Ceritasilat Novel Online

Misteri Keempat Wajah Anastasia 1

Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 1



S. Mara Gd

MISTERI KEEMPAT WAJAH ANASTASIA

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

****

SERUNI memejamkan matanya. Napasnya perlahan-lahan kembali ke irama yang normal. Walaupun ruangan ini disejukkan oleh kipas angin yang menggantung di langit-langit, kening dan lehernya tetap basah oleh keringat.

Dia merasakan lembutnya seprai yang halus di bawah tubuhnya yang telanjang, membiarkan kenyamanan kasur menyusup mengisi ronggarongga badannya. Ototnya sedikit demi sedikit melentur kembali dan dia merasa terbawa dalam buaian yang lembut, lalu tenggelam dalam kenikmatan tidur.

Rasanya baru satu detik itu saja dia terlelap ketika bahunya digoyang-goyangkan orang dengan lembut. Seruni mengubah posisinya sedikit, sadar, namun dia tidak membuka matanya. Di bibirnya tampak seulas senyum.

"Waktunya pulang," bisik sepasang bibir

basah di telinganya. Seruni bisa merasakan hangatnya napas laki-laki itu.

"Hm... pukul berapa?" tanyanya masih dengan mata terpejam.

"Pukul dua belas lebih sedikit. Sudah larut."

"Sudah?" tanya Seruni perlahan-lahan membuka matanya.

"Aku masih mengantuk."

"Nanti di rumah tidur yang pulas."

"He-ehm."

"Yuk, pakaian!" kata laki-laki itu mengulurkan tangannya bermaksud menariknya turun dari tempat tidur. Dia sendiri sudah berpakaian lengkap.

Dengan manja Seruni bergayut di leher laki-laki itu, lalu berbisik di telinganya,

"Aku cinta sekali padamu."

"Aku juga," kata laki-laki itu.

"Mas juga cinta sekali padaku?" Seruni menegaskan. Dia sudah turun dari tempat tidurnya namun tetap bergayut pada leher laki-laki itu.

"Maksudku, aku juga cinta sekali padaku," balas laki-laki itu sambil tersenyum.

Seruni meledak dalam tawa, menjewer telinga laki-laki itu.

"Uuh! Mas ini sungguh menjengkelkan!"

"Yuk! Nanti kita kemalaman." kata laki-laki itu melepaskan lengan-lengan Seruni dari lehernya.

Dengan telaten dia membantu gadis itu mengenakan pakaiannya lagi mengancingkan BH-nya. roknya, blusnya, dan terakhir memasangkan topinya setelah gadis itu merapikan konde kecilnya. Mereka mengunci ruang itu, mematikan kipas angin dan lampu, keluar lewat pintu penghubung dan masuk ke sebuah kamar praktek. Setelah mematikan lampu juga di sini mereka keluar lalu mengunci pintu depan. Mobil diparkir di halaman depan.

Begitu melangkahkan kaki melewati pagar, keakraban mereka sudah tidak tampak lagi. Mereka berjalan sendiri-sendiri, tegak dan tegap-dua orang dalam pakaian putih-putih yang menyolok di kegelapan malam seorang dokter dengan perawatnya yang punya praktek begitu laris sehingga harus bekerja sampai larut malam.

Udara malam menyambut mereka, dingin dan menyegarkan. Langit di atas bertaburan bintangbintang malam yang indah malam yang diciptakan khusus bagi sepasang

kekasih.

Laki-laki itu tidak membukakan pintu mobil bagi si gadis. Si gadis dibiarkannya menunggu di sisi kiri mobil sampai dia sendiri sudah masuk dan duduk di belakang kemudi. Baru kunci pintu kiri dibukakan dari dalam dan Seruni membuka pintu mobil sendiri. Praktek ini sama sekali tidak menjengkelkan si gadis karena ini merupakan bagian dari konsensus bersama mereka.

Di depan umum, di tempat terbuka, hubungan mereka adalah majikan dengan karyawannya, atau dosen dengan mahasiswanya-tidak lebih daripada itu. Seruni membahasakannya "Pak Dokter" sementara dia memanggil Seruni "Suster" di hadapan pasien-pasiennya atau perawat-perawatnya yang lain. Sebagai dosen dengan mahasiswa bahkan dia tidak usah memanggil Seruni sama sekali, toh dosen tidak bisa diharapkan mengingat nama setiap mahasiswanya! Dan memang begitulah awal perkenalan mereka.

Dokter Spesialis Hariono adalah seorang obstetri dan ginekologi yang cukup temama punya praktek yang laris, punya klinik sendiri. Di samping itu diajuga dinas sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Airlangga. Se

runi jatuh cinta padanya pada hari pertama dia mendengarkan kuliahnya. Itu sudah lebih dari dua tahun yang lalu.

Lewat beberapa usaha pendekatan yang getol, akhirnya Seruni berhasil membuat Dokter Hartono bisa membedakan antara dirinya dengan mahasiswa-mahasiswanya yang lain. Berbulanbulan Seruni mabuk kepayang, kepalanya hanya berisikan khayalan tentang Dokter Hariono yang simpatik dan menawan.

Sebagai laki-laki matang yang kala itu baru berusia tiga puluh lima tahun, perhatian gadis manis ini kepadanya membuatnya geli. Seruni bukanlah muridnya yang pertama yang jatuh hati padanya. Jatuh hati pada orang yang lebih tua rupanya belakangan bertambah membudaya pada gadis-gadis zaman ini. Kalau dulu gadis-gadis merasa malu dijodohkan dengan pria yang lebih tua, sekarang perbedaan usia lima belas sampai dua puluh tahun sama sekali tidak merisaukan mereka.

Dokter Hariono tersenyum geli saja sendiri. Di dalam hatinya tentunya terselip rasa bangga dan besar kepala juga. Dia sih sama sekali tidak berminat menjalin affair

dengan mahasiswa-mahasiswanya. Terlalu berbahaya! Mereka masih belum dewasa, masih emosional, dan cenderung membabi buta dalam tindakannya. Dokter Hariono merasa lebih sip berhubungan dengan perempuan yang lebih matang, yang berkepala dingin, yang punya perhitungan tapi yang terpenting, yang sudah punya suami! Perempuan-perempuan genit macam ini bisa menjadi teman tidur sementara yang mengasyikkan tanpa kelak timbul risiko dia harus terikat padanya. apalagi mengawininyal Perempuan-perempuan yang sudah bersuami ini hanya bermaksud mencari keisengan saja di luar rumah, mereka bukannya mau tukar model suami dan sama sekali tidak menginginkan hubungan yang permanen. Pola ini pas sekali dengan situasinya sendiri, yang juga tak lebih daripada hanya mencari diversifikasi dari kehidupan rumah tangga yang rutin.

Oleh karena itu dia tidak terlalu menanggapi aksi Seruni yang terkadang cukup provokatif terhadapnya. Dia ju ga tidak mengkhawatirkah pendekatan gadis itu. Selama ini dia selalu berhasil mempenahankan kebebasannya dan membuat penggemar-penggemarnya di antara para mahasiswa semakin

penasaran. Setelah lewat beberapa bulan, toh akhirnya perhatian mereka akan luntur dengan sendirinya kalau tidak karena merasa sia-sia atau putus asa, ya karena kesibukan kuliah dan praktikum yang memaksa mereka harus memusatkan seluruh konsentrasi dan waktu mereka pada materi studi. Semuanya selalu beres pada akhirnya Dokter Hariono sih tenang-tenang saja.

Tapi kali ini dia salah memperhitungkan Seruni! Rupanya Seruni tidak cepat berputus asa, tidak cepat tersinggung dengan sikap dingin Dokter Hariono. tidak undur semangatnya walaupun perhatiannya sudah ditolak secara halus. Seruni keras kepala, dia berusaha terus. Dan dalam waktu satu tahun pertahanan Dokter Hariono runtuh.

Saat-saat itu juga saat-saat kritis dalam perkawinannya sendiri. Dokter Hariono yang sudah kawin sekitar delapan tahun dan berputra satu orang yang kala itu berusia empat tahun, mulai merasa jenuh dengan patner hidupnya. Penyebabnya adalah Nyonya Hariono memergoki suaminya punya affair dengan salah seorang pasiennya. Affair ini seperti halnya affair-affair sebelumnya hanya berlangsung singkat saja, dan kalau didiam

kan akan mati dengan sendirinya. Laki-laki tertentu memang punya penyakit begini dan perlu taktik penanganan khusus untuk menjinakkannya. Namun karena Nyonya Hariono ini tidak tergolong jenderal yang pandai menyusun strategi gerilya, timbullah kesenjangan dalam hubungan perkawinan mereka.

Pertengkaran-pertengkaran di dalam rumah tangga akhirnya membuat Dokter Hariono merasa diperlakukan secara tidak adil. Sebagai laki-laki yang egosentris seperti kebanyakan laki-laki lainnya Dokter Hariono tidak dapat melihat kesalahan dirinya. Sebaliknya dia merasa bernasib malang mempunyai seorang istri yang pencemburu dan tidak memberinya pengertian.

Keretakan yang seharusnya bersifat sementara ini menjadi lebih parah karena pada saat itu di luar rumah ada seorang gadis muda yang cantik dan lemah lembut yang memberinya begitu banyak simpati dan memandangnya seakan-akan dia adalah anak dewa. Harga dirinya yang dirasakannya telah disepelekan dan direndahkan oleh istrinya di rumah (bagi lelaki egosentris celaan atas perbuatan mereka merupakan suatu penghinaan terhadap pribadi mereka). ditemukann

ya kembali dalam diri gadis ini. Dimata gadis ini setiap saat Dokter Hariono dapat melihat getaran-getaran perasaan kagumnya, dan laki-laki mana yang tidak mencair karena ini? Dokter Hariono akhirnya menyerah dan melanggar prinsrpnya sendiri yang pantang mempunyai kekasih tetap. Dengan penuh kesadaran ditawarkannya kepada Seruni jabatan sebagai salah satu perawat di tempat prakteknya pada sore hari. Dengan demikian mereka dapat bertemu setiap hari.

Perlahan tapi pasti hubungan mereka berkembang ke arah yang lebih intim. Seruni betul-betul jatuh cinta sedangkan Dokter Hariono pun terbuai oleh affair baru yang mengasyikkannya ini. Perhatian dan cinta kasih yang dicurahkan Seruni kepadanya seakan air dingin yang menyegarkan jiwanya, yang membuatnya merasa besar dan berhasil-berlainan dengan apa yang pernah dirasakannya dalam affair-affair seksnya yang dangkal dan singkat.

Seruni menyerahkan segala-galanya tanpa berpikirpanjang. tanpa menuntut apa-apa. Cukuplah kalau dari hari Senin sampai Jumat dia bisa bertemu dengan pria yang dicintainya itu dan dari waktu ke waktu melewatkan

beberapa Jam curian bersamanya.

Sebagai dokter obstetri dan ginekologi, Dokter Hariono mempunyai klinik sendiri. Klinik ini terletak di bangunan tersendiri dan terpisah dari tempat prakteknya yang terletak di depan. Di bangunan yang dipakainya sebagai tempat praktek, ada tiga buah kamar yang dipakai untuk pre-dan post operation. Pasren pasien yang akan menjalani operasi kecil atau yang baru selesai dioperasi kecil, beristirahat di dalam kamar-kamar ini. Hanya apabila mereka perlu rawat-tinggal, maka mereka dipindahkan ke kamar-kamar di klinik, seperti ibu-ibu yang akan atau baru melahirkan bayi mereka. Pasien-pasien yang tidak perlu rawat-tinggal cukup beristirahat di dalam salah satu dari ketiga kamar di tempat prakteknya saja. Dan di salah satu kamar-kamar inilah Seruni sering berbagi keintiman bersama Dokter Hariono setelah tutup praktek ,dan kedua orang perawatnya yang lain pulang. Di sini mereka merasa aman karena perawat-perawat klinik yang dinas secara bergilir dua puluh empat jam tak pernah masuk ke bangunan yang dipakai sebagai tempat praktek. Mereka cukup memanggil Dokter Hariono lewat intercom apa

bila dia dibutuhkan di klinik. Dokter Hariono tak pernah mengajak Seruni pergi bersama atau menginap di luar. Hal ini sudah sejak semula menjadi bagian dari konsensus mereka. Di mata orang luar keintiman mereka sama sekali tidak tampak.

Seharusnya Seruni sudah bisa membaca sikap Dokter Hariono ini sebagai lampu merah bahwa hubungan mereka tidaklah lebih daripada suatu affair saja, yang tidak pernah akan meningkat ke tahap yang lebih serius bahwa Dokter Hariono sama sekali tidak ada niatan untuk meresmikan hubungan itu menjadi sesuatu yang sah. Mungkin di balik benaknya Seruni memang tahu, tapi dia tidak peduli. Dia tidak bisa mengatasi luapan rasa cintanya kepada laki-laki yang lebih tua enam belas tahun im. Dia rela hanya menjadi bayangan.

Sedang Seruni heran mengapa dia sama sekali tidak merasa cemburu pada istri Dokter Hariono seorang perempuan yang cukup cantik walaupun agak layu. Dia tidak mencemburui perempuan itu, namun juga tidak merasa bersalah telah merebut sua? minya.

Setiap hari Jumat setelah mereka selesai

berbagi keintiman-seperti sekarang ini-dia melepaskan kekasihnya dengan rela dan lapang kembali ke pangkuan istrinya di rumah sampai hari Senin yang akan datang. Bahwa apakah nanti di rumah Dokter Hariono juga akan meneumbu istrinya, tidak pernah dipikirkannya, dan tidak membebani hatinya. Seruni seakan-akan telah setuju bahwajatahnya adalah dari setiap sore hari mulai Senin sampai dengan Jumat, dan selebihnya adalah jatah Nyonya Hariono.

Keadaan demikian telah berlangsung cukup lama, dan entah masih akan berlangsung berapa lamanya lagi. Apakah Seruni selamanya hanya akan menjadi kekasih bayangan saja dia sendiri pun tidak tahu dan tidak dipikirkannya. Seruni tidak menuntut apa-apa. Dia sudah cukup bahagia sekarang dengan posisinya yang penuh rahasia ini.

"WADUH, Em! Kau sekarang cakep lho!" Seruni melonjak memeluk sahabatnya sebangku SMA dulu.

"Kau juga, Run!"

"Aduh, sudah punya .anak pula! Kapan kawinnya, Em. kok nggak ngundang-ngundang?" Seruni membungkuk dan menciumi seorang gadis kecil yang berusia satu tahunan. Gadis kecil ini masih belum bisa berdiri dengan kokoh, masih bergayut di kaki ibunya, tapi dia sudah berani menatap Seruni kembali.

"Kau nggak tahu, ya, aku kan kawinnya nggak di sini. Aku baru kembali ke tanah air tiga bulan yang lalu!"

"Duh, selepas SMA kita kehilangan kontak, ya, Em! Kamu sih terus hijrah ke Jakarta! Kalau nggak salah aku pernah menulisi kau beberapa kali, tapi nggak pernah kaubalas.

Yuk, duduk!"

Pagi yang cerah Sabtu ini kebetulan Seruni ada di rumah. Sekarang masa liburan, tidak ada kuliah, tidak ada tugas apa pun.

