daun yang melekat itu banyak, Hadi dengan asyik menggoyang-goyang gaun itu pergi datang, sampai merah muka perempuan itu.

Nah, sudah, Zus katanya dengan hormat.

Jangan panggilsaya Zus -kata perempuan itu sedikit kikuk, nama saya Neli

-Terima kasih atas kehormatan itu. Sekarang mari kita petik mawar

Ya, mari -sahut Neli seakan-akan tersadar apa tujuannya ke sana. Neli berjalan menghampiri semak yang harum itu dan Hadi berjalan beberapa langkah di belakang, memperhatikan tengkuknya yang putih serta terbuka.

Keranjang bunga yang dibawanya, diletakkannya di tanah dan dari dalam dikeluarkannya sebuah gunting. Dengan hati-hati diguntingnya setangkai. Ketika dilihatnya Hadi mau mematahkan saja sebuah tangkai, Neli menjerit kaget.

-Jangan, Ha..... di. Mesti digunting miring supaya tidak lekas layu

Oh, maaf, Nel. Saya tidak tahu. Dengan pisau, boleh?

Ya, boleh

Hadi segera masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan pisau yang panjang. Asyiknya memetik mawar di samping mawar. pikir Hadi tersenyum dalam hati.

--Sudah, Ha... di. Jangan semua. Nanti pohonmu gundul

Ah, lebih baik dia gundul daripada tidak dapat dinikmati oleh mata yang cantik!

Neli tersenyum tapi menghindari pandangan Hadi yang memikat.

Sudah, sudah. Ini sudah lebih dari cukup. Besok dapat kita petik lagi

Betul? tanya Hadi, senang mendengar "kita" itu, sudah berapa tangkai?

Sudah delapan. Biarkan sisanya di dahan supaya tahan lama. Jambangan saya pun kecil

Nanti saya cari jambangan yang besar di kota kata Hadi sambil memotong tangkai terakhir.

Ujang keluar dengan sebuah cangkir baru dan sepiring biskuit.

Mari kita minum kopi dulu, Neli undang Hadi wajar, seolah-olah mereka kenalan lama.

Oh, saya Neli tertegun melihat Ujang sudah menuang kopi ke dalam cangkirnya, sehingga tidak sopan bila menolak. Dengan terpaksa dia pergi ke teras dan duduk di hadapan Hadi. Lisa datang menghampiri. Hadi lekas-lekas memberinya sepotong biskuit dan anak itu pergi lagi ke halaman sambil menari-nari.

Cukup manis? tanya Hadi.

Ah, ya sahut Neli sedikit gelagapan sebab baru saja menelan tegukan pertama. saya anti gula

Oh. Mengapa? Kencing manis?

Bukan Neli tertawa dan aduhai manis tertawanya itu,

Badan selangsing ini? Hadi juga tertawa. Aneh betapa udara tiba-tiba tidak lagi terasa dingin.

Ini kan hasil diet. Coba lidah ini diobral.

disuruh mencoba apa saja, pasti gemuk saya

Ah, ada nada manja dalam suaranya. Betapa hangat. Perempuan yang tidak manja, biasanya dingin seperti rel kereta.

Kalau begitu, engkau tentu tidak mau mencoba biskuit ini

Oh, maaf saja -gelengnya dengan manis, -ini sudah cukup. Saya memang, biasa minum kopi saja kalau sarapan. Kadang-kadang dengan buah. Tapi tidak pernah roti atau nasi

Hadi keasyikan menatap Neli bicara, sehingga kecewa dia melihat bibir-bibir manis itu berhenti bergerak. Sejenak masing-masing terdiam, meneguk kopi. Kemudian Hadi mencuri pandang dan ternyata Neli berbuat serupa. Mata mereka bertemu. Neli menjadi malu dan segera menunduk.

Saya harus pulang -kata Neli bangkit dari kursi, -terima kasih untuk kopi ini

-Sebut dong nama saya, Nona manis rayu Hadi dengan berani, yakin si nona manis takkan marah. Memang dia tidak marah, tapi pipinya menjadi merah sekali.

Lisa -serunya memanggil anaknya dan tanpa mengabulkan permintaan Hadi, dia berjalan pulang melalui semak yang dikuak kembali oleh Hadi.

Aaah -keluh Hadi dan Hasan mengembalikannya ke alam nyata dengan semangkuk susu hangat.

Tuan terlena? tanya Hasan.