Emi memondong anaknya dan duduk.

"Mana Ibu?" tanya Emi.

"Aku sudah kangen sama ibumu. Sudah begitu lama nggak ketemu!"

"Ada di dalam," kata Seruni.

"Bu! Bu!" panggil anaknya sambil berlari ke belakang.

Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan separuh baya versi Seruni yang lebih tua, dengan senyuman lebar menyambut tamunya.

"Oh, Nak Emi! Aduh, sudah berapa tahun tidak kemari! Eh, alaa! Sudah punya anak segala! Bagaimana kabarmu, Nak?"

Emi memeluk dan menciumi pipi ibu Seruni yang sudah sangat akrab dengannya.

"Saya baru kembali ke Indonesia tiga bulan yang lalu, Bu."

"Oh, ya? Dari mana datangnya? Dulu katanya pindah ikut orang tua di Jakarta. Terus nggak ada beritanya lagi."

"Oh, iya, saya sempat tinggal beberapa bulan di Jakarta, sekolah modelling di sana. Terus saya ditawari sekolah di Paris."

"Wah, beruntung, kau! Siapa yang menawari?" tanya Seruni.

"Ayah!" Emi terkekeh.

"Oh, ayahmu, toh! Ya untung punya ayah yang baik begitu," senyum ibu Seruni.

"Ayah bilang kalau mau berbuat apa-apa, harus sekalian yang baik. Kalau mau menjadi peragawati atau model, harus belajar dari pusatnya. Jadi saya dikirim ke Paris."

"Hiii! Seneng banget tentunya! Terus gimana ceritanya?" tanya Seruni.

Emi tertawa lepas, memeluk dan menciumi anaknya yang duduk dengan patuh di lututnya dan bemain-main dengan sebuah boneka karet.

"Ceritanya di sana ternyata banyak pria cakep kata Emi "dan aku otomatis kecantol salah satu. Ini hasilnya," katanya mengusap-usap kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Oh, jadi Nak Emi kawin dengan orang sana toh!" kata ibu Seruni yang tidak begitu simpati pada orang kulit putih.

"Tapi anaknya kok seratus persen tipe lndonesia, ya? Kok nggak ada miripmiripnya orang sana sama sekali?"

"Lho, lha ibu-bapaknya orang Indonesia

asli kok anaknya minta mirip bule toh, Bu!" Emi terbahak.

"Lho, katamu tadi pria sana cakep-cakep. Aku juga mengira kau kawin dengan orang sana!" kata Seruni.

"Lha iya, kan betul! Pria Indonesia-nya yang cakep-cakep di sana."

"Oh, jadi kawin dengan anak Indonesia," kata ibu Seruni mengangguk.

"Ibu kira tadi milih yang jenggotnya abang!"

"Hiii, aku sih nggak selem sama yang bule, Bu. Baunya nggak enak maklum jarang mandi!"

"Siapa nama suamimu, Nak?"

"Lutfi, Bu. Insinyur bagian tekstil."

"Lalu sekarang mau apa pulang ke tanah air? Bakal menetap di Surabaya?"

"Tidak, Bu. Kami tinggal di Jakarta. Mas Lutfi bekerja pada sebuah perusahaan tekstil di sana. Lumayan, kok, kami dapat perumahan. Rumahnya besar lho, Bu."

"Jadi kalau begitu kau kemari cuma jalanjalan, ya?"

"Iya, sambang famili, Bu. Kan keluarga paman dan bibiku banyak yang di sini. Aku sudah lama tidak berjumpa dengan mereka, ingin main-main beberapa hari lamanya di

sini."

"Suamimu kok tidak ikut?"

"Wah, mana bisa, Bu. Namanya baru mulai, masa sudah minta cuti, kan bisa dimarahi bosnya!"

"Mestinya jalan-jalan ke Surabaya itu sebelum mulai bekerja, waktu baru pulang dulu. Kalau sudah bekerja begini harus nunggu satu tahun ya baru boleh cuti?" tanya Seruni.

"Habis, waktu pulang dulu repotnya nggak ketulungan, Run! Harus mindahin barang-barang ke rumah baru, harus menata rumah, mana si kecil baru belajar berjalan. Waktu itu sibuknya bukan kepalang. Baru sekarang aku bisa bernapas sedikit, makanya minta cuti dulu deh sama suami."

"Sekarang duduk dulu, ya, Nak Emi," kata ibu Seruni.

"Ibu masih punya pekerjaan di belakang. Omong-omong dengan Runi saja. Lama tidak bertemu tentunya kalian punya banyak bahan cerita."

Kedua perempuan muda itu ditinggalkan sendiri. Emi melepaskan anaknya yang dengan tertatih-tatih berjalan mengelilingi ruangan. Berlainan dengan anak-anak kecil lainnya yang banyak dijumpai Seruni di tempat

praktek Dokter Hariono, anak sahabatnya ini sama sekali tidak nakal, tidak cerewet, tidak mengganggu ibunya.

"Anakmu kok pinter, Em, nggak seperti anakanak kecil yang lain. Kawapakan dia?" tanya Seruni mengawasi gadis kecil itu mengitari ruang tamunya yang tidak begitu luas.

"Lain dengan anak-anak kecil yang ikut ibunya ke tempat praktek Dokter Hariono. Mereka itu kayak setansetan kecil semuanya, nakalnya amit-amit. Mulutnya nggak pernah diam, kalau nggak menangis, ya merengek, atau berteriak-teriak."

Emi tertawa.

"Aku nggak tahu, Run. Tapi Adele memang nggak ada bunyinya."

"Suka kaupukuli ya?" goda Seruni.

"Tidak pernah, kok, Run. Dia nggak pernah nakal. Malah lebih sering aku tinggal sendirian. Maklum ya, di sana kami tinggal di apartment kecil, semuanya harus kerja sendiri, tidak ada pembantu. Adele aku taruh di boks begitu saja kalau aku sedang sibuk. Mungkin karena tahu ibunya sibuk, dia tidak rewel. Rewel pun tidak ada yang mempedultkannya."

"Eh, ceritanya kapan sih kau kawin?"

"Duatahunyanglalu,setelah aku menyelesaikan kursus modelling-ku, terus kawin."

"jadi kawinnya di Paris? Hebat ya?"

"Mau pulang juga buang uang banyak, Run. Mending orang tuaku dan orang tua Mas Lutfi saja yang datang, sekalian jalanjalan lihat Eropa. Kawin di sana biayanya lebih murah, kita nggak perlu ngundang banyak-banyak, cuma sekitar dua puluh orang. Kalau kawin di sini mana bisa! Keluargaku saja sudah berapa ratus orang, nanti kalau satu diundang dan yang lain tidak, bisa sakit hati. Belum lagi keluarga Mas Luth. Di sana segalanya sederhana. Upacaranya sederhana, jamuannya sederhana, tempat nggak usah menyewa, cukup di apartment sendiri saja."

"Ah masa iya,Jumlah tamunya dua puluh orang," kata Seruni tidak percaya. Di sini kalau ulang tahun saja yang datang lebih dari dua puluh orang!

"Bukan tamunya yang dua puluh orang, total semuanya dua puluh orang, termasuk yang kawin dan orang tua kami!" Emi terkekeh.

"Aduh, kamu ini gimana sih! Seumur hidup cuma jadi pengantin satu kali masa nggak dipestakan. Rugi dong, Em!" kata

Seruni. Menjadi pengantin adalah cita-cita ultima bagi semua gadis. Bayangkan, bisa duduk bersanding dalam pakaian kebesaran lengkap kayak putri raja dan ditonton oleh ratusan pasang mata bukankah ini suatu kehormatan tersendiri?

"Itu namanya pola hidup konsumtif," gelak Emi.

"Lho, sejak aku tinggal di negeri orang aku jadi sangat berhati-hati dengan pembelanjaan uang. Karena perbedaan kurs nilai uang yang besar, aku jadi bisa mempertimbangkan betulbetul apa yang perlu kubeli dan apa yang tidak. Kalau kita di sini kan asal saja membeli, tanpa memperhitungkan apakah benda itu bermanfaat bagi kita, berapa lama manfaatnya, sesuaikah harga barang itu dengan manfaatnya, dan yang terpenting nih, apakah tanpa barang itu kita tidak bisa hidup. Nah, kalau semua jawabannya "ya', baru aku bersedia membelanjakan uangku untuk membelinya. Lain sekali, bukan, dengan sikapku empat tahun yang lalu ketika masih di Surabaya?"

"Jadi selain sekolah modelling dan berhasil menggaet suami, kaujuga belajarmenjadi si Kikir!" Seruni ngakak.

"Eh kikir sih bukan. Run! Kikir itu kalau

kita memang seharusnya mengeluarkan uang tapi sayang. Aku bukannya kikir, cuma hemat! Buat apa kita mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu? Kita bekerja keras banting tulang untuk mendapatkan uang dan setelah itu kita hambur-hamburkan. Mending nggak usah bekerja ngoyo saja tapi lebih hemat dalam pembelanjaan, bukan?

"Soal pesta kawin bagi kami nggak penting. Yang penting itu kami bisa hidup rukun damai sampai tua. Buat apa uangnya dihambur-hamburkan untuk menjamu ribuan orang tapi setelah itu kita harus mencekik leher karena utang bertumpuk atau tidak punya uang untuk hidup sehari-hari? Gila, kan? Mending nggak usah pesta mewah, tapi sehari-harinya kita masih bisa menikmati hidup normal. Pengen mi bakso bisa beli, sekali sebulan kek bisa nonton atau rekreasi. Atau uangnya dibuat membeli barang-barang keperluan rumah tangga yang bisa meringankan pekerjaan kita."

"Praktis, logis," senyum Seruni.

"Ngomongngomong nih, seneng nggak jadi istri dan ibu muda?"

"Wah, ya seneng banget, Run! Enak lho punya suami itu. Ada yang melindungi, ada

yang ngeman, ada yang memanjakan, ada yang dibuat tempat bersandar, berbagi kesedihan, berbagi kegembiraan pokoknya enak deh! Kau juga harus cepat kawin. Run! Rugi pokoknya kalau nggak punya suami."

"Nggak pernah bertengkar?"

"Eh, ya bertengkar juga dikit-dikit, tapi kan cepat berbaikan kembali. Pertengkaran-pertengkaran kecil pasti ada, tapi kalau sudah selesai, ya mesra lagi."

"Jadi akhirnya kau sekolah modelling untuk percuma, ya? Pulang-pulang cuma jadi ibu rumah tangga."

"Eh, siapa bilang! Aku ini orang rajin lho! Begitu tiba di Jakarta aku sudah melamar di sebuah biro model dan sudah diterima."

"Lho, lha anakmu? Masa anak sekecil ini mau ditinggal?"

"Profesi model itu kan tidak seperti bekerja di kantor setiap hari harus dinas pukul delapan sampai pukul lima. Profesi model bisa berdasarkan panggilan. Jamnya bisa diatur. Enak lho jadi model itu, kerjanya senang terus. Bayangkan, apa nggak senang kalau kita cuma beraksi dengan gaun-gaun bagus tanpa perlu mengeluarkan sepeser pun untuk membelinya, atau jadi iklan kosmetik, iklan pasta

gigi, dan sebagainya. Kita nyengir jepret! Melenggok jepret! Selesai tugas langsung dapat honor. Nggak usah susahsusah ngetik berjam-jam, dimarahi bos, pusing kepala membuat neraca, dan lain-lain!"

Seruni tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku sekarang merasa minder banget di hadapanmu. Kau kok tiba-tiba menjadi metropolitan begitu, sedangkan aku seperti katak dalam tempurung yang ride/ongOp mendengarkan ceritamu. Kau sekarang jadi matang, pintar membagi waktu, pintar mengatur uang, kau benar-benar dewasa begitu ! "

"Ah, nggak juga, Run," gelak Emi.

"Cuma setelah kawin otomatis orang berpikiranlebih panjang. Apalagi setelah punya anak. Zaman kita masih gadis bisa enak berhura-hura, tapi kalau sudah menjadi ibu, sikapnya berubah dengan sendirinya kok."

"Bagaimana rasanya menjadi ibu itu, Em?"

"Gimana ya?" Emi tersenyum.

"Pokoknya di dalam hati itu selalu ada perasaan sayaaang sekali sama anak kita. Rasanya kita ini disuruh berbuat apa saja mau asal demi kebaikannya-disuruh mati pun mau

asal dengan pengorbanan itu anak kita yang hidup. Sukar deh untuk dijelaskan, tapi nanti kau juga akan merasakannya sendiri kalau sudah punya anak. Dulu aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku mencintai aku, setelah aku punya anak sendiri aku baru tahu. Cinta seorang ibu itu sangat tulus, lho, Run! Melebihi cinta apa pun yang ada di dunia ini! Bahkan melebihi cinta antara suami dengan istri. Bayangkan, anak itu darah dagingmu sendiri, belahan nyawamu sendiri, perpaduan cintamu dengan suamimu dalam bentuk manusia yang lemah dan mungil. Apakah melihat itu tidak akan timbul nalurimu untuk membela dan menjaganya matimatian? Banyak hal yang dulu tidak kumengerti baru kumengerti setelah menjadi ibu, Run. Pokoknya menjadi ibu itu profesi yang paling mulia!"

"Katamu tadi di luar negeri kau selalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk mempedulikan anakmu?" tanya Seruni bingung. Menurut konsepnya ibu yang baik adalah ibu yang hadir dan siap setiap saat di sisi anaknya.

"Itu sebagian dari pelajaran menjadi ibu, Run. Kita belaiar mencintai bukan menurut

kehendak kim, terapi demi kebaikan orang yang kita cintai sesuai sikon waktu itu."

"Aku tidak mengerti."

"Sebagai orang tua, terutama ibu nih, tentunya setiap saat kita mau mendemonstrasikan cinta kita kepada si anak apalagi semasa anak itu masih kecil dan lucu-lucunya. Maunya kita gendongin terus, kita ciumin, kita dekapkasarnya kalau bisa mau kita masukkan dalam saku kita sajalah supaya dia selalu dekat sama kita. Begitu, kan? Tapi itu cara yang egois! Kalau anak itu dibegitukan terus, dia akan menjadi anak yang cengeng, anak yang penakut, anak yang selalu bergantung pada ibunya. Itu merugikan baginya kelak pada waktu dia harus terjun sendiri ke masyarakat.

"Justru karena kita cinta padanya, sedari bayi kita tempa supaya dia menjadi manusia yang utuh, manusia yang mandiri, manusia yang tidak terus bergantung pada kita. Dari kecil kita biasakan dia mengisi waktunya sendiri, mencari kesibukannya sendiri, menanamkan kegemaran pada apa yang dikerjakannya sendiri, belajar senang dengan persahabatannya sendiri. Janganlah memasukkan dia ke dalam saku kita sehingga dia tidak bisa bernapas, melainkan ajarlah dia menghirup udara segar di luar dengan kemampuannya sendiri.

"Belajar mencintai tanpa menguasai itu sulit, lho, Run! Dan aku bertekad sudah mulai latihan sejak sekarang. Kalau nanti aku harus menghadapi fakta kehidupan dan baru belajar setelah anakku remaja, itu lebih menyakitkan lagi. Pada waktu itu malah mungkin timbul berbagai kontlik antara ibu dengan anak. Kita cenderung mau menguasai apa saja yang kita cintai, bukan? Maunya kita yang mengatur semuanya bagi dia, tapi itu tidak bisa berlangsung terus-menerus. Daripada nanti anakku yang memberontak pada usia remaja dan aku merasa sakit hati, lebih baik aku yang membiasakan dll'l sejak anak itu lahir bahwa aku tidak boleh mengontrol seluruh hidupnya. Aku berlatih sejak sekarang memberi anak itu kebebasan supaya apabila tiba saatnya dia betul-betul siap untuk hidup mandiri, aku tidak kehilangan dan tidak menyesal, Ini namanya sedia payung sebelum hujan!" Emi terkekeh.

"Em, usiamu kan sama toh dengan aku?" tanya Seruni.

"Iya. kita sekelas. kan!"

"Kau kok bisa semaju ini jalan berpikirnya, kok bisa tahu begitu banyak?"

"Kebetulan aku beruntung mendapat kesempatan sekolah di Paris. Bukan saja aku belajar modeling, tapi aku juga belajar kebudayaan negeri lain. Kita bandingkan, kita pilih mana yang cocok untuk kita pakai, lalu kita sesuaikan dengan kepribadian kita sendiri. Semakin luas cakrawala kita. semakin banyak bahan perbandingan kita."

"Tapi di Barat itu aku dengar kehidupannya kan nggak keruan begitu free sex di mana-mana, hubungan keluarganya renggang, prinsip lndupnya kau-kau, aku-aku. Mana cocok dengan kita di sini?"

"Yang nggak cocok ya jangan ditiru, Run. Tapi yang baik juga banyak. Cara mereka mendidik anak, misalnya. Di dunia Barat anak-anak dididik untuk tidak tergantung pada orang tuanya. Mereka malah didorong untuk cepat mandiri. Lain dengan tradisi kita di sini. Anak lebih ditekankan supaya patuh dan taat pada orang tua sampai tuanya! Anak tidak berani mengutarakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang tuanya kalau tidak mau dikatakan kurang ajar atau anak yang tidak berbakti. Ini kan

membunuh individu si anak. Anak-anak di dunia Barat, belajar lebih tertib lebih dini, lebih disiplin, lebih mandiri-karena orang tua mereka tidak akan mau mengurusi mereka setelah mereka mencapai usia tertentu. Ini bagus, ini yang aku tiru."

"Jadi nantinya anakmu kan gado-gado, Em! Sebagian kamu meniru sistem di Barat, sebagian kamu menurut sistem kita sendiri. Wah, nanti apa jadinya dia Jawa tulen bukan, bule juga bukan!"

"Yang penting dia menjadi manusia yang utuh, yang bisa hidup bahagia di dunia ini, manusia yang bisa berdamai dengan jiwanya sendiri."

"Suamimu setuju?"

"Tentu. Sebelum kawin dulu kami sudah salingmencocokkan pendapat. Urusan rumah tangga yang sepele memang wewenangku, tapi masalah prinsip harus satu pendapat. Masalah pendidikan anak termasuk hal yang prinsip bagi kami, dan untunglah kami punya pendapat yang sama."

"Orang bilang kalau sudah punya anak, kemesraan suami-istri berkurang. Betul, Em?"

"Bukannya berkurang, Run, tapi berubah

bentuk. Kalau dulu masa pacaran dan masa bulan madu itu kami cuma hidup untuk kami berdua saja, sekarang kami hidup untuk bertiga. Tanggungjawab bertambah, waktu juga terbagi, tapi cinta semakin mendalam."

"Ah, kalau begitu mengapa orang-orang bilang justru setelah ada anak biasanya timbul percekcokan? Selama cuma berdua, mesra terus. Setelah ada anak hubungan suami-istri menjadi tawar karena terlalu banyak waktu tersita untuk si anak." Seruni dicentai demikian oleh Dokter Hariono ketika dia memberikan alasan mengapa rumah tangganya retak.

"Begini, Run, dengan adanya anak otomatis jumlah dan variasi problem bertambah. Logis, kan? Misalnya setiap orang membawa sepuluh problem, kalau ada dua orang yang berkumpul berarti mereka harus memecahkan dua puluh problem, kalau menjadi tiga orang ya jumlah problemnya menjadi tiga puluh. Lebih banyak jumlah orang dalam satu unit, lebih banyak problemnya. Tapi problem kan bisa dipecahkan bersama, bisa diselesaikan. Problem tidak harus menjadi momok. Memang dengan adanya anak, variasi dan jumlah problem meningkat, tapi itu

tidak seharusnya membuat suami berkurang cintanya kepada istri atau sebaliknya. Malah seharusnya bertambah sebab si suami sekarang bukan saja cuma sekadar laki-laki yang mendampingi hidup si istri tetapi juga ayah anaknya, begitu pula .si istri bukan lagi cuma teman tidursi suami, tetapijuga ibu anaknya!

"Yang namanya cinta itu bukan cuma bergulung-gulung saja di atas kasur sambil saling mendekap. Yang namanya cinta itu juga memberi nafkah, memberi perlindungan, merawat, membimbing, menjaga gizi, menjaga kesehatan, memberi pendidikan, dan sederetan tanggung jawab lainnya. Apabila pada waktu masih berdua demonstrasi cinta itu lebih banyak dilakukan di atas kasur, maka sekarang bentuknya berubah. Setiap kali si ayah bersedia semalam suntuk menunggui anaknya yang sakit untuk memberi kesempatan istrinya yang lelah tidur, itu demonstrasi cinta. Setiap kali si istri menahan keinginannya untuk membeli baju baru bagi dirinya sendiri supaya bisa punya lebih banyak uang untuk membeli bahan makanan yang bergizi bagi keluarganya, itu demonstrasi cinta. Dan demonstrasi yang demikian itu tak kalah mesranya. Run! Itu demonstra

si yang lebih berani, lebih mendalam, lebih bermutu, lebih menyentuh daripada sekadar memberikan kepuasan seks di tempat tidur. Alaa, pokoknya kau akan tahu sendiri besok kalau sudah punya keluarga!

"Kau tanya-tanya njelimet begini apakah kau juga sudah mau kawin? Siapa nih si calon?" gelak Emi.

Serum memerah wajahnya.

"Aku belum selesai kuliah, kok, Em," katanya.

"Kau masih di kedokteran?"

"He-ehm."

"Kurang berapa tahun lagi?"

"Kira-kira dua-tiga tahun lagi, Em, kalau aku rajin. Aku sendiri sebetulnya sudah jenuh, tiap hari lihat penyakit dan kuman terus. Sudah begitu namanya pakai bahasa Latin yang panjang-panjang pula!"

"Mungkin kedokteran bukan bidangmu," kata Emi.

"Mengapa tidak banting setir? Mumpung masih muda, Run!"

"Nggak tahulah! Habis, mau banting setir ke mana lagi? Ke teknik aku tidak suka. Ke hukum atau ekonomi aku malas. Jadi tidak ada pilihan lain, kan?"

"Kau cukupcantik untuk menjadi model."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyum Emi.

"Dari model kau bisa melompat ke layar putih kalau kau beruntung. Bintang film yang ngetop honornya lebih tinggi dari dokter lho, Run. Daripada kau sekolah susah-susah mikirin kuman sampai kepala botak, kan mending cari yang enak. Model itu profesi yang masih lowong. Sedikit sekali gadis kita yang mau terjun ke bidang ini, saingan nggak banyak. Lain halnya dengan di Paris. Wah, di sana kalau tidak benarbenar istimewa, tidak ada kesempatan melambung."

"Ah, gila kau, Em! Masa aku punya potongan peragawati!"

"Lho, semuanya kan belajar dulu. Bagaimana kalau berjalan, bagaimana kalau duduk, bagaimana merias diri, dan lain-lain. Rin Tin Tin saja bisa kok beraksi di depan kamera, masa kau kalah!"

"Enggak deh, Em, biar kutekuni dulu kedokteranku," kata Emi tersipu.

Emi memperhatikan wajah sahabatnya lalu terbahak.

"Kau diam-diam tersipu, rupanya ada udang di balik batu nih, ya! Memangnya mau cari ijazah atau ijab sah di kedokteran? Kira-kira kalau bukan teman sekuliah va seniornya ini!" Lalu Erni berbisik.

"Kau

pintar juga, Run. Di kedokteran pasti kau yang tercantik, tidak punya saingan. Kan biasanya gadisgadis yang sekolah kedokteran itu tampangnya kayak gargantua semua!"

"Hus! Bisa saja kamu!" kata Seruni terkekeh.

"Enggak kok, Em. Aku mana punya waktu. Sepulang kuliah aku harus bekerja, sampai di rumah sudah malam. Ada yang naksir pun aku tak punya waktu untuknya."

"Lho kau sudah bekerja? Di mana?"

"Aku ikut seorang dosenku yang punya praktek. Aku pikir pengalaman magang nanti bergunajuga bagiku kelak. Selain aku mendapat materi studi yang lebih praktis, juga aku bisa belajar seluk-beluk menjalankan praktek."

"Oh, ya? Jadi kau ikut dinas di sana? lkut praktek dokter begitu?"

"Oh, tidak, Em. Aku cuma menjadi perawatnya. Masa aku mau ikut praktek! Aku kan belum bisa apa-apa, sedangkan dia adalah seorang obstetri dan ginekologi yang terkenal!" Lagi-lagi wajah Seruni memerah.

Emi memperhatikannya dengan tajam lalu tertawa.

"Nih, ketahuan sekarang! Makanya aku kok nggmmm, kok begitu rajin tiap sore

bekerja-jadi perawat lagi! Eh, nggak tahunya disanalah daya tariknya si dosen ini!"

"Ah, ngawur saja, Em! Dokter Hariono sudah punya anak-istri kok! Aku cuma magang di sana," bantah Seruni getol tapi pipinya semakin memerah.

"Sudah punya anak segala? Wah, kalau begitu maaf lho! Aku kira masih muda dan bujangan. Kalau bukan sama si dokter mungkin sama asistennya barangkali," tebak Emi penasaran.

"Pokoknya pasti dengan salah seorang di sana. Kalau tidak, nggak mungkin pipimu sekarang merah seperti tomat."

"Ah, ada-ada saja kau! Memang pipiku seperti tomat kok," gelak Seruni.

"Aku tidak pacaran sama siapa-siapa. Dokter Hariono tidak punya asisten. Cuma punya dua orang perawat yang lain di samping aku."

"Nah, laki-laki, kan? Sama-sama anak kedokteran yang magang di sana juga kan?" desak Emi.

"Enggak! Kamu kecele! Mereka adalah perawat profesional, dan perempuan semuanya. Di sana semua personelnya perempuan kecuali si tukang kebun. Masa iya aku mau melirik si tukang kebun! Yang bener aja. Em!"

"Ah, kau pasti menyembunyikan sesuatu," kata Emi tidak puas.

"Jelas aku lihat kau tersipu kok! Ya sudah, kalau kau tetap nggak mau mengaku sudah punya pacar. Bagaimana kalau kau kukenalkan dengan adik Mas Lutfi saja? Orangnya cakep, tinggi besar. Umurnya dua puluh delapan. Tahun ini lulus jadi doktorandus. Sekarang sudah bekerja, malah posisinya sudah mantap. Bagaimana?"

"Tinggalnya di Jakarta?"

"Iya."

"Ah, ngapain cari pacar kok jauh-jauh. Repot nanti, kalau nggak bisa bertemu setiap hari kan merana."

"Nah, itu! Kau boleh pindah ke Jakarta sekolah modeling saja, ketimbang di sini jadi dokter perawan tua!"

"Menghina kau!" kata Seruni tertawa.

"Aku lebih senang di sini. Aku betah kok di Surabaya, untuk apa harus pindah ke .Jakarta?"

Emi memandang sahabatnya dalam-dalam. Untuk sejenak nada humornya berubah menjadi sikap yang serius.

"Run, dengarkan aku, ya! Kan sekarang aku sudah kawin, sudah punya anak, sudah

praktis nenek-nenek, jadi sudah pantas memberimu nasihat. Kau tidak sakit hati kan kalau aku bicara terang-terangan?"

Seruni menggeleng masih sambil tersenyum.

"Aku sudah lama nggak bertemu denganmu dan dasar aku malas menulis surat, kontak kita sempat terputus selama empat tahun.Aku tidak tahu siapa teman-temanmu, bagaimana lingkungan pergaulanmu di sini, tapi aku bisa melihat bahwa kau sekarang lagi jatuh cinta. Dan ini yang mengkhawatirkan aku. Kalau pagi kau kuliah dan sore sampai malam kau berada di tempat praktek Dokter Hariono, kau betul-betul tak punya waktu untuk berpacaran dengan orang lain. Jadi kalau kau sekarang sedang kasmaran, aku terpaksa menarik kesimpulan kau jatuh hati pada doktermu itu! Apalagi personelnya di sana tidak ada yang laki-laki, berarti dialah satu-satunya laki-laki dalam hidupmu.

"

Seruni membuka mulutnya mau protes tapi dicegah oleh Emi yang segera melanjutkan,

"Untuk kali ini aku harap deduksiku salah, Run. Tapi seandainya benar, aku merasa perlu sebagai sahabatmu memperingatkan kau

bahwa menjalin hubungan dengan orang yang sudah berkeluarga itu tidak enak. Lebih sering kita ini cuma dibuat main-main saja, dibuat tambal butuh. Pada akhirnya mereka kebanyakan kembali kepada istri dan anakanak mereka. Kita yang rugi! Kita sudah menyia-nyiakan waktu kita, masa muda kita, reputasi kita untukapa'? Bagaimanapunjuga si pria akhirnya berat kepada anaknya sendiri dan akan kembali kepada mereka. Kita yang menggigitjari."

"Tapi tidak selamanya begitu, kan, Em?" kata Seruni mulai khawatir.

"Kebanyakan begitu sebab umumnya priapria yang mencari pacar di luar itu tidak karena mereka membenci anak-istrinya sehingga merencanakan untuk meninggalkan mereka, tetapi sekadar mencari diversifikasi saja di luar. Di hati mereka istri dan anak-anak yang di rumah tetap keluarganya sendiri. Kecuali kalau dengan pacarnya ini si pria terlanjur punya anak, baru dia terpaksa memikirkan hubungannya secara lebih serius anak yang mana yang akan dipertahankannya, keluarga yang mana yang akan dipilihnya.

"Tapi ini kan suat risrko, Run. Seandainya dia memilih kembali kepada istri tuan

ya, maka kita rugi dobel! Bukan saja kita kehilangan si pria, tapi malah ketambahan beban anak-anaknya pula. Mau pakai titel nyonya, tidak punya suami. Mau pakai titel janda, tidak punya surat cerai. Mau pakai titel gadis, anaknya sudah beberapa orang. Ke mana-mana kita menjadi gunjingan orang!"

Seruni menarik napas panjang, mengangguk.

"Lupakan saja doktermu itu mumpung belum keterusan, Run," kata Emi.

"Aku sangat mencintainya." kata Seruni mengaku.

"Ya, tapi masa depanmu tidak ada. Apakah kau mau melewatkan sisa hidupmu hanya menjadi perempuan simpanan saja? Kau harus menghatgai dirimu sendiri, Run! Pikirkanlah, kalau memang dia mencintai dirimu, dia tidak akan merugikan kau. Dia tidak akan mau merusak hidupmu."