SORE itu Icah menghampiri Lisa ketika Budi sedang tidur di kamarnya.

Non, tadi pembantu sebelah ke mari. Katanya tuan yang tua itu jatuh sakit sebab Non tidak mau menjenguknya

Lisa memandang Icah sekejap tanpa mengerti, namun kemudian berubah air mukanya.

Ah -serunya, -yang datang ke sini tempo hari?! Mengapa aku lupa memenuhi permintaannya? Kasihan. Sudah tua dan pikun begitu. Sekarang dia sakit, Cah?!

Ya, Non. Sakit karena Non

Karena saya?-dahi Lisa mengerut tidak mengerti,-karena saya?!

-Tolong dijenguk sebentar, Non. Kasihan. Anaknya jauh di kota Lisa mengangguk sambil bangkit. Gadis itu memang penuh perhatian terhadap orang lain dan hatinya baik sekali.

-T0l0ng ambilkan mantel saya di kamar

Icah berlari-lari ke kamar dan Lisa memper

baiki rambutnya dalam cermin yang dipasang di ruang tengah.

-Ini, Non

Lisa mengangguk sambil menyambut mantelnya dan memakainya.

--Kalau Budi bangun, bilang aku ke sebelah sebentar

-Ya. Non

tuan Yunus dengan meram-meram ayam, berusaha mengembalikan bayangan Neli masa lalunya, yang tadi terpotong dengan kedatangan Hasan. Bayangan Neli muncul kembali. Dia mau menyambung adegan pagi di kebun itu, ketika didengarnya langkah-langkah orang. Tentu Hasan lagi, pikirnya sudah mau marah dan membuka mata. Dia kaget. Di ambang pintu! Di ambang pintu! Oh, Kekasihku! Oh, Neli!

-Neli!! -serunya parau. Dia mau bangkit dari berbaring, tapi napasnya seketika memburu dan dia rebah lagi.

Saya, Lisa. Dari sebelah kata perempuan

di ambang pintu sambil berjalan mendekat serta mengulurkan tangan.

Ah, suara yang halus seperti tapi dia bukan Neli? Bagaimana ini? Dia mengganti nama?!

-Engkau Neli, bukan? dan ditatapnya mata yang indah itu untuk melihat kalau-kalau mereka berdusta.

-Bukan, Pak. Saya, Lisa. Neli adalah nama ibu saya. Barangkali Bapak mengenalnya?!

-Oh, dia ibumu. Pantas. Seperti pinang dibelah dua

-Nah, sekarang saya baru mengerti -kata Hasan ikut bicara. Sejak tadi dia berdiri di sudut menyaksikan pertemuan itu.

-Di mana ibumu sekarang, Lisa? -tanya Tuan Yunus tanpa mendengar suara Hasan.

-Mama meninggal ketika saya berumur dua tahun, Pak

-Oooh-terdengar keluh yang panjang dan Hasan sudah siap-siap mendekat, takut kalau-kalau itu serangan baru. Untunglah bukan.

Jadi dia meninggalsambung Tuan Yunus,dia meninggal. Ya, aku dengar itu dari koran-koran. Jadi betul, dia meninggal. Bukan main-main aku kira, itu akal untuk menyingkirkan dia dari padaku. Ah, ya sekarang aku ingat. Memang betul dia sudah meninggal. Aku ingat, aku menangis ketika mendengar ibumu meninggal

Laki-laki tua itu menghapus air mata yang muncul di sudut-sudut mata tuanya. Lisa menggenggam tangan yang keriput itu dengan hangat. Dia tidak berani bertanya, ada apa antara laki-laki pikun itu dengan ibunya. Pasti sesuatu yang luar biasa. Si Tua tidak menanyakan ayahnya. Tapi dia menangisi ibunya.

-Sudahlah, Pak. Yang lalu biarkan lalu-bujuk Lisa sambil menyusut air mata si Tua yang masih mengalir.

Ya, Tuan. Sudahlah. Nanti napas Tuan sesak lagi bujuk Hasan ikut-ikutan semata-mata karena khawatir timbulnya serangan baru.

-Kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan, dengan senang hati akan saya penuhi-kata Lisa dengan suara halus.

Betulkah itu, Lisa? tanya Tuan Yunus dengan mata penuh harap.

Tentuangguk Lisa tersenyum manis. Maukah engkau menjenguk aku setiap hari dan menemani aku beberapa menit di sini?!

Oh, dengan senang hati, Pak-Lisa tertawa dan menguncang tangan keriput itu perlahan-lahan.

Terima kasih, Lisa Dipandangnya gadis itu sejenak, lalu bisiknya setengah mengeluh, Sayang aku tidak mempunyai anak perempuan. Anak perempuan selalu dekat dengan orang tua. Anakku cuma satu. Laki-laki

Hasan mengambilkan kursi dan menyilakan Lisa duduk.

-Aku ingin sekali menceritakan semuanya tentang ibumu dan aku. Maukah engkau mendengarnya?

--Tentu Pak -sahut Lisa spontan.

---Aaah ibumu serupa betul dengan engkau....-dan Tuan Yunus manatap Lisa setengah melamun.

_Ayo, ceritanya, Pak --tegur Lisa sesaat lamanya. Laki-laki tua itu tampak terkejut.

Oh, eh..... -Dialihkannya pandangnya ke tempat lain dan seakan pada diri sendiri dia bergumam, Aku amat mencintai Neli dan Neli amat mencintai aku..... Tapi kita terlambat bertemu. Dia sudah bersuami dan beranak satu....

Sampai di sini Tuan Yunus berhenti, terdiam, lalu tiba-tiba saja matanya membasah. Dia tengah membayangkan kembali saat-saat kematian kekasihnya. Koran-koran heboh. Isteri seorang dokter membunuh diri karena suami menolak permintaan cerainya. Dia merasa telah ikut membunuh perempuan yang dicintainya. Bila Neli tidak mengenalnya, tentu dia takkan bunuh diri walaupun terus hidup merana. Neli yang lembut dan tidak bersalah. Entah bagaimana putus asanya dia malam itu, sehingga ditelannya obat-obat tidur itu. Mungkin juga suaminya menamparnya seperti yang acap kali terjadi bila mereka bertengkar! Neli pernah bilang suaminya, menuduhnya, perempuan tidak setia. Dengan tersedu-sedu Neli bilang, Hadi, aku ingin setia pada suamiku, tapi bagaimana mungkin bila dia kurang mengacuhkan aku dan sering kali berlaku kasar padaku. Buku-bukunya yang selemari itu belum pernah dibanting serta ditamparnya, tapi aku, Hadi, bila diberinya perhatian, maka perhatian itu kebanyakan berupa makian dan tamparan. Cintanya yang sejati ada pada buku kedokterannya.

Tuan Yunus menolehkan kepalanya yang terletak di atas bantal, ketika terasa olehnya jarijari halus menyusut air matanya.

_Apa yang Bapak susahkan? terdengar bisik halus di dekat telinganya.

Si Tua menggenggam tangan Lisa erat-erat dan mencoba tersenyum.

Mengapa ibumu yang lembut dan baik hati begitu malang nasibnya, padahal aku yang penuh desa tidak kena apa-apa. Aku sudah lama ingin mati saja, tapi aku tetap dibiarkan hidup terus. Ibumu yang masih segar bugar dipanggil pulang pagi-pagi. Umur berapa dia waktu itu?

Kalau tidak salah ingat, mungkin dua puluhaan, Pak

Kakek itu memejamkan matanya dan Lisa membiarkan tangannya terus digenggam. Dia pernah mendengar sedikit tentang riwayat ibunya, tapi tidak pernah jelas, sebab ayahnya melarang orang membicarakannya padanya. Dia cuma tahu, bahwa ibunya meninggal karena kecelakaan, salah minum obat. Tentang kisah cinta ibunya. dia cuma pernah mendengar seorang bibi

berkata pada ayahnya. Ah, kalau dia tidak kenal dengan buaya itu, tentu dia sekarang masih hidup! _Dan ayahnya dengan cepat berbisik, Jangan sebut-sebut itu lagi! Saat itu dia ingin bertanya, tapi tidak berani.

Kakek Yunus kembali tenggelam ke masa lalu. Waktu itu dia sudah tiga bulan berkenalan dengan Neli. Setiap akhir pekan mereka berjumpa menjalin persahabatan di Villa. Pada bulan ketiga, jalinan biasa ini mulai meningkat menjadi tali cinta. Mereka mulai pacaran. Tuan dokter belum tahu hal itu. Pada hari-hari kerja, isterinya mendampinginya di kota dan dan sikap Neli biasa saja, sehingga tidak ada yang curiga.