"Tapi aku mencintainya," ulang Seruni.

"Aku tak dapat hidup tanpa dirinya."

"Apakah dia pun mencintai kau?" tanya sahabatnya.

"Aku kira begitu.

"Apakah dia punya rencana menceraikan

istrinya?"

"Itu tak pernah kami bicarakan."

"Lho! Itu harus dibicarakan! Kalau dia mencintaimu, dia harus bisa membuat pilihan, tidak bisa dua-duanya dirangkap begini. Yang rugi kau!"

"Aku tak pernah menanyakan hal itu."

"Apakah dia pernah membicarakan masalah perkawinan denganmu?"

"Tidak."

Emi merapatkan bibirnya.

"Kalau begitu, lebih baik mulai detik ini kau putus dengannya!" katanya tegas.

"Sudah jelas dia tidak punya itikad baik terhadapmu. Sudah, tinggalkan saja dia. Laki-laki bukan cuma dia seorang di dunia ini!"

"Aku mencintainya," kata Seruni ngotot menjelaskan alasannya.

"Mencintai laki-laki yang tidak menghargai dirimu dan tidak mencintaimu itu bodoh! Cinta itu sesuatu yang indah, bukan sesuatu untuk diperalat dan dimanipulasikan! Berikan cintamu kepada orang yang patut menerimanya,jangan kau obral kepada laki-laki hidung belang siapa saja!"

"Dia bukan laki-laki hidung belang, Em," bantah Seruni.

"Dia mencintaiku juga."



"Apakah sekarang kau masih belum menjadi milikku?" balas Hationo.

"Lho, iya, aku seluruhnya milik Mas, tapi... tapi kan belum resmi,"jawab Seruni.

Dokter Hariono menghela napas panjang. Nah, ini! Sekarang tibalah perkembangan yang tidak diharapkannya!

"Maksudmu kita kawin, begitu?" tanyanya.

"Iya, kita kawin," kata Seruni.

"Kau kan tahu aku sudah punya istri," kata Hariono lembut.

"Aku rela menjadl istri kedua."

Dokter Hariono melepaskan jari-jarinya dari genggaman Seruni. berdiri, lalu mulai mondarmandir di ruang prakteknya yang tidak begitu luas itu

"Aku kira istriku tidak akan menyetujuinya." Seruni menjadi sedikit lebih pucat, tapi katakatanya masih tenang.

"Kalau Mas mendesak?"

"Kalau aku yang memaksa berarti dia akan menuntut cerai."

"Itu pun jalan keluar juga," kata Seruni.

"Bukankah Mas mengatakan sudah tidak ada kecocokan dengan istri?"

Dokter Hanono menggeleng perlahan.

"Aku sudah punya anak, Run. Aku punya

tanggungjawab padanya."

"Aku rela membesarkan anak Mas," kata Seruni. Aku akan mencintainya seperti anakku sendiri."

"Dia masih kecil. Kalau kami bercerai, dia pasti ikut ibunya. Apalagi dalam hal ini terbukti aku yang telah menyeleweng."

Hening sejenak. Lalu Seruni melanjutkan,

"Jadi?"

Dokter Hariono kembali duduk di hadapan gadis itu.

"Jadi kita tidak bisa meresmikan hubungan kita."

"Sampai kapan? Selamanya?" tanya Seruni semakin memucat. Selain perasaan kcecwa, amarahjuga mulai bergejolak di hatinya.

"Aku tidak tahu. Paling tidak sampai anakku besar."

"Maksudnya 'besar' itu umur berapa?"

"Sampai dia bisa mandiri, bisa mencari nafkahnya sendiri."

"Berapa umurnya sekarang?"

"Enam tahun."

"Jadi paling tidak sampai lima belas tahun lagi hubungan kita tetap begini saja?" Telapak tangan Seruni mulai berkeringat.

"Kecualijika kau ingin mengakhirinya," kata Dokter Hariono.

"Kau tahu, Run, aku tidak akan

menghalangimu seandainya kau mau mengakhiri hubungan kita detik ini juga. Aku tahu aku tidak bisa memberikan masa depan apa-apa padamu."

"Tapi aku mencintaimu. Mas!"

"Cinta tidak selamanya berakhir dalam perkawinan."

"Tapi... tapi aku kira kau juga mencintaiku!"

"Aku tak pernah menjanjikan apa-apa padamu, Run. Hubungan kita adalah atas dasar sukasamasuka. Aku tidak pernah mengatakan aku akan mengawinimu."

Hening lagi. Lama. Akhirnya baru Seruni punya tenaga untuk memulai lagi.

"Mas merasa bertanggung jawab terhadap anak Mas?"

"Ya."

"Hanya karena anak Mas?"

"Ya. Dalam hal ini anak tidak berdosa. Aku tidak ingin hidupnya menderita karena kesalahan bapaknya."

"Kalau begitu Mas juga harus bertanggung jawab terhadap anak Mas yang kukandung sekarang," kata Seruni.

"Apa?" Dokter Hariono tersentak kaget.

"Apa kaubilang?"

"Aku mengandung anakmu."

"Tani itu tidak mungkin! Bukankah selama

"Apakah sekarang kau masih belum menjadi milikku?" balas Hariono.

"Lho, iya, aku seluruhnya milik Mas, tapi tapi kan belum resmi," jawab Seruni.

Dokter Hariono menghela napas panjang. Nah, ini! Sekarang tibalah perkembangan yang tidak diharapkannya!

"Maksudmu kita kawin, begitu?" tanyanya.

"Iya, kita kawin," kata Seruni.

"Kau kan tahu aku sudah punya istri," kata Hariono lembut.

"Aku rela menjadi istri kedua."

Dokter Hariono melepaskan jari-jarinya dari genggaman Seruni. berdiri, lalu mulai mondarmandir di ruang prakteknya yang tidak begitu luas itu.

"Aku kira istriku tidak akan menyetujuinya." Seruni menjadi sedikit lebih pucat, tapi katakatanya masih tenang.

"Kalau Mas mendesak?"

"Kalau aku yang memaksa berani dia akan menuntut cerai."

"Itu pun jalan keluar juga," kata Seruni.

"Bukankah Mas mengatakan sudah tidak ada kecocokan dengan istri?"

Dokter Hartono menggeleng perlahan.

"Aku sudah punya anak, Run. Aku punya

tanggung jawab padanya."

"Aku rela membesarkan anak Mas," kata Seruni. Aku akan mencintainya seperti anakku sendiri."

"Dia masih kecil. Kalau kami bercerai, dia pasti ikut ibunya. Apalagi dalam hal ini terbukti aku yang telah menyeleweng."

Hening sejenak. Lalu Seruni melanjutkan,

"Jadi?"

Dokter Hariono kembali duduk di hadapan gadis itu.

"Jadi kita tidak bisa meresmikan hubungan kita."

"Sampai kapan? Selamanya?" tanya Seruni semakin memucat. Selain perasaan kecewa, amarahjuga mulai bergejolak di hatinya.

"Aku tidak tahu. Paling tidak sampai anakku besar."

"Maksudnya 'besar' itu umur berapa?"

"Sampai dia bisa mandiri, bisa mencari nafkahnya sendiri."

"Berapa umurnya sekarang?"

"Enam tahun."

"Jadi paling tidak sampai lima belas tahun lagi hubungan kita tetap begini saja?" Telapak tangan Seruni mulai berkeringat.

"Kecuali jika kau ingin mengakhirinya," kata Dokter Hariono.

"Kau tahu, Run, aku tidak akan

menghalangimu seandainya kau mau mengakhiri hubungan kita detik ini juga. Aku tahu aku tidak bisa memberikan masa depan apa-apa padamu."

"Tapi aku mencintaimu, Mas!"

"Cinta tidak selamanya berakhir dalam perkawinan."

"Tapi... tapi aku kira kau juga mencintaiku!"

"Aku tak pernah menjanjikan apa-apa padamu, Run. Hubungan kita adalah atas dasar sukasamasuka. Aku tidak pernah mengatakan aku akan mengawmimu."

Hening lagi. Lama. Akhirnya baru Seruni punya tenaga untuk memulai lagi.

"Mas merasa bertanggung jawab terhadap anak Mas?"

"Ya."

"Hanya karena anak Mas?"

"Ya. Dalam hal ini anak tidak berdosa. Aku tidak ingin hidupnya menderita karena kesalahan bapaknya."

"Kalau begitu Mas juga harus bertanggung jawab terhadap anak Mas yang kukandung sekarang," kata Seruni.

"Apa?" Dokter Hariono tersentak kaget.

"Apa kaubilang?"

"Aku mengandung anakmu."

"Tapi itu tidak mungkin! Bukankah selama

ini kau selalu kuberi pil-pil untuk mencegah kehamilan?"

"Sudah empat bulan ini tak pernah kuminum."

"Mengapa?"

"Karena aku ingin punya anak dari Mas."

"Astaghiirullah!"

"Mengapa Mas menyesal? Anak yang kukandung kan sama dengan anak Mas di rumah? Samasama juga darah daging Mas sendiri."

"Aku kan sudah mengatakan. Run. bahwa kau tidak boleh hamil! Mengapa sekarang kau berbuat begini?"

"Mengapa tidak boleh hamil? Mas mengatakan juga mencintai aku."

"Iya, tapi kita kan tidak resmi terikat perkawinan toh, Run! Bagaimana kita boleh punya anak!"

"Itulah sebabnya aku minta Mas meresmikan hubungan kita. Selama ini hubungan kita begitu harmonis. Akuyakin kita akan menjadi pasangan yang berbahagia."

"Dokter Hariono menekur. Lama tidak bersuara. Akhirnya dia mengangkat kepalanya dan berkata,

"Sudah berapa lamanya kau hamil?"

"Sudah terlambat tiga minggu."

"Ah, itu belum tentu hamil, mungkin cuma

terlambat biasa."

"Aku sudah memeriksa urine-ku. Positif."

"Tiga minggu masih bisa ditolong. Coba aku beri pil yang keras. Makanlah dua hari berturutturut. Biasanya kalau masih baru terlambat, setelah makan pil ini kau bisa mendapat menstruasi."

"Aku tidak ingin menstruasi. Aku ingin punya anak dari Mas," kata Seruni tak mau mundur.

"Tapi itu kan mustahil toh. Run! Apakah kau menginginkan skandal? Dokter spestalis terkenal menghamili susternya atau dosen menghamili mahasiswinya sendiri, begitu? Nggak malu kalau berita ini dimuat di halaman depan surat surat kabar dengan tulisan besar? Aku kan bisa berurusan dengan polisi!"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kita kawin tak akan ada skandal."

"Tapi. aku tidak bisa kawin denganmu! Aku sudah punya istri!"

"Kan sudah kubilang bahwa aku rela menjadi istri kedua."

"Istriku yang tidak rela dimadu. Run!"

"Terserah Mas sajalah bagaimana mengaturnya," kata Seruni mengangkat bahunya. Dia sendiri sudah sangat jengkel. Ternyata apa yang diramalkan Emi terjadi sungguh-sungguh! Ternyata laki-laki yangdicintainya ini tak pernah

berniat mengawininya! "Hanya saja aku tak bisa menunggu terlalu lama." tambah Seruni.

"Kau kan diam-diam mencari gara-gara toh, Run! Enak-enak hubungan kita seperti dulu, tibatiba kau punya ide konyol mau punya anak segala! Mengapa sebelum kau bertindak kau Hdak merundingkannya dulu denganku?"Hariono menggebrak meja.

"Mas pasti tak akan setuju kalau aku mengajak berunding," kata Seruni.

"Jadi kau mengambil keputusan untuk memojokkan aku. begitu? Kau mencari jalan supaya aku terpaksa mengawinimu, begitu?"

Suhu menjadi lebih panas sekarang.

"Mas tadi bicara masalah tanggung jawab. Kalau Mas memang mencintai aku seperti yang Mas katakan, tentunya Mas juga berpikir bahwa aku tidak bisa selamianya hanya menjadi pacar gelap begini saja!"

"Jadi kau menuntut supaya aku menceraikan istriku?"

"Tidak. Aku hanya menuntut diriku yang diakui secara resmi."

"Sebelum kita berpacaran kau kan sudah tahu bahwa aku beristri?" kata Harii ono dengan geram.

"Mengapa kau maSih ngotot mengejar-ngejar aku? Kau kan tahu bahwa aku tak mungkin beristri dua!"

"Agama mengizinkan."

"Istriku yang tidak mengizinkan! Profesiku juga tidak mengizinkan!"

"Mas takut sama istri?" tanya Seruni pedas.

"Dia sudah menjadi istriku selama sepuluh tahun, aku punya tanggung jawab atasnya."

"Mas Juga punya tanggung jawab atas aku dan... anak yang kukandung ini," kata Seruni menyentuh perutnya.

Dokter Hariono menekur kembali. Menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Seandainya aku tahu kejadian akan begini..." gumamnya sendiri.

"Mas menyesali hubungan kita?" tanya Seruni.

"Kau tidak mengerti. Run! Kau masih muda. Bagimu cuma ada cinta di depan mata dan yang lain-lain tidak kaupusingkan. Tapi tidak begitu halnya dalam hidup ini! Kita punya reputasi dan status yang harus dipertahankan. Aku tidak bisa mengorbankan semuanya ini hanya untuk sebuah skandal! Pasienku semuanyaperempuan. mereka punya rasa solidaritas yang besar satu sama lain. Kalau mereka sampai tahu bahwa dokter mereka sudah menyeleweng dengan perawatnya sendiri, sudah membuat skandal sampai menghamili

mahasiswinya sendiri dan mengkhianati istrinya di rumah mereka akan lari dariku! Mereka akan menganggap aku orang yang paling menjijikkan, yang tidak bermoral, yang mungkin... mungkin suatu saatjuga akan mencari kesempatan dengan mereka! Aku akan segera dicap sebagai laki-laki don juan, bandot, hidung belang! Mereka pasti tidak akan mempercayakan pengobatan mereka kepadaku-apalagi bagian yang harus kuhadapi adalah organ rahasia mereka! Coba bayangkan, apakah kau sendiri mau pergi ke dokter yang terkenal hidung belang membawa keluhan menyangkut organ-organ rahasiamu?"

Seruni diam. Memang dia tak pernah memikirkan aspek ini. Sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Janin telah membenih di dalam rahimnya.

"Jadi, bagaimana?"

"Kau harus menjalani abortus!"

"Tidak!" teriak Seruni kaget.

"Tidak!"

"Lha, lalu bagaimana? Masa kau mau punya anak tanpa suami?"

"Coba aku temui istrimu, mungkin dia mau memberikan izin padamu untuk kawin lagi."

Dokter Hariono diam. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakan istrinya seandainya tahu. Akhirnya dia melirik arlojinya dan berkata,

"Sudahlah, sekarang sudah malam. Ayo, kuantarkan pulang dulu. Coba aku pikirkan bagaimana jalan keluarnya."

Seruni memandang Dokter Hariono dengan ragu-ragu.

"Mungkin istriku bisa dibujuk."

"Bagaimana kalau tidak?" tanya Seruni.