Sabtu itu Neli datang lebih dulu di villa. Ketika malamnya Tuan Yunus tiba, dilihatnya tetangga tercintanya tengah duduk merenung di teras villa sebelah. Cepat-cepat dimasukkannya mobil ke garasi, lalu melangkahi pagar tanaman menuju perempuan itu. Neli tersenyum melihatnya. Lisa tidak kelihatan. Tidur, kata ibunya.

Hadi tahu, mereka bertengkar lagi. Tanpa pemberitahuan dari Neli, dia tahu. perempuan itu ditampar lagi. Pipi kanannya sedikit kebiru-biruan. Hadi berdiri setengah membungkuk di hadapan kekasihnya dan menatapnya lalu pelan-pelan mengelus bercak biru di pipi. Neli berlinang air mata dan tiba tiba tersedu sedan: Hadi mengangkatnya dari kursi dan memeluknya. Mereka duduk di lantai yang dingin. Neli membenamkan kepalanya dalam pelukan Hadi

dan berusaha menghentikan tangisnya sementara laki-laki itu membelai-belai rambutnya tanpa bicara. Ketika suara isak itu sudah berhenti, Hadi mengangkat wajah Neli dengan kedua telapak tangannya dan memandangnya dengan penuh cinta. Kedua mata yang indah itu merah penuh air. Perlahanlahan Hadi mengecup bercak yang kebiru-biruan itu.

Sakit, Neli? bisiknya dan perempuan itu menggeleng.

Ceritakanlah aku, Nel, supaya aku dapat ikut merasakan penderitaanmu.

Neli tidak segera bereaksi. Hadi tersenyum.

Ceritalah bila engkau mau. Bila tidak, tidak apa-apa
Neli menatapnya sejenak, lalu menunduk dan setengah berbisik dia mulai cerita: Malam itu aku tidak dapat tidur. Mungkin karena lampu masih terus bernyala dalam kamar kerja suamiku, di sebelah kamar tidur. Di antara kedua kamar itu sebenarnya ada pintu, tapi sudah disuruh angkat oleh suamiku dengan alasan, pintu itu mempersempit pandangan. Tanpa pintu, suamiku merasa kamar kerjanya menjadi lebih luas. Aku silau karena lampu yang terang itu dan akhirnya bangkit dari tempat tidur. Aku hampiri suamiku untuk melihat apa yang sedang dikerjakan olehnya tengah malam itu. Dia sedang membuat laporan yang banyak grafiknya. Tangan kirinya memegang mistar kayu yang tebal dan tangan kanannya memegang pena pengarsir.

Tiap kali selesai membuat sebuah garis, pena itu dicelupnya ke dalam botol tinta hitam, lalu dengan tekun kembali mengarsir. Dia tahu aku ada di belakangnya, tapi dia sama sekali tidak peduli.Menoleh sekali pun tidak. Aku jadi jemu dan kesal.-Bardi, -kataku, -Sudah lama rasanya engkau tidak pernah merayu aku lagi. Seakan-akan aku ini tunggul kayu yang sudah dilupakan -Bardi terus saja bekerja, seolah-olah tidak pernah mendengar aku berkata-kata, sehingga sedetik itu aku berpikir, betulkah tadi suaraku keluar atau cuma perasaan saja bahwa aku telah bicara?! Aku tunggu sampai lima menit. Aku pandang lonceng di atas meja suamiku. Lima menit berlalu. Bardi masih asyik menarik garis jelek yang hitam dan memusingkan mata. -Bardi, -aku mulai merayu sebab kesepian yang amat sangat, tidakkah engkau mencintai aku? Sudah lupa dengan Neli? -Aku belai telinganya dan mengalungkan kedua lenganku di lehernya. Lengan kanannya tergerak karena perbuatanku dan pena pengarsir itu meleset dari jalan lurus. Aku tidak sempatlagi merasa terkejut. Bardi segera menghentak dan menghunjamkan mistarnya ke belakang, mengenai punggungku. Aku kesakitan dan mundur. Suamiku segera bangkit lalu.... plak! Tamparnya mengenai pipi kananku. Rasa pedih saat itu tidak seberapa dibandingkan dengan sakitnya hatiku. Oh, Hadi! Neli memeluknya dan membenamkan wajah di bahunya. Air matanya kembali menetes. Dengan

lembut Hadi membuka baju Neli dan dilihatnya di punggung sebuah garis panjang yang kebiru-biruan. Dengan hati pilu dirabainya garis itu, seakan-akan mau mengurangi kenyeriannya. Dilekatkannya wajahnya ke punggung kekasihnya, lalu pelan-pelan ditariknya kembali serot baju itu ke atas. Tiada sepatah pun yang keluar dari mulutnya. Dengan sapu tangannya disusutnya, air mata Neli.

--Hadi, apa yang harus aku lakukan? tanya perempuan itu beberapa menit kemudian ketika tangisnya sudah lenyap.

Hadi menghela napas lalu menatap perempuan dalam pelukannya

-Satu-satunya jalan, Neli: kalian harus bercerai!

Ber ce rai ??!-Neli mengeja kata itu dalam bisikan yang hampir tidak terdengar.

-Ya! Hadi mengangguk tegas, lebih lekas, lebih baik. Engkau takkan mungkin bahagia di sampingnya. Suamimu harus kaubiarkan kawin dengan ilmu

-Setelah itu? tanya Neli dengan pandangan lugu seorang bocah.

Oh, Neli, Kekasihku! Setelah itu, tanyamu?! Setelah itu, Sayang, kita berdua, engkau dan aku, akan mulai hidup baru. Kita akan bahagia bersama

Bagaimana dengan Lisa?

Tentu kita bawa. Dia pasti senang dengan

anak laki-lakiku

Tapi tuan dokter tidak mengijinkan Lisa dibawa. Dan Neli tidak sampai hati meninggalkannya, Hadi berusaha membujuknya. Anak itu pasti akan mencari ibunya bila dia tidak betah di rumah ayahnya.

-Tinggalkan saja dia untuk sementara, Neli -bujuk Hadi dan Neli menurut.

Tuan dokter dulu bilang, mau cerai silakan tapi Lisa tidak boleh dibawa. Dia tahu, isterinya pasti takkan mau pergi tanpa anak itu. Tapi setelah Neli menyatakan tidak keberatan meninggakan Lisa, Tuan dokter ingkar janji dan naik pitam. Bagaimanapun Neli takkan diceraikannya, hardiknya membanting dua buah asbak yang pecah berantakan di lantai.

Nasib malang mereka! Memang cinta kadangkadang tidak menemukan oase. Sehabis daya, mereka berusaha keluar dari lingkaran bukitbukit pasir yang tandus dan menggapai mata air di keteduhan pohon-pohon palma, namun itu ternyata fatamorgana belaka. Tuan dokter jelas tidak rela melepaskan isteri yang tidak dicintainya, tapi yang diperlukannya untuk hidup sosialnya. Isteri yang menarik tentu saja diperlukan oleh orang seperti dia, yang selalu merasa harus di atas segala-galanya. Titel saja tidak cukup. Semua kolega bertitel. Tapi tidak semua memiliki isteri cantik.

Neli menceritakan hal itu pada Hadi. Suaminya membutuhkan perempuan cantik untuk

menghiasi dinding nimahnya. Dan cinta mereka memang dilahirkan untuk dikubur kembali.

Air mata Tuan Yunus mengalir turun. Seperti dulu dia menyusuti air mata Neli, kini Lisa menyusuti air matanya. Kakek itu kembali ke alam nyata dan memandang Lisa dengan senyum hangat yang masih berkabut kesedihan.

Terima kasih, Lisa

-Tidak apa-apa. Bapak sedang memikirkan apa tadi?

Aaah --kakek itu mengeluh panjang, aku teringat masa lalu, Lisa. Lain kali aku ceritakan. Banyak yang ingin aku keluarkan. Oh, banyak sekali...

Hasan yang sejak tadi sudah ke dapur, masuk ke kamar dan memandang Lisa.

Non, dicari' oleh temannya

_ Oh _

-Siapa? tanya Tuan Yunus.

-Budi, Pak

_ Budi? Siapa dia? Engkau toh tidak mencintainya, Nel?!

Lisa terkejut mendengar pertanyaan itu, dan mendengar namanya disebut Neli. Mata kakek itu agak redup seakan-akan melamun, tapi dia menunggu jawaban Lisa.

_ Tidak. Saya tidak mencintainya

Cuma kawan biasa? menegaskan kakek itu sekali lagi.

--Ya. Cuma kawan biasa

Enakautoh cuma mencintai aku saja?!

Lisa tertegun. Kakek Yunus mengguncang pergelangan tangan Lisa yang digenggamnya.

--Engkau mencintai aku, bukan?!

Lisa memandang Hasan dan Hasan mengembalikan pandangnya sambil mengangkat bahu.