Dokter Hariono memberinya sebuah kecupan ringan di pipi.

"Yuk, jangan dipikirkan lagi paling tidak untuk malam ini. Biar aku yang berupaya."

Seruni berdiri, tanpa suara mengikuti kekasihnya menuju ke pagar. Mereka berjalan dalam kebisuan-naik mobil di dalam kebisuan juga. Sampai di depan rumahnya baru Dokter Hariono berkata,

"Selamat tidur, Sayang. Jangan kaupikirkan lagi masalah ini. Kita pasti akan mendapat jalan keluar."

Dia menepuk punggung tangan Seruni dan memberinya suatu senyuman yang manis.

KEESOKAN harinya ketika Seruni muncul untuk dinas, Dokter Hariono menyambutnya dengan wajah yang sangat cerah. Karena pada waktu itu kedua perawat yang lain sudah datang, Seruni tidak punya kesempatan untuk bertanya apa-apa lagi, hanya saja hatinya merasa lebih tentram. Pastilah pembicaraannya dengan istrinya kemarin malam telah membuahkan hasil yang lebih baik daripada yang diharapkannya, kalau tidak mana mungkin dia tersenyum simpul begitu! Sesore penuh Seruni tidak sabar menantikan habisnya pasien dan pulangnya kedua orang perawat yang lain supaya dia bisa bebas bercakap-cakap dengan kekasihnya. Untunglah dia tak usah menunggu terlalu lama. Hari ini praktek agak sepi. Tiga orang pasien yang sudah dijadwalkan ternyata tidak muncul. Pukul sembilan kurang mereka

sudah selesai. Dokter Hariono mengizinkan kedua orang perawatnya pulang sementara dia sendiri pura-pura membantu Seruni menyelesaikan administrasinya.

"Kau nggak lapar?" tanya Hariono begitu mereka tinggal berdua.

"Ah, tadi pukul delapan kan sudah sempat makan. Masa sekarang lapar lagi?"

"Tapi aku ingin sekali makan martabak," kata Hariono.

"Kau mau?"

"Enggak ah. aku sudah kenyang."

"Sedikit saja, nanti kau menyesal lho melihat aku makan!" senyum Hariono.

"Ya, bolehlah nebeng punya Mas saja. Aku ngiCIpin dikit."

"Oke, kau tunggu di sini, ya. Aku keluar membeli."

"Membeli di mana, Mas?"

"Lha itu di pojok jalan kan ada. Lumayan enak kok martabaknya. Kautunggu dulu, aku tak lama."

Dokter Hariono menghilang. Mungkin karena sudah malam, mungkin karena tak ada pembeli yang lain. dalam waktu dua puluh menit dia sudah kembali membawa sebungkus martabak.

"Yuk. makan! Aku sudah lapar sekali!"

katanya dengan ceria.

Mereka duduk berhadapan di meja praktek Dokter Hariono. Tanpa sungkan-sungkan lagi laki-laki itu membuka bungkusannya. Ada dua lembar martabak di dalamnya. Yang satu tebal, yang lain lebih kecil.

"Yang ini punyamu," kata Dokter Hariono menyerahkan selembar martabak yang lebih tipis sementara dia sendiri sudah langsung melahap satu irisan dari martabak yang lebih tebal.

"Aku belikan yang lebih tipis untukmu karena katamu kenyang. Kalau kau tidak bisa menghabiskan, aku akan melahapnya sekali," katanya dengan mulut setengah penuh.

Seruni tersenyum melihat ulah kekasihnya yang makan dengan begitu nikmat seperti anak kecil saja. Dia mengambil satu irisan dari martabaknya sendiri dan mulai makan. Eh, memang sedap juga. Apalagi kulitnya kering sehingga kalau digigit bisa dirasakan keratak keratak di mulutnya. Gurih!

"Enak?" tanya Hariono.

Seruni mengangguk. Tanpa terasa dia menghabiskan seluruh martabaknya. Dokter Hariono menyeringai.

"Kurang? Memang enak, ya? Aku mau tambah lagi. Kalau kau juga mau, jangan

malu-malu."

"Sudah ah, besok saja beli lagi," kata Seruni.

"Lho, ini kebetulan kok! Besok kalau aku nggak ingin martabak, aku nggak mau keluar membelikan," katanya tertawa.

Seruni mempertimbangkan. Memang martabaknya enak dan mengapa tidak? Sekarang dia tidak perlu menjaga dietnya lagi, toh dalam waktu beberapa bulan badannya akan membengkak!

"Iya, deh, tambah lagi yang tipis seperti tadi," katanya.

Dokter Hariono mengangguk dan segera keluar lagi.

Seruni menunggu sambil memejamkan matanya. Dia menguap satu kali. Rasanya kok rada mengantuk, ya? Dilihatnya jam di dinding pukul sepuluh kurang seperempat. Dia bangkit lalu menyetel kaset. Dokter Hariono punya koleksi kaset instrumentalia yang enak-enak. Seruni mendengarkan alunan piano yang lembut. Jam kayu di dinding berbunyi halus. begitu juga kipas angin di langit-langit.

Ah, coba kupejamkan mata sebentar saja, nanti biar dibangunkan, pikir Seruni menelungkup di atas meja. Mungkin ini bawaan si bayi, pikirnya geli. Tidak biasanya pukul sepuluh sudah mengantuk.

Detik berikutnya dia sudah terbuai dalam mimpi.

Semula seruni merasakan perutnya sakit sekali. Tersentak dia bangun dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tempat tidur di kamar operasi. Dokter Hariono berdiri di sisinya, mengusap-usap kepalanya.

"Mas perutku sakit," gumam Seruni antara sadar dan tidak.

"Sebentar juga hilang. Jangan bangun dulu," kata Dokter Hariono.

"Tidurlah lagi sebentar."

Seruni memejamkan matanya lagi lalu tertidur.

Ketika untuk kedua kalinya dia terbangun, dia melihat Dokter Hariono duduk tak jauh dari tempatnya berbaring. Pikirannya sekarang sudah lebih sadar. Dia bertanya,

"Mas, apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?"

Dokter Hariono yang baru mengetahui Seruni sudah terjaga lagi lalu menghampiri.

"Perutmu sudah tidak sakit lagi, bukan?"

"Tidak seperti tadi, masih .senep dikit," kata Seruni meraba-raba perutnya. Seketika itu dia terkejut dan sadar.

"Mas! Anakku! Mas, kau... kau telah menguret anakku?" pekiknya. Dia sudah sering melihat Dokter Hariono melakukan abortus atas pasienpasiennya. Mereka juga terbaring seperti ini, di kamar ini. Dan sekarang apakah hal itu telah terjadi atas dirinya sendiri?

Dokter Hariono mengangguk serius.

"Kau tidak perlu khawatir, semuanya berjalan lancar. Kau beristirahat saja barang satu-dua hari di rumah, kau tidak akan merasakan bedanya."

Seruni melompat duduk. Kepalanya segera terasa pening dan berputar.

"Mengapa? Mengapa Mas mengeluarkan anakku tanpa seizinku! Aku tidak mau dikiret! Aku tidak mau kehilangan anakku!"

"Tenang, Run. Aku melakukan yang terbaik bagimu dan bagi kita semua. Aku tahu. kau pasti terkejut, tapi tenangkan hatimu. Dalam satu-dua hari kau pasti menyadari bahwa inilah satusatunya jalan yang terbaik

bagi kita semua."

"Tidak! Tidak! Kau penipu! Kau menipu aku! Kau membiusku! Aku benci padamu! Aku benci!" Seruni berteriak-teriak. Kepalanya terasa ringan. Tiba-tiba dia ingin muntah. Tanpa mempedulikan di mana dia berada, ditumpahkannya semua yang mengganjal di dalam di lantai operasi itu.

Dokter Hariono cepat-cepat mengambil dua kotak tisu. Dia membiarkan Seruni menangis di atas pembaringan sementara dia sendiri yang membersihkan lantainya dengan kertas koran. Bahkan setelah lantai selesai dipelnya Seruni masih belum habis menangis. Akhirnya Dokter Hariono mendekat dan memeluk gadis itu.

"Aku terpaksa melakukannya, Yang," bisiknya halus.

"Kau kejam!" kata Seruni menghentakkan lengannya.

"Lebih kejam lagi kalau aku harus membiarkan kau melahirkan tanpa suami."

"Kau tidak berhak merenggutnya dariku! Kau... kau... kau pembunuh!"

"Kau tidak berhak memilikinya, Run. Kita tidak berhak memilikinya! Mengapa kau tidak mau berpikiran secara dewasa?"

"Kau yang tidak dewasa!" bentak Seruni kembali.

"Orang dewasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Kau tidak bertanggung jawab! Kau buang dia begitu saja karena kau tidak mau bertanggung jawab!"

"Sejak awal mula kau tidak berhak menjadikannya," kata Dokter Hariono berusaha membuat gadis itu mengerti.

"Kau tahu betul bagaimana status kita. Bahkan sejak semula aku sudah mengatakan kepadamu bahwa di mata orang luar hubungan kita hanyalah seperti dokter dengan perawatnya atau dosen dengan mahasiswinya. Sudahkah kau lupa pada konsensus kita ini?"

"Itu tidak adll! Tidak adil! Masa aku selamanya hanya menjadi kekasih gelapmu saja! Aku berhak menuntut status dan pengakuan juga darimu!" kata Seruni semakin menjadi-jadi tegangnya.

"Menuntut status pun seharusnya kita bicarakan baik-baik. Bukan dengan cara kau memojokkan aku dengan cara membiarkan dirimu hamil. Di sini kau telah mengambil keputusan sendiri tanpa berunding denganku. Terpaksa aku tak dapat menyetujuinya."

"Jadi sekarang kau membalas dengan mengambil keputusan sendiri melakukan

abortus atas diriku!"

"Sudah kukatakan bahwa semuanya ini demi kebaikan kita semua."

"Demi kebaikanmu! Setan kau! Setan! Kau egois! Aku benci padamu! Aku benci padamu! Kau pembunuh! Kaubunuh anakmu sendiri!" Seruni melompat turun dari pembaringan. Sedikit sempoyongan dia berjalan ke tempat di mana pakaiannya tergantung. Dengan tangan gemetar dia mengenakan pakaiannya kembali. Dokter Hariono yang berusaha membantunya ditampiknya keraskeras dan didorongnya pergi.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi dia keluar dari tempat itu, walaupun badannya masih terasa ringan dan kakinya yang serasa tidak menginjak bumi dipaksakannya juga untuk melangkah.

Dokter Hariono mengejar di belakangnya dan berhasil memapahnya masuk ke mobil sebelum kakinya yang gemetar itu lemas terkulai. Seruni akhirnya pasrah kehabisan tenaga. Di dalam kebisuan dia diantarkan pulang. Sesampai di depan pintu rumahnya, Seruni turun dan terus membuka kunci pintu. Dia masuk ke dalam tanpa berpaling satu kali pun ke belakang lagi.

Itulah terakhir kalinya dia melihat Dokter Hariono.

SERUNl mogok hidup sejak malam itu-dia mogok makan, mogok kuliah, mogok bekerja, mogok mandi, mogok apa saja. Ibunya bingung. Ayahnya yang salesman saat itu kebetulan sedang keliling ke luar pulau dan ibunya tak tahu harus menghubunginya ke mana.

Seruni membungkam seribu bahasa. Pertanyaan-penanyaan ibunya hanya menggema tidak berjawab. Segala upaya yang dicoba oleh orang tua itu tidak berhasil untuk mendapatkan cerita yang sesungguhnya dari anaknya. Ibunya mulamula bertanya dengan khawatir, lalu memohon secara halus, lalu menjadi marah, akhirnya sambil berurai air mata -tapi semuanya ini sia-sia. Seruni hanya menggelengkan kepalanya saja dan memalingkan wajahnya ke dinding.

Dua hari Seruni tak mau makan, hanya

minum air saja sedikit apabila dia tak betah menahan hausnya. Dan kecuali ke kamar kecil dia juga boleh dibilang sama sekali tak mau keluar dari kamarnya. Tadinya ibunya mengira bahwa anaknya telah dihamili orang, tapi ternyata kekhawatirannya tidak beralasan karena dia melihat di keranjang sampah ada bungkusan kecil yang dibuang anaknya setiap kali dia keluar dari kamar mandi. Saking tidak percayanya sampai dia mengambil satu dan membukanya, dan setelah melihat isinya memang betul-betul pembalut wanita yang bernoda darah sedikit, dia baru lega. Tak satu kali pun terbersit di benaknya bahwa anaknya baru saja abortus!

Ibunya kehabisan akal. Siapa yang bisa dimintai keterangan? Sudah lama tak ada teman-teman Seruni yang datang. Akhirnya diputuskannya untuk menanyakannya ke tempat praktek Dokter Hariono-mungkin dosennya tahu sesuatu.

Tetapi ternyata Dokter Hariono pun tidak bisa memberinya keterangan yang memuaskan. Dokter itu menjelaskan bahwa memang dua-tiga hari sebelumnya sikap Seruni sudah mulai kelihatan tidak seperti biasanya-dia banvak melamun dan banvak membuat ke

salahan dalam pekerjaannya. Tapi apa yang menyebabkan gadis ini tiba-tiba mogok segala-galanya, dia sendiri pun tidak tahu. Prakteknya setiap hari selalu ramai, dan tak banyak waktu yang tersisa bagi mereka untuk bertukar cerita.

Atas nasihat Dokter Hariono, ibu Seruni diminta untuk tidak mendesaknya saja dulu. Biasa gadis-gadis seusianya melewati masa yang sulit. Mungkin dia bertengkar dengan pacarnya, tambah Dokter Hariono. Dan gadis-gadis memang suka mendramatisir suat keadaan. Dia sendiri sama sekali tidak berkeberatan kalau Seruni tidak masuk bekerja. Dia berkata sifat diterimanya Seruni di sini memang juga tanpa ikatan dan dia hanya bermaksud membantu gadis itu dalam studinya. Dia setuju saja sewaktu-waktu Seruni boleh meninggalkan pekerjaannya.

Ibu Seruni pulang dengan tangan hampa, tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Setiba di rumah sepucuk surat dari Emi menunggunya. Ibu Seruni segera menyerahkan surat itu kepada anaknya yang memandangnya pun tidak. Seruni tetap menghadap ke tembok dan berbaring di tempat tidurnya seperti seorang invalid.

Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, orang tua itu memutuskan untuk mengirim telegram kepada Emi. Emi adalah sahabat anaknya sejak di bangku sekolah lanjutan. Sekarang dengan kembalinya Emi ke tanah air, tentunya hubungan baik ini bisa berlanjut akrab kembali. Ibu Seruni menceritakan kesulitan yang dihadapinya sekarang dan minta nasihat apa yang harus diperbuatnya. Siapa tahu Emi mengerti persoalan apa yang telah menyebabkan anaknya tiba-tiba berubah aneh ini.

Badan Seruni sudah total lemas ketika pada hari kelima pemogokannya Emi muncul di ambang pintu. Ibu Seruni berbisik,

"Waduh, Nak Emi, terima kasih lho, kan mau datang. Ibu sudah kehabisan akal! Tidak tahu kenapa si Runi tiba-tiba mogok segalanya. Ibu sangat khawatir kalau-kalau nanti harus dimasukkan ke rumah sakit segala. Mana ayahnya tidak ada di rumah!"