-Ya -sahut Lisa berbisik pelan.

-Cuma aku?!

-Ya

Si Tua tampak puas mendengar jawab itu. Dipejamkannya matanya dan sebentar kemudian napasnya sudah teratur membawanya mimpi. Lisa melepaskan tangannya perlahan-lahan lalu melangkah ke luar kamar.

-N0n, -kata Hasan dari belakangnya, jangan pedulikan apa yang ditanyakannya tadi. Tuan memang begitu, kalau sedang kumat pikunnya. Disangkanya Non ini ibu Non. Saya khawatir Non lalu menjadi takut dan tidak mau ke mari lagi _

Tidak apa-apa _ sahut Lisa tersenyum, besok saya datang lagi

Budi mendengar dari icah bahwa Lisa tengah

mengunjungi tetangganya yang pikun. Ketika melihat Lisa datang melewati halaman, Budi sudah tertawa, mengharapkan lelucon-lelucon yang lucu tentang si kakek. Tapi Lisa dengan serius menjatuhkan diri di kursi di sampingnya dan tidak membalas pelukan serta kecupan Budi. Seloroh Budi menghilang.

-Ada apa, Lis?

Oh, aku tengah memikirkan kakek di sebelah. Begitu ya, kalau orang sudah tua. Lalu aku pikir, begitu pulakah aku bila sudah tua? Ah, aku tidak mau menjadi tua.

Lisa! Lisa! Di manakah ada wanita yang mau menjadi tua? Atau bahkan laki-laki?! Semua tidak ingin -menjadi tua, Sayang. Karena itu pil-pil anti tua selalu dicari orang. Sebenarnya itu tidak perlu. Bila orang mau menerima dengan wajar semua perubahan alam yg terjadi padanya, maka orang, dapat menjadi tua dengan bahagia. Segala kerut merut tidak akan mengurangi daya tarik seorang tua, apalagi bila orang tua itu adalah engkau, Lis!

Budi mempererat pelukannya dan membelai rambut Lisa.

_Bukan itu maksudku kata Lisa melepaskan diri, -aku bukan takut menjadi tua karena kerut merut itu, tapi aku tidak ingin hidup sampai tua. Aku tidak ingin menjadi pikun dan melakukan halhal yang menyebabkan para pemhantu melirik-lirik serta mengangkat bahu. Aku ingin mati ketika wajahku masih segar, ketika

seorang laki-laki masih mencintai aku, sehingga untuk selamanya aku akan hidup terus dalam kenangannya dan cintanya takkan pudar

Lisa! Engkau mengigau?! Mengapa omong yang bukan-bukan?! Apa yang sudah dikatakan si Pikun itu padamu sebenarnya?!

Lisa tertawa manis untuk menghilangkan kegelisahan Budi.

Dia bilang..., mau tahu apa yang dia bilang?! Dia bilang,dia mencintai aku dan aku harus mencintainya saja! Tidak boleh, engkau

Apa?! Engkau dilarang mencintai aku? Ha.. ha... ha... Budi tergelak-gelak, rupanya memang menertawakan menjadi orang pikun. Undang-undang negara pun tidak berani melarang orang berpacaran dengan orang. Ha.. ha . ha...

Lisa tidak mengacuhkan sikap Budi, malah sedikit kurang senang melihat dia memperolok-olok si kakek. Walaupun setengah pikun, dia telah mencintai ibunya seumur hidupnya. Malah ketika dia tidak ingat hal-hal lain, nama ibunya tetap diingatnya. Dia sendiri belum tentu seberuntung ibunya, menemukan cinta sesetia itu. Mungkinkah Budi mencintainya serupa itu! Lisa sering kali ragu-ragu. Budi terlalu gemar petualangan. Lisa tahu itu dari banyak orang. Sebelum dia mati pun, cintanya mungkin sudah pudar dan dialihkan pada bintang baru.

Lisa tahu sifat Budi. Dia suka yang cantik-cantik dan yang mewah-mewah. Keduanya ada pada

Lisa. Kedudukan Budi sekarang agaknya tidak dapat memenuhi seluruh hasrat hatinya. Gajinya tidak seberapa, dibanding dengan kemewahan yang dirindukannya. Lisa menjadi ragu, apakah dia mendekatinya karena cinta atau karena uang sekarang?

Ketika tangan Budi mau menjangkaunya kembali ke dalam pelukannya, Lisa mengelak dan bangkit. Mau mandi, katanya meninggalkan Budi yang kecewa.