"Coba saya bujuk supaya dia mau makan, Bu," bisik Emi lalu mengendap-endap masuk ke kamar Seruni. Melihat gadis yang terbaring menghadap dinding itu, dia menyapa dengan ceria,

"He, Run! Apa kabar! Ibumu bilang kau

tidak mau bangun, ya!"

Seruni sedikit terkejut mendengar suara sahabatnya, lalu berpaling. Secara refleks dia tersenyum sedikit. Bagi Emi ini merupakan tanda bahwa. Seruni masih sadar akan keadaan sekelilingnya, bahwa gadis ini bukannya tiba-tiba gila.

Emi mendekat dan duduk di samping tempat tidur Seruni.

"Yuk, bangun! Hiii. sudah berapa lama kan nggak mandi? Baumu kecut banget lho! Ayo mandi!"

Seruni menggeleng, matanya kembali sayu.

"Ayo, ah! Ngapain berkubang di sini kayak kuda nil saja! Ayo, kamu mandi terus kita keluar cari makan. Kereta apiku baru saja sampai dan aku langsung kemari, belum sempat sarapan. Yuk, kita makan soto! Soto di Gubeng masih enak, kan?"

"Kau pergi sendiri saja, biar aku di sini," kata Seruni.

"Eh, kamu! Jauh-jauh aku kemari nggak diantar! Kalau kau ke Jakarta pasti ke mana-mana aku antar."

"Aku tidak ingin ke mana-mana."

Emi berpaling ke pintu kamar yang tertutup, lalu berbisik,

"Eh, apa sih sebenarnya yang terjadi kok kau tiba tiba ingin menjadi gelandangan begini? Kau sekarang bisa menceritakannya kepadaku di sini nggak ada yang ikut mendengarkan."

Seruni menggelengkan kepalanya.

"Doktermu itu, kan?" tebak Emi dengan alis berkerut. Tanpa pernah bertemu dengan orangnya saja dia sudah tidak menyukai laki-laki itu.

Seruni membisu.

"Lebih baik kau putus darinya. Dari dulu juga aku bilang, yang rugi akhirnya cuma kau sendiri."

Seruni tetap membisu.

"Laki-laki begitu tidak perlu kita bela, tidak perlu kita tangisi. Lebih-lebih lagi tidak perlu sampai kita mogok hidup untuknya. Kalau kita mati, dia yang keenakan! Kita ditertawakan, dianggap tanpa dia kita tidak bisa hidup. Kita harus menunjukkan padanya bahwa kita sih bukan macam tempe! Kalau hari ini kita disakiti hati, kita susun siasat supaya pada suatu waktu kita bisa membalas!"

Seruni mulai terisak. Bagus, pikir Emi,

paling tidak ada reaksi.

"Kalau dia telah menyakiti hatimu, kau jangan terus mau bunuh diri begini, Run! Cari dong kesempatan bagaimana kau bisa membalas sakit hatimu! Tidak bisa hari ini, ya setahun lagi. Tidak bisa setahun lagi, mungkin lima tahun lagi atau sepuluh tahun lagi. Pokoknya harus kaubuat pada suatu hari dia membayar semua sakit hatimu itu kembali plus bunganya!" Emi seperti pengkhotbah yang berapi-api.

"Aku tidak bisa membalasnya," isak Seruni.

"Semuanya sudah terjadi."

"Apa yang sudah terjadi?"

"Anakku... anakku dibuangnya," guguk Seruni.

"Maksudmu?"

"Anak yang kukandung... anaknya sendiri padahal... dikiret!"

"Bagaimana bisa terjadi?"

"Aku dibiusnya. Ditipu dengan dibelikan martabak. Di dalamnya pasti ada obat tidurnya. Setelah aku terlena, pasti dia membiusku dengan suntikan. Tahu-tahu waktu aku sadar aku sudah kehilangan janin itu!"

Emi bernapas panjang.

"Sudahlah." katanya sambil berdiri.

"Itu

sudah terjadi, kau tidak berdosa dalam hal ini. Bukan kau yang membuangnya, bukan atas kehendakmu janin itu diaborsi. Yang berdosa adalah doktermu itu. Biar dia yang menanggung dosanya sendiri. Jangan kaupikirkan lagi."

"Tapi aku tidak rela anak itu dibuang. Aku yang menghendakinya! Aku tidak berhasil melindunginya."

Emi menarik sahabatnya ke dalam pelukannya, membelai rambutnya yang kusut, dahinya yang berkeringat, badannya yang berbau masam. Seruni menangis. Menangis lama dan panjang.

Akhirnya Emi berbisik,

Untung kau tidak kawin dengannya. Bayangkan seandainya sudah menjadi istrinya lalu kau baru sadar bahwa dia seorang monster! Kau tentunya tidak menghendaki seorang laki-laki kejam sebagai suami. Untung kau punya kesempatan melihat warna aslinya sekarang. Kau seharusnya bersyukur!"

"Aku tak tahu lagi aku harus berbuat apa. Aku begitu mencintainya, tapi dia tega membuang anaknya sendiri." Seruni masih menangis.

"Bersyukurlah impianmu sekarang sudah buyar, bersyukurlah sekarang kau sudah bisa melihat kenyataan. Sekarang kau boleh berhenti mencintainya. Bahkan kau boleh membencinya! Bencilah dia! Carilah kesempatan membalaskan sakit hati ini kepadanya. Jangan menyerah sekarang! Selama kau masih bernapas, kau bisa membalas. Kalau kau mati, kau tidak bisa membalas. Oleh sebab itu jangan mau mati dulu sebelum kau bisa membalasnya!"

Emi sadar bahwa teori balas dendam yang diajarkannya tidak benar, tetapi kebencian sering kali memberikan semangat hidup yang lebih besar kepada manusia. Kebencian dan dendam terkadang membuat orang betah dan tabah menghadapi kesulitan dengan harapan suatu saat bisa melampiaskan pembalasan.

"Suatu saat" ini sekarang masih jauh tak perlu dipusingkan dulu. Yang penting detik ini dia bisa mengembalikan semangat hidup dulu kepada sahabatnya ini. Kalau tidak bisa lewat pengertian dan akal sehat, ya harus lewat perasaan benci dan dendam.

"Apakah kau akan membiarkan pembunuh anakmu ini lolos begitu saja? Kau telah lengah dan kau kecurian langkah. La

ki-laki itu berhasil merampas janin yang tidak berdosa darimu. Kau sebagai ibunya harus membelanya! Kau harus membalaskan kematiannya yang konyol! Kau masih punya tanggungan nyawa itu! Jangan menyerah kalah dulu! Jangan malah mogok makan begini. Justru kau harus bangkit dan menunjukkan bahwa tanpa laki-laki itu pun kau bisa hidup. Jangan biarkan dia tertawa di balik punggungmu. Susunlah strategi sampai pada suatu saat dia harus bertekuk lutut di hadapanmu, minta ampun dan mengemis hidupnya dari tanganmu!"

"Apa yang bisa aku perbuat, Em?" tanya Seruni di antara isakannya.

Di dalam hati Emi berseru gembira. Ini pertanda bagus. Ini pertanda kuliahnya ada yang menembus otak Seruni yang beku.

"Sekarang aku pun tidak tahu, Run. Tapi bisa kita pikirkan bersama nanti pelan-pelan. Yang penting detik ini kau merawat dirimu dulu. Kau harus kembali menjadi Seruni yang cantik dan sehat. Lalu langkah-langkah selanjutnya kita atur bersama. Kita punya banyak waktu untuk itu."

Seruni menunduk.

"Aku malu. Em. Malu bertemu muka lagi

dengannya, malu pada diriku sendiri...."

"Setiap orang bisa berbuat kesalahan. Tak perlu malu pada diri sendiri. Ikutlah aku ke Jakarta dan tinggal bersamaku. Rumah yang kutempati cukup besar, masih ada dua kamar tidur kosong."

"Ke Jakarta? Bikin apa aku di sana, Em?" tanya Seruni. Walaupun nadanya menolak namun Emi dapat melihat secercah sinar harapan di mata gadis itu.

"Kau boleh berlibur di sana beberapa minggu, atau lebih baik lagi kau sekolah modelling seperti usulku. Kau tak perlu khawatir tentang biaya. Soal makan dan tempat tinggal kan ada aku. Aku yakin kau tidak makan begitu banyak sampai aku bangkrut," senyum Emi.

"Setelah tiga bulan ikut kursus modelling, kau bisa bekerja sambil meneruskan kursus. Kau akan kusulap menjadi gadis model yang paling beken di Jakarta!"

"Ah, aku tidak punya bakat untuk itu, Em! Lagi pula aku tidak cantik."

"Detik ini kau sungguh-sungguh tidak cantik dan bukan cuma itu kau juga berbau masam dan kumal kayak gelandangan! Tapi kalau kau sudah mandi, sudah kudandani, kau akan menjadi gadis yang cantik,

rebutan orang! Percayalah padaku, aku tidak bohong!"

"Tapi... tapi aku tidak punya uang untuk hidup di Jakarta, Em! Tabunganku cuma sedikit. Untuk bayar uang kursus saja belum tentu cukup."

"Uang jangan kaupikirkan dulu. Aku masih punya simpanan. Uang kursus tidak mahal, dan untuk hidup di sana kau tidak usah membayar aku. Setelah kau sedikit lebih terpoles kau akan kuperkenalkan dengan bosku. Kau bisa bekerja di biro modelnya secara part time. Banyak anakanak yang masih belajar modelling juga bekerja ala kadarnya di sana. Gajinya sedikit sekali, tapi cukup untuk uang transpor mereka. Antonio Castillo adalah seorang bos yang baik, dia pasti mau menerimamu."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi..."

"Jangan "tapi-tapi' lagi! Sekarang aku bantu kau mandi, lalu kita makan. Perutku sudah lapar sekali."

"Kau... kau yakin ini jalan keluar yang terbaik, Em?"

"Paling tidak jauh lebih baik dari gagasan tololmu mau menghabisi nyawa sendiri. Kalau nanti ternyata kau tidak suka menjadi

model, kau bisa kursus yang lain, atau mencari pekerjaan. Di Jakarta banyak lowongan, jangan khawatir."

JAKARTA ternyata bisa membuat Seruni perlahanlahan melupakan Dokter Hariono dari pengalamannya yang pahit. Dalam hal ini Emi mempunyai andil yang besar membantu penyembuhan mentalnya. Jiwa yang terluka dan hati yang kecewa akan menyebabkan frustrasi berkepanjangan dan dekadensi mental. Seandainya bukan karena kesabaran dan ketelatenan Emi melipur hatinya, kemungkinan besar Seruni akan berakhir di rumah sakitjiwa.

Hari-hari pertama Seruni berada di Jakarta dilewatkan dalam ketenangan rumah tangga pasangan muda Emi dan Lutfi yang harmonis. Kehadiran Adele si kecil terkadang merupakan penghiburan bagi gadis yang sedang berjuang melawan kesedihan hatinya, tetapi tak jarang justru merupakan penusuk hati yang mengingatkannya akan janinnya sendiri yang terbuang. Trauma kehilangan janin itu ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk memudar. Untunglah Adele adalah gadis cilik yang tidak manja dan seakan-akan dia mengerti bahwa teman ibunya ini terkadang ingin menjauhinya.

Emi merupakan seorang sahabat yang sejati. Dengan bijaksana dan pekanya dia membimbing Seruni ke arah berpikir yang lebih positif, setapak demi setapak meninggalkan kenangan lamanya lebih jauh, melangkah dengan hati-hati, meniti di atas bayang-bayang kekecewaan yang lalu.

Seperti yang dijanjikannya, Seruni didaftarkan pada sekolah modelling yang pada saat itu cuma ada satu-dua di Jakarta. Sedikit demi sedikit kepada gadis yang hampir putus asa ini ditanamkan keinginan untuk menjadi perempuan yang lebih sempurna. Kalau dulu Seruni adalah seorang gadis polos yang sama sekali tidak mengenal kebiasaan memoles mukanya, sekarang perlahanlahan dia diperkenalkan kepada dunia beribu warna. Seruni yang pada mulanya merasa canggung danjanggal untuk menempelkan segala macam imbuhan di wajahnya, sedikit demi sedikit mulai bisa menjiwai seni ini. Perlahan

tapi pasti dia menemukan bentuk dan gayanya sendiri, dan dia mulai menyukainya.

Tiga bulan pertama yang dijalaninya di sekolah modelling telah memberinya keahlian dasar dalam seni membawa diri dan penampilan pribadi. Rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit kembali. Perasaan rendah diri dan berdosa yang selalu menghantuinya di Minggu-minggu pertama perlahan-lahan menyusut. Sekarang dia sudah bisa berbicara dan tersenyum tanpa merasa seakanakan yang diajak berbicara itu tahu dosanya di masa lampau.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar menjadi seorang perempuan yang luwes, majulah Seruni ke tapak pendidikan berikutnya menjadi seorang model dan peragawati yang harus pandai melenggok di atas catwalk. Saat inilah Emi memutuskan bahwa sudah waktunya Seruni memperluas pergaulannya ke lingkungan di luar keluarganya sendiri dan teman-teman di sekolah modelling. Jadi pada suatu hari dibawanya Seruni ke biro model di mana dia sendiri terdaftar sebagai model.

Biro Model Madona ternyata tidak besar, hanya menempati separuh lantai kedua salah satu gedung perkantoran bertingkat tiga di

daerah Kebayoran. Tapi di sini berkumpul banyak sekali gadis dengan berbagai rupa dan bentuk. Yang empunya adalah seorang laki-laki, yang berperawakan kurus tinggi berkulit gelap dan berhidung mancung. Sekilas pandang dia tak beda dengan pria pria lndonesia lainnya, tapi apabila diperhatikan tampaklah bahwa bentuk mata, hidung, serta tulang pipinya bukanlah milik orang Indonesia. Namanya sendiri adalah Antonio Castillo yang dari garis keturunan ayahnya dia memiliki darah campuran Spanyol sedangkan dari garis keturunan ibunya dia mewarisi darah campuran Ambon dan Belanda. Suatu perpaduan yang unik antara Timur dan Barat.

Antomo Castillo berusia empat puluh tahun-seorang duda yang sudah bercerai dari istrinya yang menetap di negeri Belanda. Antonio berperangai sangat penyabar. Dia hidup sebatang kara tanpa mempunyai tanggungan dan oleh karena itu dia sama sekali tidak berkeberatan mempunyai jumlah model lebih daripada yang dibutuhkannya. Antonio merasa bahwa apa yang diperolehnya dari bisnisnya membuka biro model ini sudahlah mencukupi semua kebutuhan bujangnya yang sederhana. Selebihnya dipakainya untuk mendidik dan melatih gadis-gadisnya supaya bisa menjadi model yang profesional.