Budi memang mendekati Lisa karena uangnya. Gadis kaya sebatang kara. Di mana pula ada pilihan yang lebih hebat lagi?! Selama ini dia justru mencari gadis macam itu. Tidak diduga, Lisa memenuhi syaratnya. Sudah payah dia mencari kian ke mari, siapa sangka di ujung hidungnya gadis idaman itu berada. Dan Lisa kesepian. Dia tahu itu. Sebatang kara di dunia. Dia pasti memerlukan kasih sayang seseorang. Dan Budi memerlukan uangnya. Uang. Uang. Dia ingin uang yang banyak dan cepat. Tidak sabar rasanya sekolah bertahun-tahun lalu mulai dengan gaji

rendah. Karena itu dia ke luar dari fakultas teknik dan bekerja pada pemborong. Cita-citanya: ingin menjadi pemborong sendiri'. Kerja itu tidak sukar serta membawa untung banyak. Apalagi pada pembuatan bangunan-bangunan instansi. Mudah sekali main sebab tidak ada pengawas. Instansi atau kantor, tinggal terima jadi. Dan direktur direktur itu belum tentu tahu bedanya kayu meranti dengan kayu jati. Seperti yang baru saja dipraktekkannya beberapa bulan yang lalu. Aah, sedapnya mengantongi uang hadiah. Walaupun cuma lima puluh ribu. Itu baru permulaan. Kalau sudah serius, tentu bisa berbilang jutaan. Menipu?! Huh, munafik mana lagi yang mau menunjuknya sebagai penipu?! Kalau ada yang merasa diri belum pernah menipu, silahkan dia datang dan menyeret aku ke penjara!! Itu katanya dengan pongah pada Rahim, rekannya di kantor yang kurus kering karena makan gaji tok. Dan Rahim kini sudah ikut-ikut main, ketika terbukti betapa mudah-licin dan sedapnya mengantongi uang hadiah.

Yang perlu otak, Him -katanya tertawa.

Ya, otak Budi memang cemerlang. Di SMA dia selalu mendapat delapan ke atas untuk ilmu pasti dan sembilan dari para gadis. Tapi Lisa yang sekarang bukanlah Lisa yang di SMA dulu. Dia harus mengerahkan segala daya untuk memikatnya. Mereka baru sampai pada taraf teman. Lisa belum kelihatan tertarik untuk maju lebih jauh. Dari Icah, Budi berhasil mengetahui sedik

it tentang seorang laki-laki yang baik betul dengan Lisa, tapi yang kemudian menghilang begitu saja. Mungkinkah Lisa masih mencintai laki-laki itu?! Saingan agak berat juga bila ternyata betul kata Icah: Non masih suka teringat padanya lalu menatap gambarnya bermenit-menit lamanya.

-Ada gambarnya? Saya mau lihat

Ah, nanti Non marah

_Ada gambarnya?! Di sini?!

Ya. Di sini satu. Di kota satu

-Coba, saya mau lihat!

-Nanti Non tahu dan marah

Tidak, dia tidak marah. Ayo ambil, Cah

Nanti Non tahu, ah

-Tidak, dia takkan tahu. Kan dia sedang ke sebelah bujuk Budi.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Icah masih juga tidak mau dan Budi terus membujuk. Akhirnya Budi pura-pura mau naik sendiri ke loteng, masuk ke kamar Lisa. Icah ketakutan dan terpaksa naik mengambil gambar itu.

Budi bersiul ketika melihat gambar besar yang di beri kaca berbingkai.

_Aduhai, katanya menggeleng-gelengini namanya pemujaan. Bukan main tampan bintang film ini, Cah. Tidak kalah dengan Raj Kapoor, ya?!

Budi tertawa gelak-gelak dan Icah ribut mau mengembalikan benda itu ke tempatnya sebelum Lisa muncul.

Sudah, sudah, Tuan. Saya salah sudah mengambilnya tadi. Kalau Non tahu, pasti saya ditegur karena lancang! Lekas, Tuan. Nanti dia pulang. Sudah, Tuan. Saya mau menaruhnya kembali ke kamar Non

Icah ketakutan sekali dan Budi setengah melempar memberikan gambar itu kembali.

Gantung hati-hati, Cah. Jangan terbalik. Ha..ha..ha.. lucu juga ya, perempuan. Menyimpan-nyimpan gambar orang yang sudah mati!
Tuan Tomi tidak mati, Tuan! tukas Icah sambilberlari ke atas.

Oh, namanya Tomi. Ya, kalau orang tidak datang-datang lagi, kan sama saja dengan mati. Malah lebih baik mati, jadi jelas ketahuan di mana dia berada. Daripada jadi pikiran: di mana dia, sedang apa dia. Wah!

Ketika Icah sudah turun kembali dengan selamat, Budi menyuruhnya memanggil Lisa pulang.Sudah cukup lama dia berhandai-handai dengan tetangga yang pikun.

Malam hari, mereka berdua duduk duduk bersebelahan di kursi panjang, memandang ke luar jendela. Lisa belajar merokok dan asapnya sebentar-sebentar tertelan menyebabkan dia terbatuk. Budi memperlihatkan bagaimana menghindarinya.

-Sedap juga, ya. Untuk iseng-kata Lisa, mengapa aku tidak mabuk?! Kata orang, merokok pertama kali tidak enak. Mabuk dan mual. Mengapa aku, tidak?

Aaah -tukas Budi tertawa, -ini omongan bohong. Orang bilang, main cinta pertama kali, bisa habis napas dan semaput...

Aku kok tidak sambung Lisa tertawa, maksudnya: Budi mau bilang, dia kok tidak. Budi tergelak-gelak.

Herankah engkau, Lis? Itu biasa bagi laki-laki. Mereka lumrah saja main-main sebelum menikah. Tidak berarti bahwa aku tidak setia, lho!

-Siapa yang persoalkan kesetiaanmu! Masa bodoh engkau setia atau tidak. Tapi yang bikin akujengkel, kok laki-laki mau enak sendiri. Engkau boleh saja main-main sebelum nikah. Tidak apa-apa. Tapi engkau pasti tidak mau gadis yang juga mainmain sebelumnya. Adilkah itu?! Kalau engkau mau main-main, boleh saja, tapi pacarmu juga harus kauijinkan main-main, dong. Itu baru persamaan hak!

Wah, engkau marah rupanya. Kan sudah aku bilang, bukannya aku ini tidak setia. Tapi memang begitu laki-laki kata Budi me

melUKnya.

Lho, aku kan juga sudah bilang, aku tidak peduli apakah engkau akan setia atau tidak -kata Lisa tertawa, sementara dalam hati kembali timbul keraguan: dapatkah dia menggantikan Tomi?!

Apakah engkau tidak mau aku setia padamu?! -tanya Budi, mengerling sampai ke ulu hati. Lisa mengelak dari tatapannya.

Mengapa engkau harus setia padaku?! tanya Lisa menunduk memperhatikan ujung rokok di tangannya.

-Sebab aku cinta padamu!

Lisa terdiam mendengar itu. Keragu-raguannya kembali menyerang. Dapatkah Budi menggantikan tempatnya?! Dapatkah dia melupakan Tomi? Kadang-kadang dia merasa kurang cocok dengan Budi. Tapi orang ini adalah realita. Tomi cuma bayangan, yang takkan mungkin dijangkau. Tapi bayangan yang menghantui aku terus, pikirnya. Dapatkah Budi . dia cinta padaku, katanya. Mungkinkah dia menggantikannya?! Dan dapatkah aku mencintainya juga?!

Lisa bisik Budi ke telinganya dan gadis itu tersentak dari renungannya.

Ada apa?

Engkau melamun, ya! Apakah engkau memikirkan seseorang lain?!

Lisa tidak menjawab. Seseorang yang jauh sekali dari sisimu?!

Apa-apaan ini. Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu!

-O ya?! -Budi memegang dagu Lisa dan menatap matanya, -seseorang yang pergi begitu saja?!

Senyum Budi sedikit sinis dan Lisa memucat sedikit. Namun dia masih membisu.

Ayo, katakan, tuntut Budi, -bahwa aku betul! Seseorang yang gambarnya menghiasi dinding kamarmu! Yang kaupandangi berjam-jam sebelum tidur! Yang...

-Budi! Engkau berani menggeledah kamarku?!tanya Lisa mengerutkan kening.

-Icah yang mengambilnya. Ayo, rokok itu diisap lagi-kata Budi memegang pergelangan tangan Lisa. Lisa mengibas.


Wiro Sableng 019 Pendekar Dari Gunung Anak Pemburu Beruang Karya Karl May Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di

Cari Blog Ini