Antonio Castillo senang mengumpulkan gadis gadis pemula yang ingin mencoba-coba nasibnya di Ibukota dalam bidang yang belum begitu banyak digemari orang. Maklumlah di akhir dekade tujuh puluh belum begitu banyak perusahaan besar yang merasa perlu bersaing dengan mempromosikan barang dagangan mereka lewat bantuan iklan dan peragaan. Di pihak lain masih banyak keluarga yang menganggap profesi seorang model itu tak berbeda jauh dengan perempuan panggilan, profesi yang menyandang stigma negatif yang harus dihindari oleh anakanak gadis mereka apabila mereka mengharapkan lain kali bisa mendapatkan jodoh dari keluarga baik-baik. Masih lebih baik menjadi penata rambut di salon-salon daripada menjadi peragawati yang menggoyangkan pantatnya di catwalk atau mengizinkan wajahnya terpampang di posterposter di pinggir jalan yang sering dicorat-coret oleh tangan-tangan jail dan diberi tambahan kumis. Maka biro model Madona juga tidak terlalu laris. Gadis-gadis modelnya lebih sering menganggur daripada mendapat pekerjaan. Banyak dari antara mereka akhirnya beralih ke profesi lain yang memberikan pemasukan yang lebih teratur seperti dunia perfilman atau bahkan sebagai karyawan bank dan hanya sekalisekali saja tampil di catwalk apabila ada panggilan.

Antonio Castillo seperti kebiasaannyasama sekali tidak berkeberatan ketika Emi membawa seorang gadis yang masih canggung dan malumalu untuk diperkenalkan kepadanya. Semua pemula selalu malu-malu dan takut.

"Kau nggak perlu menggajinya dulu, Toni," kata Emi. Di Madona semua orang memanggil Antonio Castillo dengan namanya saja. Dia tidak suka dibahasakan "Pak" atau "Mas" atau "Bung". Nama itu diberikan orang tuanya untuk dipakai-begitu katanya selalu kepada gadis-gadis modelnya jadi pakailah nama itu, jangan diberi embel-embel segala macam!

"Saya ingin agar dia bisa magang di sini, belajar dari yang lain-lain bagaimana menjadi model itu," lanjut Emi yang menyadari keterbatasan sahabatnya.

"Dia baru tiga hulan kursus modelling."

"Oh. jadi sudah tiga bulan Anda belaiar

sebagai model?" tanya Antonio sambil memberikan senyumnya yang paling ramah kepada Seruni.

"Bagaimana rasanya, senang?"

Seruni mengangguk malu-malu.

"Sebetulnya menjadi model itu nggak sukar, kok," senyum Antonio tetap terpampang.

"Cuma perlu bekal sedikit keberanian saja."

Seruni mengangguk.

"Oke!" kata Antonio kepada Emi.

"Temanmu boleh mulai sekarang juga. Kau tahu peraturannya. Setiap hari dia masuk dia mendapat uang transpor ala kadarnya. Makan gratis di sini, kami semua makan ramai-ramai. Nanti kalau dia sudah mendapat tugas tampil. dia mendapat honor lima belas persen dari total nilai kontrak"

"Biar dia melihat-lihat saja dulu di sini, Toni," kata Emi.

"Biar bergaul saja dulu dengan anakanak yang lain supaya lebih mengenal dunia praktek model. Jangan diturunkan di depan kamera dulu, masih belum siap dia, nanti malah kapok."

"Oh, boleh, boleh!" senyum Antonio.

"Kau tahu aku nggak pernah memaksa. Dia boleh membuat dirinya familier dulu dengan dunia modelling dengan berkumpul dengan

gadis-gadis yang lain. Eh, omong-omong. aku harus memanggil apa padanya?" tanya Antonio meneliti Seruni dengan lebih cermat.

Emi terkekeh.

"Eh, maaf, ya, aku lupa menyebutkan namanya. Namanya Seruni, panggil saja dia Runi."

"Seruni? Hmm, nama yang bagus! Tapi di dunia modelling orang harus bisa menimbulkan kesan misterius.

"Seruni ' terlalu polos dan murni. Kalau boleh saya sarankan, pakailah nama pentas," kata Antonio kepada Seruni.

"Di sini kebanyakan memakai nama pentas. Sebaiknya kau pun begitu. SimpanIah nama *Seruni' itu hanya untuk temanteman pribadimu saja, untuk keluargamu, untuk kekasihmu, ya?"

Kata-kata laki-laki itu yang menyinggung soal kekasih membuat Seruni serentak merasakan nyeri di hatinya. Secara tak sadar dia mengernyitkan dahi.

"Oh, ada yang tidak beres?" tanya Antonio Castillo melihat ekspresi kesakitan pada wajah gadis itu.

"Eh, temanku ini baru saja patah hati, Toni," kata Emi dengan santai.

"Mungkin

kata-katamu tadi membuatnya teringat akan bekas kekasihnya."

"Ah, maafkan kalau begitu, saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Anggap saja tadi, kau tidak mendengar kata-kata itu, ya?" senyum Antonio.

Dan Seruni harus mengakui bahwa senyuman Antonio seperti senyuman seorang anak kecil yang polos dan tulus.

"Tidak apa-apa, Pak," katanya malu.

"Panggil aku Antonio saja," kata yang empunya nama.

"Iya, Pak," kata Seruni masih gugup.

Antonio tertawa.

"Tidak apa-apa, nanti kau terbiasa juga. Di sini kita bersifat persahabatan, anggap saja saya ini sudah lama kaukenal."

"Kalau memang sudah tak ada lagi hal-hal lain yang mendesak, aku permisi dulu, Toni," kata Emi sambil berdiri.

"Aku masih mau memasak makanan untuk anakku."

"Oh, tentu! Jangan lupa minggu depan kau sudah dijadwalkan lho!"

"Aku ingat," senyum Emi.

"Runi biar kutinggalkan di sini saja," katanya melirik temannya.

"Bagaimana, sudah punya ide nama pentas yang bagus?" tanya Antonio.

"Lebih baik kau kuperkenalkan kepada gadis-gadis yang lain dengan nama pentasmu."

"Kau suka memakai nama apa, Run?" tanya Emi.

"Wah, nggak tahu, Em!" kata Seruni bingung.

"Kami di sini sudah ada yang bernama Maya, Vera, Bebi. Emi temanmu ini, Rose, Demi, Gia, dan Cici," kata Antonio.

"Saya nggak tahu, Pak," kata Seruni.

"Kau bantu sajalah, Toni," kata Emi.

"Runi masih malu-malu."

Antonio menyimak wajah Seruni dan memandangnya dari kepala sampai kaki. Lalu katanya,

"Bagaimana dengan Anastasia?"

"Anastasia?" tiru Emi.

"Hm, bagus!"

"Kau suka?" tanya Antonio kepada Seruni.

"Bagus lho, Run, nama itu! Kayak nama putri-putri raja di Rusia.

"Baiklah," kata Seruni mengangguk.

"Betul, kau suka?" tegas Antonio.

"Ya, deh."

"Oke. Selamat bergabung dengan kami, Anastasia!" kata Antonio mengulurkan tangannya.

"Semoga kau betah di sini."

ANASTASIA mencoba membenamkan dirinya dalam profesinya yang baru. Siang hari dia masih meneruskan mengikuti kursus modelling-nya, sedangkan pagi dan sore hari dia berada di Madona. Sedikit demi sedikit dia mulai mempelajari hubungan antara teori dengan praktek. Kiranya dunia modeling mempunyai suka-duka yang mengasyikkan juga. Di Madona dia bisa bertemu dengan bermacam-macam orangklien dengan berbagai tuntutan dan harapan, yang semuanya harus bisa dilayani dengan baik suplaier-suplaier kostum dengan berbagai ulah dan kelicinan untuk bisa mengeruk sedikit lebih banyak keuntungan apabila pihak Madona tidak jeli-rekan-rekan gadis model yang punya seribu satu watak dan pembawaan yang masing-masing berebut ingin menjadi model top di Madona. Kali

ini Anastasia benar-benar melihat dari dekat bagaimana dunia mencari nafkah itu. Alangkah bedanya dengan sewaktu dia bekerja di praktek Dokter Hariono!

Di Madona dia mendapat banyak teman, umumnya gadis-gadis sebaya dirinya, hanya saja mereka sudah lebih terpoles dan mahir. Selama ini Anastasia masih pada tahap menonton saja sambil membantu para model yang lain bilamana mereka akan tampil di depan kamera. Antonio memberinya pekerjaan administrasi ringan agar dia merasa bermanfaat bagi Madona di sana dan bukan semata-mata hanya menonton. Lagi pula Anastasia seorang gadis yang cerdas dan mahir bermain dengan angka. Antonio selalu kagum bagaimana gadis ini bisa menghitung begitu cepat di luar kepala.

Setahun lewat dengan cepat. Anastasia telah menamatkan kursusnya dan sekarang menghabiskan waktunya seharian penuh di Madona. Dia mengerjakan semua pekerjaan administrasi di sana, yang notabene tidak banyak -membantu Antonio membuat korespondensinya, yang juga bisa dihitung dengan jari karena kebanyakan transaksi dijadikan lewat telepon atau si klien yang datang

sendiri-menyusun jadwal pengambilan gambar yang makin hari makin meningkat kepadatannyadan karena dialah di antara para gadis model yang selalu ada di kantor, maka tugas mendampingi Antonio menemui klien akhirnya menjadi pekerjaan rutinnya pula. Bahkan akhirakhir ini Antonio mendorongnya untuk berani menemui klien sendiri dan menyelesaikan transaksi tanpa kehadirannya. Antonio percaya bahwa Anastasia mempunyai kemampuan di bidang ini dan dia mendorongnya untuk maju. Anastasia semakin menyukai kesibukannya. Kesibukan membantunya melupakan apa yang terkadang masih menghantui hidupnya.

Sementara Anastasia masih tinggal di rumah Emi sahabatnya yang tidak mengizinkannya pindah ke tempat kos sendiri. Emi masih dengan setia membantunya mengatasi trauma kekecewaannya dengan sabar, dan sehari demi sehari merasa lebih bersyukur melihat kehidupan bagi Anastasia seakan-akan berjalan dengan lebih tenang sekarang.

Suatu kali Antonio berkata,

"Sasha (Antonio selalu memanggil Anastasia "Sasha"), aku kira sudah waktunya kau sendiri terjun ke dunia pentas dan lampu.

Tujuanmu menjadi model kan bukan hanya untuk duduk di belakang meja menyusun jadwal shooting dan menemui tamu saja! Aku pikir sikap dan penampilanmu sekarang sudah cukup meyakinkan untuk melenggok sendiri di Catwalk atau menghiasi sampul depan majalah."

Seperti biasanya Anastasia hanya tersenyum malu-malu.

"Bagaimana, Sasha? Minggu depan ada peragaan busana untuk sebuah toko besar yang khusus menjual pakaian dalam menyambut penjualan untuk hari Natal dan Tahun Baru yang tinggal sebulan lagi. Mengapa kau tidak ikut? Mereka membutuhkan enam orang peragawati dan dua orang peragawan. Ikutlah!"

"Kaupikir aku sudah bisa?" tanya Anastasia ragu-ragu.

"Teoritis sudah, tinggal sekarang kau mempraktekkannya sendiri. Kalau kau tidak memberi kesempatan kepada dirimu sendiri, kapan kau mau mulai terjun? Sayang kan gadis secantik kau hanya duduk di meja membuat pekerjaan administrasi saja!"

"Kalau aku sampai berbuat kesalahan, gimana?" tanya Anastasia tegang.

"Ya tidak apa-apa, semua orang pada permulaan juga membuat kesalahan gugup salah langkah kaku. Nanti yang lain-lain yang sudah berpengalaman akan menutupi kesalahanmu. Jangan khawatir."

"Aku takut ditertawakan."

"Siapa yang menertawakan? Penonton tak akan tahu, dan kita di sini sudah profesional semuanya. Mereka yang hari ini sudah mahir juga pernah mengalami saat-saat pertama terjun seperti kau. Mereka mengerti apa yang kaurasakan, jangan bingung atau malu. Dulu pun aku sudah bilang, menjadi peragawati itu tidak susah, hanya bermodal keberanian saja."

"Kalau kawanggap aku sudah siap, ya bolehlah aku coba-coba," kata Anastasia.

"Bagus! Nanti aku katakan kepada Maya bahwa kali ini kau ikut. Maya nanti yang akan mengajarmu dan mendampingimu. Jangan khawatir, Maya nanti bisa menutup semua kekuranganmu seandainya kau berbuat kesalahan."

Hari yang mendebarkan tiba. Anastasia bersama lima orang gadis model lainnya berkali-kali naik-turun catwalk dan melenggok di antara tepuk tangan para undangan

dan publik yang memenuhi lantai dua Toko Topaz yang malam ini disulap menjadi tempat peragaan itu. Ternyata pagelaran busana itu berjalan lancar. Pemilik toko yang malam itu segera mendapatkan banyak pesanan dari para tamunya, tertawa lebar dan mengguncang-guncang tangan Antonio Castillo ketika memberinya selamat pada akhir pagelaran. Selama penunjukan Antonio mengawasi gadis model terbarunya sambil mengangguk puas. Walaupun dengan sedikit gemetar, Anastasia berhasil membawakan semua nomornya dengan baik. Lenggoknya di atas catwalk tampak cukup meyakinkan, dan kerlingan matanya yang dari waktu ke waktu mencari Antonio yang duduk di antara penonton untuk minta dorongan moral justru membuatnya tampak hidup dan menyatu dengan publik berlainan dengan peragawati peragawati yang lain yang dengan pandangan ke depan dan kepala mendongak membuat mereka seakan-akan sama sekali tidak menyadari kehadiran penonton di sekelilingnya. Pada akhir pagelaran itu Anastasia menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya, dan sebuah ciuman bangga di pipinya dari Antonio yang segera bergabung dengan

para gadis modelnya di belakang pentas.

"Hari ini Madona ketambahan bintang baru!" kata Antonio memujinya.

"Yuk, kita rayakan dengan makan besar bersama!"

Ramai-ramai mereka pergi ke restoran yang takjauh dari Toko Topaz untuk merayakan penampilan perdana Anastasia. Anastasia seperti baru dilahirkan kembali. Jadi di sinilah dunianya yang sebenarnya dii sini dii bidang modelling. Sekarang dia sudah betul-betul terjun, tak ada jalan mundur lagi. Kuman dan stetoskop telah ditinggalkannya untuk selamanya. Sekarang dan seterusnya dunia modelling, kamera, dan lampulah yang akan menjadi darah dagingnya.

Pada akhir jamuan makan itu Antonio sebagai majikan dan penanggung jawab yang baik mengantarkan satu per satu anak buahnya pulang. Dan karena rumah Emi adalah yang paling jauh, maka Anastasia merupakan gadis yang terakhir di mobilnya.

Di dalam mobil ketika tinggal mereka berdua, Antonio berkata,

"Malam masih panjang. Apakah kau sudah mengantuk?"

Anastasia tertawa. Rasanya sudah sekian lamanya dia tidak pernah tertawa sebanyak

malam ini.

"Tidak, aku belum mengantuk."

"Kalau begitu kau tidak berkeberatan kalau kita tidak segera pulang?"

"Lalu mau ke mana?"

"Hanya putar-putar saja, cari angin, mungkin berhenti makan es krim atau apa," kata Antonio santai.

"Oke," kata Anastasia. Malam ini hatinya merasa gembira. Gembira merayakan keberhasilannya. Satu tingkat telah terlampaui, mulai sekarang dia betul-betul akan menjadi gadis model. Sayang malam ini Emi tidak bisa melihatnya! Adele sakit sehingga Emi tak bisa ikut hadir.

Yah, untuk semua ini aku harus benar-benar berterima kasih kepada Emi. Tanpa Emi entah akan menjadi apa hidupnya. Emi telah memberinya harapan baru. Aku harus berhasil, pikir Anastasia. Harus! Sejak malam ini aku harus berhasil menjadi model yang profesional. Aku telah gagal di bidang cinta. Aku harus berhasil dalam profesiku!

Antonio menghentikan mobilnya di depan sebuah depot es krim. Di dalam sepi, hanya pelayannya saja yang tampak duduk sambil mengantuk di salah sebuah meja yang

kosong rupanya karena sudah malam.

"Perutmu masih ada tempat buat eskrim?" tanya Antonio.

"Boleh," senyum Anastasia.

"Besok saja aku mulai berdiet lagi."

Mereka masuk lalu memesan dua porsi es kopyor dan berbincang-bincang dari barat ke timur.

"Malam ini kau betul-betul hebat, Sasha," kata Antonio.

"Aku bangga sekali. Bahkan di antara keenam gadisku yang tampil, malam ini kau yang paling menawan."

"Ah, yang bener aja, Tonio! Ini adalah pertama kalinya bagiku naik ke catwalk. Kakiku gemetar semua lho dan setiap detik aku pikir aku mau pingsan!" gelak Anastasia.

"Tapi tidak, kan?"

"Uh, udah hampir," senyum Anastasia.

"Tapi terus aku melihat ke arahmu. Dalam hati aku pikir seandainya kau cemberut atau mengernyitkan dahi, aku mau lari saja dari panggung. Tapi kok kau tersenyum sambil mengangguk, jadi aku pikir, ah barangkali penampilanku tidak sejelek itu, jadi hatiku tenang lagi sedikit."

"Aku tahu, aku menangkap pandanganmu setiap kali kau melirik. Aku tahu kau sedik

it nerveus, tapi penonton tidak tahu. Mereka mengira kau bermain mata dengan salah seorang di antara penonton," senyum Antonio.

"Aku benar-benar berterima kasih, Tonio," kata Anastasia.

"Kalau bukan karena kau dan Emi yang mendorongku, aku tak mungkin berhasil."

"Kau harus berterima kasih kepada dirimu sendiri. Kau sendirilah yang telah membuatnya mungkin. Tanpa ketekunan dan tekad dari diri sendiri, kita tak akan berhasil menjadi apa pun walaupun didorong oleh orang satu kampung."

Mereka duduk di kebun, di bawah langit yang terbuka. Antonio menengadahkan kepalanya ke langit. Di atas bintang kecil-kecil bergemerlapan ditemani bulan sabit yang pucat. Lama dia tidak bersuara. Anastasia-lah yang kemudian memecahkan keheningan.

"Besok kita punya jadwal kerja yang ramai," katanya lembut.

"Tidakkah sebaiknya malam ini kita cepat beristirahat?"

Antonio mengangguk dan berkata,

"Kau betul. Malam ini aku sudah sangat gembira, jangan menarik peruntungan terlalu jauh. Orang harus tahu kapan berhenti sebelum talinya putus," seringainya.

Anastasia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Antonio tapi dia tak berani bertanya.

PERSAHABATAN Antonio dan Anastasia semakin hari semakin erat. Mereka sering makan bersama, menonton bersama, menghadiri acara-acara bersama, sehingga lama-kelamaan semua orang di Madona menganggap mereka sudah berpasangan.

Sejak semakin akrabnya hubungan Antonio dengan Anastasia, gadis itu seakan-akan hidup kembali. Kemurungan boleh dikata tak pernah tampil lagi di wajahnya. Diajuga semakin mempunyai rasa percaya diri, semakin mantap menginjakkan kakinya di dunia keperagawatian.

Hanya mereka berdua saja yang tahu bahwa sampai saat itu tak pernah sekali pun terlontar kata-kata cinta di antara mereka. Anastasia sangat bersyukur dengan sikap Antonio ini karena baginya rasanya sudah tak mungkin lagi bisa menjalin hubungan

cinta dengan laki-laki mana pun. Kekecewaan dan sakit hati yang pernah dialaminya membuat dirinya tawar terhadap pendekatan yang menjurus ke sana.

Sebetulnya sejak Anastasia dikenal sebagai peragawati, ada beberapa pemuda yang berusaha mendekatinya, salah seorang juga adalah peragawan dari Madona sendiri seorang lelaki tatnpan bernama Anis. Tapi Anastasia tidak berminat, bahkan dia segera mulai menjauh dan menjaga jarak begitu dia melihat ada gejala-gejala yang dikhawatirkanya muncul. Hanya terhadap Antonio saja dia berani akrab dan bersikap santai. Mungkin karena Antonio tidak bersikap ingin menjadi kekasihnya. mungkin juga karena usia Antonio yang jauh lebih tua Anastasia sendiri tidak tahu, tapi yang pasti di dekat Antonio dia sama sekali tidak merasa khawatir.

Hari demi hari kepandaian Anastasia pun bertambah. Sekarang boleh dikatakan dialah tangan kanan Antonio. Dialah yang menjalankan seluruh kegiatan Madona apabila Antonio tidak ada, bahkan walaupun Antonio ada, diajuga yang diserahi operasi rutin Madona.

Anastasia sekarang tahu benar berapa

modal perusahaan ini, berapa biaya operasionalnya, berapa pemasukan yang harus ditargetkan, berapa keuntungan yang harus disisihkan sebagai cadangan, berapa anggaran yang perlu dibuat untuk membeli peralatan dan kostum baru, dan lain sebagainya. Dia yang mengerjakan semua pembukuannya, yang mengatur pemasukan dan pengeluaran uang, dan sedikit demi sedikit dia diajar oleh Antonio untuk membuat perencanaan finansial yang mantap setiap bulannya. Semua ini merupakan bahan baru baginya yang sangat menarik dan Anastasia mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan demikian waktunya terbagi antara mempelajari dan membuat perhitungan keuangan Madona, berlenggok di atas catwalk, dan mendiskusikan segala perencanaan yang berhubungan dengan bisnis ini bersama Antonio.

Semakin akrab Anastasia dengan seluruh operasional biro model ini, semakin akrab pulalah Anastasia dengan pribadi Antonio. Sekarang mereka sudah benar-benar seperti dua orang sahabat yang saling mengenal dengan baik. Namun walaupun begitu tak satu kali pun timbul pembicaraan tentang masa lampau Anastasia. Antonio tak pernah

bertanya dan Anastasia sendiri juga enggan menceritakannya.

Sampai pada suatu hari.

Asti salah seorang peragawati baru yang seharusnya diambil gambarnya untuk poster selimut bayi sakit dan tidak bisa datang. Padahal semuanya sudah siap-dari tukang foto, bayi pinjaman, sampai si klien yang ingin melihat sendiri shooting untuk promosi produknya.

Peragawati-peragawati lainnya yang ada kebetulan tak seorang pun mencocoki selera si klien, sedangkan si klien ini enggan menunda pengambilan gambar berhubung datangnya dari luar pulau. Anastasia bingung mencarikan ganti Asti. Satu per satu gadis model yang ditawarkannya ditolak terus oleh si klien dengan berbagai alasan-yang kurang tampak keibuan-lah, yang terlalu kurus-lah, yang terlalu berbeda wajahnya dengan bayi pinjaman-lah, dan macam-macam. Di luar dugaan, si klien malah meminta agar Anastasia saja yang menggantikan peran Asti. Anastasia di matanya cocok untuk peranan itu, kata Pak Candra ini.

Maka Anastasia didaulat untuk menggantikan Asti. Demi perusahaan dan demi

Antonio yang juga memintanya, Anastasia menyanggupi. Yang tidak diperhitungkannya adalah kesiapan mentalnya sendiri menerima peranan ini setelah traumanya yang lalu.

Setelah dirias dan diberi pakaian yang sesuai dengan kebutuhan poster, duduklah Anastasia di atas sebuah kursi rotan. Pose yang akan diambil adalah gambar seorang perempuan yang dengan penuh kasih sayang menggendong bayinya yang terbungkus selimut yang lembut. Tetapi apa yang terjadi ternyata di luar dugaan semua yang menyaksikan pengambilan gambar ini.

Begitu bayi mungil yang berusia sekitar empat bulan itu diletakkan di pangkuan Anastasia, Antonio segera melihat bagaimana wajah gadis itu menegang. Tangannya yang seharusnya memeluk makhluk kecil itu dengan penuh kasih sayang menjadi kaku dan bergetar. Seruan si tukang potret untuk membawa bayi itu lebih dekat lagi ke dadanya menyebabkan mata Anastasia terbelalak dan kemudian dalam waktu yang singkat terjadi berturut-turut Anastasia melepaskan pelukannya pada bayi itu ibu sang bayi yang sudah melihat gejala-gejala aneh tadi, dari dekat dengan sigap maju untuk menahan tubuh anaknya yang mulai terlepas dari pelukan Anastasia, lalu merenggutnya dari pangkuan gadis itu Anastasia berdiri lalu berteriak seperti orang kesetanan dan Antonio memburu ke arahnya untuk membimbingnya pergi.

Di dalam pelukan Antonio, gadis itu menutup wajahnya dan segera dibimbing masuk ke kamar kerja Antonio, dibaringkan di kursi panjang, dan ditenangkan di sana. Antonio memanggil Maya dan dua orang gadis modelnya yang lain untuk menjaga dan menenangkan Anastasia sementara dia sendiri keluar untuk memohon maaf kepada si klien dan ibu si bayi yang sudah sempat dibuat kaget.

"Mengapa gadis itu "tadi, Pak?" tanya si klien ketakutan.

"Tidak apa-apa, Pak Candra," bujuk Antonio.

"Dia baru saja kematian kemenakannya yang bayi. Mungkin trauma itu masih membayang sehingga tadi tiba-tiba dia panik."

"Anak saya hampir saja dilemparkannya!" kata ibu yang empunya bayi dengan marah.

"Kalau cedera bagaimana!"

"Untung tidak terjadi apa-apa, ya, Bu.

Kita semua tadi tidak mengira akan terjadi seperti ini. Saya sebagai pimpinan di sini betul-betul minta maaf yang sebesar-besarnya."

"Wah, Pak Antonio ini bagaimana! Mengangkat gadis model itu mbok ya milih yang beres gitu lho!" kata si ibu yang aslinya berasal dari Banyuwangi itu.

"Nona Anastasia ini waras, kok, Bu," kata Antonio.

"Yang salah saya. Sebetulnya yang harus diambil gambarnya bersama bayi Ibu kan Nona Asti. Nona Anastasia memang tidak siap untuk menggantikan peranan ini. Kalau Ibu tahu riwayatnya, tentu Ibu mengerti."

"Bagaimana riwayatnya?" tanya si nyonya ingin tahu.

"Nona Anastasia itu baru saja mengalami musibah yang hebat. Kemenakannya yang bayi mati dalam pelukannya sewaktu terjadi kecelakaan lalu lintas yang juga merenggut nyawa saudaranya yang mengemudikan mobil. Dialah satu-satunya yang hidup. Jadi mungkin tadi ketika menggendong bayi ibu, tiba-tiba terbayang kembali kecelakaan yang dialaminya. Saya minta maaf, Bu, saya tadi yang menyuruhnya menggantikan Nona Asti." Dengan lancar Antonio mengarang

cerita apa saja asalkan bisa mendinginkan hati ibu yang sudah dibuat terkejut tadi.

"Lha iya, kalau sudah tahu begitu kok masih disuruh juga berpose dengan bayi! Tentu saja hal ini bisa membuatnya terbayang kembali," kata si ibu yang sudah merasa lebih lega sekarang bahwa si gadis yang sempat menggendong anaknya toh bukan orang gila yang sewaktu-waktu kumat. Dia tidak ingin menarik panjang lagi urusan karena selain memang sudah mendapatkan honor yang lumayan tinggi untuk peminjaman bayinya, juga syukur alhamdullillah anaknya tidak apa-apa.

"Wah, iya. Sayajuga ikut bersalah," kata Pak Candra yang klien.

"Tadi saya yang ngotot minta supaya nona itu saja yang difoto. Saya tidak tahu kalau dia habis kena musibah sih."

"Atas kejadian tadi, saya minta maaf," kata Antonio.

"Bagaimana kalau minggu depan saja kita ulang pengambilan gambar ini dengan Nona Asti? Saya kira pada waktu itu dia pasti sudah sembuh."

"Ya, ya, Pak Antonio, minggu depan saja saya kembali kalau begitu," kata Pak Candra.

"Jadi minggu depan, ya, Bu?" senyum

Antonio kepada si ibu.

"Ibu masih bersedia datang lagi, kan?"

"Saya sih mau saja, asal anak saya nggak dilempar-lemparkan seperti tadi."

"Oh. pasti hal ini tidak akan terulang kembali. Saya jamin."

Setelah tamu-tamunya pulang, Antonio kembali ke Anastasia yang masih duduk di sofanya ditemani oleh rekan-rekannya.

"Kalian tinggalkan kami dulu," katanya kepada Maya.

"Biar ganti aku yang menghibur Sasha."

Maya dan yang lain keluar. Antonio menutup pintu kamarnya lalu duduk di samping Anastasia yang sekarang sedang menekur ke lantai dengan mata kering.

"Sasha, mau minum?" tanya Antonio mengusap-usap bahu gadis itu.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan kepala tertunduk Anastasia berkata,

"Kau tentunya mengira aku sudah gila."

"Hus! Setiap orang bisa berbuat seperti kau tadi apabila pernah mengalami trauma dalam hidupnya. Jangan kaurisaukan lagi."

"Aku malu di depan begitu banyak orang terutama di depan klien, aku telah merusak reputasi Madona."

"Sama sekali tidak. Pak Candra adalah orang yang cukup mengerti. Aku sudah menjelaskan bahwa kau baru saja mengalami musibah dan dia memakluminya. Shooting akan diulang minggu depan."

"Trauma apa yang kauceritakan padanya, Tonio?"

"Aku bilang kau pernah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di mana saudaramu yang mengemudikan mobil dan anaknya yang masih bayi meninggal dalam pelukanmu, dan dengan menggendong bayi tadi kemungkinan kau terbayang kejadian itu lagi."

Baru sekarang Anastasia mengangkat matanya.

"Dari mana kau mendapat cerita itu tentang aku, Tonio?"

Antonio menyeringai.

"Aku yang mengarangnya. Akutidak tahu riwayatmu, aku cuma tahu bahwa kau pernah mengalami guncangan yang cukup hebat."

"Kau tahu bahwa aku pernah mengalami guncangan? Apakah Emi pernah bercerita padamu?"

Antonio menggeleng.

"Emi tidak pernah bercerita dan aku juga tak pernah bertanya. Tapi aku tahu cukup

dengan melihat gerak-gerikmu sehari-hari. Kau adalah orang yang peka sekali, seperti barang porselen yang terantuk sedikit lalu retak. Kau sendiri pun bersikap seakan-akan kau menyadari kerapuhanmu itu, dan kau selalu berusaha menghindari dekat dengan orang-orang lain supaya tidak ada kemungkinan terantuk mereka."


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan

Cari Blog Ini